ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DI PULAU-PULAU KECIL : SUATU PENDEKATAN “CONVERGING
DUAL TRACK MODEL (CD TRAM)”
T. EFRIZAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRACT T. EFRIZAL. An Analysis of Fisheries Resources Management of Small Islands: Using Converging Dual Track Model (CD-TRAM). Under Supervision of AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN and MUHAMMAD ARDIANSYAH. A conventional model of small island resources is usually dealing with interaction between fisheries and tourism. The traditional fisheries model more or less is devoted to analyse bioeconomic aspect of fisheries management. This approach has deficiences in terms of information associated with other aspect such as mangrove degradation, that might not be included in the model. Based on this deficiency, a convergen dual track model was developed. The objectives of this research are: (1) to identify the effect of fisheries extraction on their optimal as well as sustainable levels, (2) to determine the degradation rate of the fishery, (3) to determine the dynamic interaction among parameters within the fisheries system, (4) to develop the interaction mangrove model with fisheries system, (5) to determine welfare effect of fisheries extraction. Results of this study show that the fishery in the study area has experienced substantial degradation between periods of 1986 to 2000. Event though at current level of exploitation the extraction rate is still below its optimal level, there is a tendency that the resource will be over exploited in the year future due to miss management and increasing trend in input levels. By incorporating mangrove ecosystem in the model Fozal, it shows that mangrove ecosystem could contribute as much as 44.18 % toward total fish production. Results from dynamic analysis show that there is a tendency of long run stability in effort and biomass. This study indicated that the total benefit at almost Rp 32 billion/year could be secured had the fishery been managed properly. Keywords: Fisheries, resources, management, small islands, model, mangrove
ABSTRAK T. EFRIZAL. Analisis Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal di Pulau-Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD-TRAM)”. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI, JOHN HALUAN dan M. ARDIANSYAH. Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata, sedangkan model konvensional pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari kedua model yang dikembangkan tersebut ada beberapa informasi yang belum terungkap, seperti kondisi sumberdaya lain misalnya mangrove, tingkat degradasi ataupun kesejahteraan masyarakat. Untuk menjembatani kelemahan-kelemahan dari model yang ada tersebut maka dikembangkan ”Convergen Dual Track Model” (CD-TRAM). Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, melalui suatu pendekatan pengembangan model. Tujuan khususnya adalah: (1) menentukan tingkat pengelolaan sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil Kabupaten Bengkalis yang lestari dan optimal, membandingkannya dengan kondisi ekstraksi aktual, (2) menentukan tingkat degradasi sumberdaya ikan dan konsekuensinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil, (3) menganalisis interaksi dinamis antara aspek biologi dan ekonomi sumberdaya ikan dan implikasinya terhadap pengelolaan, (4) menganalisis pengaruh interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem mangrove terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan (5) Menentukan dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan. Penelitian ini diharapkan akan menemukan suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai acuan kebijakan perikanan yang berkelanjutan sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari. Koefisien degradasi sumberdaya perikanan rendah terjadi di awal-awal periode kemudian mengalami peningkatan. Sumberdaya perikanan mengalami depresiasi pada tahun 1986 dan 2000. Besaran depresiasi dengan real discount rate menghasilkan nilai rata-rata present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate. CD-TRAM dengan menggunakan model Fozal menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki kontribusi sebesar 44.18% terhadap produksi sumberdaya perikanan. Dari analisis stabilitas, upaya dan biomass bersifat stabil, sedangkan mangrove tidak stabil. Nilai total benefit sumberdaya perikanan sebesar Rp 31.9 milyar/tahun. Kata kunci: Pengelolaan, sumberdaya, perikanan, pulau-pulau kecil, model, mangrove
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Analisis Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal di Pulau-Pulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD TRAM)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2005
T. Efrizal C.226010051
© Hak cipta milik T. Efrizal, tahun 2005 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya
ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DI PULAU-PULAU KECIL : SUATU PENDEKATAN “CONVERGING
DUAL TRACK MODEL (CD TRAM)”
T. EFRIZAL
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
Judul Disertasi :
Analisis Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal di PulauPulau Kecil : Suatu Pendekatan “Converging Dual Track Model (CD TRAM)”
Nama
:
T. Efrizal
NRP
:
C.226010051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua
Dr.Ir.Muhammad Ardiansyah
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Anggota
Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 30 November 2005
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata. Sedangkan model-model konvensional pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan. Dari kedua model yang dikembangkan tersebut ada beberapa informasi yang belum terungkap.
Untuk menjembatani kelemahan dari model-model tersebut maka
dikembangkan
model yang dinamakan ”Convergen Dual Track Model” (CD-
TRAM). Penelitian ini berlokasi di pulau-pulau kecil wilayah Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, yang dilaksanakan pada bulan Desember 2003 sampai dengan Agustus 2004. Keberadaan pulau-pulau kecil yang walaupun cukup potensial namun memiliki banyak keterbatasaan, sudah mulai banyak dilirik untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin. Kondisi keterpencilan, luasan lahan dan sumberdaya manusia yang terbatas serta berbagai keterbatasan lain bukanlah halangan untuk memanfatkan segala potensi pulau-pulau kecil tersebut. Masih terbatasnya penelitian terhadap permasalahan pulau-pulau kecil, apalagi yang berkaitan dengan isu pemanfaatan sumberdaya yang bersifat multiple use.
Untuk mengelolanya dibutuhkan solusi yang tepat sehingga pemanfaatan
menjadi optimal, efisien dan berkelanjutan. Model yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi perencanaan pembangunan pulaupulau kecil, sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari. Bogor, Desember 2005 T. Efrizal
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada: 1. Yth. Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc., dan Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah selaku anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian, sumbangan pikiran, masukan dan arahan dalam penyusunan disertasi ini. 2. Departemen Pendidikan Nasional melalui Beasiswa Program Pascasarjana yang telah memberikan beasiswa pendidikan program doktor. 3. Pemerintah Propinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Pelalawan atas bantuan yang telah diberikan. 4. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Riau dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis, atas bantuan dalam penyediaan data dan fasilitas lainnya. 5. Yth. Bapak Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA sebagai penguji luar komisi pada sidang tertutup, Bapak Prof. Dr. Ir. Feliatra, DEA (Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau) dan Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja, M.Sc. sebagai penguji luar komisi pada sidang terbuka. 6. Rekan-rekan staf pengajar di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, atas dorongan semangat yang telah diberikan. 7. Yang tercinta kedua orang tua, istri, kakak-kakak, adik-adik, dan seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya. 8. Rekan-rekan yang selalu memberikan dorongan semangat dan bantuan, yaitu: Dr. Suzy Anna, Dr. Armen, Dr. Max, Dr. Georgina, Pak Sofyan, Pak Indra, Bu Wini, Bu Desni, Sdri. Sofi dan seluruh staf PS-SPL SPS-IPB serta semua temanteman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang banyak sekali membantu dalam penyelesaian disertasi ini. Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Desember 2005 T. Efrizal
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di sebuah pulau kecil, Pulau Mendol Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau (sebelum pemekaran pada tahun 1999, termasuk wilayah Kabupaten Kampar) pada tanggal 12 Desember 1967, merupakan putra ke-empat dari empatbelas bersaudara dari pasangan T. Dahrul dan Zaliah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus pada tahun 1991. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Biologi pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1997.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program
doktor pada perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2001, penulis diterima pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL). Sejak tahun 1993, penulis
bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan
Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
x
I.
PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................
1 1 2 5
II.
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Batasan Wilayah Pesisir .............................................................. 2.2 Pulau-Pulau Kecil ....................................................................... 2.3 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan .......................................... 2.4 Konversi Lahan di Kawasan Pesisir ........................................... 2.5 Pemodelan (Modelling)................................................................ 2.6 Optimisasi Sumberdaya Perikanan ............................................. 2.7 Analisis Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan...............
6 6 6 14 15 18 29 40
III.
METODE PENELITIAN .................................................................... 3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................... 3.2 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 3.3 Analisis Data .............................................................................. 3.3. 1 Produksi Perikanan.......................................................... 3.3. 2 Standarisasi Effort .......................................................... 3.3. 3 Estimasi Parameter Ekonomi ......................................... 3.3. 4 Model Analisis Degradasi dan Depresiasi ...................... 3.3. 5 Model Bio-Ekonomi Sumberdaya Perikanan ................. 3.3. 6 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ............... 3.3. 7 Analisis Dinamis ............................................................ 3.3. 8 Interaksi Mangrove dan Perikanan.................................. 3.3. 9 Uji Stability .................................................................... 3.3.10 Aspek Kesejahteraan ...................................................... 3.4 Pemetaan Proses Penelitian ........................................................
44 44 44 46 46 47 48 52 53 54 57 58 60 61 62
IV.
KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN .................................... 4.1 Wilayah Administratif ............................................................... 4.2 Kondisi Geografis, Iklim dan Oseanografis ............................... 4.2.1 Geografis ........................................................................ 4.2.2 Iklim ............................................................................... 4.2.3 Arus dan Gelomabang ....................................................
64 64 65 65 66 67
V.
4.2.4 Pasang Surut ................................................................... 4.2.5. Kedalaman Laut ............................................................. 4.3 Vegetasi Pantai ........................................................................... 4.4 Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi .................................... 4.5 Kondisi Kegiatan Perikanan .......................................................
68 70 70 71 73
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 5. 1 Produksi Perikanan ..................................................................... 5. 2 Standarisasi Unit Effort .............................................................. 5. 3 Estimasi Parameter Biologi ........................................................ 5. 4 Estimasi Parameter Ekonomi ..................................................... 5.4.1 Struktur Biaya ................................................................ 5.4.2 Estimasi Discount Rate .................................................. 5. 5 Estimasi Sustainable Yield ......................................................... 5. 6 Degradasi Sumberdaya Perikanan .............................................. 5. 7 Depresiasi Sumberdaya Perikanan ............................................. 5. 8 Pengelolaan Sumberdaya Yang Optimal .................................... 5. 9 Analisis Dinamis ........................................................................ 5.10 Rezim Pengelolaan ..................................................................... 5.11 Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan ........................ 5.12 Analisis Stability ........................................................................ 5.13 Aspek Kesejahteraan ..................................................................
84 84 86 88 89 89 90 91 95 97 102 113 114 116 122 124
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 127 6.1 Kesimpulan ................................................................................. 127 6.2 Saran ........................................................................................... 128 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 130 LAMPIRAN .................................................................................................. 141
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pendekatan penelitian…………………………...…………
4
2 Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005).....................................................................................................
24
3 Kurva yield effort ……………………………………………….........
32
4 Kurva pertumbuhan populasi yang bersifat density dependent (Fauzi, 2004)…………………………………………………........................
34
5 Model Gordon-Schaefer …………………………………………......
36
6 Pendekatan "Bang-bang" optimisasi sumberdaya perikanan .............
39
7 Kurva Fisher ……………………………………………………........
43
8 Peta wilayah administratif Kabupaten Bengkalis ……………….......
45
9 Market discount rate ………………………………………………....
50
10 Pemetaan proses penelitian …………………………………………..
63
11 Persentase distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis berdasarkan kecamatan pada tahun 2003 …………………………….....................
72
12 Grafik persentase perlakuan terhadap produksi perikanan laut di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 ……………...................
76
13 Grafik perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 ……………………….......................................
78
14 Persentase produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 ……………………….......................................
80
15 Nilai produksi (juta Rp) sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis..............................................................................................
82
16 Grafik data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis di Kabupaten Bengkalis …………………………………...................
85
17 Hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan dalam analisis ......................................................................................
86
18 Total biaya penangkapan ikan taget dari tahun 1985-2002 ……….....
90
19 Produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) ..............
92
20 “Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) …………………………………………………………..
93
21 “Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi logistik) ................................................................................................
93
22 Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz) …………...
94
23 Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi logistik) ……………...
94
24 Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi lestari …………………………………………………........
95
25 Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi aktual …………………………………………………........
96
26 Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual …………….....
96
27 Perbandingan laju degradasi dengan effort aktual …………………...
97
28 Present value rente dan depresiasi …………………………………..
100
29 Effort dan depresiasi (Kula 15%) ……………………………………
101
30 Effort dan depresiasi (Kula 4%) …………………………………..…
101
31 Nilai optimal biomass dan produksi dengan nilai δ yang berbeda (10 ton) ......................................................................................................
104
32 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=4%) …………
105
33 Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=15%) ………
106
34 Perbandingan input aktual dan optimal (1000 trip) …………………
107
35 Sustainable rent untuk pengelolaan optimal (Rp juta) ……………
109
36 Perbedaan present value rente optimal dan sustainable (Rp juta) …
110
37 Persentase perbedaan effort aktual dan optimal ……………………
112
38 Persentase perbedaan rente sustainable dan optimal ………………
112
39 Trajektori effort dan biomas ………………………………………
113
40 Analisis phase plane effort dan biomass …………………………
114
41 Rezim pengelolaan biomass ……………………………………...
115
42 Rezim pengelolaan effort, produksi dan rente ekonomi ……………
115
43 Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1985-2002 …………………………………………………………
117
44 Kurva sustainable yield baseline dan Model Fozal …………………
118
45 Analisis stability data effort …………………………………………
123
46 Analisis stability data biomass sumberdaya perikanan ……………
123
47 Analisis stability data mangrove ……………………………………
124
48 Nilai surplus produsen, benefit……….
126
rente
sumberdaya
ikan
dan
total
DAFTAR TABEL Halaman 1 Perbandingan karakteristik pulau oseanik, pulau daratan/ kontinental dan benua (Salm dan Clark, 2000) ..............................
10 10
2 Wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Bengkalis ………
64
3 Daftar nama kecamatan dan pulau di Kabupaten Bengkalis ..........
66
4 Distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis menurut jenis kelamin
71
5 Rumah tangga perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Bengkalis ........................................................................................
73
6 Profil pertambakan Kabupaten Bengkalis ………………………..
74
7 Perlakuan terhadap produksi perikanan laut di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 ……………………....................
75
8 Perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun1985-2002 …………………..................................................
77
9 Produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 ………………………….....................................
79
10 Nilai produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun1985-2002 …………………………..............................
81
11 Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis……
84
12 Standarisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis ……………………………………………………………
87
13 Hasil uji Dickey Fuller …………………………………………...
88
14 Hasil analisis nilai parameter biologi …………………………….
89
15 Total biaya kegiatan penangkapan ikan target dari tahun 19852002 ………………………............................................................
89
16 Perbandingan produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) ………………………………………………………….
91
17 Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumberdaya perikanan …..
98
18 Nilai optimal biomass, produksi dan effort dengan nilai δ yang berbeda.............................................................................................
103
19 Sustainable rent optimal dengan nilai δ yang berbeda …….........
108
20 Perbedaan present value rente optimal dan sustainable ………….
109
21 Perbandingan effort aktual dan optimal serta sustainable rent dan optimal (δ=15%) ………………………………………………….
111
22 Perbedaan antara produksi sumberdaya perikanan baseline dengan Model Fozal ……………………………………………...
116
23 Nilai surplus produsen, rente sumberdaya ikan dan total benefit ...
125
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Deskripsi ikan .....................................................................................
141
2
Analisis data hasil tangkapan masing-masing alat tangkap yang ....... digunakan dalam analisis ....................................................................
144
3
Deskripsi alat tangkap yang digunakan dalam penelitian...................
145
4
Gambar alat tangkap yang digunakan dalam analisis .........................
148
5
Analisis CYP.......................................................................................
150
6
Analisis penentuan discount rate Kula ...............................................
155
7
Analisis koefisien degradasi (dengan menggunakan produksi .......... aktual dan rataan geometrik)...............................................................
158
8
Maple output untuk perhitungan optimal............................................
159
9
Analisis optimal untuk rezim pengelolaan MEY, MSY dan open...... Acces ...................................................................................................
163
Analisis interaksi mangrove dan sumberdaya perikanan (Model ....... Fozal) ..................................................................................................
165
11
Peta sebaran mangrove di Kabupaten Bengkalis ................................
171
12
Peta sebaran alat tangkap di Kabupaten Bengkalis.............................
172
13
Perhitungan analisis stabilitas .............................................................
173
14
Perhitungan surplus produsen .............................................................
181
15
Biaya operasional dan harga ikan .......................................................
191
10
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pulau-pulau kecil merupakan suatu kawasan yang selama ini kurang
mendapat perhatian dalam pengelolaannya, terutama pengelolaan yang terintegrasi (integrated management planning). Sebagai suatu kawasan kecil yang termasuk ke dalam zona pesisir (coastal zone), keberadaan pulau-pulau kecil baik dari segi eksistensi pulau itu sendiri maupun keanekaragaman hayati (biodiversity) yang ada pada ekosistem sekitar pulau sangat rentan terhadap berbagai aktivitas manusia yang terjadi di daratan, khususnya pulau-pulau yang berhadapan langsung dengan daratan yang memiliki intensitas kegiatan industri yang tinggi. Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove). Sumberdaya hayati laut pada kawasan ini memiliki potensi keanekaragaman dan nilai ekonomi yang tinggi. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas pembangunan dan kenyataan bahwa sumberdaya alam di daratan (seperti hutan, lahan pertanian produktif, bahan tambang dan mineral) terus menipis atau sukar untuk dikembangkan, maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang. Salah satu propinsi yang banyak memiliki pulau-pulau kecil adalah Propinsi Riau. Propinsi Riau merupakan wilayah yang mencakup bagian timur Pulau Sumatera dan wilayah kepulauan yang membentang dari Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Selat Berhala. Sektor perikanan mempunyai peran cukup penting di Propinsi Riau.
Berdasarkan Laporan Dinas Perikanan Propinsi
Daerah Tingkat I Riau (2003), jumlah produksi perikanan Riau yang berasal dari hasil tangkapan 96l014.6 ton. Dari jumlah tersebut sebagian besar berasal dari hasil tangkapan nelayan di perairan Selat Malaka.
2 Kabupaten Bengkalis merupakan bagian dari Propinsi Riau yang dibentuk berdasarkan UU No. 12 tahun 1956. Semula kabupaten ini memiliki luas 30l646.83 km2, setelah dimekarkan menjadi Kabupaten Rokan Hilir, Siak dan Kota Dumai, lebih separuh wilayah ini berkurang dan hanya tinggal seluas 11l481.77 km2. Wilayah Kabupaten Bengkalis terdiri dari pulau-pulau kecil. Ekosistem pulau-pulau kecil di kawasan ini merupakan salah satu potensi sumberdaya kelautan yang khas karena memiliki keunikan morfologi dan ekologi
sehingga
memberi
pengaruh
pada
pola
hidup
dan
budaya
masyarakatnya. Ekosistem mangrove di kawasan ini telah banyak mengalami degradasi akibat berbagai aktivitas pembangunan, seperti reklamasi pantai untuk pembangunan gudang dan pelabuhan, serta aktivitas pembangunan lainnya seperti pembangunan perkantoran, pertokoan dan kawasan pemukiman penduduk. Setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya perikanan, pemukiman dan lainnya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, sehingga membentuk suatu mozaik yang harmonis.
Selain itu, untuk pemanfaatan sumberdaya yang dapat pulih
(renewable resources), laju ekstraksinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada suatu periode tertentu, sedangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih (non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya. 1.2
Perumusan Masalah Dalam pemanfaatan
sumberdaya alam di pulau-pulau kecil harus
mempertimbangkan kapasitas sumberdaya alam yang ada sehingga secara ekologi dan ekonomi dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini dikembangkan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah model-model klasik yang mengkaji tentang perikanan dan pariwisata (Brander dan Taylor, 1998; Casagrandi dan Rinaldi, 2002; Maanema, 2003), sedangkan model-model konvensional
3 pengelolaan sumberdaya perikanan di mainland lebih banyak mengkaji tentang bioekonomi sumberdaya perikanan.
Dari kedua model yang dikembangkan
tersebut ada beberapa informasi yang tidak muncul (missing) seperti kondisi sumberdaya yang lain misalnya mangrove, seberapa besar tingkat degradasi sumberdaya ataupun tingkat kesejahteraan masyarakat. Untuk menjembatani kelemahan-kelemahan dari kedua model tersebut maka dalam penelitian ini selanjutnya akan mengembangkan suatu model yang dinamakan ”Convergen Dual Track Model” (CD-TRAM). Pengembangan model ini juga terinsprisasi dari kesalahan dalam mengelola sumberdaya alam, yang mengakibatkan runtuhnya peradaban di Pulau Easter (Syndrome Easter Island). Peradaban di Pasifik yang sempat maju pada tahun 200 hingga 900 ini kolaps karena terjadinya lebih tangkap (overfishing). Masyarakat pulau kecil yang sangat menggantungkan hidupnya pada sumberdaya ikan tersebut mengekstraksi sumberdaya sampai pada taraf yang berlebihan yang pada gilirannya kemudian menyebabkan suplai pangan dari laut menurun drastis. Ketika pangan tidak mencukupi, konflik timbul dan gejolak tersebut kemudian meningkat menjadi perang antar suku yang dalam jangka panjang memusnahkan peradaban. Suatu kenyataan yang sulit diterima telah terjadi, dimana musnahnya peradaban dikarenakan terjadinya overfishing (Fauzi, 2005).
Untuk lebih jelasnya
kerangka pendekatan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Pada dasarnya pembangunan ekonomi di sebagian besar negara di dunia adalah berbasiskan pada sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang menjadi tulang punggung ekonomi, adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya ini seperti halnya sektor ekonomi lainnya, merupakan salah satu aktivitas yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa. Sebagai salah satu sumberdaya alam yang bersifat dapat diperbaharui, pengelolaan sumberdaya ini memerlukan pendekatan yang bersifat menyeluruh dan hati-hati (Fauzi, 2004). Oleh karenanya timbul pertanyaan bagaimana mengelola sumberdaya perikanan yang terbaik yang akan menghasilkan kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat dan bangsa. Beberapa pertanyaan yang muncul dari ilustrasi di atas yaitu:
4 1. Bagaimana ekstraksi sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil dilihat dari aspek biologi dan ekonomi sumberdaya perikanan. 2. Dengan kendala ketersediaan sumberdaya di pulau-pulau kecil, bagaimana degradasi sumberdaya ikan berpengaruh dalam penyediaan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. 3. Bagaimana interaksi dinamis antara parameter biologi dan ekonomi sumberdaya ikan, dan apa konsekuensinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil. 4. Bagaimana interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem mangrove dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan di pulaupulau kecil. 5. Akibat dari beberapa faktor di atas, bagaimana dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan. Evolusi Pengembangan Model
Model Pulau-Pulau Kecil
Model Konvensional Perikanan
Bioekonomi Statik/Dinamik
Eksogen
Constraint Pulau-Pulau Kecil
Optimal Catch, Effort, MSY, MEY, MScY
Syndrom Easter Island
Endogen
Model Klasik Fish vs Tourism
Multiple Use, MCA, Dynamic, Fishery, Tourism
Missing: SDA lain, Degradasi, Welfare
Docking
Convergen Dual Track Model (CD-TRAM)
Gambar 1. Kerangka pendekatan penelitian
5 1.3
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pola
pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, melalui suatu pendekatan pengembangan model. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Menentukan tingkat pengelolaan sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil Kabupaten
Bengkalis
yang
lestari
dan
optimal,
kemudian
membandingkannya dengan kondisi ekstraksi aktual. 2) Menentukan tingkat degradasi sumberdaya ikan dan konsekuensinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di pulau-pulau kecil. 3) Menganalisis interaksi dinamis antara aspek biologi dan ekonomi sumberdaya ikan dan implikasinya terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di pulau-pulau kecil. 4) Menganalisis pengaruh interaksi antara sumberdaya ikan dengan ekosistem mangrove terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan. 5) Menentukan dampak kesejahteraan masyarakat oleh kegiatan ekstraksi sumberdaya perikanan. Dari penelitian ini diharapkan akan terciptanya suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan pulau-pulau kecil yang dapat dijadikan acuan kebijakan perikanan yang berkelanjutan sehingga hasil pembangunan dapat dicapai secara optimal dan lestari.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batasan Wilayah Pesisir Sejauh ini belum ada definisi baku mengenai wilayah pesisir (coastal zone) yang dipakai dalam pengelolaan wilayah pesisir, namun demikian terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan.
Apabila ditinjau dari garis pantai
(coastline), wilayah pesisir memiliki dua batas (boundaries), yaitu: batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore) (Dahuri et al., 1996). Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia, yakni wilayah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk kepentingan pengelolaan, penetapan batas-batas
suatu
wilayah
pesisir
didasarkan
atas
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem pesisir dan laut beserta segenap sumberdaya yang ada di dalamnya, serta tujuan dari pengelolaan itu sendiri. 2.2 Pulau-Pulau Kecil Menurut Retraubun (2003), pulau-pulau kecil memiliki definisi yang sangat beragam dan telah mengalami perdebatan yang panjang di berbagai forum para pakar. Definisi operasional pulau kecil di Indonesia pun masih menjadi pemikiran para pengambil kebijakan dan pakar yang terkait dengan
7 disiplin ilmu ini. Beberapa pendapat tentang definisi pulau-pulau kecil yang diutarakan adalah sebagai berikut:
Pada awalnya beberapa negara Pasifik pada pertemuan CSC tahun 1984 menetapkan batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 5l000 km2, tetapi kemudian para ahli yang memiliki kepentingan hidrologi, sosial ekonomi dan demografis menetapkan batasan luas pulau-pulau kecil kurang dari 1l000 km2 atau pulau dengan lebar kurang dari 10 km (Arenas dan Huertas, 1986).
Namun demikian karena banyak pulau yang berukuran antara 1l000-2l000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1l000 km2 sehingga diputuskan oleh UNESCO (1991) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2l000 km2.
Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41
tahun 2000
(Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001), yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10l000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200l000 orang. Batasan yang sama juga dipakai oleh Hess (1990), namun dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500l000 orang.
Pembedaan lebih jauh juga dilakukan antara pulau kecil dan pulau sangat kecil, yang mendasari perbedaan ini pada keterbatasan sumberdaya air tawar baik air tanah maupun air permukaan; sehingga ditetapkan bahwa pulau dengan ukuran tidak lebih besar dari 100 km2 atau lebarnya tidak lebih besar dari 3 km dikategorikan pulau sangat kecil (UNESCO, 1991).
Bengen (2001a) menyatakan bahwa pulau kecil adalah pulau yang mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10l000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Banyak pulau-pulau kecil yang mempunyai luas area kurang dari 2l000 km2 dan lebarnya kurang dari 3 km. Pulau-pulau
8 ini diklasifikasikan sebagai pulau sangat kecil. Contoh dari pulau sangat kecil adalah pulau-pulau Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta.
Meskipun terdapat perbedaan mengenai batasan luasan pulau namun terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular. Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan
suatu pulau kecil: (1) batasan fisik (luas pulau), (2) batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya. Selain ketiga kriteria tersebut, dapat pula ditambahkan kriteria tambahan yakni kemandirian penduduknya dalam memenuhi kebutuhan pokok.
Jika suatu pulau
penduduknya mendatangkan kebutuhan pokoknya berasal dari pulau lain atau pulau induknya, maka pulau tersebut dapat digolongkan pulau kecil (Dahuri, 1998). Berdasarkan sejarah pembentukannya (genesis), pulau dapat terbentuk akibat proses atau oleh kegiatan utama atau bantuan (Ongkosono, 1998) sebagai berikut: -
Penurunan muka laut, contoh: P. Akat, P. Sekikir, P. Abang Besar (ketiganya di Kep. Riau)
-
Kenaikan muka laut, contoh: Kep. Lingga, P. Batam, P. Karimun Kecil (ketiganya di Kep. Riau)
-
Tektonik, zona penunjaman (subduction), contoh: P. Chrismas, P. Nias.
-
Tektonik, zona pemekaran (spreading), contoh: Kepulauan Hawaii
-
Amblesan daratan, contoh: P. Digul
-
Erosi, contoh: P. Popole (sebelah barat Jawa Barat)
-
Sedimentasi, contoh: Pulau-pulau di Segara Anakan, P. Bengkalis (Riau).
-
Vulkanisme, contoh: P. Krakatau, P. Ternate, P. Manado Tua
9 -
Biologi, biota terumbu karang dan biota asosiasinya, contoh: Pulaupulau Seribu
-
Biologi, biota lain (dipacu mangrove, lamun, dan lain-lain), contoh: P. Karang Anyar, P. Klaces, dan P. Mutean di Segara Anakan
-
Pengangkatan daratan, contoh: P. Manui (Sulawesi)
-
Buatan manusia, contoh: lapangan udara Kansai Airport, Osaka, Jepang
-
Kombinasi berbagai proses, contoh: P. Rupat (Riau) Pada umumnya, pulau terbentuk oleh kombinasi berbagai proses,
meskipun ada yang berperan utama. Selain oleh proses dan faktor di atas, kondisi pulau dapat dipengaruhi oleh kegiatan atau proses yang dilakukan oleh: (1) manusia, melalui kemampuan teknologi dan rekayasanya; (2) vegetasi penutup; (3) kegiatan hewan; dan (4) alam fisik dan kimia.
Pemantapan
pembentukan dapat semakin terpacu oleh vegetasi seperti mangrove, lamun, Pandanus, dan tumbuhan pantai yang merayap seperti Ipomea dan Spinifex. Menurut Salm dan Clark (2000), pulau-pulau kecil dapat dibagi dua, yaitu “pulau oseanik” dan “pulau kontinental”. Selanjutnya pulau-pulau oseanik dibagi menjadi dua jenis, yaitu pulau vulkanik dan pulau karang. Sebagian besar pulau kecil adalah pulau oseanik. Pulau kontinental umumnya terdapat di dekat daratan benua-benua besar yang perairannya dangkal. Tipe pulau ini mempunyai sejarah geologi dan biota yang sama dengan induknya. Dalam sejarahnya pulau-pulau tersebut dulunya bergabung dengan pulau induknya, tetapi akibat naiknya permukaan air laut yang terjadi ribuan tahun lalu pulaupulau tersebut terpisah dari pulau induknya. Sehingga sumberdaya alam yang terdapat di pulau-pulau tersebut sama dengan pulau-pulau induknya yang berdekatan (Tabel 1).
10 Tabel 1. Perbandingan karakteristik pulau oseanik, pulau daratan/kontinental dan benua (Salm dan Clark, 2000)
Pulau Oseanik
Pulau Daratan
Karakteristik Geografis - Jauh dari benua - Dikelilingi oleh laut luas - Area daratan kecil -
Benua
Dekat dari benua Dikelilingi sebagian oleh laut yang sempit Area daratan besar - Area daratan sangat besar Suhu agak bervariasi - Suhu udara bervariasi
-
Suhu udara stabil
-
-
Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat
-
Iklim mirip benua terdekat
- Iklim musiman
-
Sedimen atau metamorfosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya
-
Keanekaragaman hayati sedang Pergantian spesies agak rendah Sering pemijahan massal hewan laut bertulang belakang
-
Sumberdaya daratan agak luas Sumberdaya laut lebih penting Lebih dekat pasar
-
Karakteristik Geologi - Umumnya karang tepi atau vulkanik - Sedikit mineral penting - Tanahnya porous/permeable Karakteristik Biologi - Keanekaragaman hayati rendah - Pergantian spesies tinggi - Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Karakteristik Ekonomi - Sedikit sumberdaya daratan - Sumberdaya laut lebih penting - Jauh dari pasar
-
-
-
-
-
-
Sedimen atau metamorfosis Beberapa mineral penting Beragam tanahnya
Keanekaragaman hayati tinggi Pergantian spesies biasanya rendah Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Sumberdaya daratan luas Sumberdaya laut sering tidak penting Pasar relatif mudah
11 Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol sebagai berikut (Bengen, 2001a) : -
Terpisah dari habitat pulau induk (mainland), sehingga bersifat insular
-
Memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut
-
Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran
-
Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi
-
Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar)
-
Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai. Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-
pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika la-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimianya, penyerap limbah, sumber plasma nuftah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Dengan kondisi biogeofisik pulau-pulau kecil, maka keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pada kepulauan kecil menghadapi berbagai tantangan, diantaranya:
Kepulauan kecil secara ekologi amat rentan, terutama akibat pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan oleh kombinasi faktor tersebut secara potensial terbukti sangat progresif mengurangi garis kepulauan kecil.
Akibatnya terjadinya perubahan
menurunnya makhluk hidup, hewan-hewan maupun penduduk yang mendiami kepulauan tersebut.
12
Kepulauan kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman hayati yang sangat khas dan bernilai tinggi.
Sumberdaya alam yang ada umumnya terdiri varietas-varietas yang dilindungi.
Beberapa pulau kecil yang berada jauh dari jangkauan pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi serta terbatasnya ketrampilan masyarakat. kedua
masalah
dikembangkannya
ini
sudah
sektor
diatasi
pariwisata,
Walau di beberapa pulau sehingga yang
memungkinkan
berpotensi
dalam
menyediakan sumber pendapatan alternatif bagi masyarakat, namun tetap saja biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunan prasarana pariwisata masih cukup besar. Hal ini menyebabkan penanaman modal kepariwisataan hanya memilih pulau-pulau tertentu saja dan pulau-pulau yang potensial bagi penanaman modal besar terdapat di kawasan Kepulauan Maluku maupun Nusa Tenggara.
Pulau-pulau kecil mempunyai daerah dan fasilitas tangkapan air hujan yang minim.
Disamping itu pulau-pulau ini juga jarang atau tidak
memiliki cadangan air tanah sama sekali, sehingga menyebabkan terbatasnya kesempatan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi, terutama bila kegiatan itu membutuhkan air tawar dalam jumlah besar.
Hingga kini belum ada klasifikasi kepulauan kecil yang didasarkan pada aspek biofisik, sosial-ekonomi, dan sosiologis yang dapat membuat usaha pengelolaan alokasi sumberdaya alam menjadi lebih efektif. Menurut Fauzi dan Anna (2005), dalam melakukan penilaian ekonomi
sumberdaya pulau-pulau kecil ada beberapa sifat pulau-pulau kecil yang unik, yang menyebakan nilai ekonomi dari sumberdaya juga harus ditimbang dari karakteristik pulau-pulau kecil tersebut.
Karakteristik yang perlu dijadikan
pembobot (Briguglio, 1995) adalah sebagai berikut:
Smallness : faktor ini, secara ekonomi akan menjadi faktor yang tidak menguntungkan (disadvantage), sebab akan menimbulkan rangkaian lain seperti:
13 o Keterbatasan resource endowment o Ketergantungan kisaran diversifikasi produk o Keterbatasan mempengaruhi perubahan harga produk o Keterbatasan kompetisi lokal o Keterbatasan mengembangkan skala ekonomi
Isolation :
faktor isolasi juga akan menambah faktor disadvantage,
sebab akan mengakibatkan tingginya biaya per transpor per unit, serta ketidakpastian suplai.
Dependence
Vulnerability : pulau-pulau kecil cenderung rentan terhadap bencana alam (natural disaster) dan ekosistem yang fragile. Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya alam di
pulau-pulau kecil merupakan stream benefits yang mengalir sepanjang waktu. Oleh karena itu, nilai ekonomi itu bisa terdepresiasi, bisa pula terapresiasi, tergantung bagaimana kita mengelolanya. terdepresiasi
manakala
kerusakan
Nilai ekonomi akan jelas
lingkungan
yang
ditimbulkan
dari
pertumbuhan investasi yang tidak berkesinambungan menimbulkan biaya sosial dan lingkungan yang cukup mahal, yang harus ditanggung oleh masyarakat dalam jangka panjang. Sebagai contoh, konsesi pemanfaatan sumberdaya hutan di Pulau Choiseul, Solomon, hanya memberikan manfaat ekonomi sebesar US$ 18l162
terhadap masyarakat.
Jumlah ini dibayarkan sekali dalam periode
konsesi, sementara itu kerusakan lingkungan yang ditimbulkan mencapai US$ 158l451 sepanjang waktu, padahal nilai sumberdaya hutan sendiri mencapai US$ 10l500 per tahun (Cassel, 1993).
Banyak lagi contoh kasus kerugian
ekonomi yang ditimbulkan manakala pengelolaan ekonomi di pulau-pulau kecil tidak memperhatikan aspek-aspek pengelolaan yang berkesinambungan. Menurut Sugandhy (1998), apabila dalam jangka pendek tidak dilakukan usaha-usaha pengelolaan yang terintegrasi terhadap pengembangan pulau-pulau kecil akan terjadi beberapa masalah lanjutan, yaitu: (1) sumberdaya alam semakin menipis, (2) kondisi lingkungan akan semakin merosot, (3) pencemaran akan meningkat, dan (4) pola hunian tak mampu dikendalikan.
