ANALISIS NERACA ENERGI PERKOTAAN KAWASAN PADAT PINANGSIA JAKARTA MENGGUNAKAN MODEL SINGLE-LAYER URBAN CANOPY
MUZILMAN MUSLIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Neraca Energi Perkotaan Kawasan Padat Pinangsia Jakarta Menggunakan Model Single-layer Urban Canopy adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Muzilman Muslim NIM G251100021
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN MUZILMAN MUSLIM. Analisis Kesetimbangan Energi Perkotaan Kawasan Padat Pinangsia Jakarta Menggunakan Model Single-layer Urban Canopy. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan TANIA JUNE.
Perubahan karakter fisik permukaan dan morfologi perkotaan karena urbanisasi memicu perubahan sifat dinamika dan termodinamika lapisan terbawah atmosfer, sehingga kesetimbangan radiasi, energi, aliran udara dan siklus hidrologi terganggu, Material permukaan perkotaan menyerap lebih banyak radiasi matahari dan lebih sedikit air karena beralbedo rendah, bersifat termal yang baik, dan kedap air Ketidakseimbangan proses pertukaran radiasi dan energy menyebabkan perubahan iklim lokal seperti meningkatnya suhu di kawasan padat perkotaan dibanding kawasan pinggiran sekitarnya. Bangunan perkotaan umumnya berkerapatan tinggi dengan ketinggian yang bervariasi, sehinnga cenderung menghambat sirkulasi udara yang menghasilkan aliran turbulens. Pelepasan energy panas dari material infrastruktur perkotaan dalam bentuk fluks gelombang panjang malam hari terhambat. Energy panas lebih lama terperangkap di area padat pusat kota, menyebabkan suhu pusat kota meningkat dibanding perkampungan pinggirannya. Unsur kunci yang mendiskripsikan karakter permukaan perkotaan yang berperan merubah prilaku unsur-unsur iklim skala lokal mencakup: (a) kekasaran permukaan, (b) fraksi permukaan kedap air, (c) faktor sky view, (d) admitansi termal, (e) albedo, dan (f) fluks panas antropogenik. Parameterisasi karakter permukaan dan efek iklim skala lokal yang mempengaruhi area seluas 102-104 m2 dimodelkan menggunakan model Single-Layer Urban Canopy (SLUC). Objek pengamatan adalah unit terkecil sistem perkotaan (urban street canyon) terdiri dari bangunan beratap datar, dan dua sisi dinding saling berhadapan yang terpisahkan oleh jalan beraspal, dan lapisan terbawah atmosfer (lapisan kanopi) di atasnya. Proses pertukaran radiasi dan energi antara permukaan perkotaan dan lapisan kanopi yang diparameterisasi pada model SLUC menggunakan pendekatan prinsip kesetimbangan energy perkotaan. Studi dan pengamatan dilaksanakan di area padat Jakarta dengan pengambilan data dilakukan in situ di kawasan Pinangsia selama satu bulan pada transisi musim panas ke musim hujan menggunakan stasiun cuaca otomatis (AWS). Studi memiliki dua tujuan utama yaitu: (1) menganalisis komponen neraca energy area padat Pinangsia Jakarta, (2) memperkirakan penyebab pemanasan dan pendinginan area padat Jakarta menggunakan model Single-Layer Urban Canopy. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa intensitas UHI malam hari maksimum mencapai 2,5 ºC. Hasil model menunjukkan bahwa model mensimulasikan penurunan nokturnal pendinginan kota dengan baik. Variasi pendinginan suhu dinding dan jalan hanya 0,14 ºC, tetapi kurang tepat untuk suhu atap dengan penyimpangan relatif besar
(6.41°C). Kecepatan angin dalam canyon pengamatan adalah 0,021 m/det, dan di atas atap 1,058 m/det. Kecepatan angin demikian kurang efektif memindahkan fluks panas yang diemisikan dari kedua permukaan. Model memperkirakan bahwa laju pendinginan rata-rata permukaan canyon (atap, dinding, dan jalan) relatif rendah yaitu 0.31 °C/jam. Laju pendinginan permukaan berhubungan dengan jenis material bangunan dan sifat tutupan permukaan, dan juga kecepatan angin dalam canyon. Secara umum model telah menunjukkan dengan baik pengaruh geometri perkotaan (ditunjukkan oleh nilai parameter canyon aspect ratio: h/w) terhadap variasi fluks radiasi langsung masuk, radiasi gelombang panjang, dan fluks emisi panas sensible yang dilepaskan oleh permukaan perkotaan. Ditunjukkan bahwa makin besar nilai h/w maka radiasi gelombang pendek masuk yang diterima dinding dan jalan semakin rendah. Akibatnya mempengaruhi jumlah fluks panas yang dilepaskan oleh kedua permukaan dan panas yang disimpan pada material permukaan (tidak dihitung). Sebaliknya emisi gelombang panjang lebih banyak terperangkap dalam canyon perkotaan sehingga permukaan canyon tetap hangat hingga menjelang pagi. Fluks radiasi gelombang pendek diterima atap maksimum (412 W.m-2) untuk semua nilai h/w, dan minimum terjadi pada dinding (412 W.m-2). Ini dapat dimengerti karena permukaan atap tidak terhalang apapun untuk menerima radiasi gelombang pendek, tidak seperti permukaan jalan dan dinding yang menerima bayangan dari sisi timur dan barat canyon. Ini menentukan jumlah panas yang disimpan di material dinding dan jalan, yang mempengaruhi kuat lemahnya fluks panas yang diemisikan oleh kedua permukaan. Fluks panas sensibel dominan pada siang hari, tetapi panas laten sangat lemah (sama dengan nol). Nilai positif panas sensibel siang hari berhubungan dengan keberadaan permukaan padat kedap air. Sementara fluks panas laten yang sangat rendah menunjukkan terbatasnya permukaan lembab di area padat perkotaan. Secara umum model dapat menunjukkan kedua sifat ini, meskipun nilai fluks panas sensible pada transisi pagi hari masih dibawah perkiraan dan tidak mampu mempertahankan nilai posistifnya pada malam hari. Disimpulkan bahwa penyebab pemanasan dan pendinginan kota Jakarta adalah kerapatan bangunan (geometri perkotaan), sifat material permukaan kota, dan kecepatan angin dalam canyon. Kata kunci: canyon aspect ratio, kesetimbangan energy perkotaan, morfology perkotaan, single-layer urban canopy
SUMMARY MUZILMAN MUSLIM. Energy Balance Analysis of Densely Urban Areas Pinangsia Jakarta Using Single-layer Urban Canopy Model. Supervised by YONNY KOESMARYONO and TANIA JUNE.
Changes in physical characteristics and morphology of the urban surface due to urbanization has caused a nature change of dynamics and thermodynamics of the atmosphere, thus the imbalance of radiation and energy, air flow and hydrological cycle has disrupted. This imbalance has led to local climate variations such as rising temperature in dense urban area is more than in the surrounding areas. Urban surface materials is a good thermal conductor, worth the low albedo, and is impermeable urban surfaces lead to absorb more solar radiation and less water. Changes in the physical properties of the surface cover potential to change the nature of the solar radiation properties, thermal surface, moisture, and aerodynamic properties of the urban area. Density and height of buildings tend to inhibit air circulation which results in turbulence flow. Release of heat energy in the form of longwave radiation from the surface of the material city at night was slow. Longer heat energy trapped in the crowded downtown area of the city, hence caused change climate in urban area. Key elements which describe the character of the local-scale urban surfaces include: (a) surface roughness, (b) the fraction of impermeable surface, (c) sky view factor, (d) thermal admittance, (e) albedo, and (f) anthropogenic heat flux. Parameterization surface properties and climate effects inflicted on a local scale covers an area of approximately 102-104 m2, modeled using Single-Layer Urban Canopy (SLUC) model. Object of observation is the smallest unit of urban systems (urban canyon) which consists of a roof and two walls opposite side of the building, separated by apaved road, as well as lower atmosphere layers (canopy layer) that surrounded him. The principle of energy balance method applied to model the process of exchange of energy and momentum between the surface and a layer of urban atmosphere. The studies and observations were conducted in a heavily populated area in Jakarta with the weather data collected in situ at Pinangsia region for a month in the dry-wet transition season, using automatic weather station (AWS). This study has two main objective that include the following: (1) to identify the components of energy balance in a heavily populated area of Jakarta, and (2) to analyze the causes of heating and cooling in Jakarta city by using a SLUC model. Nocturnal heat island intensity observation maximum at 2.5 ºC. Model of single-layer urban canopy has been applied to model the energy exchange between the surface of the city (represented by urban canyon) with the urban canopy layer. This study showed that the model could simulate nocturnal variations of urban cooling well. The model simulate variations cooling the city with an average error of wall temperature and the road was only 0.14°C, but less appropriate for the temperature of the roof, where the error was relatively large (6.41°C). Wind speed observations in the canyon was 0,021 m/sec, and the roof above 1,058 m/sec. Wind speed thus not effectively transfer the heat flux emitted
from both surfaces. The model predicts that the average cooling rate of the building (roof, walls, and roof) was relatively low at 0.31 °C/hour. Surface cooling rate associated with the type of building materials and properties of the surface cover of the city, and also the speed of the wind in the canyon. The effects of urban geometry was also simulated well by the model. It was shown that the bigger the canyon aspect ratio value, the lower the shortwave radiation would be on wall surfaces and roads; thus, sensible heat emitted by the surface would decline. Consequently affects the amount of sensible flux released by both sides, and heat flux stored in the both building and the street meterial (not counted). On the contrary, the flux of long wave emission was more highly prevented, making the temperature of canyon remain warm until morning. Shortwave radiation flux (S) received by the roof was maximum (412 W.m-2) for all values of h/w, and the minimum value occurs at the wall (130,89 W.m-2). This can be understood because the roof surface does not get any hindrance to receive short-wave radiation, unlike the wall and the road to get a shadow effect from the left east and west canyon. It determines the amount of heat stored in the wall material and the road, thereby affecting the strong and weak sensible heat flux emitted from both the wall and the road surface. The model of sensible heat flux was dominantly and had a positive value during the day, while that of latent heat flux was equal to zero. Meanwhile, latent heat flux value is far below the value of sensible flux, and showed a lack of moist surfaces in urban areas. In general, the model can exhibit both properties, although the value of sensible flux in the morning day time transition period is still underestimate, and are notable to maintain the value posistive at night. It is concluded that the cause of warming and cooling city of Jakarta are the density and material characteristics of buildings were the main cause of heating in this heavily populated area of Jakarta. Meanwhile, the low wind speed in the urban canyon was less effective in cooling this heavily populated area of Jakarta. Keywords: canyon aspect ratio, single-layer urban canopy, urban energy balance, urban morphology
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS NERACA ENERGI PERKOTAAN KAWASAN PADAT PINANGSIA JAKARTA MENGGUNAKAN MODEL SINGLE-LAYER URBAN CANOPY
MUZILMAN MUSLIM
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Sobri Effendy, MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya penyusunan karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Penelitian ini bertemakan pemanasan perkotaan, dengan judul Analisis Neraca Energi Perkotaan Kawasan Padat Pinangsia Jakarta Menggunakan Model Single-layer Urban Canopy telah dilaksanakan sejak bulan April 2012 hingga Maret 2013. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak atas perhatian dan dukungannya bagi penulis dari sejak pengamatan lapang hingga penyusunan karya ilmiah ini. Utamanya penulis sampaikan kepada Ketua dan Anggota komisi pembimbing Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS dan Dr Ir Tania June, MSc atas segala arahan, masukan dan bimbingannya. Kepada Ibu Mila dan Pak Nandar; Kepala dan staf Laboratorium Hidroklimatologi Balai Penelitian Iklim Pertanian Bogor yang telah mengizinkan penulis menggunakan AWS. Bapak Igwan; owner bangunan yang mengizinkan penulis mendirikan tower setinggi 15 m di atas bangunannya untuk penempatan sensor cuaca. Bapak Paulus dan Pak Nyoman; Ketua RW 01 dan Komandan Babinsa Kelurahan Pinangsia Kecamatan Taman Sari Jakarta Barat yang telah mengizinkan dan membantu mengamankan pengamatan lapang. Secara khusus, penulis ingin menyampaikannya kepada Bapak; Dr Mohammad Noor, MA, Drs Ramlan Siregar, MSi, Drs El Amry Bermawi Putera, MA, dan Dr Eko Sugianto MSi, atas segala perhatian, dukungan dan kemudahan yang diberikan sehingga memungkinkan studi ini terselesaikan. Tak lupa pula kepada kolegaku di IPB dan UNAS; Faiz, SSi, Ir Idris Kusuma, MT yang telah meluangkan waktunya untuk penulis berdiskusi masalah numerik, dan Dr Firdaus Syam, MA yang telah menyemangati penulis dengan nasihat-nasihat religiusnya. Akhirnya, setinggitingi penghargaan dan ungkapan terima kasih penulis persembahkan kepada keluargaku tercinta; ibunda Fatimah dan ayahanda Tengku Muhammad Arsyad Ali Asbany (alm) atas besarnya kasih sayang dan doa restunya, istri dan ketiga anak-anakku; Isyqa, Razi, dan Miza atas segala pengorbanan dan kesabaran yang telah kalian ikhlaskan selama ini. Akhirnya, penulis bermohon kepada Allah SWT mudah-mudahan membalas semua kebaikan yang telah diberikan untuk penulis. Semoga, karya ilmiah ini bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat luas umumnya. Amiiin Ya Rabbal Alamiin.
