ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA BERDASARKAN KONSEP VALUE FOR MONEY SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN SISTEM ADMINISTRASI MODERN PADA KANTOR WILAYAH DJP JAKARTA I
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA EKONOMI Program Studi Akuntansi
Nama
: RODHIAN WIJAYA
NIM
: 03202-344
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2007
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
Nama
: Rodhian Wijaya
NIM
: 03202-344
Program Studi
: Akuntansi
Judul Skripsi
: Analisis Perbandingan Kinerja Berdasarkan Konsep Value For Money Sebelum dan Sesudah Penerapan Sistem Administrasi Modern Pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I
Tanggal Ujian Skripsi : 3 Maret 2007
Disahkan Oleh : Pembimbing,
(Dra. Nurlis, Ak., Msi) Tanggal :
Dekan,
Ketua Program Studi Akuntansi,
(Drs. Hadri Mulya, Msi)
(H. Sabarudin Muslim, SE, M.Si)
Tanggal :
Tanggal :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Rumitnya masalah yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini membuat pemerintah dari segala lapisan harus menerapkan suatu sistem dan strategi perekonomian yang baik dan benar. Strategi perekonomian yang baik adalah strategi yang bisa memberikan manfaat sebesarnya bagi kepentingan rakyat, sedangkan strategi perekonomian yang benar menuntut adanya penerapan prinsip ekonomi yang konsisten dan penerapan peraturan perundangan yang berlaku secara tegas, bersih dan berwibawa. Naiknya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan pula naiknya harga BBM dalam negeri seiring ditariknya subsidi pemerintah atas BBM, membuat beban rakyat menjadi semakin berat. Ditambah pula nilai tukar Rupiah atas Dolar yang masih sangat fluktuatif, membuat ketidakpastian ekonomi secara makro. Keadaan ekonomi ini menuntut Pemerintah Indonesia harus melakukan revisi APBN dengan memperketat pengeluaran negara dan meningkatkan penerimaan negara dari berbagai sektor. Berbeda dengan keadaan Indonesia pada dekade 80 dan 90an, dimana penerimaan dari sektor Migas masih dapat diandalkan sebagai penerimaan negara yang paling besar. Di masa sekarang ini Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan penerimaan dari ekspor Migas, melainkan sumber penerimaan terbesar yang diharapkan adalah sumber pendanaan intern, salah satunya yaitu dari sektor Pajak.
2
Tingginya pengharapan pemerintah atas penerimaan Pajak, menuntut Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyelenggara pemungutan pajak di Indonesia harus bekerja lebih keras dan lebih profesional. Kepercayaan rakyat pada pemerintah menjadi kunci utama pulihnya perekonomian Indonesia. Tanpa kepercayaan rakyat pada pemerintah, rakyat tidak akan membayar pajak dengan penuh kesadaran dan tanpa penyelewengan. Selain itu tugas terberat Direktorat Jenderal Pajak adalah untuk mengembalikan citra aparat pemerintah yang bersih dan berwibawa. Aparat pemerintah, khususnya dalam hal ini aparat pajak, diharuskan memiliki profesionalisme dalam bekerja, dengan menerapkan peraturan perpajakan yang berlaku secara tegas dan memberikan pelayanan prima kepada Wajib Pajak. Dalam mewujudkan tujuan diatas, Direktorat Jenderal Pajak menerapkan sebuah sistem baru dan sebuah tatanan baru baik organisasional maupun fungsional yang diharapkan akan memberikan konstribusi positif bagi peningkatan penerimaan Pajak di Indonesia. Dengan sistem yang baru yang dinamakan sebagai Sistem Administrasi Modern ini, banyak sekali hal yang akan diperbaharui, termasuk salah satunya dengan Internal Control yang akan lebih ditingkatkan, serta membatasi kontak langsung antara aparat pajak (fiskus) dengan Wajib Pajak (WP). Hal ini diharapkan akan memperkecil kemungkinan tejadinya penggelapan pajak yang selama ini sering terjadi karena adanya kesepakatan diluar hukum antara aparat pajak dan Wajib Pajak. Atas dasar itulah peneliti ingin mencoba membuat sebuah penelitian untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penerapan Sistem Administrasi Modern di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
3
khususnya Kantor Wilayah DJP Jakarta I dalam memulihkan citra aparat pajak yang bersih dan berwibawa, dengan menggunakan konsep Value for money. Inti dari konsep Value for Money adalah dengan menilai kinerja dari tiga segi yaitu tingkat keekonomisan, tingkat keefisienan, dan tingkat keefektivitasan organisasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 254/KMK.01/2004 tanggal 31 Maret 2004 tentang Organisasi dan Tata kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 167/KMK.01/2005 tanggal 31 Maret 2005 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 254/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, maka secara bertahap Sistem Administrasi Modern mulai diterapkan di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dimulai dari Kantor Wilayah DJP WP Besar dan Kantor Wilayah DJP Jakarta I, dan secara bertahap akan diterapkan di seluruh Kantor Wilayah di Indonesia. Beberapa perbedaan mendasar dari penerapan Sistem Administrasi Modern yang dapat dijadikan studi analisis antara lain : 1. Secara organisatoris KPP (Kantor Pelayanan Pajak), KPPBB (Kantor Pelayanan PBB) dan Karikpa (Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak) akan bergabung dalam sebuah Kantor Pelayanan Pajak Pratama, sehingga pelayanan pajak maupun PBB tidak terpisah .
4
2. Terdapat sebuah Kantor Pelayanan Pajak Madya untuk setiap Kantor Wilayah, dimana KPP Madya tersebut bertugas untuk mengadministrasikan 200-300 Wajib Pajak Badan terbesar di Kantor Wilayah tersebut tetapi Kantor Pelayanan Pajak Madya tersebut tidak mengadministrasikan PBB dan BPHTB. 3. Perubahan mendasar pada struktur jabatan dan wewenang baik di Kantor Wilayah, KPP Madya maupun KPP Pratama yaitu dengan tidak ada lagi fungsi
Koordinator
Pelaksana,
digantikan
dengan
adanya
Account
Representative (AR) yang bertanggung jawab melayani dan mengawasi kepatuhan beberapa Wajib Pajak. Untuk KPP Pratama dikenal pula istilah GS (General Service) yang bertugas melayani Wajib Pajak dalam suatu wilayah tertentu. 4. Fungsi pemeriksaan pajak dilakukan oleh jabatan fungsional yang terdiri dari 2 kelompok yaitu : Fungsional Pemeriksa Pajak dan Fungsional PBB Penilai. Penerapan metode pemeriksaan dan penyampaian berkas-berkas melalui surat maupun elektronik mail, untuk memperkecil peluang terjadinya KKN. 5. Kantor Pelayanan Pajak disusun oleh sebuah struktur berdasarkan fungsi. Artinya dengan struktur baru ini tidak ada lagi pembagian Bidang berdasarkan jenis pajak tetapi berdasarkan fungsi seperti Penyuluhan, Pelayanan, dan Pengawasan. 6. Penyediaan sarana dan prasarana yang lebih memadai, pengolahan dan pengelolaan Pusat Data Pajak yang lebih akurat, manajemen SDM yang lebih unggul, serta memberikan standar gaji yang lebih tinggi. Semua ini ditujukan
5
untuk mendorong aparat pajak dapat bekerja lebih profesional dalam melayani Wajib Pajak. Perbedaan-perbedaan dasar itu akan sangat menentukan citra dan kinerja DJP di masa yang akan datang. Secara mutlak citra DJP di mata masyarakat harus diubah, karena berdasarkan survey masyarakat, saat ini DJP merupakan instansi kedua yang paling tinggi tingkat korupsinya setelah DJBC. Serta pendapat beberapa ahli ekonomi seperti Kwik Kian Gie yang mengatakan bahwa DJP mengalami kebocoran dana sebesar 180 trilyun. Hal senada juga dikatakan pengamat ekonomi Faisal Basri. Untuk itulah diperlukan sebuah perubahan mendasar dalam kinerja DJP, salah satunya dengan diterapkannya Sistem Administrasi Modern di DJP. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, pada skripsi ini peneliti mencoba untuk menganalisis penerapan sistem Administrasi Modern yang dilaksanakan pada salah satu kantor wilayah dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dengan judul ”ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA BERDASARKAN KONSEP VALUE FOR MONEY SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN SISTEM ADMINISTRASI MODERN PADA KANTOR WILAYAH DJP JAKARTA I”. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang diterapkannya Sistem Administrasi Modern pada Direktorat Jenderal Pajak di atas, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa maslah sebagai berikut :
6
1. Bagaimanakah kinerja berdasarkan konsep Value for Money sebelum penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I? 2. Bagaimanakah kinerja berdasarkan konsep Value for Money sesudah penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I? 3. Bagaimanakah perbandingan kinerja berdasarkan konsep Value for Money sebelum dan sesudah penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah mengetahui kinerja berdasarkan konsep Value for Money sebelum dan sesudah penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I serta menganalisis perbandingan kinerja berdasarkan konsep Value for Money sebelum dan sesudah penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I. 2. Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini penulis berharap dapat memberi beberapa manfaat sebagai berikut : a. Bagi penulis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menambah wawasan serta pengetahuan tentang pengukuran kinerja organisasi sektor publik berdasarkan konsep value for money. b. Bagi instansi Direktorat Jenderal Pajak khususnya Kantor Wilayah DJP Jakarta I, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
7
melakukan perbaikan dan peningkatan kinerja organisasi dalam dalam rangka memulihkan citra aparat pajak yang bersih dan berwibawa. c. Bagi masyarakat, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi atau bahan acuan untuk menambah pengetahuan tentang kinerja Direktorat Jenderal Pajak.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Tentang Pengukuran Kinerja 1. Pengertian Pengukuran Kinerja Dalam suatu organisasi, pengukuran kinerja merupakan hal yang sangat penting sebagai sarana untuk menilai prestasi pimpinan organisasi maupun seluruh komponen dalam organisasi tersebut, serta memberikan pandangan dan solusi yang akan diambil dalam masa yang akan datang. Pengukuran kinerja ini biasanya dilakukan setelah tahap pelaksanaan kegiatan serta dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu. Terdapat beberapa definisi pengukuran kinerja yaitu : a. Berdasarkan Governmental Accounting Standards Board (2000) : Performance measures are meant to provide more complete information about an entity’s performance than do traditional budgets or financial statements and schedules. Primarily, performance measures are concerned with the result of the services delivered by the government. Subsequently, they help to provide a basis for assessing the economy, efficiency, and effectiveness of those services. b. James B.Whitaker dalam bukunya “The Government Performance Results Act of 1993” sebagaimana dikutip dalam modul Sistem Pengendalian Manajemen Sektor Publik (LAN dan BPKP 2001 : 5), menyebutkan bahwa “pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas”. c. Robert Simon dalam bukunya “Performance Measurement and Control Systems for Implementing Strategy“ sebagaimana dikutip dalam modul Sistem
9
Pengendalian Manajemen Sektor Publik (LAN dan BPKP 2001 : 5), menyebutkan bahwa “performance measurement system membantu manajer dalam memonitor (tracking) implementasi strategi bisnis dengan cara membandingkan antara hasil aktual dengan sasaran dan tujuan strategis”. d. Dalam “Reference Guide”, Province of Alberta, Canada, sebagaimana dikutip dalam modul Sistem Pengendalian Manajemen Sektor Publik (LAN dan BPKP 2001 : 5) disebutkan bahwa “pengukuran kinerja merupakan suatu metode untuk menilai kemajuan yang telah dicapai dibandingkan dengan tujuan yang telah ditetapkan”. e. Menurut Osborn, Schermerhorn dan Hunt (1994 : 147) menyebutkan bahwa “performance merupakan ringkasan pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif sebagai kontribusi yang dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap unit kerja dan organisasinya”. Performance is a summary measure of the quantity and quality of task contribution made by an individual or group to the work unit and organization. d. Menurut Mowen dan Hansen (2000 : 520) menyebutkan bahwa ”pengukuran kinerja didapatkan dari visi, strategi dan tujuan-tujuan perusahaan yang pengukurannya harus diseimbangkan antara outcome dan pemacu kinerja, obyektif dan subyektif, eksternal dan internal, serta finansial dan non finansial”. Performance measures are derived from a company’s vision, strategy, and objectives. These measures must be balanced between outcome measures and lead measures (performance drivers), between objective and subjective measures, between external and internal measures, and between financial and non financial measures.
10
Dari berbagai pendapat tentang definisi pengukuran kinerja diatas dapat diambil benang merah bahwa pengertian pengukuran kinerja adalah pengukuran keberhasilan organisasi dalam mencapai target kinerja sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi baik secara kualitatif dan kuantitatif untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. 2. Tujuan Pengukuran Kinerja Dalam buku Akuntansi Sektor Publik (Mardiasmo 2002), secara umum dijelaskan tujuan sistem pengukuran kinerja yaitu : a. Untuk mengkomunikasikan strategi secara lebih baik (top down dan bottom up). b. Untuk mengukur kinerja finansial dan non finansial secara berimbang sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strategi. c. Untuk mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan bawah serta memotivasi untuk mencapai goal congruence. d. Sebagai alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan kemampuan kolektif rasional. 3. Manfaat Pengukuran Kinerja Dalam modul Sistem Pengendalian Manajemen Sektor Publik (LAN dan BPKP 2000) dijelaskan tentang manfaat pengukuran kinerja yaitu : a. Memberikan pemahaman mengenai ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja manajemen. b. Memberikan arah untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan.
11
c. Untuk
memonitor
dan
mengevaluasi
pencapaian
kinerja
dan
membandingkannya dengan target kinerja serta melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki kinerja. d. Sebagai dasar untuk memberikan penghargaan dan hukuman (reward & punishment) secara obyektif atas pencapaian prestasi yang diukur sesuai dengan sistem pengukuran kinerja yang telah disepakati. e. Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi. f. Membantu mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi. g. Membantu memahami proses kegiatan instansi pemerintah. h. Memastikan bahwa pengambilan keputusan dilakukan secara obyektif. i. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan. j. Mengungkapkan permasalahan yang terjadi. 4. Indikator Pengukuran Kinerja Kinerja organisasi sektor publik bersifat multidimensional. Oleh karena itu diperlukan suatu indikator kinerja. Indikator kinerja digunakan sebagai indikator untuk menilai pelaksanaan strategi yang telah ditetapkan. Menurut Mardiasmo, indikator kinerja dapat berbentuk faktor-faktor keberhasilan utama organisasi (critical success factors) dan indikator kinerja kunci (key performance indicator). Faktor Keberhasilan Utama adalah suatu area yang mengindikasikan kesuksesan kinerja unit kerja organisasi. Critical success factors tersebut harus secara konsisten mengikuti perubahan yang terjadi dalam organisasi.
