ANALISIS SEMANTIK KONTEKSTUAL ATAS PENERJEMAHAN KATA ARAB SERAPAM (STUDI KASUS KATA FITNAH, HIKMAH DAN AMANAH) DALAM ”AL-QUR’AN DAN MAKNANYA” KARYA M. QURAISH SHIHAB
Oleh: SA’ADAH NIM: 107024001989
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
ANALISIS SEMANTIK KONTEKSTUAL ATAS PENERJEMAHAN KATA ARAB SERAPAM (STUDI KASUS KATA FITNAH, HIKMAH DAN AMANAH) DALAM ”AL-QUR’AN DAN MAKNANYA” KARYA M. QURAISH SHIHAB
Oleh: SA’ADAH NIM: 107024001989
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.
Jakarta, 13 Juni 2011
SA’ADAH NIM: 107024001989
ANALISIS SEMANTIK KONTEKSTUAL ATAS PENERJEMAHAN KATA ARAB SERAPAM (STUDI KASUS KATA FITNAH, HIKMAH DAN AMANAH) DALAM ”AL-QUR’AN DAN MAKNANYA” KARYA M. QURAISH SHIBAH Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra
Oleh: SA’ADAH NIM: 107024001989
Di bawah bimbingan:
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA NIP: 19570715 198803 1001
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Analisis Semantik Kontekstual atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata Fitnah, Hikmah dan Amanah) dalam ” AlQuran dan Maknanya” Karya M. Quraish Shihab)” Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis, 13 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 13 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Penguji,
Sekretaris,
Dr. H. Ahmad Saehudin, M.Ag. NIP: 1970 0505 200003 1003
Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum NIP: 1979 1229 2005011004
Pembimbing,
Penguji,
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA
Dr. Abdullah, M.Ag
NIP: 150 282 400
NIP: 1996 1082 5199 3031 002
ABSTRAK Sa‟adah “Analisis Semantik Kontekstual Atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata Fitnah, Hikmah dan Amanah) Dalam Terjemahan al-Qur‟an M. Quraish Shihab.” Di bawah bimbingan Prof. DR. Sukron Kamil, MA. Kata serapan adalah kata yang diserap dari bahasa asing yang mengalami perubahan, baik perubahan makna maupun perubahan lafadz. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa daerah asing, seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda dan Inggris. Menurut realitanya kata serapan tersebut memiliki cakupan makna yang luas apalagi jika dilihat dari makna kontekstual. Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai kata Arab serapan; hikmah, fitnah dan Amanah dengan menggunakan analisis semantik kontekstual. Seringkali terjadi kurangnya pemahaman para penerjemah khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam memahami makna kata serapan yang berasal dari bahasa Arab tersebut. Mereka memahami secara tekstual saja tidak secara kontekstual yang mempunyai cakupan makna yang lebih luas. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara makna kata Arab serapan hikmah, fitnah dan amanah dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Untuk mengetahui keakuratan makna semantik kontekstual penerjemahan kata Arab yang sudah menjadi kata serapan Indonesia di atas dalam buku al-Qur’an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini, yaitu dengan menggunakan studi pustaka. Serta, dengan menggunakan media elektronik berupa internet. Penulis melakukan analisis terhadap al-Qur’an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab. Penulis menarik kesimpulan, bahwa berdasarkan makna semantik kontekstual, maka kata serapan hikmah, fitnah, dan amanah pada buku al-Qur’an dan Maknanya sudah mempunyai makna yang tepat, artinya makna tersebut sudah sesuai dengan makna dalam masing-masing ayat tersebut. Dalam penerjemahan kata serapan (fitnah, amanah dan hikmah) dalam al-Qur’an dan Maknanya ada beberapa ketidak tepatan. Ketidak tepatan hanya terjadi pada tata bahasanya saja, seperti; kurang efektif, ketidak tepatan dalam penempatan kata, penjelasan kurang detail/terperinci, serta ketidak tepatan dalam diksi/pilihan kata.
V
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karuni-Nya kepada Penulis, sehingga skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat Penulis selesaikan. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhmmad saw., keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapat syafa‟atnya di hari akhir nanti. Amin! Dalam kata pengentar ini, Penulis akan mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag., selaku pembimbing skripsi, yang telah mengorbankan waktu di tengah kesibukannya serta kesabarannya membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, selalu memberi motifasi kepada Penulis. Pembimbing yang sangat luar biasa kebaikan dan kedisiplinannya. Terima kasih banyak juga Penulis ucapkan kepada Dr. H.
Abd. Wahid
Hasyim, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Dr. Ahmad Saekhudin, M.A., Ketua Jurusan Tarjamah dan Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum., Sekretaris Jurusan Tarjamah. Ucapan terima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah Drs. Ikhwan Azizi, M.A., Irfan Abu Bakar, M.A., Prof. Dr. Ahmad Satori, Prof. Dr. Rofi‟I, Drs.
H.D Sirojuddin AR, M.Ag., Dr. Ismakun, M.A., Ahmad Syatibi, M.Ag., Dra. Faozah, Karlina Helmanita, M.A., DR. Muhamad Yusuf, M.A., DR. Abdullah, M. Ag., selaku penguji sidang skripsi,
Makyun Subuki yang telah mendidik dan mengajarkan
Penulis berbagai ilmu pengetahuan. Semoga kerja keras mereka dalam membimbing mahasiswanya diganti oleh Allah Swt. Amin! Ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tua, ayahanda Waknin yang selalu mendoakan, memberi dukungan dan ibunda Jumaroh yang sudah menjadi ibu sekaligus sahabat terbaik Penulis. Terima kasih kepada kakak-kakak ku, mbak Wiwin beserta suami, mbak Ugi beserta suami, yang selalu memberikan semangat kepada Penulis. Dua keponakan kecil ku yang lucu, Ghina Tsuraya dan Andika Pratama. Tak lupa terima kasih kepada om Jay, yang selalu membantu apa pun yang Penulis perlukan. Sehingga saat penulisan skripsi ini Penulis selalu bersemangat untuk menyelesaikannya tanpa rasa lelah. Untuk sahabatku Susi, Iwan, Eva, Atin, yang selalu memberi semangat tiada henti. Kepada teman-teman Jurusan Tarjamah angkatan 2007, Nurhani, Farida, Siti Aisyah, Ismiati Nurazizah, Nur Rahma Wati, Nur Ahdiani, Sifa Kahfiani, Muhamad Tohadi, Hilman Ridha dan juga teman-teman tarjamah yang lain, Penulis berterima kasih atas segala bantuan dan kerja samanya. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman Tarjamah seluruh angkatan yang tidak bisa disebut satu persatu.
Penulis juga berterima kasih buat teman-teman kosan mbak Atik, kita pasti bisa meraih impian kita. Ka Nova, ka Yuli, Teh Iis, Ayu teman satu kamar. Erika, Nur Aprianti, Nova Andriani, Via, Yayan, Salma Hermaya, Mutmainah. Semoga skripsi yang sangat sederhana ini bisa bermanfaat bagi seluruh akademisi pada umumnya khususnya bagi peminat penerjemahan. Semoga masukan dan saran-saran dari semua pihak dapat melengkapi skripsi ini. Amin! Jakarta, Juni 2011
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL…………………………………………………………….………i LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………….…….........ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………….….iii LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………..iv ABSTRAK …………………………………………………………………………...V KATA PENGANTAR ………………………………………………………………Vi DAFTAR ISI ………………………………………………...……………………..Vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ………………...………………..Viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………...………………………………………….1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………………...5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………………….6 D. Tinjauan Pustaka……………………………………………………………....6 E. Metodologi Penelitian…………………………………………………………7 F. Sistematika Penelitian ………………………………………………………...9 BAB II KERANGKA TEORI A. Penerjemahan A.1 Pengertian Penerjemahan………………………………………………..11 B. Penerjemahan al-Qur’an B.1 Sejarah Penerjemahan al-Qur‟an di Indonesia ………………………….11 B.2 Metode Terjemahan al-Qur‟an ………………………………………….13 B 2.1 Penerejamahan Tekstual ………………………………………….13 B 2.2 Penerejemahan Harfiyah (lafdziyah) ……………………………..14 B 2.3 Penerjemahan Tafsiriyah …………………………………………15
Vii B.3
Kaidah-Kaidah
Bahasa
Arab
yang Perlu
Diperhatikan
Dalam
Penerjemahan al-Qur‟an B 3.1 Redaksi yang Bersifat Umum (‘ = عامAmm) ……………..………16 B 3.2 Macam-Macam ‘Amm ……………………………………………16 C. Wawasan Semantik C.1 Pengertian Semantik ……………………………………………………19 C.2 Semantik Kontekstual …………………………………………………..19 C.3 Rincian dalam Konteks …………………………………………………24 C.4 Pentingnya Makna Kontekstual dalam Terjemahan ……………………25 D. Kata Serapan D.1 Pengertian Kata Serapan ………………………………………………..28 D.2 Bentuk-Bentuk Kata Serapan D 2.1 Lafal dan Arti Masih Sesuai dengan Aslinya…………………….30 D 2.2 Lafalnya Berubah, Artinya Tetap ………………………………..31 D2.3 Lafal dan Arti Berubah dari Lafal dan Arti Semula ( Bahasa Sumber)…………………………………………………………...32 D 2.4 Lafalnya Tetap, Artinya Berubah ………………………………..32 D2.5 Kata yang Diserap Hanya Bentuk Jamaknya Saja ………………..33 D.3 Bentuk Gramatikal Kata Serapan D 3.1 Akhiran –MAN, -WAN, -WATI …………………………………..35 D 3.2 Akhiran –I, -IAH, -IS, -WI ……………………………………….35 D 3.3 Akhiran –ISME, -ISASI …………………………………………..35 BAB III BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB A. Biografi Secara Umum ……………………………………………………...37 B. M. Quraish Shihab sebagai Penerjemah dan Penafsir B.1 M. Quraish Shihab sebagai Penerjemah ………………………………..40 B.2 M. Quraish Shihab sebagai Penafsir …………………………………....41
B2.1 Metode yang Digunakan ………………………………..……………..41 C. Karya-Karya M. Quraish Shihab ……………………………………………43 D. Sekilas Tentang al-Qur‟an dan Maknanya ………………………………….45
BAB IV PEMBAHASAN A. Hikmah A.1 Makna Kata Hikmah dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia ………52 A.2
Analisis
Kata
Hikmah
Berdasarkan
Makna
Semantik
Kontekstual………55 B. Fitnah B.1 Perbedaan Makna Kata Fitnah dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab …………………………………………………………………………..62 B.2 Analisis Kata Fitnah Berdasarkan Teori Semantik Kontekstual ……..…63 C. Amanah C.1 Makna Amanah dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia ……………73 C.2 Analisis Kata Amanah Berdasarkan Teori Semantik Kontekstual ……...75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ………………………………………………………….............82 B. Saran ………………………………………………………….......................83 DAFTAR PUSTAKA
PEDOMAN TRANSLITRASI ARAB-LATIN Dalam skripsi ini, sebagian data ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan pedoman transliterasi Arab-Latin dam buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1. Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin. Huruf Arab
Huruf Latin
ا
Keterangan Tidak dilambangkan
ب
B
Be
ت
T
Te
ث
Ts
ted an es
ج
J
ح
H
h dengan garis bawah
خ
Kh
ka dan ha
د
D
De
ذ
Dz
de dan zet
ر
R
Er
ز
Z
Zet
س
S
Es
Je
ش
Sy
es dan ye
ص
S
es dengan garis di bawah
ض
D
de dengan garis di bawah
ط
T
te dengan garis di bawah
ظ
Z
zet dengan garis di bawah
ع
„
Koma terbalik di atas hadap kanan
غ
Gh
ge dan ha
ف
F
Ef
ق
Q
Ki
ك
K
Ka
ل
L
El
م
M
Em
ن
N
en
و
W
We
ه
H
Ha
ء
,
Apostrof
ي
Y
Ye
2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
_ __
A
Fathah
_____
I
Kasrah
_____
U
Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
_____ي
Ai
a dan i
_____و
au
a dan u
Vokal panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
يا
ȃ
a dengan topi di atas
يي
Î
i dengan topi di atas
يى
Ȗ
u dengan topi di atas
3. Kata Sandang Kata sandang, yang dengan sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsyiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: ar-rijal bukan al-rijal, al-diwan bukan ad-diwan. 4. Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah („ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورةtidak ditulis ad-darurah melainkan al-darȗrah, demikian seterusnya. 5. Ta Marbuthah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbuthah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga jika ta marbuthah diikuti oleh kata sifat (na’at) (lihat contoh 2). Namun jika huruf ta marbuthah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). No
Kata Arab
Alih Aksara
1.
طريقت
Tarîqah
2.
الجامعت اإلسالميت
al-jȃmi‟ah al-islȃmiyyah
3.
وحذة الىجىد
Wihdat al-wujud
6. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (contoh: Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid AlGhazali, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd alSamad al-Palimbani; tidak „Abd al-Samad al-Palimbani; Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Din al-Raniri. 7. Cara Penulisan Kata Setiap kata kerja (fi’l), kata benda (ism) dan partikel (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas.
Kata Arab
Alih Aksara
رهب األسخار
dzahaba al-ustȃdzu
ثبج األجر
tsabata al-ajru
الحركت العصريت
al-harakah al-„asriyyah
أشهذ أن ال اله إال اهلل
asyhadu an lȃ ilȃha illa Allȃh
مىالنا ملك الصالح
Maulȃna Malik al-Sȃlih
يىثركم اهلل
yu‟atstsirukum Allȃh
المظاهر العقليت
al-mazȃhir al-„aqliyyah
االياث الكىنيت
al-ayȃt al-kauniyyah
الضرورة حبيح المخظىراث
al-darȗrat tubîhu al-mahzȗrȃt
Viii
ANALISIS SEMANTIK KONTEKSTUAL ATAS PENERJEMAHAN KATA ARAB SERAPAM (STUDI KASUS KATA FITNAH, HIKMAH DAN AMANAH) DALAM ”AL-QUR’AN DAN MAKNANYA” KARYA M. QURAISH SHIBAH
Oleh: SA’ADAH NIM: 107024001989
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
ANALISIS SEMANTIK KONTEKSTUAL ATAS PENERJEMAHAN KATA ARAB SERAPAM (STUDI KASUS KATA FITNAH, HIKMAH DAN AMANAH) DALAM ”AL-QUR’AN DAN MAKNANYA” KARYA M. QURAISH SHIBAH
Oleh: SA’ADAH NIM: 107024001989
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.
Jakarta, 13 Juni 2011
SA’ADAH NIM: 107024001989
ANALISIS SEMANTIK KONTEKSTUAL ATAS PENERJEMAHAN KATA ARAB SERAPAM (STUDI KASUS KATA FITNAH, HIKMAH DAN AMANAH) DALAM ”AL-QUR’AN DAN MAKNANYA” KARYA M. QURAISH SHIBAH Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra
Oleh: SA’ADAH NIM: 107024001989
Di bawah bimbingan:
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA NIP: 19570715 198803 1001
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “Analisis Semantik Kontekstual atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata Fitnah, Hikmah dan Amanah) dalam ” AlQuran dan Maknanya” Karya M. Quraish Shihab)” Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Kamis, 13 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 13 Juni 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Penguji,
Sekretaris,
Dr. H. Ahmad Saehudin, M.Ag. NIP: 1970 0505 200003 1003
Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum NIP: 1979 1229 2005011004
Pembimbing,
Penguji,
Prof. Dr. Sukron Kamil, MA
Dr. Abdullah, M.Ag
NIP: 150 282 400
NIP: 1996 1082 5199 3031 002
ABSTRAK Sa‟adah “Analisis Semantik Kontekstual Atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata Fitnah, Hikmah dan Amanah) Dalam Terjemahan al-Qur‟an M. Quraish Shihab.” Di bawah bimbingan Prof. DR. Sukron Kamil, MA. Kata serapan adalah kata yang diserap dari bahasa asing yang mengalami perubahan, baik perubahan makna maupun perubahan lafadz. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa daerah asing, seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda dan Inggris. Menurut realitanya kata serapan tersebut memiliki cakupan makna yang luas apalagi jika dilihat dari makna kontekstual. Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai kata Arab serapan; hikmah, fitnah dan Amanah dengan menggunakan analisis semantik kontekstual. Seringkali terjadi kurangnya pemahaman para penerjemah khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam memahami makna kata serapan yang berasal dari bahasa Arab tersebut. Mereka memahami secara tekstual saja tidak secara kontekstual yang mempunyai cakupan makna yang lebih luas. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara makna kata Arab serapan hikmah, fitnah dan amanah dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Untuk mengetahui keakuratan makna semantik kontekstual penerjemahan kata Arab yang sudah menjadi kata serapan Indonesia di atas dalam buku al-Qur’an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan analisis deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini, yaitu dengan menggunakan studi pustaka. Serta, dengan menggunakan media elektronik berupa internet. Penulis melakukan analisis terhadap al-Qur’an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab. Penulis menarik kesimpulan, bahwa berdasarkan makna semantik kontekstual, maka kata serapan hikmah, fitnah, dan amanah pada buku al-Qur’an dan Maknanya sudah mempunyai makna yang tepat, artinya makna tersebut sudah sesuai dengan makna dalam masing-masing ayat tersebut. Dalam penerjemahan kata serapan (fitnah, amanah dan hikmah) dalam al-Qur’an dan Maknanya ada beberapa ketidak tepatan. Ketidak tepatan hanya terjadi pada tata bahasanya saja, seperti; kurang efektif, ketidak tepatan dalam penempatan kata, penjelasan kurang detail/terperinci, serta ketidak tepatan dalam diksi/pilihan kata.
V
KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karuni-Nya kepada Penulis, sehingga skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat Penulis selesaikan. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhmmad saw., keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapat syafa‟atnya di hari akhir nanti. Amin! Dalam kata pengentar ini, Penulis akan mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag., selaku pembimbing skripsi, yang telah mengorbankan waktu di tengah kesibukannya serta kesabarannya membimbing Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, selalu memberi motifasi kepada Penulis. Pembimbing yang sangat luar biasa kebaikan dan kedisiplinannya. Terima kasih banyak juga Penulis ucapkan kepada Dr. H.
Abd. Wahid
Hasyim, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Dr. Ahmad Saekhudin, M.A., Ketua Jurusan Tarjamah dan Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum., Sekretaris Jurusan Tarjamah. Ucapan terima kasih kepada seluruh dosen Jurusan Tarjamah Drs. Ikhwan Azizi, M.A., Irfan Abu Bakar, M.A., Prof. Dr. Ahmad Satori, Prof. Dr. Rofi‟I, Drs.