Bogor, Juli 2014
Muzilman Muslim
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTARGAMBAR
viii
DAFTARLAMPIRAN
ix
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 3 3 3 4
2. TINJAUAN PUSTAKA Iklim Kawasan Perkotaan Karakteristik Permukaan Perkotaan SuhuUdaradanPermukaan Kesetimbangan Energi Perkotaan
5 5 6 7 9
3. METODEPENELITIAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Peralatan Penelitian Deskripsi Model SLUC Lokasi Peneltian dan Waktu Penelitian Parameterisasi Proses Fisika Prosedur Penelitian Analisis Data Pengamatan
11 11 12 13 15 18 23 24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Energi Area Padat Pinangsia Pengaruh Geometri Canyon Perkotaan Variasi Diurnal Suhu Permukaan Canyon Variasi Pendinginan Canyon Variasi Nokturnal Suhu Canyon Analisis Keakuratan Model SLUC
27 30 28 30 32 33 34
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
36 36 36
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
41
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Deskripsi umum area pengamatan Insturmentasi, variabel dan ketinggian pengamatan Parameter model SLUC Uji statistik suhu permukaan model
11 16 18 35
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Skema urban street canyon Lokasi titik pengamatan AWS dan unitakuisisi data Model CEA520 Unit sensor cuaca Skema kopel Model Perkotaan dan Model Atmosfer Peta lokasi pengamatan Lokasi dan posisi penyamplingan data Data hasil pengamatan
10 12 12 13 14 15 17 17
Variasi diurnal model kesetimbangan energi permukaan
27
10 Variasi diurnal model kesetimbangan energi permukaan
29 31 33
11 Variasi diurnal suhu permukaan 12 Variasi nokturnal suhu permukaan dinding 13 Intensitas UHI area padat Pinangsia Jakarta malam hari
34
DAFTAR LAMPIRAN 1 2
Data cuaca pengamatan Diagram alirkegiatan penelitian
41 42
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang tinggi khususnya dibeberapa negara berkembang di Asia telah mendorong arus migrasi penduduk desa membanjiri perkotaan. Lebih dari 70% penduduk dunia adalah kaum urban yang memadati kota-kota terutama di Asia hingga tahun 2050 mendatang (UN, 2011), sehingga kota-kota besar banyak tumbuh di kawaan ini. Diperkirakan, dari 24 kota megapolitan dunia, 16 diantaranya akan muncul di kawasan Asia pada tahun 2015, menjadikan pertumbuhan kota kawasan ini tercepat di dunia (Hung, et al. 2005). Jakarta sebagai kota metropolitan ke enam terbesar dunia saat ini telah berpenduduk 9,6 juta jiwa dengan kepadatan rata-rata 14.470 jiwa per km2 (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2007). Pada 2025 mendatang Jakarta diperkirakan akan menjadi salah satu megapolitan dunia berpopulasi 12,1 juta jiwa. Kegiatan pemerintahan kota Jakarta awalnya terpusat di suatu kawasan berjarak lebih kurang 2 kilo meter dari bandar Sunda Kelapa yang kini dikenal sebagai kompleks Kota Tua Jakarta. Lahan perkotaan digunakan antara lain untuk pemukiman, perkantoran, industri, pelayanan umum, pasar, sarana transportasi, tempat hiburan dan rekreasi, dan taman kota. Namun akibat urbanisasi, kota Jakarta (dulu Batavia) terus berkembang ke arah Selatan, Timur, dan Barat, menyebabkan luas lahan alami terus menurun signifikan. Sebaliknya, luas lahan terbangun dan terbuka meningkat pesat. Area terbuka terus dipadati bangunan dan infrastruktur perkotaan lainnya. Berdasarkan citra satelit Swargana dan Susanto (2005) menemukan bahwa dalam waktu 19 tahun (1983 hingga 2002) luas ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta menurun sebesar 35 %, yakni dari 22.181,9 Ha (1983) menjadi 46.592,9 Ha (2002). Sebaliknya, lahan perkotaan (area terbangun) dan lahan terbuka meningkat hampir sebanding dengan penurunan lahan alami, yakni masing-masing 37,5 % dan 3,3 %. Jadi modifikasi lahan alami menjadi area terbangun di kota Jakarta sebesar 40,8 %. Pada tahun 2009 lalu pemerintah DKI Jakarta bahkan mengidentifikasi bahwa luas ruang terbangun telah meningkat menjadi 67%. Wajah permukaan kota Jakarta secara spasial dan vertikal telah berubah menjadi ”ngarai perkotaan”yang terbentuk karena ketinggian dan kerapatan bangunan yang bervariasi, menghasilkan kombinasi yang amat rumit antara geometri tiga dimensi dan material perkotaan. Sifat fisis material perkotaan sangat menentukan bagaimana permukaan merespon energi matahari, apakah dipantulkan, diemisikan, atau diserap. Umumnya permukaan perkotaan tertutupi oleh material kedap air yang menghambatproses infiltrasi air hujan ke bawah permukaan, sehingga mereduksi kapasitas penyerapan air. Akibatnya permukaan lembab sangat terbatas di area perkotaan. Proses evapotranpirasi dari permukaan perkotaan dengan demikian menjadi rendah. Sebaliknya, panas yang tersimpan pada material perkotaan sangat tinggi, yang menyebabkan pelepasan emisi panas ke lapisan atmosfer perkotaantinggi. Di samping sebagai penyerap panas,kota juga sebagai penghasil panas. Aktivitas perkotaan menghasilkan emisi panas buangan (anthropogenic heat) dari berbagai sumber. Hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, buangan
2
panas dari sistem pendingin udara (AC), pabrik, pembangkit listrik, dan hasil metabolisme manusia adalah sumber-sumber potensialnya. Di Jakarta sendiri jumlah kendaraan bermotor terus meningkat. Pada periode Januari-April 2012 lalujumlah kendaraan bermotor telah mencapai 13.346.802 unit, dengan tingkat pertumbuhan diperkirakan berkisar antara 10%-12% tiap tahun (Dirlantas Polda Metro Jaya, 2012). Sumber potensial lainnya adalah manusia, di mana jumlah penduduk Jakarta mendekati10 juta jiwa, dan meluasnya penggunaan AC adalah sumber-sumber utama menyebabkan fluks panas antropogenik kota Jakarta signifikan tinggi. Dicurigai, hal tersebut telah memicu terbentuknya fenomena pemanasan kota yang dikenal dengan istilah Urban Heat Island (UHI) (Oke, 1982). Iklim perkotaan adalah hasil interaksi antara permukaan perkotaan dengan lapisan atmosfer terbawah. Proses interaksi berlangsung secara radiatif, termodinamik, dan aerodinamik yang dapat merubah suhu permukaan dan lalu suhu udara, kelembaban, curah hujan, kualitas udara, fluks energi permukaan, ketinggian lapisan pencampuran, angin lapisan batas, dan turbulen di area perkotaan (Arya, 2001 hlm. 336; Oke, 1978 hlm. 262). Perubahan dapat terjadi dalam skala makro, lokal (meso), dan mikro. Perpaduan antara iklim makro dengan kondisi khas permukaan perkotaan menghasilkan kombinasi iklim skala lokal berbeda. Ukuran dan bentuk perkotaan mengendalikan efek perkotaan dalam skala meso. Sedangkan efek perkotaan skala mikro akan mempengaruhi kesetimbangan energi perkotaan. Namun mengetahui faktor penyebab dan proses fisis yang menyebabkan variabilitas iklim perkotaan padaskala mikro maupun lokal sangat sulit dilakukan karena kompleksitas permukaan baik geometri maupun sifat material perkotaan, ditambah lagi dengan adanya sumber panas antropogenik dan polusi udara. Areal perkotaan yang mencapai luas umumnya beberapa kali 103 meter2 menyebabkan pengamatan dan pemecahan masalah tidak mungkin dilakukan di tiap titik. Maka diperlukan pendekatan dan asumsi lebih realistik dan sederhana untuk mendeskripsikan permukaan riil perkotaan yang kompleks, agar proses fisika yang mungkin terjadi sebagai hasil interaksi antara permukaan perotaan dan lapisan batas atmosfer dapat pecahkan menggunakan model numerik dan fisik yang relatif rumit untuk penyelesaiannya.
Perumusan Masalah Kompleksitas bentuk tiga dimensi permukaan dan material perkotaan menyebabkan pertukaran radiasi matahari,energi panas, dan siklus air antara area padat perkotaan dengan lapisan terbawah atmoser terganggu. Ketidakseimbangan pertukaran radiasi dan energi antara permukaan perkotaan dan lapisan atmosfer, terhambatnya aliran udara, dan minimnya permukaan lembab mempengaruhi jumlah fluks panas diserap dan dilepaskan permukaan perkotaan, menyebabkan suhu permukaan dan udara di area padat perkotaan meningkatkan. Maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut ;
3
a. Bagaimana permukaan area padat kota Jakarta mempengaruhi komponen neraca radiasi dan energi pada siang dan malam hari? b. Bagaimana permukaan area padat kota Jakarta menyebabkan variasi suhu permukaan dan udara?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis komponen neraca radiasi dan energi kawasan padat Pinangsia Jakarta pada siang dan malam hari, 2. Menganalisis penyebab pemanasan dan pendinginan kawasan padat Pinangsia Jakarta menggunakan model Single-layer Urban Canopy (SLUC).
Hipotesis 1. Ho : Komponen fluks panas sensibel dominan dan bernilai positif pada siang hari, dan fluks panas laten lebih rendah dari fluks panas sensibel H1 : Komponen fluks panas sensibel tidak dominan dan bernilai negatif pada siang hari, dan fluks panas laten lebih tinggi dari fluks panas sensibel 2. Ho : Geometri perkotaan mempengaruhi komponen radiasi, energi, dan suhu permukaan H1 : Geometri perkotaan tidak mempengaruhi komponen radiasi, energi dan suhu premukaan 3. Ho : Model SLUC mensimulasikan variasi nokturnal pendinginan permukaan dinding, dan jalan dengan baik H1 : Model SLUC tidak mensimulasikan variasi nokturnal pendinginan permukaan dinding, dan jalan dengan baik
Manfaat Penelitian Tingginya urbanisasi di kota besarakan menimbulkan masalah lingkungan di kawasan perkotaan. Studi ini sangat penting dilakukan dan berguna untuk menigkatkan pemahaman masyarakat luas bahwa perubahan kondisi lingkungan perkotaan menyebabkan perubahan pola unsur-unsur iklim di kawasan perkotaan, seperti tidak seimbangnya pertukaran fluks radiasi panas antara permukaan perkotaan dan lapisan atmosfer. Dampak yang ditimbulkannya bersifat negatif bagi kehidupan masyarakat perkotaan secara luas. Oleh sebab itu pengembangan tata ruang kota seharusnya direncanakan dan dilaksanakan berimbang antara pengembangan ruang terbangun dan keberadaan ruang terbuka hijau. Penataan kepadatan dan ketinggian bangunan serta luas ruang terbuka hijau hendaknya dikendalikan secara proporsional, agar pengaruhnya bagi lapisan atmosfer perkotaan dapat diminimalkan sekecil mungkin. Penulis berharap metode yang dibahas dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat analisis dalam penyusunan rencana pengembangan tata
4
ruang kota yang lebih komprehensif, mencakup utamanya aspek; efisiensi penggunaan energi perkotaan, dan kenyamanan manusia.
Ruang Lingkup Penelitian a. Ruang lingkup wilayah Penelitian dilakukan di kotaJakarta, dengan titik fokus pengamatan adalah area padat Pinangsia yang terletak di selatan kompleks Kota Tua Jakarta, dan kawasan hijau pinggiran kota Jagakarsa yang terletak dibagian selatan Jakarta. b. Ruang lingkup substansi Lingkup substansi adalah permasalahan pemanasan kota terkait; (i) perubahan tutupan lahan, (ii) faktor-faktor yang mempengaruhi iklim perkotaan, dan (iii) konsep kesetimbangan energi dan radiasi. c. Ruang lingkup pembahasan Lingkup pembahasan meliputi; (i) karakteristik fisik permukaan perkotaan (ii) faktor-faktor penyebab pemanasan kota Jakarta dan pembentukan UHI, (iii) konsep kesetimbangan radiasi dan energi perkotaan, dan (iv) deskripsi model SLUC, (v) parameterisasi proses fisika
5
TINJAUAN PUSTAKA Iklim Kawasan Perkotaan Iklim atau cuaca perkotaan merupakan produk alamiah dari kondisi atmosfer skala lokal.Dapat pula dikatakan bahwa ikim atau cuaca merupakan fenomena alam tertentu hasil interaksi antara lapisan atmosfer dengan permukaan. Kedua sistem alam ini adalah suatu kopel yang saling mempengaruhi. Perubahan pada satu sisi kopel akan memicu perubahan sisi kopel lainnya. Permukaan perkotaan adalah bagian permukaan bumi yang paling aktif berubah. Sementara itu sistem atmosfer senantiasa bersirkulasi dalam rentang waktu sangat singkat hingga tahunan. Kedinamisan sifat lapisan atmosfer perkotaan sangat dipengaruhi oleh kondisi permukaan, dimana interaksi keduanya berlangsung secara spesifik dan kompleks. Area perkotaan skala meso atau lokal yang meliputi luasan 102 hingga 104 m2, iklim dipengaruhi oleh posisi lintang, topografi, dan keberadaan badan air. Sedangkan dalam skala mikro (ketinggian manusia dan bangunan), karakter iklim dipengaruhi oleh tutupan permukaan, ukuran perkotaan, jumlah penduduk, panas antropogenik, dan emisi polutan (Westerberg et al.2007). Karakteristik permukaan perkotaan yang unik dan kompleks menyebabkan area kota lebih panas, sedikit angin, lebih kering dibanding area pinggirannya (Oke, 1987). Perbedaan variasi iklim kedua areamenunjukkan adanya perbedaan proses pertukaran energi, massa, dan momentum yang menyebabkan sifat kealamian kondisi lapisan batas berubah. Perubahan kondisi lapisan batas disebabkan oleh: kekasaran permukaan meliputi; ukuran, bentuk danjarak pisah antar bangunan, dan keberadaan area vegetasi, sifat radiasi, karakter termal material perkotaan, dan kelembaban permukaan, tata ruang, dan pola emisi gas buang (Grimmondet al.2004). Pengaruh permukaan terhadap iklim di kawasan perkotaan umumnya ditunjukkan oleh terhambatnya pelepasan radiasi gelombang panjang dari permukaan pada malam hari yang mempengaruhi laju pendinginan nokturnal, mudahnya penyerapan radiasi matahari siang hari yang mempengaruhi pola diurnal pemanasan, dan terhambatnya laju aliran udara yang mereduksi kecepatan angin (Oke,1982; 1987; Oke et al. 1991). Pada level permukaan jalan perkotaan, variasi iklim berbeda dengan area terbuka. Penyebabnya adalah perbedaan kesetimbangan energi, aliran udara, karakter termal, konsentrasi polutan dan lain-lain (Nunez dan Oke, 1977; Oke,1987; Nakamura dan Oke, 1988). Penyelidikan kondisi meteorologis di kawasan perkotaan adalah dasar fisik untuk memahami karakter iklim di area tersebut, khususnya yang terjadi pada lapisan kanopi yaitu sub lapisan terbawah atmosfer yang berada setinggi bangunan dan pepohonan. Lapisan di mana pusat kesetimbangan energi permukaan berlangsung. Unsur-unsur utama meteorologis yang digunakan dalam studi iklim perkotaan meliputi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan dan arah angin, curah hujan, dan tentunya radiasi matahari sebagai sumber energi utamanya (Rinneret al. 2010).
