ANALISIS MASALAH GIZI DAN PENCAPAIAN PROGRAM PERBAIKAN GIZI DI LOKASI KULIAH KERJA PROFESI MAHASISWA IPB DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014
PAUZI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Masalah Gizi dan Pencapaian Program Perbaikan Gizi di Lokasi Kuliah Kerja Profesi (KKP) Mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2015 Pauzi NIM I14100006
ABSTRAK PAUZI. Analisis Masalah Gizi dan Pencapaian Program Perbaikan Gizi di Lokasi Kuliah Kerja Profesi (KKP) Mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI dan DRAJAT MARTIANTO. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan data sekunder. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis masalah gizi dan pencapaian program perbaikan gizi masyarakat di lokasi Kuliah Kerja Profesi (KKP) mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014, meliputi cakupan program dan pencapaian target program gizi masyarakat. Desain penelitian yang digunakan adalah desain potong lintang (cross-sectional study). Populasi adalah rumah tangga di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor, subjek adalah rumah tangga yang memiliki balita usia 0-59 bulan yang terpilih dari populasi. Subjek penelitian berjumlah 405 rumah tangga. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program MS. Excel 2007. Penghitungan nilai z-score ditentukan berdasarkan indeks BB/TB, BB/U dan TB/U menggunakan aplikasi WHO Anthro. Masalah gizi di lokasi KKP mahasiswa di Kabupaten Bogor berdasarkan indeks BB/U, prevalensi berat kurang (underweight) sebesar 19.3%, mendekati prevalensi tinggi. Berdasarkan indeks TB (PB)/U, prevalensi pendek (stunting) sebesar 37.3%, termasuk kategori berat. Menurut indeks BB/TB, prevalensi kurus (wasting) sebesar 15.0%, termasuk kategori kritis. Cakupan dan tingkat capaian balita gizi buruk mendapat perawatan telah mencapai target (100%). Cakupan dan tingkat pencapaian program penimbangan berat badan balita (D/S) secara berurutan adalah 85.4% dan 100.5%. Cakupan dan tingkat pencapaian target program pemberian tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil secara berurutan adalah 66.7% dan 78.4%. Cakupan dan tingkat pencapaian target program konsumsi garam beryodium rumah tangga secara berurutan adalah 75.8% dan 84.2%. Cakupan dan tingkat pencapaian target program pemberian kapsul vitamin A pada balita (6-59 bulan) secara berurutan adalah 78.9% dan 98.6%. Cakupan dan tingkat pencapaian target program pemberian ASI Ekslusif secara berurutan adalah 58.2% dan 72.8%. Kata kunci: balita, Kabupaten Bogor, program gizi, masalah gizi
ABSTRACT PAUZI. Analysis of Nutritional Problems and Achievement of Nutritional Improvement Program in the Location of Kuliah Kerja Profesi (KKP) of IPB's Students in Bogor Regency in 2014. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI and DRAJAT MARTIANTO. This study was a descriptive study using secondary data. The purpose of this study was to analyze the nutritional problems and achievement of nutritional improvement program in the location of Kuliah Kerja Profesi (KKP) of IPB’s students in Bogor regency in 2014, includes coverage of the program and the achievement of community nutrition programs. The study design was crosssectional study. The population were households at location of KKP of IPB’s students in Bogor Regency, the subjects were households who have children aged 0-59 months were selected from the population. The subjects included 405
households. Data processing was done by using the MS Excel 2007 program. The calculation of the z-score is determined based on the index W/H, W/A and H/A using the WHO Anthro applications. Nutritional problems in the location of KKP of IPB’s students in Bogor Regency based indices W/A, the underweight prevalence of 19.3%, approaching the high prevalence category. Based H/A, the prevalence of stunting of 37.3%, including weight category. According to the index W/H, the prevalence of wasting of 15.0%, including a critical category. The coverage and level of achievement of malnutrition children received treatment had reached the target (100%). The coverage and level of achievement of the program weighing infants (D/S) sequentially were 85.4% and 100.5%. The coverage and level of achievement of program providing iron tablet (Fe) in pregnant women sequentially were 66.7% and 78.4%. The coverage and level of achievement of the program targets the household consumption of iodized salt sequentially were 75.8% and 84.2%. The coverage and level of achievement of the program of vitamin A supplementation in infants (6-59 months) sequentially were 78.9% and 98.6%. The coverage and level of achievement of the target program of exclusive breastfeeding was 58.2% and 72.8%. Keywords: infants, Bogor Regency, nutrition programs, nutritional problems
ANALISIS MASALAH GIZI DAN PENCAPAIAN PROGRAM PERBAIKAN GIZI DI LOKASI KULIAH KERJA PROFESI MAHASISWA IPB DI KABUPATEN BOGOR TAHUN 2014
PAUZI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah Surveilans Gizi, dengan judul Analisis Masalah Gizi dan Pencapaian Program Perbaikan Gizi di Lokasi Kuliah Kerja Profesi (KKP) Mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014. Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr Ir Sri Anna Marliyati, MS dan Bapak Dr Ir Drajat Martianto, MSi yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta: ayahanda dan ibunda tercinta (Alm. Paino dan Halimatussa’diah Batubara), serta abang dan adik tersayang (Akhmad Paisal, Tri Sopia Wulan, dan Mupida Sari) yang tak lelah memberi nasihat dan motivasi serta inspirasi kepada penulis. 2. Keluarga Besar Yayasan Bina Nurul Fikri dan PPSDMS Nurul Fikri Regional 5 Bogor yang selalu memberikan semangat dalam proses sampai selesainya skripsi ini. 3. Teman-teman GM 47 yang luar biasa telah menjadi keluarga yang saling mengingatkan dalam melakukan banyak hal. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini “tak ada gading yang tak retak.” Namun demikian penulis tetap berharap karya ini dapat turut memberi andil dalam peningkatan status gizi masyarakat, khususnya di Kabupaten Bogor .
Bogor, Maret 2015 Pauzi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
KERANGKA PEMIKIRAN
4
METODE
7
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
7
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek
7
Cara Pengumpulan Data
8
Pengolahan dan Analisis Data
8
Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN
13 14
Masalah Gizi Balita
14
Cakupan Gizi Buruk Mendapat Perawatan
16
Cakupan Penimbangan Balita (D/S)
18
Pemberian Tablet Tambah Darah (Fe)
21
Konsumsi Garam Beryodium di Rumah Tangga
23
Pemberian Kapsul Vitamin A
26
Pemberian ASI Eksklusif
27
Pencapaian Program Gizi Masyarakat
30
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
33 33
Saran
33
DAFTAR PUSTAKA
34
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Variabel data penelitian Prevalensi status gizi anak balita berdasarkan indeks BB/U Prevalensi status gizi anak balita berdasarkan indeks TB (PB)/U Prevalensi status gizi anak balita berdasarkan indeks BB/TB (PB) Jumlah balita kurus dalam keluarga Jumlah balita sangat kurus yang dirujuk dalam keluarga Jumlah bayi yang datang dan ditimbang di Posyandu Usia kehamilan ibu dan usia pertama kali mendapat TTD dalam keluarga Frekuensi ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) Jumlah Tablet Tambah Darah (TTD) yang diminum ibu hamil Jumlah ibu hamil yang tidak dapat TTD tapi membeli TTD sendiri Persentase alasan ibu tidak minum TTD Persentase jenis garam yang digunakan dalam rumah tangga Alasan menggunakan garam Hasil pemeriksaan garam di rumah tangga Persentasi bayi 6 – 59 bulan diberi kapsul Vitamin A 6 (enam) bulan terakhir Konsumsi ASI Eksklusif dan selain ASI Eksklusif pada bayi 0 – 5 bulan Pencapaian Program Gizi Masyarakat di lokasi KKP Kab. Bogor Tahun 2014
12 15 15 16 17 17 18 21 22 22 22 22 24 24 24 26 28 30
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka konsep 2 Tahapan analisis pemantauan status gizi 3 Perbandingan realisasi penimbangan balita, SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014 4 Perbandingan realisasi cakupan Fe TTD 90, SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014 5 Perbandingan realisasi cakupan garam beryodium, SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014 6 Perbandingan realisasi cakupan vitamin A, SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014 7 Perbandingan realisasi cakupan ASI eksklusif, SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun2014