H.D Sirojuddin AR, M.Ag., Dr. Ismakun, M.A., Ahmad Syatibi, M.Ag., Dra. Faozah, Karlina Helmanita, M.A., DR. Muhamad Yusuf, M.A., DR. Abdullah, M. Ag., selaku penguji sidang skripsi,
Makyun Subuki yang telah mendidik dan mengajarkan
Penulis berbagai ilmu pengetahuan. Semoga kerja keras mereka dalam membimbing mahasiswanya diganti oleh Allah Swt. Amin! Ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tua, ayahanda Waknin yang selalu mendoakan, memberi dukungan dan ibunda Jumaroh yang sudah menjadi ibu sekaligus sahabat terbaik Penulis. Terima kasih kepada kakak-kakak ku, mbak Wiwin beserta suami, mbak Ugi beserta suami, yang selalu memberikan semangat kepada Penulis. Dua keponakan kecil ku yang lucu, Ghina Tsuraya dan Andika Pratama. Tak lupa terima kasih kepada om Jay, yang selalu membantu apa pun yang Penulis perlukan. Sehingga saat penulisan skripsi ini Penulis selalu bersemangat untuk menyelesaikannya tanpa rasa lelah. Untuk sahabatku Susi, Iwan, Eva, Atin, yang selalu memberi semangat tiada henti. Kepada teman-teman Jurusan Tarjamah angkatan 2007, Nurhani, Farida, Siti Aisyah, Ismiati Nurazizah, Nur Rahma Wati, Nur Ahdiani, Sifa Kahfiani, Muhamad Tohadi, Hilman Ridha dan juga teman-teman tarjamah yang lain, Penulis berterima kasih atas segala bantuan dan kerja samanya. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman Tarjamah seluruh angkatan yang tidak bisa disebut satu persatu.
Penulis juga berterima kasih buat teman-teman kosan mbak Atik, kita pasti bisa meraih impian kita. Ka Nova, ka Yuli, Teh Iis, Ayu teman satu kamar. Erika, Nur Aprianti, Nova Andriani, Via, Yayan, Salma Hermaya, Mutmainah. Semoga skripsi yang sangat sederhana ini bisa bermanfaat bagi seluruh akademisi pada umumnya khususnya bagi peminat penerjemahan. Semoga masukan dan saran-saran dari semua pihak dapat melengkapi skripsi ini. Amin! Jakarta, Juni 2011
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL…………………………………………………………….………i LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………….…….........ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………….….iii LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………..iv ABSTRAK …………………………………………………………………………...V KATA PENGANTAR ………………………………………………………………Vi DAFTAR ISI ………………………………………………...……………………..Vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ………………...………………..Viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………...………………………………………….1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………………...5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………………….6 D. Tinjauan Pustaka……………………………………………………………....6 E. Metodologi Penelitian…………………………………………………………7 F. Sistematika Penelitian ………………………………………………………...9 BAB II KERANGKA TEORI A. Penerjemahan A.1 Pengertian Penerjemahan………………………………………………..11 B. Penerjemahan al-Qur’an B.1 Sejarah Penerjemahan al-Qur‟an di Indonesia ………………………….11 B.2 Metode Terjemahan al-Qur‟an ………………………………………….13 B 2.1 Penerejamahan Tekstual ………………………………………….13 B 2.2 Penerejemahan Harfiyah (lafdziyah) ……………………………..14 B 2.3 Penerjemahan Tafsiriyah …………………………………………15
Vii B.3
Kaidah-Kaidah
Bahasa
Arab
yang Perlu
Diperhatikan
Dalam
Penerjemahan al-Qur‟an B 3.1 Redaksi yang Bersifat Umum (‘ = عامAmm) ……………..………16 B 3.2 Macam-Macam ‘Amm ……………………………………………16 C. Wawasan Semantik C.1 Pengertian Semantik ……………………………………………………19 C.2 Semantik Kontekstual …………………………………………………..19 C.3 Rincian dalam Konteks …………………………………………………24 C.4 Pentingnya Makna Kontekstual dalam Terjemahan ……………………25 D. Kata Serapan D.1 Pengertian Kata Serapan ………………………………………………..28 D.2 Bentuk-Bentuk Kata Serapan D 2.1 Lafal dan Arti Masih Sesuai dengan Aslinya…………………….30 D 2.2 Lafalnya Berubah, Artinya Tetap ………………………………..31 D2.3 Lafal dan Arti Berubah dari Lafal dan Arti Semula ( Bahasa Sumber)…………………………………………………………...32 D 2.4 Lafalnya Tetap, Artinya Berubah ………………………………..32 D2.5 Kata yang Diserap Hanya Bentuk Jamaknya Saja ………………..33 D.3 Bentuk Gramatikal Kata Serapan D 3.1 Akhiran –MAN, -WAN, -WATI …………………………………..35 D 3.2 Akhiran –I, -IAH, -IS, -WI ……………………………………….35 D 3.3 Akhiran –ISME, -ISASI …………………………………………..35 BAB III BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB A. Biografi Secara Umum ……………………………………………………...37 B. M. Quraish Shihab sebagai Penerjemah dan Penafsir B.1 M. Quraish Shihab sebagai Penerjemah ………………………………..40 B.2 M. Quraish Shihab sebagai Penafsir …………………………………....41
B2.1 Metode yang Digunakan ………………………………..……………..41 C. Karya-Karya M. Quraish Shihab ……………………………………………43 D. Sekilas Tentang al-Qur‟an dan Maknanya ………………………………….45
BAB IV PEMBAHASAN A. Hikmah A.1 Makna Kata Hikmah dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia ………52 A.2
Analisis
Kata
Hikmah
Berdasarkan
Makna
Semantik
Kontekstual………55 B. Fitnah B.1 Perbedaan Makna Kata Fitnah dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab …………………………………………………………………………..62 B.2 Analisis Kata Fitnah Berdasarkan Teori Semantik Kontekstual ……..…63 C. Amanah C.1 Makna Amanah dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia ……………73 C.2 Analisis Kata Amanah Berdasarkan Teori Semantik Kontekstual ……...75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ………………………………………………………….............82 B. Saran ………………………………………………………….......................83 DAFTAR PUSTAKA
PEDOMAN TRANSLITRASI ARAB-LATIN Dalam skripsi ini, sebagian data ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan pedoman transliterasi Arab-Latin dam buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1. Padanan Aksara Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin. Huruf Arab
Huruf Latin
ا
Keterangan Tidak dilambangkan
ب
B
Be
ت
T
Te
ث
Ts
ted an es
ج
J
ح
H
h dengan garis bawah
خ
Kh
ka dan ha
د
D
De
ذ
Dz
de dan zet
ر
R
Er
ز
Z
Zet
س
S
Es
Je
ش
Sy
es dan ye
ص
S
es dengan garis di bawah
ض
D
de dengan garis di bawah
ط
T
te dengan garis di bawah
ظ
Z
zet dengan garis di bawah
ع
„
Koma terbalik di atas hadap kanan
غ
Gh
ge dan ha
ف
F
Ef
ق
Q
Ki
ك
K
Ka
ل
L
El
م
M
Em
ن
N
en
و
W
We
ه
H
Ha
ء
,
Apostrof
ي
Y
Ye
2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
_ __
A
Fathah
_____
I
Kasrah
_____
U
Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
_____ي
Ai
a dan i
_____و
au
a dan u
Vokal panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
يا
ȃ
a dengan topi di atas
يي
Î
i dengan topi di atas
يى
Ȗ
u dengan topi di atas
3. Kata Sandang Kata sandang, yang dengan sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsyiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: ar-rijal bukan al-rijal, al-diwan bukan ad-diwan. 4. Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah („ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورةtidak ditulis ad-darurah melainkan al-darȗrah, demikian seterusnya. 5. Ta Marbuthah Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbuthah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah ini). Hal yang sama juga jika ta marbuthah diikuti oleh kata sifat (na’at) (lihat contoh 2). Namun jika huruf ta marbuthah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3). No
Kata Arab
Alih Aksara
1.
طريقت
Tarîqah
2.
الجامعت اإلسالميت
al-jȃmi‟ah al-islȃmiyyah
3.
وحذة الىجىد
Wihdat al-wujud
6. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk
menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (contoh: Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid AlGhazali, al-Kindi bukan Al-Kindi). Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd alSamad al-Palimbani; tidak „Abd al-Samad al-Palimbani; Nuruddin al-Raniri, tidak Nur al-Din al-Raniri. 7. Cara Penulisan Kata Setiap kata kerja (fi’l), kata benda (ism) dan partikel (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas.
Kata Arab
Alih Aksara
رهب األسخار
dzahaba al-ustȃdzu
ثبج األجر
tsabata al-ajru
الحركت العصريت
al-harakah al-„asriyyah
أشهذ أن ال اله إال اهلل
asyhadu an lȃ ilȃha illa Allȃh
مىالنا ملك الصالح
Maulȃna Malik al-Sȃlih
يىثركم اهلل
yu‟atstsirukum Allȃh
المظاهر العقليت
al-mazȃhir al-„aqliyyah
االياث الكىنيت
al-ayȃt al-kauniyyah
الضرورة حبيح المخظىراث
al-darȗrat tubîhu al-mahzȗrȃt
Viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pesat bidang komunikasi dewasa ini menyebabkan terserapnya kosa kata asing dalam bahasa Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pengalaman sehari-hari penulis, banyak pemakai bahasa tidak mempunyai kesempatan untuk merunut makna kata-kata serapan tersebut sehingga kerap kali menimbulkan kekacauan baik dalam pemahaman maupun pemakaian.1 Perkembangan perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia terus menerus mengalami kemajuan seiring dengan banyaknya kosakata-kosakata baru hasil serapan dari berbagai kosakata asing. Hal ini membuktikan, bahwa bahasa Indonesia merupakan suatu bahasa yang sangat fleksibel, dan tidak hanya berkutat pada bahasa ibu itu sendiri. Penyerapan-penyerapan
tersebut
memang
sangat
dibutuhkan
guna
memampukan diri kita (pemakainya) guna menyongsong tantangan perkembangan ilmu pengetahuan, sains, tekhnologi dan kebudayaan yang terus berkembang dengan pesat dan kompleksnya. Sehingga, yang memahaminya dengan cara memperkaya diri dengan istilah-istilah yang kompleks pula. Kata atau kosakata yang diserap umumnya disesuaikan dengan sistem lisan dengan pelafalan bahasa Indonesia sendiri, yang disesuaikan dengan Ejaan Yang
1
Surawan Martinus, Kamus Kata Serapan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008) hal: kata pengantar
1
Disempurnakan, serta bereferensi pada Pedoman Umum Pembentukan Istilah (berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 0389/ U/ 1988, tanggal 11 Agustus 1988, dan dicermatkan dalam Rapat Kerja Sama Kebahasaan, tanggal 16-20 Desember 1990).2 Kata serapan adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing atau bahasa daerah, lalu digunakan dalam bahasa Indonesia. Dilihat dari taraf penyerapannya ada tiga macam kata serapan, yaitu: 1). Kata-kata yang sudah sepenuhnya diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kata-kata ini sudah lazim dieja secara Indonesia, sehingga sudah tidak dirasakan lagi kehadirannya sebagai kata serapan. Misalnya kata-kata hadir, waktu. 2). Kata-kata yang masih asing, tetapi digunakan dalam konteks bahasa Indonesia. Ejaan dan pengucapannya masih mengikuti cara asing. Misalnya shuttle cock, knock out, check in, door to door, built up, dan complete knock down. Dalam kelompok ini termasuk kata-kata yang dipertahankan keasingannya karena sifat keinternasionalannya, seperti istilah-istilah musik andante, moderate, adagio dan sebagainya. 3) Kata-kata asing yang untuk kepentingan peristilahan, ucapan dan ejaannya disesuaikan dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini perubahan ejaan itu dibuat seperlunya saja sehingga bentuk indonesianya masih dapat dibandingkan
2
Aka Kamarulzaman, M. Dahlan Y. Al Barry, Kamus Ilmiah Serapan. (Yogyakarta: Absolut, 2005) hal: kata pengantar
2
dengan bentuk bahasa aslinya. Misalnya aki (accu), komisi (comission), psikologi (psychology) dan fase (phase).3 Berdasarkan fakta di atas dapat dipahami bahwa kata-kata dalam bahasa Indonesia banyak menyerap dari bahasa lain seperti bahasa Inggris, bahasa Arab dan sebagainya. Penyerapan merupakan salah satu faktor yang sangat aktif dalam perkembangan bahasa. Penyerapan disebabkan adanya kontak antara satu bahasa dengan bahasa-bahasa yang lain. Seorang penerjemah tidak mungkin hanya mengandalkan pemaknaan teks pada kamus, karena pada kasus-kasus tertentu kamus tidak menyediakan makna yang tepat. Wawasan mengenai konteks menjadi sesuatu yang niscaya dimiliki oleh seorang penerjemah. Wawasan ini tidak mungkin begitu saja dimiliki tanpa ada penyelaman yang mendalam dan kedekatan “emosional” antara dirinya dengan teks itu sendiri.4 Sebagai contoh kata fitnah. Pada awalnya kata finah berarti membakar, dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ini diartikan sebagai “perkataan yang bermaksud menjelekkan orang lain”. Misalnya pada Qs. al-An‟am: 23 fitnah pada ayat ini bermakna ucapan dan jawaban yang tidak berdasar. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata fitnah dapat berkedudukan sebagai nomina (kata benda) berarti perkataan bohong atau tanpa berdasarkan
3
Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), h.
62 4
Nurrachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Flores: Nusa Indah, 1986), hal. 62
3
kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekan orang, seperti; menodai nama baik, merugikan kehormatan dan sebagainya. Kata fitnah dapat juga berkedudukan sebagai kata kerja (verba), artinya menjelekan nama orang seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan dan sebagainya. 5 Berbeda halnya makna fitnah menurut KBBI di atas dengan makna seperti yang terdapat dalam al-Qur‟an Depag tidak menerjemahkan kata fitnah. Melainkan kata fitnah diterjemahkan apa adanya. Padahal hal itu dapat menimbulkan kesalahpahaman apalagi bagi masyarakat yang tidak mempelajari bahasa Arab secara mendalam. Tidak mungkin semua kata fitnah yang ada mempunyai maksud sama karena konteks pada setiap ayat pasti berbeda. Misalnya; pada Qs. Yunus: 85 pada terjemahan Depag fitnah diartikan apa adanya. Sedangkan pada al-Qur’an dan Maknanya mengartikan dengan siksa dan gangguan, sasaran. Pada Qs. al-Anfal: 39 Depag tidak mengartikan kata fitnah pada ayat itu. M. Quraish Shihab mengartikannya dengan kekacauan, penindasan, penganiayaan dan syirik. Pada Qs. Mumtahanah: 5 Depag tidak mengartikan kata fitnah tersebut. Sedangkan M. Quraish Shihab mengartikan cobaan dan siksaan. Pada Qs. al-Imran: 7 dalam al-Qur‟an dan Maknanya diartikan kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan dikalangan
5
Frista Artmanda w, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Jombang: Lintas Media, 2008), hal:
318
4
orang beriman. Al-Baqarah: 193 M. Quraish Shihab mengartikan syirik dan penganiayaan. 6 Dengan melihat latar belakang di atas, maka Penulis mengambil judul Analisis Semantik Kontekstual Atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata Hikmah, Fitnah dan Amanah). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah saya kemukakan di atas, agar penelitian ini tidak meluas, maka saya memberikan batasan pada masalah yang akan diteliti, yaitu hanya pada semantik kontestual. Mengingat begitu luasnya analisis semantik, seperti; semantik leksikal, semantik gramatikal. Untuk mempermudah dalam pembahasan supaya lebih terarah, maka Penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ada perbedaan antara makna kata Arab serapan hikmah, fitnah dan amanah dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia? 2. Apakah penerjemahan kata Arab yang sudah menjadi kata serapan Indonesia di atas dalam buku al-Qur’an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab berdasarkan teori semantik kontekstual sudah tepat atau tidak? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini tentu saja dilakukan tanpa kesia-kesiaan (tanpa manfaat). Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:
6
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009)
5
1. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara makna kata Arab serapan hikmah, fitnah dan amanah dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. 2. Untuk mengetahui keakuratan makna semantik kontekstual penerjemahan kata Arab yang sudah menjadi kata serapan Indonesia di atas dalam buku al-Qur’an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab. Adapun manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan praktis. Secara teoritis manfaatnya adalah menjadi kontribusi tambahan untuk mahasiswa yang ingin menganalisis makna kontekstual kata Arab serapan. Sedangkan secara praktis adalah untuk digunakan oleh para pengkaji dan pemerhati penerjemahan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu contoh bagaimana menganalisis kata Arab serapan dengan menggunakan teori semantik kontekstual, khususnya dalam buku al-Qur‟an dan Maknanya. D. Tinjauan Pustaka Penelitian yang saat ini akan Penulis lakukan, sebelumnya belum ada yang meneliti karena pada penelitian sebelumnya hanya membahas tentang penyimpangan kata serapan (faux amis) yang dilakukan oleh Musa El Kazimy angkatan 2005 dengan judul “Penyimpangan Kata Serapan (faux Amis) Dalam Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab (Analisis Buku Senarai Kata Serapan Dalam Bahasa Indonesia)”. Pada penelitian itu Ia lebih membahas apakah ada persamaan makna antara kata-kata yang sudah menjadi serapan dalam bahasa Indonesia dengan bahasa sumber (Bsu). Kemudian apa yang menjadi penyebab terjadinya faux amis pada kata serapan bahasa Arab dalam bahasa Indonesia. Sedangkan penelitian yang akan saya lakukan 6
membahas tentang Analisis Semantik Kontekstual Atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata hikmah, fitnah dan amanah). Sama-sama membahas kata serapan tapi pada penelitian sebelumnya membahas penyimpangan kata serapan. Sedangkan, pada sekripsi saya kali ini membahas kata serapan dengan analisis semantik kontekstual. E. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian dengan
cara
menjelaskan
atau
memahami
makna
“meaning”
dibalik
realitas/kenyataan.7 Penelitian ini bersifat deskriptif lebih mementingkan proses dan makna dengan analisis deskriptif. Analisis deskriptif yaitu analisis dengan cara mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya. Pada penelitian deskriptif yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan kata serapan hikmah, fitnah dan amanah yang terdapat dalam al- Qur‟an dan Maknanya. Setelah itu, Penulis mendeskripsikan masalah tersebut dengan data yang ada dalam teori semantik kontekstual sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Kerangka teori semantik kontekstual yang membingkai penelitian ini didasarkan pada teori kontekstual B. Malinowski. Sedangkan dalam pencarian data, Penulis melakukan penelitian tehadap data primer berupa al-Qur‟an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab. Sebagai pendukung data primer juga menggunakan sumber data skunder bersifat kepustakaan 7
Prasetya Irawan, Logika dan Prosedur Penelitian (Pengantar Teori dan Panduan Praktis Penelitian Sosial Bagi Mahasiswa dan Peneliti Semula cet. 6), (Jakarta: STIA-LAN Press, 2004), h. 49
7
(Library reseach) yaitu dengan mencari sumber informasi dari buku-buku yang membahas tentang terjemahan dan juga semantik seperti; Tarjim al-An (Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia), Pengantar Semantik Bahasa Indonesia serta literatur-literatur
terkait, karya ilmiah serta media elektronik atau internet yang
memiliki hubungan erat dengan judul skripsi ini, guna mengumpulkan sebanyak mungkin data-data yang diperlukan. Pengolahan data dalam penelitian skripsi ini menggunakan teori semantik kontekstual, yaitu makna sebuah kata terikat oleh lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu.8 Pengumpulan datanya dengan cara selective coding, yaitu memilih secara selektif kasus-kasus yang sesuai dengan topik pembahasan terhadap semua data. Pertama, Penulis mencari makna fitnah, hikmah dan Amanah dalam kamus baik kamus Arab maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kemudian mencari dan mengelompokan ayat-ayat yang memiliki konteks yang sama dengan kata hikmah, fitnah dan amanah. Dalam hal ini Penulis menggunakan bantuan al-Qur‟an Digital tetapi dalam penulisan arti-arti ayat Penulis menggunakan al-Qur‟an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab. Namun secara teknis, penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah.
8
Moh. Matsna, (Orientasi Semantik al-Zamarkhasyari (Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam), (Jakarta: Anglo Meedia, 2006), h. 21
8
F. Sistematika Penelitian Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang akan penulis rincikan sebagai berikut: Bab I adalah bab pendahuluan. Dalam bab ini Penulis membahas latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metode penelitian, serta sistematika penulisan. Pada bab I ini merupakan kerangka yang menjadi dasar bagi bab-bab berikutnya. Bab II berupa kerangka teori yang merupakan alat pengupas terhadap masalah yang akan diteliti, sehingga penelitian memperoleh hasil yang maksimal dan tujuan dari penelitian ini akan tercapai. Pada bab ini Penulis menjelaskan tentang teori penerjemahan al-Qur‟an, semantik kontekstual. Teori semantik kontekstual inilah yang Penulis gunakan sebagai pisau analisis penulisan bab IV. BAB III untuk mengenal sosok mufasir M. Quraish Shihab, maka Penulis memaparkan tentang biografi M. Quraish Shihab dan peranannya dalam dunia penerjemahan serta karya-karyanya. Pada bab ini bisa menjadi bahan untuk kepentingan analisis bab IV. BAB IV berisi analisis dan pembahasan terhadap makna Semantik Kontekstual Atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata hikmah, fitnah dan amanah). Penulis mengambil al-Qur‟an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab sebagai objek kajian. Di sini Penulis mencoba menganalisis terjemahan ayat yang mengandung kata Arab serapan hikmah, fitnah dan amanah. Dengan menggunakan analisis teori semantik kontekstual. 9
BAB V merupakan penutup atau bab akhir, Penulis memaparkan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari perumusan masalah dalam penelitian ini.
10
BAB II KERANGKA TEORI Analisis Semantik Kontekstual atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus kata Hikmah, Fitnah dan Amanah) A. Penerjemahan A.1 Pengertian Penerjemahan Menurut Eugene A.Nida dan Charles R.Taber, dalam buku The Teory And Practice of Translation, menerjemahkan adalah memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya. 9 Dibandingkan dengan menerjemahkan teks-teks lainnya, menerjemahkan teks alQur‟an sangat sulit karena menilai mukjizatnya. Karenanya, banyak sekali terjadi kesalahan dalam terjemahan-terjemhan al-Qur‟an.10 B. Penerjemahan al-Qur’an B.1 Sejarah Penerjemahan al-Qur’an di Indonesia Al-Qur‟ȃn al-Karîm diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh Abdul Ra‟uf al-Fansuri, seorang ulama dari Singkel, pada pertengahan abad ke 17 M, jelasnya ke dalam bahasa Melayu. Terjemahan tersebut bila dilihat dari segi ilmu bahasa/ tata bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun pekerjaan itu sungguh besar artinya, terutama sebagai perintis jalan. 9
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Flores: Nusa Indah, 1989), h. 11
10
M. Hadi Ma‟rifat, Sejarah al-Qur‟an, (Jakarta: al-Huda, 2007), h.268
11
Diantara terjemahan yang lain ialah terjemahan yang dilakukan oleh kemajuan Islam di Yogyakarta, Qur‟an kejawen dan Qur‟an sundawiyah, terbitan percetakan A.B. Siti Syamsiah Solo, tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Munawir Khalil, tafsir alQur‟an Indonesia oleh Prof. Mahmud Yunus (1935). Terjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Indonesia yang kemunculannya menimbulkan pro dan kontra ialah bacaan mulia oleh kritikus sastra H.B Jassin, yang dalam penerjemahan itu menggunakan pendekatan puitis. Pemerintahan RI menaruh perhatian besar terhadap upaya terjemahan al-Qur‟an ini. Hal tersebut terlihat semenjak pola I pembangunan semesta berencana, sampai pada masa pemerintahan sekarang ini. Al-Qur‟an dan terjemahannya yang telah beredar di masyarakat dan yang telah berulang kali dicetak ulang dengan penyempurnaan-penyempurnaan, adalah bukti nyata dari besarnya perhatian pemerintah terhadap penerjemahan al-Qur‟an itu.11 B.2 Jenis-Jenis Terjemahan al-Qur’an Penerjemahan itu berarti memindahkan suatu amanat dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain. Maka, teks yang sudah diterjemahkan itu bersifat penafsiran dan penjelasan. Karenanya, ketika menerjemahkan ke dalam bahasa yang dituju, harus memilih artikulasi yang akurat untuk memperoleh pemahaman akurat seperti yang diinginkan bahasa aslinya. 12
11
M. Ali Hasan dan Rif‟at syauqi Nawawi. Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988).h. 177 – 180 12
Ibid., h.269-272
12
B 2.1 Penerjemahan Tekstual Adalah penerjemahan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Susunan-susunan kalimat, satu demi satu, kata demi kata diubah hingga akhir. Contoh kalimat;
A’ȗdzubiȊȊahi min al-syaithȃni al-rajîm. Diterjemahkan; Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Bismillȃhi al-rahmâni al-rahîm. Diartikan; Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Terjemahan seperti ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang sama dalam dua bahasa asli adalah pekerjaan yang tidak mudah. Kebanyakan penerjemah, karena alas an ini, mengalami banyak kesulitan. Selain itu, dalam banyak kasus, terjemahan-terjemahan seperti ini tidak bisa menjelaskan makna dengan sempurna. Hal ini disebabkan oleh ketidaksepadanan makna kata dalam bahasa asli dengan makna kata bahasa penerjemah. Kami tidak perlu membahas penerjemahan tekstual ini tidak mampu memindahkan keindahan dan daya tarik pembahasan. Penerjemahan tekstual bisa dianggap sebagai metode penerjemahan yang paling tidak layak dan tidak mendapat tempat di hati para ilmuwan dan peneliti, khususnya yang berkaitan dengan buku13
buku
ilmiah.
Metode
penerjemahan
seperti
ini
bisa
diterapkan
untuk
pengalihbahasaan kalimat pendek. Namun, jika pembahasan yang dipaparkan adalah pembahasan ilmiah dan panjang, maka metode ini tidak pernah bisa mengutarakan pokok pembahasan dan permasalahannya. Penerjemahan al-Qur‟an secara tekstual akan menuai hasil yang buruk. Karena, kebanyakan ungkapan-ungkapan di dalamnya menggunakan berbagai macam kiasan, analogi dan ekstensi. Kiasan dan analogi setiap bahasa hanya khusus untuk bahasa itu sendiri dan hal itu tidak bisa digunakan ke dalam bahasa lain. Kalau kita ingin menerjemahkan ayat 29, surah al-Isra‟ dengan metode tekstual: walȃtaj’al yadaka maghlȗlatan ilȃ ‘unuqika walȃ tabsuthȃ kulla al-basti fataqu’da malȗmȃn mahsȗrȃn. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya[852] Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [852] Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu Pemurah.
Pembaca terjemahan ini akan kebingungan, mengapa Allah melarang membelenggu tangan dan mengulurkannya. Harus diperhatikan bahwa membelenggu tangan dalam bahasa Arab bermakna kikir dan mengulurkan tangan adalah dermawan. B 2.2 Penerjemahan Secara harfiyah (lafdziyah) Terjemahan secara harfiyah yaitu menerjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa sasaran di mana jumlah dan susunan kata dalam terjemahan disesuaikan dengan bahasa lainnya. Contoh, kalimat
bismillȃh diartikan dengan menyebut nama
14
Allah yang secara harfiyah adalah dua kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa pemakai yang sudah beredar di masyarakat, contohnya adalah terjemahan Al-Qur‟an Depag RI dari setiap edisi. B 2.3 Penerjemahan Secara Tafsiriyah Terjemahan secara tafsiriyah yaitu menerjemahkan arti ayat-ayat Al-Qur‟an di mana sisi penerjemah memusatkan perhatiannya pada arti Al-Qur‟an yang diterjemahkan dengan lafadz-lafadz yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa asli. Model penerjemahan seperti itu juga sudah banyak di masyarakat. Salah satunya adalah karya Mahmud Yunus. Contohnya penerjemahan iqra’ menurut M. Qurais Shihab, kata iqra’ memiliki beraneka ragam arti,
kata
yaitu diantaranya „menyampaikan‟, „menelaah‟, „membaca‟, „mendalami‟, „meneliti‟, „mengetahui ciri-ciri tertentu‟. 13 B.3
Kaidah-Kaidah
Bahasa
Arab
yang
Perlu
Diperhatikan
dalam
Menerjemahkan al-Qur’an14 B 3.1 Redaksi yang bersifat umum ( a.
= ‘ȃmm)
(„ȃmm) adalah lafaz yang mencakup semua anggotanya tanpa ada pembatasan. Seperti;
Kull (setiap) seperti firman Allah:
kullu nafsin dzȃiqatu
al-maȗt (setiap makhluk hidup akan merasakan kematian). Lafaz-lafaz yang
13
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misba, Vol. 15, h. 392-393.
14
Moch.Syarif Hidayatullah, 2007. h. 30 - 32
15
dima‟rifahkan dengan
„al‟ yang bukan
lil ‘ahdi al (al untuk menunjukan
bahwa hal tersebut telah disebut terlebih dahulu) contoh:
inna al-
insȃna lafî khusrin (sesungguhnya semua manusia berada dalam kerugian). b. Isim nakirah dalam konteks nafyi, nahy, dan syarat, seperti:
falȃ rafatsa walȃ jidȃlu fî al-haji falȃ tsaqila lahum ȃ ufin, ina ahada min almusyrikîna istijȃraka fa ajrahu hattȃ yasma’u kalȃmullȃhu. B 3. 2 Macam-Macam ‘ȃmm „ȃmm terbagi menjadi tiga: pertama; „ȃmm yang tetap dalam keumumannya (al „ȃmm al-Baqi ala umumih). Contoh:
wallȃhu ‘alȃ kulli syain
qadîr. Kedua; „Amm yang dimaksud khusus (al „amm al-murad bihi al-khusus). Contoh:
al-ladzîna qȃla lahumu al-nȃsa qad
jama’ȗ lakum. Kata „an-nas‟ yang kedua adalah Abu Sufyan. Keduanya tidak dimaksudkan untuk makna umum. Ketiga; „Amm yang dikhususkan (al-„amm almakhsus). „Amm semacam ini banyak ditemukan di dalam al-Qur‟an:
wallȃhu ‘alȃ al-nȃsihijju al-baiti man istatȃ’a ilaihi sabîlȃn. 1. Khas dan Mukhasshish
16
Khȃs (
) adalah lawan kata „amm, karena ia tidak menghabiskan semua
apa yang pantas baginya tanpa hambatan. Sedangkan mukhasis (
) adalah yang
mengkhususkan sesuatu yang umum. Mukhasis dibagi menjadi dua, yaitu muttasil (
) dan munfasil (
).
2. Logika Bahasa
innamȃ al-sadaqȃtu lil fuqarȃi wa al-masȃkîni wa al-‘ȃmilîna ‘alaihȃ wa almuallafatu qulȗbihim wafî al-rraqȃbi wa al-ghȃrimîna wa sabîli Allȃh wa ibni sabîlin. Menurut asal bahasanya mencakup seluruh taat dan ibadah. Maka jikalau diartikan secara umum, zakat bisa diberikan kepada setiap orang yang shalat, puasa, berdzikir, dan lain-lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah mendahulukan hakikat syara‟ daripada adat dan bahasa, mendahulukan yang mahsyur daripada yang syadz. Juga memperhatikan makna asli kata agar tidak menggunakan kiasan sebelum ada qarinah yang memperbolehkan menggunakan kiasan. Qarinah tersebut ada tiga macam. Pertama, aqliyah, seperti:
wa as alu al-qaryati allatî kanȃ
fîhȃ. yang dimaksud di sini adalah penduduk desa bukan desa tersebut. Kedua
17
mitslu nȗrahu kamisykȃti fîhȃ misbȃh ketiga:
lafziah, seperti: „urfiah, seperti:
waqȃla fir’auna yȃhȃmȃni ibnu lî sarhȃn la’allȃ ablaghu al-asbȃbi 3. Memperhatikan Tujuan Kalimat Memperhatikan tujuan bahasa al-Qur‟an yang beragam sangat membantu penerjemah untuk menerjemahkan ayat-ayat al-Qur‟an, seperti kata
ijtinȃbun
dalam ayat pengharaman khamar. Banyak orang yang beranggapan kata tersebut tidak mengandung tahrim jazim (keharaman yang pasti), seperti pengharaman bangkai, darah, daging babi yang menggunakan kata Kalau diteliti kata
hurmatun.
ijtinȃbun atau kata yang berasal darinya, selalu dibarengi
dengan kata syirik, dosa-dosa besar, atau perbuatan-perbuatan yang menyebabkan dosa besar, seperti yang terdapat pada surat al-Nahl, 36; al-Hajj, 30; al-Nisa, 31. Dari beberapa ayat disurah-surah itu dan maksud penggunaan kata kata lebih berat daripada
ijtinȃbu tersebut,
tahrîmun.
4. Memperhatikan Konteks Kalimat Salah satu aturan untuk menerjemahkan al-Qur‟an adalah harus memperhatikan konteks ayat, konteks kalimat yang berhubungan dengan maksud ayat. Imam alZarkazy dalam al-Burhan, seperti dikutip al-Qardhawy. Hal ini penting untuk 18
menentukan arti, seperti kata arti, diantaranya mengandung arti
al-kitȃbu dalam al-Qur‟an mengandung banyak al-qur’ȃnu seperti dalam surah al-Baqarah, 2;
al-An‟am, 165; al-Hadid, 25. C.Wawasan Semantik C.1 Pengertian Semantik Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti manandai atau melambangkan. Tanda atau lambang itu sendiri seperti dikemukakan Ferdinand De Saussure terdiri dari dua bagian, yaitu komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu. Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang disebut referen atau hal yang ditunjuk.15 C.2. Semantik Kontekstual Teori Kontekstual (Nadzariyah Siyȃqiyah) Konsep teori kontekstual diprakarsai oleh Antropologi Inggris Bronislaw Melinowski berdasarkan pengalamannya ketika ia hendak menerjemahkan konsep suku Trobriand yang diselidiki ke dalam bahasa Inggris. Ia tidak dapat menerjemahkan kata demi kata atau kalimat antardua bahasa. Itu sebabnya, ia 15
Abdul Chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), cet.
Ke-2, h.2
19
mengatakan, “the meaning of any utterace is what it does in some context of situation.” 16 J.R Firth dalam membuat pertimbangan terhadap karya B. Malinowski mengatakan bahwa yang mengemukakan teori konteks situasi ini mula-mula Philip Wegemer, lalu Sir Allan Gardiner, dan kemudian dia sendiri. Ia mengatakan obyek studi bahasa ialah penggunaan bahasa sehari-hari. Tujuan studi ini ialah memecahkan aspek-aspek bermakna bahasa sedemikian rupa sehingga aspek linguistik dan aspek nonlinguistik dapat dihubungkan nada korelasi. Makna sebuah kata bergantung pada penggunaannya dalam bahasa (kalimat). Misalnya kata baik, jika ia bersanding pada seseorang maka makna terkait dengan budi pekerti yang dimiliki. Namun jika kata baik oleh seorang dokter kepada pasien, maka ia berarti sehat. Begitu juga jika kata baik oleh pedagang buah, maka artinya adalah segar, bersih dan bergizi. Kata hub (mencintai) dalam kalimat ana uhibbu ummî (saya mencintai ibuku) yang disampaikan pada saat kesusahan dengan ana uhibbu umî dalam suasana lebaran, akan berbeda kadar makna mencintai karena konteks emosinya yang berbeda. Begitu pula penggunaan kata dalam konteks-konteks yang lain.17 Teori semantik kontekstual adalah teori semantik yang berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama lain diantara unit-unitnya, dan selalu
16
Jos Daniel Parera, Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural Edisi kedua (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991), h.74-75 17 Ahmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 29-40
20
mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu dalam menentukan makna, diperlukan adanya penentuan berbagai konteks yang melingkupinya. Teori yang dikembangkan oleh Wittgenstein ini menegaskan bahwa makna suatu kata dipengaruhi oleh empat konteks, yaitu: (a) konteks kebahasaan, (b) konteks emosional, (c) konteks situasi dan kondisi, dan (d) konteks sosio-kultural. Konteks kebahasaan berkaitan dengan struktur kata dalam kalimat yang dapat menentukan makna yang berbeda, seperti taqdim (posisi didahulukan) dan ta‟khir (diakhirkan), seperti: Ahmadun utimma qirȃatu al-kitȃbu
“ berbeda dengan "
" qirȃatu al-kitȃbu utimuhȃ Ahmadun konteks emosional dapat
menentukan makna bentuk kata dan struksturnya dari segi kuat dan lemahnya muatan emosional, seperti dua kata yang berarti “membunuh”, yaitu
ightȃla dan
qatala yang pertama digunakan dalam pengertian membunuh orang yang mempunyai kedudukan sosial tinggi dan dengan motif politisi, sedangkan yang kedua berarti membunuh secara membabi buta dan ditujukan kepada orang yang tidak memiliki kedudukan sosial tinggi. Konteks situasi adalah situasi eksternal yang membuat suatu kata berubah maknanya karena adanya perubahan situasi. Sedangkan konteks kultural adalah nilainilai sosial dan kultural yang mengitari kata yang menjadikannya mempunyai makna yang berbeda dari makna leksikalnya. Makna demikian dapat dijumpai dalam 21
peribahasa, seperti:
balagha al-saili al-zubȃn maknanya adalah “Nasi
telah menjadi bubur”, bukan “air bah telah mencapai tempat yang tinggi”. Menurut J.R. Firth, teori kontekstual sejalan dengan teori relativisme dalam pendekatan semantik
bandingan antar bahasa. Makna sebuah kata terikat oleh
lingkungan kultural dan ekologis pemakai bahasa tertentu. Teori ini juga mengisyaratkan bahwa sebuah kata atau simbol tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks situasi. Singkatnya hubungan makna itu bagi Firth, baru dapat ditentukan setelah masing-masing kata berada dalam konteks pemakaian melalui beberapa tataran analisis, seperti leksikal, gramatikal, dan sosio-kultural.18 Teori kontekstual mengisyaratkan pula bahwa sebuah kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Walaupun demikian, ada pakar semantik yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi. Kedua kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Dalam kenyataannya kata itu tidak akan terlepas dari konteks pemakaiannya. Oleh karena itu, pendapat yang membedakan makna primer atau makna dasar dan makna skunder atau makna kontekstual secara tidak eksplisit mengakui pentingnya konteks situasi dalam analisis makna. Teori ini dikembangkan oleh Filsuf Jerman Winttgenstein berpendapat bahwa kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu
18
Moh. Matsna, (Orientasi Semantik al-Zamarkhsyari (Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam), Jakarta: Anglo Meedia, 2006), h. 21-23
22
selalu berubah dari waktu ke waktu. Makna tidak mantap di luar kerangka pemakaiannya.19 Jika Anda mendengar ujaran “matikan”, makna akan muncul dalam pikiran Anda “matikan” apa. Ujaran “matikan” sudah pasti tidak muncul secara serta merta. Ujaran “matikan” berhubungan dengan pengetahuan sebelumnya atau pengetahuan bersama yang telah dimiliki bersama. Ujaran itu mungkin dapat bermakna “matikan lampu, matikan mesin mobil, matikan radio, matikan seekor binatang yang berbahaya, atau juga matikan seorang penjahat”. Untuk memahami makna sebuah wacana, perlu pemahaman akan konteks keberlangsungan ujaran-ujaran. Berbagi pengetahuan dan pengetahuan bersama merupakan salah satu syarat pemahaman wacana secara kontekstual. 20 Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata kepala pada kalimat berikut. a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih. b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu. c. Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu. d. Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa. e. Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya. Makna konteks juga dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu. sebagai contoh; tiga kali empat 19 20
Ibid., h.45 - 48 J. D. Parera, Teori Semantik Edisi Kedua, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004), h. 2-5
23
berapa? Apabila dilontarkan di kelas tiga SD sewaktu mata pelajaran Matematika berlangsung tentu akan dijawab “dua belas”. Kalau dijawab lain, maka jawaban itu pasti salah. Namun, kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada tukang foto di tokonya atau di tempat kerjanya, maka pertanyaan itu mungkin akan dijawab “dua ratus” atau mungkin juga “tiga ratus” atau mungkin juga jawaban lain. Mengapa bisa begitu, sebab pertanyaan itu mengacu pada biaya pembuatan pas foto yang berukuran tiga kali empat centi meter.21 C.3 Rincian dalam Konteks 22 Unsur-unsur pembicara, pendengar, dan benda atau situasi (keadaan, peristiwa dan proses) yang menjadi acuan di dalam konteks wacana dapat dirinci. Setiap orang (pembicara) memiliki cara untuk memperkenalkannya sesuai dengan konteks. Ciriciri orang dapat diperjelas acuannya, misalnya dengan ciri fisik (luar) atau dengan uraian yang agak emosional, bahkan dapat pula dinyatakan dengan perbuatan yang sedang dilakukan orang tersebut. Bila perhatikan antara lain ada: 1. Rincian ciri luar (fisik); Rincian ini dapat melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, benda, binatang secara fisik, atau ciri luar yang menyangkut milik atau ciri luar bagian dari tubuh yang menonjol secara fisik. Contoh: Pandangannya tertuju kepada laki-laki yang tegap, berkumis tebal, dengan dahi lebar. 2. Rincian emosional
21
22
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), h. 288 - 291 Ibid., 35-37
24
Rincian emosional berhubungan erat dengan makna feeling di dalam semantik. Makna feeling (perasaan) berhubungan dengan sikap pembicara, situasi pembicaraan. Rincian emosional di dalam konteks wacana menyangkut masalah perasaan (emosi). Contoh: Gadis cantik yang mungil itu duduk bersimpuh di atas permadani. 3. Rincian perbuatan Rincian perbuatan menyangkut upaya ragam tindakan yang dilakukan atau dialami oleh pelaku atau pengalam di dalam konteks wacana. Rincian perbuatan menunjukkan atau mengacu pada unsur-unsur sebagai ciri atau pewatas acuan (orang, binatang, benda tertentu). Contoh: Laki-laki yang sedang berjalan itu, guru saya. 4. Rincian campuran (mis., rincian emosional dan perbuatan) Rincian campuran terjadi antara rincian emosional dan perbuatan, fisik dan perbuatan, atau fisik dan emosional, dan sebagainya. Upaya yang digunakan merupakan campuran dari rincian fisik, perbuatan, dan emosional, oleh karena itu disebut campuran. Contoh: Mila yang cantik itu mengambil gelas dari dapur, ia berbaju hijau pada waktu itu, serta rambutnya yang ikal sebatas bahu membuat wajah bulat itu bertambah menarik. Gelas itu diberikan kepada temannya yang berkumis tipis berperawakan mungil seperti perempuan, tangannya gemetar menuangkan wiski ke dalam gelas tadi. C.4 Pentingnya Makna Kontekstual Dalam Terjemahan Makna dan terjemah mempunyai hubungan yang sangat erat. Menurut Newmark menerjemahkan berarti memindahkan makna dari serangkaian atau satu unit linguistik dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Yang perlu dicermati adalah di 25
dalam sebuah wacana terdapat lebih dari satu macam makna. Oleh sebab itu menurut Suryawinata ada lima macam makna, yaitu makna leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual atau situasional, dan makna sosiokultural.23 Berkaitan dengan penerjemahan, makna merupakan referensi dasar bahasa yang selalu diperhatikan.24Teori semantik kontekstual dalam dunia penerjemahan memiliki peran yang sangat penting karena makna suatu kata seperti makna konotatif dalam prakteknya sangat bergantung pada konteks sekaligus relasi dengan kosa kata lainnya dalam kalimat. Contoh: kata
kitȃbun dalam makna dasar bermakna
“buku” tetapi, ketika kata kitab dihubungkan dengan konsep Islam serta kemudian ditempatkan dalam hubungan erat dengan kata-kata penting al-Qur‟an seperti Allah, wahy, tanzil dan sebagainya akan mengalami pengembangan dan perluasan maknanya, seperti kitab suci, al-Qur‟an, maupun Bibel Yahudi dan Kristen ketika direlasikan dengan kata ahl dalam perbincangan al-Qur‟an.25 Makna kontekstual dalam terjemahan berfungsi satu lafadz berfungsi untuk menunjukan makna hakiki. Disamping itu, lafadz yang mengandung makna majazi
23
“Makna dan Terjemahan”, artikel diakses Rabu, 2/3/2011 dari http://www.himasaunpad..com/2010_12_01_archive.html 24
Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke Dalam Bahasa Indonesia. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 136 25
phil. M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur‟an Kitab Satra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), h. 167
26
lebih halus diungkapkan dan mudah ditangkap, kerena bersifat inderawi, sehingga lebih mengena dalam hati pendengar. 26 Makna kontekstual menjadi sangat penting dalam penerjemahan karena makna kontekstual menjadi bagian dari teks yang mempengaruhi proses dalam penerjemahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi suatu teks terjemahan meliputi faktor kontekstual, tekstual dan penerjemahan. Makna kontekstual sangat berpengaruh terhadap hasil tulisan karena teks ditulis oleh seorang penulis pada suatu konteks tertentu. Oleh karena itu, segala hal yang dipahami penulis pada masa ia hidup akan mempengaruhi apa yang ditulisnya dalam teks tersebut. Sehubungan dengan itu, dalam menerjemahkan teks, konteks tidak dapat dilepaskan darinya. Faktor-faktor yang berkaitan dengan konteks produksi teks meliputi sejarah bahasa, penulis teks, budaya tempat teks ditulis atau dihasilkan, wilayah tempat teks dihasilkan, variasi sosial teks, dan topik teks. Dengan faktor-faktor inilah setiap penerjemah akan menghasilkan terjemahan yang berbeda dari suatu teks yang sama. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti kompetensi penerjemah, wawasannya dan kamus yang digunakannya dalam proses menerjemahkan. Teks tidak muncul begitu saja, tetapi teks dihasilkan dari suatu ruang dan waktu tertentu di suatu masa. Jika sebuah teks ada sekarang, teks tersebut tentunya
26
Moh. Matsna HS, (Orientasi Semantik al-Zamarkhsyari (Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam), (Jakarta: Anglo Meedia, 2006), h. 103
27
diproduksi dari masa yang lebih lampau daripada sekarang. Dengan kata lain, teks bertalian dengan sejarah.27 D. Kata Serapan D.1.Pengertian Kata Serapan Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa daerah asing, seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda atau Inggris. 28 Kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Melayu yang berasal dari bahasa Arab cukup banyak, diperkirakan sekitar 2.000 - 3.000. Namun frekuensinya tidak terlalu besar. Secara relatif diperkirakan jumlah ini antara 10 % - 15 %. Sebagian kata-kata Arab ini masih utuh dalam arti yang sesuai antara lafal dan maknanya, dan ada sebagian lagi berubah.29 Kata serapan merupakan salah satu faktor yang sangat aktif dalam menentukan perkembangan bahasa. Penyerapan terjadi akibat adanya kontak antar bahasa-bahasa lain, sehingga menimbulkan adanya saling pengaruh dalam bahasa mereka dan pengaruh yang paling sederhana berupa pinjaman kata-kata karena perkembangan antar bahasa yang saling mempengaruhi pastilah saling berbeda. Oleh karena itu, kata-kata serapan pasti ada pada setiap bahasa di dunia. Sebagaimana di 27
Muh. Arif Rokhman, Penerjemahan Teks Inggris (Teori dan Latihan Dilengkapi Teks-Teks Ilmu Sosial & Studi Humaniora) (Yogyakarta: Pyramid Publisher, 2006), h. 11-12 28
DEPDIKNAS RI, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan & Pedoman Umum Pembentukan Istilah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005) h. 28-29 29
“Daftar Kata Serapan dari Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia”, artikel diakses pada 27 Oktober 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab_dalam_bahasa_Indonesia
28
Indonesia, selain ada bahasa Nasional yaitu bahasa Indonesia. Ada juga bahasabahasa daerah. Penyerapan dari satu bahasa ke bahasa lain dapat terjadi secara leksikal. Pada proses penyerapan bahasa secara leksikal akan terbawa juga proses penyerapan bunyi. Penyerapan laksikal dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu penyerapan dialek, penyerapan mesra, penyerapan kultural.30 1.
Penyerapan dialek adalah penyerapan yang diambil dari salah satu dialek
dalam bahasa Indonesia, seperti damprat (memaki-maki), mendusin (sadar). Dianggap sebagai penyerapan dialek karena merupakan salah satu dialek bahasa Indonesia yang diambil dari bahasa Jakarta (Betawi). 2.
Penyerapan mesra adalah penyerapan dari bahasa lain yang terdapat dalam
daerah kebahasaan Indonesia, seperti kata ganteng, leluhur, prihatin yang berasal dari bahasa Jawa. 3.
Penyerapan kultural adalah bahasa yang diambil dari bahasa yang tidak ada
dalam daerah kebahasaan bahasa Indonesia, seperti kata kafir, jahiliyah dan kiamat yang diambil dari bahasa Arab. Kata serapan adalah kata yang diserap dari bahasa asing yang mengalami perubahan baik perubahan makna maupun perubahan lafadz.
30
Musa el kazimy, “Penyimpangan Kata Serapan (Faux Amis) dalam Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab (Analisis Buku Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia)”. Skripsi S1 Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
29
D.2 Bentuk-Bentuk Kata Serapan D.2.1 Lafal dan arti masih sesuai dengan aslinya Artinya kata yang diserap dari bahasa asing tapi dari segi lafal dan arti masih sesuai dengan aslinya. .31 Untuk lebih jelasanya pada tabel di bawah ini. Kata Serapan
Bahasa Arab
Makna
dalam Makna
bahasa Arab Abad
/ abadun
Masa
dalam
bahasa Indonesia (al- 100 tahun (KBBI,
Munawir,
2002: 2005: h.1)
h.1) Abdi
/ al-‘abdi
Orang/hamba (al- Hamba Munawir,
(KBBI,
2002: 2005: h.1)
h.887) Adat
/ al-‘ȃdatu
Kebiasaan Munawir,
(al- Kebiasaan (KBBI, 2002: 2005: h. 5)
h. 983) / ‘ȃdilun
Adil
Yang
adil
Munawir,
(al- Tidak 2002: sebelah
h. 95) / ‘amalun
Amal
Berbuat Munawir,
berat (KBBI,
2005: h. 6) (al- Perbuatan (KBBI, 2002: 2005: h. 26)
h. 972) Hikmah
/ hikmatun
Kebijaksanaan
Kebijaksanaan
(KBBI, 2005: h. (al-Munawwir, 401)
2002: h. 287)
31
Mansur Muslich, Tata Bentuk Bahasa Indonesia (Kajian Ke Arah Tata Bahasa), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 135-136
30
Amanah
/amanatun
Pesan
(KBBI, Dapat
2005: h. 26)
dipercaya
(al-Munawwir, 2002: h. 41
D.2.2 Lafalnya berubah, artinya tetap Kata yang diserap dari bahasa asing lafalnya berubah akan tetapi artinya tetap. 32 Kata Serapan Bahasa Arab Barakat
Makna Arab
Makna Indonesia
/ Kenikmatan (al- Berkat barakatun
(KBBI,
Munawir, 2002: 2005: h. 80) h. 78)
Darajah
/ darajatun
Derajat
Munawir, 2002: (KBBI, h. 396)
Khabar
/ khabarun
(al- Tingkatan/martabat 2005:
h.
254)
Kabar/berita (al- Laporan
(KBBI,
Munawir, 2002: 2005: h. 485) h. 318) Lafazh
/ lafdun
Ucapan
(al- Ucapan
(KBBI,
Munawir, 2002: 2005: h. 623) h. 1277) Zhalim
/ dalîmun
Menganiaya (al- Menganiaya (KBBI, Munawir, 2002: 2005: h. 1279) h. 882)
32
Ibid, h. 137 - 138
31
Nama-nama hari dalam sepekan : Senin (Isnaini=2), Selasa ( (
(belakangan jadi Minggu artinya=1), ), Rabu (
), Kamis (
), Jumat (
) dan Sabtu
).
D.2.3 Lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula (bahasa sumber) Kata yang diserap dari bahasa asing lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula (bahasa sumbernya). Kata Serapan
Bahasa Arab
Makna Arab
Makna Indonesia
Keparat
Logat
/ kafȃratun
/ lughatun
Penebus
dosa Kata
makian
(al-Munawir,
(KBBI, 2005: h.
2002: h. 1218)
546)
Bahasa
(al- Aksen
(KBBI,
Munawir, 2002: 2005: h. 680) h. 1276) Naskah
/ niskhatun
Salinan
(al- Karangan
yang
Munawir, 2002: ditulis
dengan
h. 1412)
(KBBI,
tangan
2005: h. 776) Perlu
/ fardun
Wajib
(al- Wajib
Munawir, 2002: h. 1046) Nasihat
/ nasîhatun
Nasihat
(al- Arah yang baik
Munawir, 2002: (KBBI, 2005: h. h. 1424)
1424)
32
D.2.4 Lafalnya Tetap, artinya berubah Kata yang diserap dari bahasa asing yang lafalnya benar akan tetapi artinya berubah. Kata Serapan Ahli
Bahasa Arab / ahlun
Makna Arab Keluarga
Makna Indonesia (al- Orang yang mahir
Munawir, 2002: h. (KBBI, 46) Kalimat
/ kalimatun
14)
Kata (al-Munawir, Perkataan 2002: h. 1227)
Fitnah
/ fitnatun
2005: h.
Kekacauan
(KBBI,
2005: h. 494) (al- Perkataan
Munawir, 2002: h. menjelekan 1033)
untuk orang
lain (KBBI, 2005: h. 242
D.2.5 Kata yang Diserap Hanya Bentuk Jamaknya saja Hal itu dapat terjadi disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya pemakai bahasa yang bersangkutan. Kata-kata adalah sebagai berikut: 33 Kata serapan Hadirin
Bahasa Arab / al-hȃdrȗna
Ulama
/ al-‘ulamȃu
Arwah
/ arwȃhun
33
Mansur Muslich, Tata Bentuk Bahasa Indonesia (Kajian Ke Arah Tata Bahasa), (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 135-136
33
D.3 Bentuk Gramatikal Kata Serapan Untuk memperkaya bentuk gramatikalnya, bahasa Indonesia menyerap sejumlah imbuhan asing dari bahasa Arab, Sansekerta, dan bahasa Barat. Imbuhan tersebut antara lain, sebagai berikut.34 Dari bahasa Arab: -ih, -iah, -wi, sebagai pembentuk atau penanda kata sifat, dengan makna „berhubungan dengan, mengenai, bersifat, memenuhi syarat‟. Contoh: alami, rohaniah, manusiawi. Dalam bahasa Indonesia, kita kenal kata-kata dengan akhiran -i atau –wi seperti badani, insani. Disamping itu, kita mengenal juga kata-kata badan, insan. Jadi, ada dua macam bentuk yang kita pungut dari bahasa Arab yaitu bentuk dasar dan bentuk dengan akhiran –i atau –wi. Akhiran –i atau –wi dari bahasa Arab itu bukan dua akhiran atau dua macam akhiran, melainkan satu akhiran karena kedua-duanya mewakili satu morfem. Perbedaan bentuknya timbul karena lingkungan yang dimasukinya berbeda. Bila kata dasar berakhiran dengan konsonan, dalam contoh di atas /n/ dan /m/ maka akhiran yang muncul ialah –i, sedangkan bila bentuk dasar itu berakhir dengan vokal /a/, maka yang muncul ialah –wi. Contoh: Surga manusia
surgawi,
manusiawi.35
1. Dari bahasa Sansekerta: -man, -wan, -wati sebagai pembentuk atau penanda kata benda. Contoh: wartawan, budiman, seniwati.
34
DEPDIKNAS RI, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), h. 110-112 35 J.S. Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 73-74
34
2. Dari bahasa Barat: -is, -if, -a, untuk membentuk kata sifat dengan makna „mempunyai ciri atau sifat seperti kata dasar‟. Contoh: egois, deskriptif, formal. Untuk membentuk kata benda diserap imbuhan –tas, -or, -is, -isme yang berturutturut mengandung makna „hal, pelaku, ahli, paham‟. Contoh: aktivitas, modernitas, proklamator, liberalisme, pianis.‟ D3.1 Akhiran –MAN, -WAN, -WATI Akhiran –man, -wan, dan –wati merupakan contoh imbuhan serapan. Ketiganya berasal dari bahasa Sansekerta dan berfungsi membentuk kata benda. Ketiga imbuhan tersebut memiliki makna berikut. 1. Menyatakan orang yang ahli. Contoh: ilmuwan, negarawan. 2. Menyatakan orang yang memiliki pekerjaannya. Contoh: usahawan, wartawati. 3. Menyatakan orang yang memiliki sifat. Contoh: rupawan, budiman. D3.2 Akhiran –I, -IAH, -IS, -WI Keempat bentuk akhiran ini merupakan hasil serapan. Akhiran –i berasal dari bahasa Inggris, sedangkan akhiran –iah, -is, dan –wi berasal dari bahasa Arab. Akhiran -i, -iah, -is, dan –wi berfungsi membentuk kata sifat. Makna yang dikandungnya pun menyatakan „memiliki sifat‟. Contoh: insani Alamiah
memiliki sifat keinsanan memiliki sifat kealaman, natural
Agamis menunjukan sifat orang yang beragama, taat beragama. Manusiawi
bersifat kemanusiaan.
35
D3.3 Akhiran –ISME, -ISASI Akhiran –isme dan –isasi juga merupakan jenis imbuhan serapan. Mulanya pemakaian kedua imbuhan ini sangat terbatas pada kata-kata tertentu, seperti liberalisme dan westernisasi. Pemakaiannya tidak hanya pada kata dasar dari bahasa Inggris atau Belanda. Kata-kata Indonesia asli pun banyak yang menggunakan kedua imbuhan tersebut, seperti bapakisme, Indonesisasi. Makna yang dibentuk oleh kedua imbuhan tersebut adalah: 1. Akhiran –isme bermakna paham atau ajaran. Contoh: komunisme, animisme, liberalisme. 2. Akhiran –isasi bermakna proses atau menjadikan sesuatu. Contoh: swastanisasi, liberalisasi.
36
BAB III Biografi M. Quraish Shihab A. Biografi Secara Umum Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965.36 Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar sampai kelas 2 SMP. Pada tahun 1956, ia di kirim ke kota Malang untuk “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah. Karena ketekunannya belajar di pesantren, 2 tahun berikutnya ia sudah mahir berbahasa arab. Quraish beserta adiknya Alwi Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar Cairo melalui beasiswa dari Propinsi Sulawesi, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua I'dadiyah Al Azhar (setingkat SMP/Tsanawiyah di Indonesia) sampai menyelasaikan tsanawiyah Al Azhar. Setelah
36
M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur‟an (Kisah dan Hikmah Kehidupan), (Bandung: PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI, 2008), h. 3
37
itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC. Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I‟jaz at-Tasryri‟i al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”. Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studinya di program pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits, Universitas al-Azhar. Pada tahun 1982 dengan disertasi berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa‟I Tahqiq wa Dirasah” dengan yudisium Summa Cum Lauede, disertasi penghargaan tingkat pertama. (Quraish Shihab, h. 8) Pada tahun 1984, babak baru karir Quraish Shihab dimulai saat pindah tugas dari IAIN Alauddin, Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di sini Quraish Shihab aktif mengajar bidang tafsir dan ulum al-Qur‟an di program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Sejak tahun 1998 sampai sekarang kegiatan mengajarnya berkurang karena ia memangku jabatan penting di pemerintahan. Quraish Shihab adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang tafsir tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan. Dengan kata lain bahwa ia adalah seorang ulama yang memanfaatkan keahliannya untuk mendidik umat. Hal ini ia lakukan pula melalui sikap dan kepribadiannya yang penuh dengan 38
sikap dan sifatnya yang patut diteladani. Ia memiliki sifat-sifat sebagai guru atau pendidik yang patut diteladani. Penampilannya yang sederhana, tawadlu, sayang kepada semua orang, jujur, amanah, dan tegas dalam prinsip adalah merupakan bagian dari sikap yang seharusnya dimiliki seorang guru. 37 Jabatan strategi lainnya yang cukup penting seperti; Ketua MUI Pusat (1984 1990), Anggota Lajnah Pentashih al-Qur‟an Departemen Agama sejak (1980), Anggota Badan Perimbangan Pendidikan Nasional sejak (1989), ICMI. Selain itu, Quraish Shihab dipercaya sebagai anggota dewan redaksi di beberapa penerbit, antara lain: majalah Ulumul Qur‟an, Mimbar Ulama, Studi Islamika, Indonesia Journal for Islamic Studies (sejak terbitan pertama tahun 1994) dan Refleksi Journal Kajian Agama dan Filsafat al-Amanah dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Quraish Shihab juga aktif dalam tulis menulis disurat kabar Pelita. Di luar kegiatan di atas, ia juga sering berceramah lewat media elektronik, khususnya di bulan Ramadhan, seperti RCTI dan Metro TV dengan program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya. 38
37
“Muhamad
Quraish
Shihab”,
Journal
diakses
pada
4
Februari
2011,
dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab 38
Kusmana, op. cit., h. 259.
39
B. M. Quraish Shihab Sebagai Penerjemah dan Penafsir B.1 M. Quraish Shihab Sebagai Penerjemah Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-Qur'an lainnya. Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat alQur'an. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama al-Qur'an. Dalam bidang Hadits Hasil penelitiannya tentang fungsi hadits terhadap al-qur‟an adalah bahwa Rasulullah ditekankan atau difungsikan untuk memperjelas maksud firman Allah SWT. Ia juga mengutip pendapatnya abdul halim mahmud, mantan syakh al-azhar, bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan denagn al-qur‟an 40
dan fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara‟. Fungsi itu antara lain digarisbahwahi sebagai penguat terhadap ayat-ayat al-qur‟an, memperjelas, merinci, bahkan membatasi penertian lahir dari ayat-ayat al-qur‟an. Selain itu, hadits juga memiliki peran sebagai penetapan hukum syra‟i. 39 B.2 M. Quraish Shihab Sebagai Penafsir B2.1 Metode yang Digunakan Metode yang dipergunakan dan yang dipilih dari penafsirannya adalah metode tahlili. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish mengemukakan bahwa metode Tahlili memiliki berbagai kelemahan, maka dari itu penulis juga menggunakan metode Maudhu‟i atau tematik dalam penguraiannya. Menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur‟an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya. Dalam mengemukakan uraian-uraiannya sangat memperhatikan arti kosa kata atau ungkapan al-Qur‟an dengan merujuk kepada pandangan pakar-pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana kosa kata atau ungkapan itu digunakan alQur‟an, lalu memahami arti ayat atas dasar penggunaan kata tersebut oleh al-Qur‟an. Hal ini penting karena al-Qur‟an tidak jarang mengubah pengertian semantik dari satu kata yang digunakan oleh masyarakat Arab yang ditemuinya, dan memberi
39
Mamanitah, “Model Penelitian Tafsir” artikel diakses pada hari Kamis, 4 Februari 2011, dari http://www.mamanitah.com/2010/06/model-penelitian-tafsir.html,
41
muatan makna (pengertian) yang berbeda pada kata tersebut. Misalnya, kata shalat, seringkali tak lagi digunakannya dalam pengertian „doa‟, tetapi merupakan „ucapan dan gerak tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam‟. Kata karim dipahami oleh masyarakat Arab sebagai seseorang yang memiliki garis keturunan bangsawan, tetapi al-Qur‟an mengembangkan maknanya sehingga mencakup segala sesuatu yang baik pada objek yang disifati oleh kata itu. Dengan menempuh cara ini, diharapkan uraian tafsir tidak akan memberi muatan yang berlebih atau meleset dari apa yang termuat dalam kata itu sendiri. 40 Menyadari kelemahan-kelemahan yang terdapat metode tahlili, Quraish memberikan tambahan lain dalam karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan al-Qur‟an adalah metode maudhu‟i. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu‟i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat alQur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat alQur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
40
M. Quraish Shihab, Tafsir Atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. Kata Pengatar
42
Dalam menafsirkan al-Qur‟an M. Quraish Shihab menggunakan metode Ijmaliy atau global, yaitu dengan cara memperkenalkan secara singkat surah-surah al-Qur‟an baik yang berkaitan dengan intisari kandungan ayat-ayatnya, tujuan kehadiran surah tersebut, maupun pelajaran atau pesan singkat yang dikandungnya. Dengan mengetahui intisari kandungan ayat,
dapat dikenal kandungan surah. Dengan
menghayati tujuan surah, dapat mengayunkan langkah menuju tujuan itu dan dengan memperhatikan pelajaran dan pesan-pesan singkat yang terhidang, semakin mengukuhkan tekad untuk melaksanakannya hingga pada akhirnya kita semua mencapai tingkat ulul albab. Seperti firman-Nya Qs. al-Baqarah: 269. Metode muqaran (komparatif) yang antara lain berupaya membandingkan satu ayat dengan ayat yang lain atau hadits Nabi saw yang kelihatannya bertentangan atau bahkan pendapat dua ulama atau lebih menyangkut ayat-ayat tertentu dan metode maudhuiy atau disebut juga metode tauhidiy, yang menyajikan pesan ayat-ayat alQur‟an yang berbicara tentang satu topik dalam satu kesatuan utuh. C. Karya – Karya M. Quraish Shihab Quraish Shihab merupakan seorang penulis yang produktif menulis berbagai karya ilmiah yang berupa artikel dalam majalah maupun buku-buku yang diterbitkan. Quraish Shihab menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Beliau juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Lebih dari 20 buku telah lahir dari tangannya. Sosoknya juga sering tampil diberbagai media untuk memberikan siraman ruhani dan intelektual. Aktivitas utamanya sekarang adalah 43
Dosen (Guru Besar) Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Direktur Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) Jakarta.41 Berbagai karyanya, antara lain: Beberapa buku yang sudah Ia hasilkan antara lain :42 Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984), Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987), Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988), Membumikan Al Qur'an (Bandung: Mizan, 1992), Studi Kritis Tafsir al-Mannar: Keistimewaan dan Kelemahannya (1994), Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhui atas Berbagai Persoalan Umat.(Mizan, 1996) dan juga menjadi best seller. Isinya menyangkut berbagi persoalan yang dijelaskan secara tematis sesuai imformasi al-Qur‟an, Haji Mabrur Bersama Quraish Shihab (1997), Menyingkap Tabir Illahi Asma‟ul Husna dalam Perspektif al-Qur‟an (1998), Fatwa-Fatwa Seputar al-Qur‟an dan Hadits (1999), Tafsir Al-Mishbah, tafsir Al-Qur‟an lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati), Al-Qur‟an dan Maknanya (2010). Dan masih banyak lagi karya tulisnya yang belum disebutkan, baik itu berupa makalah, rubrik dalam berbagai surat kabar, maupun buku-buku yang diterbitkan.
41
M. Quraish Shihab, Lentera al-Qur‟an (Kisah dan Hikmah Kehidupan), (Bandung: PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI, 2008), h. 5 42
“Quraish Shihab dan Tafsirnya”, artikel diakses pada hari Kamis, 4 Februari 2011, dari
http://tafsirbetawie.wordpress.com/2009/08/13/m-quraish-shihab-dan-tafsirnya/
44
Karya M. Quraish Shihab dalam bidang penerjemahan misalnya; dalam alQur’an dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama (Kemenag) terjemah itu disusun secara cermat oleh pakar-pakar yang berkompeten di bidangnya. Pertama kali terbit 1965, terlibat dalam penyusunannya sejumlah tokoh antarlain Hasbi Ash-Shiddiqi, Anwar Musaddad, Ali Maksum, dan Bustami Abdul Ghani. Pada 1989 secara redaksional, terjemah itu disempurnakan oleh Tim yang terdiri antara lain Satria Effendi Zain, M Quraish Shihab. Terjemah di sempurnakan ulang secara menyeluruh pada 1998-2002. Turut tergabung dalam tim tersebut diantaranya Ahsin Sakho Muhammad dan Ali Musthafa Ya‟qub.43 Demikianlah beberapa karya Qurais Shihab yang dapat Penulis paparkan pada bagian ini. Tentunya masih banyak karya-karya yang belum disebutkan, baik berupa makalah, rubrik, artikel dalam berbagai surat kabar maupun majalah.
D.
Sekilas Tentang al-Qur’an dan Maknanya Al-Qur‟an dan Maknanya merupakan salah satu karya seorang pakar ilmu
tafsir yang sangat berkualitas melakukan penggalian-penggalian makna atau nashnash al-Qur‟an. Penguasaannya atas berbagai cabang ilmu al-Qur‟an dan hadits, serta cabang-cabang ilmu lainnya yang terkait tidak perlu diragukan lagi.
43
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Bukan Pemicu Aksi Terorisme. Artikel diakses pada hari Selasa, 10 Mei 2011 dari http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islamnusantara/11/05/02/lkkdz9-alquran-dan-terjemahnya-bukan-pemicu-aksi-terorisme.
45
Quraish memberi judul karyanya ini dengan istilah “Al-Qur‟an dan maknanya”, bukan “Al-Qur‟an dan Terjemahannya”. Kata “makna” memiliki arti yang jauh lebih dinamis, dalam dan tidak terbatas daripada kata “terjemah”. Melalui pemaknaan yang dilakukannya, redaksi nash-nash ayat suci Al-Qur‟an terasa lebih “hidup” dan lebih memiliki “ruh”. Ada spirit yang lebih menggerakan dibandingkan dengan penerjemahan yang sudah ada atau menurut istilahnya “lebih nendang”.44 Kehadiran Al-Qur‟an dan Maknanya diharapkan dapat membantu untuk memahami sekelumit dari makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur‟an. Ia bukan terjemahan al-Qur‟an karena pada hakikatnya, sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama, al-Qur‟an tidak dapat diterjemahkan dalam arti dialihbahasakan. Paling banter yang dapat dihidangkan hanyalah sebagian maknanya, bukan seluruhnya, dan makna itu pun menurut sudut pandang manusia, bukan makna hakiki yang dimaksud Tuhan. Memang, setiap kalimat bahkan kata yang dihasilkan/ditulis oleh siapa pun, lebih-lebih firman Allah, hanya pengucap/penulisnya yang mengetahui secara pasti maksudnya, sedang pemahaman pendengar atau pembacanya bersifat relative, tidak pasti. Dalam al-Qur‟an dan Maknanya ditulis makna dan tujuan surah karena tidak jarang mereka yang memaknai ayat-ayat al-Qur‟an, baik manusia awam atau lebihlebih pengalih bahasa, sering kali sulit menggambarkan kandungan makna ayat-ayat
44
“Al-Qur‟an dan Maknanya (M. Quraish Shihab)”, opini diakses tanggal 14 April 2011 dari http://media.kompasiana.com/buku/2011/02/23/al-quran-dan-maknanya-prof-dr-m-quraishshihab/
46
yang kalimatnya berbentuk “jumlah ismiyah (nominal senstence)” dengan yang berbentuk “jumlah fi‟liyah (verbal senstence), sebagai contoh, firman Allah:
Waja’ala kalimata al-ladzîna kafarȗ al-ssuflȃ wa kalimatu Allȃhi hiya al-‘ulyȃ. (al-tauhah: 40) Ada yang memaknai ayat ini dengan menyatakan: “Allah swt. Selalu menempatkan orang-orang kafir itu di tingkat yang rendah, selalu kalah, dan kalimat Allah yaitu agama yang didasarkan atas tauhid, jauh dari syirik, selalu ditempatkan di tempat yang tinggi.” Pemaknaan di atas tidak sepenuhnya memperlihatkan perbedaan antara “kalimat orang kafir” dan “kalimat Allah”. Keduanya menurut pemaknaan di atas “ditempatkan Allah”, padahal ayat tersebut bermaksud menggambarkan perbedaan antara keduanya. Yang satu ditempatkan Allah di bawah, sedangkan kalimat-Nya tidak ditempatkan-Nya di atas, tetapi ia selalu di atas- bukan karena ditempatkan Allah. Kalimat Allah demikian disebabkan oleh karena substansinya sendiri, bukan karena campur tangan Allah meletakannya di atas. Perbedaan ini dipahami dari perbedaan penggunaan jumlah fi‟liyah (verbal sentence) dengan jumlah ismiyah (nominal sentence). Perbedaan itu juga dapat dipahami dari adanya kata ja‟ala/menjadikan pada kalimat alladzina kafaru sedang pada “kalimatullah” kata tersebut tidak ditemukan.
47
Di sisi lain, bahasa al-Qur‟an cenderung singkat dan sarat makna. Tidak jarang satu ayat tidak menyebut beberapa kalimat karena apa yang dimaksud oleh kalimat yang tidak disebut itu telah “diisyaratkan” oleh kalimat yang disebut sebelum atau sesudahnya. Sebagai contoh firman-Nya dalam Qs. Yunus [10]: 67.
Huwalladzî ja’ala lakumu allaela litaskunȗ fîhi wa al-nahȃra mubshirȃn inna fî dzȃlika la’ayȃti lliqaumim yasma’ȗna. Terjemahan ayat ini secara harfiah: “Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” Maknanya lebih kurang adalah: “Dialah yang menjadikan untuk kamu, malam (gelap) supaya kamu beristirhat padanya dan (menjadikan) yang terang benderang (supaya kamu bersungguh-sungguh mecari rezeki). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang (mau mendengarkan).” Banyak kata yang tidak disebut ayat di atas agar terhidang maknanya secara lebih jelas. Kata “gelap”, misalnya, tidak disebut pada penggalangan ayat yang berbicara tentang malam karena kata terang benderang telah disebut pada penggalan ayat yang berbicara tentang malam, yakni “siang”. Disisi lain, kalimat “supaya kamu bersungguh-sungguh mencari rezeki” pada penggalan ayat berbicara tentang siang, tidak disebut lagi karena lawannya telah disebut sebelumnya, yakni “supaya kamu beristirahat.” Hal ini yang dinamai oleh pakar-pakar bahasa dengan ihtibak, dan banyak ditemukan dalam al-Qur‟an sehingga dalam konteks kejelasan makna, penyisipan
48
kata diperlukan. Disamping itu, penyisipan kalimat tidak jarang dibutuhkan juga akibat adanya penjelasan Nabi Muhammad saw yang tidak dapat diabaikan menyangkut maksud ayat tersebut. Sebagai contoh
ayyȃmȃma’dȗdȃtin faman kȃna minkum marîdȃn au ‘alȃ safarin fa’iddatun min ayyȃmin ukhara wa ‘ala al-ladzîna yuthîqȗnahu fidyatun tha’ȃmu miskînin faman tatawwa’a khairȃn fahuwa khairullahu wa an tashȗmȗ khairullakum in kuntum ta’lamȗna. “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (al-Baqarah: 184) Disini diperlukan sisipan. Pertama antara “dalam perjalanan” dan “maka”. Yakni dengan menyisipkan “lalu ia berbuka”. Sisipan ini diperlukan agar tidak timbul kesan bahwa yang sakit dan dalan perjalanan tidak boleh berbuka puasa, padahal Nabi saw. Bahwa mereka diberi alternative, boleh berpuasa, padahal nabi saw memberi mereka pilihan. Sedang sisipan yang kedua untuk memperjelas bahwa penggantian sebanyak sehari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain bersifat wajib, bukan sekadar anjuran.
49
Dalam al-Qur‟an dan Maknanya dijelaskan tidak kurang dari sepuluh syarat bagi mereka yang bermaksud “menerjemahkan” dalam arti menjelaskan makna-makna alQur‟an, antara lain: 1. Menghindari istilah-istilah teknis pembahasan-pembahasan ilmiah, kecuali yang dibutuhkan oleh pemahaman ayat. 2. Tidak menguraikan/ membahas teori-teori ilmiah. 3. Kalau pemahaman makna ayat membutuhkan pembahasan meluas, maka itu diletakkan pada catatan kaki. 4. Tidak terikat dengan madzhab tertentu, baik madzhab fiqih (hukum Islam) maupun teologi (ilmu kalam). 5. Makna ayat dipetik dari Qira‟at Hafesh. 6. Tidak melakukan pemaksaan dalam menghubungkan satu ayat dengan ayat lain. 7. Menjelaskan tempat/ waktu turunnya ayat. Apakah Makkiyah atau Madaniyyah dan jumlah ayat-ayatnya. Dalam kitab ini terhidang juga sebagian dari asbab an-Nuzul (sebab-sebab turun) ayat-ayat tertentu yang menurut penilaian ulama-ulama bernilai shahih. Itu dimaksudkan untuk memperjelas makna ayat. Ini karena walau pun banyak sebab nuzul, tapi tidak semua shahih dan tidak semua juga diperlukan untuk memperjelas makna ayat. Dengan kata lain, ada ayat-ayat yang dapat dipahami walau tanpa mengetahui sebab/konteks turunnya. Catatan-catatan ilmiah yang terhidang disini pada umumnya terambil dari Tafsir al-Mukhatabah, yang disusun oleh sejumlah pakar Mesir, yang penulis jadikan 50
juga rujukan dalam karya penulis Tafsir al-Misbah. Selanjutnya, catatan akhir penulis bahwa apa yang terhidang di sini pada dasarnya terambil dari karya penulis tersebut. Ini untuk menyambut harapan sementara orang yang merasa tidak cukup waktu, atau kemampuan untuk membaca kitab tafsir yang terdiri dari lima belas jilid itu. tentu saja apa yang terhidang di sini tidak mencerminkan semua yang terhidang dalam Tafsir al-Misbah, namun semoga makna yang dihidangkan di sini sudah mengurangi sedikit dari dahaga siapa yang haus terhadap tuntunan al-Qur‟an.45
45
M. Quraish Shihab, al-Qur‟an dan Maknanya. (Jakarta: Lentera Hati, 2010), h. Pengantar
51
BAB IV Analisis Semantik Kontekstual Atas Penerjemahan Kata Arab Serapan (Studi Kasus Kata Fitnah, Hikmah dan Amanah) Dalam Terjemahan al-Qur’an Dan Maknanya Karya M. Quraish Shihab Pada bab II sudah Penulis ungkapkan bahwa pada kosa kata bahasa Indonesia ada sekitar 2000 – 3000 kata yang diserap dalam bahasa Indonesia dari bahasa asing. Sekitar 10 % - 15 % kata diserap dari bahasa Arab.46 Demikian juga dengan kata hikmah, fitnah dan amanah merupakan bagian dari sekian banyak kata yang diserap dari bahasa Arab. Dalam al-Qur’an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab ayatayat yang memiliki konteks yang sama dengan kata hikmah, fitnah dan amanah akan coba Penulis analisis pada bab IV ini. Mengingat begitu banyak ayat-ayat dalam alQur’an dan Maknanya yang memiliki konteks yang sama dengan kata hikmah, fitnah dan amanah, maka Penulis melakukan pengacakan. Dalam melakukan pengacakan, Penulis tidak memiliki standar dan alasan-alasan tertentu mengapa Penulis memilih ayat-ayat tersebut sebagai bahan analisis. A. Hikmah A.1 Makna Kata Hikmah dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia Hikmah atau hikmat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna sebagai berikut: hikmah (nomina) bermakna kebijaksanaan, sakti; kesaktian- kata-
46
“Daftar Kata Serapan dari Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia”, artikel diakses pada 27 Oktober 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab_dalam_bahasa_Indonesia.
52
kata/kekuatan ghaib.47 Sedangkan kata hikmah yang diserap dari bahasa Arab hikmat (nomina) bermakna kebijaksanaan; kearifan. Kata hikmah dalam bahasa Arab memiliki makna yang beranekaragam. Keanekaragaman tersebut disebabkan oleh perbedaan kata yang mendampinginya. Contoh: Kebijaksanaan, hikmah. hikmatun +
/ hikmatun +
/hikmatun +
/hisȃfatun =
/ falsafatun = Filsafat,
/
/ qaulan ma’tsȗra = Pepatah.48
Berdasarkan makna kedua bahasa di atas (Arab-Indonesia), maka kata hikmah memiliki perbedaan makna. Apabila dilihat secara tekstual makna hikmah antara kamus bahasa Indonesia dan bahasa Arab tidak ada perbedaan makna. Dalam kedua bahasa tersebut kata hikmah sama-sama diartikan kebijaksanaan. Meskipun dalam praktik penggunaannya memiliki perbedaan yang signifikan. Menurut cultur (budaya) masyarakat Indonesia umumnya memahami makna hikmah dengan arti intisari/ pelajaran. Misalnya; apabila kita mendengarkan ceramah atau pidato maka kita diharapkan dapat mengambil hikmah/ intisari isi dari ceramah atau pidato tersebut. Kemudian kita juga biasa mendengar kalimat “kita harus mengambil hikmah dari kejadian yang kita alami atau kejadian di sekitar kita. Artinya kita harus bisa mengambil pelajaran dari kejadian atau peristiwa yang ada.”
47
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Seri II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988 ), h. 307 48
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1988), hal. 787
53
Sedangkan dalam budaya (cultur) masyarakat Arab lebih mengartikan kata hikmah dengan makna kebijaksanaan. Bijaksana (adjektif/kata sifat) biasanya dikaitkan dengan ranah hukum dan politik. Kata hikmah merupakan akar kata dari /hakama bermakna memimpin, memerintah. Kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata
/ siyȃsah. Kata ini terambil dari kata
/ sȃsa-
/ yasȗsu yang
biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur dan sebagainya. Dalam al-Qur‟an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti “menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan.” Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya kendali. Makna itu sejalan dengan asal makna kata sȃsa-yȃsusȗ-sais siyȃsat yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian. Dalam al-Qur‟an dan Maknanya karya M. Quraish Shihab, ayat yang memiliki konteks yang sama dengan makna kata hikmah yaitu Qs. al-Qashsash: 14
walammȃ balagha asyuddahu wastawȃ ȃtainȃhu hukmȃn wa ‘ilmȃn wa kadzȃlika najzî al-muhsinîna. “Dan setelah dia (Nabi Musa as.) mencapai kemantapan umurnya dan sempurna (jasmani dan ruhani), Kami anugerahkan kepadanya hikmah (yakni kenabian atau kearifan) dan pengetahuan. Dan demikianlah Kami membalas orang-orang muhsin (orang yang selalu berbuat yang lebih baik).” (Qs. al-Qashsash: 14)
Yu’ti al-hikmata man yasyȃu wa man yu’ta al-hikmata faqad ȗtiya khairȃn katsîrȃn wa mȃ yadzakkaru illȃ ȗlȗ al-bȃbi.
54
“Dia (Allah swt.) menganugerahkan al-hikmah (dapat membedakan antara yang haq dan bathil) kepada siapa yang dia kehendaki. Dan barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal yang sehat.”(Qs. al-Baqarah: 269)
Walau lȃ fadlu Allȃhi ‘alika wa rahmatuhu lahammat thȃifatun minhum an yudillȗka wamȃ yudillȗna illȃ an-fusahum wamȃ yadurrȗnaka min syain wa anzala Allȃhu ‘alaika al-kitȃba wa al-hikmata wa ‘allamaka mȃ lam takȗ ta’lamu wakȃna fadlu Allȃhi ‘alaika ‘adzîmȃn. “Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (Muhammad), tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka hanya menyesatkan dirinya sendiri, dan tidak membahayakanmu sedikit pun. Dan Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah (kemampuan pemahaman dan pengamalan)kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar. ”(Qs. an-Nisa: 113) A.2 Analisis Kata hikmah pada al-Qur’an dan Maknanya Karya M. Quraish Shihab Berdasarkan Teori Semantik Kontekstual Analisis terjemahan kata hikmah (hikmat) berdasarkan teori semantik kontekstual memiliki makna yang berbeda-beda. Misalnya pada Qs. al-Qashash: 14 kata hikmah memiliki persamaan dengan kata
/hukman yang bermakna
“ketepatan pandangan menyangkut substansi satu persoalan dan kebenaran penerapannya.” Berbeda halnya dengan makna kata hikmah pada Qs. al-Baqarah: 269. Kata hikmah yang dimaksud di sini bermakna “dapat membedakan antara yang haq dan 55
bathil”. Sedangkan pada Qs. an-Nisa: 113 hikmah bermakna kemampuan pemahaman dan pengamalan.”49 Makna kata hikmah pada al-Qur’an dan Maknanya Qs. al-Qashash: 14 kata hikmah memiliki persamaan dengan kata
hukmȃn yang bermakna “ketepatan
pandangan menyangkut substansi satu persoalan dan kebenaran penerapannya. Sebab, kata hikmah pada Qs. al-Qashash: 14 memiliki dua pilihan makna yang saling menggantikan, yaitu hikmah berarti kenabian atau kearifan. Makna ini dilatar belakangi bahwa adanya hubungan antara Qs. al-Qashsash: 14 dengan ayat-ayat sebelumnya. Pada ayat sebelumnya terungkap bahwa janji Allah adalah benar. Seperti diketahui, Allah menjanjikan Nabi Musa as, bahwa Dia (Allah) akan mengembalikan anaknya dan menjadikannya seorang Rasul (Qs. al-Qashahs: 7). Pada ayat ini juga ditegaskan bahwa dan setelah dia mencapai kemampuan umurnya dan sempurna (jasmani dan ruhaninya), Kami anugerahkan kepadanya hikmah, yakni kenabian atau kearifan dan pengetahuan, yakni ilmu amaliah. Dan demikianlah Kami membalas almuhsinin, orang-orang yang selalu berbuat baik. 50 Berdasarkan teori semantik kontekstual kata hikmah pada ayat di atas diterjemahkan sebagai kata sifat (adjektifa) yaitu arif dan kata benda (nomina) yaitu kenabian. Karena kata hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum" dalam Kamus Bahasa
Indonesia
dinyatakan berarti
"putusan".
49
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 9), (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hal. 562 50
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 9), h.
561-563
56
Misalnya; seorang hakim dituntut tepat dan bijak (arif) dalam memutuskan satu persoalan. Demikian juga pada terjemahan karya M. Quraish Shihab mengartikan kata hikmah dengan menggunakan cultur Arab yaitu kearifan yang bermakna kebijaksanaan. Dalam ayat ini kata kebijaksanaan mencakup ranah keagamaan yaitu kenabian yang diberikan kepada Nabi Musa as. Dalam memimpin Nabi Musa diharuskan memiliki sifat bijaksana. Artinya mampu memberikan keputusan yang tepat pada setiap masalah selama kenabiannya. Apabila dengan menggunakan analisis seperti di atas maka tepat jika kata hukm diartikan kebijaksanaan. Akan tetapi, pada penerjemahan al-Qur‟an dan Maknanya kata kenabian dipisahkan dengan menggunakan kata “atau” kearifan. Menurut Penulis hal tersebut kurang tepat karena kata “atau” berfungsi untuk saling menggantikan. Padahal kata kenabian tidak bisa digantikan dengan kearifan karena kenabian sudah menyangkut pada kedudukan/ jabatan misalnya; kepresidenan, kekaisaran. Kenabian termasuk dalam kategori kata benda (nomina). Sedangkan kata kearifan termasuk dalam kategori kata sifat (adjektifa). Seharusnya kata “atau” dapat diganti dengan “dan” untuk menunjukan perbedaan fungsi dari kedua kata tersebut (kenabian, kearifan). Kekeliruan terjemah tersebut disebabkan oleh kurang tepatnya dalam diksi/ pilihan kata yaitu pada kata atau seharusnya dapat diganti dengan dan. Berbeda halnya kata hikmah pada Qs. al-Baqarah: 269 yang bermakna “dapat membedakan antara yang haq dan bathil”. Sebab konteks pada ayat ini awalnya kata 57
hikmah terambil dari kata (
) hukama yang pada mulanya berarti menghalangi.
Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang bermakna kendali, yakni sesuatu yang fungsinya mengantar kepada yang baik dan menghindari dari yang buruk. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan pengetahuan dan kemampuan menerapkannya. Dari sini, hikmah dipahami dalam arti pengetahuan tentang baik dan buruk, serta kemampuan menerapkan yang baik dan menghindar dari yang buruk. Ayat sebelumnya menjelaskan dua jalan, jalan Allah dan jalan setan. Siapa yang dianugerahi pengetahuan tentang kedua jalan itu, mampu memilih yang terbaik dan melaksanakannya serta mampu pula menghindari dari yang buruk, dia telah dianugerahi hikmah. Tentu saja siapa yang dianugerahi al-Hikmah itu, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak. Sayang, tidak semua orang bisa menggunakan potensi dan akalnya mengasah dan mengasuh jiwanya untuk memahami pelajaran tentang hakikat ini, hanya ulul al-Albab yang dapat mengambil pelajaran. Kata (
) Ulu al-Albab terdiri dari kata ulu yang berarti pemilik atau
penyandang, sedangkan albab sebagaimana dijelaskan dalam ayat 179 surah ini adalah bentuk jamak dari ( ) lubb, yaitu saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lubb. Ulul al-albab adalah orang-orang yang memiliki akal murni, yang tidak diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide, yang dapat melahirkan kerancuan dalam berpikir. Yang memahami petunjuk-petunjuk
Allah,
merenungkan
ketetapan-ketetapan-Nya,
serta 58
melaksanakannya, itulah yang telah mendapat hikmah, sedang yang menolaknya pasti ada kerancauan dalam cara berpikirnya, dan dia belum sampai pada tingkat memahami sesuatu. Ia baru ditangkap oleh yang berakal, tetapi fenomena dan hakikatnya tidak terjangkau kecuali oleh yang memiliki saripati akal. 51 Berdasarkan teori semantik kontekstual kata hikmah pada ayat di atas diterjemahkan dengan “dapat membedakan antara yang haq dan bathil.” Menurut sudut pandang Penulis, makna tersebut lebih bersifat umum artinya dapat digunakan oleh semua orang tidak hanya untuk kalangan khusus seperti makna hikmah pada ayat sebelumnya. Dalam hal ini berarti semua orang harus dapat membedakan antara yang haq/ benar dan bathil/ salah. Apalagi dalam kehidupan bermasyarakat tidak jarang kita dihadapi pada persoalan yang rumit, dihadapkan pada pilihan yang serba susah, pilihan yang menuntut adanya ketelitian. Dengan pemikiran yang teliti kita dapat membedakan mana pilihan yang haq/ benar dan mana pilihan yang bathil/salah. Sehingga dapat menghasilkan keputusan yang tepat. Dalam praktiknya tidak semua orang dapat dengan mudah mampu membedakan antara yang haq/benar dan bathil/salah. Kemampuan tersebut bisa dicapai oleh orang yang terbiasa mengasah dan menggunakan akal pikirnya dengan baik atau dalam al-Qur‟an pada umumnya dan ayat ini pada khususnya disebut ulu alAlbab.
51
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 1), h.
704-705
59
Pada Qs. al-Baqarah: 269 sebelum kata barang siapa tidak perlu adanya kata dan walaupun pada bahasa sumbernya terdapat kata artinya
/ wa man secara literlek
dan siapa karena kurang efektif, maka kata dan bisa dihilangkan.
Kekurangan terjemah tersebut disebabkan kurang efektif. Hikmah dalam Qs. an-Nisa: 113 bermakna kemampuan pemahaman dan pengamalan. Sebab dalam konteks ayat ini, kata mu ditunjukan kepada nabi Muhammad seperti dijelaskan pada Qs. an-Nisa: 105. Situasi pada ayat ini menjelaskan bahwa golongan kafir memiliki tujuan menyesatkan Nabi Muhammad. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan diri mereka sendiri dan mereka tidak dapat membahayakan nabi sedikit pun. Disebabkan Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepada nabi, dan telah mengajarkan apa yang belum engkau ketahui. Hikmah merupakan karunia Allah yang sangat besar. Agar dapat diteladani oleh umat nabi Muhammad, disamping itu Dia juga telah mengajarkan kepada nabi apa yang belum diketahui selain dari yang ada dalam Al-Qur‟an dan hikmah menyangkut yang ghaib maupun yang nyata, persoalan dunia maupun akhirat dan, dengan demikian, adalah karunia Allah sejak dahulu hingga kini.52 Berdasarkan teori semantik kontekstual terjemahan pada ayat ini hikmah diartikan kemampuan pemahaman dan pengamalan. Apabila dilihat dari konteks situasional pada ayat ini tepat hikmah diartikan kemampuan pemahaman dan pengamalan. Situasi pada ayat ini bahwa golongan kafir bertujuan menyesatkan Nabi 52
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 2), h.
710-712
60
Muhammad. Mereka (golongan kafir) tidak mampu menyesatkan karena Nabi Muhammad dengan pemahaman dan pengetahuannya tentang orang-orang kafir (seperti; sifat, karakter dan kebiasaan), bagaimana menyikapi sikap mereka sehingga Nabi bisa mengatasinya. Hal ini dipengaruhi oleh terbiasanya Nabi hidup berbaur dalam lingkungan bersama orang-orang kafir. Hal ini juga disebabkan karena Allah telah mengajarkan apa yang belum diketahui oleh Nabi. Allah juga memberikan kemampuan kepada Nabi untuk dapat melaksanakan atau mengamalkan apa yang diajarkan oleh Allah. Dalam tafsir pemaknaan kata hikmah, M. Quraish Shihab, menurut Penulis kurang menjelaskan secara detail/ terperinci makna konteks pada kalimat”disebabkan Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepada nabi.” Menurut Penulis, kata hikmah dalam konteks ayat ini juga dapat bermakna mu‟jizat, keistimewaan atau kelebihan yang diberikan oleh Allah, sehingga Nabi Muhammad mampu menghadapi kaum kafir. Ini merupakan karunia Allah yang sangat besar karena tidak semua orang dikaruniai kelebihan tersebut hanya orang-orang yang memiliki kedudukan khusus dalam pandangan Allah. Meskipun keistimewaan tersebut memiliki nama-nama yang berbeda-beda seperti
mu‟jizat, karamah, ilham. Perbedaan nama-nama tersebut
dipengaruhi juga oleh kedudukan atau tingkatan manusia tersebut dalam pandangan Allah. Mu‟jizat diberikan kepada nabi dan Rasul, karamah diberikan kepada wali, dan ilham diberikan kepada masyarakat orang awam. Terjemahan kurang tepat disebabkan kurangnya pemahaman dan penggalian lebih dalam tentang makna kontekstual tersebut. 61
B. Fitnah B.1 Perbedaan Makna Kata Fitnah dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia Fitnah dalam bahasa Arab artinya kekacauan, bencana, syirik, cobaan, ujian dan siksaan.53 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia fitnah berarti perkataan yang bermaksud menjelekan orang, seperti; menodai nama baik, merugikan kehormatan orang.54 Dengan melihat makna dalam kamus bahasa Arab dan bahasa Indonesia di atas, maka kata fitnah mengalami perubahan makna sama sekali. Kata fitnah termasuk dalam kategori kata serapan dari bahasa Arab yaitu dalam kelompok penyerapan lafadznya tetap, tetapi maknanya berubah. Pada cultur/ budaya masyarakat Arab mengenal kata fitnah dengan makna kekacauan atau huru-hara. Sedangkan pada masyarakat Indonesia, mengartikan kata fitnah dengan “orang yang menuduh tanpa bukti”. Menurut Penulis, kata fitnah dalam bahasa Arab lebih menekankan pada akibat dari perbuatan fitnah tersebut. Akibat dari fitnah menimbulkan kekacauan, seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya, merampas harta mereka dan menyakiti atau menganggu kebebasan mereka beragama. Perbuatan penganiayaan dan menindas. Sedangkan, masyarakat Indonesia lebih menekankan pada pengertian dari perbuatan fitnah. Fitnah yaitu perbuatan menuduh, menodai nama baik tanpa ada dasar bukti kebenarannya. 53
Ahsin w. al- Hafidz, Kamus Ilmu al- Qur‟an (Jakarta: Amzah, 2006), hal: 78
54
Kamus Besar Bahasa Indonesia Seri II, h. 242
62
Dengan melihat kedua makna yang terdapat dalam al-Qur’an dan Maknanya, ayat yang memiliki konteks yang sama dengan makna fitnah adalah sebagai berikut.
Walladzîna kafarȗ ba’duhum auliȃu ba’din illȃ taf’alȗhu takuna fitnatun fî alardi wafasȃdun kabîrun. “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (kaum muslimin) tidak melaksanakan (apa yang diperintahkan Allah swt.), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Qs. al-Anfal: 73)
Tsumma lam takun fitnatuhum illȃ qȃlȗ wa Allȃhi rabbinȃ mȃ kunnȃ musyrikîna. “Kemudian tiadalah fitnah (ucapan dan jawaban yang tidak berdasar) mereka, kecuali mengatakan: "Demi Allah, Tuhan pemelihara kami, sekali-kali kami bukan orang-orang musyrik.” (Qs. al-An‟am: 23)
faidzȃ massa al-insȃna durru da’ȃnȃ idzȃ khawwalnȃhu ni’matan minnȃ qȃla innamȃ ȗtîtuhu ‘alȃ ‘ilmin bal hiya fitnatun walȃkinna aktsarahum lȃ ya’lamȗna. Maka apabila manusia disentuh bahaya, dia menyeru Kami, kemudian apabila Kami menganugerahkan kepadanya nikmat dari kami, dia berkata: “Sesungguhnya aku diberi (nikmat itu) hanyalah karena pengetahuan (dan kepandaianku). Sebenarnya ia (nikmat) adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Qs. az- Zumar: 49) B.2 Analisis Kata Fitnah Berdasarkan Teori Semantik Kontekstual Dalam al-Qur’an dan Maknanya Karya M. Quraish Shihab Analisis terjemahan kata fitnah berdasarkan teori semantik kontekstual memiliki makna yang berbeda-beda. Misalnya pada Qs al-Anfal: 73, fitnah di sini 63
bermakna kekacauan. Pada Qs al-An‟am: 23, fitnah bermakna ucapan dan jawaban yang tidak berdasar atau bohong. Pada Qs. az-Zumar: 49 fitnah bermakna ujian berupa kenikmatan. Pada terjemahan Depag mengartikan kata fitnah cukup dengan kata fitnah saja tanpa memberikan penjelasan apapun. Menurut Penulis hal tersebut kurang tepat dan akan sulit dipahami apalagi bagi yang kurang atau tidak mengetahui bahasa Arab. Misalnya pada Qs. Yunus: 85, pada terjemahan Depag tetap diartikan fitnah.55 Sedangkan pada terjemahan M. Quraish Shihab memberi penjelasan setelah kata fitnah pada ayat tersebut dengan tanda kurung () yaitu sasaran, siksa dan gangguan. Perbedaan makna fitnah pada ketiga ayat tersebut dalam Al-Qur’an dan Maknanya didasarkan pada konteksnya. Dan pilihan makna-makna tersebut berdasarkan teori semantik kontekstual sudah tepat. Misalnya pada Qs al-Anfal: 73, fitnah bermakna kekacauan. Karena kata
/ fitnatun yang dimaksud oleh ayat ini
didasarkan pada bila umat Muslim tidak saling membantu atau jika umat muslim membantu orang-orang kafir pasti akan terjadi kekacauan. Hal itu disebabkan mereka tidak menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, seperti keadilan, tidak juga menghiasi diri mereka dengan akhlak luhur bahkan hati mereka bergelimang dalam dosa, yang kuat
55
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h.318
64
menindas yang lemah sehingga, bila yang demikian terjadi dalam masyarakat, pasti menimbulkan kekacauan.56 Kata fitnah pada ayat ini diartikan kekacauan. Berdasarkan makna semantik kontekstual tepat kata fitnah dalam ayat ini diartikan dengan kekacauan karena kondisi atau situasional menurut istilah semantik pada ayat ini bahwa orang-orang kafir selalu mementingkan kebersamaan, saling melindungi diantara sesama kaumnya. Sedangkan pada umat muslim akan mendapat dua perlindungan, yaitu perlindungan dari Allah dan perlindungan dari sesama kaum muslimin. Perlindungan dari Allah dapat diperoleh jika kaum muslimin melaksanakan apa yang diperintahkan Allah seperti; saling membantu sesama kaum muslimin, mengutamakan keadilan, menghiasi dengan akhlak yang benar. Apabila umat muslimin tidak melaksanakan perintah Allah, maka akan memiliki sifat seperti; membantu kaum musyrikin, memiliki sifat curang dan akhlak yang buruk. Sifat-sifat tersebut akan megakibatkan terjadinya kekacauan, peperangan, tidak menghargai satu dengan lainnya dan akan mengakibatkan kerusakan yang besar, baik kerusakan materi; kerusakan bangunan maupun kerusakan psikologis; mengakibatkan trauma. Sedangkan perlindungan dari sesama kaum muslimin dengan saling melindungi, mengutamakan kebersamaan, seperti yang terungkap dalam hadits bahwa kaum muslimin itu diibaratkan satu tubuh yang apabila satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lainnya akan ikut merasakan.
56
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 9), h.
619
65
Pada Qs al-An‟am: 23, fitnah bermakna ucapan dan jawaban yang tidak berdasar. Pada ayat ini kata
fitnah terambil dari akar kata
fatana yang semula
berarti “menguji untuk mengetahui kualitas sesuatu”. Menurut al-Raghib alAsfahani57 seperti halnya “membakar emas untuk mengetahui kadar kualitasnya”. Kata tersebut digunakan al-Qur‟an dalam arti “memasukan ke Neraka” atau “siksaan” seperti dalam Qs. Al- Dzariyat: 13-14. “(pembalasan itu akan terjadi) pada hari ketika mereka di atas api neraka dibakar. (Ketika itu dikatakan kepada mereka): Rasakanlah siksa (yang ditimpakan kepada) kamu. Inilah (azab) yang dahulu kamu minta supaya disegerakan.” (Qs. al-Dzariyat: 13-14). Fitnah dalam arti siksa adalah hasil dari kegagalan dalam ujian yang berlangsung dalam kehidupan dunia. Ia juga dapat berarti godaan yang menguji kadar kualitas seseorang, sebagaimana ia digunakan dalam arti kekacauan pikiran akibat rasa takut yang tidak terkendali, atau karena kebencian, atau cinta yang berlebihan. Disamping itu, ada juga sementara ulama yang memahaminya dalam arti “jawaban” karena ujian menuntut adanya jawaban. Ayat ini menunjukan bahwa jawaban mereka adalah bohong. Pakar hadits Imam Bukhari meriwayatkan, ada seseorang yang menyampaikan kebingungannya kepada Ibn „Abbas ra. Karena merasa ada ayat-ayat al-Qur‟an yang saling bertentangan. Di satu sisi, kata orang itu, Allah menyatakan bahwa, “orang-orang kafir tidak dapat menyembunyikan dari Allah sesuatu ucapan pun.” (Qs. an-Nisa: 57
M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi (Hidup Bersama al-Qur‟an) (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h. 211dan 212
66
42), tetapi di sisi lain, kaum musyrikin berbohong dan menyembunyikan kebenaran dengan berkata: “Demi Allah kami tidak pernah mempersekutukan Allah.” (Qs. alAn‟am: 23). Ibn Abbas menjawab: “Sesungguhnya Allah dapat mengampuni dosa orang-orang yang mengesakan Allah. Maka, orang-orang musyrik yang mengetahui hal ini berkata kepada rekan-rekan mereka, mereka berkata; „Kami tidak pernah mempersekutukan Allah.‟ Ketika itu Allah mengunci mulut mereka dan menjadikan tangan dan anggota badan mereka tidak dapat menyembunyikan sesuatu kepada Allah.” Pertentangan itu ditolak dengan menyatakan bahwa orang-orang kafir itu telah terbiasa meraih keuntungan atau menampik kemudharatan dengan bersumpah dan berbohong. Kebiasaan ini telah mendarah daging dalam diri mereka sehingga sangat sulit bagi mereka meninggalkan kebiasaan buruk itu bahkan kebiasaan mereka ini terbawa sampai di akhirat dan mereka terpaksa melakukannya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seseorang yang terbiasa mengucapkan kata-kata buruk apalagi latah mengucapkan satu kata. Karena kebiasaan itulah, ketika di akhirat dimintai pertanggungjawaban, mereka tidak “tidak dapat menyembunyikan dari Allah satu ucapan pun.” Dengan demikian kebohongan yang menjadi kebiasaan mereka ketika bercakap-cakap tidak dapat mereka sembunyikan. Dapat juga dikatakan bahwa, “orang kafir tidak dapat menyembunyikan dari Allah sesuatu ucapan pun.” Dalam arti walau berbohong, baik di dunia maupun di akhirat mereka tidak dapat menipu Allah atau menyembunyikan apa yang terdapat di balik ucapan mereka karena Allah Maha Mengetahui segala isi hati. 67
Kalaupun di dunia ini mereka belum merasakan akibat penganiayaan itu, suatu ketika pasti mereka akan menyesal, yakni pada Hari Kiamat nanti. Karena itu, Dan ingatlah kebohongan mereka terhadap Allah dalam kehidupan dunia ini, ingatlah itu pada hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semua secara paksa dan dalam keadaan hina dina, baik Ahl al-Kitab maupun kaum Musyrikin serta apa yang mereka persekutukan dengan Allah, seperti berhala-hala kemudian Kami melalui para malaikat berkata kepada orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah dengan sesuatu, baik berhala, manusia, maupun cahaya atau gelap, bahkan sembahan apa saja: Dimanakah sembahan-sembahan kamu yang dahulu kamu kira dan akui secara lisan dan pengalaman sebagai sekutu-sekutu Kami? Mintalah kepada mereka agar membantu dan menyelamatkan kamu dari siksa yang sedang dan akan kamu hadapi. Sungguh aneh sikap mereka ketika itu lagi jauh dari yang dapat dibayangkan, sebagaimana dipahami dari kata kemudian. Betapa tidak aneh, pada hari terbukanya segala tabir dan tersingkapnya segala kebohongan, mereka tetap berbohong. Hal ini disebabkan ketika itu pikiran mereka demikian kacau sehingga tiadalah fitnah mereka, yakni jawaban dan ucapan ngawur yang tidak berdasar dari mereka, kecuali mengatakan: Demi Allah, Tuhan kami, demikian mereka bersumpah mengakui-Nya sebagai Tuhan dan demikian juga mereka berbohong dengan berkata kami tidak pernah mempersekutukan Allah. Bukankah ketika di dunia mereka mempersekutukan-Nya.58
58
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 3), h.
374-377
68
Menurut Penulis makna tersebut berdasarkan makna semantik kontekstual tepat karena didasarkan pada budaya/cultur kaum musyrikin yang selalu berbohong, bersumpah,
meraih
keuntungan
dengan
tidak
mempedulikan
kemudharatan/keburukannya. Kebiasaan itu telah mendarah daging bahkan ketika di akhirat mereka melakukannya juga. Kaum musyrikin mengetahui bahwa, mereka tidak akan dapat menyembunyikan sekecil apapun kebenaran dari Allah karena mereka juga percaya bahwa pada hari akhir nanti anggota tubuh mereka yang akan berbicara kepada Allah. Dalam melakukan sumpah, mereka terbiasa menggunakan kata “demi Allah”. Sehingga tampak lebih meyakinkan dengan apa yang mereka katakan. Pada terjemahan “kemudian tiadalah fitnah (ucapan dan jawaban yang tidak berdasar)……” menurut Penulis, pada terjemahan tersebut kurang efektif. Sebaiknya kata kemudian dihilangkan. Meskipun pada bahasa sumbernya terdapat kata ثم/ tsumma yang bermakna kemudian. Akan tetapi kata kemudian tidak perlu dicantumkan pada terjemahannya karena tidak berpengaruh pada makna dan maksud ayat. Kemudian, setelah kalimat fitnah (ucapan dan jawaban yang tidak berdasar), menurut Penulis dapat ditambahkan dengan kata “bagi” untuk menunjukan makna yang lebih khusus artinya hanya dipakai oleh “mereka (kaum musyrikin)” bukan mereka untuk yang lainnya. Artinya tidak ada kata lain yang digunakan mereka untuk bersumpah kecuali dengan mengatakan “demi Allah….”. Pada Qs. az-Zumar: 49 فتنة/ fitnatun bermakna ujian berupa kenikmatan. Kata منا/minnȃ pada ayat di atas untuk menekankan bahwa sumber nikmat itu dari Allah 69
sekaligus untuk menyatakan bahwa apa yang diterimanya itu benar-benar dalam bentuk nikmat yang jelas. Penggunaan bentuk jamak mengisyarakat bahwa nikmat tersebut Allah anugerahkan melalui pihak lain, yakni adanya keterlibatan pihak lain bersama Allah. Ayat yang lalu menjelaskan bahwa para pendurhaka itu memperoleh balasan amal-amal buruk
mereka dengan balasan yang mereka tidak pernah duga atau
terlintas dalam benak mereka. Itu disebabkan antara lain sebagai diisyaratkan oleh ayat di atas, yakni mereka juga dalam kehidupan dunianya sering kali membalas kebaikan dengan kejahatan. Demikian al-Biqȃ‟i. Thabȃthabȃ‟i berpendapat bahwa setelah ayat yang lalu menguraikan keadaan mereka yang berpaling dari segala macam peringatan serta enggan mendengar tuntunan, tidak juga menarik pelajaran, menolak keesaan Allah serta keniscayaan Hari Kiamat_sampai-sampai mereka benci dan menjauh jika disebut nama Allah. Ayat di atas menjelaskan sebab kedurhakaan itu, yakni itu disebabkan oleh perangai manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsu serta terperdaya oleh kenikmatan duniawi. Ayat di atas menyatakan bahwa maka-yakni sifat buruk kaum musyrikin yang tersebut pada ayat-ayat yang lalu disebabkan
atau perangai yang tidak kurang
buruknya adalah-apabila manusia ditimpa bahaya atau bencana dia menyeru Kami padahal sebelumnya dia menjauh dan membenci jika nama Kami disebut, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat yang sumbernya dari Kami padahal sebelumnya dia menjauh dan membenci jika nama Kami disebut, kemudian apabila 70
Kami berikan kepadanya nikmat yang sumbernya dari Kami semata-mata dan merupakan
perwujudan
nikmat
yang
sangat
jelas
kepadanya,
dia
berkata:”sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena pengetahuan dan kepandaianku yang luar biasa dalam mengelola urusan.” Sungguh bodoh dan durhaka si pengucap itu. sebenarnya tidaklah seperti yang dia duga; ia, yakni nikmat yang Kami anugerahkan itu, adalah ujian baginya apakah dia bersyukur atau tidak tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah ujian. Kata (
) „alȃ „ilmin/ karena pengetahuan ada juga yang memahaminya
dalam arti karena pengetahuan Allah, yakni karena Allah mengetahui bahwa aku adalah seseorang yang baik dan wajar mendapatkan ridha dan nikmat-Nya. Pendapat ini tidak sejalan dengan konteks ayat yang merupakan kecaman kepada durhaka, apalagi sebelumnya telah dinyatakan bahwa dia menjauh dari Tuhan. 59 Kata fitnah pada Qs. az-Zumar: 49 bermakna ujian berupa kenikmatan. Menurut Penulis, pada konteks ayat ini tepat kata fitnah diartikan dengan ujian berupa kenikmatan. Hal ini dilatar belakangi oleh cultur/budaya kita yang apabila ditimpa musibah maka ingat dan akan bersegera menghadap Tuhannya. Akan tetapi, apabila diberi kenikmatan kita melalaikan siapa yang
menganugerahi nikmat
tersebut. Ia berpaling dari segala macam peringatan serta enggan mendengar tuntunan, tidak juga menarik pelajaran, mengingkari keesaan serta kebenaran akan datangnya 59
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an Vol. 15), h.
514-516
71
hari kiamat. Sikap yang paling buruk dari mereka adalah mereka benci dan menjauh jika disebut nama Allah. Sifat kedurhakaan tersebut disebabkan oleh perangai manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsu serta terperdaya oleh kenikmatan duniawi, seperti; harta, pangkat atau jabatan serta manusia/ kekasih). Dalam kehidupan ini apabila kita tidak hati-hati, maka kita akan terlenakan dengan keindahan dunia dan segala isinya. Orang yang dibutakan oleh dunia dia tidak akan mempedulikan halal haram akan status harta yang didapatnya, kedudukan atau pangkat yang disandangnya sekarang apakah diperoleh dengan cara dan aturan yang benar. Kecintaan kepada kekasihnya apakah dapat melalaikan atau semakin mendekatkan kepada sang pencipta? Untuk membentengi itu semua hanya satu yang diperlukan oleh manusia yaitu kekokohan iman. Rasa percaya akan selalu adanya pengawasan dari Allah. Pada terjemahan Qs. az-Zumar: 49 diksinya kurang tepat. Kata disentuh, pilihan kata (diksi) yang digunakan untuk mengartikan kata
/ massa meskipun
makna dasarnya benar, akan tetapi pada penggunaan ayat ini kurang tepat. Pilihan kata yang paling tepat adalah ditimpa. Setelah kata bahaya dapat ditambahkan dengan maka berfungsi untuk menjawab dari kata apabila. Setelah kata dia dapat ditambahkan dengan kata akan untuk menghubungkan antar kata. Setelah kata kami dapat diberi tanda baca (.) titik. Kata kemudian menjadi awal kalimat dan diberi tanda (,) koma setelahnya.
