PERMINTAAN ENERGI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA
DIANA BHAKTI
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Permintan Energi Rumah Tangga di Pulau Jawa adalah karya Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Diana Bhakti, SE NRP H151090174
ABSTRACT DIANA BHAKTI. Household Energy Demand in Java. Supervised under SRI HARTOYO and MUHAMMAD FIRDAUS Reducing of subsidies would increase energy prices that affect the level of energy consumption and consumer welfare. Analyze the behavior of households in Java in consuming energy was the aim of this study, this include their price elasticity, income elasticity, and cross elasticity of energy commodities. The methode of this study is the linear approximate version of the almost ideal demand system (LA-AIDS) model using data from the National Socio-Economic Survey (SUSENAS) covering the period from 2007 to 2010 for household in Java along with the kerosene’s conversion to gas program undertaken by the government. The own price elasticities of energy (except for the electricity) showed that they are elastic so the increase of their price will effectively reducing its consumption. While the cross elasticities showed that the energy comodities are substitute each other, but in very low level. The kerosene’s conversion to gas has been shifting household kerosene consumption in Java into commodities LPG, city gas, and coal. Keywords : energy demand, LA-AIDS, SUR
RINGKASAN DIANA BHAKTI. Permintaan Energi Rumah Tangga di Pulau Jawa. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan MUHAMMAD FIRDAUS Pemerintah bertanggung jawab menentukan berbagai tindakan dan kebijakan dalam menjamin ketersediaan dan akses masyarakat terhadap energi, termasuk juga keberlangsungannya untuk jangka panjang. Salah satu bentuk kebijakan tersebut adalah subsidi terhadap harga energi. Subsidi bertujuan untuk menjamin akses masyarakat yang tidak mampu menjangkau harga keekonomian energi dan juga mendorong aktivitas industri terutama industri pada skala kecil. Selain dampak positif, subsidi juga mempunyai dampak negatif, sehingga pemerintah berupaya secara bertahap menghapus atau mengurangi subsidi. Penarikan subsidi akan mengakibatkan kenaikan harga energi sehingga memengaruhi tingkat konsumsi energi konsumen, termasuk kelompok rumah tangga. Akibat kenaikan harga suatu komoditi energi, diduga rumah tangga akan mengurangi konsumsi energi tersebut. Penurunan konsumsi suatu komoditi energi akan dialihkan pada komoditi energi lainnya yang merupakan substitusi dari komoditi terkait. Perubahan-perubahan konsumsi rumah tangga terhadap suatu komoditi ini juga ditentukan oleh proporsi perubahan pendapatannya. Informasi mengenai perilaku konsumsi energi rumah tangga ini akan tergambar melalui fungsi permintaannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perilaku rumah tangga di Pulau Jawa dalam mengkonsumsi energi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan parameter permintaan energi, seperti elastisitas harga, elastisitas pendapatan, dan elastisitas silang komoditi-komoditi energi. Permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa dan nilai-nilai elastisitas permintaan tersebut akan dilihat perbandingannya antara desa dan kota serta perkembangannya selama dilaksanakannya konversi minyak tanah ke gas, sejak tahun 2007 hingga tahun 2010. Penelitian ini menggunakan data yang mencakup rumah tangga di Pulau Jawa yang menjadi sampel Susenas periode pencacahan bulan Maret, tahun 2007 – 2010. Rumah tangga sampel tersebut dibedakan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrika dengan menggunakan model LA-AIDS (Linear approximation – Almost Ideal Demand System). Adapun kelompok komoditi yang digunakan dalam analisis ada enam kelompok, yakni kelompok komoditi energi (terdiri atas energi listrik; LPG, gas kota, dan briket/batu bara; minyak tanah; bensin, dan solar), kelompok komoditi makanan, dan kelompok komoditi non makanan lainnya. Berdasarkan nilai elastisitas permintaan yang diperoleh untuk rumah tangga di Pulau Jawa pada tahun 2007 – 2010 (total), akan dilakukan simulasi dengan beberapa skenario. Skenario pertama adalah kenaikan harga bbm (bensin dan solar) sebesar 11 persen dan harga listrik sebesar 15 persen. Skenario yang kedua adalah kenaikan harga yang sama untuk bbm dan listrik seperti pada skenario pertama, namun diiringi dengan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar 4 persen. Kebutuhan energi rata-rata rumah tangga di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan rumah tangga di wilayah perdesaan. Hal ini
terlihat dari proporsi pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk kelompok komoditi energi di perdesaan yang lebih rendah dibanding dengan proporsi pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk kelompok komoditi energi di wilayah perkotaan. Selain itu, dilihat dari peningkatan proporsi pengeluaran komoditi energi selama tahun 2007 – 2010 mengindikasikan tingkat kebutuhan energi ataupun tingkat harga kelompok komoditi energi yang mengalami peningkatan. Menurut perkembangannya selama tahun 2007 – 2010, bisa dilihat bahwa proporsi pengeluaran rata-rata sub kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara baik di perdesaan, perkotaan, ataupun secara total, terus mengalami peningkatan sedangkan proporsi pengeluaran rata-rata sub kelompok komoditi minyak tanah terus menurun. Hal ini sejalan dengan adanya program konversi minyak tanah ke lpg yang dilakukan oleh pemerintah. Berdasarkan hasil pengolahan, nilai adjusted R-square model AIDS adalah 79,86 persen. P-value menunjukkan bahwa semua variabel bebas (harga masing-masing kelompok komoditi, pengeluaran rumah tangga dummy wilayah, dan tren tahun, mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap variabel proporsi pengeluaran kelompok komoditi ((Pr>|t|) < 0,01). Hasil elastisitas permintaan harga sendiri menunjukkan bahwa selama tahun 2007-2010 nilai elastisitas listrik merupakan barang yang bersifat elastis unit di semua wilayah di Pulau Jawa. Nilai elastisitas untuk komoditi energi lainnya menunjukkan bahwa komoditi-komoditi tersebut termasuk barang elastis untuk rumah tangga di Pulau Jawa. Adapun komoditi lpg, gas kota, dan batu bara merupakan komoditas yang paling elastis. Jika dilihat perkembangannya selama tahun 2007 hingga tahun 2010, elastisitas permintaan karena perubahan harga sendiri untuk kelompok komoditi makanan, listrik, bensin dan solar, serta kelompok komoditi non makanan lainnya relatif tidak mengalami perubahan yang besar. Hal ini terkait dengan masih banyaknya rumah tangga di Indonesia yang belum mendapat akses akan listrik dan juga harga jual energi yang diatur oleh pemerintah. Berbeda dengan kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Nilai mutlak elastisitas harga sendiri untuk kelompok komoditi ini cenderung menurun. Sebaliknya untuk komoditi minyak tanah, nilai mutlak elastisitas harga sendirinya meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2010. Hal ini disebabkan jumlah konsumsi untuk kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara pada jangka waktu tersebut cenderung mengalami peningkatan seiring program konversi minyak tanah ke gas yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga perubahan harga lpg, gas kota, dan batu bara yang terjadi memberikan dampak yang semakin kecil pada perubahan konsumsi komoditi tersebut. Kondisi sebaliknya berlaku untuk komoditi minyak tanah. Elastisitas silang antar sub kelompok dalam kelompok komoditi energi bernilai positif (substitusi), namun nilainya relatif tidak terlalu besar. Jika dilihat dari besarannya, tingkat substitusi listrik dengan komoditi lainnya sangat kecil. Jika dilihat dari nilai elastisitas pendapatannya, semua komoditi energi termasuk kelompok barang mewah, sedangkan kelompok komoditi makanan dan komoditi non makanan lainnya termasuk barang kebutuhan pokok (nilai elastisitas pendapatan kelompok komoditi makanan relatif mendekati 1). Nilai elastisitas pendapatan untuk kelompok komoditi bensin dan solar relatif besar, (eiI>2) sedangkan nilai elastisitas pendapatan kelompok komoditi energi yang lain kurang dari dua, kecuali untuk lpg, gas kota, dan batu bara di perdesaan.
Hasil pengolahan juga menunjukkan bahwa semakin tinggi kelompok pendapatannya besaran elastisitas harga untuk komoditi bensin dan solar semakin kecil (semakin inelastis), namun besarnya masih lebih dari satu. Begitu juga elastisitas pendapatan (pengeluaran) untuk komoditi bensin dan solar, nilainya semakin kecil pada tingkat/kelompok pendapatan yang semakin tinggi, tetapi masih merupakan barang mewah (nilainya lebih dari satu). Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada skenario I komoditi listrik dan bensin dan solar mengalami penurunan jumlah barang yang diminta, sedangkan komoditi energi lainnya mengalami peningkatan jumlah barang yang diminta. Pada skenario I, peningkatan harga bensin dan solar sebesar 11 persen, tidak menurunkan jumlah makanan yang diminta, tetapi yang berkurang adalah jumlah barang yang diminta untuk non makanan lainnya. Konsumsi komoditi lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah mengalami sedikit peningkatan antara 0,80 hingga 2,18 persen. Peningkatan pengeluaran rumah tangga sebesar 4 persen ketika harga komoditi selain listrik serta bensin dan solar tetap, meningkatkan jumlah lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah yang diminta. Simulasi skenario II menghasilkan penurunan jumlah listrik serta bensin dan solar yang diminta. Penurunan konsumsi listrik di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan penurunan konsumsi listrik di perkotaan, begitu juga dengan penurunan konsumsi bensin dan solar. Komoditi energi (selain listrik) bersifat elastis, dan, baik di perdesaan maupun di perkotaan, komoditi energi masih merupakan barang mewah. Terkait dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rumah tangga yang positif, pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga energi untuk menekan lonjakan permintaan energi yang terjadi, dan alternatif kebijakan pembatasan pemakaian bbm bersubsidi juga bisa dikaji lebih lanjut. Komoditi-komoditi energi, baik di perdesaan maupun di perkotaan saling bersubstitusi, namun dengan tingkat substitusi yang tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan komoditi-komoditi energi tersebut memang digunakan untuk keperluan yang berbeda-beda, untuk itu perlu dikembangkan alternatif energi yang bisa memenuhi keperluan rumah tangga baik dari sumber energi yang lain (terbarukan) maupun dari sumber energi yang sama namun dengan cara penggunaan berbeda yang lebih mudah, lebih hemat, dan lebih aman. Program konversi minyak tanah ke gas telah menggeser konsumsi minyak tanah rumah tangga di Pulau Jawa ke komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Akibatnya elastisitas permintaan untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara, semakin inelastis, sedangkan elastisitas permintaan untuk minyak tanah semakin elastis. Penelitian dapat dilanjutkan dengan melihat dampak perubahan harga komoditi-komoditi energi terhadap variabel-variabel makro seperti inflasi, tingkat pengangguran, dan sebagainya atau mengganti dengan model permintaan lain yang dianggap bisa lebih mencerminkan pola permintaan rumah tangga di Pulau Jawa, ataupun memperluas cakupan wilayah dan rentang waktu penelitian ataupun kelompok konsumen (industri, komersial, dan lainnya), dan lain-lain. Kata kunci: permintaan energi, LA-AIDS, SUR
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERMINTAN ENERGI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA
DIANA BHAKTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Hariadi Hadisuwarno, S.E., M.Sc., Ph.D.
Judul Tesis Nama NRP
: Permintan Energi Rumah Tangga di Pulau Jawa : Diana Bhakti : H151090174
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Ketua
Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 30 Juni 2011
Tanggal Lulus: 18 Juni 2011
PRAKATA Pertama, saya ingin memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul ” Permintan Energi Rumah Tangga di Pulau Jawa” telah dapat terselesaikan. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada, yang terhormat : 1. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Kepala Pusdiklat BPS beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis mengikuti program Tugas Belajar. 3. Kepala Direktorat Neraca Produksi BPS beserta jajarannya, yang telah mengijinkan dan membantu kelancaran administrasi kepegawaian selama Penulis menempuh pendidikan. 4. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS dan Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D selaku Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam menyusun tesis ini. 5. Bapak Hariadi Hadisuwarno, S.E., M.Sc., Ph.D selaku Penguji Luar Komisi pada pelaksanaan Ujian Tesis. 6. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran proses kegiatan belajar. 7. Dr. Wiwiek Rindayati, M.Si yang telah memberi kritik dan saran perbaikan untuk thesis ini. 8. Teman-teman mahasiswa pascasarjana IPB, khususnya PS Ilmu Ekonomi. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada orang tua penulis atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih juga penulis persembahkan kepada Rudi Salam, suamiku tercinta yang dengan penuh kesabaran selalu memberi dukungan, motivasi, dan semangat kepada penulis. Melalui kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mahdavikia Hanifa Salam (anak pertama penulis) atas kesabarannya karena harus sering ditinggalkan selama penulis menjalani perkuliahan. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhirnya, semoga hasil penelitian ini berguna dan memberikan kontribusi bagi semua pihak terutama pemerintah dan kalangan akademisi. Bogor, Juni 2011
Diana Bhakti, SE
RIWAYAT HIDUP Kedua orang tua penulis, yakni pasangan Mochamad Munir dan Sulaikanah memberi penulis nama Diana Bhakti. Tepatnya, ketika penulis lahir di Malang pada tanggal 27 September 1982. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis dibesarkan di kota Banyuwangi, dan menyelesaikan pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah umum di kota tersebut. Pendidikan tinggi penulis ditempuh di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Gelar sarjana diperoleh melalui Program Alih Jenjang pada Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor tahun 2009. Penulis diangkat sebagai CPNS pada Badan Pusat Statistik terhitung mulai tanggal 1 Desember 2004 dan ditempatkan sebagai staf di bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selama kurang lebih empat tahun penulis mengabdi di sana dan sejak November 2008 sampai dengan saat ini penulis bertugas di BPS (pusat) sub direktorat Konsolidasi Neraca Produksi Regional.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL………………………………………………………………… xv DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………… xvi DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………… xvii I. PENDAHULUAN …………………………………….……...………………
1
1.1 Latar Belakang ……………………………………….…………..……… 1 1.2 Perumusan Masalah ………………………………….……….…….…… 3 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………….….……….……… 8 1.4 Manfaat Penelitian ………………………………….………….……….
8
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….………...
9
2.1 Tinjauan Teori-teori......……………………….……………….……….
9
2.1.1 Teori Permintaan.......……………………….…………....………
9
2.1.2 Efek Substitusi dan Pendapatan….………………………….….… 12 2.1.3 Elastisitas Permintaan....................................................................
13
2.2 Penelitian Terdahulu…..……….…………………………………….… 15 2.3 Kerangka Pemikiran……………………………………………………. 17 2.4 Hipotesis ……….……………………………………………………..… 19 III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………......
21
3.1 Jenis dan Sumber Data…………………………………………………
21
3.2 Metode Analisis………………………………………………….……… 21 3.2.1 Model LA-AIDS …………………………………………….…… 22 3.2.2 SUR (Seemingly Unrelated Regression)………………………… 24 3.3 Model Penelitian ...………………………………………………..…… 25 3.4 Cakupan Penelitian……………. ……………………………………… 26 3.5 Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan…………………………………… 27 3.6 Simulasi Perubahan Harga dan Pendapatan Rumah Tangga………...... IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA……………
28 31
4.1 Kondisi Kependudukan dan Perekonomian Pulau Jawa………………. 31 4.2 Dinamika Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa...........................
32
V. ELASTISITAS PERMINTAAN ENERGI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA…………………………………………………………......
37
5.1 Hasil Estimasi Model….................…………………………………….
37
5.2 Elastisitas Harga…………………….………………………….……… 38 5.3 Elastisitas Silang…………..……………………………………..……… 41 5.4 Elastisitas Pendapatan (Pengeluaran)…………………………………… 45 5.5 Elastisitas Permintaan Bensin dan Solar menurut Tingkat Pendapatan.
47
5.6 Simulasi Perubahan Harga Bbm Dan Pendapatan Rumah Tangga……… 48 VI. KESIMPULAN DAN SARAN…………………...........................................
51
6.1 Kesimpulan……………………………………...................................... 51 6.2 Saran………………………………………………….………............... 52 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….………………… 53 LAMPIRAN........................................................................................................... 57
xiv
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Konsumsi energi final menurut sektor tahun 2000 – 2009 (termasuk biomass) (juta BOE)……………………………………………………
5
Tabel 4.1 Proporsi pengeluaran sebulan rumah tangga menurut kelompok komoditi dan status wilayah di Pulau Jawa tahun 2007 – 2010 (persen) 33 Tabel 4.2 Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan rumah tangga menurut kelompok komoditi dan provinsi di Pulau Jawa tahun 2007 – 2010 (ribu rupiah)............................................................................................. 35 Tabel 5.1 Hasil estimasi parameter sistem persamaan LA-AIDS........................... 37 Tabel 5.2 Elastisitas harga sendiri rumah tangga di Pulau Jawa menurut status wilayah dan komoditi tahun 2007 – 2010............................................... 38 Tabel 5.3 Elastisitas silang rumah tangga di Pulau Jawa menurut status wilayah dan komoditi tahun 2007 – 2010............................................................. 42 Tabel 5.4 Elastisitas silang rumah tangga di Pulau Jawa menurut waktu, tahun 2007 – 2010............................................................................................. 44 Tabel 5.5 Elastisitas pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa menurut status wilayah dan komoditi tahun 2007 – 2010............................................... 45 Tabel 5.6 Elastisitas pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa menurut waktu dan kelompok komoditi dari tahun 2007 – 2010.................................... 47 Tabel 5.7 Elastisitas harga dan pengeluaran komoditi bensin dan solar menurut kelompok pendapatan rumah tangga di Pulau Jawa tahun 2007-2010... 48 Tabel 5.8 Proporsi perubahan jumlah yang diminta berdasarkan hasil simulasi menurut komoditi dan karakteristik wilayah rumah tangga di Pulau Jawa (persen)........................................................................................... 49
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Permintaan energi primer dunia dalam skenario kebijakan baru tahun 1980 – 2035……..…..............................................................
1
Gambar 1.2 Intensitas konsumsi energi final perkapita Indonesia tahun 2000 – 2009……...…………………………………..................................
2
Gambar 1.3 Konsumsi energi rumah tangga tahun 1990 – 2009 (termasuk biomass) ………..............................................................................
6
Gambar 2.1 Efek substitusi dan efek pendapatan karena penurunan harga gas..
13
Gambar 2.2 Kerangka penelitian…………..……………………………….…..
18
Gambar 4.1 Distribusi penduduk di Pulau Jawa menurut provinsi tahun 2010..
31
Gambar 4.2 PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2009.......................................................................................
32
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Hasil pengolahan estimasi model permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa dengan model LA-AIDS tahun 2007 – 2010…………………………………………….........................
55
xvii
Halaman ini sengaja dikosongkan.
xviii
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Peranan penting energi berpengaruh besar dalam pencapaian tujuan sosial,
ekonomi, dan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan sebagai pendukung bagi kegiatan ekonomi nasional. Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya kebutuhan untuk mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta meningkatnya aktivitas ekonomi, permintaan dan konsumsi energi juga cenderung mengalami peningkatan. Sebuah paparan oleh Nobuo Tanaka dalam acara peluncuran buku World Energy Outlook 2010 di Jakarta pada 22 November 2010 menggambarkan bahwa negara-negara di dunia pada umumnya masih memiliki fenomena seperti ini, begitu juga dengan Indonesia. Gambar 1.1 berikut menunjukkan kecenderungan dan proyeksi permintaan energi primer dunia, baik energi yang terbarukan maupun energi yang tidak terbarukan. Pada Gambar 1.1 bisa dilihat bahwa secara keseluruhan maupun parsial, kecenderungan dan proyeksi permintaan energi dunia terus mengalami peningkatan. konsumsi energi
tahun Sumber: Paparan World Energy Outlook 2010, Jakarta 22 November 2010
Gambar 1.1 Permintaan energi primer dunia dalam skenario kebijakan baru tahun 1980 – 2035 Selama tahun 2000 – 2009, di Indonesia, intensitas konsumsi energi final perkapitanya mempunyai kecenderungan meningkat (Gambar 1.2). Sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk yang sangat besar, cukup wajar jika
2
penggunaan energi di Indonesia terus mengalami peningkatan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang ada. konsumsi perkapita (SBM)
tahun
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2010
Gambar 1.2 Intensitas konsumsi energi final perkapita Indonesia tahun 2000-2009 Terkait sifat strategis energi ini, industri energi di Indonesia, sebagian besar masih merupakan industri monopoli yang dikuasai oleh pemerintah. Peran besar pemerintah ini diharapkan mampu menjaga ketahanan energi nasional dan menjamin ketersediaan serta akses energi untuk seluruh lapisan masyarakat. Kebijakan energi lainnya yang ditetapkan pemerintah mengenai harga keekonomian energi yang dianggap belum terjangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sehingga harga jual energi kepada konsumen/masyarakat ditetapkan di bawah harga pasar. Selisih harga tersebut disubsidi oleh pemerintah. Kecenderungan permintaan energi yang terus meningkat menyebabkan beban subsidi yang semakin berat. Pada tahun 2011 saat ini besar subsidi energi yang dianggarkan (pagu APBN 2011) adalah sebesar 40,7 triliun rupiah. Sampai dengan April 2011, realisasi subsidi energi telah mencapai 38,8 triliun rupiah atau 28,4 persen dari pagu APBN 2011 (www.antaranews.com). Beban subsidi menjadi semakin berat terutama ketika harga energi dunia mengalami kenaikan, biaya produksi energi meningkat, dan juga pola konsumsi yang relatif boros karena harganya dianggap cukup/relatif murah. Subsidi energi juga secara tidak langsung menghambat laju perkembangan energi terbarukan.
3
Selain adanya permasalahan ekonomi dan kelangkaan, masalah energi yang juga sudah cukup lama menjadi perhatian dunia adalah tingkat polusi (emisi karbon) yang semakin tinggi. Dampak lingkungan yang ditimbulkan telah begitu meluas dan dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang akan mengganggu keseimbangan alam dan kehidupan mahluk yang ada di bumi. Masyarakat dunia yang peduli dengan masalah ini, menekankan pentingnya pengurangan emisi karbon yang salah satu caranya adalah dengan beralih pada penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan, terlebih pada sumber energi yang terbarukan. Kesepakatan dan diskusi mengenai masalah lingkungan ini banyak dibahas pada pertemuan tingkat dunia yang salah satunya tertuang pada Kyoto Protocol. Pada tahun 2007 pemerintah Indonesia telah memulai melakukan program konversi minyak tanah ke lpg. Hal ini dilakukan karena harga minyak tanah yang melambung sehingga beban subsidinya menjadi semakin berat dan juga keunggulan lpg dibanding beberapa komoditi energi alternatif lainnya (misalnya batu bara), terutama dari sisi dampak negatif terhadap lingkungan, efisiensi, serta cadangan gas di Indonesia yang relatif melimpah. Energi yang masih banyak digunakan sampai saat ini seperti bahan bakar minyak, gas, dan batubara merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan. Sebagai input produksi, sebagaimana diungkapkan Malthus bahwa sifatnya adalah terbatas, dan pada suatu ketika akan mengalami kelangkaan bahkan tidak mampu lagi menyangga tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi terus menerus, karena pertumbuhan penyediaannya lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan permintaan dan konsumsi sumber daya tersebut. Mengingat pola permintaan yang masih akan terus meningkat dan pola penyediaan yang belum sepenuhnya bisa mengejar laju permintaan energi, maka penghematan (peningkatan efisiensi) dan peningkatan teknologi penggunaan sumber energi terbarukan adalah hal mendesak yang harus dilakukan. 1.2 Perumusan Masalah Energi mempunyai peranan penting dan strategis dalam kehidupan (perekonomian). Energi adalah komoditi yang banyak dikonsumsi langsung oleh konsumen/masyarakat untuk berbagai kebutuhan dan dalam berbagai aktivitas
4
kehidupan. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa kuantitas dan harga energi akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat (Yusgiantoro, 2000). Sebagai salah satu barang publik (UU No. 25 Tahun 2009), energi bersifat penting dan strategis sehingga pemerintah melakukan banyak intervensi melalui berbagai instrumen. Intervensi-intervensi yang dilakukan mulai dari pengaturan masalah eksplorasi, produksi, distribusi, dan juga pengaturan harga energi. Pemerintah bertanggung jawab menentukan berbagai tindakan dan kebijakan dalam menjamin ketersediaan dan akses masyarakat terhadap energi, termasuk juga keberlangsungannya dalam jangka panjang. Salah satu bentuk intervensi tersebut adalah subsidi terhadap harga energi. Spencer dan Amos, Jr., dalam bukunya yang berjudul Contemporary Economics, 1993, menyebutkan definisi subsidi sebagai pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran (output). Subsidi diberikan untuk menjamin akses masyarakat yang tidak mampu menjangkau harga keekonomian energi dan juga mendorong aktivitas industri terutama industri pada skala kecil. Namun, subsidi dianggap tidak mendidik masyarakat untuk menghemat penggunaan energi yang semakin lama cadangannya semakin menipis. Subsidi energi juga menghambat laju perkembangan energi terbarukan. Saat ini elastisitas energi kita masih di kisaran 1,6, belum mencapai target 1,3 yang diharapkan bisa dicapai pada tahun 2015 (www.migas.esdm.go.id). Pemerintah juga sudah lama menyadari bahwa pemberian subsidi bbm tidak menjangkau sasaran yang tepat, bahkan telah menciptakan kesempatan terjadinya pemalsuan dan penyelundupan bbm ke luar negeri dikarenakan harga di Indonesia jauh lebih murah dari harga di luar negeri, terutama apabila dibandingkan dengan harga di kawasan Asia Tenggara, seperti harga di Singapura (Petrominer No. 10 15 Oktober 2000 dalam Hartono, 2004). Selain itu, sebagai negara net importir minyak, ketika harga minyak dunia kian melambung, maka beban subsidi terhadap APBN akan semakin berat.
5
Olivia dan Gibson (2008) melakukan penelitian menggunakan data Susenas modul konsumsi tahun 1999 untuk rumah tangga di Pulau Jawa. Penelitian ini mengungkapkan bahwa meskipun bukan suatu kebijakan yang populer, masih ada ruang untuk melakukan pengurangan subsidi yang cukup besar untuk minyak tanah. Pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan terkait dengan harga energi, yakni dengan menaikkan harga jual energi ataupun mengurangi subsidi. Sebagai variabel yang sangat terkait dengan tingkat permintaan, perubahan harga energi akan memengaruhi tingkat permintaan energi konsumen baik dari kelompok rumah tangga, industri, transportasi, komersial, dan lainnya. Kenaikan harga ataupun pengurangan subsidi biasanya dilakukan berbeda antar kelompok konsumen
dan
dalam
kelompok
konsumen
itu
sendiri
(sesuai
strata
pendapatannya). Pada saat ini, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk melakukan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi (premium) terutama untuk kalangan menengah ke atas (pemilik kendaraan mewah/mobil pribadi), karena subsidi memang ditujukan untuk kalangan yang layak menerima. Selain itu, beban APBN untuk mensubsidi bahan bakar minyak semakin besar. Tabel 1. 1 berikut menggambarkan konsumsi energi final menurut sektor. Bisa dilihat pada Tabel 1.1, sektor rumah tangga (di luar konsumsi bensin dan solar) menempati urutan pertama dari kelima sektor yang ada. Tabel 1.1 Konsumsi energi final menurut sektor tahun 2000 – 2009 (termasuk biomass) (juta BOE) Tahun
Industri
Rumah Tangga
Komersial
Transportasi*)
Lainnya
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
2000 252,90 296,57 20,67 139,18 29,21 2001 252,16 301,35 21,45 148,26 30,59 2002 245,11 303,03 21,75 151,50 30,00 2003 275,31 309,05 22,40 156,23 28,44 2004 263,29 314,11 25,41 178,37 31,69 2005 262,69 313,77 26,23 178,45 29,10 2006 280,19 312,72 26,19 170,13 25,94 2007 300,68 319,33 27,90 179,14 24,91 2008 261,64 316,80 29,01 191,26 24,84 2009 295,63 314,76 30,47 226,58 26,31 Keterangan: *) termasuk konsumsi bensin dan solar untuk keperluan transportasi kendaraan pribadi yang dilakukan oleh kelompok konsumen rumah tangga. Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2010
6
Hal ini menunjukkan tingginya tingkat kebutuhan energi sektor rumah tangga di Indonesia. Mengingat laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang masih positif (1,49 persen untuk sepuluh tahun terakhir (BPS)), Pemerintah Indonesia perlu mempelajari dan menganalisa perilaku konsumsi rumah tangga agar bisa merencanakan kebijakan energi nasional dengan tepat. Perkembangan tingkat konsumsi energi rumah tangga bisa dilihat pada Gambar 1.3. Pada gambar tersebut nampak bahwa konsumsi energi kelompok rumah tangga dari tahun 1990 hingga tahun 2009 cenderung meningkat. konsumsi energi (juta SBM) 310 300 290 280 270 260 250 240 230 220
tahun 1990
1995
2000
2005
2009
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia (beberapa edisi)
Gambar 1.3 Konsumsi energi rumah tangga tahun 1990 – 2009 (termasuk biomass) Di sisi lain, rumah tangga adalah sektor non produktif, dengan kata lain kelompok ini menggunakan energi sebagai konsumsi akhir, bukan sebagai input untuk proses produksi lebih lanjut. Jika harga energi yang ditetapkan terlalu murah, dikhawatirkan mereka akan terlalu boros dalam menggunakan energi. Padahal, dari penggunaan energi tersebut tidak dihasilkan suatu ‘nilai tambah’ (output lainnya). Kelompok rumah tangga dianggap sebagai kelompok yang cukup rentan terhadap kenaikan harga energi, karena masih banyak kelompok rumah tangga yang kurang mampu menjangkau harga energi yang relatif tinggi. Nuryanti dan Herdinie (2007) mengungkapkan bahwa terdapat dominasi rumah tangga kaya dalam konsumsi energi komersial di Indonesia. Hal ini menyebabkan perlakuan subsidi yang merata akan lebih banyak dinikmati oleh kelompok rumah tangga
7
yang bisa jadi tidak layak menerima subsidi. Pada sisi lain, jika subsidi dicabut atau harga energi naik, maka rumah tangga yang kurang mampu akan semakin berkurang kemampuan akses/daya belinya terhadap energi tersebut, baik akibat kenaikan harga energi itu sendiri maupun penurunan daya beli akibat inflasi yang dipicunya. Subsidi memang mempunyai beberapa dampak negatif. Akan tetapi pemerintah tidak bisa mencabut subsidi begitu saja, mengingat masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mampu menjangkau harga keekonomian energi. Selain itu, kenaikan/lonjakan harga energi juga memicu inflasi dan berbagai kemunduran dalam perekonomian seperti peningkatan biaya produksi, peningkatan pengangguran, dan lain-lain. Pemerintah, dalam menetapkan kebijakan harga energi, perlu mengetahui informasi mengenai perilaku konsumsi energi, yang dalam penelitian ini dikhususkan pada kelompok konsumen rumah tangga. Penelitian ini membatasi ruang lingkup pada rumah tangga yang tinggal di Pulau Jawa. Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2010 sebanyak 57,49 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 136 juta jiwa tinggal di Pulau Jawa. Lebih dari separuh penduduk Indonesia ini menguasai 58,12 persen perekonomian/PDB Indonesia (BPS). Seberapa
besar
harga
energi
akan
berpengaruh
terhadap
tingkat
konsumsinya (elastisitas harga). Selain itu, untuk mendapatkan tingkat subsidi yang tepat terkait dengan daya beli rumah tangga yang berbeda-beda, perlu diketahui seberapa pengaruh perubahan pendapatan rumah tangga terhadap konsumsi energi (elastisitas pendapatan). Keduanya adalah parameter permintaan yang sangat penting untuk analisis ekonomi mengenai perilaku permintaan energi rumah tangga. Terkait konversi minyak tanah ke gas yang mulai dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2007, rumah tangga adalah kelompok yang mendapat dampak yang sangat besar dalam pola konsumsinya. Penelitian ini menganalisis bagaimana hal ini memengaruhi pola konsumsi rumah tangga sejak tahun 2007, pada saat program ini mulai digulirkan, hingga tahun 2010. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
8
1. Bagaimana perilaku permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa? 2. Berapakah pengaruh perubahan harga energi pada perubahan permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa? 3. Berapakah pengaruh perubahan pendapatan rumah tangga terhadap perubahan permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa? 4. Untuk tingkat pendapatan yang berbeda, apakah pengaruh perubahan harga energi dan perubahan pendapatan terhadap perubahan permintaan listrik serta bensin dan solar semakin kecil? 5. Apakah ada perbedaan pola permintaan energi rumah tangga di perdesaan dan di perkotaan Pulau Jawa? 6. Bagaimanakah perkembangan pola konsumsi dan elastisitas energi rumah tangga di Pulau Jawa sejak diberlakukannya konversi minyak tanah ke gas? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisis perilaku rumah tangga di Pulau Jawa dalam mengkonsumsi energi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendapatkan parameter permintaan energi, seperti elastisitas harga, elastisitas pendapatan, dan elastisitas silang komoditi-komoditi energi. Khusus untuk bensin dan solar, akan dilihat perilaku permintaan tersebut menurut beberapa kelompok pendapatan. Permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa dan nilai-nilai elastisitas permintaan tersebut akan dilihat perbandingannya antara desa dan kota serta perkembangannya selama dilaksanakannya konversi minyak tanah ke gas, sejak tahun 2007 hingga tahun 2010. 1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola
perilaku permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa, terkait dengan harga energi dan pendapatan rumah tangga. Bagi pemerintah, menjadi masukan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil, khususnya dalam kebijakan energi. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu dan memperluas wawasan di bidang perekonomian. Bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan bahan atau acuan untuk penelitian selanjutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori 2.1.1 Teori Permintaan Permintaan menunjukkan jumlah barang dan jasa yang akan dibeli konsumen pada periode waktu dan keadaan tertentu. Hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan berbagai faktor yang menentukan/memengaruhi keputusan membeli biasa digambarkan dalam suatu persamaan matematika yang disebut dengan fungsi permintaan. Dalam analisa permintaan, praktisnya, fungsi permintaan seringkali dihubungkan dengan harga komoditi saja, sementara faktorfaktor lain yang juga memengaruhi permintaan, dianggap homogen atau tetap (ceteris
paribus).
Hal
ini
dilakukan
untuk
memungkinkan
permintaan
digambarkan dalam grafik dua dimensi. Ada dua cara mendapatkan fungsi permintaan, yang pertama adalah fungsi permintaan yang diderivasi dari fungsi utilitas. Fungsi permintaan ini disebut fungsi permintaan Marshallian, dalam hal ini komoditi merupakan barang konsumsi akhir. Fungsi permintaan Marshallian disebut juga dengan istilah Marshallian demand equation (money-income held constant) (Clements et al., 1996), atau consumer’s ordinary demand function (Henderson dan Quant, 1988 ; McLaren, 1982 ; Hanemann, 1991). Fungsi permintaan Marshallian dapat diperoleh dari derivasi maksimisasi utilitas dengan pembatas atau kendala (constraint) pendapatan konsumen (Christensen et al., 1975 ; Chambers dan Kenneth E.M, 1983 ; Cooper dan McLaren, 1992 ; Clements et al., 1996). Perilaku ini adalah rasionalitas pada perilaku konsumen. Berikutnya adalah fungsi permintaan Hicksian (Hicksian demand function) yang dari minimisasi pengeluaran pada tingkat utilitas tertentu (konstan). Selain faktor harga komoditi itu sendiri, dalam perkembangan teori permintaan, disebutkan permintaan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti harga barang lain, pendapatan, selera, distribusi pendapatan, jumlah penduduk, kemakmuran konsumen, ketersediaan kredit, kebijakan pemerintah, tingkat permintaan masa lampau, dan tingkat pendapatan masa lampau. Tujuan teori permintaan adalah untuk menentukan berbagai faktor yang memengaruhi
10
permintaan. Permintaan mempunyai hubungan multivariat yang ditentukan oleh banyak faktor secara simultan (Koutsoyiannis, 1994). Bentuk matematis kedua fungsi tersebut adalah sebagai berikut: XM = f(Px, Py, I)……………………....fungsi permintaan Marshalian (2.1) keterangan: XM = jumlah barang X yang diminta Px = harga barang X Py = harga barang Y I
= pendapatan
dan XH = f(Px, Py, U)……………………..….fungsi permintaan Hicksian (2.2) keterangan: XH = jumlah barang X yang diminta Px = harga barang X Py = harga barang Y U = utilitas Permintaan yang dianalisa dalam penelitian ini adalah permintaan rumah tangga untuk energi final. Sebagai barang konsumsi, fungsi permintaan yang digunakan adalah fungsi permintaan Marshallian yang diperoleh dari derivasi maksimisasi utilitas konsumen dengan memperhatikan kendala pendapatan konsumen energi rumah tangga. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu fungsi permintaan (Varian, 1992), yaitu: 1. Aditivitas Suatu syarat yang menunjukkan bahwa total pengeluaran pada fungsi permintaan sama dengan total pendapatan. Secara matematis bisa dituliskan sebagai berikut: Σi piqi = I ………………………………………………(2.3) keterangan: pi = harga komoditas ke-i qi = kuantitas komoditas ke-i I = pendapatan 2. Homogenitas Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat
11
fungsi permintaan yang homogen berderajat nolterhadap harga dan permintaan. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut: Σiεij + eiI = 0 ………………………………………..…(2.4) keterangan: εij = elastisitas harga silang komoditas ke-i terhadap harga komoditas-j eiI = elastisitas pendapatan komoditas ke-i 3. Agregasi Engel Agregasi Engel menunjukkan bahwa jumlah tertimbang dari elastisitas pendapatan untuk seluruh komoditas yang dikonsumsi sama dengan satu, ini merupakan cerminan dampak perubahan pendapatan terhadap permintaan. Secara matematis bisa dituliskan sebagai berikut: Σi wi eiI = 1 …………………………………..…(2.5) keterangan: wi = proporsi pengeluaran komoditas ke-i eiI = elastisitas pendapatan komoditas ke-i Hal ini menunjukkan bahwa seluruh anggaran yang tersedia habis dibelanjakan, dan jika terjadi kenaikan pendapatan maka akan dialokasikan secara proporsional pada seluruh komoditas yang dikonsumsi. 4. Agregasi Cournot Syarat
ini
mencerminkan
dampak
perubahan
harga
terhadap
permintaan. Agregasi Cournot menunjukkan bahwa perubahan harga pada salah satu komoditas yang dikonsumsi (komoditas j) sementara harga komoditas lainnya tetap, akan berdampak pada re-alokasi anggaran belanja sehingga permintaan terhadap komoditas-komoditas akan berubah. Bentuk matematisnya adalah sebagai beikut: Σi wiεij = - wj ………………………………….…(2.6) keterangan: wi = proporsi pengeluaran komoditas ke-i wj = proporsi pengeluaran komoditas ke-j εij = elastisitas harga silang komoditas ke-i terhadap harga komoditas-j
12
5. Syarat negativitas dan simetri Slutsky Perubahan harga akan menyebabkan perubahan pendapatan riil. Dampak perubahan ini bisa dipisahkan atas pengaruh substitusi (substitution effect) dan pengaruh pendapatan (income effect). Pengaruh substitusi merupakan pengaruh negatif, yang merupakan syarat negativitas Slutsky. Syarat simetri Slutky menyatakan bahwa apabila pendapatan riil konstan, pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas ke-j terhadap permintaan komoditas ke-i sama dengan pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas i terhadap permintaan komoditas j. Efek substitusi dari komoditas i dan j tersebut bersifat simetri, dan kondisi simetri dapat ditulis sebagai berikut : wi(εij + wjeiI) = wj(εji + wiejI) …………………..(2.7) keterangan: wi = proporsi pengeluaran komoditas ke-i wj = proporsi pengeluaran komoditas ke-j εij = elastisitas harga silang komoditas ke-i terhadap harga komoditas-j eiI = elastisitas pendapatan komoditas ke-i ejI = elastisitas pendapatan komoditas ke-j 2.1.2 Efek Substitusi dan Pendapatan Pengaruh perubahan harga akan menimbulkan dua efek, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan (Sugiarto et al., 2005). Hipotesis maksimisasi utilitas untuk barang normal adalah turunnya harga barang akan meningkatkan jumlah barang yang dibeli, karena 1) efek substitusi menyebabkan jumlah barang yang dibeli akan lebih banyak sehingga utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen, 2) efek pendapatan menyebabkan jumlah barang yang dibeli lebih banyak karena harga menurun sehingga meningkatkan daya beli. Sehingga utilitas konsumen bergerak ke kurva indiferen yang lebih tinggi (Nicholson, 2005).
13
Minyak tanah (Y)
Y1
A
Y11
C U2 B U1
I2
I1
Gas (X) X
1
X
B
X
11
Sumber: Nicholson, 2005.
Gambar 2.1 Efek substitusi dan efek pendapatan karena penurunan harga gas Pada Gambar 2.1, awalnya konsumen memperoleh utilitas maksimum dengan mengkonsumsi gas sebanyak X1 dan minyak tanah sebanyak Y1 pada tingkat pendapatan I1 dan utilitas U1. Turunnya harga gas menyebabkan, pada tingkat utilitas dan harga barang minyak tanah yang sama/tetap, konsumen mampu mengkonsumsi lebih banyak minyak tanah (dari X1 menjadi XB, dengan X1< XB), inilah yang disebut sebagai efek substitusi. Pada sisi lain, turunnya harga gas, mengakibatkan seolah-olah pendapatan konsumen menjadi meningkat, karena ia mampu membeli lebih banyak barang sehingga bisa mencapai tingkat utilitas yang lebih tinggi (U2, dengan U1< U2). Efek inilah yang disebut dengan efek pendapatan (dari XB ke X11,dengan XB< X11). 2.1.3 Elastisitas Permintaan Elastisitas didefinisikan sebagai ukuran persentase perubahan pada suatu variabel yang disebabkan oleh perubahan satu persen variabel yang lain. Elastisitas permintaan menunjukkan persentase perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan satu persen variabel yang memengaruhinya, sementara kondisi lainnya diasumsikan tidak berubah. Jika dilihat dari penyebab perubahan permintaan, elastisitas bisa dibagi menjadi elastisitas harga, elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan (Salvatore, 1994 ; Henderson dan Quant, 1988).
14
Elastisitas dapat diturunkan dari fungsi permintaan. Elastisitas yang diturunkan dari fungsi permintaan Marshallian disebut sebagai elastisitas tidak terkompensasi
(uncompensated
elasticities).
Sedangkan
elastisitas
yang
didapatkan dari fungsi permintaan Hicksian disebut sebagai elastisitas terkompensasi (compensated elasticities). Elastisitas harga, merupakan persentase kenaikan/penurunan jumlah barang yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri. Sesuai dengan hukum permintaan, kenaikan harga menyebabkan turunnya jumlah barang yang diminta. Sebaliknya, turunnya harga barang tersebut akan menyebabkan kenaikan kenaikan jumlah barang yang diminta. Sehingga, elastisitas harga mempunyai tanda negatif. Nilai elastisitas harga dapat dipergunakan untuk mengelompokkan suatu barang apakah termasuk barang elastis, elastisitas unit, atau barang inelastis. Nilai elastisitas dapat membedakan barang menjadi: |ε| < 1, barang tersebut termasuk barang inelastis, |ε| = 1, barang tersebut termasuk barang yang memiliki elastisitas unit, dan |ε| > 1, barang tersebut termasuk elastis. Elastisitas silang menunjukkan perubahan jumlah barang yang diminta (dalam persen) disebabkan oleh perubahan harga barang lain (dalam persen). Nilai elastisitas silang tergantung pada hubungan kedua barang tersebut, apakah barang pelengkap (komplementer) dengan nilai elastisitas < 0, barang pengganti (substitusi) dengan nilai elastisitas > 0, atau tidak ada hubungan kegunaan pada kedua barang tersebut (netral), nilai elastisitasnya = 0. Elastisitas yang ketiga adalah elastisitas pendapatan. Elastisitas pendapatan menunjukkan ukuran respon permintaan konsumen terhadap suatu komoditas akibat adanya perubahan pendapatan konsumen. Nilai elastisitas pendapatan dapat dipergunakan untuk mengelompokkan suatu barang apakah termasuk barang inferior, barang normal, atau barang mewah. Nilai elastisitas dapat dibedakan menjadi: ε < 0, barang tersebut termasuk barang inferior, 0 < ε<1, barang tersebut termasuk barang normal atau pokok, dan ε> 1, barang tersebut termasuk barang mewah.
15
Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat elastisitas harga (Hartono, 2002) adalah : 1. Tingkat substitusi. Semakin sulit mencari substitusi suatu barang, permintaan terhadap barang tersebut semakin inelastis dan sebaliknya. 2. Jumlah pemakai. Semakin banyak jumlah pemakai, permintaan terhadap suatu barang semakin inelastis, dan sebaliknya. 3. Proporsi kenaikan harga terhadap pendapatan konsumen. Bila proporsi tersebut besar, maka permintaan cenderung lebih elastis. 4. Jangka waktu. Hal ini berkaitan dengan dimensi waktu, elastisitas jangka pendek adalah untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dan elastisitas jangka panjang untuk jangka waktu lebih dari satu tahun. Untuk barangbarang yang habis dipakai dalam waktu kurang dari satu tahun (tidak tahan lama atau non durable goods), permintaan lebih elastis dalam jangka panjang dibanding jangka pendek. Sebaliknya untuk barang yang masa konsumsinya lebih dari setahun (barang tahan lama atau durable goods), permintaannya lebih elastis dalam jangka pendek dibanding jangka panjang. 2.2
Penelitian Terdahulu Labanderia, et al., (2006) meneliti sistem permintaan energi di Spanyol.
Mereka menemukan adanya hubungan yang signifikan antara pengeluaran untuk komoditi-komoditi energi dengan tempat tinggal, komposisi rumah tangga, dan status pekerjaan kepala rumah tangga. Rumah tangga di pedesaan, menengah, dan perkotaan tidak memiliki peluang yang sama untuk mengkonsumsi barang energi dan jasa transportasi, ketika ukuran populasi kotamadya meningkat, dilaporkan adanya progresif substitusi bahan bakar mobil dan LPG untuk transportasi umum dan gas bumi. Mengenai elastisitas harga sendiri, mereka menemukan bahwa produk-produk energi agak elastis di Spanyol, dengan listrik energi yang paling elastis, sedangkan yang baik dan alami harga-independen gas. Elastisitas harga silang yang ada di beberapa kasus, menunjukkan adanya keterbatasan substitusi antara listrik dan gas alam di daerah perkotaan dan LPG dan listrik di semua lokasi. Ketika mengacu pada elastisitas pendapatan, makanan, listrik dan LPG adalah barang normal, gas alam, bahan bakar mobil dan angkutan umum yang
16
mewah, dan LPG adalah sumber energi yang paling inelastis. Selain itu, ditemukan juga bahwa rumah tangga miskin lebih responsif terhadap perubahan harga energi, yang jelas berhubungan dengan lebih besar porsi energi pada total pengeluaran. Alberini, et al., (2010) menganalisis permintaan perumahan untuk listrik dengan menggunakan data agregat tahunan di tingkat negara bagian untuk 48 negara bagian Amerika Serikat 1995-2007. Perkiraan model dilakukan dengan penyesuaian parsial dinamis menggunakan Kiviet dikoreksi estimator LSDV (1995) dan Blundell-Bond (1998). Selain lag variabel dependen, persamaan meliputi harga energi, pendapatan, pendinginan dan pemanasan hari derajat, dan ukuran rumah tangga rata-rata. Mereka menemukan bahwa elastisitas harga jangka-pendek sendiri konsumsi adalah sama, elastisitas jangka pendek adalah yang terendah ketika mereka menggunakan pendekatan Blundell-Bond GMM yang memperlakukan harga listrik sebagai variabel eksogen. Elastisitas jangka panjang yang dihasilkan oleh sistem metode GMM Blundell-Bond yang terbesar, dan bahwa LDSV dari bias-dikoreksi lebih besar daripada LSDV yang konvensional. Dari titik pandang kebijakan energi, hasil yang diperoleh menggunakan estimator Blundell-Bond menyiratkan bahwa dalam suatu sistem tenaga listrik terutama didasarkan pada pembangkit listrik tenaga batubara dan gas, ada kemungkinan untuk mengurangi pemakaian listrik perumahan dan menahan gas rumah kaca emisi dengan memberlakukan pajak karbon. Terdapat beberapa literatur empiris terhadap estimasi permintaan energi rumah tangga. Kebanyakan penelitian menggunakan persamaan ekonometrik tunggal model untuk kebutuhan rumah tangga akan listrik, gas, dan bahan bakar mobil melalui beragam metodologi. Pendekatan umum pertama terdiri dari estimasi permintaan satu atau beberapa komoditi energi berdasarkan model rumah tangga yang dipengaruhi oleh harga, pendapatan (atau PDB), dan kondisi iklim (misalnya Narayan dan Smyth, 2005; Hondroyiannis, 2004; Holtedahl dan Joutz, 2004; Kamerschen dan Porter, 2004; Considine, 2000 dan Garcia, 2000). Kelompok penelitian kedua menggunakan data ekonomi mikro untuk memperkirakan permintaan barang energi di tingkat rumah tangga (misalnya, Larsen dan Nesbakken, 2004; Filippini dan Pachauri, 2004; Oladosu, 2003; Leth-
17
Petersen, 2002; Halvorsen dan Larsen, 2001; Yatchew dan No, 2001; Kayser, 2000; Vaage, 2000; Schmalensee dan Stoker, 1999; Puller dan Greening, 1999 dan Baker et al., 1989). Metode ini memungkinkan untuk beberapa variabel penjelas tambahan sebagai persediaan barang-barang tahan lama (sistem pemanas, stok peralatan listrik, dll), perumahan (ukuran, umur rumah, isolasi, dll) dan karakteristik rumah tangga (jumlah anggota, umur, pendapatan, dll). Penggunaan model AIDS (almost ideal demand system model) dilakukan oleh Filippini (1995) untuk memodelkan permintaan listrik rumah tangga berdasarkan waktu penggunaan (peak dan off-peak) di 19 kota di Swiss. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permintaan pada saat beban puncak dan di luar beban puncak bersifat elastis, dan bahwa nilai elastisitas substitusinya adalah positif. Ia juga menggunakan karakteristik rumah tangga sebagai dummy dalam faktor penjelasnya, seperti jumlah anggota rumah tangga, status pekerjaan kepala rumah tangga, adanya ibu rumah tangga, keberadaan anak, karakteristik kota yang ditinggali, pertimbangan penggunaan peralatan listrik pada akhir minggu, dan kepemilikan alat-alat listrik. Penelitian yang dilakukan oleh Susan Olivia dan John Gibson, 2008, menggunakan data pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa pada Susenas modul 1999, mengungkapkan bahwa rumah tangga di perdesaan cenderung memiliki peningkatan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk bensin dan lpg ketika pendapatannya meningkat. Penelitian ini juga menunjukkan hasil estimasi elastisitas harga sendiri untuk listrik, lpg, minyak tanah, bensin, dan minyak berturut-turut adalah -1,04; -0,32; -0,96; -0,08, dan -0,38. 2.3
Kerangka Pemikiran Energi adalah komoditi yang mempunyai peranan penting dan strategis
energi dalam kehidupan (perekonomian). Sayangnya, kita masih banyak bergantung pada energi yang tidak terbarukan yang cadangannya makin lama makin menipis dan akibatnya harganya juga semakin mahal. Pemerintah bertanggung jawab menentukan berbagai tindakan dan kebijakan dalam menjamin ketersediaan dan akses masyarakat terhadap energi, termasuk juga keberlangsungannya dalam jangka panjang. Salah satu bentuk intervensi tersebut adalah subsidi terhadap harga energi. Subsidi bertujuan untuk
18
menjamin akses masyarakat yang tidak mampu menjangkau harga keekonomian energi dan juga mendorong aktivitas industri terutama industri pada skala kecil. Namun, subsidi mempunyai berbagai dampak negatif. Hal ini mendasari pemerintah untuk berupaya secara bertahap menghapus atau mengurangi subsidi. Penarikan subsidi akan mengakibatkan kenaikan harga energi sehingga memengaruhi tingkat konsumsi energi konsumen yang terdiri dari kelompok rumah tangga, industri, transportasi, komersial, dan lainnya. Kelompok rumah tangga dianggap sebagai kelompok yang cukup rentan terhadap kenaikan harga energi, karena masih banyak kelompok rumah tangga yang kurang mampu menjangkau harga energi yang relatif tinggi. Pemerintah perlu mengetahui informasi mengenai perilaku konsumsi energi, dalam hal ini rumah tangga dengan berbagai karakteristiknya. Berapa harga energi akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsinya (elastisitas harga). berapa pengaruh perubahan pendapatan rumah tangga terhadap konsumsi energi (elastisitas pendapatan), dan bagaimana pengaruh karakteristik rumah tangga terhadap permintaan energi rumah tangga. Permasalahan energi (kelangkaan, harga, akses belum menyeluruh, dan lain-lain)
Kebijakan energi
Harga energi Pendapatan rumah tangga Permintaan rumah tangga
Harga lainnya Karakteristik wilayah (desa dan kota)
Makanan
Energi (listrik; lpg, gas kota, dan batu bara; minyak tanah; dan bensin dan solar) Non makanan lainnya Gambar 2.2 Kerangka Penelitian
19
2.4
Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan literatur di atas, dapat disusun hipotesis
sebagai berikut: 1.
Turunnya harga energi akan menyebabkan naiknya permintaan akan energi rumah tangga,
2.
Adanya hubungan substitusi antara beberapa komoditi energi,
3.
Peningkatan pendapatan (pengeluaran rumah tangga) mengakibatkan peningkatan permintaan energi rumah tangga,
4.
Elastisitas permintaan listrik serta bensin dan solar untuk kelompok pendapatan yang lebih tinggi lebih inelastis dibanding elastisitas permintaan bensin dan solar untuk kelompok pendapatan yang lebih rendah,
5.
Adanya perbedaan elastisitas permintaan energi untuk rumah tangga yang tinggal di perdesaaan dengan rumah tangga yang tinggal di perkotaan, dan
6.
Terdapat perubahan pola konsumsi energi rumah tangga sejak diberlakukannya konversi minyak tanah ke gas.
20
Halaman ini sengaja dikosongkan.
III.
3.1
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS). Data yang digunakan adalah data rumah tangga, khususnya untuk enam provinsi di Pulau Jawa, yang berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) periode pencacahan bulan Maret, dari tahun 2007 sampai dengan 2010. Pada tahun 2007 – 2010 jumlah sampel Susenas yang berhasil dicacah berturut-turut adalah sebanyak 65.663, 66.724, 67.174, dan 66.516 rumah tangga dengan tingkat estimasi terendah sampai pada level provinsi (total 266.077 rumah tangga). Untuk Pulau Jawa, jumlah sampel yang ada pada tahun 2007 hingga tahun 2010 berturut-turut adalah 29.715, 30.209, 30.376, dan 30.268 rumah tangga. Total dari tahun 2007 sampai dengan 2010 adalah 120.568 rumah tangga. Susenas mengumpulkan data kor dan data modul konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumahtangga. Data yang dikumpulkan dalam kor antara lain keterangan anggota rumah tangga, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sosial ekonomi lainnya. Sedangkan susenas modul berisi tentang kuantitas dan nilai konsumsi makanan yang mencakup 215 komoditi dengan sub kelompok sebanyak 14 sub kelompok komoditi. Ke-14 sub kelompok komoditi tersebut adalah: padipadian, umbi-umbian, ikan/udang/kerang, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbubumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, serta tembakau dan sirih. Pengeluaran/konsumsi rumahtangga untuk non makanan mencakup 108 item pengeluaran dengan sub kelompok sebanyak 6 sub kelompok item yaitu: perumahan dan fasilitas rumahtangga, barang dan jasa, pakaian/alas kaki dan tutup kepala, barang-barang tahan lama, pajak dan asuransi, serta keperluan pesta dan upacara serta berisikan pendapatan, penerimaan, dan pengeluaran bukan konsumsi. 3.2
Metode Analisis Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis
ekonometrika dengan menggunakan model LA-AIDS (Linear approximation –
22
Almost Ideal Demand System). Analisis deskriptif bertujuan untuk mengeksplorasi dan menelusuri struktur dan pola data rumah tangga di enam provinsi di Pulau Jawa, khususnya mengenai pola konsumsinya dari tahun 2007 – 2010. Pengolahan dilakukan dengan menggunakan Excel 2007, StataIC 10, dan SAS 9.0. 3.2.1
Model LA-AIDS Salah satu model untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel
sosial ekonomi adalah model Almost Ideal Demand System (AIDS). Model AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan persamaan Marshall yang diturunkan dari teori maksimisasi kepuasan. Deaton dan Muellbauer (1980) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk budget share, sebagai berikut: wi = αi + β ilog x .................................................................................(3.1) Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Dengan struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro sampai level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton dan Muellbauer (1980) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi biaya yang
menunjukkan
biaya
minimum
dari
kebutuhan
konsumen
dalam
memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat dinyatakan dengan: ln c(u, p) = (1− u) ln[a( p)]+ u ln[b( p)] ...............................................(3.2) dengan c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor harga. Pada persamaan 3.2 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara 0 dan 1 sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah 0. Sedangkan b(p) merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah 1. Dalam bentuk logaritma dengan sejumlah k komoditi persamaan 3.2 dapat ditulis menjadi: lnc(u, p) = α0 + ∑
ln pj + ∑ ∑
ln
ln
∏
.......(3.3)
keterangan: α, β, dan γ adalah parameter. Derivasi parsial terhadap harga ∂ ln c(u, p) / ∂ ln pi= qidan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan
⁄
,
, maka
23
⁄
,
, sehingga persamaan 3.3 menghasilkan fungsi permintaan
berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi :
∑
ln
∏
...........................................(3.4)
Dalam memaksimalkan kepuasaan konsumen, total pengeluaran X sama dengan c(u, p) , sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk:
∑
ln
ln
....................................................(3.5)
Persamaan 3.5 dikenal sebagai model AIDS Deaton & Muellbauer (1980). P adalah indeks harga, dengan bentuk fungsional : ln P = α0 + ∑
ln pj + ∑ ∑
ln
ln
...................................(3.6)
Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai P (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks : ln P = ∑
ln pi
dengan demikian persamaan 3.6 menjadi model Linear Approximation AIDS :
∑
ln
log x
∑
ln
....................(3.7)
Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted. Model yang restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan, yaitu: Adding Up :∑ Homogeneity :∑
1, ∑
1, ∑
0, ∑
0
0, untuk setiap i
Symmetry :γij= γji Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi permintaan persamaan 3.7 merupakan first order approximation dari prilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Dalam hal maksimasi kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum.
24
Beberapa kelebihan model AIDS, di antaranya: 1) Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan, 2) Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia, sehingga estimasi permintaan dapat dilakukan tanpa data kuantitas, 3) Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai penduga yang baik, 4) Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya. Perilaku konsumsi masyarakat pada kenyataannya tidak selalu rasional yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti rutinitas dan kebiasaan hidup sehari-hari, sehingga asumsi homogenitas dan simetri sulit terpenuhi. Asumsi kehomogenan dan simetri sangat tergantung dari kekonsistenan data, dan asumsi tersebut perlu diuji (Daud, 2006). 3.2.2 SUR (Seemingly Unrelated Regression) Untuk melakukan estimasi dengan model AIDS dapat digunakan pemodelan SUR dan diestimasi dengan prosedur GLS (Generalized Least Square). Model SUR terdiri atas suatu kumpulan peubah-peubah endogen yang dipertimbangkan sebagai suatu kelompok karena memiliki hubungan yang erat satu sama lain, sehingga SUR diartikan sebagai regresi yang seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut. Suatu ketidakefisienan terjadi karena metode seperti 2SLS dan peubah instrumental tidak mempertimbangkan korelasi antar sisaan dari persamaanpersamaan yang dibentuk. Untuk itu SUR terdiri atas sekumpulan persamaan yang masing-masing variabel endogen saling berhubungan satu sama lain karena adanya korelasi antar sisaan untuk setiap kelompok persamaan. Model SUR menggunakan prosedur GLS dan dapat meningkatkan efiensi dugaan dengan cara mempertimbangkan secara eksplisit bahwa terdapat korelasi sisaan. Model SUR ini pertama kali diperkenalkan oleh Zellner pada tahun 1962, yang pada intinya
25
melakukan iterasi dua tahap. Prosedur GLS digunakan dalam kasus bahwa asumsi klasik OLS seperti homosedasticity (ragam konstan) dan non-autokorelasi (sisaan tidak berkorelasi) tidak terpenuhi. Substitusi antar barang menunjukkan permintaan setiap komoditi memiliki hubungan satu sama lain sehingga estimasi parameter lebih efisien menggunakan GLS. 3.3
Model Penelitian Model penelitian dibentuk untuk masing-masing kelompok, yakni kelompok
rumah tangga dan kelompok industri. Adapun model-modelnya adalah sebagai berikut:
∑
ln
ln
…………….(3.8)
dengan asumsi E(ei) = 0 dan E(eiej) = σij I untuk setiap i,j selanjutnya persamaan di atas diestimasi dengan Seemingly Unrelated Regression (Zellner,1962). keterangan: i, j
= 1,2,...(komoditi/kelompok komoditi)
wi
= proporsi/budget share pengeluaran kelompok komoditi ke-i
ln pj
= logaritma natural estimasi harga kelompok komoditi ke-j
ln (y/ P)
= ln total pengeluaran yang dideflasi dengan indeks harga Stone
P
= indeks harga Stone , dengan ln P = ∑
d
= dummy, dengan d = 0 untuk desa dan d = 1 untuk kota
t
= tren waktu, dengan t = 0, 1, 2, dan 3 berturut-turut untuk tahun
ln pi
2007 – 2010 ei
= error term. Adapun kelompok komoditi yang digunakan dalam analisis ada enam
kelompok, yakni kelompok komoditi energi (terdiri atas energi listrik; LPG, gas kota, dan briket/batu bara; minyak tanah; bensin, dan solar), kelompok komoditi makanan, dan kelompok komoditi non makanan lainnya. Analisis dilakukan secara menyeluruh serta dibedakan antara desa dan kota. Pengolahan dilakukan dengan mengurangi satu persamaan untuk memenuhi restriksi adding up. Pengukuran respon perubahan variabel di sini merupakan besaran elastisitas yang meliputi respon perubahan permintaan suatu komoditi akibat perubahan harga (elastisitas harga sendiri), respon perubahan permintaan suatu
26
komoditi akibat perubahan harga komoditi lainnya (elastisitas silang), respon perubahan permintaan suatu komoditi akibat terjadinya perubahan tingkat pendapatan (elastisitas pendapatan/pengeluaran). Elastisitas pendapatan diukur melalui pendekatan elastisitas pengeluaran (total pengeluaran untuk komoditi terpilih). Bentuk umum elastisitas harga pada permintaan yang tidak terkompensasi dari model LA-AIDS adalah:
/
/
……………………………………(3.9)
keterangan: δij = 1 untuk i = j dan δij = 0 untuk i ≠ j. dalam penurunan ini diasumsikan dlnP/dlnPj = wj (Chalfant, J, 1987) Berdasarkan penurunan di atas, bisa dituliskan rumusan elastisitasnya adalah sebagai berikut:
b. Cross-Price Elasticity : c. Income Elasticity : 3.4
a. Own-Price Elasticity :
1 …………………….(3.10)
…..………………….(3.11)
1 ……………………………….(3.12)
Cakupan Penelitian Penelitian ini mencakup rumah tangga di Pulau Jawa yang menjadi sampel
Susenas tahun 2007 – 2010 periode pencacahan bulan Maret. Ada enam provinsi yang ada di Pulau Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten. Rentang waktu yang diteliti adalah selama sesuai rentang waktu data yang digunakan, yakni tahun 2007 – 2010. Rumah tangga sampel tersebut dibedakan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Sehingga analisis bisa dilakukan secara menyeluruh dan juga terpisah untuk perkotaan dan perdesaan. Selain itu, juga dilihat perkembangannya dari tahun 2007 sampai dengan 2010. Oleh karena tidak semua rumah tangga mengkonsumsi setiap kelompok komoditi sesuai asumsi dari model, maka dilakukan justifikasi nilai konsumsi terhadap beberapa rumah tangga yang dalam penelitian ini tidak mengkonsumsi seluruh kelompok komoditi dimaksud. Selain itu, karena penelitian ini menggunakan data dari tahun 2007 sampai tahun 2010, nilai pengeluaran tiap
27
komoditi dibagi dengan indeks harga konsumen pada bulan dan tahun yang bersesuaian, sehingga perbedaan nilai akibat pengaruh inflasi bisa dihilangkan. Nilai harga kelompok komoditi energi merupakan harga implisit yang dihasilkan dari proksi total pengeluaran terhadap total konsumsi (unit value). Untuk kelompok komoditi energi dilakukan konversi satuan, sehingga setiap kelompok persamaan memiliki satuan yang sama. Berbeda dengan komoditi energi, proksi harga untuk komoditi non makanan memang berbeda karena tidak semua komoditi ini dikonsumsi secara rutin oleh rumah tangga, sehingga proksi harga juga dicoba didekati dengan harga implisit. Analisis konsumsi dilakukan dengan mengelompokkan komoditi yang dikonsumsi rumah tangga menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok makanan, kelompok energi, dan kelompok non makanan lainnya. Adapun kelompok energi dibagi lagi menjadi empat sub kelompok, yaitu listrik; lpg, gas kota, dan batu bara; minyak tanah, bensin dan solar. 3.5
Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan Penentuan status atau kategori suatu wilayah ke dalam desa atau kota yang
dilakukan oleh BPS menggunakan skoring berdasarkan karakteristik wilayah tersebut.Variabel kepadatan penduduk,persentase rumah tangga bekerja di sektor pertanian, jarak ke fasilitas sosial ekonomi terdekat masih mendominasi penentuan skoring. Desa/kelurahan yang memilikiskor lebih dari atau sama dengan 10 digolongkan sebagai daerah perkotaan, sebaliknya skor kurang dari 10 digolongkan sebagai daerah perdesaan. Metodologi penentuan skoring berdasarkan hasil pendataan PODES (PotensiDesa) yang dilaksanakan menjelang Sensus Penduduk. Berikut secara ringkas penentuan skoring daerah perkotaan : a. Variabel kepadatan penduduk: ≤ 500 = skor 1, 500-4000 = skor 2-4, 4000-8500 = skor 5-7, ≥ 8500 = skor 8 b. Persentase rumahtangga pertanian: ≥ 70 = skor 1, 50-20 = skor 2-4, 20-5 = skor 5-7, ≤ 5 = skor 8 c. Akses fasilitas umum ≤ 2,5 km (ada = skor 1) : Taman kanak-kanak, SMP, SMU
28
d. Akses fasilitas umum ≤ 2 km (ada = skor 1) : pasar, pertokoan e. Akses fasilitas umum ≤ 5 km (ada = skor 1) : bioskop, rumah sakit f. Hotel/bilyard/diskotek/panti pijat/salon (ada = skor 1) g. Persentase pengguna telepon ( ≥8 = skor 1) h. Persentase pengguna listrik ( ≥ 90 = skor 1) 3.6
Simulasi Perubahan Harga dan Pendapatan Rumah Tangga Selain memberikan gambaran deskriptif pola konsumsi energi rumah
tangga di Pulau Jawa dan estimasi elastisitas permintaan komoditi-komoditi yang dianalisis berdasarkan karakteristik wilayah dan perkembangannya dari waktu ke waktu, akan dilakukan juga simulasi perubahan jumlah barang yang diminta jika beberapa variabel mengalami perubahan. Berdasarkan nilai elastisitas permintaan yang diperoleh untuk rumah tangga di Pulau Jawa pada tahun 2007 – 2010 (total), akan dilakukan simulasi dengan beberapa skenario. Skenario pertama adalah kenaikan harga bbm (bensin dan solar) sebesar 11 persen dan harga listrik sebesar 15 persen. Kenaikan harga bbm tersebut dikaitkan dengan opsi meningkatkan harga premium sebesar 500 rupiah dari 4500 rupiah (persentase kenaikan adalah 11,11 persen, untuk simulasi digunakan hanya 11 persen (dibulatkan)). Kenaikan harga listrik terkait dengan wacana pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (tdl) pada tahun 2012 sebesar 15 persen. Skenario yang kedua adalah kenaikan harga yang sama untuk bbm dan listrik seperti pada skenario pertama, namun diiringi dengan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar 4 persen (terkait dengan laju pertumbuhan pengeluaran rumah tangga pada tahun 2011 (BPS)). Adapun bentuk matematis simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut: ln ln
ln E
ln
…..……………………………………….(3.13)
29
Keterangan: x dan z adalah komoditi makanan, listrik, lpg, gas kota, dan batu bara, minyak tanah, bensin dan solar, non makanan lainnya E adalah matrik 6 x 7 elastisitas harga dan elastisitas pengeluaran rumah tangga. p dan r adalah harga komoditi y adalah pengeluaran rumah tangga
30
Halaman ini sengaja dikosongkan.
IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA Pada bab ini akan diberikan gambaran secara deskriprif mengenai pola konsumsi rumah tangga di Pulau Jawa. Namun sebelumnya akan diuraikan secara ringkas mengenai profil kependudukan dan perekonomian Pulau Jawa. 4.1
Kondisi Kependudukan dan Perekonomian Pulau Jawa Pulau Jawa yang luasnya hanya 7 persen dari wilayah Indonesia dihuni
oleh 57,49 persen penduduk Indonesia atau lebih dari 136 juta jiwa. Sebaran penduduk di Pulau Jawa terlihat pada grafik berikut: (persen)
Sumber: Hasil Sensus Penduduk 2010, Badan Pusat Statistik.
Gambar 4.1 Distribusi penduduk di Pulau Jawa menurut provinsi tahun 2010 Berdasarkan hasil sementara Sensus Penduduk 2010, jumlah rumah tangga di Pulau Jawa adalah sebanyak 36 872,3 ribu rumah tangga. Jumlah rumah tangga terbanyak adalah di Provinsi Jawa Barat, sebanyak 11 556,6 ribu rumah tangga, diikuti Provinsi Jawa Timur sebanyak 10 385,6 ribu rumah tangga, Provinsi Jawa Tengah 8 707,2 ribu rumah tangga, Provinsi Banten 2 631,0 ribu rumah tangga, Provinsi DKI Jakarta 2 548,2 ribu rumah tangga, dan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 1 043,7 ribu rumah tangga. Pada Grafik 4.1, bisa dilihat bahwa jumlah penduduk terbanyak adalah di Provinsi Jawa Barat, diikuti Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, DKI Jakarta, dan terakhir adalah di Provinsi DI Yogyakarta. Jika dilihat dari sisi perekonomian, Pulau Jawa memberikan kontribusi 58,12 persen dari total PDB Indonesia. Kontribusi terbesar berasal dari Provinsi DKI Jakarta, diikuti Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, dan DI Yogyakarta.
32
PDRB (milyar rupiah) 800 000 700 000 600 000 500 000 400 000 300 000 200 000
provinsi
100 000 0 DKI
JABAR
JATENG
DIY
JATIM
BANTEN
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2009.
Gambar 4.2 PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi di Pulau Jawa tahun 2009 4.2
Dinamika Pengeluaran Rumah Tangga di Pulau Jawa Berdasarkan hasil olahan data Susenas Panel 2007 – 2010, komposisi
pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa bisa dilihat pada Tabel 4.1. Jika dilihat menurut status wilayahnya, proporsi pengeluaran untuk kelompok komoditi makanan di wilayah perdesaan, masih di atas 50 persen, atau sekitar 55 – 56 persen. Hal ini berbeda dengan wilayah perkotaan yang proporsinya sudah di bawah 45 persen. Sesuai dengan hukum Engel, bahwa semakin tinggi tingkat pendapatannya, maka proporsi pengeluaran untuk makanan akan semakin kecil. Tingkat pendapatan (pengeluaran) rata-rata ataupun tingkat kesejahteraan rata-rata di wilayah perkotaan lebih tinggi dibanding dengan wilayah perdesaan. Hal yang menarik di sini adalah, bahwa selama tahun 2007 – 2010, proporsi pengeluaran untuk kelompok komoditi makanan terus meningkat. Apakah selama periode tersebut terjadi penurunan tingkat pendapatan rata-rata atau tingkat kesejahteraan rata-rata rumah tangga di Pulau Jawa, hal ini memerlukan pengkajian lebih lanjut. Sementara itu, pada Tabel 4.1 juga bisa dilihat bahwa kebutuhan energi ratarata rumah tangga di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan rumah tangga di wilayah perdesaan. Hal ini terlihat dari proporsi pengeluaran rumah tangga rata-rata untuk kelompok komoditi energi di perdesaan yang lebih rendah dibanding dengan proporsi pengeluaran rumah tangga rata-rata
33
untuk kelompok komoditi energi di wilayah perkotaan. Adapun hal yang bisa diungkap di sini adalah bahwa proporsi pengeluaran komoditi energi cenderung mengalami peningkatan, baik di wilayah perdesaan maupun wilayah perkotaan selama tahun 2007 – 2010. Hal ini bisa mengindikasikan tingkat kebutuhan energi yang mengalami peningkatan ataupun tingkat harga kelompok komoditi energi yang mengalami peningkatan. Tabel 4.1 Proporsi pengeluaran sebulan rumah tangga menurut kelompok komoditi dan status wilayah di Pulau Jawa tahun 2007 – 2010 (persen) Kelompok/komoditi (persen) Tahun
lpg, gas kota, minyak bensin non makanan makanan listrik dan batu bara tanah dan solar lainnya
(1)
Total (ribu rupiah)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
2007
55,71
2,62
0,28
2,01
3,78
35,60
100 (614)
2008
56,34
2,46
0,29
1,87
4,39
34,64
100 (567)
2009
55,49
2,46
1,10
1,20
4,50
35,25
100 (638)
2010
55,87
2,51
2,42
0,32
4,94
33,93
100 (706)
Perdesaan
Perkotaan 2007
41,13
3,32
0,84
1,90
5,28
47,52
100 (1 279)
2008
42,82
3,11
0,98
1,65
6,11
45,33
100 (1 159)
2009
42,90
2,93
1,95
0,75
5,91
45,58
100 (1 265)
2010
44,04
3,10
2,52
0,25
6,32
43,77
100 (1 346)
Perdesaan dan Perkotaan 2007
45,96
3,09
0,66
1,94
4,78
43,57
100 (1 279)
2008
47,41
2,89
0,75
1,73
5,52
41,70
100 (1 159)
2009
47,25
2,76
1,65
0,90
5,42
42,01
100 (1 265)
2010
47,45
2,93
2,49
0,27
5,93
40,94
100 (1 346)
Sumber: Susenas Panel 2007 – 2010, diolah.
Tabel 4.1 juga menunjukkan bahwa baik di wilayah perdesaan, perkotaan, maupun secara total, proporsi pengeluaran yang terbesar adalah untuk sub kelompok komoditi bensin dan solar. Adapun penggunaan bensin dan solar pada data ini adalah selain untuk kebutuhan transportasi juga untuk bahan bakar generator, namun proporsi penggunaan bensin dan solar untuk bahan bakar
34
generator masih relatif kecil. Menurut perkembangannya selama tahun 2007 – 2010, bisa dilihat bahwa proporsi pengeluaran rata-rata sub kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara baik di perdesaan, perkotaan, ataupun secara total, terus mengalami peningkatan sedangkan proporsi pengeluaran rata-rata sub kelompok komoditi minyak tanah terus menurun. Hal ini sejalan dengan adanya program konversi minyak tanah ke lpg yang dilakukan oleh pemerintah. Bisa dilihat juga pada Tabel 4.1 bahwa rata-rata pengeluaran sebulan rumah tangga di perdesaan di Pulau Jawa untuk semua kelompok komoditi lebih rendah dibandingkan rata-rata pengeluaran sebulan di perkotaan. Dari tahun 2007 hingga tahun 2010, rata-rata pengeluaran sebulan menurut komoditi cenderung mengalami peningkatan, kecuali komoditi minyak tanah yang terus mengalami penurunan. Baik nilai absolutnya maupun nilai relatifnya/proporsinya, rata-rata pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa mengalami penurunan. Namun, jika dilihat menurut wilayah, proporsi rata-rata pengeluaran untuk komoditi minyak tanah di perdesaan lebih tinggi dibanding di perkotaan, meskipun secara absolut adalah sebaliknya. Tingkat pengeluaran kelompok makanan dan non makanan lainnya perkapita antar provinsi disajikan pada Tabel 4.2. Jika dilihat dari rata-rata pengeluaran per kapitanya, baik untuk kelompok komoditi makanan maupun non makanan lainnya (selain energi), rata-rata pengeluaran per kapita terbesar adalah rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga di DKI Jakarta. Sedangkan rumah tangga di Provinsi Jawa Tengah memiliki rata-rata pengeluaran per kapita yang terrendah untuk kedua kelompok komoditi tersebut. Pada Tabel 4.2 nampak bahwa pada tahun 2007 – 2010, rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta menempati urutan teratas dari semua provinsi dalam ratarata pengeluaran per kapitanya untuk semua komoditi energi kecuali minyak tanah pada tahun 2009 dan 2010. Secara umum, pada tingkat harga energi yang relatif sama (tidak berbeda jauh), bisa dikatakan bahwa penduduk yang tinggal di Provinsi DKI Jakarta lebih banyak/boros dalam menggunakan energi.
35
Tabel 4.2 Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan rumah tangga menurut kelompok komoditi dan provinsi di Pulau Jawa tahun 2007 – 2010 (ribu rupiah)
Provinsi
makanan
listrik
lpg, gas kota, dan batu bara
minyak tanah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
DKI Jakarta
178
17
4
6
25
276
Jawa Barat
114
8
2
6
9
99
Jawa Tengah
89
5
1
3
9
74
DI Yogyakarta
145
8
2
3
22
157
Jawa Timur
93
6
1
4
11
80
Banten
121
8
2
5
13
111
DKI Jakarta
177
16
5
5
30
263
Jawa Barat
107
6
2
5
9
84
Jawa Tengah
85
4
1
3
10
63
DI Yogyakarta
90
5
2
2
17
96
Jawa Timur
94
5
1
4
12
75
Banten
115
7
2
4
14
101
DKI Jakarta
205
18
10
1
33
288
Jawa Barat
120
7
5
2
10
101
Jawa Tengah
92
5
2
2
10
70
DI Yogyakarta
105
5
4
1
18
108
Jawa Timur
105
6
3
3
13
81
Banten
130
8
6
1
18
118
DKI Jakarta
215
19
10
1
35
292
Jawa Barat
137
8
8
0
14
105
Jawa Tengah
106
6
6
1
12
82
DI Yogyakarta
123
7
6
0
22
132
Jawa Timur
117
6
5
2
15
88
Banten
157
10
8
0
26
156
non bensin dan makanan solar lainnya
2007
2008
2009
2010
Sumber: Susenas Panel 2007 – 2010, diolah.
36
Secara umum, rata-rata pengeluaran per kapita di semua provinsi mengalami peningkatan untuk semua komoditi, kecuali minyak tanah. Rata-rata pengeluaran per kapita di semua provinsi untuk komoditi minyak tanah mengalami penurunan yang cukup besar kecuali untuk rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta yang mengalami penurunan kurang dari 50 rupiah per orang. Penurunan ini seiring dengan peningkatan pengeluaran per kapita untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Dari sini terlihat bahwa terjadi peralihan konsumsi dari minyak tanah ke komoditi lpg, gas kota, dan batu bara.
V. ELASTISITAS PERMINTAAN ENERGI RUMAH TANGGA DI PULAU JAWA 5.1
Hasil Estimasi Model Model AIDS pada kelompok komoditi makanan, energi, dan non
makanan lainnya merupakan sebuah sistem persamaan permintaan yang secara ekonometrik diestimasi dengan model SUR. Berdasarkan hasil pengolahan yang terlampir pada Lampiran 1, nilai adjusted R-square model AIDS adalah 79,86 persen. Hal ini berarti variabel penjelas yang digunakan bisa menjelaskan 79,86 persen keragaman data, sedangkan sisanya yakni sebesar 20,14 persen dijelaskan oleh faktor lain. Nilai Pr>|t| menunjukkan bahwa semua variabel bebas (harga masing-masing kelompok komoditi dan pengeluaran rumah tangga) juga variabel dummy wilayah (desa dan kota) serta tren tahun, mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap variabel proporsi pengeluaran kelompok komoditi ((Pr>|t|) < 0,01) (Tabel 5.1). Tabel 5.1 Hasil estimasi parameter sistem persamaan LA-AIDS Persamaan kelompok komoditi Estimasi parameter (1)
makanan
listrik
lpg, gas kota, minyak tanah dan batu bara
bensin dan solar
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
0,722165 (0,0001)
0,027757 (0,0001)
-0,01248 (0,0001)
0,009951 (0,0001)
-0,01497 (0,0001)
0,085681 0,003739 (0,0001) (0,0001) listrik 0,003739 0,000457 (0,0001) (0,0001) lpg, gas kota, 0,003264 1,51E-04 dan batu bara (0,0001) (0,0001) minyak tanah 0,004494 0,000301 (0,0001) (0,0001) bensin dan 0,007581 0,000991 solar (0,0001) (0,0001) non makanan -0,10476 -0,00564 lainnya (0,0001) (0,0001) pengeluaran RT 0,004056 0,012208 (0,0001) (0,0001) dummy desa kota -0,03448 0,003802 (0,0001) (0,0001) tren tahun 0,015687 0,000542 (0,0001) (0,0001) Angka di dalam kurung adalah p-value.
