http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
ANALISIS TINDAKAN MANAJEMEN LABA SEBELUM DAN SETELAH KEBIJAKAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PERUSAHAAN PERBANKAN DI INDONESIA Ratna Wulaningrum (Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak
Diundangkannya Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang kewajiban bankbank untuk menerapkan struktur Good Corporate Governance (GCG), bertujuan untuk meningkatkan efektifitas pengawasan dan pengendalian bank oleh Bank Indonesia. Dalam perspektif akuntansi, berbagai riset empiris menunjukkan bahwa GCG merupakan instrumen yang efektif dan efisien dalam mengendalikan manajer bertindak oportunistik (Chtourou, 2001; Xie et al., 2003). Salah satu tindakan oportunistik tersebut adalah melalui manajemen laba, yang umumnya diproksi dengan nilai akrual diskresioner. Jadi makin besar nilai akrual diskresioner (jauh dari nilai nol), maka makin buruk kualitas laporan keuangan tersebut. Dalam kondisi nilai akrual diskresioner positif, maka hal ini berarti terjadi hubungan negatif antara kualitas GCG dan akrual diskresioner (Rosenstein dan Wyatt, 1990; Beasley, 1996; dan Weisbach, 1998; Parulian, 2004) Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan konfirmasi temuan-temuan riset tersebut, apakah kebijakan GCG Bank Indonesia mampu mengurangi agresifitas tindakan manajemen laba manajer bank di Indonesia. Populasi penelitian ini adalah bank-bank di Indonesia dengan metode pengambilan sampel adalah stratified random sampling. Data penelitian menggunakan 2 tahun sebelum dan 2 tahun sesudah kebijakan GCG, sehingga diperoleh 90 data tahun sampel sebelum dan 90 tahun sampel setelah kebijakan GCG. Analisis sebelum dan setelah dilakukan dengan uji t berpasangan (paired t test). Hasil statistik deskriptif menunjukkan nilai mean akrual diskresioner sebelum kebijakan GCG sebesar – 1,9412 dan sesudah -1,8571, atau terjadi kenaikan nilai akrual diskresioner (mendekati nilai nol/bebas akrual) dari sebelum ke sesudah kebijakan GCG sebesar 0,0841. Karena kenaikan tersebut pada posisi negatif, maka hasil ini berarti makin baik dan meningkat kualitas laporan keuangan. Atau dengan kata lain kebijakan GCG mampu mengurangi tindakan manajemen laba manajer. Kata Kunci: Good Corporate Governance (GCG), Earnings Management, Akrual diskresioner.
PENDAHULUAN Manajemen laba adalah indikator kualitas laporan keuangan. Tindakan manajemen laba yang tinggi menjadikan laporan keuangan tidak relevan dan andal (tidak berkualitas), sehingga dapat menyesatkan pemakai. Scott (1997) mendefinisi manajemen laba sebagai pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang
Riset / 1329
ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai perusahaan. Terdapat 2 sifat yang melekat pada tindakan ini, pertama efisien yaitu dapat meningkatkan keinformatifan laba dalam mengkomunikasikan informasi privat, dan kedua oportunis memaksimumkan kepentingan pribadi manajer. Sifat efisiensi dicapai dalam konteks contracting view yang bertujuan meningkatkan reliabilitas dan keandalan informasi
JURNAL EKSIS
Vol.6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
bagi seluruh stakeholders. Sedangkan, sifat oportunistik dicapai mekanisme kebijakan akrual tertentu agar laporan keuangan yang disajikan menguntungkan manajer. Sifat oportunistik manajer terhadap tindakan manajemen laba dapat dijelaskan lewat Positive Accounting Theory (PAT) dan Agency Theory (Teori Keagenan). Manajer, secara umum, termotivasi melakukan tindakan manajemen laba dengan tujuan memaksimalkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi (bonus plan hypothesis), kontrak hutang (debt covenant hypothesis)¸ dan biaya politik (political cost hypothesis). Watts dan Zimmerman (1986, ch 11) secara panjang lebar menunjukkan pembuktian ketiga hipotesis tersebut secara empiris. Selain itu, motivasi lain tindakan manajemen laba adalah motivasi penghindaran regulasi perpajakan dan initial public offering (IPO). Kebijakan manajemen laba dengan tujuan oportunistik mempunyai dampak terhadap pengambilan keputusan investasi yang salah bagi investor. Tindakan tersebut dapat menurunkan kepercayaan investor terhadap kualitas informasi laporan keuangan yang dipublikasikan perusahaan. Larcker et al., (2003) mengungkapkan bahwa penyebab manajemen laba melalui basis akrual antara lain karena akrual adalah produk utama Prinsip Akuntansi Berterima Umum (GAAP). Sehingga, manajemen laba adalah keniscayaan dan sekaligus kekurangan metode akuntansi berbasis akrual apabila dibandingkan laporan aliran kas. Basis akrual memberikan hak kepada manajer dalam mengambil kebijakan diskresioner, yang berdampak pada laba akrual. Meskipun basis akrual memiliki kelemahan, akan tetapi Dechow (1995) menemukan bahwa laba akrual adalah ukuran yang lebih baik atas kinerja perusahaan dibandingkan dengan aliran kas. Metode akrual mampu mengurangi problema permasalahan waktu dan kesalahtandingan (mismatching) yang ada dalam aliran kas jangka pendek. Akan tetapi, adanya fleksibilitas yang terbuka dalam implementasi standar akuntansi yang berlaku, menyebabkan manajemen dapat memilih kebijakan akuntansi tertentu yang paling menguntungkan. Fleksibilitas ini pada gilirannya memungkinkan manajemen perusahaan melakukan manajemen laba. Tindakan manajemen laba juga terjadi di dunia perbankan. Smith dan Watts (1986) menemukan bahwa hanya 67% bank yang melakukan penyesuaian akuntansi (accounting adjustment) dengan tujuan kontrak kompensasi. Jumlah tersebut jauh dibawah industri yang tidak teregulasi (unregulated industries), yaitu sebanyak 91%. Terhadap motivasi kontrak hutang, Moyer (1988) gagal menemukan hubungan antara penyesuaian akuntansi dan perjanjian dividen
JURNAL EKSIS Vol.6 No.1, Maret 2010: 1100 – 1266
(dividend covenant) termasuk di dalamnya kontrak hutang (debt contract). Hasil penelitian empiris tersebut menunjukkan bahwa di dunia perbankan, motivasi tindakan manajemen laba tidak dimotivasi oleh kontrak kompensasi dan hutang, tetapi lebih oleh motivasi biaya politik. Motivasi biaya politik (political cost hypothesis) tersebut berbentuk 2 macam, yaitu motivasi manajemen modal (capital management) dan motivasi perataan laba (income smoothing). Potensi tindakan manajemen laba oleh manajer perbankan tersebut, memaksa Bank Indonesia membuat berbagai regulasi yang mampu menjaga reliabilitas dan keandalan kualitas laporan keuangan. Tujuannya tidak hanya untuk melindungi kepentingan investor (pengambilan keputusan investasi), tetapi juga meningkatkan tingkat kualitas pengawasan melalui peningkatan kualitas laporan keuangan. Laporan keuangan dengan basis akuntansi akrual menjadi instrumen pokok dalam menilai tingkat kesehatan dan kinerja perbankan. Salah satu kebijakan penting tersebut adalah terbitnya Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 tentang kewajiban bank-bank untuk menerapkan struktur Good Corporate Governance (GCG). Terdapat 2 alasan penting implementasi GCG yaitu pertama, meningkatkan pengendalian operasional atas lembaga intermediasi ini dan kedua, meningkatkan kualitas laporan keuangan bank yang menjadi dasar penilaian tingkat kinerja dan kesehatan bank. Penelitian empiris terhadap pengaruh struktur Good Corporate Governance (GCG) dalam mengurangi tingkat intensitas manajemen laba di perusahaan telah diteliti. Semakin baik kualitas struktur dan mekanisme GCG, maka makin berkualitas juga informasi laporan keuangan yang disajikan oleh perbankan. Tingkat kualitas informasi laporan keuangan diukur dari tinggi rendahnya kandungan akrual diskresioner dalam laporan keuangan tersebut. Semakin rendah nilai akrual diskresioner, maka semakin berkualitas informasi laporan keuangan tersebut. Hubungan antara kualitas struktur dan mekanisme GCG terhadap kualitas informasi laporan keuangan secara empiris diuji oleh Beasley et al., (2000), Vafeas (2000), Bushman dan Smith (2001), dan Goodwin dan Seow (2002). Berbagai riset empiris tersebut diatas menunjukkan bahwa struktur GCG terbukti mampu mengurangi intensitas tindakan manajemen laba, yang pada akhirnya laporan keuangan yang dihasilkan oleh perusahaan lebih berkualitas (andal dan relevan). Bank Indonesia mendefinisi GCG sebagai suatu tata kelola bank yang menerapkan prinsipprinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness) (pasal 1 ayat 6). Struktur GCG
