ANALISIS PENGARUH TEKANAN KETAATAN TERHADAP JUDMENT AUDITOR Hansiadi Yuli Hartanto dan Indra Wijaya Kusuma THE USE OF RELATIVE STRENGTH INDEX AS A TRADING STRATEGY Djoko Susanto dan Agus Sabardi PENGARUH PERUBAHAN PAJAK TERHADAP VOLUME PERDAGANGAN SAHAM DI SEKITAR HARI EX-DEVIDEND Nizarul Alim dan Ainun Na’im THE REVISION PROCESS OF THE INDONESIAN LOCAL GOVERNMENT BUDGET Mardiasmo LINGKUNGAN BELANJA DAN PERILAKU BELANJA: DITINJAU DARI MODEL PSIKOLOGI LINGKUNGAN DAN REGULASI DIRI KONSUMEN Danes Jaya Negara dan Basu Swastha Dharmmesta PROFITABILITAS JANGKA PANJANG MELALUI PENGELOLAAN HUBUNGAN PELANGGAN Primidya Kartika Miranda PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA: TINJAUAN TERHADAP PERILAKU TURNOVER KARYAWAN DAN PENSIUN DINI DI INDONESIA Heni Kusumawati FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INTENSITAS PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI M.G. Kentris Indarti
ISSN 0853-1269 - Akreditasi No. 118/DIKTI/Kep/2001
Rp7.500,-
Editorial Staff Jurnal Akuntansi Manajemen (JAM) Editor in Chief Djoko Susanto STIE YKPN Yogyakarta Managing Editor Sinta Sudarini STIE YKPN Yogyakarta
Editors Al. Haryono Jusup Universitas Gadjah Mada
Indra Wijaya Kusuma Universitas Gadjah Mada
Arief Ramelan Karseno Universitas Gadjah Mada
Jogiyanto H.M Universitas Gadjah Mada
Arief Suadi Universitas Gadjah Mada
Mardiasmo Universitas Gadjah Mada
Basu Swastha Dharmmesta Universitas Gadjah Mada
Soeratno Universitas Gadjah Mada
Djoko Susanto STIE YKPN Yogyakarta
Su’ad Husnan Universitas Gadjah Mada
Enny Pudjiastuti STIE YKPN Yogyakarta
Suwardjono Universitas Gadjah Mada
Gudono Universitas Gadjah Mada
Tandelilin Eduardus Universitas Gadjah Mada
Harsono Universitas Gadjah Mada
Zaki Baridwan Universitas Gadjah Mada
Editorial Secretary Rudy Badrudin STIE YKPN Yogyakarta Editorial Office Pusat Penelitian STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telpon (0274) 486160, 486321 Fax. (0274) 486081
DARI REDAKSI
Pembaca yang terhormat, Selamat berjumpa kembali dengan Jurnal Akuntansi Manajemen (JAM) STIE YKPN Yogyakarta Edisi Desember 2001. Apabila para pembaca memperhatikan lebih lanjut JAM kita, tampak ada beberapa perubahan tampilan di halaman sampul depan luar dan dalam. Perubahan tampilan pada sampul depan luar semata-mata untuk memperindah tampilan sampul JAM dan memudahkan pembaca dalam melihat judul artikel dan nama penulis. Perubahan tampilan di halaman sampul depan dalam dimaksudkan untuk menambah bobot artikel yang ditulis dalam JAM karena artikel-artikel yang diterbitkan dalam JAM telah melalui proses editing yang sangat ketat oleh para Editors JAM. Semua itu kami lakukan sebagai konsekuensi ilmiah dengan telah Terakreditasinya JAM berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 118/ DIKTI/ Kep/2001. Perubahan juga terjadi pada harga jual, yaitu mulai Edisi Desember 2001, JAM akan dijual dengan harga Rp7.500,- per eksemplar. Dalam JAM Edisi Desember 2001 ini, disajikan 8 artikel sebagai berikut: Analisis Pengaruh Tekanan
Ketaatan Terhadap Judment Auditor, The Use of Relative Strength Index AS a Trading Strategy, Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume Perdagangan Saham di Sekitar Hari Ex-Devidend, The Revision Process of The Indonesian Local Government Budget, Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau dari Model Psikologi Lingkungan dan Regulasi Diri Konsumen, Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan Hubungan Pelanggan, Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap Perilaku Turnover Karyawan dan Pensiun Dini di Indonesia, dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Penggunaan Sistem Informasi. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi pada penerbitan JAM Edisi Desember 2001 ini. Harapan kami mudah-mudahan artikel-artikel pada JAM tersebut dapat memberikan nilai tambah informasi khususnya bidang Akuntansi dan Manajemen bagi para pembaca. Selamat menikmati sajian kami pada edisi ini dan sampai jumpai pada edisi berikutnya dengan artikel-artikel yang lebih menarik.
Redaksi..
DAFTAR ISI
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap Judment Auditor Hansiadi Yuli Hartanto dan Indra Wijaya Kusuma 1 The Use of Relative Strength Index AS a Trading Strategy Djoko Susanto dan Agus Sabardi 16 Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume Perdagangan Saham di Sekitar Hari Ex-Devidend Nizarul Alim dan Ainun Na’im 23 The Revision Process of The Indonesian Local Government Budget Mardiasmo 35 Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau dari Model Psikologi Lingkungan dan Regulasi Diri Konsumen Danes Jaya Negara dan Basu Swastha Dharmmesta 49 Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan Hubungan Pelanggan Primidya Kartika Miranda 61 Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap Perilaku Turnover Karyawan dan Pensiun Dini di Indonesia Heni Kusumawati 73 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intensitas Penggunaan Sistem Informasi M.G. Kentris Indarti 83
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
ANALISIS PENGARUH TEKANAN KETAATAN TERHADAP JUDGMENT AUDITOR Ir. Drs. Hansiadi Yuli Hartanto, M.Si., Akt. 1) Dr. Indra Wijaya Kusuma, MBA., Akt. 2)
ABSTRACT
a significant effect on auditor attitudes.
Pressures from various interested parties are estimated to affect decision making. This study examined auditor’s susceptabilities to superiors’ inappropriate instructions. This research adopted Milgram’s (1974) obedience to authority theory as a basis to develop a normative influence perspective of obedience pressure. Participants were students who had studied subject of second auditing as a proxy of early career auditors. Three vignettes were used to elicit likelihood judgments about actions when under the various pressure treatments. Participants were assigned randomly to one of three obedience pressure treatments groups representing either no pressure, pressure from a firm manager or pressure from a firm partner. The General Attitudes Toward Institutional Authority Scale (GAIAS) were used to measure attitudes hypothesized to affect judgments. In this study gender was also hypothesized to have significant effect with auditor attitudes. The result indicated that auditors were susceptible to obedience pressure. Auditors who received inappropriate instructions from either a manager or a partner were significantly more likely to violate professional norms or standards than auditors under no pressure. However, pressure from a partner did not have a significant effect on judgment. Individual attitudes toward authority did not have a significant effect on auditors’ judgments. Gender also did not have
Keywords: Obedience pressure, authoritarianism, gender, auditor judgments, professional norms or standards.
1) 2)
PENDAHULUAN Fenomena Baramuli dan Bank Bali bisa dilihat sebagai contoh keberadaan tekanan dari kalangan atas yang mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Berdasarkan berbagai media dapat diketahui pengaruh tekanan ini pada keputusan yang diambil pihak Bank Bali. Bila dikaitkan dengan peristiwa tersebut, timbul dugaan adanya tekanan semacam itu yang berpengaruh pada berbagai pertimbangan dan keputusan yang diambil auditor. Dugaan ini diperkuat dengan temuan DeZoort dan Lord (1994) yang melihat akibat dari pengaruh tekanan atasan pada konsekuensi yang makan biaya, seperti halnya tuntutan hukum, hilangnya profesionalisme, dan hilangnya kepercayaan publik dan kredibilitas sosial. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan adanya pengaruh dari tekanan atasan pada judgment yang diambil auditor pemula. Bila terdapat perintah untuk berperilaku yang menyimpang dari norma, tekanan ketaatan (obedience pressure) seperti ini akan menghasilkan variasi pada judgment auditor dan memperbesar kemungkinan pelanggaran norma atau standar profesional. Sebelumnya beberapa peneliti lain
Ir. Drs. Hansiadi Yuli Hartanto, M.Si., Akt., Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma. Dr. Indra Wijaya Kusuma, MBA., Akt., Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
1
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
telah mencoba untuk melihat pengaruh tekanan dari atasan pada kinerja auditor dalam hal budget waktu, tenggat waktu, akuntabilitas dan justifikasi (Ashton, 1990). Eksperimen DeZoort dan Lord (1994) tersebut mempertimbangkan tekanan atasan untuk melakukan perilaku yang menyimpang karena adanya kemungkinan perubahan dalam perspektif etis sejalan dengan perubahan ranking peran dalam organisasi. Bila pada awal karirnya auditor lebih mementingkan pemenuhan tugas praktik yang dilimpahkan padanya, dengan adanya perubahan peran dalam organisasi terdapat pula perubahan perspektif etisnya. Ada kecenderungan perubahan fokus, dari yang sempit (praktik dan kualitas audit) menjadi luas yang lebih menekankan pada profitabilitas organisasi, hal seperti ini akan berpengaruh pada kemampuan auditor dalam menjaga reputasi organisasi dalam hal independensi dan obyektifitas (AICPA, 1993). Masalah yang paling banyak dihadapi auditor di dalam organisasinya adalah masalah “up or out” (McNair, 1991). Kultur organisasi memberi tekanan pada perilaku yang sesuai dengan “program” yang telah ditentukan, penyimpangan perilaku dari standar tersebut akan membuat auditor kehilangan pekerjaannya. Kesesuaian dengan standar organisasi ini akan menjadi masalah pada saat auditor pemula dihadapkan dengan pertimbangan dimensi profesionalisme seperti misalnya mengacu pada kepercayaan publik, obyektifitas, dan integritas. Dimensi obyektivitas dan integritas mengharuskan auditor, sebagai seorang profesional, untuk menjaga otonomi state of mindnya dalam setting kerja. Masalah “up or out” dan perbedaan peran serta fokus profesionalnya mendasari pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian, yaitu “Apakah auditor pemula akan mentaati perintah atasan yang akan membuatnya berperilaku menyimpang?” Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: (1) Memberikan tambahan bukti empiris pada literatur akuntansi, khususnya mengenai pengaruh tekanan ketaatan dari atasan bagi auditor pemula dalam membuat judgment, (2) memberikan tambahan gambaran tentang dinamika yang terjadi di dalam kantor akuntan, dan (3) menjadi acuan untuk penelitian di bidang akuntansi keperilakuan di masa yang akan datang.
2
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
TINJAUAN LITERATUR DAN HIPOTESIS Konsep yang mendasari penelitian ini adalah profesionalisme auditor dan kantor akuntan publik sebagai suatu organisasi. Potensi konflik terjadi ketika usaha auditor untuk melakukan tanggungjawab profesional berbenturan dengan keinginan untuk mengikuti perintah atasan dalam kantor tempat dia bekerja. Gender merupakan faktor signifikan dalam penentuan ethical conduct dan wanita lebih etis daripada pria (Ruegger dan King, 1992). Profesionalisme Auditor Bidang akuntansi telah melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan label “profesi”. Badan yang menyusun standar, proses pengujian dan lisensi, asosiasi profesional, dan kode etik merupakan bukti adanya struktur profesional untuk akuntansi dan akuntan (Windal, 1991). Profesionalisme adalah pelaksanaan atau kualitas yang merupakan karakteristik atau tanda suatu profesi atau seorang profesional (Mintz, 1992). Beberapa karakteristik profesional yang merupakan representasi konstruk adalah individualitas, kendala etikal, altruisme, judgment, skill, dan kemampuan adaptasi. Karakteristik profesi akuntansi yang penting termasuk komitmen untuk melayani, integritas, obyektivitas, dan kompetensi dalam praktik teknikal dari disiplin tersebut (DeZoort dan Lord, 1994). Obyektivitas dan integritas menyarankan bahwa akuntan sebagai profesional seharusnya memelihara otonomi states of mind dalam melakukan pekerjaan. Otonomi telah dirujuk sebagai dimensi yang penting dalam profesionalisme (Lengermann, 1971). Namun demikian, struktur profesional dan bisa disebut profesionalisme dalam disiplin akuntansi tidak mengurangi subyektifitas yang melekat dan variabilitas proses judgment. Dalam kenyataannya, profesionalisme dapat bertentangan dengan keinginan untuk sukses dalam karir (Windal, 1991). Kantor Audit Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa perilaku tidak etis dapat diakibatkan oleh struktur birokratis yang menempatkan karyawan mendapat
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
tekanan untuk melakukan tindakan menyimpang dari standar etika (Wahn, 1993). Struktur organisasi dari sebagian besar kantor akuntan publik menciptakan suatu lingkungan yang membuat tekanan pada auditor. Keputusan audit dibuat oleh anggota tim audit yang terstruktur secara hirarki (Bamber, 1983). Kenaikan peringkat suatu perusahaan dapat membawa perubahan dalam peran organisasi dan potensial untuk mengubah perspektif etika. Auditor yang sudah mendekati atau sudah mencapai kedudukan sebagai partner dalam perusahaan harus memfokuskan perhatiannya untuk menjaga dan meningkatkan kontribusi pendapatan pada perusahaan. Partner sering menilai pada jumlah jam dan uang yang dibayarkan dengan permintaan klien. Perubahan dari fokus yang sempit pada praktik audit dan kualitas audit kepada fokus yang diperluas pada profitabilitas perusahaan dapat menyebabkan terjadinya kompromi pada kemampuan auditor untuk melindungi reputasi perusahaan mengenai independensi dan obyektivitas (AICPA, 1993). Hubungan negatif terjadi antara tingkat pertimbangan moral dan kedudukan karyawan dalam perusahaan. Secara spesifik, kapasitas pertimbangan etika secara relatif tinggi pada tingkat staf dan berkurang pada tingkat manajer dan partner (Ponemon, 1990). Penelitian ini memberikan bukti bahwa posisi yang berbeda dalam hirarki perusahaan nampaknya menyebabkan kecenderungan etika yang berbeda. Di antara tekanan yang biasa dihadapi oleh akuntan adalah suatu lingkungan “up or out” yang merupakan esensi dari birokrasi akuntansi (McNair, 1991). Lingkungan “up or out” dalam kantor akuntan publik dan perbedaan dalam fokus profesional dan peran menimbulkan pertanyaan apakah auditor akan mentaati perintah atasan yang tidak sesuai dengan standar profesional dalam kantor akuntan. Konflik Peran Wolfe dan Snoek (1962) menyatakan bahwa konflik peran timbul karena adanya dua perintah yang berbeda yang diterima secara bersamaan. Pelaksanaan satu perintah saja akan mengakibatkan terabaikannya perintah yang lain. Seorang profesional dalam melaksanakan tugasnya, terutama ketika menghadapi masalah tertentu, sering menerima dua perintah sekaligus. Perintah pertama datangnya dari kode etik
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
profesi, sedangkan perintah kedua datang dari sistem yang berlaku di kantor. Bila seorang profesional bertindak sesuai dengan kode etiknya, maka ia akan merasa tidak berperan sebagai karyawan yang baik dalam perusahaan. Namun demikian bila ia bertindak sesuai dengan prosedur yang ditentukan perusahaan, maka ia akan merasa tidak bertindak secara profesional. Kondisi inilah yang disebut sebagai konflik peran, suatu konflik yang timbul karena mekanisme pengendalian birokratis organisasi tidak sesuai dengan norma, aturan, etika dan otonomi profesional. Tenaga kerja profesional termasuk internal auditor adalah mereka yang telah terlatih untuk melaksanakan tugas yang kompleks secara independen dan yang dalam memecahkan masalah yang timbul dalam pelaksanaan tugas itu menerapkan keahlian dan pengalamannya (Derber dan Schuartz, 1991). Independensi profesional dan secara umum sikap mereka dalam pelaksanaan tugas tersebut merupakan cerminan dari norma atau aturan kode etik profesinya. Norma dan aturan ini berfungsi sebagai petunjuk tentang hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bagi seorang profesional, norma dan aturan tersebut berfungsi sebagai suatu mekanisme pengendalian yang akan menentukan kualitas pekerjaannya. Ini berarti bahwa dalam diri seorang profesional terdapat norma yang akan mengatur perilaku mereka dalam proses pelaksanaan tugas mereka (Puspa dan Riyanto, 1999). Etika Profesi Teori etika telah menjadi subyek yang menarik dari sejumlah filosof (Mautz dan Sharaf, 1993). Perilaku etik merupakan pembawaan lahir yang dapat diverifikasi secara empiris dari apa yang dilakukan dan bukan dari apa yang seharusnya dilakukan menurut aturan perilaku. Aturan perilaku bisa tidak menunjukkan praktik yang sesungguhnya dilakukan. Teori yang berbeda dikembangkan oleh Locke (1976), yang menolak ide bahwa perilaku etik merupakan pembawaan lahir. Ia menyatakan bahwa perilaku etik dapat diperoleh melalui persepsi dan konsepsi atas hukum yang dipertimbangkan. Dengan demikian, moral baik atau buruk merupakan kesesuaian atau ketidaksesuaian tindakan dengan hukum yang berlaku. Teori etika tersebut di atas merupakan teori etika secara umum. Sementara itu etika profesi merupa-
3
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
kan aplikasi khusus dari teori etika umum. Aplikasi teori etika umum pada etika profesi bersumber pada tanggungjawab profesi yang diberikan oleh masyarakat (Mautz dan Sharaf, 1993). Akuntan publik merupakan profesi yang beranggotakan para praktisi maupun perusahaan yang memberi jasa dalam tiga area yang luas, meliputi auditing, pajak, dan jasa konsultasi manajemen. Dalam memberikan jasanya, akuntan profesional bersandar pada sejumlah otonomi khusus yang diberikan oleh masyarakat. Masyarakat memberi kebebasan yang luas pada profesi untuk mengatur profesinya sendiri (Loeb, 1971). Oleh karena itu, demi kelangsungan profesi dan tanggung jawab yang diberikan, akuntan profesional memikul tanggungjawab pada klien, masyarakat, kolega, dan diri sendiri (Mautz dan Sharaf, 1993). Beberapa penelitian tentang pengembangan etika telah mencoba untuk memfokuskan pada moral reasoning dalam profesi akuntan. Ponemon (1990) dan Sweeney (1995) berhasil menunjukkan bahwa tingkat pertimbangan moral auditor akan berubah seiring dengan perubahan posisi atau kedudukannya dalam kantor akuntan publik. Semakin tinggi posisi dalam kantor akuntan publik, auditor cenderung memiliki tingkat pertimbangan moral yang semakin rendah. Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian DeZoort dan Lord (1994). Penelitian yang dipakai sebagai acuan ini memberikan indikasi tentang adanya kerentanan auditor pemula terhadap tekanan ketaatan. Auditor pemula yang menerima perintah untuk melakukan perilaku yang menyimpang dari manajer audit maupun partner audit mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan pelanggaran norma atau standar profesional, bila dibandingkan dengan auditor pemula yang mengambil judgment tanpa adanya tekanan dari atasan.
yang dapat mempengaruhi perilaku orang lain dengan perintah yang diberikannya, hal ini disebabkan oleh keberadaan kekuasaan atau otoritas yang merupakan bentuk dari legitimate power1 . Paradigma ketaatan pada kekuasaan ini dikembangkan oleh Milgram (1974), yang dalam teorinya dikatakan bahwa bawahan yang mengalami tekanan ketaatan dari atasan akan mengalami perubahan psikologis dari seseorang yang berperilaku otonomis menjadi perilaku agen. Perubahan perilaku ini terjadi karena bawahan tersebut merasa menjadi agen dari sumber kekuasaan, dan dirinya terlepas dari tanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Penelitian ini memberi tekanan pada pengaruh normatif2 dari tekanan ketaatannya Milgram (1974). Perilaku yang muncul dari tekanan ketaatan tersebut dihasilkan dari mekanisme normatif, meskipun perintah yang diberikan oleh atasannya menyimpang dari norma atau standar yang ada. Dalam artikelnya, DeZoort dan Lord (1984) mengutip teori pengaruh sosial yang dikemukakan Latane (1981), “... semakin kuat sumber kekuasaan, semakin besar pengaruhnya.” DeZoort dan Lord (1994) mengoperasionalkan kekuatan sumber kekuasaan dengan menggunakan status atasan dalam kantor akuntan publik. Perilaku bawahan akan lebih mudah berubah dari perilaku individu yang mempunyai otonomi menjadi perilaku agen jika perintah datang dari atasan yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian, dapat dihipotesiskan bahwa pengaruh tekanan ketaatan akan meningkat saat jarak hirarki antara atasan dengan bawahan semakin besar.
Paradigma Milgram: Ketaatan pada Kekuasaan
Hipotesis 2: Semakin besar jarak hirarkis antara atasan dengan auditor, tekanan ketaatan yang diberikannya akan membuat judgment auditor semakin tidak tepat.
Teori ketaatan menyatakan bahwa individu yang memiliki kekuasaan merupakan suatu sumber
1)
Hipotesis 1: Auditor yang memperoleh tekanan ketaatan akan membuat judgment yang kurang tepat 3 daripada auditor yang tidak memperoleh tekanan ketaatan.
Legitimate power adalah kemampuan atasan untuk mempengaruhi bawahan yang diperoleh karena posisi khusus mereka dalam struktur hirarki organisasi. 2) Pengaruh dari tekanan ketaatan dapat digolongkan menjadi pengaruh informasional dan pengaruh normatif. Pengaruh normatif ini berdasar pada keinginan individu untuk memaksimalkan social outcome, tanpa mempertimbangkan salah atau benar. 3) Judgment yang kurang tepat adalah judgment yang melanggar norma atau standar profesional.
4
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
Autoritarianisme Autoritarianisme adalah konstruk personalitas yang dapat meningkatkan pemahaman pada perilaku ketaatan. Dalam teorinya disebutkan bahwa individu dapat dibedakan dari sikapnya terhadap kekuasaan dalam konteks tertentu. Pemakaian autoritarianisme untuk penelitian di bidang akuntansi pernah dilakukan oleh Gul dan Ray (1989) dan Harrison (1991). Konstruk ini biasanya dibagi menjadi dua kategori yaitu tinggi dan rendah. Sanford (1956) menyatakan bahwa individu dengan personalitas autoritarian tinggi mempunyai karakter sebagai orang yang lebih menyukai hubungan yang didasarkan pada kekuatan dan kekuasaan. Sebaliknya individu berautoritarian rendah memiliki kecenderungan untuk membuat judgment dengan dasar feeling dan value yang diyakini. Dalam penelitian ini diprediksikan bahwa auditor pemula yang memiliki skor autoritarian tinggi akan lebih mentaati perintah atasan, yang akan menghasilkan perilaku yang menyimpang dari standar atau norma, daripada individu dengan skor autoritarian yang rendah. Bila dihubungkan dengan level hirarki dari pemberi perintah dapat diprediksikan fenomena yang tertulis di hipotesis 4. Hipotesis 3: Di bawah tekanan ketaatan, auditor berautoritarian tinggi akan membuat judgment yang kurang tepat bila dibandingkan auditor berautoritarian rendah. Hipotesis 4: Semakin besar jarak hirarkis antara atasan dengan auditor, auditor berautoritarian tinggi akan membuat judgment yang kurang tepat bila dibandingkan auditor berautoritarian rendah.
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
bukti bahwa sifat-sifat wanita kelebihan dibanding sifatsifat pria. Nelson dan Quick (1985) berhasil menunjukkan bahwa pegawai wanita secara relatif memiliki psikologis yang baik dan stres positif (distress mental). Penelitian mengenai pengaruh gender terhadap etika menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Gilligan (1982) menjelaskan bahwa pertimbangan moral dan alasan mendasar dalam etika pada pria dan wanita terdapat perbedaan. Pengaruh gender terhadap kepatuhan kepada etika terjadi pada saat proses pengambilan keputusan. Thoma (1986) menemukan bahwa pengaruh gender sangat kecil. Beberapa penelitian berikutnya tentang etika di bidang akuntansi dan bisnis menunjukkan adanya perbedaan perkembangan moral berdasarkan gender (Borkowski dan Ugras, 1996). Penelitian tersebut berhasil menemukan adanya hubungan yang kuat dan konsisten antara pertimbangan moral dan gender, yang mengindikasikan bahwa wanita memiliki pertimbangan moral yang lebih tinggi dibanding dengan pria. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Sweeney (1995) serta Sweeney dan Robert (1997) terhadap para auditor perusahaan kecil dan besar diperoleh hasil bahwa wanita memiliki pertimbangan moral yang lebih tinggi daripada pria. Barbeau dan Brabeck (1987) juga menemukan bahwa wanita lebih sensitif pada isu-isu etik. Cohen et al. (1998) mendukung penelitian sebelumnya bahwa wanita mempunyai judgment yang berbeda terhadap etika dibanding pria. Berdasarkan hal tersebut maka diajukan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 5: Di bawah tekanan ketaatan, auditor pria akan membuat judgment yang kurang tepat bila dibandingkan auditor wanita.
Gender
METODE PENELITIAN
Pandangan terhadap gender—pria dan wanita—seringkali dihubungkan dengan sifat positif dan negatif. Pria dipandang memiliki sifat kuat dan keras, yang memiliki konotasi positif, sedangkan wanita dipandang memiliki sifat lemah lembut yang memiliki konotasi negatif di lingkungan pekerjaan (Nelson dan Julie, 1992). Dalam perkembangan selanjutnya diperoleh
Penelitian ini dirancang dalam bentuk eksperimen untuk mengetahui judgment yang diambil auditor dengan mempertimbangkan keberadaan tekanan ketaatan yang datang dari atasan, tingkat autoritarian yang dimiliki auditor pemula, dan gender. Eksperimen dalam penelitian ini tergolong eksperimen semu (Cook dan Campbell, 1979).
5
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
6
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
Partisipan
Desain Penelitian
Eksperimen ini menggunakan 280 mahasiswa fakultas ekonomi jurusan akuntansi dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia Yogya-karta, Universitas, Universitas Diponegoro Semarang, dan Universitas Negeri Surakarta yang akan dipakai sebagai proksi auditor pemula. Untuk mendapatkan gambaran yang mendekati dari kemampuan, pengalaman, dan perilaku auditor pemula, partisipan tersebut harus memenuhi persyaratan telah lulus dari mata kuliah pemeriksaan akuntan. Di samping itu partisipan dipilih yang telah duduk di semester tujuh dengan pertimbangan mereka telah menempuh hampir semua mata kuliah dan dapat berpikir komprehensif sehingga dapat memahami pemeriksaan akuntan dengan baik.
Penelitian ini menggunakan desain eksperimen 3 x 2 x 2 dengan tiga grup perlakuan (treatment) tekanan ketaatan yang dibagi menjadi dua grup autoritarian dan dua grup gender. Pembagian grup autoritarian ini berdasar skor GAIAS. Pembagian partisipan menjadi tiga grup berdasar perbedaan pada tekanan ketaatan dilakukan secara random. Salah satu merupakan grup kontrol yang tidak menerima instruksi dari pihak atasan, sedangkan dua grup lain adalah grup yang menerima tekanan dalam bentuk instruksi dari manajer audit dan grup lain menerima instruksi dari partner audit. Masing-masing grup terdiri dari kelompok pria dan wanita.
Setting Eksperimen
Instrumen Penelitian
Dalam eksperimen ini partisipan diproyeksikan sebagai auditor pemula yang akan dilihat judgmentnya dengan melalui tiga tahap berikut ini. Pada tahap pertama, partisipan diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang diambil dari GAIAS dengan enam skala Likert. Berdasarkan tahap ini akan diperoleh data tentang tingkat autoritarian masing-masing partisipan, tingkat autoritarian ini ditentukan dari skor yang diperoleh dari jawaban masing-masing partisipan atas pertanyaan yang diberikan. Tahap kedua, partisipan diminta untuk membuat judgment yang berhubungan dengan kecenderungan melanggar norma profesional atau prosedur audit yang normal. Pembuatan judgment tersebut dihubungkan dengan 2 skenario yang berbeda. Tahap ketiga, pada tahap terakhir, partisipan diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang dipakai untuk melihat keberhasilan manipulasi yang dilakukan dan juga pertanyaan mengenai informasi demografis. Pertanyaan demografis meliputi gender, umur, dan pengalaman kerja. Pengaruh tekanan ketaatan dan perilaku personal partisipan terhadap autoritas diukur dengan membandingkan judgment yang dibuat partisipan pada masing-masing kelompok perlakuan.
Tingkat autoritarian individu diukur dengan instrumen General Attitudes Toward Institutional Authority Scale (GAIAS) yang mempunyai 16 item pertanyaan. Item-item pertanyaan dari GAIAS secara lengkap disajikan dalam lampiran A. DeZoort dan Lord (1994) memberikan alasan tentang pemakaian instrumen ini sebagai pengukur autoritarian sebagai berikut: (1) instrumen ini berfokus hanya pada sikap penerimaan individu pada kekuasaan dalam konteks institusional, dan (2) belum ada instrumen lain yang khusus mengukur tingkat autoritarian profesional. Dua skenario dipakai untuk memberi deskripsi tentang situasi yang akan dihadapi oleh partisipan, skenario ini dibuat senyata dan serinci mungkin. Skenario A dan B secara lengkap disajikan dalam lampiran. Tujuan dari metode ini adalah untuk memberikan keadaan yang jelas bagi partisipan yang dapat dipakai sebagai latar belakang informasi untuk mengambil judgment. Tiga perlakuan tekanan ketaatan diberikan pada partisipan secara random. Ketiga grup tekanan ketaatan tersebut adalah grup kontrol, grup dengan tekanan dari manajer audit, dan grup dengan tekanan dari partner audit. Ketiga tekanan ketaatan ini dipakai untuk mendapatkan informasi mengenai judgment yang akan diambil oleh partisipan atas dua pertanyaan yang
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
diberikan untuk masing-masing skenario, judgment ini berkisar antara “sangat tidak mungkin” sampai dengan “sangat mungkin” yang dibagi dalam enam skala Likert.
HASIL EMPIRIS
Analisis Data
Jumlah partisipan yang menjadi subyek eksperimen sebesar 280, tetapi terdapat data yang diperoleh dari 10 partisipan tidak valid sehingga data yang diolah berasal dari 270 partisipan. Rincian partisipan berdasarkan kelompok perlakuan tekanan ketaatan dan tingkat autoritarianisme dapat dilihat pada tabel 1. Rincian partisipan berdasarkan kelompok perlakuan tekanan ketaatan dan gender dapat dilihat pada tabel 2. Teori mengenai pengaruh sikap individu terhadap autoritas hanya terjadi pada individu yang mengalami tekanan dari atasan. Dengan demikian, uji hipotesis 3 dan hipotesis 4 berkaitan dengan sikap partisipan terhadap wewenang hanya menggunakan data dari kelompok perlakuan tekanan manajer dan patner audit. Rata-rata judgment dan deviasi standar kelompok perlakuan tanpa tekanan, tekanan manajer, dan tekanan partner berdasarkan partisipan pria dan wanita serta berdasarkan tingkat autoritarian dapat dilihat pada tabel 3.
Dengan pertimbangan adanya proses terjemahan instrumen dan perbedaan tempat serta sampel yang digunakan, maka dilakukan pilot test pada instrumen yang dipakai. Partisipan pilot test adalah mahasiswa Universitas Sanata Dharma. Partisipan ini tidak dipakai sebagai responden pada pelaksanaan eksperimen untuk menghindari bias. Pilot test dilakukan sebanyak dua kali. Pada pilot test pertama yang dilengkapi dengan saran dari responden tentang pemahaman terhadap instrumen, peneliti menerima masukan dari responden. Masukan tersebut digunakan untuk memperbaiki kuesioner pada pilot test kedua. Berdasarkan hasil pilot test kedua, diperoleh hasil bahwa partisipan dapat mempunyai pemahaman yang lebih baik. Uji ANOVA dipakai melakukan pengujian judgment untuk tiap skenario secara independen.
