ANALISIS PELAKSANAAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU KECAMATAN BANTAENG KABUPATEN BANTAENG An Analysis on the implementation of the use of green open space in Bantaeng District of Bantaeng Regency Rahmania A., Didi Rukhmana dan A. Rahman Mappangaja ABSTRACT The research aims to find out (1) whether the area and development plan of Green Open Space are in accordance with the regulation, (2) why the development of Green Open Space is less successful, and (3) alternative policy used to improve the development of Green Open Space. The research was conducted in six villages in Bantaeng Regency. The methods of obtaining the data are observation, documentation, and unstructured interview. The data were analyzed by using descriptive analysis. The results reveal that (1) the implementation of the use of Green Open Space in Bantaeng District based on the results of analysis done is not in accordance with the standart issued by Home Ministry Regulation Number 1 Year 2007 on the Management of Green Open Space and its management is still need improving in the aspects of handling growing media, plant types, and plant protector; there are still lots of open space that are not made green (84,6%), so it is still felt hot in the six villages under research; (2) the failure of the management of Green Open Spacein the six villages in Bantaeng District is caused by the system which does not include the active role of comunity; (3) the alternative of policy needed to do in improving the managemant of Green Open Space, participation concept, and institution policy concept ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahuai apakah luas dan rencana pengembangan Ruang Terbuka Hijau sesuai aturan, mengetahui penyebab pengelolaan Ruang Terbuka Hijau kurang berhasil, dan mengetahui alternatif kebijakan yang digunakan dalam meningkatkan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Penelitian ini dilaksanakan di 6 (enam) kelurahan di kecamatan Bantaeng. Jenis penelitian adalah deskriptif, data dikumpulkan melalui observasi, dokumentasi dan wawancara tidak terstruktur. Data dianalisis dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, pelaksanaan pemanfaatan Ruang terbuka Hijau (RTH) Kecamatan Bantaeng berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan belum sesuai dengan standar Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau masih perlu ditingkatkan pengelolaannya baik dari segi penanganan media tumbuh, jenis tanaman, pengaman tanaman. Masih banyaknya ruang terbuka hijau yang belum dihijaukan (84,6%) sehingga suasana panas masih terasa di 6 (enam) kelurahan contoh. Kedua, kegagalan/kurang berhasilnya pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Bantaeng khususnya di 6 (enam) kelurahan contoh disebabkan oleh sistem yang tidak melibatkan peran aktif masyarakat. Ketiga, alternatif kebijakan yang perlu dilakukan dalam meningkatkan pengelolaan RTH adalah melaui konsep identifikasi persoalan RTH, konsep partisipasi dan konsep kebijakan institusi.
1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri dan transportasi serta pemukiman. Selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut untuk berbagai bentukan Ruang Terbuka lainnya, kedua hal ini umumnya merugikan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis. Di lain pihak, kemajuan alat dan pertumbuhan jalur transportasi dan sistem utilitas sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan warga kota, juga telah menambah jumlah bahan-bahan pencemar dan telah menimbulkan berbagai ketidaknyamanan di lingkungan perkotaan, untuk mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan Ruang Terbuka Hijau sebagai suatu teknik yang relatif lebih murah, aman, sehat dan menyamankan. Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang kawasan perkotaan yang memilki manfaat kehidupan yang sangat tinggi, tidak saja dapat menjaga dan mempertahankan kualitas lingkungan tapi juga dapat menjadi nilai kebanggan identitas kota. Pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau perkotaan ditunjukkan oleh adanya kesepakatan dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio De Jeneirio, Brasil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan (2002) yang menyatakan bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30% dari total luas kota, di samping itu, sejumlah peraturan perundangan yang bersifat nasional maupun lokal mengatur hal-hal yang terkait dengan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sehingga biasa menjadi dasar pijakan pemerintah kota dalam mengembangkan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Peraturan perundangan tersebut mulai dari Undang-Undang yang bersifat payung seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) hingga peraturan pelaksanaannya berupa Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri, antara lain instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH), Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, Kepmen LH No. 197 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang LH di Daerah Kabupaten dan Kota serta beberapa Peraturan Perundangan lainnya yang keseluruhannya memuat fungsi, kriteria, jenis, pengelolaan, standar luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan berbagai hal yang terkait dengan Ruang Terbuka Hijau perkotaan. Peraturan Perundangan yang ada tersebut dikeluarkan oleh berbagai sektor antara lain : Sektor Tata Ruang, Pekerjaan Umum, Kehutanan, Pemukiman dan Lingkungan Hidup. Hal ini memberikan gambaran betapa RTH sesungguhnya berkaitan erat dengan berbagai aspek pembangunan yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat kota sehingga sangat beralasan jika pengelolaannya diatur dalam berbagai peraturan perundangan. B. Rumusan Masalah 1. Apakah luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan rencana pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sudah sesuai dengan aturan yang ada. 2
2. 3.