Riset / 1330
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id wajib dilaksanakan oleh bank-bank di seluruh Indonesia baik dalam setiap kegiatan operasi maupun jenjang organisasi (pasal 2). Beberapa struktur penting dalam GCG antara lain: 1). jumlah dewan komisaris minimal 3 orang (pasal 4), yang mana 50% nya adalah komisaris independen (pasal 5), dan rangkap jabatan maksimal 1 pada perusahaan (bukan lembaga keuangan). 2). Jumlah dewan direksi maksimal 3 orang (pasal 19) dan presiden direktur wajib dari pihak independen terhadap saham pengendali (pasal 20), dilarang rangkap jabatan dan tidak boleh memiliki saham lebih dari 25% baik individu maupun bersama (pasal 22). Dan 3). Bank wajib membentuk komite audit (pasal 38), komite pemantau risiko (pasal 39), dan komite remunerasi dan nominasi (pasal 40). Dalam pelaksanaan GCG ini, setiap bank wajib menyusun laporan GCG tiap akhir tahun buku (pasal 61), yang didasarkan pada surat edaran Gubernur Bank Indonesia. Bank yang terlambat melaporkan, tidak melaporkan, atau sengaja melaporkan GCG yang salah akan dikenai sanksi denda administratif dan operasional berupa larangan ikut kliring dan sampai pembekuan operasi. Sedangkan, bagi pengurus akan diberhentikan dan termasuk orang yag tidak layak uji kelulusan fit & proper test dari Bank Indonesia. Penerapan GCG pada perusahaan perbankan di negara-negara berkembang sangat penting. Bank merupakan insitusi intermediasi keuangan yang sangat penting dalam sistem ekonomi negara berkembang. Reformasi menyeluruh terhadap manajemen perbankan akan berdampak besar dan positif terhadap reformasi ekonomi. Sehingga, implementasi GCG akan meningkatkan kehati-hatian kebijakan pengelolaan keuangan (prudential regulatory) yang menjadi prasyarat penting dalam mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang sehat bagi negaranegara berkembang. Kualitas implementasi GCG akan berdampak terhadap kualitas kebijakan perbankan dan kinerja perbankan secara keseluruhan (Arun dan Turner, 2004). Berdasarkan rerangka pemikiran diatas, maka GCG menjadi tuntutan utama dalam penyehatan perbankan nasional. Intensitas tindakan manajemen laba di dunia perbankan dapat diukur melalui besaran akrual diskresioner (discretionary accrual). Akrual diskresioner merupakan dampak dari hak yang dimiliki oleh manajer untuk mengambil metode akuntansi tertentu (judgement) yang sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan keinformatifan informasi laporan keuangan. Hal ini dikarenakan banyak komponen laporan keuangan banyak mengandung rekening akrual yang harus disesuaikan oleh manajer agar laba lebih informatif. Beberapa unsur akrual tersebut antara lain beban pemupukan dan pembentukan aktiva produktif
Riset / 1331
(identik dengan taksiran piutang tak tertagih pada perusahaan manufaktur), depresiasi aktiva tetap, pemilihan metode sediaan, dan saat pengakuan pendapatan. Selain boleh memilih metode yang sah sesuai standar, manajer juga dapat memilih salah satu metode untuk meningkatkan reliabilitas dan relevansi informasi laporan keuangan. Akan tetapi hak dan fleksibilitas pemilihan metode akuntansi tersebut, seringkali disalahgunakan oleh manajer untuk kepentingan pribadinya. Manajemen laba menjadi alat dan cara bagi manajer untuk meningkatkan utilitasnya, metode akuntansi yang dipilih ditujukan untuk melindungi kepentingannya, seperti meningkatkan bonus, melindungi jabatan, dan menghindari sanksi yang akan dijatuhkan oleh principal (stockholders). Penggunaan akrual diskresioner untuk mengukur intensitas tindakan manajemen laba telah digunakan oleh Healy (1985); Defond dan Jiambalvo, 1994; Jiambalvo (1996); Gul et al., (2003). Akrual diskresioner diperoleh dari perhitungan total akrual dikurangi dengan akrual non diskresioner. Perhitungan akrual non diskresioner dapat dilakukan dengan berbagai metode. Salah satu metode yang umum dan valid digunakan adalah pendekatan Jones (1991). Metode Jones terbukti dapat menghasilkan klasifikasi kesalahan pengukuran akrual diskresioner paling kecil. Metode ini memisahkan komponen akrual diskresioner dan akrual non diskresioner, serta menghilangkan adanya asumsi bahwa komponen non diskresioner adalah konstan (Dechow et al., 1995). Besar kecilnya angka akrual diskresioner menunjukkan besar kecilnya tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Semakin besar nilai akrual diskresioner dalam laporan keuangan, maka semakin rendah kualitas (reliabilitas dan relevansi) laporan keuangan, dan sebaliknya. Penelitian ini bertujuan melakukan investigasi atas pengaruh implementasi struktur GCG terhadap kualitas laba pada industri perbankan di Indonesia. Kualitas GCG yang dimaksud adalah keberadaan struktur GCG seperti yang diwajibkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 yang berlaku sejak tahun 2006. Sedangkan, pengukuran terhadap tindakan manajemen laba dengan menghitung besarnya nilai akrual diskresioner yang terkandung dalam laporan keuangan semesteran bank-bank di Indonesia. Besar kecilnya nilai akrual diskresioner menjadi indikator pokok kualitas laporan keuangan bank. Semakin besar nilai akrual diskresioner, maka semakin rendah kualitas laporan keuangan bank. Implementasi struktur GCG tersebut, berdasar beberapa hasil penelitian empiris diatas, diduga mampu mengurangi tindakan manajemen laba. Sehingga laporan keuangan perbankan menjadi lebih berkualitas (lebih andal dan relevan)
JURNAL EKSIS
Vol.6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
sebagai dasar pengukuran kinerja dan tingkat kesehatan, pengawasan kepatuhan, maupun pengambilan keputusan investasi. Berdasarkan rerangka dan rasionalisasi pemikiran diatas, maka rumusan masalah penelitian yang diajukan adalah: 1. Bagaimana nilai akrual diskresioner bank-bank di Indonesia sebelum dan setelah implementasi kebijakan GCG? 2. Apakah nilai akrual diskresioner bank sampel sebelum kebijakan struktur GCG lebih besar dibanding setelah implementasi kebijakan tersebut? 3. Apakah terjadi perbedaan nilai akrual diskresioner yang signifikan antara sebelum dan setelah implementasi kebijakan struktur GCG? PENELITIAN TERDAHULU Struktur dan mekanisme GCG memainkan peran yang sangat penting untuk membatasi manajer melakukan tindakan manajemen laba. Dalam perspektif oportunistik manajer, tindakan manajemen laba merupakan tindakan yang dapat menurunkan kualitas laporan keuangan. Penurunan tersebut disebabkan oleh berbagai kebijakan akrual diskresioner melalui pemilihan fleksibilitas metode dalam PABU (Subramanyam, 1996). Akibatnya, keandalan dan relevansi informasi akrual laporan keuangan menurun, sebab penyajiannya disesuaikan dengan kepentingan manajer. Dalam hal ini GCG memiliki peran penting (Dechow et al., 1996). Meskipun demikian apabila terjadi inkonsistensi temuan, maka kemungkinan diduga disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, efektifitas tugas dan peran masing-masing struktur GCG yang berbeda, penggunaan variabel struktur GCG kurang tepat tetapi harus dengan pendekatan mekanisme GCG, kedua, kondisi lingkungan perusahaan yang berbeda, di US dan Inggris konflik yang terjadi antara principal dan agen, tetapi di Indonesia dan Asia Tenggara umumnya dimana perusahaan banyak dimiliki oleh keluarga, maka konflik kepentingan bergeser ke pemegang saham mayoritas dan minoritas (La Porta et al., 1999 dan Claessens, S, 2000). Dan ketiga variabel struktur GCG yang digunakan parsial, misalnya hanya komisaris independen, komite audit, atau ukuran serta komposisi dewan direksi. Vafeas (2000) menguji hubungan antara GCG dengan tingkat keinformatifan laporan keuangan, yang diproksi dengan hubungan earnings-return. Struktur GCG diproksikan dengan jumlah komisaris independen, efektifitas kerja dan ukuran dewan komisaris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah dewan komisaris yang lebih kecil (minimum 5 orang) dipersepsi pasar lebih informatif dalam menghasilkan laporan
