ANALISIS SPASIAL PENYUSUTAN LAHAN SAWAH DI KORIDOR MEGA URBAN JABODETABEKPUNJUR – BANDUNG RAYA
SUGENG FEBRIANA
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Spasial Penyusutan Lahan Sawah di Koridor Mega Urban Jabodetabekpunjur – Bandung Raya benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Sugeng Febriana NIM A14120042
ABSTRAK SUGENG FEBRIANA. Analisis Spasial Penyusutan Lahan Sawah Kawasan Mega Urban Jabodetabekpunjur – Bandung Raya. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan YUDI SETIAWAN Kondisi lahan sawah saat ini banyak mengalami konversi lahan. Beberapa faktor yang menjadi pendorong konversi lahan sawah diantaranya adalah pengembangan kegiatan industri dan permukiman. Dua kawasan metropolitan di Indonesia yang berkembang pesat saat ini yakni Jabodetabekpunjur dan Bandung Raya merupakan wilayah dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kawasan perkotaan tercepat di Indonesia. Perkembangan tersebut telah menjadi salah satu pendorong terjadinya konversi lahan sawah. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi penyusutan luas area pertanian sawah berdasarkan kombinasi data citra multi waktu (multitemporal) di koridor metropolitan Jabodetabekpunjur – Bandung Raya, 2) mengidentifikasi dan membandingkan faktor – faktor yang mempengaruhi penyusutan luas area pertanian sawah. Luas sawah pada periode 1983-1996 mengalami kenaikan dan penurunan, kenaikan terjadi pada wilayah kabupaten, sedangkan penurunan terjadi pada wilayah kota. Pada periode selanjutnya 1996-2000, 2000-2005, 2005-2010, dan 2010-2015 semua wilayah cenderung mengalami penurunan. Periode dengan tingkat penyusutan tertinggi adalah pada tahun 1996 – 2000, Sedangkan periode yang mengalami tingkat penyusutan terendah terjadi pada tahun 1983-1996. Wilayah yang mengalami konversi lahan sawah terbesar adalah Kabupaten Bogor sedangkan wilayah yang mengalami rata – rata laju konversi terbesar adalah wilayah Kota Depok dan Kota Tangerang Selatan. Faktor-faktor fisik yang diukur memiliki daya pengaruh berbeda - beda terhadap konversi lahan sawah, namun jarak sawah ke jalan tol, ke jalan lainnya, ke sungai besar, dan ke lahan terbangun merupakan empat faktor yang secara konsisten berpengaruh terhadap konversi lahan sawah di semua periode tahun. Kata Kunci : Lahan sawah, konversi, regresi linear logistik
ABSTRACT SUGENG FEBRIANA.. Spatial Analisys on Decreasing of Rice Field Areas in Jabodetabekpunjur – Bandung Mega Urban Region. Supervised by ERNAN RUSTIADI and YUDI SETIAWAN. Paddy fields conditions currently experiencing a lot of land conversion. Several factors are becoming the drivers of conversion such as the development of industry and settlements. Two fastest growing metropolitan areas in Indonesia (Jabodetabekpunjur and Bandung Raya metropolitan) experiencing population growth and fast urban expansion. Such a development has become one of the main drivers of wetland conversion. This study aims to: 1) identify the depreciation area of rice cultivation based on a combination of image data multiple times (multitemporal) in the corridor metropolitan Jabodetabekpunjur – Bandung Raya, 2) identify and compare the factors - factors that affect the depreciation area of rice cultivation. Paddy field in the period 1983-1996 has increased and decreased, the increase occurred in the district, while the decrease occurred in urban areas. In the next period 1996 - 2000, 2000 - 2005, 2005 - 2010, and 2010 - 2015 all regions tend to decrease. The period with the highest decrease rate was in the year 1996 - 2000. While the period that experienced the lowest rate of decrease occurred in 19831996. Areas experiencing the largest wetland conversion is Bogor Regency, while areas which experienced average - The average conversion rate is the city of Depok and South Tangerang City. Physical factors measured has a different effect depending on wetland conversion, but the distance of the fields to the motorway, between streets, to the great river, and to land up the four factors that have an effect consistent with the wetland conversion in all periods of the year. Keywords: Paddy fields, Linear regression logistics, land use change
ANALISIS SPASIAL PENYUSUTAN LAHAN SAWAH DI KORIDOR MEGA URBAN JABODETABEKPUNJUR – BANDUNG RAYA
SUGENG FEBRIANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2016 ini adalah Analisis Spasial penyusutan lahan Sawah di Koridor Mega Urban Jabodetabekpunjur – Bandung Raya. Dengan selesainya karya ilmiah ini penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya kepada yang terhormat Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku pembimbing I dan Dr. Yudi Setiawan M.Sc selaku pembimbing II, serta Dr. Khursatul Munibah selaku dosen penguji atas ilmu, waktu, kritikan, dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus disampaikan kepada: 1. Bapak dan Ibu, Sukarman dan Sukarni atas dukungan kasih sayang, semangat, materil dan doa yang tidak pernah putus. 2. Pakdhe Supono, Pak Pranotoroso, Paklik Agus, serta keluarga besar atas doa dan motivasinya. 3. Beasiswa Bidik Misi yang telah memberikan fasilitas maupun beasiswa sehingga penulis tetap berkarya sampai sekarang. 4. Sahabat 49 Ilmu Tanah yang telah menemani dan menginspirasi selama ini. Semoga tali silaturahmi ini tetap terjaga hingga nanti. 5. Sahabat ekstrakulikuler Balioboro terima kasih atas waktunya dan semangatnya selama ini. 6. Sahabat Bangwilers ; Ahya, Fairus, Serly, Nandia, Suci, Fauzan, Nia dan Didik terima kasih untuk suka cita selama ini. 7. Sahabat dekat Alivia, Taufik, Ery dan Ade terima kasih selalu siap mendengarkan segala cerita dan menjadi guru yang setia penulis selama ini. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada skripsi ini. Namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan juga bagi yang membacanya.
Bogor, Desember 2016
Sugeng Febriana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor Penentu Terjadinya Perubahan
2
Lahan Sawah
3
Konversi Lahan Sawah
4
Perkembangan Kawasan Metropolitan Jabodetabekpunjur – Bandung Raya
5
Sistem Informasi Geografis
6
Penginderaan Jauh dalam Penutupan Lahan
7
Regresi Linier Logistik
7
METODOLOGI
8
Lokasi dan Waktu Penelitian
8
Jenis Data dan Perangkat Penelitian
8
Metode Penelitian
9
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
11
Letak Geografis dan Batas Administrasi
11
Kondisi Fisik
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
13
Penyusutan Luas Area Pertanian Sawah
13
Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Alih Fungsi Lahan Sawah
17
Simpulan
21
Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
25
RIWAYAT HIDUP
36
DAFTAR TABEL 1 Jumlah Kecamatan, Kelurahan, dan Desa di Lokasi Penelitian
12
2 Perubahan Luas Lahan Sawah di Kawasan Penelitian 1983 – 2015
15
3 Rata - Rata Laju Konversi Lahan Sawah di Kawasan Penelitian
16
4 Hasil Analisis Regresi Linier Logistik
17
DAFTAR GAMBAR 1 Lokasi Penelitian
8
2 Bagan Alir Pengolahan Citra dan Data
11
3 Peta Sebaran Sawah Tahun 1983, 1996, 2000, 2005, 2010, dan 2015
14
4 Grafik Luasan Lahan Sawah 1983 - 2015
16
5 Grafik Probabilitas Periode Tahun 1983 - 1996
19
6 Grafik Probabilitas Periode Tahun 1996 - 2005
19
7 Grafik Probabilitas Periode Tahun 2005 - 2015
20
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil Regresi Linier Logistik Tahun 1983 - 1996
25
2. Hasil Regresi Linier Logistik Tahun 1996 - 2005
26
3. Hasil Regresi Linier Logistik Tahun 2005 - 2015
27
4. Daftar Jalan Tol Jabodetabekpunjur - Bandung Raya
28
5. Daftar Sungai Jabodetabekpunjur – Bandung Raya
29
6. Peta Luas Lahan Sawah Tahun 1983
30
7. Peta Luas Lahan Sawah Tahun 1996
31
8. Peta Luas Lahan Sawah Tahun 2000
32
9. Peta Luas Lahan Sawah Tahun 2005
33
10. Peta Luas Lahan Sawah Tahun 2010
34
11. Peta Luas Lahan Sawah Tahun 2015
35
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 sudah mencapai kurang lebih 254,9 juta jiwa, hampir 78 % dari jumlah penduduk tersebut mengkonsumsi beras dengan rata - rata 114 kg per tahun atau 312 gram per hari setiap rumah tangga (BPS, 2015). Lahan sawah merupakan penghasil utama beras di Indonesia, pada tahun 2014 lahan sawah telah menghasilkan + 70,846 juta ton gabah per tahun dihasilkan dari + 13,797 juta ha luas panen (BPS, 2015). Pulau Jawa merupakan lumbung beras nasional yang berperan penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Menurut Setiawan et al. (2015) pada tahun 2013, pulau ini menyuplai 52,59% produksi beras nasional dengan luas panen 6,4 juta hektar. Jumlah penduduk dan aktivitas pembangunan yang terus meningkat, menyebabkan permintaan lahan semakin tinggi sedangkan lahan yang tersedia relatif tetap. Hal ini pada akhirnya akan mendorong terjadinya konversi lahan untuk memenuhi kepentingan dari berbagai pihak (Sitorus et al. 2009). Hal tersebut pula yang mengakibatkan terjadinya relokasi penggunaan lahan dari aktivitas yang kurang menguntungkan ke aktivitas yang lebih menguntungkan. Aktivitas yang selalu terancam terutama adalah aktivitas pertanian yang dinilai kurang menguntungkan dibanding aktivitas ekonomi lainnya, maka yang akan terjadi adalah peningkatan kegiatan konversi lahan pertanian. Kajian terkait konversi lahan pertanian ke non-pertanian di Indonesia dilakukan oleh berbagai peneliti dengan beberapa pendekatan. Salah satunya adalah menurut Verburg et al. (1999) yang mengidentifikasi pola spasial perubahan penggunaan lahan di Pulau Jawa berbasis data skala tinjau. Sedangkan, kajian lain lebih menekankan pada identifikasi perubahan penggunaan lahan berbasis data statistik sebagai masukan untuk pengembangan kebijakan terkait konversi lahan (Irawan, 2008). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa konversi lahan pertanian ke penggunaan lain yang tidak terkendalikan akan menimbulkan dampak negatif secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Dampak negatif tersebut perlu dicegah karena penanganannya memerlukan biaya yang cukup besar. Pencegahan dilakukan melalui pengendalian konversi lahan, namun penelitian terkait hal tersebut masih relatif terbatas. Dua kawasan metropolitan yang berkembang pesat saat ini yakni Jabodetabekpunjur dan Bandung Raya merupakan wilayah dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kawasan perkotaan tercepat di Indonesia. Hal ini menyebabkan permintaan lahan untuk aktifitas perkotaan yang sangat tinggi, terutama untuk penyediaan permukiman, industri, dan jasa. Jakarta dan Bandung sebagai wilayah pusat, sedangkan wilayah sekitarnya seperti Bekasi, Tangerang, Bogor, Cimahi, dan Depok berperan sebagai wilayah hinterland yang secara fungsional memiliki sifat saling ketergantungan, Ketergantungan antara pusat dan hinterland dapat dilihat dari faktor produksi, penduduk, barang dan jasa, komunikasi, transportasi serta perhubungan di antara keduanya. Kabupaten - kabupaten yang terletak di antara kedua kawasan metropolitan Jabodetabekpunjur – Bandung Raya yakni Karawang, Purwakarta, Cianjur, dan Bekasi mempunyai peranan penting dalam memperlancar kegiatan perekonomian
2
salah satunya sebagai pendukung sarana dan prasarana transportasi. Sebagai sentra beras nasional wilayah tersebut dapat dipengaruhi oleh perkembangan simultan yang terjadi di kedua wilayah metropolitan itu. Merujuk pada kondisi tersebut, jelas terlihat pentingnya suatu kajian mendalam mengenai keterkaitan antara perkembangan wilayah metropolitan terhadap percepatan konversi lahan pertanian, serta mengkaji faktor – faktor apa saja yang mempengaruhinya. Kondisi ini menjadi sangat penting untuk diteliti dan dikaji seiring dengan rencana kebijakan pemerintah meningkatkan pembangunan nasional, serta perancangan undangundang yang bertujuan melindungi lahan sawah sehingga dapat mencapai kedaulatan pangan. Trisasongko et al. (2009) menyatakan bahwa informasi riwayat penggunaan lahan sawah di Indonesia kurang terekam dengan baik, sehingga tumpuan utama analisis perubahan penggunaan lahan adalah pada data penginderaan jauh yang disertai dan analisis spasial dalam sains informasi geografi dengan didukung oleh data informasi statistik maupun spasial yang lengkap. Tujuan Berdasarkan latar belakang di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi penyusutan luas area pertanian sawah berdasarkan kombinasi data citra multi waktu (multitemporal) di kawasan metropolitan Jakarta – Bandung. 2. Mengidentifikasi dan membandingkan faktor - faktor fisik yang mempengaruhi penyusutan luas area pertanian sawah.
TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor Penentu Terjadinya Perubahan Penggunaan lahan merupakan upaya manusia dan interaksinya dengan sumberdaya fisik lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan struktur penggunaan lahan bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan tertentu dan meningkatnya penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya, melainkan mempunyai kaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat (Nasution dan Winoto, 1996). Menurut Arsyad (1989), penggunaan lahan dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam peggunaan lahan pertanian seperti tegalan, sawah, kebun karet, hutan produksi, dan sebagainya sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan sebagainya. Penggunaan lahan bersifat dinamis ditunjukkan oleh perubahan yang terus menerus sebagai hasil dari besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan dipengaruhi dan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, ekonomi nasional, ekonomi regional, dan tata ruang wilayah. Lebih lanjut Deng et al. (2009) menyimpulkan penggunaan lahan merupakan suatu bentuk ruang dari upaya secara kontinu dan konsisten yang
3
dihasilkan berbagai aktifitas masyarakat seiring dengan semakin berkembangnya jumlah penduduk untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Dari satu sisi, proses perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya transformasi dan pertumbuhan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang (Rustiadi, 2001). Menurut Kitamura dan Rustiadi (1997) proses perubahan penggunaan lahan yang menonjol, yakni pada proses deforestasi dan urbanisasi-suburbanisasi. Proses deforestasi sebagai akibat dari aktifitas logging, pengembangan area pertanian dan pemukiman baru, sedangkan aktifitas urbanisasisuburbanisasi cenderung terjadi di daerah-daerah seputar perkotaan. Dinamika konversi lahan dapat terjadi pada segala bentuk pemanfaatan lahan, baik pada wilayah perkotaan maupun pedesaan. Pada wilayah perkotaan, perubahan penggunaan lahan dapat dipicu oleh proses urbanisasi yang cepat, umumnya terkait upaya penyediaan sarana perumahan dan industri (Rustiadi & Panuju, 2002). Permintaan terhadap hasil pertanian maupun non-pertanian meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Permintaan lahan untuk kebutuhan lahan terbangun untuk memenuhi kebutuhan pemukiman dan fasilitas pendukung mengubah konfigurasi penggunaan lahan. Bentuk perubahan ini tidak terjadi di setiap lokasi secara seragam, karena setiap lahan memiliki tingkat kestrategisan, dan potensi yang berbeda. Menurut Winoto et al. (1996) faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan dapat dikelompokan menjadi dua golongan besar, yaitu: (1) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (2) sistem non-kelembagaan yang berkembangkan secara alamiah dalam masyarakat, baik sebagai akibat proses pembangunan ataupun sebagai akibat proses-proses internal yang ada dalam masyarakat kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya lahan. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh pemerintah misalnya: peraturan tentang tata ruang, peraturan-peraturan pertanahan, kebijaksanaan fiskal dan moneter. Adanya kebijakan tersebut secara langsung atau tidak langsung berpengaruh pada perubahan penggunaan lahan yang terjadi. Lahan Sawah Menurut Hardjowigeno et al. (2005) tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Tanah sawah berasal dari tanah kering yang diairi atau tanah rawa yang dikeringkan dengan membentuk saluran - saluran drainase. Sedangkan menurut Mussa (2006) lahan sawah adalah lahan yang dikelola sedemikian rupa untuk budidaya tanaman padi, dimana dilakukan penggenangan selama atau sebagian dari masa pertumbuhan padi. Berdasarkan sumber airnya yang digunakan dan keadaan genangannya, sawah dapat dibedakan menjadi sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah lebak, dan sawah pasang surut. Sawah irigasi adalah sawah yang sumber airnya berasal dari tempat lain melalui saluran-saluran yang sengaja dibuat untuk itu. Sawah irigasi dibedakan atas sawah irigasi teknik, sawah irigasi semi teknis dan sawah irigasi sederhana. Sawah irigasi teknis air pengairannya berasal dari waduk, dam atau danau dan dialirkan melalui saluran induk primer yang selanjutnya dibagi - bagi ke dalam
4
saluran sekunder dan tersier melalui bangunan pintu pembagi air. Sawah irigasi sebagian besar dapat ditanami padi dua kali atau lebih dalam setahun, tetapi sebagian ada yang hanya ditanami padi sekali setahun bila ketersediaan air tidak mencukupi terutama yang terletak di ujung-ujung primer dan jauh dari sumber airnya (Puslitbangtanak, 2003). Sawah tadah hujan adalah sawah yang sumber airnya tergantung atau berasal dari curah hujan tanpa adanya bangunan-bangunan irigasi permanen. Sawah tadah hujan umumnya terdapat pada wilayah yang posisinya lebih tinggi dari sawah irigasi atau sawah lainnya sehingga tidak memungkinkan terjangkau oleh pengairan.Waktu tanam padi sangat tergantung pada datangnya musim hujan (Puslitbangtanak, 2003). Sawah pasang surut adalah sawah yang irigasinya tergantung pada gerakan pasang surut serta letaknya di wilayah datar tidak jauh dari laut. Karena adanya pengaruh pasang dan surut, air laut dimanfaatkan untuk mengairi melalui saluran irigasi dan drainasi. Sawah pasang surut umumnya terdapat di sekitar jalur aliran sungai besar yang terkena pengaruh pasang surut (Puslitbangtanak, 2003). Sawah lebak adalah sawah yang berada di daerah rawa dengan memanfaatkan naik turunnya permukaan air rawa secara alami, sehingga didalam sistem sawah lebak tidak dijumpai saluran air. Sawah ini umumnya terletak di daerah yang relatif dekat dengan jalur sungai besar (Puslitbangtanak, 2003). Konversi Lahan Sawah Lahan sawah merupakan produsen beras utama di Indonesia. Menurut Empersi (2009), keberadaan lahan sawah memberi manfaat yang sangat luas dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Maka dari itu, konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak yang luas pada berbagai aspek pembangunan. Tahun 2000 2002 rata-rata total sawah di Indonesia yang terkonversi ke penggunaan nonpertanian adalah 141,3 ribu ha per tahun dan alih fungsi lahan sawah ke nonpertanian (63%) lebih tinggi dari alih fungsi lahan sawah ke pertanian non-sawah (37%) di Pulau Jawa. Umumnya konversi lahan sawah menjadi daerah pemukiman dan industri banyak terjadi di wilayah-wilayah sentra produksi beras yang posisinya dekat dengan jalan raya atau tol, seperti di Jawa Barat (Karawang, Subang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Purwakarta, dan Cirebon), dan beberapa daerah di Jawa Tengah, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Timur (Tambunan, 2008). Pasandaran (2006) menjelaskan, permintaan lahan cenderung tinggi pada kawasan pertanian yang sudah berkembang dengan sasaran konsumen di pinggiran kota. Konversi lahan sawah bersifat irreversibel, menurunnya produksi padi akibat konversi lahan sawah bersifat permanen. Semakin tinggi lahan yang dikonversi, maka semakin tinggi pula kerugian yang ditimbulkannya (Nurwadjedi, 2011). Selanjutnya, berdasarkan penelitian Winoto et al. (1996) di Pantai Utara Jawa Barat diketahui bahwa konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian terjadi secara intensif, dilakukan oleh petani dengan pertimbangan aspek ekonomi jangka pendek. Hal yang serupa juga terjadi di Kabupaten Bogor pada periode 1992 - 1998, dimana lahan sawah mengalami penciutan sedangkan permukiman, tegalan, kolam dan penggunaan lain yang tidak terdefinisi cenderung mengalami peningkatan (Panuju, 2000). Menurut Rustiadi dan Wafda (2008), konversi lahan sawah antara
5