14 2.3 Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Salah satu concern utama dalam pengelolaan sumberdaya alam di pulaupulau kecil adalah menyangkut keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam yang terbatas tersebut. Dengan kata lain, pemanfaatan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil harus mengikuti kaedah atau prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, WCED (1987) dalam Kay dan Alder (1999), dasar pembangunan berkelanjutan adalah "pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengurangi atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya". Dengan demikian secara ekologis terdapat empat persyaratan utama untuk dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumberdaya wilayah pesisir dan laut yakni: (1) keharmonisan spasial, (2) pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) membuang limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan dan (4) merancang dan membangun prasarana dan sarana sesuai dengan dinamika ekosistem pesisir dan laut. Dalam memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, sebagai penyedia sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), hal yang perlu diperhatikan adalah : bahwa laju eksploitasi tidak boleh melebihi kemampuannya untuk pulih pada suatu periode tertentu, sedangkan pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) harus dilakukan dengan cermat agar tidak merusak lingkungan sekitarnya (Clark, 1988). Pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan juga mengharuskan adanya keseimbangan antara kegiatan ekonomi
dan
pelestarian
lingkungan.
Sebagaimana
dijelaskan
oleh
Djajadiningrat (1997) bahwa apabila semua kegiatan ekonomi dihentikan dengan harapan melindungi lingkungan, maka tindakan ini dapat menimbulkan proses degradasi lingkungan, terutama dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk. Sebaliknya, kerusakan lingkungan juga terjadi apabila pertumbuhan
15 ekonomi berjalan dengan cepat, tanpa mengindahkan pelestarian sumberdaya alam dan pengendalian pencemaran. Untuk menyelaraskan hal tersebut, maka tujuan kebijakan pengelolaan ekonomi harus difokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan cara menyeimbangkan antara kebijakan pertumbuhan mutu lingkungan dan pertumbuhan ekonomi. 2.4 Konversi Lahan di Kawasan Pesisir Kawasan pesisir dan wilayah pulau-pulau kecil Indonesia memiliki ekosistem yang cocok bagi pengembangan kegiatan budidaya udang di tambak air payau. Pengoperasian tambak udang biasanya dikembangkan di daerah pasang surut. Di kawasan tersebut tersedia air setinggi 0.8-1.5 m selama periode rata-rata pasang tinggi, yang dapat digunakan untuk budidaya udang dan untuk pengeringan secara sempurna pada saat diperlukan (BPPT, 1995). Konversi lahan mangrove di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi pertambakan memiliki dampak potensial, antara lain: (a) mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan mangrove sebagai nursery ground
pada stadium larva, (b) menurunkan
kemampuan mangrove untuk mengikat bahan pencemar, (c) pendangkalan perairan pesisir akibat sedimentasi, (d) intrusi garam melalui saluran tambak buatan manusia yang bermuara ke laut, dan (e) erosi pantai (Koesoebiono, 1996). Terdapat beberapa kerugian jika pembuatan tambak dilakukan di lahan mangrove, meskipun ada juga beberapa keuntungan yang bisa diraih. Naamin (1990) menjelaskan beberapa keuntungan membangun tambak di lahan mangrove yakni: (a) biaya pemilikan lahan relatif murah karena diangggap merupakan lahan marginal; (b) biaya penggalian tambak dan pemasokan air lebih mudah, karena elevasinya rendah; (c) pergantian air lebih mudah, terutama pada daerah pasang surut yang berkisar 1-3 m; (d) perairan pantai di sekitar hutan mangrove merupakan sumber benur dan nener; (e) bila pembangunannya memperhitungkan jalur hijau (green belt), lahan tambak akan terlindung dari
16 erosi dan badai; dan (f) sifat fisik dan mekanik lahan mangrove baik untuk tambak dan dapat menahan air tambak. Sementara itu kerugiannya adalah: (a) pembersihan lahan dan konstruksi tambak sangat sulit dilakukan terutama pada lahan mangrove yang didominasi oleh Rhizophora; (b) predator dan hama udang relatif lebih banyak dan (c); kondisi tambak kurang baik, karena terbukanya sedimen terhadap udara dapat mengakibatkan terjadinya oksidasi pirit menjadi asam sulfat, sehingga tanah menjadi sangat asam. Karenanya, budidaya udang dengan teknologi maju (intensif) cenderung tidak dilakukan di lahan mangrove, namun pada lokasi yang elevasinya lebih tinggi dari pasang tertinggi yang umumnya berupa sawah atau tegalan marjinal. Menurut Singh (1980), dan Hamilton dan Snedaker (1984) dalam Naamin (1990) kondisi ini dapat menyebabkan: (i) pertumbuhan udang maupun ikan lambat dan kematian tinggi karena lahan dan airnya terlalu asam. Dalam keadaan asam pertumbuhan udang menurun. Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan terhenti dan pada pH sekitar 4.0 akan terjadi kematian; (ii) respon pupuk sangat rendah; (iii) produksi pakan alami rendah; dan (iv) erosi tanggul menyebabkan air tambak menjadi asam. Untuk menjamin kelestarian mangrove mesti disediakan jalur hijau (green belt) sebagai kawasan sempadan pantai, yang secara ekologis bermanfaat untuk mempertahankan ekosistem pesisir beserta biotanya agar fungsi dan kekhasannya dapat terpelihara dan berkelanjutan. Namun, sejalan dengan pemenuhan kebutuhan manusia dan semakin menipisnya sumberdaya alam di daratan, membuat masyarakat cenderung untuk memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama pemanfaatan hutan mangrove yang dijadikan pertambakan (PKSPL-IPB, 2001). Penentuan kawasan jalur hijau pantai sudah ditetapkan melalui Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Penerapannya harus mempertimbangkan tatalguna lahan nasional, tatalguna lahan kesepakatan, keadaan sosial ekonomi, budaya masyarakat setempat dan kepentingan pertahanan dan keamanan. Lebar jalur hijau pantai ditetapkan mulai dari garis air surut terendah, ke arah darat atau dari laut ke batas tanggul tambak.
17 Jalur hijau mangrove berkelanjutan dapat terwujud jika pola penggunaan lahan di belakang jalur hijau memperhatikan kesesuaian lahan dan aspek-aspek yang mendukung kelestarian ekosistem mangrove. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: (a) kegiatan budidaya pada kawasan mangrove diupayakan tetap mempertahankan kelestarian ekosistem mangrove, (b) kegiatan budidaya tambak tidak menimbulkan limbah yang dapat merusak ekosistem mangrove, (c) kegiatan eksploitasi kayu di kawasan mangrove harus sesuai dengan sistem silvikultur yang dianjurkan, (d) regenerasi alami/buatan pada kawasan mangrove perlu dijaga dan dipertahankan untuk mendukung hasil panen yang lestari, dan (e) setiap bentuk kegiatan yang melakukan pembukaan lahan mangrove perlu menyiapkan dan melakukan kegiatan rehabilitasinya. Pembukaan lahan mangrove yang kurang cermat untuk pertambakan dapat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan akibat terjadinya perubahan ekologi. Kapestky (1982) menjelaskan bahwa perusakan daerah estuaria dapat menyebabkan laju sedimentasi dari pembasuhan suspensi bahan organik, sehingga
menurunkan
produktivitas
perairan.
Akibat
lainnya
adalah
penghancuran struktur tanah pantai (Darsidi dan Liang, 1986) dan terancamnya berbagai jenis fauna penghuni hutan mangrove (Suwelo dan Maanan, 1986). Oleh karena itu dengan terjadinya penyusutan luas mangrove akan berdampak negatif dan menjadi penyebab utama degradasi sumberdaya perikanan. Untuk itu konversi mangrove ke pertambakan harus dilakukan secara rasional dan berwawasan lingkungan. Menurut Soemarno (1986), Ilyas (1987), dan Poernomo (1988), lebar jalur hijau 50 m merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pembukaan tambak. Jalur hijau yang dipertahankan tidak saja yang berada di sepanjang pantai dan alur sungai, namun juga di areal antara tiap unit tambak. Dalam Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dijelaskan, untuk pengelolaan hutan mangrove, ditetapkan beberapa ketentuan berikut: (a) perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai, yaitu berupa daratan sepanjang tepian yang lebarnya minimal 100 m dari titik pasang
18 tertinggi ke arah darat (pasal 13 dan 14), atau paling sedikit selebar 130 kali beda tinggi pasang surut (tidal range); dan (b) perlindungan terhadap sempadan sungai untuk melindungi sungai agar fungsi sungai dan kualitas airnya tidak terganggu, yaitu sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar dan 50 m dari kiri kanan sungai kecil, atau 10-50 m dari sungai yang terletak di kawasan pemukiman (pasal 15 & 16). Dengan demikian, keputusan yang diambil untuk memilih lahan yang sesuai untuk pertambakan harus mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial.
Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan
(adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan dan kelestariannya (Hardjowigeno, 2001). Kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian lahan secara sistematik dengan mengkategorikannya berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kelayakan suatu usaha atau penggunaan tertentu. Untuk tujuan pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan kesesuaian lahan untuk kegiatan pertambakan udang, maka klasifikasi kesesuaian lahan ditujukan untuk mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan, serta menjamin kegiatan pertambakan udang tersebut dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan (integrated and sustainable development), ditinjau secara ekologis maupun sosial ekonomis. 2.5 Pemodelan (Modelling) Salah satu pertanyaan mendasar dalam memecahkan permasalahan pengelolaan sumberdaya alam yang kompleks di wilayah pulau-pulau kecil adalah pendekatan apakah yang kira-kira
mampu
mengakomodasikan
kompleksitas pengelolaan tersebut. Dalam konteks analisis, pemodelan dapat dijadikan sebagai wahana (vehicle) untuk membantu memecahkan masalah tersebut. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa komponen atau variabel yang penting dalam pemodelan.
19 a. Sistem Sistem berasal dari kata “systema” dalam bahasa Yunani yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian (Winardi, 1999). Setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki sekurang-kurangnya dua komponen yang dapat dipisahkan dan yang saling berinteraksi dapat dianggap sebagai suatu sistem (Hall dan Day, 1977). Dalam hubungan ilmu-ilmu fisika dan biologi, suatu sistem adalah sebuah pengaturan koleksi dari interelasi komponen fisik dengan karakteristik yang dibatasi dan unit fungsional (Grant et al., 1997). Definisi lain yang lebih umum adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al., 2001). Menurut Manetsch dan Park (1977), sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Suatu sistem merupakan himpunan atau kombinasi dari bagianbagian yang membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Namun tidak semua kumpulan dan gugus bagian dapat disebut suatu sistem kalau tidak memenuhi syarat adanya kesatuan (unity), hubungan fungsional dan tujuan yang berguna. Selanjutnya Prahasta (2001) lebih menekankan pada sekumpulan obyek, ide, yang saling berhubungan dalam mencapai tujuan dan sasaran bersama. Apabila didasarkan pada sudut pandang filosofis , suatu sistem dapat diartikan sebagai bangunan aktual dari alam atau upaya manusia untuk memberlakukan aturan terhadap setiap kekacauan yang terjadi di alam. Ilmu sistem ditumbuh kembangkan untuk merangkai secara utuh komponen-komponen
yang
berharga
dari
pengetahuan
spesialis,
dan
mewujudkannya menjadi gambaran yang jelas. Teori sistem dimanfaatkan guna mempelajari kenyataan akan aturan yang sistematis dan ketergantungan (interdependendency).
Dalam mendefinisikan suatu sistem, yang paling
penting adalah perihal relevansi (kesesuaian). Oleh karena itu, adalah penting untuk selalu membayangkan suatu sistem sebagai koleksi yang terisolir dari komponen-komponen yang berinteraksi.
20 Setiap fenomena, baik struktural maupun fungsional, yang memiliki sekurangnya dua komponen yang dapat dipisahkan dan yang saling berinteraksi dapat dianggap sebagai suatu sistem.
Suatu sistem dapat diartikan sebagai
bangunan aktual dari alam atau upaya manusia (misalnya, taksonomi) untuk memberlakukan aturan terhadap setiap kekacauan yang terjadi di alam. Analisis sistem merupakan suatu penelitian mengenai sistem yang bersangkutan, atau mengenai sifat-sifat umum dari sistem tersebut. Holisme adalah filosofi mengenai penelitian terhadap perilaku total (atau atribut-atribut total lainnya) dari suatu sistem yang rumit. Sistem seringkali diklasifikasikan sebagai: (1) sistem-sistem alamiah (natural systems) dan (2) sistem-sistem buatan (man-made systems) (Winardi, 1999).
Sistem alamiah terdiri dari sistem fisik misalnya: matahari, bumi,
molekul hingga atom dan sistem yang mengandung kehidupan (living system) atau sistem biologis seperti manusia, hewan dan tanaman. Sedangkan sistem buatan terdiri dari sistem sosial (social system), yaitu: keluarga, organisasi, agama, juga sistem mekanistik (mechanistic system) seperti sebuah mobil, sebuah jam dan lain-lain.
Khusus sistem organisasi, terdiri dari sistem
operasional, sistem manajemen atau sistem keputusan, dan sistem informasi (Suryadi dan Ramdhani, 2000). Selanjutnya sistem informasi ini merupakan kesatuan (entity) formal yang terdiri dari berbagai sumberdaya baik fisik maupun logika (Prahasta, 2001). Dari organisasi ke organisasi, sumberdayasumberdaya ini disusun atau distrukturkan dengan beberapa cara yang berlainan karena organisasi dan sistem informasi merupakan sumberdaya-sumberdaya yang bersifat dinamis. Dengan demikian, struktur organisasi yang dibuat pada saat ini bisa jadi harus dimodifikasi keesokan harinya. Jadi diperlukan konsep secara
logis
dapat
menggambarkan
struktur
sistem
informasi,
yang
direpresentasikan oleh semua sumberdaya fisiknya, untuk berbagai ukuran sistem informasi di dalam bermacam-macam tipe organisasi. Fungsi logis di sini, digunakan untuk penalaran yang selanjutnya dapat digunakan untuk analisis, penjelasan, argumen, dan bahkan untuk penyelesaian masalah (Poerwowidagdo, 2001)
21 Sistem informasi berbasis komputer dibagi lagi menjadi: sistem manajemen data dasar (databased management system), sistem informasi manajemen (management information system), sistem penunjang keputusan (decision support system), dan sistem pakar (expert system) (Marimin, 2002). Selain dari sistem informasi sebelumnya beberapa pakar geografi masih menambahkan sistem informasi geografis (SIG), yaitu suatu paradigma baru dalam proses pengambilan keputusan dan penyebaran informasi.
Dari
merepresentasikan ”dunia nyata” dapat disimpan dan diproses sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana sesuai kebutuhan (Prahasta, 2001 dan Jaya, 2002). Berbagai sistem telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, namun demikian masing-masing dari sistem-sistem tersebut memiliki komponenkomponen yang juga dapat dianggap sebagai sistem, dan masing-masing dari komponen tersebut merupakan bagian dari sistem yang lebih luas lagi. Jadi, setiap sistem yang ingin diteliti merupakan bagian dari suatu hierarki dalam sistem-sistem yang lain. Terserah pada kita untuk memilih bagian mana dari hierarki tersebut yang akan diteliti, dan usaha pertama yang harus dilakukan adalah mendefinisikan batasan-batasan spasial, temporal, dan konseptual yang akan dibahas. Sistem-sistem alam yang diawali dengan organisme individu, yang kemudian beranjak ke arah yang lebih rumit lagi. Ikan yang berasal dari satu spesies merupakan bagian dari suatu populasi ikan. Populasi ikan, bersama dengan populasi satwa lain (mamalia, moluska, dan lain-lain) dan populasi tumbuhan air dengan siapa mereka berinteraksi dalam lingkungan spasial, dianggap sebagai komunitas. Komunitas, bersama dengan lingkungan tidak hidup (non-living) membentuk suatu ekosistem, yang merupakan kependekan dari sistem-sistem ekologi.
Seluruh kehidupan di bumi ini secara kolektif
disebut biosphere. Suatu sistem dapat dinyatakan secara deskriptif dalam bentuk pernyataan (statement) yang dirumuskan dalam kata-kata atau kalimat. Gejala-gejala alam sehari-hari, atau peristiwa-peristiwa alam di waktu yang lalu, apabila diamati
22 secara seksama mengikuti pola-pola alami yang dapat dijelaskan dengan analisis matematika. Dalam membuat pertanyaan, ataupun pernyataan digunakan nalar atau logika. Subsistem adalah suatu unsur atau komponen fungsional daripada suatu sistem, yang berperan dalam pengoperasian sistem tersebut. sistem (entity) berbeda dengan subsistem dari sistem.
Elemen suatu
Untuk membedakan
subsistem dengan elemen, maka diperlukan pembahasan atas tingkat resolusi (penguraian). Subsistem dikelompokkan dari bagian-bagian sistem yang masih berhubungan satu sama lain pada tingkat resolusi tertinggi, sedangkan elemen dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi rendah (Eriyatno, 1999). b. Model Dalam bidang ilmu pengetahuan suatu model merupakan abstraksi (abstraction), ataupun penyederhanaan (simplification) dari suatu sistem, dan untuk menafsirkannya (Jorgensen, 1988; Hall dan Day, 1977 dan Grant et al., 1997).
Dengan kata lain, model dalam arti luas merupakan penggambaran
sebagian dari kenyataan. Model-model dari ekosistem jauh lebih sederhana daripada ekosistem yang sebenarnya.
Suatu model harus memiliki atribut-
atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata. Tentu saja suatu model tidak akan dapat memiliki seluruh atribut, karena kalau hal tersebut terjadi, yang dihasilkan bukanlah suatu model, melainkan suatu sistem nyata. Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran terhadap suatu sistem yang rumit, dan kadang-kadang untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang mungkin akan mahal harganya, sulit, ataupun bersifat destruktif terhadap sistem nyata yang bersangkutan. Definisi lainnya adalah model merupakan alat untuk meramalkan perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami, dari perilaku bagian-bagian yang dipahami dengan baik. Definisi yang lain lagi, model dapat dianggap sebagai suatu formalisasi dari pengetahuan mengenai suatu sistem.
23 Pemodelan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia.
Cikal bakal pemodelan sudah ada sejak zaman Mesir kuno,
Babylonia, zaman kejayaan Yunani dan Romawi.
Di zaman Mesir kuno,
masyarakat Mesir dianugerahi Sungai Nil yang setiap tahun mengalami banjir. Banjir di Sungai Nil tersebut membawa bencana sekaligus anugerah. Dikatakan bencana, sebab banjir pada gilirannya akan menghilangkan batas-batas kepemilikan lahan.
Dikatakan anugerah, sebab banjir justru membawa
kesuburan bagi lahan-lahan pertanian di sepanjang Sungai Nil. Masyarakat Mesir kuno juga dihadapkan pada sistem perekonomian dengan pajak yang amat tinggi. Setiap tahun pemerintahan Firaun menghitung pajak yang harus dibayar masyarakat berdasarkan luas area lahan yang dimiliki dan juga tinggi air permukaan akibat banjir. Yang menolak membayar pajak harus menghadapi hukuman yang amat keras, bahkan kematian. seperti
itulah
masyarakat
Mesir
kuno
Dihadapkan pada kehidupan
harus
berpikir
keras
untuk
mengembangkan metode pengukuran yang tepat dan akurat. Sistem pengukuran yang dilakukan masyarakat Mesir kuno dikenal sangat impressive dan reliable. Tidaklah mengherankan jika kemudian hasil karya mereka, seperti pyramid dan sphynx, menjadi salah satu monumen peradapan dunia yang sangat menakjubkan.
Dan itu semua dilakukan melalui proses pemodelan atau
modelling, khususnya mental modelling (Fauzi dan Anna, 2005). Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa proses pemodelan di zaman modern saat ini berakar dari cara berpikir masyarakat Yunani dalam mengekspresikan dan mengabstraksikan sistem yang kompleks ke dalam penyederhanaan berpikir melalui pendekatan geometrik dan matematik. Adalah seorang pemikir Yunani bernama Thales yang pada 2.500 tahun lalu pertama kali menemukan bahwa matematika tidak hanya dapat digunakan untuk menghitung, namun juga untuk mempelajari alam semesta. Salah satu temuan Thales yang paling terkenal ketika itu adalah kemampuannya untuk memprediksi gerhana matahari yang terjadi pada tahun 585 SM dengan sangat tepat. Thales juga dikenal sebagai penemu pertama sistem berpikir logis (system of logical reasoning) yang merupakan akar dari pemodelan.
24 Dari peradaban Mesir kuno, Babylonia, Romawi dan Yunani, pemodelan terus berkembang sampai ke zaman peradaban modern saat ini.
Bahkan
kemudian pemodelan menjadi lebih kompleks dan sering bersifat surealis. Namun, terlepas dari itu, model dan pemodelan telah membantu manusia memahami sistem alam yang kompleks, dari mikroskopis sampai makroskopis (Fauzi dan Anna, 2005). Sistem digambarkan ke dalam suatu model sebagai representasi atau formalisasi dari suatu sistem nyata atau dengan kata lain suatu model merupakan abstraksi ataupun penyederhanaan dari suatu sistem. Model digunakan untuk memberikan gambaran (description), memberikan penjelasan (prescription), dan memberikan perkiraan (prediction) dari realitas yang diselidiki.
Pembuatan
model adalah perluasan dari suatu analisis ilmiah. Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut sebagai modelling atau pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis. Secara skematis, proses pemodelan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Ditampilkan melalui indra persepsi
Dunia Nyata Pemodel Dunia Model Ditampilkan kembali sebagai hasil proses berpikir
Gambar 2. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005)
25 Model-model dari ekosistem jauh lebih sederhana daripada ekosistemekosistem yang sebenarnya, seperti halnya model pesawat terbang jauh lebih sederhana daripada pesawat terbang yang sebenarnya. Suatu model harus memiliki atribut-atribut fungsional penting yang terkandung dalam sistem nyata. Tentu saja suatu model tidak akan dapat memiliki seluruh atribut; karena kalau hal tersebut terjadi, yang dihasilkan bukanlah suatu model, melainkan suatu sistem nyata. Pembuatan model dilakukan untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran terhadap suatu sistem yang rumit dan, kadang-kadang, untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang mungkin akan mahal harganya, sulit, ataupun bersifat destruktif terhadap sistem nyata yang bersangkutan. Definisi lainnya adalah bahwa model merupakan alat untuk meramalkan perilaku dari suatu kesatuan, yang rumit dan kurang dipahami, dari perilaku bagian-bagian yang dipahami dengan baik (Goodman, 1975 dalam Hall dan Day, 1977). Definisi ketiga adalah bahwa model dapat dianggap sebagai suatu formalisasi dari pengetahuan mengenai suatu sistem. Untuk saat ini, definisi yang pertama, yaitu bahwa model adalah suatu penyederhanaan, merupakan definisi yang paling bermanfaat. Pembuatan model diperlukan untuk memahami alam karena alam sangatlah rumit. Bagaimanapun, model-model yang dibuat harus sering diperiksa kaitannya dengan dunia nyata untuk memastikan keakuratan dari gambaran mengenai model-model tersebut. Alat yang paling baik digunakan adalah sifat saling mempengaruhi antara model dengan empirisme, yang secara idealnya berada dalam suatu rangkaian bolak-balik. Analisis terhadap sistemsistem yang rumit, dan pembuatan model dari sistem-sistem tersebut, berkebalikan dengan kecenderungan-kecenderungan reduksionis dalam hal ilmu. Baru-baru ini, mengisolasi dan mengontrol komponen-komponen alam yang sangat kecil telah menjadi alat penelitian yang paling baik dalam membantu manusia memahami alam (Platt, 1968).
26 Dua tipe utama dari model ekologi (dan pembuat model) yang sering digunakan dan dapat diklasifikasikan dengan baik adalah model analitik dan model simulasi. Meskipun kedua pendekatan tersebut, secara teoritis, diarahkan pada peningkatan pemahaman dan ramalan mengenai sistem-sistem ekologi dan komponen-komponennya. Dalam prakteknya, kedua metode tersebut umumnya digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat jauh berbeda, dan pendekatan-pendekatan matematika yang digunakan pun jauh berbeda pula. Pendekatan analitik mengacu pada sejumlah prosedur matematika dalam menemukan pemecahan yang tepat untuk persamaan diferensial dan persamaan lainnya. Karena perilaku dari beberapa jenis persamaan matematika telah cukup dikenal, pendekatan analitik memiliki kemampuan yang hebat apabila beberapa aspek alam dapat digambarkan dengan baik oleh satu atau beberapa persamaan tersebut. Pendekatan analitik telah berhasil digunakan dalam bidang fisika; misalnya, terdapat banyak interaksi antar partikel yang dapat digambarkan dengan baik (secara rata-rata) oleh ekspresi-ekspresi matematika yang relatif sederhana. Sebenarnya, selama partikel-partikel tersebut memberikan respon dalam gaya yang sama dengan persamaan-persamaan analitik, ilmuwan yang menggunakan prosedur-prosedur analitik tersebut memiliki kemampuan prediktif yang luar biasa, karena perilaku dari partikel-partikel tersebut dapat diketahui dengan cara meneliti respon dari persamaan-persamaan matematika yang bersangkutan.
Model matematika menggunakan notasi-notasi dan
persamaan-persamaan matematika untuk mempresentasikan sistem.
Atribut-
atribut dinyatakan dengan variabel-variabel, dan aktivitas-aktivitas dinyatakan dengan fungsi matematika yang menjelaskan hubungan antar variabel tersebut (Suryadi dan Ramdhani, 2000). Pendekatan analitik telah cukup banyak digunakan
dalam beberapa
aspek dari ekologi, terutama populasi biologi dan populasi genetika. Metodemetode analitik juga bermanfaat untuk pembuatan model-model teoritis yang akan menjadi landasan untuk pembuatan teori ekologi. Dalam beberapa kasus, model-model
analitik
manajemen populasi.
bermanfaat
untuk
pembuatan
program-program
27 c. Simulasi Simulasi adalah proses pembangkitan pola terhadap waktu yang dihasilkan
dari
operasi
sistem.
Dengan
bantuan
komputer,
simulasi
menunjukkan apa yang dilakukan sistem terhadap waktu (Odum, 1992). Simulasi mencakup usaha membentuk sebuah model eksperimental tentang sesuatu proses atau sistem keputusan, untuk kemudian mengevaluasi berbagai macam alternatif-alternatif spesifik dengan jalan menguji model yang bersangkutan secara berulang (Winardi, 1999).
Menurut Eriyatno (1999),
simulasi merupakan suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulankesimpulan tentang perilaku suatu sistem, melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya. Selanjutnya Suryadi dan Ramdhani (2000) mendefinisikan simulasi sebagai proses mendesain model dari suatu sistem nyata dengan melakukan eksperimen dengan model tersebut untuk memahami perilaku sistem itu dan/atau mengevaluasi berbagai strategi operasi dari sistem. Model simulasi menitik-beratkan pada pendekatan meniru atau memodelkan masalah yang dihadapi setepat mungkin untuk kemudian melaksanakan eksperimen dengan model tersebut dengan cara sistematis sehingga dapat dibandingkan dengan berbagai macam alternatif, guna menetapkan kebijakan yang lebih baik. Teknik simulasi telah lama dikenal sebagai alat penting bagi seorang perencana. Dengan adanya kemajuan yang pesat dari penggunaan komputer, teknik tersebut telah menjadi bagian yang penting dalam bidang manajemen. Simulasi menjadi alat mutakhir untuk mengadakan eksperimen dalam penelitian operasional dan teknik sistem.
Penentuan simulasi dapat diartikan sebagai
pembagian model abstrak ke dalam bagian yang lebih kecil, kemudian dihubungkan dengan perilaku masing-masing bagian. Simulasi dasar komputer dilakukan untuk menunjukkan pengaruh dari masing-masing interaksi. Sesudah penyusunan model, kemudian dilanjutkan dengan mencari input data untuk
28 simulasi operasi yang benar dari sutatu sistem yang telah berjalan. Dengan melakukan ulangan, maka akan diperoleh suatu alternatif dari berbagai rancangan konfigurasi. Simulasi lebih menunjukkan suatu estimasi statistik, dibanding hasil yang eksak dan lebih cenderung hanya merupakan suatu perbandingan dari berbagai alternatif untuk mendekati titik optimum. Simulasi ini sering dikenal sebagai simulasi stokastik atau simulasi Monte Carlo yang menggunakan pemodelan matematika untuk mempelajari suatu sistem yang berkarakteristik adanya kejadian acak (random events). Kejadian acak ini diekspresikan dalam unit variabel acak yang nilainya didapatkan melalui aplikasi komputer. Perihal keragaman yang terjadi di dunia nyata dapat ditelaah melalui reproduksi secara artifisial dari perilaku sistem. Hasil akhir simulasi umumnya berupa informasi dalam bentuk angka tentang kinerja sistem, sehingga belum memberikan informasi hubungan sebab akibat (Eriyatno, 1999). Namun demikian, dapat dimanfaatkan dalam banyak hal yang meliputi: (1) analisis terinci dari kebijakan tertentu, (2) analisis sensitivitas, (3) perbandingan antara beberapa alternatif kebijakan (skenario), (4) penilaian antara biaya dan manfaat. Menurut Suryadi dan Ramdhani (2000), model matematis yang dipelajari dengan simulasi dapat ditinjau dari tiga dimensi yang berbeda, yaitu: (1) Statis-dinamis: model simulasi dapat digunakan untuk menggambarkan sistem yang bersifat baik statis maupun dinamis. Model simulasi statis adalah model yang menggambarkan sistem dimana keadaannya tidak dipengaruhi waktu. Model simulasi dinamis adalah model simulasi yang keadaan sistemnya berubah dipengaruhi waktu. (2) Stokastik-deterministik: model simulasi dapat menggambarkan keadaan yang bersifat pasti (deterministik) atau tidak mengandung unsur probabilitas, dan bersifat tidak pasti (stokastik) dengan mengandung unsur probabilitas yang ditandai dengan adanya kerandoman input dari model. (3) Kontinu-diskrit:
model simulasi disebut diskrit jika status sistem
berubah pada waktu yang diskrit. Sedangkan model simulasi disebut
29 kontinu jika status variabelnya berubah seiring berjalannya waktu. Variabel-variabel model simulasi dapat berubah dengan cara:
Kontinu setiap saat
Diskrit setiap saat
Kontinu pada saat-saat tertentu
Diskrit pada saat-saat tertentu.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan manakala memilih simulasi sebagai teknik pendukung keputusan, yaitu: (1) Simulasi tidak dapat mengoptimasi performansi sistem, tetapi hanya menggambarkan atau memberi jawaban atas pertanyaan ”apa yang akan terjadi” (2) Simulasi tidak memberikan pemecahan masalah, tetapi hanya menyediakan informasi yang menjadi dasar pengambilan keputusan (3) Simulasi juga tidak dapat memberikan hasil yang akurat atas karakteristik sistem jika datanya tidak akurat dan modelnya tidak dinyatakan dengan jelas. Manfaat utama dari penggunaan simulasi adalah sifat fleksibelitasnya. Secara praktis setiap permasalahan yang mengandung
resiko dapat dikaji
dengan derajat ketepatan yang memadai melalui suatu model simulasi. Simulasi tidak dapat dipisahkan dengan unsur ketepatan. Simulasi lebih menunjukkan suatu estimasi statistik, dibanding hasil yang eksak dan lebih cenderung hanya merupakan suatu perbandingan dari berbagai alternatif untuk mencapai titik optimum. 2.6 Optimisasi Sumberdaya Perikanan Pada dasarnya pembangunan ekonomi di sebagian besar negara di dunia adalah berbasiskan pada sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang menjadi tulang punggung ekonomi, adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya inipun rentan terhadap deteriorasi yang diakibatkan oleh aktivitas ekonomi. Oleh karenanya timbul pertanyaan bagaimana mengelola sumberdaya perikanan
30 yang terbaik yang akan menghasilkan kesejahteraan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat dan bangsa. Pemikiran ke arah tersebut sudah dimulai sejak tahun 1911 ketika Jan Warming (ekonom Norwegia) mempublikasikan artikelnya yang berjudul Om Grunrente av Fiskegrunde atau “hal rente ekonomi fishing ground” (Fauzi, 2001). Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya perikanan banyak didasarkan pada faktor biologis semata, dengan pendekatan yang disebut maximum sustainable yield (MSY) atau tangkapan maksimum yang lestari. Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini di panen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable) (Fauzi, 2004). Pendekatan biologi dengan menggunakan kerangka surplus produksi ini sendiri merupakan salah satu pendekatan dari tiga pendekatan umum yang biasa dipakai khususnya untuk perikanan yang multi spesies. Pendekatan lain seperti Total Biomass Schaefer Model (TBSM) yang dikembangkan oleh Brown et al. (1976), Pope (1979), Pauly (1979) dan Panayatou (1985), serta pendekatan independen single species yang dikembangkan oleh Anderson dan Ursin (1976) dan May et al. (1979) memerlukan data dan perhitungan yang ekstensif sehingga sulit diterapkan wilayah yang memiliki multi spesies (Fauzi, 1998). Dalam model surplus produksi, dinamika dari biomas digambarkan sebagai selisih antara produksi dan mortalitas alami sebagaimana digambarkan pada persamaan berikut: Biomas pada t+1 = biomas pada t + produksi - mortalitas alami Persamaan tersebut di atas menyatakan bahwa jika produksi melebihi mortalitas alami, maka biomas akan meningkat, sebaliknya jika mortalitas alami lebih tinggi dari pada produksi, maka biomas akan menurun. Istilah surplus produksi sendiri menggambarkan perbedaan atau selisih antara produksi dan
31 mortalitas alami di atas. Lebih jauh Hilborn dan Walter (1992) menyatakan bahwa surplus produksi menggambarkan jumlah peningkatan stok ikan dalam kondisi tidak ada aktifitas penangkapan atau dengan kata lain jumlah yang bisa ditangkap jika biomas dipertahankan dalam tingkat yang tetap (Fauzi, 1998). Salah satu tipe surplus produksi yang biasa digunakan adalah yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) berdasarkan model yang dikembangkan sebelumnya oleh Graham (1935). Model Schaefer ini digambarkan sebagai berikut: jika dimisalkan bahwa x adalah biomas dari stok yang diukur dalam berat, r adalah laju pertumbuhan alami dari populasi (intrinsict growth rate), dan K adalah daya dukung maksimum lingkungan (environmental carrying capacity), atau keseimbangan alamiah dari ukuran biomas, maka dalam kondisi tidak ada aktifitas penangkapan (non-fishing), laju perubahan biomas sepanjang waktu digambarkan sebagai: dx = f (x) dt
(2.1)
dimana f (x) adalah fungsi pertumbuhan. Salah satu fungsi pertumbuhan yang sering digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik yang dituliskan pada persamaan berikut:
dx x = rx(1 − ) dt K
(2.2)
Dengan mengintroduksi penangkapan (h) ke dalam model, dan jika diasumsikan bahwa penangkapan berkorelasi linear terhadap biomas (x) dan input produksi atau effort (E), atau h=qxE dimana q adalah koefisien daya tangkap, maka laju pertumbuhan biomas menjadi: dx x = rx(1 − ) − qxE dt K
(2.3)
Dengan menggunakan asumsi keseimbangan dimana laju pertumbuhan mendekati nol, atau dx/dt=0, maka diperoleh hubungan antara hasil tangkapan
32 lestari (sustainable yield) dan input yang digunakan, yang digambarkan dalam kurva parabolik pada Gambar 3.
H
M SY M SY
E M SY
Effort
Gambar 3. Kurva yield effort
Dari kurva tersebut terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan (effort =0), maka produksi juga akan nol. Kemudian effort akan mencapai titik yang maksimum pada EMSY yang berhubungan dengan tangkap maksimurn lestari (HMSY).
Di dalam pendekatan biologi, pengelolaan sumberdaya
perikanan yang optimal dilakukan pada titik HMSY ini, karena pada titik inilah diperoleh tingkat produksi yang maksimum, dengan asumsi bahwa ekosistem dalam keadaan keseimbangan, koefisien tangkap (catchability coeffisien) konstan (Clark, 1990) dan tidak ada dependensi antar spesies (Conrad dan Clark, 1987). Namun demikian, menurut Fauzi (2004), pendekatan pengelolaan dengan konsep ini banyak dikritik oleh berbagai pihak sebagai pendekatan yang terlalu sederhana dan tidak mencukupi. Kritik yang paling mendasar di antaranya adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam. Lebih jauh Conrad dan Clark (1987) misalnya menyatakan bahwa pendekatan MSY antara lain:
tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion)
33
didasarkan pada konsep keseimbangan (steady state) semata, sehingga tidak berlaku pada kondisi non-steady state
tidak memperhitungkan nilai ekonomis apabila stok ikan tidak dipanen (imputed value)
sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri ragam jenis (multi species). Menyadari kelemahan ini, pendekatan ekonomi pengelolaan sumberdaya
perikanan mulai dikembangkan pada awal tahun 1950-an.
Titik tolak
pendekatan ekonomi pengelolaan perikanan bermula dari publikasi tulisan Gordon (1954), seorang ekonom dari Kanada.
Dalam artikelnya, Gordon
menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumberdaya ikan relatif bersifat terbuka. Siapa saja dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya tersebut.
