http://contoh.in
KAJIAN SEMIOTIK DALAM KARYA SASTRA ROMAN
BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
OLEH: Mochammad Ilcham Mohamad Sahril Ninin Herlina
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
1
http://contoh.in
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada sekalian makhluk. Selanjutnya Shalawat dan salam turut penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan perjuangan dan kasih sayangnya membawa umat manusia menuju kehidupan yang memiliki peradaban. Penulis memanjatkan syukur yang sedalamnya karena telah menyelesaikm makalah sederhana tentang suatu kajian budaya yakni merupakan bagian dari beragam pendekatan dalam penelitian sastra. Penulis memandang penting untuk mengkaji pendekatan penelitian sastra guna pengembangan dan pemaknaan yang lebih sistematis terhadap sebuah karya sastra. Dalam hal ini pendekatan penelitian sastra yang digunakan adalah pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik ini digunakan dalam menganalisis konsep sastra dalam sebuah Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Namun, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan baik dalam penyajian teori bahkan dalam pemaparan analisis yang masih kurang mendalam. Sehingga penulis berharap adanya sumbangan pemikiran atau tanggapan yang bersifat konstruktif demi kelengkapan dan kedalaman kajian selanjuntya. Demikian kami sampaikan ucapan terima kasih kepada dosen Pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam menemukan konsep kajian dalam penelitian sastra serta kepada teman-teman dan pembaca sekalian.
Jakarta, 13 Desember 2011 Penulis
2
http://contoh.in
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
i
DAFTAR ISI.........................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................
1
A..................................................................................................... Latar Belakang Kajian ...................................................................................
1
B. .................................................................................................... Fokus Kajian………………………………………………………… ...........
2
C. .................................................................................................... Manfaat Kajian ...................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................
3
A..................................................................................................... Kajian Teori .....................................................................................................
3
1. ............................................................................................... Hakikat Semiotika........................................................................................
3
2. ............................................................................................... Pemikir an dan Konsep Semiotika ...............................................................
3
3. ............................................................................................... Semioti ka dalam Sastra...............................................................................
7
B. .................................................................................................... Analisis Semiotik dalam Novel Bumi Manusia .................................................
7
1. ............................................................................................... Biografi Pengarang ....................................................................................... 3
7
http://contoh.in
2. ............................................................................................... Sinopsi s Novel Bumi Manusia ...................................................................
11
3. ............................................................................................... Aplikas i Semiotik ‘Ketidaklangsungan Ekspresi’ dalam Novel Bumi Manusia BAB II PENUTUP................................................................................................
12 16
A. ............................................................................................. Kesimp ulan................................................................................................