6
Karakteristik Permukaan Perkotaan
Perubahan Sifat Fisik Permukaan Urbanisasi memodifikasi tutupan alami permukaan menjadi tutupan non alami. Pembangunan infrastruktur perkotaan seperti gedung tinggi, jalan dan trotoar, area parkir dan lainnya menggunkan material padat buatan merubah wajah perkotaan secara spasial maupun vertikal. Perubahan sifat fisis tutupan dan geometri permukaan akan merubah sifat radiatif dan termal, siklus air, dan aerodinamika permukaan akan mempengaruhi penyimpanan dan pelepasan fluks panas dari permukaan perkotaan. Ketidaksetimbangan penerimaan dan pelepasan radiasi matahari mempengaruhi sifat termodinamika dan dinamika lapisan atmosfer perkotaan, mengakibatkan perubahan iklim termal skala lokal di lapisan batas atmosfer (Offerle, et al. 2003; Harman, 2003; Harman dan Belcher, 2006). Material infrastruktur perkotaan yang umumnya bernilai albedo rendah, berkapasitas panas dan konduktivitas termal tinggi menghasilkan admitansi termal tinggi, sehingga permukaan perkotaan lebih mudah menyerap dan menyimpan energi panas dibanding material alami perkampungan (Oke 1987; Trusilova, 2006; Oleson, 2010; Rinner dan Husain, 2011). Fraksi energi matahari yang diterima permukaan perkotaan, akan tersimpan sebagai fluks panas sensibel di dalam material permukaan siang hari dan melepaskannya kembali ke atmosfer pada malam hari (Grimmound, 2007; Oleson, 2010; Rinner dan Husain, 2011). Selain itu, material perkotaan yang bersifat kedap air efektif mereduksi kapasitas serapan air dan ketersediaan permukaan lembab, sehingga proses evapotranspirasi di area kota umumnya rendah, dan fluks panas laten rendah. Variasi spasial nilai albedo, emisivitas dan termal inersia, menyebabkan pantulan berulang radiasi dan emisi gelombang pendek, dan pantulan radiasi gelombang panjang yang menghasilkan pola pemanasan dan pendinginan di area perkotaan dan sekitarnya. Geometri dan Morfologi Perkotaan Geometri canyon perkotaan adalah faktor penting yang menentukan jumlah energi matahari yang mencapai tanah di perkotaan (Offerle et al. 2003). Geometri perkotaan yang meliputi dimensi dan jarak antar bangunan mampu mengontrol dan mempengaruhi suhu perkotaan, fluks pertukaran (penyerapan dan pelepasan) radiasi matahari, laju dan arah aliran angin. Ditegaskan, ketinggian bangunan dan lebar jalan antar bangunan menentukan jumlah radiasi matahari dan energi panas terperangkap di dalam struktur bangunan perkotaan. Radiasi matahari yang jatuh pada permukaan vertikal seperti dinding bangunan dan permukaan horizontal seperti jalan, dan area parkir akan mengalami pantulan dan penyerapan berulang, sehingga meningkatkan penyerapan radiasi di kedua sisi permukaan. Dengan mekanisme serupa, radiasi gelombang panjang yang diemisikan permukaan perkotaan dapat diradiasikan kembali ke permukaan, sehingga radiasi gelombang panjang yang dilepaskan ke atmosfer tereduksi. Rasio antara ketinggian bangunan dan lebar jalan yang memisahkan kedua sisi dinding bangunan adalah parameter penting yang menentukan tingkat jebakan radiasi oleh canyon perkotaan (Oke, 1981; Oke et al. 1991). Geometri perkotaan mereduksi kecepatan angin dan
7
meningkatkan gaya friksi pada angin atmosfer, sehingga mereduksi kecepatan angin rata-rata dan percampuran turbulen di lapisan kanopi (Harman, 2003). Ini berakibat pelepasan radiasi gelombang panjang oleh canyon perkotaan malam hari terganggu, sehingga menghambat proses pendinginan kota (Oke, 1976).Souch dan Grimmond, (2006) mengatakan bahwa penyebab utama suhu kawasan pusat perkotaan lebih tinggi dibanding suhu area pinggiran kota adalah karena geometri perkotaan. Morfologi perkotaan (Oke, 1973; Grimmound, 2009) sebagai pengendali utama penyerapan radiasi dan pelepasan energi panas, menentukan pembagian energi di area perkotaan kedalam bentuk komponen fluks panas sensibel dan fluks panas laten (Oke, 1982; Oke, 1987; Oke et al. 1991), dan menentukan evolusi suhu permukaan (Harman dan Belcher, 2006). Para ahli iklim perkotaan umumnya mencirikan morfologi perkotaan sebagai bentuk tiga dimensi ngarai perkotaan (urban canyon) yakni; tinggi, lebar dan kepadatan bangunan (Nunez dan Oke, 1977). Struktur tiga dimensinya meliputi susunan geometrikal dinding bangunan dan permukaan horizontal antara dua sisi bangunan, seperti jalan dan trotoar, area parkir, dan lain-lain yang saling berkombinasi sehingga mereduksi albedo permukaan disebabkan karena jebakan radiasi (Oke 1981, Oke et al. 1991). Kombinasi faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi kesetimbangan neraca radiasi dan energi, kelembaban, dan aerodinamis permukaan, yang mempengaruhi sifat dinamika dan termodinamika lapisan batas (Otte et al. 2004), mengakibatkan suhu di area padat pusat kota meningkat (Offerle, et al. 2006). Kerapatan dan ketinggian bangunan dan elemen permukaan perkotaan lainnya, menentukan luasan pandangan langit. Faktor pandangan langit ini dinyatakan dengan parameter sky viewfactor (SVF) (Nunez dan Oke, 1977). Area padat bangunan memiliki nilai SVF yang kecil sehingga pelepasan panas oleh blok-blok bangunan terhambat. Disamping itu, bangunan juga memberikan efek bayangan,yang mampu menurunkan emisi panas konvektiv. Rendahnya nilai SVF menyebabkan intensitas pemanasan kota (heat island) meningkat, dan sebaliknya area teduh dapat mereduksi penyerapan radiasi matahari yang menghasilkan efek pendinginan kota (cool island).
Suhu Udara Dan Permukaan Suhu permukaan adalah unsur paling penting dalam memahami iklim perkotaan khususnya efek pemanasan kota. Suhu permukaan menyebabkan suhu udara meningkat, khususnya di lapisan antara permukaan dan lapisan kanopi perkotaan. Selain membantu menentukan panas yang terperangkap dalam canyon perkotaan, suhu permukaan juga menentukan fluks panas yang diradiasikan oleh struktur termal permukaan kota. Sifat termal dan sifat radiatif material perkotaansangat menentukan variasi suhu permukaan.Menurut literatur iklim perkotaan, suhu udara di kota-kota besar dunia mengalami peningkatan secara gradual dibanding area pinggiran kota. Fenomema UHIini ditemukan pertama kali oleh Luke Howardpada tahun 1833 setelah ia mengamati dan mempelajari suhu udara kota London (Oke, 1982; Voogt dan Oke, 2003). Istilah UHI sendiri pertama digunakan oleh Manley pada tahun 1958 (Hafner dan Kidder, 1999) untuk menggambarkan suhu area pusat perkotaan lebih tinggi dariarea pinggiran.UHI
8
terbentuk karena perbedaan sifat fisik material permukaan perkotaan, seperti sifat radiatif dan termal, pantulan dan penyerapan berulang sinar matahari oleh permukaan perkotaan (karena geometri perkotaan), sumber panas antropogenik, dan rendahnya evapotranspirasi dari di area perkotaan (Oke, 1982). UHI teramati dengan jelas pada malam yang cerah dan kecepatan angin rendah. Dampaknya besar pada perubahan iklim lokal perkotaan, sehingga model-model iklim skala lokal dan regional harus mampu mengidentifikasinya (Trusilova, 2006). Faktor-faktor penyebab suhu pusat kota meningkat menurut Oke (1982); Oke (1987); Oke et al. (1991) adalah: a) geometri ngarai jalan (street canyon); menghambat pelepasan radiasi gelombang panjang akibat proses pertukaran yang kompleks antara bangunan dan atmosfer, b) sifat termal material; meningkatkan penyimpanan panas sensibel pada struktur bangunan, c) panas antropogenik; tambahan panas dari aktivitas perkotaan (lalu lintas, industri, dan buangan panas AC) dan metabolisme manusia d) efek rumah kaca; meningkatkan pantulan emisi gelombang panjang dari polutan di atmosfer perkotaan, e) geometri ngarai radiasi; menghasilkan pantulan ganda radiasi gelombang pendek antara permukaan canyon yang mereduksi albedo efektif sistem, f) evapotranspirasi; penguapan dari permukaan kota menurun sehingga panas laten rendah, dan g) efek bayangan; mengurangi transfer panas turbulen dari permukaan jalan. Menurut Taha (1997) faktor pemicu peningkatan suhu udara perkotaan adalah; geometri kota, sifat termal material kota, dan adanya emisi panas antropogenik. Namun penyebab terjadinya UHI berbeda tiap kota, umumnya dikarenakan; berkurangnya ketersediaan permukaan lembab, perubahan sifat material permukaan dan reduksi pendinginan permukaan karena jebakan radiasi (Arnfield, 2003). Sifat radiatif dan termal material permukaan menentukan penyimpanan dan pelepasan fluks panas pada dan dari permukaan kota, dan mengontrol kesetimbangan neraca radiasi dan energi di area perkotaan (Harman, 2003; Harman dan Belcher, 2006; Offerleet al. 2003). Material permukaan perkotaan yang kedap air efektif mereduksi kapasitas serapan air dan ketersediaan permukaan lembab (Oke, 1982). Selain itu, geometri perkotaan mengendalikan kecepatan angin dan meningkatkan gaya friksi pada angin atmosfer sehingga kecepatan angin rata-rata dan percampuran turbulen di lapisan kanopi perkotaan tereduksi. Morfologi kota sebagai pengendali utama penyerapan radiasi dan pelepasan energi panas menentukan pembagian energi di area perkotaan (Oke, 1973; Grimmound, 2009), dan menentukan evolusi suhu permukaan (Harman dan Belcher, 2006). Reduksi kecepatan angin berakibat pelepasan radiasi gelombang panjang oleh permukaan kota malam hari terganggu, sehingga menghambat proses pendinginan kota (Oke, 1976). Kombinasi faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kesetimbangan neraca radiasi dan energi permukaan, kelembaban dan aerodinamis kota, yang memicu gangguan sifat dinamika dan termodinamika lapisan batas (Otte et al. 2004), sehingga meningkatkan suhu di area padat pusat perkotaan (Offerle, et al. 2006). Studi iklim perkotaan terkait fenomena UHI telah dilakukan di banyak kota besar di dunia, baik secara pengamatan maupun permodelan. Hasilnya suhu area pusat kota umum menunjukkan peningkatan dibanding area pinggirannya dengan nilai bervariasi sesuai letak geografis kota. Studi yang dilakukan antara lain oleh Ichinose et al. (1999) menemukan bahwa dalam rentang waktu 135 tahun urbanisasi menyebabkan suhu udara kota Tokyo meningkat sebesar 2,8 oC. Wong
9
dan Yu (2005) mencatat beda suhu maksimum antara area perkotaan Singapore dan area pinggiran sebesar 4,01 C. Sementara Chow dan Roth (2006) menemukan kuat pemanasan di kawasan komersial padat Singapore terjadi 3-4 jam setelah matahari terbenam, dengan intensitas maksimum hampir 7oC, yang terjadi pada musim selatan-barat periode May-Agustus. Sementara itu Mas’at (2008) mengamati iklim perkotaan Jakarta, menemukan bahwa suhu udara pusat kota berbeda ± 0,8 oC dibanding area pinggiran kota, dan suhu udara rata-rata kota Jakarta meningkat 0,17 oC selama 23 tahun terakhir. Selanjutya Tokairin et al. (2009) mempelajari perubahan medan meteorologis kota Jakarta akibat efek urbanisasi menggunakan model Mesoscale Meteorological (MM5). Data penggunaan lahan tahun 1970 dan 2000 digunakan sebagai masukan model. Hasilnya; a) kasus tahun 2000, angin laut meningkat lebih awal dibanding 1970, b) suhu rerata maksimum siang hari tahun 2000 adalah 0,6 oC lebih tinggi 0,9 oC dibanding tahun 1970. Disimpulkan; kenaikan suhu kota Jakarta adalah akibat pertumbuhan kota karena urbanisasi. Studi iklim perkotaan dengan metode permodelan menggunakan prinsip kesetimbangan energi perkotaan telah berkembang kearah model kuantitatif berdasarkan proses fisika (Masson 2000; Martilli et al. 2002; Best 2005). Mills (1997), Masson (2000), dan Kusaka et al. (2001) mengembangkan model SLUC yaitu model kesetimbangan energi perkotaan yang pertama menggunakan unit terkecil sistem perkotaan urban street canyon (Nunez dan Oke, 1977). Masson (2000) mengembangkan skema permukaan perkotaan untuk model atmosfer skala meso mengunakan konsep geometri urban canyon dengan parameterisasi proses fisika yang relatif lebih lengkap. Kusaka et al. (2001) mengembangkan model SLUC dengan mempertimbangkan orientasi canyon dan perubahan sudut elevasi matahari.
Kesetimbangan Energi Perkotaan Proses pertukaran radiasi, energi, dan air yang terjadi antara kopel permukaan-lapisan batas, lebih mudah difahami dengan konsep kesetimbangan energi permukaan. Konsep ini diturunkan dari prinsip dasar fisika yaitu hukum kekekalan energi (hukum Pertama Termodinamika). Energi dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya (dalam hal ini dari permukaan perkotaan ke lapisan atmosfer) dengan mekanisme berbeda yaitu secara konduksi, konveksi, dan radiasi. Dalam perambatannya energi berinteraksi dengan sistem (materi), mengakibatkan energi terbagi menjadi fraksi energi diserap, ditransmisikan, dipantulkan dan diemisikan. Pembagian ini ditentukan oleh sifat fisika dari sistem. Prinsip dasar keseimbangan energi adalah bagaimana hukum kekekalan energi berprilaku pada lapisan batas perkotaan. Pertukaran energi antara permukaan dan atmosfer menentukan evolusi lapisan batas, dan dengan demikian mempengaruhi perilaku termodinamika (suhu permukaan dan kelembaban), dan dinamikanya (aliran udaralokal dan, secara tidak langsung, konsentrasi polutan). Agar prinsip kontinuitas terpenuhi, maka dimungkinkan menghitung semua input dan output energi dalam bentuk persamaan keseimbangan energi. Disebabkan kompleksitas permukaan perkotaan maka penyelesaian masalah kesetimbangan energi perkotaan memerlukan pendekatan yang lebih realistis. Salah satu skema
10
pendekatan permukaan perkotaan adalah model urban street canyonyang menggunakan unit terkecil sistem perkotaan (Nunez dan Oke, 1977;Masson, 2000; Harman dan Belcher, 2006) seperti ditunjukkan Gambar-1.