JURNAL EKSIS Vol.6 No.1, Maret 2010: 1100 – 1266
keuangan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh persepsi bahwa ukuran dewan komisaris yang terlalu besar justru akan mengurangi kemampuan kontrol kepada manajemen. Sebab, proses koordinasi, komunikasi, dan pengambilan keputusan tidak praktis dibandingkan dengan ukuran dewan komisaris yang kecil Yermarck (1996). Chtourou (2001) menemukan bahwa peran direksi dapat meningkatkan kualitas laba melalui pembatasan tindakan manajemen laba oleh manajer. Hal ini ditunjukkan dengan nilai akrual diskresioner yang lebih kecil pada perusahaan yang memiliki jumlah dan ukuran dewan direksi tertentu. Pembatasan tindakan tersebut dilakukan melalui proses efektifitas fungsi dan peran monitoring dalam pelaporan keuangan. Temuan ini berarti bahwa struktur jumlah dan proporsi ukuran tertentu dewan direksi dalam struktur GCG berpengaruh terhadap kualitas laporan keuangan. Xie et al., (2003) menguji hubungan antara struktur GCG dengan tingkat akrual diskresioner, yang mana struktur GCG diproksikan dengan adanya komite audit dan karakteristik dewan komisaris. Hasil penelitian menunjukkan konsistensi dengan temuan Vafeas. Jumlah dan komposisi dewan komisaris dan komite audit berhubungan negatif dengan tingkat akrual diskresioner. Sehingga, karakteristik dewan komisaris dan komite audit terbukti dapat meningkatkan fungsi dan monitoring proses pelaporan keuangan. Sehingga mekanisme pelaporan keuangan menjadi lebih efektif. Klein (2002) meneliti hubungan antara jumlah komisaris independen dalam komite audit dengan tingkat akrual diskresioner. Hasil penelitian menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki sedikit komisaris independen di dalam komite audit, mempunyai tingkat nilai akrual diskresioner lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki proporsi komisaris independen yang lebih banyak dalam komite audit. Beberapa penelitian hubungan struktur GCG dengan tingkat akrual diskresioner juga telah dilakukan. Rosenstein dan Wyatt (1990) menyatakan bahwa kemampuan dewan komisaris dan keberadaan komisaris independen adalah fungsi negatif dari tingkat akrual diskresioner. Beasley (1996) dan Weisbach (1998) menemukan hubungan negatif antara komposisi komisaris independen dengan kasus-kasus ekstrim manajemen laba yang terjadi pada perusahaanperusahaan di Amerika Serikat. Di Indonesia temuan penelitian struktur GCG dengan tindakan manajemen laba masih inkonsisten. Parulian (2004) menemukan adanya hubungan negatif signifikan antara perusahaan yang memiliki komite audit dengan tingkat akrual
Riset / 1332
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id diskresioner. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan, efektifitas fungsi, dan ukuran komposisi komite audit di dalam perusahaan memiliki peran dan fungsi efektif dalam meningkatkan pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Manajer akan lebih hati-hati untuk melakukan tindakan manajemen laba. Sehingga, laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan akan lebih berkualitas karena tingkat akrual diskresioner yang terjadi sangat rendah. Sebaliknya, Wedari (2004) menemukan bahwa akrual diskresioner pada perusahaan yang memiliki komite audit signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki komite audit. Dan, Nuryanah (2004) ternyata tidak menemukan adanya hubungan antara komite audit dengan nilai perusahaan. Nilai perusahaan diukur dengan tingkat respon pasar, maka diduga ketidaksignifikansian tersebut karena banyaknya faktor noise dalam pengukuran kualitas laporan keuangan. Spesifikasi penelitian ini dengan sebelumnya adalah: pertama, penelitian di lakukan pada perusahaan perbankan yang sebelumnya belum pernah dilakukan. Sektor perbankan diduga lebih agresif melakukan tindakan manajemen laba, sebab biaya regulasi yang harus ditanggung akibat pelanggaran ketentuan regulator lebih tinggi. Dalam rerangka hipotesis biaya politik (political cost hypothesis), maka manajer bank akan melakukan tindakan manajemen laba melalui strategi manajemen modal (capital management) dan perataan laba (income smoothing) untuk menurunkan biaya regulasi. Biaya regulasi ini jarang terjadi dan sangat kecil terjadi pada perusahaan manufaktur. Kedua, penelitian ini tidak menggunakan variabel parsial (salah satu struktur GCG), akan tetapi menggunakan seluruh struktur dan bahkan mekanisme GCG. Maka, analisis data tidak menggunakan regresi berganda, tetapi uji beda rata-rata sampel. Pengujian dilakukan pada besaran nilai akrual sebelum dan setelah implementasi GCG. Hal ini karena struktur dan mekanisme GCG merupakan satu kesatuan, sehingga tidak boleh dipisah-pisahkan penerapannya. Ketiga, karakteristik struktur rekening laporan keuangan perbankan sangat berbeda dengan perusahaan manufaktur. Sehingga, implementasi metode Jones (1991) untuk pemisahan nilai akrual diskresioner dan akrual non diskresioner, modelnya harus dilakukan rekayasa. Salah satu rekening tersebut adalah rekening Pemupukan dan Penyisihan Aktiva produktif (PPAP). Sehingga, nilai diskresioner akrual yang akan dibandingkan antara sebelum dan setelah kebijakan GCG akan lebih akurat dan tepat menggambarkan intensitas tindakan laba oleh manajer bank. Manajemen Laba dan Pengukurannya
Riset / 1333
Manajemen laba merupakan tindakan dan strategi yang tidak dapat dipisahkan dari teori keagenan (agency theory). Scott (1997) menyatakan bahwa ada 2 hal penting saling melengkapi dalam kaitannya dengan manajemen laba. Pertama, keinginan manajer untuk memaksimalkan utilitasnya pada saat melakukan perjanjian kontrak (contracting view). Asumsi yang dipakai adalah bahwa manajemen laba memberikan manajemen beberapa fleksibilitas untuk melindungi manajemen dan perusahaan dalam menghadapi pernyataan yang tidak terealisasi dengan tujuan memberikan keuntungan kepada seluruh pihak dalam perjanjian kontrak. Kedua, manajemen laba berkaitan dengan persepsi pelaku pasar modal atas laba melalui kebijakan yang berbentuk perataan laba (income smoothing). Manajemen melakukan manajemen laba tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan reliabilitas dan relevansi informasi laporan keuangan. Dalam perjanjian hutang (kontrak) tindakan manajemen laba bertujuan untuk memaksimalkan utilitasnya sehingga terlihat penyajian laporan keuangan lebih reliabel dan mempermudah perjanjian kontrak. Angka-angka akuntansi dapat digunakan untuk mengendalikan perjanjian hutang terhadap pembatasan keputusan investasi dan pendanaan yang akan menurunkan nilai perusahaan. Laporan keuangan merupakan salah satu sumber informasi untuk menilai posisi dan kinerja perusahaan. Laporan keuangan atas dasar akrual memberikan kesempaan keada manajer untuk memodifikasi laporan keuangan guna menghasilkan jumlah laba (earnings) yang diinginkan. GAAP atau PABU juga memberikan keleluasaan bagi manajer untuk memilih metode akuntansi yang akan digunakan untuk menyusun laporan keuangan. Akuntansi akrual lebih menitikberatkan pada pengakuan dan penandingan pendapatan dan beban dibandingkan realisasi seperti dalam arus kas. Scott (1997) mendefinisikan manajemen laba sebagai pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan. Perilaku manajemen laba dibagi dalam 2 sifat, yaitu sifat perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak hutang, dan political cost. Sifat kedua yaitu kontrak efisien, yang mana manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan untuk mengantisipasi kejadiankejadian yang tidak terduga bagi keuntungan pihakpihak yang terlibat dalam kontrak. Tindakan manajemen laba dapat dijelaskan dengan positive accounting theory (PAT) dan agency theory. PAT merumuskan 5 motivasi yang
JURNAL EKSIS
Vol.6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
