Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Case Study : Analisis Kebijakan Kesehatan
Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum Dilihat dari Tahap-Tahap Proses Pembuatan Kebijakan
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2008
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
0
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Daftar Isi Hal. Daftar isi Kata Pengantar Problem Overview Hasil Analisis Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang B. Tujuan C. Manfaat Bab II Analisis Situasi Dampak Negatif Merokok terhadap Kesehatan Kebiasaan Merokok Sepak Terjang Industri Rokok di Bidang Lainnya Kondisi di Negara – negara Lain Bab III Kajian Akademik
Bab IV
1 2 3 4 4 4 5 5 6 6 6 10 11 13
Teori Kebijakan
13
Dasar Hukum
1
Pembahasan
17
Tahapan Pembuatan Kebijakan
17
Hambatan–hambatan
20
Kesimpulan
22
Saran
23
Daftar Pustaka
25
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
1
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Kata Pengantar
Assalamualaikum Wr. Wb. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan memudahkan proses belajar mengajar di Universitas Indonesia, khususnya untuk Topik Kebijakan Kesehatan, penulis membuat Seri Studi Kasus tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan. Studi kasus ini dikembangkan dari kegiatan belajar mengajar berbagai Mata Ajaran di tingkat Pascasarjana dan Sarjana tentang Kebijakan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Sebagai penanggung jawab Mata ajaran tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan di lingkungan FKM UI, penulis merasa perlu untuk menyusun Studi Kasus ini agar dapat merangsang kreativitas dan memberikan perspektif yang komprehensif dan luas sambil mengasah daya nalar yang kritis dari setiap mahasiswa dalam mempelajari berbagai aspek dalam pembuatan kebijakan publik di sektor kesehatan. Seluruh topik dan format, serta sebagian isi yang ada pada Seri Studi Kasus ini penulis susun sebagai penugasan pada mahasiswa untuk selanjutnya dielaborasi menjadi sebuah makalah ilmiah. Hasil dari penyusunan makalah ilmiah ini penulis sempurnakan menjadi Studi Kasus untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran topik Pembuatan Kebijakan Kesehatan terutama di lingkungan Universitas Indonesia. Adanya kelengkapan struktur Studi Kasus yang meliputi: Naskah Akademik & Draft Pasal Peraturan Perundangan yang diusulkan. Naskah Akademik memuat substansi: Pendahuluan, Tinjauan Masalah, Landasan Hukum, Materi Muatan, Penutup, Daftar Pustaka. Struktur ini diharapkan dapat membantu mahasiswa menyusun sebuah kebijakan berdasarkan masalah kesehatan masyarakat (Public Health problem-based) yang dilengkapi dengan sintesis & analisis, dikemas berdasarkan teori dan perspektif ilmiah dalam sebuah Naskah Akademik, dan kemudian diuraikan dalam konstruksi sebuah Draft Peraturan Perundangan. Kepustakaan utama yang digunakan dalam penyusunan Studi Kasus ini adalah Sistem Kesehatan, Wiku Adisasmito (2007), Making Health Policy, Kent Buse, et al (2006), The Health Care Policy Process, Carol Barker (1996), Health Policy, An Introduction to Process and Power, Gill Walt (1994), dan UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Dengan demikian diharapkan studi kasus ini dapat memberikan materi komplit yang diperlukan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar. Penulis ucapkan terima kasih kepada Sdr Abdul Barry, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKM UI Angkatan 2006/2007 yang telah membantu menyusun makalah yang kemudian makalah tersebut dimodivikasi oleh penulis sebagai studi kasus. Mohon maaf apabila ada kekurangan / kesalahan dalam penyusunan materi Studi Kasus ini. Kritik dan saran akan membantu penulis dalam upaya meningkatkan kualitas Studi Kasus ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan ridlo Illahi dalam menuntut ilmu agar bermanfaat. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Depok, 27 Februari 2008
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, PhD Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
2
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum Dilihat dari Tahap-Tahap Proses Pembuatan Kebijakan Oleh: Wiku Adisasmito dan Abdul Barry
Problem Overview: Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang dapat merugikan kesehatan baik si perokok itu sendiri maupun orang lain di sekelilingnya. Berbagai penelitian telah dilakukan dan memperkuat pernyataan tersebut, namun tetap saja kebiasaan merokok sukar berkurang. Yang patut disayangkan adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat perokok akan bahaya asap rokok yang mereka hembuskan terhadap orang-orang sekelilingnya yang tidak merokok, atau yang lazim disebut perokok pasif. Untuk itu seharusnya perlu campur tangan pemerintah untuk membatasi tempat untuk merokok. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemilik otoritas di Ibu Kota Negara sebenarnya telah mengatur tentang Kawasan Larangan Merokok melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.75 Tahun 2005. Namun dalam pelaksanaannya sejauh ini peraturan tersebut kurang berjalan dengan efektif, dilihat dari ketidakkonsistenan dan ketidaktegasan aparat Pemda DKI dalam menegakannya. Karena itu timbul pertanyaan di sebagian besar masyarakat mengenai keseriusan Pemda DKI untuk benar-benar memberlakukan kawasan larangan merokok ini. Apakah benar-benar dengan maksud yang sesungguhnya, yaitu mengurangi resiko penyakit yang dapat ditimbulkan oleh asap rokok bagi masyarakat yang tidak merokok? Atau peraturan ini hanyalah kebijakan populis di balik agenda politik dari pejabat tertentu?
Policy Question: 1. Apa Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah terkait dengan Merokok di DKI Jakarta? 2. Bagaimana content kebijakan tersebut dianalisis? 3. Apakah kebijakan tersebut sudah memenuhi aspek-aspek lingkungan strategis (IPOLEKSOSBUDHANKAM)?
