Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
ANALISIS PROKSIMAT BERAS MERAH (Oryza sativa) VARIETAS SLEGRENG DAN AEK SIBUNDONG Mirsya Ekarina Mulyani*, Dra. Sukesi, M.Si1 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK
Indonesia memiliki beragam varietas beras merah (Oryza sativa). Namun, beras merah belum begitu banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Maka, perlu dilakukan analisis proksimat untuk menentukan kandungan gizi dari beras merah. Beras merah yang diteliti adalah beras merah varietas Slegreng dan Aek Sibundong. Kadar proksimat yang diteliti antara lain: kadar lemak kasar, kadar protein kasar serta kadar karbohidrat total. Kadar lemak kasar ditentukan dengan metode ekstraksi soxhletasi menggunakan pelarut petroleum eter. Kadar protein kasar ditentukan dengan menggunakan metode Kjeldahl. Sedangkan kadar karbohidrat total ditentukan secara spektrofotometri dengan pereaksi antron-asam sulfat. Hasil penelitian dari lima kali replikasi untuk masing-masing varietas menunjukkan bahwa beras merah varietas Slegreng mengandung kadar air sebesar 4,79%; 2,36% lemak; 9,41% protein serta 79,40% karbohidrat. Beras merah varietas Aek Sibundong mengandung kadar air sebesar 4,72%; 3,04% lemak; 9,66% protein serta 79,97% karbohidrat.
Key words : analisis proksimat, beras merah, lemak kasar, protein kasar, karbohidrat total 1. Pendahuluan Beras merupakan makanan pokok yang banyak dikonsumsi oleh warga di dunia, terutama di benua Asia. Walaupun umumnya beras yang dikonsumsi berwarna putih, terdapat juga varietas beras yang memiliki pigmen warna seperti beras merah, beras cokelat dan beras hitam. Beras merah (Oryza sativa) merupakan jenis beras yang memiliki warna merah. Warna merah dari beras merah ditimbulkan oleh pigmen antosianin yang terdapat pada bagian lapisan luarnya (Maekawa, 1998). Beras merah ini banyak terdapat di berbagai daerah di Asia, juga di sebagian Amerika. Namun, di Amerika beras merah dianggap sebagai gulma tanaman padi yang menurunkan nilai jual dari beras putih yang diproduksi (Ahuja et al, 2007). Indonesia memiliki beragam varietas beras merah lokal dengan kandungan gizi masing-masing berbeda sesuai dengan tempat tumbuhnya. Varietas unggul beras merah yang tumbuh di daerah Jawa Timur antara lain adalah: Cempolulut, Slegreng, Sidomuncul, Bondoyudo, Kalimas dan Bogor C-3 (Roesmarkam, Suyamto dan Suyono, 2002). Selain itu, ada juga beras merah varietas unggul lain yang telah dilepas oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi yaitu beras merah varietas Aek Sibundong serta Ciherang. Varietas lain yang tumbuh di daerah Jawa Barat yaitu Jembar Beureum dan Cere Beureum di daerah Jawa Barat, Lembah Pasaman di Sumatera Barat serta Gunung Sari di Bali * Corresponding author Phone : 085746068086 e-mail:
[email protected] 1 Alamat sekarang : Jur Kimia, Fak. MIPA,Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya.
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
(Indrasari, 2006). Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komponen utama dari suatu bahan. Untuk makanan, komponen utama umumnya terdiri dari kadar air, kadar abu, karbohidrat, protein serta lemak (Hui, 2006). Analisis ini menjadi perlu untuk dilakukan karena menyediakan data kandungan utama dari suatu bahan makanan. Faktor lain adalah karena analisis proksimat dalam makanan berkenaan dengan kadar gizi dari bahan makanan tersebut. Kadar gizi perlu diketahui karena berhubungan dengan kualitas makanan tersebut. Selain itu, analisis proksimat umumnya tidak mahal dan relatif mudah untuk dilakukan ( Ensminger, 1994). Berdasarkan penelitian oleh Gealy dan Bryant (2009), beberapa jenis beras merah lokal di daerah Amerika Utara memiliki kadar protein antara 1014 %, kadar lemak antara 2-3 % serta kadar karbohidrat yang tinggi, yaitu diatas 70%. Kadar protein ini jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan beras putih pecah kulit yang memiliki kandungan protein sekitar 7%, bahkan beras putih yang telah mengalami proses penggilingan hanya mengandung 5% protein (Heinemann et al, 2005). Selain kandungan gizinya, keunggulan lain yang dimiliki beras merah adalah seratnya yang relatif lebih mudah dicerna dalam usus. Hal ini menyebabkan sisa-sisa makanan tidak tertahan terlalu lama di dalam usus sehingga usus belum sempat menyerap racun-racun yang ikut terbawa dalam makanan. Maka, tubuh akan terhindar dari racun-racun yang potensial menyebabkan kanker. Selain itu, beras merah juga kaya akan vitamin B dan E sehingga tidak mudah menimbulkan
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
