ANALISIS PENGEMBANGAN KOPI EKSTRAK SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI EKSPOR KOPI INDONESIA
SISKA FIBRILIANI SAHAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015 Siska Fibriliani Sahat NIM H151120271
RINGKASAN SISKA FIBRILIANI SAHAT. Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan PARULIAN HUTAGAOL. Berdasarkan industrinya, kopi dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu kopi biji sebagai komoditas, kopi sangrai dan kopi ekstrak sebagai kopi olahan. Hingga saat ini, ekspor kopi Indonesia didominasi biji kopi dan mengarah pada kebergantungan ekspor komoditas dan negara tujuan ekspor. Kebergantungan ini menyebabkan performa ekspor kopi Indonesia sangat bergantung pada kondisi eksternal yang fluktuatif. Dari sudut pandang struktural, diversifikasi ekspor menjadi salah satu kunci mengatasi masalah yang timbul karena kebergantungan. Berdasarkan hasil dekomposisi ekspor, diversifikasi negara tujuan ekspor merupakan bentuk diversifikasi yang prospektif, terutama untuk kopi ekstrak. Tiga negara tujuan diversifikasi ekspor kopi ekstrak yang prospektif, yaitu Filipina, Cina dan Lebanon. Hal ini dilihat dari mulainya ekspor kopi ekstrak Indonesia sejak tahun 2003 ke ketiga negara tersebut dan meningkat di tahun-tahun setelahnya serta tingginya nilai impor dan tren impor kopi ekstrak ketiga negara tersebut dari dunia. Berdasarkan hasil analisis model panel gravity terhadap nilai ekspor kopi ekstrak Indonesia ke tiga negara tersebut, didapatkan bahwa faktor yang paling berpengaruh bagi diversifikasi ekspor kopi ekstrak ke negara tujuan diversifikasi tersebut adalah sisi penawaran. Sehingga dengan memperbaiki sisi penawaran, maka diversifikasi ekspor kopi dapat ditingkatkan. Namun, terdapat indikasi bahwa kopi ekstrak Indonesia merupakan barang inferior di negara tujuan diversifikasi ekspor yang diduga karena mulai beralihnya konsumen pada keseragaman konsumsi yaitu kopi yang lebih segar berupa kopi sangrai berjenis arabika. Dari sisi faktor yang mempengaruhi arus perdagangan, daya saing, diversifikasi ekspor kopi ekstrak Indonesia masih mengandalkan price competitiveness melalui pelemahan nilai tukar. Di sisi lain, jarak ekonomis tidak memiliki hubungan dengan diversifikasi ekspor negara tujuan ekspor kopi ekstrak. Dengan demikian, efisiensi perdagangan dapat ditingkatkan dengan penyelenggaraan kerjasama perdagangan yang menjadi faktor yang mempengaruhi positif diversifikasi ekspor negara tujuan ekspor kopi ekstrak. Namun demikian, diversifikasi belum bisa dijadikan sumber yang kokoh bagi pertumbuhan ekspor kopi Indonesia. Dalam rangka peningkatan kinerja ekspor kopi, kebijakan diversifikasi ekspor tidak dapat berdiri sendiri, melainkan melalui suatu paket kebijakan yang mendorong kinerja secara keseluruhan. Kata kunci : Diversifikasi, Ekspor, Kopi, Kopi Ekstrak
SUMMARY SISKA FIBRILIANI SAHAT. Analysis of Export Diversification as a Mean to Develop Indonesian Coffee Export. Supervised by NUNUNG NURYARTONO and PARULIAN HUTAGAOL. Based on the industry, coffee can be divided into three categories, namely green bean as the commodity, roasted coffee and extract coffee as processed coffee. Up to this date, Indonesian coffee export is dominated by green bean form which lead to dependency to both commodity and destination countries. This condition causes high fluctuations in Indonesian coffee export performance due to external uncertainty. From structural perspective, export diversification could become one of the alternative solutions to overcome the problems caused by dependency. Based on export decomposition, diversification of export destination is a promising one, especially for extract coffee. Three prospective countries are Philippines, China and Lebanon. Indonesian export of extract coffee to those three started since 2003 and have been increasing since then. On the other side, their imports from world was also recorded high. From the analysis of gravity model of Indonesian extract coffee export to the three countries, it is concluded that supply side is the most influencing factor to export diversification of Indonesian extract coffee. The improvement of supply side might increase the diversification. Unfortunately, there is an indication that Indonesian extract coffee tend to be an inferior in the destinations mentioned, as consumer’s preference change to fresher coffee products, which is roasted coffee made from Arabica bean. Price is still the source of competitiveness of Indonesian extract coffee export, through exchange rate depreciation. On the other hand, economic distance has no influence to the diversification. Therefore, the efficiency of export diversification can be elevated by implementing bilateral trade agreement which positively influence Indonesian export flow. However, diversification alone cannot yet be the robust source of coffee export development. The best way to develop Indonesian coffee export performance is through a simultaneous policy package. Keywords : diversification, export, coffee, extract coffee
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS PENGEMBANGAN KOPI EKSTRAK SEBAGAI UPAYA DIVERSIFIKASI EKSPOR KOPI INDONESIA
SISKA FIBRILIANI SAHAT
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP
Judul Tesis : Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia Nama : Siska Fibriliani Sahat NIM : H151120271
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Nunung Nuryartono, M Si Ketua
Prof. Dr.Ir.M. Parulian Hutagaol, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir.Lukytawati Anggraini, M.Si
Dr.Ir.Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian : 2 Oktober 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih adalah diversifikasi ekspor kopi, dengan judul Analisis Pengembangan Kopi Ekstrak Sebagai Upaya Diversifikasi Ekspor Kopi Indonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si dan Prof. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dari awal hingga akhir dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr Muhammad Firdaus, SP, M.Si dan Dr. Tony Irawan, SE, M.App.Ec atas saran dan masukannya demi perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr. Ir. Lukytawati Anggraini, M.Si beserta pengelola Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada suami tercinta, Dede Wahyu FM dan anakanak tersayang Hanif dan Hanum yang telah memberikan dukungan, dan doa kepada penulis serta rekan-rekan kuliah kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB Batch 1 yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Desember 2015
Siska Fibriliani Sahat
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
vi vi vi
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Tinjauan Empiris Hipotesis Penelitian 3. METODE Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Model Persamaan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekspor Biji Kopi Indonesia Ekspor Kopi Olahan Indonesia Dekomposisi Ekspor Analisis Data Panel dengan Model Gravity Hasil Estimasi Model Data Panel Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Kopi Ekstrak Indonesia di Negara Tujuan Diversifikasi 5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
1 1 3 6 7 7 9 9 14 21 23 23 23 25 31 31 35 39 47 47 49 55 55 56 57 61 68
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Impor dunia untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (Preparations with a basis of extracts, basis of coffee) Impor Philippines untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee) Impor China untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee) Impor Lebanon untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee) Ekspor dunia untuk produk kopi ekstrak Ringkasan output regresi diversifikasi kopi ekstrak menggunakan estimasi FGLS
37 44 44 45 45 48
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia Periode 1994-2013 Komposisi ekspor kopi Indonesia berdasarkan kelompok produk, 1994-2013 Harga internasional komposit biji kopi berdasarkan jenis (a) ICO composite indicator price (b) Group indicator price Terms of trade kopi Indonesia di negara tujuan ekspor Ekspor dan firm heterogeneity berdasarkan tingkat biaya marjinal Teori pertumbuhan neoklasik Pembagian marjin ekspor berdasarkan produk dan destinasi Kerangka penelitian Distribusi pendapatan kopi Struktur umum rantai pemasaran kopi secara global Geografi konsumsi kopi dunia Konsumsi kopi dunia Ekspor kopi sangrai Indonesia, 1994-2013 Tahapan pengolahan dan jenis kopi sangrai Ekspor ekstrak kopi Indonesia, 1994-2013 Komposisi marjin ekspor produk kopi, 1994-2013 Pertumbuhan ekspor kopi berdasarkan marjin ekspor Diversifikasi negara tujuan ekspor untuk produk kopi Pertumbuhan diversifikasi ekspor produk kopi
3 4 5
6 12 13 19 29 31 32 35 36 37 32 38 40 40 41 42
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Korelasi antara pohon industri kopi, HS dan SITC Kopi dan produk turunannya menurut klasifikasi HS Konversi HS produk kopi, 1994-2013 Pohon industri kopi Nilai ekspor kopi Indonesia berdasarkan jenis, 1994-2013 Ekspor kopi Indonesia berdasarkan jenis, 1994-2013 Diversifikasi ekspor kopi di Indonesia berdasarkan negara tujuan ekspor Daftar negara eksportir dan pasar tradisional kopi Hasil uji regresi panel
61 61 62 63 64 64 65 66 67
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor perkebunan merupakan salah satu sektor penting dalam segi ekonomi dan sosial di Indonesia. Dari segi ekonomi, sektor perkebunan merupakan salah satu penyumbang PDB (Produk Domestik Bruto) yang penting. Sekitar hampir dua persen dari total PDB selama tahun 2012-2014 disumbang dari tanaman perkebunan. Selain itu, secara historis sejak jaman kolonial, sektor perkebunan juga menjadi bagian dari perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Sektor perkebunan juga menjadi salah satu penyokong lapangan pekerjaan karena sifatnya yang labor intensive. Bersama-sama dengan sektor lain, kelompok lapangan usaha pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, merupakan penyerap terbesar angkatan kerja yaitu sebesar 34 persen dari total angkatan kerja.1) . Kopi menjadi salah satu tanaman perkebunan yang penting dan memiliki nilai ekonomis tinggi paling tidak dalam dua hal. Pertama, dari sisi produksi, kopi merupakan penyokong perekonomian melalui basis produksi bahan mentah dan basis penyerapan tenaga kerja. Sepanjang tahun 2012/2014, produksi kopi Indonesia mencapai 8,4 persen dari total produksi dunia2) atau menempatkan Indonesia sebagai produsen kopi terbesar keempat secara global, setelah Brazil, Kolombia dan Vietnam. Luas areal tanaman kopi tahun 2013 adalah terbesar ketiga setelah sawit dan karet. Secara historis, kopi merupakan tanaman perkebunan yang sudah sejak jaman kolonial diusahakan di Indonesia. Kopi pertama kali masuk ke Indonesia di tahun 1696 melalui kedatangan Belanda ke Jakarta. Saat itu kopi yang masuk adalah kopi jenis arabika. Semenjak itu, kopi mulai dibudidayakan bukan hanya di Jakarta dan Jawa Barat saja tapi menyebar ke Sumatera, Bali dan kawasan Timur Indonesia. Kopi jenis arabika Indonesia mencapai kejayaan hingga pertengahan abad ke-19. Kopi Indonesia sangat terkenal karena mutunya yang baik, hingga sebutan ‘kopi jawa/java coffee” merupakan jaminan kualitas yang tinggi. Namun sejak terkena wabah hama di tahun 1876, kopi arabika digantikan dengan jenis liberika, yang juga kurang tahan hama dan rasanya yang kurang disukai karena terlalu asam. Upaya selanjutnya adalah mendatangkan jenis robusta di tahun 1900 dan terus berkembang di Indonesia hingga saat ini karena syarat pemeliharaan dan perawatan yang lebih ringan. Semenjak pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Indonesia, perkebunan rakyat terus berkembang di Indonesia, sedangkan perkebunan swasta hanya bertahan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian Sumatera, dan perkebunan milik negara (PTPN) hanya tersisa di Jawa Timur dan Jawa Tengah.3) 1) Badan Pusat Statistik (BPS), Data Statistik Tabel Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004-2014 diakses dari http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/970, pada Juni 2015 2) International Coffee Organization (ICO), Historical Data Total Production diakses dari http://www.ico.org/historical/1990%20onwards/PDF/1a-total-production.pdf, pada Agustus 2015
2
Dengan demikian, areal perkebunan kopi didominasi perkebunan rakyat, begitu juga dengan produksinya. Pada tahun 2010, areal perkebunan kopi rakyat diperkirakan mencapai 96,07 persen dari total area penanaman kopi di Indonesia sedangkan produksi dari perkebunan rakyat mencapai 95,78 persen dari total produksi kopi, sedangkan produksi perkebunan negara dan swasta masing-masing hanya 2,05 persen dan 2,18 persen. Proporsi yang relatif sama juga diperkirakan terjadi di tahun 2011-2014. Hal ini menyebabkan perkebunan rakyat memainkan peranan vital dalam produksi kopi nasional. Di samping itu, karena area penanaman kopi tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang bukan termasuk wilayah perkotaan, sektor kopi berperan penting bagi pembangunan pedesaan. Sebagai contoh adalah Flores yang merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Kurang lebih sebanyak 30.000 petani menggantungkan hidup dari produk kopi sebagai penghasilan utama.4) Menyadari pentingnya tanaman ini, maka berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditi tanaman binaan dan Keputusan Menteri Pertanian nomor 3399/Kpts/PD.310/ 10/2009 ditentukanlah kopi bersama 13 komoditas lainnya sebagai komoditas strategis unggulan nasional agar diprioritaskan untuk difasilitasi dan dikembangkan. Kedua, kopi juga memiliki peran di sisi perdagangan. Kopi merupakan hasil pertanian yang diperdagangkan secara luas dan menjadi komoditas yang paling penting setelah minyak bumi. Saat ini, Indonesia merupakan salah satu pemasok kopi penting di dunia setelah Brazil, Vietnam dan Kolombia. Proporsi produk kopi yang diekspor mencapai 67 persen dari total produksi dan sisanya untuk konsumsi domestik5). Ekspor kopi ditunjang oleh suplai yang besar. Di sisi lain, terdapat peluang dari tren impor kopi dunia yang berkembang dari US$ 9,52 trilyun di tahun 2001 menjadi US$ 36 trilyun di tahun 2013 6). Menyadari akan potensi ekspor kopi, Kementerian Perdagangan mengkategorikan kopi sebagai salah satu dari sepuluh produk prospektif ekspor bersama dengan alas kaki; perhiasan; produk plastik; udang; ikan dan produk ikan;kakao dan olahannya; kerajinan; rempah-rempah; serta kulit dan produk kulit. Pemilihan sepuluh produk prospektif didasarkan pada nilai pertumbuhan ekspor yang tinggi dengan tren perdagangan positif selama lima tahun terakhir dan pangsa ekspor yang terus meningkat. Produk prospektif terus didorong ekspornya agar terus menyokong performa ekspor Indonesia secara keseluruhan.
3) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Sejarah, diakses dari http://www.aekiaice.org/page/sejarah/id, pada Januari 2015 4) Ottaway, A Rapid Assesment of the Specialty Coffee Value Chain in Indonesia. USAID diakses dari http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pnadl910.pdf, pada Januari 2015 5) Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Industri Kopi diakses dari http://www.aekiaice.org/page/industri-kopi/id, pada Januari 2015 6) Trademap, Impor Dunia untuk Produk dari Kelompok HS Heading 0901 dan HS 2101 http://www.trademap.org/ diakses pada Maret 2015
3
Permasalahan Dilihat dari kinerja secara keseluruhan, ekspor kopi Indonesia berfluktuasi baik sisi nilai dan volume (Gambar 1). Pertumbuhan kumulatif ekspor kopi selama 20 tahun (tahun 1994-2013) mencapai 111 persen, atau sebesar US$ 1,47 milyar di tahun 2013 (0,98 persen dari total ekspor non-migas Indonesia). Secara nilai, ekspor kopi meningkat rata-rata 5,61 persen per tahun selama periode 19942013, namun dalam perkembangannya beberapa kali mengalami perubahan tren.
Nilai (000US$)-aksis kanan
Volume (Ton)
Sumber : BPS, 2014 (diolah) Gambar 1 Perkembangan ekspor kopi Indonesia periode 1994-2013 Tren pertama terjadi selama periode 1994-1998 saat nilai ekspor kopi berkisar antara US$ 753,63 juta – US$ 529,67 juta dengan kecenderungan penurunan 5,37 persen per tahun. Setelah itu, ekspor kopi Indonesia kembali turun ke nilai terendah di tahun 1999-2004. Ini merupakan periode dimana nilai ekspor kopi Indonesia mencapai nilai terendahnya sepanjang periode pengamatan. Dengan titik terendah di tahun 2001, sebesar US$ 203,54 juta, tahun 2002 nilai ekspor mulai naik pelan mencapai US$ 309,11 juta di tahun 2004. Pasca tahun 2004, nilai ekspor kembali naik, hingga pada tahun 2008, ekspor kopi menembus angka US$ 1,08 milyar. Tren selanjutnya adalah penurunan kembali di tahun 2009-2010, dan kenaikan pada tahun 2010-2013, hingga nilai ekspor kembali di atas US$ 1 milyar. Pertumbuhan ekspor dari sisi nilai lebih tinggi dari pertumbuhan dari sisi volume yang tumbuh dengan rata-rata 3,57 persen per tahun selama periode 19942013. Volume ekspor berfluktuasi tiap satu hingga tiga tahun. Titik-titik terendah volume ekspor kopi antara lain di tahun 1995, 1997, 2001, 2007, dan 2011. Volume terendah tersebut juga direspon dengan nilai ekspor yang rendah, terkecuali tahun 2011, saat volume rendah, nilai ekspor justru menanjak naik. Fluktasi yang tinggi pada nilai ekspor kopi selain disebabkan oleh hal teknis dan volume ekspor, juga disebabkan karena tingginya proporsi biji kopi (komoditas) dalam struktur ekspor kopi Indonesia (Jika dilihat dari jenis industrinya, kopi dibagi menjadi tiga kelompok produk, yaitu kopi biji, kopi sangrai dan kopi ekstrak. Pembagian ini berdasarkan pencatatan ekspor dalam Harmonized System yang disesuaikan dengan pohon industri kopi dan Standard
4
International Trade Classification. Konversi produk dalam pohon industri kopi, HS dan SITC dapat dilihat pada Lampiran 1). Selama periode 1994-2013, konsentrasi yang tinggi terhadap ekspor komoditas mencapai 79-99 persen dari total nilai ekspor kopi (Gambar 2). Konsentrasi bahkan lebih tinggi lagi di sisi volume, mencapai 81-99 persen dari total ekspor kopi. Walaupun mengalami penurunan pangsa, terutama sejak tahun 2010, namun ekspor kopi mengarah kepada kebergantungan ekspor komoditas.
Sumber : BPS, 2014 (diolah) Gambar 2 Komposisi ekspor kopi Indonesia berdasarkan kelompok produk, periode 1994-2013 Ada beberapa resiko yang cenderung tidak menguntungkan bagi sektor kopi Indonesia bila terlalu bergantung pada komoditas. Salah satunya adalah dari segi harga. Komoditas kopi harganya ditentukan secara internasional dan sangat berfluktuasi. Secara historis, perkembangan produk kopi di dunia dibedakan dalam dua periode. Periode pertama yaitu dari tahun 1963-1989 dimana suplai kopi diatur oleh suatu badan ICO (International Coffee Organization) melalui berbagai perjanjian internasional kopi (International Coffee Agreements) yang mewakili seluruh negara produsen, termasuk Indonesia, dan sebagian besar negara konsumen dengan tujuan mengatur suplai dan menjaga kestabilan harga. Bentuk intervensi tersebut antara lain adalah kuota yang ditetapkan di tiga periode, yaitu 1963-1972, 1980-1986 dan 1987-1989. Periode kedua yaitu Pada akhir tahun 1989, saat kopi merupakan komoditas pertama yang diliberalisasi (sistem kuota tidak lagi diberlakukan). Implikasinya harga untuk komoditas kopi dibentuk melalui mekanisme pasar. Dengan demikian, fluktuasi harga semakin tinggi dan semakin sering terjadi (Gambar 3). Keterpurukan harga (coffee crisis) pertama terjadi segera setelah mekanisme pasar diberlakukan, yaitu selama periode 1989-1993. Istilah coffee crisis mengacu pada anjloknya harga komoditas kopi di pasar internasional semenjak terjadinya liberalisasi pasar dan kemudian berdampak secara luas pada kehidupan sosial ekonomi petani kopi, sebagai penanggung resiko terbesar. Melihat hal ini, di tahun 1993, negara produsen kopi berupaya untuk membentuk kartel bernama Association of Coffee Producing Countries (ACPC) untuk menjaga kestabilan harga. Indonesia turut bergabung ke dalamnya membuat
5
asosiasi ini menguasai 85 persen produksi biji kopi global. Namun sayangnya upaya ini tidak berhasil karena tidak semua negara, terutama di Amerika Latin bergabung, sehingga menciptakan ketidakefisienan kebijakan yang ditetapkan organisasi ini. Tren penurunan nilai ekspor kopi Indonesia pada periode 19941998 merupakan dampak dari ketidakstabilan akibat diberlakukannya mekanisme pasar tersebut. (a) ICO composite indicator price
(b) Group indicator price
Sumber : ICO, 2015 Gambar 3 Harga internasional komposit biji kopi berdasarkan jenis
6
Pada tahun 1999-2004, harga kopi mencapai level terendahnya semenjak periode mekanisme pasar (coffee crisis kedua) setelah sebelumnya bangkit dari coffee crisis pertama di tahun 1989-1993. Pada periode itu pula, ekspor kopi Indonesia turun di level terendahnya sepanjang periode pengamatan. Statistik harga internasional kopi mulai menunjukkan adanya kenaikan setelah tahun 2004, hingga mencapai puncaknya di tahun 2011 yang diperkirakan karena kondisi tingginya curah hujan membuat banyak bunga kopi mengalami kerontokan hingga panen kopi di negara produsen pun berkurang. Baik kenaikan maupun penurunan harga internasional tersebut terefleksi pada kinerja ekspor bji kopi Indonesia. Dengan demikian, kinerja ekspor kopi Indonesia banyak dijelaskan oleh faktor eksternal. Dari sisi harga relatif, terms of trade (TOT) kopi sebagai komoditas terus menurun terhadap harga produk kopi olahan dan dengan demikian merugikan bagi pendapatan ekspor negara penghasil. Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa terms of trade produk biji kopi Indonesia (yang diperoleh dari harga yang dibayarkan kepada petani) dengan produk olahan di beberapa negara tujuan terbesar yaitu Amerika, Jerman dan Inggris (yang ditunjukkan dari harga di tingkat retail) memang menunjukkan penurunan. Secara prakteknya, hal ini dibuktikan melalui coffee crisis. Saat melorotnya harga komoditas mempengaruhi petani dan negara produsen, kontrasnya, coffee crisis tidak dirasakan di sisi konsumen, dimana negara konsumen industri kopi terus berkembang dan keuntungan yang terus meningkat diperoleh pengolah di negara konsumen. Harga dan TOT seharusnya merupakan sinyal bagi peningkatan ekspor produk olahan. Namun demikian, dalam 20 tahun perkembangannya (tahun 1994-2013), ekspor kopi Indonesia mengarah pada kebergantungan terhadap komoditas. Dalam jangka panjang, resiko yang tinggi di on-farm, bergejolaknya harga dan TOT yang terus menurun akan menyebabkan insentif bagi suplai komoditas kopi semakin menurun. Ini akan mengancam produksi yang berkelanjutan (sustainable production) dan selanjutnya ke sisi perdagangan dan ekspor, sehingga hal ini mempengaruhi kinerja ekspor kopi Indonesia secara keseluruhan.
