Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Analisis Peranan PTPN VII dalam Membangun Kondusivitas Lingkungan Usaha Kecil di Era Globalisasi dari Perspektif Corporate Social Responsibility Oleh: Yahnu Wiguno Sanyoto Abstract In the era of highly competitive competition, PTPN VII (Persero) have an obligation to foster the partners built around the working area conceptually, well planned and sustainable (sustainability development) to solve problems that had blanketed the small business, involving internal constraints and external. Efforts to tackle the problem are implemented through a new awareness concept called Corporate Social Responsibility (CSR) which is defined as the moral responsibility of a company against its strategic stakeholders, especially the community around the work area and operations. CSR regards the company as a moral agent. With or without the rule of law, a company must uphold morality. The success of a company in view of CSR is to promote the moral and ethical principles, namely, to the best result, without prejudice to other community groups. Keywords: Partnership, responsibility, corporate social responsibility, small business
Pendahuluan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang berupaya mengimplementasikan amanat pasal 33 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen keempat) yang berbunyi, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. BUMN secara definisi adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) atau yang lebih kita kenal dengan PTPN VII (Persero) merupakan salah satu BUMN di sektor perkebunan, juga memiliki peran dan tanggung jawab yang sama dengan BUMN-BUMN lainnya untuk membangun masyarakat di sekitarnya yaitu Provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu, khususnya dalam rangka mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang selama ini belum optimal. Apalagi dengan kondisi perekonomian dan dunia usaha yang semakin kompetitif di era globalisasi saat ini baik secara lokal, nasional, regional maupun global. Oleh sebab itu, PTPN VII (Persero) memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong kemajuan dunia usaha khususnya usaha kecil di sekitarnya agar produk mereka mampu bersaing dengan produk dari luar negeri. Ini dikarenakan, usaha kecil sebagai salah satu pelaku ekonomi juga memiliki sifat yang tangguh, unggul, serta berdaya saing, berdaya tarik, dan berdaya lestari.
Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Baturaja
8
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Setiap BUMN memiliki suatu program yang memang diperuntukan bagi UMKM di lingkungan kerjanya. Program itu dikenal dengan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang secara yuridis diatur melalui Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Per – 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Pelaksanaan program kemitraan hanya difokuskan pada usaha kecil dan bukan pada usaha menengah atau bahkan usaha besar. Hal ini dilandasi oleh beberapa alasan logisrasional, yaitu: a) masalah fleksibilitas dan adaptabilitasnya dalam memperoleh bahan mentah dan peralatan; b) relevansinya dengan proses desentralisasi kegiatan ekonomi guna menunjang terciptanya integrasi pada sektor ekonomi yang lain; c) potensinya terhadap penciptaan dan perluasan kesempatan kerja; d) pencipta pasar baru dan sumber inovasi, dan; e) peranannya dalam jangka panjang sebagai basis untuk mencapai kemandirian pembangunan ekonomi karena usaha berskala kecil umumnya dijalankan oleh pengusaha dalam negeri dengan menggunakan kandungan impor yang sangat rendah. Sementara itu, yang dimaksud dengan usaha kecil di sini sebagai mitra binaan adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria: a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); b) milik warga negara Indonesia; c) berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi; d) mempunyai potensi dan prospek usaha yang dikembangkan; e) telah melakukan kegiatan usaha minimal satu tahun, dan; f) Belum memenuhi persyaratan perbankan (non bankable). Di era persaingan yang sangat kompetitif ini, PTPN VII (Persero) memiliki kewajiban untuk membina para mitra binaan di sekitar wilayah kerjanya secara konsepsional, terencana dan berkelanjutan (sustainability development) untuk memecahkan permasalahanpermasalahan yang selama ini menyelimuti usaha kecil, menyangkut kendala internal dan eksternal. Kendala internal dapat berupa aspek pemasaran, aspek keuangan (keterbatasan modal), aspek sumberdaya manusia (penguasaan teknologi dan informasi), aspek produksi (ketersediaan bahan baku dan infrastruktur), dan aspek mutu (standarisasi produk). Kendala faktor eksternal di antaranya adalah panjangnya jalur birokrasi dalam pengurusan surat usaha atau surat sejenis sehingga umumnya usaha kecil tidak memiliki surat izin usaha, yang pada akhirnya menghambat mereka dalam mengakses dana (modal) dari perbankan. Hal ini harus dihadapi dan disikapi secara konstruktif mengingat signifikansi kontribusi usaha ini bagi pendapatan nasional, penyerapan tenaga kerja, nilai ekspor nasional, dan investasi nasional sangat besar. Ini karena usaha kecil merupakan elemen penting dalam upaya pengembangan demokrasi ekonomi. Berdasarkan data Kementerian Negara Koperasi dan UKM (2009), tahun 2007, peran UMKM terhadap penciptaan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp2.105,14 triliun atau 56,23%, kontribusi Usaha Mikro tercatat sebesar Rp1.208,03 triliun atau 32,27% dan Usaha Kecil (UK) sebesar Rp385,31 triliun atau 10,29%. Sedangkan Usaha Menengah (UM) tercatat sebesar Rp. 511,79 triliun atau 13,67% dari total PDB nasional, selebihnya adalah Usaha Besar (UB) yaitu Rp1.638,84 triliun atau 43,77%. Sedangkan pada tahun 2008, peran UMKM terhadap penciptaan PDB nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp2.609,36 triliun atau 55,56 persen dari total PDB nasional, 9
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
