ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI KOMODITI JAGUNG HIBRIDA DAN BERSARI BEBAS (LOKAL) (Kasus: Desa Saguling, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung,
Provinsi Jawa Barat)
Oleh : HENDRA KHAERIZAL A 14104556
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN HENDRA KHAERIZAL (A 14104556). Analisis Pendapatan dan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Komoditi Jagung Hibrida dan Bersari Bebas (Lokal) (Kasus: Desa Saguling, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) (Di bawah Bimbingan RAHMAT YANUAR, SP, M.Si).
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan kehidupan. Sebagai makhluk hidup, tanpa pangan manusia tidak mungkin dapat bertahan dan melangsungkan kehidupannya. Komoditi tanaman pangan dibagi menjadi dua kelompok komoditi yaitu komoditi pangan utama dan komoditi pangan sekunder. Perkembangan kebutuhan pangan nasional pada periode tahun 2000-2006, menunjukkan masih terjadi kekurangan akan stok nasional baik dari komoditi pangan utama maupun kelompok pangan sekunder. Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah mengambil langkah antisipatif dalam mensiasati kondisi yang terjadi karena apabila dibiarkan akan menyebabkan Indonesia masuk kedalam kondisi krisis pangan. Salah satu langkah yang ditempuh pemerintah adalah pola divesifikasi pangan. Pola diversifikasi lebih diarahkan kepada pengembangan komoditi pangan sekunder. Program pengembangan pangan tersebut salah satunya dikenal dengan istilah “Three In One”, dimana salah satu komoditi yang akan menjadi unggulan adalah jagung (Deptan RI, 2006). Pengembangan jagung dalam menunjang ketahanan pangan nasional bahkan swasembada bukan berarti tanpa hambatan, introduksi sebuah teknologi ke dalam kebiasaan pola pertanaman tidaklah mudah. Komoditi jagung pada umumnya dikelompokan menjadi dua kelompok jenis varietas besar yaitu Bersari Bebas dan Hibrida. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan karakteristik teknologi usahatani jagung hibrida dan jagung bersari bebas (lokal) di Desa Saguling, (2) Menganalisis perbandingan penggunaan faktor-faktor usahatani jagung dengan benih hibrida dan bersari bebas (lokal) di Desa Saguling, (3) Menganalisis pendapatan usahatani jagung dengan benih hibrida dan jagung bersari bebas (lokal) dan dengan batasan status kepemilikan lahan di Desa Saguling. Hasil penelitian ini menunjukan, usahatani jagung di Desa Saguling tergolong masih sederhana, hal ini tercermin dari kecilnya luasan lahan produksi, masih belum digunakannya mesin pertaninan (seperti hand tractor atau mesin perontok biji (hasil panen)), pengaturan komposisi input produksi (benih, pupuk dan obat-obatan) yang masih belum berimbang sampai pengaturan tenaga kerja. Penggunan benih hibrida tergolong baru, berdasarkan keterangan beberapa responden menyatakan bahwa benih hibrida baru mulai ditaman sekitar awal tahun 2000-an. Varietas benih hibrida yang biasa digunakan adalah Pioneer dan Bisi, sedangkan untuk benih bersari bebas hanya merupakan benih hasil panen. Pola penyebaran varietas benih oleh masyarakat sering tergantung hasil panen terbesar pada dusun atau desa tersebut dan penyebaran berlangsung dengan people to people contact (mulut-ke mulut). Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung adalah luas lahan, pemilihan jenis benih, dosis penggunaan pupuk (Urea, TSP, KCl dan NPK), obat-
obatan, manajemen (budidaya-panen) serta penggunaan tenaga kerja. Pemilihan benih akan berpengaruh terhadap komoditi apa yang akan ditanam dan besar kecilnya hasil panen yang akan dihasilkan. Perbandingan penggunaan faktorfaktor produksi usahatani jagung hibrida dan bersari bebas dengan rekomendasi teknologi produksi menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi usahatani secara teknis masih belum sesuai dengan rekomendasi, sebab sebagian besar dosis penggunaan input produksi seperti jumlah benih, dosis pupuk, tenaga kerja serta pola budidaya melebihi jumlah yang disarankan. Analisis pendapatan usahatani menujukan total biaya yang dikeluarkan petani jagung hibrida adalah Rp 4.436.853,29 dan petani jagung bersari bebas adalah Rp 4.223.101,54, sedangkan penerimaan petani jagung hibrida adalah Rp 7.174.295,27 dan petani jagung bersari bebas Rp 5.141.328,22. Pendapatan atas biaya tunai petani hibrida adalah sebesar Rp 3.216.827,05 sedangkan pendapatan petani bersari bebas adalah Rp 1.317.523,72. Total Biaya yang dikeluarkan oleh petani jagung hibrida berdasarkan status kepemilikan lahan adalah berturut-turut Rp 4.305.531,68 (pemilik) dan Rp 4.597.108,71 (penyewa). Sedangkan total biaya yang dikeluarkan petani jagung bersari bebas (lokal) adalah berturut-turut Rp 4.090.405,55 (pemilik) dan Rp 4.266.700,00 (penyewa). Dengan demikian pendapatan atas biaya total petani dengan status pemilik lahan adalah Rp 2.509.953,81 (hibrida) dan Rp 1.069.334,49 (bersari bebas), sedangkan petani dengan status penyewa adalah Rp 2.340.542,35 (hibrida) dan Rp 1.350.157,14 (bersari bebas). Berdasarkan perhitungan didapatkan usahatani jagung dengan benih hibrida lebih menguntungkan dari pada dengan benih bersari bebas. Sebab nilai R/C atas biaya total usahatani jagung hibrida (1,62) lebih besar dari pada bersari bebas (1,22). Nilai rasio R/C untuk petani dengan status pemilik lahan adalah 1,58 (hibrida) dan 1,26 (bersari bebas), sedangkan petani dengan status penyewa lahan adalah 1,50 (hibrida) dan 1,32 (bersari bebas).
ANALISIS PENDAPATAN DAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI KOMODITI JAGUNG HIBRIDA DAN BERSARI BEBAS (LOKAL) (Kasus: Desa Saguling, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)
Oleh HENDRA KHAERIZAL A14104556
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN
Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
Nama NRP
: Analisis Pendapatan dan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Komoditi Jagung Hibrida dan Bersari Bebas (Lokal) (Kasus: Desa Saguling, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) : Hendra Khaerizal : A14104556
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Rahmat Yanuar, SP, M.Si NIP. 132 321 442
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS
PENDAPATAN
DAN
FAKTOR-FAKTOR
PRODUKSI
USAHATANI KOMODITI JAGUNG HIBRIDA DAN BERSARI BEBAS (LOKAL) (KASUS: DESA SAGULING, KECAMATAN BATUJAJAR, KABUPATEN BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN
KECUALI
SEBAGAI
BAHAN
RUJUKAN
YANG
DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juni 2008
Hendra Khaerizal A14104556
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1982 dan merupakan anak pertama dari pasangan Indra Sumardi dan Hetty Haryati AR. Penulis lulus dari Sekolah Dasar Tugu Ibu, Depok Jawa Barat pada tahun 1995. Tahun 1998 penulis lulus Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri 3 (SLTPN 3) Depok, kemudian pada tahun 1998 melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 (SMU N 1) Cibinong, dan pada tahun 1999 penulis pindah ke Sekolah Menengah Umum Negeri 3 (SMU N 3) Depok dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan Pendidikan Tinggi di Program Diploma (D3) Program Studi Teknologi Benih, Departemen Budidaya Pertanian IPB dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2005 penulis kemudian melanjutkan jenjang Pendidikan Strata Satu (S1) pada Program Sarjana Penyelengaraan Khusus (Ekstensi) Manajeman Agribisnis, Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB. Semasa kuliah penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan kampus seperti Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Pertanian Priode 2002-2003, dan DPM KM IPB Periode 2003-2004. Penulis juga aktif di salah satu organisasi ekstra Universiter yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI Kota Bogor). Penulis juga aktif dalam berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diantaranya; Sentra Kajian Kerakyatan dan Pembangunan Berbasis Sumberdaya (SINTESA) dan Pumping Learning Center (PLC).
KATA PENGANTAR Puji dan syukur selalu kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Ridha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Pendapatan dan Faktor-Faktor Produksi Usahatani Komoditi Jagung Hibrida dan Bersari Bebas (lokal) (Kasus: Desa Saguling, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan Sarjana Pertanian pada Departemen IlmuIlmu Sosial Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah SWT memberikan keberkahan kepada kita semuanya.
Bogor, Juni 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas petunjuk dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Studi ini. Dalam kesempatan berbahagia ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis selama penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, yaitu : 1. Bapak Rahmat Yanuar, SP, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, saran dan doa kepada penulis. 2. Ibu Ir Yayah Karliyah Wagiono, M.Ec selaku dosen penguji utama dan Ibu Tanti Novianti, SP, M.Si selaku dosen penguji wakil departemen yang telah bersedia meluangkan waktu dan perhatiaannya untuk mengoreksi dan memberikan saran terhadap skripsi ini. 3. Keluarga besar Indra Sumardi (ayah) dan Hetty Haryati AR (ibu), adikku tersayang Indri Hapsari Firtiyani yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Departemen Ilmu Tanah IPB, yang senantiasa memberikan do’a restu, dukungan moril dan materil serta perhatiaannya kepada penulis. 4. Abah Aan Bariji selaku pimpinan Pondok Pesantren Al-Mursada Al Musri, yang telah mengizinkan menginap dan memberi petunjuk kepada penulis dalam melakukan penelitian di Desa Saguling. 5. Teman – teman seperjuangan dan adik-adik di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bogor, yang selalu memberikan semangat juang untuk mengapai Gita, Cita dan Cinta. 6. Bang Handian, Bang Adi, Uda Indra, Mas Dito, Kang Irman, Bayu ”Jenggot Api”, Ali ”buncit”, Reza ”Cemani”, Mba Fia, Aldicka, Efrinaldi ”Kopral” , Rizky A ”iky” dan lainnya di Yayasan Sentra Kajian Kerakyatan dan Pembangunan Berbasis Sumberdaya (SINTESA) atas do’a, perhatian dan dukungannya. 7. Bang Amir TR, Teh Erlin, Teh Ina, Mas Taufik, Bang Eko R, Faisal A, Yeni, bu Nur dan teman-teman lainnya di Pumping Learning Center, terima kasih atas semua dukungan dan semangat ”Ayo Kamu Bisa”-nya. 8. Seluruh Staf Sekretariat Ekstensi dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ...............................................................................................
i
DAFTAR TABEL ...................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vi I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Perumusan masalah .................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................... 1.5. Batasan Penelitian ......................................................................
II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Konseptual ................................................................... 2.1.1. Jagung ............................................................................. 2.1.1.1. Jagung Hibrida .................................................. 2.1.1.2. Jagung Bersari Bebas (Lokal) ............................ 2.2. Penelitian Sebelumnya ................................................................ 2.2.1. Prilaku Pasar Jagung Indonesia ....................................... 2.2.2. Prilaku Harga Jagung Indonesia ...................................... 2.2.3. Kemitraan Jagung............................................................ 2.2.4. Usahatani Jagung ............................................................ 2.2.5. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ..........................
III.
9 9 12 14 16 16 17 18 18 20
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis ....................................................................... 3.1.1. Konsep Usahatani............................................................ 3.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Usahatani ................. 3.1.3. Pendapatan Usahatani...................................................... 3.2. Kerangka Operasional ................................................................
IV.
1 4 7 7 8
22 22 23 24 26
METODE PENELTIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................ 4.3. Metode Pengambilan Contoh ...................................................... 4.4. Metode Pengumpulan Data ......................................................... 4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data ........................................ 4.5.1. Analisis Perbandingan Penggunaan Faktor-Faktor Produksi .................................................... 4.5.2. Analisis Pendapatan Usahatani ........................................ 4.6. Defenisi Operasional .................................................................
30 30 31 31 31 32 32 34
V.
GAMBARAN UMUM 5.1. Kabupaten Bandung.................................................................... 5.1.1. Kondisi Fisik ................................................................... 5.1.2. Kondisi Perekonomian .................................................... 5.2. Kabupaten Bandung Barat (KBB) ............................................... 5.2.1. Sejarah Pembentukan ...................................................... 5.2.2. Kondisi Fisik ................................................................... 5.3. Desa Saguling ............................................................................. 5.3.1. Kondisi fisik.................................................................... 5.3.2. Potensi Sumber Daya Alam ............................................. 5.3.3. Potensi Sumber Daya Manusia ........................................ 5.4. Karakteristik Responden .............................................................
VI.
ANALISIS USAHATANI 6.1 Karakteristik Usahatani Jagung Desa Saguling ........................... 6.1.1 Faktor Luas Lahan Garapan ........................................... 6.1.2 Faktor Penggunaan Benih .............................................. 6.1.3 Faktor Penggunaan Pupuk .............................................. 6.1.4 Faktor Penggunaan Obat-obatan..................................... 6.1.5 Faktor Penggunaan Tenaga Kerja ................................... 6.1.6 Faktor Manajemen Produksi (Budidaya-Panen dan Pasca Panen) ................................ 6.1.7 Faktor Usahatani lainnya ................................................ 6.1.7.1 Pajak Musim Tanam .......................................... 6.1.7.2 Sewa Lahan ........................................................ 6.2 Analisis Pendapatan Usahatani ................................................ 6.2.1 Pengeluaran Usahatani ................................................... 6.2.2 Penerimaan Usahatani ..................................................... 6.2.3 Pendapatan Usahatani dan R/C Ratio ..............................
VII
37 37 35 38 38 39 40 40 40 42 45
48 50 51 53 56 57 60 66 66 66 67 67 70 72
KESIMPULAN PENELITIAN........................................................ 7.1 7.2
Kesimpulan ............................................................................ 77 Saran ....................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 80 LAMPIRAN ............................................................................................... 84
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
Perkembangan Produksi, Produktivitas dan Luas Panen Nasional Periode 2000 sampai 2008......................................................................
2
2
Perbandingan antara Jagung Hibrida dan Bersari Bebas .........................
6
3
Kapasitas Produksi Benih Penjenis (BS) Jagung dari Beberapa Produsen Benih Utama Tahun 1999 dan 2000 ........................................ 16
4
Metode Penghitungan Pengeluaran Biaya Usahatani .............................. 32
5
Metode Penghitungan Penerimaan Biaya Usahatani ............................... 33
6
Metode Penghitungan Pendapatan Biaya Usahatani................................
7
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bandung Tahun 2006 Berdasarkan Harga Belaku dan Laju Petumbuhan Ekonomi (LPE) Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 ...................... 38
8
Populasi Ternak Berdasarkan Jenis di Desa Saguling Tahun 2006 .......... 42
9
Jumlah Penduduk Desa Saguling Berdasar Sensus Penduduk Tahun 2006 ............................................................................................ 43
1
33
10 Penduduk Usia Sekolah Berdasarkan Wajib Belajar dan Lanjutan di Desa Saguling Tahun 2006 ................................................................. 44 11 Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur................................ 45 12 Tingkat Pendidikan Petani Responden.................................................... 46 13 Jumlah Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan ......... 46 14 Luas Lahan Garapan Petani Responden .................................................. 47 15 Rata-rata Luas Lahan Garapan Petani Jagung di Desa Saguling.............. 51 16 Rata-rata Penggunaan Benih Jagung di Desa Saguling ........................... 52 17 Rata-rata Penggunaan Pupuk pada Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas di Desa Saguling .............................................................. 54 18 Rata-rata Penggunaan Obat-Obatan pada Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas di Desa Saguling ....................................................... 57 19 Penggunaan Rata-rata Tenaga Kerja (HOK) pada Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas di Desa Saguling .......................................... 58 20 Biaya Tunai dan Biaya Diperhitungkan Usahatani Jagung dan Bersari Bebas per ha di Desa Saguling ................................................... 68
21 Penerimaan Tunai dan Non Tunai Jagung Bersari Bebas di Desa Saguling .................................................................................... 71 22 Penerimaan Tunai dan Non Tunai Jagung Hibrida di Desa Saguling ...... 72 23 Analisis Pendapatan dan R/C Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas di Desa Saguling Musim Tanam tahun 2007-2008 ........... 73
23
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Bagan Kerangka Operasional .................................................................. 29
24
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Ketersediaan Pangan Tahun 2000-2006................................................... 85 2. Pekembangan Produksi Jagung di Jawa Barat menurut Kabupaten Periode 1982-1990 .................................................................................. 88 3. Produksi Jagung Menurut Propinsi pada Periode 2001-2007 ................... 89 4. Luas Panen, Hasil per Hektar, dan Produksi Jagung di Jawa Barat Pada Periode 2001-2007.......................................................................... 90 5. Perkembangan Areal Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung Per Iahun di Jawa Barat menurut Kabupaten Periode 1982-1990 ............. 90 6. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Jagung di Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat Periode 1997-2006 .................................................. 91 7. Presentase Penggunan Varietas Jagung yang Tersebar di Jawa Barat Tahun 1990 ............................................................................................. 91 8. Komposisi Penyebaran Benih Jagung di Kabupaten Bandung Periode 1997-2004 .................................................................................. 92 9. Perkembangan Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kec. Batujajar Priode 1997-2006.............................................................
92
10. Perkembangan Produksi di 10 Daerah Penghasil Jagung Terbesar di Kabupaten Bandung Priode 1997-2006 ............................................... 93 11. Proyeksi Konsumsi dan Permintaan Jagung, Tahun 1999-2003 ............... 93 12. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Sektor Pertanian Kabupaten Bandung Tahun 2002-2006.................................................... 94 13. Luas Potensi Sumberdaya Alam di Desa Saguling Tahun 2006 ............... 94 14. Luas Areal dan Potensi Hasil Pertanian Berdasarkan Komoditi di Desa Saguling Tahun 2006 .................................................................. 95 15. Rata-rata Luas Lahan Pertanian yang dimiliki Rumah Tangga Petani (RTP) di Desa Saguling tahun 2006 ................................................................... 95 16. Luas Areal dan Potensi Hasil Perkebunan Berdasarkan Komoditi di Desa Saguling Tahun 2006 .................................................................. 96 17. Luas Areal Kehutanan Berdasarkan Status Kepemilikan di Desa Saguling Tahun 2006 .................................................................. 96 18. Karakteristik Penduduk di Desa Saguling Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Hasil Sensus Penduduk Tahun 2006 ................................. 96 19. Tingkat pendidikan di Desa Saguling Tahun 2006 ................................... 97 20. Lembaga-Lembaga Pendidikan di Desa Saguling Tahun 2006................. 98
25
21. Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Saguling Tahun 2006 ............ 98
22. Karakteristik Usahatani Jagung Hibrida dibandingkan Rekomendasi Usahatani Jagung Hibrida (varietas contoh: Bima-3) oleh Balai Penelitian Tanaman Seralia (Balitsereal) ........................................ 99 23. Karakteristik Usahatani Jagung Bersari Bebas dibandingkan Rekomendasi Produksi Jagung Bersari Bebas Oleh Balai Penelitian Tanaman Seralia (Balitsereal).................................................................. 100 24. Perbandingan Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja Petani Jagung Hibrida dengan Rekomendasi Teknologi Produksi Oleh Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) ............................................... 101 25. Perbandingan Rata-Rata Penggunaan Tenaga Kerja Petani Jagung Bersari Bebas dengan Rekomendasi Teknologi Produksi Oleh Balai Balai Penelitian Tanaman Seralia (Balitsereal) ........................................ 101 26. Biaya Tunai dan Biaya Diperhitungkan Usahatani Jagung Hibrida Bersari Bebas peh Ha dengan batasan Status Pemilik lahan garapan di Desa Saguling ..................................................................................... 102 27. Biaya Tunai dan Biaya Diperhitungkan Usahatani Jagung Hibrida Bersari Bebas peh Ha dengan batasan Status Penyewa lahan garapan di Desa Saguling ..................................................................................... 103 28. Analisis Pendapatan Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas Per Ha di Desa Saguling dengan Batasan Pemilik Lahan Garapan Musim tanam tahun 2007-2008 ............................................................... 104 29. Analisis Pendapatan Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas Per Ha di Desa Saguling dengan Batasan Penyewa Lahan Garapan Musim Tanam Tahun 2007-2008 ............................................................ 105 30. Analisis Perbandingan Pendapatan dan R/C Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas per Ha di Desa Saguling dengan Batasan Status Kepemilikan Lahan Garapan Musim Tanam Tahun 2007-2008 ..... 106
26
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia
untuk mempertahankan kehidupan. Sebagai makhluk hidup, tanpa pangan manusia tidak mungkin dapat bertahan dan melangsungkan kehidupannya (Amang, 1995). Komoditi tanaman pangan dibagi menjadi dua kelompok komoditi yaitu komoditi pangan utama dan komoditi pangan sekunder. Kelompok komoditi pangan utama merupakan komoditi andalan yang menjadi faktor penentu kestabilan atau ketahanan pangan nasional. Komoditi tersebut adalah padi yang dibagi menjadi padi ladang dan padi sawah. Sementara itu, komoditi pangan sekunder adalah komoditi pangan yang menjadi penyangga dan pelengkap komoditi pangan utama, sebab dalam kondisi tertentu dapat berperan sebagai “substitusi utama” pangan utama (padi). Beberapa komoditi pangan sekunder yaitu jagung, kacang hijau, kacang kedelai, ubi Jalar, ubi kayu. Perkembangan kebutuhan pangan nasional pada periode tahun 2000-2006, menunjukkan masih terjadi kekurangan akan stok nasional baik dari komoditi pangan utama maupun kelompok pangan sekunder[1]. Keadaan tersebut menjadi sebuah permasalahan yang cukup serius apabila dihadapkan dengan kenyataan bahwa penduduk Indonesia yang berjumlah 218 juta jiwa (BPS, 2005) adalah konsumen beras tertinggi di dunia, dengan
rata-rata konsumsi perkapita
pertahunnya mencapai 135 kg. Berdasarkan kondisi tersebut, pemerintah mengambil langkah antisipatif dalam mensiasati kondisi yang terjadi karena apabila dibiarkan akan menyebabkan Indonesia masuk kedalam kondisi krisis pangan. Salah satu langkah yang ditempuh pemerintah adalah pola divesifikasi pangan. Pola ini diharapkan bisa mewujudkan ketahanan pangan nasional, atau lebih jauh lagi menjadi swasembada pangan. Komitmen pemerintah untuk mencapai swasembada pangan nasional dengan pola diversifikasi lebih diarahkan kepada pengembangan komoditi pangan sekunder. Program pengembangan pangan tersebut salah satunya [1]
www.deptan.go.id,-juli 2007
27
dikenal dengan istilah “Three In One”, dimana salah satu komoditi yang akan menjadi unggulan adalah jagung (Deptan RI 2006). Dahulu program pengembangan jagung menjadi satu dengan program padi seperti Bimbingan Masal (BIMAS), Intensifikasi Masal (INMAS), Intensifikasi Umum (INMUM), Intensifikasi Khusus (INSUS) yang berlanjut ke Supra Insus (sejak tahun 1987). Dikarenakan masih lambannya peningkatan produktifitas padi dan jagung kemudian dilakukan terobosan baru dalam bentuk Upaya Khusus (UPSUS) sekitar pertengahan tahun 1992. Pada musim tanam 1996/1997 pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan agribisnis jagung hibrida, melalui pola kemitraan dari hulu sampai hilir (Abbas, 1997). Perkembangan produksi rata-rata jagung nasional menurut badan pangan Internasional (FAO, 2001), dalam periode tiga dekade terakhir (tahun 1980-1999) mengalami peningkatan. Pada tahun 1980 produksi rata-rata tercatat sebesar 3.997 ribu ton dan 6.374 ribu ton pada tahun 1990, kemudian 9.134 ribu ton pada tahun 1999.
Tren meningkat dari rata-rata produksi jagung tahunan terus bergulir
hingga beberapa tahun berikutnya. Tercatat pada tahun 2005 produksi tahunan jagung nasional mencapai 12.523.894 ton, meski terjadi penurunan di tahun 2006, tetapi produksi jagung kembali meningkat tajam di tahun 2007 dengan produktifitas 36,61 Kw/Ha (Tabel 1). Tabel 1. Perkembangan Produksi, Produktivitas dan Luas Panen Jagung Nasional Periode 2000-2008 Produksi Produktifitas Luas Panen Tahun (Ton) (Kw/Ha) (Ha) 9.676.899,00 27,65 3.500.318,00 2000 9.347.192,00 28,45 3.285.866,00 2001 9.585.277,00 30,83 3.109.448,00 2002 10.886.442,00 32,41 3.358.511,00 2003 11.225.243,00 33,44 3.356.914,00 2004 12.523.894,00 34,54 3.625.987,00 2005 11.609.463,00 34,70 3.345.805,00 2006 2007
[1]
[1]
[1]
2008
[2]
[2]
[2]
13.286.173,00 13.883.194,00
36,61 36,83
3.629.052,00 3.769.291,00
Sumber : Departemen Pertanian. 2007 (www.deptan.go.id- di akses Januari 2008)
Status Angka :
[1] Angka Sementara [2] Angka Ramalan I
28
Indonesia memiliki daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Madura, D.I. Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku (BAPPENAS 2008)[2]. Jawa Barat sebagai salah satu daerah penghasil utama jagung, mengalami perkembangan produksi yang cukup mengembirakan. Perkembangan produksi jagung di Jawa Barat pada periode 2001-2007 secara umum memiliki trend meningkat. Produksi jagung tahun 2001 tercatat berada di level 300 ribu ton kemudian meningkat ke level 400 ribu ton pada tahun 2002-2003, dan konstan berada di level 500 ribu ton pada tahun 2004-2007 (Lampiran 3)[3]. Produksi jagung Jawa Barat didominasi daerah sentra dan potensi sentra seperti Kabupaten Garut, Bandung, Majalengka, Sumedang, dan Tasikmalaya. Kabupaten Bandung pada periode 1997-2006 mencatat produksi jagung tertinggi terjadi pada tahun 1999 sebesar 16.349,21 ton dengan produktifitas sebesar 65,50 kw/ha dan tahun 2001 sebesar 2.635,98 ton dengan produktifitas sebesar 35,97 kw/ha, sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2000 sebesar 2.635,98 ton dengan produktifitas sebesar 35,97 kw/ha (Dinas Petanian Kab. Bandung, 2007). Kabupaten Bandung memiliki 45 kecamatan dan 10 diantaranya tergolong penghasil terbesar atau sentra produksi jagung, yaitu Kecamatan Soreang, Cicalengka,
Cililin,
Batujajar,
Gununghalu,
Sindangkerta,
Cipeundeuy,
Cikalongwetan, Cipatat, Arjasari. Kabupaten Batujajar pada periode tahun 19962006 memiliki rata-rata produksi dan produktifitas pertahunnya sebesar 4.540,2 ton dan 42,10 kw/ha (Lampiran 9). Pada periode yang sama produksi tertinggi terjadi di tahun 1999 yaitu sebesar 14.542 ton dan produksi terendah pada tahun 1996 dengan hasil sebesar 646 ton (Lampiran 10). Pengembangan jagung nasional dan daerah dalam menunjang ketahanan pangan nasional bahkan swasembada bukan berarti tanpa hambatan. Introduksi sebuah teknologi kedalam kebiasaan pola pertanaman tidaklah mudah. Secara umum petani di Indonesia dalam bercocok tanam jagung kebanyakan masih menggunakan
teknologi
sederhana
atau
tradisional
diantaranya
masih
menggunakan benih turunan atau hasil panen sebelumnya dan bukan benih baru bahkan sangat minim yang menggunakan benih unggul. Input produksi tanaman [2] [3]
Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, (www.bappenas.go.id), januari 2008 www.deptan.go.id/ditjen tanaman pangan. juni 2007
29
pangan terpenting adalah benih, dikarenakan tanpa benih seluruh input produksi yang lain tidak akan menjadi berguna. Dalam rangka mewujudkan tujuan ketahanan pangan dan swasembada maka introduksi benih-benih unggulan adalah penting dan senantiasa dilakukan pemerintah, berbagai pihak terkait dan juga pihak swasta. Jagung pada umumnya dikelompokan menjadi dua kelompok jenis varietas besar yaitu Bersari Bebas dan Hibrida (Adisarwanto dan Yustina, 2000). Secara umum varietas bersari bebas dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu varietas sintetik dan varietas komposit. Program dan kebijakan pemerintah yang akan dan telah dilakukan semua dalam kerangka tujuan peningkatan produksi guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Muatan yang disisipkan kepada petani adalah teknologi-teknologi baru mulai dari teknologi saprodi, teknologi budidaya, bantuan permodalaan sampai pembukaan “keran” pemasaran. Komponen-komponen teknologi saprodi yang dimaksud adalah pembaharuan semua input produksi yang dibutuhkan dalam suatu sistem budidaya jagung seperti, benih unggul, pupuk kimia baru sampai organik cair, obat-obatan dan lain sebagainya. Introdusir teknologi tersebut diharapkan dapat meningkatkan gairah bercocok tanam petani sehingga hasil produksi pertanian mereka meningkat dengan implikasi akhir kebutuhan nasional terpenuhi bahkan harapannya terjadi swasembada.