12
Indikator Kinerja Kunci merupakan sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kinerja kunci baik yang bersifat finansial maupun nonfinansial untuk melaksanakan operasi dan kinerja operasi bisnis. Penggunaan indikator kinerja diperlukan untuk menilai apakah organisasi telah efisien dan efektif, dengan memperhatikan komponen-komponen sebagai berikut : a) Biaya pelayanan (cost of service) b) Penggunaan (utilization) c) Kualitas dan standar pelayanan (quality and standards) d) Cakupan pelayanan (coverage) e) Kepuasan (satisfaction) Indikator Biaya Pelayanan pada intinya memperhitungkan antara biaya yang diperlukan dalam pelayanan. Indikator penggunaan pada dasarnya membandingkan antara jumlah pelayanan yang ditawarkan dengan permintaan dan harapan publik Indikator kualitas dan standar pelayanan merupakan indikator yang menyangkut pertimbangan yang bersifat subyektif. Indikator cakupan pelayanan perlu dipertimbangkan apabila terdapat kebijakan atau peraturan perundangan yang mensyaratkan untuk memberikan pelayanan dengan tingkat pelayanan minimal yang telah ditetapkan. Indikator kepuasan biasanya diukur melalui metode jajak pendapat secara langsung.
13
Berdasarkan modul Sistem Pengendalian Manajemen Sektor Publik, indikator
kinerja
adalah
ukuran
kuantitatif
dan/atau
kualitatif
yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Ada beberapa jenis indikator kinerja yang sering digunakan dalam mengukur pelaksanaan kinerja organisasi, yaitu indikator masukan, indikator proses, indikator output, indikator hasil, indikator manfaat, dan indikator dampak. Indikator masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, informasi, kebijaksanaan/peraturan perundang-undangan, dan sebagainya. Indikator proses (process) adalah segala besaran yang menunjukkan upaya yang dilakukan dalam rangka mengolah masukan menjadi keluaran. Sedangkan indikator keluaran (output) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau non fisik. Selanjutnya indikator hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Sedangkan indikator dampak (impact) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. B. Pengukuran Kinerja Berdasarkan Konsep Value for Money Masyarakat dewasa ini menuntut adanya pertanggungjawaban organisasi sektor publik atau instansi pemerintah dalam pelaksanaan kegiatannya.
14
Pertanggungjawaban ini dapat berupa value for money yakni pertanggungjawaban organisasi sektor publik yang meliputi tiga hal yaitu : ekonomis (hemat cermat) dalam pengadaan dan alokasi sumber daya, efisiensi (berdaya guna) dalam penggunaan sumber daya dalam arti penggunaannya diminimalkan dan hasilnya dimaksimalkan (maximizing benefits and minimizing costs), serta efektif (berhasil guna) dalam arti mencapai tujuan dan sasaran. Dalam pengukuran value for money juga perlu dikembangkan indikator kinerja, yang dibagi menjadi dua bagian yaitu indikator alokasi biaya (ekonomi dan efisiensi) dan indikator kualitas (efektivitas). Pengukuran value for money yang membahas tiga hal yang telah disebutkan di atas sebagai berikut : Gambar 2.1 Konsep Value for Money Value for Money
EKONOMIS (hemat)
NILAI INPUT(Rp)
EFEKTIFITAS (berhasil guna)
EFISIENSI (berdaya guna)
INPUT
OUTPUT
TUJUAN
Sumber: Buttery, Roger and Robert K. Simpson. Audit in The Public Sector. 2nd edition. England, Woodhead Taulkner,1989., hal. 85.
15
1. Ekonomis Ekonomis menurut Mardiasmo adalah pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi merupakan perbandingan input dengan input value yang dinyatakan dalam satuan moneter. Pengertian ekonomis yang dikemukakan oleh Mardiasmo sebenarnya bersumber dari pengertian ekonomis yang dikemukakan oleh Roger Buttery dan Robert K. Simpson (1989 : 84) : Economy is the relationship between the market value and inputs. In other words, it is the practice of buying goods and services of the desired quality at the best possible price. Sedangkan dalam buku yang berjudul “Public Sector Accounting” disebutkan bahwa economy concern only inputs (Rowan dkk. 2000). Dan dalam kamus besar bahasa Indonesia ekonomis diartikan dengan bersifat hati-hati dalam pengeluaran uang, penggunaan barang, waktu, tidak boros, hemat. Jadi pengukuran ekonomi hanya mempertimbangkan masukan yang digunakan. Ekonomi merupakan ukuran relatif yang dapat diukur dari biaya pengadaan barang atau jasa. 2. Efisiensi Efisiensi adalah pencapaian output yang maksimum dengan input tertentu atau penggunaan input yang terendah untuk mencapai output tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan (Mardiasmo 2002).
16
Dalam bukunya yang berjudul “Accounting A Social Institutions A Unified Theory for The Measurement of The Profit and Non Profit Sectors”, Julius Cherny menyebutkan bahwa efisiensi adalah permintaan barang atau jasa dalam jumlah besar dengan menggunakan sumber daya dalam jumlah sedikit pada suatu waktu atau “efficiency is the delivery of the greater amount of goods/services using the least amount resources within a certain time frame” (Cherny dkk. 1992 : 11). Dalam “Audit Sector Public”, efisiensi merupakan hubungan antara input dan output yaitu dalam menggunakan barang dan jasa yang dibeli oleh organisasi untuk mencapai output yang diharapkan atau “efficiency is the relationship between inputs and outputs, it is the efficient use of the goods and services bought by the organization to achieve desired output” (Buttery dan Simpson 1989 : 85). Menurut Jones Rowan dan Maurice Pedlebury (2000), efisiensi juga dapat dihitung dengan menggunakan rasio yaitu membandingkan antara output dan input. Ini dapat dikembangkan dengan empat cara, yaitu: a) Meningkatkan output dengan input yang sama. b) Meningkatkan output dengan proporsi yang lebih besar dengan daripada proporsi peningkatan input. c) Menurunkan input dengan output yang sama. d) Menurunkan input dengan proporsi yang lebih besar dari pada proporsi penurunan output. Rasio pengukur efisiensi tersebut dapat dirumuskan : Efisiensi =
Output Input
17
3. Efektivitas Menurut Mardiasmo efektivitas adalah tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara sederhana efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output. Selain Mardiasmo ada beberapa ahli yang berhasil mendefinisikan efektivitas, yaitu: a) Efektivitas adalah kepuasan dari banyak orang tentang terpenuhinya kebutuhan dan keinginan atau “Effectiveness is the satisfaction of the needs and wants of the greatest number of people” (Cherny dkk. 1992 : 11). b) Menurut Peter Drucker, efektivitas adalah pondasi dari kesuksesan. “Effectiveness is the foundation of success. Effectiveness is doing the right things” (Hersey dkk. 1996 : 144). c) Efektivitas merupakan hubungan antara output dan tujuan. “Effectiveness is the relationship between outputs and objectives. In other words, it is measure of the extend to which the organisation’s outputs, policies and procedures achieve its stated objectives.” (Buttery dan Simpson 1989 : 85). d) Sedangkan Rowan Jones mendefinisikan efektivitas adalah kesuksesan atau pencapaian tujuan. “Effectiveness is refers to the success or otherwise in achieving objectives. Effectiveness is about outputs” (Rowan dan Pedlebury 2000 : 10). Jadi efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi berhasil mencapai tujuan, maka organisasi
18
tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif. Efektivitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan. C. Tinjauan Umum Tentang Direktorat Jenderal Pajak 1. Pengertian Pajak Direktorat Jenderal Pajak adalah sebuah lembaga pemerintah dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia yang diberikan hak dan tanggung jawab untuk mengumpulkan pajak di Indonesia, yaitu berupa Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maupun Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) termasuk Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Berdasarkan definisi umum Pajak mempunyai pengertian iuran wajib dari para wajib pajak kepada Negara yang bersifat wajib dan dapat dipaksakan sesuai dengan Undang undang yang berlaku, dengan kontraprestasi tidak langsung, disertai hukuman bagi yang tidak mematuhinya. 2. Pajak, Lembaga Pajak dan Segala Komponen di dalamnya Dalam ruang lingkup Pajak ada beberapa komponen yang menjadi bahan pertimbangan dalam penelitian ini antara lain : a. Jenis Pajak Secara garis besar ada 3 (tiga) jenis pajak utama yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia yaitu : 1) Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-undang Nomor 7 tahun Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah
19
diubah dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1991, Undang-undang Nomor 10 tahun 1994, dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2000 Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2) Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang terjadi atas konsumsi dalam negeri karena penyerahan barang kena pajak. Yang menjadi objek pajak adalah Barang Kena Pajak (BKP), sedangkan subjek pajak adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP). Menurut Undang-undang Nomor 8 tahun Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 tahun 1994, dan Undangundang Nomor 18 tahun 2000 pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa yang dimaksud Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini. Sedangkan dalam pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud. Pengertian Pengusaha Kena Pajak disebutkan dalam pasal 1 angka 14 adalah orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud dalam angka 13 yang dalam
20
kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor
barang,
melakukan
usaha
perdagangan,
memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. 3) Pajak Bumi dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. 4) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan pajak yang dikenakan atas peristiwa terjadinya pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2000. b. Direktorat Jenderal Pajak dan Unit Kantor Pajak dibawahnya Dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 2/ KMK.01/2001 tanggal 3 Januari 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan pasal 326 disebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagan
21
Organisasi dalam Direktorat Jenderal Pajak dapat digambarkan secara garis besar sebagai berikut : Gambar 2.2 Struktur Instansi DJP Direktorat Jenderal Pajak
Sekretariat Direktorat Jenderal
Kantor Wilayah Direktorat
Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Kantor Pelayanan PBB (KPPBB)
Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
Direktorat adalah unit setara eselon II langsung dibawah Direktur Jenderal Pajak, yang terdiri dari : 1) Direktorat Potensi dan Sistem Perpajakan 2) Direktorat Peraturan Perpajakan 3) Direktorat Pajak Penghasilan 4) Direktorat Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung Lainnya 5) Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 6) Direktorat Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak 7) Direktorat Penyuluhan Perpajakan 8) Direktorat Informasi Perpajakan Sedangkan Kantor Wilayah (Kanwil) adalah unit kerja vertikal setara eselon II dibawah Direktur Jenderal Pajak yang dibagi berdasarkan wilayah kerjanya di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
22
443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah DJP, KPP, KP PBB, Karikpa dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 473/KMK.01/2004 tanggal 13 Oktober 2004 pasal 1 ayat (2) Kantor Wilayah mempunyai tugas melaksanakan bimbingan teknis, evaluasi, dan pengendalian pelaksanaan tugas di bidang perpajakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unit kerja setara eselon III yang secara struktur organisasi berada tepat dibawah Kantor Wilayah adalah : 1) Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah DJP, KPP, KP PBB, Karikpa dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 473/KMK.01/2004 tanggal 13 Oktober 2004 pasal 29 ayat (1) Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya dalam keputusan ini disebut KPP adalah Instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah. Sementara didalam pasal 30 disebutkan KPP mempunyai tugas melaksanakan pelayanan, pengawasan administratif, dan pemeriksaan sederhana terhadap Wajib Pajak di bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dan Pajak Tidak
23
Langsung Lainnya dalam wilayah wewenangnya berdasarkan peraturan yang berlaku. 2) Kantor Pelayanan PBB (KPPBB) Masih dalam KMK diatas, disebutkan pada pasal 34 ayat (1) Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya dalam Keputusan ini disebut KPPBB adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah. Sedangkan dalam pasal 35 disebutkan KPPBB mempunyai tugas melaksanakan pelayanan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dalam daerah wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa) Dalam KMK diatas pasal 39 ayat (1) disebutkan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak yang selanjutnya dalam Keputusan ini disebut Karikpa adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah. Di dalam pasal 40 disebutkan bahwa Karikpa mempunyai tugas melaksanakan pemeriksaan lengkap, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan di bidang perpajakan berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. c. Aparat Pajak (fiskus) Aparat atau pegawai pajak adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang hak dan kewajibannya diatur oleh Undang-undang.
24
Menurut
Undang-undang
Republik
Indonesia
Nomor
43
Tahun
1999
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokokpokok Kepegawaian pasal 1 disebutkan bahwa Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d. Wajib Pajak Di dalam Undang-undang Nomor 6 tahun Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana yang Telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1994 dan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 pasal 1 angka 1 disebutkan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. 3. Reformasi Administrasi Direktorat Jenderal Pajak Sistem perpajakan suatu negara terdiri atas tiga unsur, yakni Tax Policy, Tax Law dan Tax Administration. Sistem perpajakan dapat disebut sebagai metoda atau cara bagaimana mengelola utang pajak yang terutang oleh Wajib Pajak dapat mengalir ke kas negara. Empat sistem pemungutan pajak menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2004 : 8) yaitu :
25
1. Official Assesment System yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. 2. Semi Self Assessment System yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada fiskus dan Wajib Pajak untuk menentukan besarnya utang pajak. 3. Self Assessment System yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. 4. Witholding System yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang. Sejak adanya reformasi pajak tahun 1984 Indonesia telah menganut asas Self Assessment, dengan tujuan untuk mengurangi kecurangan pajak apabila pajak secara jabatan ditetapkan oleh aparat pajak. Sejalan dengan hal itu, pada tahun 2001 Direktorat Jenderal Pajak mengadakan reformasi perpajakan dengan menerapkan sebuah Sistem Administrasi Modern. Menurut Gunadi (2003) reformasi perpajakan meliputi dua area, yaitu reformasi kebijakan pajak (tax policy) yaitu regulasi atau peraturan perpajakan yang berupa undang undang perpajakan dan reformasi administrasi perpajakan. Reformasi administrasi memiliki tujuan utama untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kedua, untuk mengadministrasikan penerimaan pajak sehingga transparansi dan akuntabilitas penerimaan sekaligus
26
pengeluaran pembayaran dana dari pajak setiap saat bisa diketahui. Yang ketiga, untuk memberikan suatu pengawasan terhadap pelaksanan pemungutan pajak, terutama adalah kepada aparat pengumpul pajak, kepada Wajib Pajak, ataupun kepada masyarakat pembayar pajak. Mengenai reformasi administrasi, Gerald E. Caiden (1969) seperti dikutip oleh Soesilo Zuhar (2002 : 6), mengemukakan bahwa reformasi administrasi didefiniskan sebagai : “the artificial inducement of administration transformation against resistance.” Definisi dari Caiden ini mengandung beberapa implikasi: reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia (manmade) tidak bersifat eksidental, otomatis maupun alamiah, (2) reformasi administrasi merupakan suatu proses, (3) resistensi beriringan dengan proses reformasi administrasi. Menurut Chaizi Nasucha (2004 : 37), reformasi administrasi perpajakan adalah penyempurnaan atau perbaikan kinerja administrasi, baik secara individu, kelompok, maupun kelembagaan agar lebih efisien, ekonomis, dan cepat. Bird dan Jantscer (1992) seperti dikutip Chaizi Nasucha (2004 : 63), mengemukakan bahwa agar reformasi administrasi perpajakan dapat berhasil, dibutuhkan : (1) struktur pajak disederhanakan untuk kemudahan, kepatuhan, dan administrasi, (2) strategi reformasi yang cocok harus dikembangkan, (3) komitmen politik yang kuat terhadap peningkatan administrasi perpajakan. Menurut Guillermo Perry dan John Walley (2000 : 5), di negara-negara berkembang dimana sistem pajaknya kuat dan struktur pajak telah ditetapkan, reformasi perpajakan mengacu pada usaha peningkatan administrasi perpajakan. Eke (2001) seperti dikutip Chaizi Nasucha
27
(2004 : 64), mengemukakan bahwa “isu keberhasilan reformasi administrasi perpajakan
ke
depan
adalah
kapasitas
administrasi
perpajakan
dalam
mengimplementasikan struktur perpajakan secara efisien dan efektif.” Hal ini meliputi pengembangan sumber daya manusia, teknologi informasi, struktur organisasi, proses dan prosedur, serta sumber daya finansial dan insentif yang cukup. Sasaran administrasi pajak yakni : (1) meningkatkan kepatuhan para pembayar pajak, dan (2) melaksanakan ketentuan perpajakan secara seragam untuk penerimaan maksimal dengan biaya yang optimal. Efektivitas administrasi pajak bukanlah satu-satunya indikator kepatuhan pajak, di negara-negara yang memiliki derajat ketidakpatuhan wajib pajaknya tinggi, kemampuan administrasi pajak untuk memungut pajak yang efektif merupakan kunci pembentukan perilaku pembayar pajak. Menurut Gunadi (2002 : 3) dikemukakan bahwa administrasi perpajakan dituntut bersifat dinamik sebagai upaya peningkatan penerapan kebijakan perpajakan yang efektif. Kriteria fisibilitas administrasi menuntut agar sistem pajak baru meminimalisir biaya administrasi (administrative cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost) serta menjadikan administrasi pajak sebagai bagian dari kebijakan pajak. Tanzi dan Pallechio (1995) dalam Ott (2001) seperti dikutip Chaizi Nasucha (2004 : 66) berkenaan dengan elemen dasar reformasi administrasi perpajakan dinyatakan syarat-syarat sebagai berikut : (1) komitmen politik yang berkelanjutan; (2) staf yang mampu berkonsentrasi terhadap pekerjaan dalam jangka panjang; (3) strategi yang tepat dan didefinisikan dengan baik karena tidak ada strategi yang cocok untuk semua negara; (4) pendidikan dan pelatihan
28
pegawai; (5) tersedia dana dan sumber daya lain yang cukup. Dua tugas utama reformasi administrasi perpajakan menurut Chaizi Nasucha dengan mengutip Ott (2001)
adalah
untuk
mencapai
efektivitas
yang
tinggi,
yaitu
kemampuan untuk mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi dan efisiensi berupa kemampuan untuk membuat biaya admninistrasi per unit penerimaan pajak sekecil-kecilnya. Efektivitas dan efisiensi kadang-kadang menciptakan kontradiksi sehingga diperlukan koordinasi, diperlukan ukuran-ukuran khusus untuk meningkatkan
efektivitas
dan
efisiensi
administrasi
perpajakan.