6 11 19 23 25 27 29
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Data Statistik WHO (2010) menunjukkan bahwa gizi salah di seluruh dunia menyumbang 11% dari beban global penyakit, menyebabkan gangguan kesehatan jangka panjang, kemiskinan, kecacatan, gangguan pendidikan dan gangguan perkembangan. Sebanyak 186 juta anak-anak di seluruh dunia mengalami gangguan pertumbuhan. Soekirman (2012) menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab gangguan pertumbuhan tersebut diantaranya yaitu gizi buruk, berat badan rendah, pemberian ASI yang tidak optimal, kekurangan vitamin dan mineral, khususnya vitamin A, zat besi, yodium dan seng yang berpengaruh terhadap 3.9 juta kematian (35% dari total kematian) dan 144 juta cacat yang hidup (33% dari jumlah cacat hidup) pada balita. Indonesia mempunyai masalah gizi yang besar ditandai dengan masih besarnya prevalensi gizi kurang pada anak balita seperti kurang energi protein (KEP), kurang vitamin A (KVA), anemia kurang zat besi, kurang yodium, dan stunting (Depkes 2008). Menurut Sediaoetama (2004) di Indonesia, anak kelompok balita menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk penyakit kekurangan energi protein (KEP) dan defisiensi vitamin A serta anemia defisiensi Fe. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya. Dokumen Scaling Up Nutrition (SUN) Inggris menyebutkan bahwa intervensi gizi spesifik yang umumnya dilaksanakan oleh sektor kesehatan hanya 30 persen efektif mengatasi masalah gizi 1000 HPK. Masalah gizi khususnya masalah beban ganda, yaitu kombinasi masalah anak kurus, pendek, gemuk dan PTM, yang terjadi pada waktu yang relatif bersamaan di masyarakat yang miskin merupakan masalah gizi yang bersifat kompleks. Penuntasannya yang 70 persen memerlukan keterlibatan banyak sektor pembangunan lain di luar kesehatan. Kegiatan intervensi lintas sektor yang terkait dengan faktor penyebab tidak langsung, ternyata sensitif pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak 1000 HPK (Department for International Development 2011). Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. Prevalensi gizi buruk yaitu dari 5.4 persen tahun 2007, 4.9 persen pada tahun 2010, dan 5.7 persen tahun 2013. Prevalensi gizi kurang naik sebesar 0.9 persen yaitu 13.0 persen tahun 2007 dan 13.9 persen tahun 2013. Prevalensi pendek (stunting) secara nasional tahun 2013 adalah 37.2 persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35.6%) dan 2007 (36.8%) (Kemenkes 2013a). Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15.5 persen maka prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode 2013 sampai 2015 (Bappenas 2012). Pada Tahun 2012 Bappenas mengadopsi Gerakan SUN untuk memadukan dan mengarahkan intervensi gizi spesifik dan sensitif menjadi suatu gerakan kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat yang terpadu dan konvergen menuju sasaran sama yaitu mencegah dan mengatasi masalah gizi, baik kekurangan gizi, kegemukan maupun penyakit tidak menular (PTM). Gerakan
2
SUN di Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan disingkat dengan Gerakan 1000 HPK. Gerakan 1000 HPK bukanlah inisiatif, institusi maupun pembiayaan baru melainkan meningkatkan efektivitas dari inisiatif yang telah ada yaitu meningkatkan koordinasi termasuk dukungan teknis, advokasi tingkat tinggi, dan kemitraan inovatif, dan partisipasi untuk meningkatkan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, dan pembangunan. Hal ini perlu didukung dengan kepemimpinan nasional dan daerah yang cukup kuat, meningkatkan partisipasi seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya dari pemerintah tetapi juga dunia usaha, organisasi profesi dan lembaga kemasyarakatan (Bappenas 2012a). Undang-undang Republik Indonesia No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan Bab. XIII pasal 167 mengenai Pengelolaan Kesehatan menyatakan bahwa : Pengelolaan kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pengelolaan kesehatan dilakukan secara berjenjang di pusat dan di daerah serta dibuat dalam suatu sistem kesehatan nasional. Untuk mempercepat hasil pemerataan pembangunan telah dikeluarkan Undang-Undang RI No. 22 yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang No. 32 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No.33 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah serta Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom. Undang-undang tersebut memberikan keleluasaan kepada pemerintah Kabupaten/Kota untuk menentukan prioritas pembangunan di daerahnya, dengan demikian daerah diharapkan memiliki kemampuan memilih prioritas penanggulangan masalah gizi sesuai dengan masalah dan sumber daya yang tersedia (Irawan 2013). Berbagai upaya telah dilakukan Dinas Kesehatan dan Puskesmas yang merupakan bagian dari sistem kesehatan nasional dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menangani masalah gizi yang pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat. Namun demikian penanggulangan tidak dapat dilakukan hanya dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait (Supariasa 2002). Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor melalui Dinas Kesehatan telah berupaya mengumpulkan data cakupan program perbaikan gizi masyarakat Kabupaten Bogor. Data cakupan penilaian status gizi BB/U balita di Kabupaten Bogor tahun 2007 (15.9%), cakupan penilaian status gizi TB/U balita (31.7%), cakupan penilaian status gizi BB/TB balita (9.3%), total vitamin A (68.9%), cakupan penimbangan (35.3%), kepemilikan kartu menuju sehat (KMS) sebesar (29%), ibu hamil mendapat tablet Fe (88.9%) (Kemenkes 2007). Sedikitnya informasi yang tersedia dan masih rendahnya hasil cakupan dan pencapaian program perbaikan gizi di Kabupaten Bogor membuat penulis tertarik untuk menganalisis masalah gizi dan program perbaikan gizi masyarakat di lokasi KKP di Kabupaten Bogor selama satu tahun berjalan untuk mengetahui pencapaian
3
program dan upaya meningkatkan pencapaiannya. Jenis program perbaikan gizi masyarakat yang diteliti mencakup: balita gizi buruk mendapat perawatan, penimbangan berat badan balita, pemberian tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil, pemberian kapsul vitamin A, pemberian ASI eksklusif dan konsumsi garam beryodium di rumah tangga.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah menganalisis masalah gizi dan pencapaian program perbaikan gizi masyarakat di lokasi Kuliah Kerja Profesi (KKP) mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor, meliputi cakupan program dan pencapaian target program gizi masyarakat. Tujuan Khusus
1. 2. 3. 4.
5.
6. 7.
Tujuan khusus penelitian ini adalah: Menganalisis masalah gizi balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014. Menganalisis cakupan dan pencapaian target balita gizi buruk yang mendapat perawatan di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014. Menganalisis cakupan dan pencapaian target penimbangan berat badan balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014. Menganalisis cakupan dan pencapaian target program pemberian tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014. Menganalisis cakupan dan pencapaian target program konsumsi garam beryodium rumah tangga di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014. Menganalisis cakupan dan pencapaian target program pemberian kapsul vitamin A di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014. Menganalisis cakupan dan pencapaian target program pemberian ASI Eksklusif di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014.
Manfaat Penelitian Ada pun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Pengembangan Program Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan data cakupan program perbaikan gizi masyarakat di Kabupaten Bogor, masukan atau pertimbangan bagi penyusun dan penentu kebijakan dalam mengupayakan peningkatan pelaksanaan program perbaikan gizi masyarakat. 2. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Menambah informasi dan literatur kepustakaan tentang permasalahan gizi dan cakupan program perbaikan gizi masyarakat di Kabupaten Bogor.