melatarbelakangi manajer dalam melakukan tindakan manajemen laba. Pertama pergantian CEO tujuannya adalah untuk mempertahankan kinerja agar tidak diganti (job security). Penelitian empiris motivasi ini dilakukan oleh DeAngelo et al., (1994). Kedua, Motivasi Perjanjian Hutang tujuannya adalah untuk menurunkan tingkat bunga kredit dalam perjanjian kontrak hutang dan memperbaiki kinerja rasio hutang terhadap modal agar terhindar dari penalti kreditor. Beberapa penelitian yang dilakukan antara lain oleh Sweeney (1994), DeFond & Jiambalvo (1994). Ketiga, Motivasi Politik tujuannya untuk menghindari biaya politik yang timbul akibat kebijakan pemerintah terhadap perusahaan. Jones (1991) dan Cahan (1992) menunjukkan bahwa perusahaan yang sedang dalam pengawasan pemerintah melakukan tindakan manajemen laba untuk menurunkan laba akrual. Keempat, motivasi perpajakan bertujuan untuk mengurangi beban pajak yang harus dibayar kepada pemerintah. Gujarathi dan Hoskin (1992), serta Dopuch dan Pincus (1998) dalam Parulian (2004) menyatakan bahwa perubahan peraturan perpajakan yang agresif mendorong manajer menurunkan laba untuk mengurangi besarnya nilai pajak yang harus dibayar. Kelima, motivasi IPO bertujuan untuk meningkatkan return perusahaan atas penerbitan sahamnya. Neill et al., (1995) dalam Wedari (2004) menemukan bahwa perusahaan cenderung akan memaksimumkan return IPO melalui manajemen laba. Pengukuran terhadap ada tidaknya tindakan manajemen laba dalam berbagai riset digunakan proksi yang beragam. Setidaknya terdapat 3 metode proksi untuk mengukur tindakan manajemen laba, yaitu total akrual, akrual diskresioner, dan pemilihan metode akuntansi tertentu (misalnya sediaan). DeAngelo (1994), Sweeney (1994), DeFond dan Jiambalvo (1995) mengunakan total akrual sebagai proksi indikasi tindakan manajemen laba. Strategi yang digunakan adalah dengan melihat estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi aktiva, dan waktu penjualan yg merupakan kebijakan akuntansi akrual. Cahan (1992) serta Dopuch dan Pincus (1998) dalam Parulian (2004) lebih memilih fleksibilitas metode akuntansi untuk proksi manajemen laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan dengan metode LIFO cenderung memperbesar sediaan akhir untuk menurunkan pajak yang harus dibayarkan. Sedangkan, kelompok peneliti ketiga menggunakan akrual diskresioner sebagai proksi tindakan manajemen laba antara lain, Healy (1985), Sloan (1996), Larcker et al., (2003), Parulian (2004), Wedari (2004), Xie et al., (2005), Davidson et al., (2005). Perhitungan terhadap nilai akrual diskresioner dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, menghitung total akrual yang telah
JURNAL EKSIS Vol.6 No.1, Maret 2010: 1100 – 1266
digunakan oleh Healy (1985). Kedua, menghitung akrual non diskresioner dengan menggunakan metode Jones (1991). Model Jones ini menghilangkan asumsi akrual non diskresioner yang konstan dan melakukan kontrol penuh atas pengaruh perubahan kondisi ekonomi terhadap akrual nondiskresioner, yang sebelumnya digunakan oleh DeAngelo (1986). Sehingga, model Jones mampu mengukur akrual non diskresioner tanpa error. Dechow et al., (1995) menguji bahwa model Jones menghasilkan klasifikasi kesalahan terkecil dibanding metode yang lain untuk mengukur akrual non diskresioner. Ketiga, melakukan perhitungan akrual diskresioner dengan mengurangkan tahap 1 dengan tahap 2. Tindakan Manajemen Laba Di Perbankan Dalam rerangka Positive Accounting Theory (PAT) dan Agency Theory, tindakan manajemen di dunia perbankan lebih banyak didorong oleh motivasi biaya politik (political cost hypothesis). Smith dan Watts (1986) menemukan bahwa hanya sekitar 67% bank yang melakukan tindakan manajemen laba untuk tujuan kontrak kompensasi (bonus plan hypothesis). Jumlah tersebut jauh dibawah industri lain yang tidak teregulasi (unregulated industries), yaitu sebanyak 91%. Sedangkan untuk motivasi kontrak hutang (debt covenant hypothesis), Moyer (1988) gagal menemukan hubungan antara penyesuaian akuntansi dan perjanjian dividen (dividend covenant) termasuk di dalamnya kontrak hutang (debt contract). Hasil penelitian empiris tersebut menunjukkan bahwa di dunia perbankan, motivasi tindakan manajemen laba tidak didorong oleh kontrak kompensasi dan kontrak hutang, tetapi oleh motivasi biaya politik (biaya regulasi). Tindakan manajemen laba di dunia perbankan bertujuan untuk mengurangi ancaman biaya regulasi (regulatory cost imposed) oleh regulator. Tujuan tindakan manajemen laba di dunia perbankan lebih banyak didorong untuk menghindari ancaman biaya regulasi (regulatory cost imposed). Tindakan manajemen laba untuk tujuan menghindari pelanggaran kebijakan standar modal (capital standard) disebut dengan hipotesis manajemen modal (capital management hypothesis). Sedangkan, tindakan manajemen laba yang bertujuan untuk menurunkan intensitas monitoring oleh regulator dan persepsi risiko oleh investor akibat variasi laba (rugi) yang terlalu tinggi, disebut hipotesis perataan laba (income smoothing hypothesis). Manajemen laba dilakukan melalui rekening akrual dan didasari oleh estimasi judgement manajemen, yaitu beban penghapusan aktiva produktif (loan loss provision) dan realisasi penjualan aset. Rekening penghapusan aktiva produktif (BPAP) menjadi interest penelitian ini yang diduga menjadi obyek dalam tindakan manajemen laba. Sebab, rekening ini selain
Riset / 1334
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id merupakan nilai akrual yang sangat besar, juga besarnya nilai berdasarkan estimasi dan jugdement manajemen. Struktur GCG dan Manajemen Laba Bank Indonesia mendefinisi good corporate governance (GCG) sebagai tata kelola bank yang berdasarkan pada prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness) (pasal 1). GCG harus diterapkan baik pada setiap aktivitas organisasi maupun pada setiap jenjang stuktur organisasi yang dimilikinya. Dengan demikian makna GCG mencakup 2 hal, yaitu struktur (jenjang) dan mekenisme (proses). GCG merupakan upaya Bank Indonesia sebagai pemegang autoritas moneter tertinggi, untuk meningkatkan pengawasan terhadap mekanisme kerja bank-bank agar dapat melindungi kepentingan stakeholders. Implementasi kebijakan struktur organisasi meliputi:
GCG
dalam
1. Jumlah dewan komisaris minimal 3 orang (pasal 4), 50% nya adalah komisaris independen (pasal 5), dan rangkap jabatan maksimal 1 pada perusahaan (bukan lembaga keuangan). 2. Jumlah dewan direksi 3 orang maksimal (pasal 19), dan presiden direktur wajib dari pihak independen terhadap saham pengendali (pasal 20), dilarang rangkap jabatan dan tidak boleh memiliki saham lebih dari 25% baik individu maupun bersama (pasal 22). 3. Bank wajib membentuk komite audit (pasal 38), komite pemantau risiko (pasal 39) dan komite remunerasi dan nominasi (pasal 40). Sedangkan, mekanisme kerja setiap struktur kelembagaan dalam GCG juga diatur secara detail dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006. Bank Indonesia akan melakukan pengawasan secara periodik dengan menggunakan instrumen yang disediakan. Berbagai sanksi diberikan kepada setiap bank yang terbukti tidak mengimplementasikan GCG. Sanksi tersebut berbentuk 3 hal, yaitu sanksi adminstratif (denda uang), sanksi operasional (pembekuan operasi) dan sanksi organisasi (pencopotan pejabat bank). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara struktur dan mekanisme GCG dengan tindakan manajemen laba oleh manajer secara empiris terjadi. Mekanisme yang efektif dan struktur GCG terbukti mampu menurunkan intesitas tindakan manajemen laba. GCG diproksikan dalam 2 bentuk, yaitu pertama mekanisme GCG yang diukur dari efektifitas fungsi, intensitas pertemuan,
Riset / 1335