mengalami perkembangan sebesar Rp. 504,23 triliun atau 23,95% dibanding tahun 2007. Kontribusi Usaha Mikro tercatat sebesar Rp1.505,31 triliun atau 32,05% dan UK sebesar Rp473,27 triliun atau 10,08%. Sedangkan UM tercatat sebesar Rp630,78 triliun atau 13,43%, selebihnya sebesar Rp2.087,12 triliun atau 44,44% merupakan kontribusi UB. Dalam hal ketenagakerjaan, peran UMKM pada tahun 2007 tercatat sebesar 88.739.744 orang atau 96,95%dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, kontribusi Usaha Mikro tercatat sebanyak 81.732.430 orang atau 89,30% dan UK tercatat sebanyak 3.864.995 orang atau 4,22%. Sedangkan UM sebanyak 3.142.319 orang atau 3,43% selebihnya adalah UB. Pada tahun 2008, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 90.896.270 orang atau 97,04% dari total penyerapan tenaga kerja yang ada, jumlah ini meningkat sebesar 2,43% atau 2.156.526 orang dibandingkan tahun 2007. Kontribusi Usaha Mikro tercatat sebanyak 83.647.711 orang atau 89,30% dan UK sebanyak 3.992.371 orang atau 4,26%. Sedangkan UM tercatat sebanyak 3.256.188 orang atau 3,48%. Kontribusi UMKM terhadap pembentukan total nilai ekspor nasional pada tahun 2007 tercatat sebesar Rp. 143,01 triliun atau 16,01%, kontribusi Usaha Mikro tercatat sebesar Rp. 15,02 triliun atau 1,68% dan UK tercatat sebesar Rp. 34,66 triliun atau 3,88%. Sedangkan UM sebesar Rp. 93,33 triliun atau 10,45% selebihnya adalah UB sebesar Rp. 750,00 triliun atau 83,99%. Pada tahun 2008, peran UMKM terhadap pembentukan total nilai ekspor nasional mengalami peningkatan sebesar Rp. 40,75 triliun atau 28,49% yaitu dengan tercapainya angka sebesar Rp. 183,76 triliun atau 16,72% dari total nilai ekspor nasional. Kontribusi Usaha Mikro tercatat sebesar Rp. 20,25 triliun atau 1,84% dan UK tercatat sebesar Rp. 44,15 triliun atau 4,02%. Sedangkan UM tercatat sebesar Rp. 119,36 triliun atau 10,86%, selebihnya adalah UB. Pada tahun 2007, peran UMKM terhadap pembentukan investasi nasional menurut harga berlaku tercatat sebesar Rp. 461,10 triliun atau 52,99% dari total investasi nasional sebesar Rp. 870,17 triliun. Kontribusi Usaha Mikro tercatat sebesar Rp. 71,66 triliun atau 8,24% dan UK sebesar Rp. 180,20 triliun atau 20,71% serta UM tercatat sebesar Rp. 209,24 triliun atau 24,05 persen. Pada tahun 2008, peran UMKM mengalami peningkatan sebesar Rp. 179,27 triliun atau 38,88% menjadi Rp. 640,38 triliun. Kontribusi Usaha Mikro tercatat sebesar Rp. 101,53 triliun atau 8,39% dan UK tercatat sebesar Rp. 250,52 triliun atau 20,69%, sedangkan UM tercatat sebesar Rp. 288,33 triliun atau 23,81% dan selebihnya adalah UB. Fakta dan data tersebut sekaligus membuktikan bahwa usaha kecil telah teruji sebagai komunitas usaha yang merupakan katup pengaman, dinamisator dan stabilisator perekonomian nasional dan memiliki tingkat penyesuaian, kepekaan, ketersesuaian, serta kemudahan yang tinggi terhadap turbulensi dan dinamisasi (perubahan) pasar global yang unpredictable dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun global sehingga layak untuk diberdayakan secara menyeluruh, optimal, dan berkesinambungan melalui pengembangan iklim usaha yang kondusif, pemberian kesempatan berusaha, kepastian berusaha, dukungan, perlindungan, dan pengembangan usaha seluas-luasnya, agar mampu meningkatkan kedudukan, peran, dan potensinya dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan yang dapat distimulasi dengan cara: a) pemberian fasilitas bimbingan dan pendampingan; b) meningkatkan kemampuan usaha kecil, khususnya dari segi peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk melakukan pengelolaan usaha; c) mengembangkan akses permodalan usaha kecil melalui penyaluran dana bergulir, dan; d) mengembangkan akses jaringan pemasaran (distribusi pemasaran). 10
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya harus memenuhi dua syarat, yaitu (1) Pertumbuhan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat (broad base) dan (2) Prosesnya lebih mengandalkan kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif, dan ingenuitas sumber daya manusianya, dan bukan hanya mengandalkan hasil penjualan kekayaan alam atau bantuan luar negeri (Budiono, 2009:9). Berkaitan dengan beberapa hal tersebut, maka PTPN VII (Persero) sudah seharusnya menambah unit usaha rakyat melalui program kemitraan dan mampu memposisikan keberadaannya sebagai agent of change and agent of development bagi masyarakat di lingkungan sekitar baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini diharapkan mampu membangun suasana kerja dan kesinergisan hubungan masyarakat yang semakin kondusif dengan didasari oleh prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat,dan menguntungkan. Globalisasi: Peluang atau Ancaman Bagi Eksistensi Usaha Kecil Setiap fenomena selalu memunculkan dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi, globalisasi membuka peluang yang lebih luas dan terbuka bagi peningkatan perdagangan dan investasi yang pada gilirannya memperluas lapangan pekerjaan. Di lain pihak, globalisasi membawa implikasi berupa semakin ketatnya tingkat persaingan, baik di pasar domestik maupun internasional. Keadaan ini memaksa usaha kecil melakukan berbagai langkah untuk secara terus menerus menurunkan biaya produksi dan menghasilkan temuan-temuan (inovasi) baru. Tuntutan tersebut menjadi salah satu dorongan bagi terjadinya pembaharuan di semua sektor usaha kecil yang cenderung meninggi intensitasnya. Pada waktu yang sama, muncul juga tuntutan bagi peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hak-hak pekerja yang pada akhirnya membuat usaha kecil mengubah komposisi produknya dan mengurangi jumlah tenaga kerja. Globalisasi merupakan hal yang tidak dapat ditolak oleh seluruh negara di dunia. Tantangan menuju globalisasi dilandasi atas pemikiran bahwa pada realitasnya paham neoliberalisme semakin intensif menimpa sistem ekonomi dunia, tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan nasional antarnegara ataupun di dalam suatu negara menjadi tajam. Negara berkembang atau yang dikenal juga dengan sebutan negara dunia ketiga, semakin jauh tertinggal dengan kehidupan ekonomi (kemakmuran/kesejahteraan) di negara maju sekalipun di negara. Banyak kalangan memunculkan diskursus apakah kemiskinan yang semakin parah di negara dunia ketiga disebabkan karena mereka tidak tersentuh globalisasi atau sebaliknya kemunduran perekonomian nasional negara dunia ketiga karena arus globalisasi yang sulit ditolak. Ini dikarenakan globalisasi merupakan fenomena multidimensi yang beraneka ragam pandangan dan intepretasi terutama jika dikaitkan dengan kesejahteraan umat manusia di dunia. Pemberlakuan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) pada 1 Januari 2010 menjadi salah satu test case-nya, khususnya bagi negara-negara berkembang di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk menghadapi era-hiperglobalis. Perjanjian ACFTA memang baru efektif 1 Januari 2010, tetapi kenyataannya produk nonmigas China sudah membanjiri pasar Indonesia. Angka impor produk nonmigas dari China pada tahun 2009 mencapai 13,49 miliar dollar AS, melonjak tajam dibandingkan dengan impor pada tahun 2004 yang hanya 3,4 miliar dollar AS (Kompas, 2 Pebruari 2010). Setelah pemberlakuan ACFTA, sebanyak 1.017 pos tarif China-Indonesia akan dihapuskan. Dari jumlah itu, 828 pos tarif telah diturunkan pada periode 2004-2009 dan 200 11