16
B. ............................................................................................. Saran Daftar Pustaka Lampiran
4
16
http://contoh.in
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kajian Proses kajian sastra memiliki peran penting dalam kehidupan kebahasaan serta dalam upaya pencarian makna yang lebih dalam tentang sebuah karya sastra. Dalam hal ini dikenal beberapa macam pendekatan sastra. Adapun pendekatan sastra disini adalah teknik yang mengarah pada upaya untuk memperngaruhi emosi dan perasaan pembaca. Sastra sebagai karya imajinatif yang mempergunakan bahasa memiliki perbedaan dengan karya-karya kebahasaan lainnya yang lebih mementingkan fungsi referensi bahasa berupa penyampaian pesan. Sebaliknya karya sastra mementingkan fungsi estetik bahasa sebagai sarana ekspresinya. Dalam karya sastra pengarang berusaha mendapatkan efek dari penggunaan bahasanya itu, berupa keterkesanan dan keterpesonaan pembaca, disamping diterimanya nilai-nilai tertentu yang biasanya bernilai pendidikan oleh pembaca tanpa disadari. Karya sastra selalu mendapat tanggapan dan pemaknaan yang beraneka ragam dari pembacanya dan tidak selalu tepat dengan pemaknaan yang dimaksud penulis sastra itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan perbedaan zaman, pengalaman, kemampuan, pemahaman, dan situasi pembacanya. Dengan kata lain perbedaan pemaknaan tersebut terjadi karena horizon harapan pembaca yang berbeda, sehingga timbul bermacammacam penafsiran terhadap teks sastra tersebut. Dalam kaitannya dengan pembahasan di atas, Hirsch dalam Djoko Pradopo membedakan arti dan makna. Menurutnya, arti yang diberikan oleh pembaca terhadap teks adalah makna (signifikansi), ia berubah sesuai dengan horizon harapan pembaca teks sastra tersebut. Arti yang diberikan pengarang bersifat tetap dan tidak berubah, disebut arti (meaning).1 Dengan demikian muncul masalah manakah yang harus dipegang? Arti yang diberikan pengarang atau makna yang diberikan pembaca?. Berdasarkan subjektifitas yang berkemungkinan muncul dalam penafsiran karya sastra, 1
Rachmat Djoko Paradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 40
5
http://contoh.in
maka pembatasan yang lebih relevan adalah memahami beragam pendekatan analisis yang ada sebagai upaya menganalisis sebuah karya sastra secara lebih sistematis dan menyamai alur makna yang dimaksud penulis itu sendiri. Dengan demikian mengenal salah satu pendekatan kajian sastra dalam makalah ini adalah suatu keharusan guna memahami konsep kerkaryaan yang lebih utuh. Selanjutnya, pendekatan yang menjadi bahasan dalam makalah ini adalah pendekatan semiotik, yakni suatu kajian tentang tanda, makna dan arti. Semiotik sebagai ilmu tentang tanda lahir pada awal abad 20. Teori dan metode semiotik tidak dapat dipisahkan dari teori strukturalisme karena ia merupakan kelanjutannya. B. Fokus Kajian Berdasarkan latar belakang kajian, maka sekiranya penting menentukan fokus kajian, mengingat aka nada banyak criteria kajian yang menarik untuk dibahas. Dalam hal ini penulis menentukan fokus kajian yakni dalam menganalisis “Bagaimana memahami konsep kajian Novel Bumi Manusia dengan menggunakan pendekatan semiotik?’. C. Manfaat Kajian Secara sederhana kajian sastra dalam pendekatan semiotik memiliki manfaat yang cukup signifikan terhadap proses pemaknaan sebuah karya sastra. Dalam hal ini penulis berusaha mengungkapkan bahwa pendekatan semiotik ini memiliki potensi dalam penganalisisan dan penginterpretasian sebuah novel yang sarat unsur pendidikan dan budaya. Seperti halnya dalam novel Bumi Manusia yang memunculkan banyak tafsiran dan pemaknaan model kehidupan yang holistik.
6
http://contoh.in