kembung saat dikonsumsi. Keunggulan inilah yang membedakan beras merah dari makanan lainnya yang juga mengandung banyak serat (Indrasari, 2006). Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kadar proksimat beras merah lokal varietas Slegreng dan Aek Sibundong. Kedua varietas beras merah ini dipilih karena belum banyak diteliti dan termasuk baru dilepas. Kadar proksimat yang diteliti berupa kadar air, kadar lemak kasar, kadar protein kasar dan kadar karbohidrat total. II. Metodologi Penelitian 2.1 Pembuatan Tepung Beras Merah Kering (Horwitz, 2000) Beras merah lokal varietas Slegreng dan Aek Sibundong yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jawa Timur. Beras merah digiling dalam penggiling ball mill hingga diperoleh serbuk beras merah yang halus. Kemudian, serbuk beras merah diayak dengan pengayak berukuran pori 180 μm atau 80 mesh. Selanjutnya, tepung beras merah dihilangkan kadar airnya dengan cara dioven pada suhu 105 °C selama 2 jam. Tepung beras merah kering kemudian didinginkan dalam suhu ruang dan ditimbang berat keringnya. Tepung beras merah kering kemudian disimpan dalam desikator untuk analisis selanjutnya. 2.2 Penentuan Kadar Lemak Kasar (Horwitz, 2000) Kadar lemak kasar dalam kedua varietas beras merah dapat ditentukan dengan metode ekstraksi soxhletasi dengan menggunakan pelarut petroleum eter. Tepung beras merah kering ditimbang sebanyak 5 g ram kemudian dibungkus dengan kertas saring kasar dan dimasukkan pada labu reservoir atas pada rangkaian alat soxhlet. Pelarut petroleum eter dimasukkan sebanyak 150 mL kedalam labu bulat yang telah berisi batu didih. Ekstraksi dilakukan selama 6 jam, kemudian ekstrak lemak yang berada dalam labu bulat dipindahkan kedalam gelas piala yang telah diketahui massanya. Ekstrak lemak ini selanjutnya diuapkan hingga tertinggal endapan lemak di dasar gelas piala. Kemudian gelas piala ditimbang dan diperoleh selisih berat yang merupakan massa lemak dari cuplikan. Replikasi dilakukan lima kali untuk masing-masing varietas. 2.3 Penentuan Kadar Protein Kasar (Horwitz, 2000) Kadar protein kasar dapat ditentukan dengan metode Kjeldahl. Metode ini terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, distilasi dan titrasi. Mula-mula cuplikan berupa tepung beras merah kering ditimbang sebanyak 0,1 gram dan dimasukkan kedalam labu Kjeldahl (dapat juga menggunakan tabung reaksi). Kemudian ditambahkan dengan 1 Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
gram CuSO 4 dan ditambah dengan 2,5 mL H 2 SO 4 pekat. Selanjutnya cuplikan didestruksi selama 2 jam pada suhu 100 ºC. Setelah hasil destruksi didinginkan, kemudian dimasukkan kedalam labu bulat yang telah diberi batu didih dan ditambah dengan 50 mL aqua DM serta 15 mL NaOH 50 % w/v dan dilakukan distilasi. Distilat ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL HCl 0,02 N; 4 tetes metil merah dan 4 tetes metilen biru hingga volume total mencapai 40 mL. Kemudian larutan dalam erlenmeyer dititrasi dengan larutan NaOH yang telah distandarisasi dengan larutan H 2 C 2 O 4 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna dari ungu menjadi hijau. Volume NaOH yang digunakan untuk titrasi dicatat. Replikasi untuk masing-masing cuplikan sebanyak lima kali. 2.4
Penentuan Kadar Karbohidrat Total (Sadasivam dan Manickam, 1996) Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode spektrofotometri visible. Metode ini dilakukan dengan menghidrolisis cuplikan menggunakan asam klorida, baru kemudian direaksikan dengan pereaksi antron-asam sulfat. Kadar karbohidrat total direpresentasikan oleh kadar glukosa dalam cuplikan. 2.4.1
Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan standar glukosa 60 ppm diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan 4 mL pereaksi antron-asam sulfat. Kemudian dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pendinginan segera dengan air mengalir dan dilanjutkan dengan pencarian panjang gelombang maksimum dengan menggunakan spektrofotometer Genesys 20. Pembacaan absorbansi dilakukan pada kisaran panjang gelombang 500-700 nm dengan interval 20 nm. Apabila telah ditemukan kisaran panjang gelombang maksimum, maka pencarian dilanjutkan dengan interval 5 nm pada daerah panjang gelombang maksimum. Panjang gelombang maksimum ditunjukkan dengan absorbansi masimum. 2.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Glukosa Larutan standar glukosa 0;20;40;60;80;100 ppm diambil masing-masing sebanyak 1 mL dan dimasukkan kedalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan 4 mL pereaksi antron-asam sulfat. Kemudian dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan pendinginan segera dengan air mengalir dan diukur absorbansi pada panjang gelombang 585 nm.
