ANALISIS POLA CURAH HU]AN INDONESIA BERBASIS LUARAN MODEL SIRKULASI GLOBAL (GCM) *> Sinia Berllana SIpayung, Lely Qodrita Avia, "• Banibang Dwl Dasanto, dan ""* Sutlkno. ** Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN "} Instltut Pertanian Bogor, J "* Instltut Teknologi Sepuluh November, Surabaya Email:
[email protected] ABSTRACT The analysis of rainfall pattern over Indonesia based on t h e Global Circulation Model (GCM) s u c h as t h e CGCM3.1 (T47) and CSIRO Mk-3 for one h u n d r e d years observation (1900-2000) over three different types of Indonesia rainfall pattern h a s already been done- They a r e Lampung, J a k a r t a , and Kupang for t h e monsoon type, Ambon for t h e local type, a n d Padang and Solok for t h e equatorial type, respectipely. Since t h e grid resolution of the GCM d a t a is low relatively, we applied the Statistical Downscaling (SD) based on the Principal Component Regression (PCR). We found an a good agreement between b o t h model with t h e rainfall in-situ m e a s u r e m e n t in between 0.6 up 0.76, except for Kupang. We found also that both model h a s a similar pattern comparing with t h e rainfall in-situ measurement. While, by applying the Principal C o m p o n e n t Regression (PCR), we found an a good agreement also of both model than 6 5 % with the total variability is about 90%. ABSTRAK Telah dilakukan dilakukan analisis pola c u r a h hujan Indonesia berbasis l u a r a n model GCM (Global Circulation Model) yaitu GCM CGCM3.1 (T47), d a n CSIRO Mk-3 u n t u k tiga d a e r a h tipe iklim di Indonesia selama periods t a h u n 1900-2000. Lampung, J a k a r t a , d a n Kupang mewakili tipe hujan monsoon, Ambon mewakili tipe hujan lokal, sedangkan tipe hujan ekuatorial diwakili oleh Padang dan Solok. Luaran model GCM ini memiliki resolusi yang rendah, oleh k a r e n a itu u n t u k meningkatkan resolusi dalam kajian skala regional Indonesia digunakan metode Statistic Downscaling (SD). P a d a penelitian ini d i g u n a k a n metode Statistic Downscaling b e r d a s a r k a n Principal Component Regression (PCR). Hasil validasi luaran k e d u a model GCM tersebut di lokasi penelitian ini p a d a u m u m n y a memiliki akurasi yang c u k u p tinggi d i t u n j u k k a n dengan nilai koefisien korelasi y a n g berkisar a n t a r a 6 0 % sampai dengan 76%, kecuali Kupang. Hasil analisis bahwa pola c u r a h hujan Indonesia berbasis luaran k e d u a model GCM tersebut 145
menunjukkan pola yang sesuai dengan pola c u r a h hujan pengamatan, demikian j u g a dengan analisis r a t a a n keragaman d a t a yang bisa dijelaskan oleh komponen u t a m a pertama setiap wilayah masing-masing di atas 6 5 % d a n total keragamannya m e n u n j u k k a n 90%. Kata kunci : Ikiim, GCM 1
PENDAHULUAN
Iklim di Indonesia u m u m n y a didominasi oleh d u a tipe monsoon yaitu winter d a n summer monsoon yang masing-masing dicirikan oleh m u s i m b a s a h d a n musim kering Yasunari (1981,1990a d a n 1990b). Posisi geografis Indonesia yang b e r a d a di wilayah tropis mempunyai karateristik u n s u r iklim yang spesifik sirkulasi monsoon ini b e r h u b u n g a n dengan curah hujan seperti yang dikembangkan oleh J h o n s o n (1992). Diantara parameter iklim yang ada, seperti tekanan, s u h u , kelembaban, arah dan kecepatan angin serta c u r a h hujan, ternyata parameter c u r a h hujanlah yang menarik u n t u k dikaji dan dianalisis lebih lanjut. Curah hujan m e r u p a k a n u n s u r iklim yang paling tinggi keragaman dan fluktuasinya di Indonesia, sehingga m e r u p a k a n u n s u r iklim yang paling dominan mencirikan iklim Indonesia. Ada tiga pola c u r a h hujan yang saat ini dikenal banyak orang yaitu monsunal, ekuatorial d a n lokal. Ketiga pola hujan tersebut di atas dapat diuraikan yaitu pola hujan m o n s u n a l sebagai distribusi hujan b u l a n a n dengan pola hujan monsun yaitu satu kali hujan minimum sehingga dalam grafik berbentuk h u r u f "V". Hujan minimum terjadi saat monsun timur atau musim kering sedangkan saat monsun barat a t a u musim b a s a h terjadi hujan yang berlimpah. Monsun timur terjadi p a d a bulan J u n i , Juli, dan Agustus yaitu s a a t matahari berada di garis balik u t a r a (23.5° LU). Oleh k a r e n a matahari berada di garis balik u t a r a maka u d a r a di a t a s benua Asia mengalami p e m a n a s a n yang intensif sehingga Asia mengalami t e k a n a n rendah. Berkebalikan dengan kondisi tersebut di belahan selatan tidak mengalami p e m a n a s a n intensif sehingga u d a r a di atas b e n u a Australia mengalami t e k a n a n tinggi. Akibat perbedaan t e k a n a n di kedua b e n u a tersebut m a k a angin bertiup dari t e k a n a n tinggi (Australia) ke tekanan r e n d a h (Asia) yaitu u d a r a bergerak di a t a s laut yang jaraknya pendek sehingga u a p air yang dibawanyapun sedikit kondisi yang seperti ini Indonesia mengalami kekeringan k a r e n a aktivitas konveksi bergerak ke a r a h Timur (Quinn et. al., 1978). Akibat uap air yang dibawa sedikit maka sebagian Wilayah Indonesia (seperti Lampung, J a k a r t a , d a n Kupang) mengalami hujan minimum. Berdasarkan Gambar 1-1 dapat pula diamati bahwa hujan m a k s i m u m terjadi a n t a r a bulan Desember, J a n u a r i , d a n Pebruari. Pada kondisi ini m a t a h a r i b e r a d a di garis balik selatan sehingga u d a r a di a t a s Australia mengalami tekanan r e n d a h sedangkan di Asia mengalami t e k a n a n tinggi. Akibat dari hal 146
ini u d a r a bergerak di atas laut dengan j a r a k yang c u k u p j a u h sehingga a r u s u d a r a m a m p u membawa u a p air yang banyak {monsun barat a t a u barat laut). Sehingga wilayah yang dilalui oleh monsun barat a k a n mengalami huj an yang tinggi. Monsun b a r a t a t a u p u n timur yang mempengaruhi terbentuknya pola hujan m o n s u n a l di beberapa wilayah Indonesia u m u m n y a wilayah yang terkena relatif tetap selama posisi pergeseran semu m a t a h a r i juga tetap. Namun, p e r u b a h a n diperkirakan a k a n terjadi terhadap jumlah, intensitas d a n d u r a s i hujannya. Untuk mempelajari hal ini diperlukan d a t a c u r a h hujan pengamatan dalam seri yang panjang di beberapa wilayah Indonesia.
(B)
(C) Gambar 1-1: Pola hujan m u n s o n a l di wilayah Lampung (A), J a k a r t a (B) dan Kupang (C) Posisi wilayah yang didominasi pola hujan Monsunal Pola hujan ekuatorial adalah pola hujan ekuator yang memiliki pola hujan b u l a n a n yang k h a s , yaitu mengalami d u a kali hujan m a k s i m u m selama s e t a h u n . Hujan m a k s i m u m itu terjadi setelah Maret a t a u p u n September equinox. Pengaruh angin monsun di wilayah ini tidak tegas jika dibandingkan pengaruh insolasi (incoming solar radiation) p a d a waktu equinox seperti yang tercantum dalam Gambar 1-2. Hal ini didukung oleh pengaruh aktivitas Matahari p a d a cuaca d a n Iklim Indonesia, dari hasil pengolahan d a t a adanya korelasi yang k u a t (0.8) a n t a r a curah hujan dengan bilangan sunspot di wilayah Indonesia tengah (The Houw Liong dkk, 2006). Pola hujan lokal terdapat pada Gambar 1-3 yaitu pola hujan yang lebih banyak dipengaruhi sifat-sifat lokal seperti 147
\U.
Z.
JUILI
JL\J\J/
.X'3:LJ-±LJ'±
topografi setempat a t a u p u n angin lokal, hujan m a k s i m u m terjadi p a d a bulan J u n i d a n Juli. Distribusi hujan b u l a n a n dari jenis ini adalah mengalami satu kali hujan m a k s i m u m selama s e t a h u n (misal hujan b u l a n a n wilayah Ambon) ini sangat berbeda dengan pola monsunal d a n pola equatorial.
2
DATA DAN METODE
Data GCM yang digunakan adalah CSIRO-Mk3.0 (Australia) dan CGCM3.1 (T47) (Canada) yang di-download melalui website: h t t p : / / w w w pcmdi.llnl.gov/ipcc/, dengan eksperimen "20th century in coupled models" (20C3M) seperti yang tercantum dalam Tabel 2 - 1 . Parameter GCM yang digunakan adalah precipitable water (kg nr 2 ) dalam b u l a n a n yang dikonversi ke dalam s a t u a n mm. Sebagai data pembanding u n t u k validasi adalah curah hujan wilayah Lampung (1900-1937), J a k a r t a (1900-1974), dan Kupang (1900-1941), Padang (1900-1941), Solok (1974-1999), dan Ambon (1900-1940), 148
yang diperoleh dari BMG yang m e r u p a k a n representasi keragaman pola hujan di Indonesia yang meliputi tipe hujan monsoon, ekuatorial d a n lokal. Berdasarkan data yang tersedia d a n u n t u k keperluan pemodelan, periode data dibagi menjadi d u a bagian yaitu u n t u k p e m b a n g u n a n model (verifikasi model) d a n pengujian model validasi model (Tabel 2-2). T a b e l 2 - 1 : RESOLUSI GCM, PERIODESASI DATA DAN NEGARA PEMBUAT MENURUT NAMA GCM Nama GCM CGCM3.1 (T47) CSIRO-Mk3.0
Resolusi (bujur /lintang) 3.75° x 3.710 1.875° x 1.850°
Periode data 1850-2000 1871-2000
Negara Pembuat Canada Australia
Tabel 2-2: PERIODESASI DATA UNTUK VERIFIKASI DAN VALIDASI MODEL Lokasi/wilayah Solok Kupang Padang Lampung Jakarta Ambon
Periode verifikasi model 1974-1997 1900-1939 1900-1939 1900-1935 1900-1972 1900-1938
Periode validasi (testing ) model 1998-1999 1940-1941 1940-1941 1936-1937 1973-1974 1939-1940
GCM dibangkitkan p a d a resolusi yang terlalu besar u n t u k memberikan gambaran interaksi regional d a n lokal yang akurat, sejauh ini model GCM masih belum dapat menduga p e r u b a h a n iklim yang konsisten p a d a skala lokal (Giorgi et al. 2001). Oleh k a r e n a itu berdasarkan sifat data GCM yang m e n c a k u p seluruh dunia, sedangkan penelitian ini hanya mencakup wilayah Indonesia m a k a data awal tersebut ditentukan grid point dipilih sesuai dengan lintang d a n bujur koordinat kiri atasnya adalah 90.0 BT; 9.7671 LU d a n koordinat k a n a n bawah 149.1 BT; 15.3 LS seperti yang tercantum dalam Gambar 2-1. Dengan melakukan identifikasi domain grid, kemudian mereduksi dimensi grid dengan metode statistic downscaling (Hewitson d a n Crane 1996 diacu dalam Timbal et al. 2003). Statistic downscaing dengan principle component regresi sehingga diperoleh s u a t u fungsi yang digunakan u n t u k memvalidasi l u a r a n model dengan observasi. Data global yang terdiri dari lintang d a n bujur resolusi data CGCM3.1 (T47) resolusi bujur d a n lintang 3.75° x 3.71° terdiri atas 128 17 X (bujur) d a n 10 grid Y (lintang) sedangkan d a t a CSIRO Mk-3.0 resolusi bujur dan lintang 1.875° x 1.850° terdiri atas 33 grid X (bujur) d a n 18 grid Y (lintang). 1 Grid =2.8 x 2.8 derajat 149