1.2
Perumusan Masalah Perkembangan penggunaan benih jagung bersari bebas (lokal) dan hibrida
di Provinsi Jawa Barat pada era 1990, secara umum lebih banyak didominasi oleh varietas-varietas jagung bersari bebas (lokal) seperti varietas Arjuna dan Harapan (Dinas Pertanian Prov Jawa Barat 1990). Penyebaran varietas jagung dibagi menurut Wilayah Pengembangan (WP), dan terdapat tujuh WP di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bandung yang termasuk dalam WP IV, memilih menggunakan benih bersari bebas (75,56%) daripada benih hibrida (24,44) (Lampiran 7). Pola penyebaran dan penggunaan benih jagung di Kabupaten Bandung berubah sesuai dengan perkembangan waktu dan teknologi. Periode 1997-2004 tercatat variasi populasi benih-benih jagung yang beredar di pasar lebih di dominasi oleh benih hibrida (Lampiran 8). Kondisi lebih banyaknya variasi benih
30
hibrida dibanding variasi benih bersari bebas di Kabupaten Bandung tidak terlalu berdampak kepada pemilihan benih oleh masyarakat. Menurut informasi serta berdasarkan observasi diketahui bahwa petani di Desa Saguling lebih memilih menggunakan benih jagung bersari bebas (lokal) dibandingkan dengan hibrida. Desa saguling adalah desa yang berada di dalam wilayah Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung yang sekarang telah menjadi Kabupaten Bandung Barat (KBB). Fenomena ini dapat dijelaskan dengan kondisi tanaman jagung di Desa Saguling rata-rata memiliki/menghasilkan satu tongkol perbatang (tanaman). Salah satu ciri-ciri tanaman jagung yang menggunakan benih bersari bebas (lokal) yaitu memiliki jumlah satu tongkol per batang. Salah satu alasan petani lebih memilih benih jagung bersari bebas (lokal) adalah harga benihnya lebih murah (terjangkau). Harga benih bersari bebas kualitas unggul (ber-sertifikat) berkisar antara Rp 20.000 - Rp 25.000 per kg nya (Arjuna dan Harapan), sedang harga benih lokal (non sertifikat) berkisar antara Rp 2.000 – Rp 2.500 per kilogramnya. Dengan harga yang murah dan terjangkau tersebut hanya dapat menghasilkan produksi antara empat sampai lima ton per hektar dan tanaman juga lebih rentan terhadap Organisme Penggangu Tanaman (OPT). Benih jagung varietas hibrida sendiri memiliki karakteristik dan keunggulan yaitu hasil panen yang lebih banyak sebab dalam satu batang dapat menghasilkan dua tongkol, serta memiliki ketahanan terhadap Organisme Penggangu Tanaman (OPT) terutama penyakit yang paling sering menyerang tanaman jagung. Namun suatu keunggulan pastilah memiliki kelemahan, salah satunya adalah harga benih yang mahal. Adapun perbandingan jagung hibrida dan bersari bebas dapat dilihat pada tabel 2 [4]. Walaupun demikian Kecamatan Batujajar dalam kurun waktu 10 tahun terakhir termasuk dalam 10 kecamatan berpotensi sentra dan sentra produksi jagung di Kabupaten Bandung. Permasalahan yang muncul adalah apakah kondisi yang terjadi di Desa Saguling masih sesuai dengan tuntutan peningkatan produksi jagung dikarenakan kebutuhan akan jagung yang terus meningkat dan tidak berimbang dengan hasil produksi yang tersedia. [4]
Departemen Pertanian. 2007 (http.ppvt.setjen.deptan.go.id)
31
Tabel 2. Perbandingan antara Jagung Hibrida dan Bersari Bebas
Indikator
Jagung Hibrida
Jagung Bersari Bebas
Harga Benih Potensi Hasil per Ha Hasil Rata-rata per Ha Umur Panen (rata-rata) Jumlah Baris Per Tongkol Bobot 1000 butir
Rp 30.000 - Rp 45.000 Rp 20.000 - Rp 25.000 6-11 ton/ha pipilan kering 7,0-7,5 ton/ha pipilan kering 6,0-6,5 ton/ha pipilan kering 5,0-5,5 ton/ha pipilan kering 95-117 Hari 85-96 Hari 14-16 Baris 12-18 Baris 279 gr 307 gr Tahan terhadap karat daun, cukup tahan terhadap bercak Cukup tahan terhadap karat, Ketahanan terhadap penyakit daun kelabu dan bercak daun Cercospora zeae-maydis Harga Jual Pipilan Kering Rp 2000-2.243 per kilo Rp 2000-2.243 per kilo Sumber: Departemen Pertanian. 2007 (http.ppvt.setjen.deptan.go.id) (diolah) Keterangan : - Harga benih dan harga jual pipilan kering menggunakan harga tahun 2008 - Jagung Bersari bebas diwakili oleh Bisma, Hibrida oleh Pioneer 20 (P 20) - Harga jual pipilan kering adalah harga jual di desa saguling tahun 2008
Dari semua fenomena tersebut maka dilakukanlah penelitian tentang analisis pendapatan usahatani komoditi jagung di Desa Saguling. Analisis pendapatan tersebut pada intinya adalah membandingkan pendapatan antara usahatani jagung pengguna benih hibrida dengan usahatani jagung pengguna benih bersari bebas. Karena salah satu cara untuk mengetahui bahwa usahatani yang dilakukan petani menguntungkan atau tidak dilihat dari pendapatannya. Penelitian ini juga akan membandingkan penggunaan faktor-faktor produksi jagung di Desa Saguling, antara usahatani jagung pengguna benih hibrida dan pengguna benih bersari bebas (lokal). Seluruh analisis dalam penelitian ini akan dibatasi dengan status kepemilikan lahan garapan. Pemberian batasan ini dikarenakan di Desa Saguling terdapat dua kategori petani yaitu petani yang menggarap lahan milik sendiri dan petani yang menggarap lahan sewaan (penyekap). Berdasarkan rumusan tersebut, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa Petani di Desa Saguling lebih memilih benih jagung bersari bebas (lokal) daripada benih jagung hibrida? 2. Bagaimana perbandingan teknologi usahatani jagung yang menggunakan benih hibrida dan bersari bebas (lokal) di desa Saguling dengan rekomendasi teknologi usahatani jagung? 3. Bagaimana perbandingan penggunaan faktor-faktor produksi jagung hibrida dan bersari bebas (lokal) dalam menghasilkan produksi?
32
4. Bagaimana perbandingan pendapatan petani jagung yang menggunakan benih hibrida dengan benih bersari bebas (lokal)?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisa
sejauh mana tingkat produksi jagung bersari bebas (lokal) dan jagung hibrida dapat meningkatkan pendapatan petani. Tujuan penelitian secara khusus adalah untuk: 1. Mendeskripsikan karakteristik teknologi usahatani jagung hibrida dan jagung bersari bebas (lokal) di Desa Saguling. 2. Menganalisis perbandingan penggunaan faktor-faktor usahatani jagung dengan benih hibrida dan bersari bebas (lokal) dengan acuan rekomendasi produksi jagung dalam menghasilkan produksi jagung di Desa Saguling. 3. Menganalisis pendapatan usahatani jagung dengan benih hibrida dan jagung bersari bebas (lokal) dan dengan batasan status kepemilikan lahan di Desa Saguling.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini sepenuhnya merupakan tulisan karya ilmiah yang hasilnya
sepenuhnya dipublikasikan agar dapat digunakan sebagai bahan masukan dan kajian umum ataupun khusus. Adapun secara spesifik harapan kegunaan penelitian adalah: 1. Bagi peneliti, penelitian ini akan menjadi sebagai media dalam melatih kemampuan analisis dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperloleh. 2. Sebagai masukan bagi petani, khususnya petani Desa Saguling agar dapat memiliki pilihan dalam memilih benih jagung yang sesuai dengan kebutuhan. 3. Bagi pembuat dan penentu kebijakan pertanian (Pemerintah Pusat dan Daerah), diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan tambahan dalam merumuskan kebijakan pertanian secara khusus kebijakan jagung sebagai harapan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. 4. Sebagai referensi untuk bahan literatur bagi penelitian selanjutnya.
33
5. Bagi
pembaca,
diharapkan
dapat
menambah
informasi
tentang
perkembangan pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan terutama komoditi Jagung Nasional dan Provinsi Jawa Barat.
1.5
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian ini merupakan suatu kajian terhadap masalah Jagung di
Indonesia khususnya di Jawa Barat, ditinjau dari aspek pendapatan usahatani dan faktor-faktor usahatani. Penelitian ini mempunyai keterbatasan. Namun, tujuan dari penelitian masih dapat dicapai dengan memanfaatkan data yang ada. Penelitian ini mempunyai ruang lingkup dan keterbatasan yang diantaranya adalah: 1. Penelitian ini difokuskan kepada perkembangan produksi Jagung Kabupaten Bandung dan Kecamatan Batujajar dengan sample Desa Saguling. 2. Perbedaan dari penelitian serupa yang pernah ada, terletak pada perbedaan lokasi dan jenis analisis tambahan seperti perbandingan penggunaan faktor-faktor produksi.
34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tinjauan Konseptual
2.1.1
Jagung Jagung pertama diintroduksikan ke Indonesia sekitar abad ke 16 oleh
Portugis dan Spanyol yang merupakan benih asal daerah tropik Amerika melalui Eropa, India dan China (FAO, 2001). Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan penting, sumber karbohidrat kedua setelah beras. Disamping itu, jagung juga merupakan bahan pakan ternak dan bahan baku industri. Sentra produksi jagung di Indonesia berada di pulau Jawa (65 %) dan sisanya (35 %) tersebar di daerah Sumatera Utara, Lampung, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara (FAO, 2001). Penanaman jagung dapat dilakukan di jenis lahan basah maupun lahan kering. Tujuh puluh persen penanaman jagung Indonesia dilakukan di lahan kering dan pada musim hujan dan 30 persen dilakukan di lahan basah pada musim kering setelah musim panen padi. Pola tanam jagung dilakukan dengan
monoculture (satu jenis tanaman) pada lahan basah dan tumpang sari (mix crop farming) di lahan kering (FAO, 2001). Petani Indonesia mayoritas menanam jagung dalam skala kecil, mereka menggunakan benih yang diseleksi dari hasil panen yang didapatkan atau dari kerabat mereka yang berada di desa lain. Penggunaan benih hasil panen yang terus menerus mengakibatkan terjadinya pembatasan pertumbuhan genetis individu dari sejumlah populasi pertanaman. Oleh karena itu sewaktu-waktu manakala produksi dirasa telah menurun petani terkadang membeli benih baru, namun kemudian mengulang kembali kebiasaan yang terdahulu. Berikut ini merupakan deksripsi singkat tentang Jagung (Zea mays L):
Klasifikasi Kingdom
: Planteae
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Classis
: Monocotyledonae
35
Ordo
: Graminales
Familia
: Graminaeae
Genus
: Zea
Species
: Zea mays L
Taksonomi Habitus
: Berumpun, tegak, tinggi ± 15 m.
Batang
: Bulat, masif, tidak bercabang, pangkal batang berakar kuning atau jingga.
Daun
: Tunggal, berpelepah, bulat panjang, ujung runcing, tepi rata, panjang 35-100 cm, lebar 3-12 cm, hijau.
Bunga
: Majemuk, berumah satu, bunga jantan dan betina
Buah
: Bentuk bulir, di ujung batang dan di ketiak daun, benang sari ungu, bakal buah bulat telur, putih.
Biji
: Bentuk tongkol, panjang 8-20 cm, hijau kekuningan bulat, kuning atau putih.
Akar
: Serabut, putih kotor.
Nama Daerah Sumatera
: Eyako (Enggano), Jagong (Aceh), Jagong (Batak), Rigi (Nias).
Jawa
: Jagong (Sunda), Jagung (Jawa Tengah), Jhahung (Madura).
Bali
: Jagung.
Nusa Tenggara: Jagung (Sasak), Jago (Bima), Wataru (Sumba), Latung (Flores), Fata (Solor), Pena (Timor). Sulawesi
: Binte (Gorontalo) Binde (Buol) Gandung (Toraja).
Maluku
: Jagong (Ambon), Kastela (Halmahera) Telo (Ticlore).
Manfaat Tanaman a) Batang dan daun muda: pakan ternak b) Batang dan daun tua (setelah panen): pupuk hijau atau kompos
36
c) Batang dan daun kering: kayu bakar d) Batang jagung: lanjaran (turus) e) Batang jagung: pulp (bahan kertas) f) Buah jagung muda (putren, Jw): sayuran, bergedel, bakwan, sambel goreng g) Biji jagung tua: pengganti nasi, marning, brondong, roti jagung, tepung, bihun, bahan campuran kopi bubuk, biskuit, kue kering, pakan ternak, bahan baku industri bir, industri farmasi, dextrin, perekat, industri textil. h) Biji Zea mays berkhasiat untuk memperbanyak air susu ibu, obat batu ginjal, obat demam, obat jantung dan peluruh air seni. Untuk memperbanyak air susu
ibu dipakai 100 gram biji kering Zea mays yang sudah tua, dicuci, disangrai kemudian dimakan. Jenis jagung dikelompokkan menurut umur dan bentuk biji. a) Menurut umur, dibagi menjadi 3 golongan: 1. Berumur pendek (genjah): 75-90 hari, contoh: Genjah Warangan,
Genjah Kertas, Abimanyu dan Arjuna. 2. Berumur sedang (tengahan): 90-120 hari, contoh: Hibrida C 1, Hibrida
CP 1 dan CPI 2, Hibrida IPB 4, Hibrida Pioneer 2, Malin, Metro dan
Pandu. 3. Berumur panjang: lebih dari 120 hari, contoh: Kania Putih, Bastar,
Kuning, Bima dan Harapan. b) Menurut bentuk biji, dibagi menjadi 7 golongan:
1.
Dent
Corn 5.
Flour
Corn
2.
Flint
Corn 6.
Pod
Corn
3.
Sweet
Corn 7. Waxy Corn
4. Pop Corn Varietas unggul mempunyai sifat: berproduksi tinggi, umur pendek, tahan serangan penyakit utama dan sifat-sifat lain yang menguntungkan. Varietas unggul ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: jagung hibrida dan varietas jagung bersari bebas.
37
2.1.1.1 Jagung Hibrida Penggunaan jagung hibrida merupakan salah satu breakthrough dalam keberhasilan the green revolution (revolusi hijau). Produksi jagung di Amerika Serikat sebelum menggunakan jagung hibrida yaitu antara tahun 1860-1940 dapat dikatakan konstan yaitu berkisar 1,5 ton pipilan kering per hektar. Sejak tahun 1940 ketika jagung hibrida mulai banyak ditanam, produksi rata-rata naik dengan cepat dan mencapai lima ton per hektar pada tahun 1970 (Newman, 1976). Di Indonesia program penelitian tentang jagung hibrida sudah dirintis oleh Dr. Subandi dari LP3 di awal tahun 1960. Di IPB penelitian tentang jagung hibrida dalam program pemuliaan jagung hibrida mulai dilakukan oleh Departemen Agronomi Fakultas Pertanian IPB sejak tahun 1973. Dasar pemikiran jagung hibrida adalah saat ditemukannya hybrid vigor (Koswara dan Argasasmita, 1980). Sejak jaman dahulu telah diketahui bahwa perkawinan antara tanaman atau hewan yang tidak sejenis akan menghasilkan hybrid vigor (Koswara dan Argasasmita, 1980). Hybrid vigor pada jagung ditemukan oleh Gorge H. Shull pada tahun 1908. Pada masa itu ia memperkenalkan system inbreeding (persilangan dalam satu induk). Inbreed sendiri memiliki tujuan yaitu guna menghasilkan populasi tanaman yang seragam yang mempunyai sifat baris yang sama. Sejarah perkembangan jagung hibrida pada awal perintisannya kurang mendapat tanggapan karena tanaman inbreed tumbuh kecil dan berproduksi rendah sehingga benih hybrid single cross (hibrida silang tunggal) sangat mahal. Sedangkan petani harus membeli benih baru jika ia ingin menanam jagung hibrida kembali. Pada umumnya jagung hibrida unggul memberikan hasil panen yang lebih besar daripada jagung varietas bersari bebas (Sudjana et al. 1991). Pemerintah melalui Badan Benih Nasional pada tahun 1983 melakukan pelepasan jagung hibrida varietas C-1 yang merupakan varietas jagung hibrida introduksi asal Amerika Serikat. Pada waktu hibrida jagung mulai ditawarkan petani tampak agak skeptis mendengar harga benihnya yang lima kali lipat harga benih jagung varietas Arjuna. Namun setelah mereka melihat hasil panennya
38
mencapai 50 persen hingga 75 persen di atas hasil varietas Arjuna, petani mulai tertarik untuk membeli benih jagung hibrida dan mencoba menanamnya. Setelah sekitar 20 tahunan sejak jagung hibrida dikenalkan kepada petani, di sentra produksi jagung lebih dari 50 persen petaninya menanam jagung hibrida. Penanaman jagung hibrida dapat menghasilkan tujuh sampai sembilan ton per hektar pipilan kering, sedangkan varietas unggul non-hibrida hanya menghasilkan empat sampai lima ton per hektar. Keunggulan jagung hibrida diantaranya memiliki ketahanan pada hama dan penyakit lokal. Adapun varietas unggul jagung hibrida yang dianjurkan ditanam diantaranya Hibrida C-1 dan C-2; Pioneer 1,2,7, dan 8; CPI-1; Bisi-2 dan Bisi-8; IPB-4; serta Semar -1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9. Berikut deskripsi jagung hibrida yang diwakilkan oleh varietas hibrida Pioneer 20 (P 20)[5]:
Deskripsis Pioneer 20 (P 20) Golongan Varietas
: hibrida
Umur Batang
: 50% keluar rambut: 52 hari, masak per panen: 95-117 hari : tinggi dantegak
Tinggi Tanaman
: 232 cm
Daun
: panjang, lebar dan terkulai
Warna Daun
: hijau
Keragaman Tanaman
: seragam
Perakaran
: sedang sampai baik
Kerebahan Tahan tongkol
: sedang sampai baik
Kedudukan Tongkol
: sedang, dipertengahan tinggi tanaman (100 cm)
Kelobot
: menutup tongkol dengan baik
Biji
: setengah mutiara
Warna Biji
: kuning oranye
Jumlah Baris Per Tongkol
: 14 - 16 baris
Bobot 1000 Butir
: 280 gram
Ketahanan Terhadap Penyakit
: tahan terhadap karat daun, cukup tahan
[5]
Departemen Pertanian. 2008 (http.ppvt.setjen.deptan.go.id)
39
Keterangan
terhadap bercak daun kelabu : baik ditanam di dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl.
2.1.1.2 Jagung Bersari Bebas (Lokal) Jagung bersari bebas adalah varietas yang benihnya dapat digunakan secara terus-menerus. Benih yang tergolong bersari bebas berasal dari tongkol tanaman yang sesuai dengan varietas yang bersangkutan. Benih varietas bersari bebas masih sering diusahakan oleh petani untuk keperluan sendiri. Secara umum varietas bersari bebas dibagi dua golongan yaitu varietas sintetik dan varietas komposit. Benih varietas komposit berasal dari campuran sejumlah plasma nutfah yang telah mengalami perkawinan acak, sementara benih varietas sintetik berasal dari campuran dua atau lebih galur perkawinan sendiri (Sadjad, 1997). Keuntungan menggunakan benih varietas bersari bebas adalah harganya relatif lebih murah dan dapat ditanam beberapa kali tanpa mengalami degenerasi serius. Namun potensi hasilnya lebih rendah dibandingkan varietas hibrida. Beberapa contoh varietas unggul bersari bebas adalah Arjuna, Rama, Kalingga, Wiyasa, Harapan Baru dan Bisma. Pada masa lalu fokus program pemuliaan jagung lebih ditekankan pada perbaikan varietas bersari bebas. Ini dilakukan karena diperlukan varietas baru yang lebih cepat, produksi benih lebih mudah sehingga harganya lebih murah, serta benihnya tidak harus dibeli setiap musim. Keberhasilan pembentukan dan perbaikan varietas bersari bebas saat ini tertuju pada sifat hasil tinggi, umur, warna dan tipe biji, tertutupnya tongkol, serta interaksi genotipe dan lingkungan. Selain itu pembentukan varietas bersari bebas mulai diarahkan pada sifat toleransi terhadap pH rendah dan kekeringan, sedangkan toleransi terhadap penyakit masih dititikberatkan kepada penyakit bulai, karat, busuk tongkol dan bercak daun (Adisarwanto dan Yustina, 2000). Introduksi varietas hibrida sedikit banyak membuat varietas bersari bebas (lokal) di nomor duakan. Menjadi suatu kekhawatiran dikemudian hari varietas bersari bebas kemudian hilang (musnah) karena tidak adanya lagi petani atau produsen benih yang membudidayakan varietas ini. Kekhawatiran tersebut menjadi berlebihan manakala pada kenyataanya penggunaan jagung bersari bebas masih marak digunakan.
40
Meskipun hasil panen tidak sebesar jagung hibrida namun banyak petani memilih menggunakan jagung bersari bebas (lokal), salah satu penyebabnya adalah harga jual benih hibrida yang mahal dan harga jual panen yang sama harganya antara hibrida dan bersari bebas (lokal). Berikut deskripsi jagung bersari bebas yang diwakilkan oleh Varietas Bisma[6]:
Deskripsi Jagung Bisma Golongan Varietas
:
bersari bebas
Umur
:
Batang
:
50% keluar rambut kurang lebih 60 hari panen kurang lebih 96 hari tegap, tinggi medium (kl. 190 cm)
Daun
: panjang dan lebar
Tongkol
: cukup besar dan silindris
Biji
:
setengah mutiara (semi flint)
Warna Daun
:
hijau tua
Warna Biji
:
kuning
Kedudukan Tongkol
:
kurang lebih di tengah batang
Kelobot
:
menutup tongkol tertutup dengan baik (kurang lebih 95%)
Perakaran
:
baik
Baris Biji
:
lurus dan rapat
Jumlah Baris Per Tongkol
: umumnya 12-14 baris
Bobot 1000 Butir
:
Kerebahan Tahan tongkol
: tahan rebah
Ketahanan Terhadap Penyakit :
kurang lebih 272 gram
cukup tahan terhadap karat dan bercak daun
Peningkatan penggunaan jagung bersari bebas jenis Benih Penjenis (BS) dapat dilihat dari meningkatnya kapasitas produksi pada beberapa produsen benih utama dalam memproduksi jagung varietas bersari bebas (Tabel 3). Pada tabel dapat dilihat bahwa kapasitas produksi Benih BS total jagung bersari bebas yang pada tahun 1999 sebesar 7.450 ton meningkat menjadi 11.750 ton pada tahun 2000. Sedangkan hibrida meningkat namun tidak signifikan dimana pada tahun
[6]
Departemen Pertanian. 2008 (http.ppvt.setjen.deptan.go.id)
41
1999 berkisar 28.700 ton menjadi 29.850 ton pada tahun 2000 dan total kapasitas meningkat dari 36.150 ton pada tahun 1999 menjadi 41.600 ton pada tahun 2000. Ketersediaan penih penjenis sangatlah memberikan pengaruh yang signifikan sebab kekosongan pada jenis benih ini berakibat sangat fatal dalam pasokan benih sebar (ES) dipasar. Tabel 3. Kapasitas Produksi Benih Penjenis (BS) Jagung dari Beberapa Produsen Benih Utama Tahun 1999 dan 2000. Produsen Benih 1999 2000 Jagung Bersari Bebas (ton) • PT Sang Hyang Seri 600 1.000 • PT. Pertani 2.100 • H. Abduri 200 200 1.500 1.500 • Perjan Tani Cihea 4.650 4.650 • Koperasi 500 500 • HPPB Jawa Timur 1.800 • Program Inpres DT II 7.450 11.750 Sub Total Jagung Hibrida (ton) • PT Sang Hyang Seri 750 1.100 • PT. Pertani 250 250 12.000 12.000 • PT. BISI 15.000 15.000 • PT.Pioneer 700 1.500 • PT. Moagro Kimia 28.700 29.850 Sub Total Total Kapasitas 36.150 41.600 Sumber: Tim Review Perbenihan (2001), dalam Ekonomi Jagung Indonesia (2005)
2.2
Penelitian Jagung Terdahulu
2.2.1 Prilaku Pasar Jagung Indonesia Kariyasa dan Bonar (2004), dalam Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku pasar jagung di Indonesia menjelaskan bahwa secara umum produksi jagung Indonesia dalam periode 1990-2001 belum mampu memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri, sedangkan rata-rata impor jagung Indonesia dalam periode yang sama adalah 667,5 ribu ton per tahun. Penggunaan jagung di Indonesia pada periode 1990-2001 adalah konumsi (9,15 %), industri pangan (52,81 %), pakan (28,72 %) dan untuk kebutuhan lainnya sebesar 9,32 persen pertahunnya. Penelitian tersebut menggunakan data time series periode 1980-2001, pendekatan model ekonomertika persamaan simultan dengan metode pendugaan
two-stage least squares (2SLS). Hasil pendugaan menunjukan produksi sebaiknya diperioritaskan pada perbaikan teknologi produksi dibandingkan instrumen lain. Tanpa ada upaya khusus untuk memacu produksi dalam negeri diperkirakan impor jagung Indonesia akan terus meningkat, sehingga sesuai dengan hasil
42
dugaan dalam model dalam jangka panjang diperkirakan harga jagung domestik akan lebih ditentukan oleh harga jagung dunia dibandingkan kekuatan pasar domestik itu sendiri.
2.2.2 Perilaku Harga Jagung Indonesia Suryana (1991), dalam tesis yang berjudul Analisis Respon Penawaran dan Keragaman Perekonomian Jagung di Jawa Timur menjelaskan kebijakan penetapan harga jagung tidaklah efektif. Penyebab tidak efektifnya penetapan harga dasar jagung adalah harga dasar yang ditetapkan pemerintah selalu lebih rendah dari harga pasar, sehingga langkah-langkah pengamanan terhadap harga dasar tersebut seperti operasi pasar tidak diperlukan. Perkembangan harga jagung berfluktuasi tinggi disebabkan oleh belum tersedianya fasilitas penyimpanan yang memadai. Fluktuasi harga erat hubungannya dengan musim panen sebab sekitar 60 persen dari jagung dipanen antara bulan Desember-Maret, sedangkan bulan Oktober-November adalah termasuk puncak musim panceklik jagung. Kariyasa dan Bonar (2004), dalam Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku pasar Jagung di Indonesia menjelaskan harga jagung Indonesia hanyalah respon terhadap perubahan harga jagung impor itu pun dalam jangka panjang dan kurang respon terhadap penawaran jagung. Terlihat terdapat integrasi antara pasar jagung dunia dengan harga pasar jagung domestik melalui harga impor, pasar jagung dunia secara kuat mempengaruhi pasar domestik dan tidak berlaku sebaliknya. Harga jagung domestik yang kurang responsif terhadap penawaran jagung membuktikan bahwa harga jagung Indonesia lebih banyak ditentukan sepihak oleh pabrik pakan, mengingat struktur pasar pabrik pakan ketika berfungsi sebagai pembeli jagung cenderung mendekati oligopsoni. Ilham, N. et.al (2006), dalam Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap Ketahanan Pangan menjelaskan kebijakan harga pangan tidak efektif dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional. Kebijakan pangan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan harga dasar output yang diikuti oleh pengadaan pangan, kebijakan harga tertinggi output yang diikuti dengan operasi pasar atau penyaluran pangan dan dan kebijakan harga input termasuk kebijakan kredit program pertanian. Dalam kebijakan harga input terdapat permasalahan yaitu inefisiensi produksi input (pupuk) dan keterlambatan atau
43
gangguan dalam distribusi input yaitu terjadinya rembesan penggunan dari pupuk subsidi ke pupuk tidak bersubsidi dan ekspor ilegal. Dua permasalahan di tingkat produksi tersebut berdampak terhadap proses produksi dan hasil produksinya, sehingga bila ketersediaan input terganggu maka ketersediaan output pangan akan terganggu dan membuat kebijakan harga menjadi tidak efektif.
2.2.3 Kemitraan Jagung Ali (2005), dalam penelitiaannya menjelaskan pelaksanaan kemitraan perusahaan agribisnis dengan petani jagung (manis) dapat meningkatkan pendapat usahatani petani. Pola kemitraan antara petani jagung dan perusahaan agribisnis pada kasus PT. Florette Gemala Sari dengan petani-petani jagung manis di Desa Jampang Tengah adalah pola kerjasama inti-plasma. Hasil analisis menunjukan nilai R/C ratio lebih besar dari satu berarti usahatani jagung manis mitra (plasma) menguntungkan dari sisi pendapatan. Penilaian petani mitra terhadap atribut-atribut mutu pelayanan yang berkaitan dengan terkait kepuasan selama kemitraan menunjukan bahwa pelayanan pasca panen dan pelayanan sarana produksi mempunyai nilai yang paling rendah dari selang angka dua sampai tiga berarti dari tingkat tidak puas sampai cukup, sedangkan pelayanan teknis budidaya mempunyai nilai paling tinggi dari selang tiga sampai empat berarti pelayanan yang diberikan dari tingkat cukup sampai puas.
2.2.4 Usahatani Jagung Studi Kendala Produksi Jagung yang diselenggarakan oleh Balittan Bogor tahun 1985-1986, menunjukan bahwa dari lima daerah produksi utama di Jawa Tengah dan Timur yang diteliti, hanya tiga kabupaten yang dijadikan daerah pengembangan jagung hibrida (C-1) yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kediri, dan Lumajang. Sedangkan Kabupaten Bojonegoro dan Blora dijadikan sebagai daerah pengembangan jagung Arjuna (bersari bebas). Analisis pendapatan petani antara jagung bersari bebas dan hibrida menurut tipe lahan menujukan bahwa pendapatan petani jagung bersari bebas (Arjuna) dari tiga jenis tipe lahan pertanaman secara umum lebih menguntungkan banding dengan usahatani jagung hibrida. Pendapatan petani menurut musim
44
tanam juga menunjukan hal serupa. Hal ini menujukan secara sederhana bahwa keuntungan yang diperoleh petani jagung bersari bebas relatif sedikit lebih besar dibandingkan dengan petani jagung hibrida. Mailan dan Djauhari (1986), dalam penelitian usahatani jagung menjelaskan dalam pengambilan keputusan untuk memilih jenis komoditi yang akan diusahakan, seorang petani perlu mempertimbangkan banyak hal. Pertimbangan-pertimbangan
tersebut
antara
lain
meliputi
ketersediaan
sumberdaya, pilihan teknologi, kendala yang dihadapi, pola konsumsi keluarga, dan harapan harga dari setiap komoditi. Pilihan itu selanjutnya berpengaruh terhadap pola tanam dan teknologi yang akan dikembangkan, serta alokasi pada berbagai tipe lahan yang dikuasai. Pola tanam yang diterapkan oleh petani dalam mengusahakan jagung menujukan variasi antar daerah. Pola tanam petani jagung di pulau jawa, pada umumnya menanam jagung pada lahan kering atau tegalan dan sawah beririgasi, sedang untuk di luar pulau jawa pada umumnya pada lahan kering dan sawah tadah hujan. Perbedaan teknologi yang diterapkan antara petani terutama disebabkan oleh empat faktor, yaitu: (1) daerah pengembangan, (2) selera konsumen, (3) tipe lahan usahatani, dan (4) ketersediaan modal usahatani. Perangin-Angin (1999), dalam penelitian “analisis pendapatan usahatani dan pemasaran jagung“ yang dilakukan di Kabupaten Lampung Tengah menghasilkan bahwa rata-rata pendapatan usahatani jagung di wilayah penelitian sebesar Rp 3.420.500,00 dengan tingkat produksi 4,2 ton per hektar dengan harga jual rata-rata Rp 1.40,00 per kilogram. Nilai R/C atas biaya total diperoleh sebesar 2,88 dan R/C atas biaya tunai sebesar 4,61. Dengan demikian penelitian tersebut membuktikan usahatani jagung di daerah penelitian tersebut layak untuk dikembangkan. Susanto (2004), dalam penelitian “analisis pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor produksi usahatani padi gogo secara tumpangsari dengan jagung“ yang dilakukan di Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Penelitian tersebut didapatkan dengan harga jual panen padi gogo dan jagung adalah Rp 1.700,00 dan Jagung Rp 450,00 perkilo menghasilkan total penerimaan petani tumpangsari padi gogo dan jagung adalah sebesar Rp
45
1.99.200,00 yang meliputi penerimaan padi gogo sebesar Rp 1.348.100,00 dan jagung sebesar Rp 647.100,00. Nilai R/C atas biaya tunai diperoleh sebesar 2,92 dan R/C atas biaya total sebesar 1,09. Nilai R/C tersebut membuktikan usahatani jagung di daerah penelitian tersebut layak karena nilainya lebih besar dari satu. Djulin, et al. (2005), dalam penelitian perkembangan sistem usahatani jagung menjelaskan hingga kini jagung masih dominan ditanam di lahan kering pada musim hujan, walupun di sisi lain juga terjadi perluasan jagung di lahan sawah pada musim kemarau. Masih dominannya pertanaman jagung di lahan kering dan pada musim hujan menyebabkan timbulnya masalah mutu hasil dan fluktuasi harga yang cukup besar. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab lambannya adopsi teknologi jagung. Pada tingkat penerapan teknologi saat ini, tiap hektar usahatani jagung unggul di lahan sawah dan lahan kering memberi hasil per hektar masing-masing 6,14 ton dan 4,62 ton dengan keuntungan Rp 2,9 juta dan Rp 2,1 juta. Biaya produksi per unit pada tingkat hasil tersebut adalah Rp 542 per kilogram untuk lahan sawah dan Rp 608 per kilogram untuk lahan kering. Usahatani jagung unggul di lahan sawah maupun di lahan kering berorientasi pasar atau pendapatan tunai, sedangkan jagung lokal untuk konsumsi atau pengamanan pangan rumah tangga. Komoditi pesaing utama jagung unggul di lahan sawah adalah padi. Di lahan kering, pesaing jagung adalah kedelai, kacang tanah, dan ubi kayu. Keuntungan kedelai dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari jagung, dengan biaya produksi kedelai yang lebih rendah. Untuk kacang tanah baik keuntungan maupun biaya produksi lebih tinggi dari jagung. Untuk umbi kayu keuntungan lebih tinggi dan biaya produksi jauh lebih rendah dari jagung, namun masa panen lebih lama dari jagung.
