ANALISIS STATUS PENCEMARAN LOGAM BERAT DI WILAYAH PESISIR (Studi Kasus Pembuangan Limbah Cair dan Tailing Padat/Slag Pertambangan Nikel Pomalaa)
SYAMSUL ALAM ZUBAYR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Status Pencemaran Logam Berat Di Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pembuangan Limbah Cair Dan Tailing Padat/Slag Nikel Pomalaa)” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor,
Agustus 2009
Syamsul Alam Zubayr NRP P052070111
ABSTRACT
SYAMSUL ALAM ZUBAYR. Analysis of Pollution Status in Coastal Area (Case Under the rection of ETTY RIANI and SUPRIHATIN.
Study in nickel mining Pomalaa).
The research aims to qualify and characterize the tailing waste liquid or solid, pollution load, assimilation capacity of coastal waters at location of nickel mining Pomalaa and to investigate the status of pollution in the waters as liquid waste disposal or tailing (slag). In addition, the public perception on the liquid waste or tailing results from the nickel processing. The highest pollution was TSS counted up to nomely 2.613 tons/month. The station 3 shows the highest TSS contribution of is 731 tons/month. BOD5 is the second highest contribution of pollution load, counted 292 tons/month. Ammonic nutrients load is 17,1 tons nitrate/month and 0,140 tons zn/month. Heavy metal that given highest contribution to pollution load is Zn amount counted 3,6 tons/month. Huko-huko river contributes 1,421 tons/month and Kumoro river contribute 1,3 tons Zn/month. Pollution load of nickel amount is 1.7 tons/month, where highest contribution was again stasion-3 counted 1,04 tons/month. Pollution load that has been above of level of assimilation capacity was TSS, Fe, Zn, Khrom, Pb dan Nikel. Based on Storet index 12, just station-4 (Kumoro river) that in low pollution categories, while 11 of stations were within middle pollution categories. Key Words : environmental condition, pollution load, assimilation capacity, waste/tailings, heavy metal.
RINGKASAN SYAMSUL ALAM ZUBAYR. Analisis Status Pencemaran Logam Berat Di Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pembuangan Limbah Cair dan Tailing Padat/Slag Pertambangan Nikel Pomalaa). Dibimbing oleh ETTY RIANI dan SUPRIHATIN. Kabupaten Kolaka merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara yang terletak di wilayah pesisir dan memiliki potensi sumberdaya pesisir laut sangat besar. Kabupaten Kolaka juga memiliki cadangan sumberdaya mineral berupa nikel. Pertambangan nikel merupakan salah satu sektor terbesar yang memberikan kontribusi bagi pemerintah untuk pembangunan yang saat ini sedang direalisasikan, khususnya di Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Namun selain memberikan kontribusi bagi pemerintah, pertambangan juga akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitar baik, berupa dampak positif maupun dampak negatif. Sebagai contoh dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan adalah perubahan rona lingkungan (bentang fisik dan kimia), pencemaran tanah, air maupun udara. Daerah pesisir yang digunakan sebagai tempat pembuangan limbah cair dan tailing padat slag pengolahan nikel, sekaligus dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk kebutuhan sehari-hari, memerlukan pemantauan, khususnya masalah perubahan kualitas perairan. Berdasarkan hal di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis status pencemaran logam berat di wilayah pesisir Kabupaten Kolaka khususnya di daerah pembuangan limbah/tailing melalui serangkaian pengamatan karakterisasi limbah/tailing dan pengukuran sifat fisikakimia air di wilayah pesisir dengan harapan dapat menjadi bahan masukan sekaligus informasi dalam upaya rehabilitasi, pelestarian dan pemanfaatan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara. Penentuan stasiun pengamatan pada lokasi penelitian didasarkan pada pendekatan konseptual dengan melakukan survey sehingga lokasi pengambilan sampel terdiri dari 2 bagian yaitu 4 stasiun sebagai jalan masuk limbah dari lokasi eksploitasi dan pabrik, 8 stasiun berada di laut sebagai penerima limbah. Penentuan status mutu perairan lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode STORET yang terdapat pada Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003. Sedangkan standar baku mutu perairan mengacu pada PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air sedangkan standar baku mutu yang digunakan untuk outlet pabrik dipakai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/Men-LH/2004 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Analisis data utama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penentuan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi. Analisis data sosial tentang persepsi masyarakat tentang limbah cair dan tailing padat (slag) di lokasi penelitian adalah berupa wawancara dan kuisioner bersifat diskriptif. Hasil pengukuran salinitas pada lokasi pertambangan nikel menunjukan nilai yang cukup variatif antara stasiun. Nilai salinitas kisaran 21,46 ‰ - 26,23 ‰. Pengkuran pH pada masing-masing stasiun dengan ulangan sebanyak 8 kali berada pada kisaran 6,9 – 8,5. Berdasarkan hasil pengukuran nilai oksigen terlarut (DO) yang dilakukan di lokasi pertambangan nikel Pomalaa, didapatkan kadar oksigen terlarut berada pada kisaran 5,9–6,9 mg/l. Hasil pengukuran
konsentrasi oksigen terlarut pada stasiun laut menunjukan nilai kisaran 4,40 – 12,55 mg/l dan nilai-nilai tersebut juga, jauh melebihi baku mutu yang ditetapkan yakni >3 mg/l (PP No. 82 tahun 2004). Hasil pengukuran amonia masing-masing stasiun berada pada kisaran 0,002-0,006 mg/l pada stasiun sungai dan outlet pabrik, sedangkan perairan laut kisaran 0,002-0,016 mg/l. Konsentrasi nitrat pada stasiun sungai dan outlet pabrik berkisar 0,54-0,70 mg/l. Hasil pengukuran BOD5 pada 3 stasiun di sungai dan 1 di outlet pabrik menunjukan angka kisaran yaitu 1,44-22,13 mg/l. Indikator Logam Berat Besi (Fe), seng (Zn), krom heksavalen (CR+6), nikel (Ni), krom (Cr) dan timbal (Pb) yang ditemukan. Kandungan unsur besi yang ditemukan pada stasiun pengamatan berada pada kisaran 0,024–0,081 mg/l. Pada stasiun sungai dan outlet pabrik, seng hanya terdeteksi pada stasiun III (outlet pabrik) dengan kisaran 0,0009–0,045 mg/l. Sedangkan pada stasiun laut, seng terdeteksi pada semua stasiun pengamatan dengan kisaran 0,003-0,049 kosentrasi krom heksavalen yang ditemukan berada pada kisaran 0,023–0,082 mg/l. Kandungan nikel (Ni) berkisar antara 0,002–0,043 mg/l untuk stasiun sungai dan Outlet pabrik, pada stasiun laut kosentrasi nikel tertinggi pada stasiun 8 (Dermaga Slag) yaitu 0,04 mg/l. Konsentrasi Pb kisaran 0,014–0,038 mg/l sedangkan konsentrasi timbal diperairan untuk keperluan peternakan dan perikanan adalah 0.03 mg/l. Ada dua jenis limbah khusus yaitu tailing (slag) dan batuan limbah. Tipe kedua dari limbah tersebut yaitu tailing (slag) ini dihasilkan dari proses ekstrasi peleburan yang non ekonomis yang mengandung beraneka mineral seperti silika, silikat besi, magnesium, natrium, kalium, dan sulfida. Sedangkan batuan limbah (waste rock) ini adalah overburden yang berupa lumpur/air asam tambang (ARD) yang mengandung mineral rendah. Limbah pertambangan nikel Pomalaa mengandung logam berat Ni, Pb, Zn, Fe dan Cr yang secara signifikan lebih tinggi. Parameter logam berat yang memberikan kontribusi paling besar terhadap beban pecemaran adalah besi sebesar 3,62 ton/bulan, nikel sebesar 1,66 ton/bulan dengan kontribusi terbesar yaitu berasal dari stasiun 3 sebesar 1,04 ton/bulan. Beban pencemar logam berat yang sudah melebihi ambang batas kapasitas asimilasi adalah Fe, Zn, Cr, Pb, dan Nikel. Hasil analisis storet dari 8 stasiun pengukuran di wilayah pesisir tempat pembuangan limbah cair dan tailing padat (slag), semuanya dalam kategori pencemaran sedang. Ada 90% masyarakat tidak mengetahui wilayah pesisir Pomalaa memilik kandungan logam berat ini menandakan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kegiatan pertambangan khususnya pemantauan limbah/tailing yang dibuang.
Kata kunci : Kabupaten Kolaka, status pencemaran, beban kapasitas asimilasi, limbah/tailing/slag, logam berat.
pencemaran,
© Hak cipta milik IPB, Tahun 2009 Hak cipta dilindungi Udang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS STATUS PENCEMARAN LOGAM BERAT DI WILAYAH PESISIR (Studi Kasus Pembuangan Limbah Cair dan Tailing Padat/Slag Pertambangan Nikel Pomalaa)
SYAMSUL ALAM ZUBAYR
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok (NRP) Program Studi
: Analisis Status Pencemaran Logam
Berat di Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pembuangan Limbah Cair dan Tailing Padat/Slag Pertambangan Nikel Pomalaa) : Syamsul Alam Zubayr : P052070111 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Etty Riani, MS Ketua
Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Eng Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS
Tanggal Ujian : 5 Agustus 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus : 20 Agustus 2009
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Raab yang senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih-Nya, sholawat dan salam atas Kekasih Allah Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul Analisis Status Pencemaran Logam Berat Di Wilayah Pesisir (Studi Kasus Pembuangan Limbah Cair dan Tailing Padat/Slag Pertambangan Nikel Pomalaa). Usulan ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku ketua program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah banyak memberikan arahan dan bantuan yang tak hingga selama penulis menempuh pendidikan di IPB. 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Suprihatin, Dipl. Eng sebagai anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian, motivasi dan pikiran dalam penyusunan tesis ini. Semoga semuanya menjadi ibadah yang tiada putusnya dan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari ALLAH SWT. Amin. 3. Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti selaku penguji luar dan Dr. Ir. Lailan Syaufina, MS selaku penguji Program Studi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, atas segala waktu, pikiran dan pengetahuan yang diberikan demi kesempurnaan tesis ini. 4. Drs. H. Andi Kaharuddin selaku Pj. Bupati Kolaka Utara beserta Jajaran Pemerintah Daerah Kab. Kolaka Utara yang terkait di dalamnya yang memberikan tugas belajar untuk melanjutkan pendidikan.
5. Segenap staf administrasi Sekolah Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) dan rekan-rekan mahasiswa program studi PSL yang kubanggakan khususnya ‘Angkatan 2007’ dan keluarga Akang Ujang Cimpea yang telah banyak memberikan dukungan dan perhatian yang sangat berarti pada saat-saat yang tepat (special thank’s to you all). Kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata, sehingga
kekurangan–kekurangan
yang
menyertai
merupakan
gambaran
keterbatasan manusia. Oleh karena itu, saran, kritik dan sumbangan pemikiran yang membangun sangat penulis harapkan.. Penulis berharap, semoga hasil ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak. .
Bogor, Agustus 2009
Syamsul Alam Zubayr
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada hari Selasa, 28 Desember 1978 dari pasangan Muh. Zubayr Yusuf
dan Salmah di Bangka, Sumatra Selatan (sekarang Bangka
Belitung). Penulis merupakan anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Penulis masuk Sekolah Dasar Negeri (SDN) No. 9 Kabupaten Kolaka pada tahun 1985 dan tamat tahun 1991. Kemudian melanjutkan studi pada tahun 1991 pada jenjang Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) dan tamat pada tahun 1994. Setelah menamatkan MTsN, penulis melanjutkan studi pada Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) No. 1 dan tamat pada tahun 1997, semuanya berada di Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Kemudian melanjutkan studi pada bulan Agustus tahun 1998 pada Perguruan Tinggi Swasta Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI) Makassar Sulawesi Selatan pada Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik dan menamatkan studi pada bulan Desember tahun 2003 dengan gelar Sarjana Teknik (ST). Pada bulan Februari 2005 penulis mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Pemerintahan Daerah Kabupaten Kolaka Utara Sulawesi Tenggara di Instansi Dinas Pertambangan dan Lingkungan Hidup. Penulis kembali melanjutkan studi Program Magister (S2) pada bulan Agustus 2007 di Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Penguji Luar : Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ v DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii I.
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 Latar Belakang ................................................................................................1 Kerangka Pemikiran........................................................................................3 Perumusan Masalah ........................................................................................6 Tujuan Penelitian ............................................................................................7 Hipotesis Penelitian ........................................................................................7 Manfaat Penelitian ..........................................................................................8
II.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Limbah B3.................................................................................9 Tailing Pertambangan .....................................................................................9 Tailing Pertambangan Nikel .........................................................................11 Undang-undang Pembuangan Limbah Cair .................................................12 Logam dan Logam Berat ..............................................................................13 Nikel (Ni) .............................................................................................15 Besi (Fe) ...............................................................................................16 Seng (Zn) .............................................................................................17 Kromium (Cr) ......................................................................................17 Timbal (Pb) ..........................................................................................18 Kadmium (Cd) .....................................................................................21 Pencemaran Air .............................................................................................22 Bahan Pencemar dan Ekosistem Perairan .....................................................24 Pencemaran Logam Berat Pada Wilayah Pesisir ..........................................26
III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 29 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................................... 29 Metode Pengambilan Data dan Pengukuran ............................................... 30 Metode Pengambilan Data .................................................................. 30 Penentuan Stasiun Pengamatan........................................................... 30 Peralatan dan Bahan Penelitian ........................................................... 32 Rancangan Penelitian .................................................................................. 32 Tahapan Penelitian .............................................................................. 32 Penelitian Kualitas Perairan ................................................................ 32 Metode Analisis Pengukuran .............................................................. 33 Analisis Data ......................................................................................... 34 Penilaian Status Mutu Air .................................................................. 34 Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi ...................................... 35 Data Sosial .............................................................................................. 36
ii
IV. GAMBARAN UMUM ............................................................................... 37 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 37 Prose Terjadinya Nikel................................................................................. 39 Sistem Penambangan ................................................................................... 41 Tahap Prakonstruksi (Ekplorasi).......................................................... 41 Tahap Konstruksi (Persiapan Eksploitasi) ........................................... 42 Tahap Operasional (Eksploitasi) .......................................................... 43 Tahap Pra Olahan ................................................................................. 44 Tahap Peleburan................................................................................... 46 Tahap Pemurnian ................................................................................. 47 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika........................................................................................... 49 Suhu .................................................................................................... 49 Kecerahan ........................................................................................... 51 Kekeruhan ........................................................................................... 51 Padatan Tersuspensi Total (TSS) ........................................................ 53 Paramenter Kimia ........................................................................................ 54 Salinitas .............................................................................................. 54 Keasaman (pH) .................................................................................. 55 Oksigen Terlarut (DO) ........................................................................ 56 Biochemical Oxygen Demand (BOD5) ............................................... 58 Nitrat (NO3-N) .................................................................................... 61 Nitrit (NO2-N) ..................................................................................... 62 Amonia (NH3-N) ................................................................................ 62 Logam Berat................................................................................................. 64 Besi (Fe) .............................................................................................. 64 Seng (Zn) ............................................................................................ 64 Khrom (Cr).......................................................................................... 66 Khrom Heksavalen (Cr+6) ................................................................... 66 Timbal (Pb) ......................................................................................... 68 Nikel (Ni) ............................................................................................ 69 Hasil Analisis Mutu Air ............................................................................... 70 Beban Pencemaran ....................................................................................... 72 Kapasitas Asimilasi ...................................................................................... 74 TSS ...................................................................................................... 74 BOD5 ................................................................................................... 75 Amonia ................................................................................................ 75 Besi ..................................................................................................... 76 Seng..................................................................................................... 76 Khrom ................................................................................................. 77 Timbal ................................................................................................. 78 Nikel .................................................................................................... 78 Kadar Logam Berat (Fe, Cr, Ni, Pb, dan Zn) Pada Wilayah Pesisir ............ 79 Pengelolaan Perairan Pesisir Lokasi Pertambangan Nikel .......................... 80 Persepsi Masyarakat .................................................................................. 81
iii VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .................................................................................................. 83 Saran ............................................................................................................ 84 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 85 LAMPIRAN......................................................................................................... 91
iv DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kadar Pb pada beberapa nilai kesadahan ..................................................... 21 Kadar Cd pada beberapa nilai kesadahan .................................................... 22 Posisi stasiun pengambilan sample .............................................................. 31 Alat dan metode analisis pengukuran karakteristik fisika-kimia air ............ 33 Storet tentang klasifikasi mutu air ............................................................... 34 Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air .......................... 35 Rekapitulasi skor indeks STORET dan status mutu air ............................... 71 Beban pencemaran perairan lokasi pertambangan nikel Pomalaa ............... 73 Karakteristik responden tentang logam berat dari hasil penambangan dan pengolahan nikel .......................................................................................... 81
v DAFTAR GAMBAR Halaman
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Bagan alir kerangka pemikiran penelitian ..................................................... 5 Peta lokasi penelitian ................................................................................... 29 Lokasi titik stasiun pengambilan sampel .................................................... 31 Grafik hubungan beban pencemaran dengan kosentrasi polutan ................. 36 Struktur umum batuan yang mengandung biji nikel .................................... 38 Salah satu penampang struktur batuan lokasi penelitian ............................. 38 Struktur dan komposisi lahan sebelum penambangan ................................. 42 Alur proses peleburan nikel ......................................................................... 46 Suhu pada stasiun pengamatan pada sungai dan outlet pabrik .................. 50 Suhu pada stasiun pengamatan pada laut ..................................................... 50 Kecerahan pada stasiun pengamatan di laut ................................................ 51 Kekeruhan pada stasiun pengamatan di laut ............................................... 52 TSS pada stasiun pengamatan sungai dan outlet pabrik .............................. 53 TSS pada stasiun pengamatan di laut........................................................... 54 Salinitas pada stasiun pengamatan di laut .................................................... 55 pH pada stasiun pengamatan sungai dan outlet pabrik ................................ 56 pH pada stasiun pengamatan di laut............................................................. 56 DO pada stasiun pengamatan sungai dan outlet pabrik ............................... 58 DO pada stasiun pengamatan laut ................................................................ 58 BOD5 pada stasiun pengamatan di sungai dan outlet pabrik ....................... 61 BOD5 pada stasiun pengamatan di laut ....................................................... 61 Nitrat pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik ........................ 62 Amonia Bebas pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik ......... 63 Amonia total pada stasiun pemantauan di laut............................................. 64 Besi pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik .......................... 64 Seng pada stasiun pengamatan di sungai dan outlet pabrik ......................... 65 Seng pada stasiun pemantauan di laut ......................................................... 65 Total khrom pada stasiun pengamatan di sungai dan outlet pabrik ............ 66 Krom heksavalen pada stasiun pemantauan di laut ..................................... 67 Timbal pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik ..................... 68 Timbal pada stasiun pengamatan di laut ...................................................... 68 Nikel pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik ........................ 69 Nikel pada stasiun pemantauan di laut......................................................... 70 Status pencemaran stasiun pengamatan selama penelitian .......................... 71 Analisis regresi antara beban pencemaran TSS dengan konsentrasi .......... 74 Analisis regresi antara beban pencemaran BOD5 dengan konsentrasi BOD5 perairan pesisir ............................................................... 75 37. Analisis regresi antara beban pencemaran amonia dengan konsentrasi amonia perairan pesisir ............................................................. 75 38. Analisis regresi antara beban pencemaran Fe dengan konsentrasi Fe perairan pesisir ........................................................................................ 76 39. Analisis regresi antara beban pencemaran Zn dengan konsentrasi Zn perairan pesisir........................................................................................ 76
vi 40. Analisis regresi antara beban pencemaran krom dengan konsentrasi krom perairan pesisir ................................................................ 77 41. Analisis regresi antara beban pencemaran timbal dengan konsentrasi timbal perairan pesisir............................................................... 77 42. Analisis regresi antara beban pencemaran nikel dengan konsentrasi nikel perairan pesisir ................................................................................... 78 43. Pengetahuan masyarakat terhadap tailing padat/slag nikel ......................... 82 44. Pengetahuan terhadap tailing padat/slag mengandung logam berat ............ 82 45. Pengetahuan masyarakat tentang kandungan logam berat di wilayah pesisir ............................................................................................ 82
vii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
2.
3. 4. 5.
Hasil pemantauan/pengukuran parameter fisika kimia untuk stasiun jalan masuk limbah pertambangan nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara ...................................................................................................... 91 Hasil pemantauan/pengukuran parameter fisika kimia untuk stasiun penerima limbah pertambangan nikel Pomalaa wilayah pesisir (laut) Pomalaa Sulawesi Tenggara ................................................... 94 Penentuan status/mutu perairan lokasi pertambangan nikel Pomalaa ........................................................................................................ 97 Beban pencemaran tiap-tiap stasiun ........................................................... 103 Kuisioner penelitian ................................................................................... 104
1 I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kabupaten Kolaka merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi
Sulawesi Tenggara yang berada di wilayah pesisir dan memiliki potensi sumberdaya pesisir laut sangat besar. Kabupaten Kolaka juga memiliki cadangan sumberdaya mineral berupa nikel. Pertambangan nikel merupakan salah satu sektor terbesar yang memberikan kontribusi bagi pemerintah untuk pembangunan yang saat ini sedang direalisasikan, khususnya di Kabupaten Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara. Namun selain
memberikan
kontribusi
bagi
pemerintah,
pertambangan
juga
akan
menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitar baik, yang berupa dampak positif maupun dampak negatif. Sebagai contoh dampak yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan adalah perubahan rona lingkungan (bentang fisik dan kimia), pencemaran tanah, air maupun udara. Limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri umumnya mengandung unsur logam berat beracun seperti Hg, Cd, Pb, Cu, Zn dan Ni (Sanusi, 1985). Selain memiliki daya cemar yang tinggi juga seringkali bersifat berbahaya dan beracun, oleh karena itu banyak dari limbah yang dihasilkan oleh industri tergolong ke dalam bahan berbahaya dan beracun (B3) (Sudarmaji et al., 2006). Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut secara geografis berada pada wilayah perbukitan sekitar pesisir Kecamatan Pomalaa dan berdampingan dengan aktivitas kenelayanan masyarakat pada daerah pesisirnya yaitu pengembangan keramba jaring apung, tambak, budidaya teripang dan budidaya rumput laut. Selain menghasilkan bijih nikel, perusahaan-perusahaan penambangan nikel tersebut juga menghasilkan beberapa jenis limbah cair dan limbah padat yang berasal dari aktivitas eksplorasi, eksploitasi lahan, proses peleburan nikel di pabrik maupun aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar tambang. Selain itu aktifitas pertambangan ini akan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar.
2 Secara administratif lokasi kegiatan penambangan nikel dibagi menjadi tiga lokasi yaitu daerah tambang utara, daerah tambang tengah dan daerah tambang selatan. Pembagian ini lebih berdasarkan kepada konsentrasi titik-titik kegiatan penambangan biji. Sedangkan pabrik ferronikel dibagi dalam tiga unit lokasi. Dalam operasionalnya, ketiga unit pabrik tersebut menghasilkan tiga jenis limbah cair berupa air pendingin mesin, air pendingin slag dan oli bekas serta satu jenis limbah padat berupa tailing slag. Air pendingin slag, pada umumnya berupa air yang disemprotkan ke dalam kolam slag untuk mendinginkan slag yang baru keluar dari electric furnace dengan temperatur 1.550 0C.
Air pendingin ini sebagian akan
menguap dan sebagian lagi menjadi limbah yang dialirkan melalui drainase pabrik hingga menuju outlet terakhir yaitu laut. Temperatur air buangan yang keluar dari kolam slag ke drainase pabrik adalah ± 47 0C dan diperkirakan sampai ke drainase keluar pabrik adalah ± 27 0C. Selain limbah cair, ketiga unit pabrik FeNi juga menghasilkan limbah cair dari proses pengoperasian engine, yaitu berupa oli bekas. Sebelum dialirkan ke saluran pembuangan effluent/drainase, oli-oli bekas diolah dalam unit pengolahan oli bekas (UPOB) hingga kandungan airnya mencapai 10 15%. Tailing padat (slag) hasil penambangan biasanya mengandung mineral inert (tidak aktif). Secara mineralogi tailing terdiri atas beraneka mineral seperti silika, silikat besi, magnesium, natrium, kalium dan sulfida (Danny, 2006). Daerah pesisir mempunyai batasan kemampuan tertentu untuk menerima pembuangan limbah hasil pengolahan sejauh mana pertambangan tersebut masih berada dalam batas daya dukung perairan yang bersangkutan (Dahuri, 2005). Apabila jumlah zat pencemar dari limbah/tailing hasil pengolahan tersebut melebihi daya dukungnya, maka kemampuan untuk memulihkan dirinya pun tidak ada lagi, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya kualitas perairan daerah di wilayah pesisir dan terjadi pencemaran air. Turunnya atau tercemarnya kualitas di wilayah pesisir akan berpengaruh terhadap kehidupan dari organisme air yang ada di dalamnya dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Pencemaran perairan ditandai dengan adanya perubahan sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Adanya logam berat di perairan akan membahayakan kehidupan
3 organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. Sifat sangat sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dilingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai, kedua dapat terakumulasi dalam organisme termasuk moluska/kerang dan ikan, dan ketiga mudah terakumulasi di sedimen sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari kosentrasi logam di kolom air (Sutamihardja et al.,1982). Berdasarkan hal di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis status pencemaran logam berat di wilayah pesisir Kabupaten Kolaka khususnya di daerah pembuangan limbah/tailing melalui serangkaian pengamatan karakteristik limbah/tailing dan
pengukuran sifat fisika-kimia air di wilayah pesisir dengan
harapan dapat menjadi bahan masukan sekaligus informasi dalam upaya rehabilitasi, pelestarian dan pemanfaatan kawasan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara.
1.2.
Kerangka Pemikiran Kemajuan yang begitu pesat pada sektor pertambangan di daerah Kabupaten
Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara akan memberikan berbagai pengaruh kepada lingkungan. Salah satu pengaruh negatif yang dihasilkan berasal dari limbah/tailing dari aktivitas pengolahan hasil pertambangan. Mengingat hal-hal yang telah dijabarkan di atas, bahwa dalam operasional hingga menghasilkan biji nikel, mulai dari penggalian hingga peleburan tidak terlepas dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan pada lingkungan yaitu dihasilkannya tiga jenis limbah cair berupa air pendingin mesin, air pendingin slag dan oli bekas serta dua jenis limbah padat berupa overburden dan tailing (slag). Selain itu kegiatan masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi pertambangan dengan berbagai aktivitasnya juga tidak terlepas dari limbah. Bila semua jenis limbah yang dihasilkan tersebut masuk ke perairan, tentu akan mempengaruhi kualitas perairan pesisir yang notabene merupakan tempat yang digunakan masyarakat sebagai lapangan mata pencaharian. Bila organisme perairan tersebut dapat bertahan dari logam-logam yang ada pada limbah/tailing hasil pengolahan tambang tadi, maka logam-logam tersebut akan
4 terakumulasi pada organisme perairan dan dapat beracun bagi manusia yang mengkonsumsinya, selain itu juga sifat logam yang terdapat di wilayah pesisir akibat pembuangan limbah cair dan tailing/slag akan memberikan pengaruh buruk pada manusia, khusus masyarakat sekitar wilayah pesisir. Oleh karena itu diperlukan penerapan program perlindungan terhadap lingkungan melalui pengembangan: metode penambangan dan pengolahan; sistem penanganan dan daur ulang tailing; rancangan konstruksi penampungan tailing dan pengawasan pembuangannya; serta pencegahan pencemaran oleh unsur-unsur berpotensi racun dimaksud. Oleh sebab itu, diperlukan upaya pemantauan kualitas perairan agar sedini mungkin dampak negatif dari adanya pertambangan dapat diminimalisasi sehingga keberlanjutan sumberdaya pesisir lokasi pertambangan dapat dipertahankan. Selain itu mencari solusi-solusi alternatif yang dapat dilakukan agar usaha pertambangan dapat terus berlangsung tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Untuk lebih jelasnya kerangka pikir penelitian secara skematik dapat dilihat pada Gambar 1.