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
2.4.3 Penentuan Kadar Glukosa dalam Beras Merah Cuplikan berupa tepung beras merah kering yang telah diekstrak lemaknya ditimbang sebanyak 10 mg dan dimasukan kedalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 mL HCl 2N dan dipanaskan dalam penangas air mendidih selama ± 3 jam. Selanjutnya, cuplikan yang telah dihidrolisis tersebut didinginkan dan dipindahkan kedalam labu ukur 100 mL dan ditambah aqua DM hingga tanda batas. Larutan kemudian diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambah 4 mL pereaksi antron-asam sulfat. Kemudian dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 12 menit. Selanjutnya dilakukan pendinginan segera dengan penangas es dan didiamkan dalam ruang gelap selama 20 menit, baru diukur absorbansi pada panjang gelombang 585 nm . Replikasi dilakukan sebanyak lima kali pada masing-masing varietas. III. Hasil dan pembahasan 3.1 Hasil Penentuan Kadar Air Kadar air dihilangkan dari beras merah dengan cara pengeringan dengan menggunakan oven selama 2 jam pada suhu 105 °C (Horwitz, 2000). Suhu ini dipilih karena merupakan suhu dimana air menguap. Kadar air dalam beras merah varietas Slegreng dapat dilihat pada Tabel 3.1 Tabel 3.1 Kadar air rata-rata beras merah varietas Slegreng Massa Massa cawan dan Massa Massa Kadar Air No. Selisih (g) cawan dan beras cawan (g) beras (g) (%) beras (g) setelah oven (g) 1 33,11 41,08 40,70 0,38 7,97 4,77 2 48,46 58,31 57,83 0,48 9,85 4,87 3 36,99 46,78 46,31 0,47 9,79 4,80 4 45,70 55,24 54,79 0,45 9,54 4,72 5 36,99 48,03 47,50 0,53 11,04 4,80 4,79 Kadar air rata-rata 0,0570 Standar deviasi
Berdasarkan Tabel 3.1, kadar air rata-rata beras merah varietas Slegreng dari lima kali replikasi adalah sebesar 4,79% dengan standar deviasi sebesar 0,0570. Menurut Miller (1991), suatu replikasi dapat dikatakan presisi apabila memiliki nilai standar deviasi lebih kecil dari 2,5. Berdasarkan teori tersebut, maka perhitungan kadar air untuk lima kali replikasi dapat dikatakan presisi. Sedangkan untuk kadar air beras merah varietas Aek Sibundong dapat dilihat pada Tabel 3.2:
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Tabel 3.2 Kadar air beras merah varietas Aek Sibundong Massa Massa cawan dan Massa Kadar Air Massa No. Selisih (g) cawan dan beras beras (g) (%) cawan (g) beras (g) setelah oven (g) 1 80,11 101,04 100,03 1,01 20,93 4,83 2 47,86 57,22 56,79 0,43 9,36 4,59 3 47,33 57,11 56,64 0,47 9,78 4,81 4 47,86 58,76 58,25 0,51 10,90 4,68 5 47,33 58,46 57,94 0,52 11,13 4,67 4,72 Kadar air rata-rata 0,0977 Standar deviasi
Berdasarkan Tabel 3.2, kadar air beras merah varietas Aek Sibundong rata-rata untuk lima kali replikasi adalah sebesar 4,72%. Nilai standar deviasi sebesar 0,0977 yang menunjukkan bahwa metode yang dilakukan presisi karena standar deviasi lebih kecil dari 2,5 (Miller, 1991). Tingkat kepresisian penentuan kadar air pada beras merah varietas Slegreng lebih baik daripada varietas Aek Sibundong. Menurut penelitian Sompong et al (2011), kadar air beberapa varietas beras merah yang beredar di Thailand, Sri Lanka dan Cina berkisar antara 9,28% hingga 13,12%. Apabila diban-dingkan dengan beras merah lokal varietas Slegreng dan Aek Sibundong yang memiliki kadar air rata-rata 4,79% dan 4,72%; maka kedua varietas beras merah lokal ini memiliki kadar air yang lebih rendah. Kadar air berpengaruh pada stabilitas suatu material pada saat disimpan. Apabila suatu bahan memiliki kadar air yang tinggi, maka ketahanan pada saat penyimpanan rendah sehingga mudah rusak saat disimpan (Nielsen, 2003). Pendekatan statistika berupa uji Analysis of Variance (ANOVA) satu arah dilakukan untu menentukan apakah kadar air dalam kedua varietas beras merah tersebut berbeda. Berdasarkan uji ANOVA, kadar air pada beras merah varietas Slegreng dan Aek Sibundong tidak memiliki perbedaan yang signifikan. 