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
3
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
A. P E N D A H U L U A N
1. L a t a r B e l a k a n g Beberapa kontributor utama terhadap terjadinya penyakit kronis, yang mulai menjadi masalah dalam transisi epidemiologi di Indonesia diantaranya adalah perilaku merokok dan pencemaran lingkungan. Lembaga WHO menganggap bahwa perilaku merokok telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting bagi seluruh dunia sejak lebih dari satu dekade yang lalu, sehingga perlu ditanggulangi menyeluruh. Sementara prevalensi dan konsumsi perokok di negara maju telah menurun sebagai hasil dari program penanggulangan yang komprehensif dan intensif, keadaan sebaliknya terjadi di negara sedang berkembang. Jika keadaaan ini tidak ditanggulangi dengan serius, dalam jangka panjang akan terjadi epidemi penyakit akibat merokok yang mahal biaya penanganannya di negara dunia ketiga. Upaya penanggulangan masalah merokok yang telah dilakukan lebih dari satu dasawarsa terakhir belum menunjukkan hasil dalam penurunan prevalensi perokok. Walaupun terkesan adanya kegiatan yang gencar dari berbagai LSM seperti Yayasan Jantung Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia, Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok bahkan berbagai seminar, brosur, iklan dan klinik berhenti merokok telah dilakukan. Demikian pula di bidang legislasi seperti tanda peringatan bahaya merokok dan berbagai instruksi menteri mengenai lingkungan kerja dan sekolah bebas asap rokok, efektifitasnya terlihat hanya bersifat marginal saja. Di sisi lain, industri rokok hingga kini telah menjadi penyumbang penting pendapatan negara di sektor pajak dan cukai serta menyerap tenaga kerja yang cukup banyak sehingga keadaan ini menciptakan suatu jalinan kepentingan yang kuat antara industri rokok dan negara dalam hal ini pemerintah. Lalu, bagaimana dengan PERDA No.75 Tahun 2005 yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI mengenai kawasan larangan merokok. Apakah kebijakan ini berbeda dari kebijakan publik yang sebelumnya mengenai larangan merokok? Apakah kebijakan ini dapat merubah prevalensi perokok di DKI dan mengurangi pencemaran udara Ibu Kota? Dapatkah PERDA ini menjadi pilot project yang dapat dijadikan undang-undang yang cukup efektif untuk menjawab permasalahan merokok dan pencemaran lingkungan di negara ini ataukah kebijakan yang diluncurkan tersebut sama “mandulnya” dengan berbagai kebijakan publik kesehatan lainnya yang telah dibuat oleh pemerintah mengenai larangan merokok selama ini. Beberapa pertanyaan tersebut telah menggugah penulis untuk menggali dan mengkaji lebih jauh mengenai kebijakan publik kesehatan yang diluncurkan pemerintah DKI sehubungan dengan dikeluarkannya PERDA mengenai kawasan larangan merokok. 2. T u j u a n Makalah ini bertujuan untuk melihat proses legislasi Perda No.75 tahun 2005 tentang Kawasan Larangan Merokok untuk menggali dan mengkaji lebih jauh keseriusan pemerintah provinsi DKI dalam menegakan peraturan larangan merokok di tempat umum.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
4
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Kajian dilakukan dengan menelaah teori kebijakan publik yang ada, baik dari bahan perkuliahan yang didapat maupun literature lain berupa textbook dan artikel-artikel yang berhubungan dari media massa maupun hasil pencarian di internet. Kajian tersebut kemudian disimulasikan dengan proses penyusunan kebijakan kawasan larangan merokok. 3. M a n f a a t Penulisan makalah ini bermanfaat untuk memberikan kemampuan mahasiswa untuk menseleksi dan membaca teori-teori dan hasil-hasil penelitian kesehatan dan mengerti secara umum lingkup penelitian kebijakan kesehatan serta proses yang berlangsung di dalamnya dan keterkaitannya dengan aspek politik ataupun aspek-aspek lainnya. Selain itu diharapkan saran-saran yang diberikan dapat memberikan sumbangan bagi terlaksananya Perda tersebut secara lebih efektif.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
5
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
B. ANALISA SITUASI
Berbagai kalangan masyarakat mempunyai opini yang berbeda-beda terhadap PERDA No. 75 tahun 2005 yang dibuat oleh Gubernur DKI tentang kawasan larangan merokok. Kebijakan publik tersebut dirasakan sebagai produk hukum yang masih harus dipertanyakan keseriusannya setelah diimplementasikan ke masyarakat. Sikap masyarakat belum sepenuhnya merespon PERDA tersebut sehingga tidak jarang terlihat masih ada saja masyarakat yang merokok di tempat-tempat umum. Berhenti merokok adalah mungkin dan mutlak harus, namun perilaku merokok sudah menjadi bagian yang hampir tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari banyak orang. Kalau melihat sejarah, merokok mengalami pasang surut citra dari masa ke masa. Selain sifat dan motivasi individual, keputusan merokok juga banyak ditentukan oleh “tekanan” eksternal sehingga merokok bukan hanya sebuah kegiatan yang suka rela, malaikan akibat “paksaan” lingkungan dan dorongan zaman. Salah satu pihak yang dikatakan giat dan rajin dalam mendorong orang untuk merokok tidak lain adalah industri rokok itu sendiri. Kepentingan industri adalah menambah jumlah perokok, membuat perokok tidak berhenti, dan memperluas segmen perokok. Industri rokok melakukan pengaruh besar pada masyarakat untuk merokok melalui iklan dan kampanye yang memang gencar mereka lakukan. Penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 64,8 persen pria dan 9,8 persen wanita dengan usia di atas 13 tahun adalah perokok. Bahkan, pada kelompok remaja, 49 persen pelajar pria dan 8,8 persen pelajar wanita di Jakarta sudah merokok. Studi di Semarang tahun 1973 oleh Prof. Boedi Darmojo mendapatkan prevalensi merokok pada 96,1 persen tukang becak, 79,8 persen paramedis, 51,9 persen pegawai negeri, dan 36,8 persen dokter. Dalam penelitian yang dilakukan Prof. Soesmalijah Soewondo dari Fakultas Psikologi UI yang bertanya kepada sejumlah orang yang tidak berhenti merokok, diperoleh jawaban bahwa bila tidak merokok, akan susah berkonsentrasi, gelisah, bahkan bisa jadi gemuk; sedangkan bila merokok, akan merasa lebih dewasa dan bisa timbul ide-ide atau inspirasi. Faktor-faktor psikologis dan fisiologis inilah yang banyak mempengaruhi kebiasaan merokok di masyarakat.
1. D a m p a k N e g a t if M e r o k o k t e r h a d a p K e s e h a t a n Asap rokok yang dihirup seorang perokok mengandung komponen gas dan partikel. Partikel yang dibebaskan selama merokok sebanyak 5x109 pp. Komponen gas terdiri dari karbon monoksida, karbondioksida, hidrogen sianida, amoniak, oksida dari nitrogen dan senyawa hidrokarbon. Adapun komponen partikel terdiri dari tar, nikotin, benzopiren, fenol, dan kadmium. Dampak terhadap Paru-Paru
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
6
