ANALISIS SEMIOTIKA FOTO DALAM BUKU JUVENILE EVOLVERE KARYA SAFIR MAKKI SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh :
Agus Salim Pribadi Harahap NIM: 1111051000032
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2016 M
v
ABSTRAK Agus Salim Pribadi Harahap, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, 1111051000032, Analisis Semiotika Foto Dalam Buku Juvenile Evolvere Karya Safir Makki, Di Bawah Bimbingan DR. Rulli Nasrullah, M.Si. Kehadiran fotografi tidak sekadar menjadi media yang dapat merekam gambar, melainkan memiliki fungsi dalam menyampaikan pesan berbentuk komunikasi visual. Juvenile Evolvere hadir sebagai tajuk dari sebuah buku yang menggunakan komunikasi visual dalam bentuk foto dokumenter. Terlahir dari sebuah ide seorang foto jurnalis asal Indonesia, yaitu Safir Makki, buku ini bercerita tentang revolusi kaum muda Iran pasca revolusi pada tahun 1979. Di tengah gempuran embargo yang dilakukan oleh Amerika Serikat, dan kecenderungan pers barat dalam memberitakan Iran, membuat citra Iran seolah menjadi negara yang tertutup dan jauh dari publisitas yang positif. Rangkaian foto dalam buku ini menjadi refleksi, bahwa apa yang terjadi sesungguhnya di Iran, tidak ditemukan Safir saat berada di negeri para mullah itu, kesan yang berbeda 180 derajat, justru didapat safir ketika menjepret foto demi foto yang dibuatnya. Dari latar belakang yang telah dijelaskan secara singkat di atas, maka timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut. Apa makna denotasi, apa makna konotasi dan apa makna mitos yang terdapat dari beberapa rangkaian foto di dalam buku Juvenile Evolvere karya Safir Makki ini? Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah konsep semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes. Metode analisis ini menekankan pada pemaknaan tanda-tanda yang timbul dari suatu karya (dalam hal ini karya fotografi), dengan tiga tahap, yaitu tahap denotasi, konotasi, dan mitos yang dimaknai sendiri oleh peneliti dengan latar belakang sesuai kemampuan. Rangkaian foto yang terdapat dalam buku Juvenile Evolvere, berjumlah 47 foto, namun peneliti hanya menganalisis 4 foto sebagai subjek yang dirasa mampu mewakilkan keseluruhan foto. Dari data yang dikaji lewat semiotik foto Roland Barthes, didapat beberapa data dan temuan yakni: makna denotasi yang memberikan gambaran kepada masyarakat luas tentang keadaan revolusi kaum muda Iran. Kemudian dari analisa makna konotasi mengungkapkan, bahwa keadaan kaum muda Iran telah memiliki perubahan pemikiran dan gaya hidup yang begitu modern. Dari analisa makna mitos, dapat dinyatakan bahwa kepemudaan atau kaum muda Iran telah berubah secara pemikiran dan gaya hidup yang modern, terbuka secara teknologi dan informasi, namun tetap mencintai serta melestarikan kebudayaannya sebagai identitas mereka. Atas hasil analisis tersebut, terungkap jelas secara objektif, bahwa kaum muda Iran yang menjadi penerus bangsa, telah memiliki pemikiran yang begitu terbuka atas segala kemajuan teknologi dan informasi. Juvenile Evolvere merupakan sebuah buku foto yang dapat merefleksikan sejarah peradaban Iran atau Persia secara khusus dan sejarah peradaban Islam secara umum. Kata Kunci : Juvenile Evolvere, kaum muda Iran, semiotik, fotografi, pesan.
vi
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillahirrabilalamin. Segala puji dan syukur peneliti sampaikan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis Semiotika Foto Pada Buku Juvenile Evolvere Karya Safir Makki”. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah dan tercurah kepada Baginda tercinta Rasulullah SAW, semoga kita adalah umat yang dapat syafaatnya di hari akhir. Amin ya rabbalalamin. Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, peneliti tidak dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang diselesaikan peneliti pada semester 10 ini bukan suatu yang sempurna dan juga bukan suatu skripsi yang telat selesai, peneliti percaya bahwa kelulusan di semester 10 ini nantinya akan bermanfaat untuk peneliti sendiri dan orang lain. Maka dalam kata pengantar ini ingin menyampaikan terima kasih kepada; 1. Allah subhanahu wa ta‟ala, yang hadir dalam kehidupan peneliti sebagai sesuatu yang peneliti percaya keberadaan-Nya dan menghadirkan peneliti di dunia ini dan di akhirat kelak. 2. Kedua orangtua peneliti, Harro Mangamar Harahap dan Rayi Haryati, yang senantiasa memberikan doa, kasih sayang serta selalu memberikan dukungan moril dan materil kepada peneliti. Kakak pertamaku, Avi Dewanisari Harahap, yang selalu menginspirasi dalam pengembaraan untuk menjelajahi dunia sehingga memberikan motivasi kepada peneliti. Kakak keduaku, Debby Masnora Harahap, yang selalu memberikan
vii
sengatan motivasi ketika peneliti tengah gundah
gulana dalam
mengerjakan skripsi ini. Adikku, Indra Syahputra Raja Taromar Harahap, yang selalu memberikan dukungan logistik dan terapi ketika penulis sedang lelah dalam mengerjakan bab demi bab. 3. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, DR. H. Arief Subhan, M.A. Wakil Dekan I Bidang Akademik, DR. Suparto, M. Ed, Ph.D. Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, DR. Roudhonah, M.Ag, serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, DR. Suhaimi, M. Si. 4. Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Drs. Masran, M.A serta Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fita Fathurokhmah, M.Si. yang telah meluangkan waktu untuk sekadar berkonsultasi dan meminta bantuan dalam hal perkuliahan. 5. Dosen Pembimbing skripsi, DR. Rulli Nasrullah, M.Si. Atau lebih akrab disapa Kang Arul yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan banyak sekali pelajaran kepada peneliti dengan kesabaran untuk dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan tentunya memberikan pengalaman perjalanan yang banyak menginspirasi peneliti. 6. Seluruh dosen pengajar, staf dan seluruh civitas akademika Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah memberikan ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat bagi peneliti. 7. Pimpinan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi yang telah
viii
menyediakan buku serta fasilitas lainnya sehingga peneliti mendapat banyak referensi dalam penelitian ini. 8. Safir Makki, fotografer buku Juvenile Evolvere, yang telah banyak mendukung segala kebutuhan informasi dan data yang peneliti butuhkan sekaligus menceritakan pengalaman yang begitu menginspirasi peneliti dalam berkarir menjadi seorang foto jurnalis. 9. Teman-teman seperjuangan KPI A 2011, berproses bersama, yang memberikan suka, duka, tawa yang penuh warna, lingkungan perkuliahan yang begitu memberikan banyak pelajaran dan pengalaman yang berharga. 10. Keluarga keduaku, LSO KLISE FOTOGRAFI, angkatan I, II, III, IV, lingkungan tempat berproses bersama, tempat dimana dapat mencurahkan gelisah hati saat emosi berganti, tempat belajar dan berinspirasi bersama dalam ranah fotografi. 11. Keluarga besar Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) khususnya angkatan XIX – UNFINISHED, Oscar Motuloh, Rully Kesuma, abang-abang Pewarta Foto Indonesia, tempat menyerap banyak ilmu fotografi jurnalistik, tempat mencari pertemanan dan kekeluargaan dalam bersilaturahim, yang memberikan banyak pelajaran dan pengalaman peneliti dalam menekuni ilmu fotografi lebih lanjut. 12. Para suhu master PannaFoto Institute, Edi Purnomo, Ng Swan Ti, Yoppy Pieter, abang-abang maupun kakak yang memberikan kesempatan peneliti untuk menggelar pameran perdana dan memberikan banyak pengalaman di bidang fotografi dokumenter.
ix
13. Couchsurfing Indonesia dan Couchsurfing World yang memberikan banyak teman baru, pengalaman baru dan pengetahuan peneliti, 14. Teman-teman KKN CEMARA yang begitu meriah, dan memberikan banyak pengalaman baru kepada peneliti dalam hal bermasyarakat. 15. Segenap keluarga besar Camp-Deza Adventure yang selalu memberikan wejangan ketika berada di alam, mencerahkan ide atas segala kegelisahan. 16. Para sepupu yang selalu memberikan support moril, Iqbal, Syihab, Isye, Budi, Fitrah, Hana, Fanny dan semua sepupu yang memberikan dukungan kepada peneliti. 17. Terima kasih kepada orang-orang yang bergerak di bidang fotografi, para fotografer profesional, mahasiswa dan para pecinta fotografi di Indonesia yang telah memberikan ilmunya, waktu diskusi, dan semangatnya sehingga skripsi ini selesai dengan baik. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih belum mencapai kesempurnaan, namun peneliti telah berusaha semaksimal mungkin agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk pembaca.
Tapanuli Selatan, 2 Februari 2016
Agus Salim Pribadi Harahap
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iv ABSTRAK ..........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi DAFTAR ISI .......................................................................................................
x
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ xi DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5 1.
Manfaat Teoritis ................................................................... 5
2.
Manfaat Praktis .................................................................... 5
E. Metodologi Penelitian ................................................................. 6 1.
Paradigma Penelitian............................................................ 6
2.
Metode Penelitian ................................................................ 6
3.
Subjek Penelitian.................................................................. 6
4.
Teknik Pengumpulan Data ................................................... 7
5.
Teknik Penulisan .................................................................. 7
F. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 8 G. Sistematika Penulisan ................................................................. 10
BAB II
LANDASAN TEORI A. Semiotika Sebagai Upaya Pemaknaan ........................................ 11 1.
Pengertian Semiotika ........................................................... 11
2.
Tokoh Semiotika .................................................................. 16
xi
3.
Konsep Semiotika Roland Barthes ...................................... 22
B. Fotografi Sebagai Representasi Realitas ..................................... 31
BAB III
1.
Pengertian Fotografi ............................................................. 31
2.
Sekilas Sejarah Fotografi ..................................................... 34
3.
Unsur-Unsur Dalam Fotografi ..............................................38
GAMBARAN UMUM BUKU FOTO JUVENILE EVOLVERE KARYA SAFIR MAKKI A. Gambaran Umum Tentang Buku Foto Juvenile Evolvere .......... 49 B. Profil Safir Makki ....................................................................... 53
BAB IV
ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO SAFIR MAKKI DALAM BUKU JUVENILE EVOLVERE A. Data Foto 1 .................................................................................. 58 B. Analisis Data Foto 1 .................................................................... 58 C. Data Foto 2 .................................................................................. 64 D. Analisis Data Foto 2 .................................................................... 64 E. Data Foto 3 .................................................................................. 70 F. Analisis Data Foto 3 .................................................................... 70 G. Data Foto 4 .................................................................................. 76 H. Analisis Data Foto 4 .................................................................... 76
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 82 B. Saran ............................................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 87 LAMPIRAN ......................................................................................................... 90
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel Tanda Roland Barthes ................................................................... 30
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 .............................................................................................................. 58 Gambar 2 .............................................................................................................. 64 Gambar 3 .............................................................................................................. 70 Gambar 4 .............................................................................................................. 76
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pasca Revolusi Iran pada tahun 1979, sistem susunan masyarakat Iran mengalami perubahan dari Monarki menjadi Teokrasi. Teokrasi merupakan sistem susunan masyarakat yang mengutamakan agama atau wakil kedua tuhan yang berkuasa dan memiliki ideologi agamais. Revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini ini, mecuri perhatian dunia atas sikapnya yang keras dalam menjalankan politik luar negeri (Polugri) terhadap Amerika Serikat dan keberadaan Israel khususnya. Kekhawatiran negara-negara barat akan otoritas penggunaan nuklir pasca revolusi Iran menjadi penyebab inti dari diskriminasi yang dialami Iran. Setelah Vatikan, Iran merupakan satu dari dua negara di dunia yang menganut sistem teokrasi, dimana agama menjadi hal yang paling mendasar bagi sebuah negara. Kecenderungan media barat dalam memberitakan negara ini, seolah tidak seimbang ketika Iran resmi menganut agama Islam sebagai fondasi dasar bangsa Persia ini. Adalah Safir Makki, seorang fotografer yang memiliki pandangan lain terhadap Iran. Iran yang banyak diberitakan negara yang negatif dan tertutup justru bertolak belakang dengan yang dialaminya ketika dia berada disana. Safir mencoba menceritakan tentang apa yang terjadi pasca revolusi Iran,
1
2
khususnya pemuda yang akan menjadi penerus generasi bangsa Persia tersebut. Juvenile Evolvere menjadi tajuk utama pada buku foto ini, yang berarti revolusi pemuda. Buku foto ini menceritakan tentang bagaimana kehidupan kaum muda Iran yang tengah mengalami pergeseran budaya, dimana kaum muda Iran merupakan generasi penerus bangsa. Safir memilih angle ini karena ketertarikannya terhadap kaum muda Iran yang diluar ekspektasinya. “Kaum muda Iran menarik perhatian frame fotografi saya saat berada di sana selama 12 hari. Mengenakan chadur (kain hitam panjang sebagai penutup aurat kaum perempuan) sembari menenteng tas bermerek, mengenali penyanyi Beyonce dan Lady Gaga, memainkan jemari di gadget tablet, mereguk Coca-cola di kala terik. Kehidupan kaum muda Iran mengalir dengan letupan modernitas, sebuah gambaran yang begitu kontras dibandingkan dengan gempuran embargo atau laju inflasi yang tinggi”.1 Penulis begitu tertarik untuk meneliti buku foto “Juvenile Evolvere” setelah membaca beberapa penggalan kata pengantar dan melihat semua foto dalam buku ini. Foto-foto yang ada di dalam buku ini begitu realitas, kental akan gempuran Imperialisme yang cepat menyebar melalui teknologi informasi dan media massa. Modernitas seharusnya sulit diterima oleh negara yang menganut sistem Teokrasi, Namun sejatinya tak ada regulasi yang sanggup membelenggu gejolak generasi muda. Seperti tak ada obat yang mamadai untuk mengobati jika darah muda terletupkan oleh rasa ketidakadilan dan kesewenangwenangan.
1
Safir Makki, Juvenile Evolvere, (Jakarta: Pewarta Foto Indonesia, 2013) h.18-19
3
Foto-foto karya Safir Makki ini merupakan foto beraliran dokumenter. Foto yang beralirkan dokumenter ini memiliki cakupan yang luas dan lebih mendalam jika dibandingkan dengan foto berita atau foto jurnalistik. Safir menuangkan segala idenya ke dalam sebuah rangkaian foto yang beraliran dokumenter, dimana foto dokumenter merupakan sebuah aliran fotografi yang merekam setiap peristiwa, kemudian membuat suatu cerita ke dalam rangakaian visual. Buku ini akan menjadi saksi sejarah panjang bagi peradaban bangsa Iran khususnya dan dunia pada umumnya. Safir Makki memiliki ketertarikan sendiri terhadap Iran yang begitu personal baginya. Iran merupakan negara yang membuatnya terobsesi sejak kecil, dia selalu mengikuti peradaban negara ini dari masa ke masa. Safir mengenal Iran, ketika Iran tengah bersitegang dengan Irak dan berujung pada perang Teluk Persia pada tahun (1980-1988). Banyak alasan mengapa pria kelahiran Mekkah ini selalu tertarik dengan apapun tentang Iran. Foto-foto yang tertuang dalam buku ini menjadi refleksi bagaimana terjadinya suatu pergeseran budaya pemuda Iran di tengah arus deras globalisasi dan teknologi informasi. Menarik jika disimak, suatu foto dapat merekam peristiwa bersejarah suatu peradaban bangsa, bangsa besar sekelas Persia. Penulis memiliki ketertarikan khusus dengan fotografi, karena Penulis menggeluti kegiatan mahasiswa di bidang fotografi. Hal tersebut menjadi alasan yang kuat kenapa Penulis ingin meneliti buku foto “Juvenile Evolvere” guna mengetahui dan memahami bagiamana membedah esensi
4
suatu buku foto dengan menggunakan teori Roland bathes yang membaca gambar dari makna konotasi, denotasi dan mitos. Dari latar belakang masalah di atas, Penulis menguraikan ketertarikan dan seberapa relevan serta pentingnya penelitian ini. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Semiotika Foto Dalam Buku Juvenile Evolvere Karya Safir Makki”. B. Batasan dan Rumusan Masalah Penelitian ini difokuskan pada foto-foto karya Safir Makki yang telah dipublikasikan dalam buku “Juvenile Evolvere” pada tahun 2013. Agar penelitian ini lebih spesifik dan terarah, Peneliti sengaja membatasi beberapa foto mengenai evolusi kaum muda Iran yang terdapat dalam buku Juvenile Evolvere, sehingga dapat mewakili pesan yang disampaikan dalam keseluruhan buku ini. Jumlah foto yang akan diteliti terdapat empat foto, dari 47 foto yang ada di dalam buku Juvenile Evolvere. Rumusan masalah penelitian ini antara lain : 1. Apa makna denotasi pada empat foto karya Safir Makki mengenai evolusi kaum muda Iran yang terkandung dalam buku Juvenile Evolvere? 2. Apa makna konotasi pada empat foto karya Safir Makki mengenai evolusi kaum muda Iran yang terkandung dalam buku Juvenile Evolvere? 3. Apa makna mitos pada empat foto karya Safir Makki mengenai evolusi kaum muda Iran yang terkandung dalam buku Juvenile Evolvere?
