ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG
Oleh : THESISIANA MAHARANI A14302058
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN THESISIANA MAHARANI. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Transmigran di Unit Permukiman Transmigrasi Propinsi Lampung. Dibawah bimbingan HERMANTO SIREGAR. Program transmigrasi merupakan salah satu cara Pemerintah untuk mengatasi masalah kependudukan di Indonesia terkait dengan besarnya jumlah dan persebaran penduduk yang tidak merata. Berdasarkan data BPS tahun 2004, jumlah penduduk Indonesia sebesar 217,9 juta jiwa dengan sekitar 59 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar tujuh persen dari luas daratan di Indonesia, menyebabkan kepadatan penduduk pulau tersebut tinggi yaitu 1.009 penduduk per kilometer persegi. Jika kepadatan penduduk di Pulau Jawa tidak segera diatasi maka akan menimbulkan dampak negatif, seperti kurangnya ketersediaan lapangan kerja yang ada di wilayah bersangkutan dan dapat menimbulkan masalah baru yaitu kemiskinan. Pada dasarnya tujuan penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan transmigran. Peningkatan kesejahteraan, dimaksudkan bahwa melalui perpindahan untuk bermukim menetap serta berusaha di daerah yang baru dengan dukungan fasilitas yang disiapkan melalui program transmigrasi diharapkan dapat mengubah tingkat kehidupannya kearah yang lebih baik daripada sebelum berpindah. Oleh karena itu, Pemerintah disini memiliki peranan dalam pembinaan sumberdaya transmigran, agar berkembang sejajar dengan penduduk wilayah asal dan dapat mandiri mengembangakan usaha dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan buatan, dalam rangka pemberdayaan sistem ekonomi kerakyatan. Sehingga dapat membuka lapangan kerja bagi transmigran maupun penduduk daerah asal. Tujuan Penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis tingkat pendapatan transmigran yang berada di UPT Propinsi Lampung selama tahun bina (2) mengidentifikasi tingkat kesejahteraan transmigran berdasarkan persepsi transmigran dan menurut indikator kesejahteraan (3) mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan pada rumahtangga transmigran di UPT Propinsi Lampung. Jenis transmigrasi UPT Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, Mesuji Atas SP.13, dan Legundi adalah transmigrasi umum dengan pola usaha masingmasing UPT yang berbeda. UPT Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 pola perkebunan, PirTrans; UPT Mesuji Atas SP.13 pola pangan, lahan basah pasang surut; sedangkan UPT Legundi pola pangan lahan kering. Karakteristik responden cukup bervariasi jika dilihat dari usia, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan. Tetapi, mayoritas responden dapat digolongkan berpendidikan rendah (hanya sampai tingkat SD). Pendapatan rata-rata transmigran di Propinsi Lampung pada tahap pengembangan (T+4) masih dibawah standar (< 3000 kg setara beras) yaitu UPT
Way Terusan SP.1 dengan tingkat pendapatan sebesar 2844,98 (kg setara beras) dan UPT Way Terusan SP.2 dengan tingkat pendapatan sebesar 2775,30 (kg setara beras). Bahkan UPT Mesuji Atas SP.13 memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan standar pada tahap pemantapan sebesar 2035,48 (kg setara beras). Sedangkan UPT Legundi yang masih dalam tahap pemantapan (T+3) memiliki tingkat pendapatan di atas standar (2400 kg beras) rata-rata sebesar 2621,09 (kg setara beras). Tingkat kesejahteraan rumahtangga transmigran berdasarkan persepsi transmigran dengan melihat empat indikator yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya masih relatif rendah hal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan tahun sebelumnya. Sedangkan, tingkat kesejahteraan rumahtangga berdasarkan KEP. 06/MEN/1999. Pada tahap pengembangan secara keseluruhan dari tiap UPT dengan indikator pendapatan KK/tahun, tingkat pelayanan, angka partisipasi pendidikan, angka melek huruf, dan prevalansi penyakit memiliki nilai yang masih jauh dibawah standar. Maka dapat dikatakan pada UPT dalam tahap pengembangan memiliki tingkat kesejahteraan rendah. Dapat dilihat tingkat pelayanan dari persentase anggota KUD yang terlayani, UPT dengan persentase dibawah standar (80 %) yaitu Way Terusan SP.1 (65,36 %) dan Mesuji Atas SP.13 (9,96 %). Persentase penduduk usia lebih dari 15 tahun yang mampu baca tulis memiliki nilai yang relatif rendah (standar 80 %) yaitu Way Terusan SP.1 (39,02 %), Way Terusan SP.2 (60,25 %), dan Mesuji Atas SP.13 (52,83 %). Secara keseluruhan pada tahap pemantapan untuk UPT Legundi berdasarkan indikator pendapatan, pendidikan, dan kesehatan sudah diatas standar yang telah ditetapkan, maka transmigran di UPT Legundi pada tahap pemantapan sudah sejahtera dan UPT ini mulai memasuki tahap pengembangan. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang kemiskinan rumahtangga transmigran pada tingkat α ≤ 20 persen antara lain jumlah anggota tenaga kerja, pengeluaran sekunder, investasi, Dummy tahun bina T+8, dan Dummy tahun bina T+6. Hasil pendugaan model logistik diperoleh nilai odds ratio masing-masing sebesar 3,66; 1,00; 1,00; 0,02; dan 0,00. Sedangkan faktorfaktor yang tidak berpengaruh nyata pada tingkat α ≥ 20 persen adalah jumlah tanggungan, pendidikan, pengeluaran kebutuhan dasar, dan tabungan. Berdasarkan analisis pendapatan dan tingkat kesejahteraan di UPT Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, dan Mesuji Atas SP.13 program transmigrasi dapat dikatakan belum berhasil. Sedangkan UPT Legundi yang memiliki pendapatan dan tingkat kesejahteraan di atas standar dapat dikatakan telah berhasil. Diperoleh juga bahwa semakin lama tahun bina terhadap UPT (T>5) di Propinsi Lampung memiliki kesejahteraan yang relatif rendah atau semakin miskin dibandingkan UPT dengan tahun bina yang lebih muda. Salah satu penyebab rendahnya pendapatan yang diperoleh transmigran adalah akses jalan yang rusak, oleh karena itu perlu adanya perhatian dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi jalan ke lokasi UPT dan program-program pembinaan pemerintah pada tahun awal, dalam pelaksanaannya harus terealisasi dengan baik.
ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Thesisiana Maharani A14302058
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul : ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG Nama : Thesisiana Maharani NRP
: A14302058
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, MEc NIP. 131.803.656
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr NIP. 130 422 698
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI TULISAN ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2006
Thesisiana Maharani A14302058
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Juli 1984. Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara pasangan Bapak Drs. Sugiarto dan Ibu Endang Widiastuti. Penulis mengawali pendidikan di TK Jami’at Kheir Tangerang pada tahun 1989 dan pada tahun 1990 melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di SD 05 Pagi Joglo Jakarta Barat. Setelah lulus pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 48 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dan menyelesaikannya pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis menempuh pendidikan di sekolah menengah atas di SLTA Negeri 47 Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Pada tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Transmigran di Unit Permukiman Transmigrasi Propinsi Lampung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi mulai dari awal hingga akhir. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki beberapa kekurangan dan kelemahan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Bogor, April 2006
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyelesaian skripsi ini telah melalui serangkaian proses dengan kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, Mec selaku dosen pembimbing skripsi atas segala perhatian, kesabaran, dan bimbingan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini.
2.
Ir. H. Nindyantoro, MSP selaku dosen penguji utama dan Ir. Murdianto, Msi selaku dosen penguji wakil departemen yang telah bersedia memberikan arahan demi kesempurnaan skripsi ini.
3.
Keluarga tercinta: Bapak, Ibu, Ade Ruri, dan Galih, atas cinta, doa dan dukungan yang tiada henti.
4.
Ibu Ria, Ibu Endang dan seluruh staf pegawai Depnakertrans yang telah membantu dalam penyusunan skripsi.
5.
Kepada teman-teman yang telah membantu: Tulus, Vininta, Fauzia, Dimas, Vivin, Sari, Titin, Bagdo, Yeni, Diah, Dohana, Mia dan teman-teman EPS 39 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR TABEL ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix xii xiii xiv
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ...................................................................
5
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................
7
1.4 Kegunaan Penelitian ..................................................................
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................
9
2.1 Transmigrasi ...............................................................................
9
2.1.1 Sejarah Perkembangan Transmigrasi ..................................
9
2.1.2 Definisi Transmigrasi .......................................................
11
2.1.3 Tahapan Pembinaan Transmigrasi .....................................
12
2.2 Program Transmigrasi Terkait dengan Kesejahteraan dan Tingkat Pendapatan Transmigran ..............................................
14
2.3 Kemitraan Usaha ........................................................................
15
2.4 Studi Terdahulu ..........................................................................
17
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN .........................................................
21
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .....................................................
21
3.1.1 Konsep dan Indikator Kesejahteraan ................................
21
3.1.2 Definisi dan Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan ...........
26
3.1.3 Analisis Regresi Logit .......................................................
30
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ..............................................
32
3.3 Hipotesis .....................................................................................
35
BAB IV METODE PENELITIAN ...............................................................
36
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................
36
4.2 Jenis dan Sumber Data ...............................................................
36
4.3 Teknik Penarikan Sampel ....................................................................
36
x
4.4 Metode Analisis .........................................................................
37
4.4.1 Metode Analisis Tingkat Pendapatan Transmigran .............
38
4.4.2 Metode Analisis Tingkat Kesejahteraan Transmigran ........
38
4.4.3 Model Peluang Kemiskinan RumahtanggaTransmigran .....
39
4.5 Definisi Operasional ......................................................................
41
BAB V GAMBARAN UMUM .................................................................
43
5.1 Lokasi Penelitian ......................................................................
43
5.1.1 Way Terusan SP.1 ......................................................................
43
5.1.1.1 Keadaan Wilayah Geografis .........................................
43
5.1.1.2 Kependudukan ...............................................................
44
5.1.1.3 Keadaan Perekonomian .................................................
45
5.1.1.4 Fasilitas Umum dan Kelembagaan ...............................
46
5.1.2 Way Terusan SP.2 ......................................................................
47
5.1.2.1 Keadaan Wilayah Geografis .........................................
47
5.1.2.2 Kependudukan ...............................................................
48
5.1.2.3 Keadaan Perekonomian .................................................
49
5.1.2.4 Fasilitas Umum dan Kelembagaan ...............................
50
5.1.3 Mesuji Atas SP.13 .......................................................................
51
5.1.3.1 Keadaan Wilayah Geografis .........................................
51
5.1.3.2 Kependudukan ...............................................................
51
5.1.3.3 Keadaan Perekonomian .................................................
52
5.1.3.4 Fasilitas Umum dan Kelembagaan ...............................
53
5.1.4 Legundi ........................................................................................
54
5.1.4.1 Keadaan Wilayah Geografis .........................................
54
5.1.4.2 Kependudukan ...............................................................
55
5.1.4.3 Keadaan Perekonomian .................................................
56
5.1.4.4 Fasilitas Umum dan Kelembagaan ...............................
57
5.2 Karakteristik Responden ..........................................................
58
5.2.1 Jenis Kelamin ..............................................................................
58
5.2.2 Tingkat Umur ..............................................................................
59
5.2.3 Tingkat Pendidikan .....................................................................
59
5.2.1 Jumlah Tanggungan ....................................................................
60
xi
BAB VI ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN ............................................................................ 61 6.1 Analisis Pendapatan Transmigran ...........................................
61
6.2 Analisis Kesejahteraan Transmigran .........................................
65
6.2.1 Persepsi Transmigran Terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga Transmigran .......................................................
65
6.2.2 Analisis Tingkat Kesejahteraan Transmigran Berdasarkan KEP. 06/MEN/1999 ...................................................................
69
6.2.3 Kemitraan Usaha di UPT Way Terusan SP.1 dan Sp.2 .....
72
6.3 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumahtangga Transmigran ................................................................
74
6.3.1 Faktor-Faktor yang Berpengaruh Nyata Terhadap Kemiskinan Rumahtangga Transmigran ..........................
76
6.3.1.1 Jumlah Anggota Tenaga Kerja ..............................
76
6.3.1.2 Pengeluaran Kebutuhan Sekunder ........................
77
6.3.1.3 Investasi ................................................................
78
6.3.1.4 Lamanya Tahun Bina (T+8) ..................................
79
6.3.1.5 Lamanya Tahun Bina (T+6) ..................................
79
6.3.2 Faktor-Faktor yang Tidak Berpengaruh Nyata Terhadap Kemiskinan Rumahtangga Transmigran ..........................
80
6.3.2.1 Jumlah Tanggungan ..............................................
80
6.3.2.2 Pendidikan .............................................................
80
6.3.2.3 Pengeluaran Kebutuhan Dasar ..............................
81
6.3.2.4 Tabungan ...............................................................
81
BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .............
83
7.1 Kesimpulan ...............................................................................
83
7.2 Implikasi Kebijakan .............................................................................
84
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
86
LAMPIRAN ...................................................................................................
89
xii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman Teks
1.
Distribusi Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk menurut Propinsi Tahun 1999-2004 .....................................
2
Struktur Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Way Terusan SP.1 Tahun 2004 ......................................................................
44
Potensi Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura di Way Terusan SP.1 Tahun 2004 ......................................................................
45
4.
Fasilitas Umum di Way Terusan SP.1 Tahun 2004 ...............................
46
5.
Struktur Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Way Terusan SP.2 Tahun 2004 ......................................................................
48
Potensi Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura di Way Terusan SP.2 Tahun 2004 ......................................................................
49
7.
Fasilitas Umum di Way Terusan SP.1 Tahun 2004 ................................
50
8.
Struktur Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Mesuji Atas SP.13 Tahun 2004 ..........................................................................
52
Potensi Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura di Mesuji Atas SP.13 Tahun 2004 ..........................................................................
53
10.
Fasilitas Umum di Mesuji Atas SP.13 Tahun 2004 ...............................
54
11.
Struktur Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di Legundi Tahun 2004 ............................................................................................
55
Potensi Usaha Tanaman Pangan dan Hortikultura di Legundi Tahun 2004 ............................................................................................
56
13.
Fasilitas Umum di Legundi Tahun 2004 ................................................
57
14.
Pengeluaran Rumahtangga Transmigran (Rp/tahun) dan Pendapatan Rata-rata (kg setara beras) ......................................................................
62
15.
Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran dibidang Ekonomi .....
65
16.
Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran dibidang Kesehatan ....
67
17.
Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran dibidang Pendidikan .
68
18.
Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran dibidang Sosial Budaya ...................................................................................................
69
Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan KEP. 06/MEN/1999 .....................
70
2. 3.
6.
9.
12.
19.
xiii
20.
Hasil Dugaan Model Regresi Logistik Faktor-Faktor yang Mempngaruhi Kemiskinan Rumahtangga Transmigran di UPT Propinsi Lampung .... 75
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman Teks
1.
Transformasi Distribusi Kurva Bentuk S.menjadi Distribusi Linier .....
28
2.
Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ...............................................
31
3.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Transmigran ......
55
4.
Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Umur Transmigran ...
56
5.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Transmigran ...........................................................................................
57
Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Transmigran ...........................................................................................
57
Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Way Terusan SP.1 Tahun 2004 ............................................................................................
60
Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Way Terusan SP.2 Tahun 2004 ............................................................................................
60
Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Mesuji Atas SP.13 Tahun 2004 ............................................................................................
61
10.
Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Legundi Tahun 2004 ............
61
11.
Pola Kemitraan Usaha Transmigrasi UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2 .................................................................................................
70
6. 7. 8. 9.
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Peta Lokasi UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2 ......................................
84
2.
Peta Lokasi UPT Mesuji Atas SP.13 .....................................................
85
3.
Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Way Terusan SP.1 ..........
86
4.
Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Way Terusan SP.2 ..........
87
5.
Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Mesuji Atas SP.13 ..........
88
6.
Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Legundi ..........................
89
7.
Perhitungan Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan KEP. 06/MEN/1999 ...............................................................................
90
8.
Data Analisis Peluang Kemiskinan Rumahtangga Transmigran ...........
93
9.
Hasil Logit Peluang Kemiskinan Rumahtangga Transmigran ...............
96
10.
Dokumentasi Penelitian ..........................................................................
97
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada era pembangunan saat ini, masih dirasakan ketimpangan dalam pemerataan pelaksanaan dan hasil pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah masalah kependudukan. Masalah tersebut terutama berkaitan dengan besarnya jumlah dan persebaran penduduk yang tidak merata. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi modal pembangunan bila kualitasnya baik, namun sebaliknya dapat menjadi beban pembangunan bila kualitasnya rendah. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2004 sebesar 217,9 juta jiwa yang tidak diimbangi dengan pemerataan penyebarannya. Sebagian besar penduduk masih terpusat di Pulau Jawa. Data tahun 2000-2004 menunjukkan sekitar 59,09 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya sekitar tujuh persen dari luas daratan Indonesia. Besarnya jumlah penduduk di Pulau Jawa menyebabkan kepadatan penduduk pulau tersebut menjadi sangat tinggi yaitu 951 penduduk per kilometer persegi tahun 2000 dan 1.009 penduduk per kilometer persegi tahun 2004, seperti terlihat pada Tabel 1. Berbeda halnya dengan Pulau Maluku dan Papua yang memiliki luas sekitar 24 persen dari luas total Indonesia hanya dihuni sekitar 2,13 persen penduduk.
2
Tabel 1. Distribusi Persentase Penduduk menurut Propinsi, 1990-2004 Propinsi
dan
Persentase penduduk 1990
(1)
2000
2004
Sumatera
(2) 20,35
(3) 21,00
(4) 20,82
Jawa
59,99
58,83
Tenggara
5,67
Kalimantan
Kepadatan
Penduduk
Kepadatan penduduk per km2 1990
2000
2004
(5)
(6)
(7)
76
90
94
59,09
843
951
1009
5,39
5,34
139
152
159
5,07
5,49
5,46
16
20
21
Sulawesi
6,98
7,25
7,16
65
78
81
Maluku dan Papua
1,94
2,04
2,13
8
9
10
Indonesia 100,00 100,00 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2004.
100,00
95
109
115
Bali
dan
Nusa
Jika kepadatan penduduk di Pulau Jawa tidak segera diatasi maka dalam jangka pendek akan menimbulkan dampak negatif, karena jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja di Pulau Jawa sudah melebihi ketersediaan lapangan kerja yang ada di wilayah bersangkutan. Kekurangan lapangan kerja produktif pada wilayah yang memiliki kelebihan penduduk tersebut akan memanifestasikan dirinya dalam berbagai wajah, salah satunya adalah dalam bentuk kemiskinan. Masalah kemiskinan sudah ada sejak zaman Indonesia belum merdeka, berbagai cara dan upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia namun, sampai saat ini permasalahan kemiskinan belum juga terselesaikan. Masalah kemiskinan identik dengan keterbatasan dalam pemilihan dan penguasaan sumberdaya fisik dan non fisik, dengan perkataan lain kemiskinan dicirikan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan (Mangkuprawira, 1993). Sementara itu daerah-daerah yang jumlah penduduknya sedikit tidak dapat mencukupi kebutuhan tenaga pembangunan di daerahnya. Penduduk miskin pada tahun 2004 secara absolut terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Bali, yaitu lebih dari
3
setengah penduduk miskin Indonesia atau 20,71 juta jiwa. Sisanya tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau lainnya antara 1,30 – 7,88 juta jiwa (Badan Pusat Statistik, 2004). Pemerintah telah melaksanakan berbagai usaha dalam rangka memecahkan masalah
kependudukan.
Usaha-usaha
yang
mengarah
pada
pemerataan
penyebaran penduduk telah dilakukan dengan cara memindahkan penduduk Pulau Jawa melalui program transmigrasi. Penduduk miskin dan desa-desa miskin di Jawa yang telah mengalami involusi (berdesakan, berebutan) dipindahkan dan dilonggarkan ke desa-desa yang jumlah penduduknya tidak mencapai skala ekonomis yang disyaratkan untuk berkembangnya ekonomi pedesaaan dan meningkatnya kesejahteraan penduduk. Oleh karena itu, proses mengurangi kepadatan penduduk di desa-desa Jawa dan sekaligus menambah jumlah tenaga kerja di luar Jawa merupakan suatu usaha mengentaskan kemiskinan yang efektif. Program ini dikenal dengan nama Transabangdep (Transmigrasi Swakarsa Pengembangan Desa Potensial), yaitu menambah penduduk di desa yang kurang berkembang karena kekurangan sumberdaya manusia (Yudohusodo, 1993). Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
1997
tentang
Ketransmigrasian dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi bahwa transmigrasi merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigrasi
dan
masyarakat
sekitarnya,
peningkatan
dan
pemerataan
pembangunan daerah serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Disamping itu, penyelenggaraan transmigrasi juga bertujuan untuk peningkatan
4
pendapatan masyarakat berjalan seiring dengan upaya penataan persebaran penduduk yang selaras, serasi, dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan serta sebagai wahana integrasi akulturasi budaya nasional. Peningkatan
kesejahteraan
dimaksudkan
bahwa
dengan
melalui
perpindahan untuk bermukim menetap serta berusaha di daerah yang baru dengan dukungan fasilitas yang disiapkan melalui program transmigrasi diharapkan akan dapat mengubah tingkat kehidupannya ke arah yang lebih baik daripada sebelum berpindah. Perpindahan ini menyebabkan penyebaran penduduk sebagai upaya pemerataan penduduk pada daerah yang masih kurang penduduknya dan menjadi tenaga kerja mengisi pembangunan di daerah yang baru dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia di lokasi transmigrasi. Pembangunan transmigrasi sampai dengan saat ini, telah dirasakan manfaatnya bagi masyarakat transmigrasi, masyarakat sekitar dan Pemerintah Daerah setempat tentunya, seperti terbentuknya desa atau Kecamatan dan Pusat Pemerintahan baru yang mendapatkan dukungan dari transmigrasi. Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi Pusat Pemerintahan pada posisi Juli 2004 sebanyak 1.149 UPT, membentuk 235 Kecamatan dan 56 Kabupaten. Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) yang telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah pada posisi Juli 2004 berjumlah 2.936 UPT atau 1.204.756 KK. Sedangkan Unit Permukiman Transmigrasi yang masih dalam pembinaan (UPT Bina) pada posisi Juni 2004 berjumlah 369 UPT atau 89.055 KK (Pusdatintrans, 2004). Kontribusi yang lain adalah tersedianya berbagai prasarana fisik (infrastruktur) seperti jalan, jembatan permanen dan non permanen, gorong-gorong, lahan usaha pertanian, dan berbagai
5
sarana lainnya seperti rumah sederhana, sekolah dasar, puskesmas pembantu serta sarana kelembagaan sosial ekonomi seperti koperasi.
1.2 Perumusan Masalah Program transmigrasi selama ini terkesan hanya dipandang sebelah mata, dalam peranannya sebagai wahana pemberdayaan perekonomian rakyat dan dampaknya terhadap wilayah. Pada kenyataannya jika melihat kontribusi transmigrasi yang begitu besar dalam pembangunan daerah, harus diakui bahwa keberadaan transmigrasi sampai saat ini, masih relevan dan diperlukan perencanaan yang matang serta pelaksanaan yang serius dan benar sebagai hal pokok yang harus dikedepankan. Pada dasarnya tujuan penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan transmigran, sehingga dapat mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian, taraf hidup masyarakat di daerah penempatan harus lebih baik daripada di daerah asal. Dalam rangka peningkatan kualitas hidup transmigran, upaya pembinaan daerah transmigrasi diarahkan pada pembinaan ekonomi yang semakin meningkat dan intensif sejak awal penempatan transmigran di lokasi. Titik penekanan pembinaan masyarakat transmigrasi adalah pada kegiatan ekonomi dan sosial budaya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui pusat pertumbuhan atau kawasan ekonomi yang mampu memberi kontribusi bagi pembangunan wilayah. Pembangunan transmigrasi adalah salah satu upaya pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas, sehingga pemerintah disini memiliki peranan dalam pembinaan sumberdaya manusia transmigran. Tujuannya agar
6
transmigran saat diserahkan kepada pemerintah daerah setempat yaitu setelah tahun pembinaan T+5, dapat berkembang sejajar dengan penduduk wilayah asal dan transmigran dapat mandiri mengembangkan usaha dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan buatan, dalam rangka pemberdayaan sistem ekonomi kerakyatan. Disini dapat terlihat, bahwa program transmigrasi memiliki peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan penyerapan tenaga kerja di daerah transmigrasi. Dengan demikian dapat membuka lapangan kerja bagi transmigran maupun penduduk daerah asal yang diharapkan dapat mengatasi kemiskinan di Indonesia. Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sedangkan meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan menurunnya pendapatan penduduk. Dengan demikian jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Propinsi Lampung meliputi areal daratan seluas 35.288,35 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sebanyak 6,853 juta jiwa dan rata-rata kepadatan penduduk per Kabupaten atau Kota di Propinsi Lampung 189 per kilometer persegi (Badan Pusat Statistik, 2004). Berdasarkan data di atas maka Propinsi Lampung merupakan daerah yang tergolong jarang penduduk. Oleh karena itu, Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah di luar Pulau Jawa yang menjadi daerah tujuan transmigrasi. Daerah ini memiliki empat Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) yang masih dalam tahun pembinaan Pemerintah diantaranya Way Terusan SP.1 (Lampung Tengah) dengan 459 kepala keluarga, Way Terusan SP.2 (Lampung Tengah) dengan 450 kepala keluarga, Mesuji Atas SP.13 (Tulang Bawang) dengan 482 kepala keluarga, dan Legundi (Lampung Selatan) dengan
7
202 kepala keluarga. Namun hingga tahun 2004 untuk tiga UPT dengan tahun bina lebih dari T+5 belum juga diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana tingkat pendapatan transmigran yang berada di UPT Propinsi Lampung selama tahun bina?
2.
Bagaimanakah tingkat kesejahteraan transmigran berdasarkan persepsi transmigran dan menurut indikator kesejahteraan?
3.
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan pada rumahtangga transmigran di UPT Propinsi Lampung?
1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis tingkat pendapatan transmigran yang berada di UPT Propinsi Lampung selama tahun bina. 2. Mengidentifikasi tingkat kesejahteraan transmigran berdasarkan persepsi transmigran dan menurut indikator kesejahteraan. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan pada rumahtangga transmigran di UPT Propinsi Lampung.
1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah sebagai dasar kebijaksanaan Pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilihat dari tingkat pendapatan dan sebagai desain program dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan, khususnya masyarakat yang hidup di Unit Permukiman Transmigrasi
8
(UPT). Selain itu penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya dan sebagai sarana untuk menerapkan teori-teori yang diperoleh diperkuliahan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Transmigrasi 2.1.1 Sejarah Perkembangan Transmigrasi Program transmigrasi di Indonesia, sebenarnya sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Namun, pada saat itu program ini diberi nama Kolonisasi (pemindahan penduduk). Program yang disebut kolonisasi itu merupakan bagian dari ”Politik Balas Budi” (etische politic) yang sudah dibicarakan dikalangan penguasa penjajah sejak akhir abad ke-19, tetapi baru dilaksanakan untuk pertama kalinya pada tahun 1905. Kemudian, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945,
menyelenggarakan
Pemerintah
Republik
pemindahan
Indonesia
penduduk
secara
memandang
perlu
terencana.
Istilah
”Transmigrasi” itu sendiri secara resmi baru digunakan pada awal tahun 1946 oleh
Pemerintah
Republik
Indonesia,
yaitu
ketika
kebijakan
tentang
pengembangan industrialisasi di pulau-pulau seberang atau luar Jawa dirumuskan dalam satu Konferensi Ekonomi di Kota Yogyakarta. Wakil Presiden Mohammad Hatta, dalam pidato di depan Konferensi pada 3 Februari 1946, antara lain menyebutkan bahwa industrialisasi besar-besaran harus mulai dibangun di luar Pulau Jawa, dan untuk itu diperlukan pemindahan penduduk Jawa sebagai tenaga kerjanya. Persoalan terhadap tingkat kepadatan penduduk di Pulau Jawa bukanlah hal baru, tetapi telah menjadi perhatian sejak masa pemerintahan kolonial di Indonesia. Thomas Raffles sebagai penguasa Inggris di Jawa (1814) telah mengemukakan tentang gejala kelebihan penduduk di Pulau Jawa dibandingkan
10
dengan daerah-daerah lain seperti Sumatera dan Kalimantan. Faktor- faktor yang mendorong pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa diantaranya adalah tanah yang subur, perkawinan usia muda, poligami, daerah pertanian yang subur, usia lanjut (usia hidup yang tinggi), dan menyukai perdamaian dari pada permusuhan yang dapat menciptakan perang. Usaha-usaha untuk memindahkan penduduk. dari daerah padat penduduk (Pulau Jawa) melalui kebijakan transmigrasi dimulai pada tahun 1905. Peristiwa pengiriman pertama sebanyak 155 keluarga petani dari Kedu yang dipindahkan ke desa baru yang didirikan dekat Gedong Tataan, sebelah selatan dari Way Sekampung di Lampung Selatan. Kotrolir Heyting, pengambil inisiatif rencana itu, beranggapan bahwa rencana-rencana migrasi akan berhasil bila di Sumatera diciptakan suasana yang sama seperti di Jawa. Oleh karena itu maka dalam program transmigrasi sering didengar istilah ”Bedol Desa” dimana semua hal yang berkaitan dengan desa asal dibawa serta, apakah yang berkaitan nama-nama tempat, adat istiadat, dan lain sebagainya. Sehingga warga transmigran merasa betah karena suasana keseharian tidak berbeda dengan desa asal. Pada
masa
kemerdekaan
keputusan
untuk
melanjutkan
program
transmigrasi dilanjutkan. Pada akhir tahun 1950 tepatnya tanggal 12 Desember 1950 dimulailah pemberangkatan tranmigrasi pertama kali yang berjumlah 23 KK atau 77 jiwa dari Propinsi Jawa Tengah menuju Lampung. Program ini yang dikembangkan dalam berbagai jenis dan pola. Oleh karena itu, tanggal 12 Desember diperingati setiap tahun sebagai hari jadi transmigrasi. Akan tetapi dalam pelaksanaannya dilakakukan dengan memperbaiki beberapa hal seperti
11
memperluas jatah tanah garapan, menambah bekal untuk transmigran untuk mengatasi kesulitan dalam masa setelah penempatan di daerah yang baru. 2.1.2
Definisi Transmigrasi Transmigrasi, berasal dari bahasa Latin, transmigratus yang diambil oleh
bahasa Inggris menjadi transmigration, dari akar kata migrate bermakna berpindah tempat (Ramadhan, 1993). Transmigrasi adalah salah satu bentuk realokasi sumberdaya manusia sebagai suatu mekanisme penyeimbang yang akan memindahkan modal manusia dari suatu tempat yang relatif dapat dimanfaatkan (Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal, 2005). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuanketentuan Pokok Transmigrasi, ditetapkan bahwa transmigrasi adalah pemindahan dan atau kepindahan penduduk dari satu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan Pembangunan Negara atau atas alasan-alasan yang dipandang perlu oleh Pemerintah berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Sedangkan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di wilayah pengembangan transmigrasi atau lokasi permukiman transmigrasi. Transmigrasi menurut jenisnya dibagi menjadi tiga yaitu: 1.
Transmigrasi Umum (TU) adalah jenis transmigrasi yang sepenuhnya diselenggarakan oleh Pemerintah, yang transmigrannya rnendapat bantuan dan bila perlu mendapat subsidi dari Pemerintah.