2.2.4 Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Referensi penelitian jagung terdahulu secara umum memiliki dasar pemikiran bahwa tercukupi atau tidaknya ketersediaan pangan dipengaruhi oleh besar kecilnya hasil produksi pangan itu sendiri. Penelitian ini menganalisis usahatani jagung dengan pendekatan pendapatan usahatani petani dan faktorfaktor input produksi.
46
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah: (1) lokasi pada penelitian terdahulu berada di tingkat kecamatan dan kabupaten, sedangkan penelitian ini berada ditingkat desa sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih spesifik tentang usahatani jagung, (2) penelitian terdahulu melakukan analisis perbandingan pendapatan usahatani jagung hibrida (C-1) dan bersari bebas (Arjuna) sedangkan dalam penelitian ini hanya secara umum, dikarenakan pemilihan benih di lokasi tidak hanya pada satu jenis varietas saja, namun cukup mampu menggambarkan penggunaan benih hibrida dan bersari bebas, (3) dalam penelitian ini dibandingkan karakteristik teknologi usahatani kedua jenis benih dengan rekomendasi pemerintah tentang teknologi usahatani jagung hibrida dan bersari bebas, (4) penelitian terdahulu hanya menggunakan batasan jenis lahan (kering dan sawah), oleh karena itu pada penelitian ini mencoba membandingkan kedua usahatani dengan basatasan status kepemilikan lahan (pemilik lahan dan penyewa lahan garapan).
47
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Teoritis
3.1.1 Konsep Usahatani Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu, alam, tenaga kerja, modal dan pegelolaan yang diusahakan oleh perseorangan ataupun sekumpulan orang-orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen (Soeharjo dan Patong, 1973). Karakteristik umum petani di Indonesia adalah petani kecil. Dimana para petani tersebut memiliki lahan yang kurang dari 0,5 hektar (sempit), tingkat pedapatan yang rendah sekitar kurang dari 240 kilogram beras perkapita per-tahun, mengalami kekurangan modal dalam bertani serta kurang dinamisnya perkembangan pola bercocok tanam (Soekartawi et al, 1986). Kegiatan usahatani berdasarkan coraknya dapat dibagi menjadi dua, yaitu usahatani subsistem dan usahatani komersial. Usahatani subsistem bertujuan memenuhi konsumsi keluarga, sedangkan usahatani komersial adalah usahatani dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Soekartawi (1995), menyatakan bahwa ciri petani komersial adalah; (1) cepat dalam mengadopsi inovasi pertanian, (2) cepat dan tanggap dalam mencari informasi, (3) lebih berani dalam mengambil resiko dalam berusaha, (4) memiliki sumberdaya yang cukup. Berdasarkan tingkat keberhasilan usahatani dilihat dari produksi serta produktifitas usahatani itu sendiri. Keberhasilan produksi dititikberatkan kepada pola budidaya dan perkembangan teknologi pertanian yang diterapkan dalam suatu usahatani. Adapun beberapa aspek budidaya yang perlu diperhatikan adalah:
•
Penggunaan benih/bibit unggul (sesuai dengan standar mutu benih bermutu).
•
Penerapan sistem pola tanam yang sesuai dengan kondisi lahan (sistem tunggal komoditi atau tumpang sari).
•
Pemeliharaan tanaman harus diperhatikan dari pemberian pupuk, pengairan, penyulaman, penyiangan serta pengendalian hama dan penyakit.
•
Penanganan panen dan pasca panen termasuk penyimpanan, sehingga menghasilkan kondisi produk yang baik dan berkualitas.
48
3.1.3 Faktor-Faktor yang mempengaruhi Usahatani Hernanto (1989), menjelaskan bahwa produksi usahatani dipengaruhi oleh dua faktor utama yang mempengaruhi usahatani yaitu faktor intern dan faktor
ekstern. Faktor intern usahatani meliputi; (1) lahan (tanah), (2) tenaga kerja, (3) Modal dan (4) pengelolaan atau manajemen. Faktor ekstern meliputi ketersediaan sarana pertanian, transportasi, komunikasi, serta aspek-aspek yang menyangkut pemasaran input dan output usahatani. Faktor ekstern merupakan faktor-faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh petani, sedangkan faktor intern merupakan faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh petani, berikut dekripsi faktor-faktor
intern: a) Lahan Lahan merupakan faktor produksi yang langka sehingga perlu digunakan secara efektif dan efisien. Beberapa kondisi lahan yang perlu diperhatikan dalam usahatani, yaitu kesesuaiaan lahan, daya dukung lahan, status penggunaan lahan, fregmentasi lahan, serta aksesibilitas terhadap sarana pendukung produksi usahatani. Lahan sebagai modal mempunyai sifat khusus yaitu:
•
Tidak dapat diperbanyak
•
Tidak dapat dipindah tempatkan
•
Dapat berpindah hak kepemilikan
•
Dapat menjadi alat jual beli
•
Nilai (biaya lahan tidak disusutkan)
b) Tenaga Kerja Tenaga kerja dalam usahatani sangat diperlukan dan berpengaruh terhadap penyelesaian berbagai macam kegiatan produksi usahatani. Jenis tenaga kerja dibagi menjadi tiga yaitu: tenaga kerja manusia, hewan dan mesin. Tenaga kerja yang menjadi faktor produksi dalam penelitian ini adalah tenaga kerja manusia. Tenaga kerja tersebut dibagi menjadi dua kategori yaitu Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Tenaga kerja mempunyai sifat-sifat seperti; (1) continous flow input, dimana tenaga kerja tersebur terpakai atau tidak daya tenaganya terus mengalir, (2) tenaga kerja tetap (full time labor), dimana tenaga kerja merupakan input yang tidak mudah dibagi-
49
bagi, (3) tenaga kerja merupakan input yang dominan, (4) dan tenaga kerja dipengaruhi “human factor“ atau “individual factor“ .
c) Modal Modal adalah barang atau uang yang secara bersama-sama dengan faktor produksi lain digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa, yaitu produk pertanian. Sumber modal diperoleh dari; milik sendiri, pinjaman atau kredit, hadiah, warisan, usaha lain atau kontrak sewa. Menurut sifatnya modal dibagi menjadi :
•
Modal tetap, meliputi: tanah dan bangunan. Modal tetap merupakan modal yang tidak habis dalam satu periode produksi.
•
Modal bergerak, meliputi: alat-alat dan mesin petanian, bahan baku produksi, pinjaman (kredit) bank, tanaman dan ternak.
d) Pengelolaan atau Manajemen Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dengan sebaik mungkin sehingga mampu memberikan produksi pertanian yang diharapkan. Faktor-faktor produksi yang di kelola oleh petani dalam penelitian ini adalah : Lahan garapan, pemilihan penggunaan benih (hibrida atau bersari bebas), Pupuk (Urea, TSP dan NPK (Phonska[7])), Obat-obatan (Furadan dan Decis) dan alokasi penggunaan tenaga kerja.
3.1.2 Pendapatan Usahatani Usahatani sebagai satu kegiatan produksi pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Selisih antara keduanya merupakan pendapatan usahatani. Soeharjo dan Patong (1973), mengartikan pendapatan usahatani sebagai balas jasa dari kerjasama antara faktorfaktor produksi dengan petani sebagai penanam modal dan sekaligus pengelola usahatani. Tingkat pendapatan didapatkan dengan analisis pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani dapat dijadikan tolak ukur sederhana tentang
[7]
Nama jual produk pupuk NPK
50
tingkat keberhasilan suatu usahatani. Soeharjo dan Patong (1973), menjelaskan terdapat dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu (1) menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha, dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu kegiatan usaha. Analisis pendapatan memerlukan dua komponen utama, yaitu keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu dalam usahatani dan keadaan penerimaan pasca produksi dan pemasaran usahatani (Soeharjo dan Patong, 1973). Menurut soekarwati et.al (1986), penerimaan adalah besaran output usaha, baik produk utama maupun produk sampingan yang dihasilkan. Sedangkan pengeluaran atau biaya adalah semua pengorbanan sumber daya yang terukur dalam satuan nominal uang (rupiah) yang dikeluarkan dalam mencapai tujuan usahatani. Komponen pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai (cash
cost) dan pengeluaran diperhitungkan (inputted cost). Beban biaya dalam pengeluaran tunai meliputi: pembayaran tunai sarana produksi pertanian (saprotan) seperti pembelian benih, pupuk, obat-obatan (pestisida), beban biaya sewa dibayar dimuka seperti sewa lahan garapan, sewa alat mesin pertanian (bila ada), dan biaya tenaga kerja. Beban biaya yang termasuk dalam pengeluaran diperhitungkan (inputted cost) adalah pendapatan bunga modal, pendapatan yang dipergunakan untuk usahatani berikutnya semisal benih hasil panen dan nilai tenaga kerja keluarga diperhitungkan. Komponen penerimaan usahatani dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Pendapatan tunai bersumber dari penjualan tunai hasil produksi/panen (output) usahatani yang dilakukan, sedangkan penerimaan non tunai bersumber dari (1) produk/hasil panen (output) yang dikonsumsi keluarga petani dan (2) kenaikan nilai inventaris, yaitu nilai benda-benda investasi yang dimiliki rumah tangga petani berdasarkan selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun. Ukuran efisiensi usahatani merupakan salah satu ukuran keberhasilan usahatani. Salah satu cara untuk mengukur efisiensi usahatani adalah dengan menggunakan rasio imbangan penerimaan dan biaya yang dikeluarkan (Rasio R/C). Rasio R/C merupakan perbandingan antara pendapatan kotor (penerimaan
51
usahatani) yang diterima usahatani dengan setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi (Hermanto, 1989).
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Program dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan pertanian
terutama program pengambangan tanaman pangan dan diversifikasi pangan nasional, mendorong terjadinya peningkatan produksi di komoditi pangan primer dan sekunder. Pengembangan kedua kelompok komoditi tersebut terus dilakukan dengan mengintroduksi teknologi-teknologi pertanian baru guna mendorong produksi. Dalam upaya peningkatan produksi tanam pangan sekunder khususnya komoditi jagung guna memenuhi kebutuhan pangan, pakan, maupun industri, berbagai cara dilakukan oleh pemerintah dan semua pihak yang terkait. Salah satu penerapan elemen inovasi teknologi penting dalam peningkatan produksi yaitu dengan menggunakan benih unggul. Kebijakan dan rekomendasi pemerintah dalam penerapan unsur teknologi benih unggul salah satunya adalah penggunaan benih jagung hibrida. Meskipun demikian petani di beberapa tempat seperti Jawa Tengah dan Timur yang tergolong ke dalam penghasil jagung, lebih memilih menggunakan benih jagung bersari bebas dibandingkan dengan hibrida. Fenomena tingginya permintaan benih bersari bebas oleh petani, membuat beberapa kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur dijadikan sentra penghasil benih unggul jagung bersari bebas. Fenomena serupa ditemui di Jawa Barat, khususnya di Wilayah Pengembangan (WP) IV. (BPS Regional Jawa Barat 1990). Penyebaran benih varietas jagung di Provinsi Jawa Barat dibagi menurut Wilayah Pengembangan (WP). Penggunaan benih jagung bersari bebas pada era 1990 lebih tinggi dibandingkan benih hibrida, penggunaan benih bersari bebas mencapai 77,64 % sedangkan benih hibrida hanya 18,00 % (Lampiran 7). Jawa Barat sendiri memiliki daerah penghasil jagung diantaranya adalah Kabupaten Bandung yang termasuk dalam WP IV. Penyebaran benih bersari bebas di wilayah pengembangan IV sama tingginya dengan penyebaran dan penggunaan benih di Jawa Barat yaitu 75,56 %. Seiring dengan perkembangan teknologi dan
52
komunikasi, pada periode 1997-2006 terjadi perubahan pola penyebaran benih dengan komposisi variasi benih lebih didominasi oleh benih hibrida dibandingkan dengan benih bersari bebas (lokal) di Kebupaten Bandung (Lampiran 8). Sehingga dengan lebih banyaknya benih hibrida dipasar diharapkan petani memilih benih hibrida dibandingkan dengan bersari bebas. Korelasi penggunaan jenis benih sebagai salah satu rekomendasi teknologi terlihat pada lampiran 2 dan 6. Perkembangan produksi pada periode 1982-1990 terutama tahun 1990 produksi hanya mencapai 39,793 ton dimana petani di Kabupaten Bandung lebih memilih benih jagung bersari bebas. Peningkatan produksi terjadi pada periode 1997-2006 dengan rata-rata produksi berkisar 140.969 ton dan variasi ketersediaan benih lebih didominasi oleh benih hibrida. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab peningkatan produksi bisa disebabkan oleh pemilihan benih hibrida. Kondisi yang terjadi di Kabupaten Bandung berbeda dengan Kecamatan Batujajar khususnya Desa Saguling. Berdasarkan informasi dan survei awal, didapatkan bahwa petani-petani yang berada di desa Saguling lebih memilih benih bersari bebas (lokal) dibandingkan dengan hibrida. Dengan perbedaan yang ada antara jagung hibrida dan jagung besari bebas, apakah pilihan petani terhadap jagung bersari bebas merupakan pilihan yang tepat dalam meningkatkan produksi, dan bagaimana pengaruh pemilihan jenis benih (hibrida dan bersari bebas) terhadap produksi. Fenomena yang terjadi di Desa Saguling membuat diadakannya penelitian usahatani jagung ini. Adapun perbedaan yang menjadi inti permasalahan antara kedua usahatani jagung ini adalah harga benih yang lebih mahal untuk jagung hibrida dibanding dengan jagung bersari bebas, usia panen yang lebih lama untuk jagug hibrida dengan hasil panen yang sedikit lebih rendah untuk jagung bersari bebas, dan hasil panen yang tidak dapat dijadikan benih kembali dengan kebutuhan benih per hektar yang sedikit lebih banyak untuk jagung bersari bebas serta lebih rentannya jagung bersari bebas terhadap hama dan penyakit jagung. Fokus Penelitian ini meliputi perbandingan penggunaan faktor-faktor produksi usahatani jagung yang menggunakan benih hibrida dengan benih bersari bebas dan kemudian dibandingkan dengan rekomendasi teknologi produksi
53
jagung. Penelitian ini kemudian akan menganalisa perbandingan pendapatan usahatani jagungnya, antara usahatani yang menggunakan benih hibrida dengan benih bersari bebas (lokal). Kedua analisis tersebut diberi batasan status kepemilikan lahan yaitu petani yang menggarap lahan milik sendiri (pemilik) dan petani yang menggarap lahan sewa (penyewa). Tujuan penelitian ini dilakukan agar petani mendapat informasi yang lebih jelas dari usahatani yang telah berlangsung dan akan terus dikembangkan, sehingga keputusan petani dalam memilih jenis benih pada usahatani jagung didasari oleh argumentasi dengan perhitungan yang matang dan bukan sekedar ikut-ikutan belaka. Operasional
penelitian
ini
adalah
dengan
analisis
perbandingan
penggunaan faktor-faktor produksi (petani dengan rekomendasi teknologi produksi). Selanjutnya dilakukan penghitungan pendapatan usahatani dengan menghitung R/C rasio yang diterima petani dari usahataninya. Tingkat pendapatan yang dibandingkan terdiri dari dua komponen, yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Lebih jelasnya mengenai kerangka oprasional dari penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.
54
Upaya Peningkatan Produksi Jagung Nasional Produksi Jagung Kab Bandung dan Kec Batujajar Rekomendasi Teknologi Produksi Jagung Varietas Hibrida
Variasi Pilihan Penggunaan Benih Jagung
Usahatani Desa Saguling
Kebiasaan (Pilihan) Petani
Jagung Varietas Bersari Bebas (lokal)
Permasalahan Mendasar : 1. Rentan terhadap hama dan penyakit 2. Kebutuhan benih per hektar sedikit lebih banyak 3. Hasil panen sedikit lebih rendah
Permasalahan Mendasar : 1. Biaya benih terlalu tinggi 2. Benih hanya sekali pakai 3. Usia Panen lebih lama
Usahatani Jagung Hibrida
Usahatani Jagung Bersari Bebas Analisis Perbandingan Usahatani:
Pemilik Lahan Garapan Penyewa Lahan Garapan
a. Analisis Perbandingan Penggunan Faktor-Faktor Produksi (Petani dengan Rekomendasi Teknologi Produksi) b. Analisis Pendapatan Usahatani c. Analisis R/C Rasio
Pemilik Lahan Garapan Penyewa Lahan Garapan
Rekomendasi Sistem dan Teknologi Usahatani Jagung yang Cocok Bagi Petani Kecamatan Batujajar Khususnya Desa Saguling agar Dapat Meningkatkan Pendapatan Petani
Gambar 1. Bagan Kerangka Operasional.
55
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Saguling, Kecamatan Batujajar, Kabupaten
Bandung, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purpossive) dengan pertimbangan Kabupaten Bandung merupakan salah satu sentra produksi Jagung di Jawa Barat. Pertimbangan pemilihan Desa Saguling yang
berada
di
Kecamatan
Batujajar
dikarenakan
memiliki
prospek
pengembangan agribisnis jagung lebih lanjut, selain itu terdapat pondok pesantren yang giat dan cukup berhasil dalam memberikan pengaruh positif terhadap pengembangan sistem usahatani komoditi tanaman pangan (Padi, Jagung dan Umbi Kayu). Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Desember 2007 hingga Januari 2008.
4.2
Jenis dan Sumber Data Pada penelitian ini data yang dikumpulkan berupa data primer dan data
sekunder. Data primer yang digunakan berupa cross section data. Data diperoleh melalui pengamatan langsung, dan hasil wawancara dengan responden yang dipandu dengan kuesioner. Wawancara melibatkan petani, penyuluh pertanian dari Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, dan tokoh masyarakat. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner, yang berfungsi sebagai daftar pertanyaan yang harus dijawab dan catatan harian untuk mencatat hal-hal yang teramati pada waktu wawancara yang mungkin diperlukan sebagai pertimbangan dalam analisis data. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data potensi dan keadaan umum daerah penelitian, data produksi jagung hibrida dan jagung bersari bebas (lokal) sebagai perbanding, data potensi produksi pertanian, data penduduk dan literatur-literatur terkait yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, BPS Indonesia dan Jawa Barat serta dinas-dinas lainnya yang terkait. Serta datadata hasil penelitian sebelumnya yang masih relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian.
4.3
Metode Pengambilan contoh Metode pengambilan contoh dilakukan secara sengaja (purpossive
sampling) sebanyak 30 sample. Pada metode ini individu contoh (sample) diwawancarai bukan atas pertimbangan sendiri melainkan atas petunjuk dan arahan penyuluh pertanian (PPL) kecamatan, aparatur desa dan tokoh-tokoh desa. Total responden sebanyak 30 dibagi menjadi dua yaitu 15 sempel merupakan responden petani jagung dengan benih hibrida dan 15 lainnya merupakan responden petani jagung dengan benih bersari bebas (lokal).
4.4
Metode Pengumpulan Data Metode digunakan dalam mengumpulkan data yang relevan untuk
menunjang dan memperkuat analisis penelitian adalah: 1. Wawancara Wawancara dilakukan oleh peneliti kepada petani responden baik itu petani jagung hibrida maupun petani jagung lokal yang terpilih sebagai responden berkaitan dengan masalah yang diteliti. 2. Kuesioner Kuesioner diisi oleh peneliti sembari mewawancarai responden (petani) terdiri dari dua bagian yaitu bagian pertama mengenai karakteristik responden dan bagian kedua mengenai karakteristik usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani. 3. Studi Pustaka Studi Pusaka diperoleh dan dikumpulkan dengan cara membaca, mempelajari dan mengutip pendapat dari berbagai sumber buku, skripsi, laporan, internet atau dokumen dan sumber lainnya yang berkaitan dengan masalah yang terkait.
4.5
Metode Pengolahan dan Analisis Data Tahapan pengolahan data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Data
kuantitatif diolah dalam bentuk tabulasi, dan perhitungannya secara manual dan komputerisasi, yaitu dengan Microsoft Excel 2007. Data kualitatif pengolahan dan analisis dilakukan secara deskriptif. Analisis data dalam penelitian ini meliputi
85
analisis perbandingan penggunaan faktor-faktor produksi usahatani dan analisis pendapatan usahatani.
4.5.1 Analisis Perbandingan Penggunaan Faktor-Faktor Usahatani Analisis dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan membandingkan keragaan usahatani jagung antara petani yang mengunakan benih hibrida dan petani dengan benih bersari bebas. Perbandingan usahatani antara benih hibrida dengan bersari bebas di beri batasan status kepemilikan lahan garapan. Dalam membandingkan penggunaan faktor-faktor produksi usahatani jagung digunakan rekomendasi teknologi produksi jagung yang keluarkan oleh Balai Peneiltian Tanaman Serealia (BALITSEREAL) dan Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) sebagai acuan perbandingan. Status kepemilikan yang menjadi batasan adalah petani yang mengelola lahan milik sendiri (pemilik) dengan petani yang mengelola lahan milik orang lain (penyewa). Perbandingan meliputi proses produksi, penggunaan input dan hasil produksi (output). Standar acuan perbandingan kedua keragaan usahatani tersebut adalah rekomendasi teknologi produksi yang di keluarkan oleh pemerintah.
4.5.2 Analisis Pendapatan Usahatani Proses awal dalam analisis pendapatan adalah mengetahui dan menghitung jumlah pengeluaran usahatani yang dilakukan antara keduanya. Komponen pengeluaran usahatani adalah pengeluaran tunai (cash cost) dan pengeluaran diperhitungkan (inputted cost), metode perhitungan dirumus sebagi berikut:
Tabel 4. Metode Penghitungan Pengeluaran Biaya Usahatani Komponen Biaya
A. Biaya Tunai
B. Biaya Diperhitungkan C. Total Biaya
Keterangan Beban Biaya Jagung Bersari Bebas Pembelian Benih Pupuk : (Urea, SP36, KCL dan, NPK) Tenaga kerja luar keluarga Sewa lahan Pajak Musim Tanam Tenaga Kerja dalam keluarga Penggunaan Benih hasil panen A+B
Jagung Hibrida Pembelian Benih Pupuk : (Urea, SP36, KCL dan, NPK) Tenaga kerja luar keluarga Sewa lahan Pajak Musim Tanam Tenaga kerja dalam keluarga
86
Proses berikutnya adalah menghitung penerimaaan yang didapatkan oleh kedua usahatani. Komponen penerimaan usahatani yang dihitung adalah penerimaan tunai dan penerimaan non tunai, metode perhitungan dirumuskan sebagai berikut:
Tabel 5. Metode Penghitungan Penerimaan Usahatani Komponen Penerimaan A. P. Tunai B. P. Diperhitungkan C. Total Penerimaan
Keterangan Harga x Hasil Panen yang dijual (kg) Harga x Hasil panen yang dikonsumsi (kg) A+ B
Setelah kedua komponen perhitungan pendapatan di ketahui maka proses selanjutnya adalah menghitung selisih antara penerimaan yang didapatkan dengan seluruh beban biaya yang dikeluarkan. Hasil perhitung analisis pendapatan tersebut akan memperoleh: (1) pendapatan usahatani atas biaya tunai, (2) pendapatan usahatani atas biaya total dan (3) pendapatan tunai. Berikut ini metode penghitungan pendapatan usahatani jagung.
Tabel 6. Metode Penghitungan Pendapatan Usahatani Jagung Komponen Perhitungan A. P. Tunai B. P. Diperhitungkan C. Total Penerimaan D. Biaya / Pengeluaran
E. Biaya Tunai
F. Biaya Diperhitungkan G. H. I. J.
Total Biaya Pend. atas Biaya Tunai Pend. atas Biaya Total Pendapatan Tunai
Usahatani Jagung Harga x Hasil Panen yang dijual (kg) Harga x Hasil panen yang dikonsumsi (kg) A+ B Jagung Bersari Bebas Jagung Hibrida Pembelian Benih Pembelian Benih Pupuk : Pupuk : (Urea, SP36, KCL dan, (Urea, SP36, KCL dan, NPK) NPK) Tenaga kerja luar Tenaga kerja luar keluarga keluarga Sewa lahan Sewa lahan Pajak Musim Tanam Pajak Musim Tanam Tenaga Kerja dalam Tenaga Kerja Dalam keluarga Keluarga Penggunaan Benih hasil panen D+E C–D C–F A–D
Sumber: Hernanto, 1989
Keterangan : P: Penerimaan dan Pend: Pendapatan Suatu usahatani dikatakan efisien secara ekonomi apabila rasio output terhadap inputnya menguntungkan. Untuk menunjukan beberapa penerimaan yang 87
diterima petani dari setiap rupiah yang dikeluarkan maka dapat digunakan ukuran kedudukan ekonomi R/C rasio. Adapun rumus umum dalam mendapatkan nilai R/C rasio adalah sebagai berikut:
Berdasarkan rumus inilah dapat diketahui nilai R/C rasio yang menggambarkan tingkat keberhasilan suatu usahatani melalui nilai R/C rasio atas biaya tunai dan R/C rasio atas biaya total. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Dan
R C Dimana :
R/C > 1:
Usahatani tersebut menguntungkan untuk diusahakan.
Artinya, setiap satu satuan nilai rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi usahatani jagung, akan menghasilkan penerimaan sebesar lebih dari satu satuan nilai rupiah
R/C < 1:
Usahatani tersebut tidak menguntungkan untuk diusahakan.
Artinya, setiap satu satuan nilai rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi usahatani jagung, akan menghasilkan penerimaan sebesar kurang dari satu satuan nilai rupiah.
R/C = 1:
Usahatani tersebut masih layak untuk diusahakan.
Artinya, setiap satu satuan nilai rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi usahatani jagung, akan menghasilkan penerimaan sebesar satu satuan nilai rupiah.
88
4.5.3 Defenisi Operasional Defenisi operasional dalam Analisis pendapatan dan fungsi produksi terdapat beberapa batasan-batasan dan peubah-peubah yang diukur, antara lain : 1. Petani Pemilik Lahan Garapan Petani pemilik lahan garapan adalah petani yang mengelola usahatani di lahan milik pribadi bukan milik orang lain. Satuan luas lahan yang digunakan adalah meter persegi (m2). 2. Petani Penyewa Lahan Garapan Petani penyewa lahan garapan adalah petani yang mengelola usahatani jagung di lahan garapan milik orang lain, dengan cara menyewa sebesar Rp 15.000 per petak lahan yang disewa. Satu petak lahan setara dengan 500-700 m2. 3. Penerimaan Tunai Penerimaan tunai adalah penerimaan yang diterima petani atas penjualan hasil panen yang telah dikurangi dengan konsumsi panen dan keperluan benih dari hasil panen. Satuan panen yang digunakan adalah kilogram (kg), harga jual konsumsi adalah rupiah (Rp). 4. Penerimaan Non Tunai Penerimaan non tunai adalah penerimaan yang diperhitungkan dari perkalian jumlah hasil panen yang dikonsumsi dengan harga konsumsi per satuan berat panen. Satuan yang digunakan adalah konsumsi adalah kilogram (Kg), harga jual konsumsi adalah rupiah (Rp). 5. Luas Lahan Luas lahan yang dimaksud adalah luasan areal tanah yang dijadikan areal pertanaman usahatani jagung dalam satu periode musim tanam dengan satuan hektar (Ha). Biaya marjinal korbanannya adalah sewa lahan per satu selama musim tanam, harga diukur dalam rupiah (Rp). 6. Pupuk Urea Pupuk Urea adalah pupuk dasar yang digunakan dalam usahatani dalam satu periode musim tanam dan diukur dalam satuan kilogram (kg). Biaya korbanan marjinalnya adalah harga pupuk urea dalam satu kilogram (Rp/Kg).
89
7. Pupuk TSP Pupuk TSP adalah jumlah pupuk TSP yang digunakan dalam satu periode musim tanam dalam usahatani jagung dan diukur dengan satuan kilogram (Kg). biaya marjinal korbanan yang digunakan adalah harga pupuk TSP dalam satu kilogramnya (Kg/Rp). 8. Pupuk NPK (Phonska) Pupuk NPK dengan merek jual Ponska adalah jumlah pupuk NPK yang digunakan dalam satu periode musim tanam usahatani jagung dengan skala pengukuran kilogram (Kg). Biaya marginal korbanan yang digunakan adalah harga pupuk NPK per satu kilogramnya (Rp/Kg). 9. Furadan Furadan adalah jumlah obat insektisida yang digunakan dalam satu periode musim tanam usahatani jagung dengan skala pengukuran kilogram (Kg). Biaya marginal korbanan yang digunakan adalah harga obat Furadan per satu kilonya (Rp/Kg). 10. Pestisida Decis Pestisida dengan merek jual Decis adalah jumlah Pestisida yang digunakan dalam satu periode musim tanam usahatani jagung dengan skala pengukuran satu kaleng sama dengan 50 cc. Biaya marginal korbanan yang digunakan adalah harga Pestisida Decis per kalengnya (Rp/kaleng). 11. Tenaga Kerja Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam satu periode musim tanam dalam usahatani jagung baik Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TDKL) atau Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Tenaga kerja diukur dalam satuan Hari Orang Kerja (HOK). Biaya korbanan marjinal yang digunakan adalah tingkat upah tenaga kerja salam satu hari orang kerja. 12. Benih Pemilihan jenis benih adalah pilihan petani terhadap penggunaan benih bersari bebas atau benih hibrida yang ditanam . Adapun pada penggunaanya benih memiliki satuan ukur kilogram (kg) dan biaya untuk satu kilogramnya digunakan satuan rupiah (Rp).
