ANALISIS PERBANDINGAN SISTEM PAJAK DI INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK
LIRA WIGIANA
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013
Lira Wigiana NIM H14090058
ABSTRAK LIRA WIGIANA. Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A. Peranan sektor perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sumber penerimaan dalam negeri terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Namun demikian, penerimaan pajak Indonesia masih belum optimal bila dilihat dari tax ratio dan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di Indonesia dibandingkan dengan Australia. Selain itu pembahasan lebih diperdalam dengan menganalisis bagaimana keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rentseeking serta pengaruhnya terhadap penerimaan pajak. Data yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya berupa jumlah penerimaan pajak, Indeks Demokrasi, Rangking Kemudahan Membayar Pajak, dan Indeks International Country Risk Guide (ICRG) tahun 2008-2011. Metode yang digunakan adalah analisis data panel pada 15 negara anggota G-20, termasuk Indonesia dan Australia, sehingga diperoleh model yang terbaik dengan Fixed Effect Model dengan pembobotan (cross section weights) dan white cross section. Hasil estimasi menunjukkan bahwa sistem pajak yang baik, demokrasi yang mapan, serta ketidakadaan rent-seeking berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan positif terhadap penerimaan pajak. Kata Kunci: Sistem Pajak, Demokrasi, Rent-Seeking, Data Panel
ABSTRACT LIRA WIGIANA. Tax System in Indonesia Comparison to Australia in Political Economics Analysis. Supervised by Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A. Tax plays an important role as a source to finance the development of the country, although if the tax ratio and the number of individual taxpayers in Indonesia are compared with other countries, the tax revenue in Indonesia is not optimal yet. This research aims to know about factor that can increase the number of individual taxpayers in Indonesia comparison to Australia. Furthermore the connection between tax system, democracy, and rent-seeking activity; also the effect to tax revenue are analysed. The method is Panel Data Analysis in 15 countries of G-20 include Indonesia and Australia. Data used in this research are tax revenue as percentage of GDP, Democracy Index, Paying Taxes Ranking, and International Country Risk Guide (ICRG) Index from 2008 until 2011. The best model is Fixed Effect Model with cross section weights and white cross section. The estimation shows that a good tax system, full democracies, and the absent of rent-seeking have a significant and positive effect to tax revenue. Keywords: Tax system, Democracy, Rent-Seeking, Panel Data
ANALISIS PERBANDINGAN SISTEM PAJAK DI INDONESIA DENGAN AUSTRALIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI POLITIK
LIRA WIGIANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi: Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik Nama : Lira Wigiana NIM: : H14090058
Disetujui oleh
Dosen Pembirnbing
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A.
Pembirnbing
Tanggal Lulus:
23 OCT 2013
Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik Nama : Lira Wigiana NIM : H14090058
Disetujui oleh Dosen Pembimbing
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A. Pembimbing
Diketahui oleh Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji dan syukur bagi Allah SWT karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Perbandingan Sistem Pajak di Indonesia dengan Australia dalam Perspektif Ekonomi Politik”. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul tersebut karena peranan penerimaan pajak terhadap APBD begitu besar, namun potensi penerimaan pajak belum optimal. Oleh karena itu penulis menganalisis sistem pajak melalui perspektif ekonomi politik dengan perbandingan negara lain yang sudah lebih maju. Selesainya skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan banyak pihak. Untuk itu, setulus hati penulis sampaikan terima kasih atas segala bantuan baik materi maupun non materi yang telah diberikan. Ucapan terima kasih dari penulis disampaikan kepada Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, S.E, M.S, D.E.A selaku pembimbing skripsi, Ibu Lukytawati Anggraeni, Ph.D selaku pembimbing akademik, serta Dr. Muhammad Findi dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si selaku penguji siding skripsi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, pendamping, dan teman-teman atas segala doa, kasih sayang, dan motivasi yang begitu besar. Akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran bagi kemajuan penulisan berikutnya. Penulis pun berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya.
Bogor, September 2013
Lira Wigiana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Perumusan Masalah
6
Tujuan Penelitian
8
Manfaat Penelitian
8
TINJAUAN PUSTAKA
9
Tinjauan Teori-Teori
9
Pengertian dan Konsep Pajak
9
Fungsi Pajak
10
Sistem Pemungutan Pajak
12
Kepatuhan Pajak
14
Reformasi Pajak
15
Pengertian dan Konsep Demokrasi
16
Keterkaitan Pajak dengan Demokrasi
17
Pengertian dan Konsep Rent-Seeking
18
Penelitian Terdahulu
20
Kerangka Pemikiran
21
METODOLOGI PENELITIAN
23
Wilayah Penelitian
23
Jenis dan Sumber Data
23
Metode Analisis Data
24
Analisis Deskriptif Kualitatif
24
Analisis Data Panel
24
Definisi Operasional
25
GAMBARAN UMUM
27
Republik Indonesia
27
Kondisi Geografis
27
Perekonomian
27
Politik dan Pemerintahan Negara Persemakmuran Australia
29 30
Kondisi Geografis
30
Perekonomian
31
Politik dan Pemerintahan
32
HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor-Faktor yang dapat Meningkatkan Jumlah WPOP di Indonesia, dengan Australia sebagai Reason Learn
34 34
Kebijakan Registrasi
34
Kedudukan Institusi Pajak
35
Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak
37
Keterkaitan antara Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking di Indonesia dibandingkan dengan Australia
39
Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking terhadap Penerimaan Pajak
47
Tahap Evaluasi Pemilihan Model
47
Pengujian Asumsi Klasik
47
Tahap Pemilihan Model Terbaik
49
KESIMPULAN DAN SARAN
52
Kesimpulan
52
Saran
52
DAFTAR PUSTAKA
54
LAMPIRAN
56
RIWAYAT HIDUP
66
DAFTAR TABEL 1.1 Penerimaan Pajak dalam Negeri Tahun 2009-2012
2
1.2 Tax Ratio berdasarkan OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) Model Tahun 2010
2
1.3 Tingkat Rasio antara Wajib Pajak Orang Pribadi Terdaftar dengan Angkatan Kerja Tahun 2005
4
4
Komparasi Kebijakan Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi
35
5
Tugas Dirjen Pajak dan ATO
36
6
Institusi Pajak dan Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi
39
7
Indeks ICRG Indonesia dan Australia Tahun 2002-2011
42
8
Indikasi Kerugian Negara Hasil Audit BPK Semester I 2008Semester I 2010
44
Negara-negara Berkembang dengan Arus Uang Haram Terbesar
45
10 Kerugian akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia
45
11 Nilai Korelasi Antarvariabel Bebas dalam Pengujian Multikolinearitas
48
12 Hasil Pengolahan dengan Weighting Fixed Effect Model untuk Menguji Heteroskedastisitas
49
13 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking terhadap Penerimaan Pajak di 15 Negara G-20 pada Tahun 2008-2011
49
14 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking terhadap Penerimaan Pajak di 6 Negara Berkembang G-20 pada Tahun 2008-2011
50
15 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking terhadap Penerimaan Pajak di 7 Negara Maju G-20 pada Tahun 2008-2011
51
9
DAFTAR GAMBAR Persentase Penerimaan Pajak terhadap Penerimaan Total APBN Indonesia Tahun 2005-2010
1
2
Hubungan Pendapatan Naional dengan Konsumsi dan Investasi
12
3
Kerangka Pemikiran
22
4
PDRB per Kapita Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 2008 atas Dasar Harga Berlaku
28
Peta Benua Australia
31
1
5
6
Indeks Demokrasi Indonesia 2009 dan 2010
40
7 Tax Ratio Indonesia Tahun 2008-2012
42
8 Penanganan TPK berdasarkan Jenis Perkara
43
9 Kriteria Pengujian Autokorelasi: Durbin Watson
48
DAFTAR LAMPIRAN 1 Data Negara Anggota G-20
56
2 Data untuk Analisis Data Panel (1)
57
3 Data untuk Analisis Data Panel (2)
58
4 Hasil Estimasi Pooled Least Square
59
5 Hasil Estimasi Fixed Effect Model
60
6 Hasil Estimasi Random Effects Model
61
7 Hasil Chow Test
62
8 Hasil Haussman Test
62
9 Hasil Uji Normalitas Data
63
10 Fixed Effect Model dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section
64
11 Kerugian akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia
65
PENDAHULUAN Pemerintah memerlukan sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, baik untuk pembiayaan rutin pemerintah maupun untuk pelaksanaan pembangunan. Salahsatu sumber pembiayaan tersebut berasal dari sektor pajak. Pemerintah mengalokasikan pajak diantaranya untuk membiayai pembangunan infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan. Peranan sektor perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sumber penerimaan dalam negeri mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Gambar 1 Persentase Penerimaan Pajak terhadap Penerimaan Total APBN Indonesia Tahun 2005-2010 Sumber: Mukhlis, I., dan Simanjutak, T. H. 2011. Pentingnya Kepatuhan Pajak dalam Meningkatkan Kesejahteraan Hidup Masyarakat. Proceeding Simposium Nasional Perpajakan III Road Map Reformasi Perpajakan Indonesia Menuju Good Governance. Hal. 6.
Gambar 1 merupakan penerimaan perpajakan dalam negeri sejak tahun 2005 hingga 2010 menunjukkan persentase penerimaan pajak berada pada kisaran angka sekitar 70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar penerimaan negara diperoleh dari penerimaan dalam negeri yang bersumber dari pajak, sedangkan sisanya diperoleh dari penerimaan negara yang berasal bukan dari pajak, seperti penerimaan Sumberdaya Alam, laba BUMN, surplus Bank Indonesia, dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU) dalam APBN. Penerimaan pajak dalam negeri dapat diperoleh dari jenis-jenis pajak seperti Pajak Penghasilan (PPh migas dan PPh nonmigas), Pajak Pertambahan Nilai (PPN dan PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan pajak lainnya. Berdasarkan jenis-jenis pajak tersebut, Pajak Penghasilan memiliki porsi terbesar dalam komponen penerimaan pajak nasional.
2 Tabel 2 Penerimaan Pajak dalam Negeri Tahun 2009-2012 (dalam Triliun Rupiah) Uraian 2009 PPh Migas 50,043.70 PPh Nonmigas 267,571.30 PPN dan PPnBM 193,067.50 PBB 24,270.20 BPHTB 6,464.50 Cukai 56,718.50 Pajak Lainnya 3,116.00 Total 601,251.70
2010 58,872.70 298,172.80 230,604.90 28,580.60 8,026.40 66,165.90 3,968.80 694,392.10
2011 65,230.70 366,746.30 298,441.40 29,057.80
2012 58,665.80 454,168.70 350,342.20 35,646.90
68,075.30 4,193.80 831,745.30
72,443.10 5,632.00 976,898.70
Sumber: Diunduh dari situs resmi Direktorat Jenderal Pajak. http://www.pajak.go.id/content/penerimaan-pajak-dalam-negeri-2009-2012.
Pada Tabel 1 menunjukkan penerimaan pajak terbesar di Indonesia selama kurun waktu tersebut sebagian besar masih diperoleh dari penerimaan pajak yang bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) Nonmigas. Jenis pajak PPh adalah jenis pajak langsung, sehingga model pengenaannya adalah langsung dipotong dari penghasilan subjek pajak atau Wajib Pajak. Walau demikian, penerimaan pajak Indonesia masih belum optimal bila dilihat dari perbandingan tax ratio di beberapa negara tetangga. Tabel 2 Tax Ratio berdasarkan OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) Model Tahun 2010 (dalam persen) Negara Tax Ratio Australia 25.60 Thailand 17.00 Malaysia 15.50 Indonesia 14.64 Filipina 14.64 India 10.90 Sumber: Rahmany, F. 17 Oktober 2012. Tax Ratio Indonesia Tinggi, ada Kesalahan Penghitungan Tax Ratio. http://www.pajak.go.id/node/4292?lang=en.
Tax Ratio dalam arti sempit hanya mencakup pajak pemerintah pusat dibagi Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Tax Ratio dalam arti luas (OECD) mencakup pajak pusat, pajak daerah, dan penerimaan SDA (bagi hasil) dibagi PDB. Dalam Tabel 2 merupakan perbandingan tax ratio pada tahun 2010 dimana tax ratio Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, atau Australia. Hal ini berarti penerimaan pajak di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Ketidakmampuan pemerintah mengoptimalkan penerimaan pajak menyebabkan utang terus berkelanjutan. Jumlah utang baru, hampir selalu lebih besar dari cicilan utang. Akumulasi utang mencapai Rp 1.937 triliun pada tahun 2012, artinya setiap penduduk Indonesia menanggung utang Rp 8 juta. 1 Akumulasi utang dan pendapatan rendah akan membawa Indonesia terjebak 1
Prastowo, J dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk. Prakarsa Policy Review. No. 2. Hal. 1.
3 dalam perangkap utang (debt trap). Penerimaan pajak Indonesia yang belum optimal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain dapat dilihat dari sisi teknis sistem pajak maupun sisi ekonomi politik yang mempengaruhi, seperti kondisi demokrasi dan rent-seeking behaviour di Indonesia. Dilihat dari sisi sistem pajak di Indonesia, sebagai upaya dalam meningkatkan peranan pajak, pemerintah Indonesia sejak tahun 1983 telah melakukan reformasi perpajakan yaitu dengan mengundangkan UU No.6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.28/2007 yang mengganti sistem perpajakan dari official assessment menjadi self assessment. Dengan ketentuan sistem self assessment, Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Sebagai perbandingan, salah satu negara tetangga sekaligus sesama anggota G-20 yaitu Australia pun menerapkan self assessment dalam sistem pemungutan pajaknya. Pemerintah hanya sekedar mengawasi, namun dikarenakan sistem yang sudah dibangun secara teratur maka para Wajib Pajak kecil kemungkinannya untuk tidak membayar pajak. Setiap orang yang tinggal di Australia untuk masa 183 hari atau lebih, orang yang telah memiliki visa permanent resident/Kewarganegaraan Australia, berumur mulai 18 tahun ke atas, serta memperoleh pendapatan di Australia wajib memiliki nomor pokok Wajib Pajak Australia/Australian Tax Number, disebut dengan TFN (Tax File Number) atau bila di Indonesia NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). TFN tersebut wajib diisikan ke formulir pengajuan kerja, karena perusahaan akan langsung memotong pajak dari gaji atau pendapatan pekerja tersebut.2 Kebijakan penerapan sistem perpajakan di Australia ditangani oleh dua departemen atau terpisah menjadi dua bagian fungsi, yakni untuk fungsi kebijakan ditangani oleh The Treasury dan fungsi administrasi ditangani oleh Australian Tax Office (ATO). Kebijakan perpajakan di Australia selalu dipantau dan dievaluasi setiap tahunnya oleh pemerintah sehingga pemerintah Australia selalu mengamandemen UU Perpajakan setiap tahun, dengan demikian jika terjadi permasalahan dalam penerapannya dapat segera diselesaikan dan tidak berlarutlarut. 3 Jenis-jenis pajak di Australia meliputi Individual Income Tax (Pajak Penghasilan Perorangan), Company Income Tax (Pajak Pendapatan Perusahaan), Payroll Tax (Pajak Gaji), Property Tax (Land Tax) (Pajak Properti dan Bangunan), Fringe Benefit Tax (Pajak Pendapatan Tambahan/Bonus), Goods & Services Tax (GST) (Pajak Barang dan Jasa), Excise (Cukai), Transfer Duty (Perpindahan Jabatan), dan Other Tax (Pajak Lainnya).4 Pada tahun 2012 di Australia terdapat sekitar 23,9 juta TFN yang terdaftar dan aktif. Dari jumlah ini sekitar 19,3 juta adalah Wajib Pajak Individu dan 1,8 juta adalah Wajib Pajak Badan. Dari 19,3 juta Wajib Pajak Individu, sebanyak 59,2 persen berasal dari migran permanen dan bukan penduduk asli (non-resident) dengan visa kerja. Oleh karena itu, Australian Tax Office (ATO) sangat fokus
2
Saleh, S. 2011. Sistem Perpajakan di Australia. Sharia Business Solution. http://sobisy.blogspot.com/2010/07/sistem-perpajakan-di-australia.html. 3 Ibid. 4 Situs resmi Australian Tax Office. http://www.ato.gov.au.
4 pada perbaikan sistem registrasi pajak demi kemudahan orang-orang asing dari berbagai negara yang akan tinggal dan bekerja di Australia.5 Tabel 3 Tingkat Rasio antara Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Terdaftar dengan Angkatan Kerja Tahun 2005
No.
Negara
Penduduk (Juta)
A. Negara OECD 1 Selandia Baru 2 Yunani 3 Spanyol 4 Finlandia 5 Australia B. Negara Non OECD 1 Argentina 2 Chile c. Indonesia (2004)
Angkatan WPOP Angkatan Kerja/ WPOP Terdaftar/ Kerja Terdaftar Penduduk Angkatan Kerja (Juta) (Juta) (Persen) (Persen)
4,1 11,1 42,7 5,2 20,1
2,1 4,6 20,2 2,6 10,2
5,1 10,72 37,6 4,8 17,04
51,22 43,24 47,31 50,00 50,75
242,9 223,3 286,1 184,2 167,1
38,6 15,1 220,6
15,34 6,3 105,80
0,9 1,6 2,38
39,74 39,1 47,96
42,9 25,4 2,24
Sumber: Siswahyudi. Mei 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi antara Indonesia dengan Australia. Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik. Vol. 12. No. 1. Hal. 43.
Tabel 3 merupakan hasil survei OECD pada tahun 2006 dengan menggunakan tenaga kerja sebagai benchmark, menunjukkan bahwa rasio antara jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Terdaftar dengan jumlah angkatan kerja pada negara-negara maju, termasuk Australia, mencapai lebih dari 40 persen, bahkan banyak yang mencapai rasio lebih dari 100 persen. Apabila Indonesia mengikuti model perhitungan OECD maka tingkat rasionya hanya mencapai 2,24 persen (masih sangat jauh tertinggal). Data di atas menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi penerimaan pajak yang jauh lebih besar apabila berhasil menjalankan program ekstensifikasi Wajib Pajak. Ekstensifikasi Wajib Pajak dan intensifikasi pajak merupakan program perpajakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan menambah jumlah Wajib Pajak Terdaftar, sedangkan intensifikasi pajak adalah kegiatan mengoptimalkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang telah terdaftar.6 Ekstensifikasi Wajib Pajak dapat berhasil apabila masyarakat memiliki kepatuhan dalam membayar pajak. Kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak sangat tergantung dari cara pemerintah memberikan pelayanan kepada negara. Rakyat sebagai warga negara memiliki kewajiban untuk membayar pajak, sebaliknya negara pun memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan publik yang baik kepada rakyat. Bila para pemimpin negara benar-benar mengurus
5
Commisioner of Taxation. 2012. Annual Report 2011-2012. Australian Tax Office. Hal. 39. Tunliu, J. J. A. 2010. Pengaruh Intensifikasi dan Ekstensifikasi terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Guna Mewujudkan Kemandirian Keuangan Daerah [Tesis]. Universitas Brawijaya. Malang. Hal. 6.