12
2.
Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) adalah jenis transmigrasi yang dirancang oleh Pemerintah bekerjasama dengan Badan Usaha sebagai mitra usaha transmigran, sedangkan Pemerintah membantu dalam batas tertentu untuk mendukung agar kemitrausahaannya menjadi layak.
3.
Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) adalah jenis transmigrasi yang sepenuhnya merupakan prakarsa transmigran yang dilakukan baik melalui
kerjasama
dengan
Badan
Usaha
maupun
sepenuhnya
dikembangkan transmigran atas arahan Pemerintah. Transmigrasi
memegang
peranan
penting
untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Transmigrasi selain mengurangi kepadatan penduduk di daerah-daerah tertentu juga memperluas landasan bagi kegiatan-kegiatan pembangunan sektor-sektor lain. Dengan demikian, transmigrasi menunjang usaha-usaha perluasan kesempatan kerja, pemerataan pembagian pendapatan dan pemerataan penyebaran pembangunan. 2.1.3
Tahapan Pembinaan Transmigrasi Menurut KEP 06/MEN/1999, secara umum terdapat beberapa tahapan
pembinaan masyarakat transmigrasi dan pembinaan lingkungan permukiman transmigrasi pada Transmigrasi Umum (TU) dan Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB) dilakukan melalui tahap penyesuaian, tahap pemantapan dan tahap pengembangan dengan jangka waktu yang berbeda dan berlaku spesifik pada setiap pola kegiatan usaha pokok transmigrasi, yaitu: 1.
Tahap Penyesuaian (T+2) Tahap ini merupakan tahap adaptasi terhadap lingkungan, dalam arti penyesuaian terhadap jenis dan manajemen usahatani, lingkungan alam,
13
musim, lingkungan masyarakat dan sebagainya. Sasaran yang ingin dicapai adalah transmigran mampu menguasai kegiatan produksi yang telah dipilih/ditetapkan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Pada akhirnya tercapai kondisi kehidupan transmigrasi yang memiliki kepercayaan
diri
terhadap
kehidupan
barunya dan
mantap
dalam
melaksanakan kegiatan usaha yang memungkinkan untuk berkembang lebih lanjut. Tahap ini berlangsung selama satu setengah tahun. 2.
Tahap Pemantapan (T+3) Pada tahap ini, bertujuan untuk peningkatan kemampuan dan pemenuhan kebutuhan hidup transmigran. Transmigran harus telah berkembang kemampuannya, sehingga seluruh aset produksi dapat dikelola sepenuhnya. Kemandirian transmigran dalam proses produksi dan usaha juga telah terbentuk, yang berarti tingkat partisipasi transmigran dalam melaksanakan kegiatan usahanya telah dilakukan secara optimal. Tahap ini berlangsung selama satu setengah tahun sampai dengan dua tahun.
3.
Tahap Pengembangan (T+4) Pada tahap pengembangan, diupayakan agar transmigran dapat melakukan pengembangan
usaha
produktif
secara
mandiri.
Transmigran
telah
melakukan intensifikasi atau diversifikasi kegiatan usaha. Sehingga diakhir tahap ini, tingkat kehidupan mandiri tercapai, dimana transmigran mampu mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya dalam bentuk partisipasi aktif. Tahap ini berlangsung kurang lebih selama dua tahun.
14
2.2 Program Transmigrasi terkait dengan Kesejahteraan dan Tingkat Pendapatan Transmigran Transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, secara bertahap melalui fasilitas pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, paket teknologi, pembinaan sosial budaya dan ekonomi, serta kelembagaan yang diarahkan untuk peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan. Oleh karena itu, perkembangan kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan baru yang tersebar diberbagai daerah dapat diartikan sebagai bagian dari pemerataan pembangunan, dan dalam kurun waktu panjang akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dan berkelanjutan (Puguh, 2002). Penyelenggaraan transmigrasi pada dasarnya merupakan pembangunan wilayah dalam rangka peningkatan taraf hidup serta pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa melalui program terpadu dan lintas sektoral. Atau secara umum tujuan transmigrasi adalah untuk
memindahkan
dan
menyebarkan
penduduk,
selanjutnya
dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para transmigran, juga nantinya lokasi transmigrasi menjadi Pusat Pembangunan Wilayah. Tingkat pendapatan transmigran merupakan salah satu indikator kesejahteraan ekonomi yang digunakan untuk mengetahui jumlah masyarakat transmigran yang berada di bawah garis kemiskinan, dengan cara membandingkan pendapatan rata-rata transmigran dengan suatu standart garis kemiskinan.1 Namun, pada kenyataannya dimensi kesejahteraan lebih luas dari sekedar tingkat pendapatan. Pendapatan hanya mengukur nilai barang dan jasa yang dihasilkan keluarga transmigran setelah dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan. Sedangkan 1
www.nakertrans.go.id. 20/10/2005
15
dalam tingkat kesejahteraan termasuk didalamnya ukuran kebetahan, keamanan, pendidikan, kesehatan, partisipasi masyarakat, integrasi sosial maupun keaktifan dan pelayanan lembaga sosial. Untuk menilai tingkat kesejahteraan transmigran perlu memperhitungkan aspek ekonomi maupun sosial budaya agar diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai keberhasilan transmigran. Analisis tingkat kesejahteraan transmigran dilaksanakan secara periodik untuk mengetahui tingkat kesejahteraan transmigran secara ekonomi maupun sosial dan sekaligus sebagai hasil dari pelaksanaan kebijakan, program dan proyek yang diselenggarakan dari tahun ke tahun. Disamping itu juga dilakukan perbandingan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dengan menggunakan tolok ukur garis kemiskinan nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga dapat diketahui sejauh mana tingkat kesejahteraan transmigran telah mencapai sasarannya. Informasi kesejahteraan transmigran akan memperlihatkan UPT-UPT yang transmigrannya kurang sejahtera dibandingkan dengan sasaran yang harus dicapai pada tahun bina tertentu, sekaligus dapat dipergunakan untuk membandingkan keberhasilan antar UPT maupun dengan system nasional.2
2.3
Kemitraan Usaha Kemitraan usaha merupakan salah satu program transmigrasi yang
dilaksanakan Pemerintah dalam rangka untuk memperluas kesempatan kerja masyarakat transmigran sehingga diharapkan nantinya akan meningkatkan pendapatan dan untuk pemberdayaan masyarakat di daerah transmigrasi yang melibatkan semua unsur stakeholders melalui kemitraan usaha antara swasta
2
www.nakertrans.go.id. 20/10/2005
16
dengan
masyarakat
transmigran
dan
penduduk
(asli)
disekitarnya
(Puspitasari, 2003). Kemitraan merupakan salah satu aspek dalam pertumbuhan iklim usaha untuk pengembangan usaha kecil dan menengah melalui pemberdayaan dalam rangka memperoleh peningkatan pendapatan dan kemampuan usaha serta peningkatan daya saing dari usaha kecil dan menengah atau usaha besar. Pemberdayaan tersebut disertai perbaikan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Dengan demikian pola kemitraaan merupakan suatu tindakan dan hubungan bisnis untuk membesarkan usaha kecil secara rasional. Dalam tindakan dan hubungan bisnis tersebut, usaha menengah atau usaha besar tetap diberikan kesempatan yang luas untuk tetap menjalankan tujuan usahanya dalam memperoleh keuntungan yang berkelanjutan sehingga kemitraan itu bukanlah merupakan bentuk pendermaan usaha menengah atau usaha besar kepada usaha kecil. 3 Pada pelaksanaan kerjasama kemitraan terdapat berbagai bentuk yang dapat diterapkan. Dilihat dari perkembangannya kemitraan agribisnis memiliki tiga pola (Soepeno, 1996 dalam Kurnia, 2003) yaitu: 1.
Pola kemitraan tradisional Kemitraan agribisnis tradisional memiliki pola patron-client dimana patron adalah pemilik modal atau peralatan produksi strategis dan client adalah petani penggarap, peternak atau nelayan pekerja. Pola kemitraan agribisnis yang berkembang lebih bersifat horizontal, yang bergerak dibidang produksi
3
www.nakertrans.go.id. 17/05/2006
17
atau usahatani, sedangkan kemitraan yang lebih bersifat vertikal, pada umumnya diwarnai oleh hubungan hutang antara pedagang dan petani produsen. Interpendensi antara patron dan client sangat asimetris dan sering secara terselubung terjadi eksploitasi secara berkelanjutan. Pola ini menghambat kreativitas para pelakunya karena ada ketergantungan yang sangat tinggi, sehingga kurang merangsang tumbuhnya semangat mandiri. 2.
Pola kemitraan pemerintah Pada pola ini, pengembangan kemitraan lebih condong ke arah vertikal, dengan model bapak angkat. Pada pola ini penyerapan inovasi sudah lebih maju, tetapi masih memungkinkan terjadinya eksploitasi legal bapak terhadap anak angkatnya.
3.
Pola kemitraan pasar Berkembang seiring dengan munculnya ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Pola inin melibatkan petani dan pemilik modal besar yang bergerak dibidang industri pengolahan dan pemasarann hasil yang bekerjasama karena kepentingan ekonomi untuk berbagi manfaat ekonomi. Dalam hal penyerapan inovasi pola ini sudah jauh lebih baik dibanding polapola sebelumnya, tetapi kelemahannya tetap berada pada ketergantungan petani terhadap pengusaha besar.
2.4 Studi Terdahulu Menurut Nasoetion dan Sitanala (1983), menganalisa perkembangan transmigrasi dalam kaitannya dengan kesejahteraan keluarga, di daerah transmigrasi Batumarta dan Way Abung-II. Tingkat kesejahteraan keluarga petani di daerah transmigrasi masih rendah. Hal ini selain disebabkan oleh hal-hal yang
18
bersifat fisik (kualitas lahan yang umumnya rendah), juga disebabkan belum dimanfaatkannya sumberdaya keluarga secara optimal. Disamping itu, rendahnya tingkat kesejahteraan disebabkan belum memadainya sistem pemasaran hasil-hasil pertanian oleh karena belum terintegrasinya daerah transmigrasi dengan sistem perekonomian
wilayah
setempat.
Rendahnya
tingkat
kesejahteraan
ini
diperkirakan menyebabkan tingginya tingkat fertilitas ibu rumahtangga petani yang potensial bagi pertumbuhan penduduk setempat. Jika pertambahan penduduk yang cepat tidak disertai oleh peningkatan pendapatan, maka tingkat kesejahteraan petani akan menurun. Menurut Widya (1992), menganalisis pengkajian tingkat pendapatan transmigran di wilayah permukiman transmigrasi Sitiung I Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung Propinsi Sumatera Barat. Usaha pembangunan di wilayah permukiman transmigrasi dapat meningkatkan kesejahteraan transmigran yang dapat dilihat dari perbandingan pendapatan dengan pengeluaran untuk basic needs. Dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan maka akan meningkatkan pula kegiatan perekonomian pada daerah-daerah permukiman tersebut sehingga menjadi salah satu pusat pertumbuhan dan kegiatan ekonomi, yang dapat merupakan faktor penarik bagi masyarakat pedesaan di Pulau Jawa untuk berpartisipasi dalam program transmigrasi dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang. Ditinjau dari tingkat pendapatan transmigran di wilayah permukiman transmigrasi Sitiung I sudah relatif tinggi dengan distribusi pendapatan relatif cukup merata, maka dapatlah disimpulkan bahwa transmigran sudah betah atau kerasan untuk tetap di lokasi permukiman tersebut. Keadaan ini tercermin dari kenyataan bahwa tidak ada transmigran yang
19
meninggalkan daerah permukiman dan bahkan mereka sudah membaur dengan masyarakat setempat. Menurut Lasmi (1994), menganalisis perkembangan pertanian dan pendapatan usahatani di daerah transmigrasi, daerah Karang Agung Tengah Sumatera Selatan. Perkembangan pertanian transmigrasi di unit permukiman transmigrasi Karang Agung Tengah tidak terlepas dari fungsi dan peranan fasilitas-fasilitas pendukung pertanian yang ada, serta kemampuan transmigrasi dalam menyerap teknologi yang dianjurkan. Perkembangan pendapatan usahatani, ditinjau dari pendapatan usahatani transmigran per kapita per tahun, masih belum berada pada tahap perkembangan yang direncanakan. Menurut Hadisoegondo (1986), menganalisis pengembangan usahatani melalui pola PIR di daerah transmigrasi Kecamatan Lainea dan Tinanggea, Sulawesi Tenggara. Pola PIR kapas-kedelai yang dilaksanakan PT. KII sebagai suatu sistem agribisnis di daerah transmigrasi, ternyata mampu membantu meningkatkan rata-rata pendapatan sebelumnya. Namun ada beberapa hal yang perlu dicatat bahwa ada nilai subsidi yang jika dihilangkan menyebabkan rata-rata tingkat pendapatan menurun dengan subsidi dalam sewa traktor (di sini subsidi pupuk dan pestisida masih tetap berlaku). Di samping itu perlu diperhatikan bahwa
usahatani
program
(kapas-kedelai)
memiliki
kendala
(dalam
lingkungannya) seperti: (a) komoditi pesaing, (b) berkembangnya kesempatan kerja non pertanian dalam bentuk berbagai proyek Pemerintah yang memerlukan tenaga kaerja dan itu menuntut kesediaan petani untuk berpartisipasi, (c) pengaruh besarnya biaya kebun inti yang pada gilirannya dapat menyebabkan berkurangnya pendapatan petani.
20
Menurut Sjamsuddin (1987), evaluasi dampak transmigrasi terhadap peningkatan pendapatan dan pola pengeluaran warga transmigrasi dan masyarakat sekitarnya di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Pendapatan transmigran sesudah transmigrasi meningkat dibandingkan sebelumnya dan pengeluaran semakin kecil setelah bertransmigrasi. Namun, pendapatan meningkat dan pengeluaran semakin kecil setelah bertransmigrasi akan tetapi tingkat kemerataan lebih
baik
sebelum
bertransmigrasi
(ketimpangan
lebih
besar
setelah
bertransmigrasi), diakibatkan karena pengairan persawahan yang tidak merata (masih terdapat SP yang belum mendapatkan pengairan), ketrampilan transmigran yang relatif rendah, dan letak lokasi pasar yang dapat mempengaruhi pemasaran hasil pertanian. Sedangkan, bagi penduduk setempat dengan adanya program transmigrasi meningkatkan pendapatan mereka, karena penduduk setempat dapat memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada warga transmigran seperti irigasi dan peralatan lainnya. Berdasarkan studi terdahulu, terlihat adanya hubungan antara program transmigrasi dengan tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat. Program transmigrasi merupakan upaya pemerintah dalam penyebaran penduduk pada daerah yang masih kurang penduduknya, daerah tujuan tersebut memiliki sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu, diharapkan masyarakat transmigran memperoleh pekerjaan dan penghidupan layak ditempat yang baru. Salah satu upaya Pemerintah dalam memperluas kesempatan kerja di lokasi transmigrasi yaitu dengan kerjasama dengan investor seperti pola PIR pangan yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat transmigran,
21
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga khususnya dan masyarakat pada umumnya.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep dan Indikator Kesejahteraan Tingkat kesejahteraan (welfare) adalah merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada suatu kurun waktu tertentu. Kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil misalnya keluarga dan individu (Yosep, 1996 dalam Elidawati, 2003). Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain (Pengemanan, 1994 dalam Elidawati, 2003). Kesejahteraan mencakup dua pendekatan yaitu pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro memandang bahwa kesejahteraan dapat dinyatakan dengan indikator-indikator yang telah disepakati secara ilmiah. Sehingga ukuran kesejahteraan masyarakat berdasarkan data-data empiris suatu masyarakat. Pendekatan ini mencakup lingkupan yang sangat luas yaitu negara atau wilayah propinsi dan lebih dikenal dengan pendekatan makro objektif. Pendekatan mikro lebih dikenal juga dengan pendekatan mikro subjektif yang memandang bahwa kesejahteraan itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan psikologi individu secara pribadi untuk melihat apa yang dianggapnya sebagai keadaan sejahtera (Yosep, 1996 dalam Elidawati, 2003).