5
SUMBER PENCEMARAN LOGAM BERAT
AKTIFITAS PERTAMBANGAN NIKEL
PENGOLAHAN
PENAMBANGAN
PENGUPASAN OB
PEMBONGKARAN ORE
PENGANGKUTAN ORE
DISPOSAL AREA ORE
LIMBAH PADAT (TAILING/SLAG)
TAILING / SLAG
TANAH/LUMPUR
AIR ASAM TAMBANG
PENGETAHUAN MASYARAKAT
CRUDE METAL (FERRO NICKEL )
AIR PENCUCIAN SLAG
DISPOSAL AREA
PESISIR/LAUT
ANALISIS LOGAM BERAT
PRODUK EKONOMIS
STATUS PENCEMARAN LOGAM BERAT
PP/Kepmen LH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR /LAUT BERKELANJUTAN
STATUS PERAIRAN Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran.
6 1.3.
Perumusan Masalah Daerah pesisir yang digunakan sebagai tempat pembuangan limbah cair dan
tailing padat slag pengolahan nikel, sekaligus dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk kebutuhan sehari-hari, memerlukan pemantauan, khususnya masalah perubahan kualitas perairan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan, pada saat hujan biasanya air yang melalui sungai-sungai berwarna pekat kemerah-merahan. Keadaan ini juga terjadi di laut, dan bahkan mencapai radius 5 -10 km sejajar pantai dan radius ± 700 meter tegak lurus terhadap garis pantai. Kuat dugaan bahwa material yang terbawa bersama air tersebut berasal dari sisa aktivitas penambangan (overburden) yang masuk ke perairan pesisir melalui sungai dan air limpasan permukaan di sekitar lokasi pertambangan.
Selain itu, bahwa pada
kegiatan
produksi pada unit-unit pabrik pengelolaan ferronikel 1, 2 dan 3 juga menghasilkan limbah padat berupa tailing/slag dan limbah cair berupa air pendingin dan limbah minyak. Adanya input sedimen (overburden) sebagai akibat eksploitasi lahan dan adanya input limbah proses peleburan logam nikel (tailing, oli bekas dan air pendingin) serta adanya input limbah domestik tentu akan direspon oleh perairan sesuai dengan kemampuan purifikasinya. Jika
limbah-limbah
tersebut
mengandung
zat-zat
berbahaya
dan
terakumulasi sehingga melewati ambang batas, dikhawatirkan dapat mempengaruhi dan atau membahayakan organisme-organisme yang hidup di perairan tersebut. Kondisi-kondisi tersebut di atas, bukan saja akan merusak lingkungan, tetapi dapat pula menurunkan pendapatan dan atau memiskinkan masyarakat setempat terutama bagi masyarakat yang bermata pencaharian utama sebagai nelayan tangkap tradisional dan nelayan budidaya. Berdasarkan
uraian
masalah
diatas
dapat
dirumuskan
beberapa
permasalahan pada penelitian ini, antara lain : 1. Seberapa besar beban pencemaran yang masuk ke perairan lokasi penambangan dan pengolahan nikel Pomalaa. 2. Seberapa besar kapasitas asimilasi perairan lokasi penambangan dan pengolahan nikel Pomalaa.
7 3. Bagaimana pengetahuan masyarakat tentang limbah/tailing padat slag hasil pengolahan pertambangan nikel. 4. Bagaimana status pencemaran logam berat pada perairan di wilayah pesisir tempat pembuangan limbah cair dan tailing padat (slag) pengolahan nikel Pomalaa.
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan umum yaitu menentukan status pencemaran logam berat di wilayah pesisir daerah penambangan dan pengolahan bijih nikel Pomalaa, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1.
Mendapatkan kuantitas dan karakteristik limbah cair/tailing padat (slag) dari hasil penambangan dan pengolahan nikel Pomalaa.
2.
Mendapatkan besarnya beban pencemaran yang masuk ke perairan lokasi penambangan nikel Pomalaa.
3.
Mendapatkan kapasitas asimilasi perairan pesisir lokasi penambangan nikel Pomalaa.
4.
Mendapatkan status pencemaran di perairan tempat pembuangan limbah cair dan tailing (slag) dari penambangan dan pengolahan nikel Pomalaa.
5.
Mendapatkan informasi tentang seberapa jauh pengetahuan masyarakat tentang limbah cair/tailing padat (slag) hasil pengolahan nikel Pomalaa.
1.5. Hipotesis Hipotesis yang akan diajukan pada penelitian ini adalah: 1.
Limbah cair/tailing padat (slag) dari hasil pengolahan nikel pomalaa merupakan jenis limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
2.
Pembuangan limbah cair dan tailing padat (slag) dari hasil pengolahan nikel Pomalaa telah melampaui baku mutu.
3.
Konsentrasi logam berat dalam air laut di wilayah pesisir penambangan dan pengolahan nikel pomalaa telah melampaui baku mutu.
4.
Masyarakat belum mengetahui kandungan limbah cair/tailing padat (slag) dari hasil pengolahan nikel Pomalaa.
8
1.6. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1.
Memberikan informasi kandungan limbah cair/tailing padat (slag) hasil pengolahan nikel Pomalaa kepada masyarakat di wilayah kegiatan pertambangan nikel.
2.
Memberikan informasi tentang status pencemaran logam berat dan tingkat pencemaran di wilayah pesisir, khususnya daerah tempat pembuangan limbah cair/tailing padat (slag) hasil pengolahan nikel Pomalaa.
3.
Sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan di daerah tersebut agar selalu melakukan pemantauan, pemeliharaan, serta pemanfaatan perairan wilayah pesisir dengan lebih baik sehingga dapat berlangsung secara berkelanjutan.
4.
Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam menganalisa untuk menentukan suatu kebijakan terhadap perusahaan yang terkait.
9 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karakteristik Limbah B3 Ada banyak definisi yang digunakan untuk menerangkan limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3). Definisi umum dari limbah B3 adalah limbah yang berpotensi menimbulkan resiko terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Definisi limbah B3 menurut United Nation Environment Program (UNEP) adalah limbah selain radioaktif yang karena aktivitas kimiawinya, sifat toksisitasnya, kemudahannya untuk meledak, sifat korosivitasnya, dan/atau sifat-sifat lainnya membahayakan atau berpotensi membahayakan kesehatan dan lingkungan. Definisi limbah B3 menurut Konvensi Basel adalah limbah yang memiliki minimal salah satu dari sifat-sifat berikut: mudah terbakar, oksidator, beracun, menyebabkan infeksi, bersifat korosif, dan bersifat ekotoksik. Definisi limbah B3 menurut PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun adalah ”sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain”. Lebih lanjut PP No. 18/1999 ini juga menetapkan bahwa limbah B3 memiliki minimal salah satu dari keenam karakteristik berikut: mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, dan bersifat korosif. 2.2.
Tailing Pertambangan Tailing/Limbah tambang
mengandung logam yang memiliki
tingkat
sulfida (FeS2, FeCuS2 and PbS2), (Holmström, 2000). Tailing pertambangan merupakan limbah padat yang berupa butiran-butiran semen dari hasil peleburan tersebut. Masalah serius yang timbul dari pembuangan tailing adalah terutama berkaitan dengan pembebasan air tercemar akibat pelarutan logam-logam berat (diantaranya As, Hg, Pb, dan Cd), keasaman (pH rendah), bahan kimia/reagen dari pabrik pengolahan dan bahan-bahan suspensi yang dapat membentuk zat padat (Danny, 2006). Manakala sulfida secara bebas bereaksi dengan air dan oksigen,
10 menghasilkan asam sulphuric dan logam-logam
berat jika dibuang akan
menyebabkan permasalahan lingkungan (Lowson, 1982). Secara mineralogi, mineral pengotor alkali dalam tailing sering berperan sebagai pengendali pencemaran yang alamiah; dimana salah satunya adalah peranan kalsium (Ca) dalam batugamping yang dapat mempermudah pelarutan logam-logam dan menetralisir hasil oksidasi (Danny, 2006). Unsur ini bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, memiliki titik lebur rendah serta dapat dimanfaatkan untuk pencampur logam lain seperti nikel, perak, tembaga, dan besi. Manakala sulfida secara bebas bereaksi dengan air dan oksigen, produksi sulphuric dan logam-logam berat dapat dilepaskan (Lowson, 1982), menyebabkan permasalahan lingkungan. Jangka panjang dampak lingkungan tambang tailing leachat tingkat kekhawatiran semakin meningkat, telah diakui bahwa total logam dalam tanah tidak baik untuk bioavailability dan potensi resiko/racun yang kontaminasi tanah (Sauve et al., 2000). Menurut Vlado (2007), tailing seperti tanah salah satu masalah terbesar, masalah kompleks tailing dari rendahnya kesuburan tanah dan peningkatan akumulasi berat lapisan tanah bagian bawah dari lapisan logam. Selain limbah lain berupa batuan limbah (air asam tambang/ARD). Menurut Kempton (2003), ARD (Acid Rock Drainage) adalah proses oksidasi yang menghasilkan asam dan melepaskan logam berat dari bentuk mineral, memungkinkan polutan ini terbawa ke lingkungan sekitarnya seperti dasar sungai dan permukaan drainase air. Meskipun potensi ARD di sebuah lokasi bisa diidentifikasi, namun kadang tetap terjadi kegagalan dalam memprediksi mekanisme dan skala masalah ARD di masa yang akan datang dimana kemampuan menyerap dan potensi penetralan asam dari tailing dan lapisan di bawah tanah saat tambang ditutup tidak sebaik yang diduga (Lottemoser et al., 2003). Tailing tambang termasuk mineralogi, ukuran butiran, kepadatan, dan komposisi kimia (Andrade et al., 2007). Logam-logam yang berada dalam tailing sebagian adalah logam berat pada awalnya logam itu tidak berbahaya jika terpendam dalam perut bumi. Tapi ketika ada kegiatan tambang, logam-logam itu ikut terangkat bersama batu-batuan yang digali, termasuk batuan yang digerus dalam processing plant. Logam-logam itu berubah menjadi ancaman ketika terurai di alam bersama tailing yang dibuang.
11 (Hilman, 2000). Setiap kegiatan pertambangan logam menghasilkan
limbah
sebagai tailing yang menyebar secara terbuka dan secara parsial; pembukaan lahan melalui pengangkutan angin dan banjir, mengakibatkan macam-macam masalah lingkungan
(Habashi,
1992).
Kegiatan
pertambangan
dan
geochemical
menghasilkan air asam tambang (ARD) yang berasosiasi dengan aktifitas pertambangan biasanya berupa pyrite (FeS2) dan sulfid lain merupakan mineral yang dihasilkan dari pasca
pertambangan antara lain logam ion, sulfat dan
keasaman (Duruibe et al., 2007). Beberapa peneliti telah melakukan investigasi penggunaan adsorption isotherms untuk memprediksi hasil dari tailing/terak (Drizo et al., 2006) karena variasi dalam proses metalurgi terdapat banyak jenis tailing/slag. Baru-baru ini penelitian menunjukkan bahwa logam oxides/oxyhydroxides slag granules di dalam penyaring peran penting yang dilakukan di absorbsi logam berat dari sungai (Pratt et al., 2007). 2.3. Tailing Pertambangan Nikel Menurut Hernandez et al., (2007) sekitar 100 juta ton leacing residu mengandung kurang lebih 0,5% Ni dan 0,1% Co telah diproduksi dalam 50 tahun terakhir. Tzeferis et al., (1994) menemukan bahwa sitrat acid yang paling efektif untuk larutan nikel. Tailing pertambangan nikel yaitu slag berupa butiran-butiran semen yang seperti logam. Bila limbah padat slag tersebut sifatnya terlalu asam bisa menyebabkan logam-logam tertentu seperti seng dan logam lain terlepas sehingga dapat membahayakan suatu perairan karena dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan baik secara fisik maupun kimia dan memberikan pengaruh terhadap struktur komunitas organisme suatu perairan contohnya ikan, makrozoobentos dan organisme perairan lainnya yang dapat menurunkan populasi dan keanekaragamannya secara drastis. Stamboliadis et al., (2004) menemukan bahwa magnetis pemrosesan tailing dari residu yang nickelferous laterit diperoleh dari yunani sehingga mengakibatkan suatu kosentrasi besi dan nikel berkurang. Lokasi Tambang di Kristineberg di Sweden utara satu tailing impoundment mempunyai suatu lapisan clayey moraine dengan ketebalan 0,3-m (clay: 8-10%; slit 22-37%; pasir 37-55%; kerikil 15- 18%
12 dan lapisan penutup pasir/kerikil 1,5 m seperti tumpukan batu di gunung (Carlsson, 2002). Analisis kimia dari tailing/slag nikel di Moa mengandung logam berat Ni: 0,34%; Co: 0,08%; Fe: 44,20%; Mg: 3,57%; Mn: 0,73%; Al: 5,2%; Cr: 0,83%; Cu: 0,01%; Zn: 0,03; SiO2: 7,8%; N: 0,01%; C: 0,84% dan S: 0,08% (Hernandez et al., 2007). Berbagai teknik telah dikembangkan untuk mencegah oksidasi mineral sulfid dengan menciptakan penghalang oksigen, seperti lapisan penutup tailing/limbah tambang (Elander et al., 1998). Untuk mengeringkan lapisan penutup terdiri dari 1- 2m suatu lapisan dari tumpukan batu di gunung yang dilakukan diatas tailing yang mana mengurangi penetrasi dari oksigen secara bebas ke dalam tailing, begitu menciptakan suatu lingkungan anoxic (Carlsson, 2002). 2.4.
Undang-Undang Pembuangan Limbah Cair Pembuangan limbah tailing ke sungai adalah pelanggaran hukum (illegal)
menurut UU lingkungan Indonesia sejak 1990. Pada Desember 2001, larangan ini diperkuat oleh PP 82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran. Pembuangan tailing ke sungai adalah pelanggaran langsung terhadap peraturan yang melarang pembuangan limbah cair maupun padat ke dalam atau ke sekitar sungai (Pasal 27 Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 mengenai pengelolaan sungai); dan apabila lumpur tailing dianggap sebagai limbah cair, maka pembuangan tailing ke sungai adalah juga merupakan pelanggaran langsung terhadap larangan pembuangan limbah cair ke sungai, yang diatur dalam: Pasal 26(3) (e) PP 20/1990 tentang pengendalian pencemaran air; meratifikasi peraturan pemerintah No. 82 tahun 2001 mengenai pengelolaan kualitas air dan Pengendalian pencemaran air. Pasal 42 dari peraturan ini dalam kaitannya dengan Penjelasan Resmi berikut, secara tegas melarang pembuangan tailing ke sungai : [Pasal 42: Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air dan sumber air. Penjelasan resmi PP 82/2001: “Pengertian limbah padat termasuk limbah yang berwujud lumpur dan atau slurry. Contoh dari pembuangan limbah padat misalnya pembuangan atau penempatan material sisa usaha dan atau kegiatan penambangan berupa tailing, ke dalam air dan atau sumber air.”].
13 2.5.
Logam dan Logam Berat Logam adalah unsur yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan tambang,
Vulkanisme dan sebagainya (Clark, 1986). Logam-logam dari dalam bumi digolongkan sebagai sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Secara kimiawi, logam bereaksi menuju tingkat stabil (biasanya dengan cara membentuk garam atau bentuk unsur stabil) (Palar, 1994). menganalisis
Menurut Sanghoon (2006),
logam dalam tanah dan lapisan tanah mengandung mineralogi
komposisi tanah (As, Cd, Cr, Cu, Ni, Pb dan Zn) menggunakan XRD. Fluktuasi proses pemisahan endapan mineral, mobilitas, potensi racun sangat tinggi (Caetano, 2003). Logam di tanah berfluktuasi lebih luas di banding unsur-unsur utama. Cu, Pb dan Zn lebih tinggi di daerah tailing hasil tambang, meskipun pengaruh kontaminasi sumbernya jelas kosentrasi perubahan dengan jarak tetap tidak sistimatis menurut Kim et al., (2002). Berbeda dengan logam biasa, logam berat adalah istilah yang digunakan secara umum untuk kelompok logam berat dan metaloid yang dentisitasnya lebih besar dari 5 g/cm³ (Hutagalung et al., 1999). Logam berat di perairan terdapat dalam bentuk terlarut dan tersuspensi (terikat dengan zat padat tersuspensi). Logam berat di perairan khususnya di muara sungai memiliki sifat konserfatif dan nonkonservatif (Chester, 1993). Sedangkan Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar 5 gr/cm³, terletak di sudut kanan bawah pada daftar berkala, memiliki afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari periode 4 sampai 7 (Miettinen, 1977 dalam Luter, 2005). Unsur-unsur logam berat tersebut biasanya erat kaitannya dengan masalah pencemaran dan toksisitas. Berdasarkan sifat fisika dan kimianya, tingkat atau daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), cadmium (Cd), seng (Zn), timbal (Pb), kadmium (Cd), nikel (Ni), dan cobal (Co) (Sutamihardja et al., 1982). Menurut Darmono, daftar urut toksisitas logam berat paling tinggi ke paling redah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan adalah Hg²+ > Cd²+ >Ag²+> Ni²+> Pb²+> As²+> Cd²+ >Sn²+ >Zn²+, (2001). Sedangkan menurut kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990), sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu :
14 1. Bersifat toksik tinggi yang terdiri atas unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu dan Zn, 2. Bersifat toksik menengah yang terdiri dari Cr, Ni dan Co 3. Bersifat toksik sangat rendah yang terdiri dari Mn dan Fe. Sebagian dari logam berat bersifat essensial bagi organisme air untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, antara lain dalam pembentukan haemosianin dalam sistem darah enzimatik pada biota (Darmono, 1995). Menurut Darmono (2001), logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu pernapasan, pencemaran, dan penetrasi melalui kulit. Absorpsi logam melalui saluran pernafasan biasanya cukup besar, baik pada biota air yang masuk melalui saluran insang, maupun biota darat yang masuk melalui debu di udara ke saluran pernafasan. Absorpsi melalui pencernaan hanya beberapa persen saja, akan tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar, walaupun persentase penyerapannya kecil. Logam yang masuk melalui kulit jumlah penyerapannya relatif kecil. Logam berat bersifat toksik karena logam berat tersebut dapat diberikatan dengan ligan dan struktur biologi. Sebagian besar logam menduduki ikatan tersebut dalam beberapa jenis enzim dalam tubuh. Ikatan-ikatan ini dapat mengakibatkan tidak aktifnya enzim yang bersangkutan, hal inilah yang menyebabkan terjadinya toksisitas logam tersebut. Logam yang terikat pada enzim sulit didentifikasi karena tidak diketahui enzim mana yag menjadi target dari ikatan logam tersebut. Afinitas atau daya gabung dan ikatan logam dengan enzim biasanya sangat kuat (Darmono, 1995). Biasanya logam tertentu terikat dalam daerah ikatan yang spesifik untuk setiap logam dan hasil ini dapat dilihat dari gejala dan tanda-tanda serta gangguan yang ditimbulkan. Tempat ikatan logam yang spesifik tersebut menjadi dasar perkiraan dari organ atau jaringan yang sensitif terhadap keracunan logam yang memiliki dosis rendah. Pada pemberian dosis yang lebih tinggi, jaringan lain mungkin akan terganggu juga, karena menduduki ikatan pada jenis enzim yang lebih banyak. Lingkungan logam berat timbal (Pb), kadmium (Cd), seng (Zn), mercuri (Hg), arsenic (As), perak (Ag), krom (Cr), tembaga (Cu), besi (Fe), dan unsur kelompok platina didefinisikan sebagai keutuhan sekeliling organisme atau kelompok organisme khususnya kondisi fisik eksternal itu mempengaruhi dan
15 dipengaruhi pertumbuhan, pengembangan dan kelangsungan hidup organisme (Duruibe et al., 2007). Logam-logam berat pada dasarnya hasil dari proses pengolahan mineral bijih (Peplow, 1999). Pencemaran logam berat permukaan dan air bawah tanah merupakan hasil sumber dari polusi tanah meningkat akibat dari penambangan bijih yang dibuang ditempat permukaan untuk penutupan permukaan galian (Garbarino et al., 1995). 2.5.1. Nikel (Ni) Nikel (Ni) pada kerak bumi sekitar 75 mg/kg (Moore, 1991). Nikel merupakan elemen transisi yang dapat menghambat campuran logam feros dan fros. Kelimpahan nikel pada kulit bumi berada pada urutan ke 21 yaitu sebesar 0,02%, dan pada air laut berada pada urutan ke-40 yaitu diperkirakan mengandung 540 mg/m³. Nikel ditemukan di alam dalam dua bentuk bijih yang dapat diekplorasi yaitu bijih sulfida dan bijih laterik. Bijih sulfida mengandung 1-3% Nikel. Bijih laterik ditemukan dalam dua bentuk senyawa, yaitu oksida dan silikat (Alam Z, 2003). Logam nikel murni tidak ditemukan di alam, tetapi dihasilkan dari proses pemisahan yang cukup rumit di dalam industri (Parker, 1987). Nikel yang terdapat dalam sistem akuatik berada alam bentuk garam terlarut, padatan tersuspensi, dan membentuk kombinasi dengan bahan organik yang berasal dari sumber-sumber biologi. Nikel juga terdapat dalam sedimen dan biota perairan. Kebanyakan dari garam nikel umumnya relatif mudah larut dan masuk ke dalam badan air sebagai hasil pelindian alamiah dari bijih logam dan tanah. Pembentukan nikel yang terlokalisasi dalam air mungkin juga akibat dari proses-proses industri seperti peleburan, pelapisan, dan manufaktur atau dari pembakar dan penambangan minyak bumi. Dalam tubuh makhluk hidup perairan terutama alga dan bakteri, logam nikel berperan penting dalam mengkatalisis reaksi pembentukan urea dan hidrogen. Kadar nikel (Ni) pada kerak bumi sekitar 75 mg/kg (Moore, 1991). Pada proses pelapukan, nikel membentuk mineral hidrolisat yang tidak larut. Di perairan nikel ditemukan dalam bentuk koloid. Garam-garam nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan
16 sulfat. Pada pH > 9 nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida dan karbonat, dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore, 1991). Secara umum nikel di perairan merupakan unsur yang bersifat nonkonservatif, akan tetapi menunjukan sifat konservatif di muara sungai (Chester, 1993). Sumber utama nikel berasal dari pengikisan batuan yang ada di sungai (Bryan, 1976). Nikel di muara sungai menunjukan konsetrasi yang semakin meningkat dengan peningkatan kekeruhan. Peningkatan konsentrasi nikel terlarut pada tingkat kekeruhan yang tinggi terjadi karena proses desorpsi dari partikelpartikel yang ada di muara sungai dan proses resuspensi. Kadar nikel di perairan tawar alami adalah 0,001 – 0,003 mg/liter (Effendi, 2003); sedangkan pada perairan laut berkisar antara 0,005 – 0,007 mg/liter (McNeely et al., 1979). Untuk melindungi kehidupan organisme di akuatik, kadar nikel sebaiknya tidak lebih melebihi 0,025 mg/liter (Effendi, 2003). Nikel termasuk unsur yang memiliki toksisitas rendah. Nilai LC50 nikel terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut berkisar 1 – 100 mg/liter. Urutan toksisitas beberapa logam dari yang sangat
rendah
sampai
yang
sangat
tinggi
berturut-turut
adalah
Sn
17 dan selanjutnya akan menyebabkan besi terpartikulasi sehingga konsentrasi besi terlarut pada muara sungai dan laut akan berkurang. 2.5.3. Seng (Zn) Seng (zinc) termasuk unsur yang terdapat dalam jumlah berlimpah di alam. Kadar seng pada kerak bumi sekitar 70 mg/kg (Effendi, 2003). Kelarutan unsur seng dan oksida seng dalam air relatif rendah. Seng yang berikatan dengan klorida dan sulfat mudah terlarut, sehingga kadar seng dalam air sangat dipengaruhi oleh bentuk senyawanya. Ion seng mudah terserap ke dalam sedimen dan tanah. Silika terlarut dapat meningkatkan kadar seng, karena silika mengikat seng. Jika perairan bersifat asam, kelarutan seng meningkat. Kadar seng pada perairan alami < 0,05 mg/liter (Moore, 1990); pada perairan asam mencapai 50 mg/liter; dan pada perairan laut 0,01 mg/liter (McNeely et al., 1979). Sumber utama seng adalah calamine (ZnCO3), sphalerite (ZnS), smithsonite (ZnCo3), dan wilemite (Zn2SiO4) (Effendi, 2003). Seng banyak digunakan dalam industri besi, baja, cat, karet, tekstil, kertas, dan bubur kertas. Seng termasuk unsur yang esensial bagi makhluk hidup, yakni berfungsi untuk membantu kerja enzim. Seng juga diperlukan dalam proses fotosintesis sebagai agen bagi transfer hidrogen dan berperan dalam pembentukan protein. Davis dan Cornwell (1991) mengemukakan bahwa seng tidak bersifat toksik bagi manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi dapat menimbulkan rasa pada air. Toksisistas seng menurun seiring dengan meningkatnya kesadahan dan meningkat dengan meningkatnya suhu dan menurunnya oksigen terlarut. Toksisitas seng bagi organisme akuatik (alga, avertebrata, dan ikan) sangat bervariasi, < 1 mg/liter hingga >100 mg/liter. Bersama-sama dengan K, Mg dan Cd, seng bersifat aditif. Toksisitasnya merupakan penjumlahan dari masing-masing logam (Effendi, 2003). Toksisitas seng dan copper bersifat sinergetik, yaitu mengalami peningkatan, lebih toksik daripada penjumlahan keduanya. 2.5.4. Kromium (Cr) Khromium (Cr) termasuk unsur yang jarang ditemukan pada perairan alami. Kerak bumi mengandung kromium sekitar 100 mg/l (Moore, 1991). Dalam penelitian ini, kromium yang ditemukan adalah kromium heksavalen (Cr+6). Dalam
18 Effendi (2003), menyatakan bahwa kromium yang ditemukan di perairan adalah kromium trivalen (Cr3+) dan kromium heksavalen (Cr6+). Namun pada perairan yang memiliki pH kurang dari 5, kromium trivalen tidak ditemukan. Apabila masuk di perairan, kromium trivalent akan dioksidasi menjadi kromium heksavalen dan bersifat lebih toksit. Kromium trivalen biasanya terserap ke dalam larutan partikulat, sedangkan kromium heksavalen tetap berada dalam bentuk larutan. Kromium tidak pernah ditemukan di alam sebagai logam murni. Sumber utama kromium sangat sedikit, yaitu batuan chromite (FeCr2O4) dan chromic oxide (Cr3O3) (Effendi, 2003). Kadar kromium pada perairan air tawar biasanya kurang dari 0,001 mg/liter dan pada perairan laut sekitar 0,00005 mg/liter. Kromium trivalen bisanya tidak ditemukan pada perairan tawar, sedangkan pada perairan laut sekitar 50% kromium merupakan kromium trivalen (McNeely et al., 1979). Toksisitas kromium dipengaruhi oleh bentuk oksidasi kromium, suhu, dan pH. Kadar kromium yang diperkirakan aman bagi kehidupan akuatik adalah sekitar 0,05 mg/liter (Effendi, 2003). Kadar kromium 0,1 mg/liter dianggap berbahaya bagi kehidupan organisme laut. Pada perairan yang lunak (soft water) atau kurang sadah, toksisitas kromium lebih tinggi. Tetapi sumber-sumber masukan logam Cr ke dalam starata lingkungan yang umum dan diduga paling banyak adalah dari kegiatan-kegiatan perindustrian, kegiatan rumah tangga dan dari pembakaran serta mobilisasi bahan-bahan bakar (Palar, 1994). 2.5.5. Timbal (Pb) Unsur Pb umumnya ditemukan berasosiasi dengan Zn - Cu dalam tubuh bijih. Logam ini penting dalam industri modern yang digunakan untuk pembuatan pipa air karena sifat ketahanannya terhadap korosi dalamsegala kondisi dan rentang waktu lama. Pigmen Pb juga digunakan untuk pembuatan cat, baterai, dan campuran bahan bakar bensin tetraethyl (Jensen et al., 1981). Timah adalah logam berwarna putih keperakan, dengan kekerasan yang rendah, berat jenis 7,3 g/cm3, serta mempunyai sifat konduktivitas panas dan listrik yang tinggi. Dalam keadaan normal (13ºC – 1600ºC), logam ini bersifat mengkilap dan mudah dibentuk. Timah terbentuk sebagai endapan primer pada batuan granit dan pada daerah sentuhan batuan endapan metamorf yang biasanya berasosiasi dengan turmalin dan urat