3.2 Hasil Penentuan Kadar Lemak Kasar Penentuan kadar lemak kasar dilakukan dengan metode ekstraksi soxhletasi. Metode ini merupakan metode standar AOAC untuk penentuan lemak (Horwitz, 2000). Metode ini didasarkan pada pelarut yang dibiarkan kontak dengan cuplikan berupa beras merah yang telah dibungkus dengan kertas saring. Ekstraksi yang dilakukan adalah semikontinyu, dilakukan selama kurang lebih 6 jam agar kontak antara pelarut dengan cuplikan terjadi berulang-ulang sehingga lemak yang terekstrak maksimal (Wrolstad et al, 2005). Kemudian pelarut diuapkan untuk mendapatkan endapan lemak. Hasil penentuan kadar lemak kasar untuk beras merah varietas Slegreng dapat dilihat pada Tabel 3.3:
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
Tabel 3.3 Kadar lemak kasar beras merah varietas Slegreng Massa Massa gelas Massa No. cuplikan piala kosong total (g) (g) (g) 5,0007 107,45 107,57 1 5,0006 124,94 125,05 2 5,0005 108,67 108,78 3 5,0012 123,12 123,27 4 5,0007 107,73 107,83 5 Kadar lemak kasar rata-rata Standar deviasi
Massa lemak (g) 0,12 0,11 0,12 0,13 0,11
Kadar lemak kasar (%) 2,40 2,20 2,40 2,60 2,20 2,36 0,1672
Berdasarkan Tabel 3.3, kadar lemak kasar ratarata untuk lima kali replikasi adalah sebesar 2,36% dengan standar deviasi sebesar 0,1672 yang menunjukkan bahwa metode yang dilakukan presisi karena bernilai lebih kecil daripada 2,5 (Miller, 1991). Sedangkan untuk beras merah varietas Aek Sibundong, data perhitungan kadar lemak kasar dapat dilihat pada Tabel 3.4: Tabel 3.4 Kadar lemak kasar beras merah varietas Aek Sibundong Massa Massa gelas Massa No. cuplikan piala kosong total (g) (g) (g) 1 5,0011 103,57 103,73 2 5,0004 98,99 99,13 3 5,0008 112,83 113,00 4 5,0008 121,07 121,22 5 5,0010 98,98 99,12 Kadar lemak kasar rata-rata Standar deviasi
Massa lemak (g) 0,16 0,14 0,17 0,15 0,14
Kadar lemak kasar (%) 3,20 2,80 3,40 3,00 2,80 3,04 0,2607
Berdasarkan Tabel 3.4, kadar lemak kasar ratarata dalam beras merah varietas Aek Sibundong adalah sebesar 3,04% dengan nilai standar deviasi sebesar 0,2607. Nilai ini menunjukkan bahwa metode yang digunakan presisi karena bernilai lebih kecil dari 2,5 (Miller, 1991). Tingkat kepresisian analisis kadar lemak kasar pada beras merah varietas Slegreng lebih baik daripada pada beras merah varietas Aek Sibundong karena memiliki nilai standar deviasi yang lebih kecil. Berdasarkan Tabel 3.3 dan Tabel 3.4, kadar lemak kasar beras merah varietas Aek Sibundong (3,04%) lebih besar daripada varietas Slegreng (2,36%). Nilai kadar lemak tersebut hampir sama dengan nilai kadar lemak beras merah dan beras hitam yang terdapat di Jepang pada penelitian Yoshida, Tomiyama dan Mizushina (2010) yaitu sekitar 2,2% hingga 3,7%. Selain itu, berdasarkan penelitian oleh Gealy dan Bryant (2009), kandungan lemak kasar rata-rata dari sejumlah varietas beras merah yang tumbuh di daerah Amerika Utara adalah sebesar 2,4%. Perbedaan nilai yang tidak terlalu besar ini menunjukkan bahwa kandungan lemak kasar dalam beras merah tidak jauh berbeda walaupun tumbuh di daerah yang berbeda. Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Pendekatan statistika dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan kadar lemak kasar yang signifikan antara beras merah varietas Slegreng dan Aek Sibundong. Pengujian yang dilakukan adalah uji ANOVA satu arah. Berdasarkan hasil perhitungan ANOVA, ternyata terdapat perbedaan kadar lemak kasar yang signifikan antara kedua varietas. 