6
5 negara dengan melaksanakan prinsip demokrasi, tentunya rakyat akan mendukung demi kesejahteraan bersama. Demokrasi yang berarti kesetaraan dan partisipasi, maka demokrasi perpajakan dapat dimaknai sebagai terbangunnya sistem perpajakan yang menggambarkan adanya kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat pembayar pajak, sehingga memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat, sejak dari proses pembuatan kebijakan perpajakan, pengumpulan pajak, dan pemanfaatan uang pajak. Prinsip dari demokrasi yang paling penting adalah meletakkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.7 Dalam rangka memperoleh sistem perpajakan yang mencerminkan azas demokrasi, tentu akan diperlukan perangkat hukum dan penciptaan kondisi dimana rakyat/Wajib Pajak menyadari kewajiban mereka membayar pajak. Sistem perpajakan yang baik menurut Adam Smith dalam Irianto (2005), “…Empat prinsip perpajakan yang harus terpenuhi, yaitu keadilan (equality), kepastian (certainty), kenyamanan (convinience), dan efisiensi (efficiency). Hal penting lainnya adalah daerah dituntut untuk melaksanakan sistem perpajakan secara transparan, akuntabel dan efisien…”8 Indonesia masih harus bekerja keras membangun sistem perpajakan dan demokrasinya. Saat ini Indonesia masih berada dalam masa transisi demokrasi, yaitu demokrasi yang belum mapan, belum terkonsolidasi, masih terus mencari bentuk, dan karenanya demokrasi yang seperti itu menjadi sumber dari labilnya kehidupan politik. Pemerintah seharusnya lebih banyak belajar dari negara lain yang telah berhasil menjalankan demokrasi. Salahsatu negara tetangga yang dapat dijadikan contoh pembelajaran yaitu Australia.9 Australia merupakan salahsatu negara maju dengan tradisi demokrasi yang lebih mapan. Sistem pemerintahan Australia dibangun di atas tradisi demokrasi liberal, yakni berdasarkan nilai-nilai toleransi beragama, kebebasan berbicara dan berserikat, dan supremasi hukum. Lembaga-lembaga Australia dan praktik-praktik pemerintahannya mencerminkan model Inggris dan Amerika Utara, namun tetap memiliki ciri khas Australia.10 Demokrasi yang mapan antara lain dicirikan dengan adanya partisipasi masyarakat yang luas dalam setiap pengambilan kebijakan publik. Kebijakan publik, terutama yang melibatkan anggaran negara atau kebijakan mengenai sumberdaya publik/negara harus jelas manfaat dan biayanya. Transparansi publik dalam hal ini menjadi perhatian utama sekaligus sebagai pencegah timbulnya kesempatan rent-seeking. Menurut Yustika (2006), “…Rent-seeking (rent-seeking) dapat didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan
7
Thoha, M. 2003. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Radja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 63. 8 Irianto, E. S. dan Jurdi, S. 2005. Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara. UII Press. Yogyakarta. Hal. 97. 9 Sudibyo, B. Agustus 2012. Reformasi Pajak dalam Kerangka Reformasi Ekonomi-Politik di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Manajemen. Vol. 23. No. 2. Hal 16. 10 Situs resmi Kedutaan Besar Australia. http://www.indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/sistem_pemerintahan.html.
6 regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumberdaya yang dimiliki...”11 Hal ini berarti rent-seeking sebagai proses di mana individu memperoleh pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas, atau malah mengurangi produktivitas tersebut. Contohnya ialah adanya kasus penggelapan pajak di lingkungan institusi pajak maupun perusahaan. Salahsatunya kasus penggelapan pajak pada awal tahun 2010 yang dilakukan oleh salahsatu pegawai Direktorat Jendral Pajak yang diduga sebagai makelar kasus pajak, Gayus Tambunan. Ia terbukti menyalahgunakan uang pajak dalam jumlah yang sangat besar yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah.12 Selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan, rent-seeking juga dapat bertujuan untuk menghindari berkurangnya pendapatan. Seperti contohnya ialah penghindaran pajak oleh masyarakat. Penghindaran pajak merupakan usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat legal, sedangkan penggelapan pajak adalah usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat tidak legal. 13 Jika dianalogikan pajak dengan karcis tol, jika menggunakan jalan tol namun tidak membayar karcis tol, maka itulah penggelapan pajak. Jika menghindari untuk membayar karcis tol dengan cara memilih lewat jalan biasa, maka itulah penghindaran pajak. Di negara-negara berkembang banyak terjadi kasus penghindaran pajak. Hal ini dilakukan dengan cara tidak melaporkan, atau melaporkan namun tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, atas pendapatan yang bisa dikenai pajak. Penghindaran pajak ini telah membuat basis pajak atas pajak pendapatan menjadi sempit dan mengakibatkan begitu besarnya kehilangan potensi pajak yang dapat digunakan untuk mengurangi beban defisit anggaran negara.14
Perumusan Masalah Dalam APBN 2012, penerimaan pajak Indonesia diproyeksikan mencapai Rp 1.033 triliun. Meski terlihat besar, penerimaan tersebut sebenarnya masih rendah ditinjau dari nilai rasio pajak terhadap PDB. Rasio pajak Indonesia masih berkisar 12 persen terhadap PDB. 15 Indonesia kini termasuk dalam kategori negara pendapatan menengah-bawah dan rata-rata rasio pajak pada negara dalam kategori tersebut adalah sebesar 19 persen. 16 Berdasarkan kategori negara berpendapatan menengah-bawah, negara ini sebenarnya kehilangan potensi pajak
11
Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia Publishing. Jatim. Hal. 147. 12 Puteri, A. Y. 2012. Implikasi Kasus Gayus Tambunan dalam Kesadaran Wajib Pajak [Skripsi]. Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Jatim. Hal. 6. 13 Ibid. Hal. 5. 14 Budiman, J. dan Miharjo, S. 2012. Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance). S2 Ilmu Akuntansi UGM. Yogyakarta. Hal. 5-6. 15 Prastowo, J. dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk. Prakarsa Policy Review. No. 2. Hal. 5. 16 Ibid. Hal. 5.
7 sekitar Rp 512 triliun atau hampir 50 persen.17 Perkiraan konservatif International Monetary Fund (IMF), potensi pajak yang hilang juga lebih dari 40 persen.18 Kebijakan perpajakan bisa menjadi salahsatu cerminan dari demokratis atau tidaknya sebuah negara.19 Indonesia saat ini masih dalam masa transisi demokrasi dimana kondisi politik yang masih labil diperparah oleh belum dewasa dan matangnya para individu pemeran eksekutif, legislatif, dan yudikatif dari pilarpilar kekuasaan negara pada berbagai tingkatan. Hal ini terbukti dengan terungkapnya kasus-kasus rent-seeking di struktur elite tersebut yang sangat merugikan masyarakat. Berdasarkan laporan lembaga Transparency International pada Corruption Perceptions Index tahun 2010, Indonesia menempati urutan ke-110 dengan nilai 2,8 dari total 178 negara. Semakin tinggi nilai suatu negara (mendekati 10), maka semakin bersih negara tersebut dari korupsi. Angka 2,8 mencerminkan di Indonesia masih banyak terdapat tindak korupsi. Jika dikaitkan dengan kasus penyuapan, menurut survei yang dilakukan oleh lembaga Transparency International pada tahun 2008, pihak yang paling mudah disuap di Indonesia adalah pihak-pihak legislatif dengan nilai 4,1, menyusul di bawahnya adalah politisi dan polisi dengan nilai masing-masing sama yaitu 3,9 (skala nilai adalah 1-5, dengan ketentuan semakin besar nilai maka semakin mudah disuap). Reformasi perpajakan selama ini telah mencapai hasil yang baik, namun masih banyak kekurangan yang harus segera diperbaiki. Pencapaian ukuran keberhasilan pemungutan pajak masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, studi komparatif guna mempelajari prestasi negara maju sebagaimana tersebut diatas sangat diperlukan. Negara Australia dipilih dengan alasan: (i) merupakan negara tetangga sekaligus sesama anggota G20; (ii) rasio jumlah WPOP Terdaftar dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja mencapai 167,1 persen (Tabel 3); (iii) sumber data tersedia di internet dalam bahasa Inggris maupun Indonesia. Melihat uraian di atas juga merujuk pada latar belakang yang telah dibuat, maka perumusan masalah dari penelitian ini, yaitu: 1. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn? 2. Bagaimana keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rentseeking di Indonesia dibandingkan dengan Australia? 3. Bagaimana pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak?
17
Prastowo, J. dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk. Prakarsa Policy Review. No. 2. Hal. 5. 18 Website Detikfinance. http://finance.detik.com/read/2012/03/15/153359/1868373/4/menyakitkan-ri-banyak-ngutang-dankorupsi. 19 Irianto, E. S. 2012. Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Pajak di Indonesia. CV. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Hal. 17.
8 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dibuat, maka tujuan dari penelitian ini, yaitu: 1. Mengetahui faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn. 2. Mengetahui keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rentseeking di Indonesia dibandingkan dengan Australia. 3. Mengetahui pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Sebagai suatu kasus, isu, metodologi maupun temuan-temuan dari penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak yang efektif. 2. Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi kecukupan upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan menggunakan instrumen kebijakan ekstensifikasi Wajib Pajak. 3. Bagi masyarakat umum diharapkan menjadi sebuah wacana untuk melihat keefektifan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, dalam hal ini kebijakan sistem pajak, penyelengaraan demokrasi, dan fenomena rent-seeking. 4. Diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti selanjutnya dengan topik penelitian yang serupa, yaitu terkait kebijakan fiskal dan ekonomi politik.
9
TINJAUAN PUSTAKA Pajak memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber pendapatan negara untuk membiayai berbagai pengeluaran negara. Penelitian ini lebih berkonsentrasi pada analisis upaya meningkatkan penerimaan pajak melalui instrumen ekstensifikasi Wajib Pajak. Kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah Indonesia terkait dengan sistem pajak akan dibandingkan dengan Australia sebagai reason learn. Selanjutnya pembahasan akan lebih diperdalam dengan analisis ekonomi politik mengenai keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat penerimaan pajak.
Tinjauan Teori-Teori Pengertian dan Konsep Pajak Menurut Soemitro dinyatakan bahwa pajak adalah iuran masyarakat atau rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.20 Andriani dalam Soemitro juga menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung atau tidak langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. 21 Menurut Kamus Ekonomi, Uang, dan Bank, pajak adalah iuran wajib kepada negara berdasarkan undang-undang, untuk membiayai belanja negara dan sebagai alat untuk mengatur kesejahteraan dan perekonomian.22 Pengenaan pajak ini dilaksanakan sebagai sumber penerimaan negara terbesar. Target penerimaan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu ekstensifikasi pajak dan intensifikasi pajak. Ekstensifikasi pajak dilakukan dengan meningkatkan jumlah pembayar pajak (Wajib Pajak), sedangkan intensifikasi pajak yaitu meningkatkan nilai pajak itu sendiri. Sumber penerimaan pajak didapat dari dua jenis pajak yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak bisa dilimpahkan kepada Wajib Pajak lainnya. Contoh, pajak langsung yaitu Pajak Penghasilan dan Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak ini langsung terkait dengan penghasilan Wajib Pajak atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Wajib Pajak.23 Pajak tidak langsung adalah pajak yang bisa dialihkan ke pihak lain. Misalnya, Pajak Pertambahan Nilai 20
Soemitro, R. 1993. Pajak Penghasilan. Eresco. Bandung. Hal. 258. Ibid. Hal. 258. 22 Sahrani, A. dan Wijaya, D. 2003. Kamus Ekonomi, Uang, dan Bank. Restu Agung. Jakarta. Hal. 390. 23 Ralona, M. 2006. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Niaga Swadaya. Jakarta. Hal. 220. 21
10 dan Pajak Penjualan Barang. Sasaran pajak tidak langsung sebenarnya konsumen, sedangkan pengusaha terkena pajak hanya bertindak sebagai pemungut pajak.24 Penelitian ini akan menganalisis kebijakan ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Kemudian fokus pajak akan dipersempit dengan hanya melihat dari sumber penerimaan pajak langsung, khususnya Pajak Penghasilan (PPh). Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumberdaya dari sektor privat ke sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumberdaya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Definisi pajak menurut Undang-Undang Perpajakan No.28 tahun 2007 adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dari berbagai definisi tentang pajak di atas, terdapat beberapa aspek dasar, yaitu: a) Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang, b) Sifatnya dapat dipaksakan, c) Tidak ada kontraprestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak, d) Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah; dan e) Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum. Fungsi Pajak Nurmantu (2005) menyatakan bahwa pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi budgeter dan fungsi reguland. 25 Pajak berfungsi budgeter, yaitu untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, kemudian pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah. Fungsi reguland adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sebagai sumber pendapatan negara dan juga pendapatan daerah, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara maupun daerah. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin dan melaksanakan pembangunan membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Pemerintah mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka meningkatkan penanaman modal, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. 24 25
Ralona, M. 2006. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Niaga Swadaya. Jakarta. Hal. 222. Nurmantu, S. 2005. Pengantar Perpajakan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 28.
11 Kedua fungsi pajak di atas merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Misalnya, walaupun pajak berfungsi sebagai sumber pendapatan negara dan masyarakat, tetapi harus pula dipertimbangkan berbagai dampaknya pada masyarakat, baik berupa dampak sosial, ekonomi, budaya, maupun dampak lainnya, sebaliknya juga demikan. Apabila fungsi mengatur dari pajak akan dipakai untuk mencapai sasaran di bidang sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang lainnya, maka perlu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap penerimaan negara dari sektor pajak, di samping perlu analisis terlebih dahulu terhadap efektifitas penggunaan pajak untuk mencapai sasaran lain. Di antara kedua fungsi pajak, fungsi yang utama adalah pajak sebagai pengisi kas negara, sedangkan fungsi mengatur merupakan fungsi tambahan. Pajak adalah perpindahan uang dari masyarakat ke kas negara untuk membiayai pengeluaran umum. Fungsi lainnya berkaitan dengan manfaat dari pungutan tersebut bagi pemerintah, dalam mewujudkan sasaran pembangunan di bidang sosial, ekonomi, budaya, maupun bidang-bidang lainnya. Contoh fungsi mengatur adalah pemberian fasilitas pajak berupa tax holiday bagi badan-badan baru yang menanam modalnya di bidang produksi yang memperoleh prioritas pemerintah berdasarkan undang-undang. Meski demikian, dalam pandangan Burton dan Ilyas (2004) terdapat pula fungsi lain dari pajak yang saat ini mengemuka, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi. 26 Fungsi demokrasi menyatakan bahwa pajak merupakan salahsatu penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat. Sebagai implementasinya, pajak memiliki konsekuensi untuk memberikan hak timbal balik yang meskipun tidak diterima langsung, tetapi diberikan kepada warga negara pembayar pajak. Demikian selanjutnya, hingga pajak akan berfungsi redistribusi, yaitu mengimplementasikan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Bila pajak diterapkan dengan baik maka dapat dipastikan terjadi beberapa dampak pajak terhadap perekonomian dan berbagai aspeknya. Secara umum, struktur perekonomian (tanpa pajak) terdiri dari Pendapatan Nasional, Konsumsi, dan Tabungan. Bila seluruh tabungan digunakan untuk investasi, maka tidak akan pernah terjadi inflasi maupun deflasi. Tetapi, tidak semua tabungan digunakan untuk investasi sehingga berakibat pada kelesuan ekonomi, deflasi, dan pengangguran, atau sebaliknya, jumlah tabungan lebih rendah dari jumlah investasi, yang berakibat pada kegairan ekonomi dan inflasi. Gambar 2 menunjukkan hubungan antara tingkat Pendapatan Nasional (Y) dengan tingkat konsumsi (C) dan tingkat Investasi (I). Pada tingkat Pendapatan Nasional sebesar 0Y (S=I), perekonomian dalam keadaan seimbang, tidak ada inflasi maupun deflasi. Pada tingkat pendapatan 0Y1 (S
I), instrumen pajak digunakan untuk mengurangi pengaruh deflasi dengan menerapkan pajak atas tabungan. 26
Burton, R. dan Ilyas, W. B. 2004. Hukum Pajak. Salemba Empat. Jakarta. Hal. 9
12
Gambar 2 Hubungan Pendapatan Nasional dengan Konsumsi dan Investasi Sumber: Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Erlangga. Jakarta. Hal. 61
Dengan adanya pajak, pemerintah pusat memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga dalam jangka panjang inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, serta penggunaan pajak yang efektif dan efisien. Pajak yang sudah dipungut akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan. Sistem Pemungutan Pajak Menurut Norman D. Nowak dalam Nurmantu (2005), sistem perpajakan suatu negara terdiri dari tiga unsur, yakni Tax Policy, Tax Law, dan Tax Administration. Tax Administration selanjutnya dirinci menjadi The Institution (lembaga), The Persons who work there (para pegawai), dan The Procedure (prosedur perpajakan). 27 Kebijakan perpajakan (Tax policy) adalah kebijakan mengenai perubahan sistem perpajakan yang sesuai dengan perkembangan, tujuan ekonomi, politik, dan sosial pemerintah. Dengan adanya kebijakan perpajakan ini, pemerintah mengharapkan terjadi peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak, dalam rangka untuk mencapai kemandirian pembiayaan dan pembangunan. 28 Tax law atau hukum pajak yaitu suatu kumpulan peraturanperaturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. Produk hukum pajak berupa undangundang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, keputusan menteri keuangan, dan surat edaran Direktorat Jenderal Pajak. 27
Nurmantu, S. 2005. Pengantar Perpajakan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hal. 106. Prakosa, K. B. dan Malian, S. 2003. Pajak dan Retribusi Daerah. UII Press. Yogyakarta. Hal. 64.
28
13 Tax administration bertujuan agar sistem perpajakan yang dipilih suatu negara dapat dilaksanakan sepenuhnya. Administrasi pajak merupakan unsur yang langsung berkenaan dengan Wajib Pajak. Sistem administrasi pajak menjadi sorotan utama setelah ditemukannya berbagai penelitian yang menyebutkan bahwa begitu banyak kelemahan yang terdapat di dalamnya sehingga banyak praktek-praktek ilegal yang berlangsung di dalam pemungutannya, baik itu oleh aparatur pajak maupun pemilik kewajiban yaitu Wajib Pajaknya. Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke kas negara. Tjahjono dan Husein (1997) mengemukakan bahwa sistem perpajakan adalah sebagai berikut:29 a) Official Assesment System Adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menetukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. b) Self Assessment System Adalah susatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak, sehingga dengan sistem ini Wajib Pajak harus aktif dalam menghitung, menyetor, dan melapor ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). c) Witholding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang. Dasar pijakan sistem perpajakan tersebut adalah asas-asas perpajakan, yaitu equality, revenue productivity, dan ease of administration. 30 Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya ketiga asas perpajakan itu dipegang teguh dan dijaga keseimbangannya agar tercapai sistem perpajakan yang baik. Ketiga asas di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. 31 a) Equality Asas keadilan mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai manfaat yang diterimanya dari negara. b) Revenue Productivity Revenue productivity principle merupakan asas yang lebih menyangkut kepentingan pemerintah sehingga asas ini sering dianggap sebagai asas yang terpenting oleh pemerintah yang bersangkutan. Asas ini menyatakan bahwa jumlah pajak yang dipungut hendaklah memadai untuk keperluan menjalankan roda pemerintahan, tetapi hendaknya dalam implementasinya tetap harus diperhatikan bahwa jumlah pajak yang dipungut jangan sampai terlalu tinggi sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
29
Tjahjono dan Husein. 1997. Perpajakan. Akademika Manajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta. Hal. 39. 30 Mansury. 1996. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 3. PT Bina Rena Pariwara. Jakarta. Hal. 56. 31 Rosdiana, H. dan Tarigan, R. 2005. Perpajakan, Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hal. 34.