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar (hipertrofi) dan kelenjar mucus bertambah banyak (hiperplasia). Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paruparu, terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru-paru dengan segala macam gejala klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit obstruksi paru menahun (PPOM). Dikatakan merokok merupakan penyebab utama timbulnya PPOM, termasuk emfisema paru-paru, bronkitis kronis, dan asma. Hubungan antara merokok dan kanker paru-paru telah diteliti dalam 4-5 dekade terakhir ini. Didapatkan hubungan erat antara kebiasaan merokok, terutama sigaret, dengan timbulnya kanker paru-paru. Bahkan ada yang secara tegas menyatakan bahwa rokok sebagai penyebab utama terjadinya kanker paru-paru. Partikel asap rokok, seperti benzopiren, dibenzopiren, dan uretan, dikenal sebagai bahan karsinogen. Juga tar berhubungan dengan resiko terjadinya kanker. Dibandingkan dengan bukan perokok, kemungkinan timbul kanker paru-paru pada perokok mencapai 10-30 kali lebih sering. Dampak terhadap jantung Banyak penelitian telah membuktikan adanya hubungan merokok dengan penyakit jantung koroner (PJK). Dari 11 juta kematian per tahun di negara industri maju, WHO melaporkan lebih dari setengah (6 juta) disebabkan gangguan sirkulasi darah, yang 2,5 juta adalah penyakit jantung koroner dan 1,5 juta adalah stroke. Survei Depkes RI tahun 1986 dan 1992, mendapatkan peningkatan kematian akibat penyakit jantung dari 9,7 persen (peringkat ketiga) menjadi 16 persen (peringkat pertama). Merokok menjadi faktor utama penyebab penyakit pembuluh darah jantung tersebut. Bukan hanya menyebabkan penyakit jantung koroner, merokok juga berakibat buruk bagi pembuluh darah otak dan perifer. Asap yang diembuskan para perokok dapat dibagi atas asap utama (main stream smoke) dan asap samping (side stream smoke). Asap utama merupakan asap tembakau yang dihirup langsung oleh perokok, sedangkan asap samping merupakan asap tembakau yang disebarkan ke udara bebas, yang akan dihirup oleh orang lain atau perokok pasif. Telah ditemukan 4.000 jenis bahan kimia dalam rokok, dengan 40 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), bahan racun ini lebih banyak didapatkan pada asap samping, misalnya karbon monoksida (CO) 5 kali lipat lebih banyak ditemukan pada asap samping daripada asap utama, benzopiren 3 kali, dan amoniak 50 kali. Bahanbahan ini dapat bertahan sampai beberapa jam lamanya dalam ruang setelah rokok berhenti. Umumnya fokus penelitian ditujukan pada peranan nikotin dan CO. Kedua bahan ini, selain meningkatkan kebutuhan oksigen, juga mengganggu suplai oksigen ke otot jantung (miokard) sehingga merugikan kerja miokard. Nikotin mengganggu sistem saraf simpatis dengan akibat meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
7
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya. Nikotin mengaktifkan trombosit dengan akibat timbulnya adhesi trombosit (penggumpalan) ke dinding pembuluh darah. Karbon monoksida menimbulkan desaturasi hemoglobin, menurunkan langsung persediaan oksigen untuk jaringan seluruh tubuh termasuk miokard. CO menggantikan tempat oksigen di hemoglobin, mengganggu pelepasan oksigen, dan mempercepat aterosklerosis (pengapuran/penebalan dinding pembuluh darah). Dengan demikian, CO menurunkan kapasitas latihan fisik, meningkatkan viskositas darah, sehingga mempermudah penggumpalan darah. Nikotin, CO, dan bahan-bahan lain dalam asap rokok terbukti merusak endotel (dinding dalam pembuluh darah), dan mempermudah timbulnya penggumpalan darah. Di samping itu, asap rokok mempengaruhi profil lemak. Dibandingkan dengan bukan perokok, kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida darah perokok lebih tinggi, sedangkan kolesterol HDL lebih rendah. Penyakit Jantung Koroner Merokok terbukti merupakan factor resiko terbesar untuk mati mendadak. Resiko terjadinya penyakit jantung koroner meningkat 2-4 kali pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Resiko ini meningkat dengan bertambahnya usia dan jumlah rokok yang dihisap. Penelitian menunjukkan bahwa faktor resiko merokok bekerja sinergis dengan faktorfaktor lain, seperti hipertensi, kadar lemak atau gula darah yang tinggi, terhadap tercetusnya PJK. Perlu diketahui bahwa resiko kematian akibat penyakit jantung koroner berkurang dengan 50 persen pada tahun pertama sesudah rokok dihentikan. Akibat penggumpalan (trombosis) dan pengapuran (aterosklerosis) dinding pembuluh darah, merokok jelas akan merusak pembuluh darah perifer. PPDP yang melibatkan pembuluh darah arteri dan vena ditungkai bawah atau tangan sering ditemukan pada dewasa muda perokok berat, sering akan berakhir dengan amputasi. Penyakit Penyumbatan Pembuluh Darah Otak (Stroke) Penyumbatan pembuluh darah otak yang bersifat mendadak atau stroke banyak dikaitkan dengan merokok. Resiko stroke dan resiko kematian lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok. Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Inggris, didapatkan kebiasaan merokok memperbesar kemungkinan timbulnya AIDS pada pengidap HIV. Pada kelompok perokok, AIDS timbul rata-rata dalam 8,17 bulan, sedangkan pada kelompok bukan perokok timbul setelah 14,5 bulan. Penurunan kekebalan tubuh pada perokok menjadi pencetus lebih mudahnya terkena AIDS sehingga berhenti merokok penting sekali dalam langkah pertahanan melawan AIDS. Kini makin banyak diteliti dan dilaporkan pengaruh buruk merokok pada ibu hamil, impotensi, menurunnya kekebalan individu, termasuk pada pengidap virus hepatitis, kanker saluran cerna, dan lain-lain. Dari sudut ekonomi kesehatan, dampak penyakit yang timbul akibat merokok jelas akan menambah biaya yang dikeluarkan, baik bagi individu, keluarga, perusahaan, bahkan negara. Penyakit-penyakit yang timbul akibat merokok mempengaruhi penyediaan tenaga kerja, terutama tenaga terampil atau tenaga eksekutif, dengan kematian mendadak atau
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
8
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
kelumpuhan yang timbul jelas menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan. Penurunan produktivitas tenaga kerja menimbulkan penurunan pendapatan perusahaan, juga beban ekonomi yang tidak sedikit bagi individu dan keluarga. Pengeluaran untuk biaya kesehatan meningkat, bagi keluarga, perusahaan, maupun pemerintah.
2. K e b i a s a a n M e r o k o k Sudah seharusnya upaya menghentikan kebiasaan merokok menjadi tugas dan tanggung jawab dari segenap lapisan masyarakat. Usaha penerangan dan penyuluhan, khususnya di kalangan generasi muda, dapat pula dikaitkan dengan usaha penanggulangan bahaya narkotika, usaha kesehatan sekolah, dan penyuluhan kesehatan masyarakat pada umumnya. Tokoh-tokoh panutan masyarakat, termasuk para pejabat, pemimpin agama, guru, petugas kesehatan, artis, dan olahragawan, sudah sepatutnya menjadi teladan dengan tidak merokok. Profesi kesehatan, terutama para dokter, berperan sangat penting dalam penyuluhan dan menjadi contoh bagi masyarakat. Kebiasaan merokok pada dokter harus segera dihentikan. They are important exemplars: they do practise what they preach. Perlu pula pembatasan kesempatan merokok di tempat-tempat umum, sekolah, kendaraan umum, dan tempat kerja; pengaturan dan penertiban iklan promosi rokok; memasang peringatan kesehatan pada bungkus rokok dan iklan rokok. Iklim tidak merokok harus diciptakan. Ini harus dilaksanakan serempak oleh kita semua, yang menginginkan tercapainya negara dan bangsa Indonesia yang sehat dan makmur. Passive Smoking Bernafas dengan asap rokok orang lain adalah passive smoking. Passive smoking sangat merugikan, karena dapat secara langsung berdampak terhadap kesehatan. Dampak dari passive smoking adalah: Untuk usia dibawah 16 tahun: - Meningkatnya gangguan saluran pernafasan pada anak-anak. - Batuk, dahak, dan gangguan tenggorokan yang kronis - Terbentuknya cairan pekat di dalam telinga karena reaksi terhadap asap rokok. - Menurunnya fungsi kerja paru-paru dalam pernafasan. - Meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Untuk usia diatas 16 tahun: - Iritasi terhadap mata, hidung, dan tenggorokan. - Sakit kepala, flu dan penyakit ringan lainnya. - Memburuknya asma dan alergi. - Meningkatnya resiko jantung koroner. - 10%-30% peningkatan terhadap resiko kanker paru-paru bagi non-smoker apabila selalu dalam lingkungan perokok dalam jangka waktu yang lama (terus-menerus).