19 kwarsa timah, serta sebagai endapan sekunder, yang di dalamnya terdiri dari endapan alluvium, elluvial,dan koluvium. Timbal pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga kelarutan timbal dalam air relatif lebih sedikit. Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas dan kadar oksigen. Timbal diserap baik oleh tanah sehingga pengaruhnya terhadap tanaman relatif kecil. Kadar timbal dikerak bumi sekitar 15 mg/kg. Timbal banyak digunakan dalam industri baterei, kabel, cat, keramik, pestisida dan dalam penyepuhan. Penggunaan Pb terbesar adalah dalam produksi baterey penyimpan
untuk mobil, selain itu juga banyak digunakan
sebagai bahan aditif yang sering digunakan untuk meningkatkan mutu bensin (Fardiaz, 1992). Bijih logam timbal (Pb) dapat terbentuk dalam cebakan-cebakan seperti stratabound sulfida massif, replacement, urat, sedimentasi, dan metasomatisma kontak dengan mineral-mineral utama terdiri atas: galena (PbS), cerusit (PbCO3), anglesit (PbSO4), wulfenit (PbMoO4), dan piromorfit [Pb5(PO4, AsO4)3Cl]. Larutan pembawa Pb diantaranya: air connate, air meteorik artesian, dan larutan hidrotermal yang naik ke permukaan; dengan sebagian besar Pb berasal dari larutan hidrotermal yang membentuk cebakan bijih pada suhu rendah, berupa pengisian rongga batuan induk (Danny, 2006). Pb dalam batuan berada pada struktur silikat yang menggantikan unsur kalsium/Ca, dan baru dapat diserap oleh tumbuhan ketika Pb dalam mineral utama terpisah oleh proses pelapukan. Pb di dalam tanah mempunyai kecenderungan terikat oleh bahan organik dan sering terkonsentrasi pada bagian atas tanah karena menyatu dengan tumbuhan, dan kemudian terakumulasi sebagai hasil pelapukan di dalam lapisan humus (Danny, 2006). Toksisitas timbal pada organisme akuatik berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut. Toksisitas timbal lebih rendah daripada kadmium (Cd), merkuri (Hg), tembaga (Cu), akan tetapi lebih tinggi daripada kromium (Cr), mangan (Mn), barium (Ba), seng (Zn) dan besi (Fe). Kadar timbal yang berkisar antara 0,1 – 8,0 mg/liter dapat menghambat pertumbuhan mikroalga Chlorella saccharophila. Toksisitas akut timbal terhadap beberapa jenis avertebrata air tawar dan laut berkisar antara 0,5 – 5,0 mg/liter toksisitas akut (LC50) timbal
20 terhadap beberapa jenis ikan air tawar berkisar antara 0,5 – 10 mg/liter (Effendi, 2003). Pb masuk ke perairan melalui pengendapan dan jatuhan debu dari udara yang mengandung Pb yaitu hasil pembakaran bensin, erosi dan limbah industri. Perairan tawar alami biasanya memiliki kadar timbal < 0,05 mg/liter. Pada perairan laut, kadar timbal sekitar 0,025 mg/liter (Effendi, 2003). Kelarutan timbal pada perairan lunak (soft water) adalah sekitar 0,5 mg/liter, sedangkan pada perairan sadah (hard water) sekitar 0,003 mg/liter. Timbal atau timah hitam (Pb) dalam suatu perairan di temukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan Pb cukup rendah sehingga kadar Pb di dalam air relatif kecil. Kadar dan toksisitas Pb dipengaruhi oleh kesadahan Pb, alkalinitas dan kadar oksigen. Timbal diserap dengan baik oleh tanah sehingga pengaruhnya terhadap tanaman relatif kecil. Kadar Pb kerak bumi sekitar 15 mg/Kg. Sumber alami utama Pb adalah galena (PbS), gelessite (PbSO4) dan cerrusite (PbCO3) (Odum, 1996). Bahan bakar yang mengandung Pb (leaded gasoline) juga memberikan kontribusi yag berarti bagi keberadaan Pb di dalam air. Di dalam perairan air tawar, Pb membentuk senyawa kompleks dan memiliki sifat kelarutan rendah dengan beberapa anion, misalnya hidroksida, karbonal, sulfida dan sulfat. Timbal (Pb) banyak digunakan dalam industri baterai. Timbal
(Pb)
terakumulasi
dalam
tubuh
manusia
sehingga
dapat
mengakibatkan gangguan pada otak dan ginjal, serta kemunduran mental pada anak yang sedang dalam pertumbuhan. Konsentrasi Pb dalam perairan tawar alami biasanya < 0,05 mg/L sedangkan perairan laut sekitar < 0,025 mg/L (Effendi, 2003). Kelarutan Pb pada perairan lunak (soft water) sebesar 0,5 mg/L sedangkan pada perairan sadah (hard water) sebesar 0,003 mg/L. Canadian council of resource and enviromental ministry (1987) mengemukakan bahwa hubungan antara kadar Pb dengan nilai kesadahan adalah berbanding lurus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 yang memperlihatkan bahwa jika kesadahan naik maka konsentrasi Pb juga akan naik. Konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/l, dapat membunuh ikan sedangkan crustacea setelah 245 jam akan mengalami kematian, apabila pada badan air konsentrasi Pb adalah 2,75 – 49 mg/l (Palar, 2004). Direktorat Jenderal pengawasan obat dan makanan (POM) No. 03725/B/SK/VII/89
21 membatasi kandungan logam berat Pb maksimum pada sumberdaya ikan dan olahannya adalah 2,0 ppm. Tabel 1 Kadar Pb pada beberapa nilai kesadahan Kesadahan (mg/L CaCO3) 0 – 60 (Lunak/soft) 60 – 120 (sedang/Medium) 120 -180 (Sadah/Hard) > 180 (sangat Sadah/Very hard)
Kadar Timbal (mg/L) 1 2 4 7
Maka dispersi unsur Pb dapat juga terjadi akibat pembuangan tailing dari usaha pertambangan logam. Hal ini harus diwaspadai karena dapat mencemari lingkungan dengan akibat timbulnya berbagai penyakit berbahaya atau bahkan kematian. Dampak lebih jauh dari keracunan Pb adalah dapat menyebabkan hipertensi dan salah satu faktor penyebab penyakit hati. Ketika unsur ini mengikat kuat sejumlah molekul asam amino, haemoglobin, enzim, RNA, dan DNA; maka akan mengganggu saluran metabolik dalam tubuh. Keracunan Pb dapat juga mengakibatkan gangguan sintesis darah, hipertensi, hiperaktivitas, dan kerusakan otak (Danny, 2006). 2.5.6. Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat luas di alam, logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair 321ºC dan titik didih 765 ºC. Kadmium merupakan hasil sampingan dari pengolahan bijih logam seng (Zn), yang digunakan sebagai pengganti seng. Unsur ini bersifat lentur, tahan terhadap tekanan, memiliki titik lebur rendah serta dapat dimanfaatkan untuk pencampur logam lain seperti nikel, perak, tembaga, dan besi. Senyawa kadmium juga digunakan bahan kimia, bahan fotografi, pembuatan tabung TV, cat, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil dan pigmen untuk gelas dan email gigi (Jensen et al., 1981). Di perairan, Cd terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (renik) dan bersifat tidak larut dalam air. Kadar kadmium pada kerak bumi sekitar 0,2 mg/kg. Sumber kadmium adalah greennockite (CdS), hawleyite, sphalerite dan otavite (Moore, 1991). Toksisitas kadmium dipengaruhi oleh pH dan kesadahan, selain itu keberadaan Zn dan Pb dapat meningkatkan toksisitas kadmium. Canadian counsil
22 of resource and eviromental ministry (1987) mengemukan bahwa hubungan antara kadar Cd dengan nilai kesadahan adalah berbanding lurus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 yang memperlihatkan bahwa jika kesadahan naik maka kosentrasi Cd mengikutinya. Tabel 2 Kadar Cd pada beberapa nilai kesadahan Kesadahan (mg/L CaCO3) 0 – 60 (Lunak/soft) 60 – 120 (sedang/Medium) 120 -180 (Sadah/Hard) > 180 (sangat Sadah/Very hard)
Kadar Timbal (mg/L) 0,2 0,8 1,3 1,8
Menurut WHO, kadar Cd maksimum pada air yang diperuntukkan untuk air minum adalah 0,005 mg/L dan untuk peruntukkan pertanian dan perikanan sebaiknya tidak lebih dari9 0,05 mg/L (Moore, 1991). Kadmium bersifat akumulatif dan toksik bagi manusia karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan paru-paru, meningkatkan tekanan darah tinggi, dan kemandulan pada pria dewasa. Kadmium juga bersifat sangat toksik dan bersifat bioakumulasi terhadap organisme. Di Jepang telah terjadi keracunan oleh Cd, yang menyebabkan penyakit lumbago yang berlanjut ke arah kerusakan tulang dengan akibat melunak dan retaknya tulang (O’Neill, 1994). Batas toleransi Cd dalam tubuh manusia dewasa yang ditetapkan oleh badan kesehatan dunia (WHO) dan FAO adalah 57-71 µg perhari. Sedangkan batas masukan per minggu adalah sebesar 400 - 500 µg per 70 kg berat badan ( Hutagalung et al., 1995). 2.6.
Pencemaran Air Pencemaran lingkungan disebabkan oleh produksi polusi seperti fly ash,
belerang bioksida, karbon dan nitrogen, dan logam berat (Cicek et al., 2004). Pencemaran sebagaimana didefinisikan oleh keputusan menteri negara lingkungan hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut adalah ”masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya”. Pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika, kimia dan biologi yang tidak
23 dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan menimbulkan kerugian pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses industri (Odum, 1971). Pencemaran dari limbah sungai menyebabkan eutrophication badan air yang akhirnya akan mengarah ke degradasi kualitas air (Søndergaard et al., 2003). Pencemaran air adalah suatu perubahan kualitas fisik, kimia dan biologi air yang tidak diinginkan, sehingga dapat organisme
perairan
(Odum,
menimbulkan kerugian bagi konsumen dan
1971).
Menurut
keputusan
menteri
negara
kependudukan dan lingkungan hidup No.51/MENKLH/I/2004, yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran air merupakan segala pengotoran atau penambahan organisme atau zat-zat lain ke dalam air, sehingga mencapai tingkat yang mengganggu penggunaan dan pemanfaatan kelestarian perairan tersebut (Saeni, 1989). Masalah pencemaran air menimbulkan kerugian, karena mempengaruhi sistem kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa jenis pencemaran air yang dikenal adalah: a) pencemaran fisik (warna, karena zat organik dan anorganik, turbiditas dan zat tersuspensi, suhu, buih atau busa), b) pencemaran fisiologi (rasa dan bau), c) pencemaran biologi (pertumbuhan ganggang dan bakteri termasuk bakteri patogen), d) pencemaran kimia baik zat organik maupun anorganik (Siregar, 1987). Masalah pencemaran ini disebabkan karena aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, pengembangan kota dan industri, penebangan kayu dan penambangan di daerah aliran sungai (DAS). Pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan pertanian telah meningkatkan limbah pertanian baik padat maupun cair yang masuk ke perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai. Masalah pencemaran air menimbulkan kerugian, karena mempengaruhi sistem kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa jenis pencemaran air yang dikenal adalah: a) pencemaran fisik (warna, karena zat organik dan anorganik, turbiditas dan zat tersuspensi, suhu, buih atau busa),
24 b) pencemaran fisiologi (rasa dan bau), c) pencemaran biologi (pertumbuhan ganggang dan bakteri termasuk bakteri patogen), d) pencemaran kimia baik zat organik maupun anorganik (Siregar, 1987). Sumber pencemaran laut dan pantai secara umum berasal dari berbagai kegiatan baik di darat maupun di laut sendiri (Wardoyo, 1981). Namun demikian sumber pencemaran laut dapat berasal dari : a) limbah indutri, b) limbah pemukiman, c) limbah pertanian, dan d) limbah alami. Pengembangan kota dan industri merupakan sumber bahan sedimen dan pencemaran perairan pesisir dan laut. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol. Sektor industri dan pertambangan yang menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan lain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya. 2.7.
Bahan Pencemar Dan Ekosistem Perairan Kualitas air dipengaruhi oleh faktor alami (iklim, musim, mineralogi,
vegetasi) dan kegiatan manusia. Bilamana air di alam (sungai-sungai, danau-danau dan lain-lain) dikotori oleh kegiatan manusia sedemikian rupa sehingga tidak memenuhi syarat untuk suatu penggunaan yang khusus maka disebut terkena pencemaran (Manan, 1992). Tanpa adanya kebijakan untuk mencegah dan mengendalikan pencemaran perairan sungai, kemungkinan besar menyebabkan persediaan sumber daya air untuk segala kehidupan tidak dapat dipenuhi. Keadaan demikian akan menyebabkan terganggunya suatu faktor ekosistem kehidupan manusia yaitu faktor kesehatan lingkungan yang mempengaruhi hidup manusia itu sendiri. Dalam sebuah daerah aliran sungai, terdapat berbagi penggunaan lahan, seperti hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan persawahan, pemukiman, perikanan, industri dan sebagainya. Beban bahan pencemar yang menyebabkan penurunan kualitas air pada sebagian sungai, terutama yang berasal dari limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertambangan dan limbah dari penggunaan lahan pertanian (Manan, 1992). Bahan pencemaran yang masuk ke dalam air dapat dikelompokan atas limbah organik, logam berat dan minyak. Masing-masing
25 kelompok ini sangat berpengaruh terhadap organisme perairan. Logam berat merupakan bahan pencemar yang paling banyak ditemukan di perairan akibat limbah Industri dan limbah perkotaan (Suin dan Nurdin, 1994). Secara alamiah, unsur logam berat terdapat dalam perairan, namun dalam jumlah yang sangat rendah. Kadar ini akan meningkat bila limbah yang banyak mengandung unsur logam berat masuk ke dalam lingkungan perairan sehingga akan menjadi racun bagi organisme perairan (Hutagalung et al., 1992). Menurut Poels (1983), masuknya logam berat ke dalam tubuh organisme perairan dengan tiga cara yaitu melalui makanan, insang dan diffusi melalui permukaan kulit. Untuk ikan, 90% masuknya logam berat melalui insang, sehingga dengan masuknya logam berat ke dalam insang dapat menyebabkan keracunan, karena bereaksinya kation logam tersebut dengan fraksi tertentu dari lendir insang. Kondisi ini menyebabkan proses metabolisme dari insang menjadi terganggu. Lendir yang berfungsi sebagai pelindung diproduksi lebih banyak sehingga terjadi penumpukan lendir. Hal ini akan memperlambat ekresi pada insang dan pada akhirnya menyebabkan kematian (Sudarmadi, 1993). Logam berat hampir selalu ada dalam setiap pencemaran oleh limbah industri karena selalu diperlukan dalam setiap proses industri (Forstner dan Wittmann, 1983). Manifestasi dari keracunan logam berat pada manusia adalah diare, demam, fesis biru kehijauan dan kelainan fungsi ginjal. Bila kadarnya tinggi dalam tubuh dapat merusak jantung, hati dan ginjal. Absorbsi logam berat yang masuk ke dalam darah dapat menimbulkan hemolisis yang akut, karena banyak sel darah yang rusak. Akibat yang serius dari keracunan logam berat dapat menimbulkan kematian (Tewari et al., 1987). Pendedahan logam berat kadmium pada ikan Pleuronectes flesus berakibat berkurangnya nilai hematokrit, kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah sehingga menyebabkan anemia. Anemia sering ditandai dengan meningkatnya volume plasma oleh karena sistem keseimbangan dalam tubuh ikan terganggu. Lebih jelasnya penyebab anemia tersebut adalah menurunya kecepatan produksi sel darah merah atau rusaknya sel darah merah lebih cepat (Larsson et al., 1976). Efek lain logam berat terhadap ikan air tawar dapat menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin serta nilai hematokrit (Tewari et al., 1987).
26 Kerusakan ekosistem akibat pencemaran logam berat sering dijumpai khususnya untuk ekosistem perairan. Hal ini terjadi karena adanya logam berat yang bersifat racun bagi organisme dalam perairan. Akibatnya organisme yang paling sensitif pertama kali mengalami akibat buruk dan juga organisme yang tidak mampu bertahan akan musnah, sehingga keseimbangan rantai makanan dan ekosistem perairan akan mengalami kerusakan (Sudarmadi, 1993). Menurut Sudarmadi
(1993), dalam ekosistem alami perairan, hampir dapat dipastikan
bahwa kematian sejenis ikan tidak selalu karena sebab faktor tunggal tetapi karena beberapa faktor. Faktor-faktor yang dimaksud adalah : 1. Fenomena sinergis, yaitu kombinasi dari dua zat atau lebih yang bersifat memperkuat daya racun. 2. Fenomena antagonis, yaitu kombinasi antara dua zat atau lebih yang saling menetralisir, sehingga zat-zat yang tadinya beracun berhasil dikurangi dan dinetralisir daya racunya sehingga tidak membahayakan. 3. Jenis ikan dan sifat polutan, yang tertarik dengan daya tahan ikan serta adaptasinya terhadap lingkungan, serta sifat polutan itu sendiri 2.8.
Pencemaran Logam Berat Pada Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat
meliputi bagian daratan, baik kering maupun yang terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, dan perembesan air asin sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pencemaran (Dahuri et al., 1996). Jadi wilayah pesisir merupakan ekosistem yang paling rawan terkena dampak kegiatan manusia. Menurut Sutamihardja et al., (1982), faktor-faktor penyebab pencemaran adalah : 1.
Erosi dan sedimentasi yang disebabkan oleh rusaknya hutan di daerah hulu sungai yang bermuara ke laut serta penggalian pasir dan kerikil di sungaisungai tersebut.
27 2.
Limbah pertanian berupa sisa pestisida dan pupuk yang digunakan dalam usaha peningkatan produksi pertanian yang masuk ke dalam sistem perairan dan akhirnya sampai keperairan laut.
3.
Air selokan dari kota yang mengandung berbagai bahan, yang kemudian masuk melalui sungai dan bermuara keperairan.
4.
permasalahan yang pokok dari aktifitas perminyakan yang dapat menimbulkan pencemaran adalah a). Masalah operasional berupa ceceran minyak dan buangan secara kontinyu; pembuangan air bekas pencucian tanki dan kapal, b). Masalah kecelakaan berupa gangguan transortasi seperti pecahnya pipa-pipa penyalur tanki penimbunan, kandasnya kapal tanki, dan tumpahan minyak yang berasal dari kegiatan di pelabuhan.
5.
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), berupa air panas yang berasal dari air pendingin yang dibuang ke perairan sehingga akan meningkatkan suhu perairan, akibat pembuangan air panas tersebut akan menimbulkan masalah lingkungan terutama bagi organisme akuatik yang hidup di sekitar perairan tersebut.
6.
Industri, peningkatan jumlah industri yang pesat disamping memberi dampak positif terhadap peningkatan perekonomian penduduk, juga menimbulkan masalah terhadap lingkungan, akibat limbah yang di hasilkan oleh industri. Logam berat masuk kedalam perairan melalui air hujan, aliran air
permukaan, erosi korofikasi batuan mineral, dan berbagai kegiatan manusia seperti aktifitas industri, pertambangan, pengolahan atau penggunaan logam dan bahan yang mengandung logam. Kelarutan logam berat dalam air bisa berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah, tergantung kondisi lingkungan perairan. Pada perairan yang kekurangan oksigen akibat tingginya konsentrasi bahan organik, kelarutan beberapa jenis logam, seperti Zn,Cu,Cd, Pb dan Hg, semakin rendah dan lebih mudah mengendap. Logam berat yang masuk ke sistem perairan baik di sungai maupun lautan akan dipindahkan dari badan airnya melalui tiga proses yaitu pengendapan, adsorbsi, dan absorbsi oleh organisme-organisme perairan (Bryan, 1976).
28 Dalam perairan, logam berat dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logam berat terlarut adalah logam yang membentuk komplek dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam berat yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi (Razak, 1980). Masuknya logam berat kedalam tubuh organisme perairan dapat melalui rantai makanan dan difusi melalui kulit dan insang selanjutnya di dalam tubuh biota perairan akan terjadi bioakumulasi dan biomagnifikasi logam berat hal ini mengakibatkan “factor concentrate” (rasio konsentrasi logam berat dalam tubuh organisme dan konsentrasi dalam badan air semakin meningkat) (Hutagalung et al., 1999).
29 III. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa sungai, outlet pabrik dan sekitar
perairan pesisir wilayah lokasi pertambangan nikel Pomalaa, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara dan ditunjukkan pada Gambar 2. Penelitian ini dimulai pada bulan Desember 2008 sampai dengan Juni 2009.
Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
30 3.2.
Metode Pengambilan Data dan Pengukuran
3.2.1. Metode Pengambilan Data Jenis data yang diperoleh pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui survai lapangan dan analisis laboratorium. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, hasil studi dan diperoleh dari dokumen atau berbagai laporan penelitian yang terkait langsung dengan lokasi penelitian ini dilakukan. Disamping itu juga dilakukan wawancara dengan berbagai pihak terutama stakeholder yang bersentuhan langsung dengan berbagai aktivitas perusahaan (nelayan, pemerintah/dinas lingkungan hidup kabupaten Kolaka, pihak PT. Aneka tambang Tbk UBPN Pomalaa dan PT. INCO Pomalaa). Sementara itu, untuk mendukung analisis data kualitas perairan di lokasi pertambangan nikel. 3.2.2. Penentuan Stasiun Pengamatan Penentuan stasiun pengamatan pada lokasi penelitian didasarkan pada pendekatan konseptual dengan melakukan survey terhadap kegiatan yang diperkirakan sebagai sumber pencemaran di lingkungan perairan tempat pembuangan tailing/limbah slag nikel. Lokasi Pengambilan sampel terdiri dari 2 bagian yaitu : 1.
Empat stasiun sebagai jalan masuk limbah dari lokasi eksploitasi dan pabrik yaitu yaitu stasiun 1 (Sungai Huko-huko), stasiun 2 (Sungai Pelambua), stasiun 3 (Outlet Pabrik) dan stasiun 4 (Sungai Komoro).
2.
Delapan stasiun berada di laut sebagai penerima limbah yaitu stasiun 5 (Darmaga Pomalaa), stasiun 6 (galangan kapal), stasiun 7 (Darmaga slag Dawi-dawi), stasiun 8 (Laut Pomalaa), stasiun 9 (Laut Tambea), stasiun 10 (Laut Latumbi), stasiun 11 (Teluk Sopura) dan stasiun 12 (Laut Tanjung Leppe). Untuk lebih jelasnya titik pengambilan sampel dapat dilihat pada peta lokasi
penelitian (Gambar 3) dan posisi titik pengambilan sampel (Tabel 3).
31
Gambar 3 Lokasi pengambilan sampel. Tabel 3 Posisi stasiun pengambilan contoh STASIUN
NAMA STASIUN
1
Sungai Huko-Huko
2
Sungai Pelambua
3
Outlet Pabrik
4
Sungai Komoro
5
Darmaga Pomalaa
6
Galangan Kapal
7
Laut Pomalaa
8
Darmaga Slag Dawi-Dawi
9
Laut Tambea
10
Laut Latumbi
11
Teluk Sopura
12
Laut Tanjung Leppe
POSISI 4°06’14.88” S 121°36’28.38 ”E 4°08’27.45” S 121°37’07.34 ”E 4°11’05.99” S 121°36’09.56” E 4°11’39.48” S 121°35’55.38” E 4°10’44.01” S 121°35’02.60” E 4°10’57.54” S 121°36’19.47” E 4°10’10.51” S 121°35’32.78” E 4°8’3.85” S 121°36’16.71” E 4°11’19.60” S 121°35’10.62” E 4°13’6.54” S 121°34’28.72” E 4°14’37.13” S 121°32’32.38” E 4°15’20.30” S 121°33’56.13” E
32 3.2.3. Peralatan dan Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel air dari tiap stasiun pengamatan, destilasi dan bahan kimia untuk pengawetan. Bahan yang digunakan untuk memperoleh data fisika-kimia perairan dapat dilihat pada Tabel 4. Alat-alat bantu yang digunakan adalah kompas/GPS, pH meter, serta alat-alat gelas. 3.3.
Rancangan Penelitian
3.3.1. Tahapan Penelitian (Penelitian Pendahuluan) Pada tahap ini dilakukan penetapan lokasi penelitian yaitu sepanjang wilayah yang diperkirakan menjadi sumber pencemar (tempat awal penampungan limbah cair/settling pond) dan sepanjang wilayah pesisir/laut tempat akhir pembuangan limbah cair dan tailing padat (slag) hasil pengolahan nikel operasi Pomalaa. Selanjutnya dilakukan identifikasi ke masyarakat yang memanfaatkan tailing padat (slag) sebagai tanah urugan dalam pembuatan rumah penduduk di daerah pesisir dari lokasi penelitian. 3.3.2. Penelitian Kualitas Perairan Metode Pengambilan Sampel Karakteristik fisika-kimia perairan, seperti suhu, kekeruhan, salinitas, pH dan oksigen terlarut (DO), DO awal untuk penentuan BOD ditera langsung di lapangan. Mengingat kompleksitas prosedur dan peralatan yang digunakan, maka untuk pengukuran konsentrasi TSS, BOD5, nitrat, nitrit, dan logam berat dilakukan di laboratorium. Untuk menghindari pengaruh faktor suhu, cahaya dan lain-lain selama perjalanan, maka diperlukan penanganan sampel sedemikian rupa yaitu dengan pendinginan atau penambahan preservasi sesuai dengan karakteristik yang diukur atau ditera yaitu (Haryadi, 2001) : 1. Satu botol dengan preservasi (pengawet) HNO3 sampai pH, dinginkan dengan suhu 4 ºC untuk analisis logam berat. 2. Satu botol yang lebih besar (1 liter) tanpa pengawet, dinginkan dengan suhu 4 ºC untuk analisis TSS, TDS, nitrat, nitrit dan chrom hexavalen. 3. Satu botol gelap BOD untuk inkubasi BOD pada suhu 20 ºC, selama 5 hari.
33 Preparasi Sampel Kualitas perairan yang diamati adalah parameter fisik-kimia, Sampel yang telah diambil dilakukan destruksi,penyaringan, pengenceran (bila konsentrasi terlalu tinggi), pembuatan larutan standar, pengukuran logam berat dengan menggunakan AAS (atomic absorbtion spetrofotometer). Untuk lebih jelasnya parameter kualitas air, logam berat dalam air laut yang diamati dan alat yang digunakan serta tempat melakukan analisis dapat dilihat pada Tabel 4. 3.3.3. Metode Analisis Pengukuran Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini dan metoda pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Parameter kualitas air dan metode pengukuran Parameter A. Fisika (air) 1. Suhu 2. Kecerahan 3. Kekeruhan 4. Padatan tersuspensi B. Kimia (air) 1. Salinitas 2. Ph 4. BOD5 3.Oksigen terlarut (DO) 4. Nitrat (NO3-N) 5. Nitrit 6. Amonia Bebas (NH3-N) 7. Besi (Fe) 8. Seng (Zn) 9. Khrom Heksavalen (Cr+6) 10. Total Khrom 11. Timbal (Pb) 12. Nikel (Ni)
Unit °C M (NTU) mg/l ‰ mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Alat/Metode
Keterangan
Termometer Secchi disk Turbidimeter Gravimetrik
In Situ In Situ In Situ Laboratorium
Refraktometer pH-meter Inkubasi DO-meter Spektofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer AAS AAS AAS AAS AAS AAS
In Situ In Situ Laboratorium In Situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Beberapa parameter, analisa kualitas air dilakukan langsung di lapangan, sementara untuk analisis logam berat dilakukan di laboratorium balai hyperkes Makassar, Sulawesi Selatan.