4
KERANGKA PEMIKIRAN Masalah gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi individu, yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi, keduanya saling mempengaruhi. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi prinsip gizi seimbang. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang terkait dengan tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya pangan untuk bayi 0-6 bulan (ASI Eksklusif) dan 6-23 bulan (MP-ASI), dan pangan yang bergizi seimbang khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu terkait pada kualitas pola asuh anak. Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan, dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama tentang gizi dan kesehatan. Sasaran pembangunan pangan dan gizi dalam RPJMN 2010-2014 dan RAN-PG 2011-2015 adalah menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada balita, termasuk stunting. Beberapa program dan kegiatan pembangunan nasional telah dilakukan untuk mendukung sasaran tersebut. Seiring dengan hal tersebut, gerakan perbaikan gizi dengan fokus terhadap kelompok 1000 hari pertama kehidupan pada tataran global disebut Scaling Up Nutrition (SUN) dan di Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan disingkat dengan Gerakan 1000 HPK. Gerakan ini merupakan respon negara-negara di dunia terhadap kondisi status gizi di sebagian besar negara berkembang dan akibat kemajuan yang tidak merata dalam mencapai Tujuan Pembangunan Milenium/MDGs (Goal 1). Rumusan perbaikan gizi yang digagas oleh Badan Dunia (PBB) ini telah menimbulkan perubahan pandangan yang signifikan. Masalah gizi tidak saja dipandang sebagai masalah kesehatan, tetapi telah menjadi tanggung jawab bersama. Keberhasilan perbaikan gizi merupakan lanjutan dari keberhasilan bidang penyediaan makanan, perubahan perilaku dan peningkatan pengetahuan, perbaikan lingkungan dan penyediaan sarana air bersih, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan, serta berbagai faktor determinan lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, maka penanganan masalah gizi tidak bisa hanya oleh pemerintah saja, namun perlu keterlibatan dan dukungan dari pemangku kepentingan lain, seperti mitra pembangunan, LSM, perguruan tinggi, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan (Bappenas 2012b). Beberapa upaya program kesehatan memiliki sasaran ibu hamil, ibu melahirkan, ibu nifas atau ibu menyusui, sedangkan beberapa program lainnya dengan penduduk sasaran terfokus pada bayi, anak balita, anak usia sekolah, wanita usia subur, usia lanjut dan lain-lain. Bagi petugas kesehatan, data sasaran program tersebut diperlukan untuk menyusun rencana kegiatan tahunan atau menghitung pencapaian indikator dalam rangka evaluasi keberhasilan upaya kesehatan (Depkes 2009). Surveilans gizi merupakan salah satu kegiatan yang dapat diandalkan untuk mendukung pencapaian tujuan kegiatan Pembinaan Gizi Masyarakat. Surveilans gizi akan meningkatkan efektivitas program dengan mempertajam
5
upaya penanggulangan masalah gizi secara tepat waktu, tempat, sasaran dan jenis tindakannya. Dengan pelaksanaan surveilans gizi yang baik keadaan gizi masyarakat dapat dipantau secara teratur, sehingga mampu mencegah, mengantisipasi dan menangani masalah gizi di masyarakat dengan baik (Kemenkes 2010). Pelaksanaan surveilans gizi di Kabupaten/Kota meliputi: 1. Pemantauan kasus gizi buruk pada balita. 2. Pemantauan pertumbuhan balita (D/S), (N/D) dan (D/K) yang merupakan cerminan tingkat cakupan program, partisipasi masyarakat, hasil penimbangan dan keberlangsungan program penimbangan. 3. Pemantauan pemberian ASI Eksklusif pada bayi 0-6 bulan. 4. Pemantauan konsumsi garam beryodium 5. Pemantauan pemberian kapsul vitamin A pada balita. 6. Pemantauan pemberian Fe 90 tablet pada ibu hamil. Program pelayanan kesehatan dan gizi secara umum sudah dikenal oleh masyarakat. Tetapi sampai saat ini penggunaan pelayanan belum optimal. Penggunaan yang belum optimal terhadap pelayanan kesehatan dan gizi oleh masyarakat tergantung dari akses dan partisipasi masyarakat terhadap pelayanan dari pusat pelayanan tersebut. Partisipasi terhadap pelayanan tersebut tergantung dari beberapa faktor yaitu : kesadaran, pengetahuan gizi, informasi tentang fungsi dan keuntungan dari pelayanan serta pelaksaanan program kesehatan dan gizi itu sendiri. Penggunaan pelayanan kesehatan dan gizi oleh ibu hamil, ibu nifas, dan ibu menyusui yang merupakan kelompok sasaran perlu diketahui karena bisa melihat seberapa banyak jumlah ibu hamil/nifas memperoleh Tablet Tambah Darah (TTD) besi serta ibu menyusui dan bayinya mendapatkan kapsul vitamin A. Penggunaan pelayanan gizi dan kesehatan oleh ibu sangat bermanfaat untuk memonitor status gizi ibu dan bayinya. Namun, berbagai kemungkinan faktor yang dapat diduga mempengaruhi status gizi pada ibu menyusui dan bayinya dapat dilihat pada kerangka konsep pada Gambar 1.
6
Penyakit infeksi
Status Gizi (BB/U, TB/U, BB/TB)
Konsumsi pangan
Pemanfaatan program gizi dan kesehatan - Program Perawatan gizi buruk dan gizi kurang pada balita - Program Penimbangan bayi/balita di Posyandu - Program vitamin A untuk ibu nifas dan bayinya - Program pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil - Program penyuluhan gizi: Pemberian ASI eksklusif, penggunaan garam beryodium
Partisipasi ibu terhadap program gizi dan kesehatan
-
Pelayanan Program Gizi Distribusi kapsul Vitamin A Monitoring pertumbuhan anak Distribusi Tablet Tambah Darah (TTD) Pemberian ASI Eksklusif Konsumsi garam beryodium
Karakteristik Keluarga - Pendidikan orang tua - Jumlah anggota keluarga
= variabel tidak diteliti = variabel yang diteliti
Gambar 1 Kerangka konsep
7
METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan data sekunder, yaitu untuk mendapatkan gambaran masalah gizi balita, cakupan pemberian ASI Esklusif pada bayi 0-6 bulan, cakupan pemberian tablet Fe bumil, cakupan pemberian kapsul vitamin A, cakupan informasi penimbangan balita (D/S), dan konsumsi garam beryodium. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah desain potong lintang (cross-sectional study). Pengambilan data dilakukan di lokasi KKP mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014 (meliputi 8 Kecamatan: Rumpin, Klapanunggal, Pamijahan, Jasinga, Sukamakmur, Jonggol, Nanggung, dan Sukajaya). Waktu penelitian termasuk persiapan, pengambilan data, pengolahan dan analisis data serta penulisan dilaksanakan selama 5 bulan, yaitu mulai bulan September 2014 hingga Januari 2015.
Jumlah dan Cara Penarikan Subjek Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang berada di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014. Jumlah populasi rumah tangga sebanyak 480, subjek diambil dari rumah tangga terpilih dalam populasi. Kriteria subjek diantaranya: (a) rumah tangga yang memiliki balita usia 0-59 bulan, (b) berada di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor, (c) memiliki data antropometri yang lengkap (umur, BB, TB/PB). Sehingga jumlah subjek yang terpilih dari populasi adalah sebanyak 405 rumah tangga. Data subjek didapatkan dari data hasil survei Pemantauan Status Gizi (PSG) dari setiap kelompok KKP. Setiap kelompok KKP terlebih dahulu menentukan 10 rumah tangga yang memiliki anak balita yang akan dijadikan responden/subjek. Pemilihan responden dilakukan secara purposive dengan model lingkaran anti nyamuk (Lampiran 1). Langkah-langkah yang dilakukan dalam pemilihan responden merujuk pada buku panduan pemantauan status gizi oleh mahasiswa KKP kerjasama Kementerian Kesehatan RI dengan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia IPB. Adapun langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut : a. Kelompok KKP membuat daftar pusat desa atau titik desa (biasanya sarana umum), seperti: kantor kelurahan/dusun/RW, pasar, sekolah/madrasah, tempat peribadatan, Posyandu, balai pengobatan, Puskesmas. b. Memilih satu pusat/titik desa secara acak/melotre c. Di pusat/titik desa yang telah dipilih tersebut, mahasiswa KKP berjalan dengan memilih arah yang dapat dipilih secara acak, bisa berjalan ke kiri, kanan, depan atau belakang. d. Kemudian mahasiswa KKP berjalan sesuai arah pola anti nyamuk dengan pusat/titik desa sebagai titik tengah lingkaran.
8
e. Sambil berjalan, mahasiswa KKP dapat membuat peta rumah-rumah yang dilalui dan mengunjungi rumah-rumah untuk memeriksa apakah rumah tangga tersebut memiliki balita. f. Setiap rumah tangga yang dilewati dan memiliki balita ditandai dan diberi nomor urut sesuai penemuan rumah tangganya. Rumah tangga pertama yang didatangi dan memiliki balita diberi nomor 1, rumah tangga yang memiliki balita selanjutnya 2,3 dan seterusnya. g. Apabila rumah tangga yang memiliki balita lebih dari 10, maka mahasiswa KKP memilih rumah tangga yang akan dijadikan responden secara acak kemudian diberi nomor 1-10 sesuai dengan nomor urut awalnya. h. Setelah melakukan pemetaan, rumah-rumah yang telah diberi nomor 1-10 didatangi dan dilakukan wawancara, serta pengukuran/penimbangan terhadap seluruh anggota rumah tangga.
Cara Pengumpulan Data Data sekunder meliputi karakteristik sampel (nama, umur, jenis kelamin), data antropometri (BB, PB/TB), data penimbangan bayi dan balita, data jumlah ibu hamil yang mendapat tablet besi, data jumlah bayi dan balita yang mendapat kapsul vitamin A, data jumlah bayi yang mendapat ASI esklusif, dan data jumlah rumah tangga subjek yang mengkonsumsi garam beryodium diperoleh dari hasil survei pemantauan status gizi masyarakat yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi IPB saat berlangsungnya KKP IPB pada bulan JuliAgustus tahun 2014 di Kabupaten Bogor.