Gambar 1 Skema urban street canyon, terdiri dari sisi atap datar, dua sisi paralel dinding bangunan dan jalan panjang tak hingga dengan he tinggi bangunan dan we lebarjalan. Hst, Hrf, Hw1 danHw2, dan Hc masing-masing fluks panas sensibel jalan, atap,dinding 1 dan 2, dan kanopi. H∗,ū(z∗),dan Ӫ (z∗):panas sensibel, kecepatan angin dan suhu potensial pada ketinggian acuanz∗.Sumber: reproduksi dari Harman dan Belcher (2006)
Model terdiri dari tiga komponen, yaitu: model perpindahan panas dalam substrat material bangunan dan permukaan tanah; termodinamika dan dinamika lapisan batas atmosfer; dan kesetimbangan energi sub lapisan kekasaran yang menengahi pertukaran energi antara permukaan tanah dan lapisan batas atmosfer. Kesetimbangan energi permukaan didefinisikan disini adalah kesetimbanngan energi volume udara yang berada di dalam canyon hingga ketinggian acuan z∗, dimana turbulensi telah mencampur semua fluks sehingga homogen secara horizontal (Harman dan Belcher, 2006).
11
METODE PENELITIAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Jakarta terletak di dataran rendah yang memilki ketinggian ± 7 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi iklim Köppen, Jakarta memiliki iklim tropis monsoon (Af) sebagaimana daerah lainnya di Indonesia. Perbedaan musim hujan dan kemarau nyata, dimana musim hujan terjadi antara November-Maret, namun kondisi basah hampir di sepanjang tahun. Sedangkan musim kemarau berlangsung antara Mei-September. Curah hujan rata-rata tahunan 164 mm,dan puncaknya terjadi pada bulan Januari dengan rata-rata curah hujan bulanan mencapai 460 mm. Sedangkan pada musim kemarau curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli dengan rata-rata curah hujan bulanan 50 mm. Suhu bervariasi pada kisaran antara 23,7 oC (minimum) hingga 34,2 oC (maksimum), dengan suhu rata-rata tahunan 27 oC. Kelembaban relatif berkisar antara 80-90%, dan arah angin dipengaruhi oleh angin musim. Titik pengamatan Pinangsia adalah kawasan bisnis padat yang terletak lebih kurang 500 m di selatan komplek Kota Tua Jakarta dan 2 km dari pelabuhan Sunda Kelapa. Area seluas lebih kurang 160.000 m2 tersebut dipadati bangunan pertokoan dan perkantoran tua setinggi 3-4 lantai, yang mengapit jalan beraspal selebar 10 m berorientasi utara-selatan dan timur-barat. Ruang terbuka hijau dan badan air sangat terbatasdan tidak tersedia area parkir yang memadai. Sedangkan kawasan pinggiran kota yaitu kawasan Jagakarsa, adalah kawasan penyangga yang kaya vegetasi dan badan air. Namun kawasan saat ini telah tumpang tindih dengan pemukiman dengan kepadatan rendah. Deskripsi umum area pengamatan diberikan dalam Tabel-1.
Tabel 1Deskripsi umum area pengamatan Area Pengamatan
Pinangsia
Jagakarsa
Deskripsi Umum Permukaan Kawasan bisnis yang padat lalu lintas, dengan total luas area +/160.000 m2. Area didominasi bangunan tua berlantai 3-5yang terbuat dari material; bata, plesteran, beton, keramik, asbes, seng, semen.Jalan beraspal berarah utara-selatan dan timur-barat, panjang +/- 3,2 km dan lebar 10 m, diapit oleh bangunan pertokoan dan perkantoran dengan ketinggian 12-30 m. Sangat minim vegetasi dan badan air. Kawasan resapan air yang hijau dan pemukiman penduduk kerapatan rendah.Permukaan didominasi material tembus air seperti tanah, kerikil, dan vegetasi, rumput dan semak. Berlokasi di ujung Selatan Jakarta yang berbatasan langsung dengan kota Depok. Jalan beraspal dan tanah di area pemukiman dengan lebar antara 5-10 m dengan lalu lintas yang sepi
12
Lokasi titik pengamatan dan penyamplingan data yaitu di kawasan padat Pinangsia, Jakarta Barat dan di kawasan hijau Jagakarsa, Jakarta Selatan ditampilkan pada Gambar-2 berikut ini.
(a)
(b)
Gambar 2 Lokasi titik pengamatan(a) area padat kota Pinangsia, (b) kawasan pinggiran kota Jagakarsa yang terbuka dan hijau
Peralatan Penelitian Peralatan utama yang digunakan untuk penyamplingan data cuaca adalah stasiun cuaca otomatis AWS (automatic weather station) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar-3 berikut ini.
Gambar 3 AWS dan unitakuisisi data Model CEA520. Sumber: http://www. cimel.fr/?weather-station=automatic-weather-station&lang=en
Sistem AWS produksi Cimel Elektronique Perancis ini terdiri dari tiga unit utama yaitu; unit akuisisi data, terdiri dari seperangkat sensor cuaca (6 jenis sensor), unit penyimpanan data (datalogger), unit catu daya (baterai kering dan panel surya), dan dudukan datalogger dan sensor. Gambar-4 memperlihatkan jenis sensor cuaca yang digunakan oleh AWS Cimel Elektronique sebagai berikut;
13
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 4 Unit sensor cuaca;(a) sensor suhumodel CES601, (b) sensor kelembaban relatif model CES191,(c) sensor kecepatan angin model CES155, (d) sensor arah angin model CES157, (e) sensor radiasi matahari model CES180, dan (f) sensor curah hujan model CES189. Sumber: http://www. cimel.fr/?weather-station=automaticweather-station&lang=en
Peralatan lainnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kompas, alat ukur panjang (meteran), dan perangkat lunak: Microsoft Office Excell 2007, dan Matlab versi R2010a.
Deskripsi Model SLUC Penelitian ini menggunakan model Single-Layer Urban Canopy (SLUC) (Gambar-5) yaitu gabungan model Town Energy Budget (TEB) Masson (2000) dengan model atmosfer (Kusaka et al. 2001; Trusilova, 2006; Ryu et al. 2011). Model TEB adalah model penyerderhanaan geometri perkotaan menggunakan unit terkecil perkotaan berbasis fisika yang direpresentasikan oleh empat permukaan berbeda, yaitu dua permukaan horizontal (atap bangunan, dan jalan), dan dua permukaan vertikal (dua permukaan dinding bangunan yang mengapit jalan) (Masson, 2000). Model SLUC memperlakukan canyon perkotaan sebagai permukaan tunggal atap dan street canyon sebagai permukaan tunggal dinding dan jalan. Level teratas (ketinggian atap bangunan) model SLUC merupakan syarat batas terbawah model atmosfer skala meso. Pada level terbawah ini, fluks: radiatif, panas, kelembaban, dan momentum dari permukaan atap dan street canyon (dinding dan jalan) dihitung secara poporsional terhadap fraksi area horizontal pada model atmosfer (Masson, 2000). Model dikembangkan untuk memparameterisasi interaksi proses dinamika dan termodinamika antara permukaan perkotaan dengan lapisan atmosfer yang memperhitungkan penyerapan/pantulan radiasi oleh permukaan dinding dan jalan, jebakan radiasi langsung datang, fluks panas dan uap air dari
TEB model
Hblg
Gin= 0
Roughness sublayer
Atmospheric model
Satm , Latm Patm
Urban canopy layer
Atmospheric Forcing Tatm, qatm
uatm
Inertial sublayer
14
Wroad
Gambar 5 Skema kopel model perkotaan dan model atmosfer. TSroof: suhu permukaanatap, TSroad: suhu jalan, dan TSwall: suhu dinding. Suhu lapisan material atap (Troof-1...Troof-n), jalan (Troad-1...Troad-n), dan fluks panas tanah nol (Gin=0). Tibd: Suhu internal bangunan, dan Qftraffic: fluks panas lalu lintas. Hbld: ketinggian bangunan dan Wroad: lebar jalan. Sumber: Modifikasi dari Lemonsu, et al. (2003) dan Olesson, et al. (2008) ketiga permukaan canyon, fraksi vegetasi, tambahan fluks panas antropogenik dari kanopi perkotaan ke atmosfer (panas sensibel dari lalu lintas; pada level jalan, panas senssibel dari industri; pada level atap. Fluks panas keluar dari permukaan padat perkotaan dan vegetasi dirata-ratakan menjadi pertukaran energi dan momentum antara kanopi perkotaan dan atmosfer, serta profil angin eksponensial (Chen, et al. 2011). Fluks dihitung untuk tiap permukaan: atap, jalan, dan dinding, kemudian karakteristik perkotaan dirata-ratakan secara spasial pada model atmosfer (Masson, 2000). Model canyon perkotaan digerakkan oleh model atmosfer melalui unsur meteorologis lapisan atmosfer pada ketinggian acuan zatm, yaitu: angin (uatm),suhu Tatm, kelembaban spesifik qatm, presipitasi Patm, radiasi matahari Satm, dan radiasi gelombang panjang Latm. Komponen fluks dari unit perkotaan ke model atmosfer adalah panas sensibel H dan panas laten LE, momentum τ, radiasi gelombang pendek pantulan S↑, dan emisi radiasi gelombang panjang L↑. Sedangkan suhu udara(Tac), kelembaban spesifik (qac) dan kecepatan angin uclapisan kanopi perkotaan ditentukan dari model perkotaan (Olesson, et al. 2008). Kesetimbangan energi street canyon dikembangkan dari kesetimbangan rata-rata permukaan dan profil suhu substrat untuk empat permukaan berbeda. Ada empat perbedaan antara kesetimbangan energi untuk urban street canyon dan permukaan horizontal. Pertama, syarat batas kedua pada fluks panas lapisan terbawah (ground level) bervariasi dari fluks panas nol permukaan jalan (sebagai permukaan horizontal) dan suhu konstan untuk permukaan lainnya. Sumber panas antropogenik mengambil suhu internal bangunan dengan nilai konstan tertentu.
15
Kedua, kecepatan perpindahan fluks panas sensibel tiap permukaan berbeda terhadap geometri canyon. Ketiga, komponen penggerak atmosfer (eksternal forcing) berbeda tergantung pada geometri canyon. Keempat, perbedaan antara kesetimbangan energi canyon (permukaan vertikal) dan kesetimbangan energi permukaan horizontal adalah interaksi kesetimbangan energi melalui fluks radiatif dan fluks panas turbulen (Harman, 2003). Keistimewaan (ciri-ciri) yang dimiliki oleh model SLUC adalah: (a) model dapat memformulasikan pertukaran energi dan momentum antara permukaan perkotaan dengan lapisan atmosfer secara kolom (1-dimensi), (b) memasukkan pengaruh geometri perkotaan, yang dinyatakan dengan canyon aspect ratio (h/w; h tinggi bangunan, dan w lebar jalan), (c) memasukkan efek bayangan bangunan, penyerapan, pantulan radiasi langsung dan gelombang pendek, (d) memperkirakan suhu permukaan, pertukaran fluks panas dan air dari atap, jalan, dinding, dan transfer panas konduksi dari permukaan bangunan (Masson, 2000, Kusaka et al, 2001, Harman, 2003, Salamanca et al, 2011, dan Ryu et al., 2011). Pada model TEB (Masoon, 2000), kanopi perkotaan diasumsikan suatu susunan street canyon isotropik dengan tiga permukaan berbeda, dimana perpindahan panas dihitung melalui beberapa lapisan material (umumnya empat). Fluks panas dan neraca radiasi diperoleh dengan menghitung energi pada permukaan dinding dan jalan secara terpisah, termasuk pantulan berulang radiasi pada jalan. Pada neraca yang detail ini, koefisien perpindahan panas antara permukaan dan udara di dalam kanopi, diantara kanopi dan udara di atasnya, kecepatan angin di dalam kanopi dihitung menggunakan parameter empirik (Dupont dan Mestayer, 2006).
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kota Jakarta dengan titik pengambilan data di area padat Pinangsia dan pinggiran kota Jagakarsa (tanda bintang pada Gambar-6).
Pinangsia
Jagakarsa
Gambar 6 Peta lokasi pengamatan
16
Secara geografis kota Jakarta berada pada posisi 1060 31’- 1070 BT dan 50 29’ 50”- 60 26’ LS, kawasan Pinangsia Jakarta Barat 1060 48’ 826” BT dan 60 8’ 067” LS, dan kawasan Jagakarsa Jakarta Selatan 1060 49’ 255” BT dan 60 20’ 923” LS. Penyamplingan data dilakukan pada dua titik yaitu di area padat kota Pinangsia, dan area hijau Jagakarsa pinggiran kota. Penyamplingan dimulai bulan Oktober hingga Nopember 2012, tanggal 18 Oktober 2012 sampai 18 Nopember 2012, dengan frekuensi penyamplingan dilakukan tiap jam. Posisi penyamplingan di area padat kota dilakukan pada ketinggian berbeda yaitu: 2 m di atas jalan beraspal, dan 15 m di atas atap bangunan 4 lantai (tinggi bangunan 15 m). Sedangkan di area terbuka pinggiran kota, penyamplingan dilakukan pada ketinggian standar yaitu 2 m di atas tanah. Instrumentasi (sensor) dan posisi penempatannya secara rinci dijelaskan dalam Tabel-2.