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
9
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
3. S e p a k T e r j a n g I n d u s t r i R o k o k d i B i d a n g L a i n n y Industri Periklanan Pengeluaran iklan rokok diakui merupakan yang terbesar di dunia dibandingkan dengan pengeluaran iklan oleh industri lainnya. Dibalik iklan itu terjadi manipulasi psikologis yang tujuannya meningkatkan citra positif merokok sambil menutup-nutupi akibat negatifnya. Selain itu, akibat larangan penayangan iklan rokok, para industriawan rokok telah memperluas kanal-kanal promosinya dengan cara menjadi promotor dan sponsor berbagai event, mulai dari olah raga, seni hingga kegiatan amal. Salah satu studi yang cukup komprehensif tentang hubungan antara iklan dan konsumsi rokok pernah dibuat di Inggris oleh Dr. Clive Smee tahun 1993. Setelah melakukan penelitan dan tinjauan terhadap 212 time-series yang mengaitkan pengeluaran iklan dan konsumsi rokok, disimpulkan bahwa iklan sungguh memiliki pengaruh positif terhadap konsumsi rokok. Penelitian terhadap pengaruh larangan iklan rokok di 4 negara didapatkan kesimpulan bahwa pelarangan tersebut menghasilkan pengurangan konsumsi merokok sebesar 4 – 9 persen yang setiap kasus pelarangan iklan langsung diikuti oleh pengurangan konsumsi dalam skala yang tidak mungkin terjadi karena faktor lainnya. Studi lain menunjukan pengeluaran 10 persen anggaran iklan rokok biasanya diikuti oleh 0,6 persen peningkatan konsumsi. Melihat bukti yang menumpuk itu, maka wajar jika dikatakan bahwa masyarakat umumnya “dikepung” oleh dorongan untuk merokok oleh industri dan juga lingkungan yang sudah terikat oleh industri itu. Di Indonesia, iklan rokok bebas ditayangkan di media elektronik, cetak, billboard dan spanduk sponsor berbagai acara. Bahkan pembagian rokok gratis merupakan pemandangan biasa. Rokok dijual bebas, juga pada wanita dan anak kecil. Pendapatan Negara dan Daerah Menurut laporan terakhir tahun 2003, pemerintah berencana menargetkan pendapatan cukai rokok sebesar 27,64 trilyun dari tahun sebelumnya sebesar 22,35 trilyun pada APBN 2002. Hal ini suatu jumlah yang fantastis dan merupakan manfaat langsung. Belum lagi kenyataaan bahwa industri rokok ini merupakan industri yang cukup menyerap banyak tenaga kerja. Tingginya sumbangan industri itu tentu mempermudah industriawan rokok untuk melobi pemerintah untuk tidak menindas tegas industri rokok atau melarang beroperasi. Bukan hanya bagi pemerintah pusat, bagi beberapa pemerintah daerah yang di wilayahnya terdapat industri rokok juga sangat bergantung pada pendapatan-pendapatan dari industri rokok tersebut, bahkan menjadi denyut nadi perekonomian daerah tersebut yang juga menyerap tenaga kerja masyarakat sekitar dan industri terkait seperti perkebunan tembakau dan cengkeh serta katering karyawan, restoran, dan hotel, contohnya adalah kota Kediri, Jawa Timur. Sebanyak 40.000 penduduknya (17% dari populasi) bekerja sebagai karyawan salah satu produsen rokok terbesar. Selain dalam perekonomian makro kota, pabrik rokok itu juga sangat menentukan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita atau total nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga Kota Kediri. Tahun 1999, misalnya, PDRB per kapita Kediri –bila digabungkan dengan pendapatan mereka yang bekerja di pabrik
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
10
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
rokok– mencapai Rp43 juta per tahun, atau tertinggi di Jawa Timur. Namun, apabila unsur pabrik rokok itu dihilangkan, PDRB per kapita kota itu hanya Rp11 juta per tahun. Tidak mengherankan kalau kemudian kehadiran pabrik rokok kretek itu akhirnya memang menjadi penentu kemajuan dan perkembangan Kediri. Dari sisi PAD, pabrik rokok memang menjadi kontributor terpenting. Tahun 1999, kontribusi pabrik rokok kretek itu untuk PAD Kota Kediri mencapai 28,47 persen, sementara tahun 2000 kontribusinya meningkat menjadi 42,50 persen. Kontribusi pabrik rokok itu diberikan melalui PBB (tahun 1999 Rp985,6 juta; tahun 2000 Rp995,48 juta) dan melalui pajak daerah (tahun 1999 Rp1,05 milyar; tahun 2000 Rp1,63 milyar). Pada tahun 2002, jumlah rokok yang diproduksi di Indonesia ialah 200 milyar batang. Jika harga rokok rata-rata saat itu adalah Rp400 per batang maka uang yang diperoleh para produsen rokok ialah Rp80 Triliun. Rokok favorit yang paling banyak dikonsumsi adalah kretek dengan jumlah produksinya sekitar 177 milyar batang. Itu berarti untuk setiap orang tersedia 909 batang rokok atau 2,5 batang perhari. Di tingkat dunia, keuntungan yang diperoleh juragan rokok bisa mencapai triliunan dollar setiap tahunnya. Hal ini tidak lepas dari tingginya produksi rokok dunia yang untuk tahun 1998 saja mencapai 5,61 trilliun batang. Angka itu berarti sama dengan 984 batang rokok per orang atau 2,6 batang per hari, baik untuk lelaki, wanita, maupun anak-anak. Besarnya produksi dan luasnya pasar rokok tersebut menyebabkan pabrik dan perusahaan rokok mendapat tempat yang khusus di mata investor. Tidak aneh jika industri rokok memiliki kekuatan dan pengaruh baik politik dan keuangan yang kuat.
4. K o n d i s i d i N e g a r a – n e g a r a L a i n Terlepas dari ekspansi yang terus menerus dilakukan oleh industri rokok dari tahun ke tahun, di negara maju industri ini juga makin hari makin terjepit sehingga produksi menurun dengan drastis sehingga industri ini hanya mengandalkan pertumbuhan di negara-negara berkembang atau negara ketiga yang penduduknya memang “belum sadar” akan bahaya merokok. Di negara maju larangan merokok semakin luas. Misalnya bulan Mei 2003 lalu pemerintah kota New York di Amerika Serikat melarang merokok di tempat umum, terutama di bar, restoran, dan kafe. Tempat-tempat itu dilarang menjual rokok, apalagi menjadi tempat merokok. Dalam hal berpromosi dan beriklan pun sangat dipersempit ruang geraknya. Di beberapa cabang olah raga bahkan sudah melarang iklan rokok sebagai sponsornya. Kondisi di atas berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia. Pembatasan iklan rokok memang sudah berjalan, misalnya dengan melarang iklan rokok di TV sebelum jam 21.30 WIB. Namun di bidang lain masih terasa sangat longgar, terlebih di acara-acara yang menarik perhatian penduduk usia remaja dan produktif, seperti pertunjukan olah raga, petualangan, musik, hiburan, dan kesenian lainnya. Tak heran jika kebiasaan merokok begitu merasuki kehidupan masyarakat Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya. Tidak peduli usia, gender, tingkat pendidikan, maupun jenis pekerjaan dan jabatan. Tercatat memang industri rokok merupakan pembelanja iklan terbesar di industri periklanan.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
11