Pengolahan dan Analisis Data Dalam tahap pengolahan data dilakukan kegiatan-kegiatan seperti cleaning , pengkodean, penghitungan manual, editing dan analisis. Program komputer yang digunakan untuk membuat data base dan penyimpanannya adalah Microsoft Office Excel 2007. Untuk menganalisis data status gizi bayi dan balita, nilai zscore ditentukan berdasarkan indeks BB/TB, BB/U dan TB/U menggunakan program aplikasi WHO Anthro. Data rumah tangga yang terkumpul dari kegiatan pemantauan status gizi di lokasi KKP Kabupaten Bogor berjumlah 480 rumah tangga. Cleaning data dilakukan pada data-data tersebut dengan memperhatikan kriteria subjek penelitian yaitu rumah tangga yang memiliki anak balita usia 0-59 bulan dan data pengukuran antropometri yang lengkap (data umur, BB, TB/PB) serta berada di wilayah KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor. Sehingga diperoleh subjek sebanyak 405 rumah tangga. Pada tahapan pengkodean, seluruh informasi yang diperoleh dari kuesioner survei pemantauan status gizi sebelumnya dientri ke dalam dummy table yang telah tersedia dan pengkodean dilakukan mengikuti aturan code book yang telah disediakan oleh Kemenkes. Perhitungan cakupan dan pencapaian program dilakukan berdasarkan perhitungan nilai persentase cakupan masing-masing program, merujuk pada Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM)
9
Perbaikan Gizi Masyarakat (Depkes 2004). Perhitungan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Balita gizi buruk yang mendapat perawatan adalah balita gizi buruk yang ditangani di sarana pelayanan kesehatan sesuai tatalaksana gizi buruk di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan dihitung dengan rumus:
Balita gizi buruk yang mendapat perawatan
Balita gizi buruk yang dirawat di sarana kesehatan sesuai standar X 100%
= Balita gizi buruk yang ditemukan
Berdasarkan target dan standar Kemenkes 2014 balita gizi buruk ditangani harus mencapai 100%. 2. Data dan informasi penimbangan balita yang diperoleh digunakan untuk mendapatkan persentase cakupan penimbangan berat badan balita (D/S), dihitung dengan rumus:
Balita yang ditimbang berat badannya (D/S)
Jumlah balita yang ditimbang di Posyandu (D) X 100%
= Jumlah seluruh balita (S)
3. Persentase ibu hamil mendapat tablet Fe 90 adalah jumlah ibu hamil yang mendapat 90 TTD dibagi dengan jumlah seluruh ibu hamil trimester 3 yang ada di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu, dihitung dengan rumus:
Cakupan Ibu hamil mendapat 90 tablet
Jumlah ibu hamil mendapat 90 tablet Fe selama periode kehamilannya X 100%
= Jumlah ibu hamil usia trimester III
4. Persentase balita 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A adalah jumlah balita 6-59 bulan yang mendapat kapsul vitamin A dibagi dengan jumlah seluruh balita 6-59 bulan yang ada di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan pemberian tablet vitamin A diperoleh dengan rumus: Cakupan balita mendapat kapsul vitamin A
Jumlah balita yang mendapat kapsul vitamin A dosis tinggi X 100%
= Balita yang ada di satu wilayah kerja
5. Persentase bayi usia 0 – 6 bulan mendapat ASI Eksklusif yaitu jumlah bayi usia 0 bulan 0 hari sampai 5 bulan 29 hari yang diberikan ASI saja selama sehari sebelum dilakukan pencatatan (recall 24 jam) dibagi dengan jumlah bayi
10
usia 0 bulan 0 hari sampai 5 bulan 29 hari yang ada pada saat dilakukan pencatatan di wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan pemberian ASI Eksklusif, dihitung dengan menggunakan rumus: Jumlah bayi usia 0-6 bulan yang mendapat hanya ASI saja Cakupan ASI Eksklusif
X 100%
= Jumlah seluruh bayi usia 0-6 bulan
6. Cakupan konsumsi garam beryodium diperoleh dari hasil uji tes yodium yang dilakukan di rumah tangga subjek. Persentase cakupan penggunaan garam beryodium dihitung dengan rumus: Jumlah rumah tangga yang mengkonsumsi garam beryodium Rumah tangga dengan = X 100% garam beryodium Jumlah seluruh rumah tangga yang diperiksa Adapun tahapan analisis data pada penelitian ini disajikan pada Gambar 2. Untuk analisis data digunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang cakupan dan pencapaian program gizi masyarakat di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014. Data-data cakupan program yang diperoleh sebelumnya akan dibandingkan dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan target capaian Indikator Pembinaan Gizi Masyarakat Tahun 2012-2014. Melalui hasil perbandingan ini maka akan didapati informasi tentang pencapaian program perbaikan gizi masyarakat di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor. Data dan informasi tentang pencapaian program perbaikan gizi masyarakat yang diperoleh nantinya dapat dijadikan bahan evaluasi untuk dapat menentukan tindakan atau upaya yang harus dilakukan bila terdapat kesenjangan antara cakupan, SPM, dan target keluaran program. Variabel dan kategori variabel yang akan diteliti disajikan dalam Tabel 1.
11
Input
Laporan Pemantauan Status Gizi (Hasil survei di wilayah KKP Departemen GM 2014)
Proses
Cleaning, Pengolahan dan Analisis Data
Data Dasar 1. Data Gizi Buruk 2. Data Frekuensi Penimbangan Balita 3. Data Tata Laksana Gizi Buruk 4. Data Distribusi Tablet Fe 5. Data Distribusi Kapsul Vit.A 6. Data ASI Esklusif 7. Data Konsumsi Garam Beryodium di RT
Hasil Tindakan
Keputusan Tindakan
Output
Target
Cakupan Program
Keluaran
Data Dasar 1. Analisis Data Gizi Buruk 2. Analisis Data Frekuensi Penimbangan Balita 3. Analisis Data Tata Laksana Gizi Buruk 4. Analisis Data Distribusi Tablet Fe 5. Analisis Data Distribusi Kapsul Vit.A 6. Analisis Data ASI Esklusif 7. Analisis Data Konsumsi Garam Beryodium di RT
Penerimaan
Gambar 2 Tahapan analisis pemantauan status gizi
Target 1. Kejadian Gizi Buruk <20% 2. Balita ditimbang BB ≥ 85% 3. Gizi Buruk ditangani 100% 4. Bumil mendapat Fe90 tablet ≥ 85% 5. Balita Mendapat Kapsul Vit.A ≥ 85% 6. Asi Esklusif ≥ 80% 7. Konsumsi Garam Beryodium di RT ≥ 90% (Kemenkes 2013b)
Acuan
12
Tabel 1 Variabel data penelitian No 1
Subyek Data Karakteristik Umur
Jenis kelamin
2
Anak balita
3
Anak balita
4
Anak balita
5 Ibu hamil
6
Anak balita
7
Rumah Tangga
Kategori Pengukuran Nominal 1. 00-06 bulan 2. 06-11 bulan 3. 12-59 bulan Nominal 1. Laki-laki 2. Perempuan Penilaian Status Indikator BB/U Gizi Ordinal Gizi Buruk Z-skor <-3.0 Gizi Kurang Z-skor ≥-3.0 s/d < -2.0 Gizi Baik Z-skor ≥ -2.0 s/d ≤ 2.0 Gizi Lebih Z-skor ≥ 2.0 Indikator PB/U Normal Z-skor -2.0 s/d + 2.0 SD Pendek/Stunted Z-skor -3 s/d -2.0 SD Sangat Pendek < -3 SD Indikator BB/PB Gemuk Z-skor > 2.0 Normal Z-skor (-2.0 s/d + 2.0) Kurus / wasted Z-skor ( <-2.0 s/d -3.0) Sangat kurus Z-skor (< -3.0) Cakupan ASI Ordinal : Esklusif - Baik apabila cakupan ≥ 80% dari populasi - Kurang apabila < 80% dari populasi Pemberian Ordinal: kapsul Vit.A - Baik apabila cakupan ≥ 80% dari populasi - Kurang apabila < 80% dari populasi Pemberian Ordinal: Tablet Fe - Baik apabila cakupan ≥ 70% dari populasi - Kurang apabila < 70% dari populasi Penimbangan Ordinal: - Baik apabila cakupan ≥ 80% dari populasi - Kurang apabila < 80% dari populasi Konsumsi Ordinal: Garam - Baik apabila ≥ 90% dari populasi - Kurang apabila <90% dari populasi
Sumber Acuan Depkes (2008)
Depkes (2008)
Kemenkes (2011)
SPM (2004)
SPM (2004)
SPM (2004)
SPM (2004)
SPM (2004)
13
Definisi Operasional Status gizi adalah gambaran keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi, dilakukan dengan pengukuran BB/U, PB/U, dan BB/TB. Gizi Buruk adalah status gizi dengan indikator berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan Z-score <−3, dan atau dengan tanda-tanda klinis : marasmus, kwasiorkor, dan marasmus-kwasiorkor. Defisiensi vitamin A adalah suatu kondisi dimana simpanan Vitamin A dalam tubuh berkurang. Keadaan ini ditunjukkan dengan kadar serum retinol dalam darah kurang dari 20μg/dl. Anemia gizi besi adalah kondisi tubuh akibat kekurangan zat besi dalam makanan sehari-hari secara berkelanjutan yang ditandai dengan kada HB serum 12 mg/dl. Anemia Gizi Besi (AGB) terutama banyak diderita oleh wanita hamil, wanita menyusui, dan wanita usia subur pada umumnya, karena fungsi kodrati. Cakupan balita ditimbang berat badannya (D/S) Persentase anak 0-59 bulan (balita) yang ditimbang berat badannya di posyandu dalam suatu kabupaten/kota. ASI eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan. Penilaian status gizi adalah penafsiran informasi yang diperoleh dari berbagai cara penilaian, yakni antropometri, konsumsi makanan, laboratorium dan klinik. Informasi digunakan untuk menetapkan status kesehatan individu atau kelompok masyarakat yang berkaitan dengan konsumsi dan penggunaan zat-zat gizi oleh tubuh. Cara penilaian status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri. Antropometri digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi. Masalah Gizi adalah adanya kesenjangan antara kondisi gizi masyarakat dengan standar yang seharusnya Cakupan Gizi Buruk adalah persentase balita gizi buruk ditangani/dirawat adalah jumlah balita gizi buruk yang ditangani dibagi dengan jumlah balita gizi buruk yang ditemukan di satu wilayah kerja puskesmas pada kurun waktu tertentu. Cakupan Kapsul Vitamin A adalah persentase balita 6-59 bulan dapat kapsul vitamin A adalah jumlah balita 6-59 bulan yang mendapat kapsul vitamin A dibagi dengan jumlah seluruh balita 6-59 bulan yang ada di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan Tablet Fe adalah persentase ibu hamil mendapat tablet Fe 90 adalah jumlah ibu hamil yang mendapat 90 TTD dibagi dengan jumlah seluruh ibu hamil trimester 3 yang ada di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Cakupan Asi Ekslusif adalah persentase bayi usia 0 – 6 bulan mendapat ASI Eksklusif yaitu jumlah bayi usia 0 bulan 0 hari sampai 5 bulan 29 hari yang diberikan ASI saja selama sehari sebelum dilakukan pencatatan
