Analisis tokoh ara dalam roman larasati karya Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra Djarot Haryadi C0299012
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sebagai seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam kehidupannya, maka ia tidak saja merupakan suatu media untuk menyampaikan ide, teori atau sistem berpikir tetapi juga merupakan media untuk menampung ide, teori serta sistem berpikir manusia. Sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia (Atar Semi, M., 1993:8). Setiap manusia merupakan individu yang berbeda dengan individu lainnya. Ia mempunyai watak, temperamen, pengalaman, pandangan dan perasaan sendiri yang berbeda dengan lainnya. Namun demikian, manusia hidup tidak lepas dari manusia lain. Pertemuan antarmanusia yang satu dengan manusia yang lain tidak jarang menimbulkan konflik, baik konflik antara individu, kelompok
1
2
maupun anggota kelompok serta antara anggota kelompok yang satu dan anggota kelompok lain. Karena sangat kompleksnya, manusia juga sering mengalami konflik dalam dirinya atau konflik batin sebagai reaksi terhadap situasi sosial di lingkungannya. Dengan kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalanpersoalan hidup. Manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya tidak terlepas dari jiwa manusia itu sendiri. Jiwa di sini meliputi pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khalayak dan jiwa itu sendiri (Bimo Walgito, 1997:7). Kejadian atau peristiwa yang terdapat dalam karya sastra dihidupkan oleh tokoh-tokoh sebagai pemegang peran atau pelaku alur. Melalui perilaku tokohtokoh yang ditampilkan inilah seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan problem-problem atau konflik-konflik yang dihadapinya, baik konflik dengan orang lain, konflik dengan lingkungan, maupun konflik dengan dirinya sendiri. Karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang memiliki karakter sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara fiksi. Dengan kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga. Maka penelitian yang meggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi. Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia yang disebut pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila
3
dibandingkan dengan manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan megenai hidup dan kehidupan (Andre Hardjana, 1985:60). Roman Larasati merupakan salah satu roman karya Pramoedya Ananta Toer. Seorang penulis yang hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara, 3 tahun dalam penjara Kolonial Belanda, 1 tahun pada masa Orde Lama, dan 14 tahun pada masa Orde Baru. Beberapa karyanya lahir dari penjara-penjara tersebut, di antaranya Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Dari tangannya telah lahir lebih dari 40 karya yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing. Hal ini pantas bila Pramoedya Ananta Toer memperoleh pelbagai penghargaan, di antaranya: The PEN Freedom to Write Award pada 1988 dan Ramon Magsasay Award pada 1995. Sampai kini, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat pemenang Nobel Sastra. Dalam roman Larasati diceritakan bahwa Ara atau Larasati adalah seorang artis panggung yang cantik, penampilannya banyak ditunggu oleh para penontonnya, bahkan ia juga punya banyak penggemar di luar dunia panggung. Ketika masa revolusi, tahun 1940-an ia tumbuh dewasa sebagai seorang gadis. Ketika pergolakan revolusi pecah, ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa selama ini ia selalu berada di pihak musuh. Pada saat menyaksikan penderitaan bangsanya, kesadaran dirinya sebagai anak bangsa mulai tumbuh. Ia berjanji dalam hatinya tidak bakal main untuk propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi revolusi.
4
Pada saat angkatan muda berjuang mati-matian, banyak angkatan tua mendapatkan kedudukan enak. Banyak terjadi pengkhianatan, korupsi yang dilakukan oleh para oportunis atau orang yang hanya mengambil keuntungan pribadi. Dari kejadian-kejadian ini, timbul berbagai konflik yang terjadi dalam dirinya yang harus diselesaikan. Untuk menghadapi konflik yang terjadi, ia harus mengambil sikap serta penemuan dirinya pada situasi semacam ini. Adapun yang menarik untuk diteliti dari roman Larasati ialah dikarenakan roman ini memaparkan dan mendeskripsikan situasi sosial mempengaruhi dan menjadi penyebab timbulnya berbagai sikap manusia dalam menghadapi situasi tersebut. Dalam roman ini digambarkan situasi pergolakan revolusi Indonesia pascaproklamasi yang tidak menentu akibat belum adanya kestabilan kekuasaan. Di satu sisi, secara de jure Indonesia merupakan bangsa yang telah merdeka, namun di sisi lain kekuasaan Belanda masih tetap bertahan. Bagi sebagian orang situasi semacam ini justru digunakan untuk mencari keuntungan pribadi, namun sebagian orang justru semakin terbakar semangat nasionalismenya. Keadaan yang digambarkan di atas bagi Ara bukan berarti harus mengambil sikap untuk mencari keuntungan sendiri. Sebagai seorang republieken, ia rela terjun ke daerah pendudukan demi mengumpulkan informasi strategis, dan supaya ia bisa menjadi kurir pembawa Oeang Republik Indonesia (ORI) bagi kepentingan para pejuang Indonesia. Dalam kisah perjalanannya tersebut, Ara dihadapkan pada persoalanpersoalan yang menyebabkan konflik dalam dirinya. Sebagai seorang perempuan dan juga artis, dengan caranya sendiri ia menunjukkan sikapnya sebagai seorang
5
pejuang. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian terhadap tokoh Ara. Dalam roman Larasati tokoh Ara tetap menunjukkan sikap hormat terhadap perjuangan nasional. Di akhir kisahnya, digambarkan bahwa ia lebih bersedia hidup bersama pejuang, daripada dengan seorang pengkhianat dan oportunis, yang mengambil keuntungan dari situasi penjajahan. Guna menyelesaikan persoalan yang dihadapi akan digunakan psikologi kepribadian sebagai alat bantunya. Psikologi kepribadian adalah bidang psikologi yang berusaha mempelajari manusia secara utuh menyangkut motivasi, emosi, serta penggerak tingkah laku. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini mengambil judul Analisis Tokoh Ara dalam Roman “Larasati” Karya Pramoedya Ananta Toer: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra.
B. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini, agar penelitian tetap terfokus dan tidak melebar melewati fokus permasalahan perlu adanya pembatasan masalah. Adapun masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada deskripsi kepribadian tokoh Ara dalam roman Larasati berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud, konflik psikologis yang dialami tokoh Ara, serta sikap tokoh Ara dalam menghadapi konflik tersebut.
C. Perumusan Masalah
6
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1.
Bagaimana deskripsi kepribadian tokoh Ara dalam roman Larasati berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud?
2.
Bagaimana konflik psikologis yang dialami tokoh Ara dalam roman Larasati?
3.
Bagaimana sikap tokoh Ara dalam menghadapi konflik tersebut?
D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah. 1.
Mendeskripsikan kepribadian tokoh Ara dalam roman Larasati berdasarkan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud.
2.
Mendeskripsikan konflik psikologis yang dialami tokoh Ara dalam roman Larasati.
3.
Mendeskripsikan sikap tokoh Ara dalam menghadapi konflik.
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoretis maupun praktis, yaitu. 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra Indonesia khususnya dengan pendekatan psikologi sastra. Penelitian
7
ini juga diharapkan mampu memberi sumbangan dalam teori sastra dan teori psikologi dalam mengungkap roman Larasati. 2. Manfaat Praktis Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam roman Larasati terutama kondisi kejiwaan para tokoh dan konflik yang dihadapi dengan pemanfaatan lintas disiplin ilmu yaitu psikologi dan sastra.
F. Sistematika Penulisan Sistematika
penulisan
dalam
sebuah
penelitian
berfungsi
untuk
memberikan gambaran mengenai langkah-langkah suatu penelitian. Adapun sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai berikut. Bab I pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Bab II landasan teori terdiri dari pengertian tokoh dan penokohan, pendekatan psikologi sastra, dan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud. Bab III metodologi penelitian terdiri dari metode penelitian, pendekatan, sumber data, objek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan teknik penarikan kesimpulan. Bab IV analisis berisi analisis roman Larasati dengan pendekatan psikologi sastra menggunakan teori psikologi. Analisis ini membahas tentang kepribadian tokoh Ara, konflik yang dihadapi serta sikap yang diambil tokoh Ara dalam menghadapi konflik tersebut.
8
Bab V penutup berisi tentang kesimpulan dan saran-saran dari penelitian ini.
BAB II LANDASAN TEORI Tokoh dan Penokohan Struktur yang hendak dikaji dalam roman ini hanya akan dititikberatkan pada tokoh dan penokohan. Tokoh dalam suatu cerita rekaan merupakan unsur penting yang menghidupkan cerita. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya konflik, dalam hal ini tokoh berperan membuat konflik dalam sebuah cerita rekaan (Burhan Nurgiyantoro, 1995:164). Pembicaraan mengenai penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada pelaku dalam cerita sedangkan ‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam Burhan Nurgiyantoro, 1995:165). Penokohan dapat juga dikatakan sebagai proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu cerita. “Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh. Oleh karena itu, tokoh-tokoh harus dihidupkan” (Soediro Satoto, 1998:43).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak dan tokoh-tokoh dalam sebuah cerita rekaan. Penciptaan citra atau karakter ini merupakan hasil imajinasi pengarang untuk dimunculkan dalam cerita sesuai dengan keadaan yang diinginkan. Penokohan dalam cerita dapat disajikan melalui dua metode, yaitu metode langsung (analitik) dan metode tidak langsung (dramatik). Metode langsung (analitik) adalah teknik pelukisan tokoh cerita yang memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan langsung. Pengarang memberikan komentar tentang kedirian tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku, bahkan ciri fisiknya. Metode tidak langsung (dramatik) adalah teknik pengarang mendeskripsikan tokoh dengan membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kediriannya masing-masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah laku, sikap dan peristiwa yang terjadi (Burhan Nurgiyantoro, 1995:166).
9
Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Tokoh adalah bahan yang paling aktif menjadi penggerak jalan cerita karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu : 1. Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri-ciri muka dan ciri-ciri badani yang lain. 2. Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama, aktifitas sosial, suku bangsa dan keturunan. 3. Dimensi psikologis ialah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, ukuran moral, temperamen, keinginan, perasaan pribadi, IQ dan tingkat kecerdasan keahlian khusus (Soediro Satoto, 1998:44 - 45). Tokoh berkaitan dengan orang atau seseorang sehingga perlu penggambaran yang jelas tentang tokoh tersebut. Jenisjenis tokoh dapat dibagi sebagai berikut.
1. Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya. a. Tokoh utama, yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel dan sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan. b. Tokoh tambahan, yaitu tokoh yang permunculannya lebih sedikit dan kehadirannya jika hanya ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung atau tidak langsung. 2. Berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh. a. Tokoh protagonis, yaitu tokoh utama yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang ideal bagi pembaca. b. Tokoh antagonis, yaitu tokoh penyebab terjadinya konflik (Burhan Nurgiyantoro, 1995:173 - 174).
10
B. Pendekatan Psikologi Sastra
1. Pengertian Psikologi Psikologi berasal dari perkataan Yunani ‘psyche’ yang artinya jiwa, dan ‘logos’ yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologis (menurut arti kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macammacam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya (Abu Ahmadi, 1979:1). Bimo Walgito mengatakan bahwa ‘psikologi’ adalah ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Ia merupakan suatu ilmu yang menyelidiki serta mempelajari tingkah laku serta aktifitas itu sebagai manifestasi hidup kejiwaan (1997:9). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian ‘psikologi’ adalah ilmu yang berkaitan dengan dengan proses-proses mental baik normal maupun abnormal yang pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan-kegiatan jiwa (1995:792). Dengan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa psikologi adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia, baik mengenai gejala-gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya yang tercermin dalam tingkah laku serta aktivitas manusia atau individu sendiri. Dalam penelitian ini, ada beberapa peristiwa kejiwaan yang perlu dipahami antara lain.
a. Konflik Konflik terjadi bila ada tujuan yang ingin dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Konflik terjadi akibat perbedaan yang tidak dapat diatasi antara
11
kebutuhan individu dan kemampuan potensial. Konflik dapat diselesaikan melalui keputusan hati. Konflik dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu: 1. Approach-approach conflict, yaitu konflik-konflik psikis yang dialami oleh individu karena individu tersebut mengalami dua atau lebih motif yang positif dan sama kuat. Misalnya, seorang mahasiswa pergi kuliah atau menemui temannya karena sudah berjanji. 2. Approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena dalam waktu yang bersamaan menghadapi situasi yang mengandung motif positif dan motif negatif yang sama kuat. Misalnya, mahasiswa diangkat menjadi pegawai negeri (positif) di daerah terpencil (negatif). 3. Avoidance-avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena menghadapi dua motif yang sama-sama negatif dan sama-sama kuat. Misalnya, seorang penjahat yang tertangkap dan harus membuka rahasia kelompoknya dan apabila ia melakukan akan mendapat ancaman dari kelompoknya. 4. Double approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena menghadapi dua situasi yang masing-masing mengandung motif negatif dan motif positif yang sama kuat. Misalnya, seorang mahasiswa harus menikah dengan orang yang tidak disukai (negatif) atau melanjutkan studi (positif) (Usman Effendi dan Juhaya S. Praja, 1993:73 - 75).
b.
Sikap
Sikap merupakan masalah yang penting dan menarik dalam lapangan psikologi. Sikap yang ada pada seseorang akan memberikan warna atau corak pada perilaku atau perbuatan orang yang bersangkutan. Dengan mengetahui sikap
12
seseorang, orang dapat menduga respon atau perilaku yang akan diambil oleh orang yang bersangkutan, terhadap sesuatu masalah atau keadaan yang dihadapkan kepadanya. Gerungan (1991:149), “pengertian attitude itu dapat kita terjemahkan dengan kata sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tadi. Jadi attitude itu lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap sesuatu hal.” Bimo Walgito menegaskan bahwa, “sikap itu merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya” (1978:109). Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan organisasi pendapat, pandangan, keyakinan seseorang mengenai objek tertentu yang disertai adanya perasaan tertentu yang memberikan dasar kepada seseorang untuk membuat respon atau bereaksi dengan cara tertentu yang dipilihnya.
2. Pengertian Psikologi Sastra Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia. Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia (Andre Hardjana, 1985:66).
13
Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang, dan pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri (Dick Hartoko dan B. Rahmanto, 1986:126). Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian, yaitu (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi proses kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada pembaca atau psikologi pembaca (Wellek, Rene dan Austin Warren, 1989:90). Berdasarkan pendapat Wellek dan Warren di atas, penelitian pada roman Larasati ini mengarah pada pengertian ketiga, yaitu pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik dapat dijelaskan, bahwa analisis yang akan dilakukan terutama diarahkan pada kondisi kejiwaan tokoh utama yang berperan dalam cerita, untuk mengungkap kepribadiannya secara menyeluruh.
C. Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud Sigmund Freud lahir di Moravia, 6 Mei 1856. Freud adalah psikolog pertama yang menyelidiki aspek ketidaksadaran dalam jiwa manusia. Freud mengibaratkan kesadaran manusia sebagai gunung es, sedikit yang terlihat di permukaan adalah menunjukkan kesadaran, sedangkan bagian tidak terlihat yang lebih besar menunjukkan aspek ketidaksadaran. Dalam daerah ketidaksadaran yang sangat luas ini ditemukan dorongan-dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide dan perasaan-perasan yang ditekan, suatu dunia dalam yang besar dan berisi kekuatan-
14
kekuatan vital yang melaksanakan kontrol penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan sadar manusia (S. Calvin Hall dan Lindzey Gardner, 1993:60). Penekanan Freud pada aspek ketidaksadaran yang letaknya lebih dalam dari pada aspek kesadaran tersebut, membuat aliran psikologi yang disusun atas dasar penyelidikannya itu disebut ‘psikologi dalam’ (Sujanto, 1980:62). Ajaran-ajaran Freud di atas, dalam dunia psikologi lazim disebut sebagai psikoanalisa, yang menekankan penyelidikannya pada proses kejiwaan dalam ketidaksadaran manusia. Dalam ketidaksadaran inilah menurut Freud berkembang insting hidup yang paling berperan dalam diri manusia yaitu insting seks, dan selama tahun-tahun pertama perkembangan psikoanalisa, segala sesuatu yang dilakukan manusia dianggap berasal dari dorongan ini. Seks dan insting-insting hidup yang lain, mempunyai bentuk energi yang menopangnya yaitu libido (S. Calvin Hall dan Lindzey Gardner, 1993:73). Struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem yaitu id, (das es), ego (das ich), dan super ego (das ueber ich). Perilaku manusia pada hakikatnya merupakan hasil interaksi substansi dalam kepribadian manusia id, ego, dan super ego yang ketiganya selalu bekerja, jarang salah satu di antaranya terlepas atau bekerja sendiri. 1. Id adalah aspek biologis yang merupakan sistem asli dalam kepribadian, dari sini aspek kepribadian yang lain tumbuh. Id berisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir dan yang menjadi pedoman id dalam berfungsi adalah menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar kenikmatan. Untuk mengejar kenikmatan itu id mempunyai dua cara, yaitu: tindakan refleks dan proses primer, tindakan refleks seperti bersin atau berkedip, sedangkan proses
15
primer seperti saat orang lapar membayangkan makanan (Sumadi Suryabrata, 1993:145 - 146). 2. Ego adalah adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan individu untuk berhubungan baik dengan dunia nyata. Dalam berfungsinya ego berpegang pada prinsip kenyataan atau realitas. Ego dapat pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian, karena ego mengontrol jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya. Dalam berfungsinya sering kali ego harus mempersatukan pertentangan-pertentangan antara id dan super ego. Peran ego ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instingtif dan keadaan lingkungan (Sumadi Suryabrata, 1993:146 - 147). 3. Super ego adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilainilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orang tua kepada anaknya lewat perintah-perintah atau larangan-larangan. Super ego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian, fungsinya menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak, sesuai dengan moralitas yang berlaku di masyarakat. Fungsi pokok super ego adalah merintangi dorongan id terutama dorongan seksual dan agresif yang ditentang oleh masyarakat. Mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal yang moralistis dari pada realistis, dan megejar kesempurnaan. Jadi super ego cenderung untuk menentang id maupun ego dan membuat konsepsi yang ideal (Sumadi Suryabrata, 1983:148 - 149). Demikianlah struktur kepribadian menurut Freud, yang terdiri dari tiga aspek yaitu id, ego dan super ego yang ketiganya tidak dapat dipisahkan. Secara
16
umum, id bisa dipandang sebagai komponen biologis kepribadian, ego sebagai komponen psikologisnya sedangkan super ego adalah komponen sosialnya.
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah petunjuk yang memberi arah dan corak penelitian, sehingga dengan metode yang tepat suatu penelitian akan memperoleh hasil yang maksimal. Metode dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Lexy J. Moleong, 2001:6). Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang dikumpulkan berbentuk kata-kata, frase, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan angka-angka. Dengan demikian, hasil penelitian ini berisi analisis data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, memerikan, menganalisis dan menafsirkan (Soediro Satoto, 1992:15).
B. Pendekatan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pendekatan berarti proses, perbuatan, cara mendekati usaha dalam rangka aktifitas penelitian untuk
17
mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tertentu masalah penelitian (1995:218). Pendekatan adalah cara untuk memandang terhadap suatu hal. Pendekatan (ancangan) sastra pada dasarnya adalah teori-teori untuk memahami jenis sastra tertentu sesuai dengan sifatnya (Soediro Satoto, 1992:9). Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan psikologi sastra. Andre Hardjana (1985:60) mengatakan bahwa dalam sastra, psikologi merupakan ilmu bantu dan memasuki sastra di dalam bahasan tentang ajaran dan kaidah yang dapat ditimba dari karya sastra. Pendekatan psikologi dilakukan untuk mengetahui psikologi tokoh Ara dalam roman Larasati yang berkaitan dengan kepribadian, konflik yang dihadapi, serta sikap yang diambil dalam menghadapi konflik tersebut.
C. Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah aspek psikologis yang menitikberatkan pada kepribadian tokoh Ara, konflik yang dihadapi serta sikap dalam menghadapi konflik tersebut.
D. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara tahun 2003 cetakan I dengan tebal 178 halaman.
18
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik pustaka, yaitu pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data.
F. Teknik Pengolahan Data Penelitian ini menggunakan beberapa tahap teknik pengolahan data. Tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut.. 1. Tahap Deskriptif Yaitu seluruh data yang diperoleh dihubungkan dengan permasalahan kemudian dilakukan tahap pendeskripsian dan pengidentifisian. 2. Tahap Klasifikasi Yaitu mengklasifikasikan data yang telah dideskripsikan sesuai dengan permasalahan masing-masing. 3. Tahap Analisis Yaitu mengadakan analisis terhadap data yang telah diklasifikasikan menurut kelompoknya masing-masing berdasarkan teori yang relevan dengan penelitian. 4. Tahap Interpretasi Yaitu menafsirkan hasil analisis data untuk memperoleh pemahaman yang sesuai dengan tujuan penelitian.
19
5. Tahap Evaluasi Yaitu tahap pengecekan terhadap hasil analisis data untuk meneliti kebenarannya, sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
G. Teknik Penarikan Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini diperoleh dari data-data yang telah di olah dan dianalisis pada tahap sebelumnya. Dalam tahap ini digunakan teknik penarikan kesimpulan induktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan yang melihat permasalahan dari data yang bersifat khusus untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat umum. BAB IV
ANALISIS Pada bagian ini akan dibahas tentang kepribadian, konflik yang dihadapi dan sikap yang diambil tokoh Ara dalam roman Larasati dalam menghadapi konflik tersebut. Analisis ini diawali dengan pembahasan tokoh dan penokohan untuk menjawab rumusan permasalahan yang ditetapkan sebelumnya. Analisis ini berfungsi untuk mendeskripsikan salah satu unsur pembentuk karya sastra yaitu tokoh dan penokohan, sehingga mampu menjembatani analisis psikologi sastra selanjutnya. Analisis selanjutnya adalah pembahasan dengan pendekatan psikologi sastra untuk mendeskripsikan kepribadian, konflik yang dihadapi dan sikap yang diambil tokoh Ara dalam menghadapi konflik. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan teori kepribadian psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.
