Analisis Sejarah
Volume 03 Tahun 2013
Historiografi Indonesia dalam Makna Keindonesiaan dan Kemodernan
Yudhi Andoni*
Abstrak Perdebatan seputar historiografi Indonesia tidak kunjung usai, dan memang tidak dimaksudkan sekali untuk selamanya. Perkembangan historiografi itu dari satu periode ke periode lain menujukan dinamika yang dialami para sejarawan sendiri. Artikel ini membahass sejarah dari perjalanan historiografi Indonesia, dan perdebatan di seputarnya. Ada polarisasi, desakralisasi, dan depolitisasi penulisan sejarah Indonesia. Tiga gerakan baru dalam dinamika historiografi Indonesia kontemporer merupakan bagian dari pencarian makna keindonesiaan, dan kemodernan.
* Yudhi Andoni, saat ini tengah merampungkan studi pascasarjana di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
74 |
Analisis Sejarah Pendahuluan Pekerjaan sulit ketika dimintai menulis dan menganalisa evolusi historiografi Indonesia. Persoalannya, bukan pada ketiadaan bahan, namun darimana memulai semua itu. Tetapi, bukankah tantangan merupakan awal pembukaan pintu-pintu pengetahuan baru nan menggairahkan? Maka dari itu, meski tanpa harapan yang muluk di akhir tulisan ini, persoalan dinamika—saya lebih suka memakai kata ini daripada evolusi—historiografi Indonesia ternyata telah membangkitkan gairah dan keingintahuan yang lebih dalam di diri. Selama lima dekade lebih, historiografi Indonesia tidak menuju titik seimbang (equilibrium) yang kokoh. Sebaliknya, berbagai bantahan dan kritik secara teoritis dan metodologis mengiringi perjalanan sejarah historiografi Indonesia sejak 1957 sampai sekarang. Kita dapat membayangkan, bagaimana di awal-awal pengukuhan identitas keindonesiaan yang akhirnya didapat dari Belanda, kebutuhan mendesak dari republik muda ini adalah pertanyaan, “Siapa kita, orang Indonesia ini?” Maka dapat dimaklumi, di tengah keriuhan mengisi “prosedur” negara, satu Panitia Sejarah Nasional akhirnya dibentuk pemerintah di tahun 1951. Sayang, persoalan politik mengandaskan pekerjaan panitia ini sampai tahun 1957, ketika panitia lain ditunjuk pemerintah (UGM dan UI) berhasil mengadakan Seminar Sejarah Nasional, yang dicapi sebagai yang pertama. Seminar ini adalah monumen penting lahirnya istilah historiografi Indonesia-sentris (Soedjatmoko, dkk (eds), 1995). Meski istilah ini—dan
Volume 03 Tahun 2013
turunan karyanya—kemudian dalam konteks kontemporer didevaluasi bertubi-tubi, namun kita tidak dapat menutup mata ia telah memberi landasan yang jelas terhadap kemunculan landasan penulisan yang lebih filosofis dan empiris terhadap historiografi Indonesia pasca kolonial. Dalam perjalanan sejarah dari historiografi Indonesia-sentris itulah proses devaluasi kemudian menjadi titik ruyak masih “gemetarnya” standar historiografi nasional Indonesia. Mengikuti jejak pemahaman Sutherland (1994), dalam sejarahnya perjalanan sejarah (historiografi) Indonesia—sejak 1957 sampai sekarang—dua haluan penulisan telah ditempuhi; pertama, lewat apa yang disebut dengan gaya Rangkean: objektif, saintifik, dan menekankan perlengkapan kesarjanaan seperti penggunaan tabel-tabel, penginventarisasian, dan catatan; kedua, mereka yang memilih jalur postmodern; keinsafan akan kreatifitas, mengakui pengaruh konteks, menerima subjektifitas, dan sensitif akan kebutuhan penyingkapan kebenaran berdasar realitas, bukan ideologi. Munculnya istilah “sejarah nasional” yang diprakarsai pemerintah, dan “sejarah masyarakat Indonesia” baru-baru ini di kalangan sejarawan perguruan tinggi menjadi bukti atas polarisasi dan kedisharmonisan dua paradigma historiografi Indonesia tersebut. Dalam versi “nasional” tidak ada masyarakat Indonesia, kecuali politik dan aktor. Sementara dalam “logat” sejarah masyarakat, kerangka nasional dinafikan. Ia hadir sebagai sesuatu yang tersirat. Penekanannya ada pada sejarah kehidupan sehari-hari atau non-
75 |
Analisis Sejarah state actors (pelaku sejarah non-elit politik). Dalam bahasa yang lain, versi sejarah perguruan tinggi itu, konteks nasionalisme ada pada “rasa”, bukan pada warna-mewarnai historiografi Indonesia. Beranjak dari realitas itulah, makalah singkat ini hendak menjelaskan dinamika historiografi Indonesia sejak 1957 sampai sekarang. Ulasan periode sebelum 1957 merupakan pelengkap dari terbentuknya historiografi Indonesia pasca perang. Untuk itu, ada tiga pertanyaan penting yang menjadi kerangka penjelasannya; pertama, apakah historiografi Indonesia masih merupakan proses yang akan menjadi, atau sudah menjadi?; kedua, historiografi seperti apa dalam konteks keilmuan sejarah yang mesti diajukan sebagai model penulisan?; ketiga, oleh keluasan dan keragaman iven sejarah, menyangkut topik yang kompleks dan lokalis, serta batasan waktu yang tidak searah di tiap subject matter-nya, maka historiografi nasional atau kolektif apa yang mesti diajukan? Di sini historiografi tidak semata produk metodologi sejarah semata, lebih dari itu adalah kemestian merangkul identitas menyeluruh anak bangsa— nirsentrisme kedaerahan. Ada empat aspek yang ingin penulis tekankan dalam penjelasan lebih lanjut di tulisan ini. Yakni aspek si sejarawan, tema-tema yang muncul, sumber-sumber yang digunakan, dan kerangka teoritisnya. Dalam dialog keindonesiaan dan kemoderenan Tidak mudah sesungguhnya menjawab apakah yang dimaksud historiografi Indonesia itu? Ada dua penjelasan yang mesti didudukan dulu, terutama dalam ruang waktu dan
