BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka Penelitian terkait hubungan antara humor dan politik sudah sempat dikaji oleh beberapa peneliti
sebelumnya.
Penelitian-penelitian tersebut
dapat
dipergunakan sebagai acauan maupun referensi dalam penelitian ini. Dari sekian banyak penelitian yang sudah ada, peneliti mengambil tiga sampel penelitian sebagai sumber referensi untuk penelitian ini. Berikut tiga penelitian terkait humor dan politik : Pertama yakni tesis sekaligus disertasi karya dari Nathan Andrew Wilson (2008) berjudul “Was that Supposed to be Funny? A Rhetorical Analysis of Politics, Problem, and Contradiction Stand-up Comedy”. Tesis sekaligus disertasi ini meneliti mengenai kemungkinan humor atau lawakan sebagai suatu bentuk tindakan politik. Humor atau lawakan yang telah dipelajari sejak jaman Aristoteles telah memiliki sejumlah besar teori tentang keberhasilan humor sebagai bentuk retorika. Kebanyakan menyatakan bahwa saat penonton, institusi, pelajar, bahkan ‘comic’ itu sendiri saat mendengar kata humor, lelucon, atau lawakan, cenderung meyakini teori yang memposisikan humor sebagai kebutuhan yang tidak berbau politik dan tidak memiliki pengaruh. Banyak teori berkembang mengenai humor, termasuk di dalamnya yaitu bentuk yang disengaja seperti ironi, parodi dan sindiran; humor tematik seperti karnival; kriteria yang berdasarkan
akibat seperti kepuasan atau tawa. Ketika dibawa pada level institusional, hal-hal tersebut berisikan sekumpulan aturan yang mengantisipasi kemungkinankemungkinan beberapa bentuk humor yang paling memiliki fungsi untuk kemajuan. Nathan melihat stand-up comedy sebagai aktivitas politik. Ia tertarik pada efektifitas humor dalam politik, terutama saat ini, dimana dengan adanya stand-up comedy yang dapat dengan bebas dinikmati masyarakat dan tersebar luas melalui media massa. Nathan (2008: 13) juga menyatakan bahwa humor memang benarbenar memiliki pengaruh terhadap politik, namun dalam penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan menunjukan bahwa humor memiliki tingkat efektivitas yang lebih rendah daripada bentuk wacana lain. Penelitian ini, selain menggunakan teori retorika dan teori humor, juga menggabungkan teori pengetahuan, kekuatan subjektifitas budaya, dan pendapat. Nathan membawa teori retorika ke dalam filosofi sosiologi dan media, budaya, dan kritik politik. Semua teori tersebut telah duhubungkan dengan humor pada umumnya dan standup comedy khususnya. Dalam tesis dan desertasi ini Nathan mencoba memaparkan tentang definisi dan sejarah dari humor, politik, dan stand-up comedy. Tesis sekaligus disertasi ini juga menjelaskan stand-up comedy merupakan suatu penampilan seseorang yang menceritakan sesuatu hal yang lucu terhadap audience tanpa kostum, prop, setting panggung, dan lain-lain. Nathan juga berpendapat bahwa teks-teks lucu dalam humor berguna untuk dapat memprovokasi pemikiran politik seseorang, atau
dalam hal ini audience penikmat stand-up comedy (Lawrence, 1985: 71). Konsep yang akan menjadi kunci di sini adalah gagasan neo-Aristotelian yang ditujukan pada publik, asumsi motif, kontrak sosial dan efektifitas yang ada saat ini. Singkatnya dapat disebut dengan kritik dari akar republik. Pertanyaan yang muncul di sini adalah bagaimana sindiran, ironi dan parodi umumnya dipahami? apa implikasi dari penyerapan ini? efek apa yang dapat memberikan gagasan kontemporer dalam menghasilkan sebuah istilah? apa yang terjadi ketika kita menyadari bahwa penulis lucu memiliki niat yang berbeda dari retorika politik? apakah ada cara untuk mendamaikan kedua model? jawaban atas pertanyaanpertanyaan ini akan berfungsi untuk mengatur bingkai dari penelitian ini. Kedua yakni tesis dari oleh Katerina-Eva Matsa, MSc (2010) berjudul “Laughing at Politics: Effects of Television Satire on Political Engagement in Greece”. Dalam tesisnya ini ia mencoba mengeksplorasi efek dari televisi yang menunjukkan sindiran politik di Yunani. Selain itu ia memperlihatkan konteks dan dampak pada persepsi pemirsa terhadap isu-isu politik. Diawali dengan membahas tentang sejarah dari sindiran yang selalu hadir di dalam budaya di Yunani. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengeksplorasi efek dari televisi, sindiran dalam politik Yunani dan mengidentifikasi kemungkinan efek pada opini politik pemirsa dan partisipasi dalam politik. Sindiran telah menghasilkan perdebatan sengit di media Yunani, sehingga pemerintah Yunani mulai memberikan batasan-batasan terkait sindiran yang
dikeluarkan dari media. Contoh terbaru dari hal ini adalah keputusan dewan nasional Yunani untuk radio dan televisi dengan memberlakukan denda pada salah satu acara untuk menggunakan bahasa yang tidak pantas di udara. Penelitian ini dibingkai dalam dua variabel yakni menonton sindiran dan partisipasi politik yang keduanya memiliki hubungan timbal balik. Digambarkan sebagai berikut.