90
BAB V GAMBARAN DAERAH PENELITIAN 5.1
Kabupaten Bandung
5.1.1 Kondisi Fisik Kabupaten Bandung merupakan kabupaten induk dari Kabupaten Bandung Barat (KBB). Hal ini karena Kabupaten Bandung Barat baru resmi pada tahun 2007 berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2007 perihal Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bandung merupakan salah satu kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat. Luas wilayah Kabupaten Bandung adalah 176.239 hektar dan terletak pada 6°,41’ – 7°,19’ Lintang Selatan dan diantara 107°22’ – 108°5’ Bujur Timur. Kabupaten Bandung berbatasan dengan : Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat Bagian Tengah
: : : : :
Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur Kabupaten Bandung Barat Kota Bandung dan Kota Cimahi
Kabupaten Bandung terdiri atas 30 kecamatan, 266 desa dan sembilan kelurahan. Jumlah penduduk Kabupaten Bandung sebesar 2.943.283 jiwa (Sensus 2006) dan mata pencaharian penduduknya berada disektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa.
5.1.2 Kondisi Perekonomian Perekonomian Kabupaten Bandung di dominasi oleh tiga sektor unggulan yaitu industri pengolahan, perdagangan, hotel, restoran dan pertanian. Kondisi perekonomian ini merupakan pemanfaatan kondisi geografis Kabupaten Bandung yang berupa daerah pegunungan dan merupakan jalur transportasi dan perdagangan utama yang menghubungkan wilayah Megapolitan Jabodetabek dengan wilayah tengah dan timur pulau Jawa. Perkembangan pembangunan di sektor pertanian pada periode 2005-2006, secara nyata memberikan kontribusi positif terhadap Produk Domestik Regional (PDRB). Perkembangan tersebut dapat dilihat dengan peningkatan PDRB sektor
91
pertanian pada tahun 2006 sebesar Rp 3.417.094,70,- bila dibandingkan dengan realisasi pencapaian PDRB sektor pertanian pada tahun 2005 sebesar Rp 3.025.314,42,- (berdasarkan harga belaku).
Tabel 7. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Bandung Tahun 2006 Berdasarkan Harga Berlaku dan Laju Petumbuhan Ekonomi (LPE) Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 No.
Lapangan Usaha
1
Pertanian
2
Pertambangan dan Penggalian
3
Indutri Pengolahan
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
5
Bangunan/Kontruksi
6 7 8 9
PDRB (Juta Rupiah)
Laju Pertumbuhaan (%)
2005
2005
2006
2006
3,025,314
3,417,095
5.77
5.77
368,072
418,940
3.87
4.66
17,092,718
19,365,965
5.21
5.52
1,120,352
1,278,678
5.28
5.04
659,640
754,092
3.69
5.85
Perdagangan, Hotel dan Restoran
5,623,144
6,393,391
4.90
6.03
Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
1,663,276
1,887,052
3.49
6.09
820,163
921,668
5.15
4.83
1,789,072
2,054,628
4.16
6.18
32,151,721
36,491,511
5.01
5.65
PDRB Sumber: BPS Kabupaten Bandung, 2006
Penyumbang terbesar terhadap PDRB sektor pertanian di Kabupaten Bandung adalah produksi tanaman pangan, produksi perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan secara berurutan dari yang terbesar hingga yang terkecil. Sampai tahun 2006 penyumbang terbesar adalah sub sektor tanaman pangan dengan pasokan sebesar Rp 2,306 triliyun disusul oleh perkebunan sebesar Rp 514 milyar, perikanan Rp 477 milyar, peternakan Rp 98 milyar dan terakhir oleh produksi kehutanan sebesar Rp 22 milyar (lampiran 12). Pada Periode 20022006, PDRB sektor pertanian terus mengalami peningkatan dari Rp 2,130 triliyun rupiah pada tahun 2002 menjadi Rp 3,417 triliyun pada tahun 2006, atau mengalami peningkatan rata-rata pertumbuhan sebesar 9.47 persen per tahun.
5.2 Kabupaten Bandung Barat (KBB) 5.2.1 Sejarah Pembentukan Kabupaten Bandung Barat (KBB) adalah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung yang peresmiannya dilakukan pada Tahun 2007 di Kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pejabat Bupati pada masa peralihan kepada 92
Pejabat Bupati definitive yang ditunjuk oleh Gubernur Jawa Barat adalah Pejabat Sementara Bupati Bandung Barat, Tjatja Kuswara yang saat ini masih menjabat Assisten Bidang Pemerintahan Setda Provinsi Jawa Barat. Pejabat sementara Bupati Bandung Barat, memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mempersiapkan penataan bidang pemerintahan dan memfasilitasi pembentukan unsur legislatif. Pada tahap berikutnya menyusun SOTK dan pada akhirnya memfasilitasi pemilihan kepala daerah. Waktu yang diberikan kepada pejabat bupati sementara itu adalah selama-lamanya dua tahun terhitung pelantikan sebagai pejabat sementara.
5.2.2 Kondisi Fisik Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2007 tentang
Kabupaten
Bandung Barat Provinsi Jawa Barat, daerah KBB memiliki 15 kecamatan diantaranya adalah sebagai berikut : Lembang Parongpong Cisarua Cikalong Wetan Cipeundeuy
Ngamprah Cipatat Padalarang Batujajar Cihampelas
Cililin Cipongkor Rongga Sindangkerta Gunung Halu
Berdasarkan UU yang sama pada pasal 5 tercantum batas-batas wilayah Kabupaten Bandung Barat. Batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Kecamatan Cikalong Kulon, Kecamatan Maniis, Kecamatan Darang dan Kecamatan Bojong Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Kecamatan Sagalaherang, Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Cisalak dan Kabupaten Subang Sebelah Timur : Kecamatan Cilengkrang, Kecamatan Cimenyan, Kecamatan Margaasih, Kecamatan Soreang Kabupaten Bandung, Kecamatan Cidadap, Kecamatan Sukasari Kota Bandung, Kecamatan Cimahi Utara, Kecamatan Tengah dan Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi Sebelah Selatan : Kecamatan Ciwidey, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, Kecamatan Pagelaran, dan Kabupaten Cianjur Sebelah Barat : Kecamatan Campaka, Kecamatan Cibeber, Kecamatan Bojongpicung, Kecamatan Ciranjang dan Kecamatan Mande Kabupaten Cianjur
93
5.3 Desa Saguling 5.3.1 Kondisi Fisik Desa Saguling merupakan salah satu desa yang terdapat di wilayah Kabupaten Bandung Barat, tepatnya di Kecamatan Batujajar. Secara administratif Desa Saguling berbatasan dengan : Sebelah Utara : Kecamatan Cipatat dan Desa Jati Sebelah Timur : Desa Jati dan Desa Cipangeran Sebelah Selatan : Desa Cipeteuy, Kecamatan Cililin dan Kecamatan Cipongkor Sebelah Barat : Kecamatan Cipongkor dan Kabupaten Cianjur Desa Saguling memiliki ketinggian antara 700 – 800 meter di atas permukaan laut dan termasuk dataran tinggi dengan luas wilayah sekitar 1.145,5 hektar. Sebagian besar wilayah desa yaitu sekitar 700 hektar dimanfaatkan untuk tegal atau lading, 200 hektar adalah sawah tadah hujan (Profil Desa Saguling 2006). Curah hujan rata-rata per tahun adalah 2.000 – 2.500 milimeter per tahun, jumlah bulan hujan tiga sampai lima bulan dengan suhu rata-rata sebesar 22 oC.
5.3.2 Potensi Umum Sumber Daya Alam Desa Saguling memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang masih dapat dikembangkan. Wilayah dengan luas 1.145,5 hektar memiliki potensi umum berupa sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan sedikit areal pertambangan. Potensi sumber daya alam tersebut lebih banyak dimanfaatkan penduduk Desa Saguling untuk pertanian serta sedikit pada sektor kehutanan, perkebunan dan perikanan darat dalam skala kecil (Lampiran 13). Berdasarkan lampiran 13, sebagian besar luas potensi sumber daya alam yang ada dimanfaat untuk pertanian sebesar 965 hektar atau 84,24 %. Sedangkan untuk luas wilayah yang digunakan untuk pada sektor perkebunan dan kehutanan hanya delapan dan 165 hektar atau 0,70 dan 14,40 persen dari luas wilayah desa secara keseluruhan, sedangkan sisanya digunakan untuk keperluan administrasi Pemerintah Desa Saguling.
A.
Sektor Pertanian Komoditi yang ditanam oleh penduduk Desa Saguling merupakan
komoditi tanaman pangan dan hortikultura. Luas lahan yang digunakan untuk 94
tanaman pangan adalah 542 hektar atau 60,90 %, tanaman Hortikultura 421 hektar atau 38,88 % dan tanaman obat-obatan hanya 2 hektar atau sekitar 0,22 % dari luas potensi seumber daya adalam yang digunakan untuk areal pertanian. Komoditi tanaman pangan yang banyak diusahakan oleh penduduk adalah padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu dan cabai. Komoditi hortikultura (buahbuahan) yang popular diusahakan oleh penduduk Desa Saguling adalah pisang dan salak, sedangkan untuk tanaman obat adalah jahe dan lengkuas. Rincian komoditi-komoditi pertanian di Desa Saguling selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 14. Penduduk Desa Saguling rata-rata memiliki lahan pertanian yaitu sebesar 1.118 Rumah Tangga Petani (RTP) dari total 1.868 RTP, sedang sisinya 750 RTP tidak mempunyai lahan pertanian dan menyewa lahan bila melakukan usahatani. Mayoritas petani di Desa Saguling rata-rata memiliki lahan seluas kurang dari 0,5 hektar atau sekitar 42,83 % dari total RTP di desa Saguling. sedangkan rumah tangga petani sisanya memilki lahan seluas 0,5-1 ha dan > 1 ha (Lampiran 15).
B.
Sektor Perkebunan dan Kehutanan Sektor perkebunan merupakan potensi sumber daya alam yang kurang
diminati oleh masyarakat Desa Saguling. Kurang tertariknya masyarakat terhadap kedua sektor tersebut dikarenakan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menghasilkan produksi. Namun bila kedua sektor ini terutama perkebunan diusahakan, maka dalam jangka panjang dapat menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dari yang sekarang diusahakan petani. kendati demikian terdapat beberapa petani yang mengusahakan komoditi perkebunan seperti Kelapa, Kopi, Aren dan Kapuk namun, luas pertanamannya tidak lebih dari 2-3 hektar dan itu pun masih tergolong coba-coba. Sektor kehutanan memang secara langsung tidak diusahakan oleh penduduk, melainkan penduduk hanya memanfaatkan hasil hutan adat yang kemudian dijadikan mata pencaharian tambahan sehari-hari petani. Adapun luasan potensi sumber daya alam sektor perkebunan dan kehutanan dapat dilihat pada lamipran 16 dan 17.
95
C.
Sektor Peternakan dan Perikanan Sektor peternakan dan perikanan merupakan sektor pendukung atau mata
pencaharian tambahan guna meningkatkan kesejahteraan penduduk. Pada sektor peternakan, jenis populasi ternak yang paling banyak diusahakan secara berturutturut adalah ayam (pedaging), kambing, bebek, kelinci dan kerbau (Tabel 8). Dari kesemua komoditi peternakan, kerbau adalah komoditi peternakan yang dijadikan salah satu alat pertanian. Sedangkan jenis ternak lainnya yang dimanfaatkan adalah daging dan kulitnya (kambing). Adapun produksi komoditi peternakan Desa Saguling adalah 500 m/th untuk kulit dan 8.000 kg/th untuk daging.
Tabel 8. Populasi Ternak Berdasarkan jenis di Desa Saguling Tahun 2006 Jenis Ternak Ekor Kerbau 20 Ayam 10.000 Bebek 500 Kambing 2.500 Kelinci 200 Jumlah Total 13.220 Sumber: Profil Desa Saguling, 2006
Sektor perikanan di Saguling merupakan jenis perikanan darat (air tawar), hal ini disebabkan hanya terdapat aliran sungai dan danau buatan (Waduk Saguling). Dari kedua media usaha perikanan (sungai dan danau buatan) penduduk lebih memilih danau dan membuat empang/balong/kolam sebab sungai sudah mengalami pencemaran . Dengan demikian jenis usaha perikanan yang terdapat di Desa Saguling adalah 10 unit keramba dengan produksi pertahun sekitar 20 ton dan lima hektar empang/balong/kolam buatan dengan produksi sekitar lima ton pertahun. Jenis komoditi ikan air tawar yang diusahakan adalah ikan mujair, ikan mas dan lele.
5.3.3 Potensi Sumber Daya Manusia a)
Kependudukan Penduduk yang berdomisili di Desa Saguling sebagian besar merupakan
kelompok etnis Sunda. Total jumlah penduduk Desa Saguling berdasarkan sensus penduduk tahun 2006 adalah sebanyak 6.963 jiwa, dengan perincian laki-laki sebanyak 3.579 jiwa dan perempuan sebanyak 3.384 jiwa. 96
Tabel 9. Jumlah Penduduk Desa Saguling Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2006 Uraian Jumlah (org) Jumlah Penduduk 6.963 Jumlah Laki-laki 3.579 Jumlah Perempuan 3.384 Jumlah Kepala Keluarga (KK) 1.944 Jumlah Perempuan yang menjadi Kepala Keluarga 150 2 Kepadatan Penduduk Per Km 770 Sumber: Profil Desa Saguling, 2006
Dari total jumlah penduduk yang ada, jumlah kepala keluarga yang ada di Desa Saguling adalah sebanyak 1.944 kepala keluarga, dengan perincian kepala keluarga laki-laki sebanyak 1.844 kepala keluarga dan kepala keluarga perempuan sebanyak 150 kepala keluarga. Berdasarkan Sensus penduduk tahun 2006 diketahui rata-rata penduduk berkisar pada usia tujuh sampai 12 tahun sebesar 13,53 persen, usia 21-31 tahun sebesar 15,54 persen, usia 31-40 tahun sebesar 13,08 persen, dan usia 41-50 tahun sebesar 10,67 persen dari total jumlah penduduk (Lampiran18).
b)
Pendidikan Tingkat pengentasan Buta Aksara melalui sarana pendidikan di Desa
Saguling terbilang cukup baik. Penduduk yang tergolong buta huruf hanya 85 jiwa (1,22 %) dan penduduk dengan tingkat pendidikan minimal hanya tamat SD mencapai 1.574 orang (22,22 %). Selain itu komposisi jumlah penduduk yang sudah tamat SLTP dan SLTA sebesar 471 dan 473 jiwa atau berkisar 6,76 persen dan 6,79 persen (Lampiran 19). Gerakan pengentasan buta aksara terus dilakukan, dengan pencapaian penduduk usia wajib belajar sembilan tahun (7-12 dan 13-15 tahun) adalah 1.397 jiwa 20,1 persen dari total penduduk saguling (Tabel 10). Pada usia wajib belajar sembilan tahun (7-15 tahun) hanya 144 jiwa (2,1 %) yang tidak meneruskan dari total penduduk saguling. Ironis manakala pada tingkat pendidikan lanjutan (usia 16-18 tahun) tingkat putus sekolah cukup tinggi, mencapai 1.271 jiwa (18,4%) dari total jumlah penduduk (Tabel 10).
97
Tabel 10. Penduduk Usia Sekolah Berdasarkan Wajib Belajar dan Lanjutan di Desa Saguling Tahun 2006 Jumlah Penduduk
Uraian
Presentase (%)
L
P
Total
L
P
Total
Penduduk Usai 7 - 12 tahun masih Sekolah
473
434
907
13,2
12,8
13,0
Penduduk Usai 13 - 15 tahun masih Sekolah
187
159
346
5,2
4,7
5,0
Penduduk Usai 7 - 12 tahun Putus Sekolah
26
9
35
0,7
0,3
0,5
Penduduk Usai 13 - 15 tahun Putus Sekolah
73
36
109
2,0
1,1
1,6
Jumlah Penduduk Usia 7-15 tahun
759
638
1.397
21,2
18,9
20,1
Penduduk Usai 16 - 18 tahun masih Sekolah
45
35
80
1,3
1,0
1,1
Penduduk Usai 16 - 18 tahun Putus Sekolah
581
690
1.271
16,2
20,4
18,3
Jumlah Penduduk Usia 16 - 18 Tahun
626
725
1.351
17,5
21,4
19,4
1.385
1.363
2.748
38,7
40,3
39,5
3.579
3.384
6.963
100
100
100
Wajib Belajar 9 Tahun
Jumlah Penduduk Usia Aktif Sekolah (7-18 Tahun) Total Penduduk Desa Saguling Sumber: Profil Desa Saguling, 2006
Tingginya angka putus sekolah pada usia tersebut dikarenakan berbagai macam kendala (kondisi). Kendala yang paling banyak melanda adalah kendala ekonomi, sehingga pilihan yang kemudian muncul adalah kerja bagi laki-laki dan menikah bagi perempuan. Bagaimanapun juga besarnya angka melek aksara tidak terlepas dari peran lembaga-lembaga pendidikan yang tersedia di desa baik negeri maupun swasta, baik pendidikan formal atau pun agama. Jenis dan jumlah lembaga-lembaga pendidikan yang terdapat di Desa Saguling disajikan pada lampiran 20.
c)
Tenaga Kerja Penduduk Desa Saguling sebagian besar bermata pencaharian sebagai
buruh tani sebesar 1.118 orang, petani sebesar 618 orang, buruh/swasta 400 orang dan pedagang 250 orang (lampiran 21). Dengan demikian mata pencaharian penduduk desa saguling adalah sebagai petani. Pola komoditi pertanian yang di usahakan oleh petani adalah tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai, dan umbi-umbian baik jalar maupun kayu. Selain tanaman pangan komoditi yang juga diusahakan adalah tanaman hortikultura seperti tomat, cabai dan pisang. Tanaman pangan yang paling banyak ditanam di Desa Saguling adalah padi (sawah dan ladang), jagung dan singkong. Dalam satu tahun musim tanam
98
petani biasanya melakukan rotasi penanaman dengan dua sampai tiga komoditi per dua atau tiga kali tanam. Komoditi jagung merupakan komoditi kedua dari tiga kali rotasi tanam dalam satu tahun musim tanam. Usahatani komoditi jagung telah lama dilakukan oleh petani. usahatani jagung secara spesifik dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu petani jagung hibrida dan petani jagung bersari bebas (lokal). Pembagian ini berdasarkan dari jenis benih yang digunakan dalam pertanaman jagung.
5.4
Karakteristik Responden Karakteristik petani responden jagung hibrida meliputi usia dan tingkat
pendidikan luas lahan garapan jagung hibrida. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan 40,00 persen petani berusia 41-50 tahun, 33,33 persen berusia 31-40 tahun dan 13,33 persen berusai antara 21-30 dan 51-60 tahun. Petani responden jagung bersari bebas (lokal) lebih beragam dan hampir merata, yaitu 26,67 persen berusia 51-60 tahun, 20,00 persen berusia 21-30 dan 41-50 tahun, 13,33 persen berusia 31-40 dan 61-70 tahun sedang lainnya 6,67 persen berumur diatas 71 tahun (Tabel 11).
Tabel 11. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Umur Responden (orang)
Presentase (%)
Golongan Usia (tahun)
Bersari Bebas
Hibrida
Bersari Bebas
Hibrida
21 - 30 31 - 40
3 2
2 5
20,00 13,33
13,33 33,33
41 - 50 51 - 60
3 4
6 2
20,00 26,67
40,00 13,33
60 -70 > 70
2 1
Jumlah
15
13,33 6,67 15
100
100
Menurut Kridiarto (2003), umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik bekerja dan cara berfikir petani. Petani yang berumur lebih muda biasanya lebih dinamis dan lebih berani mengambil resiko. Oleh sebab itu faktor umur dapat mempengaruhi produktifitas usahatani yang dikelola. Selain usia, pendidikan pada umumnya juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat pengambilan keputusan dalam usahatani.
99
Tingkat pendidikan biasanya diukur melalui tingkat pendidikan formal yang pernah atau telah dilalui oleh petani. Pendidikan formal para petani responden baik petani jagung hibrida maupun petani jagung bersari bebas (lokal) adalah tamatan SD masing-masing adalah (73,33 dan 93,33 %), tamatan SLTP masing-masing (20,00 dan 6,67 %). Petani dengan pendidikan tamatan SLTA hanya terdapat pada petani responden jagung hibrida yaitu 6,67 persen (Tabel 12)
Tabel 12. Tingkat Pendidikan Petani Responden Tingkat Pendidikan
Responden (orang)
Persentase (%)
Hibrida
Hibrida
Bersari Bebas
Bersari Bebas
SD
11
14
73,33
93,33
SLTP
3
1
20,00
6,67
SLTA
1
0
6,67
0,00
Jumlah
15
15
100
100
Status kepemilikan lahan yang ditanami oleh petani jagung hibrida dan bersari bebas (lokal) masing-masing diklasifikasikan menjadi pemilik lahan garapan dan penyewa lahan garapan. Status tersebut menjadi faktor yang menentukan dalam pembedaan beban biaya yang dikeluarkan dalam usahataninya. Pola pembayaran sewa lahan dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan membayarkan uang sebesar Rp 15.000 per petaknya atau dilakukan dengan barter. Barter merupakan transaksi jual beli/tukar menukar yang paling sering dilakukan petani selain dengan menggunakan uang. Barter menjadi pilihan manakala petani merasa perlu menalokasikan uang tunainya untuk keperluan usahatani lain seperti membeli pupuk dan sebagainya. Sebagian besar petani responden adalah petani pemilik lahan yaitu masing-masing sebesar 66,67 persen sedangkan jumlah petani responden penyewa masing-masing sebesar 33,33 persen (Tabel 13).
Tabel 13. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Status Kepemilikan Lahan Status Lahan Garapan
Responden (orang)
Presentase (%)
Hibrida
Hibrida
Bersari Bebas
Bersari Bebas
Pemilik Penyewa
10 5
10 5
66,67 33,33
66,67 33,33
Jumlah
15
15
100
100
100
Luas lahan yang digarap oleh pemilik atau penyewa lahan dari petani jagung hibrida maupun petani jagung bersari bebas (lokal) cukup bervariasi. Satuan luas lahan yang digunakan oleh petani adalah ukuran petak. Satu petak lahan garapan setara dengan 500 m2 - 700 m2 dan total luas lahan garapan yang menjadi luas lahan tiap responden adalah hasil perkalian dari jumlah petak yang ditanami dengan ukuran satu petak lahan digunakan.
Tabel 14. Luas Lahan Garapan Petani Responden Luas Lahan Garapan (m2)
Responden (orang) Hibrida
Presentase (%)
Bersari Bebas
Hibrida
Bersari Bebas
1000 - 2000
1
4
6,67
26,67
2100 - 4000 4100 - 6000
8 3
7 2
53,33 20,00
46,67 13,33
> 6100
3
2
20,00
13,33
Jumlah
15
15
100
100
Hasil observasi dan wawancara didapatkan 53,33 persen petani responden jagung hibrida menggarap lahan seluas 2.100 m2 - 4.000 m2, 20,20 persen mengarap lahan seluas 4.100 m2 - 6.000 m2 dan > 6100 m2, lainnya sebesar 6,67 persen menggarap lahan seluas 1.000 m2 - 2.000 m2. Sementara untuk petani jagung bersari bebas (lokal) yang menggarap lahan seluas 2.100 m2 - 4.000 m2 sebesar 46,67 persen, 26,67 persen menggarap lahan seluas 1.000 m2 - 2.000 m2 dan 13,33 persen menggarap lahan seluas 4.100 m2 - 6.000 m2 dan > 6.100 m2.
101
BAB VI ANALISIS USAHATANI Penelitian ini menganalisis perbandingan tingkat pendapatan usahatani dan faktor-faktor usahatani jagung hibrida dan bersari bebas (lokal) di Desa Saguling Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung yang sekarang telah menjadi Kabupaten Bandung Barat. Data yang diperoleh dari petani yaitu data pertanaman ke dua pada musim tanam tahun 2007-2008. Petani responden diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar yaitu petani yang menggunakan benih hibrida dan petani yang menggunakan benih bersari bebas (lokal). Dari dua kelompok besar tersebut masing-masing kelompok dibagi lagi menjadi dua kelompok kecil, yaitu petani yang menggarap lahan milik sendiri dan petani yang menggarap lahan milik orang lain atau menyewa. Pengklasifikasian ini berdasarkan atas status kepemilikan lahan garapan.
6.1.
Karateristik Usahatani Jagung Desa Saguling Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di lokasi penelitian, budidaya
jagung sebenarnya bukanlah baru bagi petani Desa Saguling, dikarenakan dalam rotasi pertanaman selalu memasukan jagung sebagai salah satu komoditi yang ditanam selain Padi (sawah dan gogo) dan Singkong atau Ubi jalar. Walaupun demikian teknik produksi (budidaya) jagung petani di lokasi penelitian rata-rata belum dilakukan dengan teknik budidaya secara ideal. Adisarwanto dan Widyastuti (2001) menyatakan, dalam usahatani jagung yang ideal adalah usahatani dengan penerapan teknologi sehingga memberikan hasil yang maksimal. Sebagaimana diketahui bahwa usahatani sendiri memiliki beberapa unsur yang perlu diperhatikan yaitu, faktor produksi (input produksi dan teknik produksi (budidaya)), faktor tenaga kerja serta faktor pendukung usahatani lainnya. Usahatani jagung di Desa Saguling tergolong masih sederhana, hal ini tercermin dari kecilnya luasan lahan produksi, masih belum digunakannya mesin pertaninan (seperti hand tractor atau mesin perontok hasil panen), pengaturan komposisi input produksi (benih, pupuk dan obat-obatan) yang masih belum berimbang sampai pengaturan tenaga kerja. Pola produksi yang sedemikian rupa
102
mempengaruhi tingkat penerimaan dan pendapatan petani dari usahatani yang dilakukan. Penggunaan benih hibrida tergolong baru, keterangan beberapa responden menyatakan bahwa benih hibrida baru mulai ditanam sekitar awal tahun 2000-an. Varietas benih hibrida yang biasa digunakan adalah Pioneer dan Bisi. Penggunaan benih hibrida mulai berkembang, hal ini disebabkan para petani sudah merasakan peningkatan terhadap hasil panen jagung dalam beberapa tahun terakhir, namun mayoritas petani masih tetap memilih benih jagung bersari bebas (lokal). Pola penyebaran varietas benih oleh masyarakat sering tergantung hasil panen terbesar pada dusun atau desa tersebut dan penyebaran berlangsung dengan people to
people contact (mulut-ke mulut). Penggunaan input produksi lain seperti pupuk dan obat-obatan secara umum sama dengan petani kebanyakan di daerah lain, namun pengaturan komposisinya saja yang masih belum berimbang. Belum berimbang (optimalnya) penggunaan pupuk dan obat dikarenakan pengalokasian input tersebut lebih kepada sisa dari penggunaan pupuk dan obat untuk usahatani padi. Terdapat beberapa kendala dalam melakukan usahatani jagung di Desa Saguling, diantaranya adalah pasokan saprodi (benih, pupuk, dan obat-obatan), penyuluhan pertanian (teknik budidaya sampai pemasaran), dan kondisi perairan (irigasi). Infrastruktur transportasi berupa jalan sudah ada, namun belum menjadi maksimal dikarenakan jalan raya desa yang sudah beraspal hanya ada satu dan dalam kondisi separuh rusak akibat longsor beberapa waktu lalu. Jalan desa tersebut menghubungkan desa dengan jalan raya negara yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung (Rajamadala). Sarana (moda) transportasi yang tersedia hanyalah motor (ojek) dan beberapa unit truk. Sarana berupa motor ojek dirasakan sangat mahal sebab ongkos dari pangkalan (Rajamandala) hingga ke desa sebesar Rp 25.000 per perjalanan, sedangkan untuk truk rata-rata dimiliki oleh pedagang pengumpul (tengkulak). Kendala tersebut membuat petani kesulitan mendapatkan informasiinformasi pasar yang ada dan potensial dalam pemasarannya. Pengumpul hasil panen (tengkulak) menjadi tujuan akhir dari petani untuk menjual hasil panen mereka. Kondisi ini menjadikan pedagang pengumpul
103
sebagai penyelamat panen para petani, namun harga yang dipatok terkadang terlalu rendah sehingga sedikit merugikan petani. Tingkat harga dipengumpul adalah Rp 1.500-1.700,- per kilogram, sedang untuk harga pasar bisa mencapai Rp 2.000-2.250,- per kilogramnya (harga tahun 20071). Perbedaan tingkat harga praktis mempengaruhi penerimaan usahatani mereka. Dengan rendahnya tingkat harga panen yang ada, membuat dilema bagi petani tentang pemilihan jenis benih jagung yang ditanam. Petani merasa apapun jenis benih yang dipakai tetap saja harganya sama, namun hanya berbeda dari besar kecilnya jumlah panen yang dihasilkan. Output usahatani tidak hanya dipengaruhi oleh beberapa input saja, oleh sebab itu guna mengetahui seberapa besar tingkat ketepatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor tersebut. Berikut perbandingan penggunaan dan aplikasi faktor-faktor produksi usahatani jagung di desa dengan acuan rekomendasi teknologi usahatani jagung oleh BP2TP dan Balitseral.
6.1.1. Faktor Luas Lahan Garapan Faktor lahan merupakan faktor terpenting dalam melakukan usahatani. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya oleh Soeharjo dan Patong (1973), Soekarwati
et.al (1986) ataupun Hernanto (1989), bahwa dari empat faktor intern usahatani, faktor lahan menempati urutan pertama. Lahan menjadi sangat penting karena lahan merupakan media utama sebagai media tanam yang diperlukan untuk melakukan usahatani. Meskipun saat ini sudah dikenal dan digemari pola tanam hidroponik (media selain tanah), tetap kebutuhan lahan dalam usaha pertanian sangat diperlukan. Petani dengan status pemilik lahan rata-rata mengolah lahan seluas 4.480,00 m2 bagi petani hibrida dan 4.770,00 m2 bagi petani bersari bebas. Sedangkan rata-rata luas lahan yang digarap oleh petani yang tidak memiliki lahan (penyewa) adalah 4.700,00 m2 (hibrida) dan 3.500,00 m2 (bersari bebas). Rata-rata luas lahan yang digarap oleh petani responden adalah 4.553,33 (hibrida) dan 4.346,67 (bersari bebas), dengan demikian luas lahan petani responden rata-rata hanya kurang dari 0,5 hektar (Tabel 15).