dan kapabilitas dan kompetensi personal yang ada dalam setiap struktur organisasi GCG. Sedangkan, kedua adalah struktur GCG yang diukur dengan komposisi dan proporsi independensi personal dalam setiap struktur, dan besaran personal yang ada dalam setiap struktur. Meskipun beberapa penelitian terbukti tidak konsisten, akan tetapi sebagian besar mendukung hipotesis bahwa mekanisme dan struktur GCG berpengaruh negatif terhadap tindakan manajemen laba. Pengukuran kualitas GCG dalam berbagai penelitian menggunakan 2 pendekatan, yaitu struktur GCG dan mekanisme GCG. Struktur GCG, dalam berbagai penelitian diatas, umumnya digunakan antara lain keberadaan dan jumlah komisaris independen, independensi presiden direktur, serta keberadaan, jumlah, dan komposisi anggota komite audit. Proksi dan kualitas GCG pada penelitian-penelitian dilakukan dalam 2 cara, yaitu secara bersama-sama (simultan) dan sendirisendiri (parsial). Simultan artinya, penelitian tersebut menggunakan ke-3 struktur GCG (komisaris independensi, independensi presiden direktur, serta keberadaan, jumlah, dan proporsi komite audit) sebagai ukuran kualitas implementasi GCG (Xie et al., 2003; Larcker et al., 2003; dan Davidson et al., 2005). Berikutnya, adalah penggunaan proksi GCG secara parsial, antara lain keberadaan komisaris independen (Beasley, 1996; Vafeas, 2000), komite audit dan karakteristik dewan komisaris (Chtourou, 2001), karakteristik dewan direksi (independensi dan bukan pemegang saham besar) (Rosenstein dan Wyatt, 1999; Chtourou et al., 2001), keberadaan dan karakteristik komite audit (salah satu anggota adalah komisaris independen) (Klein, 2002; Wedari, 2004; Parulian, 2004). Pengembangan Hipotesis Mekanisme dan struktur GCG terbukti berpengaruh signifikan dalam menurunkan tingkat intensitas manajemen laba oleh manajer. Meskipun begitu ada beberapa penelitian struktur GCG yang tidak berpengaruh signifikan, misalnya Parulian (2004) dan Wedari (2004). Hal ini diduga karena variabel struktur GCG diterapkan secara parsial, padahal struktur dan mekanisme tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Maka dalam penelitian ini struktur dan mekanisme diuji bersama dan integrasi. Pengukuran kualitas GCG menggunakan 2 pendekatan, yaitu struktur GCG dan mekanisme GCG. Struktur GCG yang umum digunakan adalah keberadaan dan jumlah komisaris independen, independensi presiden direktur, serta keberadaan, jumlah, dan komposisi anggota komite audit baik secara simultan maupun parsial (Beasley, 1996; Rosenstein dan Wyatt, 1999; Vafeas, 2000; Chtourou et al., 2001; Klein, 2002; Xie et al., 2003;
JURNAL EKSIS
Vol.6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
Larcker et al., 2003; Wedari, 2004; Parulian, 2004; dan Davidson et al., 2005). Pengukuran tindakan manajemen laba dibagi menjadi 3 metode, yaitu total akrual, tingkat akrual diskresioner, dan pemilihan metode akuntansi tertentu (misalnya sediaan). DeAngelo (1994), Sweeney (1994), DeFond dan Jiambalvo (1995) menggunakan total akrual sebagai proksi indikasi tindakan manajemen laba. Strategi yang digunakan adalah dengan melihat estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi aktiva, dan waktu penjualan yang merupakan kebijakan akuntansi akrual. Cahan (1992) serta Dopuch dan Pincus (1998) dalam Parulian (2004) lebih memilih fleksibilitas metode akuntansi untuk proksi manajemen laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan dengan metode LIFO cenderung memperbesar sediaan akhir untuk menurunkan pajak yang harus dibayarkan. Sedangkan, kelompok peneliti ketiga menggunakan akrual diskresioner sebagai proksi tindakan manajemen laba antara lain, Healy (1985), Sloan (1996), Larcker et al., (2003), Parulian (2004), Wedari (2004), Xie et al., (2005), Davidson et al., (2005) Dechow et al., (1995) dan Young (1999) menemukan bahwa diantara 3 model tersebut, model Jones menghasilkan klasifikasi kesalahan terkecil dibanding metode yang lain untuk mengukur akrual non diskresioner. Berdasarkan rerangka pemikiran diatas, maka hipotesis yang diajukan adalah: H1: Rata-rata nilai akrual diskresioner bankbank sampel lebih tinggi sebelum implementasi GCG dibandingkan dengan setelah implementasi GCG. H2:
Terjadi perbedaan rata-rata akrual diskresioner yang signifikan atas bankbank sampel sebelum implementasi kebijakan GCG dengan setelah implementasi.
METODA PENELITIAN Sifat Penelitian dan Populasi Sifat penelitian ini empiris dan menggunakan metode survey. Populasi penelitian adalah seluruh bank-bank di Indonesia yang terdiri dari bank umum, bank pemerintah, bank asing, dan bank pembangunan daerah yang jumlahnya mendapai 145 bank. Data yang Diperlukan Laporan tahunan bank-bank sampel untuk 4 tahun, yaitu 2 tahun sebelum implementasi GCG (2004-2005) dan 2 tahun setelah implementasi (2006-2007). Rekening laporan keuangan yang dibutuhkan antara lain nilai Pemupukan dan
JURNAL EKSIS Vol.6 No.1, Maret 2010: 1100 – 1266
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), nilai Aktiva Tetap, nilai Pendapatan Bunga, nilai Total Aktiva, Adapaun dasar kewajiban penerapan GCG bagi perbankan adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006. Data lain adalah informasi tentang karakteristik setiap bank sampel untuk keperluan deskripsi setiap sampel. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi (archival method) yaitu melakukan telaah dan analisis atas berbagai nilai rekening dalam laporan keuangan publikasian bank-bank. Data tersebut diperoleh dari direktori laporan keuangan bank yang tersedia di perpustakaan Bank Indonesia, Jakarta. Selain itu, penggumpulan data juga dilakukan dengan dokumentasi informasi karakteristik bank melalui browsing di internet. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yang didasarkan pada klasifikasi bank oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia mengklasifikasikan bank menjadi 6 kelompok, yaitu bank pemerintah (5 buah), bank pembangunan daerah (26 buah), bank umum devisa (36 buah), bank umum non devisa (44 buah), bank joint venture (24 buah), dan bank asing (10 buah). Penentuan sampel didasarkan pada pendapat Roscoe (dalam Sekaran, 1992) bahwa sampel lebih besar dari 30 dan kurang dari 500 pada kenyataannya sudah mewakili populasi penelitian. Maka, berdasarkan pendapat Indriantoro & Supomo (1998), maka dapat diambil minimal 30% dari kelompok populasi sebagai sampel dengan jumlah minimal 30 sampel. Jumlah tersebut menurut teori tendensi sentral (central limit theorem) sudah memenuhi asumsi normalitas distribusi data untuk dapat dianalisis dengan metode statistik parametrik. Berdasarkan rerangka diatas, maka masing-masing kelompok populasi akan diambil 30% menjadi sampel. Bank pemerintah akan diambil 2 bank, Bank Pembangunan Daerah 8 buah, Bank Umum Devisa 11 buah, Bank Umum Non Devisa 13 buah, Bank Joint Venture 7 buah, dan Bank Asing 3 buah. Sehingga total sampel penelitian yang digunakan adalah 44 buah bank sampel. Bank sampel tersebut dipilih secara acak (random). Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel 1. Struktur Good Corporate Governance (GCG). Adalah struktur dan mekanisme yang ditetapkan BI berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006. Struktur GCG mencakup 1). Jumlah dewan komisaris minimal 3 orang (pasal 4), 50% nya adalah komisaris independen (pasal 5), dan rangkap jabatan
Riset / 1336
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id maksimal 1 pada perusahaan (bukan lembaga keuangan). 2) Jumlah dewan direksi 3 orang maksimal (pasal 19), dan presiden direktur wajib dari pihak independen terhadap saham pengendali (pasal 20), dilarang rangkap jabatan dan tidak boleh memiliki saham lebih dari 25% baik individu maupun bersama (pasal 22). Dan 3). Bank wajib membentuk komite audit (pasal 38), komite pemantau risiko (pasal 39) dan komite remunerasi dan nominasi (pasal 40).
tahun 2004-2007 berjumlah 145 buah bank. Jumlah bank tersebut dibagi menjadi 6 jenis bank, yaitu Bank Pemerintah sebanyak 5 buah, Bank Pembangunan Daerah (BPD) ada 26 buah, Bank Umum Devisa sebanyak 36 buah, Bank Umum non-Devisa berjumlah 44 buah, Bank Joint Venture berjumlah 24 buah, dan Bank Asing berjumlah 10 buah. Dengan total jumlah 145 buah bank tersebut, maka jika metode pengambilan sampel secara stratified random sampling sebanyak 30%, maka diperoleh jumlah sampel sebesar 44 buah bank. Akan tetapi penambahan jumlah sampel akan meningkatkan kualitas analisis data, sehingga jumlah sampel penelitian digenapkan menjadi 45 buah.