20
Tokoh dan Penokohan Dalam roman Larasati ditampilkan beberapa tokoh yang dapat diklasifikasikan sebagai tokoh utama dan tokoh tambahan. Secara umum dalam roman Larasati tokoh utama adalah Larasati atau Ara dan beberapa tokoh tambahan yang ikut mempengaruhi jalan cerita. Penggambaran tokoh dalam roman ini menggunakan metode dramatik, yaitu teknik pengarang menggambarkan tokoh dengan membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kediriannya masing-masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun nonverbal, seperti tingkah laku, sikap dan peristiwa yang terjadi. Penggambaran tokoh ini akan dibagi dalam tiga dimensi, yaitu fisiologis, sosiologis, dan psikologis. 1. Ara/ Larasati Ara merupakan tokoh utama dalam roman Larasati. Keberadaannya mendominasi seluruh jalinan cerita, baik sebagai pelaku kejadian maupun pelaku yang dikenai kejadian. a.
Dimensi Fisiologis
Gambaran-gambaran fisik yang diperoleh mengenai Ara atau Larasati merupakan hasil pencermatan mendalam pada cerita. Tokoh Ara adalah seorang perempuan muda. Gambaran ini diperoleh dari pengertian kata ‘nona’ yang berarti panggilan bagi seorang perempuan muda yang belum menikah, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: “Nona nampak bingung, merokok?” pemuda itu menyodorkan sebatang rokok. Ia tersenyum menolak. Nona, dia bilang. Berapa saja pria seperti kau yang sudah kubalikkan kepalanya? Nona, katanya. Dan kalau nyonya, nyonya siapa pula? Ia menggeleng.
21
“Tidak, tidak. Terima kasih,” Larasati menjawab tak peduli (Pramoedya Ananta Toer, 2003:11). Gambaran fisik mengenai Ara yang lain adalah mengenai keindahan tubuhnya. Hal ini tergambarkan dalam kutipan berikut. “Cuma kenalan,” Larasati berdiri dihadapannya, memamerkan keindahan tubuhnya, tersenyum memutar badan, menghadapi tamunya kembali, mengulurkan tangan dan mengajak berkenalan, “Ara, larasati.” Ia sambut tangan opsir piket itu, terasa panas dan gemetar. Orang semuda itu, tanpa pengalaman macam ini, tidak menarik. Dan dibiarkannya tamunya mengagumi tubuhnya, sedang ia mengganti kain dan kebayanya dengan house coat (Pramoedya Ananta Toer, 2003:19 - 20). b. Dimensi Sosiologis Dalam roman Larasati ini tokoh Ara memiliki pekerjaan sebagai seorang bintang film, hal ini didasarkan pada kutipan di bawah ini. Terdengar mereka berhenti di depan pintu kamar Larasati. “Hai, bung pelayan, mana tamumu bintang film Ara?”
Terdengar langkah kaki telanjang pelayan berlarian menghampiri. Terdengar bisik-bisik tidak nyata. Kemudian langkah-langkah sepatu bot terdengar berhati-hati pergi menjauh, lenyap dalam malam kota kecil Cikampek. Perwira piket itu menarik nafas dalam. Larasati terkejut. Begitu keras hembusan nafas itu. Baru kelihatan perwira itu tersenyum. Dan memandangnya dengan ramah – ramahnya seorang pria pada wanita yang dikehendakinya – Larasati membalas senyumnya. Kini bintang film itu mengerti: kedatangannya di Cikampek telah menjadi berita yang diketahui setiap orang… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:18 - 19).
c.
Dimensi Psikologis Salah satu unsur dari dimensi psikologis dari tokoh dalam novel atau roman adalah
mentalitas tokoh. Tokoh Ara secara mentalitas adalah seorang idealis, ia memiliki pemikiran bahwa perjuangan tidak selamanya dengan mengangkat senjata melainkan dapat menggunakan cara-cara yang lain seperti seni. Sebagai seorang bintang film Ara ingin menggunakan keahliannya untuk berjuang, idealisme Ara ini terlihat dalam kutipan berikut. “Kalau surat dari Kapten Oding itu beres, pikirnya, nanti sore aku sudah di Cikampek, besok di Jakarta, Jakarta! Oi, Jakarta! Akan terbukti nanti apakah aku, sebagai bintang film juga sanggup berjuang dengan seniku atau tidak.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:9). Data lain yang mendukung mengenai idealisme Ara terhadap perjuangan juga terlihat dari kutipan di bawah ini. … Ia diam saja. Justru karena itu Larasati makin merasa panas. Ia sendiri telah mainkan cerita-cerita perjuangan dan hiburan di tempat-tempat yang sama sekali tidak penting di masa damai, biarpun tidak ada di peta bumi tempat dia
22
bermain! Tidak ada pengagum, tidak ada pemuja, tidak ada honorarium barang sepeser – cuma makan nasi keras dan ikan asin, dan transpor di atas truk yang berdesak membanting-banting! Kadang-kadang tepuk-tangan pun tidak – karena penduduk dusun belum biasa bertepuk-tangan, lebih biasa menerima segala diam-diam dengan hatinya. Kadang-kadang memang terasa olehnya bahwa heroisme dan patriotisme wanita di jaman Revolusi ini hanya terletak pada kepalang-merahan saja! Tapi ia takkan meninggalkan kejuruannya. Ia cintai kejuruannya. Dan ia yakin, melalui kejuruannya iapun dapat berbakti pada Revolusi. Ia merasa dirinya pejuang, berjuang dengan caranya sendiri (Pramoedya Ananta Toer, 2003:26).
Ara juga adalah seorang yang simpatik pada perjuangan, perasaan simpatik itu terlihat ketika ia menangis melihat anak-anak muda yang rela mati demi kemerdekaan. Hal ini tampak dalam kutipan di bawah ini. “Waktu selendang merah itu ia singkirkan dari wajahnya, nampak olehnya anak-anak muda yang nanti, besok, atau lusa mungkin tewas, tanpa mengenal kesenangan-kesenangan yang banyak dikenyamnya selama ini. Dua butir air mata menitik pada wajahnya. Sekarang aku bukan pemain sandiwara, ia tersedan-sedan dalam renungannya – sekarang aku sebagian dari mereka.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:28).
2.
Mardjohan
Tokoh Mardjohan dalam roman Larasati adalah sebagai tokoh tambahan yang kehadirannya dalam cerita memiliki keterkaitan dengan tokoh utama. Kehadiran tokoh Mardjohan dalam roman Larasati adalah sebagai pemicu timbulnya konflik pada diri tokoh Ara. a.
Dimensi Fisiologis Gambaran fisik mengenai tokoh Mardjohan dalam roman ini adalah bahwa ia adalah
seorang laki-laki. Hal ini didasarkan pada nama Mardjohan yang merupakan nama orang yang beridentik laki-laki. Hal ini didasarkan pada kutipan berikut. “Larasati menyeka mukanya dengan selendang tengik itu. Menajamkan pandang pada pendatang. Tapi ia pura-pura tak peduli. Dia juga pengkhianat,bisik hatinya. Ia kenal dia: Mardjohan – di jaman Jepang seorang announcer…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:34). b.
Dimensi Sosiologis Tokoh Mardjohan adalah seorang announcer atau penyiar pada waktu penjajahan Jepang,
pada waktu itu pekerjaan seorang announcer adalah melakukan propaganda untuk kepentingan Jepang. Larasati menyeka mukanya dengan selendang tengik itu. Menajamkan pandang pada pendatang. Tapi ia pura-pura tak peduli. Dia juga pengkhianat, bisik hatinya. Ia kenal dia: Mardjohan – di jaman Jepang seorang announcer. Sebentar ia bakal banjir propaganda dari mulutnya yang jorok, ia memperingatkan dirinya sendiri. Kalau didiamkan, dia akan
23
bertekuk lutut. Tapi merajalelea kalau dilayani. Siapa orang film yang tak kenal dia? (Pramoedya Ananta Toer, 2003:34). Pada waktu pendudukan Belanda Mardjohan menjadi seorang produser dan juga sutradara film. Ia membuat film dokumentasi untuk kepentingan propaganda Belanda, seperti terlihat pada kutipan berikut.
“Kau sudah bikin film?” “Aku sekarang produser, sutradara – segala-galanya.” Waktu dia cerita kebesarannya Larasati tak tertarik. Segera Mardjohan mengubah pokok, “Nanti aku perkenalkan kau dengan tuan kolonel Surjo Sentono. Dia yang kasih petunjuk bagaimana mendokumenkan pengungsi-pengungsi yang tidak tahan di daerah pedalaman ke daerah pendudukan kerajaan. Mereka berbahagia di bawah lindungan artileri… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:35).
c.
Dimensi Psikologis
Tokoh Mardjohan secara psikologis dalam roman ini digambarkan sebagai seorang pribadi yang memiliki mental oportunis, seorang yang hanya mengambil keuntungan dari situasi penjajahan. Pada waktu pendudukan Jepang ia menjadi seorang announcer atau penyiar yang melakukan propaganda bagi kepentingan Jepang. Ketika Sekutu datang mengusir Jepang ia berpihak kepada Nica dan menjadi seorang sutradara dan juga produser film yang bertugas membuat film dokumenter untuk kepentingan propaganda tentara Nica. Ketika Jepang diusir oleh tentara Sekutu, Mardjohan dapat selamat dan menjadi seorang sutradara berkat jasa seorang mayor besar. Pada masa pendudukan Jepang Mardjohan pernah membantu menghubungkan seorang mayor besar dengan anak perempuannya. Mardjohan meremas-remas kedua belah tangannya untuk mendapatkan kekuatan. Tiba-tiba hati berkisar begitu sentimental, meneruskan katakatanya: Waktu Revolusi pecah segera mayorbesar Surjo Sentono dibebaskan oleh Sekutu dari kamp Jepang, menggabungkan diri dengan Nica. Maria Magdalena Sentono lari, menggabungkan diri dengan korps mahasiswa – melakukan perlawanan terhadap Nica. Dua manusia dari satu darah berhadap-hadapan sebagai musuh. Ayah dan anak. Sang ibu tinggal menangis. “Aku lepaskan cintaku pada Maria. Aku berpihak pada ayahnya.” “Kau cerdik!” tiba-tiba Ara menuduh. “Cerdik.”
24
“Setelah kau dapat kedudukan dari ayahnya kau bakal dapat wanita manapun juga kau suka, selain si nona, selain aku. Dan besok atau lusa kalau berpihak pada Revolusi, bukan karena kau telah sadar, tapi karena mau ikut mendapatkan kemenangan.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:55). Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Mardjohan hanya mencari keuntungan pribadi dari situasi penjajahan. Mardjohan menjadi seorang announcer pada masa penjajahan Jepang, ketika Sekutu datang mengusir Jepang Mardjohan berpihak kepada Sekutu dan menjadi seorang sutradara film untuk kepentingan Nica. Bahkan Mardjohan rela melepaskan kekasihnya yang tergabung dalam korps mahasiswa demi berpihak kepada Nica.
3.
Pemimpin Pemuda
Tokoh Pemimpin Pemuda dalam roman ini adalah tokoh tambahan, tokoh ini mempunyai peran dalam kisah perjalanan hidup Ara. Kehadiran Pemimpin Pemuda ini hanya sebentar dalam cerita, namun kehadirannya sangat berarti bagi tokoh Ara. Ia mengajarkan pada Ara tentang keberanian dan perjuangan. a.
Dimensi Fisiologis Gambaran fisik mengenai Pemimpin Pemuda ini adalah seorang anak muda berusia tujuh
belasan, seperti terlihat dari kutipan berikut, “Beberapa orang pemuda berpakaian preman dengan cepat menyeretnya ke beranda. Seorang anak muda, lebih cocok disebut kanak-kanak usia tujuh belasan, yang nampak jadi pemimpin mereka…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:88 - 89). Pemimpin Pemuda dalam roman ini juga digambarkan sebagai seorang pemuda yang bertubuh kurus, seperti terlihat dari kutipan berikut. “Sampai di depan rumah ibunya, Martabat datang menolong. Pemimpin itu, pemuda yang kurus berumur belasan tahun itu, diletakkan di atas ambin Lasmidjah. Larasati menyeka pelipisnya dan menyuruh ibunya mengambilkan air bersih.” (Pramoedya Ananta Toer: 2003:107). b.
Dimensi Sosiologis Tokoh Pemimpin Pemuda adalah seorang pemuda yang tinggal di kampung ibu
Lasmidjah atau ibunda Ara, kampung tempat Ara tinggal selama ada di daerah pendudukan. Tokoh
25
ini adalah seorang pemuda yang memimpin dan menggerakkan para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara Nica. Hal ini terlihat pada kutipan berikut, “Beberapa orang pemuda berpakaian preman dengan cepat menyeretnya ke beranda. Seorang anak muda, lebih cocok disebut kanak-kanak usia tujuh belasan, yang nampak jadi pemimpin mereka…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:88 - 89).
c.
Dimensi Psikologis
Tokoh Pemimpin Pemuda ini adalah seorang pemuda yang memiliki mental pemberani. Meskipun bertubuh kurus ia berani memimpin para pemuda dalam melakukan penyergapan terhadap patroli Nica. Ia merasa dendam terhadap bangsa asing yang menjajah tanah air yang dicintainya. “Jangan takut. Duduk biar tidak berbunyi. Kau tidak punya dendam pada mereka, karena itu takut. Kau mesti pikir, bagaimana orang-orang lain mereka bunuh. Kau harus bunuh mereka,” bisik pemimpin itu. “Jangan anggap mereka itu manusia berakal. Pandang saja sebagai ayam-ayam yang datang ke dapur. Beri sedikit jagung, mau? Dan mereka tewas. Cuma begitu saja. Lebih tidak. Kau takut Tabat?” “Aku pernah bertempur.” “Suaramu gemetar. Kau tidak punya rasa dendam? Kalau orang cintai tanah airnya dia mesti dendam pada musuh tanah airnya. Dia takkan takut…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:97).
Keberanian Pemimpin Pemuda ini juga ditunjukkan dengan pernyataannya bahwa ia rela mati demi perjuangan, demi anak-anak yang belum dilahirkan. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut. Dari kejauhan terdengar seorang bayi menangis ngilu. “Kau punya anak?” Pertanyaan itu mengagetkan Larasati untuk kesekian kalinya. Anak! Sebelum Ara sempat menjawab, pemimpin pemuda itu telah meneruskan: “Ingat, buat dialah kami semua rela mati. Kami semua tidak pernah tidur selama ini – satu demi satu kawan-kawan kami tewas,” tiba-tiba pemuda itu bertanya lagi, “Kau punya anak?” “Belum.” “Kalau kau punya anak kau akan mengerti lebih banyak apa kataku. Mengerti? Juga buat anakmu yang belum lahir kami lakukan perjuangan ini,” (Pramoedya Ananta Toer: 2003:99).
4.
Pemuda Arab/ Jusman
Tokoh Pemuda Arab adalah tokoh tambahan yang berpengaruh terhadap kehidupan Ara ketika di Jakarta, kehadiran tokoh ini berpengaruh besar bagi Ara.
26
Jusman adalah orang yang menyekap Ara dan ibunya, sehingga Ara harus merelakan keinginannya untuk terlibat dalam perjuangan. a.
Dimensi Fisiologis Tokoh Pemuda Arab adalah seorang laki-laki keturunan bangsa Arab. Ia memiliki tubuh
tinggi besar, gagah, dan hidung mancung yang merupakan tipe fisiologis bangsa Arab. Gambaran fisik tokoh Pemuda Arab ini didasarkan pada kutipan di bawah ini. “Nenek bersiap hendak masuk ke dalam. Degupan jantung Larasati bertambah kencang. Tamu itu kini nampak jelas melela dihadapannya: tinggi besar, gagah, bercelana wol berkemeja putih rambutnya berombak hidungnya mancung – terlalu mancung, kulitnya kehitam-hitaman dan – matanya kuning. Waktu tamu itu pergi. Larasati terjatuh lemas di balik daun pintu.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:118 - 119). Ciri fisik yang paling menonjol dari tokoh Pemuda Arab ini adalah matanya yang berwarna kuning. Dari ciri inilah Ara akan mengenal siapa sebenarnya Pemuda Arab ini. Selama tamunya bicara, Ara mengawasi matanya yang kuning. Tamu itu sebentarsebentar menunduk atau membuang muka. Mengapa matanya begitu kuning kalau dia tidak sakit kuning? Kena racun rokok? Waktu ia meneliti tangan pemuda itu nampak ujung telunjuk dan jari tengahnya kehitam-hitaman bercampur sedikit kuning (Pramoedya Ananta Toer, 2003:130). Tokoh Pemuda Arab ini ternyata bernama Jusman, ia memperkenalkan diri kepada Ara ketika ingin meminta kepada Ara untuk menjadi penyanyi pada orkes gambusnya. “Kami tiadalah jahat, nona. Kami mempunyai orkes gambus. Tentu nona mau menyanyi buat orkes kami.” ……… “Aku bukan penyanyi. Biarpun menyanyi juga bukan gambus.” “Kami juga baru mulai, nona. Tak perlu nona takut. Banyak orang ternama dalam orkes kami. Ada tuan Alayctrus, tuantanah Tanah Abang. Ada tuan Husain dari Krukut. Dan aku sendiri Jusman, nona. Aku memang orang Arab, tapi tak biasa pakai nama suku. Tidak senang, kaya orang kolot.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:131).
b.
Dimensi Sosiologis Tokoh Pemuda Arab atau Jusman adalah seorang mata-mata bagi tentara Nica, ia
bertugas menunjukkan siapa saja orang-orang yang terlibat dalam penyergapan-penyergapan terhadap tentara Nica yang dilakukan oleh para pemuda. Pada waktu melakukan tugas ini ia menggunakan penutup kepala berbentuk seperti sarung guling yang hanya dilubangi pada bagian matanya. Meskipun menggunakan penutup kepala, ia dapat dikenali karena matanya yang berwarna kekuning-kuningan, seperti terlihat dari kutipan di bawah ini.
27
Mereka pergi ke ujung depan barisan orang dijemur itu. Setiap kali meneliti seseorang, orang dari balik sarung guling itu menggeleng. Pada waktu ia mengangguk seseorang dikeluarkan dari barisan. Orang itu adalah kakek Mo. Sampai di hadapan Larasati, opsir itu berjalan terus seakan tidak tahu atau tidak mau tahu. Tetapi mata dari dalam sarung guling itu mengawasinya dengan berapi-api. Dingin seluruh tubuh bintang film itu. Apa yang ada di balik mata yang kekuning-kuningan itu? Maut? Siksa? Dendam? Ancaman? Larasati menunduk ngilu (Pramoedya Ananta Toer, 2003:112). c.
Dimensi Psikologis Dalam roman ini digambarkan bahwa Jusman adalah seorang oportunis, orang yang
hanya mengejar keuntungan dari sebuah situasi atau keadaan. Hal ini didasarkan pada kutipan di bawah ini. “… aku sendiri Jusman, nona. Aku memang orang Arab, tapi tak biasa memakai nama suku. Tidak senang, kaya orang kolot.” Larasati terus mengawasi tamunya. “Yang bertempur, bertempur, yang main gambus, main gambus. Kami tidak tak tahu urusan pertempuran. Itu urusan Belanda. Kami orang Arab, tidak mau turut campur. Kami takkan mendapat keuntungan apa-apa dari semua itu. Ngomong-ngomong, mengapa nona mengawasi aku saja?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:131).
5.
Chaidir Tokoh Chaidir dalam roman ini adalah tokoh tambahan, kehadirannya hanya sebentar
namun memiliki peran bagi keberadaan tokoh Ara. Kehadiran Chaidir dalam hidup Ara adalah mengajarkan dan membangkitkan semangat revolusi bagi Ara. a.
Dimensi Fisiologis Gambaran fisik yang didapat dari tokoh Chaidir adalah seorang pemuda yang berbadan
kerempeng dan matanya merah seperti terlihat pada kutipan di bawah ini. Suara yang mengandung simpati dan teguran mau tak mau menarik perhatiannya. Ia tegakkan duduknya. Tiba-tiba merasa malu: mungkin sekali ini ia duduk merosot di tempat umum. Biasanya ia selalu tunjukkan harga dirinya, juga dalam gaya duduknya. Ia tatap pria yang duduk di sampingnya. Sepasang mata merah yang menyala-nyala. Ara segera meruntuhkan pandangnya. Siapa pria bermata merah ini? Apakah dia kalong yang tak bersayap yang tak pernah pejamkan matanya? Siapa dia? Dan sebelum pikirannya bekerja mengingat-ingat, pemuda bermata merah itu meneruskan, “Chaidir, kau tak pernah dengar nama Chaidir?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:136). b.
Dimensi Sosiologis Tokoh Chaidir berdasarkan profesi ataupun perannya dalam masyarakat adalah seorang
penyair. Ara mengenal sosok Chaidir sebagai seorang penyair sewaktu berada di Yogya.
28
“Chaidir. Masa kau tidak kenal? Aku penyair.” Bulu badan Ara meremang. Rupa-rupanya anak kecil dekil bermata merah ini yang banyak goncangkan pendapat-pendapat di dunia sandiwara di Yogya. Ha, ia sekarang ingat. Ia duduk di kejauhan. Chaidir duduk di samping kepala redaksi majalah Arena di depan perdana menteri yang juga setinggi Chaidir, hanya gemuk dan juga tidak bermata merah (Pramoedya Ananta Toer, 2003:136 - 137).
c.
Dimensi Psikologis Chaidir adalah seorang penyair yang memiliki idealisme bahwa seni dapat memberikan
sumbangan pada revolusi. Chaidir yakin bahwa sandiwara yang merupakan bagian dari seni dapat mengobarkan semangat api revolusi. … Chaidir duduk di samping kepala redaksi majalah Arena di depan perdana menteri yang juga setinggi Chaidir, hanya gemuk dan tidak dekil, dan tidak bermata merah. “Sandiwara?” kata perdana menteri, “apa yang bisa diperbuat sandiwara dalam masa orang tidak membutuhkan seni apapun juga sekarang ini?” Dan Chaidir dengan berapi-api membela seakan-akan sandiwara itu adalah dirinya sendiri, “dalam keadaan bagaimanapun setiap orang membutuhkan segala-galanya. Berikan apa yang mereka butuhkan. Tapi jangan padamkan api Revolusi. Berikan minyak pada api itu!” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:137). Analisis mengenai tokoh dan penokohan dalam roman Larasati di atas diperoleh deskripsi mengenai tokoh-tokoh yang memiliki karakteristik tiga dimensional. Dalam roman ini tokoh Ara adalah tokoh utama yang kehadirannya sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan. Tokoh-tokoh lain yang hadir dalam roman ini merupakan tokoh tambahan yang permunculannya lebih sedikit, kehadiran tokoh-tokoh tambahan ini mempengaruhi perkembangan plot karena keberadaannya dibutuhkan untuk memunculkan keberadaan tokoh utama. Berdasarkan perumusan masalah pada bab sebelumnya, kehadiran tokoh-tokoh tambahan ini juga memiliki keterkaitan dengan tokoh utama dalam menciptakan konflik. Hasil dari analisis ini bertujuan untuk mempermudah dan mensistematiskan pada analisis psikologis selanjutnya.