tahun 1999-2000 di Pulau Jawa banyak terjadi di Jawa Barat yakni sebesar 0.1999 juta Ha, sedangkan sepanjang tahun 1994-2004 telah terjadi alih fungsi lahan sawah di pulau Jawa dan Bali sebesar 36.000 Ha per tahun (BPN 2007). Perkembangan Kawasan Metropolitan Jabodetabekpunjur – Bandung Raya Transformasi kota menjadi kawasan metropolitan kerap kali terjadi di berbagai belahan dunia, begitu pula halnya dengan kota besar di Indonesia. Proses transformasi kota menjadi metropolitan ini umumnya diawali oleh bergabungnya kota-kota yang berdekatan atau secara administratif bersebelahan yang disebut dengan konurbasi. Metropolitan juga dapat diartikan sebagai aglomerasi dari berbagai kawasan permukiman, tidak harus kawasan permukiman yang bersifat kota, namun secara keseluruhan membentuk satu kesatuan dalam aktivitas bersifat kota dan bermuara pada pusat (kota besar yang menjadi inti metropolitan) yang dapat dilihat dari aliran tenaga kerja dan aktivitas komersial (Winarso, 2006). Metropolitan Jakarta merupakan salah satu Kawasan Metropolitan terbesar di dunia dan merupakan kawasan perkotaan terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 20 juta jiwa pada tahun 2007. Pertumbuhan penduduknya yang pesat serta tingkat kepadatan penduduk yang tinggi menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan serta pembentukkan karakteristik perekonomian. Selain itu, perannya sebagai ibukota negara juga menambah daya tarik bagi pendatang serta fungsi dan perannya sebagai kawasan metropolitan menjadikan kawasan ini semakin berkembang denangan pesat. Letak geografis yang strategis dan infrastruktur yang memadai dapat menarik para imigran. Hal yang demikian menjadi salah satu faktor pendukung pesatnya perkembangan Kota Jakarta. Seiring dengan berjalannya perkembangan tersebut, aktivitas perkotaan terus mengalami perluasan ke daerah pinggiran kota. Perkembangan perkotaan harus selalu diimbangi daya dukung (carrying capacity) lahan, sumberdaya manusia dan teknologi. Sumberdaya lahan adalah faktor basis perkembangan suatu perkotaan, sementara luas lahan yang ada bersifat terbatas. Dari tahun ke tahun lahan selalu mengalami perubahan dalam hal penggunaannya. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian sering terjadi di suatu tempat terutama di daerah yang memiliki letak strategis, dekat dengan pusat-pusat aktivitas dan terhubung dengan jaringan-jaringan jalan (network road). Perkembangan aktivitas ke arah pinggiran perkotaan atau suburbanisasi didefinisikan oleh Rustiadi (1999) sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga kawasankawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim atau kegiatan industri. Peristiwa meluasnya ruang terbangun yang menuju ke arah pinggiran kota utama dan kemudian membentuk kawasan perkotaan baru di belakangnya dipicu oleh faktor pendukung yang menyertainya. Sarana prasarana, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi yang memungkinkan memiliki peran besar terhadap perubahan dan penyebaran kawasan perkotaan ke arah luar kota inti. Di lain wilayah terdapat kota yang juga mengikuti perkembangan kota besar ini yaitu Metropolitan Bandung yang merupakan ibukota Provinsi Jawa Barat. Perkembangan sarana dan prasarana yang menghubungkan Metropolitan Jakarta dan Metro politan Bandung telah meningkatkan arus pergerakan aktivitas dari Kota
6
Jakarta ke Kota Bandung ataupun sebaliknya. Suburbanisasi menurut Rustiadi et al. (1999) telah melahirkan fenomena kompleks di wilayah suburban yaitu akulturasi budaya, konversi lahan pertanian ke aktivitas urban, spekulasi lahan, dan lain-lain. Pembangunan sarana dan prasarana transportasi di koridor Metropolitan Jakarta dan Metropolitan Bandung tersebut telah banyak memberikan manfaat terhadap publik, namun juga telah menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Kondisi fasilitas transportasi yang memadai dan adanya ketidakpastian pembatasan luas ruang terbangun di wilayah kota akan mendorong perluasan ruang terbangun (area built-up) di koridor Mega Urban Jakarta - Bandung. Perkembangan ruang terbangun di wilayah Metropolitan Jakarta dan Metropolitan Bandung tentu akan menyebabkan peningkatan konversi lahan pertanian dan hutan ke lahan terbangun. Rustiadi et al. (2013) menyatakan bahwa penggunaan lahan terbesar di Jabodetabek adalah daerah terbangun, terbangun merupakan penggunaan lahan yang paling mendominasi di wilayah Jabodetabek jika dibandingkan dengan wilayah lainnnya. Pertumbuhan ruang terbangun mengikuti urbanisasi dan suburbanisasi di wilayah Jabodetabek. Oleh karena itu perkembangan ruang terbangun akan bergeser ke arah pinggiran kota atau ke arah perdesaan yang masih memiliki lahan pertanian atau hutan. Rustiadi et al. (1999) menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan di perdesaan ke penggunaan lahan lain di pinggiran Kota Jakarta merupakan penggunaan lahan untuk tujuan khusus, misalnya untuk sektor khusus dan bisa untuk tujuan pengembangan formal dan informal. Pengembangan formal hampir semuanya adalah seperti perusahaan realestate, sedangkan informalnya seperti ruang publik misalnya jalan umum. Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial (Prahasta, 2005). Sistem Informasi Geografis berdasarkan operasinya, dapat dibagi kedalam (1) cara manual, yang beroperasi memanfaatkan peta cetak (kertas/transparan), bersifat data analog, dan (2) cara terkomputer atau lebih sering disebut cara otomatis, yang prinsip kerjanya sudah dengan menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital. SIG manual biasanya terdiri dari beberapa unsur data termasuk peta-peta, lembar material transparansi untuk tumpang tindih, foto udara dan foto lapangan, laporan-laporan statistik dan laporan-laporan survai lapangan. Saat ini prosedur analisis manual masih banyak dilakukan, akan tetapi dengan berjalannya waktu mungkin akan berangsur - angsur hilang. Beberapa aplikasi SIG di negara kita ssaat ini secara manual masih sesuai, bahkan dari segi efisiensi lebih sesuai disebabkan masih banyaknya kendala pada sumberdaya manusia, peralatan, terutama biaya menggunakan sistem terkomputerkan. Disamping itu, SIG otomatis selain membutuhkan peralatan peralatan khusus, membutuhkan keterampilan yang khusus pula, biayanya cukup mahal, terutama pada tahap awal pembentukannya. Keuntungan SIG otomatis akan terasakan pada tahap analisis dan penggunaan data yang berulang-ulang, terutama bila melakukan analisis yang kompleks dan menggunakan data yang sangat besar jumlahnya. Untuk memahami SIG otomatis, sebaiknya dilakukan bertahan melalui
7
pemahaman SIG manual, karena sebagian besar prosedur kerjanya masih relevan (Barus dan Wiradisastra, 1996). Penginderaan Jauh dalam Penutupan Lahan Dewasa ini penginderaan jauh telah dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi. termasuk aplikasi kebumian seperti kenampakan rupa bumi dan penelitian geologi, maupun aplikasi perencanaan dan pengembangan wilayah. Pemetaan menjadi salah satu pemanfaatan yang sering digunakan dari penginderaan jauh, terutama pemetaan penggunaan lahan. Penggunaan lahan merupakan hasil akhir dari setiap bentuk campur tangan kegiatan (intervensi) manusia terhadap lahan di permukaan bumi yang bersifat dinamis dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Trisasongko et al. (2009) menunjukan bahwa pemanfaatan citra Landsat ETM dapat digunakan untuk menganalisis lahan yang mengalami perubahan penggunaan. Dinamika perubahan lahan memerlukan perhatian yang cukup serius, mengingat dampak yang ditimbulkan cukup luas. Salah satu bentuk perubahan penting adalah perubahan lahan pertanian, karena pertanian merupakan sektor utama dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Perubahan penggunaan lahan pertanian tidak terlepas dari pengaruh pembangunan dan pengembangan wilayah di sekitarnya. Perubahan tersebut biasanya terjadi pada lahan pertanian yang berada di sekitar kota-kota besar seperti DKI Jakarta. Rustiadi et al. (2008) menjelaskan bahwa perkembangan kota Jakarta berpengaruh pada wilayah di sekitarnya. Rendahnya tingkat efisiensi, produktifitas dan tingkat pendapatan petani yang berkaitan dengan skala kepemilikan yang sempit, kepemilikan lahan yang terfragmentasikan serta dan pola penggunaan lahan yang tidak terkoordinasi secara baik menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan pertanian (Saefulhakim, 1999). Regresi Linier Logistik Regresi logistik merupakan satu model matematis untuk menganalisis hubungan variabel-variabel bebas baik berupa data continue, discrete, dichotomus atau kombinasinya yang mempengaruhi satu variabel terikat (Nachrowi et al. 2002). Teknik analisis ini telah dilakukan pada penelitian sebelumnya seperti alih fungsi hutan (Kumar et al, 2014) dan pertumbuhan kota (Arsanjani et al, 2013). Regresi logistik sama halnya dengan regresi linier, yaitu menggambarkan hubungan antara peubah respon dengan satu atau lebih peubah penjelas. Sedangkan menurut Mc Cullagh and Neider dalam Arsanjani et al (2013) regresi logistik adalah statistik multivariat yang dapat digunakan untuk mengestimasi kemungkinan perubahan penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lain. Dalam pengestimasian faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam alih fungsi lahan sawah digunakan analisis regresi logistik. Menurut Nachrowi et al. (2002) model logit dalam analisis regresi logistik adalah model non-linear, baik dalam parameter maupun dalam variabel. Agar diperoleh hasil analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan pengujian. Pengujian itu dinamakan uji G yaitu dilakukan untuk melihat apakah model logit yang dihasilkan secara keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secar a kualitatif. Dalam hal ini pilihan yang digunakan adalah melakukan
8
alih fungsi lahan (konversi) atau tidak melakukan (non-konversi). Pengujian dilakukan dengan menguji secara keseluruhan dan menguji masing-masing parameter secara terpisah.