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
pos tarif akan menyusul dihapuskan (Kompas, 4 Februari 2010). Pada konteks ini, dampak integrasi ekonomi global terhadap sistem ekonomi nasional terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu tekanan perdagangan yang semakin kompetitif, multinasional produksi, dan integrasi pasar keuangan sehingga akan banyak perusahaan-perusahaan transnasional dan investasi modal global yang akan mencari daerah-daerah yang menguntungkan dan menawarkan insentif yang lebih baik. Oleh karena itu, di era globalisasi sekarang ini peranan PTPN VII (Persero) sebagai salah satu elemen badan usaha pemerintah nasional adalah menciptakan kondisi usaha yang kondusif bagi para pengusaha kecil. ACFTA diprediksi oleh berbagai kalangan ekonomi nasional dalam perspektif skeptis (pesimistik) akan membawa implikasi negatif bagi perkembangan dan keberadaan usaha kecil. Padahal, sebagai suatu usaha yang produktif, kreatif, dan inovatif, hal terpenting yang dapat dilakukan oleh usaha kecil adalah memformulasikan sebuah rencana (visi) untuk menjawab bagaimana mengelola globalisasi sehingga bermanfaat bagi eksistensi usaha kecil. Bukan justru berpikir konvensional dan konformistis untuk menggantungkan diri pada proses menetes ke bawah baik yang datang dari pengusaha menengah, besar, maupun dari pemerintah. Singkatnya adalah bagaimana menjadikan era-globalisasi ekonomi ini menjadi peluang bagi usaha kecil untuk mengembangkan usahanya serta mengkompetisikan produk-produk (sustainability competitiveness) andalannya untuk bersaing dengan produk luar negeri khususnya China yang beragam bentuk, jenis, dan ukuran serta harga yang sangat murah. Bahkan sebelum pemberlakuan ACFTA sekalipun, sebenarnya produk buatan China membanjiri pasar Indonesia bukan fakta yang baru. Data menunjukkan, impor produk China selama lima tahun terakhir terus meningkat. Nilainya tidak pernah kurang dari 5 miliar dollar AS per tahun. Pada tahun 2008, impor China bahkan melebihi ekspor Indonesia sehingga membuat neraca perdagangan kita dengan negeri tirai bambu itu menjadi minus. Sampai dengan September 2009, neraca perdagangan yang negatif masih berlanjut. Kondisi ini melengkapi gejala kemandekan ekspor Indonesia ke China di mana pertumbuhan rata-ratanya sejak 2005 hanya 20% per tahun. Sementara impor China ke Indonesia dalam kurun waktu yang sama pertumbuhannya rata-rata 35% per tahun (Kompas, 2 Pebruari 2010). Secara historis, istilah globalisasi dan pasar bebas tidak dibarengi dengan kesadaran akan adanya ancaman yang terkandung dalam gagasan globalisasi dan pasar bebas tersebut karena pada hakikatnya di masa yang lalu kedua istilah tersebut untuk menjamin ketersediaan bahan baku dan pasar bagi barang-barang yang diproduksi oleh sebuah negara. Pada perkembangannya saat ini globalisasi dan pasar bebas merupakan bentuk dari kemajuan kapitalisme. Akibatnya kemajuan tersebut, kapitalisme berubah menjadi imperialisme dan kolonialisme. Metodenya adalah dengan menaklukan negara lain secara fisik dan menjadikan negara tersebut sebagai koloninya. Globalisasi ekonomi mendikotomi dunia menjadi the winner and the loser, dan ternyata negara yang justru dapat mengambil manfaat dari globalisasi adalah strong state. Negara yang kuat dapat secara paksa membeli bahan baku dengan harga yang sangat murah, selanjutnya menjual hasil produksinya dengan harga yang sangat tinggi. Implikasi globalisasi pada dasarnya menyangkut peran negara dalam ekonomi nasional, terkait dengan pergeseran paradigma pembangunan yang dipimpin negara (state-led development) ke arah pembangunan yang digerakkan pasar (market driven development). Hal ini menjadikan globalisasi sebagai suatu fenomena yang paradoks dan ambivalen. 12
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Pengusaha kecil harus mampu berada di garda terdepan untuk membendung implikasi negatif pemberlakuan ACFTA ini dengan menghasilkan produk-produk yang juga memiliki ciri khas tersendiri, yang dapat digali dari keunggulan lokal masyarakat sekitar. Pengusaha kecil harus mampu mengkombinasikan keunggulan lokal dengan peluang pasar global. Artinya para pengusaha kecil dituntut untuk, “think globaly and act locally” dalam menjalankan strategi usahanya sehingga produknya tetap dilirik oleh pasar. Pada konteks regionalisasi ekonomi seperti ini persaingan bisnis usaha kecil akan berlangsung dengan proteksi yang sangat minim atau bahkan tanpa proteksi pemerintah sama sekali. Persaingan usaha kecil di era globalisasi tidak hanya berkisar pada mempertahankan pasar dalam negeri, tetapi juga mencakup pada strategi usaha untuk menembus pasar internasional. Persaingan mendatang, bagi para pengusaha kecil dapat digambarkan akan semakin ketat dan rumit sehingga mereka harus lebih kreatif penuh inovasi dan pandai dalam menciptakan peluang usaha. Menurut Karen Adler dalam Scarborough (2002; dalam Bangsawan, 2010:17), menyebutkan bahwa untuk membangun daya saing, usaha kecil harus menggunakan keunggulan khusus melalui empat tingkatan keterlibatan pelanggan (pasar), yaitu; a) customer awareness; b) customer sensitivity; c) customer alignment; d) customer partnership. Di samping itu untuk mencapai tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi, banyak pengusaha kecil melihat enam sumber penting dalam mengembangkan daya saing, yaitu (a) fokus pada pelanggan; b) kesetiaan pada mutu; c) perhatian terhadap kenyamanan; d) konsentrasi terhadap inovasi; e) dedikasi pada pelayanan; dan; f) tekanan lebih berorientasi pada kecepatan. Sementara itu, Cravens (2000; dalam Bangswan, 2010:18)), mengemukakan, terdapat