29
Kepribadian Tokoh Ara Dilihat dari Teori Kepribadian Psikoanalisis Sigmund Freud Pada bagian ini, untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kepribadian tokoh Ara akan digunakan teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud tentang struktur kepribadian. Menurut Freud struktur kepribadian terdiri atas tiga sistem yaitu id, ego, dan super ego. Perilaku manusia pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara ketiga substansi tersebut. Kisah dalam roman ini diawali ketika Ara, seorang aktris panggung dan bintang film yang ingin pergi ke Jakarta pada masa pendudukan Nica untuk bermain film. Ara bertekad untuk membantu revolusi dengan kemampuannya sebagai seorang pemain film. Ia berjanji tidak akan main untuk propaganda Belanda melainkan untuk kepentingan revolusi. Larasati tersenyum dan disentuhnya pipi opsir itu dengan sambil lalu. Tapi dalam bayangannya terbentang hari depan yang gilang-gemilang di daerah pendudukan Nica. Ia akan terjun kembali di gelanggang film. Dan seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke, akan bertempik sorak untuknya. seluruh pria berotak dan berjantung dari Merauke sampai ke Sabang akan memujanya, akan berebutan memiliki tubuhnya. Kembali ia tersenyum. tapi ia berjanji dalam hatinya, tidak bakal aku main untuk propaganda Belanda, untuk maksud-maksud yang memusuhi Revolusi. Aku akan main film yang ikut menggempur penjajahan (Pramoedya Ananta Toer, 2003:8 9). Dalam perjalanannya menuju daerah pendudukan ia merenung tentang kehidupannya di zaman Jepang. Pada zaman pendudukan Jepang Ara pernah mengenyam kehidupan yang mewah, tidak seperti saat ini bersama para pejuang revolusi. Id yang merupakan unsur biologis dan bekerja pada prinsip kesenangan serta kenikmatan terlihat dalam kehidupan Ara pada waktu itu. … Setidak-tidaknya opsir-opsir Jepang masih dapat memberinya duit. Saburo Sakai, itu Letnan Kolonel Laut Jepang, sahabat bekas perdana menteri dan memimpin partai Sosialis itu yang giat menentang kolaborasi
30
dengan Jepang! Apa saja yang tak diterimanya dari dia: dari karung beras sampai gelang jamrud buatan Tiongkok dan cincin delima buatan Birma! Dan Sjimizu: dari kimono sutra komplet dengan bakiak dan kipasnya sampai pada rahasia penyerbuan Jepang ke Australia! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:11 - 12) Dari kutipan di atas, id lebih mendominasi kehidupan Ara dari pada super ego. Pada waktu pendudukan tentara Sekutu, Ara memutuskan untuk membantu perjuangan revolusi dengan kemampuannya sebagai seorang bintang film karena secara moral sebagai orang yang bertanah air Ara harus ikut berjuang untuk tanah airnya. Hal ini merupakan bentuk dari kerja super ego dalam mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas dari pada realitas. … Jakarta! Oi, Jakarta! Aku boleh seorang pelacur! Aku boleh seorang sampah masyarakat! Aku seorang bintang film gagal! Tapi beradat! Tidak. Aku juga punya tanah air. Aku Larasati, bintang Ara. Mengapa mesti dengan Miss? Sebutan itu akan membuat aku berkulit putih. Apakah sebutan itu cuma tantangan kaum pria, kalau aku milik siapa saja? (Pramoedya Ananta Toer, 2003:12). Dari kutipan di atas nampak bahwa super ego yang merupakan aspek sosiologi kepribadian yang menentukan benar tidaknya suatu tindakan berdasarkan moral masyarakat, mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas. Ara tidak mempedulikan bahwa ia dulu seorang pelacur, seorang sampah masyarakat, ia tetap yakin bahwa ia akan berjuang demi revolusi dan tidak akan berkhianat pada tanah airnya. Hal tersebut juga terlihat dalam kutipan berikut. “… Nanti juga – di bumi penjajahan. Bekasi yang bakal menentukan! Bekasi! Tapi biar bagaimanapun, aku tidak akan berkhianat. Aku juga punya tanahair. Jelek-jelek tanahairku sendiri, bumi dan manusia yang menghidupi aku selama ini. Cuma binatang ikut Belanda.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:13).
31
Dari kutipan di atas terlihat bahwa ego sebagai eksekutif kepribadian telah mendorong pribadi Ara untuk menentukan dirinya sebagai seorang pejuang. Ara merasa bahwa tanah airnya yang selama ini telah memberinya makan, dan ia tidak pantas berkhianat pada tanah airnya. Ketika kereta yang ditumpanginya sampai di Cikampek Ara langsung menuju ke penginapan di desa Pucung. Di penginapan ini ia kedatangan tamu seorang perwira piket yang ingin melakukan pemeriksaan. … Sebelum ia dapat senyum, perwira piket itu telah duduk di atas kasur ranjang yang begitu dekil. Larasati mencoba membohongi ketakutannya dengan merayu, tetapi ketakutan lebih berkuasa atas seluruh kehadirannya. Cilampek ini, terkenal di Yogya sebagai tempat seram., di mana prajurit muda begitu garang dan berhati dingin. Ia lebih suka berhadapan dengan raksasa membawa belati telanjang di tangan, asal wajahnya merah segar, tidak pucat. Setidak-tidaknya si merah segar akan dapat dibalikkan kepalanya dalam satu atau dua sekon (Pramoedya Ananta Toer, 2003:16 17). Dari kejadian tersebut terlihat bahwa rasa takut yang merupakan representasi id menuntut untuk direduksi. Ara berusaha mereduksikan tegangan tersebut dengan membentuk khayalan tentang objek yang ingin direduksikan. Namun ketika proses ini tidak dapat menjawab kebutuhan untuk memenuhi tuntutan ini maka berkembang proses baru yaitu ego mulai terbentuk. Ego yang merupakan pelaksana kepribadian yang berhubungan dengan dunia luar bekerja berdasarkan realitas dan berpikir logis, ego akan berusaha untuk mereduksi rasa takut seperti terlihat pada kutipan berikut. Perwira piket itu menjarah wajahnya dengan pandangnya. Larasati menggigil tak kentara. Dicurinya pandang pada kolt telanjang. Tapi opsir muda itu nampak tak ada niat untuk menggunakannya. “Tidak diperiksa, pak?” piket itu tak memperhatikan kopernya. “Surat keterangan,” perintahnya. Ia merasa lega sedikit. Setidak-tidaknya suaranya tak mengandung kekejaman. Buru-buru ia ambil surat keterangan dari tas tangannya. Opsir itu menerimanya, hanya menatap wajahnya tajam-tajam. Waktu ia dapat
32
menangkap kobaran berahi pada mata si wajah pucat itu, ia mulai dapat menguasai dirinya. Ia tak berbeda dengan laki-laki lainnya. Larasati berusaha membujuk (Pramoedya, 2003:17). Setelah Ara mampu mengendalikan rasa takutnya, ia kemudian leluasa bercakap-cakap dengan tamunya itu. Dari percakapan itu, akhirnya perwira piket meminta Ara untuk membantunya mencarikan informasi mengenai ajudan serta pembantunya yang hilang ketika sedang bertugas mencari perbekalan untuk seksi yang dipimpinnya. Perwira piket itu bercerita tentang kesulitan-kesulitan yang dialami seksinya, termasuk ketika harus mencari perbekalan sendiri untuk seksinya. “Mengapa perbekalan mesti cari sendiri?” tiba-tiba Ara bertanya. “Seluruh kedudukan yang enak diambil orang-orang tua. Mereka hanya pandai korupsi. Rencana-rencanaku kandas di laci-laci. Tapi kau tahu sendiri – itu semua di Yogya lebih banyak kukira. Angkatan tua itu sungguh-sungguh bobrok!” ia bangkit berdiri, menatap Ara dengan berahinya, dan meneruskan dengan suara menyesal: “Setiap replubikein mestinya republikein sejati. Satu kesalahan bisa membuat dia jadi khianat tanpa maunya sendiri. Kapan kau berangkat ke Jakarta?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:22). Pernyataan perwira piket tersebut sangat berpengaruh bagi Ara. Super ego yang merupakan aspek sosiologi kepribadian dan fungsinya menentukan benar tidaknya suatu tindakan berdasarkan moral masyarakat, mendorong ego Ara mengejar hal-hal yang bersifat moralitas dengan tetap konsisten untuk berjuang demi revolusi. Dari pertemuannya dengan perwira piket inilah Ara belajar untuk menjadi republikein, dan seorang republikein sejati tidak akan melakukan korupsi dan berkhianat pada revolusi. Ara akhirnya meninggalkan Cikampek tanpa mendapatkan kesulitan. Dengan diantar oleh perwira piket itu, ia menuju ke stasiun untuk meneruskan perjalanannya ke Jakarta.
33
“Revolusi pasti menang!” Ara menjerit menjawab. Mata piket itu nampak bertanya-tanya menyelidiki: Apa akan kau kerjakan? Dan segera ia menjerit untuk kedua kalinya. “Aku juga berjuang dengan caraku sendiri.” Waktu kereta telah berangkat itulah ia berpikir orang seperti aku, bagaimana pun buruk namanya, dia tidak mungkin bakal berkhianat. Berkhianat pada Revolusi ini berarti juga berkhianat pada diri sendiri, pada publik yang membayarnya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:25 - 26). Dari kutipan di atas terlihat bahwa keyakinan Ara untuk berjuang sangat kuat. Ia akan berjuang dengan caranya sendiri sebagai seorang pemain film dan tidak akan berkhianat pada revolusi. Di sini ego sebagai eksekutif dari kepribadian telah mendorong pribadi Ara untuk menemukan dirinya sebagai seorang seniman yang akan berjuang untuk revolusi. Hal yang sama seperti sikap Ara di atas juga nampak ketika ia bertemu dengan orang tua cacat di atas kereta ketika sedang meninggalkan Cikampek. … Orang tua itu hanya berkaki sebelah. Dua orang pemuda beruniform, kedua-duanya berpangkat kapten memapah orang tua itu. Larasati tak sempat meminta maaf atas kekeliruannya. Waktu turun dari gerbong, orang tua cacat itu disambut oleh satu seksi barisan kehormatan… Dalam hati ia mengagumi si tua yang tak ketahuan nama, pekerjaan, dan pangkatnya. Mungkin seorang menteri. Mungkin seorang Inspektur Jenderal dalam pakaian preman. Secacat itu, tapi dia masih berjuang! Mestinya perjuanganku lebih dari dia. Aku tak cacat. Lebih – mesti! Lebih – mesti! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:27). Dari pertemuannya dengan orang tua cacat ini, super ego mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas serta melaksanakan ukuran moralnya dengan memberikan rasa bersalah. Ara meyaksikan seorang tua yang cacat namun masih tetap berjuang, hal ini semakin meyakinkan dirinya untuk tetap berjuang melebihi orang tua cacat itu karena Ara akan merasa bersalah kalau tidak membantu perjuangan.
34
Sesampainya di Bekasi kereta berhenti untuk dilakukan pemeriksaan oleh serdadu Nica. Para opsir melakukan pemeriksaan terhadap setiap penumpang untuk menangkap para pengikut Soekarno. Dalam pemeriksaan ini akhirnya sampai giliran Ara untuk diperiksa. Waktu Larasati sampai di depan tenda, seorang inlander mendorong wanita di belakangnya. Dengan demikian ia masuk seorang diri. Untuk memberanikan dirinya ia remas-remas selendang merah pemberian pejuang sebentar sebentar tadi. Di hadapannya duduk seorang sersan inlander berkulit lebih hitam daripadanya sendiri, mengkilat, bermandi keringat … “Buka baju!” perintah sersan hitam mengkilat itu. “Buat apa?” Larasati memberontak. “Buat apa? Buka semua! Cepat! Anjing-anjing Soekarno suka berlagak goblok.” Garang benar kelihatannya, pikir Larasati. Dia Cuma pembunuh bayaran. Melihat aku sebagai anjing. Mungkin matanya bukan mata orang, mata anjing, maka manusia kelihatannya sebagai anjing, itulah dia tuannya. Kalau Cuma cari makan dan pakaian mengapa jadi pembunuh dan penghina orang? Kan aku juga cari makan dan pakaian? Orang-orang macam dia ini mungkin lebih bodoh daripada kerbau. Paling tidak kerbau tidak membunuh sesamanya. Waktu melihat Ara tak mengikuti perintahnya, ia bangkit. Matanya berapiapi. Ditariknya kain kurbannya. Tangan Ara menangkis. Selendang merahnya jatuh. “Binatang!” Ara memekik. (Pramoedya Ananta Toer, 2003:33 - 34). Dari peristiwa di atas terlihat id Ara menuntut untuk direduksi, ego berusaha untuk mereduksinya dengan mencari objek pemuasan dengan meremasremas selendang. Namun usaha itu tidak begitu berhasil sampai akhirnya super ego berperan untuk mendorong ego Ara untuk melakukan penolakan dengan cara menangkis tangan sersan inlander tersebut. Di sini terlihat bahwa ego berperan menjadi perantara antara kebutuhan instingtif dengan keadaan lingkungan. Di stasiun Bekasi inilah Ara bertemu dengan Mardjohan. Seorang announcer pada masa pendudukan Jepang, dan sekarang Mardjohan adalah seorang sutradara dan juga produser film yang bertugas membuat film
35
dokumenter untuk kepentingan Nica. Sebelumnya Mardjohan sudah mengenal Ara sebagai seorang bintang film. Mardjohan selama ini berusaha mencari Ara untuk diajak bermain film sampai akhirnya bertemu di stasiun Bekasi. Segera Mardjohan mengubah pokok, “Nanti, aku perkenalkan kau dengan tuan kolonel Surjo Sentono. Dia yang kasih petunjuk bagaimana mendokumenkan pengungsi-pengungsi yang tidak tahan di pedalaman ke daerah pendudukan kerajaan. Mereka berbahagia di bawah lindungan artileri. Kolonel tulen dari kenil. Opsir artileri paling cakap di seluruh Asia. Ayoh, aku bawakan kopormu. Mari kuperkenalkan dengannya.” “Kau gila.” “Lebih baik kau pikirkan keselamatanmu.” Mardjohan mulai mengancam. “Lihat, semua orang mengawasi kau. Juga tuan kolonel – itu, di stasiun sana ia bawa tongkat.” Larasati menyadari benarnya ancaman. Ia menunduk. Lambat-lambat ia ikuti langkah Mardjohan – menghadap tuan kolonel (Pramoedya Ananta Toer, 2003:35). Pertemuan ini memaksa Ara untuk mengikuti kemauan Mardjohan. Di satu sisi id mendapatkan tegangan ketika mendapatkan ancaman sedangkan super ego mendorong Ara untuk tidak akan berkhianat terhadap perjuangan. Di sini dorongan id lebih kuat dari pada super ego sehingga ego yang merupakan pelaksana kepribadian mendorong Ara untuk mengikuti perintah Mardjohan untuk bertemu dengan kolonel. Pertemuan dengan kolonel akhirnya membawa Ara menuju ke penjara. Kepergiannya ke penjara adalah atas perintah kolonel untuk melihat kondisi para tawanan sehingga akan membuat Ara takut dan mau mengikuti kemauan tuan kolonel untuk bermain film. “Husy. Kau mengerti maksudku.” “Tidak, tuan kolonel.” “Tidak? Ara, penjara tidak cocok bagimu.” “Entahlah tuan kolonel. Belum pernah aku alami.” “Mau coba?” Larasati berdebar-debar. Tak ada guna bicara tentang pokok semacam ini. Aku datang ke bumi penjajahan bukan untuk masuk penjara. Aku datang
36
untuk kembali memasuki dunia film. Ia takut. Penjara berarti kematian (Pramoedya Ananta Toer, 2003:40). Dari kutipan di atas terlihat bahwa id kembali mendominasi Ara. Id yang berprinsip pada kesenangan dan kenikmatan akan melakukan penolakan terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan. Dorongan id yang kuat ini akhirnya mendorong Ara untuk mengikuti Mardjohan pergi ke penjara. Dalam perjalanannya ke penjara, Mardjohan berusaha mempengaruhi Ara untuk tetap mau bermain film. Mardjohan tidak hanya membujuk secara halus melainkan juga mengancam bahwa ia sanggup membunuh Ara, namun Ara berusaha untuk tetap berani dan tidak terpengaruh terhadap ancaman tersebut. Ego Ara berusaha mengendalikan rasa takut seperti terlihat pada kutipan berikut. Mobil melambatkan jalannya untuk memberi jalan pada sebuah truk militer dari empat setengah ton, yang terengah-engah membawa muatan batangan-batangan besi. Udara mulai mengandung kadar air berat. Panas merajalela di dalam mobil besar dan megah itu. Tetapi Larasati mencoba tidak dipengaruhi oleh keadaan-keadaan di luar dirinya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:43). Ara mendapatkan pengertian mengenai pribadi Mardjohan sebagai seorang oportunis, orang yang hanya mencari keuntungan pribadi dari situasi penjajahan. Tetapi sementara itu bintang film itu mendapat pengertian tentang bangun dari bumi penjajahan: hancur-menghancurkan! Sedang mereka yang tidak dihancurkan, mereka yang tidak menghancurkan, adalah yang jadi landasan hidup binatang ini. “Tak ada gunanya dibicarakan terus, Ara.” Mardjohan memutuskan. Ia geserkan duduknya. Mendekat. Kian mendekat. Berapatan. “Kita bisa jadi sekutu yang baik! Kau dan aku.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:43). Setelah mengenal siapa sebenarnya sosok Mardjohan yang seorang pengkhianat dan juga oportunis, hal tersebut tidak membuat Ara berhenti berjuang dan berkhianat terhadap revolusi. Hal ini menunjukkan bahwa super ego
37
mendorong ego Ara untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas, seperti terlihat pada kutipan di bawah ini. Dan Larasati tidak membantah. Bumi penjajahan ini membuat aku kian detik kian berpikir. Tak pernah demikian sebelumnya. Tak pernah ia meneropong dirinya sendiri. Kini ia dapatkan gambaran tentang dirinya sendiri agak jelas, kadang samar: menolak seluruh bentuk penjajahan apapun. Ia tak membutuhkan kehancuran orang lain dan dirinya sendiri. Ia inginkan suatu kehidupan damai, di mana ia dapat membaktikan seluruh hidupnya dengan kecakapan satu-satunya yang dimilikinya: main film. Bagaimanapun juga kotornya namaku aku akan tetap dapat berguna. Kotor? Tiba-tiba ia memberontak terhadap dirinya sendiri. Biar aku kotor, perjuangan tidak aku kotori. Revolusi pun tidak! Negara pun tidak! Rakyat apalagi! Yang aku kotori hanya sendiri. Bukan orang lain. Orang lain takkan rugi karenanya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:44). Dari kutipan di atas terlihat bahwa super ego mampu merintangi impulsimpuls id dan mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas. Aktivitas super ego terlihat pada sikap Ara ketika melakukan observasi terhadap dirinya sendiri. Ara menginginkan kehidupan damai tanpa penjajahan dan ia ingin membaktikan diri pada perjuangan serta tidak akan mengotori perjuangan itu sendiri. Dorongan super ego untuk merintangi impuls-impuls id pada diri Ara dan menciptakan dunia menurut gambarannya sendiri juga terlihat pada kutipan berikut. Larasati meneruskan renungannya: mengapa dunia ini begini penuh iga manusia busuk? Hanya karena mau hidup lebih sejahtera daripada yang lain? Apakah kesejahteraan hidup sama dengan kebusukan buat orang lain? Alangkah sia-sia pendidikan orangtua kalau demikian. Alangkah siasia pendidikan agama. Alangkah sia-sia guru dan sekolah-sekolah… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:48). Di penjara ini Ara bertemu dengan para tawanan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Ketika Ara bertemu dengan tawanan yang sakit parah, ia mendapatkan gambaran mengenai tidak adanya keadilan di bumi penjajahan ini.