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan koridor Jabodetabekpunjur sampai Bandung Raya meliputi (DKI Jakarta, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cimahi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Tangerang, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bandung, dan Kota Tangerang Selatan). Analisa interpretasi data dilaksanakan di laboratorium Divisi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung pada bulan Maret sampai bulan September 2016, yang meliputi yaitu (1) studi pustaka dan pembuatan proposal, (2) pengumpulan data, (3) pengolahan dan analisis data, (4) interpretasi hasil dan (5) penulisan. Secara lebih detail lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Lokasi penelitian Jenis Data dan Perangkat Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data spasial. Data spasial diperoleh dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor seperti citra Landsat penggunaan lahan tahun 1983; 1996; 2000; 2005; 2010; dan 2015, Peta Jalan, Peta Kemiringan Lereng, Peta ketinggian, Peta Pemukiman dan Peta
9
Sungai. Sedangkan Peta Administrasi diperoleh dari Divisi Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini juga merupakan bagian dari riset besar yang dilaksanakan oleh Rustiadi et al dalam periode 2015 – 2017 yang didanai oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Alat yang digunakan terdiri dari seperangkat komputer dengan perangkat lunak (software) Arc GIS 10.2, Erdas Imagine 11, SPSS 23, Minitab 17, Microsoft Excel, Microsoft Office 2013, GPS, dan Kamera. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan tersebut adalah: (1) Tahap persiapan dan studi pustaka. Pada tahap ini dilakukan pemilihan topik penelitian, pengumpulan literatur sesuai dengan topik penelitian, penyusunan proposal penelitian; (2) Tahap pengumpulan data. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data spasial yang digunakan; (3) Tahap Analisis dan pengolahan data. Pada tahap ini dilakukan beberapa teknik sesuai dengan tujuan penelitian; (4) Tahap intepretasi dan pembahasan hasil pengolahan data, dan tahap (5) yaitu penulisan hasil akhir. Persiapan Dan Pengumpulan Data Tahap ini terdiri dari studi pustaka dan pengumpulan data. Data yang dibutuhkan adalah data spasial. Data spasial diperoleh dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor seperti citra Landsat penggunaan lahan tahun 1983, 1996, 2000, 2005, 2010, dan 2015, Peta Jalan, Peta Kemiringan Lereng, Peta ketinggian, Peta Pemukiman dan Peta Sungai. Sedangkan Peta Administrasi diperoleh dari Divisi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Identifikasi Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Peta dasar yang digunakan sebagai rujukan adalah peta administrasi Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang diperoleh dari Divisi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Citra Landsat Penggunaan Lahan tahun 1983, 1996, 2000, 2005, 2010, dan 2015 yang telah dikoreksi sistematik dan sudah diklasifikasi secara visual oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Citra Landsat ini terdiri dari beberapa penggunaan lahan seperti hutan, kebun campuran, badan air, dan sawah, dari beberapa macam penggunaan lahan tersebut yang dipilih adalah lahan sawah. Selanjutnya lahan sawah yang dipilih dioverlay dengan peta administrasi yang didapat dari Divisi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Overlay merupakan proses penyatuan data dari lapisan layer yang berbeda dan bertujuan untuk menggabungkan citra sawah dari beberapa titik tahun dengan peta administrasi, output utama hasil analisis ini adalah identifikasi penyusutan lahan sawah pada masing – masing tempat dan periode tersebut. Setelah melakukan proses overlay, hal selanjutnya adalah menghitung luasan sawah setiap titik tahun dan setiap kabupaten yang ada di dalam cakupan penelitian. Setelah mendapatkan luasan sawah, laju konversi dapat dihitung dengan akar periode waktu terhadap rasio luas lahan sawah pada tahun ke-t dengan luas lahan sawah pada tahun sebelumnya dikurang 1 dan dikali 100 %.
10
Rumus dari perhitungan persentase laju konversi lahan pertahun dapat dispesifikasikan sebagai berikut (BPS 2012): 𝐴𝑡
R= (( t√𝐴0 )-1) x 100 %, dimana R = persentase laju Konversi (%/tahun) At = luas sawah pada periode akhir (Ha) Ao = luas sawah pada periode awal (Ha) t = Periode waktu (tahun) Analisis Faktor-faktor Penentu Perubahan Penggunaan Lahan Sawah Faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah jarak sawah ke jalan tol, ke jalan lainnya (non tol), ke sungai besar, ke sungai musiman, dan ke lahan terbangun. Data spasial yang digunakan antara lain seperti: peta jalan, peta kemiringan lereng, peta sungai, peta ketinggian, dan peta lahan terbangun, dari peta tersebut dicari jarak antara faktor yang digunakan dengan sawah dengan menggunakan teknik euclidian distance. Setelah data didapat dari masing – masing faktor maka selanjutnya adalah menumpangtindihkan dengan perubahan penggunaan lahan sawah hasil interpretasi citra beberapa titik tahun yang sudah dipilih dengan menentukan 100 titik sampel secara acak sawah yang terkonversi dan sawah yang tidak mengalami konversi (exsisting). Setelah melakukan proses overlay, hal selanjutnya adalah mengekstrak data yang didapat dari proses overlay tersebut. Data yang didapat berupa data jarak antara titik sampel dengan faktor – faktor fisik yang diduga menjadi penyebab konversi lahan sawah dan kemudian dianalisis secara statistika. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode regresi logistik biner, karena variabel respon yang digunakan bersifat kategorik dan dikotomi ( Y=0 Jika tidak terjadi perubahan penggunaan lahan; Y=1 Jika terjadi perubahan penggunaan lahan). Regresi logistik biner menghasilkan struktur persamaan yang serupa dengan analisis regresi berganda dengan perbedaan pada variabel terikatnya yang merupakan variabel dummy (0 dan 1). Pendekatan model persamaan regresi logistik dapat menjelaskan hubungan antara X dan Y yang bersifat tidak linier, ketidaknormalan sebaran dari Y, keragaman respon yang tidak konstan dan tidak berbeda dengan pendekatan model regresi biasa. Model logit pada umumnya berdasarkan fungsi peluang logistik yang dapat dispesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009): exp(𝛼+𝛽𝑥1+...𝛽𝑥𝑛) P = 1+𝑒𝑥𝑝(𝛼+𝛽𝑥1+...𝛽𝑥𝑛) ……………………..………………………...……(1) Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor signifikan mempengaruhi alih fungsi lahan dapat di tranformasikan menjadi sebagai berikut: 𝑃
Ln(1−𝑃) = α + β1X1 + β2X2 + β3X3+ β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7........(2) Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3+ β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7..…. .(3) P/Y = Peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0) α = Intersep X1-Xn =Jarak ke jalan tol, Jarak ke jalan lainnya, Jarak ke sungai, Jarak ke sungai musiman, Lereng, Tinggi dan Jarak ke lahan terbangun. βi = Koefisien Regresi
11
Secara rinci mengenai metode pengolahan citra sampai intepretasi dapat dilihat dari bagan alir Gambar 2. Peta penggunaan lahan sawah 1983, 1996, 2000, 2005, 2010, dan 2015
Peta Jalan
Peta Sungai
Perubahan luas lahan sawah 1983, 1996, 2000, 2005, 2010, dan 2015
Peta Lahan Terbangun
Eucledian distance
Lereng
Ketinggian
Peta Jarak
Variabel Bebas
Regresi linier logistik
Variabel terikat
Persamaan regresi linier logistik
100 Random Sampling Point, binary 0 dan 1
Intepretasi
Gambar 2 Bagan alir pengolahan citra dan data
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Letak Geografis dan Batas Administrasi Wilayah penelitian mencakup hampir 3 Provinsi, yaitu Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 5º7' - 7°50' LS dan 104°48' 104°48 BT. Terdiri atas 20 Kabupaten/Kota seperti : (DKI Jakarta, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Cimahi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Tangerang, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bandung, dan Kota Tangerang Selatan).