22
Konsep kesejahteraan identik dengan terpenuhinya kebutuhan individu (yang beragam), dimana makna ”Terpenuhinya Kebutuhan” antara satu individu dengan individu lain berbeda dan bersifat sangat relatif. Oleh karena untuk mengetahui kesejahteraan individu/keluarga/rumahtangga bukanlah pekerjaan yang
mudah,
sehingga
diperlukan
beberapa
kriteria
dan
indikator
(Rahmadona, 2004). Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar propinsi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dalam mengembangkan indikator kesejahteraan rakyat tidak hanya menyajikan indikator dampak (output indicators) untuk menunjukkan hasil upaya pembangunan, tetapi juga menyajikan indikator masukan (input indicators) dan indikator proses (process indicators). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berikut ini akan dibahas satu per satu mengenai indikator kesejahteraan rakyat menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, sebagai berikut: 1.
Kependudukan Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Disamping
23
itu, program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. 2.
Kesehatan dan Gizi Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Sementara untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan dan memelihara mutu pelayanan kesehatan perlu mendapat perhatian utama. Upaya tersebut antara lain pemberdayaan sumberdaya manusia secara berkelanjutan pengadaan atau peningkatan sarana prasarana dalam bidang medis termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau masyarakat.
3.
Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Mengingat pendidikan sangat berperan sebagai faktor kunci dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka pembangunan dibidang pendidikan memerlukan peran serta yang aktif tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari masyarakat. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang
24
menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Titik berat pendidikan formal adalah penigkatan mutu pendidikan dan perluasan pendidikan dasar. Selain itu ditingkatkan pula kesempatan belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 4.
Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting tidak hanya untuk mencapai kepuasaan individu, tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. Di Indonesia, usia kerja yang digunakan untuk keperluan pengumpulan data ketenagakerjaan adalah usia 15 tahun ke atas.
5.
Taraf dan Pola Konsumsi Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sedangkan meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasi menurunnya pendapatan penduduk. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberi petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumahtangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.
25
6.
Perumahan dan Lingkungan Manusia dan alam lingkungannya baik lingkungan fisik maupun sosial merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Lingkungan fisik bisa berupa alam sekitar yang alamiah dan yang buatan manusia. Untuk mempertahankan diri dari keganasan alam, maka manusia berusaha membuat tempat perlindungan, yang pada akhirnya disebut rumah atau tempat tinggal. Rumah dapat dijadikan sebagai salah satu indikator bagi kesejahteraan pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar rumahtangga dan juga tempat penampungan kotoran akhir (jamban).
7.
Sosial Budaya Pada umumnya semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut
memiliki
tingkat
kesejahteraan
yang
semakin
meningkat.
Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar. Menurut Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan Republik Indonesia Nomor 06/Men/1999 mengenai tata cara perhitungan tingkat perkembangan transmigrasi dan kesejahteraan transmigran, dapat dilihat dari empat parameter yang memiliki nilai standar yang telah ditetapkan sesuai
26
dengan tahun bina yang sedang dilaksanakan pada masing-masing UPT. Berikut ini empat parameter dalam menentukan tingkat perkembangan transmigrasi dan kesejahteraan transmigran yaitu: 1.
Ekonomi, dengan indikator pendapatan, pemerataan, ketenagakerjaan, kontribusi permukiman transmigrasi dan keberhasilan KUD.
2.
Sosial dan budaya, dengan indikator tingkat kebetahan, keamanan, pendidikan, kesehatan, KB dan partisipasi masyarakat.
3.
Integrasional, meliputi tingkat konflik, perdagangan
4.
Dinamika dan pelayanan oleh lembaga-lembaga sosial yang ada.
3.1.2
Definisi dan Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan Kemiskinan
sebagai
ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya, sementara batas kemiskinan absolut yang dapat dipergunakan yakni suatu kondisi dimana tingkat pendapatan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik untuk makan, pakaian, dan perumahan (Mardinus, 1995). Sedangkan seseorang dikatakan miskin jika pendapatan per kapitanya di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan (batas kecukupan pangan) dan non makanan (batas kecukupan non pangan). Nilai garis kemiskinan yang digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2.100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan. Kebutuhan minimum non pangan merupakan kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi, serta kebutuhan rumahtangga dan individu yang mendasar lainnya. Dengan kata lain, seseorang dikatakan miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimumnya (Biro Pusat Statistik, 2004).
27
Pengukuran kemiskinan dapat dilakukan berdasarkan indikator objektif dan indikator subjektif. Indikator objektif untuk pengukuran kemiskinan dibedakan menurut indikator moneter dan indikator bukan moneter. Indikator moneter menggunakan peubah pendapatan atau pengeluaran (sebagai aproksi) dan mengukur kemiskinan absolut. Sedangkan indikator bukan moneter memberikan pengertian ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan untuk hidup layak dan indikator ini untuk mengukur kemiskinan relatif. Pengukuran kemiskinan di Indonesia dapat diukur berdasarkan garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan yang merupakan indikator moneter, dihitung berdasarkan peubah pengeluaran makanan dan non makanan (Sumargo, 2002). Pengukuran kemiskinan absolut membutuhkan pengetahuan untuk menentukan tingkat kebutuhan minimum. Oleh karena itu, harus diketahui dengan rinci apa saja yang termasuk kebutuhan dasar dari individu atau rumahtangga. Laporan PBB yang menyebutkan terdapat 12 komponen kebutuhan dasar, yaitu: (1) Kesehatan; (2) makanan dan gizi; (3) pendidikan; (4) kondisi pekerjaan; (5) situasi kesempatan kerja; (6) konsumsi dan tabungan; (7) pengangkutan; (8) perumahan; (9) sandang; (10) rekreasi dan hiburan; (11) jaminan sosial; (12) kebebasan (Guhardja, dkk, 1993 dalam Pudjirahaju, 1999). Kemiskinan diklasifikasikan sekurang-kurangnya dalam lima kelas, yaitu (1) Kemiskinan absolut; apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, papan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. (2) Kemiskinan relatif; apabila seseorang yang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan, tetapi
28
relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya. (3) Kemiskinan kultural; mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar yang berupaya membantu. (4) Kemiskinan kronis; disebabkan oleh beberapa hal yaitu kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian dan rendahnya taraf pendidikan dan derajat
perawatan
kesehatan,
terbatasnya
lapangan
pekerjaan
dari
ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. (5) Kemiskinan sementara; terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat (Sumodiningrat, 1999). Oleh karena itu, berdasarkan pengertian kemiskinan di atas, maka untuk mengetahui seseorang atau rumahtangga miskin diperlukan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan itu sendiri. Secara umum tingkat kemiskinan di suatu negara sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan per kapita nasional dan tingkat pemerataan pendapatan nasional. Maka untuk setiap tingkat pendapatan per kapita, jika semakin besar ketimpangan pendapatan akan semakin besar pula tingkat kemiskinan. Dipihak lain untuk setiap tingkat pemerataan, makin rendah pendapatan per kapita akan semakin tinggi tingkat kemiskinan.
29
Faktor-faktor kemiskinan lainnya yang mempengaruhi kemiskinan salah satunya yaitu jumlah anggota rumahtangga. Rumahtangga miskin pada tahun 1993 di Indonesia rata-rata mempunyai 5,9 anggota rumahtangga, sedangkan jumlah rata-rata anggota rumahtangga tidak miskin sebesar 4,3. Hal ini menunjukkan bahwa rumahtangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibandingkan rumahtangga yang tidak miskin. Terlebih lagi rumahtangga miskin di daerah pedesaan rata-rata mempunyai 6,1 anggota rumahtangga dibandingkan
dengan
4,1
pada
rumahtangga
yang
tidak
miskin
(Kartasasmita, 1996). Dari angka ini dapat diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di daerah pedesaan ternyata lebih besar lagi dibandingkan dengan rumahtangga pada umumnya. Dari segi lain dapat dilihat bahwa corak lama masyarakat yang menginginkan banyak anak untuk membantu mencari nafkah, masih mewarnai masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin dan keterbelakangan pada dasarnya dapat dicirikan oleh rendahnya konsumsi gizi minimal per kapita, pemilikan lahan yang sempit, pendapatan per kapita yang rendah, pemilikan lahan yang sempit, pendapatan per kapita yang rendah, kesenjangan yang lebar antara si kaya dan si miskin, serta partisipasi rakyat yang minim di dalam pembangunan. Beberapa faktor penyebab antara lain adalah kurangnya modal bagi pengemban usaha dan sumberdaya alam, kurangnya pengembangan usaha, langkanya lapangan kerja serta struktur masyarakat yang menghambat (Mangkuprawira, 1993). Kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab. (1) Rendahnya taraf pendidikan dimana taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan
30
sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang. (2) Rendahnya derajat kesehatan, taraf kesehatan dan gizi
yang
rendah
menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir, dan prakarsa. (3) Terbatasnya lapangan kerja. Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan itu. (4) Kondisi keterisolasian, banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Penduduk tersebut hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya (Kartasasmita, 1996). 3.1.3
Analisis Regresi Logit
Regresi logit (logistic regression) merupakan suatu teknik permodelan linier secara umum yang memungkinkan dibuatnya prediksi-prediksi dari variabel respon dan taksiran-taksiran tingkat kemampuan mempengaruhi dari variabelvariabel penjelas (individu maupun kelompok). Data-data yang dapat dianalisis dengan alat analisis regresi logit adalah data yang relatif umum dan terdiri atas dichotomous classification (Hutcheson dan Sofroniou, 1999). Terdapat tiga komponen dari model linier umum, yaitu komponen acak dari variabel respon, komponen sistematis yang merepresentasikan nilai tetap dari variabel penjelas pada bagian fungsi linier, dan link function yang merupakan alat pemeta
komponen
sistematis
menjadi
komponen
acak.
Regresi
logit
mengasumsikan bahwa galat dari komponen acak terdistribusi secara binomial,
31
berbeda dengan regresi Ordinary Least Square (OLS) yang mengasumsikan bahwa galat dari komponen acak terdistribusi secara normal. Komponen sistematis dari regresi logit sama dengan regresi OLS, dengan variabel penjelas diasumsikan kontinu dan minimal berskala interval. Sebagaimana regresi OLS, variabel penjelas yang tidak kontinu dalam regresi logit dapat dimasukkan ke dalam model menggunakan teknik pengkodean variabel dummy. Perbedaan logit dengan regresi OLS adalah komponen acak dan komponen sistematis yang ada tidak dapat dipetakan secara langsung satu sama lain. Selain itu, dalam regresi logit digunakan non-linier link function (fungsi inilah yang dinamakan logit). Model dalam analisis logit dituliskan dengan p =
l (α + β x ) 1 + l (α + β x )
, dimana p
merupakan peluang, e adalah logaritma natural, α dan β merupakan parameter komponen linier dari model, dan x sebagai nilai dari variabel penjelas. Konversi dari peluang agar dapat diestimasi dalam linier dengan logit dinamakan odds. Metode untuk menganalisis logit adalah Maximum Likelihood (ML). Untuk mengestimasi peluang dengan metode ML dilakukan dengan proses: Odds =
p (1 − p )
In(odds)= In l (α + βx ) log(odds)= (α + βx)log l log(odds)= α + βx (persamaan linier sehingga dapat diestimasi) logit (p) = α + βx (persamaan yang dapat diestimasi dengan ML) Parameter dari model logit dapat diinterpretasikan dengan cara yang sama seperti OLS, yaitu dengan gradien/slope (parameter β). Gradien ini diinterpretasikan sebagai perubah logit (p) akibat perubahan satu unit variabel x. Dengan kata lain, β menggambarkan perubahan dalam log odds dari adanya perubahan satu unit x. Parameter α menunjukkan nilai logit (p) akibat ketika x = 0 atau log odds dari
32
keadaan x = 0. Standard error dari logit disebut ASE (Assymtotic Standard Error).
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk yang cepat, namun tidak diikuti dengan persebaran penduduk yang merata. Menyebabkan di pulau yang padat penduduknya terjadi kelebihan tenaga kerja yang mengakibatkan sebagian besar penduduk menganggur, sementara di pulau yang lain terjadi pengangguran sumberdaya alam karena tenaga kerja pengelola kurang. Dampak dari masalah tersebut berakibat pada usaha peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Salah satu kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi masalah di atas melalui program transmigrasi. Pemerintah berupaya memindahkan penduduk dari daerah yang padat penduduk (dalam hal ini adalah Pulau Jawa) akan dipindahkan ke daerah tujuan transmigrasi yang pada umunya masih jarang penduduk seperti Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Papua, dan Sulawesi Tenggara. Propinsi Lampung sebagai salah satu daerah tujuan transmigrasi, memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup baik untuk dikelola atau dikembangkan oleh transmigran diantaranya sektor perkebunan dengan tanaman dominan seperti kopi, cengkeh, dan lada. Sedangkan di sektor pertanian seperti padi, jagung, dan sayursayuran. Jika dilihat dari ketersediaan air sebagai syarat mutlak yang harus terpenuhi untuk kelangsungan hidup manusia, maka daerah (Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, Mesuji Atas SP.13, dan Legundi) memiliki potensi air yang cukup memenuhi syarat sebagai sumber air.
33
Program transmigrasi ini pada dasarnya dikaitkan dengan pembangunan daerah, mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan meratakan penyebarannya, menunjang usaha perluasan kesempatan kerja, meratakan pembagian pendapatan dan meratakan penyebaran pembangunan. Dengan demikian, program transmigrasi diharapkan akan terjadi peningkatan pendapatan transmigran, sehingga dapat mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Keberhasilan program transmigrasi dapat dilihat dari tingkat pendapatan dan kesejahteraan transmigran. Dalam penelitian ini pendapatan dihitung berdasarkan pendekatan pengeluaran rumahtangga dalam satuan kg setara beras. Sedangkan, Analisis tingkat kesejahteraan dapat dilihat secara subjektif dan objektif. Analisis secara subjektif dari persepsi masyarakat transmigran terhadap tingkat kesejahteraan dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan secara objektif berdasarkan
KEP.
06/MEN/1999
yaitu
dengan
menganalisis
indikator
kesejahteraan pendapatan, tingkat pelayanan, kesehatan (prevalensi penyakit), angka partisipasi pendidikan, dan angka melek huruf. Terkait dengan kesejahteraan transmigran tersebut, maka dalam penelitian ini juga akan menganalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dengan analisis regresi logit. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, dibuat alur berpikir yang dapat dilihat pada Gambar 1.
34
Program Transmigrasi
UPT Propinsi Lampung selama Tahun Bina (Way Terusan SP.1, Way Terusan SP. 2, Mesuji Atas SP.13, dan Legundi)
Analisis Tingkat
Analisis Tingkat
Pendapatan Transmigran
Kesejahteraan
Pendekatan Pengeluaran
Indikator kesejahteraan: • Pendapatan
Rumahtangga
• Tingkat pelayanan • Kesehatan (Prevalensi penyakit) • Angka partisipasi pendidikan • Angka melek huruf Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan
Keberhasilan Program Transmigrasi, dilihat dari: • Peningkatan Pendapatan • Tercapainya Kesejahteraan Penduduk
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
Persepsi transmigran terhadap tingkat kesejahteraan
35
3.3 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang telah disajikan, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesa sebagai berikut: 1.
Terdapat perbedaan tingkat pendapatan dan kesejahteraan transmigran pada pola transmigrasi yang berbeda dan tahun bina yang berbeda.
2.
Transmigran sudah dapat dikatakan sejahtera jika dilihat dari indikator tingkat pelayanan, kesehatan, dan angka partisipasi pendidikan, ditunjang dengan tersedianya koperasi unit desa (KUD), puskesmas, dan sarana pendidikan.