Keterangan: Harga yang dibayarkan pada petani tersedia hanya hingga tahun 2006 Sumber : ICO, 2015 (diolah) Gambar 4 Terms of trade kopi Indonesia di negara tujuan ekspor
7
Berdasarkan sudut pandang normatif, diversifikasi merupakan solusi mengatasi kebergantungan ekspor, peningkatan ekspor dan kemajuan ekonomi. Berbagai penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa salah satu keunggulan diversifikasi ekspor yaitu mengurangi resiko ekspor, seingga dapat mengatasi volatilitas dan menghasilkan stabilitas pemasukan ekspor yang lebih baik. Untuk itu, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengapa terjadi kebergantungan ekspor komoditas kopi atau mengapa diversifikasi ekspor kopi di Indonesia kurang berhasil? Apakah ada potensi pengembangan ekspor kopi melalui diversifikasi ekspor kopi Indonesia? bagaimana bentuk diversifikasi ekspor di bidang kopi di Indonesia? dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya? Hal tersebut dapat menjadi dasar untuk menentukan saran kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja ekspor kopi Indonesia. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisa bentuk diversifikasi ekspor kopi di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi ekspor kopi di Indonesia sebagai dasar menentukan rekomendasi bagi peningkatan kinerja ekspor kopi Indonesia. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini antara lain : 1. Memberikan masukan bagi Pemerintah dalam menyusun strategi peningkatan ekspor produk kopi 2. Menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya 3. Memberikan informasi bagi pelaku usaha, terutama di bidang kopi Ruang Lingkup Penelitian Sejak tahun 1994, untuk pencatatan ekspor dan impor, Indonesia menggunakan sistem klasifikasi HS yang ditetapkan oleh WCO (World Custom Organization). Hal ini mengacu pada Keputusan Presiden Keppres No. 35 tahun 1993 yang kemudian ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan No. 81/KMK.05/1994 tanggal 16 Maret 1994. Sehubungan dengan hal tersebut, rentang waktu penelitian menggunakan data dari tahun 1994-2013. Kopi sebagai produk ekspor didefinisikan melalui sistem HS (Harmonised System). Namun untuk menyesuaikan dengan industri, digunakan definisi lain yang mempermudah analisis, yaitu pohon industri kopi dan sistem SITC (Standard International Trade Classification) rev.4. Adapun produk sampingan dari kopi tercatat dalam sistem HS antara lain asam asetat (dalam kategori HS 2915), enzim pektat dan pektin (HS 1302), etanol (HS 2905), cuka makan (HS 2209), dan protein sel tunggal (HS 3504), namun tidak dapat ditelusuri nilai ekspornya karena berbaur dengan produk sampingan komoditi lainnya. Dengan demikian, maka produk sampingan tersebut tidak disertakan dalam pembahasan.
8
Halaman sengaja dikosongkan
9
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Kebergantungan Ekspor Kebergantungan didefinisikan sebagai kondisi historis yang membentuk dunia menjadi struktur tertentu yang menguntungkan negara tertentu dan merusak negara lainnya serta membatasi kemungkinannya untuk berkembang dari kondisi pinggiran, sebuah situasi dimana ekonomi sekelompok negara tertentu ditentukan dan oleh pengembangan ekonomi negara lain yang menjadi subjek. Dalam hal ini, teori kebergantungan ekspor menggunakan pendekatan normatif. Masalah kebergantungan ekonomi dibahas dalam berbagai paradigma yang berbeda. Salah satunya adalah teori kebergantungan (dependency theory) dalam ranah neo-marxis. Ekonom pendukung teori ini antara lain adalah Andre Gunder Frank, Paul Baran dan Samir Amin. Teori ini secara eksplisit membagi dunia sebagai sistem internasional menjadi dua bagian yang berbeda yaitu negaranegara maju (dominant/center/metropolitan) dan negara berkembang/pinggiran (dependent/periphery/satellite). Teori ini menjelaskan bahwa kebergantungan permanen yang terjadi di negara berkembang terhadap negara maju adalah karena kepentingan negaranegara metropolis tersebut sebagai pusat kapitalis dunia. Pertama kali dikembangkan di tahun 1960-an di Amerika Latin teori ini berdasarkan kondisi kemunduran Amerika Latin pasca tergabung dalam sistem ekonomi kapitalis. Negara maju mempertahankan hegemoninya dengan menjadikan negara berkembang sebagai negara pinggiran. Negara pinggiran ini dimanfaatkan sebagai produsen bahan mentah bagi kebutuhan industri mereka dan secara bersamaan menjadikan negara tersebut sebagai konsumen barang jadi hasil industri mereka. Dengan demikian terjadi struktur kebergantungan yang membuat negara pinggiran tidak bisa mandiri dan perkembangan ekonominya stagnan. Namun demikian, teori kebergantungan berbeda dengan teori imperialisme yang diusung Karl-Marx. Inti dari teori kebergantungan adalah dampak dari imperialisme, bukan membahas imperialisme (perluasan kekuasaan negara maju) itu sendiri. Beberapa argumen dari teori kebergantungan antara lain : (1) Underdevelopment. Underdevelopment adalah kondisi dimana sumber daya dimanfaatkan untuk kepentingan negara maju, bukan negara berkembang sebagai pemilik sumber daya tersebut; (2) Kondisi underdevelopment terjadi karena negara berkembang bergabung dengan sistem ekonomi negara maju, yang berfungsi sebagai produsen bahan baku dan sumber tenaga kerja murah. Segala bentuk usaha yang dapat mengancam kepentingan negara maju akan ditiadakan; (3) Penggunaan sumber daya di negara berkembang lebih mengikuti pola yang dibebankan negara maju, terutama untuk ekspor produk pertanian; (4) Negara memiliki kepentingan nasional dan kepentingan nasional harusnya pro rakyat
10
miskin dibanding membela kepentingan korporat; (5) Adanya kepentingan pribadi para elit di negara berkembang yang menjadi kaki tangan dalam melancarkan kepentingan negara maju walau harus mengorbankan rakyatnya sendiri (kompradorisasi). Para elit tersebut juga kadang berbagi pemikiran yang sama dengan negara maju melalui pelatihan dan pendidikan yang diberikan negara maju sehingga menjadi agen kapitalis. Dalam hal ini, kondisi kebergantungan juga diyakini bersifat dinamis, sehingga memperluas sifat kapitalisme negara maju terhadap negara berkembang dari waktu ke waktu. Namun demikian, teori kebergantungan memiliki spektrum yang luas dan ada sebagian pendukung teori ini yang tidak mengidentifikasikan kapitalisme sebagai motor penggerak hubungan kebergantungan ini. Salah satu pemikirnya antara lain Raul Presbisch dan Hans Singer (Prebisch and Singer) di tahun 1950an. Awalnya, Prebish dan Singer menguji data dalam rentang periode yang lama, sehingga dihasilkan kesimpulan yang berkaitan dengan terms of trade. Elastisitas pendapatan terhadap permintaan untuk produk manufaktur lebih besar daripada produk primer, terutama produk pangan. Dengan demikian, saat pendapatan meningkat, permintaan akan produk manufaktur meningkat pesat daripada permintaan untuk produk pangan. Hipotesis Prebish dan Singer ini mengemukakan bahwa karena terms of trade produk primer yang menurun, negara berkembang harus melakukan diversifikasi ekspor dengan mengurangi kebergantungan terhadap ekspor produk primer. Dari penelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa karena ketidakstabilan ekspor menyebabkan biaya yang substansial, dimana termasuk di dalamnya ketidakstabilan permintaan dan investasi yang lebih beresiko, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan membutuhkan peralihan dari ketergantungan terhadap sekelompok produk ekspor tertentu kepada diversifikasi yang cakupannya lebih luas. Cara yang dapat dilakukan untuk mendukung industri agar mau berinvestasi adalah dengan melakukan proteksi. Usulan yang dihasilkan dari hipotesis Prebisch dan Singer ini kemudian menjadi dasar dilakukannya strategi substitusi impor dan proteksi di negara berkembang. Salah satu poin penting dari teori ini adalah negara pinggiran dapat berkembang dan mampu mengembangkan industrinya secara mandiri bila memiliki sedikit keterkaitan dengan negara kapitalis. Hal ini karena munculnya kawasan yang terbelakang adalah karena kawasan tersebut merupakan penghasil ekspor barang mentah primer yang tidak memperoleh keuntungan yang seharusnya melalui perdagangan internasional. Hubungan ini menjadi sangat timpang, karena negara kapitalis maju justru semakin meningkatkan industri, teknologi dan akumulasi modalnya. Dengan demikian, ada pihak yang menang dan kalah dalam perdagangan internasional. Teori kebergantungan ini, walaupun menjelaskan ekonomi secara keseluruhan, juga melibatkan sisi ekspor. Dengan demikian, kebergantungan ekspor pada negara maju dapat menyebabkan kebergantungan pada ekspor bahan mentah/komoditas. Dalam ranah ekonomi liberal, kebergantungan tidak dipertimbangkan dalam asumsi neo-klasik. Asumsi neo-klasik menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan menguntungkan bagi seluruh pihak walaupun pembagian keuntungan di antara tiap pihak tidak selalu setara (Pareto Optimum). Namun demikian, ada satu konsep dasar yang menjadi landasan bagi teori ini, yaitu
11
konsentrasi/spesialisasi dalam produksi dan perdagangan. Konsentrasi menjadi antithesis dari diversifikasi sebagai salah satu solusi mengatasi kebergantungan negara berkembang terhadap negara maju yang diusung teori kebergantungan. Awalnya, konsentrasi merupakan konsep yang diusung melalui keunggulan komparatif Adam Smith dan dikembangkan oleh David Ricardo. Model Ricardian mengemukakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional bila melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Ini kemudian dikembangkan melalui model Heckscher-Ohlin yang menunjukkan bahwa perdagangan akan menguntungkan bila suatu negara melakukan spesialisasi kearah produksi barang ekspor yang menggunakan faktor produksi yang banyak dan murah. Ini merupakan teori-teori awal tentang perdagangan internasional atau sering disebut sebagai teori klasik. Dalam perkembangannya, teori klasik diperbarui melalui new trade theory yang dipelopori Krugman di tahun 1980-an. Teori ini tetap mendukung spesialisasi dengan menyatakan bahwa bila suatu negara melakukan spesialisasi, volume ekspor akan meningkat dan akan mengalami skala ekonomi yang meningkat. Namun dengan dimensi geografis, skala ekonomis dalam teori ini menjelaskan tentang mengapa suatu negara tetap memperdagangkan suatu barang yang sama, baik ekspor maupun impor. Selain, dari skala ekonomi, diferensiasi produk menjadi salah satu argumen suatu produk yang sama bisa diekspor sekaligus diimpor oleh beberapa negara yang kemudian dijelaskan dalam intra industry trade. Diferensiasi tersebut tidak pernah menjadi pembahasan dalam teori sebelumnya karena asumsi homogenitasnya. Model Gravitasi (Gravity Model) dalam Teori Perdagangan Teori klasik perdagangan internasional tidak memiliki penjelasan terhadap zero-trade flows. Selain itu mengasumsikan bahwa tiap perusahaan memiliki tingkat produktivitas yang sama, hingga mengabaikan heterogenitas perusahaanperusahaan di dalam suatu ekonomi. Asumsi lainnya mengenai arus simetris juga tidak cocok untuk menjelaskan arus bilateral antara dua negara. Pada kenyataannya, tiap perusahaan memiliki tingkat produktivitas yang berbeda. Dengan tidak mengabaikan kondisi ini, Melitz (2003) membangun suatu kerangka teori baru melalui model dimana hanya melibatkan perusahaan yang melakukan ekspor dengan tingkat produktivitasnya yang tinggi. Ide yang mengawali pembentukan model ini adalah hanya perusahaan dengan produktivitas yang tinggi yang dapat menghasilkan keuntungan tinggi hingga bisa menutupi biaya tetap yang besar jumlahnya untuk aktivitas ekspor. Teori ini disebut sebagai “the new new trade theory” atau teori terkini perdagangan internasional. Dalam penyusunan modelnya, Melitz menjelaskan bahwa, seiring dengan semakin terbukanya perdagangan, maka proteksi akan berkurang, sehingga akan mendorong perusahaan yang kurang produktif untuk keluar dari pasar. Dengan demikian, perusahaan dengan produktivitas yang tinggi yang akan bertahan. Sampai tahap ini, dapat dikatakan tiap perusahaan yang bertahan memiliki kesamaan (homogeneity) yaitu melewati ambang batas produktivitas tertentu.
12
Dalam kerangka nasional, hal ini akan meningkatkan produktivitas rata-rata di negara tersebut sehingga daya saing pun meningkat. (Gambar 5)
Export per Firm Density Function Total Ekspor
Marginal Cost (a)
ax Exported Varieties
a0 Local Varieties
No Production
Keterangan : Visualisasi dari the new-new trade model Sumber : Amurgo Pacheco dan Pierola (2008) Gambar 5. Ekspor dan firm heterogeneity berdasarkan tingkat biaya marjinal Menurut Melitz, perusahaan yang lebih produktif dan efisien memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengekspor daripada perusahaan kecil. Selanjutnya, semakin jauh letaknya dari pasar, tingkat harga juga akan semakin tinggi karena biaya perdagangan yang dibebankan. Dengan demikian, model yang dapat disusun secara matematis adalah sebagai berikut : od
…………………(1)
=
Volume perdagangan bilateral tersebut menyerupai model gravity, dengan Bd merupakan
dimana Ed dapat diwakili oleh PDB negara importir dan
no sebagai faktor endowment dari negara eksportir diwakili oleh PDB Negara pengekspor. sebagai biaya bilateral. Gravity model menampilkan analisis empiris dari pola aliran perdagangan bilateral antara negara-negara yang berada pada daerah-daerah yang berbeda secara geografis. Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional oleh Jan Tinberger pada tahun 1962 untuk menganalisis aliran perdagangan antara negara-negara Eropa. Nama model ini diambil dari bentuk dasarnya yang mampu memprediksi perdagangan berdasarkan pada jarak antar negara dan interaksi antara besarnya ukuran perekonomian antar negara. Hal ini mengikuti prinsip dari hukum gravitasi Newton yang juga memperhitungkan jarak dan ukuran fisik antara dua obyek. Pada gravity model aliran perdagangan bilateral ditentukan oleh tiga kelompok variabel, yaitu : 1. Variabel-variabel yang mewakili total permintaan potensial negara pengimpor. 2. Variabel-variabel indikator total penawaran potensial negara pengekspor.
13
3. Variabel-variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antar negara pengimpor dan negara pengekspor. Pada umumnya gravity model dirumuskan sebagai berikut: Tij = f (Yi, Yj, Fij) ………………………………………………………...…… (2) dengan : Tij = Nilai aliran perdagangan dari negara i ke negara j, Yi = Gross Domestic Product negara i, Yj = Gross Domestic Product negara j, Fij = Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perdagangan antara negara i dengan negara j. Gravity model perdagangan antar dua negara berbanding lurus dengan massa perdagangan mitra dagang dan berbanding terbalik dengan jarak antara mitra dagang. Variabel tambahan seperti area fisik, populasi, keselarasan kultural, dan perbatasan bersama digunakan untuk memperjelas variabel massa ekonomi dan jarak sebagai multilateral resistance. Teori Marjin Ekspor dalam Teori Pertumbuhan Berdasarkan teori pertumbuhan (growth theory), pertumbuhan output dapat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu teknologi, kapital/investasi dan tenaga kerja (Model Solow/Neoklasik). Dalam jangka panjang, peningkatan teknologi yang melibatkan peningkatan kapital, dapat meningkatkan output. Dengan demikian, output akan meningkat pada level yang lebih tinggi (Gambar 6).
Sumber : Grossman dan Helpman, 1993 Gambar 6. Teori pertumbuhan neoklasik Teori pertumbuhan ini memiliki hubungan dengan ekspor. Peningkatan permintaan ekspor, akan mendorong output untuk meningkat. Namun demikian, pertumbuhan ekspor tidak hanya didorong dari permintaan akan produk yang sama saja, tapi juga dari pertumbuhan jenis produk yang diekspor. Saat peluang ekspor tersebut mendorong perusahaan untuk meningkatkan teknologi dan investasi dalam memenuhi permintaan ekspor akan produk baru, maka sebagaimana juga diungkapkan dalam Model Melitz, biaya marjinal menurun dan produktivitas meningkat. Jika banyak perusahaan dalam industri merespon maka
14
secara agregat produktivitas meningkat, yang mana sesuai dengan teori pertumbuhan bahwa teknologi dan kapital dapat meningkatkan output. Dengan demikian, pada jangka panjang, produk ekspor baru menjadi solusi bagi pertumbuhan ekspor. Peran produk baru terhadap ekspor dijelaskan dalam marjin ekspor yang dalam prosesnya dilakukan melalui dekomposisi ekspor. Hal ini ditujukan untuk menganalisis struktur ekspor baik produk maupun negara tujuan ke dalam marjin ekspor yang membagi pertumbuhan ekspor menjadi tiga kategori yaitu : (1) marjin intensif, pertumbuhan nilai dari produk lama yang menggambarkan konsentrasi; (2) marjin ekstensif atau pertumbuhan ekspor yang berasal dari produk baru yang mencerminkan diversifikasi; (3) marjin yang hilang, baik dari produk yang tidak bertahan sebagai produk ekspor. Dengan : ΔX = pertumbuhan ekspor; k = produk yang diekspor; K0 dan K1 = produk yang diekspor pada tahun 0 dan tahun 1. Dekomposisi marjin ekspor secara sederhana dapat dituliskan sebagai berikut : ……………………………………...(3) Tinjauan Empiris Produksi dan perdagangan kopi Pembahasan mengenai ketergantungan antara lain dibahas dalam struktur pendapatan dari perdagangan kopi yang merupakan bagian dalam penelitian dalam ranah pembangunan baik ekonomi pembangunan, kelembagaan dan ekonomi politik. Salah satu pemicu pembahasan mengenai struktur pasar kopi adalah coffee crisis. Istilah ini mengacu pada anjloknya harga kopi sebagai komoditas di pasaran internasional semenjak terjadinya liberalisasi pasar untuk produk kopi dan kemudian anjloknya harga ini berdampak pada petani kopi, sebagai penanggung resiko terbesar. Petani kopi di negara berkembang umumnya tidak memiliki pendapatan lain di luar usaha tani kopinya, dengan anjloknya kopi, maka petani menjadi bertambah miskin dan pembangunan daerah menjadi gagal, terutama saat komposisi ekonomi suatu negara sangat bergantung pada satu komoditi tunggal, yaitu kopi. Salah satu penelitian di bidang ekonomi kelembagaan adalah Ponte (2002). Metode yang digunakan adalah analisis GCC (global commodity chain). GCC memiliki spektrum penelitian mencakup kontrol, koordinasi dan peran masing-masing agen dalam rantai pemasaran dari produk primer dihasilkan hingga konsumen akhir. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah terjadinya coffee crisis yang merugikan petani dan produsen dari negara berkembang, selain disebabkan sisi produksi, juga ditengarai karena adanya perubahan struktur kelembagaan. Perubahan struktur tersebut terutama karena beralihnya komoditi kopi menuju sistem liberalisasi pasar. Dengan liberalisasi pasar ini, negara produsen yang semula masih memiliki kekuatan, semakin terdesak oleh kekuatan negara konsumen. Tumbuhnya perusahaan raksasa bergerak di bidang pengolahan kopi (roaster) yang mendominasi perdagangan kopi dunia, menghasilkan kepentingan korporasi, yaitu keuntungan jangka pendek, dan menyebabkan ketidakstabilan harga yang tinggi di pasar kopi.
