i ANALISIS PENGARUH ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA
SYAHRIL ILHAMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengaruh Anggaran Pendidikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Syahril Ilhami NIM H151100074
iv RINGKASAN SYAHRIL ILHAMI. Analisis Pengaruh Anggaran Pendidikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO dan NOER AZAM ACHSANI. Pendidikan merupakan sektor yang fundamental bagi sebuah negara karena pendidikan mampu memberikan manfaat positif bagi pembangunan walaupun manfaat tersebut baru dapat dirasakan beberapa tahun ke depan. Pendidikan memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan kehidupan sosial ekonomi melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap dan produktivitas, sehingga pendidikan diharapkan mampu menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan suatu ukuran kondisi sumber daya manusia pada suatu negara. IPM dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Anggaran pendidikan yang besar jika dikelola dengan baik dan dialokasikan secara tepat diharapkan mampu meningkatkan tingkat melek huruf dan tingkat lama sekolah sehingga pada gilirannya akan meningkatkan IPM. Data BPS menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah (APS) di setiap kategori sejak tahun 1994 sampai 2011 mengalami peningkatan, demikian pula halnya dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang juga mengalami peningkatan dalam kurun waktu yang sama. Walaupun angka IPM Indonesia meningkat secara nominal tetapi dari sisi peringkat Indonesia memburuk. Pada tahun 2010 Indonesia tercatat menduduki peringkat 108 tetapi tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat 124 dan pada tahun 2012 Indonesia menempati peringkat ke 121. Ini merupakan indikasi bahwa pengeluaran negara untuk pendidikan belum mampu secara maksimal mendongkrak IPM. Dari segi teori ekonomi pendidikan, khususnya pendekatan human capital, aspek pembiayaan dipandang sebagai bagian dari investasi pendidikan yang menentukan taraf produktivitas individu maupun kelompok. Pada gilirannya taraf produktivitas ini mempengaruhi taraf pendapatan (earning) seseorang atau kelompok yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kecepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Studi ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh anggaran pendidikan terhadap angka melek huruf rata-rata lama sekolah, pengaruh angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah terhadap tingkat pendapatan dan pengaruh angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, tingkat pendapatan dan angka harapan hidup terhadap indeks pembangunan manusia. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Badan Pusat Statistik dari tahun 2009-2012 yang mencakup seluruh provinsi di Indonesia. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis jalur (path analysis). Analisis deskriptif berfungsi untuk mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran melalui sajian tabel dan grafik, sedangkan analisis jalur digunakan untuk mengetahui apakah data mendukung teori, yang secara a-priori dihipotesiskan, yang mencakup kaitan struktural antar variabel terukur.
v Hasil studi ini menunjukkan bahwa provinsi yang memiliki anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terbesar adalah Kalimantan Timur dan Papua Barat. Ini menandakan bahwa penduduk usia sekolah di dua provinsi tersebut menikmati anggaran pendidikan lebih banyak dari pada penduduk usia sekolah di provinsi lainnya. Sedangkan provinsi yang memiliki anggaran pendidikan per kapita penduduk usia sekolah yang relatif kecil adalah provinsi Jawa Barat, Banten dan Jawa Timur. Selain itu studi ini juga memperlihatkan terjadinya peningkatan anggaran pendidikan per kapita dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, terjadi peningkatan anggaran pendidikan perkapita penduduk usia sekolah yang bervariasi antara 7 % (Riau) hingga 67% (Jawa Timur), bahkan untuk DKI Jakarta terjadi peningkatan hampir 2,5 kali lipat dari anggaran 2009. Dalam hal Indeks Pembangunan Manusia terlihat bahwa semenjak tahun 2004 sampai 2012, IPM Indonesia mengalami kenaikan dengan rata-rata kenaikan sebesar 0,57 per tahun. Tidak ada kenaikan IPM yang cukup signifikan, kenaikan IPM berkisar antara 0,50 sampai 0,88 per tahun. Kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2004 ke 2005 sedangkan kenaikan terendah terjadi pada tahun 2010 ke 2011. Provinsi yang mengalami peningkatan IPM yang cukup tinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bali, sedangkan yang mengalami stagnansi adalah provinsi DKI Jakarta dan Kalimantan Tengah. Pada 2012, terjadi peningkatan IPM 1–2 poin (kecuali Jakarta 0,97 poin dan NTB 2,23 poin dari IPM 2009). Selain itu terdapat hubungan linear positif antara persentase kenaikan anggaran pendidikan dan persentase kenaikan IPM. Walaupun demikian, masih ada daerah dimana persentase kenaikan anggaran pendidikan tidak sebanding dengan persentase kenaikan IPM. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa anggaran pendidikan berpengaruh langsung terhadap IPM pada lag 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun. Di antara ke tiga lag tersebut, pengaruh pada lag 2 tahun lebih besar daripada pengaruh pada lag 1 tahun dan 3 tahun, artinya pengaruh anggaran pendidikan per kapita terhadap IPM baru terlihat setelah dua tahun kemudian. Pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap rata-rata lama sekolah cukup tinggi, demikian pula terhadap angka melek huruf. Rata-rata lama sekolah berpengaruh cukup tinggi terhadap PDRB per kapita, demikian pula pengaruh PDRB per kapita terhadap angka harapan hidup. Selanjutnya rata-rata lama sekolah, angka melek huruf, PDRB per kapita dan angka harapan hidup berpengaruh cukup tinggi terhadap indeks pembangunan manusia. Untuk meningkatkan IPM suatu daerah maka diperlukan peningkatan Anggaran Pendidikan yang digunakan pada program-program yang dapat meningkatkan Rata-Rata Lama Sekolah. Rata-Rata Lama Sekolah memiliki perngaruh yang cukup besar terhadap PDRB. Di sisi lain PDRB berpengaruh besar terhadap Angka Harapan Hidup. Dari ketiga komponen IPM, komponen indeks kesehatan yang diukur menggunakan Angka Harapan Hidup memiliki perngaruh lebih besar daripada 2 (dua) komponen lainnya. Kata kunci: Indeks Pembangunan Manusia, Rata-rata Lama Sekolah, Angka Melek Huruf, Pendapatan Domestik Regional Bruto, Angka Harapan Hidup
vi SUMMARY SYAHRIL ILHAMI. The Effects of Government Budget in Education on Human Development Index of Indonesia. Under supervision of NUNUNG NURYARTONO and NOER AZAM ACHSANI. Education sector is important for a country since it is beneficial for the country’s development although the benefit of education investment is not instantly perceived. The contribution of education to the development of society life is substantial through the improvement of knowledge, skill, attitude and productivity. Human Development Index (HDI) is a measure of quality of human resource in a country. HDI is dependent on three variables, namely education, health, and economic variables. The education budget can be effectively geared to improve literacy as well as school duration of children if it is managed and allocated in efficient and effective manner. This, in turn, will increase the HDI of the country. Statistical data published by Central Statistic of Indonesia (known as BPS) showed that school participation of each category increased from 1994 to 2011 and the same pattern was also observed for HDI. However, although the HDI for Indonesia has increased but in fact the rank has decreased. The rank of HDI for Indonesia in 2010 was 108 and it became 124 in 2011, then in 2012 the position became 121. This indicated that the education expenditure has not been able to effectively improve the HDI of Indonesia. From view point of economic theory, especially the human capital theory, the education investment is important to improve productivity of individual as well as society. This, in turn, will contribute significantly to the speed of economic growth and development. This study is aimed to analyze the effects of education budget on number of literacy and average duration of school. It is also analyzing the effects of number of literacy and school duration on level of income. Moreover, the effects of literacy number, school duration as well as level of income on the HDI are also evaluated. The data used in this research has been collected from publications of Ministry of Finance as well as from BPS during 2009 to 2012 and includes all provinces of Indonesia. Descriptive and path analyses were used in this study. Descriptive analysis facilitated the description and interpretation of the results through tables and graphs, whereas path analysis was used to investigate whether the data has supported the hypothesis which includes the structural relationship of the measured variables. The results showed that provinces with the highest school age per capita education budgets were East Kalimantan and West Papua whereas the smallest education budget was experienced by three provinces namely West Java, East Java and Banten. It is also observed that there has been steady increase of per capita education budget during the last four years. In 2012 the increases were 7% for Riau, 67% for East Java, even for Jakarta the increase was nearly 2.5 times the 2009 education budget.
vii The HDI of Indonesia has increased since 2004 to 2012 with average increment of 0.57 across the country. The range of increment was from 0.50 to 0.88. The highest increase was in West Nusa Tenggara and Bali provinces whereas in Jakarta and Middle Kalimantan the increase was stagnant. It was also observed that there was positive relationship between the education budget and the magnitude of HDI. However, we noticed that there were several provinces in which the increase of HDI was not proportional to the increase of education budget. The results of path analysis also showed that the education budget directly affected the HDI with one, two, and three year time lags. Among the three lags, it was found that the effect of lag two years was the biggest which meant that the effects of education could be expected after two years implementation of the budget. The effects of education budget on school duration and literacy number were high. The effect of school duration on per capita Gross Regional Domestic Product (GRDP) was also high. Moreover, it was found that the literacy number, school duration and GRDP simultaneously affected HDI. To increase the HDI in a particular province this study confirmed that the education budget should be allocated for programs which enable the improvement of school duration since the school duration of children substantially affected the GRDP. The increase of GRDP will, in turn, boast the life expectancy through better economic development. This study also showed that the health component index measured by life expectancy produced the highest effect when compared to education and economic components of the HDI. Keywords: Human Development Index, School Duration, Literacy Number, Gross Regional Domestic Product, Life Expectancy.
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix ANALISIS PENGARUH ANGGARAN PENDIDIKAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI INDONESIA
SYAHRIL ILHAMI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
x
Penguji pada Ujian Tesis: Sahara, PhD
xi
xii
xiii PRAKATA Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Pengaruh Anggaran Pendidikan Terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi dan Bapak Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan, kritikan dan saran sehingga tesis ini dapat diselesaikan dan memenuhi persyaratan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayahanda Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS dan Ibunda Hj. Sy. Lily Arlina. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada temanteman seperjuangan di Program Studi Ilmu Ekonomi dan rekan-rekan lain yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu-persatu. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, September 2014 Syahril Ilhami
i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 4 6 6
2 TINJAUAN PUSTAKA Teori Pertumbuhan Ekonomi Pengeluaran Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Kemiskinan Pendidikan Ekonomi Kesehatan Investasi Modal Manusia Pembangunan Manusia Komponen-komponen IPM Analisis Jalur (Path Analysis) Kerangka Pemikiran
6 6 8 9 11 15 18 19 21 21 25
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Model yang Digunakan Hipotesis
26 26 26 27 28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 28 Profil Anggaran Pendidikan pada APBD 28 Profil Indeks Pembangunan Manusia 30 Hubungan antara Anggaran Pendidikan dan Indeks Pembangunan Manusia 33 Hubungan antara Anggaran Pendidikan dan Indeks Pendidikan 36 Hasil Analisis Jalur 40 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
45 45 46
DAFTAR PUSTAKA
46
LAMPIRAN
49
ii DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Tabel 2.1 Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9
Kondisi pendidikan, perekonomian dan IPM di negara Asean (2012) 4 Tabel variabel penghitungan IPM 21 Sumber data 26 Jumlah anggaran pendidikan dan proporsi anggaran menurut Provinsi 29 Anggaran pendidikan per kapita usia sekolah (7-18 tahun) menurut Provinsi 30 Indeks pembangunan manusia menurut Provinsi (2009-2012) 32 Tabel IPM tiap Provinsi di Indonesia tahun 2012 33 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan IPM 2009-2012 34 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan indeks pendidikan 2009-2012 37 Hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita terhadap IPM 3 tahun 42 Hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita terhadap IPM lag 2 tahun 44 Hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita terhadap IPM lag 1 tahun 45
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Korea Selatan versus Chili 5 Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 25 Gambar 3.1 Analisis jalur model hubungan antara anggaran pendidikan dan indeks pembangunan manusia 27 Gambar 4.1 Pertumbuhan IPM di Indonesia (2004-2012) 31 Gambar 4.2 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan IPM 2009-2012 35 Gambar 4.3 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan IPM 2009-2012 (tanpa Provinsi DKI Jakarta dan NTB) 36 Gambar 4.4 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan peningkatan rata-rata lama sekolah 20092012 38 Gambar 4.5 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan peningkatan rata-rata lama sekolah 20092012 (tanpa DKI Jakarta, NTB dan Bali) 38 Gambar 4.6 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan angka melek huruf 2009-2012 39 Gambar 4.7 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan angka melek huruf 2009-2012 (tanpa DKI Jakarta, NTB dan Bali) 40
iii Gambar 4.8 Analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap IPM lag 3 tahun 41 Gambar 4.9 Analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap IPM lag 2 tahun 43 Gambar 4.10 Analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap IPM lag 1 tahun 44
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis jalur untuk lag 2 tahun ........................................................... 50 Lampiran 2 Hasil analisis jalur untuk lag 1 tahun ........................................................... 50 Lampiran 3 Hasil output minitab analisis jalur ................................................................. 52
1
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pendidikan merupakan sektor yang fundamental bagi sebuah Negara karena pendidikan diharapkan mampu memberikan manfaat positif bagi pembangunan. Fakta menyebutkan bahwa negara yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung memiliki basis yang kuat dalam ekonomi dan kesehatan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang diamandemen pada tahun 2009 yang lalu, besarnya anggaran di sektor pendidikan telah mencapai 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Dengan rasio yang cukup besar tersebut, seharusnya sektor pendidikan mampu memberikan manfaat yang signifikan bagi sektor-sektor lainnya seperti sektor ekonomi dan kesehatan. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang karena manfaat dari investasi pendidikan tahun ini baru dapat dirasakan beberapa tahun ke depan. Pendidikan menjadi landasan yang kokoh bagi suatu negara. Negara dengan tingkat pendidikan yang tinggi, akan semakin kokoh dan stabil. Pendidikan dapat menjadikan sumber daya manusia lebih berkualitas dan siap dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam kehidupan. Pendidikan memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan kehidupan sosial ekonomi melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap dan produktivitas, sehingga pendidikan diharapkan mampu menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas. Tenaga kerja yang berkualitas akan mampu mendapatkan tingkat pendapatan yang lebih tinggi sehingga pendidikan dapat menjadi faktor positif bagi pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendapatan yang tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika masyarakat sejahtera, maka masyarakat bisa mengakses pelayanan kesehatan yang lebih baik sehingga berimplikasi pada semakin tingginya angka harapan hidup. Menurut World Bank (2002), pendidikan merupakan salah satu instrumen paling kuat yang dimiliki masyarakat untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan. Pendidikan dapat membantu meningkatkan pendapatan potensial, memperluas mobilitas tenaga kerja, meningkatkan kesehatan orang tua dan anakanak, mengurangi kesuburan dan kematian anak, dan mengupayakan suara rakyat yang kurang beruntung dalam masyarakat dan sistem politik. Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa pendidikan dipercaya mempunyai peran penting dalam membentuk kemampuan manusia dan suatu negara untuk menyerap maupun menciptakan teknologi modern serta mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan. Secara langsung pendidikan memberikan pengetahuan dan keterampilan, sehingga meningkatkan produktivitas dan menciptakan akses ke lapangan kerja (Weiss 1995, Oxaal 1997). Dengan demikian, akan mendapatkan penghasilan yang dapat digunakan dalam membantu mengurangi kemiskinan, serta kelaparan. Secara tidak langsung, peran pendidikan dapat mencakup banyak bidang kehidupan, termasuk kegiatan ekonomi, kesetaraan gender, kesehatan ibu, dan pengembangan keterampilan. Pendidikan memberdayakan orang dan membantu mereka untuk menjadi lebih proaktif, mendapatkan kontrol atas hidup mereka, dan untuk memperluas berbagai pilihan yang tersedia (UNESCO 1997). Pendidikan diakui sebagai hak asasi
2 manusia dan berhubungan erat dengan hampir semua dimensi pembangunan, baik pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, maupun pembangunan manusia. Penelitian mengenai peran penting pendidikan diprakarsai oleh Schultz (1960, 1961) dan Becker (1962, 1975). Schultz merintis pembahasan tentang investasi sumber daya manusia dan menetapkan bahwa pendidikan sebagai kegiatan konsumsi dan investasi, -mengarah pada pembentukan modal manusia yang sebanding dengan modal fisik- akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Penelitian Becker meyakinkan banyak orang untuk membuat pilihan investasi dalam modal manusia dengan menimbang biaya dan manfaat rasional yang mencakup pengembalian investasi dalam pendidikan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dikenal sebagai suatu ukuran dalam melihat kondisi sumber daya manusia pada suatu negara. Tinggi dan rendahnya IPM dipengaruhi oleh tiga variabel, yaitu pendidikan, ekonomi dan kesehatan. Ketiga variabel tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain, baik langsung maupun tidak langsung. Keterkaitan ketiga variabel tersebut ditunjukkan pada gambar berikut. Anggaran pendidikan yang besar jika dikelola dengan baik dan dialokasikan secara tepat diharapkan mampu meningkatkan tingkat melek huruf dan tingkat lama sekolah. Dengan bertambahnya kapasitas seseorang akibat dari mengenyam pendidikan, maka diharapkan mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga mendapatkan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Selanjutnya dengan tingkat pendapatan yang lebih baik, diharapkan bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik sehingga dengan demikian akan meningkatkan angka harapan hidup. Tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dasar masih sangat besar, lebih dari 90 persen sekolah dasar (SD) berstatus sebagai milik pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 20, 2003 tentang Sisdiknas, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan mendapat alokasi minimal 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan daerah (APBN dan APBD). Secara politis tekad pemerintah untuk membangun pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyat terlihat cukup besar. Pasal 31 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, bahkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan untuk itu pemerintah bertanggung jawab membiayainya. Melalui perubahan Pasal 31 UUD 1945, tekad tersebut makin diperkuat dengan adanya ketetapan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Merujuk pada data BPS, Angka partisipasi sekolah (APS) di setiap kategori sejak tahun 1994 sampai 2011 mengalami peningkatan, demikian pula halnya dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang juga mengalami peningkatan dalam kurun waktu yang sama. Walaupun angka IPM Indonesia meningkat secara nominal tetapi dari sisi peringkat Indonesia memburuk, pada tahun 2010 Indonesia tercatat menduduki peringkat 108 tetapi tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat 124 dari 187 negara di dunia. Pada tahun 2012 Indonesia menempati peringkat ke 121, naik 3 peringkat dari tahun sebelumnya. Ini merupakan indikasi bahwa pengeluaran negara untuk pendidikan belum mampu secara maksimal mendongkrak IPM.