14 c) Certainty Principle (Ease of Administration) Asas ease of administration meliputi 4 hal, yaitu certainty, efficiency, convenience of payment, dan simplicity. Asas kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai pihak-pihak yang harus dikenakan pajak, objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar, dan bagaimana cara membayar. Asas kenyamanan menyatakan bahwa saat pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang memudahkan bagi pembayar pajak. Pemungutan pajak dikatakan efisien jika memiliki cost of compliance yang rendah. Kemudian dalam menyusun suatu undang-undang perpajakan, harus diperhatikan juga asas kesederhanaan agar masyarakat awam dapat memahami undang-undang tersebut. Asas revenue productivity dengan asas equality apabila dilihat dari kepentingannya berada dalam titik-titik ekstrim yang berbeda. Revenue productivity merupakan asas yang terkait dengan kepentingan pemerintah, sementara asas keadilan sangat terkait dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa suatu pemungutan pajak dikatakan optimal apabila dalam pemungutannya terpenuhi asas revenue productiviy dengan tetap menjaga keadilan dalam pemungutannya. Selain itu asas certainty principle (ease of administration) pun sangat penting karena prosedur pemungutan pajak yang rumit dapat menyebabkan Wajib Pajak enggan membayar pajak, dan bagi fiskus akan menyulitkan dalam mengawasi pelaksanaan kewajiban pajak. Kepatuhan Pajak Brooks (2001) menyebutkan bahwa terdapat tiga teori yang terkait dengan tax compliance, yaitu economic theories, psychological theories, dan sociological theories. 32 Secara garis besar, ekonomi dan psikologi melihat masalah tersebut dengan fokus perhatian pada aspek individual, sementara sosiologi lebih menekankan pada sistem sosial di mana individu itu berada. Teori ekonomi melihat adanya prinsip rasionalitas dan oportunistik yakni usaha untuk memaksimalkan keuntungan dengan biaya serendah mungkin. Maka, tingkat kepatuhan pajak berhubungan dengan tingkat keuntungan. Penghindaran pajak, misalnya, bisa diartikan sebagai cara untuk memperoleh keuntungan sebesarbesarnya. Selain itu ada sejumlah faktor psikologis terkait dengan tingkat kepatuhan pajak seseorang. Faktor itu adalah sikap, kecenderungan, kepercayaan, dan nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang. Ini juga terkait dengan moral. Selanjutnya, semua itu akan berpengaruh pada kebiasaan dan kecenderungan seseorang melakukan sesuatu, termasuk dalam memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak. Sementara itu, pendekatan sosiologis berfokus pada sistem sosial dimana individu berada. Ismawan (2001) mengemukakan prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. 33 Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment di mana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri 32
Brooks, N. 8 September 2001. Key Issues in Income Tax: Challenges of Tax Administration and Compliance. Asian Development Bank 2001 Tax Conference. www.adb.org/Documents/Events/2001/Tax_Conference/tax2001. 33 Ismawan, I. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Hal. 37.
15 kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemenelemen kunci menurut Ismawan (2001) adalah sebagai berikut.34 a. Program pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak. b. Prosedur yang sederhana dan memudahkan Wajib Pajak. c. Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif. d. Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil. Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam Sony (2006), sebagai ‘suatu iklim’ kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi sebagai berikut.35 a. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Reformasi Pajak Reformasi Perpajakan di Indonesia telah dilakukan pertama kali pada tahun 1983 dimana saat itu terjadi reformasi atau perubahan sistem mendasar atas pengelolaan perpajakan Indonesia dari sistem Official Assessment ke sistem Self Assessment. Perubahan sistem ini bertujuan untuk mengurangi kontak langsung antara Aparat Pajak dengan Wajib Pajak yang sebelumnya dikhawatirkan dapat menimbulkan praktek-praktek ilegal untuk menghindari atau mengurangi kewajiban perpajakan para Wajib Pajak yang bersangkutan. Reformasi perpajakan secara komprehensif sebagai satu kesatuan dilakukan terhadap tiga bidang pokok yang secara langsung menyentuh pilar perpajakan, yaitu: 36 a. Bidang Administrasi, yakni melalui reformasi administrasi perpajakan. Reformasi perpajakan di bidang administrasi dilakukan oleh Dirjen Pajak dengan melakukan peningkatan pelayanan perpajakan terhadap Wajib Pajak yang akan memenuhi kewajibannya. Untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama yang baik antara Wajib Pajak dengan Aparat Pajak. Wajib Pajak diharapkan untuk selalu memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik sedangkan Aparat Pajak diharapkan untuk selalu bekerja sesuai dengan moral dan kode etik perpajakan. b. Bidang Peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap UndangUndang Perpajakan. Dari aspek peraturan perpajakan, Dirjen Pajak terus mengupayakan pengembangan yuridis formal dan materil perpajakan. Langkah yang dilakukan yakni melalui penyesuaian dan pembaruan atau amandemen peraturan dan kebijakan perpajakan sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Reformasi 34
Ismawan, I. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Hal. 38. 35 Sony, D. dan Rahayu, S. K. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Prenada Media Group. Jakarta. Hal. 41. 36 Pandiangan, L. 2008. Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan berdasarkan Ketentuan Terbaru. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta. Hal. 96.
16 kebijakan perpajakan ini dilakukan untuk mewujudkan pemungutan pajak yang lebih efektif dan efisien sejalan dengan perkembangan dunia usaha sehingga lebih kompetitif. c. Bidang Pengawasan, dengan membangun bank data perpajakan nasional. Di bidang pengawasan dibangun Bank Data Perpajakan Nasional (BPDN) yang berfungsi untuk menyeimbangkan pelaksanaan sistem self assessment dengan official assessment dalam penghitungan dan penetapan besarnya pajak yang terutang. Selain itu, pembangunan BPDN juga bertujuan untuk melakukan kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan yakni kegiatan untuk menambah jumlah Wajib Pajak yang terdaftar sebagai upaya dalam peningkatan penerimaan negara. Reformasi perpajakan merupakan program pemerintah untuk meningkatkan kinerja Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Reformasi perpajakan dapat berbentuk reformasi kebijakan pajak dan/atau reformasi administrasi perpajakan. Reformasi perpajakan adalah perubahan mendasar di segala aspek perpajakan yang memiliki tiga tujuan utama, yaitu tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, dan produktivitas aparat perpajakan yang tinggi.37 Secara lebih lengkap, suatu sistem penerimaan negara yang mengurusi masalah pajak perlu direformasi dengan sedikitnya empat alasan utama. Pertama, ketika hukum dan kebijakan pajak menciptakan potensi peningkatan penerimaan pajak, jumlah aktual pajak yang mengalir ke kas negara tergantung pada efisiensi dan efektivitas administrasi penerimaan negara. Kedua, kualitas dari administrasi penerimaan pajak mempengaruhi iklim investasi dan pengembangan sektor swasta. Ketiga, administrasi perpajakan secara rutin kerap muncul dalam daftar teratas organisasi dengan kasus korupsi tertinggi. Keempat, reformasi perpajakan diperlukan untuk memungkinkan sistem perpajakan mengikuti perkembangan terbaru dalam aktivitas bisnis dan pola penghindaran pajak yang semakin canggih.38 Pengertian dan Konsep Demokrasi Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan cratein atau cratos yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti suatu sistem pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Ada satu pengertian mengenai demokrasi yang dianggap paling populer diantara pengertian yang ada. Pengertian tersebut dikemukakan pada tahun 1863 oleh Abraham Lincoln yang mengatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).39 Pemerintahan dari rakyat berarti pemerintahan negara itu mendapat mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan perintahan. Pemerintahan oleh rakyat berarti pemerintahan negara itu dijalankan oleh rakyat. Pemerintahan untuk rakyat berarti
37
Abimanyu, A. 2003. Reformasi Perpajakan. Salemba Empat. Jakarta. Hal. 42. Gill, J. B. S. Januari 2003. The Nuts and Bolts of Revenue Administration Reform. Hal. 5. 39 Lihat Ebestein, W. “Democracy” dalam Helsey, W. D. dan Johnston, B. 1998. Collier’s Encyclopedia. Macmillan Educational Company. New York. 1998. Vol. VIII. Hal. 75. 38
17 pemerintahan itu menghasilkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan yang di arahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Salahsatu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.40 Menurut Eko (2003), konsolidasi demokrasi merupakan proses politik yang terjadi pada level masyarakat.41 Konsolidasi demokrasi, menurut Laurence Whitehead dalam Eko (2003), mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi. 42 Demokrasi terkonsolidasi apabila aktor-aktor politik, partai, kelompok kepentingan, dan lainnya menganggap bahwa tindakan demokratis sebagai alternatif utama untuk meraih kekuasaan, dan tidak ada aktor atau kelompok yang mempunyai klaim veto terhadap tindakan pembuat keputusan yang sudah terpilih secara demokratis. Hal yang lebih penting yaitu konsolidasi demokrasi mencerminkan kuatnya demokrasi dalam budaya politik masyarakat. Oleh karena itu Robert Putnam dalam Eko (2003), menyatakan bahwa penguatan budaya politik demokratis merupakan kunci utama dalam konsolidasi demokrasi.43 Keterkaitan Pajak dengan Demokrasi Pajak dilihat dari perspektif politik dapat dimaknai sebagai investasi politik seorang warga negara kepada negara. Investasi dimaksudkan sebagai tabungan rakyat dalam rangka membantu negara dalam membiayai proyek-proyek politiknya, sehingga ada preferensi politik bagi warga negara yang bersangkutan dalam setiap proses politik yang diselenggarakan pemerintah. 44 Artinya, masyarakat pembayar pajak mempunyai hak suara atau dengan kata lain memiliki semacam 'otoritas’ untuk mengetahui pengalokasian pajak, terutama berkaitan dengan penentuan kebijakan negara terutama mengenai pengumpulan, pengadministrasian, dan pemanfaatan pajak. Pajak merupakan mekanisme transaksi antara negara dan rakyat dalam penghimpunan dana untuk kepentingan keuangan negara yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Menurut Schenepper's dalam Irianto (2005), secara teoritik perpajakan rawan konflik karena terdapatnya dua kutub kepentingan yang berlawanan.45 Kutub pertama adalah kepentingan negara yang menghendaki penerimaan pajak yang sebesar-besamya dan kutub kedua adalah kepentingan masyarakat pembayar pajak yang menghendaki untuk tidak membayar pajak atau membayar pajak yang sekecil-kecilnya. Menurut Irianto (2005), 40
Lihat Ebestein, W. “Democracy” dalam Helsey, W. D. dan Johnston, B. 1998. Collier’s Encyclopedia. Macmillan Educational Company. New York. 1998. Vol. VIII. Hal. 75. 41 Eko, S.. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia. APMD Press. Jakarta. Hal. 30. 42 Ibid. Hal. 31. 43 Ibid. Hal. 31. 44 Irianto, E. S. dan Jurdi, S.. 2005. Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara. UII Press. Yogyakarta. Hal. 18. 45 Ibid. Hal. 20.
18 “…Demokratisasi dalam pengelolaan pajak adalah pertama, terdapatnya mekanisme perpajakan yang dapat mengatasi konflik kepentingan antara Wajib Pajak dan pemerintah; kedua, adanya ruang yang memadai bagi partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan perpajakan; ketiga, terdapatnya perundang-undangan perpajakan yang mencerminkan adanya kesetaraan hukum antara Wajib Pajak dan pemerintah; dan keempat, terdapatnya perubahan pemusatan kekuasaan dari penguasa kepada rakyat yang ditandai oleh adanya akses masyarakat terhadap pengawasan pengelolaan uang pajak...”46 Sudah ada beberapa upaya untuk menegakkan demokrasi dalam sistem perpajakan nasional, seperti misalnya keluamya peraturan tentang pajak dan desentralisasi fiskal, dimana publik Wajib Pajak memiliki ruang untuk terlibat dalam proses pemanfaatan pajak. Jika demokrasi benar-benar ditegakkan, pada dasarnya pengelolaan konflik dilakukan melalui pemberlakuan peraturan secara adil, artinya peraturan itu diberlakukan kepada siapa saja tanpa diskriminasi.47 Pengertian dan Konsep Rent-seeking Adanya praktik lobi dalam politik yang tidak transparan memunculkan kesempatan bagi aktivitas rent-seeking. Hal ini berkaitan dengan kondisi demokrasi yang belum mapan, dimana masih terdapat adanya dorongan dan kekuatan politis yang dimiliki para pelakunya untuk meloloskan peraturan yang dapat meningkatkan kekayaan mereka.48 Hal ini menyebabkan sistem persaingan yang sehat tidak tercipta karena tatanan untuk membangun sistem bisnis yang jujur sengaja tidak diciptakan agar rent-seeking economy activity semakin luas. Sejak tahun 1967, teori mengenai rent-seeking ini dikembangkan oleh Tullock, dan istilah ‘rent’ disini berbeda dengan yang dimaksudkan oleh Adam Smith. Adam Smith membagi penghasilan (income) dalam tiga tipe, laba, upah dan sewa (profits, wages, and rents). Rents (sewa) adalah tipe termudah yang dapat diperoleh untuk menjadi penghasilan. Motivasi yang disebut sebagai ‘rentseeking’ dalam konteks ini adalah hal yang wajar.49 Pada saat itu konsep rent-seeking tidak dinilai secara negatif sebagai kegiatan ekonomi yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Perilaku rent-seeking justru dapat dinilai positif karena dapat memacu kegiatan ekonomi secara simultan, seperti halnya seseorang yang ingin mendapatkan laba maupun upah. Kegiatan mencari untung dimaknai netral pada saat itu, karena individu/kelompok memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi legal (menyewakan tanah, modal, dan sebagainya). Pendapatan individu yang diperoleh dari penyewaan setara dengan pendapatan karena menanamkan modal maupun menjual tenaga dan jasa. Di sisi lain dalam literatur ekonomi politik akhir-akhir ini konsep rent-seeking dianggap sebagai perilaku negatif. Asumsi yang dibangun dalam teori ekonomi politik yaitu setiap kelompok kepentingan berupaya untuk 46
Irianto, E. S. dan Jurdi, S. 2005. Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara. UII Press. Yogyakarta. Hal. 21. 47 Santoso, B. R. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung. Hal. 126. 48 Rachbini, D. J.1999. Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik. PT Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Hal.7. 49 Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayu Media Publishing. Malang. Hal. 140.
19 mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya dengan upaya sekecilkecilnya namun dengan cara-cara yang melanggar hukum dan bahkan merugikan kepentingan publik. Pada titik inilah seluruh sumberdaya yang dimiliki, seperti lobi, akan ditempuh demi mencapai tujuan tersebut.50 Kegiatan seperti lobi inilah yang dapat memicu timbulnya permasalahan. Jika hasil dari lobi tersebut berupa kebijakan, maka dampak yang muncul bisa sangat besar. Menurut Olson dalam Yustika (2006), proses lobi tersebut dapat berdampak besar karena mengakibatkan proses pengambilan keputusan berjalan sangat lambat dan ekonomi pada akhirnya tidak bisa merespon secara cepat terhadap perubahan-perubahan dan teknologi baru. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kegiatan rent-seeking dapat didefinisikan sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan regulasi pemerintah. Prasad dalam Yustika (2006), mendefinisikan rent-seeking sebagai proses di mana individu memperoleh pendapatan tanpa secara aktual meningkatkan produktivitas, atau malah mengurangi produktivitas tersebut.51 Menurut Michael Ross dalam Mauro (1997), rent-seeking dapat dibagi menjadi:52 a) Rent Creation, dimana perusahaan (firms) mencari keuntungan yang dibuat oleh negara dengan menyuap politisi dan birokrat. b) Rent Extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari perusahaan dengan mengancam perusahaan dengan peraturanperaturan. c) Rent Seizing, terjadi ketika aktor-aktor negara atau birokrat berusaha untuk mendapatkan hak mengalokasikan rent yang dihasilkan dari institusi-institusi negara untuk kepentingan individunya atau kelompoknya. Kasus rent-seeking di Indonesia dapat kita telusuri sejak masa pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu, terdapat persekutuan bisnis besar (yang menikmati fasilitas monopoli maupun lisensi impor) dengan birokrasi pemerintah. Dengan fasilitas tersebut, pemilik rent ekonomi memperoleh dua kentungan. Pertama, mendapatkan laba yang berlebih. Kedua, mencegah pesaing masuk dalam pasar. Dalam pengertian ini, perilaku rent-seeking dapat diartikan sebagai pengeluaran sumberdaya untuk mengubah kebijakan ekonomi, atau menelikung kebijakan tersebut agar dapat menguntungkan pihak rent-seeker. Fenomena dari rent-seeking ini kemudian berkembang dalam hubungannya dengan monopoli. Selanjutnya, rent-seeking menjadi bermakna suatu proses dimana seseorang atau sebuah perusahaan mencari keuntungan melalui manipulasi dari situasi ekonomi (politik, aturan-aturan, regulasi, tarif, dan sebagainya) daripada melalui perdagangan. Krueger dalam Perdana (2009), mengidentifikasi bahwa rent-seeking behaviour merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh badan pemerintah dengan melakukan berbagai hambatan (restriksi) melalui regulasi sehingga orang per
50
Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayu Media Publishing. Malang. Hal. 141. 51 Ibid. Hal. 143. 52 Mauro, P. 1997. Why Worry About Corruption. Economic Issues. International Monetary Fund. IMF Publication Services. Washington D. C. Vol. 6. Hal. 3.
20 orang harus bersaing untuk mendapatkan rent tersebut.53 Kadang-kadang bentuk rent-seeking tersebut legal, tetapi juga dapat dalam bentuk-bentuk lainnya, seperti penyuapan, korupsi, penyelundupan, dan pasar gelap. Perdana (2006) menyatakan bahwa, “…Rent-seeking memiliki terminologi yang luas. Ia mencakup berbagai jenis kegiatan; legal maupun ilegal, berdampak positif, negatif, maupun netral...”54 Korupsi adalah bentuk rent-seeking yang ilegal, sementara lobbying secara umum adalah legal (dalam kondisi tertentu). Legal tidaknya sebuah aktifitas rentseeking tidak berkaitan dengan apakah kegiatan itu menimbulkan kerugian bagi ekonomi. Sebagai contoh lobbying dapat menimbulkan kerugian karena ada sumberdaya yang hilang, yang mungkin bisa digunakan untuk kegiatan lain yang lebih produktif.55
Penelitian Terdahulu a) Siswahyudi (2008) meneliti tentang perbandingan regulasi registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi di Indonesia dan Australia. Dalam penelitian ini dilakukan perbandingan di bidang kepatuhan pajak antara Indonesia dengan Australia.56 b) Sudibyo (2012) melakukan penelitian tentang reformasi pajak dalam kerangka reformasi ekonomi politik di Indonesia. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa penegakan disiplin hukum perpajakan, penataan ulang tata pamong perpajakan, reformasi birokrasi pajak, dan penyederhanaan regulasi pajak akan berdampak pada meningkatnya ketaatan Wajib Pajak terkait dengan menurunnya rentseeking oleh fiskus.57 c) Prakosa (2003) melakukan penelitian mengenai analisis pengaruh kebijakan tax holiday terhadap perkembangan penanaman modal asing di Indonesia (tahun 1970-1999). Dalam penelitian tersebut ditemukan adanya kegiatan-kegiatan lobbying untuk mempengaruhi para pembuat undang-undang dan peraturan serta terutama sekali dapat mempengaruhi para birokrat. Insentif pajak, tarif khusus yang bersifat protektif, pengelakan tarif, dan berbagai jenis premium di bidang transaksi internasional dan transaksi lainnya merupakan contoh-contoh obyek kegiatan lobbying sehingga menimbulkan pergeseran pendapatan secara drastis untuk keuntungan para rent-seekers.58 d) Saidah (2011) melakukan analisis pengaruh belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana karakteristik dan perkembangan kinerja ekonomi 22 53
Perdana, A. A. 2009. Biaya Ekonomi dari Korupsi: Perspektif Teori dan Empiris dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal. 118. 54 Ibid. Hal. 118. 55 Ibid. Hal. 119. 56 Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi antara Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi Publik UGM. Yogyakarta. Hal. 4. 57 Sudibyo, B. Agustus 2012. Reformasi Pajak dalam Kerangka Reformasi Ekonomi Politik di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Vol. 23. No. 2. Hal. 87-103. 58 Prakosa, B. K. Juni 2003. Analisis Pengaruh Kebijakan Tax Holiday terhadap Perkembangan Penanaman Modal Asing di Indonesia (Tahun 1970-1999). Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 8. No. 1. Hal. 19-37.