Menonton Sindiran
Hubungan Timbal Balik
Partisipasi Politik
Gambar 2.1 Hubungan variabel independen dan dependen Dalam tesis ini Katerina menawarkan lebih dari narasi sederhana yang berasal dari sindiran politik di Yunani. Lebih dari pada itu bertujuan untuk menyediakan penelitian sebagai bukti data yang nyata serta akan menunjukkan dampak yang dihasilkan. Tesis ini terbagi menjadi 8 Bab, bab pertama berisikan tentang pengantar dan alasan-alasan ketertarikan katerina dalam penelitian ini. Pada Bab 2 yang berjudul “Sindiran atau Komedi? Masalah Definisi” ia menjelaskan cara membuat pengantar diskusi tentang definisi sindiran, komedi dan tempat-tempat itu dalam konteks media baru-baru ini, serta sejarah (selama periode setelah akhir 1974 Kediktatoran). Selain itu, membahas tujuan sindiran dan bagaimana berevolusi untuk manifestasi modern.
Studi literatur tesis ini menyajikan contoh literatur dalam peran komedi yang lebih mengambil konteks dari Amerika, partisipasi politik dan opini publik, dan sumber informasi politik. Sementara pada kerangka teoritis menguraikan teori yang diperlukan dari uses and gratification dan cultivation theory, yang memberikan wawasan yang signifikan sebagai alasan mengapa pemirsa menonton acara tertentu. Dengan cara ini, pendekatan teori ini berkontribusi dalam analisis makalah ini dengan membantu menjelaskan alasan pemirsa Yunani memilih untuk menonton acara sindiran. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini dengan memberikan langkah-langkah yang dilaksanakan untuk menguji hipotesis yang disebutkan sebelumnya. Pendekatan metodologi penelitian ini menggunakan analisis isi dari dua acara televisi dan radio yaitu acara berita Al Tsantiri dan radio Arvyla. Kemudian melakukan wawancara dengan presenter acara dan Ierotheos Papadopoulos, Kepala Perwakilan Komisi Eropa di Yunani, dan melakukan survei online. Dengan mengembangkan sistem pengkodean mampu menyajikan analisis mendalam tentang isi acara. Jenis analisis membantu menyimpulkan apakah ada pola tematik yang menyatu dengan agenda media tradisional dan partai politik. Wawancara yang dilakukan dengan presenter acara memberikan informasi terkait pemahaman motif dan tujuan mereka. Selain itu, wawancara dengan kepala komisi perwakilan Eropa di Yunani memberikan kesimpulan tentang hubungan sindiran televisi dan politik, Oleh karena itu Katerina menyoroti
dampak yang menunjukkan pada kehidupan politik. Ketiga, Katerina melakukan survei online melalui survey monkey yang memperlihatkan efek sindiran pada pandangan politik penonton dan persepsi. Tujuannya ada dua yakni untuk menguji apakah pemirsa menerima informasi politik tentang peristiwa politik dari sindiran yang disampaikan dan identifikasikan setiap trend mungkin antara pemirsa dan keterlibatan politik. Survei membantu untuk mempelajari identitas penonton acara di televisi (dalam hal demografi, usia, identifikasi partai, dll) dan apakah keyakinan presenter tentang audiens mereka berlaku. Pada kesimpulan di bagian akhir tesis ini, Katerina kembali ke pertanyaan asli dari hipotesis tentang pengaruh televisi yang menayangkan sindiran politik. Ia mempertimbangkan berbagai potensi yang menunjukkan sindiran, khususnya di dimanfaatkan dalam kampanye politik, yang sudah mulai menjadi jelas karena beberapa tokoh politik memilih untuk tampil di acara-acara ini. Ia juga menyoroti ini kendala dari studi dan kontribusi utama. Ketiga yakni disertasi karya Amy B. Becker (2010) dengan judul “Fresh Politics: Comedy, Celebrity, and The Promise of New Political Outlooks”. Disertasi ini terdiri dari enam bab yang terpisah, Bab 2 menyajikan potongan pertama dari artikel panjang yang berfokus pada dampak berbeda dari bentuk komedi yang beragam pada sikap politik. Menganalisis data dari percobaan pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk komedi yang berbeda memiliki dampak yang berbeda pada sikap politik. Penelitian ini juga