lima kekuatan bersaing dalam setiap usaha yaitu masuknya pesaing baru, ancaman dari produk pengganti (substitusi), kekuatan tawar-menawar pembeli, kekuatan tawar-menawar pemasok, dan persaingan di antara perusahaan-perusahaan sejenis yang ada. Secara kolektif, kelima kekuatan bersaing memengaruhi kemampuan usaha kecil untuk memperoleh tingkat pengembalian atas investasi perusahaan. Perdagangan bebas memberikan keuntungan terutama pada konsumen dengan banyak macam produk dan harga yang lebih murah. Namun, menyebabkan kerugian bagi perusahaan yang produknya tidak dapat bersaing berikut pekerja yang harus menganggur karena perusahaannya kalah bersaing. Penerimaan pemerintah dari tarif juga berkurang drastis. Jadi, tugas pemerintah adalah mendorong, bagi perusahaan yang dapat memenangi persaingan dan memberikan jalan keluar serta alternatif bagi perusahaan yang kalah bersaing dan pekerja yang menganggur. Dalam keadaan seperti saat ini, pengusaha kecil tidak boleh menyerah, mereka harus siap menghadapi era perdagangan bebas sebagai suatu yang positif dan esensial bagi pertumbuhan dan pembangunan. Oleh karenanya, pengusaha kecil harus memiliki sikap mental, pandangan, wawasan serta pola pikir dan pola tindak terhadap tanggungjawabnya dan selalu berorientasi kepada pelanggan. Pengusaha kecil harus peka terhadap keadaan pasar dunia usaha dan mampu mengambil tindakan untuk menantang pasar dengan memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki. Untuk menjawab tantangan globalisasi tersebut, dunia usaha Indonesia khususnya usaha kecil dapat memanfaatkan kunci pembuka sukses atau dalam istilah pemasaran, marketing success ke masa depan seperti keunggulan, inovasi, dan antisipasi. Keunggulan merupakan basisnya karena keunggulan bersaing merupakan ciri pokok abad 21. Salah satu hal penting untuk menjaga dan memberikan keunggulan bersaing adalah kualitas yang dapat diidentifikasi melalui pengawasan mutu. Perlu diingat bahwa, keunggulan 13
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
produk-produk China lebih ditentukan oleh harganya yang murah, bukan pada kualitas, kandungan teknologi, dan kekhususan lain. Inovasi merupakan cara meningkatkan kemampuan bersaing. Perlu diingat bahwa, di era globalisasi tidak ada istilah keunggulan mutlak, yang ada hanyalah keunggulan relatif. Pengusaha kecil akan mampu bertahan jika melakukan inovasi secara kontinu dengan selalu menghasilkan produk-produk baru yang kompetitif. Terakhir, ketika produk usaha kecil itu telah memiliki kualitas dan sifatnya inovatif, maka pengusaha kecil dapat menunggu waktu yang tepat untuk memasarkannya sehingga pasar global pun tertarik untuk membelinya. Antisipasi mengenai kapan, di mana dan bagaimana memasarkannya dapat ditelusuri dengan mencari informasi lingkungan bisnis. Informasi dunia usaha bagi pengusaha kecil di Indonesia menjadi hal yang sangat krusial dalam rangka meraih peluang yang ada di pasar internasional. Rendahnya mutu sumber daya manusia (termasuk penguasaan bahasa asing) akan mengakibatkan Indonesia menjadi korban ekonomi yang hanya pasif melihat atau bahkan sekadar menjadi pasar produk asing. Kualitas SDM Indonesia masih rendah, berada di urutan ke-107, jauh di bawah Singapura (25), Brunei (30), Malaysia (63), Thailand (78), China (81), dan Vietnam (105) serta menyebabkan daya saing tenaga kerja dan produk Indonesia menjadi sangat rendah. Peringkat daya saing Indonesia sangat rendah, ke-95 dari 133 negara (World Competitiveness Report), akibat sistem logistik buruk, korupsi, dan pungutan liar (Abeng, Kompas 4 Pebruari 2010). Peranan PTPN VII (Persero) dalam Perspektif Corporate Social Responsibility untuk Menjaga Eksistensi Usaha Kecil Menghadapi Era Globalisasi Sesuai dengan visi PTPN VII (Persero), “Menjadi perusahaan agribisnis dan agroindustri yang tangguh dan berkarakter global”, maka BUMN ini dituntut mampu menciptakan dan mendukung keberlanjutan perusahaan melalui harmonisasi kepentingan perusahaan, hubungan sosial kemasyarakatan dan lingkungan”. PTPN VII (Persero) dituntut menjadi perusahaan yang berkemampulabaan (profitable), makmur (wealth) dan berkelanjutan (sustainable), sehingga dapat berperan lebih jauh dalam akselerasi pembangunan regional dan nasional. Dalam rangka merealisasikan hal tersebut dengan memperhatikan implikasi perkembangan global maka PTPN VII (Persero) mencanangkan sebuah jargon “PTPN VII Peduli 7” yang bersifat people-centered, participatory, empowering and sustainable, meliputi : 1) Peduli kemitraan sebagai wujud kepedulian perusahaan dalam upaya terciptanya pertumbuhan ekonomi rakyat; 2) Peduli bencana alam sebagai wujud kepedulian perusahaan kepada korban musibah bencana alam; 3) Peduli pendidikan sebagai wujud kepedulian perusahaan dalam hal peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. 4) Peduli kesehatan sebagai wujud kepedulian perusahaan dalam upaya meningkatkan kesehatan masyarakat; 5) Peduli pembangunan sebagai wujud kepedulian perusahaan dalam upaya meningkatkan kondisi sarana dan prasarana umum; 6) Peduli keagamaan sebagai wujud kepedulian perusahaan dalam upaya meningkatkan sarana prasarana ibadah; dan 7) Peduli pelestarian lingkungan sebagai wujud kepedulian perusahaan dalam upaya pelestarian lingkungan. 14
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Program PTPN VII Peduli 7 ini merupakan suatu wujud kepedulian perusahaan terhadap kondisi sosial masyarakat. Perusahaan menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dan masyarakat sekitar diikutsertakan untuk menggali potensi yang mereka miliki. Program ini merupakan suatu kebutuhan sosial perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka sustainability perusahaan. Keseriusan PTPN VII (Persero) dalam mengimplementasikan jargonnya tersebut salah satunya adalah melalui pelaksanaan program Kemitraan BUMN dan Usaha Kecil Tahun 2009 dari target Rp5.222. juta, sampai dengan semester I tahun 2009 telah direalisasikan Rp610 juta. Pelaksanaan program bina lingkungan tahun 2009 BUMN Peduli Rp. 2.155 juta, BUMN Pembina Rp4.209 juta, realisasi hingga April 2009 senilai Rp1.432 juta (Website PTPN, 11 Mei 2007). Realisasi terhadap ketersediaan dana tersebut, diantaranya diperuntukan untuk bantuan modal usaha beberapa mitra binaan di lingkungan sekitarnya, yang tersebar di wilayah