2. Manajemen Laba. Yaitu tindakan manajer bank yang dengan sengaja melakukan rekayasa laporan keuangan dengan tujuan untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan dirinya. Manajemen laba diukur melalui 3 tahap pertama menghitung Total Akural dengan metode Healy (1985) dengan rumus Tait = (Cait - Clit - Cashit – Depit)/Ait1. Kedua, dilakukan pemisahan antara nilai non-discretionary accrual (tingkat akrual normal) dan nilai discretionary accrual (tingkat akrual tidak normal) dengan metode Jones (1991). Model ini dipakai sebab mempunyai menghasilkan klasifikasi kesalahan pengukuran akrual diskresioner paling kecil (Dechow et al., 1995; Young, 1999). Dan ketiga menghitung nilai akrual diskresioner dengan cara mengurangkan tahap 1 dengan tahap 2. Metode Analisis Analisis dilakukan dengan metode kuantitatif baik deskriptif maupun inferensial. Analisis statistik deskriptif bertujuan untuk memberikan gambaran (deskripsi) tentang karakteristik sampel penelitian yang berhasil dikumpulkan. Analisis statistik deskriptif ini untuk menjawab hipotesis 1. Sedangkan analisis inferensial menggunakan uji beda 2 sampel ratarata berpasangan (paired sampel t-test). Tingkat signifikansi ditetapkan adalah 5%. Penarikan simpulan dilakukan apabila p-val hasil uji berada di bawah taraf signifikansi yang ditetapkan, maka hipotesis null di tolak, yang berarti memang terjadi perbedaan akrual diskresioner antara sebelum dan setelah kebijakan GCG. Apabila, ternyata hipotesis ke-1 terjawab secara signifikan, maka hipotesis ke2 berarti bahwa kebijakan GCG memang mampu menurunkan intensitas tingkat manajemen laba yang dilakukan oleh manajer bank. Maka, simpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa GCG yang ditetapkan oleh regulator mampu secara efektif meningkatkan kualitas laporan keuangan, melalui penurunan tindakan manajemen laba oleh manajer. HASIL PEMBAHASAN Uraian Populasi dan Sampel Berdasarkan data Bank Indonesia, diperoleh jumlah propulasi bank di Indonesia antara
Riset / 1337
Hasil perhitungan secara stratified random sampling dari populasi, menunjukkan bahwa jumlah distribusi sampel masing-masing kategori bank adalah 2 Bank Pemerintah (didirikan dan dikendalikan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui kepemilikan sahamnya), 8 BPD (bank umum daerah yang didirikan dan dikendalikan oleh Pemerintah Propinsi di Indonesia), 11 Bank Umum Devisa (bank umum swasta yang mempunyai ijin untuk melakukan berbagai macam transaksi baik di dalam negeri maupun luar negeri, misalnya pembayaran transaksi valuta asing perusahaan dalam rangka pelunasan transaksi jual beli dengan perusahaan di luar negeri), 14 Bank Umum nonDevisa (bank yang memiliki ijin transaksi terbatas, yaitu hanya untuk transaksi penarikan dana dari masyarakat dan penyaluran pembiayaan kepada debiturnya. Bank ini tidak boleh melakukan transaksi valuta asing dengan pihak luar negeri), 7 bank Joint Venture (bank asing yang bermitra dengan bank di Indonesia (bank lokal), sehingga dalam menjalankan usahanya memakai ijin dan nama dari Indonesia, sedangkan nama pemodalnya (affiliasi) tetap dari Bank Asing di luar negeri), dan 3 Bank Asing. (bank yang legalitas badan usaha memang benar-benar bank luar negeri, tetapi mengantongi ijin operasi di Indonesia dari Bank Indonesia. Ijin operasi Bank Asing hanya dibatasi pada wilayah Ibukota Negera Indonesia saja). Berdasarkan uraian pengambilan sampel di atas, maka jumlah total sampel penelitian adalah sebanyak 45 buah bank. Tahun sampel yang digunakan adalah 2 tahun sebelum dan 2 tahun setelah implementasi GCG yang secara resmi diperintahkan Bank Indonesia pada seluruh bankbank yang beroperasi di Indonesia awal tahun 2006. Maka, 2 tahun sebelum diambil tahun 20042005, sedangkan untuk 2 tahun setelah adalah 2006-2007. Penggunaan data tahun 2007 dimungkinkan, sebab data publikasi laporan keuangan tahun 2008 (sesudah tahun 2007) belum dipublikasikan oleh pihak bank, sehingga tidak mungkin diperoleh data tersebut. Dengan jumlah
JURNAL EKSIS
Vol.6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
sampel sebanyak 45 buah bank dan untuk masa 2 tahun baik sebelum maupun sesudah GCG, maka diperoleh diperoleh tahun sampel sebanyak 90 tahun sampel untuk tahun sebelum dan 90 tahun sampel untuk tahun sesudah implementasi GCG. Data nama-nama bank sampel selengkapnya tersaji dalam lampiran di bawah. Statistik Deskriptif Sampel Setelah melalui metode stratified random sampling, maka diperoleh data sampel final sebanyak 45 bank (2 tahun sebelum dan 2 tahun sesudah) atau diperoleh 90 tahun sampel penelitian. Hasil analisis statistik deskriptif diperoleh nilai mean untuk akrual diskresioner (sebagai proksi manajemen laba) sebesar – 1,9412 untuk tahun sebelum implementasi GCG dan sebesar -1,8571 untuk tahun sesudah implementasi GCG. Sementara itu nilai deviasi standar yang diperoleh sebesar 0,45343 untuk tahun sebelum dan 0,48152 untuk tahun sesudah. Kedua data ini menunjukkan bahwa deviasi standar akrual diskresioner untuk tahun sebelum sebesar 23,4% dari nilai mean. Nilai ini masih di bawah nilai standar yang ditetapkan, yaitu 30% (Santoso, 2000) dari nilai mean, sehingga dapat disimpulkan bahwa data akrual diskresioner sebelum implementasi GCG memiliki pola distribusi yang tidak menyebar (variatif). Distribusi data yang seperti biasanya akan memiliki distribusi residual data yang normal. Apabila memang normal, maka data itu dapat diolah lebih lanjut melalui statistik parametrik. Berikutnya untuk prosentase nilai deviasi standar dari mean untuk 2 tahun setelah implementasi GCG menunjukkan angka 25,9%. Hasil ini sama dengan tahun sebelum implementasi GCG, yaitu di bawah standar yang ditetapkan, sehingga distribusi data tersebut masih berada di sekitar nilai mean (tidak menyebar dan tidak variatif). Berikutnya akan dilakukan uji normalitas untuk menguji distribusi residual data, sebelum diuji parametrik. Hasil uji terhadap data mean 2 tahun sebelum (– 1,9412) dan sesudah (-1,8571) menunjukkan bahwa tahun sesudah implementasi GCG memiliki penurunan nilai akrual diskresioner apabila dibandingkan dengan nilai akrual diskresioner sesudah implementasi GCG. Hasil ini menunjukkan bahwa pasca implementasi GCG, nilai akrual diskresioner perusahaan mengalami kenaikan (positif) sebesar 0,0841 poin. Dengan kata lain, bahwa implementasi GCG mampu mendorong manajer untuk menaikkan nilai akrual diskresioner sebesar 0,0841 poin tersebut. Secara teoritis, kenaikan ini bisa dirasionalisasi melalui pendekatan bahwa GCG dapat dipersepsi baik dan buruk. Persepsi baik dikatakan bahwa GCG memang mampu meningkatkan keinformatifan laporan keuangan, sehingga mampu mendorong manajer melakukan penyesuaian terhadap nilai
JURNAL EKSIS Vol.6 No.1, Maret 2010: 1100 – 1266
laporan keuanagn perusahaan kepada seluruh stakeholders (Vafeas, 2000; Chtourou, 2001). Sedangkan, dari perspektif negatif, manajemen laba merupakan tindakan yang oportunistik untuk semata-mata kepentingan manajer, maka adanya GCG akan mampu mengurangi dan bahkan bisa menghilangkan potensi perilaku oportunis tersebut. Perilaku oportunis tersebut dilakukan melalui manajemen laba (menaikkan akrual diskresioner) untuk mendongkrak kinerjanya. Sehingga semestinya GCG akan mampu mengurangi agresifitas manajemen laba tersebut dan perusahaan akan mampu menyajikan kualitas laporan keuangan dengan lebih baik. Dalam pendekatan ini GCG memiliki hubungan negatif dengan akrual diskresioner (proksi tindakan manajemen) (Xie et al., 2003; Klien, 2002). One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Most Extreme Dif f erences
Mean Std. Dev iation Absolute Positive Negativ e
Kolmogorov-Smirnov Z Asy mp. Sig. (2-tailed)
Sblm_GCG 90 -1.9412 .45343 .087 .069 -.087 .828 .500
Stlh_GCG 90 -1.8571 .48152 .151 .140 -.151 1.436 ,323
a. Test distribution is Normal. b. Calculated f rom data.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik, yaitu uji t berpasangan (paired t test). Alat uji berbasis parametrik mempersyaratkan adanya residual data yang terdistribusi secara normal. Maka, sebelum melakukan pengujian hipotesis dengan uji t ini, perlu dilakukan pengujian normalitas data sebelumnya. Pengujian atas distribusi normalitas data dilakukan dengan menggunakan uji one samples kolmogorov-smirnov. Data akan dapat diolah apabila berdistribusi normal. Normalitas data tersebut diukur dengan menggunakan p value (sig) atau t tabel. Data dikatakan berdistribusi normal apabila nilai sig berada di atas tingkat signifikansi yang ditetapkan, yang untuk ilmu-ilmu sosial umumnya 5%. Sebaliknya, jika nilai sig di bawah 5%, maka data dikatakan tidak normal, sehingga perlu dilakukan treatment terlebih dahulu. Hasil analisis sig (p value) berhasil diperoleh nilai sig sebesar 0,5 (50%) untuk nilai akrual diskresioner periode sebelum GCG dan 0,323 (23%) untuk nilai akrual diskresioner setelah GCG. Data ini menunjukkan bahwa nilai sig hasil uji kolmogorov-smirnov bernilai di atas 5% (taraf signifikansi). Berdasarkan kriteria tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi nilai akrual diskresioner untuk periode sebelum dan periode sesudah kebijakan GCG memiliki distribusi
Riset / 1338
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id data yang normal. Maka, pengujian terhadap data dengan menggunakan uji t berpasangan dapat dilakukan. Dalam penelitian ini, perspektif yang dipakai adalah bahwa tindakan manajemen laba merupakan bentuk perilaku oportunistik manajer dalam rangka meningkatkan manfaat dan kepentingan dirinya. GCG merupakan salah satu mekanisme dan sistem yang berguna untuk mengurangi potensi tindakan oportunistik yang akan dilakukan oleh manajer. Oleh karena itu, GCG seharusnya memiliki hubungan yang negatif signifikan dengan akrual diskresioner. GCG seharusnya mampu menurunkan akrual diskresioner, yang berarti GCG mampu untuk membatasi (contraint) tindakan manajemen untuk bertindak dan berperilaku yang menguntungkan dirinya. Dalam perspektif inilah penelitian ini dilakukan dan dikembangkan untuk menjawab kebijakan GCG yang ditetapkan oleh Bank Indonesia terhadap bank-bank di Indonesia. Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji t berpasangan (paired t test). Uji ini merupakan jenis pengujian parametrik, sehingga mempersyaratkan residual data harus berdistribusi normal. Hasil pengujian distribusi data menggunakan uji one sampel kolmogorov-smirnov menunjukkan bahwa seluruh data akrual diskresioner penelitian ini baik sebelum maupun setelah implementasi GCG menunjukkan berdistribusi normal. Maka, pengujian hipotesis dapat dilakukan. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik, yaitu uji t berpasangan (paired t test). Hipotesis alternatif akan diterima apabila nilai p-value atau sig di bawah 5% (taraf signifikansi yang ditetapkan). Sebaliknya, hipotesis alternatif akan ditolak jika nilai sig jauh di atas taraf signifikansi yang ditetapkan. Selanjutnya akan dilakukan pengujian kelengkapan analisis dengan menggunakan arah hubungan perbedaan dari hasil uji t berpasangan tersebut. Hasil ini untuk menguji apakah perbedaan signifikan tersebut memiliki arah yang negatif atau positif. Indikator arah hubungan dapat dilihat dari nilai mean hasil analisisi statistik deskriptif. Apabila jumlah akrual diskresioner setelah kebijakan GCG lebih rendah, maka arahnya menjadi negatif, atau dengan kata lain adanya kebijakan GCG terbukti memang mampu mengurangi adanya tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh manajer bank. Demikian juga sebaliknya apabila arah hubungannya tersebut adalah positif.