Data Partisipan
Tabel 1 Partisipan Berdasarkan Kelompok Perlakuan Tekanan Ketaatan dan Tingkat Autoritarianisme Kelompok Perlakuan Autoritarianisme
Kelompok Perlakuan Tekanan Ketaatan
Total
Kontrol: Tanpa Tekanan
Tekanan Manajer Audit
Tekanan Partner Audit
Kelompok Autoritarianisme Rendah
68
62
58
188
Kelompok Autoritarianisme Tinggi
25
31
26
82
Total
93
93
84
270
7
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
Tabel 2. Partisipan Berdasarkan Kelompok Perlakuan Tekanan Ketaatan dan Gender Kelompok Perlakuan Tekanan Ketaatan Gender
Total
Kontrol: Tanpa Tekanan
Tekanan Manajer Audit
Tekanan Partner Audit
Pria Wanita
35 58
37 56
31 53
103 167
Total
93
93
84
270
Tabel 3 Rata-rata Judgment (Standar Deviasi) Kelompok Autoritarian dan Gender dalam Perlakuan Tanpa Tekanan, Tekanan Manajer, dan Tekanan Partner A. Skenario A Pria
Tanpa Tekanan
Tekanan Manajer
Tekanan Partner
Total
Autr. Rendah
4,40 (0,96)
3,84 (1,26)
3,84 (1,26)
4,02 (1,18)
Autr. Tinggi
4,54 (1,18)
4,50 (1,00)
3,67 (1,44)
4,25 (1,25)
Total
4,46 (1,04)
4,05 (1,21)
3,77 (1,31)
4,11 (1,21)
Tanpa Tekanan
Tekanan Manajer
Tekanan Partner
Total
Autr. Rendah
4,68 (0,89)
4,19 (1,00)
3,92 (1,16)
4,29 (1,06)
Autr. Tinggi
4,91 (0,80)
4,05 (1,18)
4,57 (0,18)
4,43 (1,03)
Total
4,72 (0,87)
4,14 (1,05)
4,09 (1,11)
4,33 (1,05)
Tanpa Tekanan
Tekanan Manajer
Tekanan Partner
Total
Autr. Rendah
4,33 (1,00)
3,52 (1,14)
3,95 (1,20)
3,91 (1,15)
Autr. Tinggi
4,89 (0,86)
4,08 (1,20)
3,58 (1,24)
4,22 (1,21)
Total
4,56 (0,98)
3,70 (1,18)
3,81 (1,21)
4,02 (1,18)
Tanpa Tekanan
Tekanan Manajer
Tekanan Partner
Total
Autr. Rendah
4,37 (1,12)
4,12 (1,03)
3,50 (1,21)
4,02 (1,17)
Autr. Tinggi
4,45 (0,96)
3,82 (1,23)
3,93 (0,12)
4,01 (1,14)
Total
4,39 (1,08)
4,02 (1,10)
3,61 (1,19)
4,02 (1,16)
Wanita
B. Skenario B Pria
Wanita
8
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap Judgment Partisipan Hipotesis 1 pada penelitian ini menyatakan bahwa instruksi dari atasan dalam kantor audit akan memberikan tekanan ketaatan atas auditor bawahan yang mempengaruhi judgment bawahan, meskipun instruksi tersebut jelas tidak tepat. Hasil tes statistik dari hipotesis ini disajikan dalam kolom kelompok perlakuan kontrol, tekanan manajer, dan tekanan partner pada tabel 4. Uji perlakuan tekanan ketaatan skenario A mengindikasikan bahwa pengaruh tekanan tersebut sangat signifikan (F = 6,282; p = 0,002). Pada tabel 5 dapat dilihat uji post hoc yang mengindikasikan bahwa means dari kelompok kontrol berbeda secara signifikan terhadap kelompok tekanan manajer audit (p = 0,002) maupun kelompok tekanan partner audit (p = 0,000). Uji perlakuan tekanan ketaatan skenario B mengindikasikan bahwa pengaruh tekanan tersebut sangat signifikan (F = 9,353; p = 0,000). Pada tabel 6 dapat dilihat uji post hoc yang mengindikasikan bahwa means dari kelompok kontrol berbeda secara signifikan terhadap kelompok tekanan manajer audit (p = 0,002) maupun kelompok tekanan partner audit (p = 0,000). Uji hipotesis 2 menyatakan bahwa tekanan partner akan lebih kuat daripada tekanan manajer. Pada tabel 4 bagian A dapat dilihat hasil uji statistik skenario A yang menunjukkan bahwa tekanan partner tidak
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
berbeda secara signifikan dengan tekanan manajer (F = 0,598; p = 0,440). Hal yang sama juga terjadi pada uji statistik skenario B (tabel 4 bagian B) yang mengindikasikan bahwa besarnya jarak hirarkis antara atasan dengan auditor ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap judgment partisipan yang mendapat tekanan (F = 0,649; p = 0,422). Pengaruh Autoritarianisme Terhadap Sikap Partisipan Hipotesis 3 memprediksi bahwa partisipan di bawah tekanan ketaatan mungkin akan lebih mentaati perintah atasan jika partisipan berada dalam kelompok autoritarian tinggi dibandingkan dengan kelompok autoritarian rendah. Hasil uji statistik pengaruh autoritarianisme pada kelompok perlakuan tekanan manajer dan partner disajikan pada tabel 4. Ternyata hasil uji statistik tidak mendukung hipotesis tersebut, baik untuk skenario A (F = 1,730; p = 0,190) maupun skenario B (F = 0,281; p = 0,597). Selanjutnya pada hipotesis 4 dinyatakan bahwa sesuai teori, semakin besar jarak hirarkis antara atasan dengan auditor, auditor berautoritarian tinggi akan membuat judgment yang kurang tepat dibandingkan dengan auditor berautoritarian rendah. Hasil uji statistik dapat dilihat pada tabel 4. Baik untuk skenario A (F = 0,003; p = 0,955) maupun skenario B (F = 0,131; p = 0,718) menunjukkan bahwa antara tekanan ketaatan
Tabel 4 Hasil Pengujian Pengaruh Perlakuan Tekanan dan Interaksi Antara Sikap Partisipan Terhadap Autoritas, Tekanan Ketaatan, dan Gender. A. Analysis of Variance Skenario A Kelompok Perlakuan Tekanan Ketaatan Kontrol, Manajer, dan Partner Sumber Variasi Tekanan Ketaatan (TK) Autoritarianisme (A) Gender (G) TK X A TK X G AXG TK X A X G
Kelompok Perlakuan Tekanan Manajer dan Partner
F
p
F
p
6,282 1,740 3,214 0,132 1,261 0,117 2,768
0,002 0,188 0,074 0,876 0,285 0,732 0,065
0,598 1,730 1,403 0,003 2,070 0,001 4,694
0,440 0,190 0,238 0,955 0,152 0,979 0,032
9
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
B. Analysis of Variance Skenario B Kelompok Perlakuan Tekanan Ketaatan Kontrol, Manajer, dan Partner Sumber Variasi Tekanan Ketaatan (TK) Autoritarianisme (A) Gender (G) TK X A TK X G AXG TK X A X G
Kelompok Perlakuan Tekanan Manajer dan Partner
F
p
F
p
9,353 1,210 0,028 0,247 0,583 0,222 2,453
0,000 0,272 0,866 0,781 0,559 0,638 0,088
0,649 0,281 0,122 0,131 0,379 0,000 4,256
0,422 0,597 0,728 0,718 0,539 0,993 0,041
Tabel 5 Perbedaan Rata-rata Antar Kelompok Perlakuan Skenario A Berdasarkan Uji Post-Hoc Perlakuan
p Value
Kontrol (Tanpa Tekanan) dibandingkan Tekanan Manajer Audit Kontrol (Tanpa Tekanan) dibandingkan Tekanan Partner Audit Tekanan Manajer Audit dibandingkan Tekanan Partner Audit
p = 0,002 p = 0,000 p = 0,833
Tabel 6 Perbedaan Rata-rata Antar Kelompok Perlakuan Skenario B Berdasarkan Uji Post-Hoc Perlakuan
p Value
Kontrol (Tanpa Tekanan) dibandingkan Tekanan Manajer Audit Kontrol (Tanpa Tekanan) dibandingkan Tekanan Partner Audit Tekanan Manajer Audit dibandingkan Tekanan Partner Audit
10
p = 0,002 p = 0,000 p = 0,557
(TK) autoritarianime (A) tidak ada interaksi. Dengan kata lain, besarnya jarak hirarkis antara atasan dan bawahan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap judgment yang diambil oleh auditor yang memiliki autoritarian tinggi dan auditor berautoritarian rendah.
perlakuan tekanan manajer dan partner disajikan pada tabel 4. Ternyata hasil uji statistik tidak mendukung hipotesis tersebut, baik untuk skenario A (F = 1,403; p = 0,238) maupun skenario B (F = 0,122; p = 0,728).
Pengaruh Gender Terhadap Sikap Partisipan
DISKUSI DAN SIMPULAN
Hipotesis 5 memprediksi bahwa di bawah tekanan ketaatan, auditor pria akan membuat judgment yang kurang tepat dibandingkan dengan auditor wanita. Hasil uji statistik pengaruh gender pada kelompok
Sesuai dengan penelitian sebelumnya (DeZoort dan Lord, 1994), hasil penelitian menunjukkan bahwa auditor yang memperoleh perlakuan tekanan ketaatan dalam bentuk perintah yang tidak tepat dari atasan,
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
baik dari manajer maupun partner secara signifikan melakukan tindakan yang menyimpang dari standar profesional dibandingkan dengan auditor yang tidak mendapat perlakuan tekanan ketaatan. Namun demikian, pengaruh tekanan ketaatan dari partner audit tidak berbeda secara signifikan dengan pengaruh dari manajer. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Fenomena ini disebabkan partisipan sebagai auditor pemula belum dapat membedakan antara tekanan partner atau tekanan manajer. Mereka hanya terpengaruh oleh adanya tekanan dari atasan. Autoritarianisme ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap judgment auditor yang mendapat tekanan ketaatan. Hal ini mungkin disebabkan oleh instrumen yang dipakai untuk mengukur tingkat autoritarian. GAIAS—instrumen yang dipakai dalam penelitian ini—mengukur autoritarian dalam bentuk yang berhubungan dengan hukum, tentara, polisi, dan guru. Skala ini tidak didisain untuk mengukur secara spesifik sikap individu yang berhubungan dengan organisasi profesional seperti akuntan. Dengan demikian, skala baru mungkin diperlukan untuk mengukur tingkat autoritarian pada sikap individu dengan profesi tertentu. Selanjutnya dalam masa mendatang perlu diteliti apakah sikap autoritarian auditor tidak cukup kuat mempengaruhi tekanan ketaatan. Berdasarkan penelitian ini, gender tidak mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap judgment auditor yang mendapat tekanan. Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Gilligan (1982) yang berhasil mengindikasikan bahwa pertimbangan moral dan alasan mendasar dalam etika pada pria dan wanita berbeda. Senada dengan Gilligan, Ruegger dan King (1992) mengindikasikan bahwa wanita memiliki pertimbangan moral yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Namun demikian, penelitian ini sesuai dengan yang hasil penelitian Thoma (1986) yang menemukan bahwa pengaruh gender sangat kecil. Sebagai auditor pemula, baik pria maupun wanita, tentu tidak memiliki keberanian untuk tidak mentaati perintah atasan walaupun instruksi tersebut tidak tepat. Auditor pemula tentunya sedikit yang mau mengambil resiko untuk mencari pekerjaan lain sebagai konsekuensi menentang perintah atasan yang tidak tepat. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil simpulan sebagai berikut: (1) tekanan
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
ketaatan dari atasan berpengaruh secara signifikan terhadap judgment auditor., (2) tekanan ketaatan manajer tidak berbeda secara signifikan dengan tekanan ketaatan partner terhadap judgment auditor, (3) autoritarianisme tidak berpengaruh secara signifikan terhadap judgment auditor yang mendapat tekanan ketaatan, dan (4) gender tidak berpengaruh secara signifikan terhadap judgment auditor yang mendapat tekanan ketaatan.
KETERBATASAN DAN IMPIKASI PENELITIAN Interpretasi hasil penelitian ini mengacu pada beberapa keterbatasan sebagai berikut: (1) partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah Audit II dan sudah hampir menyelesaikan seluruh mata kuliah sebagai proksi auditor pemula. Para mahasiswa ini mungkin belum dapat merasakan suasana kerja yang sesungguhnya. Hal ini nampak dalam hasil pengujian antara rata-rata kelompok perlakuan tekanan manajer yang tidak berbeda secara signifikan dengan perlakuan tekanan partner terhadap judgment auditor. Namun demikian, para mahasiswa tersebut ternyata dapat merasakan adanya perbedaaan antara yang mendapat tekanan ketaatan dan tidak mendapat tekanan ketaatan, (2) Skenario yang disajikan dalam penelitian ini sangat pendek. Dalam praktik, tekanan untuk mentaati perintah atasan mungkin lebih besar. Dalam penelitian selanjutnya dapat diperbaiki dengan membuat skenario yang lebih panjang sehingga lebih komprehensif, (3) Skenario dalam penelitian ini tidak disertai alternatif yang bisa dilakukan oleh auditor, yang dapat dipakai untuk mendukung pengambilan keputusan. Misal kesempatan diskusi dengan atasan atau rekan kerja untuk dapat memahami justifikasi perintah atasan tersebut, dan (4) skala autoritarianisme—dalam penelitian ini memakai GAIAS— mungkin tidak dapat menghasilkan ukuran yang tepat dalam setting profesional seperti dalam penelitian ini. Sampai saat ini belum ada instrumen untuk mengukur tingkat autoritarian yang berkaitan dengan profesi tertentu. Hasil penelitian ini mempunyai implikasi dalam beberapa hal, yaitu sebagai berikut: (1) Berdasarkan hasil penelitian ini maka kantor akuntan publik dapat
11
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
memberikan pelatihan kepada para auditor baik yang pemula maupun senior untuk mendapatkan kesepahaman perintah yang tidak bertentangan dengan norma atau standar profesional, (2) Ikatan Akuntan Indonesa dapat melakukan antisipasi terhadap tindakan auditor yang menyimpang dari standar profesional, misalnya dengan menerbitkan aturan yang memuat sanksi yang tegas terhadap auditor yang melakukan penyimpangan tersebut. Tentunya untuk kasus tertentu,
12
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
bobot sanksi yang diberikan kepada partner, manajer, dan auditor pemula tidak sama. Untuk kasus yang sama, partner harus diberi sanksi yang paling berat kemudian diikuti manajer dan auditor pemula. Hal ini sangat penting dalam memperbaik citra akuntan yang kurang baik dan sebagai upaya penegakan hukum, dan (3) Kantor akuntan publik dalam melakukan rekruitmen staf auditor hendaknya tidak membedakan antara pria dan wanita. Dalam hal ini yang penting adalah kompetensi dan integritas profesional auditor yang bersangkutan.
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
DAFTAR PUSTAKA American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). 1993. Commission on Auditors’ Responsibilities: Report, Conclusions and Recommendations. New York: AICPA. Ashton, R. 1990. Pressure and performance in accounting decision settings: Paradoxal effects of incentives, feedback and justification. Journal of Accounting Research 28: 148-140. Bamber, M. 1983. Expert judgment in the audit team: A source reliability approach. Journal of Accounting Research (Autumn): 396-412. Barbeau, M.J., dan Brabeck, 1987. Integrating care and justice issues in professional moral education: A gender perspective. Journal of Moral Education 16: 189202. Borkowski, S.C., dan Y.J. Ugras, 1996. Business students and professional ethics: A meta analysis of divergent research. Paper Presented at the American Accounting Association Annual Meting, Chicago IL. Cohen, J.R., L.W. Paint, dan D.J. Sharp. 1998. The effect of gender and academic discipline diversity on the ethical intentions and ethical orientation of potential public accounting recruits. Accounting Horizons. vol. 12. no. 3. Cook, D. T., dan D.T. Campbell. 1979. QuasiExperimentation: Design & Analysis Issues for Field Setting. Boston: Houghton Mifflin Co. 1979.
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
Derber C., dan W.A. Schuartz, 1991. New mandarins or new proletariat: Professional power at work. Research in the Sociology of Organizations. 71-96. DeZoort, F. T., dan Alan T. Lord. 1994. An Investigation of Obedience Pressure Effects on Auditors’ Judgments. Behavioral Research in Accounting. 6: 1-30. Gilligan, C. 1982. In A Different Voice. Boston. MA: Harvard University. Gul, F. A., dan J. J. Ray. 1989. Pitfalls in using the F scale to measure authorianism in accounting research. Behavioral Research in Accounting. 1: 189-192. Harrison, G. L. 1991. The F scale as a measure of authoritarianism in accounting research. Behavioral Research in Accounting 3: 13-24. Latane, B. 1981. The psychology of social impact. American Psychologist. 36: 343356. Lengermann, J.J. 1971. Supposed and actual differences in professional autonomy among CPA’s as related to type of work organization and size of firm. The Accounting Review (Oktober): 665-675. Lock, E.A. 1976. What is Job Satisfication? Organizational Behavior and Human Performance, 4: 1257-1286. Loeb, Stephen E. 1971. A survey of ethical behavior in the accounting profession. Journal of Accounting Research, (Autumn): 287-306. Mautz, R.K., dan H.A. Sharaf. 1993. The Philosophy of Auditing. American Accounting Association. 7th edition.
13
Jam STIE YKPN - Hansiadi YH. dan Indra Wijaya
McNair, C. J. 1991. Proper compromises: The management control dilemma in public accounting and its impact on auditor behavior. Accounting, Organization, and Society 16: 635-653. Milgram, S. 1974. Obedience to Authority. New York: Harper and Row. Mintz, S.M. 1992. Cases in Accounting Ethics and Professioanlism. Second Edition. New York: McGrow-Hill Inc. Nelson, D.C., dan A. Julie. 1992. Metaphor: A multidimensional problem. In Metaphor and Thought, edited by Andrew Ortay, Cambridge University Press. ______, dan J.C. Quick. 1985. Professional woman: Are distress and disease inevitable? Journal of Management Review 10: 206-218. Ponemon, L.A. 1990. Ethical judgments in accounting: A cognitive critical perspective in development perspective. Critical PerspectiveAccounting 1: 191-215. Puspa, Dwi Fitri, dan B. Riyanto, 1999. Tipe lingkungan pengendalian organisasi, orientasi profesional, konflik peran, kepuasan kerja, dan kinerja: Suatu penelitian empiris. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia (Januari): 117-134.
14
Analisis Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap ......
Ruegger, D., dan E.W. King. 1992. A study of the effect of age and gender upon student business ethics. Journal of Business Ethics 11: 205-217 Sanford, N. 1956. The approach of the athoritarian personality. In Psychology of Personality. Edited by J.L. McCary. New York: Logos Press. Sweeney, J. 1995. The moral expertise of auditor: An exploratory analysis. Research in Accounting Ethics 1: 213-234. _______, dan R. Robert. 1997. Cognitive moral development and auditor independence. Accounting, Organization, and Society, 22: 337-352. Thoma, 1986. Estimating gender differences in the comprehenship and preference of moral issues. Development review 6: 165-180. Wahn, J. 1993. Organizational dependence and likelihood of complying with organizational pressures to behave unethically. Journal of Business Ethics 12: 245-251. Windal, F.W. 1991. Ethics and the Accountants: Text and Cases. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Wolfe, D.M., dan Snoek. 1962. A study of tensions and Adjustment under role conflict. Journal of Social Issue. (July): 102121.
Jam STIE YKPN - Djoko Susanto dan Agus Sabardi
The Use of Relative Strength Index AS A Trading Strategy
THE USE OF RELATIVE STRENGTH INDEX AS ANALISIS PENGARUH A TRADING TEKANAN STRATEGYKETAATAN TERHADAP JUDGMENT AUDITOR 1) Dr.Hansiadi Djoko Susanto, M.S.A., Akt. 1) Yuli Hartanto Drs. Agus Sabardi, M.M. 2) 2) Indra Wijaya Kusuma
ABSTRAKSI Para pelaku di pasar modal telah menggunakan berbagai indicator untuk memperkuat strategi transaksi mereka. Salah satu indicator yang banyak digunakan adalah Relative Strength Index (RSI). RSI diperkenalkan oleh J Welles Wilder, Jr dan harus digunakan bersama dengan grafik pergerakan harga saham. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan apakah sinyal yang dihasilkan oleh RSI akurat dan dapat meramalkan pergerakan harga saham perdagangan mingu-minggu berikutnya. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data harga saham perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan keakuratan sinyal RSI, sebagai indikator yang sangat kuat untuk mengidentifikasikan sinyal membeli dan menjual saham di Bursa Efek Jakarta. Studi ini juga menunjukkan bahwa penelitian sederhana berdasarkan pada analisis teknikal ternyata sangat bermanfaat di Bursa Efek Jakarta. Keywords: relative strength index, indicator, technical analysis, signals.
INTRODUCTION Research based on technical analysis has rarely been conducted in Indonesia, while Jakarta Stock Exchange
1) 2)
is suitable with technical analysis. Reksohadiprojo (1996) said that fundamental analysis is used in strong efficient market stock, technical analysis is used in semi strong efficient stock market, and random walk is used in weak efficient stock market. Individual and institutional investors expect the highest return on their investments. The investors or their analysts need a suitable method to evaluate the probability of the risk and return related to their investments. In addition, they also need a method to identify the best timing to buy or sell shares, to trade future contracts, etc? Market participants use charts and analytical tools to identify changes in supply and demand for traded financial instruments to help them forecasting prices, formulating trading strategies, and making decisions for all transactions in the markets. Most of the market analyses fall into two categories, fundamental analysis and technical analysis. Analysts adopt the tools and techniques of both analyses in practice. Fundamental analysis is a method of forecasting the future price movements of a financial instrument based on economic, political, environmental and other relevant factors and statistics that will affect the basic supply and demand of whatever underlies the financial instrument. Technical analysis is a method of predicting price movements and future market trends by studying charts of past market actions. The construction of charts is relatively straightforward, but the process of identifying patterns is much more complicated. The consequence is exclusive pre-
Dr. Djoko Susanto, M.S.A., Akt., Dosen STIE YKPN Yogyakarta. Drs. Agus Sabardi, M.M., Dosen STIE YKPN Yogyakarta.
15
Jam STIE YKPN - Djoko Susanto dan Agus Sabardi
dictions based on price movement charts are not completely reliable. The questions are: what can market players do to improve the reliability of their predictions of future market trends? what kind of tools and techniques are available? Market players use variety of indicators to confirm or reinforce their trading strategies derived from charting. Several indicators are now in use; some are easy to use and others involve complex mathematical calculations that have been developed by experts. There are two basic types of indicators, confirmation or divergence indicators and momentum indicators or oscillators. Confirmation indicators are based on, or associated with, the primary price movement chart. Oscillators measure the rate of change, or velocity, of directional price movements and are used for signalling of short-term turning points. Momentum indicators or oscillators include relative strength index (RSI), stochastic oscillators, and moving average convergence divergence (MACD). However, this research only discusses relative strength index. Relative Strength Index Relative Strength Index (RSI) is a price momentum indicator developed by J. Welles Wilder, Jr. (Meyers 1992). RSI is used in conjunction with price movement charts but should not be used together with other indicators of the same type. The RSI, commonly known as the relativestrength indicator, is a momentum series and should in no way be confused with the principle of relative strength, in which one series are divided by another. It is a front-weighted price velocity ratio for a specific security relative to itself and is therefore relative to its past performance (Pring 1999). RSI was designed to deal with three flaws often associated with oscillator. First, at time, oscillators move erratically due to the drop off old data in their calculation. For example, if one has a 10-day oscillators and 10 days ago the price of the security moved up or down dramatically, the current oscillator reading will be a misleading low or high reading. A second problem relates to the vertical scale for an oscillator. How high or low should the oscillator be to signal buying or selling opportunities? The third and final problem is the need to keep massive amounts of data for oscillator calcula-
16
The Use of Relative Strength Index AS A Trading Strategy
tions. RSI presents a solution to these problems. RSI values lie in the range 0 to 100 which may be used to indicate the following: o Overbought/oversold condition. A line is drawn at 70/80, above which the instrument is conventionally called “overbought” and is a signal for caution in buying at that level. Below a line at 30/20, the instrument is called “oversold” and is a signal to think carefully before selling. o Tops and bottoms A “top” may be signified when a RSI peak is seen through the 80/70 levels and followed by a downturn. Similarly a RSI trough through the 30/20 levels followed by an up-turn may signify a “bottom.” The RSI analysis provides only part of the evidence needed to maintain market confidence that a top/bottom has been formed. o Pattern Typical patterns such as head and shoulders, tops/bottoms and pennants may be more obvious in the RSI chart than in the price chart. o Divergence Divergence between price action and RSI is often considered as a strong indication of a market turning point. Thus in an up-trend, price action makes new highs compared with the previous peak but the RSI indicator fails to reach and surpass its equivalent previous high point. Calculating the index The RSI measures the ratio of average prices and normalises the calculations so the index values lie between 0 and 100. The index may be calculated using the following basic algorithm (Reuter 1999):
RSI = 100 −
100 1 + RS
(1)
Where: RS =
Sum of the ‘up closes’ in n days ————————————————— Sum of the ‘down closes’ in the same n days
n = number of periods used in the calculation
(2)
Jam STIE YKPN - Djoko Susanto dan Agus Sabardi
The Use of Relative Strength Index AS A Trading Strategy
“Up close” is the price change between consecutive periods where the close has moved higher. “Down close” is the price change between consecutive periods where the close has moved lower. Wilder originally used n = 14 but other periods in common use are 9 and 21 days. The older conventional formula to calculate RSI looks similar to the algorithm above but uses Exponential Moving Average, which serve to smooth the resultant line, and is calculated as follows:
Average of the ‘up close’ in n days RS = ——————————————————— Average of the ‘down close’ in the same n days
(3)
Let’s use 14 days as an example. The value of “average of the up close” is calculated by adding the total points gained on up days during the last 14 days
and divide by 14. The “average down close” value is calculated by adding the total points lost on down days during the last 14 days and divided by 14. The RS value is the division of the average up close value and the average down close value. The first day’s RSI value is arrived by inserting the RS value into formula. Updating RSI value each period is straightforward. Simply multiply the previous up and down average values by 13, add the latest day’s gain or loss to the up or down average, and multiply the total by 14. Insert the new RS value into the RSI formula to update the RSI. In general, the greater the number of periods used, the more stable RSI will be, and fewer signals are generated. Short-term RSI tends to produce more signals than Longer-term RSI, and include more false signals. The following Table-1 shows a complete example of RSI calculation.
Table 1. An example of RSI calculation.
17
Jam STIE YKPN - Djoko Susanto dan Agus Sabardi
The Use of Relative Strength Index AS A Trading Strategy
Sourche: Meyers (1992): page 184-185
Research Methodology The purpose of the research is to investigate the applicability of RSI indicator in a market such as the Jakarta Stock Exchange. Specifically, the research is aiming at the ability of signal created by RSI to guide
18
the direction of stock transactions in Jakarta Stock Exchange. Thirty-three companies listed in the Jakarta Stock Exchange are selected as sample of the study. The sample is drawn based on purposive sampling
Jam STIE YKPN - Djoko Susanto dan Agus Sabardi
method. Only company with active trading frequency and representing each existing industry is chosen in the sample. The data used in the research is daily closing price of the stocks in Jakarta stock Exchange. The closing price data is reported in the Real Time Information’s data based for the period of 6 months, October 2000 to March 2001. Data Analysis Procedure 1. Calculate RSI and draw charts (bottom) using formula (1), (3), with n = 14. 2. Using Real Time Information program, draw closing price movement chart (up). 3. Draw a vertical line from points above 70/80 on RSI chart to the price movement line to identify selling signal points, identify as S symbol. 4. Draw a vertical line from points below 30/20 on RSI chart to the price movement line to identify buying signal points, identify as B symbol.
The Use of Relative Strength Index AS A Trading Strategy
5.
6.
When point B appears below the price movement line during the period next to the point, the buying signal is proved correctly. When point S appears above the price movement line during the period next to the point, the selling signal is proved correctly.
Result Of The Study The buying and selling signals derived from RSI line of every stock were investigated during the examination period. All buying signals (B) were found below the price movement line chart during the period next to B points. These phenomena indicate all B points represent correctly the buying signals. All selling signals (S) were found above the price movement line during the period next to S points. The charts also suggest all S points represent correctly the selling signals. The following charts show the results of charts analysis.
Figure 1: Chart Analysis for Multipolar Case
19
Jam STIE YKPN - Djoko Susanto dan Agus Sabardi
The first S point (selling signal) appears at Rp450 in the mid of October 2000. The next price movement line indicate a downturn which indicates the decrease of prices. The first B point (buying signal) appears at Rp375 in the early November 2000. The next price movement line indicate an upturn which represents the increase of prices. The second S point appears at Rp400 in the early December 2000, and followed by the downturn movement of prices and reach to the second B point at Rp325 in early January 2001. The last S point occurrs at Rp375 in early February 2001 after an upward movement of prices and then followed by a downturn of the price movement line.
The Use of Relative Strength Index AS A Trading Strategy
The first B point (buying signal) appears at Rp1.500 in the early October 2000. The next price movement line indicate an upturn which represents the increase of prices. The first S point (selling signal) appears at Rp1.655 at the end of October 2000. The next price movement line indicate a downturn which indicates the decrease of prices. The second B point appears at Rp1.605 in the mid of January 2001, and followed by an upward movement of prices until it reaches the second S point at Rp1.805 in early February 2001. The last B point at Rp1.725 is followed by a upward price movement line before it reaches the last S point at Rp1.875 in early March 2001.
Figure 2: Chart Analysis for BCA Case
20
Jam STIE YKPN - Djoko Susanto dan Agus Sabardi
Conclusion And Discussion The analyses based on RSI charts shows that buying signals always occurr below line at 30/20, and followed by an upward price movement line. Meanwhile, the selling signals always appear above line at 70/80 and followed by a downturn price movement line. The result suggests RSI is a powerful method to produce signals that can help investors to determine their trading strategies. However, it should be kept in mind that using a single indicator in isolation would be a mistake. Studies indicated that a suitable indicator must
The Use of Relative Strength Index AS A Trading Strategy
be considered for each market instrument. Past studies also suggest that there is no a single method which can precisely predict price movement over time. The most successful trader is always who can wisely enter and exit from the market at the right timing. Nevertheles, it is important to have the ability to combine many indicators in order to identify the direction of prices and to define tactics within a trading strategy. The study is limited by the data used, which consists only the market data for six month period of time. Further study with longer period of time will hopefully provide a better generalization of the result.
21
Jam STIE YKPN - Djoko Susanto dan Agus Sabardi
REFERENCES Colby, Robert M., and Thomas A. Meyers. 1988. The Encyclopedia of Technical Market Indicators. Homewood, IL: Dow Jones Irwin.
Sabardi, Agus, and Miranda, Primidya K. 2000. Analisis Teknikal di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Manajemen STIE YKPN (February).
Edwards, Robert D., and John Magee. 1981. Technical Analysis of Stock Trends. Boston, MA: John Magee, Inc.
Sabardi, Agus. 2000. Analisis Moving Average Convergence Divergence Untuk Menentukan sinyal membeli dan menjual di BEJ. Jurnal Akuntansi dan Manajemen STIE YKPN (December).
Husnan, Suad. 1991. Efisiensi Pasar Modal Indonesia. Jurnal Ekonomi Indonesia, (April).
Wilder, J. Welles. (1978). New Concepts in Technical Trading Systems. Greensboro, NC: Trend Research.
Machfoedz, Mas’ud. 1998. The usefulness of Financial Ratios in Indonesia, Accountancy Development in Indonesia, Publication, no.20, Tim Koordinasi Pengembangan Akuntansi, Jakarta, Indonesia. Meyers, Thomas A. 1992. The Technical Analysis Course. Tokyo: Toppan Co. Ltd. Murphy, John J. 1986. Technical Analysis of the Futures Markets. New York: New York Institute of Finance. Pring, Martin J. 1985. Technical Analysis Explained. New York: McGraw-Hill. “——————“. 1999. Introduction to Technical Analysis, International Edition, Singapore: McGraw-Hill. Reksohadiprodjo, Sukanto. 1996. Peranan Pasar Modal Dalam PJPT 11, Edisi Revisi, Yogya: Program Magister Manajemen, UGM. Reuter Limited. 1999. An Introduction to Technical Analysis, Singapore: John Wiley & Sons Pte. Ltd.
22
The Use of Relative Strength Index AS A Trading Strategy
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
PENGARUH PERUBAHAN PAJAK TERHADAP ANALISIS PENGARUH TEKANAN KETAATAN VOLUME PERDAGANGAN SAHAM TERHADAP AUDITOR DI SEKITARJUDGMENT HARI EX-DIVIDEND Hansiadi Yuli Hartanto1) 1) M. Nizarul Alim, SE., M.Si., Akt. Indra Wijaya Kusuma2) Dr. Ainun Na’im, M.B.A., Akt. 2)
ABSTRAKSI Perubahan pajak merupakan hal yang penting bagi keputusan investasi, karena perubahan pajak berpengaruh terhadap return dan risiko investasi. Pada tanggal 1 Januari 1995, pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang Perpajakan tahun 1994 (UUP 1994). Menurut UUP 1994, tidak ada perbedaan hambatan pajak antara investor domestik dan investor asing. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberlakuan UUP 1994 terhadap perilaku investor yang diukur dengan trading volume activity (TVA). Sampel yang terseleksi berjumlah 40 perusahaan untuk tahun 1994 (sebelum perubahan pajak) dan 66 perusahaan untuk tahun 1995 (setelah perubahan pajak). Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat short-term trading hypothesis di sekitar hari ex-dividend. Hasil ini menunjukkan bahwa UUP yang baru mempunyai dampak negatif terhadap TVA. Namun demikian, penelitian ini tidak menemukan bukti empiris bahwa perubahan pajak mempengaruhi hubungan antara volume perdagangan dan dividend yield. Dividend yield tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap volume perdagangan saham sebelum dan setelah perubahan pajak. Penelitian ini
1) 2)
menyarankan untuk menguji perilaku harga (return) di sekitar hari ex-dividend. Kata kunci: Pajak, volume perdagangan, hari ex-dividend.
PENDAHULUAN Pada tanggal 1 Januari 1995, pemerintah telah memberlakukan secara efektif Undang-Undang No. 10 tahun 1994 tentang perpajakan. Dalam kaitannya dengan bursa efek, pasal 4 ayat 2 menyebutkan “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungantabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 41 Tahun 1994. Secara ringkas perubahan pajak tersebut dapat dilihat pada tabel 1 berikut:
M. Nizarul Alim, SE., M.Si., Akt., Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Widya Gama Malang. Dr. Ainun Na’im., M.B.A., Akt., Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
23
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
Tabel 1 Perubahan Tarif Pajak Menurut Undang-Undang Perpajakan (UUP) Tahun 1994 Pajak
Sebelum UUP Tahun 1994 Domestik Asing
Dividen
Capital gain* Transaksi saham** : Semua saham Saham pendiri Sumber:
15% (bruto & tidak final)
20% (bruto & final)
15% (bruto & tidak final)
20% (bruto & final)
-
-
-
-
-
-
0,1% final +5% final
0,1 final +5%final
Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 Tentang Perpajakan, dan Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan Tahun 1995 (KUP, PPH, PPN) diolah.