BAB II PEMBAHASAN A. Kajian Teori 1. Hakikat Semiotika Banyak definisi dan pengertian yang diberikan para ahli terhadap semiotik, Mansur Pateda menuliskan bahwa semiotik adalah teoeri tentang sistem tanda. Nama lain semitiok adalah semiologi dari bahasa Yunani semeion yang bermakna tanda, mirip dengan istilah semiotik.2 Alex Sobur menganggap semiotik sebagai suatu model ilmu social yang memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut tanda.3 Semiotik sebagaimana disimpulkan oleh Burhan adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tand adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain.4 Perintis awal semiotik adalah Plato (428-348 SM), ia memeriksa asal-muasal bahasa dalam bukunya Cratylus, juga Aristoteles yang mencermati kata benda dalam bukunya Poetics dan On Interpretation. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa sejak awal telah disadari bahwa sistem penandaan memiliki pengaruh yang besar, bahkan sejak dulu tanda menjadi sumber perdebatan. Meskipun konsen terhadap sistem tanda-tanda yang ada di sekitar manusia telah ada sejak lama, tetapi dasar penelusuran tentang tanda baru diletakkan pada abad pertengahan dalam ajaran St. Augustinus (345-430 M).5 2. Pemikiran dan Konsep Semiotika Disamping tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, dalam kajian semiotik tentu kita tidak terlepas dari teori Saurrese. Kajian semiotik adalah pengenalan atas tandatanda yang terdapat pada unsure atau bagian dari kebudayaan. Saussure (1915) 2
Mansur Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rioneka Cipta, 2001), hal. 28 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hal. 87 4 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998), hal. 40 5 Paul Cobley, Semiotika for Beginners, (Bandung: MIzan, 2002)., hal. 6 3
7
http://contoh.in
menyebutkan bahwa tanda terdiri atas dua muka yang tak terpisahkan, yakni signifiant dan signifié. Untuk memahami semiotik dalam kebudayaan, Barthes dalam bukunya yang terkenal Mythologies (1957) telah mendefinisikan. Ia bertolak dari teori Saussure yang melihat semua gejala dalam kebudayaan sebagai tanda yang terdiri atas significant (penanda), yaitu gejala yang tercerap secara mental oleh manusia sebagai “citra akustik”, dan signifié (petanda), yaitu makna atau konsep yang ditangkap dari signifiant tersebut. Dalam kebudayaan Prancis, Barthes menggambarkan pemahaman significant pada signifié-nya sebagai suatu proses dua tahap. Karena significant adalah gejala yang selain diperhatikan oleh kognisi manusia juga diproduksi, maka ditinjau dari pemroduksi tanda, significant disebutnya expression (E) (ekspresi, pengungkapan), signifié sebagai contenu (isi atau konsep). Menurut Barthes, hubungan (R) antara E dan C terjadi terjadi pada manusia dalam lebih dari satu tahap. Tahap pertama adalah dasar (primer) yang terjadi pada saat tanda dipahami untuk pertama kalinya, yang kemudian diklasifikasikan dengan R1 antara E1 dan C1. Namun pemaknaan tanda tidak pernah terjadi hanya pada pemaknaan primer. Prosesnya akan berlanjut dengan pengembangannya pada system sekunder, yakni R2 antara E2 dan C2. Sistem sekunder adalah lanjutan yang mengembangkan baik system E maupun C. Aliran yang lain dalam semiotik juga dikemukakan Charles Sanders Peirce. Ia beranggapan bahwa jagat raya terdiri atas tanda-tanda. Ini merupakan pandangan pansemiotok tentang jagat raya kita. Peirce melihat tanda bukan sebagai sebuah struktur, namun berupa suatu pemaknaan “tiga tahap”. Model Peirce adalah suatu model triadic. Manusia membari makna pada tanda melalui sebuah proses pemaknaan tanda yang disebutnya semiosis. Semiosis merupakan suatu proses “tiga tahap”, yakni: Tahap 1:
pencerapan representamen (R), yaitu ‘wajah luar’ tanda yang berkaitan dengan manusia secara langsung (ini sering disamakan dengan pengertian ‘tanda’) 8
http://contoh.in
Tahap 2:
perujukan representamen pada obyek (O), yakni yang merupakan konsep yang dikenal oleh pemakai tanda berkaitan dengan representamen tersebut.
Tahap 3:
penafsiran lanjut oleh pemakai tanda, yang disebut interpretan (I) setelah representamen dikaitkan dengan objek.
Beberapa contoh yang bisa dikemukakan terhadap teori tersebut dalam penafsiran ‘setengah jalan’. Contoh 1:
cahaya yang kita lihat menyembur di ufuk timur ketika pagi hari (R) dipresepsikan dan dirujuk pada suatu peristiwa terbitnya matahari (O).
Contoh 2:
kata badik yang dituliskan dalam sebuah cerita (R) dipresepsikan dan dirujuk pada sesuatu yang berkaitan dengan suku Bugis, Makassar atau suku lain di Sulawesi Selatan.
Contoh 3:
lampu hijau pada rambu-rambu lalu lintas (R) kita rujuk makna/konsep ‘jalan terus’ (O)
Ketiga contoh tersebut merupakan proses semiosis setengah jalan (R
O).