Apakah yang menyebabkan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kurang berhasil. Alternatif Kebijakan apa yang digunakan dalam meningkatkan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui luas dan rencana pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang sesuai dengan aturan. 2. Mengetahui penyebab pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kurang berhasil. 3. Mengetahui alternatif kebijakan yang digunakan dalam meningkatkan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). D. Kegunaan Penelitian 1.
2.
3.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan keilmuan khususnya dalam kajian pelaksanaan/pengelolaan Ruang Terbuka Hijau. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Bantaeng khususnya kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah dalam hal perbaikan kualitas lingkungan khususnya dlam mengefektifkan pelaksanaan/pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kabupaten bantaeng. Memberikan masukan pada berbagai pihak akan pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Hijau sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari penataan Ruang Kota
TINJAUAN PUSTAKA A. Fungsi dan Manfaat serta Elemen Pengisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Ruang Terbuka Hijau, baik Ruang Terbuka Hijau Publik maupun Ruang Terbuka Hijau Privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota. Ruang Terbuka Hijau berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk Ruang Terbuka Hijau yang berlokasi, berukuran, dan berbentuk pasti dalam suatu wilayah kota, seperti Ruang Terbuka Hijau untuk per-lindungan sumberdaya penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat kehidupan liar. Ruang Terbuka Hijau untuk fungsi-fungsi lainnya (sosial, ekonomi, arsitektural) merupakan Ruang Terbuka Hijau pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berlokasi dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota. Dalam Permendagri No. 1 tahun 2007 disebutkan fungsi dan manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota yaitu: 3
Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) kawasan perkotaan adalah: 1) Pengaman keberadaan kawasan lindung perkotaan; 2) Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air, dan udara; 3) Tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati; 4) Pengendali tata air; dan 5) Sarana estetika kota Sementara manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) kawasan perkotaan adalah: 1) Sarana untuk mencerminkan identitas daerah; 2) Sarana penelitian; 3) Sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial; 4) Mengingkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan; 5) Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestasi daerah (Permendagri No. 1 Tahun 2007). B. Perencanaan Ruang Terbuka Hijau Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng Dalam rencana pembangunan dan pengembangan Ruang Terbuka Hijau yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu : a. Luas Ruang Terbuka Hijau minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan ditentukan secara komposit oleh empat komponen berikut ini, yaitu: 1) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah 2) Kebutuhan perkapita (kenyamanan, kesehatan, dan bentuk pela-yanan lainnya) 3) Arah dan tujuan pembangunan kota Ruang Terbuka Hijau berluas minimum merupakan Ruang Terbuka Hijau berfungsi ekologis yang ber-lokasi, berukuran, dan berbentuk pasti, yang melingkup Ruang Terbuka Hijau publik dan Ruang Terbuka Hijau privat. Dalam suatu wilayah perkotaan maka Ruang Terbuka Hijau publik harus berukuran sama atau lebih luas dari Ruang Terbuka Hijau luas minimal, dan Ruang Terbuka Hijau privat merupakan Ruang Terbuka Hijau pendukung dan penambah nilai rasio terutama dalam meningkatkan nilai dan kualitas lingkungan dan kultural kota.