Keterangan: * Pajak capital gain atas investor domestik bersifat progresif ** Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1994.
Pengenaan pajak di atas, menurut peneliti cukup unik, karena fungsinya hampir sama dengan biaya transaksi, baik transaksi yang memperoleh keuntungan (capital gain) maupun kerugian (capital loss) tetap akan dikenakan pajak. Model pajak yang diberlakukan di Indonesia sangat berbeda dengan negara-negara lain, seperti Amerika, Kanada dan Inggris, di mana pajak, baru akan dibebankan pada investor jika investor mendapatkan capital gain dari transaksi saham. Suad Husnan berpendapat bahwa penerapan pajak transaksi bisa menurunkan likuiditas dan volume transaksi saham, karena investor asing bisa jadi hengkang (Info Pasar Modal, Juni 1994). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah perubahan pajak berpengaruh terhadap perilaku investor. Masalah yang akan diteliti antara lain: (1) apakah terdapat pola short term trading di sekitar hari ex-dividend; (2) apakah perubahan pajak mempengaruhi volume perdagangan serta hubungan antara dividend yield dengan volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend.
24
Menurut UUP 1994 Domestik Asing
Preferensi investor terhadap pajak ditandai dengan adanya pola short term trading di sekitar hari ex-dividend (Wu and Hsu, 1996). Oleh karena itu, untuk mengetahui ada atau tidak pola short term trading atau pengaruh pajak terhadap perilaku investor, dapat diamati perilaku investor di sekitar hari ex-dividend. Telah ada beberapa penelitian yang berhubungan dengan pola short term trading di berbagai pasar modal, baik yang diukur dengan harga saham (Brown dan Walter, 1986; Grammatikos, 1989; Menyah, 1993), volume perdagangan saham (Athanassakos, 1996), maupun keduanya, baik harga dan volume (Michaely dan Vila, 1995; Wu dan Hsu, 1996). Penelitian ini menggunakan ukuran volume perdagangan untuk mengetahui pengaruh pajak terhadap perilaku investor di sekitar hari ex-dividend. Athanassakos (1995) berpendapat bahwa volume perdagangan mungkin lebih sensitif untuk mendeteksi reaksi investor dan menggambarkan perilaku investor terhadap dividen kas. Argumennya: (1) adanya pola ketidakseimbangan penawaran di sekitar hari ex-dividend, yang merupakan hasil penggunaan dividen sebagai strategi perdagangan, dapat menimbulkan bias yang serius dalam harga pembukaan dan penutupan pada cum-dividend dan ex-dividend, (2) Heterogenitas preferensi investor terhadap capital gain relatif terhadap dividen, akan memotivasi mereka untuk menjual sahamnya sebelum ex-dividend, dan di pihak lain,
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
sebaliknya akan melakukan pembelian. Jika tidak ada kelompok yang dominan, maka kemungkinan tidak ada perubahan harga pada ex-dividend dengan dividend yield, apakah konsisten dengan short term trading atau clientele hypotesis (lihat Kalay, 1982). Hasil penelitian Michaely dan Vila (1995) serta Wu dan Hsu (1996) juga menunjukkan bahwa volume perdagangan dapat menjelaskan pengaruh pajak terhadap perilaku investor di sekitar hari ex-dividend. Dalam kaitannya dengan hipotesis pasar modal efisien, secara teoritis disebutkan bahwa harga-harga saham pada pasar modal yang efisien dalam bentuk lemah merupakan pencerminan dari harga masa lampau, atau dengan kata lain harga saham belum mencerminkan informasi (khususnya keuangan) yang dipublikasikan. Atas dasar itu, disarankan agar penelitian akuntasi pada pasar bentuk lemah, dilakukan bukan pada pengaruh informasi pada harga saham, tetapi lebih cenderung dilakukan untuk melihat perubahan volume perdagangan (Machfoedz, 1995; Husnan dkk, 1996). Beberapa penelitian empirin yang dilakukan oleh Khusnan (1991), Mangande (1993), Hardjito (1995) dan Legowo (1995) menunjukkan bahwa pasar modal Indonesia masih efisien dalam bentuk lemah. Secara rinci tulisan ini diorganisasi sebagai berikut: Pendahuluan, teori dan hipotesis, metodologi penelitian, pelaporan hasil dan analisis serta kesimpulan, keterbatasan dan implikasi penelitian.
TEORI DAN HIPOTESIS 1.
Tinjauan Teori Pajak merupakan hal yang penting bagi para investor, karena terkait langsung dengan return dan risiko. Menurut teori, ada dua pola perilaku investor terhadap pengaruh pajak di sekitar hari ex-dividend, sebagaimana yang dikenal dengan clientele hypothesis dan short-term trading hypothesis. a.
Clientele Hypothesis Clientele hypothesis memprediksi bahwa harga saham turun (naik) seharusnya berkaitan dengan penurunan (kenaikan) dividend yield. Analisis pengaruh pajak dan Clientele hypothesis dijelaskan oleh Elton dan Gruber (1970) seperti yang dikutip oleh Menyah
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
(1993) menyatakan bahwa seorang investor akan tidak berbeda (indifferent) antara menjual sebelum dan sesudah hari ex-dividend. Faktor-faktor yang mempengaruhi investor menjadi clientele antara lain (Brealy dan Myers, 1991, hal. 382): i. Saham yang membayar dividen tinggi. Dividen yang tinggi secara umum akan disukai oleh investor, oleh karena itu, investor yang memiliki saham dengan pembayaran dividen tinggi cenderung untuk menahan sahamnya. ii. Investor yang melihat terhadap portofolio saham mereka merupakan sumber kas yang kuat (steady). Portofolio tersebut dapat dihasilkan dari saham-saham bluechips. b.
Short-Term Trading Hypothesis Short-term trading hypothesis diatributkan pada proposisi bahwa para investor melakukan transaksi di sekitar hari ex-dividend untuk alasan-alasan pajak (Menyah, 1993). Athanassakos (1996) mendefinisikan bahwa para investor mempunyai insentif untuk melakukan transaksi di sekitar hari ex-dividend.
Pajak dan Volume Perdagangan Beberapa peneliti (seperti: Grammatikos, 1989; Michaely dan Vila, 1995; Athanassakos, 1996) menyatakan bahwa penelitian tentang pengaruh pajak terhadap volume perdagangan dipelopori oleh Lakonishok dan Vermaelen (1986). Salah satu yang mendasari penelitian tersebut, menurut Grammatikos (1989) adalah bahwa dengan adanya biaya transaksi, maka harga saham yang jatuh pada hari ex-dividend hubungannya dengan dividend yield, tidak hanya konsisten dengan clientele hypothesis, tetapi juga dengan short-term traders hypothesis. Untuk menghindari ambiguitas tersebut, mereka (Lakonishok dan Vermaelen) meneliti volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend dan menginterpretasikan bahwa bukti empiris konsisten dengan short-term traders hypothesis. Michaely dan Vila (1995) berargumen bahwa volume perdagangan dapat membantu mengidentifikasi sifat populasi perdagangan. Athanassakos (1996)
25
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
berpendapat bahwa investor yang melakukan transaksi di sekitar hari ex-dividend dapat menjadi long term traders atau short term traders. Lebih lanjut Athanassakos menyatakan bahwa long term traders bertransaksi tidak respektif dengan dividen dan mereka dalam melakukan transaksi tidak dipengaruhi biaya transaksi maupun pajak. Sebaliknya, short term traders melakukan transaksi karena biaya transaksi serta pajak. Michaely dan Vila (1995) menunjukkan bahwa semakin heterogen struktur pajak, maka akan semakin tinggi volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend. Sebaliknya semakin homogen struktur pajak, maka semakin rendah volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend. 2.
Pengembangan Hipotesis Menurut pandangan tradisional ketika dividen dikenakan pajak dan capital gain tidak dikenakan pajak, maka investor umumnya akan menginginkan premium yang lebih tinggi sebelum pajak dari pendapatan dividen (Grammatikos, 1989). Investor dapat menerima premium tersebut jika harga saham pada ex-dividend jatuh kurang atau lebih kecil daripada dividen (Wu dan Hsu, 1986). Jika harga saham jatuh kurang dari dividen, investor diindikasikan akan berusaha menghindari pajak atas pendapatan dividen dengan cara menjual saham sebelum hari ex-dividen. Secara umum pada kondisi ini, harga jatuh kurang atau lebih kecil daripada dividen (Heath dan Jarrow, 1988). Pada saat dividen dikenakan pajak capital gain tidak ada pajak, maka akan terdapat pola di sekitar short term trading di sekitar hari ex-dividend. Bukti empiris di Amerika yang telah diteliti oleh Michaely dan Vila (1995) serta Wu dan Hsu (1996) dan di Kanada oleh Athanassakos (1996), telah menunjukkan hal tersebut. Kondisi Bursa Efek Jakarta (BEJ) menunjukkan bahwa pada tahun 1994, transaksi didominasi oleh investor asing. Transaksi yang melibatkan investor asing pada tahun 1994, ditinjau dari jumlah volume perdagangan tercatat sekitar 85% (Fact book 1995). Posisi investor asing dalam hal ini tidak ada pajak atas capital gain. Selain itu struktur pajak terhadap investor di BEJ relatif heterogen, di mana semakin heterogen struktur pajak, maka akan semakin besar tingkat perbedaan mereka dalam menilai dividen, sehingga
26
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
volume perdagangan juga akan lebih tinggi (Michaely dan Vila 1995) serta Wo dan Hsu (1996). Berdasarkan argumen tersebut maka dikembangkan hipotesis: Hipotesis 1: Terdapat pola short term trading di sekitar hari ex-dividen pada periode sebelum perubahan pajak (tahun 1994). Faktor lain yang mempengaruhi pola short term trading di antaranya adalah biaya transaksi (Wu dan Hsu, 1996). Keberadaan biaya transaksi tidak hanya mengurangi net return investor, tetapi juga membuat pengambilan posisi arbitrase lebih berisiko (Michaely dan Vila, 1995). Pengurangan biaya transaksi dapat meningkatkan volume perdagangan, karena para traders menemukan bahwa kondisi ini lebih menguntungkan untuk bertransaksi di sekitar hari ex-dividend (Michaely dan Vila, 1995). Sebaliknya keberadaan biaya transaksi yang lebih besar akan menghambat investor untuk melakukan transaksi dan akibatnya volume perdagangan akan berkurang (Wu dan Hsu, 1996; Michaely dan Vila, 1995). Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pajak baru yang yang diterapkan investor bersifat seperti biaya transaksi, karena baik investor yang memperoleh capital gain mapupun capital loss tetap dikenakan pajak jika melakukan transaksi. Diberlakukannya pajak baru tersebut, maka struktur pajak investor menjadi lebih homogen, karena investor asing dan investor domestik tidak ada perbedaan. Semakin homogen struktur pajak, maka semakin rendah volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend (Wu dan Hsu, 1996). Berdasarkan argumen tersebut dikembangkan hipotesis: Hipotesis 2: Perubahan pajak mempunyai dampak negatif terhadap volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend. Secara teoritis, dalam kaitannya dengan hubungan antara volume perdagangan dan dividend yield, pada kondisi dividen dikenakan pajak dan capital gain tidak dikenakan pajak, atau pajak capital gain relatif lebih tinggi daripada dividen, harga saham sebelum ex-dividend, jatuh melebihi nilai dividen. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara perdagangan dengan dividend yield.
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
Pengaruh perubahan pajak terhadap hubungan antara volume perdagangan dengan dividen menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Hasil penelitian Menyah (1993) menunjukkan bahwa perubahan pajak di Inggris tidak mempengaruhi preferensi investor. Para investor sebelum dan sesudah perubahan pajak cenderung lebih menyukai capital gain daripada dividen. Demikian pula, Athanassakos (1996) menemukan bukti bahwa pengaruh perubahan pajak di Kanada terhadap hubungan antara volume perdagangan dengan dividend yield juga tidak konsisten. Ringkasan hasil penelitian Athanassakos dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
argumen tersebut, maka dikembangkan hipotesis berikut: Hipotesis 3: Perubahan pajak mempunyai pengaruh terhadap hubungan antara volume perdagangan dengan dividend yield.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi peristiwa (event study) dengan pendekatan studi kasus pada PT Bursa Efek Jakarta yang menggunakan data historis tahun
Tabel 2 Perubahan Pajak dan Pengaruhnya Pada Hubungan Antara Volume Perdagangan dan Dividend Yield Periode 1970/1971 1972/1976 1977 1978/1980 1981 1982/1984
Perubahan Pajak Td
Tc
Keterangan
0,6075 0,4698 0,4656 0.3888 0,3942 0,2526
0,0000 0,3067 0,3096 0,3096 0,3139 0,2526
Ada Tidak ada Tidak ada Ada Ada Tidak ada
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa sebelum perubahan pajak, transaksi di BEJ di dominasi oleh para investor asing, dimana pajak hanya dikenakan pada dividen. Diprediksikan volume perdagangan mempunyai hubungan yang signfikan dengan dividend yield. Mukhtarudin (1997) yang menggunakan data tahun 1995 (periode sesudah perubahan pajak), menemukan bukti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara volume perdagangan sebelum dan sesudah pengumuman dividen. Terdapat bukti empiris yang menunjukkan bahwa reaksi investor terhadap pengumuman dividen mempunyai kaitan dengan perilaku investor di sekitar hari ex-dividend (Bowers dan Fers 1995). Berdasar bukti empiris tersebut, diprediksikan bahwa setelah perubahan pajak, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara volume perdagangan dengan dividend yield. Berdasarkan
1994 dan tahun 1995. Peristiwa atau event yang dipilih adalah perubahan pajak yang diteliti di sekitar hari exdividend. Periode pengamatan (window) ditentukan lima hari sebelum dan sesudah hari ex-dividend (11 observasi). Penentuan window lima hari didasarkan pada sejumlah penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Michaely dan Vila (1995), Wu dan Hsu (1996), dan Athanassakos (1996). 1.
Seleksi Sampel, Data, dan Sumber Data Sampel akan diambil secara purposive sampling dari perusahaan-perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta. Data yang diambil adalah data sekunder yang diterbitkan secara harian, mingguan, dan bulanan oleh PT Bursa Efek Jakarta dan Badan Pengawas Pasar Modal seperti Info Pasar Modal. Jurnal Pasar Modal Indonesia. JSX Fact Book, dan JSX Statistic serta majalah-majalah lain, seperti Business News.
27
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
Data dan sumber data tersebut antara lain: Perusahaan-perusahaan yang membagikan dividen kas pada tahun 1994 dan 1995, dan sahamya aktif ditransaksikan selama periode pengamatan. Kriteria aktif berdasarkan surat edaran BEJ No. SE-03/BEJ II-1/1/1994 yang menyatakan bahwa saham dinilai aktif jika frekuensi perdagangan selama tiga bulan sebanyak 75 kali atau lebih. Selain itu, pada periode pengamatan juga aktif ditransaksikan sekurang-kurangnya 75% (Athanassakos, 1996). Untuk meminimalisir confounding effect, maka jika ada peristiwa lain, seperti right issue, dividen saham, saham bonus, dan lain-lain, pada periode pengamatan, maka sampel tersebut juga akan dibatalkan. Volume perdagangan saham harian dan jumlah saham yang beredar untuk tiap sampel pada 5 hari sebelum dan sesudah tanggal ex-dividend untuk periode pengamatan (abnormal volume) dan 10 hari sebelum dan sesudah tanggal ex-dividend untuk periode di luar pengamatan (normal volume). Penentuan 10 hari untuk normal volume, dimaksudkan agar tidak terjadi kemungkinan overlapping dengan pengaruh pengumuman dividen serta harga saham pada cum-dividend. 2. i.
ii.
iii.
Definisi Operasional Variabel Volume perdagangan akan dihitung berdasarkan rumus trading volume activity (TVA). (Foster, 1986, hal. 375). Dividend Yield adalah dividen kas dibagi dengan harga saham harga saham pada cumdividend (Michaely dan Vila, 1995; Wu dan Hsu, 1996; Athanassakos, 1996). Hubungan antara dividend yield dengan volume perdagangan dianalisis dengan regresi linier, di mana perubahan TVA sebagai variabel dependen dan dividend yield sebagai variabel independen (Wu dan Hsu, 1996).
3.
Metode Analisis Langkah awal adalah menghitung volume perdagangan setiap hari observasi dengan menggunakan Trading Volume Activity (TVA). Jumlah saham perusahaan yang diperdagangkan pada saat t
TVAi,t = Jumlah saham perusahaan yang beredar pada saat t
28
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
Analisis H1 dan H2 dengan menggunakan uji t (test). Uji normalitas (Normality) sampel juga dilakukan untuk mengetahui uji parametrik atau non parametrik. Analisis H3 menggunakan persamaan regresi linier (Michaely dan Vila, 1995; Wu dan Hsu, 1996).
Y = a + bX1 + e
Keterangan: Y: Perbedaan rata-rata TVA aktual (periode abnormal) dengan TVA normal volume (%) (Michaely dan Vila, 1995; Wu dan Hsu, 1996). a: Konstanta b: Koefisien Regresi X1: dividend yield (%) e: error HASIL DAN ANALISIS 1.
Hasil Seleksi Sampel Pada tahun 1994 (sebelum perubahan pajak), perusahaan go public yang mengumumkan pembagian dividen berjumlah 166 perusahaan. Berdasarkan jumlah tersebut, 26 perusahaan dikeluarkan dari sampel, karena selain membayar dividen kas juga mengeluarkan saham bonus (bonus shares) bersamaan dengan tanggal exdividend. Selanjutnya dari 140 perusahaan yang hanya membayar dividen kas, yang memenuhi kriteria aktif (kriteria no. 2) ada 40 perusahaan. Jadi total sampel yang akan dianalisis lebih lanjut berjumlah 40 perusahaan. Tahun 1995 (setelah perubahan pajak), perusahaan go public yang mengumumkan pembagian dividen berjumlah 218 perusahaan. Berdasarkan jumlah tersebut, 19 perusahaan dikeluarkan dari sampel karena pada tanggal pengumuman selain membayar dividen kas juga mengeluarkan saham bonus (bonus shares). Selanjutnya dari 199 perusahaan yang hanya membayar dividen kas, yang memenuhi kriteria aktif (kriteria no. 2) ada 68 perusahaan. Dua perusahaan di drop, karena pada periode pengamatan (observasi) terdapat peristiwa lain yang memungkinkan terjadinya confounding effect. Kedua perusahaan tersebut adalah Indosat yang selama periode pengamatan ada pemberlakuan Jakarta
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
Automatic Trading System (JATS) serta Semen Gresik yang bersamaan dengan pengumuman right issue. Jadi total sampel yang akan dianalisis lebih lanjut berjumlah 66 perusahaan.
besar, maka distribusi sampel dari rata-rata (mean) atau jumlah (sum) sampel yang diaproksimasikan memiliki distribusi normal (Mendenhall dan Beaver, 1992, hal. 182). Robert (1990) sebagaimana yang dikutip oleh Subyakto (1995, hal. 95) menyatakan bahwa untuk tujuan praktis, distribusi sampling rata-rata sampel dari populasi tertentu akan mendekati normal apabila besarnya sampel (banyak data dalam sampel) 30 atau lebih. Seperti telah diuraikan di muka bahwa sampel penelitian ini sebanyak 40 perusahaan untuk tahun 1994 dan 66 perusahaan untuk tahun 1995. Pengujian nonparametrik dilakukan untuk penyesuaian, jika ternyata distribusi sampel tidak normal atau menceng (skewness). Setelah dilakukan pengujian dengan SPSS terhadap distribusi sampel perusahaan-perusahaan tahun 1994 dan tahun 1995 ternyata distribusi sampel tidak normal (skewness). Hasil pengujian normalitas (normality) sampel secara terperinci disajikan pada tabel 4 berikut:
2.
Pengujian Hipotesis Langkah awal adalah menghitung rata-rata trading volume activity (TVA) untuk tiap-tiap hari pengamatan tahun 1994 dan tahun 1995. Tabel 3 di bawah merupakan hasil penghitungan rata-rata trading volume activity (TVA) tiap hari pengamatan tahun 1994 dan tahun 1995: a.
Analisis H1 dan H2 Analisis data pada H1 dan H2 dilakukan dengan pengujian parametrik dan nonparametrik. Pengujian parametrik didasarkan pada central limit theorem (CLT) yang mengasumsikan bahwa jika jumlah sampel relatif
Tabel 3 Rata-Rata TVA Tahun 1994 -10
-9
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0.000039
0.000862
0.000794
0.000905
0.000999
0.000607
0.000810
0.000993
0.000827
0.000926
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.000399
0.000338
0.000399
0.00055
0.0007
0.0007
0.0004
0.00078
0.0005
0.0005
0.0007
Tahun 1995 -10
-9
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0.001086
0.001643
0.001522
0.00130
0.0012
0.00138
0.00152
0.0011
0.00117
0.00120
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0.000485
0.00053
0.0005
0.0007
0.0006
0.0005
0.0003
0.0005
0.0007
0.000762
0.000937
29
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
Tabel 4 Hasil Pengujian Normalitas Keterangan Shapiro-Wilks K-S (Lilliefors)
Nilai Statistik 1994
1995
0,5199** 0,5311* 0,2976** 0,2716
0,7033* 0,5126* 0,3237** 0,3019**
· TVA sebelum ex-div · TVA sesudah ex-div · TVA sebelum ex-div · TVA sesudah ex-div
*Signifikan pada a = 0,05 % **Signifikan pada a = 0,01% · Seluruh nilai statistik dari hasil pengujian normalitas lebih kecil daripada 1 (signifikan), berarti distribusi sampel tidak normal. Selanjutnya nilai hasil uji t tahun 1995 dapat dilihat pada tabel 5 berikut:
Tabel 5 Nilai Hasil Uji t Keterangan Nilai hasil uji t di sekitar hari ex-dividend Kenaikan atau penurunan setelah hari ex-dividend Kenaikan atau penurunan menjelang ex-dividend (Wu dan Hsu, 1996)
1994
1995
-2,17* (-2,09)** (-33%) (17,5%)
-2,71** (-3,33)** (-52,22) (-15,65)
- Pengujian noparametrik dan perhitungan dilaporkan dalam tanda kurung - Tanda (-) menunjukkan penurunan *Signifikan pada α = 0,05 % **Signifikan pada α = 0,01%
Pembahasan Rata-rata TVA (lihat tabel 3) tahun 1994 sebelum hari ex-dividend pada periode sebelum perubahan pajak adalah 0,0008333 dan rata-rata TVA sesudah hari exdividend adalah 0,000588. Data tersebut menunjukkan bahwa rata-rata TVA sesudah hari ex-dividend menurun sekitar 33%, sedangkan nilai hasil uji t antara sesudah dan sebelum adalah –2,17 (signifikan pada α = 0,05). Perbedaan signifikan tersebut menunjukkan bahwa terdapat pola short term trading di sekitar hari ex-dividend. Hasil ini mendukung hipotesis pertama (H1). Berdasarkan pada penelitian Wu dan Hsu (1996) yang
30
membandingkan tiga hari menjelang hari ex-dividend (t-3 sampai dengan t-1) dengan periode sebelumnya, maka tiga hari menjelang hari ex-dividend, sebelum perubahan pajak, rata-rata TVA meningkat sekitar 17,5%. Tahun 1995 rata-rata TVA sebelum hari ex-dividend adalah 0,001285 dan rata-rata TVA sesudah hari ex-dividend sebesar 0,000614. Data tersebut menunjukkan bahwa rata-rata TVA sesudah hari ex-dividend menurun sekitar 52,22% (lebih dari 50%). Nilai hasil uji t antara sesudah dengan sebelum hari ex-dividend sebesar –2,71 (signifikan pada α = 0,01). Hasil tersebut juga menunjukkan adanya pola short term trading di
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
sekitar hari ex-dividend. Akan tetapi, dari periode volume perdagangan tiga hari ex-dividend cenderung menurun sekitar 15,65%. Jika dibandingkan dengan tahun 1994, total penurunan menjelang hari ex-dividend tahun 1995 sebesar 33,15%. Ada indikasi para investor menahan saham yang telah dimiliki. Ini berbeda dengan sebelum perubahan pajak di mana volume perdagangan cenderung meningkat menjelang hari ex-dividend. Selanjutnya, nilai hasil uji t antara sesudah dan sebelum hari ex-dividend setelah perubahan pajak, lebih kecil daripada sebelum perubahan pajak. Ini menunjuk-kan bahwa perbedaan volume perdagangan antara sesudah dengan sebelum hari ex-dividend pada tahun 1995 (setelah perubahan pajak) lebih besar atau dengan kata lain penurunan volume perdagangan sesudah hari ex-dividend pada tahun 1995 lebih besar dari pada tahun 1994 (sebelum perubahan pajak). Jadi secara keseluruhan terdapat indikasi bahwa perubahan pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend (Hipotesis 2). Pengujian nonparametrik, menunjukkan hasil yang konsisten dengan pengujian parametrik yang ditunjukkan oleh nilai t sebelum perubahan pajak adalah –2,09 (signifikan pada α=0,05) dan setelah perubahan pajak sebesar –3,33 (signifikan a=0,01). Adanya aktivitas short-term trading dan perubahan aktivitas short-term trading di sekitar hari ex-dividend, merefleksikan preferensi investor terhadap pajak (Wu dan Hsu, 1996).
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
b.
Analisis H3 Hasil pengujian regresi terhadap perdagangan dividend yield pada tahun 1994, menunjukkan nilai a (constan)=0,0105 dan b (beta)=-0,1481. Persamaan regresinya adalah Y=0,0105-0,1481X. Sedangkan nilai R square=0,0219 yang berarti, variabel volume perdagangan hanya dijelaskan sebesar 2,19% oleh variabel dividen. Tahun 1995, nilai a= -0,0132 dan b=0,1639, maka persamaan regresinya adalah Y=-0,0132 + 0,1639X. Nilai R square = 0,0269 yang menunjukkan bahwa variabel volume perdagangan juga hanya dijelaskan sebesar 2,69% oleh variabel dividen. Berikut ringkasan hasil pengujian regresi dalam tabel 6. Berdasarkan tabel 6, hasil pengujian regresi pada tahun 1994 menunjukkan nilai t statistic=0,923 dan signif F=0,3617. Nilai ini jauh lebih besar daripada nilai a=0,05 (tidak signifikan), yang berarti bahwa volume perdagangan tidak mempunyai hubungan dengan dividend yield. Hasil tersebut meng-indikasikan bahwa para investor kemungkinan tidak menggunakan dividen sebagai strategi perdagangan menjelang hari ex-dividend. Begitu pula dengan tahun 1995 (setelah perubahan pajak), hasil pengujian regresi juga menunjukkan bahwa nilai t statistic=1,329 dan nilai signif F 0,1885, juga lebih besar dari a=0,05 (tidak signifikan), yang berarti bahwa volume perdagangan tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan dividend yield. Jadi secara keseluruhan perubahan pajak pada dasarnya tidak mempengaruhi hubungan antara vo-
Tabel 6 Hasil Pengujian Regresi Antara Volume Perdagangan dengan Dividend Yield Hasil Regresi Constant Beta R square t statistic Signif F
1994
1995
0,0105 -0,1481 0,0219 -0,923 0,3617 (tidak sig)*
-0,0132 0,1639 0,0269 1,329 0,1885 (tidak sig)*
*Tidak signifikan pada a=0,05%
31
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
lume perdagangan dengan dividend yield. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara volume perdagangan dengan dividend yield di sekitar hari ex-dividend baik sebelum maupun setelah perubahan pajak, atau dengan kata lain para investor kemungkinan tetap tidak menggunakan dividen sebagai strategi perdagangan.
KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN IMPLIKASI 1.
Kesimpulan Hasil-hasil pengujian di atas menyimpulkan bahwa: a) Terdapat pola short term trading baik pada tahun 1994 (sebelum perubahan pajak) maupun tahun 1995 (setelah ada perubahan pajak). Hal ini menunjukkan bahwa investor melakukan transaksi karena alasan pajak. b) Perubahan pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend. c) Tidak dapat menemukan bukti bahwa perubahan pajak mempengaruhi hubungan antara dividend yield dengan volume perdagangan. Bukti empiris menunjukkan bahwa baik sebelum dan setelah perubahan pajak, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dividend yield dengan volume perdagangan yang mana hal ini mengindikasikan bahwa para investor kemungkinan tidak menggunakan dividend sebagai faktor yang mempengaruhi strategi perdagangan. 2.
Keterbatasan dan Implikasi Penelitian Bukti empiris menunjukkan bahwa perubahan pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap volume perdagangan saham di sekitar hari ex-dividend. Baik sebelum dan setelah perubahan pajak tidak terdapat hubungan yang signifikan antara dividend yield dengan volume perdagangan. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa dalam mengambil keputusan untuk melakukan transaksi di sekitar hari ex-dividend, para investor dipengaruhi pajak, tetapi tidak dipengaruhi oleh dividen. Adanya penurunan volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend setelah perubahan pajak, juga mengindikasikan bahwa para investor melihat lebih mempertimbangkan
32
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
perubahan harga saham daripada dividend. Kemungkinan harga saham di sekitar hari ex-dividend cenderung menurun, sehingga menjadikan para investor menahan (hold) terhadap saham yang dimilikinya. Bukti empiris menunjukkan bahwa secara umum harga saham akan jatuh menjelang dan pada hari ex-dividend (Brown dan Walter, 1986; Grammatikos, 1989; Heat and Jarrow, 1988). Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa perlakuan pajak yang baru bersifat seperti biaya transaksi, yang mana baik transaksi yang memperoleh keuntungan (capital gain) maupun kerugian (capital loss) tetap dikenakan pajak. Investor akan menjadi lebih rugi, jika transaksi yang dilakukan memperoleh capital loss. Penelitian ini hanya menguji volume perdagangan, sehingga tidak dapat menyimpulkan perilaku harga saham di sekitar hari ex-dividend. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini menyarankan perlunya menguji perubahan harga saham (return) di sekitar hari ex-dividend untuk penelitian selanjutnya. Keterbatasan-keterbatasan dan saran penelitian selanjutnya antara lain: a) Penelitian ini tidak membedakan ukuran dividend yield, jenis industri maupun ukuran perusahaan. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan membedakan ukuran dividend yield, jenis industri maupun ukuran perusahaan, karena faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan confounding effect. b) Untuk menghindari confounding effect, seleksi sampel hanya didasarkan pada peristiwa-peristiwa lain yang terjadi pada perusahaan karena keterbatasan sumber informasi. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor lain yang mungkin juga mempengaruhi volume perdagangan di sekitar hari ex-dividend, misalnya: sosial, ekonomi, dan politik. c) Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Penelitian selanjutnya hendaknya meneliti volume perdagangan di sekitar hari exdividend untuk tahun-tahun berikutnya guna untuk mengetahui apakah pengaruh pajak terhadap volume perdagangan tersebut bersifat konsisten.
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
DAFTAR PUSTAKA Amsari, M Ishak. 1993. Pengaruh Pengumuman Dividen Terhadap Harga Saham di Pasar Modal Indonesia, Thesis S2. PPS-UGM. Yogyakarta. Athanassakos, George. 1996. Tax Induced Trading Volume Around Ex-Dividend Days Different Tax Regimes: The Canadian experience : 1970-1984. Journal of Business Finance & Accounting. 23 (Juni): 557-584).
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
The Efficient Market Hypotesis. Unpublished Ph.D. Desertation. University of Birmingham. ____________, Mamduh M Hanafi dan Amin Wibowo. 1996. Dampak pengumuman laporan Keuangan Terhadap Kegiatan Perdagangan Saham dana Variabilitas Tingkat Keuntungan. Jurnal Kelola. No.11/V:110-124. Info Pasar Modal 1994 JSX Fact Book 1995, 1996.
Bowers, Helen M. and Donald Fehrs. 1995. Dividend Buying: Lingking Dividend Annauncements and Ex-Dividend Day Effects. Journal of Accounting , Auditing & Finance. Vol. 10 No. (Summer): 421-435. Danu Pranata, Gita. 1996. Pengujian Efisiensi Pasar Modal di Bursa Efek Jakarta Periode 1994-1995. PPS-MM. UII. Yogyakarta. Foster, George. 1980. Accounting Policy Decisions and Capital Market Research. Journal of Accounting and Economic 2: 2962.
JSX Statistic 1994, 1995 Jurnal Pasar Modal Indonesia 1995 Legowo, Herman. 1995. Pengujian Efisiensi Pasar Modal: Perbandingan Pada Dua Periode yang Berbeda dalam Pasar Modal Indonesia. Thesis S2. PPS-UGM. Yogyakarta. Machfoedz, Mas’ud. 1995. Tinjauan Penelitian Akuntansi 1970-1980 dan Kemungkinan Replikasi di Indonesia. Makalah Loka Karya Metodologi Penelitian di Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya (Agustus): 1-12.
Grammatikos, Theoharry. 1989. Dividend Stripping, Risk Exposure, and The Effect of The 1984 Tax Reform Act on The Ex-Dividend day Behavior. Journal of Business. Vol. 62 No.. 2:157-173.
Mangande, Blasius. 1993. Efisiensi Bursa Efek Jakarta Sebelum dan Sesudah Swastanisasi. Thesis S2. PPS-UGM. Yogyakarta.
Harjito, Dwi PA. 1995. Pengujian Efisiensi Pasar Modal Indionesia Periode 1992-1994. Thesis S2. PPS-UGM. Yogyakarta.