34 3.4.
Analisis Data
3.4.1. Penilaian Status Mutu Air Pada penilaian status mutu perairan lokasi penambangan nikel Pomalaa didekati dengan menggunakan metode STORET yang terdapat pada lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 tentang pedoman penentuan status mutu air. Standar baku mutu digunakan untuk air laut mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk keperluan biota laut. Standar baku mutu untuk air sungai mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pencemaran. Standar baku mutu untuk outlet pabrik mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 09 Tahun 2006 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan nikel. Metoda STORET merupakan metoda untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan. Dengan metoda STORET ini dapat diketahui parameterparameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Secara prinsip metode STORET adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukkannya guna menentukan status mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan menggunakan nilai dari “US_EPA (enviromental protection agency)” dengan mengklasifikasikan mutu air dalam empat kelas pada Tabel 5. Tabel 5 Storet tentang klasifikasi mutu air No 1 2 3 4
Kelas A Kelas B Kelas C Kelas D
Kelas (baik sekali) (baik) (sedang) (buruk)
Skor 0 -1 s/d -10 -11 s/d -30 ≤ -31
Kategori memenuhi baku mutu tercemar ringan tercemar sedang tercemar berat
Penentuan status mutu air dengan menggunakan metoda STORET dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut ; 1. Pengumpulan data kualitas air. 2. Membandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan kelas air.
35 3. Untuk hasil pengkuran yang memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengkuran ≤ baku mutu) maka diberi skor 0 4. Jika hasil pengkuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu), maka beri skor seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Penentuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air Parameter Jumlah Parameter ≥ 10
Nilai Maksimum Minimum Rata-rata
Fisika -2 -2 -6
Kimia -4 -4 -12
Sumber : KEPMEN-LH No. 115 Tahun 2003 5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai
3.4.2. Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Analisis data utama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penentuan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi. Penentuan beban pencemaran dihitung berdasarkan pengukuran langsung debit sungai dan kosentrasi parameter yang diukur, berdasarkan model berikut : BP
= Q x C x 3600 x 24 x 30 x 1 x 10-6
Keterangan: BP Q C
= Beban pencemaran yang masuk dari sungai (ton/bulan) = Debit sungai (m3/detik) = Konsentrasi limbah (mg/l) Nilai debit sungai diperoleh dari perhitungan luas penampang sungai
dikalikan dengan kecepatan aliran sungai. Sedang nilai kapasitas asimilasi ditentukan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi parameter limbah dengan beban pencemar dan selanjutnya dianalisis dengan cara
36 memotongkannya dengan garis baku mutu sesuai dengan peruntukan dan jenisnya seperti pada Gambar 4.
Gambar 4 Grafik hubungan beban pencemaran dan konsentrasi polutan. Secara matematis persamaanya dapat ditulis sebagai berikut : y = a + bx Keterangan: a b x y 3.5.
= koefisien yang menyatakan nilai y pada perpotongan antara garis linear dengan sumbu vertikal = koefisien regresi untuk parameter muara sungai = beban pencemaran = konsentrasi polutan Data Sosial Analisis data sosial tentang pengetahuan masyarakat tentang limbah cair
dan tailing padat (slag) di lokasi penelitian adalah berupa wawancara dan kuisioner bersifat diskriptif.
37 IV. GAMBARAN UMUM
4.1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kegiatan pertambangan nikel Pomalaa secara administratif berada dalam
wilayah Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara dan secara geografis terletak antara 4°10’00” - 4°27’25” LS dan 121°31’30”-121°39’03” BT. Kegiatan penambangan ini berdasarkan pada peta kuasa pertambangan yang memiliki areal seluas 8.314,8 Ha dan secara teknis dibagi dalam tiga wilayah (front) yaitu daerah tambang utara, daerah tambang tengah dan daerah tambang selatan. Endapan biji nikel di daerah Pomalaa merupakam endapan bijih laterit, yaitu endapan yang terjadi akibat proses pelapukan batuan ultrabasa (peridotit, serpentin) yang terdiri dari mineral-mineral utama seperti olivine dan piroksin serta mineral-mineral tambahan lain seperti kromit, magnetit dan kobalt. Biasanya pembentukan
langsung
mengalami
proses
serpentinisasi
oleh
larutan
hydrothermal (residu) pada waktu pembentukan magma. Selain itu dapat juga terjadi akibat proses pelapukan. Di daerah Pomalaa, endapan biji nikel sebagian besar terdapat pada bukitbukit, terutama pada puncak-puncak dan punggung-punggung bukit. Semakin landai puncak/punggung bukit tersebut, intensitas pelapukan semakin tinggi. Sehingga disamping pembentukan lapisan tanah penutup yang makin tebal, juga semakin besar cadangan yang didapat. Pada umumnya daerah yang landai terbuka banyak didapati vegetasi yang semakin rapat. Struktur daerah bantuan pada lokasi penelitian umumnya terdiri atas urutan pelapisan dari atas ke bawah sebagi berikut : a. Lapisan tanah penutup : terdiri dari campuran tanah dan biji besi laterit yang berwarna merah-cokelat tua, dengan ketebalan antara bebera sentimeter sampai beberapa meter (rata-rata ± 1 - 2 meter), b. Lapisan kedua : terdiri dari tanah lapukan berwarnah coklat hingga kuning coklat dengan kadar besi antara 10 – 15% dan kadar nikel antara 1,2 – 2%, dengan tebal lapisan bervariasi.
38 c. Lapisan ketiga : terdiri dari lapukan lanjut batuan peridorit/serpentin dengan urat-urat garneirit dan krisopras yang berwarna hijau. Tebal lapisan bijih rata-rata 10 – 15 meter, dengan kandungan nikel ± 1,35% dan kadar besi 5 – 15%. d. Lapisan paling bawah : merupakan batuan dasar (bedrock) yang terdiri dari batuan peridodit/serpentin. Secara umum struktur dan kandungan biji dapat dilihat pada Gambar 5. Sedangkan pada lokasi penelitian, struktur dan kandungan biji dapat dilihat pada Gambar 6. WARNA PROFIL
KANDUNGAN UNSUR (% berat total) Co Fe MgO
KE DALAMAN (m)
Ni
Tanah Penutup
0.3-6
<0.8
<0.1
>50
<0.5
<7
Limonit
8-15
0.81.5
0.1-0.2
40-50
0.5-5
7-10
Saprolit
5-18
1.5-3
0.020.1
10-25
15-35
33-35
0.3
0.01
5
35-45
>35
ZONA
Batuan Dasar
Gambar 5 Struktur umum batuan yang mengandung bijih nikel.
Gambar 6 Salah satu penampang struktur batuan lokasi penelitian.
SiO2
39 4.2.
Proses Terjadinya Nikel Batuan induk bijih nikel adalah batuan peridotit. Batuan ultrabasa rata-rata
mempunyai kandungan nikel sebesar 0,2 %. Unsur nikel tersebut terdapat dalam kisi-kisi kristal mineral olivin dan piroksin sebagai hasil subtitusi terhadap atom Fe dan Mg. Proses terjadinya substitusi antara Ni, Fe dan Mg dapat diterangkan karena radius ion dan muatan ion yang hampir bersamaan di antara unsur-unsur tersebut. Proses serpentinisasi yang terjadi pada batuan peridotit akibat pengaruh larutan hydrothermal akan merubah batuan peridotit menjadi batuan serpentinit atau batuan serpentinit peroditit. Sedangkan proses kimia dan fisika dari udara, air serta pergantian panas dingin yang bekerja kontinu, menyebabkan disintegrasi dan dekomposisi pada batuan induk. Pada
pelapukan
karbondioksida
berasal
kimia dari
khususnya, udara
dan
air
tanah
pembusukan
yang
kaya
akan
tumbuh-tumbuhan
menguraikan mineral-mineral yang tidak stabil (olivin dan piroksin) pada batuan ultrabasa dan menghasilkan Mg, Fe, Ni yang larut. Si cenderung membentuk koloid dari partikel-partikel silika yang sangat halus. Di dalam larutan, Fe teroksidasi dan mengendap sebagai ferri-hydroksida, akhirnya membentuk mineral-mineral seperti geothit, limonit, dan haematit dekat permukaan. Bersama mineral-mineral ini selalu ikut serta unsur cobalt dalam jumlah kecil. Larutan yang mengandung Mg, Ni, dan Si terus menerus ke bawah selama larutannya bersifat asam, hingga pada suatu kondisi dimana suasana cukup netral akibat adanya kontak dengan tanah dan batuan, maka ada kecenderungan untuk membentuk endapan hydrosilikat. Nikel yang terkandung dalam rantai silikat atau hydrosilikat dengan komposisi yang mungkin bervariasi tersebut akan mengendap pada celah-celah atau rekahan-rekahan yang dikenal dengan urat-urat garnierit dan krisopras. Sedangkan larutan residunya akan membentuk suatu senyawa yang disebut saprolit yang berwarna coklat kuning kemerahan. Unsur-unsur lainnya seperti Ca dan Mg yang terlarut sebagai bikarbonat akan terbawa ke bawah sampai batas pelapukan dan akan diendapkan sebagai dolomit, magnesit yang biasa mengisi celah-celah atau rekahan-rekahan pada batuan induk. Di lapangan, urat-urat ini dikenal sebagai batas petunjuk antara zona pelapukan dengan zona
40 batuan segar yang disebut dengan akar pelapukan (root of weathering). Faktorfaktor yang mempengaruhi pembentukan bijih nikel laterit ini adalah : a. Batuan asal. Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan nikel laterit, macam batuan asalnya adalah batuan ultrabasa. Dalam hal ini pada batuan ultrabasa tersebut terdapat elemen Ni yang paling banyak diantara batuan lainnya dan mempunyai mineralmineral yang paling mudah lapuk atau tidak stabil, seperti olivin dan piroksin serta mempunyai komponen-komponen yang mudah larut dan memberikan lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel. b. Iklim. Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana terjadi kenaikan dan penurunan permukaan air tanah juga dapat menyebabkan terjadinya proses pemisahan dan akumulasi unsur-unsur. Perbedaan temperatur yang cukup besar akan membantu terjadinya pelapukan mekanis, dimana akan terjadi rekahan-rekahan dalam batuan yang akan mempermudah proses atau reaksi kimia pada batuan. c. Reagen-reagen kimia dan vegetasi. Yang dimaksud dengan reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-senyawa yang membantu mempercepat
proses
pelapukan.
Air
tanah
yang
mengandung
karbondiokasida memegang peranan penting didalam proses pelapukan kimia. Asam-asam humus menyebabkan dekomposisi batuan dan dapat merubah pH larutan. Asam-asam humus ini erat kaitannya dengan vegetasi daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan: 1. penetrasi air dapat lebih dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar pohon-pohonan. 2. akumulasi air hujan akan lebih banyak. 3. humus akan lebih tebal. Keadaan ini merupakan suatu petunjuk, dimana terdapat hutan lebat pada lingkungan yang baik akan terdapat endapan nikel yang lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi. Selain itu, vegetasi dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi mekanis. d. Struktur. Struktur yang sangat dominan yang terdapat di daerah Polamaa ini adalah struktur rekahan atau kekar (joint) dibandingkan terhadap
41 struktur patahannya. Seperti diketahui, batuan beku mempunyai porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi air sangat sulit, maka dengan adanya rekahan-rekahan tersebut akan lebih memudahkan masuknya air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif. e. Topografi. Keadaan topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air beserta reagen-reagen lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan bergerak perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. Akumulasi endapan umumnya terdapat pada daerahdaerah yang landai sampai kemiringan sedang. Hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis jumlah air yang meluncur (run off) lebih banyak daripada air yang meresap ini dapat menyebabkan pelapukan kurang intensif. f. Waktu. Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena akumulasi unsur nikel cukup tinggi. 4.3.
Sistem Penambangan Sistem penambangan yang diterapkan pada perusahaan penambangan
nikel Pomalaa adalah sistem tambang terbuka (open cut mining). Kegiatan penambangan dimulai dengan pengupasan tanah penutup (stripping overburden) yang dilakukan pada lapisan tanah penutup. Biasanya dilakukan bersama-sama dengan pembabatan (clearing) dan menggunakan alat dorong (bulldozer). Pengupasan tanah penutup ini bertujuan untuk menyikap bijih nikel. 4.3.1. Tahap Prakonstruksi (Eksplorasi) Pada tahap ini, kegiatannya berupa survei lapangan dan penelitian geoteknik, serta kompensasi penggunaan lahan. Uraian kegiatan-kegiatan tersebut dan kaitannya dengan dampak lingkungan diuraikan sebagai berikut : a.
survei lapangan dan penelitian geoteknik. Kegiatan survei lapangan, pemetaan dan eksplorasi awal berupa pemboran
serta testpit. Sementara penelitian geoteknik berupa penelitian batuan, tanah dan
42 daya dukungnya yang akan digunakan dalam kegiatan eksplorasi. Dampak lingkungan yang akan timbul akibat kegiatan ini adalah perubahan persepsi masyarakat sekitar wilayah kontrak karya. b. Kompensasi penggunaan lahan. 4.3.2. Tahap Konstruksi (Persiapan Eksploitasi) Pada tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah mobillisasi dan demobilisasi
peralatan,
penambahan
dan
peningkaatan
jalan
tambang,
pembangunan sarana penunjang, pengupasan tanah penutup (overburden) dan penumpukan tanah penutup. Adapun struktur dan komposisi lahan sebelum penambangan dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Struktur dan komposisi lahan sebelum penambangan. Uraian kegiatan pada tahap ini adalah sebagai berikut : a.
Mobilisasi dan demobilisasi peralatan. Untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi yang dimulai dengan peningkatan
spesifikasi jalan tambang dan pembukaan lahan diperlukan berbagai jenis peralatan. Peralatan untuk kegiatan tersebut antara lain truk, bulldozer, excavator, grader/whell dozer dan compactor/drum roller serta drilling unit. Peralatan tersebut perlu dimobilisasi dan didemobilisasi dari satu lokasi kegiatan ke lokasi kegiatan yang lainnya yang juga memerlukan waktu yang tidak sedikit selama
43 tahap konstruksi berlangsung. Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan ini adalah penurunan kualitas udara akibat debu yang meningkat dan gangguan kebisingan dan getaran yang bisa mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat. b.
Pembangunan dan peningkatan jalan tambang. Kegiatan pembangunan dan peningkatan jalan tambang dimaksudkan untuk
menambah, memperluas dan meningkatkan kualitas jalan tambang yang telah ada sebelumnya. Dampak yang timbul akibat kegiatan ini antara lain perubahan komponen ruang lahan dan tanah, penurunan kualitas udara, gangguan berupa getaran, perubahan iklim mikro, gangguan terhadap siklus hidrologi, peningkatan erosi tanah dan sedimentasi, penurunan kualitas air. c.
Pembukaan lahan. Pembukaan lahan dilakukan untuk membersihkan lokasi penambangan yang
masih tertutup vegetasi. Akibat kegiatan tersebut maka akan terjadi dampak lingkungan berupa perubahan komponen ruang, lahan dan tanah, penurunan kualitas udara gangguan berupa getaran, perubahan iklim mikro, gangguan terhadap siklus hidrologi, peningkatan erosi tanah dan sedimentasi, penurunan kualitas air, gangguan terhadap biota darat (flora dan fauna) dan gangguan terhadap biota perairan. d.
Pembangunan sarana penunjang. Pembangunan sarana penunjang berupa pembangunan fasilitas akomodasi,
perkantoran dan laboratoriun. 4.3.3. Tahap Operasional (Eksploitasi) Kegiatan-kegiatan dalam tahapan eksploitasi adalah sebagai berikut : a.
Pengupasan tanah penutup (overburden). Pengupasan tanah penutup (overburden) berupa pengupasan tanah pucuk
(top soil) dan penggalian tanah penutup yang menutupi lapisan yang mengandung bijih nikel. Akibat kegiatan tersebut, maka akan terjadi dampak lingkungan pada komponen ruang, lahan dan tanah, penurunan kualitas udara gangguan berupa bising dan getaran, gangguan terhadap siklus hidrologi, peningkatan erosi tanah dan sedimentasi, penurunan kualitas air, gangguan terhadap biota perairan.
44 b.
Penimbunan tanah penutup. Penimbunan tanah penutup, terutama tanah pucuk dilakukan karena akan
digunakan sebagai material reklamasi dan reboisasi pada tahap pasca penambangan. Akibat kegiatan tersebut, maka akan terjadi dampak lingkungan pada komponen ruang, lahan dan tanah, penurunan kualitas udara gangguan berupa bising dan getaran, gangguan terhadap siklus hidrologi, peningkatan erosi tanah dan sedimentasi, penurunan kualitas air, gangguan terhadap biota perairan. c.
Penambangan bijih. Penambangan bijih merupakan kegiatan
mengandung bijih nikel
eksploiasi
lapisan
yang
setelah tanah penutupnya dikupas. Akibat kegiatan
tersebut, maka akan terjadi dampak lingkungan pada komponen ruang, lahan dan tanah, penurunan kualitas udara gangguan berupa bising dan getaran, gangguan terhadap siklus hidrologi, peningkatan erosi tanah dan sedimentasi, penurunan kualitas air, gangguan terhadap biota perairan. d.
Penyaringan. Pada tahap ini, material tambang hasil eksploitasi disaring/dipilah antara
material yang kandungan nikelnya tinggi dengan yang rendah. selanjutnya material ini dikumpulkan untuk diangkut ke tempat penampungan (stockpile) melalui jalan produksi. Akibat kegiatan tersebut, maka akan terjadi dampak lingkungan berupa penurunan kualitas udara, gangguan berupa bising dan getaran. e.
Pengangkutan. Aktivitas berupa pengangkutan material tambang dari lokasi tambang ke
tempat penampungan (stockpile) melalui jalan produksi. Akibat kegiatan tersebut, maka akan terjadi dampak lingkungan berupa penurunan kualitas udara gangguan berupa bising dan getaran. f.
Penimbunan bijih. Penimbunan bijih dilakukan di tempat penampungan (stoskpile). Kegiatan
ini menggunakan alat-alat berat berupa buldozer dan escavator. Akibat kegiatan tersebut, maka akan terjadi dampak lingkungan berupa penurunan kualitas udara gangguan berupa bising dan getaran.
45 4.3.4. Tahap Pra Olahan Bahan yang terdiri dari bijih nikel, antracyte, batubara dan kapur sebelum diumpan ke dalam rotary klin terlebih dahulu mengalami pekerjaan di ore handling. a. Ore Handling Pekerjaan ini meliputi transportasi, penghancuran, penyimpanan dan penimbangan dengan urutan sebagai berikut : 1. Biji nikel basah yang berasal dari lokasi penambangan yang telah ditimbun di stock yard pabrik diumpan ke dalam shake out machine (SOM) sesuai dengan komposisi yang diinginkan. 2. Bijih dengan kandungan air 33 % selanjutnya diangkut ke rotary dyer untuk dikurangi kadar airnya dengan suhu 900 °C, dengan media pemanasnya adalah batubara dan heavy oil/MFO, sehingga ore yang keluar dari rotary dryer diharapkan kadar airnya tinggal 21 – 23% 3. Selanjutnya biji yang telah kering diangkut dengan belt conveyor ke riffle flow screen (RFS) untuk memisahkaln material yang berukuran +5 cm. Batuan yang -5 cm selanjutnya diangkut dengan belt converyor ke penampung sementara (bin). Sedangkan material yang berukuran +5 cm dihancurkan dengan menggunakan impeler breaker sehingga diperoleh ukuran yang diinginkan yaitu -5 cm dan selanjutnya di angkut ke bin. 4. Untuk batu kapur, batu bara, anthracit langsung diangkut dari hopper menuju bin-bin yang mempunyai kapasitas 70 ton secara terpisah. 5. Pada setiap bin dilakukan penimbangan untuk mendapatkan komposisi bahan baju yang sesuai untuk proses peleburan. b. Proses Kalsinasi Bahan baku untuk proses kalninasi antrasit 25 - 37,5 kg, batubara 10 – 15 kg dan batu kapur 40 kg. Setelah ditimbang, kemudian diangkut dengan belt conveyor ke dalam rotary klin (tanur putar) untuk proses kalsinasi. Produknya dinamakan “calcine” yang terdiri dari calcine ore, calcine limeston, calcine anthracite serta calcine batubara. Adapun alur proses peleburan nikel dapat dilihat pada Gambar 8.
46
Gambar 8 Alur proses peleburan nikel. 4.3.5. Tahap Peleburan Peleburan (smelting) adalah proses reduksi bijih sehingga menjadi logam unsur yang dapat digunakan berbagai macam zat seperti karbid, hidrogen, logam aktif atau dengan cara elektrolisis. Pemilihan zat peredusi ini tergantung dari kereaktifan masing-masing zat. Makin aktif logam makin sukar direduksi, sehingga diperlukan pereduksi yang lebih kuat. Logam yang kurang aktif seperti tembaga dan emas dapat direduksi hanya dengan pemanasan. Logam dengan kereaktifan sedang, seperti besi, nikel dan timah dapat direduksi dengan karbon. Sedangkan logam aktif seperti magnesium dan alumunium dapat direduksi dengan elektrolisis. Seringkali proses peleburan ditambah dengan fluks, yaitu suatu bahan yang mengikat pengotor dan membentuk zat yang mudah mencair yang disebut terak/tailing/slag. Pada penambangan nikel di Pomalaa, proses peleburan dilakukan dalam dapur listrik (electric smelting furnace) yang berkapasitas 100 ton/jam, dengan keperluan listrik 18 megawatt
pada temperatur 1.600°C. Dapur listrik yang
digunakan mempunyai diameter 15 m yang bagian dalamnya dilapisi dengan batuan tahan api jenis magnesia brick. Dalam dapur listrik terjadi proses peleburan calcine dan reduksi semua oksida yang terkandungan dalam bijih oleh fixed carbon antracine/batubara. Reaksi yang terjadi di dalam dapur listrik adalah:
47 NiO CoO Fe2O3 FeO SiO2 Cr2O3 P2O5 MnO
+ + + + + + + +
C → Ni C → Co 3C → 2FeO C → Fe 2C → Si 3C → 2Cr 5C → 2P C → Mn
+ + + + + + + +
CO CO 3CO CO 2CO 3CO 3CO CO
(95 % Ni tereduksi) (95 % Co tereduksi) (100 % Fe2O3 tereduksi) (60 % FeO tereduksi) (2 % SiO2 tereduksi) (20 % Cr2O3 tereduksi) (90 % P2O5 tereduksi) (20 % Mn tereduksi)
Oksida-oksida di dalam biji (calcine) yang tidak tereduksi akan diikat oleh CaO dari batu kapur dan membentuk slag. Unsur-unsur logam yang terbentuk dari hasil oksida logam akan membentuk logam ferronikel. Pemisahan antara logam ferronikel dan slag dalam dapur listrik berlangsung karena perbedaan berat jenis antara slag dan ferronikel. Slag dengan berat jenis sekitar 2,26 akan membentuk lapisan sebelah atas, ferronikel yang mempunyai berat jenis 6,9 akan membentuk lapisan bawah. Tebal lapisan slag dalam dapur listrik mancapai 1 – 1,5 m sedang lapisan ferronikel berkisar antara 40 – 50 cm. Untuk memisahkan nikel dengan slag, slag dikeluarkan dari dapur listrik mempunyai kandungan nikel ± 1,7% dengan temperatur 1.550°C dan dialirkan ke kolam sedimen yang kemudian disemprotkan dengan air sehingga tergranulasi menjadi buturan-butiran berukuran 5 cm. Setelah slag ini dingin, sebagian digunakan masyarakat untuk menimbun pantai yang dikenal dengan nama “pantai slag” dan kadangkala juga digunakan sebagai bahan pengeras jalan. 4.3.6. Tahap Pemurnian Pemurnian (refining) adalah penyesuaian komposisi kotoran dalam logam kasar. Beberapa cara pemurnian yang umum dilakukan adalah sebagai berikut : a. Elektrolisis, misalnya pemurnian tembaga dan nikel. b. Destilasi, misalnya pemurnian seng dan raksa. c. Peleburan ulang, misalnya pemurnian besi. d. Pemurnian zona, yaitu suatu cara modern yang dilaksanakan dalam pemurnian logam. Untuk proses pemurnian yang berasal dari proses peleburan pada pabrik pertambangan nikel Pomalaa dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
48 a. Desulfurisasi Desulfurisasi adalah proses penghilangan sulfur dengan menggunakan calsiun carbide (CaC2) dan soda ash (NaaCO3) yang menghasilkan ferronikel karbon tinggi. Prosesnya dimulai dengan mencampurkan crude metal dengan carbide dan soda ash kemudian diaduk dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi reaksi yang menghasilkan CaS dan Na2S. b.
Shaking Converter Pada tahap ini ferronikel karbon tinggi dalam tanur goyang (shaking
converter) dialiri gas oksigen yang bertujuan untuk menghilangkan unsur karbon, silica, kromium dan flourit. Sebagai bahan pemurni digunakan adalah batu gamping dan flourit yang berfungsi sebagai bahan pembuang oksida kemudian ditambahkan ferrosilicon dan alumunium. Produk ferronikel yang dihasilkan oleh perusahaan tambang nikel di Pomalaa terdiri dari 70% ferronikel karbon rendah dan 20% ferronikel karbon tinggi. Hasil akhir pada tahapan ini adalah ferronikel dengan karbon rendah.
49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Parameter Fisika
5.1.1. Suhu Suhu perairan merupakan salah satu parameter fisika yang sangat penting bagi kehidupan biota air. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang optimal setiap biota mempunyai batas toleransi yang berbeda-beda. Secara umum, suhu berpengaruh langsung terutama terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme namun tidak berpengaruh langsung terhadap struktur dan dispersi hewan air (Nontji, 1984). Disamping itu, suhu juga mempunyai hubungan langsung terhadap densitas air dan salinitas. Oleh karena itu perubahan suhu air dapat mempengaruhi struktur komunitas biota, sedangkan pada kondisi ekstrim dapat menyebabkan kematian (Kinne, 1970). Pada daerah tropis termasuk Indonesia, suhu permukaan laut berkisar antara 28°C – 31°C dan pada daerah subtropis berkisar antara 15°C - 20°C (Nontji, 1984). Hasil pengukuran sampel air di sungai dan outlet suhu air berada pada kisaran 26,6°C - 32°C. Gambar 9 dari 4 stasiun pemantauan yang dilakukan, suhu terendah terdapat pada stasiun 4 (Sungai Huko-huko) yaitu 26,6°C dan suhu tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (outlet pabrik) yaitu 32°C. Bila dibandingkan dengan 3 stasiun lain, suhu rata-rata air pada stasiun 3 (outlet pabrik) lebih tinggi yaitu 29,38°C. Hal ini diduga banyak dipengaruhi oleh aktivitas pabrik yang menggunakan air sebagai bahan pendingin slag dan pendingin mesin. Air pendingin slag berfungsi untuk mendinginkan slag yang baru keluar dari electric furnace dengan temperatur 1.550°C. Akibat suhu slag yang tinggi, air pendingin sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan dialirkan melalui drainase pabrik hingga menuju outle akhir yaitu laut. Mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran, dapat dikatakan bahwa suhu perairan pada 3 sungai pada stasiun pemantauan masih dalam kondisi normal dan masih dalam taraf ambang batas yang diperbolehkan bagi peruntukan kehidupan biota air. Sedangkan untuk stasiun 3 berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 09 Tahun 2006 tentang baku mutu
50 air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pertambangan nikel juga masih dalam kisaran yang memenuhi baku mutu. Pengukuran suhu pada stasiun di laut juga masih dalam kisaran normal yaitu 27°C - 30°C (Gambar 10). Mengacu pada baku mutu yang ditetapkan pada Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk keperluan biota laut, kondisi tersebut belum melewati ambang batas yang ditetapkan dan masih cukup ideal untuk menunjang kehidupan biota perairan. Secara umum, hasil pengukuran suhu pada perairan laut, sungai dan outlet pabrik, masih dalam batas toleransi bagi kehidupan organisme dan lingkungan. Hal tersebut dimungkinkan, mengingat adanya perlakuan (treatment) bagi buangan limbah pabrik, sehingga buangan limbah pabrik dapat terkontrol dan tidak berbahaya bagi organisme dan lingkungan sekitar.
