10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Beberapa penelitian terkait Punguan Batak telah dikaji oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun berbeda dengan penelitian ini. Penelitianpenelitian sebelumnya hanya melihat Punguan Batak sebagai relasi dan eksistensi budaya Batak saja, tetapi dalam penelitian ini penulis ingin lebih jauh melihat tentang bagaimana pengaruh Punguan Batak pada pemilukada. Penelitian lain yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai acauan maupun referensi untuk penelitian ini. Dari beberapa penelitian yang sudah ada, penulis mengambil tiga sampel penelitian dan dua buah buku sebagai sumber referensi untuk penelitian ini. Berikut tiga penelitian terkait Punguan Batak: Pertama dalam penelitian Nova (2013) “Corak Gemeinschaft Punguan Parsahutaon DOS ROHA Dalam Relasi Sosial Masyarakat Batak Perantauan Di Tegal.” Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terbentuknya Punguan Parsahutaon Dos Roha karena adanya keinginan dari masyarakat Batak perantauan di Mejasem. Di sisi lain, Nova menemukan jika punguan dijadikan sebagai wadah meningkatkan solidaritas sosial antarsesama masyarakat Batak dan untuk memelihara setiap adat istiadat suku Batak. Punguan dalam hal ini diartikan sebagai paguyuban masyarakat Batak dimana masyarakat Batak berkumpul untuk menjalin tali persaudaraan. Dengan demikian, atas dasar satu wilayah di desa Mejasem sebagai masyarakat Batak yang merantau di Tegal maka Punguan Parsahutaon Dos Roha masih terbentuk sampai saat ini. Dalam
11
hal keanggotaan punguan ini hanya dapat diikuti oleh masyarakat Batak yang tinggal di desa Mejasem saja. Dalam relasi sosial yang terjadi, setiap anggota saling membantu untuk menyelenggarakan suatu kegiatan yang telah dibuat. Ketika ada seseorang yang meninggal suatu punguan wajib mempersiapkan segala yang dibutuhkan, selain itu perwakilan dari anggota memberikan ulos kepada keluarga yang berduka. Ulos juga diberikan pada saat ada pernikahan, dimana anggota punguan akan menjadi perwakilan dari Punguan Parsahutaon Dos Roha untuk memberikan ulos. Ulos dikenal juga sebagai salah satu simbol suku adat Batak dimana juga sering digunakan pada tradisi-tradisi Suku Batak. Ulos berarti lambang kehormatan dan juga ibarat pemberi kehangatan bagi sesama dikarenakan daerah di Sumatera kerap mengalami cuaca dingin. Punguan Parsahutaon Dos Roha juga berpartisipasi ketika anggota ada yang sakit dan acara kelahiran anak. Kedua yakni tesis yang dilakukan oleh Sihombing (2008) “Punguan Parna: Organisasi Perantau Pada Masyarakat Batak Di Kabupaten Semarang-Jawa Tengah” mengemukakan bahwa pertemuan antarbudaya adalah realita yang sering terjadi di dunia kebudayaan. Suasana kondusif yang ditumbuhkan oleh keragaman budaya bangsa Indonesia dapat melahirkan pertemuan dan interaksi antarbudaya. Perbedaan geografis, sosial dan ekonomi telah memberi kontribusi bagi kelompok masyarakat yang hanya memiliki potensi kecil. Gejala inilah yang akhirnya memunculkan kelompok masyarakat perantau. Mobilitas masyarakat tersebut mengakibatkan telah terjadi sebuah pertemuan dan interaksi antarbudaya yang merupakan realita menarik untuk dicermati.