Mendenhall, William and Robert J Beaver. 1992. A Course in Business Statistic. PWSKent Publishing Company. Boston.
Husnan, Suad. 1990. The Indonesian Stock Markets: Its Contribution to Financial Development and The Application of
Menyah, Kojo. 1993. Ex-Dividend Day Equity Pricing Under UK Tax Regimes. Journal of Business Finance & Accounting . 20
33
Jam STIE YKPN - Nizarul Alim dan Ainun Na’im
(January) : 61-80. Michaely, Roni and Jean-Luc Vila. 1995. Investor’ Heterogenety, Prices, and Volume Around The Ex-Dividend Day. Journal of Financial and Quantitative Analysis. Vol. 30 No.2 (June): 171-198. Modigliani F; Miller, M. 1961. Dividend Policy, Growth and The Valuation of Shares, Journal od Business 4: 411-433. Mukhtaruddin. 1997. Pengaruh pengumuman Pembagian Dividend Terhadap Volume Perdagangan dan Variabilitas Tingkat Keuntungan Saham. Thesis S2. PPSUGM. Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1983 Tentang Perpajakan
34
Pengaruh Perubahan Pajak Terhadap Volume ........
Penghasilan. Ghalia Indonesia. 1984. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan Tahun 1995 (KUP, PPH, PPN). Gramedia. 1995. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1991. Kloang Klede Jaya. 1984. Wu, Chunchi and Junming Hsu. 1996. The Impact of 1986 Tax Reform Act on Ex-Dividend Day Volume and Price Behavior. National Tax Journal. Vol 49 (June): 177192.
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
ANALISIS THEPENGARUH REVISIONTEKANAN PROCESSKETAATAN OF TERHADAP JUDGMENT AUDITOR BUDGET THE INDONESIAN LOCAL GOVERNMENT Hansiadi Yuli MBA., Hartanto Dr. Mardiasmo, Akt.1)*) Indra Wijaya Kusuma2)
ABSTRAKSI
INTRODUCTION
Anggaran Induk menjadi kerangka acuan dalam implementasi anggaran. Namun demikian, banyak perubahan yang terjadi seiring pelaksanaan anggaran tersebut. Untuk itu perlu dilakukan revisi anggaran agar membuat anggaran menjadi lebih responsif terhadap perubahan kebutuhan. Perubahan yang dimaksud bersumber dari berbagai faktor yang mendasarinya. Faktor-faktor tersebut antara lain: faktor politis, faktor birokratis, faktor teknis, dan faktor ketidakpastian. Untuk lebih mengetahui signifikansi dan penyebab revisi anggaran di Indonesia maka penelitian ini membahas secara komprehensif analisis pelaksanaan Anggaran Induk, proses revisi, dan anggaran hasil revisi pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Hasil analisis dari beberapa instrumen penelitian pada enam Kota/Kabupaten dapat disimpulkan bahwa Anggaran Induk yang telah disahkan hanyalah bersifat formalitas dan pada praktiknya selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut disebabkan oleh faktor ketidakpastian yang berhubungan dengan jumlah anggaran, tingginya ketergantungan pada pemerintah atasan (pusat dan propinsi), dan proyek-proyek ‘titipan’.
In this study, the implementations of Budget Revision are discussed under two major sub-headings of analytical description and case study analysis. The first, highlights analysis of the budget revision process. This is followed by an overview of the methodology and theorytical background in local government budget implementation. The second, the analytical section that is divided into three sections is aimed at testing a hypothesis on the significance of Budget Revision. Case study evidence is provided for the implementation of Income Budget, followed by the implementation of Expenditure Budget, and the implementation of Budget Revision. It is often necessary to revise the Initial Budget (income and expenditure). However, once the budget has been ratified any further alterations still require the approval of the ratifying authorities. The budget revision process is almost identical to the Initial Budget process. For instance, it also involves the preparation, ratification, implementation and evaluation stages. The major contrast is, of course, in the time difference. The Budget Revision by necessity, is prepared and ratified in a shorter time but still usually takes a period of three or four months. The latest date by which preparation of Budget Revision can begin is the beginning of the third quarter of a financial year. It is essential, therefore, that ratification is completed by the end
Kata Kunci: initial budget, budget revision, uncertainty of budget, budget ratification
*)
Dr. Mardiasmo, MBA., Akt., Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
35
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
of the third quarter to ensure that there is sufficient time in which to implement the Budget Revision. It is obvious then that Budget Revision can be undertaken before the third quarter. The technical and policy guidance document issued by the Ministry of Home Affair (Departemen Dalam Negeri R.I., 1997, p. 45-46) states that Budget Revision must adhere to the rules and guidelines laid out for the Initial Budget and must be constructed in accordance with those rules and the priorities issued by central government. According to this guidance, provincial and local governments need to complete and ratify their budgets three months after central government has ratified the national budget (p. 44). This is because provincial and local governments receive subsidies and contributions from central government and, therefore, gives enough time to provincial and local governments to prepare expenditure plans for these grants from central government. This situation is made more complicated by the fact that provincial government also provide contributions to local government (Ingub grants), thus, local government is in a dependence position. There are two types of Inpres grants: quasi-block grants and sectoral grants (Crane, 1995, p. 142). Quasi block or general purpose grants are grants allocated to provinces, municipalities (kotamadya), regencies (kabupaten), and villages (desa). These are more discretionary grants which allow local government some flexibility in terms of their allocation. Sectoral grants include grants for health (kesehatan), primary schools (sekolah dasar), roads and bridges (jalan dan jembatan), and other smaller concerns. These tend to be more prescriptive grants where central government places restrictions on its use. Therefore, in practice, the local government cannot prepare and ratify its budget until province has had its budget and spending commitments (including contributions to local government) ratified. Because such a high proportion of local government income budget comes from subsidies and contributions, inevitable they cannot prepare expenditure plans for these funds without the relevant information. Problems then arise from their intervention and top-down administrative approach. This study provided a comprehensive review about some problems; the process of budget revision is often not as structured as the Initial Budget prepara-
36
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
tion process, and the revised budget is sometimes implemented before ratification completed, revisions some times take place more than once in a fiscal year, and the authorities set an upper limit of the target on the routine expenditure activities to avoid budget deficit. For a better understanding the above fact, this study has provided a comprehensive review about the implementation stage of Indonesian local government Initial Budget and Budget Revision; and investigated the significance of the Budget Revision process which relates to the experimental hypothesis. It is apparent that the stages of the Initial Budget and Budget Revision are formally similar although there is a difference arising from the fact that the Budget Revision is conducted in a shorter time. The Budget Revision process takes a considerable amount of resources and effort, and is usually undertaken once. However, since by the time it is finally ratified most of the financial year has passed, its usefulness as a tool for management and control purposes is undermined.
METHODOLOGY Since the budget is based on an estimation of revenue (income), the expenditure is therefore indefinite. Revenue is often underestimated due to lack of information. Thus, the Initial Budget is implemented and subsequently has to be revised due to improvements in information, changed priorities and resources. The process of budget revision is often not as structured as the Initial Budget preparation process, and the revised budget is sometimes implemented before ratification is complete. Revisions can sometimes take place more than once in a fiscal year. The experimental hypothesis is: the revised budget in Indonesian local government is more significant than the initial budget. In order to obtain the relevant information, both primary and secondary data were collected. This comprised qualitative and quantitative data collected through field research and library research. The library research examined the theoretical basis of local government financial management. Three methods of field research were involved: direct interviews, direct observation, and documentation. The field research was conducted in six sepa-
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
rate local governments whose criteria of selection was based upon three primary indicators, namely level of local original revenue (PAD), level of economic development and location. These include Banyumas, Bogor, Musi Rawas, Padang, Sidoarjo, and Sidrap (Sidenreng Rappang). The local governments are basically subdivided into two broad categories. The first category include kotamadya local governments which are urban areas; rich and developed (Kotamadya Bogor dan Padang). The second category, are kabupaten local governments which are generally rural, poor and underdeveloped (Kabupaten Sidoarjo, Banyumas, Musi Rawas, Sidrap). This second category is further subdivided into pilot areas (daerah percontohan) and other kabupaten local governments. The former consists of two local governments which are representative of the local governments chosen by the Indonesian central government in April 1995 to participate the pilot areas in a nation-wide experiment in devolved and decentralized local government (Departemen Dalam Negeri, 1994 and GOI, 1995).
THEORYTICAL BACKGROUND Budget Revision Budget Revision occurs when budgets are revised and updated during the fiscal year. It is often regarded as an extension of the normal budgeting process. Rodgers and Joyce (1996, p.49) argues that since a balance budget is important because constraints imposed by financial markets are more important and more influential than political and legal constraints, underestimating revenue is less risky than adopting the ‘best estimate’ of revenue forecast. If the ‘best estimate’ forecast is used during periods of sustained of economic growth, there will be no surplus to cover the deficit in revenue which occur during recession. Positive slack is in accord with the nature of budgetary slack, and therefore positive slack is more common than negative slack. In the other word Rodger and Joyce (1996, p.49) stated that a budget official who described this incentive: “I am a hero when there is more money than I predicted and a villain when there is less. Let me tell you, it is much better to be a hero than villain”. Compared with the preparation of the Initial Budget, budget revision or rebudgeting is less visible, more techni-
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
cally driven, and often is a role for administrators rather than the public or legislators (Forrester and Mullins, 1992, p. 467). Annual Budgeting is the standard time frame within which budget-makers operate. However, many changes can occur over this period of time, thus budget-makers must allow for changing political pressures and economic uncertainty. Wildavsky (1988; quoted in Forrester and Mullins, 1992, p. 467) suggests that rebudgeting is a mean to meet varied and even conflicting objectives of budgeting such as continuity and control, change and accountability, and flexibility and predictability. The initial approved budget, therefore, becomes the basis for a financial plan, and as a financial plan, the budget must be dynamic and able to manage the unexpected without losing control and accountability (Pitsvada, 1983; quoted in Forrester and Mullins, 1992, p. 467). Rebudgeting thus makes the budget more responsive to changing needs. This can be politically led or, more commonly, technically led. In either case the process of rebudgeting is not necessarily a bad thing; the Annual Budget or Initial Budget becomes important as a take-off point. Forrester and Mullins (1992, p. 468) suggest that to fully understand budgets, this sub annual activity must be examined in view of how it fits into the budgetary cycle. They carried out a study to examine this process in a number of US cities and found that reallocation of funds occurred within and between functions without approval, although this was allowed as long as the overall expenditure priorities were not changed. Midyear adjustments, which could alter priorities, required council approval. Whilst adjustments (both formal and informal) were made, adherence to priorities was monitored by expenditure budgetary controls (Forrester and Mullins, 1992, p. 469). Forrester and Mullins identified a decrease in the level of involvement in rebudgeting by both government officials and the general public (1992, p. 470). The public’s involvement was particularly reduced although they were more active in resisting the adjustments made. According to Forrester and Mullins, the stimuli for rebudgeting are as follows: 1. Managerial necessity: this occurs when regulations governing administration are too restrictive for managers to be flexible to changing ser-
37
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
vice needs. It is also due to the need to modify inaccurate expenditure estimates made at the preparation stage, and due to erratic cash flow. 2. Environmental pressures: this is a result of the changing external environment due to unanticipated economic decline or expansion, legal exposure, and significant changes in national grant programs. This also occurs when there are large changes in the demand for services or environmental mandates from central governments. 3. Political concerns: these occur when officials wish to redress any losses incurred from initial implementation of the initial budget. It is also a result of symbolic decisions made at the preparation stage which are not practical and need to be counteracted. Political concerns also occur as a result of changing political priorities and administration policies (1992, p. 470-472). In their study, Forrester and Mullins found that rebudgeting has a positive effect on performance monitoring and there was no effect on the control over expenditure. Rebudgeting provided the change which enabled the achievement of goals. As monitoring is a continuous process, midyear adjustments allowed adaptations to be made. Forrester and Mullins suggest that budgeting should be a continuing process throughout the year, similar to planning and monitoring (1992, p. 472). The existing literature suggests that Budget Revision is a consequence of uncertainty since initial budgets are based on forecasts which more than often deviate from the actual. It is, therefore, an inevitable practice. It need not be emphasized that Budget Revision has both positive and negative effects on the different major stages of the budgetary cycle. It is evident that the literature on revised budgets is quite limited. For instance, it does not examine the deliberate utilization of Budget Revisions by local governments as a tool employed to evade the external controls on Initial Budgets. For example, local governments may deliberately set low targets in the Initial Budget with a hidden agenda of increasing them and, therefore, gaining more maneuverability during the Budget Revision. In particular, the literature does not examine the deliberate utilization of revisions to evade controls on Initial Budgets; and to avoid scrutiny of new activities
38
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
slipped in at revision stage.
CASE STUDYANALYSIS AND EMPIRICAL FINDINGS This section discusses two main topics; the implementation of the Income Budget which is responsible towards the relevant revenue departments, and implementation of the expenditure budget which provides an analysis of how activities are handled by the relevant expenditure departments. Implementation of the Income Budget Interview responses revealed that, in practice, in contrast to the existing instruction in the local revenue administration manual, the Seksi Penagihan (section in charge of collection) has adopted a strategy of ‘jemput bola’, meaning ‘going into the field’. The team of jemput bola which consists of all staff from section in charge of collection plus staff from some sections within local revenue collection department and some relevant divisions (there are not enough employees in the section in charge of collection) go into the community to collect the taxes and charges. The schedule for their work which is prepared on a monthly basis and is repeated throughout the financial year is as follows; the first week of every month is a time of evaluation, the second week is dedicated to collecting taxes or charges from defaulters on the previous years’ payments, while weeks three and four are used to collect the current year’s taxes and charges. A tax payer or charge payer who is a couple of months in arrears is sent a number of reminders and has the opportunity of paying the deficit and an interest (usually 2% per month or part of a month) on their debts. When tax payers or charge payers continue to default on their payments, then the head of the local revenue collection department informs the Mayor. The taxpayer or charge payer is then summoned to court and usually fined. Any further persistence of non-payment of the taxes or charges leads to custodial sentence. With regard to shared taxes and non-taxes (except the land and building tax) the central and provincial governments themselves distribute the bills and collect their revenue. However, with the land and build-
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
ing tax, central government sends the land and building tax bill to local government (as mentioned before) relating to the individuals (wajib pajak) in its area. The local revenue collection department then passes them to the head of sub-district level who in turn forwards them to the head of village. Even if it is the duty of the head of village to collect all the tax due in their village, they further delegate this responsibility to the head of sub-areas in a village. The money collected is then passed on to the head of village, who in turn submit it to the head of sub-district, who also forwards it to the local revenue collection department. It also became apparent from the interviews that as there are no standard guidelines of the monitoring procedure of the income budget, the frequency of the monitoring meetings and the time scales used vary between all local governments. For example, in Musi Rawas there is an internal local revenue collection department meeting every week to evaluate progress. In addition, there are monthly meetings which are chaired by the Secretary of local government or his assistant and attended by the revenue representatives of each agency, the head of the local revenue collection department and the head of the planning and operation control section. Furthermore, there are quarterly meetings where the results of the monthly meetings and any problems are addressed. These are chaired by the Mayor and attended by the revenue representatives of each agency, the head of the local revenue collection department, the head of the planning and operation control section, local development planning board and the local finance division. Further investigations revealed that in practice, the revenue representatives of each agency consider irregularities in the tax base when they predict their target revenues in the initial budget for precautionary purposes and positive slack motivations by stating a considerably lower target amount than they usually receive. For instance, they set their target fairly below their best estimate thus creating an ‘allowance of potential’ or positive slack. Similarly, the head of the local revenue collection department usually wants to be seen as ‘a hero’ by being capable of increasing the local government’s revenue year after year. This is in line with Rodgers and Joyce’s (1996, p. 49) suggestion that it is much better to be a hero than a villain. To accomplish this objective, he or she only
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
makes small increments in each current year and thus creates room for further increments in the forthcoming years. It is for these reasons that in the Budget Revision which is usually the subject of the last quarter, the target revenue is nearly always increased. Implementation of the Expenditure Budget According to the field research findings, there are variations in the activities of the programmed arrangements division whose role is largely administrative. It is quite common for the head of the division and sub-division of control and evaluation together with the leader of the project and head of local public work agency (Dinas Pekerjaan Umum Daerah) to visit the place where the project is taking place in order to check on its progress. This is done because members of the programmed arrangements division do not want to rely on second-hand reports only. For instance, on 17th April 1997, I attended a Co-ordination Meeting and Monitoring Projects Quarter IV (Rapat Koordinasi dan Monitoring Proyek-proyek Triwulan IV) in Sidrap in which the local development planning board reported that physically about 99% of the projects were complete and about 98% of the money had been spent. It was attended by the sub-province officer (Pembantu Gubernur), provincial development planning board, the Mayor, local development planning board, local programmed arrangement division, and representatives from all the relevant departments and agencies in the local government. Further observation showed that, the monitoring of the project concentrated only on the input, i.e. progress towards physical completion and money spent. However, there was no evaluation of the project output, i.e. the impact of the project on the local community. Furthermore, monitoring in this case only occurred after the end of the financial year when the project was close to completion. An interview with the Mayor in Sidrap revealed several weaknesses in the evaluation. For instance the problems of inadequacy of the survey, delay of projects and cash flow. A survey and a feasibility study conducted prior to commencing the project may provide inaccurate results that lead to poor project planning not to mention the time and money wasted. The funds meant for the entire project may even get used up during the planning and preparation stage leaving no
39
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
money for the implementation of the project. This is a monitoring problem. Under the Routine Expenditure Budget the monitoring process should not be left to the finance division alone. Rather there should be a cross checking system by an external or independent party. This should be conducted during periodically organized meetings while employing a cash flow analysis as a tool. In addition an able and effective external audit body, reliable enough to conduct critical reviews should be contracted to provide a report on a quarterly basis. Probably then, the respective parties would become cost aware and improve their efficiency. Sometimes tenders are late, as are the guidance or instructions from provincial government. This causes delays in selecting the contractors and project leader. This highlights the lack of co-ordination in central and provincial governments, and the dominance of the top-down approach. Moreover, the fact that the contractors may delay in starting the work gives the local government cause for concern since the quality of the work can be compromised due to time constraints. In order to be of any value, the project monitoring process should occur during the implementation of the project, and should be supported by an evaluation meeting at the completion of the project. Furthermore, problems associated with poor planning (project, contract and budget) can be managed through training. Refresher courses on the relevant budget issues should be taken as an on going process and should be encouraged and financed at all levels of the local government administration. When the erratic nature of weather renders some projects un-implementable, the funds are still administered to project leaders, who keep them until the conditions become more favorable. A more realistic approach is if certain conditions render some projects un-implementable, the funds should be distributed in such a way as to keep cash available to start implementable projects, and not administered to project leaders who will delay until the conditions change. The finance division should consider these issues when managing their cash flow so that cash is readily available when projects can be implemented. Sidrap pursues a different strategy for its ex1
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
penditure budget. When it comes to the routine expenditure for instance, it tries to avoid deficits. In the past, the local staff always took it for granted that 100% implementation would be achieved once the ratification was finalized. Experience has, however, shown that in practice the achievement rate of the income is not always 100%, and this often causes a deficit. To avoid this occurring, the authorities set an upper limit of 85% of the target on the routine expenditure activities. As for development expenditure, they have adopted the priority list strategy. The Significance of Budget Revision To demonstrate the significance of budget revision and the consequent reliance of local governments upon it more than the initial budget, several types of analyses are made. Table 1 shows the five components of local governments’ income. It further shows that for the five financial years, 1991/1992 - 1995/1996, the average income received directly within the local governments (including previous year’s surplus) was about 15% only. On average, therefore, the local governments relied on the higher level administration for about 85% of its income. This is in line with Crane’s (1995, p. 142) observation that in Indonesia, most funding for capital projects comes from the central government. The delay in the information flow particularly from the central government renders the Initial Budget accuracy almost impossible. What happens in practice is that the local governments receive some information regarding the income that is meant to come from the central government. This information is then integrated in the Initial Budget while the information that remains uncertain is often presented as an exact replica or a projection of that in the actual budget (previous year). The accurate figures are only inserted in the Budget Revision when adjustments are made on the Initial Budget after the information concerning them has been released by the central government. In other words, during Initial Budget planning and preparation, the local governments have fairly accurate estimates for all the 15% of their income1 (i.e. ‘internally’ generated income); and fairly accurate estimates for only some of
Even if these estimates are said to be fairly accurate, there is a tendency to set a low target and, hence, a positive slack for the motivational reasons.
40
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
Table 1 The Proportion (%) Actual Income of all Indonesian Local Governments 1991/1992 - 1995/1996 Kind of Income
1991/92
1992/93
1993/94
1994/95
1995/96
Average
3.04
2.45
2.33
2.51
3.25
2.72
2. Local original revenue a. Local taxes b. Fees and charges c. Local gov. corporate profit d. Official service receipt e. Other receipt
13.57 3.67 7.56 0.41 0.54 1.39
12.36 3.45 6.79 0.37 0.45 1.30
11.59 3.36 6.38 0.33 0.50 1.02
13.04 4.17 6.76 0.35 0.62 1.14
13.68 4.62 6.72 0.34 0.65 1.35
12.85 3.85 6.84 0.36 0.55 1.24
3. Tax and non tax share a. Tax share b. Non tax share
12.40 10.82 1.58
12.80 11.26 1.54
13.59 11.94 1.65
15.25 13.51 1.74
15.26 13.05 2.21
13.86 12.12 1.74
4. Subsidies and contributions a. Subsidies b. Contributions
70.08 29.08 41.00
71.55 29.95 41.60
71.87 33.67 38.20
68.34 33.35 34.99
66.73 35.07 31.66
69.71 32.22 37.49
5. Development receipt a. Local government loans b. Loan for local gov.’s company
0.91 0.90 0.01
0.84 0.82 0.02
0.62 0.61 0.01
0.86 0.76 0.10
1.08 0.98 0.10
0.86 0.81 0.05
1. Previous year’s surplus
Source: Computed from the Biro Pusat Statistik, Jakarta the 85% of their income (i.e. ‘externally’ generated income). As a consequence, the percentage changes between the Initial Budget and the Budget Revision vary between local governments and between different financial years for a given local government. The fact that the accurate information which accounts for some of the 85% of the income can only be available in a Budget Revision then demonstrates how important the Budget Revision is in the local government. Other factors aside, the degree of the importance of the Budget Revision is, therefore, highly influenced by the magnitude of the missing information at the time of Initial Budget preparation. The significance of Budget Revision can also be analyzed by comparing the actual budget (current year) as a percentage of the Budget Revision. The figures for these variances are represented by column C of Table 2 for the individual years, while the average is represented by column G. A large variance implies that Budget Revision is not taken seriously, while a small
variance indicates that the implementation is based on the Budget Revision. Observation of the individual local government over the period analyzed reveals that Padang, Sidoarjo and Banyumas’ variances are particularly small. The only extreme case is for Banyumas 1995/1996 but there is reason for this. The figures also demonstrate that with time, Sidrap and Musi Rawas have been reducing their variances. The only problem has been with Bogor which apparently had perfection in 1991/92, a small variance in 1993/94 but then larger variances in the remaining years. According to this information, therefore, five out of the six local governments have consistently adhered to the Budget Revision. Budget Revision, hence, seems to carry some significance in these local governments.
41
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
Table 2 Percentage Change Initial (Penetapan), Revised (Perubahan) and Actual (Perhitungan) APBD 1991/92 - 1995/96
Name of LG Bogor Sidrap M. Rawas Padang Sidoarjo Banyumas
1991/1992 B
C
D
A
B
C
D
A
B
C
D
n/a n/a n/a n/a n/a n/a
18 5.1 104.7 7.6 15.2 -1.4
0 -13.2 -10.9 -0.9 3.3 -0.6
N/a N/a n/a n/a n/a n/a
40.5 31.8 -20.8 15.1 22.5 18.5
6.1 2.3 63.3 2.7 4.9 3.5
-20.4 -11.3 -8.7 -1 -0.7 -1.2
18.71 19.55 18.02 16.99 27.65 21.11
50.4 30 -18.5 12.9 21.2 9.3
-24.7 2.9 68.1 2.1 15.6 11.1
2.1 -1.8 -9.2 0.1 -7.2 -1.7
15.64 31.30 24.46 15.35 30.06 19.34
G
H
5.9 3.4 69.8 5.4 9.3 5.9
-11.7 - 6.5 -8.5 -1.5 0.8 -10.0
1994/1995
51.1 9 -25.9 9.1 12.3 -0.7
E
F
A
B
C
D
1995/1996 A
B
C
D
14.1 2.7 64.8 6.3 -0.01 23.2
-25.9 0.3 -11.6 -3.7 8 1.8
27.82 12.35 7.86 11.7 21.29 24.42
48.6 7.2 -26.4 7.9 -3.5 129.3
15.9 4.1 48.3 8.1 10.8 -6.7
-14.2 -6.6 -2.2 -1.9 0.8 -48.1
47.74 4.24 6.74 14.48 7.69 11.04
47.7 19.5 -22.9 11.3 13.1 39.1
Notes: A = % change of initial budget (penetapan APBD) from actual budget (perhitungan APBD) previous year B = % change between budget revision (perubahan APBD) and initial budget C = % change between actual budget and budget revision D = % change between current and previous actual budget E = Average % change of initial budget from actual budget (previous year) 1992/93 - 1995/96 F = Average % change between budget revision and initial budget in the same year, 1991/92 - 1995/96 G = Average % change between actual budget and budget revision in the same year, 1991/92 - 1995/ 96 H = Average % change between current and previous actual budget, 1992/93 - 1995/96 n/a - not applicable or data not available Source: Computed from the respective APBD
42
1993/1994
A
Name of LG
Bogor Sidrap M. Rawas Padang Sidoarjo Banyumas
1992/1993
27.48 16.86 14.27 14.63 21.67 18.98
Observation of the percentage changes between Budget Revision and Initial Budget (column B) show that all the figures for all the local governments over the period under investigation are positive except: Banyumas 1991/92 (-1.4), 1995/96 (-6.7); Bogor 1993/94 (-24.7); and Sidoarjo 1994/95 (-0.01). In the two extreme cases (-6.7, -24.7) the respective local governments had set their targets very high and thus made them difficult to achieve (i.e. 129.3% and 50.4% respectively). The average (column F) indicates that with the exceptional case of Musi Rawas, the average changes between Budget Revision and Initial Budget in the same year, 1991/92 - 1995/96 are positive and have a small variance. Further observation reveals that only Padang, Sidrap, and Musi Rawas have fairly consistent increments over the period although Musi Rawas’s increments are very high. The figures for Musi Rawas particularly emphasis its reliance on the Budget Revision. Whereas it always sets its initial budget estimates lower than actual budget (previous year), it equally always revises them by making tremendous increments and then implements them with a small variance. For Musi
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
Rawas, therefore, the initial budget estimates can be regarded as purely provisional and what really carries substance are the Budget Revision estimates. The increments for the remaining local governments, however, fluctuate a lot particularly for Bogor and Banyumas. This implies that as far as the planning for local budget is concerned, Bogor and Banyumas’ performance has been very poor over time. That is, the initial budget is not being used as a good planning and management tool particularly in Musi Rawas, Bogor and Banyumas. The consequence is that of the local governments relying on Budget Revision. However, reliance on budget revision has its own weaknesses. For instance, since the Budget Revision often takes place during the third quarter, the budgetary activities which should in principal be spread over a full financial year get condensed within the last two quarters thus putting unnecessary pressure particularly on the implementation process. To make it worse, the budget revision may be delayed further by the ratification process (particularly the external ratification) thus imposing an extra time constraint on the implementation process. This then eventually undermines the local government budgetary management.
Table 3 presentation of internal ratification (penetapan) and external retification of the initial local budgets (APBD Induk) for sample of two local government (Sidoarjo and Bogor) over cross-section of the listed respective financial years. Table 4 presentation of internal and external retification of the Budgets Revision (Perubahan APBD) for the same sample of two local government (Sidoarjo and Bogor) over cross-section of the listed respective financial years. It is by the law that preparation of budget revision starts at the beginning of the third quarter of the financial year. It is also required that the internal ratification ought to be done by the end of third quarter. That is to say, the praparation and internal ratification of the budget revision should be done within a periode of three months. Even if the initial budget has been internally and externally ratified, the only guarantee that projects particularly those funded by the central government will be undertaken is through the issue of an SPABP (Surat Pengesahan Anggaran Bantuan Pembangunan). This is an approval letter by the central government of grants for local governments’ development budget. According to this then, the Initial
Table 3 Date of Internal Ratification (Penetapan), External Ratification, and the Time Lag with the Initial Local Budget (APBD Induk) in Sidoarjo and Bogor Name of LG
Sidoarjo
Bogor
Year Internal Ratification External Ratification Time Lag (month)
1992/93 30/03/92 29/05/92 2
1993/94 22/03/93 19/06/93 3
1994/95 30/03/94 23/06/94 2.8
1995/96 30/03/95 07/06/95 2.3
1989/90 03/04/89 30/06/89 3
1990/91 31/03/90 16/07/90 3.5
1991/92 27/03/91 26/06/91 3
1992/93 27/03/92 26/06/92 3
Source: Bagian Keuangan and Memori Pelaksanaan Tugas Bupati/Walikota
Table 4 Date of Internal Ratification (Penetapan), External Ratification, and the Time Lag with the Budget Revision (Perubahan APBD) in Sidoarjo and Bogor Name of LG
Sidoarjo
Bogor
Year Internal Ratification External Ratification Time Lag (month)
1992/93 16/12/92 27/03/92 3.5
1993/94 15/11/93 28/01/94 2.5
1994/95 14/11/94 09/02/95 2.9
1995/96 27/11/95 04/04/96 4.3
1989/90 23/12/89 05/03/90 2.5
1990/91 22/12/90 06/03/91 2.5
1991/92 16/01/92 26/03/92 2.3
1992/93 24/12/92 03/03/93 2.3
43
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
Budget is just a provisional document which carries almost no weight particularly with respect to project implementation. To illustrate the importance of an SPABP vis-àvis the Initial Budget, an interesting case is cited from Sidoarjo2 . A certain project was among those that were proposed in the Initial Budget, and was consequently internally and externally ratified. Having been made aware that the project had been ratified, one of the project leader started making claims for money in order to get it going. When the head of the finance division learnt of this, he advised the project leader to take things easy and be patient since the approval letter by the central government of grants had not been received. The project leader, however, saw no reason why he should not go ahead especially given that the Governor had ratified the project. He, therefore, contacted the contractors and even made initial payments. To his surprise, when the approval letter by the central government of grants arrived, his project was not among those that had been approved by the central government. As stated above, on average only about 15% of the income is generated internally while the remaining 85% is generated externally. Since the Indonesian local governments pursue a balanced budget, an uncertainty on some of the 85% externally generated income leads to an uncertainty in the Expenditure Budget as well and, hence, warrants a Budget Revision. This uncertainty is a direct consequence of the delay in information flow, instructional projects, fluctuation of project funding, and inconsistent policy as discussed below. The central government’s delay in conveying the details of the national budget to provincial and local governments is exemplified by the following case study findings. In Sidoarjo, project of improvement for integrated city infrastructure or P3KT (Proyek Peningkatan Prasarana Kota Terpadu) was announced in the 1996/1997 financial year, although the approval letter by the central government of grants was not received until 21st November 1996. Therefore, the project had to be incorporated in the Budget Revision. Similarly, in the 1996/1997 financial year, project of improvement for integrated city infrastructure which was valued at Rp 251.271.000.000,- (to be funded by own revenue Rp 75.381.000.000,- and by a loan (IBRD
44
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
3304 IND)) did not receive information regarding the loan until November 1996 yet the loan deadline was in December 1996. This supports the notion of interventions from central and provincial government. The delay is first initiated by the central government which often releases the approval letter of grants late. An interview with the head of the finance division for Sidrap revealed that the earliest arrival time of the approval letter by the central government of grants is the middle of the first quarter of the financial year. This is then made worse by the fact that the approval letter by the central government of grants is not sent directly to the local government, but is sent via the relevant provincial government. This channel of communication therefore causes extra delays. The time delays associated with budget revision can be minimized by simplifying the Budget Revision procedure. This would involve the Mayor and/or local development planning board being given limited authority to make alterations without ratification. Instead of producing a completely new budget document, the larger alterations that might still require ratification should be presented in a summary format that mentions only the affected activities including the overall effect. Since the central government plans its development budget on a five year basis, it is in a position to pinpoint the local governments that are meant to benefit from certain projects during the individual years. Even if it may be difficult to state the exact amount due to various reasons, it still has a rough idea. This information should then be passed on to the respective local governments well knowing that the actual amount may be less or more. In this way, the local governments can prepare more reliable Initial Budget and make special provisions for unexpected short falls. When the actual amount is eventually known, then it can be altered accordingly. If this is done, the Budget Revision will only become handy during extra-ordinary circumstances. Then, there are instructional projects or topdown approach from the central government that require local governments to incorporate projects decided by central government into their budgets. This information, again, is received after the submission of the proposed initial budget, or in the implementation stage of the budget, and therefore must be included in the Budget Revision. This emphasizes further the reli-
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
ance of local government on the Budget Revision. Furthermore, the instructional projects from central government often require extra money from local government’s own revenue. It then implies that a Budget Revision has to be undertaken to enable adjustments that make the extra funds required available. For example in Sidrap: project analysis for situation of mother and child or ASIA (Analisis Situasi Ibu dan Anak) and project of school additional meal or PMTS (Proyek Makanan Tambahan Sekolah). Evidence from case study analysis also illustrates how a number of major projects have their values readjusted during budget implementation. These adjustments are a direct consequence of uncertainty of the information emanating from the central and provincial government. It thus introduces fluctuations (increases and decreases) of the Initial Budget. For example, president instruction grant of local road and bridge improvement or IPJK (Inpres Peningkatan Jalan dan Jembatan Kabupaten) which was declared in the 1995/1996 financial year (informed by local public work agency) was valued at Rp 3.550.000.000,-(in pos 1.4.2. ayat 223) and then, revalued to Rp 2.063.493.000,- at the end of October, a decrease of 41.8%. Another case is highlighted by the PBB which was set at Rp 487.740.000,- in the 1996/1997 financial year and then revised to about Rp 1.000.000.000,- an increase of over 100%. This suggests that there is an uncertainty regarding the funds available for projects implementation. This finding is supported by Crane (1995, p. 142) who observed an irregular nature of the distribution of funding for capital projects among lower level governments. There is also an inconsistency in policy. There are situations whereby as a move to decentralization, some autonomy has theorytically been given to the local governments but then practically been blocked by their respective provincial governments. When decentralization is implemented in a given local government, a certain degree of autonomy comes along with it. This theorytically involves a shift of some administrative functions from the higher level administrative government. Such functions may include for example the empowerment of the local government to administer some of the sharing taxes. In practice, however, the
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
local governments are denied some of this autonomy by their respective provincial governments. For example, on 3rd June 1996 Act No. 2/1996 was passed by East Java provincial government to transfer two of the sharing taxes (Gol C and ABT/Air Bawah Tanah) to PAD amongst its autonomous (decentralized) local governments. Sidoarjo did not receive confirmation of this until 4th November 1996. However, in February 1997, Sidoarjo received contradicting information from the Secretary of Jawa Timur provincial government to the effect that the sharing taxes were not to be transferred to PAD. Effectively, then, East Java provincial government blocked the transfer. Apart from the grant that the central government allocates to the lower level administrative governments, there is a grant that is set aside for other development projects. This grant is, however, competitive in nature since project approval depends on the quality and type of the proposed project. However, there is also no fixed procedure for a local government to obtain this externally generated income. In practice, the end result depends mostly on the initiative of the individual local governments. The individual local governments, therefore, have to take the initiative of proposing the projects they want to implement. For such projects to be approved, they have to be in line with the central government’s national priorities for that particular financial year. But this information is not circulated by the central government to the subordinate governments. The local government, therefore, needs ‘inside information’ from the central government. This is only attained through an establishment of a good relationship with the authorities in the central government, which in turn leads to a smooth flow of inside information from the central government. The fact that the central government has a grant allocated to the lower level administrative governments also introduces a time constraint when it comes its allocation and then the issue of the approval letter. Since this comes in the Budget Revision, it similarly implies that the time constraint causes problems on the implementation and monitoring processes of the projects.