1
Harga Tahun 2008, PT. Charoen Pokphand Indonesia
104
Profil Desa Saguling tahun 2006 menyatakan 45 persen Rumah Tangga Petani (RTP) hanya memiliki lahan < 0,5 ha sedang 40 persen lainnya tidak memiliki lahan sama sekali (Lampiran 15). Rekomendasi minimal lahan yang diperlukan agar hasil panen optimal adalah 10.000 m2 atau satu hektar (lampiran 22 dan 23). Dengan luas minimal 10.000 m2, diharapkan hasil minimal panen bisa mencapai rata-rata produksi lima sampai 10 ton per ha baik jagung hibrida maupun bersari bebas. Tabel 15. Rata-rata Luas Lahan Garapan Petani Jagung Di Desa Saguling
Keterangan Pemilik Penyewa Seluruh Responden
Hibrida (m2) 4.480,00 4.700,00 4.553,33
Bersari Bebas (m2)
Rekomendasi (m2)
4.770,00 3.500,00
10.000 10.000
4.346,67
10.000
Kecilnya luasan areal lahan pertanian yang dimiliki dan diolah oleh petani, salah satunya disebabkan oleh status kepemilikan lahan di Desa Saguling yang dibagi menjadi milik masyarakat (pribadi) dan milik pemerintah. Pembagian tersebut terjadi karena wilayah desa berada diantara wilayah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PTPN, Perhutani dan PT. Indonesia Power (Unit Pembangkit Saguling).
6.1.2. Faktor Penggunaan Benih Benih merupakan faktor input produksi yang termasuk dalam komponen pengelolaan atau manajeman dalam empat faktor intern yang mampengaruhi produksi. Benih bersama dengan input produksi lainnya dikelola oleh petani sehingga menghasilkan output produksi yang diharapkan. Faktor pemilihan dan penggunaan benih menjadi sangat penting, karena benih merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam kegiatan produksi pertanian (Sadjad, 1997). Sebagaimana digambarkan sebelumnya bahwa terdapat dua pola pemilihan dan penggunaan benih jagung di Desa Saguling. Benih yang dipilih petani adalah hibrida dan bersari bebas (lokal). Menurut hasil wawancara didapatkan bahwa penggunaan benih hibrida tergolong baru yaitu sekitar awal tahun 2000, sedangkan bersari bebas (lokal) sudah lama digunakan oleh petani. Petani jagung yang menggunakan benih hibrida biasanya menggunakan benih berlabel, dikarenakan benih-benih hibrida yang beredar di pasar adalah 105
benih unggul dan melalui proses uji sertifikasi benih unggul yang diawasi oleh badan pemerintah. Benih hibrida yang digunakan petani adalah varietas Pioneer dan Bisi. Benih tersebut digunakan karena benih hibrida yang terdapat di pasar hanya benih tersebut dengan harga Rp 30.000 per kilogramnya. Dalam memperoleh benih hibrida biasanya petani melakukan sistem kolektif atau titipmenitip kepada seseorang yang akan ke pasar sehingga menghemat ongkos. Petani yang menggunakan benih bersari bebas biasanya menggunakan benih hasil panen, oleh karena itu terdapat keterangan (lokal). Dalam memperoleh benih selain dari hasil panen, petani juga membeli benih atau barter dengan petani lain. Harga benih dari pedagang pengumpul adalah berkisar Rp 1.600-1.800 per kilogramnya. Pedagang pengumpul atau tengkulak menjadi pilihan petani dalam membeli benih karena jarak yang jauh dan mahalnya transportasi menuju pasar. Dikarenakan petani menjual dan membeli dari pedagang pengumpul maka dapat disimpulkan benih yang digunakan adalah benih hasil panen. Jenis benih jagung bersari bebas (lokal) yang banyak digunakan diperkirakan merupakan turunan dari benih jagung varietas Unggul Arjuna, Bisma dan Harapan.
Tabel 16. Rata-rata Penggunaan Benih Jagung di Desa Saguling Keterangan Pemilik Membeli Hasil Panen Seluruh pemilik Penyewa Membeli Hasil Panen Seluruh penyewa Total Responden Membeli Hasil Panen Seluruh responden
Hibrida Per luasan Konversi (kg/m2) (kg/1 ha) 9,70
21,65
9,70
21,65
11,00
23,40
11,00
23,40
10,13
22,25
10,13
22,25
Bersari Bebas Per luasan Konversi (kg/m2) (kg/1 ha) 9,67 9,43 9,50
20,27 19,77 19,92
9,67 5,00 7,80
27,62 14,29 22,29
9,67 8,44 8,93
22,24 19,43 20,55
Berdasarkan tabel 16, dijelaskan penggunaan benih rata-rata petani terhadap benih jagung hibrida adalah sebanyak 10,13 kg per 4.553,33 m2 atau 22,25 kg per ha. Sedangkan penggunaan benih rata-rata jagung bersari bebas (lokal) sebanyak 8,93 kg per 4.346,67 m2 atau sama dengan 20,55 kg per ha-nya. Berdasarkan tabel diketahui rata-rata penggunaan benih pada petani penyewa lebih banyak dibandingkan dengan petani pemilik. Jumlah benih yang dibutuhkan 106
yaitu 23,40 kg/ha (hibrida) dan 22,29 kg/ha (bersari bebas) untuk petani penyewa sedangkan untuk petani pemilik adalah 21,65 kg/ha (hibrida) dan 19,92 kg/ha (bersari bebas). Rekomendasi teknologi produki jagung menyarankan jumlah benih yang diperlukan adalah 20 kg/ha untuk benih hibrida dan 25-30 kg/ha untuk benih bersari bebas (Lampiran 22 dan 23). Dengan jumlah benih tersebut maka hasil per hektar berdasarkan spesifikasi benih (tercantum pada label benih) adalah enam sampai 10 ton/ha untuk hibrida dan lima sampai tujuh ton per ha untuk bersari bebas. Panen yang dihasilkan oleh petani berdasarkan jumlah benih yang digunakan adalah empat ton/ha untuk hibrida dan 3,2 ton untuk bersari bebas. Berdasarkan perbandingan penggunaan benih petani dengan rekomendasi teknologi produksi, disimpulkan bahwa penggunaan benih hibrida sudah melebihi batas rekomendasi sedangkan benih bersari bebas belum sesuai dengan rekomendasi. Penggunaan benih hibrida oleh petani dalam jumlah besar dapat memaksimalkan panen namun, hasil panen yang didapatkan oleh petani hibrida tidak sesuai dengan rata-rata panen benih hibrida unggul. Sedangkan korelasi kecilnya hasil panen bersari bebas disebabkan oleh kecilnya jumlah benih yang digunakan. Selain itu penyebab kecilnya hasil panen bisa disebabkan oleh kurang sesuainya dosis penggunaan input produksi lain (pupuk, obat-obat) dan teknik produksi (budidaya) yang tidak sesuai.
6.1.3. Faktor Penggunaan Pupuk Faktor yang mempengaruhi usahatani (produksi) adalah pupuk. Pupuk sebenarnya merupakan suplemen tambahan bagi tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Tanah sendiri seseungguhnya memilik semua unsur yang dibutuhkan bagi mahluk hidup. Sehingga tanpa pupuk pun segala jenis tanaman dapat tumbuh, namun jika berhubungan dengan hasil panen belum tentu maksimal. Pupuk digunakan untuk menambah unsur kimia tanah (hara) yang dibutuhkan oleh tanaman dimana unsur-unsur tersebut dalam tanah terbatas atau telah berkurang karena proses pertanaman sebelumnya. Unsur-unsur yang biasa ditambahkan adalah unsur P (pospat), N (nitrat) dan K (kalium). Kesemua unsur 107
tersebut terkandung dalam pupuk kimia dasar Urea (N), TSP/SP 36 (P), KCl (K) atau pupuk majemuk NPK (15:15:15). Selain pupuk kimia terdapat juga pupuk organik yaitu Pupuk Organik Cair (POC) dan pupuk organik serat (kandang dan kompos). Pupuk yang digunakan oleh petani responden terdiri dari dua jenis yaitu pupuk organik dan kimia. Pupuk kimia terdiri dari Urea, KCl, TSP dan pupuk majemuk NPK (Phonska), sedangkan pupuk organik yang digunakan hanya pupuk kandang. Petani jagung hibrida hanya menggunakan pupuk kimia saja sedangkan petani bersari bebas menggunakan seluruh pupuk (organik dan kimia). Penggunaan rata-rata pupuk per hektar petani jagung hibrida adalah 326,50 kg (Urea), 108,81 kg (KCl), 170,57 kg (TSP/SP 36), dan 90,99 (NPK). Sedangkan petani jagung bersari bebas biasa menggunakan pupuk kimia 240,8 kg/ha (Urea), 126,53 kg/ha (KCl), 168,71 kg/ha (TSP/SP 36), 79,56 kg/ha (NPK) ditambah pupuk kandang sebanyak 117,33 karung/ ha (Tabel 17).
Tabel 17. Rata-Rata Penggunaan Pupuk Pada Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas di Desa Saguling Keterangan
Harga Satuan
(Rp/kg)
Pemilik (kg)
Penyewa (kg)
Total Responden (kg)
Per Luas Lahan (4.480 m2)
Konvesri (1 ha)
Per Luas Lahan (4.700 m2)
Konvesri (1 ha)
Per Luas Lahan (4.553,33 m2)
Konvesri (1 ha)
Hibrida Urea (Kg) KCL (Kg)
1500 1500
155,00 45,83
345,98 102,31
136,00 54,00
289,36 114,89
148,67 49,55
326,50 108,81
TSP (Kg) NPK (Kg)
2500 2500
72,50 38,89
161,83 86,81
88,00 46,00
187,23 97,87
77,67 41,43
170,57 90,99
(4.770 m2)
(3.500 m2)
(4.346,67 m2)
Bersari bebas Urea (kg)
1.500
120,00
251,57
74,00
211,43
104,67
240,80
KCL (kg) TSP (kg)
1.500 2.500
65,00 82,50
136,27 172,96
35,00 55,00
100,00 157,14
55,00 73,33
126,53 168,71
NPK (kg) Kandang (karung)
2.500
33,75
70,75
36,25
103,57
34,58
79,56
3.650
45,00
94,34
25,00
71,43
41,00
94,33
Petani jagung hibrida tidak menggunakan pupuk kandang dikarenakan mereka merasa cukup menggunakan pupuk kimia, selain itu bagi petani penggunaan hibrida sudah dikatakan modern sehingga tidak perlu menggunakan pupuk tradisional. Alasan lain yang terungkap dari wawancara adalah pengadaan pupuk kandang memerlukan biaya tinggi.
108
Tingginya biaya dikarenakan di desa tidak terdapat peternak sapi sehingga pupuk harus didatangkan dari desa tetangga seperti Desa Palapadan dan Cililin. Pengiriman pupuk dilakukan dengan transportasi air dan darat, namun petani lebih memilih transportasi darat mekipun membutuhkan waktu lebih lama. Biaya pengangkutan tidak diketahui secara jelas namun diperkirakan biaya transportasi darat (truk) Rp 250.000-300.000 per perjalanan per 50-60 karung, sedang transportasi air membutuhkan biaya Rp 200.000 per 25-30 karung per perjalaan. Pola penggunaan pupuk pada petani pemilik lebih diutamakan penggunaan urea dengan dosis 345,98 kg/ha (pemilik) dan 289,36 (penyewa). Pola penggunaan pupuk petani penyewa lebih kepada KCl, TSP dan NPK dengan dosis secara berturut-turut 114,89 kg/ha, 187,23 kg/ha dan 97,87 kg/ha (penyewa) sedangkan pemilik secara berturut-turut 102,31 kg/ha, 161,83 ka/ha dan 86,81 kg/ha. Dengan dosis demikian harapannya terjadi saling melengkapi antara pupuk dasar Urea, TSP dan KCl dengan pupuk majemuk (NPK). Namun demikian bila mengacu pada rekomendasi, dosis pupuk yang diterapkan petani hibrida (pemilik dan penyewa) jelas tidak sesuai (lampiran 22). Tingginya penggunaan dosis lebih dikarenakan petani merasa hasil panen sebelum-sebelumnya kurang dan dengan menambah dosis diharapkan dapat meningkatkan panen. Dosis pupuk pada petani jagung hibrida tidak berbeda dengan yang dilakukan petani jagung bersari bebas. Dari seluruh pupuk yang digunakan petani pemilik dan penyewa hanya dosis pupuk Urea 251,57 kg/ha dan 211,43 kg/ha yang sesuai dengan acuan rekomendasi Urea yaitu 200-250 kg/ha. Perbedaan ini disebabkan alokasi pupuk yang dibeli pada awal tahun musim tanam lebih diperuntukan kepada padi. Selain itu penggunaan pupuk NPK hanya sebagai pelengkap pupuk dasar lainnya. Sehingga penggunaannya pun tidak dengan dosis yang benar melainkan seadanya. Akibat yang ditimbulkan dari penggunaan dosis pupuk sesuai atau bahkan berlebihan akan menyebabkan tanah menjadi keracunan. Keracunan terjadi dikarenakan pupuk tersebut merupakan bahan kimia aktif dan bersifat adiktif. Secara umum bahan kimia pada dosis yang tidak sesuai akan menyebabkan
anomali (kelainan) dan tidak akan hilang dalam waktu yang lama.
109
Akibat lain yang ditimbulkan adalah tanah akan tidak produktif dan ketergantungan pada unsur-unsur tersebut. Pada waktu yang lama tanah tidak akan dapat ditanami apapun. Sehingga pada waktu tanam berikutnya hasil panen pun akan terus berkurang sampai tidak menghasilkan panen. Adapun langkah yang dapat dilakukan adalah pengalihan penggunaan pupuk kimia kepada pupuk organik, atau mengganti pola rotasi dengan tanaman atau komoditi yang dapat mengisi ulang unsur hara seperti ubi jalar.
6.1.4. Faktor Penggunaan Obat-Obatan Faktor input produksi berikutnya adalah penggunaan obat-obatan seperti pestisida dan insektisida. Obat-obatan dibutuhkan dan digunakan untuk mengendalikan Organisme Tanaman Pengganggu (OPT) seperti hama (hewan atau serangga) dan penyakit tanaman (virus, jamur, cendawan). Hama yang sering menggangu tanaman jagung adalah ulat Tanah, ulat grayak, pengerek jagung, pengerek batang, pengerek tongkol. Penyakit yang sering mengganggu adalah bulai (downi mildew) yang disebabkan oleh jamus
Peronoscleospora sp, hawar daun yang disebabkan oleh jamur Helminthosporium turticum Pass, Mosaik Kerdil Jagung (maize dwarf mozaic virus) (BP2TP, 2006). Dosis obat-obatan yang digunakan petani hibrida adalah adalah 3,29 kg/m2 atau 7,22 kg/ha furadan dan 115,38 cc/m2 (2,31 kaleng 50 cc) setara dengan 253,41 cc/ha (5,07 kaleng 50 cc) Decis. Sedangkan dosis yang digunakan petani bersari bebas adalah 3,77 kg/m2 atau 8,67 kg/ha furadan dan 118,75 cc/m2 (2,38 kaleng 50 cc) atau 273,20 cc/ha (5,46 kaleng 50 cc).Secara umum penggunaan furadan oleh petani hibrida dan bersari bebas dapat dikatakan sesuai dan dapat ditolelir dibandingkan rekomendasi BP2TP dan Balisereal yang menyarankan delapan kg/ha-nya (Tabel 18). Perbedaan tersebut dapat ditolelir sebab kekurangan dan kelebihan dosis tidak mencapai dan melebihi satu kilogram. Sedangkan pada lahan petani penyewa bersari bebas menggunakan furadan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang lain yaitu 9,14 kg/ha.
110
Tabel 18. Rata-rata Penggunaan Obat-Obatan Pada Usahatani Jagung Hibirda dan Bersari Bebas di Desa Saguling Keterangan
Harga Satuan (Rp/kg)
Hibrida Furadan (Kg)
8000
Decis (cc) Decis (50 cc)
300 15000
Pemilik (kg) Per Luas Lahan (4.480 m2)
Konversi (1 ha)
2,89 105,56 2,11
8.000
Decis (cc) Decis (50cc)
300 15.000
Seluruh Responden (kg)
Per Luas Lahan (4.700 m2)
Konversi (1 ha)
6,45
4,00
8,51
3,29
7,22
235,62 4,71
137,50 2,75
292,55 5,85
115,38 2,31
253,41 5,07
(4.770 m2)
Bersari bebas Furadan (kg)
Penyewa (kg)
Per Luas Lahan
Konversi (1 ha)
(4.553,3 m2)
(3.500 m2)
(4.346,7 m2)
4,13
8,65
3,20
9,14
3,77
8,67
120,00 2,40
251,57 5,03
116,67 2,33
333,33 6,67
118,75 2,38
273,20 5,46
Besarnya jumlah furadan dikarena tanaman jagung bersari bebas lebih rentan terhadap serangan hama, dan pada lahan petani penyewa disinyalir terdapat ulat tanah. Furadan 3G diberikan petani bersamaan dengan pemberian pupuk pertanam bersamaan dengan benih. Dosis yang dianjurkan adalah 8 kg per ha, sedang secara keseluruhan petani menggunakan 7,22 kg (hibrida) dan 8,67 kg (bersari bebas). Sehingga petani perlu menyesuaikan kembali penggunaan furadan. Decis digunakan untuk mengurangi gangguan pengerek jagung. Dosis rata-rata yang digunakan oleh petani melebihi dosis anjuran. Rekomendasi teknologi produksi dalam penggunaan decis dengan dosis 150 cc/ha atau sekitar 3 kaleng 50 cc per hektarnya. Penggunaan decis sebaiknya dikurangi sebab decis merupakan bahan kimia yang dapat membunuh organisme hidup seperti tanaman pada dosis/takaran yang berlebihan.
6.1.5. Faktor Penggunaan Tenaga Kerja Faktor tenaga sangat penting dalam usahatani sebab tingkat keberhasilan usahatani ditentukan dengan ada tidaknya faktor ini. Tenaga kerja dibutuhkan untuk melaksanakan proses produksi yang telah direncanakan guna mencapai hasil/output/panen. Keberhasilan dalam usahatani salah satunya ditentukan oleh tingkat keterampilan dan keefisiensian pelaksanaan produksi hingga panen. Penggunaan tenaga kerja dibagi menjadi dua kategori yaitu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). TKDK adalah sejumlah anggota keluarga petani yang ikut serta dalam proses produksi hingga
111
proses panen. TKLK adalah sejumlah pekerja yang dikontrak atau disewa dalam melakukan proses produksi hingga proses panen. Tenaga kerja luar keluarga rata-rata yang digunakan petani adalah 65,08 HOK per m2 atau 142,93 HOK per ha oleh petani hibrida, sedangkan petani bersari bebas sebanyak 63,55 HOK per m2 atau 146,20 HOK per ha. Komposisi penggunaan TKDK dan TKLK adalah sebagai berikut 33,18 HOK dan 109,93 HOK pada usahatani jagung hibrida, sedangkan pada usahatani bersari bebas adalah 25,35 HOK dan 146,20 HOK (Tabel 19).
Tabel 19. Penggunaan Rata-Rata Tenaga Kerja (HOK) pada Usahatani Jagung Hibirda dan Bersari Bebas di Desa Saguling Pemilik Keterangan Hibrida TKDK TKLK Rata-rata Tenaga Kerja Bersari Bebas TKDK TKLK Rata-rata Tenga kerja
Per Luas Lahan
(4.480 m2) 13,20 49,74 62,94
Penyewa
Konvesri (1 ha)
Per Luas Lahan
29,46
(4.700 m2) 18,92
111,03
50,44
140,49
69,36
2
Seluruh Responden
Konvesri (1 ha)
Per Luas Lahan
Konvesri (1 ha)
40,26
(4.553,33 m2) 15,11
33,18
107,32
49,97
109,75
147,57
65,08
142,93
2
2
(4.770 m ) 10,43
21,86
(3.500 m ) 12,20
34,86
(4.346,67 m ) 11,02
25,35
58,98
123,65
39,64
113,26
52,53
120,86
69,41
145,50
51,84
148,11
63,55
146,20
Jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh petani pemilik dan penyewa pada usahatani jagung hibrida adalah 140,49 HOK/ha dan 147,57 HOK/ha. Adapun jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani jagung bersari bebas adalah 69,41 HOK/ha (pemilik) dan 148,11/ha (penyewa). Perbandingan komposisi TKDK dan TKLK pada kedua usahatani lebih didominasi TKLK baik pada petani pemilik maupun petani penyewa. Besarnya penggunaan TKLK pada kedua usahatani dikarenakan terdapat kebiasaan atau budaya bekerja bersama-sama (gotong royong) dalam mengelola lahan usahatani pada setiap petani. Kegiatan bekerja bersama antar petani dilakukan dari proses produksi sampai panen. Setiap individu petani yang membantu petani lain bukanlah tanpa biaya (gratis), namun mengandung nilai biaya. Beban biaya satu hari orang kerja untuk laki-laki sebesar Rp 15.000,- tanpa konsumsi (rokok, kopi, makan) dan Rp 12.000,- dengan konsumsi. sedangkan beban biaya satu hari orang kerja untuk
112
wanita sebesar Rp 12.000,- tanpa konsumsi (makan dan minum) dan Rp 10.000,dengan konsumsi kondisi ini berlaku juga untuk kelompok petani responden jagung bersari bebas. Selain itu besarnya nilai TKLK pada kedua usahatani bisa dipengaruhi oleh empat faktor, sebagaimana dinyatakan oleh Soeharjo dan Patong (1973). Empat faktor yang mempengaruhi kemampuan petani adalah (a) faktor alam yaitu intesitas cahaya matahari di daerah torpis, (b) faktor sosial ekonomi, (3) faktor pendidikan dan (4) faktor umur. Faktor alam (cahaya matahari) memberikan pengaruh kepada tingkat kekuatan tubuh atau cepat lelah, oleh karena itu bila dilakukan dalam jumlah yang banyak proses produksi lebih mudah dan cepat. Faktor sosial ekonomi seperti budaya gotong royong sebagaimana dijelaskan sebelumnya mempengaruhi penggunaan TKLK baik petani pemilik maupun penyewa. Selain budaya gotong royong, besarnya TKLK pada petani pemilik dikarenakan mereka merasa memiliki sumberdaya yang lebih seperti lahan yang tidak mengandung beban biaya. Sedangkan petani penyewa merasa harus melakukan penghematan, dengan cara memaksimalkan TKDK. Faktor umur memberi pengaruh kepada tingkat kekuatan tubuh dalam bekerja dan berfikir petani dalam mengelola usahatani. Rata-rata usia petani antara hibrida dan bersari bebas menunjukkan lebih muda petani hibrida dibandingkan dengan petani bersari bebas (Tabel 11). Tingkat umur yang lebih muda pada petani hibrida memiliki orientasi pemaksimalan sumberdaya yang dimiliki sendiri (TKDK) dibandingkan dengan tenaga orang lain (TKLK). Sedangkan orientasi petani bersari bebas lebih kepada kemudahan dalam menjalankan proses produksi, sehingga tidak diperdulikan sumber daya mana (TKDK atau TKLK) yang lebih diprioritaskan. Faktor pendidikan memberi pengaruh terhadap daya berfikir petani dalam mencari alternatif-alternatif solusi dalam memiliki tenaga kerja. Besarnya dorongan budaya sosial (gotong royong) dan rata-rata pendidikan yang rendah, memberikan alasan kenapa petani tidak dapat mencari solusi selain dengan gotong royong dalam hal tenaga kerja. Penggunaan tenaga kerja petani jagung hibrida dan bersari bebas dibandingkan dengan rekomendasi teknologi dinyatakan tidak sesuai. Sebab
113
berdasarkan rekomendasi produksi baik hibrida maupun bersari bebas menyarankan penggunaan tenaga kerja sebanyak 130 HOK dengan rincian pada Lampiran 24 dan 25. Perbandingan penggunaan tenaga kerja pria (HKP) dan tenaga kerja wanita (HKW) oleh petani tidak berimbang bahkan kurang dari yang disarankan. Meskipun demikian pemilihan HKP atau HKW yang digunakan tergantung terhadap budaya masyarakat daerah tersebut dan orientasi petaninya. Berdasarkan penghitungan tenaga kerja diketahui dari seluruh rangkaian produksi hingga penen, petani hibrida dan bersari bebas baik pemilik dan penyewa lebih banyak menggunakan tenaga kerja pria dibandingkan dengan wanita. Orientasi petani memilih tenaga kerja pria dikarenakan pria lebih memiliki tenaga sehingga dapat melakukan hampir semua rangkaian produksi-panen. Penggunaan tenaga kerja wanita lebih kepada penyiangan (ngoret), pemupukan dan membantu dalam penanaman, panen dan pemipilan (Lampiran 24 dan 25).
6.1.6. Manajemen Produksi (Budidaya-Panen dan Pasca Panen) Pola budidaya yang diterapkan petani tergolong masih sederhana, namun telah mengalami beberapa modifikasi. Modifikasi telah terjadi dikarenakan petani pernah menerima beberapa masukan dari penyuluh pada masa Program Nasional Bimbingan Masal (Bimas), tetapi hingga saat ini belum ada lagi penyuluhan yang dapat meningkatkan pola budidaya. Input teknologi budidaya yang diterapkan adalah berupa pola tanam sistem tumpang sari (Intercropping) yaitu melakukan penanaman lebih dari 1 tanaman (umur sama atau berbeda) dalam satu areal tanam). Meskipun demikian masih banyak petani masih menerapkan monokultur (satu tanaman dalam satu areal tanam). Berikut proses produksi hingga panen yang dilakukan petani dibandingkan dengan rekomendasi teknologi produksi jagung: a) Persiapan dan Pengolahan Lahan (Media Tanam) Pengolahan tanah bertujuan untuk memperbaiki kondisi tanah, dan memberikan kondisi menguntungkan bagi pertumbuhan akar. Melalui pengolahan tanah, drainase dan aerasi yang kurang baik akan diperbaiki. Tanah diolah pada kondisi lembab tetapi tidak terlalu basah. Tanah yang sudah gembur hanya diolah secara
114
umum. Tahapan pengolahan lahan adalah (1) persiapan, (2) pembukaan lahan, (3) pembentukan lahan, dan (4) pengapuran (BP2TP, 2006). Seluruh proses pengolahan lahan dari membersihkan lahan dari sisa tanaman sebelumnya (persiapan dan pembukaan lahan) hingga pembentukan lahan (bedengan) dilakukan seperti yang direkomendasikan. Kesamaan teknik dikarenakan memang petani telah melakukan proses ini berdasarkan pengalaman masalalu dari petani atau pendahulunya. Perbedaan hanya terletak pada perlakuan pengapuran. Proses ini tidak dilakukan karena derajat kemasaman (pH) tanah diatas dari ketentuan kesuburan tanah. Adapun standar batas minimal pH tanah adalah lima, bila kurang dari lima maka perlu diberi kapur. b) Penanaman Proses yang dilakukan setelah mengolah lahan adalah menanam. Pola tanam yang digunakan petani hibrida dan bersari bebas adalah monokultur. Jarak tanam jagung yang diterapkan oleh kedua petani adalah 60 x 35 cm dengan dua samapi tiga biji per lubangnya. Lubang tanam dibuat sedalam diperkirakan empat sampai lima cm. Lubang tanam dibuat dengan menugal tanah dengan tongkat. Penanaman dilakukan pada satu sampai dua hari setelah pengolahan (hibrida), sedangkan pada bersari bebas dua sampai empat hari sebab menunggu pupuk kandang mengering. Selain itu pada benih bersari bebas yang hendak ditanam diberikan perlakuan perendaman dengan air hangat selama semalaman atau kira-kira 12 jam sebelum tanam. Perlakukan perendaman benih dengan air hangat bertujuan untuk mempercepat pematahan dormansi pada benih, agar lebih cepat tumbuh. W. Croker dalam Pranonto et.al (1990), menguraikan dormansi sebagai akibat : (1) kepramasakan embrio, (2) impermeabilitas kulit benih terhadap air, (3) halangan mekanisme kulit benih terhadap pertumbuhan embrio,(4) permeabilitas kulit benih yang rendah terhadap gas, (5) blockade metabolic dalam embrio yang memerlukan cahaya atau chilling guna mengatasinya, (6) kombinasi kelima tipe dormasi, (7) dormasi sekunder. Meskipun keadaan dormansi lebih banyak ditemukan pada tanaman “keras” seperti benih kehutanan dan perkebunan, namun petani secara sederhana melakukan perlakukan tersebut guna melunakkan kulit benih jagung yang kering sehingga embrio lebih cepat berkecambah (tumbuh).