14
(recall 24 jam) dibagi dengan jumlah bayi usia 0 bulan 0 hari sampai 5 bulan 29 hari yang ada pada saat dilakukan pencatatan di wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Desa dengan garam beryodium baik adalah desa/kelurahan dengan 21 sampel garam konsumsi yang diperiksa hanya ditemukan tidak lebih dari satu sampel garam konsumsi dengan kandungan yodium kurang dari 30 ppm pada kurun waktu tertentu. Pencapaian program gizi masyarakat adalah persentase hasil akhir realisasi program gizi masyarakat yang diukur mengacu pada standar pelayanan minimum (SPM) dan target capaian program gizi masyarakat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Masalah Gizi Balita Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi juga merupakan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisiologik akibat dari kondisi ketersediaan zat gizi dalam seluruh tubuh (Supariasa 2002). Indikator status gizi balita merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan tingkat sosial ekonomi suatu wilayah. Saat ini kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG) secara Nasional dilakukan melalui dua kegiatan yaitu pengumpulan data antropometri dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan kedua pengumpulan data antropometri melalui kegiatan PSG yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Pemantauan status gizi balita diambil berdasarkan pada hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan, sehingga status gizi dianalisis menggunakan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut). Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U ini memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan asupan makanan kurang dalam jangka waktu lama sejak usia bayi sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan gemuk.
15
Berdasarkan indeks BB/U yang disajikan pada Tabel 2, prevalensi gizi buruk di lokasi Kuliah Kerja Profesi (KKP) mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 adalah 3.7%. Angka ini lebih rendah daripada prevalensi Jawa Barat (4.4%) dan prevalensi nasional (5.7%). Di sisi lain, prevalensi gizi kurang adalah 15.6%, lebih tinggi dari prevalensi nasional (13.9%) maupun Jawa Barat (11.3%). Prevalensi gizi lebih anak balita (1.5%) jauh lebih rendah daripada prevalensi nasional (4.5%) maupun Jawa Barat (4.3%). Sementara untuk prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor mencapai angka 19.3%, lebih rendah 0.3% dari dari prevalensi nasional (19.6%) (Kemenkes 2013a). Tabel 2 Prevalensi status gizi anak balita berdasarkan indeks BB/U Status gizi Gizi buruk Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Total
BB/U n 15 63 321 6 405
% 3.7 15.6 79.3 1.5 100.0
Atas dasar sasaran MDG 2015, prevalensi gizi buruk-kurang di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor belum mencapai sasaran yang ditargetkan (15.5%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap tinggi/serius bila prevalensi gizi buruk-kurang antara 20.0-29.0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila ≥30 persen (WHO 2010). Pada tahun 2014, masalah gizi berat kurang (istilah untuk gabungan gizi buruk dan gizi kurang (underweight)) pada anak balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor sebesar 19.3%, yang berarti masalah gizi berat kurang di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Berdasarkan indeks TB (PB)/U (Tabel 3), prevalensi pendek (istilah untuk gabungan sangat pendek dan pendek (stunting)) di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014 adalah 37.3%. Angka ini sedikit di atas prevalensi nasional (37.2%) dan lebih tinggi dari prevalensi Jawa Barat (35.3%) (Kemenkes 2013a). Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek (stunting) sebesar 30 – 39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Masalah kesehatan masyarakat di di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 termasuk kategori berat. Tabel 3 Prevalensi status gizi anak balita berdasarkan indeks TB (PB)/U Status gizi Sangat pendek Pendek Normal Tinggi Total
TB (PB)/U n 63 88 240 14 405
% 15.6 21.7 59.3 3.5 100.0
16
Menurut indeks BB/TB (Tabel 4), prevalensi sangat kurus pada balita (2.7%) lebih rendah daripada angka nasional (5.3%) maupun Jawa Barat (5.0%). Walaupun demikian, prevalensi kurus (12.3%) berada di atas prevalensi nasional (6.8%) maupun Jawa Barat (5.9%). Prevalensi gemuk (5.9%) berada jauh di bawah prevalensi nasional maupun Jawa Barat, yaitu 11.8% (Kemenkes 2013a). Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus (istilah untuk gabungan sangat kurus dan kurus (wasting)) antara 10.0-14.0 persen, dan dianggap kritis bila ≥15.0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2014, prevalensi kurus pada anak balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor mencapai angka 15.0 persen, yang berarti masalah kurus (wasting) di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014 merupakan masalah kesehatan masyarakat kategori kritis. Tabel 4 Prevalensi status gizi anak balita berdasarkan indeks BB/TB (PB) Status gizi Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Total
BB/TB (PB) n 11 50 320 24 405
% 2.7 12.3 79.0 5.9 100.0
Cakupan Gizi Buruk Mendapat Perawatan Gizi buruk adalah status gizi berdasarkan indeks berat badan (BB) menurut panjang badan (PB) atau tinggi badan (TB) dengan nilai Z-score < -3 SD dengan atau tanpa gejala klinis, ditangani/dirawat adalah tindakan yang diberikan kepada balita gizi buruk yang ditemukan mulai dari rujukan, klarifikasi dan konfirmasi, pengobatan dan pemberian makanan tambahan yang disertai dengan penyuluhan, baik rawat jalan maupun rawat inap. Menurut Sediaoetama (2008), anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kg berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi. Anak yang menderita KEP terutama pada tingkat berat (gizi buruk) mengalami hambatan dalam pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, daya tahan terhadap penyakit menurun sehingga meningkatkan angka kesakitan dan risiko kematiannya cukup tinggi. Risiko Relatif (RR) angka kematian bagi penderita KEP berat 8.4 kali, KEP sedang 4.6 kali dan KEP ringan 2.4 kali dibandingkan dengan gizi baik (Soekirman 2000). Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh manusia. Keadaan demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi). Secara umum, bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2 yaitu overnutrition (kelebihan gizi) dan under nutrition (kekurangan gizi). Overnutrition adalah suatu keadaan tubuh akibat mengkonsumsi zat-zat gizi tertentu melebihi kebutuhan tubuh dalam waktu yang relatif lama. Undernutrition
17
adalah keadaan tubuh yang disebabkan oleh asupan zat gizi sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh (Gibson 2005). Tabel 5 Jumlah balita kurus dalam keluarga Total balita Kurus Normal Total
n 25 295 320
% 7.8 92.2 100
Tabel 6 Jumlah balita sangat kurus yang dirujuk dalam keluarga Jumlah balita sangat kurus Ya Tidak Total
Rumah Sakit n % 4 16.0 0 0.0 4 16.0
Dirujuk ke Puskesmas n % 20 80.0 0 0 20 80.0
TFC n 1 0 1
% 4.0 0 4.0
Prevalensi balita kurus berdasarkan observasi (Tabel 5) adalah 7.8%. Dari seluruh balita yang kurus, 80% dirujuk ke Puskesmas (Tabel 6). Semua kasus balita gizi buruk di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014 telah ditangani di Rumah Sakit (RS), Puskesmas dan Pusat Pemulihan Gizi (Therapeutic Feeding Center = TFC) baik rawat inap maupun rawat jalan, hal ini sesuai dengan target indikator dimana 100% balita gizi buruk yang ditemukan harus ditangani dan mendapat perawatan. Tingkat capaian indikator kinerja persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan dimana semua balita gizi buruk dengan komplikasi medis maupun tanpa komplikasi medis yang terdeteksi telah dirawat, baik itu rawat inap di TFC, puskesmas perawatan dan di rumah sakit maupun rawat jalan di puskesmas non perawatan dan rumah sakit setiap tahunnya selalu mencapai target 100%. Notoadmojdo (2007), menyatakan bahwa salah satu kondisi yang menyebabkan anak balita rawan gizi dan rawan kesehatan adalah anak balita sudah mulai bermain di tanah atau di luar rumahnya sendiri. Dengan demikian anak-anak balita lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk terkena berbagai penyakit. Munculnya kasus gizi buruk di masyarakat seharusnya dapat dicegah dan diketahui secara dini melalui kegiatan penimbangan bulanan balita di Posyandu (Soekirman 2000). Untuk itu tugas yang harus dilakukan oleh pengelola program gizi yaitu selain menggabungkan data kegiatan pembinaan gizi masyarakat dari Puskesmas, pengelola kegiatan gizi juga perlu melakukan kompilasi laporan kasus gizi buruk yang dirawat di RS atau informasi dari masyarakat dan media. Bila ada laporan kasus gizi buruk dari masyarakat atau media, pengelola gizi perlu melakukan klarifikasi ke Puskesmas mengenai laporan atau informasi tersebut untuk melakukan konfirmasi status gizinya. Klarifikasi laporan kasus gizi buruk dapat dilakukan melalui telepon dan sms. Bila hasil konfirmasi ternyata balita tersebut benar gizi buruk (BB/PB atau BB/TB <-3 SD dengan atau tanpa gejala klinis) maka perlu dilakukan pelacakan atau penyelidikan kasus. Pelacakan kasus meliputi waktu kejadiannya, tempat/lokasi kejadian dan identitas orangnya termasuk umur, jenis kelamin dan penyebab terjadinya kasus gizi buruk.