45
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
CONCLUDING REMARKS This study has provided a comprehensive description of the implementation stage of Indonesian local government Initial Budget and Budget Revision; and investigated the significance of the Budget Revision process which relates to the experimental hypothesis. It is apparent that the stages of the Initial Budget and Budget Revision are formally similar although there is a difference arising from the fact that the Budget Revision is conducted in a shorter time. The Budget Revision process takes a considerable amount of resources and effort, and is usually undertaken once. However, since by the time it is finally ratified most of the financial year has passed, its usefulness as a tool for management and control purposes is undermined. Interview evidence of the implementation of the budget highlights a number of issues. The local governments have adopted a ‘jemput bola’ strategy which encourages the tax collectors ‘to go to the tax payers’. Each local government adopts its own monitoring procedure since there is no standard guideline, and monitoring of the development projects concentrates mainly on the input. There are problems of inadequacy of the survey, delay of projects and cash flow. Also, the external ratification of the Initial Budget does not guarantee project approval.
46
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
The Initial Budget is the one that is ratified and should in principal be used throughout the year; Budget Revisions should only be needed when information or circumstances change. In practice the case study provides evidence that is contrary. Evidence from the analysis of changes between Initial Budget and Budget Revision, and variances between out-turn and budget revision indicate that the sampled local governments rely much more on Budget Revision than the Initial Budget. This mainly arises from the fact that about 85% of the income is generated externally, and moreover it is riddled with different kinds of uncertainty. For instance, there is often a delay of information from central and provincial government; there is uncertainty regarding the amount of money, the projects to be implemented (role of the approval letter by central government of grants), and the general information about both the grants and the projects. There is also uncertainty regarding the ‘instructional projects’, particularly with regard to how much has to be contributed from the internally generated revenue and there is inconsistent policy. Since they pursue a balanced budget principle, this uncertainty in the income then equally causes an uncertainty in the expenditure thus warranting a Budget Revision.
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
BIBLIOGRAPHY Banyumas, (1996). Kabupaten Banyumas Dalam Angka 1995, Kerjasama Kantor Statistik dan Bappeda, Banyumas, Jawa Tengah. Biro Pusat Statistik (1994). Financial Statistics of The Second Level Local Government 1991/1992 - 1992/1993. Jakarta, Indonesia. Biro Pusat Statistik (1997). Financial Statistics of The Second Level Local Government 1994/1995 - 1995/1996. Jakarta, Indonesia. Bogor (1996). Kabupaten Bogor Dalam Angka 1995, Kerjasama Kantor Statistik dan Bappeda, Bogor, Jawa Barat. Crane, R. (1995). ‘The Practice of Regional Development in Indonesia: Resolving Central-Local Coordination Issues in Planning and Finance’. Public Administration Development, 15 (2), 139-149. Departemen Dalam Negeri R.I. (1994). Kepmendagri No. 105/1994 tentang Pelaksanaan Proyek Percontohan Otonomi Daerah pada Kabupaten/ Kotamadya Dati II, Jakarta. Departemen Dalam Negeri R.I. (1997). Inmendagri No. 6/1997 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Alokasi Subsidi Daerah Otonom, Jakarta.
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
Forrester, J. P. and Mullins, D. R. (1992). ‘Rebudgeting: The Serial Nature of Municipal Budgetary Processes’. Public Administration Review, 52 (5), 467-473 GOI. (1995). Peraturan Pemerintah No. 8/1995 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan kepada 26 (dua puluh enam) Dati II Percontohan, Jakarta. Musi Rawas (1996). Kabupaten Musi Rawas Dalam Angka 1995, Kerjasama Kantor Statistik dan Bappeda, Lubuk Linggau, Sumatra Selatan. Padang (1996). Kabupaten Padang Dalam Angka 1995, Kerjasama Kantor Statistik dan Bappeda, Padang, Sumatra Barat. Rodgers, R. and Joyce, P. (1996). ‘The Effect of Underforecasting on the Accuracy of Revenue Forecasts by State Governments’. Public Administration Review, 56 (1), 48-56 Sidenreng Rappang (1996). Kabupaten Sidenreng Rappang Dalam Angka 1995, Kerjasama Kantor Statistik dan Bappeda, Pangkajane, Sulawesi Selatan. Sidoarjo (1996). Kabupaten Sidoarjo Dalam Angka 1995, Kerjasama Kantor Statistik dan Bappeda, Sidoarjo, Jawa Timur.
47
Jam STIE YKPN - Mardiasmo
48
The Revision Process of The Indonesian Local ...........
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
LINGKUNGAN BELANJA DAN PERILAKU ANALISIS PENGARUH TEKANAN KETAATAN BELANJA: DITINJAU DARI MODEL PSIKOLOGI TERHADAP JUDGMENT AUDITOR LINGKUNGAN DAN REGULASI DIRI KONSUMEN Hansiadi Yuli Hartanto1) 1) Drs. Danes Jaya Negara, M.Si. 2) Indra Wijaya Kusuma Dr. Basu Swastha Dharmmesta, M.B.A. 2)
ABSTRACT The article is to describe a conceptual framework for exploring the influence of store environment on shopping behavior. Consumers shopping behavior dimensions that emerge from shopping environment can explained using Mehrabian-Russell environmental psychology (1974) and it has applied to the study of store atmosphere. A pleasant environment of a specific retail store environment evokes consumer emotion and it can be capture by pleasure and arousal of consumer. Shoppers experiencing relatively high pleasure and arousal generally spend more time in a store and are more will unplanned purchase. The role of consumer self-regulation also can be viewed as a moderator of relationship shopping emotion and consumer evaluations of the shopping experience. The basic dichotomy drawing by Kuhl in this article is the people who are “action” oriented versus people who are “state’ oriented. Keywords: Shopping environment, self-regulation, action oriented, state oriented.
PENDAHULUAN Bagi sebagian besar orang, membeli adalah suatu yang normal dan bagian dari aktivitas rutin setiap hari.
1)
2)
Aktivitas konsumen dapat dibagi tiga, yaitu: berbelanja, membeli, dan mengkonsumsi. Di dalam memenuhi ketiga aktivitas tersebut konsumen akan memilih tempat dimana ia dapat memperoleh kebutuhan yang diinginkan. Memilih tempat berbelanja atau membeli dapat diartikan bahwa konsumen menjalani suatu proses pencarian toko eceran, kemudian konsumen berinteraksi dengan lingkungan tempat berbelanja. Tauber (1972) menyatakan bahwa konsumen berinteraksi dengan lingkungan belanja di retail dengan alasan motif pribadi dan motif sosial. Interaksi ini umumnya mengarah pada tujuan aktivitas pencarian pra-pembelian, atau dapat berbentuk aktivitas pencarian seperti perilaku melihat-lihat barang di toko (Bloch, Sherrel dan Ridgway, 1989). Dalam kasus lain, konsumen dihadapkan pada tugas untuk menemukan kebutuhan mereka melalui lingkungan retail. Misalnya, konsumen disibukkan dengan aktivitas pra-beli yang umumnya berkaitan dengan pencarian produk yang diinginkan. Begitu juga, konsumen dapat melakukan aktivitas melihat-lihat dengan mencari-cari stimulus sensori dari lingkungan belanja itu (Bloch, Ridgway, dan Sherrell, 1989). Berbagai implikasi muncul dari lingkungan belanja terhadap perilaku pembelian konsumen. Beberapa riset pemasaran mendukung asumsi bahwa pelayanan fisik dapat mempengaruhi perilaku pelanggan. Studi tersebut dilakukan untuk mendokumentasikan secara sistematik variasi dalam
Drs. Danes Jaya Negara, M.Si., Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya, kandidat doktor di bidang pemasaran program doktor Universitas Gadjah Mada. Dr. Basu Swastha Dharmmesta, M.B.A., Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
49
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
kognisi konsumen dan perilaku yang teratribusi dengan karakteristik fisik lingkungan (Bitner, Booms dan Tetreault, 1990; Cole dan Gaeth, 1990; Eroglu dan Machleit, 1990; Iyer, 1989). Beberapa riset mengenai atmosfir toko telah mendokumentasikan kapasitas lingkungan retail untuk mengubah emosi konsumen (Donnovan dan Rossiter, 1982; Kotler, 1974). Perubahan emosi yang mengubah suasana hati konsumen mempengaruhi perilaku dan evaluasi purna belanja konsumen (Babin dan Darden, 1995; Babin, Darden, dan Grifin, 1994; Dawson, Bloch, dan Ridgway, 1990; Gardner, 1985). Emosi yang ditimbulkan oleh lingkungan retail juga mempengaruhi kinerja tugas belanja (Bitner, 1992; Eroglu dan Harrell, 1986) dan memberi kontribusi pada pembelian impulsif dan keputusan pembelian kompulsif (O’Guinn dan Faber, 1989; Rook, 1987). Dengan demikian, terdapat adanya bukti empirik dan konseptual yang kuat untuk membuat proposisi mengenai hubungan antara emosi konsumen dan pola perilaku patronase mereka. Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh lingkungan fisik terhadap perilaku belanja, diawali dengan mengetengahkan dimensi perilaku belanja konsumen yang ditimbulkan oleh lingkungan belanja. Dimensi tersebut didekati dengan model psikologi lingkungan dari Merahbian–Russell (1974), disingkat menjadi MR, yang diaplikasikan ke dalam studi mengenai atmosfir toko. Kemudian diketengahkan faktor regulasi diri konsumen sebagai moderator hubungan antara emosi belanja dan evaluasi konsumen terhadap pengalaman belanja.
DIMENSI PERILAKU BELANJA KONSUMEN Berbagai dampak dapat muncul dari lingkungan belanja retail seperti terlihat dalam Gambar 1. Sebagai contoh, dengan mengikuti anak panah searah jam, lingkungan belanja dapat memberi dimensi dalam bentuk (1) konsumen dapat teratribusi dengan perubahan yang terjadi berkaitan dengan perubahan emosi, (2) konsumen dapat melakukan pembelian yang tak direncanakan, (3) pembelian impulsif dan kompulsif, (4) konsumen dapat berganti merek, (5) konsumen dapat meningkatkan memorinya, (6) konsumen lebih lama di toko, (7) konsumen melakukan evaluasi pasca belanja, dan (8) konsumen berperilaku beli dengan orientasi nilai hedonis dan utilitarian. Gambar 1 tersebut merupakan kompilasi yang diadaptasi dari Donovan dan Rossiter (1982); Dawson dkk (1990), Donovan dkk (1994); Havlena dan Holbrook (1986); dan Iyer (1989). Dimensi perilaku belanja tersebut telah berkembang menjadi mainstream riset hubungan antara lingkungan belanja atau atmosfir toko dan perilaku beli konsumen sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini. Memang belum ada upaya riset yang mengintegrasikan keseluruhan dimensi perilaku tersebut karena faktor kompleksitas. Kompleksitas tersebut oleh Titus dan Everett (1995) dinyatakan bahwa persepsi konsumen terhadap lingkungan belanja terbentuk oleh tiga faktor, yaitu: (1) desain lingkungan belanja, (2) sifat dasar atau karakteristik tugas saat berbelanja, misalnya pengaruh tekanan waktu dan
Gambar 1 Lingkungan Belanja dan Dimensi Perilaku Belanja Konsumen
V
V V
V
V
(5) Meningkatkan Memori Konsumen
50
Lingkungan Belanja Retail
V
(6) Lebih Lama di Toko
(1) Perubahan Emosi
V
(7) Evaluasi Pasca Belanja
V
(8) Perilaku Hedonik dan Utilitarian
(2) Pembelian Tak Direncanakan
(3) Pembelian Impulsif dan Kompulsif
(4) Berganti Merek
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
kompleksitas tugas, dan (3) karakteristik individu konsumen, misalnya sensitivitas dan pengetahuan terhadap lingkungan. Persepsi konsumen pada gilirannya akan mempengaruhi tipe strategi pencarian yang digunakan oleh konsumen. Strategi ini secara langsung mempengaruhi terjadinya perilaku pencarian, seperti membaca situasi toko, menilai produk, masuk dan keluar dari lingkungan belanja. Pola pencarian toko retail secara langsung mempengaruhi kepuasan konsumen yang terbentuk dari pengalaman pencarian toko retail tersebut. Pola perilaku pencarian toko retail seperti ini dilihat dalam konteks studi pemilihan toko retail mengarah pada tiga aspek penting (lihat Spiegel dan Sewall, 1987). Pertama, riset yang menunjukkan prediksi tentang patronase retail dan yang membentuk suatu hubungan pembelian jangka panjang antara konsumen dan toko tertentu. Kedua, studi yang menguji pilihan retail, atau keputusan untuk melakukan pembelian pada suatu toko dalam periode tertentu. Ketiga, studi mengenai preferensi retail, yang dimaksudkan untuk memahami pengaruh positif konsumen terhadap toko tertentu.
MODEL PSIKOLOGI LINGKUNGAN Semenjak Donovan dan Rossiter (1982) memperkenalkan model psikologi lingkungan dari MerahbianRussell ke dalam studi mengenai atmosfir toko maka sejak itu, sejumlah peneliti telah mengaplikasikan model M-R ke dalam suatu studi misalnya tentang lingkungan toko (Dawson dkk, 1990), termasuk pengaruh mengenai faktor-faktor di dalam toko seperti musik (Yalch dan Spangenberg, 1990; Milliman, 1986). Model M-R juga mengalami kebangkitan kembali di bidang lain tentang perilaku konsumen yang melibatkan studi mengenai emosi (misalnya Holbrook dkk, 1984; Havlena dan Holbrook, 1986). Model tersebut juga diaplikasikan dalam studi di bidang periklanan (Pavlechak dkk, 1988; Olney dkk, 1991), preferensi pemilih (Christ, 1985), dan durasi pengalaman mengkonsumsi (Holbrook dan Batra, 1987). Namun, tak satupun studi yang mengikuti metodologi dan analisis model M-R seperti yang dikemukakan oleh Donovan dan Rossiter (1982) sampai kemudian Donovan dkk (1994) menindaklanjuti dan memperluas studi mereka. Dalam studi tersebut mereka
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
menggunakan model Merahbian–Russell untuk menguji pengaruh emosi selama berbelanja dan menghubungkan situasi perasaan hati dengan pengeluaran dan waktu belanja. Pra-pengukuran tentang estimasi pengeluaran dan waktu yang dikeluarkan di toko telah dibandingkan dengan pascapengukuran tentang pengeluaran aktual dan waktu aktual yang digunakan di dalam toko. Model M-R didasarkan pada paradigma Stimulus-Organism-Response (S-O-R), yang menghubungkan lingkungan (S) dengan perilaku mendekat-menghindar (R) di dalam lingkungan, yang dimediasi oleh situasi emosi individu (O) dan ditimbulkan oleh lingkungan tersebut (keadaan emosi ini bisa dilemahkan atau diperkuat oleh ciri pribadi individu (Grossbart dkk, 1975). Model M-R mengusulkan ukuran umum S (lingkungan) yang berkaitan dengan tingkat informasi, sesuatu yang baru, dan kompleksitas; namun fokusnya hanya pada aspek O-R dari model tersebut. Mehrabian dan Russell (1974) mengusulkan tiga keadaan emosi dasar, yaitu kesenangan (pleasure), kemunculan (arousal), dan dominasi (dominance), disingkat menjadi PAD. Ke tiga faktor tersebut menengahi perilaku mendekat-menghindar di dalam lingkungan, yaitu: senang-tidak senang (pleasure-displeasure), kemunculan-tidak kemunculan; dan dominan-tidak dominan (dominance-submissiveness). Mereka mengajukan hipotesis bahwa kesenangan akan berhubungan secara signifikan dengan keseluruhan ukuran mendekat-menghindar, dan kemunculan memiliki efek interaktif dengan rasa senang sehingga kemunculan akan berkorelasi secara positif dengan perilaku dalam lingkungan yang menyenangkan, tetapi akan negatif dengan lingkungan yang tak menyenangkan. Mereka juga mengajukan hipotesis lainnya bahwa dominasi akan berkorelasi positif dengan perilaku mendekat, namun, untuk alasan teoritis (Russell dan Pratt, 1980) variabel dominasi kurang mendapatkan dukungan secara empiris. Oleh karena itu, dimensi dominasi dapat diabaikan dalam studi yang menggunakan model M-R. Gambar 2 memperlihatkan model M-R yang sudah dimodifikasi. Dalam konteks pengambilan keputusan konsumen, bagian kanan dari Gambar 2, stimulus dikonseptualisasikan sebagai faktor-faktor eksternal yang diasosiasikan dengan penantian keputusan (pend-
51
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
Gambar 2 Model M-R yang dimodifikasi
KEADAAN EMOSI Kesenangankemunculan
ing decision). Menurut Bagozzi (1986), bila perilaku konsumen digambarkan sebagai suatu sistem stimulus-organism-response, stimuli merupakan faktor eksternal bagi seseorang yang terdiri dari variabelvariabel bauran pemasaran dan input lingkungan lainnya. Keputusan yang dibuat bisa berupa membeli atau menunda membeli, kategori barang atau jasa yang dibeli, apa merek yang dibeli, berapa banyak uang yang dibelanjakan, berapa banyak pembelian yang dilakukan, dan/atau bagaimana produk digunakan dan yang tidak digunakan. Stimulus (lingkungan) dalam perspektif Merahbian dan Russell langsung dinilai dengan respon afektif konsumen, sehingga dalam aplikasinya para peneliti umumnya fokus kepada aspek O-R. Stimuli lingkungan tidak diidentifikasi secara spesifik, diklasifikasi atau dibatasi pada elemen-elemen tertentu. Namun, lingkungan langsung dipersepsikan oleh konsumen secara holistic mengikuti respon emosi (afektif) mereka dalam tiga dimesi pleasure, arousal, dan dominance (PAD). Lebih spesifik, Merahbian dan Russell (1974) mengemukakan bahwa respon afektif terhadap lingkungan dapat dideskripsikan dengan tiga variabel emosi dasar: Pleasure-Arousal-Dominance (selanjutnya disingkat sebagai PAD), sebagai mediasi perilaku menghindar-mendekat (approach-avoidance behaviors) di dalam lingkungan: pleasure-displeasure; arousal – non arousal; dan dominance – submissiveness. Secara operasional, “kesenangan” merupakan pengukuran penilaian secara verbal mengenai reaksi terhadap lingkungan, misalnya happy ataukah unhappy (bahagia atau tidak), pleased ataukah annoyed
52
STIMULUS LINGKUNGAN
PERILAKU MENGHINDARI ATAU MENDEKAT
(senang atau menjengkelkan), satisfied ataukah unsatisfied (puas atau tidak puas), contended ataukah melancholic (gembira atau murung), hopeful ataukah despairing (memberi harapan atau hilang harapan), dan relaxed ataukah bored (santai atau membosankan). “Kemunculan” adalah penilaian secara verbal mengenai sejauh mana responden menyatakan perasaan stimulated ataukah relaxed (menimbulkan dorongan atau tidak), excited ataukah calm (heboh atau tenang), frenzied ataukah sluggish (riuh atau biasa saja), jittery ataukah dull (membuat gelisah atau menjemukan), wide awake ataukah sleepy (membuat terjaga atau mengantuk), dan aroused ataukah unaroused (tergerak atau tidak tergerak). Mengambil dari teori informasi, Mehrabian dan Russell mengemukakan bahwa kualitas arousing dari lingkungan berkorelasi tinggi dengan tingkat informasi (information rate), seperti meningkatnya novelty (merasakan sesuatu yang baru), complexity (kompleksitas), intensity (intensitas), unfamiliarity (ketakdekatan), improbability (ketidakmungkinan), change (perubahan), mobility (mobilitas), atau uncertainty (ketidakpastian) terhadap setting lingkungan (Foxall dan Greenley, 1998). Mereka berhipotesis bahwa kesenangan akan signifikan berhubungan dengan keseluruhan ukuran mendekat-menghindar, dan kemunculan memiliki efek interaktif terhadap pleasantness (rasa senang) sehingga kemunculan akan positip dengan perilaku dalam lingkungan yang menyenangkan, tetapi akan negatip dalam lingkungan yang tak menyenangkan. Mereka juga berhipotesis bahwa dominance akan positip berkaitan dengan perilaku mendekat. Namun, untuk alasan teoretis dan karena kekurangan dukungan
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
empiris, maka dimensi dominance biasanya diabaikan dalam studi menggunakan model Mehrabian dan Russell (Russel dan Pratt, 1980).
STUDI DONOVAN DAN ROSSITER Donovan dan Rossiter (1982) menggunakan delapan ukuran untuk mengamati perilaku mendekat– menghindar di toko. Mereka menunjukkan bahwa pendapat responden dengan instrumen PAD tentang emosi di dalam lingkungan toko secara signifikan dapat memprediksi ukuran mendekat-menghindar seperti menyukai toko, senang belanja di dalam toko, ingin menghabiskan waktu di dalam toko, ingin menikmati lingkungan, merasakan persahabatan dengan orang lain, ingin kembali lagi, dan kemungkinan mengeluarkan uang lebih banyak dari yang diniatkan. Selama dilakukan berbagai pengukuran mendekat-menghindar, proporsi varian yang ditunjukkan dengan instrumen PAD berada pada kisaran tinggi, yaitu 50% bagi pengukuran pengaruh (menyukai, menyenangi, ingin kembali lagi) dan kisaran rendah, yaitu 12% bagi item-tunggal pengukuran pengeluaran. Kesenangan merupakan prediktor yang signifikan bagi ukuran banyak faktor, termasuk ukuran faktor retail yang relevan tentang kemungkinan responden mengeluarkan lebih banyak uang. Kemunculan menjadi prediktor yang signifikan hanya pada ukuran afiliasi, seperti persahabatan dengan orang lain. Meskipun demikian, seperti yang diprediksikan oleh model M-R, apabila lingkungan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dianalisis secara terpisah, kemunculan dapat menjadi prediktor yang signifikan dalam komposisi skor mendekatmenghindar di lingkungan yang menyenangkan. Di sisi lain, terdapat ketidakcukupan lingkungan yang menyenangkan untuk menguji secara memadai hipotesis tentang interaksi kesenangan-kemunculan dalam lingkungan yang tak menyenangkan. Seperti diketahui, variabel dominasi tidak berhubungan secara signifikan dengan ukuran mendekat-menghindar sehingga dapat diabaikan dari model M-R seperti yang dilakukan dalam studi Donovan dkk (1994). Studi Donovan dan Rossiter menjajagi dua aspek: (1) menggunakan mahasiswa sebagai subjek dan (2) mengukur sikap serta niat berperilaku belanja. Sejak
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
saat itu, sejumlah studi menggunakan pembeli aktual dalam situasi belanja, yang berupaya menghubungkan keadaan emosi yang dialami di toko untuk mengukur perilaku pengeluaran yang tak direncanakan dan tambahan waktu di dalam toko. Namun, sebagian besar hanya menggunakan ukuran setelah berbelanja, baik untuk emosi yang dialami ketika berbelanja dan pembelian yang tak direncanakan serta penggunaan waktu yang tak direncanakan (Dawson dkk, 1990; Yalch dan Spangenberg 1990). Studi-studi ini mengandalkan pada ingatan kembali emosi ketika belanja, sebagai variabel perilaku dependen, yang kemungkinan dapat terjadi kesalahan memori dan atribusi yang sudah dialami. Studi lainnya menggunakan model M-R atau perilaku menghindar-mendekat yang dikaitkan di dalam toko sebagaimana dilkemukakan Donovan dan Rossiter dengan menggunakan subjek mahasiswa (misal Bellizi dan Hite 1992), atau tidak mengaplikasi model seperti dalam Donovan dan Rossiter. Misalnya, Sherman dan Smith (1986) menggunakan ukuran suasana hati (mood) tunggal yang menggabungkan tiga dimensi PAD. Bellizzi dan Hite (1992) membandingkan dimensi PAD untuk berbagai warna lingkungan, tapi tidak mengkaitkan dengan pendekatan Donovan dan Rossiter; kemudian Yalch dan Spangenberg (1990) membandingkan pengeluaran yang tak direncanakan dan waktu yang tak direncanakan untuk berbagai tipe musik yang berbeda, tapi tidak menggunakan ukuran PAD untuk mempresiksi variabel dependennya. Lebih lanjut, dengan pengecualian Anderson (1986), sebagian besar dari studi diatas tidak menilai kontribusi faktor emosi yang dikaitkan dengan faktor-faktor kognitif, dan tidak mengeksplorasi interaksi hipotesis P x A dalam lingkungan yang menyenangkan dibandingkan dengan yang tak menyenangkan. Selain itu, tak satupun studi yang menerapkan model M-R yang menampilkan pembeli yang sudah sangat mengenal toko. Ini berarti bahwa pengaruh seleksi-diri dapat dioperasikan bagi yang sudah sangat mengenal toko yang mempunyai pengalaman prakondisi emosi dengan respon mendekat-menghindar yang mengesampingkan atau bahkan meniadakan emosi yang ditimbulkan oleh atmosfir toko tersebut. Upaya untuk melihat sejauh mana emosi dalam model M-R dapat memprediksi variabel dependennya secara bebas, yaitu faktor-faktor kognitif yang dapat
53
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
dilihat dalam penelitian Donovan dkk (1994). Faktorfaktor kognitif yang dimaksud adalah persepsi responden terhadap kualitas barang, keragaman, spesialisasi, dan besarnya nilai untuk uang yang dibelanjakan. Semuanya berpotensi menjadi sebab keadaan emosi di toko dan faktor tersebut menjadi sentral bagi model M-R dan dapat menggambarkan semakin meningkatnya daya ekplanatori dalam pengukuran emosi. Studi Donovan dkk (1994) menunjukkan bahwa keadaan emosi pembeli di dalam toko dapat memprediksi perilaku pembelian aktual, bukan hanya sikap atau niat. Kontribusi variabel emosi pada lingkungan toko bersifat independen dari variabel kognitif seperti persepsi terhadap kualitas dan harga. Kemudian, kontribusi variabel emosi terhadap perilaku belanja dalam toko adalah independen dari variabel kognitif seperti persepsi terhadap kualitas dan harga. Lebih spesifik, kesenangan yang disebabkan oleh lingkungan toko nampak semakin kuat untuk membuat konsumen mengeluarkan waktu ekstra di toko dan mengeluarkan uang lebih banyak dari yang diniatkan. Menurut model M-R, kemunculan yang disebabkan oleh lingkungan toko dapat meningkatkan kesenangan dan bukan kesenangan sehingga waktu dan perilaku pengeluaran akan meningkat dalam lingkungan yang menyenangkan dan menurun dalam lingkungan yang tak menyenangkan. Studi tersebut mengkonfirmasi bahwa pengalaman menyenangkan di dalam lingkungan toko eceran mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembelian. Riset yang masih perlu dikembangkan adalah: (1) menentukan apa yang menjadikan lingkungan yang menyenangkan, dan bagi pengecer bagaimana mengimplementasikan pembiayaan efektif untuk lingkungan seperti ini, (2) mengeksplorasi pengaruh “dua-arah” dari kesenangan dan kegembiraan, dan (3) mengeksplorasi sifat dasar hubungan antara perdagangan dan pengaruh atmosfir. Berdasarkan kerangka konseptual yang ada, emosi yang muncul pada individu yang berbelanja akan berkaitan dengan perilaku berbelanja sehingga dapat dikembangkan beberapa proposisi: P1: Kesenangan yang dialami di toko akan berkorelasi positif dengan pengeluaran waktu yang tak direncanakan dan pembelian yang tak direncanakan;
54
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
P2:
P3:
Kemunculan akan berkorelasi positif dengan waktu yang tak direncanakan dan pembelian yang tak direncanakan dalam lingkungan yang menyenangkan, tapi akan berkorelasi sebaliknya dalam lingkungan yang tak menyenangkan. Variabel emosi kesenangan dan kemunculan yang dialami di dalam toko akan memberikan kontribusi dengan adanya tambahan waktu di toko dan pengeluaran yang tak direncanakan, yang semuanya bersifat independen atas variabel kognitif yang dirasakan tentang kualitas, keragaman, spesialisasi, dan nilai uang.
REGULASI-DIRI KONSUMEN Dibandingkan dengan studi yang menunjukkan konsekuensi emosi konsumen berbasis toko, relatif sedikit perhatian terhadap pengaruh karakteristik pribadi tentang hubungan-hubungan ini. Model servicescape (Bitner, 1992) yang menjelaskan tentang respon perilaku terhadap lingkungan retail, menyatakan bahwa variabel kepribadian dapat menunjukkan respon moderator yang menjelaskan perbedaan reaksi konsumen dengan lingkungan fisik yang sama. Hal ini konsisten dengan definisi kepribadian sebagai perbedaan karakteristik individu dalam menentukan reaksi seseorang terhadap lingkungannya. Kecenderungan konsumen yang memunculkan emosi berbasis toko dinamakan kecenderungan regulasi diri (Kuhl, 1992). Teori aksi-kontrol dari Kuhl menunjukkan karakteristik orang seperti ini. Premis dasar teori aksi-kontrol bahwa aksi yang sekarang bergantung pada kemapanan kecenderungan satu aksi yang dominan dari berbagai kecenderungan aksi yang bersaing. Dikotomi dasar yang digambarkan oleh Kuhl adalah antara orang yang berorientasi action dan orang yang berorientasi state. Individu yang berorientasi aksi umumnya mempunyai bentuk niat yang relatif serius sebelum memulai aktivitas dan kurang mudah bersaing secara kontekstual dengan mengambil kecenderungan aksi yang tercampur dengan niat awalnya. Niat ini didukung oleh tendensi individu yang berorientasi pada aksi dalam pengembangan emosi dan mekanisme kontrol lingkungan yang menjadi sifat terjadinya persaingan
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
aksi menjadi cenderung mengetengahkan diri mereka sendiri selama aktivitas tersebut berlangsung (Kuhl, 1986). Sebaliknya, individu yang berorientasi state memiliki struktur kognitif yang lebih terbantu oleh unsur sosial dan emosional dari sejumlah keadaan internal dan eksternal (Kuhl, 1986). Hasilnya adalah degenerasi niat dan lebih besar kemudahan untuk melakukan perilaku tanpa pembenaran sebelumnya. Struktur kognitif mereka dikarakteristikkan oleh aturan dengan kekuatan rendah dan lebih besar kemudahan untuk campur tangan. Jadi, individu dengan orientasi state dikarakteristikkan dengan kemampuan yang relatif rendah untuk berperilaku meregulasi diri. Bukti empiris yang substantif telah mendeskripsikan perbedaan dalam perilaku antara yang dapat teratribusi dan yang bertendensi ke regulasi diri. (Kuhl, 1992). Kinerja tugas, misalnya, dapat dipengaruhi oleh orientasi action atau state. Sebuah eksperimen menggambarkan bahwa individu dapat memiliki kinerja yang relatif jelek dengan tugas yang relatif sulit (Kuhl, 1981). Perbedaan dalam kinerja yang mengatribusi pada subjek yang berorientasi state cenderung lebih memusatkan pada kegagalan yang pasti terjadi; dan ini berkaitan dengan konsekuensi emosional. Sedangkan individu yang berorientasi action lebih memusatkan pada kinerja itu sendiri (Harackiewicz dan Elliot, 1993). Bukti lain menunjukkan bahwa individu yang berorientasi action kemungkinan lebih banyak melakukan aktivitas rekreasional yang direncanakan, memiliki keinginan menguji lebih rendah dan kurang dipengaruhi oleh intensitas emosi (Kuhl, 1986). Kecenderungan regulasi diri yang sama yang dapat mempengaruhi perilaku dimana saja kemungkinan besar dapat mempengaruhi perilaku konsumen. Bagozzi dkk (1992) menyatakan bahwa peran regulasi diri dalam pengambilan keputusan dapat mengurangi penjelasan tentang pengambilan keputusan. Studi mereka menyatakan bahwa regulasi-diri merupakan moderator hubungan sikap-niat konsumen. Secara khusus, ada korelasi lebih tinggi yang signifikan antara sikap berperilaku dan niat berperilaku (dalam kasus penggunaan kupon) pada konsumen berorientasi aksi (regulasi diri tinggi) dibandingkan konsumen yang berorientasi state. Dengan demikian, perilaku konsumen pada umumnya dipandang sebagai suatu orientasi tujuan; dan kemampuan konsumen untuk meregulasi
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
diri dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, yaitu dengan menentukan tujuan yang dominan dalam situasi tertentu. Evaluasi pembeli terhadap perjalanan belanja mereka tidak mampu atau gagal menyelesaikan persoalan tentang tugas belanja yang spesifik. Hal ini disebabkan oleh adanya lingkungan toko yang bervariasi terhadap tendensi regulasi diri. Jadi, peran regulasi diri nampak relevan sebagai moderator lingkungan yang berpengaruh pada perilaku belanja.
