ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK YANG MEMBANTU PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor: 124/Pid./2011/PT.TK.)
Oleh M. Fikram Mulloh Khan
ABSTRAK
Perkembangan dalam kehidupan anak-anak dan remaja rentan untuk melakukan tindak pidana perbuatan membantu pencurian kendaraan bermotor. Perbuatan membantu pencurian kendaraan bermotor dalam putusan nomor: 128/Pid./2011/PT.TK merupakan masalah yang serius. Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan mempelajari, melihat dan menelaah asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum, pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, pertanggungjawaban pidana anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor yaitu terbukti secara sah dan bersalah melanggar Pasal 365 juncto Pasal 55 dan dijatuhi oleh Majelis Hakim berupa penjatuhan pidana pokok dalam bentuk penjara selama 1 (satu) bulan 3 (tiga) minggu. Unsur-unsur tindak pidana yaitu perbuatan manusia, memenuhi rumusan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum. Dasar hakim menjatuhkan pidana terhadap tindak pidana anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor terdiri dari beberapa aspek yaitu tuntutan jaksa, alat bukti, hal-hal yang meringankan serta hal-hal yang memberatkan. Kegiatan aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya lebih menggunakan Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) bukan menggunakan aturan khusus yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. KATA KUNCI: Pertanggungjawaban Pidana, Anak, Membantu Pencurian
ANALYSIS OF CRIMINAL LIABILITY TO HELP CHILDREN IN MOTOR VEHICLE THEFT ( Study of Cape Coral High Court Decision Number : 124/Pid./2011/PT.TK . )
By: Fikram Mulloh M. Khan, Dr. Maroni, S.H., MH., Virganefi, SH.,MH.
[email protected]
ABSTRACT
Developments in the lives of children and adolescents are prone to commit criminal acts assist motor vehicle theft. Motor vehicle theft act helps in decision number: 128/Pid./2011/PT.TK is a serious problem. The method used by normative approaches and empirical jurisdiction. juridical empirical approach taken to study the law in fact or based on facts objectively obtained in the field. In the study sample, drawn from several populations in porpuse sampling. The population in this study is represented by four (4) respondents comprising of one High Court Judge Tanjung Karang, one of the High Court of Dublin, the Institute for Child Advocacy activists, one party Academics Lampung University. The data obtained by means of editing, of interference, dn systematization of data. Based on the results of research and discussion, which helps the child criminal liability of motor vehicle theft and that is proven legally guilty of violating Article 365 junto 55 and sentenced by the judges in the form of criminal punishment in the form of principal prison for 1 (one) month three (3) weeks. The elements of the crime of which human actions, meet in the formulation of the law, is against the law. Basic judges convict on criminal acts that help children theft of a motor vehicle consists of several aspects, namely the prosecution, the evidence, the mitigating and aggravating things. Activities of law enforcement agencies in the implementation of a more use of the draft Criminal Law (Penal Code) instead of using a special rule that Law No. 3 of 1997 on Juvenile Justice and Law No. 23 on the Protection of Children. Key Words: Criminal Liability, Children, Helping Theft.
I.