38
Dan sersan itu menghilang. Bintang film itu menghampiri tawanan itu. Meraba kakinya: panas di atas 41 derajat. Orang ini akan segera mati, pikir Larasati. Mati, berhadapan dengan pembunuhnya sendiri. Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undangundang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan. Larasati ingin menghibur orang sakit itu. Orang telah jatuh di medan perjuangan – dia tidak bakal menyaksikan kemenangan. Mungkin beranak, mungkin beristeri. Mungkin juga tidak sama sekali. Namun ia berjuang…(Pramoedya Ananta Toer, 2003:60). Dari kutipan di atas terlihat bahwa super ego mendominasi pikiran Ara. Super ego sebagai aspek sosiologi kepribadian dan merupakan wakil dari nilainilai tradisional masyarakat mempengaruhi ego Ara dalam memahami situasi yang sedang dialaminya sekarang, yaitu mengenai tidak adanya keadilan di negeri yang sedang di jajah ini. Setelah selesai menyaksikan keadaan penjara, akhirnya Ara minta untuk pulang ke rumah ibunya. Ia diantarkan oleh seorang sersan sopir inlander. Di dalam mobil ia kembali merenungi atas apa yang dialaminya selama satu hari kemarin. Larasati menjauhkan mukanya pada pangkuan. Dalam sehari kemarin ia hidup dalam suasana ketakutan yang baru sekali ini dialaminya: begitu panjang, serasa tiada kan habis-habisnya. Dan sehari ini, walaupun merangkak begitu lambat, penuh kengerian, kebencian, kebuasan, kebinatangan. Kalau aku tak memiliki tubuh indah dan wajah cantik mungkin aku jadi sebagian dari mereka yang dibunuh pelan-pelan dalam penjara itu. Atau justru karena kedua-duanya aku jadi begini? Ia menggeleng lemah. Mungkin ini akan terus dialami diriku sampai hilang keindahan dan kecantikanku (Pramoedya Ananta Toer, 2003:66 - 67). Dari peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya selama satu hari kemarin tampak bahwa ego Ara mampu mereduksi impuls-impuls id dengan cara menghubungkannya dengan dunia luar dan berpikir secara realistis. Ara berpikir bahwa andai kata ia tidak memiliki kecantikan dan keindahan tubuh maka ia
39
sudah mati seperti yang lain. Sampai saat ini ia masih hidup karena orang-orang masih ingin memanfaatkan kecantikannya sebagai seorang bintang film. Sebelum sampai di rumah ibunya, sersan sopir yang mengantarnya pulang menghentikan mobil di sebuah rumah makan Tionghoa untuk mengatakan suatu hal kepada Ara. Sersan sopir tersebut menyatakan akan mencari hubungan dan bergabung dengan pejuang di daerah pedalaman Yogya. Ia bersama beberapa kawannya akan melarikan sebuah mobil dan beberapa senjata serta amunisi. “Nona curiga karena pakaianku, karena pekerjaanku. Aku baru seminggu turun dari Papua, dari Sorong. Tidak tahu tentang semua ini.” “Pergilah sendiri ke seberang.” “Seberang mana, nona.” “Seberang kali Bekasi. Kau akan tahu sendiri.” “Itulah nona, aku mencari hubungan. Aku yakin nona bisa menghubungkan. Kalau tidak sia-sia saja bakalnya. Aku mau larikan mobil, dan beberapa kawan ikut serta nanti.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:69). Sesampainya di kampung yang dituju, Ara menjumpai rumah ibunya dalam keadaan kosong. Ara hanya bertemu dengan seorang nenek dan kakek. Mereka mengatakan bahwa Lasmidjah – ibunya Ara bekerja sebagai seorang babu di rumah orang Arab. Tiba-tiba kakek itu menjadi ramah. Sambil menyerahkan uangnya kembali ia menunjuk dengan tongkatnya ke arah jalan besar dan dengan ramah pula ia berkata, “Tentu tadi sudah kau lewati. Itu di rumah baru, rumah Arab.” Ibuku jadi babu Arab! Alhamdulillah. Biarpun karena kesalahanku. “Biar aku cari sendiri sekarang,” kata Larasati (Pramoedya Ananta Toer, 2003:78). Setelah berusaha mencari alamat yang telah diberitahukan oleh si kakek, akhirnya Ara dapat menemukan rumah yang dicari dan dapat bertemu dengan ibunya. Seorang wanita tua belum lagi beruban muncul. “Bu!” Larasati berseru pelan.
40
Orang tua itu terburu-buru membuka pintu depan, menuruni jenjang rumahdan menubruk Ara. “Ara kebangetan kau. Tidak ada kabar tidak ada cerita.” Kasih sayang ibunya yang tidak pernah putus ini menyebabkan Larasati terus merasa tersiksa bila jauh darinya – biar hanya buat sehari pun! Dan ia telah tinggalkan orangtua itu lebih dari setahun. “Mari pulang, bu. Bilang dulu sama tuan. Aku tunggu di pinggir jalan.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:81). Pertemuan Ara dengan ibunya menunjukkan bahwa super ego yang berfungsi menentukan benar tidaknya suatu tindakan dan melaksanakan ukuran moralnya dengan rasa bersalah, membuat
Ara merasa bersalah telah
meninggalkan orang tuanya selama satu tahun lebih. Sesampainya di rumah, Ara baru sadar bahwa keadaan di daerah pendudukan ternyata cukup susah. Ara tidak sempat untuk memikirkan apa yang akan dimakan hari ini dan tidak mungkin Ara minta makan kepada ibunya yang kondisinya sangat menderita. Tiba-tiba Larasati menjadi bingung. Pertanyaan itu tak pernah dipikirkannya sebelumnya. Apa kau minta makan dari ibu yang sudah setengah kelaparan? Apa mungkin? Ia gelengkan kepalanya yang indah. Matanya runtuh di atas ujung selopnya. Tidak. Ini bukan kesulitan yang pertama-tama. Ini kesulitan biasa. Tidak, aku bilang. Aku tidak akan serahkan diri pada lelaki siapa saja. Itu biarlah dilupakan oleh masa lampau. Sedang dulu pun ia tidak pernah serahkan diri tanpa sesuka hatinya sendiri… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:82 83). Dari keadaan yang digambarkan pada kutipan di atas tampak bahwa super ego mampu merintangi impuls-impuls id dan mendorong ego Ara untuk tidak menyerahkan tubuhnya hanya untuk mendapatkan makanan. Ara menyadari bahwa kesulitan ini bukan yang pertama ia hadapi, ia sudah biasa menghadapi kesulitan semacam ini. Di daerah pendudukan sering terjadi pertempuran antara pemuda dan tentara Nica. Setiap malam terdengar rentetan senjata otomatik dan ledakan
41
granat. Keadaan semacam ini tidak biasa terjadi di Yogya. Malam itu para pemuda di kampungnya melakukan penyergapan terhadap terntara Nica yang sedang melakukan patroli. Dan puluhan pasang sepatu itu berderap melewatinya. Akhirnya padam setelah yang kini pengkolan gang yang lain. Sunyi sepi. Tiada cahaya. Cuma ada satu suara terdengar. Dan suara itu suara hatinya sendiri: juga di sini, pemuda berjuang. Sekutu – Belanda, Inggris, setiap hari mendapat kemenangan selangkah demi selangkah. Tetapi pemuda tetap melawan. Mereka bertempur. Mereka tukarkan bambu runcingnya dengan senjata api di pertempuran-pertempuran. Sore-sore begini orang mengasoh sehabis kerja berat (Pramoedya Ananta Toer, 2003:85). Kejadian ini sangat mempengaruhi batin Ara, terlihat bahwa super ego mempengaruhi ego Ara untuk bersemangat berjuang. Ara sangat mengagumi semangat para pemuda ini, meskipun tentara Sekutu selalu mendapatkan kemenangan di setiap pertempuran namun para pemuda tetap berjuang melakukan perlawanan. Pada malam yang sama setelah terjadi pertempuran, Ara didatangi oleh sersan sopir Nica yang telah mengantarkannya pulang. Sersan sopir itu akan melarikan mobil dan beberapa pucuk senjata serta beberapa kawan untuk dibawa ke pedalaman, namun sersan sopir itu ingin minta surat pada Ara sebagai bukti perjuangan. Karena tidak ada kertas untuk menulis surat, Ara menjanjikan agar sersan sopir itu besok kembali lagi. Ketika sedang berpamitan tiba-tiba beberapa orang pemuda berpakaian preman menyergap. Para pemuda mencurigai sersan yang bernama Martabat itu sebagai mata-mata. Martabat berusaha menjelaskan maksudnya menemui Ara kepada pemimpin pemuda, namun para pemuda tersebut tidak mau percaya. Pemimpin pemuda itu tidak tahu apakah Ara dan Martabat adalah seorang
42
pejuang atau mata-mata, sehingga pemimpin pemuda meminta jaminan agar dapat percaya. Ara tidak tahu jaminan apa yang diminta oleh pemimpin pemuda tersebut. Kemudian Ara mendapat pikiran bahwa mereka berdua sendiri sebagai jaminannya. Ara dan Martabat akan ikut bertempur di bawah komando pemimpin pemuda itu. Akhirnya pemimpin pemuda menyanggupi jaminan yang diberikan Ara dan Martabat. Pada malam itu juga mereka melakukan penyergapan terhadap tentara Nica yang sedang berpatroli melewati kampung itu. Ketika mereka sedang melakukan penyergapan, Ara tidak sanggup menguasai rasa takutnya. Mereka merangkak masuk ke bawah jembatan got yang panjangnya hanya dua meter. Larasati dengar jelas-jelas nafas kedua pemuda itu bersahutsahutan. Panjang-panjang. Dan ia sendiri pun nafasnya tak kalah panjangpanjang. Gas got yang bercampur dengan gas kotoran manusia nitu membumbung tebal, mencekik nafas. Keringat-keringat dingin membasahi punggung Ara. Apa aku kerjakan kalau pertempuran terjadi? Menjerit? Apa gunanya jerit? Suara takkan takutkan mereka. Jantungnya terus berdegup kencang. Ia rasai betapa dadanya terasa hendak pecah (Pramoedya Ananta Toer, 2003:96 - 97). Dari kutipan di atas terlihat bahwa id mendominasi Ara ketika akan melakukan penyergapan. Id yang bekerja pada prinsip kesenangan dan kenikmatan ketika sedang mendapatkan tegangan akan menuntut untuk direduksi. Ketika penyergapan dilakukan oleh para pemuda, dari kejauhan terdengar suara seorang bayi menangis. Suara tangisan bayi itu terdengar ngilu. Tiba-tiba pemimpin pemuda bertanya apakah Ara memiliki anak. Pertanyaan ini sangat mengagetkan Ara. Sebelum Ara sempat menjawab pertanyaan itu, pemimpin pemuda itu mengatakan kepada Ara bahwa dia dan kawan-kawannya rela
43
berjuang demi anak itu, bahkan untuk anak-anak yang belum dilahirkan pun mereka rela mati dalam perjuangan ini. Kehadiran pemimpin pemuda sangat berarti sekali terhadap pribadi Ara. Pemimpin pemuda itu mengajarkan kerelaan serta keberanian dalam berjuang. Ketika pertempuran pecah, pemimpin pemuda itu terluka cukup parah akibat dari pecahan granatnya sendiri. Sebelum ajalnya tiba, pemimpin pemuda itu sempat mengatakan suatu hal kepada Ara. Anak itu membuka matanya. Menatap wajah Larasati dalam keremangan lampu minyak tanah. Meliuk-liuk menahan sakit. Kemudian berkata perlahan-lahan, “Kau tidak takut bukan?” Larasati tak dapat menjawab. Ia tak tahu apa yang mesti dikerjakannya. “Tak perlu lagi tolong aku.” Suaranya kian perlahan. “Kau tidak takut lagi bukan? Jawablah.” Tak ada sesuatu apapun yang dapat dikatakan oleh Larasati selain menggeleng. “Tak perlu takut. Kau harus mendendam. Kita memerlukan dendam.” Dan ia tak bicara lagi. Nafasnya pun tak terdengar lagi (Pramoedya Ananta Toer, 2003:107 - 108). Kata-kata terakhir pemimpin pemuda tersebut sangat mempengaruhi batin Ara. Keberanian seperti yang dimiliki pemuda inilah yang dibutuhkan dalam perjuangan. Kehadiran pemimpin pemuda tersebut bagi pribadi Ara merupakan super ego yang menghalangi impuls-impuls id dan mendorong ego untuk mengejar hal-hal yang bersifat moralitas. Rasa takut yang sebelumnya menguasai diri Ara mampu dirintangi oleh super ego. Meskipun Ara masih merasa takut namun super ego mendorong ego Ara untuk berpikir bahwa harus ada keberanian dalam perjuangan. Pengalaman-pengalaman selama beberapa hari kemarin sangat berpengaruh dalam mendorong ego untuk menentukan sikap Ara dalam perjuangan. Keesokan hari setelah terjadinya pertempuran antara patroli Nica dengan pemuda, tentara Belanda mendatangi kampung tersebut untuk melakukan
44
penggeledahan dan mencari orang-orang yang terlibat dalam penyergapan tadi malam. Semua penduduk kampung dikumpulkan dan disuruh berbaris. Dalam pemeriksaan itu seorang kakek dan anak kecil dikeluarkan dari barisan, siapa saja yang dikeluarkan dari barisan tidak akan pulang untuk selamanya. Orang yang bertugas untuk menentukan dan menunjuk siapa saja orang-orang yang terlibat ini menggunakan penutup kepala yang hanya terlihat kedua matanya yang berwarna kuning. Seusai penggeledahan, Ara memeriksa tas miliknya yang berisi ORI (Oeang Republik Indonesia) dan ternyata uang itu hilang. Orang yang mengambil uang ORI tersebut sebenarnya mengetahui bahwa Ara seorang republikein. Ara merasa bahwa ia dalam bahaya, orang yang mengambil uang ORI tersebut pasti memiliki maksud tersembunyi. Ibunya meminta Ara untuk kembali ke pedalaman karena daerah pendudukan bukan tempat yang aman untuknya. Kejadian ini mengingatkan Ara pada pengalaman-pengalamannya dari Yogya sampai bertemu dengan pemimpin pemuda yang gugur tadi malam. … Yogya. Semua orang begitu ramah dan penolong kepadanya. Tetapi selesainya daerah Republik berarti pula selesainya orang-orang peramah dan penolong. Dan di bumi pendudukan semuanya saja maling yang bisa baris di tengah jalan di siang bolong. Yang peramah dan penolong hanya mereka yang masih setia pada Republik. Jangan takut! Jangan takut! Kau harus mendendam. Barang siapa kurang dendamnya akan lebih takutnya. Barang siapa banyak dendamnya akan kurang takutnya. Pemimpin pemuda itu melela remang-remang dalam ingatannya. Ia belum lagi sempat melihat wajahnya jelas-jelas. Mungkin ia takkan bertemu lagi dengannya untuk selama-lamanya. Namun ia telah mewariskan padanya pegangan: jangan takut, mendendamlah (Pramoedya Ananta Toer, 2003:115 - 116). Berdasarkan kutipan di atas tampak bahwa tiga aspek kepribadian yaitu id, ego, dan super ego sangat berpengaruh bagi kepribadian Ara. Super ego berperan merintangi impuls-impuls id, sedangkan ego melaksanakan perannya dengan
45
menengahi antara dorongan id dan super ego. Di dalam ego berlaku realitas dan berpikir logis, hal ini mendorong Ara untuk dapat memahami keadaan di sekitarnya serta menentukan tindakan yang harus dilakukan. Ara semakin yakin dalam perjuangan ini, dan ia merasa sudah menjadi bagian dari perjuangan. “Biarlah, nek. Aku tinggal di sini.” “Kalau kau ditangkap jangan celakakan yang lain-lain.” “Insyaallah.” “Insyaallah? Akhirnya kau sendiri yang menentukan. Kau sendiri harus berusaha. Ingat kakek Mo dan anak itu. Mereka pun tidak akan seret yang lain-lain. Mereka sudah sedia untuk mati. Kami di sini belum kenal kau.” “Mereka akhirnya akan kenal aku. Aku sudah sebagian dari mereka.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:117). Setelah kejadian penggeledahan, rumah Ara didatangi oleh seorang lakilaki dengan maksud untuk mencari Ara. Laki-laki tersebut adalah orang Arab yang tinggal di rumah tempat ibunya bekerja sebagai babu. Ara bersembunyi di belakang, dan akhirnya ditemui oleh nenek. Ara tidak dapat melihat wajah lakilaki itu, ia hanya mendengar suaranya yang sepertinya pernah ia dengar. Sebelum pergi laki-laki tersebut berpesan kepada nenek agar Ara datang ke rumahnya. Setelah laki-laki itu pergi si nenek menjelaskan tentang keberadaan orang-orang Arab di tempat ibu Ara bekerja. Nenek itu mengatakan kepada Ara bahwa orangorang Arab tersebut telah banyak membunuh penduduk di kampung ini. Pada waktu itulah Larasati menyadari adanya bahaya yang mengancam dirinya. Ara sepertinya telah mengenal tamu yang datang ke rumahnya, ia mengenalinya sebagai kaki tangan Belanda yang tadi pagi memakai penutup kepala untuk menunjuk orang-orang yang terlibat penyergapan. Ara menyadari kedatangan tamu tersebut mencari dirinya, tamu itu menyandera ibunya agar Ara mau datang ke rumahnya.
46
“Bilang, ibunya tidak pulang sebelum dia datang,” ia pergi tanpa meminta diri seperti pada permulaan datang. “Kau sayang pada ibumu, nak?” Larasati mengangguk. “Kalau begitu kamu mestinya datang. Aku hanya bisa berdoa untuk keselamatanmu.” “Kalau aku ditahan di sana?” Nenek itu tak menjawab. Ia hanya menggeleng. Larasati bangkit dan berjalan perlahan-lahan pulang ke ibunya, menutup pintu, kemudian dengan penuh pikiran berjalan menuju keluar gang… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:122 - 123). Dari kutipan di atas terlihat id lebih berkuasa dalam diri Ara, ia mengalami pertentangan dalam batinnya. Ara harus memilih antara keselamatan dirinya atau ibunya. Ketika ia sudah memiliki keyakinan pada perjuangan, ia harus dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Ara tidak tahu apa yang harus dilakukan, ia harus menyerah atau harus melawan. Di sini terjadi pertentangan antara id dan super ego. Id Ara diwakili oleh keselamatannya sendiri sedangkan super ego diwakili oleh keselamatan ibunya serta keyakinannya pada perjuangan. Akhirnya Ara harus menyerah dan datang ke rumah orang Arab tersebut, namun dalam perjalanan menuju ke rumah itu ia merasa ragu. Tiba-tiba keberanian Ara muncul, ia tidak akan datang dan akan menunggu orang Arab itu ke rumahnya. Impuls id yang sebelumnya berkuasa atas diri Ara dapat dirintangi oleh super ego yang mendorong ego untuk bersikap berdasarkan pemikiran. Ara tidak akan memutuskan untuk menyerah pada orang Arab itu. Hal ini merupakan bentuk dorongan super ego yang fungsinya menentukan benar tidaknya suatu tindakan. Super ego berpengaruh dalam membentuk ego Ara berdasarkan pengalaman-pengalamannya selama ini, salah satunya ketika bertemu dengan pemimpin pemuda yang telah gugur ketika terjadi pertempuran di kampungnya. Revolusi ini tidak memberi sesuatu pun, dia minta dari setiap orang – segala-galanya. Mengapa si Arab itu meminta? Dia yang tidak punya sangkut-paut sedikit pun dengan Revolusi? Apakah aku dengan sukarela
47
berjalan seorang diri menuju tiang gantungan? Mendadak ia tengadahkan kepalanya ke langit. Tidak! Tidak mungkin … Aku tunggu dia. Aku akan hadapi dia (Pramoedya Ananta Toer, 2003:123 - 124). Setelah kejadian itu Ara memutuskan menunggu di rumah, Ara merasa lebih berani dari sebelumnya. Ia merasa persoalan yang dihadapinya hanya dia sendiri yang bisa menyelesaikannya. Ketika malam datang, akhirnya Martabat datang ke rumahnya untuk meminta surat kepada Ara sebagai tanda bukti perjuangan. Ara mengutarakan maksudnya kepada Martabat untuk ikut pergi ke pedalaman bersama ibunya. “Maksudmu tidak ada tempat?” “Tentu saja tidak. Maksudku kami sedang melakukan terobosan maut. Itu tidak tepat bagi seorang wanita, walau kami ingin membawa.” Tak terkirakan kecil hati Larasati mendengar jawaban itu. Ia belum dimasukkan ke dalam kelas pejuang oleh si Martabat ini. Tapi ia menjaga agar tak membantah, tidak melukai rencana anak muda itu…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:125). Dari kutipan di atas terlihat bahwa ego Ara mampu menjembatani antara dorongan id dan juga super ego. Id mendorong Ara agar dia dan ibunya ikut pergi ke pedalaman karena di sana lebih aman, namun dalam mobil sudah tidak ada tempat lagi. Selain tidak ada tempat, rencana pelarian ini bukan untuk perempuan karena sangat berbahaya. Anggapan tersebut membuat Ara merasa belum dianggap sebagai seorang pejuang. Super ego Ara mendorong untuk menolak pernyataan ini, sebagai seorang perempuan ia telah membuktikan diri sebagai pejuang pada waktu ikut dalam penyergapan kemarin malam. Namun ego yang berprinsip pada hubungan baik dengan lingkungan mendorong Ara untuk memutuskan tidak ikut dalam pelarian itu. Ara tidak ingin merusak perjuangan
48
dengan mengacaukan rencana Martabat untuk melarikan mobil dan senjata menuju ke daerah pedalaman. Keesokan harinya tamu orang Arab yang kemarin mencarinya akhirnya datang. Tanpa dipersilakan tamu itu langsung masuk ke rumah. Tamu itu memperkenalkan diri dengan nama Jusman, ia mengaku memiliki orkes gambus dan bermaksud ingin mengajak Ara untuk bergabung sebagai penyanyi. Selama percakapan itu berlangsung, Ara mengawasi tamu itu dan merasa semakin yakin bahwa tamunya adalah orang yang memakai penutup kepala pada waktu pemeriksaan oleh tentara Nica beberapa hari yang lalu. Ara mengenali tamu itu dari warna matanya yang kuning. Permintaan orang Arab agar Ara bergabung sebagai penyanyi dalam orkesnya akhirnya ditolak Ara. Sebelum pergi orang Arab itu mengancam Ara bahwa ibunya tidak akan selamat kalau Ara tidak memenuhi permintaan itu. “Tapi nona, ibu nona juga di sana. Bagaimana pikir nona?” “Kau boleh ambil ibuku kalau suka. Dia boleh tidak pulang untuk selamalamanya.” Pemuda Arab itu kini menatap nenek tapi tak berkata apa-apa. Akhirnya ia bangkit berdiri, bersiap hendak pulang, tetapi berhenti dan berpaling ke belakang, “Tapi ibu nona dalam bahaya.” “Aku tahu. Aku juga tahu mata siapa yang memandangi aku dari balik sarung guling kemarin dulu.” Pemuda Arab itu tiba-tiba menegakkan badan, menghadapi Ara, dengan mata tajam mengawasi. Dengan suara mengancam ia berbisik, “Jadi kau tahu, bagus.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:132). Dari peristiwa di atas terlihat bahwa keberanian dalam diri Ara semakin terbangun ketika harus menghadapi bahaya. Keberanian Ara ini semakin terbangun karena pengalaman-pengalamannya selama ini telah membentuk keberanian dalam pribadi Ara. Pengalaman-pengalamannya tersebut merupakan bentuk dari super ego yang ada dalam diri Ara. Dari peristiwa di atas super ego
49
lebih mendominasi dan menekan dorongan id, ia tidak mempedulikan ancaman orang Arab tersebut. Super ego dalam fungsinya cenderung merintangi id, tidak rasional dan menciptakan gambaran dunianya sendiri. Ara lebih mementingkan perjuangan dan kemenangan revolusi dibandingkan dengan keselamatan ibunya. Beberapa bulan berlalu dan ibunya juga tak kunjung pulang. Pada suatu hari Ara memutuskan untuk mendatangi kantor Republik untuk mencari pekerjaan, namun tidak ada satu pun kantor yang ada lowongan. Belanda melancarkan aksi militernya pertama, di mana-mana terjadi pertempuran antara patroli Belanda dan pemuda. Ara tidak tahu banyak tentang keadaan politik pada saat itu sampai akhirnya ia mendengar bahwa Yogya sudah jatuh ke tangan Belanda. … Ara tak banyak tahu tentang perkisaran politik. Tak banyak mengikuti diplomasi. Kota-kota jatuh ke tangan Belanda. Juga Yogya sendiri. dan berita runtuhnya Yogya disambut Ara dengan tangis tersedan-sedan. Dengan air mata yang mengucur sejadi-jadinya membasahi wajahnya yang kian menjadi kurus dan pucat. Tidak, keyakinanku tidak bisa digoncangkan dengan jatuhnya Yogya. Revolusi tidak pernah kalah. Setiap kekalahan yang dideritakannya tidak lain dari kemenangan kaum koruptor. Revolusi selalu menang (Pramodya Ananta Toer, 2003:134). Dari kutipan di atas terlihat bahwa semangat perjuangan Ara melemah ketika kota Yogya jatuh ke tangan Belanda. Ara yakin bahwa kekalahan ini akibat dari korupsi yang dilakukan orang-orang yang memiliki kedudukan di pemerintahan. Pada peristiwa ini super ego sangat mendominasi Ara. Super ego memiliki fungsi pokok menentukan benar tidaknya suatu tindakan dan melaksanakan ukuran moralnya dengan jalan memberikan penghargaan berupa perasaan bangga dan memberikan hukuman berupa perasaan bersalah. Ara merasa tidak mampu berbuat apa-apa dalam perjuangan menjaga revolusi.