5
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini untuk : 1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi mengenai evolusi kaum muda Iran yang terkandung pada empat foto dalam buku Juvenile Evolvere. 2. Untuk mengetahui dan memahami makna konotasi mengenai evolusi kaum muda Iran yang terkandung pada empat foto dalam buku Juvenile Evolvere. 3. Untuk mengetahui dan memahami makna mitos mengenai evolusi kaum muda Iran yang terkandung pada empat foto dalam buku Juvenile Evolvere. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu referensi atau rujukan kajian semiotik dalam memahami foto melalui tanda tanda atau simbol dengan metode semiotik dalam kaitan komunikasi visual. Penelitian ini juga
diharapkan memberikan kontribusi pada perkembangan fotografi
dalam memproduksi sebuah karya fotografi dokumenter. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk kajian semiotik foto yang berkonsentrasi pada foto dokumenter human interest.
6
2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan menjadi manfaat untuk para peminat fotografi, fotografer budaya, antropolog, penikmat foto dan untuk Mahasiswa/i Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Paradigma penelitian merupakan kumpulan sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang dapat mengarahkan cara berpikir peneliti dalam penelitiannya.2 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Dimana realitas dianggap sebagai hasil konstruksi berpikir dari kemampuan seseorang. Paradigma konstruktivis berbasis pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dimana hasil temuan akan dideskripsikan kemudian ditinjau kembali untuk dianalisis dari hasil pengamatan dan penelusuran pustaka. 3. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini adalah foto-foto dalam buku Juvenile Evolvere karya Safir Makki yang diluncurkan pada tahun 2013. Objeknya adalah makna-makna yang terkandung dalam foto-foto buku Juvenile Evolvere.
2
Lexy.J.Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h.49
7
Dari 47 foto yang disajikan, peneliti hanya melakukan penelitian pada 5 foto saja yang dapat mewakili secara keseluruhan foto yang ditampilkan. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Dokumentasi Merupakan dokumen-dokumen foto yang diperoleh secara langsung dari Safir Makki, buku-buku, artikel yang didapat dari internet, surat kabar, majalah, journal serta sumber bacaan lain yang mendukung dalam penelitian ini. Dokumen adalah representasi dari arsip. Yakni teknik pengumpulan data melalui kumpulan dokumendokumen baik berupa otobiografi, catatan harian, buku, foto, sebagai pelengkap dalam pengumpulan data yang dilakukan peneliti.3 b. Wawancara Untuk
mengumpulkan
informasi
dari
informan,
penulis
menggunakan teknik wawancara. Yaitu percakapan yang dilakukan dua pihak, dimana peneliti mengajukan beberapa pertanyaan kepada narasumber.
4
Wawancara dilakukan langsung dengan fotografer
pembuat karya yaitu Safir Makki. 5. Teknik Penulisan Penulisan dalam penelitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) Hamid Nasuhi dkk, yang diterbikan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h.195 4 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h.187
8
F. Tinjauan Pustaka Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti telah meninjau beberapa skripsi yang telah menginspirasi peneliti dengan pembahasan yang cukup relevan dan subjek yang berbeda, antara lain : 1. Skripsi yang berjudul “Analisis Semiotika terhadap Foto Karya Kemal Jufri pada Pameran Aftermath: Indonesia in Midst of Catasrophes Tahun 2012” yang ditulis oleh Isye Naisila Zulmi tahun 2014. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif. Penelitian tersebut menganalisis simbol-simbol dan tanda-tanda yang ada pada foto karya Kemal Jufri dengan Teori Semiotik Roland Barthes. 2. “Makna Foto Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika karya Zarqoni Maksum pada Galeri Foto Antara.co.id)”, yang ditulis oleh Fatimah pada tahun 2008. Melakukan analisis terhadap simbol, tanda ataupun makna dalam foto guna memahami pesan yang dikonstruksi oleh Fotogarfer. Dalam penelitian ini juga menggunakan Teori Semiotik Roland Barthes. 3. Skripsi yang berjudul “Citra buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika oleh Arga Sumantri tahun 2014. Skripsi ini menggunakan pendekatan Kualitatif. Penelitian ini membedah citra buruh perempuan menggunakan Teori Roland Barthes. 4. “Analisis Semiotik Foto pada Buku Jakarta Estetika Banal karya Erik Prasetya” yang ditulis oleh Marifka Wahyu Hidayat pada tahun 2014. Penelitian ini juga lebih relevan dengan menggunakan teori Semiotik
9
Roland Barthes dan buku ini juga membedah tentang Buku Foto Dokumenter. Keempat skripsi diatas sama-sama meneliti mengenai makna dan simbol pada Foto Jurnalistik dengan menggunakan analisis semiotika. Tetapi foto yang akan dianalisis tentunya berbeda dan juga berasal dari sumber yang berbeda. Subjek dari penelitian adalah foto-foto dalam buku Juvenile Evolvere karya Safir Makki pada tahun 2013. Sementara objeknya adalah makna yang terkandung dalam foto-foto buku Juvenile Evolvere. Penelitian ini akan membedah tentang makna dari dari foto-foto dalam buku Juvenile Evolvere yang bercerita tentang Evolusi Pemuda di Iran. Tentang terjadinya
beberapa
pergeseran
budaya
dan
hasil
dari
Imperialisme dunia barat. G. Sistematika Penulisan Agar Skripsi ini lebih terarah dalam penyusunannya, Peneliti membuat sistematika penulisan yang disesuaikan dengan masing-masing Bab. Peneliti membaginya menjadi lima Bab tersebut, terdiri dari beberapa Sub Bab yang menjelaskan dari Bab tersebut. Sistematika penulisan tersebut adalah: BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini Peneliti akan menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
10
BAB II: Landasan teori, dalam Bab ini penulis akan menguraikan tentang tinjauan umum tentang fotografi, pengertian fotografi, sejarah fotografi, dan aliran-aliran fotografi, kemudian terdapat pula tinjauan umum tentang semiotik, serta konsep semiotika Roland Barthes. BAB III: Gambaran umum tentang buku foto Juvenile Evolvere, dalam Bab ini peneliti juga akan menguraikan tentang gambaran secara umum buku foto Juvenile Evolvere dan profil Safir Makki sebagai fotografer. BAB IV: Analisis Semiotika terhadap foto Juvenile Evolvere karya Safir Makki, dalam Bab ini penulis akan membahas konsep semiotika Roland Barthes mengenai makna denotasi, konotasi dan mitos, pada foto-foto yang terdapat dalam buku Juvenile Evolvere. BAB V: Penutup, Peneliti mengakhiri skiprsi ini dengan memberikan kesimpulan dari hasil penlitian serta saran untuk para penggiat fotografi dan Mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi tentang makna, peran dan juga kekuatan daya tarik foto jurnalistik.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Semiotika Sebagai Upaya Pemaknaan 1. Pengertian Semiotika Sejak pertengahan abad ke-20, semiotika telah tumbuh menjadi bidang kajian yang sungguh besar, melampaui diantaranya kajian bahasa tubuh, bentuk-bentuk seni, wacana retoris, komunikasi visual, media, mitos, artefak, isyarat, pakaian, iklan, makanan atau diadopsi manusia untuk memproduksi makna.1 Secara umum semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of sign), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu suatu sistem apapun yang memungkinkan kita untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sesuatu yang bermakna dalam tanda.2 Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion, yang berarti tanda. Maka, semiotika berarti studi tentang tanda (sign) dan bagaimana tanda itu bekerja. Istilah ini telah digunakan oleh pakar filsafat stoik dalam ilmu bahasa yunani kuno. Orang-orang stoik merupakan orang pertama yang mengembangkan teori tentang tanda ini dalam abad ketiga dan kedua sebelum masehi.3
1
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 6. Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Buku Baik Yogyakarta, 2004), h. 3. 3 M. A. K Halliday dan Ruqaiya Hasan, Bahasa, Konteks dan Teks: aspek-aspek bahasa dalam pandangan semiotik sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992), h. 3. 2
11
12
Semiotika itu sendiri merupakan ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-sistemnya dan prosesnya lebih dalam.
4
Semiotika juga mengkaji tanda yang
memperhatikan bagaimana makna suatu teks (foto, film, program televisi dan hasil seni lainnya) yang terdiri dari tanda-tanda.5 Pengertian paling sederhana mengenai semiotika dapat diuraikan sebagai studi mengenai tanda dan bagaimana tanda-tanda itu bekerja.6 Dalam perkembangannya, semiotika mempunyai dua tokoh sentral yang memiliki latar belakang berbeda, yaitu Charles Sanders Pierce dan Ferdinand De Saussure. Saussure berpandangan bahwa semiotika merupakan sebuah kajian yang memperlajari tentang tanda-tanda yang menjadi bagian dari kehidupan sosial.
7
Saussure memiliki latar
belakang keilmuan linguistik. Ia memandang tanda sebagai sesuatu yang dapat dimaknai dengan melihat hubungan antara petanda dan penanda yang biasa disebut signifikasi. Dalam hal ini Saussure menegaskan bahwa dalam memaknai sebuah tanda perlu adanya kesepakatan sosial. tanda- tanda tersebut berupa bunyi-bunyian dan gambar. 8 Saussure juga menyebutkan objek yang dimaknai sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contohnya, ketika orang menyebut kata “anjing” dengan nada mengumpat maka hal tersebut 4 Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, (Bandung: Angkasa, 1931), h. 3. 5 Aart van Zoest, Semiotika: Tentang Tanda, Cara kerjanya dan apa yang kita lakukan dengannya, (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993), h. 1. 6 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisa Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 95. 7 Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), h. 4 . 8 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 13.
13
merupakan tanda kesialan. Penanda dan petanda yang dikemukakan Saussure merupakan sebuah kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi sebuah koin. Jadi Saussure lebih mengembangkan bahasa dalam pandangannya. Pemikiran berbeda tertuang dari tokoh semiotika asal Amerika Serikat Sanders Pierce, yang memandang bahwa semiotika merupakan sesuatu yang berkaitan dengan logika.9 Logika mempelajari bagaimana manusia bernalar yang menurut Pierce dapat dilakukan melalui tandatanda. Tanda-tanda tersebut memungkinkan manusia dalam berpikir, berkomunikasi dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh kehidupan manusia. Tanda yang dimaksud Pierce dapat berupa tanda visual yang bersifat verbal maupun non-verbal. Selain itu dapat juga berupa lambang, contohnya lampu merah yang mewakili sebuah larangan. Perbedaan kedua tokoh ini dalam mengkaji semiotika terlihat jelas bagaimana sebuah tanda dapat dimaknai. Saussure mengkaji semiotika melalui bahasa yang dituturkan oleh manusia. Sedangkan Pierce lebih kepada logika atau cara berpikir manusia dalam melihat suatu tanda yang dapat dimaknai di kehidupan sehari-hari berkaitan dengan makna. Terdapat tiga cabang penelitian (branches of inquiry) dalam semiotika, yaitu sintatik, semantik, dan pragmatik. Pertama, sintatik merupakan suatu cabang penyelidikan yang mengkaji tentang hubungan formal antara satu tanda dengan tanda lain yang mengendalikan tuturan 9
Kris Budiman, Semiotika Visual, (Yogyakarta: Penerbit Buku Baik, 2004), h. 3
14
dan interpretasi. Kedua, semantik yaitu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan antara tanda dengan design objek-objek yang diacunya. Menurut Moris, design yang dimaksud adalah makna tanda- tanda sebelum digunakan dalam urutan tertentu. Ketiga, pragmatik adalah cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan
antara
tanda
dengan
interpretasi.
10
Cabang
yang
dikemukakan Moris tersebut memiliki keterkaitan antara satu sama lain yang dapat dimaknai sebagai tingkatan suatu makna dalam tanda. Ketiga cabang tersebut juga memiliki spesifikasi kerja dan objek kajian tersendiri, sehingga apabila dipakai untuk metode analisa akan menghasilkan “pembacaan” yang mendalam. Selain itu terdapat beberapa elemen penting dalam semiotik, yaitu komponen tanda, aksis tanda, tingkatan tanda, dan relasi antar tanda. Komponen tanda yang merupakan komponen penting pertama dalam semiotik memandang praktik sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni selain sebagai fenomena bahasa, juga dapat dipandang sebagai tanda. Kemudian komponen penting selanjutnya adalah aksis tanda, analisis tanda yang mengkombinasikan pembendaharaan tanda atau kata dengan cara pemilihan dan pengkombinasian tanda berdasarkan aturan atau kode tertentu, sehingga menghasilkan ekpresi yang memiliki makna. Selanjutnya adalah tingkatan tanda. Dalam tingkatan tanda yang dikembangkan oleh Roland Barthes ini terdapat dua tingkatan lainnya, yaitu denotasi (makna sebenarnya) dan konotasi 10
Anthon Freedy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 26.
15
(makna tidak sebenarnya). Terakhir adalah relasi tanda. Relasi atau hubungan tanda ini terdapat dua bentuk interaksi, yaitu metafora dan metomimi. Studi semiotik dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tanda, kode, dan kebudayaan. Tanda adalah kode, kode adalah suatu medan asosiatif yang memiliki gagasan-gagasan struktural. Kode ini merupakan beberapa jenis dari hal yang sudah pernah dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dengan itu konstitutif bagi penulisan yang dilakukan. 11 Tanda memiliki cara penyampaian makna yang berbeda dan hanya dapat dipahami oleh seseorang yang menggunakannya. Sedangkan untuk studi yang membahas tentang kode, mencakup bagaimana cara kode dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dalam mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia. Kebudayaan yang menjadi tempat tanda dan kode bekerja menjelaskan bagaimana keberadaan dan bentuk dan penggunaan kode-kode tersebut. 12 Tanda atau kode dapat ditemukan dimana saja. Misalnya, sebuah rambu lalu lintas “tikungan tajam” yang terletak dipinggir jalan. Rambu tersebut untuk memberitahukan bahwa terdapat sebuah tingkungan yang harus dilewati secara hati-hati. Rambu tersebut merupakan sebuah tanda atau kode yang ditempatkan sesuai dengan fungsinya.
11
Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 119. Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005), h. 27. 12
16
2. Tokoh Semiotika a. Ferdinand de Saussure Ferdinand de Saussure merupakan tokoh semiotika yang berasal dari Swedia dengan keahlian di bidang lingustik. Pengaruh Saussure memang
menjadi
faktor
pertama
yang
membuat
semiotika
berhubungan sangat erat dengan linguistik struktural. Sebagai perintis ilmu bahasa struktural, nama Saussure berkaitan erat dengan semiotika. Dapat dikatakan bahwa muara semiotika modern yang berkembang di Eropa adalah pemikiran beliau. Saussure berbicara mengenai keberadaan tanda dengan menggunakan istilah semiologi. Bertumpu
pada
konsepnya
mengenai
tanda,
Saussure
mendefinisikan bahasa sebagai sistem tanda. Maksudnya, bahasa terjadi dari berbagai tanda, yang terkait satu sama lain sehingga terbentuk sistem, seperti sistem kosa kata, sistem pembentukan kata, sistem kalimat, dan sebagainya. Kemudian, secara keseluruhan semua sistem dalam bahasa yang bersangkutan membentuk sistem yang lebih besar, yaitu sebuah sistem tanda bahasa. Jadi, manakala berbicara tentang bahasa, kita dapat mempelajarinya sebagai sistem tanda13. Maka,
ketika
mempelajari
bahasa
sebagai
sistem
tanda,
mempergunakan konsep Saussure yang sudah disebutkan (parole, langue, dan seterusnya). Begitulah yang dilakukan Saussure ketika menerapkan semiotika dalam bidang linguistik. Sehingga dalam
13
Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 34
17
kaitan antara semiotika dengan konsepsi struktural Saussure mengenai bahasa terlihat jelas sekali. b. Charles Sanders Pierce Pierce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object dan interpretant14. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk pada hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contohnya, seperti saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para
14
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 56
18
penonton bisa saja memaknainya sebagai ikon wanita muda cantik dan menggairahkan. c. Roland Barthes Roland Barthes dengan kajian denotasi, konotasi dan mitos. Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes pada tahun 1915-1980, dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. 15 Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti. Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentukbentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”, mencakup denotasi makna sebenarnya dan konotasi makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal
15
Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 45
19
Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.16 Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifiersignified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya seperti pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos. d. Jacques Derrida Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku.17 Konsep dekonstruksi yang dimulai dengan konsep demistifikasi, Pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian 16 17
Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 46 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 49
20
realitas,
pada
dasarnya
dimaksudkan
menghilangkan
struktur
pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain. Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terusmenerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas. Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Maknanya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung sesat atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya. Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puingpuing makna dan ideologi yang tak terbatas. Berbeda dari Baudrillard
21
yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai
gunungan realitas
yang
menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut. e. Umberto Eco Stephen W. Littlejohn, menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam.18 Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen yang berasal dari dua sistem berbeda, dari dua tingkat yang berbeda yakni, ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean. Eco juga menggunakan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun,
18
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 54
22
dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode bisa bersifat denotatif bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah atau konotatif bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama. Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. 3. Konsep Semiotika Roland Barthes Pernyataan Barthes dalam buku Imaji, Musik dan Teks, bahwa Penafsiran terhadap foto selalu bersifat historis, dimana pembaca harus mengerti sisi dari latar belakang suatu gambar yang akan ditelaah dalam beberapa rangkaian visual.19 Ungkapan tersebut relevan digunakan dalam menafsirkan atau mengartikan tanda dalam sebuah buku foto yang memiliki genre dokumenter seperti Juvenile Evolvere. Merekam visual sejarah peradaban Iran begitu relevan terhadap makna mitos yang akan dikaji dengan konsep semiotika barthes terhadap dinamika sosial budaya. Tanda atau kode dapat ditemukan dimana saja. Misalnya, sebuah rambu lalu lintas “tikungan tajam” yang terletak dipinggir jalan. Rambu tersebut untuk memberitahukan bahwa terdapat sebuah tingkungan yang harus dilewati secara hati-hati. Rambu tersebut merupakan sebuah tanda atau kode yang ditempatkan sesuai dengan fungsinya yang berguna membaca tanda.20 Semasa hidupnya Barthes telah banyak menulis buku, 19 20
Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalastura, 2010), h.14. Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h.63.