3 Pendidikan diyakini mampu memutus rantai kemiskinan. Masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang rendah jika dapat bersekolah dan lulus dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu pemberantasan kemiskinan dapat secara efektif dilakukan melalui pendidikan. Namun kenyataannya, pendidikan di Indonesia (khususnya pendidikan tinggi) tidak dapat dinikmati dengan bebas oleh setiap warga negara, beberapa sekolah khususnya sekolah menengah atas dan perguruan tinggi membebankan biaya yang cukup berat bagi anak didik, sehingga warga negara yang kurang mampu tidak dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas. Mahalnya biaya pendidikan membuat kesempatan rakyat kecil untuk berkuliah di perguruan tinggi dengan kualitas baik menjadi lebih kecil. Dengan alokasi anggaran yang besar seperti saat ini, semestinya permasalahan di atas dapat teratasi dengan baik, misal dengan lebih memprioritaskan alokasi anggaran kepada operasional siswa atau mahasiswa, bukan kepada biaya personal pegawai seperti gaji, sertifikasi maupun tunjangan. Perhatian khusus pemerintah di bidang pendidikan dapat membuat Indonesia terhindar dari middle income trap, yaitu kondisi di mana suatu negara berpendapatan menengah yang memiliki pertumbuhan stagnan dan penduduk miskin bertambah. Jika tidak ada perubahan, kelas menengah Indonesia yang saat ini sekitar 50 juta tidak akan bertambah. Sebaliknya, penduduk miskin yang saat ini sudah tinggal 27 juta akan meningkat. Bahkan, prediksi bahwa kelas menengah Indonesia yang akan menembus 120 juta tahun 2020 tak akan tercapai karena Indonesia terperosok ke dalam jebakan negara berpendapatan menengah. Berdasarkan preposisi yang disampaikan sebelumnya maka salah satu titik penting dalam siklus pembangunan adalah persoalan anggaran. Peningkatan anggaran pendidikan dengan pengelolaan anggaran yang efektif dan tepat sasaran diharapkan akan meningkatkan IPM. Oleh karena itu menarik untuk diteliti secara lebih mendalam bagaimana keterkaitan antara anggaran pendidikan dan IPM di Indonesia. Dalam hubungannya dengan biaya dan manfaat, pendidikan dapat dipandang sebagai salah satu investasi (human investment) dalam hal ini, proses pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata, akan tetapi merupakan suatu investasi. Hal yang sama diungkapakan pula oleh Blaug (1971). “... A good case can now be made for the view that educational expenditure does partake to a surprising degree of the nature of investment in enhanced future output. To that extent, the consequences of education in the sense of skills embodied in people may be viewed as human capital, which is not to say that people themselves are being treated capital. In other word, the maintenance and improvement of skills may be seen as investment in human beings, but the resources devoted to maintaining and increasing the stock of human beings remain consumption by virtue of the abolition of slavery”. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu investasi yang berguna bukan hanya untuk perorangan atau individu saja, tetapi juga merupakan investasi untuk masyarakat yang dapat memberikan suatu kontribusi yang substansial untuk hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.
4 Bank Dunia dengan program internasionalnya telah menetapkan kepercayaan terhadap peranan investasi sumber daya manusia bagi pertumbuhan ekonomi (World Development Report, 1980). Kepercayaan ini didasarkan atas studi yang dilakukan pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Sumbangan pendidikan untuk menunjang pertumbuhan ini semakin kuat setelah memperhitungkan efek pendidikan dan bentuk investasi fisik lainnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari segi teori ekonomi pendidikan, khususnya pendekatan human capital, aspek pembiayaan dipandang sebagai bagian dari investasi pendidikan yang menentukan taraf produktivitas individu maupun kelompok. Pada gilirannya taraf produktivitas ini mempengaruhi taraf pendapatan (earning) seseorang atau kelompok yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kecepatan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Cohn (1979) Perumusan Masalah Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik tidak hanya menjadi ukuran keberhasilan suatu negara, akan tetapi menjadi cerminan keunggulan terhadap bangsa lainnya. Pengembangan kualitas SDM, bukan saja pada aspek kemampuan dan ketrampilan, tetapi juga aspek moral dan mentalnya. SDM yang berkualitas merupakan faktor penentu dalam upaya meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa pada percaturan global. Tenaga kerja terampil sebagai salah satu faktor produksi berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi tingkat pendapatan nasional Jika melihat dari data tingkat SDM untuk zona ASEAN, Indonesia berada pada peringkat 4, masih kalah dibanding negara Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia. Ini disebabkan karena rendahnya GDP per Kapita, dan Angka Melek Huruf. Pemerintah dalam hal ini diharapkan untuk melakukan intervensi kebijakan dalam meningkatkan kualitas SDM di Indonesia. Tabel 1.1 menyajikan data kondisi pendidikan, perekonomian dan IPM di negara ASEAN. Tabel 1.1 Kondisi pendidikan, perekonomian dan IPM di negara Asean (2012) No Negara AMH (persen) AP (persen) GDP per Kapita (US$) IPM 1 Singapura 96 18,1 55.182 90,1 2 Brunei 95 9,70 38.563 85,2 3 Malaysia 93 20,9 10.514 77,3 4 Indonesia 93 18,1 3.475 73,8 5 Thailand 96 31,5 5.779 72,2 6 Filipina 92 13,2 2.765 66,0 7 Vietnam 94 20,9 1.911 63,8 8 Timor Leste 58 7,70 1.371 62,0 9 Kamboja 74 13,1 1.008 58,4 10 Laos 69 13,2 1.646 56,9 11 Myanmar 93 4,40 1.144 52,4 Sumber: World Developement Indicators (2012)
5 Pentingnya pemerintah agar mengintervensi kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM dapat mencontoh kisah sukses dari negara lain. Pada tahun 1970, Korea Selatan memiliki IPM yang lebih rendah daripada Chili. Namun saat itu pemerintah Korea Selatan mengintervensi kebijakan yaitu meningkatkan anggaran pendidikan yang cukup signifikan. Hasil dari intervensi kebijakan tersebut dapat dirasakan dampaknya pada saat ini, dimana tingkat pendidikan masyarakat Korea Selatan jauh di atas masyarakat Chili. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi tersebut, saat ini tingkat perekonomian di Korea Selatan sudah jauh meninggalkan Chili dan tentu saja IPM Korea Selatan saat ini berada di atas Chili (UNDP 2010). Gambar 1.1 dapat dilihat bagaimana kemajuan Korea Selatan di bidang pendidikan, ekonomi dan kesehatan dibandingkan dengan negara Chili.
Gambar 1.1 Korea Selatan versus Chili Sumber: UNDP (2010) Peningkatan kualitas SDM harus dilakukan secara berkelanjutan, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh negara Indonesia. Dengan demikian, perhatian pemerintah dalam meningkatkan kualitas SDM adalah suatu keharusan dan perlu terus ditingkatkan agar Indonesia dapat menjadi negara dengan Indeks Pembangunan Manusia yang tinggi sehingga Indonesia dapat menjadi negara maju.
6
Berdasarkan uraian di atas, studi ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: a. Bagaimana pengaruh anggaran pendidikan terhadap angka melek huruf? b. Bagaimana pengaruh anggaran pendidikan terhadap rata-rata lama sekolah? c. Bagaimana pengaruh angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah terhadap tingkat pendapatan? d. Bagaimana pengaruh tingkat pendapatan terhadap angka harapan hidup? e. Bagaimana pengaruh angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, tingkat pendapatan dan angka harapan hidup terhadap indeks pembangunan manusia? Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka studi ini bertujuan untuk: a. Menganalis pengaruh anggaran pendidikan terhadap angka melek huruf. b. Menganalis pengaruh anggaran pendidikan terhadap tingkat ratarata lama sekolah. c. Menganalis pengaruh angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah terhadap tingkat pendapatan. d. Menganalisis pengaruh tingkat pendapatan terhadap angka harapan hidup. e. Menganalis pengaruh angka melek huruf, tingkat rata-rata lama sekolah, tingkat pendapatan dan angka harapan hidup terhadap indeks pembangunan manusia. Manfaat Penelitian Studi tentang pengaruh anggaran pendidikan terhadap IPM ini diharapkan mempu memberikan manfaat antara lain: a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di Indonesia, terutama terkait dengan studi ekonomi pendidikan b. menjelaskan dan menginformasikan kepada masyarakat umum mengenai profil anggaran pendidikan dan pengaruh anggaran pendidikan terhadap indeks pembangunan manusia di indonesia c. Menjadi salah satu acuan bagi para pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan dan menyelesaikan permasalahan terkait dengan masalah-masalah yang terjadi dalam pemanfaatan anggaran pendidikan.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Pertumbuhan Ekonomi Dalam menganalisis perkembangan pembangunan ekonomi, tidak dapat dilepaskan dengan adanya perkembangan dari teori pertumbuhan ekonomi. Teori
7 pertumbuhan ekonomi yang berkembang, dan dijadikan sebagai pedoman dalam menganalisis pembangunan bidang ekonomi, mengalami perkembangan sejak jaman kaum Klasik sampai dengan sekarang, dan dibutuhkan untuk mengidentifikasi berbagai faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi. Sukirno (2006) menjelaskan bahwa teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang saat ini meliputi teori pertumbuhan ekonomi klasik, teori Hrrod-Domar dan teori pertumbuhan ekonomi neoklasik. Dalam kelompok teori pertumbuhan ekonomi klasik, para ahli ekonominya secara umum menjelaskan tentang sebab-sebab dari persoalan yang muncul dalam proses pembangunan. Ahli ekonomi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Smith, Richardo, Malthus, Mill, Menger, Marshal, Walras, dan Wicksel. Seperti yang dijelaskan dalam Sukirno (2006) sebagai berikut: “Ahli-ahli ekonomi Klasik, di dalam menganalisis masalah-masalah pembangunan, terutama ingin mengetahui tentang sebab-sebab perkembangan ekonomi dalam jangka panjang dan corak proses pertumbuhannya" Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa para ahli dari kelompok neoklasik melakukan analisis faktor penyebab dari berbagai permasalahan dalam pembangunan. Teori ini dikemukakan oleh dua orang ahli ekonomi, yang sebetulnya berasal dari masa yang berbeda, yaitu R. F. Harrod yang tulisannya dengan judul “An Essay in Dynamic Theory” pada tahun 1936, dan Evsey Domar dengan judul tulisannya adalah “Expansion and Employment” pada tahun 1947, dan “Capital Expansion: Rate of Growth and Employment” pada tahun 1949. Tetapi karena inti dari teori tersebut sangat sama, maka dewasa ini dikenal sebagai teori HarrodDomar. Seperti yang dijelaskan dalam Sukirno (2006) sebagai berikut: “Dalam teori Harrod-Domar pembentukan modal dipandang sebagai pengeluaran yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan suatu barang, maupun sebagai pengeluaranyang akan menambah permintaan efektif seluruh masyarakat" Konsep pertumbuhan ekonomi yang dijelaskan oleh Harrod-Domar, menekankan pada pentingnya kegiatan investasi untuk menunjang pertumbuhan setiap sektor ekonomi yang berkembang. Investasi dapat meningkatkan kapasitas produksi ataupun meningkatkan permintaan efektif dalam masyarakat. Ahli ekonomi yang termasuk dalam kelompok ini adalah Sollow, Phelps, Johnson, dan Meade. Konsep yang dijelaskan dalam teori ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat meningkat bila terdapat pertambahan faktor-faktor produksi (seperti sumberdaya alam dan sumberdaya manusia), namun yang tidak kurang pentingnya adalah peningkatan dalam hal kemajuan teknologi yang digunakan dalam proses prooduksi. Seperti yang dijelaskan dalam Sukirno (2006) berikut ini: “Pertumbuhan ekonomi tergantung kepada pertambahan penawaran faktor-faktor produksi dan tingkat kemajuan teknologi" Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa, menurut kelompok neoklasik, pertumbuhan ekonomi yang merupakan hal penting dalam suatu perekonomian memiliki keterkaitan erat (bahkan ketergantungan) terhadap kegiatan penawaran atas faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam proses produksi dan kemajuan
8 teknologi yang dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi Pengeluaran Pemerintah di Sektor Pendidikan dan Kesehatan Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penyelenggara pelayanan publik adalah instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sedangkan pelayanan publik yang harus diberikan kepada masyarakat diklasifikasikan dalam dua kategori utama yaitu pelayanan kebutuhan dasar dan pelayanan kebutuhan pokok. Pelayanan kebutuhan dasar yang harus diberikan oleh pemerintah meliputi kesehatan, pendidikan dasar, dan bahan kebutuhan pokok masyarakat. Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat, oleh karena itu kesehatan adalah hak bagi setiap warga masyarakat yang dilindungi Undang-Undang Dasar. Perbaikan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu investasi sumber daya manusia untuk mencapai masyarakat yang sejahtera (welfare society). Tingkat kesehatan masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, karena tingkat kesehatan memiliki keterkaitan yang erat dengan kemiskinan. Sementara itu, tingkat kemiskinan akan terkait dengan tingkat kesejahteraan. Oleh karena kesehatan merupakan faktor utama kesejahteraan masyarakat yang hendak diwujudkan pemerintah, maka kesehatan harus menjadi perhatian utama pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Pemerintah harus dapat menjamin hak masyarakat untuk sehat (right for health) dengan memberikan pelayanan kesehatan secara adil, merata, memadai, terjangkau, dan berkualitas. Sama halnya dengan kesehatan, pendidikan merupakan suatu bentuk investasi sumber daya manusia. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan karena pendidikan merupakan salah satu komponen utama dalam lingkaran setan kemiskinan. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah melalui perbaikan kualitas pendidikan. Pelayanan pendidikan masyarakat yang paling elementer adalah pendidikan dasar, yang oleh pemerintah diterjemahkan dalam program Wajib Belajar Sembilan Tahun. Pemerintah hendak menjamin bahwa semua anak dapat bersekolah, sehingga diperlukan alokasi anggaran pendidikan yang besar. Dalam pemenuhan anggaran tersebut amanat amandemen UUD 1945 telah mensyaratkan alokasi anggaran pendidikan minimal sebesar 20 persen dari total anggaran. Berikutnya adalah kebutuhan pokok masyarakat. Kebutuhan pokok masyarakat meliputi beras, minyak goreng, minyak tanah, gula pasir, telur, daging, dan sebagainya. Dalam hal penyediaan bahan kebutuhan pokok, pemerintah perlu menjamin stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga ketersediaannya di pasar maupun gudang dalam bentuk cadangan atau persediaan. Ketidakstabilan harga kebutuhan pokok yang tidak terkendali bisa menimbulkan inflasi yang tinggi (hiperinflasi) dan dapat menimbulkan ketidakstabilan politik. Selain menjaga stabilitas harga-harga umum, pemerintah juga perlu menjamin bahwa cadangan persediaan di gudang pemerintah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sampai jangka waktu tertentu untuk menghindari terjadinya kepanikan masyarakat terhadap kelangkaan bahan kebutuhan pokok tersebut.