50
… Pemimpin? Apa mereka itu berhak dinamakan pemimpin? Mereka tidak memimpin! Mereka menjerumuskan Revolusi. Pimpinan, apa yang sudah mereka berikan? Hanya omong besar mereka semburkan. Bah! Dan aku? Apa aku sendiri tidak ikut bersalah? Mengapa aku mesti menjadi begini konyol tersangkut di kampung celaka ini? Aku? Aku juga terkutuk! Tidak waspada menjaga Revolusi (Pramoedya Ananta Toer, 2003:135). Setelah mendengar kabar mengenai jatuhnya Yogya, Ara hanya berjalanjalan tanpa tujuan. Di suatu taman Ara bertemu dengan seorang laki-laki yang sepertinya pernah ia kenal. Ia berusaha untuk mengingat laki-laki itu dan akhirnya ia tahu bahwa orang itu adalah Chaidir. Chaidir adalah seorang penyair yang dulu pernah Ara temui di Yogya. Pertemuannya dengan Chaidir ini sangat mempengaruhi pribadi Ara dalam memandang dan memaknai Revolusi. Chaidir mengatakan kepada Ara bahwa revolusi membutuhkan segala-galanya, apapun yang bisa diberikan oleh orang kepada revolusi harus diterima dan bukan untuk ditolak. Chaidir adalah salah seorang seniman yang memiliki semangat untuk berjuang membantu revolusi dengan seni, namun banyak pemimpin yang meragukan dan mengecilkan peran seni dalam revolusi. Chaidir memandang jatuhnya Yogya ke tangan Belanda akibat para pemimpin yang angkuh dan gila hormat. “Sandiwara?” kata perdana menteri, “apa yang bisa diperbuat sandiwara dalam masa orang tidak membutuhkan seni apapun juga sekarang ini?” Dan Chaidir dengan berapi-api membela seakan-akan sandiwara itu dirinya sendiri, “Dalam keadaan bagaimana pun setiap orang membutuhkan segala-galanya. Berikan apa yang mereka butuhkan. Tapi jangan padamkan api Revolusi. Berikan minyak pada api itu!” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:137). Perjuangan Chaidir yang di remehkan oleh para pemimpin membuat Chaidir seperti orang gila, matanya merah dan tubuhnya dekil. Ara sangat
51
bersimpati kepada Chaidir, Ara berpikir bahwa seharusnya para pemimpin tidak meremehkan peran seni dalam revolusi dan memadamkan semangat para seniman. Ara tak dengar lagi kata Chaidir selanjutnya. Ia tatap pemuda itu kembali waktu pemuda itu bertanya. “kau ada uang, Ara? Aku lapar.” Mau rasanya Ara mengucurkan airmata untuk ke sekian kalinya dalam sehari ini. Api yang harus juga menanggung kelaparan! Api revolusi ini. Ara menggeleng. Dan baru sekarang Ara mulai bicara, “Apa guna makan hari ini? Yogya jatuh!” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:137). Dari kutipan di atas terlihat bahwa super ego dalam diri Ara lebih mendominasi. Super ego yang dalam fungsinya menekan atau merintangi dorongan id mendorong Ara untuk tidak mempedulikan perutnya yang lapar, karena revolusi yang selama ini diimpikannya harus kalah ketika Yogya harus jatuh ke tangan Belanda akibat dari para pemimpin yang angkuh dan sombong. Pertemuan antara Ara dan Chaidir akhirnya harus diakhiri, mereka berdua berpisah di sebuah pertigaan jalan. Ara melanjutkan jalannya sampai kemudian terdengar suara orang yang memanggil namanya. Orang yang memanggil namanya tersebut ternyata Jusman, Ara mencoba mempercepat langkahnya namun tangan Jusman telah mencengkeram tangannya. Ara tiba-tiba merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan cengkeraman tangan Jusman dan hanya pasrah mengikuti Jusman. Jusman dan Ara naik sebuah becak menuju ke kampungnya sendiri, namun di depan rumah orang Arab tersebut becak itu kemudian berbelok dan masuk ke rumah. Sampai di rumah Jusman, Ara seperti kehilangan semangat yang dulu pernah ia miliki. Ara tiba-tiba saja menuruti kemauan Jusman untuk tinggal di rumahnya. Ara merasa sangat letih dan akhirnya tertidur di kamar yang telah disediakan oleh Jusman.
52
Ketika matahari telah tenggelam Ara terbangun dan teringat mengenai kejatuhan Yogya dan juga Chaidir. Ara kaget dan hendak turun, namun kepalanya terasa pening dan akhirnya ia tertidur lagi. Keesokan harinya ketika bangun, Ara sudah ada di bawah kekuasaan Jusman. Ara harus menjadi tawanan dalam rumah orang Arab tersebut dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ara tidak diijinkan untuk keluar rumah tanpa persetujuan Jusman. Telah sebulan lebih Ara tinggal bersama Jusman, ia ingin sekali tahu apa yang sedang terjadi di luar. Jusman tidak mungkin mengizinkan Ara untuk keluar, akhirnya Jusman membelikan sebuah radio untuk memenuhi keinginan Ara. Pada sebuah siaran radio Ara mendengar berita tentang kematian Chaidir. Ara teringat kembali mengenai kejatuhan Yogya, tentang kekalahan, termasuk kekalahannya sendiri. Keesokan harinya ia ingin mengetahui kelanjutan berita mengenai Chaidir, seperti terlihat pada kutipan berikut. “Sudah sejak sepagi ia pasang radio, tapi lanjutan berita tentang Chaidir ternyata tak ada. Revolusi yang mati di atas bumi tanah air, dan bumi tanah air yang sedang dikepal musuh. Nasibnya seperti aku. Tapi aku belum lagi mati. Aku baru menjalani lakon. Dan lakon ini, bagaimanapun akan tamat” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:148). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara sudah kembali menemukan kesadarannya. Selama dalam sekapan Jusman seolah-olah kesadarannya sebagai seorang pejuang telah mati. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri Ara, super ego kembali muncul mendorong ego untuk menemukan sosok dirinya sebagai bagian dari perjuangan. Hal tersebut dibuktikannya dengan keinginannya menulis naskah sandiwara yang berisi tentang kebesaran revolusi. Sudah sejak di rumah ini ia ingin menulis, ia ingin mengarang. Tapi ia tidak mampu. Ia ingin menyusun sebuah repertoire sandiwara yang
53
melukiskan kebesaran Revolusi, dan ia ingin tunjukkan dirinya sendiri di tengah-tengah situasi revolusioner, sebagai tokoh dan juga sebagai api revolusi itu sendiri. Ia akan tokohkan pikiran-pikirannya dan perasaanperasaannya. Ia akan hukum pembesar-pembesar dan peguasa-peguasa jaman Revolusi itu, yang bercokol seperti feodal baru di atas pundaknya tubuh Revolusi, dan yang segera terbirit-birit apabila saatnya datang untuk menetukan sikap dan mengambil tindakan. Berkali-kali ia merancang bagan, tetapi selalu gagal (Pramoedya Ananta Toer, 2003:148 - 149). Keinginan Larasati untuk mengarang sebuah naskah sandiwara yang melukiskan kebesaran revolusi seperti pada kutipan di atas merupakan bentuk penemuan ego-nya yang selama dalam sekapan Jusman telah hilang. Ego Ara untuk kembali menemukan keakuannya sebagai seorang seniman yang berjuang demi revolusi merupakan hasil dorongan dari super ego. Berita mengenai kematian Chaidir ini merupakan bentuk dari super ego karena kehadiran Chaidir sangat berpengaruh dalam hidup Ara. Chaidir adalah seniman pejuang yang pernah mengajarkan pada Ara bahwa seni adalah bagian dari perjuangan, dan Ara akan merasa bersalah jika tidak meneruskan perjuangannya. Hal ini merupakan bentuk kerja dari super ego yaitu melaksanakan ukuran moralnya dengan memberikan hukuman dengan perasaan bersalah dan memberikan penghargaan dengan perasaan bangga. Ara tetap mencoba mencari berita tentang kematian Chaidir melalui radio, namun tetap saja tidak ada. Ketika hari sudah mulai malam Jusman belum juga pulang. Di tengah malam terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Mobil tersebut dikendarai oleh seorang sersan Belanda yang memberitahukan bahwa Jusman berada di rumah sakit. Ara keluar rumah dan mengambil bungkusan yang terdapat lumuran darah, dan bungkusan tersebut berisi surat kabar pesanannya. … segulungan koran dan majalah ada di dalamnya. Tiada sesuatu pun yang patut dicurigakan. Dan darah itu… Benda itu sekaligus memberitakan pada Ara, Jusman selalu ingat akan dirinya. sudah pasti ia
54
meminta pada seseorang untuk menyampaikan padanya, apa yang dipesankannya pada Jusman. Ia terharu dan matanya berkaca-kaca. Dia cintai aku! Dia begitu jujur padaku. Tapi hatiku bukan buat dia. Hatiku buat sesuatu yang lain: Revolusi (Pramoedya Ananta Toer, 2003:151). Terlihat dari kutipan di atas bahwa terjadi pertentangan antara id dan super ego, namun super ego mampu merintangi id dan mendorong ego untuk tetap konsisten pada keakuannya yang telah terbangun dalam diri Ara. Ego sebagai eksekutif atau pelaksana kepribadian mendorong Ara memilih berjuang demi revolusi dari pada cinta yang diberikan oleh Jusman selama ini. Kabar mengenai kondisi dan keberadaan Jusman tidak ada seorang pun yang mengetahui. Ara tidak tahu harus berbuat dan bersikap mengenai berita yang dibawa sersan Belanda itu. … Buru-buru ia lari ke kamar dan meneliti segala penerbitan itu. Anehnya, mengapa aku sekarang tak dapat main sandiwara? Aku anak panggung ini? Ia tutup mukanya dengan kedua belah tangan untuk menyembunyikan wajahnya, untuk memperlihatkan pada mereka bahwa ia sedang bingung. Tetapi tambah ia mencoba bersandiwara, bertambah ia tak dapat menahan keinginan-keinginannya untuk segera meninggalkan panggung terkutuk sekarang ini dan mengikuti pengalaman-pengalaman Chaidir yang terakhir dalam penerbitan-penerbitan itu (Pramoedya Ananta Toer, 2003:154). Dari kutipan di atas terlihat keinginan Ara untuk kembali terlibat dalam perjuangan. Ia ingin segera meninggalkan Jusman yang selama ini telah menyekapnya sehingga membuat perjuangan Ara menjadi sia-sia. Hal ini merupakan bentuk ego sebagai eksekutif kepribadian untuk menemukan kembali pribadi Ara yaitu sebagai seorang seniman yang berjuang dalam revolusi. Akhirnya ibunya datang menemui Ara dan mengajak Ara masuk ke kamar. Mereka duduk berdua di ranjang berhadap-hadapan sebagai seorang ibu dan anak. Terjadi percakapan antara mereka berdua. Ibunya dulu pernah berpesan kepada Ara untuk pergi ke pedalaman dan jangan ke rumah orang Arab ini.
55
“Ibu, kalau bisa ditempuh jalan itu, tentu sudah kutempuh.” “Mengapa pergi juga ke sarang ini?” “Kalau ada jalan keselamatan, tentu juga kutempuh jalan itu ibu.” “Sayang perjuanganmu jadi sia-sia, Ara.” Bulu badan Ara meremang. Sekaligus ia mengerti, bukan perjuangannya, tapi perjuangan ibunya yang telah dirusakkannya… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:154 - 155). Dari percakapan antara Ara dan ibunya di atas tampak bahwa id Ara lebih mendominasi ketika ia mau menuruti kemauan Jusman masuk ke rumahnya. Pada waktu itu ego Ara benar-benar menjadi lemah ketika mendengar berita mengenai jatuhnya Yogya ke tangan Belanda. Ego sebagai pelaksana kepribadian harus mengikuti dorongan id karena super ego tidak mampu mendorong ego untuk menentukan sikap Ara dalam melanjutkan perjuangan ketika Yogya jatuh. Selama dalam sekapan Jusman ini Ara merasa dirinya telah kalah karena tidak sanggup berbuat apapun untuk revolusi. Ara seharusnya mengikuti perintah ibunya untuk kembali ke Yogya sehingga dapat membantu revolusi, namun ia tetap tinggal di Jakarta dan memasuki sarang pembunuh, yaitu rumah Jusman. Waktu itu Ara tidak dapat berbuat dan menentukan sikap setelah mendengar jatuhnya Yogya. Akhirnya ia menuruti kemauan Jusman demi keselamatan ibunya. … “Ibu, kau pejuang yang gagah berani.” “Huss, diam.” “Tapi ibu, setiap pejuang harus selalu bersedia untuk kalah.” “Bersedia kalah?” “Dalam perjuangan, bukankah kekalahan harus selalu diterima sebagai sahabat?” “Ara, aku tidak mengerti. Tentu kau lebih tahu dari aku. Tapi aku sungguh menyesal kau datang kemari.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:155). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara merasa dirinya telah kalah, namun ia sanggup menerima kekalahan tersebut sebagai sahabat. Keputusan ini merupakan bentuk ego Ara sebagai eksekutif kepribadian. Ego mampu
56
menghubungkan antara dunia subjektif dan kenyataan, sehingga tidak terjadi penyimpangan dalam diri Ara. Keesokan harinya Ara didatangi seorang teman Jusman. Ara mencoba mencari tahu siapa sebenarnya yang telah menembak Jusman tadi malam. Dari informasi yang dia dapatkan, bahwa gerakan pemuda saat ini mulai meningkat lagi. Ara mencoba untuk mengetahui kabar di luar lewat radio, berita-berita mengabarkan pertempuran meletus di mana-mana, dan sekarang sedang mengarah ke Jakarta. Beberapa hari kemudian akhirnya Jusman pulang ke rumah dengan diantar sebuah mobil militer Belanda. Jusman curiga bahwa Ara telah membawa masuk laki-laki lain ke rumahnya selama ia ada di rumah sakit. Ia merasa cemburu, namun Ara berani mengatakan bahwa selama ini dirinya bukan istri melainkan tawanan dan Jusman tidak dapat berbuat apa-apa dengan jawaban Ara tersebut. Pada suatu hari Ara berada di rumah sakit, sudah beberapa bulan ia menjadi pasien spesialis penyakit dalam karena mengalami pendarahanpendarahan yang cukup serius selama beberapa minggu setelah kepulangan Jusman. Di rumah sakit ini Ara mendapatkan kabar mengenai Republik yang bersedia bekerja sama dengan Belanda. … Lagi pula Republik sudah bersedia kerjasama dengan Belanda. Sebentar lagi pemimpin-pemimpin, yang ditawan di Prapat akan dikembalikan ke Yogya. Ara terlonjak bangun. Pemimpin? Masa pemimpin bisa diambil dan ditaruh kembali seperti bidak-bidak diatas papan catur? Tanpa diketahuinya darah menyembur dari pangkuannya, menjalar di lantailantai, merayap melingkar-lingkar. Ia terduduk kembali. Pemandangannya berkunang-kunang akhirnya pingsan (Pramoedya Ananta Toer, 2003:169). Dari kabar mengenai Republik yang bersedia bekerja sama dengan Belanda serta para pemimpin yang akan dikembalikan ke Yogya membuat ego
57
Ara yang semula telah menemukan keakuannya menjadi lemah kembali. Hal itu tidak saja melemahkan ego Ara melainkan sampai menyerang kesehatan fisiknya. Sembuh? Selama jusman terus-menerus menempel pada batang hidupnya, ia tidak mungkin sembuh dan pendarahan-pendarahan ini akan semakin hebat. Tiba-tiba ia menyadari keadaannya: alangkah busuknya, kalau aku mati karena pendarahan dan pendarahan yang disebabkan pemuda Arab, pengkhianat Revolusi ini…betapa konyolnya! Ah, konyolnya! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:169 - 170). Ara menyadari keadaan dirinya selama ini tidak berguna bagi revolusi karena keberadaan Jusman di sisinya. Hal ini merupakan bentuk dorongan dari super ego yang melaksanakan ukuran moralnya dengan memberikan rasa bersalah dalam diri Ara. Ia mengetahui bahwa selama ini Jusman adalah mata-mata yang memberikan informasi kepada Belanda, sementara Ara sendiri adalah seorang seniman republikein. Ara tidak sanggup berontak terhadap Jusman, hal ini menyebabkan rasa bersalah timbul dalam dirinya. Selama berada di rumah sakit Ara mencoba untuk mendapatkan kembali kekuatan untuk menghadapi konflik batin yang dia alami. Ara mencoba untuk memikirkan dan menyusun rencana agar dapat kembali diterima oleh masyarakat. Dan dengan demikian lebih dari satu setengah bulan ia tergolek di ranjang rumah sakit. Di sini tak ada orang mengganggunya. Dengan tenang ia memikirkan bagaimana dapat menyusun diri kembali agar dapat diterima masyarakat setelah sembuh. Berita tentang kompromi antara Revolusi dan kontra-Revolusi yang akan melahirkan negara Indonesia Serikat, menyeretnya dari situasinya yang buruk ke situasi yang memberi harapan… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:170). Keinginan Ara untuk menyusun rencana agar dapat diterima masyarakat setelah sembuh merupakan bentuk dari kerja ego. Sebagai eksekutif kepribadian, ego timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan baik dengan dunia luar. Ego merumuskan rencana-rencana untuk memenuhi keinginan yang selama ini terhambat. Super ego yang merupakan aspek sosiologi dan moral kepribadian
58
mendorong ego Ara untuk bekerja menyusun rencana agar dapat diterima masyarakat. Pada suatu hari Jusman datang mengunjungi Ara. Jusman terlihat tidak seperti biasanya, ia seperti merasa tidak aman. Ara menduga bahwa bahwa perkiraan politik telah membuat pemuda Arab ini menjadi panik. Jusman bermaksud menikahi Ara agar tidak perlu lari ke Singapura atau Malaya karena keadaan semakin memburuk. Ara tidak dapat memberikan jawaban dan akhirnya Jusman harus lari ke Singapura. Ara dan ibunya telah meninggalkan rumah Jusman dan kembali ke rumah ibunya. Semangat revolusi semakin memudar di kampung-kampung karena perundingan Meja Bundar tak kunjung memberikan hasil. Kampungnya telah banyak ditinggali orang-orang, dan Ara sudah tidak merasakan lagi keramahan yang dulu pernah mempengaruhinya. Orang-orang menjadi tidak peduli lagi antara satu sama lain. Pada suatu hari terdengar berita bahwa Tentara Nasional Indonesia akan masuk ke Jakarta. Ini merupakan tanda bahwa revolusi telah menang, Belanda akan segera meninggalkan bumi penjajahan. Orang-orang tidak peduli dengan bentuk Serikat atau Kesatuan, yang penting bagi mereka adalah penjajahan Belanda telah berakhir. Presiden Soekarno memasuki Yogya menggantikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai Presiden Sementara Negara Republik Indonesia Serikat. Orang berduyun-duyun membanjiri lapangan Merdeka Utara untuk mengikuti upacara dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sewaktu upacara telah selesai, Ara pulang menuju ke kampungnya, tiba-tiba ada sebuah jeep tentara yang hampir
59
menyerempetnya. Jeep itu berhenti dan seorang laki-laki bertubuh tinggi keluar dari mobil tersebut. ternyata laki-laki itu adalah Kapten Oding. Pertemuan itu membuat keduanya sangat gembira, mereka saling berpelukan untuk menyatakan kegembiraan. Ara kemudian mengikuti ajakan Kapten Oding untuk naik mobil bersama, mobil tersebut menuju ke sebuah gedung bekas tempat tinggal orang Belanda. Kapten Oding meminta Ara untuk tinggal bersama di gedung itu, dan pada malam itu juga Ara dan ibunya pindah ke gedung itu. Akhirnya mereka dapat merayakan kemenangan revolusi. Berdasarkan uraian di atas, secara umum dapat diketahui bahwa di dalam kepribadian Ara dipengaruhi oleh ketiga unsur dalam sistem kepribadian menurut Sigmund Freud. Ketiga unsur tersebut yaitu id, ego dan super ego bekerja dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam tokoh Ara terlihat bahwa id dan super ego selalu bertentangan, meskipun super ego lebih mendominasi namun ego sebagai eksekutif kepribadian mampu menjadi jembatan antara keduanya. Ara sebagai seorang seniman yang berjuang dalam revolusi harus mengalami kekalahan ketika berada dalam sekapan Jusman, namun Ara mampu menerima kekalahan tersebut sebagai sahabat. Hal ini karena ego Ara dapat bekerja dengan baik untuk menyatukan antara dorongan id dan super ego, dan akhirnya Ara dapat menikmati kemenangan revolusi.