Riset / 1339
Paired Samples Test Paired Dif ferences Std. Error Std. Deviation Mean
95% Confidence Interval of the Dif ference Lower Upper
Mean Pair Sebelum GCG .0500000000 .2539174453 .0267652000 .0444000000 .1430000000 1 - Setelah GCG
t 2.004
df
Sig. (2-tailed) 89
.048
Hipotesis alternatif (Ha) yang diajukan dalam penelitian adalah bahwa diduga terjadi perbedaan tindakan manajemen laba (nilai akrual diskresioner) antara sebelum dan sesudah adanya kebijakan GCG oleh Bank Indonesia terhadap bank-bank di Indonesia. Hasil pengujian dengan t berpasangan (paired t test) menunjukkan bahwa nilai sig adalah 0,048 atau 4,8%. Nilai sig ini berada tipis di bawah taraf signifikansi yang ditetapkan (marginally significant), sehingga dapat dikatakan bahwa hipotesis alternatif diterima atau terjadi perbedaan yang signifikan statistis terhadap tindakan manajemen laba perusahaan perbankan antara periode sebelum dan sesudah kebijakan GCG. Analisis lebih lanjut atas mean yang diperoleh dari analisis statistik deskriptif, diperoleh data bahwa nilai akrual diskresioner mengalami kenaikan sebesar 0,0841 poin. Mean nilai akrual diskresioner sebelum kebijakan GCG sebesar – 1,9412 dan nilai akrual diskresionari sesudah kebijakan GCG sebesar -1,8571. Perlu digarisbawahi bahwa kenaikan tersebut adalah pada posisi angka negatif. Hal ini berarti makin mendekati angka nol, maka makin baik kualitas laba atau informasi laporan keuangan. Sebab, apabila mendekati nol, maka tidak terjadi akrual diskresioner atau tidak terjadi tindakan manajemen laba diperbankan. Hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan GCG mampu untuk mengurangi atau memperkecil nilai akrual diskresioner yang merupakan proksi tindakan manajemen laba manajer perbankan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa kebijakan GCG mampu membatasi dan mengendalikan keinginan tindakan oportunistik manajer untuk mengelola laporan keuangan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Atau dengan kata lain kebijakan GCG Bank Indonesia tersebut terbukti mampu untuk memaksa manajer bank untuk lebih jujur dan menghindari tindakan oportunistik melalui manajemen laba yang sangat merugikan seluruh stakeholders. Temuan ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan GCG sudah terbukti efektif dalam mendorong manajer untuk bertindak hati-hati dan tidak bertindak oportunistik untuk mengelabui stakeholders. Hasil ini konsisten dengan berbagai penelitian sebelumnya baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia. Misalnya, temuan Chtourou
JURNAL EKSIS
Vol.6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
(2001) bahwa GCG yang diproksi dengan komposisi dewan direksi dapat mampu untuk meningkatkan kualitas laba melalui pembatasan tindakan manajemen laba oleh manajer, yang ditunjukkan dengan nilai akrual diskresioner yang lebih kecil pada perusahaan yang memiliki jumlah dan ukuran dewan direksi tertentu. Temuan lain adalah dari Xie et al., (2003) bahwa jumlah dan komposisi dewan komisaris dan komite audit berhubungan negatif dengan tingkat akrual diskresioner. Sehingga, karakteristik dewan komisaris dan komite audit terbukti dapat meningkatkan fungsi dan monitoring proses pelaporan keuangan. Sehingga mekanisme pelaporan keuangan menjadi lebih efektif. Berikutnya juga temuan Rosenstein dan Wyatt (1990) bahwa dewan komisaris dan keberadaan komisaris independen memiliki fungsi negatif dengan tingkat akrual diskresioner. Beasley (1996) dan Weisbach (1998) menemukan hubungan negatif antara komposisi komisaris independen dengan kasus-kasus ekstrim manajemen laba yang terjadi pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat. Di Indonesia temuan penelitian tentang efektifitas GCG juga menemukan hasil yang konsisten. Parulian (2004) menemukan hubungan negatif signifikan antara perusahaan yang memiliki komite audit (struktur GCG) dengan tingkat akrual diskresioner. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan, efektifitas fungsi, dan ukuran komposisi komite audit di dalam perusahaan memiliki peran dan fungsi efektif dalam meningkatkan pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Manajer akan lebih hati-hati untuk melakukan tindakan manajemen laba. Sehingga, laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan akan lebih berkualitas karena tingkat akrual diskresioner yang terjadi sangat rendah. KESIMPULAN Kesimpulan 1. Hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan bahwa nilai mean akrual diskresioner sebelum kebijakan GCG sebesar – 1,9412 dan nilai akrual diskresionar sesudah kebijakan GCG sebesar -1,8571. Data ini berarti menunjukkan adanya kenaikan nilai akrual diskresioner antara periode sebelum dan periode sesudah kebijakan GCG sebesar 0,0841 poin. 2. Perlu hati-hati dalam membaca arah nilai akrual diskresioner. Perlu digarisbawahi bahwa kenaikan tersebut adalah pada posisi angka negatif. Padahal dalam rerangka akrual diskresioner akuntansi makin mendekati angka nol nilai akrual diskresioner, maka makin baik
JURNAL EKSIS Vol.6 No.1, Maret 2010: 1100 – 1266
kualitas laba atau informasi laporan keuangan. Sebab, apabila mendekati nol, maka tidak terjadi akrual diskresioner atau tidak terjadi tindakan manajemen laba di perbankan. Hal ini dapat diartikan bahwa kebijakan GCG mampu untuk mengurangi atau memperkecil nilai akrual diskresioner yang merupakan proksi tindakan manajemen laba manajer perbankan. 3. Hipotesis alternatif (Ha) yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa diduga terjadi perbedaan tindakan manajemen laba (nilai akrual diskresioner) antara sebelum dan sesudah adanya kebijakan GCG oleh Bank Indonesia terhadap bank-bank di Indonesia. Hasil pengujian dengan t berpasangan (paired t test) menunjukkan bahwa nilai sig adalah 0,048 atau 4,8%. Nilai sig ini berada tipis di bawah taraf signifikansi yang ditetapkan (marginally significant), sehingga dapat dikatakan bahwa hipotesis alternatif diterima atau terjadi perbedaan yang signifikan statistis terhadap tindakan manajemen laba perusahaan perbankan antara periode sebelum dan sesudah kebijakan GCG. Analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa bahwa kebijakan GCG mampu membatasi dan mengendalikan keinginan tindakan oportunistik manajer untuk mengelola laporan keuangan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Atau dengan kata lain kebijakan GCG Bank Indonesia tersebut terbukti mampu untuk memaksa manajer bank untuk lebih jujur dan menghindari tindakan oportunistik melalui manajemen laba yang sangat merugikan seluruh stakeholders. 4. Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Chtourou (2001), Xie et al., (2003), Rosenstein dan Wyatt (1990), dan Beasley (1996) dan Weisbach (1998) pada perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat. Dan juga konsisten dengan temuan Parulian (2004) di Indonesia. 5.2. Saran 1. Bank Indonesia sebaiknya terus melakukan pemantauan kepada seluruh perbankan di Indonesia secara periodik melalui berbagai instrumen pengawasan, yang salah satunya adalah instrumen manajemen laba, 2. Bank Indonesia menjalin hubungan dengan berbagai kalangan peneliti untuk proses pengawasan dan pengkajian lebih lanjut terhadap efektifitas kebijakan GCG, agar dapat terus menerus ditingkatkan kualitas pengelolaan perbankan di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA
Riset / 1340
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Management, Accounting Review, 70, 2, 193225.