12
Salah satu contoh yang menglaminya yaitu keberadaan kebudayaan Batak di Indonesia yang berada di perantauan. Kemajemukan etnis dalam suatu daerah di tengah pengaruh era globalisasi membuat pelaksanaan adat mengalami pendangkalan sehingga jika tidak ada solusi untuk mempertahankan budaya ini, maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan yang menjadi kebanggaan bagi suku bangsa tersebut lama-kelamaan dapat punah. Punguan Parna dikenal sebagai salah satu komunitas suku Batak yang memiliki keterikatan pada asal usul, hubungan kekerabatan, marga, adat istiadat dan kesatuan keturunan. Pemahaman punguan tersebut diimplementasikan pada setiap aktivitas yang dilakukan dalam punguan. Dengan adanya punguan, para anggota dapat lebih mengenal dan lebih akrab antarsesama keturunan Punguan Parna yang memiliki jumlah marga terbanyak agar dapat mengetahui silsilah keturunan Punguan Parna. Keberadaan suatu punguan sebagai sebuah organisasi etnik di perantauan yang dianggap oleh para ahli sebagai sumber pertahanan untuk kelangsungan hidup di perantauan, tidak menjadi terbentuknya punguan ini. Eksistensi punguan ini dipengaruhi oleh rasa persaudaraan yang tinggi antarsesama keturunan Punguan Parna. Ketiga, penelitian Shinta Romaulina Nainggolan (2011) Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak ”Masyarakat Batak Perantauan di Kabupaten Brebes”. Shinta dalam penelitiannya ingin mengkaji eksistensi adat budaya Batak yaitu Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes serta pelaksanaannya. Dalam penelitiannya Shinta menemukan bahwa masyarakat Batak perantauan
13
di Kabupaten Brebes masih menjunjung tinggi adat budaya yang mereka miliki mulai dari adat kematian, adat perkawinan, sistem kekerabatan dan falsafah hidup mereka. Masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes juga masih melaksanakan adat budaya Batak yaitu Dalihan Na Tolu dalam setiap kegiatan adat maupun aktivitas sehari-hari. Di sisi lain pada era globalisasi yang semakin maju, keberadaan adat budaya Batak Dalihan Na Tolu di Kabupaten Brebes masih tetap ada, hal ini menunjukkan bahwa Dalihan Na Tolu memiliki peranan besar sebagai falsafah yang tidak akan pernah dapat diubah walaupun jauh di perantauan. Penelitian di atas memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan Punguan Batak. Namun terdapat juga perbedaan yang lebih mendalam dari penelitian di atas, terlihat dari perbedaan punguan yang diteliti oleh Nova yaitu Punguan Parsahutaon DOS ROHA yang berasal dari berbagai keturunan, berbeda dengan Punguan Parna yang hanya memiliki satu garis keturunan. Selain itu terdapat perbedaan pemilihan lokasi penelitian dimana Nova meneliti masyarakat Batak perantauan di daerah Tegal sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan pengambilan lokasi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sihombing dalam penelitiannya memang sama-sama meneliti Punguan Parna, tetapi Sihombing memilih meneliti Punguan Parna pada masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Semarang-Jawa Tengah, berbeda halnya dengan penelitian ini yang mengambil lokasi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Shinta lebih
14
banyak membahas mengenai Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes serta pelaksanaannya. Penulis juga menggunakan dua buah buku terkait dengan politik identitas. Dua buku ini digunakan penulis sebagai tinjauan pustaka, yaitu: pertama buku yang berjudul Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, dari Abdilah (2002). Buku ini memuat tetang pijakan dasar analisis pluralisme, post-modernitas dan globalisasi. Buku ini juga mendeskripsikan lebih jauh tentang politik identitas dalam tahap perkembangannya mulai dari tahap modern sampai tahap post-modern. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai realitas keragaman etnis dan pola politik sepanjang sejarah secara umum dalam kajian politik etnis, serta peran etnis untuk menjaga identitasnya di saat terjadi kegoncangan diri secara global dan post-modernisme. Kedua, yakni buku dari Buchari (2014) yang berjudul Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Buku ini menemukan munculnya faktor-faktor politik identitas Etnis Dayak pada pelaksanaan pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007 dan sebuah konsep baru. Konsep itu menjelaskan marginalisasi dan diskriminasi yang dialami oleh suatu etnis sehingga memunculkan politik identitas. Dalam hal ini penulis menggunakan kedua buku tersebut untuk menentukan arah pemikiran terhadap politik identitas. Setelah melihat pembahasan dari tiga penelitian dan dua buku dalam kajian pustaka di atas, dapat diketahui bahwa penelitian semacam ini sudah pernah dikaji oleh peneliti lain. Namun pada penelitian di atas terdapat
15
beberapa perbedaan yang mendalam yaitu jika tiga penelitian di atas hanya membahas keterkaitan Punguan Batak terhadap keadaan lingkungan, berbeda halnya dengan penelitian ini yang mencoba ingin mengetahui pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Sementara di Indonesia penelitian mengenai Punguan Batak masih jarang diteliti dan jika dikaitkan dengan pemilukada hal ini menjadikan penelitian penulis memiliki nilai tambah dalam orisinalitas. 2.2 Kerangka Konseptual Dalam penelitian ini penulis akan menjelaskan beberapa konsep yang digunakan, maka dari itu perlu adanya pemahaman terhadap konsep yang akan dikaji pada penelitian ini. Konsep dalam penelitian ini tentunya memiliki banyak pengertian yang berbeda-beda dari para ahli, oleh karena itu peneliti hanya akan memaparkan penjelasan dari konsep yang memiliki poin terkait dalam penelitian ini. Konsep yang terdapat dalam penelitian ini yakni: Punguan Batak, pemilukada, dan demokrasi. 2.2.1 Punguan Parna Perkembangan sosial budaya yang terus bergerak cepat di Indonesia menimbulkan kembalinya muncul fenomena etnis di tingkat lokal. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya fenomena identitas dalam masyarakat Batak yang biasa disebut Punguan Batak. Punguan Batak yang menjadi sistem kekerabatan orang Batak dikenal sebagai wadah untuk berkumpulnya masyarakat Batak.