Provinsi Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Bantuan pinjaman modal usaha tersebut diberikan kepada mitra binaan setiap tahun, yang berkisar Rp5–30 juta. Dana tersebut harus dikembalikan ke PTPN VII (Persero) dengan bunga 6% yang diangsur setiap bulan dalam jangka waktu tiga tahun untuk sektor usaha industri, jasa, dan perdagangan sedangkan untuk sektor pertanian sebesar 3%. Suku bunga 6% atau 3% yang dimaksud hanyalah sekadar biaya administrasi karena pada dasarnya PTPN VII (Persero) tidak ingin memberatkan mitra binaannya dengan mematok bunga yang besar. Sebelum mendapatkan kucuran dana usaha para mitra binaan diwajibkan untuk mengikuti pendidikan atau kursus tentang enterpreneurial skill yang mencakup delapan materi pokok yakni: a) Pengantar manajemen usaha kecil; a) kewirausahaan; c) strategi pemasaran dan pengelolaan penjualan; d) pembukuan usaha kecil; e) manajemen sumber daya manusia; f) desain perencanaan bisnis; g) strategi mencari peluang usaha dan; h) perlindungan hukum dalam usaha, yang secara efektif bertujuan untuk meningkatkan jumlah individu-individu yang kompeten, yang pada gilirannya akan membantu mereka untuk berhasil. Program-program lainnya yang dapat memfasilitasi enterpreneur dalam memperoleh modal kerja adalah menetapkan business plan dan pengenalan terhadap berbagai regulasi usaha dan perpajakan. Implikasinya adalah terciptanya lingkungan usaha kecil yang kondusif, sesuai dengan budaya setempat dan beresiko relatif lebih kecil. Provinsi Lampung misalnya, dalam catatan Satria Bangsawan (2010:23), dalam prosesi/resepsi perkawinan membutuhkan banyak sekali barang-barang yang diperlukan untuk mendukung acara tersebut, seperti kain tapis, dodol, lapis legit, kopi bubuk, dan gula aren. Budaya yang berkembang di masyarakat merupakan fakta dan fenomena yang dapat dipelajari sehingga pengusaha kecil dapat melihat dan mempertimbangkan hal itu untuk menciptakan berbagai produk yang dibutuhkan oleh pasar. Demikian pula dengan ritual budaya yang dijalankan oleh suatu masyarakat, dapat merupakan suatu segmen pasar tersendiri. Dana yang digulirkan (dikucurkan) oleh PTPN VII (Persero) dari tahun ke tahun selalu meningkat sehingga pembinaan usaha kecil juga akan lebih difokuskan pada pengelompokanpengelompokan (klaster) usaha kecil dan hal ini diharapkan menghasilkan manfaat yang lebih besar tidak saja bagi perorangan tetapi bagi kelompok usaha yang bersangkutan (Budi Firman, 22 Desember 2009). Model pembinaan klaster usaha kecil harus didukung oleh beberapa aspek seperti: a) sumberdaya alam dan manusia serta perekonomian lokal; b) program kemitraan, dan; c) dukungan perkuatan berupa keuangan dan non keuangan. Adapun beberapa manfaat klaster bagi usaha kecil adalah sebagai berikut : 15
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
1) Membuka peluang dan secara empiris sebagai suatu alat yang baik untuk mengatasi hambatan akibat ukuran (skala bisnis) usaha kecil dan berhasil mengatasi persaingan dalam suatu lingkungan pasar yang semakin kompetitif. Pendekatan ini membantu upaya yang lebih fokus bagi terjalinnya jaringan bisnis, sehingga usaha kecil individual dapat mengatasi masalah akibat ukuran (skala) dan memperbaiki posisi kompetitifnya; 2) Mempermudah akses terhadap sumber produktif dan pasar yang dapat dilakukan melalui kerjasama horizontal dan secara kolektivitas perusahaan-perusahaan dapat mencapai skala ekonomis melampaui jangkauan perusahaan kecil individual sehingga dapat memperoleh pembelian input dalam skala yang ekonomis, mencapai skala optimal dalam penggunaan peralatan, dan menggabungkan kapasitas produksi untuk memenuhi permintaan skala besar; 3) Mampu memetakan spesialisasi/kompetensi usaha kecil yang dapat dilakukan melalui kemitraan horizontal ataupun integrasi vertikal. Perusahaan-perusahaan dapat memfokuskan ke bisnis intinya dan memberi peluang ekonomi eksternal atas ketersediaan tenaga kerja yang lebih terspesialisasi; 4) Sebagai sebuah proses pembelajaran kerjasama antar-perusahaan, sehingga memberi kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif dimana terjadi pengembangan saling tukar pendapat dan saling membagi pengetahuan dalam suatu usaha kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan; 5) Mengupayakan efisiensi kolektif (dari ekonomi eksternal dan tindakan kolektif) dalam hal jaringan bisnis di antara perusahaan, penyediaan jasa layanan usaha (misalnya institusi pelatihan, sentra teknologi, dan sebagainya) dan perumus kebijakan, dapat mendukung pembentukan suatu visi pengembangan usaha kecil dan memperkuat tindakan kolektif untuk meningkatkan daya saing usaha kecil. Keberadaan klaster usaha kecil diharapkan dapat membantu pengusaha kecil dalam mengakses pasar, peningkatan kemampuan ekspor, menciptakan keunggulan kompetitif, dan memanfaatkan teknologi informasi. Pemetaan klaster usaha kecil dapat dilihat pada Bagan 1 di bawah ini. Industri Terkait (Related Industry) Industri Pemasok (Supplier Industry)
Industri Inti (Core Industry)
Pembeli (Buyer)
Industri Pendukung (Supporting Industry) Institusi Pendukung (Supporting Institutions) Bagan 1. Pemetaan Pengelompokan Usaha Kecil
16
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Hal-hal tersebut tentunya merupakan upaya PTPN VII (Persero) sebagai salah satu BUMN yang dinilai sehat selama kurun waktu lima tahun terakhir, yaitu untuk menjaga eksistensi usaha kecil yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar wilayah kerjanya. Upaya tersebut dilaksanakan melalui konsep kesadaran baru bernama Corporate Social Responsibility (CSR) yang didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic stakeholders-nya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. Komisi Eropa membuat definisi yang lebih praktis, yang pada intinya adalah bagaimana perusahaan secara sukarela memberikan kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih (Susanto, 2009 : 11). CSR, menurut Kapoor (1985) adalah pengakuan bahwa kegiatankegiatan bisnis mempunyai dampak pada masyarakat, dan dampak tersebut menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis (Poerwanto, 2010 : 18). Steiner dan Steiner (1994 : 105-110) memandang tanggung jawab sosial yang dilakukan pelaku bisnis sebagai kelanjutan dari pelaksanaan berbagai kegiatan derma (charity) sebagai wujud kecintaan manusia