4
Kebutuhan fasilitas taman yang direncanakan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 :
Rencana Fasilitas Taman di 6 (enam) Kelurahan di Kecamatan Bantaeng Jumlah Jumlah Lapangan Taman Luas Taman Luas No. Kelurahan Olahraga RT/RW (Ha) Kelurahan (Ha) (unit) (unit) 1. Tappanjeng 0 18 0.45 2 0.25 2. Pallantikang 0 29 0.725 3 0.375 3. Letta 0 9 0.225 1 0.125 4. Mallilingi 0 17 0.425 2 0.25 5. Lembang 0 19 0.475 2 0.25 6. Lamalaka 0 19 0.475 2 0.25 Jumlah 0 111 2.775 12 1.5 Sumber : Data Sekunder
METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 s/d Januari 2011 yang berlokasi di Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng. B. Sasaran Penelitian Sasaran penelitian adalah Kecamatan Bantaeng yang tersebar di enam (6) kelurahan yaitu, kelurahan letta, lamalak, pallantikang, tappanjeng, lembang dan kelurahan mallilingi. C. Jenis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian ini, yaitu mengetahui, luas, rencana dan perkembangan dan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta kebijakan yang digunakan dalam meningkatkan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng, maka data yang diperlukan bersifat deskriptif, yaitu dalam bentuk kata-kata, uraianuraian dan juga dapat berupa angka-angka disertai penjelasan. Bogdan dan Tailor (dalam Moleong, 2002) menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Maka jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, Moleong (2000) mengemukakan bahwa kualitatif menyajikan secara langsung hakikat antara peneliti dan responden. Karena itu, penelitian ini tidak berangkat dari satu kesimpulan sementara untuk diuji keberlakuannya di lapangan, melainkan peneliti mengamati di lapangan dan menyimpulkan data selengkap mungkin sesuai dengan fokus penelitian sehingga data yang diperoleh merupakan data 5
deskriptif tentang apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan orang berkaitan langsung dengan ruang dan waktu, serta makna yang diangkat dan bukan karena suatu rekayasa teoritis. D. Tehnik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data maka tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1. Observasi/pengamatan Observasi atau pengamatan merupakan tehnik pengumpulan data dengan mengamati secara langsung sasaran atau obyek penelitian dan merekam peristiwa dan perilaku secara wajar dan rinci, adapun obyek yang diamati adalah masyarakat yang menjadi responden dan masyarakat di sekitar wilayah penelitian secara umum. 2. Wawancara Wawancara tidak terstruktur kepada responden dan informan kunci dengan maksud untuk melengkapi dan memperdalam hasil pengamatan sehingga dapat mengungkap masalah yang akan diteliti. 3. Dokumentasi Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk melengkapi data yang menurut peneliti sangat dibutuhkan untuk mengungkap dan menampilkan rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian, misalnya Ruang Terbuka yang belum dimanfaatkan secara maksimal, pemanfaatan ruang terbuka dengan tanaman seadanya tanpa dipelihara, masih banyaknya ruang terbuka yang belum difungsikan sebagaimana mestinya. HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Dasar Pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pemfungsian RTH tampaknya masih mempunyai makna pelengkap/penyempurna bagi perkotaan sehingga pemanfaatan lahan untuk RTH dianggap sebagai penambah estetika lingkungan, lebih parah lagi, RTH dianggap sebagai cadangan untuk penggunaan lahan di masa datang. Hal ini mengakibatkan munculnya paradigma bahwa setiap saat RTH dapat diganti dengan penggunaan lain yang dirasakan lebih menguntungkan secara ekonomis. Secara sistem, ruang terbuka hijau kota pada dasarnya adalah bagian dari kota yang tidak terbangun, yang berfungsi menunjang