PENDAHULUAN
Anak merupakan bagian dari generasi muda yang memiliki peranan strategis yang mempunyai ciri dan sifat khusus yang memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Generasi muda sebagai subjek merupakan pelaku dan pelaksanaan pembangunan yang harus dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama membangun bangsanya. 1UndangUndang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak juga berhak mendapat perlindungan dari orang tua, keluarga dan pemerintah. Istilah baku perdana dalam konsep psikologi adalah juvenile deliquency yang secara etimologis dapat dijabarkan bahwa juvenile berarti anak sedangkan deliquency berarti kejahatan. Dengan demikian, pengartian secara etimologis adalah kejahatan anak. Jika menyangkut subyek/pelakunya, maka menjadi juvenile deliquency yang berarti penjahat anak atau anak jahat. 2 Psikolog Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya juvenile deliquency sebagai berikut: tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang melawan 1
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1 tengtang Pengadilan Anak 2 Andi Mappiare, Psikologi remaja, Rineka Cipta Jakarta, thn 2012, hlm 32-33
hukum, yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja. 3 Sedangkan Fuad Hasan merumuskan definisi delinquency sebagai berikut: perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.4 Atas dasar perbuatan pelaku dan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka dilakukan proses penyelidikan, penuntutan sampai pada pemeriksaan di depan persidangan atau dikenal dengan sistem peadilan pidana. Pertanggungjawaban pidana sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan bertanggung jawab dari seseorang karena telah melakukan perbuatan yang melawan hukum. Istilah baku perdana dalam konsep psikologi adalah juvenile deliquency yang secara etimologis dapat dijabarkan bahwa juvenile berarti anak sedangkan deliquency berarti kejahatan. Dengan demikian, pengartian secara etimologis adalah kejahatan anak. Jika menyangkut subyek/pelakunya, maka menjadi juvenile deliquency yang berarti penjahat anak atau anak jahat. 5 Sebagai contoh kasus yang terjadi di Kota Agung Kabupaten Tanggamus, 7 Agustus 2011, terdapat laporan terhadap tersangka yang melanggar Pasal 365 ayat (2) ke 2 KUHP jounto Pasal 56 ayat (1) KUHP tentang 3
Bimo Walgito, kenakalan anak ( Juvenile Deliquency ), Rineka Cipta Jakarta Thn 2012, hlm: 2. 4 B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Anak ( Etimologi Juvenile Deliquency ); Rineka Cipta Jakarta Thn 2012, hlm: 7071. 5 Andi Mappiare, Psikologi remaja, Rineka Cipta Jakarta, thn 2012, hlm 32-33
Memberi Bantuan Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan. Bahwa terdakwa bersama-sama dengan Roli, Sutra, Rudi, Imron, dan Chandra pada hari minggu tanggal 7 Agustus 2011, terdakwa dan lima (5) orang lainnya bersama-sama merencanakan pencurian kendaraan bermotor terhadap seorang wanita, bahwa setelah berhasil mengambil tas dan motor milik korban kemudian terdakwa dan teman-temannya langsung melarikan diri. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam dengan Pasal 365 ayat (1), (2) ke-2 KUHP jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 6 Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Kota Agung tanggal 5 Oktober 2011 Nomor: 200/Pid.B/2011/PN.KTA., yang berbunyi menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ membantu melakukan pencurian dengan kekerasan”, dan menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan. Mengingat akan akta Permohonan Banding Nomor: 19/Akta.pid/2011/PN.KTA., setelah Pengadilan Tinggi membaca dan mempelajari berkas perkara, seseorang dapat dikatakan sebagai pembantu atau memberi bantuan kepada orang lain untuk melakukan tindak pidana, maka ia harus jelas perannya sebagai apa, harus jelas bantuan apa yang diberikan terdakwa kepada pelaku tindak pidana, dan terjadi sebelum peristiwa pencurian terjadi, setelah kasus ini terungkap, terdakwa bersama dengan temantemannya merencanakan pencurian 6
Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor:124/pid./2011/PN.TK
kendaraan bermotor. Dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa peran terdakwa bukan membantu melakukan tindak pidana pencurian, lebih tepatnya dikatakan terdakwa sebagai pelaku utama pencurian kendaraan bermotor, didalam putusan Pengadilan Negeri Kota Agung terdakwa dijatuhi hukuman sebagai pembantu pencurian dan Hakim keliru dalam memutus perkara tersebut yang menyebabkan terdakwa mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Kota Agung tersebut. Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan adalah: a. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana terhadap anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor dalam putusan Pengadilan Tinggi Nomor 124/Pid. /2011/PT.TK? b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor dalam putusan Pengadilan Tinggi Nomor 124/Pid./2011/PT.TK? II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pertanggungjawaban Pidana Anak Yang Membantu Pencurian Kendaraan Bermotor (Studi Putusan Nomor 124/Pid./2011/PT.TK) Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan, apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian juga
dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Hukum pidana berlaku asas (green straf zoner schuld) yang berarti tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Menurut para ahli unsur-unsur pertanggungjawaban pidana terdiri dari 2 unsur yaitu : 1. Kemampuan bertanggungjawab; 2. Kesengajaan (dolus) dan Kealpaan (culpa). 1. Kemampuan bertanggungjawab Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:7 a. Kemampuan untuk membedabedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk. Sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum. b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruk perbuatan tadi. 2. Kesengajaan (dolus) dan Kealpaan (culpa) a. Kesengajaan (dolus) Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Menurut teori pengetahuan atau teori membahayakan, manusia
tidak mungkin menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau menbayangkan adanya suatu akibat. b. Kealpaan (culpa) Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran si pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan menjadia dua yaitu :8 1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi apabila si pembuat dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya.