Dalam
meningkatkan efektivitas digunakan ukuran (1) kepatuhan pajak sukarela, (2) prinsip-prinsip self assesment, (3) menyediakan informasi kepada wajib pajak, (4) kecepatan dalam menemukan masalah-masalah yang berhubungan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) dan pembayaran, (5) peningkatan dalam kontrol dan supervisi, (6) sanksi yang tepat. Dalam meningkatkan efisiensi dalam administrasi perpajakan secara khusus dapat distimulasi oleh: (1) penyediaan unit-unit khusus untuk perusahaan besar; (2) peningkatan perpajakan khusus untuk wajib pajak kecil, (3) penggunaan jasa perbankan untuk pemungutan pajak, dan lain-lain. Chaizi Nasucha (2004 : 68) menambahkan bahwa “reformasi administrasi perpajakan dapat dilaksanakan tanpa melakukan reformasi perpajakan, yaitu untuk mensinergikan faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja organisasi.” Lingkungan eksternal yang dimaksud adalah kebijakan fiskal, antara lain item-item yang tidak dimasukkan dalam dasar pengenaan pajak, pembelanjaan dan pelayanan publik. Dalam ekonomi yang mulai berkembang, administrasi perpajakan harus difokuskan kepada wajib pajak besar secara
29
maksimal dan memberikan kontribusi kepada wajib pajak kecil. Dengan mendasarkan pada teori Caiden (1991), menurut Chaizi Nasucha, empat dimensi reformasi administrasi perpajakan, yaitu: 1) Struktur organisasi. Mengutip Adiwisatra (1998), dijelaskan Chaizi Nasucha bahwa struktur organisasi adalah unsur yang berkaitan dengan pola-pola peran yang sudah ditentukan dan hubungan antar peran, alokasi kegiatan kepada sub unit-sub unit terpisah, pendistribusian wewenang di antara posisi administratif, dan jaringan komunikasi formal. 2) Prosedur organisasi. Prosedur organisasi berkaitan dengan proses komunikasi, pengambilan keputusan, pemilihan prestasi, sosialisasi dan karier. Pembahasan dan pemahaman prosedur organisasi berpijak pada aktivitas organisasi yang dilakukan secara teratur. 3) Strategi organisasi. Strategi organisasi dipandang sebagai siasat, sikap pandangan dan tindakan yang bertujuan memanfaatkan segala keadaan, faktor, peluang, dan sumber daya yang ada sedemikian rupa sehingga tujuan organisasi dapat dicapai dengan berhasil dan selamat. Strategi berkembang dari waktu ke waktu sebagai pola arus keputusan yang bermakna. 4) Budaya organisasi. Budaya organisasi didefinisikan sebagai sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-
30
anggotanya. Budaya organisasi mewakili persepsi umum yang dimiliki oleh anggota organisasi.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Gambaran Umum 1. Sejarah Singkat Kantor Wilayah DJP Jakarta I Sistem Administrasi Modern pertama kali diterapkan pada tahun 2002 dengan membentuk satu kantor pelayanan pajak yang menerapkan sistem tersebut yaitu KPP LTO (Large Tax Office) yang kemudian berganti nama dengan KPP Wajib Pajak Besar. Sebagai sebuah kantor yang menjadi proyek percontohan, KPP tersebut dinilai oleh banyak pihak berhasil dalam merefleksikan reformasi dibidang administrasi perpajakan. Dengan hasil yang menggembirakan tersebut, Menteri Keuangan mencoba kembali untuk mereplikasi keberhasilan tersebut dengan penerapan sistem administrasi perpajakan modern pada wilayah kerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I yang meliputi wilayah Jakarta Pusat dengan penerbitan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 254/KMK.01/2004 tanggal 31 Maret 2004 tentang Organisasi dan Tata kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, yang menjadi dasar pembentukan tim modernisasi administrasi perpajakan di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta I. Proses restrukturisasi organisasi pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I dilaksanakan secara bertahap berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
32
254/KMK.01/2004 tanggal 31 Maret 2004 sttd. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 167/KMK.01/2005 tanggal 31 Maret 2005. Pada tahap pertama ditetapkan pada Kanwil DJP Jakarta I dan KPP Madya Jakarta Pusat yang diresmikan oleh Menteri Keuangan pada tanggal 1 September 2004. KPP Madya Jakarta Pusat dirancang untuk mengadministrasikan 200 Wajib Pajak yang tergolong besar dalam wilayah Kotamadya Jakarta Pusat sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-134/PJ./2004 tanggal 27 Agustus 2004. Untuk mengisi sumber daya manusia dalam kantor tersebut tentu tidak sembarangan, karena dibutuhkan tenaga profesional untuk bisa mewujudkan sebuah kantor dengan standar pengawasan dan pelayanan prima. Untuk itu telah dilakukan seleksi selama tahun 2002 untuk memilih pegawai untuk ditempatkan sebagai Kepala Seksi, Account Representative, dan Fungsional Pemeriksa Pajak pada kantor dengan sistem administrasi modern. Selanjutnya dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-108/PJ./UP.53/2004 tanggal 8 Juli 2004, Nomor : KEP-131/PJ.1/ UP.53/2004 tanggal 20 Agustus 2004 dan Nomor : KEP139/PJ.1/UP.53/2004 tanggal 25 Agustus 2004, Direktur Jenderal Pajak menunjuk secara definitif para Pejabat Eselon IV, Account Representative, dan Pejabat fungsional Pemeriksa Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Jakarta I dan KPP Madya. Pada tahap kedua berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-172/PJ./2004 tanggal 29 Nopember 2004 tentang Penerapan Organisasi Perpajakan Modern pada KPP Pratama Jakarta Gambir Dua ditetapkan pada KPP Pratama Jakarta Gambir Dua yang diresmikan pada tanggal 31 Desember 2004.
33
Pada tahap ketiga berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP93/PJ./2005 tanggal 23 Mei 2004
tentang Penerapan Organisasi Perpajakan
Modern pada KPP Pratama di Lingkungan Kanwil DJP Jakarta I selain KPP Pratama Jakarta Gambir Dua yang dibagi menjadi dua yaitu:
Tiga KPP Pratama yang diresmikan pada tanggal 31 Mei 2005 adalah: i.
KPP Pratama Jakarta Senen
ii.
KPP Pratama Jakarta Menteng Dua
iii.
KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua
Sebelas KPP Pratama yang diresmikan pada tanggal 30 Juni 2005 adalah: i.
KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Satu
ii.
KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga
iii.
KPP Pratama Jakarta Gambir Satu
iv.
KPP Pratama Jakarta Gambir Tiga
v.
KPP Pratama Jakarta Gambir Empat
vi.
KPP Pratama Jakarta Menteng Satu
vii. KPP Pratama Jakarta Menteng Tiga viii. KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu ix.
KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Dua
x.
KPP Pratama Jakarta Cempaka Putih
xi.
KPP Pratama Jakarta Kemayoran .
34
2. Visi, Misi dan Komponen Pendukung a. Visi Menjadi Model Pelayanan Masyarakat yang Menyelenggarakan Sistem dan Manajemen Perpajakan Kelas Dunia yang Dipercaya dan Dibanggakan Masyarakat. b. Misi 1) Fiskal Menghimpun penerimaan Dalam Negeri dari sektor pajak yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan Undangundang Perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi. 2) Ekonomi Mendukung kebijaksanaan Pemerintah dalam mengatasi permasalahan ekonomi bangsa dengan kebijaksanaan perpajakan yang meminimalkan distorsi. 3) Politik Mendukung proses demokratisasi. 4) Kelembagaan Senantiasa memperbaharui diri, selaras dengan aspirasi masyarakat dan tenokrasi perpajakan serta administrasi perpajakan mutakhir. c. Komponen Pendukung Dalam meningkatkan pelayanan dan pengawasan prima, Kantor Wilayah DJP Jakarta I dilengkapi dengan komponen-komponen :
35
1) Organisasi yang berbasiskan fungsi yaitu fungsi penyuluhan, pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan. 2) Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT) yang dikendalikan oleh case management system dalam workflow system. 3) Sistem Rekening Wajib Pajak (Taxpayers’ Account) yang berfungsi untuk mencatat secara otomatis setiap perubahan yang terjadi terhadap hak dan kewajiban wajib pajak sebagai akibat dari pembayaran pajak, penetapan, keberatan, pemindahbukuan, Surat Pemberitahuan (SPT), dan dokumen perpajakan lainnya sehingga memudahkan pengawasan atas hak dan kewajiban perpajakan bagi masing-masing Wajib Pajak. 4) Tatacara pembayaran pajak secara elektronik sehingga wajib pajak dapat melakukan pembayaran pajak pada tempat pembayaran secara on-line. 5) Fasilitas SPT dengan menggunakan media komputer (e-SPT). 6) Otomasi sistem penagihan tunggakan pajak yang meliputi pencairan tunggakan pajak, monitoring proses penagihan, menghitung denda dan bunga, pembuatan laporan, dan pencetakan produk hukum penagihan. 7) Kode Etik Pegawai DJP yang mengatur perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas.