Tabel 2 Instrumentasi, variabel, dan ketinggian pengamatan Instrumentasi (sensor) Area padat kota (Pinangsia) Suhu (Cimel CES601) Kelembaban Relatif (Cimel CES191) Kecepatan Angin (Cimel CES155) Arah Angin (Cimel CES157) Radiasi matahari (Cimel CES180) Curah hujan (Cimel CES189) Area pinggirankota (Jagakarsa) Suhu (Cimel CES601) Kelembaban Relatif (Cimel CES191) Kecepatan Angin (Cimel CES155) Arah Angin (Cimel CES157) Radiasi matahari (Cimel CES180) Curah hujan (Cimel CES189)
Variabel (Satuan)
Ketinggian (m)
T[oC] RH[%] u [m.s-1] wind dir. [deg] S↓ [W.m-2] P [mm]
2 dan 30 2 dan 30 2 dan 30 2 dan 30 2 dan 30 2
T[oC] RH[%] u [m.s-1] wind dir. [deg] S↓ [W.m-2] P[mm]
2 2 2 2 2 2
Kedua lokasi penyamplingan ditentukan berdasarkan perbedaan peruntukan lahan dan karakteristik fisik permukaan. Karakter permukaan yang diperhatikan adalah keberadaan bangunan dan jenis material penyusunnya, infrastruktur jalan, trotoar, lahan perparkiran, jalur hijau, area vegetasi, badan air serta orientasi jalan. Orientasi jalan perkotaan dipilih berarah utara–selatan dengan maksud agar kedua sisi dinding bangunan yang mengapit jalan menghadap ke arah timur dan barat, sehingga kedua permukaan bangunan mendapatkan pencahayaan sinar matahari secara maksimal sepanjang hari. Lokasi pengamatan dan posisi penyamplingan data ditunjukkan pada Gambar-7.
17
(a)
(b)
(c)
Gambar 7 Lokasi dan posisi penyamplingan data. (a) Pinangsia; 30 m di atas bangunan, (b) Pinangsia; 2 m di atas jalan aspal, (c) Jagakarsa; 2 m di lahan terbuka hijau
Adapun data yang diperoleh dari hasil pengamatan pada kedua lokasi pengamatan yaitu area padat Pinangsia dan kawasan pinggiran kota Jagakarsa secara grafis ditunjukkan pada Gambar-8, dan data numeriknya pada Lampiran 1.
(a)
(b)
(c)
Gambar 8 Data hasil pengamatan, (a) radiasi global, (b) suhu potensial pada ketinggian acuan 30 m, dan (c) kecepatan angin
18
Parameterisasi Proses Fisika
Parameter Model Model SLUC memparamerisasi proses interaksi permukaan perkotaan dengan dinamika dan termodinamika atmosfer. Untuk menginisiasi skema neraca energi perkotaan diperlukan data masukan model yakni data cuaca, dimensi canyon, dan parameter fisik permukaan, sebagaimana ditunjukkan pada (Tabel-3). Tabel 3 Parameter model SLUC Simbol
Arti Simbol
Satuan
Nilai
% % %
98 90 40
m m
15 10 1,5 5 1
Parameter Geometri : 1. Fraksi luasana)
αtown αbld 1 − αbld
Fraksi luasan tertutupi oleh material buatan Fraksi luasan tertutupi oleh bangunan Fraksi luasan tertutupi oleh jaringan jalan
2. Geometri canyona)
H W h/w z0town Cd
Ketinggian bangunan Lebar jalan Canyon aspect ratio Panjang kekasaran dinamik sistem bangunan Koefisien geser (drag coefficient)
m
3. Ketebalan lapisana)
dR1, dR2, dR3 dw1, dr2, dr3 dr1, dw2, dw3
aspal gulungan, beton padat,penyekat beton berongga/jendela, batu bata, penyekat aspal, batuan dan kerikil dan tanah kering Parameter Radiatif :
m m m
0,01; 0,10; 0,05 0,02; 0,10; 0,01 0,07; 0,30; 1,00
1. Albedo lapisanb)
αR1 αw1 αr1
Lapisan atap Lapisan dinding Lapisan jalan
0,20 0,25 0,08
2. Emissivitas lapisanb)
εR1 εw1 εr1
Lapisan atap Lapisan dinding Lapisan jalan Parameter Termal :
0,90 0,90 0,95
1. Konduktivitas termal lapisan ke k c)
λR1, λR2,λR3 λw1, λw2, λw3 λr1, λr2, λr3
Lapisan atap ke 1, 2, dan 3 Lapisan dinding ke 1, 2, dan 3 Lapisan jalan ke 1, 2, dan 3
0,94; 0,03; 0,16 0,88; 0,88; 0,21 W/mK 0,82; 2,10; 0,40
2. Kapasitas panas lapisan ke k c)
CR1, CR2, CR3 Cw1, Cw2, Cw3 Cr1, Cr2, Cr3 a)
Lapisan atap ke 1, 2, dan 3 Lapisan dinding ke 1, 2, dan 3 Lapisan jalan ke 1, 2, dan 3
Hasil pengamatan,
b)
Chen et al. ( 2011), dan c)Masson et al. (2002)
1,70; 1,50; 0,87 1,54; 1,54; 0,32 MJ/mK 1,74; 2,00; 1,40
19
Data meteorologis terdiri: radiasi matahari masuk/kelaur, radiasi gelombang panjang masuk, suhu udara, kelembaban spesifik, kecepatan angin, dan curah hujan. Selanjutnya parameter geometri (dimensi canyon): ketinggian bangunan, lebar jalan, canyon aspect ratio, panjang kekasaran dinamik, dan koefisien pergeseran, ketebalan lapisan (atap, jalan, dinding), fraksi luas permukaan tertutupi bangunan, material buatan, jalan, dan vegetasi, dan orientasi canyon. Parameter permukaan: parameter radiatif; albedo dan emissivitas lapisan atap, jalan, dan dinding. Konstanta fisika yang digunakan dalam model: konduktivitas termal dan kapasitas panas material permukaan atap, jalan, dan dinding; dan konstanta StefanBolltzman.
Evolusi Suhu Permukaan Evolusi suhu pada lapisan permukaan atap, jalan, dan dinding (diwakili oleh lapisan tengah tiap lapisan) dihitung berdasarkan pada prinsip neraca energi dengan persamaan prognostik untuk lapisan atap, jalan, dan dinding yang dinyatakan dengan persamaan berikut (Masson, 2000);
⋆1,2
(1)
di mana ⋆ adalah jenis permukaan canyon yaitu; atap (R), jalan (r), dan dinding (w). T⋆k adalah suhu permukaan lapisan ke k (untuk persamaan di atas, k = 1), C⋆k: kapasitas panas bahan, λk: konduktivitas termal bahan, dan d⋆k: ketebalan lapisan. , , H⋆, LE⋆, G⋆water, dan G⋆1,2 masing-masing: radiasi matahari netto, radiasi gelombang panjang netto, fluks panas sensibel, fluks panas laten, fluks konduksi panas antara lapisan air dan lapisan permukaan, dan fluks konduksi panas antara lapisan permukaan dengan lapisan terbawah. Sementara itu P, Lv ,dan WRmaks masing-masing: presipitasi, panas laten penguapan, dan jumlah air hujan maksimum di permukaan atap (nilai maksimum = 1). Diasumsikan bahwa lapisan teratas permukaan atap, jalan, dinding sangat tipis, sehingga suhu rata-rata lapisan dapat digunakan untuk mengevaluasi fluks radiatif dan turbulen pada permukaan. Ini dimaksudkan bahwa suhu permukaan T⋆ dihitung sebagai T⋆1 (T⋆ = T⋆1). Suhu lapisan lainnya dihitung sesuai persamaan konduksi panas satu dimensi, yaitu (Masson, 2000); (2) Fluks konduksi panas antara lapisan ke k dan ke k+1 (k < n : dimana n = 3 adalah banyaknya lapisan) dihitung dengan persamaan (Masson, 2000);
20
(3) di mana konduktivitas lapisan ke k dan k+1 adalah ;
Syarat batas terbawah permukaan atap dan dinding diberikan oleh suhu internal bangunan (Tibld), sedangkan untuk permukaan jalan syarat batas terbawah sama dengan nol. Fluks antara lapisan ke n (lapisan terdalam) dengan lapisan di atasnya adalah (Masson, 2000); (4) (5) (6)
Neraca Radiasi Gelombang Panjang Radiasi gelombang panjang yang tertahan di dalam canyon perkotaan dianggap terjadi satu kali emisi (pantulan) ulang. Radiasi gelombang panjang netto yang diserap oleh permukaan jalan dan dinding dihitung dengan mempertimbangkan faktor sky-view (ψ⋆) yakni faktor yang menyatakan fraksi penampakan langit dari permukaan jalan dan dinding (Masson, 2000), yaitu:
(7)
1−
↓+ 1− 4+ 1−
1−2 1−2
↓+
21− 4
1−2
2
4+
21−
di mana faktor sky-view permukaan jalan dan dinding masing-masing adalah;
dan
serta emissivitas permukaan jalan adalah;
(8)
21
dan
Neraca Radiasi Gelombang Pendek Radiasi langsung Disebabkan adanya efek bayangan pada permukaan dinding atau jalan, maka untuk mengestimasi fluks radiasi yang diterima oleh permukaan jalan atau dinding perlu memperhitungkan arah sinar matahari terhadap sumbu canyon (θ) dan sudut ketinggian matahari (θz). Jika orientasi jalan tegak lurus terhadap arah sinar matahari (θ = π/2), maka θzr = arc tan (w/h) yang didefinisikan sebagai sudut ketinggian dimana sinar matahari mulai menyinari permukaan jalan (Masson, 2000) yaitu; (9) (10) (11) Radiasi pantulan Radiasi matahari langsung ( ) yang diterima permukaan dideduksi dari faktor sky-view. Oleh karena bentuk canyon dan kemungkinan permukaan memiliki albedo tinggi, maka neraca radiasi gelombang pendek dihitung dengan memecahkan sistim geometri untuk sejumlah pantulan tak terbatas. Pantulan dianggap isotropik, artinya tidak ada pantulan dengan arah tidak beraturan pada model ini. Total radiasi matahari yang diserap oleh tiap jenis permukaan menurut (Masson, 2000) adalah; (12)
(13) (14)
22
Panas Antropogenik Panas dan uap air yang dihasilkan dari aktivitas manusia atau penduduk kota dilepaskan ke atmosfer. Ada dua sumber utama panas dari aktivitas perkotaan yaitu panas dari rumah tangga dan hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor. Panas rumah tangga ditentukan dengan mengandaikan suhu internal bangunan adalah konstan. Sumber panas tersebut dilepaskan ke arah dinding atau atap dan selanjutnya diemisikan ke lapisan atmosfer secara konduksi.
Fluks Panas Antara Atap dan Atmosfer Fluks panas sensibel H dan uap air LE antara permukaan atap dan atmosfer dihitung dengan hubungan berikut ini (Masson, 2000); (15) (16)
Kecepatan Angin Dalam Canyon Perhitungan kecepatan angin dalam canyon diperlukan untuk mengestimasi fluks panas antara permukaan bangunan (atap, jalan,dinding) dan canyon. Masson (2000) menghitung kecepatan angin vertikal sejajar dinding dengan; (17) dan kecepatan angin horizontal diestimasi pada setengah ketinggian canyon (dinding), yaitu dengan menggunakan hubungan berikut; (18)
Fluks Panas Sensibel dan Laten Dalam Canyon Fluks antara udara canyon dan atmosfer Fluks Panas H dan uap air LE antara canyon dan atmosfer dihitung menggunakan hubungan berikut (Masson, 2000); (19) (20)
23
Fluks antara dinding, jalan, dan udara dalam canyon Besarnya fluks antara permukaan canyon (dinding dan jalan) dan udara dalam canyon dipengaruhi oleh sifat aerodinamis (resistan permukaan) permukaan dinding (RESw) dan jalan (RESr). Besarnya resistan kedua permukaan dianggap sama, yang dihitung dengan hubungan berikut (Masson, 2000); (21) Sehingga fluks panas sensibel dan laten antara permukaan canyon dan udara di dalam canyon dapat diperoleh dengan hubungan berikut ini. Masson (2000) memberikan persamaan fluks panas sensibel dan laten dari permukaan jalan; (22) (23) dan fluks panas sensibel dan fluks panas laten dari permukaan dinding; (24) (25)
Prosedur Penelitian Kegiatan penelitian ini diawali dengan persiapan penelitian, penentuan lokasi penelitian, penyamplingan data, analisis data penelitian, parameterisasi proses fisika, menjalankan model dan menguji keakuratan model SLUC. Tahap persiapan difokuskan pada kegiatan pengumpulan informasi dan data lokasi penelitian seperti peta lokasi, luas area dan kepadatan penduduk, tata guna lahan kondisi riil di lapangan, dan kondisi umum iklim setempat. Tahap berikutnya menentukan lokasi penelitian. Pengamatan dilakukan pada dua lokasi yaitu di area padat kota dan area pinggiran kota.Area padat kota ditentukan menggunakan teknik cluster sampling. Sedangkan area pinggiran ditentukan dengan pengamatan langsung dilapangan. Prosedur penentuan area padat sebagai berikut; dari lima wilayah administratif Jakarta dipilih 2 sampel wilayah terpadat penduduknya. Berdasarkan data kepadatan penduduk dipilih wilayah Jakarta Pusat (kepadatan 18,676 ribu jiwa/km2) dan Jakarta Barat (kepadatan 17,592 ribu jiwa/km2). Dari dua sampel tersebut dipilih dua sampel kelurahan dengan kawasan bisnis terpadat yaitu kawasan Taman Sari dan Sawah Besar. Akhirnya dipilih satu kawasan bisnis padat dengan jalan berarah utara-selatandiapit oleh bangunan dengan ketinggian hampir merata. Kawasan tersebut adalah area bisins Pinangsia dengan luas sekitar 160.000 m2, dengan titik pengamatan di jalan Pinangsia Timur Jakarta Barat. Selanjutnya area pinggiran kota ditentukan berdasarkan pengamatan langsung dilapangan. Ditetapkanlah lokasi pengamatan disebuah lahan terbuka seluas
24