9 Selain pelayanan kebutuhan dasar, pemerintah sebagai instansi penyedia pelayanan publik juga harus memberikan pelayanan umum kepada masyarakat yang meliputi pelayanan administratif (yaitu pelayanan berupa penyediaan berbagai bentuk dokumen yang dibutuhkan publik), pelayanan barang (yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang menjadi kebutuhan publik), dan pelayanan jasa (yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan publik. Terbatasnya akses-akses bagi kaum miskin menyebabkan mereka tak mampu untuk mengakumulasi kapital/modal yang diperlukan untuk keluar dari jebakan kemiskinan (poverty trap). Akibat minimnya akumulasi kapital kaum miskin, kaum miskin tak mampu berperan aktif dalam kegiatan ekonomi dan merasakan berkah dari adanya pembangunan. Hal tersebutlah yang mendasari betapa pentingnya pembangunan manusia, dimana dalam pembangunan manusia tersebut tidak hanya meliputi dimensi kesejahteraan saja melainkan terkait juga dengan peningkatan kapasitas dasar manusia melalui akses terhadap pendidikan dan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin. Pemerintah wajib menyediakan barang publik. Teori public finance (Musgrave, et al 1989) mengungkapkan bahwa tidak seluruhnya semua masalah ekonomi diselesaikan oleh mekanisme pasar seperti halnya dengan social goods. Social goods yang dimaksud terkait dengan eksternalitas, distribusi pendapatan, masalah-masalah ekonomi lainnya (pengangguran, kemiskinan, inflasi, dan lainlain). Dalam hal tersebut mekanisme pasar gagal menyelesaikannya (market failure). Pasar pada hakekatnya adalah wahana untuk mengekspresikan kebebasan individu, untuk mencari keuntungan individual. Oleh karena itu, aktivitasaktivitas perekonomian yang bersifat kolektif publik dan atau aktivitas tidak bermotif keuntungan tidak bisa diselenggarakan oleh pasar. Karena adanya kegagalan pasar dan dalam kaitannya dengan ketiga peran pemerintah sebagai peran alokasi, peran distribusi, dan peran stabilitasi, maka kewajiban publik di bidang pendidikan dan kesehatan yang tidak disentuh oleh pasar, menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya (Mahmudi, 2007). Kemiskinan Kemiskinan merupakan persoalan yang kompleks karena banyak faktor yang mempengaruhi. Variasi konsep mengungkapkan sifat multidimensi kemiskinan. Kemiskinan dapat dipahami sebagai kemiskinan absolut atau relatif, sebagai kurangnya pendapatan atau kegagalan untuk mencapai kemampuan. Kemiskinan dapat kronis atau sementara, kadang-kadang terkait erat dengan ketidakadilan, dan sering berhubungan dengan kerentanan dan pengucilan sosial. Konsep yang digunakan untuk mendefinisikan kemiskinan menentukan metode yang digunakan untuk mengukurnya dan kebijakan paket program berikutnya untuk mengatasinya. Kemiskinan yaitu suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasar dalam kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan keamanan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Sen (1999) memandang kemiskinan melalui pendekatan kemampuan (capability approach), dimana kemiskinan tidak hanya sebatas kekurangan pendapatan dan standar hidup
10 minimal, akan tetapi juga sebagai konsekuensi dari kurangnya kemampuan dan keberfungsian (lack of capability and functionings). Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. Kemiskinan absolut: Kemiskinan ini dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. 2. Kemiskinan relatif: Kemiskinan ini dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya. Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dikategorikan miskin. Kemiskinan relatif erat kaitannya dengan masalah distribusi pendapatan. Masalah kemiskinan yang identik dengan jumlah pendapatan masyarakat yang tidak memadai, harus selalu menjadi prioritas dalam pembangunan suatu negara. Meskipun masalah kemiskinan akan selalu muncul karena sifat dasar dari kemiskinan adalah relatif, namun ketika dari sebuah negara mengalami peningkatan taraf hidup, maka standar hidup akan berubah. Agenda mengatasi kemiskinan bagi suatu negara berkaitan dengan banyaknya faktor yang berhubungan dengan apa yang diakibatkan oleh kemiskinan itu sendiri, karena dampak dari kemiskinan itu akan berhubungan dengan kondisi fundamental yang menjadi syarat berlangsungnya pembangunan suatu negara yang berkelanjutan. Menurut Wibowo (2003), esensi utama dari masalah kemiskinan adalah masalah aksesibilitas. Aksesibilitas dalam hal ini berarti kemampuan seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat untuk dapat mencapai atau mendapatkan sesuatu yang sebenarnya merupakan kebutuhan dasarnya dan seharusnya menjadi haknya sebagai manusia dan sebagai warga negara. Seseorang atau sekelompok orang yang miskin, akan mempunyai aksesibilitas yang rendah dan terbatas terhadap berbagai kebutuhan dan layanan diband- ingkan mereka yang termasuk golongan menengah maupun golongan kaya. Akses-akses yang tidak bisa didapat oleh masyarakat miskin yaitu: 1. Akses untuk mendapatkan makanan yang layak 2. Akses untuk mendapatkan sandang yang layak 3. Akses untuk mendapatkan rumah yang layak 4. Akses untuk mendapatkan layanan kesehatan baik dan layak 5. Akses untuk mendapatkan layanan pendidikan 6. Akses kepada leisure dan entertainment 7. Akses untuk mendapatkan kualitas hidup yang baik dengan terpenuhinya semua basic need dan supporting needs. Permasalahan aksesibilitas ini menjadi penting karena kemiskinan akan menjadi lingkaran setan karenanya, di mana golongan miskin tidak akan terangkat atau terlepas dari kemiskinan ketika mereka tidak dapat meningkatkan intelektualitas dan sumber daya mereka. Namun karena adanya masalah
11 aksesibilitas tersebut, peningkatan ini akan menjadi suatu yang tidak mungkin dilakukan. Pada akhirnya, sebagai akumulasi dari beban fisik dan psikologis akan menimbulkan berbagai ekses negatif seperti keresahan sosial. Menurut Mahmudi (2007), dalam suatu lingkaran setan kemiskinan terdapat tiga poros utama yang menyebabkan seseorang menjadi miskin yaitu 1) rendahnya tingkat kesehatan, 2) rendahnya pendapatan, dan 3) rendahnya tingkat pendidikan. Rendahnya tingkat kesehatan merupakan salah satu pemicu terjadinya kemiskinan karena tingkat kesehatan masyarakat yang rendah akan menyebabkan tingkat produktivitas menjadi rendah. Tingkat produktivitas yang rendah lebih lanjut menyebabkan pendapatan rendah, dan pendapatan yang rendah menyebabkan terjadinya kemiskinan. Kemiskinan itu selanjutnya menyebabkan seseorang tidak dapat menjangkau pendidikan yang berkualitas serta membayar biaya pemeliharaan dan perawatan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut maka salah satu hal yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengatasi permasalahan kemiskinan adalah upaya untuk mening- katkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pembangunan manusia. Dalam hal ini, pembangunan manusia didekati dengan IPM atau Human Development Index (HDI) yang merupakan suatu indeks komposit untuk mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup secara lebih berkualitas, baik dari aspek kesehatan, pendidikan, maupun aspek ekonomi. Di mana IPM merupakan indeks pengembangan manusia yang dilihat dari sisi perluasan, pemerataan, dan keadilan baik dalam bidang kesehatan, pendidikan, maupun kesejahteraan masyarakat. Peranan pemerintah disini adalah sebagai penyedia pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan yang tidak disentuh oleh pasar karena adanya kegagalan pasar dan dalam kaitannya dengan peranan pemerintah sebagai peranan alokasi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi. Menurut Center for the Study of Living Standars (2001) dalam Toyamah, et al (2004) menyatakan bahwa pendidikan adalah elemen penting untuk memerangi kemiskinan, memberdayakan perempuan, serta menyelamatkan anak-anak dari upaya eksploitasi. Demikian juga pernyataan dari UNICEF yang mengatakan bahwa pendidikan adalah investasi yang penting untuk memperoleh pekerjaan yang layak dengan upah yang tinggi. Investasi publik di bidang pendidikan dan kesehatan akan memberikan kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih merata kepada masyarakat sehingga sumber daya manusia (SDM) handal yang sehat menjadi semakin bertambah. Meningkatnya kesehatan dan pendidikan akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan produktivitas tenaga kerja, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan demikian di- harapkan kondisi ini akan memajukan perekonomian masyarakat dengan bertambahnya kesempatan kerja serta berkurangnya kemiskinan. Pendidikan Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan pembangunan sektor lainnya. Pendidikan telah diidentifikasi sebagai faktor kunci dalam pembangunan ekonomi dan sosial, dan kesetaraan akses terhadap pendidikan yang berkualitas telah
12 menjadi tujuan penting dari kebijakan pembangunan. Negara dengan tingkat ketimpangan pendidikan tinggi secara konsisten menunjukkan tingkat inovasi yang lebih rendah, rendahnya tingkat efisiensi produksi, dan kecenderungan untuk mentransmisi kemiskinan lintas generasi (World Bank 2006). Dalam memahami hubungan antara pendidikan dan kemiskinan, dapat menggunakan kerangka modal manusia, kerangka hak asasi manusia, kerangka kemampuan manusia maupun kerangka pengucilan sosial (Maile 2008). Melalui pendekatan modal manusia, menegaskan bahwa investasi dalam pendidikan mengarah pada pembentukan modal manusia sebagai faktor kunci dalam pertumbuhan ekonomi. Melalui pendidikan, orang mengembangkan keterampilan dan menghasilkan pengetahuan yang berubah menjadi peningkatan produktivitas, sehingga pendapatan meningkat dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Selanjutnya, peningkatan pendapatan dan pertumbuhan diharapkan dapat mengurangi kemiskinan. Inti dari pendekatan hak asasi manusia menegaskan pentingnya pendidikan sebagai kondisi hakiki manusia dan sebagai tujuan akhir. Penyediaan pendidikan bukan sarana menuju akhir yang lain, seperti pertumbuhan ekonomi. Penyediaan pendidikan menambah nilai dan makna pada setiap individu dan harus diberikan tanpa bentuk diskriminasi atau pembatasan. Lebih lanjut, dalam pendekatan hak asasi manusia menegaskan bahwa mewujudkan hak atas pendidikan juga memungkinkan orang untuk mengakses hak asasi manusia lainnya seperti kesehatan, kebebasan dan keamanan. Pendekatan kemampuan manusia sebagai pendekatan holistik untuk pembangunan, menekankan nilai hakiki pendidikan yakni: sebagai kesempatan, hak dan sarana untuk meningkatkan nilai kehidupan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dapat diidentifikasi sebagai kekurangan kemampuan –kekurangan yang secara intrinsik signifikan karena mengurangi kemampuan seseorang– untuk meningkatkan nilai kehidupan mereka. Perspektif pengucilan sosial memungkinkan para pembuat kebijakan dan analis untuk memahami proses-proses marjinalisasi dan depresiasi dalam-wilayah dan lintas-wilayah, dengan fokus pada sifat ketidaksetaraan dan keberagaman kelompok-kelompok masyarakat. Melalui pendekatan ini, memungkinkan pendidikan fokus pada mereka yang miskin dan mereka yang tidak miskin, mereka yang tidak termasuk dan mereka yang termasuk. Pendekatan ini menegaskan pembedaan kebutuhan yang lebih disempurnakan berbasis kelompok orang miskin dan strategi yang memperhitungkan kelompok yang terkucilkan. Misalnya, orang miskin yang tak memiliki tanah mengalami dan membutuhkan hal yang berbeda dengan kemiskinan etnis atau kultural; dan orang miskin di perkotaan membutuhkan hal yang berbeda dengan orang miskin di pedesaan. Hubungan antara pendidikan dan kemiskinan bisa diterjemahkan melalui jalur ketenagakerjaan. Orang-orang berpendidikan memiliki potensi penghasilan yang lebih tinggi dan lebih mampu meningkatkan kualitas hidup mereka, yang berarti kecil kemungkinannya bagi mereka untuk terpinggirkan dalam masyarakat pada umumnya. Pendidikan memberdayakan seseorang dan membantu mereka untuk menjadi lebih proaktif, memiliki kontrol yang kuat atas hidup mereka, dan memperlebar rentang pilihan yang tersedia (UNESCO 1997).
13 Peran Pendidikan terhadap Distribusi Pendapatan Schultz (1972) menyatakan bahwa perubahan pada modal manusia merupakan faktor dasar dalam mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Ahluwalia (1976) menjelaskan proses pendidikan dalam mempengaruhi distribusi pendapatan adalah melalui peningkatan pengetahuan dan keahlian tenaga kerja. Hal ini akan menghasilkan pergeseran dari pekerjaan bergaji rendah bagi pekerja tidak terampil ke pekerjaan yang dibayar tinggi bagi pekerja terampil. Pergeseran ini menghasilkan pendapatan pekerja yang lebih tinggi. Peningkatan jumlah orang yang lebih terdidik dan terampil akan meningkatkan rasionya dan mengurangi rasio orang yang kurang berpendidikan dalam angkatan kerja total, sehingga akan mengurangi perbedaan keterampilan. Over supply di pasar tenaga kerja dari orang yang lebih terdidik dan terampil, tanpa ada perubahan dalam permintaan, akan menurunkan upah pekerja trampil dan menaikkan upah pekerja tidak trampil, sehingga secara keseluruhan memberikan kontribusi untuk pengurangan perbedaan penghasilan di pasar tenaga kerja. Dengan demikian, efek perluasan pendidikan tidak hanya terhadap upah mereka yang berpendidikan lebih tinggi, tetapi juga bagi mereka yang berpendidikan lebih rendah (Ahluwalia 1976). Peran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Pendidikan mempunyai efek langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi. Efek langsung pendidikan yaitu pendidikan mengubah manusia menjadi modal manusia produktif dengan menanamkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh sektor ekonomi tradisional dan modern, melalui kemampuannya dalam meningkatkan produktivitas penduduk atau tenaga kerja pada khususnya. Tidak hanya di pasar tenaga kerja tetapi juga dalam rumah tangga yang dapat menyebabkan peningkatan pendapatan dan output produksi sehingga pertumbuhan ekonomi semakin meningkat (Romer 1986; Lucas 1988; Tilak 1989). Efek tidak langsung pendidikan atau eksternalitas pendidikan adalah melalui kemampuan dan kesadaran yang memungkinkan individu berpengetahuan, menjadi lebih baik dan mampu menerapkan pengetahuan tersebut yang berhubungan dengan pencapaian pendidikan dan prestasi anak-anak; kesehatan dan tingkat kematian anak; serta penurunan jumlah kelahiran sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Tilak 1989). Efek tidak langsung dari pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi juga ditemukan pada persediaan modal per kapita, sebagian karena pengaruh pendidikan terhadap tingkat kesehatan dan kesuburan, yang mendukung peningkatan tabungan per kapita (Benhabib & Spiegel 1994; Guisan & Neira 2006). Peran Pendidikan terhadap Pengurangan Kemiskinan Hubungan antara pendidikan dan kemiskinan ditengarai akan berbanding terbalik, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk –yang memberi pengetahuan dan keterampilan– berkaitan dengan peningkatan produktivitas yang mendukung perolehan upah yang lebih tinggi dan membuat proporsi orang miskin dalam populasi semakin rendah. Jadi, pengaruh langsung pendidikan pada pengurangan kemiskinan adalah melalui peningkatan penghasilan atau upah. Dalam teori lingkaran setan kemiskinan, ketidaksetaraan pendidikan dapat
14 melestarikan kemiskinan antargenerasi, melalui jalur sebagai berikut: (i) sebuah keluarga yang hidup dalam kemiskinan tidak mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah; (ii) anak-anak miskin menerima sedikit pendidikan atau tidak sama sekali dan seringkali mereka dipaksa untuk bekerja; (iii) anak-anak tumbuh tanpa keterampilan dasar dan pendidikan; (iv) kurangnya keterampilan dasar dan pendidikan membatasi kesempatan kerja mereka, meskipun dalam pekerjaan dengan upah rendah; (v) pada anak perempuan, akan menikah muda dan memiliki anak; (vi) selanjutnya mereka memiliki sejumlah anak yang ditanggung dengan pendapatan yang sedikit. Demikian seterusnya, lingkaran akan mulai dari awal lagi dan proses ini berjalan dan terus terulang. Efek tidak langsung pendidikan terhadap pengurangan kemiskinan adalah melalui pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seperti pemanfaatan yang lebih baik terhadap fasilitas kesehatan, air bersih dan sanitasi, tempat tinggal dan lain-lain (Noor 1980 diacu dalam Tilak 1986). Blau et al. (1988) menambahkan efek tidak langsung pendidikan terhadap perilaku fertilitas dan keputusan ukuran keluarga, yang akan mempengaruhi angkatan kerja dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas masyarakat sehingga dapat menghasilkan upah yang lebih tinggi dan mengurangi ketimpangan pendapatan. Ekonomi Pendidikan Studi ekonomi pendidikan memiliki dasar dalam penerapan konsep fungsi produksi pada proses pendidikan. Namun, beberapa asumsi yang berkaitan dengan konsep Education Production Function (EPF) Hanusheck (1986) dalam Boissiere (2004) mengatakan bahwa beberapa asumsi yang berkaitan dengan konsep EPF harus dipertimbangkan ketika menggunakan konsep ini untuk menganalisis pendidikan. Konsep Education Production Function (EPF) dikembangkan oleh ekonom-ekonom yang `menekuni applied economics khususnya education economics. Sekolah dapat diperlakukan secara analitis sebagai unit produksi di sisi penawaran dengan beberapa pengecualian, sekolah tidak memaksimalkan keuntungan perusahaan seperti pada fungsi produksi pada umumnya, kebanyakan dari sekolah menjadi barang publik atau swasta nirlaba (Boissiere, 2004). Ide dasar dari menggunakan input modal, tenaga kerja, dan lainnya untuk menghasilkan output tertentu dapat dimodifikasi untuk menganalisis input dari pendidikan untuk menghasilkan output tertentu dari pendidikan. Glewwe (2002) dalam Bossiere (2004) memformulasikan EPF dari fungsi produksi Cobb Douglass yaitu: x y z H = k * S *A *Q (1.1) di mana H : Human capital dengan pendekatan menggunakan skor nilai tes S : School, lamanya waktu sekolah A : Ability, serangkaian kemampuan individu siswa dan kapasitas belajar, seperti IQ Q : faktor kualitas sekolah, seperti ukuran kelas, kualifikasi pengajar, dll X,y,z : dampak dari input yang memengaruhi output Para pengambil kebijakan akan tertarik pentingnya ukuran dan statistik dari koefisien dalam fungsi produksi pendidikan karena itu akan memberikan beberapa gagasan tentang dampak dari berbagai faktor input yang dianggap sebagai penentu hasil pendidikan. Outputnya adalah pencapaian dari hasil