16
Di dalam hubungan relasi sosial orang Batak, kehadiran marga merupakan dasar untuk menentukan partuturan (keturunan), hubungan persaudaraan, baik untuk kalangan semarga maupun dengan orang-orang yang memiliki marga lain. Terdapat fungsi lain dari marga yaitu untuk menentukan kedudukan seseorang dalam pergaulan masyarakat yang teratur menurut pola dasar dari Dalihan Na Tolu. Punguan Batak terbentuk karena adanya kesamaan marga, asal-usul keturunan Raja atau juga didasari oleh ikatan emosional sesama orang Batak sebagai masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi menurut Abdilah (2002:18), yaitu orang atau kelompok yang mengklaim diri sebagai penduduk
asli suatu daerah dan wilayah
tertentu. Orang Batak menyadari bahwa Punguan Batak dibutuhkan demi mendapatkan interaksi sosial dengan saudara yang ber-marga sama. Sehubungan dengan hal itu, Punguan Batak berfungsi untuk tetap dapat memelihara identitas dan akar budaya di tengah perkembangan zaman. Punguan Parna merupakan salah satu Punguan Batak yang terbesar dikarenakan terdapat 48 marga di dalamnya. 2.2.2 Pemilukada Perjalanan demokrasi tingkat lokal selalu mengalami perubahan yang cukup signifikan baik itu dari segi hukum, mekanisme ataupun lainnya. Sejarah mencatat penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal pernah bersifat sentralistis pada proses pemilihan kepala daerah, dimana pilihan ditentukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD). Dalam tahapan ini
17
rakyat masih belum berdaulat atas konstelasi demokrasi di tingkat lokal untuk memilih kepala daerahnya sebab sistem yang berjalan masih bersifat oligarki. Sementara itu terjadi sebuah pergeseran yang signifikan, hal ini dapat dilihat sebagai satu langkah lebih maju dalam proses demokratisasi yaitu bentuk desentralisasi. Kekuasaan (otonomi daerah) dikenal hasil langsung dari era reformasi, dimana rakyat memiliki hak politiknya secara penuh. Berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa penyerahan urusan oleh pemerintahan pusat diserahkan kepada pemerintahan daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Sistem ini telah menunjukan bahwa pemilihan kepala daerah menuju ke arah yang lebih demokratis dimana rakyat memiliki kedaulatan penuh atas hak politiknya. Sejarah mencatat pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Pelaksanaan pilkada secara langsung juga menjadi momentum yang penting bagi rakyat Indonesia dalam proses demokratisasi politik di tingkat lokal. Hal ini membuat kedua aspek yaitu rakyat dan lembaga daerah terlibat langsung dalam mengelola pemilihan kepala daerah di masing-masing tempat. Pilkada juga bukan proses yang hanya berdiri sendiri, namun ada subjek yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Keberhasilan atau kegagalan pilkada, baik secara prosedural maupun substansial, tidak lepas dari ketiga faktor: (a) pemilih yang memiliki hak pilih, (b) penyelenggara
18
yaitu KPUD, Panwas, pemantau dan pemerintah, (c) lembaga stakeholders lainnya. Dalam prosesnya pilkada kemudian dimasukan ke dalam rezim pemilu, hal ini dibuktikan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilukada DKI Jakarta 2007 menjadi pemilihan kepala daerah pertama kali yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang ini. Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang digunakan sebagai aturan yang berlaku pada pemilukada di Indonesia saat ini. Pemilukada memiliki asas-asas dalam penyelenggaraannya yaitu : a. "Langsung" berarti rakyat sebagai pemilih menggunakan hak politiknya tanpa diwakilkan oleh siapapun. b. "Umum" berarti setiap warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam pemilihan umum dapat mengikuti tanpa diskriminasi berdasarkan SARA dan lain-lain. c. "Bebas" berarti pemilih berhak bebas dalam memberikan hak suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun. d. "Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
19