7
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta Jakarta. Thn 2005, hlm:50
8
Moeljatno, ibid hlm:53
Meskipun ia telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu. 2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut. Guntur Purwanto menyatakan jika menyandarkan diri pada teori kehendak, maka kehendak merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif dan tujuannya perbuatan. Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan dikehendaki oleh terdakwa, hematnya” : a. Harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuannya yang hendak dicapai. b. Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada kausal dalam batin terdakwa. Guntur Purwanto lebih lanjut menjelaskan bahwa dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut? Dan kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
Seseorang mempunyai bilamana pada waktu tindak pidana, dilihat kemasyarakatan ia dapat perbuatan tersebut.
kesalahan melakukan dari segi dicela oleh
Atik Rusmiaty menyatakan hal terpenting dalam menjatuhkan pidana terhadap seseorang adalah menentukan terlebih dahulu apakah perbuatan seseorang tersebut telah terbukti sebagai tindak pidana sebagaimana yang telah ditentukan dalam peraturan perundangundangan tertulis yang berlaku pada saat atau sebelum perbuatan itu dilakukan. Kemudian ditentukan apakah orang yang melakukan tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidak”. Lebih lanjut Atik Rusmiaty, mengatakan bahwa pertanggungjawaban pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahannya telah melakukan perbuatannya yang dilarang undangundang, secara melawan hukum dan tidak dibenarkan menurut pandangan masyarakat. Kesalahan adalah unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana dan antara keduanya terdapat hubungan yang erat. Maka upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua jalur yaitu, jalur penal (Refresif) dan melalui jalur non penal (Preventif). Erna Dewi menyatakan dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku membantu pencurian kendaraan bermotor ini harus memperhatikan 2 (dua) hal sekaligus, yaitu dari pelaku dan korban. Dari segi pelaku yang masih dibawah umur, sebaiknya tidak harus dihukum dan apabila dikenakan hukuman sebaiknya hukuman tersebut dalam bentuk pidana
bersyarat atau percobaan. Maksud dari pidana bersyarat untuk pelaku anak, yaitu pelaku tidak melakukan perbuatan yang sama dalam waktu tertentu sesuai dengan keputusan hakim, dimana pelaku diserahkan kepada orang tuanya untuk dididik dan dibina baik mental maupun spiritual. Dedi Suhendri menyatakan anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor berkembang sangat pesat ditengah-tengah lingkungan masyarakat bahkan setiap bulan pun selalu ada saja pelaporan terhadap kasus anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor. Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang kurang peduli dan sikap acuh yang hidup dilingkungan masyarakat, bahkan sikap acuh yang berkembang ditengah-tengah masyarakat ini yang merupakan salah satu faktor utama merebaknya kasus pencurian kendaraan bermotor yang dilakukan oleh anak. Faktor-faktor anak melakukan membantu pencurian kendaraan bermotor karena, adanya faktor dari kurangnya kasih sayang dari orang tuanya, rendahnya tanggung jawab orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak tersebut dan juga dari pengaruh lingkungan, dimana kebebasan pergaulan akibat tidak adanya pengawasan oleh kedua orang tua. Pidana bagi anak dibawah umur yang berkonflik dengan hukum harus memperhatikan Pasal 64 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang secara tegas memberikan perlindungan dan perlakuan khusus baik selama proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan proses persidangan sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 41 sampai dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Bagi anak yang dijatuhi hukuman sebagai bentuk penerapan sanksi pidana, maka pidana penjara bagi anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 yaitu paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Bertitik tolak dari uraian diatas, terlihat bahwa penjatuhan pidana bagi pelaku anak membantu pencurian kendaraan bermotor harus dilaksanakan sesuai dengan prinsipprinsip perbaikan (restoratif justice) bagi anak itu sendiri. Walaupun penerapan peradilan terhadap pelaku yang masih dikatakan anak dibawah umur memang sudah sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan Anak. Akan