REGULASI DIRI DI LINGKUNGAN RETAIL Babin dan Darden (1995) menyatakan bahwa efek lingkungan retail terhadap perilaku belanja dan evaluasi purna belanja dimoderasi oleh regulasi diri konsumen (orientasi aksi dan state). Dalam hal ini terdapat dua pola umum hubungan yang diharapkan terjadi, yaitu: Pertama, pembeli yang berorientasi state yang mempermudah terjadinya pengaruh kontekstual (kecenderungan persaingan aksi) menyatakan bahwa emosi dalam toko kemungkinan mempunyai dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan pembeli yang berorientasi aksi. Apabila hal ini terjadi, hubungan positif antara emosi dan pengeluaran sumber daya yang ditunjukkan dalam studi sebelumnya seharusnya terjadi lebih kuat di antara pembeli yang berorientasi aksi. Tindakan konsumen dengan ciri impulsif merupakan contoh yang spesifik. Kedua, regulasi-diri konsumen dapat menjadi pengaruh moderat terhadap evaluasi belanja. Karena pembeli berorientasi aksi lebih besar kemungkinannya untuk memfokuskan pada aspek belanja dengan orientasi tugas, maka peningkatan pengeluaran sumberdaya (seperti waktu, dana dan sebagainya) kemungkinan mempunyai pengaruh negatif lebih kuat dibanding pembeli lainnya. Lebih jauh, karena skema belanja mereka lebih spesifik dan lebih kuat dibanding pembeli yang berorientasi state, maka penyimpangan dari ekspetasi akan menimbulkan pengaruh yang lebih kuat pada evaluasi purna layan (Bitner dkk, 1990, 1994). Efek langsung emosi di toko terhadap nilai belanja hedonis dan utilitarian dipandang masih kurang jelas. Bukti konseptual menyatakan bahwa individu yang berorientasi state cenderung mengutamakan perasaan emosional ketika melakukan tugas belanja
55
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
(Kuhl, 1986; Harackiewicz and Elliot, 1993). Namun, bagaimana hal ini dapat mempengaruhi evaluasi saat menghadapi pelayanan, pada umumnya, kesadaran emosi yang lebih besar akan menimbulkan kovarian lebih tinggi antara emosi dan evaluasi di antara pembeli yang berorientasi state. Lagi pula, proposisi servicescape menyatakan bahwa hubungan antara kesenangan, kemunculan, dan kontrol di satu sisi serta respon konsumen di sisi lain, dimoderasi oleh karakteristik konsumen (Bitner, 1992).
PENUTUP Lingkungan belanja telah memberikan gambaran bagaimana konsumen dapat teratribusi oleh atmosfir lingkungan belanja. Pengaruh lingkungan belanja tersebut dapat menimbulkan adanya dimensi perilaku belanja konsumen, seperti perilaku belanja yang tak direncanakan, menghabiskan waktu lebih lama di toko, dan beralih merek. Perilaku tersebut dimediasi oleh perubahan emosi seperti dalam Model M-R yang didasarkan pada paradigma Stimulus-Organism-Response (S-O-R). Paradigma tersebut menghubungkan lingkungan (S) dengan perilaku mendekat-menghindar (R) di dalam lingkungan, yang dimediasi oleh situasi emosi individu (O); dan situasi emosi individu yang berupa kesenangan, kemunculan dan dominansi tersebut terjadi karena kondisi lingkungan. Meskipun demikian, keadaan emosi ini dapat dilemahkan atau diperkuat oleh ciri pribadi individu. Hasil studi menunjukkan bahwa kesenangan akan berhubungan secara signifikan dengan keseluruhan ukuran mendekat-menghindar, dan kemunculan memiliki efek interaktif dengan perasaan senang. Hal ini menyebabkan kemunculan berhubungan secara positif dengan perilaku dalam lingkungan yang menyenangkan, tetapi akan berhubungan secara negatif dalam lingkungan yang tak menyenangkan.
56
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
Studi mengenai lingkungan belanja juga perlu mempertimbangkan regulasi diri konsumen sebagai moderator hubungan antara emosi belanja dan evaluasi konsumen berdasar pengalaman belanja mereka. Dikotomi dasar telah digambarkan oleh Kuhl (1986), yaitu antara orang yang berorientasi aksi dan orang yang berorientasi state. Individu yang berorientasi aksi umumnya mempunyai bentuk niat yang relatif serius sebelum memulai aktivitas dan kurang mudah bersaing secara konstektual. Hal ini disebabkan oleh adanya kecenderungan untuk melakukan aksi yang yang diwarnai niat awalnya. Niat tersebut didukung oleh tendensi individu yang berorientasi aksi untuk mengembangkan emosi dan mekanisme kontrol lingkungan sebagai sifat yang menekan terjadinya persaingan aksi. Konsumen dalam kondisi seperti ini menjadi cenderung mengetengahkan diri mereka sendiri selama aktivitas tersebut. Sebaliknya, individu yang berorientasi state memiliki struktur kognitif yang lebih terbantu oleh unsur sosial dan emosional dari sejumlah keadaan internal dan eksternal. Hasilnya adalah degenerasi niat dan munculnya kemudahan yang lebih besar untuk melakukan perilaku tanpa pembenaran sebelumnya. Struktur kognitif mereka bercirikan aturan dengan kekuatan rendah dan kemudahan lebih besar untuk terjadinya intervensi. Dengan kata lain, individu dengan orientasi state mempunyai kemampuan yang relatif rendah untuk melakukan regulasi diri. Penelitian-penelitian di masa mendatang dapat memberikan relevansi teoretis tambahan mengenai studi regulasi diri ini. Pertama, proposisi servicescape yang menempatkan karakteristik pribadi sebagai moderator respon konsumen terhadap lingkungan belanja perlu diberikan dukungan yang memadai secara empiris. Kedua, regulasi diri konsumen sebagai variabel ekplanatori yang penting perlu ditambahkan ke dalam teori perilaku konsumen dan patronase retail.
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
DAFTAR PUSTAKA Anderson, P. M. (1986), “Personality, Perception and Emotional State Factor in Approach-Avoidance Behavior in Store Environment,” in T. A. Shimp, et al. (Eds.), AMA Educators’ Proceeding. Chicago, Ill: American Marketing Association, pp. 35-39. Babin, Barry J. and William R. Darden (1995), “Consumer Self-Regulation in a Retail Environment,” Journal of Retailing, Vol. 71, pp. 47-70. Babin, Barry J; William R. Darden; and Mitch Grifin (1994), ”Work and/or Fun: Measuring Hedonic and Utilitarian Shopping Value,” Journal of Consumer Research, Vol. 20 (March), pp. 644-656. Bagozzi, R.P. 1986, Principles of Marketing Management. Chicago in Sherman, E., Mathur, A., and Smith, R.B., 1997, “Store Environment and Consumer Purchase Behavior: Mediating Role of Consumer Emotions,” Psychology & Marketing, 14 (July) 361-378. Bagozzi, Richard P; Hans Baumgartner; and Youjae Yi (1992). “State versus Action Orientation and Theory of Reasoned Action: An Application to Coupon Usage,” Journal of Consumer Research, Vol. 18 (March), pp. 505-518. Beaty, Sharon and Scott Smith (1987), “External Search Effort: An Investigation across Several Product Categories,” Journal of Consumer Research, Vol. 14 (June), pp. 83-95. Bellizi, J. A. and R. E. Hite (1992), “Environmental Color, Consumer Feelings, and Pur-
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
chase Likelihood,” Psychology and Marketing, Vol. 9 (September/October), pp. 347-363. Bitner, Mary J. (1992), “The Impact of Physical Surrounding on Customers and Employees,” Journal of Marketing, Vol. 56 (April), pp. 57-71. Bitner, Mary Jo; Bernard H. Booms; and Lois A. Mohr (1994). “Critical Service Encounters: The Employee’s View Point,” Journal of Marketing, Vol. 58 (October), pp.95-106. Bitner, Marry Jo; Benard H. Booms; and Mary Stanfield Tetreault (1990), “Evaluating Service Encounters: The Effects of Physical Surrounding and Employee Responses,“ Journal of Marketing, Vol. 54 (April), pp. 69-82. Bloch, Peter; Nancy M.Ridgway; and Daniel L. Sherrell (1989), “Extending the Concept of Shopping: An Investigation of Browsing Activity,” Journal of Academy of Marketing Science Vol. 17, pp. 13-21. Bucklin, Randolph E. and James M. Lattin (1991), “A Two-State of Purchase Incidence and Brand Choice,“ Marketing Science (Winter), pp. 24-39. Christ, William G. (1985). “Voter Preference and Emotion: Using Emotional Response to Clarify Decided and Undecided Voters,” Journal of Applied Social Psychology, Vol. 15, pp. 237-254. Cole, Catherine A. and Gary J. Gaeth (1990), “Cognitive and Age-Related Differences in the Ability to Use Nutritional Information in a Complex Environment,” Jour-
57
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
nal of Marketing Research, Vol. 27 (May), pp. 175-184. Dawson, Scott; Peter H. Bloch; dan Nancy M. Ridgway (1990), ”Shopping Motive, Emotional States, and Retail Outcome,” Journal of Retailing, Vol. 66 (Winter), pp. 408-427. Donovan Robert J. and John R. Rossiter (1982), “Store Atmosphere: An Environment Psychology Approach,” Journal of Retailing, Vol. 58 (Spring), pp. 34-57. Donovan Robert J; John R. Rossiter; G. Marcoolyn; and A. Nesdale (1994), “Store Atmosphere and Purchase Behavior,” Journal of Retailing, Vol. 70, No. 3, pp. 283-294. Eroglu, Sevgin A. and Gilbret D. Harrell (1986) “Retail Crowding: Theoretical and Strategic Implications,” Journal of Retailing, Vol. 62 (Winter), pp. 346-363. Eroglu, Sevgin A. and Karen Machleit (1990), “An Empirical Study of Retailing Crowding: Antecedent and Consequences,” Journal of Retailing, Vol. 66 (Summer), pp. 201-221.
58
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
294. Harackiewicz, J. M. and A. J. Elliot (1993), “Achievement Goals and Intrinsic Motivation,” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 65 (November), pp. 904-915. Havlena, William J. and Morris B. Holbrook (1986). ”The Varieties of Consumption Experience: Comparing Two Types of Emotion in Consumer Behavior,” Journal of Consumer Research, Vol. 13 (December), pp. 394-404. Holbrook, Morris B. and Rajeev Batra (1987), “Assesing the Role of Emotion as Mediators of Consumer Responses to Adversitising,“ Journal of Consumer Research, Vol. 14 (December), pp. 404420. Holbrook, Morris B; R. W. Chestnut; T. A. Oliva; and B. A. Greenleaf (1984), “Play as a Consumption Experience: The Roles of Emotion, Performance, and Personality in the Enjoyment of Games,” Journal of Consumer Research, Vol. 11 (September), pp. 723-739.
Fisher, D; A. B. Paul; and B. Andrew (1984), Environmental Psychology, 2nd ed. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Iyer, Easwar S. (1989), ”Unplanned Purchasing: Knowledge of Shopping Environment and Time Pressure,” Journal of Retailing, Vol. 65 (Spring), pp. 40-57.
Gardner, Meryl Paula (1985), “Mood States and Consumer Behavior: Critical Review,” Journal of Consumer Research,” Vol. 12 (December), pp. 281-300.
Kollat, David T. and Ronald P. Willet (1967), “Customer Impulse Purchasing Behavior,“ Journal of Marketing Research, Vol 4 (February), pp. 21-31.
Grossbart, Samford L; Robert A. Mittelstaedt; William N. Curtis; and Roberts D. Rigers (1975) ”Enviromental Sensitivity and Shopping Behavior,” Journal of Business Research, Vol. 3 (October), pp. 281-
Khan, Barbara E. and David C. Schmittlein (1992), “The Relation Between Purchase Made on Promotion and Shopping Trip Behavior,“ Journal of Retailing, Vol. 65 (Fall), pp. 294-315.
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
Kotler, Philip (1974), “Atmospheric as a Marketing Tool,” Journal of Marketing, Vol. 49 (Winter), pp. 48-46. Kuhl, Julius (1981), “Motivational and Functional Helplessness: The Moderating Effect of State versus Action Orientation,” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 40 (January), pp. 155-170. Kuhl, Julius (1986), “Motivation and Information Processing: A New Look at Decision Making, Dynamic Change, and Action Control,” in Richard M. Sorrentino and Tory Higgins (Eds), Handbook of Motivation and Cognition: Foundation of Social Behavior, New York: The Guilford Press, pp. 404434. Kuhl, Julius (1992), “Recurrent Issue in SelfRegualition Research: A Rejoinder,” Applied Psychology: An International Review, Vol. 41 (April), pp. 160-178. Mehrabian, A. and J. A. Russell (1974), An Approach to Environmental Psychology. Cambridge, Mass: MIT Press. Milliman, Ronald E. (1986), “The Influence of Background Music on the Behavior of Restaurant Patrons,” Journal of Consumer Research, Vol. 13 (September), pp. 286-289.
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
The Effect of Ad Content, Emotion, and Attitude toward the Ad on Viewing Time,” Journal of Consumer Research, Vol. 17, pp. 440-453. Park, C. Whan; Easwar S. Iyer; and Daniel C. Smith (1989), “The Effect of Situational Factors on In-Store Grocery Shopping Behavior: The Role of Store Environment and Time Available for Shopping,“ Journal of Consumer Research, Vol. 15 (March), pp. 422-433. Pavelchack, Mark A; John H. Antil; and James M. Munch (1988), ”The Superbowl: An Investigation into Relationship Among Program Context, Emotional Experience and Ad Recall,” Journal of Consumer Research, Vol. 15, pp. 360-367. Rook, Dennis W. (1987), “The Buying Impulse,” Journal of Consumer Research, Vol. 14 (September), pp. 189-199. Russell, J. A. and G. Pratt (1980), “A Description of the Affective Quality Attributed to Environment,” Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 38 (February), pp. 311-322. Sherman, E. and R. B. Smith (1986), “Mood State of Shoppers and Store Image: Promising Interaction and Possible Behavioral Effect,” in M. Wallendorf and P. Anderson (Eds.), Advances in Consumer Research, Vol. 13. Prove, UT: Association for Consumer Research.
O’Guinn, Thomas C. and Ronald J. Faber (1989), ”Compulsive Buying: A Phenomenological Approach,” Journal of Consumer Research, Vol. 19 (September), pp. 147157.
Spiegel, Susan and Murphy A. Sewall (1987), “A Choice Sets Model of Retail Selection,” Journal of Marketing, Vol. 51 (April), pp. 97-111.
Olney, T; M. B. Holbrook; and R. Batra (1991), ”Consumer Responses to Advertising:
Tauber, E.M (1972), ”Why Do People Shop?,” Journal of Marketing, Vol. 36 (October),
59
Jam STIE YKPN - Danes Jaya N. dan Basu Swastha D.
pp. 46-59 in J. U. McNeal and S. W. McDaniel, Consumer Behavior: Classical and Contemporary Dimension, Boston, MA: Litte, Brown and Company. Titus, Philip A. and Peter B. Everett (1995), “The Consumer Retail Search Process: A Con-
60
Lingkungan Belanja dan Perilaku Belanja: Ditinjau .....
ceptual Model and Research Agenda,” Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 23, No. 2, pp. 106-119. Yalch, Richard dan Eric Spangenberg (1990), ”Effect of Store Music on Shopping Behavior,” Journal of Consumer Marketing, Vol. 7 (Spring), pp. 55-63.
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
PROFITABILITAS JANGKA PANJANG MELALUI PENGELOLAAN HUBUNGAN ANALISIS PENGARUH TEKANAN KETAATAN PELANGGAN TERHADAP JUDGMENT AUDITOR Primidya Kartika Miranda, SE., 1) M.S. *) Hansiadi Yuli Hartanto Indra Wijaya Kusuma2)
ABSTRACT The rapidly and constantly changing business environment has forced businesses to reconsider their strategies in maintaining their customer base. Customers nowadays have a wide array of product choices, and worst – they are becoming increasingly disloyal. Such facts pose serious threats for some companies. For those who want to keep their customer base, an integrated approach of maintaining and managing customer relationship must be taken. This article propose an integrated framework of managing relationship with customers. Database marketing, total quality philosophy, value chain integration, customer service-oriented culture, and strategic human resource management must be implemented comprehensively to provide customer satisfaction and long-term beneficial relationships which eventually will increase profitability. Keywords: customer relationship management, relationship marketing, total quality, database marketing, customer satisfaction, long-term relationship, value chain integration.
PENDAHULUAN Kecenderungan yang terjadi pada pola perilaku konsumen saat ini adalah brand switching – konsumen tidak lagi memiliki loyalitas tinggi terhadap suatu
*)
produk, jasa, atau merek tertentu. Pendapat itu muncul dari observasi terhadap lingkungan. Apabila kita perhatikan dengan cermat pada beberapa kategori produk tertentu, banyak konsumen (tidak terkecuali kita sendiri) yang mulai berani mencoba dan tidak segansegan untuk beralih ke produk, jasa, atau pun merek baru secara permanen dengan mudahnya. Selain itu, sekarang, waktu yang dibutuhkan seorang konsumen untuk menetapkan pilihan – bahkan pada low-involvement product sekalipun – bisa lebih lama dibandingkan sebelumnya. Tampaknya konsumen mulai bingung dan pusing dengan berlimpah ruahnya jenis dan jumlah produk dan jasa yang ada di pasar saat ini. Hampir setiap saat konsumen dibombardir dengan berbagai rayuan iklan dan promosi produk di berbagai media. Fakta bahwa berbagai deregulasi telah menciptakan situasi dengan bertambahnya jumlah dan jenis jasa yang mirip – bahkan sama identik satu sama lain – menunjukkan bahwa mempertahankan basis pelanggan menjadi suatu hal yang sangat penting (Berry, 1983). Customer relationship management atau pengelolaan hubungan pelanggan menjadi suatu isu krusial bagi perusahaan saat ini. Lingkungan yang dihadapi perusahaan saat ini sangat jauh berbeda dengan era ’70-an, ’80-an, bahkan ’90-an. Tantangan bagi perusahaan sekarang adalah mempertahankan pelanggan yang setia agar tetap setia sepanjang masa karena biaya untuk mempertahankan pelanggan lebih kecil daripada untuk mendapatkan pelanggan baru (Cann, 1998).
Primidya Kartika Miranda, SE., M.S., Dosen STIE YKPN Yogyakarta.
61
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
Walaupun berbagai literatur telah menekankan pentingnya pemeliharaan pelanggan, banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia – pada khususnya – yang belum melakukan, bahkan belum pula menyadarinya. Pertanyaan yang sering diajukan oleh perusahaanperusahaan tersebut adalah: “ Apa yang harus kami lakukan agar pelanggan kami tetap setia?”. Jawabannya sederhana tetapi kompleks untuk dilaksanakan: pengelolaan hubungan pelanggan. Artikel ini bertujuan untuk menguraikan esensi pengelolaan hubungan pelanggan, membahas pentingnya pengelolaan hubungan pelanggan beserta hasil yang dapat diperoleh, dan mengajukan suatu kerangka kerja komprehensif yang memuat beberapa aspek penting yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, agar dapat dipakai sebagai pedoman dalam pengelolaan hubungan pelanggan bagi perusahaan yang akan mulai melaksanakannya. Pentingnya Pengelolaan Hubungan Pelanggan Definisi yang dikemukakan oleh Andersen Consulting – salah satu perusahaan konsultan manajemen terkemuka di Amerika – menyatakan bahwa pengelolaan hubungan pelanggan merupakan suatu pendekatan holistik dan metodikal untuk mengidentifikasi, mendapatkan, dan mempertahankan pelanggan paling berharga bagi perusahaan melalui sekumpulan alat, fasilitas, dan kemampuan yang terintegrasi (Wolfe et al., 2000). Istilah holistik dipakai karena kegiatan pengelolaan hubungan pelanggan harus dipandang sebagai satu kesatuan menyeluruh, tidak terpisahpisah, dan saling melengkapi. Metodikal menunjukkan bahwa kegiatan ini sistematis dalam pelaksanaannya. Sedangkan, maksud dari istilah ‘pelanggan paling berharga’ merujuk kepada segmen pelanggan yang memberikan nilai tertinggi bagi perusahaan. Perlu diingat dan disadari bahwa karena keterbatasan sumber daya, perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan semua konsumen dengan keanekaragaman kepentingan dan latar belakang. Anggapan inilah yang akhirnya melahirkan konsep target marketing – konsep segmentation, targeting, positioning (STP) (Kotler, 1997). Pengelolaan hubungan pelanggan pada hakekatnya adalah pembentukan suatu hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan dengan pelanggan. Pentingnya hubungan jangka panjang ini
62
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
telah diakui di berbagai bidang manajemen pemasaran, di antaranya pemasaran industrial atau business-tobusiness (Hakansson, 1982), pemasaran jasa (Gronroos, 1989), logistik (Christopher, 1994) dan one-to-one marketing (Peppers et al., 1999). Ditinjau dari pers-pektif strategis, hubungan jangka panjang dengan pelanggan memberikan beberapa manfaat bagi perusahaan. Pertama, biaya mempertahankan pelanggan tetap lebih rendah daripada biaya untuk mendapatkan pelanggan baru. Biaya mendapatkan pelanggan baru bisa mencapai lima kali lipat dari biaya mempertahankan pelanggan lama (Kotler, 1997). Pada umumnya, kegiatan mendapatkan pelanggan baru menuntut promosi besar-besaran dan menanggung risiko bahwa first timers (mereka yang mencoba untuk pertama kalinya) mungkin tidak menyukai produk, atau bahkan bukan merupakan segmen perusahaan. Kedua, pelanggan tetap yang puas bisa menjadi bagian dari tim penjualan perusahaan melalui berita baik yang mereka sebarkan dari mulut ke mulut (Cann, 1998). Berita baik dari mulut ke mulut diyakini sebagai alat promosi paling efektif hampir di semua jenis pasar – baik pasar industrial maupun konsumen. Ketiga, pelanggan tetap jangka panjang bisa menjadi mitra kerja yang baik bagi perusahaan dalam meningkatkan kualitas produk-produknya. Adanya keterbukaan komunikasi memungkinkan perusahaan untuk memahami lebih dalam tentang kebutuhan dan permasalahan pelanggan yang belum tersingkap (Congram, 1991). Keempat, perusahaan akan menikmati profitabilitas jangka panjang melalui pembelian dan konsumsi produk dan jasa yang repetitif dan konstan dalam jangka waktu yang lama. Perusahaan yang menerapkan pengelolaan hubungan pelanggan dengan baik adalah perusahaan yang segala perilakunya didasarkan pada kepentingan pelanggan (customer-driven enterprise). Perusahaanperusahaan semacam inilah yang akan berhasil bertahan di pasar untuk jangka waktu yang lama. Perusahaan yang customer driven melihat segala sesuatunya melalui kacamata pelanggan dan menggunakan perspektif outside-in untuk memastikan bahwa pelanggan terbaik mendapatkan jasa yang spesial (Wolfe et al., 2000). Oleh karena itu, tantangan bagi perusahaan selanjutnya adalah bagaimana mendapatkan pemahaman yang mendalam dari pelanggan secara kontinyu dan mempergunakannya untuk memperkuat
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
penawaran bagi pelanggan – yaitu menciptakan penawaran nilai yang lebih menarik bagi produk dan jasanya. Istilah ‘secara kontinyu’ digunakan mengingat bahwa pelanggan menentukan manfaat yang dicari dan pengorbanan untuk mendapat-kannya secara subyektif, yang selalu berubah setiap waktu mengikuti perubahan situasi, kebutuhan, harapan, standar perbandingan, dan norma-norma (Bounds et al., 1994). Relationship Marketing: Paradigma Baru yang Mendasari Pengelolaan Hubungan Pelanggan Pada prinsipnya, tujuan akhir yang ingin dicapai oleh pengelolaan hubungan pelanggan adalah profitabilitas perusahaan yang diperoleh melalui hubungan jangka panjang yang kuat, tahan lama, dan saling menguntungkan. Untuk itu dibutuhkan suatu paradigma baru agar tujuan tersebut dapat tercapai. Relationship marketing tergolong paradigma baru dalam pemasaran yang menjadi dasar pengelolaan hubungan pelanggan. Relationship marketing bertujuan untuk membangun, memelihara, dan memperkuat hubungan yang menguntungkan dengan pelanggan dan mitra lain agar tujuan-tujuan pihakpihak terkait terpenuhi. Hal ini dapat dicapai melalui pertukaran yang bersifat mutual dan pemenuhan janji-
janji terhadap pelanggan (Gronroos, 1990, 1994). Pemenuhan janji merupakan suatu hal krusial karena filosofi ini didasarkan pada hubungan kerja sama dan kepercayaan dengan berbagai stakeholders, kolaborasi internal di dalam perusahaan, dan hubungan win-win yang tulus dengan pelanggan (Kavali et al., 1999). Pemahaman tentang paradigma baru ini akan lebih mudah dimengerti dengan memahami terlebih dahulu perbedaannya dengan paradigma lama – transactional marketing. Paradigma baru lebih berfokus kepada memelihara pelanggan dan memperkuat hubungan dengan mereka, sementara paradigma lama lebih berfokus pada memperbanyak jumlah transaksi melalui pemerolehan pelanggan baru (Gronroos, 1994). Paradigma baru sepaham dengan pemasaran bertahan (defensive marketing) sementara paradigma lama sepaham dengan pemasaran menyerang (offensive marketing). Pemasaran bertahan lebih mempedulikan bagaimana meminimalkan tingkat perputaran pelanggan (customer turnover) sedangkan pemasaran menyerang lebih berfokus pada bagaimana meningkatkan frekuensi pembelian konsumen (Fornell, 1992; Fornell dan Wernerfelt, 1987). Gronroos (1991) membuat suatu perbandingan yang lebih bersifat menyeluruh antara relationship marketing dengan transaction marketing, yang diringkas pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Kontinum Strategi Pemasaran: Beberapa Implikasinya The Strategy Continuum
Transaction Marketing
Relationship Marketing
Perspektif waktu
Jangka pendek
Jangka panjang
Fungsi pemasaran yang mendominasi
Bauran pemasaran
Pemasaran interaktif
Elastisitas harga
Lebih price-sensitive
Kurang price-sensitive
Dimensi kualitas yang mendominasi
Kualitas keluaran
Kualitas interaksi
Pengukuran kepuasan pelanggan
Monitor terhadap pangsa pasar
Mengelola basis pelanggan
Sistem informasi pelanggan
Survey kepuasan pelanggan secara ad-hoc
Sistem umpan balik secara real-time
Kontinum produk
Barang-barang konsumen
Barang-barang industrial dan jasa
Sumber: Gronroos, 1991.
63
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
Definisi yang dikemukakan oleh Gronroos tentang relationship marketing menunjukkan pentingnya pemenuhan janji kepada pelanggan. Pemenuhan janji yang diberikan kepada pelanggan dipandang sebagai alat yang sangat penting dalam mencapai kepuasan pelanggan, mempertahankan basis pelanggan, dan memperoleh profitabilitas jangka panjang (Reichheld dan Sasser, 1990). Menurut Calonius (1988), sebuah perusahaan yang sibuk membuat janji-janji dengan pelanggan bisa saja menda-patkan pelanggan baru dan membangun hubungan awal. Akan tetapi, apabila janjijanji tersebut tidak terpenuhi, hubungan selanjutnya sudah pasti tidak akan dapat dipelihara dan diperkuat. Elemen lain yang tak terpisahkan dalam paradigma baru ini, unsur kepercayaan. Kepercayaan didefinisikan sebagai kesediaan untuk bergantung kepada mitra transaksi berdasarkan pada keyakinan yang mendalam kepadanya (Moorman et al., 1993). Satu pihak dapat memiliki kepercayaan terhadap pihak lain karena pihak lain tersebut selalu menepati janji. Di sini dapat dilihat korelasi yang sangat kuat antara konsep janji dan kepercayaan. Oleh karena janji-janji merupakan suatu harapan bagi pelanggan, sangat vital bagi perusahaan untuk membuat dan menyampaikan janji yang sudah pasti bisa dan akan ditepati (Cann, 1998). Kemampuan perusahaan dalam memenuhi janji akan teruji pada setiap interaksi yang terjadi antara perusahaan dengan pelanggan (Bittner, 1995). Oleh karena itu, pemenuhan janji kepada pelanggan harus ditanamkan menjadi suatu kebiasaan dan budaya di dalam organisasi perusahaan penyedia produk dan jasa. Paradigma baru manajemen menyatakan bahwa stakeholder kunci perusahaan adalah pelanggan – baik
eksternal maupun internal (Bounds et al., 1994). Dalam paradigma baru, yang dimaksud dengan pelanggan tidak terbatas pada pelanggan perusahaan tetapi juga termasuk sumber daya manusia internal perusahaan. Memenuhi janji kepada pelanggan luar tanpa didukung dengan pemenuhan janji kepada pelanggan dalam akan menimbulkan kekacauan. Aspek sumber daya manusia internal perusahaan adalah mereka yang melayani pelanggan dalam dunia nyata sehingga perhatian perusahaan terhadap kepentingan mereka akan melengkapi pelayanan terhadap pelanggan luar. Menyediakan value bagi pelanggan eksternal dan internal merupakan kunci untuk memenuhi kepentingan stakeholders lain dalam jangka panjang. KERANGKA KERJA PENGELOLAAN HUBUNGAN PELANGGAN Model Profitabilitas Hubungan Seperti disinggung sebelumnya, tujuan akhir dari pengelolaan hubungan pelanggan (dan tujuan umum bisnis) adalah profitabilitas yang dicapai melalui hubungan jangka panjang yang kuat, tahan lama, dan saling menguntungkan. Hubungan semacam ini dapat diperoleh salah satunya melalui kepuasan pelanggan. Asumsi yang mendasarinya adalah seorang pelanggan yang puas akan menciptakan hubungan yang kuat dengan perusahaan penyedia produk atau jasa dan hal ini selanjutnya akan mengarah kepada durabilitas hubungan (atau kesetiaan pelanggan) (Storbacka et al., 1994). Storbacka et al. (1994) mengajukan suatu kerangka kerja konseptual yang meliputi sekuen-sekuen dasar seperti digambarkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Model Profitabilitas Hubungan
kualitas jasa
8 kepuasan pelanggan
8 kekuatan hubungan
8 durabilitas hubungan (loyalitas pelanggan)
Sumber: Storbacka et al., 1994.