18
Pelacakan kasus gizi buruk dilakukan apabila kasus tersebut belum mendapatkan penanganan, kasus gizi buruk terkonsentrasi pada satu wilayah, dicurigai kemungkinan adanya rawan pangan (pedoman survailance gizi). Keluaran yang diharapkan dari langkah pengumpulan data adalah adanya rekapitulasi laporan terkait dengan jumlah Puskesmas yang melapor, ketepatan waktu, kelengkapan dan kebenaran data yang dilaporkan. Cakupan Penimbangan Balita (D/S) Cakupan penimbangan balita (D/S) merupakan indikator yang berkaitan dengan cakupan pelayanan gizi pada balita, cakupan pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, tingkat partisipasi masyarakat serta prevalensi gizi kurang. Semakin tinggi cakupan D/S, semakin tinggi cakupan vitamin A, semakin tinggi cakupan imunisasi dan semakin rendah prevalensi gizi kurang (Kemenkes 2012). Indikator ini menunjukkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita. Kunjungan balita ke Posyandu untuk penimbangan juga merupakan realisasi dari upaya kesehatan dalam bentuk promotif sekaligus preventif guna meningkatkan status gizi dan kesehatan balita. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi cakupan penimbangan berat badan balita di di lokasi KKP IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 (Tabel 7) diketahui bahwa 63.6% bayi 0-1 bulan tidak pernah datang dan ditimbang di Posyandu. Hal ini dapat disebabkan keengganan responden untuk membawa bayi keluar rumah, khususnya pada 40 hari pertama. Frekuensi ini meningkat sejalan dengan pertambahan umur anak, ditunjukkan dengan frekuensi bayi 2-3 bulan datang dan ditimbang di Posyandu yang hampir merata pada seluruh kategori kecuali dengan frekuensi empat kali. Frekuensi penimbangan tertinggi berada pada kategori dua kali (40%). Frekuensi bayi 4-5 bulan datang dan ditimbang di Posyandu dengan proporsi terbesar (42.1%) berada pada kategori lima kali dalam enam bulan terakhir. Hal ini menunjukkan kesadaran ibu yang memiliki balita di lokasi KKP IPB di Kabupaten Bogor untuk membawa anaknya yang berusia 4-5 bulan sudah cukup baik. Frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan sudah sangat baik, ditunjukkan dengan proporsi yang ditimbang enam kali (53.0%) melebihi angka nasional (44.6%) dan hampir mencapai angka proporsi Jawa Barat (53.3%) (Kemenkes 2013a). Tabel 7 Jumlah bayi yang datang dan ditimbang di Posyandu Bayi (umur 0-1 bln) yang datang dan ditimbang 2 bulan terakhir Tidak pernah Satu kali Dua kali Total Bayi ( 2 – 3 bln) yang datang dan ditimbang 4 bulan terakhir Tidak pernah Satu kali
n
%
7 4 0 11
63.6 36.4 0.0 100
n
%
3 4
15.0 20.0
19
Tabel 7 Jumlah bayi yang datang dan ditimbang di Posyandu (Lanjutan)
% Penimbangan Balita (D/S)
Bayi (umur 0-1 bln) yang datang dan ditimbang n % 2 bulan terakhir Dua kali 8 40.0 Tiga kali 4 20.0 Empat kali 1 5.0 Total 20 100 Bayi ( 4 – 5 bln) yang datang dan ditimbang 6 n % bulan terakhir Tidak pernah 1 5.3 Satu kali 2 10.5 Dua kali 1 5.3 Tiga kali 4 21.1 Empat kali 3 15.8 Lima kali 8 42.1 Enam kali 0 0.0 Total 19 100.0 Bayi ( 6 – 59 bln) yang datang dan ditimbang 6 n % bulan terakhir Tidak pernah 48 13.5 Satu kali 15 4.2 Dua kali 22 6.2 Tiga kali 21 5.9 Empat kali 12 3.4 Lima kali 49 13.8 Enam kali 188 53.0 Total 355 100.0 Bila dibandingkan dengan standar pelayanan minimum (SPM) dan target 2014 (Gambar 3) angka realisasi cakupan penimbangan balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor mencapai 85.4% masuk pada kategori baik (≥80%) dan telah melampaui target pencapaian penimbangan balita Tahun 2014 yang ditetapkan Kemenkes (≥85%). Berdasarkan profil kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2013, terjadi peningkatan bila dibandingkan dengan Tahun 2013 (67.0%) (Dinkes Kab. Bogor 2013). Walau demikian masih sangat diperlukan upaya untuk terus menggalakkan program-program pemantauan penimbangan balita agar pencapaian tahun ini dapat lebih dipertahankan dan ditingkatkan. 120,0 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0
% Penimbangan Balita (D/S)
Realisasi
SPM
Target
Pencapaian Program
85,4
80,0
85,0
100,5
Gambar 3 Perbandingan realisasi penimbangan balita (D/S), SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014
20
Pemantauan pertumbuhan balita sangat penting dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan pertumbuhan (growth faltering) secara dini. Untuk mengetahui pertumbuhan tersebut, penimbangan balita setiap bulan sangat diperlukan. Peran serta masyarakat dalam penimbangan balita (D/S) menjadi sangat penting dalam deteksi dini kasus gizi kurang dan gizi buruk. Dengan rajin menimbang balita, maka pertumbuhan balita dapat dipantau secara intensif. Sehingga bila berat badan anak tidak naik ataupun jika ditemukan penyakit akan dapat segera dilakukan upaya pemulihan dan pencegahan supaya tidak menjadi gizi kurang atau gizi buruk. Semakin cepat ditemukan, maka penanganan kasus gizi kurang atau gizi buruk akan semakin baik. Penanganan yang cepat dan tepat sesuai tata laksana kasus anak gizi buruk akan mengurangi risiko kematian, sehingga angka kematian akibat gizi buruk dapat ditekan. Penimbangan balita dapat dilakukan di berbagai tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan kesehatan yang lain. Masalah yang berkaitan dengan kunjungan Posyandu antara lain: dana operasional dan sarana prasarana untuk menggerakkan kegiatan Posyandu; tingkat pengetahuan kader dan kemampuan petugas dalam pemantauan pertumbuhan dan konseling; tingkat pemahaman keluarga dan masyarakat akan manfaat Posyandu; serta pelaksanaan pembinaan kader. Selain itu menurut Sandjaja et al. (2005) beberapa faktor yang kemungkinan menjadi penyebab menurunnya anak balita ditimbang adalah makin menurunnya peran serta masyarakat, termasuk posyandu dan kadernya. Sehingga untuk mengantisipasi masalah ini, diperlukan bentuk pendekatan yang lebih efektif untuk memfungsikan dan memantapkan kegiatan kader yang berkesinambungan. Dukungan lintas sektor, seperti Lurah/Kepala Desa, Camat sangat penting dan selanjutnya perlu dukungan juga dari tingkat kabupaten/kota, propinsi, dan naslonal. Jika sebelumnya pendekatan lebih bersifat mobilisasi, karena peran kekuasaan dan komando, maka pendekatan menumbuhkan kasadaran menjadi kader adalah yang terbaik. Diupayakan agar kader yang dilibatkan merasakan bahwa penunjukan dan penugasannya menjadi suatu penghargaan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya dari pemerintah dan masyarakat. Mungkin penghargaan berupa insentif dalam berbagai bentuk untuk kader posyandu sebagai pengganti hari kerja perlu menjadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan di tingkat daerah. Beberapa kendala yang dihadapi berdasarkan laporan KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 antara lain: (1) Permasalahan geografis, seperti di Kecamatan Sukamakmur, terdapat jarak rumah penduduk ke Posyandu sekitar 2 kilometer yang harus ditempuh dengan berjalan kaki; (2) Kurangnya dukungan dari para pemangku kepentingan, Posyandu hanya didukung oleh tenaga kesehatan dari Puskesmas setempat; (3) Kualitas dan kuantitas dari kader masih kurang; (4) Terbatasnya dana operasional, sarana dan prasarana di Posyandu; (5) kurangnya kemampuan tenaga dalam pemantauan pertumbuhan dan konseling; (6) Tingkat pemahaman keluarga dan masyarakat akan manfaat Posyandu masih rendah.