3. Struktur dan Fungsi serta Prosedur Organisasi a. Struktur Organisasi dan Fungsinya Struktur organisasi pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I adalah struktur organisasi yang disusun berdasarkan fungsi sehingga penugasan setiap pegawai menjadi terspesialisasi dan terarah untuk saling membantu dalam memberikan
36
serta meningkatkan layanan secara profesional kepada Wajib Pajak. Untuk menunjang hal tersebut, struktur organisasi baik di Kantor Wilayah DJP Jakarta I maupun Kantor Pelayanan Pajak Madya dan Pratama mempunyai rincian tugas sendiri-sendiri berdasarkan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya antara lain : 1) Kantor Wilayah DJP Jakarta I Sebagai instansi vertikal di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak, Kantor Wilayah mempunyai tugas melaksanakan bimbingan teknis, evaluasi dan pengendalian pelaksanaan tugas di bidang perpajakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Susunan organisasi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran. Sedangkan deskripsi tugas tiap bagian adalah : a) Bagian Umum Bagian Umum memiliki tugas pokok melaksanakan urusan kepegawaian, keuangan,tata usaha, rumah tangga, dan bantuan hukum. b) Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi mempunyai tugas pemberian dukungan teknis komputer, bimbingan konsultasi, bimbingan penggalian potensi perpajakan, pengumpulan, pencarian, pengolahan data, serta penyajian informasi perpajakan. c) Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak mempunyai tugas melaksanakan bimbingan teknis pemeriksaan dan penagihan pajak, pemantauan pemeriksaan dan penagihan pajak, penelaahan hasil pelaksanaan pekerjaan pejabat
37
fungsional pemeriksa pajak (peer review), bantuan penagihan, serta pelaksanaan administrasi penyidikan termasuk pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan. d) Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan bimbingan dan pemantauan penyuluhan dan pelayanan perpajakan, melaksanakan urusan hubungan pelayanan masyarakat, serta melaksanakan penyuluhan dan pelayanan perpajakan yang menjadi tanggung jawab Kantor Wilayah. e) Bidang Keberatan dan Banding Bidang Keberatan dan Banding mempunyai tugas melaksanakan urusan penyelesaian keberatan, pembetulan Surat Keputusan, pengurangan sanksi administrasi, serta proses banding dan Peninjauan Kembali pada Peradilan Pajak. 2) Kantor Pelayanan Pajak Madya dan Pratama Sebagai instansi vertikal di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, KPP Madya dan Pratama yang dipimpin oleh seorang Kepala Kantor memiliki tugas melaksanakan penyuluhan, pelayanan dan pengawasan Wajib Pajak di bidang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Tidak Langsung Lainnya (PTLL). Khusus KPP Pratama juga melaksanakan penyuluhan, pelayanan dan pengawasan Wajib Pajak di bidang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
38
Bangunan (BPHTB). Susunan Organisasi KPP Madya dan KPP Pratama selengkapnya terdapat pada Lampiran. Selanjutnya susunan dan fungsi tiap-tiap bagian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a) Subbagian Umum Subbagian Umum mempunyai tugas pengurusan kepegawaian, keuangan, dan tata usaha, dan rumah tangga. b) Seksi Pengolahan Data dan Informasi Seksi Pengolahan Data dan Informasi bertugas melakukan pengumpulan, pencarian dan pengolahan data, pengamatan potensi perpajakan, penyajian informasi perpajakan, perekaman dokumen perpajakan, pelayanan dukungan teknis komputer, pemantauan aplikasi e-SPT dan e-Filing, serta penyiapan laporan kinerja; c) Seksi Pelayanan Seksi Pelayanan bertugas melakukan penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan, pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya, penyuluhan perpajakan, pelaksanaan registrasi Wajib Pajak, pelaksanaan ekstensifikasi serta melakukan kerjasama perpajakan; d) Seksi Penagihan Seksi Penagihan mempunyai tugas penatausahaan piutang pajak, penundaan dan angsuran tunggakan pajak, penagihan aktif, usulan penghapusan piutang;
39
e) Seksi Pemeriksaan Seksi Pemeriksaan mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana pemeriksaan, pengawasan pelaksanaan; aturan pemeriksaan, penerbitan dan penyaluran Surat Perintah Pemeriksaan Pajak serta administrasi pemeriksaan perpajakan lainnya; f) Seksi Pengawasan dan Konsultasi I s.d. IV Masing-masing Seksi Pengawasan dan Konsultasi mempunyai tugas melakukan
pengawasan
kepatuhan
kewajiban
perpajakan
Wajib
Pajak,
memberikan bimbingan/himbauan kepada Wajib Pajak dan konsultasi teknis perpajakan, penyusunan profil Wajib Pajak, analisis kinerja Wajib Pajak, melakukan rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam rangka melakukan intensifikasi, serta melakukan evaluasi hasil banding; g) Kelompok Jabatan Fungsional Kelompok Jabatan Fungsional bertugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Prosedur Organisasi Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 254/KMK.01/2004 tanggal 31 Maret 2004 secara jelas telah menetapkan kedudukan, tugas dan fungsi Kantor Wilayah, KPP Madya dan KPP Pratama. Dengan berdasarkan peraturan dan ketentuan yang mengatur prosedur pelayanan dan pengawasan dengan motto "Committed to best service and high standard," peningkatan pelayanan Kantor Wilayah, KPP Madya dan KPP Pratama sebagai proyek replikasi percontohan terlihat dengan terus
40
dikembangkannya administrasi perpajakan modern dan teknologi informasi di berbagai aspek kegiatan berikut: 1) Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) TPT merupakan tempat untuk melayani Wajib Pajak dalam hal pengurusan kewajiban perpajakan yang meliputi penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT), surat permohonan dan surat lainnya. Di TPT juga tersedia brosur-brosur dan help desk untuk membantu memberikan solusi atas pertanyaan dari Wajib Pajak yang memerlukan informasi mengenai teknis perpajakan. Untuk menjamin keakuratan jawaban yang diberikan, petugas help desk dilengkapi dengan knowledge base yang mampu menyediakan informasi perpajakan terkini dan komprehensif. Pada TPT KPP Madya dan KPP Pratama dilengkapi nomor antrian elektronik (electronic queue number). 2) Account Representative (AR) Salah satu hal yang paling membedakan Kantor Wilayah DJP Jakarta I dengan Kantor Wilayah lainnya, yaitu dengan adanya jabatan Account Representative (AR) yang bertugas melakukan pelayanan dan pengawasan secara intensif terhadap Wajib Pajak di masing masing KPP, sesuai dengan konsep Knowing Your Taxpayer. Pengisian jabatan sebagai Account Representative ini dilakukan dengan seleksi dari seluruh pegawai di Indonesia yang memenuhi persyaratan administratif serta lulus dalam seleksi yang meliputi psikotes dan wawancara yang dilakukan oleh lembaga independen (LPM-UI).
41
Seluruh Wajib Pajak mempunyai AR yang bertanggung jawab untuk memberikan jawaban atas setiap pertanyaan yang diajukan Wajib Pajak. AR akan memberikan informasi mengenai : a) Rekening Wajib Pajak untuk semua jenis pajak. b) Kemajuan proses pemeriksaan dan restitusi. c) Interpretasi dan penegasan atas suatu peraturan. d) Perubahan data identitas Wajib Pajak. e) Tindakan pemeriksaan dan penagihan pajak. f) Kemajuan proses keberatan dan banding. g) Perubahan peraturan perpajakan yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. AR merupakan penghubung antara KPP Madya dan KPP Pratama dengan Wajib Pajak, yang bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi perpajakan secara efektif dan profesional. Mereka terlatih untuk memberikan respon yang efektif atas pertanyaan dan permasalahan yang diajukan Wajib Pajak sesegera mungkin. AR juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa Wajib Pajak memperoleh hak-haknya secara transparan. AR memiliki pemahaman tentang bisnis serta kebutuhan Wajib Pajak dalam hubungannya dengan kewajiban perpajakan. Untuk itu AR secara berkala mendapatkan pendidikan dan pelatihan dari berbagai nara sumber. 3) Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT) Dalam mendukung tugas dan keakuratan data yang dibutuhkan, Direktorat Jenderal Pajak khususnya Kantor Wilayah DJP Jakarta I membutuhkan informasi
42
yang memadai dan tepat. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan organisasi DJP, Sistem Informasi Perpajakan (SIP) yang digunakan sejak tahun 1994, sudah tidak memadai untuk melayani dan mengawasi Wajib Pajak secara menyeluruh. Oleh karena itu dalam pembentukan Kantor Wilayah DJP Jakarta I dan KPP Madya serta KPP Pratama, SIP dikembangkan menjadi Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT) yang berbasis struktur organisasi berdasarkan fungsi. Selain itu teknologi ini diperlukan demi memberikan peningkatan dan kemudahan dalam pelayanan pajak dengan konsep e-SPT dan eFiling. Selain memberikan kemudahan, e-SPT juga diharapkan akan memperkecil resiko kesalahan rekam seperti yang banyak terjadi pada sistem pelaporan manual. SAPT yang telah dimanfaatkan untuk mengadministrasikan Wajib Pajak, secara terus menerus disempurnakan. Penyempurnaan-penyempurnaan yang dilakukan antara lain mengintegrasikan seluruh modul yang ada sehingga seluruh kegiatan masing-masing fungsi dapat dimonitor. Pada saat ini, pengolahan hasil pemeriksaan dalam SAPT sedang diujicobakan untuk menghilangkan duplikasi pekerjaan dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengendalian intern. Dengan terpasangnya modul penagihan dalam SAPT maka pelaksanaan penagihan pada KPP Madya dan KPP Pratama akan selaras dengan ketentuan yang berlaku karena saldo tunggakan dan jadwal waktu pelaksanaan penagihan diawasi dengan menggunakan sistem pengawasan khusus. Demikian juga, dalam rangka peningkatan pelayanan dalam bidang keberatan, telah dipasang modul keberatan pada SAPT dengan tujuan untuk mengawasi proses keberatan.
43
Dalam jangka waktu dekat akan dikembangkan Sistem Manajemen Arsip Terpadu (SMArT) yang saat ini sedang diujicobakan. Sistem ini dibuat dalam rangka
memudahkan
proses
penyimpanan,
pencarian,
peminjaman,
dan
pengembalian berkas Wajib Pajak berbasis komputer. Selain itu, Knowledge Base yang merupakan kumpulan standar pertanyaan dan jawaban mengenai berbagai masalah perpajakan juga dikembangkan untuk mendukung tugas pemberian pelayanan dan konsultasi oleh para Account Representative. Kemudian, dalam rangka peningkatan pengawasan pelaksanaan tugas telah dioperasikan Complaint Center pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I dengan tujuan untuk menampung keluhan Wajib Pajak yang berkenaan dengan pelayanan yang diberikan oleh Kantor Wilayah dan KPP Madya serta KPP Pratama. 4) Pembayaran pajak (e-Payment) Wajib Pajak diwajibkan membayar pajak pada bank persepsi/bank devisa persepsi melalui sistem pembayaran yang disebut Monitoring Pembayaran dan Pelaporan Pajak (MP3). Sistem ini menghubungkan bank dengan Direktorat Jenderal Pajak secara online. Setiap pembayaran direkam oleh bank dan Direktorat Jenderal Pajak pada saat yang bersamaan. Sistem yang ada pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak secara otomatis menerbitkan satu nomor unik terdiri dari 16 digit yang disebut Nomor Tanda Pembayaran Pajak (NTPP) sebagai validasi Direktorat Jenderal Pajak terhadap setiap satu setoran pajak. Data pembayaran pajak dari Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak ditransfer setiap hari ke sistem yang ada pada KPP dimana Wajib Pajak terdaftar dan data pembayaran ini secara otomatis dibukukan pada rekening Wajib Pajak
44
(Taxpayer’s Account). Rekening Wajib Pajak ini berisi data pembayaran disandingkan dengan data kewajiban pajak berdasarkan pelaporan Wajib Pajak, atau adanya produk pajak berupa ketetapan mengenai kewajiban pajak yang masih harus dibayar. 5) Pelaporan pajak (e-Reporting, e-SPT) Elektronik SPT atau disebut e-SPT adalah aplikasi (software) yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk digunakan oleh Wajib Pajak sebagai alternatif dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dimana data-datanya telah direkam atau diolah sendiri oleh Wajib Pajak dengan bantuan aplikasi e-SPT menjadi data elektronik yang dapat langsung dimuat (upload) sistem dan database yang ada di KPP. Aplikasi e-SPT pada komputer Wajib Pajak digunakan untuk merekam datadata Surat Pemberitahuan (SPT) secara manual atau mengolahnya dari database Wajib Pajak. Setelah seluruh data terekam, melalui aplikasi e-SPT dapat dicetak formulir induk Surat Pemberitahuan (SPT) yang terisi secara otomatis dari datadata yang direkam dan data-data yang telah terekam tersebut juga dapat dipindahkan kedalam media penyimpaan seperti disket atau compact disc (CD) untuk selanjutnya diserahkan ke KPP sebagai pelaporan, dengan terlebih dahulu menandatangani formulir induk hasil cetakan aplikasi e-SPT. Di TPT, formulir induk yang telah ditandatangani dan media penyimpanan datanya dapat diterima oleh petugas. Selanjutnya rekaman data dalam media penyimpanan tersebut dimuat (upload) ke database KPP. Setelah upload data berhasil maka pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak dianggap
45
sah dan disini berarti data Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak yang ada pada database KPP merupakan data yang direkam oleh Wajib Pajak. 6) Pemberkasan dokumen pajak (e-Filing) E-Filing adalah layanan yang disediakan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak agar Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) beserta lampirannya secara elektronik dan online realtime melalui aplikasi penerimaan Surat Pemberitahuan (SPT) berbasis web. Karakteristik e-Filing adalah proses yang cepat, karena pada prinsipnya Wajib Pajak dapat langsung melakukan upload data Surat Pemberitahuan (SPT) ke database Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak tanpa melalui KPP, proses ini ditindaklanjuti dengan proses download data Surat Pemberitahuan (SPT) ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar. Wajib Pajak hanya menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Induk dan Berita Acara yang telah ditandatangani. Pengiriman data Surat Pemberitahuan (SPT) dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja dalam batasan waktu yang ditentukan. 7) Pemeriksaan Pemeriksaan secara khusus hanya dilakukan oleh fungsional pemeriksa pajak di KPP. Manajemen pemeriksaan lebih efisien dan efektif karena fungsi pemeriksaan dan fungsi lainnya berada dalam satu unit maka koordinasi fungsi tersebut lebih baik. Penugasan pemeriksaan difokuskan kepada sektor-sektor usaha tertentu sehingga hasil pemeriksaan lebih efektif dengan perlakuan perpajakan yang seragam dan pemeriksa lebih terspesialisasi sehingga produktivitas serta kualitas hasil pemeriksaan meningkat.
46
8) Penyidikan Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Madya dan KPP Pratama dapat disidik dalam hal terdapat indikasi tindak pidana perpajakan. Penyidikan pajak dilakukan oleh tenaga fungsional penyidik Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I. Dengan pemisahan fungsi penyidikan dan fungsi pemeriksaan, para pemeriksa dan penyidik dapat memfokuskan diri pada bidang tugas masing-masing sehingga dapat bekerja secara lebih optimal dan objektif. 9) Penagihan Kategori Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Madya salah satunya adalah Wajib Pajak dengan jumlah tunggakan pajak terbesar sedangkan pada KPP Pratama adalah selain Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Madya. Penagihan pajak pada KPP Madya dan KPP Pratama dibagi dalam dua tahap, yakni soft collection dan hard collection. Soft collection selain dilaksanakan oleh Jurusita Pajak, juga dibantu oleh Account Representative. Pemantauan dan penangguhan tunggakan pajak di KPP diadministrasikan melalui Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT). Informasi yang terkait dengan tunggakan pajak serta pembayarannya untuk masing-masing Wajib Pajak dapat diakses langsung oleh Jurusita Pajak, Account Representative ataupun pihak-pihak yang berwenang, dan setiap tindakan penagihan dapat dimonitor melalui Sistem Informasi DJP. 10) Keberatan Proses penyelesaian pengajuan keberatan pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I dilaksanakan dengan mengoptimalkan sumber daya manusia yang ada untuk meningkatkan obyektivitas dan produktivitas. Untuk meningkatkan obyektivitas
47
dilaksanakan pemeriksaan dalam rangka keberatan atas pengajuan keberatan tertentu yang memerlukan pengujian lebih lanjut. Untuk meningkatkan produktivitas, setiap kasus keberatan yang cukup rumit dibahas bersama-sama dengan para pemeriksa. 11) Complaint Center Kantor Wilayah DJP Jakarta I membangun Complaint Center untuk menangani keluhan-keluhan Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya dan KPP Pratama. Permasalahan yang disampaikan ke Complaint Center meliputi keluhan mengenai segala jenis pelayanan, pemeriksaan, keberatan dan banding. Complaint Center tidak dimaksudkan untuk melayani keluhan pelanggaran kode etik Pegawai Pajak. 12) Kegiatan Administrasi Lainnya. Kegiatan lainnya adalah kegiatan diluar kegiatan diatas yang dalam fungsinya mendukung terlaksananya tugas-tugas yang lainnya. 4. Kode Etik Kantor Wilayah DJP Jakarta I Demi menerapkan Good Coorporate Governance dan memberikan pelayanan dan pengawasan prima, di dalam Sistem Adminitrasi Modern diterapkan sebuah kode etik bagi pegawai pajak yang memuat kewajiban maupun larangan bagi pegawai pajak antara lain : a. Kewajiban Pegawai : 1)
Menghormati agama, kepercayaan, budaya, dan adat istiadat orang lain dalam menjalankan tugas;
48
2)
Bersikap jujur dan lugas, bekerja secara efisien dan profesional, serta dapat dipercaya dalam melaksanakan tugas;
3)
Memberikan pelayanan perpajakan kepada Wajib Pajak dengan sebaikbaiknya sesuai bidang tugas masing-masing;
4)
Memberikan informasi yang jelas, lengkap, dan benar kepada Wajib Pajak mengenai hak dan kewajibannya;
5)
Berpenampilan dan berbusana sesuai dengan tuntutan tugas pada Direktorat Jenderal Pajak;
6)
Bersikap sopan dan terbuka dalam berhubungan dengan Wajib Pajak serta menghormati hak-hak Wajib Pajak;
7)
Bersikap netral dari pengaruh semua golongan dan atau partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak;
8)
Menjaga keselamatan dirinya dan rekan kerjanya;
9)
Mentaati ketentuan jam kerja dan tata tertib kantor;
10)
Mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang;
11)
Mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
12)
Mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
13)
Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya dan tidak mempunyai tunggakan pajak;
49
14)
Melaporkan secara tertulis kepada atasannya jika ada situasi konflik kepentingan dalam melaksanakan tugas;
15)
Melaporkan secara tertulis kepada atasannya, apabila mengetahui adanya pelanggaran/penyimpangan di bidang perpajakan yang dapat merugikan keuangan negara;
16)
Bertanggung jawab atas hasil pelaksanaan tugasnya;
17)
Bertanggung jawab dalam mengamankan semua dokumen dan peralatan yang dipinjam dari Wajib Pajak;
18)
Mengamankan informasi dan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak dengan cara: a) Mengamankan file atau berkas; b) Mengamankan password komputer dan tidak membocorkan kepada pegawai dan pihak lain yang tidak berhak; c) Memusnahkan dokumen yang tidak terpakai sesuai dengan prosedur yang berlaku; d) Tidak mengijinkan orang yang tidak berhak berada dalam ruangan kerja.