15 pendidikan seperti hasil score suatu tes atau hasil ujian kelulusan suatu wilayah (Boissiere, 2004). Dalam perkembangannya, banyak faktor yang dapat digunakan untuk melakukan pendekatan menghitung outcomes dari pendidikan. Input dari model diatas bisa dimodifikasi sebagai variabel-variabel yang dapat digunakan untuk menghitung suatu outcomes tertentu yang menjadi target suatu pemerintahan. Contohnya saja kebijakan dan program yang akan dievaluasi terhadap hasil dari pendidikan yang ditargetkan (Purwanto, 2010). Bruns et al. (2003) menggunakan banyaknya yang menyelesaikan pendidikan dasar sebagai outcomes pendidikan. Faguet dan Sanchez (2006) menggunakan kenaikan partisipasi sekolah sebagai indikator outcomes sedangkan Akai et al. (2007) menggunakan skor dari tes yang diuji kepada murid sekolah setingkat SD dan SMP. Ekonomi Kesehatan Pengertian dan Ruang Lingkup Ilmu Ekonomi menurut Samuelson (1995) adalah ilmu mengenai pilihan yang mempelajari bagaimana orang memilih sumber daya produksi yang langka atau terbatas, untuk memproduksi berbagai komoditi dan mendistribusikannya ke anggota masyarakat untuk dikonsumsi saat ini atau di masa mendatang. Ilmu ini mengakaji semua biaya dan manfaat dari perbaikan pola alokasi sumber daya yang ada. Kegiatan yang dilaksanakan juga harus memenuhi kriteria efisiensi (Cost Effective). Tjiptoherijanto (1994), menjelaskan ekonomi kesehatan merupakan ilmu ekonomi yang diterapkan dalam topik–topik kesehatan. Mills dan Gilson (1999) mendefenisikan ekonomi kesehatan sebagai penerapan teori, konsep dan teknik ilmu ekonomi dalam sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan berhubungan dengan: (1) alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan; (2) jumlah sumber daya yang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan; (3) pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan; (4) efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya serta (5) dampak upaya pencegahan, pengobatan dan pemulihan kesehatan pada individu dan masyarakat. Klarman et al (1968) menjelaskan bahwa ekonomi kesehatan itu merupakan aplikasi ekonomi dalam bidang kesehatan. Secara umum ekonomi kesehatan akan berkonsentrasi pada industri kesehatan. Ada empat bidang yang tercakup dalam ekonomi kesehatan, yaitu: (1) peraturan (regulation), (2) perencanaan (planning); (3) pemeliharaan kesehatan (the health maintenance) dan (4) analisis biaya (cost) dan manfaat (benefit). Mengutip tulisan Lubis (2009) tentang Ekonomi Kesehatan menyatakan bahwa ilmu ekonomi kesehatan adalah penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor–faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Menyikapi keterbatasan sumber daya yang ada, mendorong masuknya disiplin ilmu ekonomi dalam perencanaan, manajemen dan evaluasi sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan akan menjawab petanyaan– pertanyaan berikut: (1) pelayanan kesehatan apa yang perlu diproduksi; (2) berapa besar biaya produksinya; (3) bagaimana mobilisasi dana kesehatan (siapa yang mendanai); (4) bagaimana utillisasi dana kesehatan (siapa penggunanya dan
16 berapa banyak) serta (5) berapa besar manfaat (benefit) investasi pelayanan kesehatan tersebut. Karakteristik Komoditi Kesehatan Menurut Tjiptoherijanto (1994), dan Lubis (2009), aplikasi ilmu ekonomi pada sektor kesehatan perlu mendapat perhatian terhadap karakteristiknya. Karakteristik tersebut menyebabkan asumsi–asumsi tertentu dalam ilmu ekonomi tidak berlaku atau tidak seluruhnya berlaku apabila diaplikasikan untuk sektor kesehatan, yaitu: a. Kejadian penyakit tidak terduga, tidak ada orang yang dapat memprediksi penyakit apa yang akan menimpanya dimasa yang akan datang, oleh karena itu tidak mungkin dapat dipastikan pelayanan kesehatan apa yang dibutuhkan. Ketidakpastian (uncertainty) ini berarti seseorang menghadapai suatu resiko akan sakit dan oleh karena itu ada juga resiko untuk mengeluarkan biaya untuk mengobati penyakit tersebut. b. Consumer ignorance, artinya konsumer sangat tergantung pada penyedia (provider) pelayanan kesehatan. Ini disebabkan karena umumnya konsumen tersebut tidak tahu banyak tentang jenis penyakit, jenis pemeriksaan dan jenis pengobatan yang dibutuhkannya. Dalam hal ini penyedialah yang menentukan jenis dan volume pelayanan kesehatan yang perlu dikonsumsi oleh konsumen. c. Sehat dan pelayanan kesehatan sebagai hak. Makan, pakaian, tempat tinggal dan hidup sehat adalah elemen kebutuhan dasar manusia yang harus senantiasa diusahakan untuk dipenuhi, terlepas dari kemampuan seseorang untuk membayarnya. Hal ini menyebabkan distribusi pelayanan kesehatan sering kali dilakukan atas dasar kebutuhan (need) dan bukan atas dasar kemampuan membayar (demand). d. Eksternalitas, efek eksternal dalam penggunaan pelayanan kesehatan adalah dampak positif atau negatif yang dialami orang lain sebagai akibat perbuatan seseorang. Misalnya imunisasi dari penyaki menular akan memberikan manfaat kepada masyarakat banyak atau social marginal benefit yang diperoleh lebih besar dari private marginal benefit. Pelayanan kesehatan yang tergolong pencegahan akan mempunyai eksternalitas yang besar, sehingga dapat digolongkan sebagai komoditi masyarakat atau public goods. Oleh karena itu program ini sebaiknya mendapat subsidi atau bahkan disediakan oleh pemerintah secara gratis. Sedangkan untuk pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif akan mempunyai ekternalitas yang rendah atau private good hendaknya dibayar atau dibiayai sendiri oleh penggunanya atau pihak swasta. e. Motif non-profit, umumnya pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan motif sosial, namun sekarang terjadi perubahan orientasi, terutama setelah pemilik modal dan dunia bisnis melihat sektor kesehatan sebagai peluang investasi yang menguntungkan. Pendapat yang dianut adalah “Orang tidak layak memperoleh keuntungan dari penyakit orang lain”. f. Padat karya, terdapat kecenderungan spesialis dan superspesialis menyebabkan komponen tenaga dalam pelayanan kesehatan semakin besar. Komponen tersebut bisa mencapai 40–60% dari keseluruhan biaya.
17 Mixed output, paket pelayanan merupakan konsumsi pasien, yaitu sejumlah pemeriksaan diagnosis, perawatan, terapi dan nasehat kesehatan. Paket tersebut bervariasi antar individu dan sangat tergantung kepada jenis penyakit. h. Upaya kesehatan sebagai konsumsi dan investasi. Pembangunan sektor kesehatan sesungguhnya adalah investasi jangka pendek maupun panjang karena orientasi pembangunan pada akhirnya adalah pembangunan manusia. i. Restriksi berkompetisi, artinya terdapat pembatasan praktek berkompetisi. Hal ini menyebabkan mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan tidak bisa sempurna seperti mekanisme pasar untuk komoditi lain. Pada sektor kesehatan tidak pernah terdengar adanya promosi diskon atau bonus dalam pelayanan kesehatan. g.
Teori Demand For Health Capital Tjiptoherijanto et al (1994), menyebutkan bahwa teori ini mengacu pada pendekatan investment models dan mengasumsikan bahwa masing–masing individu melakukan penilaian manfaat atas pengeluaran untuk kesehatan yang diperbandingkan dengan pengeluaran untuk komoditi–komoditi lainnya dalam rangka memutuskan status kesehatannya yang optimal. Dalam hal ini, konsumen diasumsikan mempunyai pengetahuan tentang status kesehatannya sendiri, tingkat depresiasi status kesehatannya dan fungsi produksi yang mengaitkan antara perbaikan kesehatan dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan. Sejalan dengan kerangka pikir teori keputusan investasi yang umum, diasumsikan bahwa setiap individu akan memaksimumkan fungsi utilitinya yang dibentuk dari alur jasa pelayanan kesehatan dan dari konsumsi barang lainnya untuk setiap tahun kehidupannya. Maksimasi ini akan menyebabkan individu tadi menyamakan the marginal return on the asset dengan marginal costnya. Return kepada individu dari terdiri atas marginal physical return dan marginal monetary return. Monetary return ditentukan oleh tiga komponen, yaitu: upah harian, produk marjinal kesehatan yang dihitung dalam jumlah hari sehat yang dihasilkan oleh satu unit stok kesehatan dan biaya marjinal dari gross investment dibidang kesehatan yang dibeli pada periode sebelumnya, termasuk biaya waktu dan uang. Grossman (1972) mendukung asumsi ekonomi makro, dimana produk marjinal kesehatan menurun secara asimtomatis menuju nol sejalan dengan peningkatan kesehatan. Hal ini ditunjukkan oleh Grossman pada return kesehatan yang diukur dengan hari sehat (healthy days) dan mempunyai batas 365 hari pertahunnya. Return tersebut akan bisa menjawab persoalan debility (Cullis JG and West PA, 1979) yang akan mempengaruhi tingkat upah. Dengan stok kapital kesehatan yang optimal dapat dilakukan uji pengaruh usia dan income terhadap stok kesehatan. Pertama dengan memperhatikan aspek usia dan mengasumsikan bahwa tingkat upah, marginal product dari stok kesehatan dan biaya marjinal dari gross investment adalah independen terhadap usia. Pengaruh yang diasumsikan dari kenaikan usia adalah meningkatnya tingkat depresiasi kesehatan. Ini tidak berarti bahwa orang yang lebih tua akan kurang sehat dibandingkan yang muda usia, tetapi untuk orang tertentu tingkat depresiasi kesehatannya pertahun akan menjadi lebih besar ketika usianya lebih tua.
18 Implikasi asumsi Grossman adalah peningkatan depresiasi menyebabkan konsumen memilih stok kesehatan yang lebih rendah dalam rangka meningkatkan produk marjinal kesehatan, juga menyamakan hasil marjinal dengan biaya yang lebih tinggi (telah diasumsikan bahwa besarnya produk marjinal kesehatan akan lebih kecil pada tingkat stok kesehatan yang lebih tinggi). Dengan demikian ketika dihadapkan kepada depresiasi kesehatan yang diketahui sudah cenderung naik, model Grossman mengatakan bahwa seseorang akan memilih suatu status kesehatan yang lebih rendah pada setiap tahun berurutan (successive year). Hal ini akan mendorong orang tersebut terpaksa harus memilih usia hidupnya sendiri, mengingat stok kesehatannya yang optimal pada akhirnya akan turun hingga dibawah life-supporting minimal yang dia perlukan, dan kalau hal itu sudah tercapai berarti dia akan mati. Pengaruh tingkat upah kepada stok kesehatan dan demand pelayanan kesehatan akan terdiri dari dua unsur. Produk marjinal kesehatan, dihitung dari healthy days, jelas akan lebih berharga pada tingkat upah yang lebih tinggi. Tetapi waktu yang dimiliki konsumen juga merupakan input bagi pelayanan kesehatan, jika tingkat upah naik maka biaya pelayanan akan naik. Penekanan public policy yang dapat ditunjukkan oleh model pendekatan Grossman ini adalah perlunya penyediaan informasi kesehatan yang memadai bagi konsumen dan sekaligus para penyedia pelayanan kesehatan tentang pengaruh masing-masing input pelayanan kesehatan dan juga tentang efisiensi dari mengkombinasikan input kesehatan yang diinginkan dari pada jika hanya informasi tentang pelayanan kesehatan saja. Investasi Modal Manusia Pendidikan merupakan tujuan pembangunan. Pendidikan memainkan peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Pendidikan juga dapat dilihat sebagai komponen pertumbuhan dan pembangunan yang vital-sebagai input fungsi produksi agregat. Peran gandanya sebagai input maupun output menyebabkan pendidikan sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Dalam perspektif ekonomi, pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang akan memberi keuntungan dimasa mendatang, baik kepada masyarakat atau negara, maupun orang-orang yang mengikuti pendidikan itu sendiri. Sebagai salah satu bentuk investasi sumber daya manusia, investasi pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu private investment dan public investment (Todaro dan Smith 2006). Private investment merupakan investasi pendidikan pada level mikro atau tingkat individu. Bentuk dari private investment adalah individu yang mengenyam bangku pendidikan formal maupun nonformal termasuk orangtua yang mengajarkan anak pelajaran. Sedangkan public investment merupakan investasi yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah dalam bentuk penyediaan gedung sekolah, lembaga pendidikan, guru, dana pendidikan, penyediaan infrastruktur pendidikan, dan lain sebagainya.
19
Rumus keuntungan pendapatan pendidikan adalah sebagai beikut:
Yt =
Et − nt
∑ (1+ t)t
(1.2)
di mana E adalah pendapatan dengan pendidikan, N adalah pendapatan tanpa ketrampilan, dan t adalah tahun, dan penjumlahannya adalah tahun-tahun bekerja selama hidup. Seseorang bekerja pada saat ia lulus sekolah hingga ia tidak mampu bekerja lagi atau meninggal. Lulusan sekolah dasar diasumsikan mulai bekerja pada usia 13, dan lulusan sekolah tingkat atas diasumsikan mulai bekerja pada umur 17. Seseorang di negara berkembang yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat atas akan mengorbankan 4 tahun pendapatan yang tidak dapat diperolehnya karena bekerja. Hal ini adalah biaya tidak langsung. Disamping itu, juga terdapat biaya langsung seperti biaya sekolah, seragam, buku, dan pengeluaran lain yang tidak akan dikeluarkan jika anak tersebut tidak melanjutkan sekolah begitu lulus dari sekolah dasar. Selama sisa hidupnya, dia akan memperoleh penghasilan yang lebih besar setiap tahunnya daripada jika ia bekerja dengan berbekal ijazah SD saja. Perbedaan ini disebut manfaat. Sebelum membandingkan biaya dan manfaatnya, keuntungan pendapatan di masa depan tersebut harus didiskontokan sesuai waktunya. Pembangunan Manusia Sejak tahun 1990, United Nations Development Program (UNDP) telah menerbitkan laporan tahunan berupa Human Development Report (HDR). Dalam HDR tersebut dikeluarkan laporan tahunan mengenai indek pembangunan manusia/Human Development Index (HDI) di tiap negara. Indeks tersebut dikembangkan pada tahun 1990 oleh seorang peraih Hadiah Nobel berkebangsaan India yaitu Amartya Sen, dan seorang ekonom dari Pakistan, Mahbub Ul Haq, yang dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economic. Sen menyatakan bahwa HDI adalah sebuah pengukuran indeks manusia yang cukup kasar (vulgar measure) karena masih banyak keterbatasan. Namun, HDI menerapkan ukuran pada aspek-aspek pengembangan kualitas manusia secara lebih komprehensif daripada hanya sekedar pendapatan per kapita seperti yang dilakukan selama ini dalam menentukan atau menunjukkan apakah suatu negara itu negara maju, berkembang, atau belum berkembang. HDI juga merupakan salah satu bahan kajian atau topik pembahasan bagi para peneliti untuk meneliti ukuran-ukuran kualitas manusia di sebuah negara secara luas dan beragam. Dalam Human Development Report (UNESCO, 2007) dijelaskan bahwa Human Development Index (HDI) merupakan suatu konstruksi pengukuran atas dasar konsep right based approach to human development. HDI melakukan pengukuran rata-rata capaian setiap individu negara yang menyangkut tiga dimensi dasar dari proses pengembangan kualitas manusia. Pengukuran ini dilakukan dengan menetapkan beberapa asumsi dasar bahwa manusia yang berkualitas adalah: Manusia yang dapat hidup sehat dan panjang umur, sebagaimana diukur dengan Angka Harapan Hidup sejak waktu lahir (life expectancy at birth); Manusia yang memiliki kecakapan dan pendidikan yang diperlukan bagi hidupnya, sebagaimana diukur melalui indikator angka literasi
20 orang dewasa (adult literacy rate) dengan bobot penilaian dua pertiga, serta indikator kombinasi Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan dasar, menengah dan tinggi dengan bobot penilaian satu pertiga dari penghitungan indeks pendidikan; Manusia yang dapat mencapai standar hidup layak, sebagaimana diukur dengan logaritma pendapa- tan domestik bruto (PDB) per kapita yang menggunakan indikator purchasing power parity (PPP) yang dihitung dalam dolar Amerika. Pembangunan manusia yang dimaksudkan dalam IPM tidak sama dengan pengembangan sumber daya manusia yang biasanya dimaksudkan dalam teori ekonomi. Sumber daya manusia menunjuk pada manusia sebagai salah satu faktor produksi, yaitu sebagai tenaga kerja yang produktivitasnya harus ditingkatkan. Dalam hal ini manusia hanya sebagai alat (input) untuk mencapai tujuan yaitu peningkatan output barang dan jasa. Sedangkan manusia di dalam IPM lebih diartikan sebagai tujuan pembangunan yang orientasi akhirnya pada peningkatan kesejahteraan. Menurut UNDP (1990), pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia (a process of enlarging people’s choices). Premis pembangunan manusia adalah: Penduduk sebagai pusat perhatian (1), didukung empat pilar yaitu produktivitas, pemerataan dan kesinambungan (2), men dasar dalam penentuan tujuan dan analisis-analisis pilihan untuk mencapainya. Dari berbagai pilihan yang ingin dicapai adalah: 1. Manusia dapat berumur panjang dan sehat. 2. Memiliki ilmu pengetahuan. 3. Mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat; pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Konsep pembangunan manusia menurut UNDP adalah: 1. Terwujudnya kesejahteraan rakyat, 2. Meningkatkan kualitas kehidupan dan 3. Tercapainya kebutuhan dasar. Konsep pembangunan manusia dalam konteks internasional dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Indonesia memiliki komitmen untuk melaksanakan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) 2. Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah US$ 1 per hari menjadi setengahnya antara 1990-2015 3. Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015 4. Memastikan pada tahun 2015 semua anak-anak dimanapun, laki-laki maupun perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar. 5. Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015. 6. Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 19902015 7. Menurunkan angka kematian ibu sebesar tiga perempatnya antara 19902015
21 Komponen-komponen IPM Indeks Pembangunan Manusia disusun dari tiga komponen yaitu lamanya hidup diukur dengan harapan hidup pada saat lahir, tingkat pendidikan diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga), dan tingkat kehidupan yang layak yang diukur dengan pengeluaran perkapita yang telah disesuaikan (PPP rupiah) (Gambar 2.1). Indeks ini merupakan rata-rata sederhana dari ketiga komponen tersebut dengan rumus sebagai berikut IPM
= 1/3 (Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3 + Indeks X4)
(2.1)
di mana: X1 = Angka Harapan Hidup X2 = Angka melek huruf X3 = Rata-rata lama sekolah X4 = Kemampuan daya beli Indeks X(I,J)=(X(I,J)-X(i-min))/(X(I,J)-X(i-max)) di mana: X(I,J) = Indikator ke-i dari daerah j X(i-min) = Nilai minimum dari Xi X(i-max) = Nilai maksimal dari Xi Sumber: Buku Panduan Kongres Nasional Pembangunan Manusia, Kementerian Koordinasi Kesejahteraan rakyat TKPK, 2006 Tabel 2.1 Tabel variabel penghitungan IPM Komponen IPM Angka Harapan Hidup (X1) Angka Melek Huruf (X2) Rata-Rata Lama Sekolah (tahun) (X3) Daya Beli (X4)
Nilain Maksimum 85 100
Nilai Minimum 25 0
15
0
7.327.200a)
3.600.000b) (1999)
Keterangan Standar UNDP Standar UNDP UNDP. Menggunakan Combined Gross Enrolment ratio UNDP. Menggunakan PDB Riil per Kapita yang telah disesuaikan
a) Perkiraan maksimum pada akhir PJP II tahun 2018 b) Penyesuaian garis kemiskinan baru dengan garis kemiskinan lama Analisis Jalur (Path Analysis) Li (1975), Analisis Jalur digunakan untuk mengetahui apakah data mendukung teori, yang secara apriori dihipotesiskan, yang mencakup kaitan struktural antar variabel terukur. Analisis Jalur atau yang lebih dikenal luas sebagai Path Analysis merupakan suatu metode pendekomposisian korelasi kedalam bagian-bagian yang berbeda untuk menginterpretasikan suatu pengaruh (effect). Analisis jalur yang dibakukankan, korelasi dapat dipecah ke dalam komponen-komponen struktural (kausal) dan nonstruktural (nonkausal) didasarkan teori yang dinyatakan dalam diagram jalur. Total Efek Struktural dapat didekomposisi: Langsung dan Tidak Langsung.
