MAKNA MEGALITIK Kontekstualisasi dalam Sejarah Budaya Börönadu J. A. Sonjaya Staf Pengajar Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM & Peneliti Pusat Studi Asia Pasifik UGM
LATAR BELAKANG: MENCARI MAKNA MEGALITIK KE NIAS Megalitik secara harafiah berasal dari dua kata, yakni mega (besar) dan lithos (batu), sehingga paduan dua kata itu digunakan untuk menyebut artefak batu besar, yang menjadi salah satu hasil budaya prasejarah. Bentuk dan jenis hasil budaya ini beragam, antara lain punden berundak, menhir, dolmen, sarkofagus, peti kubur batu, batu dakon, lumpang batu, dan arca megalitik. Ketika kata megalitik ini mendapat tambahan kata budaya—menjadi budaya megalitik—maka pengertian atau batasannya kemudian menjadi agak rumit, karena batu-batu besar yang telah menarik perhatian banyak arkeolog ini kemudian dihubungkan dengan sistem gagasan (budaya kognitif) dan sistem perilaku masyarakat pendukungnya. Seperti yang dikatakan oleh F. A. Wagner, bahwa usaha untuk selalu mengkaitkan megalitik dengan kebudayaan yang menggunakan batu besar akan menghasilkan konsep dengan pemahaman yang berbeda. Menurutnya, objek-objek batu kecil dan bahan-bahan lain seperti kayu dapat pula dimasukkan ke dalam budaya megalitik, sejauh benda-benda tersebut digunakan untuk tujuan sakral tertentu, yakni pemujaan roh leluhur (Wagner, 1959). Pendapat Wagner tersebut telah menggiring pada semacam ‘hukum’ bahwa budaya megalitik selalu berkaitan erat dengan aspek religi atau kepercayaan (Hoop, 1932; Sukendar, 1982; Sudarmadi, 1994). Adanya pergeseran pengertian megalitik dari arti sempit menjadi arti luas itu justru menyebabkan adanya ambigu dan disorientasi dalam penelitian-penelitian mengenai budaya megalitik. Roh leluhur seolah-olah sudah mengendalikan para peneliti di bidang ini (Yuwono, 1995). Kesimpulan-kesimpulan arkeolog seringkali menunjukkan hegemoni pengaruh arwah leluhur dalam setiap situs megalitik yang ditelitinya. Persoalan ini selalu menggelitik rasa penasaran saya untuk mengkaji makna budaya megalitik, hingga akhirnya saya mendapat kesempatan melakukan studi di Nias pada tanggal 20 Agustus – 10 Oktober 2005, menemani Resa Dandirwalu, mahasiswa Program Studi Antropologi Sekolah Pascasarjana UGM yang meneliti Mitos Asal Usul untuk tesis pada program studinya.
1
Gambar 1: Peta Pulau Nias
Nias terdiri dari gugusan pulau besar dan kecil. Letak pulau-pulau itu memanjang sejajar Pulau Sumatera. Panjang pulau-pulau itu lebih kurang 200 km dengan lebar 40 km. Dari sekian banyak pulau tersebut tidak semuanya dihuni manusia. Di antara gugusan pulau itu hanya terdapat lima pulau besar, yaitu Pulau Nias (9550 km2), Pulau Tanah Bala (39,67 km2) Pulau Tanah Masa (32,16 km2), Pulau Tello (18 km2), dan Pulau Pini (24,36 km2). Pusat administrasi terdapat di Pulau Nias. Pada mulanya seluruh wilayah Kepulauan Nias berada di bawah satu pemerintahan kabupaten. Namun, pada tanggal 25 Februari 2003 terjadi pemekaran wilayah menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Nias yang beribukota di Gunung Sitoli dan Kabupaten Nias Selatan yang beribukota di Teluk Dalam. Orang Nias atau Ono Niha mengenal ungkapan bo’o mbanua, bo’o mbowo yang artinya lain kampung, lain pula adatnya. Dari mana sebenarnya asal Suku Nias dan mengapa dalam perkembangannya adat mereka menjadi beragam adalah pertanyaan spontan saya dalam minggu pertama setelah mendarat di Nias. Kemudian rasa penasaran ini makin meyakinkan saya untuk memulai penelitian dari daerah yang dipercaya sebagai asal-usul Suku Nias, yaitu Börönadu, sama seperti lokasi penelitian Resa. Börönadu adalah nama sebuah tempat kecil di Desa Sifalagö Gomo, Kecamatan Gomo, Kabupaten Nias Selatan. Jarak dari pusat kecamatan lebih-kurang 8 km. Jika 2
tidak hujan, kendaraan bisa masuk hingga 4 km, separoh jalan berikutnya ditempuh dengan berjalan kaki, menyeberangi beberapa sungai dan naik-turun bukit. Börönadu berada persis di tengah Pulau Nias, di tepi Sungai Gomo.
Gambar 2: Börönadu dilihat dari atas bukit
Börönadu berasal dari kata börö yang berarti awal dan adu yang berarti patung. Dahulu, setiap Ono Niha yang meninggal akan dibuatkan patung dari kayu atau batu. Patung tersebut merupakan representasi dari orang yang meninggal. Jadi kata börönadu berarti manusia yang awal. Semua orang Börönadu—juga orang Nias kebanyakan— memang percaya bahwa Börönadu adalah tempat manusia pertama Nias turun dari langit. Börönadu merupakan perkampungan yang unik, karena nuansa kekunoannya masih sangat terasa. Tatanan permukiman dengan beberapa rumah adat serta batu-batu megalitik yang tersisa bisa menjadi petunjuk awal bahwa tradisi megalitik pernah hidup di Börönadu. Ada sedikit rasa bimbang ketika pertama kali masuk ke Börönadu, karena menurut salah seorang penunjuk jalan, warga kampung kurang bisa menerima peneliti. Alasan mereka cukup sederhana, bahwa para peneliti yang pernah datang ke kampung itu tidak ada perhatiannya sedikit pun pada mereka. “Jangankan membangun desa, memberi kabar saja tidak pernah”, demikian katanya. Kematian Roy Balada (bukan nama sebenarnya), seorang peneliti yang pernah datang ke Börönadu, dianggap sebagai ‘balasan’ karena yang bersangkutan kurang bisa menghargai orang setempat. Informasi ini tentu saja mempengaruhi pikiran dan cara saya bersikap. Selain itu, kebimbangan saya juga terkait dengan status saya sebagai orang Muslim, padahal seluruh warga desa beragama Katholik dan Kristen. Ini menjadi persoalan, karena di mata mereka, orang Muslim dipandang kurang baik, tidak bisa menyesuaikan diri, dan selalu menjaga jarak dengan orang-orang Nias. Pandangan ini wajar, karena kebanyakan orang Muslim yang mereka kenal memang selalu menjaga jarak, terutama terkait dengan persoalan halalharam. Karena hal itu, saya merasa energi yang harus saya keluarkan untuk membaur jauh lebih besar ketimbang Resa Dandirwalu yang kebetulan tidak ada masalah dengan babi dan minuman keras. 3
Gambar 3: Menerima dan memakan sirih pinang, cara memudahkan berbaur dengan Ono Niha Namun kebimbangan saya serta merta hilang ketika beberapa sirih pinang masuk ke dalam mulut saya. Kepala sedikit pening karena belum terbiasa, tetapi hati begitu senang. Ekspresi orang Nias sungguh luar biasa ketika melihat saya makan sirih. Mereka tampak senang dan merasa dihargai. Dengan makan sirih, mereka melihat kami bukan sebagai orang asing lagi. Itu kunci pertama yang saya temukan untuk berbaur dengan mereka. Anehnya, setelah makan sirih, ada semacam energi yang merasuki tubuh saya, seolah-olah ada yang mengikat saya sebagai bagian dari mereka. Setelah mengalami pergulatan batin yang luar biasa, akhirnya saya juga memutuskan untuk menerima minuman keras dan daging babi yang disodorkan ke hadapan saya. Itu adalah wujud penghargaan; menolaknya berarti kita tidak menghargai mereka. Saya sangat menyadari bahwa hal ini adalah konsekuensi dari jalan yang saya pilih: observasi partisipasi. Sejak itu, saya merasa bisa total berbaur dengan orang-orang di Börönadu, semakin tipis batas yang menyekat kami. Saya dan Resa tinggal di rumah Sambörö Hia yang satu atap dengan rumah salawa (kepala desa). Kami tidur di sebuah kamar kecil yang sangat gelap dekat dapur.