12
Secara administrasi batas-batas wilayah penelitian adalah sebagai berikut : Bagian Utara : Laut Jawa Bagian Barat : Kabupaten Serang, Kabupaten Lebak, dan Kabupaten Sukabumi Bagian Selatan : Samudera Hindia Bagian Timur : Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut Kondisi Fisik Wilayah penelitian ini memiliki keanekaragaman topografi yang tinggi karena terbentang dari sisi utara sampai sisi selatan pulau Jawa. Kawasan Pantai Utara merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 - 10 m dpl, seperti DKI Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang. Di bagian tengah merupakan pegunungan dan lereng bukit yang landai dengan ketinggian 100 - 1.500 m dpl, yakni bagian dari rangkaian pegunungan yang membujur dari barat hingga timur Pulau Jawa seperti Bogor, dan di bagian paling selatan cenderung wilayah pegunungan curam dengan ketinggian lebih dari 1.500 m diatas permukaan laut seperti cianjur selatan. Iklim di wilayah penelitian adalah tropis, dengan suhu 9 °C di Puncak Gunung Pangrango dan 34 °C di Pantai Utara, curah hujan rata-rata 2.000 mm per tahun, namun di beberapa daerah pegunungan antara 3.000 sampai 5.000 mm per tahun. Secara administratif wilayah kajian meliputi wilayah ditiga provinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, terdiri dari 20 Kabupaten dan Kota, 283 Kecamatan , serta 2384 Desa. Mengenai jumlah kecamatan dan desa di masing – masing kabupaten disimpulkan pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah Kecamatan, Kelurahan, dan Desa di Lokasi Penelitian Kelurahan No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kabupaten/Kota
Kabupaten Tangerang Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan Kota Jakarta Barat Kota Jakarta Pusat Kota Jakarta Timur Kota Jakarta Utara Kota Jakarta Selatan Kabupaten Bandung Kota Bandung Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Cianjur Kabupaten Karawang Kabupaten Purwakarta Kabupaten Bekasi Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kabupaten Bogor Kota Bogor
Sumber: (BPS, 2015)
Desa
Kecamatan
36 13 7 8 8 10 6 10 31 30 16 32 30 17 23 12 11 3 40 6
Jumlah Jumlah
Persen
Jumlah
Persen
77 104 49 56 44 65 32 65 151 6 12 192 56 63 15 16 68
23.48 100 90.74 100 100 100 100 100 100 1.67 5.74 48.73 100 100 100 3.76 100
251 5 277 165 354 197 202 195 -
76.52 9.26 100 100 98.33 94.26 51.27 100 96.24 -
410 -
328 104 54 56 44 65 32 65 277 151 165 360 209 394 195 56 3 15 426 68
13
HASIL DAN PEMBAHASAN Penyusutan Luas Area Pertanian Sawah Permintaan terhadap lahan dari penggunaan lahan sawah ke non-pertanian meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Dari satu sisi, proses perubahan lahan sawah pada dasarnya memang dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari suatu proses transformasi dan perubahan kelas struktur sosial ekonomi di masyarakat yang tengah berkembang. Bentuk perubahan ini tidak terjadi di setiap lokasi secara seragam, karena setiap lahan memiliki tingkat kestrategisan, dan potensi yang berbeda. Seiring dengan perkembangan waktu, penggunaan lahan sawah di sebagian Kota atau Kabupaten mulai tergeser menjadi lahan terbangun seperti industri, perumahan, jalan, kawasan perdagangan, dan sarana publik lainnya. Konversi lahan dapat diakibatkan oleh meningkatnya pertumbuhan penduduk yang disertai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi yang semakin tinggi. Sebagian besar penelitian terkait perubahan penggunaan lahan sawah dilakukan pada daerah yang bersifat dinamis seperti daerah pinggiran kota. Hasil simulasi Verburg et al. (1999), dalam rentang tahun 1994 - 2010 terjadi penurunan luasan lahan sawah di wilayah pantai utara Jawa karena peningkatan konversi lahan sawah menjadi pemukiman, perkebunan, dan pertanian lahan kering. Rustiadi dan Panuju (2002) dalam kajiannya juga menyatakan bahwa sebagian besar perubahan penggunaan lahan di daerah pinggiran kota adalah menjadi lahan terbangun yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Ulasan penjelasan di atas sesuai dengan hasil analisis yang menjelaskan kondisi luas sawah dari aspek spasial yang berada di wilayah penelitian dan dapat dilihat pada Gambar 3. Tahun 1983 merupakan titik awal periode sebagai acuan penelitian, dengan luas sawah terbesar berada pada Kabupaten Karawang. Menurut Panuju (2013) Karawang memiliki lahan sawah yang sangat luas karena terletak di pantai utara pulau Jawa yang memiliki kondisi topografi yang datar dan semenjak zaman kolonial, sistem irigasi ditempat ini lebih maju dibandingkan dengan Kabupaten lain dan bersumber dari sungai Citarum. Sebagaimana dideskripsikan pada Gambar 3, terlihat jelas kondisi sebaran sawah di wilayah penelitian. Kenampakan sawah digambarkan dengan warna hijau dengan sebaran terluas berada di sisi utara Pulau Jawa. Dalam periode tahun 1983 hingga 2015 dapat dilihat bahwa luasan sawah semakin menurun dibuktikan dengan memudarnya warna hijau dan berganti dengan warna putih. Warna hijau yang berubah atau sawah yang mengalami penyusutan terdapat di beberapa tempat dan terletak di pinggiran kota atau disekitar pusat kota. Sawah yang terletak di kawasan metropolitan Jabodetabekpunjur - Bandung Raya mengalami penyusutan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah - wilayah lainnya.
2010
2005
Gambar 3 Peta Sebaran Sawah Tahun 1983, 1996, 2000, 2005, 2010, dan 2015
1996
1983
2015
2000
Sawah Waduk
Batas Administrasi
14
15
Tabel 2 Perubahan Luas Lahan Sawah di Kawasan Penelitian 1983 – 2015 (Ha) Kabupaten/Kota DKI Jakarta
1983 14.303,64
1996 11.744,82
2000 7.553,44
2005 4.988,91
2010 2.693,00
2015 2.691,06
Kota Bandung
3.914,57
3.371,32
2.820,35
2.597,89
2.309,00
2.127,36
Kota Bogor
3.097,15
2.122,66
1.658,59
1.496,79
953,00
869,22
723,09
532,62
408,24
381,75
314,00
316,20
Kota Tangerang Selatan
3.852,86
4.709,94
3.117,07
2.057,08
590,00
523,25
Kota Tangerang
5.612,01
5.762,02
3.916,80
3.262,03
2.172,00
2.101,81
Kota Bekasi
6.063,14
5.915,82
4.026,44
3.010,24
1.211,00
1.211,92
Kota Depok
5.192,15
5.630,41
3.005,15
2.735,34
480,00
368,64
Kab. Bogor
98.486,32
111.625,22
92.683,42
91.619,69
78.279,00
74.483,83
Kab. Tangerang
62.223,03
67.694,16
58.356,77
54.207,14
48.579,00
40.168,86
Kab. Bandung
51.381,44
72.290,63
65.369,56
63.866,89
60.231,00
48.948,06
Kab. Bandung Barat
38.086,37
49.432,63
43.643,10
43.496,72
41.673,00
34.777,33
Kota Cimahi
Kab.Bekasi
91.859,67
97.181,95
90.366,43
85.482,60
78.873,00
76.754,47
Kab Cianjur
109.595,23
112.899,03
97.383,70
97.090,79
89.889,00
85.148,54
Kab Karawang
135.275,22
140.783,87
132.452,46
126.639,22
117.671,00
117.191,33
Kab Purwakarta
31.020,93
32.725,69
30.986,54
30.451,86
26.531,00
24.713,72
660.686,81
724.422,79
637.748,07
613.384,94
552.448,00
512.395,60
Total Total Selisih
63.735,98
-86.674,72
-24363,13
-60936,94
-40052,40
Sumber : (Hasil Olah, 2016)
Tabel 2 menjelaskan pada tahap awal dalam selang waktu kurang lebih tiga belas tahun (1983 - 1996), penggunaan lahan sawah di wilayah penelitian mengalami perluasaan dan juga penyusutan. Wilayah yang mengalami perluasan seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Cianjur sedangkan wilayah yang mengalami penyusutan seperti Kota Bogor, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Cimahi, dan seluruh wilayah di DKI Jakarta. Pada periode ini wilayah yang mengalami penyusutan lahan sawah terbesar adalah Kota Bogor dengan 974,48 Ha. Periode tahun 1996 sampai 2000 penggunaan lahan sawah di seluruh wilayah mengalami penyusutan, penyusutan lahan sawah tertinggi seluas 18.941,80 Ha di Kabupaten Bogor, sedangkan periode tahun 2000 sampai 2005, Kabupaten Karawang mengalami penyusutan tertinggi dengan luas penyusutan sebesar 5.813,23 Ha. Periode berikutnya yaitu tahun 2005 sampai 2010 penyusutan lahan yang paling tinggi adalah Kabupaten Bogor dengan luas penyusutan lahan sawah sebesar 13.340.69 Ha, dan pada periode terakhir 2010 sampai 2015 Kabupaten Bandung memiliki penyusutan lahan sawah tertinggi dengan luas 11.282,94 Ha. Periode tahun 1996 – 2000 merupakan periode tahun yang mengalami total penyusutan terbesar diantara periode - periode lainnya dengan 86.674,72 Ha, sedangkan untuk periode dengan penyusutan lahan terendah adalah periode awal yaitu 1983 – 1996 dengan penambahan lahan sawah sekitar 63.735,98 Ha. Kondisi ini memang terjadi karena kebijakan pemerintah saat itu dengan dikeluarkannya Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita). Periode tahun 1983 – 1996 memiliki total penyusutan terendah karena pemerintah pada era orde baru mengeluarkan Pelita IV yang menitikberatkan pada sektor pertanian, sebaliknya pada tahun 1996 - 2000 pemerintah saat itu mengeluarkan pelita VI yang
16
menitikberatkan pada sektor ekspor - impor dengan membangun berbagai macam industri dibanyak tempat dan membuat konversi lahan khususnya lahan sawah semakin meningkat.