terhadap sesama manusia (philantrophy) yang banyak dilakukan oleh para pengusaha (Kartini, 2009 : 5). CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat (Daniri, 2008:1). Pada sisi lain, Broadshaw dan Vogel (1981) juga menyatakan bahwa ada tiga dimensi dari garis besar ruang lingkup CSR yaitu: 1. Corporate philantrophy adalah usaha-usaha amal yang dilakukan oleh suatu perusahaan, dimana usaha-usaha amal ini tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan normal perusahaan. Usaha-usaha amal ini dapat berupa tanggapan langsung perusahaan atas permintaan dari luar perusahaan atau juga berupa pembentukan suatu badan tertentu, seperti yayasan untuk mengelola usaha amal tersebut; 2. Corporate responsibility adalah usaha-usaha sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan ketika sedang mengejar profitabilitas sebagai tujuan perusahaan; 3. Corporate policy adalah berkaitan dengan bagaimana hubungan perusahaan dengan pemerintah yang meliputi posisi suatu perusahaan dengan adanya berbagai kebijaksanaan pemerintah yang mempengaruhi baik bagi perusahaan atau masyarakat secara keseluruhan (Wahyudi, 2008 : 44). Mark Goyder membagi dua bentuk CSR, yaitu : 1. Bentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap komunitas dan nilai yang menjadi acuan dari CSR. Pada pembagian ini, merupakan tindakan terhadap pihak luar perusahaan atau kaitannya dengan lingkungan di luar perusahaan, seperti : komunitas-komunitas dan lingkungan alam. Bagaimana sebuah perusahaan menerapkan dan atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan komunitas di sekitarnya;
17
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
2. Bentuk nilai (ideal) dalam perusahaan yang dipakai untuk menerapkan atau mewujudkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan keadaan sosial terhadap komunitas di sekitarnya (Budimanta, 2004 : 77). Pada saat ini CSR dianggap sebagai investasi masa depan bagi BUMN. Minat para pemilik modal dalam menanamkan modal di perusahaan yang telah menerapkan CSR lebih besar, dibandingkan dengan yang tidak menerapkan CSR. Melalui program CSR dapat dibangun komunikasi yang efektif dan kohesivitas yang harmonis antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya. Pemberian kredit lunak kepada pengusaha kecil melalui CSR tentunya lebih produktif daripada pemberian bantuan dalam bentuk sembako atau kompensasi lain dari program pengentasan kemiskinan pemerintah. Ibarat peribahasa, “Jangan beri ikan kepada seseorang, namun lebih baik berikan kail kepada orang tersebut”. CSR dalam konteks program kemitraan PTPN VII (Persero) merupakan program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba PTPN VII (Persero). Kemitraan itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk suatu ikatan kerjasama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang usaha tertentu, atau tujuan tertentu, sehingga dapat memperoleh hasil yang baik (Sulistiyani, 2004 : 129). Hafsah (1999 : 43) menganggap bahwa kemitraan merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Oleh karena itu, kemitraan merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Sumber dana program kemitraan bersumber dari: a) penyisihan laba setelah pajak maksimal sebesar 2% (dua persen); b) hasil jasa administrasi pinjaman, bunga deposito dan atau jasa giro dari dana Program Kemitraan setelah dikurangi beban opersional, dan; c) pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN lain (jika ada). Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 Ayat 1 UU No. 40/2007). Peranan PTPN VII (Persero), dalam menjaga eksistensi usaha kecil dalam menghadapi era pasar bebas melalui dana program kemitraan dapat dilakukan dengan memperuntukkan dana tersebut untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan sehingga akan tetap mampu mempertahankan produknya di tengah gempuran produk luar negeri. Hal ini sangat penting karena kesuksesan dalam pelaksanaan program kemitraan merupakan salah satu indikator penilaian tingkat kesehatan PTPN VII (Persero) sebagai salah satu BUMN di Indonesia. Harus diakui bahwa dalam melaksanakan peranannya sebagai BUMN Pembina program kemitraan, PTPN (VII) Persero tentunya akan menghadapi kendala, seperti: a) adanya anggapan tradisional bahwa dana program kemitraan BUMN untuk mitra binaan merupakan dana milik pemerintah yang juga berasal dari rakyat sehingga tidak perlu dikembalikan; b) macetnya pinjaman bergulir. Kondisi ini menjadi dilema tersendiri bagi BUMN Pembina karena secara yuridis formal tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang mekanisme pengambilalihan jaminan bagi para mitra binaan yang pengembalian pinjamannya macet; c) keterbatasan jangkauan, karena PTPN VII (Persero) belum mampu menjangkau daerah di pelosok Kabupaten/Kota mengingat tingginya biaya operasional dan keterbatasan 18
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
sumber daya manusia. PTPN VII (Persero) hanya memiliki lima distrik se-wilayah Sumatera Bagian Selatan yang meliputi Distrik Bengkulu (3 unit usaha), Distrik Muara Enim (7 unit usaha), Distrik Banyuasin (7 unit usaha), Distrik Way Sekampung (6 unit usaha), dan Distrik Way Seputih (4 unit usaha) sehingga jumlah unit usaha keseluruhan di wilayah kerja PTPN VII (Persero) berjumlah 27 unit usaha.
Gambar 1. Peta Unit Usaha PTPN VII (Persero)
PTPN VII (Persero) mencoba menjawab kendala tersebut di atas dengan mengimplementasikan tujuh strategi yang terdiri dari tiga strategi kemitraan dan empat strategi bina lingkungan. Strategi kemitraan antara lain mencakup kelayakan calon mitra binaan, nilai modal dan pembinaan mitra, sedangkan strategi bina lingkungan yakni meliputi motivasi untuk bantuan amal, motivasi untuk bantuan kemanusiaan, membangun citra perusahaan, dan pemberdayaan masyarakat. Kinerja PTPN VII (Persero) dalam melaksanakan peranannya untuk menjaga eksistensi usaha kecil di wilayah kerjanya meningkat dari tahun ke tahun. Kinerja PKBL mencakup kinerja fisik yang berupa jumlah penyaluran, dan kinerja keuangan terdiri dari alokasi dana 19
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
bina lingkungan dan efektivitas penyaluran dan alokasi penyaluran dana. Kinerja terkait dengan jumlah penyaluran dapat dilihat pada Grafik 1 dan 2 di bawah ini:
Sumber : PTPN VII (Persero), 2009.
Sumber : PTPN VII (Persero), 2009.