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Berdasarkan survei, sekitar 20 persen remaja SLTP DKI Jakarta adalah perokok aktif. Lebih dari tiga juta remaja menggunakan rokok tembakau, termasuk hampir 20 persen dari siswa SLTP. 20 tahun lalu umur rata-rata dari seseorang yang mulai merokok adalah pada usia 16 tahun. Estimasi sekarang seseorang sudah mulai merokok pada usia 12-14 tahun. Data dari tiga tahun terakhir, 30 persen dari jumlah anak SLTP adalah perokok aktif. Satu dari tiga siswa menjadi perokok permanen sampai dia dewasa dan meninggal secara prematur yang diakibatkan oleh penyakit yang disebabkan merokok. Tantangan dalam mencegah tembakau merupakan hal yang lebih berat daripada mencegah obat-obatan lain. Hal ini dikarenakan tembakau merupakan sesuatu yang legal dan biasa digunakan oleh orang dewasa, sehingga merokok merupakan sesuatu hal yang normal. Dalam mencegah tembakau, orang tua harus melawan industri jutaan dolar sehingga harus berusaha lebih kuat untuk meyakinkan bahwa tembakau itu berbahaya Di Thailand, Republik Korea, Myanmar dan negara kecil seperti Nepal serta Sri Langka telah menerapkan larangan merokok di tempat umum dan melarang iklan rokok di media elektronik. Hal tersebut didasarkan kesadaran pemerintah bahwa merokok dapat merusak kesehatan dengan pertimbangan biaya kesehatan yang cukup tinggi dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Tren ini memang belum sepenuhnya diterapkan di negara-negara berkembang, namun dengan bukti bahwa sumbangan industri rokok jauh lebih kecil daripada kerugian yang ditimbulkan, maka ini soal waktu saja. Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI dalam mengimplementasikan PERDA No.75 tahun 2005 adalah sangat berpengaruh dalam menentukan arah dan keberhasilan kebijakan publik dalam bidang kesehatan ini. Untuk mempertajam analisis situasi ini penulis akan menggali referensi tambahan berupa fakta dan data terkini sehingga dapat melihat seberapa besar keseriusan pemerintah DKI atas PERDA yang dibuat.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
12
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
C. K A J I A N A K A D E M I K
PERDA No.75 Tahun 2005 mengenai kawasan larangan merokok yang dikeluarkan pemerintah DKI adalah produk hukum yang mengikat setiap orang baik individu maupun kelompok khususnya para perokok aktif. Keterlibatan pimpinan perusahaan atau instansi untuk melarang staf atau karyawan melarang merokok di tempat umum juga mendapat perhatian khusus dalam PERDA tersebut. Proses pembuatan PERDA ini tentu saja telah melibatkan banyak keputusan sebelum menjadi kebijakan publik. Isu mengenai bahaya merokok telah berkembang menjadi agenda yang membuahkan hasil berupa sebuah bentuk kebijakan. Bagaimana proses kebijakan ini dibuat dan diimplementasikan serta bagaimana cara melakukan kontrol dan evaluasi terhadap kebijakan ini sehingga dapat mencapai sasaran yang diinginkan, semuanya kembali pada sistem yang mendukung lahirnya pengambilan keputusan tersebut. Untuk mengembangkan kajian akademik ini penulis akan mempergunakan literatur tentang teori kebijakan dan aplikasinya dalam berbagai sudut pandang yang terkait dengan topik yang diangkat oleh penulis.
1. T e o r i K e b i j a k a n Kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh pejabat dan badan bidang pemerintah, dan memusatkan pada tindakan oleh/untuk pemerintah. Kebijakan tidak hanya melibatkan keputusan untuk memenuhi beberapa masalah tertentu, tetapi juga meliputi keputusan yang berkenaan dengan penyelenggaraan dan impelmentasinya. Kebijakan perlu tindakan nyata, bukan sekadar pernyataan yang bersifat populis. Kebijakan kesehatan mencakup tindakan mencakup tindakan yang berefek pada kedudukan institusi, organisasi, jasa/pelayanan, dan pengaturan keuangan dari suatu sistem pelayanan kesehatan. Namun kebijakan tidak pernah terlepas dari kepentingan pihak-pihak tertentu. Baik dari kalangan pemerintah sendiri, industri, dunia usaha, akademisi, maupun elemen-elemen masyarakat lainnya. Ditinjau dari tipe kebijakan, Perda No.75 Tahun 2005 ini merupakan kebijakan dari pemerintah lokal, yang dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang menyangkut pada bidang kesehatan masyarakat. Seperti yang telah dipaparkan di bagian sebelumnya, penyakit yang mungkin ditimbulkan sebagai perokok pasif cukup banyak dan kronis. Agar suatu kebijakan mengena pada sasaran yang dikehendaki, penyusunannya harus melalui 4 tahapan, yaitu:
Identifikasi masalah dan isu: Bagaimana cara isu dapat dijadikan agenda kebijakan? Kenapa beberapa isu tidak dapat dibahas?
Perumusan kebijakan: Siapa yang merumuskan formulasinya? Dari mana datangnya inisiatif?
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
kebijakan?
Bagaimana
13
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Implementasi kebijakan: Sumber daya apa yang tersedia? Siapa yang harus dilibatkan? Bagaimana implementasi dapat dikuatkan?
Evaluasi kebijakan: Efek apa yang terjadi apabila kebijakan dijalankan? Apakah dapat dimonitor? Bagaimana cara mencapai tujuan?
Sebuah kebijakan harus didasari suatu proses rasional. Untuk itu pembuatannya dapat memakai salah satu dari 3 model yang telah dikenal luas, yaitu:
model rasional atau sinopsis: pada model ini pembuat kebijakan menggunakan logika dalam langkah untuk mendapatkan pilihan kebijakan yang terbaik, sehingga dipercaya keputusan atau kebijakan yang dibuat dengan cara yang rasional. Prosesnya adalah: o Pembuat kebijakan berhadapan dengan masalah tertentu, yang dapat memisahkan atau membandingkan dari permasalahan lain: o Tujuan, sasaran atau nilai-nilai yang memandu pembuat kebijakan mengklarifikasi dan mengatur hal-hal yang penting; o Inventarisir berbagai alternatif yang berhubungan dengan masalah yang perlu dipertimbangkan; o Konsekuensi dari pemilihan tiap alternatif disimulasi dan diselidiki; o Masing-masing alternatif dan konsekuensinya diperbandingkan dengan alternatif lain; o Pembuat kebijakan memilih alternatif beserta konsekuensinya untuk memaksimalkan pencapaian tujuan, sasaran, dan nilai.
model inkrementalis: model ini menghindari sebagian permasalahan dari teori rasional-sinopsis sehingga menjadi lebih deskriptif untuk pembuatan jalan kebijakan yang aktual. Prosesnya adalah: o Pemilihan tujuan atau sasaran hasil dan implementasinya lekat dipadukan dan tidak beda dengan yang lain; o Pembuat kebijakan memperhatikan sejumlah kecil alternatif dalam hubungan dengan suatu masalah, dan cenderung memilih pilihan yang berbeda hanya secara garis besar dari kebijakan yang telah ada; o Perlu pertimbangan dari masing-masing alternatif dan konsekuensi yang penting; o Tidak ada kebijakan optimal: pengujian dari keputusan yang baik perlu persetujuan pembuat kebijakan tentang memilih pilihan tanpa mengumpamakan sebagai keputusan yang terbaik; o Pembuatan kebijakan incremental utamanya adalah tentang perbaikan, serta memfokuskan pada perubahan kecil dari kebijakan yang ada, dibanding mempertimbangkan kebijakan utama masa depan.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
14
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
model gabungan scanning dan model optimal normatif: model ini merupakan kompromi dari model rasional dan model inkrementalis, di mana digunakan pertimbangan mikro dan pertimbangan makro. Ibaratnya seperti memperkerjakan 2 kamera: satu dengan lensa wide-angle yang memotret dengan sudut luas yang mencakup seluruh gambar, dan yang satunya dengan lensa zoom yang memotret obyek tertentu dengan spesifik.