I
III
II
Gambar 4 Grafik luasan lahan sawah 1983 - 2015 Sebagaimana dideskripsikan pada Gambar 4, Kabupaten Karawang mengalami penyusutan luasan sawah yang cenderung stabil dan tetap memiliki luasan sawah tersisa ditahun 2015 yang jauh lebih tinggi dibanding Kabupaten atau Kota lainnya, kemudian Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi. Kabupaten Bogor mengalami dua kali fase konversi lahan sawah yang signifikan yaitu pada periode tahun 1996 - 2000 dan 2005 - 2010. Wilayah Kabupaten dan kota lainnya mengalami penurunan namun tidak terlalu signifikan. Tabel 3 Rata - Rata Laju Konversi Lahan Sawah di Kawasan Penelitian (%/tahun) Kabupaten/Kota
1983-1996
1996-2000
2000-2005
2005-2010
2010-2015
DKI Jakarta
-1,50
-10,44
-7,96
-11,60
-0,01
-5,08
Kota Bandung
-1,14
-4,36
-1,63
-2,33
-1,62
-1,88
Kota Bogor
-2,86
-5,98
-2,03
-8,63
-1,82
-3,89
Kota Cimahi
-2,32
-6,43
-1,33
-3,83
-0,14
-2,55
Kota Tangerang Selatan
1,55
-9,80
-7,97
-22,10
-2,37
-6,04
Kota Tangerang
0,20
-9,19
-3,59
-7,81
-0,65
-3,02
Kota Bekasi
-0,18
-9,17
-5,65
-16,64
-0,01
-4,90
Kota Depok
0,62
-14,52
-1,86
-29,39
-5,14
-7,93
Kab. Bogor
0,96
-4,54
-0,23
-3,09
-0,98
-0,86
Kab. Tangerang
0,65
-3,64
-1,46
-2,16
-3,73
-1,35
Kab. Bandung
2,66
-2,48
-0,46
-1,16
-4,06
-0,15
Kab. Bandung Barat
2,02
-3,06
-0,06
-0,85
-3,55
-0,28
Kab.Bekasi
0,43
-1,80
-1,10
-1,59
-0,54
-0,56
Kab Cianjur
0,22
-3,62
-0,06
-1,53
-1,07
-0,78
Kab Karawang
0,30
-1,51
-0,89
-1,45
-0,08
-0,44
Kab Purwakarta Total
0,41
-1,35
-0,34
-2,71
-1,40
-0,70
0.711
-3.136
-0.776
-2.071
-1.494
-0.791
Sumber : (Hasil Olah, 2016)
1983-2015
17
Tabel 3 menjelaskan laju konversi lahan sawah di koridor metropolitan Jabodetabekpunjur - Bandung Raya, tabel tersebut terdapat angka plus (+) dan angka minus (-). Tanda plus (+) menunjukkan bahwa suatu wilayah tersebut cenderung mengalami laju peningkatan luasan sawah, sebaliknya tanda minus menunjukkan bahwa suatu wilayah tersebut mengalami laju konversi lahan sawah. Laju konversi lahan sawah pada periode pertama yakni 1983 - 1996 menunjukkan tidak semua wilayah mengalami konversi karena pada periode ini terdapat beberapa wilayah yang justru mengalami peningkatan luasan sawah. Wilayah yang mengalami laju konversi terbesar pada periode tersebut adalah Kota Bogor dengan 2,864 %. Periode tahun selanjutnya 1996 - 2000 dengan laju konversi tertinggi di wilayah Kota Depok sebesar 14,526 %, periode berikutnya wilayah yang mengalami laju konversi tertinggi terdapat di kota Tangerang Selatan sebesar 7,976 %. Periode tahun 2005 - 2010 dan 2010 - 2015, Kota Depok mengalami laju konversi tertinggi dengan 29,393 % dan 5,142 %. Kota Depok dan Kota Tangerang Selatan memiliki rata - rata laju konversi besar karena dua wilayah ini berbatasan langsung dengan pusat metropolitan Jabodetabekpunjur yaitu Provinsi DKI Jakarta. Periode tahun 1983 - 1996 terdapat beberapa wilayah yang mengalami kenaikan dan beberapa wilayah mengalami penyusutan lahan sawah, ini terjadi karena kebijakan pemerintah saat itu yaitu dikeluarkannya Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) tepatnya Repelita IV (1 April 1984 - 31 Maret 1989) yang menitik beratkan pada sektor pertanian untuk mencapai swasembada pangan dan membangun industri di beberapa tempat. Wilayah yang mengalami kenaikan cenderung di wilayah kabupaten, sedangkan wilayah kota cenderung mengalami penyusutan lahan sawah. Tahun 1996 hingga 2015 seluruh wilayah kota maupun kabupaten mengalami penyusutan. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Alih Fungsi Lahan Sawah Berdasarkan hasil analisis regresi linier logistik diperoleh jenis perubahan penggunaan lahan sawah. Beberapa faktor yang dipilih dan berperan nyata mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sawah ke penggunaan lahan lainnya untuk diuji pada tingkat kepercayan 90% antara lain: jarak ke jalan tol, jalan lokal, jarak sungai, jarak sungai musiman, lahan terbangun, lereng dan ketinggian. Tabel 4 Hasil Analisis Regresi Linier Logistik Source
1983-1996 Coefi
1996-2005
p- value
Coef
2005-2015
p- value
Coef
p- value
Jarak ke jalan tol
-0.000162
0.003
-0.000192
0.000
-0.000112
0.028
Jarak ke jalan lainnya
-0.001108
0.081
-0.001750
0.012
-0.001495
0.028
Jarak ke sungai besar
0.001498
0.004
0.001015
0.029
0.000953
0.062
Jarak ke sungai musiman
0.000012
0.803
0.000076
0.128
-0.000013
0.751
Jarak ke lahan terbangun
-0.000082
0.040
-0.000289
0.000
-0.000183
0.015
Lereng
0.005220
0.000
-0.000479
0.537
-0.021400
0.000
Ketinggian
0.000009
0.931
-0.000193
0.158
0.000042
0.701
Sumber : (Hasil Olah, 2016)
Berdasarkan analisis regresi linier logistik pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa faktor yang memiliki nilai p < 0,1 yaitu jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lainnya, jarak ke sungai besar, lereng, dan jarak ke lahan terbangun. Hal ini menunjukkan
18
bahwa lima faktor tersebut merupakan faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi penyusutan lahan sawah pada periode tahun 1983 hingga 1996. Sedangkan pada periode tahun 1996 - 2005 faktor yang paling dominan yaitu jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lainnya, jarak ke sungai besar, dan jarak ke lahan terbangun. Periode selanjutnya tahun 2005 - 2015 faktor yang berpengaruh yaitu jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lainnya, jarak ke sungai besar, lereng, dan jarak ke lahan terbangun. Harinowo (2004) menjelaskan pada periode 1983 - 1996 Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi dan berkembang pesat sampai tahun 1997 karena Indonesia menerapkan kebijakan yang mengutamakan industri sebagai sektor utama dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah saat itu yakni Repelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999). Menurut Tambunan (2006) untuk mendukung pembangunan industri nasional, pemerintah menganut dua strategi industrialisasi yang berbeda yang dijalankan secara berturut-turut, yakni diawali dengan substitusi impor dengan penekanan pada industri-industri padat karya seperti tekstil dan industri lainnya, kemudian pada awal tahun 1990-an bergeser secara bertahap ke sektor ekspor. Kedua strategi ini, didukung dengan pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah khususnya di pusat kota seperti pembangunan jalan, pelabuhan dan pabrik yang mendorong banyak orang dan investor. Kondisi yang demikian menjadi faktor pendorong terjadinya konversi lahan sawah terhadap penggunaan lain. Sedangkan pada periode tahun 1996 - 2005 faktor yang paling dominan yaitu jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lokal, jarak ke sungai besar, dan jarak ke lahan terbangun. Pertengahan 1997 hingga sepanjang tahun 1998, berbagai kegiatan ekonomi di seluruh Indonesia, khususnya di sektor formal, praktis menurun drastis akibat krisis ekonomi dunia. Konsukuensinya, banyak perusahaan, terutama skala besar termasuk sejumlah konglomerat yang selama era Orde Baru sangat tergantung pada impor bahan baku dan atau barang setengah jadi, terpaksa mengurangi atau bahkan menghentikan sama sekali kegiatan produksi. Menurut Tambunan (2006) pada tahun 1999 ekonomi Indonesia sudah mulai pulih dengan mencapai suatu kemajuan dari stabilitas ekonomi makro ditandai dengan investor-investor yang mulai bermunculan diberbagai kota, seperti Bandung dan Jakarta. Pemerintah kembali meningkatkan infrastruktur penunjang seperti jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, gas, bandara, dan pelabuhan. Menurut BPS (2012) Jalan di Jakarta mencapai 6,2% dari luas wilayahnya. Selain jalan protokol, jalan ekonomi, dan jalan lingkungan, Jakarta juga didukung oleh jaringan Jalan Tol Lingkar Dalam, Jalan Tol Lingkar Luar, Jalan Tol Jagorawi, dan Jalan Tol Ulujami - Serpong. Pemerintah berencana akan membangun Tol Lingkar Luar tahap kedua yang mengelilingi kota Jakarta dari Bandara Soekarno Hatta - Tangerang - Serpong - Cinere - Cimanggis - Cibitung - Tanjung Priok dengan tujuan untuk mengembangkan Jakarta kesegala arah dengan Monumen Nasional (Monas) sebagai titik pusat. Pada Wilayah Metropolitan Bandung, Kota Bandung adalah pusat wilayah dengan beberapa kota di sekelilingnya yang berfungsi sebagai pendukung pertumbuhan dan perkembangan dari kota pusat sehingga dapat membantu daya dukung kota pusat itu sendiri. Pemerintah menetapkan Kota Cimahi sebagai kota otonom pada tahun 2002 dan disusul dengan pemekaran Kabupaten Bandung Barat sebagai kabupaten baru pada tahun 2003. Berdasarkan hal itu, tentu akan tercipta
19
interaksi fungsional dan spasial antara pusat dan kota-kota di sekelilingnya. Hal tersebut membuat beberapa aktivitas seperti perumahan, dan industri semakin meningkat pada periode tersebut (BPS, 2012 ). Untuk ketersediaan jaringan jalan, panjang jaringan jalan yang tersedia di Kota Bandung sekitar 1.221 Km (BPS, 2012) dan luas permukaan jalan di Kota Bandung hanya sekitar 3,8% dari total keseluruhan luas Kota Bandung yang seharusnya mampu mencapai 20% dari total keseluruhan luas kota Bandung. Periode selanjutnya tahun 2005 - 2015 faktor yang berpengaruh yaitu jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lokal, lereng, dan jarak ke lahan terbangun. Pada periode ini terjadi perkembangan pesat di wilayah metropolitan Bandung, ditandai dengan pertumbuhan sentra – sentra industri dan bisnis yang menyebar diseluruh wilayah Kota Bandung secara simultan dan kontinu. Menurut Fadhilah (2013) Salah satu wilayah yang berkembang pesat adalah wilayah Bandung bagian selatan yaitu wilayah Tegallega Kecamatan Astanaanyar. Tegallega pada awalnya merupakan kawasan pertanian, namun semenjak munculnya industri – industri besar maupun kecil diwilayah ini kemudian membuat perubahan yang signifikan. Perubahan ditandai dengan bertambahnya komplek perumahan dan pertokoan serta penambahan infrastruktur jalan. Investasi di Provinsi DKI Jakarta semakin membaik di tahun 2015 setelah pemerintahan memaparkan kebijakan daerah dan mendorong kembali bidang infrastruktur. Investasi bidang infrastruktur seperti proyek pembangunan MRT Jakarta - Bandung, kereta bandara Soekarno - Hatta dan Halim Perdana Kusumah, perluasan pelabuhan dan jalan layang di Tanjung Priok, serta proyek lain merupakan infrastruktur berskala besar yang mulai direalisasikan (Analisa Pembangunan Daerah 2014). Kebijakan tersebut mendorong permintaan lahan yang tinggi, dan pihak yang dirugikan adalah lahan pertanian khususnya lahan sawah.