22 Komponen Nonstruktural: - komponen spurious - komponen unanalyzed Pendekomposisian pengaruh terbagi atas dua bagian, yaitu Causal Effect dan Noncausal Effect. Dalam kajian analisis jalur, untuk menyederhanakan lambang, digunakan dua macam lambang saja yaitu X dan ε, yang nantinya dibedakan oleh subscriptnya (X1, X2, …, Xk dan ε1, ε2, …, εk). Istilah untuk variabel: Variabel eksogen (exogenous variable) mencerminkan variabel penyebab, dan variabel endogen (endogenous variable) sebagai variabel akibat. Langkah pertama analisis jalur adalah menterjemahkan hipotesis penelitian yang bentuknya proposional ke dalam bentuk diagram yang disebut diagram jalur. Pada saat menggambarkan diagram jalur ada beberapa hal yang harus diperhatikan: 1. Hubungan antar variabel digambarkan oleh anak panah yang bisa berkepala tunggal (→) atau single headed arrow, dan berkepala dua (↔) atau double headed arrow. 2. Panah berkepala satu menunjukkan pengaruh dari sebuah variabel eksogen terhadap sebuah variabel endogen. Misalkan: Rata-rata lama sekolah
Anggaran pendidikan
3. Panah berkepala dua menggambarkan hubungan korelatif antar variabel eksogen. Misalkan: X2
X1
4. Tidak pernah seseorang bisa mengisolasi hubungan pengaruh secara murni artinya bahwa sesuatu kejadian banyak sekali yang mempengaruhinya, tetapi pada conceptual framework hanya dapat digambarkan beberapa pengaruh yang bisa diamati. Variabel lainnya yang tidak bisa digambarkan (tidak bisa diukur) diperlihatkan oleh suatu variabel tertentu yang disebut residual dan diberi simbol dengan ε. Contoh: a) ε p2ε p2 X1
X2
Diagram jalur ini adalah diagram jalur yang paling sederhana. Besarnya pengaruh langsung dari X1 ke X2 diperlihatkan oleh koefisien jalur (path coefficient, p). Apabila diagram jalur sederhana seperti ini yaitu variabel eksogen hanya satu, maka p21 = r2
23 b)
Contoh diagram jalur yang melibatkan kaitan korelatif: ε p3ε
r12
p31
X1 X2
X3
P32
X1 dan X2 merupakan dua buah variabel eksogen yang satu dengan yang lainnya mempunyai kaitan korelatif. Secara bersama-sama X1 dan X2 mempengaruhi X3. c)
Penelitian mengenai hubungan kausal melibatkan empat buah variabel X1, X2, X3, dan X4. Menurut teori, hubungan struktural antara variabelvariabel tersebut adalah: (a) X3 dipengaruhi oleh X1 dan X2 (b) antara X1 dan X2 terdapat hubungan korelatif (c) X4 dipengaruhi oleh X3. Diagram jalur dari hubungan variabel-variabel tersebut adalah: ε2 ε1
X1 r12
4)
X2 P32
p31
p3 ε X3
p43
p4ε2 X4
Contoh diagram jalur yang tidak melibatkan kaitan korelatif: Seorang peneliti mempunyai empat variabel X1, X2, X3 dan X4 yang menurut kerangka konseptual terdapat hubungan sebagai berikut: a) X2 dipengaruhi oleh X1 b) X3 dipengaruhi oleh X1 dan X2 c) X4 dipengaruhi oleh X3 dan X2 Hubungan antar variabel dapat dinyatakan dalam diagram jalur sebagai berikut.
24
ε2 p3ε2 X1 p21 X2 P2ε1 ε1
p31
X3 ε3 p43
p32 p42
p4ε3 X4
25
Kerangka Pemikiran
Belanja Pemerintah
Belanja di Bidang Sosial: -‐ Pendidikan
Hasil yang diharapkan: -‐ Akumulasi Human Capital -‐ Kebutuhan/kemampuan dasar
Belanja di Bidang Ekonomi: -‐ Pertanian -‐ Infrastruktur -‐ Teknologi
Belanja di Bidang Lainnya: -‐Administrasi Umum -‐ Pertahanan -‐ dll
Hasil yang diharapkan: -‐ Akses terhadap infrastrutur yang lebih baik -‐ Penggunaan Teknologi yang lebih banyak
Pertumbuhan: -‐ Pertumbuhan Agregat -‐ Pertumbuhan di Beberapa Sektor (Pertanian, Pelayanan dan Industri) -‐ Pertumbuhan Pemerataan Regional
Income Poverty
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Keterangan: Garis putus-putus merupakan bagian yang diteliti dalam tesis ini
26
3
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berasal dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Badan Pusat Statistik. Jenis data yang diperlukan seperti ditujukan pada tabel 3.1 Tabel 3.1 Sumber data Jenis Data Tahun Sumber Anggaran Pendidikan 2009-2012 DJPK, Kemenkeu Rata-Rata Lama Sekolah 2009-2012 Badan Pusat Statistik Angka Melek Huruf 2009-2012 Badan Pusat Statistik PDRB Menurut Harga Konstan 2009-2012 Badan Pusat Statistik Angka Harapan Hidup 2009-2012 Badan Pusat Statistik Indeks Pembangunan Manusia 2009-2012 Badan Pusat Statistik Unit data adalah seluruh provinsi di Indonesia dengan periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2012. Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis deskriptif merupakan bentuk analisis sederhana yang bertujuan mendeskripsikan dan mempermudah penafsiran yang dilakukan dengan membaca tabel dan grafik. Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk melihat dinamika pertumbuhan tingkat melek huruf, rata-rata lama sekolah, tingkat pendapatan, angka harapan hidup dan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik agar dapat dengan mudah dipahami pembaca. Dalam penelitian ini akan dikaji seberapa besar pengaruh tidak langsung anggaran pendidikan terhadap indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia dan pengaruh tidak langsung tersebut berpengaruh paling besar pada tahun ke berapa sejak anggaran pendidikan direalisasikan. Pengaruh tidak langsung yaitu pengaruh anggaran pendidikan terhadap IPM dengan menghitung besarnya pengaruh anggaran pendidikan terhadap rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf, pengaruh rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf terhadap PDRB per kapita, pengaruh PDRB per kapita terhadap angka harapan hidup dan pengaruh rata-rata lama sekolah, angka melek huruf, PDRB per kapita dan angka harapan hidup terhadap IPM. Lebih jelasnya ada pada Gambar 3.1. Tahapan Analisis 1) Eksplorasi data. Pada tahap ini dilakukan analisis deskripsi hubungan antar perubah yang digunakan dalam penelitian ini, seperti hubungan antara Anggaran Pendidikan dan IPM. Hasilnya disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan grafik. 2) Analisis Jalur. Analisis jalur ini dilakukan untuk mendapatkan pengaruh Anggaran Pendidikan terhadap IPM. Pengaruh Anggaran Pendidikan
27 terhadap IPM merupakan total pengaruh dari pengaruh tak langsung. Analisis ini menggunakan perangkat lunak SmartPLS ver 3.0 dan MINITAB ver 14. 3) Tahapan Analisis Jalur: 1) Melakukan pembakuan setiap peubah yang digunakan 2) Melakukan pemeriksaan asumsi dan pengamatan berpengaruh 3) Melakukan analisis pengaruh hubungan antar peubah menggunakan analisis regresi linear sederhana dan analisis regresi linear berganda untuk mendapatkan koefisien jalur. 4) Menghitung pengaruh langsung, pengaruh tak langsung dan pengaruh total Anggaran Pendidikan terhadap IPM. 4) Membandingkan pengaruh Anggaran Pendidikan terhadap IPM untuk lag 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun. Hasil dari pembandingan ini adalah untuk mengetahui seberapa lama anggaran pendidikan pada tahun tertentu akan dirasakan pengaruhnya terhadap IPM.
Gambar 3.1
1) 2) 3) 4) 5)
Analisis jalur model hubungan antara anggaran pendidikan dan indeks pembangunan manusia
Model yang Digunakan Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: RLS = β1AP (3.1) AMH = β2AP (3.2) AHH = β3PDRBk (3.3) PDRBk = β4AMH + β5RLS (3.4) IPM = β6AMH + β7RLS + β8PDRBk +β9AHH (3.5)
28 Keterangan : AP RLS AMH PDRBk AHH IPM 1 2 3 4 5 6
= Anggaran Pendidikan (Rp) = Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) = Angka Melek Huruf (%) = Produk Domestik Regional Bruto per Kapita (Rp) = Angka Harapan Hidup (Tahun) = Indeks Pembangunan Manusia
Hipotesis Anggaran pendidikan berpengaruh langsung terhadap rata-rata lama sekolah Anggaran pendidikan berpengaruh langsung terhadap angka melek huruf Rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf berpengaruh langsung terhadap produk domestik regional bruto per kapita Produk domestik regional bruto per kapita berpengaruh langsung terhadap angka harapan hidup Rata-rata lama sekolah, angka melek huruf, produk domestik regional bruto per kapita dan angka harapan hidup berpengaruh langsung terhadap indeks pembangunan manusia Anggaran pendidikan berpengaruh tidak langsung terhadap indeks pembangunan manusia
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Anggaran Pendidikan pada APBD Implementasi amanat hasil amandemen Undang-undang Dasar 1945 yaitu anggaran pendidikan minimal 20 persen dari total anggaran, menunjukkan terdapat provinsi yang sudah melaksanakan amanat tersebut dan ada juga yang belum. Bahkan untuk Provinsi Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat memiliki rasio anggaran pendidikan terhadap total anggaran lebih dari 30 persen. Adapun sampai dengan tahun 2013 terdapat beberapa provinsi yang anggaran pendidikannya belum mencapai 20 persen dari total APBD seperti Kalimantan Timur, Papua, Kepulauan Riau dan Papua Barat. Diharapkan dalam waktu mendatang semua Provinsi dapat melaksanakan amanat UUD 1945 yaitu memiliki anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.1.
29 Tabel 4.1 Jumlah anggaran pendidikan dan proporsi anggaran menurut Provinsi Provinsi Jateng Yogyakarta Sumbar Jatim Jabar Sulsel NTT Gorontalo Sumut Sulteng NTB DKI Sulut Sultra Jambi Bengkulu Lampung Kalbar Banten Sumsel Kalsel Bali Maluku Sulbar Kalteng Aceh Riau Babel Kepri Kaltim Malut Papua Papua Barat Rata2 Nasional
2009 Jumlah 12.930 1.890 3.675 12.548 12.476 4.151 2.579 762 6.219 1.636 1.947 2.825 1.902 1.596 1.996 1.281 3.255 2.337 2.731 3.869 2.540 2.252 1.004 599 2.164 4.774 4.701 915 1.224 4.503 725 2.424 1.083
% 38 35 32 31 33 27 28 27 31 26 30 13 29 23 26 27 36 26 30 27 27 28 19 22 23 23 23 20 18 16 16 12 13 26
Anggaran Pendidikan Tahun 2009 -2012 (Juta Rupiah) 2010 2011 2012 Jumlah % Jumlah % Jumlah % 12.986 37 18.138 44 20.509 40 1.985 36 2.405 40 2.967 39 3.712 30 4.844 37 5.409 34 12.900 30 18.954 36 21.442 35 13.491 32 17.802 37 19.128 32 4.386 29 5.892 33 6.809 31 2.532 27 3.652 32 4.201 32 778 27 1.075 32 1.237 32 6.169 30 8.803 35 9.901 31 1.579 26 2.241 31 2.744 31 2.141 30 3.031 35 3.197 24 6.424 26 8.115 29 10.120 30 1.989 29 2.276 29 2.547 28 1.690 25 2.017 27 2.452 27 1.933 25 2.551 31 2.958 28 1.265 24 1.674 30 1.869 28 3.298 34 4.714 38 5.396 34 2.460 26 3.529 32 3.726 28 2.697 29 4.187 32 4.589 29 4.125 28 5.034 29 5.575 27 2.749 26 3.561 24 3.746 28 2.397 28 3.249 29 3.532 27 1.138 20 1.693 26 1.745 25 530 21 862 27 981 28 2.208 23 2.651 26 2.928 25 4.222 24 5.285 26 5.586 25 4.458 25 4.847 26 5.597 22 909 21 1.016 24 1.177 22 1.289 19 1.627 20 1.841 19 4.243 15 5.118 17 5.891 16 614 14 842 17 982 17 2.781 13 3.508 15 3.508 13 1.081 13 1.395 14 1.420 12 27 31 28
2013 Jumlah 22.747 3.225 6.031 23.600 22.131 7.581 4.654 1.369 11.304 3.055 3.087 12.815 2.867 3.001 3.457 2.116 5.877 4.194 5.465 6.665 4.385 3.931 2.140 1.064 3.298 6.257 6.759 1.401 2.232 7.550 1.088 3.985 1.562
% 37 36 34 33 31 30 30 30 29 29 29 28 28 28 27 27 27 27 27 26 26 26 26 25 24 23 21 21 20 16 16 12 12 27
Sumber : DJPK Kemenkeu (diolah)
Jika melihat dari anggaran pendidikan per kapita penduduk usia sekolah, provinsi yang memiliki anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terbesar adalah Kalimantan Timur dan Papua Barat, ini menandakan bahwa penduduk usia sekolah di dua provinsi tersebut menikmati anggaran pendidikan lebih banyak dari pada penduduk usia sekolah di provinsi lainnya. Sedangkan provinsi yang memiliki anggaran pendidikan per kapita penduduk usia sekolah yang relatif kecil adalah provinsi Jawa Barat, Banten dan Jawa Timur. Terjadi peningkatan anggaran pendidikan per kapita dari tahun ke tahun. Pada tahun 2012, terjadi peningkatan anggaran pendidikan perkapita penduduk usia sekolah yang bervariasi antara 7 persen (Riau) hingga 67 persen (Jawa Timur), bahkan untuk DKI Jakarta terjadi peningkatan hampir 2,5 kali lipat dari anggaran 2009 (Tabel 4.2).
30 Tabel 4.2 Anggaran pendidikan per kapita usia sekolah (7-18 tahun) menurut Provinsi Provinsi DKI Jatim Lampung Maluku NTB Sulsel Sulteng Jateng Kalbar Banten Sumut NTT Yogyakarta Gorontalo Sulbar Bali Jabar Sultra Sumbar Kalsel Bengkulu Jambi Sumsel Kepri Sulut Kalteng Malut Papua Papua Barat Babel Kaltim Aceh Riau Rata2 Nasional
Anggaran Pendidikan Perkapita 7-18 tahun (Ribu Rupiah) 2009 2010 2011 2012 (Rp/Orang) (Rp/Orang) (Rp/Orang) (Rp/Orang) 1.602 3.592 4.475 5.503 1.674 1.708 2.491 2.797 1.861 1.863 2.630 2.973 2.543 2.801 4.053 4.064 1.802 1.959 2.741 2.858 2.146 2.241 2.976 3.399 2.595 2.456 3.418 4.106 1.868 1.869 2.601 2.930 2.183 2.278 3.238 3.387 1.110 1.066 1.610 1.717 1.898 1.862 2.629 2.924 2.099 2.018 2.852 3.214 3.058 3.180 3.812 4.655 2.981 2.973 4.019 4.524 1.993 1.715 2.717 3.010 3.001 3.126 4.149 4.414 1.285 1.363 1.765 1.862 2.814 2.917 3.411 4.063 3.105 3.094 3.984 4.390 3.163 3.354 4.261 4.395 3.204 3.111 4.049 4.445 2.867 2.706 3.483 3.937 2.279 2.385 2.857 3.107 4.213 4.218 5.072 5.471 3.884 4.008 4.529 5.005 4.283 4.293 5.062 5.492 2.793 2.306 3.088 3.514 3.332 3.617 4.329 4.107 6.082 5.847 7.275 7.140 3.574 3.440 3.729 4.185 6.008 5.445 6.327 7.015 4.377 3.780 4.623 4.773 3.665 3.351 3.517 3.921 2.111 2.183 2.872 3.088
Kenaikan 2009 2012 (%) 243,51 67,08 59,75 59,81 58,60 58,39 58,23 56,85 55,15 54,68 54,06 53,12 52,22 51,76 51,03 47,08 44,90 44,39 41,38 38,95 38,73 37,32 36,33 29,86 28,86 28,23 25,81 23,26 17,40 17,10 16,76 9,05 6,98 46,28
Sumber : DJPK Kemenkeu (diolah)
Profil Indeks Pembangunan Manusia Kondisi Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia semenjak tahun 2004 sampai 2012 mengalami kenaikan dengan rata-rata kenaikan sebesar 0,57 per tahun seperti terlihat pada gambar 4.1. Tidak ada kenaikan IPM yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Adapun kenaikan IPM setiap tahunnya berkisar antara 0,50 sampai 0,88 per tahun. Kenaikan IPM tertinggi terjadi pada tahun 2004 ke 2005 sedangkan kenaikan terendah terjadi pada tahun 2010 ke 2011.