2. Dasar Hukum Perda No.75 Tahun 2005 merupakan salah satu kebijakan yang diambil Pemerintah Provinsi DKI dalam rangka tindak lanjut peraturan sebelumnya, yaitu Perda No.2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang ditetapkan pada tanggal 4 Februari 2005, pada pasal 13 ayat 1, 2, dan 3 secara umum mengatur mengenai kawasan larangan merokok, serta mengacu pada: 1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999; 2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 5) Undang-undang Nomor 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Negara Republik Indonesia Jakarta; 6) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia; 7) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 8) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; 9) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 10) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; 11) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 12) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2004 tentang Kewenangan Pemerintahan dan kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; 13) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan; 14) Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pemberian Penghargaan Kepada Seseorang dan/atau badan yang Berjasa Kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta; 15) Peraturan Daerah Khusus Ibu Kota Khusus Jakarta Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negri Sipil di Lingkunagn Pemerintah daerah Khusus Ibu Kota Jakarta; 16) Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 3 tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta; Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
15
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
17) Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta di Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta; 18) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara; 19) Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 11 Tahun 2004 tentang Pengedalian Rokok di Tempat Kerja di Lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Perlu dicatat bahwa Perda No.75 ini merupakan peraturan gubernur baru ditetapkan oleh Gubernur DKI, belum melalui persetujuan DPRD DKI Jakarta. Seperti diketahui, hierarki peraturan di negara kita berdasarkan UU Peraturan Perundang-undangan adalah:
Pancasila
UUD 1945
UU atau Peraturan Pemerintah Penganti UU (Perpu)
Peraturan Pemerintah
Keputusan/Peraturan Presiden
Keputusan/Peraturan Menteri
Peraturan Daerah/Gubernur
Setiap peraturan harus mengacu pada peraturan di atasnya. Dalam hal Perda No.75 tahun 2005 ini, tidak ada peraturan di atasnya yang secara langsung mengatur pembatasan kawasan merokok yang sudah ada hanya peringatan akan bahaya merokok (PP No.19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan), belum ada kebijakan pemerintah pusat yang mengatur perlindungan bagi yang bukan perokok.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
16
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
D. PEMBAHASAN
Berhenti merokok atau tidak merokok di tempat umum adalah sepenuhnya keputusan individu yang dapat kemudian dipengaruhi oleh berbagai faktor. Memang berhenti merokok belum lagi tren di negara yang tidak kurang dari 10 persen hasil pajaknya berasal dari rokok. Tetapi yang penting diketahui bahwa biaya kesehatan akibat rokok jauh melebihi keuntungannya. “Cigarettes can kill you” adalah pesan dramatis yang sering terdengar oleh kelompok masyarakat anti rokok. Kebenarannya pun semakin sulit dibantah. Tetapi kenapa banyak orang tetap merokok? Mungkin juga mereka tidak sepenuhnya tahu bahaya besar yang mengancam di balik asap harum kretek mereka. Sekilas, tembakau dan rokok dituduh bertanggung jawab terhadap 25 jenis penyakit seperti gangguan jantung, emfisema, bronkitis, kemandulan dan impotensi. Beberapa kanker juga dikaitkan dengan dosa sang rokok, seperti kanker paru, kanker mulut, kanker tenggorokan, kanker pankreas, kanker kandung kemih, leukimia, dan kanker leher rahim. Biang segala penyakit dan ketagihan dari rokok ialah nikotin yang formula kimianya adalah C10H14N2. Nikotin menyebabkan ketagihan karena kemampuannya memicu dopamine. Menurut International Agency for Research on Cancer lebih dari 80 persen kematian akibat kanker paru-paru disebabkan oleh rokok. Di negara maju seperti Inggris jumlah kematian akibat kanker paru-paru sudah semakin menurun akibat tingginya tingkat kesadaran masyarakat untuk berhenti merokok. Sebaliknya di negara-negara asia keadaan justru tampak sering memburuk. Di negara maju kampanye anti rokok sudah semakin tampak keberhasilannya. Sekalipun harus diakui kebiasaan ini masih terus meningkat khususnya di negara-negara berkembang. Tetapi di negara-negara ini pun aturan mulai keras. Pajak terhadap rokok sangat tinggi dengan angka minimal 50 sampai 70 persen. Di banyak negara iklan rokok semakin diperketat bahkan di media elektronik sekalipun. Tuntutan hukum dari konsumen juga menjadi ancaman serius. Tidak aneh di negara-negara maju perusahaan rokok mulai menggunakan keuntungan besarya untuk memasuki bidang industri lain sekedar berjaga-jaga jika suatu saat rokok dilarang sama sekali. Budaya juga merupakan salah satu faktor meluasnya perokok di Indonesia. Tumbuhnya industri rokok dimulai dari industri rumahan, sehingga ia memang dekat dengan masyarakat di akar rumput. Golongan masyarakat inilah yang justru agak sulit untuk didekati untuk ditumbuhkan kesadarannya akan bahayanya perokok pasif. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah DKI mengenai kawasan merokok harus dapat melibatkan multi stakeholders untuk menjamin kebijakan tersebut dapat terimplementasi sesuai tujuan yang diharapkan. Pemerintah, swasta, LSM, kelompok masyarakat, partai politik, institusi pendidikan harus secara bersama-sama ikut mendukung serta dilibatkan pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah DKI jika PERDA tersebut ingin dijadikan pilot project untuk membuatnya menjadi undang-undang mengenai larangan rokok dan merokok.
1.
Tahapan Pembuatan Kebijakan Dalam membuat suatu kebijakan, perlu melalui tahap-tahap berikut ini:
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
17
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Identifikasi Masalah dan Isu Pada Perda No.75 tahun 2005, Masalah dan Isu yang diangkat adalah membatasi kawasan untuk merokok guna melindungi masyarakat yang tidak merokok agar tidak menjadi perokok pasif. Karena itu dapat dikatakan bahwa kebijakan ini menggunakan model sinopsis atau rasional. Namun isu tersebut kurang mengemuka pada saat sosialisasi. Isu yang berkembang adalah keterkaitan kebijakan ini dengan isu konsep Megapoliltan yang sedang di-lobby oleh Bapak Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk mengubah status provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota negara dengan dijadikan megapolitan yang memperluas wilayahnya sampai Depok – Bogor – Puncak – Tangerang - Bekasi. Sehingga masyarakat berkesan kurang peduli dengan kebijakan ini karena dinilai hanya merupakan kebijakan populis yang sarat muatan politis. Perumusan Kebijakan Siapa yang merumuskan kebijakan kawasan larangan merokok sehingga terbit Perda No.75 tahun 2005? Dari pengamatan berita di media massa, dapat disimpulkan bahwa pencetusnya adalah Gubernur DKI Jakarta sendiri, dalam hal ini Bapak Sutiyoso. Dalam beberapa reportase media yang bersangkutan menyebutkan bahwa idenya adalah dari permintaan ulang tahun salah satu anaknya agar ayahnya berhenti merokok. Dari permintaan tersebut berkembang menjadi ide untuk membatasi kawasan larangan