115
Pola dan cara penanaman yang direkomendasikan BP2TP atau Balisereal hampir sepenuhnya sama. Perbedaan hanya terjadi pada jarak tanam dan jumlah benih perlubang, jarak tanam yang direkomendasikan adalah 75x40 cm dengan dua butir benih per lubang. Meskipun demikian perbedaan tersebut menjadi kunci penting dalam budidaya, sebab dengan perhitungan tersebut diketahui populasi tanaman, jumlah benih yang diperlukan beserta penyulaman dan perkiraan hasil panen. Sedangkan perlakuan terhadap benih berbeda dengan rekomendasi, dimana benih diberi perlakuan perendaman metalaksil (redomil atau soramil) perlakuan ini bertujuan melindungi benih dari serangan hama ulat tanah. Dosis yang digunakan adalah dua gr metalaksil per 10 ml air dicamur dengan satu kg benih. Perhitungan jarak tanam dan jumlah benih perlubang didapatkan bahwa jumlah populasi yang dimiliki pertanaman petani jauh lebih rapat dan jumlah benih yang diperlukan lebih banyak dari rekomendasi sebagaimana dijelaskan sebelumnya (Tabel 16). Petani berpikir dengan banyaknya tanaman yang tumbuh berimplikasi pada tingginya hasil panen. Implikasi yang didapatkan justru sebaliknya, (1) petani membutuhkan lebih banyak benih untuk ditanam, (2) banyaknya tanaman perlubang dan tingginya kerapatan populasi tanaman menyebabkan perkembangan individu tanaman menjadi terhambat. Terhambatnya pertumbuhan individu tanaman dikarenakan terjadinya perebutan unsur-unsur hara tanah atau pupuk dan intensitas cahaya yang diperlukan setiap individu tanaman. Implikasi terakhir adalah jumlah panen kecil, sebab tanaman tidak bisa berbuah dan hanya berebut unsur hara untuk tumbuh meskipun diberi perlakukan air hangat. c) Pemeliharan tanaman Pemeliharaan
tanaman
meliputi
penjarangan
dan
penyulaman,
penyiangan (ngoret), pembumbunan, pemupukan, pengairan penyiraman dan pengendalian OPT. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh petani hanyalah penjarangan
tanpa
penyulaman,
penyiangan
(ngoret),
pemupukan
dan
pengendalian OPT. berdasarkan rekomendasi kegiatan pemeliharaan merupakan suatu kesatuan kegiatan yang saling berkaitan. Penjarangan dilakukan kedua petani (hibrida dan Bersari bebas) hanya pada tanaman yang mati dan terlihat tidak sehat atau terindikasi terserang penyakit
116
atau hama. Penyulaman tidak dilakukan dikarenakan petani merasa sudah cukup menanam tiga butir benih pada penanaman awal dan tidak mau hari panennya menjadi berbeda-beda. Maksud dan tujuan utama penjarangan dan penyulaman adalah mengendalikan populasi tanaman sehingga pertumbuhan tanaman seimbang dan mengisi kekosongan populasi akibat benih tidak tumbuh atau tumbuh tidak normal. Perbedaan persepsi terhadap penjarangan dan penyulaman menyebabkan hasil panen tidak seperti yang diharapkan, sehingga menyebabkan pendapatan petani menjadi lebih kecil karena kecilnya penerimaan panen. Penyiangan dan pembubunan dilakukan petani (hibrida dan bersari bebas) pada waktu yang bersamaan. Kegiatan yang dilakukan dahulu adalah penyiangan atau menghilangkan tanaman penggangu (gulma). Setelah itu bedengan dibumbun kembali, agar tanaman lebih kuat dan tidak rebah karena angin dan hujan. Waktu penyiangan dan pembubunan biasa dilakukan dua kali, yaitu pertama bila gulma sudah banyak tumbuh dan kedua ketika tanaman sudah mulai berbuah (tongkol sudah ada) dibarengi pemupukan. Kegiatan penyiangan dan pembumbunan memiliki tujuan yang sama dengan yang direkomendasikan, namun waktu dan intensitas penerapan kegiatannya berbeda. Rekomendasi teknologi produksi menyarankan kegiatan penyiangan dilakukan dua kali seminggu mulai 10-15 hari setelah tanam dan pembumbunan dilakukan pada saat tanaman telah berumur enam sampai delapan minggu atau bersamaan dengan pemupukan susulan satu pada hibrida dan dua pada bersari bebas (setelah malai keluar). Pengairan dilakukan guna mencukupi kebutuhan tanaman akan air. Pengairan dapat dilakukan dengan irigari atau penyiraman. Petani jagung (hibrida dan bersari bebas) tidak melakukan pengiran sebab di desa belum terdapat saluran irigasi. Penyiraman pun tidak dilakukan sebab petani hanya mengadalkan air hujan. Keterbatasan akan sumber daya air dapat diatasi dengan pembuatan penampungan air sementara yang bersifat penampung air hujan dan dengan melakukan pengeboran sumber air. Pemupukan yang dilakukan oleh petani hibrida dan petani bersari bebas dua kali selama pertanaman berlangsung. Pemupukan pertama dilakukan
117
bersamaan dengan penanaman sedangkan pemupukan kedua dilakukan pada saat tanaman sudah berbuah (setelah malai keluar) dibarengi pembumbunan. Dosis yang digunakan petani hibrida diperkirakan adalah sekitar 1/3 jumlah pupuk urea dan 2/3 pupuk KCl dan TSP. Pupuk pertama ditabur atau ditanam di kanan dan kiri lubang tanam, pemupukan kedua ditanam mengitari tanaman dengan jarak kira-kira (sesuai perkiraan petani). Pada petani bersari bebas terdapat sedikit perbedaan dimana terdapat pupuk kandang. Pupuk kandang diberikan saat pembuatan bedengan dengan membuat lubang tanam tanpa ditutup (dikering-anginkan). Pupuk kandang dibiarkan mengering karena pupuk masih bersifat asam “panas” dan bila benih langsung ditanam benih tidak akan tumbuh dengan baik bahkan mati. Pupuk pertama diberikan dengan dosis 1/3 pupuk Urea dan NPK serta 2/3 pupuk KCl dan TSP. Aplikasi dosis pupuk yang direkomendasikan adalah tiga tahap, yaitu tahap pemberiaan pupuk dasar (PD), tahap susulan I (S I) dan tahap susulan II (S II). Dosis yang diberikan pertanahnya adalah 1/3 dari pupuk Urea, KCl, TSP dengan waktu pemberian bersamaan dengan penanaman (PD), 30 hari setelah tanam (S II) dan waktu jagung mulai berbuah atau mulai tumbuh malai (S II). Waktu pemberian pupuk mempengaruhi efektifitas penyerapan pupuk (unsur hara) bagi pertumbuhan batang dan buah jagung. Pengendalian
Organisme
Pengganggu
Tanaman
(OPT)
dilakukan
berbarengan dengan pemupukan awal (furadan) guna mencegah ulat penggerek daun dan batang. Pemberian decis hanya dilakukan bila tanaman sudah terlihat terinfeksi hama atau penyakit dengan cara di semprot. Berbeda dengan rekomendasi dimana aplikasi furadan diberikan pada pucuk tanaman dengan dosis sesuai anjuran. Aplikasi penyemprotan decis dilakukan pada tanaman yang terinfeksi ringan, bila sudah cukup berat sebaiknya tanaman dicabut dan dibakar agar tidak menular kepada tanaman lain. Dengan dosis yang salah dan aplikasi yang kurang tepat membuat tanaman terganggu dan bukan melindungi tanaman dari OPT.
118
d) Panen dan Pasca Panen Hasil panen jagung tidak semua berupa jagung tua/matang fisiologis, tergantung dari tujuan panen. Seperti pada tanaman padi, tingkat kemasakan buah jagung juga dapat dibedakan dalam 4 tingkat: masak susu, masak lunak, masak tua dan masak kering. Rekomendasi menyebutkan pada proses panen semua ditentukan oleh petani, sebab berhubungan dengan orientasi penjualan panen. Panen yang dilakukan petani jagung hibrida maupun bersari bebas ada dua yaitu panen kecil dan panen besar. Panen kecil dilakukan pada jagung usia masak susu atau lunak, sebab panen kecil diperuntukan buat konsumsi. Penan besar adalah panen kering, dimana panen seperti ini bertujuan untuk menghasilkan panen yang siap dipipil dan dijual. Dengan panen kering petani tidak perlu melakukan penjemuran karena panen sudah kering dan siap pipil. Petani biasanya melakukan panen kering ratarata 100-115 hari setelah tanam. Orientasi petani melakukan panen kering dikarenakan bila panen lunak (konsumsi), penjualan harus sesegera mungkin dilakukan jika tidak hasil panen akan busuk. Meskipun harga panen konsumsi dapat dikatakan lebih tinggi petani tidak mau mengambil resiko. Pemilihan ini juga disebabkan karena sarana dan prasarana trasportasi yang terbatas dan mahal. Proses pasca panen yang dilakukan setelah panen adalah penjemuran dan pemipilan. Penjemuran dilakukan guna mencapai tingkat kadar air yang diinginkan. Tingkat kadar air yang dijadikan patokan tidaklah menentu, sebab petani tidak mengetahui standar kadar air pipilan jagung. Proses pemipilan yang dilakukan petani pun hanya menggunakan tangan. Penggunaan mesin perontok belum tersedia baik mesin dengan motor penggerak ataupun manual. Penggunaan mesin perontok diperlukan guna mempermudah pemipilan dan memperkecil penggunaan tenaga kerja pipil. Hasil pipilan benih hanya disimpan dengan menggunakan karung.
6.1.7. Faktor Usahatani Lainnya 6.1.7.1. Sewa Lahan Garapan Sewa lahan atau pajak garapan hanya dikeluarkan kepada petani yang status lahan garapannya menyewa. Biaya sewa lahan garapan yang berlaku di 119
lokasi penelitian cenderung seragam yaitu sebesar Rp 15.000,- per petaknya (600700 m2) atau Rp 21,43 per m2, bila dikonversikan menjadi Rp 214.300 per hektarnya. Biaya sewa yang seragam dikarenakan lahan garapan yang digunakan rata-rata merupakan milik PT. Indonesia Power dan PTPN VIII. Menurut hasil wawancara, petani biasanya membayar biaya sewa garap lahan kepada oknum atau yang mengatas namakan pihak PT. Indonesia Power atau PTPN. Biaya sewa lahan sebesar Rp 214.300 per ha tergolong rendah dibandingkan biaya sewa lahan pada umumnya. Sebagai contoh untuk sewa lahan di Kabupaten Bogor (Cibereum) adalah sekitar Rp 500.000 - 600.000 per ha. Biaya sewa lahan dapat mempengaruhi besar dan kecilnya penerimaan petani. Meskipun demikian keseragaman harga sewa lahan membantu petani dalam mengalokasikan biaya dalam perencanaan usahatani berikutnya.
6.1.7.2. Pajak Musim Tanam Beban biaya tunai tambahan yang harus dikeluarkan petani di Desa Saguling adalah pajak musim tanam. Pajak musim tanam atau lebih tepatnya pajak penggunaan lahan untuk pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan disetorkan petani kepada aparatur desa. Pajak diterapkan kepada masyarakat yang menggunakan lahan milik pribadi atau sewa untuk usahatani selama satu tahun musim tanam. Besar biaya pajak yang diterapkan adalah Rp 2.000,- per satuan petak lahan pertanian, sedang untuk perkebunan, perikanan dan peternakan tidak diketahui. Pajak musim tanam pada hakikatnya sama seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Perbedaannya adalah alokasi pajak musim tanam diperuntukkan untuk meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pengelolaan dan pemasaran hasil bumi (pertanian). Sarana yang dimiliki desa adalah, lapangan jemur di setiap dusun atau cantilan, dan 15 unit penggilingan padi yang tersebar di setiap RW. Meskipun demikian sarana transportasi masih menjadi kendala.
6.2.
Analisis Pendapatan Usahatani
Pendapatan usahatani merupakan pengurangan biaya atau pengeluaran terhadap setiap hasil penjualan (penerimaan). Usahatani jagung bila dinilai dari tingkat pendapatannya merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya yang
120
dikeluarkan dalam usahatani jagung tersebut. Dalam memperhitungkan analisis pendapatan usahatani terdapat tiga unsur perhitungan yaitu: pengeluaran usahatani, penerimaan usahatani dan pendapatan usahatani.
6.2.1. Pengeluaran Usahatani Pengeluaran usahatani dibagi menjadi dua komponen biaya antara lain biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Secara umum komponen biaya tunai dalam usahatani jagung di Desa Saguling meliputi biaya benih, pupuk (organik dan kimia), obatobatan, upah tenaga kerja dalam keluarga (TKDK), pengangkutan, pajak musim tanam, sewa lahan, sedangkan komponen biaya yang diperhitungkan meliputi upah tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Rata-rata total biaya petani jagung setelah seluruh unsur biaya tunai dan diperhitungkan dikonversikan ke dalam satuan hektar adalah Rp 4.223.101,54 (bersari bebas) dan Rp 4.436.853,29 (hibrida). Perincian biaya tunai dan diperhitungkan adalah sebesar Rp 3.823.804,50 dan Rp 399.297,03 (bersari bebas) sedang pada jagung hibrida sebesar Rp 3.957.468,22 dan Rp 479.385,07 (hibrida). Pengalokasian dana pada kedua usahatani dalam biaya tunai lebih di dominasi oleh penggunaan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) dan penggunaan pupuk (organik dan kimia) dari total biaya yang dikeluarkan (Tabel 21). Besarnya alokasi buaya (beban biaya) pada tenaga kerja dan pupuk dikarenakan terdapat budaya gotong royong dan dosis pupuk yang berlebihan pada beberapa pupuk sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Besarnya biaya tersebut bisa ditekan apabila petani bisa lebih bijak dalam memprioritaskan pengeluaran. Perbandingan komponen biaya yang dikeluarkan antara petani jagung, petani jagung hibridalah yang lebih banyak mengeluarkan biaya baik dari total biaya tunai dan total biaya diperhitungkan. Besarnya biaya tunai pada petani jagung hibrida dikarenakan harga benih hibrida yang mahal. Namun secara keseluruhan petani bersari bebaslah yang sebenarnya banyak mengeluarkan biaya tunai. Biaya yang dikeluarkan petani bersari bebas untuk pupuk mencapai Rp 1.603.257,60, sedangkan petani jagung hibrida hanya Rp 1.306.858,59 dan pengeluaran biaya obat-obatan sebesar Rp 151.331,71 sedangkan petani hibrida hanya Rp 133.750,58 (Tabel 20).
121
Tabel 20. Biaya Tunai dan Biaya Diperhitungkan Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas per ha di Desa Saguling Bersari Bebas
Hibrida
Komponen Biaya Usahatani Nilai
Satuan
Nilai
Satuan
138.995,40
Rp/Kg
667.642,75
Rp/Kg
Urea
361.196,32
Rp/Kg
489.751,10
Rp/Kg
KCl
189.800,61
Rp/Kg
163.217,09
Rp/Kg
TSP
421.779,14
Rp/Kg
426.427,53
Rp/Kg
NPK
202.222,33
Rp/Kg
227.462,87
Rp/Kg
1.174.998,40
Rp
1.306.858,59
Rp
428.259,20
Rp/Karung
-
Rp/Karung
1.603.257,60
Rp
Furadan
69.372,35
Rp/kg
57.728,51
Rp/kg
Decis
81.959,36
Rp/Kaleng (50cc)
76.022,07
Rp/Kaleng (50cc)
Biaya Pengangkutan
126.061,35
Rp/Karung
161.423,13
Rp/Karung
Pajak Musim Tanam
13.796,12
Rp/Ha
14.014,79
Rp/Ha
Sewa Lahan Garapan
78.705,88
Rp/Ha
109.034,60
Rp/Ha
HKP
1.306.748,47
Rp/HOK
1.238.653,00
Rp/HOK
HKW
404.907,98
Rp/HOK
326.090,78
Rp/HOK
3.823.804,50
Rp
3.957.468,22
Rp
48.568,51
Rp/Kg
HKP
232.937,12
Rp/HOK
406.295,75
Rp/HOK
HKW
117.791,41
Rp/HOK
73.089,31
Rp/HOK
Total Biaya Diperhitungkan
399.297,03
Rp
479.385,07
Rp
4.223.101,54
Rp
4.436.853,29
Rp
A. Biaya Tunai a. Pembelian Benih b. Pupuk Kimia
Sub Total Tanpa pupuk organik c. Pupuk Kandang Sub Total Dengan pupuk organik
Rp
d. Pestisida
e. Biaya Usahatani lainnya
f. TKLK
Total Biaya Tunai B. Biaya Diperhitungkan a. Benih (dari Panen )
Rp/Kg
b. TKDK
Total Biaya
Pengeluaran biaya usahatani jagung dengan batasan status kepemilikan lahan dibagi menjadi dua yaitu pemilik lahan dan penyewa lahan garapan. Pengeluaran biaya usahatani petani hibrida dengan batasan pemilik lahan setelah dikonversikan ke dalam hektar didapatkan sebesar Rp 3.823.388,82 untuk pengalokasian biaya tunai dan Rp 482.142,86 per ha biaya diperhitungkan. Pengeluaran biaya usahatani petani bersari bebas dengan batasan pemilik lahan adalah sebesar Rp
122
3.740.203,40 dan Rp 350.202,16 per ha untuk petani bersari bebas total biaya tunai dan diperhitungkannya. Perbandingan biaya total usahatani antara jagung hibrida dan bersari bebas adalah Rp 4.305.531,68 per ha dan Rp 4.090.405,55 per ha (Lampiran 26). Berdasarkan hasil perhitungan biaya antara usahatani jagung hibrida dan bersari bebas, didapatkan bahwa petani jagung hibrida lebih banyak mengeluarkan biaya tunai dan total dibandingkan dengan petani jagung bersari bebas. Perbandingan komponen pengeluaran biaya tunai didapatkan bahwa petani hibrida lebih banyak mengeluarkan dana untuk pembiayaan benih saja yaitu sebesar Rp 649.553,57 sedangkan petani bersari bebas dana lebih banyak dialokasikan ke komponen biaya pupuk sebesar Rp 1.646.324,69 dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) sebesar Rp 1.753.584,91. Secara tunai biaya yang dikeluarkan oleh usahatani jagung hibrida lebih besar Rp 83.185,42 dibandingkan dengan usahatani jagung bersari bebas. Perhitungan secara total didapatkan usahatani jagung berseri bebas lebih hemat Rp 215.126,13 dibandingkan dengan usahatani jagung hibrida, perhitungan selengkapnya disajikan pada (Lampiran 26). Perbandingan pengeluaran biaya tunai dan diperhitungkan usahatani jagung antara petani bersari bebas dan hibrida dengan batasan status penyewa adalah Rp 3.756.033,33 dan Rp 510.666,67 (bersari bebas) sedangkan hibrida sebesar Rp 3.993.278,92 dan Rp 603.829,79. Sehingga perbandingan biaya total usahatani jagung antara petani yang menggunakan benih bersari bebas dengan hibrida adalah Rp 4.266.700,00 dengan Rp 4.597.108,71. Kondisi pengeluaran biaya usahatani pada petani berstatus penyewa lahan sama dengan pengeluaran biaya usahatani pada petani berstatus pemilik lahan garapan. Persamaan terjadi pada total alokasi biaya tunai, diperhitungkan dan total biaya lebih besar dikeluarkan oleh usahatani jagung hibrida, namun bila dirinci lebih jelas usahatani jagung bersari bebas mengeluarkan biaya besar pada pos pembiayaan pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja khususnya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) perincian disajikan pada lampiran 26. Berdasarkan perbandingan pengeluaran biaya usahatani jagung hibrida dengan jagung bersari bebas secara umum dan dengan batasan status kepemilikan lahan
123
dapat dikatakan pengeluaran usahatani hibrida lebih besar dibanding dengan usahatani jagung bersari bebas. Besarnya pengeluaran biaya pada usahatani jagung hibrida lebih kepada tiga pos biaya yaitu benih sekitar 15 %, pupuk 2830,5 % dan tenaga kerja luar keluarga berkisar anatar 33-37 % dari total biaya tunai yang dikeluarkan. Seluruh usahatani jagung bersari bebas banyak mengeluarkan biaya pada pengadaan pupuk yaitu berkisar 38-41 % dan tenaga kerja luar keluarga yang berkisar 39-42 % dari total biaya tunai. Kedua usahatani jagung hibrida maupun bersari bersari bebas banyak mengalokasikan biaya pada pengadaan tenaga kerja luar keluarga. Besarnya biaya tenaga kerja salah satunya karena banyaknya tenaga kerja dalam kegiatan pengolahan secara bergotong royong (bersama-sama). Walaupun demikian dapat dibenarkan pendapat petani mengenai alasan tidak memilih benih hibrida yang dikarenakan biaya produksi yang tinggi.
6.2.2. Penerimaan Usahatani Penerimaan usahatani dibagi menjadi dua yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Penerimaan usahatani jagung tunai merupakan perkalian antara jumlah keseluruhan produksi yang dipanen kering dikurangi dengan jumlah konsumsi dan jumlah panen yang digunakan untuk dijadikan benih dengan harga jualnya. Penghitungan produksi jagung pipilan kering didasari oleh kondisi kebiasaan panen yang terdapat di desa lokasi penelitian. Para petani baik jagung bersari bebas (lokal) maupun hibrida lebih memprioritaskan panen pipilan kering dan bukan panen buah, sebab kebanyakan hasil produksinya lebih diperuntukan bagi pakan dan produksi olahan jagung seperti tepung jagung. Rata-rata produksi jagung usahatani jagung bersari bebas adalah 3.057,21 kg/ha dengan harga jual rata-rata Rp 1.620,00 didapatkan penerimaan tunai sebesar Rp 4.952.677,91. Penerimaan non tunai rata-rata usahatani jagung bersari bebas adalah Rp 188.650,31 yang didapatkan dari hasil panen yang dikonsumsi sebesar 94,33 kg/ha dengan harga Rp 2000,00 per kg. Total penerimaan petani dari usahatani jagung bersari bebas adalah Rp 5.141.328,22 (Tabel 20). Rata-rata penerimaan tunai usahatani dengan status petani pemilik dan penyewa lahan adalah berturut-turut Rp 4.740.452,83 dan Rp 5.531.142,86. Rata-rata total penerimaan usahatani jagung bersari bebas dengan status pemilik dan penyewa 124
lahan adalah berturut-turut Rp 5.159.740,04 dan Rp 5.616.875,14, adapun rincian penerimaan usahatani jagung bersari bebas disajikan pada tabel 21.
Tabel 21. Penerimaan Tunai dan Non Tunai Usahatani Jagung Besari Bebas di Desa Saguling Keterangan Pemilik (4.770 m2) Penyewa (3.500 m2) Total Responden (4.346,67 m2)
Panen (Kg) (Y1)
Penerimaan Tunai Harga (Rp) Y1 x P1 (P1)
Penerimaan Non Tunai Harga (Rp) Y2 x P2 (Y2) (P2)
Konsumsi (Kg)
Penerimaan Petani
2.926,21
1.620,00
4.740.452,83
209,64
2.000,00
419.287,21
5.159.740,04
3.414,29
1.620,00
5.531.142,86
42,86
2.000,00
85.714,29
5.616.857,14
3.057,21
1.620,00
4.952.677,91
94,33
2.000,00
188.650,31
5.141.328,22
Berdasarkan tabel 21, diketahui bahwa penerimaan total usahatani terbesar ada pada petani penyewa lahan garapan yang melakukan usahatani jagung bersari bebas. Besarnya total penerimaan dikarenakan rata-rata produksi jagung pada petani dengan status penyewa lebih besa dibandingkan dengan usahatani jagung bersari bebas dengan status pemilik lahan. Perhitungan penerimaan usahatani jagung hibrida didapatkan, rata-rata produksi jagung hibrida adalah 4.013,62 kg/ha dengan harga jual rata-rata Rp 1.620,00 didapatkan total penerimaan tunai adalah Rp 6.515.437,29. Penerimaan non tunai rata-rata usahatani jagung bersari bebas adalah Rp 658.857,98 yang didapatkan dari hasil panen yang dikonsumsi sebesar 329,43 kg/ha dengan harga Rp 2000,00 per kg. Total penerimaan petani dari usahatani jagung bersari bebas adalah Rp 7.174.295,27 (Tabel 22). Rata-rata produksi jagung pada petani jagung hibrida dengan batasan status pemilik lahan adalah sebesar 3.919,42 kg/ha, sedangkan dengan status penyewa lahan garapan adalah sebesar 3.919,42 kg/ha. Dengan harga rata-rata untuk kedua status kepemilikan lahan adalah Rp 1.625 dan Rp 1.620 per kgnya didapatkan total penerima tunai secara berturut-turut adalah Rp 6.369.056,92 dan Rp 6.792.970,21.
Tabel 22. Penerimaan Tunai dan Non Tunai Usahatani Jagung Hibrida Dengan Batasan Status Kepemilikan Lahan di Desa Saguling Keterangan
Panen (Kg) (Y1)
Penerimaan Tunai Harga (Rp) Y1 x P1 (P1)
Penerimaan Non Tunai Harga (Rp) Y2 x P2 (Y2) (P2)
Konsumsi (kg)
Penerimaan Petani
125
Pemilik (4.480 m2) Penyewa (4.700 m2) Total Responden (4.553,33m2)
3.919,42
1.625,00
6.369.056,92
223,21
2.000,00
446.428,57
6.815.485,49
4.193,19
1.620,00
6.792.970,21
106,38
2.000,00
212.765,96
7.005.736,17
4.013,62
1.623,33
6.515.437,29
329,43
2.000,00
658.857,98
7.174.295,27
Penerimaan rata-rata non tunai usahatani jagung hibrida adalah Rp 446.428,57 (pemilik) dan Rp 212.765,96 (penyewa), menjadikan total penerimaan menjadi Rp6.815.485,49 dan Rp 7.0505.736,17. Berdasarkan kedua perhitungan penerimaan usahatani jagung bersari bebas dengan hibrida diketahui bahwa ratarata penerimaan usahatani terbesar adalah usahatani jagung hibrida dengan total penerimaan sebesar Rp 7.174.295,27.
6.2.3. Pendapatan Usahatani dan R/C Ratio Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan tunai, non tunai dan total penerimaan dengan biaya tunai, biaya diperhitungkan dan total biaya yang dikeluarkan. Perhitungan analisis pendapatan usahatani komoditi jagung di Desa Saguling yang diwakili oleh petani responden jagung bersari bebas (lokal) dan jagung hibrida menunjukan bahwa usahatani komoditi jagung menguntungkan dan layak atau tidak untuk dikembangkan lebih lanjut. Analisis pendapatan usahatani untuk jagung bersari bebas menunjukan total penerimaan rata-rata adalah Rp 5.141.328,22 dengan total penerimaan tunai rata-rata adalah Rp 4.952.677,91. Penerimaan tersebut kemudian dihitung (dibagi) dengan total biaya tunai Rp 3.823.804,50 dan total biaya Rp 4.223.101,54 menghasilkan pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 1.317.523,72 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 918.226,68 serta memberikan pendapatan tunai sebesar Rp 1.128.873,41. Berdasarkan nilai pendapatan dan biaya tersebut didapatkan nilai R/C untuk usahatani jagung bersari bebas yaitu 1,34 untuk R/C atas biaya tunai dan 1,22 untuk R/C atas biaya total (Tabel 23). Analisis pendapatan usahatani jagung hibrida mendapatkan rata-rata penerimaan tunainya adalah sebesar Rp 6.515.437,29 dan total penerimaan ratarata Rp 7.174.295,27. Biaya tunai rata-rata dan biaya total rata-rata usahatani jagung bersari bebas didapatkan sebesar Rp 3.957.468,22 dan Rp 4.436.853,29.
126
Tabel 23. Analisis Pendapatan dan R/C Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas Per Ha di Desa Saguling Musim Tanam Tahun 2007-2008 Bersari Bebas Komponen Biaya
Hibrida
Jumlah (Rp)
Satuan
Jumlah (Rp)
Satuan
4.952.677,91
Rp/kg
6.515.437,29
Rp/kg
1. Penerimaan A. Penerimaan Tunai B. Penerimaan Non Tunai
188.650,31
Rp/kg
658.857,98
Rp/kg
5.141.328,22
Rp/ha
7.174.295,27
Rp/ha
138.995,40
Rp/kg
667.642,75
Rp/kg
1.603.257,60
Rp/kg
1.306.858,59
Rp/kg
151.331,70
Rp/kg
133.750,58
Rp/kg
Biaya Pengangkutan
126.061,35
Rp/karung
161.423,13
Rp/karung
Pajak Musim Tanam
13.796,12
Rp/ha
14.014,79
Rp/ha
Sewa Lahan Garapan
78.705,88
Rp/ha
109.034,60
Rp/ha
F. Tk Luar Keluarga
1.711.656,44
Rp/HOK
1.564.743,78
Rp/HOK
Total Biaya Tunai
3.823.804,50
Rp/ha
3.957.468,22
Rp/ha
A. Benih Hasil Panen
48.568,51
Rp/kg
-
Rp/kg
B. Tkdk
350.728,53
Rp/HOK
479.385,07
Rp/HOK
Total Biaya Diperhitungkan
399.297,03
Rp/ha
479.385,07
Rp/ha
4.223.101,54
Rp/ha
4.436.853,29
Rp/ha
Total Penerimaan 2. Pengeluaran A. Biaya Tunai A. Pembelian Benih B. Pupuk D. Pestisida E. Biaya
B. Biaya Diperhitungkan
Total Biaya 3. Pendapatan A. Pendapatan atas Biaya Tunai
1.317.523,72
3.216.827,05
B. Pendapatan atas Biaya Total
918.226,68
2.737.441,98
1.128.873,41
2.557.969,07
R/C atas Biaya Tunai
1,34
1,81
R/C atas Biaya Total
1,22
1,62
C. Pendapatan Tunai
Perhitungan antara penerimaan dengan biaya akan mendapatkan pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp 3.216.827,05 dan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 2.737.441,98 serta memberikan pendapatan tunai sebesar Rp 2.557.969,07. Besarnya pendapatan tunai petani hibrida terhadap petani bersari bebas, menyatakan bahwa usahatani dengan benih hibrida jauh lebih menguntungkan. Perbedaan ini disebabkan faktor pemilihan benih hibrida memang terbukti dapat meningkatkan pendapatan petani.