72
Dalam tafsir atau terjemahannya M. Quraish Shihab tidak menjelaskan bentuk dari bahaya itu sendiri. Bentuk dan macam-macam dari bahaya yang dialami manusia bisa berupa: kerugian, kemelaratan, kesulitan, kesempitan dan lain sebagainya. Pada akhir terjemahan diungkapkan “tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. Adakalanya ketidaktahuan manusia ada yang didasarkan pada memang benar-benar tidak tahu tetapi ada juga yang pura-pura tidak tahu padahal sebenarnya dia mengetahui hal itu. Kata dari Kami setelah kalimat Kami menganugerahkan nikmat bisa dihilangkan karena bentuk pengulangan. Kata Kami menganugerahkan sudah menjelaskan bahwa yang memberikan anugerah pasti Kami. Kata (nikmat itu) hanyalah karena menurut Penulis kurang tepat. Seharusnya kata itu jangan diletakan bersama dengan kata nikmat. Kata hanyalah seharusnya bisa dibuang karena tidak akan berpengaruh pada maksud ayat. Sehingga kalimat yang efektif untuk terjemahan Qs. az-Zumar: 49 di atas adalah “Apabila manusia ditimpa bahaya, maka dia akan menyeru Kami. Kemudian, apabila Kami menganugerahkan kepadanya nikmat, dia berkata: “Sesungguhnya aku diberi (nikmat) hanyalah karena pengetahuan dan kepandaianku. Sebenarnya ia (nikmat) adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” C. Amanah C.1. Makna Amanah dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia Amanah adalah segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain maupun hak Allah swt. Amanah (nomina) 73
bermakna kerabat, yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain; seperti kemerdekaan, keamanan, ketentraman.60 Kata amanah sering juga dikenal dengan amanat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna
pesan, keterangan,
wejangan, keseluruhan makna atau isi suatu pembicaraan; gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 61 Kata amanah bahasa Arab dan amanat dalam bahasa Indonesia menurut kedua kamus di atas memiliki perbedaan makna. Namun, dalam praktiknya kata amanah pada masyarakat Arab memahami dengan makna kepercayaan. Sedangkan pada masyarakat Indonesia menggunakan kata
amanah dan amanat. Kata amanah
memiliki makna yang sama seperti yang dipahami masyarakat Arab yaitu kepercayaan. Amanat pada masyarakat Indonesia bermakna pesan/ hal yang ingin disampaikan penulis dalam karya sastra atau penutur atau pembicara dalam pidato. Pesan bisa berasal dari pidato, ceramah, karya sastra misalnya puisi, cerpen, syair, prosa. Amanat dari orang tua, amanat dari Allah. Walaupun kata amanat dalam bahasa Indonesia pada esensinya sama seperti makna yang terdapat dalam bahasa Arab yaitu kepercayaan. Dalam al-Qur‟an dan Maknanya, ayat yang memiliki konteks yang sama dengan makna amanah.
yȃayyuhȃ al-ladzîna ȃmanȗ lȃ takhȗnȗ Allȃha wa al-rrasȗla wa takhȗnȗ amanȃtikum wa antum ta’lamȗna. 60
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 2002), hal. 41 61 Kamus Besar Bahasa Indonesia Seri II, h. 26
74
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kamu, sedang kamu mengetahui.” (Qs. al-Anfal: 27)
innȃ ‘aradnȃ al-amȃnata ‘ala al-ssamȃwȃti wa al-ardi wa al-jibȃli fa abaina an yahmilnahȃ wa asyfaqna minhȃ wa hamalahȃ al-insȃnu innahu kȃ na dzalȗmȃn jahȗlȃn. “Sesungguhnya Kami telah memaparkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu mereka enggan memikulnya dan mereka khawatir dan dipikullah oleh manusia. Sesungguhnya ia amat zalim dan amat bodoh sehingga kesudahannya Allah menyiksa orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Qs. al-Ahzab: 72)
C.2 Analisis Kata Amanah Berdasarkan Teori Semantik Kontekstual Dalam al-Qur’an dan Maknanya Karya M. Quraish Shihab Pada Qs. al-Anfal: 27 kata (
) amȃnat adalah bentuk jamak dari kata ( )
amanatun yang terambil dari kata ( ) amina yang berarti “merasa aman”, dan “percaya”. Siapa yang dititipi amanat, itu bararti yang menitipkannya percaya kepadanya dan merasa aman bahwa sesuatu yang dititipkan itu akan dipelihara olehnya-secara aktif- atau paling tidak secara pasif sehingga bila tiba saatnya diminta kembali oleh yang menyerahkannya, ia akan mendapati titipannya tidak kurang, tidak rusak, tetap sebagaimana ketika diserahkan sebagai hasil pemeliharaan pasif, bahkan lebih baik dan berkembang sebagai hasil pemeliharaan aktif.
75
Segala sesuatu yang berada dalam genggaman manusia adalah amanat Allah swt. Agama adalah amanat Allah, bumi dan segala isinya adalah amanat-Nya, keluarga dan anak-anak adalah amanat-Nya, bahkan jiwa dan raga masing-masing manusia bersama potensi yang melekat pada dirinya adalah amanat Allah swt. semua harus dipelihara dan dikembangkan. Amanat manusia terhadap manusia mencakup banyak hal, bukan hanya harta benda yang dititipkan atau ikatan perjanjian yang disepakati, tetapi termasuk juga rahasia yang dibisikkan. Menurut Penulis makna tersebut berdasarkan makna semantik kontekstual tepat karena didasarkan pada situasional yang melingkupi teks tersebut. Dalam ayat tersebut kata dari
/ amanȃt artinya amanat-amanat disini merupakan bentuk jamak
/ amanah yang berarti merasa aman dan percaya. Kata amanah pada ayat ini diartikan dengan amanah-amanah. Dalam konteks
ayat ini lebih bersifat umum artinya amanah dalam ayat ini mencakup seluruh aspek kehidupan, seperti; agama, keluarga dan anak-anak, bumi dan segala isinya, bahkan jiwa dan raga, potensi/kemampuan yang dimiliki manusia juga merupakan amanah. Manusia dilarang mengkhianati Allah, Rasul dan semua yang diamanahkan kepadanya. Dalam kehidupan, orang-orang yang beriman akan sangat berhati-hati dalam menjaga segala bentuk amanah yang dipercayakan kepadanya seperti; kepemimpinan, jabatan bahkan amanat waktu. 76
Pada terjemahan Qs. al-Anfal: 27 dalam al-Qur‟an dan Maknanya pada kalimat “……janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepada kamu, sedang kamu mengetahui.” Menurut Penulis, terjemahan pada ayat tersebut tidak efektif dengan terlalu banyak menggunakan kata “dan” dan “janganlah kamu”. Seharusnya kata-kata tersebut dapat diganti dengan tanda (,) koma untuk pemberhentian sementara dan sebagai penanda bahwa kalimat tersebut belum selesai. Kemudian jangan terlalu sering menggunakan kata “janganlah kamu”, meskipun pada bahasa sumbernya tertulis
/
lȃtahȗnȗ artinya janganlah kamu.
Terjemahan yang efektif yaitu “janganlah kamu mengkhianati Allah, Rasul dan amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. Dalam terjemahan juga kata amanat-amanat tidak dijelaskan secara detail bentuk dari amanat-amanat tersebut. seharusnya disebutkan bentuk dari amanatamanat tersebut, mungkin dengan () tanda kurung untuk memberi penjelasan bentuk dari amanat-amanat agar pembaca lebih mudah memahami tanpa harus membaca tafsirnya. Menurut Penulis, kata amanah lebih kepada sikap, sifat yang dimiliki seseorang. Orang yang memiliki sifat amanah, artinya orang tersebut memiliki sifat amanah/tanggung jawab. Sedangkan amanat lebih menuju pada hal yang dipercayakan, misalnya; berupa amanat harta, jabatan, anak dan lain-lain. Menjaga amanat atau kepercayaan adalah sebuah sikap dasar yang terpuji dari setiap Muslim, 77
Bersumber dari aqidah dan menjadi indicator/ukuran dari kebenaran dan kemuliaan hidupnya. Dalam pandangan seorang Muslim, amanah dalam pengertian hakiki adalah sikap jiwa yang mendorong lahirnya perilaku yang konsisten dalam mengembangkan kewajiban dan tanggung jawab dalam segala segi kehidupan.62 Pada Qs. al-Ahzab: 72 kata amanah bertujuan memberikan informasi tentang penolakan langit, bumi, dan gunung adalah untuk menggambarkan betapa besar amanat itu, bukannya Allah menggambarkan betapa kecil dan remeh ciptaan-ciptaan Allah itu. Berbeda-beda pendapat ulama tentang yang dimaksud oleh ayat di atas dengan kata (
) al-amȃnah. Ada yang mempersempit sehingga menentukan
kewajiban keagamaan tertentu, seperti rukun Islam, atau puasa, dan mandi janabah saja. Ada juga yang memperluasnya sehingga mencakup semua beban keagamaan. Ada lagi yang memahaminya dalam arti akal karena dengannya makhluk/manusia memikul tanggung jawab. Ibn „Asyur cenderung memahami kata amanah pada ayat ini dalam arti hakiki, yaitu apa yang diserahkan kepada seseorang untuk dipelihara dan ditunaikan sebaik mungkin serta menghindari segala bentuk penyia-nyiaan, baik secara sengaja maupun karena alpa dan lupa. Yang sengaja menyia-nyiakan itulah yang ditunjuk
62
“Amanah dan Amanat “, artikel diakses pada 24 Mei 2011 dari http://sister.imsa.us/index.php/en/artikel/dakwah/58/565?tmpl=component&print=1&page=
78
oleh ayat di atas dengan kata ( dimaksud dengan kata (
) zalȗman, sedang yang lengah dan alpa itulah yang
) jahȗlan.
Ulama beraliran Syi‟ah itu menggarisbawahi firman-Nya: ”Sehingga kesalahannya Allah menyiksa orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki dan perempuan” dan menyatakan, jika demikian, amanat adalah sesuatu yang menjadikan siapa yang ditugaskan memikulnya berpotensi menyandang sifat kemunafikan, kemusyrikan, atau keimanan. Yakni, yang diserahi amanat itu berbeda-beda, ada yang munafik, ada yang musyrik, dan ada juga yang mukmin. Dengan demikian, pastilah amanat itu berkaitan dengan ajaran agama yang haq yang dengan memelihara dan mengabaikannya seseorang menyandang salah satu dari ketiga sifat di atas. Thabathaba‟i
berkesimpulan
bahwa
yang
dimaksud
amanat
adalah
kesempurnaan yang dihasilkan oleh kepercayaan terhadap akidah yang benar, amal shaleh, serta upaya menempuh jalan kesempurnaan dengan demikian Allah yang mengatur segala urusannya, dan inilah yang merupakan “wilayah Ilahiah”. Thabathaba‟i menegaskan bahwa al-Amanah adalah wilayah Ilahiyah, sedang penolakan langit, bumi, dan gungung-gunung berarti adalah ketiadaan potensinya untuk itu, sedang penerimaannya adalah tersedianya potensi untuk memikulnya. Dan, karena manusia menolak dan tidak pula khawatir memikulnya, jelaslah ada diantara
79
mereka yang munafik atau musyrik, sedang yang memikulnya dengan baik maka itulah yang mukmin.63 Pada Qs. al-Ahzab: 72 makna kata amanah menurut pendapat ulama berbedabeda. Diantara pendapat-pendapat itu, Penulis lebih setuju pada pendapat Thabathaba‟i. Makna tersebut disimpulkan bahwa amanah adalah tanggung jawab. Pada awalnya Allah memberi menawarkan amanah tersebut kepada mereka (Langit, Bumi, dan gunung-gunung) akan tetapi mereka tidak menyanggupinya. Kemudian Allah memberikan amanah itu kepada manusia karena Allah telah melebihkan manusia dari ciptaan Allah lainnya yaitu berupa akal. Manusialah yang memiliki potensi
atau kemampuan untuk melaksanakan
amanah tersebut. Manusia
diperintahkan untuk menjaga, memelihara dan memanfaatkan sebaik mungkin. Disamping itu, Allah juga telah menjadikan manusia sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi. Meskipun dalam praktiknya sikap manusia berbeda-beda ada yang munafik, musyrik, dan ada juga yang Mukmin. Dengan demikian, pasti amanah itu diberkaitan dengan ajaran agama yang haq dengan memelihara atau mengabaikannya seseorang menyandang salah satu dari ketiga sifat di atas. Apabila manusia menolak dan tidak pula khawatir memikulnya itulah orang yang munafik atau musyrik, sedang yang memikulnya dengan baik maka itulah yang mukmin. Orang munafik dan musyrik karena kebodohannya dalam menjaga amanah ia akan
63
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Volume 2 (Jakarta: Lentera hati, 2007), h. 549-552
80
mendapatkan siksa. Akan tetapi, apabila mereka bertaubat maka Allah akan mengampuni. Pada penerjemahan Q. al-Ahzab: 72 tidak dijelaskan dan kekonsistenan dalam penggunaan atau dan dan untuk memisahkan kata munafik, musyrik. Kata dan, atau memiliki fungsi yang berbeda. Kata dan untuk menujukan kesejajaran dan tidak ada perbedaan antara munafik, musyrik. Kata atau berfungsi untuk saling menggantikan, artinya munafik dan musyrik dapat saling menggantikan. Dalam terjemahkan disebutkan kata memaparkan, menurut Penulis makna tersebut kurang tepat. Dalam bahasa sumber Dari kata
/ „arada terdapat kata turunannya
/ „arada bermakna memperlihatkan. / ‘arada al-amra „alaihi
yang artinya menyerahkan. Menurut Penulis makna tersebut lebih tepat digunakan.
81
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan makna kedua bahasa (Arab-Indonesia), maka kata fitnah, hikmah dan Amanah memiliki perbedaan makna. Perbedaan tersebut ada yang secara tekstual sama, tetapi beda penggunaan pada cultur (budaya) masyarakat kedua bahasa tersebut, misalnya kata hikmah. Ada juga yang mengalami perubahan makna dan penggunaan secara total, seperti kata fitnah. Dalam bahasa Indonesia memahami makna amanah dengan kepercayaan seperti yang dipahami pula pada masyarakat Arab. Tetapi, dalam penggunaan sehari-hari lebih dominan (banyak) memahami dengan makna pesan/ hal yang ingin disampaikan penulis dalam karya sastra atau penutur atau pembicara dalam pidato. Berdasarkan makna semantik kontekstual, maka kata serapan hikmah, fitnah, dan amanah pada buku al-Qur’an dan Maknanya sudah mempunyai makna yang tepat artinya makna tersebut sudah sesuai dengan makna dalam masing-masing ayat tersebut. Dalam penerjemahan kata serapan (fitnah, amanah dan hikmah) dalam alQur’an dan Maknanya ada beberapa ketidak tepatan. Ketidak tepatan terjadi hanya pada tata bahasanya saja, seperti; kurang efektif, ketidak tepatan dalam penempatan kata, penjelasan kurang detail/terperinci, serta ketidak tepatan dalam diksi/pilihan kata.
82
B. Saran Masih terbatasnya Penulis dalam menganalisis kasus ini. Oleh karena itu, tema-tema lain yang belum dibahas dalam semantik dapat dikaji pada penelitianpenelitian selanjutnya. Serta, pada peneliti berikutnya diharapkan bisa memaparkan lebih terperinci tentang kasus-kasus dalam penerjemahan apalagi yang dianalisis dengan menggunakan teori semantik kontekstual.
83
DAFTAR PUSTAKA al- Hafidz, Ahsin w. Kamus Ilmu al- Qur‟an. Jakarta: Amzah, 2006. Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab – Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesatren Krapyak, 1988. AM. Fatwa, “Dakwah bil-Hikmah” Artikel dari Harian Umum Republika edisi 22 Februari 1997 pada rubrik Hikmah. Artmanda w, Frista. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jombang: Lintas Media, 2008. Badudu, J.S. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994. Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000. ___________. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia cet. Ke-2. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. ___________. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994. el kazimy, Musa. “Penyimpangan Kata Serapan (Faux Amis) dalam Bahasa Indonesia dari Bahasa Arab (Analisis Buku Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia)”. Skripsi S1 Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Endarmoko, Eko. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006. Hanafi, Nurrachman. Teori dan Seni Menerjemahkan. Flores: Nusa Indah, 1986. 84
Hasan, M. Ali dan Rif‟at syauqi Nawawi. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988. Hasan, Zis Muzahid .“Amanah”, Artikel bersumber dari Harian Umum Republika edisi 19 Februari 1997 pada rubrik Hikmah.
Hidayatullah, Moch. Syarif. Tarjim al-an (Cara Mudah Menerjemahkan ArabIndonesia) Jakarta: Dikara, 2010. Johannes dan Heijer. A Guide to Arabic Transliteration/ Pedoman Translitrasi. Jakarta: INIS, 1992. Kamarulzaman, Aka dan M. Dahlan Y. Al Barry. Kamus Ilmiah Serapan. Yogyakarta: Absolut, 2005. Kushartanti, Untung Yuwono dan Multamia RMT Lauder. Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik). Jakarta: Ende Flores, 2008. Ma‟rifat, M. Hadi. Sejarah al-Qur‟an. Jakarta: al-Huda, 2007. Matsna, Moh. Orientasi Semantik al-Zamarkhsyari (Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam). Jakarta: Anglo Meedia, 2006. Munawwir, Ahmad Warson. Al- Munawwir Kamus Arab- Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progressif, 2002. Musdah. “Muslimah Reformasi: Perempuan Pembaru Keagamaan”. Bandung: Mizan, 2005. Muslich, Mansur. Tata Bentuk Bahasa Indonesia (Kajian Ke Arah Tata Bahasa). Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
85
Muzakki, Ahmad. Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama. Malang: UIN Malang Press, 2007. Parera, Jos Daniel. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1991. _______________. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia Seri II. Jakarta: Balai Pustaka, 1988. RI, DEPDIKNAS. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2005. Rokhman, Muh. Arif. Penerjemahan Teks Inggris (Teori dan Latihan Dilengkapi Teks-Teks Ilmu Sosial & Studi Humaniora. Yogyakarta: Pyramid Publisher, 2006. Sayogie, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris ke Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Setiawan, phil. M. Nur Kholis. al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: Elsaq Press, 2005. Shihab, M. Quraish. Lentera al-Qur‟an (Kisah dan Hikmah Kehidupan). Bandung: PT Mizan Pustaka Anggota, 2002. ________________. Lentera al-Qur‟an (Kisah dan Hikmah Kehidupan).Bandung: PT Mizan Pustaka Anggota IKAPI, 2008. ________________. al-Qur‟an dan Maknanya. Jakarta: Lentera Hati, 2010.
86
________________. Secercah Cahaya Ilahi (Hidup Bersama al-Qur‟an). Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007. ________________. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an Volume 2. Jakarta: Lentera hati, 2007. ________________. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an Volume 9. Jakarta: Lentera hati, 2007. ________________. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an Volume 4. Jakarta: Lentera hati, 2007. ________________. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an Volume 3. Jakarta: Lentera hati, 2007. ________________.Tafsir Atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999. ________________. Al-Qur‟an dan Maknanya. Jakarta: Lentera Hati, 2010. Umar, Nasaruddin. Argumen Kesearaan Jender: Perspektif al-Qur‟an. Jakarta: Paramadina, 2001. Widyamartaya. Seni Menerjemahkan. Flores: Nusa Indah, 1989.
87
Media Elektronik http://www.hendroprasetyo.com/2007/03/23/dengan judul bahasa-tidak-bisaditerjemahkan‟/ http://www.csrc.or.id/artikel/index.php?detail=20100712091031 (http://karangful.multiply.com/journal/item/14/Bahasa_dan_Terjemah_Sebuah _Pengantar_Metodologis http://www.hayattoel.com/2010/04/musibah-dalam-perspektif-alquran.html?zx=48a6e0c9cc82771b http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Arab_dalam_b ahasa_Indonesia http://old.nabble.com/-sastra-pembebasan--Hikmah,-Khazanah-Islam-yangDiabaikan.-td17549005.html http://www.himasaunpad.com/2010_12_01_archive.html http://tafsirbetawie.wordpress.com/2009/08/13/m-quraish-shihab-dantafsirnya/
88