merokok. Ide tersebut dilontarkan kepada stafnya, lalu dirumuskan menjadi sebuah draf yang kemudian ditetapkan untuk menjadi sebuah Perda. Jadi perumusan Perda No.75 tahun 2005 tidak melibatkan stakeholder lain, seperti LSM maupun organisasi professional yang peduli akan bahaya merokok, baik merokok langsung maupun pasif. Implikasinya adalah terjadi ketidaktelitian dalam pemilihan kata-kata dalam menyusun kalimat hukum pada Perda tersebut yang dapat mengakibatkan salah penafsiran yang berakibat kontra-produktif terhadap niat baik yang mendasarinya. Ketidaktelitian tersebut adalah dipilihnya kalimat “… wajib melarang … untuk tidak merokok …” pada Bab IV yang mengatur Kawasan Dilarang Merokok yang meliputi Pasal 6 sampai 13, yaitu kawasan bebas rokok adalah tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum. Sebagai contoh di Pasal 13 ayat (1): Pengemudi dan/atau kondektur wajib melarang kepada penumpang untuk tidak merokok di dalam kendaraannya. Kalimat tersebut dapat ditafsirkan bahwa penanggung jawab kawasan dilarang merokok mewajibkan masyarakat yang berada di dalam ruang lingkup kerjanya untuk merokok. Kerancuan dalam penafsiran ini dapat menjadi kendala dalam pelaksanaannya nanti karena seharusnya dapat dijadikan bahan pembelaan bagi perokok yang mengerti kelemahan peraturan tersebut bila mereka menjalani persidangan karena tertangkap tangan merokok di kawasan larangan merokok. Implementasi Kebijakan Perda No.75 tahun 2005 ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta pada 20 Juni 2005, namun baru berlaku pada 4 Februari 2006 dan diimplementasi penuh pada 6 April 2006. Pada saat pemberlakuan efektif implementasinya baru bersifat uji coba sambil terus dilakukan sosialisasi. Sosialisasi dilaksanakan oleh BPLHD (Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
18
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Daerah) dengan mengirim formulir kesediaan para pengelola gedung menjalankan peraturan pembatasan merokok tersebut. Sementara sosialisasi yang ditujukan kepada masyarakat perokok sendiri relatif minim, hanya melalui iklan layanan masyarakat yang terbatas penyiarannya sehingga kurang mengena kepada target audiens yang dituju sehingga kurang dirasa kurang efektif. Akibatnya pada saat implementasi penuh pada 6 April 2006, banyak masyarakat perokok yang belum tahu dan masih seenaknya merokok di kawasan yang telah dilarang merokok. Pada pekan pertama masih rajin diadakan razia oleh 27 satuan tugas (Satgas) dari Dinas Tramtib DKI, terutama ke beberapa pusat perbelanjaan dan perkantoran terkemuka di Ibu Kota. Hasilnya cukup banyak yang terjaring dan langsung disidang di tempat dan mereka mengaku belum mengetahui adanya pemberlakuan peraturan tersebut. Mereka kemudian langsung disidang di tempat secara massal dengan mendatangkan hakim dari pengadilan negeri setempat. Sebenarnya hal ini cukup baik, namun sayang tidak diikuti dengan pemberian sanksi yang berat sehingga tidak menimbulkan efek jera, baik bagi yang langsung terjaring maupun bagi masyarakat perokok lainnya. Kondisi di angkutan umum, yang merupakan salah satu kawasan yang dilarang merokok, bahkan lebih parah lagi: kebijakan ini belum dapat diterapkan sama sekali. Bukan hanya penumpangnya yang melanggar, malah justru para pengemudinya sendiri sebagian besar tidak peduli dengan peraturan ini dan tetap dengan sadar merokok selama mengemudi kendaraan umumnnya. Jumlah penegak peraturan (satgas) yang terbatas menjadi salah satu kendala terhambatnya implementasi secara menyeluruh. Elemen masyarakat yang peduli bahayanya perokok pasif seperti akademisi, LSM dan professional bidang kesehatan juga tidak dilibatkan dalam implementasinya. Padahal dengan melibatkan elemen masyarakat ini, pengimplementasian kebijakan dapat berlangsung lebih luas, konsisten, dan juga menghemat biaya yang harus dikeluarkan pemerintah daerah. Evaluasi Kebijakan Dengan diimplementasikannya kebijakan kawasan larangan merokok, seharusnya dapat diharapkan meningkatnya kesadaran masyarakat perokok untuk tidak merokok di sembarang tempat, terutama di tempat-tempat umum dan tempat yang banyak terdapat anakanak dan/atau ibu hamil. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Tidak tampak peningkatan kesadaran masyarakat perokok. Yang paling parah dari isu yang dipaparkan di atas adalah ketidakkonsistenan dan ketidaktegasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pengimplementasian peraturan yang dibuatnya sendiri. Setelah hampir 3 bulan pengimplementasian kawasan larangan merokok, gaungnya semakin tidak terdengar. Razia pengawasan semakin jarang dilakukan. Masyarakat perokok kembali tidak menghiraukan kawasan larangan merokok. Bahkan anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah, yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat, dengan bebas merokok di ruang sidang yang berpendingin udara. Beberapa kantor pemerintahan ada yang belum menyediakan ruang khusus merokok yang disyaratkan dalam Perda ini sehingga pegawai perokok dengan tenang merokok di tempat kerjanya masing-masing. Di lingkungan kampus Fakultas Kedokteran UI di Salemba dan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI di Depok juga tidak menyediakan tempat khusus merokok sehingga para mahasiswa dan pegawainya merokok di sembarang tempat. Slogan yang digemakan tak lebih sekadar pajangan. Walaupun kampus UI Depok berada di luar wilayah DKI, seharusnya sebagai lembaga pendidikan terkemuka di Indonesia, UI dapat memberikan contoh sebagai Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
19
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
pelopor kampus yang mengatur tempat untuk merokok. Hal yang sama tentunya juga terjadi di tempat umum lainnya. Pemerintah Pusat dan badan legislatif juga terlihat tidak terlalu memperdulikan pemberlakuan peraturan ini. Di kantor-kantor pmerintahan tampak masih banyak pegawainya yang bebas merokok di sembarang tempat dan belum semua sarana menyediakan tempat khusus merokok. Bahkan anggota DPR yang terhormat dapat dengan seenaknya merokok di ruang-ruang sidang Gedung DPR, padahal ruangan-ruangan tersebut berpendingin udara. Sebaiknya disusun suatu mekanisme yang menjadikan penegakan Perda ini salah satu syarat perizinan, seperti penerapan Perda No.2 tahun 2005 yang mensyaratkan uji emisi kendaraan bermotor sebagai salah satu syarat perpanjangan surat tanda nomor kendaraan (STNK). 2. Hambatan-hambatan Apa saja faktor-faktor penghambat pengimplementasian kebijakan ini sehingga terkesan tidak digarap dengan serius? Dari analisis sederhana, terdapat beberapa faktor, diantaranya stakeholder yang memiliki vested interest dalam industri rokok, yang mungkin ‘menghambat’ pengimplementasian kebijakan kawasan larangan merokok secara lebih luas:
Budaya merokok di masyarakat yang sudah terlalu meluas karena tidak adanya pembatasan-pembatasan;
Pemerintah Pusat: karena ketergantungannya pada pajak dan cukai rokok yang merupakan kontributor terbesar pendapatan non-migas, serta daya serap tenaga kerja di industri rokok;
Pemerintah daerah lain: karena juga ketergantungan daerahnya terhadap industri rokok dalam hal perekonomian dan pendapatan asli daerah;
Industri Rokok: karena khawatir menurunnya penjualan dengan dibatasi tempat untuk merokok;
Industri Periklanan: Karena industri rokok merupakan pembelanja iklan terbesar;
Industri Hiburan dan Olah Raga: Karena industri rokok kerap mensponsori acaraacara hiburan dan olah raga;
Pemerintah Provinsi DKI sendiri, yang kurang siap dengan kampanye kebijakan ini.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
20