127
Analisis R/C atas biaya tunai dan atas biaya total adalah 1,81 dan 1,62. Nilai R/C yang menunjukan lebih dari 1 (R/C >1) menyatakan bahwa usahatani tersebut menguntungkan dan layak untuk dikembangkan lebih lanjut. Nilai R/C untuk usahatani jagung bersari bebas adalah 1,34 atas biaya tunai dan 1,22 atas biaya total kemudian nilai R/C untuk usahatani jagung hibrida adalah 1,81 atas biaya tunai dan 1,62 atas biaya total. Pengertian Nilai R/C 1,34 adalah setiap satu satuan nilai rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi usahatani jagung (biaya tunai), menghasilkan penerimaan sebesar 1,34 rupiah. Nilai R/C atas biaya total menunjukan angka 1,22 yang artinya setiap satu satuan nilai rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi usahatani jagung (total biaya), akan menghasilkan penerimaan sebesar lebih Rp 1,22 begitu pula pengertian untuk nilai R/C jagung bersari bebas. Dengan demikian usahatani jagung (bersari bebas dan hibirda) di Desa Saguling dinyatakan menguntungkan. Namun usahatani dengan benih hibrida lebih menguntungkan dan lebih efisien, sehingga jagung hibrida lebih layak diprioritaskan dalam pengembangan lebih lanjut di Desa Saguling. Analisis pendapatan usahatani jagung jagung hibrida dengan batasan pemilik lahan adalah Rp 2.992.096,67 pendapatan atas biaya tunai, Rp 2.509.953,81 pendapatan atas biaya total dan Rp 2.545.668,10 pendapatan tunai. Perhitungan analisis pendapatan usahatani bersari bebas dengan batasan pemilik lahan menghasilkan pendapatan atas biaya tunai, atas biaya total dan pendapatan tunai usahatani secara berturut-turut adalah Rp 1.419.536,65, Rp 1.069.334,49, Rp 1.000.249,43 (Lampiran 28). Berdasarkan perhitungan jumlah pendapatan yang diperoleh maka usahatani jagung hibrida dengan batasan pemilik lahan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani jagung bersari bebas. Meskipun jumlah total biaya yang dikeluarkan lebih besar hibrida namun penerimaan petani jauh mengungguli penerimaan bersari besas. Faktor benih jelas memberikan efek ganda dalam usahatani jagung yaitu, panen yang besar dan penerimaan yang tinggi. Analisis R/C atas biaya tunai dan biaya total diperoleh 1,38 dan 1,26 bersari bebas), 1,78 dan 1,58, (hibrida). Berdasarkan analisis tersebut dapat diketahui bahwa usahatani jagung hibrida lebih menguntungkan dan lebih efisien
128
dibandingkan dengan usahatani jagung bersari bebas. Dengan demikian bagi petani yang memiliki lahan dan mengolahnya sendiri lebih baik menggunakan benih hibrida sebab hasil yang diberikan lebih besar. Selain itu dikarenakan besarnya beban biaya yang dikeluarkan, sebaiknya petani lebih selektif dalam penggunaan input produksi terutama pupuk dan tenaga kerja luar keluarga. Perhitungan analisis pendapatan usahatani jagung hibrida dan jagung bersari bebas dengan batasan penyewa, diperoleh pendapatan atas biaya tunai, atas biaya total dan pendapatan tunai secara berturut-turut adalah Rp 2.944.372,14, Rp 2.340.542,35, Rp 2.731.606,18 (hibrida) dan Rp 1.860.823,81, Rp 1.350.157,14, Rp 1.775.109,52 (bersari bebas) (Lampiran 29). Berdasarkan perhitungan jumlah pendapatan yang diperoleh maka usahatani jagung hibrida dengan batasan penyewa lahan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani jagung bersari bebas. Meskipun jumlah total biaya yang dikeluarkan lebih besar hibrida namun penerimaan petani jauh mengungguli penerimaan bersari besas. Dengan ini semakin jelas bahwa usahatani dengan benih hibrida menjanjikan hasil panen yang tinggi, salah satunya dapat dilihat dari penerimaan tunai. Analisis Nilai R/C atas biaya tunai memperoleh nilai 1,50 (bersari bebas) dan 1,72 (hibrida), sedangkan nilai R/C atas biaya total adalah 1,32 (bersari bebas) dan 1,50 (hibirda). Berdasarkan hasil R/C tersebut menyatakan bahwa usahatani jagung bersari bebas dan hibrida dengan batasan pemilik lahan garapan dinyatakan
efisien
dan
menguntungkan
sehingga
masih
layak
untuk
dikembangkan lebih lanjut, hal ini dikarenakan nilai R/C keduanya lebih dari saru (R/C > 1). Meskipun demikian perbaningan keduannya menjelaskan bahwa ushatani jagung hibrida lebih efisien karena R/C nya lebih besar baik atas biaya tunai maupun total. Perbandingan pendapatan dan R/C antara usahatani jagung antara petani pemilik dan penyewa menyatakan usahatani jagung hibrida lebih menguntungkan bila diusahakan di lahan milik sendiri (Lampiran 30). Sedangkan untuk jagung bersari bebas lebih menguntungkan bila diusahakan dilahan sewa. Meskipun demikian kedua usahatani bisa lebih menguntungkan bila penggunaan faktor-
129
faktor produksi disesuaikan dengan rekomendasi, sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam analisis penggunaan faktor-faktor produksi. Berdasarkan hasil analisis pendapatan usahatani didapatkan bahwa nilai pendapatan usahatani atas biaya tunai dan total untuk rata-rata ataupun dengan batasan status kepemilikan menyatakan lebih besar usahatani jagung hibrida dibandingkan dengan usahatani jagung bersari bebas. Analisis R/C rasio pada usahatani jagung hibrida untuk semua kategori batasan lebih dari satu (R/C>1), dan lebih besar dari usahatani jagung bersari bebas. Walaupun analisis rasio R/C menyatakan usahatani jagung hibrida lebih efisien dibanding usahatani bersari bebas, namun berdasarkan analisis perbandingan penggunaan faktor-faktor produksi usahatani jagung hibrida dan bersari bebas didapatkan bahwa kedua usahatani tidak sesuai rekomendasi. Ketidaksuaikan penggunaan faktor-faktor dikarenakan hampir seluruh penggunan faktor produksi dalam proses produksi jauh melebihi acuan rekomendasi teknologi peroduksi. Perbandingan antara kedua usahatani memang menjelaskan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi usahatani jagung hibrida memang lebih hemat dibandingkan dengan usahatani jagung bersari bebas.
130
BAB VII KESIMPULAN PENELITIAN
7.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil observasi di lokasi penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik usahatani jagung di Desa Saguling masih tergolong sederhana. Sederhananya usahatani jagung tercermin dari kecilnya luasan lahan produksi, masih belum digunakannya mesin pertanian (seperti hand
tractors atau mesin perontok hasil panen), pengaturan komposisi input produksi (benih, pupuk dan obat-obatan) yang masih belum berimbang sampai pengaturan tenaga kerja. Penggunan benih jagung di Desa Saguling lebih didominasi oleh benih bersari bebas, sebab benih hibrida masih baru dikenal sekitar awal tahun 2000. Pola pengelolaan produksi masih belum berimbang. Petani kesulitan dalam pemasaran dan informasi pertanian (penyuluhan, pasar dan saprodi), sebab sarana dan prasarana transportasi berupa jalan dan alat trasnportasi terbatas dan mahal. Petani lebih memilih menjual kepada tengkulak karena saran dan prasarana terbatas. Kendala yang paling memberatkan adalah harga jual panen yang kecil. 2. Penggunaan faktor-faktor produksi dan aplikasi pengelolaan produksi yang masih
belum
sesuai
dengan
rekomendasi.
Ketidaksesuaian
disebabkan dosis penggunaan faktor-faktor produksi seperti jumlah benih, pupuk, obat-obatan masih mengikuti kebiasaan masa lalu dan kira-kira. Selain itu rata-rata tingkat pendidikan yang rendah juga menyebabkan pola pengambilan keputusan masih mengikuti kecenderung kebanyakan petani dan belum dapat mengambil keputusan sendiri. Meskipun demikian dengan petani masih merasa mendapatkan keuntungan, namun diharapkan petani menggunakan rekomendasi agar keuntungan meningkat. Selain itu pengelolaan (aplikasi penerapan) dalam teknik budidaya masih belum sebaik yang direkomendasikan. Perbedaan penerapan lebih kepada faktor penanaman dan pemeliharaan, namun kedua kegiatan ini merupakan yang menentukan dalam besar kecilnya hasil panen. Faktor tenaga kerja
131
memberikan pengaruh cukup besar terutama dalam proses produksi-panen. Budaya gotong royong memberikan dampak kepada tinggi tenaga kerja luar keluarga yang di gunakan. Sebab semua orang yang terlibat dalam gotong royong memiliki nilai biaya. Faktor usahatani seperti sewa lahan dan pajak musim tanam juga memberi pengaruh kepada tingkat pendapatan yang diperoleh petani. faktor sewa lahan memberikan pengaruh kepada jumlah lahan yang akan diolah, sedangkan pajak tidak memberi pengaruh signifikan karena hanya merupakan kewajiban dan nilainya pun rendah. 3. Analisis biaya usahatani menyimpulkan bahwa usahatani jagung hibrida dengan semua kategori (pemilik dan penyewa) menyatakan lebih banyak mengeluarkan biaya baik tunai maupun total. Penerimaan yang diterima oleh petani jagung hibrida lebih besar dibandingkan dengan usahatani jagung bersari bebas. Perhitungan pendapatan (penerimaan-pengeluaran) mendapatkan usahatani jagung hibrida lebih memberikan pendapatan yang lebih besar dibandingkan usahatani jagung bersari bebas baik pendapatan atas biaya tunai, atas biaya total maupun pendapatan tunai. Besarnya Pendapatan tunai yang diteima petani hibrida dikarenakan bahwa memang benih hibrida lebih menghasilkan panen sehingga penerimannya pun tinggi. Analisis R/C rasio diperoleh bahwa nilai R/C atas biaya total petani hibrida tanpa batasan (1,62) lebih besar dari R/C atas biaya total petani bersari bebas (1,22). Analisis R/C menyimpulkan bahwa usahatani jagung dengan benih hibrida lebih menguntungkan dan efisien dibandingkan dengan benih bersari bebas. Selain itu usahatani jagung dengan benih hibrida lebih menguntungkan bila dikelola di lahan milik sendiri (R/C 1,58) daripada lahan sewa (R/C 1,50). Meskipun demikian seluruh usahatani harus lebih dapat mengefisienkan penggunaan faktor produksi terutama pupuk dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK) sesuai dengan aturan rekomendasi.
132
7.2. Saran 1. Dalam menjalankan usahatani sebaik petani lebih dapat memperhatikan jumlah faktor-faktor produksi yang akan digunakan. Faktor-faktor produksi yang memerlukan perubahan jumlah adalah jumlah benih, dosis pupuk dan obat, serta jumlah tenaga kerja yang akan digunakan. Petani diharapkan dapat menggunakan acuan rekomendasi teknologi produksi yang resmi keluarkan oleh pemerintah seperti oleh BP2TP atau Balitsereal. 2. Pemerintah Daerah melalui dinas terkait sebaiknya membuka keran informasi yang selebar-lebarnya tentang perkembangan teknologi petanian dari pengolahan hingga pemasaran dan memberi pintu peluang pasar bagi hasil-hasil produksi pertanian terutama bagi petani-petani skala kecil. Fokus pemerintah dalam pembangunan pertanian dapat dilakukan dengan memperbaiki sarana dan parasanan transportasi dan telekomunikasi dan dengan sesegera mungkin kembali mengefektifkan peran dan tugas penyuluh pertanian (mantri tani) dengan menambah jumlah personel dalam menyalurkan inovasi teknologi budidaya dan memberikan bimbingan teknologi pertanian tepat guna.
133
DAFTAR PUSTAKA Abbas, S. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sekertariat Badan Pengendalian Bimas Departemen Pertanian. Jakarta. Adisarwanto. T. dan Yustina Erna W. 2000. Meningkatkan Produksi Jagung, di Lahan Kering, Sawah, dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta. Ali, Faisal. 2005. Analisis Tingkat Pendapatan dan Kepuasan Petani Terhadap Pelaksanaan Kemintraan Jagung Manis di Kecamatan Jampang Tengah Kabupaten Sukabumi Jawa Barat (skripsi). Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anonimous. 1990. Laporan Tahunan, Buku II Pemerintah Provinsi daerah Tingkat I Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Bandung. Anonimous. 1991. Profil Komoditi Tanaman Pangan di Jawa Barat. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. Bandung. Anonimous. 2007. Produksi Jagung Menurut Provinsi pada Periode 2001-2007. Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Jakarta (www.deptan.go.id/ditjen tanaman pangan-di akses september 2007) Anonimous. 2007. Perbandingan antara Jagung Hibrida dan Bersari Bebas. Departemen Pertanian RI. Jakarta (http.ppvt.setjen.deptan.go.id). Anonimous. 2008. Perkembangan Produksi, Produktivitas dan Luas Panen Jagung Nasional Periode 2000-2008. Jakarta (www.deptan.go.id- di akses Januari 2008) Anonimous. 2008. Panduan Budidaya Jagung. Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan. BAPPENAS. (www.bappenas.com- di akses Januari 2008) Badan Pusat Statistik. 2005. Jumlah Penduduk Indonesia Menurut Provinsi hasil Sensus (1971, 1980, 1990, 2000) dan Supas (1995, 2005). Jakarta Badan Pusat Statistik dan Ditjen Tanaman Pangan. 2007. Luas Panen, Hasil per Hektar, dan Produksi Jagung Di Jawa Barat Tahun 2001-2007. Jakarta. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP). 2006. Panduan Budidaya Jagung Bersari Bebas (Komposit). Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP). Jakarta. Balai Penelitian Tanaman Serealia (BALITSEREAL). 2003. Rekomendasi Budidaya Jagung Hibrida (Bisma 3). Balai Penelitian Tanaman Serealia (BALITSEREAL). Jakarta
134
Departemen Pertanian. 2004. Rata-Rata Konsumsi Komoditas Pangan Tahun 2004 di Indonesia. Dalam Sri, W. Analisis Peramalan Produksi Dan Konsumsi Beras Serta Implikasinya Terhadap Pencapaian Swasembada Pangan Indonesia. Skripsi Departemen Sosial Ekonomi. Fakutas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Direktorat Perbenihan. 2001. Luas Penyebaran Varietas Unggul Jagung MT 2000. Direktorat Perbenihan, Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan. Jakarta. Dinas Pertanian Kab. Bandung. 2007. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. Bandung Djulin, A. et.al. 2005. Perkembangan Sistem Usahatani Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Hernanto. 1989. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Ilham, N. et.al. 2006. Efektifitas kebijakan Harga Panen Terhadap Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Jakarta. Kasryno, F. Effendi P. A.M Fagi (Editor). 2005. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Kariyasa, K. dan Bonar M. Sinaga. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pasar Jagung Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Jakarta. Koswara, J. dan M. Argasasmita. 1980. Pemuliaan Jagung Lanjutan (laporan Penelitian). Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi. IPB Koswara, J. et.al. 1984. Pembentukan Jagung Hibrida (II) (laporan Penelitian). DP4M-DJPT, Departemen. Pendidikan dan Kebudayaan. Lipsey, Richard G. et.al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid I. Edisi Kesepuluh. Binarupa Aksara. Jakarta. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Malian, A. H. dan A. Djauhari. 1986. Studi Kendala Produksi. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Newman, J. E. 1976. Weather, Technology and Corn Yield. Better Corps. Nicholson, W. 1999. Teori Ekonomi Mikro. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Nugraha, U et.al. 2002. Perkembangan Teknologi Budidaya dan Industri Benih. Badan Litbang Pertanian, 2003. Jakarta
135
Nursusanto, A. 2003. Analisis Peluang Ekspor-Impor Jagung Indonesia: Pendekatan Permintaan (skripsi). Jususan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Park, Kyung-Joo (editor). 2001. Corn Production In Asia. Food and Fertilizer Technology Center (FTTC) for the Asian and Pacific Region. Food Agriculture Organization (FAO). Taiwan. Perangin-Angin, S. 1999. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Jagung Kasus Desa Siderejo, Kecamatan Jabang, Kebupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung (skripsi). Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, IPB. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Pranoto, H. S. et.at. 1990. Biologi Benih. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sadjad, S. 1997. Membangun Industri Benih Dalam Era Agribisnis Indonesia. PT. Gramedia Widiasarana Indonsia. Jakarta. Soeharjo, A dan Patong. 1973. Sendi-sendi Pokok Usahatani. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi, et.al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Pertanian. UI-Press. Jakarta. Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian “Teori dan Aplikasi”. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Subandi. et.al. 1988. Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro (Edisi Revisi). LP3ES. Jakarta Sudaryanto, T. et.al. 1988. Kedudukan Komoditi Jagung dalam Perekonomian Indonesia. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sudaryanto, T. et.al. 1998. Penawar, Permintaan, dan Konsumsi jagung di Indonesia: Pengalaman Pelita VI dan Proyakei Pelita VII. Di dalam: Akselerasi Perkembangan Teknologi Hasil Penelitian Jagung Menunjang Intensifikasi. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung: Ujung Pandang, 11-12 November 1997. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia lain. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
136
Sudjana, A. et.al. 1991. Jagung. Bul. Teknik no.4. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Suryana, R. N. 1991. Analisis Respon Penawaran dan Keragaman Perekonomian Jagung di Jawa Timur (tesis). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
137
138
Lampiran 1. Ketersediaan Pangan Tahun 2000 – 2006
(000)
Tahun 2000 Komoditas
Tahun 2001
Perimbangan % thd Volume kebth
Ketersediaan (000 ton)
Kebutuhan (000 ton)
29,393 8,511 921 671 13,676 1,608 7,257 8,097
30,129 9,747 2,198 801 13,988 1,601 7,421 8,309
-736 -1,237 -1,277 -130 -312 7 -164 -211
9. Minyak Sawit (CPO)
6,069
4,251
10. Minyak goreng 11. Gula
2,245 1,674
I. Pangan Nabati 1. Padi 2. Jagung 3. Kedelai 4. Kc Tanah 5. Ubi Kayu 6. Ubi Jalar 7. Sayur 8. Buah-2 an
Tahun 2002 Perimbangan % thd Volume kebth
Ketersediaan (000 ton)
Kebutuhan (000 ton)
-2.44 -12.69 -58.09 -16.21 -2.23 0.46 -2.21 -2.54
28,579 8,223 748 648 14,496 1,539 6,643 9,586
28,438 9,168 1,883 764 14,149 1,531 6,827 9,812
141 -945 -1,135 -117 348 8 -184 -226
1,818
42.76
8,880
7,031
2,245 3,092
0 -1,418
0 -45.86
2,678 1,709
384
410
-27
-6.56
799 716 467 4,341
801 763 1,278 4,001
-1 -47 -810 340
-0.18 -6.21 -63.42 8.5
Perimbangan % thd Volume kebth
Ketersediaan (000 ton)
Kebutuhan (000 ton)
0.49 -10.31 -60.28 -15.24 2.46 0.53 -2.7 -2.3
29,161 8,501 615 642 14,376 1,559 6,859 11,226
29,718 9,639 1,980 761 14,219 1,546 7,047 11,468
-556 -1,138 -1,365 -119 157 13 -188 -242
-1.87 -11.8 -68.92 -15.62 1.1 0.85 -2.67 -2.11
1,849
26.3
9,781
6,981
2,799
40.1
2,678 2,737
0 -1,028
0 -37.57
2,347 1,738
2,347 2,710
0 -972
0 -35.86
380
396
-16
-4.1
370
382
-11
-2.98
895 773 453 4,550
895 923 1,303 4,226
0 -150 -850 325
-0.04 -16.27 -65.25 7.68
1,077 863 465 4,688
1,077 1,038 1,263 4,247
-1 -175 -797 442
-0.05 -16.84 -63.15 10.4
II. Pangan Hewani 12. Daging sapi&kerbau 13. Daging ayam 14. Telur 15. Susu 16. Ikan
Sumber: Departemen Pertanian. 2007 (www.deptan.co.id)
139
Lampiran 1. Lanjutan Tahun 2003 Komoditas I. Pangan Nabati 1. Padi 2. Jagung 3. Kedelai 4. Kc Tanah 5. Ubi Kayu 6. Ubi Jalar 7. Sayur 8. Buah-2 an 9. Minyak Sawit (CPO) 10. Minyak goreng
11. Gula II. Pangan Hewani 12. Daging sapi&kerbau 13. Daging ayam 14. Telur 15. Susu 16. Ikan
Ketersediaan (000 ton)
Kebutuhan (000 ton)
Tahun 2004 Perimbangan Volume
% thd kebth
Ketersediaan (000 ton)
Kebutuhan (000 ton)
29,528 9,591 615 705 15,745 1,753 8,232 13,043 10,428 2,640 1,616
30,199 10,903 1,807 816 16,336 1,581 8,439 13,224 7,535 2,640 3,000
-670 -1,312 -1,193 -112 -590 172 -207 -180 2,892 0 -1,384
-2.22 -12.03 -65.99 -13.68 -3.61 10.87 -2.45 -1.36 38.38 0 -46.13
30,633 9,893 663 746 16,511 1,674 8,697 13,810 11,951 2,351 2,032
29,698 10,949 1,778 828 15,365 1,617 9,017 14,139 8,134 2,351 2,583
408 1,111 884 522 5,029
418 1,111 1,053 1,212 4,279
-11 0 -168 -690 750
-2.52 -0.02 -15.99 -56.95 17.53
485 1,184 1,018 519 5,477
497 1,184 1,068 1,713 4,376
Perimbangan Volume
% thd kebth
935 -1,056 -1,114 -82 1,146 57 -320 -329 3,817 0 -551
3.15 -9.65 -62.69 -9.89 7.46 3.52 -3.55 -2.33 46.93 0 -21.33
-12 0 -49 -1,194 1,101
-2.37 -0.01 -4.63 -69.72 25.15
Sumber: Departemen Pertanian. 2007 (www.deptan.co.id)
140
Lampiran 1. Lanjutan Tahun 2005 Komoditas I. Pangan Nabati 1. Padi 2. Jagung 3. Kedelai 4. Kc Tanah 5. Ubi Kayu 6. Ubi Jalar 7. Sayur 8. Buah-2 an
9. Minyak Sawit (CPO) 10. Minyak goreng 11. Gula II. Pangan Hewani Hewani 12. Daging sapi&kerbau 13. Daging ayam 14. Telur 15. Susu 16. Ikan
Ketersediaan (000 ton)
Kebutuhan (000 ton)
Tahun 2006 Perimbangan Volume
% thd kebth
Ketersediaan (000 ton)
Kebutuhan (000 ton)
Perimbangan Volume
30.669 11.041 743 740 16.423 1.634 8.832 14.538 13.698 2.524 2.369
30.502 11.520 1.657 842 15.991 1.594 9.723 16.161 9.306 2.524 2.484
166 -479 -914 -102 432 40 -891 -1.624 4.392 0 -114
0,55 -4,16 -55,18 -12,1 2,7 2,52 -9,16 -10,05 47,19 0 -4,6
30.811 10.235 679 765 16.938 1.630 9.312 15.562 15.272 1.376 2.424
30.898 11.691 1.585 900 16.518 1.570 9.384 16.043 10.418 1.376 2.747
-87 -1.456 -906 -135 420 60 -72 -481 4.854 0 -323
502 1.237 1.056 322 6.135
531 1.276 1.083 2.041 4.478
-29 -39 -27 -1.718 1.657
-5,54 -3,04 -2,48 -84,2 37
426 1.325 1.038 545 6.569
427 1.182 1.094 1.870 4.573
-1 143 -56 -1.325 1.996
% thd kebth -
Sumber: Departemen Pertanian. 2007 (www.deptan.co.id) Keterangan : -) Data tidak tersedia
141
Lampiran 2. Pekembangan Produksi Jagung di Jawa Barat menurut Kabupaten Periode 1982-1990 No.
Kabupaten
1982
1983
1984
1985
1986
1987
(ton)
1988
1989
1990
1 2
Pandeglang Lebak
1.871 1.152
5.832 1.110
5.320 2.021
7.520 2.385
9.177 4.163
8.388 4.519
8.872 4.101
10.448 5.055
11.643 8.766
3 4
Bogor Sukabumi
2.536 5.307
3.489 11.129
3.370 15.999
5.321 11.227
5.759 18.909
6.366 14.347
7.607 21.633
6.138 19.460
7.050 19.707
5 6
Cianjur Bandung
3.357 13.993
6.618 18.606
13.851 23.927
10.080 20.965
15.810 38.525
9.154 23.925
14.092 30.164
15.137 37.097
13.152 39.793
7 8
Garut Tasikmalaya
14.855 3.499
25.161 12.632
50.523 13.016
30.117 6.502
46.318 10.405
23.858 3.700
44.528 17.801
50.617 16.231
58243 17.002
9 10
Ciamis Kuningan
5.616 3.047
16.677 6.649
20.556 8.131
11.158 6.559
19.278 9.672
9.742 6.658
23.924 11.241
16.363 13.545
22.228 11.215
11 12
Cirebon Majalengka
818 9.570
1.800 9.780
1.874 10.268
1.101 10.608
1.896 15.869
2.126 15.453
2.542 19.146
1.449 21.262
1.305 24.700
13 14
Sumedang Indramayu
6.543 1.166
10.851 2.427
15.351 1.272
6.841 976
15.394 1.750
15.993 1.017
21.636 3.850
29.402 1.141
31.488 953
15 16
Subang Purwakarta
2.459 1.022
5.024 1.051
5.430 1.789
5.651 1.361
6.107 3.095
5.140 3.488
12.795 2.192
5.575 3.758
5.130 5.698
17 18
Karawang Bekasi
414 227
59 758
322 1.226
163 769
297 829
303 289
681 571
1.758 676
697 802
19 20
Tanggerang Serang
742 3.607
2.705 4.306
3.017 3.570
3.908 4.260
2.720 6.336
2.343 7438
2.694 9.285
1.908 8.313
2.404 9.253
Jawa Barat 81.801 146.664 200.833 147.472 Sumber : Badan Pusat Statistik Referensi : Penelitian Agribisnis (Buku II: Jagung), PSE, Balittan Deptan. 1993.
232.309
164.247
259.355
265.333
291.229
142
Lampiran 3. Produksi Jagung Menurut Propinsi pada Periode 2001-2007 (Ton) Pertumbuhan
Tahun No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Riau Kepulauan DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Irian Jaya Barat Indonesia
2003
2004
2005
2006*)
2007 over 2006 (%)
2001
2002
2007**)
51.232
60.105
67.386
77.747
94.426
96.709
103.533
634.162 48.820 39.915 23.975 68.769 41.557 1.122.886 1.112 64 361.061 1.553.920 187.577 3.529.968 30.396 79.692
640.593 67.241 38.588 26.722 53.436 52.19 989.323 931 51 464.264 1.505.706 170.753 3.692.146 19.216 98.584
687.36 85.410 31.635 27.077 59.261 52.723 1.087.751 2.053 59 443.729 1.926.243 204.129 4.181.550 24.875 89.819
712.56 118.17 42.122 27.540 65.234 50.012 1.216.974 3.199 55 549.442 1.836.233 211.731 4.133.762 25.102 68.424
735.456 157.147 36.421 29.679 75.566 84.089 1.439.000 2.762 584 67 587.186 2.191.258 248.962 4.398.502 29.751 81.884
682.024 201.788 34.658 29.288 73.896 82.296 1.183.982 2.955 895 66 573.263 1.856.023 223.62 4.011.182 24.417 78.105
678.354 207.879 34.672 29.511 74.567 71.785 1.225.241 2.582 900 55 614.636 1.973.893 242.787 4.228.124 25.684 71.416
-0,54 3,02 0,04 0,76 0,91 -12,77 3,48 -12,62 0,56 -16,67 7,22 6,35 8,57 5,41 5,19 -8,56
50.777
57.785
64.228
71.276
96.458
103.963
81.372
-21,73
553.298
580.9
583.355
622.811
552.44
584.648
572.727
-2,04 23,13 7,69 13,15 -5,25 67,20 10,37 8,30 -26,19 30,67 -2,78 3,03 1,46 0,93 3,07
35.5 7.83 38.279 10.378 150.459 49.095 515.405 60.385 81.72 10.351 8.609 -
46.813 7.73 29.012 12.181 116.897 48.498 661.005 68.148 130.251 7.096 7.940 -
84.581 9.226 30.158 10.997 144.668 49.177 650.832 87.65 183.998 7.895 3.778 4.839 -
102.555 969 45.686 12.412 150.128 53.450 674.716 78.147 251.214 12.477 5.056 6.040 -
127.458 2.4 48.103 11.18 195.305 67.618 705.995 73.153 400.046 17.343 14.262 9.914 6.164 3.317
135.663 7.411 58.274 14.524 242.711 66.037 696.084 74.672 416.222 19.652 14.888 10.727 6.873 3.130
167.046 7.981 65.938 13.761 405.819 72.883 753.84 55.116 543.887 19.106 15.339 10.884 7.084 3.159
9.347.192
9.654.105
10.886.442
11.225.243
12.523.894
11.610.646
12.381.561
7,06
6,64
Sumber : Badan Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. www.deptan.go.id/ditjen tanaman pangan Keterangan : *) Angka Sementara : **) Angka Ramalan I : -) Data tidak tersedia
143
Lampiran 4. Luas Panen, Hasil per Hektar, dan Produksi Jagung di Jawa Barat Tahun pada Periode 2001-2007
Tahun
Luas Panen (ha)
Hasil per hektar (kw/ha)
Produksi (ton)
2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007** Rata-rata
117.672 126.146 105.167 119.872 117.413 115.797 120.673 117.534,29
30,68 36,80 42,19 45,84 50,01 49,51 50,93 43,71
361.061 464.264 443.729 549.442 587.186 573.263 614.636 513.368
Sumber : BPS dan Ditjen Tanaman Pangan. 2007 (www.deptan.go.id) Keterangan : *) Angka Sementara **) Angka Ramalan 1
Lampiran 5. Perkembangan Areal Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung Pertahun di Jawa Barat menurut Kabupaten Periode 1982-1990
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kabupaten Pandeglang Lebak Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Tanggerang Serang
Areal ha 266 325 145 499 248 932 1.078 426 209 329 -8 674 945 -56 67 177 55 -15 -72 258
% 8,42 18,04 5,65 7,99 6,57 7,36 7,2 8,96 4,43 9,11 -0,58 8,94 11,88 -7,78 1,55 12,95 18,98 -0,74 -2,89 8,16
Produksi Produktivitas ton % kg/ha % 1.015 16,99 137 8,55 810 24,53 112 6,44 592 12,65 125 7 1.617 12,95 93 4,96 1.072 13,14 116 5,56 2.902 11,41 78 3,97 3.861 11,79 90 4,59 1.193 11,79 58 2,94 1.180 9,36 92 4,92 995 13,35 83 4,24 54 4,14 72 4,21 1.960 12,91 79 3,97 2.953 18,02 120 6,13 -8 -1,36 104 6,42 443 8,12 109 6,57 496 20,07 125 7,13 118 23,97 80 4,49 4 3,66 72 4,41 34 4,86 127 7,75 820 13,68 104 5,52
Sumber : Badan Pusat Statistik Referensi : Penelitian Agribisnis (Buku II: Jagung), PSE, Balittan Deptan. 1993.
144
Lampiran 6. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Jagung Kabupaten Bandung Periode 1997-2006 Tahun
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Rata-rata (Kw/Ha)
1997
14.723
63.432
39,37
1998 1999
18.141 107.081
73.237 686.667
38,75 65,50
2000 2001
15.626 21.536
57.180 110.711
36,07 35,97
2002 2003
18.191 16.549
60.545 69.905
43,39 48,15
2004 2005
17.958
82.377
46,28
64.668
45,88
2006 13.677 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaeten Badung. 2007 Keterangan : -) Data Tidak Tersedia
Lampiran 7. Presentase Penggunan Varietas Jagung yang Tersebar di Jawa Barat Tahun 1990 Varietas No
Wilayah Pengembangan
1
I
2
II
3
III
4
IV
5
V
6
VI
7
VII
Kabupaten Banten, meliputi Serang, Pandeglang dan Lebak BOTABEK, meliputi: Bogor, Tanggerang dan Bekasi Sukabumi Bandung Raya, Meliputi: Bandung, Sumedang, Cianjur dan Garut Pratim, Meliputi Tasikmalaya dan Ciamis Cirebon, Meliputi: Cirebon, Kuningan, Majalengka dan Indramayu Purwakarta, Meliputi Purwakarta, subang dan Karawang
Bersari Bebas (%)
Hibrida (%)
86,96
3,04
60,54
28,89
83,91
16,09
75,56
24,44
96,53
3,47
58,88
41,13
81,08
8,95
Rata-rata 77,64 18,00 Sumber: Laporan Tahunan 1990, Buku II Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Referensi : Penelitian Agribisnis (Buku II: Jagung), PSE, Balittan Deptan. 1993.