60
C. Sikap Tokoh Ara dalam Menghadapi Konflik Pada bagian ini akan dibahas mengenai sikap yang diambil tokoh Ara dalam menghadapi konflik. Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengeai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya (Bimo Walgito, 1978:109).
Konflik timbul dalam situasi dimana terdapat dua atau lebih kebutuhan, harapan keinginan dan tujuan yang tidak saling bersesuaian, saling bersaing dan menyebabkan tarik menarik dan menimbulkan perasaan yang sangat tidak enak (Davidoff, Linda L., 1991:178). Dalam roman Larasati dikisahkan tokoh Ara adalah seorang aktris panggung dan juga bintang film yang ingin pergi ke Jakarta. Ara akan kembali memasuki dunia film di daerah pendudukan, kali ini ia akan bermain film untuk tujuan perjuangan melawan penjajahan. … Jakarta! Oi, Jakarta! Aku boleh seorang pelacur! Aku boleh seorang sampah masyarakat! Aku seorang bintang film! Tapi beradat! Tidak. Aku juga punya tanah air. Aku, Larasati, bintang Ara. Sedang sebutan Miss pun aku tak pernah pakai. Ara! Cukup Ara. Mengapa mesti dengan Miss? Sebutan itu akan membuat aku berkulit putih. Apakah sebutan itu Cuma tantangan kaum pria, kalau aku milik siapa saja? (Pramoedya Ananta Toer, 2003:12). Dari kutipan di atas terlihat bahwa terjadi konflik dalam diri Ara. Pada masa pendudukan Jepang, Ara sangat dekat sekali dengan perwira-perwira Jepang. Hal ini menciptakan pandangan masyarakat bahwa dirinya adalah seorang pelacur dan sampah masyarakat. Ara tidak mempedulikan pandangan masyarakat ini, Ara telah bertekad bahwa dirinya akan bermain film untuk kepentingan perjuangan dan bukan untuk memusuhi perjuangan. Pandangan masyarakat atas dirinya tidak membuat Ara mundur untuk berjuang, Ara tetap maju untuk berjuang dengan caranya sendiri sebagai seorang seniwati. Dalam perjalanan dari Cikampek ke Jakarta, Ara bertemu dengan seorang tua yang kakinya cacat. Orang tua tersebut mengatakan kepada Ara bahwa tidak ada gunanya menghambat perjuangan para pemuda. Ara merasa perannya dikecilkan oleh perkataan orang tua tersebut.
61
Seorang berusia tua di sampingnya memulai percakapan dengannya, “Kalau sampai di Jakarta – nona ke Jakarta, bukan? – jangan lupakan pemuda-pemuda ini. Mereka sedang melahirkan sejarah. Tak ada guna menghambatnya. Lebih baik membantu mereka.” Larasati merasa dikecilkan oleh kata-kata orang tua itu, menukas, “Mengapa bapak sendiri tidak?” …
… Kadang-kadang memang terasa olehnya bahwa heroisme dan patriotisme wanita di jaman Revolusi ini terletak pada kepalang-merahan saja! Tapi ia takkan meninggalkan kejuruannya. Ia cintai kejuruannya. Dan ia yakin, melalui kejuruannya ia pun dapat berbakti pada Revolusi. Ia merasa dirinya pejuang, berjuang dengan caranya sendiri (Pramoedya Ananta Toer, 2003:26). Dari kutipan di atas terlihat bahwa perkataan orang tua tersebut membuat Ara merasa dikecilkan. Selama ini pandangan masyarakat terhadap
perempuan
dalam
perjuangan
hanya
terletak
pada
kepalangmerahan. Namun pandangan masyarakat semacam ini tidak membuat Ara mundur dalam berjuang membantu revolusi, ia tetap yakin dapat berbakti terhadap perjuangan. Hal ini merupakan bentuk sikap Ara dalam perjuangan, bahwa seni mampu berbakti dan memberikan sumbangan dalam perjuangan. Di atas kereta ketika dalam perjalanan tersebut Ara juga menemui para pemuda yang rela untuk berjuang. Para pemuda ini tidak menghiraukan nyawa mereka yang besok atau lusa mungkin hilang. Peristiwa ini membuat konflik dalam diri Ara, ia merasa bersalah karena selama ini tidak membantu dalam perjuangan. Ketika Ara mulai terlibat dalam perjuangan ia harus menentukan sikap dalam perjuangan seperti terlihat pada kutipan berikut, “Ara terhempas di tempatnya. Tidak, tidak patut mereka dikhianati – mereka yang tidak mengharapkan apa-apa bagi jiwanya yang besok atau lusa diberikan kepada maut. Ya, Allah, apa sebenarnya yang sudah aku berikan kepada kemerdekaan ini? Mereka sedang melahirkan sejarah. Apa aku lahirkan? Anak pun tidak” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:29). Dari kutipan di atas terlihat bahwa untuk menyelesaikan konflik yang dihadapinya, Ara tidak akan mengkhianati perjuangan para pemuda tersebut. Hal ini merupakan bentuk sikap Ara dalam perjuangan, Ara merasa dirinya belum memberikan sesuatu pun yang berarti dalam
62
perjuangan sehingga tidak patut kalau ia harus mengkhianati perjuangan para pemuda. Sampai di Bekasi kereta yang ditumpangi Ara dihentikan oleh serdadu-serdadu Nica, mereka bermaksud untuk melakukan penggeledahan dan mencari para pengikut Soekarno. Semua penumpang mengalami perlakuan yang kasar dan tidak menyenangkan dari serdadu-serdadu Nica. Di stasiun Bekasi inilah Ara bertemu dengan Mardjohan, seorang announcer di jaman Jepang dan sekarang menjadi sutradara sekaligus produser film. Sebagai seorang announcer di zaman Jepang, Mardjohan melakukan propaganda untuk kepentingan Jepang. Pada saat Sekutu datang untuk mengusir Jepang, Mardjohan menjadi seorang sutradara dan juga produser film. Mardjohan bertugas untuk membuat film-film dokumenter untuk melemahkan semangat dan perlawanan para pejuang. Sosok Mardjohan sebagai seorang pengkhianat dan oportunis membuat Ara semakin menegaskan sikapnya sebagai seorang seniman yang membaktikan hidupnya pada perjuangan. Meskipun Ara merasa dirinya kotor, namun ia berusaha untuk tidak mengkhianati perjuangan seperti apa yang dilakukan Mardjohan. Dan Larasati tidak membantah. Bumi penjajahan ini membuat aku kian detik kian berpikir. Tak pernah demikian sebelumnya. Tak pernah ia meneropong dirinya sendiri. Kini ia dapatkan gambaran tentang dirinya sendiri agak jelas, kadang samar: menolak seluruh bentuk penjajahan apapun. Ia tak membutuhkan kehancuran orang lain dan dirinya sendiri. Ia inginkan suatu kehidupan damai, di mana ia dapat membaktikan seluruh hidupnya dengan kecakapan satu-satunya yang dimilikinya: main film. Bagaimanapun juga kotornya namaku aku akan tetap dapat berguna. Kotor? Tiba-tiba ia memberontak terhadap dirinya sendiri. Biar aku kotor, perjuangan tidak aku kotori. Revolusi pun tidak! Negara pun tidak! Rakyat apalagi! Yang aku kotori hanya sendiri. Bukan orang lain. Orang lain takkan rugi karenanya (Pramoedya Ananta Toer, 2003:44). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara merasa dirinya kotor, pada masa pendudukan Jepang Ara pernah dekat dengan perwira-perwira Jepang dan sempat mengalami kehidupan yang penuh kemewahan. Kedekatan ini menciptakan pandangan masyarakat bahwa dirinya adalah seorang pelacur. Pertemuannya
63
dengan Mardjohan memberikan dasar bagi Ara untuk menentukan respon dan sikap. Sekarang Ara telah mendapatkan gambaran mengenai dirinya, meskipun namanya kotor ia tidak ingin mengotori dan mengkhianati perjuangan. Ara ingin membaktikan dirinya untuk berjuang dengan kemampuannya sebagai seorang pemain film. Mardjohan berusaha membujuk Ara untuk mau bermain dalam film yang akan dia buat, namun Ara menolak ajakan tersebut. Untuk membuat Ara mau mengikuti ajakannya, Mardjohan membawa Ara ke sebuah penjara kolonial. Dalam penjara ini Ara dihadapkan pada pilihan untuk mengikuti ajakan Mardjohan atau bernasib seperti para tahanan. Di sini Ara bertemu dengan beberapa tahanan yang kondisinya sangat menyedihkan, hal ini menyebabkan konflik dalam diri Ara. Dan sersan itu menghilang. Bintang film itu menghampiri tawanan itu. Meraba kakinya: panas di atas 41 derajat. Orang ini akan segera mati, pikir Larasati. Mati, berhadapan dengan pembunuhnya sendiri. Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undangundang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan. Larasati ingin menghibur orang sakit itu. Orang telah jatuh di medan perjuangan – dia tidak bakal menyaksikan kemenangan. Mungkin beranak, mungkin beristeri. Mungkin juga tidak sama sekali. Namun ia berjuang…(Pramoedya Ananta Toer, 2003:60). Dari keadaan yang digambarkan di atas, terlihat bahwa Ara dihadapkan pada situasi yang sangat ironis yang terjadi di negerinya. Seorang yang telah berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan namun harus berakhir dalam penjara dan kematian tanpa ada proses pengadilan. Dari kejadian ini Ara memandang bahwa di negerinya ini sudah tidak ada lagi keadilan. Ara sangat ingin sekali menolong tahanan itu namun ia sendiri tidak memiliki kekuatan serta kekuasaan untuk menolong tahanan itu.
64
Setelah melihat-lihat kondisi penjara, Mardjohan berharap agar Ara mau menjadi bintang dalam film dokumenter yang telah ia siapkan rencananya. Ara belum bisa memberikan jawaban atas ajakan Mardjohan tersebut dan meminta untuk diantar pulang. Dalam perjalanan pulang, Ara merenungi kehidupannya selama sehari kemarin. Larasati menjauhkan mukanya pada pangkuan. Dalam sehari kemarin ia hidup dalam suasana ketakutan yang baru sekali ini dialaminya: begitu panjang, serasa tiada kan habis-habisnya. Dan sehari ini, walaupun merangkak begitu lambat, penuh kengerian, kebencian, kebuasan, kebinatangan. Kalau aku tak memiliki tubuh indah dan wajah cantik mungkin aku jadi sebagian dari mereka yang dibunuh pelan-pelan dalam penjara itu. Atau justru karena kedua-duanya aku jadi begini? Ia menggeleng lemah. Mungkin ini akan terus dialami diriku sampai hilang keindahan dan kecantikanku (Pramoedya Ananta Toer, 2003:66 - 67).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara mengalami konflik dalam dirinya. Ara berpikir bahwa selama ini kecantikan dan keindahan tubuhnya yang telah membuat dirinya masih hidup. Seandainya Ara tidak memiliki kecantikan ini, mungkin ia termasuk dari sebagian dari mereka yang dibunuh pelan-pelan dalam penjara yang baru saja ia lihat. Dari kejadian yang telah dialaminya, Ara hanya mampu memahami keadaannya namun ia tidak mampu untuk berbuat apa-apa atas keadaan dirinya tersebut. Setelah melihat keadaan penjara itu, akhirnya Ara pulang dengan diantar oleh seorang sersan inlander. Dalam perjalanan pulang tersebut, sersan sopir menyampaikan keinginannya untuk bergabung dengan pejuang di pedalaman. ia bersama beberapa orang temannya akan melarikan sebuah mobil dan beberapa senjata serta amunisi. Ara menyanggupi permintaan sersan sopir tersebut untuk memberikan surat penghubung ke daerah pedalaman.
65
Sesampainya di rumah ibunya, Ara menjumpai rumah tersebut dalam keadaan kosong. Ara hanya bertemu dengan seorang kakek dan nenek yang mengatakan bahwa ibunya bekerja menjadi babu di rumah orang Arab. Ia berusaha mencari rumah orang Arab tersebut dan akhirnya berhasil bertemu dengan ibunya. Di rumah ibunya ini Ara sadar bahwa keadaan di daerah pendudukan sama susahnya dengan di pedalaman. Ara tidak sempat memikirkan apa yang akan dimakan hari ini, dan tidak mungkin ia minta makan kepada ibunya yang kondisinya sangat menderita. Tiba-tiba Larasati menjadi bingung. Pertanyaan itu tak pernah dipikirkannya sebelumnya. Apa kau minta makan dari ibu yang sudah setengah kelaparan? Apa mungkin? Ia gelengkan kepalanya yang indah. Matanya runtuh di atas ujung selopnya. Tidak. Ini bukan kesulitan yang pertama-tama. Ini kesulitan biasa. Tidak, aku bilang. Aku tidak akan serahkan diri pada lelaki siapa saja. Itu biarlah dilupakan oleh masa lampau. Sedang dulu pun ia tidak pernah serahkan diri tanpa sesuka hatinya sendiri… (Pramoedya Ananta Toer, 2003:82 83). Dari keadaan yang digambarkan di atas terlihat bahwa Ara mengalami pertentangan dalam dirinya, ia tidak mungkin minta makan pada ibu yang kondisinya sangat susah. Dalam kejadian ini Ara menyatakan sikapnya untuk tidak menyerahkan tubuhnya hanya untuk sekedar mendapatkan makanan. Ara menyadari bahwa kesulitan seperti ini bukan yang pertama kali ia hadapi, ia sudah biasa menghadapi kesulitan semacam ini bersama para pejuang di daerah pedalaman. Di daerah pendudukan sering terjadi pertempuran antara pemuda dengan tentara Nica. Setiap malam terdengar rentetan senjata otomatik dan ledakan granat. Keadaan semacam ini tidak biasa terjadi di Yogya. Malam itu para
66
pemuda di kampungnya melakukan penyergapan terhadap terntara Nica yang sedang melakukan patroli. Pada malam yang sama setelah terjadi pertempuran, Ara didatangi oleh sersan sopir Nica yang telah mengantarkannya pulang. Sersan sopir itu akan melarikan mobil dan beberapa pucuk senjata serta beberapa kawan untuk dibawa ke pedalaman, namun sersan sopir itu ingin minta surat pada Ara sebagai bukti perjuangan. Karena tidak ada kertas untuk menulis surat, Ara menjanjikan agar sersan sopir itu besok kembali lagi. Ketika sedang berpamitan tiba-tiba beberapa orang pemuda berpakaian preman menyergap. Para pemuda mencurigai sersan yang bernama Martabat itu sebagai mata-mata. Martabat berusaha menjelaskan maksudnya menemui Ara kepada pemimpin pemuda, namun para pemuda tersebut tidak mau percaya. Pemimpin pemuda itu tidak tahu apakah Ara dan Martabat adalah seorang pejuang atau mata-mata, sehingga pemimpin pemuda meminta jaminan agar dapat percaya. Ara tidak tahu jaminan apa yang diminta oleh pemimpin pemuda tersebut. Kemudian Ara mendapat pikiran bahwa mereka berdua sendiri sebagai jaminannya. Ara dan Martabat akan ikut bertempur di bawah komando pemimpin pemuda itu. “Kau!” pemimpin itu menuding Ara. “Bintang film, kan?” Apa bisa diperbuat bintang film dalam pertempuran?” “Dram! Larasati membentak marah. “Tahu apa kau tentang perjuangan bintang film? Sedang para pemimpin bisa hargai perjuangank, mengapa kau tidak? Apa kau lebih besar dari mereka? Lepaskan ikatan dia. Kalau hanya bertempur, ayoh. Aku juga bisa bertempur di bawah komando yang baik. Kapan kau mau bertempur? Sekarang?” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:93).
67
Dari kejadian di atas terlihat bahwa Ara merasa direndahkan oleh sikap pemimpin pemuda. Dalam kejadian ini Ara dihadapkan pada pendapat bahwa bintang film tidak mampu memberikan sumbangan apapun pada perjuangan. Sebagai bentuk sikap atas pernyataan pemimpin pemuda tersebut Ara menyatakan untuk ikut bertempur pada malam itu juga. Pasukan pemuda itu diam-diam mengawasi kedua orang itu, tak tahu apa yang mesti diperbuat. Melihat itu Ara segera menyerbu untuk menguasai suasana “Malam ini kami ikut bertempur. Mengapa diam semua?” “Ara!” seru ibunya. “Apa yang ditakuti, bu? Kita semua hidup terus-menerus dalam ketakutan. Apa kalian biasanya ketakutan? Tidak ada. Kalau revolusi menang, tidak seorang pun perlu takut lagi. Mari berangkat!” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:93). Dari kutipan di atas terlihat sikap Ara dalam menghadapi pernyataan pemimpin pemuda yang merendahkan peran bintang film dalam perjuangan. Ara menyatakan keberaniannya untuk ikut bertempur malam itu juga. Pernyataan ini merupakan bentuk sikap Ara atas pandangan yang merendahkan peran bintang film dalam perjuangan. Pada malam itu juga mereka bersiap untuk melakukan penyergapan terhadap patroli Nica yang melewati kampung mereka. Dalam peristiwa penyergapan ini Ara dihadapkan pada situasi yang belum pernah ia alami sebelumnya, ia dihadapkan pada situasi saling bunuh-membunuh antara sesama manusia bahkan sesama anak bangsa. Ketika petempuran telah pecah, Ara sangat takut dan tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pertempuran itu pemimpin pemuda terluka akibat pecahan granatnya sendiri dan akhirnya dibawa ke rumah sakit. Keesokan hari setelah terjadinya pertempuran antara patroli Nica dengan pemuda, tentara Belanda mendatangi kampung tersebut untuk melakukan penggeledahan dan mencari orang-orang yang terlibat dalam penyergapan tadi
68
malam. Semua penduduk kampung dikumpulkan dan disuruh berbaris. Dalam pemeriksaan itu seorang kakek dan anak kecil dikeluarkan dari barisan, siapa saja yang dikeluarkan dari barisan tidak akan pulang untuk selamanya. Orang yang bertugas untuk menentukan dan menunjuk siapa saja orang-orang yang terlibat ini menggunakan penutup kepala yang hanya terlihat kedua matanya yang berwarna kuning. Seusai penggeledahan, Ara memeriksa tas miliknya yang berisi ORI (Oeang Republik Indonesia) dan ternyata uang itu hilang. Orang yang mengambil uang ORI tersebut sebenarnya mengetahui bahwa Ara seorang republikein. Ara merasa bahwa ia berada dalam bahaya, orang yang mengambil uang ORI tersebut pasti memiliki maksud tersembunyi. Ara akhirnya diminta oleh ibunya untuk kembali ke pedalaman karena daerah pendudukan tidak aman untuknya, namun Ara bertekad untuk tetap tinggal bersama ibunya. Keesokan harinya ketika ia bangun ibunya sudah tidak ada di rumah, ia hanya bertemu dengan nenek yang juga menyarankannya untuk meninggalkan daerah pendudukan. “Mengapa aku mesti pergi?” “Ah kau, nak. Itu justru lebih berbahaya. Pergilah.” “Jadi si mata kuning itu kenal aku?” “Semua orang kenal siapa si mata kuning… Dengarkan kata kami, nak. Kau mesti pergi. Kau bisa celaka. Kau bisa mencelakakan semua orang di sini. Kau hanya seorang perempuan, tidak punya senjata pula. Kau juga tidak mungkin bisa pimpin nenek dan kakek-kakek ini bertempur.” “Biarlah, nek. Aku tinggal di sini.” “Kalau kau ditangkap jangan celakakan yang lain-lain.” “Insyaallah.” “Insyaallah? Akhirnya kau sendiri yang menentukan. Kau sendiri harus berusaha. Ingat kakek Mo dan anak itu. Mereka pun tidak akan seret yang lain-lain. Mereka sudah sedia untuk mati. Kami di sini belum kenal kau.” “Mereka akhirnya akan kenal aku. Aku sudah sebagian dari mereka.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:117).