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Untuk itu perlu diadakan pendekatan-pendekatan serta lobby kepada pihak-pihak tersebut guna meluruskan dan menyamakan persepsi atas kebijakan kawasan larangan merokok ini agar dapat diterima dan diberlakukan secara lebih luas lagi.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
21
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Kesimpulan
Elemen masyarakat juga tidak terlalu dilibatkan baik dalam proses perumusan, implementasi, maupun evaluasinya. Akibatnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap kebijakan ini rendah, sehingga mengurangi kefektifannya. Dampaknya adalah implementasi Perda tersebut terkesan setengah hati sehingga bagi masyarakat yang benar-benar mengharapkan terciptanya udara sehat tanpa asap rokok sehingga patut dipertanyakan keseriusan Pemerintah Provinsi DKI dalam menciptakan kawasan larangan merokok. Kebijakan aturan larangan merokok yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya memiliki niat yang sangat mulia yaitu melindungi masyarakat yang tidak agar tidak menjadi perokok pasif sehingga terhindar dari resiko gangguan kesehatan yang mungkin timbul. Namun dalam perumusan Peraturan Daerah No.75 Tahun 2005 dan petunjuk pelaksanaannya tidak didasari dasar ilmiah yang kuat serta tidak terlihat keseriusan oleh Pemerintah Provinsi beserta aparatnya untuk benar-benar menegakan peraturan tersebut. Yang sering muncul latar belakang penerbitan Peraturan tersebut adalah ‘salah satu permintaan ulang tahun dari anak sang pejabat’. Dalam kurun waktu yang sama, Pimpinan Pemerintah Provinsi DKI juga tengah mengkampanyekan konsep Megapolitan untuk memperluas wilayah Provinsi DKI Jakarta, sehingga timbul kesan bahwa kebijakan aturan larangan merokok lebih sekedar jargon yang bernuansa politis untuk menaikan popularitas pejabat tertentu. Kebijakan tersebut juga tidak terlalu mendapat sambutan yang antusias dari Pemerintah Pusat serta beberapa stakeholder lain. Hal ini dapat dipahami karena penerimaan negara non-migas dari sektor cukai rokok merupakan salah satu yang terbesar setelah pajak, di samping juga potensi penerimaan pajak dari perusahaan rokok serta penyerapan tenaga kerja yang cukup besar pada industri tersebut serta anggaran belanja iklan dan sponsorship yang dimiliki industri rokok. Kebijakan top-down tersebut juga tidak diikuti dengan pelaksanaan yang sungguhsungguh dan konsisten oleh aparat yang ditugaskan untuk menegakannya. Sanksi yang dijatuhkan kepada pelanggarnya terlalu ringan dan tidak memberi efek jera. Masyarakat juga tidak diberi penyuluhan yang menyeluruh mengenai esensi dari pembatasan kawasan untuk merokok karena kurangnya sosialisasi yang memadai sehingga tidak tumbuh kesadaran untuk mengikuti peraturan tersebut. Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
22
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Saran
PERDA No.75 tahun 2005 tentang kawasan dilarangan merokok telah diterbitkan oleh Gubernur DKI untuk mempertahankan udara yang sehat dan bersih serta untuk mencegah dampak penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan, guna terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Tujuan lain dari PERDA ini adalah menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara merubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat; meningkatkan produktivitas kerja yang optimal; mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih bebas dari asap rokok; menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula; mewujudkan generasi muda yang sehat. Namun tujuan ini menjadi hal yang sukar untuk dicapai jika semua pihak tidak ikut dilibatkan untuk melaksanakan dan mengawasi implementasi dari kebijakan ini. Yang dapat direkomendasikan oleh penulis adalah upaya baru yang lebih efektif dari segi biaya dan cakupan secara bertahap diperlukan, yakni: 1. Mencanangkan sasaran yang lebih jauh, yaitu menumbuhkan kesadaran agar masyarakat perokok untuk tidak merokok di sembarang tempat, bukan hanya di tempat umum, tetapi terutama di tempat yang terdapat anak-anak dan ibu hamil karena resiko yang dihadapi lebih besar. Jadi sasaran langsungnya adalah bukan mengurangi jumlah perokok. Itu merupakan sasaran akhir jangka panjang, yang tentunya perlu program kampanye lebih jauh yang berbeda; 2. Sosialisasi yang lebih komprehensif melalui kampanye dengan melibatkan para ahli komunikasi massa dan ahli promosi kesehatan agar pesan yang ingin disampaikan dapat efektif ditangkap oleh target audiensnya; 3. Melibatkan elemen-elemen masyarakat, akademisi, dan para professional dalam proses pengambilan kebijakan (Identifikasi Masalah dan Isu, Perumusan, Implementasi, dan Evaluasi Kebijakan) lebih lanjut; 4. Pemberian sanksi yang tegas dan berat bagi pelanggarnya, baik perokok yang melanggar maupun tempat-tempat yang tidak sungguh-sungguh menjalankan peraturan ini, agar dapat menimbulkan efek jera; 5. Mengajak Pemerintah Pusat untuk turut menegakan pemberlakuan kawasan larangan merokok agar diterapkan secara nasional, bukan hanya di tingkat lokal, dengan menekankan penghematan biaya kesehatan yang timbul dari menurunnya penderita penyakit yang berhubungan dengan perokok pasif dibanding sekedar besarnya pemasukan dari pajak dan cukai yang diterima; 6. Juga melalui pemerintah pusat dan badan legislatif untuk menaikan cukai agar masyarakat lebih terbatasi untuk merokok;
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
23
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
7. Menjadikan penyediaan ruang khusus merokok sebagai salah satu syarat perizinan gedung atau sarana yang ditetapkan sebagai kawasan larangan merokok; 8. Pembatasan iklan rokok dan bentuk sponshorship dari rokok yang lebih luas lagi cakupannya; 9. Melakukan pendekatan pada pola pendidikan kesehatan dan pola hidup sehat sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi; 10. Kampanye panutan di kalangan pimpinan dan pejabat pemerintahan, petugas kesehatan, serta tokoh masyarakat; 11. Penurunan kadar tar dan filterisasi serta diversifikasi industri tembakau; 12. Yang juga perlu diatur adalah pembatasan usia konsumsi rokok sebagaimana pembatasan usia pengkonsumsian minuman beralkohol; Langkah-langkah ini diperlukan untuk memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menerapkan kebijakan publik kesehatan mengenai merokok. Jika hal ini tidak dilakukan maka kebijakan ini hanya akan menjadi wacana kebijakan publik yang tidak jauh berbeda dengan kebijakan publik kesehatan lainnya yang telah banyak membuang dana dan sumber daya lainnya. Masyakat akan menjadi apatis yang dapat berakibat menurunnya kredibilitas pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mengubah budaya memang sulit, namun kita dapat berupaya untuk menggesernya dalam bentuk tumbuhnya kesadaran masyarakat perokok untuk tidak merokok di sembarang tempat yang dapat membahayakan resiko kesehatan bagi orang lain yang tidak merokok.
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
24
Case Study : Analisis Tingkat Keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Memberlakukan Larangan Merokok di Tempat Umum
Daftar Pustaka
Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara Peraturan Gubernur DKI Jakarta No.75 Tahun 2005 tentang Kawasan Larangan Merokok Adisasmito, Wiku, Drh., MSc., PhD., 2006, Buku Ajar Kebijakan Kesehatan, Departemen AKK, Fakultas Masyarakat Universitas Indonesia, Depok Barker, C., 1996, The Health Care Policy Process, London, Sage Publication Walt, G., 1994, Health Policy: An Introduction to Process and Power, Johannesburg, Witwaterstrand University Press
Drh. Wiku Adisasmito, MSc, Ph.D
25