e. “Jujur” berarti dalam penyelenggaraan pemilihan umum semua pihak yang terlibat bersikap jujur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. “Adil” berarti pemilih dalam menggunakan hak politiknya dan calon peserta memiliki perlakuan yang sama sesuai aturan yang berlaku. Demokrasi sebagai pilar utama negara harus menjadi cerminan bagi suatu bentuk pemerintahan, maka pendekatan prosedur untuk membentuk pemerintahan melibatkan partisipasi secara demokratis bagi setiap unsur di dalam masyarakat yang pluralistik. Dengan begitu, pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat dijadikan sebagai prosedur yang utama. 2.2.3 Demokrasi Demokrasi di Indonesia dalam perkembangannya mengalami pasang surut, terbukti sejak Indonesia merdeka masih terdapat masalah pokok yang kita hadapi. Di dalam keanekaragaman pola budaya yang berbeda demokrasi harus menjamin hak politik setiap masyarakat, selain itu dapat memperbaiki tingkat kehidupan ekonomi demi membina suatu kehidupan sosial politik untuk sebuah kemajuan demokrasi. Demokrasi mengambil posisi yang penting dalam penelitian ini, peneliti mencoba memposisikan pengaruh Punguan Parna terhadap pemilukada sebagai salah satu bentuk dari praktek konstelasi demokrasi di tingkat lokal, dimana anggota punguan dapat menggunakan hak politiknya. Kerterkaitan demokrasi pada penelitian ini
20
dapat dilihat dari unsur yang terdapat dalam demokrasi yakni kebebasan berpendapat. Pada era demokrasi, persamaan dan kesederajatan menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dimiliki setiap individu dan kelompok dalam mengekspresikan identitas serta aspirasinya. Hal inilah yang melandasi dasar pemikiran politik identitas dalam penelitian ini. Dalam pandangan Dahl (1985:25), negara demokrasi yang maju adalah suatu negara yang dinamakannya MDP (modern, dynamic, pluralist). Dia mengatakan bahwa tujuan utama negara demokrasi yang maju ialah memusatkan perhatian dalam mencari cara-cara untuk mengurangi sumber ketidaksamaan dalam masyarakat itu sendiri daripada melaksanakan persamaan melalui sumber daya ekonomi, posisi dan kesempatan. Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan dan juga hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property). Rumusan konsep demokrasi menurut Joseph Schumpeter (1942) dalam Samuel P. Hutington (1995;4-5) mengemukakan bahwa teori klasik dengan istilah kehendak rakyat (the will of the people) dan kebaikan bersama (the common good). Lalu lahir metode demokratis dimana prosedur kelembagaan dalam mencapai keputusan memberikan hak individu untuk dapat memperoleh kekuasaan agar dapat mengambil keputusan melalu perjuangan kompetitif. Dengan demikian menurut definisi ini demokrasi mengandung dua dimensi yaitu kontes dan partisipasi (Dahl 1985:1-10).
21
Demokrasi erat kaitannya dengan kebebasan individu sehingga secara keseluruhan toleransi antara eksistensi demokrasi dan kebebasan individu sangat tinggi. Arus gelombang demokrasi menandai adanya reformasi di segala bidang sebagai pemantik utama bagi kelahiran kembali suatu identitas budaya dalam eksistensi gerak dinamika budaya lokal. Dialog internal dan interaksi sosial membangun sebuah ikatan antarindividu di dalam masyarakat berdasarkan budaya dan psikologis seseorang dalam suatu komunitas sosial budayanya untuk berpartisipasi aktif dalam mencapai tujuan yang diperjuangkannya. Menguatnya politik identitas berbasis simbol adat, kesukuan, agama dan nilai-nilai kultural merupakan hasil dari suatu proses sosial yang secara kultural melekat sebagai suatu gerakan sosial yang normal dalam dinamika suatu etnis. Identitas kelompok atau identitas etnis yang telah muncul dengan baik merupakan
dasar
untuk
mengangkat
kepentingan
dan
perjuangan
kelompoknya masing-masing, tetapi dalam suatu bangunan dan tatanan kebudayaan yang memegang prinsip multikultur, perjuangan politik identitas harus diletakan pada suatau kerangka kesatuan di setiap keberagaman yang artinya bahwa semua manusia seharusnya dapat menerima perbedaan dan kesetaraan. 2.3 Landasan Teori Pada bagian ini peneliti mengemukakan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pemilihan teori-teori ini didasari dari konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Teori berfungsi sebagai landasan untuk menjawab
22
pertanyaan dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Penulis menggunakan teori politik identitas yang terkonstruksi berdasarkan beberapa konsep yang relevan dari pemikiran tokoh-tokoh, seperti Manuel Castells dan Clifford Geertz mengenai pembangunan identitas dan primordialisme. Berikut penjelasan terkait teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 2.3.1 Teori Politik Identitas Secara empiris, politik identitas merupakan aktulisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus. Politik identitas Punguan Parna bermula dari proses pembentukan pembangunan identitas masyarakat Batak. Hubungan politik dan kekuasaan dari identitas dalam politik identitas, dikontruksikan pada pembentukan pembangunan identitas oleh seseorang atau sekelompok orang. Konstruksi sosial dari identitas selalu terjadi dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan. Castells (2010:8) menyebutkan tiga bentukan pembangunan identitas, yaitu: a.