21
Pemberian Tablet Tambah Darah (Fe) Anemia Gizi adalah rendahnya kadar Haemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Di Indonesia sebagian besar anemia ini disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe) hingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia gizi besi. Untuk penanggulangan masalah ini telah dilakukan intervensi dengan distribusi tablet Fe. Cakupan pemberian tablet Fe terkait erat dengan pelayanan antenatal care (ANC). Analisis cakupan Fe sering menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup besar, hal ini mungkin disebabkan karena belum optimalnya koordinasi antar lintas program terkait atau pencatatan dan pelaporan cakupan Fe ibu hamil belum terlaporkan dengan baik (Kemenkes 2012). Tabel 8 Usia kehamilan ibu dan Usia pertama kali mendapat TTD dalam keluarga Usia Ibu hamil Trimester I (1 – 3 bln) Trimester II ( 4 – 6 bln) Trimester III (7 – 9 bln) Tidak tahu Total Ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah pertama kali Trimester I (1 – 3 bln) Trimester II ( 4 – 6 bln) Trimester III (7 – 9 bln) Tidak tahu Total
n 4 5 6 0 15
% 26.7 33.3 40.0 0.0 100.0
n
%
6 3 1 5 15
40.0 20.0 6.7 33.3 100.0
Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi yang dilakukan dari 15 ibu hamil (Tabel 8), 40.0% ibu hamil memiliki usia kehamilan trimester III (7-9 bulan) dan seluruh (100%) ibu hamil mendapatkan Tablet Tambah Darah (TTD) dengan proporsi terbesar memperoleh TTD pertama kali pada usia kehamilan 1-3 bulan. Tabel 9 menjelaskan frekuensi ibu hamil mendapat TTD terbesar (33.3%) dengan frekuensi tiga kali. Hal ini menunjukkan cakupan program TTD sudah cukup baik. Sepertiga lebih (33.3%) ibu hamil menerima 90 butir TTD. Angka ini menyamai angka nasional untuk konsumsi TTD 90 butir, yaitu 33.3%. Dari sejumlah TTD yang diterima, sebagian besar (77.8%) dikonsumsi di rentang 0-30 TTD (Tabel 10). Bagi yang tidak menerima TTD, sebesar 33.3% ibu membeli sendiri dan meminum seluruhnya (Tabel 11). Hanya sebagian kecil ibu hamil yang mengkonsumsi TTD kurang dari yang diterima dengan alasan baunya yang tidak enak, kotoran hitam dan menimbulkan rasa mual (Tabel 12).
22
Tabel 9 Frekuensi ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) Frekuensi ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah Tidak pernah 1 (satu) kali 2 (dua) kali 3 (tiga) kali Tidak tahu Total Jumlah Tablet Tambah Darah (TTD) yang diperoleh ibu hamil 30 butir 60 butir 90 butir Total
n
%
6 3 1 5 0 15
40.0 20.0 6.7 33.3 0.0 100.0
n
%
5 0 4 9
55.6 0.0 44.4 100.0
Tabel 10 Jumlah Tablet Tambah Darah (TTD) yang diminum ibu hamil Jumlah ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah Diminum Tidak diminum Total
n 7 0 7
Jumlah Tablet Tambah Darah (butir) 0 - 30 31 - 60 61 – 90 % n % n % 77.8 0 0 2 22.2 0 0 0 0 0 77.8 0 0 2 22.2
Tabel 11 Jumlah ibu hamil yang tidak dapat TTD tapi membeli TTD sendiri Jumlah ibu hamil yang minum Tablet Tambah Darah Ya Tidak Total
n -
Asal Tablet Tambah Darah Puskesmas Beli Sendiri % n % 2 33,3 4 66,7 6 100,0
Tabel 12 Persentase alasan ibu tidak minum TTD Alasan tidak minum TTD Bau tidak enak Rasa tidak enak Kotoran hitam Mual Total
n 1 0 1 2 4
% 25.0 0.0 25.0 50.0 100.0
Anemia gizi besi dapat mengakibatkan gangguan kesehatan dari tingkat ringan sampai berat. Anemia pada ibu hamil akan menambah risiko mendapatkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), risiko perdarahan sebelum dan pada saat persalinan, dan bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya jika ibu hamil tersebut menderita anemia berat. Pada ibu hamil lebih banyak terjadi perdarahan kronis, yaitu perdarahan sedikit-sedikit tetapi terus menerus dalam waktu yang lama (Riyadi, Hardinsyah, & Anwar 1997).
23
Anemia pada ibu hamil disebabkan oleh banyak faktor, yaitu faktor langsung, tidak langsung dan mendasar. Secara langsung anemia disebabkan oleh seringnya mengkonsumsi zat penghambat absorbsi zat besi, kurangnya mengkonsumsi promotor absorbsi zat besi non heme serta adanya infeksi parasit. Adapun kurang diperhatikannya keadaan ibu pada waktu hamil merupakan faktor tidak langsung. Namun secara mendasar anemia pada ibu hamil disebabkan oleh rendahnya pendidikan dan pengetahuan serta faktor ekonomi yang masih rendah (Darlina 2003). Gambar 4 menjelaskan bahwa cakupan pemberian tablet Fe di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 (66.7%) masih pada kategori kurang dari SPM dan target Kemenkes di Tahun 2014. Realisasi cakupan Fe Tahun 2014 ini juga menurun dari cakupan pemberian Fe di Kabupaten Bogor Tahun 2013 (78.3%). Hal ini dimungkinkan karena masih adanya keengganan dan rendahnya kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kehamilannya dalam rangka menjaga kesehatan ibu dan bayinya. 100,0
% Cakupan Fe
80,0 60,0
40,0 20,0 0,0
% Cakupan Fe
Realisasi
SPM
66,7
70,0
Target TTD 90 85,0
Pencapaian Program 78,4
Gambar 4 Perbandingan realisasi cakupan Fe (TTD 90), SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014 Konsumsi Garam Beryodium di Rumah Tangga Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) adalah sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh seseorang kurang unsur yodium secara terusmenerus dalam jangka waktu lama. Kekurangan yodium saat ini tidak terbatas pada gondok dan kretinisme saja, tetapi ternyata kekurangan yodium berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk perkembangan otak sehingga terjadi penurunan potensi tingkat kecerdasan (Intelligence Quotient=IQ). Penanggulangan masalah ini dilakukan dengan upaya Universal Salt Iodination (USI), yaitu fortifikasi yodium dalam garam konsumsi (Kemenkes 2012). Menurut Depkes (2002), masalah GAKY merupakan masalah yang serius mengingat dampaknya secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia yang mencakup 3 aspek, yaitu aspek perkembangan kecerdasan, aspek perkembangan sosial dan aspek perkembangan ekonomi. Lebih jauh telah diidentifikasi bahwa masalah GAKY
24
berhubungan erat dengan kecerdasan akibat defisit IQ point dan produktivitas kerja. Anak-anak yang menderita kekurangan yodium mempunyai rata-rata IQ 1015 poin lebih rendah dibandingkan dengan anak yang cukup mendapat yodium. Berdasarkan uji yodium (Iod test) yang dilakukan terhadap sampel garam yang digunakan/dikonsumsi keluarga diperoleh hasil sebagai berikut, garam halus (58.3%) dan garam bata (40.2%) digunakan di hampir seluruh rumah tangga. Hanya 1.5% responden yang menggunakan garam curah bahkan tidak ada yang menggunakan garam gurih (Tabel 13). Tabel 14 menjelaskan alasan penggunaan jenis garam tersebut, sebagian besar (70.1%) adalah karena tersedia di pasar. Berdasarkan hasil pemeriksaan garam di rumah tangga (Tabel 15), 75.8% garam beryodium. Cakupan garam beryodium ini lebih rendah dari angka nasional (77,1%) namun melampaui konsumsi garam beryodium di Jawa Barat (68,6%) (Kemenkes 2013a). Garam yang telah dites dan dikategorikan sebagai tidak beryodium memiliki arti kandungan yodiumnya kurang, bukan berarti tidak ada yodium sama sekali. Hal ini ditunjukkan dengan hasil tes yang berwarna namun tidak pekat. Tabel 13 Persentase jenis garam yang digunakan dalam rumah tangga Jenis garam yang dikonsumsi di rumah tangga Garam bata Garam curah Garam halus Garam gurih Total
n 163 6 236 0 405
% 40.2 1.5 58.3 0 100
Tabel 14 Alasan menggunakan garam Jenis garam yang dikonsumsi Garam bata Garam curah Garam halus Garam gurih Total
Mengandung Yodium n % 5 1.2 1 0.2 63 15.6 0 0.0 69 17.0
Alasan penggunaan Rasa tidak Ada di pasar pahit n % n % 127 31.4 6 1.5 3 0.7 0 0.0 154 38.0 11 2.7 0 0.0 0 0.0 284 70.1 17 4.2
Murah n 25 2 7 0 34
% 6.2 0.5 1.7 0.0 8.4
Tabel 15 Hasil pemeriksaan garam di rumah tangga Jenis garam yang dikonsumsi di rumah tangga Garam bata Garam curah Garam halus Garam gurih Total