23
diantaranya adalah le degree zero de l’ecriture atau “nol derajat di bidang menulis” (diterjemahkan kedalam bahasa inggris, writing degree zero 1977). Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos.21 a. Makna Denotasi Makna denotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna yang eksplisit dan pasti. Dengan kata lain denotasi merupakan kata yang memiliki arti sesuai dengan apa yang ada dalam kamus bahasa Indonesia, yang dapat merupakan makna sesungguhnya atau makna sebenarnya dari apa yang tertulis atau terlihat. 22 Dalam terminologi Barthes, denotasi adalah sistem sigifikasi tahap pertama. yang umum. Dalam terminologi Barthes, konotasi adalah sistem signifikasi tahap kedua.
21
Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 127-
22
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 9
128.
24
Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga sebagai analogon. Pada tingkat makna lapisan kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologiideologi suatu formasi sosial tertentu. Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami sebagai real unreality. Disebut unreality karena apa yang dihadirkan sudah lewat (temporal anteriority), tidak pernah dapat memenuhi kategori sekarang disini dan disebut real karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence secara spasial. 23 Kategori ini merupakan pengalaman orang modern yang hidup dalam mass image akan realitas. Komunikasi visual dalam bentuk foto menurut Barthes ialah meliputi pesan tanpa kode message without a code dan juga sekaligus pesan dengan kode message with a code. Foto yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna atau analogon dari relitas yang sebenarnya (denotasi) ternyata sampai pada pembaca sudah dalam bentuk konotasi dan mitos. Barthes mengajukan sebuah hipotesis bahwa dalam foto beritapun rupanya terdapat konotasi. Akan tetapi konotasi ini tidak terdapat pada tahap pesan itu sendiri melainkan pada tahap proses produksi foto.
23
Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalastura, 2010), h. 23.
25
Disamping itu, konotasi muncul karena foto berita akan dibaca oleh publik dengan kode mereka. Dua hal inilah yang memungkinkan foto berita mempunyai konotasi atau mengandung kode. Pengertian kode di dalam strukturalisme dan semiotik adalah sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda menjadi sesuatu yang dapat dimaknai.24 Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadi tanda tampilan yang konkrit dalam sistem komunikasi. Dalam foto, Barthes tidak membicarakan pentingnya kode dalam membaca tulisan pada foto, dengan asumsi bahwa kita hanya membaca berita dalam bahasa yang sudah kita kuasai. b. Makna Konotasi Makna Konotasi berbanding terbalik dengan denotasi dimana tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang implisit dan tidak pasti. Secara sederhana konotasi dapat dijelaskan sebagai tanda yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Dalam terminologi Barthes, konotasi adalah sistem signifikasi tahap kedua. Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu: perseptif, konotasi kognitif, dan etis-ideologis. 25
24 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisa Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h. 77. 25 Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalastura, 2010), h. 55.
26
Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif. Sedangkan tahap konotasi kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya menghubungkan unsur-unsur sejarah dari analogon (denotasi) ke dalam imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kultural sangat menentukan. Kemudian tahap Etisideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang siap dikalimatkan sehingga motifnya dapat ditentukan. Ketiga tahap di atas tersebut merupakan tahapan-tahapan konseptual atau diskursif untuk menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Dengan demikian objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.26 Foto ibarat kata kerja tanpa kata dasar, Barthes menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk mempengaruhi gambar sebagai analogon. Analogon yaitu apa yang dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan intervensi pada tingkat kode. Menurut Barthes, citra pesan iconic message dapat kita lihat, baik berupa adegan, lanskap, atau realitas harfiah yang terekam, dapat dibedakan lagi dalam dua tataran. tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik. Pesan simbolik atau pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas
26
Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalastura, 2010), h. 57.
27
terhadap streotip tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes.27 Prosedur-prosedur tersebut terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri seperti Trick Effect, Pose dan Objects. Kemudian konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis foto seperti Photogenia, Aestheticism dan Syntax. Trick Effect ialah manipulasi gambar secara artifisial, artinya apakah
suatu
gambar
memiliki
penambahan,
pengurangan,
penggantian dalam bentuk analogon, sehingga membuat keaslian dari sebuah foto memiliki makna yang berkurang. Pose adalah posisi subjek dalam suatu gambar, ekspresi terhadap analogon yang ditemukan, sikap objek yang ada dalam gambar dan gaya subjek foto. Pose dalam tahap konotasi menjadi begitu penting ketika karena merupakan penentuan penafsiran makna yang ada di dalam foto itu sendiri. Object merupakan suatu penentuan point of interest atau pusat perhatian di dalam suatu foto. Dalam hal ini, penentuan object berdasarkan beberapa temuan yang ada di dalam analogon kemudian dapat ditafsirkan secara subjektif dalam pemaknaan konotasi.
27
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 28
28
Photogenia adalah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar, seperti teknik pemotretan apa yang digunakan dalam pencahayaan, ketajaman gambar, sudut pandang dan lainnya. Aestethism yaitu suatu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi. Komposisi begitu menjadi penentu dalam menafsirkan makna konotasi. Sintaksis yaitu rangkaian cerita dari isi foto, yang biasanya berada pada caption dalam foto dokumenter dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, denotasi ialah apa yang difoto yang memunculkan pertanyaan, sedangkan konotasi adalah bagaimana ini bisa difoto, atau menitikberatkan pertanyaan mengapa fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu.28 c. Makna Mitos Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut dengan „mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.29 Jadi mitos adalah suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos atau singkatnya mitos merupakan suatu kejadian yang terjadi berulangulang di suatu kelompok masyarakat sehingga diakui sebagai 28 29
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h.44. Alex Sobur. Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h.71.
29
kebudayaan yang ada didalam kalangan atau masyarakat tersebut. Mitos oleh Barthes disebut sebagai tipe wicara. Ia juga menegaskan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi, bahwa dia adalah sebuah pesan. Hal ini memungkinkan kita untuk berpandangan bahwa mitos tak bisa menjadi sebuah objek, konsep atau ide; mitos adalah cara penandaan (signification), sebuah bentuk. Segala sesuatu bisa menjadi mitos asalkan disajikan oleh sebuah wacana. 30 Mitos dalam pengalaman Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter dan konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.31 Mitos menurut Alex Sobur dalam buku Semiotika Komunikasi
adalah
bagaimana
kebudayaan
menjelaskan
atau
memahami beberapa aspek tentang yang ada dianggap sebagai realitas. Dalam mitos, sekali lagi kita mendapati pola dimensi yang disebut Barthes sebagai: penanda, petanda dan tanda. Ini bisa dilihat dalam peta tanda Barthes yang dikutip dari buku Semiotika Komunikasi, karya Alex Sobur:
30 31
Roland Barthes, Imaji, Musik, Teks, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 48. Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), h.94.
30
Tabel 1 Tabel tanda Roland Barthes Signifier (Penanda)
Signifiet (petanda)
Denotative sign (tanda denotatif) CONNOTATIVE SIGNIFIER
CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF) CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Sumber: Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h.69
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan penanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi dalam konsep Barthes, terdapat tanda konotatif yang bukan hanya sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.32 Berdasarkan pemaparan di atas, semiotik Roland Barthes bertumpu pada tiga hal yaitu: denotasi, konotasi dan mitos. Makna denotasi adalah makna paling nyata dari tanda yang memiliki arti sebenarnya dari tanda yang terlihat, dengan kata lain denotasi 32
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h.69.
31
merupakan kata yang tidak mengandung makna atau perasaanperasaan tambahan yang terdapat dalam buku foto Juvenile Evolvere dalam bentuk kalimat-kalimat yang menjelaskan visualisasi gambar tersebut. Sedangkan makna konotasi adalah tanda yang menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya dan mempunyai makna yang subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari.33 Pada makna konotasi ini peneliti membuat interpretasi dari makna denotasi yang didasarkan pada rumusan masalah yang dibuat oleh peneliti, sehingga konotasinya akan merepresentasikan citra revolusi pemuda Iran yang terlihat dalam buku foto Juvenile Evolvere. Kemudian peneliti akan menemukan makna mitos yang terkandung dalam suatu gambar dengan menggabungkan makna denotasi dan makna konotasinya. Dalam penelitian ini, mitos merupakan wacana citra revolusi pemdua Iran yang dipakai dalam buku foto Juvenile Evolvere, yang terlihat dalam setiap rangkaian visualnya. B. Fotografi Sebagai Representasi Realitas 1. Pengertian Fotografi Oscar Motuloh, kurator sekaligus Kepala Museum dan Galeri, beranggapan bahwa fotografi bukan hanya sekadar teknologi untuk
33
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 128.
32
membuat gambar semata, Fotografi juga merupakan alat yang dapat merekam suatu peristiwa menjadi sebuah kutipan gambar bersejarah.34 Fotografi secara umum dilihat sebagai sebuah proses teknologi yang memungkinkan kita membekukan waktu. Dengan bantuan bahan peka cahaya (film dan kertas) mengubahnya menjadi kenyataan, baik secara monochrome (hitam-putih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan). Dengan demikian, sebuah foto pada dasarnya adalah wujud satu moment dari satu atau serangkaian gerak.35 Sejarah fotografi mencatat, sejak masa pra-fotografi pada abad 17, para astronom memanfaatkan camera obscura untuk merekan konstelasi bintang-bintang secara tepat. Alat bantu ini kemudian digunakan pula untuk bidang-bidang kegiatan lain, termasuk seni lukis, terutama untuk bagian realisme dan naturalisme, dalam abad 18 dan 19, sebagai mesin gambar yang sangat berguna untuk merekam dan menghadirkan kembali realitas visual.36 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fotografi merupakan seni dan proses penghasilan gambar melalui cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan. Secara harfiah fotografi terdiri dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu photos artinya cahaya, dan graphein yang artinya menulis atau melukis. Dalam seni rupa, fotografi adalah proses melukis atau menulis dengan menggunakan media cahaya. Sebagai istilah umum, fotografi berarti proses atau metode untuk
34
Oscar Motuloh, disampaikan pada presentasi dalam kelas foto jurnalistik di Galeri Foto Jurnalistik Antara, (Jakarta:2013). 35 ED Zoelverdi, Mat Kodak, (Jakarta: PT Temprint), 1985, h. 76. 36 Seno Ajidarma Gumira, Kisah Mata Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 1.
33
menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.37 Dalam rangkaian foto buku Juvenile Evolvere ini, Safir Makki selaku fotografer menyajikan visual yang begitu peka dan detail, berbicara
keseharian
dan
kebiasaan
subyek
foto
dengan
memperhatikan baik nilai estetika maupun pesan utama yang ingin ditampilkan. Fotografi
juga
bukan
hanya
menghasilkan pesan
melalui
sebuah
sekedar gambar.
teknologi Fotografi
yang juga
mengandung unsur seni, yaitu pemotretan yang menghasilkan karya foto yang indah dan bernilai seni tinggi, bisa dinikmati oleh masyarakat luas sehingga membuat penikmatnya tertawan keindahan, kekaguman batin akibat kesan yang ditimbulkan oleh foto tersebut.38 Prinsip fotografi adalah memfokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya.
37
Seno Ajidarma Gumira, Kisah Mata Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h.
27. 38
Ferry Darmawan, Dunia dalam Bingkai Dari Fotografi Film hingga Fotografi Digital, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 19-21.
34
Medium yang telah dibakar dengan ukuran luminitas cahaya yang tepat akan menghasilkan bayangan identik dengan cahaya yang memasuki medium pembiasan (selanjutnya disebut lensa). Henry Cartier-Bresson, seorang pelukis dan fotografer Prancis yang juga mendirikan Magnum Photo agensi foto internasional. Pencetus teori yang terkenal dalam bidang fotografi, dessesive moment. Yaitu saat mata, hati dan pikiran melebur ketika menekan shutter kamera merekam sebuah gambar. Dalam hal ini selain penguasaan teknis operasional kamera secara jitu, dibutuhkan pula sentuhan nilai estetis saat menyusun komposisi yang baik untuk menghasilkan sebuah karya foto, sehingga dalam merekam peristiwa sejarah juga menghasilkan kandungan seni di dalamnya dan membuat foto menjadi lebih menarik. Oleh karena itu, beberapa rangkaian foto di dalam buku Juvenile Evolvere ini, Safir Makki selaku fotografer merekam peristiwa penting dalam sejarah peradaban masyarakat Iran secara khusus dan sejarah peradaban Islam secara umum dengan memasukan unsur seni di dalam gambar. 2. Sekilas Sejarah Fotografi a. Sejarah Fotografi Dunia Dalam perkembangan fotografi di dunia, beberapa universitas melakukan penelitian terkait dengan sejarah
dan
peradaban
teknologi fotografi. Abad ke 17, tepatnya pada 1725, sebuah eksperimen yang tidak berkaitan, Johan Heinrich Schulze, seorang
35
professor ilmu kedokteran dari Universitas Altdorf di Jerman, membuat gambar pertama yang juga tidak bisa bertahan lama. Schulze meletakkan sebuah botol berisi campuran garam asam perak pada cahaya matahari; ketika ia memeriksanya beberapa menit kemudian, ia menemukan bahwa sisi cairan yang terkena sinar matahari langsung, telah berubah menjadi warna lembayung tua, sedangkan sisi cairan yang tidak terkena sinar tetap berwarna keputihan. Ketika
ia
mengguncang
botol,
warna
lembayungnya
menghilang. Schulze kemudian melekatkan selembar kertas stensil pada botol dan meletakannya langsung menghadap sinar matahari. Kemudian ia mencabut kertas stensil, pada kertas itu terdapat sketsa dari endapan berwarna gelap disekitarnya, yaitu pola keputih-putihan, siluet negatif, dari cahaya yang tertahan disekitar kertas. Untuk memastikan apakah sinar matahari atau kepanasan yang menyebabkan senyawa kimia berubah menjadi gelap, Schulze meletakkan botol lain yang berisi bahan kimia yang sama dalam oven. Senyawa dalam botol tersebut tidak bereaksi; ternyata cahaya yang menyebabkan perubahan.39 Fotografi mulai popular sejak tahun 1901 setelah Kodak Brownie diperkenalkan.
40
Memasuki perkembangan teknologi
modern fotografi, peralatan modern dalam bentuk Kodak dan
39
Ferry Darmawan, Dunia dalam Bingkai dari Fotografi Film hingga Fotografi Digital, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), h. 1-3. 40 Ferry Darmawan, Dunia dalam Bingkai dari Fotografi Film hingga Fotografi Digital, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009) h. 15.