kurang lebih 10.800 m2 milik perusahaan pengembang PT. Casamora yang berlokasi di jalan Belimbing kawasan Jagakarsa Jakarta Selatan. Penyamplingan data cuaca dititik pengamatan dilakukan pada posisi berbeda. Pada area Pinangsia, penyamplingan dilakukan 2 m di atas jalan aspal, dan 15 m di atas atap bangunan 4 lantai (tinggi 15 m). Pada area Jagakarsa penyamplingan dilakukan 2 m di lahan rumput. Data yang disampling in situ di kedua lokasi adalah sama, yaitu; radiasi matahari, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, arah angin, dan curah hujan. Data geometri canyon yaitu ketinggian bangunan dan lebar jalan diukur langsung dilokasi pengamatan area Pinangsia, pada salah satu bangunan terpilih dan jalan beraspal di depannya. Sedangkan suhu permukaan dan nilai parameter fisik bangunan diperoleh dari literatur. Setelah data diperoleh maka tahapan berikutnya adalah menganalisis data hasil pengamatan menggunakan prosedur analisis data yang baku. Tahap selanjutnya melakukan parameterisasi untuk menghitung sejumlah proses fisika penting yang terjadi di dalam canyon perkotaan. Setelah itu dilakukan validasi model menggunakan data masukan cuaca yang disampling di area Pinangsia. Tahapan terakhir penelitian adalah menguji kinerja dan kehandalan model dalam mensimulasi dan memprediksi komponen neraca radiasi dan energi, serta suhu permukaan canyon. Alur kerja kegiatan penelitian diberika pada Lampiran-2
Analisis Data Pengamatan Pengolahan Awal Data Data awal cuaca hasil pengukuran yang masih terekam pada alat penyimpan data di salin ke dalam format Excell (ekstensi .xls) sehingga lebih mudah diolah. Selanjutnya data disusun dalam tabel yang secara kolom menunjukkan unsurunsur cuaca yang diukur, dan secara lajur menunjukkan waktu penyamplingan data. Setelah itu ditentukan suhu udara rata-rata jam-an dengan hubungan berikut, (26) di mana: nj: jumlah data jam-an dalam sehari; i: data ke (1,2, . . .10); TUave : suhu udara rata-rata jam-an; TUaveJi: rata-rata suhu udara dari rata-rata suhu udara jaman. Data Suhu Permukaan Canyon Perhitungan neraca energi permukaan canyon; atap, dinding, dan jalan, diperlukan data pengukuran suhu lapisan terluar ketiga permukaan tersebut. Pada penelitian ini hal tersebut gagal dilakukan disebabkan terjadi kerusakan sensor pengukur suhu permukaan yang dapat merekam data suhu selama 24 jam secara otomatis. Untuk itu digunakan data pengukuran Oke (1999) yang diambil pada kota Mexico City Meksiko, menggunakan termometer infrared. Data diambil pada bulan Desember tahun 1999 selama satu minggu pada musim kering (panas),
25
dilokasi historis kota yang padat yang didominasi gedung-gedung pemerintahan dan pusat komersial dengan ketinggian bangunan 18,4 ± 6,6 m. Saat pengukuran suhu dilakukan kecepatan angin lebih kecil dari 3,5 ms-1. Data Geometri Perkotaan Untuk merepresentasikan perkotaan sebenarnya, diperlukan beberapa data dan nilai parameter permukaan fisik perkotaan, seperti data geometri canyon, parameter radiatif dan termal material perkotaan. Data geometri canyon terdiri dari ketinggian bangunan, lebar jalan, tebal dan jenis material lapisan 1,2, dan 3 atap, dinding dan jalan diperoleh dari pengamatan di area pengamatan Pinangsia. Sedangkan nilai parameter radiatif dan termal seperti albedo, emissivitas, konduktivitas dan kapasitas termal bangunan diperoleh dari Masson (2000) dan Masson et al. (2002). Uji Kehandalan Model Untuk melihat kehandalan unjuk kerja model dalam mensimulasikan suhu permukaan dan fluks turbulen pada model permukaan atmosfer skala meso (siglelayer urban canopy) diperlukan beberapa uji statistik. Data suhu atap, dinding, dan jalan keluaran model dibandingkan dengan data pengamatan menggunakan uji Mean Absolut Error (MAE), Mean Error (ME), dan Root Mean Square Error (RMSE) seuai metode yang diusulkan oleh Willmott (1982). Uji MAE untuk mengetaui rata-rata perbedaan antara nilai prediksi model dan nilai pengamatan, dan nilainya selalu positif, (27) di mana: Pi dan Oi adalah nilai prediksi model ke-i dan nilai pengamatan ke-i dan N adalah jumlah pengamatan Uji ME untuk mengetahui perbedaan antara rata-rata variabel prediksi model dan rata-rata variabel pengamatan (Ō) menggunakan hubungan, (28) Untuk menilai unjuk kerja relatif model maka dilakukan uji Index of Agreement (IA) sebagaimana dirumuskan oleh Willmott (1982) yaitu; (29) di mana: nilai IA berkisar antara 0 hingga 1, dan IA = 1 berarti simulasi model sempurna. dan serta Ō adalah rata-rata variabel pengamatan. Untuk melihat perbedaan yang nyata antara nilai pengamatan dan model dilakukan uji RMSE dengan cara; (30)
26
di mana: nilai RMSE selalu berharga positif Selanjutnya uji korelai Pearson dan koefisien determinasi (R2). Jika nilai korelasi Pearson, R2, dan IA ~1, dan nilai RMSE semakin kecil, dan nilai MAE mendekati nilia ME, maka dapat disimpulkan model bekerja dengan baik.
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Radiasi dan Energi Area Pinangsia Kesetimbangan energi permukaan atap, jalan, dan dinding area bisnis padat Pinangsia ditunjukkan pada Gambar-9. Model SLUC dijalankan menggunakan data masukan yang diperoleh di area Pinangsia. Kondisi cuaca saat pengambilan data cerah pagi hari dan berawan tipis menjelang sore, dengan kecepatan angin lemah (< 2 m/det) dan tidak hujan. Orientasi jalan berarah utara-selatan dan tegak lurus lintasan matahari. Terlihat fluks radiasi neto diterima atap paling dominan (419 W.m-2) dibanding jalan (392,86 W.m-2)yangterjadi tengah hari pukul 12.00 WIB. Dinding menerima dua kali radiasi maksimum yaitu pada pukul 09.00 WIB (139,87 W.m-2) dan pukul 14.00 WIB (109,18 W.m-2). Fluks radiasi diterima atap masuk akal karena atap tidak terhalang apapun, sehingga energi yang diterimapun optimal setiap waktu. Karena pengaruh bayangan dinding timur bangunan (pagi hari) dan dinding barat bangunan (sore hari), maka durasi maksimum radiasi matahari yang diterima jalan lebih singkat (sekitar3 jam).
(a)
(b)
(c) Gambar 9 Variasi diurnal model kesetimbangan energi permukaan (a) atap, (b) jalan, dan (c) dinding pada ketinggian acuan (30 m) area padat Pinangsia Jakarta
28
Sementara itu fluks panas H model yang diemisikan permukaan atap danjalan dominan pada siang hari.Hasil inipun diperoleh oleh banyak peneliti sebelumnya misal olehNewton dan Oke (2007).Ini disebabkan karena kedua permukaan horizontal ini adalah permukaan yang paling aktif merespon radiasi panas siang hari (Piringer, 2002). Seiring meningkatnya radiasi neto masuk pada periode transisi malam-siang menjelang pukul 06.00 WIB, material permukaan atap dan jalanyang mulanya dingin, secara perlahan mulai menyerap radiasi panas sehingga fluks H permukaan mulai dominan positif (Masson et al. 2002; Newton et al. 2007; Quah dan Roth, 2012). Pada Gambar-9a terlihat fluks H dari atap terus meningkat dan mencapai maksimum pukul 12.00WIB yaitu 149,64 W.m-2. Namun setelah terbenam matahari (18.00 WIB) periode positifnya tak dapat bertahan.Sementara fase positif fluks H dari jalan terjadi terlambat (setelah pukul 09.00 WIB) dan berakhir lebih awal (pukul 17.00 WIB), dengan puncaknya terjadi pukul 13.00 WIB yaitu 100,27 W.m-2. Ini terjadi karena permukaan jalan baru menerima radiasi relatif tinggi setelah pukul 10.00 WIB (karena pengaruh bayangan).Durasi radiasi maksimumnya lebih singkat, sehingga penyimpanan panas pada permukaan terlambat dimulai. Dibanding permukaan jalan dan dinding, pada siang hari atap meyerap lebih banyak radiasi gelombang panjang dengan nilai maksimunya -117,71 W.m-2 terjadi pukul 15.00 WIB. Sementara jalan menyerap sebesar 69,85 W.m-2 radiasi gelombang panang datang dan dinding hanya 28,34 W.m-2. Pada periode transisi siang-malam, permukaan mulai melepaskan emisi gelombang panjang yang tersimpan di material permukaan. Suhu permukaanpun turun hingga di bawah suhu lapisan batas. Permukaan tidak mampu lagi menjaga nilai positip H sepanjang malam. Emisi panas H dari permukaan turun drastis sehingga suhu lapisan batas terbawahpun mendingin menyebabkan terbentuknya lapisan batas yang stabil. Salah satu sebab tidak dapat bertahannya nilai positif H malam hari adalah karena rendahnya fluks penyimpanan panas di permukaan siang hari, dan karena meningkatnya aliran udara atau tutupan awan yang menghambat pelepasan radiasi L↑, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Oke et al. (1999). Sementara emisi H dari dinding justru menguat malam hari.Ini karena permukaan dinding lebih aktif merespon panas malan hari sebagaimana dikemukakan oleh Piringer (2002). Bertambah luasnya permukaan menyebabkan total emisi radiasi gelombang panjang meningkat, dan karena terbatasnya SVF akibat kerapatan bangunan.Hal ini mempengaruhi kesetimbangan energi canyon malam hari. Fraksi radiasi L yang signifikan diserap permukaan dinding dan jalan tak dapat terlepaskan dengan bebas ke udara. Kekuatan fluks radiasi neto di permukaan canyon melemah dan permukaan mendingin secara lambat. Namun suhu permukaan canyon tetap lebih tinggi dan sebaliknya meningkatkan emitansi radiasi gelombang panjang (Harman dan Belcher, 2006). Adapun komponen fluks LE area padat kota nilainya sangat kecil (~ nol), menunjukkan bahwa area padat kota sangat minim permukaan lembab dan vegetasi (Masson et al. 2002; Memon et al. 2008). Komponen fluks ΔQS dan fluks emisi QF pada penelitian ini tidak dihitung. Namun secara umum nilai fluks ΔQS untuk area padat bangunan yang didominasi material beton, keramik, metal, kaca dan aspal hampir sebanding dengan nilai fluks H (Piringer, 2002; Newton dan Oke, 2007).
29
Pengaruh Geometri Canyon Perkotaan Gambar-10 menyajikan model variasi diurnal fluks energi permukaan area padat perkotaan Pinangsia untuk nilai h/w berbeda. Area perkotaan secara substansial dapat merubah kesetimbangan neraca radiasi dan energi. Fluks radiasi masuk/keluar (S↓ dan S↑), dan gelombang panjang keluar (L↑) pada/dari permukaan canyon sangat dikendalikan oleh geometri canyon (Harman dan Belcher, 2006). Neraca energi arae perkotaan siang hari didominasi oleh fluks panas sensibel dari permukaan atap dan jalan (Kusaka et al. 2001). Fluks radiasi gelombang S↓ diterima atap (nilai S positif) tak bergantung pada geometri canyon (variasi h/w), sebagaimana telah di bahas pada sub bab terdahulu. Sementara fluks energi pada permukaan jalan dan dinding sangat sensitif terhadap geometri canyon. Radiasi L neto yang diterima jalan dan dinding berkurang drastis dengan peningkatan h/w, yang menyebabkan radiasi L↑ terjebak dalam canyon meningkat. Permukaan dinding menerima lebih sedikit radiasi L↓ dibanding jalan karena sky view factor (SVF) permukaan jalan kecil (Kusaka et al. 2001) (Gambar-10b). Permukaan jalan menerima fluks radiasi S maksimum diterima permukaan jalan untuk kedua nilai h/w kecil (Olesson dan Bonan, 2008). Semakin besar nilai h/w semakin tajam bentuk grafik diurnal radiasi S, dan lebih singkat durasi maksimumnya (antara pukul 11.00-13.00 WIB) karena
(a)
(b)
Gambar 10 Variasi diurnal model kesetimbangan energi permukaan (a) jalan (b) dinding area padat Pinangsia untuk h/w = 1 dan h/w = 3.
30
pengaruh bayangan kedua sisi dinding (pagi hari dan sore). Panas tersimpan pada permukaan juga menurun, sehingga emisi H pun berkurang. Semakin tinggi bangunan, semakin singkat permukaan jalan dan dinding menerima radiasi S, dan semakin rendah fluks H yang diemisikan, serta semakin meningkat emisi L yang terjebak. Fluks H maksimum jalan untuk h/w=1 adalah 115,68 W.m-2 dan h/w = 3 adalah 75,95 W.m-2. Radiasi neto diterima jalan untuk h/w = 1 (363,74 W.m-2) sedikit di atas h/w = 3 (392,60 W.m-2). Fluks H yang diemisikan (H positip) dinding lebih besar untuk h/w =1 (35,00W.m-2 ) dibanding h/w = 3 (18,22 W.m-2) (Gambar-10b). Untuk h/w = 3 terlihat emisi fluks H permukaan dinding terjadi pelemaham pada malam hari.