20
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Berdasarkan rekapitulasi jumlah penyaluran tahun 2004-2008 dapat dilihat bahwa program peduli kesehatan adalah yang paling tinggi jumlah penyalurannya yaitu 29% atau mengalami pertumbuhan sebesar 159%. Kemudian program peduli pendidikan 24% atau mengalami pertumbuhan sebesar 114%, program peduli keagamaan 22% atau mengalami pertumbuhan sebesar 478%, dan program peduli pembangunan 19% atau mengalami pertumbuhan sebesar 20%. Sekalipun jumlah penyaluran untuk program peduli bencana alam hanya sebesar 4% dan peduli pelestarian lingkungan 2%, tetapi secara pertumbuhan program peduli bencana alam paling tinggi yaitu 254%. Sementara itu, kinerja keuangan yang terdiri dari alokasi dana bina lingkungan dan efektivitas penyaluran dan alokasi penyaluran dana dapat dilihat pada Tabel 1dan 2 di bawah ini. Tabel 1. Pertumbuhan Alokasi Dana Bina Lingkungan dan Efektivitas Penyaluran Tahun 2004-2008 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Tingkat Pertumbuhan
Ketersediaan Dana 1.580.224.619 3.321.497.559 4.123.756.569 7.801.205.804 14.649.275.463
Keterangan Penggunaan Saldo Dana 1.243.954.415 336.270.204 2.428.085.522 893.412.037 3.509.725.093 614.031.476 4.718.470.439 3.082.735.365 10.436.317.614 4.212.957.849
160%
145%
268%
Efektivitas Penyaluran (%) 78.72 73.1 85.11 60.48 71.24 -6%
Sumber : PTPN VII (Persero), 2009
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat dijelaskan bahwa dari tahun 2004-2008 dana yang dialokasikan untuk membina usaha kecil di wilayah kerja PTPN VII (Persero) mengalami peningkatan yang fantastis. Sampai dengan 2008 ketersediaan dana bina lingkungan sebesar Rp14.649.275.463,00 atau mengalami tingkat pertumbuhan 160% dengan efektivitas penyaluran sebesar 71,24%. Ini berarti penggunaan dana pada tahun 2008 hanya sebesar Rp10.436.317.614,00 sehingga menyisakan saldo Rp4.212.957.849,00. Bertambahnya alokasi dana untuk membina usaha kecil di sekitar lingkungan kerja dari tahun ke tahun membuktikan bahwa PTPN VII (Persero) memang benar-benar layak memperoleh penghargaan Asean Best Executive Citra Award 2003-2004 dari ASEAN program di Jakarta dan “The Big 6 of the Best Corporation In Fostering Smail dan Madium Interrises” yang diselenggarakan oleh Business Review Jakarta pada tahun 2005.
21
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Tabel 2. Pertumbuhan Alokasi Penyaluran Dana Tahun 2004-2008 Uraian Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Tingkat Pertumbuhan
Bencana Alam 4.500.000 5.000.000 73.890.000 515.750.000 1.481.705.032
271.472.000 434.637.040 873.118.450 493.223.500 761.193.700
188.011.500 342.156.670 859.224.000 891.487.500 4.074.135.945
612.572.150 1.215.849.000 1.167.392.463 1.909.967.150 1.149.022.640
132.010.000 373.997.500 437.978.850 563.663.750 447.285.000
Pelestarian Lingkungan 0 0 0 50.904.500 484.357.000
88%
210%
103%
190%
0
Pendidikan
552%
Kesehatan
Pembangunan
Keagamaan
Sumber : PTPN VII (Persero), 2009
Berdasarkan tabel diatas dapat diidentifikasi bahwa pertumbuhan alokasi penyaluran dana lima tahun terakhir meningkat. Dana untuk program peduli bencana alam mengalami pertumbuhan paling tinggi yaitu 552%. Beberapa kegiatan dalam merealisasikannya antara lain, pada tahun 2008, PTPN VII (Persero) menyalurkan bantuan bencana alam bagi masyarakat yang terkena musibah banjir dan gempa bumi untuk rehabilitasi pasca bencana Bengkulu, bantuan tenda dan sembako untuk masyarakat yang terkena musibah gempa bumi di 2 Kecamatan di Kabupaten Lahat, bantuan sembako bagi masyarakat yang terkena musibah banjir di 17 Kelurahan di 3 Kecamatan Kota Bandar Lampung, dan bantuan sembako bagi masyarakat yang terkena musibah banjir di 4 Desa di 3 Kecamatan, Kabupaten Lampung Selatan. Selain itu, program peduli kesehatan dan keagamaan yang masing-masing mengalami pertumbuhan sebesar 210% dan 190% dilaksanakan dengan kegiatan berupa pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah (PMT-AS), paket sembako untuk kaum duafa, bantuan untuk panti asuhan, penanganan gizi buruk, khitanan massal dan Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu). Program peduli keagamaan direalisasikan dengan kegiatan pemberian bantuan sarana ibadah, bantuan renovasi/perbaikan Gereja, perbaikan Masjid. Sementara itu, realisasi dari program pembangunan infrastruktur dan pendidikan yang mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar 103% dan 88% dilaksanakan melalui kegiatan pembangunan/renovasi gedung sekolah, perbaikan jalan, jembatan, termasuk pembangunan ruang isolasi pasien flu burung di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek (RSUDAM) Provinsi Lampung. Pada program peduli pendidikan dilakukan pula pemberian biaya pendidikan dan pelatihan berupa beasiswa, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA), alat tulis, pakaian seragam, dan pelatihan ketrampilan. Konsistensi PTPN VII (Persero) untuk menjaga kondusivitas lingkungan bisnis usaha kecil di wilayah kerjanya menjadikan keberadaan BUMN ini lebih bermakna bagi kemaslahatan umat daripada sekadar memikirkan keuntungan (profit oriented). PTPN VII (Persero) memberikan arti walaupun globalisasi dan pasar bebas dianggap menjadi salah satu penyebab krisis ekonomi yang dialami oleh Indonesia, tetap perlu kita konstruksikan bersama suatu paradigma baru bahwa ekonomi yang terbuka merupakan faktor positif yang dapat membantu dalam jangka panjang dan membantu proses penyesuaian daya tahan (ketangguhan) usaha kecil dalam jangka pendek. Paradigma ini menekankan bahwa prospek jangka panjang
22
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
