POLISEMI KATA WALI DALAM AL-QUR’AN: STUDI KASUS TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB
Oleh
Ismiyati Nur ‘Azizah NIM:107024001141
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011
i
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.
Jakarta, 20 September 2011
Ismiyati Nur ‘Azizah NIM: 107024001141
i
POLISEMI KATA WALI DALAM AL-QUR’AN: STUDI KASUS TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh
Ismiyati Nur ‘Azizah NIM:107024001141
NIP: 198003052009011015
JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “POLISEMI KATA WALI DAN AULIYA DALAM ALQUR‟AN: STUDI KASUS TERJEMAHAN HAMKA DAN QURAISH SHIHAB”. Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Selasa, 20 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 20 September 2011
Sidang Munaqasyah
TTD
1. Dr. Ahmad Syaekhuddin, M.Ag. (Ketua) NIP: 19700505 200003 1001 2. Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum. (Sekretaris) NIP: 1979 1229 2005011004 3. Makyun Subki, M. Hum. (Pembimbing) NIP: 198003052009011015 4. Dr. Abdullah, M. Ag. (Penguji 1) NIP: 19610825 199303 1 002 5. Moch. Syarif Hidayatullah, M. Hum. (Penguji 2) NIP: 1979 1229 2005011004
iii
TGL
Abstrak
Ismiyati Nur ‘Azizah “Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Al-Qur’an: Studi Kasus Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab” Semantik berasal dari bahasa Yunani yakni sema yang berarti „tanda‟ atau „lambang‟, kata kerjanya adalah semaino yang berarti „menandai‟ atau „melambangkan‟. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandai. Penulis akan menjelaskan dua model semantik yang kerap ditemukan dibeberapa kajian bahasa yaitu: semantik leksikal dan semantik gramatikal. Di dalam semantik ada beberapa relasi makna antaranya polisemi. Maka dari itu polisemi merupakan fenomena di dalam semantik. Penelitian ini mengkaji tentang homonimi di dalam bahasa Arab dan menjadi persoalan dalam penerjemahannya di bahasa Indonesia dan Penulis lebih memfokuskan penelitian ini pada kata Wali dan Auliya yang ada di dalam alQur‟an dengan membandingkannya antara terjemahan Hamka dan Quraish Shihab. Dalam penelitian ini teori yang digunakan bertalian dengan teori-teori umum semantik, sampai pada teori yang menyatakan bahwa polisemi sebagai fenomena semantik. Kata Wali dan Auliya tersebut dianalisis dalam bentuk konteks untuk mengetahui bagaimana terjemahannya dalam konteks kalimat dan kemudian dianalisis dengan membandingkan antara terjemahan Hamka dan Quraish Shihab. Terlihat ada beberapa kata di dalam al-Qur‟an jika diaplikasikan pada suatu konteks yang sama (ayat Qur‟an) kemudian diterjemahkan dengan dua versi terjemahan yang berbeda maka akan ada yang mengalami perbedaan makna, maka di sinilah terjadinya polisemi.
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat rahmatNya, Penulis dapat menyelesaikan skipsi ini. Skripsi ini dibuat sebagai sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Sekalipun karya ilmiah ini sangat sederhana dengan mengangkat judul “Polisemi dalam Bahasa Arab dan Persoalan Terjemahannya dalam
Bahasa
Indonesia: Studi Kasus Penerjemahan Kata Wali dan Auliya Oleh Hamka dan Quraish Shihab”, bagi Penulis bukanlah suatu pekerjaan atau hasil usaha yang mudah. Sebab, dalam proses penyelesaiannya persiapan-persiapan yang matang, baik fisik material maupun mental spiritual. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya dan seharusnya penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Pertama sekali terima kasih kepada dosen pembimbing saya Makyun Subuki, M. Hum. atas segala bantuan, koreksian, masukan-masukan, bimbingan, serta waktu luang yang diberikan sehingga skripsi ini dapat selesai pada waktunya. Penghargaan serupa saya haturkan kepada Karlina Helmanita, M.Ag sebagai orang yang pertama kali mengenalkan saya pada bidang penelitian. Selanjutnya, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ketua Jurusan Tarjamah, Dr. Ahmad Syaekhuddin, M.A., dan Sekretaris
v
Jurusan Tarjamah Moch. Syarif Hidayatullah, M.hum., yang telah banyak memberikan bantuan moril selama studi saya di jurusan Tarjamah. Begitu juga kepada Drs. Ikhwan Azizi, M.Ag, mantan Ketua Jurusan Tarjamah. Terima kasih juga saya sampaikan kepada para dosen Jurusan Tarjamah yang selalu sabar mengajarkan dan mendidik saya selama perkuliahan atau pun di luar perkuliahan. Semoga ilmu dan kesabaran mereka mengalir dan menjadi amal kebaikan yang tak pernah putus. Keluarga tercinta, terutama kedua orang tua saya, Ayahanda H. Muhammad Isro, S.pd. dan Ibunda tercinta Hj. Raudlatul Intihanah atas segala doa, dukungan dan semangat yang selalu diberikan tiada henti yang selalu memotivasi saya. I just wanna say I love you dad and mom and thanks for everything. Kakak dan Adik-adik saya terima kasih atas segala bantuan dan semangatnya. Teman seperjuangan dan satu bimbingan, Nur Rahmawati dan Rahmat Darmawan, yang selalu memberikan semangat dan tempat berbagi di kala suka dan duka selama pengerjaan skripsi ini. Untuk teman-teman terhebat saya tempat saya mencurahkan keluh kesah saya selama skripsi ini berjalan Ani, Ais, Sifa, Rida, Hanny, Khoas, Reza, Anas, Buluk, terima kasih atas segala doa, pengertian dan semangatnya. Special thanks untuk Mario Pramudya Utama yang selalu memberikan doa, dan semangatnya, walaupun hanya dalam jarak yang jauh sampai proses pengerjaan skripsi ini selesai. Teman-teman angkatan 2007 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah sama-sama berjuang dan saling memberikan motivasi dan juga adikadik jurusan Tarjamah.
vi
Akhir kata, Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi Penulis maupun pembaca. Penulis juga menyadari akan banyaknya kekurangan pada penyusunan skripsi ini, karena itu saran dan kritik yang membangun sangat Penulis harapkan. Jakarta, 20 September 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………………..…i SURAT PERNYATAAN …………………...………………………….………. ii LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..……………………………….. iii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN………....……………………. iv ABSTRAK………………..……………………………………………………… v KATA PENGANTAR .................................................................................. vi-viii DAFTAR ISI …………………………………………………..……………….. ix BAB I PENDAHULUAN……………………………………..………………….1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1-7 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ....................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................................. 7-8 D. Metodologi Penelitian ........................................................................... 8-9 E. Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan .................................... 10-11 BAB II KERANGKA TEORI .............................................................................. 12 A. Konsep Umum Semantik.................................................................................. 12 1. Definisi dan Sejarah Semantik ............................................... 13-14 2. Jenis Semantik ....................................................................... 14-15 B. Polisemi Sebagai Fenomena Semantik ...................................................... 16 1. Pengertian Polisemi ................................................................ 16-17 2. Jenis-Jenis Polisemi…………………….……………….……17-19 3. Pengertian Homonimi ............................................................ 20-21 4. Batasan-Batasan antara Polisemi dan Homonimi…...….........22-23 5. Perbedaan antara Polisemi dan Homonimi………........……...…23 6. Polisemi dan Perubahan Makna………………………...……24-25 7. Sebab-Sebab Perubahan Makna………………………...…….25-26
ix
C. Konsep Umum Terjemahan………………………………..…………...…27 1. Definisi Terjemahan……………………………………………27-28 2. Jenis-Jenis Terjemahan……………………………………….........29 3. Prinsip-Prinsip Terjemahan…………………………………….30-31 D. Penerjemahan al-Qur'an……………………….………………………......31 1. Definisi Penerjemahan al-Qur'an…………….………………....31-32 2. Syarat Penerjemahan al-Qur'an……………………………..…..32-34 3. Metode Penerjemahan al-Qur'an………………………..……..…...35 BAB III BIOGRAFI HAMKA DAN QURAISH SHIHAB...............................36 A. Mengenal Sosok Mufasir Hamka........................................................................36 1. Riwayat Hidup Hamka dan Aktivitas Keilmuwan...................36-39 2. Karya-Karya Hamka.................................................................39-43 3. Aktifitas Lainnya............................................................................43 4. Metode Penerjemahan Hamka..................................................44-46 B. Mengenal Sosok Mufasir Quraish Shihab...........................................................47 1. Riwayat Hidup Quraish Shihab dan Aktivitas Keilmuwan......47-50 2. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah.............................50-52 3. Karya-Karya M. Quraish Shihab...............................................52-54 4. Sekilas Gambaran Umum Buku Tafsir Al-Misbah...........................54-57 BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA WALI DAN AULIYA........58 A. Pendahuluan....................................................................................................58-59 B.Persamaaan dan Perbedaan Makna Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab............................................................... 60 1. Persamaan Makna Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab ................................................................................................. 60-70 2. Perbedaan Makna Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab ............................................................................................... 70-86 x
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 87 A.
KESIMPULAN ................................................................................. 87-89
B.
SARAN .................................................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 94
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa berisi gagasan, ide, pikiran, keinginan, atau perasaan yang ada pada diri si pembicara. Agar apa yang diinginkan, atau dirasakan dapat diterima oleh pendengar atau orang yang diajak bicara, hendaklah bahasa yang digunakannya dapat mendukung maksud atau pikiran dan perasaan secara jelas. Manusia berbahasa berarti manusia hendak mengungkapkan pikiran, perasaan, dan sikap. Dengan bahasa dan berbahasa, kebudayaan manusia berkembang. Pewarisan kebudayaan dilakukan lewat pewarisaan bahasa yang bermakna.1 Para penutur bahasa harus dapat menyesuaikan dan membedakan setiap makna kata dan penggunaan makna kata. Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif atau makna konseptual. Para ahli linguistik pun mengemukakan bahwa bahasa memiliki lima unsur kajian linguistik, yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik. Bahasa Arab tergolong bahasa yang disebut bahasa yang inflektif, artinya bahasa yang mempunyai sejumlah perubahan bentuk, baik bertalian dengan aturan pembentukan kata baru maupun bertalian dengan fungsi sintaksis tiap kata. 2
1 2
J. D. Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 61. Aziz Fahrurrozi, Gramatika Bahasa Arab, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
1
Belajar bahasa Arab memiliki kesan umum yang sulit dan rumit. Padahal, secara linguistik, setiap bahasa di dunia ini memiliki tingkat kesulitan dan kemudahan yang berbeda-beda, bergantung pada karakteristik sistem bahasa itu, baik dari segi fonologi, morfologi maupun sintaksis dan semantiknya. 3 Pada tataran teoritis, penelitian bahasa Arab pun merupakan unsur yang dibatasi dalam sebuah sistem, setidak-tidaknya meliputi enam aspek penelitian, yaitu: bunyi bahasa (fonetik), ilmu al-ashwat (fonologi), ilmu al-sharaf (Morfologi), ilmu nahwu (sintaksis), ilmu ad-dhilalah (semantik), dan ilmu al-mu'jam (leksikologi). Kini semantik dianggap sebagai komponen bahasa yang tidak dapat dilepaskan dalam pembicaraan linguistik. Tanpa membicarakan makna, pembahasan linguistik belum dianggap lengkap karena sesungguhnya tindakan berbahasa itu tidak lain dari upaya untuk menyampaikan makna-makna itu. Ujaran yang tidak bermakna tidak ada artinya sama sekali. Semantik dalam hubungannya dengan sejarah, melibatkan sejarah pemakai bahasa (masyarakat bahasa). Lingkungan masyarakat dapat menyebabkan perubahan makna suatu kata. Kata yang dipakai di dalam lingkungan tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai di lingkungan lain.4 Perkembangan makna mencakup segala hal tentang makna yang berkembang, berubah, dan bergeser. Bahasa mengalami perubahan dan dirasakan oleh setiap
3
Muhbib Abdul Wahab, Pemikiran Linguistik Tammam Hassan dalam Pembelajaran bahasa Arab, (Jakarta:UIN Press ,2009), hal. 3 4 T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999), hal. 66.
2
orang, dan salah satu aspek dari perkembangan makna (perubahan arti) yang menjadi objek telaah semantik historis. Makna sebagai objek dalam studi semantik ini memang sangat rumit persoalannya, karena bukan hanya menyangkut persoalan dalam bahasa saja tetapi juga menyangkut persoalan luar bahasa. Faktor-faktor luar bahasa seperti masalah agama, pandangan hidup, budaya, norma dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat turut menyulitkan masyarakat. Karena bahasa digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda. Konsep tentang keberagamaan itu mengemuka ketika linguis mengaitkan bahasa dengan aspek kemasyarakatan. Bahasa dilihat sebagai media komunikasi yang dinamis, yang menyesuaikan aspek sosial pemakainya (the users) dan pemakaiannya (the uses).
5
Berbagai
nama jenis makna telah dikemukakan oleh para ahli bahasa dalam buku-buku linguistik atau semantik. Dalam menganalisis semantik, seseorang harus menyadari bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya. Maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja dan tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Semua ini karena bahasa adalah produk budaya dan sekaligus wadah penyampai kebudayaan dari masyarakat bahasa yang bersangkutan. Selain itu, dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili
5
Kushartanti, Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 47
3
latar belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau mewakili nuansa makna yang berlainan. Seluruh makna yang terkandung dalam bahasa sering berhubungan satu sama lain. Relasi makna dapat berwujud macam-macam.6 Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonimi), kegandaan makna (polisemi), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya. Polisemi merupakan salah satu bagian dari relasi makna. Polisemi merupakan masalah yang cukup rumit dalam melakukan proses penerjemahan. Karena seorang penerjemah sulit untuk menerjemahkan arti suatu kata dengan tepat tanpa melihat konteks kalimat secara keseluruhan. Dalam hal ini sangatlah tidak asing ketika mengkaji bahasa Arab, apalagi bahasa al-Qur‟an yang memang dikenal mengandung makna yang sangat beragam pada tiap kata. Untuk lebih jelasnya penulis akan memaparkan definisi polisemi sebagai berikut. Fatimah mengatakan dalam bukunya yang berjudul Semantik 1 Pengantar ke Arah Ilmu Makna bahwasannya polisemi adalah satu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Palmer pun mengatakan demikian: “…..it is also the case that same word may have a set of different meaning”. Sedangkan Kushartanti,
6
Kushartanti, Op. Cit, hal. 116.
4
mengatakan bahwasanya polisemi merupakan kata atau frasa yang memiliki beb erapa makna yang berhubungan. 7 Objek utama dari polisemi adalah teks. Ketika berhadapan dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan pembaca. Ketika kita menerjemahkan suatu teks, maka pada tataran ini kita juga melakukan kegiatan menafsirkan makna. Al-Qur‟an bukan rangkaian kata-kata semata, melainkan mencakup makna dan lafadz. Di Indonesia telah banyak ahli bahasa yang menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an seperti apa yang kita lihat saat ini. Semuanya mempunyai tujuan agar al-Qur'an dapat dipahami maksud dan makna yang terkandung di dalamnya. Di antara sekian banyak ahli bahasa yang telah menerjemahkan al-Qur'an itu di antaranya adalah Hamka, M. Quraish Shihab, Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Namun dalam hal ini, penulis hanya akan menganalisis makna (semantik) yang terkandung di dalam al-Qur‟an dan mengandung makna yang berpolisemi dalam terjemahan Hamka dan Quraish Syihab. Maka dari itu, saya sebagai penulis mencoba membicarakan persoalan dasar dari semantik sebagai bekal awal untuk memahami masalah bahasa, dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab, secara lebih luas. Akan tetapi, penulis lebih memfokuskan untuk menganalisis polisemi. Maka dari itu, saya sebagai penulis akan menganalisis judul “Polisemi Kata Wali dan Auliya dalam Al-Qur’an: Studi Kasus Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab”. Contoh kasus surat AlMaidah ayat 51: 7
Kushartanti, Op. Cit, hal. 117
5
يأيها الذيه امىىا ال تتخذوا اليهىد والىصري اولياء بعضهم مىهم ان اهلل ال يهذي القىم
اولياء بعض ومه يتىلهم مىكم فاوه .الظالميه
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang zalim. Pada dasarnya dalam bahasa Arab kata wali dan auliya bermakna pemimpin. Akan tetapi, dari contoh di atas terdapat perbedaan makna mengenai kata auliya dalam surat Al-Maidah ayat 51 apakah bermakna pemimpin? Berdasarkan kamus al-Munawwir kata auliy bermakna (1) yang mencintai (2) teman, sahabat (3) yang menolong (4) orang yang mengurus perkara seseorang atau wali. 8 Sedangkan, dalam kamus al-Arsy kata auliy bermakna (1) wakil, pejabat pelaksana, karetaker (2) penolong (3) sahabat, teman (4) wali, orang yang bertaqwa (5) tuan, kepala (6) yang mencintai (7) orang yang mengurus perkara seseorang (8) tetangga (9) sekutu (10) pengikut (11) pemilik (12) penanggung
8
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 1582.
6
jawab, kepala, pimpinan (13) putra mahkota (14) wali yang diwasiatkan (15) pengasuh anak yatim (16) yang dermawan.9 Dalam kajiannya kata Wali dan Auliya di dalam al-Qur‟an terdapat 88 kata. 10
Dan tidak semua kata Wali dan Auliya diterjemahkan dengan pemimpin. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis memfokuskan diri pada polisemi
kata Wali dan Auliya dalam al-Qur‟an dan menggunakan kajian komparatif antara terjemahan Hamka dengan terjemahan Quraish Shihab. Oleh karena itu, rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Apa saja arti dari kata wali dan auliya yang ada di dalam al-Qur‟an, dan apakah memiliki arti yang berbeda-beda? 2. Bagaimanakah Hamka dan Quraish Shihab menerjemahkan kata wali dan auliya dalam Qur‟an dan apakah terdapat perbedaan antara terjemahan keduanya?
9
Atabik Ali, Al-„Arsy Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Mulya Karya Grafika, 1998),
hal. 2040. 10
Muhamad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Al-Fadz Al- Qur‟an Al- Karim, (Turki: Maktabah al-Islamiyah, 1984), hal. 766-767
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui kata wali dan auliya diartikan apa saja, dan untuk membuktikan bahwa kata wali dan auliya memiliki makna lebih dari satu. b. Untuk mengetahui hasil terjemahan kata wali dan auliya versi Hamka dan Quraish Shihab. c. Untuk mengetahui dimana saja letak perbedaan dan persamaan dari terjemahan keduanya. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara teoritis adalah dapat mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan terjemahan kata Auliya karya Hamka dan terjemahan karya M. Quraish Shihab. Sedangkan, manfaat penelitian ini secara praktisnya adalah memberikan kontribusi di dalam dunia penerjemahan karena dengan penelitian ini dapat menyumbangkan pengetahuan baru dalam dunia penerjemahan. D. Metodologi Penelitian Dalam memperoleh data penulis melakukan kajian yang bersifat pustaka (Library Research), yaitu mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan, metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analisis komparatif yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai polisemi dalam bahasa Arab dan persoalannya dalam penerjemahan bahasa Indonesia, penelitian deskriptif ini bertujuan untuk membuat deskripsi,
8
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan melakukan analisis semantik kognitif. Penelitian ini mengambil studi kasus dengan melakukan penelitian secara mendalam terhadap objek penelitian yang dipilih, dalam hal ini mengenai studi kasus penerjemahan kata auliya oleh Hamka dan Quraish Shihab. Seperti yang dikemukakan oleh Maxifield (1930) yang dikutip dari buku metode penelitian karangan Moh. Nasir mengatakan bahwa studi kasus, atau penelitian kasus, adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan satu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Data didapat oleh penulis dari sumber buku hasil terjemahan Hamka dan Quraish Shihab. Sedangkan perincian data yang dilakukan adalah dengan langkah-langkah membaca dan menelaah. Dalam penelitian ini yang pertama kali dilakukan oleh penulis adalah mencari kata wali dan auliya yang terdapat dalam al-Qur‟an agar penulis lebih mudah lagi menemukan kata wali dan auliya maka penulis membaca kitab mu‟jam al-mufahras, dan kemudian melihat terjemahan Hamka dan Quraish Shihab, dan data diolah secara perlahan kemudian menganalisis makna tersebut dan membandingkan hasil terjemahan dari kedua buku terjemahan yang berbeda penerjemahnya. Dalam penulisan skripsi ini, peneliti mengacu pada sumber-sumber sekunder berupa buku-buku semantik, kamus-kamus Arab, buku-buku terjemahan, tafsir
9
Al-Azhar karya Hamka, kemudian tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, dan lain-lain. Adapun dalam penulisan skripsi ini, Penulis mengacu pada buku "Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)" yang diterbitkan oleh Center for Quality Development and Assurance (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2007). E. Tinjauan Pustaka Berdasarkan tinjauan penelitian terhadap buku-buku, skripsi, dan tesis yang pernah diteliti bahwa penelitian yang sama baru diteliti oleh satu orang yaitu Firmansyah dengan judul skripsi yaitu Analisis Polisemi dalam al-Qur‟an Studi Kasus Terjemahan Kata Al-sa‟ah. Alasan Penulis memilih judul ini, dikarenakan rasa keingintahuan yang mendalam tentang penerjemahan karya Hamka dan M. Quraish Shihab. Penulis juga merujuk pada buku-buku ataupun bahan bacaan lain yang dapat di jadikan acuan serta data yang dapat ditemukan atau buku yang terkait dengan pembahasan yang Penulis teliti, Leksikologi Bahasa Arab karangan H.R. Taufiqurrahman, M.A, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna karangan T. Fatimah Djajasudarma, Pengantar Semantik karya Stephen Ullmann, dan lain sebagainya. Penulis mengambil referensi tersebut karena buku-buku tersebut banyak terdapat pembahasan-pembahasan yang Penulis perlukan sebagai penunjang skripsi.
10
F. Sistematika Penulisan Agar penulisan lebih terarah dan sistematis, maka langkah yang Penulis lakukan adalah sebagai berikut: Pada Bab I merupakan pendahuluan dari bab-bab yang selanjutnya, dalam bab ini berisi Latar Belakang Masalah, kemudian selanjutnya berisi tentang Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan. Bab II, dalam bab ini Penulis menyajikan Konsep Umum Semantik di dalam konsep umum semantik ini akan dijelaskan definisi dan sejarah semantik, jenis semantik, dan polisemi sebagai fenomena semantik sedangkan, dalam Konsep Umum Penerjemahan al-Qur'an ini pun akan dijelaskan tentang definisi terjemah al-Qur'an, macam-macam terjemah al-Qur'an, dan syarat-syarat terjemah alQur'an, dan Konsep Umum Polisemi Bab III, Biografi Kedua Penerjemah, berisikan keseluruhan biografi Hamka dan Quraish Shihab. Bab IV, Analisis Polisemi Kata Wali dan Auliya, berisikan Unsur Persamaan Kedua terjemahan, Unsur Perbedaan kedua terjemahan. Bab V, Penutup berisi kesimpulan dan saran
11
BAB II KERANGKA TEORI
A. Konsep Umum Semantik Makna merupakan objek dari ilmu semantik. Makna berada diseluruh atau disemua tataran yang membangun kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan klausa dibangun oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem; satuan morferm dibangun oleh fon (bunyi). Makna berada di tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Oleh karena itu, semantik merupakan unsur yang berada pada semua tataran, meskipun sifat pada setiap kehadirannya di dalam tataran tidak sama. Sebagai disiplin ilmu bahasa, semantik banyak memberikan manfaat dalam kehidupan. Semantik lebih menitikberatkan pada bidang makna dengan berpegang teguh pada acuan dan bentuk. Acuan dapat bersifat kongret dan abstrak. Ilmu ini merefleksikan bidang ilmu masing-masing. Bagi seorang yang bergelut dimedia cetak dan elektronik, kajian ilmu ini akan digunakan karena bekerja di bidang ini selalu berhubungan dengan teks-teks yang berhubungan dengan daftar pustaka.11 Namun, sebelum Penulis membicarakan persoalan ini lebih rinci lagi, penulis akan memaparkan hal-hal yang diperlihatkan sebagai berikut:
11
Siti Kurratul‟aini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur‟an Juz 30, (Surat al-Qadar, al-Alaq, al- Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dan Mahmud Yunus, (skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), hal. 33
12
1. Definisi dan Sejarah Semantik Kata semantik berasal dari bahasa Yunani seme (kata benda) yang berarti „tanda‟ atau „lambang‟. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti „menandai‟ atau „melambangkan‟. Menurut Verhaar semantik adalah cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti (dalam linguistik kedua istilah itu lazimnya tidak dibedakan).12 Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunkan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tandatanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, semantik dapat diartikan dengan ilmu arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatikal dan semantik. Istilah semantik baru muncul pada tahun 1894 M yang dikenal melalui American Philological Association (Organisasi Filologi Amerika) dalam sebuah artikel yang berjudul Reflected Meaning: A Point in Semantics. Istilah semantik berpadanan dengan kata semantique dalam bahasa Perancis yang diserap dari bahasa Yunani dan diperkenalkan oleh M. Breal.13 Istilah ini sudah ada sejak abad ke-17 SM bila dipertimbangkan melalui frase Semantic Philosophy.14 Breal melalui artikelnya yang berjudul “Le Lois Intellectuelles du Langage” mengungkapkan istilah semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan. Semantik adalah penelitian makna kata dalam bahasa tertentu menurut sistem penggolongan. Fatimah mengemukakan pendapatnya bahwa semantik adalah ilmu 12
J.W.M.Verhaar, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gajah Mada, 1995), cet. Ke-20,
hal. 9 13
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal. 3 T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999), hal.1 14
13
makna, membicarakan makna, bagaimana mula adanya makna sesuatu, bagaimana perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa. Semantik pun dapat menampilkan sesuatu yang abstrak, dan apa yang ditampilkan oleh semantik hanya sekedar membayangkan kehidupan mental pemakai bahasa. Semantik ada hubungannya dengan sejarah, melibatkan sejarah pemakaian bahasa (masyarakat bahasa). 15 Gagasan-gagasan orang Yunani-Romawi tentang kata dan penggunaannya jelas mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap semantik modern, akan tetapi tonggak pengerak atas munculnya sebuah ilmu tentang makna itu datang dari mana-mana. Munculnya ilmu ini pada pertengahan abad ke-19 dan setidaknya ditentukan oleh dua faktor. Pertama, munculnya ilmu filologi perbandingan, dan lebih umum lagi munculnya ilmu linguistik dalam arti modern. Faktor kedua adalah pengaruh gerakan Romantik dalam sastra.16 2. Jenis Semantik Pada abad kelima seorang filosof dari Neo-Platonis yaitu Proclus, melakukan survai terhadap keseluruhan yang terdapat di dalam perubahan makna dan membeda-bedakannya menjadi beberapa tipe dasar perubahan. Perubahan itu meliputi, perubahan kultural, metafora, perluasan dan penyempitan makna dan yang lainnya yang masih merupakan bagian semantik modern masa kini. Minat para ahli pada zaman kuno tentang kata tidaklah terbatas pada perubahan makna
15
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999), hal.14 16 Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 4.
14
saja. Mereka juga melakukan pengamatan yang tepat mengenai tingkah laku kata– kata dalam tutur yang sebenarnya. Sedangkan, Demokritus dengan jelas melihat adanya dua jenis makna-jamak: ada sebuah kata yang mempunyai makna lebih dari satu dan sekarang sering disebut dengan polisemi, dan sebaliknya, ada lebih dari satu kata untuk satu gagasan atau makna dan sekarang sering disebut dengan sinonimi.17 Bila kita mengkaji semantik maka sudah barang tentu kita akan menemukan jenis semantik yang sangat beragam. Namun untuk memudahkan pembahasan, penulis akan menjelaskan dua model semantik yang kerap digunakan dalam kajian ilmu bahasa. Pertama semantik leksikal, jenis semantik ini lazim digunakan dalam ilmu semantik untuk menyebutkan satuan bahasa bermakna dan merupakan kajian semantik yang lebih memuaskan pada pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata. Verhaar (1983:9) berkata, “Perbedaan antara leksikon dan gramatikal menyebabkan bahwa dalam semantik kita bedakan pula antara semantik leksikal dan semantik gramatikal.18 Kedua, semantik gramatikal, semantik gramatikal merupakan studi semantik yang khusus mengkaji makna yang terdapat dalam satuan kalimat. Semantik gramatikal jauh lebih sulit untuk dianalisis.19
17
Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 3. Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal. 74 19 Mansoer Pateda, Op. Cit, hal. 71. 18
15
B. Polisemi Sebagai Fenomena Semantik 1. Pengertian Polisemi Polisemi merupakan suatu unsur fundamental di dalam tutur manusia yang dapat muncul dalam berbagai cara, salah satunya adalah faktor dari bahasa asing. Kata “polisemi” berasal dari bahasa Inggris, yaitu polysemy, yang berarti makna ganda, sebuah kata yang dikelompokan dengan kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna yang berbeda. Penulis mendapatkan beberapa pengertian polisemi dari beberapa linguis, para ahli linguis mempunyai pendapat yang sejalan bahwa, polisemi itu adalah satu kata yang memiliki makna lebih dari satu. Hal tersebut dapat kita simak dari pendapat Lyons yang menyatakan bahwa polisemi (multiple meaning) is a property of a single lexemes. Pateda mengatakan: “it is also the case that same word may have a set of different meanings”; demikian ada juga ada yang mengatakan, “a word which have too (or more) related meanings” adalah polisemi.20 Sementara itu, penulis lokal yaitu Suparno dalam buku Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kerja Kependidikan bahwa polisemi secara harfiah berarti banyak makna. Polisemi sebagai istilah berarti bermakna banyaknya suatu kata atau tanda bahasa dengan catatan makna yang banyak itu memiliki banyak hubungan antara satu dengan yang lainnya. Polisemi juga merupakan satu ujaran dalam bentuk kata-kata yang mempunyai makna berbeda-
20
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, (Bandung: Refika Aditama, 1999), hal. 45
16
beda, tetapi masih ada hubungan dan kaitannya antara makna-makna yang berlainan tersebut, maksudnya masih ada dalam satu bidang. Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa polisemi adalah leksem yang mengandung makna ganda. Karena kegandaan makna seperti itulah maka pendengar atau pembaca ragu-ragu menafsirkan makna leksem atau kalimat yang didengar atau dibacanya. Untuk menghindari kesalahpahaman sudah barang tentu saja kita harus melihat terlebih dahulu konteks kalimatnya, atau kita bisa bertanya lagi kepada si pembicara, apakah yang ia maksud. Pengertian polisemi bertumpang tindih dengan pengertian homonimi, yaitu kesamaan kata-kata yang berbeda.21 Homonimi dan polisemi tumbuh oleh faktor kesejarahan dan faktor perluasan makna. Berdasarkan dari pengumpulan data, proses polisemi bukan hanya terjadi pada tataran morfologi itu sendiri, tetapi pada tataran frase dan sintaksis, dalam hal morfologi, polisemi terjadi baik dalam hal pelafalan maupun leksem itu sendiri. 2. Jenis-Jenis Polisemi Di dalam bukunya Stephen Ullmann menjelaskan bahwasanya polisemi terdiri atas lima jenis, empat di antaranya terletak pada bahasa yang bersangkutan sedangkan yang satu lagi bersangkutan dengan munculnya pengaruh bahasa asing. Maka penulis akan menyebutkan kelima jenis polisemi tersebut berdasarkan pendapat Ullmann di antaranya adalah:
21
T. Fatimah Djajasudarma, Op. Cit, hal. 43
17
1. Pergeseran Penggunaan, pergeseran penggunaan terutama tampak mencolok dalam penggunaan adjektiva karena adjektiva ini cenderung berubah maknanya sesuai nomina yang diterangkan. Sebagian besar kata muncul karena pergeseran penggunaan, walau faktor lain, seperti penggunaan kias, mungkin saja ikut berperan. Pergeseran dalam penggunaan ini merupakan pelaku utama di belakang banayaknya jumlah makna dengan penggunaan kias sebagai suatu faktor penyumbang yang penting. Contoh dalam bahasa Indonesia, verba makan yang semula hanya untuk manusia dan binatang, itu pun dengan cara dan proses yang berbeda-beda, misalnya makan ayam, makan bebek, makan asam garam, makan suap. 2. Spesialisasi dalam Lingkungan Sosial. Breal mengemukakan bahwa “dalam setiap situasi, dalam setiap lingkungan dagang dan profesi, atau suatu gagasan tertentu. Orang dapat menemukan sekian banyak contoh kata-kata yang mempunyai makna umum dalam bahasa sehari-hari dan makna khusus dalam suasana terbatas:maju, jatuh dikalangan mahasiswa;aman, sepi, panen dikalangan perdagangan. 3. Bahasa Figuratif (kiasan), sudah dikemukakan bahwa metafora dan kiaskias lainnya merupakan faktor penting dalam motivasi dan dalam overtone emotif. Sebuah kata dapat diberi dua atau lebih pengertian yang bersifat figuratif tanpa menghilangkan makna orisinalnya: makna yang lama dan makna yang baru akan tetap berdampingan selama tidak terjadi kekacauan makna. Metafora muncul atas dasar adanya kesamaankesamaan bukanlah satu-satunya penyebab polisemi. Metonimi, yang munculnya tidak didasarkan atas kesamaan melainkan didasarkan atas kaitan-kaitan tertentu antara dua buah makna, bisa juga bertindak sebagai metafora. Contohnya, „dewan‟ tidak hanya menunjuk kepada „meja‟ untuk siding, melainkann juga untuk orang-orang anggota dewan yang duduk disekitar meja itu. 4. Homonim-Homonim yang Diinterprestasikan Kembali, jika dua kata mempunyai bunyi yang identik dan perbedaan maknanya tidak begitu besar, kita cenderung untuk memandangnya sebagai dua kata dengan dua pengertian. Secara historis, ini adalah masalah homonimi karena dua kata itu berasal dari sumber-sumber yang berbeda. Apa yang dulunya homonimi, kemudian diinterprestasikan sebagai polisemi karena ketidaktahuan aka nasal-usul kata yang berhomonimi itu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerdarminta, homonimi ditunjukan dengan menggunakan angka Romawi besar (I, II, dst,.) sedangkan polisemi ditunjukan dengan menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dst). Angka Romawi ditulis secara berurut secara vertikal, sedangkan angka Arab ditulis secara horizontal. 5. Pengaruh Asing, salah satu masuknya pengaruh asing ke dalam suatu bahasa adalah dengan mengubah makna yang ada dalam suatu kata asli.
18
Contohnya, taste, misalnya, mempunyai dua makna pokok, yaitu „mencicipi rasa sesuatu‟ dan „kearifan dan penghargaan terhadap keindahan‟.22 Di antara lima jenis polisemi yang telah Penulis sebutkan di atas penulis bisa mengatakan bahwa ketiga jenis pertama, yaitu pergeseran penggunaan, spesialisasi makna, dan penggunaan kiasan, adalah jenis-jenis yang paling penting; yang keempat (yaitu interpretasi kembali atas homonim) sangat jarang terjadi, dan yang kelima (peminjaman makna) meskipun cukup umum terjadi dalam situasi-situasi tertentu, bukanlah merupakan proses biasa dalam kehidupan sehari-hari. Para filosof beramai-ramai mengemukakan bahwa polisemi itu merupakan kelemahan bahasa dan merupakan hambatan besar dalam komunikasi dan bahkan dalam kejelasan pikir. Akan tetapi, Breal melihat bahwa dalam kemultigandaan makna ada suatu tanda keagungan bahasa itu. Polisemi merupakan faktor ekonomi dan fleksibilitas dalam bahasa yang tak ternilai harganya. Kadang-kadang sangat sulit untuk membedakan antara polisemi dan homonimi. Akan tetapi, hal ini tidak mengherankan karena dua istilah ini berhubungan dengan makna dan sekaligus dengan bentuk. 23 3. Pengertian Homonimi Dibandingkan dengan polisemi, homonimi tidak begitu sering terjadi dan tidak begitu kompleks, walaupun efeknya mungkin lebih serius dan bahkan lebih
22
Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 202-
23
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal. 219
210.
19
dramatis dalam fenomena semantik. Istilah homonimi (Inggris: homonymy) berasal dari bahasa Yunani Kuno, onoma diartikan nama dan homos diartikan sama. Secara harfiah, homonimi adalah nama sama untuk benda yang berlainan. 24 Menurut T. Fatimah Djajasudarma, kata homonimi adalah hubungan makna dan bentuk bila dua buah makna atau lebih dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama (homonimi „sama nama‟ atau sering disebut juga dengan homofoni „sama bunyi‟. Sedangkan Kushartanti mengatakan bahwasannya homonimi adalah relasi makna antarkata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda. 25
Seorang ahli linguis lainnya seperti John Lyons mengatakan dalam buku Bahasa dan Linguistik Suatu Pengenalan, mengatakan homonimi adalah pendekatan yang berbeda tetapi mempunyai bentuk yang sama. Sedangkan, menurut Aminuddin dalam buku Semantik Pengantar Studi tentang Makna mengatakan, bahwa homonimi tersebut adalah beberapa kata yang memiliki bentuk ujaran yang sama, tetapi memiliki makna yang berbeda-beda. Berdasarkan pendapat Ullmann homonimi bisa terjadi disebabkan oleh tiga cara, di antaranya adalah: 26 1. Konvergensi Fonetis Umumnya homonimi seringkali dijumpai dengan timbulnya konvergensi fonetis (pemusatan atau perpaduan bunyi). Karena pengaruh bunyi yang ada maka dua atau tiga kata yang semula berbeda bentuknya, lalu menjadi sama bunyinya dalam bahasa lisan atau bahkan sampai dengan 24
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 211 Kushartanti, Pesona Bahasa; Langkah Awal Memahami Linguistik, ( Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2007), hal. 118 26 Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 223 25
20
bahasa tulisannya. Misalnya, seri bermakna „rangkaian‟ atau „deretan‟ dan seri „pohon ceri‟ 2. Divergensi Makna Perkembangan makna yang “menyebar” (divergen) juga bisa menimbulkan homonimi. Jika dua buah makna atau lebih (polisemi) dari sebuah kata berkembang ke arah yang berbeda, maka di sana tidak akan jelas lagi hubungan antara makna-makna itu, dan kesatuan kata itu menjadi rusak, dan polisemi berubah menjadi homonimi. Dalam beberapa hal ada kriteria yang memadai untuk menentukan homonimi. Perbedaan ejaan mungkin memang tidak pasti dalam menyelesaikan masalah, namun dalam hal ini ada kaitan dengan faktor-faktor lain, hal ini menunjukkan bahwa kata itu sudah tidak lagi dianggap sebagai sebuah satuan. Kriteria lain yang kadang-kadang dapat menentukan homonimi atau bukan homonimi adalah rima. Kriteria semacam ini memang sangat menolong dalam beberapa hal tetapi tetap tidak dapat menyelesaikan masalah seluruhnya. Misalnya, flower bermakna „bunga‟ dan flour „tepung‟.27 3. Pengaruh Asing Banyaknya kata asing yang masuk ke dalam suatu bahasa sangat mungkin menimbulkan homonimi dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa-bahasa lainnya. Pengaruh bahasa asing dapat juga membawa ke arah homonimi lewat peminjaman makna (semantic borrowing), ini memang proses yang jarang terjadi. Misalnya, butir „barang yang kecilkecil‟ atau „kata bantu bilangan‟ (sebutir kelapa), sekarang dipakai juga untuk mengacu konsep yang datang dari bahasa Inggris, item „butir tes‟. 4. Batasan-batasan Antara Polisemi dan Homonimi Untuk memahami batas antara kasus homonimi dan polisemi atau sebaliknya polisemi dengan homonimi, Palmer, mengungkapkan perlu adanya sejumlah hal yang patut diperhatikan, yakni: a) Melihat kamus dan memahami etimologinya sebagai pemakai bahasa dapat memahami makna dasar setiap kata yang batas polisemi dan homoniminya rancu. Dengan mengetahui makna dasarnya, diharapkan
27
Stephen Ullmann, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 228
21
kita dapat menetapkan apakah bentuk kebahasaan itu termasuk polisemik ataukah homonim. Dengan memahami etimologinya, misalnya pada bentuk lik dan dhe, seseorang akan segera memahami bahwa kedua bentuk itu bukan polisemik melainkan homonim. b) Memahami konteks pemakainnya. Apabila bentuk kebahasaanya itu digunakan sebagai metafor, misalnya dapat dipastikan bahwa kehadiran maupun makna di dalamnya bukan akibat polisemi maupun homonim, melainkan akibat pemindahan makna yang secara individual dilakukan oleh penutur. Meskipun demikian, patut pula diperhatikan bahwa gaya bahasa individual itu bisa menjadi umum, misalnya: bentuk tanyakan pada rumput yang bergoyang yang secara umum dapat diberi makna “sama sekali tidak tahu”, “tidak mau tahu”, atau “sekedar member tahu” pertanyaan itu tidak lucu. Dalam hal itu, bentuk metaforis telah termasuk ke dalam polisemi. c) Melihat makna inti atau core of meaning. Apabila bentuk yang semula rancu harus dinamai polisemik atau homonimi dapat ditentukan makna intinya, kedudukan akhirnya dapat ditentukan. Memiliki makna inti berarti polisemik, dan apabila memiliki makna inti berbeda berarti homonimi. d) Mengkaji hubungan strukrulanya. Dengan melihat bahwa kata syah dan sah memiliki relasi struktural dengan kolokasi yang jauh berbeda, dapat ditentukan bahwa bentuk itu adalah homonim.
22
5. Perbedaan Antara Homonimi dan Polisemi Palmer mengemukakan cara untuk membedakan polisemi dari homonimi caranya yaitu: a) Penelusuran secara etimologis. Misalnya bentuk pupil yang bermakna murid atau mahasiswa yang tidak langsung berhubungan dengan pupil of the eye yang bermakna biji mata, tetapi secara historis dianggap berasal dari bentuk yang sama. b) Mencari makna ini. Misalnya kata tangan yang biasa dihubungkan dengan bagian anggota badan. Tetapi dalam perkembangannya, terdapat urutan tangan kursi, dan terdapat urutan kaki tangan musuh. c) Mencari antonimnya. Maksudnya, kalau antonimnya sama, maka kita berhadapan dengan polisemi, dan kalau antonimnya berbeda, kita berhadapan dengan homonimi. Misalnya, kata indah yang dapat digunakan untuk rumah, baju, pemandangan. Antonimi kata indah adalah buruk. Kata buruk dapat digunakan untuk baju, pemandangan. Dengan demikian kata indah bermakna ganda atau polisemi. d) Alasan formal. Contoh, dalam bahasa Perancis terdapat bentuk poli yang bermakna tingkah laku yang halus, baik yang dihubungkan dengan makna literer, maupun makna kiasan.28 6. Polisemi dan Perubahan Makna Bahasa mengalami perkembangan, perkembangan bahasa pun mempengaruhi perkembangan makna di dalam perkembangan makna selalu mencakup segala hal tentang makna yang berkembang, berubah, dan bergeser. Dan di dalam hal ini pula, perkembangan meliputi beberapa hal tentang perubahan makna, baik yang meluas, menyempit atau yang bergeser maknanya. Gejala perubahan makna sebagai akibat dari perkembangan makna oleh para pemakai bahasa. Bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran manusia.
28
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), cet. Ke-2, hal, 221-
222
23
Seperti yang dinyatakan sebelumnya, ada beberapa faktor yang mengakibatkan sebuah makna akan berubah dari makna aslinya. Semua itu diakibatkan karena adanya perkembangan bahasa. Perubahan makna dengan mudah bisa terjadi karena berbagai faktor-faktor berikut ini, antara lain: a) Menurut Meillet, bahasa itu dialihkan secara turun-temurun dalam suatu cara yang „tak berkesinambungan‟ dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Sebagian besar dari beberapa linguis menyetujui bahwa ini merupakan salah satu faktor yang sangat penting, meskipun sangat sulit dalam membuktikan bahwa suatu perubahan dapat terjadi hanya dalam bahasa anak-anak. b) Sumber perubahan makna yang lain adalah kekaburan makna. Berbagai kekaburan makna di antaranya yaitu sifat generik kata, banyaknya aspek dalam kata, kurangnya keakraban, tidak adanya batas makna yang jelassemua itu mempermudah bergesernya penggunaan. c) Hilangnya motivasi juga merupakan faktor yang menyebabkan perubahan makna. d) Adanya polisemi menunjukkan unsur kelenturan dalam bahasa. Tidak ada kata akhir untuk suatu perubahan makna: sebuah kata dapat memperoleh makna baru, atau sejumlah makna baru, tanpa kehilangan makna aslinya. Biasanya polisemi hanya dipakai oleh seseorang pada sebuah konteks.
24
e) Banyak perubahan makna berasal dari adanya konteks bermakna ambigu (ambiguous contexts) di mana sebuah kata tertentu dipakai dalam dua makna, sementara makna ujaran secara keseluruhan tetap tak terpengaruh. f) Struktur kosakata merupakan faktor yang paling terpenting dari faktorfaktor yang umum yang menyebabkan perubahan makna terjadi. 7. Sebab-Sebab Perubahan Makna Perubahan makna bisa disebabkan oleh berbagai sebab; ada yang menyebut tidak kurang dari 31 kemungkinan. Ada sebab-sebab yang mungkin unik untuk suatu kasus, yang hanya bisa dibangun hanya dengan merekonstruksi keseluruhan semua latar belakang sejarahnya, tetapi bisa pula karena sebab-sebab umum. Enam sebab di antaranya yaitu:29 1. Sebab-sebab yang bersifat kebahasaan Dalam hal ini Breal pernah mengemukakan adanya proses penularan (contagion), dalam arti makna sebuah kata mungkin dialihkan kepada kata yang lain hanya karena kata-kata itu selalu hadir bersama-sama dalam banyak konteks. 2. Sebab-sebab historis Sering terjadi bahwasannya bahasa itu lebih konservatif daripada peradaban material maupun moral. Objek atau benda, lembaga, gagasan, konsep ilmiah, selalu berubah sepanjang waktu. 3. Sebab-sebab sosial Sebuah kata semula dipakai dalam arti umum kemudian dipakai dalam bidang khusus, misalnya dipakai dalam istilah perdagangan atau
29
Stephen Ullman, Pengantar Semantik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 251-
262
25
kelompok terbatas yang lain, kata itu cenderung memperoleh makna yang terbatas. 4. Faktor psikologis Perubahan makna yang secara psikologis lebih menarik adalah yang bersumber pada unsur atau yang berkecendrungan yang berakar dalam jiwa penutur. Dalam studi makna ada dua sebab semacam itu yang ditekankan hanya faktor emotif dan tabu. 5. Pengaruh asing sebagai penyebab perubahan makna; Banyak perubahan makna disebabkan oleh pengaruh suatu model asing. 6. Kebutuhan akan makna baru Cepatnya kemajuan ilmu dan teknologi masa kini makin meningkatkan tuntutan pada sumber-sumber kebahasaan, dan kemungkinankemungkinan metafora dan jenis-jenis perubhan makna yang lain menjadi sangat dieksploatasi.
C. Konsep Umum Terjemahan 1. Definisi Terjemahan Definisi terjemah secara luas adalah semua kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan baik verbal maupun nonverbal, dari suatu bentuk ke bentuk yang lainnya.30 Eugene A. Nida mendefinisikan penerjemahan sebagai kegiatan menghasilkan kemsbali di dalam bahasa penerima barang yang sedekat-dekatnya dan sewajarnya, sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya.31
30
Suhendra Yusuf, Teori Terjemah; Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik, (Bandung : TPA, 1994), cet. I, hal. 8 31 A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal. 11
26
Savory (1968) mengemukakan hakikat penerjemahan di dalam bukunya The Art of Translation dengan menerjemahkan menjadi mungkin dengan adanya gagasan yang sepadan dibalik ungkapan verbal yang berbeda. Newmark, seperti yang dikutip oleh Rochyah Machali, mengatakan, bahwa yang dimaksud dari penerjemahan adalah rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text. “Menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang”.32 J. Levy, agak berlainan dari Newmark dalam menyatakan definisi penerjemahan. Yang ia tonjolkan adalah terjemah sebagai salah satu keterampilan, di mana kejelasan dari penerjemah tampak tercermin dalam opininya. Dalam bukunya Translation as A Decision Process, seperti yang dikutip Nurrachman Hanafi, menyatakan translation is a creative process with always leaves the translater a freedom of choice between several approximately equivalent possibilities of realizing situational meaning. “Terjemahan merupakan proses kreatif yang memberikan kebebasan bagi penerjemah buat memilih padanan yang dekat dalam mengungkapkan makna yang sesuai dengan situasi”.33 Az-Zarqani mengemukakan bahwa secara etimologi istilah terjemah memiliki empat makna: (a) menyampaikan tuturan kepada orang yang tidak menerima tuturan itu. (b) menjelaskan tuturan dengan bahasa yang sama, misalnya bahasa 32
Rochyah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, (Jakarta: PT. Grasindo, 2000), cet.
Ke-1, hal.5 33
Nurrachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Flores: Nusa Indah, 1986), cet. Ke-1, hal.24
27
Arab dijelaskan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia dijelaskan dengan bahasa Indonesia pula. (c) menafsirkan tuturan dengan bahasa yang berbeda, misalnya bahasa Arab dijelaskan dengan bahasa Indonesia atau sebaliknya. (d) memindahkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain, seperti mengalihkan bahasa Arab ke bahasa Indonesia, karena itu penerjemah disebut pula pengalih bahasa.34 Berdasarkan penjelasan di atas, definisi-definisi tersebut, memperlihatkan adanya satu karakteristik yang menyatukan kelima makna terjemahan tersebut, yaitu bahwa menerjemahkan berarti menjelaskan dan menerangkan tuturan, baik penjelasan itu sama dengan tuturan yang dijelaskannya maupun berbeda. 2. Jenis-jenis Terjemahan Istilah metode berasal dari bahasa Inggris yaitu method. Dalam Macquarie Dictionary (1982), metode didefinisikan sebagai:“Way of doing something, especially in accordance with a definitc plan” atau suatu cara untuk melakukan sesuatu, terutama yang berkaitan dengan rencana (tertentu).35 Ada beberapa metode dan jenis terjemahan yang diterapkan dalam praktik menerjemahkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor: a. Adanya perbedaan beberapa sistem antara beberapa bahasa sumber dan bahasa sasaran. b. Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan.
34
Shihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia : Teori dan Praktek, (Bandung: Humaniora, 2005), cet. Ke-1, hal. 8 35 Rochaya Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 23
28
c. Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi. d. Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks. Dalam proses menerjemahkan yang sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri, dalam artian bahwa ada kemungkinan seseorang penerjemah menetapkan dua jenis atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam proses penerjemahan sebuah teks.36 Pada umumnya terjemahan terbagi atas dua bagian besar: terjemahan harfiah (literal translation) dan terjemahan yang tidak harfiah atau bebas (non-literal translation dan free translation). 3. Prinsip-prinsip Terjemahan Para ahli tejemah memberikan prinsip-prinsip dasar bagi seorang penerjemah secara berbeda, namun penulis lebih cenderung memilih pendapat Ian Finlay, seperti yang dikutip Suhendra Yusuf, sebagai landasan teoritis karena pendapatnya lebih komperehensif dibandingkan dengan yang lain. Prinsip-prinsip tersebut adalah: a. Memiliki pengetahuan bahasa sumber yang sempurna dan up-to date. b. Mengetahui terminologi padanan terjemahan di dalam bahasa sasaran. c. Berkemampuan mengekspresikan, mengapresiasikan, merasakan gaya, irama, nuansa dan register kedua bahasa sumber dan bahasa sasaran. Hal
36
M. Rudolf, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1949) cet. Ke-1, hal. 29
29
demikian akan sangat membantu menciptakan mood atau keadaan yang diinginkan penulis aslinya. 37 Keempat prinsip tersebut penulis anggap sudah mewakili prinsip-prinsip penerjemahan yang ditawarkan oleh para pakar lainnya. Karena tanpa pengetahuan yang terdepan seorang penerjemah akan menghadapi kesulitan dalam memahami objek-objek terjemah apalagi bila objek itu merupakan studi-studi baru. Namun begitu, walau seorang penerjemah memiliki banyak pengetahuan tetapi tidak memahami objek terjemahannnya juga akan mustahil terjadi proses penerjemahan. Ditambah lagi, apalagi ia mengetahui padanan terminologiterminologi objek penerjemahannya maka hasil terjemahannya semakin sempurna. Akhirnya, walau seorang penerjemah memiliki ketiga prinsip penerjemahan sebelumnya, tapi ia tidak mampu mengapresiasikannya dalam bentuk tulisan (terjemahan) maka semua kerja kerasnya juga akan sia-sia. Itulah kiranya yang dibutuhkan seorang penerjemah dalam proses menerjemahkan. D. Penerjemahan al-Qur’an 1. Definisi penerjemahan al-Qur’an Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan sesuatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lain.38
37
Suhendra Yusuf, Teori Terjemahan Pengantar ke Arah Pendekatan linguistik dan Sosiolinguistik, (Bandung: Mandar Maju, 1994), cet. Ke-1, hal. 66 38 Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 938
30
Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, kata terjemah digunakan untuk dua macam pengertian yaitu: a. Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain, tanpa menerangkan makna bahasa yang diterjemahkan. b. Menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya, dengan menggunakan bahasa lain. Apa yang telah diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa terjemah adalah memindahkan bahasa sumber kebahasa sasaran dengan memperhatikan maksud yang terkandung di dalam bahasa sumber atau dengan kata lain mengalih bahasakan serangkaina pembicaraan dari bahasa satu ke bahasa lainnya, dengan tujuan memahami maksud yang terkandung di dalam bahasa asal. Pada intinya, pengertian terjemahan al-Qur‟an sama dengan terjemahan secara umum. Namun, dalam menerjemahkan al-Qur‟an, penerjemah hendaknya menguasai ilmu yang berkaitan dengan „Ulumul Qur‟an. Terjemah al-Qur‟an yakni memindahkan, menginterprestasikan al-Qur‟an dari bahasa sumber, yaitu bahasa Arab, kepada bahasa sasaran, yaitu bahasa yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemahan ini ke dalam beberapa naskah agar dapat dibaca oleh orang yang tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia dapat memahami maksud kitab Allah SWT dengan perantara terjemah ini.39
39
Mohammad Aly Ash Shabuny, Pengantar Study al-Qur‟an, (Bandung : At-Tibyan AlMa‟arif, 1984), cet. I, hal. 276
31
2. Syarat Penerjemahan al-Qur’an Seorang penerjemah yang ingin memahami sebuah ilmu terdahulu ia harus mempelajari ilmu itu sedetail mungkin, sampai ia menuju pada tingkat ahli dalam disiplin ilmu yang diinginkan. Al-Qur‟an adalah tugas suci dan ilmiah yang sangat berat, karena yang diterjemahkan adalah al-Qur‟an. Dengan begitu ada beberapa ulama yang tidak menerjemahkan al-Qur‟an, mengapa?. Sebab, kekhawatiran mereka sebenarnya merupakan sikap kehati-hatian dan suatu rasa tanggung jawab terhadap kitab sucinya dari penyelewengan yang tidak diinginkan. Hal ini menghasilkan keanekaragaman penerjemahan maupun penafsiran. Bahkan orang terdekat nabi (sahabat) sering berbeda pendapat dalam menerjemahkan dan menafsirkan serta menangkap firman-eirman Allah SWT.40 Kegiatan menerjemah, apalagi menerjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa Asing, bukan merupakan perbuatan mudah yang dilakukan oleh sembarangan orang kecuali orang-orang yang berminat dan berbakat untuk menjadi seorang penerjemah. Untuk menerjemahkan al-Qur‟an dalam bahasa-bahasa lain, maka penulis menyamakan kedudukan seorang mutarjim dengan seorang mufasir, sehingga harus memenuhi beberapa syarat yang sama dengan seoranf mufasir yaitu sebagai berikut: a. Penerjemah dan penafsir haruslah seorang muslim, sehingga keIslamannya dapat dipertanggungjawabkan.
40
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung : Mizan, 1997), hal. 75
32
b. Penerjemah dan penafsir haruslah memiliki itikad yang benar dan mematuhi segala ajaran agama. c. Penerjemah dan penafsir haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan al-Qur‟an. d. Penerjemah dan penafsir haruslah menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis ke dalam bahasa sasaran yang baik. e. Penerjemah dan penafsir haruslah berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran al-Qur‟an dan memiliki kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir. f. Penerjemah dan penafsir haruslah menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam penafsiran dan penerjemahan yaitu : 1. Ilmu bahasa Arab (menguasai mufradat/kosakata) 2. Ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) 3. Ilmu Sharaf (bentuk kosa kata) 4. Ilmu al-Isytiqaq (asal-usul kosakata) 5. Ilmu Balaghah 6. Ilmu Qira‟ah 7. Ilmu Ushuludin 8. Ilmu Ushul Fiqh 9. Ilmu Asbabul Nuzul 10.
Ilmu Fiqh
33
11.
Ilmu Hadits
12.
Ilmu al-Mauhibah
13.
An-Nasikh dan al-Mansukh41
Sedangkan menurut Hamka, persyaratan dari penafsir adalah: a) Mengetahui
bahasa
Arab
dengan
pengetahuan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, supaya dapat mencapai makna sejelas-jelasnya. b) Jangan menyalahi dasar yang diterima dari Nabi Muhammad SAW. c) Jangan berkeras urat leher, mempertahankan satu mazhab pendirian, lalu dibelok-belokkan maksud ayat yang dipertahankan. d) Niscaya ahli pula dalam bahasa tempat dia ditafsirkan.42 3. Metode penerjemahan al-Qur’an Penerjemahan itu berarti memindahkan suatu masalah dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain, maka teks yang sudah diterjemahkan itu bersifat penafsiran atau penjelasan. Karenanya, ketika kita menerjemahkan ke dalam bahasa yang dituju, kita harus terlebih dahulu memilih artikulasi yang akurat untuk memperoleh pemahaman yang akurat seperti yang diinginkan oleh bahasa aslinya. Hal ini dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: a. Penerjemahan tekstual adalah menerjemahkan setiap kata dari bahasa aslinya ke dalam kata dari bahasa penerjemah. Dalam terjemahan seperti 41
Abd. Al-Hayy, al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟iy, Ter. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 7-10 42 Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz. 1, (Jakarta: Pustaka Panjimas)
34
ini sangat sulit sekali, karena menemukan kata-kata yang sama, dengan kriteria-kriteria yang sama dalam dua bahasa asli merupakan pekerjaan yang tidak mudah. b. Penerjemahan
bebas
dalam
metode
ini,
penerjemah
berusaha
memindahkan suatu makna dari suatu wadah ke wadah yang lain, dengan tujuan mencerminkan makna awal dengan sempurna. c. Penerjemahan dengan metode penafsiran, metode ini menjelaskan dan menguarikan masalah yang tercantum dalam bahasa asli dengan menggunakan bahasa yang dikehendaki. Penerjemahan dengan metode tekstual sama sekali tidak bagus, karena tidak mungkin digunakan dalam pembahasan panjang.
35
BAB III BIOGRAFI HAMKA DAN QURAISH SHIHAB
A. Mengenal Sosok Mufasir Hamka 1. Riwayat Hidup Hamka dan Aktivitas Keilmuan Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Panggilan kecilnya adalah Abdul Malik. Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 di Manijuratau lebih tepatnya lahir pada tanggal 13 Muharram 1362, di sebuah desa tanah Sirah, di tepi danau Maninjau Sumatra Barat. Ayahnya bernama Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul. Dia adalah seorang pelopor gerakan pemuda Minangkabau.43 Beliau diberi sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seorang yang dihormati. Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labai El-Yunusi mendirikan sekolah Diniyah petang hari di Pasar Usang Padang Panjang, Hamka dimasukkan oleh ayahnya ke sekolah ini. Pada pagi hari, Hamka pergi ke sekolah sekolah desa, sore harinya pergi belajar ke Sekolah Diniyah,44 dan pada malam hari berada di surau bersama teman-teman sebayanya. Inilah putaran kegiatan Hamka sehari-hari ketika ia masih kecil. Putaran kegiatan yang dirasakan oleh Hamka sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, sangat mengekang masa kanak-kanaknya. Kondisi „terkekang‟ ini kemudian ditambah dengan sikap ayahnya yang 43
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Icthar Baru Van Hoeve, 1993), hal. 75 44 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-4, hal. 40
36
„otoriter‟45 sebagai ulama yang disegani pada waktu itu, berakibat menimbulkan perilaku yang menyimpang46 dalam pertumbuhan Hamka. Itulah sebabnya, ia sebagai seorang „anak nakal‟. Hal ini dibenarkan oleh A. R. Sutan Mansur, orang yang sangat berpengaruh dalam pribadi Hamka sebagai seorang mubaligh.47 Pada tahun 1918, Hamka dikhitan dan di waktu yang sama, ayahnya kembali dari perlawatan pertamanya ke tanah Jawa. Surau Jembatan Besi, tempat Syekh Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, di ubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan cita-cita agar anaknya kelak menjadi ulama seperti dia, ayah Hamka memasukkan Hamka ke dalam Thawalib School, sedangkan disekolah desa Hamka berhenti. Berbicara tentang Hamka, maka tidak lepas pembicaraan kita tentang latar belakang di mana tokoh tersebut dilahirkan, baik dari kondisi sosial masyarakat ataupun letak geografisnya. Kalau diperhatikan keberhasilan Hamka sebagai seorang yang pandai dan terkenal tidaklah mengherankan, seperti kata pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Seperti itulah Hamka dikenal, Hamka dilahirkan dari keluarga yang memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat serta disegani dalam lingkungannya. Kakeknya seorang ulama dan tokoh masyarakat yang dihormati, begitu juga ayahnya yang seorang ulama dan tokoh masyarakat 45
M. Yunan Yusuf, Op. Cit, hal. 40 Hamka tumbuh menjadi seorang anak yang nakal, pernah mencuri ayam bersama teman-teman sebayanya, suka berkelahi dan dikenal sebagai anak yang pemberani di kampung halamannya. Lihat Leon Agusta, “Di Akhir Pementasan yang Rampung,” disebut dalam Nadir Tamara, Buntaran Sanusi, dan Vincent Jauhari, Hamka di Mata Hati Umat, Sinar Harapan, Jakarta, 1984. 47 Panitia Peringatan Buku 70 tahun Buya Hamka, Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), hal. xiii 46
37
yang memiliki pengetahuan dan pemikiran yang luas. Ini dapat dilihat dari aktifitasnya dalam berbagai organisasi yang diikutinya. Pada akhir abad ke-19 dan petengahan abad ke-20 Haji Abdul Karim Amrullah (Ayah Hamka) dan ketiga tokoh lainnya antara lain yaitu Syekh Taher Jalalaludin, Syekh Muhammad Jamil Djambek, dan Haji Abdullah Ahmad melepori sebuah gerakan kebangkitan yang dikenal dengan sebutan kaum muda. Gerakan ini ditandai dengan munculnya berbagai publikasi, sekolah serta organisasi yang dikelola secara modern.48 Organisasi ini dikatakan organisasi pemuda, karena alasannya adalah bahwa pendirinya adalah kaum muda. Usia para pendiri ini belum sampai pada usia 40 tahun. Ayah Hamka sendiri, Tuan Rasul, usianya waktu itu kira-kira baru 30 tahun. Sedangkan ulama-ulama yang mempertahankan tarikat di tanah tersebut, kebanyakan mereka berusia 40-50 tahun dan relatif dibilang para golongan tua. Pada tahun 1941, ayahnya diasingkan Belanda ke Sukabumi karena fatwafatwanya dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan umum. Dan akhirnya ayahnya meninggal di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, tepatnya dua bulan sebelum Proklamasi. Ibunya bernama Siti Safiyah dan ayah dari ibunya bernama Gelanggang gelar Bagindo nan Batuah. Dikala mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pecak silat.
48
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-4, hal. 32
38
Ketika Hamka berusia 21 tahun, setelah kembali dari perjalanan ke Mekkah, ia dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang perempuan bernama Siti Raham yang berusia 15 tahun pada tanggal 5 April 1969 di Jakarta. 2. Karya-Karya Hamka Hamka adalah pengarang yang paling banyak tulisannya tentang agama Islam. Hamka memang termasuk penulis yang produktif, yang jumlah karyanya sangat banyak dan selalu bernafaskan Islam. Banyak sastrawan lain yang jumlah karyanya cukup banyak, tetapi Hamkalah yang paling banyak. Haruslah kita ingat banyak penulis lain yang juga Islam, tetapi khasnya tidaklah berbentuk karya sastra. Untuk lebih mengetahui berapa banyak buku yang dikarangnya, kita usahakan untuk menghitungnya berdasarkan judul-judul buku yang pernah ditulisnya, antara lain: 1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3, ditulis dalam huruf Arab. 2. Si Sabariah (1928). 3. Pembela Islam (Tarikh Sayidina Abu Bakar Shidiq), 1929. 4. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929). 5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929). 6. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929). 7. Hikmat Isra‟ dan Mikraj 8. Arkanul Islam (1932), di Makassar. 9. Laila Majnun (1932), Balai Pustaka.
39
10. Majallah Tentera (4 Nomor), 1932, di Makassar. 11. Majallah Al-Mahdi (9 Nomor), 1932, di Makassar. 12. Mati Mengandung Malu (Salinan Al-Manfaluthi), 1934. 13. Di Bawah Lindungan Ka‟bah (1936), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 14. Tenggelamnya
Kapal
Van
Der
Wijck
(1937),
Pedoman
Masyarakat, Balai Pustaka. 15. Di Dalam Lembah Kehidupan, 1939, Pedoman Masyrakat, Balai Pustaka. 16. Merantau ke Deli, 1940, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka. 17. Margaretta Gauthier (Terjemahan), 1940. 18. Tuan Direktur, 1939. 19. Dijemput Mamaknya, 1939. 20. Keadilan Ilahy, 1939. 21. Tashawwuf Modern, 1939. 22. Falsafah Hidup, 1939. 23. Lembaga Hidup, 1940. 24. Lembaga Budi, 1940. 25. Majallah Semangat Islam (Zaman Jepun, 1943). 26. Majallah Menara (terbit di Padang Panjang), sesudah Revolusi 1946. 27. Negara Islam, 1946. 28. Islam dan Demokrasi, 1946.
40
29. Revolusi Pikiran, 1946. 30. Revolusi Agama, 1946. 31. Adat Minagkabau Menghadapi Revolusi, 1946. 32. Dibandingkan Ombak Masyarakat, 1946. 33. Di Dalam Lembah Cita-Cita, 1946. 34. Sesudah Naskah Renville, 1947. 35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, 1947. 36. Menunggu Beduk Berbunyi, 1949, di Bukit Tinggi, sedang Konperansi Meja Bundar. 37. Ayahku, 1950, di Jakarta. 38. Mandi Cahaya di Tanah Suci, 1950. 39. Mengembara Di Lembah Nyl, 1950. 40. Ditepi Sungai Dajlah, 1950. 41. Kenang-Kenangan Hidup 1, autobiografi sejak lahir 1908 sampai pada 1950. 42. Kenang-Kenangan Hidup 2. 43. Kenang-Kenangan Hidup 3. 44. Kenang-Kenangan Hidup 4. 45. Sejarah Ummat Islam, Jilid 1, ditulis tahun 1938, diangsur sampai 1950. 46. Sejarah Ummat Islam, Jilid 2. 47. Sejarah Ummat Islam, Jilid 3. 48. Sejarah Ummat Islam, Jilid 4.
41
49. Pedoman Mubaligh Islam, Cetakan 1 1937; Cetakan ke-2 tahun 1950. 50. Pribadi, 1950. 51. Agama dan Perempuan, 1939. 52. Muhammadiyyah Melalui 3 Zaman, 1946, di Padang Panjang. 53. 1001 Soal Hidup, (Kumpulan karangan dari pedoman masyarakat, dibukukan 1950). 54. Pelajaran Agama Islam, 1956 55. Perkembangan Tashawwuf dari Abad Ke Abad, 1952 56. Empat Bulan di Amerika, 1953, jilid 1 57. Empat Bulan di Amerika, jilid 2 58. “Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di Indonesia” (pidato di Kairo, 1958), untuk Doktor Honoris Causa 59. Soal Jawab, 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM 60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963, dicetak oleh M. Arbie Medan 61. Lembaga Hikmat, 1953, Bulan Bintang, Jakarta. 62. Islam dan Kebatinan, 1972, Bulan Bintang. 63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970 64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany, 1965, Bulan Bintang 65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang 66. Hak Asasi Manusia Dipandang Dari Segi Islam, 1968 67. Falsafah Ideologi Islam, 1950 (sekembali dari Mekkah)
42
68. Keadilan Sosial Dalam Islam, 1950 (sekembali dari Mekkah) 69. “Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran Islam,” kuliah umum Universiti Keristen, 1970. 70. Studi Islam, 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat, 71. Himpunan Khutbah-Khutbah. 72. Urat Tunggang Pancasila. 73. Doa-Doa Rasulullah S.A.W, 1974. 74. Sejarah Islam di Sumatera. 75. Bohong di Dunia 76. Muhammadiyyah di Minangkabau, 1975, (menyambut Kongres Muhammadiyyah di Padang). 77. Pandangan Hidup Muslim, 1960. 78. Kedudukan Perempuan dalam Islam, 1973. 79. Tafsir Al-Azhar, Juzu 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Soekarno. 3. Aktifitas Lainnya a) Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat dari tahun 1936 sampai 1942. b) Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956. c) Memimpin Majalah Mimbar Agama, Departemen Agama, 19501953.
43
4. Metode Penerjemahan Hamka Al-qur‟an sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dengan berbagai metedologi yang disuguhkan, para mufasir kerap terlihat mempunyai corak sendiri yang sangat menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menyambungkannya dengan masalah fikih, politik, ekonomi, tasawuf, sastra, kalam, dan lainnya. Dalam buku karya Yunan Yusuf yang berjudul Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar diuraikan tentang pengaruh pemikiran kalam atas tafsir al-Qur‟an. M. Quraish Shihab dalam pengantar buku ini memuji langkah yang diambil Yunan sebagai sebuah studi baru dan langkah di tanah air yang diharapkan bisa meningkatkan apresiasi atas tafsir al-Qur‟an dalam hubungannya dengan minat mengkaji dan mendalami al-Qur‟an. Pandangan ini setidaknya terlihat dari kesimpulan yang diambil oleh Yunan bahwa Hamka dalam beberapa tafsirannya atas ayat terkesan sebagai pemikir kalam rasional-untuk tidak mengatakan cenderung Mu‟tazilah yang member tekanan kuat pada kemerdekaan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Sikap teologis ini melahirkan semangat kerja keras dan tidak mau menyerah pada keadaan dalam diri Hamka, sehingga mematri kredo hidupnya dengan ungkapan “sekali berbakti sesudah itu mati”. Ada beberapa metode yang digunakan Hamka dalam penafsirannya, antara lain:
44
Pertama, memandang al-Qur‟an sebagai satu kesatuan yang kompherensif, di mana setiap bagian mempunyai keterkaitan dan kesesuaian. Kedua, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur‟an dalam memahaminya. Ia berpendapat bahwa salah satu tujuan terpenting penulisan tafsir Fi Zhilal alQur‟an adalah merealisasikan pesan-pesan al-Qur‟an dalam kehidupan nyata. Ketiga, menerangkan korelasi (munasabah) antara surat yang ditafsirkan dengan surat yang sebelumnya. Keempat, sangat hati-hati terhadap cerita-cerita Isra‟iliyat, meninggalkan perbedaan fiqiyah dan tidak mau membahasnya lebih jauh, serta tidak membahas masalah kalam atau filsafat. Kelima, menjelaskan sebab turunnya ayat yang hanya berfungsi sebagai qarinah, yang ikut membantu dalam memahami makna ayat, tidak sebagaimana umumnya para mufasir yang lebih cenderung berpegang kepada keumuman lafaz daripada kekhususan sebab. Keenam, memandang al-Qur‟an bukan sekedar bacaan atau wahana untuk memperoleh pahala, bukan sekedar rekaman budaya, fiqih, bahasa, atau sejarah. Tetapi, al-Qur‟an dalam pandangan Quthub ialah sesuatu yang hidup yang bisa dijadikan panduan untuk memimpin, mendidik, dan menyiapkan manusia menuju kepemimpinan yang benar. Ketujuh, memperhatikan kondisi sosial. Kedelapan, menjelaskan hikmah tasyri‟ dan sebab penetapan hukum.
45
Kesembilan, menjelaskan surat-surat yang ditafsirkan berdasarkan Makiyyah dan Madaniyyah, serta membandingkan keduanya dari segi karakteristik dan topik-topik yang dibahas. Menurut Yunan Yusuf, Hamka telah menempuh tiga pendekatan dalam tafsirnya, yaitu pendekatan keindahan bahasa, pendekatan pemikiran, dan pendekatan pergerakan. Dan berdasarkan hasil pantauan penulis, Hamka dalam menerjemahkan bukunya yang berjudul “Tafsir Al-Azhar” lebih bersifat apa adanya, artinya teks naskah tersebut diterjemahkan sesuai dengan struktur bahasa sumber dan tidak menyimpang dari struktur bahasa sasaran, maka digunakanlah metode penerjemahan harfiyah. Sebaliknya, apabila teks tersebut harus mengalami perubahan struktur bahasa sumber ketika diterjemahkan, maka digunakanlah metode penerjemahan bebas. Bebas di sini bukan berarti penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya sehingga esensi terjemah sendiri itu hilang. Bebas di sini berarti penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti oleh pembacanya.
46
B. Mengenal Sosok Mufasir Quraish Shihab 1. Riwayat Hidup Quraish Shihab dan Aktivitas Keilmuwan Pada saat ini bisa dikatakan cendikiawan muslim yang sangat mendalam ilmunya dalam studi-studi ilmu-ilmu al-Qur‟annya (tafsir) di Indonesia adalah Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab. Dengan kedalaman, keluasan, dan keluasan ilmunya dibidang tafsir al-Qur‟an telah mengangkat namanya menjadi salah satu ikon gerakan pemikiran Islam di Indonesia. Apalagi pendapat atau pandanganpandangan keagamaan beliau yang moderat, menyebabkan beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan. Sehingga tidak mengherankan, Shihab sebagai posisi penting dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan sampai politik, dari non formal sampai formal. Walaupun tidak bisa dinafikan masi ada beberapa kalangan yang tidak sepakat dengan pendapat-pendapatnya. Sebagaimana yang telah penulis singgung di atas tadi, Quraish Shihab memiliki pandangan keagamaan yang moderat. Sikap moderat Quraish Shihab yang dimaksud di atas mempunyai pengertian bahwa dia berusaha tidak merendahkan kalangan atau pendapat tertentu, tetapi memberikan apresiasi kepada setiap pendapat yang berbeda. Adapun pendapat yang ia ambil akan ia beri alasan yang jelas kenapa sampai ia mengambil alasan itu. Misalnya saja ketika ia berpendapat tentang bidang keahliannya yaitu tafsir. Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944.49 Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Sosok
49
M. Quraish Shihab, Logika Agama; Batas-Batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: Lentera Hati, 2005)
47
Quraish Shihab berperawakan, tegap dan karismatik dengan tinggi 172 cm, berat 69, warna rambut hitam, muka lonjong dan kulit berwarna putih.50 Kini beliau menjabat sebagai Direktur Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) dan Guru Besar Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta. Beliau adalah kakak kandung mantan Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu, Alwi Shihab. Sekarang beliau bersama istri bernama Fatmawati telah dianugerahi lima orang anak, yaitu, Najla, Najwa, Naswa, Ahmad dan Nahla. Ayahnya Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang guru besar dalam bidang tafsir.51 Abdurrahman sering sekali mengajak Quraish Shihab bersama saudaranya yang lain untuk duduk bareng bercengkrama bersama dan sesekali memberikan petuah-petuah keagamaan. Dari sinilah rupanya mulai cinta dalam diri Quraish Shihab terhadap Studi Al-Qur‟an. Pengkajian terhadap al-Qur‟an dan tafsirnya, beliau lebih mendalaminya lagi di Universitas Al-Azhar Kairo, setelah melalui pendidikan dasarnya yaitu SD dan SLTP di Ujung Pandang dan pendidikan menengahnya di Malang (1956-1958) sekaligus menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Fiqiyyah, Malang. Pada tahun 1958, beliau berangkat ke Kairo, Mesir, untuk melanjutkan pendidikan dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Pada tahun 1967, beliau meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits
50
Kusmana, “Membangun Citra” dalam Badri Yatim dan Hasan Nasuhi, (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam: Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: IAIN Press,2002), cet. Ke-1, hal 245. 51 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2001), Cet. Ke-XXII, hal. 14
48
Universitas Al-Azhar. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Fakultas yang sama, pada tahun 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang tafsir alQur‟an dengan tesis berjudul Al-Ijaz al-Tasyri‟iy li al-Qur‟an al-Karim. Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikan di almamater yang lama, yaitu Universitas Al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul al-Durar li al-Biqa‟iy Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam meraih ilmu al-Qur‟an dengan yudisium Summa cum Laude disertai penghargaan tingkat I (Mumtaz ma‟a martabat al-syaraf al-„ula). Yang artinya dengan pujian tingkat pertama. Beliau orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doktor di bidang ilmu Tafsir. Sementara dalam lingkup keluarganya merupakan doktor keempat dari anak-anak Shihab yang berjumlah 12, terdiri dari enam putra dan enam putri. Sekembalinya ke Indonesia, sejak tahun 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tahun 1992-1998 beliau diangkat menjadi Rektor pada Universitas tersebut. Selain itu, di luar kampus, beliau juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI), 1984, anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasioanal (1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Selain jabatan-jabatan dalam bidang akademis tersebut, Quraish Shihab juga pernah menduduki jabatan politik. Antara lain tahun 1998, beliau dipercayakan untuk menjabati jabatan Mentri Agama dalam Kabinet Pembangunan VII. Setealh
49
itu beliau diangkat sebagai Duta Besar RI unruk Mesir. Jibuti Somalia. Pada tahun 1995-1999 beliau dipilih sebagai Anggota Dewan Riset Nasional. Beliau juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional. Antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari‟ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Disela-sela kesibukannya itu, beliau juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negri yang tidak kalah pentingnya dan pasti semua orang tahu Quraish Shihab adalah seorang yang apik dan produktif dalam kegiatan tulis-menulis. Disurat kabar Pelita, beliau pernah mengasuh rubik “Pelita Hati” setiap hari Rabu. Dia juga mengasuh rubik “Tafsir al-Manah” dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Lalu mengasuh rubik “Quraish Shihab Menjawab” Republika. Selain itu, dia juga pernah tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi. Jurnal Ulumul Qur‟an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Quraish Shihab juga sering muncul dilayar televisi untuk mengisi acara-acara yang terkait dengan dakwah Islam. Pada tahun 1996, beliau mengisi acara bertajuk “Sahur Bersama Quraish Shihab”. 2. Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Misbah Pada akhir dari “Sekapur Sirih” Quraish Shihab yang terdapat pada setiap volume, tercantum keterangan bahwa awal penulisan Tafsir Al-Misbah ini bertempat Kairo, Mesir pada hari Jumat, 4 Rabiul Awal 1420 H dan bertepatan dengan tanggal 18 Juni 1999 M. Dan untuk pertama kalinya diterbitkan oleh
50
Lentera Hati pada bulan Sya‟ban 1421 H bertepatan dengan bulan November 2000 M. Latar belakang penulisan Tafsir Al-Misbah ini didasarkan pada keinginan Quraish melayani semua masyarakat pembacanya yang ingin memahami alQur‟an. Sebagaimana tulisan-tulisannya yang lain, beliau ingin menjadikan alQur‟an sebagai hudan (petunjuk) yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh semua kalangan masyarakat Islam. Di samping memang karena usaha menafsirkan al-Qura‟an adalah usaha yang sangat mulia sekaligus merupakan kewajiban para ulama yang punya kemampuan dibidang itu untuk menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung dalam al-qur‟an sesuai dengan harapan dan kebutuhan. Penamaan al-Misbah pada kitab tafsirnya ini tentunya tidaklah tanpa alasan. Dalam analisis Prof. Hamdani Anwar, MA, alasan pemilihan nama al-Misbah paling tidak mencakup dua hal,52 yaitu: pertama pemilihan nama itu didasarkan pada fungsinya. Al-Misbah artinya lampu yang fungsinya untuk menerangi kegelapan. Menurut Hamdan, dengan memilih nama ini, penulisnya berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pedoman hidup. Kedua, pemilihan nama al-Misbah ini berdasarkan dari kumpulan pada rubik “Pelita Hati” yang diterbitkan dengan judul “Lentera Hati”. Lentera merupakan padanan dari kata pelita yang arti dan fungsinya sama. Dalam bahasa Arab,
52
Hamdani Anwar, Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab dalam Jurnal Mimbar Agama da Budaya, vol XXX, No. 2, hal. 176-177.
51
lentera, pelita, atau lampu itu disebut misbah, dan kata inilah yang kemudian dipakai oleh Quraish untuk dijadikan nama karyanya itu. Penerbitnya juga menggunakan nama serupa yaitu Lentera Hati. 3. Karya-Karya M. Quraish Shihab M. Quraish Shihab termasuk seorang tokoh muslim kontemporer Indonesia yang sangat produktif. Dalam waktu yang sangat relatif singkat beliau mampu menghasilkan karya yang sangat banyak dan cukup bercorak, sesuatu yang luar biasa. Karya itu sangat popular dan bisa diterima diberbagai kalangan, bahkan sangat dinanti-nanti oleh masyarakat. Selain konstribusinya dalam berbagai buku suntingan jurnal-jurnal ilmiah, dan konstribusi bagi majalah maupun koran, hingga kini Quraish Shihab telah banayak mempublikasikan banyak buku. Di antara karyanya yang bisa penulis sebutkan adalah: 1. Tafsir Al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahanya, (Ujung Pandang: IAIN Alaudin, 1948) 2. Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, 1987) 3. Mahkota Tuntunan Ilahi, (Tafsir Surat Al-Fatihah), (Jakarta: Untagma, 1988) 4. Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1994) 5. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1994) 6. Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996)
52
7. Untaian Permata Buah Anakku, (Bandung, Mizan, 1998) 8. Mukjizat Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998) 9. Menyingkap Tabir Ilahi, (Jakarta: Lentera Hati, 1998) 10. Yang Tersembunyi; Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat, (Jakarta: Lentera Hati, 1999) 11. Pengantin Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 1999) 12. Haji Bersama Quraish Shihab, (Bandung, Mizan, 1999) 13. Sahur Bersama Quraish Shihab, (Bandung, Mizan, 1999) 14. Shalat Bersama Quraish Shihab, (Jakarta: Abdi Bangsa) 15. Puasa Bersama Quraish Shihab, ( Jakarta: Abdi Bangsa) 16. Fatwa-Fatwa, (Bandung: Mizan, 1999) 17. Hidangan Ilahi: Tafsir Ayat-Ayat Tahlil. ( Jakarta: Lentera Hati, 1999) 18. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat Tahlil, (Jakarta: Lentera Hati, 2000) 19. Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 15 Jilid. Tafsir ini adalah
yang
penulis
analisis,
khususnya
ayat-ayat
yang
mengandung kata Wali. 20. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Dalam Pandangan Ulama dan Cendikiawan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2004) 21. Dia Di Mana-Mana: Tangan Tuhan Dibalik Setiap Fenomena, (Jakarta: Lentera Hati, 2004) 22. Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005)
53
Karya yang ke sembilan belas inilah yang merupakan karya yang menjadikan khazanah tafsir di Indonesia yang memenuhi perpustakaan. Tafsir ini terbit sampai volume 15, yakni dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas (dari juz 1-30). Demikianlah beberapa karya Quraish Shihab yang dapat penulis paparkan pada bagian ini. Tentunya masih banyak lagi yang belum disebutkan, baik berupa makalah, rubrik, artikel dalam berbagai surat kabar maupun majalah. 4. Sekilas Gambaran Umum Buku Tafsir Al-Misbah Menurut Howard M. Feserspiel, karya Quraish Shihab tentang tafsir ditujukan untuk kaum muslim awam, walaupun sebenarnya karya tersebut ditujukan kepada pembaca yang cukup terpelajar. Howard mengklasifikasikan tafsir karya Quraish Shihab sebagai karya yang sangat kuat dan merupakan batu ujian bagi pemahaman yang lebih tentang Islam.53 Dalam Tafsir Al-Misbah, dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam karya ini Quraish menggunakan metode tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi ayat, surat demi surat sesuai dengan Mushaf Usmani. Metode ini sengaja dipilih oleh Quraish, karena ia ingin mengungkapkan semua isi al-Qur‟an secara rinci agar petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dijelaskan dan dipahami.54 Pada sisi lain, Quraish tidak begitu tertarik untuk menggunakan metode tahlili, karena menurutnya metode tahlili ini menyita waktu yang cukup banyak yang 53
Howard M. Feserspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, (Bandung: Mizan, 1997), cet. Ke-II, hal. 11 54 Hamdani Anwar, Op. Cit, hal. 182
54
dipergunakan untuk menafsirkan semua ayat-ayat al-Qur‟an. Selain itu, seringkali menimbulkan banyak pengulangan dalam tafsirnya. Hal ini akan terjadi jika kandungan kosa kata atau pesan ayat atau surahnya sama atau mirip dengan ayat atau surat yang telah ditafsirkan. 55 Menyadari kelemahan dari metode tahlili, maka Quraish memberi tambahan lain dalam Tafsir Al-Misbah dengan metode maudhu‟i. Menurutnya metode ini memiliki keistimewaan yaitu menghindarkan kita dari problema atau kelemahan yang terdapat pada metode lain.56 Dengan dasar pertimbangan tersebut, Quraish juga berupaya untuk menggunakan maudhu‟i. Oleh karena itu, Quraish Shihab berupaya untuk menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah atau tema pokok surah. Menurut Quraish Shihab sebagaimana dikatakan
dalam
sekapur
sirih
Tafsir
Al-Misbah,
jika
kita
mampu
memperkenalkan pesan utama setiap surah, maka ke-114 yang ada di dalam alQur‟an akan dikenal lebih dekat dan mudah. Metode yang ditempuh Quraish Shihab sebagai suatu cara yang baru dan belum pernah dikemukakan oleh para mufassir terdahulu. Dari sini, dapat dinilai perbedaan Tafsir Al-Misbah dengan tafsir-tafsir lainnya, dan hal ini dapat disebut sebagai salah satu kelebihan dari tafsir tersebut. 57 Kitab Tafsir Al-Misbah ini bukanlah ijtihadnya sendiri, tetapi hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer serta pandangan-pandangan mereka 55
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), cet, ke-I, vol. 1, hal. 8 56 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2001), cet. Ke- XXII, hal, 14. 57 Hamdani Anwar, Op. Cit, hal. 184.
55
banyak dinukilkan oleh Quraish Shihab, antara lain: pakar tafsir Ibrahim ibn Umar al-Biqa‟i, Sayyid Muhammad Thanthawi, Syeikh Mutawalli asy-Sya‟rawi, Sayyid Qutb, Muhammad Thahir ibn Asyur dan Sayyid Muhammad Husein Thabathaba‟i serta beberapa pakar-pakar tafsir lainnya.58 Dapat disimpulkan metode yang digunakan Quraish Shihab dalam Tafsir AlMisbah menggunakan gabungan dari metode tahlili dan metode maudhu‟i. Cara ini dipilih oleh Quraish Shihab, karena ia menilai bahwa ia mesti menguraikan seluruh ayat al-Qur‟an sesuai dengan Mushaf Usmani (tahlili), tetapi ia mesti pula mengelompokan ayat-ayat sesuai dengan temanya, agar kandungan ayat tersebut dapat dijelaskan sesuai dengan topiknya (metode maudhu‟i). Quraish shihab menggunakan dua metode sekaligus dalam Tafsir Al-Misbah, karena dari segi teknik, metode tahlili yang menafsirkan ayat demi ayat yang terpisah antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga tidak disuguhkan kepada pembaca secara menyeluruh untuk membutuhkan waktu yang lama untuk pembaca dalam memahami isi al-Qur‟an. Oleh karena itu, ia menambahkan metode maudhu‟i, di mana metode ini menafsirkan satu surah secara menyeluruh yang menjelaskan antara berbagai masalah yang dikandung dalam surah tersebut, sehingga surah ini tampak secara utuh. Dan juga metode maudhu‟i tergolong sangat praktis dan sistematis, bagi para pembaca yang mempunyai waktu sedikit atau sibuk.
58
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 1 , Op.Cit, hal. 7
56
Adapun corak dalam Tafsir Al-Misbah ini termasuk adab al-Ijtima‟i atau kemasyarakatan, yaitu suatu penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan langsung dengan kehidupan bermasyarakat serta berusaha untuk mengulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayatayat dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.59 Corak tafsir ini cenderung kepada kemasyarakatan karena penjelasan-penjelasan yang diberikan dalam banyak hal selalu berkaitan dengan persoalan yang sedang dialami umat, dan uraiannya diupayakan untuk memberikan solusi atau jalan keluar dari masalah-masalah tersebut.
59
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 2001), hal. 73
57
BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA WALI DAN AULIYA A. Pendahuluan Setiap perbuatan tidak akan terlepas dari pelakunya (subjek). Demikian halnya dengan produk penerjemahan. Produk terjemahan itu dianggap baik atau buruk, jelas atau bertele-tele, sangat tergantung dari siapa yang menerjemahkan. Walaupun penerjemah sebagai pencipta, ia tidak punya kebebasan seluas kebebasan yang dimiliki penulis naskah aslinya, karena ia mrnciptakan dunia ciptaan yang sudah ada.60 Banyak metode penelitian yang bisa digunakan di dalam meneliti karya terjemahan, tetapi yang jelas semua metode ini bersifat deskriptif, bisa dalam kategori kualitatif maupun kuantitatif. Penelitian hasil terjemahan adalah sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan terutama untuk menghubungkan teori penerjemahan dan praktik penerjemahan. Terdapat lima jenis pendekatan penerjemahan yang berbeda. Oleh karenanya, untuk upaya menerjemahkan yang tekstual dari al-Qur‟an maka referensi baku untuk memahami al-Qur‟an adalah tafsir. Secara tekstual tafsir memiliki makna antara lain; terjemahan, penerangan, penjelasan, interprestasi, komentar dan ta‟wil. Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk menganalisis aspek struktur kalimat dan analisis makna dari terjemahan ayat-ayat al-Qur‟an yang
60
Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), hal. v
58
dilakukan Hamka dan Quraish Shihab dalam menguraikan makna polisemi yang terkandung dalam al-Qur‟an. Seperti yang telah penulis kemukakan di atas bahwa objek penelitian ini adalah penulis akan menganalisis al-Qur‟an terjemahan Hamka dan al-Qur‟an terjemahan Quraish Shihab yang mengandung makna polisemi. Konsentrasi penulis dalam bab ini terletak pada pembahasan kata “wali dan auliya” yang terdapat di dalam al-Qur‟an terjemahan Hamka dan al-Qur‟an terjemahan Quraish Shihab. Kata wali dan auliya termasuk ke dalam polisemi, yang merupakan satu ujaran dalam bentuk kata-kata yang mempunyai makna berbeda-beda, tetapi masih ada hubungan dan kaitannya antara makna-makna yang berlainan tersebut, maksudnya masih ada dalam satu bidang. Penelitian ini juga menggunakan analisis semantik yang mengacu pada makna setiap kata. Dengan demikian, untuk memudahkan penulis menganalisa dan mengambil kesimpulan berikut ini penulis akan menganalisis dan mengkategorikan kata wali dan auliya yang mengandung makna polisemi. Adapun analisis dari kata wali dan auliya yang ada di dalam al-Qur‟an penulis uraikan dalam penjelasan di bawah ini.
59
B. Persamaan dan Perbedaan Makna Polisemi Kata Waliyy dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab 1. Persamaan Makna Polisemi Kata Waliyy dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab a. Pelindung Setelah penulis menganalisa dan mengkategorikan ada beberapa surat di dalam alQur‟an terjemahan Hamka dan Quraish Shihab yang mengandung kata wali dan auliya yang terjermahannya bermakna pelindung di antaranya ada di dalam surat at- Taubah: 74 dan 116, az-Zumar: 3, Fushilat: 31, Saba: 41, ar-Rad: 16, Yusuf: 101, Ahzab: 17 dan 65, Asy-Syura: 6,8, dan 9.Akan tetapi, di sini Penulis hanya akan memberikan beberapa contoh kasus pada surat at-Taubah ayat 74, At-Taubah ayat 116 dan Az-Zumar ayat 3.
No
Persamaan
Surat
Terjemahan Versi Hamka
1
At-Taubah: 74
60
“Mereka akan bersumpah dengan nama Allah, bahwa mereka tidaklah pernah berkata (begitu), padahal mereka telah pernah mengatakan kalimat kufur, dan mereka telah kafir sesudah Islam, dan mereka sangat mengingini apa yang tidak dapat mereka capai. Dan tidaklah mereka berdendam, melainkan karena mereka telah di kayarayakan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan karuniaNya. Tetapi jika mereka bertaubat, itulah yang lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya akan diazab
Terjemahan Versi Quraish
“Mereka bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak berkata-kata. Padahal mereka telah mengucapkan kalimat kufur, dan telah kafir sesudah ke Islaman mereka dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya, padahal mereka tidak mencela, selain karena Allah dan RasulNya telah melimpahkan karuniaNya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah kan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali-sekali tidak mempunyai
mereka oleh Allah, azab
yang pedih, dunia dan
2.
akhirat. Dan tidak ada untuk mereka di dalam bumi ini, dari seorang pelindung pun dan tidak pula seorang penolong”.
“Sesungguhnya Allah,
pelindung dan tidak (pula) penolong di bumi”.
bagiNyalah kerajaan semua langit dan bumi. Menghidupkan dan mematikan. Dan tidak ada bagi kamu, selain Allah, pelindung dn tidak penolong”.
“Sesungguhnya milik Allah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan. Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagi kamu selain Allah”.
At-Taubah: 116 3.
Az-Zumar: 3
“Ketahuilah! Hanya untuk Allah agama yang murni; dan orang-orang yang mengambil yang selain Dia akan jadi pelindung; (mereka berkata): “Tidaklah kami menyembah kepada mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.” Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka pada barang yang mereka perselisihkan padanya itu. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberikan petunjuk kepada orang yang pembohong lagi sangat kafir”.
“Ingatlah, hanya bagi Allah kepatuhan yang murni; dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekatdekatnya.” Sesungguhnya Allah kan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk siapa yang dia itu pendusta dan sangat ingkar”.
Pada surat At-Taubah ayat 74, At-Taubah ayat 116, dan Az-Zumar ayat 3 di sini penulis melihat bahwa tidak ada perbedaan makna antara dua versi terjemahan tersebut. Kata waliyy yang ada pada ayat-ayat di atas tersebut
61
bahwasannya diterjemahkan oleh kedua mufasirun dengan makna pelindung, yang menurut penafsiran mereka mengatakan kata waliyy tersebut tertuju kepada Allah. Jadi jika demikian, Allah merupakan waliyy orang-orang yang beriman yang sangat dekat dengan mereka sehingga Dia langsung menolong, melindungi dan membantunya.61 Kedua penerjemah di sini memiliki pemahaman yang sama dalam menerjemahkan ayat tersebut tetapi, yang berbeda hanya dalam pemilihan diksinya saja. b. Pemimpin Pada analisa yang selanjutnya penulis juga menemukan bahwasannya kata wali dan auliya selain diterjemahkan pelindung oleh Hamka dan Quraish Shihab, mereka pun menerjemahkan kata tersebut dengan terjemahan pemimpin. Berikut ini penulis mencantumkan surat-surat yang di dalamnya terdapat kata waliyy dan auliya dan diterjemahkan pemimpin oleh Hamka dan Quraish antaranya surat al-„Araaf: 27, surat Kahfi: 50, surat at-Taubah: 23 dan an-Nahl:63.
61
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol, 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 517-518
62
No
1.
Surat
Persamaan
Al-„Araaf:27
2.
Surat Al-Kahfi:50
3.
Surat At-Taubah:23
63
Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Wahai anak-anak Adam! Janganlah sampai menipu akan kamu syaitan itiu, sebagai telah dikeluarkannya ibu bapamu dari syurga, dia tarik dari keduanya, supaya kelihatan oleh keduanya kemaluan mereka. Sesungguhnya dia itu melihat kamu, dia dan golongannya, dalam pada itu kamu tidak melihat mereka. Sesungguhnya kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.
“Hai anak-anak Adam, jangan lah sekali-kali kamu ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kamu dari syurga, ia mencabut dari keduanya saat mereka berdua. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman”.
“Dan (ingatlah) seketika Kami berkata kepada malaikat: Sujudlah kamu kepada Adam! Maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Adalah dia itu dari jin, maka dia pun mendurhaka dari perintah Tuhannya. Maka apakah akan kamu ambil dia dan anak-anak cucunya akan menjadi pimpinan selain dari aku? Padahal mereka itu bagi kamu adalah musuh! Amat buruklah ia sebagai pengganti orang-orang yang zalim”.
“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada Malaikat:“Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis (enggan). Ia adalah dari jin, maka ia mendurhakai Tuhannya. Patutkah kamu mengambil ia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain dari Aku, sedang mereka terhadap kamu adalah musuh? Amat buruklah ia sebagai pengganti bagi orang-orang yang zalim”.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapa-bapa kamu dan saudara-saudara kamu sebagai pemimpin, jika mereka itu masih lebih mencintai kufur di atas Iman. Dan barang siapa yang menjadikan mereka itu pemimpin
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak kamu dan saudara-saudara kamu, pemimpinpemimpin, jika mereka lebih mengutamakan kekufuran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpin,
4.
Surat An-Nahl:63
dari kalangan kamu, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.
maka itulah mereka orang-orang zalim”.
“Demi Allah! Sesungguhnya telah Kami utus kepada umatumat sebelum engkau, tetapi syaitan telah menyanjungnyanjungkan amalan mereka; maka dialah pemimpin mereka pada hari itu. Dan bagi mereka adalah azab yang pedih”.
“Demi Allah, sesungguhnya Kami telah mengutus kepada umatumat sebelummu, tetapi setan memperindah bagi mereka perbuatanperbuatan mereka maka ia adalah pemimpin mereka hari ini dan bagi mereka azab yang sangat pedih”.
Pada surat al-„Araaf ayat 27, Kahfi ayat 50, Taubah ayat 23 dan an-Nahl ayat 63 di sini penulis tidak melihat adanya perbedaan di antara terjemahan Hamka dan Quraish mereka berdua sama-sama menerjemahkan kata waliyy dan auliya dengan terjemahan pemimpin. Di sini Hamka dan Quraish menerjemahkan kata waliyy dan auliya melihat kata tersebut berada di dalam konteks dari ketaatan, maka waliyy di sini dimaksudkan kepada siapa yang memerintah dan harus ditaati ketetapannya.62 Pada ayat-ayat di atas dijelaskan bahkan diperingatkan bahwasannya ada larangan bagi orang-orang yang beriman untuk menjadikan bapak ataupun saudara-saudaranya pemimpin apabila mereka masih menjadikan kekufuran di atas iman mereka, apalagi sampai mentaatinya karena mereka yang akan menjerumuskan orang-orang yang beriman kepada kesesatan dan sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang sangat pedih kepada orangorang yang menjadikan orang kufur sebagai pemimpin.
62
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an vol.3, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 115-116
64
c. Penolong Penolong merupakan salah satu polisemi dari kata waliyy dan auliya. Ada beberapa surat di al-Qur‟an yang diterjemahkan oleh Hamka dan Quraish dengan terjemahan yang sama yaitu penolong. Ini terdapat dalam surat al-Isra ayat 111, Sajadah ayat 4, Hud ayat 113. No
1.
Surat
Persamaan
Surat Al-Isra:111
2.
Surat As-Sajadah:4
3.
Surat Hud:113
65
Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Dan katakanlah: Sekalian puji-pujian bagi Allah, yang tidak mempunyai anak, dan tidak ada bagiNya sekutu dalam kerajaanNya, dan tidak ada bagiNya penolong lantaran lemah. Dan besarkanlah Dia, dengan sungguhsungguh membesarkan”.
“Dan katakanlah: “Segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaanNya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya”.
“Allah yang menciptakan semua langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari. Kemudian Dia pun bersemayam ke atas Arsy. Tidaklah ada bagi kamu selain Dia seorang penolong pun dan tidak seorang pembela. Maka apakah tidak kamu mengingatnya?”
“Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas „Arsy. Tidak ada bagi kamu selainNya satu penolong pun dan tidak juga pemberi syafa‟at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
“Dan janganlah kamu
cenderung kepada orang-orang yang zalim. Lantaran kelak akan di sentuh kamu oleh api. Dan tidak ada bagi kamu selain dari Allah yang kan jadi penolong, kemudian itu, kamu pun tidak akan dibela”.
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orangorang yang zalim sehingga menyebabkan kamu disentuh api neraka, padahal sekali-kali kamu tiada mempunyai satu penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”
Pada ketiga surat di atas tidak ada perbedaan di antara kedua versi terjemahan antara Hamka dan Quraish, keduanya menerjemahkan penolong. Waliyy dan auliya di sini bermakna penolong karena berada dalam konteks pertolongan maka waliyy dan auliya disini adalah penolong-penolong.63 d. Wali Berikut ini surat-surat yang mencantumkan kata waliyy dan auliya berserta terjemahannya yang penulis dapatkan dari Tafsir al-Azhar karya Dr. Hamka dan terdapat pula pada Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab. Kedua mufasirun ini sama-sama menerjemahkan waliyy dan auliya dengan makna wali, antaranya terdapat dalam surat Al-Isra:33, Yunus:62, An-Nisa:45 dan An-Naml:49.
63
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 3, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 115-116
66
No
1.
Surat
Persamaan Terjemahan Versi Quraish
“Dan janganlah kamu bunuh diri yang telah diharamkan oleh Allah, kecuali dengan hak (kebenaran). Dan barang siapa yang dibunuh dengan dianiaya, maka sesungguhnya Kami jadikan atas walinya kekuasaan. Dan janganlah dia melewati batas pada membunuh. Sesungguhnya dia adalah orang yang ditolong”.
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan hak. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah member kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah keluarganya melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang dimenangkan.”
“Ketahuilah! Sesungguhnya waliwali Allah itu, tidaklah ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka berduka cita”.
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
“Dan Allah lebih tau siapa-siapa musuhmusuh kamu. Dan cukuplah Allah menjadi Wali, dan cukuplah Allah jadi Pembela”.
“Dan Allah lebih mengetahui (daripada kamu) tentang musuhmusuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Wali (pelindung) dan cukuplah Allah menjadi Penolong”.
Surat Al-Isra:33
2.
Terjemahan Versi Hamka
Surat Yunus:62
3.
Surat An-Nisa:45
4.
Surat An-Naml:49
67
“Berkata mereka:
Bersumpahlah kamu sekalian dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya akan kita serang dia tiba-tiba dan keluarganya. Kemudian mari kita katakan saja kepada walinya yang lain: kita tidaklah pernah menyaksikan kematian keluarganya dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar”.
“Mereka berkata: “Bersumpahlah kamu dengan (nama) Allah, bahwa kita sungguhsungguh akan menyerangnya dengan tibatiba berserta keluarganya pada malam hari, kemudian kita katakan kepada walinya kita tidak menyaksikkan kebinasaan keluarganya dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar”.
Berdasarkan perbandingan terjemahan yang ada pada surat-surat di atas, maka dapat diketahui persamaan terjemahan Hamka dan Quraish. Dalam surat al-Isra ayat 33, Yunus ayat 62, An-Nisa ayat 45 dan An-Naml ayat 49 di atas Hamka dan Quraish tidak menunjukkan adanya perbedaan di antara kedua terjemahnnya, mereka sama-sama menerjemahkan kata wali dengan terjemahan wali. Selanjutnya, persamaan yang di dapati ketika menganalisis persamaan antara terjemahan Hamka dan Quraish kedua penafsir sama-sama memilih menggunakan model penerjemahan praktis dengan menerjemahkan apa adanya makna kata tersebut, sebab pengertian kata-kata tersebut sudah terbiasa dipahami dengan pengertian harfiahnya. Menurut Quraish dalam tafsirnya mengatakan, kata auliya adalah bentuk jamak dari kata waliyy yang bermakna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah kedekatan.64 Sedangkan menurut Hamka, Waliyy menurut Hamka di sini
64
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 6, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 111-112
68
adalah seseorang yang paling dekat kepada Allah, ialah orang yang telah memberikan segenap pengurbanan untuk menegakkan jalan Allah. Dalam surat Yunus dijelaskan cirri-ciri yang khas dari orang-orang yang menjadi wali (satu orang) atau Auliya‟ (banyak orang) itu.) jadi, jika dilihat kedua penerjemah ini sama-sama memiliki pemahaman yang sama dalam menafsirkan kata waliyy. e. Penulis Polisemi kata wali yang bermakna penulis hanya ada satu di antara beberapa surat dan terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282 kedua mufasirun Hamka dan Quraish Shihab menerjemahkan kata wali dengan terjemahan yang sama yaitu penulis. Berikut ini adalah contohnya. No
1.
Surat
Persamaan
Surat Al-Baqarah:282
….
69
Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu mengadakan suatu perikatan hutang-hutang buat dipenuhi disuatu masa yang tertentu, maka tuliskanlah dia. Hendaklah menulis di antara kamu seorang penulis dengan adil, dan janganlah enggan seorang penulis menuliskan sebagai yang telah diajarkan akan dia oleh Allah. Maka hendaklah ia menuliskan, dan hendaklah merencanakan orang yang berkewajiban atasnya; dan hendaklah ia takut kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripadanya. Maka jika orang yang berkewajiban itu seorang yang safih atau lemah, atau dia tidak sanggup
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menulisnya, karena Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun darinya. Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia
merencanakan, maka hendaklah walinya yang merencanakan dengan adil………….
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur…..”
Di sini penulis tidak melihat adanya perbedaan diantara kedua versi terjemahan tersebut. Pada ayat tersebut kata waliyy bermaknakan penulis, dan keduanya memiliki pemahaman yang sama dalam menerjemahkan ayat tersebut. 2. Perbedaan Makna Polisemi Kata Waliyy dan Auliya dalam Terjemahan Hamka dan Quraish Shihab Ada persamaan metode dalam pemilihan makna semantik secara leksikal antara Hamka dan Quraish Shihab dalam menafsirkan makna polisemi yang terdapat pada kata wali dan auliya. Selain itu juga terdapat perbedaan penafsiranpenafsiran antara keduanya. Perbedaan hal-hal itu adalah sebagai berikut: a. Pelindung Di sini penulis dapat melihat di dalam beberapa surat yang terdapat di qur‟an kata wali dan auliya menurut versi Hamka dan Quraish di terjemahkan secara berbeda. Hamka menerjemahkan kata tersebut dengan kata pelindung sedangkan Quraish Shihab menerjemahkan kata tersebut dengan terjemahan pemimpin, penolong.
70
No
1.
Surat
Perbedaan
Surat Al-„Araaf:155
2.
Surat Al-Isra:97
71
Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Dan dipilihlah oleh Musa dari kaumnya itu tujuh puluh laki-laki untuk pertemuan Kami. Maka tatkala ketika gempa datang mengenai mereka, berkatalah dia: Ya Tuhanku! Kalau Engkau kehendaki, tentu telah Engkau binasakan mereka terlebih dahulu, dan aku sendiripun,. Apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orangorang yang pandir dia antara kami. Inilah tidak lain hanyalah percobaan Engkau jua, akan engkau sesatkan dengan dia barang siapa yang engkau kehendaki, dan akan engkau beri petunjuk barang siapa yanag engkau kehendaki. Engkaulah pelindung kami, sebab itu lindungilah kami dan rahmatilah kami, sedang engkau adalah yang sebaik-baik Pemberi ampun”.
“Dan Musa memilih dari kaumnya tujuh puluh lelaki pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa, dia berkata: Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena orangorang yang picik di antara kami? Itu hanyalah cobaan dariMu, Engkau sesatkan dengannya siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan rahmatilah kami dan Engkau adalah sebaik-baiknya Pemberi ampun”.
“Dan barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, dia lah orang yang terpimpin. Dan barang siapa yang disesatkanNya maka tidaklah ada bagi mereka pelindungpelindung selain Dia. Dan akan Kami kumpulkan mereka dihari kiamat, diseret atas muka-muka mereka, dalam keadaan buta, bisu dan tuli. Tempat tinggal mereka adalah Jahannam. Tiaptiap dia hendak padam Kami tambah
“Dan barang siapa yang ditunjuki Allah, dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang Dia sesatkan, maka sekalikali engkau tidak akan mendapat bagi mereka penolong-penolong selain dari Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahannam. Setiap kali
3.
Surat Al-Kahfi:102
5.
Surat Ali-Imran:122
6.
hamper padam Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya”.
“Mereka itu tidaklah akan terlepas di bumi ini, dan tidaklah ada bagi mereka selain Allah yang akan melindungi. Akan digandakan bagi mereka azab. Tidaklah ada pada mereka kesanggupan mendengar, dan tidaklah mereka dapat melihat”.
“Orang-orang itu tidak mampu menghalanghalangi di bumi ini, dan sekali-kali tidak adalah bagi mereka selain Allah satu penolong pun. Dilipatgandakan siksaan kepada mereka. Mereka tidak dapat mendengar dan mereka tidak dapat melihat”.
“Apakah menyangka orang-orang yang kafir itu, bahwa boleh mereka mengambil hamba-hambaKu, selain aku, menjadi pelindung? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam untuk orang-orang kafir menjadi kediaman”.
“Maka apakah orangorang kafir menyangka bahwa mereka dengan mengambil hambahambaKu menjadi penolong-penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka Jahannam tempat bagi orangorang kafir”.
“(Ingatlah) tatkala dua golongan antara kamu hampir saja lemah, Allah menjadi pelindung mereka keduanya. Dan kepada Allahlah bertawakal orang-orang yang beriman”.
“Ketika dua golongan dari (pasukan) kamu terbetik dalam pikirannya untuk menggagalkan niatnya, padahal Allah adalah penolong kedua golongan itu. Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal”.
“Sesungguhnya mereka tidak akan dapat melepaskan engkau dari Allah sedikit jua pun. Dan orang-orang yang
“Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menghalangimu sedikitpun dari Allah, dan sesungguhnya
Surat Hud:20
4.
nyalanya”.
Surat Al-Jatsiyah:19
72
dianiaya itu, yang
sebahagian adalah pelindung dari yang sebahagian. Dan Allah adalah pelindung bagi orang-orang yang bertakwa”.
orang-orang yang zalim sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, serta Allah adalah Pelindung orang-orang bertakwa”.
Di sini penulis melihat banyak sekali terjadinya perbedaan makna yang di tafsirkan oleh Hamka dan Quraish. Pertama, pada surat al-„Araaf ayat 155 Hamka menerjemahkan pelindung sedangkan Quraish menerjemahkan pemimpin di sini memang terlihat perbedaan makna akan tetapi, perbedaan tersebut tidak terlalu fatal. Karena, keduanya hanya berbeda dipemilihan diksinya saja padahal pemahaman di antara keduanya tentang makna wali masih satu pemahaman. Quraish menerjemahkan pemimpin karena menurutnya seorang pemimpin itu harus mempunyai sifat pelindung maka dari itu Quraish lebih menonjolkan terjemahannya pada subjeknya (pemimpin) sedangkan, Hamka lebih pada sifatnya. Selanjutnya penulis melihat adanya perbedaan juga terdapat pada surat al-Isra ayat 97, Hud ayat 20, Kahfi ayat 102, Imran ayat 122, dan Jatsyiyah ayat 19 di sini Hamka penerjemahan kata tersebut dengan terjemahan pelindung sedangkan, Quraish menerjemahkan dengan terjemahan penolong. Perbedaan penafsiran pertama yang dapat dikemukakan dari kelima surat tersebut terdapat pada pemilihan diksinya saja yang berbeda. Padahal keduanya sama-sama menyebutkan sifat dari waliyy (Allah) tersebut yaitu pelindung dan penolong. Kata waliyy yang bermakna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah kedekatan.
73
Penggunaan kata waliyy jika menjadi sifat Allah hanya ditunjukkan kepada orangorang yang beriman. Karena itu kata waliyy bagi Allah diartikan dengan pembela, pendukung dan sejenisnya, tetapi pembelaan dan pendukungan yang bersifat positif serta berkesudahan baik.65 b. Pemimpin Selain itu ada beberapa ayat yang berbeda terjemahannya antara Hamka dengan Quraish Shihab. Hamka menerjemahkan kata wali dan auliya dengan terjemahan pemimpin sedangkan Quraish Shihab, menerjemahkan kata tersebut dengan terjemahan pelindung, wali, auliya. Berikut adalah kata wali dan auliya yang diterjemahkan secara berbeda. No
1.
Surat
Perbedaan
Surat Al-An‟am:14
2.
Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Katakanlah: “Adakah yang selain Allah akan aku ambil jadi pemimpin? Pencipta semua langit dan bumi, dan Dia yang memberi makan, dan bukan Dia yang diberi makan.” Katakanlah: “Sesungguhnya aku disuruh supaya menjadi orang yang mula-mula menyerah diri.” Dan sekali-kali jangan engkau jadi dari golongan orang-orang yang musyrik”.
“Katakanlah: „Apakah selain Allah, wajar aku jadikan Pelindung, Pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?‟ Katakanlah: „Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama menyerahkan diri dan jangan sekalikali engkau masuk golongan orang-orang musyrik”.
“Satu golongan diberiNya petunjuk dan satu golongan (lagi)
“Sekelompok telah diberiNya petunjuk dan sekelompok telah pasti
Surat Al-„Araaf:30
65
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, vol. 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 111-112
74
tetimpalah atas mereka
kesesatan.
3.
Sesungguhnya mereka telah mengambil syaitan-syaitan jadi pemimpin-pemimpin selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka adalah mendapat petunjuk”.
Surat Al-Furqon:18 “Menjawablah mereka:
Maha Suci Engkau ya
4.
Tuhan, tiadalah layak bagi kami akan mengambil pula selain Engkau menjadi pemimpin-pemimpin. Tetapi Engkau telah memberikan kesenangan kepada mereka dan kepada nenek moyang mereka, sehingga mereka pun lupa kan peringatan, maka lantran itu jadilah kaum yang hancur luluh”.
“Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau tidaklah dapat wujud bagi kami mengambil selain Engkau para pelindung yang menangani urusan kami selain Engkau, akan tetapi Engkau Dan mereka adalah kaum yang binasa”.
Surat Al-Maidah:55
5.
kesesatan atas mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan pelindung selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka orang yang diberi hidayat”.
“Tidak ada pemimpin bagi kamu, kecuali Allah dan RasulNya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat, dan mereka itu semuanya tunduk”.
“Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orangorang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk”.
“Wahai orang-orang
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir auliya’ dengan meningglkan orang-
Surat An-Nisa:144
yang beriman!
75
Janganlah kamu ambil akan orang-orang kafir menjadi pemimpin, yang bukan dari orang-
orang yang beriman.
Apakah kamu ingin
bahwa Allah menjadikan atas kamu sesuatu kekuasaan yang nyata?”.
6.
Surat Al-Maidah:51
7.
Surat Al-Maidah:57
8.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpinpemimpin; sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari sebagian. Dan barang siapa menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan member petunjuk kepada kaum yang zalim”.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai auliya’, sebagian mereka adalah auliya‟ bagi sebagian lain. Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka auliya‟, maka sesungguhnya dia termasuk sebagian mereka. Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orangorang yang zalim”.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu ambil orang-orang yang telah menjadikan agama kamu ejekan dan mainmain, (yaitu) dari orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kamu itu, dan orangorang yang kafir, akan jadi pemimpinpemimpin. Dan takwalah kepada Allah , jika kamu memang orang-orang yang beriman”.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan auliya’, orang-orang yang membuat agama kamu bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelum kamu, dan orang-orang yang kafir. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang mukmin”.
“Dan jika sekiranya adalah mereka itu beriman kepada Allah dan Nabi itu, dan apa yang diturunkan kepadanya, tentulah mereka tidak mengambil kafir-kafir
“Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya, niscaya mereka tidak akan mengangkat mereka itu menjadi auliya’, tetapi
Surat Al-Maidah:81
76
orang mukmin. Maukah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?”.
itu jadi pimpinan.
Akan tetapi kebanyakan dari mereka itu telah fasik”.
kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Pada uraian surat-surat di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan makna kata wali di sini Hamka tetap konsisten menerjemahkan wali atau auliya dengan makna pemimpin sedangkan, Quraish kadang-kadang menerjemahkan wali atau auliya dengan makna pelindung, wali, atau auliya. Pertama, pada surat AlAn‟am:14, Al-„Araaf: 30, dan Al-Furqon:18 Hamka menerjemahkan pemimpin sedangkan Quraish menerjemahkan pelindung. Perbedaan di sini hanya terjadi pada perbedaan diksinya saja. Penulis pun melihat bahwa Quraish lebih menonjolkan sifat dari wali tersebut yaitu pelindung, dan wali yang dimaksud di sini adalah Allah SWT. Perbedaan selanjutnya Hamka lebih memilih menggunakan semantik leksikal dalam menerjemahkan kata wali dan auliya. Karena, menurut Hamka pada saat ia mengarang kitab tafsir tersebut, keadaan rakyat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam masih sangat terbelakang dalam hal pendidikan. Maka dari itu, Hamka lebih menggunakan terjemahan yang mudah dimengerti pada masa itu. Perbedaan makna ini tidak terlalu fatal karena menurut penulis hubungan pemimpin dan pelindung masih berdekatan antara si pelaku dan sifatnya. Kemudian dalam surat al-Maidah ayat 55 perbedaan yang terdapat disini tidaklah terlalu fatal Hamka menerjemahkan pemimpin sedangkan, Quraish
77
menerjemahkan wali di sini hanya perbedaan di diksinya saja. Kalau Quraish lebih memilih diksi yang modern atau sering dipahami oleh para pembaca. Dan terakhir di sini penulis melihat bahwa terjadi perbedaan antara dua versi terjemahan Hamka menerjemahkan dengan makna pemimpin sedangkan Quraish dengan makna auliya. Sama seperti sebelumnya perbedaan yang mencolok terjadi pada pemilihan diksinya saja. Dan perbedaan yang selanjutnya terlihat bahwa Hamka menerjemahkan kata wali dan auliya tersebut lebih berpandang pada arti dari kamus Arab dan menerjemahkan apa adanya dari kamus saja. Sedangkan Quraish, lebih memerhatikan konteksnya. Pada surat al-Maidah ayat 51, Quraish menafsirkan auliya yang dimaksud disini adalah teman-teman dekat.66 Dan Quraish berkesimpulan pada ayat 51 ini, bahwa kata auliya yang dimaksud di dalam kata ini adalah cinta kasih yang mengantar kepada meleburnya perbedaanperbedaan dalam satu wadah, menyatunya jiwa yang tadinya berselisih, saling terkaitannya akhlak dan miripnya tingkah laku sehingga anda dapat melihat dua orang yang saling mencintai bahkan seorang yang memiliki satu jiwa, satu kehendak, dan satu perbuatan, yang satu tidak akan berbeda dengan yang lain dalam perjalanan hidup dan tingkat pergaulan.67 c. Pengikut Selanjutnya setelah dianalisis dan diteliti ternyata penulis menemukan bahwasannya kedua mufasirun menerjemahkan kata wali dan auliya secara bebeda-beda. Hamka menerjemahkan kata wali dan auliya dengan makna 66
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol.3(Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 114 67 M. Quraish Shihab, Op. Cit, hal. 115-116
78
pengikut sedangkan Quraish Shihab, menerjemahkan kata tersebut dengan makna teman setia dan wali. Berikut ini adalah contoh-contohnya. No
1.
Surat
Perbedaan
Surat Al-An‟am:121
2.
Surat Ali Imran:175
Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Dan janganlah kamu makan dari apa yang tidak disebutkan nama Allah atasnya, dan sesungguhnya itu adalah suatu kedurhakaan. Dan sesungguhnya syaitansyaitan itu membisikan kepada pengikutpengikut mereka, supaya mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti kepada mereka, sesungguhnya musyriklah kamu”.
“Dan janganlah kamu memakan dari apa yang tidak disebut nama Allah atasnya, dan sesungguhnya ia sungguh adalah kefasikan. Sesungguhnya setan-setan membisikkan kepada kawan-kawan mereka agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orangorang yang musyrik”.
“Yang demikian itu tidak lain hanyalah syaitan yang hendak mempertakut-takuti pengikut-pengikutnya. Lantaran itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika memang kamu orang-orang yang beriman”.
“Sesungguhnya itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti kawankawannya karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang mukmin”.
Pada surat an-An‟am ayat 121 dan ali-Imran ayat 175 kedua mufasirun menerjemahkan secara berbeda terlihat dari pemilihan diksi yang dilakukan oleh keduanya. Hamka lebih cenderung mempertahankan menerjemahkan kata tersebut dengan menggunakan makna yang terdapat dalam kamus-kamus Arab seperti al„Ashry, dan Munawwir. Sedangkan Quraish, kalau kata wali atau auliya berada
79
dalam konteks pergaulan dan kasih sayang, maka ia adalah ketertarikan jiwa sehingga wali/auliya adalah yang dicintai atau yang menjadikan seseorang tidak dapat tidak kecuali tertarik kepadanya memenuhi kehendak dan mengikuti perintahnya.68 d. Sembahan Dan selanjutnya penulis menemukan hanya ada satu kata auliya yang terdapat dalam surat al-Jatsiyah dan diterjermahkan secara berbeda antara Dr. Hamka dan Quraish Shihab. Dr. Hamka menerjemahkan kata auliya tersebut dengan terjemahan pelindung sedangkan Quraish Shihab, menerjemahkan kata auliya tersebut dengan terjemahan sembahan-sembahan. Seperti yang terdapat pada contoh yang di bawah ini. No.
1.
Surat
Perbedaan
Surat Al-Jatsiyah:10
68
Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Di hadapan mereka ada Jahannam, dan tidak menolong bagi mereka apapun yang mereka usahakan, dan tidak pula apa yang mereka ambil selain Allah menjadi pelindung. Dan bagi mereka azab yang besar”.
“Dihadapan mereka neraka Jahannam dan tidak akan berguna bagi mereka apa yang telah mereka kerjakan sedikit pun, dan tidak pula apa yang mereka jadikan selain Allah sebagai sembahan-sembahan. Dan bagi mereka siksa yang besar”.
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol.3(Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 115-116
80
Pada surat al-Jatsyiyah ayat 10 terlihat sekali perbedaan terjemahan antara Hamka dan Quraish lagi-lagi terlihat dari cara pemilihan diksi yang berbeda antara keduanya. Dan Quraish dalam memilih padanan dia lebih mengikuti kaidah dalam bahasa Indonesia yang benar ketika bahasa sumber yang akan diterjemahkan berbentuk jamak maka bahasa sasaran yang ia terjemahkan penulisannya menjadi berulang-ulang. e. Penolong Dari banyaknya makna yang ada kata wali atau auliya juga diterjemahkan dengan makna penolong. Akan tetapi, antara Hamka dengan Quraish Shihab menerjemahkan kata tersebut dengan berbeda makna Hamka menerjemahkan dengan makna penolong sedangkan Quraish Shihab dengan makna pemimpin Berikut surat-surat yang diterjemahkan secara berbeda. No.
1.
Surat
Perbedaan
Surat Al-„Araaf:3
2.
Surat Al-Kahfi:17
81
Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Turutilah olehmu apa yang diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu, dan janganlah kamu turuti yang selain dari Dia menjadi penolongpenolong. Sedikitlah kamu yang diingat”.
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu dan janganlah kamu mengikuti pemimpinpemimpin selain-Nya. Amat sedikit kamu mengambil pelajaran”.
“Dan akan Engkau lihat Matahari apabila terbit, dia condong daripada gua mereka ke sebelah kanan. Dan apabila dia tenggelam, dia tinggalkan mereka disebelah kiri, sedang
“Dan engkau melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan dan bila matahari itu terbenam ia menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam
mereka berada dibagian yamg lapang daripadanya. Yang demikian itu adalah suatu di antara ayat-ayat Allah. Barang siapa yang ditunjuki Allah, niscaya terpimpinlah dia. Dan barang siapa yang disesatkannya, maka sekali-kali tidak akan ada penolong yang akan menunjuki jalan”.
tempat yang luas di dalamnya. Itu adalah sebagian dari ayat-ayat Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkanNya, maka engkau tak akan mendapatkan baginya seorang pemimpin yang menjadi pembimbing”.
Pada surat al-„Araaf ayat 3 dan al-Kahfi ayat 17 di sini terlihat perbedaan antara terjemahan keduanya Hamka menerjemahkan penolong sedangkan Quraish menerjemahkan pemimpin. Perbedaan disini terletak pada diksinya. Menurut penulis terjemahan Quraishlah yang lebih tepat dan mudah untuk dipahami oleh seorang pembaca. Pada terjemahan yang dilakukan Quraish itu perbedaan yang terlihat dia lebih menekankan pada subjeknya atau si pelaku sedangkan Hamka, lebih pada sifat dari seorang pemimpin yaitu penolong, dll. f. Wali Kata wali dan auliya yang diterjemahkan dengan makna yang apa adanya yaitu wali. Setelah penulis menganalisis ternyata ada beberapa surat
yang
diterjemahkan oleh kedua mufasirun secara berbeda Hamka menerjemahkan dengan makna wali sedangkan Quraish Shihab dengan makna auliya.
82
No.
1.
Surat
Perbedaan
Surat Al-Anfaal:73
Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Dan orang-orang yang kafir itu, setengah merekapun adalah wali atas yang setengah. Jika tidak kamu kerjakan begitu, tentulah akan ada fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi auliya bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan, niscaya kan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”.
Pada kasus di atas sebenarnya kedua terjemahan ini memiliki makna yang sama. Hanya pemilihan diksi yang berbeda. Dan perbedaan lainnya terlihat bahwa bentuk jamak atau tunggalnya Quraish lebih memperhatikan kedudukan bahasa sumber dan bahasa sasarannya terlihat di sini bahasa sumbernya berbentuk jamak kemudian Quraish pun menerjemahkan ke dalam bahasa sasarannya dalam bentuk jamak pula. Kalau dilihat maknanya keduanya memiliki pemahaman makna yang sama. g. Teman setia Ada satu surat yang diterjemahkan berbeda oleh Hamka dan Quraish Shihab yaitu surat al-Ahzab ayat 6 Hamka menerjemahkan kata tersebut dengan makna teman setia sedangkan Quraish Shihab, menerjemahkan dengan makna auliya. Berikut ini adalah contoh kasusnya surat al-Ahzab ayat 6. No.
1.
Surat
Perbedaan Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Nabi itu adalah lebih utama bagi orang yang beriman dari diri mereka sendiri, dan istri-istri
“Nabi lebih utama bagi orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, sedang istri-
Surat Al-Ahzab:6
83
beliau adalah ibu-ibu
mereka. Dan orang-
orang yang mempunyai hubungan darah yang setengah dengan yang setengah lebih utama di dalam kitab Allah daripada orang-orang Mu‟min dan orang-orang yang berhijrah, kecuali kalau kamu hendak berbuat baik kepada saudara-saudara kamu. Adalah yang demikian itu, di dalam kitab Allah telah tertulis”.
istrinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orangorang yang mempunyai hubungan rahim satu sama lain lebih berhak di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orangorang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada Auliya’ kamu. Adalah yang demikian itu pada kitab Allah telah tertulis”.
Pada surat al-Ahzab ayat 6 ini perbedaan yang terlihat pada perbedaan pemilihan diksi. Dan apabila dilihat dari semantik gramatikalnya pernejemahan Quraishlah yang lebih mudah untuk di pahami oleh si pembaca. Makna auliya di sini kembali pada makna dasarnya yang merrupakan bentuk jamak dari kata waliyy yang bermakna dasarnya adalah dekat. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama dan lain-lain yang semuanya diikat oleh benang merah kedekatan.
69
Auliya
menurut Hamka di sini adalah orang yang paling dekat kepada Allah, ialah orang yang telah memberikan segenap pengurbanan untuk menegakkan jalan Allah. h. Pembela Dalam surat an-Nisa ayat 75 penulis melihat hanya Hamka lah yang menerjemahkan kata wali dengan makna pembela sedangkan Quraish Shihab, menerjemahkan kata wali dengan makna pelindung. Berikut ini adalah kasusnya.
69
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, vol.6(Jakarta : Lentera Hati, 2002), hal. 111-112
84
No.
1.
Surat
Perbedaan Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Mengapa kamu tidak akan mau untuk berperang pada jalan Allah dan (membela) orang-orang yang telah ditindas, dari laki-laki dan perempuan dan kanakkanak, yang telah berkata mereka: “Ya Tuhan Kami! Keluarkanlah kiranya kami dari negeri ini, yang penduduknya begitu zalim, dan jadikanlah untuk kami dari sisi Engkau, seorang pembela”.
“Mengapa kamu tidak mau berjuang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang berdoa: Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami Penolong dari sisi Engkau”.
Surat An-Nisa:75
Pada kasus di atas sebenarnya memiliki makna yang sama keduanya merupakan sifat dari dari seorang pemimpin atau orang-orang dekat. Dan perbedaannya terletak pada pemilihan diksinya. i. Auliya Setelah penulis menganalisis di dalam surat al-Jumu‟ah ayat 6 Hamka dan Quraish Shihab menerjemahkan kata auliya tersebut secara berbeda, berikut ini contohnya.
85
No
1.
Surat
Perbedaan Terjemahan Versi Hamka
Terjemahan Versi Quraish
“Katakanlah: “Wahai orang-orang Yahudi! Jika kamu menyangka bahwa kamulah yang auliya‟ bagi Allah, bukan manusia lain, maka cita-citalah mati jika adalah kamu orangorang yang benar”.
“Katakanlah: Hai orangorang yang beragama Yahudi, jika kamu mengira bahwa kamu kekasih-kekasih bagi Allah-berbeda dengan manusia lain-maka idamkanlah kematian; jika kamu orang-orang yang benar”.
Surat Al-Jumu‟ah:6
Pada surat al-Jumu‟ah ayat 6 ini perbedaan yang terlihat pada pemilihan diksinya. Dan kalau dilihat penerjemahan Quraishlah yang lebih mudah dipahami oleh pembaca. Auliya menurut Hamka di sini adalah orang yang paling dekat kepada Allah, ialah orang yang telah memberikan segenap pengorbanan untuk menegakkan jalan Allah. Sedangkan, orang seseorang disebut Wali. Dalam surat Yunus dijelaskan ciri-ciri yang khas dari orang-orang yang menjadi wali (satu orang) atau Auliya‟ (banyak orang) itu.
86
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai penafsir yang hidup di abad modern, Hamka dan Quraish Shihab sama-sama
memberikan
penafsiran
yang
mudah
untuk
dipahami
bila
dibandingkan dengan penafsiran yang dilakukan oleh pada zaman klasik. Hal ini disebabkan antara lain karena keduanya lebih sama-sama memilih bahasa yang cocok dengan bahasa umat dan pemikiran mereka di abad modern. Akan tetapi, Hamka dalam padanan kalimatnya kurang memperhatikan struktur semantik gramatikalnya, dia lebih kepada semantik leksikal dengan kata lain dia menerjemahkannya lebih kepada terjemahan harfiah dan dia lebih sering menggunakan bahasa Melayu. Setelah penulis analisis, hasil terjemahan Quraishlah yang lebih baik dibandingkan dengan hasil terjemahan Hamka. Terjemahan Quraish lebih menggunakan bahasa Indonesia yang kontemporer. Dan berdasarkan hasil pantauan penulis, pola penafsiran yang diterapakan Hamka dan Quraish jelas berbeda. Karena, keduanya memiliki ciri khas masingmasing. Quraish dalam menerjemahkan bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah terbitan tahun 2002 yang merupakan penelitian dari judul skripsi ini dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Terjemahan ayat-ayat yang mengandung kata wali dalam Tafsir Al-Misbah menggunakan metode penerjemahan setia.
87
b) Terjemahan ayat-ayat yang mengandung kata wali dalam Tafsir Al-Misbah telah menggunakan tolak ukur bahasa Indonesia yang memadai; karena, bahasanya sangat sederhana, sehingga mudah dimengerti. Baik segi bentuk maupun struktur kalimatnya lebih sesuai dengan aslinya. Pada Tafsir Al-Misbah, Quraish memberi tambahan lain dalam menerjemahkan tafsirnya dengan menggunakan metode maudhu‟i. Metode ini memiliki keistimewaan yaitu menghindarkan kita dari problema atau kelemahan yang terdapat pada metode lain. Oleh karena itu, Quraish berupaya untuk menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah atau tema pokok surah. Menurut Quraish sebagaimana dikatakan dalam sekapur sirih Tafsir Al-Misbah, jika kita mampu memperkenalkan pesan utama setiap surah, maka ke-114 yang ada di dalam al-Qur‟an akan dikenal lebih dekat dan mudah. Perbedaan ini terlihat terutama dalam muatan Tafsir Al-Misbah Quraish lebih cenderung memahami ayat-ayat melalui pendekatan bahasa, dan masih menggunakan kaidah penulisan bahasa Indonesia yang benar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Tafsir Al-Misbah diwarnai oleh corak kebahasaan yang bagus dan menggunakan metode semantik yang sesuai. Sedangkan Hamka, dalam menerjemahkan bukunya yang berjudul “Tafsir AlAzhar” lebih bersifat apa adanya, artinya teks naskah tersebut diterjemahkan sesuai dengan struktur bahasa sumber dan tidak menyimpang dari struktur bahasa sasaran, maka digunakanlah metode penerjemahan harfiyah. Sebaliknya, apabila teks tersebut harus mengalami perubahan struktur bahasa sumber ketika diterjemahkan, maka digunakanlah metode penerjemahan bebas. Bebas di sini 88
bukan berarti penerjemah boleh menerjemahkan sekehendak hatinya sehingga esensi terjemah sendiri itu hilang. Bebas di sini berarti penerjemah dalam menjalankan misinya tidak terlalu terikat oleh bentuk maupun struktur kalimat dengan tujuan agar pesan atau maksud penulis naskah mudah dimengerti oleh pembacanya.
89
B. Saran Melihat dari hasil kesimpulan di atas, penulis menyadari bahwa penelitian tentang analisis polisemi kata wali dan auliya pada Qur‟an terjemahan karya Hamka dan Quraish Shihab yang penulis kaji saat ini belumlah menghasilkan karya yang maksimal, penulis hanya sekedar menganalisis kata wali dan auliya. Sedangkan, kata-kata polisemi yang lain masih banyak dan bisa dijadikan rujukan untuk analisis selanjutnya. Dan penulis melihat agaknya akan menjadi sebuah tantangan yang baru bagi seorang penerjemah-penerjemah di Indonesia untuk mendapatkan hasil terjemahan yang baik, apalagi dalam terjemahan al-Quran. Meskipun telah semaksimal mungkin menyelesaikan skripsi ini, penulis menyadari masih banayak sekali kekurangan yang harus penulis perbaiki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangatlah diperlukan oleh penulis. Dan penulis berharap ada yang dapat menyempurnakan penelitian selanjutnnya yang dapat mengembangkan penelitian yang ada. Di dalam Tafsir Al-Azhar karya Hamka , masih banyak terjemahan yang perlu dikaji lagi dalam segi tata bahasa Indonesia.
90
Daftar Pustaka Abdul Wahab, Muhbib. Pemikiran Linguistik Tammam Hassan dalam Pembelajaran bahasa Arab. Jakarta: UIN Press, 2009. Ali, Atabik. Al-„Arsy: Kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Mulya Karya Grafika, 1998. Anwar, Hamdani. Telaah Kritis Terhadap Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab dalam Jurnal Mimbar Agama dan Budaya. As-Syahroni, Abdul Wahab. „Ilm Wujuh wa Nadzair. Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1985. Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemahkan Teks Arab. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Djajasudarma, Fatimah. Semantik I Pengantar Ke Arah Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama,
1999.
Djajasudarma, Fatimah. Semantik II Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama, 1999. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Icthar Baru van Hoeve, 1993.
91
Fahrurrozi, Aziz. Gramatika Bahasa Arab. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. Feserspiel, Howard M. Kajian al-Qur‟an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab. Bandung: Mizan, 1997.
Fuad Abdul Baqi, Muhamad. Al-Mu‟jam Al-Mufahras lil al-Fadzil Qur‟anul Karim. Turki: Maktabah al-Islamiyah, 1984. Hamka, Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Hanafi, Nurrachman. Teori dan Seni Menerjemahkan. Flores: Nusa Indah, 1986. Kurratul’aini, Siti. Analisis Semantik Terhadap Terjemahan Al-Qur‟an juz 30 (surat al-Qadar; al-Alaq;al-Ikhlas) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dan Mahmud Yunus. Jakarta: Skripsi S.1 Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidatyatullah, 2008. Kushartanti. Dkk. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007. Kusmana. “Membangun Citra” dalam Badri Yatim dan Hasan Nasuhi, (ed), Membangun Pusat Keunggulan Studi Islam: Sejarah dan Profil Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: IAIN Press,2002. Machali, Rochyah. Pedoman Bagi Penerjemahan. Jakarta: PT. Grasindo, 2000.
92
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progessif, 1997. Parera, J. D. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga, 2004. Pateda, Mansoer. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. Rudolf, M. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1949. Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Shihab, Quraish. Logika Agama, Batas-batas Akal dan Kedudukan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Lentera hati, 2005. Shihab, Quraish. Studi Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan, 2001. Syihabuddin. Penerjemahan Arab Indonesia: Teori dan Praktek. Bandung: Humaniora, 2005. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Ullmann, Stephen. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Verhaar, J. W. M. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada, 1995.
93
Widyamartaya, A. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 1989. Yusuf, Suhendra. Teori Terjemah: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik. Bandung: Mandar Maju, 1994. Yusuf, Yunan M. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Jakarta: Penamadani, 2004.
94
A. Terjemahan Makna Wali dan Auliya Versi Hamka dalam Padanan al-Qur’an No 1
Makna Pelindung
2
Pemimpin
3
Pengikut
Ayat-Ayat Al-Qur’an Q.S. Al- An’am: 51 Q.S. Al-‘Araf: 155 dan 196 Q.S. Al-Isra: 97 Q.S Al-Kahfi: 26 dan 102 Q.S At-Taubah: 116 dan 74 Q.S Zumar: 3 Q.S. Fushilat: 31 Q.S Al-Ahzab: 17 dan 65 Q.S Saba: 41 Q.S Yusuf: 101 Q.S Ar-Rad: 16 dan 37 Q.S Hud: 20 Q.S Ali Imran: 112 Q.S An-Nisa: 119,123,dan 173 Q.S Jatsyiyah: 20 dan 16 Q.S As-Syura: 6,8, dan 9 Q.S Al-An’am: 14 Q.S Al-‘Araf: 27 dan 30 Q.S Al-Kahfi: 50 Q.S At-Taubah: 23 dan 71 Q.S Al-Furqon: 18 Q.S An-Nahl: 63 Q.S Al-Baqarah: 257 Q.S Ali Imran: 28 Q.S An-Nisa: 139 dan 144 Q.S Al-Maidah: 51, 55, 57, dan 81 Q.S Al-An’am: 121 dan 128 Q. S Ali Imran: 175 Q.S An-Nisa: 76
4
Penolong
5 6 7 8
Pengurus Penulis Pembela Wali
9 10
Auliya Teman setia
Q.S Al-‘Araf: 3 Q.S Al-Isra: 111 Q.S Al-Kahfi: 17 Q.S Sajadah: 4 Q.S Hud: 113 Q.S Al-Mumtahanah: 1 Q.S Al-Anfal: 34 Q.S Al-Baqarah: 282 Q.S An-Nisa: 76 Q.S Al-Anfaal: 72 dan 73 Q.S Al-Isra: 33 Q.S Yunus: 62 Q.S An-Naml: 49 Q.S An-Nisa: 45 Q.S Jumu’ah: 6 Q.S Fushilat: 34 Q.S Al-Ahzab: 6 Q.S Ali Imran: 68 Q.S An-Nisa: 89
B. Terjemahan Makna Wali dan Auliya Versi M. Quraish Shihab No 1
Makna Pelindung
2 3
Penulis Teman Dekat
4
Auliya
Ayat-Ayat Al-Qur’an Q.S Al-Baqarah: 107, 120, 148, dan 257 Q.S An-Nisa: 75, 119, 123, dan 173 Q.S Al-An’am: 14, 51, dan 70 Q.S Yusuf: 101 Q.S Ar-Rad: 16 dan 37 Q.S Al-Kahfi: 26 Q.S Al-Ankabut: 22 dan 41 Q.S Al-Ahzab: 17 dan 65 Q.S Saba: 41 Q.S Zumar: 3 Q.S Fushilat: 31 Q.S As-Syura: 6, 8, dan 9 Q.S Al-Ahqaf: 32 Q.S Al-Fath: 22 Q.S Al-Furqon: 18 Q.S Al-‘Araaf: 30 dan 196 Q. S At-Taubah: 74 dan 116 Q. S Al-Baqarah: 282 Q. S Ali Imran: 68 dan175 Q.S An-Nisa: 89 Q.S Al-An’am: 121 dan 128 Q.S Maryam: 45 dan 5 Q.S Fushilat: 34 Q. S Mumtahanah: 1 Q.S Jumu’ah: 6 Q.S An-Nisa: 144 Q.S Al-Maidah: 51, 57, dan 81 Q.S Al-Ahzab: 6 Q.S Al-Anfaal: 34, 72 dan 73
5
Penolong
6
Wali
7
Pemimpin
8
Sembahan
Q.S Ali Imran: 122 Q.S Al-Isra: 97 dan 111 Q.S Hud 20 dan 113 Q.S Al-Kahfi: 44 dan 102 Q.S Sajadah: 4 Q.S Jatsyiyah: 19 Q.S At-Taubah: 71 Q.S Ali-Imaran: 28 Q.S An-Nisa: 45 dan 76 Q.S Al-Maidah: 55 Q.S Al-Isra: 33 Q.S Yunus: 62 Q.S An_Nahl: 63 Q.S Al-Kahfi: 17 dan 50 Q.S Al-‘Araaf: 3, 27 dan 155 Q.S At-Taubah: 23 Q.S Jatsyiyah: 10