menyarankan bahwa memang pentingnya penelitian ini di masa depan untuk membongkar humor politik dari pada mengobati komedi sebagai salah satu bentuk monolitik. Selanjutnya Amy menjelaskan tentang dampak paparan komedi politik pada dua variabel terkait politik. Dijelaskan bahwa terdapat kepercayaan politik dan efikasi politik internal. Analisis mempertimbangkan berbagai bentuk komedi dalam sebuah konteks dan menempatkan penyelidikan dalam lingkungan media pasca siaran. Dalam analisis ini di temukan bahwa pemirsa komedi muda juga masuk ke jaringan dan kabel konten berita tradisional. Bab 4 dan 5 memperluas cakupan teoritis penelitian terkini tentang hiburan politik, dengan fokus pada politik selebriti. Dalam upaya untuk memahami dampak jelas dari keterlibatan selebriti dalam masalah politik pada opini publik dan keterlibatan politik. Bab 4 menilai kondisi saat ini politik selebriti di lingkungan pemilu pasca 2008, dengan fokus pada masalah yang dirasa penting dan sesuai dengan keterlibatan selebriti pada isu-isu kunci. Dampak paparan video dan teks selebriti masalah banding atas, penerimaan terhadap keterlibatan selebriti dalam masalah politik, dan hubungan antara selebriti masalah politik dan evaluasi keberhasilan politik internal. Bab 4 menyajikan hasil dari serangkaian analisis data dari percobaan kedua dan juga mengacu pada data yang opini publik diakses melalui database Roper iPoll. Memperluas penelitian tentang politik selebriti menuju studi yang lebih formal yang memiliki efek paparan keterlibatan selebriti dalam masalah politik, Bab 5 mempertimbangkan dampak dari paparan
masalah selebriti banding advokasi pada opini publik dan keterlibatan politik di tingkat masalah menggunakan keterlibatan Angelina Jolie dengan global krisis pengungsi sebagai studi kasus. Analisis yang disajikan dalam Bab 5 menjelaskan dampak penerimaan terhadap keterlibatan selebriti dalam masalah politik pada keterlibatan situasional, puas, dan masalah apatis. Menganalisis data dari percobaan kedua, bab 5 menyimpulkan dengan membahas manfaat positif potensial yang berasal dari keterlibatan selebriti dalam masalah politik. Bab 6 bertindak sebagai bagian penutup, membawa hasil dari empat bab-bab sebelumnya bersama-sama untuk berbicara tentang kontribusi dalam bidang penelitian komunikasi, implikasi, dan pertanyaan untuk penelitian masa depan. Sebuah diskusi setiap penyusunan data yang mendalam termasuk menyoroti keuntungan, kerugian, dan keterbatasan yang relevan dari setiap desain eksperimental. Selain itu bagian yang lebih besar mengatasi masalah validitas potensial yang sering muncul ketika mengandalkan data eksperimen disertakan. Setelah melihat pembahasan dari ketiga penelitian dalam kajian pustaka diatas, dapat diketahui bahwa penelitian semacam ini sudah pernah dikaji oleh peneliti lain dari beberapa negara diluar Indonesia. Sementara di Indonesia penelitian semacam ini masih belum ada. Studi tentang hubungan antara komedi dan politik juga masih jarang diteliti di Indonesia, hal ini menjadikan penelitian ini memiliki nilai tambah dalam orisinalitas.