untuk proses perubahan struktural dan perbaikan kesejahteraan hidup perlu memberikan kepercayaan yang lebih luas untuk solusi pasar. Artinya pengusaha kecil yang merupakan mitra binaan PTPN VII (Persero) harus mempertahankan dan mengupayakan agar produk yang dihasilkan baik dari sektor usaha pertanian atau perkebunan, industri pengolahan, maupun perdagangan dan jasa yang berbasis pasar mengarah pada penciptaan pasar usaha kecil yang kondusif sehingga mengakibatkan usahanya menjadi usaha yang maju, terkemuka, bergengsi dan bermutu. Pelaksanaan program PKBL yang terencana dan terlaksana secara baik diharapkan mampu memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan dan kemampuan usaha kecil, juga mampu membangun suasana kerja yang semakin aman dan nyaman sehingga pada akhirnya mampu membantu pemerintah dalam upaya menuju pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dengan tujuan untuk mendorong kegiatan dan pertumbuhan perekonomian serta terciptanya lapangan kerja dan kesempatan berusaha dengan mengembangkan potensi usaha kecil, agar menjadi tangguh dan mandiri serta berdaya saing, berdaya tarik dan berdaya lestari. Dampak pembinaan PTPN VII (Persero) selama ini, diharapkan dapat meningkatkan usaha mitra binaan yang diantaranya tercermin dari adanya peningkatan asset, omzet, penyerapan tenaga kerja serta kemampuan mengembalikan pinjaman pelaksanaan program kemitraan BUMN (Website PTPN VII, 4 Juli 2010). Jika hal tersebut terjadi maka PTPN VII (Persero) berada pada konteks in the right track. Penutup: Catatan dan Rekomendasi Globalisasi tidak semata-mata merefleksikan kekuatan pasar melainkan senantiasa ditopang pula oleh kekuatan politik/pemerintahan. Pasar tidak akan mampu bekerja secara mandiri untuk mengintegrasikan pasar nasional ke dalam pasar global jika tidak ada kekuatan pemerintahan nasional (dalam hal ini salah satunya adalah PTPN VII (Persero)) yang mendukungnya. Globalisasi memang menciptakan peluang investasi pasar global yang menjanjikan seperti kemakmuran rakyat, akan tetapi di sisi lain, globalisasi juga mempunyai dampak buruk jika tidak dikelola dengan baik seperti lemahnya penyediaan dana untuk menciptakan, memperluas, dan mempertahankan pasar ekspor usaha kecil baik oleh pengusaha kecil itu sendiri maupun oleh pemerintah. Pembinaan usaha kecil sesungguhnya tidak terlampau pelik jika memang ada komitmen dan keberpihakan. Pengusaha kecil tidak banyak tuntutannya, dengan karakter bisnis yang sangat dinamis, usaha kecil hanya membutuhkan iklim usaha yang kondusif, aturan yang tidak birokratis sehingga lebih efisien, sedikit kemauan membantu memperbesar pendanaan. Pengembangan lingkungan usaha yang kondusif memerlukan adanya landasan peraturan perundang-undangan dan berbagai kebijakan pelaksanaannya yang memungkinkan usaha kecil bersaing secara sehat dengan pelaku usaha lainnya. Pengembangan lingkungan usaha memiliki spektrum yang luas dan mencakup kebijakan politik, hukum, ekonomi makro, kerjasama internasional dan kebijakan pembangunan daerah, serta perijinan yang bersifat lintas sektoral. Agar tetap mampu mempertahankan eksistensi usahanya, pengusaha kecil harus memperhatikan tiga hal dalam menjalankan usahanya sekalipun telah mendapatkan binaan dari PTPN VII (Persero) yaitu pelayanan yang tepat waktu terhadap pelanggan, kecepatan deliveri, dan harga karena proses globalisasi yang melanda berbagai belahan dunia harus direspons dan ditanggulangi dengan berbagai kebijakan yang terpadu dan dilaksanakan secara komprehensif sehingga akan terbangun akselerasi yang baik antarpelaku usaha karena terdapat 23
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
pihak-pihak yang melihat bahwa globalisasi ekonomi adalah suatu keniscayaan sejarah yang akan membawa kemakmuran, perdamaian, dan demokrasi bagi seluruh umat manusia. Pada intinya globalisasi yang kita rasakan dan lihat sekarang ini adalah proses perluasan sistem ekonomi pasar ke arena internasional sehingga usaha kecil harus bermain dalam sistem pasar global tersebut dengan memperkuat kemampuannya untuk mengelola usaha sekaligus menjadi pemain global yang handal dan kompetitif dengan komoditas unggulannya yang bercirikan: a) menggunakan bahan baku lokal; b) sesuai dengan potensi dan kondisi daerah; c) memiliki pasar yang luas; d) mampu menyerap tenaga kerja relatif banyak; e) merupakan sumber pendapatan masyarakat; f) Merupakan ciri khas daerah; g) memiliki daya saing yang relatif tinggi; h) memiliki nilai tambah relatif tinggi, dan; i) dapat memacu perkembangan komoditas yang lain. Perlu disadari bersama bahwa, tidak ada di dunia ini bangsa yang dapat maju dan besar hanya dengan memuliakan dan mengagungkan kemajuan dan kebesaran bangsa lain. Maka dari itu, pengusaha kecil sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional harus memiliki komitmen dan memastikan kinerjanya mencapai standar (mutu produk) internasional. Hal tersebut dapat sukses apabila pengusaha kecil mampu melakukan dua hal yaitu; pertama, berani untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan tanpa ditunda-tunda, dan kedua, kemampuan melihat ke depan secara jernih, rasional dan realistis arah yang harus diambil dan kemudian dilaksanakan secara konsisten dan sistematis sehingga lebih jelas, terarah, terkoordinasi, dan tidak tumpang tindih serta menimbulkan biaya tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Bangsawan, Satria. 2010. Urgensi Manajemen Pemasaran Menuju Usaha Kecil yang Berdaya Saing (Orasi Ilmiah). Bandar Lampung: Unila Press. Budimanta, Arif, dkk. 2004. Corporate Social Responsibility. Jakarta : Indonesia Center for Sustainable Development (ICDS). Budiono. 2009. Ekonomi Indonesia: Mau ke Mana? Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Daniri, Mas Achmad. 2008. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Hafsah, Muhammad Jafar. 1999. Kemitraan Usaha. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Kartini, Dwi. 2009. Corporate Social Responsibility : Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasinya di Indonesia. Bandung : Refika Aditama. Poerwanto. 2010. Corporate Social Responsibility : Menjinakan Gejolak Sosial di Era Pornografi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sulistiyani, Ambar Teguh. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta : Gaya Media. 24
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25
Volume 4, No. 8, Desember 2011
ISSN: 1979–0899X
Susanto, A.B. 2009. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility. Jakarta : EsensiErlangga Group. Wahyudi, Isa dan Busyra Azheri. 2008. Corporate Social Responsibility : Prinsip, Pengaturan dan Implementasi. Malang : SETARA Press.
Website dan Artikel Surat Kabar Abeng, Emil. 2010. “ACFTA, antara Harapan dan Realitas”. Opini di Harian Kompas. Jakarta: 4 Februari 2010. Berita Website PTPN VII : PTPN VII. “Meluncurkan Dana Bantuan PKBL”. Dimuat pada hari Selasa tanggal 04 Juli 2006. Berita Website PTPN VII : PTPN VII. “Canangkan PTPN 7 Peduli”. Dimuat pada hari Jum’at tanggal 11 Mei 2009. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 2009. Impor dari China Melonjak Tajam. Berita Harian Kompas 2 Februari 2010. Konsumen Mendua Pada Produk China. Berita Harian Kompas. Jakarta. 2 Februari 2010.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat. 2002. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor Per – 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
25
Yahnu Wiguno Sanyoto; 8 - 25