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan rumahtangga transmigran adalah pendapatan, jumlah anggota yang bekerja, jumlah tanggungan, lamanya pendidikan, pengeluaran kebutuhan dasar, pengeluaran kebutuhan sekunder, dan tabungan.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2006 di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Litbang dan Informasi, Pusat Data dan Informasi Ketransmigrasian (Pusdatintrans). Observasi lapangan dilaksanakan pada tanggal 25-30 Maret 2006 di UPT Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 Propinsi Lampung. Penelitian lapangan (pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini) telah dilakukan oleh Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi Ketransmigrasian (cq. Pusat Data dan Informasi), pada tahun 2004 di Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, Legundi dan Mesuji atas SP.13, Propinsi Lampung.
4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan menggunakan data kesejahteraan transmigran tahun 2004 yang dikumpulkan oleh Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi Ketransmigrasian, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Data primer diperoleh melalui wawancara dengan staf Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Transmigrasi dan Kependudukan Propinsi Lampung, dan wawancara dengan beberapa transmigran di UPT Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 untuk mendapatkan informasi kualitatif tambahan yang bersifat mendukung.
4.3 Teknik Penarikan Sampel
37
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumahtangga transmigran di Unit Permukiman Transmigrasi Propinsi Lampung yang masih dalam tahun bina Pemerintah. Dalam hal ini yang dimaksud rumahtangga adalah keluarga inti termasuk kerabat atau bukan, yang tinggal di bawah satu atap dan makan dari satu dapur.
Pengambilan data telah dilakukan Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan pengisian kuesioner oleh responden (rumahtangga transmigran) tahun 2004. Jumlah total responden yang diambil adalah 76 rumahtangga. Tiap daerah transmigrasi dipilih responden masing-masing sebanyak, 20 responden di Way
Terusan SP.1, 20 responden di Way Terusan SP.2, 19 responden di Legundi, dan 17 responden di Mesuji Atas SP.13.
4.4 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis ekonometrik. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel dan Minitab for Windows Release 14.2. Analisis deskriptif dilakukan dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif yang dikumpulkan dari literatur yang ada. Data tersebut diinterpretasikan sehingga dapat menjawab fenomena yang ada yang berhubungan dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mengidentifikasi tingkat pendapatan dan kesejahteraan transmigran. Untuk membantu analisis deskriptif dengan membuat tabulasi data dan tabulasi silang. Sedangkan, analisis ekonometrik dengan menggunakan model regresi logistik biner untuk menjawab tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor-
38
faktor yang diduga berpengaruh terhadap peluang suatu rumahtangga transmigran berada pada kemiskinan. 4.4.1
Analisis Tingkat Pendapatan Transmigran Analisis tingkat pendapatan rumahtangga transmigran dilakukan dengan
menggunakan besarnya pendekatan pengeluaran (expenditure approach) keluarga transmigran selama setahun terakhir dalam satuan kg setara beras, dibandingkan dengan standar yang ditargetkan tercapai pada tahun pembinaan tertentu, sebagai berikut tingkat penyesuaian (T+2) dengan standar 1.600 kg beras, tahap pemantapan (T+3) dengan standar 2.400 kg beras, dan tahap pengembangan (T+4) dengan standar 3.000 kg beras. Berbagai jenis pengeluaran rumahtangga dikelompokkan dalam (1) pengeluaran untuk kebutuhan dasar pangan dan non pangan, (2) pengeluaran untuk kebutuhan sekunder dan barang tahan lama (termasuk didalamnya investasi), dan tabungan. Pendapatan
= Pengeluaran + Tabungan + Aset – Utang x 1 Kg Harga Beras/Kg
Dimana : Pengeluaran = (total kebutuhan dasar + total kebutuhan sekunder) x 1000 Tabungan = Jumlah tabungan selama setahun terakhir x 1000 Aset = Pembelian barang tahan lama selama tahun lalu Harga beras = Harga beras ditiap UPT berbeda-beda sesuai dengan lokasi pasar terdekat; Way Terusan SP.1 = Rp 2800, Way Terusan SP.2 = Rp 2000, Mesuji Atas SP.13 = 2500, dan Legundi = Rp 2400 4.4.2
Analisis Tingkat Kesejahteraan Transmigran Untuk mengetahui persepsi transmigran terhadap tingkat kesejahteraan
dan analisis kesejahteraan berdasarkan KEP. 06/MEN/1999, salah satu indikator yang menjadi acuan adalah pencapaian tingkat pendapatan tertentu yang ditargetkan untuk dicapai pada tahun pembinaan tertentu. Namun, tingkat pendapatan tidak dapat secara langsung digunakan untuk menggambarkan tingkat
39
kesejahteraan di daerah transmigrasi. Dimensi kesejahteraan lebih luas dari sekedar tingkat pendapatan. Pada tingkat kesejahteraan termasuk didalamnya ukuran tingkat pelayanan, angka partisipasi pendidikan, angka melek huruf, dan prevalensi penyakit yang dapat dihitung berdasarkan KEP. 06/MEN/1999 sebagai berikut: 1. Tingkat pelayanan Persentase anggota KUD yang terlayani = Jumlah anggota aktif x 100 % Jumlah KK di UPT 2. Angka Partisipasi Pendidikan (EPR) EPR = (Jumlah penddk usia SD – SLTP yang sedang bersekolah) x 100 % Jumlah penddk usia sekolah SD – SLTP 3. Angka Melek Huruf (AMH) AMH =
(Jumlah penddk umur >10 tahun – jumlah penddk buta huruf > 10 tahun) x 100 % Jumlah penddk umur >10 tahun
4. Prevalensi penyakit (PP) PP
4.4.3
= Jumlah penddk sakit x 100 % Jumlah penddk (jiwa) Model Peluang Kemiskinan Rumahtangga Transmigran Analisis faktor-faktor penyebab kemiskinan rumahtangga di unit
permukiman transmigrasi ditunjukkan oleh karakteristik rumahtangga tersebut, yang dapat menunjukkan kenapa dan bagaimana suatu rumahtangga berada dalam kemiskinan dan sebaliknya. Model yang digunakan untuk mengetahui faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kemiskinan tersebut adalah analisis regresi logistik biner dengan menggunakan program minitab 14.2. Di dalam analisis regresi logistik biner, permodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi logit. Formula dari transformasi logit tersebut adalah sebagai berikut:
40
⎡ pi ⎤ Log (pi) = loge ⎢ ⎥ ⎣1 − pi ⎦ Dimana: pi = Peluang munculnya kejadian sukses (kategori yang menjadi perhatian dalam penelitian) dari peubah respon untuk orang ke-i Log e = Logaritma dengan basis bilangan e Dengan demikian model yang digunakan dalam analisis regresi logistik biner dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pi (Y) = β0 + β1 TANGi + β2 JATKi + β3 PDDKi + β4 DSRi + β5 SKDRi + β6 TABi + β7 INVi + β8 D1i + β9 D2i + Єi Dimana: Pi = Peluang rumahtangga berada dalam kemiskinan (bernilai 1 untuk “miskin” dan bernilai 0 untuk “tidak miskin”) TANG = Tanggungan/Jumlah anggota rumahtangga (orang) JATK = Jumlah anggota rumahtangga yang termasuk tenaga kerja (orang) PDDK = Lamanya pendidikan formal yang ditamatkan (tahun) DSR = Pengeluaran kebutuhan dasar (Rp/tahun) SKDR = Pengeluaran kebutuhan sekunder (Rp/tahun) TAB = Tabungan transmigran (Rp/tahun) INV = Investasi transmigran (Rp/tahun) D1 = Dummy lamanya tahun bina T+8 (T+8 = 1, T+6 = 0, dan T+3 = 0) D2 = Dummy lamanya tahun bina T+6 (T+8 = 0, T+6 = 1, dan T+3 = 0) Є = error term i = 1,2,3 ......................n adalah jumlah responden. Diharapkan bahwa β1>0, β2<0, β3<0, β4>0, β5<0, β6<0, β7<0, β8 <0, dan β9<0. Dalam kajian hubungan antar peubah kategorik dikenal adanya ukuran asosiasi atau ukuran keeratan hubungan antar peubah kategori. Salah satu ukuran asosiasi yang dapat diperoleh melalui analisis regresi logistik adalah rasio odd (odds ratio). Odds dapat diartikan sebagai ratio peluang kejadian sukses dengan kejadian
tidak
sukses
dari
peubah
respon.
Sedangkan,
odds
ratio
mengindikasikan seberapa lebih mungkin dalam kaitannya dengan nilai odds, munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok
41
lainnya. Dengan demikian odds ratio merupakan interpretasi dari sebuah peluang. 4.5 Definisi Operasional
1.
Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain atau perpindahan penduduk dari daerah yang padat ke daerah yang masih jarang penduduknya.
2.
Transmigran adalah warga negara Republik Indonesia yang berpindah secara sukarela ke Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Unit Permukiman Transmigrasi melalui pengaturan dan pelayanan pemerintah.
3.
Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) adalah lokadi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau yang sedang berkembang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.
4.
Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami seluruh atau sebagian fisik dan biasanya makan bersama dari satu dapur.
5.
Kesejahteraan masyarakat adalah terpenuhinya kebutuhan masyarakat (sesuai kriteria masyarakat itu sendiri), baik dari aspek ekonomi, sosial maupun psikologis.
6.
Pendapatan adalah seluruh penghasilan atau penerimaan yang diperoleh sebagai imbalan/upah/gaji/keuntungan dan lain sebagainya dari hasil usaha atau pekerjaan yang dilakukan seseorang.
7.
Pengeluaran rumahtangga adalah jumlah uang dalam rupiah yang dikeluarkan oleh rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan dan non pangan, kebutuhan sekunder dan barang tahan lama, dan tabungan.
42
8.
Kemiskinan adalah seseorang (penduduk) yang pendapatannya lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak di wilayah tempat tinggal.
9.
Tingkat pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah diikuti oleh seseorang dalam hidupnya dan dihitung dalam tahun.
10. Kelembagaan adalah institusi/organisasi formal maupun non formal yang terkait dengan kegiatan usaha atau menunjang kegiatan usaha. 11. Ketenagakerjaan adalah mereka yang berusia 15 sampai dengan 55 tahun sudah bekerja. 12. Kesehatan adalah kondisi fisik seseorang yang diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. 13. Fasilitas lingkungan hidup adalah tempat atau sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas/kegiatan penduduk setempat.
BAB V GAMBARAN UMUM
5.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terdiri dari 4 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) yang masih dalam tahun bina Pemerintah, yaitu Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, Mesuji Atas SP.13, dan Legundi di Propinsi Lampung lihat lampiran 2. Jenis transmigrasi adalah transmigrasi umum, dengan lama tahun bina yang berbeda-beda Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 memasuki tahun bina T+8, Mesuji Atas SP.13 memasuki tahun bina T+6, sedangkan Legundi memasuki tahun bina T+3. 5.1.1 Keadaan Wilayah dan Geografis Lokasi UPT Way Terusan SP.1
Way Terusan SP.2 Mesuji Atas SP.13 Legundi
Letak Geografis 04o31’30” – 04o34’14” LS dan 105o41’02” – 105o44’25” BT
Luas Wilayah 1.377,14 Ha
BAB VI ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN
6.1 Analisis Pendapatan Transmigran Program transmigrasi yang dilaksanakan pemerintah diupayakan agar dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dengan penyediaan lapangan kerja di daerah transmigrasi dan penyebaran tenaga kerja ke daerah yang membutuhkan tenaga kerja banyak, namun masih sedikit sumberdaya manusia yang tersedia. Diharapkan dengan adanya program transmigrasi, masyarakat yang ikut serta dalam program ini memiliki kehidupan yang lebih baik dari tempat daerah asal transmigran. Salah satu cara melihat keberhasilan dari program transmigrasi ini adalah dengan menganalisis tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat semakin meningkat maka diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Analisis pendapatan dilakukan untuk mengidentifikasi apakah pendapatan transmigran sudah memenuhi standar pendapatan yang telah ditetapkan dalam KEP. 06/MEN/1999. Berdasarkan data tahun 2004, tingkat pendapatan rata-rata transmigran di Propinsi Lampung pada tahap pengembangan (T+4) masih dibawah standar (3000 kg setara beras). Hal ini disebabkan masih kurang tersedianya sarana transportasi, akses jalan rusak, jarak UPT relatif jauh dengan pusat-pusat Ibukota Kecamatan, Kabupaten, dan Propinsi serta KUD yang berperan sebagai tempat penampungan sementara hasil produksi pertanian sebelum dipasarkan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga petani banyak memasarkan hasil produksi
62
kepada tengkulak dengan harga jual yang sangat rendah hal ini akan merugikan petani. Sedangkan UPT Legundi yang masih dalam tahap pemantapan (T+3) sudah diatas standar (2400 kg setara beras) sebagaimana disajikan dalam Tabel 14. Tabel 14. Pengeluaran Pendapatan Lampung
Nama UPT Way Terusan SP.1 Way Terusan SP.2 Mesuji Atas SP.13 Legundi
Rumahtangga Transmigran (Rp/tahun) dan Rata-rata (kg setara beras) di UPT Propinsi
Investasi
Harga Beras
Pendapatan KK/tahun
Pendapatan Rata-rata KK/tahun
3.460
45.665
2.800
56.900
2844,98
21.224
0
45.770
2.000
55.506
2775,30
10.630 12.870
0 3.600
27.450 29.989
2.500 2.400
34.603 49.801
2035,48 2621,09
Tahun Bina
Keb. Dasar
Keb. Sekunder
T+8
80.957
29.237
T+8
44.018
T+6 T+3
48.428 73.063
Tab
Pendapatan rata-rata transmigran di UPT Way Terusan SP.1 dari 20 responden masih dibawah standar yaitu sebesar 2844,98 (kg setara beras); UPT Way Terusan SP.2 dari 20 responden memiliki tingkat pendapatan di bawah standar rata-rata sebesar 2775,30 (kg setara beras); UPT Mesuji Atas SP.13 dari 17 responden memiliki tingkat pendapatan di bawah standar rata-rata sebesar 2035,48 (kg setara beras); dan UPT Legundi dengan 19 responden memiliki tingkat pendapatan di atas standar rata-rata sebesar 2621,09 (kg setara beras). Dapat dilihat juga bahwa pengeluaran yang besar untuk kebutuhan pokok rumah tangga dan pembelian barang tahan lama tidak diimbangi dengan tabungan (saving) transmigran, maka disini dapat terlihat belum ada kesadaran dari transmigran akan pentingnya menabung. Transmigran yang memiliki tabungan hanya pada UPT Way Terusan SP.1 dan Legundi. Sedangkan transmigran Way Terusan SP.2 dan Mesuji Atas SP.13 tidak memiliki tabungan. Hal ini disebabkan karena tidak tersedia sarana tempat menyimpan uang atau bank, kalaupun ada
63
memiliki jarak yang relatif jauh sehingga akan menghabiskan banyak biaya. Berdasarkan tabel di atas pada tahap pengembangan, UPT Mesuji Atas SP.13 memiliki rata-rata pendapatan KK per tahun lebih rendah dibandingkan UPT Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 bahkan masih lebih rendah dengan pendapatan rata-rata yang dimiliki UPT Legundi. Selain karena sarana transportasi yang minim, akses jalan rusak, disebabkan pula oleh harga-harga komoditi pertanian di daerah ini relatif rendah. Ketika musim hujan jalan ke UPT Mesuji Atas SP.13 tidak dapat dilalui kendaraan, hasil produksi yang seharusnya dipasarkan hari itu juga tertunda menyebabkan produk pertanian menjadi busuk dan merugikan petani. Dari empat UPT tersebut dapat terlihat responden mana yang memiliki pendapatan kurang atau lebih dari standar, ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
35% > 3000 < 3000 65%
Gambar 6. Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Way Terusan SP.1 Tahun 2004
35% > 3000 < 3000 65%
Gambar 7. Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Way Terusan SP.2 Tahun 2004
64
5,90% > 3000 < 3000 94,10%
Gambar 8. Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Mesuji Atas SP.13 Tahun 2004
36,84% 63,16%
> 2400 < 2400
Gambar 9. Tingkat Pendapatan Transmigran di UPT Legundi Tahun 2004 Berdasarkan gambar di atas bahwa sebagian besar transmigran memiliki pendapatan kurang dari standar. UPT Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 masing-masing memiliki 20 responden, jumlah transmigran yang berpendapatan rendah sebanyak 13 orang (65 %) dan 7 orang (35 %) berpendapatan tinggi. Sedangkan, UPT Mesuji Atas SP.13 dengan 17 responden, tingkat pendapatan rendah 16 orang (94,10 %) dan pendapatan tinggi 1 orang (5,90 %). Hal ini disebabkan karena masih kurangnya sarana transportasi yang dapat menunjang pemasaran dari hasil produk pertanian transmigran dan juga akses jalan menuju UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2 yang relatif rusak, keadaan ini akan semakin sulit apabila musim hujan karena jalan akan semakin sulit untuk dilalui.
