ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)
Oleh : TUNJUNG PAWESTRI KUSUMO WARDANI A14303045
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
TUNJUNG PAWESTRI K. W. Analisis Pola Konsumsi dan Permintaan Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa Penerapan Model Almost Ideal Demand System (AIDS). Di bawah Bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS.
Perbaikan indikator makroekonomi di Indonesia yang antara lain dicerminkan oleh peningkatan pendapatan riil per kapita dan pertumbuhan ekonomi, serta penurunan laju inflasi, di sisi lainnya belum diimbangi dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi riil di masyarakat. Berdasarkan data BPS diketahui bahwa jumlah pengangguran terbuka dan pekerja pada sektor informal di Indonesia secara kontinyu terus mengalami peningkatan. Kondisi di atas menunjukkan adanya ambiguitas, dimana ketika indikator makroekonomi mengalami perbaikan, namun tidak demikian halnya pada sektor riil di masyarakat. Indikator mikroekonomi yang juga menunjukkan adanya ambiguitas ini ialah tingkat konsumsi buah rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS dapat disimpulkan bahwa selama kurun waktu 15 tahun terakhir tingkat konsumsi buah di Indonesia cenderung stagnan. Hal ini dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia secara umum belum mengalami peningkatan yang signifikan. Di satu sisi pendapatan riil per kapita meningkat, sedangkan kesejahteraan masyarakat menurun akibat daya belinya yang stagnan. Ini merupakan indikasi belum adanya perbaikan distribusi pendapatan masyarakat. Hal tersebut mendorong dilakukannya kajian lebih lanjut mengenai faktorfaktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia, mengingat tingkat konsumsi buah di Indonesia (32 kg/kapita/tahun di tahun 2005) masih jauh dari standar yang dianjurkan oleh FAO sebesar 60 kg/kapita/tahun. Berdasarkan permasalahan tersebut penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pola konsumsi serta menganalisis model permintaan lengkap buah pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa. Selain itu, dianalisis pula mengenai pengaruh dari perubahan harga dan pendapatan terhadap permintaan buah pada masing- masing kelompok rumah tangga. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data cross section SUSENAS 2005, yang terdiri dari data konsumsi, pengeluaran, dan data demografi rumah tangga di Pulau Jawa, sedangkan untuk menjawab tujuan penelitian digunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) Hasil analisis menunjukkan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan, sedangkan berdasarkan penggolongan menurut tingkat pendapatan, terdapat kecenderungan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan yang semakin meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Jenis buah yang tingkat konsumsinya relatif paling tinggi dari tahun ke tahun ialah pisang, jeruk, rambutan, dan pepaya. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat konsumsi buah-buahan tersebut adalah faktor musim, dimana jenis-jenis buah tersebut (kecuali rambutan) produksinya tidak tergantung musim, sehingga selalu tersedia sepanjang tahun. Pola konsums i buah-
buahan pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa berdasarkan tingginya frekuensi konsumsi berturut-turut pisang – jeruk – pepaya – salak – semangka. Analisis dengan menggunakan unit sampling Rumah Tangga maupun Primary Sampling Unit (PSU) secara umum menghasilkan arah dari nilai dugaan parameter yang sama. Kedua prosedur tersebut menunjukkan bahwa seluruh variable bebas (kecuali jumlah anggota rumah tangga), yaitu harga sendiri, harga buah lain, pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran), dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap proporsi pengeluaran buah pada taraf nyata 5 persen. Permintaan untuk jeruk, pisang, dan pepaya di perkotaan Pulau Jawa lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding daerah pedesaan. Untuk jeruk, semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin elastis permintaannya terhadap perubahan harga. Untuk pisang dan pepaya berlaku sebaliknya. Terdapat hubungan komplementer antara jenis buah yang dianalisis (jeruk, pisang, dan pepaya). Dari kecilnya nilai elastisitas harga komoditi lain (harga silang), maka sifat komplementer tersebut tidak terlalu kuat.Di wilayah Pulau Jawa secara total, desa, maupun kota, semua jenis buah yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai elastisitas pengeluaran. Ini berarti dengan semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga maka akan meningkatkan permintaan komoditi tersebut. Pada seluruh komoditi, elastisitas pengeluaran cukup elastis, terutama pada pisang. Berdasarkan data SUSENAS diketahui bahwa tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia (31,9 kg/kapita/tahun) masih jauh dari standar yang dianjurkan oleh FAO yaitu sebesar 60 kg/kapita/tahun. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia dengan cara memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat, mengingat faktor pendapatan (yang diestimasi dari pengeluaran) terbukti berpengaruh signifikan terhadap permintaan buah. Alternatif lain yang dapat ditempuh ialah melalui sosialisasi mengenai pangan dan gizi secara umum melalui penyuluhan, pendidikan dan iklan layanan masyarakat melaui berbagai media. Alternatif kebijakan ini relatif lebih mudah dan aplikatif dibandingkan dengan alternatif yang pertama, karena jika mengandalkan perbaikan distribusi pendapatan masyarakat untuk dapat meningkatkan konsumsi buah maka akan memerlukan waktu yang lama.
ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh : Tunjung Pawestri K. W. A14303045
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Skripsi
: ANALISIS POLA KONSUMSI DAN PERMINTAAN BUAH PADA TINGKAT RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA : PENERAPAN MODEL ALMOST IDEAL DEMAND SYSTEM (AIDS)
Nama
: Tunjung Pawestri Kusumo Wardani
NRP
: A14303045
Menyetuj ui Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Menyetujui Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI/KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI/LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2007
Tunjung Pawestri K. W. A14303045
RIWAYAT HIDUP
Tunjung Pawestri Kusumo Wardani dilahirkan di Kebumen tanggal 14 Desember 1985 dari pasangan ayah Drs. Bambang Winarso, MM dan ibu Sri Titi Sedjati, S.Pd. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis antara lain : §
TK Tunas Sejahtera Bogor lulus tahun 1991
§
SD Negeri Polisi V Bogor lulus tahun 1997
§
SMP Negeri I Bogor lulus tahun 2000
§
SMU Negeri I Bogor lulus tahun 2003 Pada tahun yang sama (2003) penulis memasuki Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI), pada Fakultas Pertanian, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya . Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif pada organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama IPB (BEM-TPB IPB) dan Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA). Selain itu, penulis juga aktif sebagai asisten dosen untuk Mata Kuliah Ekonomi Umum dan Pengantar Ilmu- ilmu Kependudukan.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul ”Analisis Pola Konsumsi dan Permintaan Buah pada Tingkat Rumah Tangga Di Pulau Jawa Penerapan Model Almost Ideal Demand System (AIDS)” dapat diselesaikan. Topik ini dipilih berdasarkan kondisi tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia yang masih jauh di bawah standar anjuran FAO, dan trend yang ada menunjukkan bahwa ternyata selama 15 tahun terakhir ini tingkat konsumsi buah di Indonesia cenderung stagnan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam proses penulisan skripsi, serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini baik langsung maupun tidak. Sebagai bagian dari suatu proses, mungkin masih banyak ditemui kesalahan dan kekurangan dalam buku ini. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka untuk saran dan kritik yang membangun dan dapat disampaikan melalui email
[email protected]. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2007
Tunjung Pawestri K. W.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu, Bapak, dan de Inggrid yang selalu mendoakan, menyemangati, serta membantu secara moral dan materil dari penulis mulai kuliah hingga penyelesaian akhir skripsi ini. 2. Bapak Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi dan juga pembimbing akademik atas bimbingan, saran, dan kritik yang membangun baik selama proses perkuliahan maupun penyelesaian skripsi. 3. Bapak Dr.Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku dosen penguji utama dan Ibu Eva Anggraini, SP, M.Si selaku dosen penguji wakil departemen yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menguji penulis, dan juga atas saran dan perbaikannya dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Segenap Dosen pada PS Ekonomi Pertanian & Sumberdaya (Passing Out) yang telah memberikan ilmunya, semoga dapat diamalkan dan bermanfaat bagi penulis. 5. Seluruh staf BPS Jakarta dan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP) yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi. 6. Seluruh staf Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya yang telah banyak membantu penulis. 7. Bapak Rasidin Karo-Karo SP, M.Si dan Bapak Bonar M. Sinaga, Ph.D atas buku panduan menggunakan SASnya. Tanpa buku itu, apa jadinya saya pak. 8. My Great Friends EPS’ers 40 dara, imul, daniku, bubach, reni, evy, maria, angke, hanum, nunun, hamto, ikur, bang komti, abo, esti, rini, ncep, roy, agung, arum, vega, mbak desi, feby, oks, suritin, dina, marisa, silvy, mbak puri, coni makasiiihh sejuta kali pokoknya.. 9. Adik-adikku EPSe 41, terima kasih telah meluangkan waktu untuk hadir dalam seminar penulis. Remember that the promotion is always better than the original.. Keep in fighting, keep in spirited !! 10. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Jazakumulloh..
DAFTAR ISI
Daftar Isi ............................................................................................................... i Daftar Tabel......................................................................................................... iii Daftar Gambar ..................................................................................................... v Daftar Lampiran ................................................................................................. vi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah.................................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 9 1.4 Kegunaan Penelitian.................................................................................. 10 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) ........................................... 11 2.2 Penelitian yang Menggunakan Model AIDS ............................................ 12 2.3 Penelitian Mengenai Pola Konsumsi dan Permintaan Buah ..................... 13 2.4 Komentar terhadap Penelitian Terdahulu.................................................. 15 BAB III. KERANGKA TEORI 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................... 19 3.1.1 Teori Perilaku Konsumen................................................................. 19 3.1.2 Pengertian Permintaan dan Faktor- faktor yang Mempengaruhinya 20 3.1.2.1 Dualitas Dalam Teori Permintaan........................................... 20 3.1.2.2 Sifat-sifat Fungsi Permintaan.................................................. 23 3.1.3 Konsep Elastisitas ............................................................................ 25 3.1.4 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) .................................. 27 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional.............................................................. 29 BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Wilayah Studi dan Waktu Penelitian ........................................................ 33 4.2 Data Penelitian .......................................................................................... 33 4.2.1 Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 33 4.2.2 Kerangka Sampel Data SUSENAS 2005 ......................................... 34 4.2.3 Teknik Penarikan Contoh Penelitian................................................ 35 4.2.4 Pengelompokkan Data...................................................................... 36 4.3 Spesifikasi Model...................................................................................... 37 4.3.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) .................................. 38 4.3.2 Perhitungan Nilai Elastisitas ............................................................ 39 4.3.3 Pembentukan Harga Agregat dan Indeks Stone ............................... 40 4.3 Prosedur Pendugaan dan Pengujian Restriksi. .......................................... 40 BAB V. GAMBARAN UMUM 5.1 Perkembanga n Luas Panen........................................................................ 42 5.2 Perkembangan Produksi Buah-buahan...................................................... 44 5.3 Ekspor Buah Indonesia .............................................................................. 46
i
BAB VI. PEMBAHASAN 6.1 Pola Konsumsi Buah ................................................................................. 48 6.1.1 Proporsi Pengeluaran Buah .............................................................. 48 6.1.2 Tingkat Konsumsi Buah di Indonesia .............................................. 50 6.1.3 Tingkat Konsumsi Buah di Pulau Jawa............................................ 53 6.2 Analisis Parameter Permintaan Buah di Pulau Jawa................................. 57 6.2.1 Pengujian Restriksi........................................................................... 57 6.2.1 Model Permintaan dengan Unit Sampling Rumah Tangga .............. 58 6.2.1 Model Permintaan denga n Unit Sampling PSU ............................... 63 6.3 Sistem Permintaan Buah ........................................................................... 66 6.3.1 Permintaan Jeruk .............................................................................. 66 6.3.2 Permintaan Pisang ............................................................................ 70 6.3.3 Permintaan Pepaya ........................................................................... 74 6.4 Implikasi Kebijakan .................................................................................. 78 BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan................................................................................................ 84 7.2 Saran .......................................................................................................... 85 Daftar Pustaka ....................................................................................................... 88 Lampiran ............................................................................................................... 91
ii
DAFTAR TABEL Judul
Halaman
Tabel 1
Konsumsi Energi per kapita per tahun di Indonesia menurut komoditi Tahun 1999, `002-2006 (kkal/hari)
4
Tabel 2
Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka, Penduduk Miskin, dan Pekerja di sektor Formal-Informal di Indonesia Tahun 2000-2005 (dalam juta jiwa)
7
Tabel 3
Perkembangan Tingkat Konsumsi Buah-Buahan pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia Tahun 1990-2005 (dalam kg/kapita/tahun)
8
Tabel 4
Elastisitas Harga Sendiri (Ed) & Elastisitas Pendapatan (Ei) untuk Komoditi Buah-buahan dari Berbagai Penelitian (yang Menggunakan Model AIDS).
17
Tabel 5
Jenis dan Sumber Data Penelitian
34
Tabel 6
Perkembangan dan Peningkatan Luas Panen dan Produksi Buahbuahan di Indonesia Tahun 1999-2005
42
Tabel 7
Rata-rata Persentase Peningkatan per tahun Luas Panen dan Produksi Tanaman Buah-buahan di Indonesia Tahun 2000-2005
43
Tabel 8
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah Indonesia Tahun 2001-2005
46
Tabel 9
Proporsi (share) Pengeluaran Buah-buahan Terhadap Total Pengeluaran (per kapita/bulan) tahun 2002-2006
48
Tabel 10
Perkembangan Konsumsi Buah-Buahan di Indonesia Menurut Jenis Buah Tahun 1990-2005
51
Tabel 11
Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (berdasar wilayah & kelas pendapatan) tahun 2005
53
Tabel 12
Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (by province) tahun 2005
55
Tabel 13
Hasil uji-F Model Sistem Persamaan Dengan dan Tanpa Restriksi
57
Tabel 14
Nilai Estimasi Parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Unit Sampling Rumah Tangga
58
Tabel 15
Nilai Estimasi Parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Unit Sampling PSU
63
Tabel 16
Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling Rumah Tangga
66
iii
Tabel 17
Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling PSU
67
Tabel 18
Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang, unit sampling Rumah Tangga
70
Tabel 19
Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang, unit sampling PSU
72
Table 20
Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling Rumah Tangga
75
Tabel 21
Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling PSU
76
Tabel 22
Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling Rumah Tangga)
82
Table 23
Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling PSU)
83
iv
DAFTAR GAMBAR Judul
Halaman
Gambar 1
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia (persen per tahun)
1
Gambar 2
Pencapaian Status Kesehatan di Indonesia
2
Gambar 3
Maximisasi Utilitas dan Minimisasi Biaya
23
Gambar 4
Skema Kerangka Pemikiran Operasional
32
v
DAFTAR LAMPIRAN
Judul
Halaman
Lampiran 1
Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling RT
91
Lampiran 2
Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling PSU
94
Lampiran 3
Perintah membuat model AIDS dalam program SAS
97
Lampiran 4
Karakteristik Data SUSENAS 2005
99
Lampiran 5
Luas Panen dan Produksi Buah di Indonesia menurut Propinsi Tahun 1999 dan 2005
103
Lampiran 6
Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buahbuahan Indonesia Tahun 2000- 2005
104
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa kurun waktu terakhir setelah krisis ekonomi, kondisi sosial dan perekonomian di Indonesia mulai mengalami perbaikan. Dari aspek ekonomi, terdapat beberapa indikator yang dapat dijadikan tolak ukur seperti meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia, menurunnya laju inflasi, serta adanya peningkatan pendapatan riil per kapita penduduk Indonesia. Berdasarkan laporan tahunan Bank Indonesia tahun 2006, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa kurun waktu terakhir terus mengalami perbaikan. Trend pertumbuhan ekonomi per tahun di Indonesia, sebelum dan setelah krisis moneter disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia (persen per tahun)1
Secara keseluruhan, kinerja perekonomian Indonesia di triwulan akhir tahun 2006 tumbuh sebesar 6,1 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2005 (5,6 %) dan tahun 2004 (5,1 %). Indikator lainnya yang lebih tepat digunakan untuk menggambarkan peningkatan 1
www.bi.go.id
1
kesejahteraan masyarakat ialah PDB riil per kapita. Pada tahun 2003, PDB riil per kapita per tahun masyarakat Indonesia sebesar Rp. 7,39 juta. Jumlah ini meningkat menjadi Rp. 7,67 juta pada tahun 2004 dan
meningkat menjadi
Rp. 7,99 juta pada tahun 2005. Dari aspek sosial, beberapa indikator yang dijadikan tolak ukur antara lain menurunnya Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, dan jumlah balita kurang gizi di Indonesia. Di samp ing itu, Usia Harapan Hidup penduduk Indonesia pun terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan2 , Usia Harapan Hidup penduduk Indonesia pada tahun 2004 ialah 66,2 tahun, lalu meningkat menjadi 69,4 tahun pada tahun 2006 dan diprediksikan akan terus mengalami peningkatan di tahun-tahun ke depan. Selain itu, jumlah balita kurang gizi di Indonesia pada tahun 2004 ialah sebesar 35 persen, menurun menjadi 32 persen pada tahun 2005, dan mencapai 30,8 persen di tahun 2006. Perkembangan beberapa indikator dari aspek sosial ini dapat dilihat di Gambar 2. 350
Angka Kematian Bayi (per 1.000 lahir)
307
300
262
253
250
244
235
226
200
Angka Kematian Ibu (per 100.000 lahir) Gizi Kurang Balita (%)
150 100 50 0
66.2
67.8
35
32
25.8 2004
24.7 2005
69.4 30.8
23.6 2006
69.8
70.2
29.2 22.5 2007
27.6 21.4 2008
70.6
26
Usia Harapan Hidup (tahun)
20 2009
Tahun
Gambar 2. Pencapaian Status Kesehatan di Indonesia
2
Departemen Kesehatan dalam Kompas, 5 Mei 2007.
2
Salah satu implikasi dari adanya peningkatan pendapatan per kapita masyarakat adalah adanya perubahan pola konsumsi masyarakat secara umum, termasuk pola konsumsi pangan. Menurut Suhardjo dalam Sawit (1997), perbaikan kondisi ekonomi masyarakat akan mengubah pola konsumsi masyarakat, baik dari segi jumlah maupun jenis. Hal ini ditandai dengan berkurangnya pangan yang mengandung banyak energi dan meningkatnya pangan yang kaya protein, vitamin, dan mineral. Perubahan pola konsumsi itu juga telah terbukti di beberapa negara seperti Jepang, Cina, dan Taiwan. Perubahan pola konsumsi (dietary pattern) tersebut tentunya berpengaruh terhadap pola konsumsi hortikultura, khususnya buah-buahan. Buah merupakan salah satu sumber vitamin dan mineral yang mudah diperoleh masyarakat di berbagai wilayah, baik pedesaan maupun perkotaan. Selain itu buah memiliki tingkat harga, jenis, dan kualitas yang relatif bervariasi, sehingga masyarakat dari berbagai kelas pendapatan mampu mengkonsumsi buah sesuai dengan daya belinya. Buah juga relatif tersedia sepanjang tahun meskipun beberapa buah bersifat musiman, namun tidak sedikit buah yang tidak tergantung musim. Terlebih dengan semakin banyaknya buah impor yang masuk di Indonesia, maka ketersediaan buah relatif stabil sepanjang tahun. Berdasarkan data SUSENAS panel tahun 1999-2006 yang disajikan dalam Tabel 1, dapat dilihat bahwa pada periode 1999-2006 jumlah kalori total yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia masih kurang dari standar angka kebutuhan gizi yang dianjurkan, yaitu sebesar 2100-2200 kkal per hari (Muhilal 1998 dalam Baliwati 2004). Dalam Tabel 1 dapat diketahui pula bahwa sumber kalori masyarakat yang berasal dari padi-padian (pangan kaya energi) terus
3
menurun, sedangkan sumber kalori yang berasal dari ikan, telur, dan susu (pangan kaya protein) jumlah absolutnya cenderung meningkat, meskipun jika dilihat dari persentasenya terhadap konsumsi kalori total,cenderung konstan. Di sisi lain, untuk komoditi hortikultura (pangan kaya vitamin dan mineral) perkembangan konsumsinya cenderung konstan. Kondisi ini menunjukkan bahwa perbaikan indikator makroekonomi, terutama PDB riil per kapita belum dapat menggeser pola konsumsi masyarakat menjadi lebih baik (konsumsi pangan kaya protein, vitamin, dan mineral khususnya yang bersumber dari buah-buahan menjadi lebih tinggi)/ Tabel 1 . Konsumsi Energi per kapita per tahun di Indonesia Menurut Komoditi Tahun 1999, 2002-2006 (kkal/ hari) Sumber Kalori
1999
2002
2003
2004
2005
2006
1066,5 (57,67)
1039,9 (52,33)
1035,1 (52,01)
1024,1 (51,56)
1009,1 (50,26)
992,93 (51,53)
Hortikultura
62 (3,51)
78,2 (3,93)
83,7 (4,20)
80,41 (4,05)
78,6 (3,91)
77,2 (4,00)
Ikan
36,04 (1,95)
42,53 (2,14)
46,91 (2,36)
45,05 (2,27)
47,59 (2,37)
44,56 (2,31)
Daging
20,07 (1,08)
35,01 (1,76)
41,71 (2,10)
39,73 (2,00)
41,45 (2,06)
31,27 (1,62)
Telur & Susu
24,39 (1,32)
39,63 (1,99)
37,83 (1,9)
40,47 (2,04)
47,17 (2,35)
43,35 (2,25)
Minuman
103,35 (5,59)
120,00 (6,04)
115,54 (5,81)
114,75 (5,78)
110,73 (5,52)
110,69 (5,74)
Makanan Jadi
170,78 (9,23)
198,09 (9,97)
212,31 (10,67)
219,09 (11,03)
233,08 (11,61)
216,83 (11,25)
Total
1849,36
1987,13
1989,89
1986,06
2007,65
1926,74
Padi -padian
Sumber : Modul konsumsi, SUSENAS panel 1999,2002-2006 Ket : * proporsinya terhadap konsumsi energi total (dalam persen)
4
Selain faktor pendapatan, konsumsi buah-buahan juga sangat dipengaruhi oleh gaya hidup konsumennya. Menurut Huang dan Bouis (1996) dalam Sawit (2007) masyarakat perkotaan (urban) memiliki pola konsumsi yang berbeda dengan masyarakat pedesaan (rural). Gaya hidup orang kota (urban life style) bersedia membayar lebih mahal pangan yang tidak memerlukan banyak waktu untuk dimasak, karena tingginya opportunity cost waktu. Lalu masyarakat kota cenderung lebih banyak pekerjaan yang mengutamakan kerja otak daripada masyarakat di pedesaan. Seseorang yang terlibat dengan pekerjaan seperti itu membutuhkan energi (kalori) yang relatif lebih sedikit dalam mempertahankan berat badan. Selain itu masyarakat kota juga tidak menanam sendiri pangannya, sehingga pilihan konsumsi tidak dibatasi oleh biaya produksi. Yang lebih utama, masyarakat perkotaan lebih banyak dipengaruhi oleh pola pangan asing dan pilihan komoditi pangan, termasuk buah-buahan yang ada di perkotaan relatif lebih banyak daripada di pedesaan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa peran komoditi hortikultura, khususnya buah-buahan menjadi semakin penting dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia, konsumsi buah-buahan yang dianjurkan adalah 60 kg/kapita/tahun. Menurut data SUSENAS pada tahun 2005 konsumsi buah-buahan di Indonesia masih kurang dari 32 kg/kapita/tahun. Berdasarkan fakta tersebut, di tahun-tahun mendatang permintaan buah di Indonesia diharapkan masih akan terus meningkat. Pulau Jawa merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang tingkat konsumsi buah-buahannya relatif tinggi dibanding dengan daerah lainnya. Hal ini
5
tentunya juga disebabkan karena jumlah penduduk di Pulau Jawa yang besar. Tidak kurang dari 70 persen penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Selain itu, penduduk di Pulau Jawa relatif heterogen, baik dari segi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, gaya hidup, maupun variasi wilayah (pedesaan dan perkotaan). Penelitian ini menganalisis pola konsumsi dan permintaan di Pulau Jawa, sehingga diharapkan akan cukup menjadi cerminan bagaimana pola konsumsi dan permintaan di Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah Perbaikan indikator makroekonomi di Indonesia yang antara lain dicerminkan oleh peningkatan pendapatan riil per kapita dan pertumbuhan ekonomi, serta penurunan laju inflasi, di sisi lainnya belum diimbangi dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi riil di masyarakat. Berdasarkan data BPS yang disajikan dalam Tabel 2 terlihat bahwa jumlah pengangguran terbuka di Indonesia secara kontinyu terus mengalami peningkatan. Tahun 2000 jumlah pengangguran terbuka di Indonesia sebesar 5,8 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat 87,9 persen pada tahun 2005 menjadi 10,9 juta jiwa. Selain itu dari total pekerja di Indonesia, jumlah yang bekerja pada sektor informal pun masih mendominasi. Selama periode 2000 hingga 2005 jumlah pekerja pada sektor informal ini, meskipun jumlahnya fluktuatif namun kecenderungannya terus mengalami peningkatan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia, pada periode 2000-2005 jika dilihat dari angka absolutnya mulai mengalami penurunan, namun jika dilihat dari persentasenya terhadap jumlah penduduk total masih relatif tetap, yaitu berkisar antara 16-18 persen, bahkan di tahun 2006 kembali meningkat.