15
Salah satu penelitian kritis lainnya mengenai coffee crisis adalah penelitian dari Oxfam International. Penelitian-penelitian dari Oxfam membahas tentang kemiskinan, bahayanya dan upaya mengatasinya termasuk di sektor kopi. Salah satunya adalah Gresser dan Tickell (2002) menyatakan bahwa coffee crisis, beranjak dari anjloknya harga komoditas kopi di pasaran internasional membawa masalah yang lebih serius, yaitu kemiskinan dan masalah fundamental lainnya yang menyeret negara produsen kepada masalah pembangunan manusia. Namun demikian, hal ini tidak tercermin dalam konsumsi kopi di tingkat konsumen akhir. Dengan kata lain, ada rantai yang hilang, dimana saat terjadi kemiskinan di pihak petani namun di sisi lain, perusahaan besar (roaster) justru memperoleh margin yang terus meningkat. Dengan demikian, ada perubahan struktur pendapatan dari komoditas kopi yang dihasilkan petani hingga nilai tambah yang dihasilkan industri yang semakin menekan petani. Saran yang diutarakan adalah dengan menyelenggarakan a coffee rescue plan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, antara lain mengenai harga yang sepatutnya diterima petani dan harus diatas harga produksi (diselenggarakan melalui Fair Trade), peningkatan kualitas kopi dan perdangangan hanya kopi dengan standar kualitas tertentu (yang baik) dan kualitas tersebut harus terinformasikan dengan baik pada produk akhir. Saran ini juga bersesuaian dengan yang diungkapkan oleh Ponte (2002) yang mengungkapkan bahwa negara produsen perlu meningkatkan kualitas produksinya dengan berbagai upaya untuk menyelenggarakan hubungan langsung antara konsumen dan produsen sehingga kualitas dapat terinformasikan dengan baik dan produsen dibayarkan sebagaimana mestinya. Saran ini juga bersesuaian dengan resolusi ICO, agar kopi yang diperdagangkan secara internasional harus memiliki standar kualitas tertentu, sehingga kopi dengan kualitas buruk akan tereleminasi dari perdagangan internasional dan harga akan meningkat. Daniels dan Petchers (2005) menekankan kepentingan petani kopi skala kecil. Setidaknya ada enam hal yang diidentifikasi sebagai hal yang paling dibutuhkan oleh petani skala kecil, yaitu : stabilitas harga, akses kepada sumber dana, akses pasar, pendampingan/bantuan teknis dalam peningkatan kualitas dan diversifikasi, penguatan organisasi dan partisipasi dalam debat internasional. Dengan demikian, penelitian-penelitian tersebut di atas menyetujui akan satu hal, yaitu bagaimana menyusun suatu strategi yang pro-poor yang dianggap menjadi strategi yang berkelanjutan (sustainable). Salah satu cara yang disepakati adalah dengan meningkatkan kualitas dan standar. Salah satu cara lainnya yang disebutkan adalah diversifikasi. Penelitian tentang kopi di Indonesia antara lain dilakukan oleh Hutabarat (2010), Anggraini (2006), dan Raharjo (2013). Studi Hutabarat (2010) menggunakan teknik wawancara dan diskusi dengan para pemangku kepentingan di bidang kopi (petani kopi, pedagang, pengusaha) dan mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber. Hasilnya menunjukkan bahwa pajak terutama pajak pertambahan nilai, kebijakan pemasaran dan coffee crisis yang terjadi secara internasional telah menghambat pertumbuhan industri kopi nasional (berdasarkan pengolahan menggunakan OLS terhadap faktor-faktor dimaksud).
16
Volume ekspor didominasi kopi biji dan hanya menyisakan sedikit untuk kopi olahan, sementara perusahaan kopi internasional mendominasi pasar kopi olahan. Dampaknya adalah kopi Indonesia tidak mampu bersaing dan industri nasional tidak mampu mengembangkan produknya untuk pasar internasional. Saran yang disampaikan adalah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan untuk mengurangi area penanaman kopi yang tidak produktif dan menggunakannya untuk tanaman lainnya serta meningkatkan kualitas produk kopi yang ditanam saat ini, yaitu kopi spesialti dan kopi organik di lahan yang sudah ada. Anggraini (2006) dan Raharjo (2013) meneliti faktor yang menentukan ekspor kopi Indonesia. Anggraini (2006) menyatakan bahwa Amerika Serikat merupakan sasaran ekspor yang menarik karena merupakan negara konsumen kopi terbesar dunia. Saat krisis moneter terjadi di Indonesia, pada periode 19961998, impor kopi Amerika Serikat dari Indonesia justru meningkat tertinggi dibanding empat negara terbesar pengimpor kopi, walaupun menurun di dua tahun berikutnya. Variabel dependen yang diteliti adalah pendapatan per kapita Amerika Serikat (tidak signifikan), harga kopi dunia (berpengaruh signifikan), harga teh dunia (berpengaruh signifikan), konsumsi kopi Amerika Serikat tahun sebelumnya (berpengaruh signifikan), nilai tukar Dolar terhadap Rupiah (tidak signifikan), jumlah penduduk Amerika Serikat (berpengaruh signifikan) terhadap terhadap permintaan ekspor kopi Amerika Serikat dari Indonesia sebagai variabel independen. Argumentasi yang diberikan karena tidak signifikannya peningkatan pendapatan per kapita AS terhadap permintaan ekspor produk kopi Indonesia diduga karena faktor food safety dari produk Indonesia yang masih berstatus “not guaranteed to pass the FDA”. Dengan demikian, saran yang diberikan antara lain dengan memenuhi persyaratan terkait kualitas, memperkuat hubungan bilateral, kemudahan regulasi, promosi, serta diversifikasi baik produk maupun negara tujuan lain agar tidak mengalami kebergantungan. Raharjo (2013) memberikan hasil estimasi variabel dependen pada pengolahan data panel terhadap ekspor kopi Indonesia ke delapan negara yaitu : Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Italia, Inggris, Malaysia, Singapura dan Aljazair. PDB riil, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, harga ritel kopi negara pengimpor memiliki pengaruh yang positif terhadap volume permintaan ekspor kopi Indonesia. sedangkan, variabel dummy krisis moneter tidak berpengaruh signifikan terhadap volume kopi Indonesia, ini membuktikan bahwa komoditas ekspor kopi merupakan tahan akan krisis. Salah satu penelitian mengenai dampak sosial ekonomi terjadinya krisis kopi terhadap petani kopi di Indonesia antara lain Gunadi (2007). Lokasi yang diteliti adalah Pasemah, salah satu daerah penghasil yang membentang di tiga provinsi yaitu Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Hasil dari penelitian ini adalah meskipun petani kopi Indonesia sempat mengalami masa kejayaan hingga tahun 1980an, krisis kopi yang terjadi pada masa liberalisasi pasar menimbulkan dampak yang cukup serius bagi petani kopi di Pasemah. Untuk bertahan hidup petani mengubah pola konsumsi mereka. Beberapa mencari pekerjaan informal lainnya dan bahkan berurbanisasi ke Jabodetabek. Petani yang bertahan tetap mengusahakan kopi namun ada juga yang mendiversifikasikan jenis tanamannya. Saran yang diberikan adalah dengan mengembangkan diversifikasi kopi olahan, seperti kopi sangrai, instant coffee, coffee mix, decaffeinated coffee,
17
soluble coffee, kopi bir (coffee beer), iced coffee mempunyai arti penting, karena dapat menjadi komoditas unggulan yang mempunyai daya saing tinggi di pasar internasional. Indonesia sebagai negara tropis disamping berpeluang untuk pengembangan produk diversifikasi kopi olahan tersebut diatas, juga berpotensi untuk pengembangan produk industri pengolahan kopi specialties. Lebih lanjut, penulis menyarankan dalam upaya pengembangan produksi kopi menjadi industri hulu dan hilir perlu adanya keseriusan dari pemerintah maupun dari pihak-pihak yang terkait, melalui sinkronisasi kebijakan antara pemerintah dengan industri pengolahan kopi; pengembangan lembaga riset khususnya penggunaan teknologi di bidang kopi untuk mendukung pengembangan produksi kopi dan industri kopi; pembentukan lembaga promosi khusus untuk mempromosikan produk kopi Indonesia ke negara-negara tujuan ekspor dalam upaya meningkatkan akses pasar; meningkatkan investasi di industri kopi; dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk pengembangan industri kopi dengan memberikan fasilitas sarana dan prasarana penunjang. Kustiari (2007) juga memberikan saran serupa, berupa kebijakan pemerintah yang pro-aktif dalam mempromosikan produk kopi Indonesia, peningkatan daya saing dan produktivitas, serta diversifikasi ekspor.
Diversifikasi Ekspor Beberapa penelitian terdahulu memberikan ulasan bahwa harga, kualitas dan diversifikasi merupakan link bagi kelanjutan pengembangan kopi secara berkelanjutan. Namun pembentukan harga kopi sebagai komoditas adalah melalui mekanisme pasar. Tidak demikian halnya untuk produk selain biji kopi. Produk kopi olahan memiliki tingkat harga yang lebih baik dan dengan demikian dapat dikatakan diversifikasi ekspor merupakan salah satu cara dalam meningkatkan ekspor kopi. Secara umum, literatur perekonomian umum lainnya memberikan prediksi tentang hubungan antara konsentrasi/kebergantungan ekspor, diversifikasi ekspor, pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Penelitian tersebut memberikan kesimpulan yang sama bahwa terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi, ekspor dan diversifikasi ekspor. Diversifikasi ekspor mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama bila diversifikasi produk ekspornya ke arah produk manufaktur. Penelitian terkini mengemukakan bahwa diversifikasi lebih penting bagi negara berkembang. Terdapat beberapa alasan untuk hal ini, antara lain yang pertama melalui penelitian Haddad et al. (2010) yang mengemukakan bahwa perdagangan terbuka dapat mengurangi volatilitas saat suatu ekonomi negara terdiversifikasi dengan baik. Negara berkembang umumnya terkonsentrasi untuk mengekspor kelompok produk yang sama kepada pasar yang terbatas karena terbatasnya basis sumberdaya. Kenyataan ini menyebabkan ketergantungan terhadap produk dan pasar tersebut sangat tinggi. Bila terjadi goncangan dalam supply dan faktor eksternal lainnya maka akan mempengaruhi terms of trade negara yang bersangkutan dan mengguncang perekonomiannya. Di sisi lain, diversifikasi ekspor baik produk dan pasar membantu untuk menghasilkan pendapatan ekspor yang stabil dan mengurangi resiko ekonomi dan politik.
18
Kedua, Imbs dan Wacziarg (2003) menyimpulkan bahwa level konsentrasi berubah seiring tingkat pendapatan per kapita. Ditunjukkan bahwa berbagai pengukuran konsentrasi secara sektoral mengukuti bentuk melengkung (Ushapped). Pada tahap awal, suatu negara harus menemukan keunggulan komparatifnya, dan saat industri mulai beroperasi, sampai suatu titik akan ditemukan ketidakefisienan yang akan menggeser produksi ke arah yang memiliki keunggulan komparatif. Dengan demikian, saat proses ekonomi dimulai, ekonomi justru lebih terdiversifikasi dan seiring dengan terjadinya pengembangan, proses menuju spesialisasi lebih mendominasi. Temuan yang sama juga dihasilkan Hesse (2008). Hubungan diversifikasi ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi juga banyak diteliti dalam penelitian lainnya, antara lain Chandra et al. (2007) serta Amiti dan Freund (2007) yang menghasilkan kesimpulan bahwa diversifikasi ekspor penting terutama untuk negara berkembang dan dengan itu dapat memicu peningkatan pertumbuhan ekonomi. Siregar dan Daryanto (2005) menyebutkan bahwa kinerja ekspor dapat dinilai dari laju pertumbuhan baik dari sisi nilai maupun volume. Namun selain laju pertumbuhan ekspor, sisi yang perlu diperhatikan adalah tingkat diversifikasinya, baik produk maupun negara tujuan ekspor. Pengembangan ekspor yang berhasil adalah jika laju pertumbuhan ekspor tinggi dan komposisinya tidak didominasi negara tertentu dan produk tertentu. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa diversifikasi ekspor sangat penting bagi negara berkembang. Bagaimana cara mengukur diversifikasi ekspor juga bervariasi dari tiap penelitian. Literatur terkini mengungkapkan cara pengukuran diversifikasi ekspor, yaitu melalui pembagian marjin ekspor kedalam marjin ekstensif dan marjin intensif. Tingginya marjin ekstensif menunjukkan tingginya diversifikasi dan marjin intensif yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat spesialisasi/konsentrasi. Pembagian marjin ekspor ini juga memiliki manfaat untuk menentukan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya perdagangan ke arah marjin tersebut. Marjin ekspor Marjin ekspor menjadi suatu pendekatan yang dapat digunakan untuk melihat struktur perdagangan suatu negara, apakah lebih terdiversifikasi atau lebih terkonsentrasi. Pengertian marjin ekspor menjadi berkembang dengan ditambahkannya dimensi geografis dalam pembagian marjin. Konsep geografis ini merupakan pengembangan dalam terminologi diversifikasi. Marjin intensif digambarkan sebagai ekspor ke negara dan produk yang telah ada, sedangkan marjin ekstensif berupa ekspor ke negara baru dan atau produk baru. Pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa kombinasi dimensi produk dan dimensi destinasi ekspor menghasilkan pengertian yang lebih luas terhadap marjin ekspor dan dapat menjelaskan bagaimana pertumbuhan atau penurunan ekspor dalam hubungannya dengan diversifikasi. Dalam hal ini, marjin ekstensif menggambarkan diversifikasi. Pada saat pertumbuhan ekonomi dihasilkan dari proporsi yang lebih besar pada marjin ekstensif, maka dapat dikatakan ekspor telah terdiversifikasi yang dapat dijadikan solusi kebergantungan ekspor. Dengan penambahan dimensi geografis tersebut terdapat tiga bentuk marjin ekstensif. Bentuk pertama adalah ekspor produk lama ke destinasi baru. Bentuk ini merupakan perluasan pasar, namun tidak memiliki visi yang terlalu
19
jelas terhadap output, dalam arti, bisa saja terjadi pengalihan pasar, namun output tidak bertambah. Secara mikro, mungkin terjadi pergerakan pada struktur biaya namun pergerakannya horizontal hingga tidak sampai mengubah pola output. Oleh karena ini, bentuk diversifikasi ekspor semacam ini adalah solusi jangka pendek bagi kinerja ekspor. Di sisi lain, bentuk marjin ekstensif yang mengikutsertakan produk baru, melibatkan peningkatan investasi dan teknologi. Dengan demikian, sesuai dengan teori pertumbuhan, selain meningkatkan ekspor juga dapat meningkatkan output dalam jangka panjang. Untuk itu, produk baru, terutama produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi (produk olahan) bisa menjadi solusi jangka panjang bagi pengembangan ekspor. Destinasi Lama (DL)
Destinasi Baru (DB)
Produk Lama (PL)
Marjin Intenstif
Marjin Ekstensif Geografis
Produk Baru (PB)
Marjin Ekstensif Produk
Marjin Ekstensif Geografis dan Produk
Sumber : Amurgo-Pacheco dan Pierola, 2008 (diolah) Gambar 7. Pembagian marjin ekspor berdasarkan produk dan destinasi
Tsivadze (2011) meneliti tentang diversifikasi ekspor di Georgia dengan menambahkan dimensi geografis ke dalam marjin ekstensif dan intensif. Hal ini seperti yang diteliti oleh Amurgo-Pacheco dan Pierola (2008) tentang pola diversifikasi ekspor negara berkembang. Tsivadze menggunakan data series 12 tahun dan Amurgo-Pacheco dan Pierola (2008) dengan 15 tahun dengan kesimpulan yang mirip bahwa marjin intensif berkembang dominan, menjelaskan 95 persen dari pertumbuhan ekspor. Dari marjin ekstensif, dimensi geografis lebih berperan penting terhadap pertumbuhan ekspor dibanding pertumbuhan produk. Setelah mengurai marjin dan tingkat diversifikasi, dianalisis determinan yang mempengaruhi marjin tersebut dalam rangka menyusun rekomendasi meningkatkan kinerja ekspor. Hasil yang diperoleh selaras dengan penelitian Melitz (2003). Kesimpulan yang pertama, jarak sangat berperan penting dibandingkan dengan ukuran ekonomi negara tujuan. Yang kedua, reduksi tarif sangat berperan penting dalam peningkatan ekspor dan kerjasama perdagangan adalah yang paling penting dalam peningkatan ekspor ke negara tujuan. Türkcan (2014) meneliti tentang marjin ekspor di Austria menggunakan tiga metode, yaitu metode perhitungan, metode dekomposisi pertumbuhan ekspor yang diusulkan Hummels dan Klenow (2005) dan metode dekomposisi pertumbuhan ekspor oleh Bingzhan. Marjin eksternal yang menandakan diversifikasi, terbukti secara empiris dan teoritis memiliki hubungan positif
20
dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, karena terbukti efektif dalam meningkatkan pendapatan per kapita. Penelitian menarik lainnya mengenai diversifikasi adalah Besedes dan Prusa (2010). Penelitian ini menggunakan kerangka model Melitz yang mengedepankan pentingnya dimensi kebertahanan dari suatu hubungan perdagangan. Marjin ekstensif didefinisikan sebagai penciptaan partner baru dan pasar baru dan marjin intensif sebagai hubungan yang bertahan dan semakin diperdalam. Penelitian ini menggunakan metode survival function Kaplan-Meier yang menghasilkan kesimpulan bahwa banyak hubungan perdagangan yang sangat temporer (gagal dalam dua tahun) yang banyak terjadi dengan Negara berkembang. Namun demikian, penelitian ini tidak mengungkapkan alasan dibalik tidak suksesnya negara berkembang dalam mempertahankan hubungan perdagangannya, yang sangat penting dalam mendorong negara berkembang untuk berkembang di kedua marjin ekspor.
Diversifikasi ekspor di Indonesia Alhayat (2012) meneliti tentang dekomposisi pertumbuhan dan diversifikasi ekspor non-migas Indonesia untuk mengetahui peran komponen pertumbuhan ekspor dan menganalisis struktur ekspor. Metode yang pertama adalah dekomposisi pertumbuhan ekspor menjadi produk baru, produk bertahan dan produk menghilang. Metode yang kedua adalah indeks feenstra atas pertumbuhan ekspor netto.Hasil yang diperoleh adalah marjin intensif menjelaskan 98 persen pertumbuhan ekspor. Dan Asia merupakan pasar paling penting bagi pertumbuhan ekspor non-migas. Kemungkinan rentang waktu penelitian yang sangat singkat, 2006-2010 yang mengarahkan penelitian hingga didapat kesimpulan demikian. Kajian Alhayat tersebut mengikuti Amiti dan Freund (2007) yang menganalisa komposisi pertumbuhan Cina yang secara total tumbuh 450 persen dari tahun 1996-2006. Pertumbuhan tersebut salah satunya didukung oleh perubahan struktur ekspor dari produk agrikultur dan tekstil kearah elektronik dan produk manufaktur yang lebih canggih lainnya. Dari sisi produk, 5-15 persen pertumbuhan ekspor Cina dijelaskan melalui ekspor produk baru. Namun hampir seluruh pertumbuhan ekspor Cina ke Amerika dalam marjin intensif. Tarman et al. (2011) dalam kajian diversifikasi ekspor meneliti tentang diversifikasi di pasar Asia dan Afrika untuk produk-produk konsumen Berbagai perhitungan digunakan yaitu Trade performance index (TPI), Export product dynamic (EPD), Constant market share analysis (CMSA) dan gravity model. Kesimpulannya pasar potensial di kawasan Afrika adalah Nigeria, Afrika Selatan, Aljazair, Mauritius dan Maroko; dengan seluruh empat kelompok komoditas yang diteliti menjadi unggulan. Untuk pasar di kawasan Asia adalah Saudi Arabia, Taiwan, Jordan, Oman dan Sri Lanka; dengan tiga kelompok komoditas unggulan yaitu perkebunan dan olahannya, perikanan dan olahannya, serta makanan dan minuman olahan. Salah satu tahapan dalam kajian ini adalah menghimpun informasi mengenai hambatan ekspor yang dialami oleh eksportir dalam melaksanakan usahanya melalui Focus Group Discussion (FGD). Kesimpulan yang sama dalam penelitan-penelitian tersebut adalah struktur ekspor sangat penting bagi pengembangan ekspor dan diversifikasi penting
21
terutama untuk negara berkembang. Banyak literatur, sejauh ini, berfokus pada identifikasi transmisi diversifikasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Manfaat yang diyakini bersama dalam berbagai literatur adalah bahwa negara berkembang cenderung terkonsentrasi untuk mengekspor produk yang terbatas, bersifat komoditi hingga memicu tingginya fluktuasi. Dalam hal ini, diversifikasi menciptakan pemasukan ekspor yang lebih stabil. Efek lainnya yang dilihat adalah spillover terhadap ekonomi sebagai hasil dari struktur produk yang lebih terdiversifikasi. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang disusun dalam penelitian ini adalah bahwa faktor eksternal paling mempengaruhi diversifikasi ekspor kopi Indonesia (demand driven), antara lain melalui daya beli di negara tujuan ekspor. Adapun dari sisi penawaran, diversifikasi ekspor kopi belum mencapai tahap pengembangan yang optimal, sehingga masih bisa terus dikembangkan. Dari sisi penunjang perdagangan, nilai tukar, hambatan tarif dan non-tarif serta jarak mempengaruhi diversifikasi ekspor kopi Indonesia.