2.2 Kerangka Konseptual Dalam penelitian ini terdapat beberapa konsep yang digunakan maka dari itu perlunya penyepakatan pemahaman terhadap konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini. Konsep dalam penelitian ini tentunya memiliki banyak pengertian yang berbeda-beda dari para ahli, oleh karena itu peneliti hanya akan memaparkan penjelasan dari konsep yang memiliki poin terkait konsep dalam penelitian ini. Adapun konsep yang terdapat dalam penelitian ini yakni: humor, stand-up comedy, komunikasi politik, dan demokrasi. 2.2.1 Humor Humor menurut Manser (dalam Rahmanadji, 2007; 215) berasal dari kata Latin umor yang berarti cairan . Sejak 400 SM, orang Yunani Kuno beranggapan bahwa suasana hati manusia ditentukan oleh empat macam cairan di dalam tubuh, yaitu: darah (sanguis), lendir (phlegm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy). Perimbangan jumlah cairan tersebut menentukan suasana hati. Kelebihan salah satu di antaranya akan membawa pada suasana tertentu. Darah menentukan suasana gembira (sanguine), lendir menentukan suasana tenang atau dingin (phlegmatic), empedu kuning menentukan suasana marah (choleric), dan empedu hitam untuk suasana sedih (melancholic). Tiap cairan tersebut mempunyai karakteristik tersendiri dalam mempengaruhi setiap orang. Kekurangan
darah menyebabkan orang tidak pemarah. Kelebihan empedu kuning menyebabkan jadi angkuh, pendendam, ambisius, dan licik. Teori mengenai cairan itu merupakan upaya pertama untuk menjelaskan tentang sesuatu yang disebut humor. Namun demikian, ajaran yang disusun oleh Plato itu tampaknya sudah tidak ada hubungannya dengan pengertian umum di zaman sekarang ini. Dalam perkembangan selanjutnya, selama berabad-abad, lahirlah segala macam teori yang berupaya untuk mendefinisikan humor, yang mengacu pada artian humor seperti yang sekarang lazim dimaksudkan, yang ada hubungannya dengan segala sesuatu yang membuat orang menjadi tertawa gembira. Setiawan (dalam Rahmanadji, 2007; 215) Humor merupakan istilah yang dapat diartikan dalam dua sudut, yakni humor dalam arti sempit dan humor dalam arti luas. Dalam arti luas humor merupakan seluruh hal baik sastra, pembicaraan informal ataupun tulisan yang memiliki tujuan untuk menghibur, atau menghasilkan tawa pada pembaca atau pendengar. Dalam arti sempit humor dibedakan dari kecerdasan, sindiran, dan lelucon. Hal ini kurang intelektual dan lebih imajinatif daripada kecerdasan yang bersangkutan lebih dengan karakter dan situasi daripada dengan memainkan pada kata-kata atau pada ide-ide yang bersifat lebih simpatik dan kurang kejam dari sindiran namun lebih halus dari lelucon. Selain itu nuansa yang terdapat di dalamnnya menjadi mewah
dan
imajinatif,
karena
memiliki
hubungan
yang
saling
bersangkutan dengan mengeksplorasi kemungkinan situasi tidak mungkin atau kombinasi dari ide-ide (Monro. (n.d.). Theory of Humor. diambil dari https://www.msu.edu/~jdowell/monro.html). 2.2.2 Stand-up Comedy Stand-up comedy merupakan sebuah bentuk pertunjukan seni komedi. Biasanya, dipentaskan oleh satu orang di atas panggung melakukan monolog yang lucu dan memberikan pengamatan, pendapat, atau pengalaman pribadinya. Pelaku stand-up comedy umumnya dikenal dengan nama comic. Pada stand-up comedy para komedian biasanya membawakan cerita singkat yang lucu, joke singkat tersebut juga dikenal dengan istilah “bit”, lelucon dalam satu liners. Joke dalam stand-up comedy memiliki struktur dasar yang sangat mendasar. Secara tradisional joke terdiri dari dua bagian yakni; set-up dan punch line. Papana (2011) Seiring dengan berkembangnya stand-up comedy beberapa comic ada juga menggunakan alat peraga, musik, atau trik sulap untuk meningkatkan tindakan mereka. Tempat pementasan pertunjukan stand-up comedy biasanya sering dilakukan di klub komedi, bar, klub malam, perguruan tinggi, dan teater. Comic dalam melakukan stand-up comedy penyampaian materi ke pada penonton tidak sembarangan melainkan terdiri dari beberapa bagian di dalamnya. Untuk dapat melakukan stand-up comedy yang baik dan benar comic setidaknya harus
menguasai teknik dasar dalam stand-up comedy. Berikut merupakan langkah-langkah dasar yang digunakan dalam stand-up comedy, namun dari sekian banyak teknik dalam stand-up comedy Peneliti hanya akan menjelaskan bagian yang akan dibahas dalam penelitian yakni sebagai berikut: a.