64
8
profitabilitas hubungan pelanggan
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
Suatu jasa yang dipandang berkualitas oleh pelanggan akan memberikan kepuasan bagi pelanggan tersebut. Berkualitas atau tidaknya suatu jasa sangat ditentukan oleh sejauh mana jasa tersebut memenuhi kriteria pelanggan. Pelanggan tidak harus pernah mengalami atau menikmati jasa itu sendiri (Liljander dan Strandvik, 1994). Bisa saja pelanggan memandang baik kualitas suatu jasa berdasarkan berita mulut ke mulut atau melalui iklan tanpa harus mengalaminya sendiri. Hanya biasanya akan lebih baik lagi apabila si pelanggan pernah mengalaminya sendiri. Apabila demikian halnya, maka pelanggan menjadi puas dan selanjutnya perusahaan penyedia produk dan jasa memiliki peluang untuk membangun suatu hubungan yang kuat. Menurut model ini, kekuatan hubungan tidak hanya disebabkan oleh kepuasan pelanggan karena menurut Reichheld (1993), antara 65%-85% pelanggan yang pindah ke perusahaan lain menyatakan mereka justru puas dengan jasa perusahaan sebelumnya sehingga kepuasan pelanggan tidak selalu mengarah pada pemeliharaan pelanggan. Kekuatan hubungan bisa disebabkan oleh aspek lain seperti ikatan antara pelanggan dan penyedia produk dan jasa. Salah satu bentuk ikatan yang dimaksudkan adalah tingginya biaya untuk pindah ke penyedia produk dan jasa lain. Pelanggan yang tidak puas mungkin saja tetap menjadi pelanggan tetap perusahaan karena biaya yang harus dikeluarkan untuk pindah ke perusahaan penyedia
produk dan jasa yang lain tinggi (Gronhaug dan Gilly, 1991). Kekuatan hubungan dapat membangun sutu hubungan yang bertahan lama. Menurut model ini, hal tersebut merupakan faktor intrinsik. Sedangkan durabilitas hubungan juga ditentukan oleh faktor ekstrinsik seperti struktur pasar. Dalam pasar yang monopolistik atau oligopolistik sangat mungkin bagi perusahaan untuk memiliki hubungan jangka panjang yang tahan lama karena memang tidak ada lagi penyedia produk dan jasa lainnya. Akhirnya, durabilitas hubungan – atau dapat digambarkan dalam bentuk loyalitas pelanggan – akan memberikan suatu profitabilitas bagi perusahaan. Pelanggan tetap akan secara kontinyu mengalirkan aliran kas yang positif ke dalam perusahaan dan aliran kas ini meningkatkan nilai hubungan dengan pelanggan melalui inovasi-inovasi perusahaan yang didasarkan atas kehendak pelanggan. Selanjutnya pelanggan akan semakin puas dan siklus akan terus berulang. Model Pengelolaan Hubungan Pelanggan Komprehensif Dalam artikel ini, penulis mencoba mengajukan suatu kerangka kerja yang merupakan gabungan dan modifikasi dari berbagai konsep dan model profitabilitas hubungan, yang diuraikan pada Gambar 2. Kerangka kerja tersebut disebut Model Pengelolaan Hubungan Pelanggan Komprehensif.
Gambar 2. Model Pengelolaan Hubungan Pelanggan Komprehensif Internalisasi Paradigma Baru “Relationship Marketing”
V
V
V
Pemasaran Berbasis Data
Filosofi kualitas total
Integrasi rantai nilai
V
V
V
V Budaya Orientasi Pelanggan
V
V Manajemen sumber daya manusia
V
Kepuasan Pelanggan
V Kesetiaan pelanggan --> Retensi pelanggan --> Durabilitas
V Peningkatan Probabilitas
65
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
Internalisasi Paradigma Baru Kegiatan pengelolaan hubungan pelanggan dimulai dari internalisasi paradigma baru. Proses internalisasi yang dimaksudkan adalah proses penanaman konsep relationship marketing sebagai landasan berpijak untuk beroperasi ke dalam organisasi penyedia produk dan jasa (perusahaan). Hal ini sangat penting mengingat bahwa keselarasan dan kesinambungan berbagai kegiatan perusahaan sangat tergantung kepada kesamaan persepsi anggota-anggotanya terhadap landasan pijakan perusahaan. Ini bukanlah suatu proses yang mudah dan cepat karena sebenarnya proses ini merupakan proses transformasi dari paradigma lama ke paradigma baru. Seperti yang pada umumnya terjadi, transformasi atau perubahan selalu diiringi dengan berbagai gejolak karena adanya resistensi terhadap perubahan yang terjadi. Resistensi terhadap perubahan ini bisa diatasi salah satunya dengan melibatkan change agent– individu yang berperan sebagai agen perubahan di dalam organisasi . Agen perubahan ini bisa dari internal perusahaan atau pihak dari luar perusahaan, seperti konsultan. Penggunaan agen perubahan internal memberikan manfaat karena biasanya mereka lebih menguasai medan, memahami kondisi internal perusahaan, mengenal betul karakteristik individu-individu perusahaan, dan memiliki pengalaman langsung dalam operasional perusahaan. Kelemahan-nya terletak pada adanya kecenderungan subyektivitas dan agenda tersembunyi yang mungkin mementingkan satu pihak di dalam organisasi. Sementara itu, penggunaan pihak luar sebagai agen perubahan justru sebaliknya – kurangnya penguasaan medan, pengalaman langsung, dan pemahaman karakteristik individu-individu yang terlibat. Sedangkan kelebihannya terletak pada keobyektifan penilaian dan posisi karena mereka tidak memiliki kepentingan tersembunyi (Stoner et al., 1995). Inilah fakta yang harus dipertimbangkan oleh perusahaan ketika menentukan agen perubahan untuk proses internalisasi. Setelah kesamaan landasan berpijak ini tercapai, selanjutnya paradigma baru ini diterjemahkan ke dalam berbagai aspek yang akan mempengaruhi kepuasan pelanggan. Dalam model ini, aspek-aspek tersebut adalah pemasaran berbasis data pelanggan, filosofi kualitas total, integrasi rantai nilai, budaya perusahaan
66
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
yang berorientasi pada pelanggan, dan manajemen sumber daya manusia yang strategis. Pemasaran Berbasis Data Pelanggan Kunci keberhasilan perusahaan di dalam memberikan kepuasan pada pelanggan adalah mengenali dengan baik pelanggan perusahaan. Dengan mengenali pelanggan perusahaan secara mendalam, perusahaan dapat mengambil tindakan yang tepat waktu dan pada tempat yang benar. Perlu diingat lagi bahwa kepuasan pelanggan adalah fungsi dari pengelolaan hubungan pelanggan. Basis data pelanggan merupakan sumber informasi yang mencakup karakteristik, selera, kebutuhan, kebiasaan, dan bahkan umpan balik dari pelanggan. Menurut Hanover (1997), basis data yang dirancang dengan sedemikian rupa dan terpelihara dengan baik memberi kekuasaan bagi pemasar untuk tidak saja mengenali siapa pelanggan mereka dan apa yang mereka lakukan, tetapi juga apa yang dibeli, di mana, kapan, dan bagaimana cara membelinya. Berdasarkan data-data inilah pemasar perusahaan kemudian mulai melakukan kegiatan pemasarannya. Inilah yang dimaksud dengan database marketing atau pemasaran berbasis data pelanggan. Pemasaran semacam ini memungkinkan perusahaan untuk menganalisis kecenderungan penjualan (sales trend) dan memberikan profil prospek untuk membidik pelanggan utama dan memberikan apa yang mereka inginkan (Field, 1996). Banyak perusahaan yang menyelam ke dalam pemasaran berbasis data. Sebagaimana loyalitas pelanggan terhadap merek menurun, banyak perusahaan yang telah menyelami pemasaran berbasis data pelanggan untuk membangun citra, membentuk dan memelihara hubungan jangka panjang, dan memperkuat loyalitas melalui insentif yang bernilai tambah bagi pelanggan (Hanover, 1997). Keberhasilan pemasaran berbasis data pelanggan tidak terlepas dari beberapa faktor, di antaranya: a. b. c. d.
Kecanggihan teknologi informasi yang digunakan Keakuratan data yang diperoleh melalui riset pasar Kesesuaian fasilitas (software, hardwaare, dan lain-lain) dengan tujuan pengumpulan informasi Ketersediaan kapabilitas sumber daya manusia
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
e.
yang mendukung Komitmen manajemen terhadap program yang diwujudkan dalam dukungan investasi pada teknologi informasi
Selain memungkinkan pemasar untuk bertindak tepat pada saat dan tempat yang tepat, pemasaran berbasis data pelanggan membantuk perusahaan menghemat biaya dengan mengalokasikan sumber dayanya secara efektif dan efisien, yang pada gilirannya juga akan meningkatkan profit perusahaan. Filosofi Kualitas Total Di samping makna obyektif dari kualitas – kemampuan suatu produk berfungsi sebagaimana harusnya, ketika kita berbicara tentang kualitas, kita juga berbicara tentang kepatuhan pada spesifikasi jasa sesuai dengan kehendak pelanggan (Kaplan and Rieser, 1995). Kualitas bersifat subyektif – tergantung kepada siapa pelanggan perusahaan dan bagaimana karakteristik mereka. Suatu produk dengan harga murah dan kinerja kualitas yang generik sekalipun bisa dianggap berkualitas di mata pelanggan yang memang mementingkan harga rendah (price-driven). Filosofi kualitas total menekankan pentingnya penekanan kualitas pada keseluruhan rangkaian operasi perusahaan, mulai dari input, proses, sampai pada output. Penekanan ini bertujuan untuk menghilangkan masalah-masalah kualitas dan membuat setiap service encounter yang terjadi antara perusahaan dengan pelanggan menjadi sempurna. Kesempurnaan adalah kata kuncinya. Perjalanan menuju kesempurnaan menuntut kesabaran dan komitmen dari manajemen puncak dan anggota organisasi untuk memperhatikan detil-detil di setiap kegiatan transformasi input menjadi output. Salah satu tema penting yang melatarbelakangi filosofi ini adalah perbaikan yang bersifat kontinyu. Perbaikan yang bersifat kontinyu dilakukan dalam konteks kebutuhan dan keinginan pelanggan. Artinya, setiap perbaikan yang dilakukan perusahaan mengambil perspektif dari lensa pelanggan, dan bukan sebaliknya. Perbaikan yang ditinjau dari perspektif perusahaan belum tentu memberikan suatu nilai tambah bagi pelanggan, meskipun perbaikan tersebut dalam bentuk penambahan fasilitas-fasilitas. Apabila ternyata
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
fasilitas yang beraneka ragam bukanlah segala-galanya bagi pelanggan, maka apa yang dilakukan perusahaan menjadi hal yang sia-sia. Inilah yang harus dihindari. Oleh karenanya, pemahaman yang mendalam terhadap karakteristik pelanggan menjadi suatu isu krusial dalam menyampaikan kualitas ke tangan pelanggan. Integrasi Rantai Nilai Integrasi rantai nilai pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk pelonggaran batas-batas organisasi. Organisasi dibatasi oleh dinding-dinding dan langit-langit pemisah yang mutlak harus ada. Dinding-dinding dan langit-langit ini berfungsi sebagai penentu ruang lingkup, tugas, kegiatan, koordinasi, wewenang dan tanggung jawab bagian-bagian dari organisasi. Ketiadaannya sudah pasti akan menimbulkan kekacauan. Oleh karenanya, batas-batas ini tidak dapat dihilangkan melainkan dilonggarkan – dari yang semula kaku menjadi fleksibel. Demikian juga halnya dengan dinding-dinding yang membatasi organisasi dengan lingkungan eksternalnya, khususnya pemasok dan pelanggan. Produk akhir yang dihasilkan suatu perusahaan merupakan hasil dari suatu rantai nilai yang bermula dari pemasok dan berakhir pada pelanggan. Dulu, suatu entitas bisnis dalam rangkaian rantai nilai dipandang sebagai mata rantai atau unit-unit terpisah yang berusaha mendapatkan laba dengan caranya masingmasing. Sekarang pandangan tersebut tidak dapat dipakai lagi apabila perusahaan ingin memberikan kepuasan lebih kepada pelanggan. Setiap entitas bisnis dalam rantai tersebut harus memandang dirinya sebagai satu kesatuan utuh sehingga masalah yang dihadapi salah satu entitas bisnis menjadi masalah bersama yang harus segera dicari solusinya. Ron Ashkenas et al. (1995) mengambil sebuah perumpaan kapal-kapal yang berlayar secara berdekatan satu sama lain di laut sehingga gelombang laut yang tinggi secara otomatis akan mengangkat semua kapal tersebut. Nosi ini menggambarkan bahwa setiap kesuksesan maupun kegagalan dalam rantai nilai akan berdampak pada entitas-entitas bisnis yang menjadi anggota rantai tersebut. Profitabilitas dihasilkan dari hubungan jangka panjang yang kuat dan tahan lama antara perusahaan dengan pelanggan dan hubungan semacam ini hanya
67
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
dapat diperoleh melalui kepuasan pelanggan. Seorang pelanggan bisa puas mungkin karena kualitas produk dan ketepatan waktu pengiriman barang dari perusahaan penyedia produk dan jasa, sesuai janji. Faktor kualitas dan ketepatan waktu ini sangat tergantung kepada kinerja perusahaan-perusahaan pemasok. Selama perusahaan pemasok selalui menepati janji, maka janji perusahaan kepada pelanggan akhir pun akan terpenuhi. Perlu diingat bahwa setiap entitas bisnis dalam rantai memiliki dua peran, yaitu sebagai pelanggan dan penyedia produk dan jasa. Bagaimanakah integrasi ini bisa terjadi? Ada beberapa tindakan yang bisa dilakukan oleh perusahaan yang akan mulai menerapkannya. Pertama, membuka dialog terbuka di antara pemasok, perusahaan, pelanggan, dan fasilitas pendukung lainnya. Dialog ini bertujuan untuk mengungkapkan berbagai problema yang dihadapi setiap entitas bisnis beserta alternatif solusinya, dengan sasaran akhir kepatuhan pada persyaratan pelanggan. Kedua, kunjungan ke lokasi entitas-entitas bisnis yang terkait untuk mengamati kondisi di lapangan yang sebenarnya. Ketiga, melakukan pemetaan terhadap kebutuhan-kebutuhan setiap entitas bisnis (pemasok, perusahaan, dan pelanggan). Pemetaan ini sangat penting agar kepatuhan bisa terlaksana dengan sempurna. Keempat, melakukan pengumpulan data dari setiap entitas bisnis untuk dijadikan umpan balik bagi kesempuranaan kinerja rangkaian rantai nilai. Budaya Orientasi Pelayanan Pelanggan Pengelolaan hubungan pelanggan tidak dapat dipisahkan dari penanaman budaya organisasi yang berorientasi pada pelayanan pelanggan. Pengelolaan hubungan pelanggan tidak bisa dipisahkan dari kegiatan melayani keinginan pelanggan. Menurut Schein (1985), budaya dipandang sebagai suatu kesatuan holistik yang terdiri dari tiga tingkatan: artefak, nilai dan keyakinan, dan asumsi dasar. Artefak berhubungan dengan pandangan eksternal terhadap suatu budaya, yaitu suatu hasil dari budaya yang dapat dilihat, dirasakan, dan dinikmati. Artefak merupakan suatu perwujudan dari nilai dan keyakinan. Nilai dan keyakinan tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat digali dari bagaimana individu dalam organisasi menjelaskan dan menjustifikasi apa yang
68
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
mereka lakukan. Nilai dan keyakinan ini tercipta dari suatu asumsi dasar yang menjadi pondasi budaya yang sangat tertanam dalam sehingga individu dalam organisasi bahkan tidak menyadarinya. Asumsi dasar biasanya diwujudkan dalam bentuk filosofi atau paradigma atau mindset (cara pikir). Budaya yang berorientasi pada pelanggan dibentuk dengan membentuk asumsi dasar terlebih dahulu. Perusahaan yang ingin mempertahankan pelanggannya harus memiliki asumsi dasar bahwa: Pelanggan adalah alasan keberadaan suatu usaha. Pelanggan adalah individu atau entitas bisnis yang harus mendapatkan apa yang sudah dijanjikan perusahaan dalam bentuk produk dan jasa yang terbaik karena pada hakekatnya, individu-individu di dalam organisasi bekerja bagi pelanggan karena dari uang pelanggan itulah perusahaan mampu menggaji karyawannya Asumsi-asumsi dasar inilah yang harus menjadi dari setiap kegiatan SDM di dalam organisasi penyedia produk dan jasa. Asumsi dasar ini harus menjadi ideologi yang tertanam dengan kokoh dan diresapi oleh seluruh anggota organisasi. Nilai dan keyakinan yang terlahir dari asumsi ini adalah: a. Fokus pada kegiatan-kegiatan penciptaan kepuasan pelanggan b. Komitmen pada peningkatan kualitas secara menyeluruh dan kontinyu c. Riset dan basis data pelanggan adalah kunci menuju sukses d. Keterlibatan karyawan merupakan aspek kritis. Berdasarkan nilai-nilai dan keyakinankeyakinan tersebut, maka artefak yang harus timbul beberapa di antarnya adalah: a. Produk dan jasa yang berkualitas b. Hasrat ‘kaizen’ – hari esok harus lebih baik dari hari ini c. Sikap dan tindakan yang cepat dan responsif, terutama dari frontliners perusahaan. d. Pelaksanaan kejujuran, kesantunan, kehangatan, keharmonisan, dan kerja tim, baik di antara pelanggan internal, maupun kepada pelanggan eksternal e. Fleksibilitas di setiap aspek organisasi f. Penerapan sikap dan perilaku yang bertujuan untuk memperdekat jarak sosial antara perusahaan dan pelanggan.
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
Keberhasilan penanaman budaya ini sangat tergantung kepada komitmen manajemen puncak terhadap perubahan yang akan dilakukan. Siapkah manajemen puncak sebagai role model memberikan contoh kepada anggota-anggotanya? Pertanyaan mudah yang lagi-lagi sulit diaplikasikan dengan sempurna. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategis Berbagai literatur menekankan bahwa setiap kontak langsung dengan pelanggan sangat penting dalam membangun dan membina hubungan jangka panjang (Rosen and Suprenant, 1998). Setiap kontak memiliki kontribusi terhadap kepuasan pelanggan dan hasrat pelanggan untuk melanjutkan hubungan tersebut (Bittner, 1990; Bittner et al., 1990). Suatu hubungan yang kuat dengan pelanggan tidak dapat begitu saja tercipta hanya dari kontak awal yang menyenangkan tetapi dibentuk dari kontak-kontak sukses yang konstan dan dalam periode yang lama. Oleh karena itu, personil perusahaan memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan hubungan tersebut karena terutama dalam industri jasa, personil garis depan (frontliner) perusahaanlah yang selalu melakukan kontak langsung dengan pelanggan. Sebagai konsekuensinya, pembentukan tim personil perusahaan yang kompetitif menjadi suatu keharusan dalam membangun dan membina hubungan dengan pelanggan. Membentuk suatu tim yang kompetitif menuntut praktek pemberdayaan sumber daya manusia dengan komitmen tinggi. Pemberdayaan sumber daya manusia perusahaan ini memberikan beberapa manfaat bagi perusahaan (Bowen and Lawler, 1992): a. Respon yang lebih cepat terhadap kebutuhan pelanggan b. Respon yang lebih cepat terhadap keluhankeluhan pelanggan c. Karyawan memiliki perasaan yang lebih baik terhadap pekerjaan dan diri mereka d. Dalam berinteraksi dengan pelanggan, karyawan cenderung lebih hangat dan antusias e. Karyawan dapat menjadi sumber dari ide-ide yang luar biasa f. Promosi dari mulut ke mulut dan pemeliharaan pelanggan
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
Kekompetitifan tim personel ini tidak dapat dipisahkan dari unsur komitmen sumber daya manusianya. Komitmen ini hanya bisa diperoleh melalui implementasi manajemen sumber daya manusia strategis. Pada hakekatnya, ruang lingkup manajemen sumber daya manusia yang strategis saat ini tidak lagi terbatas pada kegiatan administrasi personalia perusahaan. Kegiatan manajemen sumber daya manusia yang strategis mencakup aspek-aspek yang lebih luas – mulai dari proses rekrutmen, seleksi, pelatihan dan pengembangan, perancangan deskripsi pekerjaan, kondisi kerja, sistem penilaian kinerja sampai pada penentuan kompensasi yang mendukung komitmen sumber daya manusia perusahaan. Komitmen tim sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan pelanggan tidak dapat timbul begitu saja tanpa melibatkan aspek-aspek tersebut. Ketika merekrut calon karyawan, perusahaan harus menentukan kriteria-kriteria tertentu tentang karakteristik calon yang dapat memberikan kontribusi pada praktek pengelolaan hubungan pelanggan. Perusahaan juga dituntut untuk memperhatikan kondisi kerja dan sistem kompensasi yang dapat memberikan nilai tambah pada keberhasilan program pengelolaan hubungan pelanggan. Ada suatu pepatah yang mengatakan, ”Happy employees make happy customers.” Artinya, kebahagiaan karyawan akan membawa kebahagiaan bagi pelanggan karena karyawan yang bahagia akan memberi pelayanan yang menyenangkan dan istimewa bagi pelanggan. Kebahagiaan karyawan merupakan fungsi dari kondisi kerja, sistem kompensasi, dan sistem penghargaan yang ditetapkan perusahaan pada sumber daya manusianya.
SIMPULAN Pengelolaan hubungan pelanggan mencakup berbagai kegiatan perusahaan untuk mengidentifikasi, mendapatkan, dan mempertahankan pelanggan. Titik fokus dari pengelolaan hubungan pelanggan terletak pada penciptaan hubungan jangka panjang yang kuat dan tahan lama. Pada kenyataannya, hubungan semacam itu tidak lepas dari kepuasan pelanggan, dengan asumsi bahwa kepuasan pelanggan akan
69
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
mendorong terciptanya loyalitas, kebertahanan pelanggan, dan durabilitas hubungan. Kepuasan pelanggan sendiri tidak dapat terjadi hanya dengan memberikan produk atau jasa yang berkualitas, tetapi juga melibatkan penanaman paradigma baru dan implementasi dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut mencakup pemasaran berbasis data pelanggan, filosofi kualitas total, integrasi rantai nilai, budaya yang berorientasi pada layanan pelanggan, dan manajemen sumber daya manusia yang strategis. Kelima aspek tersebut menuntut untuk dilaksanakan oleh perusahaan secara bersamaan dan dipandang sebagi satu kesatuan yang tak terpisah, secara holistik. Ketiadaan salah satu aspek memang
70
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
tidak secara langsung mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan. Akan tetapi keluaran yang dihasilkan tidak akan sesempurna bila kelima-limanya diselenggarakan secara bersamaan dan terkoordinasi. Oleh karena itu, perusahaan yang ingin mempertahankan dan memelihara hubungan jangka panjang yang kuat, tahan lama, dan menguntungkan perlu menyatukan aspek-aspek tersebut ke dalam satu sistem dan pendekatan holistik yang bertujuan untuk mencapai tingkat profitabilitas yang diharapkan. Akhirnya, praktek pengelolaan hubungan pelanggan menuntut kerja kelompok, kesamaan visi, misi, dan paradigma yang berlaku, komitmen, serta membutuhkan kesabaran dan ketelitian pada setiap detil kegiatan.
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
REFERENSI Ashkenas, R., Ulrich, D., Jick, T., and Kerr, S. (1995), The Boundaryless Organization: Breaking the Chains of Organizational Structure, Jossey-Bass Inc., San Fransisco, pp. 199-216. Berry, L.M. (1983), “Relationship Marketing,” Emerging Perspectives on Services Marketing, American Marketing Association, Chicago, Proceeding Series, pp. 25-8.
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
spective, proceeding from the XVIIth Annual Conference of the European Marketing Academy, University of Bradford, pp. 86-103 Cann, C.W. (1998), “Eight Steps to Building A Business-to-Business Relationship,” Journal of Business and Industrial Marketing, Vol. 13 No. 4/5, MCB University Press, pp. 393-403. Christopher, M. (1994), “Logistics and Relationship Marketing,” Asia-Australia Marketing Journal, Vol. 2, August, pp. 93-8.
Bitner, M.J. (1990), “Evaluating Service Encounters: The Effects of Physical Surroundings and Employee Responses,” Journal of Marketing, Vol. 54 (April), pp. 6982.
Congram, C.A. (1991), “Building Relationship That Last,” The AMA Handbook of Marketing for Service Industry, American Management Association, New York, NY, pp. 263.
Bittner, M.J. (1995), “Building Service Relationships: It’s All About Promises,” Journal of The Academy of Marketing Science, Vol. 23, Fall, pp. 246-51.
Field, A. (1996), “Precision Marketing,” Inc. Technology, No. 2, pp. 54-8.
Bitner, M.J, Booms, B.H. and Stanfield Tetreault, M. (1990), “The Service Encounter: Diagnosing Favorable and Unfavorable Incidents,” Journal of Marketing, Vol. 54 (January), pp. 71-84. Bounds, G., Yorks, L., Adams, M. and Ranney, G. (1994), Beyond Total Quality Management: Toward the Emerging Paradigm, McGraw-Hill, Singapore Bowen, D.E. and Lawler, L.L. (1992), “Empowerment: Why, What, How, and When?,” Sloan Management Review, Spring, pp.31-9. Calonius, H. (1988), “A Buying Process Model,” in Blois, K., and Parkinson, S. (Eds), Innovative Marketing – A European Per-
Fornell, C. (1992), “A National Customer Satisfaction Barometer: The Swedish’ Experience,” Journal of Marketing, Vol. 56, January, pp. 6-21. Fornell, C. and Wernerfelt, B. (1987), “Defensive Marketing Strategy by Customer Complaint Management: A Theoretical Analysis,” Journal of Marketing Research, November, pp. 337-46. Gronhaug, K. and Gilly, M.C. (1991), “A Transaction Cost Approach to Consumer Dissatisfaction and Complaint Actions,” Journal of Economic Psychology, Vol. 12, pp. 165-83. Gronroos, C., (1989), “A Relationship Approach to Marketing: The Need for A New Paradigm,” Working Paper, Swedish School of Economics dan Business Administration, Helsinki.
71
Jam STIE YKPN - Primidya Kartika Miranda
Gronroos, C. (1990), Service Management and Marketing, Lexington Books, Lexington, MA. Gronroos, C. (1991), “The Marketing Strategy Continuum: A Marketing Concept for the 1990s,” Management Decision, Vol. 29 No. 1, pp. 7-13
(1993), “Relationships between Providers and Users of Market Research: The Role of Personal Trust,” Working Paper No. 93-111, Marketing Science Institute, Cambridge, MA. Peppers, D., Rogers, M., and Dorf, B. (1999), “Is Your Company Ready for One-to-one Marketing?,” Harvard Business Review, January/February, pp. 151-60.
Gronroos, C. (1994), “From Marketing Mix to Relationship Marketing: Towards A Paradigm Shift in Marketing,” Management Decision, Vol. 32 No. 2, pp. 4-20.
Reichheld, F.E. (1993), “Loyalty-based Management,” Harvard Business Review, March-April, pp. 64-73.
Hakansson, H. (1982), International Marketing and Pruchasing of Industrial Goods: An Interaction Approach, John Wiley & Sons, Chichester.
Reichheld, F.E. and Sasser, Jr, W.E. (1990), “Zero Defections: Quality Comes to Service,” Harvard Business Review, Vol. 68, September/October, pp. 105-11.
Hanover, D. (1997), “The Quest for the Holy Grail Continues …,” Promo Magazine, Vol. May, pp. 43-9.
Rosen, Deborah and Surprenant, Carol (1998), ”Evaluating Relationships: Are Satisfaction and Quality Enough?,” International Journal of Service Industry Management, Vol. 9 No. 2, pp.103-25.
Kaplan, D.I. and Rieser, C. (1995), Service Success: Lessons from a Leader on How to Turn Around a Service Business, JohnWiley&Sons Inc., Singapore, pp.81-5. Kavali, S.G., Tzokas, N.X., and Saren, M.J. (1999), “Relationship Marketing as an Ethical Approach: Philosophical and Managerial Considerations,” Management Decision, Vol. 37/7, pp. 573-81. Kotler, Philip (1997), Marketing Management: Analysis, Planning, Implementation, and Control, Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River, NJ. Liljander, V. and Strandvik, T. (1994), “The Relation Between Service Quality, Satisfcation, and Intentions,” Quality in Management Services II, Van Gorcum, Assen/Maastricht, The Netherlands. Moorman, C., Deshpande, R. and Zaltman, G.
72
Profitabilitas Jangka Panjang Melalui Pengelolaan......
Schein, Edgar H. (1985), Organizational Culture and Leadership, Josey-Bass, San Fransisco. Stoner, James A.F., Freeman, R.E., and Gilbert, Jr., D.R. (1995), Management, 6th ed., Prentice-Hall International, Inc., Englewood Cliffs, NJ, pp. 417. Storbacka, K., Strandvik, T., and Gronroos, C. (1994), “Managing Customer Relationship for Profit: The Dynamics of Relationship Quality,” International Journal of Service Industry Management, Vol. 5 No. 5, pp. 21-38. Wolfe, M.T., Dull, S.F., and Stephens, T. (2000), “Divide and Conquer,” Andersen Consulting Outlook, No. 2.[* | In-line.WMF *]
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA: ANALISIS TEKANAN KETAATAN TINJAUAN PENGARUH TERHADAP PERILAKU TURNOVER TERHADAP JUDGMENT AUDITOR KARYAWAN DAN PENSIUN DINI DI INDONESIA Hansiadi Yuli Hartanto1) *) Dra. Heni Kusumawati, SE., M.Si. Indra Wijaya Kusuma2)
ABSTRACT Job turnover and early retirement are two cases that occur in the unpredictable labor market situation. Job turnover is appeared cause by mismatching in the marketplace and reward system. The process of employee turnover can be integrated into a set of three domain specific image: value, trajectory and strategic. While voluntary early retirement is more determined by interested employment alternative in the same industry or different employment. Restructuring and downzising as the effect of efficiency program, push decreasing employment and frequently termination. These are not only influence psychology, but also financial and next career path. So, firm has to plan everything that related to benefit employment, compensation damage, and anticipated talent people who will leave the firm. Finally, firm also has to rethinking the rule’s firm and marketplace condition with do aging diagnostic by behavior their employment.
PENDAHULUAN Pemutusan hubungan kerja (separation) merupakan fungsi operasional manajemen sumber daya manusia yang marak dibicarakan orang akhir-akhir ini, sehubungan dengan restrukturisasi perusahaan baik swasta maupun BUMN di Indonesia. Beberapa alasan
*)
yang dikemukakan sebagian besar disebabkan oleh efisiensi operasional perusahaan, sehingga perusahaan yang bersangkutan dapat terhindar dari likuidasi. Dampak pemutusan hubungan kerja tersebut tidak hanya dirasakan oleh karyawan, tetapi juga anggota keluarga serta jenjang karir di kemudian hari. Bagi pihak perusahaan, pemutusan hubungan kerja tersebut merupakan suatu keharusan untuk menjaga keselamatan organisasi. Dengan demikian, pemutusan hubungan kerja ini hendaknya mendapat perhatian lebih dari manajemen sumber daya manusia karena berkaitan dengan psikologi karyawan dan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan. Ada beberapa jenis pemutusan hubungan kerja karyawan menurut Mondy dan Noe (1996) seperti: pengunduran diri (resignation), pemberhentian (termination), pemberhentian sementara (layoff), pemecatan (discharge), dan pensiun (retirement). Tingkat perputaran karyawan yang tinggi ditandai dengan keluar dan masuknya karyawan dengan frekuensi tinggi akan mengakibatkan pengeluaran biaya (Lee dan Mitchell, 1994). Perusahaan harus menanggung biayabiaya seperti: biaya rekrutmen karyawan baru, biaya pelatihan, biaya lembur, tingkat produktivitas yang rendah dari karyawan baru, tingkat kecelakaan yang tinggi, dan berhentinya produksi pada saat pergantian karyawan. Oleh karena itu, perusahaan perlu melakukan perencanaan untuk mempersiapkan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan dengan baik.
Dra. Heni Kusumawati, S.E., M.Si., Dosen STIE YKPN Yogyakarta.
73
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
Pensiun adalah pemutusan hubungan kerja yang normal terjadi pada setiap karyawan dan dilaksanakan sebagai program perusahaan berdasarkan pada usia produktif seseorang dan harapan hidup individu pada suatu daerah. Secara tradisional, pensiun adalah penarikan diri tenaga kerja selamanya atau berakhirnya kehidupan kerja aktif seseorang. Sedangkan dalam perkembangannya, pensiun merupakan keluarnya karyawan dari posisi organisasi atau jalur karir dalam sekali waktu, yang dialami oleh seseorang setelah usia 50-an, dan diikuti berkurangnya komitmen psikologis untuk bekerja setelah pensiun. Keterlibatan kerja setelah usia pensiun, termasuk pensiun dini yang akan datang lebih kecil daripada keterlibatan kerja di masa yang lalu. Dalam definisi ini konsep pensiun berhubungan dengan tahap karir selanjutnya atau perubahan career path setelah usia 50-an dalam durasi waktu yang cukup panjang (± 10 tahun) atau karena perubahan organisasional. Dalam konsep pensiun tersebut, seorang karyawan yang harus mengakhiri masa kerjanya sebelum mencapai usia pensiun normal, dapat dikategorikan sebagai pensiun dini. Dengan demikian, perubahan pekerjaan seseorang pada usia 20-an dan perubahan karir seseorang pada usia 30-an disebut sebagai transisi kerja, dan bukan sebagai pensiun atau pensiun dini. Pada konsep pensiun, harus dibedakan antara pensiun dengan perputaran kerja luar biasa (ordinary job turnover). Perputaran kerja mengandung pengertian keluarnya seseorang dari pekerjaan tertentu pada durasi tertentu. Artikel ini bertujuan untuk mengemukakan isuisu yang muncul berkaitan dengan keluarnya seseorang dari organisasi, terutama perilaku pindah kerja (turnover) karyawan dan pensiun dini selama beberapa tahun terakhir ini, termasuk beberapa kasus yang terjadi di Indonesia. Kedua isu tersebut menarik untuk dibahas karena berkaitan dengan berhentinya seseorang dari pekerjaannya sebelum masa pensiunnya. Namun keduanya mempunyai konsep yang berbeda secara operasional dan psikologis. Selanjutnya bagaimana perusahaan mengantisipasi dampak pemutusan hubungan kerja sehingga karyawan merasa yakin ketika seseorang harus berhenti bekerja sebelum masanya pensiunnya, maupun jika perusahaan harus ditinggalkan oleh orang-orang yang dianggap cakap dalam perusahaannya.