Identitas legitimasi
(legitimizing identity)
diperkenalkan
sebuah
oleh
institusi
yang
yaitu identitas
yang
mendominasi
suatu
masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap aktor-aktor sosial. b.
Identitas resisten (resistance identity) yaitu sebuah proses pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial dalam kondisi tertekan dengan adanya dominasi dan stereotip oleh pihak-pihak lain, sehingga membentuk
23
resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi, dengan tujuan untuk keberlangsungan hidup kelompok dan golongannya. Sebuah terminologi yang disebutkan ketika Calhoun mengidentifikasi munculnya politik identitas. c. Identitas proyek yaitu suatu identitas dimana aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat menentukan posisi-posisi baru pada masyarakat sekaligus mentransformasi struktur masyarakat secara keseluruhan. Heller maupun Morowitz memperlihatkan sebuah keterkaitan yang sama yakni politik identitas dimaknai sebagai politik perbedaan. Konsep ini juga yang mewarnai hasil Simposium Asosiasi Politik Internasional diselenggarakan di Wina pada 1994. Selain itu pertemuan Wina memunculkan lahirnya dasar-dasar praktik politik identitas. Di sisi lain menurut Kemala Chandakirana (1989) dalam artikelnya Geertz dan Masalah Kesukuan, mengemukakan bahwa politik identitas biasanya digunakan oleh setiap pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka untuk setiap “orang pendatang” harus melepaskan kekuasaan. Jadi, singkatnya politik identitas hanya digunakan sebagai alat memanipulasi demi untuk menggalang politik agar memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya”. Pemaknaan politik identitas antara Kemala dengan Heller dan Morowitz (1998) sangat berbeda. Kemala melangkah lebih jauh dalam melihat politik identitas yang terjadi pada tataran praktis, dimana biasanya digunakan
24
sebagai alat memanipulasi dalam menggalang politik guna kepentingan ekonomi dan politik. Namun, argumen Kemala mengalami kemunduran penafsiran pada bagian yang lain dengan mengatakan bahwa: Dalam politik identitas tentu saja ikatan kesukuan mendapat peranan penting, ia menjadi simbol-simbol budaya yang potensial serta menjadi sumber kekuatan untuk aksi-aksi politik. Clifford Geertz (1992) mengatakan kemerdekaan yang baru dialami oleh negara-negara berkembang sering dihadapkan pada sentimen-sentimen primordial. Hal ini membuat bergesernya konsepsional tentang pengertianpengertian bangsa (nation), kebangsaan (nationality) dan nasionalisme (nationalism) yang sering dibahas dalam setiap karya yang mencoba menelaah masalah hubungan antara kesetiaan komunal dan kesetiaan politik. Primordial juga sering digunakan sebagai politik identitas etnis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena dianggap bermanfaat sebagai basis massa suatu kelompok yang dapat digerakkan. Identitas etnis terafiliasi oleh setiap unsur-unsur perekat atau pengikat kekeluargaan, seperti: unsur ras, kepercayaan atau agama, budaya dan warisan-warisan para leluhurnya. Erikson (dalam Abdilah, 2002:79) menambahkan syarat kemunculan etnisitas atau suatu kelompok etnis yaitu bahwa kelompok tersebut paling sedikit telah menjalin hubungan atau kontak dengan etnis lain dan tiap-tiap etnis dapat menerima gagasangagasan dan ide-ide dalam perbedaan di antara mereka secara kultural.
25
Pendekatan primordialisme ini berfungsi untuk menjelaskan pengaruh ikatan primordial dalam Punguan Parna terhadap pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Melalui teori politik identitas peneliti akan melihat ikatan-ikatan primordial Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Ikatan primordial mengacu pada beberapa sebab yang biasanya muncul bersama dan berlawanan tujuan secara deskriptif meliputi masalah-masalah yang timbul dalam beberapa hal, yaitu: a.
Hubungan darah Kekeluargaan menjadi hal yang penting dalam hal ini karena hubungan yang nyata akibat biologis (keluarga besar garis keturunan dan sebagainya) terlalu terbatas untuk dianggap cukup berarti. Oleh karena itu pengenalan lebih bersifat hubungan keluarga yang lebih sosiologis seperti kesukuan.
b.
Ras Ras mirip dengan kesukuan dalam arti bahwa ia melihat teori etnobiologis. Jika ditelaah lebih dalam terdapat perbedaan diantara keduanya. Ciri utamanya yaitu bentuk-bentuk fisik yang fenotipe terutama warna kulit, bentuk muka, tinggi badan dan bentuk rambut. Masalah perkauman (communalism) di Malaya sebagian besar timbul dari perbedaan ini sekalipun kedua pihak berasal dari jenis fenotipe Mogoloid yang sama.
26
c.
Bahasa Linguistik merupakan sesuatu hal yang belum dapat diterangkan secara memuaskan, sehingga muncul permasalahan di India dan Malaya secara sporadis juga terjadi dibeberapa tempat di dunia. Bahasa seringkali dipandang sebagai pijakan essensi konflik-konflik nasional, secara tegas dalam hal ini linguistik bukanlah suatu akibat yang berawal dari keanekaragaman bahasa. Perbedaan bahasa tidak selalu menuju pada awal perpecahan atau menjadi masalah sosial yang besar, walaupun sering timbul ketidakpahaman mengenai penggunaan bahasa. Konflik-konflik primordial bisa saja terjadi dalam masyarakat yang tidak mengenal perbedaan bahasa yang mencolok, seperti di Libanon.
d.
Daerah Hal ini menjadi faktor yang terjadi di hampir setiap belahan dunia, kedaerahan dengan sendirinya menjadi masalah serius di daerah-daerah geografis yang heterogen. Ketegangan antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur (Bangladesh) terlibat masalah perbedaan dalam bahasa dan kultur, tetapi faktor geografi justru yang paling menentukan, ini diakibatkan karena secara teritorial negara itu tidak bersambungan.
e.
Agama Agama menjadi kasus yang terkemuka di Partisi India. Di sisi lain, Libanon, orang Karen dan Araken Islam di Birma, orang Batak Toba, Ambon dan Minahasa di Indonesia, orang Moro di Filipina, orang Sikh di Punjab, India menjadi contoh terkenal tentang kekuatan ikatan
27
keagamaan dalam menghambat ataupun menggagalkan perasaan kebangsaan yang lebih luas. f.
Kebiasaan Perbedaan-perbedaan dalam bentuk kebiasaan sering menjadi salah satu segi perpecahan nasional. Gejala ini terutama memliki peran penting dalam hal dimana satu kelompok yang secara intelektual dan kesenian merasa dirinya pembawa peradaban di tengah-tengah penduduk lain yang dianggap kasar karena berpedoman pada golongan yang mendominasi. Perlu diketahui bahwa golongan yang berbeda dengan yang lain dapat menjalankan gaya hidup umum yang sama. Menurut Sjamsuddin (1993) dalam bukunya Dinamika Sistem Politik Indonesia menyatakan primordialisme dimiliki seseorang sejak dilahirkan hal ini dikarenakan oleh perasaan-perasaan yang telah mengkiat seseorang. Faktor-faktor primordial ini tidak dapat ditentukan sendiri sebab kondisi tersebut harus diterima untuk selama-lamanya seperti tempat kelahiran, suku, ikatan darah, daerah, ras, agama dan rasa. Berdasarkan teori politik identitas Castells di atas, penulis mencoba menggunakan konsep pembangunan identitas dan konsep pendekatan primordialisme Punguan Parna. Lebih jauh teori ini digunakan untuk melihat bagaimana pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016.
28
2.4 Kerangka Pemikiran Gambar 2.1 Bagan pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016 Politik Identitas
(Identitas Legitimasi)
Punguan Parna
Paslon Bupati
JR Saragih – Amran Sinaga
- Ikatan kekerabatan - Hubungan darah - Primordialisme
Partai Politik
Pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016