Set-up atau disebut juga kalimat penjelas atau pengantar yang tidak bersifat lucu. kalimat-kalimat pembuka atau pengantar perihal satu tema ini Biasanya, berupa pernyataan yang meliputi fakta atau informasi yang bisa begitu serius ditanggapi oleh para audiens.
b.
Bit merupakan satuan materi stand-up yang terdiri atas set-up dan punchline.
c.
Set merupakan satuan pertujukan stand-up yang biasanya terdiri atas sejumlah bit. Berasal dari seluruh gabungan bit dalam satu penampilan
d.
Punch line adalah kalimat pamungkas yang akan membuat para audiens tersenyum atau bahkan tertawa terpingkal-pingkal karena disitulah fakta diputar balikan, serius jadi tidak serius, benar dan salah jadi tidak jelas karena kelucuan yang dihadirkan.
e.
Segue merupakan kalimat transisi untuk mengantar perpindahan dari satu joke ke joke lainnya.
f.
Premise merupaka konsep utama dari serangkaian jokes yang ditulis
2.2.3 Komunikasi Politik Komunikasi politik merupakan konsep utama dalam penelitian ini, Menurut Dahlan (dalam Cangara, 2011: 29) komunikasi politik merupakan suatu bidang yang menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Roelofs (dalam Sumarno & Suhandi, 1993) mendefinisikan komunikasi politik sebagai komunikasi yang materi. Definisi ini menggunakan pendekatan kekuasaan dan kelembagaan. Secara sederhana, komunikasi politik adalah komunikasi yang berisikan pesan-pesan politik yang mencakup masalah kekuasaan dan penempatan pada lembaga-lembaga kekuasaan (lembaga otoritatif) melibatkan pesan-pesan politik dan aktoraktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”. Penjelasan terkait relasi antara komunikasi politik dan stand-up comedy dapat dilihat dengan mengetahui terlebih dahulu elemen-elemen yang terdapat dalam komunikasi politik. Berikut merupakan tabel elemen – elemen dari komunikasi politik dalam (Brian Mcnair, 2003) :
Politics Organization Reporter Editorials Commentary Analysis
Media
Parties Public Organization Preasure groups Terrorist organization Goverments
Appeals Programmes Advertising Public Relation Opinion Polls Letters
Reportage Editorials Comementary Analysis
public
Gambar 2.2.1 Elemen Komunikasi Politik
Bagan diatas menunjukan relasi antara beberapa elemen yang membentuk komunikasi politik. Berdasarkan elemen komunikasi politik menurut brian mcnair ini peneliti akan dapat mengklasifikasikan posisi stand-up comedy dalam komunikasi politik. Penjelasan mengenai posisi stand-up comedy juga akan dipaparkan pada analisis hasil temuan.