0,003264 (0,0001) 1,51E-04 (0,0001) -0,00252 (0,0001) 0,0012 (0,0001) 0,001218 (0,0001) -0,00331 (0,0001) 0,005863 (0,0001) 0,001575 (0,0001) 0,003495 (0,0001)
0,004494 (0,0001) 0,000301 (0,0001) 0,0012 (0,0001) -0,00255 (0,0001) 0,001609 (0,0001) -0,00506 (0,0001) 0,011077 (0,0001) 0,003545 (0,0001) -0,00645 (0,0001)
0,007581 (0,0001) 0,000991 (0,0001) 0,001218 (0,0001) 0,001609 (0,0001) -0,00316 (0,0001) -0,00824 (0,0001) 0,030763 (0,0001) -0,00351 (0,0001) -0,00159 (0,0001)
konstanta harga: makanan
38
5.2
Elastisitas Harga Pembahasan elastisitas permintaan, baik elastisitas harga sendiri,
elastisitas silang, maupun elastisitas pendapatan (dalam hal ini didekati dengan nilai pengeluaran) berdasarkan estimasi parameter model yang diperoleh, dilakukan secara total (menyeluruh untuk wilayah perdesaan dan perkotaan yang ada di Pulau Jawa) dan juga terpisah. Tabel 5.2 berikut akan menunjukkan hasil penghitungan elastisitas permintaan rumah tangga (karena perubahan harga sendiri) di Pulau Jawa baik di perdesaan, perkotaan, maupun untuk total wilayah. Selain dibedakan menurut karakteristik wilayah, nilai elastisitas tersebut juga dihitung per tahun untuk melihat perkembangannya per tahun: Tabel 5.2 Elastisitas harga sendiri rumah tangga di Pulau Jawa menurut status wilayah dan komoditi tahun 2007 – 2010 Komoditi
2007
2008
2009
2010
20072010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Perdesaan makanan listrik lpg, gas kota, dan batu bara minyak tanah bensin dan solar non makanan lainnya
-0,86 -1,00 -3,11 -1,14 -1,20 -0,55
-0,87 -1,00 -3,30 -1,14 -1,20 -0,53
-0,86 -1,00 -1,47 -1,20 -1,20 -0,55
-0,87 -1,00 -1,19 -1,62 -1,18 -0,53
-0,86 -1,00 -1,46 -1,19 -1,19 -0,54
Perkotaan makanan listrik lpg, gas kota, dan batu bara minyak tanah bensin dan solar non makanan lainnya
-0,83 -1,00 -1,64 -1,11 -1,15 -0,63
-0,84 -1,00 -1,55 -1,11 -1,15 -0,61
-0,84 -1,00 -1,22 -1,20 -1,15 -0,61
-0,84 -1,00 -1,15 -1,63 -1,15 -0,61
-0,84 -1,00 -1,27 -1,16 -1,15 -0,61
Perdesaan + Perkotaan makanan listrik lpg, gas kota, dan batu bara minyak tanah bensin dan solar non makanan lainnya
-0,85 -1,00 -1,98 -1,12 -1,17 -0,59
-0,85 -1,00 -1,91 -1,13 -1,17 -0,57
-0,85 -1,00 -1,30 -1,20 -1,17 -0,58
-0,86 -1,00 -1,17 -1,63 -1,16 -0,57
-0,85 -1,00 -1,34 -1,18 -1,17 -0,58
Sumber: hasil olahan data Susenas Panel 2007 – 2010.
39
Baik di perdesaan, perkotaan, maupun total, hasil elastisitas permintaan harga sendiri untuk semua komoditi bernilai negatif. Hal ini sesuai dengan hukum permintaan yang menyatakan bahwa ketika harga meningkat, maka jumlah barang yang diminta untuk komoditi tersebut akan turun. Jika dilihat lebih lengkap, untuk tahun 2007 – 2010, nilai mutlak elastisitas untuk komoditi makanan dan non makanan lainnya nilainya kurang dari satu. Untuk komoditi makanan berturut-turut untuk perdesaan, perkotaan, dan total nilai mutlak elastisitasnya adalah 0,86; 0,84; dan 0,85. Sedangkan untuk komoditi non makanan lainnya nilai mutlak elastisitasnya adalah 0,54; 0,61; dan 0,58 berturut-turut untuk perdesaan, perkotaan, dan keduanya. Nilai ini menunjukkan bahwa bagi rumah tangga baik di perdesaan maupun perkotaan di Pulau Jawa, kelompok komoditi makanan dan non makanan lainnya (selain energi) adalah barang inelastis, yakni suatu barang yang proporsi perubahan jumlah barang yang diminta kurang dari proporsi perubahan harganya. Hal ini menggambarkan bahwa kelompok komoditi makanan dan non makanan lainnya merupakan kebutuhan pokok bagi rumah tangga di Pulau Jawa, sehingga perubahan harganya tidak banyak mengubah jumlah permintaannya. Untuk komoditi listrik, nilai elastisitasnya untuk semua kelompok wilayah adalah minus 1,00. Hal ini menunjukkan bahwa listrik merupakan barang yang bersifat elastis unit di semua wilayah di Pulau Jawa. Jika harga listrik berubah satu persen, maka jumlah listrik yang diminta akan berubah sebesar 1,00 persen, dengan perkataan lain, proporsi perubahan listrik yang diminta mengikuti atau sama dengan proporsi perubahan harganya. Sementara itu, untuk komoditi energi lainnya, seperti lpg, gas kota, dan batu bara; minyak tanah; dan bensin dan solar, nilai mutlak elastisitasnya lebih dari satu. Sehingga komoditi-komoditi tersebut termasuk barang elastis untuk rumah tangga di Pulau Jawa. Hal ini terkait dengan relatif masih rendahnya proporsi pengeluaran energi untuk rumah tangga di Pulau Jawa. Adapun komoditi lpg, gas kota, dan batu bara memiliki nilai mutlak elastisitas yang terbesar dari semua komoditas tersebut, artinya komoditi tersebut merupakan komoditas yang paling elastis.
40
Jika dilihat berdasarkan karekteristik wilayah, nilai mutlak elastisitas harga sendiri di perdesaan di Pulau Jawa untuk ketiga komoditi energi yang lain lebih besar dibanding nilai mutlak elastisitas harga sendiri di perkotaan. Implikasinya, perubahan harga ketiga komoditi energi tersebut direspon lebih besar oleh rumah tangga di perdesaan dalam mengubah jumlah barang yang diminta. Begitu juga untuk komoditas makanan, meskipun nilainya tidak terlalu jauh berbeda. Sedangkan untuk kelompok komoditi non makanan lainnya (selain energi), nilai mutlak elastisitas harga sendiri rumah tangga di perdesaan di Pulau Jawa lebih kecil dibanding dengan nilai mutlak elastisitas harga sendiri rumah tangga di perkotaan di Pulau Jawa, masing-masing nilainya adalah minus 0,54 dan minus 0,61. Jumlah barang yang diminta untuk komoditi non makanan lainnya bagi rumah tangga di perkotaan di Pulau Jawa mengalami perubahan proporsi yang lebih besar dibanding jumlah barang yang diminta bagi rumah tangga di perdesaan, pada proporsi perubahan harga yang sama. Jika dilihat perkembangannya selama tahun 2007 hingga tahun 2010, elastisitas permintaan karena perubahan harga sendiri untuk kelompok komoditi makanan, listrik, bensin dan solar, serta kelompok komoditi non makanan lainnya dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, relatif tidak mengalami perubahan. Hal ini terkait dengan proporsi pengeluaran untuk komoditi tersebut relatif tidak mengalami perubahan yang berarti. Perbedaan nilai yang ada hanya sebesar 0,02. Nilainya berada pada kisaran minus 0,85 di perdesaan dan minus 0,86 di perkotaan untuk kelompok komoditi makanan, serta minus 0,96 secara total. Sedangkan nilai elastisitas non makanan lainnya nilainya antara minus 0,55 sampai dengan minus 0,53 di perdesaan, dan antara minus 0,63 sampai dengan minus 0,61 di perkotaan, secara total nilainya berkisar minus 0,59 hingga minus 0,57. Komoditi listrik, nilai elastisitasnya tetap sebesar minus 1,00, baik di perdesaan, perkotaan, maupun total untuk keduanya. Tetapnya elastisitas listrik ini dikaitkan dengan masih banyaknya rumah tangga di Indonesia, termasuk di pulau Jawa, yang belum mendapatkan akses listrik, sehingga rumah tangga tidak dapat serta merta menambah konsumsi listriknya dikarenakan pasokan listrik yang relatif terbatas. Selain itu, sebagian besar listrik yang dikonsumsi
41
oleh rumah tangga di Pulau Jawa adalah listrik yang didistribusikan langsung oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan tingkat harga listrik yang ditetapkan oleh pemerintah (tarif dasar listrik - TDL). Elastisitas harga untuk permintaan bensin dan solar di wilayah perkotaan selama tahun 2007 hingga tahun 2010, tetap pada angka minus 1,15, sedangkan untuk total kedua wilayah nilai elastisitasnya sebesar minus 1,17 hingga minus 1,16. Sedangkan komoditi bensin dan solar di daerah perdesaan sedikit mengalami perubahan pada tahun 2007 hingga tahun 2010, nilainya berada pada kisaran minus 1,20 hingga minus 1,18. Lain halnya dengan kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Nilai mutlak elastisitas harga sendiri untuk kelompok komoditi ini dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 cenderung menurun. Di perdesaan mulai dari minus 3,11 pada tahun 2007, sempat mencapai minus 3,30 pada tahun 2008, hingga menjadi minus 1,19 pada tahun 2010. Di perkotaan, dari minus 1,64 pada tahun 2007, menjadi minus 1,15 pada tahun 2010. Secara total, nilainya bergerak dari minus 1,98 menjadi minus 1,17. Sebaliknya untuk komoditi minyak tanah, nilai mutlak elastisitas harga sendiri-nya meningkat dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Mulai dari minus 1,12 sampai dengan minus 1,63 untuk total, minus 1,11 hingga minus 1,63 di perkotaan, dan minus 1,14 hingga minus 1,62 di perdesaan. Hal ini disebabkan jumlah konsumsi untuk kelompok komoditi lpg, gas kota, dan batu bara pada jangka waktu tersebut cenderung mengalami peningkatan seiring program konversi minyak tanah ke gas yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga semakin lama perubahan harga lpg, gas kota, dan batu bara yang terjadi memberikan dampak yang lebih kecil pada perubahan konsumsi komoditi tersebut. Sebaliknya untuk komoditi minyak tanah besaran elastisitasnya terus mengalami peningkatan di kedua wilayah. Hal ini terjadi seiring semakin langka dan semakin mahalnya minyak tanah, setelah dicabutnya subsidi dan juga pembatasan pasokan minyak tanah. 5.3 Elastisitas Silang Berikutnya adalah elastisitas silang kelompok komoditi seperti yang tersaji dalam Tabel 5.3. Secara umum baik di perdesaan, perkotaan, dan
42
keseluruhan, dampak perubahan jumlah barang yang diminta untuk suatu komoditi akibat satu persen perubahan harga komoditi lainnya tidak terlalu besar (kurang dari satu persen). Hal ini diduga disebabkan dengan tingkat hubungan (baik sebagai barang substitusi maupun komplementer) relatif rendah. Tabel 5.3 Elastisitas silang rumah tangga di Pulau Jawa menurut status wilayah dan komoditi tahun 2007 – 2010 Harga komoditi
Permintaan komoditi
1
2
3
4
5
6
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
0,01 0,00* 0,00* 0,01 -0,01
0,01 0,00* 0,08 0,05 -0,01
0,01 0,00* 0,20 0,06 -0,01
0,01 0,03 0,20 0,10 -0,02
-0,17 -0,35 -0,94 -0,61 -0,92 -
0,01 0,00* 0,00* 0,00* -0,01
0,01 0,00* 0,06 0,03 -0,01
0,01 0,00* 0,11 0,04 -0,01
0,01 0,02 0,11 0,08 -0,02
-0,20 -0,32 -0,59 -0,55 -0,76 -
0,01 0,00* 0,00* 0,00* -0,01
0,01 0,00* 0,07 0,04 -0,01
0,01 0,00* 0,15 0,05 -0,01
0,01 0,02 0,14 0,09 -0,02
-0,19 -0,34 -0,72 -0,59 -0,83 -
Perdesaan 1 2 -0,14 3 -0,06 4 -0,16 5 -0,58 6 -0,20 Perkotaan 1 2 -0,08 3 0,02 4 -0,07 5 -0,31 6 -0,18 Perdesaan + Perkotaan 1 2 -0,11 3 -0,01 4 -0,12 5 -0,43 6 -0,19
keterangan: 1 = makanan 2 = listrik 3 = lpg, gas kota, dan batu bara 4 = minyak tanah 5 = bensin dan solar 6 = non makanan lainnya * < 0,01 Sumber: hasil olahan data Susenas Panel 2007 – 2010.
Selain itu, bisa dilihat bahwa peningkatan harga makanan dan non makanan lainnya menurunkan jumlah barang yang diminta untuk komoditi
43
lainnya. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas silang yang negatif, yang menunjukkan
bahwa
komoditi
makanan
dan
non
makanan
lainnya
berkomplementer dengan komoditi-komoditi yang lain. Adapun jika dilihat dari besaran angkanya elastisitas silang akibat perubahan harga komoditi makanan dan komoditi non makanan lainnya di perdesaan lebih besar dibanding proporsi perubahan jumlah barang yang diminta di perkotaan. Hal ini mungkin disebabkan secara rata-rata pengeluaran per kelompok komoditi di perdesaan lebih rendah dibanding di perkotaan. Sementara itu, untuk elastisitas silang antar sub kelompok dalam kelompok komoditi energi, nilainya relatif tidak terlalu besar (eij ≤ 0,20). Bahkan untuk komoditi listrik, perubahan harganya hanya mengubah proporsi jumlah yang diminta untuk komoditi lainnya sampai 0,01 persen. Seluruh elastisitas silang bernilai positif, yang artinya komoditi-komoditi energi tersebut saling bersubstitusi. Dilihat dari besarannya, tingkat substitusi listrik dengan komoditi lainnya sangat kecil. Bisa dikatakan bahwa antar komoditi energi tersebut belum bisa sepenuhnya saling mensubstitusi, karena memang fungsi dan kegunaannya relatif berbeda. Perkembangan nilai elastisitas silang semua kelompok komoditi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 disajikan pada Tabel 5.4. Perubahan nilai elastisitas silang semua kelompok komoditi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 pada umumnya tidaklah besar, kecuali elastisitas yang terkait dengan komoditi lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah. Hal ini disebabkan proporsi pengeluaran untuk komoditi-komoditi tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti kecuali untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah. Berkenaan dengan program konversi minyak tanah ke gas yang dijalankan oleh pemerintah, nilai elastisitas silang permintaan komoditi minyak tanah akibat perubahan harga komoditi lpg, gas kota, dan batu bara cenderung meningkat. Sebaliknya, nilai elastisitas silang permintaan komoditi lpg, gas kota, dan batu bara akibat perubahan harga komoditi minyak tanah cenderung turun. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran konsumsi komoditi minyak tanah ke komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. Sementara itu, dari tahun 2007
44
sampai dengan tahun 2010, proporsi perubahan jumlah barang yang diminta untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara akibat proporsi perubahan harga komoditi yang lain besarannya (nilai mutlaknya) cenderung menurun. Tabel 5.4 Elastisitas silang rumah tangga di Pulau Jawa menurut waktu, tahun 2007 - 2010 Harga komoditi 3 4
Permintaan komoditi
1
2
5
6
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
-0,10 0,01 -0,07 -0,41 -0,19
0,01 -0,01 0,00* 0,00* -0,01
0,01 0,00* 0,05 0,05 -0,01
0,01 0,00* 0,41 0,04 -0,01
0,01 0,02 0,42 0,06 -0,02
-0,19 -0,34 -2,11 -0,40 -0,86 -
-0,11 -0,03 -0,08 -0,43 -0,19
0,01 -0,01 0,00* 0,00* -0,01
0,01 0,00* 0,05 0,05 -0,01
0,01 0,00* 0,38 0,04 -0,01
0,01 0,02 0,39 0,06 -0,02
-0,19 -0,34 -1,92 -0,40 -0,82 -
-0,11 -0,01 -0,14 -0,44 -0,19
0,01 0,00* 0,00* 0,00* -0,01
0,01 0,00* 0,08 0,04 -0,01
0,01 0,00* 0,13 0,05 -0,01
0,01 0,02 0,13 0,10 -0,02
-0,19 -0,34 -0,63 -0,68 -0,85 -
-0,11 -0,01 -0,46 -0,42 -0,19
0,01 0,00* -0,01 0,00* -0,01
0,01 0,00* 0,25 0,03 -0,01
0,01 0,01 0,08 0,06 -0,01
0,01 0,02 0,07 0,33 -0,02
-0,18 -0,33 -0,35 -2,18 -0,79 -
2007 1 2 3 4 5 6 2008 1 2 3 4 5 6 2009 1 2 3 4 5 6 2010 1 2 3 4 5 6
keterangan: 1 = makanan 3 = lpg, gas kota, dan batu bara 5 = bensin dan solar * < 0,01
2 = listrik 4 = minyak tanah 6 = non makanan lainnya
Sumber: hasil olahan data Susenas Panel 2007 – 2010.
Sebaliknya, proporsi perubahan permintaan komoditi minyak tanah akibat proporsi perubahan harga komoditi yang lain besarannya (nilai mutlaknya) cenderung meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah komoditi minyak
45
tanah yang dikonsumsi oleh rumah tangga semakin sedikit dan kondisi sebaliknya terjadi untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara. 5.4
Elastisitas Pendapatan (Pengeluaran) Elastisitas pendapatan adalah proporsi perubahan permintaan suatu
komoditi akibat perubahan pendapatan. Pendapatan dalam penelitian ini didekati dengan total pengeluaran yang dilakukan oleh suatu rumah tangga. Asumsinya bahwa semua pendapatan yang diperoleh oleh suatu rumah tangga akan dibelanjakan semua (digunakan semuanya untuk konsumsi). Tabel 5.5 Elastisitas pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa menurut status wilayah dan komoditi tahun 2007 – 2010 Komoditi
Perdesaan
Perkotaan
Perdesaan dan Perkotaan
(1)
(2)
(3)
(4)
Makanan
1,01
1,01
1,01
Listrik
1,45
1,38
1,41
Lpg, gas kota, dan batu bara
2,07
1,61
1,78
Minyak tanah
1,79
1,65
1,72
Bensin dan solar
2,57
2,14
2,33
Non makanan lainnya
0,80
0,84
0,82
Sumber: hasil olahan data Susenas Panel 2007 – 2010.
Sesuai dengan teori, elastisitas pengeluaran kelompok komoditi yang dianalisis menunjukkan angka yang positif, yang berarti peningkatan pengeluaran yang diperoleh oleh suatu rumah tangga akan meningkatkan konsumsi komoditi-komoditi tersebut. Secara umum, baik di perdesaan, perkotaan, maupun total, semua komoditi energi termasuk kelompok barang mewah (nilai elastisitas lebih dari satu) sedangkan kelompok komoditi makanan dan komoditi non makanan lainnya termasuk barang kebutuhan pokok (nilai elastisitas pendapatan kelompok komoditi makanan relatif mendekati 1). Hal ini terkait dengan masih relatif rendahnya porsi pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa untuk komoditi energi. Nilai elastisitas pengeluaran untuk kelompok komoditi bensin dan solar relatif besar, berturut-turut untuk perdesaan, perkotaan, dan total adalah 2,57; 2,14; dan 2,33 sedangkan nilai elastisitas pengeluaran kelompok komoditi energi yang lain kurang dari dua, kecuali untuk lpg, gas kota, dan batu bara di
46
perdesaan. Hal ini terkait dengan penggunaan bensin dan solar yang pada umumnya digunakan untuk bahan bakar kendaraan bermotor, yang masih merupakan barang mewah bagi sebagian besar rumah tangga di di Pulau Jawa. Adapun nilai elastisitas pengeluaran komoditi yang relatif paling kecil di antara elastisitas pengeluaran energi lainnya adalah elastisitas pengeluaran komoditi listrik. Hal ini menunjukkan bahwa listrik sudah mengarah sebagai komoditi yang merupakan kebutuhan pokok bagi rumah tangga di Pulau Jawa. Jika dilihat dari status wilayahnya, nilai elastisitas pengeluaran untuk komoditi-komoditi yang tergolong dalam kelompok komoditi energi di perdesaan relatif lebih besar dibandingkan dengan nilai elastisitas pengeluaran komoditi-komoditi tersebut di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi-komoditi energi tersebut masih merupakan barang kebutuhan yang ”lebih mewah” untuk rumah tangga yang tinggal di perdesaan dibanding untuk rumah tangga yang tinggal di perkotaan. Diduga, hal ini terkait dengan lebih rendahnya porsi pengeluaran rumah tangga di perdesaan untuk komoditi energi dibanding porsi pengeluaran komoditi yang sama bagi rumah tangga di perkotaan. Untuk melihat perkembangan nilai elastisitas pengeluaran komoditi yang dianalisis bisa diamati pada Tabel 5.6. Seperti halnya elastisitas permintaan karena perubahan harga sendiri maupun karena perubahan harga komoditi lainnya, elastisitas permintaan kelompok komoditi makanan, listrik, bensin dan solar, serta komoditi non makanan lainya, karena perubahan pengeluaran, relatif tidak mengalami perubahan yang berarti. Sedangkan elastisitas pengeluaran untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara relatif mengalami penurunan, dan sebaliknya untuk komoditi minyak tanah, yang dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 terus meningkat. Untuk kelompok komoditi energi, pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, elastisitas pengeluarannya lebih besar dibanding elastisitas pengeluaran di perkotaan, kecuali untuk komoditi minyak tanah pada tahun 2009 dan tahun 2010. Hal ini dimungkinkan dengan semakin terbatasnya pasokan minyak tanah sehingga harganya juga menjadi lebih mahal, dan hal ini menyebabkan semakin berkurangnya pemakaian minyak tanah, terutama di perkotaan.
47
Tabel 5.6 Elastisitas pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa menurut waktu dan kelompok komoditi dari tahun 2007 – 2010 Kelompok Komoditi
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
1,01 1,46 5,89 1,57 2,65 0,80
1,01 1,45 6,33 1,56 2,60 0,80
1,01 1,45 2,09 1,83 2,60 0,80
1,01 1,44 1,42 3,64 2,44 0,80
1,01 1,37 2,47 1,42 2,14 0,85
1,01 1,38 2,27 1,45 2,13 0,84
1,01 1,39 1,49 1,84 2,17 0,84
1,01 1,37 1,34 3,70 2,13 0,84
1,01 1,41 3,26 1,48 2,36 0,83
1,01 1,41 3,09 1,50 2,33 0,82
1,01 1,42 1,68 1,84 2,36 0,82
1,01 1,40 1,38 3,70 2,27 0,82
Perdesaan Makanan Listrik Lpg, gas kota, dan batu bara Minyak tanah Bensin dan solar Non makanan lainnya Perkotaan Makanan Listrik Lpg, gas kota, dan batu bara Minyak tanah Bensin dan solar Non makanan lainnya Perdesaan + Perkotaan Makanan Listrik Lpg, gas kota, dan batu bara Minyak tanah Bensin dan solar Non makanan lainnya
Sumber: hasil olahan data Susenas Panel 2007 – 2010.
5.5 Elastisitas Permintaan Listrik serta Bensin dan Solar menurut Tingkat Pendapatan Khusus untuk listrik serta bensin dan solar akan dilakukan analisis elastisitas permintaannya untuk beberapa kelompok pendapatan. Adapun pengelompokkan dilakukan menurut tingkat pendapatan sehingga rumah tangga yang ada dibagi menjadi lima kelompok yang terdiri atas 20 persen rumah tangga dengan tingkat pendapatan terrendah pertama (1), terrendah kedua (2), menengah pertama (3), menengah kedua (4), dan tertinggi (5). Tabel 5.7 berikut menyajikan elastisitas permintaan listrik serta bensin dan solar untuk masingmasing kelompok pendapatan.
48
Tabel 5.7 Elastisitas harga dan pengeluaran komoditi listrik serta bensin dan solar menurut kelompok pendapatan rumah tangga di Pulau Jawa tahun 2007-2010. Elastisitas
Kelompok Pendapatan 1
2
3
4
5
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
harga sendiri
-1,00
-1,00
-1,00
-1,00
-1,00
pengeluaran
1,40
1,42
1,43
1,41
1,40
harga sendiri
-1,48
-1,23
-1,17
-1,14
-1,11
pengeluaran
5,36
2,94
2,31
2,02
1,77
(1)
- listrik
- bensin dan solar
Sumber: hasil olahan data Susenas Panel 2007 – 2010.
Pada Tabel 5.7 bisa dilihat bahwa elastisitas harga dan pengeluaran untuk komoditi listrik relatif tidak berbeda untuk lima kelompok pendapatan yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumsi listrik rumah tangga di Pulau Jawa relatif sama untuk rumah tangga pada lima kelompok pendapatan tersebut. Pada komoditi bensin dan solar, semakin tinggi kelompok pendapatannya besaran elastisitas harganya semakin kecil (semakin inelastis), namun besarnya masih lebih dari satu. Begitu juga elastisitas pendapatan (pengeluaran) untuk komoditi bensin dan solar, nilainya semakin kecil pada tingkat/kelompok pendapatan yang semakin tinggi, tetapi masih merupakan barang mewah (nilainya lebih dari satu). Artinya, perubahan jumlah bensin dan solar yang diminta, proporsinya masih lebih besar dibanding dengan proporsi perubahan harga bensin dan solar maupun perubahan pengeluaran rumah tangga di Pulau Jawa, akan tetapi besarnya porsi perubahan jumlah bensin dan solar yang diminta semakin kecil untuk kelompok pendapatan yang lebih besar. 5.6
Simulasi Perubahan Harga BBM dan Pendapatan Rumah Tangga Berdasarkan nilai elastisitas permintaan yang diperoleh untuk rumah
tangga di Pulau Jawa pada tahun 2007 – 2010 (total), akan dilakukan simulasi dengan beberapa skenario. Skenario I adalah kenaikan harga bbm (bensin dan solar) sebesar 11 persen dan harga listrik sebesar 15 persen. Skenario II adalah
49
kenaikan harga yang sama untuk bbm dan listrik seperti pada skenario I, namun diiringi dengan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar 4 persen. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada skenario I (Tabel 5.8) komoditi listrik dan bensin dan solar mengalami penurunan jumlah barang yang diminta, sedangkan komoditi energi lainnya mengalami peningkatan jumlah barang yang diminta. Tanpa peningkatan pendapatan (pengeluaran rumah tangga) penurunan konsumsi listrik di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan penurunan konsumsi listrik di perkotaan. Kondisi sebaliknya terjadi pada konsumsi bensin dan solar. Pada skenario I, peningkatan harga bensin dan solar sebesar 11 persen, tidak menurunkan jumlah makanan yang diminta, tetapi yang berkurang adalah jumlah barang yang diminta untuk non makanan lainnya. Konsumsi komoditi lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah mengalami sedikit peningkatan antara 0,80 hingga 2,18 persen. Tabel 5.8 Proporsi perubahan jumlah yang diminta berdasarkan hasil simulasi menurut komoditi dan karakteristik wilayah rumah tangga di Pulau Jawa (persen) Kelompok komoditi
Perdesaan
Perkotaan
Perdesaan dan Perkotaan
(1)
(2)
(3)
(4)
0,22
0,26
0,24
-14,63
-14,75
-14,69
lpg, gas kota, dan batu bara
2,18
1,15
1,54
minyak tanah
1,09
0,80
0,94
bensin dan solar
-12,99
-12,64
-12,79
non makanan lainnya
-0,42
-0,32
-0,37
makanan
4,25
4,29
4,27
listrik
-8,82
-9,25
-9,05
lpg, gas kota, dan batu bara
10,45
7,60
8,67
minyak tanah
8,26
7,40
7,82
bensin dan solar
-2,71
-4,06
-3,48
non makanan lainnya
2,78
3,03
2,92
Skenario I makanan listrik
Skenario II
Sumber: hasil olahan data Susenas Panel 2007 – 2010.
50
Peningkatan pengeluaran rumah tangga sebesar 4 persen ketika harga komoditi selain listrik serta bensin dan solar tetap, meningkatkan jumlah lpg, gas kota, dan batu bara serta minyak tanah yang diminta lebih dari 7 persen. Peningkatan konsumsi kedua komoditi tersebut di perdesaan lebih besar dibandingkan dengan peningkatan konsumsi komoditi yang sama di perkotaan. Jumlah minyak tanah yang diminta di perkotaan meningkat 7,40 persen sedangkan di perdesaan meningkat 8,26 persen. Peningkatan jumlah lpg, gas kota, dan batu bara yang diminta di perkotaan adalah 7,60 persen, sedangkan di perdesaan mencapai 10,45 persen. Komoditi makanan dan non makanan lainnya juga
mengalami
peningkatan
jumlah
barang
yang
diminta
namun
peningkatannya tidak sebesar kedua kelompok komoditi tersebut. Simulasi skenario II menghasilkan penurunan jumlah listrik serta bensin dan solar yang diminta. Penurunan konsumsi listrik di perdesaan lebih rendah dibandingkan dengan penurunan konsumsi listrik di perkotaan, begitu juga dengan penurunan konsumsi bensin dan solar. Hasil simulasi pada kedua skenario menyatakan bahwa pada tingkat pendapatan rumah tangga yang diprediksi masih akan meningkat, peningkatan harga memang bisa menekan tingkat konsumsi energi. Akan tetapi, hal ini bukanlah satu-satunya cara yang efektif dan belum tentu yang terbaik, mengingat energi sudah merupakan komoditi yang penting dalam konsumsi rumah tangga dan kebutuhannya pun semakin meningkat.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Beberapa kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Harga komoditi dan pendapatan (pengeluaran) memengaruhi secara signifikan proporsi pengeluaran setiap kelompok komoditi, 2. Komoditi energi (selain listrik) bersifat elastis, sehingga peningkatan harga komoditi energi akan cukup efektif untuk menurunkan tingkat konsumsi energi, 3. Komoditi-komoditi energi, baik di perdesaan maupun di perkotaan saling bersubstitusi, namun dengan tingkat substitusi yang tidak terlalu besar, 4. Baik di perdesaan maupun di perkotaan, komoditi energi masih merupakan barang mewah, artinya adanya peningkatan pendapatan suatu rumah tangga akan meningkatkan konsumsi energi rumah tangga tersebut lebih dari proporsi peningkatan pendapatannya, 5. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin kecil nilai elastisitas harga sendiri dan elastisitas pendapatan untuk permintaan komoditi bensin dan solar, sedangkan untuk komoditi listrik elastisitas harga dan pengeluaran menurut kelompok pendapatan relatif tidak berbeda 6. Respon perubahan proporsi jumlah komoditi energi yang diminta di perdesaan akibat persentase perubahan harga yang sama ataupun perubahan pendapatan, lebih besar dibanding perubahan proporsi jumlah komoditi energi yang diminta di perkotaan, hal ini menunjukkan secara umum rumah tangga di perkotaan mempunyai akses/kemampuan lebih besar dibanding rumah tangga di perdesaan, 7. Selama kurun waktu 2007 hingga 2010, elastisitas permintaan komoditikomoditi tersebut tidak banyak mengalami perubahan, kecuali untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara dan komoditi minyak tanah, 8. Program konversi minyak tanah ke gas telah menggeser konsumsi minyak tanah rumah tangga di Pulau Jawa ke komoditi lpg, gas kota, dan batu bara, sehingga elastisitas permintaan untuk komoditi lpg, gas kota, dan batu bara, besarannya terus mengalami penurunan (semakin inelastis), sedangkan elastisitas permintaan untuk minyak tanah, semakin elastis.
52
6.2
Saran Penelitian dan Kebijakan Beberapa saran dari hasil penelitian ini secara teknis dan kebijakan adalah:
1. Penelitian dapat dilanjutkan dengan melihat dampak perubahan harga komoditi-komoditi energi (misalnya bensin, listrik, dan lain-lain) terhadap variabel-variabel makro seperti inflasi, tingkat pengangguran, dan sebagainya atau mengganti dengan model permintaan lain yang dianggap bisa lebih mencerminkan pola permintaan rumah tangga di Pulau Jawa, ataupun memperluas cakupan wilayah dan rentang waktu penelitian ataupun kelompok konsumen (industri, komersial, dan lainya), serta melakukan perbandinganperbandingan yang terkait dengan perbedaan kawasan, misalnya Jawa dan luar Jawa, kawasan barat dan timur Indonesia, dan lain-lain, 2. Terkait dengan sifat permintaan komoditi yang elastis (kecuali listrik), elastisitas pendapatan komoditi energi yang lebih dari satu (untuk bensin dan solar > 2), dan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang positif, pemerintah perlu melakukan penyesuaian harga energi untuk menekan lonjakan permintaan energi yang terjadi, 3. Meskipun komoditi-komoditi energi tersebut saling bersubstitusi, namun tingkat substitusinya tidak begitu besar, hal ini disebabkan komoditi-komoditi energi tersebut memang digunakan untuk keperluan yang berbeda-beda, untuk itu perlu dikembangkan alternatif energi yang bisa memenuhi keperluan rumah tangga baik dari sumber energi yang lain (terbarukan) maupun dari sumber energi yang sama namun dengan cara penggunaan berbeda yang lebih mudah, lebih hemat, dan lebih aman, 4. Untuk menekan konsumsi bensin dan solar pada tingkat rumah tangga, penyesuaian/peningkatan harga bensin dan solar perlu dilakukan seiring tingkat pertumbuhan pendapatan rumah tangga yang diperkirakan akan terus meningkat sejalan pertumbuhan ekonomi yang positif. Alternatif kebijakan pembatasan pemakaian bbm bersubsidi untuk rumah tangga pada golongan pendapatan tinggi juga tepat untuk mengurangi besarnya subsidi, 5. Penekanan konsumsi listrik memerlukan peningkatan harga lebih dari penurunan konsumsi yang ditargetkan, tentunya hal ini memerlukan kajian dampaknya terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan variabel lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adioetomo SM, Djutaharta T, Hendratno. 2003. Cigarette Consumption, Taxation, and Household Income. Economics of Tobacco Control Paper No. 26. Ahsan A, Titissari, Dorotheo U, Prugsainatz R, Rayes JL. 2010. Indonesia Tobacco Tax Report Card. Research report: Southeast Asia Initiative on Tobbaco Tax. Aker JC. 2008. Does Digital Divide or Provide? The Impact of Cell Phones on Grain Markets in Niger. Working Paper No. 154. Amin G. 1998. Globalization, Consumption patterns and Human Development in Egypt. Working Paper No. 9929. Ariningsih E. 2004. Analisis Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati pada masa krisis ekonomi di Jawa. Icaserd Working Paper No. 56. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008a. Konsep dan definisi Susenas Juli 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008b. Analisis dan Penghtungan Tingkat Kemiskinan 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009a. Statistik Indonesia 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009b. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia per Provinsi. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009c. Statistik Komunikasi dan Teknologi Informasi Tahun 2009. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Profil Kemiskinan Di Indonesia Maret 2010. Berita Resmi Statistik No. 45/07/Th. XIII, 1 Juli 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Busch SH, Bonet MJ, Falba TA, Sindelar JL. 2004. Tobacco Spending And Its Crowd-Out Of Other Goods. Working Paper No. 10974. Chambers R. 1995. Poverty and livelihoods: whose reality counts?. Environment and Urbanization, Vol. 7, No. 1:173-204. Daud A. 2006. Fleksibilitas Permintaan Pangan Hewani di Indonesia [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Deaton A, Muellbauer J. 1980a. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review 70 (3): 312-326. Deaton A, Muellbauer J. 1980b. Economics and Consumer Behaviour. Cambridge: University Press. Deaton A. 1992. Understanding Consumption. Oxford:Clarendo Press.