19)
Menjaga tempat kerja dalam keadaan bersih, aman, dan nyaman;
20)
Memelihara, melindungi, dan mengamankan barang inventaris milik Direktorat Jenderal Pajak.
b. Larangan Pegawai : 1).
Bersikap diskriminatif dalam melaksanakan tugas;
50
2).
Menggunakan kewenangan jabatan baik langsung maupun tidak langsung dan fasilitas kantor untuk kepentingan diri sendiri maupun pihak ketiga lainnya;
3).
Menerima segala pemberian atau penghargaan dalam bentuk apapun termasuk uang, saham atau surat berharga lainnya, komisi, hadiah, cinderamata, hiburan, jamuan, perjalanan wisata, sponsorship, dan jasa lainnya dari Wajib Pajak secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan pegawai memiliki kewajiban yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya;
4).
Menerima kunjungan Wajib Pajak dalam rangka urusan dinas di luar kantor;
5).
Memanfaatkan data dan atau informasi perpajakan untuk memperoleh keuntungan pribadi Pegawai;
6).
Memanfaatkan
kewenangan
jabatan
dan
pengaruhnya
untuk
memperoleh keuntungan pribadi; 7).
Menggandakan sistem dan atau program aplikasi komputer milik Direktorat Jenderal Pajak di luar kepentingan dinas;
8).
Menyampaikan informasi perpajakan kepada pihak ketiga kecuali bagi Pegawai yang berwenang;
9).
Membantu, melindungi, bekerja sama, menyuruh, atau memberi kesempatan pihak lain untuk melakukan tindak pidana di bidang perpajakan;
51
10). Melakukan kesepakatan dengan Wajib Pajak yang merugikan negara dengan sengaja dalam pelaksanaan tugas; 11). Mengkonsumsi minuman keras yang dapat merusak citra dan martabat Pegawai; 12). Mengkonsumsi, mengedarkan dan atau memproduksi narkotika dan atau obat terlarang. B. Metode Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat dari obyek penelitian. Penelitian dilaksanakan terhadap suatu variabel tanpa membandingkan atau menghubungkannya dengan variabel yang lain untuk memperoleh gambaran riil mengenai obyek penelitian. C. Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel merupakan penjelasan dari pengertian teoritis variabel sehingga dapat diamati dan diukur. Sedangkan variabel itu sendiri adalah segala sesuatu yang dapat diberi berbagai macam nilai. Variabel dapat diukur dengan berbagai macam nilai tergantung pada construct yang diwakilinya. Nilai variabel dapat berupa angka atau berupa atribut yang menggunakan ukuran atau skala dalam suatu kisaran nilai. Berdasarkan pembahasan lingkup penelitian yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah, maka variabel dalam skripsi ini adalah :
52
1. Konsep Value for Money Penjabaran tentang konsep Value for Money telah dikemukakan dalam bab II. Konsep value for money merupakan pengukuran kinerja suatu organisasi atau kegiatan dari tiga sisi yaitu ekonomis, efisiensi dan efektivitas sebagai nilai mandiri atau independen dan tidak saling mempengaruhi. 2. Sistem Administrasi Modern (SAM) Sistem Administrasi Modern merupakan sebuah reformasi internal Direktorat Jenderal Pajak untuk menata kembali struktur dan fungsi internal organisasi demi mewujudkan Good Coorporate Governance. Penggunaan variabel ini dimaksudkan untuk mengetahui kinerja berdasarkan konsep Value for Money sebelum dan sesudah penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I serta menganalisis perbandingan kinerja berdasarkan konsep Value for Money sebelum dan sesudah penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I. D. Metode Pengumpulan Data Adapun pengertian metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan 2 (dua) metode yaitu : 1. Penelitian Kepustakaan Penelitian Kepustakaan (library research) adalah metode pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung, yaitu melalui media perantara atau pihak lain, umumnya berupa bukti, catatan atau
53
laporan historis. Metode pengumpulan data ini meliputi kegiatan pencarian, pengumpulan dan pengkajian data dari sumber bacaan yang relevan dan mendukung penulisan skripsi ini, seperti : peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah, majalah dan literatur lainnya. Data-data ini diharapkan dapat melengkapi, menunjang dan memperjelas data lainnya dengan tujuan untuk memahami teori yang berhubungan dengan topik pembahasan skripsi. 2. Penelitian Lapangan Metode pengumpulan data lain yang penulis gunakan untuk mendukung penelitian kepustakaan tersebut di atas adalah penelitian lapangan (field research), yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Data primer diperoleh dengan melakukan survey dan wawancara dengan pihak-pihak yang kompeten dan terkait dengan topik pembahasan skripsi, sedangkan data sekunder diperoleh dengan mempelajari dokumen dan informasi lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. E. Metode Analisis Data Dalam melakukan penelitian, penulis mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dengan selengkap mungkin, kemudian data-data dianalisis sesuai dengan metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Dengan metode deskriptif kuantitatif, data dianalisis berdasarkan angka-angka, persentase, frekuensi, rata-rata, diagram atau grafik dimana untuk mengolahnya dapat
54
digunakan statistik deskriptif. Analisis deskriptif kualitatif adalah analisis yang didasarkan pada pernyataan keadaan dan ukuran kualitas. Karena metode analisis utama penulis adalah analisis deskriptif kuantitatif maka metode deskriptif kualitatif hanya dipakai sebagai pelengkap analisis.
BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penyesuaian Indikator Kinerja Konsep Value For Money Konsep dasar Value for Money adalah mencoba untuk menilai kinerja suatu organisasi atau kegiatan dari tiga sisi yaitu ekonomis, efisiensi dan efektivitas sebagai nilai mandiri atau independen dan tidak saling mempengaruhi. Artinya hasil yang didapatkan bisa saja ekonomis tetapi tidak efisien dan tidak efektif atau ekonomis dan efisien tapi tidak efektif atau kombinasi lainnya dari tiga nilai tersebut yang terkadang bisa saling sejalan (positive correlation) maupun saling bertentangan (negative correlation). Untuk analisis dan penentuan indikator kinerja yang mewakili, dilakukan berdasarkan perencanaan strategik yang telah dibuat serta yang terealisasi atau benar-benar terjadi di lapangan baik mengenai pengeluaran (pembiayaan) maupun hasil (penerimaan), setelah dilakukan telaah atas karakteristik tiap indikator tersebut. Periode yang digunakan dalam analisis adalah periode 2002, 2003, 2004, dan 2005, dengan pertimbangan bahwa Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada tahun 2002 dan 2003 belum menerapkan sistem administrasi perpajakan modern, tahun 2004 dan 2005 mulai diterapkan sistem administrasi perpajakan modern, sedangkan untuk tahun 2006 belum bisa dijadikan analisis karena belum dilakukan evaluasi anggaran maupun penerimaan.
56
Secara detail pengukuran konsep Value for Money adalah : 1. Ekonomis Nilai Ekonomis berkaitan dengan sejauh mana sebuah organisasi mengelola input primer berupa sumber daya keuangan (uang/kas) untuk mendapatkan input sekunder yaitu berupa tenaga kerja, infrastruktur, fasilitas, sarana dan prasarana, pendidikan dan barang lainnya yang diperlukan dalam kegiatan operasional perusahaan. Sebuah organisasi bisa dikatakan ekonomis ketika organisasi tersebut dapat memperoleh input sekunder dengan harga terendah (spending less) atau harga yang mendekati harga pasar. Secara matematis nilai ekonomis merupakan perbandingan input (sebagai sumber daya keuangan yang kita miliki) dengan nilai rupiah yang digunakan untuk memperoleh input sekunder (harga Input)
Ekonomis =
Input Harga Input
Keterangan : •
Input menggambarkan sumber daya keuangan yang dimiliki atau potensi keuangan yang sepenuhnya bisa kita manfaatkan dalam mendapatkan harga input. Dalam Instansi di Direktorat Jenderal Pajak nilai input digambarkan dengan Daftar Isian Kegiatan (DIK) yang merupakan anggaran yang diterima tiap instansi untuk dimanfaatkan dan dikelola dalam rangka memenuhi kebutuhan operasional kantor pada suatu periode. DIK tersebut dapat mewakili nilai input karena sesuai dengan karakteristiknya yaitu sebagai potensi atau sumber daya keuangan yang dimiliki organisasi.
57
•
Harga Input merupakan harga yang dikeluarkan untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan operasional organisasi. Dalam instansi di Direktorat Jenderal Pajak harga input digambarkan dengan realisasi anggaran pada suatu periode. Realisasi anggaran ini melukiskan seberapa besar nilai/harga yang dikeluarkan kantor tersebut dalam mendapatkan kebutuhan operasional kantor pada suatu periode, sehingga realisasi anggaran dapat mewakili harga input karena sesuai dengan karakteristik harga input yaitu harga yang dibayar untuk mendapatkan input/kebutuhan kantor.
2. Efisiensi Kalau nilai ekonomis hanya berbicara mengenai input, maka efisiensi mengaitkan input terhadap output yang dihasilkan. Efisiensi menggambarkan seberapa besar output berupa barang atau pelayanan yang dihasilkan untuk tiap satuan input yang dikeluarkan. Suatu organisasi bisa dikatakan efisien bila mampu menghasilkan output tertentu dengan input serendah rendahnya, atau dengan input tertentu mampu menghasilkan output sebesar-besarnya (spending well). Secara matematis, efisiensi merupakan perbandingan nilai output yang dihasilkan dengan nilai input yang dibutuhkan, atau dengan istilah lain output per satuan input.
Efisiensi =
Output Input
Keterangan : •
Output merupakan hasil yang dicapai suatu organisasi baik berupa barang atau jasa dalam suatu periode atau kegiatan. Di dalam Direktorat Jenderal Pajak
58
output digambarkan dengan jumlah penerimaan pajak yang dicapai sebagai hasil nyata kinerja DJP dalam mengumpulkan penerimaan Negara dari sektor Pajak. Penerimaan pajak yang terealisasi ini dapat mewakili nilai input karena sesuai dengan karakteristiknya yaitu sebagai hasil keluaran yang dicapai organisasi. •
Input yang digunakan adalah sesuai dengan pengertian input sebelumnya, yaitu seluruh biaya yang terealisasi. Biaya tersebut adalah biaya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional dalam mencapai output organisasi. Di dalam DJP biaya ini diwakili dengan jumlah total jumlah biaya terealisasi dalam Daftar Isian Kegiatan.
3. Efektivitas Berbeda dengan nilai ekonomis dan efisiensi, analisis efektivitas difokuskan pada sejauh mana hasil yang sesungguhnya dicapai (output) terhadap hasil atau tujuan yang diharapkan (outcome). Efektivitas ini menilai apakah dari output yang terealisasi telah sesuai dengan target yang diharapkan (outcome), sehingga dapat dikatakan analisis efektivitas ini lebih berfokus pada outcome (tujuan). Suatu organisasi bisa dikatakan efektif apabila dapat memenuhi tujuan yang diharapkan atau spending wisely. Direktorat Jenderal Pajak sebagai sebuah organisasi publik selain mengumpulkan penerimaan Negara dari sektor pajak, berkewajiban memberi sebuah pelayanan yang baik bagi para Wajib Pajak. Untuk mengukur efektivitas dari outcome kuantitatif, secara matematis dapat diukur dengan membandingkan
59
hasil yang sesungguhnya dicapai (output) dengan hasil yang diharapkan tercapai (outcome).
Efektivitas =
Outcome Output
Keterangan : •
Outcome adalah tujuan yang diharapkan dapat tercapai, secara kuantitatif outcome di dalam Direktorat Jenderal Pajak digambarkan melalui target penerimaan pajak pada suatu periode. Target penerimaan ini dapat mewakili outcome kuantitatif karena sesuai dengan karakteristiknya yaitu suatu nilai yang diharapkan tercapai oleh organisasi tersebut.
•
Output adalah hasil yang sesungguhnya tercapai, maka di dalam Direktorat Jenderal Pajak output merupakan realisasi penerimaan pajak yang dicapai pada suatu periode.
4. Analisis Indikator Impact Dalam perkembangannya konsep Value for Money mengalami perluasan, termasuk diantaranya dengan adanya sebuah analisis penunjang yaitu analisis Indikator Impact. Sebagai analisis penunjang, “indikator impact atau dampak manfaat merupakan efek langsung dan tidak langsung atau konsekuensi yang diakibatkan dari pencapaian tujuan” (Mahmudi 2005 : 107). Sebuah indikator impact menunjukkan hasil yang bagus apabila outcome yang dicapai suatu organisasi disertai pula dengan dampak positif baik yang dirasakan secara langsung maupun tidak langsung oleh lingkungan terutama pegawai di Kantor
60
tersebut. Indikator tidak langsung ini bisa digambarkan dengan adanya peningkatan profesionalisme kerja para pegawai, perubahan budaya organisasi ke arah yang lebih baik, tingkat kesejahteraan pegawai yang meningkat, hingga penilaian positif terhadap keberhasilan penerapan Sistem Administrasi Modern. Setelah melakukan telaah terhadap karakteristik indikator kinerja diatas, maka dapat disimpulkan beberapa indikator yang dapat mewakili konsep Value For Money sebagai berikut :
61
Tabel 4.1
Indikator Kinerja Indikator Input
Anggaran Belanja Barang
Indikator Harga Input
Realisasi Belanja Barang
Nilai Ekonomis
Indikator Input
Nilai Efisiensi Indikator Output
Indikator Output Nilai Efektivitas
Indikator Outcome
Indikator Impact
Total Realisasi Anggaran, baik berupa : - Belanja Pegawai - Belanja Barang dibagi jumlah WP efektif Total Realisasi Penerimaan pajak, baik berasal dari : - PPh - PPN dan PPnBM - PBB dan BPHTB - Pajak Lainnya dibagi jumlah WP efektif Total Realisasi Penerimaan pajak, baik berasal dari : - PPh - PPN dan PPnBM - PBB dan BPHTB - Pajak Lainnya Outcome (kuantitatif) berasal dari total target penerimaan pajak tiap periode Peningkatan profesionalisme kerja para pegawai. Peningkatan kenyamanan kerja, situasi yang kondusif dan kesejahteraan pegawai. Tingkat keberhasilan penerapan Sistem Administrasi Modern di Kantor Wilayah DJP Jakarta I.