Gambar 9 Suhu pada stasiun pengamatan pada sungai dan outlet pabrik.
Gambar 10 Suhu pada stasiun pengamatan pada laut.
51 5.1.2. Kecerahan Kecerahan, kekeruhan dan padatan tersuspensi merupakan parameter kualitas air yang saling berkaitan satu sama lain. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi sebanding dengan peningkatan konsentrasi kekeruhan, dan berbanding terbalik dengan kecerahan. Ketiga parameter mempunyai padanan penting dalam produktivitas perairan terutama yang berhubungan dengan fotosintesis dan proses respirasi biota perairan. Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya ke dalam kolom air. Hasil pengukuran kecerahan perairan selama penelitian berkisaran 3,5-6 meter dengan kisaran rata-rata setiap stasiun 4,6-5,3 meter. Nilai kecerahan antara stasiun penelitian menunjukan variasi yang cukup kecil dan hampir sama setiap stasiunnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut, nilai kecerahan tersebut jauh melampaui baku mutu yang ditetapkan yaitu > 3 meter. Dengan demikian jika ditinjau dari segi kecerahan (Gambar 11), perairan lokasi penelitian tersebut masih baik dan dapat menunjang kehidupan organisme perairan.
Gambar 11 Kecerahan pada stasiun pengamatan di laut.
52 5.1.3. Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan banyaknya bahan tersuspensi di dalam air seperti liat, debu, plankton atau organisme lainnya. Nilai kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi tingkat penetrasi cahaya ke dalam kolom air sehingga dapat mempengaruhi proses fotosintesis. Selain itu kekeruhan akan mengganggu organorgan pernafasan dan alat penyaring makanan dari organisme perairan yang dapat menyebabkan kematian (Wardoyo, 1981). Hasil pengukuran kekeruhan tiap stasiun berkisar 2-10 NTU, dengan ratarata kisaran 3,58-5,20 NTU (Gambar 12) Kekeruhan terendah terdapat pada stasiun 9 yaitu Laut Tambae sebesar 3,58 NTU. Rendahnya kekeruhaan pada stasiun ini diduga sebagai akibat positif dari penanaman mangrove sepanjang garis pantai stasiun tersebut. Jarak tanam pohon mangrove yang sangat rapat tersebut diduga mempercepat pengendapan material-material sedimen yang berasal dari hulu Sungai Kumoro. Sedangkan kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun 6 yaitu Galangan Kapal sebesar 5,20 NTU. Tingginya kekeruhan pada stasiun itu diduga lebih banyak disebabkan oleh aktivitas di galangan kapal dan posisi stasiun tersebut berdampingan langsung dengan tempat penampungan sementara biji nikel yang ditambang (stockpile). Aktivitas di galangan kapal berupa perbaikan kapal-kapal pengangkut biji nikel yang baru ditambang pada lokasi Pulau Gebe dan Pulau Maniang di Halmahera. Perbaikan ini termasuk di dalamnya adalah pembuangan sisa-sisa material biji nikel yang masih bercampur dengan tanah. Akibatnya bisa diduga yaitu meningkatnya kekeruhan pada daerah tersebut.
Gambar 12 Kekeruhan pada stasiun pengamatan di laut.
53 Merujuk Baku Mutu Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut yang mensyaratkan nilai kekeruhan sebesar > 5 NTU, maka hanya pada stasiun 6 yaitu galangan kapal yang melebihi ambang batas kekeruhan. Sedangkan pada stasiun yang lainnya masih dalam toleransi yang cukup untuk menunjang kehidupan biota 5.1.4. Padatan Tersuspensi Total (TSS) Padatan tersuspensi total (TSS) merupakan materi padat seperti pasir, lumpur, tanah deprice, detritus maupun logam berat, baik yang tergolong bahan organik atau anorganik yang tersuspensi di dalam perairan. Effendi (2003) menyatakan bahwa padatan tersuspensi total (total suspended solid) adalah bahanbahan tersuspensi berdiameter >1 μm yang tertahan pada saringan dengan diameter 0,45 μm. TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. TSS merupakan salah satu parameter biofisik perairan yang secara dinamis mencerminkan perubahan yang terjadi di daratan dan di perairan. TSS memberikan gambaran mengenai bahan-bahan tersuspensi, baik bahan organik maupun anorganik yang berupa partikel pada suatu perairan. Nilai TSS dapat dijadikan sebagai indikator kualitas suatu perairan karena sifat TSS yang berpengaruh terhadap kekeruhan dan kecerahan perairan, sehingga akan mempengaruhi aktivitas di perairan tersebut (Abel, 1989). Hasil analisis TSS di lokasi penelitian untuk stasiun sungai dan outlet pabrik ditampilkan pada Gambar 13.
Gambar 13 TSS pada stasiun pengamatan sungai dan outlet pabrik.
54 Berdasarkan baku mutu peraturan pemerintah nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran, TSS pada semua stasiun pemantauan di sungai dan outlet masih dalam kondisi baik dan mendukung kehidupan organisme perairan. Pada stasiun pemantauan di laut, konsentrasi TSS berada pada kisaran 76,48 mg/l - 108,67 mg/l (Gambar 14). Konsentrasi TSS yang ditemukan cukup variatif, namun pada semua stasiun menunjukan bahwa konsentrasi TSS di perairan laut telah melebihi baku mutu yang disyaratkan Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut sebesar 20 mg/l. Hal ini diduga sebagai akibat adanya turbulensi pada perairan pesisir sehingga sedimen-sedimen yang awalnya mengendap di dasar perairan terangkat ke permukaan. Selain itu juga diduga kondisi ini disebabkan adanya transpor sedimen yang berasal dari lokasi eksploitasi tambang dan terbawa ke perairan pesisir melalui sungai-sungai dan outlet pabrik.
Gambar 14 TSS pada stasiun pengamatan di laut. 5.2.
Parameter Kimia
5.2.1. Salinitas Menurut Dahuri (1996), salinitas air laut berfluktuasi tergantung pada musim, topografi, pasang surut, dan jumlah masukan air tawar. Salinitas merupakan
gambaran jumlah garam dalam suatu perairan. Sebaran salinitas
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran air sungai (Nontji, 1984). Hasil pengukuran salinitas pada lokasi pertambangan nikel menunjukan nilai yang cukup variatif antara tiap stasiun yaitu pada kisaran 21,46 PSU - 27,48 PSU. Salinitas terendah yaitu 21,46 ‰ terdapat
55 pada stasiun 7 yaitu Laut Pomalaa. Rendahnya salinitas pada stasiun ini diduga akibat adanya pengaruh masuknya air tawar dari dua sungai yaitu Sungai Hukohuko dan Sungai Pelambua. Sedangkan salinitas tertinggi yaitu 27,48 PSU ditemukan pada stasiun 8 dermaga slag Dawi-dawi (Gambar 15). Tingginya salinitas di dermaga slag Dawi-dawi diduga disebabkan oleh jauhnya pengaruh masukan air tawar dari sungai sekitar. Hal ini diperkuat dengan pendapat Boyd (1988) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi nilai salinitas adalah masukan air tawar yang cukup banyak. Berdasarkan Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut kisaran salinitas yang ditemukan di lokasi penelitian masih mendukung kehidupan organisme perairan.
Gambar 15 Salinitas pada stasiun pengamatan di laut.
5.2.2. Keasaman (pH) Derajat keasaman suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain oleh proses fotosintesis biologi dan adanya berbagai jenis kation dan anion di perairan tersebut. Tingkah laku organisme perairan, struktur dan komposisi komunitas air sungai ditentukan oleh temperatur (Grimm, 1994). Keasaman air berpadaan penting baik dalam proses kimiawi maupun biologi yang kesemuanya menentukan kualitas perairan alami. Dengan adanya perubahan nilai pH yang relatif kecil atau rendah akan dapat mempengaruhi kelarutan besi, tembaga,
56 kalsium, mangan dan logam-logam lain, serta keseimbangan antara gas karbondioksida, bikarbonat dan karbonat. Hasil pengukuran pH pada masing-masing stasiun berada pada kisaran 6,9 - 7,7 (Gambar 16). Jika dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran, pH perairan lokasi pertambangan nikel pada tiga sungai dan outlet pabrik stasiun pengamatan masih dalam kisaran normal bagi kehidupan biota air yaitu 6 - 9. Hasil pengukuran pH pada stasiun di laut berada pada kisaran 8,13 8,31 (Gambar 17). Merujuk pada baku mutu kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut yaitu 7 – 8,5 maka kondisi pH perairan lokasi pertambangan nikel masih dalam ambang batas yang di izinkan.
Gambar 16 pH pada stasiun pengamatan sungai dan outlet pabrik.
Gambar 17 pH pada stasiun pengamatan di laut.
57 5.2.3. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen di perairan berasal dari difusi udara maupun hasil fotosintesis oleh organisme nabati, seperti fitoplankton dan tumbuhan air di zona eufotik. Karena sebagian besar organisme akuatik tidak dapat memanfaatkan oksigen bebas secara langsung, maka keberadaan oksigen terlarut dalam air sangat penting artinya bagi kehidupan biota di suatu perairan. Disamping itu, kandungan oksigen di perairan juga dapat dijadikan petunjuk tentang adanya pencemaran bahan organik dengan bertambahnya aktivitas dekomposisi dalam menguraikan limbah yang masuk dalam perairan (Nybakken, 1982). Oksigen terlarut merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Keberadaan oksigen ini secara alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfir. Semakin tinggi suhu dan semakin meningkat ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfir, maka konsentrasi oksigen terlarut semakin kecil (Effendi, 2003). Hubungan antara kadar oksigen terlarut dan suhu menunjukan bahwa semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigennya semakin berkurang. Kelarutan oksigen dan gas-gas lain akan berkurang dengan meningkatnya salinitas, sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah dari kadar oksigen di perairan tawar. Berdasarkan hasil pengukuran nilai oksigen terlarut (DO) yang dilakukan di lokasi pertambangan nikel Pomalaa, menunjukan bahwa untuk masing-masing stasiun pada sungai dan outlet pabrik didapatkan kadar oksigen terlarut berada pada kisaran 5,915 mg/l – 6,915 mg/l. Kandungan oksigen terendah ditemukan pada stasiun 3 yaitu sebesar 5,915 mg/l. Hal ini diduga sebagai akibat dari fluktuasi suhu yang cukup tinggi pada stasiun ini. Dalam hal ini semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin rendah. Gambar 18 menunjukan bahwa konsentrasi oksigen terlarut tiap stasiun jauh melebihi baku mutu yang ditetapkan PP No. 82 Tahun 2001 yakni >3 mg/l. Sebaran oksigen terlarut pada stasiun laut dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada stasiun laut menunjukan nilai kisaran 4,402 – 12,548 mg/l dan nilai-nilai tersebut melebihi baku mutu kepmenLH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut ditetapkan yakni >5 mg/l.
yang
58
Gambar 18 DO pada stasiun pengamatan sungai dan outlet pabrik.
Gambar 19 DO pada stasiun pengamatan laut. 5.2.4. Biological Oxygen Demand (BOD5) Air merupakan komponen yang mutlak diperlukan bagi kehidupan makhluk hidup. Nilai air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh kualitasnya. Perubahan dan penurunan kualitas dan sumberdaya dapat disebabkan oleh adanya bahan pencemar. Penurunan kualitas air dapat mengakibatkan penggunanya menjadi lebih terbatas, serta mempengaruhi kehidupan biota yang ada di dalamnya. BOD memberikan gambaran seberapa banyak oksigen yang telah digunakan oleh aktivitas mikroba selama kurun waktu yang ditentukan. Analisis BOD adalah suatu analisis empirik yang mencoba mendekati secara global prosesproses biokimia atau mikrobiologi yang benar-benar terjadi di alam atau perairan,
59 sehingga uji BOD berlaku sebagai simulasi suatu proses biologis yaitu oksidasi senyawa organik yang terjadi di perairan secara alami. Indikator pencemaran organik BOD didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba sehubungan dengan penggunaan dan stabilisasi bahan organik yang terdapat di dalam limbah. Saat ini BOD merupakan jumlah oksigen yang diperlukan, setelah contoh air diinkubasi selama 5 hari pada suhu 200C. Reaksi dalam botol BOD dalam analisis BOD diasumsikan sama dengan semua reaksi aerobik dan terjadi dalam dua tahap yang terpisah. Mula-mula bahan organik yang terdapat dalam limbah cair digunakan oleh mikroba untuk energi dan pertumbuhan. Bila bahan organik yang semula terdapat dalam limbah cair atau air buangan dipisahkan, organisme yang ada terus menggunakan oksigen untuk auto oksidasi atau metabolisme endogen dari masa seluler. Jika massa seluler habis teroksidasi, hanya residu seluler yang tidak dapat diurai yang tertinggal dan reaksi berakhir. Oksidasi massa sel total akan berlangsung lebih dari 20 hari. Dalam prosedur baku mutu penentuan BOD hanya didasarkan pada oksidasi bahan organik berkarbon. Untuk menentukan BOD dilakukan dengan cara contoh limbah yang dimasukkan ke dalam botol kedap udara (botol BOD) diinkubasi dengan kondisi dan waktu tertentu. Oksigen telarut dalam contoh air tersebut diukur sebelum contoh air diinkubasi. Setelah diinkubasi, nilai BOD dihitung dari selisih antara nilai oksigen terlarut (DO) sebelum diinkubasi dan setelah diinkubasi. Penggunaan sistem tertutup (botol BOD) dan pengembangan teknik pengenceran dalam analisis BOD bertujuan untuk menstimulasi kondisi alamiah yang ada dalam sungai yang menerima limbah. Tujuan utama bukan untuk menduga kekuatan air limbah, melainkan menduga berapa banyak oksigen yang digunakan dalam kondisi encer seperti yang terjadi dalam air sungai, kalau limbah tersebut dibuang ke dalam sungai. Tujuan utama adalah untuk meramalkan efek dari suatu limbah terhadap perairan sungai. Menurut Gaudy (1972), minat utama para peneliti terdahulu adalah untuk menentukan profil oksigen terlarut dalam air sungai dalam hubungannya dengan pengenceran limbah. Pokok bahasannya ialah dalam menentukan kapasitas air sungai itu untuk mengasimilasi limbah organik. Kapasitas ini terutama tergantung
60 kepada dua faktor yang saling berlawanan yaitu laju penggunaan oksigen karena metabolisme mikroba terhadap bahan organik yang ada dalam air sungai dan laju reaerasi dalam air sungai. Uji BOD dirancang untuk melukiskan secara kinetika model deoksigenasi dalam perairan yang menerima limbah. Konsepsi pengukuran BOD lebih menuju ke inti masalah pencemaran, yaitu berhubungan dengan banyaknya oksigen yang diperlukan untuk semua reaksi metabolisme mikroba yang terjadi sebagai akibat dari masuknya bahan organik. Rangkaian reaksi penguraian secara oksidasi aerobik dapat terjadi dengan leluasa di perairan (alami), tetapi dalam botol BOD apabila hanya dalam 5 hari rangkaian reaksi tersebut mungkin tidak akan terjadi. Walaupun semua bahan organik dalam suatu contoh dapat dipakai sebagai sumber makanan oleh mikroba, BOD 5 hari hampir tidak pernah sama dengan COD (Chemical Oxygen Demand), kecuali jika mikroba mampu mendorong rantai makanan untuk mendekati kesempurnaan. Pada kondisi ekologis terbaik, BOD dapat mendekati nilai COD (Gaudy et al., 1980). Dengan adanya perbedaan ini, dapat diupayakan untuk mengoreksi nilai-nilai BOD dengan hasil-hasil dari uji COD. Salah satu parameter yang biasa digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan adalah BOD, yang didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroba untuk merombak senyawa-senyawa organik dan anorganik. Hasil pengukuran BOD5 pada 3 stasiun di sungai dan 1 di outlet pabrik menunjukan angka kisaran yaitu 1,44 mg/l – 22,13 mg/l,seperti pada Gambar 20. Nilai BOD5 tertinggi dijumpai pada stasiun 3 (outlet pabrik) yang mencapai 22,13 mg/l. Hal ini diduga sebagai akibat banyaknya limbah organik yang merupakan sisa aktivitas produksi nikel yang kemudian dibuang dan disalurkan melalui pipa menuju laut. Bila dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran dengan baku mutu BOD5
6 mg/l, maka semua stasiun sungai masih baik
sedangkan pada 3 stasiun sudah melewati ambang. Nilai BOD5 pada stasiun di laut berada pada kisaran 1.40 mg/l – 2,95 mg/l seperti ditunjukan pada Gambar 21. Merujuk pada Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut
61 untuk biota laut sebesar 20 mg/l, maka perairan lokasi pertambangan nikel masih dalam kondisi baik untuk kehidupan organisme.
Gambar 20 BOD5 pada stasiun pengamatan di sungai dan outlet pabrik.
Gambar 21 BOD5 pada stasiun pengamatan di laut. 5.2.5. Nitrat (NO3-N) Nitrat adalah bentuk senyawa nitrogen yang merupakan sebuah senyawa stabil dan merupakan nutrien yang sangat diperlukan bagi organisme nabati perairan. Namun demikian apabila konsentrasinya sangat tinggi dapat menyebabkan eutrofikasi dan merangsang pertumbuhan biomassa ganggang (algae) tertentu yang tidak terkendali (blooming). Konsentrasi nitrat pada stasiun sungai dan outlet pabrik berkisar 0,544 mg/l – 0,704 mg/l (Gambar 22). Bila dibandingkan dengan peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan
62 pengendalian pencemaran semua stasiun pemantauan memenuhi baku mutu yaitu 20 mg/l. Sedangkan konsentrasi nitrat di perairan laut dengan baku mutu sesuai kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 sebesar 0,008 mg/l tidak terdeteksi.
Gambar 22 Nitrat pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik. 5.2.6. Nitrit (NO2-N) Nitrit merupakan bentuk senyawa kimia nitrogen yang biasanya terdapat di perairan alami dalam jumlah yang sangat kecil (Goldman dan Horne, 1983). Selama penelitian dilakukan menunjukan nitrit tidak terdeteksi pada semua stasiun pengamatan. Hal ini disebabkan karena posisi nitrit sebagai senyawa perantara yang terdapat antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi) (Wetzel,1983). 5.2.7. Amonia (NH3-N) Amonia merupakan proses reduksi senyawa nitrat (denitrifikasi) atau hasil sampingan dari proses industri. Amonia merupakan sumber nitrogen tambahan yang penting untuk pertumbuhan ganggang dan gulma air yang dapat timbul dengan cepat di perairan alami dan dapat menyebabkan pencemaran. Sumber ammoniak di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organic dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organic yang dilakukan oleh mikroba dan jamur dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendi, 2003). Amonia merupakan bentuk utama N di ekosistem akuatik yang tersedia untuk bakteri, jamur dan tumbuhan. Nitrogen ini diserap oleh organisme nabati
63 untuk kemudian diolah menjadi protein yang selanjutnya menjadi bahan makanan organisme akuatik lainnya. Perbedaan utama dari ammonia dan nitrat adalah dalam hal toksisitas dan mobilitasnya, dimana ammonia memiliki toksisitas yang lebih tinggi namun lebih rendah mobilitasnya daripada nitrat (Goldman dan Horne, 1983). Pada ekosistem
perairan umumnya
ammonia terdapat dalam
bentuk ion terdisosiasi NH4+ (amonium) menjadi NH3 (amonia) yang ketoksisitasannya akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pH. Hasil pengukuran amonia bebas di stasiun sungai dan outlet masingmasing stasiun berada pada kisaran 0,002 mg/l - 0,006 mg/l. Namun demikian konsentrasi tersebut belum melampaui baku mutu PP No. 82 Tahun 2001 sebesar 0,05 mg/l, seperti ditampilkan pada Gambar 23. Sedangkan hasil pengukuran amonia total di perairan laut masing-masing stasiun berada pada kisaran 0,002 mg/l - 0,016 mg/l. Namun demikian konsentrasi tersebut belum melampaui baku mutu Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 sebesar 0,3 mg/l, seperti ditampilkan pada Gambar 24.
Gambar 23 Amonia bebas pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik.
64
Gambar 24 Amonia total pada stasiun pemantauan di laut. 5.3.
Logam Berat
5.3.1. Besi (Fe) Besi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besi terlarut baik dalam bentuk Fe2+ dan Fe3+. Dalam kondisi oksida normal, Ferri (Fe3+) jauh lebih besar dibanding dengan Ferro (Fe2+). Hal ini disebabkan air sungai berhubungan langsung dengan oksigen di atmosfir, begitu mengalami oksidasi dari atmosfer ion ferro akan berubah menjadi ion ferri (Goldman dan Horne, 1993). Setelah diadakan analisis kandungan besi pada semua stasiun pengamatan, ditemukan kandungan unsur besi yang berada pada kisaran 0,024 mg/l - 0,081 mg/l. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada stasiun 4 (Sungai Kumoro) dan konsentrasi terendah ditemukan pada stasiun 1 (Sungai Huko-huko), seperti ditampilkan pada Gambar 25. Jika dibandingkan dengan baku mutu peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran, semua stasiun pemantauan telah melewati ambang batas yang diperbolehkan sebesar 0,03 mg/l.
Gambar 25 Besi pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik.
65 5.3.2. Seng (Zn) Ion seng (Zn) dalam air berasal dari limbah industri pematrian logam dan pertambangan. Logam ini penting dalam penyusunan logam enzim dan beracun bagi tanaman pada konsentrasi yang cukup tinggi. Pada stasiun sungai dan outlet pabrik, seng hanya terdeteksi pada stasiun 3 (outlet pabrik) yaitu sebesar 0,045 mg/l. Sedangkan kisarannya sebesar 0,0009 mg/l – 0,045 mg/l (Gambar 26). Namun demikian konsentrasi seng tersebut tidak melampaui baku mutu PP No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran sebesar 0,05 mg/l. Pada stasiun laut, seng terdeksi pada semua stasiun pengamatan dengan kisaran 0,003 – 0,049 mg/l (Gambar 27). Konsentrasi tertinggi terdapat pada stasiun
9 (Laut Tambea) yaitu 0,049 mg/l sementara konsentrasi terendah
terdapat pada stasiun 10 (Laut Latumbi). Namun demikian konsentrasi seng yang ditemukan tersebut belum melampaui baku mutu kepmen LH No. 51 Tahun 2004 sebesar 0,05 mg/l seperti dapat dilihat pada gambar berikut .
Gambar 26 Seng pada stasiun pengamatan di sungai dan outlet pabrik.
Gambar 27 Seng pada stasiun pemantauan di laut.
66 5.3.3. Khrom (Cr) Kromium tidak pernah ditemukan di alam sebagai logam murni. Sumber utama kromium sangat sedikit, yaitu batuan chromite (FeCr2O4) dan mic oxide (Cr3O3) (Novotny dan Olem, 1994 in Effendi, 2003). Dalam penelitian ini, konsentrasi khrom yang ditemukan berada pada kisaran 0,023 mg/l – 0,082 mg/l, seperti tampak pada Gambar 28. Pada stasiun 3 (outlet pabrik) khrom yang ditemukan telah melebihi ambang batas baku mutu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran yang ditentukan yaitu 0,05 mg/l.
Gambar 28 Total khrom pada stasiun pengamatan di sungai dan outlet pabrik. 5.3.4. Khrom Heksavalen (Cr+6) Khromium (Cr) termasuk unsur yang jarang ditemukan pada perairan alami. Kerak bumi mengandung kromium sekitar 100 mg/l (Effendi, 2003). Dalam penelitian ini, kromium yang ditemukan adalah kromium heksavalen (Cr+6). Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) yang menyatakan bahwa kromium yang ditemukan di perairan adalah kromium trivalen (Cr+3) dan kromium heksavalen (Cr+6); namun, pada perairan yang memiliki pH kurang dari 5, kromium kromium trivalent tidak ditemukan. Apabila masuk di perairan, kromium trivalent akan dioksidasi menjadi kromium heksavalen. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan konsentrasi kromium heksavalen yang cukup variatif pada tiap stasiun sebagaimana terlihat pada Gambar 29. Dari hasil penelitian, konsentrasi khrom yang melebihi baku
67 mutu Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 terdapat pada stasiun 6, 9, 10, 11 dan stasiun 12. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada stasiun 12 (Tanjung Leppe) dengan konsentrasi 0,016 mg/l.
Gambar 29 Khrom heksavalen pada stasiun pemantauan di laut.
5.3.5. Timbal (Pb) Logam ini dapat bersifat racun dan mengakibatkan anemia, sakit ginjal, kerusakan sistem saraf serta merusak kehidupan binatang. Logam ini berada dalam darah dapat bereaksi dengan reaktif terhadap oksigen dan membentuk senyawa PbO yang sangat tidak dibutuhkan oleh hemoglobin darah. Konsentrasi Pb pada stasiun pengamatan di sungai dan outlet pabrik berada pada kisaran 0,014 mg/l – 0,038 mg/l. Konsentrasi Pb terendah ditemukan pada stasiun 1 (Sungai Huko-huko). Sedangkan konsentasi tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (outlet pabrik) sebesar 0,038 mg/l (Gambar 30). Tingginya konsentrasi timbal pada stasiun ini diduga akibat dari sisa proses pembakaran di pabrik yang kemudian. Dalam Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran, hanya stasiun 3 yang melewati ambang batasan maksimun konsentrasi timbal di perairan yaitu sebesar 0.03 mg/l. Hasil pengukuran stasiun pangamatan di laut, konsentrasi timbal pada stasiun 5 (Dermaga Pomalaa), 6 (Galangan Kapal), 7 (Laut Pomalaa) dan 8 (Dermaga Slag Dawi-dawi) telah melewati ambang batas maksimum (Gambar 31). Keadaan ini diduga akibat posisi stasiun yang secara tegak lurus berhadapan
68 dengan lokasi pabrik dengan kondisi mesin-mesin disel yang beroperasi 24 jam penuh. Akibatnya sisa-sisa pembakaran diduga ikut masuk ke perairan. Mengacu pada baku mutu Kepmen-LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut yaitu sebesar 0,008 mg/l, maka hanya stasiun 9 (Laut Tambea), stasiun 10 (Laut Latumbi), stasiun 11 (Teluk Sopura) dan stasiun 12 (Laut Tanjung Leppe) yang masih dibawah ambang batas maksimum yang diperbolehkan.
Gambar 30 Timbal pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik.
Gambar 31 Timbal pada stasiun pengamatan di laut. 5.3.6. Nikel (Ni) Nikel merupakan logam berwarna putih kepadatan yang mudah ditempah dan merupakan penghantar listrik yang baik. Biasanya hadir dengan bilangan oksida -1 sampai +4, namun yang lebih sering ditemukan adalah +2. Nikel tahan terhadap alkali, namun pada umumnya larut dalam asam.
69 Untuk kandungan nikel (Ni) pada tiga stasiun sungai dan outlet pabrik berkisar antara 0,003 mg/l – 0,103 mg/l. Konsentrasi tertinggi ditemukan pada stasiun 3 (Outlet Pabrik) yaitu sebesar 0,103 mg/l. Tingginya konsentrasi nikel pada stasiun 3 diduga sebagai akibat dari masukan dari sisa aktivitas pabrik yang banyak menggunakan air untuk pendingin yang diseprotkan pada sisa slag yang kemudian dialirkan ke laut melaui drainase pabrik. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 hanya stasiun 3 yang melewati ambang batas baku mutu sebagaimana pada Gambar 32. Pada stasiun laut, konsentrasi nikel ditampilkan pada Gambar 33. Berdasarkan Gambar 33, stasiun 9 merupakan stasiun yang paling tinggi kedua konsentrasi nikelnya yaitu sebesar 0,21 mg/l. Konsentasi nikel pada stasiun ini diduga akibat letak stasiun yang tepat berhadapan dengan stasiun 4 (Sungai Kumoro) dan stasiun 3 (Outlet Pabrik). Sedangkan kosentrasi nikel tertinggi, untuk stasiun di laut, stasiun 8 (Dermaga Slag) juga merupakan stasiun yang paling tinggi konsentrasi nikelnya yaitu 0,40 mg/l. Kondisi ini diduga akibat di sekitar tanjung tersebut merupakan tanah timbunan/areal reklamasi, dimana semua materialnya adalah slag sisa proses peleburan. Selain itu juga diduga akibat dari tumpahan “ore” dari kapal-kapal pengangkut (tongkang) yang berlabuh di dermaga yang berasal dari tambang Halmahera dan Pulau Gebe dengan muatan bahan baku nikel. Merujuk pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut, keseluruhan stasiun belum melewati ambang batas yang digariskan.