22
Halaman sengaja dikosongkan
23
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam model penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif yang digunakan adalah data ekspor Indonesia untuk produk kopi dalam kategori HS sembilan dan sepuluh digit per negara selama periode 1994-2013 dan data konversi HS berupa tabel korelasi HS sembilan digit ke sepuluh digit (BTBMI 2007 dan BTKI 2012). Selain itu, data lainnya untuk analisis determinan diversifikasi ekspor antara lain mengikuti gravity equation, yaitu : PDB Indonesia, PDB negara tujuan, jarak ekonomis, tarif/perjanjian perdagangan (FTA) dan nilai tukar. Data PDB diperoleh dari WDI (World Development Indicator) Worldbank, jarak diperoleh dari website CEPII, data mengenai FTA diperoleh dari WTO dan website ASEAN dan nilai tukar diperoleh dari Worldbank. Mengikuti model Melitz, idealnya, data ekspor yang digunakan untuk mengukur level diversifikasi adalah data di tingkat perusahaan. Namun demikian, data mikro demikian tidak tersedia dan sangat sulit untuk memperolehnya melalui teknik pengambilan data primer. Dengan demikian, data yang akan digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan ITC Trademap. Selain itu, data kualitatif yang dibutuhkan berkaitan dengan perdagangan kopi umumnya diperoleh dari ICO (International Coffee Organisation) dan AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia).
Metode Analisis Definisi Data Tahap awal analisis adalah pendefinisian produk kopi dalam kegiatan ekspor. Ada beberapa metode yang dapat mendeskripsikan produk kopi dan turunannya. Dari kategori industri, umumnya digunakan pohon industri. Pohon industri merupakan gambaran skematis yang digunakan untuk mendefinisikan produk turunan apa saja yang dihasilkan dari tanaman kopi sebagai komoditas dalam tahapan proses pengolahan. Berdasarkan pohon industri kopi, produk kopi dan turunannya digambarkan melalui Lampiran 4. HS (Harmonized System) digunakan karena merupakan sistem pencatatan ekspor yang digunakan oleh Indonesia. Sistem ini merupakan klasifikasi produk yang dikembangkan untuk keseragaman dalam perdagangan internasional. Berdasarkan penelusuran kode HS, secara umum, kopi sebagai produk hasil perkebunan dengan pengolahan primer dan sekunder berada pada kategori HS 0901, yaitu kopi biji, kulit kopi, kopi sangrai dan kopi kafein rendah. Sedangkan produk turunan kopi sebagai makanan atau minuman olahan berada dalam kategori HS 2101, yaitu ekstrak kopi antara lain berupa kopi instan, mix
24
(preparation with the basis of coffee) dan coffee substitute. Dalam sistem HS, kelompok produk tersebut saling tumpang tindih kecuali biji kopi yang dapat dipisahkan dengan jelas. Contohnya HS 0901.22.100 (Coffee, roasted decaffeinate in powder form) yang dalam dapat berupa kopi sangrai, kafein rendah maupun bubuk. Dengan demikian, kopi sangrai, kopi kafein rendah dan kopi bubuk dikelompokkan dalam satu kelompok yang sama. Demikian juga untuk produk coffee substitute yang dalam perubahan HS sempat digabung dalam produk kulit kopi, sehingga dalam analisis dikelompokkan bersama dengan kopi ekstrak. Sedangkan kopi celup tidak tercatat dalam satu kode HS tersendiri. Secara internasional kode HS seragam pada level enam digit (subheading). Namun demikian, tiap negara dapat memperluas klasifikasi hingga sepuluh digit untuk keperluan tertentu. Klasifikasi menurut sistem HS menggunakan kode yang semakin rinci definisi produknya dengan semakin banyak digit kode yang digunakan. Pada kelompok HS yang sama, kelompok dengan nilai lebih kecil umumnya memiliki tingkat pengolahan yang lebih rendah. Pada pos tarif nasional, Indonesia menggunakan tarif sembilan digit dari awal pencatatan ekspor, yaitu tahun 1994 yang kemudian dikonversi secara menyeluruh menjadi HS sepuluh digit di tahun 2008. Selain konversi HS total, konversi HS yang terjadi sepanjang 1994-2013 adalah konversi parsial. Dengan demikian, pencatatan dan analisis didasarkan pada produk yang mengakomodir perubahan. Produk yang dirinci akan dianalisis sebagai produk gabungan yang berasal dari perubahan HS yang sama. Pengelompokkan dengan sistem HS dilanjutkan dengan penggunaan SITC (Standard International Trade Classification) yaitu sistem klasifikasi barang ekspor dan impor yang dikembangkan untuk keperluan analisis industri. Pengelompokkan dari sisi industri menggunakan SITC rev. 4. Sistem pengklasifikasian ini dibuat oleh United Nations (UN) berdasarkan alur produksi, industri dan teknologi dan ditujukan untuk analisis, namun berdasarkan pencatatan HS. Ada empat sampai lima digit dalam SITC rev. 4 yang menyatakan dengan semakin banyak digit maka deskripsi industri semakin rinci. Jika suatu produk memiliki kode SITC yang sama maka produk tersebut memiliki keterkaitan dalam industri yang sama, terutama pada digit keempat. Produk kopi dan turunannya yang tercatat dalam neraca ekspor dijelaskan dalam tiga kelompok produk berdasarkan sifat industrinya yaitu kopi biji (green bean), kopi sangrai (roasted coffee) dan kopi ekstrak (extract coffee). Adapun pengelompokkan produk kopi ditampilkan pada Lampiran 1. Dekomposisi Ekspor Marjin intensif diartikan sebagai ekspor produk lama ke destinasi lama. Keadaan ini mengindikasikan konsentrasi/spesialisasi ekspor. Di sisi lain keberadaan marjin ekstensif menandakan terjadinya diversifikasi ekspor. Dalam penelitian sebelumnya, antara lain Amurgo-Pacheco dan Pierola (2008) serta Tsivadze (2011), marjin ekstensif diperluas kembali menjadi ekstensif geografis dan ekstensif produk sebagaimana digambarkan dalam Gambar 7. Terdapat perbedaan untuk menentukan kategori produk lama (PL) dan produk baru (PB) serta destinasi lama (DL) dan destinasi baru (DB). Dengan periode penelitian 1990-2005, Amurgo-Pacheco dan Pierola (2008) menentukan PL sebagai produk yang diekspor setidaknya tiga tahun sebelum tahun 1995 dan
25
PB adalah produk yang diekspor paling tidak lima kali setelah tahun 1995. Sedangkan Tsivadze (2011) dengan periode penelitian tahun 1996-2008, mengkategorikan PL adalah produk yang diekspor dua kali dalam tiga tahun terakhir, dan PB sebagai produk yang diekspor sekali dalam tiga tahun terakhir dan paling tidak dua kali dalam tiga tahun berikutnya. Hal tersebut juga berlaku untuk penentuan DL dan DB. Keduanya menggunakan definisi statis dalam penentuan PL dan PB serta DL dan DB. Dilihat dari sifat data, penelitian Tsivadze kurang cocok untuk penelitian ini, karena menggunakan pengertian sempit kategori PL, PB, DL dan DB untuk Georgia yang memiliki struktur ekspor yang sempit. Dengan demikian, definisi data lebih mengikuti penelitian Amurgo-Pacheco dan Pierola. Penelitian ini menggunakan periode data 20 tahun. Tahun 2003 dijadikan tahun patokan sehingga membagi data menjadi dua bagian. PL didefinisikan sebagai produk yang muncul sebelum tahun 2003 dan PB paling tidak muncul lima kali di tahun 2003 dan seterusnya, baik berkesinambungan atau tidak. Hal ini mempertimbangkan siklus produk baru dan secara implisit penetrasi pasar ekspor dalam periode yang diamati seperti yang diungkapkan dalam Besedes dan Prusa (2010). Sepuluh tahun dipertimbangkan sebagai periode yang cukup relevan bagi pengembangan produk ekspor dan produk baru bertahan di pasar ekspor rata-rata selama dua tahun. Hal ini juga dilakukan untuk kategori DL dan DB. Tahap awal yang dilakukan dalam dekomposisi ekspor adalah memisahkan PB dan PL dalam struktur ekspor Indonesia berdasarkan definisinya masing-masing dan dilanjutkan dengan pemisahan antara DL dan DB. Hal ini dilakukan karena umumnya produk pertanian bersifat demand driven, dengan asumsi ini maka muncul asumsi selanjutnya yaitu produk terlebih dahulu hadir dari destinasi ekspor, dan bukan sebaliknya. Ini juga mengarahkan tahap dekomposisi sesuai dengan Melitz (2003), yaitu perusahaan skala nasional yang telah memiliki produk dapat menciptakan pasar ekspor baru dengan peningkatan produktivitas. Dengan demikian, secara otomatis, PB yang didefinisikan per kategori HS 10 digit akan menghasilkan DB untuk produk tersebut. Sedangkan PL dapat menghasilkan baik DB maupun DL. Selanjutnya, kategori PBDB, PBDL dan PLDB diperhitungkan sebagai komponen marjin ekstensif yang menandakan diversifikasi baik produk dan maupun destinasi. Model Persamaan Analisis ekonometrika dengan regresi data panel gravity digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi arus diversifikasi ekspor kopi antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor. Dalam model gravity sederhana, perdagangan antara negara i dan negara j bersifat proporsional terhadap ukuran ekonomi dan berbanding terbalik dengan jarak, yang menjadi proksi bagi biaya transportasi diantara kedua negara. Secara umum digambarkan seperti berikut: …………………………………………………………………… (4) Dimana Xij adalah arus perdagangan ekspor antara negara i dan negara j. Yi adalah GDP untuk negara i dan Yj untuk negara j. Dij sebagai jarak geografis antara
26
kedua negara. Model gravity semakin berkembang dan diperluas dalam menjelaskan arus perdagangan bilateral yang dapat dituliskan sebagai berikut : …………………………(5) Dimana adalah ekspor antara negara i dan j pada periode tertentu; adalah GDP untuk negara i;
adalah GDP untuk negara j;
adalah jarak
geografis antara negara i dan j; dan adalah Trade Policy Index (dapat berupa kebijakan perdagangan). Adapun variabel dependen dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu : 1. Variabel yang mewakili total permintaan potensial negara pengimpor. Beberapa alternatif yang dapat digunakan dalam menggambarkan total permintaan potensial negera pengimpor antara lain adalah GDP, populasi, GDP per kapita dan gabungan antara ketiganya. Representasi yang umum digunakan terhadap variabel total permintaan adalah pendapatan. Dalam penelitian ini digunakan GDP negara tujuan, karena selain merepresentasikan pendapatan, variabel ini merepresentasikan ukuran pasar di negara tujuan. Bachetta et al. (2007) menyebutkan bahwa sesuai dengan implikasi dari Armington Assumption, maka setiap produk diperdagangkan dan tiap negara melakukan perdagangan internasional dan dalam ekuilibrium, pendapatan nasional merupakan jumlah permintaan terhadap produk baik impor maupun domestik untuk setiap produk yang unik dan diproduksi tiap negara. Dengan alasan inilah, negara yang lebih besar (dalam ukuran ekonomi) akan mengimpor dan mengekspor lebih banyak. 2. Variabel indikator total penawaran potensial negara pengekspor. GDP negara asal merupakan pendekatan yang paling umum dan paling baik digunakan untuk menggambarkan sisi suplai. Namun demikian, selain GDP juga dimungkinkan untuk menggunakan nilai tambah (value added). Nilai tambah merupakan suatu pendekatan yang baik untuk menggambarkan diversifikasi produk, yang mewakili output tambahan yang dihasilkan dalam memproduksi barang yang lebih tinggi nilai ekonomisnya. Namun ada beberapa persyaratan untuk menggunakan nilai tambah. Kondisi pertama yaitu komposisi konten lokal. Saat komposisi konten lokal dan impor tidak berubah dimungkinkan untuk menggunakan nilai tambah. Namun demikian, data untuk kategori spesifik ini tidak tersedia. Kondisi yang kedua, untuk suatu kawasan dimana jaringan produksi sedang berkembang, penggunaan nilai tambah kurang sesuai. Dengan demikian, dalam penelitian ini GDP negara asal (GDP Indonesia) lebih sesuai untuk menggambarkan potensi penawaran diversifikasi ekspor kopi Indonesia. Selain itu, GDP Indonesia mewakili tingkat pertumbuhan ekonomi, dengan asumsi sesuai Imbs dan Wacziarg (2003) dan Hesse (2008), tingkat pertumbuhan ekonomi dapat mendorong tingkat efisiensi dan spesialisasi suatu negara. 3. Variabel-variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antara negara pengimpor dan negara pengekspor yang terdiri dari jarak ekonomi, perjanjian perdagangan (yang mewakili hambatan tarif dan non-tarif) dan nilai tukar. Jarak ekonomi merupakan pendekatan yang umum digunakan untuk menggambarkan biaya transportasi. Ini bersesuaian dengan ide pembahasan economic geography. Salah satu inisiasi dalam pembahasan economic geography adalah Krugman (1979). Krugman menjelaskan tentang
27
hubungan antara economic of scale, efek aglomerasi dan perdagangan internasional. Krugman (1980) menambahkan biaya transportasi sebagai faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional. Dengan demikian, Krugman (1991) menyimpulkan bahwa tidak ada pertentangan tentang asumsi pengaruh aspek geografis terhadap ekonomi secara eksternal serta bahwa secara alami, jarak mempengaruhi perdagangan melalui biaya transportasi dan bukan lainnya. Namun demikian, penggunaan jarak absolut geografis menjadi tidak relevan dalam menggambarkan biaya transportasi perdagangan antar negara, dengan demikian, penggunaan variabel jarak relatif semakin berkembang. Jarak ekonomi merupakan salah satu bentuk jarak relatif yang sering digunakan dengan pendekatan porsi GDP suatu negara terhadap kawasannya. Ide yang tertuang adalah bahwa perkembangan suatu negara akan membawa efek terhadap negara tetangga di kawasannya dan sebaliknya yang juga menjadi indikasi seberapa besar integrasi suatu negara dengan kawasannya secara ekonomi. Kerjasama/perjanjian perdagangan digunakan sebagai pendekatan yang menggambarkan hambatan baik tarif maupun non-tarif. Hambatan tersebut secara empiris terbukti mempengaruhi arus perdagangan antar negara dengan efek yang berbeda-beda. Kerjasama perdagangan dalam hal ini digambarkan dalam bentuk dummy, yang terutama menjadi alternatif utama karena tidak tersedianya data lengkap sepanjang periode pengamatan untuk Lebanon. Variabel nilai tukar juga telah terbukti secara empiris mempengaruhi aliran perdagangan antar negara. Secara teori, nilai tukar memberikan dampak pada harga relatif. Penggunaan nilai tukar pada model memungkinkan pembahasan hasil terkait daya saing yang menyangkut harga (price competitiveness). Nilai tukar yang dipergunakan umumnya adalah nilai tukar riil yang memperhitungkan tingkat harga domestik. Namun karena tidak tersedianya data consumer price index sebagai ukuran tingkat harga domestik untuk Lebanon, maka nilai tukar nominal merupakan alternatif yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian, model yang digunakan dalam penelitian ini dapat dituliskan sebagai berikut : Log(Xdit) = α + β1 Log(GDP_dt) + β2 Log(GDP_it) + β3 Log(cur) + β4 Log(ECODIS_di) + β5 AGREE + ԑijt ……………..……………. (5) Dengan : Xdit = nilai ekspor pada marjin ekstensif dari Indonesia ke Negara tujuan-d, untuk produk i dalam kategori HS 10 digit di tahun-t GDP_dt = GDP Negara tujuan di tahun-t = GDP Indonesia di tahun-t GDP_it cur = nilai tukar nominal antara Rupiah dan mata uang negara tujuan ECODIS_d = jarak ekonomi antara Indonesia dan Negara tujuan-d dengan rumus matematis sebagai berikut : ……………………………… (6) dengan :
28
DIS d = jarak ibu kota Indonesia dengan ibu kota negara d (km) GDPd = tingkat perekonomian negara d (US$) GDPkawasan = jumlah GDP kawasan pasar AGREE = dummy perdagangan bebas yang bernilai 1 bila Indonesia menjalani perjanjian perdagangan dengan negara tujuan-d (Sebagai proxy untuk tarif dan hambatan perdagangan lainnya) i = Indonesia (negara pengekspor) j = Negara tujuan diversifikasi ekspor produk kopi t = Periode penelitian tahun 1994-2013 (tahunan) α = Konstanta / intersep β1, β2, β3, β4, β5 = Parameter yang diestimasi = Error term Pemilihan dan Pengujian Model Dalam gravity model dari perdagangan bilateral, diperlukan pengujian asumsi pada data panel untuk mengetahui estimasi bias. Jika model yang terpilih berdasarkan uji Hausman adalah Random Effect Model (REM) maka estimasi dari model diasumsikan best linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama model BLUE (nonmulticolinierity, homoskedasticity, dan non-autocorelation). Hal ini dikarenakan dua alasan, yaitu: (1) sifat data panel adalah bebas dari gejala multikolinieritas; dan (2) REM adalah model generalized least square (GLS), dan estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah terbebas dari gejala autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variansi sisaannya konstan. Jika model yang terpilih adalah Fixed Effect Model (FEM) maka perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi sisaan, sebagai berikut: 1.
Uji Heteroskedastisitas Asumsi pertama yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE maka varian (ui) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua residual atau error memiliki varian yang sama. Kondisi itu disebut dengan homoskedastisitas. Apabila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode Breusch-Pagan Test. Jika nilai probabilitas (Prob>chi2) lebih besar dari α (0.05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Hipotesis dari uji heteroskedastisitas: H0 : Homoskedastisitas H1 : Heteroskedastisitas Hipotesis nol akan ditolak bila (Prob>chi2) < α atau nilai chi2 > nilai kritis t-tabel. 2.
Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu peubah atau korelasi antara error masa yang lalu dengan error pada saat ini. Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan. Autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari penduganya. Untuk melakukan uji autokorelasi pada data panel dapat menggunakan Wooldridge test. Jika nilai probabilitas (Prob>F) lebih besar dari α (0.05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi. Hipotesis dari uji autokorelasi:
29
H0 : tidak ada autokorelasi H1 : ada autokorelasi Hipotesis nol ditolak bila (Prob>F)<α. Pengujian parameter model bertujuan untuk mengetahui kelayakan model dan apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Pengujian parameter tersebut adalah sebagai berikut: 1. Uji-F Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi atau parameter model secara bersamaan. Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai F observasi > F tabel atau nilai probabilitas F-statistic < taraf nyata (α), maka keputusan menolak H0 signifikan. Dengan menolak H0 berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah tak bebas. 2.
Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis pada uji-t adalah : H0 : βi = 0 Vs H1 : βi ≠ 0. Keputusan dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel atau dengan melihat nilai probabilitas dari t-hitung. Jika nilai t-hitung > t-tabel atau jika nilai probabilitas t < α=0,05 maka keputusan menolak H0 adalah signifikan. Kesimpulannya adalah peubah bebas secara parsial signifikan mempengaruhi peubah tak bebas. 3.
2
Koefisien Determinasi (R ) Koefisien determinasi (Goodness of Fit) merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi hasil estimasi. Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari peubah bebas Y dapat diterangkan oleh peubah tak bebas X dengan nilai berkisar antara 110. Semakin tinggi nilai koefisien determinasi maka model akan semakin baik. Keputusan untuk memilih model yang digunakan dalam analisis data panel didasarkan pada uji Hausman. Uji Hausman dilakukan untuk memilih apakah model yang digunakan Fixed Effect atau Random Effect (Firdaus, 2011). Digunakan model Fixed Effect apabila statistik uji yang dihasilkan tolak H0 dan menggunakan Random Effect apabila tidak tolak H0. Model persamaan diolah menggunakan STATA 12. Setelah didapatkan hasil estimasi, maka tahap selanjutnya adalah perumusan rekomendasi kebijakan. Bersama dengan analisa data kualitatif, hasil dari permodelan akan menjadi dasar analisis perumusan kebijakan pengembangan diversifikasi ekspor di Indonesia. Adapun kerangka penelitian digambarkan pada Gambar 8.
30
Analisis Deskriptif Kinerja Ekspor
Definisi Data
Dekomposisi Marjin Ekspor
Marjin Intensif
Marjin Ekstensif
Model Gravity
Analisis Deskriptif
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 8. Kerangka penelitian
31
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Ekspor Kopi Indonesia Ekspor Biji Kopi Indonesia Menurut Gresser dan Tickell (2002), coffee crisis di periode 1999-2004 paling tidak disebabkan oleh empat hal yaitu : (1) perubahan struktur menjadi keterbukaan pasar, (2) kekuatan yang tidak seimbang di pasar antara industri hulu dan hilir, (3) teknologi baru yang menyebabkan kualitas kopi yang diperdagangkan secara umum menurun namun produksi meningkat (yang antara lain disebabkan masuknya Vietnam sebagai pemain baru, terutama untuk kopi jenis robusta dan Brazil yang berusaha meningkatkan eksistensinya), dan (4) tidak ada alternatif lain bagi pelaku usaha on-farm/kegagalan pembangunan pedesaan (yang melibatkan petani kopi). Imbas yang terjadi akibat krisis tersebut berbeda-beda di seluruh negara produsen tergantung dari seberapa besarnya kebergantungan ekspor suatu negara produsen terhadap komoditas kopi (biji kopi). Cukup banyak literatur membahas tentang imbas coffee crisis, terutama di negara Afrika yang mengalami ketergantungan tinggi terhadap ekspor biji kopi walaupun imbasnya terhadap pelaku usaha kopi di Indonesia tidak terlalu ramai dibahas. Beberapa faktor mempengaruhi kebergantungan ekspor Indonesia terhadap biji kopi. Salah satu faktor eksternal yang berpengaruh adalah ketimpangan kekuatan di pasar. Secara global ada sekitar 70 negara penghasil kopi yaitu negara berkembang di kawasan Amerika Latin, Afrika dan Asia. Produksi negara penghasil tersebut mencapai 90 persen dari total produksi kopi dunia. Di sisi lain, konsumsi kopi didominasi oleh negara tradisional yang umumnya negara industri maju (terkecuali di Brazil, dimana konsumsi kopi juga besar) terutama Amerika dan Eropa. Dengan demikian, hubungan antara produsen dan konsumen terbagi menjadi dua blok yaitu Utara-Selatan (industri maju-negara berkembang).