31
Gambar 4.1 Pertumbuhan IPM di Indonesia (2004-2012)
Jika melihat dari data Indeks Pembangunan Manusia untuk setiap Provinsi seperti pada Tabel 4.3, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bali, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur merupakan Provinsi yang mengalami kenaikan IPM yang paling tinggi dalam kurun waktu 2009-‐2012. Kenaikan IPM yang cukup tinggi disebabkan karena adanya perhatian lebih dari pemerintah daerah dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Provinsi tersebut. Sedangkan Provinsi DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara dan Nangroe Aceh Darussalam adalah Provinsi yang memiliki tingkat kenaikan IPM Terendah (2009-‐2012).
32 Tabel 4.3 Indeks pembangunan manusia menurut Provinsi (2009-2012) Provinsi NTB Bali Kalsel NTT Jatim Sulsel Papua Barat Sulbar Kepri Kalbar Sultra Gorontalo Lampung Kaltim Maluku Papua Jabar Sulteng Banten Yogyakarta Malut Sumsel Bengkulu Jambi Sumut Jateng Sumbar Riau Babel Aceh Sulut Kalteng DKI
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2009 2010 2011 2012 64,66 65,20 66,23 66,89 71,52 72,28 72,84 73,49 69,30 69,92 70,44 71,08 66,60 67,26 67,75 68,28 71,06 71,62 72,18 72,83 70,94 71,62 72,14 72,70 68,58 69,15 69,65 70,22 69,18 69,64 70,11 70,73 74,54 75,07 75,78 76,20 68,79 69,15 69,66 70,31 69,52 70,00 70,55 71,05 69,79 70,28 70,82 71,31 70,93 71,42 71,94 72,45 75,11 75,56 76,22 76,71 70,96 71,42 71,87 72,42 64,53 64,94 65,36 65,86 71,64 72,29 72,73 73,11 70,70 71,14 71,62 72,14 70,06 70,48 70,95 71,49 75,23 75,77 76,32 76,75 68,63 69,03 69,47 69,98 72,61 72,95 73,42 73,99 72,55 72,92 73,40 73,93 72,45 72,74 73,30 73,78 73,80 74,19 74,65 75,13 72,10 72,49 72,94 73,36 73,44 73,78 74,28 74,70 75,60 76,07 76,53 76,90 72,55 72,86 73,37 73,78 71,31 71,70 72,16 72,51 75,68 76,09 76,54 76,95 74,36 74,64 75,06 75,46 77,36 77,60 77,97 78,33
Kenaikan IPM 2009 - 2012 (%) 3,45 2,75 2,57 2,52 2,49 2,48 2,39 2,24 2,23 2,21 2,20 2,18 2,14 2,13 2,06 2,06 2,05 2,04 2,04 2,02 1,97 1,90 1,90 1,84 1,80 1,75 1,72 1,72 1,70 1,68 1,68 1,48 1,25
Sumber : BPS (diolah)
Data IPM 2012 dibagi menjadi 3 kategori, yaitu tinggi (IPM>75), sedang (70
33 Tabel 4.4 Tabel IPM tiap Provinsi di Indonesia tahun 2012 Provinsi Dki Jakarta Sulawesi Utara Riau D I Yogyakarta Kalimantan Timur Kepulauan Riau Kalimantan Tengah Sumatera Utara Sumatera Barat Sumatera Selatan Bengkulu Kep. Bangka Belitung Jambi Bali Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Timur Sulawesi Selatan Aceh Lampung Maluku Sulawesi Tengah Banten Gorontalo Kalimantan Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Barat Kalimantan Barat Papua Barat Maluku Utara Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Papua Indonesia
AHH (Tahun) 73,49 72,44 71,69 73,33 71,58 69,91 71,41 69,81 70,02 70,05 70,39 69,21 69,44 70,84 71,71 68,60 70,09 70,45 68,94 70,05 67,84 67,11 65,23 67,47 64,52 68,21 68,27 66,92 69,14 66,65 68,04 62,73 69,12 69,87
AMH (%) 99,21 99,53 98,45 92,02 97,55 97,80 97,88 97,51 97,23 97,50 95,69 95,88 96,20 90,17 90,45 96,39 89,28 88,73 96,99 95,13 98,17 96,16 96,51 96,16 96,43 92,04 88,79 91,13 93,74 96,43 89,23 83,68 75,83 93,25
RLS (Tahun) 10,98 9,00 8,64 9,21 9,22 9,81 8,15 9,07 8,60 7,99 8,48 7,68 8,20 8,57 7,39 8,08 7,45 7,95 8,93 7,87 9,15 8,13 8,61 7,49 7,89 8,25 7,32 7,14 8,45 8,71 7,09 7,19 6,87 8,08
Peng. Perkapita (Ribu Rupiah) 635,29 643,20 654,48 653,78 649,85 648,92 644,21 643,63 641,85 637,47 634,74 648,49 640,82 640,86 643,53 638,90 651,04 643,59 618,79 625,52 620,08 637,34 636,73 630,01 643,66 625,81 639,56 638,82 601,56 606,22 610,29 645,72 611,99 641,04
IPM 78,33 76,95 76,90 76,75 76,71 76,20 75,46 75,13 74,70 73,99 73,93 73,78 73,78 73,49 73,36 73,11 72,83 72,70 72,51 72,45 72,42 72,14 71,49 71,31 71,08 71,05 70,73 70,31 70,22 69,98 68,28 66,89 65,86 73,29
Kategori IPM Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah
Sumber: BPS (diolah) Hubungan antara Anggaran Pendidikan dan Indeks Pembangunan Manusia Untuk DKI Jakarta, kenaikan anggaran pendidikan yang besar tidak sebanding dengan kenaikan IPM. Hal ini terjadi karena IPM DKI Jakarta sudah cukup tinggi. Sedangkan kenaikan anggaran pendidikan yang tidak terlalu tinggi di NTB, tetapi IPM mengalami kenaikan yang sangat tinggi hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.5. Fenomena yang terjadi di Jakarta berbeda dengan NTB, dimana dengan pertumbuhan anggaran pendidikan yang tidak terlalu tinggi, tetapi membuat pertumbuhan IPM yang sangat tinggi. Hal ini dapat dikonfirmasi dari laporan Pemprov NTB, bahwa peningkatan IPM tidak hanya didasarkan pada peningkatan anggaran semata. Untuk meningkatkan angka harapan hidup Pemprov NTB melakukan sosialisasi dalam rangka mengubah perilaku masyarakat. Sebagai contoh, upaya sosialisasi dalam mengubah perilaku pernikahan usia dini. Upaya ini mampu menurunkan angka kematian bayi yang berakibat pada meningkatnya Angka Harapan Hidup. Pada indikator pendidikan rendahnya Rata-Rata Lama Sekolah diakibatkan oleh banyaknya putra daerah yang melanjutkan pendidikan di luar daerah. Hal ini diantisipasi dengan penambahan perguruan tinggi di NTB sehingga Rata-Rata Lama Sekolah juga meningkat (http://www.ntbprov.go.id).
34 Tabel 4.5 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan IPM 2009-2012 Provinsi Nusa Tenggara Barat Bali Kalimantan Selatan Nusa Tenggara Timur Jawa Timur Sulawesi Selatan Papua Barat Sulawesi Barat Kep Riau Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara Gorontalo Lampung Kalimantan Timur Maluku Papua Jawa Barat Sulawesi Tengah Banten DI Yogyakarta Maluku Utara Sumatera Selatan Bengkulu Jambi Sumatera Utara Jawa Tengah Sumatera Barat Riau Bangka Belitung Aceh Sulawesi Utara Kalimantan Tengah DKI Jakarta
Kenaikan Angg Pendidikan per Kapita Usia Sekolah 2009 - 2012 (%) 64,23 56,84 47,48 62,90 70,88 64,03 31,13 63,67 50,48 59,45 53,64 62,39 65,80 30,82 73,77 44,68 53,33 67,72 68,04 57,04 35,43 44,10 45,84 48,23 59,22 58,61 47,19 19,06 28,62 17,01 33,90 35,27 258,28
Peningkatan IPM (%) 3,45 2,75 2,57 2,52 2,49 2,48 2,39 2,24 2,23 2,21 2,20 2,18 2,14 2,13 2,06 2,06 2,05 2,04 2,04 2,02 1,97 1,90 1,90 1,84 1,80 1,75 1,72 1,72 1,70 1,68 1,68 1,48 1,25
Sumber : DJPK Kemenkeu dan BPS (diolah)
Jika melihat pada Gambar 4.2 dan Gambar 4.3, terdapat hubungan linear positif antara persentase kenaikan anggaran pendidikan dan persentase kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Walaupun demikian, ada daerah dimana persentase kenaikan anggaran pendidikan tidak sebanding dengan persentase kenaikan IPM yaitu Provinsi DKI Jakarta.
35
NTB
DKI Jakarta
Gambar 4.2 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan IPM 2009-2012 Hubungan linier positif antara persentase kenaikan indeks pembangunan manusia dan persentase kenaikan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dapat dilihat pada Gambar 4.2. Trend line yang curam dikarenakan adanya pengamatan berpengaruh (outlier) yaitu Provinsi DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Barat. Untuk Provinsi DKI Jakarta, kenaikan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah yang tinggi tidak diikuti dengan kenaikan indeks pembangunan manusia yang tinggi, ini dikarenakan Provinsi DKI Jakarta memiliki indeks pembangunan manusia yang sudah cukup tinggi, sehingga sudah mencapai titik jenuh. Namun diharapkan dalam jangka panjang ada kenaikan indeks pembanguna manusia yang signifikan pada Provinsi DKI Jakarta.
36
Gambar 4.3 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan IPM 2009-2012 (tanpa Provinsi DKI Jakarta dan NTB)
Hubungan linier positif antara persentase kenaikan indeks pembangunan manusia dan persentase kenaikan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dapat dilihat pada Gambar 4.3. Trend line yang landai menunjukkan bahwa peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah yang tinggi tidak diikuti dengan kenaikan indeks pembangunan manusia yang cukup tinggi. Diharapkan dengan peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah yang cukup tinggi dapat diikuti dengan peningkatan indeks pembangunan manusia yang cukup tinggi pula. Hubungan antara Anggaran Pendidikan dan Indeks Pendidikan Indeks Pendidikan merupakan salah satu indeks pembentuk indek pembangunan manusia. Indeks pendidikan ini diukur dari 2 indikator utama, yaitu Rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Dari data yang ada, dapat dilihat bahwa ada hubungan linier positif antara anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan kedua indeks pendidikan tersebut. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.6.
37 Tabel 4.6 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan indeks pendidikan 2009-2012 Provinsi Kep Riau Bali Sulawesi Selatan Jambi Maluku Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat Banten Papua Barat DI Yogyakarta Sumatera Utara Kalimantan Barat Lampung Kalimantan Timur Jawa Barat Kalimantan Selatan Sulawesi Tenggara Sumatera Selatan Jawa Tengah Gorontalo Aceh Papua Bangka Belitung Sulawesi Barat Bengkulu Jawa Timur Sulawesi Tengah Sulawesi Utara Sumatera Barat Kalimantan Tengah Maluku Utara Riau DKI Jakarta Sulawesi Barat
Kenaikan Angg Pendidikan per Kapita Usia Sekolah 2009 - 2012 (%) 50,48 56,84 64,03 48,23 73,77 62,90 64,23 68,04 31,13 57,04 59,22 59,45 65,80 30,82 53,33 47,48 53,64 44,10 58,61 62,39 17,01 44,68 28,62 63,67 45,84 70,88 67,72 33,90 47,19 35,27 35,43 19,06 258,28 63,67
Kenaikan RataRata Lama Sekolah (%) 0,85 0,74 0,54 0,52 0,52 0,49 0,46 0,46 0,44 0,43 0,42 0,39 0,38 0,37 0,36 0,35 0,35 0,33 0,32 0,31 0,30 0,30 0,27 0,27 0,25 0,25 0,24 0,18 0,15 0,13 0,10 0,08 0,08 0,27
Kenaikan Angka Melek Huruf (%) 1,72 2,95 1,71 0,14 0,04 1,27 3,50 0,56 1,40 1,84 0,36 1,43 0,76 0,66 0,41 1,02 0,53 0,29 0,99 0,39 0,60 0,25 0,25 1,20 0,79 1,48 0,38 0,12 0,42 0,19 0,69 0,34 0,27 1,20
Sumber : DJPK Kemenkeu dan BPS (diolah)
Jika melihat pada Gambar 4.4, Gambar 4.5, Gambar 4.6 dan Gambar 4.7, terdapat hubungan linear positf antara rata-rata lama sekolah dan anggaran pendidikan. demikian pula, antara anggaran pendidikan dan angka melek huruf. Ada bebrapa Provinsi yang masuk ke dalam kategori pencilan (outliers), yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Bali dan DKI Jakarta.
38
NTB Bali
DKI Jakarta
Gambar 4.4 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan peningkatan rata-rata lama sekolah 20092012 Jika melihat trend line pada Gambar 4.4, yaitu adanya hubungan linier positif antara persentase kenaikan rata-rata lama sekolah dan persentase kenaikan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah. Trend line yang curam dikarenakan adanya beberapa pengamatan berpengaruh (outliers) yaitu Provinsi DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat dan Bali. Untuk DKI Jakarta, rata-rata lama sekolah sudah cukup tinggi, sehingga dengan kenaikan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah yang cukup tinggi tidak dapat meningkatkan rata-rata lama sekolah di Provinsi tersebut secara signifikan, ini disebabkan karena rata-rata lama sekolah sudah mencapai titik jenuh. Namun diharapkan dalam jangka panjang ada kenaikan rata-rata lama sekolah yang signifikan pada Provinsi DKI Jakarta.
Gambar 4.5 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan peningkatan rata-rata lama sekolah 20092012 (tanpa DKI Jakarta, NTB dan Bali)
39 Hubungan linier positif antara persentase kenaikan rata-rata lama sekolah dan persentase kenaikan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dapat dilihat pada Gambar 4.5. Trend line yang landai menunjukkan bahwa peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah yang tinggi tidak diikuti dengan ratarata lama sekolah yang cukup tinggi. Diharapkan dengan peningkatan anggaran pendidikan per kapita yang cukup tinggi dapat diikuti dengan peningkatan ratarata lama sekolah yang cukup tinggi pula. NTB Bali
DKI Jakarta
Gambar 4.6 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan angka melek huruf 2009-2012 Jika melihat trend line pada Gambar 4.6, yaitu adanya hubungan linier positif antara persentase kenaikan angka melek huruf dan persentase kenaikan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah. Trend line yang curam dikarenakan adanya beberapa pengamatan berpengaruh (outliers) yaitu Provinsi DKI Jakarta, Nusa Tenggara Barat dan Bali. Untuk DKI Jakarta, angka melek huruf sudah cukup tinggi, sehingga dengan kenaikan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah yang cukup tinggi tidak dapat meningkatkan angka melek huruf di Provinsi tersebut secara signifikan, ini disebabkan karena angka melek huruf sudah mencapai titik jenuh. Namun diharapkan dalam jangka panjang ada kenaikan angka melek huruf yang signifikan pada Provinsi DKI Jakarta.
40
Gambar 4.7 Hubungan antara persentase peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dan persentase peningkatan angka melek huruf 2009-2012 (tanpa DKI Jakarta, NTB dan Bali) Hubungan linier positif antara persentase kenaikan angka melek huruf dan persentase kenaikan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah dapat dilihat pada Gambar 4.7. Trend line yang landai menunjukkan bahwa peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia yang tinggi tidak diikuti dengan angka melek huruf yang cukup tinggi. Diharapkan dengan peningkatan anggaran pendidikan per kapita usia sekolah yang cukup tinggi dapat diikuti dengan peningkatan angka melek huruf yang cukup tinggi pula. Hasil Analisis Jalur Dari hasil analisis jalur yang dilakukan terdapat beberapa temuan, yaitu Anggaran Pendidikan berpengaruh langsung terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada lag 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun. Diantara ke tiga lag tersebut, pengaruh pada lag 2 tahun lebih besar daripada pengaruh pada lag 1 tahun dan 3 tahun, artinya pengaruh Anggaran Pendidikan per Kapita terhadap Indeks Pembangunan Manusia lebih besar pada lag 2 tahun jika dibandingkan dengan lag 1 tahun maupun 3 tahun. Pengaruh Anggaran Pendidikan per Kapita Usia Sekolah terhadap RataRata Lama Sekolah cukup tinggi, ini berlaku pada lag 1 tahun, 2 tahun maupun 3 tahun. Di antara ke tiga lag tersebut, pengaruh pada lag 2 tahun lebih besar daripada pengaruh pada lag 1 tahun dan 3 tahun. Pengaruh Anggaran Pendidikan per Kapita Usia Sekolah terhadap Angka Melek Huruf cukup tinggi, ini berlaku pada lag 1 tahun, 2 tahun maupun 3 tahun. Di antara ke tiga lag tersebut, pengaruh pada lag 2 tahun lebih besar daripada pengaruh pada lag 1 tahun dan 3 tahun. Rata-Rata Lama Sekolah berpengaruh cukup tinggi terhadap PDRB per Kapita, baik pada lag 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun, namun Angka Melek Huruf tidak berpengaruh terhadap PDRB per Kapita pada setiap lag (1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun), hal ini berarti bahwa semakin tinggi rata-rata tingkat pendidikan suatu daerah, maka PDRB per Kapita akan semakin tinggi.