Gambar 32 Nikel pada stasiun pemantauan di sungai dan outlet pabrik.
70
Gambar 33 Nikel pada stasiun pemantauan di laut. 5.4.
Hasil Analisis Mutu Air Dengan menggunakan Moteda STORET, seperti tercantum dalam
Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003, berikut ini ditampilkan rekapitulasi hasil pada hitungan Indeks STORET tiap stasiun pada Tabel 7. Hasil analisis storet dari 12 stasiun pengukuran, terdapat 1 stasiun tergolong tercemar ringan yaitu stasiun (4) Sungai Kumoro, sedangkan stasiun yang termasuk kategori sedang sebanyak 11 stasiun yakni; stasiun (1) Sungai Huko-huko, (2) Sungai Pelambua, (5) Dermaga Pomalaa dan stasiun (7) Dermaga Slag Dawi-dawi. (6) Galangan Kapal, (8) Laut Pomalaa, (9) Laut Tambea, (10) Laut Latumbi, (11) Laut Sopura dan (12) Laut Tanjung Leppe, dan terdapat 1 stasiun tergolong tercemar berat yaitu stasiun (3) Outlet Pabrik. Banyaknya lokasi/stasiun pengamatan yang tergolong tercemar sedang menggambarkan betapa tingginya aktivitas buangan limbah dan semakin kritisnya wilayah perairan Pomalaa. Secara grafis status perairan lokasi pertambangan ditampilkan pada Gambar 34.
71 Tabel 7 Rekapitulasi skor indeks STORET dan status mutu air Stasiun
Skor
Status mutu air
1
Sungai Huko-Huko
- 12
tercemar sedang
2
Sungai Pelambua
- 10
tercemar ringan
3
Outlet Pabrik
- 49
tercemar berat
4
Sungai Komuro
- 23
tercemar sedang
5
Dermaga Pomalaa
- 21
tercemar sedang
6
Galangan Kapal
- 20
tercemar sedang
7
Dermaga Slag Dawi-dawi
- 21
tercemar sedang
8
Laut Pomalaa
- 19
tercemar sedang
9
Laut Tambea
- 19
tercemar sedang
10
Laut Latumbi
- 15
tercemar sedang
11
Laut Sopura
- 17
tercemar sedang
12
Laut Tanjung Leppe
- 17
tercemar sedang
Gambar 34 Status pencemaran stasiun pengukuran selama penelitian.
72 5.5.
Beban Pencemaran Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks dan
sangat rumit, sarat risiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang, melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang. Beban pencemaran dihitung berdasarkan perkalian antara debit air sungai dengan konsentrasi parameter kualitas air yang diteliti. Secara umum beban pencemar yang masuk pada perairan pesisir lokasi pertambangan terdiri dari 4 sumber utama yaitu terdiri dari 3 sungai besar (Sungai Huko-huko, Sungai Pelambua, Sungai Komoro)
dan satu outlet pabrik. Berdasarkan
perhitungan yang dilakukan, besarnya beban pencemar yang masuk ke perairan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa Sulawesi Tenggara ditampilkan pada Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, TSS merupakan bahan pencemar tertinggi konsentrasinya yang masuk ke perairan yang mencapai 2.612,80 ton/bulan. Kontribusi TSS tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu sebesar 731.02 ton/bulan. Hal ini diduga sebagai akibat dari tidak maksimalnya fungsi dari IPAL pada pabrik pengolahan nikel. Sementara kontribusi tertinggi kedua terdapat pada stasiun 4 (Sungai Kumoro). Tingginya TSS pada sungai ini merupakan konsekuensi logis adanya kegiatan pembukaan lahan yang sangat masif pada wilayah-wilayah yang menjadi target eksploitasi. Lahan yang semula bervegetasi, setelah dilakukan eksploitasi menjadi areal yang terbuka tanpa vegetasi. Selain itu, khusus cekdam-cekdam yang berada pada wilayah tambang tengah memanfaatkan sungai ini sebagai saluran penghubungnya dengan laut. Keadaan ini apabila didukung dengan curah hujan yang tinggi akan menyebabkan laju erosi semakin tinggi pula sehingga sedimen yang terbawa bersama run-off semakin tinggi pula. Untuk BOD5 menempati urutan kedua dalam memberikan kontribusi terbesar dalam beban pencemaran yaitu sebesar 291,9 ton/bulan. Parameter ini menggambarkan jumlah bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba untuk mendekomposisi bahan
73 organik. Pada parameter ini, stasiun 3 memberikan kontribusi yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan stasiun yang lain yaitu sebesar 223,8 ton/bulan. Hal ini diduga disebabkan oleh banyaknya kandungan bahan organik berupa minyak/oli mesin yang terbawa bersama air pendingin mesi-mesin pembangkit dan air pendingin slag. Hasil penentuan BOD5 dapat memberikan gambaran keberadaan/kandungan pencemar dari golongan bahan organik. Tabel 8 Beban pencemaran perairan lokasi pertambangan nikel Pomalaa
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Parameter TSS BOD5 Nitrat NH3-N Besi (Fe) Seng (Zn) Khrom (Cr) Timbal (Pb) Nikel (Ni)
Satuan mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
Beban Pencemaran (ton/bulan) I 1.270,87 39,56 7,92 0,05 1,42 0,02 0.99 0,33 0,07
II 19,84 1,31 0,31 0,01 0,05 0,001 0,03 0,03 0,004
III 731,02 223,8 3,74 0,06 0,82 0,36 0,57 0,38 1,04
Total BP
IV 591,08 2.612,80 27,26 291,88 5,16 17,12 0,03 0,14 1,33 3,62 0,013 0,39 0,30 1,89 0,24 0,97 0,54 1,66
Beban limbah yang berasal dari golongan nutrient yaitu nitrat sebesar 17,1 ton/bulan dan amoniak sebesar 0,14 ton/bulan. Kontribusi terbesar berasal dari stasiun 3. Hal ini diduga sebagai akibat tingginya kandungan minyak yang berasal dari sisa aktivitas mesin-mesin pembangkit yang terbawa bersama air pendingin mesin. Selain itu, juga diduga sebagai akibat masuknya limbah-limbah domestik yaitu karbohidrat, lemak dan protein yang berasal dari rumah tangga sekitar lokasi tambang. Penguraian nutrisi lemak dan protein akan menghasilkan amoniak dan nitrat. Parameter logam berat yang memberikan kontribusi paling besar terhadap beban pecemaran adalah besi sebesar 3,6 ton/bulan. Kontribusi tertinggi disumbang oleh Sungai Huko-huko sebesar 1,4 ton/bulan dan Sungai Kumoro yaitu sebesar 1,333 ton/bulan. Untuk Sungai Kumoro, tingginya konsentrasi besi diduga disebabkan oleh pemanfaatan sungai tersebut sebagai saluran pembuangan limbah cair yang berasal dari rumah sakit aneka tambang. Disamping itu, sungai tersebut juga berhubungan langsung dengan saluran drainase bengkel yang berfungsi sebagai tempat reparasi dan perbaikan mesin-mesin dan atau kendaraan-
74 kendaraan operasional pertambangan. Selain itu, tempat tersebut juga menjadi tempat penampungan bangkai-bangkai kendaraan yang sudah tidak terpakai dan dalam kondisi berkarat, sehingga kuat dugaan, tingginya kandungan besi pada Sungai Kumoro disebabkan oleh hal tersebut. Beban pencemaran untuk nikel sebesar 1,66 ton/bulan dengan kontribusi terbesar yaitu berasal dari stasiun 3 sebesar 1,04 ton/bulan. Tingginya konsentrasi beban pencemar nikel pada stasiun ini diduga berasal dari sisa-sisa slag yang terlarut bersama air pendingin slag dan kemudian masuk ke perairan.
5.6.
Kapasitas Asimilasi Kapasitas asimilasi perairan didefinisikan sebagai kemampuan perairan
dalam memulihkan diri (self purification) akibat masuknya limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang ditetapkan sesuai dengan peruntukkannya (Quano, 1993 in Anna, 1999). 5.6.1. TSS Untuk menentukan kapasitas asimilasi pada parameter TSS ditentukan berdasarkan hasil analis regresi dengan persamaan y = 0,2728x + 321,906 dan R2 = 0,0181. Berdasarkan persamaan tersebut, didapat nilai kapasitas asimilasi sebesar 246,618 ton/bulan sebagaimana ditampilkan pada Gambar 35. Berdasarkan gambar 35, terlihat bahwa kapasitas asimilasi perairan untuk beban pencemaran TSS telah jauh melebihi kemampuannya untuk melakukan purifikasi secara alami.
Gambar 35
Analisis regresi antara beban pencemaran TSS dengan konsentrasi TSS perairan pesisir.
75 5.6.2. Biological Oxygen Demand (BOD5) Berdasarkan hasil analisis regresi untuk BOD5 didapat persamaan untuk menentukan bersaran kapasitas asimilasi y = -0,01143x + 9,889 dengan R2 = 0,0139. Dengan demikian didapat nilai kapasitas asimilasi perairan untuk TSS sebesar 1.758,49 ton/bulan. Berdasarkan Gambar 36, terlihat bahwa beban pencemaran BOD5 masih berada dibawah ambang batas yang ditentukan sebesar 20 mg/l.
Gambar 36
Analisis
regresi
antara
beban
pencemaran
BOD5
dengan
konsentrasi BOD5 perairan pesisir.
5.6.3. Amonia Setelah dilakukan analisis regresi untuk beban pencemaran ammonia didapat persamaan y = -0,0476x + 0,0388 dengan R2 = 0,089. Berdasarkan persamaan tesebut, maka kapasitas asimilasi untuk beban pencemaran ammonia sebesar 6,34 ton/bulan dan masih jauh dibawah ambang batas kapasitas asimilasinya seperti pada Gambar 37.
Gambar 37
Analisis regresi antara beban pencemaran Amonia dengan konsentrasi amonia perairan pesisir.
76 5.6.4. Besi Model persamaan analisis regresi untuk besi adalah y = 0,0042x + 0,0572 dengan R2 = 0,0089. Dari persamaan tersebut didapat nilai kapasitas asimilasi sebesarm 7,07 ton/bulan seperti digambarkan pada Gambar 38. Berdasarkan Gambar 38, nampak bahwa nilai kapasitas asimilasi perairan untuk besi telah melebihi kemampuanya untuk melakukan purifikasi.
Gambar 38
Analisis regreasi antara beban pencemaran Fe dengan konsentrasi Fe perairan pesisir.
5.6.5. Seng Hasil analisis regresi untuk parameter seng y = 0,1910x + 0,0773 dengan R2 = 0,021. Dari persamaan tersebut didapat nilai kapasitas asimilasi sebesar 0,18 ton/bulan. Berdasarkan Gambar 39, nampak bahwa nilai kapasitas asimilasi untuk seng telah melampaui kapasitas asimilasinya.
Gambar 39
Analisis regresi antara beban pencemaran Zn dengan konsentrasi Zn perairan pesisir.
77 5.6.6. Khrom Hasil analisis regresi untuk parameter seng y = -0,0473x + 0,0513 dengan R2 = 0,043. Dari persamaan tersebut didapat nilai kapasitas asimilasi sebesar 0,116 ton/bulan sebagaimana ditampilkan pada Gambar 40. Berdasarkan Gambar 40, maka nilai kapasitas asimilasi untuk khrom telah melampaui kapasitas asimilasinya.
Gambar 40
Analisis regresi antara beban pencemaran khrom dengan konsentrasi khrom perairan pesisir.
5.6.7. Timbal Hasil analisis regresi antara beban pencemaran timbal dengan konsentrasi Pb di perairan pesisir dihasilkan model y = 0,02654x + 0,0422 dengan R2 = 0,215 dan dihasilkan kapasitas asimilasi sebesar 0,26 ton/bulan sebagaimana tergambar pada Gambar 41. Berdasarkan Gambar 41, tampak jelas bahwa nilai kapasitas asimilasi perairan pesisir sudah melebihi ambang batas yang di perbolehkan yaitu sebesar 0,008 mg/l.
Gambar 41
Analisis regreasi antara beban pencemaran timbal dengan konsentrasi timbal perairan pesisir.
78 5.6.8. Nikel Hasil analisis regresi untuk parameter nikel didapat persamaan Y = 0,1141x + 0,0182 dengan R2 = 0,36. Dengan persamaan tersebut didapat nilai kapasitas asimilasi sebesar 0,42 ton/bulan, seperti digambarkan pada Gambar 42. Berdasarkan Gambar 42, maka dapat terlihat dengan sangat jelas bahwa beban pencemaran yang masuk ke perairan pesisir telah melampaui kapasitas asimilasinya.
Gambar 42
Analisis regresi antara beban pencemaran nikel dengan konsentrasi nikel perairan pesisir.
5.7.
Kadar Logam berat ( Fe, Cr, Ni, Pb, dan Zn) Pada Wilayah Pesisir Urutan logam berat yang paling tinggi hingga paling rendah kadarnya
yang ditemukan adalah besi (Fe), khrom (Cr), Nikel (Ni), timbal (Pb) dan seng (Zn). Dimana keempat logam berat tersebut rata-rata ditemukan di daerah kawasan wilayah pesisir (laut) konsesi pertambangan nikel, dimana kita ketahui bahwa wilayah pesisir (laut) sebagai tempat pembuangan limbah cair dan tailing padat/slag nikel. Limbah tailing/slag nikel mengandung logam berat Ni: 0,34%; Co: 0,08%; Fe: 44,20%; Mg: 3,57%; Mn: 0,73%; Al: 5,2%; Cr: 0,83%; Cu: 0,01%; Zn: 0,03; SiO2: 7,8%; N: 0,01%; C: 0,84% dan S: 0,08% (Hernandez et al., 2007).
79 Distribusi suatu bahan pencemar dalam tatanan ekosistem sangat penting diperhatikan, karena sangat erat kaitannya dengan keberlanjutan ekosistem tersebut dan dampak yang akan ditimbulkan dari pendistribusian bahan pencemar tersebut tidak terkecuali untuk ekosistem perairan. Sebagaimana diketahui, ekosistem perairan yang terdapat di Pomalaa mempunyai peranan penting bagi masyarakat untuk perikanan dan kelautan. Distribusi bahan pencemar terutama logam berat menjadi faktor penting dalam penentuan kualitas perairan bagi masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan data yang diperoleh, koefisien distribusi logam terutama logam khrom (Cr), Nikel (Ni), timbal (Pb) dan seng (Zn), terlihat semua stasiun mendistri logam berat dan ada stasiun yang mengalami penurunan atau dengan kata lain bahan pencemar sudah mengalami pengenceran. Hal ini dikarenakan karakteristik wilayah pesisir (laut) yang mengalami pasang surut dua kali dalam sehari, dan sering terjadinya gelombang besar menjadi penyebab yang mempercepat perairan melakukan purifikasi.
5.8.
Pengelolaan Perairan Pesisir Lokasi Pertambangan Nikel Keberadaan logam berat di lingkungan menimbulkan kecemasan
masyarakat, hal ini dikarenakan tingkat keracunannya tinggi dalam seluruh aspek kehidupan makhluk hidup. Perairan pesisir lokasi pertambangan nikel dilihat dari kualitas air sudah tercemar logam berat Ni, Pb, Zn, Fe dan Cr. Sumber pencemarnya diduga diakibatkan oleh aktivitas penambangan (eksploitasi), crusing plant dan limbah domestik dari emplasemen. Sedangkan sungai-sungai lain semata-mata diakibatkan oleh aktivitas penambangan atau eksploitasi dan dari hasil analisis STORET masih dalam kategori tercemar sedang. Hal lain yang dapat menyebabkan penurunan kualitas air pada perairan pesisir lokasi pertambangan nikel Pomalaa adalah adanya limbah cair yang dihasilkan dari tiga unit pembangkit listrik pada pabrik ferronikel 1, 2 dan 3. limbah tersebut berupa air pendingin mesin, dan oli bekas. Selain itu, juga dihasilkan air yang berfungsi sebagai pendingin slag. Air ini berfungsi sebagai pendingin slag yang baru dipisahkan dari tungku. Selain itu tailing padat/slag yang di buang kewilayah pesisir sebagai urugan merupakan residu yang berasal dari sisa pengolahan bijih setelah target mineral utama dipisahkan dan biasanya
80 memberikan konstribusi bahan pencemar utamanya berasal dari komponen logam berat. Penyelesaian masalah pencemaran terdiri dari langkah pencegahan dan pengendalian. Langkah pencegahan pada prinsipnya mengurangi pencemar dari sumbernya untuk mencegah dampak lingkungan yang lebih berat. Langkah pemulihan dari tailing tersebut dengan asam organic melalui pemisahan hujan magnetis (Hernandez at el., 2007). Pengendalian dapat berupa pembuatan standar baku mutu lingkungan, monitoring lingkungan dan penggunaan teknologi untuk mengatasi masalah lingkungan.
5.9.
Pengetahuan Masyarakat Untuk memperoleh informasi langsung mengenai persepsi masyarakat di
lokasi penelitian, yang meliputi Desa Tambea, Desa Sopura dan Desa Huko-huko merupakan desa terdekat dengan lokasi pertambangan sekaligus tempat pembuangan limbah cair dan tailing/padat (slag) Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka, maka telah dilakukan survei terhadap 75 orang responden, yakni masyarakat dan tokoh masyarakat sekitar lokasi proyek. Karakteristik responden dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 9. Berdasarkan Tabel tersebut dapat dinyatakan bahwa umur responden masih sangat produktif, sekitar 30 - 50 tahun; tingkat pendidikannya cukup, terbanyak antara SD-SLTA. Mata pencarian responden
paling
banyak
adalah
nelayan,
pedagang/wiraswasta
dan
karyawan/buruh harian. Untuk mendapatkan pengetahuan masyarakat di wilayah penelitian, maka telah dilakukan wawancara terstruktur menggunakan instrument kuesioner. Untuk menggali informasi lebih mendalam, maka telah dilakukan wawancara untuk beberapa responden atau tokoh masyarakat yang dipandang mempunyai pandangan luas mengenai keberadaan hasil limbah cair dan tailing/padat slag nikel dari hasil kegiatan penambangan dan pengolahan bijih nikel yang mengandung logam berat. Bersama ini disarikan hasil wawancara atau persepsi masyarakat mengenai kegiatan penambangan dan pengolahan nikel.
81 Tabel 9 Karakteristik responden tentang logam berat dari hasil penambangan dan pengolahan nikel No. 1
2
3
4
Karakteristik Responden Umur Kurang dari 30 tahun Antara 31 - 40 tahun Antara 41 - 50 tahun Antara 51 - 60 tahun Lebih 60 Tahun Jenis Kelamin Pria Wanita Pekerjaan Karyawan/Buruh harian Nelayan Ibu Rumah Tangga PNS/Pensiun Wiraswasta/Pedagang Pendidikan Tamat SD SD/Sederajat SLTP/Sederajat SLTA/Sederajat Diploma Sarjana
Jumlah (N=75 orang)
Prosentase (%)
9 24 19 15 8
12.00 32.00 25.33 20.00 10.67
63 12
84.00 16.00
14 16 5 11 29
19.00 21.00 7.00 15.00 39.00
9 21 17 19 5 4
12.00 28.00 22.67 25.33 6.33 4.67
Pengetahuan Masyarakat Terhadap Limbah Cair dan Tailing Padat/Slag Nikel Hasil wawancara dan kuisioner menunjukkan bahwa seluruh masyarakat 60% mengetahui, 25% tidak mengetahui dan ragu-ragu 15% (Gambar 43) akan keberadaan tailing padat/slag adalah limbah hasil pengolahan nikel. Sumber informasi tentang rencana kegiatan tersebut berasal dari masyarakat desa dan kecamatan setempat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sistem informasi sosial tentang kandungan limbah cair dan tailing padat di wilayah tersebut pihak perusahaan tidak efektif memberikan informasi kepada penduduk. Gambar 44. Menunjukkan bahwa 85% responden di wilayah tersebut tidak mengetahui tailing slag mengandung logam berat, 10% sebagian ragu-ragu dan 5% mengetahui terhadap kandungan tailing/slag. Beberapa alasan responden yang mengetahui kandungan logam berat pada tailing/slag adalah mantan karyawan perusahaan
82 pertambangan di lokasi tersebut sedang yang tidak mengetahui sama sekali adalah masyarakat yang memiliki pekerjaan, nelayan, petani, pedagang dan ibu rumah tangga. Gambar 45, menunjukkan bahwa 90 % masyarakat di wilayah tersebut tidak mengetahui kalau wilayah pesisir lokasi pertambangan nikel logam berat, 5% sebagian ragu-ragu dan 5% mengetahui wilayah pesisir lokasi pertambangan nikel mengandung logam berat.
Mengetahui Tidak Mengetahui ragu‐ragu
Gambar 43 Pengetahuan masyarakat tentang tailing/slag.
Mengetahui Tidak Mengetahui ragu‐ragu
Gambar 44 Pengetahuan tentang tailing/slag mengandung logam berat.
Tidak Mengetahui Mengetahui ragu‐ragu
Gambar 45 Pengetahuan masyarakat tentang kandungan logam berat di wilayah pesisir.
83 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1.
Kesimpulan
1.
Ada dua jenis limbah khusus yaitu tailing (slag) dan batuan limbah. Tipe kedua dari limbah tersebut yaitu tailing (slag) ini dihasilkan dari proses ekstrasi peleburan yang non ekonomis yang mengandung beraneka mineral seperti silika, silikat besi, magnesium, natrium, kalium, dan sulfida. Jumlah tailing (slag) yang dihasilkan ± 423.283 ton/hari. Sedangkan batuan limbah (waste rock) ini adalah overburden yang berupa lumpur/air asam tambang (ARD) yang mengandung mineral rendah. Limbah pertambangan nikel Pomalaa mengandung logam berat dari semua stasiun laut yaitu Ni; 0,015 mg/l-0,040 mg/l, Pb; 0,006 mg/l-0,0123 mg/l , Zn; 0,003 mg/l-0,049 mg/l, Fe; 0,006 mg/l-0,018 mg/l dan Cr; 0,003 mg/l0,049 mg/l yang secara signifikan lebih tinggi.
2.
TSS merupakan bahan pencemar tertinggi konsentrasinya yang masuk ke perairan yang mencapai 2.612,80 ton/bulan sedangkan BOD5 menempati urutan kedua dalam memberikan kontribusi terbesar dalam beban pencemaran yaitu sebesar 291,88 ton/bulan. Parameter logam berat yang memberikan kontribusi paling besar terhadap beban pecemaran adalah besi sebesar 3,62 ton/bulan, nikel sebesar 1,66 ton/bulan dengan kontribusi terbesar yaitu berasal dari stasiun 3 sebesar 1,04 ton/bulan.
3.
Beban pencemar logam berat yang sudah melebihi kapasitas asimilasi adalah Fe, Zn, Cr, Pb, dan Ni.
4.
Hasil analisis storet dari 8 stasiun pengukuran di wilayah pesisir tempat pembuangan limbah cair dan tailing (slag), semuanya dalam kategori pencemaran sedang. Sepanjang wilayah pesisir lokasi pertambangan nikel sudah digunakan sebagai urugan dengan limbah tailing (slag) sehingga terjadi pendangkalan dan berpotensi terjadi pencemaran logam berat.
5.
Pengetahuan masyarakat terhadap limbah cair dan tailing padat/slag nikel bahwa hanya 60% mengetahui, 25% tidak mengetahui dan ragu-ragu 15% akan keberadaan tailing padat/slag adalah limbah hasil pengolahan nikel. Sedangkan 85% masyarakat di wilayah tersebut tidak mengetahui tailing (slag) mengandung logam berat, 10% sebagian ragu-ragu dan 5%
84 mengetahui terhadap kandungan tailing/slag. Pengetahuan responden tentang kandungan logam berat wilayah pesisir 90% tidak mengetahui, 5% mengetahui, 5 % ragu-ragu, ini menandakan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kegiatan pertambangan khusus pemantauan limbah yang dibuang. 6.2.
Saran 1. Tailing padat/slag yang hendak dibuang ke laut harus dilakukan pencucian yang benar-benar bersih dan tidak mengandung logam berat. 2. Pihak perusahaan seharusnya membuat bak penampungan limbah tailing/slag sementara agar tailing/slag tersebut benar-benar aman dan bisa digunakan. 3. Pemerintah daerah harus melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat tentang kandungan limbah yang dihasil dari kegiatan pertambangan. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap wilayah pesisir lokasi pertambangan nikel seperti pemeriksaan kadar logam berat di dalam sedimen, vegetasi, dan hewan akuatik. 5. Pemerintah daerah secara berkala dan cermat melakukan pemantauan untuk melegalisasi laporan dari perusahaan.
85 DAFTAR PUSTAKA Abel, P.D. 1989. Water Pollution Biology. New York. Alam, S.Z. 2003. Upaya Meminimumkan Perbedaan Kadar Conto Produksi dengan conto Poid meter Pada proses Pengolahan Bijih Nikel PT ANTAM Tbk. Operasi Pomalaa Kabupaten Kolaka [Skripsi]. Fakultas Teknik Pertambangan, Universitas Veteran RI. Makassar. Andrade, L.A.L.R.P., Bernardez, L.A., Barbosa, L.A.D. 2007. Characterization and treatment of artisanal gold mine tailings. Journal of Hazardous Materials. Brazil. 150; 747-753. Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Auburm University Agricultural Experimental Station. Alabama. Bryan, G.W. 1976. Havy Metal Contamination in the Sea. In Marine Pollution. R. Johnson eds. Academic Press. London. 185-302p. Caetano, M., Madureira, M.J., Vale, C. 2003. Metal remobilization during resuspension of anoxic contaminated sediment: short-term laboratory study. Water Air Soil Pollut. 143; 23–40. Carlsson, E. 2002. Sulphide-rich Tailings Remediated by Soil Cover – Evaluation of Cover Efficiency and Tailings Geochemistry. Kristineberg. Northern Sweden. Doctoral thesis, Luleå University of Technology. Pages 44. Chester, R. 1993. Marine Geochemistry. UNWIM HYMAN. London. 698p. Cicek, A., Koparal, AS. 2004. Accumulation of sulphur and heavy metals in soil and tree leaves sampled from the surroundings of Tunc, bilek Thermal Power Plant. Chemosphere 57:1031 – 1036. Clark, J.R. 1986. Coastal Ecosystem Management. John Wiley and Sons. New York USA. Danny, Z.H. 2006. Tinjauan terhadap tailing mengandung unsur pencemar Arsen (As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) dari sisa pengolahan bijih logam. Jurnal Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 31-36. Dahuri, R., Jacub, R., Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan Pertama. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri, R. 2005. Akar Permasalahan Teluk Jakarta dan Strategi Penanggulangannya. Proseding diskusi panel, penanganan dan pengelolaan pencemaran wilayah pesisir Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB. Bogor.