Contoh 1 memperlihatkan R yang berkaitan langsung dengan atau bagian dari O (cahaya dengan matahari), yang disebut indeks. Contoh 2 memperlihatkan R yang mewakili identitas O (Bandik dengn suku Bugis, Makassar dan suku-suku di Sulawesi Selatan), yang disebut ikon. Contoh 3 memperlihatkan R yang perujukkannya pada O bersifat konvensional (disepakati oleh masyarakat). Lampu rambu lalu lintas berwarnah hijau (R) memiliki O yang disepakati, yakni ‘jalan terus’ atau dipersilahkan, yang disebut lambang. Proses dari ketiga contoh di atas masih ‘separuh jalan’ karena sebenarnya masih akan berlanjut pada proses penafsiran yang disebut interpretan. Seperti pada contoh 1 penafsiran yang mungkin adalah misalnya (ada cahaya) menyembur di bagian timur Jakarta berkokok masing-masing,
mungkin daerah Rawamangun
para penduduk terbangun dan menyibukkan diri dengan aktifitasnya kenderaan mulai lalu lalang di jalanan
berangkat ke sekolah, dan seterusnya. 9
ayam
anak-anak mulai
http://contoh.in
Contoh 2 (badik) interpretan yang mungkin adalah alat bukti yang didapatkan polisi pada sebuah peristiwa pembunuhan
yang berlatarbelakang dendam lama
kejadian terjadi di sebuah terminal bus di Makassar, dan seterusnya. Contoh 3 (lampu hijau) dapat ditafsirkan waktunya jalan terus justeru akan melanggar
alau tidak jalan
atau sebuah kesempatan bagi seseorang untuk mendapatkan
sesuatu. Sementara teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda haruslah mengacu/mewakili sesuatu yang yang disebut obyek/acuan (denotatum/referent). Tanda tersebut harus ditangkap dan dipahami dalam perespektif kesaling hubungan antara tanda itu sendiri, ground atau sebuah tata acuan atau konvensi yang mendasari pemahaman tanda, denotatum yaitu suatu kelas dari acuan yang ditunjuknya,6 dan pemahaman makna yang timbul dalam kognisi lewat interpretasi yang disebut interpretant.7 Pierce membedakan hubungan antara tanda dengan acuannya dalam tiga jenis hubungan yaitu: (1) ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan. Foto, peta geografis, penyebutan atan penempatan di bagian awal atau depan (sebagai tanda bahwa sesuatu itu dipentingkan) merupakan contoh ikon, (2) indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan eksistensi, misalnya asap hitam sebagai pertanda adanya kebakaran, wajah muram sebagai tanda hati yang gundah dan sedih, dan (3) symbol, jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi, mislanya morse dari bahasa.8 Selanjutnya menurut Eco ketika seseorang menuturkan kata (image) maka ia terlibat dalam sebuah proses produksi tanda, ia mempekerjakan tanda-tanda (memilih, menyeleksi, menata, dan mengkombinasikan dengan cara dan aturan main tertentu).9
6
Uki Sukiman, Ikonitas dalam Novel Hamamah Salam Karya Najib al-Kailani dalam Jurnal Adabiyat vol. 1. No. 2, Maret 2003 (Yogyakarta: Jurusan BSA Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 114 7 Nurgiyantoro, Op. Cit, hal. 41 8 Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, UI: Depok, 2004), hal. 17 9 Alex Sabour, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003), hal. xiv
10
http://contoh.in
3. Semiotika dalam Sastra Karya Sastra memiliki watak otonom dan komunikatif, dengan demikian karya sastra dapat ditinjau dalam ancangan semiotik secara structural (signifikansi) dan komunikatif (ekstrinsik). Secara otonom pengkajian sastra dapat menggunakan pokokpokok pikiran Charles Morris (1971), menurutnya ada empat macam yang dikaji secara semiotik: (1) hubungan antar lambing, (2) penafsiran lambing, (3) maksud lambing, (4) cara pemakaian lambang.10 Pengkajian semiotika secara otonom cukup menggunakan pokok-pokok pikiran Morris. Tetapi secara komunikatif itu tidak cukup, hal ini disebabkan bahwa setiap tanda tentu memiliki tataran kebahasaan dan tataran mitis. Sudah barang tentu untuk pengkajian sastra kita harus menghubungkannya dengan sesuatu tanda yang ada di luar konteksnya, misalnya latar sejarah atau faktor-faktor ekstern lainnya.11 Sesungguhnya pembaca dalam tataran semiotiok akan mengalami transfer semiotik dari tanda yang satu ke tanda yang lain, karena pembaca berkedudukan sebagai subyek/obeyk. Sebagai subyek pembaca adalah pemberi makna, perebut amanant dan pemberi nilai terhadap karya sastra yang ditelaahnya. Sebaliknya sebagai obyek pembaca selalu terkena bermacam pengaruh dan kekuatan social budaya yang melingkupinya. B. Analisis Semiotik dalam Novel Bumi Manusia 1. Biografi Pengarang Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya ialah guru dan ibunya ialah pedagang nasi. Ia meneruskan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku 10 11
Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, (Bandung: Angkasa, 1993), hal. 20 Ibid, hal. 22
11
http://contoh.in
sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembalinya ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di China. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Chinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau-pulau di sebeluah timur Indonesia. Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 Oktober 1965 - Juli 1969, Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru, November - 21 Desember 1979 di Magelang. Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanaya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalamannya sendiri. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
12
http://contoh.in
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsasay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsasay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsasay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan hadiah Magsasay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman demokrasi terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya. Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu 13
http://contoh.in
tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memenangkan hadiah dari Universitas Michigan. Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan sedang dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail 14
http://contoh.in
Marzuki diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. 2. Sinopsis Novel Bumi Manusia Roman ‘Bumi Manusia’ sesungguhnya roman sejarah yang menggambarkan perlawanan. Perlawanan kaum pribumi terdidik terhadap penjajah, dan kaum pribumi sendiri yang mempunyai kekuasaan: para kaum priyai.
Perlawanan tersebut
ditunjukkan oleh tokoh perempuan, Nyai Ontosoroh yang didukung oleh tokoh utama, Mingke, pada beberapa peristiwa yang digambarkan dalam cerita, terutama terhadap suaminya sendiri yang notabene adalah seorang Belanda, pejabat VOC. Mingke sendiri adalah anak seorang bupati, yang mendapat kesempatan bersekolah di sekolah Belanda, sekolah HBS di Surabaya. Dengan pendidikan yang ia dapatkan, perilaku dan gaya berpikirnya pun ikut kebarat-baratan. Selain kepada suaminya,
Nyai
Ontosoro
juga
melawan
orangtuanya,
yang
telah
tega
mempersembahkan dirinya kepada seorang pejabat VOC (suaminya) untuk menjadi gundik. Dalam situasi tersebut, sang Nyai berlaku keras memutuskan tali silaturahmi dengan kedua orangtuanya. Ia tak mengakui lagi kedua orangtuanya. Sementara Mingke, juga diam-diam melawan tradisi Jawa yang ia anggap tidak memanusiakan manusia. Menciptakan kelas sosial, dan cenderung merendahkan martabat perempuan. Keduanya terlibat dalam sebuah perjuangan, setelah Mingke resmi menikah dengan putri Nyai Ontosoroh, Annelies. Perjuangan mereka dimulai setelah suami Nyai Ontosoroh, Tuan Herman Mellema, meniggal dunia dalam kondisi mengenaskan di sebuah rumah bordir milik baba Ahong, yang juga adalah tetangga mereka sendiri. Insinyur Maurits Mellema yang merupakan anak Herman Mellema dengan isteri pertamanya di Nederland tiba-tiba kembali menghantui keluarga Nyai Otosoroh.
15
http://contoh.in
Sebagai anak pertama dari isteri pertama, ia keberatan dan menggugat. Ia menginginkan semua harta benda ayahnya sebagai warisan yang hanya untuknya. Mauritus berkeras karena ia adalah anak sah tuan Mellema dari hubungan yang sah pula. Bukan seperti kedua saudara tirinya, yang lahir dari hubungan suami isteri yang tiak sah menurut negara dan agama. Gugatan yang dilayangkan Mauritus melalui pengadilan putih ketika itu bukan hanya berbuntut pada harta warisan, tapi juga menghendaki Annalies untuk dibawah ke Nederland. Perlawanan atas gugatan Mauritus tersebut disambut hangat oleh media cetak. Sebagai seorang siswa HBS yang tulisannya sudah menghiasi halaman-halaman koran, Mingke menggunakan tulisan-tulisannya sebagai alat perjuangan, untuk mempropaganda. Dalam tulisan-tulisannya, Minke mencoba membangun opini publik bahwa perjuangan mereka melawan Mauritus di pengadilan, bukan hanya perjuangan perebutan harta gono-gini dalam sebuah keluarga, tapi juga adalah sebuah perlawanan atas kuasa bangsa penjajah. Perjuangan yang penuh suka cita itu tak berbuntut baik. Orang-orang yang bersimpati untuk membantu Nyai Ontosoroh dan Mingke tak mampu berbuat banyak. Akhirnya, pengadilan putih memutuskan kemenangan Mauritus sebagai penggugat. Ia menguasai semua harta ayahnya dan membawa adik tirinya, Annalies ke Nederland. Berikut ini adalah dialog terakhir antara Mingke dan ibu mertuanya. “Kita kala, Ma,” “Kita telah melawan Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” 3. Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Novel Bumi Manusia Dalam kajian semiotik Novel BM banyak terdapat ungkapan-ungkapan yang secara tidak langsung dinyatakan. Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan suatu sistem tanda yang menunjukkan sistem budaya pada saat itu. Sehingga, beragam kata yang ditemukan dalam novel tersebut merupakan kekhasan bahasa Pramoedya dan juga suatu model ungkapan yang memunculkan banyak makna, dengan demikian semakin jelas dimana posisi semiotic memiliki peranan penting dalam menginterpretasikan 16