3.3 Hasil Penentuan Kadar Protein Kasar Pada penelitian ini, protein kasar ditentukan dengan metode Kjeldahl. Secara umum, metode ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu destruksi, distilasi dan titrasi. Metode ini digunakan secara luas dalam penentuan protein kasar dalam makanan atau material lainnya karena reagen yang digunakan mudah didapatkan (Ensminger, 1994). Tahap awal yang dilakukan adalah destruksi cuplikan dengan menggunakan asam kuat pekat berupa H 2 SO 4 98% dengan katalis CuSO 4 anhidrat. Asam sulfat pekat ditambahkan karena merupakan agen pengoksidasi yang kuat, yang akan bereaksi dengan nitrogen dalam cuplikan dan akan menghasilkan amonium sulfat. Sedangkan CuSO 4 anhidrat berfungsi sebagai katalis untuk menaikkan titik didih dari asam sulfat karena apabila tanpa diberikan katalis, asam sulfat akan mendehidrasi cuplikan yang menghasilkan produk utama berupa karbon (Kenkel, 2003). Reaksi antara nitrogen dalam cuplikan dengan asam sulfat pekat dan dikatalisis oleh CuSO 4 dapat dilihat pada reaksi berikut: N organik + H 2 SO 4 (NH 4 ) 2 SO 4 (aq) + H 2 O (l) + CO 2 (g) + produk samping lain Cuplikan yang telah didestruksi kemudian dipindahkan dalam labu bulat yang telah berisi batu didih lalu ditambah dengan NaOH 50% w/v dan aqua DM yang bertujuan untuk mengubah amonium sulfat menjadi amonium hidroksida dengan reaksi sebagai berikut: (NH 4 ) 2 SO 4 (aq) + 2NaOH(aq) 2NH 3 (g) + Na 2 SO 4 (aq) + 2H 2 O(l) Gas NH 3 yang terbentuk ketika dipanaskan dalam tahap distilasi, kemudian dikondensasi dan ditampung dalam erlenmeyer yang telah berisi HCl 0,02 N, indikator metil merah serta metilen biru. Larutan HCl akan mengubah NH 3 menjadi ion amonium. Reaksi yang terjadi adalah: -
NH 3 (l) + HCl (aq) NH 4 + (aq) + Cl (aq)
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
Kemudian, sisa asam yang tidak bereaksi dengan NH 3 akan dititrasi dengan NaOH 0,02 N dengan reaksi: -
H+ (aq) + OH (aq) H 2 O (l) Indikator yang digunakan adalah indikator campuran antara metil merah (0,2% dalam etanol) dengan metilen biru (0,1% dalam aqua DM) dengan perbandingan 1:1. Indikator ini bekerja berdasarkan perubahan pH, dengan warna merah violet pada kondisi asam dan hijau pada kondisi basa (Lurie, 1975). Transisi warna dari merah violet ke hijau dicapai pada pH sekitar 5,4 dengan warna biru keabu-abuan (Patnaik, 2004). Indikator ini digunakan karena perubahan warnanya mudah diamati untuk menentukan titik akhir titrasi. Titik akhir titrasi dicapai apabila larutan berubah warna dari merah violet menjadi hijau. Konsentrasi ion OH yang dibutuhkan untuk titrasi ekivalen dengan jumlah nitrogen dalam cuplikan. Kadar nitrogen ini kemudian dikonversikan untuk menentukan kadar protein kasar dalam cuplikan. Umumnya, protein mengandung 16% nitrogen sehingga 6,25 gram protein mengandung 1 gram nitrogen. Namun, tidak semua protein mengandung 16% nitrogen sehingga faktor konversi untuk masing-masing bahan yang dianalisis tidak sama (Ensminger, 1994). Untuk beras, Puwastien et al (2009) menggunakan faktor konversi sebesar 5,95. Hasil perhitungan kadar protein kasar untuk beras merah varietas Slegreng dapat dilihat pada Tabel 3.5: Tabel 3.5 Kadar protein kasar beras merah varietas Slegreng No. mcuplikan (g) VNaOH (mL) Kadar (%) 1 0,1007 5,9 9,47 2 0,1008 6,0 9,28 3 0,1009 6,1 9,08 4 0,1002 5,8 9,71 5 0,1001 5,9 9,53 9,41 Kadar protein kasar rata-rata 0,2421 Standar deviasi
Berdasarkan Tabel 3.5, kadar protein kasar ratarata dalam beras merah varietas Slegreng adalah sebesar 9,41% dengan standar deviasi sebesar 0,2421. Nilai standar deviasi ini menunjukkan bahwa metode yang dilakukan presisi karena nilainya lebih kecil daripada 2,5 (Miller, 1991). Tabel 3.6 menunjukkan data hasil perhitungan kadar protein kasar untuk beras merah varietas Aek Sibundong.
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Tabel 3.6 Kadar protein kasar beras merah varietas Aek Sibundong No. mcuplikan (g) VNaOH (mL) Kadar (%) 1 0,1007 5,8 9,66 2 0,1003 5,9 9,51 3 0,1001 5,7 9,91 4 0,1003 5,7 9,89 5 0,1004 6,0 9,31 9,66 Kadar protein kasar rata-rata 0,2527 Standar deviasi Berdasarkan Tabel 3.6, kadar protein kasar ratarata dalam beras merah varietas Aek Sibundong adalah sebesar 9,66% dengan standar deviasi sebesar 0,2527. Nilai standar deviasi ini menunjukkan bahwa metode yang dilakukan presisi karena nilainya lebih kecil daripada 2,5 (Miller, 1991). Tingkat kepresisian untuk analisis beras merah varietas Slegreng lebih baik daripada varietas Aek Sibundong. Pada penelitian yang dilakukan oleh Gealy dan Bryant (2009), kandungan protein beras merah di Amerika Utara bervariasi dari 9,9% hingga 14,0%. Sedangkan Sompong et al (2011) melaporkan bahwa sejumlah varietas beras merah di daerah Thailand, Sri Lanka dan Cina mengandung protein bervariasi dari 7,16% hingga 10,36%. Kadar protein dalam beras merah relatif lebih tinggi daripada dalam beras putih biasa, walaupun beras tersebut mengalami proses penggilingan minimal (beras pecah kulit/brown rice). Heinemann et al (2005) melaporkan bahwa beras pecah kulit di Brazil mengandung 7,42% protein dan beras putih hanya mengandung sekitar 5,71% protein. Penelitian lain juga dilakukan oleh Puwastien et al (2009) yang menunjukkan bahwa beras pecah kulit di Thailand mengandung protein sebesar 7,92%. Uji ANOVA satu arah dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan kadar protein kasar yang signifikan antara beras merah varietas Slegreng dan Aek Sibundong. Berdasarkan hasil perhitungan ANOVA, ternyata tidak terdapat perbedaan kadar protein kasar yang signifikan antara kedua varietas. 3.4 Hasil Penentuan Kadar Karbohidrat Total 3.4.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Panjang gelombang maksimum didapatkan dari absorbansi maksimum larutan glukosa standar 60 ppm pada rentang panjang gelombang 500-700 nm dengan interval 20 nm . Apabila telah mendekati absorbansi maksimum, interval diturunkan menjadi 5 nm. Kurva hasil penentuan panjang gelombang maksimum dapat dilihat pada Gambar 3.1:
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
Gambar 3.1 Penentuan panjang gelombang maksimum Berdasarkan kurva diatas, absorbansi maksimum didapat pada panjang gelombang 585 nm . Panjang gelombang ini kemudian dijadikan dasar untuk pembuatan kurva kalibrasi serta penentuan kadar glukosa dalam cuplikan. 3.4.2 Pembuatan Kurva Kalibrasi Pembuatan kurva kalibrasi bertujuan untuk menentukan kadar glukosa dalam cuplikan. Konsentrasi glukosa dalam cuplikan dapat ditentukan apabila absorbansi dari larutan standar diketahui. Pada penelitian ini, konsentrasi larutan glukosa standar yang digunakan sebesar 0, 20, 40, 60, 80 serta 100 ppm. Kurva kalibrasi glukosa dibuat dari plot antara konsentrasi glukosa terhadap absorbansi pada panjang gelombang 585 n m. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada Gambar 3.2:
3.4.2 Penentuan Kadar Glukosa dalam Beras merah Kadar karbohidrat total dalam cuplikan dapat ditentukan berdasarkan kadar glukosa dalam cuplikan (Sadasivam dan Manickam, 1996). Prinsip umum dari reaksi ini adalah reaksi hidrolisis karbohidrat dengan asam encer sehingga terbentuk monosakarida. Kemudian, monosakarida tersebut (dalam bentuk glukosa) direaksikan dengan pereaksi antron-asam sulfat sambil dipanaskan. Asam sulfat akan mendehidrasi monosakarida tersebut hingga terbentuk hidroksimetil furfural, yang kemudian bereaksi dengan antron dan membentuk senyawa yang berwarna hijau dan dapat dianalisis dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 585 nm . Pemilihan panjang gelombang ini, selain karena absorbansi maksimum terjadi pada panjang gelombang ini, interferensi oleh protein juga dapat dihindari (Multon dan Dieter, 1997). Reaksi yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 3.3:
Gambar 3.3 Reaksi hidrolisis karbohidrat diikuti dengan reaksi dengan pereaksi antron-asam sulfat (Robyt, 1998)
Gambar 3.2 Kurva kalibrasi glukosa Dari Gambar 3.2, dapat diperoleh persamaan regresi linear: y = 0,00612x −0,005 serta nilai r2 = 0,998. Nilai r2 = 0,998 memenuhi syarat untuk digunakan sebagai kurva kalibrasi karena harga r2 tersebut terletak pada interval 0,9 < r2 < 1. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang linear antara data absorbansi dengan konsentrasi, dimana semakin tinggi konsentrasi, absorbasi juga semakin tinggi. Hubungan antara nilai konsentrasi dan absorbansi ditegaskan dengan uji t. Hasil uji t menunjukkan bahwa ada korelasi linear antara nilai konsentrasi dengan absorbansi. Maka, kadar glukosa dapat ditentukan berdasarkan nilai absorbansinya.