65
UPT Legundi dengan 19 responden memiliki tingkat pendapatan rendah 12 orang (63,16 %) dan pendapatan tinggi 7 orang (36,84 %). UPT Legundi relatif lebih baik dibandingkan dengan UPT lain karena letak lokasi lebih strategis, dekat dengan pelabuhan Bakauheni serta akses jalan ke pusat kota lebih baik.
6.2 Analisis Kesejahteraan Transmigran 6.2.1
Persepsi Transmigran Terhadap Rumahtangga Transmigran
Tingkat
Kesejahteraan
Pencapaian kesejahteraan transmigran merupakan salah satu tujuan pembangunan transmigrasi. Secara keseluruhan persepsi dari 76 transmigran mengenai berbagai aspek kehidupan yang menentukan tingkat kesejahteraan, berdasarkan empat indikator yaitu ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya tidak jauh berbeda dengan keadaan tahun sebelumnya. Berdasarkan persepsi transmigran kesejahteran dibidang ekonomi relatif sama baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya lihat Tabel 15. Tabel 15. Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran bidang Ekonomi di UPT Propinsi Lampung Kesejahteraan dibidang Ekonomi Pendapatan rumahtangga Konsumsi rumahtangga Kemudahan memperoleh kebutuhan rumahtangga Keadaan tempat tinggal Fasilitas tempat tinggal Pakaian rumahtangga Kemudahan mendapatkan transportasi
Jauh Lebih Baik 13,16 % 11,84 %
Lebih Baik
Sama Baik
Sama Jelek
Lebih Jelek
Jauh Lebih Jelek 1,32 % 1,32 % 2,63 % 3,95 %
7,89 % 11,84 %
31,58 % 39,47 %
44,74 % 30,26 %
6,58 % 10,53 % 6,58 % 6,56 %
17,11 % 9,21 % 10,53 % 21,05 %
3,42 % 47,37 % 47,37 % 50 %
28,95 % 22,37 % 18,42 % 14,47 %
1,32 % 9,21 % 15,79 % 3,95 %
2,63 % 1,32 % 1,32 % 3,95 %
3,95 %
26,32 %
36,84 %
26,32 %
6,57 %
0%
Mayoritas kesejahteraan transmigran dibidang ekonomi dinyatakan sama baik, seperti keadaan dan fasilitas tempat tinggal sebanyak 36 orang (47,37 %) transmigran menyatakan sama baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya,
66
pakaian rumahtangga 38 orang (50 %), konsumsi rumahtangga 30 orang (39,47 %) dan kemudahan mendapatkan transportasi 28 orang (36,84 %). Namun, berbeda halnya dengan kemudahan memperoleh bahan kebutuhan rumahtangga 22 orang (28,95 %) menyatakan masih sama jelek dengan tahun sebelumnya. Karena, fasilitas transportasi yang masih sedikit dengan frekuensi kendaraan untuk beberapa lokasi seperti UPT Way Terusan SP.1 dan Way terusan SP.2 hanya dilalui kendaraan satu kali dalam sehari dan akses jalan masih jelek. Berdasarkan hasil wawancara dengan transmigran di UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2 terdapat pasar tradisional yang hanya ada setiap 1 minggu dua kali, sehingga transmigran sulit untuk memperoleh bahan kebutuhan rumahtangga. Oleh karena itu, transmigran sekali-kali harus ke pasar besar yang terdekat dengan lokasi yaitu di Bandarjaya dengan mengeluarkan biaya transpor minimun 50.000 rupiah. Sedangkan untuk UPT Mesuji Atas SP.13 belum tersedia pasar. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga sama jelek dengan tahun sebelumnya, dinyatakan oleh 34 orang (44,74 %). Hal ini terkait sarana transportasi dan akses jalan yang kurang baik menyebabkan transmigran kesulitan dalam memasarkan hasil produksi pertanian, dan sebagian besar transmigran memiliki pendidikan serta keahlian rendah, sehingga untuk memperoleh pendapatan transmigran hanya mengandalkan dari bidang pertanian dengan lahan yang dimiliki relatif sempit. Dapat dilihat di UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2 yang seharusnya tingkat pendapatannya lebih besar dari UPT lain, karena kemudahan dalam memperoleh pekerjaan dengan adanya kerjasama PT. GPA (Garuda Panca Arka), tidak demikian kenyataannya hal ini dikarenakan kurangnya sosialisai kepada petani mengenai isi perjajian kemitraan usaha yang
67
menyebabkan prosedur pelaksanaan kemitraan tidak berjalan dengan baik dan tidak adanya laporan kepada pemerintah sejauhmana perkembangan kemitraan telah dilaksanakan. Sehingga tidak ada tindak lanjut dari pemerintah yang berperan sebagai fasilitator. Oleh karena itu, rata-rata pendapatan transmigran relatif rendah. Namun, beberapa transmigran menyatakan pendapatan yang diperoleh sama baik bahkan lebih baik, dikarenakan transmigran tersebut memiliki pendapatan tidak hanya dari usahatani, melainkan transmigran memiliki mata pencaharian tambahan seperti warung, tukang kayu, tukang batu, bengkel, dan industri kecil rumahtangga berupa tahu dan tempe. Berdasarkan kesejahteraan dibidang kesehatan secara keseluruhan sama baik bahkan lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu kesehatan rumahtangga 21 orang (27,63 %) menyatakan sama baik dan 23 orang (30,26 %) menyatakan lebih baik, dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan sama baik 30 orang (39,47 %) dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Persentase Persepsi Kesejahteraan Kesehatan di UPT Propinsi Lampung Kesejahteraan dibidang Kesehatan Kesehatan anggota rumahtangga Kemudahan memperoleh air bersih Kemudahan memperoleh pelayanan kesehatan
Transmigran
bidang
Jauh Lebih Baik
Lebih Baik
Sama Baik
Sama Jelek
Lebih Jelek
9,21 %
30,26 %
27,63 %
30,26 %
9,21 %
15,79 %
21,05 %
9,21 %
36,84 % 7,89 %
11,84 %
15,79 %
39,47 %
15,79 %
15,79 % 1,32 %
2,63 %
Jauh Lebih Jelek 0%
Jumlah tenaga medis yang sudah cukup memadai dan bertempat tinggal di dalam UPT, menunjang transmigran untuk memperoleh kemudahan dalam pelayanan kesehatan dan memperoleh obat-obatan. Sedangkan, kemudahan memperoleh air bersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari 28 orang (36,84 %)
68
menyatakan lebih sulit dibandingkan dengan tahun sebelumnya. UPT Mesuji Atas SP.13 sulit memperoleh air bersih ketika musim hujan, karena kondisi lahan di UPT merupakan lahan basah, saat hujan menyebabkan air dalam tanah menjadi keruh dan kotor. Berbeda dengan UPT Legundi jika musim kemarau akan mengalami kekeringan dan sulit mencari air bersih. Berdasarkan kesejahteraan transmigran dibidang pendidikan, kemudahan memasukkan anak ke SD 29 orang (38,16 %) menyatakan sama baik dan 18 orang (23,68 %) menyatakan lebih jelek dengan tahun sebelumnya. Bangunan SD yang tersedia tidak dapat menampung semua siswa tingkat SD, karena kurangnya ruang kelas yang tersedia. Oleh karena itu, UPT setempat ada yang mengusahakan bangunan yang tidak terpakai seperti gudang digunakan sebagai sarana kegiatan belajar-mengajar. Sedangkan, kemudahan memasukkan anak ke SLTP memiliki nilai sebanding antara transmigran yang menyatakan sama baik 20 orang (26,31 %) dengan lebih jelek 21 orang (27,63 %). Hal ini dikarenakan, ketersediaan gedung sekolah yang kurang memadai khususnya tingkat SLTP. Dari empat UPT hanya UPT Way Terusan SP.2 saja yang tersedia gedung SLTP, sedangkan UPT lain tidak memiliki gedung tingkat SLTP. Bangunan tingkat SLTA belum tersedia di keempat UPT maka sebagian besar transmigran menyekolahkan anak mereka hanya sampai tingkat SLTP lihat Tabel 17. Tabel 17. Persentase Persepsi Kesejahteraan Pendidikan di UPT Propinsi Lampung Kesejahteraan dibidang Pendidikan Kemudahan memasukkan anak ke SD Kemudahan memasukkan anak ke SLTP
Transmigran
bidang
Jauh Lebih Baik
Lebih Baik
Sama Baik
Sama Jelek
Lebih Jelek
Jauh Lebih Jelek
9,21 %
17,11 %
38,16 %
9,21 %
23,68 %
1,32 %
6,58 %
11,84 %
26,31 %
13,16 %
27,63 %
14,47 %
69
Keadaan kesejahteraan transmigran dibidang sosial budaya dinyatakan sama baik bahkan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya untuk kehidupan beragama, menikmati suasana hari raya agama, dan komunikasi dengan penduduk lokal. Sementara itu transmigran mengeluh kesulitan mendapatkan bacaan dapat dilihat dari 30 orang (39,47 %) transmigran menyatakan untuk memperoleh bacaan jauh lebih jelek lihat Tabel 18. Tabel 18. Persentase Persepsi Kesejahteraan Transmigran bidang Sosial Budaya di UPT Propinsi Lampung Kesejahteraan dibidang Sosial Budaya Kehidupan beragama Menikmati suasana hari raya agama Kemudahan mendapatkan bacaan Komunikasi dengan penduduk lokal
6.2.2
Jauh Lebih Baik 26,32 %
Lebih Baik
Sama Baik
Sama Jelek
Lebih Jelek
22,37 %
50 %
1,32 %
0%
Jauh Lebih Jelek 0%
17,11 %
31,58 %
42,11 %
3,95 %
5,26 %
0%
1,32 %
3,95 %
19,74 %
13,16 %
22,37 %
39,47 %
10,53 %
14,47 %
55,26 %
15,79 %
1,32 %
2,63 %
Analisis Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan KEP. 06/MEN/1999 Tingkat kesejahteraan transmigran dapat dilihat berdasarkan perhitungan
yang telah ditetapkan KEP. 06/MEN/1999, apabila sudah mencapai standar maka dapat dikatakan sejahtera. UPT tahun bina Propinsi Lampung dibagi menjadi dua yaitu tahap pengembangan (T+4) dan tahap pemantapan (T+3). Pada tahap pengembangan secara keseluruhan dari tiap UPT dengan indikator pendapatan KK/tahun, tingkat pelayanan, angka partisipasi pendidikan, angka melek huruf, dan prevelansi penyakit memiliki nilai yang masih jauh dibawah standar. Maka dapat dikatakan pada UPT dalam tahap pengembangan memiliki tingkat kesejahteraan rendah. Perbandingan tingkat kesejahteraan UPT yang masih dalam tahun bina pemerintah dapat dilihat pada Tabel 19.
70
Tabel 19. Tingkat Kesejahteraan Transmigran di UPT Propinsi Lampung Berdasarkan KEP. 06/MEN/1999 Indikator
Pendapatan KK/tahun (Kg setara beras) Tingkat pelayanan (%) Angka partisipasi pendidikan (%) Angka melek huruf (%) Prevalensi penyakit (0/00)
Tahap Pengembangan (T+4) Way Terusan SP.1 Riil Standar 2844,98 3000
Way Terusan SP.2 Riil Standar 2775,30 3000
Mesuji atas SP.13
Tahap Pemantapan (T+3) Legundi
Riil 2035,48
Standar 3000
Riil 2621,09
Standar 2400
65,36 %
80 %
100 %
80 %
9,96 %
80 %
-
50 %
152,05 %
80 %
97,92 %
80 %
54,77 %
80 %
158,46 %
50 %
39,02 %
80 %
60,25 %
80 %
52,83 %
80 %
59,79 %
50 %
114,82
100
943,39
100
22,73
100
34,36
150
Pendapatan rata-rata KK/tahun transmigran pada tahap pengembangan untuk UPT Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, dan Mesuji Atas SP.13 masih dibawah standar (< 3000 Kg setara beras). Tingkat pelayanan jika dilihat dari persentase anggota KUD yang terlayani, UPT dengan persentase dibawah standar yaitu Way Terusan SP.1 (65,36 %) dan Mesuji Atas SP.13 (9,96 %). Mesuji Atas SP.13 memiliki persentase yang jauh dari standar yang telah ditetapkan hal ini disebabkan karena penduduk lebih
memilih
memasarkan sendiri hasil
pertaniannya dari pada melalui KUD, sehingga KUD di Mesuji Atas SP.13 tidak terlalu berfungsi. Indikator tingkat pendidikan dari tabel diatas yang perlu diperhatikan adalah angka melek huruf. Dapat dilihat bahwa untuk persentase penduduk usia lebih dari 10 tahun yang mampu baca tulis memiliki nilai relatif rendah yaitu Way Terusan SP.1 (39,02 %), Way Terusan SP.2 (60,25 %), dan Mesuji Atas SP.13 (52,83 %). Penduduk di daerah transmigrasi sebagian besar memiliki pendidikan rendah dan ada yang tidak bersekolah, hal ini tidak hanya disebabkan oleh jumlah
71
sekolah yang tidak mencukupi, namun ada beberapa transmigran yang di daerah asalnya tidak bersekolah karena keterbatasan biaya. Hingga saat ini belum ada upaya pemerintah dalam mengatasi transmigran yang buta huruf, ini terlihat dari belum terlaksananya program yang seharusnya diadakan seperti kejar paket A, paket B, dan paket C. Dibidang kesehatan jumlah transmigran yang sakit cukup tinggi jenis penyakit yang banyak diderita: malaria, infeksi saluran pernapasan atas, kulit/gatal, disentri, diare, muntaber, demam berdarah, dan influenza. Ini disebabkan peralatan puskesmas yang masih terbatas, dan sulit memperoleh air bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok transmigran. Khusus UPT Mesuji Atas SP.13 masih kekurangan tenaga kesehatan dan obat-obatan. Ketersediaan sarana dibidang kesehatan terasa sangat minim, apabila ada transmigran sakit keras dan sudah tidak dapat ditangani puskesmas setempat karena keterbatasan peralatan kedokteran, maka harus segera dirujuk kerumah sakit terdekat yang jaraknya cukup jauh dari lokasi UPT. Secara keseluruhan pada tahap pemantapan untuk UPT Legundi berdasarkan indikator pendapatan, pendidikan, dan kesehatan sudah di atas standar yang telah ditetapkan (> 2400 kg setara beras), maka transmigran di UPT Legundi pada tahap pemantapan sudah sejahtera dan UPT ini mulai memasuki tahap pengembangan. Hal ini ditunjang dari letak UPT Legundi yang lebih strategis dari UPT lain. Diharapkan pada tahap pengembangan persentase angka melek huruf meningkat dan prevalensi penyakit dapat berkurang. Program pembinaan pemerintah tadinya diharapkan dapat membantu transmigran agar dapat hidup mandiri di lokasi tempat tinggal yang baru, sehingga
72
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup, namun tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keterbatasan pembinaan UPT disebabkan tidak tersedia Ka. KUPT (kantor kepala UPT), karena sejak otonomi daerah diberlakukan tahun 1999. Di setiap lokasi UPT kepala UPT (dari dinas transmigrasi) sudah tidak ada dan digantikan oleh Kepala Desa. Jadi Kepala Desa disini berperan sebagai kepala UPT yang bertindak mengamati kemajuan lokasi UPT, dan menentukan lokasi mana yang masih memerlukan binaan dan bantuan dari pemerintah, sehingga anggaran program pembinaan transmigrasi tercukupi. Dikarenakan kurangnya pengetahuan Kepala Desa mengenai tugas kepala UPT, maka pembinaan tidak terlaksana dengan baik. Berdasarkan analisis pendapatan dan tingkat kesejahteraan di UPT Way Terusan SP.1, Way Terusan SP.2, dan Mesuji Atas SP.13 program transmigrasi dapat dikatakan belum berhasil. Sedangkan UPT Legundi yang memiliki pendapatan dan tingkat kesejahteraan di atas standar dapat dikatakan telah berhasil. 6.2.3
Kemitraan Usaha di UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2 Program transmigrasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
transmigran dan masyarakat sekitar yang diwujudkan melalui penyediaan kesempatan kerja dan peluang usaha. Oleh karena itu salah satu upaya dalam pembangunan transmigrasi yaitu melalui kemitraan usaha. Kemitraan usaha merupakan kerjasama antara investor/swasta dan masyarakat transmigran serta penduduk (asli) disekitarnya yang disesuaikan dengan pola usaha yang ada.