145
Lampiran 8. Komposisi Penyebaran Varietas Benih Jagung di Kabupaten Bandung Periode 1997-2004 Tahun No 1
2 3 4 5
1997
1998
1999
2003
2004
Hibrida
Bersari Bebas
Hibrida
Bersari Bebas
Hibrida
Bersari Bebas
Hibrida
Bersari Bebas
Hibrida
Bersari Bebas
CP-1 CP-2
Arjuna
CP-1 CP-2
Arjuna
Bissi 2 Pioner 1
Bisma Arjuna
CPI-1 CPI-2
Arjuna Bisma
CPI-1 CPI-2
Arjuna Bisma
Pioneer Bissi 1
Harapan
Pioneer Bissi 1
Harapan
Pioner Bissi
Pioner Bissi
Bissi 2 Bissi 5 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. 2007 (Laporan tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung) Keterangan : data tahun 2000-2002 tidak tersedia
Bissi 2 Bissi 5
6
Lampiran 9. Perkembangan Luas Tanam, Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kec. Batujajar Priode 1997-2006 No
Uraian
1997 454
1998 799
1999 2.203
2000
2001
2002
2003
987
1.345
1.033
1.145
1
Luas Tanam (Ha)
2
Luas Panen (Ha)
157
616
2.126
810
1.220
492
3
Produksi (Ton)
646
2.542
14.542
2.937
4.456
3.035
4 Produktivitsa (Kw/Ha) 41,15 41,27 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. 2007 Keterangan : -) data tidak tersedia
68,40
36,26
36,52
61,69
41,75
2004
2005
2006
Jumlah 10.837
Rata-rata
-
1285
1.586
1.084,4
890
-
1.285
1.586
9.182
918,2
3.716
-
6.055
7.473
45.402
4.540
-
47,12
47,12
421
42,1
146
Lampiran 10. Perkembangan Produksi di 10 daerah penghasil jagung terbesar di Kabupaten Bandung Priode 1997-2006 Tahun Jumlah No Kecamatan Total 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1 Soreang 572 515 35.016 513 426 460 6.008 6.448 2.467 52.425 2 Cicalengka 10.360 3.844 16.387 4.196 45.338 9.578 3.091 3.311 3.172 99.277 3 Cililin 2.230 3.783 34.692 1.987 1.985 2.750 2.927 971 425 51.750 4 Batujajar 646 2.542 14.542 2.937 4.456 3.035 3.716 6.055 7.473 45.402 5 Gununghalu 2.717 4.683 52.936 2.930 5.117 314 1.645 2.142 407 72.891 6 Sindangkerta 358 1.963 39.180 1.503 477 544 824 526 1.229 46.604 7 Cipeudeuy 2.052 3.219 21.967 3.659 7.823 2.201 3.011 1.005 3.411 48.348 8 Cikalongwetan 1.433 3.997 24.678 2.795 3.100 3.203 2.819 2.292 182 44.499 9 Cipatat 2.846 2.109 26.734 3.121 1.421 2.875 6.972 2.886 3.552 52.516 10 Arjasari 5.242 5.619 24.424 3.098 9.465 8.932 3.861 8.642 4.190 73.473
Ratarata 5.242,5 9.927,7 5.175,0 4.540,2 7.289,1 4.660,4 4.834,8 4.449,9 5.251,6 7.347,3
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. 2007 Keterangan : -) data tidak tersedia
Lampiran 11. Proyeksi Konsumsi dan Permintaan Jagung, Tahun 1999-2003 Konsumsi per Konsumsi Total Rasio Industri/ Konsumsi Kapita Tahun (kg) (000) ton (%) 1999 30,85 6.400 0,95 2000 31,03 6.530 1,00 2001 31,18 6.651 1,05 2002 31,30 6.763 1,10 2003 31,40 6.863 1,15
Industri Pengolahan (000) ton 6.080 6.530 6.983 7.439 7.892
Total Permintaan (000) ton 12.480 13.060 13.634 14.202 14.755
Sumber: PSE, Balittan, Deptan. 1998
147
Lampiran 12. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Sektor Pertanian Kabupaten Bandung Tahun 2002-2006 No
Sektor / Sub Sektor
1
Pertanian
2
PDRB (Triliun) 2002
2003
2004
2005
2006
Tanaman Pangan
1,419
1,516
1,720
2,050
2,306
Perkebunan
0,326
0,339
0,375
0,450
0,514
Kehutanan
0,013
0,014
0,015
0,019
0,022
Peternakaan
0,291
0,305
0,347
0,418
0,477
Perikanan
0,061
0,066
0,076
0,087
0,098
2,130
2,383
2,707
3,025
3,417
PDRB Kabupaten
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, 2006
Lampiran 13. Luas Potensi Sumberdaya Alam di Desa Saguling Tahun 2006 Keterangan Luas (ha) persentase Sektor Pertanian Tanah Sawah 200 17,46% Sawah Tadah Hujan 200 17,46 % Tanah kering 765 66,78% Pekarangan, Bangunan, Halaman 15 1,31% Tegal/Ladang 700 61,11% Pemukiman 50 4,36% Sektor Perkebunan 8 0,70% Tanah Perkebunan Rakyat 8 0,70% Tanah Fasilitas Umum 7,5 0,65% Kas Desa 5 0,44% Lapangan 2 0,17% Perkantoran pemerintah 0,5 0,04% Sektor Kehutanan 165 14,40% Hutan Rakyat 65 6,55% Hutan Negara 100 7,86% Luas Desa Secara Keseluruhan 1145,5 100,00% Sumber: Profil Desa Saguling, 2006
148
Lampiran 14. Luas Areal dan Potensi Hasil Pertanian Berdasarkan Komoditi di Desa Saguling Tahun 2006 Luas Potensi Panen Keterangan (ha) (%) (ton/ha) Tanaman Pangan Padi Sawah 200 4 22,47% Padi Ladang 150 3 16,85% Jagung 100 2 11,24% Kacang Kedelai 5 1 0,56% Kacang Tanah 10 1 1,12% Kacang Panjang 5 1 0,56% Ubi Kayu 10 6 1,12% Ubi Jalar 3 1 0,34% Cabe 50 3 5,62% Tomat 1 1 0,11% Sawi 1 1 0,11% Mentimun 4 2 0,45% Buncis 2 1 0,22% Terong 1 1 0,11% Sub Total 542 60,90% Tanaman Hortikultura Alpukat 3 1 0,11% Salak 2 20 2,25% Pisang 5 325 36,52% Sub Total 346 38,88% Tanaman Obat-obatan Jahe 1 3 0,11% Laos/lengkuas 1 1 0,11% Sub Total 2 0,22% Total 965 100,00 Sumber : Profil Desa Saguling, 2006
Lampiran 15. Rata-rata Luas Lahan Pertanian yang dimiliki Rumah Tangga Petani (RTP) di Desa Saguling tahun 2006 RTP Keterangan Jumlah Persentase Memiliki Lahan Pertanian 1.118 59,85% Memiliki Kurang 0,5 ha 800 42,83% Memiliki 0,5-1,0 ha 218 11,67% Memiliki > 1,0 ha 100 5,35% Tidak Memiliki lahan Pertanian 750 40,15% Total 1.868 100,00% Sumber: Profil Desa Saguling, 2006
149
Lampiran 16. Luas Areal dan Potensi Hasil Perkebunan Berdasarkan Komoditi di Desa Saguling Tahun 2006 Luas Potensi Panen Keterangan (ha) (%) (ton/ha) Kelapa 2 25,00 4 Kopi 2 25,00 3 Aren 3 37,50 2 Kapuk 1 12,50 1 Sub Total 8 100,00 Sumber : Profil Desa Saguling, 2006
Lampiran 17. Luas Areal Kehutanan Berdasarkan Status Kepemilikan di Desa Saguling Tahun 2006 Luas Keterangan (ha) (%) Milik Adat (Masyarakat Adat) 39,39 65 Milik Negara 60,61 100 Lahan Guntai 10 6,06 Perhutani 90 54,55 Sub Total 165 100,00 Sumber : Profil Desa Saguling, 2006
Lampiran 18. Karakteristik Penduduk di Desa Saguling Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Hasil Sensus Penduduk Tahun 2006 Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
(Org)
(Org)
(Org)
laki-laki
Perempuan
Total
1 - 12 bulan
90
68
158
2,51
2,01
2,27
> 1 - < 5 tahun
259
238
497
7,24
7,03
7,14
≥ 5 - < 7 tahun
321
330
651
8,97
9,75
9,35
Golongan Umur
Presentase (%)
≥ 7 - ≤ 12 tahun
499
443
942
13,94
13,09
13,53
≥ 13 - ≤ 15 tahun
260
195
455
7,26
5,76
6,53
≥ 16 - ≤ 18 tahun
226
203
429
6,31
6,00
6,16
≥ 19 - ≤ 21 tahun
229
183
412
6,40
5,41
5,92
≥ 21 - ≤ 30 tahun
486
596
1,082
13,58
17,61
15,54
≥ 31 - ≤ 40 tahun
505
406
911
14,11
12,00
13,08
≥ 41 - ≤ 50 tahun
330
413
743
9,22
12,20
10,67
≥ 51 - ≤ 56 tahun
110
104
214
3,07
3,07
3,07
≥ 57 - ≤ 65 tahun
126
121
247
3,52
3,58
3,55
≥ 66 - ≤ 80 tahun
121
77
198
3,38
2,28
2,84
81 tahun ke atas
17
7
24
0,47
0,21
0,34
Total
3,579
3,384
6,963
100
100
100
Sumber: Profil Desa Saguling, 2006
150
Lampiran 19. Tingkat Pendidikan di Desa Saguling Tahun 2006 Jumlah Penduduk Uraian
No
L
P
Total
Presentase (%) L
P
Total
1
Belum Sekolah
200
225
425
5,59
6,65
6,10
2
Buta Huruf
45
40
85
1,26
1,18
1,22
3
Usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah
10
15
25
0,28
0,44
0,36
4
Pernah sekolah SD/Sederajat tidak tamat
40
35
75
1,12
1,03
1,08
5
Tamat SD/sederajat
705
842
1.547
19,70
24,88
22,22
6
Tamat SLTP/Sederajat
275
196
471
7,68
5,79
6,76
7
Tamat SLTA/Sederajat
250
223
473
6,99
6,59
6,79
8
Tamat D1/Sederajat
15
35
50
0,42
1,03
0,72
9
Tamat D2/Sederajat
30
20
50
0,84
0,59
0,72
10
Tamat D3/Sederajat
20
15
35
0,56
0,44
0,50
11
Tamat S1
15
5
20
0,42
0,15
0,29
12
Tamat S1
1
-
1
0,03
-
0,01
13
Tamat S1
-
-
-
-
-
-
14
Tamat SD/sederajat yang lanjut Ke SLTP
178
59
237
4,97
1,74
3,40
15
Tamat SD/sederajat yang Bekerja
100
50
150
2,79
1,48
2,15
16
Tamat SLTP/sederajat yang lanjut Ke SLTA
60
37
97
1,68
1,09
1,39
17
75
30
105
2,10
0,89
1,51
70
24
94
1,96
0,71
1,35
19
Tamat SLTP/sederajat yang Bekerja Tamat SLTA/sederajat yang lanjut Ke Perguruan Tinggi Tamat SLTA/sederajat yang Bekerja
105
170
275
2,93
5,02
3,95
20
Penduduk Usai 7 - 12 tahun masih Sekolah
473
434
907
13,22
12,83
13,03
21
Penduduk Usai 7 - 12 tahun Putus Sekolah
26
9
35
0,73
0,27
0,50
22
Penduduk Usai 13 - 15 tahun masih Sekolah
187
159
346
5,22
4,70
4,97
23
Penduduk Usai 13 - 15 tahun Putus Sekolah
73
36
109
2,04
1,06
1,57
24
Penduduk Usai 16 - 18 tahun masih Sekolah
45
35
80
1,26
1,03
1,15
25
Penduduk Usai 16 - 18 tahun Putus Sekolah
581
690
1.271
16,23
20,39
18,25
3.579
3.384
6.963
100
100
100
18
Jumlah
Sumber : Profil Desa Saguling, 2006
Lampiran 20. Lembaga-Lembaga Pendidikan di Desa Saguling Tahun 2006 Uraian Jumlah Unit TK 1 SD Negeri 3 SD/Sederajat Swasta 3 SLTP Negeri SLTP/Sederajat Swasta 2 SLTA Negeri SLTA/Sederajat Swasta 1 Perpustakaan 1 Lembaga Pendidikan Keagamaan 24 Sumber : Profil Desa Saguling, 2006
151
Lampiran 21. Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Saguling Tahun 2006 Mata Pencaharian Jumlah (Org) Persentase (%) Petani 618 24,12 Buruh Tani 1.118 43,64 Kehutanan 5 0,20 Buruh/Swasta 400 15,61 Pegawai Negeri Sipil 65 2,54 Pengerajin 50 1,95 Pedagang 250 9,76 Peternak 5 0,20 Montir 10 0,39 Industri Rumah Tangga 10 0,39 TNI/POLRI 10 0,39 Jasa 16 0,62 Perikanan 5 0,20 Total 2.562 100,00 Sumber : Profil Desa Saguling, 2006
152
Lampiran 22. Karakteristik Usahatani Jagung Hibrida Dibandingkan Rekomendasi Teknologi Produksi Jagung Hibrida (Varietas Contoh: Bima-3) oleh Balai Penelitian Tanaman Seralia (Balitsereal) Uraian Lahan Rata-rata hasil Input Produksi
a. Benih b. Pupuk i. Urea ii. TSP iii. KCL iv. NPK c. Obat-obatan i. Furadan
ii. Decis Tenaga Kerja a. Pengolahan lahan b. Penanaman/penyulaman c. Penyiangan d. Pemupukan e. Pengendalian HPT f. Panen g. Pengangkutan h. Penjemuran i. Prosesing Jumlah / Rata-Rata Tenaga Kerja Teknik Budidaya a. Jarak Tanam b. Jumlah Benih per lubang c. Penyulaman dan penjarangan
Rekomdasi Pemilik min 1 ha 6-10 ton/ha
Petani Responden Kombinasi Pemilik dengan Penyewa (rata-rata 0.45 ha) 4.035,58 (4 ton) per ha
Var Unggul berlabel (20 kg/ha)
Berlabel (22,2 kg/ha)
300-350 kg/ha 100-150 kg/ha 50-100 kg/ha -
326,50 kg/ha 170,57 kg/ha 108,81 kg/ha 90,99 kg/ha
8 Kg
7,22 kg 5,07 kaleng (50 cc) atau 253,41 cc
150 cc 9 hkp dan 18 hkw 10 hkw 20 hkw 8 hkw 4 hkp 25 hkp 12 hkp 12 hkp 12 hkp 130 HOK
10 hkp 5 hkp dan 2,06 hkw 8 hkp 7,5 hkp 2 hkp 9 hkp dan 3 hkw Perhitungan berdasarkan karung 6,53 hkp 8 hkp dan 4 hkw (pemipilan) 142,93 HOK
75 x 40 60 x 35 2 biji per lubang 2-3 biji perlubang 6-8 minggu setelah Tidak dilakukan tanam d. Pemupukan 3 kali. Pupuk Dasar 1/3 pupuk Urea dan 1/2 KCl dan TSP, Pupuk Susulan 2 kali I 2/3 Urea dan 1/2 KCl dan TSP. Pupuk susulan II Sisa Urea. e. Penyiangan (ngoret) 2 kali 2 kali f. Pengendalian HPT Pada umur 40-45 Dilakukan bila ada hama (Semprot Insektida) (tidak ditentukan aktunya) g. Pemanenan 90-100 hari setelah Rata-rata dipanen kering (100tanam 115 hari setelah tanam) Sumber: Balitseral, 2008 (http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/bantimurung.htm) dengan Pengamatan dan wawancara (Sumber: Data Primer) penelitian, 2007 Keterangan: * Rekomendasi dengan jagung hibrida Varietas Bima-3, petani menggunakan (Pioneer dan Bissi). ** Data Petani Responden Sudah di Konversi dalam 1 hektar luas Lahan
153
Lampiran 23. Karakteristik Usahatani Petani Responden Jagung Bersari Bebas Dibandingkan Rekomendasi Teknologi Produksi Jagung Bersari Bebas oleh oleh Balai Penelitian Tanaman Seralia (Balitsereal) Uraian
Rekomdasi
Pemilik min 1 ha
1. Lahan 2. Rata-rata Panen 3. Produksi a. Benih b. Pupuk i. Urea ii. TSP iii. KCL iv. Kandang v. NPK (15-15-15) c. Obat-obatan i. Furadan ii. Decis Tenaga Kerja a. Pengolahan lahan b. Penanaman/penyulaman c. Penyiangan d. Pemupukan e. Pengendalian HPT f. Panen g. Pengangkutan h. Penjemuran i. Prosesing Jumlah/Rata-rata Tenaga Kerja 5. Teknik Budidaya a. Jarak Tanam b. Jumlah Benih per lubang c. Penyulaman dan penjarangan
Petani Responden
5-7 ton/ha
Kombinasi Pemilik dengan Penyewa (rata-rata 0,43ha) 3.151,53 kg (3,2 ton) per ha
Berlabel (25-30 kg/ha)*
Berlabel** dan tidak (kg/ha)
200-250 kg/ha 50-75 kg/ha 50-75 kg/ha 1,5 ton/ha atau 30 karung/ha 200 kg/ha 8 kg 150 cc
240,80 kg/ha 168,71 kg/ha 126,53 kg/ha 94,33 karung/ha 79,56 kg/ha
9 hkp dan 18 hkw 10 hkw 20 hkw 8 hkw 4 hkp 25 hkp 12 hkp 12 hkp 12 hkp 130 HOK
23,01 hkp 13,8 hkp dan 9,2 hkw 17,14 hkw 13,8 hkp 4 hkp 23,01 hkp dan 9,2 hkw Dihitung dengan karung 13,08 hkp 18,40 hkp dan 9,2 hkw 146,20 HOK
75 x 40 2 biji per lubang 6-8 minggu setelah tanam 3 kali. Pupuk Dasar 1/3 pupuk Urea dan 1/2 KCl dan TSP, Pupuk Susulan I 2/3 Urea dan 1/2 KCl dan TSP. Pupuk susulan II Sisa Urea. 2 kali Pada umur 40-45 (Semprot Insektida)
60 x 35 2-3 biji perlubang Tidak dilakukan
8,67 kg 8,67 kaleng (50 cc) atau 273,20 cc
4.
d. Pemupukan
e. Penyiangan (ngoret) f. Pengendalian HPT
g. Pemanenan
2 kali
2 kali Dilakukan bila ada hama (tidak ditentukan waktunya)
Rata-rata dipanen kering (95-110 hari setelah tanam) Sumber: Balitseral, 2008 http://balitsereal.litbang.deptan.go.id) dan Data Primer
Keterangan :
90-98 hari setelah tanam
* Benih unggul Bisma ** Hanya satu responden yang menggunakan benih unggul
154
Lampiran 24. Perbandingan Rata-Rata Penggunaan tenaga kerja petani Jagung Hibrida dengan Rekomendasi Teknologi Produksi Jagung oleh Balai Penelitian Tanaman Seralia (Balitsereal) Rekomendasi
Total Responden
Penyewa
Pemilik
Keterangan HKP
HKW
HKP
HKW
HKP
HKW
HKP
HKW
9,00
18,00
21,96
-
21,28
-
22,22
-
Penanaman/penyulaman
-
10,00
8,92
5,60
10,64
6,49
11,11
6,78
Penyiangan
-
20,00
-
17,90
-
17,06
-
17,33
Pengolahan lahan
Pemupukan
-
8,00
17,59
-
17,02
-
18,00
-
Pengendalian HPT
4,00
-
4,39
-
5,32
-
4,44
-
Panen
25,00
-
17,57
7,69
17,02
8,51
17,78
9,00
Pengangkutan
12,00
-
-
-
-
-
-
-
Penjemuran
12,00
-
18,12
-
19,15
-
15,56
-
Prosesing
12,00
-
19,77
12,08
21,28
12,77
17,78
8,89
Total (HOK)
74,00
45,00
108,30
34,62
111,70
35,86
106,89
33,60
Lampiran 25. Perbandingan Rata-Rata Penggunaan tenaga kerja petani Jagung Bersari Bebas dengan Rekomendasi Teknologi Produksi Jagung oleh Balai Penelitian Tanaman Seralia (Balitsereal) Rekomendasi
Total Responden
Penyewa
Pemilik
Keterangan HKP
HKW
HKP
9,00
18,00
23,01
Penanaman/penyulaman
-
10,00
13,80
9,20
Penyiangan
-
20,00
-
17,14
Pengolahan lahan
Pemupukan
HKW
HKP
HKW
HKP
HKW
22,86
-
20,96
-
17,14
8,00
10,48
6,29
-
22,86
-
17,19
-
8,00
13,80
-
14,29
-
17,51
-
Pengendalian HPT
4,00
-
4,60
-
5,71
-
4,40
-
Panen
25,00
-
23,01
9,20
22,86
7,14
16,77
8,39
Pengangkutan
12,00
-
-
-
-
-
-
-
Penjemuran
12,00
-
13,80
-
17,14
-
18,87
-
Prosesing
12,00
-
18,40
9,20
14,29
8,57
20,96
12,58
Total (HOK)
74,00
45,00
110,43
35,80
114,29
33,83
109,96
35,56
155
Lampiran 26. Biaya Tunai dan Biaya Diperhitungkan Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas per Ha dengan Batasan Status Pemilik lahan Garapan di Desa Saguling Komponen Biaya Usahatani
Hibrida
Bersari Bebas Jumlah Satuan (Rp)
Jumlah (Rp)
Satuan
649.553,57
Rp/kg
202.655,49
Rp/kg
518.973,21
Rp/kg
377.358,49
Rp/kg
A. Biaya Tunai a. Pembelian Benih b. Pupuk Kimia Urea KCl
153.459,82
Rp/kg
204.402,52
Rp/kg
TSP
404.575,89
Rp/kg
432.389,94
Rp/kg
NPK
217.013,89
Rp/kg
181.308,96
Rp/kg
Rp/karung
306.210,69
Rp/karung
Rp/kg Rp/kaleng (50cc)
69.182,39
Rp/kg Rp/kaleng (50cc)
c. Pupuk Kandang d. Pestisida Furadan
51.587,30
Decis
70.684,52
75.471,70
e. Biaya Biaya Pengangkutan
157.669,64
Rp/karung
122.079,66
Rp/karung
Pajak Musim Tanam
13.754,89
Rp/ha
15.558,65
Rp/ha
1.268.973,21
Rp/HOK
1.349.056,60
Rp/HOK
317.142,86
Rp/HOK
404.528,30
Rp/HOK
Rp/ha
3.740.203,40
Rp/ha
Rp/kg
49.415,99
Rp/kg
f. TKLK HKP HKW Total Biaya Tunai
3.823.388,82
B. Biaya Diperhitungkan a. Benih (dari Panen ) b. TKDK HKP
375.000,00
Rp/HOK
192.610,06
Rp/HOK
HKW
107.142,86
Rp/HOK
108.176,10
Rp/HOK
Total Biaya Diperhitungkan
482.142,86
Rp/ha
350.202,16
Rp/ha
4.305.531,68
Rp/ha
4.090.405,55
Rp/ha
Total Biaya
156
Lampiran 27. Biaya Tunai dan Diperhitungkan Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas per Ha dengan Status Penyewa Lahan Garapan Di Desa Saguling Komponen Biaya Usahatani
Hibrida
Bersari Bebas
Jumlah (Rp)
Satuan
702.127,66
Rp/kg
Jumlah (Rp)
Satuan
A. Biaya Tunai a. Pembelian Benih
69.047,62
Rp/kg
b. Pupuk Kimia Urea
434.042,55
Rp/kg
317.142,86
Rp/kg
KCl
172.340,43
Rp/kg
150.000,00
Rp/kg
TSP
468.085,11
Rp/kg
392.857,14
Rp/kg
NPK
244.680,85
c. Pupuk Kandang
Rp/kg
258.928,57
Rp/kg
Rp/karung
571.428,57
Rp/karung
Rp/kg Rp/kaleng (50cc)
73.142,86
Rp/kg Rp/kaleng (50cc)
d. Pestisida Furadan
68.085,11
Decis
87.765,96
100.000,00
e. Biaya Biaya Pengangkutan
168.578,72
Rp/karung
136.914,29
Rp/karung
Pajak Musim Tanam
14.537,95
Rp/ha
10.494,12
Rp/ha
Sewa Lahan Garapan
109.034,60
78.705,88
f. TKLK HKP HKW Total Biaya Tunai
1.180.851,06
Rp/HOK
343.148,94
Rp/HOK
3.993.278,92
1.191.428,57
Rp/HOK
405.942,86
Rp/HOK
Rp/ha
3.756.033,33
Rp/kg
23.809,52
Rp/ha
B. Biaya Diperhitungkan a. Benih (dari Panen ) b. TKDK
Rp/HOK
HKP
465.957,45
HKW Total Biaya Diperhitungkan Total Biaya
137.872,34
Rp/HOK
Rp/kg Rp/HOK
342.857,14
Rp/HOK
144.000,00
603.829,79
Rp/ha
510.666,67
Rp/ha
4.597.108,71
Rp/ha
4.266.700,00
Rp/ha
157
Lampiran 28. Analisis Pendapatan Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas per Ha di Desa Saguling dengan Batasan Status Pemilik Lahan Garapan Musim Tanam Tahun 2007-2008 Komponen
Bersari bebas
Hibrida
Jumlah (Rp)
Satuan
Jumlah (Rp)
Satuan
4.740.452,83
Rp/kg
6.369.056,92
Rp/kg
419.287,21
Rp/kg
446.428,57
Rp/kg
5.159.740,04
Rp/Ha
6.815.485,49
Rp/ha
202.655,49
Rp/kg
649.553,57
Rp/kg
1.501.670,60
Rp/kg
1.294.022,82
Rp/kg
144.654,09
Rp/kg
122.271,83
Rp/kg
1. Penerimaan a. Penerimaan Tunai b. Penerimaan Non Tunai Total Penerimaan 2. Pengeluaran A. Biaya Tunai a. Pembelian Benih b. Pupuk c. Pestisida d. Biaya Usahatani Lain Biaya Pengangkutan Pajak Musim Tanam e. TK Luar Keluarga
122.079,66 15.558,65 1.753.584,91
Rp/Karung Rp/Ha Rp/HOK
157.669,64 13.754,89 1.586.116,07
Rp/Karung Rp/Ha Rp/HOK
Total Biaya Tunai
3.740.203,40
Rp/Ha
3.823.388,82
Rp/Ha
B. Biaya Diperhitungkan a. Panen yang dijadikan Benih
49.415,99
-
b. TK Dalam Keluarga
300.786,16
Rp/Ha
482.142,86
Rp/Ha
Total Biaya Diperhitungkan
350.202,16
Rp/HOK
482.142,86
Rp/HOK
Total Biaya
4.090.405,55
Rp/Ha
4.305.531,68
Rp/Ha
3. Pendapatan a. Pendapatan atas Biaya Tunai
1.419.536,65
2.992.096,67
b. Pendapatan atas Biaya Total
1.069.334,49
2.509.953,81
c. pendapatan tunai
1.000.249,43
2.545.668,10
R/C atas Biaya Tunai
1,38
1,78
R/C atas Biaya Total
1,26
1,58
158
Lampiran 29. Analisis Pendapatan Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas per Ha di Desa Saguling Menurut Batasan Petani Penyewa Lahan Garapan Musim Tanam Tahun 2007-2008 Komponen
Bersari Bebas Jumlah Satuan (Rp)
Hibrida Jumlah (Rp)
Satuan
1. Penerimaan a. Penerimaan Tunai
5.531.142,86
Rp/kg
6.792.970,21
Rp/kg
85.714,29
Rp/kg
212.765,96
Rp/kg
5.616.857,14
Rp/Ha
7.005.736,17
Rp/Ha
69.047,62
Rp/kg
702.127,66
Rp/kg
1.690.357,14
Rp/kg
1.319.148,94
Rp/kg
173.142,86
Rp/kg
223.936,17
Rp/kg
Biaya Pengangkutan
136.914,29
Rp/Karung
168.578,72
Rp/Karung
Pajak Musim Tanam
10.494,12
Rp/Ha
14.537,95
Rp/Ha
Sewa Lahan Garapan
78.705,88
Rp/HOK
109.034,60
Rp/HOK
b. Penerimaan Non Tunai Total Penerimaan 2. Pengeluaran A. Biaya Tunai a. Pembelian Benih b. Pupuk c. Pestisida d. Biaya
f. TK Luar Keluarga
1.597.371,43
Total Biaya Tunai
3.756.033,33
Rp/Ha
1.524.000,00
Rp/Ha
4.061.364,03
B. Biaya Diperhitungkan a. Panen yang dijadikan Benih
23.809,52
Rp/Ha
b. TK Dalam Keluarga
486.857,14
Rp/HOK
603.829,79
Rp/HOK
Total Biaya Diperhitungkan
510.666,67
Rp/Ha
603.829,79
Rp/Ha
4.665.193,82
Satuan
Total Biaya
4.266.700,00
Rp
-
Rp/Ha
3. Pendapatan a. Pendapatan atas Biaya Tunai
1.860.823,81
2.944.372,14
b. Pendapatan atas Biaya Total
1.350.157,14
2.340.542,35
c. pendapatan tunai
1.775.109,52
2.731.606,18
R/C atas Biaya Tunai
1,50
1,72
R/C atas Biaya Total
1,32
1,50
159
Lampiran 30. Analisis Perbandingan Pendapatan dan R/C Usahatani Jagung Hibrida dan Bersari Bebas per Ha di Desa Saguling Menurut Batasan Status Kepemilikan Lahan Garapan Musim Tanam Tahun 2007-2008 Bersari Bebas Uraian
Jumlah (Rp)
Satuan
Hibrida Jumlah (Rp)
Satuan
Pemilik lahan Garapan a. Pendapatan atas Biaya Tunai
1.419.536,65
2.992.096,67
b. Pendapatan atas Biaya Total
1.069.334,49
2.509.953,81
c. pendapatan tunai
1.000.249,43
2.545.668,10
R/C atas Biaya Tunai
1,38
1,78
R/C atas Biaya Total
1,26
1,58
Penyewa lahan Garapan a. Pendapatan atas Biaya Tunai
1.860.823,81
2.944.372,14
b. Pendapatan atas Biaya Total
1.350.157,14
2.340.542,35
c. pendapatan tunai
1.775.109,52
2.731.606,18
R/C atas Biaya Tunai
1,50
1,72
R/C atas Biaya Total
1,32
1,50
160