74
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
Perubahan Struktur Pemutusan Hubungan Kerja Ledakan angka kelahiran yang terjadi di seluruh belahan bumi ini sangat mempengaruhi kehidupan di segala bidang dan khususnya pada fungsi manajemen sumber daya manusia dalam perusahaan (Caudron, 1997). Hal ini juga dialami oleh Indonesia pada sekitar tahun 1971, pada saat itu kondisi kependudukan Indonesia di dukung oleh booming perekonomian dengan migas sebagai unggulannya. Generasi boomers ini pada akhirnya akan mempengaruhi komposisi umur angkatan kerja dalam perusahaan. Hal ini berarti akan ada penumpukkan pemutusan hubungan kerja karyawan pada masa tertentu yang mengakibatkan besarnya jumlah biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk mempersiapkan karyawan dalam menghadapi masa pensiun dan penyediaan dana pensiun maupun pensiun dini. Selama beberapa dekade ini kecenderungan karyawan melakukan pensiun dini (early retirement) meningkat, karena kebutuhan akan peningkatan karier individunya. Generasi boomers yang hidup penuh persaingan dan tekanan ini telah mempengaruhi kebijakan dan keputusan manajemen sumber daya manusia yang mengakibatkan mereka tidak mempunyai cukup retirement saving atau tabungan untuk persiapan pensiun (Sheley, 1995). Pensiun dini tidak hanya dilakukan dari pihak pekerja tetapi juga berasal dari pemberi kerja. Hal tersebut dirasakan pula oleh sebagian besar karyawan di Indonesia sebagai akibat restrukturisasi beberapa sektor usaha, yang banyak mengurangi karyawan karena alasan efisien. Ledakan penduduk pada masa lalu, sangat mempengaruhi keputusan fungsi operasional manajemen sumber daya manusia pada masa yang akan datang. Generasi boomers tersebut akan mengakibatkan adanya ketimpangan umur angkatan kerja, membengkaknya biaya kompensasi, dan perubahan sistem asuransi kesehatan kerja. Persaingan dan tekanan kebutuhan finansial dalam pekerjaan menjadi sangat ketat sehingga individu yang merasa terhambat kariernya dalam perusahaan lebih memilih untuk meninggalkan pekerjaannya dengan melakukan pensiun dini (early retirement). Para karyawan tersebut akan memutuskan untuk menerima pekerjaan sampingan (brige employment) (Feldman, 1994), supaya pada saat pensiun mereka telah memiliki retirement saving yang
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
cukup (Sheley, 1995). Banyaknya alternatif pekerjaan dan tingkat kepuasan kerja yang kurang sesuai bagi karyawan akan mendorong karyawan untuk mempertimbangkan keluar dari pekerjaan yang ada sekarang atau tetap menekuni pekerjaan lamanya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi turnover karyawan secara sukarela adalah kepuasan kerja, niat untuk berhenti dari pekerjaan, harapan untuk menemukan alternatif pekerjaan, serta perilaku dan keinginan untuk keluar dari pekerjaan. Pengunduran diri (resignation) merupakan proses yang kompleks, dalam hal ini individu dipengaruhi oleh penilaian perasaannya, situasi personal dan lingkungan kerjanya (Lee dan Mitchell, 1994). Pada umumnya setiap orang dalam tahapan siklus kehidupannya menginginkan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Demikian juga dengan tahapan karirnya, karyawan perusahaan yang memiliki empat karakteristik berdasarkan siklusnya (Gibson, Ivancevich, dan Donnelly, 1994) yaitu establishment (penentuan identitas), advancement (dewasa dan berkembang), maintenance (keseimbangan dan pemeliharaan diri), dan tahap yang terakhir adalah retirement (penurunan dan pensiun). Pada siklus pemeliharaan, seseorang berusia antara 40-54 tahun, tingkat kepuasan yang dibutuhkannya terletak pada penghargaan dan pengakuan terhadap dirinya. Jika seseorang tidak mendapatkan penghargaan yang diinginkan pada tahap ini maka ia mendapatkan shock to the system (Lee & Mitchell, 1994). Pada tahapan tersebut seorang pekerja akan mengalami guncangan batin, ia harus mengevaluasi pekerjaannya saat ini dan harapan alternatif pekerjaan yang lain, selanjutnya ia akan mempertimbangkan secara psikologis untuk keluar dari pekerjaannya atau tidak. Kejadian ini dapat memicu terjadinya pengunduran diri secara sukarela ataupun pensiun dini. Pada tahap penurunan, karyawan mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi program pensiun karena usianya berkisar antara 55-65 tahun (Gibson, Ivancevich, & Donnelly, 1994). Struktur pensiun tradisional telah berubah karena berkembangnya peningkatan kesehatan masyarakat dan pengetahuan medis sehingga usia harapan hidup seseorang menjadi lebih lama.
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
Tinjauan terhadap Pindah Kerja ( turnover) Karyawan Keluarnya seseorang dari suatu pekerjaan ke pekerjaan yang lain dapat terjadi apabila situasi kerja yang dihadapi saat ini tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan. Keputusan ini dipengaruhi oleh pandangan karyawan untuk mendapatkan alternatif pekerjaan yang lebih baik. Namun di sisi pemberi kerja, pindahnya seseorang ke pekerjaan lain dapat berdampak terhadap hilangnya biaya penerimaan dan pelatihan karyawan yang bersangkutan. Berikut ini tinjauan pindah kerja dari sisi pekerja dan pemberi kerja: a. Pindah Kerja (Turnover) dari Sisi Pekerja Ketidakpuasan terhadap pekerjaan akan membuat karyawan berpikir untuk berhenti dari pekerjaan, mengevaluasi utilitas yang diharapkan dengan mencari pekerjaan lain, mengevaluasi biaya yang dikeluarkan bila berhenti dari pekerjaan sekarang, serta mengevaluasi penerimaan berbagai alternatif pekerjaan setelah mengundurkan diri dari pekerjaan. Proses ini merupakan deskripsi yang jelas dari proses psikologi antara ketidakpuasan terhadap pekerjaan dan pindah kerja (turnover) tenaga kerja yang dipengaruhi oleh adanya alternatif pekerjaan. Alternatif pekerjaan tersebut akan mempengaruhi turnover secara langsung terhadap karyawan temporer, tetapi untuk karyawan permanen, turnover dipengaruhi oleh alternatif pekerjaan dan kepuasan kerja. Dengan demikian, populasi karyawan yang berbeda secara personal dan lingkungan organisasinya akan memfokuskan pada faktor yang berbeda pula. Persaingan dunia kerja di Indonesia pada masa sebelum krisis ekonomi, membuat karyawan mencari pekerjaan yang mampu mengembangkan karir mereka dengan cara pindah kerja atau turnover. Pada masa tersebut peluang kerja sangat memungkinkan untuk menerima karyawan yang kompetitif, dan karyawan rela untuk mulai bekerja dari awal selama mereka dapat menempuh jenjang karir yang lebih baik. Turnover karyawan juga terjadi sebagai kesan pertama yang kurang baik, yang dirasakan oleh karyawan baru ketika mereka pertama kali memasuki dunia kerja. Hal ini terjadi jika pihak perusahaan tidak memberikan pelatihan dan arahan yang baik untuk membantu karyawan baru untuk mapan di tempat kerjanya. Alasan lain karyawan meninggalkan pekerjaannya adalah karena sistem
75
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
kompensasi dan aturan kerja yang tidak sesuai. Bagi karyawan wanita yang sudah menikah, turnover lebih ditekankan pada ketidaksesuaian antara waktu bekerja dengan tanggung jawab mengurus keluarga. Mereka akan mencari alternatif pekerjaan yang tidak banyak menyita waktu atau lebih memilih part time job, sehingga dapat melakukan kedua tugas tersebut secara seimbang. Pada periode memasuki masa krisis ekonomi, banyak perusahaan di Indonesia harus melakukan restrukturisasi dan downzising. Perusahaan harus mengurangi karyawannya dengan alasan efisiensi. Kondisi seperti ini diikuti oleh menurunnya job security, sehingga setiap karyawan yang tidak mempunyai kompetensi harus memikirkan alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sempitnya lapangan pekerjaan pada masa krisis ekonomi, yang diikuti booming pencari kerja, menjadikan konsep turnover tidak lagi dilakukan secara sukarela, tetapi terpaksa harus dijalankan karena perusahaan tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan seperti sebelum krisis, karyawan yang memiliki kompetensi tinggi dengan masa jabatan tertentu yang dipertahankan oleh pemberi kerja. Akibatnya sebagian besar karyawan mencari alternatif pekerjaan di luar bidang keahliannya selama mereka masih dapat menerima gaji atau sebagian karyawan justru menjalankan wiraswasta. b. Pindah Kerja (Turnover) dari Sisi Pemberi Kerja Apabila dilihat dari sisi pemberi kerja atau perusahaan, konsep turnover karyawan dalam kondisi perekonomian yang normal berarti meningkatnya pengeluaran perusahaan. Pindahnya seseorang dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dengan alasan kondisi lingkungan kerja maupun reward system merupakan suatu kerugian besar bagi perusahaan, karena karyawan yang pindah kerja umumnya mempunyai kompetensi yang tinggi dan marketable. Dengan demikian, perusahaan harus kehilangan biaya yang cukup besar, yang sudah dikeluarkan untuk rekrutmen, pelatihan, dan program pengembangan karyawan. Walaupun pengeluaran tersebut sudah merupakan konsekuensi perusahaan bagi setiap karyawannya yang pindah kerja, tetapi pihak manajemen harus mempertimbangkan kembali kebijakan yang selama ini berlaku. Beberapa manajer sumber daya manusia saat ini mulai belajar bagaimana untuk mempertahankan staf
76
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
mereka dalam ketatnya pasar tenaga kerja. Motivasi adalah hal yang penting, baik melalui kompensasi maupun tunjangan yang kompetitif. Menurut penelitian Herzberg, seperti yang dikutip oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), ada dua faktor yang timbul pada suatu keadaan yang terpisah dapat mempengaruhi motivasi karyawan yaitu ketidakpuasan (dissatisfiers disebut juga hygiene factors) dan kepuasaan (satisfiers disebut juga motivating factors). Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasaan mencakup ketidaksesuaian gaji, kondisi kerja, dan kebijakan organisasi, yang semuanya berdampak negatif terhadap hubungan kerja yang dilakukan oleh karyawan dan organisasi. Hal ini akan terlihat pada perilaku karyawan yang bekerja secara tidak efektif dan efisien. Faktor-faktor yang menyebabkan kepuasaan mencakup pencapaian prestasi, penghargaan, pemberian tanggung jawab dan promosi, yang semuanya berhubungan dengan muatan kerja dan reward terhadap kinerja pekerjaan. c. Pendekatan Unfolding Turnover Model Perilaku seorang karyawan yang meninggalkan pekerjaan dengan sukarela dapat didekati dengan menggunakan model unfolding turnover. Model ini menjelaskan tentang empat jalur keputusan (decision paths) yang masing-masing mengandung adanya proses psikologis dan external events (Lee dan Mitchell, 1994). Dorongan keinginan untuk berhenti dari pekerjaan berhubungan dengan kepuasan terhadap pekerjaan. Jalur keputusan 1 menggambarkan proses keputusan untuk pindah kerja yang disertai oleh guncangan batin (shock to the system) dan penyeimbangan memori. Jalur keputusan 2 merupakan proses keputusan pindah kerja yang disertai oleh guncangan batin, tidak adanya penyeimbangan memori dan tidak ada alternatif pekerjaan tertentu. Jalur keputusan 3 menunjukkan suatu proses pindah kerja yang diikuti oleh adanya guncangan batin, serta tidak ada penyeimbangan memori dan kesadaran terhadap kemungkinan munculnya alternatif pekerjaan tertentu. Pada jalur keputusan terakhir, proses pindah kerja digambarkan oleh keadaan tanpa adanya guncangan batin. Jalur keputusan 1,2, dan 4 dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan jalur keputusan 3 dapat dilihat pada Gambar 2. Jalur keputusan (decision path) dalam unfolding model menunjukkan bagaimana karyawan
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
mengintepretasikan lingkungan kerjanya dan bagaimana mereka mengidentifiksi pilihan keputusan dan respon yang diinginkan. Pada jalur keputusan pertama, proses keputusan untuk melakukan pindah kerja dipengaruhi oleh adanya suatu guncangan batin (shock to the system) dalam diri karyawan antara kondisi kerja yang dialaminya saat ini dengan kondisi di luar pekerjaannya. Kebimbangan tersebut kemudian dimasukkan dalam memorinya, dan dicocokkan dengan harapan individualnya. Jika apa yang diharapkan sesuai dengan isu yang diterima, maka perilaku selanjutnya adalah mereka akan keluar dari pekerjaan saat ini. Namun apabila tidak sesuai, mereka akan lebih memfokuskan untuk tetap bekerja pada organisasi semula, tanpa mengevaluasi image dalam dirinya terhadap pekerjaannya. Pada proses keputusan kedua, seseorang yang merasa tidak cocok antara harapan individualnya dengan pengaruh eksternalnya, mereka akan tetap memfokuskan pada pekerjaannya saat ini, namun diikuti oleh suatu perilaku untuk mencocokkan image individual terhadap pekerjaanya. Apabila mereka mampu mengubah image, maka mereka akan tetap tinggal di organisasi semula bersama image yang baru, namun jika mereka tidak mampu menyelaraskan image individualnya, mereka akan berusaha keluar dari pekerjaanya. Pada proses perilaku keputusan ketiga, bagi karyawan yang mengalami guncangan dalam pekerjaannya dan tidak merasa cocok dengan isu eksternal, maka ia berusaha untuk mengevalusi kembali image dalam dirinya terhadap pekerjaan saat ini. Selanjutnya mengidentifikasi pekerjaan-pekerjaan yang relatif tidak memuaskan. Mereka akan mencoba mencari alternatif pekerjaan lain, dan mengevaluasi alternatif pekerjaan tersebut serta mencocokkannya dengan menggunakan analisis secara rasional. Pada perilaku proses keputusan keempat, seseorang tidak dipengaruhi oleh unsur eksternal sehingga tidak ada guncangan atau shock yang mempengaruhi keputusan mereka untuk pindah kerja. Dalam pengambilan keputusan, seseorang akan melakukan proses screening yaitu mekanisme pembatasan informasi dan perubahan potensial pada perilaku seseorang dalam pembuatan keputusan. Screening tersebut diintegrasikan dalam tiga image khusus, yaitu value image (nilai-nilai umum, standart,
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
dan prinsip individu), trajectory image (sekumpulan tujuan yang mengarahkan pada perilaku seseorang), dan strategic image (taktik dan strategi untuk mencapai tujuan). Image seseorang akan mengalami penyesuaian dari waktu ke waktu tetapi perilakunya relatif tetap (Lee & Mitchell, 1994). Keputusan untuk pindah kerja atau tetap tinggal dalam organisasi semula lebih dipengaruhi oleh sekumpulan tujuan yang ada dalam dirinya (trajectory image), untuk mendapatkan kepuasaan kerja. Apabila karyawan tidak mampu memperoleh kepuasan kerja maka alternatif perilaku yang dilakukan adalah keluar dari pekerjaan semula.
Tinjauan terhadap Keputusan Pensiun Dini Karyawan Keputusan untuk pensiun pada karyawan telah mengalami pergeseran. Pengertian pensiun secara tradisional mencerminkan berakhirnya jenjang karier pekerjaan seseorang selamanya, telah bergeser menjadi pensiun untuk transisi pada suatu pekerjaan sampingan (bridge employment) dengan jenjang karier yang berbeda (Feldman, 1994). Keputusan untuk mengundurkan diri dibuat secara kolaboratif, sehingga upah, tabungan pensiun, tunjangan (benefit), kesehatan, dan keinginan melakukan partnership akan mempengaruhi keputusan pensiun dini (early retirement). Keadaan perusahaan yang melakukan merger, akuisisi, dan kondisi resesi mendorong karyawan untuk melakukan pensiun dini. Oleh karena itu, pemerintah berusaha membatasi perusahaan melakukan pemaksaan pensiun sukarela dari karyawan yang lebih tua. Pensiun dini karyawan dipengaruhi oleh tiga keputusan yang saling berkaitan, yaitu: 1. Individu harus memutuskan apakah mereka akan meninggalkan pekerjaannya saat ini sebelum memenuhi syarat untuk menerima social security atau pension benefit. 2. Ketika individu memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya pada saat ini, mereka harus memutuskan apakah akan menerima beberapa jenis pekerjaan sampingan (bridge job) atau tidak. 3. Individu akan menerima bridge employment dalam industri yang sama atau menerima jabatan lain sebagai career job.
77
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
Gambar 1 Model Unfolding Turnover Jalur Keputusan 1, 2, dan 4
Sumber:
Lee, Thomas W & Terence R. Mitcheli. “An Alternative Approach: The Unfolding Model of Voluntary Employee Turnover”. Academy of Management Review (January 1994): 62.
Gambar 2 Model Unfolding Turnover Jalur Keputusan 3
Sumber: Lee, Thomas W & Terence R. Mitcheli. “An Alternative Approach: The Unfolding Model of Voluntary Employee Turnover”. Academy of Management Review (January 1994): 63.
78
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
Kecenderungan yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa lebih banyak individu yang mengajukan pensiun dini daripada individu yang menunggu waktu untuk mencapai usia pensiun normal. Seorang karyawan memutuskan pensiun dini mungkin karena mendapatkan tawaran bridge employment yang lebih menarik dalam industri yang sama. Walaupun pensiun dini dilakukan secara sukarela, namun biasanya dilakukan perusahaan sebagai alternatif untuk melindungi pemecatan terhadap karyawan yang lebih tua yang tidak mempunyai kesempatan mendapatkan pekerjaan yang memuaskan setelah ‘dirumahkan’ lama. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pensiun dini karyawan antara lain karena adanya perbedaan individu, struktur kesempatan dalam jenjang karier, tingkat organisasi dan lingkungan eksternal perusahaan (Feldman, 1994). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Feldman (1994) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara keputusan pensiun dini karyawan dengan lamanya karyawan bekerja dalam organisasi. Pensiun dini karyawan dipengaruhi oleh status karyawan yang telah menikah, adanya diskriminasi terhadap kelompok demografi, karyawan yang sakit, self identity karyawan yang rendah dan kepastian rencana pensiun karyawan. Dampak negatif antara umur dengan kinerja, diskriminasi karyawan yang lebih tua, perusahaan yang menurun kinerjanya dan karyawan yang bekerja full-time juga mempengaruhi tingginya tingkat keputusan pensiun dini karyawan. Gaji dan harapan keuntungan pensiun yang besar, konsultasi sebelum pensiun secara komprehensif dari pihak perusahaan dan fleksibilitas organisasi dalam mengelola karyawan yang lebih tua (older workers) berpengaruh secara signifikan dengan dorongan karyawan untuk melakukan pensiun dini. Penawaran untuk pensiun dini seringkali datang dari perusahaan yang melakukan downsizing. Meskipun perusahaan telah menyediakan training dan program manajemen karir bagi older workers, mereka secara agresif menawarkan program insentif pensiun dini untuk mengurangi atau membatasi staf. Penelitian yang dilakukan di Amerika pada tahun 1990-an, mengemukakan bahwa early retirement incentive programs (ERIPs) ditawarkan oleh perusahaan yang melakukan downsizing, dengan beberapa alasan yaitu untuk mengurangi pembayaran yang berlebih, membatasi salah satu pekerja yang paling mahal, atau
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
mereka yang mempunyai produktivitas paling rendah. Untuk mengantisipasi masalah di atas perusahaan hendaknya melakukan perencanaan strategi jangka panjang dengan melakukan “aging diagnosis” (Caudron, 1997), yaitu dengan mengevaluasi komposisi usia angkatan kerja perusahaan saat ini, tingkat turnover karyawan, jenis pekerjaan yang dilakukan karyawan serta sistem kompensasi yang diberikan bagi karyawan.
Pensiun Dini di Indonesia Konsep pensiun dini di Indonesia terjadi sebagai akibat dari dampak insentif yang diberikan oleh pihak pemberi kerja dan semakin tinggi persaingan di pasar tenaga kerja. Sistem pensiun nasional mula-mula diberikan berdasar basic pensions, yaitu jumlah pensiun tetap bagi semua karyawan. Konsep pensiun ini sebelumnya hanya dikenal oleh karyawan pemerintah atau pegawai negeri. Dengan berkembangnya sistem lembaga keuangan di Indonesia, maka setiap lembaga pemberi kerja disarankan mengikuti program pensiun karyawan. Perkembangan lebih lanjut dari sistem pensiun tersebut adalah contribution-based pensions. Konsep ini lebih populer di perusahaanperusahaan besar yang mengukur insentif pegawainya dengan sistem kontribusi yang diberikan kepada perusahaan, sehingga sistem ini tidak mempengaruhi kapan seseorang akan pensiun. Setiap karyawan dapat mengukur sendiri kapan mereka akan pensiun termasuk pensiun dini, karena setiap karyawan dapat memprediksi berapa besarnya pensiun yang akan mereka terima dari kontribusi yang diberikan kepada perusahaan. Persaingan pasar tenaga kerja di masa krisis ekonomi sangat ketat. Bagi karyawan yang mempunyai tabungan hari tua yang cukup besar, mereka tidak perlu khawatir dengan pensiun dini, karena hal itu dapat dianggap sebagai penyegaran dengan mencari alternatif pekerjaan lainnya. Bagi karyawan yang tidak memiliki tabungan yang cukup, akan menanggung beban berat dari akibat pensiun dini tersebut, dan bagi perekonomian berarti meningkatnya angka pengangguran nasional. Menurut penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) memprediksi pada tahun 1998 terdapatnya 5,4 juta tenaga kerja Indonesia yang
79
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) karena krisis ekonomi. Angka tersebut masih ditambah tenaga kerja yang belum bekerja sejak 1997 sebesar 2,4 juta, dan tambahan tenaga kerja baru tahun 1998 sebesar 1,4 juta orang. Berdasarkan 5,4 juta orang yang terkena PHK, 2,6 juta di antaranya bekerja kembali di sektor informal yang produktivitas dan gajinya lebih rendah (Kompas, 30 Maret 1999). Dampak psikologis bagi karyawan yang menjalankan pensiun dini harus diperhatikan, karena hal ini menjadikan orang sangat sensitif terhadap lingkungannya. Tidak sedikit mereka menjadi sangat tertekan karena keuangan keluarga menjadi berkurang, dan memiliki perasaan emosional yang berlebihan. Perilaku berikutnya adalah mereka cenderung untuk mencari pekerjaan sampingan di luar jalur karirnya dan berusaha mendekati teman-teman yang mempunyai perasaan serupa. Bagi pemberi kerja, upaya melakukan pensiun dini maupun PHK, membawa konsekuensi memberikan uang pesangon, yaitu pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja, maupun uang jasa yaitu pemberian uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai penghargaan berdasarkan masa kerja akibat adanya pemutusan hubungan kerja, di samping uang pensiun bulanan. Apabila mengikuti Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-03/Men/1996, besarnya uang pesangon yang wajib diberikan kepada karyawan yang di-PHK atau dipensiun menjadi tidak relevan lagi dalam kondisi krisis saat ini. Jika ditinjau lebih lanjut, bahwa peraturan tersebut dibuat pada masa sebelum krisis, sehingga nilai riilnya menjadi lebih kecil. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan kebijakan bagi masing-masing perusahaan atau lembaga pemberi kerja. Besarnya uang pesangon dan uang jasa yang ditetapkan oleh Penmennaker dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Kesimpulan Keputusan untuk berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain atau turnover cenderung dipengaruhi oleh image yang muncul dalam diri setiap orang, yang terdiri dari value image, trajectory image, dan strategic image. Pindahnya seseorang dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dengan alasan kondisi lingkungan
80
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
kerja maupun reward system merupakan suatu kerugian besar bagi perusahaan, karena perusahaan harus kehilangan kandidat yang dianggap cakap dan biaya yang cukup besar, yang sudah dikeluarkan selama proses rekrutmen dan pengembangan karyawan. Perencanaan pemutusan hubungan kerja merupakan upaya perusahaan untuk membekali karyawan memasuki pensiun dini, yang terdiri dari perencanaan psikologis dan finansial. Dalam perkembangan baru, pensiun dianggap sebagai masa transisi kerja dari full employment ke bridge employment, walaupun diikuti oleh berkurangnya komitmen psikologis terhadap pekerjaan semula. Keputusan untuk melakukan pensiun dini dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berasal dari diri individu, keluarga maupun organisasi. Keputusan tersebut juga mendorong karyawan untuk mencari alternatif pekerjaan dalam industri yang sama maupun pekerjaan di luar jalur karirnya. Kesuksesan pensiun dini karyawan dapat tercapai apabila karyawan dapat menentukan tujuan yang sesuai, situasi lingkungannya, dan merencanakan waktu pensiunnya sendiri. Masalah penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pensiun adalah kondisi kesehatan, keuangan, dan perumahan. Perilaku karyawan yang sudah mempunyai tabungan dan perumahan, akan lebih siap menerima pensiun dini daripada mereka yang tidak melakukan perencanaan tersebut. Demikian pula bagi karyawan yang merasa kondisi kesehatannya kurang baik, cenderung menerima keputusan pensiun dini dengan sukarela. Sedangkan karyawan yang memiliki kondisi kesehatan yang baik, keputusan pensiun dini mendorong mereka mencari alternatif pekerjaan lain setelah pensiun. Berdasarkan pendekatan unfolding model dan beberapa contoh keadaan tentang kasus-kasus pindah kerja dan pensiun dini memberikan implikasi: (1) Rendahnya kemampuan organisasi untuk memberikan jaminan kerja yang semakin tinggi kepada karyawan, dimungkinkan sebagai faktor utama yang menyebabkan tingginya kasus-kasus pindah kerja. Keadaan ini dapat diminimumkan dengan membuat perencanaan manajemen yang lebih terprogram berkaitan dengan pengelolaan sumber daya manusia. Pemberian motivasi menurut hirarki kebutuhan karyawan juga dipandang dapat meningkatkan keinginan karyawan untuk bekerja lebih giat, sehingga produktivitas karyawan dapat
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
Tabel 1 Uang Pesangon Sesuai Pasal 21 Penmennaker Nomor Per-03/Men/1996 Masa Kerja
Besarnya Uang Pesangon
< 1 tahun 1 tahun atau > tetapi kurang dari 2 tahun 2 tahun atau > tetapi kurang dari 3 tahun 3 tahun atau > tetapi kurang dari 4 tahun 4 tahun atau >
1 bulan upah 2 bulan upah 3 bulan upah 4 bulan upah 5 bulan upah
* Besarnya pesangon yang diberikan dua kali ketentuan diatas
Sumber: Penmennaker Nomor Per-03.Men/1996.
Tabel 2 Uang Jasa Sesuai Pasal 22 Penmennaker Nomor Per-03/Men/1996 Masa Kerja
Besarnya Uang Pesangon
5 tahun atau > tetapi kurang dari 10 tahun 10 tahun atau > tetapi kurang dari 15 tahun 15 tahun atau > tetapi kurang dari 20 tahun 20 tahun atau > tetapi kurang dari 25 tahun 25 tahun atau >
2 bulan upah 3 bulan upah 4 bulan upah 5 bulan upah 6 bulan upah
Sumber: Penmennaker Nomor Per-03.Men/1996.
ditingkatkan. Faktor perhatian pihak manajemen terhadap karyawan diharapkan juga dapat meningkatkan loyalitas terhadap organisasi. (2) Meningkatnya karyawan untuk melakukan pensiun dini dapat disebabkan oleh adanya pekerjaan sampingan (bridge employment) yang lebih menarik dan memberikan harapan finansial yang lebih besar. Kenyataan ini menunjukkan tingkat persaingan organisasi yang bersangkutan terhadap organisasi yang lain dalam industri yang sama semakin lemah. Dengan kata lain,
organisasi tersebut mempunyai daya saing terhadap pasar yang tidak kompetitif. Berdasarkan kondisi tersebut, manajemen perlu mempertimbangkan kembali strategi korporasi yang digunakan untuk mencapai tujuan organisasi dan bersaing di pasar global. Pihak manajemen juga perlu mereview tujuan dan sasaran, serta mempertanyakan kembali misi dan visi organisasi, sehingga manajemen dapat membawa kembali organisasi pada jalur utama bisnis yang bersangkutan (core business).
81
Jam STIE YKPN - Heni Kusumawati
DAFTAR PUSTAKA Anonim. “Pemberian Kompensasi Terhadap Karyawan yang di PHK,” Kompas (30 Maret ) 1999. Anthony, Perrewe, and Kacmar. Strategic Human Resource Management. Second Edition. New York: The Dryden Press., 1996. Blondal, Sveinbjorn and Stefano Scarpetta. “Retire Early, Stay at Work,” The OECD Observer (June/July) 1998: 15-19.
over,” Academy of Management Review (January) 1994: 51-89. Mirvis H. Philip. Building The Competitive Wirkforce Investing in Human Capital for Coporate Success. Singapore: John Wiley & Sons, Inc.,1993. Mondy, R. Wayne and Noe, Robert M. Human Resource Management. Sixth Edition. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc., 1996.
Carnegie, Jerry., et.al. “The Future of Retirement,” Financial Executive (January/ February) 1997: 33-36.
Schuler S. Randall and Susan E. Jackson. Human Resource Management, Positioning for The 21st Century. Sixth Edition. New York: West Publishing Company, 1996.
Caudron, Shari. “Boomers Rock the System, Workforce,” Academy of Management Review (December) 1997: 42-47.
Sheley, Elizabeth. “Help Employees Plan Now for a Secure Future.” HR Magazine, 1995: 88-96.
Feldman, Daniel C. “The Decision to Retire Early: A Review and Conceptualization,” Academy of Management Review (January) 1994 : 285- 311.
Stone J. Raymond. Human Resource Management. Second Edition. Singapore: John Wiley & Sons, Inc.,1991.
Gibson, Ivancevich, & Donnelly. Organization : Behavior, Structure, Processes. Eighth Edition . New York: Irwin, Inc., 1994.
Stoner, James A.F., R. Edward Freeman, and Daniel R. Gilbert. Management. Sixth edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, 1995.
Ivancevich, John M. Human Resource Management. Sixth Edition. New York: Irwin, Inc., 1995.
Williams, David M. “Successful Retirement,” Management (Juni) 1993: 1-12.
LaRock, Seymour. “Retirement Experience,” Employee Benefit Plan Review. 1998: 34 -35.
Winkler, Kitty and Inez Janger. “You’re Hired!,.” Across The Broad (July/August) 1998: 17-23.
Lee, Thomas W., and Mitchell, Terence R. “An Alternative Approach : The Unfolding Model of Voluntary Employee Turn-
82
Pemutusan Hubungan Kerja: Tinjauan Terhadap........
KEBIJAKAN EDITORIAL Jurnal Akuntansi & Manajemen Format Penulisan 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
8.
Naskah adalah hasil karya penulis yang belum pernah dipublikasikan di media lain. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar. Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (8.5 x 11 inch.) dengan jarak 2 spasi pada satu permukaan dan diberi nomor untuk setiap halaman. Naskah ditulis dengan menggunakan batas margin minimal 1 inch untuk margin atas, bawah, dan kedua sisi. Halaman pertama harus memuat judul, nama penulis (lengkap dengan gelar kesarjanaan yang disandang), dan beberapa keterangan mengenai naskah dan penulis yang perlu disampaikan (dianjurkan dalam bentuk footnote). Naskah sebaiknya diawali dengan penulisan abstraksi berbahasa Indonesia untuk naskah berbahasa Inggris, dan abstraksi berbahasa Inggris untuk naskah berbahasa Indonesia. Abstraksi berisi keyword mengenai topik bahasan, metode, dan penemuan. Penulisan yang mengacu pada suatu referensi tertentu diharuskan mencantumkan bodynote dalam tanda kurung dengan urutan penulis (nama belakang), tahun, dan nomor halaman. Contoh penulisan: a Satu referensi: (Kotler 1997, 125) b. Dua referensi atau lebih: (Kotler & Armstrong 1994, 120; Stanton 1993, 321) c. Lebih dari satu referensi untuk penulis yang sama pada tahun terbitan yang sama: (Jones 1995a, 225) atau (Jones 1995b, 336; Freeman 1992a, 235) d. Nama pengarang telah disebutkan dalam naskah: (Kotler (1997, 125) menyatakan bahwa ....... e. Referensi institusi: (AICPA Cohen Commission Report, 1995) atau (BPS Statistik Indonesia, 1995) Daftar pustaka disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomor urut. Contoh penulisan daftar pustaka: Kotler, Philip and Gary Armstrong, Principles of Marketing, Seventh Edition, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1996 Indriantoro, Nur. “Sistem Informasi Strategik; Dampak Teknologi Informasi terhadap Organisasi dan Keunggulan Kompetitif.”KOMPAK No. 9, Februari 1996; 12-27. Yetton, Philip W., Kim D. Johnston, and Jane F. Craig.”Computer-Aided Architects: A Case Study of IT and Strategic Change.”Sloan Management Review (Summer 1994): 57-67. Paliwoda, Stan. The Essence of International Marketing. UK: Prentice-Hall, Ince., 1994.
Prosedur Penerbitan 1. 2. 3. 4. 5.
Naskah dikirim dalam bentuk print-out untuk direview oleh Editors JAM. Editing terhadap naskah hanya akan dilakukan apabila penulis mengikuti kebijakan editorial di atas. Naskah yang sudah diterima/disetujui akan dimintakan file naskah dalam bentuk disket kepada penulis untuk dimasukkan dalam penerbitan JAM. Koresponden mengenai proses editing dilakukan dengan Managing Editor Pendapat yang dinyatakan dalam jurnal ini sepenuhnya pendapat pribadi, tidak mencerminkan pendapat redaksi atau penerbit.Surat menyurat mengenai permohonan ijin untuk menerbitkan kembali atau menterjemahkan artikel dan sebagainya dapat dialamatkan Editorial Secretary.