Gambar 2 - 1 : Posisi wilayah m e n c a k u p Indonesia b e r d a s a r k a n grid, k a r e n a l u a r a n GCM m e n c a k u p seluruh d u n i a 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil reduksi spasial grid (domain) GCM CGCM3 u n t u k wilayah Indonesia diperoleh 170 grid dan 594 grid u n t u k GCM CSIRO-Mk3. Reduksi dimensi grid selanjutnya dengan menggunakan analisis komponen u t a m a diperoleh masing-masing 6 - 8 komponen u t a m a u n t u k GCM CGCM3 dan CSIRO-Mk3 di wilayah Lampung, J a k a r t a , Kupang, Solok, Padang, dan Ambon, dengan total keragaman data masing-masing di a t a s 9 0 % (Tabel 3-1). Keragaman d a t a yang bisa dijelaskan oleh komponen u t a m a p e r t a m a setiap wilayah masing-masing di a t a s 65%. Hasil ini m e n u n j u k k a n b a h w a antar grid terdapat keterkaitan yang c u k u p erat d a n saling berinteraksi, k a r e n a hanya 6-8 komponen u t a m a m a m p u menjelaskan lebih dari 9 0 % keragaman data dari 170 grid d a n 594 grid. Tabel 3 - 1 : KERAGAMAN YANG DAPAT DITERANGKAN SETIAP KOMPONEN UTAMA DAN TOTAL MENURUT WILAYAH Keragaman yang diterangkan PC4 PC5 PC3 PC6
Wilayah
PCI
PC2
Kupang Solok Padang Lampung Jakarta Ambon
0.656 0.660 0.656 0.655 0.652 0.657
0.141 0.146 0.141 0.141 0.143 0.140
0.032 0.037 0.032 0.033 0.034 0.032
Kupang Solok Padang Lampung Jakarta Ambon
0.676 0.669 0.676 0.677 0.671 0.676
0.141 0.135 0.141 0.141 0.142 0.142
0.047 0.052 0.047 0.048 0.047 0.047
CGCM3 0.028 0.022 0.023 0.021 0.028 0.022 0.028 0.022 0.028 0.020 0.028 0.022 CSIRO-Mk3 0.030 0.020 0.033 0.024 0.030 0.020 0.030 0.019 0.030 J3.022 0.030 0.020
0.020 0.017 0.020 0.020 0.020 0.020 0.014 0.018 0.014 0.014 0.015 0.014
PC7
PC8
0.012
0.010
0.012 0.013 0.013 0.013
0.010 0.010 0.010 0.010
Total keragaman 0.921 0.904 0.921 0.921 0.920 0.921 0.929 0.930 0.929 0.930 0.928 0.930 150
Nilai korelasi tertinggi terdapat pada wilayah Padang, sedangkan terkecil terdapat p a d a wilayah curah hujan Kupang u n t u k model CGCM. Namun nilai RMSE, wilayah J a k a r t a j u s t r u terbesar, sedangkan terkecil wilayah Solok seperti yang tercantum dalam Tabel 3-2. Demikian pula nilai korelasi u n t u k model CSIRO nilai tertinggi terdapat p a d a wilayah Jakarta. Sedangkan yang terkecil terdapat p a d a wilayah Kupang. Nilai RMSE-nya terdapat p a d a wilayah Ambon dan terkecil p a d a wilayah Lampung. Hasil plot model n a m p a k tidak mengikuti pola d a t a p e n g a m a t a n t e r u t a m a u n t u k wilayah Kupang. Sedangkan u n t u k wilayah tipe hujan ekuatorial (Solok) hasil yang k u r a n g m e m u a s k a n , seperti yang tercantum p a d a Gambar 3-1 d a n 3-2 u n t u k wilayah masing-masing Tabel 3-2: NILAI RMSE, KORELASI (r) VALIDASI MODEL MENURUT METODE REGRESI KOMPONEN UTAMA (PCR)
Gambar 3-1 Menunjukkan bahwa pola h u b u n g a n a n t a r a curah hujan pengamatan d a n model di Lampung, J a k a r t a , Ambon, Padang d a n Solok lebih n a m p a k jelas mengikuti pola yang baik atau korelasi yang baik pada pola monsunal, equatorial m a u p u n lokal di kedua model, a k a n tetapi u n t u k lokasi Kupang dalam model CGCM pola h u b u n g a n n y a tidak jelas atau tidak mengikuti pola hujan monsunal. Ternyata dari k e d u a model mengikuti pola curah hujan yang s a m a u n t u k Indonesia walaupun beberapa wilayah yang mewakilinya, kecuali lokasi Kupang. Pada Gambar 3-2 dalam model GCM CSIRO m e n u n j u k k a n bahwa perbandingan pola curah hujan hasil model dengan pola c u r a h hujan pengamatan u n t u k lokasi Kupang tidak menunjukkan korelasi yang baik. Curah hujan model dengan curah hujan pengamatan hingga sampai saat ini masih perlu dikaji d a n menjadi penelitian yang menarik u n t u k penelitian kalangan luar m a u p u n penelitian dalam.