69
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit, ia harus memilih antara tetap tinggal di daerah pendudukan atau harus pergi meninggalkan daerah pendudukan. Jika tetap berada di daerah pendudukan keselamatannya mungkin dalam bahaya, namun jika meninggalkan daerah pendudukan mungkin keselamatnnya ibunya yang berada dalam bahaya. Dari konflik yang dihadapinya ini Ara memutuskan untuk tetap tinggal di daerah pendudukan, Ara mengambil keputusan ini karena ia menganggap dirinya sudah menjadi seorang pejuang. Setelah kejadian penggeledahan, rumah Ara didatangi oleh seorang lakilaki dengan maksud untuk mencari Ara. Laki-laki tersebut adalah orang Arab yang tinggal di rumah tempat ibunya bekerja sebagai babu. Ara bersembunyi di belakang, dan akhirnya ditemui oleh nenek. Ara tidak dapat melihat wajah lakilaki itu, ia hanya mendengar suaranya yang sepertinya pernah ia dengar. Sebelum pergi laki-laki tersebut berpesan kepada nenek agar Ara datang ke rumahnya. Setelah laki-laki itu pergi si nenek menjelaskan tentang keberadaan orang-orang Arab di tempat ibu Ara bekerja. Nenek itu mengatakan kepada Ara bahwa orangorang Arab tersebut telah banyak membunuh penduduk di kampung ini. Pada waktu itulah Larasati menyadari adanya bahaya yang mengancam dirinya. Ara sepertinya telah mengenal tamu yang datang ke rumahnya, ia mengenalinya sebagai kaki tangan Belanda yang tadi pagi memakai penutup kepala untuk menunjuk orang-orang yang terlibat penyergapan. Ara menyadari kedatangan tamu tersebut mencari dirinya, tamu itu menyandera ibunya agar Ara mau datang ke rumahnya. Tak pernah sebelumnya ia berlenggang begitu layu. Ayun tangannya begitu berat seperti batu gaib diikatkan pada pergelangannya. Ia tak tahu
70
apakah waktu ini ia harus menangis atau menentang atau harus menyerah. Ah. Itu orang asing yang berkuasa atas hidup dan mati pewaris yang sah dari tanah air sendiri. Apa mungkin yang demikian terjadi? Kalau dia Belanda, masih dapat diterima. Tapi dia Arab, yang tak tahu-menahu tentang politik! – yang dia tahu cuma duit dan datang ke Indonesia hanya cari duit (Pramoedya Ananta Toer, 2003:123). Kedatangan orang Arab ke rumahnya tersebut menyebabkan konflik dalam diri Ara, dia tidak tahu harus menentang atau menyerah untuk menghadapi orang Arab tersebut. Sampai di tengah-tengah perjalanan ia berhenti. Ia ragu. Apakah layak seorang wanita datang ke rumah seorang asing dalam house-coat? Ia berhenti berpegangan pada tiang listrik. Menarik nafas dalam. Lantas apa aku kenakan? Lantas apa mesti aku kenakan? Pakaian orang lain? Orang lain siapa? Revolusi ini tidak memberi sesuatu pun, dia minta dari setiap orang – segala-galanya. Mengapa si Arab itu meminta? Dia yang tidak punya sangkut-paut sedikit pun dengan Revolusi? Apakah aku dengan sukarela berjalan seorang diri menuju tiang gantungan? Mendadak ia tengadahkan kepalanya ke langit. Tidak! Tidak mungkin. Ia lepaskan pegangannya dari tiang listrik. Ia kepalkan tangannya dan digocohkannya tiang listrik itu sekali. Membalik dan bercepat-cepat pulang ke rumah. Ini bukan caranya. … Aku tunggu dia. Aku akan hadapi dia (Pramoedya Ananta Toer, 2003:123 - 124). Dari kutipan di atas terlihat sikap Ara yang tegas untuk tidak menyerah terhadap ancaman yang ditujukan kepada dirinya, ia tidak akan mendatangi rumah orang Arab tersebut. Ara bertekad untuk menunggu di rumah dan mencoba berani untuk menghadapi orang Arab tersebut. Setelah mengambil keputusan tersebut, Ara merasa lebih berani dari pada sebelumnya. Ia merasa persoalan yang dihadapinya sekarang hanya dia sendiri yang dapat menyelesaikannya. Pada malam harinya Martabat datang ke rumahnya untuk meminta surat kepada Ara sebagai tanda bukti perjuangan untuk masuk ke daerah pedalaman. Ara mengutarakan maksudnya kepada Martabat untuk ikut pergi ke pedalaman bersama ibunya.
71
“Maksudmu tidak ada tempat?” “Tentu saja tidak. Maksudku kami sedang melakukan terobosan maut. Itu tidak tepat bagi seorang wanita, walau kami ingin membawa.” Tak terkirakan kecil hati Larasati mendengar jawaban itu. Ia belum dimasukkan ke dalam kelas pejuang oleh si Martabat ini. Tapi ia menjaga agar tak membantah, tidak melukai rencana anak muda itu…” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:125). Pernyataan Martabat kepada Ara tersebut membuat Ara merasa dikecilkan, ia merasa belum dianggap sebagai seorang pejuang. Sebagai seorang perempuan ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang pejuang pada waktu ikut dalam penyergapan kemarin malam. Dalam menghadapi keadaan ini Ara berusaha untuk tetap bersikap baik terhadap Martabat, sebagai seorang pejuang ia tidak ingin merusak rencana Martabat yang telah direncanakan dengan matang. Keesokan harinya tamu orang Arab yang kemarin mencarinya akhirnya datang. Tanpa dipersilakan tamu itu langsung masuk ke rumah. Tamu itu memperkenalkan diri dengan nama Jusman, ia mengaku memiliki orkes gambus dan bermaksud ingin mengajak Ara untuk bergabung sebagai penyanyi. Selama percakapan itu berlangsung, Ara mengawasi tamu itu dan merasa semakin yakin bahwa tamunya adalah orang yang memakai penutup kepala pada waktu pemeriksaan oleh tentara Nica beberapa hari yang lalu. Ara mengenali tamu itu dari warna matanya yang kuning. Permintaan orang Arab agar Ara bergabung sebagai penyanyi dalam orkesnya akhirnya ditolak Ara. Sebelum pergi orang Arab itu mengancam Ara bahwa ibunya tidak akan selamat kalau Ara tidak memenuhi permintaan itu. “Tapi nona, ibu nona juga di sana. Bagaimana pikir nona?” “Kau boleh ambil ibuku kalau suka. Dia boleh tidak pulang untuk selamalamanya.” Pemuda Arab itu kini menatap nenek tapi tak berkata apa-apa. Akhirnya ia bangkit berdiri, bersiap hendak pulang, tetapi berhenti dan berpaling ke belakang, “Tapi ibu nona dalam bahaya.”
72
“Aku tahu. Aku juga tahu mata siapa yang memandangi aku dari balik sarung guling kemarin dulu.” Pemuda Arab itu tiba-tiba menegakkan badan, menghadapi Ara, dengan mata tajam mengawasi. Dengan suara mengancam ia berbisik, “Jadi kau tahu, bagus.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:132). Dari peristiwa di atas terlihat bahwa Ara dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit, ia harus memilih antara keselamatannya sendiri atau keselamatan ibunya. Namun terlihat bahwa dalam diri Ara telah terbangun sikap berani dalam menghadapi ancaman tersebut. Keberanian Ara ini semakin terbangun karena pengalaman-pengalamannya selama ini telah membentuk keberanian dalam diri Ara. Beberapa bulan berlalu dan ibunya juga tak kunjung pulang. Pada suatu hari Ara memutuskan untuk mendatangi kantor Republik untuk mencari pekerjaan, namun tidak ada satu pun kantor yang ada lowongan. Belanda melancarkan aksi militernya pertama, di mana-mana terjadi pertempuran antara patroli Belanda dengan pemuda. Ara tidak tahu banyak tentang keadaan politik pada saat itu sampai akhirnya ia mendengar bahwa Yogya sudah jatuh ke tangan Belanda. … Ara tak banyak tahu tentang perkisaran politik. Tak banyak mengikuti diplomasi. Kota-kota jatuh ke tangan Belanda. Juga Yogya sendiri. dan berita runtuhnya Yogya disambut Ara dengan tangis tersedan-sedan. Dengan air mata yang mengucur sejadi-jadinya membasahi wajahnya yang kian menjadi kurus dan pucat. Tidak, keyakinanku tidak bisa digoncangkan dengan jatuhnya Yogya. Revolusi tidak pernah kalah. Setiap kekalahan yang dideritakannya tidak lain dari kemenangan kaum koruptor. Revolusi selalu menang (Pramodya Ananta Toer, 2003:134). Berita mengenai jatuhnya Yogya ke tangan Belanda membuat semangat berjuang Ara menjadi lemah. Ara yakin bahwa jatuhnya Yogya ke tangan Belanda akibat dari korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan di pemerintahan. Dari kutipan yang ada di atas terlihat bahwa sikap Ara terhadap
73
perjuangan tidak akan digoyahkan oleh jatuhnya Yogya, Ara yakin bahwa revolusi tidak akan dapat dikalahkan oleh para koruptor. Setelah mendengar kabar mengenai jatuhnya Yogya, Ara hanya berjalanjalan tanpa tujuan. Di suatu taman Ara bertemu dengan seorang laki-laki yang sepertinya pernah ia kenal. Ia berusaha untuk mengingat laki-laki itu dan akhirnya ia tahu bahwa orang itu adalah Chaidir. Chaidir adalah seorang penyair yang dulu pernah Ara temui di Yogya. Pertemuannya dengan Chaidir ini sangat mempengaruhi pribadi Ara dalam memandang dan memaknai Revolusi. Chaidir mengatakan kepada Ara bahwa revolusi membutuhkan segala-galanya, apapun yang bisa diberikan oleh orang kepada revolusi harus diterima dan bukan untuk ditolak. Chaidir adalah salah seorang seniman yang memiliki semangat untuk berjuang membantu revolusi dengan seni, namun banyak pemimpin yang meragukan dan mengecilkan peran seni dalam revolusi. Chaidir memandang jatuhnya Yogya ke tangan Belanda akibat para pemimpin yang angkuh dan gila hormat. Pertemuan antara Ara dan Chaidir akhirnya harus diakhiri, mereka berdua berpisah di sebuah pertigaan jalan. Ara melanjutkan jalannya sampai kemudian terdengar suara orang yang memanggil namanya. Orang yang memanggil namanya tersebut ternyata Jusman, Ara mencoba mempercepat langkahnya namun tangan Jusman telah mencengkam tangannya. Ara tiba-tiba merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan cengkaman tangan Jusman dan hanya pasrah mengikuti Jusman. Mulai hari itu Ara telah berada di bawah kekuasaan Jusman, Ara harus menjadi tawanan dalam rumah orang Arab tersebut tanpa dapat berbuat apapun
74
untuk perjuangan. Telah sebulan lebih Ara tinggal bersama Jusman, ia tidak tahu sama sekali mengenai keadaan yang terjadi di luar. Jusman tidak akan mengizinkan Ara untuk keluar rumah, akhirnya Jusman membelikan sebuah radio untuk memenuhi keinginan Ara. Pada sebuah siaran radio Ara mendengar berita mengenai kematian Chaidir. Ara teringat kembali mengenai kejatuhan Yogya, tentang kekalahan, termasuk kekalahannya sendiri. Chaidir mati. Chaidir? Yogya telah jatuh. Para penguasa dan pembesar sudah kibarkan bendera kain kafan, menyerahkan diri dalam perlindungan Sri Ratu. Sekarang Chaidir pula. Dia meninggal! Dia – Revolusi itu sendiri! Dan aku – aku sendiri telah patah dua di sini. Aku – Revolusi itu sendiri juga, seperti kata Chaidir. Apa nasibnya Revolusi kemudian? Chaidir mati. Chaidir anak kerempeng bermata merah itu (Pramoedya Ananta Toer, 2003:147). Berita menegenai kematian Chaidir menyebabkan konflik dalam diri Ara, ia merasa bahwa revolusi sudah kalah termasuk Ara sendiri. Ara merasa kalah karena selama ini tidak dapat berbuat apapun untuk perjuangan selama di bawah kekuasaan Jusman. Namun berita mengenai kematian Chaidir ini tidak selamanya membuat padam semangat Ara dalam berjuang, ia mencoba untuk menemukan kembali dirinya sebagai bagian dari perjuangan dengan keinginannya menulis naskah sandiwara yang berisi tentang kebesaran revolusi. Sudah sejak di rumah ini ia ingin menulis, ia ingin mengarang. Tapi ia tidak mampu. Ia ingin menyusun sebuah repertoire sandiwara yang melukiskan kebesaran Revolusi, dan ia ingin tunjukkan dirinya sendiri di tengah-tengah situasi revolusioner, sebagai tokoh dan juga sebagai api revolusi itu sendiri. Ia akan tokohkan pikiran-pikirannya dan perasaanperasaannya. Ia akan hukum pembesar-pembesar dan peguasa-peguasa jaman Revolusi itu, yang bercokol seperti feodal baru di atas pundaknya tubuh Revolusi, dan yang segera terbirit-birit apabila saatnya datang untuk menetukan sikap dan mengambil tindakan. Berkali-kali ia merancang bagan, tetapi selalu gagal (Pramoedya Ananta Toer, 2003:148 - 149). Keinginan Larasati untuk mengarang sebuah naskah sandiwara yang melukiskan kebesaran revolusi seperti pada kutipan di atas merupakan bentuk
75
sikap Ara sebagai seorang seniman yang berjuang demi revolusi. Ia merasa selama ini tidak mampu untuk berbuat apa-apa terhadap perjuangan, dan sekarang ia ingin membuktikan dirinya sebagai bagian dari perjuangan. Ara tetap mencoba mencari berita tentang kematian Chaidir melalui radio, namun tetap saja tidak ada. Ketika hari sudah mulai malam Jusman belum juga pulang. Di tengah malam terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Mobil tersebut dikendarai oleh seorang sersan Belanda yang memberitahukan bahwa Jusman berada di rumah sakit. Ara keluar rumah dan mengambil bungkusan yang terdapat lumuran darah, dan bungkusan tersebut berisi surat kabar pesanannya. … segulungan koran dan majalah ada di dalamnya. Tiada sesuatu pun yang patut dicurigakan. Dan darah itu… Benda itu sekaligus memberitakan pada Ara, Jusman selalu ingat akan dirinya. sudah pasti ia meminta pada seseorang untuk menyampaikan padanya, apa yang dipesankannya pada Jusman. Ia terharu dan matanya berkaca-kaca. Dia cintai aku! Dia begitu jujur padaku. Tapi hatiku bukan buat dia. Hatiku buat sesuatu yang lain: Revolusi (Pramoedya Ananta Toer, 2003:151). Dari kejadian yang digambarkan di atas, terlihat bahwa terjadi pertentangan di dalam diri Ara. Ia harus memilih antara berjuang untuk revolusi atau cinta kasih yang selama ini telah diberikan Jusman. Dalam menghadapi pilihan ini Ara menunjukkan sikapnya yang tegas untuk tetap konsisten berjuang demi revolusi. Selama dalam sekapan Jusman ini Ara merasa dirinya telah kalah karena tidak sanggup berbuat apapun untuk revolusi. Ara seharusnya mengikuti perintah ibunya untuk kembali ke Yogya sehingga dapat membantu perjuangan, namun ia tetap tinggal di Jakarta dan memasuki sarang pembunuh, yaitu rumah Jusman. Waktu itu Ara tidak dapat berbuat dan menentukan sikap setelah mendengar
76
jatuhnya Yogya. Akhirnya ia menuruti kemauan Jusman demi keselamatan ibunya. … “Ibu, kau pejuang yang gagah berani.” “Huss, diam.” “Tapi ibu, setiap pejuang harus selalu bersedia untuk kalah.” “Bersedia kalah?” “Dalam perjuangan, bukankah kekalahan harus selalu diterima sebagai sahabat?” “Ara, aku tidak mengerti. Tentu kau lebih tahu dari aku. Tapi aku sungguh menyesal kau datang kemari.” (Pramoedya Ananta Toer, 2003:155). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Ara mampu menunjukkan sikap yang tegar dalam menghadapi konflik yang sedang ia alami, sebagai pejuang Ara sanggup menerima kekalahan tersebut sebagai sahabat. Meskipun Ara merasa dirinya telah kalah selama berada di bawah kekuasaan Jusman, namun Ara berusaha untuk tetap tidak mengkhianati perjuangan. Pada suatu hari Ara berada di rumah sakit, sudah beberapa bulan ia menjadi pasien spesialis penyakit dalam karena mengalami pendarahanpendarahan yang cukup serius selama beberapa minggu setelah kepulangan Jusman. Di rumah sakit ini Ara mendapatkan kabar mengenai Republik yang bersedia bekerja sama dengan Belanda. … Lagi pula Republik sudah bersedia kerjasama dengan Belanda. Sebentar lagi pemimpin-pemimpin, yang ditawan di Prapat akan dikembalikan ke Yogya. Ara terlonjak bangun. Pemimpin? Masa pemimpin bisa diambil dan ditaruh kembali seperti bidak-bidak diatas papan catur? Tanpa diketahuinya darah menyembur dari pangkuannya, menjalar di lantailantai, merayap melingkar-lingkar. Ia terduduk kembali. Pemandangannya berkunang-kunang akhirnya pingsan (Pramoedya Ananta Toer, 2003:169). Dari kabar mengenai Republik yang bersedia bekerja sama dengan Belanda serta para pemimpin yang akan di kembalikan ke Yogya meyebabkan timbulnya konflik dalam diri Ara. Semuala Ara telah mendapatkan kembali
77
semangatnya sebagai seorang pejuang, namun sekarang semangatnya telah melemah dan bahkan sampai menyerang fisiknya. Sembuh? Selama jusman terus-menerus menempel pada batang hidupnya, ia tidak mungkin sembuh dan pendarahan-pendarahan ini akan semakin hebat. Tiba-tiba ia menyadari keadaannya: alangkah busuknya, kalau aku mati karena pendarahan dan pendarahan yang disebabkan pemuda Arab, pengkhianat Revolusi ini…betapa konyolnya! Ah, konyolnya! (Pramoedya Ananta Toer, 2003:169 - 170). Ara menyadari keadaan dirinya selama ini tidak berguna bagi revolusi karena keberadaan Jusman di sisinya. Ia mengetahui bahwa selama ini Jusman adalah mata-mata yang memberikan informasi kepada Belanda, sementara Ara sendiri adalah seorang seniman republikein. Ara tidak sanggup berontak terhadap Jusman, hal ini menyebabkan rasa bersalah timbul dalam dirinya. Pada suatu hari Jusman datang mengunjungi Ara. Jusman terlihat tidak seperti biasanya, ia seperti merasa tidak aman. Ara menduga bahwa bahwa perkiraan politik telah membuat pemuda Arab ini menjadi panik. Jusman bermaksud menikahi Ara agar tidak perlu lari ke Singapura atau Malaya karena keadaan semakin memburuk. Ara tidak dapat memberikan jawaban dan akhirnya Jusman harus lari ke Singapura. Ara dan ibunya telah meninggalkan rumah Jusman dan kembali ke rumah ibunya. Semangat revolusi semakin memudar di kampung-kampung karena perundingan Meja Bundar tak kunjung memberikan hasil. Pada suatu hari terdengar berita bahwa Tentara Nasional Indonesia akan masuk ke Jakarta. Ini merupakan tanda bahwa revolusi telah menang, Belanda akan segera meninggalkan bumi penjajahan. Orang-orang tidak peduli dengan bentuk Serikat atau Kesatuan, yang penting bagi mereka adalah penjajahan Belanda telah berakhir.
78
Meskipun Ara merasa dirinya kalah, ia sanggup menerima kekalahan tersebut dengan besar hati. Ara menunjukkan sikap hormatnya terhadap perjuangan dengan cara tidak mengkhianati perjuangan, dan akhirnya Ara dan ibunya dapat menikmati kemenangan revolusi. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Ara mengalami konflik dalam dirinya. Konflik-konflik yang dialami Ara timbul karena pertentanganpertentangan antara dirinya dengan tokoh-tokoh lain serta situasi sosial yang sedang dihadapinya. Kehadiran tokoh-tokoh lain dalam kehidupan Ara seperti Mardjohan dan Jusman merupakan penyebab utama timbulnya konflik dalam diri Ara. Kehadiran dua tokoh yang memiliki sifat oportunis dan juga pengkhianat ini menghambat serta mempengaruhi keyakinan Ara terhadap perjuangan. Dalam menghadapi konflik ini Ara dihadapkan pada situasi serta keadaan yang melemahkan semangatnya dalam berjuang. Namun dalam menghadapi konflik ini tokoh Ara menunjukkan sikapnya yang tegas untuk tetap berjuang dengan caranya sendiri sebagai seorang seniwati dan berusaha untuk tidak berkhianat terhadap perjuangan. Sikap tokoh Ara ini terbentuk dari pengalamanpengalaman serta pertemuannya dengan tokoh pemimpin pemuda dan Chaidir yang membentuk pribadi Ara menjadi seorang pejuang.
BAB V PENUTUP
79
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dari keseluruhan analisis roman Larasati sebagai berikut. Melalui teori kepribadian psikoanalisis Sigmund Freud diperoleh gambaran tentang struktur kepribadian tokoh Ara yang dipengaruhi oleh id, ego dan super ego. Ketiga sistem dalam struktur kepribadian ini saling bekerja dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dalam diri tokoh Ara, peran ego sebagai eksekutif kepribadian dapat bekerja dengan baik sehingga mampu menjadi jembatan antara id dengan super ego. Namun dalam beberapa kejadian, dorongan super ego lebih dominan dari pada id, hal inilah yang membentuk kepribadian Ara menjadi seorang seniwati yang terlibat dalam perjuangan. Super ego yang merupakan aspek moral kepribadian mendorong pribadi Ara untuk tetap konsisten pada perjuangan. Konflik-konflik yang dialami Ara timbul karena pertentangan-pertentangan antara dirinya dan tokoh-tokoh lain serta situasi sosial yang sedang dihadapinya. Kehadiran tokoh-tokoh lain dalam kehidupan Ara seperti Mardjohan dan Jusman merupakan penyebab utama timbulnya konflik dalam diri Ara. Kehadiran dua tokoh yang memiliki sifat oportunis dan juga pengkhianat ini menghambat serta mempengaruhi keyakinan Ara terhadap perjuangan. Dalam menghadapi konflik ini Ara dihadapkan pada situasi serta keadaan yang melemahkan semangatnya dalam berjuang. Namun dalam menghadapi konflik ini tokoh Ara menunjukkan sikapnya yang tegas untuk tetap berjuang dengan caranya sendiri sebagai seorang seniwati dan berusaha untuk tidak berkhianat terhadap perjuangan. Sikap tokoh Ara ini terbentuk dari pengalaman-pengalaman serta pertemuannya dengan tokoh pemimpin pemuda dan Chaidir yang membentuk pribadi Ara menjadi seorang pejuang.
B. Saran Saran yang peneliti sampaikan di sini berhubungan erat dengan halhal yang bisa dikembangkan dalam penelitian ini. 1.
Secara teoretis, peneliti mengharapkan penelitian ini dapat dikembangkan untuk memperluas wacana tentang penelitian sastra, khususnya dalam kerangka psikologi sastra.
80
2.
Secara praktis, peneliti mengharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi siapa saja yang mencermati segala sesuatu tentang kepribadian, atau yang berminat pada kondisi kejiwaan manusia secara umum.
3.
Secara umum, penelitian ini diharapkan mampu menjadi penegas kehadiran ilmu sastra dalam masyarakat, setidaknya menegaskan bahwa ilmu sastra tidak kehilangan makna dan manfaat di tengah masyarakat.