Gordon
menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing)1 akan terjadi pada perikanan yang tidak terkontrol (Fauzi, 2004). Gordon memulai analisisnya berdasarkan asumsi konsep
produksi
biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883 yang kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan yaitu Schaefer, pada tahun 1957. Dari sinilah istilah teori Gordon-Schaefer kemudian dikenal. Untuk memahami teori Gordon-Schaefer, perlu dikemukakan beberapa konsep dasar biologi perikanan terlebih dahulu (Fauzi, 2004). Dimisalkan bahwa pertumbuhan populasi ikan (x) pada periode t pada suatu daerah terbatas adalah fungsi dari jumlah populasi tersebut. Dengan kata lain, perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu, ditentukan oleh populasi pada awal periode. Fungsi pertumbuhan seperti ini disebut sebagai density dependent growth. Secara grafik, fungsi pertumbuhan ikan yang bersifat density dependent tersebut dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada Gambar 4. 1
Istilah ini merujuk pada situasi dimana faktor input dari perikanan telah digunakan melebihi kapasitasnya untuk memanen stok ikan. Secara sederhana bisa dijelaskan bahwa untuk menangkap ikan yang sedikit diperlukan input perikanan yang banyak.
34
F(x)
xm
x*
x
(a)
F(x)
xc
xm x*
x
(b) Gambar 4.
Kurva pertumbuhan populasi yang bersifat density dependent
(Fauzi, 2004).
35 Gambar 4 memperlihatkan bahwa pertumbuhan meningkat sejalan dengan peningkatan stok sampai mencapai titik maksimum pada x* kemudian menurun, pertumbuhan nol terjadi pada titik xm , dimana xm adalah daya dukung maksimum lingkungan atau carrying capacity. Pada Gambar 4a, pertumbuhan stok positif pada interval 0 ≤ x ≤ xm sementara pada Gambar 4b, pertumbuhan positif dicapai pada interval stok xc ≤ x ≤ xm, dan pertumbuhan negatif pada interval 0 ≤ x ≤ xc. Selanjutnya xc merupakan titik kritis atau minimum viable population (mvp). Fenomena seperti ini bisa saja terjadi manakala pemijahan sulit dilakukan karena sukarnya mencari pasangan pada tingkat kepadatan yang rendah (low density). Meski banyak sekali bentuk fungsi pertumbuhan yang bersifat density dependent, salah satu bentuk fungsi yang sederhana dan sering digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model) (Fauzi, 2004). Model Gordon-Schaefer adalah model ekonomi perikanan yang didasarkan pada faktor input, yakni upaya.
Untuk memahami bagaimana
pengelolaan perikanan yang optimal secara ekonomis
juga bisa dilakukan
dengan pendekatan faktor output atau produksi (yield). Pendekatan ini pertama kali dikembangkan oleh Copes (1972) yang juga seorang perintis teori ekonomi perikanan.
Selain itu, dalam memahami ekonomi sumberdaya ikan, Copes
lebih mendekatinya dari sisi kriteria optimisasi kesejahteraan (welfare optimization) dengan menggunakan analisis surplus konsumen (consumer’s surplus), surplus produsen (producer’s surplus), dan rente sumberdaya (resource rent). Model Copes ini juga berbeda dengan model Gordon dalam hal penggunaan asumsi terhadap harga. Pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal bisa dilihat dari berbagai sisi stakeholder yakni, pemerintah, masyarakat (konsumen) dan pelaku sendiri (produsen). Dari ketiga aspek ini, Copes melihat surplus yang mungkin dihasilkan dari pengelolaan sumberdaya perikanan. Salah satu hal yang penting dari teori Copes adalah mengenai "back ward bending supply curve" dari perikanan. Kurva itu menggambarkan bahwa suplai dari produk perikanan tidak tak terbatas karena faktor ekologi (daya dukung
36 lingkungan) tidak akan mampu terus menerus mendukung produksi. Dengan demikian pengelolaan perikanan juga sangat ditentukan oleh ketersedlaan sumberdaya. Dalam model Gordon, harga per unit output diasumsikan konstan, sehingga pengukuran terhadap surplus konsumen tidak mungkin dilakukan. Sebaliknya, dalam model Copes, harga per unit output mengikuti kurva permintaan, memiliki kemiringan yang negatif sehingga pengukuran terhadap surplus konsumen dimungkinkan. Dengan memasukkan parameter ekonomi yakni harga dari output (harga ikan per satuan berat) dan biaya dari input (cost per unit effort), Gordon mentransformasikan kurva yield effort dari Schaefer di atas menjadi kurva yang menggambarkan antara manfaat bersih (total revenue dan total cost) yang dihasilkan dari sumberdaya perikanan dengan input
Biaya, Penerimaan (Rp)
produksi (effort) yang digunakan sebagaimana terlihat pada Gambar 5.
B
TC
πmax C
E0
TR
EMSY
E∞
Upaya
Gambar 5. Model Gordon-Schaefer
Gambar 5 memperlihatkan bahwa terdapat tiga jenis rente ekonomi sumberdaya yang diartikan sebagai selisih (surplus) dari penerimaan yang diperoleh dari sumberdaya setelah kurangi seluruh biaya ekstraksi dihasilkan pada titik EO, EMSY dan E∞.
Gambar tersebut dapat juga digunakan untuk
menguraikan inti dari model Gordon-Schaefer mengenai pengelolaan perikanan
37 dalam dua rezim pengelolaan yang berbeda. Dalam kondisi pengelolaan yang bersifat terbuka (open access), keseimbangan pengelolaan akan dicapai pada tingkat upaya E∞, dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total (TC). Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya oportunitas dan rente ekonomi sumberdaya atau manfaat ekonomi tidak diperoleh. Rente ekonomi sumberdaya (economic rent) dalam hal ini diartikan sebagai selisih antara total penerimaan dari ekstraksi sumberdaya dengan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat upaya dalam kondisi keseimbangan yang oleh Gordon disebut “bioeconomic equilibrium of open access fishery” atau keseimbangan bionomik dalam kondisi akses terbuka.
Secara intuisi, keseimbangan bioekonomi dapat dijelaskan
bahwa pada setiap tingkat upaya lebih rendah dari E∞ (sebelah kiri dari E∞), penerimaan total akan melebihi biaya total sehingga pelaku perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku masuk ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih tinggi dari E∞ (di sebelah kanan dari E∞), biaya total melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar (exit) dari perikanan. Dengan demikian hanya pada tingkat upaya E∞ keseimbangan tercapai, sehingga proses entry dan exit tidak terjadi. Dengan kata lain, keseimbangan open access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry maupun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Hal ini identik dengan kondisi tiadanya hak pemilikan (property rights) pada sumberdaya atau lebih tepatnya adalah ketiadaan hak pemilikan yang bisa dikuatkan secara hukum (enforceable) (Fauzi, 2004). Lebih lanjut, Fauzi (2004) menyatakan bahwa keuntungan lestari yang maksimum (maximum sustainable rent) akan diperoleh pada tingkat upaya di mana jarak vertikal antara penerimaan dan biaya merupakan jarak terbesar (garis BC). Dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut sebagai maximum economic yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi, dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial (socially
38 optimum). Kalau dibandingkan antara tingkat upaya pada keseimbangan open access dengan tingkat upaya optimal secara sosial (EO), akan terlihat bahwa pada kondisi open access tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat (missalocation) karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal) yang bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Inilah sebetulnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan yang open access akan menimbulkan kondisi economic overfishing. Lebih jauh lagi, tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara sosial (EO) jauh lebih kecil dibanding yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY (EMSY). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat upaya pada titik keseimbangan terlihat lebih bersahabat dengan lingkungan (conservative minded) dibandingkan dengan tingkat upaya pada pen access (Hanneson, 1987). Dua puluh tahun setelah publikasi Gordon, dua pemikiran teoritis optimasi pengelolaan sumberdaya perikanan dikembangkan kembali oleh Copes (1972) dan Clark dan Munro (1975).
Copes (1972) mencoba mengisi
kekurangan model Gordon dengan memasukan faktor welfare effect didalam modelnya, sementara Clark dan Munro (1975) mengembangkan model dinamis dari pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal yang sebelumnya diabaikan. Baik model Gordon maupun model Copes menganalisis pengelolaan perikanan di dalam framework statis. Artinya aspek intertemporal (antar waktu) yang terkait dengan sumberdaya perikanan maupun pelaku industri sendiri tidak diperhitungkan. Misalnya, di dalam model Gordon, pengalihan excess effort dari kondisi open access ke EO dilakukan seketika tanpa memperhitungkan faktor penyesuaian.
Padahal, stok ikan sendiri memerlukan waktu untuk tumbuh,
demikian juga pengurangan input dari tingkat E∞ ke EMSY memerlukan waktu untuk penyesuaian.
Menyadari kelemahan inilah Clark dan Munro
mengembangkan model dinamis pengelolaan sumberdaya perikanan yang optimal. Di dalam model mereka, sumberdaya ikan diperlakukan sebagai aset
39 yang memiliki opportunity cost atau biaya korbanan. Artinya di dalam mengelola sumberdaya ikan kita dihadapkan pada pilihan intertemporal, apakah akan dipanen saat ini dengan menghasilkan nilai ekonomi kini, atau dibiarkan diperairan sehingga bisa tumbuh dan bisa dipanen di masa mendatang sehingga bisa menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar.
Trade-off antara
memanen stok saat ini atau nanti inilah yang menjadi ciri khas dalam model intertemporal yang dikembangkan oleh Clark dan Munro. Salah satu solusi dari model Clark dan Munro adalah fenomena yang disebut sebagai most rapid approach (MRAP) atau "bang-bang approach” yang menyatakan bahwa penyesuaian ke arah tingkat eksploitasi yang optimal (biomass, tangkap dan input) harus dilakukan secepat mungkin (Gambar 6). Stok
B
h = hmax
x*
A
h=0
Waktu, t
Gambar 6. Pendekatan "bang-bang" optimisasi sumberdaya perikanan
Dari Gambar 6 terlihat bahwa jika x* adalah kondisi optimal biomas yang lestari, maka pada pendekatan "bang-bang", strategi yang optimal adalah melakukan eksploitasi yang maksimurn (h=hmax) pada saat x > x* (dimulai dari titik B). Sebaliknya jika x < x* (dimulai dari titik A), strategi optimal adalah tidak melakukan eksploitasi. Melihat model ini, depresiasi sumberdaya perikanan sebenarnya akan terjadi secara cepat jika strategi pertama dilakukan. Clark dan Munro secara implisit menyatakan bahwa deplesi akan terjadi
40 manakala strategi pertama dilakukan dan dimana kondisi parameter harga per satuan output jauh lebih besar dari biaya per satuan input. Secara umum dapat dikatakan bahwa keseluruhan model dasar optimisasi pengelolaan sumberdaya perikanan yang dikemukakan di atas, tidak secara eksplisit membahas depresiasi sumberdaya perikanan. Model-model dasar di atas melihat bahwa depresiasi teradi manakala input yang digunakan atau output yang dihasilkan terlalu belebihan (model Gordon dan Copes). Pada model Clark dan Munro melihat bahwa depresiasi sumberdaya akan terjadi manakala penggunaan input maupun tingkat panen tidak mengikuti trajektori optimal yang ditentukan oleh aspek intertemporal sumberdaya ikan itu sendiri. 2.7 Analisis Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, kita tidak dapat lepas dari pendekatan pengelolaan sistem dinamik, karena bagaimanapun sumberdaya perikanan adalah merupakan sumberdaya yang dinamis. Sumberdaya perikanan adalah asset (kapital) yang dapat bertambah dan berkurang baik secara alamiah maupun karena intervensi manusia. Seluruh dinamika alam dan intervensi manusia ini mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi sumberdaya perikanan tersebut sepanjang waktu. Keputusan pengelolaan/eksploitasi yang kita lakukan di masa lalu akan mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan tersebut di masa
sekarang,
dan
yang
akan
datang,
demikian
juga
keputusan
pengelolaan/eksploitasi di masa sekarang akan mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan tersebut di masa depan. Selain itu menurut Fauzi (2002b), masuk dan keluarnya effort pada industri perikanan tidak bersifat statis, ia akan bergerak dinamis mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya dan faktor eksternal lainnya. Disinilah urgensi dari aspek analisis dinamik dalarn pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu bagaimana kita mencoba menggambarkan dan memodelkan perilaku dari populasi alamiah sumberdaya perikanan, untuk mencapai pengelolaan yang optimal. Holling (1973) menyatakan bahwa hampir semua sistem alam mempunyai karakteristik
41 berubah sepanjang waktu dan jika manusia mencoba menstabilkan alam untuk kepentingannya akan menyebabkan kondisi stabil pada jangka pendek dan malapetaka pada jangka panjang. Menurut Hilborn dan Walters (1992), beberapa konsep dasar dari analisis dinamik dalam perikanan adalah menyangkut stabilitas, kesiklusan (cyclicity), dan ketahanan (resilience). Sistem dikatakan stabil jika perturbasinya akan sampai pada ekuilibrium. Hampir semua model populasi dianggap stabil, sebagai contoh jika ikan ditangkap, biomass akan menurun, namun jika penangkapan berhenti maka stok akan kembali pada kondisi semula. Sistem siklik tidak pernah berada dalam kondisi steady state yang benar, tetapi selalu berubah. Ketahanan (resilience) adalah kemampuan dari sistem untuk menggunakan, mendapatkan keuntungan dari dan mengabsorpsi variasi alam. Secara matematis, ciri dasar dari model dinamik adalah persamaan ODE (Ordinary Differential Equation) (Fauzi, 2002a), yang memiliki karakteristik:
variabel yang tak diketahui merupakan sebuah fungsi
Persamaan ini menyangkut satu atau lebih turunan derivatif. Bentuk paling sederhana dari persamaan ODE seperti tertulis pada
persamaan berikut:
dx • = x = f (t ) dt
(2.4)
yang kemudian dapat dipecahkan melalui integral biasa dengan menggunakan manipulasi aljabar: dx = f (t )dt
(2.5)
sehingga dari persamaan tersebut diperoleh solusi dalam x yang merupakan solusi dari persamaan: x = ∫ f (t )dt + C
(2.6)
dimana C adalah konstanta integral. Secara umum, persamaan differensial biasa dlikelompokkan dalam dua jenis, yaitu: (1) persamaan diferensial dengan koefisien konstan (autonomous), dan (2) persamaan diferensial dengan non-konstan koefisien (non-autonomous). Konsep dinamik yang dijelaskan di atas melalui persamaan ODE adalah konsep
42 dinamis yang disebut single ODE, dimana variabel yang bergerak dinamis hanya satu variabel (dalam contoh di atas adalah variabel x).
Di dalam analisis
sumberdaya alam, seperti halnya perikanan, variabel yang bergerak dinamis sering tidak hanya menyangkut satu variabel, namun dapat saja beberapa variabel, misalnya saja effort, penduduk dan biomass bergerak dinamis. Untuk itu diperlukan pendekatan sistem dinamik yang mengakomodasi lebih dari satu variabel dinamik. Contoh dari sistem dinamik yang seperti itu adalah seperti persamaan di bawah:
dx • = x = ax + by dt
(2.7)
. dy = y = cx + dy dt
(2.8)
Persamaan di atas adalah tipikal persamaan sistem dinamik yang menggambarkan keterkaitan antara variabel x dan y. Sistem dinamik di atas adalah juga merupakan sistem dinamik yang linear yang ditunjukkan dengan konstanta a, b, c dan d yang berinteraksi secara linear terhadap x dan y. Solusi dari
sistem
dinamik
di
atas,
baik
persamaan
autonomous
maupun
non-autonomous akan menghasilkan berbagai perilaku yang mengarah pada ekuilibrium, yang tergantung dari characteristic roots (λ1 dan λ2) dari persamaan di atas (eigenvalues).
Besaran dari characteristic roots ini akan
menentukan sifat-sifat trajektori ke arah keseimbangan. Perilaku keseimbangan antara x dan y, yang akan melihat apakah akan mendekat keseimbangan atau menjauh dari keseimbangan (Fauzi, 2002a). Secara garis besar tipe keseimbangan dicirikan oleh tiga jenis, yaitu tipe
node, tipe saddle point dan tipe foccus. Tipe node adalah keseimbangan yang mengarah pada satu titik dari berbagai arah. Sementara tipe fokus merupakan tipe keseimbangan yang dihasilkan mengikuti trajektori tertentu yang mengarah ke satu titik. Saddle point merupakan tipe keseimbangan yang merupakan kombinasi dari kedua tipe di atas (Fauzi, 2002a). Pendekatan kapital dalam pemanfaatan sumberdaya alam pada dasarnya menganggap sumberdaya sebagai aset, yang jika tidak dimanfaatkan sekarang,
43 maka dapat dimanfaatkan di masa yang akan datang. Pengambilan keputusan untuk mengeksploitasi sekarang atau nanti akan menyangkut manfaat yang akan diperoleh sekarang atau nanti yang pada dasarnya tidak sama. Dengan demikian perlu diambil keputusan yang terbaik apakah akan diambil sekarang atau nanti. Dalam teori ekonomi, keputusan untuk mengekstraksi pada periode t atau t+1 adalah seperti digambarkan pada kurva Fisher (Gambar 7).
Ct+1
1+r
Ct
Gambar 7. Kurva Fisher
Karena sumberdaya alam merupakan aset, maka akan terkait dengan biaya korbanan atau opportunity cost dari pemanfaatan kapital tersebut. Biaya korbanan sendiri mengandung makna "the best alternative use of capital" atau alternatif pemanfaatan terbaik yang dicirikan dengan besaran discount rate. Dengan demikian ekstraksi sumberdaya alam yang dilakukan pada saat ini harus memperhitungkan biaya korbanan dari kapital tersebut jika dibandingkan dengan jika ekstraksi dilakukan pada masa mendatang. Sehingga tujuan pengelolaan
sumberdaya
perikanan
harus
menentukan
bagaimana
memaksimumkan manfaat dari sumberdaya yang tidak hanya tergantung pada ketersediaan biomass, namun juga terkait dengan biaya korbanan dari sumberdaya itu sendiri. Keputusan yang menyangkut aspek intertemporal tersebut menyebabkan discounting memainkan peranan penting dalam analisis dinamis sumberdaya perikanan.
3. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini berlokasi di pulau-pulau kecil wilayah Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau, yang dilaksanakan pada bulan Desember 2003 sampai dengan Agustus 2004. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. 3.2 Metode Pengumpulan Data Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian kuisioner, dan partisipasi langsung. Data primer yang diperlukan meliputi struktur biaya dari upaya penangkapan ikan dan harga dari komoditas perikanan.
Data ini
merupakan data cross section yang diperoleh melalui survei dengan teknik purposive atau judgement sampling. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai dinas/instansi terkait. Data sekunder yang diperlukan berupa data urut waktu (time series) meliputi data hasil tangkapan (catch) dan input yang digunakan (effort), jumlah trip dari masing-masing alat tangkap (fishing gear) pertahun mulai dari tahun 1985 sampai 2002. Data lainnya yang dikumpulkan adalah data luasan hutan mangrove, data indeks harga konsumen (consumers price index) dan gross domestic regional product (PDRB) dan data penunjang lainnya. Data sekunder antara lain diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis, Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), dan Biro Pusat Statistik (BPS).
45
Gambar 8. Peta wilayah administrasi Kabupaten Bengkalis
46 3.3 Analisis Data 3.3.1 Produksi Perikanan Untuk melakukan analisis komponen biologi, data time series hasil tangkapan (catch) dan effort sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis selama 18 tahun (1985-2002) diperoleh dari Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. Mengingat data yang diperoleh dari tersebut bersifat agregat, maka dilakukan dekomposisi untuk menentukan hasil tangkapan (catch) dan effort untuk jenis alat tertentu yang dioperasikan di perairan Kabupaten Bengkalis. Dekomposisi dilakukan dengan memilih alat tangkap yang dominan yaitu pukat pantai, jaring insang hanyut dan jermal, sedangkan spesies perikanan demersal yang dipilih adalah spesies ikan demersal yang dominan dan bernilai ekonomis yaitu ikan bawal hitam, bawal putih dan senangin. Proses disagregasi dan dekomposisi juga dilakukan untuk melihat proporsi hasil tangkapan untuk ketiga spesies dan alat yang digunakan. Teknik kalibrasi dilakukan dengan cara menentukan rataan geometrik dari proporsi ikan demersal yang ditangkap. Data time series hasil tangkapan dan upaya (catch and effort) selama delapan belas tahun yang dikumpulkan, dijadikan basis untuk perhitungan kurva yield-effort dengan menggunakan perangkat lunak (software) SHAZAM. Dengan mempertimbangkan produksi perikanan demersal terhadap total produksi perikanan Kabupaten Bengkalis, maka untuk menghitung proporsi hasil tangkapan ikan bawal hitam, bawal putih dan kurau/senangin terhadap total tangkap dari alat tangkap pukat pantai, jaring insang hanyut dan jermal ditentukan berdasarkan rumus berikut: 1
⎡ hit ⎤ n −1 h = ∏⎢ ⎥ i = 1,2,3 t =1 ⎢ ⎣ hbt + h pt ⎥⎦ m
(3.1)
Dengan diketahuinya proporsi ini, maka akan diketahui data disagregasi terhadap ketiga spesies ikan demersal tersebut terhadap total alat tangkap. Proses dekomposisi untuk menentukan produksi perikanan demersal perairan
47 Selat Malaka Kabupaten Bengkalis ini dilakukan dengan proses perhitungan melalui persamaan berikut:
hijt = φij hit
(3.2)
1
⎡ hij ⎤ n −1 φij = ∏ ⎢ ⎥ t =1 ⎢ ⎣ ∑ hi ⎥⎦ 3
(3.3)
Jadi hasil tangkapan spesies i oleh alat tangkap j pada periode t adalah sebagai berikut: 1 ⎡ 3 ⎤ n −1 ⎡ ⎤ h ij ⎢ ⎥ hijt = ⎢∏ ⎢ ⎥ ⎥ * hit h ⎢⎣ t =1 ⎣⎢ ∑ i ⎦⎥ ⎥⎦
(3.4)
Sehingga total produksi perikanan demersal setelah dekomposisi adalah sebagai berikut: hDt = ∑∑ hijt i
(3.5)
j
Teknik ini adalah modifikasi dari teknik yang sama yang telah dilakukan oleh Watson et al. (2001). Penjelasan dari keseluruhan proses persamaan di atas adalah sebagai berikut: Jika dimisalkan bahwa catch dari spesies i oleh alat tangkap j pada periode t sebagai hijt, maka persamaan (3.4) menggambarkan bahwa hijt
adalah proporsional terhadap jumlah spesies i yang diproduksi
secara total pada priode t.
Untuk menentukan proporsi yang tepat, maka
digunakan rataan geometrik antara rasio dari hasil tangkapan spesies i oleh alat tangkap j dengan total hasil tangkapan dari spesies i sebagaimana diperlihatkan pada persamaan (3.5) yang merupakan penjumlahan hasil tangkapan dari spesies i oleh seluruh alat tangkap j.
3.3.2 Standarisasi Effort Mengingat beragamnya alat tangkap yang beroperasi di wilayah penelitian, maka untuk mengukur dengan satuan yang setara, dilakukan
48 standarisasi effort antar alat dengan teknik standarisasi yang dikembangkan oleh King (1995), dengan rumus:
E jt = ϑ jt D jt
(3.6)
dengan :
ϑ jt =
u jt u st
(3.7)
dimana: Ejt
= Effort dari alat tangkap j pada waktu t yang distandarisasi
Djt
= Jumlah trip dari alat tangkap j pada waktu t
ϑ jt
= Nilai fishing power dari alat tangkap j pada perode t
ujt
= Catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap j pada waktu t
ust
= Catch per unit effort (CPUE) dari alat tangkap yang dijadikan basis standarisasi Untuk memperoleh nilai upaya, maka seluruh unit effort distandarisasi
berdasarkan alat tangkap jaring insang hanyut (drift gill net).
3.3.3 Estimasi Parameter Ekonomi a) Struktur Biaya Data untuk menganalisis komponen ekonomi dari studi ini diperoleh dari survei (cross section) yang menyangkut struktur biaya eksploitasi dari ketiga jenis alat tangkap dan harga ketiga komoditas ikan yang digunakan dalam analisis.
Analisis cross-section dilakukan terhadap sebanyak 60 responden
untuk masing-masing alat tangkap tersebut. Biaya per unit standard effort dari grup ikan demersal pada tahun 2003 disesuaikan dengan indeks harga konsumen ikan segar (fresh fish) tahunan Badan Pusat Statistik untuk menghasilkan nilai biaya series dari tahun 1985-2002.
Secara matematis, biaya per unit
standardized effort dapat ditulis sebagai berikut:
49 ⎡ n TC i ⎢1 C et = ⎢ ∑ n E ⎢⎣ i =1 ∑ i
1 ⎤ t −1 ⎛ n ⎞ h CPI ⎥ it t ⎜∏ ⎟ ⎜ t =1 ∑ (h + h + h ) ⎟ 100 ⎥ i j k ⎠ ⎝ ⎥⎦
(3.8)
dimana: Cet TCi Ei hit
biaya per unit standardized effort pada periode t biaya total untuk alat tangkap i untuk i=1,2,3 total standardized effort untuk alat tangkap i produksi alat tangkap i pada periode t
= = = =
∑h
i
+ h j + hk = total produksi demersal untuk seluruh alat
N = jumlah alat tangkap CPIt = indeks harga konsumen pada periode t
b) Estimasi Fungsi Permintaan Parameter ekonomi yang diperlukan dalam studi ini juga menyangkut harga. Kedua parameter harga output diperoleh dengan cara mengkonversi harga nominal dari per kg ikan yang ditangkap (ex-vessel price) ke dalam harga riil dengan cara menyesuaikannya dengan indeks harga konsumen. Estimasi harga ditentukan berdasarkan formula berikut: 1
⎡ 2003 ⎤ t −1 CPI Pt = ⎢∏ Pi Pj ⎥ ⎣ 2001 ⎦ 100
(3.9)
dimana: = harga ikan pada periode t Pt Pi,Pj = harga ikan demersal jenis i dan j Dengan nilai rataan ini kemudian digunakan untuk mengestimasi harga tahunan dari tahun 1985 sampai dengam 2002.
c) Estimasi Discount Rate Penggunaan discount rate dalam penelitian ini berbeda dengan penggunaan discount rate yang dilakukan pada analisis finansial.
Hal ini
mengingat pada sumberdaya alam, faktor pertumbuhan ekonomi yang dipicu
50 oleh sumberdaya alam juga berpengaruh terhadap time preference dari masyarakat pengguna sumberdaya alam.
Dua nilai discount rate akan
digunakan dalam analisis pada penelitian ini. Pertama, nilai discount rate yang didasarkan pada average market rate sebesar 15% dijadikan basis dalam penentuan rente ekonomi. Kedua, penentuan discount rate yang didasarkan pada pendekatan Ramsey. Pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan pengaruh pertumbuhan ekonomi elastisitas pendekatan terhadap penggunaan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya perikanan di daerah penelitian. Penentuan discount rate pertama yang didasarkan market rate, mengacu pada aspek teori “first-best optimum” dimana diasumsikan bahwa faktor yang mempengaruhi maksimasi kesejahteraan adalah fungsi produksi. Dalam teori ini dinyatakan bahwa: i = m=δ
(3.10)
yang berarti bahwa discount rate sosial (i) sama dengan market discount rate (m) dan sama dengan biaya oportunitas dari kapital (δ). Keseimbangan ketiga discount rate tersebut dapat dilihat pada Gambar 9. M
C1
i
P
E
M’
P’ Co
Gambar 9. Market discount rate
51 Gambar 9 memperlihatkan bahwa kurva PP’ adalah production possibility frontier yang menggambarkan jumlah maksimum konsumsi periode yang akan datang yang dimungkinkan secara teknologi dengan mengurangi konsumsi sekarang (Brent, 1997). dimana δ
Kemiringan dari kurva ini adalah 1+δ,
produk marjinal dari kapital atau sering dikenal dengan social
opportunity cost rate (SOCR). Jika diasumsikan bahwa preferensi masyarakat dapat digambarkan dengan kurva indiferen i dengan kemiringan slope 1+i, dimana i adalah social time preference rate (STPR)2, maka pada keseimbangan, yakni untuk menghasilkan keseimbangan sosial yang optimum, kemiringan (slope) dari kurva indiferen masyarakat harus sama dengan kurva production possibility frontier atau 1+i=1+δ atau i=δ. Hal tersebut hanya dicapai pada titik E. Jika kemudian, pasar finansial eksis, maka market budget line MM’ dengan kemiringan sama dengan 1+m akan melewati titik E sehingga secara keseluruhan pada titik keseimbangan E: 1+ i = 1+ δ = 1+ m
(3.11)
sehingga didapatkan persamaan (3.11) di atas. Selanjutnya dalam penelitian ini, market discount rate bergerak antara 10 hingga 18% per tahun. Dengan demikian maka penentuan nilai tengah sebesar 15% merupakan nilai rataan yang umum digunakan untuk sumberdaya alam. Teknik penentuan yang sama telah digunakan oleh Reksosudarmo (1995), Fauzi (1998) dan Buchary (1999). Untuk menentukan tingkat discount rate dengan pendekatan Ramsey, penelitian ini mengadopsi teknik yang dikembangkan oleh Kula (1984), yang pada dasarnya menggunakan formula yang sama dengan formula Ramsey. Dimana Kula (1984) mendefinisikan real discount rate (r) sebagai:
r = ρ − ηg
2
(3.12)
Social time preference rate (STPR) sering diartikan sebagai rate dimana masyarakat mau berkorban (willingness to for go) konsumsi masa kini untuk konsumsi masa mendatang.
52 dimana ρ menggambarkan pure time preference, η adalah elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam dan g adalah pertumbuhan ekonomi (Newell dan Pizer, 2001).
Kula (1984) mengestimasi laju
pertumbuhan dengan meregresikan:
ln ct = α o + α 1 ln t
(3.13)
Dimana t adalah periode waktu dan ct konsumsi perkapita pada periode t. Hasil regresi di atas akan menghasilkan formula elastisitas dimana:
α1 =
∂ ln ct ∂ ln t
(3.14)
Yang kemudian dengan penyederhanaan matematis dapat ditulis sebagai: ∆c ∆t / =g c t
(3.15)
3.3.4 Model Analisis Degradasi dan Depresiasi
Penentuan tingkat degradasi untuk sumberdaya ikan dilakukan melalui tahapan-tahapan berikut: pendataan data input/effort dan output (hasil tangkapan) dari ikan dalam bentuk data series. Dari kedua data tersebut dapat dihitung estimasi stok dan tingkat panen lestari (sustainable yield). Kemudian dengan membandingkan kondisi ekstraksi aktual dan sustainable dengan analisis trend dan contrast akan dapat diketahui laju degradasi. Fungsi dari degradasi sumberdaya perikanan dihitung berdasarkan formula Anna (2003) yang merupakan modifikasi dari Amman dan Duraiappah (2001), sebagai berikut:
φ
t
=
1 1 + e
h at h st
(3.16)
Dimana φt adalah tingkat degradasi pada periode t, hat adalah produksi aktual pada periode t dan hst adalah produksi lestari pada periode t. Depresiasi dari sumberdaya ikan dihitung dengan dengan:
53
π t − π t −1 = [ phst − cEt ] − [ phst −1 − cEt −1 ] = ( p − c )[(hst − hst −1 ) + (Et − Et −1 )]
(3.17)
3.3.5 Model Bio-Ekonomi Sumberdaya Perikanan
Model yang digunakan adalah model surplus produksi, model ini mengasumsikan stok ikan sebagai penjumlahan biomass dengan persamaan: ∂x = F ( xt ) − ht ∂t
(3.18)
dimana F ( xt ) adalah laju pertumbuhan alami atau laju penambahan aset biomass, ht adalah laju penangkapan atau laju pengambilan. Ada dua bentuk model fungsional untuk menggambarkan stok biomass, yaitu bentuk logistik dan bentuk Gompertz, dengan persamaan sebagai berikut: Bentuk logistik: x ∂xt = rxt (1 − t ) − ht K ∂t
(3.19)
∂xt K = rxt ln( ) − ht ∂t xt
(3.20)
Bentuk Gompertz:
dimana r adalah laju pertumbuhan intrinsik, K adalah daya dukung lingkungan. Bentuk fungsional logistik adalah simetris, sementara Gompertz tidak. Selanjutnya diasumsikan bahwa laju penangkapan linear terhadap biomass dan effort dengan rumus sebagai berikut: ht = qEt xt
(3.21)
dimana q adalah koefisien kemampuan penangkapan dan Et adalah upaya penangkapan.
Dengan mengasumsikan kondisi keseimbangan (equilibrium)
54 maka kurva tangkapan-upaya lestari (yield-effort curve) dari fungsi di atas dapat ditulis sebagai berikut: ⎡q2K ⎤ 2 ht = qKE t − ⎢ ⎥E ⎣ r ⎦
Logistik:
Gompertz :
(3.22)
⎛ − qE ⎞ ⎜ ⎟ r ⎠
ht = qKE t exp ⎝
(3.23)
Estimasi parameter r, K dan q untuk persamaan yield-effort dari kedua model di atas melibatkan teknik non linier.
Namun demikian dengan
menuliskan U t = ht / Et , persamaan tersebut dapat ditranformasikan menjadi persamaan linier sehingga metode regresi biasa dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi di atas. Teknik estimasi parameter dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) atau sering dikenal dengan metode CYP dengan persamaan:
ln(U t +1 ) =
2r q ⎛2−r⎞ ln(qK ) + ⎜ ( Et + Et +1 ) ⎟ ln(U t ) − (2 + r ) (2 + r ) ⎝2+r⎠
(3.24)
Data ekonomi yaitu berupa informasi biaya dan harga per satuan unit ikan yang didaratkan diperoleh dari survei akan dikonversikan ke nilai riil dengan menyesuaikan nilai nominal ke indeks harga konsumen (consumer’s price index). 3.3.6 Optimisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Dalam kondisi aktual, jarang sekali terjadi eksploitasi sumberdaya perikanan berada pada tingkat upaya yang optimal, padahal dengan melakukan eksploitasi yang optimal inilah maka perikanan tangkap akan lestari. Pengetahuan mengenai perbedaan antara tingkat tangkapan dan upaya aktual dan optimal sangat diperlukan bagi penentu kebijakan. Hal ini penting untuk menyesuaikan kebijakan tangkap agar dapat meminimasi opportunity cost dalam bentuk keuntungan ekonomi yang optimal dan lestari (Hartwick, 1990).
55 Eksploitasi optimal dari sumberdaya perikanan sepanjang waktu pada dasarnya dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan teori kapital ekonomi sumberdaya yang dikembangkan oleh Clark dan Munro (1975), dimana manfaat dari eksploitasi sumberdaya perikanan sepanjang waktu ditulis sebagai berikut: ∞
max Vt =
∫
π t (ht , xt , Et )e −δt dt
(3.25)
t =0
dengan kendala ∂x • = x = F ( x) − ht ∂t
(3.26)
0 ≤ x ≤ x max
(3.27)
0 ≤ h ≤ hmax
(3.28)
Dengan memberlakukan Pontryagins Maximum Principle, masalah di atas dapat dipecahkan dengan teknik Hamiltonian3, yaitu: H = e −δt π ( x, h) + λe −δt {F ( x) − h}
(3.29)
Persamaan di atas menggambarkan “present value” Hamiltonian, dengan mentransformasikan persamaan di atas menjadi “current value” Hamiltonian, maka persamaan (3.29) akan berubah menjadi: −
H = e δt H = π ( x, h) + µ ( F ( x) − h)
(3.30) −
dimana µ = e δt λ adalah current value shadow price, dan H adalah current value Hamiltonian.
Pontryagins Maximum Principle dari persamaan di atas
menjadi:
3
Fungsi Hamiltonian adalah formula dalam optimal control theory yang digunakan untuk menentukan time path yang lengkap dari variabel kontrol, state variable dan nilai stok.