73
Kemitraan usaha pertanian yang dilaksanakan di Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 adalah kemitraan dengan pola inti plasma. Pola ini dapat dilihat pada Gambar 10. Transmigran berkewajiban menyediakan: • Lahan • Hasil usaha • Bahan baku, dan • Mengembalikan modal
Lembaga yang mewakili transmigran dalam perjanjian
Investor berkewajiban: • Memberikan modal • Sebagai penjamin • Meningkatkan teknis usaha • Memasarkan hasil usaha
transmigran transmigran transmigran transmigran
Koperasi Transmigrasi
Investor
transmigran
Gambar 10. Pola Kemitraan Usaha Transmigran UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2 Dari pola kemitraan di atas dapat dilihat bahwa aktivitas budidaya dapat terjadi pada dua bagian, yakni terjadi di sisi transmigran dan investor. Investor atau Badan Usaha berkewajiban membantu perolehan permodalan, bertindak sebagai penjamin, meningkatkan teknis usaha, menampung dan memasarkan hasil usaha. Transmigran bertindak sebagai petani menyediakan lahan, hasil usaha, bahan baku, dan mengembalikan permodalan. Kemitraan usaha yang dibangun antara transmigran dan investor diharapkan memenuhi ketergantungan usaha yang menguntungkan satu sama lain, bukan satu pihak menggantungkan kepada pihak lain. Pembinaan manajemen petani dilakukan pada kelompok tani dan koperasi. Koperasi diarahkan sebagai lembaga perekonomian dan manajemen petani, sedangkan kelompok tani
74
diarahkan sebagai lembaga teknologi petani. Sehingga diharapkan pada saat kerjasama dimulai tidak lagi terdapat jurang perbedaan teknologi antara perusahaan dan mitra usaha. Kemitraan usaha di Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 antara PT. IndoLampung Buana Makmur (ILBM) dengan transmigran melalui kelembagaan koperasi pertanian dimulai pada tahun 1998 dan akan berakhir pada tahun 2010. Namun, sebelum perjajian kerjasama ini berakhir PT. ILBM digantikan oleh PT. Garuda Panca Arka (GPA), dikarenakan PT. ILBM mengalami pailit. Kerjasama ini dilakukan untuk mengupayakan pengembangan komoditi perkebunan tebu daerah transmigrasi unit permukiman transmigrasi Way Terusan Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung. Diharapkan pembangunan transmigrasi dengan kemitraan usaha pola perkebunan ini dapat meningkatkan pendapatan transmigran serta pembangunan secara keseluruhan. Namun tidak demikian kenyataannya dalam kemitraan yang dilaksanakan di UPT Way Terusan. Berdasarkan wawancara, transmigran merasa dirugikan dalam hal bagi hasil dilihat dari rendahnya harga plasma tebu petani yang diterima dari investor hanya sebesar 2.000.000 rupiah dalam setahun dan transmigran yang ingin bekerja sebagai buruh di PT. GPA terbatas yaitu hanya 100 orang tenaga kerja apabila sudah masuk musim giling dan 50 orang tenaga kerja apabila tidak musim giling.
6.3 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumahtangga Transmigran Kemiskinan merupakan masalah kompleks, sebagai lingkaran masalah yang tidak berujung pangkal. Tingkat kemiskinan dapat diartikan sebagai tingkat
75
penilaian objektif seseorang terhadap pendapatan yang diperolehnya. Penilaian tingkat kemiskinan responden dibagi menjadi dua yaitu apakah peluang responden miskin atau tidak miskin. Jika responden tergolong miskin maka diberikan nilai satu, sedangkan responden tergolong tidak miskin maka diberi nilai nol. Miskin atau tidaknya responden dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan dapat digunakan model regresi logist. Peubah-peubah bebas yang dipakai untuk model logit ini adalah peubah tanggungan, jumlah anggota tenaga kerja, pendidikan, pengeluaran kebutuhan dasar, pengeluaran kebutuhan sekunder, investasi, dan tabungan. Hasil pendugaan model regresi logit disajikan pada Tabel 20. Tabel 20.
Hasil Dugaan Model Regresi Logistik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Rumahtangga Transmigran di UPT Propinsi Lampung
Peubah Koefisien Z-hitung Konstanta 7,87168 2,22 Tanggungan 0,374230 0,43 Jumlah anggota tenaga kerja -1,29612 -1,55 Pendidikan 0,204905 0,55 Pengeluaran kebutuhan dasar -0,0005247 -0,91 Pengeluaran kebutuhan sekunder -0,0026482 -1,81 Tabungan -0,0028492 -0,65 Investasi -0,0021066 -2,64 Lamanya tahun bina T+8 (D1) 4,05931 1,93 Lamanya tahun bina T+6 (D2) 7,19541 1,54 Log-likehood = -12,641 Test that all slopes are zero :G = 66,174 Df = 9 Goodness-of-Fit Test Method Chi-Square DF Pearson 24,6415 66 Deviance 25,2812 66 Hosmer-Lemeshow 3,4557 8 Measures of Association Pairs Number Concordant 1164 Discordant 24 Keterangan : * Nyata pada tingkat α = 20 persen ** Nyata pada tingkat α = 10 persen
P-Value 0,026 0,671 0,120* 0,585 0,363 0,070** 0,515 0,008*** 0,054** 0,123*
Odds Ratio 1,4539 0,2736 1,2274 0,9995 0,9974 0,9972 0,9979 57,9343 1333,2969
P-Value = 0,000 P
Keterangan 1,000 Model baik 1,000 Model baik 0,623 Model baik Percent 98,0 2,0
76
*** Nyata pada tingkat α = 5 persen
Hasil pendugaan model logit terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan transmigran menunjukkan bahwa peubah-peubah yang berpengaruh nyata pada model sampai selang kepercayaan 80 persen adalah jumlah anggota tenaga kerja, pengeluaran kebutuhan sekunder, pengeluaran barang tahan lama (investasi), lamanya tahun bina T+8, dan lamanya tahun bina T+6. Dari hasil tersebut, maka diperoleh model logit yang sesuai untuk analisis ini, yaitu: Pi = 7,87168 + 0,374230 TANGi - 1,29612 JATKi + 0,204905 PDDKi 0,0005247 DSRi - 0,0026482 SKDRi - 0,0028492 TABi - 0,0021066 INVi + 4,05931 D1 + 7,19541 D2 + Єi Uji nyata secara keseluruhan terhadap semua peubah bebas dengan uji log kemungkinan maksimum = -12,641 menghasilkan nilai G-hitung = 66,174 dan P-value sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model tersebut cukup baik artinya minimal terdapat salah satu peubah bebas yang berpengaruh nyata. Berdasarkan uji kebaikan model dengan metode Pearson, Deviance, dan Hosmer-Lemeshow diperoleh nilai P lebih besar dari α sebesar 20 persen, yang berarti tidak cukup bukti untuk menyimpulkan model yang diperoleh tidak baik. Selain itu, berdasarkan ketepatan meramal 98 persen variabel respon cocok (concordant) dan tidak cocok sebesar 2 persen. 6.3.1
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Nyata Terhadap Kemiskinan Rumahtangga Transmigran
6.3.1.1 Jumlah Anggota Tenaga Kerja Peubah Jumlah anggota tenaga kerja berpengaruh nyata pada tingkat α = 20 persen yang terlihat dari P-value sebesar 0,120. Ini berarti semakin banyak jumlah anggota rumahtangga yang bekerja akan semakin kecil peluang
77
rumahtangga transmigran dikategorikan miskin. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin banyak jumlah anggota keluarga yang bekerja maka pendapatan dalam rumahtangga transmigran akan meningkat atau mendapat tambahan pendapatan, sehingga transmigran dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Peubah jumlah anggota tenaga kerja ini mempunyai nilai odds ratio sebesar 0,27. Hal ini berarti jika jumlah anggota tenaga kerja semakin banyak maka rumahtangga transmigran akan berpeluang dikategorikan miskin daripada tidak miskin sebesar 0,27 kali. 6.3.1.2 Pengeluaran Kebutuhan Sekunder Pengeluaran kebutuhan sekunder merupakan pengeluaran kebutuhan pokok rumahtangga diluar kebutuhan dasar, terdiri dari pengeluaran untuk pesta dan upacara, rekreasi dan olahraga, pemeliharaan badan (odol, sabun, sikat gigi, dll), sumbangan ke daerah asal/pendidikan anak, pulang pergi ke daerah asal, surat/komunikasi ke daerah asal. Hasil pendugaan model regresi logistik diperoleh P-value untuk peubah bebas pengeluaran kebutuhan sekunder sebesar 0,070 yang lebih kecil dari nilai α = 10 persen. Ini berarti peubah bebas pengeluaran kebutuhan sekunder berpengaruh nyata dengan peubah tak bebas (peluang rumahtangga miskin). Semakin tinggi pengeluaran rumahtangga transmigran untuk kebutuhan sekunder maka semakin kecil peluang rumahtangga transmigran dikategorikan miskin. Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi pendapatan transmigran maka pengeluaran kebutuhan dasar (dibelanjakan untuk makanan) semakin rendah, dan porsi pengeluaran kebutuhan sekunder akan semakin tinggi. Ini sesuai dengan hukum ekonomi, dimana penduduk/transmigran sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup, maka pengeluaran lebih digunakan untuk
78
memenuhi kebutuhan sekunder (barang bukan makanan), sehingga menunjukkan adanya peningkatan kesejahteraan transmigran yang bersangkutan. Peubah bebas pengeluaran kebutuhan sekunder mempunyai nilai odds ratio sebesar 1,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika pengeluaran kebutuhan sekunder semakin tinggi maka rumahtangga transmigran akan memiliki peluang semakin miskin daripada tidak miskin sebesar 1,00 kali. 6.3.1.3 Investasi Investasi atau pembelian barang tahan lama rumahtangga transmigran, terdiri dari perabotan (kursi, meja, dan tempat tidur), emas/perhiasan, lampu petromak, radio, televisi, sepeda, sepeda motor, mobil, perahu, tanah dan rumah, perbaikan rumah, dan sapi/ternak lainnya. Hasil pendugaan model regresi logistik diperoleh P-value untuk peubah bebas investasi sebesar 0,008 yang lebih kecil dari nilai α = 5 persen. Ini berarti peubah bebas investasi berpengaruh nyata dengan peubah tak bebas (peluang rumahtangga miskin). Semakin tinggi investasi/pembelian barang tahan lama rumahtangga transmigran maka semakin kecil peluang rumahtangga transmigran dikategorikan miskin. Sama halnya dengan peubah pengeluaran kebutuhan sekunder. Semakin tinggi pendapatan transmigran maka semakin tinggi tingkat pengeluaran yang dibelanjakan untuk barang bukan makanan (pembelian barang tahan lama/investasi). Peubah bebas pengeluaran kebutuhan sekunder mempunyai nilai odds ratio sebesar 1,00. Hal tersebut menunjukkan bahwa jika investasi/pembelian barang tahan lama semakin tinggi maka rumahtangga transmigran akan memiliki peluang semakin miskin daripada tidak miskin sebesar 1,00 kali.
79
6.3.1.4 Lamanya Tahun Bina T+8 Peubah lamanya tahun bina T+8 berpengaruh nyata pada tingkat α = 10 persen yang terlihat dari P-value sebesar 0,054. Ini berarti bahwa rumahtangga yang berada di UPT tahun bina T+8 memiliki peluang miskin yang lebih besar dibandingkan dengan runahtangga yang berada di UPT tahun bina T+3. Nilai odds ratio sebesar 57,93 menunjukkan bahwa rumahtangga yang hidup di UPT dengan tahun bina T+8 berpeluang miskin sebesar 57,93 kali dibandingkan dengan rumahtangga transmigran UPT dengan tahun bina T+3. Hal ini disebabkan UPT yang sudah memasuki tahun bina T+8 di Propinsi Lampung yaitu Way Terusan SP.1 dan Way Terusan SP.2 masih memiliki ratarata pendapatan yang relatif rendah dengan terbatasnya sarana transportasi dan akses jalan masih rusak yang menyebabkan sulit untuk memasarkan produk pertanian, dan kondisi geografis UPT yang kurang mendukung dengan jenis lahan kering, sehingga petani sulit untuk memperoleh hasil pertanian. Sedangkan UPT Legundi dengan tahun bina T+3 relatif lebih maju, karena aksesibilitas ke UPT lebih lancar dan dekat dengan Pelabuhan Bakauheni dengan didukung sarana transportasi yang baik. 6.3.1.5 Lamanya Tahun Bina T+6 Peubah lamanya tahun bina T+6 berpengaruh nyata pada tingkat α = 10 persen yang terlihat dari P-value sebesar 0,123. Ini berarti bahwa rumahtangga yang berada di UPT tahun bina T+6 memiliki peluang miskin yang lebih besar dibandingkan dengan runahtangga yang berada di UPT tahun bina T+3. Nilai odds ratio sebesar 1333,30 menunjukkan bahwa rumahtangga yang hidup di UPT
80
dengan tahun bina T+6 berpeluang miskin sebesar 1333,30 kali dibandingkan dengan rumahtangga transmigran UPT dengan tahun bina T+3. UPT dengan lama tahun bina T+6 yaitu Mesuji Atas SP.13 memiliki perekonomian yang lebih jelek dibandingkan dengan UPT lainnya, khususnya UPT Legundi, ini terkait dengan akses jalan yang sangat jelek dan ketersediaan sarana transportasi yang sedikit. Hal ini menyebabkan terhambatnya kemajuan daerah setempat yang dapat mendukung tingkat kesejahteraan transmigran, seperti distribusi obat-obatan tidak berjalan lancar dan pemasaran hasil produksi terlambat sehingga merugikan petani. Selain itu, fasilitas umum seperti pasar masih belum tersedia jadi transmigran mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. 6.3.2
Faktor-Faktor Yang Tidak Berpengaruh Kemiskinan Rumahtangga Transmigran
Nyata
Terhadap
6.3.2.1 Jumlah Tanggungan P-value dari peubah jumlah tanggungan sebesar 0,671 yang lebih besar dari tingkat α = 20 persen. Hal ini berarti peubah jumlah tanggungan tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan rumahtangga transmigran. Hal ini disebabkan sebaran jumlah tanggungan dalam rumahtangga transmigran tidak terlalu berbeda jauh yang sebagian besar pada kisaran antara 4-5 orang anggota rumahtangga, karena di lokasi UPT untuk program KB (Keluarga Berencana) yang merupakan salah satu program dari Pemerintah dalam menghambat peningkatan jumlah penduduk sangat diperhatikan. 6.3.2.2 Pendidikan Peubah pendidikan tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan rumahtangga transmigran terlihat dari P-value yang lebih besar dari tingkat α = 20
81
persen yaitu sebesar 0,585. Karena sebagian besar transmigran berpendidikan rendah, hanya tamat tingkat SD dan tingkat pendidikan di unit permukiman transmigrasi tidak terlalu mempengaruhi kesempatan lapangan kerja yang dapat dimasuki. Karena semua transmigran memiliki matapencaharian utama sebagai petani, kalaupun ada pekerjaan diluar usahatani yang merupakan pekerjaan sampingan seperti industri/kerajinan, dagang, dan jasa tidak berdasarkan tingginya tingkat pendidikan melainkan dapat diperoleh dari keahlian dan kemampuan seseorang yang dapat dipelajari sendiri. 6.3.2.3 Pengeluaran Kebutuhan Dasar Peubah pengeluaran kebutuhan dasar tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan rumahtangga transmigran terlihat dari P-value yang lebih besar dari tingkat α = 20 persen yaitu sebesar 0,363. Hal ini disebabkan karena pengeluaran kebutuhan dasar tidak terlalu berbeda jauh antara rumahtangga transmigran yang satu dengan yang lainnya. Sehingga, sulit untuk mengatakan bahwa semakin tinggi pengeluaran kebutuhan dasar rumahtangga transmigran akan semakin miskin ataupun sebaliknya sulit untuk mengatakan semakin rendah pengeluaran kebutuhan dasar rumahtangga transmigran akan semakin miskin. Karena setiap rumahtangga baik miskin atau tidak miskin membutuhkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga agar dapat melanjutkan kehidupannya. 6.3.2.4 Tabungan P-value dari peubah tabungan sebesar 0,515 yang lebih besar dari tingkat α = 20 persen. Hal ini berarti peubah tabungan tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan rumahtangga transmigran. Hal ini disebabkan oleh hampir semua rumahtangga transmigran tidak memiliki tabungan, alasan mereka karena
82
pendapatan yang diperoleh saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup rumahtangga transmigran apalagi untuk menabung, dan tidak adanya sarana untuk tempat menyimpan uang atau bank kalaupun ada jarak yang harus ditempuh relatif jauh sehingga mereka akan mengeluarkan biaya lebih banyak.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan : 1.