tetapi, hal ini menimbulkan dampak dari proses peradilan yaitu secara positifnya, anak akan menjadi lebih baik dan dilihat dampak negatifnya dapat menghambat pendidikan, perkembangan dari pola pikir kedewasaan dan keterbelakangan mental, sehingga dengan kembalinya anak kelingkungan masyarakat, maka akan menimbulkan kesan jelek bagi anak tersebut. Untuk itu dalam proses penyidikan hendaknya dihindarkan dari hal-hal yang dapat merugikan anak. Kontak awal antara anak dan penyidik hendaknya terhindarkan dari penanganan yang berupa geretakan, kekerasan fisik dan sebagainya. Dalam kontak awal anak terhadap penyidik merupakan pangkal tolak dari terbentuknya pribadi anak, ia menjadi baik atau sebaliknya pada fase ini, oleh karena itu sangat diperlukan adanya
kesatuan khusus terlatih dalam menangani anak.
penyidik melayani
yang dan
Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Husaini yaitu dengan sengaja menyuruh 5 (lima) orang temannya untuk melakukan niatnya mencuri sepeda motor dan uang. Aparat hukum dalam kasus menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pembantu pencurian kendaraan bermotor dengan menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Perlindungan Anak, menunjukkan bahwa Pasal 365 jo 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tindak pidana membantu pencurian dan sanksi pidananya. Pada Pasal 56 KUHP dengan ketentuan hukuman pidana dikurangi sepertiga dari tuntutan. Penerapan sanksi pidana bagi anak dalam Pasal 56 tidak bisa ditelan mentah-mentah, maksudnya bagi anak yang berkonflik dengan hukum harus tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain sebagai perwujudan asas (lex spesialis derogate lex generalis) sebagaimana diamanatkan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika undang-undang ditentukan lain, Pasal 63 ayat 2 (dua) KUHP yang berbunyi Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis menyatahkan
bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku pembantu pencurian kendaraan bermotor, pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya atas perbuatannya karena memenuhi unsur-unsur suatu tindak pidana yaitu dilakukan dalam keadaan sehat jiwanya, mampu mengetahui bahwa perbuatan bertentangan dengan hukum serta mampu memenuhi kehendak sesuai dengan kesadarannya. Bahwa unsurunsur tindak pidana yaitu : perbuatan manusia, diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab. B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Anak yang Membantu Pencurian Kendaraan Bermotor Guntur Purwanto mengatakan bahwa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain, alat bukti, dakwaan jaksa, hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa selama proses persidangan berlangsung. Alat bukti dalam proses persidangan terdakwa Husaini antara lain terdiri dari : 1) Keterangan saksi; 2) Petunjuk; 3) Keterangan terdakwa 1. Keterangan saksi Definisi saksi dan keterangan saksi di dalam KUHAP terdapat pada Pasal 1 butir 26, Pasal 1 butir 27 dan
Pasal 185 ayat (1). Yang dikategorikan sebagai saksi ialah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 2. Alat bukti petunjuk Pasal 188 ayat (1) KUHAP memaparkan pengertian alat bukti petunjuk, bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 3. Alat bukti keterangan terdakwa Terdakwa dalam memberikan keterangan dipersidangan tidak diambil sumpah atau janji karena ia mempunyai hak ingkar, yakni hak untuk tidak memberikan keterangan yang memberatkan bagi dirinya sendiri. Pengakuan terdakwa saja tidak meniadakan upaya pembuktian dengan alat bukti lainnya. Walaupun terdakwa telah mengaku, proses pembuktian tetap harus dilanjutkan karena tujuan hukum pidana ialah mencari kebenaran materiil. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang sah ialah yang ia nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Yang diterangkan terdakwa saat pemeriksaan pendahuluan (di luar sidang) bukanlah alat bukti yang sah, dan hanya dapat digunakan untuk membantu bukti di sidang pengadilan dan hanya dapat digunakan terhadap terdakwa sendiri. Keterangan yang
diberikan terdakwa di persidangan dapat berupa pengakuan, dapat juga berupa penyangkalan atau penolakan terhadap dakwaan. Beberapa pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 124/Pid./2011/PT.TK. yaitu : a. Menimbang, bahwa berdasarkan alasan dan pertimbangan tersebut diatas maka putusan Pengadilan Negeri Kota Agung yang dimohonkan banding tersebut harus dibatalkan dan Pengadilan Tinggi akan mengadili sendiri perkara ini. b.