56 −
∂ H ∂π ( x, h) = −µ =0 ∂h ∂h
(3.31)
⎡ −⎤ ∂H⎥ µ − δµ = − ⎢ ⎢ ∂x ⎥ ⎦ ⎣ •
∂F ⎤ ⎡ ∂π ( x, h ) = −⎢ −µ ∂x ⎥⎦ ⎣ ∂x •
x = F ( x) − h •
(3.32)
(3.33) •
Dalam kondisi steady state, maka x = 0 dan µ = 0 , sehingga dari persamaan
(3.31) dan (3.32) menghasilkan:
µ=
∂π ( x, h) ∂h
(3.34)
dan F ( x) = h
(3.35)
Dengan menggunakan persamaan (3.32) menghasilkan : 0=
∂π ( x, h) ⎡ ∂F ⎤ ∂π ( x, h) δ − ⎥− ⎢ ∂h ⎣ ∂x ⎦ ∂x
(3.36)
Persamaan (3.36) dapat disederhanakan menjadi:
∂π ( x, h) ∂π ( x, h) ∂π ( x, h) ∂F =δ − − ∂x ∂h ∂h ∂x
(3.37)
Dengan mengalikan kedua sisi persamaan (3.37) dan menyederhanakannya, maka akan diperoleh Modified Golden Rule sebagai:
∂F ∂π ( x, h) / ∂x + =δ ∂x ∂π ( x, h) / ∂h
(3.38)
57 dimana F (x) adalah pertumbuhan alami dari stok ikan, ∂π (h, x, E ) / ∂x adalah rente marjinal akibat perubahan biomass, ∂π (h, x, E ) / ∂h adalah rente marjinal akibat perubahan produksi. Parameter ekonomi dan biologi ditentukan oleh besaran c (biaya per unit effort), p (harga ikan), δ (discount rate) dan q yang merupakan koefisien penangkapan
∂F / ∂x = F ' ( x)
adalah produktivitas
marjinal dari biomass yang merupakan turunan pertama dari F(x).
hasil
persamaan di atas menghasilkan x * (optimal) yang dapat digunakan untuk menghitung tingkat tangkapan dan upaya yang optimal. Dengan demikian maka dapat diketahui rente sumberdaya perikanan yang merupakan hasil dari perkalian antara harga produk ikan dengan tangkapan optimal dikurangi biaya dari tingkat upaya optimal, atau:
π * = p(h * )h * − ch *
(3.39)
Perhitungan nilai optimal produksi dan upaya serta rente ekonomi dilakukan secara numerik dengan perangkat lunak MAPLE 9,5. 3.3.7 Analisis Dinamis
Untuk melakukan analisis dinamis, persamaan ODE (ordinary differential equation) dipecahkan melalui teknik numerik dengan menggunakan software Barkeley Madonna 8,0 dan Maple 9,5. Hal ini disebabkan karena
pemecahan dinamis yang kompleks biasanya sulit memperoleh solusi secara eksplisit (Sydsaeter dan Hammond, 1995). Oleh karenanya, di dalam analisis sistem dinamik yang kompeks, pemecahan eksplisit tidak selalu harus dilakukan. Namun cukup menganalisis beberapa sifat-sifat (properties) dari sistem dinamik tersebut.
Teknik ini disebut sebagai ”qualitative theory of
ODE”, dimana hasil analisis yang diperoleh berupa eksistensi dan keunikan dari
solusi, sensitivity analysis dan perilaku terhadap stabilitas dari keseimbangan (equilibria).
Analisis dinamis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
analisis dinamika baseline model antara biomas dan effort yang merupakan model standar Willen’s open acces dynamic (Wilen, 1976; dan Clark, 1985) dengan formula:
58
∂x • = x = rx(1 − x / K ) − qXE ∂t
(3.40)
∂E • = E = sπ ( x, E ) = E ( pqx − c ) ∂t
(3.41)
Persamaan di atas adalah persamaan Willen’s open access
dengan
koefisien penyesuaian (adjustment coefficients) sama dengan satu.
Solusi
keseimbangan dari kedua persamaan tersebut dilakukan dengan mencari •
•
•
isocline x = 0 dan E = 0 (Chiang, 1992). Isocline x = 0 dalam ruang (x,E) diperoleh sebagai: ⎧ x=0 ⎪ x = 0⎨ E = r − r ⎪ q qK ⎩ •
x
(3.42)
.
Sementara isocline E = 0 dapat ditulis sebagai: ⎧E = 0 ⎪⎪ E=⎨ c ⎪x = ⎪⎩ pq •
(3.43)
3.3.8 Interaksi Mangrove dan Perikanan
Untuk melihat interaksi antara ekosistem
mangrove dan sumberdaya
perikanan digunakan model Fozal. Data luasan dan sebaran hutan mangrove diperoleh dari hasil penelitian Bakosurtanal (2001) dan Khairuddin (2003) yang menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra yaitu Arc View versi 3.2a. Data citra yang digunakan adalah hasil pemotretan satelit Landsat TM 5 tahun 1992 dan 2000. Adapun tahapan yang dilakukan pada proses pengolahan spasial ini adalah sebagai berikut: (1) pengolahan citra untuk mendapatkan data spasial tutupan lahan dan kawasan hutan mangrove di kedua citra yang ada, dan (2) melakukan proses tumpang tindih (overlay) di antara data spasial kawasan mangrove tahun 1992 dan data spasial kawasan mangrove tahun 2000. Selanjutnya diperoleh peta dinamika kawasan hutan mangrove Kabupaten Bengkalis.
59 Pada model ini mangrove dimasukkan ke dalam model melalui fungsi daya dukung (carrying capacity). Model ini merupakan pengembangan dari model yield-effort berikut: h = qKE (1 −
q E) r
(3.44)
Selanjutnya mangrove dimasukkan ke dalam persamaan melalui fungsi carrying capacity : K = δ (M )
(3.45)
dimana : ∂K >0 ∂M
(3.46)
Yang menunjukkan bahwa peningkatan luasan mangrove akan meningkatkan carrying capacity. Jika dimisalkan bahwa: K=ξM
(3.47)
h=qE ξM(1-q/r E)
(3.48)
maka :
Jika kedua sisi dari persamaan dibagi dengan effort, maka persamaan tersebut di atas akan menjadi:
(
)
h = qξM − q 2ξ / r ME E
(3.49)
h = b1 M − b2 ME E
(3.50)
Keterangan: h E q K M
= = = = =
Produksi aktual Effort Koefisien catchability Daya dukung (carrying capacity) Luasan mangrove
60 Model ini merupakan model yang baru untuk melihat interaksi mangrove dengan sumberdaya perikananan.
Penamaan model ini diambil dari gabungan
nama Dr. Foz (nama panggilan dari Bapak Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc yang telah banyak memberikan kontribusi dalam pembuatan model ini) dan zal (dari nama Efrizal), selanjutnya model ini disebut model Fozal. 3.3.9 Uji Stability
Untuk uji stability pendekatan yang digunakan adalah second order difference equation (SOD). Pendekatan SOD yang digunakan bersifat dinamis untuk melihat stability dan behaviour data time series. Dasar teori dari pendekatan ini adalah sebagai berikut: xt + 2 + axt +1 + bxt = c
(3.51)
c=0
x → xt , xt +1 , xt + 2
a, b → parameter Try solution:
xt = m t
(3.52)
xt +1 = m t +1 = m.m t
(3.53)
xt + 2 = m t + 2 = m 2 .m t
(3.54)
General solution dari
xt + 2 + axt +1 + bxt = 0
dimana
b≠0
dapat
ditentukan dengan: 1. Untuk
1 4
a 2 − b > 0, karakteristik dari persamaan memiliki dua akar yang
berbeda, solusinya adalah: xt = Am1t + Bm2t m1, 2 = − 12 a ±
1 4
(3.55) a2 − b
(3.56)
61 2. Untuk
1 4
a 2 − b = 0, karakteristik dari persamaan memiliki satu akar
kuadrat, solusinya adalah:
3. Untuk
1 4
xt = ( A + Bt )m t
(3.57)
m = − 12 a
(3.58)
a 2 − b < 0, karakteristik dari persamaan tidak memiliki akar,
solusinya adalah, dimana θ ∈ [0, π ] : xt = Ar t cos(θt + ω )
(3.59)
r= b
(3.60)
(
cos θ = − a / 2 b)
)
(3.61)
3.3.10 Aspek Kesejahteraan
Net Sosial Benefit dievaluasi dengan menggunakan analisis Produsen Surplus (PS), teknik seperti ini pernah digunakan oleh Pattanayak dan Kramer (1999).
Untuk analisis surplus produsen pada sumberdaya ikan, dilakukan
melalui pendekatan backward-bending supply curve/variable
price model
(Cuningham et al., 1985). Hal ini disebabkan karena sifat suplai perikanan yang unik, dimana pada titik MSY akan terjadi melengkung ke belakang (backwardbending), khususnya dalam perikanan kuasi open access. Dengan demikian, kurva suplai dapat diturunkan dari biaya rata-rata jangka panjang (long run average cost) yang merupakan fungsi sustainable yield. Dengan mengetahui sustainable yield setiap tahunnya, kurva biaya rata-rata jangka panjang dapat direkonstruksi untuk menentukan surplus produsen dari industri perikanan. Perubahan surplus produsen tersebut dihitung dengan pendekatan numerik dengan menggunakan persamaan suplai perikanan sebagai berikut: S=
2c
α ± − 4βh + α 2
(3.62)
62 Dimana c adalah biaya perunit effort, h adalah produksi lestari, α dan β adalah koefisien biofisik. Dengan mengetahui kurva penawaran tersebut, maka surplus produsen didefinisikan sebagai: h0
PS = p 0 h0 − ∫ 0
2c
(3.63)
α + − 4βh + α 2
Karena integral dari persamaan di atas menghasilkan bilangan yang kompleks, pemecahan integral dilakukan secara analitik dengan program MAPLE 9,5. Hasil integrasi dari persamaan tersebut menghasilkan surplus produsen (Fauzi dan Anna, 2005), yang secara eksplisit adalah sebagai berikut: ⎛ 1 cα ln (h ) c − 4 β h + α 2 + PS = P0 h0 − ⎜ ⎜2 β β ⎝ 1 2
(
cα ln α − 4 β h + α
2
β
)
h0
− 0
h0
⎞ ⎟ + ⎟ ⎠0
(
1 cα ln α + − 4 βh + α 2 β
2
)
h0
(3.64)
0
3.4 Pemetaan Proses Penelitian Keseluruhan proses penelitian disertasi ini dapat dipetakan dalam suatu diagram sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 10.
Penelitian dibangun
berdasarkan prinsip-prinsip input, proses, dan output. Input penelitian yang berupa tujuan penelitian, diuraikan lebih detail dalam lima tujuan khusus, yang terkait dengan jenis data yang dibutuhkan. Data tersebut dapat berupa data time series (urut waktu), cross section, maupun data yang bersifat endogenous yang diperoleh dari interaksi kedua jenis data tersebut. Sumber data diperoleh dari berbagai instansi maupun data primer dari hasil interview. Proses berikutnya dilakukan analisis data melalui beberapa pendekatan seperti CYP, Cobb Douglass, Pontryagin Maximum Principle, ekonometrik, produsen surplus, sistem dinamik, stability analisis dan model integrasi mangrove dan perikanan. Masing-masing metode ini akan menghasilkan beberapa kajian yang menyangkut estimasi parameter, level variabel, optimal level, trajektori dinamik, phase plane, dampak kesejahteraan, laju degradasi, depresiasi dan lain-lain.
63
TUJUAN UMUM
Menilai manfaat SD perikanan dan kontribusinya terhadap kesejahteraan masyarakat
TUJUAN KHUSUS
JENIS DATA
METODE
Menentukan tingkat pengelolaan SDI di pulaupulau kecil Kab. Bengkalis yang lestari & optimal, membandingkannya dengan kondisi aktual
Times Series Catch, Effort, Struktur biaya, harga, CPI, Discount rate, PDRB
CYP, Copes Eye Ball, Analysis Differences
Menentukan tingkat degradasi SDI dan konsekuensinya terhadap pengelolaan SDP di pulau-pulau kecil
Endogenous
Degradation Analysis
Menganalisis interaksi dinamis antara aspek biologi dan ekonomi SDI dan implikasinya terhadap pengelolaan
Endogenous
System Dynamics
Menganalisis pengaruh interaksi antara SDI dengan ekosistem mangrove
Catch, Effort, Coverage
Model Fozal
Menentukan dampak kesejahteraan masyarakat
Endogenous
Copes Surplus Produsen
Gambar 10. Pemetaan proses penelitian
OUTCOMES
Terciptanya suatu analisis yang komprehensif menyangkut pengelolaan pulaupulau kecil yang dapat dijadikan acuan kebijakan perikanan yang berkelanjutan
4. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Wilayah Administratif Kabupaten Bengkalis merupakan bagian dari Propinsi Riau yang dibentuk berdasarkan UU No. 12 tahun 1956. Semula kabupaten ini memiliki luas 30l646.83 km2, lebih separuh wilayah Bengkalis hilang dan hanya tinggal seluas 11l481.77 km2, setelah dimekarkan menjadi Kabupaten Rokan Hilir, Siak dan Kota Dumai.
Secara administratif, Kabupaten Bengkalis yang telah
mengalami pemekaran wilayah sejak tahun 2000, terdiri atas 11 kecamatan dengan 134 desa dan 23 kelurahan (Tabel 2). Pusat pemerintahan kabupaten berada di Kota Bengkalis, yang terletak di Kecamatan Bengkalis. Seluruh kecamatan di Kabupaten Bengkalis memiliki kawasan pesisir dan laut, kecuali Kecamatan Mandau yang terletak di pedalaman Pulau Sumatera. Tabel 2. Wilayah administrasi kecamatan di Kabupaten Bengkalis No.
Kecamatan
Luas (km2)
Ibukota
Desa
Lurah
Jumlah
1. Mandau
3 440.47 Duri
14
11
25
2. Bukit Batu
1 870.21 Sungai Pakning
25
1
26
3. Rupat
896.35 Batu Panjang
6
4
10
4. Rupat Utara
628.50 Tanjung Medang
5
0
5
5. Bengkalis
514.00 Bengkalis
17
3
20
6. Bantan
424.40 Selat Baru
9
0
9
1 348.91 Teluk Belitung
17
1
18
8. Rangsang
681.00 Tanjung Samak
10
0
10
9. Rangsang Barat
241.60 Segomeng
11
0
11
10. Tebing Tinggi
849.50 Selat Panjang
11
4
15
11. Tebing Tinggi Barat
586.83 Alai
8
0
8
134
23
157
7. Merbau
Jumlah Sumber : BPS Bengkalis (2003)
11 481.77
65 Kabupaten Bengkalis di sebelah utara dibatasi oleh Selat Malaka, di sebelah barat berbatasan dengan Kota Dumai dan Kabupaten Rokan Hilir, di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kampar dan Kabupaten Siak, dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karimun dan Kabupaten Pelalawan. 4.2 Kondisi Geografis, Iklim dan Oseanografis 4.2.1 Geografis Secara geografis, wilayah ini terletak pada posisi 0017’- 2030’ Lintang Utara dan 100052’-102010’ Bujur Timur. Kabupaten Bengkalis memiliki luas daratan sekitar 11l481.77 km2 yang terdiri atas 26 buah pulau besar dan kecil (BPS Bengkalis, 2003). Pulau-pulau besar yang terdapat di wilayah ini adalah: Pulau Rupat, Bengkalis, Padang, Rangsang dan Tebing Tinggi (Tabel 3). Kabupaten Bengkalis memiliki garis pantai sepanjang 1l354.77 km (Saralisa Konsultan, 2002). Lebih separuh dari wilayah ini terletak di pesisir timur Pulau Sumatera. Sebagian wilayah daratan merupakan dataran rendah, termasuk pulau-pulau endapan yang terdapat di sepanjang pantai dengan ketinggian antara 2-6 m dari permukaan laut. Sungai besar dan kecil yang terdapat di Kabupaten Bengkalis, bermuara ke selat-selat kecil di perairan pantai timur Pulau Sumatera. Sungai-sungai ini berfungsi sebagai sarana perhubungan, irigasi, sumber air minum dan kegiatan perikanan. Sungai-sungai tersebut antara lain: Sungai Rokan sepanjang 350 km, Sungai Siak (300 km), Sungai Siak Kecil (90 km), dan Sungai Mandau (87 km). Wilayah Kabupaten Bengkalis amat strategis disamping berada ditepi alur pelayaran internasional yang paling sibuk di dunia, yakni Selat Malaka, juga berada pada kawasan segitiga pertumbuhan ekonomi Indonesia-Malaysia- Thailand (IMT-GT).
66 Tabel 3. Daftar nama kecamatan dan pulau di Kabupaten Bengkalis KECAMATAN
PULAU
Mandau
Sumatera
Bukit Batu
Sumatera
PULAU Merbau
Merbau
Dedap
Rupat
Padang
Beruk
Setahun
Ketam
Rupat
KECAMATAN
Rangsang
Menggung
Payung
Rangsang
Patung
Topang
Menteler
Panjang
Baru Kemunting
Baru Tebing Tinggi
Tebing Tinggi
Mampu
Paning
Babi
Jadi
Simpur
Tiga
Rangsang
Bengkalis
Bengkalis
Rupat Utara
Rupat
Bantan
Bengkalis
Rangsang Barat
Rangsang
Tebing Tinggi Barat
Tebing Tinggi
Sumber : BPS Bengkalis (2003)
4.2.2 Iklim Kabupaten Bengkalis memiliki iklim tropika basah yang dipengaruhi oleh sifat iklim laut dengan suhu udara antara 26-32 oC. Curah hujan di kawasan ini antara 2l000-3l000 mm/tahun, dengan curah hujan rata-rata 2l520 mm/tahun (KSP-UIR, 2001), dan jumlah hari hujan antara 102-140 hari/tahun (Bapedalda Bengkalis, 2001). Musim hujan biasanya terjadi pada bulan September-Januari, dengan curah hujan rata-rata > 200 mm/bulan. Sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Februari-Agustus dengan curah hujan rata-rata < 100 mm/bulan. Keadaan cuaca di Kabupaten Bengkalis, sangat dipengaruhi oleh perairan Selat Malaka bagian tengah dan iklim di kawasan Asia Tenggara. Dimana angin dari barat laut, utara dan timur laut dengan kecepatan angin 4-10 knot terjadi pada bulan Desember-Februari (munson utara). Pada bulan Maret-
67 Mei terjadi transisi munson utara ke munson selatan, dimana bertiup angin barat laut. Selanjutnya, pada bulan Juni-Agustus terjadi munson selatan ditandai dengan timbulnya angin tenggara dan selatan. Seterusnya, pada bulan September-November tejadi transisi dari munson selatan ke munson utara yang di dominasi oleh angin tenggara (PKSPL-IPB, 2000). 4.2.3 Arus dan Gelombang Kondisi arus di perairan Kabupaten Bengkalis dipengaruhi oleh arus Selat Malaka. Pada bulan Desember-Februari arus berasal dari barat menuju barat laut dengan kecepatan 9-39 cm/det (0.18-0.76 knot). Pada saat itu, massa air di Selat Malaka yang dipengaruhi oleh massa air Laut Cina Selatan bergerak menuju selatan. Lalu, pada bulan Maret-April, kecepatan arus mulai berkurang hingga 7-24 cm/det. Pada bulan berikutnya, arus mulai bergerak dari barat laut menuju ke selatan dengan kecepatan 6-15 cm/det (0.1-0.3 knot), dimana pengaruh massa air dari Laut Cina Selatan mulai berkurang. Selanjutnya, pada bulan Juni arus bergerak dari selatan menuju tenggara dengan kecepatan 5-19 cm/det (0.1-0.37 knot).
Kemudian di bulan Juli, arus di bagian barat laut
menuju ke barat laut dengan kecepatan 10 cm/det (0.2 knot), sedangkan arus di bagian selatan menuju ke selatan dengan kecepatan 6 cm/det (0.1 knot). Pada bulan berikutnya, arus bergerak dari timur ke tenggara dengan kecepatan 2-8 cm/det (<0.15 knot). Akhirnya, pada bulan September-Nopember (saat transisi munson selatan ke munson utara) terjadi pergerakan arus dari barat laut ke utara dan sebaliknya, dengan kecepatan 12-18 cm/det (0.23-0.35 knot) dengan berbagai variasi lokal pada arah dan kecepatan (PKSPL-IPB, 2000). Menurut Writky (1961) dalam KSP-UIR (2001), kecepatan transpor massa air berkisar antara 0.5-0.75 knot (12-18 mil/hari) menuju ke barat laut. Pada bulan Oktober-April, masa air yang masuk ke Selat Malaka berasal dari Laut Cina Selatan dengan kecepatan 0.5-0.75 knot. Sementara itu, pada bulan Juni-Agustus, massa air berasal dari Selat Karimata dengan kecepatan rata-rata sekitar 0.5 knot (12 mil/hari).
68 Di perairan pantai, selat sempit dan muara sungai, arah dan kecepatan arus sangat ditentukan oleh fase pasang surut. Arus mengikuti dimensi longitudinal perairan dengan kecepatan 2 knot pada saat pertukaran fase pasang ke surut, dan mendekati nol pada saat puncak pasang dan lembah surut (PKSPLIPB, 2000). Secara umum, pola pasang surut adalah campuran cenderung ke pasang surut harian ganda (mix semi diurnal), dimana dalam satu hari terdapat dua kali pasang dan dua kali surut. Kombinasi arus, angin dan gelombang di Selat Malaka (bagian utara Pulau Bengkalis) menimbulkan arus pantai (long shore current) yang mengikis sebagian pantai, terutama di sekitar Desa Muntai, Kecamatan Bantan. Pengikisan ini semakin parah akibat jenis dan tekstur tanah pantai yang longgar karena banyak mengandung bahan organik. Oleh karena pantainya merupakan tanah bergambut, maka akan segera hancur bila kena air dan hanyut karena arus. Gelombang di bagian utara Pulau Bengkalis mengikuti Selat Malaka. Pada bulan November-Maret terbentuk angin barat laut, utara dan timur laut dengan kecepatan 4-16 knot yang menimbulkan 33% gelombang setinggi 0.1-1.5 m. Sementara itu, pada bulan Juni-September terbentuk angin tenggara dengan kecepatan 4-17 knot, yang dapat menimbulkan 33% gelombang setinggi 0.1-1.6 m (PKSPL-IPB, 2000). Pada musim barat dan utara, gelombang akan menghantam pantai Pulau Bengkalis bagian utara bersama-sama dengan arus pantai (long shore current) yang dapat menimbulkan abrasi di kawasan mangrove. Menurut PKSPL-IPB (2000), tidal range di kawasan Pulau Bengkalis berkisar antara 0.4-2.7 m. 4.2.4 Pasang Surut Perairan Selat Malaka pasang surut terjadi dua kali dan air surut juga dua kali dalam sehari semalam. Hanya saja tinggi antara pasang yang satu berbeda dengan yang lainnya. Menurut NONTJI (1993), tipe pasang yang demikian termasuk ke dalam tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda. Adanya pola pasang surut yang demikian akan memberikan pengaruh kepada kondisi lingkungan setempat. Dimana pada saat air surut kedalaman akan rendah dan begitu sebaliknya. Pada beberapa tempat misalnya di wilayah
69 selat dan sungai-sungai, pasang surut ini memegang peranan dalam transportasi dalam artian bahwa untuk ke luar dari sungai masyarakat harus memperhatikan pasang surut. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka kemungkinan kandas pada saat akan ke luar dari sungai akan sering terjadi. Kandas ini juga akan dapat menyebab kapal tenggelam. Menurut Hutabarat dan Evans (1986), pada saat pasang purnama (spring tide) posisi bulan, bumi dan matahari berada pada satu garis lurus sehingga gaya gravitasi bulan dan matahari saling memperkuat sedangkan pada saat pasang perbani (neap tide) posisi bulan, bumi dan matahari membentuk sudut 900 sehingga gaya gravitasi bulan dan matahari saling memperlemah. Lebih lanjut dijelaskannya juga bahwa gaya gravitasi matahari hanya 47 % dari gaya gravitasi bulan yang bekerja terhadap permukaan bumi. Dalam satu bulan terjadi dua kali pasang purnama dan juga dua kali pasang perbani. Dimana tinggi pasang surut dari hari ke hari berikutnya tidak sama. Adanya perbedaan ini disebabkan karena posisi bulan terhadap bumi berubah sesuai dengan pergerakan bulan mengelilingi bumi. Tipe pasut di suatu lokasi tergantung dari respon perairan terhadap komponen pasut yang merambat. Respon perairan terutama tergantung pada bentuk geomorfologi pantai dan kondisi batimetri. Pasut di perairan Riau sangat dipengaruhi kondisi pasut di Selat Malaka. Rambatan pasut ke Selat Malaka berasal dari Laut Andaman dari arah Timur Laut dan dari Laut Cina Selatan dari arah Tenggara. Tipe pasut dibagian Barat Laut Selat Malaka dan juga bagian Barat Laut Perairan Pesisir Riau adalah tipe pasut semi diurnal. Gelombang pasut dari Laut Andaman lebih dahulu merambat ke Selat Malaka dibanding rambatan dari Laut Cina Selatan. Kisaran pasut di sisi Barat Laut cukup besar yakni bervariasi antara 1.4 m saat pasut perbani sampai 6.2 m saat pasut purnama. Di perairan Selat Rupat sampai Sungai Pakning kisaran pasang surut berkurang hampir setengahnya yakni berkisar antara 0.4 saat pasut perbani sampai 2.7 saat pasut purnama. Pada lokasi bagian Tenggara, kisaran pasut bertambah menjadi 0.7 m saat pasut perbani menjadi 3.9 m saat pasut purnama. Pasut purnama adalah saat terjadi air pasang tertinggi dan air surut terendah yang terjadi saat bulan purnama ataupun
70 bulan gelap. Pada saat ini, kisaran pasut menjadi maksimum. Pasut perbani terjadi saat air naik terendah dan air surut tertinggi yang terjadi saat bulan setengah menjelang dan sesudah bulan purnama, dimana kisaran pasut menjadi minimum. 4.2.5 Kedalaman Laut Secara umum pantai Timur Sumatera mempunyai lereng landai dengan kedalaman perairan antara 0-20 meter sampai dengan lebih dari 25 meter di Selat Malaka. Kedalaman selat dan muara sungai bervariasi antara 1-25 m. Sekitar muara sungai dan selat yang relatif sempit diantara berbagai pulau kecil, dengan variasi kedalaman antara 5-10 m. Ditinjau dari kedalaman laut, perairan Bengkalis dapat dibedakan atas laut dangkal dan laut dalam. Kedalaman laut dangkal berkisar antara 3-20 m, dan terdapat di perairan Selat Padang, Selat Panjang dan Selat Air Hitam. Sedangkan laut dalam antara 20-40 m, terdapat di perairan Selat Malaka, Selat Bengkalis dan Selat Dumai. Topografi dasar laut di perairan Bengkalis, bervariasi dari dasar yang landai mulai dari tepi pantai hingga mencapai kedalaman 40 m. Setidak-tidaknya kedalaman telah mencapai 20 m pada jarak 2 mil (± 3l700 m) dari tepi pantai ke arah laut pada saat pasang, (KSP-UIR, 2001). Disekitar pantai, gradien dasar laut berkisar antara 1:12 hingga 1:20, dengan gradien maksimum 1:3. 4.3 Vegetasi Pantai Jenis mangrove yang paling umum ditemui dan mayoritas adalah jenis bakau (Rhizophora spp), menyusul jenis lain yaitu jenis Avicennia spp, dan berikutnya Bruguiera spp, Xylocarpus granatum, dan Sonneratia spp. Jenis mangrove yang terdapat di Kabupaten Bengkalis kurang lebih 15 (lima belas) famili dan 28 (dua puluh delapan) jenis spesies mangrove. Dari jumlah tersebut, 21 (dua puluh satu) jenis merupakan mangrove sejati (true mangrove =TM) dan 7 (tujuh) jenis merupakan jenis mangrove ikutan (mangrove associate=MA). Mangrove dijumpai pada daerah yang selalu dipengaruhi oleh air pasang. Pada
71 daerah yang tidak terkena air pasang, umumnya merupakan areal perkebunan masyarakat dengan vegetasi karet, kelapa dan semak belukar, serta sebagian kecil ditumbuhi oleh bakau dan nipah, terutama pada daerah-daerah yang dialiri sungai.
Vegetasi pantai lainnya adalah semak belukar, berupa alang-alang,
paku-pakuan, pohon aru, sekeduduk dan lainnya. Semak belukar umumnya dijumpai pada lahan gambut yang tidak diusahakan oleh masyarakat (Khairuddin, 2003). 4.4 Kondisi Demografi dan Sosial Ekonomi Penduduk Kabupaten Bengkalis sampai akhir bulan Desember tahun 2004, berjumlah 561l166 jiwa yang tersebar pada 11 kecamatan. Distribusi jumlah penduduk disajikan pada Tabel 4.
Ditinjau dari jumlah penduduk,
kecamatan yang paling banyak penduduknya adalah Kecamatan Mandau (225l472 jiwa), sedangkan yang paling sedikit di Kecamatan Rupat Utara (11l486 jiwa). Selanjutnya, jika dilihat dari komposisi penduduk, ternyata penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki. Penduduk laki-laki berjumlah 279l147 jiwa (49.74%) sedangkan perempuan 282l019 jiwa (50.26%). Tabel 4. Distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis menurut jenis kelamin No.
Nama Kecamatan
Jumlah Penduduk
Jumlah Keluarga
Laki-laki
Perempuan
14 456
33 213
Total
%
32 788
66 001
11.76
1.
Bengkalis
2.
Bantan
8 264
18 248
17 323
35 571
6.34
3.
Bukit Batu
6 660
13 290
13 371
26 661
4.75
4.
Merbau
9 012
23 331
24 191
47 522
8.47
5.
Tebing Tinggi
17 257
17 257
33 477
50 734
9.04
6.
T. Tinggi Barat
3 040
7 227
7 321
14 548
2.59
7.
Rangsang
5 651
14 726
12 895
27 621
4.92
8.
Rangsang Barat
7 255
13 248
13 641
26 889
4.79
9.
Rupat
5 505
14 653
14 008
28 661
5.11
10.
Rupat Utara
2 876
5 696
5 790
11 486
2.05
11.
Mandau
46 392
118 258
107 214
225 472
40.18
126 368
279 147
282 019
561 166
100.00
Jumlah
Sumber : Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Bengkalis (2004)
72 Tabel 4 menunjukkan bahwa persentase jumlah penduduk dari masingmasing kecamatan. Persentase sebaran penduduk yang tertinggi terdapat di Kecamatan Mandau yaitu 40.18% dan yang terendah di Kecamatan Rupat Utara yaitu 2.05%. Tingginya jumlah penduduk di Kecamatan Mandau dikarenakan banyaknya warga pendatang yang bermukim di kawasan ini. Di samping itu kawasan ini merupakan daerah yang sangat cepat berkembang karena letak geografisnya dan akses yang cukup mudah dijangkau baik dari ibukota Propinsi Riau maupun dari propinsi lainnya (Sumatera Utara dan Sumatera Barat). Kawasan ini juga merupakan kawasan industri pertambangan milik PT. Caltex Pasific Indonesia (PT. CPI) yang merupakan ladang minyak yang sangat produktif.
Untuk lebih jelasnya persentase sebaran penduduk Kabupaten
Bengkalis berdasarkan kecamatan dapat dilihat pada Gambar 11 berikut.
Bengkalis Bantan 12% 40%
Bukit Batu 6%
Merbau 5%
Tebing Tinggi T. Tinggi Barat
8% 2% 5%
5%
5% 3%
9%
Rangsang Rangsang Barat Rupat Rupat Utara Mandau
Gambar 11. Persentase distribusi penduduk Kabupaten Bengkalis berdasarkan kecamatan pada tahun 2003
Mayoritas penduduk Kabupaten Bengkalis bekerja di sektor jasa dan perdagangan, sedangkan sektor lainnya tidak banyak digeluti sehingga menyebabkan ketimpangan dalam struktur mata pencaharian. Di sektor lain, penduduk bekerja secara musiman pada sektor perikanan (melaut) dan
73 perkebunan (menyadap karet). Pekerjaan musiman di bidang pertambakan, meliputi kegiatan panen yang membutuhkan 6 orang pekerja, rehabilitasi tambak 6-10 orang, dan pencetakan tambak baru membutuhkan 20 orang pekerja untuk setiap tambak seluas 2l500 m2. Dari sisi kemasyarakatan, mayoritas penduduk Kabupaten Bengkalis memeluk agama Islam dengan struktur etnis yang cukup bervariasi. Etnis dominan yang mendiami wilayah ini adalah suku Melayu. Selain itu juga dijumpai masyarakat etnis Jawa, Batak, Minang, Cina dan Bugis serta beberapa suku asli, yakni suku Sakai, Akit Hutan dan Bonai. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat multi etnik ini melakukan interaksi intra-etnis dan inter-etnis dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat. 4.5 Kondisi Kegiatan Perikanan Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) yang terdata sampai tahun 2002 ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Rumah tangga perikanan menurut kecamatan di Kabupaten Bengkalis No.
Kecamatan
1.
Mandau
2.
Bukit Batu
3.
Rumah Tangga Perikanan (RTP) Tangkap Kolam Tambak Keramba 451
Total 451
223
223
Rupat
1 120
1 120
4.
Rupat Utara
1 860
1 860
5.
Bengkalis
1 082
75
6.
Bantan
1 003
20
7.
Merbau
592
8.
Rangsang
542
9.
Rangsang Barat
393
2
10.
Tebing Tinggi
441
8
449
11.
Tebing Tinggi Barat
152
3
155
Jumlah Sumber : BPS Bengkalis, 2003
7 408
1 157 5
1 028
30
622 542
451
108
15
50
410
8 097
74 Kegiatan penangkapan ikan terdapat pada semua kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis. Jumlah RTP yang terbesar terdapat di Kecamatan Rupat Utara (1l860 KK), sedangkan yang terendah berada di Kecamatan Tebing Tinggi Barat (152 KK). Sementara itu, kegiatan budidaya air tawar (kolam) hanya berada di Kecamatan Mandau (451 KK). Kegiatan budidaya laut yang berkembang adalah usaha keramba jaring apung, yang dilaksanakan di Kecamatan Bantan, Merbau dan Rangsang Barat. Untuk usaha pertambakan, jumlah RTP yang terbanyak terdapat di Kecamatan Bengkalis (75 KK), sedangkan terendah di Kecamatan Rangsang Barat (2 KK). Kegiatan pertambakan di Kabupaten Bengkalis mulai berkembang pada tahun 1990. Hanya komoditi udang windu yang dibudidayakan. Hingga saat ini, budidaya udang windu telah berkembang di Kecamatan Bengkalis, Bantan, Bukit Batu dan Tebing Tinggi dengan menggunakan teknologi semi intensif dan intensif.
Untuk melihat perkembangan usaha pertambakan, maka disajikan
profil pertambakan Kabupaten Bengkalis pada Tabel 6. Tabel 6. Profil pertambakan di Kabupaten Bengkalis No.
Kecamatan
Rencana Pembebasan Lahan (Ha)
Lahan Yang Telah Dibuka (Ha)
Produksi (Ton)
1.
Bukit Batu
2.
Rupat
500.00
3.
Rupat Utara
300.00
4.
Bengkalis
161.53
83.53
131.15
5.
Bantan
1 000.00
33.00
24.00
6.
Merbau
500.00
7.
Rangsang
8.
Tebing Tinggi
2.50
3.90
9.
Tebing Tinggi Barat
124.03
163.05
Jumlah
5.00
1 000.00 1 000.00 4 461.53
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Bengkalis, 2002
Dari tabel juga terlihat bahwa hasil tangkapan udang tertinggi terdapat di Kecamatan Bengkalis yaitu 131.15 ton dengan luas lahan 83.53 ha, terendah di Kecamatan Tebing Tinggi 3.9 ton dengan luas lahan 2.5 ha. Dari data tersebut
75 dapat dilihat bahwa produktivitas dari tambak masih relatif rendah yaitu sebesar 1.6 ton/ha untuk Kecamatan Bengkalis dan Tebing Tinggi sedangkan di Kecamatan Bantan hanya sebesar 0.7 ton/ha. Selanjutnya perlakuan terhadap hasil produksi perikanan laut di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perlakuan terhadap produksi perikanan laut di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002
Tahun
Dikonsumsi Segar Jumlah (Ton)
Pengeringan/ Penggaraman %
Jumlah (Ton)
%
Terasi Jumlah (Ton)
Total (Ton) %
1985
11 830.8
14.2
44 295.8
53.3
26 981.0
32.5
83 107.6
1986
12 297.1
14.7
47 001.5
56.1
24 437.2
29.2
83 735.8
1987
13 957.4
16.5
42 824.0
50.8
27 591.3
32.7
84 372.7
1988
11 777.6
13.9
39 543.2
46.8
33 134.7
39.2
84 455.5
1989
11 660.5
13.8
38 742.0
45.9
34 057.8
40.3
84 460.3
1990
12 392.9
14.6
38 437.7
45.2
34 223.2
40.2
85 053.8
1991
12 283.5
14.5
38 231.1
45.2
33 977.9
40.2
84 492.5
1992
12 864.2
15.0
37 476.4
43.7
35 478.2
41.3
85 818.8
1993
12 485.5
14.4
38 883.0
44.9
35 310.5
40.7
86 679.0
1994
14 161.0
16.3
37 806.4
43.6
34 811.6
40.1
86 779.0
1995
30 344.3
35.4
34 801.1
40.5
20 677.4
24.1
85 822.8
1996
34 692.1
40.8
30 312.5
35.7
20 001.2
23.5
85 005.8
1997
37 016.7
43.6
24 730.5
29.1
23 188.8
27.3
84 936.0
1998
30 516.8
35.3
28 744.3
33.3
27 074.8
31.4
86 335.9
1999
48 154.5
55.5
9 456.0
10.9
29 091.1
33.6
86 701.6
2000
46 839.3
55.5
10 272.3
12.2
27 294.9
32.3
84 406.5
2001
42 789.8
49.5
16 801.2
19.5
26 786.0
31.0
86 377.0
2002
80 741.8
84.1
12 531.3
13.1
2 741.5
2.9
96 014.6
Rata-rata
26 489.2
30.4
31 716.1
37.2
27 603.3
32.4
85 808.6
Sumber : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003
76 Untuk lebih jelasnya perkembangan perlakuan terhadap hasil produksi perikanan laut di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 dapat dilihat pada Gambar 12. Ada tiga perlakuan yang umumnya dilakukan yaitu dikonsumsi segar, pengeringan/penggaraman dan diolah menjadi terasi. Pada mulanya pengeringan/penggaraman merupakan perlakuan yang dominan namun data terakhir menunjukkan bahwa pada tujuh tahun terakhir perlakuan yang dominan justru adalah dikonsumsi segar. Hal ini disebabkan karena permintaan akan ikan segar terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
100
Proporsi (%)
80 60 40 20
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0
Tahun Dikonsumsi Segar
Pengeringan/ Penggaraman
Terasi
Gambar 12. Grafik persentase perlakuan terhadap produksi perikanan laut di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002
Perkembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 dapat dilihat pada Tabel 8.