54
Effendy OU. 1986. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Fulginiti LE, Perrin RK. 1990. Argentine Agricultural Policy in a MultipleOutput, Multiple_Input Framework. American Journal Agriculture Economic, 72(1):279-288. Geda A, Jong Nd, Kimenyi MS, Mwabu G. 2005. Determinants of Poverty in Kenya: A Household Level Analysis. Working Paper No. 44 Haq ZU, Nazli H, Meilke K. 2008. Implications of High Food Prices for Poverty in Pakistan. Agricultural Economics 39 supplement:477–484. Henderson JM, Quandt RE. (1980). Microeconomic Theory A Mathematical Approach. Third Edition. Singapore : McGraw-Hill, Inc. Irawan PB. 2005. Dampak Penggunaan Tembakau Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Diunduh dari http://www.scribd.com/doc/21124711/ Dampak-Penggunaan-Tembakau-Terhadap-Kemiskinan-di-IndonesiaOktober-2005-Puguh-B-Irawan. Juanda B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Kahar M. 2010. Analisis Pola Konsumsi Daerah Perkotaan dan Pedesaan serta keterkaitannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi di Propinsi Banten [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Liu Y, Rao K, Hu Tw, Sun Q, Mao Z. 2006. Cigarette Smoking and Poverty in China. Social Science & Medicine 63:2784–2790. Mankiw NG. 2008. Principles of Economics. USA: South-western Cengage Learning. Nicholson W. 1995. Teori Mikro Ekonomi Prinsip Dasar dan Perluasan. Wirajaya D, penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Microeconomic Theory Basic Principles and Extensions. Nssah BE,Go DS, Kearney M, Korman V, Robinson S, Thierfelder K. 2007. Economy-wide and Distributional Impacts of an Oil Price Shock on the South African Economy. The World Bank Africa Region Policy Research Working Paper No. 4354. Nurfarma M. 2005. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan Rumah Tangga di Propinsi Sumatera Barat [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Ravallion M. 1992. Poverty Comparisons : A Guide to Concept and Measures. World Bank LSMS Working Paper No. 88. Republik Indonesia. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009. Cetakan ke-3. Jakarta: Sinar Grafika. Republik Indonesia. 2010. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010–2014. Kementrian Perncanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta Republik Indonesia. 2010. Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2011. Jakarta.
55
Pindyck RS, Rubinfeld DL. 2005. Microeconomics Sixth Edition. United States of America : Pearson Prentice Hall. Seale J, Regmi A, Bernstein J. 2003. International Evidence n Food Consumption Patterns. USDA Technical Buletin Report No. 1904. Sengul S, Tuncer I. 2005. Poverty Levels and Food Demand of the Poor in Turkey. Agribusiness, Vol. 21 (3):289-311. Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Cetakan ke-8. Jakarta: LP3ES. Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: PT Ghalia Indonesia. Suryaningsih T. 2010. Analisis Pengeluaran Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa [tesis]. Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Syafwil O. 2002. Pola Spasial dan Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Pendapatan, Harga serta Konsumsi Bahan Makanan [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Suprapto T. 2009. Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta: Media Pressindo. Tewari DD, Singh K. 1996. Principles of Microeconomics. New Delhi: New Age International (P), Ltd. Teklu T, Johnson SR. 1987. Demand System from Cross Section Data: An Experiment for Indonesia. Working Paper No. 87-WP 24. Todaro MP, Smith SC. 2002. Pembangunan Ekonomi, Edisi kesembilan, Jilid I. Munanadar H, penerjemah. Jakarta: Erlangga. World Health Organization. 2008. WHO Report On The Global Tobacco epidemic. The MPOWER Package. Geneva Switzerland: WHO Press. Working H. 1943. Statistical Laws of Family Expenditure. Journal of the American Statistical Association 38:43–56. Yuliana R. 2008. Evaluasi Perubahan Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Sebagai Dampak Kenaikan Harga BBM di Indonesia, Periode Pebruari 2005-Maret 2006 [tesis]. Depok: Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia. Zellner A. 1962. An Efficient Method of Estimating Seemingly Unrelated Regression Equations and Tests for Aggregation Bias. Journal of the American Statistical Association 57:348–368.
56
Halaman ini sengaja dikosongkan
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil pengolahan estimasi model permintaan energi rumah tangga di Pulau Jawa dengan model LA-AIDS tahun 2007 – 2010 The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 1 The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model A Dependent Variable W1 Label W1 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 9 1619173 179908.1 19776.8 <.0001 Error 120558 1096707 9.096925 Corrected Total 120567 2715880 Root MSE 3.01611 R‐Square 0.59619 Dependent Mean 0.56790 Adj R‐Sq 0.59616 Coeff Var 531.09498 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1.263139 0.004464 282.94 <.0001 Intercept LNP1 1 0.017238 0.000585 29.45 <.0001 LNP1 LNP2 1 ‐0.00174 0.000168 ‐10.40 <.0001 LNP2 LNP3 1 ‐0.00272 0.000182 ‐14.94 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.000521 0.000118 4.41 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.002256 0.000141 15.96 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.11047 0.000353 ‐313.14 <.0001 LNP6 LNYP 1 ‐0.00613 0.000380 ‐16.13 <.0001 LNYP D1 1 ‐0.01002 0.000581 ‐17.25 <.0001 D1 T 1 0.007616 0.000306 24.85 <.0001 T The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 2 The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model B Dependent Variable W2 Label W2 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 9 12726.58 1414.064 3916.03 <.0001 Error 120558 43533.10 0.361097 Corrected Total 120567 56259.68
58 Root MSE 0.60091 R‐Square 0.22621 Dependent Mean 0.02973 Adj R‐Sq 0.22615 Coeff Var 2021.38279 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.000725 0.000889 0.81 0.4152 Intercept LNP1 1 0.007855 0.000117 67.35 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000969 0.000033 29.02 <.0001 LNP2 LNP3 1 ‐1.67E‐6 0.000036 ‐0.05 0.9632 LNP3 LNP4 1 0.000501 0.000024 21.28 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001418 0.000028 50.34 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00622 0.000070 ‐88.53 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.013118 0.000076 173.21 <.0001 LNYP D1 1 0.002656 0.000116 22.95 <.0001 D1 T 1 0.000880 0.000061 14.42 <.0001 T The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 3 The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model C Dependent Variable W3 Label W3 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 9 9996.414 1110.713 7218.95 <.0001 Error 120558 18549.15 0.153861 Corrected Total 120567 28545.56 Root MSE 0.39225 R‐Square 0.35019 Dependent Mean 0.00752 Adj R‐Sq 0.35014 Coeff Var 5218.28527 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐0.02677 0.000581 ‐46.10 <.0001 Intercept LNP1 1 0.004026 0.000076 52.89 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000261 0.000022 11.95 <.0001 LNP2 LNP3 1 ‐0.00279 0.000024 ‐117.59 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.001020 0.000015 66.38 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001210 0.000018 65.81 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00227 0.000046 ‐49.47 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.005359 0.000049 108.40 <.0001 LNYP D1 1 0.000657 0.000076 8.70 <.0001 D1 T 1 0.003210 0.000040 80.55 <.0001 T The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 4
59 The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model D Dependent Variable W4 Label W4 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 9 26379.58 2931.065 7205.69 <.0001 Error 120558 49039.50 0.406771 Corrected Total 120567 75419.08 Root MSE 0.63779 R‐Square 0.34977 Dependent Mean 0.01545 Adj R‐Sq 0.34972 Coeff Var 4128.43476 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.033560 0.000944 35.55 <.0001 Intercept LNP1 1 0.004569 0.000124 36.91 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000664 0.000035 18.73 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.001935 0.000039 50.24 <.0001 LNP3 LNP4 1 ‐0.00215 0.000025 ‐86.11 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001567 0.000030 52.43 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00786 0.000075 ‐105.41 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.012474 0.000080 155.18 <.0001 LNYP D1 1 0.005358 0.000123 43.62 <.0001 D1 T 1 ‐0.00530 0.000065 ‐81.83 <.0001 T The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 5 The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model E Dependent Variable W5 Label W5 Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 9 97508.92 10834.32 15682.8 <.0001 Error 120558 83286.59 0.690842 Corrected Total 120567 180795.5 Root MSE 0.83117 R‐Square 0.53933 Dependent Mean 0.02317 Adj R‐Sq 0.53930 Coeff Var 3587.71582 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐0.11040 0.001230 ‐89.74 <.0001 Intercept LNP1 1 0.016630 0.000161 103.09 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000833 0.000046 18.02 <.0001 LNP2
60 LNP3 1 0.002738 0.000050 54.56 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.001857 0.000033 57.01 <.0001 LNP4 LNP5 1 ‐0.00232 0.000039 ‐59.61 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00434 0.000097 ‐44.65 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.031189 0.000105 297.74 <.0001 LNYP D1 1 ‐0.00808 0.000160 ‐50.47 <.0001 D1 T 1 ‐0.00097 0.000084 ‐11.43 <.0001 T The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 6 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regression Estimation Cross Model Covariance A B C D E A 9.09692 ‐.495156 ‐.110427 ‐.169363 ‐.568888 B ‐0.49516 0.361097 ‐.013327 ‐.065929 ‐.209042 C ‐0.11043 ‐.013327 0.153861 ‐.066280 ‐.058430 D ‐0.16936 ‐.065929 ‐.066280 0.406771 ‐.231441 E ‐0.56889 ‐.209042 ‐.058430 ‐.231441 0.690842 Cross Model Correlation
A B C D E
A 1.00000 ‐0.27320 ‐0.09334 ‐0.08804 ‐0.22693 B ‐0.27320 1.00000 ‐0.05654 ‐0.17203 ‐0.41854 C ‐0.09334 ‐0.05654 1.00000 ‐0.26494 ‐0.17922 D ‐0.08804 ‐0.17203 ‐0.26494 1.00000 ‐0.43659 E ‐0.22693 ‐0.41854 ‐0.17922 ‐0.43659 1.00000 Cross Model Inverse Correlation
A B C D E
A 2.69093 2.45920 1.54131 2.35349 2.94366 B 2.45920 3.99366 2.00731 3.17006 3.97332 C 1.54131 2.00731 2.30412 2.21309 2.56906 D 2.35349 3.17006 2.21309 4.10739 4.05074 E 2.94366 3.97332 2.56906 4.05074 5.55992 Cross Model Inverse Covariance
A B C D E
A 0.29581 1.3569 1.3028 1.2235 1.17422 B 1.35686 11.0598 8.5161 8.2714 7.95523 C 1.30280 8.5161 14.9754 8.8463 7.87990 D 1.22346 8.2714 8.8463 10.0976 7.64135 E 1.17422 7.9552 7.8799 7.6413 8.04803 System Weighted MSE 1.0554 Degrees of freedom 602805 System Weighted R‐Square 0.7986 The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 7 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regression Estimation Model A Dependent Variable W1 Label W1 Parameter Estimates
61 Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.722165 0.001278 565.03 <.0001 Intercept LNP1 1 0.085681 0.000360 238.31 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.003739 0.000065 57.66 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.003264 0.000045 71.83 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.004494 0.000061 73.46 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.007581 0.000080 94.50 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.10476 0.000309 ‐339.43 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.004056 0.000340 11.92 <.0001 LNYP D1 1 ‐0.03448 0.000542 ‐63.58 <.0001 D1 T 1 0.015687 0.000248 63.31 <.0001 T Model B Dependent Variable W2 Label W2 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 0.027757 0.000295 94.20 <.0001 Intercept LNP1 1 0.003739 0.000065 57.66 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000457 0.000029 15.59 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.000151 0.000017 9.02 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.000301 0.000019 16.19 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.000991 0.000023 43.73 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00564 0.000057 ‐98.58 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.012208 0.000071 172.83 <.0001 LNYP D1 1 0.003802 0.000108 35.07 <.0001 D1 T 1 0.000542 0.000052 10.39 <.0001 T Model C Dependent Variable W3 Label W3 The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 8 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regression Estimation Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐0.01248 0.000227 ‐55.12 <.0001 Intercept LNP1 1 0.003264 0.000045 71.83 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000151 0.000017 9.02 <.0001 LNP2 LNP3 1 ‐0.00252 0.000019 ‐130.33 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.001200 0.000013 91.69 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001218 0.000016 75.51 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00331 0.000040 ‐82.49 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.005863 0.000046 126.22 <.0001 LNYP D1 1 0.001575 0.000072 22.00 <.0001 D1 T 1 0.003495 0.000035 100.67 <.0001 T Model D
62 Dependent Variable W4 Label W4 Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 0.009951 0.000255 39.00 <.0001 Intercept LNP1 1 0.004494 0.000061 73.46 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000301 0.000019 16.19 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.001200 0.000013 91.69 <.0001 LNP3 LNP4 1 ‐0.00255 0.000022 ‐116.05 <.0001 LNP4 LNP5 1 0.001609 0.000021 77.96 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00506 0.000053 ‐94.61 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.011077 0.000072 153.61 <.0001 LNYP D1 1 0.003545 0.000115 30.88 <.0001 D1 T 1 ‐0.00645 0.000052 ‐123.31 <.0001 T
Model E Dependent Variable W5 Label W5
The SAS System 14:23 Friday, June 4, 2011 9
The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regression Estimation
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 ‐0.01497 0.000321 ‐46.57 <.0001 Intercept LNP1 1 0.007581 0.000080 94.50 <.0001 LNP1 LNP2 1 0.000991 0.000023 43.73 <.0001 LNP2 LNP3 1 0.001218 0.000016 75.51 <.0001 LNP3 LNP4 1 0.001609 0.000021 77.96 <.0001 LNP4 LNP5 1 ‐0.00316 0.000035 ‐90.05 <.0001 LNP5 LNP6 1 ‐0.00824 0.000069 ‐119.68 <.0001 LNP6 LNYP 1 0.030763 0.000095 322.69 <.0001 LNYP D1 1 ‐0.00351 0.000149 ‐23.53 <.0001 D1 T 1 ‐0.00159 0.000068 ‐23.42 <.0001 T
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
RESTRICT ‐1 ‐94866.5 2783.274 ‐34.08 <.0001 RESTRICT ‐1 738447.9 17440.14 42.34 <.0001 RESTRICT ‐1 1298911 19591.95 66.30 <.0001 RESTRICT ‐1 300907.1 17440.72 17.25 <.0001 RESTRICT ‐1 1103857 14868.36 74.24 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐166405 7243.311 ‐22.97 <.0001 RESTRICT ‐1 266445.4 7779.268 34.25 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐341655 9120.331 ‐37.46 <.0001 RESTRICT ‐1 104209.9 7706.557 13.52 <.0001 RESTRICT ‐1 835351.5 40129.47 20.82 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐572061 34947.50 ‐16.37 <.0001 RESTRICT ‐1 623985.7 28265.93 22.08 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐1943504 38130.13 ‐50.97 <.0001 RESTRICT ‐1 ‐769161 33867.41 ‐22.71 <.0001 RESTRICT ‐1 1141196 31499.94 36.23 <.0001