B. Analisis Kinerja Berdasarkan Konsep Value For Money Analisis terhadap kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I berdasarkan konsep value for money dilakukan dengan cara menganalisis kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I sebelum dan sesudah penerapan Sistem Administrasi Modern serta
62
perbandingan antara keduanya yang akan disajikan dalam subbab-subbab berikut ini. 1. Analisis Kinerja Sebelum Penerapan Sistem Administrasi Modern a. Pengukuran Nilai Ekonomis Seperti yang disebutkan pada bab sebelumnya bahwa tingkat ekonomis terkait dengan pengkonversian input primer berupa sumber daya dan potensi keuangan untuk mendapatkan input sekunder (harga input) yaitu input yang nyatanyata digunakan dalam operasional organisasi. Dan berdasarkan penjelasan di atas maka yang digunakan sebagai indikator input dan harga input untuk menilai tingkat ekonomis Kanwil DJP Jakarta I adalah rencana anggaran belanja dan realisasi belanja pada suatu periode. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Wilayah DJP Jakarta I, penulis berusaha menilai tingkat ekonomis melalui indikator input berupa rencana belanja barang dan belanja lainnya kecuali belanja pegawai dan indikator harga input berupa realisasinya periode 2002 dan 2003 (data lengkap realisasi anggaran terdapat pada lampiran). Tabel 4.2 Nilai Ekonomis Sebelum Penerapan SAM 2002
2003
DIK
Rp. 9.157.566.000
Rp. 10.336.570.000
Realisasi
Rp. 6.626.421.370
Rp. 9.632.945.638
Nilai Ekonomis
Rp. 1,382/Rp. harga input
Rp. 1,073/Rp. harga input
Persentase Realisasi
72,36 %
93,19 %
63
Pada tahun 2002 Kantor Wilayah DJP Jakarta I mempunyai nilai Ekonomis sebesar Rp. 1,382/Rp.harga input yang artinya untuk setiap 1 rupiah harga input yang dikeluarkan akan memberikan nilai ekonomis sebesar Rp. 1,382 atau dengan kata lain pada tahun 2002 Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah membelanjakan sebesar 72,36 % dari anggaran belanja barang yang direncanakan. Begitu pula tahun 2003, Kantor Wilayah DJP Jakarta I mempunyai nilai Ekonomis sebesar Rp. 1,073/Rp.harga input atau mengalami penurunan nilai Ekonomis sebesar 0,309 dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2003 Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah membelanjakan sebesar 93,19 % dari rencana anggaran tahun 2003. b. Pengukuran Nilai Efisiensi Jika dari nilai ekonomis diatas kita hanya memandang dari segi input yaitu bagaimana memperoleh input dengan biaya terendah, maka efisiensi berbicara mengenai input dan output. Efisiensi menilai sejauh mana input yang ada dapat menghasilkan
output
yang
diinginkan,
atau
secara
matematis
yaitu
membandingkan input yang terjadi (input sekunder) dengan output yang terealisasi. Sebelum kita menilai nilai efisiensi, maka kita perlu melakukan penyesuaian data yang ada dengan membagi input maupun output dengan jumlah Wajib Pajak efektif pada tiap periode. Sehingga input dan output yang digunakan dalam perhitungan adalah input untuk tiap wajib pajak dibandingkan output yang dihasilkan per Wajib Pajak. Jumlah Wajib Pajak yang digunakan adalah Wajib Pajak Efektif, yaitu Wajib Pajak yang berkewajiban dan aktif menyampaikan SPT-nya sendiri.
64
Sedangkan Jumlah Wajib Pajak terdaftar merupakan jumlah keseluruhan Wajib Pajak termasuk juga Wajib Pajak PPh 21 yang telah dipungut pajaknya oleh pemberi kerja maupun Wajib Pajak lainnya yang tidak aktif sehingga jumlah ini tidak
menggambarkan
Wajib
Pajak
yang
secara
aktif
mengisi
Surat
Pemberitahuan (SPT) nya sendiri. Dari data yang didapat pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I didapatkan : Tabel 4.3 Nilai Efisiensi Sebelum Penerapan SAM 2002
2003
Total Penerimaan
Rp. 5.444.125.100.000
Rp. 5.375.911.290.292
Total Biaya
Rp. 20.498.286.072
Rp. 26.297.876.024
Jumlah WP Efektif
105.944 WP
123.007 WP
Penerimaan per WP
Rp. 51.386.819/ WP
Rp. 43.704.109/ WP
Biaya per WP (input)
Rp. 193.482/ WP
Rp. 213.792/ WP
Efisiensi
Rp. 265,59/ Rp.input
Rp. 204,42/ Rp.input
Rasio biaya terhadap hasil
0,38 %
0,49 %
Pada tahun 2002 nilai Efesiensi Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada tahun 2002 sebesar Rp.265,59/Rp.input dengan rasio biaya terhadap hasil adalah 0,004 (0,38%) yang artinya untuk setiap 1 rupiah input yang dikeluarkan akan menghasilkan output sebesar Rp. 265,59 atau dengan kata lain untuk menghasilkan output sebesar 1 rupiah dibutuhkan input sebesar Rp. 0,0038. Sedangkan tahun 2003 Nilai efisiensi ini mengalami penurunan menjadi Rp.204,42/Rp.input dengan rasio biaya terhadap hasil sebesar 0,0049 (0,49 %).
65
c. Pengukuran Nilai Efektivitas Sesuai penjelasan pada Bab III konsep dasar efektivitas adalah mengetahui hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya tercapai, dengan kata lain efektivitas adalah hubungan antara output dengan outcome (tujuan). Semakin besar kontribusi output terhadap tujuan, maka organisasi tersebut dinilai semakin efektif. Jika ekonomis berfokus pada input dan efisiensi berfokus pada output, maka efektivitas berfokus pada outcome (tujuan). Sedangkan outcome sendiri terbagi dalam 2 kriteria : outcome kuantitatif dan outcome kualitatif, namun skripsi ini lebih berfokus kepada outcome kuantitatif. Dalam menilai efektivitas dengan indikator outcome kuantitatif, yang menjadi tujuan (outcome) adalah target penerimaan pajak yang ingin dicapai. Target penerimaan dari seluruh unit di DJP ditentukan oleh Kantor Pusat DJP khususnya dari Direktorat Potensi dan Sistem Perpajakan, untuk mencapai total target penerimaan pajak nasional yang ditetapkan dalam APBN. Dari data yang diperoleh, disusun tabel target dan realisasi penerimaan Kantor Wilayah DJP Jakarta I untuk menghitung nilai efektivitas sebagai berikut :
Tabel 4.4 Nilai Efektivitas Sebelum Penerapan SAM 2002
2003
Target Penerimaan
Rp. 7.553.907.600.000
Rp. 7.894.753.000.000
Realisasi Penerimaan
Rp. 5.444.125.100.000
Rp. 5.375.911.290.292
Efektivitas
72,07 %
68,09 %
66
Artinya pada tahun 2002 realisasi penerimaan pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I hnya mencapai 72,07 % dari target yang diberikan dan mengalami penurunan pada tahun 2003 sebesar 3,98 % menjadi 68,09 %. 2. Analisis Kinerja Sesudah Penerapan Sistem Administrasi Modern a. Pengukuran Nilai Ekonomis Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Wilayah DJP Jakarta I, penulis berusaha menilai tingkat ekonomis melalui indikator input berupa rencana belanja barang dan belanja lainnya kecuali belanja pegawai, dan indikator harga input berupa realisasi anggaran belanja barang periode 2004 dan 2005 (data lengkap realisasi anggaran terdapat pada lampiran). Tabel 4.5 Nilai Ekonomis Sesudah Penerapan SAM 2004
2005
DIK
Rp. 16.895.225.615
Rp. 48.101.570.000
Realisasi
Rp. 9.416.739.717
Rp. 31.744.688.584
Nilai Ekonomis
Rp. 1,794/Rp. harga input
Rp. 1,515/Rp. harga input
Persentase Realisasi
55,74 %
66 %
Pada tahun 2004 Kantor Wilayah DJP Jakarta I mempunyai nilai Ekonomis sebesar Rp. 1,794/Rp.harga input yang artinya untuk setiap 1 rupiah harga input yang dikeluarkan akan memberikan nilai ekonomis sebesar Rp. 1,794 atau dengan kata lain pada tahun 2004 Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah membelanjakan sebesar 55,74 % dari anggaran belanja barang yang direncanakan. Begitu pula tahun 2005, Kantor Wilayah DJP Jakarta I mempunyai nilai Ekonomis sebesar
67
Rp. 1,515/Rp.harga input atau mengalami penurunan nilai Ekonomis sebesar 0,279 dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah membelanjakan sebesar 66 % dari rencana anggaran tahun 2005. b. Pengukuran Nilai Efisiensi Dari data yang didapat pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I didapatkan nilai Efisiensi sebagai berikut : Tabel 4.6 Nilai Efisiensi Sesudah Penerapan SAM 2004
2005
Total Penerimaan
Rp. 8.476.698.792.369
Rp. 10.436.930.522.633
Total Biaya
Rp. 32.253.803.465
Rp. 76.981.888.112
Jumlah WP Efektif
180.142 WP
212.913 WP
Penerimaan per WP
Rp. 47.055.649/ WP
Rp. 49.019.696/ WP
Biaya per WP (input)
Rp. 179.047/ WP
Rp. 361.565/ WP
Efisiensi
Rp. 262,81/ Rp.input
Rp. 135,58/ Rp.input
Rasio biaya terhadap hasil
0,38 %
0,74 %
Dari tabel menunjukkan tingkat efisiensi Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada tahun 2004 sebesar Rp.262,81/Rp.input yang artinya untuk setiap 1 rupiah input yang dikeluarkan, Kantor Wilayah DJP Jakarta I dapat menghasilkan output sebesar Rp. 262,81 atau dengan kata lain untuk menghasilkan Rp.1 output, Kantor Wilayah DJP Jakarta I harus mengeluarkan input sebesar Rp. 0,0038. Nilai efisiensi ini mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi Rp.135,58/Rp.input dengan rasio biaya terhadap hasil sebesar 0,0074 (0,74 %).
68
c. Pengukuran Nilai Efektivitas Dari data yang diperoleh, disusun tabel target dan realisasi penerimaan Kantor Wilayah DJP Jakarta I untuk menghitung nilai efektivitas sebagai berikut :
Tabel 4.7 Nilai Efektivitas Sesudah Penerapan SAM 2004
2005
Target Penerimaan
Rp. 9.715.817.800.000
Rp. 11.688.573.310.000
Realisasi Penerimaan
Rp. 8.476.698.792.369
Rp. 10.436.930.522.633
Efektivitas
87,25 %
89,29 %
Artinya pada tahun 2004 realisasi penerimaan pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I mencapai 87,25 % dari target yang diberikan dan mengalami kenaikan pada tahun 2005 sebesar 2,05 % menjadi 89,29 %. 3. Analisis Perbandingan Kinerja Sebelum dan Sesudah Penerapan Sistem Administrasi Modern a. Analisis Nilai Ekonomis Dari data tingkat ekonomis tiap periode Kantor Wilayah DJP Jakarta I, didapatkan sebuah tabel perbandingan sebagai berikut :
69
Tabel 4.8 Perbandingan Nilai ekonomis tiap Periode (dalam Rupiah/ Rupiah harga input) Tahun
Nilai Ekonomis
Peningkatan / (Penurunan)
2002
1,382
-
2003
1,073
(0,609)
2004
1,794
0,721
2005
1,515
(0,279)
a.1. Sebelum penerapan SAM Dilihat dari perbandingan rasio ekonomis Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada periode 2002-2003, pada tahun 2002 tingkat ekonomis Kantor Wilayah DJP Jakarta I sebesar Rp. 1.382/Rp.harga input lebih ekonomis daripada tahun 2003. Hal ini terlihat dari nilai ekonomis tahun 2002 melebihi nilai ekonomis tahun 2003 (Rp.1,073/Rp.harga input) dengan tingkat penurunan sebesar 0,609. a.2. Sesudah penerapan SAM Berbeda dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2004 tingkat ekonomis Kantor Wilayah
DJP
Jakarta
I
mengalami
kenaikan
sebesar
0,721
menjadi
Rp.1,794/Rp.harga input. Tingkat ekonomis Kantor Wilayah DJP Jakarta I tahun 2004 lebih ekonomis daripada tahun 2003. Hal ini terlihat dari nilai ekonomis tahun 2004 melebihi nilai ekonomis tahun 2005 (Rp.1,515/Rp.harga input) dengan tingkat penurunan sebesar 0,279.