6
Tabel 2. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka, Penduduk Miskin, dan Pekerja di Sektor Forma l-Informal di Indonesia Tahun 2000-2005 (dalam juta jiwa) Jumlah Penduduk Miskin 38.7
Sektor Formal
Sektor Informal
2000
Jumlah Pengangguran Terbuka 5.8
31.5
58.3
2001
8.0
37.9
35.0
55.8
2002
9.1
38.4
33.6
57.9
2003
9.5
37.3
32.7
60.0
2004
10.3
36.1
34.5
59.2
2005
10.9
35.1
34.3
60.6
2006
10.93
39.25
-
-
Tahun
Jumlah Pekerja
Sumber : BPS 2006
Kondisi di atas menunjukkan adanya ambiguitas, dimana ketika indikator makroekonomi mengalami perbaikan, namun tidak demikian halnya pada sektor riil di masyarakat. Hal ini salah satunya tercermin pada tingkat konsumsi rumah tangga di Indonesia, yang di triwulan pertama tahun 2007 justru turun sebesar 0,5 persen di saat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,97 persen. 3 Indikator mikroekonomi yang juga menunjukkan adanya ambiguitas ini ialah tingkat konsumsi buah rumah tangga. Berdasarkan data SUSENAS pada Tabel 3 terlihat bahwa selama kurun waktu 15 tahun terakhir tingkat konsumsi buah di Indonesia cenderung stagnan. Hal ini dapat diartikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia secara umum belum mengalami peningkatan yang signifikan. Di satu sisi pendapatan riil per kapita meningkat, sedangkan kesejahteraan masyarakat menurun akibat daya belinya yang stagnan. Ini merupakan indikasi belum adanya perbaikan
distribusi
pendapatan
masyarakat.
Hal
tersebut
mendorong
dilakukannya kajian lebih lanjut mengenai faktor- faktor apa saja yang perlu
3
Badan Pusat Statistik dalam Kompas edisi Rabu, 16 Mei 2007. Pertumbuhan Belum Mendasar. Hambatan Pengembangan Sektor Riil Belum Tertangani
7
diperhatikan untuk meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia, mengingat tingkat konsumsi buah di Indonesia (32 kg/kapita/tahun di tahun 2005) masih jauh dari standar yang dianjurkan oleh FAO sebesar 60 kg/kapita/tahun. Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Buah Pada Tingkat Rumah Tangga di Indonesia (dalam kg/kapita/tahun) Tahun 1990-2005 KET
Konsumsi per kapita (kg/tahun)
Tahun Tingkat Konsumsi
1990
1993
1996
1999
2002
2005
29.94
26
24.67
18.7
29.38
31.57
Sumber : Ditjen Tanaman Hortikultura, Departemen Pertanian tahun 2005
Konsumsi buah selain dipengaruhi oleh pendapatan dan harga, juga dipengaruhi oleh selera, nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat, dan gaya hidup konsumennya. Konsumen dengan tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan berbeda tentunya memiliki gaya hidup yang berbeda. Begitu juga konsumen di wilayah yang berbeda akan memiliki gaya hidupnya masing- masing. Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap konsumsi buah ialah produksi dan ketersediaannya di pasar, mengingat banyak jenis buah yang bersifat musiman. Dalam mempelajari pola konsumsi buah, salah satu aspek yang dapat dikaji adalah jumlah atau tingkat permintaan dari buah itu sendiri. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa konsumsi buah sangat dipengaruhi oleh gaya hidup konsumennya, maka tentunya perubahan beberapa variabel seperti pendapatan dan harga, akan direspon dengan cara yang berbeda oleh masingmasing konsumen dengan karakteristik yang berbeda. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang sistematis dengan model yang baik untuk menelaah perilaku konsumen buah. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Deaton, 1981, Daud, 1986, Rachmat dan Erwidodo,1993, Ariani, 1993, Saliem dan Erwidodo,
8
1994, Rahmi, 2001,dan Saliem 2002) umumnya menganalisa pola konsumsi dan permintaan buah-buahan secara agregat saja, padahal tentunya terdapat perbedaan tingkat konsumsi serta musim panen antar satu komoditi dengan komoditi lainnya. Terdapat pula penelitian yang menganalisis pola konsumsi dan permintaan buahbuah yang dirinci per komoditi (Hartoyo (1997) dan Sawit, dkk (1997)) namun belum belum membahas bagaimana pengaruh variabel demografi terhadap permintaan buah. Variabel demografi seperti jumlah anggota rumah tangga, usia, jenis kelamin, maupun tingkat pendidikan diduga memiliki pengaruh terhadap pola konsumsi buah pada rumah tangga di Indonesia. Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini ialah : 1) Bagaimana pola konsumsi buah di daerah pedesaan dan perkotaan Pulau Jawa menurut golongan pendapatan ? 2) Bagaimana model permintaan lengkap buah dalam bentuk penerapan suatu model Almost Ideal Demand System (AIDS) di Pulau Jawa ? 3) Bagaimana pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap perubahan permintaan buah menurut kelompok rumah tangga di Pulau Jawa?
1.3 Tujuan Tujuan dalam penelitian ini ialah : 1) Mengidentifikasi pola konsumsi buah di daerah pedesaan dan perkotaan Pulau Jawa menurut golongan pendapatan. 2) Menganalisa model permintaan lengkap buah dalam bentuk penerapan suatu model Almost Ideal Demand System (AIDS) di Pulau Jawa.
9
3) Menganalisa pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap perubahan permintaan buah menurut kelompok rumah tangga di Pulau Jawa
1.4 Kegunaan Penelitian 1) Penelitian ini menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang parameterparameter permintaan komoditi buah, pola konsumsi buah di Indonesia dan Pulau Jawa secara khusus, serta informasi bagaimana pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap permintaan rumah tangga terhadap buah. Selain itu juga sebagai perbandingan dan masukan bagi penelitian-penelitian berikutnya. 2) Penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam menganalisa suatu permasalahan, serta menerapkan ilmu- ilmu yang telah dipelajari semasa kuliah ke dalam situasi riil.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) Model Permintaan Almost Ideal Demand System (AIDS) ini pertama kali diperkenalkan oleh Deaton dan Muellbauer pada tahun 1980. Berbeda dengan model permintaan lainnya, model ini dapat menjawab tuntutan preferensi konsumen, dan bentuk fungsinya lebih fleksibel. Hal tersebut disebabkan restriksirestriksi dari model ini seperti additivitas, homogenitas, dan simetri dapat diuji secara statistik (Deaton dan Muellbauer, 1980). Selain itu, model permintaan ini juga mempertimbangkan keputusan konsumen dalam menentukan seperangkat komoditi secara bersama-sama. Hal tersebut tidak ditemukan dalam model permintaan lainnya, sehingga hubungan silang dua arah antara dua komoditi dapat ditentukan. Hal itu sesuai dengan fakta yang ada bahwa pemilihan suatu komoditi dilakukan oleh konsumen secara bersama-sama. Menurut Deaton dan Muellbauer (1980) beberapa karakteristik penting dari model permintaan AIDS ini ialah (1) model ini merupakan pendekatan orde pertama terhadap sembarang fungsi sistem permintaan, (2) dapat memenuhi aksioma perilaku pemilihan komoditi dengan tepat, (3) dapat digunakan untuk menguji restriksi homogenitas dan simetrik (4) bentuk fungsinya konsisten dengan pengeluaran rumah tangga, (5) dapat mengagregasi perilaku rumah tangga tanpa menerapkan kurva Engel yang linier, dan yang terpenting parameternya mudah diduga tanpa harus menggunakan metode non linier.
11
2.2 Penelitian yang Menggunakan Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
Penelitian mengenai permintaan pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan menggunakan Model AIDS ya ng dilakukan oleh Saliem (2002) mencoba untuk menganalisis permintaan pangan dan konsumsi zat gizi rumahtangga di daerah pedesaan dan perkotaan wilayah KTI menurut golongan pendapatan dan dikaitkan dengan upaya pemenuhan konsumsi zat gizi rumahtangga. Dalam penelitian tersebut digunakan data SUSENAS tahun 1996, dimana rumahtangga yang dipilih menjadi sampelnya ialah rumahtangga yang konsumsi energinya berada pada selang 1000 – 4500 kkal/kapita/hari. Dalam studi tersebut juga dilakukan pengelompokkan (agregasi) komoditi pangan menjadi 15 kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras dominan dalam struktur anggaran serta kontribusi energi dan protein rumahtangga di KTI. Konsumsi pangan sumber karbohidrat di daerah pedesaan KTI lebih tinggi daripada di kota, namun untuk pangan sumber protein terjadi sebaliknya. Dari hasil analisis juga diketahui bahwa makin tinggi tingkat pendapatan maka makin tinggi pula tingkat konsumsi pangannya. Selain itu, permintaan pangan rumahtangga di pedesaan KTI lebih responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan dibanding rumahtangga di kota. Peubah jumlah anggota rumahtangga dan pendidikan kepala rumahtangga
terbukti
berpengaruh
nyata
terhadap
permintaan
pangan
rumahtangga di KTI. Rachmat dan Erwidodo (1993) juga menggunakan model AIDS dalam penelitiannya untuk menganalisis elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang,
12
dan elastisitas pengeluaran dari komoditi pangan utama. Komoditi yang dianalisis meliputi beras, jagung, kacang tanah, gula, dan komoditi kacang-kacangan lainnya. Di samping pendugaan secara agregat (nasional), dilakukan pula pendugaan menurut daerah (desa-kota) serta pendugaan menurut kelompok pendapatan. Dalam penelitian tersebut diperbandingkan pemakaian unit analisa rumah tangga dan blok sensus. Data yang digunakan ialah data SUSENAS tahun 1990 berupa data konsumsi dan pengeluaran rumahtangga. Dari hasil dugaan dapat disimpulkan bahwa permintaan terhadap beras paling elastis, menyusul jagung, gula, kedelai, dan komoditi lainnya. Di wilayah pedesaan, permintaan komoditi beras, jagung, kedelai, dan pangan lain lebih elastis dibanding di perkotaan, sedangkan pada komoditi gula berlaku sebaliknya. Pada seluruh komoditi yang dianalisa, elastisitas pengeluaran cukup elastis yang berarti
dengan
semakin
meningkatnya
pendapatan
rumahtangga
akan
meningkatkan permintaan komoditi tersebut. Selain itu diketahui pula adanya kecenderungan sifat komplemen antar komoditi pangan yang dianalisa, dimana sifat komplemen relatif kuat terjadi antara beras dengan kedelai, gula dan komoditi lainnya. Beberapa hasil penelitian lainnya yang menggunakan model AIDS dalam analisanya disajikan dalam Tabel 4.
2.3 Penelitian Mengenai Pola Konsumsi dan Permintaan Buah Penelitian mengenai perubahan pola konsumsi komoditas hortikultura yang dilakukan oleh Sawit dkk (1997) bertujuan menganalisis perubahan tingkat partisipasi dan tingkat konsumsi komoditas hortikultura, menganalisis faktorfaktor sosial ekonomi terhadap pola konsumsi komoditas hortikultura, dan
13
menduga besaran parameter-parameter permintaan komoditas hortikultura. Data yang digunakan terutama adalah data SUSENAS tahun 1987, 1990, dan 1993. Analisis
dilakukan
secara
deskriptif
kualitatif
dan
kuantitatif
(dengan
menggunakan model AIDS). Pada penelitian ini dianalisis 9 jenis sayuran dan 10 jenis buah-buahan yang dipilih berdasarkan nilai ekonominya. Unit sampling yang digunakan adalah Primary Sampling Unit (PSU). Hasil analisis menunjukkan pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan berdasarkan data SUSENAS tahun 1987, 1990, dan 1993 relatif kecil, yaitu kurang dari 5 persen, dibandingkan dengan beras dan serelia. Secara agregat terjadi peningkatan pangsa pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan di kota dan di desa tahun 1987 yaitu 1,6 persen menjadi 4 persen pada tahun 1990 dan 1993. Diketahui pula bahwa tingkat partisipasi konsumsi buah di kota relatif lebih besar dibandingkan di pedesaan dan terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi pendapatan (yang diproyeksi dengan pengeluaran) semakin tinggi pula tingkat partisipasi kons umsi buah-buahan. Nilai elastisitas harga sendiri untuk semua komoditi hortikultura bertanda negatif, namun bervariasi untuk setiap komoditi sayuran atau buah-buahan baik antar tahun, jenis, maupun wilayah. Nilai elastisitas pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan (kecuali pepaya di pedesaan) bertanda positif. Hartoyo (1997) juga melakukan penelitian mengenai permintaan buahbuahan di Jawa Barat dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1996. Dalam melakukan analisisnya Hartoyo (1997) menggunakan model AIDS dan untuk pendugaan parameternya digunakan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression) dengan memasukkan pembatas-pembatas aditif, homogen, dan
14
simetri. Jenis buah-buahan yang dianalisis adalh jeruk, mangga, apel, rambutan, salak, pisang, dan pepaya. Dalam pendugaan parameter, rumahtangga responden dikelompokkan berdasarkan tingkat pengeluaran rumahtangga dan berdasarkan jumlah anggota rumahtangga, yang kemudian dihitung rata-rata konsumsi dan pengeluaran untuk masing- masing kelompok. Hasil penelitian Hartoyo (1997) menunjukkan bahwa elastisitas harga sendiri dari tujuh buah yang dianalisis semuanya memiliki nilai yang inelastis, yaitu berkisar antara -0,051 hingga -0,809, yang berarti bahwa permintaan buahbuahan tersebut tidak responsif terhadap perubahan harga. Elastisitas harga silang ada yang bertanda positif dan ada pula yang bertanda negatif, yang berarti terdapat buah-buahan yang bersifat subtitusi atau komplementer satu sama lain.Seluruh nilai elastisitas silang tersebut krang dari satu (inelastis) yang berarti perubahan harga buah yang satu tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan jumlah permintaan
buah
lainnya.
Buah-buahan
yang
elastisitas
pendapatannya
mempunyai nilai yang elastis adalah jeruk dan apel, sedangkan buah-buahan yang lain mempunyai nilai yang inelastis tetapi mendekati satu. Ini berarti bahwa perubahan tingkat pendapatan sangat berpengaruh terhadap perubahan jumlah buah-buahan yang diminta.
2.4 Komentar terhadap Penelitian Terdahulu Penelitian konsumsi atau permintaan komoditi pangan yang selama ini telah dilakukan mayoritas mengkaji komoditi bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, kedelai, dan sebagainya. Penelitian-penelitian yang mengkaji permintaan produk hortikultura masih sedikit dilakukan. Jika ada pun penelitian tersebut
15
dilakukan secara agregat yaitu tanpa merinci jenis komoditi hortikultura, padahal tentunya terdapat perbedaan tingkat konsumsi serta musim panen antara satu komoditi dengan komoditi lainnya. Dari berbagai studi pustaka yang dilakukan (Deaton (1981), Daud (1986), Ariani (1993), Saliem dan Erwidodo, (1994), Hartoyo (1997), Sawit, dkk (1997), Rahmi (2001), dan Saliem (2002)), terlihat bahwa cakupan kajian konsumsi dan permintaan diarahkan kepada kelompok komoditi pangan (termasuk di dalamnya komoditi hortikultura, sayur dan buah) secara agregat. Namun ada pula beberapa penelitian yang telah merinci komoditi hortikultura, seperti penelitian Hartoyo (1997) dan Sawit, dkk (1997). Berbagai penelitian tersebut telah dilakukan dengan membagi analisis berdasarkan wilayah pedesaan dan perkotaan maupun di berbagai kelas pendapatan. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut menggunakan data SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) sebelum tahun 2000 . Karena itu, dalam penelitian ini dicoba untuk menganalisis permintaan buah-buahan yang juga dirinci per komoditi, kelas pendapatan, dan wilayah desa-kotanya untuk Pulau Jawa dengan menggunakan data SUSENAS tahun 2005 dan memasukkan faktor- faktor sosiodemografi dalam merumuskan model permintaannya. Dalam penelitian ini juga akan diperbandingkan penggunaan unit sampling Rumah Tangga (RT) dan Primary Sampling Unit (PSU) yang akan dijelaskan secara lebih mendalam dalam bab metode penelitian.
16
Tabel 4 : Elastisitas Harga sendiri (Ed) & Elastisitas Pendapatan (Ei) untuk Komoditi buah-buahan dari Berbagai Penelitian (yang Menggunakan Model AIDS)
Peneliti
Tujuan Penelitian
Jenis/Sumber Data
Wilayah studi
Unit Analisis
Hasil
Lekir Amir Daud (1986)
Analisis Permintaan makanan penting di Indonesia
Susenas 1981
Jawa, desa-kota
Rumah tangga
Untuk kelompok komoditi sayuran/kacang/buah : - Ed : -0,83 (Jawa) dan -0,67 (non Jawa). - Ei : 1,07 (Jawa) dan 1,08 (non Jawa)
Mewa Ariani (1993)
Analisis permintaan pangan di 3 provinsi di Indonesia : Sumbar, Jatim, dan Sulsel.
Susenas 1990
Sumbar, Jatim, dan Sulsel
Rumah tangga
Untuk kelompok sayur dan buah : - Ed : Sumbar (-0,67), Jatim (-1,01) dan Sulsel (-0,77) - Ei : Sumbar (1,15), Jatim (1,02), dan Sulsel (1,17).
Handewi P. Saliem dan Erwidodo (1994)
Analisis Permintaan Pangan di Indonesia.
Susenas 1990
Indonesia, desa-kota, kelas pendapatan
PSU
Untuk kelompok buah-buahan : - Ed : Desa (- 0,63), Kota (- 0,63) dan total (-0,64). - Ei : Desa (0,60), Kota (0,39) dan total (1,49).
Sri Hartoyo (1997)
Analisis permintaan buahan di Jawa Barat.
Susenas 1996
Jawa Barat
Rata-rata kelompok pengeluaran & jumlah anggota rumah tangga
- Ed : bernilai negatif untuk semua komoditi yang dianalisis, yaitu jeruk, mangga, apel, rambutan, salak, pisang, pepaya, dan lainnya. - Ei :Bernilai positif dengan : * nilai > 1 untuk jeruk, apel, dan lainnya. * nilai < 1 untuk mangga, rambutan, salak, pisang, dan pepaya.
Buah-
17
Peneliti
Tujuan pennelitian
Jenis/Sumber Data
Wilayah Studi
Unit Analisis
Hasil
Angus Deaton (1981)
Analisis Elastisitas Harga Komoditi Pangan di daerah Pedesaan jawa
Susenas 1981
Pedesaan Jawa
PSU
Untuk kelompok buah-buahan : Ed = -0.953
M. Husein Sawit, dkk (1997)
Analisis pola konsumsi hortikultura di Indonesia.
Susenas 1987 dan 1993
Indonesia, desa-kota
PSU
Untuk data susenas 1987 : - elastisitas harga sendiri : jeruk : -0,449 (kota), -0,594 (desa) pisang : -0,648 (kota), -0,569 (desa) pepaya : -1,09 (kota), -0,291 (desa) -elastisitas pengeluaran : jeruk : 0,419 (kota), 0,520 (desa) pisang : 0,264 (kota), 0,420 (desa) pepaya : 0,207 (kota), -0,594 (desa)
Dewi Rahmi (2001)
Analisis Permintaan Makanan & Dampak perbahan Harga terhadap kesejahteraan RT di Jawa Barat
Susenas 1996
Jawa Barat, desa-kota, kelas pendapatan
Rumah Tangga
Untuk grup komoditi buah-buahan : Ed : -0,588 (Jabar), -0,661 (desa), dan 0,524 (kota) Ei : 1,261 (Kota) dan 1,157 (desa) Income rendah (1,143), sedang (1,157), dan tinggi (1,229)
Handewi P. Saliem (2002)
Analisis Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia (KTI)
Susenas 1996
Kawasan Timur Indonesia, desa-kota, kelas pendapatan
Rumah Tangga
Untuk kelompok buah-buahan: - Ed : Desa (-0,809), Kota (-0,628) dan total (-0,724) - Ei : Desa (1,366), Kota (1,08), dan total (1,208).
18
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Perilaku Konsumen Teori permintaan pasar dijelaskan sebelumnya melalui teori permintaan individu, mengingat adanya konsep bahwa permintaan pasar merupakan penjumlahan dari permintaan individu. Teori permintaan individu sendiri umumnya diturunkan dari teori perilaku konsumen, oleh karena itu pembahasan mengenai teori perilaku konsumen ini menjadi penting. Perilaku konsumen umumnya diterangkan dengan pendekatan fungsi kepuasan (utility function). Dalam teori ekonomi, seringkali rumah tangga dianggap sebagai unit pengambil keputusan yang terkecil. Dalam mengambil keputusan tersebut, terdapat asumsi pokok bahwa rumah tangga akan me maksimumkan apa yang seringkali disebut kepuasan (utilitas) mereka, kesejahteraan mereka, atau kemakmuran mereka (Lipsey, 1993). Jika rumah tangga tersebut dihadapkan dengan pilihan antara dua kelompok alternatif konsumsi, maka asumsinya rumah tangga tersebut akan memilih kelompok yang disenanginya, atau dengan kata lain rumah tangga tersebut menentukan pilihannya (preferensinya) dalam rangka memaksimumkan kepuasannya (utilitasnya). Menurut Nicholson (2002), utilitas/kepuasan didefinisikan sebagai kepuasan yang diterima seseorang akibat aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Konsep utilitas ini sendiri sebenarnya memiliki makna yang luas karena tingkat kepuasan seseorang merupakan suatu hal yang bersifat subjektif dan nilainya tidak
19
dapat diukur secara pasti. Namun terdapat beberapa sifat mendasar mengenai preferensi individu ini, yaitu : 1. Complete Preferences (Preferensi yang lengkap). Dalam sifat dasar ini diasumsikan bahwa para individu mampu menyatakan apa yang diinginkannya dari antara dua pilihan. Jika terdapat dua kelompok konsumsi A dan B, maka diharapkan bahwa individu tersebut dapat secara tegas menyatakan kelompok satu akan lebih baik dari kelompok lainnya. 2. Transitivity of Preferences ( Preferensi bersifat transitif). Dalam sifat dasar ini dijelaskan bahwa jika A lebih diinginkan dari B, dan B lebih diinginkan dari C, maka A harus lebih diinginkan dari C. Jadi dalam hal ini diasumsikan bahwa individu akan bersikap konsisten dalam menentukan pilihannya. 3. ‘More is better than less’. Dalam sifat dasar ketiga ini diasumsikan bahwa individu akan lebih menyukai banyak barang daripada sedikit barang.
3.1.2 Pengertian Permintaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3.1.2.1 Dualitas Dalam Teori Permintaan Dalam teori produksi dikatakan bahwa produsen memiliki tujuan memaksimumkan outputnya (pada berbagai tingkat harga input) dengan memilih cara yang menghabiskan biaya seminimum mungkin. Minimisasi biaya dan maksimisasi output pada tingkat anggaran tertentu merupakan suatu alt ernatif dalam mencapai efisiensi dalam produksi. Konsep ini merupakan konsep efisiensi ditinjau dari sisi produsen, sedangkan dari sisi konsumen konsep tersebut dapat
20
juga dijelaskan dengan cara yang sama. Konsumen sesungguhnya menghadapi masalah maksimisasi kepuasan pada tingkat anggaran tertentu. Masalah ini dapat dirumuskan kembali sebagai masalah minimisasi biaya/pengeluaran (expenditure) untuk mencapai tingkat kepuasan (utility) tertentu. Kedua masalah ini sering disebut sebagai “dual problem”. Sistema tikanya ialah sebagai berikut: •
Masalah Orisinil (Original Problem) : Maksimisasi utilitas (u)= v(q) dengan kendala p.q = x
•
Dual Problem : Minimisasi pengeluaran (x) = p.q dengan kendala v(q) = u
Lebih jauh kedua permasalahan ini harus menghasilkan pilihan yang sama (pilihan kuantitas q optimal yang sama). Dengan kata lain, pengeluaran (x) di original problem, harus menjadi pengeluaran minimum di dual problem. Pada original problem, solusi untuk memperoleh nilai q optimal sudah diperoleh, seperti yang dijelaskan dalam sub bab sifat-sifat fungsi permintaan (3.2.2). Solusinya merupakan sistem permintaan Marshallian g(x,p). Sedangkan pada dual problem, variabel yang sudah ditetapkan adalah u dan p, sehingga dapat diperoleh solusi yang sama, namun sebagai fungsi dari u dan p. Fungsi permintaan yang meminimisasi pengeluaran ini ditulis h(u,p) dan dikenal sebagai fungsi permintaan Hicksician atau “compensated”. Persamaan ini menjelaskan bagaimana q dipengaruhi oleh harga (p) dan utilitas (U) yang nilainya konstan, karena itulah disebut “compensated”. Karena kedua persamaan tersebut sama, maka : Q = g(x,p) = h(u,p)
………………..(3.1)
Masing- masing solusi ini dapat disubtitusikan kembali ke masalah awalnya.
21
Pertama : masalah maksimisasi utilitas (u) : U
= v (q1, q2, …, qn) = v [g1(x,p), g2(x,p), …, gn(x,p)] = ? (x,p)
…………………(3.2)
persamaan (3.2) di atas merupakan utilitas maksimum yang dapat dicapai dengan harga (p) dan anggaran (x) tertentu. Fungsi ? (x,p) ini disebut fungsi kepuasan tidak langsung (indirect utility function), dan dapat pula ditulis ? (x,p) = max [v(q); p.q = x] q
Kedua : masalah minimisasi anggaran (x) X
= ? Pk .qk = ? Pk . Hk (u,p) = p1 h1 (u,p) + p2 h2 (u,p) + … + pn hn (u,p) = c (u,p)
……….………(3.3)
persamaan (3.3) di atas adalah biaya minimum dalam mencapai utilitas (u) tertentu pada tingkat harga P, dan dikenal sebagai fungsi biaya (cost function). Persamaan tersebut dapat ditulis sebagai berikut : c (u,p) = min [x = p.q; u = v(q)] q
Antara fungsi biaya dan fungsi kepuasan tidak langsung terdapat hubungan yang erat. Karena c(u,p) = x, maka kita dapat menuliskan u sebagai fungsi dari x dan p yaitu u = ? (x,p). Sistematika hal ini dapat dilihat dalam gambar 3.
22
Maksimisasi v(q) Tergantung pada p.q = x
dualitas
Minimisasi p.q Tergantung pada v(q) = u
solusi
solusi
Permintaan Marshallian Q = g (x,p)
Permintaan Hicksician Q = h (u,p)
subtitusi
subtitusi
Fungsi utilitas tak langsung ? (x,p)
inversi
Fungsi biaya C (u,p)
Gambar 3. Maksimisasi Utilitas dan Minimisasi Biaya.
3.1.2.2 Sifat-sifat Fungsi Permintaan Permintaan terhadap komoditi tertentu dipengaruhi oleh banyaknya faktor secara simultan. Secara sederhana, Deaton dan Muellbauer (1980) menjelaskan bahwa dalam membeli sejumlah komoditi i, seorang konsumen pasti akan dipengaruhi oleh harga komoditi tersebut (p) dan total pengeluaranya (x) (sebagai pendekatan dari pendapatan), dan jika dituliskan fungsinya menjadi : qi = gi (x,p)
……………………..….(3.4)
Dimana persamaan (3.4) di atas umumnya disebut sebagai “fungsi permintaan Marshallian”. Beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap permintaan antara lain harga- harga komoditi lain, selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, kesejahteraan konsumen, kebijaksanaan pemerintah, dan sebagainya. Dalam teori permintaan yang tradisional, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dititikberatkan pada empat hal, yaitu harga komoditi yang bersangkutan, harga komoditi lainnya, pendapatan konsumen, dan selera. (Kuntjoro, 1984)
23
Deaton dan Muellbauer (1980) telah meringkas beberapa sifat dari fungsi permintaan Hicksician dan Marshallian sebagai berikut : a). Adding Up Nilai total atau penjumlahan dari permintaan (baik fungsi permintaan Hicksician maupun fungsi permintaan Marshallian) merupakan total pengeluaran dari suatu rumah tangga dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Dari persamaan (x) di atas dapat diperoleh fungsi berikut : n
∑
Pi gi(x,p) = x
………………..(3.5)
i =1
dimana persamaan (3.5) di atas merupakan penjelasan bagi restriksi adding up. b). Homogenitas Fungsi permintaan Hicksician akan homogen berderajat nol terhadap harga, sedangkan untuk fungsi permintaan Marshallian akan homogen berderajat nol terhadap harga dan pengeluaran rumah tangga. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk fungsi permintaan Marshallian apabila terjadi perubahan harga dan pengeluaran secara proporsional, maka permintaan rumah tangga terhadap suatu barang atau jasa tidak akan berubah. c). Simetri Penurunan koefisien harga silang dari permintaan Hicksician adalah simetris. Simetris di sini menunjukkan bahwa koefisien harga silang yang dihasilkan adalah sama. Sifat ini merupakan jaminan dari cara untuk menguji aksioma yang menyatakan bahwa konsumen bersifat konsisten dalam menentukan preferensinya.
24
d). Negativitas Antara harga suatu komoditi dengan jumlah yang diminta akan terdapat hubungan yang negatif. Hal ini sesuai yang dinyatakan dalam hukum permintaan (the law of demand), sehingga apabila harga suatu barang meningkat dengan utilitas diasumsikan tetap, maka permintaan barang tersebut akan turun. Dari keempat sifat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat adding up dan homogenitas merupakan konsekuensi dari spesifikasi kendala anggaran linier. Lalu sifat simetri dan negativitas adalah konsekuensi dari sifat preferensi konsumen yang konsisten. Tanpa kedua sifat ini, berarti konsumen tidak konsisten terhadap pilihannya.
3.1.3 Konsep Elastisitas Permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang dipengaruhi oleh pendapatannya (I), harga barang tersebut (Px ), dan juga oleh harga barang-barang lain. Bagaimana kepekaan permintaan dipengaruhi oleh faktor- faktor tersebut, dijelaskan oleh suatu konsep elastisitas (elastisity). Menurut Nicholson (2002) elastisitas merupakan ukuran persentase perubahan suatu variabel yang disebabkan oleh satu persen perubahan variabel lainnya. Konsep elastisitas permintaan ini memiliki beberapa macam variasi, yaitu : 1. Elastisitas Harga dari Permintaan Salah satu aplikasi elastisitas yang paling penting ialah elastisitas harga dari permintaan (price elastisity of demand). Perubahan P (harga barang) akan menyebabkan perubahan Q (kuantitas yang dibeli/dikonsumsi), dan elastisitas harga dari permintaan mengukur hubungan ini. Secara khusus, elastisitas harga
25
dari permintaan (eQ,P ) didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas sebagai respon atas satu persen perubahan harga. Bentuk matematisnya ialah sebagai berikut : EQ,P =
PersentasePerubahanQ PersentasePerubahanP
……….(3.1.3.a)
Elastisitas ini menunjukkan bagaimana perubahan Q, dalam nilai persentase, merespon persentase perubahan P. Karena P dan Q bergerak ke arah yang berlawanan, maka eQ,P akan bernilai negatif4 . Elastisitas harga (eQ,P) ini dikatakan elastis jika nilai absolutnya lebih dari satu, dan dikatakan inelastis jika kurang dari satu. 2. Elastisitas Pendapatan dari Permintaan Tipe elastisitas lainnya adalah elastisitas pendapatan dari permintaan (income elastisity of demand) (eQ,I). Konsepnya, elastisitas jenis ini merupakan persentase perubahan kuantitas suatu barang yang diminta sebagai respon atas perubahan pendapatan sebesar satu persen. Secara matematis, elastisitas pendapatan dirumuskan sebagai berikut : EQ,I =
PersentasePerubahanQ PersentasePerubahanI
……….(3.1.3.b)
Konsep elastisitas pendapatan ini dapat digunakan untuk mengkategorikan suatu barang, apakah ia tergolong sebagai komoditi normal, inferior, atau barang mewah (luxury). Untuk suatu barang normal, eQ,I adalah positif karena kenaikan pendapatan mengakibatkan kenaikan pembelian barang. Di sisi lain, suatu barang termasuk kepada barang inferior jika nilai eQ,I adalah negatif. Hal ini berarti
4
Kadang-kadang, elastisitas harga dari permintaan didefinisikan sebagai nilai absolute dari hasil definisi persamaan 3.1.3.a. Dengan menggunakan definisi ini, elastisitas tidak akan pernah bernilai negatif.
26
peningkatan pendapatan justru menurunkan kuantitas barang yang dibeli. Barangbarang dengan elastisitas pendapatan eQ,I > 1 dapat dikategorikan sebagai barangbarang mewah (luxury). 3. Elastisitas Harga Silang dari Permintaan Salah satu faktor yang akan mempengaruhi kuantitas permintaan suatu jenis barang ialah perubahan harga barang-barang lainnya. Untuk mengukur efek perubahan tersebut, terdapat suatu konsep elastisitas harga silang dari permintaan (cross price elastisity of demand). Elastisitas ini didefinisikan sebagai persentase perubahan kuantitas suatu barang yang diminta (Q) sebagai respon atas satu persen perubahan harga barang lain (P’). Maka : EQ,P’ =
PersentasePerubahanQ PersentasePerubahanP'
……….(3.1.3.c)
Konsep elastisitas harga silang ini dapat digunakan untuk menggolongkan hubungan antara dua komoditi, apakah saling bersubtitusi atau saling melengkapi (komplementer). Dua barang akan saling bersubtitusi jika elastisitas harga silangnya bernilai positif, dimana harga satu barang dengan kuantitas permintaan barang lain bergerak dengan arah yang sama. Sebaliknya, dua barang akan saling melengkapi (komplementer) jika elastisitas harga silangnya bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa harga satu barang dan kuantitas barang lain akan bergerak pada arah yang berlawanan.
3.1.4 Model AIDS Deaton dan Muellbauer (1980) menurunkan model AIDS dari fungsi biaya sebagai berikut : Log c(u,p) = a o + ? k a k log Pk + 1 2 ? k ? j Ykj log Pk log Pj + ußo Pk ßk ..…(3.6)
27
Dengan menggunakan Lemma Shepard [C (u,p)/P t ] = Qt diperoleh : PiQi Pi C ∂ log c = . = M c(u , p ) Pi ∂ log Pi
……………..(3.7)
Wi = a i + ? Yij log Pj + ßi u ßo pk Pk ßk
……………..(3.8)
Wi =
Dimana : ½ (Y* ij + Y*ji) = Yij Dari hubungan dualitas pada permintaan dapat diperoleh fungsi utilitas tidak langsung, dan dengan memasukkan fungsi utilitas tidak langsung ke persamaan di atas diperoleh bentuk fungsi “share” (Wi ) sebagai berikut : Wi = a i + ? Yij log Pj + ßi log (
Dimana :
M ) P
……………..(3.9)
M adalah pendapatan yang dibagi oleh indeks harga P. P
Indeks P didefinisikan sebagai berikut : log P = a o + ? k a k log Pk + 0,5
∑ ∑
Y*kj log Pk log Pj
………(3.10)
j
k
Persamaan (4) menyajikan sistem fungsi permintaan yang konsisten jika memenuhi restriksi-restriksi berikut :
Aggregasi Engel/ Adding up :
∑ α i = 1; ∑ i
Kehomogenan
:
∑
Yij = 0
Yij = 0;
∑β i = 0
..(3.11)
i
……..…(3.12)
j
Simetri
: Yij = Yji
..............(3.13)
Selanjutnya bila indeks Stone log P* = ? k Wk log Pk diterapkan pada persamaan (4), akan didapat :
28
Wi (p,x) = a o +
∑
Yij log Pj + ßi log (
j
M ) P*
……......(3.1.4)
Fungsi ini dikenal sebagai aproksimasi linear dari AIDS
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Selama beberapa tahun terakhir pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, indikator makroekonomi di Indonesia yang antara lain dicerminkan oleh peningkatan pendapatan riil per kapita dan pertumbuhan ekonomi, serta penuruna n laju inflasi mulai mengalami perbaikan. Dari aspek sosial beberapa indikator yang ada seperti Usia Harapan Hidup, Angka Kematian Ibu dan Bayi, serta jumlah balita kurang gizi di Indonesia juga mulai mengalami perbaikan. Di sisi lain, kondisi sektor riil di Indonesia justru menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Jumlah pengangguran terbuka dan pekerja sektor informal terus meningkat. Jumlah penduduk miskin di Indonesia proporsinya pun tidak menunjukkan pengurangan yang signifikan. Salah satu indikator mikroekonomi yaitu tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia juga menunj ukkan tidak adanya peningkatan. Ini menunjukkan bahwa perbaikan indikator makroekonomi, khususnya peningkatan PDB riil per kapita belum dapat menggeser pola konsumsi masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik, yang salah satu indikasinya ialah peningkatan konsumsi hortikultura (pangan yang kaya vitamin dan mineral), khususnya buah-buahan menjadi lebih tinggi. Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini ialah membuat model permintaan lengkap buah di Pulau Jawa untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk dapat
29
meningkatkan konsumsi buah masyarakat Indonesia, mengingat tingkat konsumsi buah di Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan oleh FAO sebesar 60 kg/kapita/tahun. Dari model permintaan yang telah diperoleh tersebut, selanjutnya akan dianalisis mengenai pengaruh dari perubahan harga dan pendapatan terhadap permintaan buah. Selain itu dalam penelitian ini juga akan diidentifikasi mengenai pola konsumsi buah pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa yang diklasifikasikan berdasarkan wilayah (desa-kota) dan juga menurut kelas pendapatan. Dalam merumuskan model permintaan lengkap buah ini akan dimasukkan variabel demografi, yaitu jumlah anggota rumah tangga dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Hal ini karena kedua variabel demografi tersebut diduga akan berpengaruh signifikan terhadap permintaan buah. Jenis buah yang akan dianalisis ialah jeruk, pisang, dan pepaya. Hal ini didasarkan karena pada tahun 2005 ketiga jenis buah itulah yang tingkat frekuensi konsumsinya paling tinggi pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa. Penelitian-penelitian tentang permintaan buah yang sebelumnya telah dilakukan (Deaton, 1981, Daud, 1986, Rachmat dan Erwidodo, 1993, Ariani, 1993, Saliem dan Erwidodo, 1994, Rahmi, 2001, dan Saliem 2002) umumnya menganalisa pola konsumsi dan permintaan buah-buahan secara agregat saja. Jika ada yang menganalisis per komoditi (Hartoyo (1997) dan Sawit, dkk (1997)), maka belum dibahas bagaimana pengaruh variabel demografi terhadap permintaan buah. Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka untuk tujuan mengidentifikasi pola konsumsi akan digunakan metode analisis deskriptif
30
kualitatif, yaitu untuk melihat bagaimana perkembangan proporsi pengeluaran masyarakat untuk komoditi buah, perkembangan tingkat konsumsi buah di pedesaan dan perkotaan Pulau Jawa, di masing- masing kelas pendapatan, dan juga di tiap provinsinya. Untuk merumuskan model permintaan lengkap buah di Pulau Jawa dan pengaruhnya jika terjadi perubahan harga dan permintaan, maka akan digunakan Model Almost Ideal Demand System (AIDS) dengan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression). Secara skematis kerangka operasional pada penelitian ini, dapat dilihat pada Gambar 4.
31
Indikator makroekonomi Indonesia pasca krisis moneter 1998 menunjukkan adanya perbaikan. Pertumbuahan ekonomi & PDB riil per kapita meningkat Laju inflasi menurun hingga di bawah 10 persen pada tahun 2006
Sektor riil di masyarakat belum berkembang. Jumlah pengangguran terbuka bertambah pekerja di sektor informal meningkat
Implikasi teoritis dari adanya perbaikan ekonomi masyarakat ialah pergeseran pola konsumsi pangan.Konsumsi pangan padat energi menurun dan konsumsi pangan padat protein, vitamin, dan mineral meningkat.
Faktor eksternal : § produksi/ketersediaan buahbuahan di pasar § nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. § Harga
Kondisi riil pada masyarakat : Belum terjadi pergeseran pola konsumsi secara sempurna. Tingkat konsumsi buah dalam kurun waktu 15 tahun cenderung stagan.
Pola konsumsi dan tingkat permintaan buah-buahan di tingkat Rumah Tangga Pulau Jawa
Metode analisis deskriptif kualitatif
Faktor Internal : § Pendapatan § Selera § Gaya hidup -desa-kota -antar kelas pendapatan -antar tk.pendidikan § Variabel demografi -jumlah anggota rumah tangga -usia
Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
Perkembangan tingkat konsumsi, pengeluaran rumah tangga, dan proporsi dari pengeluaran rumah tangga untuk buah-buahan.
Metode SUR (Seemingly Unrelated Regression)
Parameterparameter yang mempengaruhi permintaan buah di P. Jawa
Pengaruh perubahan harga dan pendapatan terhadap permintaan buah di P. Jawa
Faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan dalam rangka meningkatkan tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran Operasional
32
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Wilayah Studi dan Waktu Penelitian Dalam penelitian ini wilayah studi yang diambil dalam menganalisis pola konsumsi dan permintaan buah pada tingkat rumah tangga ialah Pulau Jawa. Ini ata dasar pertimbangan bahwa penduduk di Pulau Jawa relatif heterogen, baik dari segi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, gaya hidup, maupun variasi wilayah (pedesaan dan perkotaan), sehingga diharapkan dapat menjadi cerminan bagaimana pola konsumsi dan permintaan buah di Indonesia. Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2006 – April 2007.
4.2 Data Penelitian 4.2.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder berupa data mentah SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional) 2005. Data tersebut merupakan data penampang lintang (cross section) yang dikumpulkan oleh BPS. Data yang digunakan adalah data konsumsi dan pengeluaran rumah tangga sampel untuk buah-buahan di wilayah Pulau Jawa. Buah yang dianalisis dalam penelitian ini ialah jeruk, pisang, dan pepaya. Pemilihan ketiga jenis komoditi tersebut didasarkan bahwa ketiga jenis buah tersebut memiliki tingkat konsumsi yang frekuensinya paling tinggi di Pulau Jawa. Karakteristik umum dari data tersebut dapat dilihat di Lampiran 32. Secara lebih detail, data yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam tabel x.
33
Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Penelitian
No.
Jenis Data
Sumber Data
1.
Data SUSENAS 2005 (Meliputi data konsumsi buah, pengeluaran rumah tangga, dan data-data demografi rumah tangga untuk wilayah Pulau Jawa)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi & Kebijakan Pertanian (PSE-KP), Dept. Pertanian.
2.
Data perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas buah-buahan di Indonesia.
Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura
3.
Data Perkembangan Konsumsi, Pengeluaran dan Ekspor buah-buahan di Indonesia.
Badan Pusat Statistik
4.2.2 Kerangka Sampel Data Susenas 2005 Kerangka sampel yang digunakan dalam SUSENAS 2005 terdiri dari tiga jenis, yaitu (1) kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus, (2) kerangka sampel untuk pemilihan sub blok sensus, dan (3) kerangka sampel untuk pemilihan rumah tangga dalam blok sensus/sub blok sensus terpilih. Kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus adalah daftar blok sensus biasa yang dilengkapi jumlah rumah tangga hasil pencacahan P4B 2003 (Pendaftaran pemilih dan Pendataan penduduk berkelanjutan). Kerangka sampel ini mencakup blok sensus biasa di 440 kabupaten/kota dan dibedakan menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Kerangka sampel untuk pemilihan sub blok sensus adalah daftar sub blok sensus yang terdapat dalam blok sensus terpilih, yang mempunyai jumlah rumah tangga lebih besar dari 150 rumah tangga. Sedangkan kerangka sampel untuk pemilihan rumah tangga adalah daftar rumah tangga hasil pendaftaran rumah tangga, dimana untuk setiap blok sensus yang terpilih diambil 16 rumah tangga secara sistematik
34
4.2.3 Teknik Penarikan Contoh Penelitian Dalam penelitian ini akan diperbandingkan penggunaan unit sampling Rumah Tangga (RT) dan blok sensus atau disebut juga Primary Sampling Unit (PSU). Satu PSU terdiri dari rumah tangga yang memiliki nomor kode sampel yang sama. Untuk wilaya h Jawa, satu PSU terdiri dari 16 rumah tangga. Pemakaian PSU sebagai unit sampling didasarkan kepada pertimbangan bahwa melalui pemakaian PSU diharapkan dapat mengatasi kelemahan kemungkinan tidak seluruh pengamatan terisi. Dalam pendugaan simultan mengharuskan semua contoh mengkonsumsi semua komoditi yang dianalisa sebagai akibat dari adanya asumsi bahwa antar komoditi memiliki keterkaitan. Selain itu, Rachmad dan Erwidodo (1993) juga menyimpulkan bahwa pendugaan model AIDS dengan menggunakan PSU/blok sensus untuk komoditi pangan utama (yang umumnya relatif banyak dikonsumsi oleh masyarakat) menghasilkan dugaan yang lebih sesuai dengan teori permintaan dibandingkan dengan pemakaian unit analisa rumah tangga. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ingin memperbandingkan kembali pemakaian unit sampling RT dan PSU, namun untuk komoditi buah-buahan (yang relatif sedikit dikonsumsi oleh masyarakat) Prosedur penarikan contoh dalam penelitian ini secara lebih rinci ialah sebagai berikut. Untuk analisa dengan unit sampling RT dari total 30.580 unit rumah tangga contoh untuk wilayah Pulau Jawa, dipilih rumah tangga yang mengkonsumsi ketiga jenis buah yang dianalisis (jeruk, pisang, dan pepaya). Dari hasil penyortiran tersebut diperoleh 1218 unit rumah tangga (3,98 %) yang selanjutnya akan digunakan dalam analisis. Untuk analisa dengan unit sampling PSU, Pertama sebanyak 30.580 unit rumah tangga contoh untuk wilayah Pulau
35
Jawa dari data SUSENAS 2005 dikelompokkan berdasarkan kode sampelnya. Dari hasil pengelompokkan ini diperoleh 1916 PSU (Primary Unit Sampling). Setiap satu PSU kurang lebih terdiri dari 16 rumah tangga. Selain itu dilakukan pula penarikan nilai rata-rata pada ‘konsumsi’ dan ‘pengeluaran’ untuk setiap rumah tangga yang berkode sampel sama tersebut (atau rumah tangga yang tergabung dalam satu PSU). Kedua, dilakukan penyortiran untuk PSU yang mengkonsumsi ketiga jenis komoditi yang dianalisis. Dari total 1916 PSU, diperoleh 1228 PSU (64,09 %) yang akan digunakan sebagai sampel dalam analisis selanjutnya.
4.2.4 Pengelompokan Data Wilayah Pulau Jawa yang mencakup 6 provinsi dalam analisis ini dibedakan menjadi : (1) Jawa Total, (2) Jawa Pedesaan, (3) Jawa Perkotaan, (4) Jawa menurut kelas pendapatan, dan (5) Jawa menurut tingkat pendidikan. Untuk pengklasifikasian sampel (baik RT maupun PSU) berdasarkan kelas pendapatan, maka digunakan kriteria Bank Dunia, yang mengelompokkan dalam tiga kelas pendapatan berdasarkan sebarannya. Setelah diranking, kelompok rumah tangga pendapatan rendah adalah 40 persen sampel pengeluaran terbawah, kelompok pendapatan tinggi adalah 20 persen pendapatan tertinggi dan sisa diantaranya (40 %) adalah kelompok pendapatan sedang. Dalam analisis, tingkat pendapatan diproksi dengan tingkat pengeluaran rumah tangga. Sedangkan untuk pengklasifikasian berdasarkan tingkat pendidikan dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu :
36
1. Tingkat pendidikan rendah : masa sekolah = 6 tahun (Tamat SD) 2. Tingkat pendidikan sedang : 6,1 = masa sekolah = 9 tahun (tamat SMP) 3. Tingkat pendidikan tinggi : 9,1 = masa sekolah.