Ada tiga armada perikanan
tangkap yang beroperasi di kawasan perairan Kabupaten Bengkalis yaitu perahu, motor tempel dan kapal motor.
77 Tabel 8. Perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 Perahu Tahun
Jumlah (Unit)
Motor Tempel %
Jumlah (Unit)
%
Kapal Motor Jumlah (Unit)
%
Total Armada (Unit)
1985
1 169
29.25
214
5.36
2 613
65.39
3 996
1986
1 171
29.47
216
5.44
2 587
65.10
3 974
1987
1 222
29.19
222
5.30
2 743
65.51
4 187
1988
1 222
29.07
223
5.31
2 758
65.62
4 203
1989
1 244
29.32
227
5.35
2 772
65.33
4 243
1990
1 216
27.20
265
5.93
2 990
66.88
4 471
1991
1 239
23.37
365
6.88
3 698
69.75
5 302
1992
1 242
23.34
366
6.88
3 714
69.79
5 322
1993
1 254
23.33
369
6.87
3 752
69.80
5 375
1994
1 285
23.33
378
6.86
3 846
69.81
5 509
1995
1 377
23.88
396
6.87
3 994
69.26
5 767
1996
1 368
23.65
402
6.95
4 014
69.40
5 784
1997
1 120
19.72
298
5.25
4 262
75.04
5 680
1998
1 275
20.83
418
6.83
4 426
72.34
6 119
1999
1 108
17.58
294
4.67
4 899
77.75
6 301
2000
1 103
17.42
295
4.66
4 935
77.93
6 333
2001
1 199
18.17
396
6.01
5 001
75.81
6 597
2002
1 754
19.16
267
2.92
7 135
77.93
9 156
Rata-rata
1 254
23.74
312
5.79
3 897
70.47
5 462
Sumber : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003
Untuk lebih jelasnya perkembangan armada perikanan tangkap di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 dapat dilihat pada Gambar 13. Armada perikanan tangkap yang dominan adalah kapal motor dengan persentase rata-rata sebesar 70.47%, diikuti oleh perahu sebesar 23.74% dan yang paling sedikit adalah motor tempel sebesar 5.79%. Jumlah armada kapal motor dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan sebaliknya armada perahu terus mengalami penurunan. Sedangkan jumlah motor tempel berfluktuasi dari tahun ke tahun namun secara umum jumlahnya relatif tidak terlalu banyak
78 perubahan. Berkurangnya penggunaan perahu ini disebabkan karena fishing ground yang menjadi tempat dimana mereka mencari ikan sudah bergeser lebih jauh dari pantai tempat tinggal mereka.
Jika mereka masih mengandalkan
perahu tentu saja akan kalah bersaing dengan nelayan-nelayan lain yang sudah menggunakan armada yang lebih canggih seperti menggunakan armada kapal motor.
Sebagian besar armada kapal motor nelayan di Kabupaten Bengkalis
biasanya dilengkapi dengan pesawat komunikasi dan GPS.
Proporsi Armada (%)
100 90 80 70 60 50 40 30 20
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
10 -
Tahun Perahu
Motor T empel
Kapal Motor
Gambar 13. Grafik perkembangan armada perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002
Data produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 dapat dilihat pada Tabel 9.
Ada tiga kelompok sumberdaya
perikanan yaitu kelompok ikan, hewan berkulit keras dan hewan lunak. Persentase rata-rata produksi sumberdaya perikanan berturut-turut adalah sebagai berikut: kelompok ikan 61.98 %, hewan berkulit keras 33.33 % dan hewan lunak 4.69%. Dari data pada tabel tersebut terlihat bahwa kelompok sumberdaya ikan memberikan kontribusi terbesar terhadap produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis, diikuti oleh kelompok hewan berkulit keras,
79 dan terakhir adalah hewan lunak. Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan masih merupakan primadona yang menjadi target utama nelayan di kawasan ini. Tabel 9. Produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 Ikan Tahun
Produksi (Ton)
%
Hewan Berkulit Keras Produksi % (Ton)
Hewan Lunak Produksi (Ton)
%
Total Produksi (Ton)
1985
59 820.40
71.98
21 609.60
26.00
1 677.60
2.02
83 107.60
1986
60 662.40
72.44
21 913.40
26.17
1 160.00
1.39
83 735.80
1987
56 588.90
67.07
26 891.50
31.87
892.30
1.06
84 372.70
1988
53 195.00
62.99
30 509.20
36.12
751.30
0.89
84 455.50
1989
53 353.90
63.17
30 352.10
35.94
754.30
0.89
84 460.30
1990
53 745.00
63.19
30 521.80
35.89
787.00
0.93
85 053.80
1991
53 531.80
62.62
31 053.90
36.32
906.80
1.06
85 492.50
1992
53 676.60
62.55
31 298.60
36.47
843.60
0.98
85 818.80
1993
54 377.70
62.73
31 590.10
36.44
711.20
0.82
86 679.00
1994
53 353.60
61.48
32 718.90
37.70
706.50
0.81
86 779.00
1995
53 466.70
62.30
25 811.90
30.08
6 544.20
7.63
85 822.80
1996
53 059.50
62.42
27 045.30
31.82
4 901.00
5.77
85 005.80
1997
51 010.20
60.06
28 921.50
34.05
5 004.30
5.89
84 936.00
1998
50 722.07
58.70
31 368.08
36.30
4 322.65
5.00
86 412.80
1999
48 668.60
56.13
28 675.50
33.07
9 357.50
10.79
86 701.60
2000
49 046.90
58.11
26 562.10
31.47
8 797.50
10.42
84 406.50
2001
48 579.88
56.22
30 499.43
35.29
7 338.07
8.49
86 417.38
2002
49 457.20
51.51
27 821.80
28.98
18 735.60
19.51
96 014.60
Rata-rata
53 128.69
61.98
28 620.26
33.33
4 121.75
4.69
85 870.69
Sumber : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003
Dari tabel terlihat bahwa produksi perikanan didominasi oleh kelompok ikan (rata-rata 61.98%) diikuti oleh hewan berkulit keras (rata-rata 33.33%) dan yang paling sedikit adalah hewan lunak (rata-rata 4.69%). Untuk lebih jelasnya
80 persentase produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 dapat dilihat pada Gambar 14.
80
Proporsi Produksi (%)
70 60 50 40 30 20 10 2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
-
Tahun Ikan
Hewan berkulit keras
Hewan Lunak
Gambar 14. Persentase produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002
Gambar 14 memperlihatkan bahwa dari tahun ke tahun proporsi produksi dari ketiga kelompok sumberdaya perikanan selalu bervariasi.
Proporsi
produksi kelompok sumberdaya ikan terlihat cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sedangkan proporsi produksi kelompok hewan berkulit keras relatif stabil, sebaliknya proporsi produksi kelompok hewan lunak cenderung mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa nelayannelayan di Kabupaten Bengkalis tidak lagi bergantung pada satu kelompok sumberdaya perikanan lagi. Tetapi mereka sudah mulai melakukan eksplorasi ke kelompok sumberdaya perikanan yang lain seperti kelompok hewan lunak antara lain jenis-jenis kerang-kerangan, gastropoda, cumi-cumi, dan lain-lain. Data nilai produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 dapat dilihat pada Tabel 10.
81 Tabel 10. Nilai produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 Nilai Produksi (juta Rp) Tahun Ikan
Hewan Berkulit Keras
Total Hewan Lunak
1985
15 389.89
11 611.84
335.52
27 337.25
1986
15 839.14
11 900.81
232.00
27 971.96
1987
16 194.44
13 808.65
178.46
30 181.55
1988
15 497.00
16 364.74
150.26
32 012.00
1989
16 743.95
16 462.43
150.86
33 357.24
1990
17 569.13
16 605.62
157.40
34 332.15
1991
20 469.25
17 659.66
181.36
38 310.27
1992
22 278.31
19 852.05
253.08
42 383.44
1993
23 272.63
19 853.93
213.36
43 339.92
1994
28 854.98
21 136.42
202.53
50 193.93
1995
34 132.91
24 179.24
1 687.30
59 999.45
1996
34 912.89
20 081.95
1 510.80
56 505.64
1997
40 815.52
24 769.43
1 549.19
67 134.14
1998
37 748.34
25 163.52
1 295.89
64 207.76
1999
108 435.99
135 377.32
5 137.04
248 950.35
2000
133 783.43
105 059.85
8 952.40
247 795.68
2001
82 380.80
72 256.69
4 325.39
158 962.87
2002
681 766.40
538 977.10
46 839.00
1 267 582.50
Rata-rata
74 782.50
61 728.96
4 075.10
140 586.56
Sumber : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003
Dari Tabel 10 terlihat bahwa nilai rata-rata produksi sumberdaya perikanan dari tahun 1985-2002 adalah 140l586.56 (juta Rp). Nilai produksi perikanan didominasi oleh kelompok ikan dengan nilai produksi rata-rata
82 74l782.50 (juta Rp) diikuti oleh hewan berkulit keras dengan nilai produksi ratarata 61l728.96 (juta Rp) dan yang paling sedikit adalah hewan lunak dengan nilai produksi rata-rata 4l075.10 (juta Rp). Untuk lebih jelasnya persentase nilai produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dari tahun 19852002 dapat dilihat pada Gambar 15.
800,000
N ilai P roduksi (Juta R p)
700,000 600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000
1999 2000 2001 2002
1996 1997 1998
1992 1993 1994 1995
1989 1990 1991
1985 1986 1987 1988
-
Tahun Ikan
Hewan Berkulit Keras
Binatang Lunak
Gambar 15. Nilai produksi (juta Rp) sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis
Gambar 15 menunjukkan bahwa nilai produksi perikanan secara keseluruhan didominasi oleh kelompok ikan diikuti oleh hewan berkulit keras, dan yang paling rendah adalah dari kelompok hewan lunak. Untuk kelompok sumberdaya ikan dan hewan berkulit keras terjadi peningkatan nilai produksi yang cukup tinggi pada tahun 1999, namun untuk kelompok hewan berkulit keras nilai produksinya mengalami penurunan dari tahun 2000 sampai 2001.
83 Secara keseluruhan nilai produksi kelompok ikan, hewan berkulit keras dan hewan lunak yang tertinggi terdapat pada tahun 2002. Untuk kelompok ikan nilai produksi tertingginya sebesar 681 766.40 (juta Rp), kelompok hewan berkulit keras sebesar 538 977.10 (juta Rp) dan kelompok hewan lunak sebesar 46 839.00 (juta Rp).
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Produksi Perikanan Analisis data hasil tangkapan ikan di Kabupaten Bengkalis dilakukan terhadap 3 spesies ikan demersal yaitu ikan bawal hitam (Formio niger), bawal putih (Pampus argenteus) dan kurau/senangin (Eleutheronema sp). Deskripsi dari ketiga ikan demersal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis di Kabupaten Bengkalis dari tahun 1985-2002 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis Produksi (Ton) Bawal Senangin Putih
No.
Tahun
1.
1985
114.27
148.83
316.98
580.09
2.
1986
121.83
185.31
339.46
646.61
3.
1987
127.68
208.06
370.08
705.82
4.
1988
156.13
182.78
394.06
732.97
5.
1989
184.17
193.04
426.62
803.83
6.
1990
181.21
217.60
461.29
860.10
7.
1991
190.53
188.78
405.34
784.64
8.
1992
209.97
220.50
447.52
877.99
9.
1993
223.12
248.53
436.39
908.04
10.
1994
217.12
228.05
565.98
1 011.16
11.
1995
190.41
235.58
582.57
1 008.57
12.
1996
210.66
284.01
495.56
990.23
13.
1997
271.11
292.23
554.28
1 117.62
14.
1998
277.30
298.98
607.35
1 183.63
15.
1999
210.15
301.30
547.49
1 058.94
16.
2000
240.30
333.52
538.32
1 112.14
17.
2001
251.09
318.09
609.66
1 178.84
18.
2002
221.67
343.07
907.52
1 472.25
Rata-rata
199.93
246.01
500.36
915.36
Bawal Hitam
Total
Sumber Data Olahan dari : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003
85 Produksi dari ketiga spesies ikan demersal tersebut dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 16.
1000 900 Produksi (Ton)
800 700 600 500 400 300 200 100 2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0
Tahun Bawal Hitam
Bawal Putih
Senangin
Gambar 16. Grafik data produksi ikan demersal yang digunakan dalam analisis
Produksi rata-rata tertinggi berturut-turut adalah ikan senangin 500.36 ton, bawal putih 246.01 ton dan bawal hitam 199.93 ton. Dari tahun ke tahun hasil tangkapan dari ketiga spesies juga memperlihatkan trend yang meningkat. Kenaikan yang terus menerus ini akan menjadi masalah dalam analisis time series. Untuk menentukan apakah data bersifat trending (non stationary), maka dilakukan analisis stationary dengan uji Dickey Fuller serta handling data yang bersifat trending dengan menggunakan teknik co-integration. Hasil analisis dari data hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan (pukat pantai, jaring insang hanyut dan jermal) dapat dilihat pada Lampiran 2. Dari hasil analisis tersebut terlihat bagaimana share hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap tersebut terhadap ikan bawal hitam, bawal putih dan kuro/senangin. Untuk lebih jelasnya hasil tangkapan dari masing-masing alat dapat dilihat pada Gambar 17. Dari gambar tersebut terlihat bahwa sepanjang tahun
86 pengamatan alat tangkap yang memiliki hasil tangkapan tertinggi adalah jaring insang hanyut dan yang terendah adalah pukat pantai.
1,400
Produksi (Ton)
1,200 1,000 800 600 400 200
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
Tahun Pukat Pantai
Jaring Insang hanyut
Jermal
Gambar 17. Hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan dalam analisis
5.2 Standarisasi Unit Effort Sebelum dilakukan asumsi parameter biologi, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi data dan standardisasi dari unit upaya (effort). Kalibrasi dilakukan mengingat data spesifik mengenai upaya yang ditujukan khusus untuk spesies target yang digunakan dalam penelitian ini tidak tersedia. Dalam perikanan yang multi-species dan multi-gear seperti di perairan Kabupaten Bengkalis, maka problem yang kemudian muncul adalah kesulitan untuk mendapatkan data upaya yang langsung untuk setiap spesies, karena satu alat tangkap dapat menangkap lebih dari satu spesies ikan target. Menurut Smith (1993) dan Fauzi (1998), agregasi upaya merupakan satu-satunya cara pengukuran upaya yang dapat diandalkan pada perikanan multi-spesies.
87 Dalam penentuan standardisasi effort dalam studi ini digunakan unit jumlah trip per tahun dari tiga alat tangkap yaitu pukat pantai, jaring insang hanyut dan jermal. Pemilihan ketiga alat tangkap ini didasarkan pada kondisi bahwa ketiga alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang dominan digunakan di lokasi penelitian.
Ketiga alat tangkap tersebut juga secara konstan
menangkap ketiga spesies target dari tahun ke tahun. Spesifikasi dan gambar dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Tabel 12. Standardisasi effort dari alat tangkap yang digunakan dalam analisis CPUE Tahun P. Pantai
J.I. hanyut
Indeks Jermal
P. Pantai
Standarisasi Jermal
P. Pantai
Jermal
Total Effort (Trip)
1985
0.00106
0.00859
0.00062
0.12313
0.07171
1 998.45
2 917.70
67 556
1986
0.00104
0.00942
0.00077
0.11040
0.08124
2 213.39
3 450.68
68 665
1987
0.00293
0.00919
0.00066
0.31907
0.07229
2 437.34
4 868.16
76 816
1988
0.00387
0.01059
0.00097
0.36582
0.09200
2 473.69
6 299.60
69 219
1989
0.00353
0.01164
0.00114
0.30359
0.09789
2 001.89
6 686.34
69 049
1990
0.00327
0.01255
0.00105
0.26069
0.08399
1 860.00
5 661.63
68 536
1991
0.00453
0.01099
0.00125
0.41269
0.11411
2 896.71
7 327.80
71 412
1992
0.00402
0.01259
0.00149
0.31905
0.11858
2 295.59
7 850.33
69 726
1993
0.00440
0.01189
0.00162
0.37046
0.13619
2 555.05
8 934.57
76 393
1994
0.00472
0.01363
0.00153
0.34589
0.11188
2 364.19
7 446.15
74 172
1995
0.00422
0.01146
0.00135
0.36830
0.11754
2 579.27
8 020.71
88 018
1996
0.00428
0.01102
0.00134
0.38844
0.12156
3 057.04
8 585.86
89 855
1997
0.00451
0.01279
0.00168
0.35236
0.13139
3 675.83
11 766.42
87 350
1998
0.00438
0.01158
0.00149
0.37807
0.12835
4 267.53
13 217.56
102 246
1999
0.00443
0.00986
0.00132
0.44882
0.13338
4 714.43
13 166.99
107 353
2000
0.00371
0.01040
0.00134
0.35642
0.12837
3 649.42
12 551.76
106 928
2001
0.00360
0.01063
0.00111
0.33917
0.10405
4 064.93
11 534.60
110 920
2002
0.00488
0.01249
0.00123
0.39085
0.09884
5 355.78
11 548.05
117 889
Sumber Data Olahan dari : Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003
Karena ketiga alat tangkap tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap ikan, maka diperlukan standardisasi unit fishing effort. Proses standardisasi dilakukan dengan menggunakan formula pada persamaan
88 (3.6)4, yang meliputi data dari tahun 1985 sampai dengan 2002.
Dengan
menggunakan jaring insang hanyut sebagai alat standard5, hasil perhitungan standardisasi effort dapat dilihat pada Tabel 12 5.3 Estimasi Parameter Biologi Beberapa parameter biologi yang diperlukan dalam studi ini menyangkut parameter pertumbuhan (r), carrying capacity (K) dan koefisien daya tangkap (q). Ketiga parameter tersebut diduga dengan menggunakan metode Clarke, Yoshimoto dan Pooley (CYP).
Pendugaan parameter dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak SHAZAM setelah terlebih dahulu dilakukan uji stationarity dari data dan prosedur Cochran-Orcutt untuk menguji auto correlation dari variabel (Lampiran 5). Hasil uji Dickey Fuller dapat dilihat pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Hasil uji Dickey Fuller
No.
Varibel
Tanpa Trend
Dengan Trend
1.
LnCPUE
-2.6937
-2.2552
2.
Et + Et+1
1.3169
-1.1071
Hasil uji stationarity dengan menggunakan prosedur Dickey-Fuller test mengindikasikan bahwa variabel effort menunjukkan adanya gejala nonstationary (trending).
Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai kritis dari
Dickey-Fuller test yang lebih kecil dari nilai absolut 2.57 (sedangkan Log CPUE dengan tanpa trend menunjukkan data stationer). Dengan hasil tersebut, maka dilakukan pendekatan teknik co-integration untuk menghadapi masalah nonstationarity dalam pendugaan parameter ini. Setelah dilakukan teknik coMetode untuk standardisasi fishing effort ada beberapa cara, sebagai contoh Stark (1971), juga Hilborn dan Walters (1992). Namun demikian kedua metode tersebut tidak dapat diimplementasikan dalam penelitian ini karena data yang diperlukan tidak tersedia, serta perhitungan yang cukup kompleks. 5 Dalam studi ini jaring insang hanyut digunakan sebagai standard mengingat proporsi terbesar jumlah hasil tangkapan ikan demersal di perairan Kabupaten Bengkalis diperoleh dari alat tangkap ini. 4
89 integration dan melalui iterasi Cochran-Orcutt untuk menghilangkan autokorelasi, maka dihasilkan parameter biologi untuk analisis seperti disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil analisis nilai parameter biologi
No. 1. 2. 3. 4.
Parameter r K q Durbin-Watson
Nilai 0.515692 1154.16157 0.0009386 1.96
5.4 Estimasi Parameter Ekonomi 5.4.1 Struktur Biaya Hasil analisis terhadap perhitungan biaya per unit standardized effort dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Total biaya kegiatan penangkapan ikan target dari tahun 1985-2002
No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Biaya Real (Rp Juta/ton) 1.09 0.97 1.18 1.14 1.11 1.10 1.36 1.25 1.47 1.36 1.85 2.09 1.92 3.53 6.54 6.00 7.29 6.65
Total Biaya (Rp juta) 632.457 630.418 832.261 838.342 895.735 944.461 1 067.744 1 093.647 1 333.782 1 373.339 1 862.170 2 073.197 2 148.892 4 176.528 6 920.805 6 677.765 8 595.967 9 787.981
90 Untuk jelasnya perkembangan biaya operasional untuk penangkapan ikan dari alat tangkap yang sudah distandarisasi dapat dilihat pada Gambar 18. 12000
Biaya (Rp juta)
10000 8000 6000 4000 2000
1 20 0
9 19 9
7 19 9
5 19 9
3 19 9
1 19 9
9 19 8
7 19 8
19 8
5
0
Tahun Total Biay a (Rp juta)
Gambar 18. Total biaya penangkapan ikan taget dari tahun 1985-2002
Gambar 18 memperlihatkan bahwa biaya operasional menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa seiring dengan pertambahan waktu maka biaya untuk melaut juga semakin meningkat. 5.4.2 Estimasi Discount Rate Dari hasil perhitungan discount rate dengan teknik Kula, akan diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kabupaten Bengkalis sebagai g=11% (Lampiran 6). Dengan menggunakan standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam dari Brent (1997) sebesar 1, dan ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) dari Ramsey6, sebesar 15% maka diperoleh nilai real discount rate (r) sebesar (4%).
Nilai ini
merupakan nilai yang cukup konservatif untuk sumberdaya alam, dan patut dipertimbangkan penggunaannya dalam eksploitasi sumberdaya alam. Tentu 6
Idealnya perhitungan real interest rate dalam model Kula ini harus memperhitungkan ρ pure time preference, namun nilai ini harus dihitung berdasarkan kemungkinan survival rate-rata (average survival probability). Namun demikian, kenyataan data di lapangan tidak tersedia, sehingga nilai ρ ini disubsitusi oleh nominal discount rate sebagaimana dirumuskan pada persamaan Ramsey.
91 saja, dalam hal ini sumberdaya perikanan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Dalam penelitian ini selanjutnya,
perhitungan nilai ekonomi (rente) sumberdaya dilakukan dengan berbasiskan dua macam discount rate tersebut. 5.5 Estimasi Sustainable Yield Setelah parameter biologi ditentukan, maka nilai parameter-parameter tersebut digunakan untuk menduga nilai tangkap lestari serta melakukan perbandingan dengan nilai tangkap aktual. Hal ini diperlukan untuk melihat bagaimana keragaan (performance) dari produksi perikanan selama periode waktu 1985-2002.
Hasil perbandingan untuk fungsi Gompertz dan fungsi
logistik dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Perbandingan produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer) Tahun
Effort (Trip)
Produksi Aktual (Ton)
Sust. Yield Gompertz (Ton)
1985
67 556
580.09
647.15
641.84
1986
68 665
646.61
656.45
650.87
1987
76 816
705.82
723.55
715.78
1988
69 219
732.97
661.08
655.37
1989
69 049
803.83
659.66
653.99
1990
68 536
860.10
655.36
649.82
1991
71 412
784.64
679.30
673.04
1992
69 726
877.99
665.30
659.47
1993
76 393
908.04
720.12
712.48
1994
74 172
1 011.16
702.02
695.02
1995
88 018
1 008.57
812.34
800.73
1996
89 855
990.23
826.52
814.19
1997
87 350
1 117.62
807.16
795.81
1998
102 246
1 183.63
919.53
901.49
1999
107 353
1 058.94
956.53
935.71
2000
106 928
1 112.14
953.48
932.90
2001
110 920
1 178.84
981.92
959.00
2002
117 889
1 472.25
1 030.45
1 003.05
Sumber data diolah dari: Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003
Sust. Yield Schaefer (Ton)
92 Tabel 16 memperlihatkan bahwa nilai produksi lestari sepanjang tahun untuk fungsi Gompertz relatif lebih tinggi dari fungsi Schaefer, walaupun secara umum hampir tidak menunjukkan perbedaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 19.
160
Produksi (10 Ton)
140 120 100 80 60 40 20 2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0
Tahun Produksi Aktual
Gompertz
Schaefer
Gambar 19. Produksi aktual dan lestari (fungsi Gompertz dan Schaefer)
Perbandingan tersebut kemudian diperkuat dengan analisis “Copes eye ball method” untuk melihat trajektori atau loop kontraksi dan ekspansi dari input (effort). Dari analisis sustainable yield dengan menggunakan parameterparameter biologi, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Gompertz
:
ht = 1.08327226 Et exp(-0.00182004 Et)
Schaefer
:
ht = 1.08327226 Et - 0.00197160 Et2
Dengan menggunakan persamaan tersebut, maka kurva sustainable yield-effort akan diperoleh. Analisis “Copes eye ball” kemudian digunakan untuk melihat trajektori dari kedua fungsi lestari di atas. Selanjutnya dilakukan overlay antara produksi aktual dengan sustainable yield sebagaimana disajikan pada Gambar 20 dan 21.
93
250
200
150 Produksi
'02 '98 '01 '97 '00 '99 '94 '95 '96 '93 '92 '90 '89 '91 '88 '87 '86 '85
100
50
0 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
Effort
Gambar 20.
“Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz)
150
'0 2
'9'0 81 '9 7 '0 0 '9 9 '9 4'9 '956
100 Produksi
'9 3 '9 02 '9 '8 '991 '8 8 '8 7 '8 6 '8 5
50
0 0
100
200
300
400
500
600
E ffo r t
Gambar 21.
“Copes eye ball” sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Logistik)
94 Gambar 20 dan 21 memperlihatkan bahwa kurva dengan garis hitam solid menunjukkan kurva sustainable yield, sedangkan kurva dengan garis merah untuk fungsi Gompertz dan logistik yang merupakan trajektori produksi aktual. Selanjutnya Gambar 22 dan 23 memperlihatkan bahwa jika produksi aktual diplot terhadap fungsi lestari, maka terlihat adanya pola ekspansi dan kontraksi.
Ekspansi yang akan terjadi, bergerak ke arah titik maksimum
sustainable yield, pada periode berikutnya akan terjadi kontraksi yang menuju ke pola awal.
Yield ekspansi
kontraksi
Effort
Gambar 22. Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Gompertz)
Yield ekspansi
kontraksi
Effort
Gambar 23. Sustainable yield dan produksi aktual (fungsi Logistik)
95 5.6 Degradasi Sumberdaya Perikanan Analisis mengenai degradasi sumberdaya perikanan dalam studi ini merupakan salah satu hal yang penting dilakukan. Hasil perhitungan koefisien degradasi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis dapat dilihat pada Lampiran 7. Laju degradasi sumberdaya perikanan untuk produksi aktual dan lestari dapat dilihat pada Gambar 24 dan 25. Gambar 24 dan 25 memperlihatkan bahwa laju degradasi sumberdaya perikanan baik dengan menggunakan data produksi aktual maupun data produksi lestari memiliki pola yang relatif sama, dimana koefisien degradasi yang rendah terjadi di awal-awal periode kemudian mengalami peningkatan pada periode-periode selanjutnya.
Hal ini berkaitan dengan makin
meningkatnya produksi aktual selama kurun waktu pengamatan.
Koefisien Degradasi
0.40
0.30
0.20
19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02
0.10
Tahun Koefisien Degradasi Lestari
Gambar 24. Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi lestari
96
Koefisien Degradasi
0.40
0.30
0.20
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0.10
Tahun Koefisien Degradasi Aktual
Gambar 25. Laju degradasi sumberdaya perikanan dengan menggunakan produksi aktual
Selanjutnya perbandingan antara laju degradasi dengan produksi aktual dapat dilihat pada Gambar 26.
Dari gambar terlihat bahwa laju degradasi
memiliki pola yang relatif sama dengan produksi aktual.
Laju degradasi
mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi aktual, begitu juga sebaliknya, ketika terjadi penurunan produksi aktual maka laju degradasi juga mengalami penurunan.
0.40 0.33
1,200 0.25 800
0.18
2002
1999 2000 2001
1998
1996 1997
1993 1994 1995
1992
1990 1991
1989
1987 1988
1986
0.10 1985
400
Koefisien Degradasi
Produksi (10 Ton)
1,600
Tahun
Produksi Aktual
Koefisien Degradasi
Gambar 26. Perbandingan laju degradasi dengan produksi aktual
97 Perbandingan laju degradasi sumberdaya perikanan dengan upaya aktual dapat dilihat pada Gambar 27.
Dari gambar terlihat bahwa secara umum
degradasi memiliki pola yang relatif sama dengan upaya aktual, dimana peningkatan dari upaya juga diikuti dengan peningkatan degradasi. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan upaya akan dapat menjadi penyebab terjadinya peningkatan degradasi. Untuk itu diperlukan tindakan pengelolaan terhadap upaya sehingga laju degradasi sumberdaya ikan di pulau-pulau kecil bisa dikurangi atau dapat dikendalikan.
120,000
Effort (Trip)
0.33
100,000 90,000
0.25
80,000 0.18
70,000
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
0.10 1985
60,000
Koefisien Degradasi
0.40
110,000
Tahun Effort
Koefisien Degradasi
Gambar 27. Perbandingan laju degradasi dengan effort aktual
5.7 Depresiasi Sumberdaya Perikanan Keseluruhan hasil estimasi parameter biofisik dan ekonomi digunakan untuk menghitung nilai depresiasi sumberdaya. Dengan menggunakan formula perhitungan depresiasi serta menggunakan hasil perhitungan model Gompertz maka nilai depresiasi sumberdaya perikanan dapat dihitung sebagaimana disajikan pada Tabel 17.
98 Tabel 17. Perubahan rente ekonomi (depresiasi) sumberdaya perikanan Tahun
Sust Rev (Rp jt)
TC (Rp jt)
Sust Rent (Rp jt)
PVSRa (Rp jt)
∆PVSRa (Rp jt)
PVSRb (Rp jt)
∆PVSRb (Rp jt)
1985
2 083.18
632.46
1 450.72
9 671.46
9 671.46
36 267.98
36267.98
1986
2 072.27
630.42
1 441.85
9 612.37
-59.10
36 046.37
-221.61
1987
2 695.47
832.26
1 863.21
12 421.43
2 809.06
46 580.35
10 533.98
1988
2 752.97
838.34
1 914.63
12 764.19
342.76
47 865.70
1 285.35
1989
2 942.35
895.73
2 046.61
13 644.09
879.90
51 165.33
3 299.62
1990
3 105.31
944.46
2 160.85
14 405.65
761.56
54 021.18
2 855.85
1991
3 492.33
1 067.74
2 424.58
16 163.87
1 758.23
60 614.53
6 593.35
1992
3 588.04
1 093.65
2 494.39
16 629.26
465.39
62 359.73
1 745.20
1993
4 323.10
1 333.78
2 989.31
19 928.77
3 299.50
74 732.87
12 373.14
1994
4 469.34
1 373.34
3 096.00
20 639.97
711.21
77 399.90
2 667.03
1995
5 909.36
1 862.17
4 047.19
26 981.26
6 341.29
101 179.73
23 779.83
1996
6 557.07
2 073.20
4 483.87
29 892.48
2 911.22
112 096.79
10 917.06
1997
6 827.53
2 148.89
4 678.64
31 190.91
1 298.43
116 965.91
4 869.12
1998
12 914.88
4 176.53
8 738.35
58 255.69
27 064.78
218 458.84
101 492.93
1999
21 202.86
6 920.81
14 282.05
95 213.67
36 957.98
357 051.27
138 592.42
2000
20 474.11
6 677.76
13 796.34
91 975.61
-3 238.06
344 908.55
-12 142.72
2001
26 164.53
8 595.97
17 568.56
117 123.76
25 148.14
439 214.08
94 305.53
2002
29 417.33
9 787.98
19 629.35
130 862.33
13 738.58
490 733.75
51 519.67
Keterangan: Sust Rev = Penerimaan Lestari (Sustainable Revenue) TC = Biaya Total Sust Rent = Rente Lestari (Sustainable Rent) PVRa = Present Value Sustainable Rent dengan δ market=15% PVRb = Present Value Sustainable Rent dengan δ Kulla=4% ∆PVRa = Perubahan Present Value Sustainable Rent (depresiasi) dengan δ market=15% ∆PVRb = Perubahan Present value Sustainable Rent (depresiasi) dengan δ Kulla=4%
Dari tabel terlihat bahwa dengan market discount rate sebesar 15% sumberdaya perikanan demersal di Bengkalis mengalami depresiasi pada tahun 1986 dan 2000. besaran depresiasi sumberdaya perikanan demersal berkisar Rp 59 juta sampai Rp 3.24 milyar. Sepanjang kurun waktu tersebut, nilai depresiasi
99 diestimasi sebesar Rp 3.3 milyar. Dengan rata-rata nilai present value dari rente sumberdaya sebesar Rp 40.4 milyar sepanjang tahun pengamatan. Besaran depresiasi tersebut cukup signifikan mengurangi nilai rente sumberdaya yang sebenarnya. Penghitungan
rente
sumberdaya
perikanan
demersal
dengan
menggunakan discount rate yang lebih konservatif dari Kula (4%) menghasilkan nilai rata-rata present value yang jauh lebih tinggi dari perhitungan rente dengan market discount rate yakni sebesar Rp 151.5 milyar. Dengan discount rate Kula depresiasi sumberdaya perikanan terjadi pada tahun yang sama seperti pada market discount rate, yakni sebesar Rp 12.4 milyar. Suatu nilai kehilangan yang relatif besar.
Depresiasi ini seharusnya diperhitungkan dalam statistik
pendapatan sektor perikanan di Kabupaten Bengkalis. Jika tidak, maka nilai PDRB dari sektor perikanan ini akan terlalu rendah pada tahun-tahun dimana stok ikan terapresiasi dan terlalu tinggi pada tahun-tahun dimana stok ikan terdepresiasi. Dengan discount rate Kula yang lebih konservatif, seperti yang dipaparkan di atas, ternyata dihasilkan nilai rente present value dan nilai depresiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan market discount rate
yang notabene tidak merefleksikan pertumbuhan ekonomi di
wilayah penelitian. Dalam tahapan ini discount rate tidak dihitung berdasarkan Golden Rule sebagaimana seharusnya.
Sehingga dampak dari perubahan
discount rate terhadap pengelolaan optimal yang berkaitan dengan stok sumberdaya tidak dapat dibahas.
Perubahan discount rate di sini hanya
merupakan perubahan numeirare, sehingga tidak dapat dipakai sebagai suatu kesimpulan atau dijadikan suatu basis indikator untuk menentukan penyebab terjadinya perubahan nilai rente sumberdaya dan depresiasi berdasarkan stock assessment, sebagaimana yang dilakukan oleh Clark (1990).
100 Pola depresiasi sumberdaya perikanan mengalami pola yang counter cyclical antara upaya dan produksi aktual. Pada saat tingkat upaya (effort) terjadi penurunan, produksi aktual justru tidak menunjukkan perilaku yang sama, malah sebaliknya. Sebagai contoh ketika upaya menurun dari 76 816 trip ke 69 219 trip dari tahun 1987 ke 1988, maka produksi aktual justru meningkat dari 705.8 ton ke 733.0 ton.
Perilaku counter cyclical ini, menyebabkan
penurunan pada tangkap lestari (sustainable yield) sehingga mengakibatkan terjadinya depresiasi rente pada sumberdaya perikanan.
Dengan demikian,
implikasinya terhadap kebijakan adalah bahwa untuk meningkatkan nilai stok sumberdaya ikan, kebijakan untuk menurunkan level input (effort) adalah merupakan pilihan yang tepat. Pola depresiasi rente sumberdaya perikanan terhadap present value dari rente sumberdaya perikanan dapat dilihat pada Gambar 28.
550,000
Rente (Rp juta)
450,000 350,000 250,000 150,000
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 85
-50,000
19 87
50,000
Tahun PVSR (a)
Dep (a)
PVSR (b)
Dep (b)
Gambar 28. Present value rente dan depresiasi
Sedangkan keterkaitan antara perkembangan upaya (effort) dengan depresiasi dapat dilihat pada Gambar 29 dan 30.