2.2.4 Demokrasi Meski tidak berperan aktif dalam penelitian ini, namun demokrasi mengambil posisi penting dalam penelitian ini. Peneliti mencoba memposisikan komunikasi politik yang dilakukan dalam stand-up comedy sebagai salah satu bentuk dari praktek demokrasi. Kertekaitan demokrasi pada penelitian ini dapat dilihat dari unsur yang terdapat dalam demokrasi yakni kebebasan berpendapat. Dalam penelitian ini stand-up comedy merupakan salah satu praktek dari unsur tersebut. Meski demokrasi tidak berkontribusi langsung untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini namun, pemaparan terkait konsep demokrasi dianggap perlu dijelaskan. Hal ini dilakukan agar dapat mengetahui relasi yang terdapat antara demokrasi dan komunikasi politik. Berikut penjelasan konsep dari demorasi yang digunakan dalam penelitian ini. Teori sistem menjelaskan "demokrasi" sebagai sistem semiotis yang mampu beradaptasi dengan kompleksitas lingkungannya. Sistem itu akan makin terdiferensiasi secara internal untuk mereduksi kompleksitas di luarnya yang juga makin meningkat. Menurut Luhmann (1996) protes merupakan bagian sistem semiotis, maka demokrasi tidak mengucilkan protes, melainkan memasukkannya ke dalam dinamika komunikasi politis yang dilihat secara sistemis berciri anonim. Ruang publik politis tak lain daripada "aliran tema dan informasi" yang anonim karena bagi teori ini, manusia "adalah" suatu penanda (signifier) dalam bahasa. Protes adalah
"sistem-sistem imun" yang menguji realitas demokrasi pluralistis dalam masyarakat kompleks. "Gerakan-gerakan sosial memiliki fungsi untuk mengajak bicara tentang realitas-realitas dari jenis yang lain." Sistem demokrasi yang mampu berkomunikasi dengan sistem-sistem protes adalah sebuah sistem kompleks yang mampu mengelola kompleksitas lingkungan yang
hiperkompleks
(Hardiman.
(12.6.2015).
Diambil
dari
http://www.unisosdem.org/article_detail.php) Mereduksi kompleksitas demokrasi bergantung pada transparansi dan fairness. Tanpa dua hal ini, terjadi eskalasi kompleksitas karena sistem yang tidak transparan dan tidak fair, misalnya korupsi, akan membutuhkan sistem-sistem hipokrisi untuk menyembunyikan kepentingan parsialnya. Korupsi sebagai sistem dengan berbagai lapisan sistem pelindungnya merumitkan
komunikasi
dan
meningkatkan
kompleksitas
yang
disfungsional bagi keseluruhan. Sebuah sistem yang hampir serumit lingkungannya akan ditelan oleh lingkungannya dan mendestruksi dirinya. Sebaliknya, transparansi dan fairness meningkatkan public trust dan membuka komunikasi.
2.3 Kerangka Teori Pada bagian ini peneliti mengemukakan teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pemilihan teori-teori ini didasari dari konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Teori berfungsi sebagai landasan untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini. Teori yang digunakan dalam penelitian ini secara garis besar dibagi dalam dua bagian yakni teori komunikasi politik dan teori humor. Berikut penjelasan terkait teori yang digunakan dalam penelitian ini. 2.3.1 Teori Retorika Teori Retorika (dalam Rakhmat. 1992: 7) berpusat pada pemikiran mengenai retorika yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi. Retorika merupakan kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada (Rakhmat. 1992: 7). Aristoteles dalam West & Turner (2008: 339) juga menjelaskan bahwa teori Retorika ini dituntun oleh dua asumsi berikut : 1. Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan khalayak mereka 2. Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam persentasi mereka Komunikasi merupakan proses transaksional. Dalam konteks public speaking, Aristoteles menyatakan bahwa hubungan antara pembicarakhalayak harus dipertimbangkan. Para pembicara tidak boleh menyusun
atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan khalayak mereka. Para pembicara harus, dalam hal ini, berpusat pada khalayak. Mereka harus memikirkan khalayak sebagai sekelompok orang yang memiliki motivasi, keputusan, dan pilihan bukannya sebagai sekelompok besar orang yang homogen dan serupa. Aristoteles merasa bahwa khalayak sangat penting bagi efektivitas seorang pembicara. Aristoteles dalam karyanya Retorika, membagi retorika politik dalam tiga jenis, yakni Arifin (2003: 68) : 1. Retorika deliberatif merupakan sebuah retorika yang dirancang untuk mempengaruhi khalayak dalam kebijakan pemerintah. Pembicaraan difokuskan pada keuntungan dan kerugian jika sebuah kebijakan diputuskan dan dilaksanakan. 2. Retorika Forensik adalah retorika yangberkaitan dengan pengadilan, dengan fokus pembicaraan pada masa lalu yang berkaitan dengan keputusan pengadilan. 3. Retorika Demonstratif adalah retorika yang mengembangankan wacana yang dapat memuji dan menghujat. Retorika politik pada umumnya menerapkan retorika demonstratif untuk mempengaruhi khalayak.
2.3.2 Teori Wacana (Discourse Theory) Teori wacana merupakan teori yang akan digunakan peneliti dalam memetakan tiap bit dalam stand-up comedy yang dilakukan oleh Sammy. Teori wacana yang digunakan peneliti merupakan teori yang dikemukakan oleh Laclau dan Mouffe, teori ini berasal dari gabungan antara teori Marxisme dan strukturalisme. Teori Laclau dan Mouffe menggunakan 4 konsep dasar dalam menjelaskan teori wacana yakni, nodal point, titik tanda persetujuan, field of discursivity dan closure (penutup). Tujuan analisis wacana adalah memetakan dan mengetahui cara yang digunakan dalam menetapkan makna tanda-tanda. Suatu wacana dibentuk oleh penetapan parsial makna di sekitar nodal point. Nodal point merupakan suatu tanda yang mempunyai keistimewaan, dimana daerah sekitarnya dapat digunakan untuk menata tanda-tanda lain sekaligus untuk mengkategorikan suatu wacana. Nodal point dapat diartikan sebagai sebuah topik yang dibawakan oleh pembawa wacana. Sebagai contoh nodal point dari politik dapat berupa demokrasi, kekuasaan, kebijakan dll. (Jorgensen dan Phillips. 49: 2007) Teori Wacana menyatakan bahwa kita memusatkan perhatian pada ungkapan-ungkapan khusus dengan menggunakan kapasitasnya sebagai artikulasi: makna-makna apakah yang ditetapkan oleh ungkapan-ungkapan khusus itu dengan memosisikan unsur-unsur dalam hubungan khusus satu
sama lain dan potensi-potensi makna apakah yang ditiadakan. (Jorgensen dan Phillips. 56: 2007) Dalam analisis wacana juga terdapat penanda dalam sebuah wacana hal ini digunakan untuk dapat mengetahui landasan-landasan dari makna yang ditemukan dalam suatu wacana. Teori wacana juga memiliki istilah khusus untuk unsur-unsur, terutama yang terbuka untuk dapat mengetahui makna dari berbagai bagian dari pesan yang diteliti. Penanda dalam analisis wacana juga dikenal dengan istilah floating signifier, merupakan tandatanda yang diperjuangkan oleh wacana-wacana yang berbeda untuk menginvestasikan makna dengan menggunakan caranya sendiri. Teori analisis wacana yang lebih khusus digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah teori analisis wacana krisis. Konsep utama yang dikemukakan
Fairclough
adalah
“antar
kewacanaan”.
Dengan
mengamati
tekstualitas”
bagaimana
dan
teks-teks
“antar khusus
menggunakan formasi-formasi makna terdahulu dan bagaimana mereka mencampur wacana-wacana yang berbeda, Fairclough (dalam Jorgensen & Phillips. 2007: 251) menyelidiki bagaimana wacana direproduksi dan prioritas utamanya adalah bagaimana wacana-wacana itu berubah. Suatu teknik yang bisa digunakan untuk melakukan analisis wacana adalah mencari titik-titik krisis: tanda yang menunjukkan bahwa dalam interaksi telah terjadi kesalahan. Tanda-tanda tersebut bisa merefleksikan konflik antara wacana-wacana yang berbeda. Suatu tanda bisa menyatakan
bahwa salah satu partisipan berusaha menyelamatkan situasi, misalnya dengan mengulangi ujaran, memecah kebisuan, atau melakukan perubahan tiba-tiba pada gaya bahasa. Fairclough 1992 (dalam Jourgensen & Phillips. 2007: 226) Teori analisis wacana ini akan digunakan peneliti untuk dapat menentukan penggalan-penggalan bit dari sampel stand-up comedy Sammy yang berupa transkip. Peneliti akan mengunakan konsep analisis kritis yang dikemukakan oleh Fairclough dengan mencari titik-titik krisis yang merupakan tanda yang menunjukkan bahwa dalam interaksi telah terjadi kesalahan. Tanda-tanda tersebut bisa merefleksikan konflik antara wacanawacana yang berbeda. Kemudian untuk dapat mengetahui batasan dari bit yang akan dikaji, peneliti menentukannya sesuai dengan tujuan penelitian yakni ingin mengetahui bagaimana pesan-pesan politik yang disampaikan dalam stand-up comedy yang dibawakan oleh Sammy. Dengan demikian penggunaan teori wacana ini dapat digunakan untuk lebih jelas membagi dan menentukan bit-bit yang dibawakan Sammy yang revan dikaji dalam penelitian ini.