http://contoh.in
tanda-tanda atau ungkapan-ungkapan yang dinyatakan secara tidak langsung, bahkan melalui symbol-simbol kehidupan sekalipun. Selanjutnya, dalam menganalisis unsur semiotik dalam suatu karya sastra, maka juga perlu adanya penafsiran dari setiap kata atau dikenal dengan istilah Heuristik, atau disebut semiotik tingkat pertama, dan juga penafsiran secara totalitas yakni dikenal dengan istilah Hermeunitik, atau disebut juga dengan semiotic tingkat kedua. Adapun contoh pengenalan kedua unsure semiotic tersebut adalah sebagai berikut: 1. Nyai Secara heuristik (semiotik tingkat pertama), kata ‘Nyai’ sudah dapat diinterpretasikan sebagai simbol ketercelaan dalam masyarakat Jawa yang dilekatkan pada perempuan simpanan, atau mereka yang dijadikan gundik bagi kaum priyai atau oleh petinggi VOC. Tanda atau simbol tersebut hidup di masyarakat Jawa pada zaman kolonial. Secara hermeunitik (semiotic tingkat kedua), kita dapat menafsirkan keberadaan ‘Nyai’ tersebut menunjukkan tanda kehidupan perempuan pribumi yang dipandang rendah oleh bangsawan kolonial, sehingga tahapan pemaknaan secara totalitas melekat pada Nyai Ontosoroh sebagai perempuan pribumi yang menjadi gundik pada masa kolonial. Nyai Ontosoroh merupakan mertua Mingke, tokoh utama dalam roman ‘Bumi Manusia’. 2. Pada jam lima sore Surabaya telah ada di bawah roda kereta. Tahapan proses pemaknaan semiotiknya adalah: Telah ada di bawah roda kereta (Representamen), yang menjelaskan tempat (Objek) yaitu Surabaya. Sehingga analisis semiotik menunjukkan bahwa pemaknaan akan keberadaan kereta di suatu tempat atu daerah. Disamping itu, jelas juga tergambarkan model pengungkapan yang secara tidak langsung mencirikan karakter perbedaan atau status budaya dalam tafsiran Pramoedya, antara lain sebagai berikut: 1. Produk Jawa yang dibesarkan di Eropa 17
http://contoh.in
Seorang Minke yang merupakan keturunan Jawa digambarkan oleh Pramoedya sebagai pribumi yang berilmu pengetahuan Eropa, dimana pada akhirnya dialah yang dihadapkan pada dua hasil bandingan baik atau buruk budaya Jawa dan Eropa. Ini dapat dilihat pada: “Ilmu dan pengetahuan, yang kudapatkan dari sekolah dan kusaksikan sendiri pernyataannya dalam hidup, telah membikin pribadiku menjadi agak berbeda dari sebangsaku pada umumnya. Menyalahi wujudku sebagai orang Jawa atau tidak aku pun tidak tahu…(hal. 2)” Juga pada: “Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa pula. Hanya mengapa justru bukan orang Jawa yang membikin aku jadi begini gagah ? dan ganteng ? mengapa orang Eropa ?......(hal. 128)”. Hal yang sama juga terjadi pada Nyai Ontosoroh yang dalam hal ini adalah seorang pribumi namun karena menjadi gundik Herman Mellema, maka secara tidak langsung budaya Eropa tertanam dalam dirinya, terlihat ketika dia membiarkan putrinya tidur sekamar dengan lelaki yang bukan suaminya (Minke) meski dalam budaya Jawa hal itu tidak diperkenankan. 2. “Malu” hanya milik orang Jawa dengan segala kerendahannya “Jangan sekali-kali bicara soal malu tentang Eropa. Mereka hanya tahu mencapai maksud-maksudnya. Jangan kau lupa, Nak, Nyo”(hal 330) Penggalan tersebut menunjukkan bagaimana Eropa yang tidak pernah tahu malu, berbeda dengan orang Jawa yang selalu memegang teguh kehormatannya meski untuk melindungi kehormatannya itu mereka selalu merendah, pasrah dan tak jarang melatah. Ini karena rasa malu yang dimiliki oleh orang Jawa, takut seandainya pandangan orang lain atas dirinya jatuh. 3. Ilmu pengetahuan dan hukum Eropa yang buta “Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Dongengan leluhur sampai pada malu tersipu. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang di seberang lautan…(hal. 316)” 18