Sumber : Talbot (1997, pp. 65-67) dalam Ponte, 2002 Gambar 9 Distribusi pendapatan kopi Semenjak terjadinya peralihan kepada mekanisme pasar, terjadi ketimpangan kekuatan dalam pasar antara industri hulu (negara produsen) dan hilir (di negara konsumen). Secara global, kekuatan beralih kepada negara
32
konsumen (Gambar 9). Sebelum diberlakukan liberalisasi pasar, negara produsen masih memperoleh sekitar 20 persen dari total pendapatan sektor kopi, yang terdiri dari harga untuk petani dan nilai tambah di negara produsen. Sedangkan setengah dari pendapatan total sektor ini dinikmati konsumen. Namun demikian, proporsi ini terus menurun dengan harga yang diterima petani semakin rendah dan negara produsen semakin kehilangan kekuatan dalam meningkatkan nilai tambah produk kopi. Sementara di negara konsumen industri kopi justru terus berkembang, yang didorong perkembangan kopi olahan. Ketidakseimbangan ini juga dapat ditelusuri dari struktur mata rantai pemasaran kopi (Gambar 10). Secara global, kopi memiliki rantai yang cukup panjang sejak dipanen pelaku on-farm/petani hingga dapat dikonsumsi oleh konsumen. Sejak liberalisasi pasar kopi, peran negara sebagai marketing board dihapus dan ekspor dapat dilakukan oleh perusahaan secara pribadi. Umumnya negara produsen mengekspor kopi dalam bentuk biji yang kemudian diperdagangkan oleh international trader dan diolah di negara konsumen oleh roaster/pengolah menjadi kopi sangrai dan ekstrak dan dipasarkan melalui retail, supermarket, restoran dan kafe.
Keterangan : Garis putus-putus merupakan struktur sebelum masa liberalisasi Sumber : Ponte, 2002 Gambar 10 Struktur umum rantai pemasaran kopi secara global
33
Setelah periode liberalisasi pasar, fluktuasi harga juga dipengaruhi oleh spekulasi pada pasar berjangka. Ini menyebabkan terjadinya tingkat konsentrasi yang semakin tinggi bagi pemain di pasar, terutama tiga kekuatan besar yaitu pengimpor, pengolah dan retailer. International trader semakin terpusat pada beberapa perusahaan saja. Sebanyak enam perusahaan menguasai hampir 50 persen perdagangan kopi, antara lain dua teratas yaitu Neumann dan Volcafe menguasai 29 persen perdagangan (Ponte, 2002). Di level pengolah, beberapa perusahaan internasional ternama (roaster) seperti Nestle, P&G/Smucker, Kraft, Sara Lee, Tchibo, dan Lavazza mendominasi hampir separuh pasar kopi dunia tahun 2009 (Wendelspiess, 2010). Para pemain di pasar berusaha untuk mengeruk keuntungan, dengan demikian, posisi produsen semakin terpojok. Kondisi-kondisi tersebut memiliki relevansi kuat dengan teori kebergantungan (dependency theory) yang menyatakan bahwa negara maju menjadikan negara berkembang sebagai sumber pasokan bahan mentah. Kebergantungan ekspor pada negara maju dapat menyebabkan kebergantungan pada ekspor bahan mentah/komoditas. Di dalam negeri, seiring dengan tingginya dominasi ekspor biji kopi, pola kebergantungan ekspor kopi Indonesia juga terjadi pada negara tujuan ekspor. Pada tahun 1994, ekspor biji kopi Indonesia ditujukan ke 39 negara tujuan ekspor, dengan 26 negara di antaranya adalah negara tradisional (negara yang budaya minum kopinya tinggi yang umumnya berada di kawasan Amerika dan Eropa dan Jepang) yang mencapai 68 persen dari total ekspor biji. Ekspor ke sepuluh negara tujuan utama menguasai 91,19 persen dari total ekspor biji kopi Indonesia. Perkembangan dalam periode sepuluh tahun menunjukkan bahwa pada tahun 2003, ekspor ditujukan ke 79 negara dengan komposisi negara tradisional menguasai sekitar 84 persen dari dari total ekspor biji. Ekspor ke sepuluh negara tujuan utama menguasai 76,76 persen dari total ekspor biji kopi Indonesia. Namun demikian, pada tahun 2013, konsentrasi ekspor kopi biji ke negara tradisional berkurang mencapai sekitar 63 persen dengan ekspor ke sepuluh negara tujuan utama mencapai 69,69 persen. Jumlah negara tujuan ekspor berkurang menjadi hanya 63 negara. Selain itu, secara internal, kebijakan Pemerintah mempengaruhi kebergantungan ekspor kopi Indonesia pada komoditas. Di dalam negeri, sejak diberlakukannya mekanisme pasar dan dihapusnya sistem kuota, maka praktis, peran negara sebagai marketing board tidak berfungsi lagi sehingga perdagangan kopi dapat dilakukan oleh eksportir lokal. Dengan demikian, untuk menjaga agar produk yang diekspor dapat bersaing dari segi harga, ditetapkanlah pajak ekspor kopi biji sebesar nol persen. Di sisi lain, berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-25/PJ/2003, kopi olahan yang diekspor dikenakan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 10 persen. Dalam prakteknya, hal ini turut menyebabkan ekspor tetap bertahan dalam bentuk kopi biji atau komoditas yang terus terjadi hingga saat ini karena para pengusaha berlomba mengekspor kopi dalam bentuk biji untuk memanfaatkan celah dari selisih pajak tersebut. Namun demikian, guna meningkatkan peran ekspor produk olahan, ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dan Implikasi Perpajakannya Berdasarkan Putusan MA No. 70P/HUM/2013 dan Surat Edaran
34
Direktur Jenderal Pajak Nomor.SE-24/PJ/2014 Tanggal 25 Juli 2014, dimana produk kopi biji dan kopi sangrai dalam bentuk biji dikenakan PPN 10 persen. Secara global, berdasarkan jenisnya, kopi yang dikonsumsi dan diperdagangkan secara komersial dibedakan menjadi dua jenis, yaitu arabika dan robusta. Konsumsi kopi dunia didominasi jenis arabika sekitar 70 persen dari total konsumsi dunia sedangkan 30 persen sisanya adalah konsumsi robusta. Selera pasar ini tercermin juga dari produksi kopi dunia. Total produksi arabika di tahun panen 1989/1990 yang mencapai 72,5 persen dari total produksi dunia sedangkan 27,5 persen sisanya adalah jenis arabika. Namun demikian, proporsi ini menurun di tahun 2012/2013. Saat ini, produksi arabika diperkirakan mencapai 61,3 persen dari total produksi dunia sedangkan sisanya adalah produksi robusta (ICO, 2015). Di Indonesia, ada dua jenis kopi yang diproduksi dan diperdagangkan secara komersil, yaitu robusta dan arabika. Walaupun produktivitas kopi arabika Indonesia lebih tinggi dari kopi robusta, dan selera pasar dunia didominasi arabika, produksi Indonesia saat ini didominasi oleh robusta, sekitar 79-97 persen dari total produksi kopi di Indonesia selama periode 1999-2010 (AEKI, 2014). Produksi robusta pada tahun 2010 mencapai 86,51 persen dari total produksi kopi. Besarnya produksi jenis robusta dan kurang berkembangnya produksi arabika saat ini antara lain karena secara teknis ketinggian lahan yang cocok untuk penanaman arabika masih berupa hutan. Selain itu, pemeliharaan kopi robusta cenderung lebih mudah dan lebih kecil resikonya untuk terpapar penyakit dan hama sehingga lebih sesuai dengan kondisi petani kopi di Indonesia. Dilihat dari segi harga, kopi dapat ditilik dari jenisnya. Dari dua jenis kopi yang diperdagangkan yaitu arabika dan robusta, berdasarkan klasifikasi ICO, kopi sebagai komoditas diklasifikasikan kembali menjadi empat jenis yaitu tiga jenis arabika yang terdiri dari Colombian milds, other milds, dan Brazilian natural serta jenis robusta. Dari keempat jenis tersebut, Colombian milds yang memiliki harga tertinggi, disusul oleh other milds, Brazilian natural dan terakhir adalah robusta. Perbedaan harga biji kopi robusta dan arabika mencuat selama periode mekanisme pasar. Menurut AEKI, saat ini kopi arabika yang diekspor Indonesia adalah arabika mutu 1 berdasarkan sistem cacat kopi dengan SNI nomor 01-2907-2008 yang mengikuti perkembangan pasar global, persyaratan internasional dan resolusi ICO No. 407 tentang coffee quality improvement program yang diluncurkan sejak tahun 2002. Namun demikian, untuk kopi jenis robusta masih didominasi mutu 4 (60 persen), mutu 5 dan mutu 6 (30 persen) dan hanya 10 persen dalam bentuk mutu 1 atau mutu 2, dalam skala mutu tertinggi hingga terendah : 1- 6. Dengan demikian, selain dari kebijakan perpajakan, terdapat indikasi permasalahan teknis yaitu pada kualitas biji kopi yang dihasilkan. Kualitas kopi yang diekspor turun dalam lima tahun terakhir, sehingga walaupun harga kopi secara internasional meningkat dan volume ekspor Indonesia meningkat, nilai ekspor justru turun. Dengan demikian, selain bergantung pada volume ekspor, nilai ekspor juga bergantung pada harga internasional, kualitas dan kebijakan yang diterapkan. Salah satu solusi terkait pengembangan ekspor biji kopi adalah meningkatkan produksi specialty coffee (kopi kualitas tinggi dan memiliki sifat
35
rasa yang unik karena berasal dari daerah tertentu). Indonesia memang memiliki keunggulan kekuatan dengan menjadi satu-satunya negara produsen kopi yang memiliki kopi spesialti terbanyak di dunia. Beberapa nama kopi spesialti Indonesia yang telah dikenal di manca negara dan menjadi bagian dari menu origin di Cafe di kota-kota besar dunia diantaranya adalah Gayo Coffee, Mandheling Coffee, Java Coffee, dan Toraja Coffee. Sedangkan beberapa nama yang saat ini sudah mulai dikenal diantaranya adalah Bali Kintamani Coffee, Flores Coffee, Prianger Coffee, dan Papua Coffee (AEKI, 2015). Namun demikian, dari segi harga, kopi spesialti memang memiliki harga yang lebih tinggi. Permintaan akan kopi spesialti memang meningkat, namun untuk pemasaran Indonesia mengalami kebergantungan. Diperkirakan 60-80 persen dari ekspor kopi jenis arabika Indonesia dijual ke pembeli tunggal yaitu Starbucks Coffee (Ottaway, 2007). Ekspor Kopi Olahan Indonesia Untuk kopi olahan, setidaknya terdapat dua jenis kelompok berdasarkan industrinya, yaitu kopi sangrai (roasted coffee) dan ekstrak kopi (extract coffee). Biji kopi arabika terutama digunakan sebagai bahan kopi sangrai sedangkan kopi robusta digunakan sebagai bahan dasar kopi ekstrak dan esspresso. Arabika lebih disukai karena rasa dan aroma khas yang dimilikinya yang cenderung asam dan berbeda dengan robusa yang cenderung getir. Arabika cenderung lebih digemari oleh konsumen yang tingkat minum kopinya tinggi, sedangkan robusta lebih digemari oleh konsumen yang terbiasa meminum teh. Karakteristik unik ini mempengaruhi tipe dan geografis konsumen untuk produk kopi. Kopi sangrai arabika lebih disukai oleh konsumen yang sehari-hari memiliki budaya minum kopi hingga konsumsi per kapitanya juga tinggi. Negara-negara tersebut antara lain di kawasan Eropa, Amerika, Jepang, dan negara maju lainnya, terutama berada di belahan utara bumi. Sebaliknya, kopi ekstrak lebih digemari oleh konsumen di negara-negara yang lebih banyak minum teh, antara lain kawasan Asia-Pasifik, Russia dan Australia. (Gambar 11).
36
Sumber : Washington Post, 2015 Gambar 11 Geografi konsumsi kopi dunia Mengacu pada prediksi International Coffee Organization (ICO), permintaan kopi naik dua hingga tiga persen setiap tahunnya. Darimana permintaan tersebut berasal? Konsumsi kopi di negara tradisional telah mencapai tahap mature yang ditandai dengan pangsa yang tinggi namun perkembangannya sangat kecil dan umumnya telah membentuk selera pasar tersendiri. Sedangkan pendorong pertumbuhan konsumsi kopi di dunia adalah negara produsen, sekitar 70 negara, umumnya negara berkembang di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika, serta negara berkembang lainnya yang tidak memproduksi kopi seperti di Timur Tengah. Dengan demikian, ini mengimplikasikan bahwa permintaan akan kopi ekstrak bisa menjadi pendorong pertumbuhan. Distribusi konsumsi tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
Keterangan Sumber
: Daftar negara dalam kategori traditional market terdapat pada Lampiran 8 : ICO, 2014 Gambar 12 Konsumsi kopi dunia
37
Kopi Sangrai Proses menyangrai kopi mengubah biji kopi baik secara fisik maupun kimiawi. Proses inilah yang mengeluarkan rasa dan aroma dari kopi. Biji kopi menjadi bahan baku kopi sangrai, yang terutama didominasi jenis arabika. Saat ini, varian ekspor kopi sangrai semakin bertambah seiring dengan semaraknya gerai kopi secara global dan meningkatnya teknologi. Namun umumnya kopi arabika yang dominan digunakan, sedangkan robusta hanya sebagai campuran. Di Indonesia, pangsa ekspor kopi sangrai sangat rendah. Pangsa ekspor kopi kelompok ini menguasai 0,1-1 persen dari total ekspor kopi Indonesia periode 1994-2013. Pada tahun 2013, pangsa ekspor kopi sangrai terhadap total ekspor kopi Indonesia hanya mencapai 0,5 persen. Nilai ekspor dan volumenya cenderung fluktuatif, terutama periode 2001-2008, namun pada periode 20112013, baik volume dan nilai ekspor meningkat. Dapat dilihat pada Gambar 13, ekspor kopi sangrai Indonesia sangat fluktuatif dan kuantitasnya tidak selalu merepresentasikan nilai ekspor.
Sumber : BPS, 2014 Gambar 13 Ekspor kopi sangrai Indonesia, 1994-2013 Pangsa ekspor yang rendah ini terutama disebabkan karakteristik kopi sangrai itu sendiri. Biji kopi dalam bentuk green bean memiliki sifat yang lebih stabil dari kopi sangrai dan lebih tahan lama. Hal ini karena setelah disangrai dengan suhu yang tinggi, maka akan dimulai proses munculnya rasa yang tidak diinginkan dan akan cepat kehilangan kesegarannya (Gambar 14). Dengan demikian, proses menyangrai cenderung dilakukan di area/kawasan yang dekat dengan konsumen kopi sangrai, karena hemat waktu distribusi dan waktu simpan menjadi lebih lama. Umumnya kopi sangrai dilakukan dalam skala besar oleh roaster. Namun, terdapat juga ceruk pasar yang mengolah biji kopinya sendiri di rumah. Secara geografis, perdagangan kopi sangrai banyak dilakukan antar negara konsumen, dalam hal ini perdagangan kawasan utara-utara.
38
Sumber : http://chartsbin.com/view/2133 diakses pada Agustus 2015 Gambar 14 Tahapan pengolahan dan jenis kopi sangrai Alasan teknis lainnya adalah karena produksi kopi arabika rendah proporsinya terhadap ekspor kopi Indonesia, padahal kopi arabika merupakanbahan baku kopi sangrai. Selain karena alasan teknis tersebut, alasan ekonomis mengapa ekspor kopi sangrai tidak dapat berkembang adalah karena tingginya konsentrasi persaingan di tingkat roaster. Kondisi ini sulit untuk dipecahkan oleh Indonesia atau negara produsen manapun, sehingga ekspor kopi dalam bentuk sangrai memang secara natural sulit untuk dikembangkan. Dengan demikian, perdagangan kopi secara luas antar benua di dunia umumnya dalam bentuk biji kopi dan kopi ekstrak. Kopi Ekstrak Secara umum, kopi ekstrak terdiri dari lima kelompok HS sepuluh digit, atau tiga kelompok HS 6 digit yaitu HS 210111, HS 210112 dan HS 090190. (Sebelum tahun 1997, HS 090190 terdiri dari dua HS yaitu HS 090130 dan HS 090140. Karena proporsinya sangat kecil dalam perdagangan internasional produk kopi, maka tidak memberikan dampak besar bila dikelompokkan pada biji kopi atau kopi olahan). HS 210111 dan HS 210112 berada pada kelompok empat digit SITC yang sama, artinya industri memiliki karakteristik yang sama dan dimungkinkan untuk dengan relatif mudah berpindah dari HS 210111 ke HS 210112. Pangsa ekspor kopi olahan yang rendah dialami oleh Indonesia. Namun demikian, setelah tahun 2007, ekspor kopi olahan berupa kopi ekstrak Indonesia mengalami perkembangan pesat. Saat ini Indonesia sedang mengembangkan industri ekstrak kopi secara bertahap, baik untuk domestik maupun ekspor. Berbeda dengan kopi sangrai yang berbahan dasar kopi jenis arabika, kopi ekstrak dan kopi espresso menggunakan bahan baku kopi jenis robusta. Dengan demikian, suplai bahan baku untuk pengolahan biji kopi menjadi kopi ekstrak cukup terjamin. Jika dilihat dari nilainya, perkembangan volume dan nilai ekspor kopi ekstrak memiliki korelasi yang sangat kuat (Gambar 15). Berbeda dengan ekspor biji kopi dan kopi sangrai yang bergejolak tinggi. Dengan demikian, kuantitas yang diekspor dapat merefleksikan nilai ekspor yang diperoleh hingga berkurang resiko dari pergerakan harga/unit value. Dilihat dari trennya, baik volume
39
maupun nilai, ekspor kopi ekstrak mengalami peningkatan sejak tahun 1994-2013, walaupun terjadi penurunan di tahun 2012-2013. Kopi ekstrak secara umum berbahan baku utama kopi jenis robusta dan berdasarkan selera yang dipisahkan secara geografis, tidak digemari oleh konsumen di negara-negara Amerika dan Eropa yang paling banyak mengkonsumsi kopi (kecuali Eropa Selatan yang tidak terlalu pemilih), namun umumnya lebih digemari konsumen di negara berkembang.
Sumber : BPS, 2014 Gambar 15 Ekspor ekstrak kopi Indonesia, 1994-2013 Dekomposisi Ekspor Selama periode 1994-2013, produk ekspor kopi dan turunannya beberapa kali mengalami konversi/penyesuaian kode HS. Penyesuaian pada pos tarif nasional yang terjadi secara menyeluruh adalah perubahan dari HS sembilan digit ke HS sepuluh digit pada tahun 2007 yang diberlakukan pada pencatatan pada tahun 2008. Sedangkan perubahan lain adalah perubahan parsial di beberapa pos tarif saja, antara lain di tahun 1996 untuk produk kulit kopi dan tahun 2012 untuk produk ekstrak kopi. Namun demikian, secara umum produk kopi dalam kategori HS empat digit tidak mengalami perubahan yaitu tetap berada dalam kategori HS 0901 dan HS 2101. Perubahan pada level enam digit hanya terjadi untuk produk kulit kopi (coffee husk and skin) yang mengalami penggabungan di tahun 1996 (HS 090130 digabung dengan 090140 menjadi 090190) atau pada kategori HS sembilan digit, HS 090130000 digabung dengan HS 090140000 menjadi HS 09019000). Penggabungan merupakan hal yang umum dilakukan bila nilai ekspor terlalu kecil untuk dilaporkan secara rinci dan umumnya dilakukan pada pos tarif nasional. Selain penggabungan, beberapa produk juga dipecah menjadi beberapa produk yang lebih rinci. Contohnya HS 2101120000 yang diperinci menjadi 2101121000 dan 2101129000 pada tahun 2012. Biji kopi meliputi delapan kategori HS sembilan digit yang berada pada sub-heading HS 090111 dan 090112 dan empat kategori HS sepuluh digit. Kopi sangrai meliputi empat kategori HS (baik sembilan dan sepuluh digit yang berada pada sub-heading HS HS 090121, dan HS 090122; sedangkan ekstrak kopi meliputi lima kategori HS Sembilan digit dan empat kategori HS sepuluh digit yaitu pada sub-heading HS 090190, dan HS 210110 dan HS 210112. Selama
40
periode 1994-2013, terdapat sepuluh kategori HS produk ekspor kopi yang bertahan. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 5. Proses dekomposisi ekspor membagi pertumbuhan ekspor ke dalam marjin intensif yang menandakan terjadinya konsentrasi, marjin ekstensif yang menandakan terjadinya diversifikasi dan marjin hilang yang berasal dari hilangnya negara atau HS produk kopi tertentu dari ekspor kopi Indonesia. Seluruh produk kopi dan turunannya berdasarkan klasifikasi HS yang diamati merupakan ekspor aktif (nilainya selalu positif selama periode 1994-2013). Walaupun dengan peningkatan ekspor mengindikasikan adanya diversifikasi di tingkat mikro, namun secara nasional tidak tercatat adanya ekspor produk baru (asumsi heterogenitas Melitz tidak dapat digunakan). Dengan demikian, seluruh ekspor termasuk dalam kategori produk lama (PL) dan perbedaan antara marjin ekstensif dan intensif ditandai dari ekspor ke negara tujuan (DL atau DB). Ekspor ke negara tujuan baru menandakan marjin ekstensif dan ekspor ke negara tujuan lama menandakan marjin intensif.