21 kabupaten tertinggal di Pulau Sumatra pada tahun 2007-2009. Metode yang digunakan adalah analisis data panel pada 22 kabupaten tertinggal melalui tahap pengujian dengan asumsi klasik, kemudian Uji Chow dan Hausman, sehingga diperoleh model yang terbaik dengan Random Effect Model EGLS Weight cross-section SUR. Hasil penelitian menunjukkan bukti bahwa variabel fungsi belanja pelayanan umum dan lainnya, sebagai proksi dari konsumsi/belanja pemerintah, mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.59 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu: 1) Dalam penelitian ini menitikberatkan pada sistem pajak dari sisi ekonomi politik sehingga menjadi wacana baru dalam ilmu perpajakan yang selama ini didominasi oleh kajian-kajian ilmu ekonomi, ilmu hukum, dan ilmu administrasi. 2) Dalam penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn. Selain itu, penelitian ini akan menganalisis hubungan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking serta pengaruhnya terhadap penerimaan pajak.
Kerangka Pemikiran Indonesia dan Australia harus bekerja keras membangun tradisi dan kelembagaan demokrasi di negara masing-masing. Indonesia yang masih berada dalam masa transisi demokrasi seharusnya dapat lebih banyak belajar dari Australia sebagai negara maju dengan tradisi demokrasi yang lebih mapan. Konsolidasi demokrasi di Indonesia masih belum berhasil karena proses penguatan demokrasi masih terpusat pada struktur elite. Selain itu, belum berhasilnya reformasi birokrasi juga menjadi penghambat bagi pelaksanaan agenda demokratisasi. Kondisi politik yang tidak stabil ini akhirnya memberikan kesempatan bagi munculnya aktivitas rent-seeking. Tidak bisa dipungkiri, birokrasi yang ada di Indonesia menjadi sumber terjadinya kasus korupsi. Dampak korupsi dari segi ekonomi adalah memperlambat pertumbuhan ekonomi dari berbagai sektor, antara lain menurunkan penerimaan pajak. Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan self assessment dengan tujuan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Menurut data, kuantitas Wajib Pajak di Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan Wajib Pajak Australia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mencari faktor-faktor yang dapat meningkatkan kuantitas Wajib Pajak di Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn. Faktor-faktor tersebut dilihat dari segi perbedaan kebijakan registrasi, kedudukan institusi pajak, kebijakan ekstensifikasi, dan kepatuhan Wajib Pajak. Secara keseluruhan dari kerangka pemikiran di bawah ini dapat dilihat keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking serta pengaruhnya terhadap penerimaan pajak. Berikut ini adalah gambar kerangka pemikiran yang mencerminkan garis besar penelitian ini.
59
Saidah, N. 2011. Analisis Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tertinggal [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal. 3.
22
Gambar 3 Kerangka Pemikiran
23
METODOLOGI PENELITIAN Pada dasarnya penelitian ilmiah merupakan suatu proses belajar yang terarah. Peneliti harus bersifat objektif dalam mencari jawaban suatu permasalahan, dan prosedur yang dilakukannya harus jelas, sistematis, dan terkontrol. Secara umum, metodologi penelitian dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu atau studi mengenai sistem atau tata cara untuk melaksanakan penelitian. Hal yang dibahas adalah metode-metode ilmiah untuk melaksanakan kegiatan penelitian. 60 Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah. 61 Oleh karena itu metodologi penelitian adalah ilmu yang membahas tentang suatu kegiatan yang dilakukan untuk memecahkan masalah ataupun sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
Wilayah Penelitian Reformasi perpajakan di Indonesia pertama kali dilaksanakan pada tahun 1983, lalu reformasi kedua pada tahun 1994, lalu reformasi ketiga pada tahun 2000, dan reformasi keempat pada tahun 2007. Waktu amatan penelitian ini yaitu dimulai dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 karena tidak didapatnya data yang lengkap sebelum tahun 2008 dan setelah tahun 2011. Penelitian ini mengambil studi wilayah pada tingkatan nasional yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan unit pembanding negara Australia. Negara Australia dipilih dengan alasan: (i) merupakan negara tetangga sekaligus sesama anggota G-20; (ii) rasio jumlah WPOP Terdaftar dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja mencapai 167,1 persen (Tabel 3); (iii) sumber data tersedia di internet dalam bahasa Inggris maupun Indonesia. Untuk menggunakan analisis ekonometrika dibutuhkan lebih banyak jumlah negara yang akan dianalisis, sehingga dipilihlah negara-negara G-20. Negara-negara G-20 dipilih karena merupakan kelompok 19 negara dengan perekonomian besar di dunia ditambah dengan Uni Eropa. Karena faktor kelengkapan data, maka analisis hanya dilakukan pada 15 negara G-20, yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Brasil, Britania Raya, India, Indonesia, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Perancis, Rusia, dan Turki. Data mengenai negara-negara G-20 dapat dilihat pada Lampiran 1. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan pada penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung baik dari buku literatur, arsip-arsip, dan dokumen-dokumen yang dimiliki oleh instansi bersangkutan atau media lain. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia sehingga peneliti tinggal mencari dan mengumpulkan data.62 Dalam penelitian ini 60
Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB PRESS. Bogor. Hal. 24. Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Raja Grafindo Persada. Hal. 3. 62 Nariwati, U. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Teori dan Aplikasi. Agung Media. Bandung. Hal. 14. 61
24 data yang digunakan diantaranya berupa penerimaan pajak, Indeks Demokrasi, Rangking Kemudahan Membayar Pajak, dan Indeks International Country Risk Guide (ICRG) pada tahun 2008 sampai tahun 2011.
Metode Analisis Data Dalam menganalisis faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah WPOP di Indonesia, dengan Australia sebagai reason learn, serta untuk mengetahui keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking di Indonesia dibandingkan dengan Australia dilakukan melalui analisis deskriptif kualitatif. Untuk mengetahui pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak dilakukan melalui analisis ekonometrika yakni analisis data panel. Analisis Deskriptif Kualitatif Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif yaitu untuk mengetahui atau menggambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti sehingga memudahkan untuk mendapatkan data yang objektif. Tujuan penelitian melalui pendekatan kualitatif yaitu untuk memahami fenomena apa yang dialami oleh subjek penelitian, perilaku, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan fakta dan memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diteliti. Penelitian ini berusaha menguraikan keadaan sistem pajak Indonesia dan keterkaitannya dengan kondisi demokrasi saat ini. Selanjutnya pembahasan diperdalam dengan mengungkapkan rent-seeking di Indonesia dan Australia. Analisis Data Panel Hal yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak di negara-negara G-20, termasuk di dalamnya Indonesia dan Australia. Pendekatan yang dilakukan untuk mengestimasi model ini adalah pendekatan ekonometrika dengan metode analisis data panel (pooled data). Menurut Gujarati (2004), data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross section.63 Estimasi model menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap (fixed effect) dan metode efek random (random effect). Untuk menguji kesesuaian 63
Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zai [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Hal. 7899.
25 atau kebaikan model dari tiga metode pada teknik estimasi data panel digunakan Chow Test dan Hausmann Test. Chow Test digunakan untuk menguji kesesuaian model antara model yang diperoleh dari pooled least square dan model yang diperoleh dari metode fixed effect. Selanjutnya dilakukan Hausmann Test terhadap model terbaik yang diperoleh dari hasil Chow Test dengan model yang diperoleh dari metode random effect. Untuk menghasilkan model yang efisien dan konsisten, perlu evaluasi berdasarkan kriteria ekonomi apakah hasil estimasi terhadap model regresi tidak terjadi masalah heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. Selain itu, juga perlu dilihat seberapa baik model dalam mengestimasi, berdasarkan nilai koefisien determinasi.64 Perumusan model penelitian hubungan antara variabel sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak didasarkan pada alur hubungan yang dijelaskan pada tinjauan pustaka dan tergambar pada Gambar 3. Berdasarkan penelitian dan kerangka pemikiran sebelumnya, maka analisis data dibatasi pada empat variabel, yaitu variabel penerimaan pajak (TAXREVit), sistem pajak (TAXRANKit), demokrasi (DEMOCRit), dan rent-seeking (ICRGit). Adapun data yang diperoleh pada variabel-variabel tersebut berbeda satuan sehingga di-logaritmanatural-kan. Secara ekonometrika, hubungan antara variabel sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan berikut ini: TAXREV it 1 ln(TAXRANK it ) 2 (DEMOCRit ) 3 (ICRGit ) Dimana: = intercept 1, 2,3 = konstanta masing-masing variabel bebas = error term/derajat kesalahan model i = data cross section, yaitu 15 negara anggota G-20 t = tahun penelitian, yaitu dari tahun 2008 sampai 2011 TAXREVit = Penerimaan Pajak (persen) TAXRANKit = Sistem Pajak (indeks) DEMOCRit = Demokrasi (persen) ICRGit = Ketidakadaan Rent-seeking (persen). Definisi Operasional a) TAXREVit Penerimaaan pajak yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil persentase dengan Produk Domestik Bruto menurut Index of Economic Freedom yang diterbitkan oleh Heritage Foundation. Hal ini agar data penerimaan pajak dari berbagai negara dapat dibandingkan dengan setara. b) TAXRANKit Sesuai dengan tinjauan pustaka, sistem pajak yang dimaksud di dalam penelitian ini yaitu sistem pemungutan pajak. Sistem pemungutan pajak tersebut dalam penelitian ini dilihat dari aspek kebijakan registrasi, kedudukan institusi pajak, kebijakan ekstensifikasi, dan kepatuhan Wajib Pajak. Sistem pemungutan pajak ini diukur secara kuantitatif melalui Rangking Kemudahan Membayar Pajak (Paying Taxes). Ranking ini ditentukan oleh faktor jumlah pembayaran pajak, 64
Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zai [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Hal. 7899.
26 waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban perpajakan, dan total tarif pajak. Faktor jumlah pembayaran pajak terdiri dari faktor pembayaran pajak keuntungan, tenaga kerja, dan lain-lain. Faktor waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban perpajakan terdiri dari faktor waktu dari pajak pendapatan badan, tenaga kerja, dan konsumsi. Faktor tarif pajak terdiri dari faktor total tarif pajak keuntungan, tenaga kerja, dan lain-lain.65 c) DEMOCRit Demokrasi diukur secara kuantitatif melalui Indeks Demokrasi. Indeks Demokrasi diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit ditentukan berdasarkan lima kategori, yaitu proses pemilihan dan keberagaman, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Negara-negara tersebut dipisahkan berdasarkan empat tipe rezim yaitu full democracies, flawed democracies, hybrid regimes, dan authoritarian regimes.66 d) ICRGit Indeks International Country Risk Guide (ICRG) sering dipakai dalam berbagai penelitian untuk dapat mendeskripsikan keadaan rent-seeking di berbagai negara secara kuantitatif.67 Indeks ini ditentukan dengan menggunakan indikator Suara dan Akuntabilitas, Stabilitas Politik dan Ketidakadaan Kekerasan, Efektivitas Pemerintahan, Kualitas Peraturan, Peraturan Hukum, dan Kontrol terhadap Korupsi. Semakin tinggi indeks ICRG maka semakin rendah keberadaan rent-seeking di negara tersebut.
65
PwC dan The World Bank/IFC. 2013. Paying Taxes 2013: The Global Picture. Hal 161. Economist Intelligence Unit. 2011. Democracy Index 2010: Democracy in Retreat.. Hal 43. 67 Angelopoulos, K. 2008. Fiscal Policy, Rent-seeking, and Growth under Electoral Uncertainty Theory and Evidence from the OECD. University of Glasgow. United Kingdom. Hal. 21. 66
27
GAMBARAN UMUM Penelitian ini membahas keadaan sistem pajak, demokrasi, seeking di Indonesia dan Australia. Sesuai dengan fokus penelitian perspektif ekonomi politik oleh karena itu, berikut ini akan dibahas umum mengenai negara Indonesia dan Australia dilihat dari kondisi ekonomi, serta politik dan pemerintahan di masing-masing negara.
dan rentini dalam gambaran geografis,
Republik Indonesia Republik Indonesia adalah negara yang berada di Asia Tenggara dan juga dilintasi oleh garis khatulistiwa. Pernyataan secara resmi tentang negara Indonesia sebagai negara hukum terdapat di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Indonesia merupakan negara demokrasi yang dalam pemerintahannya menganut sistem presidensiil, dan Pancasila merupakan dasar dari demokrasi tersebut. Dasar negara ini, dinyatakan oleh Presiden Soekarno (Presiden Indonesia yang pertama) dalam Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kondisi Geografis Indonesia merupakan negara Kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, sehingga Indonesia juga disebut sebagai Nusantara. Indonesia memiliki luas daratan 1.922.570 km² dan luas perairan 3.257.483 km². Lima pulau besar yang terdapat di Indonesia yaitu Sumatera dengan luas 473.606 km2, Jawa dengan luas 132.107 km2, Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia) dengan luas 539.460 km2, Sulawesi dengan luas 189.216 km2, dan Papua dengan luas 421.981 km2. Selain memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia. Semua itu menunjukkan betapa besar potensi Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Indonesia terletak di garis khatulistiwa mempunyai iklim tropis. Perekonomian Gambar 4 menunjukkan Produk Domestik Regional Bruto per kapita provinsi-provinsi Indonesia pada tahun 2008 atas dasar harga berlaku. PDRB per kapita provinsi Kalimantan Timur mencapai Rp 100 juta sedangkan PDRB per kapita Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur kurang dari Rp 5 juta. Hal ini mencerminkan adanya ketimpangan pendapatan yang cukup besar di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia tidak seutuhnya mengadaptasi sistem ekonomi kapitalis, namun memadukannya dengan nasionalisme ekonomi. Pemerintah yang belum berpengalaman, masih ikut campur tangan ke dalam beberapa kegiatan produksi yang berpengaruh bagi
28 masyarakat banyak. Hal tersebut, ditambah pula kemelut politik, mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada ekonomi negara. 68
██ Lebih dari Rp.100 juta ██ Rp.50 juta ++ - Rp.100 juta ██ Rp.40 juta ++ - Rp.50 juta ██ Rp.30 juta ++ - Rp.40 juta ██ Rp.20 juta ++ - Rp.30 juta ██ Rp.10 juta ++ - Rp.20 juta ██ Rp.5 juta ++ - Rp.10 juta ██ Kurang dari Rp.5 juta
Gambar 4 PDRB per Kapita Provinsi-Provinsi di Indonesia Tahun 2008 atas Dasar Harga Berlaku Sumber: Badan Pusat Statistik. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia Oktober 2009. BPS. Jakarta. Hal. 134.
Pemerintahaan Orde Baru segera menerapkan disiplin ekonomi yang bertujuan menekan inflasi, menstabilkan mata uang, penjadwalan ulang hutang luar negeri, dan berusaha menarik bantuan dan investasi asing.69 Pada era tahun 1970-an harga minyak bumi yang meningkat menyebabkan melonjaknya nilai ekspor, dan memicu tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata yang tinggi sebesar 7 persen antara tahun 1968 sampai 1981. 70 Reformasi ekonomi lebih lanjut menjelang akhir tahun 1980-an, antara lain berupa deregulasi sektor keuangan dan pelemahan nilai rupiah yang terkendali,71 selanjutnya mengalirkan investasi asing ke Indonesia khususnya pada industri-industri berorientasi ekspor antara tahun 1989 sampai 1997. 72 Ekonomi Indonesia mengalami kemunduran pada akhir tahun 1990-an akibat krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Asia pada saat itu,73 yang disertai pula berakhirnya masa Orde Baru dengan pengunduran diri Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Saat ini ekonomi Indonesia telah cukup stabil. Pertumbuhan PDB Indonesia tahun 2004 dan 2005 melebihi 5 persen.74 Namun demikian, dampak pertumbuhan itu belum cukup besar dalam memengaruhi tingkat pengangguran, yaitu sebesar 9,75 persen.75 Tahun 2006, sebanyak 17,8 persen masyarakat hidup di bawah garis 68
Schwarz, A. 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. Hal. 52. Ibid. Hal. 53. 70 Ibid. Hal. 55. 71 Ibid. Hal. 57. 72 Indonesia: Country Brief. Indonesia: Key Development Data & Statistics. Hal. 34. 73 Bank Dunia. 2006. Poverty in Indonesia: Always with them. The Economist. Hal. 49. 74 The Economist. 2006. Indonesia: Forecast. Country Briefings. Hal. 13. 75 Badan Pusat Statistik Indonesia. 2008. Beberapa Indikator Penting Mengenai Indonesia (PDF) (dalam Bahasa Indonesia). Hal. 5. 69
29 kemiskinan, dan terdapat 49,0 persen masyarakat yang hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 per hari.76 Indonesia mempunyai sumberdaya alam yang besar di luar Jawa, termasuk minyak mentah, gas alam, timah, tembaga, dan emas. Indonesia pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia, meski akhir-akhir ini telah mulai menjadi pengimpor bersih minyak mentah. Hasil pertanian yang utama termasuk beras, teh, kopi, rempah-rempah, dan karet.77 Sektor jasa adalah penyumbang terbesar PDB, yang mencapai 45,3 persen untuk PDB 2005. Sektor industri menyumbang 40,7 persen, dan sektor pertanian menyumbang 14,0 persen. 78 Meskipun demikian, sektor pertanian mempekerjakan lebih banyak orang daripada sektorsektor lainnya, yaitu 44,3 persen dari 95 juta orang tenaga kerja. Sektor jasa mempekerjakan 36,9 persen, dan sisanya sektor industri sebesar 18,8 persen. 79 Rekan perdagangan terbesar Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara tetangga yaitu Malaysia, Singapura dan Australia. Politik dan Pemerintahan Bentuk Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik atau lebih dikenal dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan ini tertuang di UUD 45 pasal 1. Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan bentuk negara yaitu bentuk negara Federal, Kesatuan atau sistem pemerintahan yang parlementer, Semi-Presidensil, dan Presidensil. Menurut pidato Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 17 Agustus 2007 dikatakan bahwa bentuk negara Indonesia yang paling tepat adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Empat pilar utama yang menjadi nilai dan konsensus dasar yang selama ini menopang tegaknya Republik Indonesia adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD yang anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya masingmasing. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah lembaga tertinggi negara. Setelah amandemen ke-4, MPR bukanlah lembaga tertinggi lagi. Keanggotaan MPR berubah setelah Amandemen UUD 1945 pada periode 1999-2004. Seluruh anggota MPR adalah anggota DPR, ditambah dengan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah). 80 Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu dan 76
Bank Dunia. Making the New Indonesia Work for the Poor - Overview (PDF). Hal. 17. Indonesia - The World Factbook. Hal. 46. 78 Economic and Social Commission for Asia & the Pacific. 2004. Official Statistics and its Development in Indonesia (PDF). Sub Committee on Statistics: First Session. Hal. 19. 79 Bank Dunia. Indonesia at a Glance (PDF). Indonesia Development Indicators and Data. Hal. 30. 80 Portal Nasional RI. Politik dan Pemerintahan. http://www.indonesia.go.id/in/sekilasindonesia/politik-dan-pemerintahan 77
30 dilantik dalam masa jabatan lima tahun. Sejak 2004, MPR adalah sebuah parlemen bikameral, setelah terciptanya DPD sebagai kamar kedua. Sebelumnya, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan. MPR saat ini diketuai oleh Sidarto Danusubroto. Anggota MPR saat terdiri dari 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD. DPR saat ini diketuai oleh Marzuki Alie, sedangkan DPD saat ini diketuai oleh Irman Gusman. Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden saat ini yang diusung oleh Partai Demokrat juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia. Pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh Menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya). Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap dipertahankan.