Unit
Gambar 5 Grafik Probabilitas Konversi Lahan Periode Tahun 1983 - 1996
Unit
Gambar 6 Grafik Probabilitas Konversi Lahan Periode Tahun 1996 - 2005
20
Unit
Gambar 7 Grafik Probabilitas Konversi Lahan Periode Tahun 2005 - 2015 Beberapa faktor tentu berpengaruh terhadap penyusutan lahan sawah, akan tetapi ada empat faktor yang konsisten memiliki pengaruh pada semua periode, faktor tersebut adalah jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lainnya, jarak ke sungai besar, dan jarak ke lahan terbangun. Lahan terbangun memang memiliki hubungan yang bertolak belakang dengan adanya lahan sawah sehingga apabila lahan terbangun mengalami peningkatan, lahan sawah di daerah - daerah tertentu banyak mengalami penyusutan, terutama daerah yang berinteraksi dengan kota-kota besar. Seperti daerah di sekitar kota-kota metropolitan seperti Jabodetabek, Jababeka, Bandung Raya, dan kota lainnya. Periode tahun 1983 - 1996, variabel - variabel memiliki nilai koefisien negatif adalah jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lainnya, dan jarak ke lahan terbangun, sedangkan variabel dengan koefisien positif adalah jarak ke sungai besar dan lereng. Periode tahun berikutnya yakni 1996 - 2005 memiliki koefisien variabel yang bernilai negatif adalah jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lokal, dan jarak ke lahan terbangun, sebaliknya variabel yang bernilai positif adalah jarak ke sungai besar. Periode tahun 2005 hingga 2015 memiliki variabel - variabel koefisien negatif seperti jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lainnya, lereng, dan jarak ke lahan terbangun sedangkan koefisien variabel positif seperti jarak ke sungai besar. Sebagaimana dideskripsikan pada gambar 5, 6, dan 7, nilai positif dan negatif menunjukkan arah pengaruh faktor - faktor dominan terhadap konversi lahan sawah. Jika nilai koefisien negatif berarti semakin dekat jarak sawah terhadap faktor maka akan semakin tinggi probabilitas sawah tersebut terkonversi, sebaliknya jika koefisien faktor bernilai positif menunjukkan bahwa semakin dekat jarak sawah terhadap faktor maka probabilitas sawah semakin terkonversi semakin rendah. Selain itu terdapat satu faktor yang mengalami perubahan nilai koefisien dari positif ke negatif yaitu lereng. Pada periode awal, lereng memiliki nilai koefisien positif dikarenakan pada periode 1983 - 1996 diketahui bahwa konversi lahan sawah banyak terjadi pada lereng yang cenderung curam. Sebaliknya, pada periode akhir yaitu 2005 hingga 2015 lereng memiliki nilai koefisien negatif, karena pada periode ini banyak lahan sawah terkonversi pada lereng yang cenderung landai. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Helmer (2004) yang berkaitan dengan aksesibilitas. Jarak yang dekat dengan perkotaan dan sarana prasarana seringkali menjadi faktor pemicu terjadinya konversi lahan, terlebih lagi pada kawasan hutan dan sawah dekat dengan perkotaan. Terkait dengan dengan efek jarak ini, penelitian yang dilakukan oleh Ruswandi et al. (2007) menyimpulkan bahwa semakin bergesernya aktifitas pertanian menjauhi pasar maka biaya transportasi akan meningkat sehingga menurunkan efisiensi usahatani. Akibatnya,
21
lahan-lahan pertanian memiliki nilai land rent rendah dan cenderung untuk dikonversikan untuk penggunaan pemukiman.
Simpulan Berdasarkan hasil analisis data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh beberapa simpulan penting yaitu: 1. Periode dengan tingkat penyusutan terendah atau mengalami penambahan luasan sawah terjadi pada tahun 1983 – 1996 (63.735,98 Ha). Sedangkan Periode dengan tingkat penyusutan lahan sawah tertinggi terjadi pada tahun 1996 – 2000 (86.674,72 Ha). 2. Dalam periode 1983 – 2015, wilayah yang mengalami konversi lahan sawah terbesar adalah Kabupaten Bogor. Kabupaten Tangerang adalah wilayah kabupaten dengan rata – rata laju konversi lahan sawah tercepat dengan (1,35 %), sedangkan wilayah kota yang mengalami rata - rata laju konversi lahan sawah tercepat adalah wilayah Kota Depok (7,93 %) dan Kota Tangerang Selatan (6,04%). 3. Jarak ke jalan tol, jarak ke jalan lainnya, jarak ke sungai besar, dan jarak ke lahan terbangun merupakan empat faktor yang memiliki pengaruh konsisten terhadap konversi lahan sawah di semua periode tahun. Semakin dekat jarak sawah dengan jalan tol, jalan lainnya, lahan terbangun, serta semakin jauh jarak sawah terhadap sungai besar maka konversi lahan sawah akan semakin tinggi.
Saran Pengembangan infrastruktur seperti jalan tol, jalan raya, kawasan industri, serta kawasan permukiman hendaknya diarahkan berjauhan dengan area persawahan sedangkan area persawahan yang dekat dengan infrastruktur tersebut perlu pengawasan yang lebih intensif. Selain itu perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait penyusutan lahan sawah dengan menganalisa faktor – faktor lain seperti faktor ekonomi, faktor sosial atau faktor kebijakan yang dapat memiliki pengaruh lebih besar terhadap penyusutan lahan sawah.
22
DAFTAR PUSTAKA [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2012. BPS dalam Angka 2012. Jakarta (ID) :Badan Pusat Statistik. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2014. Analisa Pembangunan Daerah: Perkembangan Provinsi DKI Jakarta 2014. Jakarta (ID) :Badan Pusat Statistik. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2015. Perkembangan Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia 2015. Jakarta (ID) :Badan Pusat Statistik. [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Tanaman Pangan 2014. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [BPN]. Badan Pertanahan Nasional. 2007. ATLAS Neraca Penatagunaan Tanah Nasional. Jakarta (ID) : Badan Pertanahan Nasional. Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr Barus B, Panuju DR, Iman LS, Trisasongko BH, Gandasasmita K, dan Kusumo R. 2010. Pemetaan Potensi Konversi Lahan Sawah dalam Kaitan Lahan Pertanian Berkelanjutan dengan Analisis Spasial. Prosiding, Seminar dan Kongres Nasional X HITI : Tanah untuk Kehidupan yang Berkualitas. 2011 Desember 611; Surakarta (ID) : Universitas Sebelas Maret. hlm 554-561. Deng J. S, K. Wang, Y.ong, and J. G. Qi. 2009. SpatioTemporal Dynamics and Evolution of Land Use Change and Landscape Pattern in Response to Rapid Urbanization. Lansdcape and Urban Planning. 92, Pp. 187-198. Fadhilah A. 2014. Pemanfaatan Citra Quickbird Untuk Evaluasi Kesesuaian Antara Lokasi Industri dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Tegallega. [Skripsi]. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Empersi. 2009. Kajian spasial konversi lahan sawah di Kabupaten Bekasi, Propinsi Jawa Barat. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo. Hardjowigeno S dan Luthfi M. 2005. Tanah Sawah. Malang (ID): Bayumedia Publishing. Harinowo C. 2004. “Penanganan Krisis Indonesia Pasca IMF”. Jakarta (ID). PT.Gramedia Pustaka Utama. Helmer EH. 2004. Forest Conservation and Land Development in Puerto Rico.Kluwer Academic Publishers. Landscape Ecology 19, Pp. 29-40. Irawan B. 2008. Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan. Bandar Lampung. Badan Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Jokar Arsanjani J, Helbich M, Kainz W, and Bloorani A D 2013 Integration of logistic regression, Markov chain and cellular automata models to simulate urban expansion. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation 21: 265–75. Kitamura T. and E. Rustiadi. 1997. Indonesian Model. Centre for Global Enviromental Research. ISSN 1341-4356. CGER-1027-1997. Kumar C, Locatelli B, Carla P. Catterall, and Imbach P. 2014. Tropical reforestation and climate change: beyond carbon. The Journal of Society for Ecological Restoration. 10.1111/rec.12209. Mussa L, Mukhlis, dan Rauf A. 2006. Dasar Ilmu Tanah. FP USU. Medan. Nachrowi ND, dan U. Hardius. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrika. Rajawali Pers, Jakarta.