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Reaksi antara glukosa dengan pereaksi antronasam sulfat terjadi dengan baik apabila diikuti dengan pemanasan selama kurang lebih 12 menit dan diikuti dengan pendinginan secara cepat dan kemudian didiamkan selama kurang lebih 20 menit pada ruang yang terlindung dari cahaya. Tujuan pendiaman ini adalah agar warna yang terbentuk semakin kuat dan stabil sebelum dilakukan pengukuran absorbansi dengan spektro-fotometer (Bailey, 1957). Warna awal dari pereaksi antron-asam sulfat adalah kuning. Setelah ditambahkan dengan larutan glukosa, warnanya berubah menjadi hijau agak kekuningan. Reaksi yang terjadi sangat eksotermis, maka penambahan pereaksi antron-asam sulfat dilakukan sambil didinginkan dengan es. Ketika dipanaskan, warna yang terbentuk semakin jelas. Kemudian dilakukan pendinginan dengan cepat dan penyimpanan dalam ruang gelap. Baru kemudian, dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 585 nm. Analisis karbohidrat total dilakukan dalam lima kali replikasi untuk masing-masing varietas. Hasil perhitungan kadar karbohidrat total untuk beras
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
merah varietas Slegreng dapat dilihat pada Tabel 3.7: Tabel 3.7 Kadar karbohidrat total beras merah varietas Slegreng No.
mcuplikan (mg)
Absorbansi
1 10,5 0,499 2 10,5 0,499 3 10,1 0,499 4 10,3 0,490 5 10,2 0,495 Kadar karbohidrat rata-rata Standar deviasi
cglukosa (ppm) 82,353 82,353 82,353 80,882 81,699
Kadar Karbohidrat (%) 78,43 78,43 81,54 78,53 80,10 79,40 1,3870
Berdasarkan Tabel 3.7, kadar karbohidrat total rata-rata lima kali replikasi untuk beras merah varietas Slegreng adalah sebesar 79,40% dengan nilai standar deviasi 1,3870. Nilai standar deviasi ini menunjukkan bahwa metode cukup presisi karena bernilai lebih kecil daripada 2,5 (Miller, 1991). Untuk beras merah varietas Aek Sibundong, kadar karbohidrat masing-masing replikasi dapat dilihat pada Tabel 3.8: Tabel 3.8 Kadar karbohidrat total beras merah varietas Aek Sibundong No.
mcuplikan (mg)
Absorbansi
1 10,3 0,494 2 10,2 0,492 3 10,3 0,499 4 10,1 0,495 5 10,1 0,491 Kadar karbohidrat rata-rata Standar deviasi
cglukosa (ppm) 81,536 81,209 82,353 81,699 81,046
Kadar Karbohidrat (%) 79,16 79,62 79,95 80,89 80,24 79,97 0,6521
Berdasarkan Tabel 3.8, kadar karbohidrat total rata-rata lima kali replikasi untuk beras merah varietas Aek Sibundong adalah sebesar 79,97% dengan nilai standar deviasi 0,6521. Nilai standar deviasi ini menunjukkan bahwa metode cukup presisi karena bernilai lebih kecil daripada 2,5 (Miller, 1991). Tingkat kepresisian untuk penentuan kadar karbohidrat total dalam beras merah varietas Aek Sibundong lebih presisi apabila dibandingkan dengan varietas Slegreng. Berdasarkan hasil penelitian, kadar karbohidrat total dalam beras merah varietas Slegreng sebesar 79,40% sedangan untuk varietas Aek Sibundong, kadar karbohidrat totalnya sebesar 79,97%. Hasil ini tidak jauh berbeda apabila dibandingkan dengan penelitian oleh Sompong et al (2011) mengenai kadar proksimat beberapa varietas beras merah di beberapa negara di Asia. Sompong et al (2011) melaporkan bahwa kadar karbohidrat total beras Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
merah bervariasi, mulai dari 73,73% hingga 79,27%. Uji ANOVA satu arah dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan kadar karbohidrat total yang signifikan antara beras merah varietas Slegreng dan Aek Sibundong. Berdasarkan hasil perhitungan ANOVA, ternyata tidak terdapat perbedaan kadar karbohidrat total yang signifikan antara kedua varietas. IV. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Beras merah varietas Slegreng mengandung kadar air rata-rata sebesar 4,79%; 2,36% lemak; 9,41% protein serta 79,40% karbohidrat. Sedangkan beras merah varietas Aek Sibundong mengandung kadar air sebesar 4,72%; 3,04% lemak; 9,66% protein serta 79,97% karbohidrat. 