Volume 03 Tahun 2013
tempat; kapan kehadiran “Indonesia” itu mesti menjadi batasan; dan dimana letak “Indonesia” itu menjadi alasan spasial. Kedua batasan keindonesiaan inilah kemudian menjadi pondasi penulisan sejarah Indonesia yang dipancangkan Seminar Sejarah Nasional di tahun 1957. Ketika konteks dinamika historiografi Indonesia sejak 1957 ini dibicarakan, maka kita mesti menyadari “Indonesia” sebagai unit nasional telah mulai mewujud, meski dalam keadaan nanar. Jika demikian, tema historiografi Indonesia yang berwujud “nasional” itu mesti dimulai pada periode tahun 1945-sekarang. Periode sebelum 1945 dapat diletakan sebagai periode proto Indonesiasentris. Mengapa 1945? Pertama, pada periode inilah Indonesia legalnya lahir dan mengukir sejarah atas namanya sendiri lewat proklamasi kemerdekaan (tekstual—terkait dengan no document no history). Jauh sebelumnya adalah sejarah kolonial di Nusantara, sejarah Jepang di Nusantara, atau sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara. Kedua, periode pasca 1945 merupakan era kesadaran masyarakat memahami eksistensi dirinya sebagai sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Maka dari itu, titik balik pemahaman ini merupakan tonggak awal periode historiografi Indonesia yang “benar”. Selain itu, jika konteks di atas kita pakai, maka periodesasi Indonesia dapat dipetakan menjadi; Pertama, periode proto-Indonesianis yang dibagi ke dalam; kerajaan-kerajaan di Nusantara (sampai 1500 M)1; era 1
Menurut Sartono Kartodirdjo (1968), periode 1500 merupakan periode penting dalam masyarakat Nusantara kerena terjadinya perubahan mendasar dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi seiring keruntuhan Majapahit. Selain itu L.Ch. Damais (1995) menyatakan, periodesasi
76 |
Analisis Sejarah
Volume 03 Tahun 2013
Portugis (sampai abad ke-17)2, era VOC (sampai 1800), era kolonial Belanda (sampai 1942), dan era Jepang (sampai 1945). Atau dapat juga diperiodesasikan dengan masa-masa kerajaan tradisional dan era kolonial. Meskipun periodesasi ini telah dibagi, namun penting juga dipahami ia tidak berjalan runtut, oleh karena batasan akhir temporalnya yang sangat fleksibel. Pengukuran waktu ini memang bersifat debatable, tapi tidak dalam konteks redaksionalnya. Pemancangan redaksional periodesasi terkait aspek kemunculan karya-karya sejarah sebagai tonggak peralihan masa/ waktu. Maka di era kerajaan-kerajaan Nusantara, kita menemukan dua bentuk “penulisan” sejarah masa lalu itu, yakni historiografi tradisional, dan monumenografi klasik. Di Jawa masa kerajaan, nama empu seperti Prapanca, lewat karya Negarakertagama, merupakan salah seorang sejarawan awal yang dapat dilacak. Negarakertagama merupakan salah satu historiografi tradisional yang cukup lengkap mencatat perjalanan sejarah kerajaan Majapahit masa Hayam Wuruk. Selain kitab ini kita juga mengenal Pararaton yang berkaitan dengan Ken Arok. Selain kitab “sejarah raja” ini, di era kerajaan di Jawa kita juga menjumpai beberapa karya yang erat dipengaruhi sastra India, seperti Arjunawiwaha karangan Mpu Panuluh, dan Baratayuda karangan Mpu Sedah. Dua kitab ini merupakan gubahan epos Mahabarata yang sangat terkenal dari India, tapi lekat dengan nuansa lokal, yakni
Kerajaan Kediri dan Raja Jayabaya. Selain kitab-kitab tersebut, terdapat juga kisah sejarah lisan seperti Tambo di Minangkabau. Tidak seperti kitab sejarah di Jawa, Tambo tidak diketahui siapa penulisnya. Tambo merupakan “ingatan” sejarah terbentuknya masyarakat Minangkabau yang merujuk pada Iskandar Zulkarnain (Abdullah, 1970). Era kerajaan di Nusantara juga meninggalkan bentuk penulisan sejarah yang disebut monumenografi, seperti prasasti dan candi.3 Perkembangan paradigma ilmu sejarah kontemporer telah menepikan sekat-sekat waktu yang dulu diusung sejarawan positivis, yakni no writen no history. Karena kondisi itu telah memisahkan secara ekstrem apa yang disebut masa sejarah dan masa prasejarah; masa tertulis dan masa manusia belum mengenal tulisan. Pemisahan itu sendiri telah menyangkal perspektif historiografi yakni memahami jiwa zaman (zietgeist). Kita tidak dapat menyangkal, bagi masyarakat yang tidak mengenal tulisan, ingatan dan cerita tentang “kekitaan” mereka, mereka bentuk lewat cerita-cerita yang kita anggap hari ini dongeng, mitos, folklore, dan seterusnya, serta diabadikan dalam bentuk monumen. Candi-candi dan prasasti keberadaan mereka tidaklah diam atau vakum. Keberadaan mereka menjelaskan banyak hal, seperti bagaimana perkembagngan pengetahuan, kehidupan religi, kehidupan politik, dan sebagainya masa itu. Bilamana kita memasuki alam pemikiran
sejarah Indonesia dapat pula dibagi pada zaman sebelum kedatangan bangsa Eropa, yakni sebelum abad ke-16 M. 2 Periode ini terutama berjalan di Indonesia bagian Timur.
3 Oleh keterbatasan halaman, dan topik yang berbeda. Persoalan ini penulis tunda pembahasannya dikesempatan lain, terkait membaca ulang historiografi tradisional dalam metodologi sejarah.
77 |
Analisis Sejarah masyarakat kala itu, maka tampak jelas apa yang mereka memorisasikan tersebut merupakan upaya rekonstruksi yang rasional akan sejarah diri mereka; rasional menurut ukuran mereka kala itu. Periode kolonial merupakan salah satu era yang menarik dalam sejarah historiografi Indonesia. Era ini selain ditandai catatan Tome Pires lewat karya klasiknya Suma Oriental dan karya-karya sarjana Inggris, dan Belanda sendiri. Periode ini juga memperlihatkan pengaruh Inggris terhadap penulisan sejarah yang dilakukan kolonial Belanda, dan pengaruh kolonial Belanda pada historiografi Indonesia di era 4 berikutnya. Banyak ilmuan bertanya-tanya. Apa sedemikian rinci dan detil Raffles menulis karya sejarahnya, sehingga klaim kesombongan bahwa tidak ada orang yng lebih tahu tentang Jawa daripada dia, ia ungkapkan? Darimana dia mendapatkan sedemikian lengkap data tentang peradaban Jawa, yang dalam karyanya itu tak saja gambaran aktual (hari ini), tapi juga masa lampau yang dimulai dari Aji Saka sampai akhir kejayaan Mataram yang kala itu terpecah pada beberapa kerajaan seperti Kartasura, Mangkunegaran, dan Kesultanan Jogjakarta. Bastin mengungkapkan, ”Tidak ada upaya, sejauh yang saya tahu, telah dibuat untuk menganalisis secara detil atas penggunaan sumbersumber Jawa dan Melayu atas karya sejarahnya (Raffles). Raffles sendiri menyatakan bahwa sumber-sumber atas The History of Java-nya diperoleh dari bangsawan-bangsawan Jawa. Diantaranya adalah Panembahan 4
Pengaruh dan saling mempengaruhi itu dapat kita baca pada kehadiran buku Raffles(2008).
Volume 03 Tahun 2013
Sumenep, sekretaris Pangeran Adipati Surakarta, dan Sura Menggala, Adipati Demak. Selain sumber— sumber tertulis pribumi ini, Raffles juga mengutip, sebagian kecil dari manuskrip Middelkoop. Meski ada keengganan mengakui peran dari manuskrip ini, tetapi Donald E. Weatherbee (1978) justru melihat manuskrip Middelkoop menjadi kerangka acuan kerja historiografi Raffles daripada tulisan-tulisan pribumi yang diakuinya. Peran karya Raffles ini menurut Mary Chaterine Quilty (2008) memberi satu tawaran perspektif membangun kesatuan sejarah Hindia-Belanda. Tidak dapat disangkal pengaruh itu telah mendorong para sejarawan kolonial Belanda membangun perspektif historiografi yang menyeluruh, yakni dalam konteks “dunia” Hindia Belanda. Pengaruh para sarjana Inggris dalam konteks ini dapat dilihat pada karya berjudul, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia (Jakarta: Bhratara, 1974). Karya ini menarik ke belakang, bagaimana VOC telah memberi batasan sejarah yang jelas akan kesatuan Hindia Belanda sebagai kekuatan militer. Karya ini adalah tulisan Van Leur, ”Mahan op den Indischen lessenaar” (Mahan di meja baca Hindia) yang dibuat dalam Koloniaal Tijdschrift XXX (1914), dan tulisan F.R.J Verhoeven, ”In de ban van Mahan” (Terpesona oleh Mahan) berangka tahun 1941 (?), juga dimuat dalam majalah yang sama. Dua karya ini jelas saling serang satu sama lain. Van Leur percaya bahwa VOC merupakan representasi ”naval power” yang ditulis Mahan. Bagi Van Leur, teori Mahan sangat penting dalam menilai peran-peran strategis VOC sebagai kekuatan militer di laut
78 |
Analisis Sejarah sekaligus representasi kekuatan satu negara. Pada masa kolonial Belanda, historiografi yang lahir tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut dengan indologi.5 Indologi sebagian kajian ketimuran dikenalkan pertama kali oleh pemerintah tahun 1842 sebagai bekal pengetahuan bagi calon administrator yang akan bertugas di Hindia Belanda. Adapun tujuan awal pendirian ini adalah proses pasifikasi daerah jajahan lewat wahana pengetahuan (Zed, 2006). Indologi sebagai paradigma pengetahuan “ala kadarnya” ini kemudian berkembang lebih sistematis dengan munculnya institusi seperti KITLV (Koningklijk Instituut voor Taal -, Land en Volkenkunde van Nederlandsch Indie) tahun 1851, dan Koloniaal Instituut di Amsterdam tahun 1871. Lewat pendirian institut-institut tersebutlah paradigma sejarah Hindia Belanda direkonstruksi sebagai “Ilmu Negara” (Kleden, 1997 dalam Zed, 2006). Dalam konteks penyusunan arsip kolonial bahan tulisan yang dikumpulkan berdasarkan fakta-fakta sosial parsial yang kemudian digunakan untuk mengusir atau mengabaikan yang lain, dalam hal ini para penentang negara kolonial demi 5
Salah satu ciri dari format karya historiografi kaum indologis ini adalah penggunaan arsip-arsip kolonial dalam bentuk laporan pejabat lokal terhadap berbagai dinamika sosial-politik, ekonomi dan keagamaan penduduk Hindia Belanda, tanpa terkecuali. Dalam karya Ann Laura Stoler berjudul, Along the Archival Grain: Epistemic Anxieties and Colonial Common Sense (2010) kita dapat pemahaman bahwa ada kekuatan nan tidak terlihat tapi eksis dalam tulisan dan dokumen resmi pemerintah kolonial tersebut. Menurutnya para administratur kolonial merupakan orang-orang yang bertanggung jawab atas klasifikasi sosial di negeri koloni sekaligus efek-efek politis yang mengikutinya.
Volume 03 Tahun 2013
mengukuhkan hegemoni pemerintah kolonial Belanda. Selain itu, yang menarik adalah dalam bab ketiga dari buku Ann L. Stoler ini adalah apa yang disebut oleh Edward Said dengan orientalisme. Orientalisme Said tidak dapat dipahami semata sebagai kajian terhadap masyarakat Timur (oriental) oleh orang Barat. Tetapi yang lebih esensial dari inilah adalah adanya konsep atau paradigma hegemoni yang ingin dikembangkan sekaligus dirangka dalam apa yang disebut negara kolonial. Stoler menjelaskan bagaimana eksplorasi masalah subjektifitas dan otensitas pemerintah kolonial mengucilkan sebagian kelompok sosial seperti kaum kreol, dan indies, dari wacana kekuasaan. Ia menunjukan wacana-wacana dan nilai-nilai, dan pola-pola pengetahuan, fakta-faktanya dikonstruksi lewat narasi-narasi kearsipan yang semuanya untuk mendominasi dan memegang otoritas. Selain itu, yang menarik dari bab tiga buku Ann L. Stoler ini adalah pemakaian paradigma Frantz Fanon dan Homi Bhabha. Keduanya sangat terkenal sebagai pengkritik pedas kuasa-kuasa kolonial di abad-abad kolonial. Sebelumnya, dijelaskan Said bahwa ideologi atau wacana tidak semata berlaku lewat kesadaran, tapi juga pada barang-barang praktis material (arsip). Maka dari itu jalinan antara politik dan pengetahuan akan kepribumian (lewat laporan atau dokumentasi) secara langsung atau tidak telah membentuk wacana hegemoni. Maka dari itu, wacana hegemoni penguasa kolonial bersifat self-generating atau dikembangbiakan oleh dirinya sendiri, sehingga poin penting dari pemahaman ini adalah teks-teks tidak hanya mendeskripsikan apa yang tampak dan apa yang
79 |
Analisis Sejarah sesungguhnya terjadi, tapi juga menciptakan pengetahuan yang bias. Sejarawan indologis ini diantaranya Snouck Hourgronje, J.H. Boeke, B.J.O. Schrieke, Burger, dan W.F. Wertheim. Karya-karya mereka sangat berpengaruh dan dibaca luas di Hindia Belanda kala itu. Misalnya karya Snouck tentang kehidupan beragama (Islam) di Aceh. Atau penelitian pemberontakan komunis tahun 1926/27 oleh Schrieke. Dan yang tidak dapat ditepiskan teori “ekonomi dualistik” Boeke yang kembali dibaca di era Orde Baru. Yang paling menarik dari karyakarya mereka adalah penggunaan teori ilmu sosial yang dipakai. Jauh sebelum Sartono Kartodirjo menekankan pendekatan ilmu sosial dalam metodologi sejarah, para sarjana indologis di atas telah memberi kerangka berpikir yang sistematis penggunaan teori-teori tersebut. Snouck misalnya, menggunakan pendekatan antropologi yang kuat, sementara Schrieke dan Wertheim sangat kuat dengan dasar sosiologi. Begitu juga Boeke yang memakai teori ekonomi (Zed, 2006). Meski penulisan sejarah di Hindia Belanda pada awalnya bersifat orientalistik—jika term Said dipakai— perkembangan menarik lain di era kolonial ini adalah dimulainya historiografi “nasional” di tangan sejarawan Belanda seperti F.W. Stapel, lewat karyanya Geschiedenis van Nederlansch Indie (Sejarah Hindia Belanda—1939), B.M. Vlekke, Geschiedenis van de Indische Archipel (1947), H.J. de Graaf, Geschiedenis van Indonesie (1949), L. Van Rijckevorsel, Kitab Riwayat Kepulauan Hindia Timoer (1929), dan beberapa lainnya. Sementara pada periode Jepang 19421945 kita menemukan Indische
Volume 03 Tahun 2013
Geschiedenis (Sejarah Tanah India) yang digunakan badan propaganda Jepang (Ali, 1995). Historiografi “sejarah nasional” era kolonial ini dalam dinamikanya menjadi rujukan penting penulisan sejarah nasional Indonesia dan titik pental Seminar Sejarah Nasional di tahun 1957.6 6
Hal ini terkait dengan tidak diindahkannya beberapa karya bagus yang ditulis kolonial Belanda terhadap dasar historiografi nasional Indonesia. Misalnya karya de Graaaf, Vlekke, dan Van Leur. Bila saja dalam sejarah dimungkinkan dialektika “andai-andai”, barangkali, akan lebih mudah mempertemukan antara Van Leur dengan Moh. Yamin sehubungan penulisan sejarah Indonesia kontemporer. Yang pertama, terkenal sebagai peletak dasar pandangan Indonesia sentris dalam kajian historiografi. Sedangkan yang kedua, pengokoh ultranasionalis-sentris dari historiografi Indonesia-sentris. Namun, perbedaan keduanya begitu tajam ketika menetapkan batasan spasial konsepsi sentrisme mereka. Ini mungkin, dalam metodologi sejarah, eksplanasi andai-andai tak saja diharamkan, tetapi juga, satu “dosa” historiografi. Artikel Justus M. van der Kroef, “On the Writing of Indonesian History”, dalam, Pacific Affairs, Vol. 31, No. 4. (Dec., 1958), pp. 352-371, merupakan artikel yang menarik. Artikel ini memberi masukan penting bagaimana posisi metodologis historiografi tidak mesti diarahkan pada tujuan ideologis. Artikel ini dibuka dengan premis, bahwa setiap revolusi negara bangsa di belahan dunia ketiga senantiasa diikuti pencarian orisinalitas dan warisan budaya “kita”. Credonya adalah kita mesti menulis kembali sejarah kekitaan. Tetapi jelaslah, bukan “orang kita” yang memulai menulis sejarah Indonesia itu, tapi seorang pegawai muda kolonial, Van Leur. Entah bagaimana perasaan Moh. Yamin ketika mengetahui ini. Tak pernah kita menemukan catatan pandangan itu. Bahwa asumsi Yamin menarik jauh ke Majapahit sebagai awal persatuan keindonesiaan dalam historiografinya, mungkin saja, bagian resistensi terhadap peran dan pemikiran Van Leur yang orang kolonial itu. Reproduksi sejarah Indonesia di tangan kaum nasionalis, tentu saja, bagian fenomena umum negaranegara baru pasca PD II, jelas van der Kroef.
80 |
Analisis Sejarah Kedua, periodesasi Indonesiasentris (sampai sekarang). Setelah kejatuhan Jepang, pada awalnya karya Stapel menjadi bahan memahami sejarah Indonesia. Namun keriuhan penegasan keindonesian di awal proklamasi itu meminggirkan karya ini sebagai karya kolonial yang dianggap warisan jelek masa lalu. Periode sebelum Seminar Sejarah Nasional 1957, historiografi Indonesia-sentris telah dimulai oleh sejarawan Indonesia sendiri seperti, diantaranya Prijono, Sedikit tentang Sejarah Asia Timoer Raja dan Sedjarah Tanah Jawa (1945), Sanusi Pane, Sedjarah Indonesia (1945), Sejarah Nasional 20 jilid (1950) yang ditulis oleh Mohammad Ali terbitan IKIP Bandung, M.Kasim dan Oejeng S. Gana, Zaman Dahulu, Sekarang, dan Jang Akan datang: Buku Peladjaran Ilmu Sedjarah Indonesia 3 jilid (Bandung: 1952-1956), dan Soendoro, Sedjarah Indonesia (1952). Dua karya terakhir ini dipakai di sekolah dasar dan sekolah lanjutan (Soedjatmoko: 1995, 371-2). Selain itu terdapat juga karya R.Ng Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia I (1952). Pada fase ini, meski makna sejarah dibalik dalam nilai keindonesiaan, namun tetap saja merujuk karya Stapel di atas, dan beberapa sejarawan kolonial lain. Tidak ada penyelidikan sejarah yang lebih otentik. Oleh karena setiap Tarikan waktu atau simbolisasi masa lampau, yang mungkin saja tak ada hubungannya, akan begitu bermakna dengan kekinian, ketika dikaitkan dengan kebutuhan ideologi yang merekat bangsa itu. Jadi, meski Van Leur telah memulai kerja menulis sejarah Indonesia yang benar sesuai konteks kekiniannya sebagaimana dikredokan Croce. Ia menjadi kontra-produktif dengan semangat menggebugebu kaum nasionalis muda itu. Penafiannya sederhana saja, ia, Van Leur, adalah warisan kolonial yang mesti dihilangkan dan 180 derajat dibalikan interpretasinya demi sejarah Indonesia yang benar.
Volume 03 Tahun 2013
daerah dan sekolah berusaha menyusun versi sejarah nasional mereka sendiri, pemerintah Indonesia lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya menyelenggarakan Seminar Sejarah Nasional I, yang tujuannya mencapai keseragaman dalam penyajian sejarah nasional (Ali, 1995). Sampai Seminar Sejarah Nasional II yang melahirkan paradigma sejarah lokal. Paradigma sejarah nasional Indonesia yang dirumuskan seminar I ini berada di seputar persoalan “konsep filosofi sejarah nasional”, “periodesasi sejarah Indonesia”, “syarat penulisan buku pelajaran sejarah nasional Indonesia”, “pengajaran sejarah Indonesia di sekolah-sekolah”, “pendidikan sejarawan”, dan “pemeliharaan dan penggunaan bahan-bahan sejarah” (Laporan Seminar Sejarah I, 1958, dalam Ali, 1995). Seminar ini lebih menekankan persoalan periodesasi sejarah Indonesia, dan aspek nilai ideologis yang melahirkan filosofi Indonesia sentris dalam historiografi Indonesia (Purwanto, 2001). Aspek periodesasi sendiri secara tidak langsung melahirkan tema-tema ideologis seperti periode pra-sejarah, kuno (indianisasi), tengah (Islamisasi), moderen. Tradisi konvensional ini menurut Kuntowijoyo dapat dibaca dalam enam jilid Sejarah Nasional Indonesia (Kuntowijoyo, 2008). Dalam aspek sejarawan, maka nama Yamin, Soekanto, Sanusi Pane, Sagimun MD, Nugroho Notosusanto, Sartono Kartodirdjo, Purbatjaraka, dan Boechari merupakan sebagian namanama populer untuk masa ini. Umumnya mereka menulis tema-tema yang berkaitan dengan kolonialisme dan pengaruhnya terhadap masyarakat Indonesia (Abdullah dan
81 |
Analisis Sejarah Surjomihardjo, 1985). Tetapi empat nama di awal merupakan tokoh utama dari filsafat Indonesia-sentris (Purwanto, 2001). Dari nama-nama yang disebut di atas, kita juga mesti memisahkan mereka dalam konteks antara sejarawan amatir dan sejarawan akademik. Sejarawan amatir merupakan sejarawan yang lebih menekankan paradigma spekulatif— dan ini yang kemudian dikritis habishabisan sebagai penyebab kegagalan historiografi Indonesia-sentris— sementara yang akademik lebih menekankan metodologi sejarah/ ilmiah yang jelas. Catatan menarik dari seminar nasional I ini adalah adalah perdebatan filsafat sejarah yang menyegarkan, yang kemudian tidak ditemukan dalam seminar sejarah nasional selanjutnya (Purwanto, 2004). Perdebatan filsafat sejarah itu menghasilkan satu karya yang bagus sekali yang dieditori bersama-sama oleh Soedjatmoko, Mohammad Ali, G.J. Resink, dan G. McT. Kahin, an Intruduction to Indonesian Historiography (1965) dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar (1995). Mohammad Ali mengritik hasil seminar I itu dengan menyatakan bahwa historiografi dengan corak Indonesiasentris itu tidak menjelaskan jalinan sejarah yang runtut, tidak adanya pusat pandangan, dan direkonstruksi atas bukti yang sangat terbatas (Ali, 1995). Tampaknya para penulis buku telah memprediksi kritik yang akan diterima oleh historiografi Indonesiasentris ini di kemudian hari. Menurut editornya, arah dan perspektif historiografi Indonesia itu semestinya didasarkan pada sumber, metode penelitian atau pendekatan, dan
Volume 03 Tahun 2013
persoalan teoritis. Para editor itu kemudian menunjukan bagaimana mengerangkai tema-tema historiografi Indonesia lewat tiga aspek ini.7 Iven panting lain dari dinamika historiografi Indonesia adalah diadakannya seminar sejarah nasional II di Yogyakarta tahun 1970. Seminar ini tidak menekankan pada filsafat sejarah, ideologi, ataupun metodologi. Semangat yang diusung seminar sejarah nasional kedua ini adalah pentingnya studi empiris dan permasalahan yang berhubungan dengan sumber-sumber sejarah (Abdullah dan Surjomihardjo, 1985). Maka dari itu dapat dipahami bahwa rekomendasi seminar ini pada adanya buku standar sejarah nasional Indonesia dianggap sebagai pengokoh filsafat spekulatif Indonesia-sentris pada seminar sebelumnya. Tetapi di luar konteks ini, terminologi sejarah 7
Jika merujuk pada daftar isi dalam buku ini, maka Soedjatmoko dkk berusaha menunjukan tema, pemakaian sumber, dan metodologi yang ilmiah dalam historiografi Indonesia, diantaranya yakni “Sejarah Indonesia Menjelang abad XVII: Beberapa Sumber dan Petunjuk” (L.Ch. Damais), “Arkeologi dan Sejarah Indonesia”, “Epigrafi dan Historiografi Indonesia” (Buchari), “Tradisi Lokal dan Studi Sejarah Indonesia” (Hoesein Djajadiningrat), “Sumber-sumber Sejarah Pulau Jawa dari Zaman Mataram dan Historiografi” (de Graaf), “Asal Mula Historiografi di Sulawesi Selatan” (Noorduyn), “Beberapa Sumber Sejarah Melayu” (J.C. Bottoms), “Sumber-Sumber Cina dan Historiografi” (Tjan Tjoe Som), “Sumber-Sumber Baru dari Jepang untuk Historiografi Indonesia” (Koichi Kishi), “Beberapa Sumber Portugis untuk Historiografi Indonesia” (C.R. Boxer), “Sumber-Sumber Soviet untuk Historiografi Indonesia” (Ruth Mc Vey), “Penggunaan Metode-Metode Antropologi dalam Historiografi Indonesia” (Koentjaraningrat), “Pendekatan Sosiologis dalam Historiografi Indonesia” (W.F. Wertheim)”, dan sebagainya.
82 |
Analisis Sejarah lokal yang telah dikenalkan sebelumnya oleh Hoesein Djajadiningrat (Soedjatmoko, dkk (eds.) 1995) mendapat tempat dalam seminar ini. Sejarah lokal kemudian menjadi salah satu tema yang paling berpengaruh dalam penulisan sejarah sejak Orde Baru sampai hari ini. Beberapa nama terkenal dapat diketengahkan dalam konteks sejarah lokal ini. Mereka adalah Sartono Kartodirdjo yang meneliti tentang pemberontakan petani Banten tahun 1888, Suhartono yang menulis perubahan sosial di pedesaan Surakarta, Taufik Abdullah menulis tentang gerakan “Kaum Muda” di Sumatera Barat, A.B. Lapian tentang bajak laut, Teuku Ibrahim Alfian tentang perang Aceh, Djoko Suryo tentang kehidupan sosial-ekonomi di Semarang masa kolonial, dan banyak lagi. Generasi setelahnya muncul nama-nama seperti Kuntowijoyo, Azyumardi Azra, Bambang Purwanto, Gusti Asnan, Sri Margana, Nina Lubis, Ketut Ardhana, dan banyak lagi. Generasi baru ini menunjukan dinamika yang luar biasa dalam hal tema, pendekatan, dan metodologi penelitian. Dan dinamika penting dan menarik lainnya adalah kemunculan perdebatan paradigma historiografi dari kolonialisme-minded ke dekolonialisme-minded. Berkait dengan eksplanasi di atas, dapat disebutkan juga bahwa dinamika tiga aspek historiografi Indonesia tersebut sampai akhir Orde Baru juga dibalut dalam kerangka filosofi dialog keindonesiaan dan kemodernan. Ciri penting hubungan itu adalah kesadaran multidisipliner dan multikulturalisme dalam 8 masyarakat Indonesia. 8
Penulis harap di kesempatan lain persoalan ini dapat dibahas dan dijelaskan.
Volume 03 Tahun 2013
Selain itu, yang patut dicatat juga dalam dinamika historiografi Indonesia pasca PD II itulah adalah kemunculan konsep Indonesianis dan hilangnya kaum indologis. Indonesianis dianggap terminologi yang pas menyebut orang asing yang ahli tentang (sejarah) Indonesia. Mereka menjalin hubungan akademik yang baik, bahkan beberapa diantaranya menjadi guru langsung para sejarawan Indonesia (native). Meski tidak seluruhnya, tujuan-tujuan atau motif-motif mencari penjelasan sejarah secara metodologi menjadi ciri para indonesianis ini. Kemunculan para indonesianis non-Belanda ini disebabkan proses dekolonisasi atau dekolonalisasi—bila memakai istilah Bambang Purwanto— di fase 1950an. Kevakuman para sarjana Belanda ini kemudian diisi para sejarawan Amerika yang kala itu menjadi salah satu kekuatan dunia. Mereka menawarkan beragam beasiswa pada mahasiswa Indonesia untuk belajar di AS, dan mengenalkan metode-metode baru penulisan sejarah. Program-program itu diasuh oleh The Social Science Research Council, AS. Metode penting dari para indonesianis ini adalah sifatnya yang mutlidisipliner (Zed, 2006). Dari tangan para indonesianis asing itulah kemudian historiogrfi Indonesia mengalami dinamika tematis yang luar biasa. Mereka diantaranya George McT Kahin yang menulis tentang nasionalisme Indonesia, Ben Anderson dengan kajian imajinasi keindonesiaan, Anthony Reid tentang orang Aceh, Robert Cribb menyangkut kekerasan 1965, Harry J. Benda tentang Islam di masa Jepang, Geertz, Ledge, Takeshi Shiraishi, dan banyak lagi. Kehadiran para indonesianis ini di sisi lain
83 |
Analisis Sejarah ternyata membawa efek pada kritisasi arah dan perspektif historiografi Indonesia kontemporer. Baru-baru ini muncul beberapa buku bagus yang ingin mengubah arah dan perspektif historiografi Indonesia, yakni Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris (Ombak, 2006), dan Henk Schulte Nordholt, dkk (eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (KITLV-Obor, 2008). Meski banyak sejarawan nan sinis akan “proyek” ini, namun kebutuhan historiografi Indonesia kontemporer yang baru, yang universal, menjadi relevan ketika apa yang dinamakan krisis llmu-ilmu sosial bergema diantara ilmuan sosial sendiri. Penutup Akhir Orde Baru, menjadi awal perkembangan filosofi baru (dekonstruksi?) di tangan sejarawan Indonesia. Orde Reformasi kini menjadi jalan kemunculan perspektif dekolonialisasi yang dihembuskan oleh sekelompok ilmuan yang dapat kita sebut dengan para penganut “Mazhab UGM”. Kemunculan “Mazhab UGM” sesungguhnya tidak dalam arti yang sudah mapan. Masih embrio. Masih menunggu soliditas dan pengukuhan orang-orang yang mendukung filsafat dekolonialisasi yang dihembuskan Bambang Purwanto. Bambang Purwanto dan kawankawan menyatakan bahwa telah terjadi kegagalan historiografi Indonesia-sentris. Runtutan kemudian adalah terjadinya devolusi konseptual dan metodologis dunia sejarah Indonesia. Para sejarawan Indonesia tidak pernah belajar dari sejarahnya sendiri. Di tengah kencangnya produktifitas historiografi oleh makin
Volume 03 Tahun 2013
banyaknya program studi Ilmu sejarah di perguruan tinggi negeri dan swasta, para sejarawan tanpa sadar terjerumus pada kesalahan lama sejarawan awal yang ideologic. Maka dari itu reproduksi menjadi kata kunci penting membentuk kronologi historiografi Indonesia kontemporer. Sejak ideologisasi historiografi Indonesia lebih lima dekade lalu itu memang tidak ada perdebatan pada tataran filosofis dan metodologis sebagai kebutuhan perkembangan ilmu sejarah di Indonesia. Reproduksi historiografi hakekatnya mengulang apa yang ditulis sejarawan Indonesia awal, bahkan dengan pihak kolonial. Nan berbeda hanyalah pemaknaan; pembalikan makna. Kondisi inilah yang menimbulkan kemandegan perkembangan periodesasi sejarah meski temuan fakta-fakta dan perspektif baru terus bermunculan. Ketiadaan pengembangan tema-tema sejarah ke arah yang lebih bervariasi pada akhirnya menjadikan masyarakat, seperti disebut Bambang Purwanto dengan disorientasi historiografis. Untuk itu kebutuhan metode kritis dalam penulisan sejarah menjadi organ vital memproduksi historiografi Indonesia yang “ilmiah”. Metode kritis ini bertujuan memperhalus teknik penelitian juga berdampak pada dua hal. Pertama, makin terbukanya ilmu sejarah terhadap konsep-konsep yang dikembangkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora lain. Kedua, makin berkembangnya cabang-cabang ilmu sejarah yang menuntut keahlian khusus (Abdullah dan Surjomihardjo, 1985). Kondisi ini membuat peminggiran historiografi kolonial sebagai anti tese historiografi nasional menjadi tidak relevan lagi.
84 |
Analisis Sejarah
Volume 03 Tahun 2013
Daftar Bacaan Bambang Purwanto, “Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik”, Pidato pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta: UGM, 2004. ----------------------------, Gagalnya Historiografi Indonesia Sentris. Jogjakarta: Ombak, 2006. Damais, L.Ch., “Sejarah Indonesia menjelang Abad ke-17: Beberapa Sumber dan Petunjuk”, dalam Sudjatmoko, dkk (eds.), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 17-29. Dick, H.W., “Industrialisasi Abad ke-19: Sebuah Kesempatan yang Hilang?”, dalam Thomas Lindblad (ed.), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru. Cetakan II, Jakarta: LP3ES, 2000. Hossein Djajadiningrat, “Tradisi Lokal dan Studi Sejarah Indonesia” dalam Sudjatmoko, dkk (eds.), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 58-57. Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008. Mestika Zed, “Ilmu Sosial Indonesia dalam Wacana Methodenstreit”, dalam Taufik Abdullah (ed.), Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. Jakarta: Rajagrafindo, 2006. Mohammad Ali, “Beberapa Masalah Tentang Historiografi Indonesia” dalam Sudjatmoko, dkk (eds.), Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1995, hlm. 1-16. Nordholt, Henk Schulte., dkk (eds.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. KITLV-Obor, 2008. Quilty, Mary Chaterine., Textual Empires: a reading of Early British Histories of Southeast Asia. Australia: Monash Asia Institute, 2010. Raffles, The History of Java. Yogyakarta: Narasi, 2008. Sartono Kartodirdjo, “Beberapa Fatsal dari Historiografi Indonesia”, Lembaran Sedjarah, No. 2, Agustus 1968. Sutherland, Heather., “Writing Indonesian history in the Netherlands: Rethinking the past”, BKI-150-IV, 1994, hlm. 785-804. Taufik Abdullah dan Abdurrahman Surjomihardjo (eds.), Ilmu Sejarah dan Historiografi. Jakarta: Gramedia, 1985. ----------------------, “Some Notes on The Kaba Tjindua Mato”: An Example of Minangkabau Traditional Literature”, Indonesia 9, April 1970, hlm. 1-22. van der Kroef, Justus M., “On the Writing of Indonesian History”, Pacific Affairs, Vol. 31, No. 4. Dec., 1958, hlm. 352-371. Van Niel, Robert., “Colonialism Revisited: Recent Historiography”, Journal of World History, Vol. 1, No. 1, Spring, 1990, hlm. 109-124. Weatherbee, Donald E., “Raffles' Sources for Traditional Javanese Historiography. and the Mackenzie Collections”, Indonesia, Vol. 26, Oct., 1978), hlm. 63-93.
85 |