http://contoh.in
Ilmu pengetahuanlah sebenarnya yang membuat Eropa begitu kuat dan berkuasa, sedang orang jawa yang selamanya selalu hanya menunggu hasil cipta bangsa Eropa masih terlihat kebudak-budakan, seperti di bawah ini : “Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting…(hal 143)”. Sedangkan untuk hukum yang mengatur dan mengikat, seakan tidak ada nurani dalam hukum itu sendiri. Apa yang telah diputuskan maka itulah yang harus dijalankan. “Dengan akan dilaksanakannya perampasan terhadap istriku daripadaku sesuai dengan keputusan Pengadilan, bertanyalah aku pada nurani Eropa: Adakah perbudakan terkutuk ini akan dihidupkan kembali ? ………(hal.336)”. Sampai pada akhirnya Minke harus kehilangan seorang istri yang telah dinikahi secara syah, dan kalah pada keputusan pengadilan yang mencoba menginventariskan manusia. Dari beberapa uraian diatas tergambar jelas bagaimana seorang Minke dalam menghadapi dua budaya sesungguhnya dia lebih menerima cara pandang Eropa yang terbuka untuk maju daripada cara pandang orang Jawa yang selalu merendah, sedangkan untuk hukum, dia lebih menerima hukum jawa yang didasarkan pada etika dan nilai kemanusiaan daripada hukum Eropa yang buta. Semua bahasa atau ungkapanungkapan yang dimunculkan menunjukkan polemik tanda kehidupan yang sarat dilemma. Unsure-unsur ketidaklangsungan ekspresi dalam roman tersebut menjadi cirri penulis dalam menawarkan makna kehidupan melalui tanda-tanda budaya yang melekat pada saat itu, sehingga kekhasan pengungkapan menjadi milik sepenuhnya pengarang dan pembaca juga merupakan subyek utuh dalam menafsirkan makna tanda dengan senantiasa memahami latar belakang serta alur kehidupan pada masa itu. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi akan turut dipahami pembaca melalui kedalaman berfikir dan memperhatikan pengaruh-pengaruh ekspresi secara menyeluruh.
19
http://contoh.in
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Karya sastra adalah cermin kehidupan sosial. Ia merupakan kristalisasi nilai dan pengalaman hidup. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah kenyataan budaya. Kehidupan mencakup hubungan antar manusia, hubungan antar masyarakat, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin manusia. Paparan tersebut menunjukkan bahwa karya sastra tidak berangkat dari ketiadaan budaya. Kode budaya dalam sastra memberi pengertian bahwa karya sastra merupakan wujud hasil budaya yang di dalamnya jelas terepresentasikan nilai-nilai budaya masyarakat. Seperti yang ditunjukkan Pramoedya dalam novel bumi manusia ini, budaya barat yang berkembang dengan cepat dihadapkan pada budaya timur khususnya budaya Jawa. Pentingnya mnganalisis makna dalam sebuah karya sastra menjadi keharusan manakala pembaca ingin memahami secara mendalam keindahan dan unsure etik dalam suatu karya sastra, sehingga beragam pendekatan yang ada merupakan jalan yang tepat digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra. Semiotik adalah salah satu pendekatan yang kerap digunakan dalam menganalisis karya sastra dengan tinjauan dan pemberian makna terhadap beragam tanda yang muncul.