Gambar 16 Komposisi marjin ekspor produk kopi, 1994-2013 Secara total terdapat 18 jenis produk ekspor kopi yang diekspor Indonesia dalam kategori HS sembilan digit pada tahun 1994. Namun demikian, selama tahun 2008 hingga tahun 2013, hanya terdapat 15 jenis produk dalam kategori HS sepuluh digit. Tercatat ada enam kelompok HS sembilan digit yang hilang, namun ada penambahan tiga kelompok HS sepuluh digit yang berupa pemecahan dari HS sembilan digit. Selama periode 1994-2013, terdapat sepuluh kategori HS produk ekspor kopi yang bertahan. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 3.
Marjin Intensif Marjin intensif untuk produk kopi dan turunannya di Indonesia dijelaskan melalui ekspor produk lama, terutama biji kopi ke negara tujuan lama yang meliputi sepuluh kategori HS bertahan. Pada Gambar 16 dan 17 dapat dilihat bahwa marjin intensif menjelaskan pertumbuhan atau penurunan ekspor kopi secara dominan, yaitu berkisar antara 83-98 persen. Namun demikian proporsi ini memiliki kecenderungan berkurang, seiring dengan peningkatan peran marjin ekstensif terutama setelah tahun 2006.
41
Gambar 17 Pertumbuhan ekspor kopi berdasarkan marjin ekspor
Marjin Ekstensif Walaupun sebagian besar pertumbuhan ekspor dijelaskan melalui marjin intensif, namun terdapat perkembangan dari marjin ekstensif yang menandakan diversifikasi ekspor. Pada tahun 2010-2011, marjin ekstensif meningkat hingga 11-15 persen, mendorong kontribusi marjin intensif menjadi 88 dan 83 persen. Secara umum, marjin ekstensif memang bernilai kecil. Bachetta et al. (2006) menjelaskan bahwa terdapat paling tidak dua alasan mengapa marjin ekstensif kecil, yaitu teknis dan substansial. Alasan substansial yaitu, suatu produk yang diekspor pada tahun pertama menjadi produk baru namun tidak demikian pada tahun-tahun berikutnya. Alasan teknis adalah karena sulitnya produk baru untuk masuk ke pasaran dan bertahan. Selain itu, dengan semakin terbukanya perdagangan, dapat dikatakan semua produk telah diperdagangkan dengan semua negara. Namun, menurut Amiti dan Freund (2007) yang menganalisa komposisi pertumbuhan ekonomi Cina, selama periode 1996-2006, ekonomi Cina tumbuh 450 persen yang salah satunya didukung pertumbuhan ekspor manufaktur. Sebanyak 5-15 persen pertumbuhan ekspor Cina dijelaskan melalui marjin ekstensif. Dengan demikian, walaupun bernilai kecil namun peran marjin ekstensif dapat menjadi pendorong pertumbuhan, terutama melalui diversifikasi produk ekspor. Dari tiga kelompok produk kopi, semua kelompok mengalami diversifikasi negara tujuan ekspor (Gambar 18). Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, negara baru didefinisikan sebagai negara tujuan ekspor sejak tahun 2003 dan setelahnya (2003-2013) yang ditunjukkan dari nilai ekspor positif minimal lima kali dalam periode tersebut. Dengan demikian, diversifikasi ekspor baru tercatat dalam statistik tahun 2003.
42
Gambar 18 Diversifikasi negara tujuan ekspor untuk produk kopi Untuk biji kopi, diversifikasi negara tujuan ekspor terjadi ke dua negara yaitu Latvia dan Israel (dibawah HS 0901111000). Diversifikasi ekspor kopi sangrai terjadi di delapan Negara yaitu Guam, Belgia, Brunei Darussalam, Jordan, Spanyol, Turki, Bulgaria, Yunani dan Lebanon (dibawah HS 090121000 dan HS 090122100). Karena ekspor biji kopi Indonesia cakupannya luas, dengan demikian hanya sedikit Negara yang belum menjadi tujuan ekspor sedangkan untuk kopi sangrai yang terjadi adalah sebaliknya. Diversifikasi ekspor kopi ekstrak terjadi ke 15 negara tujuan ekspor yaitu Belgia, Lebanon, Saudi Arabia, Spanyol, Guinea, Laos, Libya, Mali, Mongolia, Micronesia, Papua Nugini/Papua Guinea Baru, Timor Leste, Tanzania, Cina dan Filipina (dibawah dua HS, yaitu HS 210111000 dan HS 210112000). Secara umum, produk kopi ekstrak bersifat tahan lama, dalam bentuk bubuk siap pakai dan bersifat instan. Perbedaannya adalah kopi dari HS 210112000, mengandung campuran, misalnya gula, susu atau perasa lainnya. Walaupun didominasi negara berkembang, namun tidak semua negara tujuan ekspor baru merupakan negara berkembang. Belgia dan Spanyol merupakan dua diantaranya. Jika dilihat dari pertumbuhannya selama periode 2005-2013, diversifikasi negara tujuan ekspor ketiga kelompok produk tersebut berfluktuasi dengan tren yang cenderung menurun. Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa diversifikasi ekspor kopi olahan, terutama kopi ekstrak memiliki pola yang berbeda dengan diversifikasi negara tujuan ekspor kopi biji. Saat pertumbuhan diversifikasi negara tujuan ekspor kopi ekstrak meningkat, pertumbuhan diversifikasi ekspor kopi biji justru menurun dan sebaliknya.
43
Gambar 19 Pertumbuhan diversifikasi ekspor produk kopi Walau kelompok produk kopi biji dan kopi sangrai terdiversifikasi di beberapa negara tujuan ekspor baru, namun sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, diversifikasi ekspornya tidak berpotensi untuk berkembang dengan baik. Dari ketiga kelompok produk kopi tersebut, diversifikasi ekspor banyak didorong oleh kopi ekstrak ke negara tujuan baru. Dengan demikian, diversifikasi ekspor kopi ekstrak yang berpotensi menjadi pendorong pertumbuhan ekspor kopi Indonesia. Adapun rincian diversifikasi negara tujuan ekspor tersebut dapat dilihat pada Lampiran 7. Tujuan ekspor utama untuk produk ekstrak kopi Indonesia adalah Asia, terutama Filipina. Ekspor produk ekstrak kopi Indonesia ke Filipina dimulai di tahun 2003 sebesar US$ 43 ribu. Dengan tren sebesar 71,16 persen per tahun, ekspor tersebut pada tahun 2013 mencapai US$1,23 juta. Filipina sendiri merupakan net-importir kopi dengan pertumbuhan konsumsi terbesar di Asia Tenggara. Tujuan lainnya adalah Cina yang konsumsi domestiknya didominasi produk ekstrak. Walaupun terkenal sebagai negara teh, kopi masuk diiringi terbukanya ekonomi Cina dan perilaku meniru budaya barat. Euromonitor memperkirakan pasar kopi di Cina mendekati 50 milyar RMB di tahun 2018. Ekspor Indonesia untuk produk ekstrak kopi dimulai pada tahun 2008 sebesar US$ 48 ribu dan mencapai US$ 3,93 juta pada tahun dengan pertumbuhan per tahun mencapai 151,59 persen selama 2008-2013. Selain Asia, Timur Tengah yang diwakili Lebanon juga merupakan salah satu negara tujuan untuk produk kopi ekstrak Indonesia. untuk produk ekstrak kopi, nilai ekspor Indonesia ke Lebanon sebesar US$ 26 ribu dimulai di tahun 2006, dan tumbuh sebesar 89,09 persen per tahun selama periode 2006-2013, sehingga mencapai US$ 4,54 juta. Berdasarkan Euromonitor, Lebanon merupakan pasar potensial di masa mendatang, terutama untuk produk konsumsi. Ketiga negara tersebut juga merupakan importir penting produk kopi ekstrak di bawah kategori HS 210112000 (Preparations with a basis of extracts, basis of coffee). Secara global, impor kopi ekstrak dimaksud dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
44
Tabel 1.
Impor dunia untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee) Nilai Impor (Ribu US$)
No.
1 2 32
Importir Dunia Philippines China Lebanon Lainnya
2012 1,491,346 84,733 41,140 13,640 1,347,442
2013
2014
1,609,391 77,326 62,184 12,429 1,454,565
1,750,599 147,725 142,654 18,183 1,442,037
Pangsa (2014) % 100 8.4 8.1 1.0 82.4
Tren % (20012014) 15.4 32.6 43.4 23.6 14.4
Sumber : Trademap, 2015 (diolah) Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu eksportir terbesar untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee) ke ketiga negara tersebut. Selama periode 2010-2014, terjadi peningkatan impor Filipina untuk kategori produk dimaksud dengan tren rata-rata 58,4 persen per tahun. Tren tersebut terutama bersumber dari peningkatan impor di tahun 2013-2014. Peningkatan impor di tahun 2014 direspon dominan oleh Indonesia dengan sekitar 90 persen impor Filipinas untuk kategori produk dimaksud berasal dari Indonesia. Asia merupakan eksportir terbesar ke Filipina. Adapun data impor Filipina dimaksud dapat dilihat pada Tabel 2. Impor Cina untuk kategori produk dimaksud dari Indonesia menduduki peringkat keempat. Tiga negara pemasok terbesar adalah Malaysia, Korea Selatan dan Cina sendiri dengan pangsa masing-masing di atas 20 persen. Tren impor dalam periode 2010-2014 mencapai rata-rata 57,6 persen per tahun. Pada tahun 2014, impor meningkat menjadi lebih dari dua kali lipat nilai impor tahun sebelumnya. Hal ini terutama menguntungkan tiga negara yaitu Korea Selatan, Indonesia dan Colombia dengan tren di atas 100 persen. Adapun Cina sebagai sumber impor bagi Cina sendiri dijelaskan melalui proses re-impor. Tabel 2. Impor Filipina untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Eksportir World Indonesia Thailand Malaysia Singapore China United Kingdom United States Viet Nam Korea, Republic of Hong Kong, China Lainnya
Nilai Ekspor (Ribu US$) 2012 2013 2014 84,733 77,326 147,725 64,505 64,982 132,836 14,770 8,584 10,077 2,389 2,749 3,384 2,396 513 1,093 508 372 253 100 103 26 55 6 25 2 0 15 0 1 7 0 3 6 8 13 3
Sumber : Trademap, 2015 (diolah)
Tren 20102014 (%) 58.4 77.5 118.5 -9.2 -32.4 42.8 -18.4 -52.0
Pangsa 2014 (%) 100 89.9 6.8 2.3 0.7 0.2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
45
Penjelasan mengenai hal ini memiliki hubungan dengan economic geography. Impor Cina dari Cina umumnya 90 persen diproduksi di Cina, kemudian di ekspor ke Hongkong dan diekspor kembali ke Cina, terutama melalui Provinsi Guangdong. Latar belakang geografis dan logistik adalah dua hal yang mengarahkan pola perdagangan ini. Hal ini juga berhubungan dengan peran Hongkong sebagai lokasi pihak manajemen perusahaan multinasional dan pusat distribusi untuk Cina dimana administrasi dan pengurusan perdagangan banyak dilakukan di Hongkong.7) Adapun statistik impor Cina dimaksud ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3. Impor Cina untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Eksportir World Malaysia Korea, Republic of China Indonesia Singapore Viet Nam Colombia United States Area Nes Taipei, Chinese Lainnya
Nilai Ekspor (Ribu US$) 2012 2013 2014 41,140 62,184 142,411 16,377 27,573 38,215 6,315 9,364 37,781 1,647 4,750 34,511 3,286 7,450 12,983 2,645 3,091 3,479 1,642 1,592 3,142 557 1,510 2,532 3,937 1,398 2,398 0 0 2,061 1,301 1,328 1,552 3,433 4,128 3,757
Tren 20102014 (%) 57.6 47.2 106.0 304.6 132.9 31.1 50.3 156.6 20.3 11.1 13.6
Pangsa 2014 (%) 100 26.8 26.5 24.2 9.1 2.4 2.2 1.8 1.7 1.4 1.1 2.6
Sumber : Trademap, 2015 (diolah)
7) Trademap, Frequently Asked Questions, Why is Cina an Importing Partner of Cina, http://www.trademap.org/stFAQ.aspx#li_Answer2_8, diakses pada Maret 2015
Tabel 4. Impor Lebanon untuk produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee) No
Eksportir
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
World Indonesia Thailand Singapore Korea, Republic of Malaysia Turki United States United Kingdom Germany Poland Lainnya
Nilai Ekspor (Ribu US$) 2012 2013 2014 13,640 12,429 18,179 1,433 2,883 5,367 3,425 2,179 4,306 1,678 2,085 3,913 861 1,542 1,255 3,522 1,668 635 111 543 564 271 498 444 238 266 360 110 65 314 2 0 205 1,989 700 816
Tren 20102014 (%) 11.4 81.8 6.2 26.5 125.3 -35.1 18.5 28.7 32.2 -
Pangsa 2014 (%) 100 29.5 23.7 21.5 6.9 3.5 3.1 2.4 2.0 1.7 1.1 4.5
46
Di pasar Lebanon, Indonesia merupakan eksportir terbesar produk kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (preparations with a basis of extracts, basis of coffee). Impor Lebanon dari Indonesia hampir 30 persen dari total nilai impornya untuk kategori produk dimaksud pada tahun 2014. Pada dua tahun sebelumnya, Indonesia merupakan eksportir ketiga terbesar setelah Thailand dan Singapore, namun dengan tren yang tinggi mengungguli kedua negara dimaksud. Dua negara tersebut merupakan pesaing kopi ekstrak Indonesia di pasar Lebanon. Tabel 5. Ekspor dunia untuk produk kopi ekstrak No
Eksportir
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Dunia Germany Brazil Malaysia Netherlands United Kingdom Indonesia Spanyol India Colombia Poland Lainnya
Nilai Impor (Ribu US$) 2012 2013 2014 7,084,788 7,199,618 6,938,212 1,084,763 1,053,691 989,571 722,524 677,621 609,171 381,248 404,806 395,821 179,179 284,143 362,827 404,307 335,477 349,049 317,342 294,407 320,895 329,831 316,293 316,318 277,299 284,948 292,425 250,399 243,838 221,312 179,026 210,698 215,294 2,958,870 3,093,696 2,865,529
Tren 20102014 (%) 7.0 3.5 1.3 13.5 80.9 0.7 15.0 4.2 14.4 -3.5 15.7 -1.6
Pangsa 2014 (%) 100 14.3 8.8 5.7 5.2 5.0 4.6 4.6 4.2 3.2 3.1 41.3
Sumber : Trademap, 2015 (diolah) Dilihat dari nilai ekspor dunia untuk produk kopi ekstrak secara umum, terutama HS 210111000 dan HS 210112000, potensi persaingan ekspor kopi ekstrak cukup tinggi karena pemasok dunia tidak hanya terdiri dari negara produsen, melainkan juga negara konsumen seperti negara Eropa. (Dengan kode SITC yang sama, kedua HS berada pada jenis industri yang sama. Implikasinya adalah relatif mudah untuk berpindah antar kedua HS tersebut. HS 210111000 merupakan komponen utama/bahan baku untuk HS 210112000). Dengan demikian, selain bersaing dengan negara produsen yang menjadi eksportir untuk kopi ekstrak antara lain Brazil dan Colombia, namun juga dengan negara pengolah. Namun demikian, ekspor kopi ekstrak dunia dan Indonesia mengalami pertumbuhan selama periode 2010-2014. Dengan laju permintaan impor dunia yang lebih tinggi dari laju permintaan ekspor, maka terdapat peluang untuk meningkatkan ekspor, terutama ke negara berkembang sebagai negara tujuan diversifikasi ekspor, karena selain laju impornya yang tinggi juga karena persyaratan produk ekspor untuk masuk ke negara berkembang relatif lebih mudah. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5. Marjin Hilang Marjin hilang didefinisikan sebagai ekspor kurang dari lima kali dalam 20 tahun periode pengamatan. Dengan kata lain dapat diartikan dengan gagalnya diversifikasi ekspor negara tujuan. Marjin hilang yang didefinisikan pada penelitian ini berasal dari negara tujuan ekspor, yang umumnya hanya menjadi
47
tujuan ekspor satu sampai dua kali dalam kurun waktu dua puluh tahun dan dari produk yang hilang dari pencatatan dalam sistem HS. Terdapat beberapa perbedaan dalam pencatatan kode HS sembilan digit dengan sepuluh digit untuk produk kopi. Pada HS sembilan digit, terdapat pembedaan dari sisi jenis kopi dan cara pengolahannya. Secara umum, produk kopi yang diekspor Indonesia adalah kopi jenis arabika dan robusta. Dari sisi pengolahannya, buah kopi diolah menjadi biji kopi melalui cara basah (West Indische Bereiding/WIB) atau cara kering (Oost Indische Bereiding/OIB). Perbedaan dari segi teknis tidak akan dibahas pada penelitian ini, namun perbedaan cara pengolahan memiliki implikasi pada sisi biaya. Pengolahan dengan cara basah (WIB) memiliki tahapan proses yang lebih panjang, antara lain fermentasi, pencucian dan pengeringan. Dengan demikian, maka pengolahan dengan cara basah memerlukan peralatan lebih dan biaya yang lebih mahal. Umumnya pengolahan dengan cara basah WIB dilakukan oleh perusahaan menengah besar, sedangkan cara kering dilakukan oleh perusahaan menengah kecil. Selain itu, pengolahan dengan cara basah WIB umumnya lebih dilakukan untuk kopi dengan jenis yang harganya lebih tinggi, yaitu arabika. Pengelompokkan dalam HS sembilan digit mengakomodir ekspor biji kopi menjadi tiga kelompok HS yaitu arabika OIB, arabika WIB, robusta OIB dan lainnya. Hanya ada dua periode dimana marjin hilang memiliki porsi yang cukup besar yaitu di awal pengamatan dan di pertengahan periode pengamatan (Gambar 14). Dari sisi produk, marjin hilang terutama dari dari kelompok produk kopi biji dan sangrai. Pada tahun 1995, ekspor biji kopi arabika OIB (HS 090112100), menghilang dari ekspor Indonesia. Namun selanjutnya pada tahun 1998, biji kopi arabika WIB (HS 090111200) mulai memasuki pasar ekspor. Namun demikian, nilai ekspornya terus turun hingga hanya memiliki pangsa 0,02 persen dari keseluruhan nilai ekspor kopi. Selain itu kopi kafein rendah robusta OIB pun tidak kompetitif di pasar ekspor. Nilainya terus menurun dengan tren penurunan 49,34 persen per tahun dari tahun 1994-2005. Produk ini pun tidak lagi diekspor sejak tahun 2007. Dengan demikian, ekspor Indonesia semakin terkonsentrasi ke ekspor kopi jenis robusta. Di tahun 2003-2004, marjin hilang berasal dari beberapa negara yaitu Spanyol, Turki dan Bulgaria. Saat itu, ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut untuk kategori kopi biji berhenti dilakukan.