70
a.3. Perbandingan Tingkat ekonomis Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada tahun 2004 menduduki posisi nilai ekonomis tertinggi (1,794), disusul kemudian tahun 2005 (1,515), tahun 2002 (1,382) dan kemudian tahun 2003 yang menduduki nilai ekonomis terendah (1,073). Secara umum kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I setelah menerapkan Sistem Administrasi Modern (rata-rata = 1,655) lebih ekonomis dibandingkan dengan dengan sebelum menerapkan Sistem Administrasi Modern (rata-rata = 1,228). b. Analisis Nilai Efisiensi Dari perhitungan tingkat efisiensi tiap Kantor Wilayah diatas, maka didapatkan tabel perbandingan : Tabel 4.9 Perbandingan Efisiensi tiap Periode (dalam rupiah per rupiah input) Tahun
Nilai Efisiensi
Peningkatan / (Penurunan)
2002
265,59
-
2003
204,42
(61,17)
2004
262,81
58,39
2005
135,58
(127,24)
b.1. Sebelum penerapan SAM Dilihat dari perbandingan rasio efisiensi Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada periode 2002-2003, pada tahun 2002 tingkat efisiensi Kantor Wilayah DJP Jakarta I sebesar Rp. 265,59/Rp. input lebih efisien daripada tahun 2003. Hal ini terlihat
71
dari nilai efisiensi tahun 2002 melebihi nilai efisiensi tahun 2003 (Rp.204,42/Rp. input) dengan tingkat penurunan sebesar 61,17. b.2. Sesudah penerapan SAM Berbeda dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2004 tingkat efisiensi Kantor Wilayah DJP Jakarta I mengalami kenaikan sebesar 58,39 menjadi Rp.262,81/Rp. input. Tingkat efisiensi Kantor Wilayah DJP Jakarta I tahun 2004 lebih efisien daripada tahun 2003. Hal ini terlihat dari nilai efisiensi tahun 2004 jauh melebihi nilai efisiensi tahun 2005 (Rp.135,58/Rp. input) dengan tingkat penurunan sebesar 127,74. b.3. Perbandingan Tingkat efisiensi Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada tahun 2002 menduduki posisi nilai efisiensi tertinggi (265,59), disusul kemudian tahun 2004 (262,81), tahun 2003 (204,42) dan kemudian tahun 2005 yang menduduki nilai efisiensi terendah (135,58). Secara umum kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I sebelum menerapkan Sistem Administrasi Modern (rata-rata = 235,01) lebih efisien dibandingkan dengan dengan setelah menerapkan Sistem Administrasi Modern (rata-rata = 199,19). c. Analisis Nilai Efektivitas Setelah menghitung dan melakukan penilaian atas tingkat efektivitas berdasarkan indikator kuantitatif untuk tiap Kantor Wilayah diatas, maka didapatkan tabel perbandingan sebagai berikut :
72
Tabel 4.10 Perbandingan Efektivitas tiap Periode Tahun
Nilai Efektivitas
Peningkatan / (Penurunan)
2002
72,07 %
-
2003
68,09 %
(3,98 %)
2004
87,25 %
19,15 %
2005
89,29 %
(2,05 %)
c.1. Sebelum penerapan SAM Dilihat dari perbandingan rasio efektivitas Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada periode 2002-2003, pada tahun 2002 tingkat efektivitas Kantor Wilayah DJP Jakarta I sebesar 72,07 % lebih efektif daripada tahun 2003. Hal ini terlihat dari nilai efektivitas tahun 2002 melebihi nilai efektivitas tahun 2003 (68,09 %) dengan tingkat penurunan sebesar 3,98 %. c.2. Sesudah penerapan SAM Pada tahun 2004 terjadi kenaikan tingkat efektivitas Kantor Wilayah DJP Jakarta I yang sangat signifikan sebesar 19,15 % menjadi 87,25 %. Tingkat efektivitas Kantor Wilayah DJP Jakarta I tahun 2005 lebih efektif daripada tahun 2004. Hal ini terlihat dari nilai efektivitas tahun 2004 melebihi nilai efektivitas tahun 2005 89,29 % dengan tingkat kenaikan sebesar 2,05 %. a.3. Perbandingan Tingkat efektivitas Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada tahun 2005 menduduki posisi nilai efektivitas tertinggi (89,29 %), disusul kemudian tahun 2004 (87,25
73
%), tahun 2002 (72,07 %) dan kemudian tahun 2003 yang menduduki nilai efektivitas terendah (68,09 %). Secara umum kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I setelah menerapkan Sistem Administrasi Modern (rata-rata = 88,27 %) lebih efektif dibandingkan dengan dengan sebelum menerapkan Sistem Administrasi Modern (rata-rata = 70,08 %). d. Analisis Gabungan Analisis gabungan ini adalah sebuah analisis berdasarkan ketiga nilai dan analisis diatas untuk mencoba melihat Kantor Wilayah DJP Jakarta I sebagai satu kesatuan organisasi yang utuh, atau dapat dikatakan analisis ini sebagai analisis kesimpulan atas kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I selama periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2005. Dari ketiga nilai yang telah diukur dan dianalisis diatas, maka dapat dibuat peringkat kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I untuk tiap periode. Dengan melihat peringkat ini dapat kita nilai kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I berdasarkan nilai yang telah dicapai pada tahun 2002-2005, seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 4.11 Peringkat Penilaian Kinerja Peringkat 1
2
3
4
Ekonomis
2004
2005
2002
2003
Efisiensi
2002
2004
2003
2005
Efektivitas
2005
2004
2002
2003
74
Analisis ini menunjukkan kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I selama tahun 2002 – 2005 sebagai berikut: 1. Dari sisi Ekonomis penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I mampu menunjukkan kinerja yang lebih ekonomis dibandingkan sebelum diterapkan Sistem Administrasi Modern karena : •
Nilai Ekonomis setelah penerapan SAM menunjukkan nilai rata rata diatas Rp.1/Rp.harga input yaitu sebesar Rp.1,655/Rp.harga input atau dengan rata-rata persentase realisasi hanya sebesar 60,87 % dari total rencana anggaran. Nilai ini diatas rata-rata nilai ekonomis sebelum penerapan SAM sebesar Rp. 1,228/Rp.harga input atau dengan ratarata persentase realisasi sebesar 82,78 % dari total rencana anggaran.
•
Walaupun terjadi penurunan nilai Ekonomis pada tahun 2005, tetapi masih dapat dimaklumi karena hal ini terjadi seiring dengan penambahan jumlah WP efektif sebanyak 57.135 WP (naik 45,46 %) pada tahun 2004 yang baru secara efektif berpengaruh pada pengeluaran untuk tahun 2005. Penambahan WP ini tentu saja menambah pengeluaran kantor untuk pengadaan sarana dan prasarana kantor maupun penambahan jumlah pegawai yang dibutuhkan.
•
Secara kualitatif, dari hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah melakukan prosedur pengadaaan barang sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu Keputusan Presiden RI No.16 tahun 2000 jo. Keputusan Presiden RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
75
Barang/Jasa Pemerintah. Prosedur tersebut mengharuskan dalam setiap pengadaan barang harus terlebih dahulu menyusun suatu Harga Patokan Sendiri (HPS) yang merupakan daftar kumpulan harga barang dengan kualitas tertentu dari berbagai sumber (internet, koran, survey lapangan dll.). Dari HPS dapat diketahui barang dengan kualitas yang sama tetapi dengan harga yang berbeda-beda. Oleh karena itu kita bisa mendapatkan harga terendah untuk barang dengan kualitas tertentu. Apabila terjadi kesalahan, atau melakukan belanja barang diatas nilai HPS maka akan diperiksa dan dikenakan sanksi oleh Inspektorat Jenderal yang rutin mengadakan pemeriksaan setiap periode. Dan terbukti pengadaan barang di Kantor Wilayah DJP Jakarta I selama ini telah sesuai prosedur pemerintah dan belum pernah mendapatkan teguran ataupun sanksi dari Inspektorat Jenderal. 2. Dari nilai Efisiensi penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I belum mampu menunjukkan kinerja yang lebih efisien dibandingkan sebelum diterapkan Sistem Administrasi Modern karena : •
Nilai efisiensi sebelum penerapan SAM menunjukkan nilai rata-rata (235,01) diatas nilai efisiensi rata-rata setelah penerapan SAM (199,19), bahkan dengan rata-rata selisih nilai relatif tinggi yaitu sebesar 35,81.
•
Hal ini salah satunya disebabkan adanya kenaikan belanja anggaran pada pos belanja modal gedung/bangunan dan peralatan perlengkapan
76
gedung mengingat adanya pembentukan empat buah Kantor Pelayanan Pajak Pratama hasil pemecahan pada bulan Juni 2005. •
Adanya biaya tinggi karena tunjangan khusus yang diberikan kepada pegawai Kantor Wilayah DJP Jakarta I ternyata membawa kenaikan yang lebih tinggi pada output yang dihasilkan. Hal ini terbukti dari tingginya nilai efisiensi tahun 2004 dengan adanya kenaikan efisiensi sebesar 58,39 atau sebesar 28,56 % dari tahun 2003.
•
Secara kualitatif dari hasil wawancara dan pengamatan, ketersediaan input berupa sarana dan prasarana seperti komputer, printer, kertas, mesin fotokopi, gedung, maupun pelayanan kesehatan dan transportasi yang diberikan, sangat menunjang kinerja pegawai untuk dapat menghasilkan output yang maksimal.
3. Dari nilai efektivitas penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I mampu menunjukkan kinerja yang lebih efektif dibandingkan sebelum diterapkan Sistem Administrasi Modern. Dari analisis tahun 2002-2005 ada beberapa hal yang menjadi nilai positif dari efektivitas Kantor Wilayah DJP Jakarta I yaitu: •
Terjadi peningkatan nilai efektivitas sebesar 19,15 % pada tahun 2004 sehubungan dengan penerapan SAM sehingga output yang dihasilkan Kantor Wilayah DJP Jakarta I dapat mendekati target penerimaan pajak (outcome) yang ditetapkan.
•
Sebagai salah satu unit kerja yang menjadi proyek percontohan di Direktorat Jenderal Pajak dalam merefleksikan reformasi dibidang
77
administrasi perpajakan, Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah menunjukkan peningkatan hasil yang signifikan meskipun tidak memenuhi target yang diharapkan. Sebagai tambahan apabila kita melihat tabel diatas, ada suatu trade off yang terjadi antara tingkat efisiensi dan efektivitas. Dalam tingkat ekonomis yang sama, untuk meningkatkan nilai efektivitasnya Kantor Wilayah DJP Jakarta I harus membayar kenaikan efektivitas tersebut dengan menurunnya tingkat efisiensi. Dengan kata lain untuk meningkatkan efektivitas dan mempertahankan ekonomis, dibutuhkan ‘pengorbanan’ dari sisi efisiensi demi mencapai tujuan organisasi. Untuk menutup analisis gabungan ini, penulis menyimpulkan bahwa dengan penerapan Sistem Administrasi Modern, Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah menunjukkan kinerja dengan tingkat ekonomis dan efektivitas melebihi sebelum penerapan Sistem Adminitrasi Modern. Sedangkan untuk tingkat efisiensi, penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I belum mampu menunjukkan kinerja yang lebih efisien dibandingkan sebelum diterapkan Sistem Administrasi Modern. Hal ini terjadi karena Kantor Wilayah DJP Jakarta I merupakan salah satu Kantor Wilayah proyek percontohan di jajaran instansi DJP, sehingga masih dibutuhkan banyak penyempurnaan dan adaptasi dalam menghadapi masalah yang timbul. Tetapi secara objektif, Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah menunjukkan komitmen dalam bekerja dan selalu berusaha untuk lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya penerimaan Kantor Wilayah DJP Jakarta I pada tahun 2004 dan 2005.
78
C. Analisis Kinerja dengan Indikator Impact Seperti telah disebutkan dalam Bab III bahwa indikator Impact atau dampak adalah indikator yang merupakan efek langsung maupun tidak langsung yang terjadi karena pencapaian tujuan. Pengaruh ini bersifat kualitatif, yang terutama terletak pada perubahan budaya organisasi setelah adanya penerapan Sistem Administrasi Modern di Kantor Wilayah DJP Jakarta I. Penulis berusaha menilai perubahan kinerja tersebut dari dua langkah yaitu dengan melakukan wawancara dan penyebaran angket kepada pegawai. 1. Analisis Impact dari hasil angket Dari hasil angket yang disebarkan kepada pegawai di Kantor Wilayah DJP Jakarta I dan KPP Madya Jakarta Pusat pada bulan Januari 2007 (hasil dan data selengkapnya terdapat pada lampiran) dapat dinilai indicator impact dari 3 kriteria yaitu: •
Fasilitas yang menunjang kinerja.
•
Kenyamanan dan kesejahteraan pegawai.
•
Penilaian Pegawai terhadap keberhasilan penerapan Sistem Administrasi Modern.
Data dan penilaian respoden atas ketiga kriteria dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
79
Tabel 4.12 Hasil Angket Pegawai Kanwil DJP Jakarta I Kinerja (dalam Persen) No
Gambaran
Sangat Baik
Baik
Ratarata
Tidak Baik
Sangat Tidak baik
Fasilitas 1
Fasilitas kantor
47,5
52,5
0,0
0,0
0,0
2
Teknologi dan Informasi Pendukung
21,3
57,4
21,3
0,0
0,0
3
Penghematan
20,5
49,2
23,0
6,6
0,8
Keberhasilan dalam menyelesaikan tugas
14,8
59,0
24,6
1,6
0,0
2
Kenyamanan Dalam Bekerja
28,7
46,7
20,5
2,5
1,6
3
Profesionalisme
26,2
62,3
11,5
0,0
0,0
4
Kepatuhan Pegawai
37,7
54,1
9,8
0,0
0,0
5
Peningkatan Kesejahteraan Pegawai
60,7
36,1
3,3
0,0
0,0
Kenyamanan dan Kesejahteraan 1
Keberhasilan SAM 1
Perubahan Positif dari penerapan SAM
50,8
47,5
1,6
0,0
0,0
2
Pengaruh SAM terhadap kepuasan WP
49,2
47,5
3,3
0,0
0,0
3
Pengaruh SAM pada Good Coorporate Governance
59,0
41,0
0,0
0,0
0,0
Dengan berorientasi pada tiga kriteria penilaian diatas, dapat diambil kesimpulan dan analisis antara lain : •
Fasilitas yang menunjang kinerja Sebanyak 52,5 % responden menilai fasilitas yang tersedia telah berjalan dengan baik sedangkan sisanya sebanyak 47,5 % menilai ketersediaan fasilitas dengan penilaian sangat baik.. Dalam hal kesiapan teknologi dan informasi pendukung, sebanyak 57,4 % responden menilai teknologi dan informasi pendukung telah berjalan dengan baik. Kedua
80
hasil diatas menunjukkan bahwa fasilitas dan teknologi informasi yang disediakan di dalam Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah berjalan dengan baik. •
Kenyamanan dan kesejahteraan pegawai Kenyamanan dalam bekerja sangat mendukung keberhasilan pegawai dalam
menyelesaikan
pekerjaannya.
Sebanyak
59
%
responden
menyatakan tingkat keberhasilan dalam menyelesaikan pekerjaan masuk dalam kategori baik sedangkan sebanyak 24,6 % menyatakan tingkat keberhasilan dalam menyelesaikan tugas masih berada pada tingkat ratarata. Untuk kenyamanan dalam bekerja terdapat distribusi hasil penilaian untuk setiap kategori nilai, dari kategori nilai sangat baik hingga sangat tidak baik. Walaupun persentase tertinggi masih berada pada kategori nilai baik (46,7%), tetapi terdapat penilaian pada margin terendah yaitu sangat tidak baik sebesar 1,6 % dan kategori nilai tidak baik sebanyak 2,5 %. Sedangkan untuk profesionalisme dan tingkat kepatuhan pegawai berada pada tingkat baik Dalam hal peningkatan kesejahteraan pegawai mayoritas pegawai (60,7 %) menilai sangat baik dan sisanya sebesar 36,1 % menilai baik. Hal ini menunjukkan penerapan Sistem Administrasi Modern, khususnya dengan memberikan tunjangan tambahan, telah terbukti meningkatkan kesejahteraan pegawai.