PESTA FATOME Saya cukup beruntung, karena hari kedua tinggal di Börönadu sudah ada penyelenggaraan fatome, yaitu pesta orang sakit. Saya bukannya senang melihat orang sakit, namun lebih karena rasa penasaran ingin melihat bagaimana cara orang Nias membunuh babi. Beberapa hari sebelumnya, ketika masih mengumpulkan data di Medan, saya berdebat cukup sengit dengan seorang Batak perihal membunuh babi. Bagi dia, cara orang Islam membunuh binatang (misalnya kambing) sangat sadis karena yang dipotong lehernya. Sebaliknya, menurut dia, membunuh babi ala orang Batak dan Nias lebih beradab, karena cukup dengan menusuk jantungnya. Berbeda dengan cara pandang teman saya itu, menurut saya, justru lebih sadis menusuk jantung babi daripada menyembelih leher. Sampai kami tertidur, perdebatan itu tidak mencapai titik temu.
4
Gambar 4: Sebilah ono nekhe ditusukkan ke jantung babi Sabtu, 3 September 2005, saat penyelenggaraan fatome, saya akhirnya bisa menyaksikan untuk pertama kalinya dalam hidup saya bagaimana babi dibunuh. Sebilah ono nekhe (pisau) dipegang oleh sang penjagal. Secepat kilat pisau itu ditusukkannya ke sela-sela ketiak kaki depan sang korban. Babi itu nampaknya tidak tahu jika dalam 2 menit ke depan nyawanya akan melayang. Dia hanya melolong sebentar, lalu kakinya tertatih, sekejap kemudian terkapar. Setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, akhirnya saya bisa mengerti dan memahami pendapat teman Batak saya. Ini adalah pelajaran berharga, bahwa penglihatan, pendengaran, dan perasaan adalah instrumen penting dalam observasi partisipasi. Ini adalah sebuah proses penting yang harus dilalui untuk bisa memahami sesuatu. Hari itu ada tujuh ekor babi yang dikorbankan oleh Pak Lektor (wakil pendeta) yang istrinya sedang sakit. Sebelum pembunuhan babi dilakukan, pihak keluarga menyampaikan maksudnya kepada khalayak yang hadir bahwa pesta itu dimaksudkan agar istri Pak Lektor segera disembuhkan dari sakit. Apabila tidak bisa sembuh, maka segala kesalahan dan utangnya semasa hidup mohon diikhlaskan. Pernyataan itu mendapat tanggapan dari kerabat, tokoh-tokoh adat, dan tetangga-tetangga. Ada yang menanyakan penyebab sakit, ada yang menyarankan pengobatan, dan ada yang memberi semangat untuk sembuh. Pembicaraan yang ekspresif itu berlangsung hampir dua jam. Setelah pembicaraan dirasa cukup, hadirin satu per satu memasukkan sesuatu ke dalam piring yang sudah ditutupi kain. Sebagian besar dalam bentuk uang, mulai dari seribu rupiah hingga seratus ribu rupiah. Ada juga yang memberi mata uang kuno dan emas. Sebagai penghargaan pada pengundang (si pangkalan), kami pun menyumbang uang. Setelah terkumpul, Pak Lektor membawa piring yang berisi pemberian hadirin itu kepada kepala jemaat Katholik untuk diberkahi. Acara inti ini diakhiri dengan doa kepala jemaat yang diambil dari Injil berbahasa Nias. Setelah semua babi terkapar dan mati, babi-babi itu kemudian dijejerkan memanjang dengan jarak masing-masing babi sekitar 2 meter. Lalu pihak keluarga menunjuk pemuka adat, para sibaya (paman), dan para kerabat dekat lain untuk 5
menguliti dan memotong-motong babi yang sudah berjejer tersebut. Menguliti dan memotong-motong babi ternyata tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Babi yang paling besar jatuh pada keluarga yang paling dihormati oleh keluarga yang menyelenggarakan pesta, demikian seterusnya hingga babi yang paling kecil. Proses menguliti dan memotong babi lebih nampak sebagai ajang unjuk kebolehan. Mereka seolah berpacu untuk lebih dulu menyelesaikan tugasnya. Yang paling sulit adalah melepas rahang (simbi), karena simbi tidak boleh rusak. Belakangan saya mengetahui jika simbi dalah bagian paling berharga dari babi. Cara mereka memotong-motong daging babi sangat berbeda dengan yang biasa dilihat di kampung halaman saya di Jawa Barat yang digantung terlebih dahulu kakinya lalu dikuliti dan dipotong-potong tanpa ukuran dan bentuk yang baku. Babi-babi di Nias dipotong secara teratur dan mengikuti pola yang nampaknya sudah lazim di sana. Pertama, melepas bagian simbi. Kedua, membelah babi dari mulai ujung hidung, sebelah telinga, hingga ekor yang disebut söri. Ketiga, membagi bagian perut dari söri dengan menyertakan sedikit telinga yang disebut sinese. Keempat, membagi rahang atas menjadi dua, yang mereka sebut bole-bole. Kelima, memotong kaki belakang, disebut faha. Keenam, memotong kaki depan yang disebut taio. Semua babi dikuliti dan dipotong-potong dengan cara yang sama, lalu dibagikan kepada hadirin, kerabat, dan tetangga sesuai stratanya masing-masing.
Gambar 5: Pertengkaran saat pembagian daging babi Pada saat pembagian potongan daging babi, terjadi pertengkaran yang hampir berakhir dengan perkelahian antara kerabat Pak Lektor yang bertugas membagi dengan kakak kandung Pak Lektor yang merasa tidak mendapat bagian sebagaimana mestinya. Orang itu mestinya senang karena mendapat bagian faha yang sangat besar, tetapi malah meminta sinese yang ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan faha. Pak Halawa, orang yang mengantar kami ke kampung ini, menerangkan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam pembagian daging babi. Lain potongan lain pula peruntukannya. Simbi adalah haknya ketua adat atau orang yang paling dihormati. Söri adalah haknya ketua adat, para paman, mertua, dan ketua rumpun keluarga. Sinese adalah haknya ketua adat, adik atau 6
kakak laki-laki, tokoh agama, dan tokoh pemerintah. Bole-bole adalah haknya ketua adat, ketua rumpun keluarga, dan salawa. Faha adalah haknya keponakan dan anak perempuan. Taio diberikan khusus untuk para pemotong. Pantas saja kakak kandung Pak Lektor itu marah, karena statusnya disamakan dengan keponakan atau anak perempuan. Simbi, yang merupakan bagian paling berharga, ternyata diserahkan pada seseorang, yaitu Sambörö Hia, yang menjadi ayah angkat kami. Dari tangannya, simbi itu lalu sampai ke tangan saya dan Resa. Dari peristiwa ini saya melihat bahwa Sambörö Hia memang cukup istimewa di mata orang-orang kampung. Melalui pesta fatome itu, saya sudah mulai melihat adanya keterkaitan antara pesta adat, babi, harga diri, dan struktur dalam masyarakat.