Negara Persemakmuran Australia (Commonwealth of Australia) Negara Persemakmuran Australia atau Commonwealth of Australia adalah benua dengan luas 7,74 juta kilometer2, yang terdiri dari satu negara serta merupakan pulau terbesar dan sekaligus benua terkecil di dunia. Benua Australia pertama kali ditemukan oleh para pelaut Eropa yang dipimpin oleh James Cook pada abad ke-18, para pendatang yang mayoritas berasal dari Inggris dan Irlandia ini membentuk koloni-koloni di tengah penduduk asli Aborigin di benua Australia. Pada tanggal 1 Januari 1901, koloni-koloni tersebut bersatu dalam sebuah Federasi, dan terbentuklah Negara Persemakmuran Australia (Commonwealth of Australia) dengan ibukota Canberra yang terletak di Australian Capital Territory, sedangkan kota terbesar dan tertua adalah Sydney, ibukota negara bagian New South Wales. Selama satu abad sejak Federasi Australia terbentuk, Australia hampir selalu terperangkap dalam perdebatan panjang tentang jati diri yang bermuara pada persoalan sejarah dan geografisnya. Pada satu sisi, Australia melihat dirinya sebagai bangsa keturunan Anglo Saxon yang memiliki keterikatan sejarah, bahasa, sosial-budaya, ekonomi, dan emosi kepada Inggris dan Amerika Serikat. Di sisi lain, Australia merupakan sebuah negara benua yang secara geografis terletak di Asia. Faktor sejarah dan geografis ini pada kenyataan telah mempengaruhi cara pandang Australia. Kondisi Geografis Benua Australia membentang dari garis lintang 10o 41'LS sampai garis lintang 43o 39'LS dan dari garis bujur 113o 09'BT sampai 153o 39'B. Australia secara garis besar terdiri dari enam negara bagian dan dua wilayah. Keenam negara bagian tersebut adalah New South Wales, Victoria, Queensland, Australia
31 Barat, Australia Selatan dan Tasmania. Kedua wilayah tersebut adalah wilayah Australia Utara, dan wilayah ibukota Australia. Australia terletak di belahan bumi bagian selatan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Australia juga memiliki garis pantai sepanjang 36.735 km dan saling berbagi lautan dengan tetangga-tetangganya yang terdekat, yakni Indonesia dan Papua Nugini. Australia terletak di sebelah tenggara Indonesia. Pada titik batasnya yang terdekat, Australia dan Indonesia hanya terpisah beberapa kilometer saja.
Gambar 5 Peta Benua Australia Sumber: Diunduh dari situs resmi Pemerintah Australia. http://www.dfat.gov.au/aii/publications/pengantar/index.html
Perekonomian Australia menganut sistem ekonomi pasar dengan PDB per kapita yang tinggi dan angka kemiskinan yang rendah. Dolar Australia adalah satuan mata uang negara ini, termasuk pula Pulau Natal, Kepulauan Cocos (Keeling), dan Pulau Norfolk, juga negara-negara kepulauan Pasifik yang merdeka, yakni Kiribati, Nauru, dan Tuvalu. Setelah penggabungan Australian Stock Exchange (Bursa Efek Australia) dan Sydney Futures Exchange pada tahun 2006, kini Bursa Efek Australia menjadi bursa saham terbesar ke-9 di dunia.81 Menempati peringkat ketiga dalam Indeks Kebebasan Ekonomi pada tahun 82 2010, ekonomi Australia menjadi terbesar ke-13 di dunia dan memiliki PDB per kapita terbesar ke-9 di dunia, lebih tinggi daripada Britania Raya, Jerman, Perancis, Kanada, Jepang, dan Amerika Serikat. Negara ini menduduki peringkat kedua dalam Indeks Pembangunan Manusia PBB Tahun 2010 dan menduduki peringkat pertama dalam hal Indeks Kemakmuran yang diterbitkan oleh Legatum pada tahun 2008.83 Penguatan ekspor komoditas, terutama barang-barang manufaktur telah mendukung kenaikan signifikan rasio perdagangan Australia sejak awal abad ini, 81
Bursa Efek Australia (PDF). Penyusunan Ulang Bursa Saham Internasional dan Tren yang Berkaitan dalam Pengaturan-Sendiri. Hal. 21. 82 Australia. 2010. Indeks Kebebasan Ekonomi Tahun 2010. Hal.4. 83 Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2010. Laporan Pembangunan Manusia - tabel. Hal. 9.
32 karena naiknya harga komoditas. Australia memiliki neraca pembayaran yang negatif lebih dari 7 persen dari PDB, defisit current account ini telah terjadi selama lebih daripada 50 tahun. 84 Rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan Australia adalah sebesar 3,6 persen selama 15 tahun, pembandingnya adalah ratarata tahunan OECD sebesar 2,5 persen.85 Pada 1980-an, Partai Buruh, dipimpin oleh Perdana Menteri Bob Hawke dan Bendahara Paul Keating, memulai proses modernisasi ekonomi Australia dengan mengambangkan dolar Australia pada 1983, dan mengatur sistem keuangan. 86 Sejak 1996, pemerintahan Howard telah melanjutkan proses reformasi ekonomi mikro, termasuk deregulasi sebagian dari pasar tenaga kerja dan swastanisasi BUMN, terutama industri telekomunikasi. Reformasi dalam sistem pajak tidak langsung dilakukan pada Juli 2000 dengan diperkenalkannya pajak barang dan jasa (goods and service tax/GST) sebesar 10 persen yang sedikit mengurangi ketergantungan terhadap pajak pemasukan orang pribadi dan badan, yang melambangkan sistem pajak Australia.87 Ekonomi Australia tidak mengalami resesi sejak awal 1990-an. Pada Juli 2005, pengangguran masih dalam kisaran 5 persen. Sektor jasa, termasuk pariwisata, pendidikan, dan jasa finansial membentuk 69 persen dari PDB. Pertanian dan sumberdaya alam hanya membentuk 3 persen dan 5 persen dari PDB, tapi cukup banyak membantu dalam ekspor Australia. Pasar ekspor terbesar Australia ialah Jepang, Cina, AS, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Masalah yang masih menjadi perhatian para ekonom yaitu adanya defisit anggaran (current account deficit) dan juga tingkat hutang luar negeri bersih (net foregin debt) yang tinggi. Politik dan Pemerintahan Australia memiliki monarki konstitusional dengan pembagian kekuasaan federatif. Pemerintah Australia juga menganut sistem parlementer dengan Ratu Elizabeth II sebagai puncak kepemimpinannya, yakni sebagai Ratu Australia, suatu peran yang berbeda dengan kedudukannya sebagai ratu bagi Dunia Persemakmuran lainnya. Ratu menetap di Britania Raya, dan ia diwakili oleh utusan yang menetap di Australia, (Gubernur Jenderal pada level federal dan oleh Gubernur pada level negara bagian), yang menurut konvensi bertindak menurut nasehat menteri-menterinya. Otoritas eksekutif tertinggi berada pada Konstitusi Australia, tetapi kekuasaan untuk menjalankannya diserahkan (menurut konstitusi) kepada Gubernur Jenderal. 88 Pelaksanaan kekuasaan cadangan Gubernur Jenderal di luar permintaan Perdana Menteri adalah pembubaran Pemerintah Whitlam ketika terjadi krisis konstitusional 1975.89 Terdapat tiga cabang pemerintahan di Australia, yaitu legislatur, eksekutif, dan judisial. Legislatur yaitu Parlemen Australia yang terdiri dari Gubernur84
The Economist. Mungkinkah ekonomi Australia berbalik menjadi lebih baik? Hal. 5. Ibid. Hal. 5. 86 Macfarlane, I. J. October 1998. Kebijakan Moneter Australia pada Seperempat Terakhir Abad ke-20 (PDF). Buletin Bank Sentral Australia. Hal. 18. 87 Parham, D. 1 October 2002. Reformasi ekonomi mikro dan kebangkitan pertumbuhan ekonomi Australia dalam hal produktivitas dan standar kehidupan (PDF). Conference of Economists Adelaide. Hal. 17. 88 Gubernur Jenderal Australia. 2008. Peran Gubernur Jenderal. Hal. 29. 89 Downing, S. 1998. Kekuasaan Cadangan Gubernur Jenderal. Parlemen Australia. Hal. 14. 85
33 Jenderal, Senat, dan Dewan Perwakilan. Eksekutif yaitu Dewan Eksekutif Federal, praktisnya adalah Gubernur-Jenderal yang dinasehati oleh Perdana Menteri dan Menteri-Menteri Negara. 90 Judisial yaitu Mahkamah Agung Australia dan pengadilan-pengadilan federal lainnya, yang para hakimnya diangkat oleh Gubernur-Jenderal berdasarkan nasehat Dewan. Ada dua kelompok politik utama yang membentuk pemerintahan, di level federal maupun negara bagian yaitu Partai Buruh Australia, dan Koalisi yang merupakan pengelompokan resmi Partai Liberal Australia dan mitra kecilnya, Partai Nasional Australia. 91 Anggota-anggota independen dan beberapa partai kecil, termasuk di antaranya Partai Hijau Australia dan Partai Demokrat Australia, memiliki wakilnya di parlemen Australia, terutama di majelis tinggi.
90 91
Central Intelligence Agency. 2009. The World Factbook 2009. Washington D.C. Hal 54. Australian Broadcasting Corporation. Daftar Istilah Pemilihan Umum. Hal. 27.
34
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum mengenai negara Indonesia dan Australia dengan fokus pada kondisi geografis, perekonomian, dan politik dan pemerintahan. Pada bab ini akan mempelajari sistem pajak di Australia sehingga didapatkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) di Indonesia. Setelah itu diperdalam dengan melihat keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking serta pengaruhnya terhadap penerimaan pajak.
Faktor-Faktor yang Dapat Meningkatkan Jumlah WPOP di Indonesia, dengan Australia sebagai Reason Learn Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, faktor-faktor yang dapat meningkatkan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) di Indonesia dapat dilihat melalui berbagai macam aspek. Dalam penelitian ini dibatasi menurut tiga aspek saja, yaitu kebijakan registrasi, kedudukan institusi pajak, dan kebijakan ekstensifikasi Wajib Pajak. Ketiga aspek tersebut akan dipelajari dari Australia yang telah memiliki sistem pajak yang baik, sekaligus sebagai bahan pembelajaran bagi perbaikan sistem pajak di Indonesia. Kebijakan Registrasi Perpajakan di Australia berbasis individual-based taxation principle, yaitu kewajiban perpajakan diberlakukan pada setiap orang. Faktor ini turut mempengaruhi tingginya jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi Terdaftar di Australia. Indonesia menganut family-based taxation principle, yaitu kewajiban pajak orang pribadi dipenuhi oleh kepala keluarga. Pada negara maju anggota OECD terjadi kecenderungan perubahan sistem perpajakan menjadi berbasis individu kecuali Perancis.92 Bagi Wajib Pajak di Australia yang tidak bisa menunjukkan TFN miliknya pada pemberi penghasilan (majikan/lembaga keuangan) akan dipotong penghasilannya dengan tarif tertinggi (46,5 persen), bukan tarif yang berlaku normal. Hal ini memaksa penduduk Australia untuk memiliki TFN. Bila dilihat dari sisi prosedur pendaftaran, NPWP relatif lebih mudah dibandingkan pendaftaran TFN. Hal ini bisa dilihat bahwa pendaftaran untuk memperoleh NPWP bagi Wajib Pajak di Indonesia bisa dilakukan secara online melalui internet, kartu NPWP diselesaikan dalam jangka waktu hari kerja berikutnya, dan bukti identitas cukup fotokopi saja. Dari sisi bentuk formulir pendaftaran NPWP, Indonesia menganut konsep one for all, yaitu formulir KP.PDIP.4.1-00 digunakan untuk pendaftaran semua jenis Wajib Pajak (baik Orang Pribadi, Badan, maupun Bendaharawan). Informasi yang ditanyakan kepada Wajib Pajak merupakan informasi yang bersifat umum, bahkan informasi tersebut sebenarnya bisa diperoleh dengan cara menyalin data KTP. Tidak ada pertanyaan yang bersifat menggali (eksplorasi) tentang latar 92
Zee, H.H. 2005. Personal Income Tax Reform: Concepts, Issues, and Comparative Country Development. Hal. 49.
35 belakang Wajib Pajak. Hal ini berbeda dengan bentuk formulir yang digunakn untuk pendaftaran TFN. Di Australia digunakan bentuk formulir pendaftaran TFN yang berbeda-beda dengan pertanyaan yang disesuaikan dengan jenis Wajib Pajaknya (Individual dan Badan). Oleh karena itu, ATO dapat memiliki basis data tentang Wajib Pajak secara lengkap. Tabel 4 Komparasi Kebijakan Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi
Sumber: Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi antara Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi Publik UGM. Yogyakarta. Hal. 6.
Bukti identitas yang diajukan oleh pemohon NWP cukup fotokopi KTP/Paspor, sedangkan di Australia pemohon TFN harus melampirkan dokumen identitas asli (antara lain: akta kelahiran, sertifikat kewarganegaraan, paspor, dll). Persyaratan permohonan NPWP yang cukup hanya dilampiri dengan fotokopi KTP menimbulkan masalah karena tidak adanya validasi atas identitas diri dari pemohon NPWP. Kedudukan Institusi Pajak Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya mebentuk institusi-institusi baik yang bersifat pembuat kebijakan, penegakan hukum, maupun pemberian pelayanan masyarakat. Dalam Pasal 16 Perpres No.10/2005 sebagaimana diubah terakhir dengan Perpres No.63/2003 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa kedudukan Direktorat Jenderal Pajak merupakan “Unit Eselon I di Departemen Keuangan” dengan tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perpajakan. Dalam kurun waktu terakhir ini ada wacana agar Dirjen Pajak ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Hal ini merupakan wacana yang tidak berlebihan mengingat tugas berat Dirjen Pajak untuk mengumpulkan pajak dengan tingkat kontribusi pada APBN melebihi 70
36 persen. Keberadaan LPND diatur dalam Kepres 103/2001 jo Prepres 64/2005. Pasal 1 Perpres tersebut menyatakan bahwa LPND merupakan lembaga pemerintah pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden, berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Bila terjadi peningkatan status ini diharapkan kinerja Dirjen Pajak dapat melakukan koordinasi dengan instansi lain dengan lebih baik, sehingga tax ratio Indonesia akan bisa ditingkatkan, disamping itu penerimaan pajak dalam APBN dapat terealisasikan dengan aman. Tabel 5 Tugas Dirjen Pajak dan ATO Dirjen Pajak
ATO
Sumber: Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi antara Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi Publik UGM. Yogyakarta. Hal. 8.
Kedudukan ATO di Australia merupakan lembaga yang bersifat unifiedsemi autonomous body. Commisioner sebagai pimpinan ATO mempertanggungjawabkan kinerjanya langsung ke parlemen. Meskipun ATO termasuk bagian Departemen Kuangan, dan Menteri Keuangan bertanggung jawab terhadap kebijakan dan administrasi perpajakan dan pendanaan ATO, Commissiner sebagai pimpinan ATO mempunyai kebebasan penuh dan tidak tunduk pada arahan Menteri. Ia bertanggung jawab langsung ke parlemen atas tanggungjawabnya terhadap administrasi umum dari hukum pajak, dan juga
37 keseluruhan pekerjaan dari ATO. Pemerintah Australia sampai sekarang masih memiliki pendapat yang kuat bahwa kebebasan Commissioner merupakan hal yang sangat penting dalam sistem perpajakan Australia. OECD dalam survey terhadap 30 negara anggotanya dan 14 negara non anggota menyatakan bahwa institusi pajak di Australia (ATO) merupakan salahsatu di antara 18 institusi pajak yang berbentuk unified and semi-autonomous body (badan semi otonom yang bertugas secara khusus di bidang pajak). 93 Menurut Gallagher, institusi pajak di negara berkembang saat ini cenderung bersifat semi-autonomous revenue authority (SARA). SARA umumnya mampu memberikan gaji dan insentif yang lebih baik terhadap pegawainya di samping meningkatkan pertanggungjawaban kinerja yang lebih besar.94 Mereka umumnya berada di luar institusi pemerintah yang biasa dan ada yang mempunyai otoritas anggaran sendiri yang dikaitkan dengan kinerjanya. Menurut McCarten reformasi menuju SARA bisa menimbulkan built-conflict dengan Departemen Keuangan karena menimbulkan akibat berupa berkurangnya anggaran dan pegawainya. 95 Namun penerapan SARA ini pada akhirnya menuju otonomi dan birokrasi otoritas pajak yang bebas dari pengaruh politik. Apabila Kementrian Keuangan dan Dirjen Pajak dipisah maka akan terwujud akuntabilitas publik, dalam arti terjadi pemisah fungsi regulator (pembuat kebijakan, dalam hal ini Kemenkeu) dan fungsi operator (pelaksana kebijakan yaitu Dirjen Pajak), sebagaimana yang terjadi antara Departemen Pertahanan dan TNI. Peningkatan status Dirjen Pajak menjadi badan sendiri juga tidak menyulitkan koordinasi pengelolaan keuangan negara. Pengamat Ekonomi Faisal Basri menganjurkan sebaiknya Ditjen Pajak dipisah dari Kementerian Keuangan agar ada kompensasi berbeda untuk mencegah penyimpangan oleh aparatnya. Faisal menilai sebaiknya Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai dimasukkan dalam lembaga tersendiri yang independen dan dijauhi dari politisasi dengan gaji yang lebih proporsional. Hal ini bisa dilakukan bila melihat contoh salahsatunya yaitu lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hingga saat ini dinilai profesional dan independen, mendapat kompensasi upah yang memadai bagi aparatnya.Sementara jika tetap bergabung dengan Kementerian Keuangan maka akan semakin lebar perbedaan gaji antara satu kementerian dengan kementerian lain jika aparat pajak dinaikkan lagi gajinya. Menurut Basri (2013), "…Mereka mengumpulkan dan mengelola dana pajak ratusan triliun tetapi dengan kompensasi yang relatif rendah. Akan sulit bagi mereka untuk tidak tergoda…"96 Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Aziz mengungkapkan, usulan tersebut saat ini tidak disetujui oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Menurut Aziz (2013),
93
OECD. 2007. Improving Taxpayer Service Delivery: Channel Strategy Development. Hal. 29. Gallagher, M. 2004. Assessing Tax Systems using a Benchmarking Methodology. USAID. Hal 17. 95 McCarten. 2006. Hal. 29. 96 Antara. 2 Agustus 2013. Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai Diusulkan Pisah dari Kemenkeu. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/08/02/mqvard-ditjen-pajak-dan-dijen-beacukai-diusulkan-pisah-dari-kemenkeu 94
38 "…Alasannya itu, kekuasaan dari Menteri Keuangan sebelumnya, yakni Sri Mulyani, dan Agus DW Martowardojo tidak menyetujui. Padahal kemenkeu itu complicated sekali…"97 Apabila DJP dibuat badan penerimaan dan dipisah dari Kemenkeu, struktur DJP akan mempunyai policy penerimaan yang berbeda. Policy penerimaan di Dirjen Pajak dan Cukai akan ada kepala eksekutif, direktur-direktur penerimaan pajak dan kemudian kewenangan atau keputusan penuh diambil oleh DJP. Dengan pemisahan ini, maka oknum atau sindikat pengemplangan pajak akan berkurang, karena akan diawasi oleh semua pihak dan juga diatur oleh Undang-Undang yang disahkan DPR. Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak Kebijakan ekstensifikasi WPOP di Indonesia yang mempunyai pengaruh lintas batas instansi hanya diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak. Hal ini berbeda dengan kebijakan registrasi TFN di Australia. Kebijakan registrasi TFN di Australia berlandaskan hukum setingkat undang-undang (Acts), sehingga memiliki pengaruh terhadap lingkup pelaksanaan yang lebih luas. Lagipula di samping TFN berfungsi dalam mengadministrasikan pajak, juga berfungsi untuk pengadministrasian pemberian fasilitas sosial bagi penduduk Australia. Badan Pemeriksa Keuangan Australia (ANAO) menyimpulkan bahwa TFN tidak lagi semata-mata merupakan nomor pokok Wajib Pajak. 98 Pada saat ini pemerintah Australia sudah menggunakan TFN secara luas untuk mengadministrasikan halhal yang berkaitan dengan tugas-tugas tambahan yang dikaitkan dengan ATO. Di Australia terdapat kurang lebih 24 undang-undang (acts) yang mengatur maksud dan tujuan penggunaan TFN. Sebanyak 12 undang-undang mengatur TFN dalam kaitannya dengan administrasi pajak, sedangkan 12 undangundang lainnya terkait dengan administrasi pemberian tunjangan/jaminan sosial bagi warga Australia. Di Indonesia, NPWP diatur dalam UU perpajakan (UU KUO, UU PPh dan UU PPN) beserta peraturan pelaksanaannya (intra-organisasi) dan hanya berfungsi untuk mengadministrasikan pajak saja. Sebagai contoh program Dirjen Pajak dalam melakukan kegiatan ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi melalui Perdirjen Pajak Nomor: PER16/PJ./2006 adalah pemberian NPWP OP kepada orang yang berstatus sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik, dan Pegawai melalui Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah. Perusahaan swasta diwajibkan mendaftarkan pengurus dan karyawan agar ber-NPWP sedangkan Pemda harus mendukung kebijakan ini. Instansi Pemda akan memperoleh manfaat langsung dengan adanya bagi hasi PPh Pasal 21 Karyawan dan PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Dari Tabel 6 terlihat bahwa di samping tugas pokok memungut pajak (termasuk cukai), ATO juga melaksanakan tugas yang terkait dengan pemberian fasilitas sosial bagi masyarakat, melaksanakan fungsi registrasi bagi dunia usaha, dan juga tugas yang terkait dengan infrastruktur properti/perumahan. Tugas-tugas yang dilaksanakan oleh ATO ternyata sangat membantu dalam memungut pajak. Pemberian fasilitas sosial bagi masyarakat dari sisi politik pencitraan memberi 97
Akhir, D. J. 25 September 2013. “Perceraian” Pajak dari Kemenkeu Pernah Ditolak Sri Mulyani. http://economy.okezone.com/read/2013/09/25/20/871772/perceraian-pajak-darikemenkeu-pernah-ditolak-sri-mulyani 98 ANAO. 1999. The Australian National Audit Office. Hal. 51.