Ahmed, Anwer. S, Takeda, Carolyn, Thomas, Shawn,” Bank Loan Loss Provision: a Reexamination of Capital Management, Earnings Management, and Signalling Effect,” Journal Accounting and Economics, Vol. 28 p. 1-25.
Dechow, P.M. 1995, “Accounting Earnings and Cash Flow as A Measures Of Firm Perfor-mance: The Role Of Accounting Accrual. Journal Aaccounting and Economics, 18. 3-42.
Arun, T.G, dan Turner, J.D. 2004. “Corporate Governance of Bank in Developing Economies: Concept and Issues”, Corporate Governance Vol.12, No.3, July.
Defond, M.L., and Jombalvo, J., 1994, ”Debt Covenant Violation and Manipulation of Accrual,” Journal of Accounting and Economics, (17), pp: 147-176.
Bank Indonesia, Surat Edaran Gubernur BI No. 30/2/UPPB Tanggal 30 April 1997 Tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank di Indonesia, www.bi.go.id, Jakarta. Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate GovernanceGCG bagi bank-bank umum. www.bi.go.id Beasley, mark, S., Carcello, Joseph, V., Hermanson, Dana, R., dan lapides, Paul, D. “Fraudulent Financial Reporting Consideration of Industry Traits and Corporate Governance Mechanism, Accounting Horizons, Vol. 14.No. 4. pp.441-454
Beneish, Messod, D. 1999. “Incentives and Penalties Related to Earnings Overstatements That Violate GAAP, The Accounting Review, Vol. 74, No. 4. (Oct), pp. 425-457.
Chtourou SM., J. Bedard, dan L.Courteau. 2000. Corporate Governance dan Earnings Management, Working Paper, University Laval. Quebec City, Canada. Claessens, S. 2000,”The Separation of Ownership & Control in East Asian Corporations”, Journal of Financial Economics, 38, 81-112. De Angelo. 1994., “Accounting Choice in Trouble Companies”, Journal of Accounting and Economics, 17, 113-143. Dechow, P.M., R.G. Sloan, and A.P. Sweeney. 1995, “Detecting Earnings
Riset / 1341
Gul, Ferdinand, A., Leung, Sidney., dan Srinidhi, Bin. ”Informative and Opportunistic Earnings Management and the Value Relevance of Earnings: Some Evidence on the Role of IOS, Working paper, University of Hongkong. Goodwin, Jenny, dan Seow, Jean, L. 2002. “The Influence of Corporate Governance Mechanisms on the Quality of Financial Reporting and Auditing: Perceptions of Auditor and Directors in Singapore, Journal of Accounting and Finance, 42, pp.195-223.
Beasley, Mark, S. 1996. An Empirical Analysis of The Relation Between the Board of Director Composition and Financial Statement Fraud. Accounting Review, 71, pp.443-465
Bushman, Robert, M., dan Smith, Abbie, J. 2001. “Financial Accounting Information and Corporate Governance”, Journal of Accounting and Economics, 32, pp.237-333.
Dontoh, Alex, Ronen, Joshua, dan Radhakrishnan, Suresh, 2004, ”The Declining Value-Relevance of Accounting Information and Non-Information-Based Trading,” Contemporary Accounting Research, Vol. 21 Issue 4 (Winter): 795-819
Healy, P.M., 1985, ”The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions,” Journal of Accounting and Economics, (7), pp: 85-107. Jiambalvo, J. 1996, “Discussion of Causes and Consequences of Earnings Manipulation: An analysis of Firms Subject to Enforcement Actions by SEC. Contemporary Accounting Research 13: 37-47. Jones, J., 1991, ”Earnings Management During Import Relief Investigations,” Journal of Accounting Research, (Auntum), pp: 193-228. Kans, I, dan Shivara., 1995, “Issues in testing EM and an instrumental Variabel approach”, Journal of Accounting and Economics, 22(2) 355-367. Kanagaretnam, Kiridaran, Lobo, Gerald. J, Mathieu, Robert, 2003, “Managerial Incentives for Income Smoothing Through Bank Loan Provisions,” Review of Quantitative Finance and Accounting, Vol. 20,p 63-80. Kim, Myung-Sun, Kross, William, 1998, The Impact of The 1989 Change in Bank Capital Standrad on Loan Loss Provisions and
JURNAL EKSIS
Vol.6 No.1, Maret 2010: 1267 – 1266
Loan Write-Offs, “Journal of Accounting and Economics, Vol. 25 p.69-99. Klein, A. 2002. Audit Committee, Board of Directors Characteristics and Earnings Management. Journal of Accounting and Economics 33, hlm. 375-400. Larcker, David, F., Richardson, Scot, A., Tuna, Irem. 2004. “How Important is Corporate Governance?, Unpublished Manuscript, The Wharton School, University of pennsylvania, Philadelphia. Larcker, David, F., dan Richardson, Scot. 2004. “Corporate Governance, Fees for Non-audit Services, and Accrual Choices, Working Paper, The Wharton School, University of pennsylvania, Philadelphia. La Porta R., F. Lopez-de-Silanes, A. Shleifer. Dam R. Vishny. 1999. Corporate Ownership around The World. Journal of Finance 54, 471-518. Lobo, Gerald, J, and Yang, Dong, H, 2001, “Bank Managers’ Heterogeneous Decisions on Discretionary Loan Loss Provisions,” Review of Quantitative Finance and Accounting 16, 223-250. Moyer, Susan. E, 1990, “Capital Adequacy Ratio Regulations and Accounting Choices in Commercial Banks, “ Journal of Accounting and Economics, Vol 13 p.123-154.
Smith, C.W., Jr. and R.L. Watts. 1986. The Investment Opportunity Set and Corporate Policy Choices, Unpublished Manuscript (University of Rochester, Rochester, NY). Subramanyam, K.R. 1996. The Pricing of Discretionary Accruals. Journal of Accounting and Economics 22, hlm. 249-281. Sweeney. 1994., “Debt Covenant Violation and Managers Responses”, Journal of Accounting and Economics, 17, 281-308 Vafeas, Nikos. 1999. “Board Meeting Frequency and Firm Performance”, Journal of Financial Economics 53(1):113−142. Xie, Biao, Davidson, W.N., Dadalt, Peter, J. 2003, “Earnings Management and Corporate Governance: The Role of the Board and the Audit Committee”, Journal of Corporate Finance, 9, pp.295-316. Watt, R.L., and Zimmerman, J.L., 1986, Positive Accounting Theory, PrenticeHall Inc., Englewood Cliff, New Jersey, USA. Weisbach, M, 1988. Outside Director and CEO Turnover. Journal of Financial Economics 20, 413-460. Wedari, L.K. 2004. Analisis Pengaruh Dewan Komisaris dan Keberadaan Komite Audit terhadap Aktivitas Manajemen Laba. Makalah SNA VII.
Vafeas, Nikos. 2000. ”Board Structure and the Informativeness of Earnings”, Journal of Accounting and Public Policy, 19, pp.139160. Parulian, S.R. 2004. Analisis Hubungan antara Komite Audit dan Komisaris Independen dengan Praktek Manajemen Laba: Studi Empiris Perusahaan di BEJ. Tesis Pasca-sarjana FEUI. Rosenstein, S., and J.G. Wyatt. 1990. “Outside Directors, Board Independence, and Shareholder Wealth”, Journal of Financial Economics 26:175−191. Davidson, Ryan, Goodwin, J.R., Kent, Pamela. 2005. “Internal Governance Structures and Earnings Management”, Accounting and Finance, 45, 241-267. Shleifer, A., dan R.Vishny. 1997,“A Survey of Corporate Governance, Journal of Finance 52, 737-783, Scott, William R., 1997, Financial Accounting Theory, Prentice-Hall Inc., A. Simon & Schuster Company, Upper Saddle River, New Jersey, USA.
JURNAL EKSIS Vol.6 No.1, Maret 2010: 1100 – 1266
Riset / 1342