101 140
40,000 35,000
120
Effort (000 Trip)
25,000 20,000
80
15,000 60
10,000 5,000
40
Depresiasi (Rp juta)
30,000
100
0
20
-5,000
0
-10,000 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Tahun Depresiasi
Effort
Gambar 29. Effort dan depresiasi (Kula 15%)
140
160,000 140,000
120
Effort (000 Trip)
100,000
80
80,000
60
60,000 40,000
40
Depresiasi (Rp juta)
120,000 100
20,000 20
0
0
-20,000 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Tahun Depresiasi
Effort
Gambar 30. Effort dan depresiasi (Kula 4%)
Gambar 29 dan 30 memperlihatkan bahwa hubungan antara upaya dengan depresiasi yang tidak terjadi secara seketika. Artinya, ketika upaya tinggi depresiasi sumberdaya perikanan tidak terjadi pada saat itu, melainkan terjadi lag, sehingga depresiasi baru akan terjadi pada periode berikutnya.
102 Depresiasi yang terjadi diakibatkan oleh perkembangan effort yang berlebihan pada periode sebelumnya sehingga walaupun effort cenderung menurun pada periode tertentu namun depresiasi sumberdaya perikanan tetap terjadi. 5.8 Pengelolaan Sumberdaya Yang Optimal Sumberdaya pengelolaannya
perikanan
secara
optimal
merupakan juga
aset
kapital
memerlukan
yang
pendekatan
sebagaimana halnya dengan sumberdaya alam lainnya.
dalam kapital,
Dengan demikian
dibutuhkan pertimbangan aspek intertemporal dalam analisisnya.
Pada
pendekatan kapital, biaya korbanan (opportunity cost) untuk mengeksploitasi sumberdaya pada saat ini diperhitungkan melalui perhitungan rente ekonomi optimal (optimal rent) yang seharusnya didapat dari sumberdaya perikanan, jika sumberdaya tersebut dikelola secara optimal. Hasil perhitungan analisis optimal dengan menggunakan real discount rate dari Kula 4% dan market discount rate 15% sepanjang tahun pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 8. Nilai optimal biomass, hasil tangkapan dan effort dengan nilai δ yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 18. Dari tabel di atas diperoleh nilai rata-rata biomass, hasil tangkapan dan input yang optimal pada real discount rate dari Kula 4% berturut-turut yaitu 5l491.27 ton, 2l103.46 ton dan 408l123 trip. Sedangkan nilai rata-rata biomass, hasil tangkapan dan input yang optimal pada market discount rate 15% berturutturut yaitu 5l154.79 ton, 2l142.66 ton dan 442l865 trip. Dari hasil analisis tersebut terlihat bahwa dengan menggunakan nilai discount rate yang lebih kecil (real discount rate) dari Kula maka diperoleh nilai optimal biomass yang relatif lebih tinggi dan input yang relatif lebih rendah daripada perhitungan dengan menggunakan market discount rate.
103 Tabel 18. Nilai optimal biomass, hasil tangkapan dan effort dengan nilai δ yang berbeda Discount Rate 4% Tahun
Opt Biomass (Ton)
Opt Yield (Ton)
Discount Rate 15% Opt Effort (Trip)
Opt Biomass (Ton)
Opt Yield (Ton)
Opt Effort (Trip)
1985
5 491.29
2 103.46
408 121
5 154.82
2 142.66
442 863
1986
5 491.27
2 103.46
408 122
5 154.80
2 142.66
442 865
1987
5 491.35
2 103.45
408 115
5 154.89
2 142.65
442 854
1988
5 491.22
2 103.47
408 127
5 154.74
2 142.67
442 871
1989
5 491.24
2 103.47
408 126
5 154.76
2 142.67
442 869
1990
5 491.32
2 103.46
408 118
5 154.86
2 142.66
442 858
1991
5 491.27
2 103.46
408 122
5 154.80
2 142.66
442 865
1992
5 491.28
2 103.46
408 121
5 154.81
2 142.66
442 863
1993
5 491.31
2 103.46
408 119
5 154.84
2 142.66
442 860
1994
5 491.31
2 103.46
408 119
5 154.84
2 142.66
442 860
1995
5 491.30
2 103.46
408 120
5 154.83
2 142.66
442 861
1996
5 491.30
2 103.46
408 120
5 154.83
2 142.66
442 862
1997
5 460.98
2 107.44
411 162
5 117.77
2 146.30
446 826
1998
5 491.28
2 103.46
408 122
5 154.81
2 142.66
442 863
1999
5 491.26
2 103.46
408 123
5 154.79
2 142.66
442 866
2000
5 491.28
2 103.46
408 122
5 154.80
2 142.66
442 864
2001
5 491.28
2 103.46
408 121
5 154.81
2 142.66
442 863
2002
5 491.28
2 103.46
408 122
5 154.80
2 142.66
442 864
Rataan
5 491.27
2 103.46
408 123
5 154.79
2 142.66
442 865
Untuk lebih jelasnya perbedaan nilai biomass dan produksi yang optimal sepanjang tahun pengamatan untuk kedua nilai discount rate dapat dilihat pada Gambar 31.
104 600
Biomass & Yield
500 400 300 200 100
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0
Tahun Opt_biomas (4% )
Opt_biomas (15% )
Opt_yield (4% )
Opt_yield (15% )
Gambar 31. Nilai optimal biomass dan produksi dengan nilai δ yang berbeda (10 ton)
Gambar 31 menunjukkan bahwa sepanjang tahun pengamatan nilai optimal biomass pada real discount rate dari Kula 4% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan optimal biomass pada market discount rate 15%. Namun sebaliknya nilai produksi optimal pada market discount rate relatif lebih tinggi dibandingkan dengan produksi optimal pada real discount rate. Menurut Clark (1971) dalam Hanesson (1987) dan Clark (1990), nilai discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan peningkatan laju optimal dari eksploitasi pada sumberdaya yang terbaharukan, dengan demikian kemungkinan akan terjadi kepunahan akan semakin besar. Lebih jauh lagi Hanesson (1987) menyatakan bahwa seperti juga pada sumberdaya tidak terbaharukan, pada dasarnya dampak discount rate terhadap laju eksploitasi dan standing stock biomass dari sumberdaya terbaharukan tidak pasti (ambiguous), dan ketidakpastian ini tergantung pada peran ganda dari discount rate. Pada sisi lain, discount rate menggambarkan laju nilai dari aset.
Untuk sumberdaya
terbaharukan seperti perikanan, yang memiliki fungsi pertumbuhan berbentuk cembung (concave), discount rate yang lebih tinggi akan menyebabkan stok
105 biomass menjadi lebih sedikit.
Pada sisi lain, discount rate juga
mengekspresikan opportunity cost dari kapital untuk diinvestasikan pada peralatan produksi. Semakin tinggi discount rate, akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi.
Pada akhirnya akan menyebabkan produksi
intensif optimal menjadi lebih rendah dari stok yang semakin tinggi. Dari hasil penelitian ini, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mengindikasikan bahwa terjadi penurunan level biomass pada discount rate yang lebih tinggi. Hal ini dapat dipahami karena penelitian ini menggunakan parameter real cost yang disesuaikan dengan indeks harga konsumen, sehingga price ratio menjadi relatif konstan. Dengan demikian, yang lebih berpengaruh dalam hal ini adalah fungsi produksi itu sendiri yang menyebabkan penurunan biomass pada tingkat discount rate yang lebih tinggi. Dengan mengetahui nilai optimal ketiga variabel tersebut, maka akan dapat dibandingkan kondisi pengelolaan sumberdaya perikanan baik pada kondisi aktual, lestari maupun optimal. Perbandingan dari sisi produksi antara ketiga kondisi tersebut menggunakan real discount rate dan market discount rate dapat dilihat pada Gambar 32 dan Gambar 33.
250
Produksi (10 Ton)
200 150 100 50
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
-
Tahun Prod_Aktual
Prod_Lestari
Prod_Optimal
Gambar 32. Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=4%)
106 Dari gambar terlihat bahwa pada awal-awal periode, produksi aktual masih di bawah kondisi lestari maupun optimal. Namun mulai tahun 1988 sampai akhir tahun pengamatan, produksi aktual sudah melampaui produksi lestari.
Namun secara keseluruhan kondisi aktual masih di bawah kondisi
optimal, walaupun demikian terlihat bahwa produksi aktual cenderung mengalami peningkatan dan tentu saja jika tidak dikelola dengan baik suatu saat akan dapat melebihi produksi pada kondisi optimal.
Produksi (10 Ton)
250 200 150 100 50
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
-
Tahun Prod_Aktual
Prod_Lestari
Prod_Optimal
Gambar 33. Perbandingan produksi aktual, lestari dan optimal (δ=15%)
Jika sumberdaya perikanan dikelola secara optimal maka produksi harus mengikuti trajektori optimal (garis kuning), yaitu sekitar 2103.46 ton (real discount rate) dan 2142.66 ton (market discount rate).
Untuk melihat
perbandingan antara input aktual dan optimal pada kedua kondisi discount rate dapat dilihat pada Gambar 34.
107
E ffo rt (1 0 0 0 T rip )
500 400 300 200 100
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
0
Tahun Std_Effort
Opt_effort (4%)
Opt_effort (15%)
Gambar 34. Perbandingan input aktual dan optimal
Gambar 34 menunjukkan bahwa upaya optimal pada kondisi market discount rate 15% relatif lebih tingggi dibandingkan dengan kondisi real discount rate dari Kula 4%. Namun demikian sepanjang tahun pengamatan kondisi tingkat upaya optimal pada kedua discount rate tersebut relatif masih lebih tingggi dibandingkan dengan tingkat upaya aktual (standard effort). Input harus mengikuti trajektori optimal pada level 408l123 trip/tahun (garis pink) untuk real discount rate dan level 442l865 trip/tahun (garis kuning) untuk market discount rate. Selanjutnya akan diperoleh nilai sustainable rent optimal sepanjang tahun pengamatan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 19. Dari tabel dapat dilihat bahwa nilai optimal rent pada market discount rate 15% relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan real discount rate dari Kula 4%.
Namun
sebaliknya nilai present value optimal rent pada kondisi real discount rate lebih tinggi dibandingkan pada kondisi market discount rate.
108 Tabel 19. Sustainable rent optimal dengan nilai δ yang berbeda Tahun
OR 4 (Rp juta)
PVOR 4 (Rp juta)
OR 15 (Rp juta)
PVOR 15 (Rp juta)
1985
6 760.16
169 003.94
6 886.35
45 908.97
1986
6 630.49
165 762.13
6 754.23
45 028.23
1987
7 824.29
195 607.27
7 970.33
53 135.53
1988
8 748.20
218 705.01
8 911.44
59 409.63
1989
9 371.22
234 280.39
9 546.07
63 640.44
1990
9 955.85
248 896.23
10 141.60
67 610.64
1991
10 800.48
270 011.93
11 002.01
73 346.74
1992
11 331.72
283 293.12
11 543.14
76 954.26
1993
12 612.98
315 324.38
12 848.31
85 655.40
1994
13 377.81
334 445.14
13 627.37
90 849.16
1995
15 283.17
382 079.29
15 568.34
103 788.93
1996
16 666.47
416 661.76
16 977.46
113 183.09
1997
17 807.06
445 176.56
18 135.78
120 905.23
1998
29 508.12
737 703.11
30 058.70
200 391.37
1999
46 561.02
1 164 025.50
47 429.96
316 199.72
2000
45 107.81
1 127 695.26
45 949.57
306 330.48
2001
55 976.79
1 399 419.67
57 021.35
380 142.31
2002
59 983.23
1 499 580.74
61 102.33
407 348.88
Keterangan: OR 4 PVOR 4 OR 15 PVOR 15
= = = =
Optimal rent δ 4 % Present value optimal rent δ 4 % Optimal rent δ 15 % Present value optimal rent δ 15 %
Tabel 19 memperlihatkan bahwa optimal rent pada real discount rate 4% berkisar dari Rp 6.63-59.98 milyar sedangkan pada market discount rate 15% berkisar dari Rp 6.75-40.73 milyar. Kisaran nilai tersebut menunjukkan bahwa optimal rent pada real discount rate relatif lebih tinggi dibandingkan pada market discount rate. Untuk lebih jelasnya perbandingan sustainable rent optimal pada kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 35.
109 70,000
Rente (Rp juta)
60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000
20 01
19 99
19 97
19 95
19 93
19 91
19 89
19 87
19 85
-
Tahun OR (4%)
OR (15%)
Gambar 35. Sustainable rent untuk pengelolaan optimal (Rp juta)
Perbandingan rente ekonomi yang diperoleh antara annual sustainable rent dan rente dalam kondisi pengelolaan optimal dapat dilihat pada Tabel 20. Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai present value optimal rent (PVOR) real discount rate dari Kula 4% relatif lebih tinggi dibandingkan dengan present value optimal rent pada market discount rate 15%.
Selanjutnya perbedaan
present value rente optimal dan sustainable pada kondisi real discount rate dari Kula 4% menunjukkan trend yang sama yang relatif lebih tinggi dibandingkan pada market discount rate 15%. Tabel 20. Perbedaan present value rente optimal dan sustainable Tahun
PVSR (Rp juta) (a)
PVOR (15%) (Rp juta) (b)
∆PV Rent (Rp juta) (b-a)
PVOR (4%) (Rp juta) (c)
∆PV Rent (Rp juta) (c-a)
1985
9 671.46
45 908.97
36 237.51
169 003.94
159 332.48
1986
9 612.37
45 028.23
35 415.86
165 762.13
156 149.77
1987
12 421.43
53 135.53
40 714.11
195 607.27
183 185.85
1988
12 764.19
59 409.63
46 645.44
218 705.01
205 940.82
1989
13 644.09
63 640.44
49 996.35
234 280.39
220 636.31
1990
14 405.65
67 610.64
53 205.00
248 896.23
234 490.59
110 PVSR (Rp juta) (a)
Tahun
PVOR (15%) (Rp juta) (b)
∆PV Rent (Rp juta) (b-a)
PVOR (4%) (Rp juta) (c)
∆PV Rent (Rp juta) (c-a)
1991
16 163.87
73 346.74
57 182.87
270 011.93
253 848.06
1992
16 629.26
76 954.26
60 325.00
283 293.12
266 663.86
1993
19 928.77
85 655.40
65 726.64
315 324.38
295 395.62
1994
20 639.97
90 849.16
70 209.18
334 445.14
313 805.16
1995
26 981.26
103 788.93
76 807.67
382 079.29
355 098.03
1996
29 892.48
113 183.09
83 290.61
416 661.76
386 769.28
1997
31 190.91
120 905.23
89 714.32
445 176.56
413 985.65
1998
58 255.69
200 391.37
142 135.67
737 703.11
679 447.42
1999
95 213.67
316 199.72
220 986.05
1 164 025.50
1 068 811.83
2000
91 975.61
306 330.48
214 354.86
1 127 695.26
1 035 719.65
2001
117 123.76
380 142.31
263 018.56
1 399 419.67
1 282 295.91
2002
130 862.33
407 348.88
276 486.55
1 499 580.74
1 368 718.41
Keterangan: PVSR = PVOR =
Present value sustainable rent Present value optimal rent
Untuk lebih jelasnya gambaran tentang perbedaan present value rente optimal dan sustainable dapat dilihat pada Gambar 36.
1600000
Rente (Juta Rupiah)
1400000 1200000 1000000 800000 600000 400000 200000
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0
Tahun ∆PV Rent (15%)
∆PV Rent (4%)
Gambar 36. Perbedaan present value rente optimal dan sustainable (Rp juta)
111 Perbedaan effort aktual dan optimal serta sustainable rent dan optimal dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Perbandingan effort aktual dan optimal serta sustainable rent dan optimal (δ=15%) Tahun
Std Effort (Trip)
Sust Rent (Rp juta)
Effort Optimal (Trip)
Rente Optimal (Rp juta)
% Perbedaan Effort
Rente
1985
67 556
1 450.72
442 863
6 886.35
555.55
374.68
1986
68 665
1 441.85
442 865
6 754.23
544.96
368.44
1987
76 816
1 863.21
442 854
7 970.33
476.52
327.77
1988
69 219
1 914.63
442 871
8 911.44
539.81
365.44
1989
69 049
2 046.61
442 869
9 546.07
541.38
366.43
1990
68 536
2 160.85
442 858
10 141.60
546.17
369.33
1991
71 412
2 424.58
442 865
11 002.01
520.16
353.77
1992
69 726
2 494.39
442 863
11 543.14
535.15
362.76
1993
76 393
2 989.31
442 860
12 848.31
479.72
329.81
1994
74 172
3 096.00
442 860
13 627.37
497.07
340.16
1995
88 018
4 047.19
442 861
15 568.34
403.15
284.67
1996
89 855
4 483.87
442 862
16 977.46
392.86
278.63
1997
87 350
4 678.64
446 826
18 135.78
411.53
287.63
1998
102 246
8 738.35
442 863
30 058.70
333.14
243.99
1999
107 353
14 282.05
442 866
47 429.96
312.53
232.09
2000
106 928
13 796.34
442 864
45 949.57
314.17
233.06
2001
110 920
17 568.56
442 863
57 021.35
299.26
224.56
2002
117 889
19 629.35
442 864
61 102.33
275.66
211.28
Dari hasil analisis seperti terlihat pada tabel menunjukkan bahwa jika sumberdaya perikanan dikelola secara optimal maka rente ekonomi yang diperoleh secara keseluruhan lebih besar daripada annual rent.
Hal ini
ditunjukkan dengan perbedaan rente yang besar, yang akan berimplikasi pada pengendalian input
yang baik
yang
masih dimungkinkan
dilakukan.
Pengendalian input ini diperlukan, karena selama kurun waktu 1985-2002 terlihat bahwa persentase perbedaan antara effort aktual dan optimal cenderung semakin mengecil (Gambar 37).
112
Perbedaan Effort (%)
700 600 500 400 300 200 100 2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
-
Tahun ∆Effort
Gambar 37. Persentase perbedaan effort aktual dan optimal
Gambar 37 menunjukkan bahwa upaya aktual sudah mendekati ke titik optimal. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan suatu saat akan dapat melampaui titik optimal. Untuk rente sumberdaya ikan, memperlihatkan bahwa persentase perbedaan rente annual (sustainable rent) dengan optimal memiliki nilai positif, hal ini mengindikasikan bahwa rente pada dasarnya masih dapat ditingkatkan (Gambar 38).
400
Perbedaan Rente (%)
350 300 250 200 150 100 50 2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
-
Tahun ∆Rente
Gambar 38. Persentase perbedaan rente sustainable dan optimal
113 5.9 Analisis Dinamis Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang bersifat dinamis, demikian juga gangguan terhadap keseimbangan sistem yang terjadi pada sumberdaya tersebut baik berupa hubungan langsung antara catch dan effort maupun hubungan tidak langsung antara keduanya merupakan sistem yang bersifat dinamis. Untuk itu perlu dilakukan analisis dinamis untuk melihat interaksi antara komponen-komponen tersebut. Dengan menggunakan parameter biologi dan ekonomi, yaitu nilai r, K, q, harga (p) dan biaya (c) yang telah dihitung sebelumnya, maka dihasilkan trajektori dinamis antara effort dan biomass seperti terlihat pada Gambar 39 berikut.
Gambar 39. Trajektori effort dan biomas
Gambar 39 memperlihatkan hubungan timbal balik antara effort dan biomass sepanjang waktu, trajektorinya membentuk pola dump occilation. Pada awal periode, ketika tingkat effort masih rendah level biomass relatif tinggi. Ketika kemudian effort mengalami peningkatan biomass mengalami penurunan sampai kemudian mencapai steady state pada t > 90. Tingkat steady state effort
114 akan dicapai pada t yang relatif lebih kecil. Selanjutnya analisis phase plane disajikan pada Gambar 40.
Gambar 40. Analisis phase plane effort dan biomass
Dari gambar terlihat bahwa phase plan antara upaya dan biomass memiliki keseimbangan stable focus dimana keseimbangan sistem akan dicapai dengan melalui penyesuaian antara upaya dan biomass. Artinya, peningkatan biomass hanya bisa dicapai jika upaya dikurangi. Hal ini menunjukkan bahwa apabila tingkat upaya yang ada melebihi kapasitas optimum mengakibatkan keseimbangan akan dapat dicapai dalam kurun waktu yang relatif lama pada saat biomass sudah mengalami penurunan. 5.10 Rezim Pengelolaan Perbandingan rezim pengelolaan sumberdaya perikanan pada kondisi maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY) dan open access untuk biomass, upaya, produksi dan rente ekonomi dapat dilihat pada Gambar 41 dan 42. Proses perhitungan pengelolaan optimal pada ketiga kondisi tersebut, dapat dilihat pada Lampiran 9.
115
800
Biomass (10 Ton)
700 600 500 400 300 200 100 0 MEY
MSY
Open acces
Rezim Pengelolaan
450 400 350 300 250 200 150 100 50 -
9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 MEY
MSY
Rente Ekonomi (Rp Juta)
Produksi (10 Ton)
Gambar 41. Rezim pengelolaan biomass
Open acces
Rezim Pengelolaan Effort
Produksi
Rente Ekonomi
Gambar 42. Rezim pengelolaan effort, produksi dan rente ekonomi
Gambar 41 memperlihatkan bahwa biomass tertinggi terdapat pada kondisi maximum economic yield (MEY) (7l320.1 ton) dan terendah pada kondisi open acces (3l098.6 ton). Selanjutnya pada Gambar 42 memperlihatkan bahwa pada kondisi maximum economic yield (MEY) menghasilkan input (effort) yang jauh lebih kecil yaitu 200l960 trip dari solusi open acces (401l930 trip) serta maximum sustainable yield (MSY) (274l720 trip). Di sisi lain solusi
116 MEY juga menghasilkan rente ekonomi yang paling tinggi sebesar Rp 8.1 milyar dibandingkan dua rezim pengelolaan yang lain, rente pada kondisi MSY sebesar Rp 7.0 milyar sedangkan pada kondisi open access nilai rentenya hampir mendekati nol. 5.11 Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan Hasil analisis interaksi antara ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan memperlihatkan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi terhadap produksi sumberdaya perikanan. Interaksi keduanya digambarkan oleh persamaan model Fozal berikut: ht = 1.036915481E − 0.0061751043E 2 . Hasil
perhitungan model Fozal dan peta sebaran mangrove dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11. Perbedaan produksi antara kondisi baseline dan model Fozal dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Perbedaan antara produksi sumberdaya perikanan baseline dengan Model Fozal Tahun
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Rata-rata
Effort (Trip)
67 556 68 665 76 816 69 219 69 049 68 536 71 412 69 726 76 393 74 172 88 018 89 855 87 350 102 246 107 353 106 928 110 920 117 889 84 561
Produksi Lestari Baseline (Ton)
641.8 650.9 715.8 655.4 654.0 649.8 673.0 659.5 712.5 695.0 800.7 814.2 795.8 901.5 935.7 932.9 959.0 1 003.1 769.5
Mangrove (Ha)
31 001.0 33 587.5 36 173.9 38 760.3 41 346.8 43 933.2 46 519.7 49 106.1 51 692.5 54 279.0 56 865.4 59 451.9 62 038.3 64 624.7 67 211.2 69 797.6 48 718.0 48 567.0 50 204.1
Produksi Lestari SDP dari Mangrove (Ton)
Produksi (Ton)
%
418.7 420.9 432.2 421.9 421.6 420.6 425.6 422.8 431.8 429.4 434.3 433.2 434.6 414.7 401.6 402.8 390.5 364.3 417.9
223.1 230.0 283.6 233.5 232.4 229.2 247.4 236.7 280.7 265.6 366.4 381.0 361.2 486.8 534.2 530.1 568.5 638.8 351.6
34.77 35.34 39.62 35.62 35.54 35.27 36.76 35.89 39.40 38.22 45.76 46.80 45.39 54.00 57.09 56.83 59.28 63.68 44.18
Perbedaan
117 Selanjutnya trajektori produksi lestari sumberdaya perikanan baseline dan produksi dari kontribusi mangrove (Model Fozal) dapat dilihat pada Gambar 43.
120
Produksi (10 Ton)
100 80 60 40 20
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0
Tahun Baseline
Mangrove (Fozal)
Gambar 43. Trajektori sustainable yield baseline dan Model Fozal dari tahun 1985-2002
Dari Gambar 43 memperlihatkan bahwa mangrove di Kabupaten Bengkalis memberikan kontribusi sebesar 44.18%. Besar kecilnya kontribusi mangrove terhadap sumberdaya perikanan demersal diduga tergantung dari pola distribusi dan hubungan rantai makanan dengan ekosistem mangrove. Dari data produksi ikan demersal terlihat bahwa ikan senangin merupakan ikan yang dominan yang tertangkap dan alat tangkap yang dominan digunakan adalah jaring insang hanyut. Alat tangkap ini umumnya beroperasi di wilayah laut yang agak jauh ke tengah yang relatif jauh dari kawasan mangrove.
Peta
sebaran alat tangkap yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 12, sedangkan kurva lestari dari produksi sumberdaya perikanan baseline dan Model Fozal dapat dilihat pada Gambar 44.
118
Baseline
Mangrove
Gambar 44. Kurva sustainable yield baseline dan Model Fozal
Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan berbagai organisme akuatik. Disamping sebagai habitat bagi berbagai jenis organisme akuatik yang berasosiasi dengannya, ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai tempat memelihara larva, tempat bertelur dan tempat untuk mencari makan bagi berbagai organisme akuatik. Menurut Ruitenbeek (1992), nilai net benefit tahunan mangrove di Indonesia sekitar US$l235.
Dari
keseluruhan nilai tersebut kegiatan perikanan (fisheries) memberikan kontribusi terbesar sekitar US$l117 (49.79 %), diikuti oleh kegiatan kehutanan (forestry) sekitar US$l67 (28.51 %), pemanfaatan oleh masyarakat lokal (local uses) sekitar US$l33 (14.04 %), fungsi keanekaragaman hayati (biodiversity) US$ 15 (6.38 %), dan fungsi penahan erosi US$ 3 (1.28%). Selanjutnya Alikodra (1999) menyatakan bahwa nilai penting lain dari ekosistem mangrove adalah dalam bentuk fungsi-fungsi ekologi yang vital, termasuk pengendalian terhadap erosi pantai, stabilisasi sedimen, perlindungan bagi terumbu karang di dekatnya terhadap padatan-padatan tersuspensi, perlindungan bagi tataguna lahan di wilayah pantai dari badai dan tsunami, pencegahan terhadap intrusi garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap polusi, suplai detritus organik dan hara untuk perairan patai di dekatnya, serta
119 penyediaan pakan, pemeliharaan larvae dan perkembangbiakan ikan dan kehidupan lainnya. Kawaroe et al. (2001) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika ekosistem pesisir dan laut, terutama perikanan pantai sehingga pemeliharaan dan rehabilitasi ekosistem mangrove merupakan salah satu alasan untuk tetap mempertahankan keberadaan ekosistem tersebut.
Peran ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan laut dapat
dihubungkan dengan fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang keberadaan biota menurut beberapa aspek antara lain adalah fungsi fisik, biologi, dan sosial ekonomi. Salah satu alasan yang menjadikan ekosistem mangrove sangat terkait dengan perairan di sekitarnya adalah keunikan ekosistem mangrove yang merupakan batas yang menghubungkan antara ekosistem darat dan ekosistem laut, sehingga dapat mempengaruhi proses kehidupan biota (flora dan fauna) di wilayah tersebut. Berbeda dengan ekosistem darat, mangrove adalah ekosistem terbuka, yang dihubungkan dengan ekosistem laut melalui arus pasang surut. Keterkaitan ekosistem mangrove dengan sumberdaya ikan telah dibuktikan oleh Paw dan Chua (1989) yang melakukan penelitian di Filipina, dan menemukan hubungan positif antara area mangrove dan penangkapan udang penaeid. Di Indonesia, Martosubroto dan Naamin (1977) membuktikan hubungan yang positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Tetapi Chansang (1979), menyatakan hubungan yang ada tidak linear dan terdapat hubungan negatif antara mangrove dan hasil panen udang pada setiap unit area yang merupakan produktivitas mangrove. Mengingat peran penting ekosistem mangrove terhadap sumberdaya perikanan maka perlu dilakukan upaya-upaya pengelolaan terhadap kawasan mangrove. Apa yang terjadi di Easter Island dimana hutan-hutan dieksploitasi untuk dijadikan bahan pembuat kapal-kapal penangkap ikan dan berbagai kebutuhan lainnya tanpa mengindahkan kelestarian sumberdaya tersebut. Akibatnya berdampak negatif terhadap sumberdaya perikanan yang mengalami
120 collaps dan dibutuhkan waktu lebih kurang 200 tahun untuk pemulihan (recovery) sumberdaya perikanan. Menurut Imran et al. (2002), secara umum permasalahan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia, yaitu : (1) Kurangnya intensitas perlindungan (protection), perawatan, dan perbaikan terhadap kondisi hutan mangrove baik itu oleh institusi kehutanan maupun masyarakat di sekitarnya. (2) Kurangnya
kesadaran
dan
pengetahuan
masyarakat
dalam
memanfaatkan kawasan ekosistem hutan mangrove sebagai kawasan yang kaya akan natural resources yang apabila digali dan dimanfaatkan secara bijaksana dapat memberikan input bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan pada masyarakat sendiri. (3) Kurangnya pembinaan dan kerja sama antar seluruh stakeholder dalam menjaga dan memperbaiki kondisi ekosistem hutan mangrove. (4) Belum jelasnya penataan wilayah pengelolaan hutan mangrove di setiap daerah, sehingga menyebabkan ketidakjelasan pemanfaatan hutan mangrove bagi masyarakat, baik itu untuk budidaya perikanan berupa daerah pertambakan, maupun untuk keperluan bahan baku. (5) Pemerintah masih kurang melibatkan stakeholder yang berkepentingan terhadap pengelolaan ekosistem hutan mangrove, mulai dari tahap perumusan, perencanaan, pelaksanaan hingga ke tahap evaluasi dan monitoring kegiatan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove. (6) Kebijakan yang dilaksanakan dalam pengelolaan ekosistem mangrove masih bersifat sentralistik. Artinya, kebijakan pengelolaan masih diseragamkan hampir di setiap daerah, tanpa memperhatikan aspek sosial-budaya serta potensi lokal wilayah tersebut. (7) Dikaitkan dengan otonomi, maka pengelolaan ekosistem mangrove masih memperhatikan batas administratif atau wilayah dan tidak berdasarkan
aspek
ekologi.
Hampir
setiap
daerah
membuat
kebijaksanaan pengelolaan hutan mangrove secara sendiri-sendiri. Sehingga pengelolan tersebut lebih banyak menghasilkan dampak
121 negatif dari pada dampak positifnya, khususnya bagi masyarakat sekitarnya. (8) Penegakkan dan penerapan hukum masih sangat lemah, sehingga masih jarang orang yang dihukum akibat merusak ekosistem mangrove . Selanjutnya menurut Bengen (2001b), salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka pengupayaan perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan konservasi, dan sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan mangrove seperti ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil, contohnya area wilayah P. Rambut dan Pulau Dua (Jawa Barat) yang ditunjuk sebagai suatu kawasan suaka marga satwa, yaitu kawasan habitat burung. Contoh lain adalah penunjukan areal Taman Nasional Tanjung Putting di Kalimantan Tengah, dan kawasan Sali di Bali Barat, dimana sebagian dari kedua kawasan tersebut merupakan kawasan hutan mangrove. Dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor : KB.550/264/Kpts/4/1984 dan Nomor : 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1984, dimana di antaranya disebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat Keputusan Bersama ini dibuat, selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat untuk menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove di antara instansi-instansi yang terkait. Surat Keputusan Bersama ini lebih lanjut dijabarkan oleh Departemen Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 507/IV_BPHH/1990 yang diantaranya berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu selebar 200 m di sepanjang pantai, dan 50 m di sepanjang tepi sungai. Penentuan lebar sabuk hijau sebagaimana disebutkan di atas lebih dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa
perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai.
Kriteria
122 sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 m dari titik pandang tertinggi ke arah darat. Kegiatan penghijauan yang dilakukan terhadap hutan-hutan yang telah gundul, merupakan salah satu upaya rehabilitasi yang bertujuan bukan saja untuk mengembalikan nilai estetika, namun yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan hutan mangrove tersebut. Kegiatan seperti ini menjadi salah satu andalan kegiatan rehabilitasi di beberapa kawasan hutan mangrove yang telah ditebas dan dialih fungsikan kepada kegiatan lain. Menurut Khazali (2002), pelestarian hutan mangrove merupakan usaha yang sangat kompleks untuk dilaksanakan, karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap segenap pihak baik yang berada di sekitar kawasan diluar kawasan. Namun demikian, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada masyarakat yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove diberikan porsi yang lebih besar. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan hutan mangrove perlu diarahkan kepada peran dan penting artinya sumberdaya hutan mangrove, baik dari kepentingan fungsi ekologis maupun kepentingan sebagai pelindung wilayah pantai. Dengan demikian diharapkan akan menumbuhkan kesadaran untuk menjaga kawasan mangrove, dan sebagai komponen utama penggerak kelestarian hutan mangrove. 5.12 Analisis Stability
Hasil analisis stability terhadap data input (effort), nilai biomass sumberdaya perikanan dan luasan mangrove dapat dilihat pada Gambar 45, 46 dan 47.
Sedangkan hasil perhitungan
Lampiran 13.
analisis stability dapat dilihat pada
123 0.00 -0.05
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
-0.10
Xt
-0.15 -0.20 -0.25 -0.30 -0.35 -0.40 t
Gambar 45. Analisis stability data effort
Gambar 45 memperlihatkan bahwa kurva dari data input (effort) membentuk pola convergen, hal ini menunjukkan bahwa data effort bersifat stabil.
Hal yang sama juga terjadi pada data biomass seperti terlihat pada
Gambar 46.
0.00 -0.02
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
-0.04
Xt
-0.06 -0.08 -0.10 -0.12 -0.14 -0.16 t
Gambar 46. Analisis stability data biomass sumberdaya perikanan
124
6.00 4.00
Xt
2.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16
-2.00 -4.00 -6.00 t
Gambar 47. Analisis stability data mangrove
Hal yang berbeda ditunjukkan oleh data luasan mangrove, dari hasil analisis stability menunjukkan pola yang berbentuk exploiding oscillation. Hal ini menunjukkan bahwa data mangrove bersifat tidak stabil. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 47. 5.13 Aspek Kesejahteraan
Dengan menggunakan parameter biofisik dan ekonomi maka diperoleh nilai surplus produsen untuk setiap tahun. Selanjutnya dengan memasukkan nilai rente sumberdaya ikan maka akan didapatkan nilai total benefit. Hasil perhitungan nilai surplus produsen, rente sumberdaya ikan dan total benefit disajikan pada Tabel 23. Hasil perhitungan surplus produsen dapat dilihat pada Lampiran 14.
125 Tabel 23. Nilai surplus produsen, rente sumberdaya ikan dan total benefit Tahun
Surplus Produsen (Rp Juta)
Rente SD Ikan (Rp Juta)
Total Benefit (Rp Juta)
1985
11 766.98
1 450.72
13 217.70
1986
10 324.82
1 441.85
11 766.67
1987
12 385.86
1 863.21
14 249.07
1988
11 798.93
1 914.63
13 713.56
1989
11 274.69
2 046.61
13 321.31
1990
10 847.29
2 160.85
13 008.13
1991
13 935.65
2 424.58
16 360.23
1992
12 214.71
2 494.39
14 709.10
1993
14 704.83
2 989.31
17 694.14
1994
12 797.99
3 096.00
15 893.99
1995
18 474.14
4 047.19
22 521.32
1996
20 568.82
4 483.87
25 052.69
1997
17 863.93
4 678.64
22 542.57
1998
34 175.21
8 738.35
42 913.56
1999
64 788.40
14 282.05
79 070.45
2000
58 023.03
13 796.34
71 819.37
2001
69 983.73
17 568.56
87 552.29
2002
59 293.42
19 629.35
78 922.77
Rata-rata
25 845.69
6 061.47
31 907.16
Tabel 24 memperlihatkan nilai total benefit yang mengindikasikan secara keseluruhan dampak kesejahteraan dari sumberdaya ikan di Kabupaten Bengkalis. Nilai total benefit sumberdaya perikanan berkisar dari Rpl11.7787.55 milyar dan nilai rata-rata sebesar Rpl31.9 milyar/tahun. Untuk lebih jelasnya nilai surplus produsen, rente sumberdaya ikan dan total benefit dapat dilihat pada Gambar 48.
126 100,000 90,000
Nilai ( Rp Juta)
80,000 70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
0
Tahun Surplus Produsen
Rente SD Ikan
Total Benefit
Gambar 48. Nilai surplus produsen, rente sumberdaya ikan dan total benefit
Surplus produsen pada dasarnya adalah surplus yang diperoleh produsen yang merupakan selisih antara harga yang diterima oleh produsen dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi output. Besaran dari surplus produsen akan sangat tergantung pada perubahan harga dan biaya.
6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Meski saat ini tingkat ekstraksi sumberdaya ikan masih di bawah level optimal, namun terdapat kecenderungan menuju ke arah eksplotasi yang berlebih. Belajar dari kesalahan pengelolaan sumberdaya di Easter Island, kondisi ini perlu mendapat perhatian serius, untuk mencegah dan mengurangi laju degradasi dan depresiasi sumberdaya tersebut.