23
Nasoetion LB. dan J. Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Prosiding Lokakarya Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air : 64-82. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Foundation. Nurwadjedi. 2011. Indeks Keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang: studi kasus di Pulau Jawa. [Disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Panuju DR. 2000. Analisis Konversi Lahan Berdasarkan Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pangan. Laporan Akhir Penelitian, Dibiayai oleh Dana Rutin Institut Pertanian Bogor Anggaran Tahun 1999 / 2000. IPB. Panuju DR, K Mizuno, dan BH Trisasongko. 2013. The dynamics of rice production in Indonesia 1961-2009. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences. 12 (2013): 27-3 Pasandaran, dan Effendi. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25(4). Prahasta E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. CV Informatika. Bandung. Puslitbangtanak. 2003. Pengembangan Lahan Sawah Mendukung Pengembangan Agribisnis Berbasis Tanaman Pangan. Bogor (ID) : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Rustiadi E. 1999. Dimensi Spasial dalam Pembangunan Wilayah. Jurnal Kuliah Kapita Selekta Mahasiswa Program Studi IPSL, Jurusan Tanah, IPB, 9 Oktober 1999. Rustiadi E. 2001. Alih Fungsi Lahan Dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan. Makalah. Disampaikan Pada Lokakarya penyusunan kebijakan dan Strategi pengelolaan lingkungan kawasan Perdesaan di Cibogo Bogor 10 – 11 Mei 2001. Rustiadi E, dan Panuju D. R. 2002. “Spatial Pattern of Suburbanization and Land Use Change Process: Case Study in Jakarta Suburb” in Land Use Changes in Comparative Perspective edited by Himiyama et.al. USA: Science Publisher Inc. Rustiadi E, dan R. Wafda . 2008. Urgensi Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi dalam Prespektif Ketahanan Pangan. Crestpent Press dan Yayasan Obor. Jakarta. Rustiadi E, dan Barus B. 2012. Riset berbasis data satelit penginderaan jauh untuk mendukung ketahanan pangan di Indonesia. Makalah pada Pertemuan Pemangku Kepentingan dalam Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pertanian dan Ketahanan Pangan di Indonesia. Bogor (ID). Juni 04, 2012. Rustiadi E, Iman LOS, Lufitayanti T, and Pravitasari AE. 2013. LUCC Inconsistency Analysis to Spatial Plan and Land Capability (Case Study: Jabodetabek Region). SLUAS Science Report. V.25/No.3: 123-127. Ruswandi A, E. Rustiadi, dan K. Mudikdjo. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Bandung Utara. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 9(2), Pp. 63-70. Saefulhakim RS, dan IN. Lutfi. 1995. Kebijaksanaan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi Teknis. Makalah Seminar Pengembangan Sumber Daya Lahan. PPT dan Agroklimat, Bogor. 26-27 September 1995. Setiawan Y, Fatikhunnada A, Liyantono, Rizky M, dan Tajul M. 2015. Pola Perubahan Lahan Pertanian dan Badan Air Menjadi Lahan Sawah
24
Di Bandung Jawa Barat. Prosiding Seminar Informatika pertanian 2015 : Information Technology for Sustainable Agroindustry. 2015 November 12-13; Jatinangor (ID) : Universitas Padjadjaran. hlm 3B-145. Sitorus SRP, R. Putri, DR. Panuju. 2009. Analisis Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 11(2):41- 48. Tambunan T. 2006. Development of Small & Medium Enterprises in Indonesia from the Asia Pacific Perspective, Jakarta: LPFE-Usakti. Trisasongko BH , DR. Panuju, LS. Iman, Harimurti, AF. Ramly, V. Anjani dan H. Subroto.2009. Analisis Dinamika Konversi Lahan di Sekitar Jalur Tol Cikampek. Publikasi Teknis DATIN. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Verburg PH.1999. Land use change under conditions of high population pressure: the case of Java. Global environmental change:Pergamon.Wageningen. Winoto J , NA. Achsani, B. Barus, DR. Panuju, F. Tonny dan MN. Aidi. 1996. Konversi Lahan dan Dampaknya Terhadap Keberlansungan Sistem Pertanian di Pantai Utara Jawa Barat. Laporan Penelitian Kerjasama LP-IPB dan ARMP, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
25
LAMPIRAN TAHUN 1983 - 1996 Deviance Table
Coefficients Term Constant JALAN_TOL JALAN_LAINNYA SNG_BESAR SNG_MSIMAN LERENG TINGGI LAHAN_TERBANGUN
Coef 0.379 -0.000162 -0.001108 0.001498 0.000012 0.00522 0.000009 -0.000082
SE Coef 0.370 0.000061 0.000649 0.000551 0.000048 0.00115 0.000107 0.000042
VIF 1.27 1.38 1.14 3.87 1.39 3.57 1.29
Regression Equation P(1) = exp(Y')/(1 + exp(Y')) Y' = 0.379 0.000162 JALAN_TOL 0.001108 JALAN_LAINNYA + 0.001498 SNG_BESAR + 0.000012 SNG_MSIMAN + 0.00522 LERENG + 0.000009 TINGGI - 0.000082 LAHAN_TERBANGUN
Goodness-of-Fit Tests Test Deviance Pearson Hosmer-Lemeshow
DF 192 192 8
Chi-Square 204.39 373.14 15.82
P-Value 0.257 0.000 0.045
26
TAHUN 1996 – 2005 Deviance Table
Coefficients Term Constant JALAN_TOL JALAN_LAINNYA SNG_BESAR SNG_MSIMAN LERENG TINGGI LAHAN_TERBANGUN
Coef 1.504 -0.000189 -0.001885 0.000969 0.000075 -0.000464 -0.000191 -0.000281
SE Coef 0.356 0.000056 0.000757 0.000487 0.000052 0.000781 0.000146 0.000099
VIF 1.15 1.07 1.22 3.09 1.11 2.85 1.17
Regression Equation P(1)
= exp(Y')/(1 + exp(Y'))
Y' = 1.504 - 0.000189 JALAN_TOL - 0.001885 JALAN_LAINNYA + 0.000969 SNG_BESAR + 0.000075 SNG_MSIMAN - 0.000464 LERENG - 0.000191 TINGGI - 0.000281 LAHAN_TERBANGUN
Goodness-of-Fit Tests Test Deviance Pearson Hosmer-Lemeshow
DF 191 191 8
Chi-Square 206.51 187.56 5.87
P-Value 0.210 0.557 0.661
27
TAHUN 2005-2015 Deviance Table
Coefficients Term Constant JALAN_TOL JALAN_LAINNYA SNG_BESAR SNG_MSIMAN LERENG TINGGI LAHAN_TERBANGUN
Coef 1.448 -0.000112 -0.001495 -0.000953 -0.000013 -0.0214 0.000042 -0.000183
SE Coef 0.327 0.000052 0.000688 0.000558 0.000042 0.0109 0.000108 0.000086
VIF 1.27 1.07 1.04 3.50 1.03 3.65 1.10
Regression Equation P(1)
= exp(Y')/(1 + exp(Y'))
Y' = 1.448 - 0.000112 JALAN_TOL - 0.001495 JALAN_LAINNYA - 0.000953 SNG_BESAR + 0.000013 SNG_MSIMAN - 0.0214 LERENG + 0.000042 TINGGI - 0.000183 LAHAN_TERBANGUN
Goodness-of-Fit Tests Test Deviance Pearson Hosmer-Lemeshow
DF 192 192 8
Chi-Square 218.02 216.01 11.75
P-Value 0.096 0.113 0.163
28
DAFTAR JALAN TOL JABODETABEKPUNJUR-BANDUNG RAYA No
Ruas Jalan Tol
1 Jakarta-Bogor-Ciawi 2 Prof.Dr.Sedyatmo 3 Jakarta-Tangerang 4 Jakarta-Cikampek 5 Tangerang-Merak 6 Cawang-Pluit 7 Ir.Wiyoto Wiyono 8 Padalarang-Cileunyi 9 Lingkar Luar Jakarta 10 Lingkar Luar Jakarta S 11 Palimanan-Kanci 12 Pluit-Ancol-jembatan 13 Bekasi-Cawang-Melayu 14 Serpong-Pondok Aren 15 Ululjami-Pondok Aren 16 Cikampek-Purwakarta-Padalarang 17 Lingkar Luar Jakarta E1 18 Lingkar Luar Jakarta E3 19 Lingkar Luar Jakarta E4 20 Lingkar Luar Bogor 21 Lingkar Luar Jakarta W1 22 Tanjung Priok 23 Cinere – Jagorawi 24 Bogor-Ciawi-Sukabumi 25 Kembangan-Ululjami 26 Depok-Antasari 27 Serpong-Balaraj 28 Jalan Tol Layang Dalam JKT 29 Kunciran-Serpong *Kementerian Pekerjaan Umum
Panjang (Km)
Singkatan
Daerah
Tahun
Jagorawi
JKT-Jabar
46
1978
Sedyatmo
JKT- BNT
25
1981
Janger
JKT-BNT
26
1984
Jak-Pek
JKT-Jabar
73
1985
Tang-Mer
BNT
72
1985
JIUTR
JKT
21
1987
Wiyoto
JKT
15
1988
Padaleunyi
Jabar
33
1989
JORR
JKT
64
1989
JORR S
JKT
12
1993
Palikanci
Jabar
26
1995
PAJ
JKT
11
1995
Becakayu
JKT
21
1996
Ser-Pon
JKT-BNT
7
1997
ulul-Pon
JKT-BNT
5
1998
Cipularang
JBR
52
2003
JORR E1
JBR
4
2005
JORR E3
JBR
4
2006
JORR E4
JBR
3
2007
BORR
JBR
11
2009
JORR W1
JKT
8
2009
Tnj.Priok
JKT
16
2010
Cijago
JBR
3
2011
Bocimi
JBR
53
2011
JORR W2N
JKT
7
2013
Desari
JKT-Jabar
12
2014
Serpong
BNT
31
2014
JDKJ
JKT
69
2015
Kunser
JKT-BNT
11
2015
29
DAFTAR SUNGAI JABODETABEKPUNJUR – BANDUNG RAYA No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 34 35 36 37 38 39 40
Nama Sungai Ci Liwung Ci Pinang Kali Angke Kali Grogol Kali Krukut Kali Malang Kali Mokervart Kali Pesangrahan Kali Semanan Kali Sunter Aluran Tengah Udang Ci Beet Ci Binong Ci Bulan CI Danau Ci Durian CI Hideung Ci Karang Ci Katomas CI Kapundung Ci Kubang Ci Langkub CI Losari Ci Mandiri Ci Mantiung Ci manuk Ci Ojar Ci Pada Ci Paku CI Picung Ci Rawa Ci Sadane Ci Sanggarung Ci Sarua Ci Tandui Ci Tarum Ci Ujung
Lokasi JBR-JKT-BNT JKT JKT JKT JKT JKT JKT JKT JKT JKT JKT JKT JKT JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR JBR - BNT JBR - BNT JBR - BNT JBR - BNT JBR JBR JBR JBR JBR JBR - BNT JBR-BNT JBR JBR JBR-BNT JBR-BNT
No 41 42 43 44 45 46 47
Nama Sungai Ci Herang CI Leuleuy Ci Liman Ci Bungur Ci Baliung CI Sawarna Ci Banten
Lokasi JBR JBR BNT BNT BNT BNT BNT
*Kementerian Pekerjaan Umum
30
31
32
33
34
35
36
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Madiun pada tanggal 01 Februari 1994 sebagai putra pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Sukarman dan Ibu Sukarni. Pada tahun 2000 penulis memulai studinya di TK ( Taman Kanak-Kanak) Sumbersari dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SDN ( Sekolah Dasar Negeri) Sambirejo dan lulus tahun 2007. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMPN (Sekolah Menengah Pertama negeri) 04 Saradan dan lulus pada tahun 2009. Kemudian penulis bersekolah di SMAN (Sekolah Menengah Atas Negeri) 02 Mejayan dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Setelah setahun belajar di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) . pada tahun 2013 penulis memasuki Mayor Managemen Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian. Selama kuliah penulis aktif pada lembaga kemahasiswaan kampus. Tercatat penulis pernah ikut serta menjadi panitia di beberapa program departemen maupun fakultas, seperti Seminar Nasional Ilmu Tanah 2014 dan 2015, Cross Country 2015, IPB Goes To Field 2013, UPSUS PAJALE. Penulis juga pernah diberi tanggung jawab sebagai asisten praktikum untuk mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Pengantar Ilmu Tanah, serta Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan.