ANALISIS PERTUMBUHAN INKLUSIF (diringkas dari beberapa artikel dan hasil-hasil penelitian terkait) Oleh: Haryanto A. LATAR BELAKANG Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, yaitu pertumbuhan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang, terdistribusi di berbagai wilayah, dan dapat mengurangi ketidaksetaraan pendapatan. Pembangunan yang berkelanjutan menjadi syarat perlu bagi keberhasilan suatu negara; namun demikian, belum cukup apabila tidak diikuti dengan pembangunan yang inklusif. Pembangunan yang inklusif dimaknai sebagai pertumbuhan yang tidak hanya menciptakan peluang ekonomi baru, tetapi juga menjamin aksesibilitas yang sama terhadap peluang yang tercipta untuk semua segmen masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin. Perkembangan perekonomian Indonesia selama 13 tahun terakhir menunjukan hal yang membanggakan, laju pertumbuhan perekonomian terus meningkat dari 4,4 persen pada tahun 2002 menjadi lebih dari 4,9 persen di tahun 2015. Selain itu, perubahan angka kemiskinan yang ditunjukan oleh besarnya tingkat penduduk miskin di Indonesia juga menunjukan hal yang positif. Sepanjang tahun 2002-2015 persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia terus berkurang dari 20,2 persen menjadi 11,1 persen (BPS, 2016). Sementara itu, pada saat yang sama pertumbuhan ekonomi di Indonesia ternyata menimbulkan kesenjangan pendapatan yang tinggi. Angka rasio Gini tahun 2002 sebesar 0,33 dan meningkat menjadi 0,408 pada tahun 2015. Data-data diatas memperlihatkan adanya sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih terkait dengan proses dan pelaksanaan pembangunan ekonomi di Indonesia. Pengentasan kemiskinan perlu dilakukan dengan segera dan komperhensif. Salah satu cara mengentaskan kemiskinan adalah dapat dengan inklusi keuangan. Penyediaan akses terhadap layanan keuangan merupakan hal penting yang perlu dilakukan karena hal tersebut berdampak pada perubahan pola konsumsi, investasi, pendidikan, dan menciptakan pendapatan bagi masyarakat miskin sehingga memperluas peluang pertumbuhan serta menciptakan pertumbuhan inklusif. Metode pembentukan indeks pertumbuhan inklusif dihitung dengan menggunakan konsep fungsi peluang sosial (Social Opportunity Function) yang hampir sama dengan fungsi kesejahteraan sosial (Ali & Son, 2007). Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007-2010 dominan digunakan karena SUSENAS menyediakan data yang sangat luas dan relatif konsisten setiap tahunnya. Partisipasi seluruh masyarakat dalam proses pertumbuhan menjadi bagian dari pertumbuhan inklusif yang multidimensi. Pendidikan dan pengetahuan mengenai aspek keuangan (financial education dan financial literacy) perlu diberikan kepada masyarakat miskin. Meningkatnya pengetahuan dan pendidikan keuangan di masyarakat akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin dan memperkecil ketimpangan. Penyediaan akses layanan dan jasa-jasa sektor keuangan yang terjangkau bagi masyarakat miskin secara langsung membuat kelompok masyarakat miskin ikut berpartisipasi dan menjadi agen pertumbuhan ekonomi sehingga menciptakan pertumbuhan yang inklusif yang dalam jangka panjang dapat mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia.
Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini telah berada dalam jalur yang benar yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah orang miskin. Namun, bila melihat gejala semakin 1
melebarnya tingkat kesenjangan natara pendapatan, menjadi penting bagi pemerintah untuk mengkaji kembali mengenai implementasi konsep pertumbuhan inklusif. Untuk itu, perlu dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengarui pertumbuhan inklusif di Indonesia, apa yang membuat pertumbuhan inklusif, dan bagaimana cara menilai/menghitung hubungan antara pertumbuhan dan elemen inklusifitas.
B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan paper: 1. Menganalisis inklusifitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan inklusif di Indonesia 3. Menyediakan gambaran mengenai cara mencapai pertumbuhan yang inklusif C. KAJIAN TEORETIS
Klasen (2010), dalam working paper nya yang berjudul Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions, menyatakan bahwa penting untuk menentukan episode ekonomi seperti apa yang memiliki karakteristik sebagai pertumbuhan yang inklusif. Ada dua kemungkinan untuk hal tersebut, yang pertama melihat melalui proses. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif adalah pertumbuhan yang meluas antar sektor atau intensif terhadap tenaga kerja. Dengan begitu pertumbuhan inklusif dapat dikatakan sebagai pertumbuhan yang melibatkan partisipasi semua pihak tanpa diskriminasi dan mampu melibatkan seluruh sektor ekonomi. Fokus kedua yaitu pada hasil dari proses pertumbuhan. Dalam hal ini, konsep pertumbuhan inklusif berkaitan erat dengan konsep pertumbuhan yang pro poor. Dengan kata lain, berdasarkan hasil yang dicapainya, pertumbuhan inklusif adalah pertumbuhan yang mampu menurunkan kelompok yang “tidak diuntungkan” dalam perekonomian. Berdasarkan kedua fokus tersebut, pertumbuhan inklusif dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan yang tidak mendiskriminasikan dan mampu menjamin pemerataan akses pertumbuhan sekaligus sebagai pertumbuhan yang mampu menurunkan kelompok yang tidak memperoleh keuntungan dari pertumbuhan (mengurangi disparitas antar kelompok). Kajian literatur yang dilakukan Suryanarayana (2008) mengenai konsep pertumbuhan inklusif memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Bank Dunia menyatakan bahwa pertumbuhan inklusif adalah pertumbuhan yang fokus pada perluasan skala ekonomi, memperluas akses terhadap aset perekonomian dan berhasil memperluas pasar serta menciptakan pemerataan peluang untuk generasi selanjutnya. 2. Syarat penting untuk terciptanya pertumbuhan inklusif adalah bahwa disparitas pendapatan antara pekerja di sektor pertanian dan non-pertanian seharusnya tidak terlalu besar (Sen 2007) 3. Besley, et al (2007) menggunakan elastisitas pertumbuhan terhadap kemiskinan untuk mengukur inklusifitas proses pertumbuhan terhadap kemiskinan 4. UNDP memberikan definisi mengenai pertumbuhan inklusif berdasarkan sisi produksi dan pendapatan GDP (Gross Domestic Product), yaitu proses dan hasil pertumbuhan dimana 2
semua pihak dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat yang sama dari pertumbuhan tersebut. Dengan demikian pertumbuhan inklusif merepresentasikan pemerataan. Rusastra (2011) mengatakan bahwa paradigma pertumbuhan inklusif pada dasarnya,: (1) pembangunan pro kelompok miskin; (2) laju pertumbuhan ekonomi; dan (3) mencegah kerusakan lingkungan (Rusastra dan Erwidodo 1998). Terdapat keterkaitan kuat antar ketiganya. Keberlanjutan pertumbuhan ekonomi akan mendorong perbaikan distribusi pendapatan, yang memiliki ketergantungan pada efisiensi dan konservasi penggunaan sumber daya. Konsekuensinya, pilihan prioritas sektoral adalah pembangunan pertanian berkelanjutan dengan tetap memprioritaskan pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Pembangunan dan pertumbuhan inklusif secara nasional membutuhkan beberapa upaya, yaitu: (1) stabilisasi indikator makroekonomi, didukung oleh keberpihakan kebijakan fiskal dan sistem insentif untuk pembangunan pertanian; (2) peningkatan kapasitas produksi, didukung oleh pengembangan infrastruktur dan pelestarian sumber daya alam dalam perspektif menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi jangka panjang; (3) sinergi dan integrasi program pemberdayaan kelompok miskin, pembangunan inklusif perdesaan, dan pertumbuhan inklusif di tingkat nasional; dan (4) peningkatan kapasitas dan akses penduduk miskin, proteksi penguasaan aset produktif, dan percepatan peningkatan pendapatan. Berdasarkan uraian tersebut, maka pertumbuhan inklusif dapat dikatakan sebagai pertumbuhan yang mampu mensinergikan pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesempatan kerja, dan pengentasan kemiskinan. Habito (2009) menyimpulkan pertumbuhan inklusif didefinisikan sebagai pertumbuhan GDP yang dapat menurunkan kemiskinan. Habito juga menjelaskan bahwa struktur perekonomian dan komposisi sektoral dalam pertumbuhan ekonomi telah diyakini sebagai faktor penting untuk mencapai pertumbuhan inklusif, dengan pernyataan umum bahwa pertumbuhan yang lebih kuat pada struktur pertanian akan mempercepat penurunan kemiskinan. Penekanan pada sektor pertanian ini wajar bila mengingat bahwa peran sektor pertanian terutama dalam penyerapan tenaga kerja di negara berkembang sangat besar. Selain fokus akan kondisi sektor perekonomian, Habito memandang investasi pada fasilitas publik seperti kesehatan, pendidikan dan perumahan sangat penting untuk mencapai pertumbuhan inklusif. Min Tang (2008) memfokuskan pada persoalan kemiskinan dalam kaitannya dengan pertumbuhan inklusif dengan berangkat dari persoalan distribusi pendapatan. Ia mengamati bahwa selama beberapa dekade, banyak negara berkembang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Sementara itu, distribusi pendapatan semakin memburuk dengan derajat yang berbeda-beda antar negara. Beragam ukuran dan elemen dinyatakan turut memengaruhi apakah pertumbuhan dapat dikatakan inklusif. Ukuran yang paling penting adalah apakah pertumbuhan memiliki dampak terhadap peningkatan kesejahteraan orang miskin. Orang miskin, yang merupakan pihak dengan posisi paling tidak menguntungkan dalam pembangunan, memiliki kesulitan untuk memperoleh manfaat dari hasil pembangunan. Karena itu, meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin merupakan prioritas utama dalam agenda pertumbuhan ekonomi, tetapi terbukti sangat sulit untuk dicapai. Pertumbuhan inklusif sangat sering disamakan dengan inklusifitas pro poor, dengan demikian pertumbuhan yang tidak pro poor sudah pasti tidak inklusif (Kakwani, Khander, dan Son, 2004; dalam Min Tang, 2008). Ali and Son (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan inklusif yang fokus pada percepatan perluasan kesempatan dan akses terhadap sumberdaya ekonomi bagi seluruh pelaku ekonomi, termasuk kelompok yang kurang diuntungkan, adalah syarat penting tetapi belum cukup untuk menurunkan ketimpangan pendapatan. Ketimpangan telah meningkat, tetapi hal ini bukan berarti bahwa orang kaya semakin kaya sedangkan orang miskin semakin miskin. Melainkan 3
kekayaan orang kaya meningkat jauh lebih cepat dari pada orang miskin. Dengan melihat pada persoalan ketimpangan yang terjadi, Ali memberi kesimpulan bahwa faktor kunci yang bertanggungjawab atas peningkatan ketimpangan terlihat beragam dalam pertumbuhan. Tiga dimensi dalam perbedaan pertumbuhan terutama berkenaan dengan perbedaan pengukuran ketimpangan di berbagai bagian daerah. Yang pertama, pertumbuhan telah berbeda antar daerah di suatu negara (misalnya antar provinsi). Kedua, pertumbuhan berbeda antar kota dan desa. Dan yang terakhir, pertumbuhan berbeda antar rumah tangga, sehingga pendapatan masyarakat kelas atas tumbuh lebih cepat dari pada masyarakat kelas menengah atau dibawahnya. Menurut Ali dan Son (2007), fungsi peluang sosial memberikan bobot yang lebih besar kepada peluang yang dinikmati oleh orang miskin: semakin miskin, maka bobotnya semakin besar. Skema pembobotan akan memastikan bahwa peluang yang diciptakan untuk orang miskin lebih penting daripada yang dibuat untuk mereka yang tidak miskin, yaitu jika kesempatan yang dinikmati oleh seseorang dipindahkan kepada orang miskin dalam masyarakat, maka peluang sosial harus meningkat, sehingga membuat pertumbuhan menjadi lebih inklusif. Pertumbuhan dikatakan inklusif jika peluang sosial dapat tersebar pada seluruh populasi. Bagaimana peluang dapat tersebar dalam masyarakat menurut Ali dan Son (2007) dapat digambarkan dalam kurva yang disebut sebagai kurva peluang : semakin tinggi kurva, semakin besar fungsi peluang sosial. Dengan demikian pertumbuhan akan inklusif jika kurva peluang bergeser ke atas pada semua titik. Jika kurva peluang secara keseluruhan bergeser ke atas, maka artinya setiap orang dalam masyarakat, termasuk orang miskin, menikmati peningkatan peluang dan karenanya bisa disebut suatu proses pertumbuhan yang inklusif. Kemiringan pada kurva peluang sosial menunjukkan bagaimana peluang didistribusikan dalam masyarakat. Jika kurva peluang memiliki kemiringan negatif, maka dapat dikatakan bahwa kesempatan yang tersedia untuk orang miskin lebih daripada yang tersedia untuk yang tidak miskin (yaitu, peluang didistribusikan secara merata). Demikian pula, jika kurva memilki kemiringan positif, maka artinya peluang didistribusikan secara tidak adil (antipoor). Kurva ini dapat dilihat pada gambar berikut :
Sumber : Ali dan Son (2007)
Gambar Kurva Peluang Sosial
Gambar diatas mengilustrasikan dua peluang kurva dengan rata-rata (ӯ) yang sama: satu kurva memiliki kemiringan positif (AB) dan lainnya adalah negatif (CB). Kurva menunjukkan pemerataan peluang, yang berarti bahwa orang miskin di ujung bawah distribusi memiliki 4
peluang lebih besar daripada tidak miskin di ujung atas. Kurva dengan kemiringan positif yaitu AB, menunjukkan sebaliknya: orang miskin menikmati peluang yang kurang daripada yang tidak miskin. Faktor-faktor seperti ketimpangan, kemiskinan, masalah sektoral dan tenaga kerja seringkali disebutkan dalam uraian mengenai berbagai konsep pertumbuhan inklusif. Ianchovichina dan Lundstrom (2009) memberikan pendapat yang sedikit berbeda, dimana keduanya memperhatikan kembali persoalan ukuran pertumbuhan. Ianchovichina dan Lundstrom menyatakan bahwa pertumbuhan inklusif berkaitan dengan memperbesar ukuran perekonomian dan bukan hanya fokus pada masalah distribusi sumber daya. Pertumbuhan inklusif seringkali dikaitkan pula dengan pertumbuhan berkelanjutan. Konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlajutanpun sangat multidimensi dan multi-interpretasi. Menurut Heal (1998), konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi : Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang . Kedua adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan lingkungan. Karena adanya multidimensi dan multi-interpretasi ini, maka para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.” (ADB, 1990). Dengan melihat komponen antar waktu yang menjadi indikator pertumbuhan berkelanjutan, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan yang berkelanjutan adalah pertumbuhan yang inklusif namun pertumbuhan inklusif belum tentu berkelanjutan. Berbagai konsep yang ditawarkan untuk merumuskan pertumbuhan inklusif memiliki pandangan masing-masing mengenai bagaimana seharusnya pertumbuhan dapat bekerja dalam perekonomian. Dengan beragamnya konsep tersebut, ADB (2010) menekankan adanya catatan penting bahwa sebuah episode pertumbuhan dapat menjadi inklusif dalam beberapa hal tetapi tidak pada orang lain . Pertumbuhan inklusif dapat dikatakan sebagai ukuran apakah pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan pertumbuhan yang berkualitas. Definisi pertumbuhan inklusif dalam penelitian ini merupakan gabungan dari beragam konsep yang telah diuraikan sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi disebut inklusif apabila pertumbuhan tersebut mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. D. METODOLOGI
Terdapat beberapa pendekatan untuk menentukan apakah pertumbuhan ekonomi suatu negara bersifat inklusif, diantaranya adalah: 1. Metode “poverty-equivalent growth rate” (PEGR) Klasen (2010) telah mengembangkan metode pengukuran pertumbuhan inklusif. Dalam merumuskan metode pengukuran untuk pertumbuhan inklusif, Klasen mengadaptasi metode dari penelitian-penelitian pro-poor growth. Secara khusus, adaptasi dilakukan dari penelitian Kakwani dan Son (2008) mengenai konsep “poverty-equivalent growth rate” yang mendefinisikan pertumbuhan inklusif sebagai pertumbuhan untuk kelompok kurang beruntung. Manfaat pertumbuhan bisa dihitung dengan menggunakan metode PEGR yang merupakan salah 5
satu metode yang digunakan untuk mengukur manfaat pertumbuhan ekonomi bagi penduduk miskin. Dalam penghitungan PEGR sendiri, terdapat 2 metode, yaitu dengan menggunakan teknik analisis secara ex ante dan post ante. Metode penghitungan PEGR dengan menggunakan teknik analisis secara ex-ante diterapkan berdasarkan asumsi bahwa perubahan ketidakmerataan pendapatan hanya berlangsung dengan cara terjadi pergeseran secara proporsional dan konstan di semua titik pada kurva Lorenz. Padahal pergeseran kurva Lorenz dapat disebabkan banyak hal, sehingga metode penghitungan PEGR secara ex-ante ini tidak mungkin untuk dilakukan. Telah diuraikan sebelumnya bahwa terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan inklusif. Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan pendekatan yang dirumuskan oleh Klasen (2010). Definisi pertumbuhan inklusif yang digunakan dalam penelitian ini merupakan gabungan dari beberapa konsep. Pertumbuhan disebut inklusif apabila pertumbuhan tersebut mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Dengan mengadopsi beberapa persamaa yang dikembangkan oleh Klasen, maka pertumbuhan inklusif dapat diukur dengan rumusan sebagai berikut : a. Pertumbuhan inklusif dalam menurunkan kemiskinan, koefisiennya adalah : IGp = (Epg / Ep) Ĝg
............................................................................................................................................................................ (d.1)
Dimana : IGp : koefisien pertumbuhan inklusif dalam menurunkan kemiskinan Ep : elastisistas kemiskinan terhadap pendapatan rata-rata Epg : elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi Ĝg : pertumbuhan ekonomi IGp menyatakan inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan, sehingga pertumbuhan dinyatakan inklusif apabila nilai IGp > Ĝg. Cara yang sama dalam konsep PEGR digunakan untuk menghitung elastisitas. Dengan mendefinisikan kemiskinan (P) sebagai fungsi dari jumlah penduduk miskin (z) dan pendapatan rata-rata penduduk (ϰ) yang dituliskan sebagai berikut : P = P (z, ϰ) ........................................................................................................................................................................................ (d.2) Maka perubahan persentase jumlah penduduk miskin pada periode 1 dan periode 2 dapat dihitung sebagai : P12 = P2 – P1 = Ln [ P (z2, ϰ2)] – Ln [ P (z1, ϰ1)] .............................................................................(d.3) Sedangkan perubahan persentase pendapatan rata-rata penduduk dapat dihitung sebagai : Ψ = Ln (ϰ2) – Ln (ϰ1) ................................................................................................................................................................... (d.4)
6
Dengan demikian elastisitas kemiskinan terhadap pendapatan rata-rata (Ep) dapat dihitung sebagai : Ep = P12 / Ψ ......... .......................................................................................................................................................................... (d.5) Pertumbuhan ekonomi (Ĝg) dihitung sebagai perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada periode, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat dituliskan sebagai berikut : Ĝg = Ln (PDRB2) – Ln (PDRB1) ................................................................................................................................................ (d.6) Dengan demikian, elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan ekonomi (Epg) dapat dihitung sebagai : Epg = P12 / Ĝg
......................................................................................................................................................................................(d.7)
b. Pertumbuhan inklusif dalam menurunkan ketimpangan, koefisiennya adalah :
IGin = (Ein.g / Ein) Ĝg ........................................................................................................................................................................(d.8) Dimana : IGin Ein Ein.g Ĝg
: koefisien pertumbuhan inklusif dalam menurunkan ketimpangan : elastisistas ketimpangan terhadap pendapatan rata-rata : elastisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan ekonomi : pertumbuhan ekonomi
IGin menyatakan inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan ketimpangan, sehingga pertumbuhan dinyatakan inklusif apabila nilai IGin > Ĝg. Dengan mendefinisikan ketimpangan (In) sebagai fungsi dari indeks gini (GINI) dan pendapatan rata-rata penduduk (ϰ), yang dituliskan sebagai berikut : In = In (GINI, ϰ) ..........................................................................................................................(d.9) Maka perubahan ketimpangan pada periode 1 dan periode 2 dapat dihitung sebagai : In12 = In2 – In1 = Ln [ In (GINI2, ϰ2) – Ln [ In (GINI1, ϰ1)] ...........................................................(d.10) Dengan menghitung perubahan persentase pendapatan rata-rata dari persamaan (d.4) maka elastisitas ketimpangan terhadap pendapatan rata-rata (Gin) dapat dihitung sebagai : Ein = In12 / Ψ ........................................................................................................................... (d.11) Sedangkan dari persamaan (d.6) yang menghitung pertumbuhan ekonomi, elastisitas ketimpangan terhadap pertumbuhan ekonomi (Ein.g) dapat dihitung sebagai : Ein.g = In12 / Ĝg ..........................................................................................................................(d.12) 7
c. Pertumbuhan inklusif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja, koefisiennya adalah IGem = (Eem.g /Eem) Ĝeg .............................................................................................. ..............(d.13) Dimana : IGem Eem Eem.g
: koefisien pertumbuhan inklusif dalam menyerap tenaga kerja : elastisistas penyerapan tenaga kerja : elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Ĝg : pertumbuhan ekonomi IGem menyatakan inklusifitas pertumbuhan dalam menyerap tenaga kerja, sehingga pertumbuhan dinyatakan inklusif apabila nilai IGem > Ĝeg. Dengan mendefinisikan penyerapan tenaga kerja (Em) sebagai fungsi dari jumlah orang yang bekerja (Worker) dan jumlah angkatan kerja (AK), yang dituliskan sebagai berikut : Em = Em (Worker, AK) ............................................................................................................( d.14) Maka perubahan persentase penyerapan tenaga kerja pada periode 1 dan periode 2 dapat dihitung sebagai : Em12 = Em2 – Em1 = Ln [ Em (Worker2, AK2) – Ln [ Em (Worker1, AK1)] ....................................(d.15) Sedangkan perubahan persentase angkatan kerja dapat dihitung sebagai : AK* = Ln (AK2) – Ln (AK1) .........................................................................................................(d.16) Dengan demikian, elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap angkatan kerja (Eem) dapat dihitung sebagai : Eem = Em12 / AK* .....................................................................................................................( d.17) Sedangkan dari persamaan (d.6) yang menghitung pertumbuhan ekonomi, elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi (Eem.g) dapat dihitung sebagai : Eem.g = Em12 / Ĝg ......................................................................................................................( d.18)
2. Inclusive Growth Index (IGI) Untuk mengetahui tingkat inklusifitas pembangunan sebuah negara, ADB mengembangkan metode pengukuran yang disebut sebagai Inclusive Growt Index (IGI). Dalam working papernya yang berjudul Inclusive Growth Criteria and Indicators: An Inclusive Growth Index for Diagnosis of Country Progress, ADB membangun sebuah komposit indeks pertumbuhan yang inklusif di tingkat negara. Untuk menetukan indek inklusifitas pembangunan sebuah negara, ADB mengidentifikasi indikator yang sesuai pada area daerah pertumbuhan, diantaranya (i), lapangan kerja produktif, dan infrastruktur ekonomi; (Ii) kemiskinan pendapatan dan ekuitas, termasuk kesetaraan gender; (Iii) kemampuan manusia; dan (iv) perlindungan sosial. ADB menyarankan menggunakan indikator ini sebagai pendekatan diagnostik, berdasarkan bobot dan skor, yang dapat membantu negara-negara 8
menilai kemajuan mereka dalam mencapai pertumbuhan inklusif. Indeks komposit juga dapat digunakan oleh Asian Development Bank (ADB) sebagai titik awal untuk mendiagnosa bagaimana memaksimalkan dukungan untuk tujuan pertumbuhan inklusif suatu negara. ADB menguji indikator ini dalam studi kasus Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Filipina, dan Uzbekistan. E. PENGUKURAN PERTUMBUHAN INKLUSIF
1. Metode “poverty-equivalent growth rate” (PEGR) ..........Diringkas dari Hasil Penelitian: Sholihah, Dyah Hapsari Amalina, 2014, "Pertumbuhan Inklusif: Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya terhadap Pertumbuhan Kelas Menengah di Indonesia", IPB: Bogor Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan Inklusif Untuk mengetahui faktorfaktor apa yang memengaruhi pertumbuhan inklusif, penelitian ini menggunakan tiga model yang masing-masing digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan inklusif dalam hal : a. Menurunkan kemiskinan IGpi,t
= α0 + α1 Log (YPC)i,t + α2 APSi,t + α3 Log (INVP)i,t + α4Ginii,t + μi,t
dimana: IGpi,t YPCi,t INVPi,t Ginii,t μi εi,t
= koefisien pertumbuhan inklusif untuk kemiskinan di provinsi i pada waktu t = pendapatan perkapita di provinsi i pada waktu t = Investasi fisik pemerintah di provinsi i pada waktu t = Koefisien Gini di provinsi i pada waktu t = fixed atau random effect = Error
IGp menyatakan inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan, sehingga pertumbuhan dinyatakan inklusif apabila nilai IGp > Hg. Hasil perhitungan: Koefisien Inklusifitas Pertumbuhan terhadap Kemiskinan dan Laju Perubahan PDRB ADHK 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2008-2012. Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan
2008 IGp Gg -0,07 -0,05
2009 IGp Gg -0,08 -0,06
Tahun 2010 IGp Gg 0,01 0,03
2011 IGp Gg 0,03 0,05
2012 IGp Gg 0,03 0,05
0,07 0,06 0,03 0,00 0,02
0,04 0,03 -0,01 0,04 0,02
0,05 0,05 0,01 0,05 0,04
0,05 0,05 0,01 0,06 0,05
0,05 0,05 0,00 0,05 0,04
0,06 0,07 0,05 0,07 0,05
0,05 0,04 0,03 0,06 0,04
0,06 0,06 0,04 0,07 0,05
0,06 0,06 0,05 0,08 0,06
0,06 0,06 0,03 0,07 0,06
9
Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep.Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
0,03 0,03 0,00
0,06 0,05 0,04
0,04 0,04 0,01
0,05 0,05 0,04
0,04 0,05 0,03
0,06 0,06 0,06
0,05 0,05 0,03
0,06 0,06 0,06
0,05 0,05 0,03
0,06 0,06 0,06
-0,03 0,03 0,03 0,06 0,06 0,06 0,13 0,03 0,00
0,06 0,06 0,06 0,05 0,05 0,06 0,20 0,10 0,03
-0,01 0,04 0,02 0,05 0,03 0,04 0,02 0,03 0,10
0,03 0,05 0,04 0,05 0,04 0,05 0,05 0,05 0,11
0,03 0,05 0,04 0,05 0,04 0,06 0,03 0,04 0,05
0,07 0,06 0,06 0,06 0,05 0,06 0,06 0,06 -1,38
0,01 0,05 0,05 0,06 0,04 0,06 0,04 0,04 -0,04
0,06 0,07 0,06 0,06 0,05 0,07 0,06 0,06 0,10
0,03 0,05 0,04 0,06 0,04 0,07 0,03 0,05 -0,02
0,08 0,06 0,06 0,06 0,05 0,07 0,06 0,06 0,09
0,03
0,05
0,02
0,04
0,03
-1,41
0,04
0,07
0,04
0,07
0,01 0,01 0,03 -0,04 0,09 0,04 0,05 0,01 0,04 0,03 -0,07 0,01 0,08 -0,26 0,04
0,04 0,06 0,06 0,05 0,10 0,09 0,07 0,07 0,07 0,11 0,04 0,06 0,08 -0,01 0,06
0,04 0,04 0,03 -0,01 0,06 0,06 0,05 0,05 0,05 0,03 0,03 0,04 0,09 0,15 0,03
0,05 0,05 0,05 0,02 0,08 0,07 0,06 0,07 0,07 0,06 0,05 0,06 0,13 0,20 0,05
0,04 0,05 0,04 0,02 0,06 0,07 0,07 0,06 0,05 0,09 0,04 0,05 0,22 -0,08 0,04
-0,36 -0,34 0,04 -1,73 0,58 1,92 -0,95 0,49 2,94 1,01 0,06 0,08 0,25 -0,03 0,06
0,05 0,05 0,04 0,00 0,06 0,07 0,06 0,06 0,05 0,07 0,03 0,04 0,20 -0,11 0,05
-0,03 0,05 0,06 0,07 0,06 0,04 0,07 0,09 0,07 0,09 0,06 0,06 0,24 -0,05 0,06
0,05 0,05 0,04 0,01 0,07 0,07 0,07 0,08 0,05 0,06 0,05 0,04 0,11 -0,04 0,05
-0,01 0,05 0,06 0,06 0,06 0,04 0,08 0,09 0,08 0,10 0,08 0,06 0,15 0,01 0,06
Koefisien pertumbuhan dapat bernilai negatif, yang artinya pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk tidak miskin. Koefisien yang negatif juga berarti bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu menjalankan peranannya dalam menurunkan kemiskinan, bahkan cenderung memperparah kemiskinan yang terjadi. b. Menurunkan Ketimpangan IGini,t dimana: IGini,t INFi,t INVi,t APSi,t AGRi,t INDi,t Popi,t
= β0 + β1 INFi,t + β2 Log (INV)i,t + β3APSi,t + β4 Log (AGR) i,t + β5 Log (IND)i,t + β5 Log(Pop)i,t + μi,t = koefisien pertumbuhan inklusif untuk ketimpangan di provinsi i pada waktu t = Tingkat inflasi di provinsi i pada waktu t = Investasi di provinsi i pada waktu t = Angka partisipasi sekolah di provinsi i pada waktu t = Kontribusi sektor pertanian di provinsi i pada waktu t = Kontribusi sektor industri pengolahan di provinsi i pada waktu t = Jumlah penduduk di provinsi i pada waktu t 10
μi εi,t
= fixed atau random effect = Error
IGin menyatakan inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan ketimpangan, sehingga pertumbuhan dinyatakan inklusif apabila nilai IGin > Hg. Hasil perhitungan: Koefisien Inklusifitas Pertumbuhan terhadap Ketimpangan dan Laju Perubahan PDRB ADHK, 33 provinsi di Indonesia Tahun 2008-2012 Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep.Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
Gg -0,06
Tahun 2010 IGin Gg 0,01 0,03
IGin 0,03
Gg 0,05
IGin 0,03
Gg 0,05
0,04 0,03 -0,01 0,04 0,02 0,04 NA 0,01
0,05 0,04 0,03 0,06 0,04 0,05 0,05 0,04
0,05 0,05 NA 0,05 0,04 0,04 0,05 0,03
0,06 0,06 0,04 0,07 0,05 0,06 0,06 0,06
NA 0,05 0,01 0,06 0,05 0,05 0,05 NA
0,06 0,06 0,05 0,08 0,06 0,06 0,06 0,06
0,05 NA 0,00 0,05 0,04 NA 0,05 0,03
0,06 0,06 0,03 0,07 0,06 0,06 0,06 0,06
0,06 0,06 0,06 0,05 0,05 0,06 0,20 0,10 0,03
-0,01 0,04 0,02 0,05 0,03 NA 0,02 0,03 0,10
0,03 0,05 0,04 0,05 0,04 0,05 0,05 0,05 0,11
NA NA NA 0,05 0,04 0,06 0,03 0,04 0,05
0,07 0,06 0,06 0,06 0,05 0,06 0,06 0,06 -1,38
0,01 0,05 0,05 0,06 0,04 0,06 0,04 0,04 -0,04
0,06 0,07 0,06 0,06 0,05 0,07 0,06 0,06 0,10
0,03 NA 0,04 0,06 0,04 0,07 0,03 0,05 -0,02
0,08 0,06 0,06 0,06 0,05 0,07 0,06 0,06 0,09
0,03
0,05
0,02
0,04
0,03
-1,41
0,04
0,07
NA
0,07
NA 0,01 0,03 -0,04 0,09 0,04 0,05 0,01 0,04 NA -0,07 NA 0,08 -0,26 0,04
0,04 0,06 0,06 0,05 0,10 0,09 0,07 0,07 0,07 0,11 0,04 0,06 0,08 -0,01 0,06
0,04 NA 0,03 -0,01 0,06 0,06 0,05 0,05 0,05 0,03 NA NA 0,09 0,15 0,03
0,05 0,05 0,05 0,02 0,08 0,07 0,06 0,07 0,07 0,06 0,05 0,06 0,13 0,20 0,05
0,04 0,05 0,04 0,02 0,06 0,07 0,07 0,06 0,05 0,09 0,04 0,05 0,22 -0,08 0,04
-0,36 -0,34 0,04 -1,73 0,58 1,92 -0,95 0,49 2,94 1,01 0,06 0,08 0,25 -0,03 0,06
0,05 0,05 NA 0,00 0,06 0,07 0,06 0,06 0,05 0,07 0,03 0,04 0,20 -0,11 0,05
-0,03 0,05 0,06 0,07 0,06 0,04 0,07 0,09 0,07 0,09 0,06 0,06 0,24 -0,05 0,06
NA 0,05 0,04 0,01 0,07 0,07 0,07 0,08 0,05 0,06 0,05 0,04 0,11 -0,04 NA
-0,01 0,05 0,06 0,06 0,06 0,04 0,08 0,09 0,08 0,10 0,08 0,06 0,15 0,01 0,06
2008 IGin Gg NA -0,05
2009 IGin -0,08
NA 0,06 0,03 0,00 0,02 0,03 0,03 NA
0,06 0,07 0,05 0,07 0,05 0,06 0,05 0,04
NA 0,03 0,03 0,06 0,06 0,06 0,13 0,03 NA
2011
2012
11
Koefisien inklusifitas pertumbuhan ekonomi yang memiliki nilai yang positif namun lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa ketimpangan tetap ada dalam perolehan manfaat pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi ini, pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu mendistribusikan manfaatnya secara merata. Ketika hal ini terjadi, maka penurunan ketimpangan lebih kecil daripada laju peningkatan pertumbuhan ekonomi. c. Menyerap Tenaga Kerja IGemi,t
= γ0 + γ1 Log (UPH) i,t + γ2 Yi,t + γ3 INF i,t + γ5 Log(UNEMP) i,t + μi,t
Dimana : IGemi,t UPHi,t Yi,t UNEMPi,t μi εi,t
= koefisien pertumbuhan inklusif untuk tenaga kerja di provinsi i pada waktu t = Tingkat upah di provinsi i pada waktu t = Tingkat PDB di provinsi i pada waktu t = Jumlah pengangguran di provinsi i pada waktu t = fixed atau random effect = Error
IGem menyatakan inklusifitas pertumbuhan dalam menyerap tenaga kerja, sehingga pertumbuhan dinyatakan inklusif apabila nilai IGem > Hg. Hasil perhitungan: Koefisien Inklusifitas Pertumbuhan terhadap Penyerapan Tenaga Kerja dan Laju Perubahan PDRB ADHK 33 provinsi di Indonesia Tahun 2008-2012 Propinsi Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep.Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara
2008 IGem Gg 0,03 -0,05 0,08 0,06 0,01 0,07 0,06 0,05 0,05 0,07 0,03 0,05 0,01 0,06 0,01 0,05 0,03 0,04
2009 IGem Gg 0,06 -0,06 0,03 0,05 0,02 0,04 0,01 0,03 0,03 0,06 0,00 0,04 0,02 0,05 0,02 0,05 0,03 0,04
Tahun 2010 IGem Gg 0,02 0,03 0,05 0,06 0,01 0,06 0,05 0,04 0,15 0,07 0,06 0,05 0,03 0,06 0,09 0,06 0,14 0,06
IGem 0,03 -0,05 0,01 0,07 -0,03 0,03 0,05 -0,07 -0,01
2011 Gg 0,05 0,06 0,06 0,05 0,08 0,06 0,06 0,06 0,06
0,12 0,08 0,03 -0,06 0,06 0,00 0,07 0,02 -0,03
0,06 0,06 0,06 0,05 0,05 0,06 0,20 0,10 0,03
0,02 -0,02 0,01 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,03
0,03 0,05 0,04 0,05 0,04 0,05 0,05 0,05 0,11
0,19 0,12 0,00 -0,01 -0,07 -0,04 0,20 0,06 0,07
0,07 0,06 0,06 0,06 0,05 0,06 0,06 0,06 -1,38
0,03 -0,02 0,02 0,00 0,00 0,01 -0,02 0,00 -0,08
0,06 0,07 0,06 0,06 0,05 0,07 0,06 0,06 0,10
0,05 0,03 0,04 0,01 0,03 0,00 0,04 0,02 0,05
0,08 0,06 0,06 0,06 0,05 0,07 0,06 0,06 0,09
0,04
0,05
0,04
0,04
-0,05
-1,41
0,01
0,07
0,05
0,07
IGem 0,04 0,04 0,06 0,02 0,04 0,04 0,02 0,06 0,01
2012 Gg 0,05 0,06 0,06 0,03 0,07 0,06 0,06 0,06 0,06
12
Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua INDONESIA
0,01 0,01 0,03 0,13 -0,02 0,01 0,04 0,02 0,09 0,05 0,01 0,06 0,15 0,08 0,02
0,04 0,06 0,06 0,05 0,10 0,09 0,07 0,07 0,07 0,11 0,04 0,06 0,08 -0,01 0,06
0,02 0,02 0,02 0,03 0,03 0,02 0,03 0,02 0,04 0,03 0,06 0,00 0,03 0,05 0,02
0,05 0,05 0,05 0,02 0,08 0,07 0,06 0,07 0,07 0,06 0,05 0,06 0,13 0,20 0,05
0,00 0,02 0,01 0,12 -0,01 0,00 0,01 0,05 0,02 0,04 0,09 0,04 -0,03 0,29 0,02
-0,36 -0,34 0,04 -1,73 0,58 1,92 -0,95 0,49 2,94 1,01 0,06 0,08 0,25 -0,03 0,06
0,02 0,06 0,05 0,07 0,04 0,07 0,01 0,01 0,02 0,04 0,07 0,06 0,08 0,02 0,01
-0,03 0,05 0,06 0,07 0,06 0,04 0,07 0,09 0,07 0,09 0,06 0,06 0,24 -0,05 0,06
0,01 0,02 -0,02 0,04 0,03 0,03 0,01 0,03 0,01 0,02 -0,02 0,02 0,04 0,04 0,03
-0,01 0,05 0,06 0,06 0,06 0,04 0,08 0,09 0,08 0,10 0,08 0,06 0,15 0,01 0,06
Beberapa provinsi memiliki koefisien inklusifitas pertumbuhan yang negatif terhadap ketimpangan. Dengan koefisien yang nilainya negatif, maka pertumbuhan ekonomi yang ada cenderung meningkatkan ketimpangan yang terjadi. Manfaat pertumbuhan ekonomi terus diberikan pada masyarakat secara tidak merata dan ketimpangan terus meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