41 Pengaruh PDRB per Kapita terhadap Angka Harapan Hidup cukup tinggi, ini berlaku bagi lag 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun, artinya semakin tinggi PDRB per Kapita suatu daerah, maka Angka Harapan Hidup Semakin tinggi. Rata-rata Lama Sekolah, Angka Melek Huruf, PDRB per Kapita dan Angka Harapan Hidup berpengaruh cukup tinggi terhadap Indeks Pembangunan Manusia, ini berlaku pada lag 1 tahun, 2 tahun dan 3 tahun. Namun di antara semua variabel tersebut, Angka Melek Huruf dan Angka Harapan Hidup berpengaruh relatif lebih tinggi dariapada variabel lainnya. Hasil analisis jalur selengkapnya disajikan pada tabel dan gambar berikut.
Gambar 4.8 Analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap IPM lag 3 tahun Jika melihat pada Gambar 4.8, yaitu gambar hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekola terhadap indeks pembangunan manusia untuk lag 3 tahun yaitu anggaran pendidikan per kapita usia sekolah pada tahun 2009 terhadap indeks pembangunan manusia 2012. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa anggaran pendidikan per kapita usia sekolah berpengaruh lebih besar terhadap rata-rata lama sekolah (0,247) daripada pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap angka melek huruf (0,209). Untuk pengaruh rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf terhadap PDRB per kapita pada tahun yang sama (2012), rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap PDRB per kapita (0,342) dibandingkan pengaruh angka melek huruf terhadap PDRB per kapita (-0,114). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rata-rata lama sekolah seseorang, maka tingkat produktivitasnya semakin tinggi, sehingga memiliki pendapatan yang lebih tinggi.
42 Pengaruh PDRB per Kapita terhadap angka harapan hidup pada tahun yang sama (2012) adalah sebesar (0,319). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang semakin dapat meningkatkan angka harapan hidup. Untuk pengaruh rata-rata lama sekolah, angka melek huruf, PDRB per kapita dan angka harapan hidup terhadap indeks pembangunan manusia pada tahun yang sama (2012), angka harapan hidup memiliki pengaruh yang paling besar (0,550) dibandingkan dengan variabel-variabel lainnya. Tabel 4.7 Hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita terhadap IPM 3 tahun Jalur
Koef, Jalur (a)
Koef, Jalur (b)
Koef, Jalur (c)
Koef, Jalur (d)
AP 2009 → RLS 2012 → IPM 2012 AP 2009 → AMH 2012 → IPM 2012 AP 2009 → RLS 2012 → PDRB 2012 → IPM 2012 AP 2009 → AMH 2012 → PDRB 2012 → IPM 2012 AP 2009 → RLS 2012 → PDRB 2012 → AHH 2012 → IPM 2012 AP 2009 → AMH 2012 → PDRB 2012 → AHH 2012 → IPM 2012
0,2470 0,2090 0,2470 0,2090 0,2470 0,2090
0,1460 0,4730 0,3420 -‐ 0,3420 -‐
0,0800 0,0800 0,3190 0,3190
0,5490 0,5490
Pengaruh Anggaran Pendidikan 2009 terhadap IPM 2012
Pengaruh Langsung
Pengaruh Pengaruh Tak Total Langsung 0,0361 0,0989 0,0068 -‐ 0,0148 -‐
0,1565
0,1565
Tabel 4.7 menunjukkan besarnya nilai masing-masing koefisien dari variabel-variabel yang ada pada hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap indeks pembangunan manusia pada lag 3 tahun, yaitu anggaran pendidikan per kapita usia sekolah tahun 2009 terhadap indeks pembangunan manusia 2012. Pengaruh total adalah penjumlahan dari setiap pengaruh tak langsung setiap variabel terhadap indeks pembangunan manusia. Untuk lag 3 tahun, pengaruh totalnya sebesar 0,1565
43
Gambar 4.9 Analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap IPM lag 2 tahun Jika melihat pada Gambar 4.9, yaitu gambar hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekola terhadap indeks pembangunan manusia untuk lag 2 tahun yaitu anggaran pendidikan per kapita usia sekolah pada tahun 2010 terhadap indeks pembangunan manusia 2012. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa anggaran pendidikan per kapita usia sekolah berpengaruh lebih besar terhadap rata-rata lama sekolah (0,404) daripada pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap angka melek huruf (0,219). Untuk pengaruh rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf terhadap PDRB per kapita pada tahun yang sama (2012), rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap PDRB per kapita (0,342) dibandingkan pengaruh angka melek huruf terhadap PDRB per kapita (-0,114). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rata-rata lama sekolah seseorang, maka tingkat produktivitasnya semakin tinggi, sehingga memiliki pendapatan yang lebih tinggi. Pengaruh PDRB per Kapita terhadap angka harapan hidup pada tahun yang sama (2012) adalah sebesar (0,319). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang semakin dapat meningkatkan angka harapan hidup. Untuk pengaruh rata-rata lama sekolah, angka melek huruf, PDRB per kapita dan angka harapan hidup terhadap indeks pembangunan manusia pada tahun yang sama (2012), angka harapan hidup memiliki pengaruh yang paling besar (0,550) dibandingkan dengan variabel-variabel lainnya.
44 Tabel 4.8 Hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita terhadap IPM lag 2 tahun Koef, Jalur (a)
Koef, Jalur (b)
Koef, Jalur (c)
Koef, Jalur (d)
Pengaruh Langsung
AP 2010 → RLS 2012 → IPM 2012 AP 2010 → AMH 2012 → IPM 2012 AP 2010 → RLS 2012 → PDRB 2012 → IPM 2012 AP 2010 → AMH 2012 → PDRB 2012 → IPM 2012 AP 2010 → RLS 2012 → PDRB 2012 → AHH 2012 → IPM 2012 AP 2020 → AMH 2012 → PDRB 2012 → AHH 2012 → IPM 2012
0,4040 0,2190 0,4040 0,2190 0,4040 0,2190
0,1460 0,4730 0,3420 -‐ 0,3420 -‐
0,0800 0,0800 0,3190 0,3190
0,5490 0,5490
Pengaruh Anggaran Pendidikan 2010 terhadap IPM 2012
Jalur
Pengaruh Pengaruh Tak Total Langsung 0,0590 0,1036 0,0111 -‐ 0,0242 -‐
0,1978
0,1978
Tabel 4.8 menunjukkan besarnya nilai masing-masing koefisien dari variabel-variabel yang ada pada hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap indeks pembangunan manusia pada lag 2 tahun, yaitu anggaran pendidikan per kapita usia sekolah tahun 2010 terhadap indeks pembangunan manusia 2012. Pengaruh total adalah penjumlahan dari setiap pengaruh tak langsung setiap variabel terhadap indeks pembangunan manusia. Untuk lag 2 tahun, pengaruh totalnya sebesar 0,1978. Ini adalah pengaruh total yang paling tinggi dibandingkan pengaruh total pada lag 1 tahun dan lag 3 tahun.
Gambar 4.10
Analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap IPM lag 1 tahun
Jika melihat pada Gambar 4.10, yaitu gambar hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekola terhadap indeks pembangunan manusia untuk lag 1 tahun yaitu anggaran pendidikan per kapita usia sekolah pada tahun 2009 terhadap indeks pembangunan manusia 2012. Hasil analisis jalur
45 menunjukkan bahwa anggaran pendidikan per kapita usia sekolah berpengaruh lebih besar terhadap rata-rata lama sekolah (0,384) daripada pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap angka melek huruf (0,186). Untuk pengaruh rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf terhadap PDRB per kapita pada tahun yang sama (2012), rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap PDRB per kapita (0,342) dibandingkan pengaruh angka melek huruf terhadap PDRB per kapita (-0,114). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi rata-rata lama sekolah seseorang, maka tingkat produktivitasnya semakin tinggi, sehingga memiliki pendapatan yang lebih tinggi. Pengaruh PDRB per Kapita terhadap angka harapan hidup pada tahun yang sama (2012) adalah sebesar (0,319). Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang semakin dapat meningkatkan angka harapan hidup. Untuk pengaruh rata-rata lama sekolah, angka melek huruf, PDRB per kapita dan angka harapan hidup terhadap indeks pembangunan manusia pada tahun yang sama (2012), angka harapan hidup memiliki pengaruh yang paling besar (0,550) dibandingkan dengan variabel-variabel lainnya. Tabel 4.9 Hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita terhadap IPM lag 1 tahun Jalur
Koef, Jalur (a)
Koef, Jalur (b)
Koef, Jalur (c)
Koef, Jalur (d)
AP 2011 → RLS 2012 → IPM 2012 AP 2011 → AMH 2012 → IPM 2012 AP 2011 → RLS 2012 → PDRB 2012 → IPM 2012 AP 2011 → AMH 2012 → PDRB 2012 → IPM 2012 AP 2011 → RLS 2012 → PDRB 2012 → AHH 21012 → IPM 2012 AP 2011 → AMH 2012 → PDRB 2012 → AHH 21012 → IPM 2012
0,3840 0,1860 0,3840 0,1860 0,3840 0,1860
0,1460 0,4730 0,3420 -‐ 0,3420 -‐
0,0800 0,0800 0,3190 0,3190
0,5490 0,5490
Pengaruh Anggaran Pendidikan 2011 terhadap IPM 2012
Pengaruh Langsung
Pengaruh Pengaruh Tak Total Langsung 0,0561 0,0880 0,0105 -‐ 0,0230 -‐
0,1775
0,1775
Tabel 4.9 menunjukkan besarnya nilai masing-masing koefisien dari variabel-variabel yang ada pada hasil analisis jalur pengaruh anggaran pendidikan per kapita usia sekolah terhadap indeks pembangunan manusia pada lag 1 tahun, yaitu anggaran pendidikan per kapita usia sekolah tahun 2011 terhadap indeks pembangunan manusia 2012. Pengaruh total adalah penjumlahan dari setiap pengaruh tak langsung setiap variabel terhadap indeks pembangunan manusia. Untuk lag 2 tahun, pengaruh totalnya sebesar 0,1775.
5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Sebagian besar pemerintah provinsi telah mematuhi ketentuan proporsi anggaran pendidikan terhadap total anggaran seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen Pasal 31. Ada hubungan linear positif antara persentase kenaikan Anggaran Pendidikan per Kapita Usia Sekolah dan persentase kenaikan IPM. Artinya, semakin besar persentase kenaikan anggaran pendidikan, semakin tinggi persentase kenaikan IPM. Anggaran Pendidikan per Kapita Usia Sekolah (7 – 18
46 tahun) berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap IPM suatu daerah. Pengaruh terbesar anggaran pendidikan terhadap IPM terjadi pada 2 (dua) tahun setelah tahun anggaran (lag 2 tahun). Artinya, pengaruh anggaran pendidikan terhadap IPM akan dirasakan pengaruhnya 2 (dua) tahun kemudian. Anggaran Pendidikan per Kapita Usia Sekolah memiliki pengaruh langsung terhadap rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf. Walaupun demikian, pengaruh anggaran pendidikan lebih besar pada Rata-Rata Lama Sekolah dibanding terhadap Angka Melek Huruf. Rata-Rata Lama Sekolah berpengaruh terhadap PDRB per Kapita, namun tidak demikian halnya dengan angka melek huruf. Angka melek huruf tidak berpengaruh terhadap PDRB per Kapita. PDRB per Kapita memiliki pengaruh langsung yang cukup besar terhadap Angka Harapan Hidup. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan suatu darah, akan semakin tinggi pula Angka Harapan Hidup daerah tersebut. Saran Untuk meningkatkan IPM suatu daerah maka diperlukan peningkatan Anggaran Pendidikan yang digunakan pada program-program yang dapat meningkatkan Rata-Rata Lama Sekolah. Rata-Rata Lama Sekolah memiliki perngaruh yang cukup besar terhadap PDRB. Di sisi lain PDRB berpengaruh besar terhadap Angka Harapan Hidup. Dari ketiga komponen IPM, komponen indeks kesehatan yang diukur menggunakan Angka Harapan Hidup memiliki perngaruh lebih besar daripada 2 (dua) komponen lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Ahluwalia MS. 1976. Inequality, poverty and development. Journal of Development Economics 3:307-342. Akai N, Sakata M, Tanaka R. 2007. Fiskal Decentralization And Educational Performance. Institute of Business and Economic Research. Conference Paper Series No.C07-001, February 2007 Becker GS. 1962. Investment in human capital: a theoretical analysis. The Journal of Political Economy 70(5):9–49. _______..1975. Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. Ed ke-2. New York: NBER. Benhabib J, Spiegel M. 1994. The role of human capital in economic development: evidence from agregate cross-country data. Journal of Monetary Economics 34(2):143-173. Boissiere M. 2004. Determinants of Primary Education Outcomes in Developing Countries Background Paper for the Evaluation of the World Bank’s Support to Primary Education. The World Bank Operations Evaluation Department. Blau DM, Behr-man JR, Wolfe BL. 1988. Schooling and earnings distributions with endogenous labour force participation, marital status and family size. Economica 55(219):297-316. Blaug, Mark. 1971. The Economics of the Arts. Martin Robertson and Company. London.
47 Bruns B, A Mingat and R Ramahatra. 2003. Achieving Universal Primary Education by 2015: A Chance for every Child. World Bank Policy Study. Cohn, Elchanan. 1979. The Economics of Education. HarperCollins Publishers. New York. Cullis JG, West PA. 1979. The Economics of Health: An Introduction. Martin Robertson Press. Oxford. Faguet JP, Sanchez F. 2006. Decentralization's Effects on Educational Outcomes in Bolivia and Colombia. Working Paper London School of Economics and Political Science. Glewwe P. 2002. Schools and Skills in Developing Countries: Education Policies and Socioeconomic Outcomes. Journal of Economic Literature: 36-482. Grossman M. 1972. On The Concept of Health Capital and Demand for Health. Journal of Political Economic. Vol. 80. Guisan MC, Neira I. 2006. Direct and indirect effects of human capital on world development, 1960-2004. Applied Econometrics and International Development (AEID) 6(1):17–34. Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat. 2006. Buku Panduan Kongres Nasional Pembangunan Manusia. Jakarta. Klarman, Hebert JO, Prancis and Rosenthal GD. 1968. Cost Effectiveness Analysis Applied to the Treatment of Chronic Renal Desease. Medical Care. Li CC. 1975. Path Analysis: A Primer. Boxwood Press. California Lubis NL. (2009). Depresi Tinjauan Psikologis. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Lucas RE Jr. 1988. On the mechanics of economic development. Journal of Monetary Economics 22:3-42. Mahmudi. 2007. Manajemen Kinerja Sektor Publik. UPP STIM YKPN. Yogyakarta. Maile S. 2008. Policy coherence: meanings, concepts and frameworks. Di dalam: Maile S, editor. Education and Poverty Reduction Strategies: Issues of Policy Coherence. Colloquium Proceedings by The Policy Analysis Unit The Human Science Research Council (HSRC). Cape Town, 21–23 February 2007. South Africa: HSRC Press. hlm 1-18. Mills A, Gilson L. 1999. Ekonomi Kesehatan untuk Negara–Negara Berkembang diterjemahkan oleh Unit Analisis Kebijaksanaan dan Ekonomi Kesehatan (AKEK). Biro Perencanaan Depkes RI. Jakarta Musgrave, Richard A, Peggy M. 1989. Public Finance in Theory and Practice 5th ed. Mcgraw-Hill. New York. Oxaal Z. 1997. Education and poverty: a gender analysis. Report prepared for the Gender Equality Unit, Swedish International Development Cooperation Agency (Sida) 53. Brighton: BRIDGE. Pemprov NTB. 2014. Menatap Pertumbuhan IPM NTB. [diunduh: 2014 Juli 8. Tersedia pada: http://www.ntbprov.go.id/baca.php?berita=1426. Purwanto AD. 2010. Decentralization and Its Impact On Primary Education. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia 25 (1): 41-58 Romer PM. 1986. Increasing returns and long-run growth. The Journal of Political Economy 94(5):1002-1037. Samuelson. 1995. Ekonomi (Edisi Terjemahan). Penerbit Erlangga. Jakarta.
48 Schultz TW. 1960. Capital formation by education. The Journal of Political Economy 68(6):571–583. _______..1961. Investment in human capital. The American Economic Review 51(1):1–17. _______..1972. Human Capital: Policy Issues and Research Opportunities. Chicago: UMI. Sen AK. 1999. Development as Freedom. Ed ke-1. New York: Random House, Inc. Sukirno, 2006, Ekonomi Pembangunan, Proses, dan Dasar Kebijakan, Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Tilak JBG. 1989. Education and its relation to economic growth, poverty, and income distribution: past evidence and further analysis. World Bank Discussion Papers 46. Washington, DC: World Bank. Tjiptoherijanto. 1994. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan. Jakarta. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9. Penerbit Erlangga. Jakarta. Toyamah, Nina, Usman, Syaikhu. 2004. Laporan Lapangan. Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Implikasinya terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar : Lembaga Penelitian SMERU UNDP. 1990. Human Development Report. UNDP. New York. _______. United Nation Developement Programme. 2010. Graphical Statistical Methods for the Representation of the Human Development Index and its Components [UNESCO] United Nations on Educational, Scientific and Cultural Organization.1997. Adult Education in a Polarizing World. Paris: UNESCO. [UNESCO] United Nations on Educational, Scientific and Cultural Organization. 2007. Human Development Report. Paris: UNESCO. Weiss A. 1995. Human capital vs signalling: explanations of wages. The Journal of Economics Perspective 9(4):133-154. [WB] World Bank. 1980. World Development Report. World Bank. _______..2000. Attacking Poverty: Opportunity, Empowerment and Security. Washington DC: The World Bank. _______..2002. Source Book of Poverty Reduction Strategy: Macroeconomic & Sectoral Approaches. Washington DC: The World Bank. _______..2006. Poverty Reduction And Growth: Virtuous And Vicious Circles. Washington DC: The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. Wibowo ND. 2003. Masalah Pengentasan Kemiskinan di Indonesia: Pendekatan Hipotesis Kuznet. Buletin Pangsa. Edisi 10/IX.