39 image yang baik bagi masyarakat, bahwa institusi pajak ternyata ada sisi baiknya (generous), tidak hanya menagih uang pajak, tetapi juga memberi pinjaman kepada mahasiswa perguruan tinggi yang membutuhkan. Pinjaman tersebut akan dilunasi setelah mahasiswa bersangkutan memperoleh pekerjaan, bersamaan dengan pembayaran PPh-nya. Tabel 6 Institusi Pajak dan Kebijakan Ekstensifikasi Wajib Pajak Orang Pribadi
Sumber: Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi antara Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi Publik UGM. Yogyakarta. Hal. 9.
Meskipun pajak adalah iuran wajib tanpa imbal balik secara langsung, namun Australia menggunakan pendekatan ekonomi, yaitu dengan menjadikan TFN sebagai sarana bagi masyarakat untuk memperoleh manfaat santunan, ataupun tunjangan sosial dari pemerintah. Pajak yang dibayar di Australia dikembalikan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan kesehatan nasional yang sifatnya gratis untuk perawatan kesehatan dan biaya obat yang disubsidi, pelayanan pendidikan sampai tingkat setara SMU di sekolah pemerintah yang disubsidi hampir 100 persen oleh pemerintah Australia, dan pelayanan tunjangan sosial seperti tunjangan pengangguran. Di Indonesia sampai saat ini pemegang kartu NPWP belum menerima manfaat secara langsung atas terdaftarnya mereka sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi. Dirjen Pajak dapat memperluas fungsinya selain memungut pajak juga memberikan pelayanan fasilitas sosial bagi masyarakat, misalnya di bidang kesehatan dan pendidikan sebagai penyedia Asuransi Kesehatan maupun beasiswa pendidikan.
Keterkaitan antara Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking di Indonesia Dibandingkan dengan Australia Fungsi pemerintah daerah dapat optimal bila sumber penerimaan daerah mencukupi. Untuk itulah distribusi kewenangan perpajakan menjadi penting yang diwujudkan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, namun terdapat ketidakseimbangan dalam desentralisasi fiskal tersebut karena masih terfokus
40 pada desentralisasi sisi pembelanjaan yaitu Pemerintah Daerah diberi kewenangan penuh untuk merencanakan, memprioritaskan, dan melaksanakan agenda pembangunan sesuai skala prioritas kepentingan rakyat di daerah. Sementara itu pada sisi penerimaannya masih bersifat sentralistik, terutama pada masih terdapatnya sejumlah pajak yang secara teoritis dan empiris merupakan pajak daerah (PBB objek pedesaan, perkotaan dan perkebunan, dan BPHTB), diterimakan ke pusat. Desentralisasi fiskal ini perlu dibenahi sebagai salahsatu upaya penguatan otonomi daerah, yang pada akhirnya mendukung demokratisasi di Indonesia.99 Analisis kebijakan desentralisasi fiskal yang memfokuskan pada kebijakan perpajakan dapat digunakan sebagai alat untuk melihat prospek demokrasi dan keberlanjutan demokratisasi. 100 Dalam desentralisasi perpajakan dapat tergambarkan dinamika hubungan antara negara sebagai pengatur dan warga negara sebagai pembayar pajak.
Gambar 6 Indeks Demokrasi Indonesia 2009 dan 2010 Sumber: United Nations Development Programme, Indonesia. 2012. Menakar Demokrasi di Indonesia: Indeks Demokrasi Indonesia 2009. Hal. 98.
Pada Gambar 6 disajikan: Pertama, Indeks Demokrasi Nasional yang merupakan rata-rata dari Indeks Demokrasi pada tingkat provinsi. Kedua, Indeks Kebebasan Sipil (menggambarkan kondisi Kebebasan Sipil yang mencakup variabel Kebebasan berkumpul dan berserikat, Indeks Demokrasi 2010 Kebebabasan berpendapat, Kebebasan berkeyakinan, dan Kebebasan dari diskriminasi). Ketiga, Indeks Hak-hak Politik (menggambarkan kondisi Pemenuhan hak-hak politik yang meliputi variabel Hak memilih dan dipilih serta Partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan). Keempat, Indeks Kelembagaan Demokrasi (menggambarkan kondisi kelembagaan demokrasi di Indonesia yang meliputi variabel-variabel Pemilu yang Jujur dan
99
Irianto. 2006. Pajak Negara & Demokrasi. CV. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Hal. 7. Ross, R. M. 2003. State and Local Government and Administration. The Ronald Press Company. New York. Hal. 47. 100
41 Adil, Peran DPRD, Peran Partai Politik, Peran birokrasi Pemda, serta Peradilan yang independen. Pada Gambar 6 nilai Indeks Demokrasi Indonesia yang merupakan agregat dari kinerja seluruh provinsi di Indonesia adalah 63,17. Nilai ini merupakan angka komposit 28 indikator dan 11 variabel yang dikelompokkan ke dalam aspek Kebebasan Sipil, Hak-hak Politik, dan Kelembagaan Demokrasi dari 33 provinsi di Indonesia. Bila dilihat dari skor keseluruhan ini saja maka tingkat kinerja demokrasi di Indonesia masih belum memuaskan. Namun, skor keseluruhan ini disumbang oleh skor 3 aspek demokrasi yang bervariasi, mulai dari kategori “baik” (Kebebasan Sipil, 82,53), “sedang” (Lembaga Demokrasi 63,11), sampai dengan kategori “buruk” (Hak-hak Politik, 47.87). Pada Gambar 6 IDI 2010 dibandingkan dengan IDI 2009 terjadi penurunan indeks nasional sebesar 4,13 poin. Secara lebih rinci, bila dilihat distribusi indeks dalam ketiga aspek, Kebebasan Sipil dan Hak-hak Politik mengalami penurunan berturut-turut 4,45 dan 6,73 poin. Sementara nilai indeks Kelembagaan Demokrasi mengalami kenaikan sebesar 0,39 poin dari 62,72 menjadi 63,11. Walaupun terjadi penurunan skor, pola sebaran nilai di atas masih sama dengan tahun pengukuran sebelumnya, yaitu Kebebasan Sipil secara umum terkategori “baik”, dan Lembaga Demokrasi “sedang”, sementara aspek Hak-hak Politik masih “buruk”. Gambar 6 tersebut sekaligus menunjukkan hasil IDI 2010, perbandingannya dengan IDI 2009, serta pola sebaran nilai IDI pada kedua tahun pengukuran. Secara internasional Indeks Demokrasi diterbitkan oleh The Economist Intelligence Unit ditentukan berdasarkan lima kategori, yaitu proses pemilihan dan keberagaman, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Negara-negara tersebut dipisahkan berdasarkan empat tipe rezim yaitu full democracies, flawed democracies, hybrid regimes, dan authoritarian regimes. Menurut indeks tersebut, Indonesia masih berada dalam rezim Flawed Democracies sedangkan Australia telah berada dalam rezim Full Democracies.101 Pemilihan umum yang bebas dan adil serta kebebasan sipil merupakan halhal dasar untuk menciptkan demokrasi. Hal-hal tersebut belum cukup untuk membuat demokrasi tersebut terkonsolidasi, jika tidak disertai dengan pemerintahan yang transparan dan efisien, partisipasi politik yang cukup, dan budaya politik yang mendukung. Bahkan di negara dengan kondisi demokrasi yang mapan sekalipun, bila hal-hal tersebut tidak dipelihara dan dijaga, demokrasi dapat hancur. Indikator demokrasi tidak hanya diukur dari aspek formal kelembagaan, tetapi harus menyertakan kebijakan perpajakan sebagai instrumen operasional demokrasi yang merupakan sarana pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dan interaksi antara negara dan rakyat. 102 Kebijakan perpajakan mencerminkan pembagian wewenang/kekuasaan antara negara dengan warganya dan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah. Menurut Irianto (2006), “…Kebijakan perpajakan merupakan hasil dan muara dari dua ranah penting dalam proses demokratisasi, yaitu hubungan negara-masyarakat dan pusat-daerah…” 101 102
Economist Intelligence Unit. 2011. Democracy Index 2010: Democracy in Retreat.. Hal 43. Irianto. 2006. Pajak Negara & Demokrasi. CV. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Hal. 15.
42 Menurut Ranking Kemudahan Membayar Pajak pada tahun 2013 Australia menempati ranking ke-48, sedangkan Indonesia menempati ranking ke-131 dari 185 negara. Ranking ini ditentukan oleh faktor jumlah pembayaran pajak, waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban perpajakan, dan total tarif pajak. Faktor jumlah pembayaran pajak terdiri dari faktor pembayaran pajak keuntungan, tenaga kerja, dan lain-lain. Faktor waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban perpajakan terdiri dari faktor waktu dari pajak pendapatan badan, tenaga kerja, dan konsumsi. Faktor tarif pajak terdiri dari faktor total tarif pajak keuntungan, tenaga kerja, dan lain-lain.103
===== Pendapatan Pajak Nasional -------- Pendapatan Pajak Nasional + Pendapatan Daerah
Gambar 7 Tax Ratio Indonesia Tahun 2003-2011 Sumber: Hidayat, A. 2013. Analisis Penerimaan Pajak dengan Pendekatan Produk Domestik Bruto Sektoral. Universitas Indonesia. Hal. 32.
Gambar 7 tersebut menampilkan perkembangan tax ratio Indonesia dari tahun 2003 sampai 2011. Grafik tersebut menjelaskan bahwa kemampuan negara dalam menghimpun pajak masyarakat masih rendah, terlihat dari nilai presentase tax ratio (rasio pajak) yang berkisar antara 12,5 persen sampai 15 persen. Dari sisi politik, rendahnya rasio pajak dapat menjadi penanda rendahnya peran serta masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara.104 Partisipasi masyarakat dalam kebijakan perpajakan merupakan indikator penting bagi sebuah negara yang demokratis. Meskipun bukan satu-satunya indikator, partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan perpajakan mendorong demokratisasi di negara-negara modern, karena di dalam proses partisipasi tersebut terdapat mekanisme tawar-menawar dan konsultasi publik dalam proses pembuatan kebijakan.105 Partisipasi masyarakat dalam kebijakan perpajakan yang rendah mencerminkan belum terwujudnya demokratisasi perpajakan. Substansi demokrasi pada umumnya yaitu pemberian ruang politik bagi warga, bukan hanya bagi elite politik. Untuk mewujudkan hal ini membutuhkan proses politik yang terbuka dan transparan, sekaligus demi mencegah perilaku rent-seeking yang dapat merugikan negara. Tabel 7 Indeks ICRG Indonesia dan Australia Tahun 2002-2011 (dalam persen) Year 2011 2010 2009 2008 2007 2006 2005 2004 2003 2002 Australia AUS 0.83 0.83 0.75 0.75 0.75 0.75 0.83 0.83 0.75 0.75 Indonesia IDN 0.50 0.50 0.50 0.67 0.58 0.42 0.17 0.17 0.17 0.17 Sumber: Political Risk Services. 2012. International Country Risk Guide. Hal. 2.
Indeks International Country Risk Guide (ICRG) sering dipakai dalam berbagai penelitian untuk dapat mendeskripsikan keadaan rent-seeking di berbagai 103
PwC dan The World Bank/IFC. 2013. Paying Taxes 2013: The Global Picture. Hal 161. Irianto. 2006. Pajak Negara & Demokrasi. CV. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Hal. 111. 105 Herb, M. 2003. Taxation and Representation, Studies in Comparative International Development. Hal. 18. 104
43 negara secara kuantitatif.106 Indeks ini ditentukan dengan menggunakan indikator Suara dan Akuntabilitas, Stabilitas Politik dan Ketidakadaan Kekerasan, Efektivitas Pemerintahan, Kualitas Peraturan, Peraturan Hukum, dan Kontrol terhadap Korupsi. Semakin tinggi indeks ICRG maka semakin rendah keberadaan rent-seeking di negara tersebut. Pada Tabel 7 menampilkan indeks ICRG Australia sebesar 83 persen sedangkan Indonesia 50 persen pada tahun 2011. Bila dilihat dinamika sejak tahun 2002 sampai tahun 2011, Australia cukup stabil pada kisaran 75-83 persen. Di sisi lain Indonesia terus mengalami perkembangan dari 17-67 persen. Hasil indeks ICRG ini dapat dikaitkan dengan perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia yang semakin berhasil, antara lain semenjak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003. KPK adalah komisi di Indonesia yang dibentuk untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK). Pada Gambar 8 berikut menunjukkan bahwa per 31 Juli 2013, di tahun 2013 korupsi jenis penyuapan menempati posisi paling banyak yaitu sebanyak 36 perkara, disusul pengadaan barang/jasa sebanyak 5 perkara, tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebanyak 3 perkara, dan perijinan sebanyak 3 perkara.
Gambar 8 Penanganan TPK berdasarkan Jenis Perkara Sumber: Komisi Pemberantasan Korupsi. 2012. Laporan Tahunan 2012. Hal. 115.
Dilihat dari aspek kerugian keuangan negara, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperlihatkan nilai penyimpangan yang terjadi di sejumlah instansi pemerintah di Indonesia sangat besar dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Hingga tahun 2007, dari laporan audit BPK terdapat 36.009 temuan pemeriksaan dengan nilai kerugian Rp.3.657,71 triliun. 107 Data terakhir menyebutkan selama semester I 2008 hingga Semester I 2010, BPK menemukan indikasi kerugian negara senilai Rp 73,55 triliun. 108
106
Angelopoulos, K. 2008. Fiscal Policy, Rent-seeking, and Growth under Electoral Uncertainty Theory and Evidence from the OECD. University of Glasgow. United Kingdom. Hal. 21. 107 Badan Pemeriksa Keuangan RI. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2007. Hal. 287. 108 Badan Pemeriksa Keuangan RI. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 2008-2010. Hal. 254.