86 Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Cetakan pertama. UI Press. Jakarta. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. UI Press. Jakarta. Davis, M.L., Cornwell, D.A. 1991. Introduction to Enviromental Engneering. second edition. McGraw-Hill, Inc. New York. 822. Drizo, A., Forget, C., Chapuis, R. P., and Comeau, Y. 2006. Phosphorus removal by electric arc furnace steel slag andserpentinite. Water Res. 40; 1547– 1554. Duruibe, J. O., Ogwuegbu, M.O.C., and Egwurugwu,J.N. 2007. International Journal of Physical Sciences Vol. 2 (5), pp. 112-118. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Elizabeth G.1992. The Mussel Mytilus, Ecology, Physiology, Genetics and Culture. Developments in Aquaculture and Fisheries Svience,25. ELSEVIERA. Amsterdam-London-New york- Tokyo. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisiun. Yogyakarta. Forstner, U and G.T.W. Wittman. 1983. Metal Pollution in the Aquatic Environment. Second revised Edition. Springerverlag, Heidelberg. New York. Tokyo. Garbarino JR., Hayes H., Roth D., Antweider R, Brinton TI., Taylor H. 1995. Contaminants in the Mississippi River, U. S. Geological Survey Circular 1133, Virginia, U.S.A Gaudy, A.F. 1980. Microbiology for Envorimenal scientists and engoneers. Mc. Graw-Hill Book Company. New York. 723p. Goldman, C.R., and Home, A.J. 1983. Limnology. Mc. Graw-Hill international Book Company. Tokyo. . Greene, B.C. 1988. Environmental Water. In Element of Practical Soil Mining 2. The American Institute of Mining Inc. new York. Pages : 671-681. Grimm, MB. 1994. Disturbance, Succession, and Ecosystem Processed in Streams: A Case Study form the Desert. Dalam P. S. Giller, A. G. Aquatic Ecology: Scale, Pattern and Process. Blackwall Science. London. Hariyadi, S. 2001. Makalah : Teknik Sampel Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
87 Habashi, F. 1992. Environmental Issues in the Metallurgical Industry –Progress and Problems, Environmental Issues and Waste Managementin Energy and Mineral Production. Balkama, Rotherdam, pp.1143 -1153. Hernandez, C.M.F., Banza, A.N., and Gock, E. 2007. Recovery of metals from Cuban nickel tailings by leacing with organic acids followed by precipitation and magnetic separation. Journal of Hazardous Materials B139 25-30. Hilman, dan Masnellyarti. 2000. Ministry of Environment. Dangerous and Poisonous Waste As a Result of Mining Activities. Hutagalung, H.P., dan Razak, H. 1992. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. P3O-LIPI. Jakarta. Hutagalung, H.P., dan Sutomo, A.B. 1999. Kandungan Cu dan Zn dalam kerang hijau mytilus viridis (lin) dari perairan teluk Banten. Proseding Seminar Nasional IV. Kimia dalam Industri dan Lingkungan Radisson Plaza Hotel. Yogyakarta 11-12 Desember. LON-LIPI. Jakarta. Hutamadi, R., U. Kuntjoro, H. dan Fujiono. 2005. Pemantauan dan evaluasi konservasi sumber daya mineral Pada wilayah usaha pertambangan di kabupaten luwu timur, Provinsi sulawesi selatan. Pusat Sumber Daya Geologi Bandung. Indonesia. Holmström, H. 2000. Geochemical Processes in Sulphidic Mine Tailings – Field and Laboratory Studies performed in Northern Sweden at the Laver, Stekenjokk and Kristineberg Mine-sites. Luleå University of Technology. 03, Luleå, Sweden. Jensen, M.L. and Bateman, A.M. 1981. Economic Mineral Deposits, Third Edition, John Wiley & Sons, New York, 593 pages. Kantor MENLH. 1997a. Industrialisasi Berwawasan Lingkungan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Kantor MENLH. 1997b. Hazardous Waste Management (keynote paper dalam Seminar Sehari Hazardour Waste Management di Century Park Hotel, 21 Januari 1994). Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Kempton, H. 2003. Addressing the Dilemmas of Long-Term Mining Impacts Using a Framework of Sustainability and Adaptive Management. Proceedings Sixth International Conference on Acid Rock Drainage, The Australasian Institute of Mining and Metallurgy. KEPMEN LH. No. 51. 2004. Tentang Penetapan Baku Mutu Air Laut.
88 Kim, J.Y., Kim, K.W., Lee, J.S. 2002. Assessment of arsenic and heavy metal contamination in the vicinity of Duckum Au–Ag mine. Korea. Environ. Geochem. Health 24; 215– 227. Kinne, O. 1970. Marine Ekology. A Comprehensive, integrated Tratise on life in oceans and coastal Water. Wiley-inter-Science, London. New York. Sydney. Toronto. Larson, A., Bengston, B.E, and Svaberg, O. 1976. Effect of Cadmium for Hematologys and Biochemis on Fish. Chambridge University Press. London. New York. Melboum. Luther, K. 2005. Status Pencemaran Logam berat Pb, Cd dan Cu di perairan Teluk Kupang [tesis]. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Lottermoser, B.G. Costelloe, M.T. and Ashley, P.M. 2003. Tailings Dam Seepage at the Rehabilitated Mary Kathleen Uranium Mine, Northwest Queensland, Australia. Proceedings Sixth International Conference on Acid Rock Drainage. The Australasian Institute of Mining and Metallurgy. Lowson, R.T. 1982. Aqueous oxidation of Pyrite by molecular oxygen. Chemical Reviews. 461–497. Manan,S. 1992. Pengelolaan Hutan Lindung yang Mendukung Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Sumatera Rimba Indonesia. Persatuan Peminat dan Ahli kehutanan. Jakarta. McNeely, R.N., Nelmanis, V.P., and Dwyer, L. 1979. Water Quality Source Book, A Guide to Water Quality Parameter.Inland Waters Directorate, Water Quality Branch, Otawa. Canada. 89p. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1990. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep02/MenKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Moore, J.W. 1991. Inorganic Contaminats of Surface Water. Springer-Verlag, New York. 334p. Nybakken, J.W. 1992. Biota Laut. Gramedia Pustaka. Jakarta. Nontji, A. 1984. Laut Nusantara. Jembatan Jakarta. Odum
E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third Edition. Toppan Co. Ltd. Tokyo.
Odum, P.A. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Ed ke-3. Penerbit Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
89
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berta. Rineka Cipta. Jakarta. Parker, R.H. 1975. The Studies of Benthic Communities. Elsevier Scientific Pub. Company. Amsterdam-Oxford. New York. Peplow, D. 1999. Environmental Impacts of Mining in Eastern Washington, Center for Water and Watershed Studies Fact Sheet, University of Washington, Seattle. Poels, C.L.M. 1983. Sub lethal Effect of RhineWater of Rainbouw Trout. Testing and research Institute of the Netherlands Water Undertakings. KIWA Ltd. Rijswijk. Netherlands. Pratt, C., Shilton, A. N., Haverkamp, R. G., Pratt, S. & Elmetri, I. 2007. Effects of redox potential and pH changes on phosphorus retention by melter slag filters treating wastewater. Environ. Sci. Technol. 41(18); 6585–6590. Saeni, M.S. 1989. Kimia lingkungan. PAI-IPB. Bogor. Sanghoon, L. 2006. Geochemistr and partitioning of trace metals in paddy soils affected by metal mine tailings in korea. Environmental Engineering Section. Division of Biotechnologi Buchon. Korea. Geoderma 135 : 26-37. Sanusi, H.S. 1985. Akumulasi Logam Berat Hg dan Cd) pada Tubuh Ikan Bandeng (chanos chanos orskal) [Disertasi]. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Sauve, S., Hendershot, W., Allen, W.E. 2000. Solid-solution partitioning of metals in contaminated soils: dependence on pH, total metal burden, and organic matter. Environ. Sci. Technol. 34; 1125– 1131. Siregar H. 1987. Aspek Ekologi Perairan dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Bahan Kursus Amdal. UNPAD. Bandung. Siregar, A.S. 2005. Instalasi Pengolahan Limbah Menuntaskan Pengenalan Alatalat dan Sistem Pengolahan Air Limbah. Kanisius. Jakarta. Søndergaard, M., Jensen, J. P. & Jeppesen, E. 2003. Role of sediment and internal loading of phosphorus in shallow lakes. Hydrobiologia 506–509, 135–145. Stamboliadis, E. Alevizos, G. Zafiratos, J. 2004. Leaching residue of nickeliferous as a source of iron concentrate, Miner. Eng. 17 (2); 245–252. Stoltz, E. and Greger, M. 2006. Root penetration through sealing layers at mine deposit sites. Waste Management and Research Department of Botany, Stockholm University, S-106 91. Stockholm, Sweden ; 24; 552.
90
Sudarmadi, S. 1993. Toksiologi Limbah Pabrik Kulit terhadap Cyprinus Carpio L dan Kerusakan Insang. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 13;4 : 247– 260p. Jakarta. Sudarmaji, Mukono, M., dan Corie, I.P. 2006. Toksikologi logam berat B3 dan Dampaknya terhadap kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 2 No. 2; 129-142. Suin, M., dan Nurdin. 1994. Dampak Pencemaran pada Ekosistim Pengairan. Proseding Penataran Pencemaran Lingkungan Dampak dan Penanggulanganya. Pemda Kodya TK. II. Padang. Padang. Sutamihardja, R.T.M. 1982. Pengelolaan Kualitas dan Pencemaran Air. Seminar on Industrial Water Pollution Control and Water Quality Management, 6-10 Januari 1992 at Hotel Wisata Jakarta. Jakarta. Tewari, H., Gill, T.S., and Plant, J. 1987. Impact of Chronic Lead Poisoning on theHematological and Biochemistry Profiles on a Fish Barbus Chonchonius (Ham) Bull. Embirom. Contam. Tzeferis, P.G and Agatzini, S.L. 1994. Leaching of nickel and iron from Greek nonsulphide nickeliferous ores by organic acids. Hydrometallurgy 36 ; 345–360. UNEP. 1993. Training Manual on Assessment of the Quality and Type Marine and Coastal Pollution Discharges into the Marine and Coastal Env. RCU/EAS Technical Report Series No. 1 Bangkok. U.S. Department of health and human services Public Health Service. 2005. Toxicological Profile For Nickel. Agency for Toxic Substances and Disease Registry Division of Toxicology/Toxicology Information Atlanta. Georgia.
Vlado, L., and Svetlana, A.M. 2007. The accumulation of heavy metals in plants (Lactuca sativa L., Fragaria vesca L.) after the amelioration of coalmine tailing soils with different organo mineral amandments. Archives of Agronomy and Soil Science. Belgrade. Serbia. 53 (1); 39-48. Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Training Analisa Dampak Lingkungan. PPLH-NDP. PUSDI. Bogor. Wetzel, R.G. 1983. Limnology.2nd.CBS College Publising. New York. Wisnu, A.W. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
91 LAMPIRAN 1 :
No. A. FISIKA 1. Suhu
HASIL PEMANTAUAN/PENGUKURAN PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK STASIUN JALAN MASUK LIMBAH PERTAMBANGAN NIKEL POMALAA SULAWESI TENGGARA Parameter
2
Zat Padat Terlarut (TDS)
3
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
B. 1
KIMIA pH
2
BOD5
3
Oksigen Terlarut (DO)
Data Olahan, 2009
UL 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata UL 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3
1 27 28 28 27.5 27 28 28 29 27.81 252 398 20 41 78.4 220 176 184 171.18 250.4 40.4 107.6 24.0 48.6 59.2 48.4 44.4 77.88 8 7.5 7.5 7 7.5 7 8.5 7.5 7.56 1.878 0.783 1.722 0.783 1.118 2.383 0.951 3.580 1.650 5.635 6.887 7.670
Stasiun Pengukuran 2 3 29 32 29 32 29 32 27.5 29 27 27 27 27 28 28 28 28 28.06 29.38 210 1044 24 38 14 10 28 322 80 290 46 210 144 196 118 646 82.98 344.50 40.0 164.8 65.4 63.6 37.6 42.4 29.4 136.4 42.8 83.6 35.2 116.52 56 70.8 53.2 60.4 44.95 92.32 8.5 7.5 7.5 7 7.5 7 7 7.5 7.44 0.157 1.878 1.252 0.939 2.567 2.383 0.832 1.492 1.438 6.147 6.887 7.670
8.5 7.5 7.5 7.5 8 7 8 7.5 7.69 1.878 45.08 37.57 19.11 57.2 8.8 1.467 5.967 22.134 5.635 3.600 7.670
4 26.6 28 28 28 27 27 28 28 27.58 36 22 6 266 74 198 124 168 111.75 25.6 60 38.4 35.6 83.6 56 28.4 96.4 53.00 7.5 7 7 7.5 7 6 6 7.5 6.94 3.6 0.939 1.096 0.993 4.217 2.383 0.535 1.641 1.926 5.948 7.043 6.887
92
4
Nitrat
5
Nitrit
6
Amonia Bebas (NH3-N)
7
Besi (Fe)
8
Seng (Zn)
9
Khrom (Cr)
Data Olahan, 2009
4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6
6.730 6.887 7.572 4.995 6.713 6.636 0.376 0.457 0.444 0.657 0.624 0.777 0.619 0.716 0.584 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.003 0.002 0.002 0.003 0.003 0.002 0.002 0.003 0.002 0.086 0.080 0.086 0.017 0.03 0.139 0.011 0.025 0.059 0.001 0.0012 0.0009 0.001 0.0009 0.001 0.0009 0.0009 0.000975 0.046 0.031 0.026 0.032 0.042 0.043
6.261 7.357 7.763 6.541 6.563 6.899 0.622 0.542 0.642 0.788 0.513 0.477 0.366 0.398 0.544 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.003 0.004 0.003 0.004 0.005 0.004 0.004 0.004 0.004 0.082 0.082 0.078 0.061 0.029 0.03 0.029 0.063 0.057 0.0009 0.0009 0.001 0.0009 0.0011 0.0009 0.001 0.0009 0.00095 0.034 0.038 0.034 0.044 0.037 0.037
7.236 6.6 5.867 4.95 6.265 5.978 0.614 0.629 0.529 0.425 0.625 0.822 0.793 1.193 0.704 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.004 0.003 0.003 0.004 0.003 0.004 0.004 0.024 0.006 0.086 0.109 0.110 0.023 0.024 0.189 0.08 0.027 0.081 0.074 0.026 0.046 0.023 0.028 0.037 0.072 0.054 0.045 0.147 0.087 0.099 0.076 0.055 0.053
7.723 7.883 7.150 6.719 5.967 6.915 0.400 0.630 0.530 0.770 0.843 0.877 0.310 0.528 0.611 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.002 0.053 0.053 0.052 0.053 0.006 0.202 0.305 0.029 0.094 0.001 0.0011 0.0009 0.0009 0.0012 0.0009 0.0009 0.0011 0.001 0.023 0.023 0.018 0.023 0.021 0.023
93
10
Timbal (Pb)
11
Nikel (Ni)
Data Olahan, 2009
7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata
0.038 0.032 0.036 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.104 0.014 0.005 0.002 0.002 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003 0.003
0.043 0.031 0.037 0.015 0.021 0.021 0.02 0.017 0.017 0.003 0.112 0.028 0.005 0.005 0.005 0.004 0.004 0.004 0.003 0.005 0.004
0.068 0.071 0.082 0.017 0.035 0.035 0.02 0.002 0.019 0.008 0.167 0.038 0.03 0.141 0.141 0.118 0.11 0.09 0.099 0.096 0.103
0.025 0.027 0.023 0.005 0.005 0.005 0.005 0.0009 0.0009 0.0009 0.11 0.017 0.038 0.038 0.038 0.036 0.038 0.043 0.04 0.036 0.038
94
LAMPIRAN 2 : HASIL PEMANTAUAN/PENGUKURAN PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK STASIUN PENERIMA LIMBAH PERTAMBANGAN NIKEL WILAYAH PESISIR (LAUT) POMALAA SULAWESI TENGGARA
NO
PARAMETER A.
1
FISIKA SUHU
2
ZAT PADAT TERSUSPENSI (TSS)
3
KECERAHAN
4
KEKERUHAN
1
B. KIMIA SALINITAS
2
PH
Data Olahan, 2009
UL
STASIUN PENGUKURAN 5
6
7
8
9
10
11
12
1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata
30 30 30 30 30 28 28 28 29.25 16.48 6.8 3.2 32 23.6 49.6 230.8 273.2 79.46 5 5 5 5 5 5 3 3.5 4.6 3.6 2.6 2.6 2.7 4 2.3 8 10 4.48
30 30 30 30 30 30 28 29 29.625 9.2 9.2 8.4 18 45.68 79.24 420.8 278.8 108.665 5 5 5 6 5 5 5 6 5.3 3.2 3.2 3.2 4 5 5 8 10 5.20
30 30 30 30 30 28 28 29 29.375 42.2 7.6 4.4 5.188 44.32 130.4 564.4 2 100.064 5 5 5 5 5 5 5 4 4.9 3.8 2.8 2.8 3 3.6 3.2 7 8 4.28
28 28 28 27 27 29 28 28 27.875 50.12 2.4 13.6 8.8 8.8 43.08 470.4 163.2 95.05 6 5 5 5 5 5 5 5 5.1 2.8 2.6 2.6 2 5 2.6 10 9 4.58
28 28 28 27 29 27 28 28 27.875 45.4 8 7.2 13.6 13.6 39.2 406.4 44.4 72.225 6 5 5 5 5 5 5 5.5 5.2 3.2 2.2 3 4 3 3.2 6 5 3.70
28 29 28 27 29 27 28 28 28 41.36 2.8 7.6 6 6 38.12 496.4 252.4 106.335 5 5 5 5 5 5 5 5 5.0 2.8 2.4 2.4 2.1 4,1 3.6 10 10 4.76
28 28 28 27 27 27 28 28 27.625 34.4 4.4 7.2 2 2 60.4 451.2 104 83.2 6 5 5 5 5 5 5 6 5.3 2.8 2.8 2.8 2 3 4 10 8 4.43
28 28 29 27 28 27 28 28 27.875 56.8 8.4 9.6 1.2 1.2 37.44 475.6 21.6 76.48 5 5 5 5 5 5 5 4.5 4.9 3.8 3.2 3.2 2 3.1 2.9 10 3 3.90
1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5
21.514 20.514 20.494 20.494 22.494 22.434 22.545 22.254 21.593 8.5 8.5 8.0 9.0 8.5
22.824 22.824 22.782 22.778 22.378 24.378 24.778 23.782 23.316 8.5 8.5 8.5 7.5 8.5
20.44 20.64 20.68 20.68 22.080 22.280 22.260 22.620 21.460 8.5 8.5 8.5 7.5 8.5
27.392 29.392 27.392 27.830 27.830 23.380 23.180 23.430 26.228 8.0 8.5 8.5 8 8
22.014 22.614 22.714 22.718 22.718 22.718 22.318 22.358 22.522 8.0 8.5 8.5 8 8
26.488 26.688 26.66 26.940 26.940 22.940 23.140 22.760 25.320 8.0 8.5 8.5 7.5 7.5
29.227 26.227 26.327 22.638 22.638 22.438 21.638 21.582 24.089 8.0 8.5 8.5 8 8
24.984 25.184 24.984 23.984 23.984 22.984 22.984 20.352 23.680 8.0 8.5 8.5 7.5 7.5
95
3
BOD5
4
OKSIGEN TERLARUT (DO)
5
NITRAT
6
NITRIT
7
AMONIA TOTAL
8
BESI (Fe)
9
SENG (Zn)
Data Olahan, 2009
6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8
7.5 8 8.5 8.31 1.348 2.261 2.043 1.037 2.313 1.238 2.319 2.834 1.924 5.791 6.417 5.791 6.203 6.563 5.899 7.551 5.37 6.198 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.021 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009
8 8.5 8.5 8.31 2.945 2.913 3.013 1.913 2.292 0.027 6.132 4.225 2.933 7.043 7.043 6.417 22.778 22.378 5.114 7.076 4.983 10.354 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.032 0.041 0.022 0.012 0.033 0.042 0.032 0.054 0.034 0.018 0.012 0.023 0.022 0.011 0.019 0.016 0.015 0.017 0.011 0.012 0.010 0.002 0.013 0.013 0.010 0.010
7.5 8.5 8.5 8.25 0.552 3.13 1.913 2.724 2.438 1.535 3.892 2.492 2.335 5.913 6.435 6.435 6.203 7.5 5.53 6.303 5.519 6.230 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.022 0.007 0.031 0.022 0.015 0.021 0.031 0.023 0.022 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.006 0.006 0.006 0.006 0.001 0.025 0.029 0.029
8 8.5 8.5 8.25 1.739 5.009 2.435 3.75 1.55 0.476 6.027 2.629 2.952 5.478 9.392 6.574 6.783 6.783 5.351 6.659 4.838 6.482 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.001 0.021 0.015 0.007 0.001 0.022 0.015 0.008 0.011 0.022 0.011 0.033 0.021 0.015 0.014 0.019 0.006 0.018 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.012 0.013 0.013
8 8.5 8.5 8.25 2.957 0.522 1.913 1.825 1.025 0.895 4.973 1.258 1.921 5.948 4.852 6.417 6.783 6.783 5.589 6.422 4.402 5.900 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.041 0.054 0.022 0.015 0.045 0.022 0.015 0.034 0.031 0.023 0.022 0.011 0.019 0.006 0.005 0.021 0.017 0.016 0.003 0.002 0.006 0.009 0.011 0.097 0.130 0.130
8 8.5 8.5 8.13 2.435 0.522 1.565 1.55 0.85 1.427 1.55 1.939 1.480 5.478 5.322 5.635 6.417 6.417 5.292 6.783 5.128 5.809 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.007 0.001 0.022 0.015 0.001 0.001 0.053 0.013 0.001 0.001 0.015 0.014 0.019 0.006 0.001 0.001 0.007 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.009 0.009
8 8.5 8.5 8.25 2.435 1.87 2.609 1.55 0.95 2.017 1.535 2.129 1.887 5.791 4.852 5.791 6.6 6.6 5.173 6.481 4.644 5.742 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.022 0.015 0.001 0.022 0.022 0.012 0.004 0.001 0.012 0.001 0.004 0.021 0.005 0.003 0.006 0.001 0.006 0.006 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.013 0.011 0.011
8 8.5 8.5 8.13 2.609 1.596 1.038 1.367 0.967 1.357 1.535 0.746 1.402 5.478 25.184 4.852 23.984 23.984 5.47 7.076 4.354 12.548 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.0009 0.001 0.022 0.015 0.007 0.001 0.022 0.015 0.098 0.023 0.001 0.001 0.001 0.001 0.015 0.014 0.019 0.006 0.007 0.001 0.001 0.001 0.001 0.001 0.023 0.021 0.021
96 10
CHROM HEKSAVALEN (Cr+6)
11
TIMBAL (Pb)
12
NIKEL (Ni)
Data Olahan, 2009
Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata 1 2 3 4 5 6 7 8 Rerata
0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.009 0.029 0.032 0.019 0.027 0.021 0.029 0.023 0.029 0.026
0.010 0.0009 0.013 0.013 0.014 0.001 0.001 0.001 0.0009 0.006 0.015 0.011 0.026 0.016 0.001 0.001 0.001 0.001 0.0090 0.023 0.024 0.023 0.027 0.028 0.025 0.029 0.021 0.025
0.014 0.0009 0.0009 0.0009 0.015 0.014 0.019 0.006 0.0009 0.0072 0.015 0.014 0.019 0.006 0.001 0.004 0.005 0.007 0.009 0.023 0.022 0.02 0.021 0.022 0.023 0.021 0.019 0.021
0.005 0.001 0.010 0.010 0.002 0.002 0.002 0.002 0.0009 0.004 0.001 0.015 0.014 0.019 0.006 0.001 0.001 0.042 0.0123 0.045 0.042 0.038 0.043 0.042 0.039 0.038 0.036 0.040
0.049 0.003 0.001 0.015 0.012 0.012 0.012 0.015 0.0009 0.009 0.001 0.001 0.001 0.017 0.023 0.001 0.0009 0.007 0.006 0.029 0.025 0.021 0.026 0.026 0.025 0.027 0.026 0.026
0.003 0.001 0.022 0.022 0.019 0.019 0.013 0.013 0.0009 0.014 0.0009 0.015 0.014 0.019 0.006 0.0009 0.0009 0.003 0.007 0.022 0.021 0.015 0.014 0.017 0.023 0.021 0.025 0.020
0.005 0.007 0.019 0.019 0.015 0.015 0.015 0.013 0.0009 0.013 0.001 0.001 0.001 0.001 0.015 0.014 0.019 0.006 0.007 0.021 0.022 0.022 0.024 0.022 0.021 0.02 0.019 0.021
0.009 0.002 0.021 0.021 0.021 0.021 0.02 0.02 0.0031 0.016 0.001 0.001 0.015 0.014 0.019 0.006 0.001 0.006 0.008 0.016 0.015 0.013 0.012 0.016 0.016 0.015 0.015 0.015
97 LAMPIRAN 3 : PENENTUAN STATUS/MUTU LINGKUNGAN PERAIRAN LOKASI PERTAMBANGAN NIKEL POMALAA STASIUN 1 (SUNGAIHUKO-HUKO) BAKU MUTU KELAS III KEPMEN-LH NO. 115 TAHUN 2003
Parameter
No
Satuan
Baku Mutu
Hasil Pengukuran Maks
Min
Nilai Storet Rerata
Maks
Min
Rerata
Total
FISIKA 1
Suhu
2
Zat Padat Terlarut (TDS)
3
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
°C
normal+3
28
27.5
27.69
0
0
0
0
mg/L
1000
398
20
171.18
0
0
0
0
mg/L
400
250.4
4.4
53.00
0
0
0
0
KIMIA 1
pH
6_9
8.5
7
7.56
0
0
0
0
2
BOD5
mg/L
6
3.58
0.783
1.650
0
0
0
0
3
Oksigen Terlarut
mg/L
>3
7.670
4.995
6.636
0
0
0
0
mg/L
20
0.716
0.157
0.330
0
0
0
0 0
4
Nitrat
5
Nitrit
mg/L
0.06
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
6
Amonia Bebas (NH3-N)
mg/L
0.02
0.003
0.001
0.004
0
0
0
0
7
Besi (Fe)
mg/L
0.03
0.139
0.011
0.059
-2
0
-6
-8
8
Seng (Zn)
mg/L
0.05
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
0
0.062
0.010
0.042
-2
0
0
-2 -2
Total Khrom (Cr)
mg/L
0.05
10
Timbal (Pb)
mg/L
0.03
0.104
0.009
0.014
-2
0
0
11
Nikel (Ni)
mg/L
0.05
0.005
0.002
0.003
0
0
0
9
0 -12
Jumlah Skor STASIUN 2 : SUNGAI PELAMBUA BAKU MUTU KELAS III KEPMEN-LH NO. 115 TAHUN 2003
No
Parameter
Satuan
Hasil Pengukuran
Baku Mutu
Total
Nilai Storet
Maks
Min
Rerata
Maks
Min
Rerata
FISIKA 1
Suhu
°C
normal+3
29.00
27.00
28.06
0
0
0
0
210
14
82.98
0
0
0
0
53.2
2.8
21.75
0
0
0
0
2
Zat Padat Terlarut (TDS)
mg/L
1000
3
Zat Padat Tersuspensi (TSS) KIMIA
mg/L
400
1
pH
6_9
8.5
7
7.44
0
0
0
0
3.580
0.783
1.438
0
0
0
0 0
2
BOD5
mg/L
6
3
Oksigen Terlarut
mg/L
>3
7.76
6.147