Analisis Data Panel dengan Model Gravity Analisis gravity dilakukan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi ekspor produk kopi. Berdasarkan hasil dekomposisi didapatkan kesimpulan bahwa produk kopi olahan yang memiliki peluang untuk diversifikasi adalah kopi ekstrak. Dengan demikian, produk yang dipilih untuk pemodelan adalah kopi ekstrak di bawah HS 210112000 (Preparations with a basis of extracts, basis of coffee). Adapun negara tujuan diversifikasi ekspor kopi ekstrak yang dipilih terdiri dari tiga negara, yaitu Filipina, Cina dan Lebanon. Ketiganya dipilih berdasarkan
48
pertimbangan bahwa selain nilai diversifikasi ekspornya dari Indonesia tinggi (di atas US$ 1 juta), pertumbuhan ekspor Indonesia ke negara tersebut untuk HS dimaksud tergolong tinggi, dan nilai impornya dari dunia juga tinggi (Tabel 1). Selain itu, ketiga negara tersebut memiliki kesesuaian dengan geografi konsumsi kopi karena memiliki preferensi konsumsi kopi ekstrak. Dengan demikian, ketiga negara tersebut masih memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai tujuan diversifikasi ekspor kopi ekstrak. Analisis dengan model gravity dimulai dengan memilih estimasi, apakah PLS, FE atau RE dalam rangka memperoleh model yang layak dan estimasi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator), kemudian menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi diversifikasi ekspor kopi Indonesia. Model yang cocok diperoleh dilakukan uji kelayakan dan kecocokan model (goodness of fit). Untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE maka dilakukan juga pengujian asumsi dasar. Hasil estimasi yang menggunakan gravity model tersebut dilakukan dengan program software Stata 12. Hasil Estimasi Model Data Panel Analisis faktor yang mempengaruhi diversifikasi ekspor produk kopi ekstrak Indonesia ke negara tujuan ekspor utama menggunakan panel data statis pada gravity model dari tahun 1994-2013. Hasil uji Chow menunjukkan bahwa Fixed Effect Model (FEM) lebih baik daripada Pooled Least Square (PLS) yang dilihat dari nilai F-restricted (Prob>F=0,0095) yang terdapat pada hasil olahan STATA untuk fixed effect regression. Uji Breusch Pagan LM memberikan hasil bahwa Random Effect Model (REM) lebih baik dari PLS dengan nilai statistik sebesar 0,00 (Prob>chibar2=1,0000). Berdasarkan kedua pengujian tersebut, maka dilakukan uji Hausman untuk menentukan model FE atau RE yang akan digunakan pada penelitian ini. Hasil uji Hausman menunjukkan bahwa FEM merupakan model yang cenderung lebih baik dari REM dengan nilai statistik sebesar 0,46 (Prob>Chi Square=0,9935) sehingga model yang dipilih dalam penelitian ini adalah Fixed Effect Model. Uji Kelayakan dan Kecocokan Model (Goodness of fit) Hasil uji kelayakan ditunjukkan dari nilai probability (F-Statistic) model yang digunakan. Untuk model FEM yang dipilih Prob> F=0.0000 sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal terdapat satu variabel bebas yang mempengaruhi variabel tidak bebas dan model layak untuk digunakan. Uji kecocokan model (goodness of fit) ditunjukkan pada nilai koefisien determinasi (R2). Model menunjukkan nilai R2 sebesar 0,8455 yang berarti sebanyak 84,55 persen variasi variabel bebas mampu menjelaskan variabel tak bebas sebesar, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor-faktor lainnya diluar model. Uji Asumsi Dasar Uji asumsi dasar dilakukan untuk memperoleh estimasi yang bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator). Uji asumsi dasar ini meliputi uji multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Uji multikoleniaritas pada olahan STATA dapat dilihat dari nilai VIF. Jika nilai VIF lebih besar dari sepuluh, atau 1/VIF lebih kecil dari satu, maka model mengandung mulkoleniaritas. Dengan nilai Mean VIF yang lebih besar dari sepuluh (Mean VIF
49
= 14,83), dapat disimpulkan bahwa antar variabel yang diteliti terjadi multikolinearitas. Uji heteroskedastisitas dilihat dari hasil Modified Wald Test. Dari hasil uji, dapat dilihat bahwa model mengalami heteroskedastisitas yang ditunjukkan dengan nilai wald test (Prob>chi2 = 0,0000 dan chi2 (3) = 28,27) lebih kecil dari α (0,05). Uji autokorelasi dapat dilihat dari hasil Wooldridge test. Menurut hasil uji, model tidak mengandung autokorelasi yang ditunjukkan dengan nilai F-Stat (Prob>F = 0,1765 dan F(1,2) = 4,213) lebih besar dari α (0,05). Untuk mengatasi masalah heteroskedastik pada model FE yang dipilih, maka digunakan model panel FE dengan General Least Square (GLS) yang mengatasi pelanggaran asumsi tersebut. Multikolinieritas dalam output model penelitian ini tidak dianggap sebagai masalah karena dua kondisi yaitu koefisien bernilai signifikan dan penolakan terhadap hipotesis nol (bebas multikolinieritas) berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Solusi yang dikemukakan oleh Blanchard (1987) adalah tidak melakukan perubahan apapun terhadap model dengan multikolinieritas karena multikolinieritas adalah bagian dari definisi data itu sendiri dan bukan merupakan permasalahan dalam regresi. Dengan demikian selama output model dapat dijelaskan secara ekonomi, maka multikolinieritas dapat diabaikan. Adapun hasil output model terpilih dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Ringkasan output regresi diversifikasi kopi ekstrak menggunakan estimasi FGLS log_exp log_gdpd*** log_gdpind* dagree* log_ecodis log_cur* _cons
Coef. -3.286382 8.038894 3.183501 -.3568309 2.358064 -52.68523
z -1.43 3.56 4.98 -0.09 1.97 -4.41
P>z 0.152 0.000 0.000 0.929 0.049 0.000
Keterangan : Tanda *, **, *** secara berturut-turut menunjukkan signifikansi pada tingkat keyakinan 5, 10 dan 15 persen Dengan : exp gdpd gdpind dagree
ecodis cur
= nilai ekspor pada marjin ekstensif dari Indonesia ke Negara tujuan-d, untuk produk i dalam kategori HS 10 digit di tahun-t = GDP negara tujuan-d di tahun-t = GDP Indonesia di tahun-t = dummy kerjasama perdagangan bernilai 1 bila terdapat kerjasama perdagangan dengan negara tujuan di tahun-t dan bernilai 0 bila tidak terdapat kerjasama dengan negara tujuan di tahun-t = ecodis/ jarak ekonomi antara Indonesia dan Negara tujuan-d = nilai tukar nominal mata uang Indonesia dengan negara tujuan di tahun-t (Rp/LCU)
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Kopi Ekstrak Indonesia di Negara Tujuan Diversifikasi
50
Berdasarkan hasil pengujian model dengan menggunakan FGLS, diperoleh hasil bahwa nilai ekspor produk kopi ekstrak Indonesia ke tiga Negara tujuan diversifikasi dipengaruhi oleh GDP negara pengimpor, jarak ekonomi, nilai tukar, dan dummy perdagangan internasional (kebijakan FTA untuk Cina dan Filipina dalam kerangka ASEAN). Variabel GDP negara tujuan diversifikasi merupakan faktor yang mewakili variabel permintaan. Variabel ini secara teori memiliki hubungan yang positif dengan arus ekspor. Artinya saat pendapatan negara tujuan diversifikasi meningkat diharapkan permintaan akan ekspor dari Indonesia pun meningkat. Demikian juga halnya dengan variabel GDP Indonesia yang mewakili variabel pernawaran. GDP Negara Pengimpor Variabel GDP negara pengimpor diharapkan dapat mewakili aktivitas ekonomi, tingkat konsumsi dan daya beli masyarakat di negara tujuan ekspor. Secara teori, variabel ini diharapkan memiliki hubungan yang positif dengan nilai ekspor kopi ekstrak Indonesia di negara tujuan diversifikasi. Pada model, GDP negara pengimpor memiliki hubungan negatif terhadap arus perdagangan ekspor kopi ekstrak Indonesia. Hasil penelitian ini berseberangan dengan hipotesis awal bahwa pendapatan dan ukuran pasar akan meningkatkan permintaan akan produk kopi ekstrak Indonesia. Dengan nilai koefisien sebesar -3,28, dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peningkatan GDP negara pengimpor sebesar 1 persen maka pengaruhnya akan menurunkan ekspor kopi ekstrak Indonesia sebesar 3,28 persen, ceteris paribus. Peningkatan pendapatan yang terjadi pada negara pengimpor justru berdampak negatif terhadap diversifikasi ekspor produk kopi ekstrak Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa kopi ekstrak Indonesia merupakan barang inferior di negara tujuan diversifikasi. Beberapa penjelasan mengenai hal ini adalah bergesernya selera pasar, saat terjadi peningkatan pendapatan. Kopi berbahan dasar robusta seringkali dianggap sebagai kopi berkualitas rendah, terkait dengan rasa getir yang dimilikinya. Walaupun teknologi pengolahan kopi dan pencampuran (blending) saat ini sudah memungkinkan pengolah mengeluarkan rasa getir yang ada pada kopi robusta dan penggunaannya meningkat, namun robusta secara umum digunakan sebagai bahan campuran. Kopi arabika merupakan kopi yang lebih digemari karena memiliki cita rasa yang lebih sesuai dan dengan demikian, dianggap sebagai jenis yang superior dan kualitas yang lebih baik. Seiring dengan terjadinya globalisasi, maka selera pasar semakin konvergen dan menjadi semakin homogen. Hal ini banyak disebutkan dalam berbagai literatur yang membahas dampak globalisasi, salah satunya dalam Holton (2000). Dengan demikian, selera pasar akan lebih terstandar dan umumnya mengarah pada westernization atau perilaku meniru budaya barat, termasuk dari segi konsumsi. Selera konsumsi di negara maju yaitu semakin meninggalkan konsumsi kopi ekstrak dan menuju ke arah konsumsi kopi segar dan sangrai berbahan dasar arabika. Kesegaran menjadi salah satu atribut yang berdaya jual tinggi yang tidak didapat dari kopi ekstrak. Hal ini juga didukung dengan banyaknya dibuka gerai kopi di negara berkembang seiring dengan meningkatnya coffee culture di Asia Pasifik, negara produsen dan negara berkembang. Ekspansi ini karena pasar kopi telah mencapai
51
masa yang matang, terutama di negara tradisional dan pertumbuhan konsumsi kopi didukung konsumsi negara produsen dan negara berkembang (Gambar 11). Peningkatan pendapatan memungkinkan masyarakat di negara tujuan diversifikasi berubah konsumsi dari kopi ekstrak yang cita rasanya lebih digemari menjadi kopi berbahan dasar arabika yang lebih mahal. Bukti empiris mengenai perubahan selera yang akhirnya mengubah pola konsumsi kopi juga disebutkan dalam Ponte (2002). Pada tahun 1980an, konsumen di Amerika Serikat secara progresif beralih konsumsinya dari kopi ekstrak yang berbahan dasar robusta ke kopi ground yang berbahan dasar arabika. Dengan demikian, walaupun variabel GDP negara tujuan ini signifikan di level 15 persen (P-value = 15 persen), namun pengaruhnya terhadap diversifikasi ekspor kopi ekstrak Indonesia dapat dijelaskan secara logis. Jarak Ekonomi (Distance) Jarak ekonomi merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengukur biaya ekspor. Ada beberapa ide yang terkandung dalam definisi jarak ekonomi dalam penelitian ini. Berdasarkan perhitungannya, jarak ekonomi secara statis berbanding lurus dengan jarak geografis dan berbanding terbalik dengan share GDP negara dalam kawasan. Kawasan dengan GDP yang tinggi akan menjadi daya tarik bagi perdagangan internasional. Saat share suatu negara di kawasan tinggi, maka membuat jarak secara ekonomis lebih dekat dibanding negara lain dalam kawasan tersebut. Jarak ekonomi merupakan syarat penting pada gravity model dan besarnya jarak ekonomi akan mempengaruhi arus perdagangan ekspor secara negatif atau menghambat aliran perdagangan. Hasil estimasi yang diperoleh dari model menunjukkan bahwa variabel jarak ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap diversifikasi negara tujuan ekspor kopi ekstrak. Ada beberapa kemungkinan sebab tidak berpengaruhnya jarak ekonomis terhadap aliran ekspor Indonesia ke negara tujuan diversifikasi ekspor kopi ekstrak, antara lain pengertian diversifikasi itu sendiri, selera, dan GDP negara tujuan diversifikasi ekspor kopi ekstrak. Pada berbagai penelitian yang menggunakan model gravity, jarak ekonomis diharapkan memiliki pengaruh yang signifikan. Artinya arus perdagangan dan keputusan ekspor-impor dipengaruhi oleh jarak ekonomi. Namun demikian, bila komponen ekspor diagregasi ke dalam bentuk marjin ekspor, maka dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dalam penelitian ini, ekspor kopi ekstrak ke tiga negara tujuan tersebut, dimulai setelah tahun 2003, dengan demikian dinamika dalam jarak ekonomi sebelumnya tidak direspon dengan aktivitas ekspor produk kopi ekstrak Indonesia ke negara tujuan diversifikasi dimaksud. Yang kedua, berdasarkan economic geography dan new trade theory yang diungkapkan dalam Krugman (1991), terdapat asumsi home-market effect, yaitu terdapat insentif untuk memproduksi suatu barang dekat dengan pasar terbesarnya, dengan demikian biaya transportasi dapat diminimalkan. Ini menjadi salah satu alasan mengapa dari kategori HS 210112000 (Preparations with a basis of extracts, basis of coffee), perdagangan Indonesia dengan negara Asia tinggi (intra industry trade). Namun dengan munculnya Lebanon sebagai negara tujuan diversifikasi ekspor kopi ekstrak, pengaruh signifikan dari jarak menjadi saling
52
menegasikan. Selain itu, produk konsumsi, termasuk kopi ekstrak umumnya memiliki sifat demand driven, sehingga keputusan ekspor dan pertumbuhan produk bersumber pada permintaan konsumen. Selain itu, dengan stabilnya porsi GDP negara tujuan ekspor terhadap kawasannya maka nilai jarak ekonomi tidak akan terlalu banyak berubah. Idenya adalah pertumbuhan kawasan akan memberikan pengaruh kepada negara-negara di dalam kawasan tersebut, dan juga sebaliknya. Negara berkembang dalam hal ini memiliki kestabilan dan sinergi yang baik dalam pengembangan kawasannya, termasuk tiga negara yang dipilih dalam penelitian ini. Temuan mengenai tidak signifikannya jarak ekonomi terhadap arus ekspor juga dihasilkan oleh Tarman (2007) yang meneliti tentang diversifikasi ekspor produk. Pemodelan yang mengagregasi marjin ekspor menghasilkan kesimpulan bahwa jarak ekonomis tidak berpengaruh terhadap nilai ekspor pada marjin ekstensif. Penjelasan mengenai hal ini adalah bahwa diversifikasi tidak mengalami batasan dalam hal jarak. Hal ini mendukung konsep diversifikasi dimana terjadi keterbukaan pasar dan arus ekspor yang mendunia, namun di sisi lain juga mempertimbangkan biaya transportasi dan ukuran pasar sehingga diversifikasi tidak kehilangan sisi efisiensinya. Konsep diversifikasi juga memainkan peran dalam tata niaga, dimana dengan diversifikasi negara tujuan ekspor diharapkan dapat terjadi hubungan dagang langsung antara negara pengekspor dan pengimpor. GDP Indonesia GDP Indonesia merupakan variabel yang diharapkan dapat mewakili seluruh aktivitas ekonomi pendukung penawaran dan dengan demikian mewakili faktor penawaran ekspor kopi ekstrak dari Indonesia. Variabel ini juga dipilih karena hubungan kausalnya dengan diversifikasi ekspor. Salah satu argumentasi dari penelitian empiris adalah Imbs dan Wacziarg (2003) dan Hesse (2008) serta kesesuaian dengan teori pertumbuhan. Diversifikasi ekspor, terutama dari sisi produk, dapat meningkatkan output dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dari peningkatan GDP. Namun, menurut Imbs dan Wacziarg (2003) serta Hesse (2008), pengukuran konsentrasi sebagai lawan dari diversifikasi secara sektoral mengukuti bentuk melengkung (U-shapped). Pada tahap awal, suatu negara harus menemukan keunggulan komparatifnya, dan saat industri mulai beroperasi, sampai suatu titik akan ditemukan ketidakefisienan yang akan menggeser produksi ke arah yang memiliki keunggulan komparatif. Dengan demikian, saat proses ekonomi dimulai, ekonomi justru lebih terdiversifikasi dan seiring dengan terjadinya pengembangan, proses menuju spesialisasi lebih mendominasi. Dengan demikian, saat ekonomi mencapai tahap tertentu akan mendorong produksi kearah diversifikasi atau sebaliknya. Pada model, nilai koefisien variabel GDP Indonesia bernilai positif sebesar 8,03. Hal ini mengindikasikan jika GDP Indonesia meningkat satu persen maka nilai ekspor kopi ekstrak ke negara tujuan diversifikasi akan meningkat sebesar 8,03 persen, ceteris paribus. Kondisi ini sesuai dengan hipotesis penelitian yang menjelaskan bahwa GDP Indonesia, dalam kasus ini mewakili sisi penawaran, berpengaruh positif pada ekspor Indonesia.
53
Pengaruh sisi penawaran terhadap diversifikasi ekspor antara lain dijelaskan dalam Hesse (2008). Salah satu contoh yang dijelaskan adalah kasus Uganda, negara yang landlocked dan miskin infrastruktur. Diversifikasi menjadi berkembang karena berkembangnya sistem pengakutan hingga terjadi reduksi besar pada biaya kargo. Dan juga pengembangan penggunaan sistem cold storage. Pembahasan mengenai diversifikasi ekspor di Indonesia dari sisi penawaran juga dijelaskan dalam Siregar dan Daryanto (2005). Diversifikasi dilihat dari variabel ukuran resiko yang menandakan volatilitas perekonomian Indonesia (varian pertumbuhan GDP) dan foreign direct Investment. Hasil yang diperoleh adalah bahwa untuk mendiversifikasikan ekspor, diperlukan kestabilan ekonomi. Di sisi lain, investasi asing justru berdampak negatif bagi diversifikasi ekspor. Dilihat dari signifikansi dan tingginya besaran koefisien, GDP Indonesia merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap diversifikasi ekspor kopi ekstrak. Dengan demikian, variabel penawaran merupakan faktor penentu bagi keberhasilan diversifikasi ekspor negara tujuan dibanding faktor lainnya. Ini juga mengindikasikan bahwa Indonesia belum mencapai tahap optimal dalam produksi dan ekspor kopi ekstrak. Masih banyak faktor penawaran yang dapat ditingkatkan secara mikro untuk mendorong peningkatan ekspor kopi ekstrak. Penelitian ini tidak sampai mendefinisikan faktor penawaran dimaksud, namun hasil ini bersesuaian dengan Tarman (2007) dalam hasil FGD (Focus Group Discussion) dengan pihak pengusaha yang mengungkapkan berbagai permasalahan terkait ekspor dan perluasan ekspor. Permasalahan yang diungkapkan lebih banyak bersumber dari sisi penawaran, antara lain biaya-biaya meliputi bahan baku, tenaga kerja, energi, pungutan daerah dan biaya tak resmi, ketersediaan bahan baku dan infrastruktur yang secara internal merupakan faktor yang dapat diintervensi secara internal oleh Indonesia. Kesemua faktor tersebut telah terangkum dalam variabel GDP Indonesia sebagai keseluruhan aktivitas ekonomi. Hasil dalam FGD tersebut pun bersesuaian dengan the new new trade theory yang menyatakan hubungan antara efiensi dan produktivitas (tergambarkan dalam biaya marjinal). Dengan biaya marjinal tertentu, suatu perusahaan dapat mencapai efiensi untuk produk lokal, namun tingkat produktivitasnya lebih rendah dari perusahaan yang mengekspor. Selanjutnya perusahaan dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi lagi (biaya marjinal yang lebih rendah) mempunyai keragaan ekspor yang lebih besar (memungkinkan untuk diversifikasi). Nilai Tukar (Exchange Rate) Secara teori, saat mata uang negara pengekspor terdepresiasi atau nilai tukarnya melemah (angka meningkat) dibanding mata uang negara lain maka harga produk di negara pengekspor menjadi relatif lebih murah sehingga mendorong permintaan produk dari negara lain dan ekspor pun meningkat. Secara empiris, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zarzoso dan Lehmann (2003) yang menyatakan bahwa depresiasi mata uang di negara pengekspor dapat menaikkan ekspor. Walaupun demikian, sewaktu terjadi depresiasi nilai Rupiah saat krisis finansial, tidak terdapat kenaikan ekspor Indonesia, melainkan setelah sekian waktu (lag) dan dalam nilai yang relatif kecil
54
(Siregar dan Daryanto, 2005). Dengan demikian, pengaruh nilai tukar terhadap ekspor tidak berdiri sendiri dan hasilnya dapat berbeda-beda. Berdasarkan hasil estimasi, diperoleh kesimpulan bahwa nilai tukar berpengaruh signifikan terhadap ekspor pada taraf nyata lima persen dengan besaran koefisiennya yaitu 2,35. Hal tersebut berarti jika terjadi pelemahan nilai tukar Rupiah sebesar satu persen maka akan meningkatkan 2,35 persen ekspor produk kopi ekstrak ke negara tujuan diversifikasi, ceteris paribus. Meskipun bersesuaian dengan teori, hasil ini tidak sesuai dengan kesimpulan yang didapat Anggraini (2007) bahwa nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap arus ekspor produk kopi Indonesia ke Amerika Serikat. Penjelasan mengenai hal ini antara lain didapat melalui penelitian Taglioni (2012) dan Yi Lin (2007). Keduanya menyatakan bahwa banyak temuan empiris terkini yang menghasilkan kesimpulan kecilnya pengaruh nilai tukar terhadap ekspor atau bahkan pengaruhnya tidak signifikan sama sekali. Namun, hubungan antara mata uang dengan ekspor bisa menunjukkan arah yang berbeda saat ekspor didisagregasi menjadi marjin ekstensif (pada penelitian ini) dan marjin intensif, contohnya antara lain penelitian Anggraini (2007). Kedua marjin tersebut dapat bekerja dengan arah yang berlawanan terhadap pergerakan nilai tukar. Umumnya, ketidakpastian baik melemah atau menguatnya nilai tukar cenderung memberi dampak negatif pada marjin ekstensif dan memberikan dampak positif pada marjin intensif. Kondisi ini mirip dengan kondisi kestabilan perekonomian sebagai syarat diversifikasi ekspor yang berhasil yang diusulkan Siregar dan Daryanto (2005) yang mengimplikasikan bahwa tingkat resiko, termasuk dari nilai tukar harus diminimalkan dalam mencapai tingkat diversifikasi ekspor yang diinginkan. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini, tidak sampai menyimpulkan tentang ketidakpastian nilai tukar terhadap marjin ekstensif. Dalam hal ini nilai ekspor pada marjin ekstensif diuntungkan dengan melemahnya nilai tukar. Dengan pengaruh tingginya konten lokal dalam produk ekstrak kopi (bahan baku robusta domestik), produksi dan ekspor kopi ekstrak tidak mengandalkan bahan baku impor, berbeda dengan produk manufaktur lain yang sangat membutuhkan impor bahan baku atau bahan penolong tertentu sebelum menjadi barang ekspor. Selain itu, hasil yang diperoleh memberikan implikasi bahwa produk kopi ekstrak Indonesia turut mengandalkan price competitiveness untuk masuk ke negara tujuan diversifikasi ekspor. Price competitiveness tersebut berasal dari melemahnya nilai tukar Indonesia terhadap negara tujuan diversifikasi ekspor kopi ekstrak, sehingga harganya relatif lebih murah dibanding harga lokal di negara tujuan diversifikasi ekspor. Umumnya negara berkembang masih mengandalkan penurunan nilai tukar untuk meningkatkan daya saing produk ekspornya. Namun demikian, diversifikasi yang baik hendaknya tidak bergantung pada price competitiveness terlebih yang berasal dari pelemahan nilai tukar. (Forsyth dan Dwyer, 2009). Kerjasama Perdagangan Secara teori, tarif merupakan penghambat aliran perdagangan dan dengan demikian memiliki pengaruh negatif terhadap ekspor. Dikarenakan data untuk tarif produk dimaksud di negara tujuan tidak tersedia secara lengkap, maka sebagai gantinya digunakan dummy kerjasama perdagangan. Dummy ini
55
diharapkan dapat mewakili hambatan tarif sekaligus non-tarif yang dapat menghambat arus perdagangan. Kerjasama perdagangan antara Indonesia dan Filipina yang dimaksud adalah dalam kerangka ASEAN. Produk kopi dalam HS 21 yang masuk ke Filipina tercatat dikenakan tarif 50-55 persen pada tahun 1996. Namun periode kerja sama perdagangan dalam rangka penurunan tarif adalah pada kasus ketiga dalam skema penurunan tarif ASEAN-FTA, yaitu penurunan tarif menuju 0-5 persen yang terjadi di tahun 2003. Kerja sama perdagangan Indonesia-Cina dimaksud adalah dalam kerangka ASEAN-Cina FTA. Produk kopi dalam HS 21 yang masuk ke Cina pada tahun 1996 dan sebelum tahun 2000 dikenakan tarif 50 persen. namun terjadi skema penurunan tarif pertama termasuk untuk produk kopi pada Agustus tahun 2007. Sedangkan dengan Lebanon, Indonesia tidak memiliki kerjasama perdagangan selama periode 1994-2013, sehingga dummynya bernilai nol sepanjang periode 1994-2013. Dengan adanya adanya kerjasama, nilai rata-rata selisih antara nilai diversifikasi ekspor produk kopi ekstrak mengalami peningkatan sebesar 3,18 persen dibandingkan saat tidak ada kerjasama perdagangan. Dengan demikian, kerjasama perdagangan dalam ini bersesuaian dengan teori, menjadi pelancar dalam aliran perdagangan dan sebaliknya hambatan tarif maupun non-tarif menjadi penghambat diversifikasi ekspor.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Kebergantungan ekspor kopi terhadap komoditas disebabkan faktor eksternal dan internal. Secara eksternal, permasalahan kebergantungan ekspor komoditas karena ketidakseimbangan kekuatan dalam pasar terutama sejak periode liberalisasi pasar kopi. Kebergantungan pada komoditas juga mengarahkan Indonesia pada kebergantungan terhadap negara tujuan ekspor tertentu (negara tujuan tradisional). Dari sisi internal, regulasi yang ditetapkan hanya bersifat mengamankan sementara kinerja ekspor kopi, antara lain dengan pajak nol persen bagi komoditas kopi. Kebergantungan ini menjadi permasalahan bagi kinerja ekspor kopi. ekspor komoditas kopi Indonesia pun semakin terkonsentrasi pada ekspor biji kopi robusta.