MEGALITIK DALAM INGATAN Minggu pertama cukup menyenangkan, tetapi juga melelahkan. Di saat sepi— biasanya siang hari pada saat warga pergi ke ladang—saya mulai melakukan pencarian megalitik. Saya mencoba memindahkan apa yang saya lihat ke atas kertas. Sebuah sketsa pemukiman pun terbentuk. Permukiman Börönadu berbentuk memanjang searah dengan aliran sungai Gomo yang mengalir dari arah tenggara ke baratlaut. Panjang dari ujung ke ujung kira-kira 300 meter. Rumah-rumah saling berhadapan menghadap ke jalan yang lebarnya 6 meter. Permukaan jalan ditutup oleh tatanan batu kali. Di kanan kiri jalan ini ditemukan beberapa menhir dan meja batu. Ada satu rumah adat Nias yang masih utuh di kampung ini, milik mantan salawa, terletak di tengah perkampungan. Di depan rumah adat tersebut terdapat halaman yang dipenuhi batu-batu megalitik berbagai ukuran. Sebuah tugu berbentuk piramid berada persis di tengah halaman. Di sekelilingnya terdapat banyak bekhu, awina (dolmen), 1 dan kursi-kursi batu. Konon, tugu itu adalah tempat turunnya manusia pertama.
Gambar 6: Kondisi permukiman Börönadu
1
Dolmen adalah lempengan batu yang disangga beberapa batu berukuran kecil sehingga kadang bentuknya menyerupai meja.
7
Meskipun di Börönadu terdapat banyak batu-batu megalitik, tetapi aktivitas yang terkait
dengan
pendirian
atau
penggunaan
batu
megalitik sulit ditemukan
di
perkampungan ini, atau boleh dikatakan tidak ada. Batu-batu megalitik di sekitar perkampungan sudah tidak digunakan lagi untuk aktivitas religi. Batu-batu besar tersebut biasa digunakan untuk menjemur pakaian atau biji cokelat yang menjadi hasil perkebunan utama penduduk saat ini. Bahkan, konon anak-anak suka bermain bola menggunakan tengkorak manusia yang diambilnya dari bawah awina. Meskipun batubatu tersebut sudah jadi monumen, namun masih ada cerita yang melekat padanya. Ini merupakan modal saya untuk menelusuri jejak budaya megalitik di Börönadu. Saya harus menelusurinya melalui cerita penduduk, hoho (sejenis puisi), praktik tari-tarian, dan ritusritus hidup lainnya. Sebagai arkeolog, saya juga mencoba mencermati batu-batu agar dapat bercerita kepada saya.
Gambar 7: Sembilan buah bekhu yang dipercaya sebagai perwujudan sembilan manusia pertama di Börönadu
Penelusuran saya mulai dari sembilan buah bekhu (menhir atau batu berdiri) yang terdapat di tengah perkampungan. Batu-batu megalitik yang rata-rata setinggi satu meter itu berdiri berjajar rapi dengan interval antarbatu rata-rata 2 meter. Menurut cerita penduduk setempat, sembilan buah bekhu ini adalah monumen dari manusia-manusia pertama yang turun dari langit. Cerita tentang turunnya manusia itu salah satunya ditemukan dalam sebuah hoho yang ditulis oleh Sambörö Hia. 2 Hoho itu menceritakan bahwa, konon, di Teteholiana’a (negeri di atas awan) terjadi pergumulan antara angin Metakheyo Simane Loulou dan angin Hambulu. Kedua angin itu saling berputar seperti dua pasang makhluk yang sedang bermain dan bersenda gurau. Seiring berjalannya waktu, hingga sembilan bulan lamanya, keluarlah tangisan dari bilik kamar. Seorang bayi lahir di Teteholiana’a. Seterusnya hoho yang ditulis Sambörö Hia berbunyi sebagai berikut.
2
Hoho adalah tradisi lisan, namun, pada tahun 1985 mitos tentang asal kejadian manusia ini ditulis oleh Sambörö Hia. Ada banyak versi tentang mitos asal usul manusia di Nias, yang mana masing-masing daerah sedikit berlainan bahkan ada juga yang sangat berlainan (Mengenai asal usul manusia lebih lanjut baca: Hammerle, 2001).
8
Itulah datangnya angin yang kencang Datangnya angin Hambula (puting beliung) Yang dibungkus di atas Ara Orewuta (awal) Di atas Ara ia melindungi turunan yang banyak jumlahnya Dia beranak Sirao (Uwu Zihönö) Dan terbentuklah seorang manusia bernama Sirao, turunan pertama Dan dia mempunyai anak bernama Sirao Uwu Zatö (manusia pertama) yang memikul beban berat Yang bertugas membagikan beban itu kepada orang banyak Diteruskan oleh anak yang bernama Daulu yang seperti api Setelah diteruskan Daulu, maka ringanlah segala beban kerja mereka Karena—berdasarkan kesepakatan—beban mereka ditanggung bersama Setelah…..(tulisan tidak bisa dibaca) Lahirlah anak bernama Daulu yang seperti api Dialah disebut langit yang banyak Ia melihat ke atas, tidak ada jalan lain melihat dunia Hampir tidak nampak karena jauh sekali Dia berpikir dalam hati, bagaimana cara turun ke dunia Tidak ada jalan sebagai tangga untuk turun Tidak ada juga pegangan tangan Setelah itu ia melihat ke kiri dan ke kanan Dia berdoa meminta kepada Langit Zagörö Agar mendekatkan tanah (bumi) ke atas Karena bantuan Najawadanö (yang memikul tanah itu, berupa naga) Barulah tanah itu mendekat Tidak lama kemudian, dari Langit Zagörö Zebua Lahirlah anak laki-laki yang luar biasa kuat dan sehat Dialah Hia yang diturunkan sebagai nenek pertama Dialah Hia yang menjadi nenek orang banyak Dialah Hia Walangi Adu Dialah Hia Walangi Lua Yang diturunkan oleh Sirao Uwu Zihönö Yang diturunkan oleh Sirao Uwu Zatö Ia diturunkan dari tali emas Ia diturunkan dari tali 18 karat Ia diturunkan di Börönadu yang banyak Inilah Sifalagö yang didiami manusia yang banyak Ia disempurnakan dengan Osali dan Rumah Adu Diikutsertakan segala macam bibit tanaman Untuk dipergunakan nantinya Ikutlah segala macam ukuran potongan biawak Ikut pula ukuran lauru (5 jumba) Ikut pula ukuran timbangan emas dengan buah timbangan Dengan timbangan yang sudah terukir Dan ikut serta pula Zigalö Zemo (makhluk yang berkarya emas) 9
Dia tinggal di Sifalagö, kampung yang banyak orang Dia tetap tenang di kampung ini Kampung Raya Sifalagö yang banyak orang... Kampung Raya Sifalagö yang banyak orang... Kumpulah yang sembilan keturunan Mulailah mengadakan suatu musyawarah Sembilan nenek semuanya berkumpul Mereka bersatu untuk mengadakan suatu keputusan atau ketentuan Satu pendapat bersatu isi hati Mereka mempestakan kesepakatan di Osalinadu Sebagai tempat perkumpulan Di Börönadu tempat perkumpulan orang banyak Tempat merundingkan segala sesuatu Mereka merencanakan dan mempertimbangkan untuk menyatukan pendapat Lalu mensahkan segala pembicaraan yang ditegaskan supaya kuat Jangan dilanggar atau dirobah oleh seluruh warga kampung, baik tokoh maupun masyarakat Itulah undang-undang orang tua yang tidak bisa diganggu gugat dan dilanggar Segala undang undang yang telah ditetapkan oleh orang tua dan disahkan dengan pesta jangan berobah Karena ini adalah keputusan dari semua wakil marga Yang disahkan di Osalinadu Keputusan bersama kita baca, kita cermati, kita ikuti, baik oleh orang tua maupun anak-anak. Menurut hoho di atas, sembilan manusia pertama diturunkan dari Teteholiana’a di Börönadu. Anak Sirao yang turun dari Teteholiana’a sebenarnya banyak, namun tidak semuanya bisa turun ke bumi Nias. Sebagian ada yang menyangkut di awan atau terbang terbawa angin, sehingga yang bisa turun ke Nias hanya sembilan manusia. Sembilan bekhu yang masih berdiri kokoh di tengah perkampungan adalah monumen kesembilan nenek moyang tersebut. Tidak jauh dari susunan sembilan bekhu, terdapat kursi-kursi dan meja batu yang konon berfungsi sebagai tempat duduk pemuka masyarakat ketika membicarakan adat. Kumpulan batu inilah yang dalam hoho disebut sebagai osalinadu, yakni tempat berkumpul pemuka adat dan wakil marga dalam membicarakan dan memutuskan sesuatu. Di kompleks osalinadu dahulu terdapat Omo Nadu (rumah patung) yang menjadi poros utama pemujaan masyarakat Börönadu. Semua itu diturunkan dari Teteholiana’a bersamaan dengan sembilan manusia pertama Nias. Tidak hanya itu, sembilan manusia ini juga dilengkapi dengan bekal, antara lain emas, bibit-bibit tanaman, dan hitung-hitungan berat. Osalinadu bentuknya seperti pendopo di Jawa, beratap tetapi tidak berdinding. Ukurannya tidak terlalu besar. Berdasarkan denah batu yang tersisa, bangunan ini kirakira berukuran 7 x 7 meter. Adapun Omo Nadu yang berada di samping Osalinadu bangunannya tertutup dan berukuran lebih kecil. Di dalam rumah patung tersebut 10
terdapat patung-patung penting sebagai perwujudan pemuka-pemuka adat yang telah meninggal. Di antara patung-patung tersebut, terdapat sebuah patung yang paling tinggi kedudukannya, yaitu Giwahö. Patung yang berbentuk dan seukuran manusia itu hanya boleh dilihat oleh ere (pemuka agama). Orang-orang kampung menyembah patung ini melalui perantaraan ere. Giwahö merupakan perwujudan dari Lowalangi, Tuhan orang Nias.
Gambar 8: Sisa pondasi Osalinadu Halaman Osalinadu dibuat dari lempengan batu-batu kali yang disusun rapi. Di pinggir halaman bagian depan terdapat beberapa batu yang bagian tengahnya cekung. Itu adalah tempat untuk meletakkan emas bagi orang yang melakukan pesta “unjuk kekayaan”. Status seseorang baru bisa diakui jika bisa menujukkan kekayaannya di tempat ini. Menunjukkan harta kekayaan, terutama dalam bentuk emas, bukanlah hal mudah bagi orang Nias, karena dalam pesta itu bisa saja muncul sanggahan dan debatan perihal jumlah, kualitas, dan cara mendapatkan harta tersebut. Status kekayaan tersebut kemudian harus dikukuhkan dengan mengadakan pesta potong babi. Di Börönadu dikenal ungkapan “mate mbawi, mate gego” yang artinya mati babi maka matilah segala masalah. Setiap niat, keputusan, dan hal-hal penting yang menyangkut kehidupan (individual maupun komunal) harus selalu dikukuhkan dengan matinya babi untuk mendapat pengakuan dari publik.
Gambar 9: Menhir terbesar di Börönadu
11
Tidak jauh dari kompleks Osalinadu, tepatnya di depan rumah-rumah penduduk, terdapat beberapa bekhu dan awina dengan berbagai ukuran. Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah bekhu berukuran sangat besar. Bentuknya hampir empat persegi panjang yang berdiri agak miring setinggi 2,4 meter. Di depan bekhu tersebut terdapat tiga buah awina. Letaknya persis di depan rumah salah seorang penduduk. Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. Lima generasi sebelum sekarang, kira-kira pertengahan abad ke-19, di Börönadu hiduplah seorang manusia pemberani dan hebat karena kepiawaiannya dalam membunuh orang, bernama Awu Wukha. Pada suatu hari di kala itu, datanglah ke Börönadu seorang pembawa kabar bahwa di desa tetangga akan diadakan sebuah pesta Owasa yang cukup besar. Ia berjalan di tengah perkampungan sambil meneriakkan pengumuman tersebut dengan harapan akan banyak warga Börönadu yang datang ke pesta tersebut. Ketika melewati rumah Awu Wukha, si pembawa kabar tersebut terhenti langkahnya karena ada teriakan seorang ibu yang cukup mengganggu dirinya. “Hey lelaki yang kelihatan kemaluannya! Untuk apa teriak-teriak seperti itu?”, teriak si perempuan yang tiada lain adalah ibunya Awu Wukha. Bagi orang Nias, itu termasuk ungkapan yang sangat mengejek. Karuan saja si pembawa kabar tersebut marah dan memukulkan kemaluannya ke tiang rumah ibu Awu Wukha hingga tiang rumah gumpal. Orang itu sangat marah, dan melampiaskan dengan menunjukkan bahwa kemaluannya tidak seharusnya diejek. Setelah puas menunjukkan kejantanannya, ia pun kemudian pergi meninggalkan Börönadu. Masalahnya ternyata tidak selesai sampai di situ. Beberapa hari berselang, segerombolan orang mendatangi rumah ibu Awu Wukha, dan tanpa basa-basi melempar api ke rumah yang terbuat dari kayu dan beratap daun sagu tersebut. Rumah ibu Awu Wukha dan dua rumah saudaranya yang berdekatan habis dilalap si jago merah. Ibu Awu Wukha merasa sedih karena hampir seluruh harta bendanya yang ada di dalam rumah habis terbakar. Sementara itu, anaknya, Awu Wukha, berdiri mematung dengan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun. Saat itu juga Awu Wukha merencanakan untuk balas dendam. Ia pergi seorang diri ke kampung si penyerang. Hasilnya, dengan langkah tenang Awu Wukha pulang membawa belasan kepala di dalam karung. Kejadian ini membuat marah para kerabat yang kepalanya dipenggal. Mereka pun lalu merencanakan untuk menghabisi Awu Wukha, namun tidak berani secara terang-terangan karena mereka menyadari musuhnya tidak bisa dianggap remeh. Usaha membunuh Awu Wukha oleh musuh-musuhnya tidak pernah berhasil. Hal tersebut kian mengangkat status Awu Wukha di mata orang-orang kampung. Status itu kemudian dikukuhkan dengan pesta-pesta, yang tertinggi adalah 12
Owasa 3 . Awu Wukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut, yang berarti bara api. Saat menjelang meninggal pun Awu Wukha menyempatkan untuk menggelar pesta fatome.
Dalam pesta tersebut ia menyiapkan beberapa buah batu
besar untuk ditanam jika kelak ia meninggal. Batu yang satu untuk bekhu, sedangkan batu yang lainnya untuk awina. Di tengah pesta, disaksikan anak-anak dan orang banyak, Awu Wukha mengajukan permintaan pada anak-anaknya, bahwa jika ia meninggal nanti, ia minta ditemani oleh lima orang. Seorang untuk menyiapkan minum, seorang untuk membuat sirih pinang, seorang untuk meladeni makanan, seorang untuk menjaga, dan seorang lagi sebagai tukang pijat. Permintaan itu ditutup oleh Awu Wukha dengan meraut kuku jempolnya menggunakan pisau. Itu berarti bahwa permintaannya harus dipenuhi oleh anak-anaknya. Itu berarti si anak harus mencari lima kepala untuk bekal kubur ayahnya. Itu berarti pula si anak akan malu atau menjadi rendah harga dirinya jika tidak bisa mencarikan lima kepala untuk ayahnya, karena permintaan itu dikemukakan di hadapan orang banyak. Sampai pada akhirnya Awu Wukha meninggal karena sakit yang tidak kunjung sembuh. Jenazahnya diletakkan di halaman rumah di atas sarambia (bale-bale dari bambu), hingga dagingnya luruh. Selama lebih-kurang tiga bulan, keluarga yang ditinggal pun bersiap dan berjaga. Bersiap mencari lima kepala untuk dijadikan binu (budak) Awu Wukha di akhirat sana serta bersiap mengumpulkan babi-babi dan makanan untuk penyelenggaraan pesta. Selain itu, anggota keluarga yang ditinggal bergantian menjaga jenazah Awu Wukha agar tidak hilang dicuri orang, karena jenazah Awu Wukha sangat berharga. Jika kepala Awu Wukha berhasil dicuri untuk dijadikan binu orang lain, maka keluarga si pencuri akan meningkat statusnya, karena memiliki binu si pemberani (Awu Wukha). Setelah tinggal tulang-belulang, tengkorak Awu Wukha kemudian ditanam di bawah awina yang sudah disiapkan pada saat pesta fatome. Di dekat awina itu didirikan bekhu sebagai tanda peringatan. Beberapa binu yang yang diperoleh belakangan dipenggal kepalanya di atas bekhu tersebut, hingga darahnya melumuri bekhu dan mengalir ke tanah. Kepala binu pun turut ditanam bersama dengan kepala Awu Wukha. Kepala para binu digunakan sebagai penyangga piring besar, tempat kepala Awu Wukha diletakkan di atasnya. Paparan tentang megalitik di atas hanyalah cerita, yang bisa dirunut melalui hoho atau ingatan beberapa orang saja dari generasi tua di Börönadu. Tiga puluh tahun lalu Osalinadu sudah roboh dan bagian-bagiannya hilang; demikian pula dengan Omo Nadu dan patung-patung di dalamnya. Yang tersisa adalah kursi-kursi batu tempat duduk para 3
Owasa adalah pesta adat tertinggi bagi orang Nias. Bagi orang yang sudah menjalankan Owasa, maka segala perkataannya menjadi hukum. Merekalah yang kemudian menduduki strata paling tinggi dalam masyarakat.
13
pemuka adat dan meja batu untuk menyimpan perlengkapan adat, sedangkan yang lainnya sudah dihanyutkan ke sungai karena takut pada dogma gereja yang sudah mulai meresap dalam kehidupan masyarakat.
MEGALITIK DAN AGAMA BARU Agama Kristen secara terus-menerus mulai masuk ke wilayah Nias sejak 27 September 1865 dibawa oleh E. L. Denninger atas perintah RMG di Barmen, Jerman. Selama 25 tahun pertama (1865-1890), usaha perkabaran Injil di Nias tetap terbatas pada daerah kekuasaan Belanda di sekitar Gunungsitoli. Dalam masa 25 tahun berikutnya, usaha pekabaran Injil maju dengan lebih cepat, karena sejak awal para zendeling sudah mendidik orang-orang lokal untuk membantu pekabaran Injil. Selain itu, Injil telah diterjemahkan dan ditulis dalam bahasa Nias supaya lebih mudah dipahami oleh orang Nias. Pada tahun 1815, jumlah orang Kristen meningkat dari 706 menjadi 20.000 orang (Th. van den., 2001). Bidang kegiatan para zendeling luas sekali. Mereka membangun jalan-jalan, mendirikan bank tabungan, dan membuka kebun-kebun kopi. Hal itu dilakukan dalam rangka melicinkan jalan bagi usaha pekabaran Injil dan meningkatkan daya ekonomi jemaat Kristen. Berkat usaha-usaha tersebut, ditambah dengan usaha pelayanan kesehatan pada masyarakat, jumlah orang Kristen meningkat. Akan tetapi, para zendeling masih kurang senang karena mereka melihat Injil belum benar-benar masuk ke dalam hati orang Nias. Hal tersebut dapat dilihat antara lain dari merajalelanya minuman keras, kekacauan di bidang perkawinan karena harga perempuan sangat mahal, dan keengganan untuk memberi sumbangan berupa uang atau benda bagi kehidupan jemaat (Th. van den., 2001). Apalagi mayoritas orang Nias tetap menolak Injil, terutama orang Nias di daerah pedalaman, termasuk Börönadu. Tidak sedikit para zendeling berkulit putih yang mati terbunuh di kawasan Börönadu dan sekitarnya karena adanya perlawanan yang kuat dari penduduk lokal yang masih memegang teguh tradisi. Keajaiban dalam pekabaran Injil terjadi pada tahun 1916 ketika terjadi Fangefa Sebua (pengampunan besar) atau Fangesa Sebua (pertobatan besar) (Hammerle, 1995:44). Sejak pertobatan besar, orang-orang Nias mulai berani untuk menghancurkan, menghanyutkan, atau menguburkan patung-patung perwujudan nenek moyang mereka, patung-patung dewa mereka, bekhu, awina, tengkorak-tengkorak, dan semua tinggalan leluhur yang dianggap menyekutukan Tuhan. Periode ini berjalan di Börönadu hingga tahun 1960-an. Tidak sedikit dari orang Börönadu yang mencucurkan air mata dan menjerit histeris ketika Adu Nuwu (patung orang tua) mereka dihanyutkan di Sungai Gomo. Menghanyutkan Adu Nuwu sama artinya dengan menghanyutkan orang tua ke sungai. Pengaruh agama nampaknya sudah begitu kuat sehingga mereka akhirnya bisa 14
melakukannya. Saya sempat bertanya pada beberapa orang tua di Börönadu, kenapa penduduk Börönadu tidak takut ketika harus menghanyutkan Giwahö, Tuhan mereka. “Kami tidak takut karena sudah didoakan pendeta, dan Allah lebih tinggi daripada berhala”, demikian jawab mereka. Namun,
pekabaran
Injil
di
Nias
tidaklah
berjalan
mulus
sebagaimana
kelihatannya. Antara tahun 1930-an sampai dengan 1940-an, gerakan penyebaran pengaruh Kristen di Nias mengalami penurunan. Pada masa ini muncul gerakan-gerakan baru yang mengkultuskan karunia-karunia roh dan mukjizat-mukjizat. Pada tahun 1933 gerekan Fa´awosa (persekutuan) mulai memisahkan diri dari pimpinan zendeling, karena penganutnya menganggap harus mematuhi suara yang langsung diterimanya dari roh lebih daripada aturan gerejawi. Setelah melepaskan diri dari induk maka kelainankelainan yang muncul tidak mungkin lagi diimbangi pengaruh dari saudara Kristen yang berpendapat lain. Dalam dasawarsa-dasawarsa kemudian, sebagian dari massa yang masuk Kristen malah memisahkan diri atau berhasil ditarik oleh misi Katholik (Th. van den., 2001). Merespon situasi tersebut, para zendeling kemudian berusaha untuk melakukan penataan kelembagaan gereja untuk mempermudah pekabaran Injil. Usaha mereka berhasil melahirkan sinode Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) yang pertama pada November 1936. Keinginan Pengurus RMG di Barmen supaya semua pekabar Injil bangsa Eropa otomotis menjadi anggota sidang sinode dipenuhi; sebaliknya para zendeling menolak permintaan orang Kristen Nias, agar setiap distrik gereja diperbolehkan mengutus seorang tokoh masyarakat (seorang kepala suku) ke sinode sebagai anggota yang berhak penuh. Pada tahun 1940, semua zendeling bangsa Jerman ditawan oleh Gubernemen Hindia Belanda dan diganti oleh orang-orang Belanda. Kondisi ini memungkinkan bagi pendeta asal Nias menduduki posisi ketua sinode (Ephorus). Tahun 1942, zendeling dan missionaris dari Belanda ditangkapi oleh tentara Jepang, sehingga menuntut kelembagaan gereja di Nias bisa berdiri sendiri dan telah menjadikan BNKP sebagai gereja-rakyat di Nias. Sejak itu, gereja cukup lunak terhadap adat. Pada tahun 1951 seorang utusan zendeling dari Jerman (seorang dokter) kembali bekerja di Nias, disusul oleh sejumlah orang Eropa yang lain. Namun, kedudukan mereka ini hanya sebatas penasehat di kelembagaan gereja. Gerakan Fa’awosa dan fluktuasi politik yang mempengaruhi keberadaan zendeling dan missionaris di Nias, telah mendorong kuasa adat yang tadinya tersisih, perlahan-lahan bangkit kembali. Jemaat kembali menjadi pasif, kerelaan berkorban bagi kehidupan jemaat menghilang lagi, disiplin gereja perlu diterapkan lagi, dan akhirnya adat kembali berkuasa di atas hukum Kristen atau Katholik. Gerakan Fa´awosa telah melahirkan beberapa kelompok atau aliran yang mana mereka memadukan unsur-unsur 15
agama Kristen/Katholik dengan unsur-unsur Islam dan budaya megalitik (zendeling menyebutnya agama suku). Hasil dari gerakan ini antara lain masih dipertahankannya pesta-pesta adat, seperti fatome, meskipun dalam praktiknya telah terjadi penyesuaianpenyesuaian.
MENAFSIR MAKNA MEGALITIK Megalitik di Börönadu ternyata masih berbekas di dalam ingatan, di dalam mitos. Menurut Roland Barthes, mitos merupakan tipe wicara (Barthes, 2004:151). Wicara mistis dibangun oleh materi yang telah dibuat sedemikian rupa agar cocok untuk komunikasi, untuk menjalin interaksi sosial, karena semua materi mitos mengisyaratkan sebuah kesadaran akan pemaknaan, sehingga seseorang bisa berpikir tentang materimateri tersebut tatkala ia mengabaikan substansinya (Barthes, 2004: 154). Jika mengikuti batasan mitos menurut Roland Barthes, batu megalitik termasuk ke dalam materi mitos, karena batu-batu tersebut mengisyaratkan sebuah kesadaran dan pemaknaan. Mitos tidak dapat dijelaskan oleh objek ataupun oleh materinya, sebab materi apa pun secara arbiter bisa didukung oleh makna. Pekerjaan utama arkeolog adalah menafsirkan makna benda-benda arkeologi yang ditemukannya. Namun, menafsirkan makna dari benda-benda yang telah lama ditinggalkan, seperti bekhu dan awina di Börönadu, tidak semudah menafsirkan puisi atau mural pada dinding-dinding kota. Di sinilah pentingnya studi lintas budaya—lintas dalam arti diakronik—yang dapat membantu dalam penafsiran makna dari benda-benda megalitik yang sudah lama ditinggalkan. Budaya materi yang berasal dari waktu lampau dan ditemukan sekarang dibaca dengan cara mengkaitkan objek tersebut dengan perilaku manusia dari masa lampau hingga sekarang dengan menempatkannya pada konteks sistem dulu dan kini. Untuk itu, maka studi etnohistori dan etnografi menjadi penting. Dalam
memahami
makna
megalitik
di
Boronadu,
saya
mengibaratkan
kebudayaan sebagai teks, sehingga makna dari suatu kebudayaan akan sangat tergantung pada orang yang membacanya. Teks (kebudayaan) selalu diikuti sesuatu yang disebut konteks yang bisa dibaca secara sintagmatis (sinkronis) dan paradigmatis (diakronis). Proses-proses yang terjadi antara teks dan konteks berlapis-lapis, sebab kebudayaan itu bersifat dinamis di mana di dalamnya terdapat konstruksi historis dan spasial. Membaca dan manafsirkan makna megalitik di Boronadu berarti membongkar lapisan-lapisan agar makna dari suatu teks itu menjadi jelas. Dalam hal ini saya mempunyai empat buah teks, yaitu (1) megalitik sebagai monumen; (2) pesta fatome; (3) megalitik dalam ingatan; serta (4) megalitik dan agama baru. Untuk memahami makna megalitik, maka saya mengkontekstualisasi teks tersebut dalam sejarah panjang 16
perubahan budaya masyarakat Börönadu. Untuk memudahkan pembacaannya, teks tersebut terlebih dahulu ditempatkan dalam sebuah matriks sebagaimana nampak di bawah ini. Matriks Kontekstualisasi Megalitik dalam Sejarah Budaya Börönadu
Teks Pertama
Teks Kedua
Teks Ketiga
Teks Keempat
MEGALITIK SEBAGAI MONUMEN
PESTA FATOME
MEGALITIK DALAM INGATAN
MEGALITIK DAN AGAMA BARU
Osalinadu diturunkan dari langit yang digunakan untuk tempat berkumpul tokoh-tokoh adat dalam membicarakan sesuatu.
Gerakan Fa´awosa (persekutuan) yang mematuhi suara dari roh lebih daripada aturan gerejawi.
Megalitik yang ditemukan di Börönadu berbentuk menhir, dolmen, dan kursi batu
Konsep tentang hidup dan mati
Batu-batu megalitik di Boronadu tersebar dan ada yang mengelompok di tengah perkampungan.
Pesta dan balas jasa
Pesta dan jaringan kekerabatan
Ada hubungan antara pesta, babi, dan struktur sosial
Batu-batu megalitik sudah tidak didirikan dan atau digunakan untuk aktivitas religi
Omo Nadu yang menjadi poros utama pemujaan terhadap roh leluhur dengan Lowalangi sebagai roh tertinggi Bekhu dan awina didirikan untuk tanda dan tempat penguburan Mendirikan megalitik dilakukan dengan pesta pemotongan babi
Batu-batu megalitik di Börönadu digunakan untuk tempat menjemur pakaian, cokelat, dan lain-lain
Status sosial dikukuhkan dengan pendirian megalitik dan pesta potong babi.
Barangsiapa mendirikan bekhu atau adu, maka jika dia mati, di akherat nanti bekhu dan adu tersebut akan dikalungkan di leher si pembuat sehingga menenggelamkannya ke dasar laut. Melakukan pesta membagikan makanan (potong babi) sesuai dengan ajaran Yesus. Masyarakat menghancurkan benda-benda megalitik. Masyarakat tidak lagi mendirikan batu-batu megalitik, namun masih melakukan pesta-pesta adat
Konteks Arkeologi
Konteks Sistem
Konteks Sistem
Konteks Sejarah
(Kini)
(Kini)
(Dulu)
(Dulu – Kini)
Teks pertama, megalitik sebagai monumen, berada dalam konteks arkeologi, di mana benda-benda megalitik sudah tidak lagi menjadi bagian dari sistem tindakan manusia atau dengan kata lain artefak berupa benda-benda megalitik yang menyediakan informasi tentang kehidupan masa lampau tersebut sudah bukan lagi bagian dari masyarakat sekarang. Oleh karena itu, benda-benda megalitik dalam konteks arkeologi tidak bisa menceritakan makna dalam konteks sistem ketika batu-batu tersebut masih dibuat dan dipergunakan, karena batu-batu megalitik tersebut sudah mengalami proses ditinggalkan. Hal tersebut nampak dari perlakuan masyarakat Börönadu terhadap bendabenda megalitik yang ada di sekitar mereka. Batu-batu megalitik di Börönadu benarbenar sudah jadi monumen dalam pengertian sudah tidak digunakan lagi oleh penduduk setempat sesuai dengan tujuan pendiriannya. Teks kedua, pesta fatome, berada pada konteks sistem kini di mana pesta adat tersebut masih menjadi bagian dari sistem tindakan masyarakat Börönadu masa kini. 17
Dalam pesta tersebut, seperti telah dipaparkan di depan, kita bisa melihat konsep tentang hidup dan mati, kesalingterkaitan antara pesta dan jaringan kekerabatan serta pesta dan balas jasa. Melalui pesta tersebut, hubungan antara pesta, babi, dan struktur sosial terlihat dengan sangat jelas. Akan tetapi, pesta tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan keberadaan batu-batu megalitik. Dalam pesta tersebut, batu-batu megalitik yang berada di halaman tidak lebih hanya digunakan sebagai tempat dudukduduk para tamu dan orang-orang yang menyaksikan pemotongan babi. Teks ketiga, megalitik dalam ingatan, saya tempatkan dalam konteks sistem dulu. Artinya, hubungan antara benda-benda megalitik dengan sistem kepercayaan, pesta, babi, dan struktur sosial tersebut berlaku dulu yang masih terekam dalam ingatan beberapa orang di Börönadu. Sekarang hubungan itu sudah tidak nampak lagi, karena benda-benda megalitik sudah menjadi monumen. Teks ini menjadi penting untuk menghubungkan antara konteks arkeologi dengan konteks sistem dulu. Meskipun ada pendapat bahwa rekonstruksi budaya masa lampau mustahil dilakukan, namun untuk kasus megalitik di Börönadu, rekonstruksi itu memungkinkan karena batu-batu megalitik di sana belum lama ditinggalkan, sehingga kita bisa merunutnya melalui ingatan. Sebagai contoh, melalui etnohistiri, saya mengetahui di balik bekhu dan awina terbesar di Börönadu, terdapat sebuah kisah yang menurut kacamata saya sangat sadis. Jika ditelusuri, di balik kesadisan tersebut dapat dibaca adanya struktur, kekuasaan, harga diri, dan pandangan manusia tentang dunia. Generasi Awu Wukha melihat kehidupan setelah kematian tidak berbeda dengan kehidupan di dunia ini. Ketika seseorang meninggal, ia pun mempunyai kebutuhan yang hampir sama dengan ketika seseorang itu masih hidup. Hal serupa dijumpai pula dalam pesta fatome. Artinya, cerita beberapa orang tua tentang sejarah budaya tersebut dibenarkan oleh pesta fatome. Teks keempat, megalitik dan agama baru, saya tempatkan dalam konteks sejarah, karena kejadian ini terjadi sejak lebih dari seratus tahun lalu dan masih terus berlangsung hingga sekarang. Teks ini menjadi penting untuk menjelaskan mengapa budaya megalitik mulai ditinggalkan karena adanya penyesuaian-penyesuaian dengan agama baru. Proses penyesuaian antara tradisi megalitik dan agama baru nampak hampir di setiap penyelenggaraan adat, terutama yang menyangkut siklus hidup dan interaksi sosial. Pesta fatome yang diselenggarakan Pak Lektor adalah contoh dari proses penyesuaian itu. Ketika Pak Lektor melakukan pesta fatome, mestinya ia beserta keluarganya sudah mempersiapkan batu untuk bekhu dan awina yang kelak didirikan jika istrinya jadi meninggal, seperti halnya yang dilakukan Awu Wukha. Akan tetapi, karena agama melarang, mereka tidak berani untuk melakukannya. Pengalaman serupa dialami Sambörö Hia ketika melaksanakan pesta Owasa pada tahun 1985. Dalam pesta Owasa 18
tersebut, ratusan ekor babi dipotong, puluhan gram emas dibagikan, dan ribuan tamu harus dijamu makanan selama tiga hari tiga malam. Bagi Sambörö Hia, melakukan Owasa ibarat menabrak karang. Ia sadar betul resiko ekonomis yang bakal dihadapinya. Demi adat, demi harga diri, ia pun akhirnya melakukannya. Saat mengadakan pesta Owasa, seperti yang dilakukan leluhur-leluhurnya, Sambörö Hia mestinya mendirikan sebuah bekhu sebagai bukti legalitas gelarnya 4 . Namun karena dilarang agama (Kristen dan Katholik), maka bekhu tidak jadi didirikan. “Barangsiapa mendirikan bekhu atau adu, maka jika dia mati, di akherat nanti bekhu dan adu tersebut akan dikalungkan di lehernya sehingga menenggelamkannya ke dasar laut”, demikian kira-kira dogma dari pihak gereja. Padahal, dalam pesta-pesta adat, pendirian megalitik hampir sama artinya dengan fungsi tanda tangan, sedangkan babi berfungsi seperti stempel, karena segala keputusan baru sah jika sudah ada babi yang dikorbankan. Hanya saja, setelah masuknya pengaruh agama baru, mendirikan bekhu dan adu dianggap melanggar agama. Tidak seperti mendirikan bekhu, awina, dan adu, pemotongan babi dalam pestapesta adat dianggap tidak bertentangan dengan agama, sebab dalam Alkitab ada ayat yang menjelaskan bahwa Yesus pernah memberi makan kepada 4.000 orang pengikutnya.
Karena
pemahaman
seperti
itulah
yang
membuat
Sambörö
Hia
memutuskan untuk melakukan pesta Owasa, meskipun ia sudah bisa memperkirakan bahwa biaya untuk pesta Owasa tidak mungkin bisa lunas hingga akhir hayatnya. Sampai saat ini belum ada seorang pun yang sanggup melakukan Owasa sebesar atau lebih besar dari Sambörö Hia. Selain karena ada pembatasan-pembatasan baru dari agama, juga terutama karena harga diri Ono Niha sudah tak terbeli lagi dengan babi. Tahun 1995, babi-babi di Nias terserang penyakit yang menyebabkan hampir semua babi mati. Akibatnya, orang di Börönadu sudah tidak kuat lagi menjalankan tradisi karena tidak ada babi. Akibatnya lagi, orang menjadi enggan memelihara babi. Ketika jumlah babi berkurang, babi pun mulai diperjualbelikan dengan alat tukar uang. Setelah babi diukur dengan uang, menjalankan tradisi dirasa semakin berat. Kubailönu kubailöna, seiring berjalannya waktu, tradisi megalitik di Börönadu mengalami penyusutan. Bukan saja karena pengaruh dari agama baru, melainkan karena kian hari pelaksanaan adat dirasakan penduduk kian berat. Kebiasaan emali (memenggal kepala manusia untuk bekal kubur) sudah lima generasi ditinggalkan karena masyarakat merasa jenuh dengan rasa takut yang selalu menggelayuti mereka. Para laki-laki terpaksa tidak bisa bekerja karena harus menjaga perempuan dan anak-anak dari emali. Adat penguburan megalitik yang membutuhkan waktu lama serta biaya yang besar 4
Inti dari pesta Owasa adalah pemberian gelar tertinggi pada yang melakukan pesta. Gelar tersebut disesuaikan dengan sifat atau ciri dari si penyelenggara pesta, biasanya nama yang dipakai berarti menyanjung atau meninggikan.
19
akhirnya menyesuaikan dengan kebiasaan penguburan yang dilakukan para penyebar Kristen dan Katholik. Keempat teks di atas, dengan demikian, jika dibaca secara diakronis (paradigmatis) dapat menceritakan tentang makna megalitik. Di Börönadu, kepercayaan kepada roh leluhur (roh orang tua dan Lowalangi) didialektikakan dengan kehidupan keseharian, sehingga cara berpikir tentang yang transenden tidak bisa dilepaskan dari cara berpikir tentang kehidupan keseharian yang nyata. Pendirian bekhu dan awina merupakan salah satu bentuk unjuk kekuatan agar yang bersangkutan mendapat status tinggi di mata masyarakat sehingga bisa menampilkan dirinya sebagai orang hebat dan penguasa. Demikian pula dengan Osalinadu yang dulunya sakral ternyata tidak semata terkait dengan pemujaan roh leluhur. Tata letak Osalinadu dan pemukiman di Börönadu menunjukkan bahwa kepercayaan pada dunia roh telah membentuk sebuah tatanan masyarakat yang mencoba menyelaraskan hidupnya dengan alam dengan menggunakan Osalinadu sebagai porosnya. Osalinadu yang terdiri dari tatanan batu-batu megalitik tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk memuja Lowalangi, melainkan juga berfungsi sebagai tempat untuk mengatur segala aspek kehidupan sosial yang harus mendapat persetujuan Lowalangi melalui pemuka adat.
KESIMPULAN Di Börönadu, budaya megalitik tidak semata berhubungan dengan pemujaan arwah leluhur, melainkan lebih terkait dengan kehidupan sosial yang ada di dalam masyarakat. Batu-batu megalitik merupakan sebuah media yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan roh leluhur, dengan alam sekitar, dan dengan sesama manusia. Pendirian batu besar sebagai objek material merupakan hasil dari interaksi manusia dengan yang adikodrati di satu sisi dan interaksi antarsesama manusia di sisi yang lain, untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan. Budaya megalitik di Börönadu berperan sebagai ”hukum” yang telah mendorong terciptanya keteraturan dalam masyarakat. Keteraturan yang dimaksud di sini tidak sinonim dengan harmoni, karena hukum hanya berpihak pada yang kuat, yang memiliki strata tinggi di tengah masyarakat. Sementara itu, pihak lain yang lemah, seperti binu, menjadi korban. Keteraturan yang terkonstruksikan oleh budaya megalitik mengalami ”ketidakstabilan” karena adanya nilai baru tentang kehidupan yang dibawa oleh agama baru. Butuh waktu bagi masyarakat Börönadu untuk melakukan penyesuaianpenyesuaian dengan nilai-nilai baru tersbut. Dalam proses penyesuaian itu, setidaknya terdapat dua referensi yang dipakai. Pertama, pengalaman-pengalaman akan tradisinya yang dirasa berat dan sudah tidak sesuai dengan perubahan jaman, seperti pengalaman
20
Samboro Hia. Kedua, daya tarik nilai-nilai baru itu sendiri yang dianggap bisa membebaskan mereka dari ”beban” adat yang dianggap kian berat. Keteraturan dalam masyarakat mungkin tidak akan pernah benar-benar tercapai, karena nilai-nilai kehidupan selalu berubah. Masyarakat Börönadu kini sedang berusaha melakukan penyesuaian-penyesuaian adatnya dengan ajaran Kristen dan Katholik yang kebetulan bisa membebaskan dari beban tradisi. Proses penyesuaian antara budaya megalitik dan agama baru di Börönadu merupakan sebuah pelajaran berharga yang menunjukkan
kepada
kita
bagaimana
sebuah
komunitas
berusaha
melakukan
penyesuaian-penyesuaian kultural untuk menjaga eksistensinya. Sebuah pelajaran lain yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah bahwa arkeologi sebagai sebuah disiplin sangat membutuhkan ilmu-ilmu lain. Studi etnohistrori dan etnografi yang saya lakukan di Boronadu ternyata dapat digunakan untuk membantu saya dalam memahami makna megalitik.
21
DAFTAR RUJUKAN Anonim. 1952. Buku Zinuno Mbanua Niha Keriso Protestan ba Dano Nias, Indonesia. Verlag der Rheinischen Missionsgesellschaft Wuppertal. Barmen. Banton, Michael. 1973. Anthtropological Approaches to the Study of Religion. Tavistock Publications. Barthes, Roland. 2004. Mitologi. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Bellwood, Peter. 1987. The Polynesians: Prehistory of an Island People. Thames and Hudson. London. Davamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama (Terjemahan oleh A. Sudiarja dkk.). Kanisisus. Yogyakarta. Dillistone, F.W. 2002. The Power of Symbols. Kanisius. Yogyakarta. Durkheim, Emile. 2003. Sejarah Agama. Ircisod. Yogyakarta Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama (Terjemahan oleh Francisco Budi Hardiman. Kanisius. Yogyakarta. Hadiwijono, Harun. 2003. Religi Suku Murba di Indonesia. Gunung Mulia. Jakarta. Hammerle, P. Johannes. 1995. Hikaya Nadu. Yayasan Pusaka Nias. Gunungsitoli. Hammerle, P. Johannes. 2001. Asal Usul Masyarakat Nias: Suatu Interpretasi. Yayasan Pusaka Nias. Gunungsitoli. Heggie, Douglas C. 1981. Megalithic Science: Ancient Mathematics and Astronomy in Nortwest Europe. Thames & Hudson Ltd. London. Hoop, van Der 1932. Megalithic Remains in South Sumatera. W. J. Theieme & Cie, Zutphen. Netherland. Morris, Brian. 2003. Antropologi Agama: Kritik Teori Agama-agama Kontemporer. AK Group. Yogyakarta Permata, Ahmad Norma. 2000. Metodologi Studi Agama. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Pfeiffer, John E. 1985. The Creative Explosion: an Inquiry into the Origins of Art and Religion. Cornell University Press. Ithaca, New York. Purwitasari, Tiwi. 2000, “Kultus Arca Domas dan Pelestarian Hutan: Studi Kasus Komunitas Baduy di Kampung Kompol, Jawa Barat”. dalam Etty Saringendyanti (ed.), Kronik Arkeologi, hlm. 64-73. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jakarta. Sonjaya, Jajang Agus. 2003. “Kajian Arkeologi-Religi dalam Perspektif Arkeologi Interpretif”. Dalam Artefak Edisi 25, hlm. 12 – 17. Himpunan Mahasiswa Arkeologi UGM. Yogyakarta. Sudarmadi, Tular. 1994. "Kajian Ulang Fungsi Situs Megalitik Terjan: Tinjauan Aspek Simbolik". Dalam Jejak-jejak Budaya. API Rayon II. Yogyakarta. Sukendar, Haris, 1982. "Tradisi Megalitik di Indonesia". Dalam Analisis Kebudayaan Th II, hlm. 79 – 86. Depdikbud. Jakarta. Th. van den. 2001. Ragi Carita 2. Gunung Mulia. Jakarta. Winangun, Y.W. Wartaya. 1990. Masyarakat Bebas Struktur: Liminitas dan Komunitas Menurut Victor Turner. Pustaka Filsafat Kanisius. Yogyakarta. Yuwono, J. Susetyo Edy, 1995. "Megalitik Indonesia dan Ambiguitas Pemaknaannya". Dalam Artefak No.15, hlm. 26 – 30. Himpunan Mahasiswa Arkeologi UGM. Yogyakarta.
22