6.889
0
0
0
4
Nitrat
mg/L
20
0.513
0.166
0.338
0
0
0
0
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
0
0.003
0.001
0.002
0
0
0
0 -8
5
Nitrit
mg/L
0.06
6
Amonia Bebas (NH3-N)
mg/L
0.02
7
Besi (Fe)
mg/L
0.03
0.139
0.029
0.057
-2
0
-6
8
Seng (Zn)
mg/L
0.05
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
0
9
Total Khrom (Cr)
mg/L
0.05
0.062
0.010
0.042
-2
0
0
-2
Timbal (Pb)
mg/L
0.03
0.104
0.0009
0.014
-2
0
0
-2
mg/L
0.05
0.005
0.003
0.004
0
0
0
0 -12
10 11
Nikel (Ni) Jumlah Skor
Data Olahan, 2009
98 STASIUN 3 (OUTLET PABRIK) BAKU MUTU KELAS III KEPMEN-LH NO. 115 TAHUN 2003
Parameter
No
Satuan
Baku Mutu
°C
Hasil Pengukuran Maks
Min
Rerata
normal+3
32
29.00
1044
10
164.8
2.4
65.52
Nilai Storet
Total
Maks
Min
Rerata
29.38
0
0
0
0
337.11
-1
0
0
-1
0
0
0
0
FISIKA 1
Suhu
2
Zat Padat Terlarut (TDS)
mg/L
1000
3
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
mg/L
400
KIMIA 1
pH
6-9
8.5
7
7.69
0
0
0
0
57.2
1.467
22.134
-2
0
-6
-8
20.29
3.6
6.110
0
0
0
0
2
BOD5
mg/L
6
3
Oksigen Terlarut
mg/L
>3
4
Nitrat
mg/L
20
0.477
0.157
0.330
0
0
0
0
5
Nitrit
mg/L
_
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
0
6
Amonia Bebas (NH3-N)
mg/L
0.02
0.003
0.001
0.002
0
0
0
0
0.202
0.023
0.094
-2
0
-6
-8 -8
7
Besi (Fe)
mg/L
0.03
8
Seng (Zn)
mg/L
0.05
0.182
0.023
0.052
-2
0
-6
9
Total Khrom (Cr)
mg/L
0.05
0.147
0.036
0.062
-2
0
-6
-8
10
Timbal (Pb)
mg/L
0.03
0.112
0.003
0.038
-2
0
-6
-8
11
Nikel (Ni)
mg/L
0.05
0.141
0.03
0.102
-2
0
-6
-8 -49
Jumlah Skor
STASIUN 4 (SUNGAI KUMORO) BAKU MUTU KELAS III KEPMEN-LH NO. 115 TAHUN 2003
Parameter
No
Satuan
Baku Mutu
°C
Hasil Pengukuran Maks
Min
normal+3
28
mg/L
1000
266
mg/L
400
96.4
Nilai Storet
Total
Rerata
Maks
Min
Rerata
26.5
26.60
0
0
0
0
6
111.75
0
0
0
0
8.4
41.75
0
0
0
0
FISIKA 1 2 3
Suhu Zat Padat Terlarut (TDS) Zat Padat Tersuspensi (TSS) KIMIA
1
pH
6_9
7.5
6
6.9
0
0
0
0
2
BOD5
mg/L
6
3.6
0.535
1.926
0
0
0
0
3
Oksigen Terlarut
mg/L
>3
7.883
5.948
6.915
0
0
0
0
mg/L
20
0.843
0.1
0.365
0
0
0
0 0
4
Nitrat
5
Nitrit
mg/L
0.06
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
6
Amonia Bebas (NH3-N)
mg/L
0.02
0.002
0.002
0.002
0
0
0
0
0.305
0.006
0.094
-2
0
-6
-8
0.0009
0.0009
0
0
0
0
7
Besi (Fe)
mg/L
0.03
8
Seng (Zn)
mg/L
0.05
0.0009
9
Total Khrom (Cr)
mg/L
0.05
0.027
0.013
0.021
0
0
0
0
10
Timbal (Pb)
mg/L
0.03
0.11
0.0009
0.017
-2
0
0
-2
11
Nikel (Ni)
mg/L
0.05
0.043
0.036
0.038
0
0
0
Jumlah Skor
Data Olahan, 2009
0 -10
99 STASIUN 5 (DERMAGA POMALAA) KEPMEN-LH NO. 51 TAHUN 200 BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
Parameter
No 1 2 3 4
FISIKA Suhu
1 2 3
Zat Padat Tersuspensi (TSS) Kecerahan Kekeruhan KIMIA Salinitas pH BOD5
4 5 6 7 8 9
Oksigen Terlarut Nitrat Nitrit Amonia Total (NH3-N) Besi (Fe) Seng (Zn)
10 11 12
Khromium Keksavalen (Cr(VI)) Timbal (Pb) Nikel (Ni) Jumlah Skor
Satuan
Hasil Pengukuran
Baku Mutu
Nilai Storet
Maks
Min
Rerata
Maks
Min
Rerata
Total
°C mg/L M mg/L
normal+3 20 >3 <5
30 273.2 5 10
28 3.2 3 2.3
29.25 79.46 4.611 4.310
0 -1 0 -1
0 0 -1 0
0 -3 0 0
0 -4 0 -1
‰ mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
33-34 7 _ 8.5 20 >5 0.008 1 0.3 0.03 0.05 0.005 0.008 0.05
22.545 9 2.834 7.551 0.0009 0.0009 0.023 0.019 0.021 0.019 0.019 0.018
20.494 7.5 0.238 5.37 0.0009 0.0009 0.001 0.001 0.012 0.0009 0.003 0.001
21.59 8.31 1.42 6.20 0.0009 0.0009 0.015 0.009 0.019 0.007 0.012 0.012
0 0 0 0 0 0 0 -2 0 -2 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 -6 -6 0
0 0 0 0 0 0 0 -2 -6 -8 0 -21
Satuan
Baku Mutu
°C mg/L M mg/L ‰
STASIUN 6 (GALANGAN KAPAL) KEPMEN-LH NO. 51 TAHUN 200 BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
Parameter
No 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
FISIKA Suhu Zat Padat Tersuspensi (TSS) Kecerahan Kekeruhan KIMIA Salinitas pH BOD5 Oksigen Terlarut Nitrat Nitrit Amonia Total (NH3-N) Besi (Fe) Seng (Zn) Khromium Keksavalen (Cr(VI)) Timbal (Pb) Nikel (Ni) Jumlah Skor
Data Olahan, 2009
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Hasil Pengukuran
Nilai Storet
Total
Maks
Min
Rerata
Maks
Min
Rerata
normal+3 20 >3 <5
30 420.8 6 10
28 8.4 5 3.2
29.25 108.67 5.375 5.2
0 -1 0 -1
0 0 0 0
0 -3 0 -3
0 -4 0 -4
33-34 7 _ 8.5 20 >5 0.008 1 0.3 0.03 0.05 0.005 0.008 0.05
24.778 8.5 6.132 22.778 0.0009 0.0009 0.054 0.023 0.013 0.014 0.026 0.023
22.378 7.5 0.027 4.983 0.0009 0.0009 0.012 0.011 0.01 0.0009 0.001 0.001
23.316 8.31 2.291 10.354 0.0009 0.0009 0.034 0.017 0.010 0.006 0.009 0.014
0 0 0 0 0 0 0 0 -2 -2 0
0 0 -2 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 -6 0 0
0 0 -2 0 0 0 0 0 -8 -2 0 -20
100 STASIUN 7 (DERMAGA SLAG) KEPMEN-LH NO. 51 TAHUN 200 BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
Parameter
No 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
FISIKA Suhu Zat Padat Tersuspensi (TSS) Kecerahan Kekeruhan KIMIA Salinitas pH BOD5 Oksigen Terlarut Nitrat Nitrit Amonia Total (NH3-N) Besi (Fe) Seng (Zn) Khromium Keksavalen (Cr(VI)) Timbal (Pb) Nikel (Ni) Jumlah Skor
Satuan
Baku Mutu
°C mg/L M mg/L ‰
Hasil Pengukuran
Nilai Storet
Total
Maks
Min
Rerata
Maks
Min
Rerata
normal+3 20 >3 <5
30 564.4 5.0 10.0
28 2.00 4.0 1.0
29.25 100.06 4.9 3.8
0 -1 0 -1
0 0 0 0
0 -3 0 0
0 -4 0 -1
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
33-34 7 _ 8.5 20 >5 0.008 1 0.3 0.03 0.05 0.005 0.008 0.05
22.620 8.50 3.130 7.50 0.0009 0.0009 0.031 0.001 0.029 0.019 0.019 0.019
20.440 7.50 0.535 5.519 0.0009 0.0009 0.007 0.001 0.001 0.0009 0.001 0.001
21.460 8.25 1.460 6.230 0.0009 0.0009 0.022 0.001 0.014 0.0070 0.009 0.009
0 0 0 0 0 0 0 0 -2 -2 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 -6 -6 0
0 0 0 0 0 0 0 0 -8 -8 0 -21
Satuan
Baku Mutu
STASIUN 8 (LAUT POMALAA) KEPMEN-LH NO. 51 TAHUN 200 BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
Parameter
No
Hasil Pengukuran Maks
Min
Rerata
Nilai Storet Maks
Min
Total Rerata
FISIKA °C
normal+3
28
27
27.63
0
0
0
0
mg/L
20
470.4
2.4
95.05
-1
0
-3
-4
Kecerahan
M
>3
6
5
5.1
0
0
0
0
Kekeruhan
mg/L
<5
10
2
4.20
-1
0
0
-1
26.228
1
Suhu
2
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
3 4
KIMIA 1
Salinitas
2
pH
‰
33-34
27.392
23.180
7 _ 8.5
8.5
8
8.25
0
0
0
0
20
6.027
0.0476
2.117
0
0
0
0
3
BOD5
mg/L
4
Oksigen Terlarut
mg/L
>5
29.392
4.838
8.982
0
-2
0
-2
5
Nitrat
mg/L
0.008
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
0
6
Nitrit
mg/L
1
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
0
Amonia Total (NH3-N)
mg/L
0.3
0.022
0.001
0.011
0
0
0
0
8
Besi (Fe)
mg/L
0.03
0.033
0.011
0.018
-2
0
0
-2
9
Seng (Zn)
mg/L
0.05
0.013
0.001
0.005
0
0
0
0
10
Khromium Keksavalen (Cr(VI))
mg/L
0.005
0.010
0.0009
0.004
-2
0
0
-2
11
Timbal (Pb)
mg/L
0.008
0.042
0.001
0.012
-2
0
-6
-8
Nikel (Ni) Jumlah Skor
mg/L
0.05
0.022
0.005
0.014
0
0
0
0 -19
7
12
Data Olahan, 2009
101 STASIUN 9 (LAUT TAMBEA) KEPMEN-LH NO. 51 TAHUN 200 BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
Parameter
No
Satuan
Baku Mutu
°C
normal+3
mg/L M mg/L
20 >3 <5
Hasil Pengukuran Maks
Min
Rerata
28
27
406.4 6 7
7.2 5 2.2
22.522
Nilai Storet
Total
Maks
Min
Rerata
27.63
0
0
0
0
72.23 5.20 3.68
-1 0 -1
0 0 0
-3 0 0
-4 0 -1
FISIKA 1
Suhu
2 3
Zat Padat Tersuspensi (TSS) Kecerahan
4
Kekeruhan KIMIA
1
Salinitas
2
pH
‰
33-34
22.718
22.014
7 _ 8.5
8.5
8
8.25
0
0
0
0
20
4.973
0.522
1.374
0
0
0
0
3
BOD5
mg/L
4
Oksigen Terlarut
mg/L
>5
6.783
4.402
5.900
0
-2
0
-2
5
Nitrat
mg/L
0.008
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
0
6
Nitrit
mg/L
1
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
0
Amonia Total (NH3-N)
mg/L
0.3
0.054
0.015
0.031
0
0
0
0
8
Besi (Fe)
mg/L
0.03
0.023
0.011
0.016
0
0
0
0
9
Seng (Zn)
mg/L
0.05
0.13
0.002
0.049
-2
0
0
-2
10
Khromium Keksavalen (Cr(VI))
mg/L
0.005
0.015
0.0009
0.009
-2
0
-6
-8
11
Timbal (Pb)
mg/L
0.008
0.023
0.0009
0.006
-2
0
0
-2
Nikel (Ni)
mg/L
0.05
0.027
0.005
0.018
0
0
0
7
12
0 -19
Jumlah Skor
STASIUN 10 (LAUT LATUMBI) KEPMEN-LH NO. 51 TAHUN 200 BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
No 1 2 3 4
Parameter FISIKA Suhu
1 2 3 4 5 6
Zat Padat Tersuspensi (TSS) Kecerahan Kekeruhan KIMIA Salinitas pH BOD5 Oksigen Terlarut Nitrat Nitrit
7 8
Amonia Total (NH3-N) Besi (Fe)
Satuan
Baku Mutu
°C mg/L M mg/L ‰
Hasil Pengukuran
Nilai Storet
Total
Maks
Min
Rerata
Maks
Min
Rerata
normal+3 20 >3 <5
28 496.4 5 10.0
27 2.8 5 2.1
27.63 106.34 5.00 4.43
0 -1 0 -1
0 0 0 0
0 -3 0 0
0 -4 0 -1
33-34 7 _ 8.5 20 >5 0.008 1 0.3 0.03 0.05
26.94 8.5 2.435 6.783 0.0009 0.0009 0.053 0.019 0.009
22.76 7.5 0.550 5.128 0.0009 0.0009 0.0009 0.001 0.001
25.32 8.13 1.192 5.809 0.0009 0.0009 0.031 0.007 0.003
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
Seng (Zn)
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
10
Khromium Keksavalen (Cr(VI))
mg/L
0.005
0.022
0.0009
0.014
-2
0
-6
-8
11 12
Timbal (Pb) Nikel (Ni) Jumlah Skor
mg/L mg/L
0.008 0.05
0.019 0.023
0.0009 0.001
0.007 0.012
-2 0
0 0
0 0
-2 0 -15
9
Data Olahan, 2009
102 STASIUN 11 (LAUT SOPURA) KEPMEN-LH NO. 51 TAHUN 200 BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
No
Parameter
Satuan
Baku Mutu
°C mg/L
Hasil Pengukuran Rerata
Maks
Nilai Storet Min
Total
Maks
Min
Rerata
normal+3
28
27
27.62
0
0
0
0
20
451.2
2
83.20
-1
0
-3
-4
FISIKA 1
Suhu
2
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
3
Kecerahan
M
>3
6
5
5.30
0
0
0
0
4
Kekeruhan
mg/L
<5
10
2
4.68
-1
0
0
-1
1
Salinitas
‰
33-34
29.227
20.352
2
pH
7 _ 8.5
8.5
8
8.25
0
0
0
0
3
BOD5
mg/L
20
2.609
0.535
1.462
0
0
0
0
4
Oksigen Terlarut
mg/L
>5
6.481
4.644
5.742
0
-2
0
-2
0.0009
0.0009
0
0
0
0
KIMIA 24.089
5
Nitrat
mg/L
0.008
0.0009
6
Nitrit
mg/L
1
0.0009
0.0009
0.0009
0
0
0
0
7
Amonia Total (NH3-N)
mg/L
0.3
0.118
0.022
0.001
0
0
0
0
8
Besi (Fe)
mg/L
0.03
0.021
0.001
0.006
0
0
0
0
0.001
Seng (Zn)
mg/L
0.05
0.013
0.005
0
0
0
0
10
Khromium Keksavalen (Cr(VI))
mg/L
0.005
0.019
0.0009
0.013
-2
0
-6
-8
11
Timbal (Pb)
mg/L
0.008
0.019
0.001
0.007
-2
0
0
-2
12
Nikel (Ni)
mg/L
0.05
0.018
0.001
0.008
0
0
0
0
9
Jumlah Skor
-17
STASIUN 12 (LAUT TANJUNG LEPPE) KEPMEN-LH NO. 51 TAHUN 200 BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
No
Parameter
1
FISIKA Suhu
2
Zat Padat Tersuspensi (TSS)
3
Kecerahan
4
Kekeruhan KIMIA Salinitas pH BOD5 Oksigen Terlarut Nitrat Nitrit Amonia Total (NH3-N) Besi (Fe) Seng (Zn) Khromium Keksavalen (Cr(VI)) Timbal (Pb) Nikel (Ni) Jumlah Skor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Data Olahan, 2009
Satuan
Baku Mutu
°C
normal+3
mg/L
20
Hasil Pengukuran Maks
Min
28 475.6
27 1.2
Rerata
Nilai Storet
Total
Maks
Min
Rerata
27.88
0
0
0
0
76.48
-1
0
-3
-4
M
>3
5
4.5
4.90
0
0
0
0
mg/L
<5
10
2
3.76
-1
0
0
-1
‰
33-34 7 _ 8.5 20 >5 0.008 1 0.3 0.03 0.05 0.005 0.008 0.05
25.184 8.5 2.609 25.184 0.0009 0.0009 0.098 0.019 0.023 0.021 0.019 0.022
20.352 7.5 0.038 4.354 0.0009 0.0009 0.001 0.001 0.001 0.002 0.001 0.0009
23.680 8.13 0.714 12.548 0.0009 0.0009 0.023 0.006 0.009 0.016 0.008 0.013
0 0 0 0 0 0 0 0 -2 -2 0
0 0 -2 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 -6 0 0
0 0 -2 0 0 0 0 0 -8 -2 0 -17
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
103 LAMPIRAN 4 : BEBAN PENCEMARAN TIAP-TIAP STASIUN
No
Parameter
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
TSS BOD5 Nitrat NH3-N Besi (Fe) Seng Total Khrom (Cr) Timbal (Pb) Nikel (Ni)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
No
Parameter
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
TSS BOD5 Nitrat NH3-N Besi (Fe) Seng Total Khrom (Cr) Timbal (Pb) Nikel (Ni)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
No
Parameter
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
TSS BOD5 Nitrat NH3-N Besi (Fe) Seng Total Khrom (Cr) Timbal (Pb) Nikel (Ni)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
No
Parameter
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
TSS BOD5 Nitrat NH3-N Besi (Fe) Seng Total Khrom (Cr) Timbal (Pb) Nikel (Ni)
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/L
Data Olahan, 2009
Beban Pencemaran Sungai Huko-Huko ‐6 BP = Q x C x 3600 x 24 x 30 x 1 x 10 (Q = 9,251 m³/det) Kosentrasi (mg/L) BP (ton/bulan) 53.00 1270.8654 1.650 39.5587 0.330 7.9159 0.002 0.0507 0.059 1.4207 0.0009 0.0216 0.042 0.9981 0.014 0.3306 0.003 0.0710
Beban Pencemaran Sungai Pelambua ‐6 BP = Q x C x 3600 x 24 x 30 x 1 x 10 (Q = 0,325 m³/det) Kosentrasi (mg/L) BP (ton/bulan) 21.75 19.8444 1.438 1.3116 0.338 0.3082 0.003 0.0031 0.057 0.0518 0.0009 0.0008 0.034 0.0313 0.028 0.0258 0.004 0.0040
Beban Pencemaran Outlet Pabrik ‐6 BP = Q x C x 3600 x 24 x 30 x 1 x 10 (Q = 3,9 m³/det) Kosentrasi (mg/L) BP (ton/bulan) 72.32 731.0179 22.134 223.7482 0.370 3.7352 0.006 0.0596 0.081 0.8193 0.035 0.3576 0.056 0.5660 0.038 0.3829 0.103 1.0425 Beban Pencemaran Sungai Kumoro ‐6 BP = Q x C x 3600 x 24 x 30 x 1 x 10 (Q = 5.462 m³/det) Kosentrasi (mg/L) BP (ton/bulan) 41.75 591.0758 1.926 27.2603 0.365 5.1639 0.002 0.0265 0.094 1.3326 0.0009 0.0127 0.021 0.2970 0.017 0.2348 0.038 0.5433
104 Lampiran 5 : Kuisioner Penelitian KUISIONER PENELITIAN ANALISIS STATUS PENCEMARAN LOGAM BERAT TERHADAP PEMBUANGAN TAILING SLAG NIKEL DI WILAYAH PESISIR OLEH SYAMSUL ALAM ZUBAYR
IDENTITAS RESPONDEN Nama Responden : Jenis Kelamin : (Laki-laki/Perempuan)* Pekerjaan : Alamat : RT......./RW........ Tanggal wawancara : ....../...../ 2008 Tempat wawancara : PERSEPSI MASYARAKAT 1. Berapa umur Bapak/Ibu/Sdr(i) ?.......Tahun 2. Apakah pendidikan formal terakhir ? (a) Lulus perguruan tinggi (b) Lulus/tamat SLTA atau sederajat (c) Lulus/tamat SLTP atau sederajat (d) Lulus/tamat SD atau sederajat (e) Tidak sekolah/tidak tamat SD atau sederajat (f) Lainnya, sebutkan 3. Berapa lama Bapak/Ibu/Sdr(i) tinggal di Lokasi Wilayah Pesisir PT Aneka Tambang Tbk UBPN Operasi Pomalaa?.........Tahun 4.
5.
6.
Apakah aktifis Bapak/Ibu/Saudara(i) selama tinggal di Lokasi Wilayah pesisir? a. Bertambak b. Nelayan c.Pedagang d. Karyawan/PNS e. Lainnya sebutkan............................ Apakah PT Aneka Tambang Tbk. Melakukan Sosialisasi kepada warga sekitar tentang Tailing/Slag Nikel? a.Ya b. Tidak Apakah anda tau tentang Tailing/Slag Nikel ? a. Ya b. Tidak Kalau ya, bagaimana menurut anda tentang Tailing/Slag Nikel ? a. Berguna sekali b. berguna c. Tidak berguna d. Tidak berguna sekali e. Lainnya, sebutkan .........
Data Olahan, 2009
105 7.
Apakah anda pernah di kasih Tailing/Slag Nikel dari hasil pengolahan Nikel PT Aneka Tambang Tbk. UBPN operasi Pomalaa? a. Ya b. Tidak Kalau ya, anda gunakan sebagai apa? a. Timbunan Perumahan b. Timbunan Jalanan c. Buat bangunan d. Pembuatan taman e. Lainya, (sebutkan)...............................
8.
Apakah anda pernah dengar kalau Tailing/slag Nikel adalah Limbah? a. Ya b. Tidak Kalau ya, bagaimana menurut anda tentang Limbah Tailing/Slag Nikel ? a. Sangat Berbahaya b. berbahaya c. Kurang berbahaya berbahaya e. Tidak Tau sama sekali
d. Tidak
8.
Apakah anda percaya kalau kalau Tailing/slag itu adalah Racun ? a. Ya b. Tidak Kalau Ya, bagaimana menurut anda tentang Racun Tailing/Slag Nikel? a. Sangat Beracun b. Beracun c. Kurang beracun d. Tidak beracun e. Tidak Tau sama sekali
9.
Apakah Anda sering melihat Angkutan Dump Truck PT Aneka Tambang Tbk. UBPN Pomalaa membuang Tailing/Slag Nikel di Wilayah Pesisir atau di pemukiman rumah anda ? a. Ya b. Tidak Kalau Ya, Apakah pembuangan tersebut di lakukan setiap ? a. Hari b. Minggu c. Bulan d. 2-3Xseminggu e. Lainya, sebutkan......................Hari/Minggu
10.
Sudah berapa lama Bapak/Ibu/Sdr(i) tahu tentang aktifitas Pembuangan Tailing Slag Nikel PT Aneka Tambang Tbk. UBPN Pomalaa Di wilayah Pesisir?........ Tahun
11.
Apakah Anda Tau tentang Logam berat? a. Ya b. Tidak Kalau Ya, apakah Tailing/Slag nikel itu mengandung Logam Berat? a. Sangat berbahaya b. Berbahaya c. Kurang berbahaya d. Tidak berbahaya e. Tidak tau sama sekali
12. Apakah di wilayah pesisir tempat tinggal Anda banyak hasil Perikanan/kelautan/ tambak sebelum Tailing/Slag Nikel PT Aneka Tambang Tbk.UBPN Pomalaa dibuang? a. Ya b. Tidak Kalau Ya, seberapa banyak hasil Perikanan/Kelautan/Tambak tersebut? a. Lumayan sekali b. Lumayan c. Cukup Lumayan b. Tidak lumayan e. Tidak ada sama sekali 13.
Apakah di wilayah pesisir tempat tinggal Anda berkurang hasil Perikanan/kelautan/ tambak setelah Tailing/Slag Nikel PT Aneka Tambang Tbk.UBPN Pomalaa dibuang?
Data Olahan, 2009
106 a. Ya b. Tidak Kalau ya, bagaimana menurut anda dengan hasil perikanan/kelautan/tambak dipengaruhi oleh Tailing/Slag Nikel? a. Sangat berpengaruh b.berpengaruh c. Kurang berpengaruh d. tidak berpengaruh sekali e. Tidak tau sama sekali 14.
Apakah anda pernah melihat pembuangan air limbah tambang hasil pengolahan nikel? a. Ya b. Tidak Kalau ya, dibuang kemana air limbah tambang hasil pengolahan Nikel tersebut ? a. wilayah pesisir (Kelaut) b. Sungai c. Tempat Umum d. di darat e .Lainnya,sebutkan..................
15.
Pernahkan pemerintah dan PT Aneka Tambang Tbk. melibatkan anda dalam pengelolaan Wilayah Pesisir? a. Ya b. Tidak kalau ya dalam bentuk apa saja ? a. ................................................... b. ....................................................... c. ................................................... d. ....................................................... e. .......................................................
16.
Apakah di lingkungan anda pernah ada sosialisasi tentang bahaya pencemaran wilayah pesisir? a. Ya b. Tidak Kalau ya, siapa saja yang pernah melakukan sosialisasi ? a. LSM b. Industri c. Pemerintah(.................) d. Perguruan Tinggi e. Lainnya, sebutkan....
Penyusun Strategi Pengelolaan : Masyarakat, Lsm, Pemerintah,Pakar, Industri 17. Menurut Bapak/Ibu/Sdr(i) setujukah bila tailing/slag nikel PT Aneka Tambang Tbk. Itu di berikan kepada Masyarakat? a. sangat setuju b. setuju c. Tidak setuju d. tidak setuju sekali e. Tidak tau 18. Apakah Bapak/Ibu/Sdr (i) setuju memilih wilayah pesisir dijadikan tempat pembuangan tailing/Slag Nikel PT Aneka Tambang Tbk.? a. ya b. tidak Jelaskan .............................................................................................................. ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... 19. Menurut Bapak/Ibu/Sdr(i) setujukah wilayah pesisir itu di timbun oleh Tailing/slag PT Aneka Tambang Tbk. Untuk di jadikan Perumahan/daratan: a. ya b. tidak
Data Olahan, 2009
107 Jelaskan .............................................................................................................. ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... ........................................................................................................................... ............................................................................................................................ 20. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu/Sdr(i) terhadap dampak dari kegiatan penimbunan dengan menggunakan Tailing/Slag Nikel di Wilayah Pesisir tersebut : Jelaskan .............................................................................................................. ............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. 21. Apakah Bapak/Ibu/sdr(i) setuju dengan pembungangan Tailing/slag Nikel Tambang Tbk. UBPN Pomalaa yang ada sekarang ? a. Ya b. Tidak kalau tidak, Jelaskan ............................................................................................................ .......................................................................................................................... ........................................................................................................................... ...........................................................................................................................
PT Aneka
22. Menurut Bapak/Ibu/Sdr(i) apakah Tailing/slag Nikel hasil Pengolahan PT Aneka Tambang Tbk. UBPN Pomalaa pemanfaatannya sudah sesuai dengan peruntukkannya ? a. Ya b. Tidak kalau tidak, Jelaskan ............................................................................................................ .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... 23. Menurut Bapak/Ibu/Sdr(i) apakah sudah ada perda yang mengatur tentang pembuangan Tailing/slag/limbah nikel ke Wilayah Pesisir /Laut ? Sebutkan ......................................................................................................... 24. Perda nomor berapa yang mengatur tentang pembuangan Tailing/slag/limbah nikel ke wilayah Pesisir Laut? Sebutkan ........................................................................................................ ......................................................................................................................... 25. Menurut Bapak/Ibu/Sdr(i) apakah wilayah pesisir dengan pembungangan Tailing/slag Nikel PT Aneka Tambang Tbk. UBPN Pomalaa yang ada sekarang sudah terjadi pencemaran Logam berat ? a. Ya b. Tidak
Data Olahan, 2009
108 kalau ya, sebutkan jenis Logam beratnya : ............................................................................................................ .......................................................................................................................... 26. Menurut Bapak/Ibu/Sdr(i), strategi apa saja yang harus dilakukan jika belum terjadi pencemaran logam berat hasil pembungangan Tailing/slag Nikel PT Aneka Tambang Tbk. UBPN Pomalaa . a ................................................... b. ....................................................... c. ...................................................... d. .................................................... e. ..................................................... f. .......................................................
Data Olahan, 2009