56
2. Diversifikasi ekspor dari paradigma struktural merupakan salah satu cara guna mengatasi masalah kebergantungan. Ada dua jenis diversifikasi berdasarkan dimensinya, yaitu diversifikasi produk dan diversifikasi negara tujuan. Dari tiga kategori produk ekspor kopi, yaitu biji kopi, kopi sangrai dan kopi ekstrak, terdapat potensi yang baik dalam rangka diversifikasi negara tujuan produk kopi ekstrak. Secara geografis, selera global terhadap produk kopi dapat dipetakan dan konsumsi kopi ekstrak masih mengalami pertumbuhan di negara-negara berkembang. Hal tersebut berarti kopi ekstrak memiliki potensi serapan yang baik. Diversifikasi terbesar negara tujuan ekspor kopi ekstrak antara lain Filipina, Cina dan Lebanon. 3. Faktor yang paling berpengaruh bagi diversifikasi ekspor kopi ekstrak ke negara tujuan diversifikasi tersebut adalah dari sisi penawaran. Hal ini menandakan diversifikasi ekspor produk kopi Indonesia masih dalam tahap pertumbuhan. Sehingga dengan memperbaiki sisi penawaran, maka diversifikasi ekspor kopi dapat ditingkatkan. Namun, terdapat indikasi bahwa kopi ekstrak Indonesia merupakan barang inferior di negara tujuan diversifikasi ekspor karena mulai beralihnya konsumen kepada keseragaman konsumsi yang mengarah pada kopi sangrai yang berjenis arabika. 4. Selaras dengan hal tersebut, diversifikasi ekspor kopi ekstrak Indonesia pun masih mengandalkan price competitiveness melalui pelemahan nilai tukar, padahal kondisi tersebut kurang baik bagi keberlanjutan diversifikasi ekspor. 5. Diversifikasi ekspor kopi tidak memiliki hubungan dengan jauhnya negara tujuan ekspor. Hal ini menjadi sisi positif dalam membangun hubungan dagang langsung dengan negara tujuan diversifikasi ekspor. Faktor kerjasama perdagangan dapat membantu merangsang peningkatan ekspor. 6. Namun demikian, diversifikasi belum bisa dijadikan sumber yang kokoh bagi pertumbuhan ekspor kopi Indonesia, terutama untuk jangka panjang. Dalam rangka peningkatan kinerja ekspor kopi, kebijakan diversifikasi produk ekstrak kopi tidak dapat berdiri sendiri. Dibutuhkan satu paket kebijakan yang mendorong kinerja ekspor kopi. Saran Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan uraian pada penelitian ini adalah: 1. Diversifikasi ekspor sebagai pendorong pertumbuhan ekspor kopi merupakan langkah yang tidak dapat berdiri sendiri. Untuk itu dibutuhkan berbagai kebijakan yang mendukung industri hulu dan hilir. 2. Untuk jangka pendek dan menengah, diversifikasi negara tujuan ekspor untuk produk kopi ekstrak dapat menjadi pendorong pertumbuhan. Namun dalam jangka panjang, penting untuk mengikuti dan menyesuaikan perkembangan yang terjadi di pasar tujuan ekspor, salah satunya dengan konversi sebagian lahan robusta untuk penanaman kopi jenis arabika terutama specialty coffee yang berdaya jual lebih tinggi (diversifikasi jenis produk bahan baku). Kombinasi keduanya bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekspor kopi yang lebih baik. 3. Dengan banyaknya komposisi perkebunan rakyat sebagai basis produksi kopi, permasalahan kualitas hendaknya diatasi dengan pembinaan yang tepat guna.
57
4.
5. 7.
8.
Peran asosiasi juga harus ditingkatkan. Di samping itu, dalam jangka menengah penting untuk membangun industri hilir, untuk kopi ekstrak. Dari sisi internal, Indonesia harus memperbaiki sisi penawaran seperti infrastruktur, penghapusan pungutan-pungutan, pemberian insentif bagi ekspor kopi olahan dan perbaikan sektor energi sehingga perusahaan dapat meningkatkan produktivitasnya dan penawaran ekspor meningkat. Dari sisi eksternal, menyelenggarakan kerjasama perdagangan dengan negara berkembang yang merupakan konsumen kopi, salah satunya Lebanon Mengingat sifat konsumsi kopi ekstrak adalah di negara tujuan ekspor yang umumnya berbuda minum teh dan karena teh juga merupakan salah satu produk ekspor Indonesia, maka diperlukan kajian yang dapat mengintegrasikan kepentingan ekspor dua produk tersebut, terutama tren dan pola konsumsi di negara berkembang. Disamping itu, dengan diberlakukannya pajak ekspor pada tahun 2014 untuk produk kopi biji, diperlukan adanya kajian dampak pengenaan pajak ekspor terhadap performa ekspor kopi Indonesia. Penelitian lanjutan lainnya dapat lebih mendalam mengkaji sisi penawaran Indonesia sendiri merupakan negara produsen yang hingga saat memiliki kecenderungan konsumsi kopi robusta. Dengan demikian, kegiatan perluasan ekspor juga harus mensertakan pengamanan kebutuhan dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA -----------, 2011. The Coffee Exporter’s Guide THIRD EDITION. International Trade Center. Geneva ----------, 2014. World Coffee Trade (1963-2013): A review of the markets, challenges and opportunities facing the sector. International Coffee Organization. Presented in International Coffee Council 112th session. United Kingdom ----------, 2012. Fairtrade and Coffee – Commodity Briefing. Fairtrade Foundation. United Kingdom. diakses dari http://www.fairtrade.net/ ----------, Copyrighted Material of Gravity Model. Princeton. diakses dari http://press.princeton.edu/chapters/reinert/19article_reinert_gravity.pdf
58
Alhayat, 2012. Dekomposisi Pertumbuhan dan Diversifikasi Ekspor non-migas Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan Vol. 6 (1) diakses dari http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2013/04/26/-1366945452.pdf Amiti dan Freund. 2007. An anatomy of Cina’s Export Growth. IMF Amurgo-Pacheco dan Pierola. 2008. Patterns of Export Diversification in Developing Countries. Research Working Paper 4473. World Bank. Anggraini. 2006. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor Kopi Indonesia dari Amerika Serikat. Tesis Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Bacheta, Beverelli, Cadot, Fugazza, Grether, Helble, Nicita, Piermartini. 2006. A Practical Guide to Trade Policy Analysis. World Trade Organization Baldwin dan Taglioni. 2011. Gravity Chains : Estimating Bilateral Trade Flows When Parts and Components Trade is Important. Working Paper Series. European Central Bank Blanchard. 1987. Vector Autoregressions and Reality : Comment. American Statistical Association. Journal of Business and Economic Statistics. Vol. 5 (4), pp. 449-451 Bebczuk dan Berrettoni. 2006. Explaining Export Diversification : An Empirical Analysis. Department of Economics. Universidad Nacional de La Plata, Argentina Chandra, Boccardo, Osorio. 2007. Export Diversification and Competitiveness in Developing Countries. Working Draft. World Bank Damanhuri. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. IPB Press. Bogor Daniels dan Petchers. 2005. The Coffee Crisis Continues : Situation Assessment and Policy Recommendations for Reducing Poverty in the Coffee Sector. Oxfam America. United States of America Dos Santos. 1970. The Structure of Dependence. The American Economic Review Vol. 60 (2), pp. 231-236 Ferraro. 1996. Dependency Theory : An Introduction. Mount Holyoke College, Massachusetts, United States of America Firdaus. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series. IPB Press. Bogor Forsyth dan Dwyer. 2009. The Travel and Tourism Competitiveness Report. World Economic Forum Gresser dan Tickell. 2002. Mugged Poverty in your Coffee Cup. Oxfam International. United States of of America Grossman dan Helpman. 1993. Innovation and Growth in the Global Economy. MIT Press. United States of America Gunadi. 2007. Social Impact of Coffee Crisis on the Pasemah coffee farmers in South Sumatera. MPRA Paper No. 12624. diakses dari http://mpra.ub.unimuenchen.de/12624/ Haddad, Lim, Saborowski. 2010. Managing Openness and Volatility : The Role of Export Diversification. Economic Premise. World Bank Hallam. Commodity Market Review 2003-2004 Falling Commodity Prices and Industry Responses : Some Lessons from the International Coffee Crisis. Economic and Social Development Department. FAO Corporate Document Repository
59
Hesse. 2008. Export Diversification and Economic Growth. Working Paper no. 21. World Bank Holton. 2000. Globalization Culture’s consequences. Annals of the American Academy of Political and Social Science. Vol. 570, pp. 140-152 Hutabarat. 2010. World Market Condition and It’s Impact in the Performance of National Coffee Industry. Indonesian Journal of Agriculture Vol. 3 (1), pp. 51-59 Imbs dan Wacziarg. 2003. Stages of Diversification. American Economic Review. Vol 93 (1), pp. 63-86 Melitz. 2003. The Impact of Trade on Intra-Industry Reallocations and Aggregate Industry Productivity. JSTOR Econometrica. Vol. 71 (6), pp. 1695-1725. Kepaptsoglou, Karlaftis, Tsamboulas. 2010. The Gravity Model Specification for Modeling International Trade Flows and Free Trade Agreement Effects: A 10-Year Review of Empirical Studies. The Open Economics Journal. Vol 3, pp. 1-13 Krugman. 1979. Increasing Returns, Monopolistic Competitions and International Trade. Journal of International Economics. Vol. 9, pp. 469-479 Krugman. 1980. Scale Economies, Product Differentiation, and the Pattern of Trade. American Economic Review. Vol. 70 (5), pp. 950-959. Krugman. 1991. Increasing Returns and Economic Geography. Journal of Political Economy. Vol. 99 (3), pp. 483-499 Kustiari. 2007. Perkembangan Pasar Kopi Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Jurnal Litbang Pertanian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor. Volume 25 (1), pp. 43 – 55 Ottaway. 2007. A Rapid Assesment of the Specialty Coffee Value Chain in Indonesia. US Agency for International Development (USAID) Indonesia Ponte. 2002. The ‘Latte Revolution’? Regulation, Markets and Consumption in the Global Coffee Chain. Journal of World Development Elsevier Science Ltd. Vol. 30 (7), pp. 1099–1122 Raharjo. 2013. Analisis Penentu Ekspor Kopi Indonesia. Jurnal Ilmiah Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas Brawijaya Malang Samen. 2010. A Primer on Export Diversification : Key Concepts,Theoretical Underpinnings and Empirical Evidence. World Bank Institute. Siregar dan Daryanto. 2005. Perkembangan dan Diversifikasi Ekspor Indonesia. Jurnal Manajemen dan Agribisnis IPB. Vol 2 (2), pp. 157-165 Tarman, Kartikawati, Widodo, Fakhrudin, Muna, Bambang. 2011. Kajian Kebijakan Pengembangan Diversifikasi Pasar dan Produk Ekspor. Kementerian Perdagangan. Jakarta Tsivadze. 2011. Export Diversification in Georgia : Intensive and Extensive Margin. Master Thesis. International School of Economics at Tbilisi State University. Georgia Türkcan. 2014. Exports Margins in Austria’s Export Growth. Research Paper. Department of Economics Akdeniz University. Turki Tweeten. 1992. Agricultural Trade : Principles and Policies. Westview Press. United Kingdom
60
Wendelspiess. 2010. Firm Response to Advocacy Campaigns - A Case Study into How Campaigns Stimulate Organizational Change. Dissertation of the University of St. Gallen, Graduate School of Business Administration, Economics, Law and Social Sciences. Switzerland Yusida, Juwita, Suwondo. 2014. Is Fair Trade Really a Solution to Create Fairness in Agricultural Trade? — Case in Indonesia. International Journal of Trade, Economics and Finance. Vol. 5 (3), pp. 277-284 Zarzoso dan Lehman. 2003. Augmented Gravity Model: An Empirical Application to Mercosur-European Union Trade Flows. Journal of Applied Economics, Vol. 6 (2), pp. 291-316.
61
Lampiran 1. Korelasi antara pohon industri kopi, HS dan SITC No 1
SITC 071.1
2
071.2
3
071.3
HS 0901.10 0901.12 0901.90 0901.20 0901.21 0901.22 0901.90 2101.11 2101.12
Pohon Industri Biji Kopi
Deskripsi Green Bean
Kulit Kopi Kopi Sangrai, Kopi Bubuk, Kopi non-kafein
Roasted
Ekstrak Kopi
Extract
Sumber : Intracen, 2015 (diolah) Lampiran 2. Kopi dan produk turunannya menurut klasifikasi HS, 1994-2013 NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
HS 090111100 090111200 090111300 090111900 090112100 090112200 090112300 090112900 090121000 090121100 090121900 090122100 090122900 090130000 090140000 090190000 210111000 210112000
DESKRIPSI COFFEE,NOT ROASTED NOT DECAFFEINATEARABICA OIB COFFEE,NOT ROASTED NOT DECAFFEINATEARABICA WIB COFFEE,NOT ROASTED NOT DECAFFEINATEROBUSTA OIB OTHER COFFEE,NOT ROASTED NOT DECAFFEINATED COFFEE,NOT ROASTED DECAFFEINATE ARABICA OIB COFFEE,NOT ROASTED DECAFFEINATE ARABICA WIB COFFEE,NOT ROASTED DECAFFEINATE ROBUSTA OIB OTHER COFFEE,NOT ROASTED DECAFFEINATED COFFEE ROASTED NOT DECAFFEINATED COFFEE, ROASTED NOT DECAFFEINATE IN POWDER FORM OTH COFFEE,ROASTED NOT DECAFFEINATE COFFEE, ROASTED DECAFFEINATE IN POWDER FORM OTHER COFFEE, ROASTED DECAFFEINATE COFFEE HUSKS AND SKINS COFFEE SUBSTITUTE CONTAINING COFFEE OTHER COFFEE ROASTED EXTRACTS, ESSENCES AND CONCENTRATES OF COFFEE PREPARATIONS WITH A BASIS OF EXTRACTS, BASIS OF COFFEE
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0901111000 0901119000 0901121000 0901129000 0901211000 0901212000 0901221000 0901222000 0901901000 0901902000 2101111000 2101119000 2101120000 2101121000 2101129000
Arabica wib or robustaoib, not roasted not decaffeinated Othcoffee,notroasted,not decaffeinated Arabica wib or robustaoib, not roasted decaffeinated Oth coffee, not roasted, decaffeinated Coffee, roasted, not decaffeinated, unground Coffee, roasted, not decaffeinated, ground Coffee, roasted, decaffeinated,unground Coffee, roasted, decaffeinated, ground Coffee husks and skins Coffee substitutes containing coffee Instant coffee Oth extracts, essences and concentrates of coffee Preparations with a basis of extracts, essences or concentrates of cof Mixtures in pasta form w/ a basis of Prep w/ basis extrct,esenc/conctrts/ w/
Sumber : BPS, 2014
62
Lampiran 3. Konversi HS produk kopi, 1994-2013 N o 1
Kopi Biji
2
Kopi KafeinRendah
3
Kopi Sangrai
Produk
HS 9 Digit 1994 - 2003 1994-2007 0901.11.100 Hilang (1996) 0901.11.200 Hilang (2007) 0901.11.300 0901.11.300 0901.11.900 0901.11.900 0901.12.100 Hilang (1995) 0901.12.200 0901.12.200 0901.12.300 Hilang (2007) 0901.12.900 0901.12.900 0901.22.100 0901.22.100 0901.22.900 0901.22.900 0901.21.000 Pecah (2007) 0901.21.100 0901.21.900 0901.22.100 0901.22.900
2101.10.000
Hilang (1996) Hilang (1996 0901.22.100 0901.22.900 Gabung (1996) a 0901.90.000 0901.21.100 0901.22.100 Gabung (1996)b 0901.90.000 2101.10.000
2101.12.000
2101.12.000
4
Kulit Kopi
0901.30.000
6
Kopi Bubuk
0901.21.100 0901.22.100
6
Kopi Ekstrak
0901.40.000
Sumber : BPS, 2014 (Diolah)
HS 10 Digit 2008-2011 0901.11.1000 0901.11.9000 0901.12.1000 0901.12.9000 0901.22.1000 0901.22.2000 0901.21.1000 0901.21.2000 -
0901.11.1000 0901.11.9000 0901.12.1000 0901.12.9000 0901.22.1000 0901.22.2000 0901.21.1000 0901.21.2000 -
0901.22.2000 0901.22.1000 0901.90.1000 a 0901.21.2000 0901.22.2000 0901.90.2000 b 2101.11.000 2101.12.000 2101.12.0000
0901.22.2000 0901.22.1000 0901.90.1000 a 0901.21.2000 0901.22.2000 0901.90.2000 b 2101.11.000 2101.12.000 Pecah (2012)
2012-2013 0901.11.1000 0901.11.9000 0901.12.1000 0901.12.9000 0901.22.1000 0901.22.2000 0901.21.1000 0901.21.2000 0901.22.2000 0901.22.1000 0901.90.1000 a 0901.21.2000 0901.22.2000 0901.90.2000 b 2101.11.000 2101.12.000 2101.12.1000 2101.12.9000
63
Lampiran 4. Pohon Industri Kopi
Kopi Sangrai Kopi Ekstrak Kopi Biji (Coffee Beans) -Arabika (16-18%) -Robusta (20-30%)
Kopi Bubuk Kopi Celup Kopi Berkaffein kadar rendah Ulin
Buah Kopi (100%)
Kulit Tanduk dan Kulit Ari (6-10%)
Arang Asam Asetat Enzim Pektat Protein Sel Tunggal Pektin
Kulit dan Daging Buah (66-77%)
Etanol Anggur Cuka Makan Silase
Sumber : http://web.ipb.ac.id/~usmanahmad/Pengolahankopi.htm