4.3 Spesifikasi Model Analisis Dalam spesifikasi model dilakukan tiga tahap aktivitas, yaitu : pertama, penentuan peubah tak bebas dan peubah bebas (peubah penjelas), kedua penentuan suatu harapan yang bersifat a priori mengenai tanda dan ukuran dari parameter yang diduga, dan ketiga menentukan bentuk hubungan matematik dari model (Koutsoyianis, 1978). Lebih jauh dalam memilih model persamaan permintaan lengkap, Teklu dan Johnson (1986) dalam Daud (1986) menyatakan bahwa harus pula dipertimbangkan hal-hal berikut : 1. Model permintaan yang dipilih harus konsisten dengan teori permintaan konsumen. 2. Persamaan tersebut harus cukup fleksibel dalam parameternya, sederhana, dan mudah dalam pendugaan serta harus sesuai dengan kondisi data di Indonesia. 3. Struktur teori model permintaan dugaan harus mampu membangun hubungan yang konsisten antara sistem permintaan pasar dan sistem permintaan individu. Dalam penelitian ini digunakan dua asumsi. Pertama konsumen diasumsikan akan mengalokasikan pendapatannya untuk barang-barang konsumsi secara bertahap. Pada tahap pertama konsumen mengalokasikan pendapatannya untuk pengeluaran makanan (food) dan bukan makanan (non food), lalu tahap
37
kedua konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran untuk makanan ke dalam kelompok bahan-bahan makanan seperti padi, ikan, daging, sayur-sayuran, buahbuahan, dan sebagainya. Tahap ketiga, konsumen mengalokasikan porsi pengeluaran buah-buahan ke dalam pengeluaran sejumlah komoditi yang lebih spesifik, misalnya buah pisang, jeruk, pepaya, atau semangka. Kedua, diasumsikan terdapat keterpisahan lemah (weak separability) baik antara jenis buah, maupun antara kelompok komoditi buah-buahan dengan sayuran, ikan, daging, dan kelompok makanan lainnya. Sehingga implikasi dari adanya asumsi ini ialah konsumen dapat mengurutkan (to rank) preferensinya antara satu jenis buah dengan buah lainnya.
4.3.1 Model Almost Ideal Demand System (AIDS) Model matematika yang akan digunakan adalah aproksimasi linier dari model AIDS (LA/AIDS, Linier Approximation/Almost Ideal Demand System), yaitu sebagai berikut : Wi = a i +
∑ j
Yi j log pj + ßi log (
x ) + ? log S + d log Ed + e log Exp p*
Untuk i, j = 1,2,3 yang masing- masing menunjukkan kelompok jeruk, pisang, dan pepaya. Keterangan : Wi
=
share/proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadaptotal pengeluaran untuk buah-buahan, dimana i = 1,2,…, n.
a, ß, dan Y
=
parameter regresi, berturut-turut untuk intersep, pengeluaran dan harga agregat dari masing- masing komoditi.
38
?, d, dan e
=
parameter regresi berturut-turut untuk jumlah anggota rumah tangga,
tingkat
pendidikan
kepala
rumahtangga,
dan
pengeluaran total rumah tangga. pj
=
Harga agregat dari komoditi ke-j, dengan j = 1,2, …, n.
=
pengeluaran untuk buah-buahan dibagi dengan indeks stone.
S
=
jumlah anggota rumah tangga (orang)
Ed
=
tingkat pendidikan kepala rumah tangga (tahun)
Exp
=
pengeluaran total rumah tangga (Rp/bulan)
x p*
Untuk menjamin asumsi maksimisasi kepuasan agar terpenuhi, maka terdapat tiga restriksi yang harus dimasukkan ke dalam model, yaitu restriksi penjumlahan (adding up), restriksi homogenitas dan simetri. Berturut-turut ketiga restriksi tersebut ialah : Adding up :
∑
a i = 1,
i
Homogenitas :
∑
Yij = 0,
i
∑
∑
ßi = 0
i
Yij = 0
j
Simetri :
Yij = Yji
4.3.2 Perhitungan Nilai Elastisitas Besaran elastisitas permintaan untuk harga dan pengeluaran dihitung dari rumus yang diturunkan dari fungsi permintaan Rumus perhitungan elastisitas adalah sebagai berikut : a).
Elastisitas harga langsung = eii =
Yii -1 Wi
b).
Elastisitas harga silang =
ei j =
Yij (i ? j) Wi
c).
Elastisitas pengeluaran =
ni = 1 + βi Wi
39
4.3.3 Pembentukan Harga Agregat dan Indeks Stone Harga agregat dari masing- masing komoditi diperoleh sebagai rata-rata tertimbang dari masing- masing komoditi tersebut, yang diperoleh dari hasil pembagian antara total pengeluaran rumah tangga untuk komoditi i (dalam rupiah) dengan jumlah total jumlah komoditi i yang dikonsumsi.tersebut (dalam kg). Dimana dalam hal ini, rumah tangga yang diperhitungkan adalah rumah tangga yang mengkonsumsi komoditi i tersebut. Untuk memperoleh nilai Indeks Stone digunakan rumus sebagai berikut : Log p* = ? W k log pk Dimana :
p*
= indeks stone
Wk
= proporsi pengeluaran komoditi k terhadap total pengeluaran untuk buah-buahan
pk
= Harga agregat dari komoditi k.
4.4 Prosedur Pendugaan dan Pengujian Restriksi Pendugaan parameter sistem persamaan permintaan dari model AIDS dilakukan dengan metode SUR (Seemengly Unrelated Regression) dan perangkat lunak yang digunakan adalah SAS (Statistical Analysis System). Pengujian yang dilakukan untuk melihat berpengaruh atau tidaknya parameter-paremeter harga dan pendapatan maupun variabel-variabel demografi digunakan uji-t. Berdasarkan teori permintaan, seperti dijelaskan dalam sub bab kerangka pemikiran teori, fungsi permintaan mempunyai ciri atau syarat homogenitas dan simetri. Untuk kepentingan tersebut dilakukan pengujian terhadap model persamaan permintaan tanpa dan dengan restriksi homogen dan simetri. Kaidah
40
uji yang digunakan untuk menguji restriksi tersebut adalah uji-F (Koutsiyiannis, A. 1977) dengan penjabaran sebagai berikut : F = ? e2 2 - ? e2 1 (N-k) ? e2 1 dimana : ? e2 1
= sum square error dari persamaan yang tidak direstriksi
? e2 2
= sum square error dari persamaan yang direstriksi (homogen, simetri, dan adding up)
N
= jumlah sampel
K
= jumlah variabel bebas dan intersep
41
BAB V GAMBARAN UMUM
5.1 Perkembangan Luas Panen Perkembangan luas panen buah-buahan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini menunjukkan adanya peningkatan dengan tingkat yang berfluktuasi. Data yang terdapat dalam Statistik
Hortikultura Indonesia
menunjukkan bahwa dari tahun 1999 hingga 2005, luas areal panen buah-buahan di Indonesia terus mengalami peningkatan, seperti yang terlihat pada Tabel 6, dimana peningkatan luas panen tertinggi terjadi pada periode 2001-2002 yaitu sebesar 34,71 persen atau secara absolut terjadi pertambahan luas areal panen sebesar 167.648 hektar. Dalam kurun waktu tersebut sempat terjadi penurunan dari tahun 2003 seluas 721.964 ha menjadi 707.119 ha di tahun 2004, atau dengan kata lain terjadi penurunan luas areal panen sebesar 2,06 persen. Tabel 6. Perkembangan dan Peningkatan Luas panen dan Produksi Buah-buahan di Indonesia Tahun 1999-2005
Tahun
Jumlah Buah Luas Panen Produksi (ha) (ton)
Kenaikan/Penurunan Terhadap Tahun Sebelumnya Luas Panen Produksi Absolut % Absolut %
1999 361584 7540902 2000 406273 8412956 44689 2001 482942 9959032 76669 2002 650590 11663517 167648 2003 721964 13551435 71374 2004 707119 14348456 -14845 2005 717428 14786599 10309 Sumber : Statistik Hortikultura 2004 dan 2005.
12.36 18.87 34.71 10.97 -2.06 1.46
872054 1546076 1704485 1887918 797021 438143
11.56 18.38 17.11 16.19 5.88 3.05
Luas panen tersebut sebagian besar berasal dari Pulau Jawa. Pada tahun 1999, dari 0,36 juta ha luas panen buah, 50 persennya yaitu sekitar 0,18 ha berasal dari Pulau Jawa. Begitu juga pada tahun 2005, dari 0,72 ha luas panen, sekitar
42
0,37 hektarnya, atau lebih dari 50 persennya berada di Pulau Jawa. Dari tahun ke tahun, Jawa Timur merupakan provinsi yang memberikan kontribusi terbesar bagi luas panen di Pulau Jawa, diikuti dengan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat yang luas areal panennya relatif sama. Data mengenai luas panen buah di berbagai provinsi di Indonesia pada tahun 1999 dan 2005 dilampirkan dalam Lampiran 33. Tabel 7. Rata-rata Persentase Peningkatan per tahun Luas Panen dan Produksi Tanaman Buah-buahan di Indonesia Tahun 2000-2005 Rata-rata Persentase Peningkatan (%) Komoditas
Tahun 2000-2005 Luas Panen
Alpukat Belimbing Duku/Langsat/Kokosan Durian Jambu Biji Jambu Air Jeruk Siam/Keprok Jeruk Besar Mangga Manggis Nangka/Cempedak Nenas Pepaya Pisang Rambutan Salak Sawo Markisa Sirsak Sukun Melon Semangka Blewah Total Buah-buahan
8.67 2.46 8.81 22.79 -1.43 60.37 2.42 -13.28 63.09 15.57 7.17 10.74 -1.88 6.82 12.41 8.22 56.91 -8.72 8.53 19.72 10.42 14.87 7.61 12.79
Produksi 12.40 7.21 14.45 22.80 9.02 12.64 9.23 -5.96 11.72 29.67 14.71 19.03 6.57 6.98 21.52 19.57 9.88 4.43 14.28 16.04 21.17 26.42 18.87 12.12
Sumber : Statistik Hortikultura Tahun 2005
Berdasarkan data dari Ditjen Tanaman Hortikultura, buah-buahan yang luas panennya mengalami peningkatan terbesar pada periode 2000-2005 ialah mangga (63,09 %), sawo (56,91 %), dan durian (22,79 %). Namun ada pula beberapa komoditi yang luas panennya mengalami penurunan, yaitu jeruk besar
43
(-13.28 %), markisa (-8.72 %), dan pepaya (-1.88 %). Data rinci mengenai ratarata persentase peningkatan luas panen dan produksi berbagai jenis buah pada tahun 2000-2005 disajikan pada Tabel 7. Meningkatnya luas areal panen buah-buahan secara umum di Indonesia ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan komoditi buah-buahan. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari kegiatan penelitian untuk menghasilkan bibit buah-buahan yang unggul dan bermutu, pembinaan petani penangkar bibit, melakukan bimbingan dan penyuluhan kepada para petani dalam kegiatan budidaya, pengembangan sentra buah-buahan, sampai kepada mendorong pihak swasta untuk mengembangkan agribisnis buah-buahan melalui pola perusahaan pembimbing atau Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Selain itu, perkembangan luas areal panen buah-buahan juga dikontribusi oleh semakin berkembangnya agrowisata yang mengandalkan kebun buah sebagai pusat objek wisatanya.
5. 2 Perkembangan Produksi Buah-buahan Secara kultural petani Indonesia hampir tidak mengenal istilah perkebunan buah-buahan. Komoditi buah-buahan yang menjadi sumber vitamin dan mineral diusahakan petani secara tradisional sebagai tanaman pengisi pekarangan atau tanaman sela di lahan kering. Meskipun belum diusahakan secara komersial, tetapi di beberapa tempat petani sudah mengembangkan komoditi buah-buahan tertentu yang sesuai dengan agroklimat setempat. Dalam beberapa tahun terakhir muncul sentra-sentra produksi buah-buahan yang sekaligus menjadi buah-buahan primadona dan simbol daerah yang bersangkutan.
44
Meningkatnya luas panen buah-buahan selama periode 1999-2005 berkorelasi positif terhadap perkembangan produksi buah-buahan di Indonesia. Dari Tabel 6 terlihat bahwa total produksi buah terus meningkat, namun dengan tambahan produksi (marginal produksi) yang berfluktuasi, yaitu meningkat pada periode 1999-2003 dan menurun pada periode 2003-2005. Peningkatan tertinggi tercatat pada tahun 2001, yakni sekitar 18,38 persen dan terendah pada tahun 2005, yaitu hanya sekitar 3,05 persen Seperti halnya luas areal panen, dalam hal produksi Pulau Jawa juga memberikan kontribusi yang terbesar terhadap total produksi nasional. Pada tahun 2005, dari total produksi buah di Indonesia sebesar 14,7 ton, lebih dari 50 persennya berasal dari Pulau Jawa. Pangsa produksi buah-buahan tahun 2005 di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah berturut-turut sebesar18,26; 18,85; dan 10,98 persen terhadap produksi nasional. Khusus untuk di Pulau Jawa ini, produksi di Jawa Timur dominan untuk buah mangga, jeruk, dan apel. Sementara itu, Provinsi Jawa Barat lebih dominan untuk buah pisang, rambutan, nanas, alpukat, manggis, dan durian. Data terperinci mengenai produksi buah di berbagai provinsi di Indonesia tahun 1999 dan 2005 dapat dilihat pada Lampiran 33. Menurut jenis komoditinya, hampir semua jenis buah di Indonesia seperti yang terdapat dalam Tabel 5 mengalami peningkatan produksi pada periode 20002005. Jenis buah yang peningkatan produksinya paling tinggi ialah manggis, yaitu sebesar 29,67 persen, lalu diikuti dengan semangka (26,42 %) dan durian (22,8 %). Hanya ada satu jenis buah yang produksinya menurun selama periode tersebut, yaitu jeruk besar (-5,96 %).
45
5.3 Ekspor Buah Indonesia Perkembangan ekspor buah-buahan Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini, seperti yang terlihat dalam Tabel 8 menunjukkan angka yang terus meningkat jika ditinjau dari sisi volume ekspornya. Namun dari sisi nilai ekspornya, ekspor buah Indonesia cenderung berfluktuatif. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh nilai tukar rupiah yang juga cenderung berfluktuatif. Tabel 8. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah Indonesia tahun 2001-2005
Tahun
Volume (kg)
Nilai (US $)
2001
176.608.220
99.791.474
2002
197.539.346
137.051.903
2003
208.968.947
123.157.271
2005
272.296.672
150.062.557
Sumber : Badan Pusat Statistik 2005
Hingga saat ini, komoditi buah-buahan yang diekspor Indonesia dilakukan dalam bentuk buah-buahan segar maupun olahan. Buah-buahan yang banyak diekspor dalam bentuk buah segar antara lain manggis, pisang, pepaya, nanas, durian, jambu, jeruk, mangga, dan buah-buahan lainnya. Sedangkan untuk jenis buah olahan terdiri dari buah kalengan, buah kering, air buah/sari buah, sela i, dan jelly. Berdasarkan
data
BPS,
ekspor
buah-buahan
Indonesia
sebesar
176.608.220 kg dengan nilai US $ 99.791.474 pada tahun 2001 meningkat menjadi 272.296.672 kg dengan nilai US $ 150.062.557 pada tahun 2005. Selama periode tersebut ekspor buah Indonesia mengalami kenaikan sebesar 54,18 persen (volume) dan 50,38 persen (nilai). Data rinci mengenai perkembangan nilai maupun volume ekspor berbagai jenis buah tahun 2000-2005 disajikan dalam Lampiran 34..
46
Dari beberapa jenis buah yang diekspor, nanas merupakan komoditi yang paling besar volume maupun nilai ekspornya. Ekspor ini terutama untuk jenis nanas yang telah diolah (nanas kaleng). Volume ekspor nanas mencapai volume yang paling tinggi pada tahun 2003, yaitu sebesar 208,9 ton dengan nilai mencapai US $123,1 juta. Selain nanas, komoditi lainnya yang juga memiliki nilai maupun volume ekspor yang tinggi ialah manggis dan pisang. Volume ekspor kedua komoditi tersebut pada tahun 2005 berturut-turut ialah sebesar 8,5 ribu dan 3,6 ribu ton. Selama periode 2000-2005 tersebut, buah-buahan Indonesia diekspor ke berbagai negara, hingga mencapai lebih dari 50 negara. Menurut Winarno dalam Sawit
(1997)
meningkatnya
ekspor
buah-buahan
ini
disebabkan
oleh
bermunculannya pengusaha buah dalam skala kebun dengan luasan yang relatif besar.
47
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pola Konsumsi Buah Pola konsumsi masyarakat terhadap suatu komoditi dapat dilihat dari tingkat konsumsi, pengeluaran rumah tangga, dan proporsi dari pengeluaran rumah tangga untuk komoditi tersebut. 6.1.1 Proporsi Pengeluaran Buah Dari hasil analisa seperti tercantum dalam tabel 9, terlihat bahwa proporsi pengeluaran masyarakat Indonesia untuk buah-buahan selama kurun waktu 5 tahun terakhir relatif konstan, yaitu berada pada kisaran 2-3 persen, meskipun dengan kecenderungan yang menurun. Proporsi pengeluaran tertinggi tercatat terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 2,97 persen. Tabel 9. Proporsi (share) pengeluaran buah-buahan terhadap total pengeluaran (per kapita/bulan) tahun 2002-2006 Tahun Wilayah 2002 2003 2004 2005 2006 Indonesia Pedesaan Perkotaan
2.84 2.80 2.87
2.97 3.04 2.92
2.61 2.64 2.59
2.76 3.00 2.60
2.10 2.19 2.04
Pendapatan Rendah Sedang Tinggi
2.12 2.76 3.07
2.34 2.84 3.15
1.55 2.53 2.67
1.81 2.64 2.79
1.48 1.89 2.23
Sumber : Statistik Indonesia 2002-2006
Dilihat dari pola konsumsi menurut wilayah, sepanjang tahun 2003-2006 terlihat bahwa proporsi pengeluaran untuk buah-buahan di pedesaan lebih besar daripada di wilayah perkotaan. Berdasarkan penggolongan menurut tingkat pendapatan, terdapat kecenderungan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan yang semakin meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Pada
48
rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah, karena keterbatasan pendapatannya (yang diproksi dari tingkat pengeluarannya) itulah maka sebagian besar pendapatannya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokoknya, seperti beras, ikan, sayuran, minyak, dan sebagainya, sedangkan buah-buahan menjadi sub.komoditi yang tidak diprioritaskan untuk dikonsumsi. Berbeda dengan rumah tangga dengan tingkat pendapatan tinggi yang menganggap buahbuahan merupakan salah satu komoditi penting yang harus dikonsumsi, mengingat buah adalah salah satu sumber vitamin dan mineral selain sayuran. Hal menarik yang dapat diungkapkan dari pola seperti itu ialah bahwa pola konsumsi buah ini (yang tentunya juga termasuk sub.komoditi pangan) berlawanan dengan Hukum Engel yang mengatakan bahwa semakin besar tingkat pendapatan seseorang, maka proporsi pengeluarannya untuk pangan akan semakin menurun. Hal ini kemungkinannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Konsumsi buah-buahan sangat dipengerahi oleh gaya hidup (lifestyle) dari konsumennya. Berbeda dengan sub.komoditi pangan utama seperti beras, kentang, jagung, ubi jalar ataupun ubi kayu yang memang merupakan pangan pokok, sehingga gaya hidup konsumennya tidak banyak mempengaruhi pola konsumsi terhadap komoditi-komoditi tersebut. Pada masyarakat pendapatan tinggi, tingkat pendidikannya relatif lebih baik sehingga pengetahuannya mengenai pola hidup sehat dan aspek-aspek gizi pada makanan pun lebih baik. Di pihak lain, pada masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah, pola konsumsinya masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan perut saja, atau dengan kata lain “asal kenyang”, sehingga pola hidup sehat dan pemenuhan gizi berimbang tidak menjadi perhatian utama. Oleh karena itu, untuk komoditi buah-buahan proporsi pengeluarannya
49
terhadap pengeluaran pangan total akan semakin besar dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Dari analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa Hukum Engel berlaku untuk komoditi pangan secara agregat, namun tidak untuk diterapkan pada komoditi-komoditi pangan tertentu secara khusus. Hasil analisis tersebut sejalan dengan penelitian Hartoyo (1997) yang menjelaskan bahwa dengan meningkatnya pendapatan dapat diduga akan menyebabkan terjadinya perubahan selera konsumen, yaitu dari selera buahbuahan yang harganya relatif murah, seperti pisang dan pepaya ke buah-buahan yang lebih mahal, seperti apel, mangga, dan jeruk. Ini berarti ketika terjadi peningkatan pendapatan maka proporsi pengeluaran buah turut meningkat. Selain faktor gaya hidup konsumen, faktor- faktor lain yang juga mempengaruhi pola konsumsi buah ialah faktor selera, ketersediaan buah itu sendiri (mengingat beberapa buah bersifat musiman), dan juga kemudahan konsumen dalam memperolehnya.
6.1.2 Tingkat Konsumsi Buah di Indonesia Buah-buahan merupakan sumber vitamin dan mineral di samping sayuran, yang dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk mempertahankan kesehatannya. Berbeda dengan sayuran, produksi buah-buahan ada yang tergantung musim seperti durian, rambutan, mangga, duku dan ada pula yang tidak mengenal musim, seperti pisang, jeruk, pepaya, nanas, dan sebagainya. Perkembangan tingkat konsumsi komoditi buah-buahan di Indonesia disajikan dalam Tabel 10. Dari Tabel 10 tersebut terlihat bahwa hingga tahun 2005 tingkat konsumsi buah di
50
Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan oleh FAO yaitu sebesar 60 kg/kapita/tahun. Tabel 10. Perkembangan Konsumsi Buah-Buahan di Indonesia tahun 1990-2005 Jenis Buah
Konsumsi per kapita (kg/tahun)
Alpokat Jeruk Duku Durian Jambu Mangga Nanas Pepaya Pisang Rambutan Salak Apel Semangka Melon Nangka Total
1990 0.26 0.88 1.14 1.25 0.62 0.42 1.09 3.12 13.83 4.78 0.42 0.10 0.31 0.99 29.94
1993 0.16 0.94 0.16 0.52 0.62 0.52 1.04 3.02 12.58 3.48 0.62 0.21 0.47 0.88 26
1996 0.21 1.30 0.16 0.52 0.31 2.13 0.94 2.86 9.05 2.44 1.20 0.68 0.78 0.16 0.99 24.67
1999 0.26 1.20 0.05 0.16 0.26 0.26 0.68 3.12 8.27 1.98 0.73 0.16 0.47 0.05 0.42 18.7
2002 0.26 1.98 1.82 0.94 0.26 0.31 0.47 2.24 7.80 7.44 0.94 0.62 0.83 0.31 0.47 29.38
2005 0.47 2.60 2.29 1.61 0.21 0.62 0.57 2.29 7.85 8.37 1.20 0.62 0.99 0.16 0.42 31.57
Sumber : Ditjen Tanaman Hortikultura, Departemen Pertanian tahun 2005
Secara agregat, di antara jenis buah yang tingkat konsumsinya paling besar adalah pisang, rambutan, jeruk, dan pepaya. Kecenderungan ini relatif konsisten untuk setiap tahunnya, yaitu dari tahun 1990 sampai 2005. Sebagai gambaran, tingkat konsumsi pisang, jeruk, rambutan, dan pepaya pada tahun 2005 berturutturut sebesar 7,85 kg, 2,6 kg, 8,37 kg, dan 2,3 kg/kap/tahun. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pisang adalah gabungan dari semua jenis pisang (pisang ambon, pisang raja, dan lainnya). Sementara itu, pada tahun yang sama untuk jenis buah yang lain, tingkat konsumsinya hanya berkisar 0,156 kg (untuk melon dan kedondong) sampai 1,6 kg/kap/tahun (durian). Tingginya tingkat konsumsi beberapa jenis buah tertentu, tidak terlepas dari pengaruh musim. Buah pisang, jeruk, dan pepaya merupakan jenis buah yang selalu tersedia sepanjang tahun. Hal ini tentu saja memudahkan konsumen bila ingin mengkonsumsinya. Untuk buah rambutan, meskipun tergolong buah musiman, namun pada waktu pencacahan (bulan Februari) umumnya sedang
51
musim rambutan, sehingga produksinya pun melonjak dan harganya menjadi relatif murah. Hal tersebut tentunya akan mempengaruhi tingkat konsumsi rambutan. Perkembangan tingkat konsumsi buah-buahan relatif bervariasi untuk setiap jenis buah-buahan. Beberapa jenis buah yang konsumsinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun antara lain jeruk, semangka, duku, dan durian. Pada tahun 1996, konsumsi jeruk, semangka, duku, dan durian rata-rata sebesar 1,3 kg, 0,78 kg, 0,16 kg, dan 0,52 kg/kap/tahun. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2005 masing- masing menjadi 2,6 kg, 0,99 kg, 2,29 kg, dan 1,61 kg/kap/tahun. Di sisi lain ada pula beberapa jenis buah yang tingkat konsumsinya cenderung menurun seperti pisang, pepaya, dan nanas. Jika pada tahun 1996 ratarata konsumsi per kapita untuk pisang, pepaya, dan nanas berturut-turut adalah sebesar 9,05 kg, 2,86 kg, dan 0,94 kg maka pada tahun 2005 konsumsi tersebut mengalami penurunan, masing- masing menjadi 7,85 kg, 2,29 kg, dan 0,57 kg. Dari uraian di atas terlihat bahwa buah-buahan yang tinggi volume impornya seperti jeruk dan durian, konsumsinya cenderung meningkat. Sementara itu jenis buah yang relatif sedikit jenis impornya (atau bahkan tidak ada impornya) seperti pisang, pepaya, dan nanas tingkat konsumsinya cenderung menurun. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa telah terjadi pergeseran preferensi konsumen dari buah lokal ke buah impor. Beberapa alasan konsumen untuk mengkonsumsi buah impor yang utama adalah rasanya yang dianggap lebih enak daripada buah lokal. Selain itu juga karena faktor harga yang bersaing, kualitas buah dan penampilannya yang dianggap lebih baik (Sawit, dkk, 1997).
52
6.1.3 Tingkat Konsumsi Buah di Pulau Jawa Pada tabel 11 ditampilkan data konsumsi dan proporsi pengeluaran beberapa jenis buah terhadap pengeluaran buah total di Pulau Jawa. Berdasarkan data dalam tabel tersebut, jeruk, pisang, dan pepaya merupakan buah yang paling banyak dikonsumsi di Pulau Jawa, baik di daerah pedesaan maupun perkotaan. Secara agregat, konsumsi jeruk, pisang, dan pepaya masing- masing sebesar 2,05 kg, 2,43 kg, dan 1,18 kg/kapita/bulan. Jika dilihat dari segi proporsinya terhadap pengeluaran buah total, ketiga jenis buah tersebut juga merupakan buah yang proporsi pengeluarannya paling besar, yaitu 38,7 persen untuk jeruk, 26,4 persen untuk pisang dan 9,8 persen untuk pepaya, sedangkan sisanya untuk konsumsi jenis buah lainnya. Tabel 11. Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (berdasar wilayah & kelas pemdapatan) tahun 2005 Wilayah
Konsumsi (kg/kapita/bulan)
Share terhadap pengeluaran buah total
jeruk
pisang
pepaya
salak
semangka
jeruk
pisang
pepaya
salak
semangka
Jawa Pedesaan Perkotaan
2.047 1.403 2.457
2.426 3.133 1.937
1.176 0.721 1.479
0.254 0.386 0.311
0.538 0.504 0.643
0.387 0.334 0.417
0.264 0.404 0.195
0.098 0.069 0.112
0.038 0.067 0.046
0.040 0.044 0.044
Pendapatan Rendah Sedang Tinggi
0.668 1.841 3.784
2.031 2.702 2.873
0.657 1.128 2.037
0.127 0.386 0.569
0.218 0.653 1.306
0.291 0.389 0.398
0.451 0.292 0.166
0.116 0.099 0.092
0.043 0.067 0.046
0.039 0.055 0.050
Sumber : Data SUSENAS 2005
Dengan membandingkan antar wilayah desa dan kota, beberapa jenis buah seperti jeruk, pepaya, dan semangka tingkat konsumsinya lebih tinggi di wilayah perkotaan dibandingkan dengan wilayah pedesaan, sedangkan buah lainnya yaitu pisang dan salak, tingkat konsumsinya lebih tinggi di pedesaan. Hal ini diduga karena untuk jeruk dan salak lebih banyak ketersediaannya di wilayah pedesaan, sehingga tingkat konsumsinya pun menjadi lebih tinggi di pedesaan. Perbedaan
53
tingkat konsumsi antar kedua wilayah tersebut juga bervariasi untuk setiap jenis buah. Sebagai gambaran, konsumsi jeruk dan pepaya di perkotaan berturut-turut sebesar 2,46 kg dan 1,48 kg/kap/bulan, sedangkan di pedesaan sebesar 1,4 kg dan 0,72 kg/kap/bulan. Sebaliknya tingkat konsumsi pisang dan salak di kota, masingmasing sebesar 1,94 kg dan 0,31 kg/kap/bulan. Jika
melihat
pengklasifikasian rumah
tangga
berdasarkan
kelas
pendapatan, dapat terlihat bahwa terdapat kecenderungan semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi buahnya. Kecenderungan ini berlaku untuk semua jenis bua h yang dianalisis (dalam Tabel 11). Salah satu jenis buah yang paling mencolok perbedaan tingkat konsumsinya antar kelas pendapatan ialah jeruk. Tingkat konsumsi jeruk pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah, sedang, dan tinggi masing- masing sebesar 0,67 kg/kap/bulan, 1,84 kg/kapita/bulan, dan 3,8 kg/kap/bulan. Terlihat di sini bahwa tingkat konsumsi jeruk meningkat lebih dari 100 persen setiap kenaikan kelas pendapatan (baik dari rendah ke sedang, maupun dari sedang ke tinggi). Hal ini kemungkinannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Jeruk merupakan salah satu buah yang memiliki banyak variasi, baik dari segi harga, kualitas, maupun asalnya (lokal dan impor). Ketika terjadi peningkatan pendapatan, maka diduga terjadi pergeseran preferensi konsumen dari jeruk yang kualitas dan harganya relatif rendah ke jenis jeruk lainnya yang kualitas maupun harganya lebih tinggi, sehingga proporsi pengeluaran jeruk meningkat ketika terjadi peningkatan pendapatan. Di sisi lain, jika dilihat dari segi proporsinya (share) terhadap pengeluaran buah total, rata-rata masyarakat kota di Pulau Jawa mengeluarkan sekitar 41,7
54
persen untuk mengkonsumsi jeruk, dimana proporsi ini merupakan yang terbesar dibanding dengan proporsi untuk jenis buah lainnya. Sedangkan untuk masyarakat desa, sebagian besar dari total pengeluarannya untuk buah dialokasikan untuk mengkons umsi pisang, yaitu sebesar 40,4 persen. Berdasarkan besarnya proporsi pengeluaran buah tertentu terhadap pengeluaran buah total antar kelas pendapatan menunjukkan bahwa pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan rendah, proporsi terbesar dari pengeluaran totalnya untuk buah dialokasikan untuk mengkonsumsi pisang (45,1%), sedangkan pada rumah tangga dengan tingkat pendapatan sedang dan tinggi, proporsi terbesarnya dialokasikan untuk mengkonsumsi buah jeruk, masingmasing sebesar 38,9 dan 39,8 persen. Tabel 12. Tingkat Konsumsi Buah dan Share terhadap Pengeluaran Buah Total di Pulau Jawa (by province) tahun 2005 Konsumsi (kg/kapita/bulan)
Share terhadap pengeluaran buah total
Wilayah
jeruk
pisang
pepaya
salak
semangka
jeruk
pisang
pepaya
salak
semangka
P. Jawa DKI Jabar Jateng DIY Jatim Banten
2.047 2.605 1.883 1.674 2.683 1.752 2.013
2.426 1.555 2.641 2.858 2.077 2.463 2.873
1.176 2.037 0.856 0.954 1.258 1.252 1.280
0.254 0.265 0.267 0.510 0.559 0.259 0.381
0.538 0.840 0.349 0.770 0.366 0.903 0.548
0.387 0.362 0.419 0.328 0.457 0.346 0.378
0.264 0.135 0.299 0.362 0.255 0.323 0.262
0.098 0.158 0.073 0.078 0.096 0.115 0.106
0.038 0.034 0.044 0.083 0.062 0.046 0.054
0.040 0.052 0.032 0.060 0.025 0.066 0.033
Sumber : Diolah dari data SUSENAS 2005
Pola kons umsi buah-buahan yang lebih mendetail pada tiap provinsi dapat dilihat pada Tabel 12. Masing- masing jenis buah memiliki tingkat konsumsi maupun proporsi terhadap pengeluaran buah total yang berbeda-beda di setiap provinsi. Namun secara umum provinsi yang tingkat konsumsi buahnya paling tinggi ialah DKI Jakarta. Hal ini kemungkinannya disebabkan karena seluruh wilayah DKI Jakarta terkategori sebagai wilayah perkotaan. Seperti yang telah
55
dijelaskan sebelumnya, bahwa wilayah perkotaan tingkat konsumsi buahnya lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan. Dari Tabel 12 juga dapat dilihat bahwa jeruk merupakan jenis buah yang proporsi pengeluarannya terhadap pengeluaran buah total paling besar, hampir di semua provinsi di Pulau Jawa kecuali Jawa tengah. Di Jawa Barat bahkan proporsi pengeluaran untuk jeruk mencapai hampir 42 %. Berbeda dengan semua provinsi di Pulau Jawa, di Jawa Tengah proporsi terbesar dialokasikan untuk pisang, yaitu sebesar 36,2 persen. Untuk buah jeruk, tingkat konsumsi paling tinggi yaitu di Provinsi DI Yogyakarta (2,68 kg/kap/bulan), semangka di Jawa Timur (0,9 kg/kap/bulan), sedangkan untuk pisang, tingkat konsumsi paling tinggi berada di Provinsi Banten (2,87 kg/kap/bulan). Hal ini kemungkinannya dapat dijelaskan karena Provinsi Banten letaknya secara geografis dekat dengan Provinsi Lampung yang merupakan sentra produksi pisang, sehingga ketersediaan pisang di Banten menjadi relatif banyak dan harganya menjadi murah. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi tingkat konsumsi pisang di Provinsi Banten. Selain itu untuk komoditi salak, tingkat konsumsi tertingginya berada di Provinsi DI Yogyakarta (0,56 kg/kap/bulan). Hal ini juga dapat dijelaskan karena DI Yogyakarta merupakan
salah
satu
sentra
produksi
salak
di
Indonesia,
sehingga
ketersediaannya pun relatif banyak. Tingkat konsumsi pepaya berkisar antara 0,86 kg sampai 2,04 kg/kap/bulan, dimana konsumsi terbesar di DKI Jakarta dan terendah di Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi buah-buahan rumah tangga di Pulau Jawa berdasarkan tingginya frekuensi konsumsi berturut-turut pisang – jeruk – pepaya – semangka - salak.
56
6.2 Analisis Parameter Permintaan Buah di Pulau Jawa 6.2.1 Pengujian restriksi Pengujian restriksi dilakukan untuk model sistem persamaan Pulau Jawa secara agregat, dengan unit sampling rumah tangga maupun PSU. Tabel 13 menunjukkan hasil uji-F untuk masing- masing model sistem permintaan. Dari tabel tersebut terlihat bahwa semua model tanpa restriksi berbeda signifikan dengan model yang diretriksi pada taraf nyata 1 persen. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya, model persamaan yang digunakan adalah model permintaan yang telah dilakukan (“diimpose”) restriksi homogen, simetri, maupun adding up. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa homogenitas, simetri, dan adding up merupakan sifat (properties) dari fungsi permintaan. Analisis dimulai dengan menduga besarnya nilai parameter regresi dari model yang digunakan, untuk selanjutnya diuji seberapa besar pengaruh variabel tersebut, baik secara individu maupun bersamaan. Tabel 13. Hasil uji-F Model Sistem Persamaan Dengan dan Tanpa Restriksi Unit Sampling
Hipotesa nol
Hipotesa alternatif
Fhit
F0,01
Kesimpulan
RT
Model dengan restriksi homogen dan simetri = model tanpa restriksi homogen dan simetri
Model dengan res triksi homogen dan simetri ? model tanpa restriksi homogen dan simetri
9950
2.64
Tolak Ho
PSU
Model dengan restriksi homogen dan simetri = model tanpa restriksi homogen dan simetri
Model dengan res triksi homogen dan simetri ? model tanpa restriksi homogen dan simetri
3959
2,64
Tolak Ho
Hasil estimasi dari model permintaan buah di Pulau Jawa dengan menggunakan model AIDS ini disajikan dalam dua bagian. Bagian pertama untuk model permintaan dengan unit sampling Rumah Tangga (RT) dan bagian kedua untuk model permintaan dengan unit sampling Primary Unit Sampling (PSU). Hal
57
ini dimaksudkan untuk melihat perbandingan antara penggunaan unit sampling RT dan PSU. 6.2.2 Model Permintaan dengan Unit Sampling RT Hasil pendugaan fungsi permintaan buah secara lebih detail disajikan dalam Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 15, yang terdiri dari model permintaan untuk Pulau Jawa secara agregat, Pulau Jawa yang diklasifikasikan berdasar wilayah, kelas pendapatan, tingkat pendidikan, dan juga per provinsi. Dari hasil analisis diperoleh nilai koefisien determinasi sistem (R2 ) yang berkisar antara 0.050 - 0.3263, yang berarti hanya 5.05 - 32.63 persen dari keragaman dalam proporsi (share) pengeluaran setiap jenis buah yang dapat dijelaskan oleh variabel- variabel bebasnya dalam model, yaitu variabel harga (baik harga sendiri maupun harga silang), pengeluaran total (EXP ), dan juga variabel- variabel demografi yang meliputi jumlah anggota rumah tangga (JART) dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga (PDDKN). Tabel 14. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan unit sampling RT Komoditi
share
intercep
Jeruk
0.35959
0.599728
x
0.066316
-0.03147
Pisang
0.27731
0.599728
-0.03147
0.053829
0.18037
0.343624
-0.03484
-0.02236
Pepaya
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN x
EXP
IHS
-0.03484
0.008664
x
-0.00388
0.023832
-0.02328
-0.02236
0.000353 x
-0.03562
-0.02932
0.032556
0.057199
-0.00585 x
-0.00628 2
-0.00394 x
-0.00928
Rendahnya nilai R2 pada model diduga karena penggunaan data penampang melintang (c ross section) yang hanya dapat menerangkan kondisi pada suatu waktu. Selain itu, karena model AIDS dalam penelitian ini hanya diterapkan pada beberapa komoditi buah saja, sehingga subtitusi yang dapat dijelaskan terbatas pada komoditi yang dianalisis saja, sedangkan dalam kondisi riilnya, keputusan seorang konsumen untuk mengkonsumsi satu jenis buah, tentu saja tidak hanya dipengaruhi oleh harga jenis buah itu sendiri ataupun harga jenis
58
buah lainnya saja, tetapi juga dipengaruhi oleh harga dari sub.komoditi pangan lainnya, bahkan oleh barang non pangan seperti harga bahan bakar, listrik, air, dan sebagainya. Walaupun demikian, nilai R2 yang relatif rendah tersebut, bukanlah halangan untuk penggunaannnya dalam analisis. Keputusan terakhir mengenai diterima atau ditolaknya suatu model, tergantung pada pertimbangan logis mengenai model itu sendiri, dengan kata lain tergantung pada konsistensi parameter yang dihasilkan dengan teori yang berlaku (Fitriadi dalam Nugraha, 2001). Selain itu, untuk model simultan seperti model AIDS kriteria statistik yang lebih tepat digunakan untuk mengevaluasi hasil estimasi model persamaan ialah root-MSE. Dari hasil analisis diketahui bahwa nilai root MSE untuk model permintaan dengan unit sampling RT ialah sebesar 8,49. Nilai ini lebih besar dari root-MSE untuk model permintaan dengan unit sampling PSU (4,24). Hal ini dapat diartikan bahwa secara statistik, model permintaan dengan unit sampling RT relatif lebih tepat dalam melakukan estimasi dibandingkan dengan model dengan unit sampling RT. Untuk dugaan parameter, baik untuk Pulau Jawa secara agregat maupun pengklasifikasiannya berdasarkan wilayah, kelas pendapatan, tingkat pendidikan, dan juga provinsi, tingkat signifikansinya bervariasi pada kisaran tingkat kepercayaan 90 – 99 persen, dan juga terdapat beberapa variabel yang tidak nyata pengaruhnya dalam model. Dugaan parameter harga sendiri sebagian besar nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen, namun untuk model permintaan Pulau Jawa dengan tingkat pendidikan tinggi, variabel harga sendiri ini tidak nyata dalam semua persamaan.
59
Dari hasil analisa juga diperoleh bahwa sebagian besar tanda dugaan parameter harga sendiri bertanda positif. Hasil ini serupa dengan dengan penelitian-penelitian sebelumnya untuk komoditi buah yang juga menghasilkan tanda positif untuk parameter harga sendiri. Hasil penelitian Saliem (2001) dengan menggunakan data SUSENAS 1996 menunjukkan bahwa koefisien harga sendiri untuk buah-buahan secara agregat di Kawasan Timur Indonesia ialah 0.0198. Tanda parameter yang positif ini dapat diartikan bahwa dengan meningkatnya harga, akan diikuti dengan peningkatan pangsa pengeluaran untuk jeruk, pisang, dan pepaya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya (Sawit, dkk (1997) dan Hartoyo (1997)) dan juga dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa ketiga jenis buah tersebut memiliki nilai elastisitas harga sendiri yang inelastis, dengan kata lain ketika terjadi kenaikan ataupun penurunan harga maka permintaannya cenderung tidak berubah. Jika terjadi perubahan pun, maka dalam jumlah yang kecil saja. Kenaikan harga buah yang dikombinasikan dengan permintaan yang relatif tetap maka akan menghasilkan kenaikan pengeluaran buah. Jika pengeluaran total diasumsikan tetap, maka tentunya proporsi pengeluaran untuk buah tertentu pun akan meningkat. Oleh karena itu tanda parameter harga sendiri menjadi positif. Parameter harga silang sebagian besar nyata mempengaruhi pangsa pengeluaran buah pada tingkat kepercayaan 99 persen, namun pada beberapa persamaan, seperti variabel harga pisang dalam persamaan pepaya untuk model permintaan Jawa dengan tingkat pendidikan sedang nilainya nyata pada tingkat kepercayaan 97,5 persen. Semua parameter harga silang bertanda negatif, yang
60
berarti terdapat korelasi dengan arah yang berlawanan antara proporsi pengeluaran suatu jenis buah dengan harga buah jenis lainnya. Untuk model permintaan buah di Pulau Jawa secara agregat maupun untuk wilayah pedesaan dan perkotaan Jawa, hasil analisis menunjukkan bahwa variabel pengeluaran sebagian besar nyata pada kisaran tingkat kepercayaan 95 – 99 persen. Meskipun demikian, untuk persamaan pepaya pada wilayah Jawa secara agregat dan wilayah pedesaan Jawa, variabel pengeluaran ini tidak nyata berpengaruh terhadap pangsa pengeluaran pepaya. Dugaan parameter pengeluaran untuk proporsi pengeluaran buah ini memperlihatkan variasi tanda positif dan negatif. Untuk persamaan jeruk parameter pengeluaran bertanda positif (baik untuk model permintaan Jawa secara agregat maupun unt uk wilayah Jawa desa dan Jawa kota). Hal ini berarti, semakin besar tingkat pengeluaran riil atau dapat dianggap semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga, maka semakin besar proporsi dari pendapatan tersebut yang digunakan untuk mengkonsumsi jeruk. Hal ini sesuai dengan data konsumsi jeruk di Pulau Jawa pada tahun 2005 yang tertera pada Tabel 6. Dari tabel dapat diketahui bahwa proporsi pengeluaran untuk jeruk untuk rumah tangga dari kelas pendapatan rendah, sedang, dan tinggi berturutturut sebesar 0,291; 0,389; dan 0,398. Di sisi lain, untuk persamaan pisang dan pepaya, parameter pengeluaran bertanda negatif, yang berarti makin tinggi tingkat pendapatan keluarga maka semakin kecil proporsi dari pendapatan tersebut yang digunakan untuk mengkonsumsi pisang dan pepaya. Hal ini juga sesuai dengan data pada Tabel 11, dimana proporsi pengeluaran untuk komoditi pisang pada rumah tangga dengan kelas pendapatan rendah, sedang, dan tinggi masing- masing sebesar 0,451; 0,292;
61
dan 0,166. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa jeruk dapat dikategorikan sebagai “barang luks”, karena proporsi pengeluarannya meningkat ketika pendapatannya bertambah. Dugaan untuk parameter jumlah anggota keluarga per rumah tangga (JART) tingkat signifikansinya relatif bervariasi. Pada beberapa persamaan, variabel JART nyata mempengaruhi proporsi pengeluaran buah pada tingkat kepercayaan 99 persen. Sebagai gambaran, pada model permintaan untuk Pulau Jawa dengan tingkat pendidikan tinggi, variabel JART nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen untuk persamaan pisang dan pepaya, sedangkan untuk jeruk nyata pada tingkat kepercayaan 97,5 persen. Namun dari seluruh model permintaan, lebih dari 50 persennya menunjukkan bahwa variabel JART tidak nyata. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel JART relatif tidak terlalu berpengaruh terhadap proporsi pengeluaran buah di rumah tangga Pulau Jawa. Pada model permintaan untuk Pulau Jawa secara agregat, hasil analisis menunjukkan variabel pendidikan nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen untuk persamaan pisang dan 95 persen untuk persamaan pepaya, sedangkan untuk persamaan jeruk, variabel pendidikan ini tidak nyata pengaruhnya terhadap proporsi pengeluaran jeruk. Di pedesaan Jawa, variabel pendidikan ini tidak nyata berpengaruh untuk semua persamaan. Hal ini mungkin disebabkan karena di daerah pedesaan, umumnya jenis buah yang dianalisis, terutama pisang dan pepaya tumbuh di pekarangan-pekarangan rumah penduduk, dengan kata lain untuk dapat mengkonsumsi pepaya, penduduk di pedesaan tidak perlu membelinya, sehingga variabel pendidikan menjadi tidak berpengaruh dalam
62
proporsi pengeluaran buah pada rumah tangga di pedesaan. Sedangkan untuk wilayah perkotaan, variabel pendidikan nya ta pada tingkat kepercayaan 99 persen untuk persamaan pisang dan pepaya, sedangkan untuk jeruk variabel pendidikan ini tidak nyata berpengaruh. 6.2.3 Model Permintaan dengan Unit Sampling PSU Hasil pendugaan parameter fungsi permintaan buah dengan unit sampling PSU secara detail disajikan dalam Lampiran 16 sampai dengan Lampiran 30, yang terdiri dari model permintaan untuk Pulau Jawa secara agregat, Pulau Jawa yang diklasifikasikan berdasarkan wilayah, kelas pendapatan, tingkat pendidikan, dan juga per provinsi. Berdasarkan hasil analisis dengan unit sampling PSU ini diperoleh nilai koefisien determinasi sistem (R2 ) yang relatif lebih besar dari analisis dengan unit sampling RT, yaitu berkisar antara 0.0364 – 0.5993. Ini berarti 3.64 – 59.93 persen dari keragaman pangsa pengeluaran buah dapat dijelaskan dalam model. Hal tersebut kemungkinannya dapat dijelaskan karena pada unit sampling PSU, tingkat variasi pada masing- masing variabelnya lebih tinggi dibandingkan dengan unit sampling RT. Tabel 15. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan unit sampling PSU Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Jeruk
0.36675
-0.15838 x
0.027492
-0.01427 2
-0.01322
-0.00231 x
0.072345
0.050140
-0.06415
Pisang
0.25865
1.170626
-0.01427 2
0.017933 1
-0.00367 x
-0.00381 x
-0.17920
-0.07450
0.078378
0.09988
-0.01225 x
-0.01322
-0.00367 x
0.016890
0.000683 x
0.000684 x
0.013515 1
-0.01423
Pepaya
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
IHS
Untuk dugaan parameter harga sendiri maupun harga silang, antara analisis dengan unit sampling RT maupun PSU menunjukkan hasil yang serupa, yaitu arah (positif- negatif) dari masing- masing variabel harga pada tiap persamaan yang sama. Untuk variabel harga sendiri bertanda positif dan variabel
63
harga silang bertanda negatif. Namun jika pada unit sampling RT sebagian besar variabel harganya nyata pada tingk at kepercayaan 99 %, maka pada unit sampling PSU ini variabel harga tersebut nyata pada tingkat kepercayaan yang lebih bervariasi, berkisar antara 90 – 99 %. Pada model permintaan, baik untuk Pulau Jawa secara agregat maupun untuk wilayah pedesaan dan perkotaannya, hasil analisa memperlihatkan bahwa variabel pengeluaran nyata untuk seluruh persamaan pada tingkat kepercayaan 99 %, kecuali untuk persamaan pepaya pada model permintaan Jawa agregat, variabel pengeluaran ini nyata pada tingkat kepercayaan 97,5 %. Hal ini menunjukkan bahwa faktor pengeluaran (yang juga digunakan sebagai proksi untuk pendapatan rumah tangga) sangat berpengaruh terhadap pangsa pengeluaran rumah tangga untuk buah-buahan. Dugaan parameter permintaan dengan unit sampling PSU ini juga menghasilkan variasi tanda positif dan negatif. Sebagai contoh, di wilayah desa maupun kota, variabel pengeluaran bertanda positif untuk persamaan jeruk dan bertanda negatif untuk persamaan pisang, sedangkan untuk persamaan pepaya, variabel pengeluarannya bertanda negatif untuk wilayah pedesaan Jawa dan bertanda positif untuk perkotaan Jawa. Dugaan parameter JART menunjukkan hasil yang relatif sama dengan hasil analisa dari unit sampling RT, yaitu tidak nyatanya variabel JART ini di sebagian besar persamaan. Sedangkan untuk variabel pendidikan, hasil analisis PSU sedikit berbeda dengan hasil analisis RT. Pada analisis dengan PSU, untuk model permintaan buah di Pulau Jawa secara agregat hasilnya menunjukkan variabel pendidikan nyata pada tingkat kepercayaan 99 % untuk persamaan jeruk dan pisang, sedangkan untuk persamaan pepaya, variabel pendidikan ini tidak
64
nyata berpengaruh terhadap pangsa pengeluaran. Di wilayah pedesaan hasilnya serupa dengan hasil analisis permintaan untuk Jawa secara agregat. Untuk wilayah perkotaan, variabel pendidikan hanya nyata (pada tingkat kepercayaan 99 %) untuk persamaan pisang, sedangkan untuk persamaan jeruk dan pepaya variabel ini tidak nyata.
65
6.3 Sistem Permintaan Buah 6.3.1 Permintaan Jeruk Hasil perhitungan elastisitas permintaan dan elastisitas pengeluaran jeruk tercantum dalam Tabel 16 dan 17, masing- masing untuk unit sampling Rumah Tangga (RT) dan Primary Sampling Unit (PSU). Dari kedua tabel tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut : Tabel 16. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling Rumah Tangga
Wilayah Jawa Pedesaan Perkotaan Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
Elastisitas Harga sendiri (eii) -0.8156 -0.7830 -0.8279
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Pisang
Pepaya
Elastisitas Pengeluaran
-0.0875 -0.0954 -0.0880
-0.0969 -0.1216 -0.0839
0.9352 0.8694 0.9608
-0.8176 -0.8057 -0.8312
-0.0749 -0.0933 -0.1069
-0.1074 -0.1010 -0.0619
0.9329 0.9568 1.0280
-0.7992 -0.7840 -0.9249
-0.0873 -0.1130 -0.0998
-0.1135 -0.1029 0.0246
0.9200 0.8865 1.0314
Elastisitas Harga Sendiri Elastisitas harga sendiri untuk jeruk, baik dari analisa yang menggunakan unit sampling RT maupun PSU menghasilkan tanda (positif – negatifnya) serta arah koefisien dari elastisitas yang secara umum seragam, namun terdapat pula beberapa perbedaan dalam nilai besaran elastisitas. Secara lebih rinci pembahasannya sebagai berikut : 1) Elastisitas harga sendiri jeruk, baik pada unit sampling RT ataupun PSU menunjukkan tanda negatif, yang berarti bahwa kenaikan harga jeruk akan
66
menyebabkan jumlah jeruk yang diminta turun (asumsi ceteris paribus). Hal ini sesuai dengan sifat fungsi permintaan yang mempunyai arah negatif. Tabel 17. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran jeruk, unit sampling PSU Wilayah Jawa Pedesaan Perkotaan Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
Elastisitas Harga sendiri (eii) -0.925 -0.903 -0.928
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap :
Elastisitas Pengeluaran
Pisang -0.039 -0.060 -0.035
Pepaya -0.013 -0.036 -0.037
-0.390 -0.934 -0.881
-0.026 -0.039 -0.053
-0.035 -0.027 -0.066
0.7522 0.9323 0.9778
-0.9334 -0.8913 -1.2333
-0.0327 -0.0399 -0.0148
-0.0339 -0.0688 0.2480
0.8258 0.8444 1.3141
0.8251 0.7528 0.9005
2) Berdasarkan pengelompokkan menurut daerah, elastisitas permintaan jeruk lebih elastis pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan. Interpretasinya ialah bahwa perubahan harga jeruk akan memperoleh respon permintaan yang lebih besar/kuat dari konsumen di perkotaan. Hal ini dapat disebabkan oleh relatif lebih banyaknya pilihan dan variasi buah yang ada di perkotaan, sehingga daya subtitusi komoditi jeruk akan menjadi lebih besar di wilayah perkotaan. 3) Berdasarkan kelompok pendapatan, terdapat kecenderungan elastisitas harga sendiri yang semakin elastis pada kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan tinggi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada masyarakat kelompok
pendapatan
rendah,
sebagian
besar
pendapatannya
masih
dialokasikan untuk komoditi pangan utama, seperti beras, minyak goreng, sumber protein hewani maupun nabati, dan sebagainya, sehingga buah-buahan (dalam hal ini ialah jeruk) masih dianggap sebagai makanan tambahan. Oleh
67
karena itu perubahan harga jeruk tidak akan direspon secara kuat oleh masyarakat dalam kelompok ini. Sebaliknya pada masyarakat kelompok pendapatan tinggi, buah-buahan (jeruk) sudah dianggap sebagai kebutuhan pokok, sehingga naik-turunnya harga jeruk akan direspon dengan kuat oleh masyarakat pada kelompok ini. 4) Berdasarkan tingkat pendidikan dapat diketahui bahwa nilai elastisitas harga sendiri jeruk lebih elastis pada masyarakat kelompok pendidikan tinggi. Pada analisa dengan unit sampling RT, nilai elastisitas harga sendiri jeruk pada kelompok masyarakat pendidikan tinggi ialah -0,92, berarti jika terdapat kenaikan harga jeruk sebesar 100 persen, maka jumlah jeruk ya ng diminta akan naik sebesar 92 persen. Nilai ini relatif lebih besar dibandingkan dengan nilai elastisitas harga sendiri pada masyarakat pendidikan rendah, yaitu sebesar -0,80. Ini diduga kemungkinannya karena ada keterkaitan antara tingkat pendidikan yang tinggi dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada kelompok rumah tangga dengan tingkat pendapatan tinggi, permintaannya lebih elastis. Elastisitas Harga Silang 5) Dari Tabel 16 dan 17 diketahui bahwa parameter elastisitas harga silang, baik pada unit sampling RT maupun PSU sebagian besar bertanda negatif. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang bersifat komplemen antara jeruk dengan buah lainnya. Hanya terdapat satu elastisitas harga silang yang bertanda positif, yaitu elastisitas harga silang jeruk terhadap pepaya pada kelompok pendidikan tinggi. Ini dapat diinterpretasikan dengan adanya hubungan subtitusi antara jeruk dan pepaya pada kelompok konsumen dengan tingkat
68
pendidikan tinggi. Namun dari relatif kecilnya nilai elastisitas harga silang tersebut menggambarkan sifat komplementer maupun subtitusi yang tidak terlalu kuat. Elastisitas Pengeluaran 6) Elastisitas pengeluaran pada unit sampling RT maupun PSU mempunyai tanda positif. Hal ini menunjukkan bahwa jeruk merupakan barang normal, yaitu jika pendapatan konsumen meningkat, maka jumlah jeruk yang diminta juga akan meningkat. Dari hasil analisa juga diketahui bahwa elastisitas pengeluaran terhadap jeruk di perkotaan lebih elastis dibanding pedesaan. Pada unit sampling PSU, nilai elastisitas pengeluaran jeruk di perkotaan ialah sebesar 0,90 sedangkan untuk pedesaan sebesar 0,75. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan pendapatan konsumen sebesar 100 persen maka jumlah jeruk yang diminta akan meningkat sebesar 90 persen di wilayah perkotaan dan 75 persen di wilayah pedesaan. Hal tersebut disebabkan karena di wilayah perkotaan lebih banyak variasi jenis jeruknya, termasuk jenis jeruk impor yang harganya relatif lebih mahal. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian Hartoyo (1997) bahwa ketika pendapatan konsumen meningkat, maka ada kecenderungan pergeseran selera dari buah yang harganya murah ke buah yang harganya mahal. Karena itu, di perkotaan ketika pendapatan konsumen meningkat, maka konsumsi jeruknya dapat berubah dari yang harganya murah (jeruk lokal ) ke jenis jeruk yang harganya lebih mahal (jeruk impor dengan kualitas yang lebih baik). 7) Berdasarkan tingkat pendapatan, secara konsisten ditunjukkan bahwa elastisitas pengeluaran makin elastis dengan semakin tingginya tingkat
69
pendapatan masyarakat. Di sisi lain, berdasarkan tingkat pendidikan terdapat hasil yang sedikit berbeda pada analisa dengan unit sampling RT dengan PSU. Pada unit analisa PSU, secara konsisten ditunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat pendidikan, maka nilai elastisitas pengeluarannya akan semakin elastis, sedangkan pada unit analisa RT hasilnya menunjukkan arah yang tidak konsisten. Dari kelompok konsumen pendidikan rendah ke pendidikan sedang menunjukkan nilai elastisitas pengeluaran yang menurun, namun dari kelompok konsumen pendidikan sedang ke pendidikan tinggi menunjukkan nilai elastisitas pengeluaran yang meningkat.
6.3.2 Permintaan Pisang Tabel 18 dan 19 menunjukkan besaran elastisitas permintaan dan elastisitas pengeluaran untuk komoditi pisang, masing- masing untuk unit sampling RT dan PSU. Dari kedua tabel tersebut, dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut : Tabel 18. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang, unit sampling Rumah Tangga
Wilayah Jawa Pedesaan Perkotaan Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
Elastisitas Harga sendiri (eii) -0.8059 -0.8008 -0.8091
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Jeruk
Pepaya
Elastisitas Pengeluaran
-0.1135 -0.1094 -0.1211
-0.0806 -0.0898 -0.0697
1.1174 1.1355 1.1001
-0.8467 -0.7842 -0.7506
-0.0887 -0.1268 -0.1567
-0.0646 -0.0889 -0.0927
1.0757 1.1064 1.1302
-0.8080 -0.7718 -0.7680
-0.1111 -0.1471 -0.1448
-0.0808 -0.0811 -0.0872
1.1417 1.1029 1.0189
70
Elastisitas Harga Sendiri Tidak berbeda dengan jeruk, pada komoditi pisang hasil analisa dengan menggunakan unit sampling RT maupun PSU menunjukkan tanda dan arah koefisien dari elastisitas harga sendiri yang sama, dan hanya berbeda pada besar nilainya saja. Pembahasan secara lebih terincinya ialah sebagai berikut : 1) Berdasarkan data pada Tabel 18 dan 19 dapat dilihat bahwa nilai elastisitas harga sendiri pada pisang memiliki tanda negatif. Hal ini sesuai dengan teori permintaan, yaitu naik-turunnya harga pisang akan direspon oleh konsumen dengan arah yang berlawanan terhadap jumlah yang diminta. 2) Berdasarkan pengelompokkan menurut daerah, terlihat bahwa elastisitas harga sendiri pisang lebih elastis pada wilayah perkotaan dibanding dengan pedesaan. Alasan yang sama pada komoditi jeruk dapat pula diterapkan untuk menjelaskan hal ini. Di wilayah perkotaan ketersediaan jenis buah lainnya lebih banyak dan lebih bervariasi dibandingkan dengan pedesaan, sehingga daya subtitusi pisang menjadi lebih besar di perkotaan. Hal ini tentunya akan berdampak langsung pada semakin besarnya nilai elastisitas harga sendiri pisang di wilayah perkotaan. 3) Besaran nilai elastisitas harga sendiri pisang antara kelompok pendapatan secara konsisten menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan, maka konsumen akan semakin kurang responsif terhadap perubahan harga pisang. Dengan kata lain, dengan semakin meningkatnya pendapatan konsumen, nilai elastisitas harga sendiri pisangnya akan semakin kecil. Pola tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari hasil olah data SUSENAS 2005 diketahui bahwa proporsi pengeluaran untuk pisang terhadap pengeluaran buah total
71
makin mengecil dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Dimana sesuai dengan teori ekonomi bahwa semakin kecil proporsi suatu komoditi terhadap pengeluaran total, maka nilai elastisitas harga sendiri komoditi tersebut akan semakin rendah (semakin inelastis). Tabel 19. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pisang di Pulau Jawa, unit sampling PSU
Wilayah Jawa Pedesaan Perkotaan Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
Elastisitas Harga sendiri (eii) -0.931 -0.913 -0.939
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Jeruk
Pepaya
Elastisitas Pengeluaran
-0.055 -0.062 -0.068
-0.014 -0.025 -0.006
1.3030 1.2736 1.2764
-0.959 -0.925 -0.819
-0.027 -0.068 -0.115
-0.014 -0.007 -0.066
1.2943 1.1899 1.0624
-0.9394 -0.9402 -0.7916
-0.0447 -0.0916 -0.0376
-0.0159 -0.0318 -0.1728
1.2893 1.4194 0.8628
4) Analisa nilai elastisitas harga sendiri pisang berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan kecenderungan bahwa nilai elastisitas lebih rendah pada konsumen dengan tingkat pendidikan tinggi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada konsumen dengan tingkat pendidikan tinggi, pengetahuan mereka mengenai pentingnya pisang dari aspek gizi sudah lebih baik. Oleh karena itu permintaan terhadap pisang menjadi relatif lebih inelastis. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa semakin penting peranan suatu komoditi, maka permintaannya akan menjadi semakin inelastis. Elastisitas Harga Silang 5) Dari hasil analisa dengan unit sampling RT dan juga PSU menunjukkan bahwa seluruh nilai elastisitas harga silang pisang terhadap buah lainnya bertanda negatif. Ini berarti antara pisang denga n jeruk maupun pepaya
72
terdapat hubungan yang bersifat komplemen. Hubungan komplementer relatif kuat terjadi antara komoditi pisang dengan jeruk, terutama pada kelompok konsumen dengan tingkat pendapatan tinggi. Pada analisa dengan unit sampling RT
nilai elastisitas harga silang pisang terhadap jeruk pada
kelompok pendapatan tinggi ialah sebesar -0,16, yang berarti bahwa jika terdapat penurunan harga jeruk sebesar 100 persen, maka jumlah permintaan pisang akan naik sebesar 16 persen. Elastisitas Pengeluaran 6) Secara keseluruhan, baik analisa yang menggunakan unit sampling RT maupun PSU menunjukkan permintaan pisang akan meningkat dengan semakin besarnya tingkat pendapatan masyarakat. Bila dibandingkan dengan elastisitas pengeluaran jeruk maupun pepaya, elastisitas pengeluaran pisang ini nilainya lebih besar, atau dengan kata lain jika terdapat perubahan pendapatan, maka respon permintaan pisang akan lebih kuat dibandingkan respon permintaan jeruk maupun pepaya. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas pisang yang sebagian besar bernilai lebih dari satu, sedangkan untuk jeruk dan pepaya nilainya kurang dari satu. 7) Analisa elastisitas pengeluaran berdasarkan daerah dan tingkat pendapatan menunjukkan kecenderungan hasil yang berbeda antara analisa dengan unit sampling RT dengan PSU. Pada unit sampling RT, nilai elastisitas pengeluaran lebih besar pada konsumen di pedesaan dan pada konsumen dengan tingkat pendapatan tinggi. Sebaliknya, pada unit sampling PSU, nilai elastisitas pengeluaran lebih besar pada konsumen di perkotaan (meskipun
73
nilainya tidak jauh berbeda antara pedesaan (1,274) dengan perkotaan (1,276)) dan pada konsumen dengan tingkat pendapatn rendah. 8) Berdasarkan pengelompokkan menurut tingkat pendidikan, hasil analisis dengan unit sampling PSU dan RT memperlihatkan kecenderungan yang sama, yaitu nilai elastisitas pengeluaran pisang yang lebih elastis pada kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Pada unit sampling PSU, nilai elastisitas pengeluaran untuk kelompok pendidikan rendah ialah 1,29, sedangkan untuk kelompok pendidikan tinggi sebesar 0,86. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa jika terdapat peningkatan/penurunan pendapatan konsumen sebesar 100 persen, maka jumlah permintaan jeruk akan bertambah sebesar 129 persen untuk kelompok pendidikan rendah dan 86 persen untuk kelompok pendidikan tinggi.
6.3.3 Permintaan Pepaya Besaran dan arah parameter elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang dan elastisitas pengeluaran pepaya, tercantum dalam tabel 20 dan 21, masing- masing untuk hasil analisa dengan unit sampling RT dan PSU. Dari kedua tabel tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut : Elastisitas Harga Sendiri 1) Dari tabel 20 dan 21 dapat dilihat bahwa nilai elastisitas harga sendiri untuk pepaya bertanda negatif. Hal ini sesuai dengan sifat fungsi permintaan yang menjelaskan adanya korelasi negatif antara harga suatu komoditi dengan jumlah permintaannya. Dari kedua unit sampling, baik dengan RT maupun
74
PSU menunjukkan bahwa nilai elastisitas harga sendiri untuk pepaya relatif lebih rendah dibandingkan dengan jeruk dan pisang. Tabel 20. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling Rumah Tangga
Wilayah Jawa Pedesaan Perkotaan
Elastisitas Harga sendiri (eii) -0.6829 -0.5955 -0.7332
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Jeruk
Pisang
Elastisitas Pengeluaran
-0.1932 -0.2464 -0.1663
-0.1240 -0.1583 -0.1004
0.9486 1.0253 0.9335
Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi
-0.6901 -0.6668 -0.7267
-0.2055 -0.2022 -0.1352
-0.1044 -0.1309 -0.1381
1.0059 0.9299 0.7449
Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
-0.6550 -0.6480 -0.9229
0.2213 -0.2197 0.0537
-0.1237 -0.1328 -0.1308
0.9389 1.0733 0.9033
2) Apabila dibedakan menurut daerah, terlihat bahwa permintaan pepaya penduduk di perkotaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding penduduk desa. Pada analisa dengan unit sampling RT, nilai elastisitisitas harga sendiri pepaya nya ialah -0,59 dan -0,73, masing- masing untuk wilayah pedesaan dan perkotaan, sedangkan pada unit sampling PSU, nilai elastisitas pengeluaran untuk penduduk di pedesaannya ialah sebesar-0,79 dan untuk penduduk di perkotaan sebesar -0,87. 3) Keragaan besaran nilai elastisitas harga sendiri antar kelompok pendapatan menunjukkan arah koefisien yang berbeda antara unit sampling RT dengan PSU. Pada unit analisa RT, makin tinggi tingkat pendapatan konsumen, kecenderungannya ialah makin tinggi pula nilai elastisitas harga sendirinya. Sebaliknya pada unit analisa PSU, nilai elastisitas harga sendiri pepaya makin rendah dengan semakin tingginya tingkat pendapatan konsumen.
75
Tabel 21. Elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pengeluaran pepaya, unit sampling PSU
Wilayah Jawa Pedesaan Perkotaan Pendapatan : Rendah Sedang Tinggi Pendidikan : Rendah Sedang Tinggi
Elastisitas Harga sendiri (eii) -0.831 -0.789 -0.871
Elastisitas Harga Silang (eij) terhadap : Jeruk
Pisang
Elastisitas Pengeluaran
-0.132 -0.127 -0.141
-0.038 -0.084 -0.013
0.8575 0.9290 0.8313
-0.837 -0.876 -0.657
-0.118 -0.107 -0.236
-0.045 -0.016 -0.107
0.8742 0.8366 0.9775
-0.8337 -0.7755 -1.8280
-0.1237 -0.2812 1.1356
-0.0426 0.0567 -0.3078
0.8625 0.8886 -0.0817
4) Analisa nilai elastisitas harga sendiri berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan hasil yang seragam, baik analisa yang menggunakan unit sampling RT maupun PSU. Keduanya menunjukkan bahwa permintaan pepaya lebih responsif terhadap perubahan harga pada penduduk kelompok pendidikan tinggi. Pada analisa dengan unit sampling RT, elastisitas harga sendiri untuk kelompok pendidikan rendah ialah sebesar -0,65, dan untuk kelompok pendidikan tinggi mencapai -0,92. Elastisitas Harga Silang 5) Dari sisi tanda, hubungan antara pepaya dengan buah lainnya bersifat komplementer yang ditunjukkan oleh tanda negatif dari elastisitas harga silang. Interpretasi dari hubungan komplementer antara pepaya dengan komoditi komplemen tersebut ialah apabila terdapat penurunan harga komoditi komplemen tersebut, maka jumlah permintaan terhadap pepaya akan meningkat. Sementara itu hubungan yang bersifat subtitusi terlihat pada
76
pepaya dengan jeruk, khususnya pada kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan tinggi. Elastisitas Pengeluaran 6) Hasil analisis sebagian besar menunjukkan bahwa pepaya bersifat normal, yang berarti jika terdapat peningkatan pendapatan maka jumlah permintaan pepaya pun akan meningkat. Namun ditemukan nilai elastisitas pengeluaran pepaya yang bertanda negatif yaitu pada kelompok masyarakat dengan pendidikan tinggi. Dengan kata lain, pada kelo mpok pendidikan tinggi tersebut, pepaya merupakan komoditi yang bersifat inferior, dimana jika terdapat peningkatan pendapatan maka permintaannya justru menurun. 7) Elastisitas pengeluaran pepaya lebih elastis di wilayah pedesaan dibanding dengan di wilayah perkotaan. Pada unit sampling RT, elastisitas pengeluaran di wilayah pedesaan bahkan nilainya lebih dari satu. 8) Pengelompokkan berdasarkan tingkat pendapatan menunjukkan hasil yang berbeda antar unit sampling RT dengan PSU. Pada unit sampling RT, secara konsisten ditunjukkan bahwa nilai elastisitas pengeluaran akan semakin elastis dengan makin rendahnya tingkat pendapatan konsumen. Di sisi lain, pada unit sampling PSU hasilnya tidak menunjukkan arah yang konsisten, dari pendapatan rendah ke pendapatan sedang mengalami penurunan besaran elastisitas pengeluarnnya, namun dari pendapatan sedang ke pendapatan tinggi mengalami kenaikan besaran elastisitas. 9) Berdasarkan tingkat pendidikan, baik analisa dengan unit sampling RT maupun PSU menunjukkan bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan rendah lebih elastis nilai elastisitas pengeluaran pepayanya. Ini berarti
77
perubahan pendapatan, akan mendapat respon perubahan permintaan pepaya yang lebih besar dari kelompok pendidikan rendah daripada kelompok pendidikan tinggi.
6.4 Implikasi Kebijakan Dari uraian di atas diketahui bahwa tingkat konsumsi buah masyarakat Indonesia secara umum masih di bawah standar yang ditetapkan oleh FAO sebesar 60 kg/kapita/tahun. Hal ini tentunya perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah, agar di tahun-tahun mendatang konsumsi buah di Indonesia dapat meningkat. Pemerintah dapat membuat kebijakan baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Dari sisi permintaan, pemerintah dapat mendorong peningkatan konsumsi buah dalam berbagai alternatif. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap permintaan buah. Di sisi lain, kondisi riil di masyarakat menunjukkan bahwa peningkatan PDB riil per kapita ternyata belum mampu meningkatkan permintaan buah. Hal ini dapat disebabkan karena distribusi pendapatan pada masyarakat masih belum merata. Di satu wilayah (seperti perkotaan) tingkat pendapatan masyarakatnya secara umum relatif lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan, maka tingkat konsumsi buahnya pun menjadi lebih besar karena daya belinya yang lebih baik. Oleh karena itu, salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah untuk meningkatkan konsumsi buah masyarakat yaitu dengan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat.
78
Selain faktor pendapatan, dari hasil penelitian diketahui faktor lainnya yang juga berpengaruh signifikan terhadap permintaan buah ialah pendidikan. Sosialisasi mengenai pangan dan gizi secara umum melalui penyuluhan, pendidikan dan kampanye mengenai peningkatan konsumsi buah, terutama untuk buah dalam negeri masih sangat diperlukan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat terhadap buah-buahan maupun pangan bergizi lainnya. Strategi promosi lain yang dapat digunakan ialah dengan memanfaatkan teknologi seperti iklan layanan masyarakat di berbagai media elektronik maupun internet. Alternatif kebijakan ini relatif lebih mudah dan aplikatif dibandingkan dengan alternatif yang pertama, karena jika mengandalkan perbaikan distribusi pendapatan pada masyarakat untuk dapat meningkatkan konsumsi buah akan memerlukan proses yang panjang dan waktu yang lama. Dari hasil penelitian juga diketahui adanya indikasi pergeseran preferensi konsumen di Indonesia ke buah impor. Salah satu contoh kasusnya ialah buah jeruk. Jeruk merupakan salah satu buah yang volume impornya relatif tinggi dibandingkan jenis buah lainnya. Di wilayah perkotaan Jawa buah yang paling tinggi frekuensi konsumsinya ialah jeruk. Hal ini mengindikasikan bahwa impor buah (jeruk) sangat kuat penetrasinya di wilayah perkotaan Jawa. Kondisi ini tentunya perlu diantisipasi oleh pemerintah, karena dapat menggeser preferensi konsumen dari buah dalam negeri. Terlebih dalam rangka menuju era perdagangan bebas tentunya pemerintah harus mulai meminimalisir kebijakankebijakan yang berkaitan dengan pembatasan ataupun pengendalian impor buah. Dengan kata lain, pemerintah harus fokus pada peningkatan produksi buah dalam negeri. Potensi sumberdaya di Indonesia masih sangat mendukung untuk
79
dilakukan peningkatan produksi buah, baik dari segi ketersediaan lahan maupun tenaga kerja. Indonesia pun memiliki kekayaan plasma nutfah yang melimpah baik dalam jenis maupun macamnya. Dari ribuan yang ada, beberapa jenis buah tropik Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain mangga, manggis, durian, salak, pepaya, dan sebagainya. Beberapa permasalahan dari sisi produksi buah di Indonesia antara lain ialah skala usahanya yang relatif kecil. Secara tradisi, buah-buahan di Indonesia diusahakan sebagai tanaman pekarangan yang berisi berbagai tanaman tahunan. Usaha dengan skala pekarangan ini tentunya akan menghasilkan produk buah dengan kualitas maupun kuantitas yang terbatas. Berdasarkan situasi tersebut, maka kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah (baik pusat maupun daerah) untuk dapat meningkatkan produksi buah dalam negeri antara lain memulai untuk memperbaiki teknis produksi dan penanganan pasca panen agar kualitas dan kuantitas buah yang dihasilkan dapat terjaga secara konsisten. Selain itu pemerintah juga dapat membuat kebijakan yang berkaitan dengan aspek permodalan, karena skala usaha yang besar tentunya membutuhkan dukungan modal yang besar pula. Selain itu, pemerintah juga perlu mempercepat introduksi teknologi-teknologi yang berhubungan dengan pengembangan produksi maupun pascapanen kepada para petani buah. Dalam hal ini pemerintah juga dapat melibatkan pihak akademisi untuk mengintroduksikannya kepada para petani. Ini juga merupakan tantangan bagi para ahli pemuliaan tanaman untuk selalu menghasilkan jenis buah yang memiliki kualitas dan produktivitas yang baik. Selain
mengantisipasi
aspek
produksi,
pemerintah
juga
perlu
memperhatikan aspek manajemen pemasaran, termasuk di dalamnya masalah
80
transportasi dan distribusi yang masih lemah. Hal tersebut mengingat bahwa buah lokal di Indonesia masih memiliki mata rantai yang panjang. Dengan demikian, tidak cukup efisien menghasilkan buah berkualitas bagus dan harga yang bersaing di tingkat konsumen. Jika distribusi buah sudah baik maka tentunya produk yang telah dihasilkan dapat dikonsumsi oleh sebagian besar lapisan masyarakat dan tingkat konsumsi buah di Indonesia pun dapat meningkat.
81
Tabel 22. Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling Rumah Tangga) Kategori Pengklasifikasian
Komoditi
Jeruk
Pisang
Pepaya
Wilayah (Pedesaan-Perkotaan)
Kelas Pendapatan
Tingkat Pendidikan Kepala Rumahtangga Elastisitas harga Elastisitas (Ed) Pengeluaran (Ei)
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
elastisitas permintaan jeruk lebih elastis pada rumahtangga di wilayah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.
elastisitas pengeluaran terhadap jeruk di perkotaan lebih elastis dibanding pedesaan.
elastisitas harga sendiri semakin elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.
secara konsisten ditunjukkan bahwa elastisitas pengeluaran makin elastis dengan semakin tingginya tingkat pendapatan rumahtangga.
elastisitas harga sendiri jeruk lebih elastis pada rumahtangga kelompok pendidikan tinggi
Nilai elastisitas pengeluaran cenderung meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan kepala rumahtangga.
elastisitas harga sendiri pisang lebih elastis pada wilayah perkotaan dibanding dengan pedesaan.
nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih besar (lebih elastis) pada rumahtangga di pedesaan dibandingkan dengan rumahtangga perkotaan
semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga, nilai elastisitas harga sendiri pisangnya akan semakin kecil.
nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih besar pada rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.
nilai elastisitas harga sendiri pisang lebih rendah pada rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.
nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan rendah
permintaan pepaya rumahtangga di perkotaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding penduduk desa.
Elastisitas pengeluaran pepaya lebih elastis di wilayah pedesaan dibanding dengan di wilayah perkotaan.
makin tinggi tingkat pendapatan rumahtangga, kecenderungannya ialah makin tinggi pula nilai elastisitas harga sendirinya.
secara konsisten ditunjukkan bahwa nilai elastisitas pengeluaran akan semakin tinggi dengan makin rendahnya tingkat pendapatan konsumen
permintaan pepaya lebih responsif terhadap perubahan harga pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah lebih elastis nilai elastisitas pengeluaran pepayanya
82
Tabel 23. Ringkasan Konsumsi Buah pada Tingkat Rumah Tangga di Pulau Jawa (Unit Sampling PSU) Kategori Pengklasifikasian
Komoditi
Jeruk
Pisang
Pepaya
Wilayah (Pedesaan-Perkotaan)
Kelas Pendapatan
Tingkat Pendidikan Kepala Rumahtangga Elastisitas harga Elastisitas (Ed) Pengeluaran (Ei)
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
Elastisitas harga (Ed)
Elastisitas Pengeluaran (Ei)
elastisitas permintaan jeruk lebih elastis pada rumahtangga di wilayah perkotaan dibandingkan dengan pedesaan.
elastisitas pengeluaran terhadap jeruk di perkotaan lebih elastis dibanding pedesaan.
elastisitas harga sendiri semakin elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.
elastisitas harga sendiri jeruk lebih elastis pada rumahtangga kelompok pendidikan tinggi
elastisitas harga sendiri pisang lebih elastis pada wilayah perkotaan dibanding dengan pedesaan.
nilai elastisitas pengeluaran lebih besar pada rumahtangga di perkotaan (meskipun nilainya tidak jauh berbeda antara pedesaan (1,274) dengan perkotaan (1,276)) Elastisitas pengeluaran pepaya lebih elastis di wilayah pedesaan dibanding dengan di wilayah perkotaan.
semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga, nilai elastisitas harga sendiri pisangnya akan semakin kecil.
secara konsisten ditunjukkan bahwa elastisitas pengeluaran makin elastis dengan semakin tingginya tingkat pendapatan rumahtangga. nilai elastisitas pengeluaran lebih besar pada rumahtangga dengan tingkat pendapatan rendah
nilai elastisitas pengeluaran pepaya lebih besar pada rumahtangga dengan tingkat pendapatan tinggi.
permintaan pepaya lebih responsif terhadap perubahan harga pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.
permintaan pepaya rumahtangga di perkotaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding penduduk desa.
nilai elastisitas harga sendiri pepaya makin rendah dengan semakin tingginya tingkat pendapatan rumahtangga.
nilai elastisitas harga sendiri pisang lebih rendah pada rumahtangga dengan tingkat pendidikan tinggi.
Nilai elastisitas pengeluaran cenderung meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan kepala rumahtangga. nilai elastisitas pengeluaran pisang lebih elastis pada kelompok rumahtangga dengan tingkat pendidikan rendah
penduduk dengan tingkat pendidikan rendah lebih elastis nilai elastisitas pengeluaran pepayanya
83
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1) Tingkat konsumsi buah di Indonesia selama beberapa kurun waktu terakhir menunjukkan kecenderungan terjadinya peningkatan. konsumsinya
menurut
wilayah,
Dilihat dari pola
selama periode 2003-2006
proporsi
pengeluaran untuk buah-buahan di pedesaan lebih besar daripada di perkotaan, sedangkan berdasarkan penggolongan menurut tingkat pendapatan, terdapat kecenderungan proporsi pengeluaran untuk buah-buahan yang semakin meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. 2) Jenis buah yang tingkat konsumsinya relatif paling tinggi dari tahun ke tahun ialah pisang, jeruk, rambutan, dan pepaya. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat konsumsi buah-buahan tersebut adalah faktor musim, dimana jenis-jenis buah tersebut (kecuali rambutan) produksinya tidak tergantung musim, sehingga selalu tersedia sepanjang tahun. 3) Di Pulau Jawa, pada tahun 2005 Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi yang tingkat konsumsi buahnya paling tinggi. Pola konsumsi buah-buahan pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa berdasarkan tingginya frekuensi konsumsi berturut-turut pisang – jeruk – pepaya – salak – semangka. 4) Analisis dengan menggunakan unit sampling Rumah Tangga (RT) maupun Primary Sampling Unit (PSU) secara umum menghasilkan arah dari nilai dugaan parameter yang sama. Kedua prosedur tersebut menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas (kecuali jumlah anggota rumah tangga), yaitu harga sendiri, harga buah lain, pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran), dan
84
tingkat pendidikan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap proporsi pengeluaran buah pada taraf nyata 5 persen. 5) Permintaan untuk jeruk, pisang, dan pepaya di perkotaan Pulau Jawa lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding daerah pedesaan. Untuk jeruk, semakin
tinggi
tingkat
pendapatan
rumah
tangga
semakin
elastis
permintaannya terhadap perubahan harga. Untuk pisang dan pepaya berlaku sebaliknya. Terdapat hubungan komplementer antara jenis buah yang dianalisis (jeruk, pisang, dan pepaya). Dari kecilnya nilai elastisitas harga komoditi lain (harga silang), maka sifat komplementer tersebut tidak terlalu kuat. 6) Di wilayah Pulau Jawa secara total, desa, maupun kota, semua jenis buah yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai elastisitas pengeluaran. Ini berarti dengan semakin meningkatnya pendapatan rumahtangga maka akan meningkatkan permintaan komoditi tersebut. Pada seluruh komoditi, elastisitas pengeluaran cukup elastis, terutama pada pisang.
6.2 Saran 1) Pemerintah perlu meningkatkan konsumsi buah di Indonesia dengan cara memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. Selain itu alternatif lain yang dapat ditempuh ialah melalui sosialisasi mengenai pangan dan gizi secara umum melalui penyuluhan, pendidikan, dan kampanye mengenai peningkatan konsumsi buah, terutama untuk buah dalam negeri. Strategi promosi lain yang dapat digunakan ialah dengan memanfaatkan teknologi seperti iklan layanan masyarakat di berbagai media elektronik maupun internet.
85
2) Dari sisi penawaran, pemerintah sebaiknya memfokuskan usaha peningkatan konsumsi dengan cara meningkatkan produksi buah dalam negeri. Kebijakan yang berkaitan dengan aspek permodalan dan pengembangan teknologi produksi maupun pascapanen juga perlu dirumuskan. 3) Pemerintah juga perlu memperhatikan aspek manajemen pemasaran, termasuk di dalamnya masalah transportasi dan distribusi yang masih lemah. Jika distribusi buah sudah baik maka tentunya produk yang telah dihasilkan dapat dikonsumsi oleh sebagian besar lapisan masyarakat dan tingkat konsumsi buah di Indonesia pun dapat meningkat 4) Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menambah jumlah variabel demografi yang belum dianalisis dalam penelitian ini, misalnya tingkat pendidikan istri/ibu. Hal ini karena decision maker mengenai konsumsi pangan di tingkat rumah tangga umumnya ialah istri/ibu, sehingga diduga tingkat pendidikan istri/ibu ini akan berpengaruh terhadap permintaan buah. Selain itu variabel usia juga dapat turut dianalisis, mengingat usia merupakan salah satu faktor yang menentukan permintaan seseorang terhadap komoditi pangan tertentu. Dalam menganalisis variabel- variabel demografi tersebut sebaiknya juga dianalisis secara mendalam mengenai elastisitasnya (elastisitas pendidikan, elastisitas jumlah anggota ruma h tangga, dan seterusnya), sehingga dapat diketahui faktor manakah yang sebenarnya paling berpengaruh terhadap permintaan buah. 5) Dalam penelitian ini data yang digunakan ialah konsumsi buah total, artinya tidak dipisahkan apakah komoditi yang dikonsumsi tersebut dari hasil membeli (cash and carry commodity), produksi sendiri (self production
86
commodity), atau pemberian dari pihak lain. Akan lebih baik jika dalam penelitian selanjutnya hanya menggunakan data konsumsi yang bersumber dari hasil membeli (cash and carry commodity). Hal tersebut bertujuan untuk menghindarkan bias survey dalam interpretasi nilai elastisitasnya. Pemisahan data ini sudah dilakukan oleh pihak BPS, sehingga tidak akan menyulitkan bagi penelitian selanjutnya. 6) Untuk penelitian selanjutnya disarankan pula untuk memisahkan komoditi berdasarkan asalnya, apakah produksi dalam negeri atau impor. Dengan adaya pemisahan tersebut, maka akan dapat memperkaya dan mempertajam analisis mengenai
keragaman
konsumsi
dengan
perbandingan
antara
model
permintaan pangan lokal dengan pangan impor. Untuk data SUSENAS 2005 pemisahan data konsumsi berdasarkan asalnya ini belum dilakukan, namun jika di waktu mendatang BPS sudah melakukan pemisahan, maka saran ini memungkinkan untuk dilaksanakan. 7) Estimasi non linier dari AIDS juga disarankan untuk diterapkan, mengingat dalam kondisi riil tentunya perubahan harga, pendapatan, ataupun variabel lainnya tidak selalu direspon secara linier oleh permintaan suatu komoditi. Hasil dari estimasi non linier ini dapat diperbandingkan dengan estimasi liniernya, sehingga dapat diketahui pendekatan mana yang lebih baik.
87
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa. 1993. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan Serta Proyeksi Kebutuhan Pangan pada Repelita VI di Tiga Provinsi di Indonesia. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Baliwati, Yayuk Farida, Ali Khomsan, dan Meti Dwiriani. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya : Depok Biro Pusat Statistik. 2005. Survey Sosial Ekonomi Nasional. Pedoman Kerja Kepala Kantor Statistik Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jakarta. . 2002. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2002. Jakarta . 2003. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2003. Jakarta . 2004. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2004. Jakarta . 2005. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2005. Jakarta . 2006. Pengeluaran Untuk Konsumsi Penduduk Indonesia 2006. Jakarta Budiar, Silvia. 2000. Analisis Permintaan dan Konsumsi Sumber Protein Hewani Rumah Tangga di Pulau Jawa. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Daud, Lekir Amir.1986. Kajian Sistem Makanan Penting di Indonesia Suatu Penerapan Model Almost Ideal Demand Sistem (AIDS) dengan data SUSENAS 1981. Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Deaton, Angus and John Muellbauer. 1980a. Economic and Consumer Behavior. Cambridge University Press, Cambridge, Mass. Deaton, Angus and John Muellbauer. 1980b. An Almost Ideal Demand Sistem. American Economic Review 70 : 312-326. Deaton, Angus.1990. Price Elasticities from Survey Data, Extention and Indonesian Result on Living Standard Measuring Survey (LSMS) Working Paper No.69. Washington D. C : World Bank. Deroes, Kartini 1994. Pendekatan Teknologi Produksi Mengatasi Kendala Pemasaran Buah-buahan Indonesia dalam Prosiding Simposium Hortikultura Nasional, Malang 9-8 November. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya & Perhimpunan Hortikultura Indonesia.
88
Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura. 2003. Statistik Tanaman Buah-buahan Tahun 2003. Jakarta . 2004. Statistik Tanaman Buah-buahan tahun 2004. Jakarta. . 2005. Statistik Tanaman Buah-buahan tahun 2005. Jakarta. Hadi, Prajogo Utama, dkk. 2000. Alternatif Model Pemasaran Komoditas Hortikultura Mendukung Gema Hortina. Makalah yang dipresentasikan pada Seminar Intern Hasil- hasil Penelitian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian TA. 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Hartoyo, Sri. 1997. Analisis Permintaan Buah-buahan di Jawa Barat. Mimbar Sosek Vol. 10, No. 1 Edisi April. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kuntjoro, Sri Utami. 1984. Permintaan Bahan Makanan Penting di Indonesia. Disertasi Doktor. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kurniawan, Rudi. 1993 Analisis Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Pulau Jawa Suatu Kajian Almost Ideal Demand Sistem (AIDS) dengan data SUSENAS 1990. Skripsi. Jurusan Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lipsey, Richard . 1995. Pengantar Mikroekonomi. Binarupa Aksara : Jakarta. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediet dan Aplikasinya. Erlangga : Jakarta. Nicholson, Walter. 1987. Microeconomic Theory Basic Principle and Extensions. Amherst College. The Dryden Press. Rachmat, Muchjidin dan Erwidodo. 1993. Pendugaan Permintaan Pangan Utama di Indonesia : Penerapan Model Almost Ideal Demand Sistem (AIDS) dengan data SUSENAS 1990. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 12, No. 2 hal. 24-38. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Rahmi, Dewi.2001. Analisa Permintaan Makanan dan Dampak Perubahan Harga terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga di Jawa Barat, Aplikasi Model AIDS. Tesis. Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Depok. Saliem, Handewi Purwati., Rachman dan Erwidodo. 1994. Kajian Sistem Permintaan Pangan di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol.13, No. 2 hal. 72-89. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian.
89
Saliem, Handewi Purwati. 2002. Analisis Permintaaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi Vol. 20, No.2 hal. 64-91. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Sawit, Muhammad Husein, Mewa Ariani, Iwan Setiadjie, Tri B. Purwanti, dan Ade Supriatna. 1997. Perubahan Pola Konsumsi Komoditas Hortikultura di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian, Indonesia. Sitepu, Rasidin Karo-Karo dan Bonar M. Sinaga. 2006. Aplikasi Model Ekonometrika, Estimasi, Simulasi, dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sumarno. 2001. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Agribisnis Hortikultura 2002-2004. Makalah yang disampaikan dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Agribisnis Hortikultura September 2001. Dirjen Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian. Syafa’at, Nizwar, dkk. 2005. Pengembangan Model Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama. Makalah yang disampaikan dalam Seminar Proposal Operasional TA. 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. Timmer, Peter and Harold Alderman. 1979. Estimating Consumption Parameter for Food Policy Analysis. American Journal of Agricultural Economics. December Edition Vol.61 Page 982-987. -----------. 1993. Prospek Perkembangan Ekspor Buah-buahan Indonesia. Makalah yang disampaikan dalam Latihan Jangka Pendek Metodologi Ustan Tanaman Buah-buahan, Februari 1993. Badan Pengembangan Ekspor Nasiona l, Departemen Perdagangan.
90
Lampiran 1. Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling RT
Tabel 1. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa Komoditi Jeruk
share 0.35959
intercep x
0.056647
Pjeruk 0.066316
Ppisang -0.03147
Ppepaya -0.03484
JART
PDDKN x
-0.00388
x
0.008664
x
EXP
IHS
0.023832
-0.02328
Pisang
0.27731
0.599728
-0.03147
0.053829
-0.02236
0.000353
-0.03562
-0.02932
0.032556
Pepaya
0.18037
0.343624
-0.03484
-0.02236
0.057199
-0.00585 x
-0.00628 2
-0.00394 x
-0.00928
PDDKN
Tabel 2. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa wilayah Pedesaan Komoditi Jeruk
share 0.36241
intercep -0.29344
3
Pjeruk 0.078642
Ppisang -0.03456
Ppepaya -0.04408
JART -0.01106
x
EXP
IHS
-0.00891
x
0.057423
-0.04732
x
Pisang
0.3158
0.804364
-0.03456
0.062909
-0.02835
0.010990
-0.04427
-0.04566
0.042781
Pepaya
0.17906
0.489081
-0.04408
-0.02835
0.072431
0.001493x
-0.00691 x
-0.01815
0.004534
PDDKN
EXP
Tabel 3 Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa wilayah Perkotaan Komoditi Jeruk
share 0.35835
intercep 1
0.185934
Pjeruk 0.061647
Ppisang -0.03155
Ppepaya -0.0301
JART 3
x
IHS 2
0.013363
0.002587
0.011187
-0.01405
x
Pisang
0.26049
0.477610
-0.03155
0.049718
-0.01817
0.00684
-0.02006
-0.02
0.026086
Pepaya
0.18095
0.336465
-0.0301
-0.01817
0.048273
-0.0065x
-0.00928
-0.0026x
-0.01204
Tabel 4. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Rendah Komoditi Jeruk
share 0.37334
intercep 0.420953
Pjeruk 0.068075
Ppisang -0.02797
Ppepaya -0.04010
JART -0.02265
PDDKN 3
2
EXP
IHS
x
0.00812
-
-0.02504
Pisang
0.31542
0.291391
-0.02797
0.048341
-0.02037
-0.023
-0.02487
-
0.023884
Pepaya
0.19512
0.287656
-0.0401
-0.02037
0.060469
-0.02273 1
-0.00582 x
-
0.001151
Tabel 5. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Sedang Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN 3
x
EXP
IHS
-
-0.018568
Jeruk
0.36327
0.354467
0.070585
-0.03388
-0.0367
0.018523
-0.00269
Pisang
0.26707
0.314167
-0.03388
0.057644
-0.02376
-0.0784
-0.03382
-
0.028403
Pepaya
0.18147
0.331371
-0.0367
-0.02376
0.060463
-0.02202
-0.00755 2
-
-0.01273
Tabel 6. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat PendapatanTinggi Komoditi Jeruk
share 0.32466
intercep 0.41345
Pjeruk 0.054794
Ppisang -0.0347
Ppepaya 1
-0.0201
JART -0.0455
PDDKN
EXP
IHS
-0.05917
-
0.009101
3
-0.07485
-
0.028822
0.018688
-
-0.03792
Pisang
0.22145
0.236231
-0.0347
0.055224
-0.02053
-0.02001
Pepaya
0.14862
0.350319
-0.02010 1
-0.02053
0.040621
0.010359x
91
Tabel 7. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Rendah Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
IHS
Jeruk
0.36187
-0.07317 x
0.072688
-0.0316
-0.04109
-0.00584 x
-
0.035348
-0.02895
x
-
-0.04311
0.040290
-
-0.00283 x
-0.01134
Pisang
0.28433
0.730513
-0.03160
0.054565
-0.02297
-0.00108
Pepaya
0.18570
0.342653
-0.04109
-0.02297
0.064058
-0.00873 x
Tabel 8. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Sedang Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.37512
0.4173682
0.081017
-0.04240
-0.03861
0.0389352
-
0.000977x
-0.04257
x
-
-0.02474
3
0.029663
-0.00112 x
-
0.010620x
0.012910
1
Pisang
0.28832
0.556193
-0.04240
0.065783
-0.02338
Pepaya
0.17611
0.026439x
-0.03861
-0.02338 1
0.061992
-0.01877
IHS
Tabel 9. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Tinggi Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
Jeruk
0.32892
0.2325893
0.024701x
-0.03281
0.008105x
0.0684882
x
PDDKN
EXP
IHS
-
-0.00475x
0.010343
x
2
0.004271
Pisang
0.22657
0.394555
-0.03281
0.052555
-0.01975
0.035254
-
-0.01570
Pepaya
0.15103
0.372856
0.008105x
-0.01975
0.011644x
-0.00962 x
-
-0.00819 x
-0.01461
IHS
Tabel 10. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi DKI Jakarta Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.36083
0.373037
0.064367
-0.03361
-0.03075
0.016746x
-0.02888
-0.00238 x
Pisang
0.22322
0.1909863
-0.03361
0.032529
0.001086x
0.038254
-0.04493
Pepaya
0.18458
0.435978
-0.03075
x
0.001086
0.029666
x
0.00662
-0.00053
-0.00535 x x
-0.00607 x
Tabel 11. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Barat Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.35656
-0.24669 3
0.078778
-0.03971
-0.03907
0.004214x
0.0196262
0.046149
-0.03035
-0.037
-0.00837 x
-0.01679 2
x
Pisang
0.27288
0.764054
-0.03971
0.051749
-0.01204
Pepaya
0.20839
0.482631
-0.03907
-0.01204 x
0.051106
-0.02514
x
-0.00342 x
IHS
Tabel 12. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Tengah Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.36002
0.224612x
0.094515
-0.04127
-0.05324
-0.00846 x
-0.001x
0.00915x
Pisang
0.31307
0.2631333
-0.04127
0.042745
0.015035x
-0.03317
Pepaya
0.15774
0.512255
-0.05324
-0.00147
x
-0.00147 x x
0.054719
x
0.01434
IHS
-0.00292 x x
0.003911
-0.01787 2
92
Tabel 13. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi DI Yogyakarta Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.34825
0.023316x
0.0445132
-0.02906 2
-0.01545 x
0.060537
-0.02045 x
0.0343452
Pisang
0.2919
0.5396011
-0.02906 2
0.066751
-0.03769
-0.03685 2
-0.00031 x
-0.01868 x
1
x
x
-0.02060 3
Pepaya
0.19605
0.437083
-0.01545
-0.03769
0.053144
-0.07214
-0.00603
IHS
Tabel 14. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Timur Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.36485
0.0786 x
0.026442
-0.01863 2
-0.00781 x
0.022288x
-0.01976 2
0.0217712
Pisang
0.28681
0.592086
-0.01863 2
0.064556
-0.04593
-0.01645 x
-0.04686
-0.03099
0.329314
x
-0.04593
0.053737
-0.011x
0.005317x
0.00253x
Pepaya
0.1717
-0.00781
IHS
Tabel 15. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Banten Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.36221
-1.58551
0.027469x
-0.00161 2
-0.02585 x
-0.1634x
0.0086872
0.1755842
Pisang
0.23313
2.523291
-0.00161 x
-0.04434
0.045956
0.059031x
-0.18539
-0.18228
x
0.045956
-0.0201
-0.01714 x
0.020124x
0.009895x
Pepaya
0.15912
x
0.062213
-0.02585
IHS
Keterangan : Pjeruk
= Harga Jeruk
Ppisang
= Harga Pisang
Ppepaya
= Harga Pepaya
JART
= Jumlah Anggota per Rumah Tangga
PDDKN
= Tingkat Pendidikan
EXP
= Total Pengeluaran Rumah Tangga (per bulan)
IHS
= Indeks Harga Stone
1)
= nyata pada taraf 97,5 %
2)
= nyata pada taraf 95 %
3)
= nyata pada taraf 90 %
x)
= tidak nyata
Jika tidak ada keterangan berarti nyata pada taraf 99 %
93
Lampiran 2. Nilai Estimasi Parameter Model AIDS dengan Unit Sampling PSU
Tabel 1. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
Jeruk
0.36675
-0.15838 x
0.027492
-0.01427 2
-0.01322
Pisang
0.25865
1.170626
-0.01427
Pepaya
0.09988
-0.01225 x
-0.01322
2
1
x
0.017933
-0.00367
-0.00367 x
0.016890
PDDKN
EXP
IHS
-0.00231 x
0.072345
0.050140
-0.06415
x
-0.17920
-0.07450
0.078378
0.000684x
0.0135151
-0.01423
PDDKN
EXP
IHS
0.070883
0.164449
-0.08708
0.109505
-0.08876
-0.14316
0.094247
0.020683x
-0.01130 x
-0.03798
-0.00716
-0.00381
0.000683x
Tabel 2. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa Wilayah Pedesaan Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
Jeruk
0.35231
-1.51255
0.0340231
-0.02123
-0.01283 3
-0.09831
3
1
x
Pisang
0.34441
1.87474
-0.0212
0.029656
-0.00846
Pepaya
0.1009
0.637808
-0.01283 3
-0.00846 x
0.021284
2
Tabel 3. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa Wilayah Perkotaan Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
IHS
Jeruk
0.37727
0.183153
0.02727
-0.01328 3
-0.01399 1
-0.00603 x
-0.00854 x
0.026286
-0.03752
3
x
x
-0.09579
-0.05735
0.054236
0.006463x
0.020302
-0.01672
3
Pisang
0.1962
0.925188
-0.01328
Pepaya
0.09914
-0.10834 x
-0.01399 1
0.012027
0.001255
-0.02577
0.001255x
0.0127362
0.003932x
Tabel 4. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Rendah Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
IHS
Jeruk
0.3587
0.50457
0.0218823
-0.00949 x
-0.01239 3
0.035682x
0.100764
-
-0.08888
-0.15293
-0.11183
-
0.102048
-0.01524 x
-0.01322 3
-
-0.01317
x
Pisang
0.34669
0.302107
-0.00949
Pepaya
0.10472
0.193323
-0.01239 3
x
0.01421
-0.00472
-0.00472 x
0.017112
x
Tabel 5. Nilai estimasi parameter Model AIDS untukPulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan sedang Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
IHS
Jeruk
0.38889
0.484612
0.0255362
-0.01509 3
-0.01044 3
-0.0164x
0.0182863
-
-0.02634
3
3
Pisang
0.22256
0.389833
-0.01509
Pepaya
0.097472
0.125555
-0.01044 3
x
0.016691
-0.0016
-0.14928
-0.11896
-
0.042268
-0.0016x
0.0120423
0.016579x
0.026041
-
-0.01593
Tabel 6. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendapatan Tinggi Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
IHS
Jeruk
0.33873
0.505967
0.040208
-0.01782 3
-0.02239
-0.06092 2
-0.04055 1
-
-0.00751
-0.0493
-0.06044
-
0.009654
0.007421x
-0.05290
-
-0.00214
Pisang
0.15481
0.277171
-0.01782
Pepaya
0.095023
0.216862
-0.02239
3
1
x
0.027966
-0.01015
-0.01015 x
0.032536
3
94
Tabel 7. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Rendah Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
Jeruk
0.36968
-0.78771
0.024618
-0.01209 3
-0.01253
3
Pisang
0.27068
1.844232
-0.01209
Pepaya
0.10126
-0.05652 x
-0.01253 1
2
x
0.016405
-0.00431
-0.00431 x
0.016842
PDDKN
EXP
IHS
-0.03885 3
-
0.105103
-0.06438
1
0.064916
-
-0.1433
0.078299
-0.00189 x
-
0.016934
-0.01392
Tabel 8. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Sedang Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
IHS
Jeruk
0.34852
0.3909343
0.0378912
-0.01392 x
-0.02397 2
0.03116x
-
0.013913x
-0.05423
x
x
x
1
-
-0.04367
0.063735
-
0.004775x
-0.0095
Pisang
0.15195
0.52856
-0.01392
Pepaya
0.085248
0.083210x
-0.02397 2
0.009089
0.004834
-0.07856
0.004834x
0.0191353
0.009736x
Tabel 9. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Pulau Jawa dengan Tingkat Pendidikan Tinggi Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.31404
1.355397
-0.07325 2
-0.00465 x
0.077893
0.5244072
-
-0.15614
x
x
x
Pisang
0.12359
0.376013
-0.00465
Pepaya
0.068589
-0.73141
0.077893
x
0.025751
-0.02111
-0.02111 x
-0.05679 2
IHS 0.098654 x
-0.01696
-0.08108
-
-0.00107
-0.22467 x
-
0.105556
-0.08169
IHS
Tabel 10. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi DKI Jakarta Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.35078
0.265819x
0.019562x
-0.01332 x
-0.00624 x
-0.04943 x
-0.01859 x
0.014487x
Pisang
0.13974
0.159341x
-0.01332 x
0.0231423
-0.00982 x
0.037763x
-0.09069
0.002118x
x
x
x
Pepaya
0.12599
0.57484
-0.00624
-0.00982
0.016068
2
x
0.07485
0.014383
-0.03839
PDDKN
EXP
Tabel 11. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Barat Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
Jeruk
0.39616
-0.41854 x
0.0468071
-0.02973
-0.01713
-0.01503 x
0.078172
0.070984
x
-0.16346
-0.09823
-0.01386 x
0.0201483
PDDKN
EXP
3
1
x
Pisang
0.2516
1061255
-0.0297
0.042861
-0.01316
Pepaya
0.094864
-0.19401 x
-0.01710 3
-0.01316 x
0.030258
-0.07314
0.0548422
IHS
Tabel 12. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Tengah Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
Jeruk
0.35109
-0.48615 3
0.049621
-0.03752 1
-0.01211 x
0.043829x
0.075903
0.07406
0.03606
x
0.001455
-0.11419
1
-0.15304
-0.07361
0.001455x
0.010651x
0.00905x
0.0158873
-0.0085x
1
Pisang
0.31721
1.206385
-0.03752
Pepaya
0.084692
0.2797663
-0.01211 x
1
IHS
95
Tabel 13. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi DI Yogyakarta Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.42663
0.463829x
0.0581063
-0.02436 x
-0.03375 3
0.070621x
0.032029x
-0.00359 x
Pisang
0.24232
0.555584x
-0.02436 x
0.007657x
0.0167 x
0.063256x
-0.1735
-0.02897 x
0.08283
x
3
Pepaya
-0.01941
-0.03375
0.0167
x
x
0.017049
-0.05195
3
-0.00283
x
IHS
0.02052x
Tabel 14. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Jawa Timur Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
Jeruk
0.34469
-0.37736 3
0.012228x
-0.00633 x
-0.00589 x
x
x
x
Pisang
0.28158
0.863613
-0.00633
Pepaya
0.1107
0.513743
-0.00589 x
0.021295
-0.01496
-0.01496 3
0.0208542
PDDKN
EXP
-0.0521x
0.079128
0.074186
x
0.03588
-0.14839
-0.05527
0.004096x
-0.02422 1
-0.03051
IHS
Tabel 15. Nilai estimasi parameter Model AIDS untuk Propinsi Banten Komoditi
share
intercep
Pjeruk
Ppisang
Ppepaya
JART
PDDKN
EXP
Jeruk
0.36973
-1.58551
0.02747x
-0.00161 x
-0.02585 x
-0.16342 x
0.008687x
0.175584
x
-0.04434
0.045956
Pisang
0.2052
2.52329
-0.00161
Pepaya
0.099781
0.062213x
-0.02585 x
3
x
0.045956
0.059031
-0.18539
-0.18228
-0.02010 x
-0.01714 x
0.020124x
0.009895x
IHS
Keterangan : Pjeruk
= Harga Jeruk
Ppisang
= Harga Pisang
Ppepaya
= Harga Pepaya
JART
= Jumlah Anggota per Rumah Tangga
PDDKN
= Tingkat Pendidikan
EXP
= Total Pengeluaran Rumah Tangga (per bulan)
IHS
= Indeks Harga Stone
1)
= nyata pada taraf 97,5 %
2)
= nyata pada taraf 95 %
3)
= nyata pada taraf 90 %
x)
= tidak nyata
Jika tidak ada keterangan berarti nyata pada taraf 99 %
96
Lampiran 3 Perintah membuat mode l AIDS da lam program SAS Contoh : Model AIDS untuk Pulau Jawa secara agregat dengan unit sampling RT. option nodate nonumber nocenter; data impor; set JAWA; *create share pengeluaran komoditi; S128=V128/Vbuah; Spisang=Vpisang/Vbuah; S140=V140/Vbuah; *create harga komoditi; P128=V128/Q128; Ppisang=Vpisang/Qpisang; P140=V140/Q140; *create log harga; LP128=log(P128); LPpisang=log(Ppisang); LP140=log(P140); Ljart=log(jart); Ltamat1=log(tamat1); Lexp=log(exp); *create indeks harga stone; ih128=S128*LP128; ihpisang=Spisang*LPpisang; ih140=S140*LP140; ttih=sum(ih128,ihpisang,ih140); ih=exp(ttih); p=(vbuah/ih); lnp=log(p); label
S128 ='share jeruk' Spisang = 'share pisang' S140 = 'share pepaya' LP128 = 'harga jeruk' LPpisang = 'harga pisang' LP140 = 'harga pepaya' lnp = 'indeks harga stone' Ljart = 'jumlah anggota keluarga' Ltamat1 = 'pendidikan' Lexp = 'pendapatan'; run; title1 'model almost ideal demand system RT JAWA';
proc syslin data=impor sur outest=hasil; model S128 = LP128 LPpisang LP140 Ljart Ltamat1 Lexp lnp; model Spisang = LP128 LPpisang LP140 Ljart Ltamat1 Lexp lnp; model S140 = LP128 LPpisang LP140 Ljart Ltamat1 Lexp lnp;
97
/*syarat adding up, homogeniti dan simetri*/ var
S128 Spisang S140;
srestrict S128.intercep + Spisang.intercep + S140.intercep = 1; srestrict S128.lnp + Spisang.lnp + S140.lnp =0; srestrict
S128.LP128 + S128.LPpisang + S128.LP140 =0, Spisang.LP128 + Spisang.LPpisang + Spisang.LP140 =0, S140.LP128 + S140.LPpisang + S140.LP140 =0;
srestrict
S128.LP128 + Spisang.LP128 + S140.LP128 =0, S128.LPpisang + Spisang.LPpisang + S140.LPpisang =0, S128.LP140 + Spisang.LP140 + S140.LP140 =0;
srestrict
S128.LPpisang=Spisang.LP128, Spisang.LP140=S140.LPpisang, S128.LP140=S140.LP128;
run;
98
Lampiran 4
Karakteristik Data SUSENAS 2005
1. Definisi SUSENAS Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) merupakan survey yang dirancang untuk mengumpulkan data social kependudukan yang relative sangat luas. Data yang dikumpulkan antara lain menya ngkut bidang-bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan, social ekonomi lainnya, kegiatan social budaya, konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga, perjalanan, dan pendapat masyarakat
mengenai
dikelompokkan
ke
kesejahteraan
dalam
3
rumah
tangga.
Data-data
modul/paket
utama,
yaitu
(1)
tersebut modul
konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga, (2) modul social budaya dan pendidikan, serta (3) modul kesehatan dan perumahan. Masing- masing modul tersebut dilakukan survey secara bergiliran setiap tahunnya, dan untuk tahun 2005 merupakan giliran untuk modul konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga. Namun dalam rangka program pemerintah Indonesia untuk mengentaskan kemiskinan, maka sejak tahun 2003 khusus untuk modul konsumsi ini dilakukan survey setiap tahun sekali. Dimana pada tahun yang sebenarnya bukan giliran untuk survey modul konsumsi, pengumpulan data dilakukan secara panel yaitu mencacah kembali rumah tangga terpilih modul konsumsi sebelumnya, dengan tujuan agar data yang dihasilkan sangat terbanding antar tahun. Pendataan secara panel hanya dirancang untuk estimasi tingkat nasional, dengan cakupan sample sekitar 10.000 rumah tangga. 2. Ruang Lingkup Pelaksanaan Susenas 2005 mancakup 278.352 rumah tangga sample yang tersebar di seluruh wilayah geografis Indonesia, dengan rincian 68.288 rumah tangga sample kor- modul dan 210.064 rumah tangga sample kor (tanpa modul), dan 10.640 rumah tangga sample Susenas Panel yang merupakan bagian dari rumah tangga sample kor-modul. (Keterangan : kor merupakan kumpulan keterangan yang dikumpulkan tiap tahun, sedangkan modul adalah keterangan yang dikumpulkan tiga tahun sekali)
99
3. Kerangka Sampel Kerangka sample yang digunakan dalam SUSENAS 2005 terdiri dari tiga jenis, yaitu kerangka sample untuk pemilihan blok sensus, kerangka sample untuk pemilihan sub blok sensus, dan kerangka sample untuk pemilihan rumah tangga dalam blok sensus/sub blok sensus terpilih. Kerangka sample untuk pemilihan blok sensus adalah daftar blok sensus biasa yang dilengkapi jumlah rumah tangga hasil pencacahan P4B 2003 (Pendaftaran pemilih dan Pendataan penduduk berkelanjutan). Kerangka sample ini mencakup blok sensus biasa di 440 kabupaten/kota dan dibedakan menurut daerah perkotaan dan pedesaan. Kerangka sample untuk pemilihan sub blok sensus adalah daftar sub blok sensus yang terdapat dalam blok sensus terpilih, yang mempunyai jumlah rumah tangga lebih besar dari 150 rumah tangga. Sedangkan kerangka sample untuk pemilihan rumah tangga adalah daftar rumah tangga hasil pendaftaran rumah tangga, dimana untuk setiap blok sensus yang terpilih diambil 16 rumah tangga secara sistematik 4. Rancangan Penarikan Sampel. Besarnya sample modul konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga dirancang untuk penyajian di tingkat propinsi. Sampel modul ini merupakan subsampel dari sample terpilih untuk estimasi data tingkat kabupaten/kota (Blok sensus Susenas), baik daerah perkotaan maupun pedesaan. Subsampel tersebut dipilih secara Linear Systematic Sampling dari daftar blok sensus terpilih susenas di setiap kabupaten/kota baik untuk daerah perkotaan maupun pedesaan. Selanjutnya blok sensus terpilih (subsampel) tersebut disebut blok sensus Susenas kor- modul, karena di samping dicacah dengan kuesioner modul, juga dicacah dengan kuesioner kor. Dengan kata lain, blok sensus yang akan digunakan untuk estimasi di tingkat propinsi (blok sensus susenas kormodul) dipilih secara Linear Systematic Sampling dari daftar blok sens us terpilih di setiap kabupaten/kota (blok sensus susenas kor). Blok sensus yang tidak terpilih sample Susenas 2005 kor- modul disebut blok sensus susenas kor.
100
5. Metode Pengumpulan Data. Pengumpulan data di setiap rumah tangga terpilih dilakukan melalui wawancara langsung antara pencacah dengan responden. Untuk pertanyaanpertanyaan dala m kuesioner Susenas 2005 yang ditujukan kepada individu, perlu diusahakan agar individu yang bersangkutanlah yang menjadi responden. Keterangan tentang rumah tangga dapat dikumpulkan melalui wawancara dengan kepala rumah tangga, suami/istri rumah tangga, atau anggota rumah tangga lain yang mengetahui karakteristik yang ditanyakan. Khusus untuk blok sensus elit, metode pengumpulan data yang diterapkan adalah kombinasi wawancara secara langsung dan penggunaan catatan harian (diary) serta dilakukan secara bertahap dengan minimal tiga kali kunjungan. 6. Blok Sensus, Sub Blok Sensus Blok Sensus adalah bagian dari suatu wilayah desa/kelurahan yang merupakan daerah kerja dari seorang pencacah. Kriteria blok sensus adalah sebagai berikut : a. Setiap wilayah desa/keluraha n dibagi habis menjadi beberapa blok sensus. b. Blok sensus harus mempunyai batas-batas yang jelas/mudah dikenali, baik batas alam maupun buatan. Batas satuan lingkungan setempat (SLS seperti : RT, RW, dusun, lingkungan, dsb) diutamakan sebagai batas blok sensus bila batas SLS tersebut jelas (batas alam atau buatan). c. Satu blok sensus harus terletak dalam satu hamparan. Ada tiga jenis blok sensus, yaitu : - Blok sensus biasa (B) adalah blok sensus yang sebagian besar muatannya antara 80 – 120 rumah tangga atau bangunan sensus tempat tinggal atau bangunan sensus bukan tempat tinggal atau gabungan keduanya dan sudah jenuh. - Blok sensus khusus (K) adalah blok sensus yang mempunyai muatan sekurang-kurangnya 100 orang kecuali lembaga pemasyarakatan tidak ada batas muatan. Tempat-tempat yang bisa dijadikan blok sensus antara lain asrama militer (tangsi) dan daerah perumahan militer dengan pintu keluar masuk yang dijaga.
101
- Blok sensus persiapan (P) adalah blok sensus yang kosong seperti sawah, kebun, tegalan, rawa, hutan, daerah yang dikosongkan (digusur) atau bekas permukiman yang terbakar. Yang menjadi cakupan dalam Susenas 2005 adalah blok sensus biasa. Blok sensus biasa terbagi menjadi blok sensus elit dan blok sensus non elit. Blok sensus elit adalah blok sensus yang di dalamnya terdapat sekelompok bangunan fisik yang menurut masyarakat sekitar dikategorikan sebagai rumah mewah. Sub blok sensus adalah bagian dari blok sensus. Blok sensus yang mempunyai muatan lebih dari 150 rumah tangga harus dipecah menjadi beberapa sub blok sensus. 7. Konsep Rumah Tangga Rumah tangga (rt) dibedakan menjadi rumah tangga biasa dan rumah tangga khusus. Rumah tangga biasa adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus, dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga biasa biasanya terdiri dari bapak, ibu, dan anak Rumah tangga khusus mencakup : (1) orang-orang yang tinggal di asrama, seperti asrama perawat, asrama mahasiswa, dan asrama TNI (tangsi), (2) orang-orang ya ng tinggal di Lembaga Pemsyarakatan, panti asuhan, dan sejenisnya, (3) Sekelompok orang yang mondok dengan makan (indekost) yang berjumlah lebih besar atau sama dengan 10 orang. Anggota rumah tangga (art) adalah semua orang yang biasanya bertembat tingga di suatu rt, baik yang berada dir t maupun sementara tidak ada pada waktu pencacahan. 8. Pengeluaran Rumah Tangga Sebulan adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rt sebulan untuk konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga dibedakan menjadi dua, yaitu (i).konsumsi makanan termasuk makanan jadi, an (ii).bukan makanan, seperti biaya perumahan, pendidikan, kesehatan, aneka barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama.
102
Lampiran 5. Luas Panen dan Produksi Buah di Indonesia menurut Propinsi Tahun 1999 dan 2005. Propinsi
Luas Panen (Ha) 1999
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Sumatera DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Jawa Bali NTT NTB Bali & Nusa Tenggara Kalimantan barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Maluku & Papua Luar Jawa Indonesia
5.742 27.857 14.285 10.467 6.208 13.535 2.000 8.821 88.915 1.427 53.540 57.153 8.299 66.032 186.451 15.478 9.473 7.972 32.923 4.545 3.844 7.289 3.055 18.733 2.736 2.470 23.685 3.735 32.626 1.203 733 1.936 175.133 361.584
2005 13.764 45.387 19.721 10.583 9.130 22.941 3.899 30.391 5.886 161.702 938 96.533 95.359 19.841 148.110 12.350 373.131 24.651 18.255 16.749 59.655 15.655 6.980 20.427 8.620 51.682 7.693 6.832 37.550 9.297 694 62.066 2.540 3.735 1.902 1.015 9.192 344.297 717.428
Produksi (Ton) 1999 80.196 439.658 286.641 117.295 60.217 193.175 23.917 136.475 1.337.574 18.961 1.967.140 1.048.256 149.055 1.746.204 4.929.616 244.203 150.052 135.960 530.215 58.380 32.514 80.193 41.328 212.415 32.922 39.576 385.635 58.324 516.457 10.346 4.279 14.625 2.611.286 7.540.902
2005 224.870 1.459.137 305.689 233.170 106.764 624.802 61.171 850.402 75.763 3.941.767 13.663 2.788.021 1.623.246 331.679 2.700.787 313.774 7.771.170 428.989 320.196 240.139 989.324 388.426 97.834 304.466 195.566 986.292 122.172 118.036 597.311 128.008 10.390 975.918 21.881 54.133 17.983 28.131 122.128 7.015.429 14.786.599
103
Lampiran 6. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah-buahan Indonesia Tahun 2000- 2005 Komoditi
Volume (kg)
Nilai (US $)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
7.182.098
4.868.528
6.512.423
9.304.511
3.045.379
8.472.770
5.885.034
3.953.234
6.956.915
9.306.042
3.291.855
6.386.091
Pepaya
18.110
4.934
3.287
187.972
524.686
60.485
14.651
5.508
6.643
231.350
1.301.371
112.597
Pisang
2.105.654
293.715
512.596
10.615
992.505
3.647.027
412.805
87.688
979.729
7.899
722.772
1.288.873
Nanas
2.976.675
2.020.442
3.734.414
2.284.432
2.431.263
643.716
1.123.574
886.695
2.784.582
2.315.283
529.122
219.703
Duku
77.322
14.155
16.921
21.044
1.643
-
37.232
19.977
6.313
12.662
1.643
-
Durian
8.409
2.602
89.479
14.241
1.494
2.911
12.454
7.926
96.634
12.943
6.710
11.857
Jambu
31.356
14.370
32.052
47.871
106.274
15.277
26.048
8.354
28.859
49.843
102.074
20.380
Jeruk
58.207
291.925
156.437
85.920
632.996
526.038
12.194
82.315
75.320
22.026
517.554
282.219
Mangga
430.187
424.917
1.572.634
559.224
1.879.664
964.294
401.423
289.049
2.671.995
460.674
2.013.390
999.981
Rambutan
233.055
202.934
366.435
604.006
134.772
-
327.907
174.803
588.140
958.850
117.336
-
Buah Tropik
268.324
494.347
1.591.329
984.820
1.341.923
2.083.807
159.973
145.616
1.451.391
523.031
794.924
1.071.287
Manggis
2000
2001
2002
2003
2004
2005
lainnya
Sumber : BPS 2000-2005
104