44 Tabel 8 Indikasi Kerugian Negara Hasil Audit BPK Semester I 2008-Semester I 2010 Sem I 2008 Sem II 2008 Sem I 2009 Sem II 2009 Sem I 2010 Obyek Pemeriksaan 468 683 491 769 528 Potensi Kerugian Negara 7,41 11,84 28,49 16,26 9,55 (triliun rupiah) Sumber: ICW. 2012. Hasil Pemeriksaan BPK 2008-2010. Hal. 10.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah beberapa kali menangkap pegawai pajak yang menerima suap dari Wajib Pajak. Kasus suap menyuap dan korupsi dalam tubuh Direktorat Jendral Pajak sudah bukan hal baru. Sebelum ini juga sudah terdapat kasus serupa, sebut saja yang terkenal seperti Gayus Tambunan atau Dhana Widyatmika. Modus para pelaku menyimpang ini hampir sama yakni menerima suap dari Wajib Pajak untuk selanjutnya pegawai tersebut dapat mengurangi beban pajak Wajib Pajak. Direktur Jendral Pajak Fuad Rahmany mengaku geram dengan tindakan para pegawainya. Menurut Rahmany (2013), “…Di pajak ada belasan atau puluhan (pegawai) yang masih nakal, kita akan pantau terus. Mereka harus dipecat, kalau tidak dipecat mereka tidak berubah…” 109 Mantan Ketua Tim Independen Mafia Hukum Polri, Mathius Salempang sempat menguraikan beberapa modus operandi mafia pajak lainnya. Misalnya, negosiasi dengan pemilik pajak. Bila pajak perusahaan ada 10, dilakukan negosiasi agar hanya 5 yang dibayarkan pajaknya. Modus lainnya adalah persekongkolan ketika dilakukan penyelesaian keberatan pada tingkat Direktorat Keberatan dan Banding. Selain itu, banyak konsultan pajak yang bertindak tidak sesuai perintah institusi. Ada juga modus menahan surat keterangan pajak oleh Direktorat Pajak. Surat itu dapat dikeluarkan jika ada kesepakatan tentang besarnya uang suap. 110 Menurut laporan Global Financial Integrity (GFI) pada akhir 2012, Indonesia menjadi salahsatu negara berkembang yang paling dirugikan akibat praktik penghindaran pajak tersebut. Indonesia berada di urutan kesembilan negara yang paling dirugikan akibat keluarnya uang yang harusnya masuk kas negara dalam periode 2001-2010 dengan potensi kerugian Rp 1.248 triliun. Angka tersebut, dimuat dalam laporan, adalah potensi kerugian negara akibat terjadinya korupsi serta penghindaran pajak penghasilan, pembayaran bea cukai, hingga penghindaran pajak pertambahan nilai. Sebanyak Rp 748,8 triliun dari total kerugian tersebut terjadi karena penghindaran pajak. Menurut Direktur GFI Raymond Baker, “…Uang haram yang keluar dari suatu negara ini mengurangi pendapatan negara-negara yang masih cenderung miskin, merampok mereka dari aset yang seharusnya mereka miliki dan pertumbuhan ekonomi yang seharusnya dicapai…” 109
Merdeka. 16 Mei 2013. Pegawai Banyak ditangkap KPK, Reformasi Pajak tidak Berjalan Baik. http://www.merdeka.com/uang/pegawai-banyak-ditangkap-kpk-reformasi-pajak-tak-berjalanbaik.html 110 Antara News. Mafia Pajak Memaksa Negara Cari Utang. http://www.antaranews.com/print/250359/
45 Tabel 9 Negara-negara Berkembang dengan Arus Uang Haram Terbesar No. Negara Arus Uang Haram 1 Cina Rp 31,373 triliun 2 Meksiko Rp 5,450 triliun 3 Malaysia Rp 3,263 triliun 4 Arab Saudi Rp 2,404 triliun 5 Rusia Rp 1,740 triliun 6 Filipina Rp 1,580 triliun 7 Nigeria Rp 1,477 triliun 8 India Rp 1,408 triliun 9 Indonesia Rp 1,248 triliun 10 Uni Emirat Arab Rp 1,225 triliun Sumber: Metrotv News. 9 September 2013. Indonesia Rugi 109 Miliar Dolllar As. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/09/09/2/180398/Indonesia-Rugi109-Miliar-Dolar-AS
Social Policy and Governance Specialist Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, menyatakan terdapat masih banyak korupsi pajak yang dilakukan oleh petugas pajak maupun Wajib Pajak di Indonesia. Menurut Maftuchan,111 “…Wajib Pajak Badan masih banyak mengelak membayar pajak dengan praktik transfer pricing. Kerugian yang ditanggung oleh negara akibat praktik yang dilakukan oleh korporasi nakal ini, tiap tahunnya berkisar Rp 110 triliun…” Di Australia pun masih terdapat kasus penghindaran pajak yang mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak potensial. Australian Tax Office (ATO) tidak melakukan perhitungan tentang seberapa besar penghindaran pajak mempengaruhi perekonomian, namun Australian Bureau of Statistics (ABS) menyebutkan bahwa terdapat penghindaran pajak sebesar Rp 176 triliun. Sementara itu Australian Council of Trade Unions (ACTU) menyebutkan bahwa banyak perusahaan besar di Australia yang menghindari pajak. Ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 114 triliun per tahun.112 Tabel 10 Kerugian Akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia Negara Indonesia Rata-rata Australia Rata-rata
Kerugian akibat Persentase dari Penghindaran Pajak (Rata- Penerimaan Pajak rata per Tahun) Tahun 2012 (%) Rp 78,88 triliun 7.37% Rp 110 triliun 10.82% Rp 94,44 triliun 9.10% Rp 114 triliun 2.56% Rp 176 triliun 3.95% Rp 145 triliun 3.26%
Persentase dari PDB Tahun 2012 (%) 0.74% 1.09% 0.92% 0.65% 1.00% 0.83%
Sumber (Tahun Penelitian) GFI (2012) Prakarsa (2013) ACTU (2011) ABS (2010)
Sumber: GFI, Prakarsa, ACTU, ABS (data diolah).
Tabel 10 menunjukkan bahwa kerugian akibat penghindaran pajak di Indonesia rata-rata sebesar Rp 94,44 triliun per tahun sedangkan di Australia sebesar Rp 145 triliun per tahun menurut berbagai sumber. Namun setelah 111
Hukum Online. 19 Agustus 2013. Diusulkan Revisi UU Perpajakan. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5211b8d82f5af/diusulkan-revisi-uu-perpajakan 112 ACTU. 2011. Tax avoidance, evasion, and minimisation is costing Australia $50 billion a year. ACTU Tax Paper. Hal. 4.
46 dipersentasekan terhadap penerimaan pajak dan juga Produk Domestik Bruto, kerugian akibat penghindaran pajak di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan Australia. Hal ini karena keberadaan rent-seeking di Indonesia lebih besar dibandingkan di Australia. Penghindaran pajak lazim dilakukan perusahaan global dengan cabang di berbagai negara. Modus pertama, pembayaran biaya manajemen royalti atas HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) atas logo dan merek kepada perusahaan induk. Peningkatan royalti akan meningkatkan biaya yang pada akhirnya mengurangi laba bersih sehingga PPh badan juga turun. Jika tarif tax treaty untuk pajak royalti hanya 10 persen dan tarif PPh badan adalah 25 persen, maka Indonesia kehilangan 15 persen PPh. Modus kedua, pembelian bahan baku dari perusahaan satu grup. Pembelian bahan baku dilakukan dengan harga mahal dari perusahaan segrup yang berdiri di negara bertarif pajak rendah. Modus ketiga, berhutang atau menjual obligasi kepada afiliasi perusahaan induk dan membayar kembali cicilan dengan bunga sangat tinggi. Tingkat suku bunga tinggi ini adalah dividen terselubung ke perusahaan induk. Modus keempat, menggeser biaya usaha (termasuk gaji pegawai headquarters) ke negara bertarif pajak tinggi (cost center) seperti Inggris dan mengalihkan profit ke negara bertarif pajak rendah (profit center) seperti Bermuda. Dengan demikian keuntungan perusahaan terlihat kecil dan tidak perlu membayar pajak korporasi. Modus kelima, menarik dividen lebih besar dengan menyamarkan biaya royalti dan jasa manajemen untuk menghindari pajak korporasi. Modus terakhir dengan mengecilkan omset penjualan. Perusahaan menjual rugi barang ke cabang perusahaan di negara bertarif pajak rendah, sehingga penjualan ekspor terlihat merugi. Kemudian dari cabang tersebut, barang dijual dengan harga normal ke konsumen akhir.113 Sementara itu modus penghindaran pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi antara lain yaitu tidak melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sehingga menyebabkan Wajib Pajak terhindar dari pengenaan tarif PPh Progresif (semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi tarif pajaknya). Selain itu terdapat beberapa kasus penghindaran pajak yang melibatkan pegawai institusi pajak, antara lain diawali dengan pegawai pajak yang mengetahui informasi tentang beban pajak yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Bila Wajib Pajak tersebut enggan membayar beban pajaknya, maka dapat terjadi kasus penyuapan agar petugas pajak tersebut dapat mengurangi bahkan menghilangkan beban pajak yang harus dibayar. Pengelakan pajak sangat memengaruhi persaingan sehat di antara para pengusaha. Pengusaha melakukan pengelakan pajak dengan cara menekan biayanya secara tidak wajar. Walaupun dengan usaha dan produktifitas yang sama, si pengelak pajak mendapat keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan pengusaha yang jujur. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berbagai usaha penghindaran pajak merupakan aktivitas rent-seeking di lingkungan perpajakan, kemudian usaha penyuapan untuk menghindari pajak tersebut termasuk pada korupsi.
113
Suryana, A. B. 2013. Menisik Pajak Perusahaan Global. Direktorat Jenderal Pajak. Hal. 1.
47 Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-Seeking terhadap Penerimaan Pajak Estimasi model menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap (fixed effect), dan metode efek random (random effect). Untuk menguji kesesuaian atau kebaikan model dari tiga metode pada teknik estimasi data panel digunakan Chow Test dan Hausmann Test. Chow Test digunakan untuk menguji kesesuaian model antara model yang diperoleh dari pooled least square dan model yang diperoleh dari metode fixed effect. Selanjutnya dilakukan Hausmann Test terhadap model terbaik yang diperoleh dari hasil Chow Test dengan model yang diperoleh dari metode random effect. Untuk menghasilkan model yang efisien dan konsisten, perlu evaluasi berdasarkan kriteria ekonomi apakah hasil estimasi terhadap model regresi tidak terjadi masalah heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. Selain itu, juga perlu dilihat seberapa baik model dalam mengestimasi berdasarkan nilai koefisien determinasi. Tahap Evaluasi Pemilihan Model Estimasi model, untuk mengetahui pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking terhadap penerimaan pajak dengan analisis data panel, dilakukan melalui 3 pendekatan model estimasi, yaitu Pooled Least Square Model, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model. Melalui ketiga model tersebut, dapat diketahui besarnya pengaruh sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking di dalam model terhadap penerimaan pajak di 15 negara anggota G-20, termasuk di dalamnya Indonesia dan Australia. Pada pengujian dengan menggunakan Chow dan Uji Hausman pada Lampiran 7 dan 8, diperoleh bahwa Fixed Effect Model merupakan pendekatan analisis regresi data panel yang terbaik. Kemudian dilakukan pengujian asumsi klasik terhadap model estimasi data panel Fixed Effect Model pada Lampiran 9 agar dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria BLUE. Pengujian Asumsi Klasik A. Uji Multikolinearitas Hasil penghitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan EViews 6.0 menghasilkan output seperti pada Tabel 11. Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai perhitungan koefisien korelasi antar variabel independennya. Apabila nilai koefisien korelasinya lebih rendah dari 0,80 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas. Pada Tabel 11 nilai koefisien korelasi antarvariabel bebas semuanya kurang dari 0,80. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas, sehingga kriteria bebas multikolinearitas terpenuhi dalam model estimasi ini.
48 Tabel 11 Nilai Korelasi Antarvariabel Bebas dalam Pengujian Multikolinearitas Korelasi ln(Taxrank) Democr ICRG
Taxrank 1 -0.4483 -0.4535
Democr -0.4483 1 0.6975
ICRG -0.4535 0.6975 1
Keterangan: Taxrank = Sistem Pajak (indeks) Democr = Demokrasi (%) ICRG = Ketidakadaan Rent-seeking (%) Sumber: EViews(data diolah).
B.
Uji Autokolerasi Uji autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Nilai Tabel DurbinWatson diperoleh dengan dL = 0,82 dan dU = 1,75, sehingga diperoleh selang pengambilan keputusan pada Gambar 9.
Gambar 9 Kriteria Pengujian Autokorelasi: Durbin Watson Sumber: Gujarati, D. 2003. Ekonometrika Dasar. Sumarno Zai [penerjemah]. Erlangga. Jakarta. Hal. 78.
Nilai Durbin Watson hasil estimasi sebesar 1.634489 berada pada (dL < DW < dU) yaitu (0.82 < 1.634489 < 1.75) yang berarti bahwa tidak ada keputusan. Namun demikian, pendekatan Fixed Effect Model tidak mensyaratkan hasil estimasi yang bebas dari masalah autokorelasi, sehingga asumsi adanya autokorelasi dapat diabaikan. B. Uji Heteroskedatisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan melakukan cross section weighting. Hasil cross section weighting menggunakan EViews 6.0 menghasilkan output seperti pada Tabel 12. Dengan melihat bahwa, nilai Sum squared residual Weighted Statistics yang lebih kecil dibandingkan nilai Sum squared residual Unweighted Statistisc dan nilai R-squared Weighted Statistic yang lebih besar dibandingkan nilai R-squared Unweighted Statistic, maka dapat disimpulkan bahwa model estimasi mengandung masalah heteroskedastisitas. Menurut Winarno, heteroskedastisitas dapat menyebabkan estimator tidak lagi BLUE karena tidak lagi mempunyai varians yang minimum, perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi yang dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F dan t
49 tidak dapat dipercaya. Untuk mengatasi pelanggaran ini maka dilakukan estimasi cross section weight dengan white heteroscedasticity.114 Tabel 12 Hasil Pengolahan dengan Weighting Fixed Effect Model untuk Menguji Heteroskedastisitas Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.993742 0.991208 0.884865 392.2892 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
23.62956 16.19965 32.88545 2.257003
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.982262 37.56793
Mean dependent var Durbin-Watson stat
16.56017 2.065669
Sumber: EViews(data diolah).
Tahap Pemilihan Model Terbaik Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dan memenuhi syarat, maka model estimasi analisis data panel yang terbaik adalah Fixed Effect Model dengan pembobotan (cross section weights) dan white cross section. Tabel 13 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking terhadap Penerimaan Pajak di 15 Negara G-20 pada Tahun 2008-2011 Variabel
Koefisien
Standar Eror
t-Statistic
Probabilitas
C LOG(TAXRANK) DEMOCR ICRG
10.64933 0.907513 0.016504 0.014456
2.265920 0.240900 0.024682 0.008438
4.699783 3.767173 0.668688 1.713317
0.0000 0.0005 0.5074 0.0940
R-squared Adjusted R-squared Sum squared resid weighted Sum squared resid unweighted Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat
0.994216 0.991875 33.66666 37.08858 0.000000 2.425999
Sumber: EViews(data diolah).
Nilai R-squared 0.994216 berarti variabel sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking mampu menjelaskan variasi penerimaan pajak sebesar 99 persen. Variasi sisanya sebesar 1 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Penggunaan Fixed Effect Model tersebut menyatakan bahwa terdapat satu di antara variabel sistem pajak, demokrasi, maupun rent-seeking yang signifikan memengaruhi penerimaan pajak. Hal tersebut didasarkan dari nilai Prob(Fstatistik) yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.0000 < a 5 %). 114
Winarno, W.W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. UPP STIM YKPM. Yogyakarta. Hal. 48.
50 Analisis secara parsial, bahwa variabel sistem pajak dan rent-seeking berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. Variabel bebas lain yaitu demokrasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak di 15 negara G-20. Hal ini dapat disebabkan karena bercampurnya negara maju dan negara berkembang dalam analisis data panel. Oleh karena itu, selanjutnya dilakukan analisis data panel terhadap kelompok negara berkembang dan negara maju di negara G-20 untuk melihat perbedaannya. Negara berkembang G-20 yang akan dianalisis yaitu Afrika Selatan, Brasil, India, Indonesia, Rusia, dan Turki. Tabel 14 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking terhadap Penerimaan Pajak di 6 Negara Berkembang G-20 pada Tahun 2008-2011 Variabel
Koefisien
Standar Eror
t-Statistic
Probabilitas
C LOG(TAXRANK) DEMOCR ICRG
0.137067 2.308431 0.021093 0.095119
17.92520 1.253176 0.178617 0.026654
0.007647 1.842064 0.118091 3.568649
0.9940 0.0853 0.9076 0.0028
R-squared Adjusted R-squared Sum squared resid weighted Sum squared resid unweighted Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat
0.985027 0.977042 13.22518 13.95503 0.000000 2.437571
Sumber: EViews(data diolah).
Nilai R-squared 0.985027 berarti variabel sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking mampu menjelaskan variasi penerimaan pajak sebesar 98 persen. Variasi sisanya sebesar 2 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Penggunaan Fixed Effect Model tersebut menyatakan bahwa terdapat satu di antara variabel sistem pajak, demokrasi, maupun rent-seeking yang signifikan memengaruhi penerimaan pajak. Hal tersebut didasarkan dari nilai Prob(Fstatistik) yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.0000 < a 5 %). Analisis secara parsial, bahwa variabel sistem pajak dan rent-seeking berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. Variabel bebas lain yaitu demokrasi tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak di 6 Negara Berkembang G-20 termasuk Indonesia. Hal ini dapat disebabkan karena negaranegara berkembang tersebut masih berada pada masa demokrasi yang belum mapan. Selanjutnya dilakukan analisis data panel terhadap negara maju di negara G-20. Negara maju G-20 yang akan dianalisis yaitu Amerika Serikat, Australia, Britania Raya, Jerman, Kanada, Korea Selatan, dan Perancis. Italia dan Jepang tidak dianalisis karena memiliki data pencilan, sehingga menghasilkan estimasi yang tidak signifikan.
51 Tabel 15 Hasil Estimasi Pengaruh Sistem Pajak, Demokrasi, dan Rent-seeking terhadap Penerimaan Pajak di 7 Negara Maju G-20 pada Tahun 20082011 Variabel
Koefisien
Standar Eror
t-Statistic
Probabilitas
C LOG(TAXRANK) DEMOCR ICRG
-6.210884 0.487746 0.080016 0.203650
2.701841 0.256871 0.021471 0.052522
-2.298760 1.898799 3.726691 3.877448
0.0337 0.0737 0.0015 0.0011
R-squared Adjusted R-squared Sum squared resid weighted Sum squared resid unweighted Prob(F-statistic) Durbin-Watson stat
0.988982 0.983473 11.72261 15.62460 0.000000 2.158764
Sumber: EViews(data diolah).
Nilai R-squared 0.988982 berarti variabel sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking mampu menjelaskan variasi penerimaan pajak sebesar 99 persen. Variasi sisanya sebesar 1 persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Penggunaan Fixed Effect Model tersebut menyatakan bahwa terdapat satu di antara variabel sistem pajak, demokrasi, maupun rent-seeking yang signifikan memengaruhi penerimaan pajak. Hal tersebut didasarkan dari nilai Prob(Fstatistik) yang lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.0000 < a 5 %). Analisis secara parsial, pada taraf nyata 10 persen variabel sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak di 7 Negara Maju G-20, termasuk Australia. Variabel sistem pajak memiliki koefisien sebesar 0.487746 dari hasil analisis regresi. Hal ini berarti kenaikan satu persen sistem pajak akan mempengaruhi penerimaan pajak sebesar 0,49 persen. Variabel demokrasi memiliki koefisien sebesar 0.080016 dari hasil analisis regresi. Hal ini berarti kenaikan satu persen demokrasi akan mempengaruhi penerimaan pajak sebesar 0,08 persen. Variabel ketidakadaan rent-seeking memiliki koefisien sebesar 0.203650 dari hasil analisis regresi. Hal ini berarti kenaikan satu persen ketidakadaan rent-seeking akan mempengaruhi penerimaan pajak sebesar 0,20 persen, cateris paribus. Hal ini sesuai dengan pembahasan sebelumnya tentang keterkaitan antara sistem pajak, demokrasi, dan rent-seeking yaitu sistem pajak yang baik, demokrasi yang mapan, serta ketidakadaan rentseeking berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan positif terhadap penerimaan pajak.
52
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Melihat dari perumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai, serta hasil dan pembahasan yang telah diperoleh, maka dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) di Australia cukup besar karena beberapa faktor seperti berikut: berbasis individual-based taxation principle; tarif pajak pendapatan tertinggi dibebankan kepada Wajib Pajak yang tidak memiliki TFN (Tax File Number); posisi ATO (Australian Tax Office) yang independen; dan disamping sebagai administasi pajak, TFN juga berfungsi untuk memfasilitasi dukungan pendapatan maupun bantuan dari pemerintah. 2. Kebijakan sistem perpajakan di Australia memperhatikan partisipasi masyarakat dengan menjadikan TFN sebagai sarana untuk memperoleh manfaat santunan ataupun tunjangan sosial dari pemerintah. Tingginya partisipasi masyarakat ini mencerminkan keadaan demokrasi yang telah mapan. Di Indonesia NPWP hanya berlaku sekedar untuk pengadministrasian pajak. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara Wajib Pajak (rakyat) dengan pemerintah belum demokratis, dicirikan antara lain oleh kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan transparansi dari pemerintah terhadap publik yang masih kurang. Australia memiliki penilaian yang baik melalui Indeks ICRG. Indeks tersebut menunjukan keadaan rent-seeking yang rendah serta besarnya transparansi pada sistem pemerintahan di Australia. Indonesia memiliki Indeks ICRG yang masih rendah serta kasus korupsi dengan jenis penyuapan paling banyak terjadi. Di lingkungan institusi pajak, penyuapan ini dilakukan untuk menghindari kewajiban membayar pajak. Oleh karena itu, penghindaran pajak merupakan salahsatu akitivitas rent-seeking di lingkungan perpajakan. Kerugian negara akibat penghindaran pajak mencapai 748,8 triliun pada periode 2001-2010. 3. Berdasarkan analisis data panel diketahui bahwa sistem pajak yang baik, demokrasi yang mapan, serta ketidakadaan rent-seeking berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan positif terhadap penerimaan pajak.