4.
Penelitian terhadap roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer diharapkan agar dapat dilakukan dengan konsep dan teori lain yang makin bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA Abu Ahmadi. 1979. Psikologi Sosial. Surabaya: Bina Ilmu. Andre Hardjana. 1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Atar Semi, M. 1993. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya. Bimo Walgito. 1978. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi Offset. ____________. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. Burhan Nurgiyantoro. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Davidoff, Linda L. 1991. Psikologi Suatu Pengantar (diterjemahkan oleh Mari Jumiati). Jakartta: Erlangga. Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yoyakarta: Kanisius. Fuad Hasan. 1984. Kamus Istilah Psikologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Gerungan, W. A. 1991. Psikologi Sosial. Bandung: Ereco. Hall, S. Calvin dan Lindzey Gardner. 1993. Teori-teori Psikodinamik (klinis) (edisi terjemahan oleh A. Supratikna). Yogyakarta: Kanisius. Kartini Kartono. 1996. Psikologi Umum. Bandung: Mandar Maju.
81
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Pemuda Rosda Karya. Mursal Esten. 1984. Sastra Indonesia dan Tradisi Sub Kultur. Bandung: Angkasa. __________. 1990. Kesusatraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa. Pramoedya Ananta Toer. 2002. Korupsi. Jakarta: Hasta Mitra. ___________________. 2003. Larasati. Jakarta: Lentera Dipantara. Putu Arya Tirtawirya. 1995. Apresiasi Puisi dan Prosa. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi. Saifuddin Azwar. 1988. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Liberty. Siswantoro. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologi Sastra. Surakarta: Muhammadyah University Press. Soediro Satoto. 1991. Metode Penelitian Sastra (Buku Pegangan Kuliah). Surakarta: UNS Press. ____________. 1998. Telaah Drama Indonesia I (Buku Pegangan Kuliah). Surakarta: UNS Press. Sumadi Suryabrata. 1993. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Usman Efffendi dan Juhaya S. Raja. 1993. Pengantar Psikologi. Bandung: Angkasa Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (edisi terjemahan oleh Melanie Budianta). Jakarta: Gramedia. Zainuddin Fananie. 2000. Telaah sastra. Surakarta: Muhammadyah University Press.
82
LAMPIRAN I
SINOPSIS ROMAN LARASATI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER Roman ini mengisahkan perjalanan seorang perempuan bernama Larasati atau Ara dari daerah pedalaman (Yogyakarta) ke daerah pendudukan (Jakarta). Ara adalah seorang aktris panggung dan bintang film yang ingin mulai lagi main film untuk kepentingan revolusi. Dalam perjalanannya tersebut ia bertemu dengan pejuang-pejuang yang rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan. Dari pertemuan tersebut ia berjanji tidak akan bermain film untuk propaganda Belanda melainkan untuk kepentingan perjuangan. Pada sebuah tempat pemberhentian yang dikuasai oleh penguasa pendudukan, ia bertemu dengan Mardjohan yang mengabdikan diri pada penjajah hanya untuk mendapatkan keuntungan serta kenikmatan hidup. Mardjohan adalah seorang sutradara dan juga produser film yang bertugas untuk membuat film propaganda untuk melemahkan perjuangan bangsa Indonesia. Ara kemudian dibawa oleh Mardjohan untuk bertemu dengan pimpinannya.
83
Agar maksud Mardjohan tercapai, ia membawa Ara ke sebuah penjara agar menyaksikan penderitaan yang akan dialami jika Ara tidak mau bekerja sama. Di dalam penjara tersebut ia menyaksikan penderitaan yang harus dialami para tawanan, namun bukan berarti Ara akan mau bekerja sama setelah menyaksikan penderitaan tersebut. Ara justru semakin menegaskan sikapnya untuk tidak mau bekerja sama dengan para pengkhianat. Dari penjara Ara dibawa dengan mobil untuk istirahat, dalam perjalanan ini Ara dibawa oleh seorang sopir NICA yang ternyata ingin menggabungkan diri dengan para pejuang, Ara menyetujui dan berjanji akan memberinya surat agar diterima oleh para pejuang di daerah pedalaman. Kemudian Ara minta diantar sampai ke sebuah kampung di mana ibunya tinggal dan berjanji kepada sopir NICA tersebut untuk bertemu esok harinya. Kampung tempat tinggal ibunya tersebut ternyata adalah kampung para pejuang yang sering dilewati patroli NICA. Para pemuda di kampung tersebut semuanya bergerilya dan hanya orang-orang yang sudah tua saja yang berani keluar. Di tempat inilah Ara terlibat dan merasakan pertempuran berlangsung. Ara menyaksikan langsung bagaimana para pemuda kehilangan nyawanya demi sebuah kemerdekaan. Keesokan harinya Belanda melakukan penggeledahan untuk mencari orang-orang yang terlibat dalam penyergapan. Orang yang menjadi algojo tersebut adalah orang Arab yang tinggal dirumah tempat ibunya bekerja. Ara sangat benci sekali dengan orang ini dan ingin membawa ibunya untuk keluar dari tempat tersebut, namun ternyata orang Arab tersebut menyekap ibunya. Orang Arab tersebut hanya akan melepaskan ibunya jika Ara mau tinggal bersama dengannya.
84
Ibunya menyuruh agar Ara pergi dari daerah pendudukan (Jakarta) dan melupakan nasib ibunya. Untuk beberapa waktu Ara hidup di jalanan, selama di jalanan tersebut ia bertemu dengan seorang kawan lamanya seorang penyair yang bernama Chaidir. Pertemuan dengan kawannya ini sangat berkesan sekali baginya, Ara akhirnya mengenal revolusi yang sesungguhnya, bukan revolusi yang penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Pada suatu waktu akhirnya Ara harus jatuh ke pelukan orang Arab (Jusman), karena Ara tidak sanggup meninggalkan ibunya. Ia merasakan betapa rendah dirinya dalam keadaan kekalahan. Ara merasakan hatinya pedih selama di bawah kekuasaan orang Arab yang selama ini dibencinya, orang yang selama ini telah mengambil nyawa orang-orang yang memperjuangkan sebuah kemerdekaan. Selama dalam kekuasaan Jusman, Ara tidak dapat melakukan sesuatu yang berarti untuk perjuangan, sementara banyak anak muda yang rela kehilangan nyawa demi kemerdekaan. Konflik batin serta moral yang harus ia tanggung semakin berat dan akhirnya ia harus menanggung sakit. Waktu terus berjalan sampai akhirnya terdengar sebuah berita bahwa Tentara Nasional Indonesia akan masuk ke Jakarta. Presiden Soekarno memasuki Jakarta sebagai presiden menggantikan Gubernur Jenderal Belanda. Ara dan ibunya meninggalkan rumah orang Arab tersebut karena Jusman harus lari ke Malaya atau Singapura. Akhirnya Ara bertemu dengan kapten Oding, teman seperjuangan ketika berada di Yogya. Mereka akhirnya tinggal bersama di sebuah rumah bekas orang Belanda dan menikmati kemerdekaan.
85
LAMPIRAN II
A. RIWAYAT HIDUP PRAMOEDYA ANANTA TOER Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925. Blora merupakan kota kecil yang sangat bersejarah bagi Pramoedya. Banyak dari cerita-ceritanya berlatar belakang geografis kota tersebut, misalnya Cerita dari Blora, roman Perburuan dan Bukan Pasarmalam. Karena di kota Blora itu ia dilahirkan dan dibesarkan, maka Pramoedya sangat paham mengapa dan bagaimana peristiwa-peristiwa yang menjadi inspirasi cerita-ceritanya itu terjadi. Pramoedya Ananta Toer adalah anak sulung dari sebuah keluarga Islam nasionalis. Ayahnya, Pak Mastoer (nama ini kemudian hanya disingkatnya menjadi “Toer” saja dengan pertimbangan bahwa kata “Mas” dalam “Mastoer” sangat feodal), adalah seorang guru HBS (Holandsch Islandsche School) sebelum kemudian pindah dan mengajar di sekolah partikelir IBO (Institut Boedi Oetomo). Ketika krisis ekonomi melanda serta datang tekanan pemerintah kolonial Belanda terhadap sekolah-sekolah liar, membuat IBO banyak ditinggalkan murid-muridnya yang tidak sanggup lagi
86
membayar atau merasa bahwa IBO tidak bisa menjanjikan masa depan karena karena tidak diakui pemerintah. Pak Mastoer akhirnya kembali menjadi guru HIS, walaupun yang terjadi kemudian hari tak lebih dari sekedar berstatus sebagai guru pengganti. Tindakan sang ayah sangat mengecewakan Pramoedya yang menganggap sang ayah telah berkapitulasi atau berkompromi dengan kekuasaan kolonial Belanda, meskipun ia dapat memahami hal tersebut mengingat kondisi yang ada. Aktivitas Pak Mastoer sendiri sebagai tokoh pergerakan di masa itu cukup dikenal oleh masyarakat sekitar Blora. Pak Mastoer antara lain aktif berpolitik menjadi anggota Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Soekarno. Beliau juga seorang aktivis pendidikan yang melalui IBO, banyak mendirikan kursus-kursus kejuruan bagi pribumi serta menerbitkan bukubuku perjuangan dan pelajaran. Aktivitasnya itu dapat diduga sangat berpengaruh pada perwatakan Pramoedya kecil, terutama tumbuhnya jiwa kerakyatan dan kebangsaan dalam dirinya, meskipun hal ini sangat terbatas sejauh pemahamannya sebagai anak kecil. Selain ayahnya orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masa kecil Pramoedya, sosok ibunya juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Ibunya adalah seorang aktivis perempuan bernama Oemi Saidah. Ia adalah anak dari seorang selir penghulu Rembang yang telah melahirkan Oemi Saidah yang diceraikan dan diusir dari kediaman penghulu. Kisah hidup neneknya yang demikian menjadi inspirasi bagi Pramoedya untuk menulis roman Gadis Pantai, sebuah unfinished novel, karena roman itu sebenarnya adalah buku pertama dari sebuah trilogi. Sangat disayangkan
87
bahwa dua naskah lainnya hilang dalam huru-hara 1965, saat ketika banyak naskah Pramoedya dirampas dan dibakar sebelum sempat diterbitkan. Ibu Pramoedya sendiri adalah seorang perempuan yang lembut dan pada waktu tertentu bisa berubah menjadi keras dan tegas. Dalam ingatan Pramoedya, ia adalah sosok perempuan satu-satunya di dunia yang ia cintai dengan tulus. Di waktu-waktu kemudian ternyata sosok ibu ditempatkan menjadi ukuran bagi Pramoedya dalam menilai setiap perempuan yang ia kenal. Selain itu, sosok ini pulalah yang nampaknya menjadi figur yang banyak ia citrakan sebagai sosok seorang ibu dalam beberapa ceritanya. Misalnya dalam cerita pendek Yang Sudah Hilang ataupun Kemudian Lahirlah Dia, seorang ibu yang tegas namun penuh kasih sayang. Dengan latar belakang keluarga seperti itu, Pramoedya kemudian masuk sekolah dasar yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Mengenai riwayat pendidikannya ini, Pramoedya kecil bukanlah seorang siswa yang menonjol secara prestasi. Tiga kali ia tidak naik kelas serta harus belajar langsung di bawah pengawasan sang ayah. Dan ketika lulus dari kelas tujuh setelah mengenyam sekolah dasar selama sepuluh tahun, ia justru diharuskan kembali mengulang belajar di kelas tersebut oleh sang ayah yang masih menganggap Pramoedya sebagai anak yang bodoh. Pramoedya kemudian meneruskan pelajarannya di sebuah sekolah kejuruan radio (Radio Vakschool) di Surabaya atas biaya ibunya, karena sang ayah menolak menyekolahkan Pramoedya di MULO (setingkat SLTP). Namun pecahnya Perang Dunia II membuat ijazah sekolah itu tak pernah sampai di tangan Pramoedya. Hal ini erat kaitannya dengan wajib militer
88
yang dikenakan kepada para pelajar oleh pemerintah Jepang yang tidak disukai Pramoedya, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan kursus tersebut sebelum memperoleh ijazah. Di awal penjajahan Jepang, Pramoedya menemui kenyataan pahit karena ibu yang sangat dicintainya meninggal pada 3 Juni 1942 akibat TBC. Kepergian sang ibu sangat mengguncang hati Pramoedya. Setelah ibunya meninggal, Pramoedya berusaha membantu mengurus keluarga, karena ia adalah anak sulung yang masih mempunyai tujuh orang adik. Saat berumur 17 tahun, bersama adiknya Pramoedya diharuskan meninggalkan rumah dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke Jakarta, lalu tinggal di rumah salah seorang pamannya. Pertama kali datang ke Jakarta, Pramoedya bekerja sebagai juru ketik di kantor berita Jepang, Domei. Di kantor ini Pramoedya mulai mencoba menulis dan mengirimkannya ke koran Pemandangan, namun tak ada satu karya pun dimuat. Selain itu Pramoedya juga pernah mendapat kursus stenografi, ilmu ekonomi, sosiologi, sebelum akhirnya keluar dari pekerjaannya, lalu melarikan diri dengan bersembunyi di sebuah desa bernama Tanjung sampai masa kemerdekaan Indonesia. Selain sebagai pengarang, Pramoedya juga sangat suka melakukan riset sejarah. Tetralogi Karya Buru dan roman Arus balik bisa disebut sebagai karya yang tak mungkin lahir tanpa dilakukan riset sejarah yang mendalam. Riset sejarah kembali dilakukan Pramoedya untuk penulisan buku Panggil Aku Kartini Saja, serta beberapa rangkaian karangan mengenai Multatuli yang sangat dikaguminya. Karya Multatuli, Max
89
Havelaar, pernah diterjemahkannya dan secara bersambung dirubrik kebudayaan Lentera, namun pemuatannya tidak selesai. Kemampuan bahasa Belanda Pramoedya memang cukup baik meski di masa kecilnya Pramoedya tidak begitu serius mempelajarinya. Selain Max Havelaar, ia menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda berjudul Moeder, Waarom Leven Wij? (Ibu, Mengapa Kita Hidup?) karangan Lode Zielends, seorang yang bahasanya bagi orang Belanda sekarang pun tidak mudah dipahami. Hal itu dilakukan Pramoedya di masa mudanya dan masih banyak karya terjemahan Pramoedya yang lain. Semuanya semakin memantapkan sosok Pramoedya bukan hanya sebagai sastrawan, tetapi juga sebagai intelektual peneliti dan penterjemah. Setelah merasa namanya sebagai pengarang sudah cukup dikenal, akhirnya pada tanggal 13 Januari 1950. Pramoedya menikah dengan seorang gadis yang telah dilamarnya sejak ia masih berada dalam penjara Belanda. Banyak karya-karyanya yang ditulis di masa itu (sekitar tahun 1950-an). Integritasnya pada kesusasteraan kemudian membuatnya mendapatkan beasiswa dari Sticusa (Stichting Culturele Samunwerking, sebuah lembaga kebudayaan Indonesia Belanda) untuk bekerja di Nederland. Beasiswa ini hanya dijalaninya selama enam bulan dari rencana satu tahun. Ternyata kondisi keluarga yang dibangunnya mulai memburuk di tahun kelima perkawinan mereka, akhirnya Pramoedya bercerai dan tidak berapa lama Pramoedya menikah lagi dengan gadis bernama Maimunah, anak H.A. Thamrin, saudara kandung nasionalis terkemuka Mohammad Husni Thamrin. Pramoedya menikah dalam situasi tanpa uang sedikitpun.
90
Meskipun begitu, dukungan teman-temannya cukup berarti. Rivai Apin, A.S. Dharta, Ajip Rosidi, adalah teman-temannya yang menghadiri pernikahan itu. Bahkan A.S. Dharta kemudian memberinya proyek penerjemahan novel Maxim Gorky berjudul Ibunda, untuk membantu menyelesaikan
persoalan
ekonomi
yang
berlarut-larut
menimpanya.
Sebelum itu, Pramoedya sempat menerbitkan novel Korupsi (1954) dan Midah Si Manis Bergigi Emas (1954). Pramoedya juga terlibat dalam penyusunan surat Kepercayaan Gelanggang. Ia juga aktif dalam berpolitik. Ia juga diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Golongan Fungsional Kementrian Putera (Pergerakan Tenaga Rakyat). Selain itu menjadi ketua “Discusi Club Simpati Sembilan”, sebuah kelompok diskusi yang antara lain mencetuskan “kembali ke UUD 1945”, pada tanggal 22-28 januari 1959. Pramoedya juga terpilih sebagai anggota pimpinan pleno dalam Kongres Nasional Lekra yang diadakan di Solo. Saat itulah secara resmi Pramoedya mulai dilibatkan dalam Lekra. Karena Lekra memiliki kedekatan dengan PKI, maka para aktivis, simpatisan dan siapapun yang diduga terlibat PKI banyak yang dipenjarakan sebelum kemudian dibawa ke Pulau Buru, begitu juga dengan Pramoedya. Selama Pramoedya diasingkan di Pulau Buru, semangat menulisnya tidak menjadi luntur. Bahkan dari Pulau Buru inilah lahir karya masterpiece Pramoedya. Empat buah buku yang disusun sebagai tetralogi Karya Buru berhasil ditulisnya, begitu juga dengan roman Arus Balik.
91
Pada hari Minggu pagi 30 April 2006 di Utan Kayu, Jakarta Timur, Pramoedya meninggal dunia karena penyakit infeksi paru-paru dan komplikasi diabetes. Dua hal penting sepeninggal Pramoedya Ananta Toer adalah warisannya untuk dunia dan perlakuan bangsa Indonesia terhadap warisan itu. Warisan Pram terbesar adalah rasa cinta mendalam dari berbagai bangsa pada sebuah negeri bernama Indonesia, sedangkan perlakuan yang paling diharapkan adalah bagaimana warisan itu dapat diterima dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya. B.
HASIL KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
1. Tulisan-tulisan semasa di SD, satu di antaranya pernah ditwarkan pada penerbit Tan Koen Swie, Kediri, ditolak. Semua hilang. 2. Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan Balingka, Pasar Baru, Jakarta. 3. Kranji – Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi. 4. Perburuan (1950). Pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, (1949). 5. Keluarga Gerilya (1950). 6. Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen. 7. Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen. 8. Mereka yang Dilumpuhkan I dan II (1951). 9. Bukan Pasarmalam (1951). 10. Di Tepi Kali Bekasi (1951), sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947. 11. Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen. 12. Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta (1953).
92
13. Gulat di Jakarta (1953). 14. Midah Si Manis Bergigi Emas (1954). 15. Korupsi (1954). 16. Cerita Calon Arang (1957). 17. Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958) 18. Panggil Aku Kartini Saja I dan II (1963), III dan IV dibakar Angkatan Darat, 13 Oktober 1965. 19. Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media, dibakar Angkatan Darat, 13 Oktober 1965. 20. Wanita Sebelum Kartini, dibakar angkatan Darat 13 Oktober 1965. 21. Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita, bagian pertama trilogi tentang keluarga penulis. Terbit sebagai buku (1987), dilarang Jaksa Agung. Jilid II dan III dibakar Angkatan Darat, 13 Oktober 1965. 22. Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964). Dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965. 23. Mari Mengarang (1955), tidak jelas nasibnya di tangan penerbit Jalan Kramat Raya, Jakarta. 24. Cerita dari Jakarta (1957). 25. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963). 26. Lentera (1965), kumpulan tulisan yang pernah diumumkan oleh Lentera. Tidak jelas nasibnya di tangan penerbit di Jalan Pecenongan, Jakarta. Semua karyanya dilarang oleh Kementrian PPK/ PDK, 1966. 27. Bumi Manusia (1980), bagian pertama tetralogi Buru. Dilarang Jaksa Agung, 1981.
93
28. Anak Semua Bangsa (1981), bagian kedua tetralogi Buru. Dilarang Jaksa Agung 1981. 29. Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981). 30. Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia. 31. Jejak Langkah (1985), bagian ketiga tetralogi Buru. Dilarang Jaksa Agung, 1985. 32. Hikayat Siti Mariah, (ed.) Haji Mukti (1987). Dilarang Jaksa Agung, 1987. 33. Rumah Kaca (1988), bagian keempat tetralogi Buru. Dilarang Jaksa Agung, 1988. 34. Sang Pemula (1985). Dilarang Jaksa Agung, 1985. 35. Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat (1995). Dilarang Jakasa Agung, 1995. 36. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995). Dilarang Jaksa Agung, 1995. 37. Arus Balik (1995). 38. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997). 39. Arok Dedes (1999). 40. Mangir (2000). 41. Larasati (Ara) (2000).
C. DAFTAR PENGHARGAAN 1988
Freedom to Write Award dari PEN American Center, Amerika Serikat.
1989
Anugerah dari The Fund for Free Expression, New York, Amerika Serikat.
94
1995
Wertheim Award, “for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people” dari The Wertheim Foundation, Leiden Belanda. 1995
Ramon Magsaysay Award, “for Journalism, Literature, and
Creative Arts, in recognition of his illuminating with brilliant stories the historical awakening, and modern experience of the Indonesian people”, dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina. 1996
UNESCO Madanjeet Singh Prize, “in recognition of his
outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence” dari UNESCO, Paris, Perancis. 1999
Doctor of Humane Letters, “in recognition of his remarkable
imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom”, dari University of Michigan, Madison, Amerika Serikat. 1999
Chanceller’s Distinguished Honor Award, “for his outstanding
literary achievements and for his contributions to etnic tolerance and global understanding”, dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat. 1999
Chevalier de l’Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la
Culture et de la Communication Republique Francaise, Paris, Perancis. 2000
New York Foundation for the Arts Award, New York, Amerika Serikat.
2000
Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.
Lain-lain 1978
Anggota Nederland Center, ketika itu masih di Pulau Buru.
95
1982
Anggota kehormatan seumur hidup dari International P.E.N.
Australia Center, Australia. 1982
Anggota kehormatan P.E.N. Center, Swedia.
1987
Anggota kehormatan P.E.N. American Center, USA.
1988
Deutschsweizerches P.E.N. member, Zentrum, Switzerland.
1992
International P.E.N. English Center, Great Britain.
1999
International P.E.N. Award Association of Writers Zentrum, Deutchland.