Pendapatan rata-rata KK/tahun dari ke empat UPT dengan lamanya tahun bina yang berbeda masih di bawah standar. Adapun pendapatan rata-rata KK/tahun untuk tahap pengembangan Way Terusan SP.1 sebesar 2844,98 (kg setara beras); Way Terusan SP.2 sebesar 2775,30 (kg setara beras); dan Mesuji Atas SP.13 sebesar 2035,48 (kg setara beras). Tahap pemantapan untuk UPT Legundi sebesar 2621,09 (kg setara beras). Pendapatan rata-rata transmigran terendah yaitu pada UPT Mesuji Atas SP.13.
2.
Tingkat kesejahteraan rumahtangga transmigran jika dianalisis secara subjektif dengan penilaian persepsi transmigran, berdasarkan bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan dan sosial budaya relatif sama baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan sarana angkutan umum dan akses jalan yang rusak, sehingga dapat menghambat aktivitas transmigran dalam memperoleh kebutuhan rumahtangga dan usahatani, serta kurangnya sarana sekolah yang dapat menghambat proses belajar-mengajar. Sedangkan, berdasarkan KEP. 06/MEN/1999 tingkat kesejahteraan rumahtangga transmigran masih rendah. Dapat dilihat dari pendapatan rata-rata KK/tahun, tingkat pelayanan, angka melek huruf, dan prevalensi penyakit, yang masih dibawah standar yang telah ditetapkan.
80
3.
Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap peluang kemiskinan rumahtangga transmigran pada tingkat α ≤ 20 persen adalah jumlah anggota tenaga kerja, pengeluaran sekunder, investasi, Dummy tahun bina T+8, dan Dummy tahun bina T+6. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa semakin lama tahun bina terhadap UPT (T>5) di Propinsi Lampung memiliki kesejahteraan yang relatif rendah atau semakin miskin dibandingkan UPT dengan tahun bina yang lebih muda.
7.2 Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka dapat disarankan : 1.
Salah satu penyebab rendahnya pendapatan yang diperoleh transmigran adalah akses jalan yang rusak, sehingga menghambat aktivitas perekonomian transmigran. Oleh karena itu perlu adanya perhatian dari pemerintah untuk memperbaiki kondisi jalan ke lokasi UPT.
2.
Masyarakat transmigrasi anggota koperasi harus menyampaikan pendapat dalam forum rapat anggota tentang kurang manfaatnya kerjasama antara koperasi dan PT. Garuda Panca Arka yang disaksikan oleh Dinas Transmigrasi dan Kependudukan sehingga pemerintah dalam hal ini Depnakertrans dapat mengetahui sejauhmana kemajuan dari kemitraan usaha.
3.
Berdasarkan kebijaksanaan yang telah ditetapkan mengenai programprogram pembinaan pemerintah pada tahun awal, dalam pelaksanaannya harus terealisasi dengan baik.
81
4.
Perlu adanya pelatihan bagi kepala desa setempat agar dapat melaksanakan tugasnya sebagai kepala UPT atau pada tahun awal pembinaan, kepala desa didampingi oleh petugas transmigrasi dari Propinsi/Kabupaten.
5.
Penanggulangan kemiskinan di lokasi transmigrasi berdasarkan hasil analisis, sebaiknya dilaksanakan oleh Pemerintah dan masyarakat transmigrasi sesuai kondisi setempat dengan mengupayakan perluasan kesempatan kerja.
90
Lampiran 2. Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Way Terusan SP.1
Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 TOTAL
Penge. ART keb. dsr 2.316 7.255 6.461 2.945 4.146 3.485 3.005 6.131 1.985 5.806 3.859 4.291 2.382 7.199 2.657 3.581 3.401 3.590 3.246 3.216 80.957
Penge ART keb. sknder 1.840 2.580 3.420 780 2.160 2.220 720 470 240 660 2.100 2.880 540 912 2.085 1.440 1.140 600 480 1.970 29.237
Tabungan 100 0 0 0 0 3.000 60 100 0 0 0 0 0 0 200 0 0 0 0 0 3.460
Investasi 1.700 7.630 1.725 805 2.065 1.365 630 675 405 1.170 5.070 2.150 1.200 6.450 4.360 3.245 550 750 1.350 2.370 45.665
Harga beras di pasar setempat 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800 2.800
Pendapatan KK/tahun 2.127,1 6.237,5 4.145 1.617,9 2.989,6 3.596,4 1.576,8 2.634,3 939,3 2.727,1 3.938,9 3.328,9 1.472,1 5.200,4 3.322,1 2.952,1 1.818,2 1.764,3 1.812,9 2.698,6 56.899,7
91
Lampiran 3. Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Way Terusan SP.2
Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 TOTAL
Penge ART keb dsr Penge ART keb sknder 2.030 1.140 2.685 840 2.180 1.056 2.090 1.790 2.190 390 2.524 1.500 2.570 1.110 1.970 1.050 1.980 1.344 2.375 1.830 2.234 1.170 1.774 690 2.763 1.200 1.839 870 1.916 990 2.411 630 2.218 942 2.949 1.926 1.640 366 1.680 390 44.018 21.224
Tabungan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Investasi 675 2.350 475 2.130 1.425 2.050 2.575 2.300 2.025 2.650 2.575 2.225 6.050 1.950 2.300 1.825 2.970 2.950 2.000 2.270 45.770
Harga Beras di Pasar Setempat 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000 2.000
Pendapatan KK/Tahun 1922,5 2937,5 1855,5 3005 2002,5 3037 3127,5 2660 2674,5 3427,5 2989,5 2344,5 5006,5 2329,5 2603 2433 3065 3912,5 2003 2170 55.506
92
Lampiran 4. Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Mesuji Atas SP.13
Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 TOTAL
Penge ART keb dsr 3.835 3.760 2.865 1.660 3.360 2.980 2.308 3.350 1.970 2.320 2.450 5.106 2.130 2.770 2.684 2.335 2.545 48.428
Penge ART keb sknder 1.220 600 380 390 970 560 720 780 830 630 970 500 340 370 330 850 190 10.630
Tabungan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Investasi 1.775 2.100 1.675 290 855 1.710 1.075 1.700 955 1.205 1.605 1.390 940 1.325 7.135 1.005 710 27.450
Harga Beras di Pasar Setempat 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500 2.500
Pendapatan KK/Tahun 2732 2584 1968 936 2074 2100 1641,2 2332 1502 1662 2010 2798,4 1364 1786 4059,6 1676 1378 34.603,2
93
Lampiran 5. Data Analisis Pendapatan Transmigran UPT Legundi
Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 TOTAL
Penge ART keb dsr 4.760 1.812 6.158 1.694 2.544 1.480 3.556 5.150 13.960 2.320 1.396 5.462 3.442 3.141 5.340 3.176 2.916 2.822 1.934 73.063
Penge ART keb sknder 460 440 660 910 970 400 230 980 1.160 680 800 600 760 520 850 360 1.170 370 550 12.870
Tabungan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3.600 0
Investasi 11.075 100 8.350 300 750 610 500 475 0 1.640 1.210 1.979 650 300 0 200 0 1.850 0 29.989
Harga Beras di Pasar Setempat 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400 2.400
Pendapatan KK/tahun 6.789,6 980 6.320 1.210 1.776,7 1.037,5 1.785,8 2.752,1 6.300 1.933,3 1.419,2 3.196,3 2.021,7 1.650,4 2.579,2 1.556,7 1702,5 3.600,8 1035 49.646,7
94
Lampiran 6. Perhitungan Tingkat Kesejahteraan Berdasarkan KEP. 06/MEN/1999
Way Terusan SP.1 1. Tingkat pelayanan Persentase anggota KUD yang terlayani = Jumlah anggota aktif x 100 % Jumlah KK di UPT = 300 x 100 % 459 = 65,36 % 2. Angka Partisipasi Pendidikan (EPR) EPR = Jumlah penddk usia SD – SLTP yang sedang bersekolah x 100 % Jumlah penddk usia sekolah SD – SLTP = 555 x 100 % 365 = 152,05 % 3. Angka Melek Huruf (AMH) AMH =
Jumlah penddk umur >10 tahun – jumlah penddk buta huruf > 10 tahun x 100 % Jumlah penddk umur >10 tahun
=
1640 – 1000 x 100 % 1640
=
39,02 %
4. Prevalensi penyakit (PP) PP
= Jumlah penddk sakit x 100 % Jumlah penddk (jiwa) =
227 x 1000 1977
= 114,82
Way Terusan SP.2 1. Tingkat pelayanan Persentase anggota KUD yang terlayani = Jumlah anggota aktif x 100 % Jumlah KK di UPT = 450 x 100 % 450 = 100 %
95
2. Angka Partisipasi Pendidikan (EPR) EPR = Jumlah penddk usia SD – SLTP yang sedang bersekolah x 100 % Jumlah penddk usia sekolah SD – SLTP = 473 x 100 % 483 = 97,92 % 3. Angka Melek Huruf (AMH) AMH =
Jumlah penddk umur >10 tahun – jumlah penddk buta huruf > 10 tahun x 100 % Jumlah penddk umur >10 tahun
=
1519 – 300 x 100 % 1519
=
80,25 %
4. Prevalensi penyakit (PP) PP
= Jumlah penddk sakit x 100 % Jumlah penddk (jiwa) = 1950 x 1000 2067 = 943,39
Mesuji Atas SP.13 1. Tingkat pelayanan Persentase anggota KUD yang terlayani = Jumlah anggota aktif x 100 % Jumlah KK di UPT = 48 x 100 % 482 = 9,96 % 2. Angka Partisipasi Pendidikan (EPR) EPR = Jumlah penddk usia SD – SLTP yang sedang bersekolah x 100 % Jumlah penddk usia sekolah SD – SLTP = 247 x 100 % 451 = 54,77 % 3. Angka Melek Huruf (AMH) AMH =
Jumlah penddk umur >10 tahun – jumlah penddk buta huruf > 10 tahun x 100 % Jumlah penddk umur >10 tahun
96
=
1573 – 742 x 100 % 1573
=
52,83 %
4. Prevalensi penyakit (PP) PP
= Jumlah penddk sakit x 100 % Jumlah penddk (jiwa) =
46 x 1000 2024
= 22,73
Legundi 1. Tingkat pelayanan (Tidak ada) 2. Angka Partisipasi Pendidikan (EPR) EPR = Jumlah penddk usia SD – SLTP yang sedang bersekolah x 100 % Jumlah penddk usia sekolah SD – SLTP = 309 x 100 % 195 = 158,46 % 3. Angka Melek Huruf (AMH) AMH =
Jumlah penddk umur >10 tahun – jumlah penddk buta huruf > 10 tahun x 100 % Jumlah penddk umur >10 tahun
=
567 – 228 x 100 % 567
=
59,79 %
4. Prevalensi penyakit (PP) PP
= Jumlah penddk sakit x 100 % Jumlah penddk (jiwa) =
28 x 1000 815
= 34,36
100 Lampiran 8. Hasil Logit Peluang Kemiskinan Rumahtangga Transmigran Binary Logistic Regression: KMSN versus TANG; JATK; ... Link Function: Logit Response Information Variable KMSN
Value 1 0 Total
Count 54 22 76
(Event)
Logistic Regression Table 95% CI Predictor Constant TANG JATK PDDK DSR SKDR TAB INV D1 1 D2 1
Coef 7,87168 0,374230 -1,29612 0,204905 -0,0005247 -0,0026482 -0,0028492 -0,0021066
SE Coef 3,54594 0,880111 0,834146 0,374730 0,0005766 0,0014625 0,0043800 0,0007986
Z 2,22 0,43 -1,55 0,55 -0,91 -1,81 -0,65 -2,64
P 0,026 0,671 0,120 0,585 0,363 0,070 0,515 0,008
Odds Ratio
Lower
Upper
1,45 0,27 1,23 1,00 1,00 1,00 1,00
0,26 0,05 0,59 1,00 0,99 0,99 1,00
8,16 1,40 2,56 1,00 1,00 1,01 1,00
4,05931
2,10688
1,93
0,054
57,93
0,93
3600,36
7,19541
4,66934
1,54
0,123
1333,30
0,14
12576264,61
Log-Likelihood = -12,641 Test that all slopes are zero: G = 66,174, DF = 9, P-Value = 0,000 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square Pearson 24,6415 Deviance 25,2812 Hosmer-Lemeshow 6,2124
DF 66 66 8
P 1,000 1,000 0,623
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
0 0,0
0 0,2
4 2,4
4 6,2
8 7,4
7 7,0 7
8 7,8 8
3 4,6 7
4 1,8 8
0 0,6 8
7
8
9
10
Total
7 6,8
8 7,9
7 7,0
8 8,0
8 8,0
54
0 0,2 7
0 0,1 8
0 0,0 7
0 0,0 8
0 0,0 8
22
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 1164 24 0 1188
Percent 98,0 2,0 0,0 100,0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0,96 0,96 0,40
76
101 Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian
Dokumentasi 1. Kondisi Jalan Menuju Lokasi UPT Way Terusan SP.1 dan SP.2
Dokumentasi 2. Kondisi Tempat Tinggal Transmigran Yang Masih Asli
Dokumentasi 3. Kondisi Sekolah Di Lokasi UPT
102
Dokumentasi 4. Fasilitas Umum Yang Tersedia di UPT Puskesmas dan Pasar
Dokumentasi 5. Pekerjaan Sampingan Transmigran di Luar Usahatani
Dokumentasi 6. Lahan Usaha I Transmigran