Saran Melihat dari bab pendahuluan hingga kesimpulan yang telah dibuat, maka beberapa saran yang direkomendasikan, yaitu: 1. Pemerintah hendaknya mengkaji peningkatan status Direktorat Jendral Pajak dari level Eselon I Departemen Keuangan menjadi institusi Lembaga Pemerintah Non Departemen. Peningkatan status ini akan mempermudah koordinasi dengan instansi lain serta menyederhanakan birokasi karena adanya pemisahan antara fungsi regulator (Kementrian Keuangan) dan operator (Direktorat Jendral Pajak). 2. Bila peningkatan status tersebut belum dapat disetujui, Direktorat Jendral Pajak saat ini hendaknya memperluas fungsinya selain sebagai institusi pemungut pajak namun juga sebagai lembaga penyedia jaminan sosial di
53 bidang kesehatan maupun pendidikan seperti Asuransi Kesehatan maupun beasiswa pendidikan. 3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jendral Pajak hendaknya bekerjasama membuat nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dalam mencegah dan mengungkap aktivitas rentseeking di lingkungan perpajakan. 4. Australian Taxation Office (ATO) hendaknya bekerjasama dengan Direktorat Jendral Pajak serta institusi-institusi pajak di negara lain untuk mengatasi penghindaran pajak oleh perusahaan global. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan pertukaran informasi pajak antarnegara dan pembuatan aturan perpajakan secara global. 5. Peneliti lain yang ingin melakukan analisis ekonometrika mengenai pengaruh ekonomi politik terhadap penerimaan pajak hendaknya menggunakan variabel, jumlah negara, jumlah tahun, serta indikator yang lebih lengkap sehingga dapat menghasilkan estimasi yang lebih baik.
54
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, A. 2003. Reformasi Perpajakan. Salemba Empat. Jakarta. Budiman, J dan Miharjo, S. 2012. Pengaruh Karakter Eksekutif terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avoidance). S2 Ilmu Akuntansi UGM. Yogyakarta. Burton, R. dan Ilyas, W. B. 2004. Hukum Pajak. Salemba Empat. Jakarta. Eko, S. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia. APMD Press. Jakarta. Emzir. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Raja Grafindo Persada. Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB PRESS. Bogor. Irianto, E. S. dan Jurdi, S. 2005. Politik Perpajakan: Membangun Demokrasi Negara. UII Press. Yogyakarta. Irianto, E. S. 2012. Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Pajak di Indonesia. CV. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Ismawan, I. 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Kesit, B. P. Juni 2003. Analisis Pengaruh Kebijakan Tax Holiday terhadap Perkembangan Penanaman Modal Asing di Indonesia (Tahun 1970-1999). Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 8. No. 1. Mansury. 1996. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 3. PT Bina Rena Pariwara. Jakarta. Nugroho, R. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Nariwati, U. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Teori dan Aplikasi. Agung Media. Bandung. Nurmantu, S. 2005. Pengantar Perpajakan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Pandiangan, L. 2008. Modernisasi dan Reformasi Pelayanan Perpajakan berdasarkan Ketentuan Terbaru. Penerbit Elex Media komputindo. Jakarta. Parsons, W. 2006. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Kencana. Jakarta. Perdana, A. A. 2009. Biaya Ekonomi dari Korupsi: Perspektif Teori dan Empiris dalam Korupsi Mengorupsi Indonesia. Wijayanto dan Ridwan Zachrie. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Prakosa, K. B. dan Malian, S. 2003. Pajak dan Retribusi Daerah. UII Press. Yogyakarta. Prastowo, J dan Budiantoro, S. Maret 2012. Rasio Pajak Rendah, Utang Makin Menumpuk. Prakarsa Policy Review. Puteri, A. Y.. 2012. Implikasi Kasus Gayus Tambunan dalam Kesadaran Wajib Pajak [Skripsi]. Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Jatim. Rachbini, D J. 1999. Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik. PT Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Ralona, M. 2006. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Niaga Swadaya. Jakarta. Rosdiana, H dan Tarigan, R. 2005. Perpajakan, Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sahrani, A dan Wijaya, D. 2003. Kamus Ekonomi, Uang, dan Bank. Restu Agung. Jakarta. Santoso, B. R. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Refika Aditama. Bandung.
55 Siswahyudi. 2008. Analisis Komparasi Regulasi Registrasi Wajib Pajak Orang Pribadi antara Indonesia dengan Australia [Tesis]. Magister Administrasi Publik UGM. Yogyakarta. Soemitro, R. 1993. Pajak Penghasilan. Eresco. Bandung. Sony, D. dan Rahayu, S. K. 2006. Perpajakan: Konsep, Teori, dan Isu. Prenada Media Group. Jakarta. Sudibyo, B. Agustus 2012. Reformasi Pajak dalam Kerangka Reformasi Ekonomi-Politik di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Manajemen. Vol. 23. No. 2. Thoha, M. 2003. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Radja Grafindo Persada. Jakarta. Tjahjono dan Husein. 1997. Perpajakan. Akademika Manajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta. Tunliu, J. J. A. 2010. Pengaruh Intensifikasi dan Ekstensifikasi terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Guna Mewujudkan Kemandirian Keuangan Daerah [Tesis]. Universitas Brawijaya. Malang. Yustika, A. E. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Bayumedia Publishing. Jatim. Winarno, B. dan Ismawan, I. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo. Yogyakarta.
56 Lampiran 1 Data Negara Anggota G-20
Negara Anggota
Afrika Selatan Amerika Serikat Kanada Meksiko Brasil Argentina Cina Jepang Korea Selatan India Indonesia Rusia Turki Uni Eropa Jerman Perancis Inggri Itali Saudi Arabia Australia
Perdagangan
Nominal GDP
PPP GDP
juta USD
juta USD
juta USD per capita per capita (2012)^^
-2012
(2012)*
(2012)**
208,000
384,315
Nominal PPP GDP GDP
USD
HDI
Klasifikasi
Population
USD
(2012)*** (2012)^ 582,391 7,506 11,375
Ekonomi
(IMF)^^^ 0.629
53,000,000 Berkembang
3,969,000 15,684,750 15,684,750
49,922
49,922
0.937
962,600 756,800 494,800 152,690 3,801,000 1,649,800 1,068,700 809,400 384,100 900,600 370,800 4,567,000 2,768,000 1,226,400 1,127,000 953,000 518,300 522,000
52,231 10,247 12,078 11,576 6,075 46,735 23,112 1,491 3,592 14,246 10,609 32,708 41,512 41,140 38,588 33,115 25,084 67,722
42,734 15,311 11,875 18,112 9,161 36,265 32,272 3,829 4,977 17,708 15,001 32,028 39,028 35,547 36,941 30,136 31,275 42,640
0.911 34,088,000 Maju 0.775 112,211,789 Berkembang 0.73 193,088,765 Berkembang 0.811 40,117,096 Berkembang 0.699 1,339,724,852 Berkembang 0.912 127,390,000 Maju 0.909 50,004,441 Maju 0.554 1,210,193,422 Berkembang 0.629 237,556,363 Berkembang 0.788 143,400,000 Berkembang 0.722 72,561,312 Berkembang 0.876 501,259,840 N/A 0.92 81,757,600 Maju 0.893 65,447,374 Maju 0.875 62,041,708 Maju 0.881 60,325,805 Maju 0.782 27,123,977 Berkembang 0.938 22,328,632 Maju
1,819,081 1,177,116 2,395,968 474,954 8,227,037 5,963,969 1,155,872 1,824,832 878,198 2,021,960 794,468 16,414,483 3,400,579 2,608,699 2,440,505 2,014,079 727,307 1,541,797
1,488,311 1,758,896 2,355,586 743,121 12,405,670 4,627,891 1,613,921 4,684,372 1,216,738 2,513,299 1,123,380 16,073,550 3,197,069 2,254,067 2,336,295 1,832,916 906,806 970,764
Ketersediaan Data untuk Analisis Data Panel
316,173,000
Sumber: International Monetary Fund, UNDP (data diolah).
Maju
Tersedia Tersedia Tersedia Tidak Tersedia Tersedia Tidak Tersedia Tidak Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tidak Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tidak Tersedia Tersedia
57 Lampiran 2 Data untuk Analisis Data Panel (1) Negara Afrika Selatan Afrika Selatan Afrika Selatan Afrika Selatan Amerika Serikat Amerika Serikat Amerika Serikat Amerika Serikat Australia Australia Australia Australia Brasil Brasil Brasil Brasil Britania Raya Britania Raya Britania Raya Britania Raya India India India India Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Sumber: diolah).
Rangking Kemudahan Indeks Indeks International Membayar Pajak Demokrasi Country Risk Guide (Persen) (Satuan) (Persen) (Persen) 2008 28.15 61 79 41.67 2009 25.42 46 79 33.33 2010 25.88 23 78 50.00 2011 26.08 24 78 41.67 2008 10.38 76 82 66.67 2009 8.52 46 82 66.67 2010 9.19 61 82 66.67 2011 10.09 62 81 66.67 2008 24.30 41 91 75.00 2009 22.16 48 92 75.00 2010 20.67 47 92 83.33 2011 20.52 48 92 83.33 2008 15.91 137 74 50.00 2009 14.80 145 73 50.00 2010 14.63 150 71 50.00 2011 15.74 152 71 50.00 2008 28.77 12 82 66.67 2009 25.79 16 82 66.67 2010 26.67 16 82 66.67 2011 27.41 16 82 66.67 2008 10.75 165 78 42.67 2009 9.64 169 75 41.67 2010 10.09 169 73 42.67 2011 10.39 164 73 33.33 2008 13.04 110 63 66.67 2009 11.43 116 64 50.00 2010 10.85 127 65 50.00 2011 11.77 130 65 50.00 Economist Intelligent Unit, PwC, Worldbank, Political Risk Services (data
Tahun Penerimaan Pajak
58 Lampiran 3 Data untuk Analisis Data Panel (2) Rangking Kemudahan Indeks Indeks International Membayar Pajak Demokrasi Country Risk Guide (Persen) (Satuan) (Persen) (Persen) Italia 2008 22.39 122 80 41.67 Italia 2009 22.95 128 79 41.67 Italia 2010 22.66 136 78 41.67 Italia 2011 22.49 128 77 41.67 Jepang 2008 9.28 105 83 50.00 Jepang 2009 8.70 112 82 50.00 Jepang 2010 9.14 123 81 75.00 Jepang 2011 9.77 112 81 75.00 Jerman 2008 11.55 67 88 83.33 Jerman 2009 11.87 80 86 83.33 Jerman 2010 11.39 71 84 83.33 Jerman 2011 11.80 88 83 83.33 Kanada 2008 12.78 25 91 83.33 Kanada 2009 12.50 28 91 83.33 Kanada 2010 12.08 28 91 83.33 Kanada 2011 11.62 10 91 83.33 Korea Selatan 2008 16.30 40 80 50.00 Korea Selatan 2009 15.45 43 81 41.67 Korea Selatan 2010 15.15 49 81 50.00 Korea Selatan 2011 15.58 49 81 50.00 Perancis 2008 21.67 82 81 83.33 Perancis 2009 19.85 66 79 83.33 Perancis 2010 21.34 59 78 75.00 Perancis 2011 21.25 55 78 70.00 Rusia 2008 15.82 130 45 33.33 Rusia 2009 12.96 134 44 50.00 Rusia 2010 13.05 103 43 33.33 Rusia 2011 15.03 105 39 33.33 Turki 2008 18.44 54 57 41.67 Turki 2009 19.26 68 57 41.67 Turki 2010 20.39 75 57 41.67 Turki 2011 20.06 75 57 41.67 Sumber: Economist Intelligent Unit, PwC, Worldbank, Political Risk Services (data diolah). Negara
Tahun Penerimaan Pajak
59 Lampiran 4 Hasil Estimasi Pooled Least Square Dependent Variable: TAXREV Method: Panel Least Squares Date: 10/11/13 Time: 16:34 Sample: 2008 2011 Periods included: 4 Cross-sections included: 15 Total panel (balanced) observations: 60 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(TAXRANK) DEMOCR ICRG
42.34821 -5.030581 0.049813 -0.144766
7.534714 1.054935 0.074847 0.054674
5.620413 -4.768617 0.665528 -2.647785
0.0000 0.0000 0.5084 0.0105
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.317120 0.280537 5.081998 1446.296 -180.6088 8.668530 0.000081
Sumber: EViews (data diolah)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
16.56017 5.991426 6.153627 6.293250 6.208241 0.143945
60 Lampiran 5 Hasil Estimasi Fixed Effect Model Dependent Variable: TAXREV Method: Panel Least Squares Date: 10/11/13 Time: 16:34 Sample: 2008 2011 Periods included: 4 Cross-sections included: 15 Total panel (balanced) observations: 60 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(TAXRANK) DEMOCR ICRG
17.99029 0.832187 -0.064120 -0.000795
8.481838 0.664903 0.106233 0.028291
2.121036 1.251592 -0.603579 -0.028110
0.0399 0.2176 0.5494 0.9777
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.982835 0.975888 0.930360 36.35393 -70.10505 141.4628 0.000000
Sumber: EViews (data diolah)
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
16.56017 5.991426 2.936835 3.565138 3.182599 2.131044
61 Lampiran 6 Hasil Estimasi Random Effect Model Dependent Variable: TAXREV Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 10/11/13 Time: 16:35 Sample: 2008 2011 Periods included: 4 Cross-sections included: 15 Total panel (balanced) observations: 60 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(TAXRANK) DEMOCR ICRG
15.74652 0.309579 -0.005389 -0.001309
6.671582 0.627669 0.077230 0.026900
2.360237 0.493220 -0.069773 -0.048675
0.0218 0.6238 0.9446 0.9614
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
5.431903 0.930360
Rho 0.9715 0.0285
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.004156 -0.049193 0.970996 0.077900 0.971703
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
1.413016 0.947959 52.79863 1.475654
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
-0.037730 2197.845
Sumber: EViews (data diolah)
Mean dependent var Durbin-Watson stat
16.56017 0.035450
62 Lampiran 7 Hasil Chow Test Redundant Fixed Effects Tests Equation: FEM Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic
d.f.
Prob.
(14,42) 14
0.0000 0.0000
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
7.998691
3
0.0460
116.351231 221.007503
Sumber: EViews (data diolah)
Lampiran 8 Hasil Haussman Test Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: REM Test cross-section random effects
Test Summary Cross-section random
Sumber: EViews (data diolah)
Melalui pengujian dengan menggunakan Uji Chow pada taraf nyata 5 persen diperoleh nilai probabilitas (p-value) lebih kecil dari taraf nyata (0.000 < a 5 %) maka tolak H0. Dari hasil Uji Haussman, diperoleh nilai probabilitas (pvalue) lebih kecil dari taraf nyata (0.0460< a 5 %) maka tolak H0. Oleh karena itu , disimpulkan bahwa Fixed Effect Model merupakan pendekatan analisis regresi data panel yang terbaik.
63 Lampiran 9 Hasil Uji Normalitas Data 10
Series: Standardized Residuals Sample 2008 2011 Observations 60
8
6
4
2
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.07e-16 -0.022827 1.367935 -1.403588 0.755395 0.080255 1.817207
Jarque-Bera Probability
3.561907 0.168477
0 -1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
Sumber: EViews (data diolah)
Berdasarkan uji normalitas, didapatkan nilai probabilitas Jarque Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5 persen (3.561907 > a 5 %). Hal ini berarti error term terdistribusi dengan normal, sehingga pengujian menggunakan statistik-t telah sah.
64 Lampiran 10 Fixed Effect Model dengan pembobotan (cross section weights) dan white cross section. Dependent Variable: TAXREV Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 10/11/13 Time: 11:03 Sample: 2008 2011 Periods included: 4 Cross-sections included: 15 Total panel (balanced) observations: 60 Linear estimation after one-step weighting matrix White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(TAXRANK) DEMOCR ICRG
10.64933 0.907513 0.016504 0.014456
2.265920 0.240900 0.024682 0.008438
4.699783 3.767173 0.668688 1.713317
0.0000 0.0005 0.5074 0.0940
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.994216 0.991875 0.895314 424.7044 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
24.67671 17.38423 33.66666 2.425999
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.982488 37.08858
Sumber: EViews (data diolah)
Mean dependent var Durbin-Watson stat
16.56017 2.114715
65 Lampiran 11 Kerugian Akibat Penghindaran Pajak di Indonesia dan Australia Negara Indonesia Rata-rata Australia Rata-rata
Kerugian akibat Persentase dari Penghindaran Pajak (Rata- Penerimaan Pajak rata per Tahun) Tahun 2012 (%) Rp 78,88 triliun 7.37% Rp 110 triliun 10.82% Rp 94,44 triliun 9.10% Rp 114 triliun 2.56% Rp 176 triliun 3.95% Rp 145 triliun 3.26%
Keterangan: Kurs Rupiah terhadap Dollar: Penerimaan Pajak Indonesia Tahun 2012: Penerimaan Pajak Australia Tahun 2012: PDB IndonesiaTahun 2012: PDB Australia Tahun 2012:
Persentase dari PDB Tahun 2012 (%) 0.74% 1.09% 0.92% 0.65% 1.00% 0.83% Rp Rp Rp Rp Rp
Sumber (Tahun Penelitian) GFI (2012) Prakarsa (2013) ACTU (2011) ABS (2010)
11,450.00 1,016,237,000,000.00 4,466,267,150,000.00 10,055,367,100,000.00 17,653,575,650,000.00
Sumber: Kurs BCA (1 September 2013) Dirjen Pajak, ATO, IMF (data diolah).
66
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Lira Wigiana, lahir pada tanggal 23 Mei 1991 di Kuningan, Jawa Barat. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Sugiatna Sumawikarta dan Euis Wiarsih. Penulis mengawali jenjang pendidikannya dari taman kanak-kanak pada tahun 1996 di TK Aryandini Bandung kemudian pada tahun 1997 dilanjutkan ke SD Kartika 11-10 Bandung. Tahun 2003 penulis melanjutkan studinya ke SMP Negeri 34 Bandung hingga lulus pada tahun 2006 kemudian dilanjutkan ke SMA Negeri 12 Bandung hingga lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa lembaga intra dan ekstra kampus. Lembaga intra kampus yang diikuti, yaitu: Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (Hipotesa) FEM IPB sebagai bendahara divisi Information, Promotion, and Internal Relationship (Intel) (20102011); Community of Art, Sport, and Culture (COAST) Art FEM IPB dalam Klub Musik Perkusi (2011); Onigiri Japan Club (2010-sekarang); dan sebagai Dewan Kehormatan di UKM Lingkung Seni Sunda (Lises) Gentra Kaheman (2010sekarang). Lembaga ekstra kampus yang diikuti yaitu Gerakan Masyarakat Jawa Barat (Gema Jabar) sebagai tim kesekretariatan (2011-sekarang). Selain itu semasa tingkat 1 perkuliahan sempat bergabung dengan UKM Bola Voli, UKM Bulutangkis, dan Paguyuban Mahasiswa Bandung (Pamaung) di IPB. Penulis pun aktif di berbagai acara intra dan ekstra kampus, baik sebagai panitia maupun pengisi acara, seringkali sebagai pemain musik. Disamping kelembagaan dan kepanitiaan yang diikuti, penulispun giat mencari berbagai pengalaman dan kemampuan, antara lain dengan bergabung sebagai pekerja paruh waktu di Animax Action Club (AAC) Indonesia, serta mengikuti les bahasa Inggris dan Jepang.