Hubungan antara effort dan biomass sepanjang waktu menghasilkan trajektori yang membentuk pola dump occilation. Pada awal periode, ketika tingkat effort masih rendah level biomass relatif tinggi. Ketika kemudian effort mengalami peningkatan biomass mengalami penurunan sampai kemudian mencapai steady state pada t > 90. Dari analisis phase plane antara
effort
dan
biomass
memiliki
keseimbangan
stable
focus,
keseimbangan sistem akan dicapai melalui penyesuaian antara effort dan biomass.
Peningkatan biomass hanya bisa dicapai jika effort dikurangi,
apabila tingkat effort yang ada melebihi kapasitas optimum akan mengakibatkan keseimbangan dicapai dalam kurun waktu yang relatif lama.
Dilihat dari perspektif model CD-TRAM, pengelolaan sumberdaya ikan bisa mengikuti
trajektori
konvensional
yakni
untuk
rezim
pengelolaan
memperlihatkan bahwa biomass tertinggi terdapat pada kondisi maximum economic yield (MEY), dan terendah pada kondisi open acces. Kondisi MEY menghasilkan input (effort) yang jauh lebih kecil dari solusi open acces serta maximum sustainable yield (MSY).
Solusi MEY juga
menghasilkan rente ekonomi yang paling tinggi dibandingkan dua rezim pengelolaan yang lain.
Model CD-TRAM menunjukkan bahwa ekosistem mangrove memiliki kontribusi sebesar 44.18% terhadap produksi sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis, meski relatif kecil, kontribusi ini cukup signifikan dilihat dari kendala sumberdaya pulau-pulau kecil.
128
Kondisi
pulau-pulau
kecil
yang
memiliki
kendala
yang
berbeda
menghasilkan pola stabilitas yang berbeda untuk upaya dan mangrove. Dari analisis stability kurva effort dan biomass membentuk pola convergen, hal ini menunjukkan bahwa data effort bersifat stabil.
Hal yang berbeda
ditunjukkan oleh data luasan mangrove, menunjukkan pola yang berbentuk exploiding oscillation menunjukkan bahwa data bersifat tidak stabil.
Nilai total benefit yang mengindikasikan secara keseluruhan dampak kesejahteraan dari sumberdaya ikan, diperoleh nilai rata-rata total benefitnya sebesar Rp 31.9 milyar/tahun.
Untuk pengelolaan sumberdaya perikanan di Kabupaten Bengkalis, beberapa upaya pengelolaan input dapat dijadikan alternatif pengelolaan, seperti penggunaan alat tangkap yang lebih selektif dan ramah lingkungan, pengaturan waktu penangkapan, ukuran ikan yang boleh ditangkap serta pengelolaan terhadap kawasan mangrove.
6.2
Saran Mengingat kendala pulau-pulau kecil yang relatif banyak dan kompleks perlu dikaji lebih dalam kendala-kendala tersebut seperti isolation, smallness dan vulnerability ke dalam model
Untuk mencegah terjadinya “Sindrom Easter Island” maka hasil kajian pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal dalam studi ini perlu diimplementasikan
melalui
penyesuaian-penyesuaian
kondisi
sosial,
ekonomi dan institusi yang fleksibel.
Untuk mendapatkan model integrasi antara ekosistem mangrove dan sumberdaya perikanan yang lebih baik di masa yang akan datang diperlukan data produktivitas dari ekosistem mangrove. Hal ini penting mengingat luasan suatu kawasan mangrove memiliki tingkat produktivitas yang berbeda-beda.
129
Untuk mendapatkan model yang lebih baik, perlu penelitian lebih lanjut dalam pengembangan model di masa mendatang, kajian terhadap interaksi sumberdaya perikanan dengan ekosistem-ekosistem pesisir yang lain tentunya akan lebih menambah kesempurnaan model penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1999. Kebijakan pengelolaan hutan mangrove dilihat dari lingkungan hidup. Prosiding Seminar Mangrove VI Ekosistem Mangrove; Pekanbaru; 15-18 September 1999. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. hlm 33-43. Amman HM, Duraiappah AK. 2001. Land tenure and conflict resolution: a game theoretic approach in the Narok District in Kenya. Working Paper No. 37. International Institut for Environ. and Develop. London and Institut for Environ. Studies Amsterdam. Anna S. 2003. Model embedded dinamik ekonomi interaksi perikananpencemaran [disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Program Pasca Sarjana. Anderson K, Ursin E. 1976. A multispecies extension to the Beverton and Holt theory of fishing, with account of phosphorous circulation and primary production. The Danish Institute of Fisheries and Marine Research. Arenas DA, Huertas JB. 1986. Hydrology and water balance of small islands : a review of existing knowledge. Technical Documents in Hydrology. UNESCO. Paris. [BAKOSURTANAL] Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. 2001. Peta liputan lahan Kabupaten Bengkalis. Bengen DG. 2001a. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bengen DG. 2001b. Pedoman Teknis Pengenalan Dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis. 2003. Angka 2003.
Bengkalis dalam
[BPS] Biro Pusat Statistik. 1986. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia 1985-1986. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1988. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia 1987-1988. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1990. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia 1989-1990. Jakarta.
131 [BPS] Biro Pusat Statistik. 1991. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1992. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1993. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1994. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1995. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia 1995. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1996. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi di Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1997. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1998. Indeks Harga Konsumen di Ibukota Propinsi Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 1999. Indeks Harga Konsumen 44 Kota di Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2000. Indeks Harga Konsumen di 43 Kota di Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2001. Indeks Harga Konsumen di 43 Kota di Indonesia. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2002. Indeks Harga Konsumen di 43 Kota di Indonesia. Jakarta. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 1995. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marin: Laporan Akhir Pelaksanaan Proyek MREP Jawa Timur dan Lombok Tahun 1994/1995. Jakarta. Brander JA, Taylor MS. 1998. The simple economics of Easter Island: a Ricardo-Malthus model of renewable resource use. American Econ. Rev. 88(1):119-138. Brent RJ. 1997. Applied Cost-Benefit Analysis. UK. Edward Elgar.
132 Briguglio L. 1995. Small island states and their economic vulnerabilities. World Develop. 23:1615-1632. Brown B, Brennan J, Grosslein M,. Heyersdahl E, Hennemuth R. 1976. The effect of fishing on the marine finfish biomass in the Northwest Atlantic from the Gulf of Maine to Cope Hatteras. Int. Comm. Northwest. Atl Fish. Res. Bul. 12:49-68. Buchary EA. 1999. Evaluating the effect of the 1980 trawl ban in the java sea, Indonesia: an Ecosystem-based approach [thesis]. Vancouver. University of British Columbia. Casagrandi R, Rinaldi S. 2002. A theoretical approach to tourism sustainability. Austria. IASA Report IR-02-051. Cassel RM. 1993. Tropical rainforest: subsistence values compared with logging royalties. Di dalam: Walsh AC, editor; Development That Works! Lesson from Asia-Pasific. North Parlmerston. Massey Univ. Develop. Studies Monograph. 3:C3.1-3.6. Chansang H. 1979. Correlation between commercial shrimp yields and mangroves. Proceedings of The Third National Seminar on Mangrove Ecol. (2):744-753. Chiang AC. 1992. Elements of Dynamic Optimization. New York. McGrawHill. Clark CW. 1985. Bioeconomics Modelling and Fisheries Management. New York. J Wiley. Clark CW. 1990. Mathematical Bioeconomic The Optimal Management of Renewable Resources. New York. J Wiley. Clark C, Munro G. 1975. The economics of fishing and modern capital theory: a simplified approach. J. Environ. Econ. Man. 2:92-106. Clarke RP, Yoshimoto SS, Pooley SG. 1992. A bioeconomic analysis of the North–Western Hawaiian Island lobster fishery. Mar. Res. Econ. 7(2):115-140. Conrad JM, Clark CW. 1987. Natural Resource Economics, Notes and Problem. New York. Cambridge University Press. Copes P. 1972. Factor rents, sole-ownership and the optimum level of fisheries exploitation. Manchester School Econ. Soc. Studies 40(2):145-163.
133 Cuningham S, Dunn MR, Whitmarsh D. 1985. Fisheries Economics, an Introduction. London. Mansell Publishing. Dahuri R. 1998. Pendekatan ekonomi-ekologis pembangunan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Di dalam: Seminar dan Lokakarya Pengelolaan PulauPulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Depdagri dengan BPPT dan CRMP USAID. Jakarta. 7-10 Desember 1998. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta. Pradnya Paramitha. Darsidi A, Liang DH. 1986. Jalur hijau hutan mangrove dalam konteks tata guna hutan pantai. Di dalam: Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove; Ciloto; 27 Februari-1 Maret 1986. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. hlm 79-83. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2000. SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2000. Pedoman Umum Pengelolaan PulauPulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Jakarta. Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten Bengkalis. 2004. Media Informasi Data Elektronik Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis. 2002. Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bengkalis. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1986. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1985. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1987. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1986. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1988. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1987. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1989. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1988. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1990. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1989. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1991. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1990. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1992. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1991.
134 Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1993. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1992. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1994. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1993. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1995. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1994. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1996. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1995. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1997. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1996. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1998. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1997. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 1999. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1998. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 2000. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 1999. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 2001. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 2000. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 2002. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 2001. Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tingkat I Riau. 2003. Buku Tahunan Statistik Perikanan Tingkat Propinsi Tahun 2002. Djajadiningrat S. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. Jakarta. Pustaka LP3ES. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor. IPB Press. [FAO] Food and Agricultural Organization. 1997. Technical Guidelines for Responsible Fisheries. Roma. Aquaculture Development. Fauzi A. 1998. The management of competing multi species fisheries: a case of a small pelagic fishery on the north coast of Central Java [thesis]. Vancouver, Canada. Simon Fraser University. Departement of Economics.
135 Fauzi A. 2001. An overview of economic valuation techniques: a highlight on information needed for their application in developing countries. Di dalam: Feoli E, Nauen CE, editors. Proceedings of the INCO-DEV International Workshop on Information Systems for Policy and Technical Support in Fisheries and Aquaculture; Los Banos, Philippine; 5-7 June 2000; ACP-EU Fisheries Research Report No. 8. Brussels, Belgium. Fauzi A. 2002a. Lecture Note Analisis Sistem Dinamik. Bogor. Program Pascasarjana IPB. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fauzi A. 2002b. Valuasi ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil. Di dalam: Seminar Sehari Peluang Investasi Pulau-Pulau Kecil di Indonesia; Jakarta; 10 Oktober 2002. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi A. 2005. Overfishing: apa dan mengapa. Di dalam: Fauzi A, editor. Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Isu Sintesis dan Gagasan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Hlm 28-33. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Graham M. 1935. Modern theory of exploiting a fishery and application to the North Sea trawling. J.Cons. Int. Explor. Mer. 10:264-274. Grant WE, Pedersen EK, Martin SL. 1997. Ecology and Natural Resource Management : System Analysis and Simulation. New York. J. Wiley. Hall CAS, Day JR JW. 1977. Systems and models: terms and basic principles. Di dalam: Hall CAS, Day JR JW, editors. Ecosystem Modelling in Theory and Practice: An Introduction with Case Histories. New York. J Wiley. hlm 6-36. Hanesson R. 1987. The effect of discount rate on the optimal exploitation of renewable resources. Mar. Res. Econ. 3:319-329. Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Fakultas Pertanian. Hardin G. 1968. The tragedy of the commons. Science 162:1243-1248. Hartwick J. 1990. Natural resources, national accounting, and economic depreciation. J. Public Econ. 43:291-304.
136 Hess AL. 1990. Overview: sustainable development and environmental management of small island. Di dalam: Beller W, d’Ayala P, Hein P, editors. Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands. Paris. UNESCO. hlm 3-14. Hilborn R, Walters CJ. 1992. Quatitative Fisheries Stock Assessment. Choice, Dynamics and Uncertainty. London. Chapman & Hall Inc. Holling CS. 1973. Resilience and stability of ecological system. Ann. Rev. Ecol. Syst. 4:1-23. Ilyas. 1987. Petunjuk teknis bagi pengoperasian usaha pembesaran udang windu. Seri Pengembangan Hasil Penelitian Perikanan. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Imran N, Bengen DG, Nikijuluw VP. 2002. Sistem pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah pesisir dan kepulauan. Di dalam: Konferensi Nasional III Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia; Bali; 21-24 Mei 2002. Jaya INS. 2002. Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk Kehutanan: Penuntun Praktis Menggunakan Arc Info dan Arc View. Bogor. IPB Press. Jorgensen SE. 1988. Fundamentals of Ecological Modelling. Amsterdam. Elsevier Science. Kapetsky JM. 1982. Mangrove, fisheries and aquaculture. Report on the Session of the Advisory Committee on Marine Resources Research. FAO Fish. Rep. 338:suppl. 18 p. Kawaroe M, Bengen DG, Eidman M, Boer M. 2001. Kontribusi ekosistem mangrove terhadap struktur komunitas ikan di pantai utara Kabupaten Subang Jawa Barat. J. Pesisir dan Lautan 3:12-25. Kay R, Alder J. 1999. Coastal Planning and Management. London. E & FN SPON An Imprint of Routledge. Keputusan Presiden RI No. 32 Tahun 1990. Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Khairuddin T. 2003. Telaah dinamika dan seleksi kawasan konservasi mangrove di Kabupaten Bengkalis [thesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Program Pasca Sarjana.
137 Khazali M. 2002. Kajian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove (studi kasus di Desa Karangson, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Jurnal PKSPL-IPB 4(3):29-42. King M. 1995. Fisheries Biology, Assessment and Management. Great Britain. Fishing News Book. Koesoebiono. 1996. Ekologi Wilayah Pesisir. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Kerjasama PPLH-IPB dengan Dirjen Bangda Depdagri dan Asian Development Bank. [KSP-UIR] Kelompok Studi Perairan Universitas Islam Riau. 2001. Kajian Penataan Kawasan Perlindungan Ikan (Fish Sanctuary) di Pulau Bengkalis Propinsi Riau. Kerjasama dengan Co-Fish Project Bengkalis Riau. Kula E. 1984. Derivation of social time preference rates for the United States and Canada. Quaterly J. Econ. 99:873-882. Maanema M. 2003. Model pemanfaatan pulau-pulau kecil (studi kasus di gugus Pulau PariKepulauan Seribu [disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Program Pasca Sarjana. Manetsch TJ, Park GL. 1977. System Analysis and Simulatioon with Aplication to Economic and Social Systems. USA. Michigan Univ. Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar Dalam Teknologi Manajerial. Bogor. Kerjasama IPB Press dan Program Pascasarjana IPB. Martosubroto P, Naamin N. 1977. Relationships between tidal forest (mangroves) and commercial shrimp production in Indonesia. Marine Research in Indonesia (18):81-86. May R, Beddington J, Clark C, Holt S, Laws R. 1979. Management of multispecies fisheries. Science 205:267-277. Muhammadi, Amirullah E, Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta. UMJ Press. Naamin N. 1990. Penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak: keuntungan dan kerugiannya. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove; Bandar Lampung; 7–9 Agustus 1990. Panitia Nasional Program MAB-LIPI. Newell R, Pizer W. 2001. Discounting the distant future: how much do uncertain rates increase valuation? Resources for the future. Washington D.C.
138 Odum HT. 1992. Ekologi Sistem: Suatu Pengantar. Supriharyono, Praseno K, Murwani R, penerjemah. Yogjakarta. Gadjah Mada University Press. Ongkosono OSR. 1998. Permasalahan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Di dalam: Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia; Jakarta; 7-10 Desember 1998. Kerjasama Depdagri dengan BPPT dan CRMP USAID. Panayatou T. 1985. Small-scale Fisheries in Asia: A Socio-Economic Analysis and Policy. Ottawa, Canada. DRC. Pattanayak SK, Kramer RA. 1999. Worth of watersheds: a producer surplus approach for valuing drought mitigation in Eastern Indonesia. North Carolina, USA. Center for Economics Research, Research Triangle Institut, Research Triangle Park. Pauly D. 1979. Theory and Management of Tropical Multispecies Stocks. A Review with Emphasis on the Southeast Asia Demersal Fishery. ICLARM Study Review I . Paw JN, Chua TE. 1989. An assessment of the ecological and economis impact of mangrove conversion in Southeast Asia. Marine Pollution Bull. 20(7): 335-343. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 2000. Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Daratan Propinsi Riau. Pekanbaru. Kerjasama dengan BAPPEDA Propinsi Riau. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 2001. Kebijakan Pelestarian Ekosistem Mangrove sebagai Jalur Hijau Pantai (Green Belt) dalam Konteks Era Otonomi Daerah. Jakarta. Kerjasama dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Platt SR. 1968. Strong inference. Science 146:347-353. Poernomo A. 1988. Pembuatan Tambak Udang di Indonesia. Maros. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Poerwowidagdo SJ. 2001. Press.
Dasar Logika. Surabaya. Hang Tuah University
Pope J. 1979. Stock Assessment in Multispecies Fisheries with Special Reference to Trawl Fishery in the Gulf of Thailand. South China Sea Fish. Dev. Coop Programme. SCS/DEV/79/19. Prahasta E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung. Informatika.
139 Reksosudarmo B. 1995. The contruction of a bioeconomic model of Indonesia flying fishery. Mar. Res. Econ. 10:357-372. Retraubun ASW. 2003. Prospek pengembangan pulau-pulau kecil. Di dalam: Semiloka Penentuan Defenisi dan Pendataan Pulau di Indonesia. Jakarta; 26 Mei 2003. Ruitenbeek HJ. 1992. Mangrove Management: an Economic Analysis of Management Options with a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. Jakarta and Halifax; Environmental Management Development in Indonesia Project (EMDI) Environ. Reports 8. Salm RV, Clark JR. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide For Planners and Managers. Gland, Switzerland. Inter. Union for Conser. of Nature and Natural Res. Saralisa Konsultan. 2002. Analisis dampak lingkungan: reklamasi Pantai Andam Dewi dan pembangunan pelabuhan penumpang Bengkalis [laporan akhir]. Kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Bengkalis. Schaefer M. 1954. Some aspects of dynamics of population important to the management of commercial marine fisheries. Bull. Inter-Am. Trop. Tuna. Comm. 1:27-56. Sekretariat Negara. 1990. Keputusan Presiden No. 32 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Smith SJ. 1993. Risk evaluation and biological reference point for fisheries management: a review. Di dalam: Kruse G, Raggers DM, Marasco RJ, Pautzke C, Quinn TJ, editors. Management Strategies for Exploited Fish Population. Alaska Sea Grant, Anchorage. hlm. 339-353. Soemarno. 1986. Peranan jalur hijau mangrove terhadap pelestarian sumberdaya perikanan. Di dalam: Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove; Ciloto; 27 Februari-1 Maret 1986. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Stark A. 1971. A computer programme to estimate fishing power by the method of fitting constants. J. du Conseil Inter. et Explor. du Mer. 33:478-482. Sugandhy A. 1998. Pendekatan ekosistem dalam perencanaan dan pengelolaan daerah pesisir dan pantai. Di dalam: Seminar Teknik Pantai Tema “Masalah Pantai di Indonesia dan Usaha-usaha Penanganan Interinstitusi Yang Pernah dan Perlu Dilakukan”. Yogjakarta. 10-11 Desember 1998.
140 Suryadi K, Ramdhani MA. 2000. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. Bandung. Remaja Rosdakarya. Suwelo IS, Maanan. 1986. Jalur hijau hutan mangrove sebagai wilayah konservasi daerah pantai. Di dalam: Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove; Ciloto; 27 Februari-1 Maret 1986. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. hlm 61-71. Sydsaeter K, Hammond PJ. 1995. Mathematics for Economics Analysis. New Jersey. Prentice Hall Englewood Cliffs. UNESCO. 1991. Hydrology and Water Resources of Small Islands: A Practical Guide. Falkland A, editor and Custodio E. with contribution from Diaz A. Arenas and Simler L. Paris. Studies and Report on Hydrology No. 49. Watson R, Gelchu A, Pauly D. 2001. Mapping fisheries landings with emphasis on the North Atlantic. Di dalam: Zeller D, Watson R, Pauly D, editors. Fisheries Impact on the North Atlantic Ecosystems: Catch, Effort, and National/Regional Data Sets. Vancouver. University of British Columbia. Fisheries Centre Research Reports Vol 9 No. 3. Wilen JE. 1976. Common property resources and the dynamics of overexploitation: the case of the North Pasific fur seal. Vancouver. University of British Columbia. Departement of Economics Research Paper No. 3. Winardi. 1999. Pengantar Tentang Teori Sistem dan Analisis Sistem. Bandung. Mandar Maju.
141 Lampiran 1. Deskripsi Ikan a. Ikan bawal hitam Nama Indonesia :
Bawal Hitam
Nama Inggris
:
Black Pomfret
Nama Latin
:
Formio niger
Deskripsi
:
Ordo: Percomorphi, famili: Formionidae, genus: Formio. Bentuk tubuh ikan ini lebar dan gepeng. Bentuk sisik sikloid, sisik garis rusuk kurang lebih 100. Sirip punggung berjari-jari kuat, 2 sirip yang terpisah, yang dimuka bejari-jari keras dan yang di belakang berjari-jari lemah, kadang dengan satu jari-jari keras di muka. Sirip dubur berjari-jari keras 1 dan 35-40 berjari-jari lemah. Sirip ekor bercagak kuat, terdapat sisik duri pada bagian batang ekor. Sirip perut kecil dan tidak terdapat pada ikan dewasa. Termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil, dan Krustasea. Hidup di perairan agak jauh dari pantai sampai kedalaman 100 m. Bergerombol, kadang-kadang bersama-sama ikan layang di sekitar rumpon. Warna tubuh bagian atas abu-abu sawo matang, sedikit keputihan pada bagian bawahnya. Ukuran: ikan bawal hitam panjangnya bisa mencapai 30 cm dan umumnya tertangkap pada ukuran 20 cm
Daerah Sebar
:
Daerah penyebaran ikan bawal hitam hampir terdapat di seluruh perairan Indonesia terutama Laut Jawa, Selat Malaka, sepanjang perairan Kalimantan, Sulawesi Selatan, Laut Arafuru, ke utara sampai Teluk Bengal, Teluk Siam, sepanjang Laut Cina Selatan dan Philipina. Pada umumnya ikan ini hidup pada dasar perairan yang berlumpur, terutama di daerah muara-muara sungai.
b. Ikan bawal putih Nama Indonesia :
Bawal Putih
Nama Inggris
:
Silver Pomfret
Nama Latin
:
Pampus argentus
142 Deskripsi
:
Ordo: Percomorphi, Sub. Ordo: Stromatoidea, famili: Stromateidae, genus: Pampus. Bentuk tubuh ikan ini sangat lebar seperti ketupat gepeng. Bentuk sisik sikloid, sangat kecil, gampang dikelupas dan sisik-sisik ini meluas sampai dasar semua sirip. Sirip punggung tidak sama panjang, asalnya di depan pertengahan badan, tetapi menjadi sirip pektoral, didahului oleh 5-10 duri pendek yang menyerupai pisau, berjari-jari lemah 38 sampai 43. Sirip dubur tidak sama panjang, berjari-jari lemah 38-43. Sirip ekor bercagak kuat dengan lembaran bawah lebih panjang. Termasuk pemakan plankton, makanannya plankton kasar (invertebrata). Hidup di perairan yang dasarnya lumpur sampai kedalaman 100 m, sering masuk air payau dan membentuk gerombolan besar. Warna tubuhnya abu keunguan di bagian atas, dan putih perak di bagian bawah. Sirip-siripnya sedikit gelap. Ukuran: umumnya panjang ikan bawal putih yang tertangkap adalah 15-20 cm dan panjangnya bisa mencapai 29 cm
Daerah Sebar
:
Ikan bawal putih hidup pada perairan pantai, payau bahkan dapat hidup di perairan tawar. Jenis ikan ini hidup di dasar perairan yang keadaan dasarnya berlumpur, sampai kedalaman 100 m dan cenderung berada pada kedalaman 15-25 m. Penyebaran ikan ini meliputi pantai timur Indonesia, Laut Jawa, sebagian timur Sumatera, pantai Laut Cina Selatan, Philipina, bagian barat Teluk Persia dan bagian Utara Jepang.
c. Ikan Kuro/senangin (Polynemus spp/ Eleutheronema sp) Nama Indonesia :
Kuro/Senangin
Nama Inggris
:
Giant threadfish
Nama Latin
:
Eleutheronema tetradactylum
Deskripsi
:
Ordo: Percesoces, famili: Polynemidae, genus : Eleutheronema. Badan memanjang, gepeng. Moncong menonjol ke depan, tumpul, mulut lebar, di bawah moncong, ditumbuhi gigi-gigi kecil. Sirip punggung pertama bejari-jari keras 8, sedang sirip punggung kedua 12, dan 13-17 lemah. Sirip dubur berjari-jari keras keras 2 dan 15-17 lemah. Garis rusuk bersisik 78-80. Di bawah sirip dada terdapat 4 jari-jari sirip berupa serabut yang satu sama lain terpisah, dapat mencapai sirip perut. Termasuk ikan buas, makanannya ikan-ikan kecil, udang-udangan, organisme dasar. Hidup di dasar, daerah pantai dangkal,
143 kadang-kaang masuk sungai-sungai besar. Warna bagian atas putih-perak kehijauan (perak keabu-abuan), putih kekuningan bagian bawah. Sirip punggung, ekor, abu-abu sedikit kekuningan dengan pinggiran gelap. Sirip dubur, perut, kuning jeruk. Ukuran: ukuran tubuh ikan ini berkisar antara 25 - 200 cm. Daerah Sebar
:
Daerah penyebaran ikan kuro/senangin adalah perairan tropis dan subtropis. Di Indonesia potensi sumberdaya ikan kuro/senangin terdapat di perairan utara Jawa, timur Sumatera, sepanjang Kalimantan, Sulawesi Selatan, Laut Arafuru, ke utara sampai Teluk Benggala dan Teluk Siam. Sedangkan di luar Indonesia terdapat di perairan sepanjang Laut Cina Selatan ke selatan sampai Queensland.
144 Lampiran 2. Analisis data hasil tangkapan dari masing-masing alat tangkap yang digunakan dalam analisis Share Pukat Pantai (Ton) Tahun
Bawal Hitam
Bawal Putih
Senangin
Share Jaring Insang Hanyut (Ton) Total Produksi
Bawal Hitam
Bawal Putih
Senangin
Share Jermal (Ton) Total Produksi
Bawal Hitam
Bawal Putih
Senangin
Total Produksi
Grand Total
1985
4.77
3.63
8.76
17.160
91.71
141.58
304.59
537.87
17.79
3.63
3.64
25.05
580.09
1986
5.59
4.03
11.22
20.843
94.16
175.24
323.86
593.27
22.08
6.03
4.38
32.49
646.61
1987
7.57
4.92
9.90
22.395
92.96
192.18
353.55
638.69
27.15
10.96
6.63
44.73
705.82
1988
8.57
5.49
12.14
26.194
102.42
160.86
376.79
640.07
45.14
16.43
5.14
66.71
732.97
1989
7.16
6.33
9.81
23.305
128.07
167.63
406.99
702.69
48.94
19.09
9.81
77.84
803.83
1990
6.63
6.94
9.77
23.342
127.32
193.65
444.74
765.71
47.27
17.01
6.77
71.05
860.10
1991
8.22
9.01
14.60
31.828
135.06
160.10
377.14
672.30
47.24
19.67
13.60
80.52
784.64
1992
9.09
7.99
11.83
28.906
139.26
191.18
419.79
750.23
61.63
21.32
15.90
98.85
877.99
1993
8.16
9.10
13.12
30.371
151.42
213.88
406.16
771.47
63.54
25.54
17.12
106.20
908.04
1994
8.55
7.21
16.47
32.230
143.63
199.74
534.05
877.42
64.94
21.10
15.47
101.51
1,011.16
1995
6.48
8.12
14.96
29.555
140.97
203.06
543.07
887.10
42.96
24.40
24.55
91.91
1,008.57
1996
7.12
10.91
15.66
33.689
158.12
244.41
459.38
861.92
45.41
28.69
20.52
94.62
990.23
1997
9.86
15.24
21.93
47.031
186.14
236.49
497.41
920.04
75.11
40.50
34.94
150.55
1,117.62
1998
10.82
16.49
22.09
49.402
187.43
251.75
542.03
981.21
79.05
30.74
43.22
153.01
1,183.63
1999
7.26
17.57
21.67
46.503
157.57
245.81
479.18
882.56
45.32
37.92
46.64
129.88
1,058.94
2000
6.43
14.56
16.97
37.957
183.58
274.41
485.65
943.64
50.30
44.54
35.71
130.55
1,112.14
2001
9.45
14.60
19.15
43.201
196.63
264.15
552.26
1,013.05
45.00
39.34
38.25
122.59
1,178.84
2002
11.87
18.94
36.07
66.886
160.63
274.68
825.84
1,261.15
49.16
49.45
45.61
144.22
1,472.25
Sumber Data Olahan dari: Dinas Perikanan Propinsi Daerah Tk I Riau 1986-2003
148 Lampiran 4. Gambar alat tangkap yang digunakan dalam analisis
Pukat pantai (beach seine)
Jaring insang hanyut (drift gill net)
149
Jermal (stow nets)
150 Lampiran 5. Analisis CYP
file 11 E:\shazam\CYP.txt UNIT 11 IS NOW ASSIGNED TO: E:\shazam\CYP.txt sample 1 17 read(11) E E2 CPUE LnCPUE LnU1 / skiplines=1 5 VARIABLES AND 17 OBSERVATIONS STARTING AT OBS
1
print E E2 CPUE LnCPUE LnU1 E E2 CPUE LnCPUE LnU1 67.55615 136.22122 0.85868 -0.15236 -0.06009 68.66508 145.48058 0.94168 -0.06009 -0.08464 76.81550 146.03480 0.91884 -0.08464 0.05724 69.21929 138.26852 1.05891 0.05724 0.15198 69.04922 137.58485 1.16414 0.15198 0.22711 68.53563 139.94713 1.25497 0.22711 0.09419 71.41150 141.13742 1.09876 0.09419 0.23048 69.72592 146.11855 1.25920 0.23048 0.17282 76.39263 150.56497 1.18865 0.17282 0.30987 74.17234 162.19032 1.36325 0.30987 0.13616 88.01798 177.87288 1.14586 0.13616 0.09715 89.85490 177.20515 1.10203 0.09715 0.24644 87.35025 189.59599 1.27946 0.24644 0.14637 102.24574 209.59915 1.15763 0.14637 -0.01369 107.35341 214.28159 0.98641 -0.01369 0.03930 106.92818 217.84867 1.04008 0.03930 0.06088 110.92049 228.80935 1.06278 0.06088 0.22222 STAT E E2 CPUE LnCPUE LnU1 / pcor NAME N MEAN ST. DEV VARIANCE MINIMUM MAXIMUM E 17 82.601 15.637 0 244.500 67.556 110.9200 E2 17 168.16 0 32.4390 1052.300 136.220 228.8100 CPUE 17 1.111 0.1374 0.019 0.85868 1.3630 LNCPUE 17 0.098 0.1259 0.016 -0.15236 0.3099 LNU1 17 0.120 0.1113 0.0124 -0.08464 0.3099 CORRELATION MATRIX OF VARIABLES - 17 OBSERVATIONS E 1.0000 E2 0.98369 1.0000 CPUE -0.10168 -0.25399E-02 1.0000 LNCPUE -0.72303E-01 0.21128E-01 0.9976 1.0000 LNU1 -0.38478E-01 -0.66128E-01 0.5041 0.5327 E E2 CPUE LNCPUE
1.0000 LNU1
151
OLS LnU1 LnCPUE E2 / rstat anova REQUIRED MEMORY IS PAR= 2 CURRENT PAR= 500 OLS ESTIMATION 17 OBSERVATIONS DEPENDENT VARIABLE = LNU1 NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 1, 17 R-SQUARE = 0.2897 R-SQUARE ADJUSTED = 0.1883 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.10058E-01 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.10029 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.14081 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 0.11964 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 16.6235 MODEL SELECTION TESTS - SEE JUDGE ET AL. (1985,P.242) AKAIKE (1969) FINAL PREDICTION ERROR - FPE = 0.11832E-01 (FPE IS ALSO KNOWN AS AMEMIYA PREDICTION CRITERION - PC) AKAIKE (1973) INFORMATION CRITERION - LOG AIC = -4.4406 SCHWARZ (1978) CRITERION - LOG SC = -4.2936 MODEL SELECTION TESTS - SEE RAMANATHAN (1992,P.167) CRAVEN-WAHBA (1979) GENERALIZED CROSS VALIDATION - GCV = 0.12213E-01 HANNAN AND QUINN (1979) CRITERION = 0.11962E-01 RICE (1984) CRITERION = 0.12801E-01 SHIBATA (1981) CRITERION = 0.11206E-01 SCHWARZ (1978) CRITERION - SC = 0.13656E-01 AKAIKE (1974) INFORMATION CRITERION - AIC = 0.11788E-01 ANALYSIS OF VARIANCE - FROM MEAN REGRESSION ERROR TOTAL
SS 0.57442E-01 0.14081 0.19825
DF 2. 14. 16.
MS 0.28721E-01 0.10058E-01 0.12390E-01
F 2.856 P-VALUE 0.091
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO REGRESSION ERROR TOTAL
SS 0.30076 0.14081 0.44156
DF 3. 14. 17.