2. Nilai standar deviasi untuk penentuan kadar air dalam beras merah varietas Slegreng sebesar 0,0570 dan untuk varietas Aek Sibundong sebesar 0,0977. Pada penentuan kadar lemak kasar, nilai standar deviasi untuk beras merah varietas Slegreng dan Aek Sibundong masingmasing sebesar 0,1672 dan 0,2607. Pada penentuan kadar protein kasar, nilai standar deviasi untuk beras merah varietas Slegreng dan Aek Sibundong masing-masing sebesar 0,2421 dan 0,2527. Pada penentuan kadar karbohidrat total, nilai standar deviasi untuk beras merah varietas Slegreng dan Aek Sibundong masing-masing sebesar 1,3870 dan 0,6521. Nilai standar deviasi untuk seluruh pengukuran lebih kecil daripada 2,5; maka tingkat kepresisian dari seluruh pengukuran dapat dikatakan baik. 3. Berdasarkan uji ANOVA, kadar air, protein kasar dan kadar karbohidrat total antara kedua varietas beras beras tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Sedangkan kadar lemak kasar dari kedua varietas tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-NYA. 2. Keluarga tercinta atas segala dukungannya. 3. Ibu Dra. Sukesi, M.Si selaku dosen pembimbing sekaligus dosen wali yang telah memberikan saran dan arahan dalam penyusunan tugas akhir. 4. Teman-teman yang telah banyak membantu.
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
DAFTAR PUSTAKA
Miller, J.C, (1991), Statistika untuk Kimia Analitik, Penerbit ITB, Bandung
Ahuja, Uma, et al, (2007), Red Rices: past, present, and future, Asian Agri-History 11, 4, Hal. 291-304
Multon, Jean Louis dan Dieter, Lance, (1997), Analysis of Food Constituens, Wiley VCH, New York
Bailey, R. W., (1957), The Reaction of Pentoses with Anthrone, Biochem J 68, Hal. 669672 Ensminger, Audrey, (1994), Foods and Nutrition Encyclopedia Volume 1 2nd Edition, CRC Press LLC, Boca Raton
Nielsen, S. Suzanne, (2003), Food Analysis 3rd ed., Kluwer Academic / Plenum Publishers, New York
Gealy, David R., dan Bryant, Rolfe J., (2009), Seed Physicochemical Characteristics of Fieldgrown US Weedy Rice (Oryza sativa) Biotypes: Contrasts with Commercial Cultivars, Journal of Cereal Science 49, Hal. 239-245 Heinemann, R. J. B., et al, (2005), Comparative Study of Nutrient Composition of Commercial Brown, Parboiled and Milled Rice from Brazil, Journal of Food Composition and Analysis 18, Hal. 287296 Horwitz, William, (2000), Official Methods of Analysis of AOAC International 17th ed, AOAC International, Gaithersburg Hui, Yiu H., (2006), Handbook of Food Science, Technology, and Engineering Volume 1, Taylor & Francis Group, Boca Raton Indrasari, Siti Dewi, (2006), Padi Aek Sibundong: Pangan fungsional, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 28 No. 6, Hal. 1-3 Kenkel, John V., (2003), Analytical Chemistry for Technicians 3rd Edition, CRC Press LLC, Boca Raton Lurie,
J., (1975), Handbook of Analytical Chemistry, Mir Publisher, Moscow
Maekawa, M., (1998), Recent information on anthocyanin pigmentation, Rice Genetics Newsletter 13, Hal. 25-26
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Patnaik, Pradyot, (2004), Dean's Analytical Chemistry Handbook, McGraw-Hill Companies Inc., New York Puwastien, Prapasri, et al, (2009), Development of rice reference material and its use for evaluation of analytical performance of food analysis laboratories, Journal of Food Composition and Analysis 22, Hal. 453-462 Robyt, John F., (1998), Essentials of Carbohydrate Chemistry, Springer-Verlag, New York Roesmarkam, S., Suyamto, dan Suwono, (2002), Varietas Unggul Padi Tahan Tungro, Monograf Rakitan Teknologi. BPTP Jawa Timur. Sadasivam, S.,dan Manickam, Biochemical Methods, International, New Delhi
A., (1996), New Age
Sompong, R., et al, (2011), Physicochemical and Antioxidative Properties of Red and Black Rice Varieties from Thailand, China and Sri Lanka, Food Chemistry 124, Hal. 132140 Wrolstad, Ron E., et al, (2005), Handbook of Food Analytical Chemistry, John Wiley & Sons Inc., Hoboken Yoshida, Hiromi, Tomiyama, Yuka, dan Mizushina, Yoshiyuki, (2010), Lipid Components, Fatty Acids and Triacylglycerol Molecular Species of Black and Red Rices, Food Chemistry 123, Hal. 210-215