2. Inclusive Growth Indexes (Indonesia Case Study) ........... Diringkas dari Hasil Penelitian: Terry MCKinley, Inclusive Growth Criteria and Indicators: An Inclusive Growth Index for Diagnosis of Country Progress. ADB Sustainable Development Working Paper, No. 14 June 2010 a. Growth, Employment, and Economic Infrastructure Dalam 2 dekade terakhir, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia belum terlihat cemerlang. Tingkat rata-rata pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita selama 1995-2000 hanya 0,8%, dikarenakan dampak dari krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998. Pada tahun 1998, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia jatuh pada tingkat - 14,3%, dan pada tahun 1999, pertumbuhan ekonomi masih -0,6%. Sebaliknya, selama kurun waktu 1990-1994, pertumbuhan PDB per kapita Indonesia rata-rata sebesar 6,3%. Selama 2001-2007, laju pertumbuhan per kapita telah pulih dari krisis dan rata-rata 3,7% per tahun. Pada tahun 2008, tingkat pertumbuhannya adalah 4,7% dan, pada tahun 2009, 3,3%. Indonesia terus mengalami transformasi struktural meskipun terjadi perlambatan ekonomi selama akhir 1990-an. Nilai tambah pertanian sebagai persentase dari total PDB turun dari 19,4% pada tahun 1990 menjadi 14,4% pada tahun 2008. Tingkat nilai tambah pertanian ini lebih rendah dari lima negara lain (India, Bangladesh, Cambodia, dan Uzbekuistan) yang diteliti, kecuali Filipina. Sejalan dengan itu, nilai tambah industri sebagai persentase dari PDB meningkat dari 39,1% pada tahun 2000 menjadi 48,1% pada tahun 2008, peningkatan yang relatif tinggi. Sementara itu, pangsa jasa dalam GDP turun dari 41,5% menjadi 37,5% pada periode yang sama. Namun, Indonesia belum membuat banyak kemajuan pada perluasan lapangan kerja produktif. Sementara total pangsa lapangan kerja di sektor industri adalah 13,7% pada tahun 1990, kemudian meningkat moderat menjadi 18,8% pada tahun 2007. Kurang lebih 41% dari pekerja masih di bidang pertanian, dan sisanya 40% berada di sektor layanan pada tahun 2007. Selain itu, Indonesia hampir 13
tidak ada kemajuan dalam mengurangi pangsa-lapangan kerja dan kontribusi pekerja keluarga dalam angkatan kerja. Sementara pangsa ini adalah sekitar 63% pada tahun 1997, yang pada dasarnya masih dalam persentase yang sama pada tahun 2007. Indonesia telah memiliki sebuah catatan yang beragam pada perluasan akses ke infrastruktur ekonomi. Catatan pada peningkatan jumlah pelanggan telepon seluler terjadi cukup spektakuler. Pada tahun 2000, jumlah pelanggan tersebut hanya 1,8 per 100 orang, tetapi pada tahun 2008, rasio ini meningkat menjadi 61,8 per 100 orang. Namun, kemajuan akses masyarakat terhadap fasilitas listrik kurang mengesankan. Pada tahun 2000, 53,4% penduduk memiliki akses listrik. Pada tahun 2008, proporsi ini meningkat hanya sedikit menjadi 64,5%. Bangladesh dan India telah membuat kemajuan lebih dramatis di terkait akses listrik ini.
b. Poverty and Inequality Nampaknya, Indonesia telah membuat sedikit kemajuan dalam mengurangi kemiskinan pada pertengahan 2000-an. Pada tahun 1996, misalnya, kemiskinan, menurut garis kemiskinan nasional, adalah 17,5%. Pada tahun 1999, di bawah tekanan dari krisis keuangan Asia, angka kemiskinan meningkat menjadi sekitar 27,0%. Setelah itu, tingkat menurun, mencapai 16,7% pada tahun 2004. Peningkatan yang paling dramatis dalam kemiskinan selama krisis keuangan Asia berada di daerah pedesaan. Ada, tingkat kemiskinan meningkat dari sekitar 20% pada tahun 1996 menjadi lebih dari 34% pada tahun 1999, sebelum turun kembali ke 20% pada tahun 2004. Ketika garis kemiskinan internasional $ 2,00 per orang per hari digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, hasilnya adalah bahwa sekitar 60% dari penduduk tetap harus dianggap miskin-setidaknya dari perspektif global. Ketimpangan nampaknya hampir tidak berubah antara 1990-an dan awal 2000-an. Pada tahun 1993, koefisien Gini adalah 34,4, sedangkan pada tahun 2002, itu 34,3, tingkat yang relatif rendah dari ketidaksetaraan. Untuk tahun 2005 dan 2007, ada perkiraan bahwa kontribusi total pengeluaran menyumbang 60% dari populasi termiskin. Pada tahun 2005, share ini adalah 32,3%, dan pada tahun 2007 sebesar 33,2%. Oleh karena itu, meskipun tidak ada dasar untuk mempertimbangkan tren, pangsa termiskin 60% (33,2%), angka ini jauh di atas Filipina (28,4%) tetapi di bawah Bangladesh (38,1%).
c. Gender Equity Secara umum, Indonesia terlihat telah membuat beberapa kemajuan yang lebih besar dalam mencapai kesetaraan gender. Rasio perempuan muda melek huruf terhadap laki-laki muda terpelajar (usia 15-24 tahun) sudah pada tingkat yang cukup tinggi pada tahun 1990, yaitu 97,6%. Pada tahun 2006, angka ini menjadi 99,2%, itu naik hampir ke level teratas. Rasio angka partisipasi sekunder perempuan terhadap partisipasi sekunder laki-laki adalah 82,6% pada tahun 1991. Pada tahun 2007, rasio ini meningkat menjadi 100,6%. Rasio perempuan terhadap laki-laki dalam pendidikan dasar dan menengah meningkat dari sekitar 93% pada tahun 1991 menjadi lebih dari 97% pada tahun 2007. Dengan kata lain, beberapa tahun kemudian, Indonesia nampaknya telah bergerak menuju kesetaraan gender dalam pendidikan dasar dan menengah . Indonesia juga telah membuat beberapa kemajuan di bidang kesehatan. Pada tahun 1991, sekitar 32% dari semua kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan terampil; sedangkan tahun 2007, persentase ini meningkat menjadi lebih dari 79%. Proporsi ini jauh lebih tinggi daripada tingkat di negara-negara lain pada sampel dalam penelitian ini, kecuali Uzbekistan. Namun, Dana Anak-anak PBB (UNICEF) masih mencatat angka kematian ibu 420 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 14
2005. Perkiraan ini menjadi koreksi atas underreporting dan kesalahan klasifikasi kematian ibu oleh otoritas nasional. Di bidang ketenagakerjaan, telah hampir tidak ada perubahan dalam pangsa perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor nonpertanian di Indonesia. Pada tahun 1990, pangsa ini sebesar 29,2%, dan masih sebesar 30,6% pada tahun 2007.