81
•
Penilaian Pegawai terhadap keberhasilan penerapan Sistem Administrasi Modern Adanya perubahan positif yang dihadirkan dari penerapan Sistem Administrasi Modern disambut positif oleh para pegawai, hal ini ditunjukkan dari 50,8 % responden menilai sangat baik perubahan yang terjadi dengan adanya penerapan Sistem Administrasi Modern dan sisanya sebesar 47,5 % menilai baik. Untuk penilaian keberhasilan penerapan Sistem Administrasi Modern dalam meningkatkan kepuasan WP dan mendorong terbentuknya Good Coorporate Governance, sebanyak 54,1 % responden menilai penerapan Sistem Administrasi Modern telah membawa dampak sangat baik dan sisanya sebesar 44,3 % responden menilai baik.
2. Analisis Indikator Impact berdasarkan wawancara Dari wawancara dengan pegawai di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta I penulis dapat menarik beberapa kesimpulan atas dampak penerapan Sistem Administrasi Modern antara lain: 1. Perbedaan fundamental budaya organisasi ke arah positif dari Kantor Wilayah DJP Jakarta I dibandingkan dengan sebelum menerapkan Sistem Administrasi Modern. Sebagai contoh ketatnya sistem absensi dan besarnya potongan gaji atas keterlambatan telah membentuk suatu budaya organisasi kearah yang lebih disiplin. 2. Terciptanya situasi kerja yang lebih kondusif dalam menunjang profesionalisme pekerjaan. Situasi kondusif tersebut tercipta karena dalam Sistem Administrasi Modern menerapkan sebuah Sistem Administrasi
82
Perpajakan Terpadu dimana semua perekaman data atas wajib pajak harus terintegrasi. Data yang direkam dari tiap seksi akan diolah Seksi Dukungan Teknis dan ditampilkan sebagai data yang terintegrasi yang bisa diakses oleh setiap pegawai berdasarkan fungsinya masing-masing. 3. Adanya situasi yang lebih akrab antar pegawai, karena struktur organisasi yang berdasarkan fungsi tidak lagi menciptakan dikotomi (perbedaan) antara seksi teknis (seksi yang berhubungan dengan pajak secara langsung) maupun seksi non teknis (seksi penunjang/seksi adminitrasi) yang kerap terjadi di unit kerja yang belum menerapkan Sistem Administrasi Modern. Semua fungsi dalam Sistem ini baik pelayanan, pemeriksaan, pengawasan, penagihan maupun seksi administrasi menjalankan fungsinya masingmasing dan saling mendukung, karena dengan sistem yang terintegrasi tersebut data dan keterangan dari seksi lain mutlak sangat dibutuhkan dalam menunjang pekerjaan kita, sehingga tercipta suatu sinergi antar seksi. 4. Peningkatan tingkat kesejahteraan pegawai dengan adanya Tunjangan Khusus Tambahan yang melebihi dari tunjangan yang biasa diterima pegawai lainnya. Dalam analisis konsep value for money diatas, kenaikan tunjangan ini terbukti meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja. 5. Dari sisi rewards and punishment terjadi peningkatan, terbukti hingga saat ini tidak ada laporan dari komite kode etik tentang pelanggaran fatal yang dilakukan pegawai. Hal ini sangat mendorong terciptanya law enforcement
83
di dalam institusi Direktorat Jenderal Pajak yang selama ini banyak disoroti masyarakat. 6. Penerapan Sistem Administrasi Modern pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I sebagai replikasi pilot project DJP dinilai berhasil, terbukti dalam tahun 2007 Sistem Administrasi Modern mulai diterapkan pada sebagian besar Kantor Wilayah di seluruh Indonesia. Selain itu dari hasil wawancara tersebut penulis menilai ada beberapa kekurangan yang masih perlu mendapatkan perhatian antara lain : 1. Belum adanya sistem standarisasi pelayanan yang wajib diberikan AR kepada Wajib Pajak. Standar pelayanan yang merupakan unsur terpenting dalam Sistem Admisnistrasi Modern masih bersifat relatif dan bahkan terkadang masih sangat bergantung pada kondisi psikologis petugas yang bersangkutan. Hal ini menjadikan perbedaan kepuasan Wajib Pajak karena belum adanya standarisasi baku pelayanan. 2. Mekanisme kepegawaian yang kurang up to date mengakibatkan sering terjadinya kekosongan dalam pengisian jabatan apabila ada pegawai yang terkena mutasi pindah ke unit lain. Keadaan ini terutama sangat terasa pada posisi AR, karena tugas pelayanan dan pengawasan atas Wajib Pajak yang berada di bawah tanggung jawabnya, harus selalu dilaksanakan dengan kontinyu, di lain sisi data dan deskripsi keadaan Wajib Pajak tidaklah mudah untuk ‘diajarkan’ kepada AR lain yang menjadi pengganti sementara. Sedangkan pengisian posisi AR melalui mutasi regular dari
84
Kantor Pusat DJP tidak terjadi setiap perode melainkan bersifat kondisional. 3. Adanya dualisme fungsi AR yang dinilai kurang efektif yaitu fungsi pelayanan dan fungsi pengawasan. Fungsi pelayanan mengharuskan AR bersikap sangat koorporatif terhadap WP, sedangkan fungsi pengawasan seharusnya lebih bersifat tegas dan non koorporatif untuk menegakkan hokum yang berlaku. Sehingga dari dua karakteristik fungsi yang berbeda ini apabila terdapat dalam satu orang, dinilai akan mengurangi objektifitas dan profesionalisme dalam bekerja. 4. Perlunya penyesuaian sistem yang harus dilakukan apabila DJP ingin menerapkan Sistem Administrasi Modern ke semua unit kerja di seluruh Indonesia. Hal ini menjadi sangat penting karena karakteristik tiap unit kerja sangat berbeda-beda baik dari jumlah Wajib Pajak, jumlah pegawai, tingkat kepatuhan WP, wilayah kerja, target dan realisasi penerimaan, serta dari faktor eksternal organisasi yang sangat berpengaruh seperti budaya penduduk, kondisi keamanan dan lain-lain. Penyesuaian ini bisa meliputi struktur maupun fungsinya tergantung kebutuhan kantor, tetapi tetap berdasarkan konsep dasar dari Sistem Administrasi Modern.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Dari uraian di dalam Bab I sampai dengan Bab IV yang membahas gambaran umum dan kinerja dari Kantor Wilayah DJP Jakarta I berdasarkan konsep Value for Money, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Sistem Administrasi Modern yang diterapkan pada Kantor Wilayah DJP Jakarta I merupakan sebuah langkah besar dalam mereformasi instansi di Direktorat Jenderal Pajak baik dari segi fungsi, struktur organisasi, maupun administrasi yang dilakukan. 2. Untuk tingkat ekonomis yang diukur dari input berupa rencana belanja barang dan realisasi belanja barang yang tertuang dalam Daftar Isian Kegiatan (DIK) sebagai pertanggungjawaban instansi setiap tahun, sesuai pembahasan pada Bab IV terbukti bahwa Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah menunjukkan kinerja yang ekonomis. Hal ini dilihat dari nilai ekonomis setelah penerapan Sistem Administrasi Modern yang melebihi nilai ekonomis sebelum penerapan Sistem Administrasi Modern, maupun dari prosedur pengadaan barang yang dilakukan oleh Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 16 tahun 2000 jo Keputusan Presiden RI Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
86
3. Untuk tingkat efisiensi yang diukur dari total pengeluaran yang dibutuhkan (input) dibandingkan dengan hasil yang dicapai (output), sesuai dengan pembahasan pada Bab IV Kantor Wilayah DJP Jakarta I belum mampu menunjukkan kinerja yang efisien. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat efisensi sebelum penerapan Sistem Administrasi Modern yang tinggi melebihi tingkat efisiensi setelah penerapan Sistem Administrasi Modern. Hal ini dapat dimaklumi karena terjadi kenaikan belanja anggaran pada pos belanja modal gedung/bangunan dan peralatan perlengkapan gedung mengingat adanya pembentukan empat buah Kantor Pelayanan Pajak Pratama hasil pemecahan pada bulan Juni 2005. Namun diharapkan pada tahun berikutnya akan dapat mencapai tingkat efisiensi yang tinggi seperti tahun 2004 (awal penerapan SAM). 4. Untuk tingkat efektivitas seperti pembahasan pada Bab IV, Kantor Wilayah DJP Jakarta I telah menunjukkan kinerja yang efektif. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat efektivitas setelah penerapan Sistem Administrasi Modern yang tinggi melebihi tingkat efektivitas setelah penerapan Sistem Administrasi Modern. Penerapan SAM memberikan kenaikan yang signifikan terhadap tingkat efektivitas (19,15 %) pada tahun 2004 dan cenderung meningkat pada tahun 2005 sehingga memberikan penerimaan pajak yang optimal meskipun belum memenuhi target yang ditetapkan. 5. Sebagai analisis tambahan yaitu analisis indikator impact yang didapat dari wawancara dan angket kepada pegawai Kantor Wilayah DJP Jakarta I dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan Sistem Administrasi Modern telah
87
membawa perubahan positif terutama pada budaya organisasi, profesionalisme kerja dan tingkat kesejahteraan pegawai. 6. Dari kesimpulan diatas, maka berdasarkan analisis Value for Money penerapan Sistem Administrasi Modern terbukti membawa perubahan positif terhadap kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I. Hal ini ditunjukkan dengan kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I setelah penerapan Sistem Administrasi Modern yang terbukti ekonomis, efisien dan efektif serta membawa dampak (impact) positif bagi kesejahteraan pegawai dan terciptanya budaya organisasi baru ke arah yang lebih baik. B. SARAN Adapun saran yang dapat diberikan untuk lebih menunjang kinerja Kantor Wilayah DJP Jakarta I adalah : 1. Dari sisi ekonomis, rekapitulasi pengeluaran barang dan pengeluaran dana lainnya masih menggunakan proses manual yaitu dengan merekapitulasi bukti dan catatan pengeluaran pada akhir tahun. Hal ini dapat menyebabkan kesalahan administrasi karena kemungkinan tejadinya kelalaian pegawai (human error). Seharusnya sistem pencatatan pengeluaran dan transaksi atas anggaran lainnya dilakukan berdasarkan sistem otomatis dan terkomputerisasi, dimana setiap ada transaksi atas kas langsung dicatat dan dibukukan pada nilai kas, sehingga pada akhir tahun saldo nilai kas telah menunjukkan saldo kas yang sebenarnya. 2. Dari sisi efisiensi, karena belum mampu menunjukkan tingkat efisiensi yang tinggi dibandingkan sebelum penerapan SAM, maka Kantor Wilayah DJP
88
Jakarta I perlu lebih meningkatkan kinerja dan efisiensinya seperti halnya tingkat efisiensi pada awal penerapan SAM (tahun 2004). 3. Dari sisi efektivitas, sesuai dengan penilaian dari penulis perlu diadakan perbaikan kinerja terutama pada kecepatan dalam memberikan informasi kepada Wajib Pajak serta kebersihan di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT). Hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah kemampuan pegawai untuk menjelaskan hasil pemeriksaan serta pengelolaan website yang lebih mudah diakses. 4. Perlu disusun suatu sistem standarisasi pelayanan yang wajib diberikan Account Representative (AR) kepada Wajib Pajak. Standar pelayanan yang merupakan unsur terpenting dalam Sistem Admisnistrasi Modern masih bersifat relatif dan bahkan terkadang masih sangat bergantung pada kondisi psikologis petugas yang bersangkutan. Untuk itulah perlu disusun suatu standar wajib pelayanan bagi AR agar ada keseragaman pelayanan yang diberikan untuk menjaga tingkat kepuasan Wajib Pajak. 5. Dari sisi fungsi dan tanggung jawab, seharusnya fungsi pengawasan dan pelayanan yang melekat dalam satu jabatan yaitu pada Account Representative (AR) dipisahkan untuk lebih meningkatkan objektivitas pegawai. Karena fungsi pengawasan lebih mengharuskan sikap tegas dan non koorporatif dalam menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan fungsi pelayanan mengharuskan sikap koorporatif dan bersahabat, sehingga apabila melekat dalam satu jabatan akan menimbulkan dualisme yang mendorong ketidakobjektivan dalam bekerja.
89
6. Sesuai penjelasan pada Bab IV, perlunya dilakukan penyesuaian sistem apabila DJP ingin menerapkan Sistem Administrasi Modern ke semua unit kerja di seluruh Indonesia karena perbedaan karakteristik tiap unit kerja menyebabkan suatu sistem yang baik diterapkan pada satu unit kerja belum tentu baik apabila diterapkan di unit kerja lainnya. Penyesuaian ini bisa meliputi struktur maupun fungsinya tergantung kebutuhan kantor tetapi tetap berdasarkan konsep dasar dari Sistem Administrasi Modern.
117
DAFTAR PUSTAKA
Buttery, R. and R.K. Simpson. 1989. Audit in The Public Sector, Edisi ke-2, Woodhead Taulkner, England. Cherny, J., A.R. Gordon and R.J.L. Herson. 1992. Accounting A Social Institution A Unified Theory for The Measurement of The Profit and Non Profit Sectors, Edisi ke-3, Quorum Books, New York. DJP. 2004. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 254/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, Jakarta. DJP. 2005. Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 167/KMK.01/2005 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 254/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, Kantor Pelayanan Pajak Madya, dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta I, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta. Governmental Accounting Standard Boards. 2000. Performance Measurement for Government. http://www.seagov.org. 5 Januari 2004. Gunadi. 2002. Ketentuan Dasar Pajak Penghasilan, Salemba Empat, Jakarta. Gunadi. 2003. ”Keberhasilan Pajak Tergantung Partisipasi Masyarakat,”dalam Perspektif Baru. http://www.perspektif.net/articles/view.asp?id=431, 27 September 2003. Hersey, P., K.H. Balncherd, & D.E. Johnson. 1996. Management of Organizational Behaviour Utilizing Human Resources, Edisi ke-7, Prentice Hall International Inc, New Jersey. LAN dan BPKP. 2000. Pengukuran Kinerja Instansi Pemerintah, Modul 3, Jakarta. Mahmudi. 2005. Manajemen Kinerja Sektor Publik, UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
118
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik, Edisi ke-1, Andi, Yogyakarta. Mowen, M.M. and D.R. Hansen. 2000. Management Accounting, Edisi ke-5, South-Western College Publishing, Cincinnati. Chaizi Nasucha. 2004. Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktik, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Osborn, R.N., J.R. Schermerhorn, and J.G. Hunt. 1994. Managing Organizational Behaviour, Edisi ke-5, John Wiley and Son Inc, Canada. Zauhar Soesilo. 2002. Reformasi Administrasi : Konsep, Dimensi dan Strategi, Bumi Askara, Jakarta. Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis, C.V. Alfabeta, Bandung. Hessel Nogi Tangkilisan. 2005. Manajemen Publik, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Wirawan B. Ilyas dan R. Burton. 2004. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta.