ANALISIS POTENSI RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MITIGASI BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH
SA’DIATUL ISTIKOMAH
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ANALISIS POTENSI RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MITIGASI BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH Benefit Analysis of Green Open Space as a Mitigation Facility at Mount Merapi Eruption in Magelang, Province of Central Java Bambang Sulistyantara2 Sa’diatul Istikomah1 Mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 2 Staf Pengajar Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 1
Abstract Indonesia appears to be one of countries which is located in disaster area, including volcanic eruption. Mount Merapi is one of volcanoes in Indonesia which has a great danger potential when erupted. Magelang regency is one of regions that are impleid in dangerous area of Mount Merapi eruption. The eruption causes large losses, it is necessary to mitigate the eruption in order to minimize the impact of the damage and to minimize number of victims by utilizing green open space as evacuation area. The purpose of this research is to analyze the benefit of green open space as evacuation area when eruption occurs. This study used descriptive and spatial analyze of green open space. Unit of analyze consists of seven subdistricts in Magelang regency that are Dukun, Mungkid, Muntilan, Ngluwar, Salam, Sawangan, and Srumbung which have direct impact of eruption. The analyze result is land suitability map for evacuation area. It consists of three categories suitable, quite suitable and unsuitable. The evacuation area consists of macro evacuation area, micro evacuation area, transition area and buffer area of evacuation. The final result of this study is utilization plan of green open space as evacuation area. Keywords: Disaster, Evacuation Area, Green Open Space, Mitigation, Volcano Eruption.
RINGKASAN SA’DIATUL ISTIKOMAH. A44070008. Analisis Potensi Ruang Terbuka Hijau untuk Mitigasi Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh BAMBANG SULISTYANTARA. Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana. Hal ini disebabkan posisi geografis Indonesia yang terletak diantara lempeng tektonik dunia yang menyebabkan timbulnya jalur gunung api aktif. Gunung Merapi memiliki potensi bahaya yang besar ketika meletus dan menimbulkan kerugian yang beragam dan jatuhnya korban jiwa. Kabupaten Magelang merupakan salah satu daerah yang terletak pada kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi yang seharusnya dikembangkan menjadi daerah yang waspada bencana. Bencana akibat letusan tersebut menimbulkan kerugian yang besar sehingga diperlukan upaya untuk meminimalkan kerugian dan resiko jatuhnya korban jiwa dengan mitigasi bencana, salah satunya dengan memanfaatkan elemen ruang terbuka hijau sebagai area evakuasi. Penelitian ini mengkaji tentang potensi ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi melalui pendekatan sumberdaya, fisik dan sosial, upaya mitigasi bertujuan untuk mengurangi jumlah korban jiwa akibat bencana yang terjadi dengan memanfaatkan RTH di Kabupeten Magelang sebagai alternatif ruang evakuasi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai upaya meminimalkan kerugian dan jatuhnya korban jiwa akibat bencana letusan Gunung Merapi dan dapat menjadi saran bagi pemerintah setempat untuk memanfaatkan potensi ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode analisis secara spasial dan deskriptif. Analisis spasial menggunakan software ArcView GIS 3.2. Hasil analisis berupa peta kesesuaian lahan untuk RTH evakuasi melalui proses overlay peta tematik seperti peta kemiringan lahan, peta kepekaan tanah terhadap erosi, peta kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi dan peta penggunaan lahan Kesesuaian lahan untuk RTH evakuasi terdiri atas sesuai, cukup sesuai, dan tidak sesuai. Konsep pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) pada daerah rawan bencana erupsi Gunung Merapi mengacu pada aspek ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi dengan pertimbangan lokasi RTH yang
aman dari berbagai bahaya, aksesibilitas, adanya jalur evakuasi, luas lahan dan daya dukung pada saat evakuasi berlangsung. Konsep pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai ruang evakuasi dibagi menjadi ruang evakuasi makro, ruang evakuasi mikro, ruang evakuasi transisi, dan ruang penyangga evakuasi. Sirkulasi pada ruang evakuasi dibagi menjadi jalur utama berupa jalur evakuasi primer dan jalur evakuasi sekunder serta jalur pendukung berupa jalur evakuasi tersier. Vegetasi yang digunakan terdiri vegetasi endemik dan introduksi dan penataan vegetasi pada RTH evakuasi dibedakan berdasarkan fungsinya. Rekomendasi terdiri dari pemanfaatan ruang terbuka hijau evakuasi, rencana jalur sirkulasi, rencana vegetasi, rencana aktivitas dan fasilitas. Kesesuaian dibagi menjadi tiga kategori yakni sesuai, cukup sesuai, dan tidak sesuai. Area yang sesuai seluas 2.876,39 ha atau 9,62%, area yang cukup sesuai seluas 11.562,5 ha atau 38,66%, area yang tidak sesuai seluas 15.466,1 ha atau 51.72%. Luas ruang evakuasi makro 5.554,96 ha, area sebagai ruang evakuasi mikro memiliki luas sebesar 5.598,33 ha dan area sebagai ruang penyangga evakuasi memiliki luas sebesar 1.385 ha. Luas ruang transisi evakuasi 331,05 km2 dengan panjang 86,4 km. RTH evakuasi dapat dikembangkan dalam bentuk ruang evakuasi berupa taman evakuasi, jalur penyelamatan berupa koridor pada jalur evakuasi, serta sebagai kawasan penyangga dari ancaman bahaya lain dan kawasan konservasi, ruang terbuka hijau yang paling berpotensi dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas dan ketersediaannya sebagai titik evakuasi sementara terdapat di tiga kecamatan, yaitu kecamatan Dukun terdapat di enam desa yakin desa Banyudono, desa Dukun, desa Ketunggeng, desa Mangunsoko, desa Sewukan, dan desa Wates dengan luas RTH 706,35 ha, kecamatan Sawangan terdapat di dua desa yakni desa Kapuhan dan desa Krogowan dengan luas RTH 166,92 ha, serta kecamatan Srumbung dengan enam desa yakni desa Banyuadem, desa Kaliurang, desa Kemiren, desa Mranggen, desa Polengan dan desa Srumbung dengan luas RTH 539,23 ha. Ruang terbuka hijau yang dapat dikembangkan sebagai tempat penampungan akhir tersebar di lima kecamatan, yakni kecamatan Mungkid, kecamatan Muntilan, kecamatan Ngluwar, kecamatan Salam, dan kecamatan
Sawangan. Ruang terbuka hijau yang dapat dikembangkan sebagai tempat penampungan akhir tersebar di enam kecamatan, yakni kecamatan Mungkid dengan desa Pabelan dan desa Ramesanak seluas 429,43 ha, kecamatan Muntilan dengan desa Congkrang, desa Muntilan, desa Ngawen, desa Pucungrejo, desa Sedayu, desa Sriwedari dan desa Tamanagung dengan luas 976,52 ha, kecamatan Ngluwar dengan desa Plosogede seluas 174,42 ha dan kecamatan Salam dengan desa Jumoyo, desa Kadiluwih, desa Salam, desa Tersenggede dan desa Tirto seluas 963,54 ha serta kecamatan Sawangan dengan desa Gondangwangi seluas 92 ha.
Kata kunci: Erupsi, Mitigasi Bencana, Ruang Evakuasi, Ruang Terbuka Hijau.
ANALISIS POTENSI RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MITIGASI BENCANA LETUSAN GUNUNG MERAPI DI KABUPATEN MAGELANG, PROVINSI JAWA TENGAH
SA’DIATUL ISTIKOMAH
Skripsi Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Analisis Potensi Ruang Terbuka Hijau untuk Mitigasi Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah.
Nama Mahasiswa
: Sa’diatul Istikomah
NRP
: A44070008
Departemen
: Arsitektur Lanskap
Disetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr NIP. 19601022 198601 1 001
Diketahui, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Disetujui :
8
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Nopember 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari lima bersaudara dalam keluarga Bapak Umar Said dan Ibu Muslihah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Ragunan 11 Petang, Jakarta Selatan pada tahun 1995 – 2001. Pendidikan menengah di SLTPN 1 Pucuk pada tahun 2004 dan pendidikan atas diselesaikan di SMA Unggulan BPPT Al-Fattah Lamongan pada tahun 2007. Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2007 dan diterima di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian.
9
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian dengan judul Analisis Potensi Ruang Terbuka Hijau untuk Mitigasi Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah memberikan motivasi, dukungan, serta nasehat yang sangat membantu penulis, yaitu kepada: 1. Orang tua tersayang, Bapak dan Mama atas segala do’a, cinta, kasih sayang, perhatian yang tak pernah habis diberikan selama ini, Nurul Khasanah, Titik Kurniawati, Hanifa, Agung Saputro saudaraku tercinta atas kasih sayang, semangat dan canda tawanya. 2. Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr selaku pembimbing yang telah memberikan masukan berupa saran dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini. 3. Dr. Ir. Tati Budiarti, M.S dan Dr. Ir. Afra D.N. Makalew, M.Sc selaku dosen penguji atas saran dan nasehatnya untuk kesempurnaan skripsi penelitian ini. 4. Dr.Ir. Aris Munandar, M.S dan Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si selaku pembimbing akademik atas nasehat dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan. 5. Dr. Gunawan atas informasi dan perkuliahan singkatnya yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Bapak Drs. Budi Santoso dan keluarga atas bantuannya. 7. Dinas terkait dalam penelitian ini, Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum dan ESDM Kabupaten Magelang, BPN Kabupaten Magelang, BPPTK, BPS Kabupaten Magelang dan masyarakat Kabupaten Magelang yang telah membantu dalam pengumpulan data sehingga skripsi ini dapat terlaksana. 8. Seluruh dosen dan staff Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu dan bantuan yang telah diterima oleh penulis. 9. Mba Icha, Mba Muth, Mba Usi, Mba Willy, Cely, Dwenk, Ina atas keceriaan, persahabatan dan kekeluargaan yang indah.
10
10. Rekan satu bimbingan Lina, Rara, Rizky terima kasih atas semangat dan dukungan yang telah diberikan. 11. Dhedhe dan Rini atas bantuannya dalam pengumpulan data, motivasi dan semangat yang diberikan. 12. Teman- teman Arsitektur Lanskap 44 atas kebersamaannya selama 4 tahun ini. 13. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini sehingga saran dan kritik membangun dalam perbaikan dan kesempurnaan tulisan ini.
Bogor, Mei 2012 Penulis
11
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................................xiii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... xv PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 Tujuan ................................................................................................................. 4 Manfaat ............................................................................................................... 4 Kerangka Pemikiran ............................................................................................ 5 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6 Ruang Terbuka Hijau .......................................................................................... 6 Bahaya Letusan Gunung Api .............................................................................. 8 Karakteristik Gunung Merapi ........................................................................... 10 Mitigasi Bencana............................................................................................... 11 Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Berapi.......................................................... 14 Evakuasi Bencana ............................................................................................. 18 Mekanisme Pemanfaatan RTH sebagai Ruang Evakuasi ................................. 20 Sistem Informasi Geografi (GIS) ...................................................................... 23 METODOLOGI .................................................................................................... 25 Lokasi dan Waktu ............................................................................................. 25 Alat dan Bahan .................................................................................................. 26 Batasan Studi..................................................................................................... 26 Metode .............................................................................................................. 26 Data ................................................................................................................... 27 KONDISI UMUM ................................................................................................ 29 Aspek Biofisik................................................................................................... 29 Letak Geografis dan Batas Administrasi....................................................... 29 Topografi ....................................................................................................... 32 Penggunaan Lahan ........................................................................................ 32 Iklim .............................................................................................................. 32
12
Geologi dan Tanah ........................................................................................ 33 Hidrologi ....................................................................................................... 33 Vegetasi ......................................................................................................... 35 Aksesibilitas dan Sirkulasi ............................................................................ 35 Sarana dan Prasarana..................................................................................... 36 Aspek Sosial ...................................................................................................... 36 Kependudukan .............................................................................................. 36 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 38 Analisis Aspek Biofisik .................................................................................... 38 Topografi ....................................................................................................... 38 Pengunaan Lahan .......................................................................................... 41 Iklim .............................................................................................................. 48 Geologi dan Tanah ........................................................................................ 50 Kawasan Rawan Bencana ............................................................................. 54 Hidrologi ....................................................................................................... 57 Vegetasi ......................................................................................................... 61 Aksesibilitas dan Sirkulasi ............................................................................ 62 Sarana dan Prasarana..................................................................................... 64 Ruang Terbuka Hijau Evakuasi .................................................................... 66 Aspek Sosial ...................................................................................................... 68 Kependudukan dan Keinginan Masyarakat .................................................. 68 Sintesis .............................................................................................................. 70 Konsep Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau untuk Ruang Evakuasi ................ 74 Konsep Ruang ................................................................................................... 74 Konsep Sirkulasi ............................................................................................... 76 Konsep Vegetasi................................................................................................ 78 Konsep Aktivitas dan Fasilitas .......................................................................... 78 Rencana Pemanfaatan RTH sebagai Ruang Evakuasi ...................................... 79 Rencana Vegetasi .............................................................................................. 81 Rencana Sirkulasi Evakuasi .............................................................................. 83 Rencana Aktivitas dan Fasilitas ........................................................................ 86 Daya dukung ..................................................................................................... 88
13
Program Strategi Mitigasi ................................................................................. 91 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 93 Kesimpulan ....................................................................................................... 93 Saran.................................................................................................................. 94 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 95
14
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Jenis, Bentuk Pengambilan, Sumber dan Bentuk Data ............................... 28 2. Kawasan Rwawan Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang ......................................................................................................... 31 3. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2009 .... 37 4. Peruntukan Ruang Pada Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Berapi. ......................................................................................................................... 43 5. Arahan Struktur Ruang Kawasan Letusan Gunung Berapi......................... 45 6. Fungsi Dan Penerapan RTH Pada Beberapa Tipologi Kawasan ................ 81 7. Jumlah Pengguna MCK dan Banyaknya Bilik yang Diperlukan ................ 89
15
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kerangka Pemikiran................................................................................. 5 2. Manajemen Bahaya Vulkanis.................................................................. 14 3. Lokasi Penelitian ............................................................................ 25 4. Peta Administrasi Kabupaten Magelang................................................... 30 5. Peta Analisis Kemiringan Lahan ...................................................... 40 6. Peta Analisis Penggunaan Lahan ..................................................... 47 7. Pengaruh Vegetasi Terhadap Iklim .................................................... 50 8. Erosi Alur Akibat Erupsi .................................................................... 52 9. Analisis Kepekaan Tanah Terhadap Erosi................................................ 53 10. Peta Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Merapi Kabupaten Magelang...................................................................................................56 11. Kondisi Sungai Pasca-Erupsi................................................................... 59 12. Peta Aliran Lahar Dingin Gunung Merapi............................................... 60 13. Kondisi Jalur Evakuasi di Kecamatan Srumbung.................................. 63 14. Kondisi Jalan Evakuasi Yang Rusak....................................................... 64 15. Fasilitas Penunjang Proses Evakuasi....................................................... 65 16. Lokasi Pengungsian................................................................................. 67 17. Tingkat Kesulitan Proses Evakuasi.......................................................... 70 18. Peta Kesesuaian Ruang............................................................................ 73 19. Peta Rencana Ruang Evakuasi................................................................. 77 20. Ilustrasi Sarana dan Prasarana Pada Ruang Evakuasi Transisi............... 84 21. Rencana Jalur Evakuasi .......................................................................... 85 22. Ilustrasi Aktivitas di Ruang Evakuasi ................................................ 87 23. Ilustrasi Fasilitas Penunjang Ruang Evakuasi ................................... 87 24. Peta Rencana Pemanfaatan RTH Sebagai Ruang Evakuasi Bencana LetusanGunung Merapi............................................................................ 90
16
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. Tabel Luas Analisis dan Alternative Pemanfaatan 2. Tabel Luas Ruang Terbuka Hijau Kabupaten Magelang
Halaman ............... 97 ............... 99
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak pada zona rawan bencana. Posisi geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Kepulauan Indonesia termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan gunung berapi Pasifik), juga terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi tiga gerakan, yaitu gerakan sistem Sunda di bagian barat, gerakan sistem pinggiran Asia Timur, dan gerakan sirkum Australia. Faktor-faktor tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi. (Oktarina, 2008) Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi di Indonesia memiliki potensi bahaya yang besar ketika gunung tersebut meletus. Bencana letusan Merapi diikuti dengan kerugian yang besar. Kerugian yang ditimbulkan oleh letusan gunung Merapi sangat beragam, mulai dari kerugian materi hingga korban jiwa, kerugian yang ditimbulkan oleh letusan gunung Merapi sangat beragam, mulai dari kerugian materi hingga korban jiwa. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2011,saat Merapi meletus jumlah korban meninggal sebanyak 374 jiwa dan jumlah pengungsi sebanyak 279.702 jiwa sedangkan kerugian pasca letusan berupa lahar dingin di Kabupaten Magelang menyebabkan 2.836 warga mengungsi serta 286 rumah rusak dan hanyut akibat terjangan lahar dingin. Selain itu, bencana letusan Merapi juga menyebabkan aktivitas warga sekitar lereng Gunung Merapi menjadi lumpuh. Gunung Merapi terletak di perbatasan dua provinsi, yakni Provinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta. Kabupaten Magelang merupakan daerah yang terletak pada zona bahaya letusan merapi. Peristiwa meletusnya Gunung Merapi menyebabkan keprihatinan yang mendalam terhadap bencana yang menimpa masyarakat di Kabupaten Magelang dan sekitarnya. Melihat kerugian yang ditimbulkan letusan Gunung Merapi tidaklah kecil, maka perlu adanya upaya mitigasi letusan Gunung Merapi untuk mengurangi
2
kerugian tersebut. Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi jumlah korban jiwa pada saat terjadi bencana adalah dengan perencanaan mitigasi yang efektif. Dengan adanya perencanaan mitigasi yang baik, setidaknya penduduk yang menjadi korban letusan akan terbantu dalam menemukan rute jalan untuk menuju ke tempat yang aman, paling dekat dan cepat. Mitigasi merupakan upaya pencegahan bencana dengan tujuan dapat meminimalkan dampak kerusakan yang ditimbulkan akibat terjadinya bencana serta untuk menimimalkan jumlah korban. Upaya ini membutuhkan mekanisme dan prosedur yang tepat, salah satunya dengan memanfaatkan elemen ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau (RTH) berfungsi menurut Joga (2009), kota sebaiknya dibangun kembali dengan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau (RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, evakuasi, atau pertahanan hidup dari bencana. Langkah tersebut dapat ditempuh dengan cara menjadikan peruntukan kawasan rawan bencana sebagai ruang terbuka publik. Ruang terbuka publik yang berfungsi sebagai konektor antar ruang permukiman akan memudahkan dalam evakuasi saat terjadi bencana sehingga dapat meminimalkan jatuhnya korban. Dalam hal ini ruang terbuka berfungsi sebagai ruang evakuasi bencana maupun menjadi akses bagi masyarakat untuk mencapai lokasi evakuasi yang aman. Menurut Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pemerintah kota dan kabupaten harus mengatur ulang tata ruang wilayah sesuai jenis dan tingkat kerawanan bencana yang ada. Dengan begitu perencanaan tata ruang yang cerdas adalah mewujudkan daerah yang tanggap bencana untuk mengantisipasi dan memitigasi berbagai bencana baik bencana alam maupun bencana ekologis atau akibat perubahan iklim dengan menyediakan jalur jalur evakuasi dan ruang evakuasi yang memadai dimana infrastruktur ruang terbuka hijau sebagai tulang punggungnya. Jalur evakuasi dilengkapi peta lokasi, ramburambu petunjuk evakuasi dan ditanami pohon pelindung yang juga berfungsi sebagai tempat evakuasi. Taman kota atau lapangan olahraga dirancang khusus siap bermetamorfosis menjadi ruang evakuasi. Taman dan lapangan menyediakan
3
modul untuk pemasangan cepat tenda tenda darurat untuk tempat tinggal sementara dapur umum, sekolah dan ruang bermain anak serta dilengkapi toilet umum, pompa hidran untuk cadangan persediaan air bersih dan cadangan listrik. Pada beberapa peristiwa bencana alam seperti saat terjadi bencana, baik yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam, Nias, Yogyakarta maupun di wilayah lainnya, masyarakat berlari menuju ruang terbuka baik yang bersifat publik maupun yang bersifat privat sebagai langkah reaktif dan spontan untuk menghindari bencana tersebut. Masyarakat berlari menjauhi bahaya melalui ruang terbuka yang ada maupun berlindung pada ruang terbuka yang ada. Pada daerah yang memiliki konsep waspada bencana, jaringan ruang terbuka hijau digunakan sebagai ruang evakuasi dengan sistem menyatu dan tidak terputus, mulai dari alun-alun, taman kota dan lapangan olahraga (ruang evakuasi), taman makam (pemakaman massal), jalur hijau jalan raya dan bantaran sungai (jalur evakuasi), hingga tepi pantai (hutan mangrove) dihubungkan oleh taman-taman penghubung dengan dominasi pohon-pohon besar dan hamparan padang dan/atau bukit rumput. Kabupaten Magelang yang merupakan salah satu daerah rawan bencana dapat dikembangkan menjadi wilayah yang tanggap bencana dengan upaya mitigasi bencana. Saat bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 terlihat kurangnya persiapan dalam mengahadapi bencana. Hal ini terlihat pada upaya evakuasi masyarakat yang tinggal di daerah bahaya dimana banyak fasilitas evakuasi yang kurang memadai sehingga dapat menghambat proses evakuasi dan dapat menimbulkan korban jiwa yang seharusnya dapat diantisipasi sebelumnya. Selain itu, lokasi evakuasi banyak ditempatkan di sekolah dan bangunan fasilitas umum lainnya yang menyebabkan terganggunya aktivitas dan kepentingan masyarakat yang berada di sekitar lokasi evakuasi. Kabupaten Magelang memiliki ruang terbuka hijau yang sangat luas dan menyebar di seluruh wilayah sehingga dapat dimanfaatkan potensinya sebagai alternatif ruang evakuasi yang saat ini masih belum dimanfaatkan secara optimal. Penanganan bencana di Kota Kobe dan kota-kota lain di Jepang telah berhasil membangun kota waspada bencana dengan memanfaatkan taman kota sebagai ruang evakuasi. Sesuai dengan instruksi dari pemerintah setempat jika
4
terjadi bencana, warga diperintahkan lari ke taman-taman kota. Alun-alun dan lapangan bola merupakan tempat ideal penampungan darurat dan posko penanggulangan bencana yang aman. Hal tersebut merupakan contoh dari pemanfaatan ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi yang efektif. (Joga, 2009) Dari uraian diatas, nampak jelas bahwa ruang terbuka mempunyai fungsi yang sangat signifikan khususnya sebagai ruang evakuasi. Oleh karena itu perlu dilakukan adanya revitalisasi ruang terbuka yang ada serta pengadaan ruang terbuka publik secara terarah dan terencana sebagai ruang evakuasi dan mitigasi bencana untuk meminilisir jatuhnya korban akibat bencana tersebut.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi ruang terbuka hijau sebagai suatu upaya alternatif
mitigasi bencana melalui perencanaan ruang
evakuasi. Ruang terbuka hijau diharapkan dapat dijadikan sebagai ruang evakuasi yang menjadi salah satu bentuk rangkaian tindakan mitigasi yang dapat memberikan rasa keamanan, mengantisipasi kepanikan dan mengakomodasikan ruang untuk menciptakan kenyamanan bagi masyarakat. Studi potensi ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi bencana letusan Gunung Merapi dapat diketahui dengan menganalisis peranan ruang terbuka hijau sesuai fungsinya berdasarkan aspek kebutuhan, aspek ekologis, dan sumberdaya yang ada.
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai upaya meminimalkan kerusakan dan korban akibat terjadinya bencana letusan gunung Merapi dan dapat menjadi saran bagi pemerintah setempat untuk memanfaatkan potensi ruang terbuka hijau hijau sebagai salah satu bentuk tindakan rangkaian mitigasi bencana melalui perencanaan ruang evakuasi.
5
Kerangka Pemikiran Kondisi geografis Kabupaten Magelang terletak di daerah yang merupakan zona bahaya letusan Gunung Merapi. Selain itu, kabupaten tersebut memiliki sumberdaya alam yang potensial. Upaya mitigasi untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan materi pada saat terjadi bencana sangat diperlukan. Potensi sumberdaya alam yang potensial dapat digunakan sebagai fasilitas mitigasi. Dalam hal ini digunakan potensi ruang terbuka hijau sebagai alternatif ruang evakuasi bagi masyarakat saat terjadi bencana melalui perencaaan mitigasi yang efektif dengan mensosialisasikan informasi kepada masyarakat terkait evakuasi bencana. Saat terjadi bencana masyarakat telah mengetahui kemana mereka harus menyelamatkan diri menuju ruang evakuasi yang telah disediakan, sehingga dapat meminimalisir jatuhnya korban jiwa. Kerangka pemikiran penelitian ini tertera pada Gambar 1. Zona Bahaya Letusan Gunung Merapi (Kabupaten Magelang)
Potensi Bahaya
Potensi RTH
Potensi SDM
Analisis Bahaya Letusan Gunung Merapi
Analisis Potensi RTH
Analisis Kebutuhan Manusia
Pembagian Zona RTH untuk Evakuasi
Rencana Pemanfataan RTH untuk Ruang Evakuasi Letusan Gunung Merapi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
6
TINJAUAN PUSTAKA Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988, ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau tumbuhan secara alamiah maupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya. Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter suatu kawasan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa ruang terbuka hijau akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, antara lain: 1. Meningkatnya mutu lingkungan hidup dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan. 2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan manusia. Peraturan pada Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang terbuka hijau merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH adalah total area atau kawasan yang ditutupi hijau tanaman dalam satu satuan luas tertentu baik yang tumbuh secara alami maupun buatan atau budidaya. Menurut Purnomohadi (2006), RTH memiliki fungsi utama yaitu fungsi bio-ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial dan ekonomi. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi. Komponen ruang terbuka hijau berdasarkan kriteria, sasaran, dan fungsi penting, vegetasi serta intensitas manajemenya dikategorikan dalam:
7
1. Taman Fungsi utamanya adalah menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi. 2. Jalur hijau Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya. 3. Kebun dan pekarangan Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan hendaknya ditanam dengan jenis-jenis yang mendukung kenyamanan lingkungan. 4. Hutan Merupakan penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim, hidrologi, dan penangkalan pencemaran. Fungsi-fungsi ini bertujuan mengimbangi kecendrungan menurunnya kualitas lingkungan. 5. Tempat-tempat rekreasi Di samping jenisnya yang beragam, RTH memiliki manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat RTH, antara lain: 1. Meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota melalui penciptaan lingkungan yang aman, nyaman, sehat, menarik dan berwawasan ekologis. 2. Mendorong terciptanya kegiatan publik sehingga tercipta integrasi ruang sosial antarpenggunanya. 3. Menciptakan estetika, karakter dan orientasi visual dari suatu lingkungan. 4. Menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi pada kepentingan pejalan kaki. 5. Mewujudkan lingkungan yang nyaman, manusiawi dan berkelanjutan. Selanjutnya dalam INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 manfaat RTH antara lain: 1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan. 2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan.
8
3. Sebagai pengaman lingkungan hidup. 4. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarkat untuk membentuk kesadaran lingkungan. 5. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah. 6. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. 7. Sebagai pengatur air.
Bahaya Letusan Gunung Api Bahaya letusan gunung api dibagi dua berdasarkan waktu kejadiannya, yaitu bahaya utama atau bahaya langsung (primer) dan bahaya ikutan atau bahaya tidak langsung (sekunder). Bahaya primer adalah bahaya yang langsung terjadi ketika proses letusan sedang berlangsung sedangkan bahaya sekunder adalah bahaya yang terjadi setelah proses letusan berlangsung. Kedua jenis bahaya tersebut masing-masing mempunyai risiko merusak dan mematikan serta menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa manusia. Bahaya gunung api adalah bahaya yang ditimbulkan oleh letusan atau kegiatan yang menyemburkan benda padat, cair dan gas serta campuran diantaranya yang mengancam dan cenderung merusak serta menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta dalam tatanan kehidupan manusia. Bahaya langsung (primer) merupakan bahaya yang ditimbulkan secara langsung pada saat terjadi letusan gunung api. Hal ini disebabkan oleh lemparan material yang langsung dihasilkan oleh letusan gunungapi seperti : aliran lava, atau leleran batu pijar, aliran piroklastika atau awan panas, jatuhan piroklastika atau hujan abu lebat, lontaran material pijar. Selain itu, bahaya primer juga dapat ditimbulkan oleh hembusan gas beracun. Bahaya tidak langsung (sekunder) merupakan bahaya akibat letusan gunung api yang terjadi setelah atau selama letusan gunungapi tersebut terjadi. Bahaya tidak langsung yang umumnya terjadi di Indonesia adalah bahaya lahar, baik lahar dingin maupun lahar panas. Bahaya langsung (primer) letusan gunung api yaitu: a. Leleran lava (lava flow) Lava adalah magma yang mencapai permukaan, berupa cairan kental dan bersuhu tinggi (antara 700–1.200°C). Karena cair, maka lava
9
umumnya mengalir mengikuti lereng/lembah dan membakar apa saja yang dilaluinya. Bila lava tersebut sudah dingin, maka berubah wujud menjadi batu (batuan beku) dan daerah yang dilaluinya menjadi ladang batu. b. Awan panas (piroclastic flow) Awan panas adalah campuran material letusan antara gas dan bebatuan (segala ukuran) terdorong ke bawah akibat densitasnya yang tinggi dan merupakan adonan yang jenuh menggulung secara turbulensi bagaikan gulungan awan yang menyusuri lereng. Suhunya sangat tinggi antara 300 - 700°C dan kecepatan luncurnya pun sangat tinggi yaitu > 70 km/jam. c. Hujan abu lebat Material yang berukuran halus (abu dan pasir halus) diterbangkan angin dan jatuh sebagai hujan abu dengan arah yang tergantung pada arah angin. Karena ukurannya halus, maka berbahaya bagi pernafasan dan mata serta dapat mencemari air tanah, merusak tumbuhan (terutama daun), korosif pada atap seng karena mengandung unsur-unsur kimia yang bersifat asam. d. Lontaran material (bom vulkanik) Jatuhnya lontaran bisa mencapai ratusan meter jauhnya, sangat bergantung dari besarnya energi letusan. Suhunya tinggi (> 200°C) dan ukurannya besar (garis tengah >10 cm) sehingga dapat membakar sekaligus melukai bahkan mematikan mahluk hidup. e. Lahar letusan/ lahar primer Lahar letusan/ lahar primer terjadi pada gunung api yang mempunyai danau kawah. Apabila volume air alam kawah cukup besar akan menjadi ancaman langsung saat terjadi letusan dengan menumpahkan lumpur panas. f. Gas racun Gas racun yang muncul dari gunung api tidak selalu didahului oleh letusan tetapi dapat keluar dengan sendirinya melalui celah bebatuan yang ada meskipun kerap kali diawali oleh letusan. Gas utama yang
10
biasa muncul adalah CO2, H2S, HCl, SO2 dan CO. Jenis gas yang paling sering dan merupakan penyebab utama kematian adalah CO2. Sifat gas jenis ini lebih berat dari udara sehingga cenderung menyelinap di dasar lembah atau cekungan terutama bila malam hari dan cuaca kabut atau tidak berangin, karena dalam suasana tersebut konsentrasinya akan bertambah besar. g. Tsunami gunung api Umumnya terjadi pada gunung api pulau. Ketika terjadi letusan, materialnya masuk ke dalam laut dan mendorong air laut ke arah pantai sehingga menimbulkan gelombang pasang. Bahaya sekunder yaitu lahar hujan yaitu bila suatu gunung api meletus, akan terjadi penumpukan material dalam berbagai ukuran di puncak dan lereng bagian atas. Pada saat musim hujan tiba, sebagian material tersebut akan terbawa oleh air hujan dan tercipta adonan lumpur turun ke lembah sebagai banjir bebatuan yang disebut lahar.
Karakteristik Gunung Merapi Tingkat bahaya dari Gunung Merapi sangat tergantung dari kerapatan dari suatu letusan dan kepadatan penduduk yang bermukim di sekitar Gunung Merapi tersebut. Suplai magma Merapi dari kedalaman terkait dengan sistem tektonik yaitu subduksi oleh tumbukan antara lempeng samudera Indo-australia dan lempeng benua Asia. Gunung Merapi merupakan gunung api yang dapat dimasukkan dalam tipe vulkanian lemah dengan ciri khas adanya peranan kubah lava dalam tiap-tiap erupsinya. Erupsi Gunung Merapi bersifat eksplosif dengan tingkat eksplosivitas dari lemah ke katastropik. Magma yang membentuk erupsi tipe vulkanian bersifat antara basa dan asam (dari andesit ke dasit). Erupsi vulkanian terjadi karena lubang kepundan tertutup oleh sumbat lava atau magma yang membeku di pipa magma setelah kejadian erupsi. Erupsi melontarkan material hancuran dari puncak gunung api tapi juga material baru dari magma yang keluar. Salah satu ciri dari erupsi vulkanian yaitu adanya asap erupsi yang membumbung tinggi ke atas dan
11
kemudian asap tersebut melebar menyerupai cendawan. Asap erupsi membawa abu dan pasir yang kemudian akan turun sebagai hujan abu dan pasir. Merapi terdapat dua zona tampungan magma yang menentukan sifat khas Merapi karena letaknya relatif tidak jauh maka kenaikan tekanan di dapur magma akan menyebabkan aliran magma menuju kantong magma di atasnya menyebabkan naiknya tekanan di sana. Dalam hal ini, kantong magma berfungsi sebagai katup bagi magma yang naik ke permukaan. Waktu tenang antar erupsi di Merapi merupakan fase dimana terjadi proses peningkatan tekanan magma di dalam kantong magma. Apabila tekanan melebihi batas ambang tertentu magma akan keluar dalam bentuk erupsi explosive atau efusif berupa pembentukan kubah lava. Awan panas Merapi dibedakan atas awan panas letusan dan awan panas guguran. Awan panas letusan terjadi karena hancuran magma oleh suatu letusan. Partikel-partikel terlempar secara vertikal dan horizontal. Kekuatan penghancuran material magma saat letusan ditentukan oleh kandungan gas vulkanik dalam magma. Awan panas guguran terjadi akibat runtuhnya kubah lava bersuhu sekitar 500-600°C oleh tekanan magma dan pengaruh gravitasi. Awan panas yang terjadi di Gunung Merapi umumnya termasuk dalam awan panas guguran. Gaya berat kubah lava atau bagian dari kubah lava yang runtuh menentukan laju dari awan panas. Semakin besar volume yang runtuh akan semakin cepat laju awan panas dan semakin jauh jarak jangkaunya. Orientasi dari kubah lava ini yang menentukan arah awan panas yang akan terjadi. Namun, demikian kubah lava di puncak Merapi tidak tunggal dalam arti ada banyak kubah lava yang tidak runtuh dan kemudian menjadi bagian dari morfologi puncak Merapi. Mitigasi Bencana Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak suatu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Mitigasi bencana mencakup perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko yang terkait dengan bahaya yang disebabkan oleh ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui dan
12
proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi. Mitigasi, menurut Undang-Undang Penanggulangan Bencana Nomor 24 Tahun 2007, merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Selain itu, juga bertujuan untuk mengurangi dan mencegah risiko kehilangan jiwa serta perlindungan terhadap harta benda. Mitigasi merupakan salah satu upaya manajemen bencana yang bertujuan untuk mencegah kehilangan jiwa, mengurangi penderitaan manusia, memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis. Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan utama, yaitu: 1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini. 2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian. 3.
Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi,
dan rekonstruksi. Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting. Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang. Upaya mitigasi dapat dilakukan dalam bentuk mitigasi struktur dengan memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan, desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta
13
memperkokoh struktur ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai, dan lain-lain. Selain itu upaya mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti tidak mengubah lingkungan alam yang dapat melindungi terhadap bencana seperti karang pantai, bukit pasir, pantai, danau, laguna, hutan dan lahan vegetatif, kawasan perbukitan karst dan unsur geologi lainnya yang dapat meredam dan mengurangi dampak bencana, menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah. Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian bahaya, peringatan dan persiapan. 1. Penilaian bahaya (hazard assestment) diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan
pengetahuan
tentang
karakteristik
sumber bencana,
probabilitas kejadian bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan peta potensi bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur mitigasi lainnya. 2. Peringatan (warning) diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya. 3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan
pengetahuan
tentang
daerah
yang
kemungkinan
terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahuikapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya kembali
14
ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).
Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Berapi Deskripsi bahaya vulkanis tentang karakter fisik dari sebuah letusan perlu dilakukan. Ketika erupsi sebuah gunung berapi terjadi dapat menciptakan bahaya yang beragam. Bahkan ketika gunung berapi tidak bererupsi, bahayanya seperti runtuhan batu/ material atau lahar yang masih dapat terjadi.
Mitigasi untuk
bahaya vulkanis dapat dilakukan selama periode krisis ketika erupsi terjadi. Manajemen dan mitigasi tidak hanya dilakukan saat periode krisis. Memulai untuk melaksanakan manajemen bahaya vulkanis pada periode aman, sebelum erupsi, pra perencanaan yang akan menjamin tindakan mitigasi dapat berjalan dengan sukses. Manajemen Bahaya Gunung Berapi
Pengurangan risiko
.
analisis risiko perencanaan tata guna lahan tindakan mitigasi
Persiapan
pengamatan aktivitas vulkanik rencana darurat pendidikan masyarakat
Manajemen Kondisi Krisis
pengamatan aktivitas vulkanik peringatan dan informasi tindakan darurat recovery
Gambar 2. Manajemen Bahaya Vulkanis [selama periode non-krisis (preeruption) dan periode krisis (selama erupsi)]
15
A. Mitigasi Pra-erupsi: Teknik Mitigasi untuk periode non-krisis 1. Studi bidang geologi Hal ini penting untuk menangani investigasi geologi secara ekstensif pada potensi keaktifan gunung berapi selama masa non-aktif. Mempelajari catatan letusan sebelumnya, dari informasi ini dapat dipastikan jenis dan besar bahaya yang ditumbulkan dan seberapa sering gunung berapi tersebut aktif. Informasi ini penting dan merupakan titik awal perencanaan dan persiapan untuk letusan yang akan terjadi. 2. Perencanaan Selama gunung berapi berada pada periode tidak aktif, perlu dilakukan perencanaan untuk menjamin efek erupsi dapat diminimalkan. Perencanan penting dilakukan tingkat nasional, regional, lokal bahkan tingkat individu. Aspek pendukung perlu dipertimbangkan untuk perencanaan terjadinya erupsi. Aspek-aspek lain yang perlu dipertimbangkan ketika perencanaan mitigasi, antara lain: • perkembangan penggunaan lahan dan regulasi tata guna lahan untuk mencegah pembangunan di daerah yang berisiko tinggi terhadap bahaya vulkanis, rencana mengenai prosedur selama erupsi harus ditetapkan, dibutuhkan prosedur yang detail untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya letusan, • rencana dan prosedur harus cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan kondisi selama letusan gunung berapi, • contoh peraturan darurat harus dipersiapkan sebelumnya, • pembuatan daftar fasilitas yang harus tetap beroperasi, • pertimbangan kebutuhan konseling psikologi untuk masyarakat umum dan para relawan, • pengujian sebelum perencanaan agar para pihak terkait untuk mengetahui peranan yang harus terpenuhi. 3. Evakuasi Evakuasi dibutuhkan saat erupsi terjadi. Daerah yang berada di dekat sumber erupsi sebaiknya di evakuasi sebelum erupsi terjadi terutama pusat aktivitas dengan tujuan untuk keselamatan.
16
4. Kebutuhan untuk merencanakan transportasi, perlindungan (shelter), persediaan makanan, pakaian, kesehatan dan kebersihan sebagai kebutuhan utama setiap pengungsi. Selama letusan terjadi mungkin sejumlah besar pengungsi akan membutuhkan perawatan, dan praperencanaan akan sangat berarti untuk menentukan tempat tinggal mereka. Sebelum terjadinya letusan, perlu mengidentifikasi sumberdaya yang dapat digunakan untuk membantu dalam evakuasi penduduk. 5. Peralatan penting yang mungkin diperlukan selama letusan termasuk filter udara, pembersih peralatan, pakaian pelindung, masker wajah, kendaraan ekstra untuk penggunaan darurat. 6. Pendidikan Pendidikan publik tentang bahaya vulkanik dan cara mengurangi dampak dari sebuah letusan gunung berapi. Pendidikan akan mengurangi dampak psikologis dan fisik. Peringatan lebih dapat dipahami jika masyarakat memahami sifat bahaya. Kemungkinan komunikasi dapat terganggu selama dan setelah letusan terjadi maka perlu untuk menyebarkan informasi sebelum letusan sehingga diharapkan masyarakat mengetahui hal yang harus dilakukan. Masyarakat dapat diberi pengetahuan melalui koran, televisi, internet, radio, pameran, brosur, seminar, sekolah. 7. Media Kebanyakan orang bergantung pada media untuk mendapatkan informasi, survey yang dilakukan menyimpulkan bahwa pengetahuan dan kesadaran masyarakat selama letusan hampir seluruhnya berasal dari media. Manajemen media yang efektif membutuhkan informasi yang akurat sehingga dapat disampaikan kepada publik selama letusan terjadi. 8. Koneksi Sebelum letusan gunung berapi peran, kewenangan dan tanggung jawab organisasi terkait harus didefinisikan dan dimana tiap individu akan bekerja saat keadaan darurat. Terdapat kebutuhan untuk membentuk jaringan antara organisasi-organisasi yang mungkin terlibat.
17
B. Mitigasi Saat Erupsi: Teknik Mitigasi untuk periode krisis Beberapa aspek yang penting untuk diprioritaskan saat terjadinya erupsi gunung berapi, yaitu: 1. Manusia Tindakan terbaik untuk menjaga dari kemungkinan terhirupnya partikel abu adalah tetap dalam ruangan. Jika diperlukan untuk meninggalkan tempat penampungan maka tindakan pelindungan terbaik dengan memakai masker wajah ketika keluar dari bangunan. 2. Struktur Bangunan Atap gedung harus segera dibersihkan dari abu sehingga sistem ventilasi dapat diaktifkan kembali. Kemungkinan atap akan runtuh jika terdapat abu yang tersisa di atap. 3. Jaringan Lisrik Untuk mencegah pemadaman listrik luas perlu bahwa semua sistem listrik permukaan sistem harus dibersihkan segera setelah abu jatuh. Abu kering harus dibersihkan oleh atau menyikat permukaan yang terkena. Abu basah lebih sulit untuk dihilangkan. Pembersihan dan perlindungan sistem kelistrikan harus terus menerus sampai ancaman selasai. 4. Mitigasi Guguran Material Balistik Ketika material balistik letusan gunung berapi yang jatuh, tindakan mitigasi terbaik adalah merelokasi penduduk atau membatasi mereka untuk memasuki daerah yang berbahaya. Jika tidak memungkinan untuk meninggalkan daerahnya kemudian dianjurkan tinggal di bawah gedung yang kokoh. Namun, jika diperlukan untuk keluar gedung, lapisan pelindung tubuh harus digunakan khususnya pelindung kepala. 5. Mitigasi Lahar Kecepatan aliran lahar memiliki potensi kerugian besar terhadap kehidupan. Namun, sistem deteksi untuk lahar dapat diletakkan di tempat yang dekat dengan laha runtuk memberikan peringatan dini. Mitigasi lain terhadap lahar adalah pemetaan bahaya karena kebanyakan aliran lahar yang menuruni lembah, daerah yang cenderung berisiko dapat cukup mudah diprediksi dan dipetakan.
18
6. Mitigasi Arus Piroklastik Aliran material piroklastik sangat merusak, perlindungan yang terbaik bagi kehidupan manusia adalah mengevakuasi daerah berbahaya sebelum letusan terjadi. Kebanyakan kematian yang terjadi dari aliran piroklastik dapat dikaitkan dengan sesak napas, luka bakar dan pukulan dari lemparan batu. 7. Langkah-langkah Mitigasi untuk Gas Vulkanik Masker wajah harus dirancang untuk gas beracun serta debu vulkanik yang terespirasi, sehingga orang dapat dilindungi dari bahaya gas vulkanik. Mungkin perlu untuk mengevakuasi penduduk di mana ada potensi munculnya sesak napas, atau gas beracun dalam tingkat tertentu.
Evakuasi Bencana Evakuasi
merupakan
upaya
penyelamatan
korban
atau
upaya
memindahkan korban secara aman dari lokasi yang tertimpa bencana ke wilayah yang lebih aman untuk mendapatkan pertolongan. Evakuasi membutuhkan suatu ruang untuk relokasi korban melalui tempat penampungan korban baik bersifat sementara maupun bersifat akhir. Tempat penampungan sementara (TPS) adalah tempat penampungan pengungsi yang terletak dalam kawasan rawan bencana yang digunakan sebagai meeting point atau titik kumpul untuk mempermudah proses evakuasi ke TPA pada saat terjadi peningkatan status aktivitas gunung api dan diutamakan untuk menampung penduduk yang tidak termasuk kelompok risti (kelompok risti sangat dianjurkan untuk segera dievakuasi ke TPA). Tempat Penampungan Aman (TPA) adalah tempat penampungan pengungsi yang berada di luar wilayah rawan bencana yang biasanya lebih luas dan memiliki fasilitas lebih baik daripada TPS. Dalam menentukan lokasi penampungan pengungsi ada beberapa hal yang perlu dinilai yaitu : 1. Tempat tersebut tidak berpotensi dialiri lava atau lahar dan awan panas atau material berbahaya lain akibat bencana gunung api, untuk itu perlu dikoordinasikan dengan sektor terkait seperti pusat vulkanologi dan mitigasi bencana geologi departemen energi sumber daya mineral.
19
2. Terdapat fasilitas jalan dari pemukiman ke tempat penampungan untuk memudahkan evakuasi. koordinasi dengan dinas pekerjaan umum diperlukan untuk memperoleh data mengenai infrastruktur di daerah rawan gunung api. 3. Terdapat fasilitas publik seperti sekolah, rumah ibadah, puskesmas dll. koordinasi dengan pemda setempat diperlukan untuk memperoleh data tersebut. 4. Tersedia sarana air bersih, MCK, penerangan/listrik, dll yang mencukupi. Tempat Penampungan Sementara (TPS) adalah tempat penampungan pengungsi yang terletak dalam kawasan rawan bencana. TPS berfungsi sebagai meeting point atau titik kumpul untuk mempermudah proses evakuasi ke TPA pada saat status aktivitas gunung api meningkatTempat Penampungan Sementara (TPS) sebaiknya tersedia : 1. Pos kesehatan untuk pelayanan kesehatan pengungsi. 2. Pos komunikasi dengan sarana yang mudah digunakan (ht, telepon). 3. Pos keamanan untuk melindungi dan mengatur proses evakuasi pengungsi. 4. Sarana air bersih dan air minum. 5. Sarana sanitasi dan MCK. 6. Sarana pendukung lain seperti listrik dan dapur umum. 7. Sarana transportasi baik ambulans maupun truk/kendaraan lain. 8. Alat peringatan dini. Tempat Penampungan Aman (TPA) merupakan tempat penampungan pengungsi yang berada diluar wilayah rawan bencana. TPA biasanya lebih luas untuk menampung pengungsi dalam jumlah yang lebih banyak dan memiliki fasilitas lebih baik dari TPS. Tempat penampungan aman sebaiknya tersedia: 1. Pos koordinasi dengan alur komando yang jelas untuk mengkoordinir semua hal yang terkait penanganan pengungsi. 2. Pos kesehatan untuk pelayanan kesehatan pengungsi. 3. Pos komunikasi dengan sarana yang lebih lengkap (radio komunikasi, telepon, satelit).
20
4. Pos keamanan untuk memberikan perlindungan bagi pengungsi di tempat penampungan. 5. Sarana air bersih dan air minum. 6. Sarana sanitasi dan mck baik yang bersifat temporer maupun permanen. 7. Sarana transportasi baik ambulans maupun truk/kendaraan lain. 8. Sarana pendukung lain seperti listrik dan dapur umum. 9. Gudang logistik termasuk terdapat bahan dan alat kesehatan lingkungan seperti bahan-bahan disinfektan dan alat vektor kontrol.
Mekanisme Pemanfaatan RTH sebagai Ruang Evakuasi Menurut Joga (2009), mekanisme pemanfaatan RTH sebagai kawasan evakuasi dapat dilakukan dengan cara sosialisasi kepada masyarakat mengenai ruang-ruang yang telah ditentukan sebagai kawasan untuk evakuasi, penggunaan tanda yang dapat membantu dalam keadaan darurat, dan perencanaan jalur mitigasi bencana. Kawasan waspada bencana atau biasa disebut ruang mitigasi ini harus mempertimbangkan beberapa hal, diantaranya: 1. Lokasi 2. Luas lahan 3. Ketinggian tempat 4. Fasilitas (sarana evakuasi) 5. Utilitas (air dan energi) 6. Akses (bagi korban dan bantuan) 7. Pendekatan desain Joga
(2009),
menyatakan
bahwa
pemerintah
sudah
seharusnya
menyediakan taman (layang) evakuasi bencana seluas 500 m2 di permukiman padat bangunan dan padat penduduk, yang sering kali paling dirugikan saat bencana melanda. Dalam situasi normal sepanjang tahun, taman memiliki fungsi ekologis, ekonomis, edukatif, konservasi energi, dan estetis. Ketika bencana tiba, taman menjadi ruang evakuasi bencana. Taman untuk kegiatan evakuasi dilengkapi tiang pancang untuk tenda darurat, tangki air minum, pompa hidran, papan petunjuk, alat komunikasi, fasilitas dapur umum, dan toilet bersama. Atap taman dilengkapi dengan panel sel surya untuk menyuplai kebutuhan energi listrik
21
taman, serta sangat bermanfaat saat bencana terjadi aliran listrik mati total. Tangga atau ramp melingkar mengelilingi bangunan taman, jalur jogging, jalur sepeda dan pengadaan berbagai kegiatan anak-anak akan memudahkan proses evakuasi saat terjadi bencana. Departemen PU Cipta Karya tahun 1987 mengeluarkan standar kebutuhan taman yang ditentukan berdasarkan tingkatan wilayah pelayanannya mulai dari tingkat RT, RW sampai dengan tingkat kota. Bentuk urban space yang dimuat dalam standar ini meliputi fasilitas/ sarana olah raga, taman bermain serta kuburan, sebagaimana uraian di bawah ini: 1.
Sarana Olah Raga dan Daerah Terbuka Disamping fungsi utama sebagai taman, tempat main anak-anak dan lapangan olah raga juga akan memberikan kesegaran pada kota (cahaya dan udara segar), dan netralisasi polusi udara sebagai paru-paru kota. Oleh karena fungsinya yang sangat penting, maka sarana-sarana ini harus benar-benar dijaga, baik dalam besaran maupun kondisinya.
2.
Taman untuk 250 Penduduk Setiap 250 penduduk dibutuhkan minimal satu taman dan sekaligus tempat bermain anak-anak dengan luas minimal 250 m², atau dengan standar 1 m²/penduduk.
3.
Taman untuk 2.500 Penduduk Untuk setiap kelompok 2.500 penduduk diperlukan sekurangkurangnya satu daerah terbuka di samping daerah-daerah terbuka yang telah ada pada tiap kelompok 250 penduduk. Daerah-daerah terbuka sebaiknya merupakan taman yang dapat digunakan untuk aktivitas olahraga seperti volley, badminton dan sebagainya. Luas area yang diperlukan untuk ini adalah 1.250 m² atau dengan standar 0,5 m²/penduduk.
4.
Taman dan Lapangan Olahraga untuk 30.000 Penduduk Sarana ini sangat diperlukan untuk kelompok 30.000 penduduk (satu lingkungan) yang dapat melayani aktivitas kelompok di area terbuka, misalnya pertandingan olahraga, upacara dan lain-lain. Sebaiknya berbentuk taman yang dilengkapi dengan lapangan olah raga khususnya
22
lapangan sepak bola sehingga berfungsi serba guna dan harus tetap terbuka. Untuk peneduh dapat ditanam pohon-pohon di sekelilingnya. 5.
Taman dan Lapangan Olahraga untuk 120.000 Penduduk Setiap kelompok penduduk 120.000 penduduk sekurang-kurangnya harus memiliki satu lapangan hijau yang terbuka. Sarana ini dilengkapi dengan sarana-sarana olah raga yang diperkeras seperti tennis, bola basket, juga tempat ganti pakaian dan WC umum. Luas area yang diperlukan untuk sarana-sarana ini adalah 2,4 Ha dengan standar 0,2 m²/penduduk. Lokasinya tidak harus di pusat Kecamatan, sebaiknya dikelompokkan dengan sekolah.
6.
Taman dan Lapangan Olahraga untuk 480.000 Penduduk Sarana ini untuk melayani penduduk sejumlah 480.000 penduduk. Berbentuk suatu kompleks yang terdiri dari stadion, tamantaman/tempat bermain, area parkir, dan bangunan-bangunan fungsional lainnya. Luas tanah yang dibutuhkan untuk aktivitas ini adalah 144.000 m² atau 14,4 Ha, dengan standar 0,3 m²/penduduk.
7.
Jalur Hijau Disamping taman-taman dan lapangan olahraga terbuka masih harus disediakan jalur-jalur hijau sebagai cadangan kekayaan alam. Besarnya jalur-jalur hijau ini adalah ±15 m²/penduduk. Lokasinya bisa menyebar dan sekaligus merupakan filter dari daerah-daerah industri dan derahdaerah yang berpotensi menimbulkan polusi.
8.
Kuburan Sarana lain yang masih dapat dianggap mempunyai fungsi sebagai daerah terbuka adalah kuburan. Besar/luas tanah kuburan ini sangat tergantung dari sistem penyempurnaan yang dianut sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sebagai patokan perhitungan digunakan (a) angka kematian setempat dan (b) sistem penyempurnaan.
23
Sistem Informasi Geografi (GIS) Sistem Informasi Geografi merupakan suatu sistem yang dapat menangkap, menyimpan, menganalisis, melakukan query, dan menampilkan data geografi. SIG dapat dibagi menjadi empat komponen, yaitu: 1. Sistem komputer Sistem komputer berupa komputer dan sistem operasi yang digunakan untuk mengoperasikan SIG 2. Perangkat lunak SIG Perangkat lunak SIG berupa program dan antarmuka pengguna untuk menjalankan perangkat keras 3. Perangkat pikir Perangkat pikir menunjuk pada tujuan, sasaran, dan alasan penggunaan SIG 4. Infrastruktur Infrastruktur menunjuk pada kebutuhan fisik yang berhubungan dengan ketatausahaan organisasi, dan lingkungan penggunaan SIG SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data geografi dan pengguna yang disain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisa, menyajikan, dan menjelaskan semua bentuk dan data informasi yang bereferensi geografis. Seperangkat alat yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi data yang bereferensi geografi secara manual, sebagai alat yang handal untuk menangani data spasial. Dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital. Data ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, tabel atau bentuk lainnya. Dengan menggunakan sistem komputer maka data dalam jumlah besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dan biaya persatuan yang lebih rendah daripada cara manual. Demikian pula dalam memanipulasi data spasial dan mengkaitkannya dengan informasi atribut dan mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dalam suatu analisis. Kemampuan untuk melakukan analisis spasial yang kompleks secara tepat mempunyai keuntungan kualitaif dan kuantitatif, di mana skenario perencanaan, model-model keputusan, deteksi perubahan dan analisis, dan tipe-tipe analisis lain dapat dikembangkan dengan
24
membuat perbaikan secara terus-menerus. SIG dipakai untuk mengecek keakuratan perubahan. Zona yang mana yang terkena dampak dan pada saat bersamaan memperbaiki peta dan data tabel relevan. Dengan cara ini pemakai mendapatkan lebih banyak informasi terbaru dan dapat memanipulasinya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan.
25
METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian tentang analisis kebutuhan mitigasi dalam bentuk ruang terbuka hijau untuk mitigasi bencana dilakukan di daerah bencana letusan Gunung Merapi di Provinsi Jawa Tengah tepatnya pada Kabupaten Magelang yang tertera pada Gambar 3.
Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah (Sumber: Bappeda Kabupaten Magelang, 2010)
Gambar 3. Lokasi Penelitian
26
Studi ini dilakukan pada bulan Februari-Juli 2011 meliputi tahap pengamatan lapang, pengumpulan data primer dan sekunder dan pengolahan data kemudian dilanjutkan dengan tahap análisis data, perumusan rencana hasil penelitian serta penyusunan laporan akhir hingga bulan April 2012.
Alat dan Bahan Penelitian ini menggunakan bahan berupa peta tematik serta beberapa alat berupa perangkat keras dan peragkat lunak. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Peta tematik Kabupaten Magelang 2. Software Arc View 3.2, AutoCad 2008, Adobe Photoshop CS4 3. Laptop, kamera digital
Batasan Studi Studi tentang penelitian ini menggunakan pendekatan sumberdaya, fisik dan sosial. Unit analisis juga dibatasi hanya beberapa kecamatan yang berkaitan langsung dengan bencana letusan Gunung Merapi yakni kecamatan Dukun, kecamatan Mungkid, kecamatan Muntilan, kecamatan Ngluwar, kecamatan Salam, kecamatan Sawangan dan kecamatan Srumbung. Analisis dilakukan secara deskriptif dan spasial untuk melihat potensi ruang terbuka hijau sebagai alternatif ruang
evakuasi
dengan
mempertimbangkan
aspek
aksesibilitas
dan
ketersediaannya. Metode Tahap-tahap penelitian, meliputi persiapan, analisisis, sintesis dan pembuatan rekomendasi. 1. Tahap persiapan, yang terdiri dari tahap pengumpulan data, mencari informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan lokasi, pihak-pihak yang memiliki informasi yang dibutuhkan yang berkaitan dengan tata ruang kota. Data-data yang dibutuhkan meliputi data tata ruang kota, data zona bahaya, data geologi, data hidrologi, vegetasi, iklim dan data sosial-
27
ekonomi penduduk. Data yang diambil berupa data primer yangr diperoleh dari hasil pegamatan di lapangan, wawancara kepada masyarakat dan pihak bersangkutan serta data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, laporan-laporan kegiatan dan informasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BPPTK, Pemerintah Kabupaten Magelang, serta instansi terkait lainnya. 2. Tahap analisis, analisis yang dilakukan secara deskriptif dan spasial dengan mengidentifikasikan peta tematik Kabupaten Magelang dan peta kawasan rawan bencana Gunung Merapi dan peta bencana Kabupaten Magelang untuk menjelaskan jenis dan sifat bahaya bencana, daerah rawan bencana, daerah bahaya bagi penduduk. Analisis secara spasial menggunakan
Geographical
Information
System
(GIS)
untuk
mengidentifikasi penutupan lahan serta melihat karakter RTH secara spasial. 3. Tahap sintesis, tahap ini merupakan tahap pemaduan hasil analisis berupa peta-peta identifikasi zona dengan sistem overlay. Pada tahap selanjutnya, hasil overlay menghasilkan zona potensial tata ruang dan sirkulasi. Hasil tersebut yang menjadi dasar penentuan ruang evakuasi. 4. Tahap pembuatan rekomendasi, hasil sintesis akhir berupa zona potensial ruang evakuasi yang berupa ruang terbuka hijau dengan dilengkapi fasilitas yang mengakomodasikan kebutuhan pengungsi.
Data Data yang dipergunakan dalam menganalisis potensi RTH merupakan data fisik kawasan. Data ini berupa data primer yang diperoleh dari survey lapang dan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, dan sumber-sumber lainnya. Data tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam data umum dan data sosial yang disajikan pada Tabel 1.
28
Tabel 1. Jenis, Bentuk Pengambilan, Sumber dan Bentuk Data Jenis Data
Bentuk Pengambilan Data
Sumber
Data Umum Peta Tata Ruang
Sekunder
BAPPEDA
Peta Zona Bahaya
Sekunder
BAPPEDA
Peta Penggunaan Tanah
Sekunder
Letak Geografis dan administrasi Topografi dan Kemiringan Lahan Hidrologi
Sekunder
BAPPEDA, Dinas PU dan ESDM Kab Magelang BAPPEDA
Sekunder
BAPPEDA, BPN Kab. Magelang BAPPEDA, Lapangan
Vegetasi
Primer dan Sekunder Sekunder
Iklim
Sekunder
BAPPEDA, BMKG
Sarana dan Prasarana
Primer dan Sekunder Sekunder
Dinas PU dan ESDM Kab Magelang
Demografi
Sekunder
BPS
Ketergantungan masyarakat terhadap tapak Potensi pengguna
Primer dan Sekunder Primer dan Sekunder
Lapangan
Geologi dan Tanah
BAPPEDA
BAPPEDA, BPN Kab. Magelang
Data Sosial
Lapangan
29
KONDISI UMUM Aspek Biofisik Letak Geografis dan Batas Administrasi Kabupaten Magelang merupakan salah satu Kabupaten yang secara administrasi termasuk dalam bagian dari Provinsi Jawa Tengah, dengan luas wilayah 108.573 ha. Kabupaten Magelang berada pada posisi yang strategis dan menguntungkan karena terletak pada jalur persimpangan dari berbagai arah. Dilihat dari peta orientasi Propinsi Jawa Tengah, wilayah Kabupaten Magelang memiliki posisi yang strategis karena keberadaannya terletak di tengah, sehingga mudah dicapai dari berbagai arah. Secara geoekonomis, Kabupaten Magelang merupakan daerah perlintasan, jalur kegiatan ekonomi yaitu Semarang-MagelangPurwokerto dan Semarang-Magelang-Yogyakarta-Solo. Secara geografis Kabupaten Magelang terletak diantara 110° 01’ 51” dan 110° 27’ 08” bujur timur, 7° 19’ 33” dan 7° 42’ 13” Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Magelang merupakan salah satu wilayah rawan bencana geologi karena termasuk dalam wilayah ring of fire. Daerah yang termasuk dalam kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi yang terdapat di Kabupaten Magelang dapat dilihat pada Tabel 2. Batas Kabupaten Magelang meliputi : Sebelah Utara
:
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang
Sebelah Timur
:
Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali.
Sebelah Selatan
:
Kabupaten Purworejo dan Provinsi D.I.Y.
Sebelah Barat
:
Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo.
Ditengah
:
Kota Magelang.
1 30
31
Tabel 2. Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang No
Kecamatan
1
Dukun
2
Mungkid
3
Muntilan
4
Ngluwar
Salam 5
6
Sawangan
7
Srumbung
Desa Banyubiru Banyudono Dukun Kalibening Keninggar Krinjing Mangunsoko Ngadipuro Ngargomulyo Paten Sengi Sewukan Sumber Wates Ngrajek Adikarto Gondosuli Tamanagung Blongkeng Sirahan Gulon Sucen Jumoyo Seloboro Butuh Gantang Jati Kapuhan Ketep Krogowan Sawangan Soronalan Wonolelo Wulunggunung Banyuadem Jerukagung Kaliurang Kemiren Mranggen Ngablak Ngargosoko Nglumut Pandanretno Polengan Pucanganom Tegalrandu
Keterangan KRB I KRB I KRB I KRB I KRB III KRB III KRB II, KRB I KRB I KRB III, KRB II KRB III, KRB II KRB II KRB II, KRB I KRB II, KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB II KRB I KRB I KRB I KRB II KRB I KRB I KRB I KRB III, KRB II KRB III, KRB II KRB I KRB III, KRB II KRB II, KRB I KRB I KRB I KRB I KRB I KRB II
32
Topografi Wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah dengan topografi beragam. Daerah topografi datar memiliki luas 8.599 ha, daerah yang bergelombang seluas 44.784 ha, daerah yang curam 41.037 ha dan sangat curam 14.155 ha dengan ketinggian wilayah antara 0 – 3.065 m di atas permukaan laut, ketinggian rata-rata 360 m di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Magelang secara topografi merupakan dataran tinggi yang berbentuk menyerupai cawan (cekungan) karena dikelilingi oleh 5 (lima) gunung yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh. Kondisi ini menjadikan sebagian besar wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah tangkapan air sehingga menjadikan tanah yang subur karena berlimpahnya sumber air dan sisa abu vulkanis. Penggunaan Lahan Luas tanah menurut penggunaan Kabupaten Magelang pada tahun 2010 terdiri dari wilayah hutan seluas 13.468 ha sedangkan lahan persawahan seluas seluas 37.221 ha, terdiri dari sawah irigasi teknis 6.624 ha, sawah irigasi setengah teknis 5.412 ha, sawah irigasi sederhana 16.529 ha dan sawah irigasi tadah hujan 8.236 ha. Lahan kering seluas 60.528 ha dengan rincian ladang atau tegalan seluas 36.237 ha, perkebunan negara/swasta seluas 234 ha padang rumput seluas 6 ha dan lahan yang belum atau tidak diusahakan seluas 3.401 ha. Luas lahan industri atau kawasan industri seluas 51 ha, kolam air tawar 129 ha, lahan permukiman 17.025 ha, padang rumput alam 239 ha. Iklim Kabupaten Magelang merupakan daerah yang sejuk, dengan suhu rata-rata 25,6 °C dengan kelembaban udara rata-rata 82 %. Curah hujan rata-rata 2.589 mm/thn dengan kecepatan angin 1,8 knot. Berdasarkan pembagian iklim menurut L.R Oldeman kondisi iklim merupakan tipe iklim C 3 dengan jumlah bulan basah selama 7 bulan dan bulan kering selama 5 bulan. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin ke arah utara kawasan Gunung Merapi, curah hujan akan semakin tinggi. Bulan basah mempunyai curah hujan lebih besar dari 200 mm sedangkan pada bulan kering mempunyai curah
33
hujan kurang dari 100 mm. Bulan basah jatuh pada bulan November sampai dengan bulan Mei dan bulan kering jatuh pada bulan Juni sampai dengan Oktober. Curah hujan maksimum rata-rata bulanan jatuh pada bulan Februari dengan intensitas 473 mm, sedangkan curah hujan minimum bulanan jatuh pada bulan Agustus dengan intensitas 10 mm Curah hujan rata-rata tahunan dalam kurun waktu antara 2003 sampai dengan 2007 adalah 2562 mm dengan jumlah hari hujan 151 hari. Geologi dan Tanah Batuan penyusun daerah Kabupaten Magelang terdiri dari batuan sedimen, batuan gunung api, batuan beku terobosan dan endapan aluvial. Batuan sedimen merupakan formasi andesit tua yang terdiri dari breksi, andesit, tufa, tufa lapili, aglomorat dan lava andesit. Formasi ini menempati sisi tepi bagian barat daya Kabupaten Magelang, yakni daerah Salaman dan Borobudur bagian selatan. Batuan ini mengandung potensi bahan galian golongan C (berupa batuan andesit). Batuan gunung api merupakan material batuan yang dihasilkan oleh Gunung Merapi, Gunung Merbabu, dan Gunung Sumbing menempati satuan geomorfik lereng dan puncak gunung api tersebut terdiri dari breksi piroklastik, lelehan lava, batu pasi tufaan dan lahar. Di Kabupaten Magelang terdapat endapan aluvial. Endapan aluvial menempati satuan geomorfik dataran aluvial di sepanjang sungai-sungai yang besar yaitu sungai Progo dengan cabang-cabangnya yang mengalir di wilayah Kecamatan Salaman sampai Kecamatan Borobudur. Endapan aluvial terdiri dari material-material lepas berupa kerakal, kerikil, pasir lanau lumpur dan lempung. Endapan aluvial sangat baik sebagai batuan akuifer (penyimpan air tanah) sekaligus sebagai penghasil pasir dan batu. Jenis tanah di Kabupaten Magelang sebagian besar latosol dan regosol, sebagian lainnya adalah andosol, litosol, dan aluvial. Rata-rata mempunyai kedalaman efektif tanah yang cukup 30 – 90 cm. Hidrologi Kabupaten Magelang, sesuai dengan kondisinya, memiliki 10 (sepuluh) Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS Progo merupakan DAS terpanjang yang melewati wilayah Kabupaten Magelang yakni seluas 3.238,90 km2 atau sekitar
34
91% dari keseluruhan DAS yang ada di Kabupaten Magelang dan DAS Pabelan yang memiliki luas 103 km2 atau sekitar 2,89% DAS yang ada di Kabupaten Magelang. Pada Gunung Merapi sebagian besar air tanah yang keluar pada lereng selatan dan barat gunung dipengaruhi oleh akuifer yang terbentuk oleh formasi hasil proses vulkanis dan endapan dari Gunung Merapi. Kawasan tersebut merupakan kawasan dengan sumberdaya airtanah yang bagus, dengan cadangan yang melimpah. Daerah kaki gunung Merapi bagian selatan mayoritas mempunyai kemiringan lereng yang terjal hinggga mendekati datar, hal ini menyebabkan banyak terbentuknya sungai-sungai di bagian selatan Gunung Merapi. Sungaisungai tersebut pada bagian hulu bersifat ephemeral (mengalir saat musim hujan), dan memiliki kemiringan dasar yang tinggi, tetapi sebagian juga bersifat perennial (mengalir sepanjang tahun) walapun pada musim kemarau mengalami penurunan debit aliran. Daerah hulu ini merupakan daerah resapan air yang menjadi komponen air tanah dan aliran dasar (base flow). Pada tipe gunung api strato seperti Gunung Merapi pada umumnya terdapat sabuk mata air (spring belt). Di wilayah Gunung Merapi terdapat 4 sabuk mata air dan terdapat 212 buah mata air di wilayah Gunung Merapi. Persebaran mata air mulai dari satuan lereng Gunung Merapi hingga dataran fluvio Gunung Merapi, dengan pola mengikuti kontur lereng. Hal ini menunjukan bahwa proses infiltrasi curah hujan dibagian atas, yaitu pada satuan lereng dan kaki lereng Gunung api cukup intensif, dan akibat adanya perubahan lereng pada takik lereng maka mata air banyak bermunculan di bagian bawah. Sumber-sumber hidrologi banyak dimanfaatkan sebagai sumber air bagi kebutuhan masyarakat, kegiatan pertanian seperti irigasi. Kondisi tepi sungai yang terdapat di Kabupaten Magelang banyak yang berbatasan langsung dengan pemukiman masyarakat tanpa adanya pembatas, sempadan sungai pun banyak beralih fungsi serta banyaknya kegiatan pertambangan pasir dan batu dilakukan pada bagian tengah dan hilir sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi.
35
Vegetasi Vegetasi yang ada di Kabupaten Magelang terdiri atas vegetasi budidaya dan vegetasi non budidaya. Vegetasi budidaya meliputi komoditas produk pertanian seperti tanaman holtikultura dan tanaman perkebunan. Pada daerah lereng merapi banyak ditanami tanaman salak sebagai komoditas utama perkebunan. Beberepa pohon buah seperti pohon mangga, duku, rambutan, durian, jeruk yang juga menjadi komoditas tanaman buah. Vegetasi non budidaya meliputi beberapa jenis pohon yang tersebar di wilayah Magelang. Vegetasi mulai dari semak, perdu dan jenis-jenis pohon, seperti pinus (Pinus merkusii), akasia (Acacia decurens), puspa (Schima noronhae), bintami (Poducarpus, sp), kina (Chimchus spec), kelapa (Cocos nucifera), bambu, albasia, beringin. Selain itu, palem raja (Roystonea regia ) dan glodokan tiang (Polyathia longifolia ) pada welcome area pusat pemerintahan kabupaten dan jalur hijau jalan. Aksesibilitas dan Sirkulasi Jalan di Kabupaten Magelang yang berstatus jalan nasional sepanjang 27,31 km, jalan provinsi 126,78 km, jalan kabupaten 641,11 km dan jalan desa/lokal 183,49 km. Kondisi jalan yang sudah beraspal 637,11 km. Jalan berbatu 2,5 km. Beberapa jalan memiliki kondisi yang kurang baik, Untuk jembatan (nasional dan propinsi) terdapat 298 buah jembatan dengan panjang total jembatan 2.530,75 km. Kabupaten Magelang yang berada diantara kabupaten/kota lainnya yang dihubungkan melalui akes menuju beberapa wilayah di sekitarnya, yakni Semarang, Salatiga, Temanggung, Boyolali, Yogyakarta, Purworejo, Wonosobo yang dihubungkan dengan jalan antar kabupaten/kota dan antar provinsi. Jalan dalam kota berfungsi sebagai jalur alternatif, jalur antar kabupaten, jalur pariwisata, jalur evakuasi, dan jalur penambangan. Pola jalan yang radial konsentris direkomendasikan untuk diterapkan di Kabupaten Magelang namun berjalan kurang sempurna karena kurangnya sarana transportasi. Kondisi beberapa jalan yang terdapat di Kabupaten Magelang pun beragam. Kondisi jalan yang baik 437.02 km dari 138 ruas jalan Kabupaten Magelang sedangkan kondisi jalan yang rusak hingga rusak berat berjumlah 68 ruas jalan dengan panjang total ruas jalan yang rusak 66.21 km.
36
Sirkulasi jalan primer terdapat di pusat kota yang menghubungkan kota/kabupaten di sekitar wilayah Kabupaten Magelang. Beberapa jalur jalan menerapkan sistem sirkulasi satu arah untuk daerah yang strategis di pusat kota. Jalan lingkungan dan jalan lokal terdapat pada daerah.
Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di Kabupaten Magelang yang mengakomodasi aktivitas masyarakat berupa sarana transportasi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, fasilitas pendukung kegiatan ekonomi dan sosial. Fasilitas kesehatan di Kabupaten Magelang sampai dengan bulan Juni 2010 terdiri dari 223 buah Posyandu, 71 buah poliklinik desa, 29 buah puskesmas induk, 62 puskesmas pembantu dan 34 armada puskesmas keliling, serta 3 buah puskesmas perawatan. Pada saat ini belum ada pembangkit tenaga listrik yang berada di wilayah Kabupaten Magelang, Jangkauan pelayanan energi listrik di Kabupaten Magelang pada tahun 2007 menjangkau 372 listrik pedesaan sehingga semua desa 100 % sudah dijangkau listrik. Untuk daerah perkotaan listrik sudah menjangkau 5 daerah dan semua sudah terjangkau pelayanan listrik. Namun masih ada 40 dusun yang tersebar di Kabupaten Magelang yang belum terjangkau pelayanan listrik. Berkaitan dengan penanggulangan bencana, terdapat pula jalur evakuasi bencana namun masih terdapat kendala seperti kondisi jalur evakuasi yang kurang baik, fasilitas evakuasi yang masih kurang, lokasi pengungsian yang masih kurang terorganisir. Aspek Sosial Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Magelang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 jumlah penduduk 1.204.974
jiwa,
sedang tahun 2009 naik menjadi 1.217.672 jiwa yang terdiri 608.710 jiwa lakilaki dan 608.962 jiwa perempuan. Adapun kepadatan penduduk Kabupaten Magelang rata-rata pada tahun tahun 2008 mencapai 1.109,83 orang per km² naik menjadi 1.121,52 orang km². Jumlah penduduk Kabupaten Magelang menurut kecamatan dan jenis kelamin tahun 2009 tertera pada Tabel 3.
37
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2009 Kecamatan
Jumlah Penduduk
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
01. Salaman
69.215
34.094
35.121
02. Borobudur
56.589
28.094
28.094
03. Ngluwar
30.241
15.064
15.064
04. Salam
44.408
22.945
21.462
05. Srumbung
45.344
22.842
22.502
06. Dukun
44.056
21.833
22.223
07. Muntilan
73.570
36.446
37.124
08. Mungkid
69.523
33.753
35.771
09. Sawangan
57.245
28.401
28.844
10. Candimulyo
48.362
24.527
23.835
11. Mertoyudan
97.509
48.443
49.066
12. Tempuran
48.041
24.192
23.849
13. Kajoran
56.849
28.708
28.142
14. Kaliangrik
57.115
28.404
28.712
15. Bandongan
56.249
28.247
28.002
16. Windusari
51.019
25.210
25.881
17. Secang
75.830
38.046
37.785
18. Tegalrejo
52.519
27.329
25.189
19. Pakis
55.951
27.804
28.147
20 Grabag
87.067
43.310
43.756
21. Ngablak
40.897
20.503
20.394
1.217.672
608.710
608.962
Kabupaten Magelang
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang, 2010
38
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Aspek Biofisik Topografi Kabupaten Magelang merupakan wilayah yang dikelilingi oleh beberapa pegunungan. Pada wilayah barat dan timur Kabupaten Magelang berbatasan langsung dengan beberapa pegunungan diantaranya, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Gunung Merapi, Gunung Andong, Gunung Telomoyo dan Pegunungan Menoreh. Kabupaten Magelang memiliki topografi yang beragam dengan sebagian besar daerahnya memiliki topografi berbukit. Kondisi topografi sebagian besar wilayah Kabupeten Magelang yang berbukit menyajikan keindahan panorama alam namun juga berpotensi bahaya terutama bahaya lanskap. Pada daerah tersebut, bahaya lanskap dapat berupa erosi dan longsor. Bahaya lanskap dapat diminimalkan dengan pengembangan ruang terbuka hijau pada daerah tersebut. Kabupaten Magelang memiliki beberapa gunung yaitu gunung Merapi (2.911 m dpl), Merbabu (3.199 m dpl), Sumbing (3.296 m dpl), Telomoyo (1.894 m dpl) dan Andong (1.736 m dpl). Ketinggian wilayah dari permukaan laut berkisar antara 154 m dpl – 3.296 m dpl dengan wilayah dengan ketinggian 154 500 m dpl sebanyak 47%, wilayah dengan ketinggian 500 – 1000 m dpl dengan 35%, wilayah dengan ketinggian > 1000 m dpl dengan 18%. Hal ini memberikan indikasi bahwa Kabupaten Magelang memiliki potensi untuk budidaya berbagai jenis tanaman dataran rendah maupun dataran tinggi. Kemiringan lahan di Kabupaten Magelang terbagi menjadi daerah datar (kemiringan 0–15%) meliputi Kecamatan Mertoyudan, Mungkid, Muntilan, Salam, Ngluwar dan Secang. Daerah bergelombang – berbukit (kemiringan 16– 40%) meliputi Kecamatan Tempuran, Salaman, Borobudur, Srumbung, Dukun, Sawangan, Candimulyo, Tegalrejo, Grabag dan Bandongan dan daerah bergunung-gunung dengan lembah yang curam (kemiringan >40%) meliputi Kecamatan Ngablak, Pakis, Windusari, Kaliangkrik dan Kajoran. Pada Kabupeten Magelang, daerah topografi datar memiliki luas 8.599 ha yang berada di bagian tengah wilayah Kabupaten Magelang, daerah yang bergelombang dengan luas 44.784 ha yang menyebar di bagian tengah sedangkan
39
daerah yang curam memiliki luas 41.037 ha dan sangat curam dengan luas 14.155 ha yang berada di kawasan pegunungan. Topografi datar bersifat cenderung stabil dan sesuai untuk dijadikan sebagai ruang evakuasi. Pada topografi yang berbukit, pembangunan fisik dapat diminimalkan dan mengembangkan ruang terbuka hijau di beberapa daerah untuk budidaya yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk maupun ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai konservasi. Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan wilayah terkait kemiringan lahan, lahan dengan kemiringan 0%-15% dapat dikembangkan menjadi RTH pusat kota, RTH kawasan indusrti, RTH pada kawasan pariwisata, RTH tepi pantai dan RTH kawasan DAS. Kawasan dengan kemiringan 15%-45% dapat dikembangkan RTH pertanian, RTH perkebunan, maupun RTH pariwisata, kawasan dengan kemiringan <45% telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Aspek kemiringan lahan merupakan salah satu persyaratan dalam menentukan
kesesuaian
pengembangan
RTH
evakuasi.
Daerah
dengan
kemiringan 0-8% memiliki karakter yang stabil dan sesuai untuk ruang evakuasi bencana. Daerah dengan kemiringan 8-15% merupakan daerah yang landai cukup sesuai untuk dikembangkan menjadi kawasan dengan aktivitas yang bersifat intensif. Wilayah yang memiliki kemiringan 15-30% merupakan daerah yang rentan terhadap bahaya lanskap, wilayah ini dapat dikembangkan sebagai kawasan dengan aktivitas masyarakat yang bersifat semi intensif seperti ruang terbuka hijau budidaya, kawasan pertanian, kawasan perkebunan serta kawasan rekreasi. Wilayah dengan kemiringan >30% merupakan daerah yang curam dan memiliki potensi bahaya yang besar, rawan erosi dan rawan pergerakan tanah sehingga pembangunan fisik seperti permukiman sebaiknya dihindari. Kawasan ini sesuai untuk hutan konservasi atau hutan lindung. RTH pada kecamatan Mungkid, Muntilan, dan Salam sesuai untuk dikembangkan menjadi RTH evakuasi karena terletak pada kemiringan 0-15%. RTH pada kecamatan Srumbung, Dukun, Sawangan tergolong cukup sesuai karena terletak pada kemiringan 16-30%. Analisis kemiringan lahan pada daerah yang terkait dengan kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi tertera pada Gambar 5.
40
41
Pengunaan Lahan Luas keseluruhan Kabupaten Magelang adalah 108.573 ha dengan luas ruang terbuka hijau sebesar 93.298,15 ha dengan persentase 85,85%. Penggunaan lahan didominasi oleh hutan, sawah, semak, tegalan, kebun, padang rumput, permukiman, kawasan jasa dan penunjang aktivitas masyarakat. Pada kawasan Kabupaten Magelang yang termasuk dalam kawasan rawan bencana letusan gunung berapi, prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi yang memiliki fungsi lindung, harus dilindungi dan dipertahankan sebagai kawasan lindung dan pada kawasan yang tidak mempunyai fungsi lindung dapat dibudidayakan dengan kriteria tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat yang memanfaatkannya untuk kegiatan budidaya. Secara garis besar penggunaan ruang Kabupaten Magelang dibagi berdasarkan peruntukan budidaya dan non budidaya, alokasi penggunaan lahan di Kabupeten Magelang meliputi kawasan non budidaya lindung yang dapat dikelompokkan menjadi kawasan lindung hidrologi, kawasan budaya (cagar budaya), dan flora-fauna (suaka alam) sedangkan untuk pembagian kawasan budidaya di Kabupaten Magelang dikelompokkan menjadi kawasan budidaya pertanian dan kawasan budidaya non pertanian. Kawasan lainnya tergolong sebagai kawasan perkotaan yang terdiri atas kawasan pemukiman, kawasan industri. Penggunaan lahan untuk mendukung upaya penanggulangan bencana sebagai ruang evakuasi dapat diuraikan berdasarkan pembagian penggunaan lahan di Kabupaten Magelang yang meliputi kawasan budidaya, kawasan lindung atau konservasi dan kawasan perkotaan. Kawasan budidaya baik kawasan budidaya pertanian maupun kawasan budidaya non pertanian termasuk dalam ketegori sesuai untuk dikembangkan sebagai ruang evakuasi bencana namun perlu penambahan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan penanggulangan bencana. Kawasan lindung atau konservasi yang berfungsi untuk mencegah ancaman bahaya dari bencana geologi lainnya seperti erosi dan longsor yang sangat rentan terjadi di Kabupaten Magelang, kawasan konservasi di daerah bantaran sungai juga perlu dikembangkan untuk mencegah penyebaran bahaya dari aliran lahar. Kawasan ini termasuk dalam ketegori cukup sesuai. Kawasan perkotaan termasuk dalam ketegori tidak sesuai untuk dikembangkan sebagai Gambar 2. Peta Analisis Kemiringan Lahan Gambar 3. Peta Analisis Ketinggian Lahan
42
ruang evakuasi namun untuk mendukung upaya mitigasi dapat ditambahkan sarana dan prasarana pendukung yang dapat menbantu kelancaran proses evakuasi. Analisis penggunaan lahan untuk RTH evakuasi tertera pada Gambar 6. Kabupaten Magelang termasuk dalam kawasan rawan letusan gunung berapi
sehingga
dalam
penentuan
rencana
struktur
ruang
perlu
mempertimbangkan beberapa aspek, seperti penentuan susunan pusat hunian dan sisitem jaringan sarana dan prasarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Susunan pusat hunian dan sistem jaringan sarana dan prasarana pendukungnya pada setiap kawasan akan berbeda tergantung dari variasi tingkat kerawanan atau tingkat risiko dan skala atau tingkat pelayanan bagi masyarakat sehingga dalam perencanaan struktur ruang harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan, tingkat kerawanan, fungsi kawasan, dan tingkat pelayanan. Berdasarkan informasi geologi dan tingkat risiko letusan gunung berapi, tipologi kawasan rawan letusan gunung berapi dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu: a. Tipe A 1. Kawasan yang berpotensi terlanda banjir lahar dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava. Selama letusan membesar, kawasan ini berpotensi tertimpa material jatuhan berupa hujan abu lebat dan lontaran batu pijar. 2. Kawasan yang memiliki tingkat risiko rendah (berjarak cukup jauh dari sumber letusan, melanda kawasan sepanjang aliran sungai yang dilaluinya, pada saat terjadi bencana letusan masih memungkinkan manusia untuk menyelamatkan diri sehingga risiko terlanda bencana masih dapat dihindari. b. Tipe B 1. Kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lahar dan lava, lontaran atau guguran batu pijar, hujan abu lebat, hujan lumpur (panas), aliran panas dan gas beracun. 2. Kawasan yang memiliki tingkat risiko sedang (berjarak cukup dekat sumber letusan, risiko manusia untuk menyelamatkan diri pada saat letusan cukup sulit, kemungkinan untuk terlanda bencana sangat besar). c. Tipe C
43
1. Kawasan yang sering terlanda awan panas, aliran lahar dan lava, lontaran atau guguran batu (pijar), hujan abu lebat, hujan lumpur panas, aliran panas dan gas beracun. Hanya diperuntukkan bagi kawasan rawan letusan gunung berapi yang sangat giat atau sering meletus. 2. Kawasan yang memiliki risiko tinggi (sangat dekat dengan sumber letusan) Pada saat terjadi aktivitas magmatis, kawasan ini akan dengan cepat terlanda bencana, makhluk hidup yang ada di sekitarnya tidak mungkin untuk menyelamatkan diri. Berdasarkan tingkat bahaya pada kawasan rawan bencana letusan gunung berapi, terdapat persyaratan penggunaan lahan yang sesuai dengan daerah tersebut yang terbagi dalam tiga tipe penggunaan lahan, yakni tipe A, tipe B dan tipe C. hal tersebut dijelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 4. Peruntukan Ruang Pada Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Berapi. Peruntukan Ruang
Tipologi A
Tipologi B Desa
Tipologi C
Kota
Desa
Kota
Kota
Desa
Hutan produksi
-
√
-
-
-
-
Hutan kota
√
-
-
-
√
-
Hutan rakyat
-
√
-
√
-
√
Pertanian sawah
-
√
-
√
-
√
Pertanian semusim
-
√
-
√
-
√
Perkebunan
-
√
-
√
-
√
Peternakan
-
√
-
√
-
-
Perikanan
-
√
-
√
-
-
Pertambangan
-
√
-
√
-
-
Industri
√
-
√
√
-
-
Pariwisata
√
√
-
√
-
√
Permukiman
√
√
√
√
-
-
Keterangan : √
: dapat dibangun dengan syarat
-
: tidak layak dibangun Pembagian penggunaan lahan pada kawasan rawan letusan gunung berapi
berdasarkan tipologi kawasan yang terbagi dalam tiga kategori, yakni: Tipe A
44
Secara umum penggunaan ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi tipologi A dapat diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan budi daya seperti kegiatan kehutanan, industri, perdagangan dan perkantoran, permukiman, pariwisata di kawasan perkotaan. Kegiatan budi daya yang diperbolehkan untuk kawasan perdesaan diantaranya adalah kegiatan permukiman, pertanian, perikanan, perkebunan, pertambangan rakyat, hutan produksi dan hutan rakyat serta kegiatan perdagangan dan perkantoran. Pengembangan kegiatan budi daya tersebut dilakukan dengan syarat-syarat tingkat kerentanan rendah dan sedang. Tipe B Penggunaan ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi tipologi B dapat diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan budi daya seperti pada tipologi A, namun dengan syarat-syarat tingkat kerentanan sedang dan tinggi. Tipe C Penggunaan ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi tipologi C diarahkan dengan pendekatan konsep penyesuaian lingkungan, yaitu upaya untuk menyesuaikan dengan kondisi alam, dengan lebih menekankan pada upaya rekayasa kondisi alam yang ada. Pada kawasan rawan letusan gunung berapi tipologi C ini, penggunaan ruang diutamakan sebagai kawasan lindung sehingga mutlak dilindungi. Namun, pada kawasan rawan letusan gunung berapi di kawasan perdesaan masih dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya terbatas, seperti kegiatan kehutanan dan pariwisata. Susunan pusat-pusat hunian dan sistem jaringan prasarana dan sarana pendukungnya pada setiap kawasan akan berbeda tergantung dari variasi tingkat kerawanan/tingkat risikonya dan skala/tingkat pelayanannya. Oleh karena itu, dalam perencanaan struktur ruangnya harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan, tingkat kerawanan, fungsi kawasan, dan tingkat pelayanan dari unsurunsur pembentuk struktur tersebut. Beberapa ketentuan agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan struktur ruangnya dapat dilihat pada Tabel 5. Daerah di Kabupaten Magelang yang termasuk dalam kawasan rawan bencana masih kurang sesuai dengan pemanfaatan ruang yang seharusnya diterapkan pada kawasan rawan bencana letusan gunung berapi. Saat ini, tercacat terdapat tiga kecamatan yang termasuk dalam kawasan rawan bencana III letusan Gunung Merapi. Oleh karena itu, diperlukan pengendalian pemanfaatan ruang
45
agar pemanfaatan ruang dapat sesuai dengan fungsi yang di tetapkan dalam rencana tata ruang. Tabel 5. Arahan Struktur Ruang Kawasan Letusan Gunung Berapi Unsur Pembentuk Struktur Ruang
Tipologi A
Tipologi B Desa
Tipologi C
Kota
Desa
Kota
Kota
Desa
Pusat hunian
√
√
√
√
-
-
Jaringan air bersih
√
√
√
√
√
√
Drainase
√
√
√
√
√
√
Sistem pembuangan limbah
√
√
√
√
√
√
Sistem pembuangan sampah
√
√
√
√
√
√
Jaringan transportasi lokal
√
√
√
√
√
√
Jaringan telekomunikasi
√
√
√
√
-
-
Jaringan listrik
√
√
√
√
-
-
Jaringan energy
√
√
√
√
-
-
Umum
No.21/Prt/M/2007
Keterangan : √
: dapat dibangun dengan syarat
-
: tidak layak dibangun
Sumber:
Peraturan
Menteri
Pekerjaan
tentang
pedoman
penataan ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi.
Sebagian besar penduduk telah menempati lahan berupa pegunungan dikarenakan faktor kesuburan tanah dan hasil bumi yang ada. Adanya potensi rawan bencana pada suatu wilayah akan menghambat pembangunan wilayah karena perencanaan yang ada bersifat sia-sia apabila dilakukan suatu pembangunan, maka beresiko untuk mengalami kehancuran akibat bencana alam yang sewaktu-waktu dapat terjadi, kecuali jika perencanaan yang ada memperhatikan kondisi kawasan rawan bencana sebagai pertimbangan dalam melakukan perencanaan karena bencana serupa dapat terjadi di masa depan dan pada kenyataannya tidak dapat dihindari besarnya dampak yang ditimbulkan akibat bencana tersebut, terutama korban jiwa, kerusakan fasilitas umum dan kerugian materi lainnya. Daerah pada Kabupaten Magelang yang termasuk dalam tipologi A, termasuk dalam kawasan rawan bencana I mencakup daerah yang terletak pada daerah sekitar DAS yang sungainya berhulu di puncak Gunung Merapi termasuk tujuh kecamatan di Magelang yang terancam dampak banjir lahar dingin, yakni
46
Dukun, Srumbung, Sawangan, Salam, Muntilan, Mungkid, dan Ngluwar. Hingga Oktober 2011, jumlah warga di 53 desa yang terancam banjir lahar dingin yaitu 94.000 jiwa. Penduduk tersebut rata-rata tinggal di bantaran Kali Krasak, Kali Putih, Kali Pabelan, Kali Lamat, dan Kali Blongkeng. Penduduk di kawasan tersebut telah dilakukan sosialisasi mengenai langkah yang harus dilakukan jika terjadi banjir lahar dingin. Daerah yang termasuk dalam tipologi B merupakan daerah yang berada pada kawasan rawan bencana II dan daerah yang termasuk dalam tipologi C merupakan daerah kawasan rawan bencana III. Wilayah yang termasuk dalam kawasan rawan bencana III, yakni Kecamatan Srumbung dengan jumlah desa 12, Kecamatan Dukun dengan 14 desa, dan Kecamatan Sawangan 10 desa. Wilayah Indonesia yang rentan terhadap bencana mengharuskan penataan ruang mengakomodir aspek-aspek mitigasi bencana. Mitigasi bencana sendiri merupakan serangkaian tindakan upaya meminimalisir atau mengurangi resiko bencana. Hal yang terkait penataan ruang, upaya tersebut diwujudkan dalam rencana tata ruang melalui perencanaan kawasan dan jalur evakuasi, serta pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang daerah-daerah kawasan rawan bencana atau berpotensi menimbulkan bencana terutama pada kawasan-kawasan penyangga. Penataan ruang berbasis mitigasi yang diarahkan pada pusat-pusat pemukiman dan kawasan-kawasan strategis. Perlunya penerapan mitigasi bencana dalam penataan ruang melalui pengembangan bangunan gedung dan sarana prasarana peringatan dini sehingga diharapkan agar ditambahkan pengembangan jalur dan tempat evakuasi bencana.
47
48
Iklim Kondisi iklim dapat mempengaruhi tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh masyarakat serta pengaruh terhadap psikologis masyarakat pada saat proses evakuasi berlangsung. Kenyamanan dapat mengurangi rasa kepanikan serta menciptakan suasana aman. Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi kenyamanan diantaranya adalah curah hujan, suhu, kecepatan angin. Kabupaten Magelang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi. Hal ini menyebabkan banyak terjadi bencana tanah longsor di beberapa daerah pegunungan dan lereng gunung. Anomali iklim yang terjadi pada tahun 2010 membuat curah hujan cukup tinggi sehingga menyebabkan lahar lebih membahayakan bagi masyarakat. Air yang berasal dari air hujan akan menambah volume air dan mempengaruhi kepekatan dan juga luas sebaran aliran lahar, semakin besar volume air maka aliran aliran lahar yang terbentuk semakin encer dan jangkauan alirannya semakin luas dan jauh. Material lahar panas yang tertimbun di puncak Merapi dan lahar dingin yang terakumulasi di tanggul dan tebing-tebing sungai, bila terbawa oleh air hujan akan meluncur ke daerah bawahnya sebagai bahaya longsoran massa volkanik. Kabupaten Magelang merupakan daerah yang sejuk, dengan suhu rata-rata 25,62°C. Suhu tersebut termasuk dalam suhu nyaman bagi aktivitas manusia, namun
pada siang hari matahari bersinar terik dengan intensitas penyinaran
sangat tinggi sehingga akan menimbulkan ketidaknyamanan dan mengganggu aktivitas. Radiasi matahari yang tinggi dapat mengganggu kenyaman dan kondisi psikologis masyarakat terutama saat proses evakuasi, rasa panik dan amarah dapat timbul dan menyebabkan disorientasi para pengungsi untuk mobilisasi ke tempat yang aman. Oleh karena itu, dibutuhkan vegetasi yang dapat menurunkan suhu dan mengurangi radiasi matahari. Kondisi ini dapat diatasi dengan menciptakan suasana teduh, baik dengan peneduh alami berupa penanaman vegetasi maupun peneduh buatan seperti shelter. Vegetasi sebagai pengendali iklim dapat menurunkan suhu dan menyejukkan udara di sekitarnya karena dapat mengurangi pancaran sinar matahari yang masuk serta menyerap panas yang dipantulkan dari perkerasan. Selain itu, vegetasi dapat megatur dan memecah arah angin. Namun, penanaman
49
vegetasi peneduh harus memperhatikan arah matahari agar dapat memberikan efek pencahayaan dan bayangan yang cukup untuk menaungi pengguna tapak (Laurie, 1986) Kecepatan angin rata-rata di Kabupaten Magelang sebesar 1,8 knot, dalam skala Beaufort, kecepatan angin termasuk dalam kategori kelas 1 (1 - 6 km/jam atau 0,54 – 3,24 knot), yaitu angin sepoi-sepoi dengan arah angin menuju arah tenggara dan barat daya. Angin memiliki peran sebagai media pembawa polusi udara, hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan sehingga dibutuhkan vegetasi sebagai pengendali iklim. Kisaran kelembaban udara yang nyaman bagi manusia adalah 40% - 70% (Laurie, 1986). Kelembaban udara rata-rata di Kabupaten Magelang mencapai 82%, kelembaban yang terlalu tinggi dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Kondisi ini dapat diatasi dengan memperhatikan struktur dan penempatan vegetasi yakni pemilihan vegetasi yang yang tidak terlalu rapat atau masif dan jarak penanaman yang jarang. Pada saat erupsi, banyak debu yang yang bertebaran sehingga dibutuhkan introduksi vegetasi yang dapat menyerap debu, Terutama pada ruang evakuasi dibutuhkan kondisi iklim yang dapat menciptakan suasana nyaman. Jenis vegetasi yang dapat menyerap debu diantaranya kayu putih (Eucalyptus sp.), akasia (Akasia mangium) dan tanjung (Mimusoph elengi).
Reduksi air hujan oleh vegetasi (Sumber: Grey and Danekke, 1976 dalam Zain 2008)
50
Pengaruh vegetasi terhadap suhu
Pengaruh vegetasi terhadap sinar matahari (Sumber: Brooks, 1988, dalam Zain 2008)
Gambar 7. Pengaruh Vegetasi Terhadap Iklim
Geologi dan Tanah Secara umum formasi dan jenis batuan yang menyusun Gunung Merapi di bagian utara didasari oleh batuan vulkanik Merapi Tua berumur pleistosen atas, di bagian timur didasari oleh batuan tersier formasi nglanggran dan semilir, serta batuan tersier formasi sentolo di bagian barat maupun selatan. Menurut Bemmelen 1949 dalam Setawan 2010, di formasi sentolo memiliki tipe facies neritik. Di bagian selatan juga terdapat formasi endapan gunungapi merapi muda yang berumur kuarter dan terdiri dari material lepas sebagai hasil kegiatan letusan Gunung Merapi. Endapan gunung merapi muda batuannya berupa tuf, abu, breksi, aglomerat, dan lelehan lava tak terpilahkan. Hasil pelapukan pada lereng kaki bagian bawah membentuk dataran yang meluas di sebelah selatan, terutama terdiri dari rombakan vulkanik yang terangkut kembali oleh alur-alur yang berasal dari lereng atas.
51
Kelompok batuan sedimen dan gunung api tua terdapat pada sebagian kecamatan Dukun yang terdiri dari breksi, konglomerat, dan lava. Sifat batuan umumnya padu, kelulusan airnya rendah, mampu mendukung bangunan bertingkat, dan dapat menjadi akuifer dengan produktifitas kecil hingga sedang. Tanah hasil pelapukannya bertekstur lanau hingga pasir. Kesuburan potensialnya berkisar rendah hingga sedang. Kelompok batuan gunungapi muda terdapat pada kecamtan Dukun, Muntilan, Salam, Ngluwar, Srumbung dan sebagian kecamatan Mungkid yang terdiri dari tufa, aglomerat, breksi volkanik, dan lava. Pada umumnya batuan bersifat agak padu, kelulusan airnya sedang hingga tinggi, dan daya dukung pondasi bagus. Tanah hasil pelapukannya bertekstur lempung, lanau dan pasir serta kesuburan potensialnya tinggi. Sifat bahan induk tanah ditentukan oleh asal batuan dan komposisi mineralogi yang berpengaruh terhadap kepekaan erosi dan longsor. Di daerah pegunungan, bahan induk tanah didominasi oleh batuan kokoh dari batuan vulkanik, sedimen, dan metamorfik. Tanah yang terbentuk dari batuan sedimen, terutama batu liat, batu liat berkapur atau marl dan batu kapur, relatif peka terhadap erosi dan longsor. Jenis tanah di Kabupaten Magelang terdiri atas tanah jenis aluvial, andosol, komplek andosol kelabu tua dan litosol, komplek latosol, dan regosol. Latosol memiliki sifat permeabilitas baik dan tahan erosi, terbentuk dari bahan induk batuan atau tufa volkan sedangkan tanah jenis andosol memiliki permeabilias sedang dan peka erosi air dan angin. Tanah jenis andosol terbentuk akibat pelapukan bahan induk tufa dan abu vulkanik, terbentuk di wilayah yang memiliki curah hujan antara 2500-7500 mm/tahun, peka terhadap erosi, produktifitas tanah ini sedang hingga tinggi manfaatnya untuk penanaman sayuran, perkebunan kopi, teh, kina dan pinus, kesesuaian terhadap pembangunan termasuk dalam kategori rendah. Tanah jenis regosol dan litosol memiliki sifat yang sangat peka terhadap erosi sedangkan tanah jenis aluvial cenderung peka terhadap erosi (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Litosol merupakan tanah yang mempunyai solum kurang dari 30 cm, bertekstur kasar, berpasir dan atau berkerikil, kepekaan terhadap erosi sangat tinggi serta kesesuaian untuk pembangunan termasuk kategori rendah. Aluvial merupakan tanah muda sebagai
52
hasil sedimentasi bahan mineral yang dibawa sungai atau air. Aluvial memiliki ciri-ciri bewarna kelabu sampai coklat, bertekstur liat sampai pasir, konsistensi keras bila kering dan teguh bila lembab, bahan organik relatif rendah dan kesesuaian untuk pembangunan tergolong tinggi. Regosol merupakan tanah yang belum mengalami perkembangan dan bertekstur pasir, memiliki ciri tidak berstruktur, berwarna abu-abu, coklat kekuningan sampai coklat, konsistensi lepas, teguh atau bahkan sangat teguh bila memadat, pH 5-7, daya ikat air sangat rendah karena pori makro sangat banyak, dan mudah tererosi selain itu, kesesuaian untuk pembangunan tergolong rendah. Pada tujuh kecamatan, tanah jenis regosol mendominasi kecamatan Ngluwar, Salam, dan Srumbung serta sebagian pada kecamatan Dukun, Muntilan, dan Mungkid. Tanah jenis regosol dan litisol terdapat pada sebagian kecamatan Dukun dan Srumbung. Tanah jenis latosol coklat terdapat pada kecamatan Sawangan dan sebagian kecamatan Mungkid. Analisis kepekaan tanah terhadap erosi di Kabupaten Magelang tertera dalam Gambar 9. Kondisi tanah di Kabupaten Magelang banyak yang mengalami pergerakan sehingga berpotensi bahaya. Selain itu, dampak lingkungan akibat penambangan pasir menyebabkan erosi. Tingginya tingkat erosi di daerah penambangan pasir dan juga di daerah sekitarnya. Adanya tebing-tebing bukit yang rawan longsor karena penambangan yang tidak memakai sistem berteras sehingga sudut lereng menjadi terjal dan mudah longsor. Pasca-erupsi juga terjadi erosi alur pada daerah berlereng seperti yang tertera pada Gambar 8.
(Sumber: Balai Penelitian Tanah Kementerian Pertanian, 2011)
Gambar 8. Erosi alur akibat erupsi
53
54
Kawasan Rawan Bencana Bencana merupakan peristiwa yang mengancam atau menggangu kehidupan masyarakat yang disebababkan oleh faktor alam yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana letusan gunung berapi merupakan salah satu jenis bencana geologi yang merupakan bagian dari aktivitas vulkanik. Peristiwa terjadinya erupsi tidak dapat diprediksi namun dapat diketahui melalui upaya mitigasi dengan pengamatan aktivitas vulkanik yang terjadi dan pengamatan peningkatan aktivitas tersebut yang akhirnya menyebabkan erupsi terjadi, sehingga dapat mengurangi jatuhnya korban jiwa. Erupsi gunung api merupakan salah satu bencana geologi yang terjadi pada gunung api aktif, erupsi gunung api biasanya disertai beberapa jenis peristiwa seperti gempa baik vulkanik, tektonik yang sifatnya lokal dan hanya terjadi di daerah sekitar gunung api. Berdasarkan informasi dari BPPTK Gunung Merapi merupakan gunung berapi yang gempa-gempanya tergolong berskala kecil, sehingga hampir semua gempa vulkanik Gunung Merapi tidak terasa oleh manusia. Magnitude berada di bawah 3 pada skala Richter. Dari posisi sumber gempa, gempa-gempa Merapi terjadi pada kedalaman dari kurang sekitar 6 kilometer di bawah puncak. Pada umumnya gempa-gempa tergolong dangkal bahkan kurang dari 2 kilometer di bawah puncak. Hal yang perlu diwaspadai terkait gempa vulkanik, daerah yang berjarak 1 sampai 3 kilometer memiliki potensi bahaya. Namun, beberapa bahaya dari letusan gunung api sangat berbahaya. Bahaya tersebut berupa bahya primer dan bahaya sekunder. Erupsi Gunung Merapi mengeluarkan lahar panas yang merusak lahan. Erupsi Gunung Merapi pada Oktober-November 2010 telah menimbulkan kerusakan dan kerugian yang besar. Dampak bencana dari erupsi gunungapi Merapi ada dua, yaitu: dampak langsung erupsi Merapi dan dampak banjir lahar dingin. Untuk rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi erupsi langsung dari Merapi sudah bisa dilakukan sedangkan untuk dampak lahar dingin belum bisa dilakukan karena masih berlangsung hingga akhir musim penghujan periode ini.
Gambar 4. Peta Analisis Tanah
55
Dampak ini meliputi di lima sektor yaitu permukiman, infrastruktur, ekonomi produktif, sosial dan lintas sektor. Kerusakan sumberdaya lahan yang terjadi akibat letusan Gunung Merapi adalah erupsi abu dan pasir yang menutupi lahan pertanian, maupun pemukiman masyarakat dengan ketebalan abu dan pasir yang bervariasi untuk setiap lokasi tergantung jarak dari pusat letusan dan arah dan kecepatan angin. Kerusakan lahan Kabupaten Magelang dampak yang langsung terhadap lahan adalah penutupan lapisan olah bagian atas tanah oleh abu dan rusaknya tanaman yang tumbuh diatasnya dan rumah-rumah masyarakat maupun infrastruktur yang ada. Material piroklastik hasil erupsi Gunung Merapi (Oktober - November 2010) mengakibatkan kerusakan fisik sumberdaya lahan (tanaman, air, ternak) dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di daerah bencana. Erupsi gunung api merupakan proses alam dan tidak dapat dicegah, sehingga untuk menekan terjadinya korban dan kerugian harta benda perlu diadakan upaya penanggulangan bencana. Daerah-daerah yang masuk dalam kawasan rawan bencana perlu dilakukan pemetaan. Daerah yang termasuk dalam kawasan rawan bencana III harus dikosongkan dan dilarang untuk hunian tetap karena sering terlanda oleh produk letusan gunung api (lava, awan panas, jatuhan piroklastika). Kecamatan yang masuk dalam kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi di Kabupaten Magelang adalah kecamatan Dukun, kecamatan Sawangan, kecamatan Srumbung yang masuk dalam KRB II dan III, kecamatan lainnya yang masuk dalam daerah berpotensi dialiri lahar dingin diantaranya kecamatan Muntilan, kecamatan Ngluwar dan kecamatan Salam. Pada kenyataannya masyarakat belum siap menghadapi bencana. Oleh karena itu kesiapsiagaan (preparadness) terhadap bencana harus diberikan kepada masyarakat melalui edukasi manajemen bencana agar dapat bersiap sebelum, saat dan setelah terjadi bencana. Tingkat bahaya dari Gunung Merapi sangat tergantung dari kerapatan dari suatu letusan dan kepadatan penduduk yang bermukim di sekitar Gunung Merapi tersebut.
56
57
Hidrologi Wilayah Kabupaten Magelang secara topografi merupakan dataran tinggi yang berbentuk menyerupai cawan (cekungan) karena dikelilingi oleh 5 (lima) gunung yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh. Kondisi ini menjadikan sebagian besar wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah tangkapan air. Wilayah Kabupaten Magelang Magelang terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo dan DAS Bogowonto. Sesuai dengan keadaan wilayahnya, Kabupaten Magelang kaya akan mata air dan sungai. Terdapat 10 sungai besar/sedang dengan jumlah debit maksimum 2.314 m3 per detik pada musim penghujan dan minimum 110,3 per detik pada musim kemarau, serta 55 mata air dengan jumlah debit 9.509 liter per detik. Air tanah sebagai sistem akuifer Merapi, yang secara hidrogeologis membentuk satu sistem akuifer yang berlapis banyak dan mempunyai sifat-sifat hidrolika relatif sama dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Permasalahan lain yang terdapat di sungai wilayah Kabupaten Magelang yaitu terdesaknya para penambang manual dari alur-alur sungai akibat cadangan pasir sudah habis dieksploitasi secara besar-besaran oleh para pengusaha penambangan modern. Akhirnya mereka menambang di tebing-tebing sungai dan kawasan hutan Kabupaten Magelang. Banyak pondasi bangunan-bangunan sabo dam (pengendali banjir lahar) terancam rusak akibat penggalian pasir di dekat bangunan-bangunan
tersebut
dan
menyebabkan
berkurangnya
debit
air
permukaan/ mata air. Lokasi penambangan pada saat ini sudah sangat dekat dengan puncak Merapi, sehingga apabila sewaktu-waktu terjadi luncuran awan panas atau muntahan lahar, maka para penambang sulit untuk menyelamatkan diri. Letusan Gunung Merapi, bahaya yang ditimbulkan selain awan panas, material cair pasir dan bebatuan juga bahaya sekunder berupa lahar dingin yang mengalir dahsyat ketika hujan deras turun di sungai yang berhulu di lereng merapi. Pada bencana tersebut korbannya adalah pemukim di kawasan lindung bantaran sungai yang terkena luapan sungai berupa air, pasir dan bebatuan. Rumah yang tergenang saat banjir termasuk dalam lingkup kawasan lindung
58
bantaran sungai sehingga tempat tersebut tidak semestinya digunakan untuk hunian, semestinya dikosongkan karena sangat membahayakan. Solusi yang paling baik adalah mengembalikan fungsinya sebagai kawasan lindung. Kualitas sumber hidrologi pasca-erupsi menunjukkan kemasaman air (pH) untuk air sawah, sungai dan kebun berkisar antara 5,1 sampai dengan 7,3, pH tersebut merupakan pH yang optimum bagi pertumbuhan tanaman, kadar unsur hara dalam air seperti K, Ca, dan Mg cukup baik dan dapat digunakan sebagai sumber air untuk tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Namun, air sungai kadar lumpurnya cukup tinggi, sehingga untuk sementara air dari sungai di daerah bencana belum dapat digunakan sebagai sumber air untuk irigasi dan MCK. Erupsi Gunung Merapi menumpahkan lahar panas yang menyebabkan tertutupnya sumber-sumber air dan rusaknya saluran air, yang mengganggu suplai air ke daerah pertanian dan kebutuhan domestik penduduk. Kerusakan sumbersumber air dan saluran air terjadi di beberapa wilayah dan lebih parah terjadi pada radius sekitar 13 km dari puncak Gunung Merapi (BNPB-DIY, 19 November 2010). Berdasarkan contoh air yang diambil di daerah Kabupaten Magelang, Sleman dan Klaten pH air cukup baik untuk pengairan hanya contoh air dari sawah Srowol Magelang yang pH nya agak masam (< 6,0). Kadar hara NH4 dan PO42- dalam contoh air rendah, kadar K bervariasi dari 0,12 - 0,26 mg/l, kadar Ca bervariasi dari 0,99 – 3,61 mg/l, dan Mg bervariasi dari 0,23 – 1,27 mg/l. Berdasarkan SNI 01-3553-2006 tentang air minum dalam kemasan, pH dan kadar NH4 dalam air, contoh air masih bisa digunakan untuk air minum. Rehabilitasi DAS bagian hulu sungai diperlukan untuk memperbaiki fungsi hidrologisnya, selain itu perlu upaya-upaya melakukan pengkajian sumbersumber air baru serta perbaikan saluran air yang rusak. Sumber-sumber air yang hilang karena tertutup abu volkan terdapat di beberapa wilayah. Selain itu, saluran air di beberapa sungai mengalami pendangkalan 1-3 meter. Upaya pengerukan material volkanik memerlukan penangan secepat mungkin agar fungsi hidrologis sungai dan suplai air dapat pulih kembali, serta mengurangi bahaya banjir lahar dingin yang potensial luapan sungai-sungai endapan volkanik serta untuk
59
mengurangi bahaya akibat lahar dengan menbuat tanggul penangkis, tanggultanggul untuk mengurangi kecepatan lahar serta mengurangi volume air di kawah.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 11. Kondisi Sungai Pasca-Erupsi Pencegahan lainnya pada badan sungai untuk mengurangi dampak letusan. Pencegahan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik secara mekanik maupun secara vegetatif dengan teknologi penghijauan pada lahan yang tertimbun lahar dan stabilisasi tanggul-tanggul berpasir di kiri-kanan badan aliran sungai. Selain itu, dibutuhkan pula ruang terbuka hijau konservasi pada sempadan sungai untuk mendukung fungsi hidrologi sungai, pembangunan retaining wall di beberapa titik yang cukup rawan juga diperlukan serta memastikan tidak ada aktivitas di sekitar alur sungai untuk menghindari bahaya awan panas dan lahar. Bahaya sekunder yang berupa lahar hujan yang mengalir di kawasan sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi seperti Kali Bedog, Kali Krasak, Kali Bebeng, Kali Sat, Kali Lamat, KaliSenowo, dan Kali Trising serta sungai di hilir yang berpotensi terjadi lahar hujan seperti, Kali Batang, Kali Blongkeng, Kali Pebalan, dan Kali Putih. Analisis aspek hidrologi terkait ancaman bahaya lahar dingin tertera dalam Gambar 12.
60
61
Vegetasi Vegetasi merupakan salah satu unsur penting dalam perencanaan RTH untuk evakuasi. Penatan vegetasi sesuai dengan fungsinya dapat mendukung upaya penanggulangan bencana dengan mengoptimalkan peranan vegetasi. Sebagai aspek pendukung proses evakuasi, vegetasi berperan untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan proses penyelamatan khususnya sebagai pengarah pada jalur evakuasi dan meningkatkan kenyamanan masyarakat dalam melakukan aktivitasnya. Vegetasi pengarah ditanam pada jalur evakuasi untuk memudahkan mobilisasi penduduk ke tempat yang aman, selain itu perlu juga dikembangkan jalur hijau jalan yang optimal. Vegetasi peneduh dimanfaatkan pada ruang evakuasi untuk menciptakan suasana kawasan yang teduh dan nyaman terutama kondisi psikologis penggungsi. Penatan vegetasi tersebut dapat berkontribusi dalam aspek kenyamanan dan keamanan saat bencana terjadi. Vegetasi jenis kayu putih (Eucalyptus sp.), akasia (Acacia mangium) serta tanjung (Mimusoph elengi) dapat digunakan pada RTH evakuasi, tanaman penuduh tepi jalan seperti mahoni (Swietenia mahogani) dan ki hujan (Samanea saman) dapat digunakan pada jalur hijau atau jalur evakuasi. Vegetasi endemik dan vegetasi introduksi berperan untuk merehabilitasi lahan yang rusak saat pascaerupsi dan sebagai buffer pada daerah tertentu untuk mencegah longsor atau pada daerah sempadan sungai yang berhulu di Gunung Merapi sebagai RTH konservasi untuk menstabilkan tebing jika terjangan banjir lahar dingin terjadi sehingga kecepatan aliran lahar dingin dapat dikurangi. Pascaerupsi dibutuhkan vegetasi yang mudah beradaptasi pada tanah dengan kondisi miskin unsur hara seperti tanah eks lahar Gunung Merapi. Vegetasi jenis F. congesta dan Caliandra calotirtus dapat dijadikan sebagai tanaman penghijauan. Selain itu, vegetasi jenis Gliricidia pun dapat dijadikan tanaman penghijauan karena mempunyai tingkat adaptasi yang tinggi. Untuk mendukung peranan vegetasi tersebut dapat ditanam mengikuti garis kontur. Teknik penanaman seperti ini diharapkan akan mempercepat terbentuknya lajur-lajur pencegah erosi di daerah berlereng dapat membentuk teras secara alami. Oleh karena itu, penanaman memotong lereng dianjurkan untuk mencegah
62
sebanyak mungkin pasir eks lahar Gunung Merapi yang hanyut dan menyebabkan banjir lahar dingin. Kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang terbakar perlu dilakukan reboisasi dengan tanaman yang memiliki kemampuan beradaptasi tumbuh yang tinggi, antara lain: Eucalyptus sp, Pinus sp, bila kondisi erupsi gunung berapi sudah mereda. Reboisasi diperlukan untuk menutup permukaan tanah mencegah erosi. Kerusakan hutan yang meluas mengakibatkan pohonpohon yang menjadi sumber penyerapan air tanah menjadi berkurang. Perlu waktu yang tidak cepat bahkan sampai bertahun-tahun untuk memulihkan kondisi hutan. Vegetasi endemik dan vegetasi introduksi yang mudah ditanam dan dapat beradaptasi pada tekstur berpasir dan liat adalah rumput akar wangi (Vetiveri zizanioides). Rumput ditanam searah kontur dan rapat agar dapat digunakan sebagai penahan erosi dan aliran permukaan. Untuk penanggulangan bahaya erosi dan aliran permukaan pada erosi parit/tebing diperlukan penanaman tanaman bambu. Bambu ditanam pada pinggiran parit/tebing dengan jarak 50 cm secara zigzag. Perlakuan ini sangat efektif, karena bambu mudah tumbuh, memiliki perakaran serabut yang dapat menembus lapisan tanah dan mudah dicari dilokasi.
Aksesibilitas dan Sirkulasi Aksesibilitas merupakan salah satu hal penting dalam penanganan bencana hal ini menyangkut dalam hal proses evakuasi untuk mencapai efektifitas dan efisiensi waktu untuk evakuasi. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi tersebut dicapai melalui suatu sistem jaringan (Tamin, 1997, dalam Sarusuk 2006). Faktor yang menyatakan tingkat aksesibilitas adalah waktu tempuh, meskipun ada juga yang menyatakan dengan faktor jarak. Suatu tempat yang berjarak jauh belum tentu dapat dikatakan mempunyai aksesibilitas rendah atau sebaliknya, karena terdapat faktor lain dalam menentukan aksesibilitas yaitu waktu tempuh.
63
Daerah yang rawan bencana harus ditata ulang dengan jaringan jalan yang mengarah ke upaya mitigasi massal yaitu pola menyebar ke arah daerah yang ditetapkan sebagai area evakuasi dengan jalan raya radial yang dilengkapi dengan jalan lingkar (ring road) secukupnya (Soehartono, 2005, dalam Sarusuk 2006). Fungsi sistem jaringan sirkulasi yang terdapat di Kabupaten Magelang meliputi jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan. Dalam rangka mewujudkan proses evakuasi yang efisien dan efektif perlu fasilitas yang mendukung upaya penanganan bencana. Namun, beberapa jalur evakuasi di sekitar Gunung Merapi perlu diperbaiki karena kondisinya memprihatinkan seperti kondisi jalan yang berlubang. Hal tersebut dapat menghambat proses evakuasi. Jalur evakuasi yang mengalami kerusakan, antara lain di jalan antara Mangunsuko-Krinjing sepanjang tiga kilometer dan jalan Keningar-Sumber sepanjang lima hingga enam kilometer, serta jalur di Kecamatan Dukun menuju desa Krinjing dan posko Babadan kondisi jalan tersebut rusak berat, hampir seluruh jalan sepanjang 8 km berlubang dan sebagian aspalnya mengelupas. Selain beberapa jalur evakuasi rusak, terdapat jalan sepanjang dua kilometer masih berupa jalan tanah, yakni di daerah Bojong, Ngargomulyo. yang seharusnya dibuat pengerasan untuk evakuasi sehingga perlu segera dilakukan perbaikan agar tidak ada kendala dalam masalah jalur yang digunakan untuk evakuasi dan tidak mengganggu proses evakuasi. Jalur-jalur tersebut penting untuk evakuasi, kondisi jalur yang rusak perlu dilakukan perbaikan karena sangat sulit dilalui kendaraan pada saat evakuasi dilakukan.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 13. Kondisi Jalur Evakuasi di Kecamatan Srumbung
64
(Sumber: http://magelangan-banget.blogspot.com [diakses pada 10 Oktober 2010])
Gambar 14. Kondisi Jalan Evakuasi Yang Rusak
Sarana dan Prasarana Kabupaten Magelang sebagai salah satu daerah yang termasuk dalam kawasan
rawan
bencana
sebaiknya
memiliki
upaya
dalam
tindakan
penanggulangan bencana yang dilakukan oleh beberapa pihak seperti pemerintah daerah dan dinas terkait, dengan melakukan beberapa upaya, seperti penyediaan sarana dan prasarana yang terkait dengan tindakan evakuasi. Penyediaan sarana dan prasarana yang dapat membantu kelancaran proses evakuasi, seperti sign system berupa papan informasi dan petunjuk arah evakuasi seperti yang tertera pada Gambar 16. Hasil survey di lapangan, upaya yang dilakukan belum optimal hal ini ditunjukkan dengan minimnya sarana dan prasarana untuk evakuasi bencana, seperti lokasi pengungsian yang kurang memadai, sarana transportasi yang kurang dalam mobilisasi penduduk, air bersih yang kurang dan kondisi jalur evakuasi yang buruk.
65
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 15. Fasilitas Penunjang Proses Evakuasi Lokasi pengungsian banyak ditempatkan di bangunan sekolah dan balai desa yang kurang mengakomodasi kebutuhan para pengungsi korban bencana letusan Gunung Merapi dan dapat menggangu aktivitas masyarakat lain. Sebagai upaya preventif, sebelum evakuasi dilakukan peninjauan jalur-jalur evakuasi, selain itu melakukan mengunjungi lokasi bencana dan pengecekan kesiapan aparatur pemerintah yang ada di kecamatan dan desa dalam menghadapi bencana, terutama kesiapan untuk melakukan evakuasi. Kesiapsiagaan aparatur desa dan kecamatan dalam upaya penanggulangan bencana sangat berperan penting, untuk kelancaran proses evakuasi persiapan armada untuk mobilisasi pengungsi juga sangat diperlukan. Kurang terorganisirnya pelaksanaan proses evakuasi yang menyebabkan banyak pengungsi yang terpisah dan berpencar. Saat bencana terjadi, pemerintah Kabupaten Magelang nampaknya belum siap dalam menghadapi dan menangani bencana letusan Merapi. Hal ini tercermin dari kondisi tempat pengungsian pada saat awal pasca letusan belum ditangani dengan baik seperti belum tersiapkannnya tenda, lokasi pengungsian, alas tidur bahkan logistik makanan. Banyak pengungsi masih tidur di tanah lapangan (Lapangan Gluduk/pengungsi Ngargomulyo), logistik makanan belum disiapkan hampir diseluruh tempat pengungsian, selama kurang lebih 12 jam para pengungsi belum menerima makanan dan minuman (18.00 ‐ 10.00 pagi). Kondisi dan ketersediaan tempat pengungsian terbatas dan tidak layak dengan jumlah pengungsi melebihi kapasitas, sehingga mereka tidurnya berhimpitan. Minimnya ketersediaan transportasi dari pemerintah terkait dengan evakuasi. Di Desa Ngargomulyo dan Krinjing, evakuasi warga masyarakat ke tempat pengungsian menggunakan kendaraan masyarakat sendiri bahkan bensin dan solar nya pun beli sendiri tanpa dukungan dari pemerintah, Ketersediaan air bersih yang masih
66
minim di tempat pengungsian, ketersediaan MCK dilokasi pengungsian dinilai kurang memadai karena 1 unit MCK untuk keperluan 100 orang. Situasi pasca bencana Merapi, kesiapsiagaan pemerintah Kabupaten Magelang sangat terbatas dalam mengantisipasi dampak bencana seperti kegiatan evakuasi, kesediaan logistik bagi para pengungsi, dll. Hal ini menyebabkan selama kurang lebih 48 jam pengungsi belum tertangani dengan baik, baik dari aspek ketersediaan fasilitas pengungsian, maupun makanan, obat‐obatan. Dampak lebih lanjut sebagian pengungsi terutama lansia dan anak‐ anak kondisinya cukup memprihatinkan. Ruang Terbuka Hijau Evakuasi Ruang terbuka hijau di Kabupaten Magelang cukup luas kondisi tersebut sangat potensial untuk dikembangkan menjadi ruang evakuasi bencana. Penggunaan unsur alami yang tepat dapat mengurangi intensitas kegelisahan atau strees, meningkatkan kesehatan manusia dan dapat membantu menciptakan suasana rileks. Penentuan lokasi untuk ruang evakuasi baik sementara maupun akhir merupakan lokasi yang tergolong aman dari sumber bahaya bencana dan memenuhi persyaratan sesuai berdasarkan lokasi, luas lahan, fasilitas, utilitas dan akses untuk pengungsi dan bantuan agar suasana pada ruang evakuasi menjadi nyaman. Ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi perlu dilengkapi dengan fasilitas yang dapat mengakomodasi kebutuhan penggungsi dalam keadaan darurat seperti yang tertera pada Gambar 16. Fasilitas yang seharusnya tersedia pada ruang evakuasi diantaranya pos kesehatan, pos komunikasi, pos keamanan untuk melindungi dan mengatur proses evakuasi pengungsi, sarana air bersih dan air minum, sarana sanitasi dan MCK, sarana pendukung lain seperti listrik dan dapur umum, sarana transportasi baik ambulans maupun truk/kendaraan lain dan alat peringatan dini. Jenis ruang terbuka hijau yang dapat dikembangkan sebagai ruang evakuasi berupa lahan kering seperti ladang, kebun, lapangan rumput seperti yang tertera pada Gambar 16.
67
(Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2011)
Gambar 16. Lokasi Pengungsian Ruang terbuka hijau yang sangat berpotensi dikembangkan sebagai titikevakuasi tersebar di tiga kecamatan, yakni kecamatan Dukun, kecamatan Sawangan, kecamatan Srumbung sebagai tempat penampungan sementara dengan mempertimbangkan kemudahan aksesibilitas, tempat penampungan sementara berada di kecamatan Dukun terdapat di enam desa yakin desa Banyudono, desa Dukun, desa Ketunggeng, desa Mangunsoko, desa Sewukan, dan desa Wates dengan luas RTH 706,35 ha, kecamatan Sawangan terdapat di dua desa yakni desa Kapuhan dan desa Krogowan dengan luas RTH 166,92 ha, serta kecamatan Srumbung dengan enam desa yakni desa Banyuadem, desa Kaliurang, desa Kemiren, desa Mranggen, desa Polengan dan desa Srumbung dengan luas RTH 539,23 ha. Tempat Penampungan Sememtara (TPS) merupakan tempat penampungan pengungsi yang terletak dalam kawasan rawan bencana. TPS berfungsi sebagai meeting point atau titik kumpul untuk mempermudah proses evakuasi ke Tempat Penampungan Akhir (TPA) pada saat status aktivitas gunung api meningkat. TPS diutamakan untuk menampung penduduk yang tidak termasuk kelompok risiko tinggi sedangkan bagi kelompok risiko tinggi sangat dianjurkan untuk segera dievakuasi ke tempet TPA. Selain itu, keberadaan TPS juga memudahkan bagi petugas kesehatan untuk memantau perkembangan kesehatan penduduk rentan mengingat banyaknya kemungkinan dampak kesehatan yang timbul akibat peningkatan aktivitas gunung api. TPA merupakan tempat penampungan pengungsi yang berada diluar wilayah rawan bencana. Ruang terbuka hijau yang dapat dikembangkan sebagai tempat penampungan akhir tersebar di enam kecamatan, yakni kecamatan Mungkid dengan desa Pabelan dan desa Ramesanak seluas 429,43 ha, kecamatan Muntilan dengan desa Congkrang, desa Muntilan, desa Ngawen, desa Pucungrejo, desa
68
Sedayu, desa Sriwedari dan desa Tamanagung dengan luas 976,52 ha, kecamatan Ngluwar dengan desa Plosogede seluas 174,42 ha dan kecamatan Salam dengan desa Jumoyo, desa Kadiluwih, desa Salam, desa Tersenggede dan desa Tirto seluas 963,54 ha serta kecamatan Sawangan dengan desa Gondangwangi seluas 92 ha. Aspek Sosial Kependudukan dan Keinginan Masyarakat Jumlah penduduk pada wilayah yang termasuk dalam kawasan rawan bencana berjumlah 32.987 jiwa. Pada dasarnya wilayah yang memiliki jumlah penduduk yang sedikit sesuai untuk dijadikan ruang evakuasi. Semakin rendah jumlah penduduk di suatu wilayah semakin sesuai untuk kawasan evakuasi. Pada kawasan rawan bencana letusan gunung berapi, tidak jarang terjadi kesulitan dalam proses evakuasi penduduk menuju tempat penampungan dengan alasan yang beraneka ragam. Masyarakat di sekitar gunung api terkadang kurang merespon bahkan bersikap apatis karena menganggap getaran-getaran kecil dari gunung api adalah hal yang biasa sehingga himbauan untuk mengungsi ke tempat yang berada jauh dari lokasi tempat tinggal mereka terkadang tidak mendapat tanggapan yang baik. Selain itu, berada jauh dari tempat mereka bermukim dan bekerja dianggap kurang menguntungkan dari segi ekonomi keluarga. Hal tersebut juga terjadi pada saat evakuasi bencana letusan Gunung Merapi. Mobilisasi penduduk yang berda di kawasan rawan bencana dengan jumlah yang cukup besar tidak diimbangi dengan sistem pengaturan mobilisasi karena banyak penduduk yang enggan mengungsi untuk menjaga harta benda mereka. Dengan adanya status merapi tersebut ternyata menyebabkan kekacauan masyarakat di lokasi pengungsi, terutama mereka ingin mencari daerah titik aman dari bahaya letusan merapi. Perubahan status ini menyebabkan kesiapsiagaan pemerintah semakin tidak menentu, masyarakat mencari dan menyelamatkan diri ke tempat‐tempat yang lebih aman yang dilakukan secara swadaya sehingga upaya mitigasi sangat diperlukan dan sosialisasi prosedur evakuasi harus dilakukan dan tepat sasaran.
69
Sosialisasi dapat dilakukan dengan memberdayakan sumberdaya sosial lokal dengan menyertakan para pemuka setempat sebagai salah satu penggerak penduduk yang berada dalam kewasan rawan bencana untuk segera mengungsi agar lebih efektif. Berdasarkan hasil wawancara para penduduk yang berada di kawasan rawan bencana, mereka menginginkan ruang evakuasi yang mudah diakses dan dapat mengakomodasi kebutuhannya seperti luas lokasi pengungsian, keamanan lokasi berada di luar kawasan rawan bencana dan lahar dingin, air bersih, MCK, tempat bermain anak. Efek sosial letusan Merapi berbeda dengan efek gempa, maupun efek tsunami, penduduk mengungsi ke daerah lain baik atas inisiatif sendiri maupun paksaan yang dapat menyebabkan dampak terhadap masyarakat di tempat lain sehingga dampak sosial lebih luas. Pengungsi bencana Merapi memberi dampak lebih luas terhadap kehidupan masyarakat lain. Banyak lokasi pengungsian ditempatkan pada fasilitas umum seperti sekolah sehingga banyak siswa yang terganggu proses belajarnya. Selain itu, kondisi psikologis para pengungsi juga agak terganggu akibat bencana tersebut terlebih lagi bagi para korban yang kehilangan harta benda dan keluarga mereka sehingga dibutuhkan juga jasa psikiater di lokasi pengungsian. Berkaitan dengan upaya mitigasi, kawasan yang memiliki kepadatan tinggi tingkat kemudahan dalam mitigasi sangat sulit hal ini disebabkan pada setiap siku jalan (persimpangan) menjadi titik-titik kemacetan karena penuhnya kendaraan dari setiap blok-blok bangunan yang akan melalui siku jalan dan memperlambat laju kendaraan disana seperti yang terlihat pada Gambar 17. Demikian juga sebaliknya untuk kawasan yang berkepadatan rendah tingkah mitigasinya lebih mudah karena kepadatan lalulintas relatif lebih kecil. Kemudahan dalam proses mitigasi turut menentukan tingkat resiko dan korban yang ditimbulkan ketika suatu daerah dilanda bencana. Jaringan-jaringan yang saling menghubungkan dan memberikan lebih dari satu jalur menuju tempat evakuasi (Coburn, et.al, 1994, dalam Saruksuk 2006).
70
(Sumber: Shuici,2005, dalam Saruksuk 2006)
Gambar 17. Tingkat Kesulitan Proses Evakuasi Daerah yang termasuk dalam kawasan rawan bencana di Kabupaten Magelang memiliki tingkat kepadatan penduduk sedang hingga rendah sehingga proses evakuasi lebih mudah dilakukan dan kawasan yang menjadi ruang evakuasi juga memiliki kepadatan penduduk yang rendah. Sintesis Hasil analisis terhadap seluruh aspek yang terkait dengan pemanfaatan ruang terbuka hijau untuk mitigasi bencana baik secara deskriptif maupun spasial, diketahui terdapat ancaman bahaya yang berasal dari letusan Gunung Merapi yang dapat membahayakan keselamatan penduduk yakni bahaya primer dan bahaya sekunder berupa bahaya lahar, baik lahar dingin maupun lahar panas. Hal yang perlu dilakukan untuk mengurangi dampak bahaya dengan melakukan upaya penganggulangan bencana yang bertujuan mengurangi jatuhnya korban jiwa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan menentukan daerah yang sesuai untuk kawasan evakuasi sesuai dengan standar kesesuaian ruang evakuasi. Hasil analisis dan alternative pemanfaatan dapat dilihat pada lampiran 1. Kawasan yang memenuhi standar kesesuaian ruang evakuasi dihasilkan dari analisis peta tematik melalui proses overlay peta serta beberapa kriteria seperti lokasi, luas lahan, aksesibiltas sehingga dihasilkan peta hasil analisis kesesuaian yang terbagi dalam tiga kategori, yakni sesuai, cukup sesuai dan tidak
71
sesuai. Kriteria kesesuaian lahan sebagai ruang terbuka evakuasi dapat diuraiakan sebagai berikut: 1. Topografi Pada topografi datar ruang terbuka hijau dapat dijadikan sebagai ruang evakuasi untuk perlindungan terhadap sumber bahaya primer dan sekunder letusan gunung berapi. Pada topografi berbukit ruang terbuka hijau dapat dijadikan sebagai tempat berlindung dari terjangan lahar dingin karena membutuhkan tempat yang memiliki ketinggian tertentu sebagai tempat berlindung. Kemiringan lahan 0-8% sangat sesuai untuk mengembangkan ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi, kemiringan lahan 15-30% cukup sesuai sebagai tempat berlindung dari bahaya primer dan sekunder namun perlu penyesuaian tertentu atau penambahan sarana dan prasarana pendukung. Kemiringan <30% merupakan daerah yang tidak sesuai untuk lokasi pengembangan ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi karena tergolong curam, rawan bencana longsor dan tidak stabil. Daerah yang memiliki ketinggian yang lokasinya dekat dengan sumber bahaya erupsi gunung berapi sebaiknya dihindari, sedangkan daerah yang memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari badan sungai pada daerah aliran sungai yang dialiri lahar dingin dapat dijadikan tempat berlindung dari ancaman bahaya lahar. 2. Iklim Ruang terbuka hijau untuk ameriolasi iklim untuk menciptakan kondisi yang nyaman sehingga sesuai untuk mengembangkan ruang terbuka hijau sebagai tempat berlindung, pada daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi, ruang terbuka hijau berperan untuk menjaga kestabilan lahan dengan menahan dan menyimpan air terutama pada daerah yang rawan longsor. Selain itu, ruang terbuka hijau juga memodifikasi unsur iklim lainnya seperti suhu, kelembaban udara, radiasi matahari dan kecepatan angin untuk mencipatakan kondisi yang nyaman bagi para pengungsi. 3. Penggunaan lahan Kawasan lindung atau konservasi cukup sesuai untuk ruang terbuka hijau evakuasi namun diperlukan sarana dan prasarana penunjang proses evakuasi serta tingkat aktivitas di dalamnya tidak intensif sedangkan kawasan budidaya termasuk
72
kategori sesuai namun perlu penambahan sarana dan prasarana penunjang evakuasi. Kawasan perkotaan dengan dominasi permukiman termasuk kategori tidak sesuai, apabila ingin dijadikan sebagai ruang evakuasi perlu penambahan ruang terbuka hijau. 4. Aspek geologi dan tanah Ruang terbuka hijau diperlukan untuk merehabilitasi lahan yang berada di kawasan bencana, selain itu dibutuhkan untuk konservasi tanah. Tanah yang memiliki tingkat erosivitas tinggi sebaiknya dihindari untuk pengembangan ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi. 5. Aspek hidrologi Pada daerah aliran sungai diperlukan ruang terbuka hijau untuk konservasi dan sebagai penyangga dari ancaman bahaya aliran lahar dingin. Fungsi hidrologis, fungsi pengaman dan fungsi pelestarian fungsi lingkungan juga perlu dijaga dengan pembangunan RTH sungai. Namun, daerah ini tidak sesuai sebagai RTH evakuasi melainkan sesuai untuk RTH penyangga evakuasi. 6. Aspek vegetasi Vegetasi endemik perlu dipertahankan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi kawasan yang rusak akibat dampak bencana selain itu juga dapat mendukung dalam pengembangan ruang terbuka hijau sebagai ruang evakuasi, vegetasi introduksi juga berperan dalam merehabilitasi kawasan serta menjadi vegetasi penyusun ruang evakuasi. Keberadaan vegetasi endemik dan vegetasi introduksi sangat sesuai untuk pengembangan RTH evakuasi. Hasil overlay peta-peta tematik seperti peta kemiringan lahan, peta kepekaan tanah terhadap erosi, peta kawasan rawan bencana letusan Gunung Merapi dan peta penggunaan lahan diperoleh peta kesesuaian untuk RTH evakuasi. Kesesuaian dibagi menjadi tiga kategori yakni sesuai, cukup sesuai, dan tidak sesuai. Area yang sesuai seluas 2.876,39 ha atau 9,62%, area yang cukup sesuai seluas 11.562,5 ha atau 38,66%, area yang tidak sesuai seluas 15.466,1 ha atau 51.72%. Peta kesesuaian ruang dapat dilihat pada Gambar 18.
73
74
Konsep Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau untuk Ruang Evakuasi Konsep pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH) pada daerah rawan bencana erupsi Gunung Merapi megacu pada aspek ruang terbuka hijau yang dapat memenuhi fungsi sebagai ruang evakuasi atau tempat perlindungan terhadap bencana berdasarkan pertimbangan terhadap kondisi fisik bahaya geologi dan sosial. Konsep dasar dari pemanfaatan RTH sebagai ruang evakuasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan fisik dari ancaman bahaya, pendekatan sumberdaya dan sosial dari masyarakat. Ruang terbuka hijau evakuasi yang berfungsi sebagai tempat berlindung yang memenuhi aspek keselamatan masyarakat dari ancaman bahaya dan mengakomodasi kebutuhan masyarakat dalam upaya penyelamatan diri dengan memudahkan masyarakat dalam proses penyelamatan diri. Ruang terbuka publik yang berfungsi sebagai konektor antar ruang permukiman akan memudahkan proses evakuasi pada saat terjadi bencana sehingga dapat meminimalkan jatuhnya korban. Pertimbangan rencana RTH untuk evakuasi erupsi merapi adalah lokasi RTH yang aman berkaitan kerentanannya terhadap pergerakan tanah, bahaya primer dan sekunder erupsi merapi, aksesibilitas masyarakat menuju tapak yang mudah dan tidak terlalu jauh, adanya jalur evakuasi yang mengarahkan masyarakat menuju tempat evakuasi, luas lahan dan daya dukung pada saat evakuasi berlangsung. Dalam hal ini ruang terbuka berfungsi sebagai ruang evakuasi bencana, dapat berupa jalur evakuasi, maupun taman evakuasi. Ruang terbuka hijau secara ekologis sebagai daerah tangkapan dan resapan air, RTH tersebut dapat berupa berupa taman lingkungan, taman kota, lapangan rumput. Hal tersebut mendukung persiapan upaya mitigasi bencana untuk meminimalkan korban nyawa dan harta.
Konsep Ruang Pendekatan fisik aspek bahaya menekankan pada keselamatan masyarakat agar terhindar dari berbagai ancaman bahaya sedangkan aspek sosial menekankan pada aspek masyarakat untuk mengakomodasi kebutuhan terciptanya rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas saat terjadi bencana.
75
RTH untuk ruang evakuasi dibagi menjadi ruang evakuasi makro, ruang evakuasi mikro dan ruang evakuasi transisi. Ruang evakuasi makro atau ruang inti berfungsi sebagai tempat penggungsian akhir yang menampung seluruh korban bencana erupsi Merapi. Pada ruang ini, terdapat fasilitas penunjang yang lebih lengkap untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat saat evakuasi bencana. Jumlah masyarakat yang berada di ruang evakuasi makro ini lebih banyak dengan intensitas penggunaan yang tinggi serta waktu yang lebih lama mengharuskan untuk mempertimbangkan daya dukung ruang evakuasi. Daya dukung ruang merupakan hal yang penting untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhannya saat evakuasi bencana. Ruang evakuasi mikro berfungsi sebagai tempat perlindungan sementara dan merupakan tempat yang pertama kali dituju masyarakat. Lokasi ruang evakuasi mikro sebagian terdapat pada kawasan rawan bencana (KRB I), hal tersebut bertujuan untuk memudahkan para pengungsi dimobilisasi karena banyak pengungsi yang masih belum ingin meninggalkan tempat tinggal mereka dan memantau kondisi tempat tinggal dan ternak mereka selama belum ada peningkatan status. Namun, jika terjadi peningkatan status dari Gunung Merapi maka mereka harus segera menuju lokasi evakuasi makro. Ruang evakuasi mikro merupakan titik pertemuan atau tempat berkumpul bagi masyarakat yang berada di daerah berbahaya tempat penampungan pengungsi yang terletak dalam kawasan rawan bencana yang digunakan sebagai meeting point atau titik kumpul untuk mempermudah proses evakuasi ke ruang evakuasi makro atau TPA pada saat terjadi peningkatan status aktivitas gunung api dan diutamakan untuk menampung penduduk yang tidak termasuk kelompok risti. Ruang evakuasi transisi berfungsi sebagai ruang perpindahan antar ruang yang berupa jalur penyelamatan saat proses evakuasi berlangsung. Ruang ini berupa ruang sirkulasi. Aktivitas penyelamatan diri atau mobilisasi masyarakat sangat intensif pada area ini. Ruang penyangga evakuasi merupakan ruang yang berfungsi untuk konservasi sebagai upaya pencegahan dampak bahaya lain. Ruang penyangga evakuasi tidak ada aktivitas terkait evakuasi bencana karena daerah ini sangat
76
berbahaya. Ruang penyagga ini berada pada daerah sempadan sungai yang dialiri lahar dingin Gunung Merapi. Luas area sebagai ruang evakuasi makro 5.554,96 ha, area sebagai ruang evakuasi mikro memiliki luas sebesar 5.598,33 ha dan area sebagai ruang penyangga evakuasi memiliki luas sebesar 1.385 ha. Peta pembagian ruang evakuasi dapat dilihat pada Gambar 19. Konsep Sirkulasi Sirkulasi yang digunakan mengacu pada peta jaringan jalan Kabupaten Magelang, mengingat sirkulasi tersebut telah digunakan untuk aktivitas masyarakat sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk memudahkan mobilisasi para korban menuju lokasi pengungsian. Konsep sirkulasi terdiri atas dua jalur utama yaitu jalur sirkulasi primer dan jalur sirkulasi sekunder serta jalur pendukung berupa jalur sirkulasi tersier. Jalur sirkulasi primer merupakan jalur evakuasi utama dari jalan kota yang telah ada. Jalur ini memiliki intensitas penggunaan yang tinggi saat proses evakuasi berlangsung. Jalur ini berupa jalan arteri dan kolektor kota yang dimanfaatkan untuk menghubungkan daerah terdampak bencana menuju ruang evakuasi. Jalur sirkulasi sekunder merupakan jalan yang menghubungkan ruang evakuasi mikro menuju jalur sirkulasi primer. Jalur tersier merupakan jalan lokal pada daerah yang terkena dampak bencana untuk memudahkan masyarakat menuju ruang evakuasi mikro. Jalur evakuasi merupakan suatu koridor atau jalan yang dapat mengarahkan masyarakat ke ruang terbuka yang telah ditentukan sebagai ruang evakuasi. Jalur evakuasi ini harus merupakan jalur tercepat dan teraman menuju ruang evakuasi. Tanda yang dapat digunakan pada jalur evakuasi ini dapat berupa sign-sign atau petunjuk arah.
77
78
Konsep Vegetasi Konsep vegetasi pada pemanfaatan ruang terbuka hijau untuk mitigasi bencana mengoptimalkan fungsi vegatasi yang memudahkan proses evakuasi saat terjadi bencana. Vegetasi yang digunakan mengikuti kondisi kawasan Kabupaten Magelang yang terdiri dari kawasan perbukitan dan kawasan pegunungan. Selain itu, digunakan juga vegetasi endemik dan introduksi untuk mempertahankan dan memperkaya keanekaragaman hayati yang disesuaikan dengan fungsinya. Penataan vegetasi pada RTH evakuasi dibedakan berdasarkan fungsinya yaitu vegetasi peneduh, vegetasi konservasi, vegetasi pengarah, vegetasi budidaya. Penataan vegetasi berdasarkan fungsinya dapat berkontribusi dalam menciptakan suasana yang nyaman bagi masyarakat saat proses evakuasi berlangsung. Penataan vegetasi peneduh pada area evakuasi berperan untuk menciptakan suasana nyaman dan teduh serta mengembalikan kondisi psikologis masyarakat saat evakuasi. Vegetasi peneduh berada pada ruang evakuasi mikro dan ruang evakuasi makro serta pada ruang evakuasi transisi. Vegetasi konservasi terdapat pada kawasan penyangga terutama pada daerah yang memiliki potensi bahaya geologi dan bahaya lainya, persebarannya juga terdapat di kawasan lindung serta daerah sempadan sungai terutama pada sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi untuk mencegah aliran lahar. Kondisi pascaerupsi, konservasi lahan yang rusak digunakan vegetasi endemik dan vegetasi introduksi untuk merehabilitasi lahan yang rusak. Vegetasi pengarah berperan pada pembentukan koridor jalan dengan penanda penanda vegetasi akan membantu masyarakat untuk mencapai lokasi saat kepanikan yang terkadang menyebabkan disoreintasi arah. Selain itu, vegetasi pereduksi debu juga dibutuhkan menyangkut kondisi saat letusan terjadi, terdapat banyak debu di sekitar daerah bencana dan dapat mengganggu kesehatan dan kenyamanan pengguna.Vegetasi budidaya ditujukan bagi masyarakat saat berada di area evakuasi makro sebagai cadangan pangan selama berada di pengungsian. Konsep Aktivitas dan Fasilitas Konsep aktivitas pada ruang RTH yang akan dikembangkan menjadi ruang evakuasi adalah aktivitas mitigasi dan evakuasi. Aktivitas yang akan dilakukan
79
masyarakat bersifat sosial, seperti penyelamatan diri berupa berlari dan berkumpul pada titik lokasi evakuasi mikro dan bergerak menuju evakuasi makro, melakukan kegiatan darurat lainnya. Fasilitas yang akan dikembangkan untuk mendukung fungsi dan aktivitas penyelamatan diri disesuaikan dengan fungsi masing-masing ruang. Fasilitas yang akan dikembangkan terdiri atas fasilitas utama dan fasilitas pendukung. Fasilitas utama berupa jalur evakuasi dan ruang evakuasi. Ruang evakuasi mikro direkomendasikan terdapat beberapa fasilitas diantaranya pos kesehatan, pos komunikasi, tempat berlindung sementara (shelter), sarana transportasi. Ruang evakuasi transisi berdasarkan kebutuhan utama yang diperlukan masyarakat berupa jalur penyelamatan, sarana transportasi, petunjuk arah dan rambu lalu lintas. Ruang evakuasi makro memiliki fasilitas lebih beragam mengingat ruang ini akan digunakan oleh lebih banyak pengguna dengan intensitas yang tinggi dan dalam waktu yang lebih lama. Fasilitas yang disediakan terdiri dari pos koordinasi dengan alur komando yang jelas untuk mengkoordinir semua hal yang terkait penanganan pengungsi. pos kesehatan untuk pelayanan kesehatan pengungsi, pos komunikasi dengan sarana yang lebih lengkap (radio komunikasi, telepon, satelit), pos keamanan untuk memberikan perlindungan bagi pengungsi di tempat penampungan, sarana air bersih dan air minum, sarana sanitasi dan MCK baik yang bersifat temporer maupun permanen, sarana transportasi baik ambulans maupun truk/kendaraan lain, sarana pendukung lain seperti listrik dan dapur umum, gudang logistik termasuk terdapat bahan dan alat kesehatan lingkungan seperti bahan-bahan disinfektan dan alat vektor kontrol. Rencana Pemanfaatan RTH sebagai Ruang Evakuasi Pemanfaatan RTH sebagai ruang evakuasi merupakan salah satu upaya mitigasi bencana yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Upaya mitigasi bencana harus dipersiapkan dengan baik pada daerah-daerah yang termasuk rawan bencana sehingga diperlukan kesiapsiagaan dan rencana terpadu dari aspek penanggulangan bencana termasuk tindakan mitigasi pra-bencana, saat terjadi bencana, upaya tanggap darurat dan pascabencana.
80
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan RTH evakuasi menyangkut beberapa aspek yakni aspek keamanan terkait lokasi evakuasi yang aman dari berbagai ancaman bahaya baik bahaya primer dan sekunder erupsi Merapi, aspek aksesibilitas yang dapat memudahkan masyarakat menujuruang evakuasi serta jalur evakuasi yang dapat mengarahkan pergerakan masyarakat saat evakuasi berlangsung, aspek daya dukung, aspek fasilitas yang memadai dan dapat mengakomodasi seluruh kebutuhan masyarakat seperti kebutuhan air, energi, makanan dan lain-lain. Rencana pemanfaatan ruang terbuka hijau berdasarkan hasil analisis menghasilkan rencana ruang yang terdiri dari ruang evakuasi makro, ruang evakuasi mikro, ruang penyangga evakuasi, dan ruang evakuasi transisi. Rekomendasi tata ruang terbuka hijau, rencana jalur sirkulasi, aktivitas dan fasilitas Pada ruang evakuasi mikro yang merupakan tempat perlindungan sementara dan tempat berkumpul masyarakat sebelum menuju ruang evakuasi makro. Saat pemberitahuan tentang peningkatan status gunung api dinyatakan siaga, masyarakat akan menyelamatkan diri menuju ruang evakuasi mikro. Fungsi ruang evakuasi mikro sebagai titik kumpul akan memudahkan proses evakuasi jika terjadi peningkatan ke level awas menuju evakuasi makro kecuali masyarakat yang memiliki resiko tinggi. Kelompok risiko tinggi adalah kelompok yang memiliki risiko tinggi atau rentan untuk mengalami permasalahan kesehatan yaitu bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, lanjut usia dan yang memiliki keterbatasan untuk langsung dievakuasi menuju evakuasi makro. Ruang evakuasi transisi merupakan ruang yang terdapat aktivitas mobiliasi massal masyarakat yang semula berada di ruang evakuasi mikro untuk segera menuju ruang evakuasi makro. Aktivitas penyelamatan diri, tansportasi dan pergerakan masyarkat berlangsung dengan intensitas tinggi. Ruang evakuasi makro merupakan area yang dijadikan sebagai tempat pengungsian akhir, dengan jumlah pengguna yang besar maka dibutuhkan fasilitas yang memadai dalam jumlah, penempatan dan kelengkapannya. Aktivitas yang dilakukan para pengungsi di ruang evakuasi makro akan lebih lama hingga terdapat informasi tentang penurunan status gunung api dan pemberitahuan dari
81
pihak yang berwenang. Pada ruang penyangga evakuasi yang berupa kawasan konservasi tidak diperkenankan terdapat aktivitas masyarakat yang terjadi di sana karena area tersebut sangat berbahaya. Baik RTH publik maupun privat memiliki beberapa fungsi utama seperti fungsi ekologis serta fungsi tambahan, yaitu sosial budaya, ekonomi, estetika atau arsitektural. Khusus untuk RTH dengan fungsi sosial seperti tempat istirahat, sarana olahraga dan atau area bermain maupun evakuasi, maka RTH ini harus memiliki aksesibilitas yang baik untuk semua orang, termasuk aksesibilitas bagi penyandang cacat. Berdasarkan tipologi kawasan, arahan fungsi RTH untuk berbagai kawasan tipologi perkotaan dijelaskan seperti pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Fungsi Dan Penerapan RTH Pada Beberapa Tipologi Kawasan Tipologi Kawasan
Karakteristik RTH Fungsi Utama
Pantai
Penerapan Kebutuhan RTH
pengamanan wilayah pantai
berdasarkan luas wilayah
sosial budaya, mitigasi bencana,
berdasarkan fungsi tertentu
konservasi air konservasi air
berdasarkan luas wilayah
keanekaragaman hayati
berdasarkan fungsi tertentu
Rawan bencana
mitigasi evakuasi bencana
berdasarkan fungsi tertentu
Berpenduduk
dasar perencanaan kawasan sosial
berdasarkan fungsi tertentu
Pegunungan
berdasarkan jumlah penduduk
jarang s.d sedang Berpenduduk
ekologis, sosial,
berdasarkan fungsi tertentu
padat
dan hidrologis
berdasarkan jumlah penduduk
Sumber: Permen PU No. 05/PRT/M/2008
Rencana Vegetasi Vegetasi yang akan digunakan harus memiliki karakteristik yang sesuai untuk ruang evakuasi. Pemilihan jenis vegetasi disesuaikan berdasarkan habitat dan juga fungsinya. Penempatan vegetasi juga disesuaikan dengan fungsi masingmasing ruang. Pada ruang evakuasi mikro vegetasi yang dipakai merupakan vegetasi dengan fungsi penaung, pereduksi debu, ruang evakuasi transisi digunakan vegetasi dengan fungsi sebagai vegetasi pengarah, peredam bising, penyerap debu, penaung, pada ruang evakuasi makro terdapat vegetasi dengan fungsi sebagai vegetasi penaung, budidaya, dan pada ruang penyangga evakuasi vegetasi
82
yanhg digunakan berupa vegetasi endemik dan introduksi untuk mendukung upaya rehabilitasi dan rekonstruksi lahan yang rusak selain itu juga terdapat vegetasi konservasi pada daerah yang memiliki potensi bahaya. Menyangkut upaya evakuasi, pada ruang terbuka hijau dibutuhkan hamparan rumput sebagai tempat berkumpul masyarakat yang melakukan evakuasi saat terjadi bencana. Selain itu, dibutuhkan tanaman dengan akar yang dapat mengikat tanah sehingga menjadi kokoh dan tahan terhadap pukulan air hujan serta tiupan angin serta dapat menahan air hujan yang jatuh secara tidak langsung ke permukaan tanah pencegah erosi. Pada ruang evakuasi juga dibutuhkan dan sebagai peneduh dibutuhkan tanaman yang bertajuk rindang. Vegetasi pada ruang evakuasi mikro merupakan vegetasi endemik seperti pinus (Pinus merkusii), akasia (Acacia decurens), puspa (Schima wallichi), beringin (Ficus benjamina), albizia (Albizia falcataria). Pada ruang penyangga evakuasi dapat digunakan bambu apus (Gigantochloa apus), rumput bahia, dan rumput akar wangi. Pada area yang rusak akibat erupsi vegetasi yang dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan diantaranya orok-orok hutan (Flemingia congesta) kaliandra (Caliandra calotirtus), Eucalyptus sp, rumput akar wangi (Vetiveri zizanioides), pinus (Pinus merkusii), akasia (Acacia decurens), Puspa (Schima wallichi), Rasalama (Altingia excelsa), bintami (Poducarpus sp), kina (Chimchus sp). Jenis vegetasi pada ruang transisi evakuasi berfungsi untuk menciptakan keteduhan seperti asam kranji (Dialium indum) atau kerai payung (Filicium decipiens). Selain itu, dibutuhkan vegetasi dengan fungsi sebagai pengarah jalan seperti mahoni (Swietenia mahogani), tanjung (Mimusoph elengi), kayu putih (Eucalyptus camaldulensis). Sifat alami organisme tanaman dalam RTH melalui mekanisme rekayasa lingkungan, mampu memperbaiki kualitas lingkungan, sehingga dapat menjadi pedoman dalam memilih jenis tanaman pengisi RTH dari berbagai fungsi. Dari segi efektivitas menekan pencemaran udara, menyerap dan menjerap debu, mengurangi bau, meredam kebisingan, mengurangi erosi tanah, penahan angin dan hujan secara menyeluruh.
83
Rencana Sirkulasi Evakuasi Jalur-jalur jalan untuk mitigasi perlu disesuaikan dengan struktur bangunan yang ada sehingga masyarakat dapat mengamankan diri menuju tempat tempat penyelamatan sementara atau permanen dengan cepat. Pola penataan jalur evakuasi akan dipotimalkan dengan manfaatkan jalan-jalan lingkungan yang belum ditetapkan sebagai fungsi penyelamatan, terutama jalan-jalan yang menghubungkan antar jalur evakuasi utama. Pengoptimalan juga dilakukan dengan melengkapi jalur-jalur evakuasi dengan penanda khusus evakuasi. Aksesibilitas ke lokasi RTH sangat penting, karena akan berfungsi sebagai jalur penyelamatan. Untuk konteks jalur penyelamatan, jalur penyelamatan merupakan jalur terpendek keluar lingkungan ke arah jalan lokal dan kolektor maupun ke lokasi RTH. Pada jalur penyelamatan harus dilengkapi dengan rambu-rambu penandaan, arah penyelamatan, rute evakuasi, peta rawan bencana, dan titik-titik tempat evakuasi bencana yang mudah terlihat, kuat dan terpelihara. Saat perubahan level siaga ke awas, proses evakuasi memerlukan kondisi badan jalan yang cukup lebar untuk mobilisasi masyarakat, jalur jalan mengarah ke daerah sebelah barat dan selatan untuk menjauhi sumber bahaya akibat erupsi Gunung Merapi. Jalur evakuasi untuk menghindari aliran lahar disiapkan pada daerah yang berada di sekitar sungai yang berhulu di Gunung Merapi menuju tempat yang aman. Sirkulasi yang digunakan merupakan sirkulasi yang telah ada namun disesuaikan dengan kondisi yang ada mengingat terdapat jalur jalan yang terputus saat lahar dingin menerjang beberapa kawasan, sehingga diperlukan upaya perbaikan dan perubahan jalur sirkulasi. Untuk memudahkan sirkulasi upaya pergerakan maka setiap ruas jalan menuju tempat penyelamatan harus dilengkapi dengan rambu-rambu bencana. Rambu bencana akan menunjukkan arah dan rute pergerakan menuju tempat aman. Rute tersebut berguna untuk mendistribusikan arus lalu lintas sesuai dengan kapsitas ruas jalan yang dilalui. Keberadaan rambu dan jalur penyelamatan harus dipahami masyarakat melalui upaya sosialisasi dan simulasi pergerakan bila terjadi bencana. Lebar jalur evakuasi belum memiliki ketentuan secara umum tentang standar lebar jalur evakuasi namun, jalur ini harus dapat dilalui dengan baik dan cepat, dan untuk jalur evakuasi di luar bangunan
84
hendaknya bisa memuat dua kendaraan sehingga apabila saling berpapasan tidak menghalangi proses evakuasi. Dalam penentuan jalur evakuasi juga harus disepakati dimana titik kumpul yang aksesnya mudah dan luas. Titik kumpul harus di setiap dusun untuk mempermudah proses evakuasi. Kemudian ada tempat pengungsian sementara, merupakan tempat yang dianggap sebagai tempat yang masih aman dan tempat pengungsian akhir. Hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan jalur evakuasi diantaranya, jalur evakuasi harus cukup lebar, yang bisa dilewati oleh 2 kendaraan atau lebih (untuk jalur evakuasi di luar bangunan), harus menjauh dari sumber ancaman dan efek dari ancaman, jalur evakuasi harus baik dan mudah dilewati, harus disepakati bersama masyarakat, dan intinya harus aman dan teratur. Menurut Darwanto (2005), jalur-jalur jalan untuk mitigasi perlu disesuaikan dengan struktur bangunan yang ada sehingga masyarakat dapat mengamankan diri menuju tempat-tempat penyelamatan sementara atau permanen dengan cepat. Pelebaran jalan-jalan di daerah yang memiliki kepadatan tinggi untuk memudahkan proses evakuasi (Coburn, et.al, 1994 dalam Sarusuk 2006). Selain pelebaran jalan maka perlu adanya jalan-jalan baru dari daerah yang memiliki kepadatan tinggi menuju tempat-tempat yang aman. Rencana jalur evakuasi bencana letusan Gunung Merapi tertera pada Gambar 20.
(Sumber: http:// www.google.com [diakses pada 24 Nopember 2011])
Gambar 21. Ilustrasi Sarana dan Prasarana Pada Ruang Evakuasi Transisi
85
86
Rencana Aktivitas dan Fasilitas Rencana aktivitas yang dikembangkan pada ruang evakuasi merupakan aktivitas yang berkaitan dengan aspek mitigasi-evakuasi terutama aktivitas penyelamatan diri bersifat darurat, fasilitas yang akan dikembangkan disesuaikan dengan fungsi masing-masing ruang. Pada ruang evakuasi mikro aktivitas evakuasi bersifat sementara, yakni tempat berkumpul masyarakat yang berada pada daerah bahaya saat kondisi perubahan status bahaya dari siaga menjadi awas, fasilitas yang diperlukan berupa tempat berlindung (shelter), sarana transportasi, pos kesehatan (P3K), gudang penyimpanan tenda-tenda, sumber energi, MCK dan sumber air bersih, peralatan, dan sarana transportasi di tempat yang aman bencana, atau tidak terganggu saat bencana terjadi termasuk jalur evakuasi. Saat peringatan untuk segara meninggalkan daerah yang termasuk rawan bencana masyarakat yang berada di ruang evakuasi mikro secepatnya harus menuju ruang evakuasi makro melalui ruang transisi. Aktivitas yang terjadi berupa aktivitas penyelamatan diri masyarakat seperti berlari atau dengan kendaraan sehingga dibutuhkan fasilitas penunjang berupa jalur evakuasi, fasilitas transportasi, ramburambu evakuasi, petunjuk arah. Penduduk rentan yang berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) II harus dievakuasi langsung ke TPA jika terjadi peningkatan aktivitas gunung api pada level SIAGA. Di KRB II TPS hanya sebagai titik kumpul dan penduduk harus segera dievakuasi (maksimal 2 x 24 jam). Penduduk rentan yang berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) I dievakuasi ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) jika status gunung api dinyatakan SIAGA. Namun, perlu diperhatikan bahwa kelompok risiko tinggi yang berada di KRB I harus dievakuasi ke TPA mengingat kerentanan kelompok tersebut terhadap masalah kesehatan. Pada ruang evakuasi makro fasilitas yang disediakan berupa pos koordinasi, fasilitas kesehatan, alat komunikasi, sarana air bersih dan air minum, sarana sanitasi dan mck, sarana transportasi, sarana pendukung lain seperti listrik dan dapur umum serta gudang logistik. Kenyamanan pada ruang evakuasi sangat bergantung pada keberadaan fasilitas yang memadai baik dari segi kualitas
Gambar 7. Peta Rencana Jalur Evakuasi
87
maupun kuantitas terutama pada ruang evakuasi makro dengan jumlah pengungsi yang lebih banyak.
Gambar 22. Ilustrasi Aktivitas di Ruang Evakuasi
(Sumber: http://www.google.com [diakses pada 24 Nopember 2011])
Gambar 23. Ilustrasi Fasilitas Penunjang Ruang Evakuasi
88
Daya dukung Ruang terbuka hijau (RTH) untuk area evakuasi untuk tempat pengungsian sementara (temporary shelter) yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup satu desa, khususnya untuk kepentingan mitigasi bencana yakni sebagai lokasi evakuasi yang sesuai dengan tipologi kawasan rawan bencana selain untuk sarana kegiatan sosial di lingkungan tersebut. Pada ruang evakuasi makro dapat diaplikasikan bentuk RTH evakuasi berupa lawn area dapat menggunakan tenda yang terbagi atas tenda pleton dengan ukuran 14 m x 5 m kapasitas 37 sampai 45 orang, tenda komando ukuran 4 m x 6 m kapasitas 8 - 10 orang, tenda dome ukuran 2.4 m x 2.4 m kapasitas 30 – 40 orang, tenda regu ukuran 5 x 7 m kapasitas 15 – 20 orang. Luas total ruang evakuasi makro 26.984.981 m2 atau 2.698,5 ha terbagi atas lawn area standar daya dukung 20 m2 per orang sehingga dibutuhkan luas 328.580 m2, daya dukung pada tenda pengungsian sebesar 2 m2 per orang sehingga luas ruang evakuasi makro untuk tenda pengungsi sebesar 49287 m2, dapat menampung 16.429 orang sehingga seluruh pengungsi dapat terakomodasi. Dapur umum dengan luas 1200 m2 dapat menampung 50 orang. Standar kebutuhan ruang untuk area bermain anak sebesar 20 m2 dengan luas 500 m2 dapat menampung 25 anak. 1 MCK portable dapat menampung 50 pengungsi sehingga dibutuhkan 330 unit MCK portable untuk kebutuhan sanitasi pada ruang evakuasi makro. Hal yang perlu diperhatikan pada ruang evakuasi adalah daya dukung sosial sebagai batas tingkat maksimun dalam jumlah dan tingkat penggunaan dapat menurun jika melebihi batas daya dukung sehingga mempengaruhi tingkat kepuasan, emosi, kualitas dan pengalaman pengguna. Perhitungan daya dukung bertujuan untuk menunjang keamanan dan kenyamanan saat evakuasi. Tidak sesuainya jumlah pengguna dan fasilitas yang ada. Daya dukung pada masing-masing ruang dibatasi dengan keberadaan fasilitas. Pada ruang evakuasi mikro daya dukung rendah yang dihitung berdasarkan ketersedian ruang dan waktu penggunaan, daya dukung pada ruang transisi dihitung berdasarkan fasilititas sirkulasi mengingat pola pergerakan suatu kota yang rawan bencana akan sangat berbeda ketika terjadi bencana. Pada saat bencana, secara serentak akan terjadi pergerakan hampir dari seluruh lokasi yang
89
rawan menuju ke tempat yang dianggap aman. Sebagian besar titik awal pergerakan adalah dari lokasi permukiman penduduk dan pusat kota menuju ke tempat yang dianggap aman sehingga diperlukan fasilitas sirkulasi yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat saat melakukan evakuasi. Luas total jalur evakuasi adalah 331,05 km2, jumlah pengungsi saat letusan Merapi 2010 sebanyak 16.429, masyarakat yang melakukan evakuasi tanpa menggunakan kendaraan, didapat daya dukung untuk jalur evakuasi sebesar 3,15 m2 , dengan luas tersebut, jalur evakuasi dapat memenuhi kebutuhan saat keadaan darurat seperti saat melakukan proses evakuasi. MCK lapangan evakuasi/penampungan pengungsi. MCK ini berfungsi untuk melayani para pengungsi yang mengungsi akibat terjadi bencana, sehingga lokasinya harus berada tidak jauh dari lokasi pengungsian. Bangunan MCK dibuat typical untuk kebutuhan 50 orang, dengan pertimbangan disediakan lahan untuk portable MCK. Jumlah MCK dan banyaknya bilik dapat dilihat pada Tabel 7. Besarnya kebutuhan air untuk MCK adalah: • minimal 20 Liter/orang/hari untuk mandi • minimal 15 Liter/orang/hari untuk cuci • minimal 10 Liter/orang/hari untuk kakus Tabel 7. Jumlah Pengguna MCK dan Banyaknya Bilik yang Diperlukan Jumlah Pemakai
Banyak bilik atau ruangan Mandi
Cuci
Kakus
10 – 20
2
1
2
21 – 40
2
2
2
41 – 80
2
3
4
81 – 100
2
4
4
101 - 120
4
5
4
121 – 160
4
5
6
161 – 200
4
6
6
Sumber: Tata Cara Perencanaan Bangunan MCK Umum – SNI 03-2399-2002
Kebutuhan air pada ruang evakuasi dapat dialirkan melalui instalasi air bersih dengan menggunakan pipa penyaluran apabila pipa penyaluran rusak akan disediakan penampungan air dan kendaraan untuk air bersih serta hidrant. Tempat penampungan air memiliki kapasitas 2.500 liter dan 10.000 liter
90
91
Program Strategi Mitigasi Program mitigasi yang dapat dilakukan dapat berupa penyelenggaraan program khusus anak berupa penyediaan unit ruang sahabat anak di ruang evakuasi korban letusan Gunung Merapi untuk mengurangi dampak psikologis, melakukan penataan ruang kawasan yang terkena dampak dan rawan terhadap bencana vulkanis, penyusunan dan penetapan rencana umum dan rinci tata ruang di sekitar kawasan Gunung Merapi, melakukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana yang mencakup kawasan rawan bencana, ruang evakuasi bencana dan jalur evakuasi bencana. Kebijakan tersebut diwujudkan dengan meningkatkan ketersediaan data atau informasi, pengembangan pedoman pembangunan bangunan atau konstruksi tahan gempa, pengendalian pemanfaatan ruang, pembangunan sarana prasarana pengendali daya rusak air, serta peningkatan sarana prasarana peningkatan dini bencana alam, merevitalisasi tatanan sosial dan ekonomi dengan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah terdampak serta meningkatkan kembali aktivitas budidaya yang ada, termasuk wisata. Perencanaan lokasi pemanfaatan lahan untuk aktivitas penting harus jauh atau di luar kawasan rawan bencana (jangka panjang), membuat fasilitas jalan dari pemukiman ke tempat pengungsian untuk memudahkan evakuasi, hindari tempattempat yang memiliki kecenderungan untuk dialiri lava atau lahar, perkenalan srtuktur bangunan tahan api, penerapan desain bangunan yang tahan terhadap tambahan beban akibat abu gunung api, membuat barak pengungsian permanen, menyediakan alat transportasi bagi penduduk bila ada perintah pengungsian, identifikasi daerah bahaya, tingkatkan kemampuan pemadaman api. Membuat tempat penampungan yang kuat dan tahan api untuk kondisi darurat, membuat penyuluhan bagai masyarakat yang bermukim di sekitar gunung api hendaknya paham cara menghindar dan tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi letusan gunung api, memberikan penyuluhan tentang arti peringatan dini Peringatan dini disampaikan ketika ancaman bahaya memasuki tahapan waspada, siaga, awas. Prosedur tetap manajemen bencana disosialisaikan ke seluruh lapisan masyarakat. Ketika bencana tiba, masyarakat dapat mengerti apa yang harus dilakukan, kapan menyelamatkan diri, harus pergi kemana, di mana
Gambar 8. Peta Rencana Pemanfaatan RTH Untuk Evakuasi Bencana Letusan Gunung Merapi
92
tempat evakuasi, dan bagaimana upaya bertahan hidup, antisipasi bahaya lahar dengan memasang sensor lahar AFM (acoustic flows monitoring) di sejumlah sungai yang berhulu di Merapi, menormalisasi sejumlah sungai yang berhulu Merapi agar aliran lahar tidak mengalir ke luar sungai, melakukan penguatanpenguatan sabo dam yang kondisinya lemah disejumlah titik, sistem peringatan dini dengan melibatkan pemuka setempat seperti dukuh, menetapkan barak pengungsian yang akan ditempati warga sesuai prosedur, perbaikan jalur evakuasi yang rusak. Gladi evakuasi atau simulasi bencana dibuat untuk lebih mempersiapkan masyarakat kepada kondisi nyata apabila terjadi bencana letusan Gunung Merapi yang sesungguhnya. Apa yang akan dilakukan, barang-barang apa saja yang akan dibawa dan ke arah mana harus menyelamatkan diri serta siapa yang diselamatkan terlebih dahulu dan lain sebagainya. Simulasi bencana dilakukan untuk lebih kepada mempersiapkan kondisi masyarakat dalam menghadapi bencana dan mengurangi situasi panik sebagai dampak ikutan dari bencana yang dapat menambah jatuhnya korban.
93
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ruang terbuka hijau (RTH) yang berada di Kabupaten Magelang dapat dijadikan sebagai alternatif ruang evakuasi saat terjadi bencana letusan Gunung Merapi. Ruang terbuka hijau dalam peranananya sebagai salah satu penunjang upaya mitigasi bencana dapat difungsikan sebagai ruang evakuasi baik bersifat sementara maupun ruang evakuasi akhir, jalur penyelamatan dan kawasan konservasi pada daerah yang memiliki potensi bahaya geologi serta ancaman bahaya primer dan sekunder dari letusan Gunung Merapi. RTH evakuasi dapat dikembangkan dalam bentuk ruang evakuasi berupa taman evakuasi, jalur penyelamatan berupa koridor pada jalur evakuasi, serta sebagai kawasan penyangga dari ancaman bahaya lain dan kawasan konservasi, ruang terbuka hijau yang paling berpotensi dengan mempertimbangkan aspek aksesibilitas dan ketersediaannya sebagai titik evakuasi sementara terdapat di tiga kecamatan, yaitu kecamatan Dukun terdapat di enam desa yakin desa Banyudono, desa Dukun, desa Ketunggeng, desa Mangunsoko, desa Sewukan, dan desa Wates dengan luas RTH 706,35 ha, kecamatan Sawangan terdapat di dua desa yakni desa Kapuhan dan desa Krogowan dengan luas RTH 166,92 ha, serta kecamatan Srumbung dengan enam desa yakni desa Banyuadem, desa Kaliurang, desa Kemiren, desa Mranggen, desa Polengan dan desa Srumbung dengan luas RTH 539,23 ha. Ruang terbuka hijau yang dapat dikembangkan sebagai tempat penampungan akhir tersebar di enam kecamatan, yakni kecamatan Mungkid dengan desa Pabelan dan desa Ramesanak seluas 429,43 ha, kecamatan Muntilan dengan desa Congkrang, desa Muntilan, desa Ngawen, desa Pucungrejo, desa Sedayu, desa Sriwedari dan desa Tamanagung dengan luas 976,52 ha, Ngluwar dengan desa Plosogede seluas 174,42 ha dan kecamatan Salam dengan desa Jumoyo, desa Kadiluwih, desa Salam, desa Tersenggede dan desa Tirto seluas 963,54 ha serta kecamatan Sawangan dengan desa Gondangwangi seluas 92 ha. Aktivitas
pada
ruang
terbuka
hijau
evakuasi
berupa
akitivitas
penyelamatan diri yang sifatnya darurat dan didukung dengan fasilitas yang memadai sesuai dengan fungsi masing-masing ruang evakuasi. Pemanfaatan RTH
94
sebagai kawasan evakuasi perlu didukung oleh instansi terkait untuk meningkatkan kesiap-siagaan menghadapi bencana. Selain itu, perlunya penerapan mitigasi bencana dalam penataan ruang melalui pengembangan sarana prasarana peringatan dini sehingga diharapkan agar ditambahkan pengembangan jalur dan tempat evakuasi bencana. . Saran Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesiapsiagaan dari berbagai pihak dalam menghadapi bencana serta melakukan tindakan mitigasi untuk meminimalkan jatuhnya korban jiwa. Pemanfaatan RTH sebagai ruang evakuasi perlu didukung oleh semua pihak baik pemerintah daerah, instansi terkait dan masyarakat yang tinggal di daerah bencana. Dapat menambah pemahaman pentingnya RTH untuk upaya mitigasi bencana khususnya untuk ruang evakuasi. Perlunya penelitian lanjutan tentang pemanfaatan RTH untuk evakuasi dan standar yang diperlukan dalam pemanfaatan ruang evakuasi.
95
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Pedoman Desain MCK. http://www.rekompakjrf.org. [diakses pada 7 Februari 2012] Anonim. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Emergency Response Merapi 2010. http://www.binaswadaya.org. [diakses pada 8 Februari 2012] Barus B. dan US Wiradisatra. 1997. Sistem Informasi Geografi Sarana Manajemen Sumberdaya. Bogor : Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 1998. Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988 Tentang: Manfaat Ruang Terbuka Hijau. Jakarta. Husein R. 2009. Jalur Mitigasi Dilupakan. http://hagemmanwordpress.com. [Diakses pada 4 Mei 2010]. Joga
N. 2010. Perencanaan Cerdas Mewujudkan http://rafflesia.wwf.or.id. [diakses pada 8 Februari 2012]
Kota
Hijau.
Kang TC. 2002. Introduction to Geographic Information Systems. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Laurie M. 1986. Pengantar kepada Arsitektur Pertamanan (Terjemahan). Intermatra. Bandung. Noor D. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Oktarina R. 2008. Pemetaan Sistem Informasi Logistik Dalam Penanggulangan Bencana Di Indonesia. http://journal.uii.ac.id/. [diakses pada 20 Desember 2011]. Purnomohadi. 2006. Ruang Terbuka Hijau Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta. Rudiyanto. 2010. Analisis Potensi Bahaya Tanah Longsor Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG)di Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Program Studi Geografi, Fakultas Geografi.Universitas Muhammadiyah Surakarta. Saruksuk J.H. 2006. Konsep Jaringan Jalan Pada Kota Yang Rawan Bencana Gempa Dan Tsunami (Studi Kasus Kota Sibolga) [Tesis]. Semarang: Program Studi Magister Pembangunan Wilayah dan Kota: Universitas Diponegoro. Sarwidi. 2011. Penanggulangan Bencana Gunung Merapi Berdasarkan Sistem Penanggulangan Bencana Nasional. Sleman. Universitas Islam Indonesia Setiawan N. 2010. Kajian Geologi Gunung Merapi. http://geoinsight.wordpress. com/2010/06/09/kajian-geologi-gunungapi-merapi [diakses pada 21 April 2012]
96
Simonds J. O. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill Book Co. New York. Sumekto D.R. 2011. Pengurangan Resiko Bencana Melalui Analisis Kerentanan Dan Kapasitas Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana. Klaten: Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Widya Dharma. Tim Peneliti Fisika dan Konservasi Tanah, Balittanah. 2011. Identifikasi Sifat Kimia Abu Volkan, Tanah Dan Air Di Lokasi Dampak Letusan Gunung Merapi. http://balittanah.litbang.deptan.go.id. [diakses pada 21 Mei 2011] Tim Peneliti Fisika dan Konservasi Tanah, Balittanah. 2011. Teknologi Peningkatan Produktivitas Lahan Endapan Volkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi. http://balittanah.litbang.deptan.go.id. [diakses pada 21 Mei 2011]
97
LAMPIRAN
97 Lampiran 1. Tabel Analisis Kesesuaian dan Alternatif Pemanfaatan
Aspek
Analisis
Alternatif Pemanfaatan
Kesesuaian untuk Pengembangan RTH Evakuasi
Sesuai Kemiringan 0-8% Meliliki sifat yang cukup Pengembangan RTH stabil dan sesuai untuk evakuasi secara optimal (datar) pengembangan RTH serta pembangunan sarana evakuasi dan prasarana yang terkait dengan penanggulangan bencana. Termasuk kategori landai Pengembangan RTH Cukup Sesuai Kemiringan dan relatif stabil untuk sebagai area evakuasi 8-30% pembangunan sarana dan prasarana terkait penanggulangan bencana Tergolong curam, Menghindari pembangunan Tidak sesuai Kemiringan berpotensi terdapat bahaya fisik serta pengembangan 30-45% lanskap RTH Konservasi Sangat curam, tidak stabil Menghindari pembangunan Tidak sesuai Kemiringan dan berpotensi terdapat fisik serta pengembangan > 45% bahaya lanskap RTH konservasi Kawasan budidaya
Terdiri atas budidaya pertanian dan non pertanian, aktivitas yang berkembang semi-intensif
Dapat dikembangkan Sesuai sebagai kawasan evakuasi namun perlu penambahan sarana dan prasarana penanggulangan bencana
Kawasan perkotaan
Terdiri atas kawasan Perlu penambahan sarana Tidak sesuai komersil, pusat dan prasarana pendukung pemerintahan cenderung penanggulangan bencana memiliki kepadatan penduduk yang tinggi
Kawasan konservasi
Merupakan kawasan Dapat dikembangkan Cukup Sesuai lindung Kabupaten sebagai area penyangga Magelang sebagian besar evakuasi berupa hutan lindung
Curah hujan
Kondisi CH tinggi dapat Pengembangan RTH menimbulkan bencana alam Pada daerah tertentu dan membuat kondisi yang berbahaya saat pasca-erupsi
Sesuai
Suhu,kelembaban, radiasi matahari
Kondisi dengan suhu, kelembaban dan radiasi matahari yang tinggi berpotensi menganggu kenyamanan masyarakat saat melakukan aktivitasnya
Sesuai
Pengembangan RTH untuk mengameriolasi ikim dan menciptakan iklim yang nyaman
98
Arah dan Kecepatan Angin
Kecepatan angin tergolong Penggunaan vegetasi dalam kelas 1 atau angin pereduksi debu dan sebagai sepoi-sepoi, Angin windbreak memiliki peran sebagai media pembawa polusi udara banyak debu yang terbawa saat erupsi terjadi
Sesuai
Geologi
Batuan penyusun Menghindari area yang merupakan batuan vulkanik berpotensi bahaya sebagai area evakuasi dan memimimalkan pembangunan
Sesuai
Jenis tanah aluvial, latosol, litosol, regosol, andosol
Terdapat jenis tanah yang Pengembangan RTH memiliki kepekaan dengan memperhatikan terhadap erosi kesesuaian jenis tanah dan konservasi area yang memiliki potensi bahaya lanskap yang tinggi
Sesuai
Hidrologi (sungai)
Terdapat beberapa sungai yang berhulu di Gunung Merapi yang berpotensi dialiri lahar dan terdapat aktivitas penambangan pasir
Perlu dilakukan rehabilitasi Tidak sesuai sungai seperti normalisasi sungai yang dialiri lahar, pengerukan material vulkanik, manajemen penambangan pasir
Hidrologi (sempadan sungai)
Banyak dikembangkan sebagai area permukiman, terjadi pengkisan akibat aktivitas pertambangan dan kurangnya RTH konservasi
Perlu dikembangkan RTH Sesuai konservasi pada sempadan sungai pada 100 m di sisi kanan dan kiri sungai
Vegetasi endemik
Vegetasi endemik dapat dimanfaatkan untuk rehabilitasi lahan pascaerupsi karena memiliki kesesuaian yang tinggi dan dapat bertahan Dapat digunakan dalam upaya rehabilitasi lahan sebagai tanaman pioner pascaerupsi Merapi
Mempertahankan vegetasi endemik
Banyak jalan yang digunakan sebagai jalur evakuasi memiliki kondisi yang memprihatinkan
Vegetasi introduksi
Aksesibilitas dan Sirkulasi
jenis
Sesuai
Pemilihan jenis vegetasi yang dapat mendukung upaya penanggulangan bencana
Sesuai
Perlu perbaikan jalan digunakan sebagai evakuasi dan pemeliharaan yang dari instansi terkait
Sesuai
yang jalur perlu baik
99
Sarana dan prasarana
Kurangnya sarana dan Penambahan sarana dan prasarana terkait upaya prasarana yang dapat penanggulangan bencana mendukung aktivitas evakuasi bencana dan pengoptimalan penggunaannya
Sesuai
Sosial dan kependudukan
Masyarakat kurang memahami keberadaan RTH
Sesuai
Sosialiasasi yang menyeluruh tentang mitigasi bencana dan memberikan pemahaman tentang peranan RTH terkait mitigasi bencana dengan melibatkan sumberdaya lokal masyarakat seperti kepala dukuh dan pemuka adat setempat
Lampiran 2. Luas Ruang Terbuka Hijau Kabupaten Magelang
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
No
Desa
Bandongan Banyuwangi Gandusari Kalegen Kebonagung Kedungsari Ngepanrejo Rejosari Salamkanci Sidorejo Sukadadi Sukosari Tonoboyo Trasan Luas Total
Desa
1 Bigaran 2 Borobudur 3 Bumiharjo
KECAMATAN BANDONGAN Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 363.03 288.58 79.50 6.30 405.11 339.44 83.81 7.41 603.09 490.32 81.30 10.71 225.82 188.18 83.33 4.11 250.00 206.61 82.64 4.51 154.21 124.36 80.65 2.72 525.31 441.44 84.03 9.64 502.06 403.26 80.32 8.81 343.00 282.30 82.30 6.16 269.01 219.78 81.70 4.80 203.00 167.49 82.51 3.66 245.22 199.04 81.17 4.35 215.72 176.53 81.83 3.85 274.85 221.30 80.52 4.83 4579.43 3748.64 KECAMATAN BOROBUDUR Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 140.33 93.21 66.43 1.71 409.45 271.99 66.43 4.99 152.03 100.99 66.43 1.85
100
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
No
Candirejo Giripurno Giritengah Karanganyar Karangrejo Kebonsari Kembanglimus Kenalan Majaksingi Ngadiharjo Ngargogondo Sambeng Tanjungsari Tegalarum Tuksongo Wanurejo Wringinputih Luas Total
Desa
Bateh Candimulyo Giyanti Kebonrejo Kembaran Mejing Podosoko Purworejo Sidomulyo Sonorejo Surojoyo Tampir kulon Tampir wetan Tegalsari Tembelang Tempak Tempursari Trenten Surodadi Luas Total
Desa
336.25 246.06 73.18 4.51 413.63 311.86 75.40 5.72 414.57 311.56 75.15 5.71 160.58 120.68 75.16 2.21 175.68 131.03 74.58 2.40 219.84 162.22 73.79 2.97 194.25 144.99 74.64 2.66 241.90 178.13 73.64 3.27 469.96 328.61 69.92 6.02 762.21 576.83 75.68 10.58 213.78 162.66 76.09 2.98 174.15 131.88 75.73 2.42 81.09 61.95 76.39 1.14 139.37 105.74 75.87 1.94 102.58 78.09 76.13 1.43 276.00 167.93 60.84 3.08 376.85 286.22 75.95 5.25 5454.51 3972.62 KECAMATAN CANDIMULYO Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 443.68 393.59 88.71 8.38 149.95 115.75 77.19 2.47 175.00 141.50 80.86 3.01 238.00 201.04 84.47 4.28 119.14 87.99 73.85 1.87 251.28 191.45 76.19 4.08 220.34 175.10 79.47 3.73 188.99 170.39 90.16 3.63 288.50 212.87 73.78 4.53 268.00 240.00 89.55 5.11 235.00 196.23 83.50 4.18 246.01 189.81 77.15 4.04 227.00 202.18 89.07 4.31 247.00 183.00 74.09 3.90 169.10 149.96 88.68 3.19 278.37 222.61 79.97 4.74 96.58 70.58 73.08 1.50 431.17 384.39 89.15 8.19 421.98 361.41 85.65 7.70 4695.08 3889.83 KECAMATAN DUKUN Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap (ha) (ha) Luas Desa Luas Kecamatan
101
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Banyubiru Banyudono Dukun Kalibening Keningar Ketunggeng Krinjing Mangunsoko Ngadipuro Ngargomulyo Paten Sengi Sewukan Sumber Wates Luas Total
Desa
Baleagung Banaran Banjarsari Banyusari Citrosari Cokro Giriwetan Grabag Kalikuto Kalipucang Kartoharjo Ketawang Klegen Kleter Lebak Losari Ngasinan Ngrancah Pesidi Pucungsari Salam Sambungrejo Seworan Sidogede Sugihmas
(%) (%) 370.42 347.55 93.83 6.51 348.83 319.12 91.48 5.98 326.00 298.36 91.52 5.59 238.52 214.84 90.07 4.02 650.00 592.91 91.22 11.10 314.75 288.14 91.54 5.40 380.50 341.91 89.86 6.40 137.18 125.71 91.64 2.35 202.05 186.68 92.39 3.50 946.82 863.75 91.23 16.18 390.00 357.55 91.68 6.70 386.66 352.51 91.17 6.60 166.70 159.40 95.62 2.99 288.40 262.18 90.91 4.91 193.09 172.53 89.36 3.23 5339.92 4883.13 KECAMATAN GRABAG Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 422.10 383.73 90.91 4.97 355.25 311.36 87.64 4.04 458.43 399.21 87.08 5.17 513.71 492.09 95.79 6.38 538.90 466.29 86.53 6.04 126.70 112.33 88.66 1.46 195.98 174.67 89.13 2.26 393.64 341.58 86.77 4.43 257.16 225.94 87.86 2.93 210.95 184.70 87.56 2.39 168.41 146.76 87.14 1.90 325.73 285.66 87.70 3.70 121.70 106.98 87.91 1.39 132.85 114.69 86.33 1.49 225.19 193.81 86.07 2.51 263.78 229.57 87.03 2.98 323.92 284.08 87.70 3.68 276.98 242.23 87.45 3.14 249.80 219.53 87.88 2.85 146.33 128.43 87.77 1.66 183.64 159.92 87.09 2.07 312.45 277.09 88.68 3.59 127.03 114.62 90.23 1.49 305.35 262.91 86.10 3.41 324.09 285.23 88.01 3.70
102
26 Sumurarum 27 Tirto 28 Tlogorejo Luas Total
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
No
1 2 3 4
Desa
Bambusari Bangsri Banjaragung Banjaretno Bumiayu Kajoran Krinjing Krumpakan Kuwaderan Lesanpuro Madugondo Madukoro Mangunrejo Ngargosari Ngendrosari Pandanretno Pandansari Pucungroto Sambak Sangen Sidorejo Sidowangi Sukomulyo Sukorejo Sutopati Wadas Wuwuhrejo Wonogiri Luas Total
Desa
Balerejo Banjarejo Baseran Balekerto
423.08 369.43 87.32 4.79 205.38 179.85 87.57 2.33 126.00 112.98 89.67 1.46 7714.56 6805.67 KECAMATAN KANJORAN Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 314.81 272.43 86.54 3.27 157.87 137.12 86.85 1.64 187.90 162.08 86.26 1.94 284.30 246.12 86.57 2.95 142.42 123.79 86.92 1.48 363.01 311.98 85.94 3.74 507.22 436.32 86.02 5.23 270.28 234.03 86.59 2.81 333.98 286.96 85.92 3.44 126.29 109.89 87.01 1.32 111.73 97.33 87.11 1.17 196.23 169.28 86.27 2.03 286.21 245.77 85.87 2.95 116.76 101.67 87.07 1.22 84.84 73.35 86.46 0.88 702.03 607.28 86.50 7.28 403.88 347.22 85.97 4.16 194.32 163.54 84.16 1.96 181.58 155.56 85.67 1.87 93.92 80.88 86.11 0.97 257.13 223.69 87.00 2.68 158.39 134.56 84.95 1.61 360.22 310.58 86.22 3.72 293.09 252.71 86.22 3.03 952.00 837.69 87.99 10.04 159.29 137.34 86.22 1.65 719.00 668.49 92.97 8.01 382.23 328.90 86.05 3.94 8340.97 7256.56 KECAMATAN KALIANGRIK Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 347.63 322.14 92.67 5.62 314.17 291.23 92.70 5.08 109.40 103.06 94.21 1.80 366.71 337.77 92.11 5.89
103
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
No
1 2 3 4 5 6 7
Bumi rejo Giri rejo Giriwarno Kaliangkrik Kebonlegi Ketangi Madu retno Mangli Munggangsari Ngargosoko Ngawonggo Ngendrokilo Pangarengan Selomoyo Temanggung Luas Total
Desa
Banjarnegoro Banyurojo Bondowoso Bulurejo Danurejo Deyangan Donorojo Jogonegoro Kalinegoro Mertoyudan Pasuruhan Sukorejo Sumberejo Luas Total
Desa
Ambartawang Blondo Bojong Bumirejo Gondang Mendut Mungkid
116.96 108.85 93.06 1.90 244.61 224.97 91.97 3.92 120.67 112.47 93.21 1.96 415.80 389.11 93.58 6.79 250.23 232.16 92.78 4.05 558.85 517.26 92.56 9.02 112.15 102.60 91.49 1.79 249.27 231.27 92.78 4.03 496.80 456.93 91.98 7.97 330.45 307.26 92.98 5.36 552.81 511.68 92.56 8.92 254.34 233.96 91.99 4.08 118.75 109.80 92.46 1.91 156.64 142.81 91.17 2.49 617.70 571.63 92.54 9.97 5733.95 5306.96 KECAMATAN MERTOYUDAN Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 364.58 295.83 81.14 6.52 569.12 484.72 85.17 10.69 351.83 340.60 96.81 7.51 94.46 89.86 95.13 1.98 312.13 291.08 93.26 6.42 365.50 358.38 98.05 7.90 336.23 320.79 95.41 7.07 306.00 294.00 96.08 6.48 466.38 441.38 94.64 9.73 390.98 370.28 94.71 8.17 388.97 349.65 89.89 7.71 240.44 207.72 86.39 4.58 347.92 311.91 89.65 6.88 4534.54 4156.20 KECAMATAN MUNGKID Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 208.03 200.50 96.38 5.36 230.11 214.30 93.13 5.73 255.01 246.00 96.47 6.57 247.31 239.50 96.84 6.40 182.21 173.20 95.06 4.63 145.12 135.10 93.10 3.61 171.01 133.80 78.24 3.58
104
8 9 10 11 12 13 14 15 16
Ngrajek Pabelan Pagersari Paremono Progowati Ramesanak Sawitan Senden Treko Luas Total
No
Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Adikarto Congkrang Gondosuli Gunungpring Keji Menayu Muntilan Ngawen Pucung rejo Sedayu Sriwedari Sukorini Taman Agung Tanjung Luas Total
Desa
Bandungrejo Genikan Girirejo Jogonayan Kanigoro Kediten Madyogondo Magersari Ngablak Pagergunung Pandean Selomirah
184.15 169.70 92.15 4.54 348.22 335.20 96.26 8.96 213.72 206.50 96.62 5.52 409.90 396.71 96.78 10.60 285.12 268.10 94.03 7.17 382.23 373.90 97.82 9.99 129.24 101.20 78.30 2.70 217.02 209.20 96.40 5.59 133.11 128.30 96.39 3.43 3741.51 3531.21 KECAMATAN MUNTILAN Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 145.90 142.04 97.35 4.96 131.60 98.29 74.69 3.44 323.56 310.78 96.05 10.86 239.59 230.61 96.25 8.06 243.78 233.66 95.85 8.17 124.73 120.58 96.67 4.21 209.57 202.49 96.62 7.08 224.37 214.90 95.78 7.51 148.18 142.24 95.99 4.97 206.41 198.54 96.18 6.94 219.49 211.98 96.58 7.41 247.12 239.89 97.07 8.39 306.81 298.69 97.35 10.44 89.83 86.94 96.78 3.04 2860.95 2731.63 KECAMATAN NGABLAK Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 270.11 243.02 89.97 5.55 159.89 142.45 89.09 3.25 525.74 473.97 90.15 10.82 196.61 176.62 89.83 4.03 110.17 99.53 90.34 2.27 176.65 160.59 90.91 3.67 290.07 261.06 90.00 5.96 177.28 162.16 91.47 3.70 361.86 324.91 89.79 7.42 320.54 299.59 93.46 6.84 397.11 356.76 89.84 8.15 279.80 251.78 89.99 5.75
105
13 Seloprojo 14 Sumberejo 15 Tejosari 16 Yogoyasan Luas Total
331.46 298.44 90.04 6.81 210.71 189.36 89.87 4.32 295.81 267.14 90.31 6.10 276.19 248.52 89.98 5.67 4380.00 3955.90 KECAMATAN NGLUWAR Luas Persentase Persentase No Desa Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 1 Bligo 504.15 437.39 86.76 19.49 2 Blongkeng 223.80 195.61 87.40 8.72 3 Jamuskauman 246.52 213.36 86.55 9.51 4 Karangtalun 237.01 207.10 87.38 9.23 5 Ngluwar 284.90 246.74 86.61 11.00 6 Pakunden 303.98 263.33 86.63 11.73 7 Plosogede 259.61 226.75 87.34 10.10 8 Somokaton 184.02 161.02 87.50 7.18 Luas Total 2243.99 1951.30 KECAMATAN PAKIS Luas Persentase Persentase No Desa Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 1 Banyusidi 824.78 748.80 90.79 10.76 2 Bawang 164.30 148.37 90.30 2.13 3 Daleman kidul 380.49 346.90 91.17 4.99 4 Daseh 130.92 120.02 91.67 1.73 5 Gejagan 152.44 137.58 90.25 1.98 6 Gondangsari 276.50 252.37 91.27 3.63 7 Gumelem 188.23 173.12 91.97 2.49 8 Jambewangi 366.08 331.80 90.64 4.77 9 Kajangkoso 133.86 120.69 90.16 1.74 10 Kaponan 358.64 326.04 90.91 4.69 11 Kenalan 473.90 431.82 91.12 6.21 12 Ketundan 956.71 869.84 90.92 12.50 13 Kragilan 351.61 320.65 91.19 4.61 14 Losari 147.60 132.19 89.55 1.90 15 Muneng 216.22 197.56 91.37 2.84 16 Munengwarangan 228.04 208.31 91.35 2.99 17 Pakis 418.41 380.38 90.91 5.47 18 Petung 499.55 455.14 91.11 6.54 19 Pogalan 589.90 534.27 90.57 7.68 20 Rejosari 97.78 88.89 90.91 1.28 Luas Total 6956.00 6324.74 KECAMATAN SALAM
106
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
No
Desa
Baturono Gulon Jumoyo Kadiluwih Mantingan Salam Seloboro Sirahan Somokerto Sucen Tersanggede Tirto Luas Total
Desa
Banjar harjo Jebengsari Kaliabu Kalirejo Kalisalak Kebonrejo Krasak Margoyoso Menoreh Ngadirejo Ngampeldento Ngargoretno Paripurno Purwosari Salaman Sawangargo Sidomulyo Sidosari Sriwedari Tanjung Anom Luas Total
Desa
Luas (ha) 127.91 483.00 380.07 174.25 130.86 300.58 147.00 274.63 79.58 334.37 248.22 482.53 3163.00
Luas RTH (ha) 98.90 371.70 289.91 133.37 100.16 229.07 102.52 210.21 61.91 253.93 192.00 379.34 2423.02
Persentase Persentase Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (%) (%) 77.32 3.13 76.96 11.75 76.28 9.17 76.54 4.22 76.54 3.17 76.21 7.24 69.74 3.24 76.54 6.65 77.80 1.96 75.94 8.03 77.35 6.07 78.61 11.99
KECAMATAN SALAMAN Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 148.11 106.63 71.99 1.55 126.66 91.33 72.11 1.33 221.59 157.03 70.87 2.28 659.00 471.99 71.62 6.85 344.00 248.34 72.19 3.61 261.51 184.51 70.55 2.68 497.00 373.45 75.14 5.42 557.00 399.24 71.68 5.80 613.00 497.18 81.11 7.22 321.00 228.93 71.32 3.32 200.95 163.31 81.27 2.37 525.00 394.42 75.13 5.73 625.10 485.81 77.72 7.05 188.00 134.08 71.32 1.95 175.29 129.02 73.60 1.87 286.65 214.44 74.81 3.11 314.00 243.94 77.69 3.54 350.50 249.97 71.32 3.63 324.00 231.07 71.32 3.36 149.00 116.26 78.03 1.69 6887.37 5120.97 KECAMATAN SAWANGAN Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap
107
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
No
Banyuroto Butuh Gantang Gondangwangi Jati Kapuhan Ketep Krogowan Mangunsari Podosoko Sawangan Soronalan Tirtosari Wonolelo Wulunggunung Luas Total
Desa
Candi retno Candi sari Donomulyo Donorojo Girikulon Jambewangi Kalijoso Karangkajen Krincing Madu sari Madyocondro Ngabean Ngdirojo Pancuran mas Payaman Pirikan Pucang Purwosari Secang Sidomulyo Luas Total
Desa
Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 625.00 565.87 90.54 7.82 334.09 301.34 90.20 4.16 535.24 480.18 89.71 6.64 396.40 355.36 89.65 4.91 553.85 496.55 89.65 6.86 417.60 373.89 89.53 5.17 418.94 374.92 89.49 5.18 302.28 273.75 90.56 3.78 312.07 278.55 89.26 3.85 753.26 675.17 89.63 9.33 455.95 402.89 88.36 5.57 419.46 376.09 89.66 5.20 289.49 200.13 69.13 2.77 834.85 740.52 88.70 10.23 588.52 519.08 88.20 7.17 7237.00 6414.28 KECAMATAN SECANG Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 312.83 244.28 78.09 5.16 248.42 199.16 80.17 4.21 149.29 114.48 76.69 2.42 133.19 110.71 83.12 2.34 140.67 113.64 80.79 2.40 248.21 193.99 78.16 4.10 156.52 122.22 78.09 2.58 145.71 114.64 78.68 2.42 364.06 284.94 78.27 6.02 300.07 239.15 79.70 5.05 308.82 255.10 82.60 5.39 249.59 196.09 78.56 4.14 250.40 197.73 78.97 4.18 203.63 160.61 78.87 3.39 244.63 193.15 78.96 4.08 272.17 215.01 79.00 4.54 115.16 92.39 80.23 1.95 316.47 249.17 78.73 5.26 329.12 263.21 79.97 5.56 245.03 197.47 80.59 4.17 4734.00 3757.14 KECAMATAN SRUMBUNG Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap
108
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 17
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 17 18 19 20 21 22
Banyuadem Bringin Jerukagung Kaliurang Kemiren Kradenan Mranggen Ngablak Ngargosoko Nglumut Pandanretno Polengan Pucanganom Srumbung Sudimoro Tegalrandu Luas Total
Desa
Banyu urip Banyusari Dawung Dlimas Donorojo Girirejo Glagahombo Japan Kebon Agung Klopo Mangunrejo Ngadirejo Ngasem Purwodadi Purwosari Sidorejo Sukorejo Suroyudan Tampingan Tegal Rejo Wonokerto Luas Total
Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 215.89 178.32 82.34 3.35 404.86 329.97 81.25 6.20 245.26 201.29 81.82 3.79 506.43 416.61 82.01 7.83 615.41 512.61 83.04 9.64 327.20 267.06 81.37 5.02 353.94 285.04 80.29 5.36 808.62 660.32 81.41 12.42 129.81 101.85 78.22 1.92 114.37 92.89 80.98 1.75 115.98 92.45 79.71 1.74 398.78 325.00 81.25 6.11 267.15 219.21 81.80 4.12 205.40 169.73 82.38 3.19 311.18 255.03 81.70 4.80 299.00 233.45 78.07 4.39 5318.00 4340.82 KECAMATAN TEGALREJO Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 109.25 90.00 82.38 2.51 144.85 112.00 77.32 3.12 165.58 132.89 80.26 3.70 245.93 206.34 83.90 5.75 166.18 136.49 82.13 3.80 167.00 131.04 78.47 3.65 223.64 180.99 80.93 5.04 138.77 112.99 81.42 3.15 134.14 109.28 81.46 3.04 152.92 121.57 79.50 3.39 198.52 159.98 80.59 4.46 133.44 102.71 76.97 2.86 89.26 72.71 81.46 2.03 119.61 98.44 82.30 2.74 86.79 72.70 83.77 2.03 315.78 267.25 84.63 7.45 160.49 135.74 84.58 3.78 210.08 177.14 84.32 4.94 248.00 212.03 85.50 5.91 274.08 219.72 80.17 6.12 104.52 91.15 87.20 2.54 3588.84 2943.16 KECAMATAN TEMPURAN
109
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Desa
Bawang Girirejo Growong Jogomulyo Kalisari Kemutuk Prajeksari Pringombo Ringinanom Sidoagung Sumberarum Tanggulrejo Temanggal Tempurejo Tugurejo Luas Total
No
Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Balesari Bandarsedayu Banjarsari Candisari Dampit Genito Girimulyo Gunungsari Kalijoso Kembangkuning Kentengsari Mangunsari Ngemplak Pasangsari Semen Tanjungsari Umbulsari Windusari Wonoroto Luas Total
Luas
Luas RTH
Persentase Persentase Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (%) (%) 84.81 5.59 84.39 3.11 86.60 6.45 85.60 11.66 89.16 5.84 84.62 2.81 86.05 3.19 80.46 2.64 88.42 7.60 88.00 9.21 81.20 6.82 85.52 6.54 86.05 4.30 85.52 6.53 84.75 3.43
(ha) (ha) 323.13 274.06 180.75 152.54 365.38 316.41 667.94 571.77 321.29 286.47 163.06 137.98 181.92 156.55 161.04 129.58 421.43 372.65 513.51 451.88 412.16 334.66 375.09 320.77 244.90 210.74 374.17 320.00 198.23 168.00 4904.00 4204.06 KECAMATAN WINDUSARI Luas Persentase Persentase Luas RTH Terhadap Terhadap Luas Desa Luas Kecamatan (ha) (ha) (%) (%) 831.61 762.11 91.64 12.36 295.82 258.92 87.53 4.20 241.57 220.61 91.32 3.58 351.08 320.12 91.18 5.19 182.54 158.95 87.07 2.58 234.02 214.75 91.76 3.48 298.12 270.01 90.57 4.38 266.61 238.37 89.41 3.87 217.71 195.91 89.99 3.18 391.08 353.53 90.40 5.73 88.24 80.21 90.90 1.30 167.45 149.89 89.52 2.43 593.56 540.00 90.98 8.76 540.90 493.72 91.28 8.01 264.51 239.47 90.53 3.88 295.91 259.91 87.83 4.22 165.96 145.87 87.90 2.37 336.26 302.69 90.02 4.91 402.04 375.49 93.40 6.09 6165.00 5580.55