kenyamanan, kesejahteraan, pengikatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam, umumnya terdiri dari ruang pergerakan linier atau koridor dan ruang pulau atau oasis (Sprigen 1965). Pendapat tersebut juga ditunjang oleh Krier (1975) yang menyatakan bahwa ruang terbuka terdiri dari path and room, sebagai jalur pergerakan, dan yang lainnya sebagai tempat istrahat, kegiatan atau tujuan. Hal senada dinyatakan oleh Gasling (1989) bahwa ruang terbuka di dalam kota dapat berbentuk man made and natural, yang terjadi akibat teknologi, seperti koridor jalan dan pejalan kaki, bangunan tunggal dan majemuk, hutan kota, aliran sungai dan daerah alamiah yang telah ada sebelumnya. Pada dasarnya ruang terbuka kota merupakan totalitas kesatuan yang memiliki keterkaitan dan dapat digunakan sebagai suatu sistem orientasi. Sesungguhnya warga kota mempunyai hak untuk mendapatkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan perkotaan. Hak tersebut dijamin dalam UUD dan Peraturan PerundangUndangan lainnya seperti 6
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 65 “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”. 2. Pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bantaeng Pelaksanaan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di 6 (enam) kelurahan tersebut banyak didominasi tanaman tranbesi, angsana, mahoni, tanjung yang tersebar di pinggir jalan, demikian juga tanaman mangga yang tersebar di halaman rumah, kantor, sekolah, sedangkan jenis tanaman yang diperuntukkan untuk taman di antaranya tanaman hias berupa palm, bougen vile, cemara kipas dll. Namun demikian taman tersebut juga ditanami tanaman pelindung seperti tranbesi, angsana, ketapan dll. Pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kecamatan Bantaeng sudah dimulai sejak tahun 2006, yaitu dengan cara menanami Ruang Terbuka Hijau (RTH) koridor (pinggir jalan), namun demikian Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dilakukan pada saat itu sangat jauh dari harapan sehingga nanti pada tahun 2009 hingga saat ini, pemanfaatan Ruang Terbuka yang ada menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) sudah mulai nampak. Kegiatan pelaksanaan pemanfaatan Ruang Terbuka menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kabupaten Bantaeng tentunya berkat dukungan pemerintah dalam hal ini, dana pembelian bibit, pemagaran, pemupukan, penyiraman dan pemeliharaan bersumber dari dana APBD. Sejak tahun 2006 pelaksanaan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dilakukan dengan cara menanam tanaman Glodogantiang, Angsana dan Filicium, cara yang dilakukan yaitu setelah dilakukan penanaman, maka selanjutnya dilakukan penyiangan, pemagaran dan penyiraman. Ketiga pekerjaan tersebut dilakukan oleh staf Subdin Lingkungan Hidup ditambah buruh sebanyak 22 orang, buruh tersebut bekerja mulai dari penggalian sampai pemagaran setelah itu tidak ada lagi aktivitas kecuali jika ada pagar yang tumbang barulah diperbaiki oleh tenaga honorer, itupun dilakukan jika ada perintah dari atasan. 3. Keadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kecamatan Bantaeng Ruang terbuka hijau merupakan komponen tata ruang yang menjaga keseimbangan ekosistem kota, keseimbangan ekologi di wilayah perkotaan sangat diperlukan karena pembangunan fisik kota terus meningkat. Penetapan luas ruang terbuka hijau di suatu wilayah dapat diterapkan dengan mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menetapkan bahwa luas ideal dari ruang terbuka hijau kawasan perkotaan minimal 20% dari luas kawasan perkotaan. Berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 2007, maka kebutuhan RTH di 6 (enam) kelurahan contoh dapat dilihat pada table 2 berikut: Tabel 2. Kebutuhan RTH berdasarkan luas wilayah (Permendagri No. 1/2007) Kelurahan
Tappanjeng Pallantikang Letta Mallilingi
Luas (ha)