49
LAMPIRAN
50 Lampiran 1 Hasil analisis jalur untuk lag 2 tahun Pengaruh Anggaran Pendidikan terhadap IPM untuk Lag = 2 Tahun
Koef. Jalur (a)
Koef. Jalur (b)
Koef. Jalur (c)
Koef. Jalur (d)
AP 2009 → RLS 2011 → IPM 2011 AP 2009 → AMH 2011 → IPM 2011 AP 2009 → RLS 2011 → PDRB 2011 → IPM 2011 AP 2009 → AMH 2011 → PDRB 2011 → IPM 2011 AP 2009 → RLS 2011 → PDRB 2011 → AHH 2011 → IPM 2011 AP 2009 → AMH 2011 → PDRB 2011 → AHH 2011 → IPM 2011
0,2520 0,2100 0,2520 0,2100 0,2520 0,2100
0,1450 0,4680 0,3780 -‐ 0,3780 -‐
0,0800 0,0800 0,3190 0,3190
0,5560 0,5560
0,0365 0,0983 0,0076 -‐ 0,0169 -‐
Pengaruh Anggaran Pendidikan 2009 terhadap IPM 2011
0,1593
0,1593
Jalur
Lampiran 2 Hasil analisis jalur untuk lag 1 tahun
Pengaruh Langsung
Pengaruh Tak Langsung
Pengaruh Total
51 Pengaruh Anggaran Pendidikan terhadap IPM untuk Lag = 1 Tahun
Koef. Jalur (a)
Koef. Jalur (b)
Koef. Jalur (c)
Koef. Jalur (d)
AP 2010 → RLS 2011 → IPM 2011 AP 2010 → AMH 2011 → IPM 2011 AP 2010 → RLS 2011 → PDRB 2011 → IPM 2011 AP 2010 → AMH 2011 → PDRB 2011 → IPM 2011 AP 2010 → RLS 2011 → PDRB 2011 → AHH 2011 → IPM 2011 AP 2010 → AMH 2011 → PDRB 2011 → AHH 2011 → IPM 2011
0.4040 0.2210 0.4040 0.2210 0.4040 0.2210
0.1450 0.4680 0.3780 -‐ 0.3780 -‐
0.0800 0.0800 0.3190 0.3190
0.5560 0.5560
Pengaruh Anggaran Pendidikan 2010 terhadap IPM 2011
Jalur
Pengaruh Langsung
Pengaruh Tak Langsung 0.0586 0.1034 0.0122 -‐ 0.0271 -‐
0.2013
Pengaruh Total 0.2013
52
Jalur
Koef. Jalur (a)
Koef. Jalur (b)
Koef. Jalur (c)
Koef. Jalur (d)
AP 2009 → RLS 2010 → IPM 2010 AP 2009 → AMH 2010 → IPM 2010 AP 2009 → RLS 2010 → PDRB 2010 → IPM 2010 AP 2009 → AMH 2010 → PDRB 2010 → IPM 2010 AP 2009 → RLS 2010 → PDRB 2010 → AHH 2010 → IPM 2010 AP 2009 → AMH 2010 → PDRB 2010 → AHH 2010 → IPM 2010
0,2180 0,2110 0,2180 0,2110 0,2180 0,2110
0,1170 0,4750 0,4110 -‐ 0,4110 -‐
0,0850 0,0850 0,3150 0,3150
0,5700 0,5700
Pengaruh Anggaran Pendidikan 2009 terhadap IPM 2010
Lampiran 3 Hasil output minitab analisis jalur Regression Analysis: AMH12 versus AP09 The regression equation is AMH12 = 0.209 AP09 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP09 0.2089 0.1729 S = 0.977933 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.3967 Residual Error 32 30.6033 Total 33 32.0000
T
P
1.21
0.236
MS 1.3967 0.9564
F 1.46
P 0.236
Regression Analysis: RLS12 versus AP09 The regression equation is RLS12 = 0.247 AP09 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP09 0.2470 0.1713 S = 0.969013
T
P
1.44
0.159
Pengaruh Langsung
Pengaruh Tak Langsung 0,0255 0,1002 0,0076 -‐ 0,0161 -‐
0,1494
Pengaruh Total 0,1494
53 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.9524 Residual Error 32 30.0476 Total 33 32.0000
MS 1.9524 0.9390
F 2.08
P 0.159
Regression Analysis: AHH12 versus PDRB12 The regression equation is AHH12 = 0.319 PDRB12 Predictor Coef SE Coef Noconstant PDRB12 0.3186 0.1676 S = 0.947880 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 3.2487 Residual Error 32 28.7513 Total 33 32.0000
T
P
1.90
0.066
MS 3.2487 0.8985
F 3.62
P 0.066
Regression Analysis: IPM12 versus RLS12; AMH12; PDRB12; AHH12 The regression equation is IPM12 = 0.147 RLS12 + 0.473 AMH12 + Predictor Coef SE Coef T Noconstant RLS12 0.14655 0.09198 1.59 AMH12 0.47334 0.08295 5.71 PDRB12 0.08002 0.06722 1.19 AHH12 0.54954 0.07323 7.50 S = 0.355802 Analysis of Variance Source DF SS MS Regression 4 28.3288 7.0822 Residual Error 29 3.6712 0.1266 Total 33 32.0000 Source DF Seq SS RLS12 1 17.0629 AMH12 1 3.0600 PDRB12 1 1.0759 AHH12 1 7.1300
0.0800 PDRB12 + 0.550 AHH12 P 0.122 0.000 0.244 0.000 F 55.94
P 0.000
Regression Analysis: IPM12 versus RLS12; AMH12; PDRB12; AHH12 The regression equation is IPM12 = 0.0000 + 0.147 RLS12 Predictor Coef SE Coef Constant 0.00000 0.06303 RLS12 0.14655 0.09361 AMH12 0.47334 0.08442 PDRB12 0.08002 0.06841 AHH12 0.54954 0.07452 S = 0.362099 R-Sq = 88.5% Analysis of Variance Source DF SS Regression 4 28.3288 Residual Error 28 3.6712 Total 32 32.0000 Source DF Seq SS RLS12 1 17.0629 AMH12 1 3.0600 PDRB12 1 1.0759 AHH12 1 7.1300
+ 0.473 AMH12 + 0.0800 PDRB12 + 0.550 AHH12 T P VIF 0.00 1.000 1.57 0.129 2.1 5.61 0.000 1.7 1.17 0.252 1.1 7.37 0.000 1.4 R-Sq(adj) = 86.9% MS 7.0822 0.1311
F 54.01
P 0.000
54
Regression Analysis: PDRB12 versus AMH12; RLS12 The regression equation is PDRB12 = - 0.114 AMH12 + 0.342 RLS12 Predictor Coef SE Coef T P Noconstant AMH12 -0.1142 0.2257 -0.51 0.616 RLS12 0.3424 0.2257 1.52 0.139 S = 0.974630 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 2 2.5530 1.2765 1.34 0.276 Residual Error 31 29.4470 0.9499 Total 33 32.0000 Source DF Seq SS AMH12 1 0.3659 RLS12 1 2.1871
Regression Analysis: AHH12 versus PDRB12 The regression equation is AHH12 = 0.319 PDRB12 Predictor Coef SE Coef Noconstant PDRB12 0.3186 0.1676 S = 0.947880 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 3.2487 Residual Error 32 28.7513
T
P
1.90
0.066
MS 3.2487 0.8985
F 3.62
P 0.066
Regression Analysis: RLS12 versus AP10 The regression equation is RLS12 = 0.404 AP10 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP10 0.4036 0.1617 S = 0.914934 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 5.2127 Residual Error 32 26.7873 Total 33 32.0000
T
P
2.50
0.018
MS 5.2127 0.8371
F 6.23
P 0.018
Regression Analysis: AMH12 versus AP10 The regression equation is AMH12 = 0.219 AP10 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP10 0.2193 0.1725 S = 0.975652 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.5393 Residual Error 32 30.4607 Total 33 32.0000
T
P
1.27
0.213
MS 1.5393 0.9519
F 1.62
P 0.213
55 Regression Analysis: RLS12 versus AP11 The regression equation is RLS12 = 0.384 AP11 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP11 0.3840 0.1632 S = 0.923350 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 4.7176 Residual Error 32 27.2824 Total 33 32.0000
T
P
2.35
0.025
MS 4.7176 0.8526
F 5.53
P 0.025
Regression Analysis: AMH12 versus AP11 The regression equation is AMH12 = 0.186 AP11 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP11 0.1855 0.1737 S = 0.982638 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.1015 Residual Error 32 30.8985 Total 33 32.0000
T
P
1.07
0.293
MS 1.1015 0.9656
F 1.14
P 0.293
Regression Analysis: IPM11 versus RLS11; AMH11; PDRB11; AHH11 The regression equation is IPM11 = 0.145 RLS11 + 0.468 AMH11 + Predictor Coef SE Coef T Noconstant RLS11 0.14512 0.09198 1.58 AMH11 0.46847 0.08083 5.80 PDRB11 0.07972 0.06511 1.22 AHH11 0.55609 0.07248 7.67 S = 0.343697 Analysis of Variance Source DF SS MS Regression 4 28.5743 7.1436 Residual Error 29 3.4257 0.1181 Total 33 32.0000 Source DF Seq SS RLS11 1 18.1177 AMH11 1 2.5744 PDRB11 1 0.9295 AHH11 1 6.9527
0.0797 PDRB11 + 0.556 AHH11 P 0.125 0.000 0.231 0.000 F 60.47
P 0.000
Regression Analysis: PDRB11 versus RLS11; AMH11 The regression equation is PDRB11 = 0.378 RLS11 - 0.142 AMH11 Predictor Coef SE Coef T Noconstant RLS11 0.3778 0.2246 1.68 AMH11 -0.1420 0.2246 -0.63 S = 0.967409 Analysis of Variance Source DF SS MS Regression 2 2.9877 1.4939 Residual Error 31 29.0123 0.9359
P 0.103 0.532 F 1.60
P 0.219
56 Total Source RLS11 AMH11
DF 1 1
33 Seq SS 2.6136 0.3741
32.0000
Regression Analysis: AHH11 versus PDRB11 The regression equation is AHH11 = 0.319 PDRB11 Predictor Coef SE Coef Noconstant PDRB11 0.3187 0.1676 S = 0.947851 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 3.2505 Residual Error 32 28.7495 Total 33 32.0000
T
P
1.90
0.066
MS 3.2505 0.8984
F 3.62
P 0.066
Regression Analysis: RLS11 versus AP09 The regression equation is RLS11 = 0.252 AP09 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP09 0.2522 0.1711 S = 0.967685 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 2.0348 Residual Error 32 29.9652 Total 33 32.0000
T
P
1.47
0.150
MS 2.0348 0.9364
F 2.17
P 0.150
Regression Analysis: AMH11 versus AP09 The regression equation is AMH11 = 0.210 AP09 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP09 0.2097 0.1728 S = 0.977767 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.4071 Residual Error 32 30.5929 Total 33 32.0000
T
P
1.21
0.234
MS 1.4071 0.9560
F 1.47
P 0.234
Regression Analysis: RLS11 versus AP10 The regression equation is RLS11 = 0.404 AP10 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP10 0.4038 0.1617 S = 0.914828 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 5.2189 Residual Error 32 26.7811 Total 33 32.0000
T
P
2.50
0.018
MS 5.2189 0.8369
F 6.24
P 0.018
57 Regression Analysis: AMH11 versus AP10 The regression equation is AMH11 = 0.221 AP10 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP10 0.2209 0.1724 S = 0.975291 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.5618 Residual Error 32 30.4382 Total 33 32.0000
T
P
1.28
0.209
MS 1.5618 0.9512
F 1.64
P 0.209
Regression Analysis: IPM10 versus RLS10; AMH10; PDRB10; AHH10 The regression equation is IPM10 = 0.117 RLS10 + 0.476 AMH10 + Predictor Coef SE Coef T Noconstant RLS10 0.11704 0.09136 1.28 AMH10 0.47552 0.07972 5.97 PDRB10 0.08478 0.06401 1.32 AHH10 0.57023 0.07118 8.01 S = 0.336439 Analysis of Variance Source DF SS MS Regression 4 28.7175 7.1794 Residual Error 29 3.2825 0.1132 Total 33 32.0000 Source DF Seq SS RLS10 1 17.9139 AMH10 1 2.6432 PDRB10 1 0.8962 AHH10 1 7.2643
0.0848 PDRB10 + 0.570 AHH10 P 0.210 0.000 0.196 0.000 F 63.43
P 0.000
Regression Analysis: RLS10 versus AP09 The regression equation is RLS10 = 0.218 AP09 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP09 0.2184 0.1725 S = 0.975860 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.5263 Residual Error 32 30.4737 Total 33 32.0000
T
P
1.27
0.215
MS 1.5263 0.9523
F 1.60
P 0.215
Regression Analysis: AMH10 versus AP09 The regression equation is AMH10 = 0.211 AP09 Predictor Coef SE Coef Noconstant AP09 0.2115 0.1728 S = 0.977379 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 1.4314 Residual Error 32 30.5686 Total 33 32.0000
T
P
1.22
0.230
MS 1.4314 0.9553
F 1.50
P 0.230
58
Regression Analysis: PDRB10 versus RLS10; AMH10 The regression equation is PDRB10 = 0.411 RLS10 - 0.164 AMH10 Predictor Coef SE Coef T Noconstant RLS10 0.4109 0.2242 1.83 AMH10 -0.1637 0.2242 -0.73 S = 0.959738 Analysis of Variance Source DF SS MS Regression 2 3.4460 1.7230 Residual Error 31 28.5540 0.9211 Total 33 32.0000 Source DF Seq SS RLS10 1 2.9554 AMH10 1 0.4906
P 0.077 0.471 F 1.87
P 0.171
Regression Analysis: AHH10 versus PDRB10 The regression equation is AHH10 = 0.315 PDRB10 Predictor Coef SE Coef Noconstant PDRB10 0.3149 0.1678 S = 0.949116 Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 3.1737 Residual Error 32 28.8263 Total 33 32.0000
T
P
1.88
0.070
MS 3.1737 0.9008
F 3.52
P 0.070
Regression Analysis: IPM10 versus RLS10; AMH10; PDRB10; AHH10 The regression equation is IPM10 = - 0.0000 + 0.117 RLS10 + 0.476 AMH10 + 0.0848 PDRB10 + 0.570 AHH10 Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -0.00000 0.05960 -0.00 1.000 RLS10 0.11704 0.09297 1.26 0.218 2.4 AMH10 0.47552 0.08113 5.86 0.000 1.8 PDRB10 0.08478 0.06514 1.30 0.204 1.2 AHH10 0.57023 0.07244 7.87 0.000 1.4 S = 0.342394 R-Sq = 89.7% R-Sq(adj) = 88.3% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 28.7175 7.1794 61.24 0.000 Residual Error 28 3.2825 0.1172 Total 32 32.0000 Source DF Seq SS RLS10 1 17.9139 AMH10 1 2.6432 PDRB10 1 0.8962 AHH10 1 7.2643
Regression Analysis: PDRB13 versus RLS11; AMH11 The regression equation is PDRB13 = 0.000 + 0.376 RLS11 - 0.142 AMH11 Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 0.0000 0.1713 0.00 1.000 RLS11 0.3765 0.2284 1.65 0.110 1.7
59 AMH11 -0.1424 0.2284 S = 0.983869 R-Sq = 9.3% Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 2.9601 Residual Error 30 29.0399 Total 32 32.0000 Source DF Seq SS RLS11 1 2.5839 AMH11 1 0.3762
-0.62 0.538 1.7 R-Sq(adj) = 3.2% MS 1.4800 0.9680
F 1.53
P 0.233
Regression Analysis: PDRB12 versus RLS11; AMH11 The regression equation is PDRB12 = 0.000 + 0.377 RLS11 Predictor Coef SE Coef Constant 0.0000 0.1712 RLS11 0.3772 0.2284 AMH11 -0.1421 0.2284 S = 0.983622 R-Sq = 9.3% Analysis of Variance Source DF SS Regression 2 2.9746 Residual Error 30 29.0254 Total 32 32.0000 Source DF Seq SS RLS11 1 2.6000 AMH11 1 0.3746
- 0.142 AMH11 T P VIF 0.00 1.000 1.65 0.109 1.7 -0.62 0.538 1.7 R-Sq(adj) = 3.2% MS 1.4873 0.9675
F 1.54
P 0.231
60 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 3 Maret 1986 sebagai anak ketiga dari pasangan Prof. Dr. Ir. H. Khairil Anwar Notodiputro, MS dan Hj. Sy. Lily Arlina. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis berprofesi sebagai wiraswasta dan peneliti dalam berbagai survei opini publik. Penulis pernah bekerja di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT). Selama mengikuti program S-2, penulis pernah menjadi Pengurus Forum Wacana Institut Pertanian Bogor, Komite Nasional Pemuda Indonesia Kabupaten Bogor dan Himpunan Mahasiswa Islam Badan Koordinasi Jabotabeka-Banten