36
gulungan film seperti yang digunakan sekarang, baru mulai ditemukan oleh George Eastman pada tahun 1877, di New York. Ketika itu dia sedang bekerja sebagai seorang karyawan Bank di kota Rochester, New York. Eastman kemudian mengembangkan temuannya itu, hingga pada tahun 1889 ia membuka usaha dalam bidang fotografi yang lebih modern. Ketika itu ia memperkenalkan film transparan dalam bentuk flexibel film. Bentuk kamera kecil mulai popular di Amerika pada tahun 1920-an. Demikianlah seterusnya, dunia fotografi berkembang hingga seperti apa yang kita lihat sekarang. b. Sejarah Fotografi Indonesia Fotografi masuk dan berkembang di bumi Nusantara sejak masa kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda. Umur fotografi yang cukup tua di Indonesia tidak dibarengi dengan lahirnya fotografer lokal, selain saat itu kamera masih termasuk barang mewah, juga tentu saja karena Belanda hanya mempercayakan proses pemotretan pada ilmuan dari negaranya, serta fungsi fotografi
yang
masih
berkaitan
dengan
kepentingan
riset
kolonialisasi. Tahun 1841, Juriaan Munich seorang pegawai kesehatan Belanda mendapat perintah dari Kementrian Kolonial untuk berlayar ke Batavia dengan membawa daguerreotype, guna
37
mengabadikan tanaman-tanaman serta mengumpulkan informasi mengenai kondisi alamnya.41 Adalah Kassian Cephas, seorang fotografer berdarah pribumi pertama yang merupakan anak angkat dari pasangan 7 Belanda dengan foto pertamanya yang diidentifikasikan bertahun 1975. Cephas kemudian dikenal dalam dunia fotografi sebagai fotografer Keraton Yogyakarta, tepatnya pada era kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-VII. 42 Kassian Cephas adalah seseorang yang menjadi pelopor fotografi di tanah nusantara, hal ini sebagai titik awal perkembangan dan kemajuan fotografi di Indonesia. Fotografi diawali sebagai dokumen bagi seseorang atau kelompok, dan selanjutnya foto menjadi santapan khalayak umum baik sebagai seni maupun sumber informasi. Perkembangan fotografi di tanah air semakin konsisten dan berkelanjutan setelah kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) tahun 1992, selain berisi galeri, GFJA juga membuka sekolah untuk para peminat fotografi dan banyak melahirkan fotografer yang berkualitas. Hingga saat ini keberadaan dan perkembangan fotografi di Indonesia semakin menjamur ke setiap generasi, ke institusi
41 42
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Klaten: CV Sahabat, 2011), h. 6. Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Klaten: CV Sahabat, 2011), h. 6.
38
pendidikan dan fotografi juga menjadi kebutuhan dalam bersosial media pada saat ini. 3. Unsur-unsur dalam Fotografi Sebuah foto tidak akan terlihat bagus dan bisa menyampaikan makna jika tidak didukung dengan kualitas fotografer. Fotografer harus mampu mendapatkan momen tertentu atau dicisive moment tentang suatu perstiwa, karena itu yang membedakan foto dengan video. Kapabilitas fotografer mempengaruhi karya foto yang diabadikannya, dengan menciptakan sebuah foto dengan nilai informatif yang didukung dengan unsur teknis dalam fotografi seperti sudut pengambilan, teknik foto, komposisi, dan elemen visual lain sebagai penguat informatif tersebut. Sebuah foto tidak semata tercipta dengan sebatas memfoto saja, seorang fotografer harus mampu menyampaikan pesan melalui foto tersebut..Unsurunsur yang harus diperhatikan dibagi menjadi dua macam, yaitu unsur teknis dan estetis. a. Pencahayaan Fotografi memiliki arti melukis dengan cahaya, maka peran utama dalam menghasilkan karya foto ialah cahaya. Pencahayaan sebagai hal yang sangat penting, karena jika tidak ada maka foto tidak akan jadi. Dalam pemahaman dasar fotografi, menghasilkan sebuah foto perlu memahami bagaimana mengendalikan cahaya tersebut, membuat objek
39
dengan pencahayaan yang dibutuhkan. Pemahaman dasar dalam materi fotografi disebut dengan triangle fotografi. Triangle
fotorafi
terdiri
dari
ISO
(International
Organization for Standardization), diafragma, dan shutter speed (kecepatan rana). Triangle ini sebagai dasar pemahaman fotografer untuk menciptakan sebuah foto dengan pencahayaan yang sempurna. Terdapat tiga istilah pencahayaan dalam dunia fotografi, yaitu normal exposure (normal), under exposure (rendah), dan over exposure (tinggi). Pencahayaan (exposure) adalah proses pemasukan cahaya untuk mengekspose medium peka cahaya berupa film maupun sensor digital pada luminitas tertentu hingga tercipta sebuah gambar. Ada tiga unsur dalam pengaturan tingkat pencahayaan, antara lain: 1) Shutter speed atau tombol rana (s), yaitu jendea pada kamera yang mengatur masuknya cahaya dengan cara buka-tutup dalam satuan waktu tertentu sehingga dapat mengatur cepat-lambatnya cahaya masuk kedalam kamera. Satuan angka indicator dimulai dari: blub, 1/4; 1/5; 1/8, 1/10; 1/13; 1/15; 1/20; 1/25; 1/30; 1/40; 1/50; 1/60; 1/80; 1/100; 1/125; 1/160; 1/200; 1/250; 1/320; 1/400; 1/500; 1/640; 1/800; 1/1000; 1/1250; 1/1600; 1/2000;
40
1/2500; 1/3200; 1/4000. 2) Diafragma (f/), mengatur lebar-sempitnya bukaan lubang cahaya pada lensa yang bekerja untuk menyesuaikan sedikit-banyaknya lubang cahaya yang masuk kedalam kamera.
Satuan angka
indikatornya dimulai dari: 1,2; 1,4; 1,8; 2; 2,8; 3,5; 4; 4,5; 5,0; 5,6; 6,3; 7,1; 8; 9; 10; 11; 13; 14; 16; 18; 20; 22; 25; 29; 32. 3) Tingkat kepekaan film atau sensor digital dalam menangkap cahaya yang dinyatakan dalam satuan Internatioan Standard Organization (ISO). Angka indikatornya dimulai dari: 50; 100; 200; 400; 800; 1600; 3200; 6400.43 Untuk mengukur ketepatan pencahayaan pada suatu tingkat luminitas tertentu digunakan light meter, baik yang terdapat kamera maupun light meter genggam (hand healt). Light meter berguna sebagi petunjuk untuk mendapatkan pencahayaan dengan kombinasi dari bukaan diafragma (f/), speed (s), dan ISO dalam satuan tepat (normal/correct), kurang (under), dan lebih (over) dalam suatu kondisi cahaya tertentu. Light meter berupa senyawa kimia yang peka terhadap cahaya. Saat cahaya menerpa light meter, light 43
Soelarko, Fotografi untuk Salon Foto dan Lomba Foto. (Bandung: PT Karya Nusantara, 1978), h.13.
41
meter lalu memberitahukan berapa kecepatan dan berapa diafragma yang harus digunakan.44 Bila dilihat dari sumbernya, cahaya memiliki dua jenis pencahayaan, yaitu cahaya natural (available light), yaitu matahari; dan cahaya buatan (artificial light), yaitu cahaya yang bersumber baik dari berbagai jenis lampu, cahaya lilin, maupun lampu flash/blitz. Untuk mendapatkan cahaya normal, fotografer harus mengerti bagaimana cara mengatur bukaan diafragma, speed, dan ruang tajam. Kecepatan
rana
merupakan
ukuran
kecepatan
membuka dan menutup jendela rana. Semakin cepat jendela rana tersebut menutup dan membuka (kecepatan tinggi, angka besar), semakin sedikit cahaya yang masuk. Sebaliknya, semakin lama jendela rana tersebut menutup dan membuka (kecepatan rendah, angka kecil), semakin banyak cahaya yang masuk. Sedangkan diafragma adalah sebuah lempengan baja yang terdapat dalam kamera yang dapat diatur besar kecilnya. Pengaturan diafragma dapat dilakukan dengan cara mengubah angka skala yang terdapat pada gelang yang melingkar di lensa atau pada body kamera itu sendiri. Teori difragma yaitu, "makin besar diafragma (ditunjukkan dengan angka kecil), makin banyak cahaya 44
Audy Mirza Alwi. Foto Jurnalistik. (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 40.
42
yang bisa lolos ke kamera melalui lensa". Sebaliknya, "makin kecil diafragma (ditunjuukkan dengan angka besar) maka makin sedikit cahaya yang bisa lolos ke dalam kamera melalui lensa".45 b. Teknik Pemotretan Setelah memahami tiga unsur pencahayaan di atas atau biasa disebut triangle photography, selanjutnya fotografer harus memahami teknik-teknik dasar pemotretan dalam dunia fotografi, antara lain: 1) Moving Moving atau yang berarti gerak adalah teknik foto dengan menghasilkan karya foto berunsur gerak. Maksudnya adalah, objek yang di foto memiliki perpaduan sebuah hasil karya yang gerak, atau tidak statis. Melakukan teknik ini dengan menggunakan speed menengah hingga rendah untuk mendapatkan sebuah foto dengan pergerakan si objek. 2) Freeze Freeze adalah teknik memotret pada objek bergerak
menginginkan
objek
(diam/freeze) setelah dipotret.
tersebut 46
Layaknya suatu
moment sebagai klimaks dari suatu peristiwa.
45 46
berhenti
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 50. Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 60.
43
3) Panning Adalah teknik memotret dengan menggerakkan kamera sesuai gerakan objek foto. tujuannya adalah supaya gerakan tersebut terekam kamera hanya lintasannya saja pada latar belakang objek foto secarablur bergaris.47 4) Siluet Adalah teknik memotret dengan menempatkan kamera
menghadap
langsung
sumber
cahaya,
smeentara objek foto berada di tengah-tengah sumber cahaya dengan kamera. Hasil fotonya, objek foto gelap sementara latar belakang (sumber cahaya) terang, sehingga terjadi yang namanya siluet (objek lebih gelap dari latar belakang). Dengan memanfaatkan teknik tersebut, foto akan terlihat lebih menarik dan dinamis serta tidak monoton. Menghasilkan sebuah foto sesuai dengan situasi dan kondisi menggunakan teknik yang dibutuhkan, agar objek tampak sepeti kondisi aslinya. c. Sudut Pandang (Angle) Terdapat
lima
sudut
pandang
(angle)
dalam
pengambilan gambar. 48 Pertama adalah Frog Eye, kamera jauh lebih rendah daripada objek, Frog Eye yang berarti 47 48
Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 62. Audy Mirza Alwi, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h. 46.
44
mata kodok, memiliki posisi yang hampir sama dengan mata kodok itu sendiri yang selalu melihat objek ke atas. Melalui angle ini, objek yang ditampilkan menjadi terlihat lebih
tinggi
dan
besar
dengan
arti
tertentu
yang
mengikutinya. Posisi kamera hampir tegak lurus keatas, dengan sudut pandang di atas 45 derajat di bawah menghadap
ke
atas.
Kedua
adalah
Low
Angle
Menempatkan kamera lebih rendah dari objek, atau objek foto berada lebih tinggi dari kamera sehingga objek terkesan tinggi dan membesar. Sudut pandang kamera sekitar
45
Sudut
derajat
di
bawah
pandang selanjutnya
menghadap adalah
ke
Eye
atas. Level,
merupakan sudut pandang yang menempatkan kamera sejajar dengan objek, untuk menghasilkan sebuah foto pada objek hampir mendekati dengan pola pandangan mata manusia saat melihatnya. High Angle adalah sudut pandang yang Menempatkan objek lebih rendah dari pada kamera, atau kamera lebih tinggi dari pada objek, sehingga yang terlihat pada kaca pembidik objek yang terkesan mengecil. Sudut pengambilan gambar tepat di atas objek, pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatis yaitu kecil atau kerdil. Sudut pandang kamera sekitar 45 derajat di atas menghadap ke bawah namun tidak teralu angle yang tinggi.
45
Terkahir, adalah sudut pandang Bird Eye, yaitu pengambilan gambar yang dilakukan dari atas ketinggian tertentu,
sehingga
memperlihatkan
lingkungan
yang
sedemikian luas dengan benda-benda lain yang tampak dibawah sedemikian kecil. Pengambilan gambar biasanya menggunakan helikopter maupun dari gedung-gedung tinggi. Posisi kamera hampir tegak lurus ke bawah, dengan sudut pandang di atas 45 derajat di atas menghadap ke bawah. d. Komposisi Komposisi
merupakan
pengaturan
tatanan
dari
elemen-elemen dalam sebuah foto. menciptakan keselarasan antara objek sebagai point of interest dengan elemenelemen lain yang mendukung dan menguatkan objek tersebut. Mengatur komposisi dalam menciptakan sebuah foto bisa dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya: 1) Rule of Third (1/3) Rule of third atau berarti 1/3 adalah perpaduan komposisi peletakan objek dengan ruang yang ada di sekitar objek tersbut. Menyelaraskan objek utama dengan lokasi dirinya berada. Objek utama biasanya hanya memiliki ruang 1/3 dan total 3/3 ruang yang ada.
46
2) Diagonal Komposisi diagonal merupakan komposisi dalam fotografi yang objeknya terletak dari sudut gambar sehingga terlihat membentuk silang pada gambar. Komposisi ini banyak digunakan di dalam suatu gambar fotografi arsitektur. 3) Kurva Kurva adalah komposisi yang objeknya berupa suatu gambar berbentuk huruf letter “S” sehingga membuat suatu gambar menjadi lebih menarik. 4) Warna Dalam makalah visual literasi yang dikeluarkan oleh Pannafoto Institute dengan mentor Edy Purnomo selaku freelancer fotografer menjelaskan bahwa warna masuk dalam kajian tersebut. Warna merupakan simbol, maka suatu warna memiliki interpretasinya sendiri yang juga mendukung dan menguatkan simbol lain. Daftar warna ini berada dalam kebudayaan barat, dalam kebudayaan yang berbeda, assosiasi warna pun berbeda. Seperti di Negara-negara asia jika warna putih menyimbolkan
kesucian,
sementara
Mexico
menggunakan warna biru. Namun pemaknaan warnawarna tersebut memiliki dominasi di banyak Negara.
47
Warna juga berfungsi sebagai penanda dan budaya tergantung konteks yang menyertai. Berikut daftar warna sebagai penanda: hitam mengkilap menunjukkan pakaian resmi, dan tingkatan kelas, sementara hitam kusam menunjukkan kesedihan atau kematian. Biru: kesopanan, maskulin, dan kedamaian batin. Hijau: lingkungan hidup, ksehatan, dan kesuburan. Coklat: bumi, kenyamanan. Kuning: kebahagiaan, sukses, intelek. Jingga: sedih, penguasaan spiritual. Merah: passion, vitalitas, kreatifitas, dan hangat. Mengatur komposisi gambar, selain bermanfaat sebagai pemanis tampilan foto, juga berguna untuk memperkaya pesan yang ingin disampaikan fotografer dalam karyanya. Komposisi layaknya penyempurna estetika sebuah foto, selain foto menyampaikan pesan dan nilai informasi, estetika sebagai pemanis dan penguat elemen visual dari sebuah foto.
48
BAB III GAMBARAN UMUM BUKU FOTO JUVENILE EVOLVERE KARYA SAFIR MAKKI
A. Gambaran Umum Tentang Buku Foto Juvenile Evolvere Embargo yang dilakukan besar-besaran oleh Amerika Serikat dan beberapa negara barat terhadap Iran, seolah membuat citra Iran terlihat sebagai negara yang tertutup, jauh dari publisitas yang positif dan lebih banyak
pemberitaan
negatif.
Kecenderungan
media
barat
dalam
memberitakan aktifitas negara Iran pasca revolusi ini, tampak begitu kontras dengan apa yang terjadi sebenarnya. Buku foto Juvenile Evolvere, hadir memberikan kesaksian visual terhadap apa yang terjadi di Iran sesungguhnya, khususnya dari generasi kaum muda, generasi penerus bangsa Iran. Buku ini menyajikan rangkaian foto yang berbanding terbalik, terhadap apa yang banyak dikatakan oleh media barat atas kegelisahan mereka dalam menghadapi negara yang menganut sistem masyarakat Teokrasi ini. Fotografer asal Indonesia, Mohammad Safir Makki, menjadi saksi mata terhadap sejarah peradaban Iran pada khususnya dan sejarah perabadab Islam pada umumnya. Safir, menuntaskan obsesi masa kecilnya dengan berangkat menuju negeri para mullah ini, mengangkat sudut pandang tentang revolusi pemuda Iran.
49
50
Juvenile Evolvere merupakan perpaduan antara bahasa Inggris dan bahasa Latin yang berarti Evolusi Kaum Muda. Buku yang diterbitkan oleh Pewarta Foto Indonesia ini, menceritakan tentang generasi kaum muda Iran yang memilih berevolusi dengan cara mereka sendiri. Tetirah hasil visual Safir Makki disana, memberikan suasana negara Iran begitu ramah dan nyaman untuk dikunjungi, terbukti dari beberapa foto yang terkesan seperti foto perjalanan pada umumnya. “Saya bercerita dibalik soal Juvenile Evolvere, iniloh Iran, Iran itu bukan sosok negara yang harus dihindari atau sosok negara yang terbelakang atau kuno gitu. Tapi, ketika saya sampai di sana, saya melihat modernitas, bahwa walaupun mereka anti Amerika, (maksud saya anti Amerika itu lebih banyak pada orang tua gitu ya), mereka tetep pake fashion Zara, pokoknya pake brand-brand dari Amerika, terus mereka minum coca cola, mereka dengerin lagu Lady Gaga, Beyonce, dan masih banyak lagi yah. Ya gitulah kenyataanya, saya begitu antusias menceritakannya ke dalam sebuah komunikasi visual”.1 Rangkaian foto di dalam buku ini dikemas melalui pendekatan essay foto dan cenderung beraliran Street Photography. Kumpulan foto di dalam buku ini berjumlah 47 foto termasuk sampul buku. Buku ini diterbitkan pada tanggal 20 Juli tahun 2013, ketika berlangsungnya acara Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2012 di Grand Indonesia, Jakarta Selatan. Dalam penerbitan buku tersebut, dihadiri beberapa narasumber seperti Oscar Motuloh sebagai kurator buku Juvenile Evolvere, Ali Rad dari Kedutaan Besar Iran untuk Indonesia dan Pemerhati negara Timur Tengah, Faisal Assegaf.
1
Safir Makki, disampaikan ketika wawancara, (Jakarta: 2016).
51
Buku foto Juvenile Evolvere merupakan salah satu dari sedikitnya buku literasi kebudayaan Iran dalam bentuk komunikasi visual di Indonesia, terlihat dari hampir semua halaman berisi rangkaian foto. Buku yang merekam aktivitas dari 3 kota di Iran yakni, Tehran, Esfahan dan Yazd tersebut secara tidak langsung akan menambah kekayaan pemikiran fotografi Indonesia. Safir, membukukan karyanya ini setalah melakukan perjalanan pribadinya selama 12 hari di Iran. Iran, negara yang dulu hinggap di benak Safir melalui pemberitaan media massa setelah konfliknya dengan Irak berakhir Perang Teluk pada era tahun 1980-1988. Secara teknis, buku ini begitu menarik dengan desain dan layout yang sederhana. Pengantar dari Oscar Motuloh sebagai Kurator dan Safir Makki sebagai Fotografer di bagian awal, berfungsi untuk mengetahui tentang buku ini secara umum. Kemudian berikutnya masuk ke bagian utama, foto-foto yang tersaji tanpa teks. Pada bagian belakang hanya keterangan tempat dan waktu mengenai foto ini, serta beberapa keterangan cetak dan ISBN buku. Buku foto ini juga dikemas dalam ukuran A5, 15cm x 21cm, sehingga memudahkan pemirsa untuk membaca foto-foto yang menggunakan pendekatan foto dokumenter. Buku ini merupakan buku perdana Safir Makki dalam hasil pengembaraanya di Tanah Parsi. Buku ini juga banyak dipublikasikan dibeberapa acara fotografi yang saat ini sudah menjadi daya tarik masyarakat fotografi di Indonesia, yang umumnya masih baru dapat perhelatan fotografi dunia. Indonesia banyak memiliki fotografer yang
52
membukukan karyanya dalam bentuk foto dokumenter, salah satunya buku ini. Secara umum, titik puncak seorang fotografer adalah memiliki karya, dalam bentuk pameran ataupun buku sebagai masterpiece yang mereka raih. Begitu pun dengan Safir Makki, sebagai seorang yang bergelut di dunia fotografi, buku Juvenile Evolvere ini merupakan buku perdana fotografer yang bekerja untuk CNN Indonesia. Melalui buku ini, Safir ingin berbagi dan menceritakan kepada para pembaca, bahwa Iran itu bukan seperti apa yang telah banyak diberitakan tentang negatifnya negara yang mayoritas menganut Islam Syi‟ah ini. Buku ini memang bukan menceritakan tentang keseluruhan negara Iran, tapi setidaknya dapat mewakili gambaran secara umum, bahwa Iran itu merupakan negara yang begitu maju dan memiliki pemuda yang melihat masa depan dengan segala keterbukaan teknologi dan Informasi. Namun mereka tetap menghargai identitas dan kebudayaan bangsanya. Seperti apa yang telah disaksikan Safir, hampir semua Pemuda Iran dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Inggris. Mereka juga begitu ramah kepada Safir, ketika Safir menemui kesulitan mereka selalu membantu, seperti menjamu orang asing ataupun tamu, karena sejatinya mereka memang masyarakat Islam yang sama seperti di Indonesia.
53
B. Profil Safir Makki Mohammad Safir Makki, adalah nama lengkap fotografer buku Juvenile Evolvere. Safir lahir di kota Mekkah, pada tanggal 22 November tahun 1977, ketika kedua orang tuanya tengah menjalankan Ibadah Haji. Safir merupakan panggilan akrabnya, pria yang memiliki hobby Travelling ini, sekarang bekerja sebagai Pewarta Foto di media raksasa asal Amerika Serikat CNN Indonesia. Sebelum bergelut di dunia fotografi, Safir memulai pendidikan fotografinya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan program studi Fotografi dan lulus pada tahun 2003. Selama kuliah, Safir sudah memulai karir fotografinya sebagai Kontributor Foto koran Tempo untuk regional Yogyakarta selama setahun. Setelah lulus sebagai Sarjana Seni, Safir bergabung dengan Koran Harian Rakyat Pos, yang membahas tentang isu kriminalitas, perkotaan dan nasional. Kemudian pada tahun 2005, Safir bergabung dengan Canting Lifestyle Magazine, majalah yang berfokus dengan pemberitaan gaya hidup, kuliner dan beberapa produk fashion. Masih di tahun yang sama, karir Safir semakin melonjak setelah bergabung dengan media nasional sekelas Media Indonesia sebagai Pewarta Foto. Setelah selesai pada tahun 2008, Safir memutuskan untuk bergabung dengan koran berbahasa inggris yaitu Jakarta Globe. Pada pertengahan tahun 2014 tepatnya bulan September, Safir resmi bergabung dengan media franchise yang dibeli Trasncorp media yaitu CNN Indonesia, media yang berfokus memberitakan tentang Isu Politik, Ekonomi, Olahraga, dan Budaya.
54
Lebih dari 10 penghargaan bergengsi di bidang fotografi telah diraihnya, seperti Anugerah Jurnalistik (2006), Anugerah Adiwarta (2009), National Geographic Indonesia Photo Contest (2012), dan beberapa perlombaan fotografi lain di tingkat nasional. Dalam karir fotografinya Safir melakukan banyak perjalanan pribadi di luar penugasan kantor untuk menyalurkan hobinya sebagai seorang Traveller. Dari banyaknya perjalanan itulah membuat Safir tertarik membukukan karya-karyanya, dan yang telah sukses sekaligus menjadi buku perdana Safir adalah buku foto Juvenile Evolvere. Pria berdarah Palembang ini juga pernah mengikuti Workshop bergengsi untuk kelas Pewarta Foto di Indonesia, yaitu Permata Photojournalist Grant (PPG) pada tahun 2012 dan Safir merupakan salah satu dari 10 peserta angkatan pertama dalam pelatihan foto jurnalistik ini. Workshop yang digagas oleh para Fotografer Senior seperti pasangan suami istri Edy Purnomo dan Ng Swan Ti, lalu pengkaji fotografi Deny Salman, Beawiharta dari kantor berita Reuters, Kurator dan Kepala Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Oscar Motuloh, serta mengundang Fotografer kelas dunia seperti Kadir Van Lohuizen, Sasa Kralj, dan beberapa redaktur foto dari berbagai media ternama di Indonesia. Dari hasil workshop tersebut, Safir berkarya, menceritakan suatu peristiwa dan dibukukan menjadi sebuah katalog resmi dari hasil workshop para peserta. Safir juga aktif dalam beberapa kegiatan organisasi yang berkaitan dengan jurnalis foto di Indonesia seperti Pewarta Foto Indonesia dan Kelas Foto Lawson. Pewarta Foto Indonesia merupakan organisasi Pewarta Foto
55
terbesar di Indonesia yang menaungi dan melindungi para pewarta foto dari berbagai macam kegiatan yang mereka kerjakan. Hampir setiap tahunnya, organisasi ini melakukan suatu perhelatan akbar ditingkatan pewarta foto seperti Anugerah Pewarta Foto Indonesia mereka sering menyebutnya APFI. Perhelatan yang memberikan penganugerahan atau semacam penghargaan atas karya yang telah dibuat pewarta foto dalam satu tahun terakhir. Sedangkan Kelas Foto Lawson, merupakan sebuah kelas yang didirikan oleh beberapa fotografer di Indonesia, salah satunya Safir Makki, untuk membuka dan membagikan ilmu serta pengalaman kepada para pesertanya. Kelas ini dibuka untuk umum tanpa dipungut biaya. Dalam perjalanan karir fotografinya, Safir Makki banyak tertarik dengan kebudayaan dan peradaban Islam, mulai dari Islam Timur Tengah sampai Islam Indonesia. Terbukti dengan membuat karya fotografi kebudayaan Iran. Beberapa referensi buku foto yang dikoleksi oleh Safir mayoritas diisi oleh buku-buku yang bertajuk Islami dikemas melalui berbagai macam pendekeatan serta aliran yang berbeda-beda, dari Foto Dokumenter, Street Photography, Travel Photography dan beberapa aliran maupun pendeketan yang lainnya. Pewarta foto yang berdomisili di Bekasi ini, aktif dalam bermedia sosial seperti Instagram untuk menyiarkan karya-karyanya. Menurutnya, suatu karya itu harus terus diproduksi agar tetap menjaga insting seorang fotografer. Hampir setiap harinya, Safir selalu memotret apapun yang menurutnya menarik dan dipublikasikannya ke media sosial Instagram.
56
Media sosial yang juga banyak digunakan para fotografer untuk terus berkarya dan menjaga insting seorang fotografer. Saat ini, kegiatan Safir diisi dengan bekerja sebagai pewarta foto senior CNN Indonesia, selain itu juga ikut untuk berkontribusi dalam menjalankan organisasi besar Pewarta Foto Indonesia (PFI) yang berpusat di Jakarta. Pria yang memiliki golongan darah A ini juga sering mengahadiri beberapa acara terkait fotografi sebagai seorang narasumber yang biasanya di undang di acara kampus. Safir juga tidak berhenti berkarya hanya di Juvenile Evolvere, Ia terus melakukan perjalanan pribadinya ke beberapa tempat yang menurutnya menarik sehingga memunculkan beberapa ide yang dirinya menyebutnya kejutan visual.
BAB IV ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FOTO KARYA SAFIR MAKKI DALAM BUKU JUVENILE EVOLVERE
Memasuki bab ini, peneliti akan menganilisis beberapa foto sebagai sampling data yang mewakilkan keseluruhan foto di dalam buku foto Juvenile Evolvere. Peneliti akan menggunakan pendekatan semiotika konsep Roland Barthes dalam menganalisis beberapa foto yang ada di dalam buku tersebut. Seperti apa yang telah peneliti jabarkan pada bab II, terdapat tiga tahap dalam konsep semiotika Roland Barthes. Pertama, tahap Denotasi, peneliti akan menjabarkan elemen yang terdapat di dalam foto. Kedua tahap Konotasi, terdapat enam komponen, yang pembagiannya menjelaskan secara rinci makna dalam suatu elemen gambar, yakni, Trick Effect (efek tiruan), pose atau gesture tubuh, objek, Photogenia (teknik foto), Aestheticism (Komposisi), dan Sintaksis. 1 Dan Yang ketiga adalah tahap Mitos. Karena pendekatan semiotika konsep Roland Barthes lebih relevan dalam memaknai dinamika sosial dan budaya. 2 Oleh karena itu, peneliti memahami bahwa tujuan dari analisis tentang kebudayaan menggunakan konsep Roland Barthes ini, bukanlah mencari suatu kebenaran atau mengatakan itu suatu kesalahan, melainkan untuk menguji sejauh mana peneliti dapat memahami dan menganlisis beberapa foto yang terkandung dalam buku Juvenile Evolvere.
1
Roland Barthes, Imaji Musik Teks (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 7-12. Benny H. Hoed, Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 8. 2
57
58
A. Data Foto 1
Gambar 1 B. Analisis Data Foto 1 1. Tahap Denotasi Dalam data foto pertama ini, didapati objek (analogon) apa saja yang terdapat dalam foto tersebut, antara lain sebagai berikut : a. Portrait close up medium seorang pemuda Iran. b. Tampak seorang pemuda menggunakan kaos berlambangkan bendera negara Amerika Serikat. c. Menggunakan topi berlambangkan NBA (National Basketball Association). d. Eksperesi sedikit senyum e. Latar belakang (Background) tembok berawarna krem. Makna denotasi yang didapat dengan memperhatikan beberapa analogon yang ada mengungkapkan, seorang pemuda menggunakan kaos
59
berlambangkan bendera negara Amerika serikat dan topi berlambangkan NBA (liga basket pria Amerika Serikat), sedang berdiri menghadap kamera serta memiliki latar belakang tembok yang berwarna krem. Data foto 1 tercipta dengan pencahayaan normal yang berasal dari sebelah kanan objek gambar, dalam pencahayaan fotografi dikenal dengan istilah Sight Light. Pencahayaan normal ini dibuat dengan menerpadukan antara kecepatan rana, diafragma dan ISO, dalam unsur fotografi dikenal dengan Triangle Fotografi, dimana unsur ini menjadi bagian paling bendasar dalam pembuatan foto. 2. Tahap Konontasi a. Trick Effect Data foto 1 tidak mengandung Trick Effect atau mengubah keaslian foto. Dalam data foto 1 ini, fotografer sama sekali tidak mengubah keaslian gambar, tidak ada gambar yang digabungkan ataupun dirubah. Secara warna gambar juga tidak terlihat fotografer mengubah warna gambar, karena jelas warna tersebut asli ketika seorang melihat warna gambar ini tampak dengan jelas tidak ada perubahan warna yang dilakukan. Karena rangkaian foto ini merupakan foto dokumenter dimana seorang fotografer tidak dapat merubah
gambar
secara
digital
imaging,
harus
benar-benar
memperlihatkan keaslian dari gambar tersebut. b. Pose Pose yang dimaksud di dalam data foto 1 ini adalah gestur dan sikab tubuh objek yang ada pada data foto 1 ini. Data foto 1 ini
60
merupakan bagian dari jenis portrait yang ada di dalam foto documenter. Fotografer mengatur objek untuk difoto sesuai dengan apa yang diinginkan oleh fotografer, namun tetap dengan menjaga komunikasi yang baik antara seorang fotografer dan objek yang akan difoto. Dalam hal ini, karena foto documenter membutuhkan foto portrait yang ada di dalamnya sebagai bagian dari identitias, fotografer melakukakn setting terhadap objek yang di foto. Terlihat dalam data foto 1, seorang pemuda Iran yang menggunakan kaos berlambangkan bendera Amerika Serikat dan menggunakan topi berlambangkan NBA berlatar belakang tembok berwarna krem. Gestur dalam data foto 1, seorang pemuda Iran berdiri menghadap kamera dengan sedikti tersenyum dalam bagian dari gayanya. c.
Objek Bermacam-macam objek terdapat dalam data foto 1 ini, antara lain seperti, seorang pemuda Iran, topi NBA, kaos bendera Amerika Serikat, dan tekstur tembok berwarna krem yang menjadi latar belakang. Seorang pemuda Iran menjadi objek solo yang lebih dominan di potret melalui kamera fotografer. Dalam hal ini, topi, dan kaos yang digunakan oleh pemuda Iran ini menjadi menarik ketika difoto, karena tentu Iran pasca revolusi pada tahun 1979, mendapatkan diskriminasi dari negara-negara barat, tentu respon masyarakat Iran menjadi keras, terkesan dengan tegas anti Amerika Serikat, namun begitu kontras dengan data foto 1 ini, yang jelas-jelas pemuda Iran ini bangga akan apa yang dipakainya. Gaya American Style yang banyak
61
digunakan para pemuda di Amerika Serikat ini sangat kontras dengan apa yang dikenakan oleh pemuda Iran ini, dengan dukungan tembok berwarna krem yang ada di belakangnya, bahwa tembok tersebut terkesan dominan dan banyak bangunan ini ditemukan di negaranegara timur tengah. d. Photogenia (Teknik Foto) Karena di dalam data foto 1 ini merupakan foto portrait, tidak terlalu banyak teknik foto yang digunakan fotografer dalam memotret objek pemuda Iran ini. Peneliti melihat, bahwa data foto 1 ini menggunakan angle atau sudut pandang eye level, dimana lensa kamera
sejajar
dengan
mata
pemuda
Iran
tersebut.
Secara
pencahayaan, lightmeter yang digunakan fotografer begitu normal perpaduan dalam triangle fotografi. Fotografer mengambil cahaya dari samping atau dikenal dengan sight light, mata seorang fotografer begitu tajam dalam pengambilan cahaya, karena beda arah datangnya cahaya akan membuat makna objek foto berbeda. Fotografer menggunakan kecepatan rana yang begitu tinggi sehingga objek gambar tidak terlihat moving. Kepekaan fotografer begitu baik dalam rasa, sehingga membuat makna dalam data foto 1 ini begitu terasa. e.
Aestheticism (Komposisi) Komposisi yang terdapat di dalam data foto 1 ini, menempatkan objek di sebelah kiri dalam keseluruhan porsi gambar. Selain menjadi nilai estetisme, penempatan yang digunakan fotografer dalam menambah komposisi ini, terkesan bahwa pemuda Iran ini berada di
62
golongan kiri, yang berarti melawan anti mainstream yang ada pada negara Iran ini. Setiap foto portrait, biasanya banyak menggunakan komposisi atau penempatan objek di tengah dalam porsi keseluruhan gambar, tetapi kepekaan fotografer dalam merekam suatu momen itu menjadi lebih bermakna dan lebih berkarakter. f.
Sintaksis Sintaksis merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam penyajian suatu karya yang biasanya terdapat pada foto dan teks. Namun dalam foto ini, peneliti tidak menemukan teks pada data foto 1, oleh karena itu peneliti lebih melihat dari susunan elemen yang terdapat dalam foto ini. Dalam data foto 1 ini, pembaca diajak untuk melihat bahwa sudut pandang anak muda Iran terlihat sebagai suatu gaya hidup yang menjadi pergaulan dalam ruang lingkup mereka.
3. Tahap Mitos Dalam data foto 1 ini, makna mitos yang dikembangkan adalah ditengah gempuran embargo yang dilakukan negara-negara barat bukan berarti menjadikan negara ini lemah. Dengan adanya perihal tersebut para pemuda Iran lebih melihat masa depan dengan keterbukaan teknologi dan informasi. Iran memiliki kualitas pendidikan yang baik sehingga membentuk pemikiran-pemikiran yang segar tentu dibutuhkan oleh negara ini dalam menghadapi era globalisasi. Keterbukaan teknologi dan Informasi oleh pemuda-pemudi Iran membuka mata dunia, bahwa apa yang telah dilakukan media barat
63
dalam membentuk hirarki sehingga membuat citra Iran memburuk di mata dunia, berbanding terbalik terhadap apa yang terjadi sebenarnya di Iran. Pemuda-pemudi di Iran memilih untuk berevolusi dengan cara mereka sendiri, dengan segala modernitas tanpa melupakan budaya dan identitas mereka. Modernitas kaum muda Iranm diiringi dengan baiknya kecintaan mereka terhadap kebudayaan dan seni Persia yang begitu besar di mata dunia. Mereka memiliki cara tersendiri dalam melestarikan kebudayaan Persia. Pemikiran yang begitu futuristik akan membuat mereka tetap bertahan bahkan terlihat lebih maju di tingkat dunia melebihi negara-negara barat sekelas Amerika Serikat.
64
C. Data Foto 2
Gambar 2 D. Analisis Data Foto 2 1. Tahap Denotasi Pada data foto kedua, didapati objek (analogon) apa saja yang terdapat dalam foto tersebut, antara lain sebagai berikut: a. Tampak dua orang perempuan sedang berjalan. b. Satu orang di depan, perempuan menggunakan chadur berwarna hitam sedang menutupi bagian bawah wajahnya. c. Satu orang di belakang, perempuan menggunakan chadur, tampak pada bagian dalam kerudungnya berwarna biru muda dan membawa sebuah tas berwarna merah muda. d. Berlatar belakang selasar jalan dengan sebelah kiri tampak bercahaya dan sebelah kanan tampak gelap.
65
Makna denotasi
yang terdapat pada data foto 2 dengan
memperhatikan beberapa analogon, mengungkapkan bahwa blurring pada foreground menunjukan perbandingan antara objek depan dengan objek belakang. Objek depan menunjukan seorang wanita dengan pakaian tradisional Iran dengan sedikit menutupi bagian bawah wajahnya, sedangkan objek bagian belakang, seorang perempuan muda dengan pakian chadur tampak bagian dalam kerudungnya berwarna hitam, rambut bagian depan perempuan muda ini sedikit terlihat, serta menggunakan tas modern berwarna merah muda. 2. Tahap Konotasi a. Trick Effect Pada data foto 2 juga tidak terdapat unsur dalam memanipulasi gambar, terlihat dari kesempurnaan cahaya dan tidak ada yang janggal pada data foto 2. Data foto 2 ini juga tidak mengandung unsur trick effect karena ini merupakan bagian dari foto documenter, dimana seorang
fotografer
tidak
diperkenankan
untuk
menambah,
mengurangi, mengganti apapun yang ada di dalam suatu foto. Dalam retouching atau pengeditan gambar, fotografer hanya sekedar merapihkan cahaya jika ada yang terlalu gelap ataupun terlalu terang, fotografer juga dapat melakukan cropping jika dibutuhkan. Jika dilihat dari tampilan gambar yang mengandung bluring, fotografer ingin menyampaikan perbandingan antara dua objek yang berbeda, sehingga memiliki makna yang berbeda dalam data foto 2 ini.
66
b. Pose Sikap tubuh atau gesture yang ada di dalam data foto 2 ini, terdapat dua perempuan sedang berjalan di sepanjang selasar. Pada objek depan, seorang perempuan berjalan menggunakan pakaian tradisional Iran tertunduk, menutupi bagian wajah bawahnya seolah seperti memiliki makna yang malu dan tidak percaya diri. Jika dibandingkan dengan objek belakang, perempuan yang sedang berjalan
ini,
terlihat
percaya
diri
dengan
pakaian
yang
dikenakannya dan kerudung berawarna biru muda, ditambah tas modern berwarna merah muda membuat dirinya terlihat lebih elegan dan cepat langkahnya. c. Objek Objek yang terdapat dalam data foto 2 ini adalah dua orang perempuan Iran yang sedang berjalan di sepanjang selasar jalan. Pada objek yang di depan, Perempuan sedang berjalan dengan menggunakan chadur atau pakaian tradisional Iran berwarna hitam, berjalan menunduk dan sedikit menutupi bagian bawah wajahnya. Sedangkan, pada objek bagian belakang, perempuan muda sedang berjalan dengan membawa tas modern berwarna merah muda, bagian dalam pakaian perempuan ini meggunakan kerudung berwarna biru muda. Latar di dalam foto ini merupakan selasar jalan dengan cahaya di sebelah kiri dan gelap di sebelah kanan, terlihat seperti rangkaian gabungan cahaya.
67
d. Photogenia (Teknik Foto) Foto ini diambil dengan menggunaan teknik foto chiarasquro, dimana terdapat gabungan cahaya antara gelap, normal dan terang, sehingga memberikan kesan yang heterogen di dalam data foto 2 ini. Kemudian fotografer mengambil bluring foreground dan background, dengan bukaan diafragma yang kecil, membuat foto ini menjadi menarik untuk membandingkan antara objek depan dan objek berlakang. Hasil dalam bluring ini sangat cocok digunakan jika membuat perbandingan antara objek depan dan objek belakang seperti apa yang terlihat dalam data foto 2 ini. Teknik foto freezing juga digunakan fotografer dalam data foto 2 ini, kedua perempuan tersebut terlihat menjadi membuku dan tidak ada moving atau gerakan yang terjadi di dalam gambar. Fotografer menggunakan kecepatan rana yang tinggi ketika menjepret kamera, sehingga
membuat
objek
menjadi
kesan
yang
membeku,
mengimbangkan antara diafragma dan ISO sehingga menjadikan objeknya menjadi normal dalam teknik pencahayaan. e. Aestheticism (Komposisi) Setelah diamati, komposisi dalam data foto 2 ini begitu menarik, fotografer begitu sabar dalam mengambil objek ini. Posisi antara dua orang perempuan ini terlihat depan dan belakang sedang berjalan, artinya fotografer menunggu moment ini, insting seorang fotografer telah teruji ketika melihat dalam komposisi pada data foto 2 ini.
68
f. Sintaksis Ketepatan fotografer dalam merekam moment yang terdapat dalam data foto 2 ini, jelas memberikan makna pesan dimana dua perempuan yang sedang berjalan, satu perempuan berjalan di depan, menyampaikan bahwa perempuan tersebut lebih dahulu dari pada yang dibelakang. Perempuan dengan menggunakan pakaian tradisional Iran berjalan di depan ini menunduk menutupi bagian bawah wajahnya seperti terlihat malu. Sedangkan kontras dengan objek perempuan yang berjalan di belakang, perempuan ini berjalan cepat dengan membawa tas modern berwarna merah muda serta menggunakan kerudung berwarna biru muda di bagian dalamnya. Peneliti melihat pada data foto 2 ini, fotografer begitu rinci dalam melihat suatu peristiwa sehingga menghasilkan banyak mana juga mewakili tajuk Juvenile Evolvere yang ada dalam buku. Dari beberapa aspek yang telah dijabarkan pada data foto 3 ini, menafsirkan bahwa perempuan muda Iran, begitu berbeda dengan apa yang telah diberitakan media media barat. Kaum muda Iran memilih revolusi dengan cara mereka sendiri, mereka melihat masa depan dengan segala keterbukaan informasi dan teknologi. Peneliti mengatakan bahwa makna konotasi yang terdapat dalam data foto 2 ini, bahwa terdapat perbedaan kaum generasi muda Iran yang lebih modern, lebih melihat masa depan dengan pemikiran yang begitu global.
69
3. Tahap Mitos Dalam foto yang kedua ini pun kandungan mitos dapat ditangkap khususnya dengan pakaian yang dikenakan kedua perempuan ini. Kedua perempuan yang berbeda generasi ini menggunakan pakaian dan gaya yang berbeda. bukan bicara tentang usia dan apa yang dikenakan, melainkan pemikiran modern dan futuristik ini membuat makna mitos yang terdapat dalam data foto 2 ini justru menjelaskan secara rinci bahwa kaum muda Iran telah memilih cara mereka sendiri untuk berevolusi dalam menghadapi globalisasi. Suatu mitos yang terlihat lemah di mata masyarakat Iran ini, justru mewakilkan pesan yang ingin ditekankan dan disampaikan oleh fotografer dalam menyiarkan sejarah peradaban Islam bahwa terpaan media barat yang membentuk citra Iran menjadi buruk berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sebenarnya. Dari hal tersebut dilihat bahwa mitos tentang pakaian yang dikenakan kaum muda Iran ini, menjadi gambaran yang begitu kontras di mata dunia, bahwa Iran yang akan dipimpin oleh generasi muda ini, akan memperlihatkan kepada dunia bahwa Iran merupakan negara yang terbuka, negara yang melihat masa depan dengan segala keterbukaan infromasi dan teknologi yang saat ini dibutuhkan oleh masyarakat dunia.
70
E. Data Foto 3
Gambar 3 F. Analisis Data Foto 2 1. Tahap Denotasi Pada data ketiga, didapati terdapat (analogon) apa saja yang terdapat dalam foto tersebut, antara lain sebagai berikut: a. Tampak seorang laki-laki dan dua orang perempuan tengah duduk mengenakan Blue Jeans di depan halaman sebuah bangunan. b. Seorang laki-laki yang duduk di sebelah kiri, tampak sedang melihat objek disekitarnya sambil menyiapkan apa yang ingin dituliskan atau digambarkan pada kertas yang dipangkunya. c. Perempuan yang duduk di tengah, tampak sedang menggunakan earphone dan memainkan handphone, sambil memangku buku. d. Perempuan yang duduk di sebelah kanan, tampak sedang memainkan handphone sambil memangku kertas beralaskan papan.
71
e. Berlatar di depan sebuah bangunan yang memiliki eksterior kesenenian tradisional Persia. Makna denotasi yang terdapat pada foto ketiga ini, dengan memperhatikan beberapa analogon yang ada mengungkapkan bahwa, terdapat tiga orang anak muda, satu orang laki-laki dan dua orang perempuan tengah duduk dan tampak sedang ingin melukis objek disekitarnya di depan sebuah bangunan yang memiliki eksterior kesenian tradisional Persia. 2. Tahap Konotasi a. Trick Effect Pada foto ketiga ini, setelah peneliti mengamati tidak ada trick effect atau manipulasi yang dilakukan fotografer dalam foto yang ketiga ini. Jelas terlihat, bahwa tidak ada objek gambar yang dirubah, ditambahkan, ataupun diganti dalam foto ini. Karena foto ini juga masih menjadi bagian dalam rangkaian foto Juvenile Evolvere yang menggunakan foto dokmenter sebagai pendekatan, tentu dalam foto ini tidak akan dilakukan manipulasi foto. Data foto ketiga ini dalam proses editing hanya dilakukan brightness dan contrast sebagai pendukung exposure guna menyeimbangkan cahaya yang terdapat dalam foto ini. Cropping diperkanankan dilakukan dalam foto documenter, selama tidak ada unsur gambar yang diubah. b. Pose Tampak beberapa pose atau gestur yang berbeda pada tiga objek yang terdapat dalam foto ketiga ini. Objek yang pertama dari sebelah
72
kiri, terdapat seorang laki-laki muda Iran tengah duduk menyilangkan kedua kakinya di depan bangunan Iran, tampak terlihat sedang melihat ke arah kiri dari gambar seolah sedang memperhatikan objek yang ingin digambar atau ditulis pada kertas yang dipangkunya. Pada objek yang kedua di bagian tengah, terdapat seorang perempuan muda Iran tengah duduk menyilangkan kedua kakinya, tangan kiri menyentuh bagian wajahnya, sedangkan tangan bagian kanan memainkan handphone yang terhubung dengan earphone yang dikenakannya seolah seperti sedang mendengarkan musik ataupun menerima telepon. Objek terakhir, pada sebelah kanan tampka seorang perempuan muda Iran tengah duduk dengan merapatkan kedua bagian lututnya
memangku
kertas
beralaskan
papan
sambil
sedang
memainkan sebuah handphone. c. Objek Objek yang terdapat dalam foto ini, terlihat tiga orang kaum muda Iran tengah duduk dan sibuk dengan aktifitas masing-masing di depan bangunan, satu orang laki-laki di sebelah kiri, dan dua orang perempuan di sebelah kanan. Kemudian terlihat bangunan tersebut memiliki eksterior kesenian tradisional Persia yang begitu khas dengan negara ini. d. Photogenia (Teknik Foto) Terdapat beberapa teknik foto yang digunakan fotografer ketika menjepret moment yang ada di dalam foto ketiga ini. Freeze digunakan fotografer dalam membuat foto ini, terlihat semua objek
73
seperti memiliki kesan membeku, kecepatan rana dalam menangkap cahaya yag ada dalam foto ini, membuat semua objek tidak ada yang bergerak. Kemudian high angle dalam pengambilan sudut pandang ini, membuat kesan objek terlihat lebih rendah dari mata lensa kamera. Fotografer begitu sensitive terhadap kehadiran para kaum muda Iran, sehingga banyak kejutan visual yang ditemukannya. Fotografer juga menggunakan Framing dimana setiap objek dilingkari bingkai yang ada di dalam gambar, terlihat pintu bangunan tersebut seolah membuat bingkai diantara ketiga objek ini. e. Aestheticism (Komposisi) Komposisi yang terdapat dalam foto ketiga ini, fotografer menempatkan ketiga objek kaum muda Iran menjadi bagian yang setara dengan garis. Fotografer membuat kompisi ini seolah memberikan makna, bahwa mereka duduk di depan bagunan yang memiliki eksterior kesenian Persia, dimana hal tersebut menjadi identitas mereka, namun tetap setara antara satu sama lain objek di dalam foto yang ketiga ini. Penempatan objek di tengah antara sebuah pintu juga memberikan makna bahwa mereka baru keluar yang berarti kaum muda yang sedang belajar serta tumbuh dewasa. f. Sintaksis Pada foto yang ketiga ini, para pembaca foto dapat memahami bahwa kaum muda Iran, tengah bergegas dalam membangun negaranya dengan cara mereka, dengan segala keterbukaan infromasi
74
dan teknologi namun tetap berada mencintai kebudayaan Iran sebagai identitas mereka. Tidak ada perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan di Iran, seperti yang terlihat dalam foto ketiga ini, laki-laki dan perempuan bersama dengan nyaman tanpa ada halangan dan juga batas antara mereka. Kaum muda Iran juga terus belajar dalam menghadapi dunia ketika mereka dituntut untuk membuka mata, melihat masa depan mereka dengan segala kemajuan teknologi dan informasi. Jika dilihat dari beberapa aspek yang telah disebutkan sebelumnya, pada foto ini Blue Jeans yang mereka kenakan merupakan lambing dari pergesaran kebudayaan, terlihat bagaimana kondisi kaum muda Iran saat ini yang begitu modern dan tidak meninggalkan kebudayaan sebagai identitas mereka. Peneliti mengamati bahwa fotografer hanya ingin menyampaikan apa yang dialami ketika di sana, menjadi saksi visual dari sebuah peradaban besar bangsa yang besar yaitu Iran. Kebudayaan bangsa yang memiliki sejarah panjang Persia, dan berperan besar dalam berkontribusi di dunia. Negara Islam yang memiliki kaum muda dengan begitu antusias dengan segala kemajuan dan keterbukaan teknologi informasi yang begitu mengglobal. 3. Tahap Mitos Mitos merupakan salah satu kebudayaan yang telah ada sejak masa lampau. Mitos dapat berkembang dari bagaimana cara masyarakat menanggapinya. Terjadinya modernitas dan perubahan gaya hidup dapat
75
dikaitkan dengan mitos yang telah ada sebelumnya. Masih banyak masyarakat yang percaya terhadap mitos walaupun belum diketahui benar atau tidaknya. Begitu juga dengan negara Iran, kaum muda Iran saat ini berpikir segala sesuatu dengan menggunakan logika dan akal sehat, mereka menganggap sesatu yang mitos itu memang ada namun tetap berjalan dengan apa adanya, sejalan deras dengan embargo yang dilakukan Amerika Serikat dan beberapa negara barat. Apapun mitos yang marak dibicarakan masyarakat terkait dengan modernitas yang terjadi pada kaum muda Iran, kehendak Tuhan tetap yang paling menentukan. Apabila Tuhan sudah
berkehendak,
menghindarinya.
tidak
ada
satupun
manusia
yang
mampu
76
G. Data Foto 4
Gambar 4 H. Analisis Data Foto 4 1. Tahap Denotasi Pada data keempat, didapati terdapat (analogon) apa saja yang terdapat dalam foto tersebut, antara lain sebagai berikut: a. Tampak seorang perempuan sedang berjalan melewati tulisan yang berada di tembok. b. Tampak latar belakang tembok terdapat mural bertuliskan “DOWN WITH USA”. Dengan bingkai berwarna biru, warna dasar tengah putih, tulisan DOWN WITH berwarna kuning dan USA berwarna biru muda. c. Perempuan tersebut mengenakan Chadur atau pakaian tradisional Iran berwarna hitam.
77
d. Tampak perempuan tersebut membawa sebuah tas berwarna coklat. Makna denotasi yang terdapat dalam data foto yang keempat ini dengan memperhatikan beberapa analogon yang ada, bahwa tampak seorang perempuan Iran menggunakan Chadur atau pakaian berwarna hitam yang digunakan perempuan, berjalan melewati mural yang bertuliskan Down With USA. 2. Tahap Konotasi a. Trick Effect Pada foto yang keempat ini, peneliti memperhatikan tidak ada trick effect atau manipulasi foto yang dilakukan oleh fotografer. Dalam beberapa analogon tidak ada gambar ataupun objek yang terlihat janggal, tidak ada objek atau gambar yang dirubah maupun diganti. Data foto yang keempat juga masih bagian dalam rangkaian foto dokumenter, dimana proses editing tidak diperkanankan untuk mengganti ataupun merubah objek yang ada di dalam data foto yang keempat ini. Fotografer hanya melakukan editing pada data foto yang keempat ini hanya sebatas cropping, dimana ada beberapa bagian gambar yang dipotong untuk menyesuaikan posisi gambar, jika ada objek yang mengganggu. Kemudian fotografer hanya mengatur keterpaduan cahaya, agar foto memiliki cahaya yang normal. b. Pose Gesture atau sikap tubuh yang terdapat dalam foto yang keempat ini, terlihat bahwa terdapat seorang perempuan dengan
78
mengenakan chadur dan membawa sebuah tas coklat berjalan melewati mural yang bertuliskan “Down With USA” sebagai latar belakang yang ada di dalam gambar ini. Perempuan tersebut sekilas tidak terlihat bagian wajahnya, namun sikap tubuh atau gaya berjalannya telah dapat ditangkap pesan apa yang ingin disampaikan oleh fotografer kepada para pembacanya. c. Objek Objek yang terdapat dalam foto yang keempat ini adalah, seorang perempuan dengan mengenakan chadur atau pakaian tradisional Iran berwarna hitam. Perempuan ini tengah berjalan dengan membawa tas berwarna coklat. Kemudiaan latar belakang yang ada di dalam gambar ini terdapat mural yang bertuliskan “Down With USA” yang berarti USA akan segera jatuh dan banyak ditemukan di Iran pasca revolusi tahun 1979. Tembok yang berwarna coklat dan diisi mural yang terdapat pada bagian tengah ini menjadikan hal yang terpenting dalam makna konotasi ketika fotografer ingin menyampaikan pesan. Tanpa ada mural tulisan tersebut, foto yang keempat ini menjadi sulit untuk diterima para pembaca atau penikmat foto ketika menafsirkan pesan yang disampaikan oleh fotografer. d. Photogenia (Teknik Foto) Teknik foto yang digunakan fotografer pada data foto yang keempat ini bermacam-macam dan cukup banyak jika peneliti memperhatikan beberapa analogon yang terdapat dalam gambar.
79
Secara umum teknik foto yang digunakan fotografer adalah pencahayan, dimana terlihat keterpaduan antara pengaturan kecepatan rana, diafragma dan ISO sehingga menghasilkan cahaya yang normal tanpa adanya gelap dan terang di dalam gambar. Kemudian fotografer menggunakan teknik freezing dalam foto yang keempat ini, terlihat perempuan yang berjalan tersebut seolah tampak membeku tanpa ada gerakan sama sekali. Teknik foto ini digunakan fotografer dengan menggunakan kecepatan rana yang tinggi namun tidak melupakan diafragma dan ISO sehingga menghasilkan gambar yang membeku serta pencahayaan yang normal. e. Aestheticism (Komposisi) Pada foto yang keempat ini, fotografer menggunakan komposisi yang baik dalam membuat foto ini. Komposisi foto ini terlihat pada perempuan Iran yang menjadi pendukukung, perempuan yang berjalan terlihat telah melewati teks mural tersebut, sehingga memiliki makna bahwa kaum muda Iran telah melewati masa-masa dimana para pelaku peristiwa sejarah revolusi Iran, melakukan perjuangan dan perlawanan terhadap amerika dan beberapa negara barat ditengah besar-besaran embargo yang dilakukan negara tersebut. f. Sintaksis Sintaksis yang menjadi peran pendukung dalam foto ini menjadi begitu penting. Penulis melihat fotografer ingin menyampaikan pesan yang begitu penting, dengan adanya tulisan mural dan posisi perempuan Iran yang melewatinya, bahwa saat ini kaum muda Iran
80
begitu tidak lagi berteriak dan melakukan perlawanan atau sebagai macamnya. Fotografer terlihat ingin menunjukan setelah apa yang dilihatnya, bahwa saat ini kaum muda Iran begitu terbuka dan memiliki pemikiran yang futuristik dengan segala keterbukaan teknologi dan informasi. Setelah dijelaskan dalam beberapa tahap, makna konotasi yaitu mengenai kaum muda Iran, yang telah melewati masa dimana para pemuda atau pemudi disini tidak lagi menyuarakan tentang perlawanan mereka di tengah embargo besar-besaran yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara barat lainnya. Mereka memiliki cara tersendiri dalam memaknai revolusi, mereka begitu membuka diri dalam hal masa depan dan apa yang akan mereka hadapi di hari nanti. Kaum muda Iran begitu cepat dalam menerima peradaban namun tetap mencintai dan selalu melestarikan kebudayaannya sebagai identitas mereka. Seperti banyak yang tertera di beberapa rangkaian dalam foto ini, bahwa mereka tetap mencintai kebudayaan mereka, namun mereka juga tetep membuka diri dalam hal keterbukaan teknologi dan informasi sehingga mereka benarbenar siap untuk menatap masa depan bangsa Persia ini. 3. Tahap Mitos Makna mitos yang terdapat dalam foto ini ialah, kepemudaan. Dimana kepemudaan Iran ini, telah melewati masa-masa sulit yang mereka alami dengan perbedaan generasi. Ketika generasi-generasi sebelum mereka, menghadapi diskriminasi yang dilakukan oleh negara barat dengan cara perlawanan, melakukan aksi dengan memboikot produk barat
81
ataupun dengan cara menyerang kantor kedutaan terkait, berbeda dengan cara yang dilakukan kaum muda Iran saat ini. Konteks kepemudaan yang telah berevolusi di Iran ini menjadi hal yang amat penting bagi seorang fotografer dalam menyampaikan pesa visualnya. Kaum muda Iran begitu berbeda dengan generasi sebelumnya, kaum muda Iran saat ini begitu terbuka, begitu ramah dengan kedatangan orang asing. Melesatnya perkembangan teknologi informasi dan modernitas dunia, tentu dirasakan oleh pemuda Iran, hal tersebut menjadi bagian dalam hidup mereka. Bukan lantas melakuka budaya asing dan meninggalkan kebudayaan mereka, kaum muda Iran ini merupakan bangsa Persia, bangsa yang begitu besar, memiliki kebudayaan dan seni yang begitu tinggi, mereka saat ini tetap mencintai dan melestarikan budaya mereka dengan cara mereka sendiri.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil interpretasi dan penjelasan peneliti tentang pemaknaan foto melalui pendeketan semiotika konsep Roland Barthes, dimana pemaknaan tersebut melalui tiga tahap yakni, tahap denotasi, tahap kontasi dan tahap mitos pada buku foto Juvenile Evolvere karya Safir Makki. Oleh karena itu, peneliti dapat memberikan kesimpulan terhadap penelitian ini sebagai berikut: 1. Tahap Denotasi Kesimupulan tahap denotasi dari empat foto yang terkandung dalam buku Juvenile Evolvere, karya Safir Makki, memberikan gambaran tentang sebuah perubahan cara pandang suatu generasi atau kaum muda yang berpikir terbuka terhadap modernitas dan teknologi informasi di negara yang menganut sistem teokrasi yaitu Iran. Sebuah revolusi kaum muda Iran yang tidak dapat dihentikan oleh derasnya laju modernitas yang terletupkan melalui teknologi informasi. Pemuda dan Pemudi Iran memilih berevolusi dengan cara mereka sendiri, cara yang logis, positif, modern namun tetap mencintai kebudayaan dan melestarikannya dengan cara mereka sendiri. Iran merupakan negara yang maju dengan sistem teokrasi Islam, memiliki pemuda yang seperti merupakan potensi besar Iran untuk mendunia.
82
83
Dalam beberapa foto pada buku Juvenile Evolvere, memiliki bermacam-macam foto yang menarik, namun peneliti memilih empat foto yang begitu kuat secara pemakanaan dan visual. Empat foto ini pun sekaligus mewakili dari sebuah buku yang menceritakan tentang revolusi pemuda Iran pasca revolusi tahun 1979. Selain itu, foto-foto tersebut juga mudah dilihat dan dicerna pesan yang sampaikan oleh fotografer, maka dari itu, peneliti dapat menjelaskan dengan baik penelitian ini. 2. Tahap Konotasi Pada kesimpulan lanjutan di tahap konotasi pada empat foto yang dianlisis peneliti pada bab empat, peneliti yakin bahwa foto-foto yang terdapat dalam buku Juvenile Evolvere ini tidak hanya sebagai sekedar foto yang dilihat secara pandangan mata saja. Fotografer dalam menyampaikan sebuah pesan melalui komunikasi visual ini, memiliki keterlibatan perasaan terhadap objek yang dilihatnya ketika disana. Terlihat dari beberapa teknik fotografi yang begitu syarat akan makna membuat gambar-gambar dalam foto terasa lebih mendalam, fotografer seolah memiliki ikatan terhadap negara Iran ini, sehingga membuat karya-karyanya lebih terasa ketika melihatnya. Dari keempat foto yang telah peneliti jabarkan pada bab empat, peneliti menemukan berbagai macam simbol yang ingin disampaikan fotografer melalui karyanya. Banyaknya penggunaan aliran Travel Photography dan Street Photography membuat foto ini menjadi lebih terasa memiliki tingkat kesenian yang tinggi. Kemudian pengambilan
84
angle atau sudut pandang yang banyak menyandingkan objek, foto-foto tersebut terasa seolah banyak perbandingan yang dibuat secara nyata. Foto-foto pada buku Juvenile Evolvere ini memiliki banyak pesan konotasi yang jelas melibatkan antara fotografer dengan objek yang dibuatnya ke dalam sebuah foto. 3. Tahap Mitos Mitos yang terkandung dalam rangkaian foto pada buku Juvenile Evolvere merupakan kepemudaan atau kaum muda. Revolusi kaum muda Iran yang memilih untuk membuka pemikiran yang lebih mengglobal, lebih memiliki keterbukaan atas segala macam teknologi dan informasi. Modernitas kaum muda Iran ini tidak serta merta meninggalkan kebudayaan mereka, generasi penerus bangsa Persia ini begitu antusias terhadap kebudayaan mereka, mereka memiliki cara tersendiri dalam mencintai dan melestarikaan kebudayaan sebagai identitas mereka. Negara Islam Iran, merupakan negara yang menganut sistem Teokrasi, dimana pemimpin suatu negara menjadi wakil kedua Tuhan dan memiliki ideologi agamais, hanya ada dua negara di dunia yang menganut sistem masyarakat ini yakni Iran dan Vatikan. Semestinya tidaklah sulit membuat sebuah peraturan di negara Teokrasi, namun sejatinya tidak ada regulasi yang sanggup membendung gejolak kaum muda atas rasa ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
85
B. Saran Fotografi bukan hanya sekedar medium pembawa kabar, fotografi sejatinya lebih menjadi sekedar sarana, karena menyuarakan esai visual adalah sebentuk kelantangan menjawab pertanda jaman. Sebuah foto tidak hanya mengulas secara teknis dan estetis, melainkan juga mengupas dengan kajian elemen visual guna memahami filosifis foto dalam menyampaikan pesan. Sehingga budaya visual dan komunikasi visual dalam kemasan fotografi terus berkembang kreatifitiasnya sehingga mampu bersaing di kancah internasional bidang fotografi. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi saran kepada akademisi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, khususnya program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan juga para peminta fotografi yang tertarik pada foto dokumenter, antara lain sebagai berikut: 1. Melihat hasil analisis atas makna denotasi yang di dapat dari keempat foto yang peneliti lakukan, memberikan suatu referensi tentang tampilan foto-foto mengenai sebuah revolusi kaum muda Iran. Referensi tampilan foto-foto tersebut menjadi acuan bagi para fotografer khususnya pemula. Tampilan tersebut dapat dilihat dari sisi komposisi yang digunakan oleh fotografer. Sehingga menjadikan fotografer memilki kemampuan atau kekayaan visual yang baik ketika membuat sebuah foto.
86
2. Pada hasil analisis makna konotasi yang di dapat dari keempat foto yang diteliti, dapat dijadikan sebuah kamus visual bagi para penikmat fotografi, khususnya foto dokumenter. Pendekatan semiotika konsep Roland Barthes dalam membaca foto juga dapat menjadi acuan seorang fotografer untuk memahami bagaimana suatu kesan dapat terbentuk, ketika menyampaikan suatu pesan melalui foto. Sehingga pesan menggunakan komunikasi visual dalam bentuk foto dapat diterima dengan baik oleh komunikan. 3. Hasil analisis pada makna mitos yang terdapat pada kelima foto tersebut, secara umum memuat fakta-fakta atas pergesaran pemikiran kaum muda Iran yang terjadi dapat membuat suatu generasi menjadi berubah dalam melihat modernitas dunia serta keterbukaan pemikiran atas kemajuan teknologi dan informasi. Kemudian bagi para akademisi yang juga concern dalam seni membaca sebuah foto, metode semiotika yang dikemukakan oleh Barthes ini dapat pula menjadi pegangan dalam mengembangkan paradigma konstruktivis dan menggabungkannya dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat zaman sekarang. Maka dari itu, penelitian-penelitian semiotika dan fotografi yang dilakukan oleh seluruh Mahasiswa ataupun civitas akademika Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dapat terus berkembang dan diikuti oleh perkembangan pemahaman fotografi Indonesia maupun dunia, sebagai media dalam berkomunikasi visual melalui fotografi.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, Fotografi antara Dua subjek : Perbincangan tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press, 2002. Alwi, Audy Mirza. Foto Jurnalistik, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008. Barthes, Roland. Imaji Musik Teks (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra, 2010. Budiman, Kris. Semiotika Visual, Yogyakarta: Jalasutera, 2005. Christomy, Tommy. Semiotika Budaya, Depok: Universitas Indonesia, 2004. Danesi, Marcel Danesi. Pesan, Tanda, dan Makna (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra, 2010. Darmawan, Ferry. Dunia Dalam Bingkai, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009. Freddy Susanto, Anthon, Semiotika Hukum dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005. Halliday, M. A. K dan Ruqaiya Hasan. Bahasa, Konteks dan Teks: aspek-aspek bahasa dalam pandangan semiotik sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992. Hoed, Benny H. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu, 2008. Moleong, Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007 Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010 Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian, Jakarta: Kencana Prenada Group Nusantara, 2011. Motuloh, Oscar, disampaikan pada presentasi dalam kelas foto jurnalistik di Galeri Foto Jurnalistik Antara, (Jakarta: 2013).
87
88
Makki, Safir, Juvenile Evolvere, (Jakarta: Pewarta Foto Indonesia, 2013). Santosa, Puji. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, Bandung: Angkasa, 1931. Sobur, Alex. Analisis Teks Media, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Sobur, Alex. Semiotika Komunias, Bandung: PT. Penerbit Remaja Rosdakarya, 2006. Soelarko, Fotografi untuk Salon Foto dan Lomba Foto. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005. Tobroni, dan Imam Suprayogo. Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001 Wijaya, Taufan. Foto Jurnalistik, Klaten: CV Sahabat, 2011. Zoelverdi, Ed. Mat Kodak, Jakarta: PT. Temprint, 1985. Zoest. Aart van. Semiotika: Tentang Tanda, Cara kerjanya dan apa yang kita lakukan dengannya, Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993.
Wawancara dan Seminar Wawancara pribadi dengan Safir Makki, Jakarta, 22 Januari 2016. Seminar dan bedah buku “Juvenile Evolvere” bersama Safir Makki, Aula Madya UIN Jakarta, Tangerang Selatan, 18 November 2015.
Karya Ilmiah Fatimah, Skripsi “Makna Foto Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika karya Zarqoni Maksum pada Galeri Foto Antara.co.id)”. Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Sumantri, Arga, Skripsi “Citra buruh Perempuan dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotik Foto Pameran Beranda Para Buruh di Rubrik Fotografi Harian Surat Kabar Republika”. Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Hidayat, Marifka Wahyu, Skripsi “Analisis Semiotik Foto pada Buku Jakarta Estetika Banal karya Erik Prasetya”. Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.
89
Website Anugerah Pewarta Foto Indonesia V(2013-2014). Pewarta Foto Indonesia adalah organisasi nir-laba yang bertujuan memajukan dan melindungi kepentingan pewarta foto di Indonesia. Juga memberikan Apresiasi berupa kegiatan pameran, pendidikan, penerbitan dan penghargaan. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat di http://pewartafoto.org/about (Dilihat pada Oktober 2015) Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) adalah suatu lembaga pendidikan fotografi dokumenter dan jurnalistik yang diadakan oleh Kantor Berita Antara setiap tahun sejak 1992. Untuk info lengkap mengenai GFJA dapat dikunjungi di situs http://www.gfja.org/ atau Facebook resmi GFJA Museum & Galeri Foto Jurnalistik Antara. (Dilihat pada November 2015) PannaFoto adalah organisasi non-profit yang didedikasikan untuk meningkatkan kualitas fotografi dan foto jurnalistik di Indonesia. Informasi lebih lengkap bisa dilihat di situs http://www.pannafoto.org/ (Dilihat pada Januari 2016) http://www.worldpressphoto.org/foundation (Dilihat pada Desember 2015) www.invisiblephotographer.asia (Dilihat pada Januari 2015) www.lensculture.com (Dilihat pada Januari 2015)
INSTRUMEN WAWANCARA
Nama Narasumber
:
Safir Makki
Pekerjaan
:
Foto Jurnalis CNN Indonesia
Tempat Wawancara
:
Shelter Pewarta Foto Indonesia, Bundaran Hotel Indonesia (Belakang Pos Polisi)
Waktu Wawancara
:
17.00 WIB – 19.20 WIB, Jum‟at, 22 Januari 2016
Keterangan
:
Wawancara dengan narasumber sekaligus Penulis buku Juvenile Evolvere dan meminta beberapa soft copy foto yang ada di dalam buku sebagai sampling data untuk kepentingan penelitian.
1. Dari mana ide awal yang melatar belakangi pembuatan buku ini?
Sebenernya ide awal pembuatan buku ini, waktu saya lagi Travelling di Iran. Karena besarnya rasa penasaran saya sama negara Islam ini. Diembargo besar-besaran sama Amerika dan negara barat, negara ini terlihat tertutup gitu loh, seakan-akan negara yang konservatif, jauh dari publisitas yang positif, lebih banyak negatifnya, seperti pemberitaan yang saya baca di internet maupun TV gitu.
Saya itu punya obsesi ke Iran sejak duduk di bangku SD, waktu itu ada perang Iran-Irak. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, orang tua saya setel radio RRI, itu kan ada berita dunianya, ada laporan perang antara
Iran dan Irak, terus berlangsung sampai saya kuliah. Saya pikir, negara ini kok menarik yah untuk dikunjungin suatu saat nanti.
Yang menarik buat saya itu wanita-wanita di sana memakai chadur (pakaian panjang berwarna hitam). Terus pasca revolusi Iran, sama pemimpinnya waktu itu Ayatullah Khomeini, kan banyak pengaruh kenapa negara ini memang terlihat anti barat banget. Padahal mereka menegakkan syariat Islam yang memang benar-benar tegas, semua itu warganya dikontrol, dalam artian dikontrol secara informasi maupun budaya-budaya barat yang masuk kesana gitu. Jadi penasaran sendiri, sampai akhirnya terciptalah buku ini.
2. Apa yang membuat anda tertarik dengan Juvenile Evolvere, sebagai tajuk sekaligus sudut pandang anda dalam proses pembuatan buku ini?
Pemilihan Juvenile Evolvere ini, sebetulnya dari bahasa inggris, Juvenile artinya kaum muda, sementara Evolvere merupakan bahasa latin yang berarti Evolusi. Jadi bisa dikaitkan ini adalah revolusi kaum muda di Iran, yang saya wakilkan dengan foto-foto ini. Kenapa saya mengambil angle kaum muda ini? karena setelah saya motret kemudian saya konsultasi dengan kurator, waktu itu kurator saya bang Oscar Motuloh, hampir semua yang saya foto itu kaum mudanya, walaupun saya ngga sadar kalo foto-foto yang saya ambil itu kaum muda gitu.
Sebenernya, pertama, saya mau buat buku tentang Iran. Sesudah itu saya pilih foto-fotonya dan kurator saya memilih foto-foto ini, menyarankan saya untuk menarik garis anak muda aja. Kedua itu adalah pasca revolusi Iran, anak-anak muda Iran lebih memilih berevolusi dengan cara generasi mereka. Karena angkatan mereka ini kan bukan angkatan orang tuanya, orang tuanya generasi yang waktu revolusi Iran, tetapi mereka tumbuh besar, okelah ini urusan orang tua saya, tetapi mereka sebagai anak muda harus melihat masa depan dengan lebih terbuka gitu. Jadi mereka punya evolusi sendiri di angkatan anak muda itu.
3. Memotret di luar negeri, tentu jelas berbeda secara budaya, bahasa dan adat istiadat. Bagaimana anda mengatasi perihal tersebut ketika melakukan pemotretan di Iran?
Sebenernya sih lebih banyak ke sosial ya, kalo bahasa nggak ada kendala, karena anak-anak muda di sana hampir semuanya bisa bahasa Inggris. Mungkin banyak orang heran ataupun takjub dengan hal tersebut, karena yang kita tau dari media kan Iran itu negara yang tertutup, justru ketika saya di sana itu berubah seratus delapan puluh derajat, mereka lebih modern, pendidikannya lebih bagus, seni budayanya memang tinggi, karena memang sejak dari zaman Persia ya demikian.
Kendalanya adalah ketika disana, ada aturan dilarang memotret perempuan, itu aturan yang tidak tertulis disana, sudah ada sejak dulu.
Artinya boleh motret tapi dari jauh, atau minta izin ke perempuan yang kita foto itu, tapi kan saya pikir ngga mungkin minta izin, karena mereka pasti ngga mau difoto gitu. Ada beberapa yang membuat saya sulit untuk memotret perempuan disana itu adalah untuk orang-orang tua di sana ya, sementara anak-anak muda itu lebih welcome untuk difoto, lebih terbuka, karena cara pandang mereka sudah beda, dengan generasi tuanya.
Kalo masalah kesulitan, setiap negara punya rule masing-masing gitu ya, yang mana yang boleh difoto apa yang ngga boleh, ya saya tetap mematuhi itu. Yang ngga boleh difoto ya kaya gedung militer, kantor polisi, kereta bawah tanah, gedung pemerintahan. Sementara selama saya di sana sih, lebih banyak motret anak muda ya, mereka welcome, kalo saya kesasar kalo saya susah berkomunikasi ya mereka nyamperin mereka menolong, mereka tipikal masyarakat yang mungkin karena dasar negaranya agama Islam, kita kan saling tolong menolong. Ketika kita kesulitan mereka akan bantu, ketika ada orang baru atau tamu mereka akan menjamu kita gitu.
4. Bagaimana pendekatan yang anda lakukan ketika memotret objek foto anda?
Bicara pendekatan, mungkin karena saya backgroundnya di foto jurnalis, setiap hari motret melakukan pendekatan dengan orang yang berbeda, jadi sebenernya lebih gampang, cuma agak butuh waktu gitu. Cara
pendekatan saya lebih ke insting, jadi ketika saya sebelum memotret ya saya lihat dulu, dari gaya tubuhnya, sorotan matanya, ini orang kira-kira welcome ngga nih di foto, ketika difoto satu frame dua frame oke difoto, orang ini welcome ya saya lanjutin. Tapi tetep yah, ada komunikasi dengan saya dan objek yang saya foto jadi tidak sekedar motret. Saya tetep membuat interaksi, membuat komunikasi, mengenalkan diri.
5. Beberapa rangkaian foto di dalam buku ini dikemas dengan menggunakan aliran Street Photography, mengapa anda memilih aliran fotografi tersebut?
Pada intinya, saya lebih menekankan pada foto perjalanan yang lebih bercerita, saya suka juga dengan Street Photography. Sebenernya foto perjalanan lebih cenderung ke foto-foto indah gitu yah, tapi saya bilang foto perjalanan ini dengan pendekatan essay. Aliran yang saya pakai agak ke Street Photography gitu.
6. Kapan proses pembuatan buku ini dimulai dari awal ide hingga launching buku ini? Berapa lama waktu yang anda butuhkan?
Kurang lebih satu tahun setelah saya pulang melakukan perjalanan ke Iran itu, lebih tepatnya dimulai dari tahun 2012, dalam rangka sekedar travelling. Setelah pulang saya kumpulin foto-fotonya, saya rangkai sendiri, kemudian saya konsultasikan ke bang Oscar, saya mau bikin buku,
saya presentasi konsep saya, dia yang ngarahin, dia yang banyak kasih masukan, seperti ini seperti ini, terus dikurasi.
Sebenernya proses kurasi itu ngga makan banyak waktu ya, sekitar 3 bulan, tapi proses yang lama itu adalah uang. Karena ini ngga ada sponsor sama sekali, kalo saya cari sponsor agak susah, karena buku ini bercerita tentang Iran, kemudian ketika diajukan ke pihak sponsor mereka ngga dapet apa-apa dari buku ini, karena ngga ada impact buat mereka. Itu masalah kendalanya adalah uang. Sempet berhenti sebentar, kemudian jual sana jual sini, ketemu designer juga, minta dibuatkan design, yaudah, cetak, print, ke percetakan, deal harga, kertas segini segini, tentuin tanggal cetaknya. Tanggal launching sebenarnya di samakan dengan acara Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI), bulan Juli tahun 2013, pas bulan puasa.
7. Siapa saja orang-orang yang membantu anda dan berkontribusi besar dalam pembuatan buku ini?
Jelas kurator saya, bang Oscar Motuloh. Karena menurut saya apa yang saya pikirkan dan ngga bisa saya ucapkan dia udah bisa nangkep gitu. jadi dia sebenernya sebagai pentranslate yang ada diotak saya gitu. Jadi dia lebih memancing konsep yang ada diotak saya untuk saya utarakan dan saya diarahkan lebih baik seperti ini, arahnya seperti ini. Jadi
analoginya, kaya kita punya banyak batu, batu ini bagus-bagus tapi mau dibuat apa, orang yang tau batu, ya orang itu akan kasih tau, ini batu bagusnya dibuat apa gitu. Bang Oscar seperti itulah kira-kira.
8. Secara teknis, kamera dan lensa jenis apa yang anda gunakan? Adakah alat tambahan selain kamera?
Saya ngga banyak bawa alat-alat ya selama dua belas hari itu, aku cuma bawa satu kamera DSLR Canon EOS 1D Mark III, lensanya wide 16-35 mm, lensa tele 70-200 mm, flash eksternal Canon, satu lagi kamera pocket Canon Powershoot G-12. Kenapa aku bawa kamera pocket? Pertama kamera pocket itu digunakan untuk nyamar, artinya dalam satu kondisi, ketika aku pengen motret terus suasananya ngga enak, ya supaya ngga jadi pusat perhatian, ya aku pake kamera pocket. Setelah masuk dan diterima lingkungan setempat, baru aku pake kamera DSLR. Kalo menurut saya itu, melakukan suatu perjalanan dan mendokumentasikannya, sebisa mungkin jangan jadi pusat perhatian.
Karena aku ngga bawa laptop, aku bawa photo storage, jadi selesai motret memory card full, aku backup ke photo storage, jadi portable, bisa dibawa kemana-mana, motret kelar memory full, aku backup gitu.
9. Apa tujuan anda dalam pembuatan buku ini?
Sebenernya titik puncak seorang fotografer itu membuat karya, membuat buku atau pameran sendiri, yang artinya sebagai masterpiece seorang fotografer itu sendiri. Kalo aku sih ngga pengen buku ini harus dijual, laku terus ngehasilin uang, ngga gitu, aku sih ya kesana itu susah gitu, jadi kalo cuma aku motret terus foto-fotonya cuma di dalem hardisk eskternal dan foto-fotonya di posting di facebook, sayang gitu ya, lebih baik ini bukukan, kan gitu kalo secara personal.
Kalo alasan lain itu jelas banyak, Pertama, referensi tentang Iran untuk visual itu sangat sedikit, kedua, belum pasti aku bisa balik lagi kesana, ketiga, jauh dan kalo pun aku balik lagi pasti ngga akan ada kejutankejutan visual lagi. Karena ketika dateng ke suatu tempat itu pasti terlihat indah, apa yang dilihat pasti keliatannya bagus semua, tapi kalo dateng lagi untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, terus ke sana lagi pasti udah beda, udah ngga ada kejutan visual menurutku. Itu kenapa, foto-foto ini wajib dibukukan dan bisa menjadi manfaat sebagai kajian literatur visual tentang Iran, sebagai referensi juga bisalah gitu.
10. Pesan apa yang ingin anda tekankan dan ingin anda sampaikan di dalam buku ini?
Pesan itu, aku bercerita dibalik soal Juvenile Evolvere, iniloh Iran, Iran itu bukan sosok negara yang harus dihindari atau sosok negara yang terbelakang atau kuno gitu. Tapi, ketika saya sampai di sana saya melihat modernitas gitu, bahwa walaupun mereka anti Amerika, (maksud saya anti Amerika itu lebih banyak pada orang tua gitu ya), mereka tetep pake fashion Zara, pokoknya pake brand-brand dari Amerika gitu, terus mereka minum coca cola, mereka dengerin lagu Lady Gaga, Beyonce, ya gitulah kenyataanya, saya begitu antusias menceritakannya.
Kalo yang lebih ditekankan terjadi sebuah perubahan, dari zaman ke zaman anak muda di Iran gitu, bukan pergeseran budaya ya, tapi mereka memang cinta dengan produk barat, mereka memang cinta dengan produk luar yang global tetapi nasionalisme mereka ada gituloh. Oke, kaya contoh anak muda di Indonesia sekarang pada umumnya, mereka ngopi di starbucks tapi nasionalismenya kurang di sini. Kalo di sana mereka oke ikut budaya barat yang modern tapi mereka dalam situasi tertentu seperti acara kebudayaan mereka, mereka apresiasi banget gitu. Jadi di balik keterbatasan efek dari embargo itu mereka punya satu sisi yang menarik. Yang ada di dalam buku ini yang aku lihat, aku saksi mata gitu, bahwa ini loh Iran gitu, mereka negara Islam juga, tapi mereka punya kehidupan yang sama kaya kita di sini gitu.
DOKUMENTASI WAWANCARA
Peneliti bersama narasumber sekaligus fotografer buku Juvenile Evolvere, Safir Makki.
Narasumber menjelaskan beberapa pertanyaan yang diajukan peneliti.
Narasumber menceritakan pengalamannya ketika membuat foto-foto di Iran
Narasumber memberikan saran dan masukan terkait foto-foto yang akan dianalisis.