Standar Luas RTH
Kebutuhan RTH (ha)
82 93 79 84
20% 20% 20% 20%
16.4 18.6 15.8 16.8 7
Lembang Lamalaka
207 200 745
20% 20%
41.4 40.0 149
Sumber Data : Data sekunder dan hasil analisis 4. Penyebab pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kurang berhasil Ketidakberhasilan Ruang Terbuka Hijau (RTH) selama ini, disamping pola penanganan Ruang Terbuka Hijau (RTH) seperti pengaman tanaman yang tidak sesuai, karena walaupun tanaman sudah dipagari, ternak masih bisa memakan tanaman tersebut. Demikian juga media tumbuh tanaman yang belum tertangani secara teknis yaitu belum memberikan perlakuan khusus pada wilayah media tumbuh yang kurang subur, demikian juga persepsi masyarakat yang belum semuanya sama, ada yang menganggap Ruang Terbuka Hijau (RTH) tidak penting, ada pula yang menganggap penanaman di pinggir jalan dan taman kota yang ada adalah suatu proyek. Yang berarti dana pemeliharaan sudah ada dan ditangani oleh pemerintah sehingga masyarakat tidak peduli jika ada tanaman yang rusak. 5. Strategi Kebijakan Pelaksanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Strategi ini melalui konsep identifikasi persoalan RTH kota, konsep partisipasi, dan konsep kebijakan institusi. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1.
2.
Pelaksanaan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kecamatan Bantaeng berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan belum sesuai standar Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau, masih perlu ditingkatkan pengelolaannya baik dari segi penanganan media tumbuh, jenis tanaman, pengaman tanaman. Masih banyaknya Ruang Terbuka yang belum dihijaukan (84,6%) sehingga suasana panas masih terasa di 6 (enam) kelurahan contoh. Kegagalan/kurangberhasilnya pengelolaan Ruang Terbuka Hijau di Kecamatan Bantaeng khususnya di 6 (enam) kelurahan contoh disebabkan oleh sistem yang tidak melibatkan peran aktif masyarakat.
B. Saran 1.
2.
Strategi peningkatan pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kecamatan Bantaeng adalah dengan melibatkan masyarakat mulai dari penentuan jenis tanaman sampai pada pemeliharaan, demikian juga penegakan hokum dan peran pemerintah mulai dari pemerintah kabupaten sampai ke kepala desa, bahkan sampai ke tingkat RT/RW. Untuk itu kepada instansi terkait, aparat pemerintah mulai dari tingkat RT/RW dan masyarakat agar satu persepsi dalam pengelolaan RTH melalui koordinator serta partisipasinya. Ruang Terbuka Hijau (RTH) sangat bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya untuk itu diharapkan setiap pelaksanaan pembangunan senantiasa memperhatikan 8
3.
keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan cara menyisihkan ruang terbuka untuk setiap bangunan maupun sejenisnya yang terkait dengan pemanfaatan ruang. Perlunya dilakukan pemeliharaan lanjutan dimana klasifikasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) tidak hanya dilakukan berdasarkan peraturan perundangan, tapi lebih memperhatikan kualitas dan fungsi ekologis Ruang Terbuka Hijau (RTH)
9
DAFTAR PUSTAKA
Akbari, H.S.D. Davis, S. Dorsano, J. Huang, and S. Winnet, eds. 1992. Cooling Our Communities. A. Guidebook On Tree Planting And Light-Colored Surfacint. U.S. EPA & Lawrence Berkeley Laboratory Report LBL-31587. Berkeley.CA. Anonim. 2002. Integrasi Teknik Interpretasi Visual Citra Landsat 7 ETM+ Dengan Menggunakan Sistem Informasi Georgrafis untuk Pemetaan Tutupan Lahan. Forest Watch Indonesia Dept. GIS. Anonimous. 1992, Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Anonimous, 1992. Daya Dukung Lingkungan dan Komunikasi Massa dalam Pembangunan Berkelanjutan Aca Sugandhy, 2000, Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dahlan, E.N. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Asosiasi Pengusaha Hutan. Bogor.
10