151
juinui juirib Ljirgunwru
vui. t
i\u. A juni
z.uu/".lto-Lot
152
Padang Solok Gambar 3-2: Plot a n t a r a data hujan hasil luaran model CSIRO terhadap hujan Observasi 6 lokasi 4 KESIMPULAN Hasil reduksi spasial grid (domain) GCM CGCM3 u n t u k wilayah Indonesia diperoleh 170 grid d a n 594 grid u n t u k GCM CSIRO-Mk3. Reduksi dimensi grid selanjutnya dengan menggunakan analisis komponen u t a m a diperoleh masing-masing 6 - 8 komponen u t a m a u n t u k GCM CGCM3 dan CSIRO-Mk3 di wilayah Lampung, J a k a r t a , Kupang, Solok, Padang, dan Ambon, hasil validasi luaran k e d u a model GCM tersebut dilokasi penelitian ini memiliki akurasi yang c u k u p tinggi ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang berkisar a n t a r a 60 % sampai dengan 76 % kecuali Kupang, 153
dengan total k e r a g a m a n d a t a masing-masing di a t a s 90%. Hasil ini m e n u n j u k k a n b a h w a a n t a r grid terdapat keterkaitan yang c u k u p erat d a n saling berinteraksi, k a r e n a h a n y a 6-8 komponen u t a m a m a m p u menjelaskan lebih dari 9 0 % k e r a g a m a n d a t a dari 170 grid d a n 5 9 4 grid. Ternyata dari k e d u a model mengikuti pola c u r a h hujan yang berkorelasi baik u n t u k Indonesia w a l a u p u n b e b e r a p a wilayah yang mewakiliriya, kecuali lokasi Kupang tidak sesuai dengan pola curah hujan pengamatan. Ucapan terima-kasih Terima kasih banyak disampaikan kepada Dr. Rizaldi Boer yang telah banyak memberikan pengarahan dan m a s u k a n dalam pelaksanaan penelitian ini d a n j u g a p a d a Filla Aulifin K a t a s sebagian analisis d a t a yang dilakukan. DAFTAR RUJUKAN Giorgi F. t Hewitson B., Christensen J., Hulme M., Von Strorch H.( Whetton P., J o n e s R., Mearns L., Fu C, 2 0 0 1 . The scientific basis. Contribution of Working Group I to t h e Third Assesment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC.University Press. Cambrige.UK J h o n , L. M., 1992. The meteorology of Indonesia a n d t h e maritime continent. The 4* ICEAR symposium, 1-7. Quinn, W.H., Zopf, D.O., Short, K. S., a n d Kuoyang, R. T., 1978. Historical trends and statistics of the Southern Oscillation, El Nifto, and Indonesian droughts. Fisheries Bulletin, 76, 663-678. Suppiah, R., 1994. The Asian monsoons: simulations from four GCMs and likely changes under enhanced greenhouse conditions. In: Climate Impact Assessment Methods for Asia a n d t h e Pacific [Jakeman, A.J. a n d B. Pittock (eds.)l- Proceedings of a regional symposium, organised by ANUTECH Pty. Ltd. on behalf of t h e Australian International Development Assistance Bureau 10-12 March 1993, Canberra, Australia, p p . 73-78. The Houw Liong, P. M. Siregar, 2 0 0 6 . Sistem Peringatan Dini Berdasarkan Aktivitas Matahari dalam Seminar Nasional Sains Antariksa IE. (Dalam Proses). Timbal B., Dufour A., McAvaney B., 2 0 0 3 . An estimate of future climate change for western France using a statistical downscaling technique. Climate Dynamics. 20:807-823. Yasunari, T., 1 9 8 1 . temporal and Spatial variations of monthly rainfall in Java, Indonesia, Southeast Asian Studies. Vol. 19, No. 2, 170-186. Yasunari, T., 1990a. Inpact of Indian monsoon on the coupled atmosphere/ ocean system in the tropical Pacific. Meteor & Atmos Phy., 44, 2 9 - 4 1 . Yasunari, T., 1990b. Monsoon andENSO-A coupled ocean/land/atmosphere system. Proc. Int. Sci. Conf. TOGA, July 1990, Honolulu, Hawaii. WMO T D N o . 3 7 9 , 111-120. 154