Variasi Diurnal Suhu Permukaan Canyon Gambar-11 memperlihatkan model variasi diurnal suhu permukaan dan suhu kanopi (pengamatan). Suhu permukaan atap dan jalan (Gambar-11a dan 10b) terlihat sangat sensitif terhadap perubahan geometri canyon perkotaan. Variasi suhu diurnal atap untuk h/w = 1 lebih tinggi (3,7 ºC) dibanding untuk h/w = 3. Demikianpula untuk permukaan jalan (Gambar-11b), dimana pola variasi lebih rumit terjadi pada pukul 10.00 dan 15.00 WIB, yakni grafik suhu berbalik fase antara h/w = 1 dengan h/w = 3. Ini terkait dengan pola variasi radiasi S yang diterima permukaan jalan untuk h/w = 3 (Gambar-10b), di mana antara pukul
(a)
(b)
(c) Gambar 11 Variasi diurnal suhu: (a) atap, (b) jalan, (c) dinding untuk h/w = 3; 1,5; 1, dan suhu lapisan kanopi pada ketinggian acuan (30 m)
31
09.00-11.00 WIB dan 13.00-15.00 WIB fluks radiasi S negatif karena jalan terbayangi oleh dinding, sehingga suhu jalan menurun tajam. Secara umum suhu atap lebih tinggi dari suhu jalan, dan dinding paling rendah dari keduanya. Hasil ini sesuai temuan Harman dan Belcher (2006). Untuk dinding, perbedaan h/w tidak begitu pengaruh pada variasi suhu permukaan (h/w lebih kecil suhu tetap lebih tinggi), dimana secara umum suhu dinding mendekati suhu lapisan kanopi. Hasil di atas menegaskan bahwa geometri canyon sangat mempengaruhi suhu diurnal permukaan atap dan jalan pada siang hari, dibanding dinding. Radiasi neto sebagai fluks penggerak suhu permukaan dikendalikan oleh bentuk bangunan lokal (Harman dan Belcher, 2006). Piringer (2002) menjelaskan bahwa permukaan atap dan jalan adalah permukaan yang paling aktif merespon panas siang hari yang mempengaruhi suhu permukaan, sedangkan dinding lebih aktif pada malam hari. Meluasnya permukaan terbangun (SVF kecil) meningkatkan total emisi L terjebak, yang mempengaruhi kesetimbangan energi canyon malam hari. Akibatnya fraksi emisi L dari dinding dan jalan terhambat pelepasannya ke atmosfer. Meskipun magnitud radiasi neto diterima permukaan canyon melemah, namun pendinginan berlangsung lambat, sehingga suhu permukaan tetap tinggi. Sebaliknya emitansi radiasi L justru meningkat (Harman dan Belcher, 2006). Pola varasi suhu kedua permukaan mempunyai bentuk yang berbeda, dimana atap mulai memanas bersamaan dengan permukaan menerima radiasi langsung pagi hari (dimulai pukul 07.00 WIB) hingga suhu atap maksimum sekitar pukul 15.00 WIB saat intensitas radiasi matahari diterima atap melemah. Pola berbeda terjadi pada permukaan jalan, dimana permukaan mulai memanas dengan lambat antara periode pukul 07.00 hingga 10.00 WIB. Hal ini terjadi karena orientasi jalan berarah utara-selatan, sehingga pada pagi hari hanya sebagian kecil saja permukaan jalan yang menerima radiasi matahari yang dipantulkan dari permukaan sisi timur dinding bangunan. Seiring semakin besar sudut datang cahaya matahari maka semakin optimal permukaan jalan menerima radiasi langsung, menyebabkan suhu permukaan meningkat dengan cepat dalam durasi yang lebih singkat (antara pukul 10.00-13.00 WIB) dibanding atap. Gambar-11a dan 11b memperlihatkan suhu permukaan semakin tinggi dengan berkurangnya nilai h/w. Periode terpanas suhu permukaan jalan berkurang dengan peningkatan nilai canyon aspect ratio (Harman dan Belcher, 2006). Ini sesuai yang ditunjukkan pada Gambar-11b, dimana semakin besar nilai h/w maka periode terpanas suhu permukaan jalan semakin menurun. Jadi jelas terlihat disini bahwa suhu permukaan area perkotaan sangat dikendalikan oleh konfigurasi lokal bangunan (urban canyon). Variasi suhu udara di lapisan kanopi terlihat tidak dipengaruhi oleh perubahan h/w. Suhu permukaan yang meningkat siang hari dipengaruhi sepenuhnya oleh fluks panas sensibel yang diemisikan dari permukaan ke atmosfer. Sedangkan pada malam hari emisi fluks panas sensibel mengarah dari atmosfer ke permukaan menyebabkan suhu lapisan atmosfer mendingin. Dengan kata lain variasi suhu lapisan atmosfer selalu mengikuti pola variasi suhu permukaan, bukan oleh perubahan nilai h/w sebagaimana suhu permukaan (Harman dan Belcher, 2006).
32
Variasi Pendinginan Canyon Peningkatan suhu permukaan perkotaan malam hari berkorelasi dengan konfigurasi dan bentuk bangunan (Harman dan Belcher, 2006). Pelepasan emisi radiasi (L↑) dari canyon perkotaan yang mereduksi laju pendinginan permukaan dipengaruhi oleh geometri bangunan. Suhu udara dekat permukaan perkotaan meningkat karena tertahannyaemisi fluks L↑ dari permukaan ke atmosfer, dan emisi balik radiasi L↓ akibat pantulan dari lapisan polutan di atmosfer, menyebabkan fluks emisi gelombang panjang masuk meningkat (Oke, 1978 hlm. 202 dan 248). Kerapatan bangunan menyebabkan pandangan langit terbatas (SVF tereduksi) sehingga pelepasan emisi gelombang panjang ke atmosfer terhambat. Emisi L↑ yang terjebak dalam canyon cenderung menghambat laju pendinginan canyon, yang dipengaruhi juga oleh kecepatan angin dalam canyon (Harman dan Belcher, 2006). Gambar-12 memperlihatkan variasi nokturnal pendinginan permukaan area padat Jakarta yang dipadukan dengan variasai peningkatan fluks gelombang panjang netto. Model SLUC mensimulasi laju pendinginan setelah matahari terbenam hingga pagi hari (pukul 04.00), dengan nilai h/w lokasi pengamatan adalah 1,5 (level menengah). Awalnya model mengestimasi suhu dinding sedikit di atas perkiraan (over estimate), tetapi setelah pukul 21.00WIB estimasi cenderung dibawah nilai pengamtannya (under estimate). Sedangkan suhu permukaan jalan pada awal simulasi model mendekati pengamatan, namun antara
pukul 20.00 WIB hingga 01.00 WIB (tengah malam) estimasi model di atas perkiraan dan menjelang pukul 04.00 WIB di bawah estimasi model di atas perkiraan dan menjelang pukul 04.00 WIB di bawah perkiraan. Sementara itu, model dapat mensimulasikan kecenderungan peningkatan fluks emisi gelombang L dari permukaan dinding dan jalan hingga pagi. Model memperkirakan laju pendinginan rata-rata permukaan canyon (dinding, jalan, dan atap) sangat rendah yaitu 0,31 oC/jam. Kecepatan angin ratarata dalam canyon sangat rendah yaitu 0,021 m/det, dan di atas canyon (di atas atap bangunan) 1,058 m/det, sehingga kurang efektif mendinginkan permukaan canyon. Menurut Olesson et al. (2010) kecepatan angin yang relatif lebih kuat efektif memindahkan panas yang diemisikan dari permukaan bangunan. Rata-rata penyimpangan model suhu kedua permukaan terhadap nilai pengamatan relatif
(a)
(b)
Gambar 12 Variasi nokturnal suhu permukaan dinding (a) jalan (b) dan model fluks gelombang panjang netto
33
kecil yaitu 0,14 oC. Secara umum, nilai penyimpangan yang diperoleh lebih rendah dari nilai penyimpangan Masson (2000) (yakni kurang dari 1 K ) dan Kusaka et al. (2001) (sebesar ± 1 oC). Keduanya menggunakan data masukan sama yakni kota Vancouver BC, meskipun metode berbeda namun hasil yang diperoleh mendekati.
Variasi Nokturnal Suhu Canyon UHI adalah ciri paling menonjol dari iklim lokal perkotaan, terjadi pada malam hari (nokturnal), dimana suhu udara dekat permukaan perkotaan lebih hangat dibanding area pedesaan sekitarnya (Harman, 2003; Wong dan Yu, 2005; Hamdi dan Schayes, 2008). Penyebabnya adalah geometri canyon perkotaan yang menghambat pelepasan radiasi L↓ karena kompleksitas pertukaran radiasi antara dinding bangunan dan permukaan jalan (Grimmond, 2007; Mon’avest et al. 2008). Peningkatan intensitas UHI terkait erat dengan perbedaan laju pendinginan antara area perkotaan dan pedesaan. Pelepasan energi panas dari area padat bangunan malam hari sulit terjadi karena kompleksitas struktur bangunan, sehingga pendinginan permukaan lambat. Pada periode yang sama, pelepasan energi panas yang tersimpan dipermukaan perkampungan yang kaya vegetasi berlangsung lancar, sehingga pendinginan permukaan lebih cepat. Beberapa jam setelah maksimum perbedaan dicapai, kedua area menuju kesetimbangan suhu permukaan, dan intensitasnya mendekati konstan dan cenderung terus menurun hingga pagi hari, seiring mulai memanasnya permukaan kota dan area pinggiran kota menjelang tengah hari.Hasil studi terdahulu menunjukkan perbedaan suhu perkotaan-pedesaan (ΔTu-r) meningkat hingga tengah malam dan menurun menjelang pagi hari (Grimmond, 2007; Memon et al. 2008). Gambar-13 memperlihatkan intensitas heat island perkotaan malam hari areapadat Jakarta. Intensitas UHI dinyatakan sebagai perbedaan suhu udara perkotaan terhadap area pingggirannya (ΔTu-r) (Oke, 1978). Peningkatan intensitas UHI terlihat terjadi dengan tegas setelah matahari terbenam (pukul 18.00 WIB), hingga mencapai puncak puku l02.00 WIB dini hari. Nilai maksimum perbedaan suhu area padat kota Pinangsia dan pinggiran Jagakarsa adalah sebesar 2,5 ºC. Setelah itu kekuatannya menurun secara gradual hingga
Gambar 13 Intensitas UHI area padat Pinangsia Jakarta malam hari
34
menjelang pagi. Intensitasnya secara perlahan melemah seiring memanasnya permukaan kota dan area pinggiran kota hingga kesetimbangan suhu permukaan terjadi menjelang tengah hari. Perbedaan sifat teral material tutupan dan kompleksitas geometri permukaan kedua area menyebakan suhu udara area padat kota lebih tinggi dibanding area terbuka bervegetasi. Material kota yang memiliki albedo rendah, kapasitas panas dan konduktivitas termal tinggi lebih mudah menyerap dan menyimpan panas radiasi matahari, sehingga kerapatan fluks panas tersimpan lebih tinggi di area padat kota dibanding area terbuka bervegetasi. Ketinggian dan kepadatan bangunan menyulitkan pelepasan kembali energi panas dalam bentuk radiasi gelombang L ke atmosfer hingga larut malam. Hal ini telah ditegaskan oleh Trusilova (2006) bahwa perbedaan sifat fisik material mengakibatkan permukaan menyimpan lebih banyak fluks panas dengan variasi sesuai intensitas energi matahari datang. Sementara Mon’avest et al. (2008) menyebut faktor lainnya, yaitu permukaan kota yang lebih kompleks (dicirikan h/w tinggi dan SVF rendah) dibanding kawasan terbuka bervegetasi, menyebabkan canyon perkotaan sulit membebaskan radiasi L yang terjebak, sehingga suhu udara di area padat kota meningkat (Harman dan Belcher, 2006; Mon’avest et al. 2008).
Analisis Keakuratan Model SLUC Tabel-4 menyajikan nilai uji staistik untuk menilai keakuratan model SLUC dalam mensimulasikan variasi nokturnal suhu permukaan atap, jalan, dan dinding Uji yang dilakukan adalah; korelasi Pearson, koefisien determinasi, Index of Agreement (IA), Mean Error (ME), Mean Absolut Error (MAE), dan uji Root Mean Square Error (RMSE).
Tabel 4 Uji statistik suhu permukaan model Uji statisitk a)
Korelasi Pearson (rxy) Koefisien determinasi (R2) a) Index of Agreement(IA) b) Mean Error (ME)b) Mean Absolut Error (MAE) b) Root Mean Square Error(RMSE) b) a)
Atap 0,983 0.974 0,993 0,214 0,403 4,314
Nilai uji a) Permukaan Jalan 0,996 0,991 0,945 0,362 0,357 1,787
Dinding 0,971 0,942 0,923 0,414 0,456 1,773
b)
Sugiyono (2007), dan Willmott (1982)
Dari hasil uji statisitk dapat dianalisis keakuratan model SLUC sebagai berikut; a. Uji korelasi Pearson, koefisien determinasi (R2) dan IA untuk ketiga suhu permukaan nilainya mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa model bekerja
35
dengan sangat baik untuk mensimulasikan suhu permukaan atap, jalan dan dinding. b. Uji MAE untuk ketiga permukaan diperoleh nilai relatif kecil (kurang dari 1). Artinya rata-rata perbedaan antara nilai prediksi model dan nilai pengamatan adalah kecil c. Nilai uji ME untuk ketiga permukaan juga diperoleh kecil (kurang dari 1), artinya perbedaan antara rata-rata variabel prediksi model dan rata-rata variabel pengamatan kecil d. Sementara uji RMSE suhu permukaan dinding dan jalan hasilnya relatif kecil (kurang dari 2), namun untuk suhu permukaan atap nilai RMSE relatif besar (lebih dari 2). Artinya perbedaan yang nyata antara nilai pengamatan dan model adalah relatif kecil untuk permukaan dinding dan jalan dibanding atap. Dari ketiga uji tersebut dapat disimpulkan bahwa penyimpangan model relatif kecil, artinya model dapat mensimulasi suhu dinding, dan suhu jalan mendekati nilai pengamatannya. Namun untuk suhu atap, meskipun memiliki nilai MAE dan ME yang relatif kecil, namun nilai ME lebih besar dari nilai MAE, serta nilai RSME relatif besar. Jadi model kurang dapat mensimulasikan suhu atap dengan tepat.
36
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Pada siang hari:fluks radiasi S↓ diterima permukaan maksimal sehingga fluks panas penyimpanan tinggi. Suhu permukaan canyon tinggi sehingga suhu lapisan batas meningkat, akibatnya fluks H canyon dominan. Lapisan batas tidak stabil karena peningkatan fluks turbulen H dari atap. Fluks LE area padat kota sangat rendah (mendekati nol). Suhu permukaan jalan meningkat tajam, namun durasi terpanasnya lebih singkat dibanding atap. Peningkatan suhu dinding lebih rendah. Pada malam hari: suhu permukaan menurun, juga suhu lapisan terbawah. Fluks H lapisan batas melemah,dan terbentuk lapisan batas yang stabil. Fluks H dinding sedikit menguat. Emisi L tertahan dalam canyon cenderung tinggi, sehingga suhu canyon meningkat hingga dini hari. Penurunan suhu atap dan dinding lambat dibanding jalan. 2. Pada area padat (h/w besar) permukaan efektif menerima radiasi S↓ sehingga fluks panas penyimpanan tinggi. Jalan menerima S↓ lebih singkat dibanding atap karena pengaruh bayangan dinding. Emisi L yang tertahan dalam canyon bertambah karena h/w besar. Fluks H dinding meningkat malam hari karena dinding aktif merespon panas. Fluks H jalan menurun karena jalan kurang aktif merespon panas malam hari. Geometri perkotaan sangat mempengaruhi variasi peningkatan suhu diurnal atap dan jalan siang hari dibanding dinding. Terbatas permukaan lembab dan vegetasi di area padat kota menyebakan fluks LE rendah. Kerapatan dan sifat material bangunan adalah penyebab utama pemanasan area. Suhu udara di lapisan kanopi tidak terpengaruh oleh perubahan h/w. 3. Intensitas maksimum UHI area padat malam hari 2,5 ºC terjadi dini hari. Beda suhu area padat Pinangsia dan pinggiran Jagakarsa adalah 1,6 ºC. Kecepatan angin rata-rata dalam canyon rendah yaitu 0,021 m/det, dan di atas canyon 1,058 m/det. Laju pendinginan permukaan malam hari sangat lambat yaitu 0,31 oC/jam.
Saran Agar model SLUC dapat memprediksi variasi komponen neraca energi dan radiasi, suhu permukaan dan suhu udara area pengamatan dengan akurat, maka kelengkapan data dan ketepatan dalam menentukan lokasi pengamatan dan posisi penyamplingan data harus sangat diperhatikan. Untuk itu perlu dipersiapkan dan dipastikan bahwa instrumentasi dan sensor yang akan digunakan serta sarana pendukung utamanya lainnya seperti tiang (menara) tempat penempatan sensor dapat beroperasi dengan baik dan telah tersedia. Lokasi pengamatan harus ditentukan dan dipilih dengan seksama agar tujuan penelitian yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan baik.
37
DAFTAR PUSTAKA
Arya, SP. 2001. Introduction to Microclimatology, 2nd Ed.San Diego, California 92101-6777(US). Academic Press. Arnfield AJ. 2003. Two decades of urban climate research: A review of turbulence, exchanges of energy and water, and the urban heat island. Int. J. Climatol.Vol. 23: 1-26 Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2007 Best MJ. 2005. Representing urban areas within operational numerical weather prediction models. Bound. Layer Meteor. Vol.114: 91–109. Bennett A. 2004. Heat fluxes from street canyons, A dissertation of MSc Applied Meteorology. The University of Reading, Depertment of Meteorology. Chen F, Kusaka H, Bornstein R, Ching J, Grimmond CSB, Clarke SG, Lori T, Manning KW, Martilli A, Miao S, Sailor D, Salamanca FP, Taha H, Tewari M, Wang X, Wyszogrodzkia AA, Zhang C.2011. The integrated WRF/Urban Modelling System: development, evaluation, and applications to urban environmental problems. Int. J. Climatol. Vol.31: 273–288, Chow WTL, Roth M. 2006. Temporal dynamics of the urban heat island of Singapore. Int. J. Climatol. Vol. 26: 2243–2260 Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. 2012. Dupont S, Mestayer PG. 2006. Parameterization of the urban energy budget with the submesoscale soil model. Journal of Applied Meteorology and Climatology. Vol. 45: 1774-1765 Grimmond CSB. 2009. The international urban energy balance comparison project: Initial results from phase 2. The seventh International Conference on Urban Climate, 29 June - 3 July 2009, Yokohama, Japan. Grimmond CSB. 2007. Urbanization and global environmental change: local effects of urban warming. The Royal Geographical Society Grimmond CSB, Salmond JA, Oke, TR, Offerle, B, Lemonsu, A. 2004. Flux and turbulence measurements at adense urban site in Marseille: heat, mass (water, carbon dioxide) and momentum. J. Geophys. Res.Vol. 109: D24101. Hafner J, Kidder SQ. 1999.Urban heat island modeling in conjunction with satellite-derived surface/soil parameters. Journal of Applied Meteorology. Vol. 38: 448-465 Hamdi R, Schayes G. 2008. Sensitivity study of the urban heat island intensity to urban characteristics. Int. J. Climatol. Vol. 28: 973–982 Harman IN, Belcher SE. 2006. The Surface energy balance and boundary layer over urban street canyons. Q. J. R. Meteorol. Soc. Vol. 132: 2749-2768 Harman IN, 2003. The energy balance of urban areas. Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy. The University of Reading, Department of Meteorology Hung T, Uchihama D, Ochi S, Yasuoka Y. 2005. Assessment with satellite data of the urban heatisland effects in Asian mega cities. International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation. Vol. 96: 1-15, Ichinose T, Shimodozono K, Hanaki K.1999. Impact of anthropogenic heat on urban climate in Tokyo. Atmospheric Environment. Vol. 33: 389-3909
38
Kusaka H, Kondo H, Kikegawa Y, Kimura F. 2001. A simple Single-Layer Urban Canopy Model for Atmospheric Models: Comparison with Multi-Layer and Slab Models.Boundary-Layer Meteorology. Vol. 101: 329-358 Lemonsu A, Grimmond CSB, Masson V. 2003. Modeling the surface energy balance of the core of an old Mediterranean city: Marseille. Journal of Applied Meteorology. Vol. 43: 312-327 Mas’at A. 2008. Perubahan suhu udara DKI Jakarta sebagai efek perkembangan kota. Bulletin Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Vol. 4 (4): 392-404 Masson V, Girimmond CSB, Oke TR. 2002. Evaluation of the Town Energy Balance (TEB) scheme with direct measurements fromdry districts in two cities. Journal of Applied Meteorology. Vol. 41: 1011-1026 Masson V. 2000. A physically-based scheme for the urban energy budget in atmospheric models. Boundary-Layer Meteorol. Vol. 94 (3): 357-397 Martilli A, Clappier A, Rotach, MW. 2002. An urban surface exchange parameterisation for Mesoscale models. Bound.-Layer Meteor. Vol. 104: 261–304. Memon RA, Dennis YC, Leung, Chunho L.2008. Journal of Environmental Sciences. Vol. 20:120–128 Mills GM. 1997. An Urban Canopy-layer climate model. Theoretical Applied Climatology. Vol. 57: 229–244. Mont’avest JP, Rouco JFG, Valero F. 2008.A simple model for estimating the maximum intensity of nocturnal urban heat island. Int. J. Climatol. Vol. 28: 235–242 Nakamura Y, Oke TR. 1988. Wind, temperature and stability conditions in an East-West oriented urban canyon.Atmos. Environ. Vol. 22: 2691-2700 . Newton T, Oke TR, Grimmond CSB, Roth M.2007. The suburban energi balance in Miami Florida. Geogr. Ann. 89 A Vol. 4: 331–347. Nunez M, Oke TR. 1977. The energy of an urban canyon.Journal Applied Meteorology. Vol. 16: 11–19. Offerle B, Grimmond CSB, Offerle B, Oke TR. 2003. Parameterization of net allwave radiation for urban areas. Journal of Applied Meteorology. Vol. 42: 11571173 Offerle B,Grimmond CSB, Fortuniak K, Pawlak W. 2006. Intraurban differences of surface energy fluxes in a central European city. American Meteorological Society. Vol. 45: 125-136 Oke TR, 1999. The energy balance of central Mexico City during the dry season. Atmospheric Environment. Vol. 33: 3919-3930 Oke TR, Johnson GT, Steyn DG, Watson ID. 1991. Simulation of surface urban heat island under ‘ideal’ conditions at nightpart 2: Diagnosis of causation. Boundary-Layer Meteorology. Vol. 56: 339-358 Oke TR, Cleugh, HA. 1987. Urban heat storage derive as energy budget reasidual. Bound Layer Meteor. Vol 39: 233-245 Oke, T. R. 1982. The energetic basis of the urban heat island. Q. J. Roy. Meteorol. Soc. Vol. 108: l-24. Oke TR. 1981. Canyon geometry and the nocturnal urban heat island: Comparison of scale model and field observations. J.Climatol.(in press).
39
Oke TR, 1978. Boundary Layer Climates. 1st published. Methuen London (GB) chapter 8, pp. 258–259. Oke TR. 1976. The distinction between canopy and boundary-layer urban heat islands. Atmosphere. Vol. 14(4): 268-277 Oke TR, 1973. City Size and The Urban Heat Island, Atmospheric Environment. Vol. 7. Printed in Great Britain (GB). Pergamon Press Olesson KW, Bonan GB. 2008.An urban parameterization for a global climate model. Part I: Formulation and evaluation for two cities. Journal of applied meteorology and climatology. 47: 1038-1060 Olesson KW, Bonan GB, Fedema JJ, Verteinsten M, Kluzek E. 2010. Technical descriptons of urban parameterization for the Community Land Model (CLMU). climate and global dynamics division, National Center For Atmospheric Research, P.O. Box 3000 Boulder Colorado (US) 80307-3000 Otte TL, Lacser A, Dopont S, Ching JKS. 2004. Implementation of an urban canopy parameterization in a Mesoscale Meteorological Model. Journal Applied Meteorology. Vol. 43: 1648-1665 Piringer M, Grimmond CSB, Joffre SM, Mestayer P, Middleton DR, Rotach MW, Baklanov A, De Ridder K, Ferreira J,Guilloteau E, Karppinen A, Martilli A, Masson V, Tombrou M. 2002, Investigating the surface energy ballance in urban areas - Recent advance and future needs.Water, Air, and Soil Pollution:Focus.Vol. 2:1-16. Rinner C, Patychuk D, Bassil K, Nasr S, Gower S, Campbell M. 2010. The role of maps in neighbourhood-level heat vulnerability assessment for the city of Toronto. Cartogr. Geogr. Inform. Sci. Vol. 37: 31-44. Rinner C, Hussain M. 2011. Toronto’s urban heat island - exploring the relationship between land use and surface temperature. Remote Sens.Vol. 3: 1251-1265.
Ryu YH, Baik JJ, Lee, SH.2011. A new Single-Layer Urban Canopy model for use in Mesoscale Atmospheric Models. American Meteorological Society. Vol. 50: 1173-1794 Salamanca A, Martili A, Tewari M, Chen F. 2011. A study of the urban boundary layer using different urban parameterizations and high-resolution urban canopy parameters with WRF. Journal of Applied Meteorology and Climatology. Vol. 50: 1107-1128 Souch C, Grimmond S. 2006. Applied climatology: urban climate. Progress in Physical Geography.Vol. 30(2): 270–279
Sugiyono. 2007. Statistik untuk Penelitian. Bandung (ID) ISBN 978-979-8433108.CV Alfa Beta. Swargana N, dan Susanto, 2005. Pemanfaatan efektif penginderaan jauh untuk peningkatan kesejahteraan bangsa. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV, Surabaya Taha H. 1997.Urban climates and heat islands: albedo, evapotranspiration, and anthropogenic heat. Energy and Buildings. Vol. 25: 99-103 Tokairin T, Sofyan A, Kitada T. 2009. Numerical study on temperature variation in the Jakarta areas due to urbanization. The Seventh International Conference on Urban Climate, 29 June - 3 July 2009. Yokohama, Japan Trusilova K, 2006. Urbanization impact on the climate in Europe, PhD Thesis prepared within the International Max Planck Research School on Earth
40
System Modelling. Max Planck Institut für Biogeochemie, Technical Reports 9, Hamburg, ISSN 1615-7400 United Nations, World Urbanization Prospects. The 2009 Revision Population Database Voogt JA, Oke TR, 2003. Thermal remote sensing of urban climates. Remote Sensing of Environment. Vol. 86: 370–384 Willmott CJ, 1982. Some comments on the evaluation of model performance. Bull. Amer. Meteor. Soc. Vol. 63: 1309–1313. Westerberg U, Knez I, Eliasson I,2007. Urban climate spaces A multidisciplinary research project.Department of Technology & Built Environment, University of Gävle, 801 76 Gävle, Sweden, dan Department of Physical Geography, Göteborg University. Wong NH, Yu C. 2005. Study of green areas and urban heat island in a tropical city. Habitat International. Vol. 29: 547–558
41
42
Lampiran 2 Diagram alir kegiatan penelitian
Perumusan Masalah, dan Menentukan Tujuan Penelitian Menetapkan Metodologi Peneltian Survei Lapangan dan Penentuan Lokasi Penelitian Pengumpulan Data Geometri Area Padat Pinangsia Data Parameter Geometri Area Padat Pinangsia Penentuan Posisi Penyamplingan Data
Parameterisasi Proses Fisika
Penyamplingan Data Cuaca di Titik Pinangsia dan Jagakarsa
Kalibrasi Model
Analisis Data Pengamatan
Validasi Model
Data Cuaca Area Padat Pinangsia
Tidak
SLUC
Ya Menjalankan Model SLUC Menguji Kinerja Model SLUC
a. Model kesetimbangan energi canyon, b. Model variasi pendinginan permukaan, c. Variasi diurnal suhu permukaan, d. Variasi nokturnal suhu canyon
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 2 Oktober 1960 sebagai putra sulung dari ayah Tengku Muhammad Arsyad Ali Asbany (alm.) dan ibu Fatimah. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Nasional Jakarta, yang di selesaikan pada Tahun 1989. Pada tahun 2010 penulis diterima pada Program Studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan menamatkannya pada bulan Juli tahun 2014. Selama menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor penulis memperoleh beasiswa pendidikan pascasarjana dari Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Sejak tahun 1990-2004, penulis berkarya sebagai staf pengajar pada Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Nasional. Kemudian dari tahun 2004-sekarang bertugas sebagai staf pengajar pada Program Studi Fisika Fakultas Teknik dan Sains Universitas Nasional dengan jabatan fungsional Lektor. Penulis pernah ditugaskan sebagai Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Nasional, dan sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi dan Keuangan merangkap sebagai Ketua Program Studi Fisika pada Fakultas Teknik dan Sains Universitas Nasional. Bidang minat yang penulis tekuni dalam aktivitas kegiatan penelitiannya adalah bidang Geofisika dan Meteorologi. Penulis pernah tercatat sebagai anggota Himpunan Fisikawan Indonesia (HFI) hingga tahun 1992, dan sejak tahun 1991-1995 terdaftar sebagai anggota Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI). Dua buah karya ilmiah penulis dengan judul Distribusi Temperatur dan Salinitas di Perairan Selat Sunda Bulan Nopember 2008, dan Kaitan Aktivitas Vulkanik Dengan Distribusi Sedimen dan Kandungan Suspensi di Perairan Selat Sunda telah dipublikasikan pada Buletin Bunga Rampai Oceanografi edisi Tahun 2008. Selama menempuh pendidikan di Program Studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis telah mempublikasikan satu karya ilmiah dengan judul Kajian Intensitas Stabilitas Udara untuk Kejadian Badai Guntur di Wilayah Stasiun Meteorologi Cengkareng pada berkala ilmiah Jurnal Meteorologi dan Geofisika edisi Nomor 3 Volume 13 Tahun 2012. Saat ini dua karya ilmiah dengan judul Analisis Neraca Energi Perkotaan Kawasan Padat Pinangsia Jakarta Menggunakan Model Single-layer Urban Canopy segera akan diterbitkan pada berkala ilmiah Jurnal Sains Makara UI, dan Perancangan Sistim Instrumentasi Pengamatan Cuaca Otomatis Multi Saluran Berkapasitas Tinggi dan Hemat Energi sedang dalam proses perampungan, untuk segera dipublikasikan pada berkala ilmiah nasional.