B. Saran Dalam kajian sastra ini, penulis memaparkan konsep pendekatan semiotik yang cukup sederhana bila ditinjau dari konsep analisis yang sebenarnya, dalam arti penulis masih menginterpretasikan kedalaman pendekatan semiotik dengan singkat, dengan demikian penulis berharap adanya kelayakan dan tinjauan yang lebih dalam terhadap
20
http://contoh.in
proses aplikasi dan telaah sebuah sastra dalam pendekatan semiotik demi kelengkapan dan pengembangan pengetahuan selanjutnya.
Lampiran: Berikut beberapa kutipan dalam Novel ‘Bumi Manusia’ yang Dianalisis secara Semiotik No. Uraian dalam Cerita 1
2
3
4
5.
Analisis Semiotik
Memang keluarga teka-teki, setiap orang menduduki peran dalam sandiwara seram. (hal. 68)
Sandiwara seram yang dimaksud adalah ketidakpastian pada setiap anggota keluarga Mellema atas statusnya masing-masing, sehingga menimbulkan misteri atas apa yang akan terjadi berikutnya. ..., rasanya lebih dari pada Daya sihirnya mencekam bermaksud menggambarkan bagaimana pengaruh Nyai kepada ibuku sendiri, dan kembali kurasai daya sihirnya Ontosoroh kepada Mingke begitu luar biasa mencekam. (hal. 70) seakan membuat Mingke untuk selalu saja berbuat apa yang Nyai mau. “Mengapa kalian pada diam Sepasang anak kucing kehujanan adalah seperti sepasang anak kucing bentuk perumpamaan untuk dua orang yang kehujanan?” (hal. 71) diam membisu tiada kata yang mengalir dari lisan masing-masing seakan-akan terdiam karena kedinginan. “...ayahmu menjadi rusak Ia berubah menjadi hewan yang tak kenal anak binasa karena kejadian yang dan istri lagi merupakan sebuah simbol yang satu itu. Ia berubah jadi hewan menggambarkan bagaimana perilaku tokoh yang tak kenal anak dan istri Tuan Mellema (ayah Annalies) yang tidak lagi lagi.” (hal. 78) bersopan santun dan berbudi baik sebagaimana yanng dikenal oleh istri dan anaknya terdahulu. ...Mereka telah buat aku jadi Sekalipun hanya sebagai Nyai adalah simbol Nyai begini maka aku harus jadi pengungkapan yang menggambarkan 21
http://contoh.in
Nyai, jadi budak belian...aku harus lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai Nyai. 6.
...Tak bisa begitu, aku seorang Raden Mas, tak bisa diperlakukan asal saja begini, aku punya Forum Privilegiatum . (hal. 125)
7.
“Jangan sentuh ini, siapa kasih kau hak membukanya? Tutur Mingke. “Memang sudah bukan Jawa lagi”. Sela Abang Mingke. “Apa guna jadi Jawa kalau hanya untuk dilanggar hak-haknya” sahut mingke. (hal. 139)
bagaimana konteks sosial masyarakat ketika itu sangat merendahkan derajat Nyai (gundik) yang tugas mereka ketika itu hanyalah sebagai pemuas nafsu para pemegang kekuasaan saja tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Forum Privilegiatum adalah sebuah forum sederajat di depan pengadilan dengan orang Eropa untuk bangsawan pribumi sampai seorang bergelar Raden Mas sampai ke anak cucu bupati. Ini menggambarkan konteks sosial yang sangat timpang antara seorang pribumi totok dengan oranng Eropa dan para banngsawan di depan hukum. Jawa pada dialog Mingke dan Abangnya adalah sebuah simbol adat dan adab mengenai bagaimana seharusnya seoranng Jawa (pribumi) bertindak, bersikap dan berbudi pekerti.
22
http://contoh.in
DAFTAR PUSTAKA
Christomy, Tommy, Semiotika Budaya, (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, UI: Depok, 2004)
Cobley, Paul, Semiotika for Beginners, (Bandung: Mizan, 2002) Djoko Pradopo, Rachmat Kritik Sastra Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gama Media, 2002) Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998) Pateda, Mansur, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rioneka Cipta, 2001), Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2003) ----------------, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001),
Uki Sukiman, Ikonitas dalam Novel Hamamah Salam Karya Najib al-Kailani dalam Jurnal Adabiyat vol. 1. No. 2, Maret 2003 (Yogyakarta: Jurusan BSA Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2003), hal. 114
23