MS 0.10025 0.10058E-01 0.25974E-01
F 9.968 P-VALUE 0.001
152
VARIABLE NAME LNCPUE E2
ESTIMATED COEFFICIENT 0.47256 -0.00026565
CONSTANT
0.11819
STANDARD ERROR
TRATIO 14 DF 0.1992 2.372 0.0007731 0.3436 0.1333 0.8868
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY PCORR. COEFF. AT VALUE MEANS 0.033 0.736
0.535 -0.091
0.5343 -0.0774
0.3855 -0.3734
0.390
0.231
0.0000
0.9879
DURBIN-WATSON = 2.1678 VON NEUMANN RATIO = 2.3033 RHO = -0.19235 RESIDUAL SUM = 0.27756E-15 RESIDUAL VARIANCE = 0.10058E-01 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 1.3115 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.2897 RUNS TEST: 10 RUNS, 7 POS, 0 ZERO, 10 NEG NORMAL STATISTIC = 0.3963 *plot LnU1 / time nowide *plot LnCPUE / time nowide *plot E2 / time nowide Coint LnU1 LnCPUE E2 NOTE..SAMPLE RANGE SET TO:
1,
17
REQUIRED MEMORY IS PAR= 3 CURRENT PAR= 500 NOTE..TEST LAG ORDER AUTOMATICALLY SET TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = 17 VARIABLE : LNU1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 16 NULL HYPOTHESIS
TEST STATISTIC
CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -9.8696 A(1)=0 T-TEST -2.7023 A(0)=A(1)=0 3.9066
ASY. CRITICAL VALUE 10% -11.20 -2.57 3.78 AIC = -4.514 SC = -4.418
CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -9.9187 A(1)=0 T-TEST -2.5825 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.4216 A(1)=A(2)=0 3.3950
-18.20 -3.13 4.03 5.34 AIC = -4.390 SC = -4.245
153 VARIABLE : LNCPUE DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 16 NULL HYPOTHESIS
TEST STATISTIC
CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -8.1652 A(1)=0 T-TEST -2.6937 A(0)=A(1)=0 3.7851
ASY. CRITICAL VALUE 10% -11.20 -2.57 3.78 AIC = -4.589 SC = -4.492
CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -7.7235 A(1)=0 T-TEST -2.2552 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.3956 A(1)=A(2)=0 3.4464
-18.20 -3.13 4.03 5.34 AIC = -4.472 SC = -4.327
VARIABLE : E2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 16 NULL TEST HYPOTHESIS STATISTIC CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST 1.2816 A(1)=0 T-TEST 1.3169 A(0)=A(1)=0 6.4678
CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST A(1)=0 T-TEST A(0)=A(1)=A(2)=0 A(1)=A(2)=0
-2.3900 -1.1071 6.2455 2.7693
ASY. CRITICAL VALUE 10% -11.2 -2.57 3.78 AIC = SC =
3.984 4.081
AIC = SC =
3.871 4.016
-18.2 -3.13 4.03 5.34
*Coint LnU1 LnCPUE E2 / type=df ndiff=1 nlag=4 *Coint LnU1 LnCPUE E2 / type=df ndiff=2 nlag=4 auto LnU1 LnCPUE E2 / rstat REQUIRED MEMORY IS PAR= 3 CURRENT PAR= 500 DEPENDENT VARIABLE = LNU1 NOTE..R-SQUARE,ANOVA,RESIDUALS DONE ON ORIGINAL VARS LEAST SQUARES ESTIMATION 17 OBSERVATIONS BY COCHRANE-ORCUTT TYPE PROCEDURE WITH CONVERGENCE = 0.00100
154 ITERATION 1 2 3 4 5 6 7 LOG L.F. =
RHO 0.00000 -0.19235 -0.28103 -0.30515 -0.31042 -0.31151 -0.31173 17.0946
LOG L.F. 16.6235 17.0340 17.0965 17.0961 17.0949 17.0947 17.0946
AT RHO =
ESTIMATE RHO
-0.31173
SSE 0.14081 0.13387 0.13254 0.13243 0.13242 0.13242 0.13242
-0.31173
ASYMPTOTIC VARIANCE 0.05311
ASYMPTOTIC ST.ERROR 0.23045
ASYMPTOTIC RATIO -1.35271
R-SQUARE = 0.3321 R-SQUARE ADJUSTED = 0.2367 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.94583E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.97254E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE = 0.13242 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 0.11964 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 17.0946
VARIABLE NAME LNCPUE E2 CONSTANT
ESTIMATED COEFFICIENT 0.59002 -0.37309E-03 0.12331
STANDARD ERROR
TRATIO 14 DF 0.1647 3.582 0.5958E-03 0.6262 0.1029 1.199
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY PCORR. COEFF. AT VALUE MEANS 0.003 0.541
0.692 -0.165
0.6671 -0.1087
0.4814 -0.5244
0.251
0.305
0.0000
1.0307
DURBIN-WATSON = 1.9602 VON NEUMANN RATIO = 2.0827 RHO = -0.08176 RESIDUAL SUM = -0.13304E-01 RESIDUAL VARIANCE = 0.94709E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS = 1.2279 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.3319 RUNS TEST: 8 RUNS, 8 POS, 0 ZERO, 9 NEG NORMAL STATISTIC = -0.7395 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = -1.0814 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 stop
155 Lampiran 6. Analisis Penentuan Discount Rate Kula
file 11 E:\shazam\Kula.txt UNIT 11 IS NOW ASSIGNED TO: E:\shazam\Kula.txt sample 1 10 read(11) T PDRB / skiplines=1 2 VARIABLES AND 10 OBSERVATIONS STARTING AT OBS print T PDRB T 0.0000000 0.6931472 1.098612 1.386294 1.609438 1.791759 1.945910 2.079442 2.197225 2.302585
1
PDRB 13.81914 13.87625 13.93766 13.99447 14.02403 14.01164 14.02758 14.04687 14.06872 14.10044
STAT PDRB T / pcor NAME
N
MEAN ST. DEV VARIANCE MINIMUM MAXIMUM
PDRB T
10 10
13.991 0.087910 1.5104 0.73302
0.0077282 0.53732
13.819 0.00000
CORRELATION MATRIX OF VARIABLES - 10 OBSERVATIONS PDRB T PDRB 1.0000 T 0.98588 1.0000 OLS PDRB T / rstat anova REQUIRED MEMORY IS PAR = 1 CURRENT PAR= 500 OLS ESTIMATION 10 OBSERVATIONS DEPENDENT VARIABLE = PDRB ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 1, 10 R-SQUARE = 0.9720 R-SQUARE ADJUSTED = 0.9684 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.24383E-03
14.100 2.3026
156 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.15615E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.19507E-02 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 13.991 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 28.5215 MODEL SELECTION TESTS - SEE JUDGE ET AL. (1985,P.242) AKAIKE (1969) FINAL PREDICTION ERROR - FPE = 0.29260E-03 (FPE IS ALSO KNOWN AS AMEMIYA PREDICTION CRITERION - PC) AKAIKE (1973) INFORMATION CRITERION - LOG AIC = -8.1422 SCHWARZ (1978) CRITERION - LOG SC = -8.0817 MODEL SELECTION TESTS - SEE RAMANATHAN (1992,P.167) CRAVEN-WAHBA (1979) GENERALIZED CROSS VALIDATION - GCV = 0.30479E-03 HANNAN AND QUINN (1979) CRITERION = 0.27231E-03 RICE (1984) CRITERION = 0.32511E-03 SHIBATA (1981) CRITERION = 0.27309E-03 SCHWARZ (1978) CRITERION - SC = 0.30916E-03 AKAIKE (1974) INFORMATION CRITERION - AIC = 0.29100E-03 ANALYSIS OF VARIANCE - FROM MEAN REGRESSION ERROR TOTAL
SS 0.0676030 0.0019507 0.0695540
DF 1. 8. 9.
MS 0.67603E-01 0.24383E-03 0.77282E-02
F 277.252 P-VALUE 0.000
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO SS DF MS F REGRESSION 1957.5 2. 978.73 4013948.455 ERROR 0.19507E-02 8. 0.24383E-03 P-VALUE TOTAL 1957.5 10. 195.75 0.000
VARIABLE NAME
ESTIMATED COEFFICIENT
T CONSTANT
0.11823 13.812
STANDARD ERROR
TRATIO 8 DF 0.7101E-02 16.65 0.1181E-01 1170.
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY PCORR. COEFF. AT VALUE MEANS 0.000 0.000
0.986 1.000
0.9859 0.0000
0.0128 0.9872
157 DURBIN-WATSON = 1.5030 VON NEUMANN RATIO = 1.6700 RHO = 0.19527 RESIDUAL SUM = 0.13173E-13 RESIDUAL VARIANCE = 0.24383E-03 SUM OF ABSOLUTE ERRORS= 0.12651 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.9720 RUNS TEST: 5 RUNS, 4 POS, 0 ZERO, 6 NEG NORMAL STATISTIC = 0.5620 stop
158 Lampiran 7. Analisis Koefisien Degradasi (Dengan Menggunakan Produksi Aktual dan Rataan Geometrik)
Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Produksi Aktual (Ton) 580.088 646.607 705.815 732.971 803.828 860.100 784.644 877.988 908.041 1,011.156 1,008.565 990.226 1,117.615 1,183.626 1,058.940 1,112.143 1,178.836 1,472.254
Produksi Lestari (Ton) 647.148 656.445 723.551 661.076 659.656 655.362 679.297 665.301 720.122 702.023 812.338 826.523 807.156 919.527 956.528 953.477 981.916 1,030.450
Lestari/Aktual
ExpD
1+ExpD
1/f
1.11560 1.01522 1.02513 0.90191 0.82064 0.76196 0.86574 0.75776 0.79305 0.69428 0.80544 0.83468 0.72221 0.77687 0.90329 0.85733 0.83295 0.69991
3.05141 2.75996 2.78745 2.46431 2.27196 2.14247 2.37676 2.13348 2.21013 2.00226 2.23768 2.30408 2.05898 2.17466 2.46770 2.35687 2.30010 2.01358
4.05141 3.75996 3.78745 3.46431 3.27196 3.14247 3.37676 3.13348 3.21013 3.00226 3.23768 3.30408 3.05898 3.17466 3.46770 3.35687 3.30010 3.01358
0.24683 0.26596 0.26403 0.28866 0.30563 0.31822 0.29614 0.31913 0.31151 0.33308 0.30886 0.30266 0.32691 0.31499 0.28838 0.29790 0.30302 0.33183
Tahun
avg/act
Expl
1+Expl
Koef
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
1.58839 1.42499 1.30545 1.25709 1.14627 1.07128 1.17430 1.04945 1.01472 0.91124 0.91358 0.93050 0.82444 0.77846 0.87012 0.82850 0.78162 0.62585
4.89586 4.15780 3.68935 3.51516 3.14644 2.91911 3.23587 2.85609 2.75859 2.48741 2.49324 2.53578 2.28060 2.17812 2.38720 2.28987 2.18502 1.86983
5.89586 5.15780 4.68935 4.51516 4.14644 3.91911 4.23587 3.85609 3.75859 3.48741 3.49324 3.53578 3.28060 3.17812 3.38720 3.28987 3.18502 2.86983
0.16961 0.19388 0.21325 0.22148 0.24117 0.25516 0.23608 0.25933 0.26606 0.28675 0.28627 0.28282 0.30482 0.31465 0.29523 0.30396 0.31397 0.34845
159 Lampiran 8. Maple Output Untuk Perhitungan Optimal
a). Dengan real discount rate Kula 4% > restart; > r:=0.515692; k:=1154.161571; q:=0.00093858; p:=101.619; c:=29.554; i:=0.04; r := 0.515692 k := 1154.161571
q := 0.00093858 p := 101.619
c := 29.554 i := 0.04
> f(x):=r*ln(k/x)-r+(c*r*ln(k/x)/(x*(p*q*x-c)))=i; ⎛ f(x) := 0.515692 ln⎜ ⎝
⎛ 1154.161571 ⎞ 15.24076137 ln⎜ ⎟ x 1154.161571 ⎞ ⎝ ⎠ = 0.04 0.515692 + ⎟ x x (0.09537756102 x - 29.554) ⎠
> solve(f(x),x); 396.6961584
> g(x):=ln(k/x)-1-(i/r)+(c*r)/(p*q*x)+(c*i)/(p*q*r*x)=0; 1154.161571 ⎞ 183.8287461 =0 g(x) := ln⎛⎜ ⎟ - 1.077565679 + x x ⎠ ⎝
> a:=fsolve(g(x),x); a := 549.1267825
> optx:=a; optx := 549.1267825
> h:=r*optx*ln(k/optx); h := 210.3463464
> E:=h/(q*optx); E := 408.1229821
> Go(y):=q*k*y*exp((-q/r)*y); Go(y) := 1.083272967 y e
> plot(Go(y),y=0..2000);
(-0.001820039869 y)
160
This is curve fitting for sustainable yield (logistic form) > Lo(y):=q*k*y-(q^2*k/r)*y^2; Lo(y) := 1.083272967 y - 0.001971599990 y 2
> plot(Lo(y), y=0..550);
161 b). Dengan market discount rate 15%
> restart; > r:=0.515692; k:=1154.161571; q:=0.00093858; p:=101.619; c:=29.554; i:=0.15; r := 0.515692 k := 1154.161571
q := 0.00093858 p := 101.619
c := 29.554 i := 0.15
> f(x):=r*ln(k/x)-r+(c*r*ln(k/x)/(x*(p*q*x-c)))=i; f(x) := 0.515692 ln⎛⎜ ⎝
1154.161571 ⎞ 15.24076137 ln⎛⎜ ⎟ x 1154.161571 ⎞ ⎝ ⎠ = 0.15 0.515692 + ⎟ x x ( 0.09537756102 x 29.554 ) ⎠
> solve(f(x),x); 333.3906553
> g(x):=ln(k/x)-1-(i/r)+(c*r)/(p*q*x)+(c*i)/(p*q*r*x)=0; 1154.161571 ⎞ 249.9243153 =0 g(x) := ln⎛⎜ ⎟ - 1.290871295 + x x ⎠ ⎝
> a:=fsolve(g(x),x); a := 515.4791984
> optx:=a; optx := 515.4791984
> h:=r*optx*ln(k/optx); h := 214.2664086
> E:=h/(q*optx); E := 442.8652968
> Go(y):=q*k*y*exp((-q/r)*y); Go(y) := 1.083272967 y e
(-0.001820039869 y)
162 > plot(Go(y),y=0..2000);
This is curve fitting for sustainable yield (logistic form) > Lo(y):=q*k*y-(q^2*k/r)*y^2; Lo(y) := 1.083272967 y - 0.001971599990 y
> plot(Lo(y), y=0..550);
2
163 Lampiran 9. Analisis Optimal Untuk Rezim Pengelolaan MEY, MSY dan Open Acces
> restart; > r:=0.515692; K:=1154.161571; q:=0.00093858; p:=101.619; c:=29.554; delta:=0.15; r := 0.515692 K := 1154.161571 q := 0.00093858
p := 101.619 c := 29.554
δ := 0.15
> hs:=q*K*E*(1-(q*E)/r); hs := 1.083272967 E (1 - 0.001820039869 E)
> Emax:=diff(hs,E); Emax := 1.083272967 - 0.003943199978 E
> Esus:=solve(Emax=0,E); Esus := 274.7192567
> hsus:=q*K*Esus*(1-(q*Esus)/r); hsus := 148.7979722
> pi:=p*hs-c*E; π := 110.0811156 E (1 - 0.001820039869 E) - 29.554 E
> pisus:=p*hsus-c*Esus; pisus := 7001.648227
> Xsus:=hsus/(q*Esus); Xsus := 577.0807857
> Eoa:=(r/q)*((1-(c/(p*q*K)))); Eoa := 401.9281460
> hoa:=((r*c)/(p*q))*(1-(c/(p*q*K))); hoa := 116.8933411
> Xoa:=hoa/(q*Eoa); Xoa := 309.8632391
> pioa:=p*hoa-c*Eoa; pioa := 0.
> Eopt:=diff(pi,E); Eopt := 80.5271156 - 0.4007040384 E
> Eopt:=solve(Eopt=0,E); Eopt := 200.9640729
164 > TR:=p*hs; TR := 110.0811156 E (1 - 0.001820039869 E)
> TC:=c*E; TC := 29.554 E
> plot({TC,TR},E=0..700, Yield=0..20000);
> plot(hs,E=0..700, Yield=0..200);
> Xopt:=(K/2)*(1+(c/(p*q*K))); Xopt := 732.0124050
> hopt:=((r*K)/4)*(1+(c/(p*q*K)))*(1-(c/(p*q*K))); hopt := 138.0728091
> piopt:=p*hopt-c*Eopt; piopt := 8091.528580
165 Lampiran 10. Analisis Interaksi Mangrove dan Sumberdaya Perikanan (Model Fozal) A. Data yang digunakan dalam model Fozal
7
Tahun
Effort (Trip)
Produksi (Ton)
Mangrove7 (Ha)
h/E
ME
1985
67.556
580,09
31.001,0
0,85868
2.094,30
1986
68.665
646,61
33.587,5
0,94168
2.306,28
1987
76.816
705,82
36.173,9
0,91884
2.778,73
1988
69.219
732,97
38.760,3
1,05892
2.682,95
1989
69.049
803,83
41.346,8
1,16414
2.854,95
1990
68.536
860,10
43.933,2
1,25496
3.011,01
1991
71.412
784,64
46.519,7
1,09876
3.322,06
1992
69.726
877,99
49.106,1
1,25920
3.423,97
1993
76.393
908,04
51.692,5
1,18864
3.948,95
1994
74.172
1011,16
54.279,0
1,36326
4.025,98
1995
88.018
1008,57
56.865,4
1,14586
5.005,18
1996
89.855
990,23
59.451,9
1,10203
5.342,05
1997
87.350
1.117,62
62.038,3
1,27947
5.419,05
1998
102.246
1.183,63
64.624,7
1,15763
6.607,62
1999
107.353
1.058,94
67.211,2
0,98641
7.215,32
2000
106.928
1.112,14
69.797,6
1,04009
7.463,32
2001
110.920
1.178,84
48.718,0
1,06278
5.403,80
2002
117.889
1.472,25
48.567,0
1,24885
5.456,15
Data diolah dari Bakosurtanal (2001) dan Khairuddin (2003)
166 B. Analisis penentuan koefisien regresi file 11 E:\shazam\Fozal.txt UNIT 11 IS NOW ASSIGNED TO: E:\shazam\Fozal.txt sample 1 18 read(11) Y X1 X2 / skiplines=1 3 VARIABLES AND 18 OBSERVATIONS STARTING AT OBS 1 print Y X1 X2 0.858680 0.941680 0.918840 1.058920 1.164140 1.254960 1.098760 1.259200 1.188640 1.363260 1.145860 1.102030 1.279470 1.157630 0.986410 1.040090 1.062780 1.062780
3100.102 3358.746 3617.390 3876.034 4134.678 4393.322 4651.966 4910.610 5169.254 5427.898 5686.542 5945.186 6203.830 6462.474 6721.118 6979.762 4871.800 4856.697
209430.5 230628.3 277873.4 268295.2 285495.4 301100.7 332206.2 342397.2 394894.8 402598.1 500518.1 534204.7 541904.6 660762.1 721532.2 746332.0 540380.1 572551.2
STAT Y X1 X2 / pcor NAME Y X1 X2
N 18 18 18
MEAN 1.1080 5020.4 0.43684E+06
ST. DEV 0.17893E-01 1158.1 0.17025E+06
VARIANCE 0.13377 0.13412E+07 0.28984E+11
MINIMUM 0.85868 3100.1 0.20943E+06
MAXIMUM 1.3633 6979.8 0.74633E+06
CORRELATION MATRIX OF VARIABLES - 18 OBSERVATIONS Y 1.0000 X1 0.38204 1.0000 X2 0.10322 0.9177 1.0000 Y X1 X2 OLS Y X1 X2 / rstat anova REQUIRED MEMORY IS PAR= 2 CURRENT PAR= 500 OLS ESTIMATION 18 OBSERVATIONS DEPENDENT VARIABLE = Y ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO: 1, 18
167 R-SQUARE = 0.5336 R-SQUARE ADJUSTED = 0.4714 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.94590E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.97257E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE= 0.14188 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 1.1080 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 18.0471 MODEL SELECTION TESTS - SEE JUDGE ET AL. (1985,P.242) AKAIKE (1969) FINAL PREDICTION ERROR - FPE = 0.11035E-01 (FPE IS ALSO KNOWN AS AMEMIYA PREDICTION CRITERION - PC) AKAIKE (1973) INFORMATION CRITERION - LOG AIC = -4.5098 SCHWARZ (1978) CRITERION - LOG SC = -4.3614 MODEL SELECTION TESTS - SEE RAMANATHAN (1992,P.167) CRAVEN-WAHBA (1979) GENERALIZED CROSS VALIDATION - GCV = 0.11351E-01 HANNAN AND QUINN (1979) CRITERION = 0.11228E-01 RICE (1984) CRITERION = 0.11824E-01 SHIBATA (1981) CRITERION = 0.10510E-01 SCHWARZ (1978) CRITERION - SC = 0.12761E-01 AKAIKE (1974) INFORMATION CRITERION - AIC = 0.11001E-01 ANALYSIS OF VARIANCE - FROM MEAN REGRESSION ERROR TOTAL
SS 0.16230 0.14188 0.30419
DF 2. 15. 17.
MS 0.81152E-01 0.94590E-02 0.17893E-01
F 8.579 P-VALUE 0.003
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO REGRESSION ERROR TOTAL
SS 22.2610 0.1419 22.4020
VARIABLE NAME
ESTIMATED COEFFICIENT
STANDARD ERROR
X1 X2 CONSTANT
0.21022E-03 -0.12312E-05 0.59043
0.5126E-04 0.3487E-06 0.1342
DF 3. 15. 18. TRATIO 15 DF 4.101 -3.531 4.399
MS 7.4202 0.94590E-02 1.2446
F 784.460 P-VALUE 0.000
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY PCORR. COEFF. AT VALUE MEANS 0.001 0.003 0.001
0.727 -0.674 0.751
1.8200 -1.5670 0.0000
0.9525 -0.4854 0.5329
DURBIN-WATSON = 1.3841 VON NEUMANN RATIO = 1.4655 RHO = 0.20088 RESIDUAL SUM = 0.38858E-15 RESIDUAL VARIANCE = 0.94590E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS = 1.3941 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.5336 RUNS TEST: 10 RUNS, 8 POS, 0 ZERO, 10 NEG NORMAL STATISTIC = 0.0547
168 *plot Y / time nowide *plot X1 / time nowide *plot X2 / time nowide Coint Y X1 X2 ...NOTE..SAMPLE RANGE SET TO:
1, 18
REQUIRED MEMORY IS PAR = 3 CURRENT PAR = 500 ...NOTE..TEST LAG ORDER AUTOMATICALLY SET TOTAL NUMBER OF OBSERVATIONS = 18 VARIABLE : Y DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 17 NULL TEST HYPOTHESIS STATISTIC CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -9.0452 A(1)=0 T-TEST -2.7288 A(0)=A(1)=0 3.8298
ASY. CRITICAL VALUE 10% -11.2 -2.57 3.78 AIC = -4.357 SC = -4.259
CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -8.6120 A(1)=0 T-TEST -2.4009 A(0)=A(1)=A(2)=0 2.4603 A(1)=A(2)=0 3.5898
-18.20 -3.13 4.03 5.34 AIC = -4.250 SC = -4.103
VARIABLE : X1 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 17 NULL TEST HYPOTHESIS STATISTIC CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -3.4124 A(1)=0 T-TEST -1.7791 A(0)=A(1)=0 1.8957
ASY. CRITICAL VALUE 10% -11.20 -2.57 3.78 AIC = 12.687 SC = 12.785
CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST -2.28360 A(1)=0 T-TEST -0.50659 A(0)=A(1)=A(2)=0 1.21200 A(1)=A(2)=0 1.52410
-18.2 -3.13 4.03 5.34 AIC = 12.799 SC = 12.946
169 VARIABLE : X2 DICKEY-FULLER TESTS - NO.LAGS = 0 NO.OBS = 17 NULL TEST HYPOTHESIS STATISTIC CONSTANT, NO TREND A(1)=0 Z-TEST -1.9285 A(1)=0 T-TEST -1.1763 A(0)=A(1)=0 1.5729
ASY. CRITICAL VALUE 10% -11.2 -2.57 3.78 AIC = 22.315 SC = 22.413
CONSTANT, TREND A(1)=0 Z-TEST A(1)=0 T-TEST A(0)=A(1)=A(2)=0 A(1)=A(2)=0
-7.9179 -1.7592 1.7941 1.7500
-18.2 -3.13 4.03 5.34 AIC = 22.298 SC = 22.445
*Coint Y X1 X2 / type=df ndiff=1 nlag=4 *Coint Y X1 X2 / type=df ndiff=2 nlag=4 auto Y X1 X2 / rstat REQUIRED MEMORY IS PAR = 3 CURRENT PAR = 500 DEPENDENT VARIABLE = Y ..NOTE..R-SQUARE,ANOVA,RESIDUALS DONE ON ORIGINAL VARS LEAST SQUARES ESTIMATION 18 OBSERVATIONS BY COCHRANE-ORCUTT TYPE PROCEDURE WITH CONVERGENCE = 0.00100 ITERATION 1 2 3 4
RHO 0.00000 0.20088 0.20800 0.20850
LOG L.F. = 18.3885 ESTIMATE RHO
0.20850
LOG L.F. 18.0471 18.3861 18.3884 18.3885
SSE 0.14188 0.13633 0.13627 0.13627
AT RHO = 0.20850 ASYMPTOTIC ASYMPTOTIC ASYMPTOTIC VARIANCE ST.ERROR RATIO 0.05314 0.23052 0.90446
R-SQUARE = 0.5520 R-SQUARE ADJUSTED = 0.4923 VARIANCE OF THE ESTIMATE-SIGMA**2 = 0.90844E-02 STANDARD ERROR OF THE ESTIMATE-SIGMA = 0.95312E-01 SUM OF SQUARED ERRORS-SSE = 0.13627
170 MEAN OF DEPENDENT VARIABLE = 1.1080 LOG OF THE LIKELIHOOD FUNCTION = 18.3885
VARIABLE NAME X1 X2 CONSTANT
ESTIMATED STANDARD COEFFICIENT ERROR 0.20654E-03 -0.12299E-05 0.60868
0.5744E-04 0.3961E-06 0.1507
TRATIO 15 DF 3.596 -3.105 4.039
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY PCORR. COEFF. AT VALUE MEANS 0.003 0.007 0.001
0.680 -0.625 0.722
1.7881 -1.5653 0.0000
0.9358 -0.4849 0.5493
DURBIN-WATSON = 1.6390 VON NEUMANN RATIO = 1.7354 RHO = 0.06061 RESIDUAL SUM = 0.27672E-01 RESIDUAL VARIANCE = 0.91354E-02 SUM OF ABSOLUTE ERRORS = 1.3828 R-SQUARE BETWEEN OBSERVED AND PREDICTED = 0.5497 RUNS TEST: 10 RUNS, 8 POS, 0 ZERO, 10 NEG NORMAL STATISTIC = 0.0547 DURBIN H STATISTIC (ASYMPTOTIC NORMAL) = 1.2332 MODIFIED FOR AUTO ORDER=1 stop
C. Model Fozal Dari analisis regresi diperoleh : b1 = 0.00020654 b2 = -0.00000123 Setelah dikalikan dengan rata-rata luasan mangrove maka diperoleh persamaan model Fozal: ht = 1,036915481E − 0,0061751043E 2
171 Lampiran 11. Peta Sebaran Mangrove di Kabupaten Bengkalis
172 Lampiran 12. Peta Sebaran Alat Tangkap di Kabupaten Bengkalis
173 Lampiran 13. Perhitungan Analisis Stabilitas
A. Analisis stabilitas terhadap data biomass Tahun
Et
ht
Xt
Xt+1
Xt+2
1985
67.556
58.01
914.87
1,003.31
978.97
1986
68.665
64.66
1,003.31
978.97
1,128.21
1987
76.816
70.58
978.97
1,128.21
1,240.32
1988
69.219
73.30
1,128.21
1,240.32
1,337.09
1989
69.049
80.38
1,240.32
1,337.09
1,170.67
1990
68.536
86.01
1,337.09
1,170.67
1,341.60
1991
71.412
78.46
1,170.67
1,341.60
1,266.43
1992
69.726
87.80
1,341.60
1,266.43
1,452.46
1993
76.393
90.80
1,266.43
1,452.46
1,220.85
1994
74.172
101.12
1,452.46
1,220.85
1,174.15
1995
88.018
100.86
1,220.85
1,174.15
1,363.19
1996
89.855
99.02
1,174.15
1,363.19
1,233.38
1997
87.350
111.76
1,363.19
1,233.38
1,050.96
1998
102.246
118.36
1,233.38
1,050.96
1,108.15
1999
107.353
105.89
1,050.96
1,108.15
1,132.32
2000
106.928
111.21
1,108.15
1,132.32
1,330.57
2001
110.920
117.88
1,132.32
1,330.57
-
2002
117.889
147.23
1,330.57
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R
0.38422
R Square
0.14762
Adjusted R Square
0.01649
Standard Error Observations
124.87842 16
174 ANOVA df
SS
MS
F
Significance F
1.12575
0.35408
Regression
2
35111.161
17555.580
Residual
13
202730.068
15594.621
Total
15
237841.229 t Stat
P-value
750.392
Standard Error 315.891
2.375
X Variable 1
0.277
0.284
X Variable 2
0.116
0.251
Coefficients Intercept
0.034
Lower 95% 67.952
Upper 95% 1432.832
Lower 95.0% 67.952
Upper 95.0% 1432.832
0.977
0.347
-0.336
0.890
-0.336
0.890
0.462
0.652
-0.426
0.658
-0.426
0.658
Dari hasil regresi diperoleh nilai : a = 0.2771 b = 0.1160 1 4
a 2 − b = -0.0968
Ini berarti nilai dari :
1 4
a2 − b < 0
Solusinya: r= b
( )
cosθ = −a / 2 b
xt = Ar t cos(θt + ω )
dimana θ ∈ [0, π ] maka akan diperoleh : r = 0.3406 cos θ = -0.4067 A=1 Dari persamaan fungsi xt di atas maka akan diperoleh data sebagai berikut: t
1
2
3
4
5
6
7
8
Xt -0.1385 -0.0472 -0.0161 -0.0055 -0.0019 -0.0006 -0.0002 -0.0001
Data biomass dikatakan stabil apabila memenuhi dua kondisi yaitu: 1). b < 1 2). a < 1+b
175 Dari hasil perhitungan diperoleh: 1). b = 0.1160 Æ b < 1 2). a = 0.2771 1 + b = 1.1160 Æ a < 1 + b
∴ Data biomass stabil B. Analisis stability terhadap data effort Tahun
Et
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
67.556 68.665 76.816 69.219 69.049 68.536 71.412 69.726 76.393 74.172 88.018 89.855 87.350 102.246 107.353 106.928 110.920 117.889
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R
0.946527645
R Square
0.895914584
Adjusted R Square
0.879901443
Standard Error
5.988179745
Observations
16
Et+1
Et+2
68.665 76.816 69.219 69.049 68.536 71.412 69.726 76.393 74.172 88.018 89.855 87.350 102.246 107.353 106.928 110.920 117.889
76.816 69.219 69.049 68.536 71.412 69.726 76.393 74.172 88.018 89.855 87.350 102.246 107.353 106.928 110.920 117.889 -
-
176 ANOVA df
SS
MS
F
Significance F
55.9487
4.10236E-07
Regression
2
4012.4509
2006.2254
Residual
13
466.1579
35.8583
Total
15
4478.6088
Coefficients
Standard Error
t Stat
Pvalue
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
Intercept
-4.1648
8.8880
-0.4686
0.6471
-23.3662
15.0367
-23.3662
15.0367
X Variable 1 X Variable 2
0.6848
0.2592
2.6415
0.0203
0.1247
1.2448
0.1247
1.2448
0.4154
0.2840
1.4627
0.1673
-0.1981
1.0289
-0.1981
1.0289
Dari hasil regresi diperoleh nilai : a = 0.6848 b = 0.4154 1 4
a 2 − b = -0.2981
Ini berarti nilai dari :
1 4
a2 − b < 0
Solusinya:
r= b
( )
cos θ = −a / 2 b
xt = Ar t cos(θt + ω ) dimana θ ∈ [0, π ] maka akan diperoleh : r = 0.6445 cos θ = -0.5313 A=1 Dari persamaan fungsi xt tersebut, maka diperoleh data sebagai berikut: t
Xt
1
-0.3424
2
-0.2207
3
-0.1422
4
-0.0917
5
-0.0591
6
-0.0381
7
-0.0245
177 t
Xt
8
-0.0158
9
-0.0102
10
-0.0066
11
-0.0042
12
-0.0027
13
-0.0018
14
-0.0011
15
-0.0007
16
-0.0005
17
-0.0003
18
-0.0002
19
-0.0001
20
-0.0001
Data biomass dikatakan stabil apabila memenuhi dua kondisi yaitu: 1). b < 1 2). a < 1+b Dari hasil perhitungan diperoleh: 1). b = 0.4154 Æ b < 1 2). a = 0.6848 1 + b = 1.4154 Æ a < 1 + b ∴ Data effort stabil
178 C. Analisis stability terhadap data luasan mangrove
Tahun
Mt
Mt+1
Mt+2
1985
31.00
33.59
36.17
1986
33.59
36.17
38.76
1987
36.17
38.76
41.35
1988
38.76
41.35
43.93
1989
41.35
43.93
46.52
1990
43.93
46.52
49.11
1991
46.52
49.11
51.69
1992
49.11
51.69
54.28
1993
51.69
54.28
56.87
1994
54.28
56.87
59.45
1995
56.87
59.45
62.04
1996
59.45
62.04
64.62
1997
62.04
64.62
67.21
1998
64.62
67.21
69.80
1999
67.21
69.80
48.72
2000
69.80
48.72
46.28
2001
48.72
46.28
2002
46.28
SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations
0.854847 0.730763 0.689342 5.715897 16
ANOVA df Regression
SS
MS
2
1152.800780
576.400390
Residual
13
424.729150
32.671473
Total
15
1577.529931
F 17.642314
Significance F 0.000198
179
Coefficients
Standard Error
t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95.0%
Upper 95.0%
12.38262
6.93844
1.78464
0.09766
-2.60698
27.37221
-2.60698
27.37221
X Variable 1
0.94555
0.27487
3.43994
0.00439
0.35172
1.53938
0.35172
1.53938
X Variable 2
-0.17430
0.25000
-0.69722
0.49795
-0.71438
0.36578
-0.71438
0.36578
Intercept
Dari hasil regresi diperoleh nilai : a = 0.94555 b = -0.17430 1 4
a 2 − b = 0,39782
Karena nilai dari : m1, 2 = − 12 a ±
1 4
1 4
a 2 − b > 0 , solusinya:
a2 − b
m1 = 0.15795 m2 = -1.10350 dan : xt = Am1t + Bm2t Jika A=1 dan B=2 Dari persamaan fungsi xt di atas maka akan diperoleh data sebagai berikut: t 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Xt -2.0491 2.4604 -2.6836 2.9663 -3.2725 3.6114 -3.9852 4.3976 -4.8528 5.3551 -5.9094 6.5210 -7.1959 7.9407 -8.7626 9.6696
180
Data stabil apabila memenuhi dua kondisi yaitu: 1). b < 1 2). a < 1+b Dari hasil perhitungan diperoleh: 1). b = -0.17430 Æ b < 1 2). a = 0.94555 1 + b = 0.82570 Æ a > 1 + b ∴ Data mangrove tidak stabil
181 Lampiran 14. Perhitungan Surplus Produsen
> restart; > AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); 2c
AC := α+
-4 β h + α
2
> A:=int(AC,h); c α ln(h) c A := 2β
-4 β h + α β
2
-
⎛ c α ln⎝
-4 β h + α
2
⎞ - α⎠
2β
+
⎛ c α ln⎝ α +
2⎞ -4 β h + α ⎠
2β
> PS:=p0*h0-A; PS := p0 h0 -
c α ln(h) 2β
+
c
-4 β h + α β
2
+
⎛ c α ln⎝
-4 β h + α 2β
2
⎞ - α⎠
-
⎛ c α ln⎝ α +
1985 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=32.190; c:=10.903; h:=64.184; α := 1.083272967
β := 0.001971599990 p0 := 32.190
c := 10.903 h := 64.184
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 11.47589345
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 13833.06054
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 11766.97758
2 -4 β h + α ⎞⎠
2β
182 1986 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.197159999e-2; p0:=31.568; c:=9.750; h:=65.087; α := 1.083272967
β := 0.00197159999 p0 := 31.568
c := 9.750 h := 65.087
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 10.28596850
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 12379.48208
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 10324.81566
1987 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=37.253; c:=11.791; h:=71.578; α := 1.083272967 β := 0.001971599990 p0 := 37.253
c := 11.791 h := 71.578
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 12.65366668
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 15052.35046
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 12385.85523
183 1988 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=41.644; c:=11.438; h:=65.537; α := 1.083272967
β := 0.001971599990 p0 := 41.644
c := 11.438 h := 65.537
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 12.08069512
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 14528.15276
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 11798.92993
1989 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=44.604; c:=11.143; h:=64.184; α := 1.083272967 β := 0.001971599990 p0 := 44.604
c := 11.143 h := 64.184
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 11.72850415
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 14137.55787
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 11274.69473
184 1990 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=47.383; c:=10.981; h:=65.399; α := 1.083272967
β := 0.001971599990 p0 := 47.383
c := 10.981 h := 65.399
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 11.59390665
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 13946.08690
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 10847.28608
1991 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=51.411; c:=13.608; h:=64.982; α := 1.083272967 β := 0.001971599990 p0 := 51.411
c := 13.608 h := 64.982
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 14.35219055
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 17276.44072
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 13935.65112
185 1992 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=53.931; c:=12.456; h:=67.304; α := 1.083272967
β := 0.001971599990 p0 := 53.931
c := 12.456 h := 67.304
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 13.21623073
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 15844.48081
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 12214.70879
1993 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=60.033; c:=14.689; h:=65.947; α := 1.083272967 β := 0.001971599990 p0 := 60.033
c := 14.689 h := 65.947
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 15.53075079
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 18663.82500
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 14704.82875
186 1994 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=63.664; c:=13.582; h:=71.248; α := 1.083272967
β := 0.001971599990 p0 := 63.664
c := 13.582 h := 71.248
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 14.56268603
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 17333.92714
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 12797.99447
1995 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=72.745; c:=18.464; h:=69.502; α := 1.083272967 β := 0.001971599990 p0 := 72.745
c := 18.464 h := 69.502
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 19.70470817
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 23530.05869
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 18474.13570
187 1996 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=79.333; c:=20.937; h:=80.073; α := 1.083272967
β := 0.001971599990 p0 := 79.333
c := 20.937 h := 80.073
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 23.01433806
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 26921.25159
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 20568.82028
1997 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=84.588; c:=19.227; h:=81.419; α := 1.083272967 β := 0.001971599990 p0 := 84.588
c := 19.227 h := 81.419
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 21.21916762
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 24751.00024
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 17863.92987
188 1998 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=140.451; c:=35.286; h:=79.581; α := 1.083272967
β := 0.001971599990 p0 := 140.451
c := 35.286 h := 79.581
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 38.73102880
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 45352.43957
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 34175.20854
1999 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=221.665; c:=65.356; h:=90.149; α := 1.083272967 β := 0.001971599990 p0 := 221.665
c := 65.356 h := 90.149
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 74.12633106
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 84771.28010
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 64788.40202
189 2000 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=214.731; c:=60.044; h:=93.571; α := 1.083272967
β := 0.001971599990 p0 := 214.731
c := 60.044 h := 93.571
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 68.88825202
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 78115.62399
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 58023.02959
2001 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=266.464; c:=72.919; h:=93.290; α := 1.083272967 β := 0.001971599990 p0 := 266.464
c := 72.919 h := 93.290
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 83.57929464
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 94842.15455
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 69983.72799
190 2002 > restart; > alpha:=1.083272967; beta:=0.1971599990e-2; p0:=285.480; c:=66.483; h:=95.900; α := 1.083272967
β := 0.001971599990 p0 := 285.480
c := 66.483 h := 95.900
> AC:=2*c/(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); AC := 76.89614136
> A:=1/2*c/beta*alpha*ln(h)-c/beta*(-4*beta*h+alpha^2)^(1/2)1/2*c/beta*alpha*ln(alpha-sqrt(4*beta*h+alpha^2))+1/2*c/beta*alpha*ln(alpha+sqrt(-4*beta*h+alpha^2)); A := 86670.95331
> PS:=abs(p0*h-A); PS := 59293.42131