d. Human Capabilities Indonesia belum membuat banyak kemajuan pada peningkatan kapasitas SDM dalam 2 dekade terakhir, tetapi telah berhasil mengurangi angka kematian di bawah 5. Pada tahun 1990, tingkat ini adalah 85,6 per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2007, angka tersebut turun menjadi 42,2 per 100 kelahiran hidup. Sedangkan kelompok lima termiskin dari populasi memiliki tingkat kematian di bawah 5 dari 77 pada tahun 2007, kelopmok lima terkaya memiliki tingkat kurang dari setengah, yaitu, 32. Menurut perkiraan Divisi Populasi PBB tahun 1995, 13% popupasi Indonesia bisa berharap meninggal sebelum usia 40 tahun. Perkiraan untuk tahun 2005 menunjukkan bahwa persentase ini telah turun menjadi 6,7%. Selanjutnya, Indonesia terus mengurangi kekurangan gizi. Pada awal 1990-an, persentase anak yang kekurangan berat badan adalah 37,5%, dan pada 1990-an, persentase anak yang kekurangan berat badan adalah 34,0%. Selama 2000-2006, persentase anak yang kekurangan berat badan berkurang menjadi sekitar 28%. Meskipun tidak rendah menurut standar internasional, tingkat ini adalah lebih baik dari Bangladesh dan India Sementara itu, Indonesia nampaknya tidak membuat kemajuan pada net-enrollment sekolah dasar, namun net enrollment untuk sekolah menengah cukup progresif. Pada tahun 1991, rasio partisipasi murni untuk sekolah dasar di Indonesia adalah 98% -rasio yang sudah sangat tinggi. Sementara, tahun 2000-an, persentase ini telah menurun. Pada tahun 2007, rasio sekitar 95%. Sebaliknya, Indonesia membuat kemajuan yang kredibel untuk net enrolment sekolah menengah. Pada tahun 2000 angka partisipasi sekolah menengah bersih hampir 50%, dan pada tahun 2007 angka itu telah meningkta ke lebih 69%. Indonesia belum membuat banyak kemajuan pada perluasan akses penduduk baik untuk perbaikan sumber air atau fasilitas sanitasi yang baik. Pada tahun 1990, 72% dari penduduk memiliki akses perbaikan sumber air, namun persentase ini hanya meningkat sedikit sesudahnya, mencapai 80% pada tahun 2006. Salah satu alasan adalah bahwa akses penduduk perkotaan telah turun dari 92% menjadi 89% selama periode ini, sedangkan akses penduduk pedesaan meningkat oleh hanya delapan poin persentase. Hampir tidak ada kemajuan pada akses penduduk ke fasilitas sanitasi yang baik. Persentase penduduk dengan akses tersebut pada tahun 1990 adalah 51% dan, pada tahun 2006, 52%. e. Social Protection Belum ada dasar untuk melacak kemajuan Indonesia pada penyediaan perlindungan sosial. Skor komposit pada Indeks Perlindungan Sosial untuk Indonesia adalah 0,33. skor ini mendekati rata-rata skor regional 0,36 (untuk 31 negara yang datanya dikumpulkan). Indonesia menempati urutan ke-19 dari 31 negara dalam sampel. f.
Summary
Indonesia tidak menghasilkan pertumbuhan yang cepat, lapangan kerja produktif yang banyak, dan perbaikan ketimpangan. Namun, Indonesia membuat kemajuan yang memuaskan pada kesetaraan gender, kemiskinan, kesehatan dan gizi, dan, pada tingkat lebih rendah, infrastruktur ekonomi dan pendidikan. Kemajuannya pada kemiskinan dan akses ke sanitasi dan air kurang memuaskan. Dengan demikian, skor keseluruhan adalah 4.40, yang hanya sedikit memuaskan.
15
Inclusive Growth Index for India
Inclusive Growth Index for Philippines
16
F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pengukuran tingkat inklusifitas pertumbuhan suatu negara (wilayah), paling tidak dapat dilkukan melalui dua pendekatan, yaitu: (1) Metode “poverty-equivalent growth rate” (PEGR), yaitu metode yang digunakan untuk mengukur manfaat pertumbuhan ekonomi bagi penduduk miskin, dan (2) metode indek inklusifitas pembangunan, sebagaimana dikembangkan oleh ADB. ADB mengidentifikasi faktor-faktor (indikator) penting yang mempengaruhi pertumbuhan, diantaranya (i), lapangan kerja produktif, dan infrastruktur ekonomi; (Ii) kemiskinan pendapatan dan ekuitas, termasuk kesetaraan gender; (Iii) kemampuan manusia; dan (iv) perlindungan sosial. ADB menyarankan menggunakan indikator ini sebagai pendekatan diagnostik, berdasarkan bobot dan skor, yang dapat membantu negara-negara menilai kemajuan mereka dalam mencapai pertumbuhan inklusif. Model penghitungan pertumbuhan inklusif diatas dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisis mengapa suatu daerah terjadi inklusif dalam hal penurunan kemiskinan, ketimpangan, dan penurunan tenaga kerja. Provinsi Jawa Tengan, Jawa Timur, Kalteng, Kalsel dan Sulut misalnya, pertumbuhan ekonomi terlihat cukup inklusif terhadap ketimpangan pada tahun pengamatan. Perlu dilakukan telaahan lebih mendalam di daerah-daerah tersebut dalam rangka kebijakan mengurangi Gini Ratio secara nasional. Uintuk itu, perlu dilakukan kajian lebih luas tentang pembangunan inklusif model Bappenas dengan mengupdate data dan memperbaiki metode yang ada untuk meningkatkan kualitas kebijakan dan kualitas pembangunan.
G. REFERENSI PENTING
Ali, Ifzal and H. Hwa Son, 2007, “Measuring Inclusive Growth, “Asian Development Review, Vol. 24, No. 1, pp.11–31. Habito, Cielito F. 2009. Patterns of Inclusive Growth in Developing Asia:Insights from an Enhanced Growth-Poverty Elasticity Analysis. Asian Development Bank Institute (ADBI) working paper series No. 145, Tokyo Klasen, Stephen. 2010. Measuring and Monitoring Inclusive Growth: Multiple Definitions, Open Questions, and Some Constructive Proposals. ADB Sustainable Development Working Paper Series. Min Tang. 2008. Inclusive Growth and the New Phase of Poverty Reduction in the People’s Republic of China. Asian Development Review, vol. 25, nos. 1 and 2, pp. 81−99. Rahul Anand, Saurabh Mishra, and Shanaka J. Peiri , Inclusive Growth: Measurement and Determinants. IMF Working Paper, May 2013 Rusastra, I Wayan. 2011. Reorientasi Paradigma dan Strategi Pengentasan Kemiskinan Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi Global. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(2) : 87-102. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian: Bogor. Rusastra, I W. and Erwidodo. 1998. Growth, equity and environmental aspect of agricultural development in Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 6(1): 32-41 17
Terry MCKinley, Inclusive Growth Criteria and Indicators: An Inclusive Growth Index for Diagnosis of Country Progress. ADB Sustainable Development Working Paper, No. 14 June 2010 Sholihah, Dyah Hapsari Amalina, 2014, “Pertumbuhan Inklusif : Faktor-Faktor yang Memengaruhi dan Dampaknya terhadap Pertumbuhan Kelas Menengah di Indonesia”, IPB: Bogor Suryanarayana, M.H. 2008. Inclusive Growth: What is so exclusive about it?. Indira Gandhi Institute of Development Research, Mumbai.
18