Menimbang, bahwa karena terdakwa terbukti bersalah dan tidak terdapat alasan-alasan yang dapat menghapuskan kesalahan dan meniadakan pemidanaan, maka terdakwa perlu dijatuhi pidana sesuai dengan kesalahannya.
c. Menimbang bahwa, oleh karena terdakwa ditahan dan terdakwa dinyatakan bersalah serta dijatuhi pidana, maka masa penahanan dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepadanya. Guntur Purwanto menjelaskan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam bentuk hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan sebagai berikut: 1. Adanya hal-hal yang meringankan; 2. Adanya hal-hal yang memberatkan; 3. Faktor dakwaan atau tuntutan Jaksa; 4. Motif dilakukan tindak pidana; 5. Akibat yang ditimbulkan.
III. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah di kemukakan, maka penulis akan memberikan kesimpulan sebagai hasil pembahasan tentang analisis pertanggungjawaban pidana anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 124/Pid./2011/PT.TK ialah : 1.
Pertanggungjawaban pidana terhadap anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 124/Pid./2011/PT.TK yaitu menyatakan Husaini telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu pencurian kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365 jo 55,56 KUHP, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa dengan pidana penjara 1 (satu) bulan 3 ( tiga) minggu, menetapkan bahwa lamanya terdakwa sebelum putusan ini mempunyai kekuatan huku tetap dikurangi seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan serata membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp 2000,- (dua ribu rupiah).
2. Dasar pertibangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap anak yang membantu pencurian kendaraan bermotor dalam putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 124/Pid./2011/PT.TK terdiri dari beberapa aspek yaitu tuntutan jaksa, alat bukti, hal-hal yang memberatkan serta hal-hal yang
meringankan. Hal-hal yang memberatkan antara lain bahwa perbuatan terdakwa tersebut meresahkan masyarakat, perbuatan terdakwa merugikan orang lain dan kemudian hal-hal yang meringankan terdakwa adalah masih berstatus anak di bawah umur, terdakwa bersikap sopan di dalam persidangan, terdakwa menyesali perbuatannya, serta terdakwa mengaku terus terang. DAFTAR PUSTAKA BUKU Sudarsono, 2008, Kenakalan Remaja: privensi, rehabilitasi, dan resosialisasi. Rineka Cipta, Jakarta. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). P.T. Bumi Aksara. Jakarta. Soekanto, Soerjono; Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, penerbitan Universitas Indonesia, 1986, cetakan ketiga. Tsunawaini Ats Fahd, 2011. Seni Mengatasi Problematika Anak. Surakarta. Wahyudi, Setya Wahyudi; Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Anak Di Indonesia. Genta Publishung, Yogyakarta, 2011. Andrisman, Tri 2009, Hukum Pidana. Buku Ajar. Universitas Lampung. Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana
Indonesia. Edisi Revisi. Ghalia Indonesia Jakarta. Muhammad, Abdulkadir 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Sudikno, Mertokusumo, Penerapan Uitvoerbaar. Universitas Indonesia. 2009. Barda Nawawi Arif. Sari Kuliah Hukum Pidana II. Fakultas Hukum Undip. 1984. Semarang.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. 2009. PT. Bumi Aksara. Jakarta.
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo UndangUndang Nomor 35 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.