Hasil pemeriksaan Beryodium Tidak beryodium n % n % 83 20.5 80 19.8 6 1.5 0 0.0 218 53.8 18 4.4 0 0.0 0 0.0 307 75.8 98 24.2
Berdasarkan target Kemenkes Tahun 2014, secara nasional cakupan rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium adalah 90% dan SPM konsumsi
25
% Konsumsi Garam Beriodium
garam beryodium di rumah tangga ≥90%. Ini mengartikan bahwa cakupan garam beryodium di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 (75.8%), masuk pada kategori kurang (<90%) dan masih perlu upaya lebih untuk mencapai target nasional. Perbandingan hasil realisasi dengan SPM dan target Tahun 2014 disajikan pada Gambar 5. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan hasil pemantauan konsumsi garam beryodium di Kabupaten Bogor pada tahun 2002, dengan hasil sekitar 71.8% masyarakat mengonsumsi garam beryodium. Angka tersebut jauh di bawah target Universal Salt Iodization (USI), yaitu > 90% rumah tangga mengonsumsi garam beryodium konsentrasi cukup, dengan harapan, bila garam yang dikonsumsi sudah memenuhi persyaratan maka akan memperkecil masalah pembesaran kelenjar gondok di masyarakat. Sementara itu, di Kecamatan Leuwiliang sekitar 17.0% garam yang beredar di Kecamatan Leuwiliang kekurangan yodium dan yang tidak beryodium 28.3%. Garam yang beredar di pasaran sebagian besar berbentuk bata atau briket (Anggorodi 2010). Masih rendahnya cakupan rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium di Kabupaten Bogor dimungkinkan karena masyarakat tidak punya pilihan lain sebab sebagian besar garam yang beredar di pasaran adalah garam yang berbentuk bata atau briket. Lokasi KKP IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014 masih perlu mendapatkan perhatian pemerintah setempat yang telah melakukan program komunikasi, informasi dan edukasi penanggulangan GAKY. 100 80 60 40 20 0 %Konsumsi Garam Beriodium
Realisasi
SPM
Target
Pencapaia n Program
75,8
90,0
90,0
84,2
Gambar 5 Perbandingan realisasi cakupan garam beryodium, SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014 Menurut Kemenkes (2012) masalah masih rendahnya cakupan konsumsi garam beryodium di masyarakat antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat dan kurangnya kampanye dalam mengkonsumsi garam beryodium, serta dukungan regulasi yang belum memadai. Disamping itu masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beryodium di masyarakat secara terus-menerus.
26
Pemberian Kapsul Vitamin A Tujuan pemberian kapsul Vitamin A adalah untuk menurunkan prevalensi dan mencegah Kekurangan Vitamin A (KVA) pada balita. Kapsul vitamin A dosis tinggi terbukti efektif untuk mengatasi masalah KVA pada masyarakat apabila cakupannya tinggi. Bukti-bukti lain menunjukkan peranan vitamin A dalam menurunkan angka kematian yaitu sekitar 30%-54%, maka selain untuk mencegah kebutaan, pentingnya vitamin A saat ini lebih dikaitkan dengan kelangsungan hidup anak, kesehatan dan pertumbuhan anak (Kemenkes 2012). Masalah vitamin A pada balita secara klinis sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat (prevalensi xeropthalmia <0.5%). Hasil studi masalah gizi mikro di 10 kota pada 10 provinsi tahun 2006, diperoleh prevalensi xeropthalmia pada balita 0.13%, sedangkan hasil survei vitamin A tahun 1992 menunjukkan prevalensi xeropthalmia sebesar 0.33%. Namun demikian KVA subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih ada pada kelompok balita. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium. Disamping itu sebaran cakupan pemberian vitamin A pada balita menurut provinsi masih ada yang di bawah target, sehingga kegiatan pemberian vitamin A pada balita masih perlu dilanjutkan. Vitamin A bukan hanya untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan saja, namun yang lebih penting lagi vitamin A dapat meningkatkan daya tahan anak terhadap penyakit/menurunkan morbiditas sehingga berperan dalam menjaga kelangsungan hidup anak, kesehatan dan pertumbuhan anak. Pemberian kapsul vitamin A dilakukan setahun dua kali pada bulan Februari dan Agustus, sejak anak berumur enam bulan. Kapsul merah (dosis 100.000 IU) diberikan untuk bayi umur 6-11 bulan dan kapsul biru (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan. Tabel 16 Persentase bayi (6-59 bulan) dan ibu nifas diberi kapsul Vitamin A 6 (enam) bulan terakhir Konsumsi Vitamin A pada bayi 6 – 11 bulan 6 bulan terakhir Ya Tidak Total Konsumsi Vitamin A pada bayi 12 – 59 bulan 6 bulan terakhir Ya Tidak Total Ibu nifas menerima / minum kapsul Vitamin A Ya Tidak Total
n
%
47 33 80
58.8 41.3 100.0
n
%
249 46 295 n 21 20 41
84.4 15.6 100.0 % 51.2 48.8 100
Tabel 16 menjelaskan hasil pemantauan cakupan vitamin A pada balita dan ibu nifas di Kabupaten Bogor Tahun 2014. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa lebih dari separuh (58.8%) bayi 6-11 bulan menerima kapsul
27
vitamin A. Di sisi lain, hampir seluruh (84.4%) anak 12-59 bulan sudah menerima kapsul vitamin A. Untuk nilai cakupan balita (6-59 bulan) yang menerima kapsul vitamin A dosis tinggi di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor adalah 78.9%. Angka ini berada di atas angka nasional (75.5%) namun masih di bawah Jawa Barat (81.6%) untuk usia 6-59 bulan (Kemenkes 2013a). Bila dibandingkan dengan SPM dan target Kemenkes (Gambar 6), cakupan pemberian kapsul vitamin A di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 tergolong kategori kurang (<80%). Realisasi cakupan pemberian vitamin A pada balita ini juga mengalami penurunan bila dibandingkan dengan capaian Kabupaten Bogor Tahun 2013 (83.19%). Hal ini menunjukkan bahwa masih sangat diperlukan upaya bersama baik dari pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi dan kesadaran yang baik dalam pemerhatian gizi anak khususnya pada program pemberian vitamin A. Sasaran lain penerima kapsul vitamin A adalah ibu nifas, dengan harapan bayi akan memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI. Cakupan pemberian vitamin A pada ibu nifas di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 adalah 51.2% (Tabel 16), jika dibandingkan target Nasional (100%) angka ini masih belum tercapai. Dengan demikian masih diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan cakupan tersebut, antara lain melalui integrasi pelayanan kesehatan ibu nifas, sweeping pada daerah yang cakupannya masih rendah, dan kampanye pemberian kapsul vitamin A. 100,0 % Cakupan Vitamin A
80,0 60,0 40,0 20,0 0,0
% Cakupan Vit. A
Realisasi
SPM
Target
78,9
80,0
80,0
Pencapaia n Program 98,7
Gambar 6 Perbandingan realisasi cakupan vitamin A, SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014 Pemberian ASI Ekslusif Cara pemberian makanan pada bayi yang baik dan benar adalah menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan. Mulai umur 6 bulan, bayi mendapat makanan pendamping ASI yang bergizi sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembangnya (Kemenkes 2012). Zat gizi memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan tumbuh kembang anak dan kesehatannya. Zat gizi yang terbaik dan paling lengkap untuk bayi di kehidupan pertamanya adalah Air Susu Ibu (ASI) sampai dengan usia 6
28
bulan. Selain struktur dan kualiatas zat gizinya yang baik, ASI juga mengandung zat antibodi yang berguna untuk melindungi bayi dari infeksi (Ramaiah 2006). Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2010, cakupan pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan dan persentase bayi usia 6 bulan yang menyusu eksklusif sampai 6 bulan menunjukan kecenderungan meningkat. Data terakhir cakupan pemberian ASI eksklusif (0-6 bulan) di Indonesia sebesar 61.5%. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Bagi ibu, menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum). sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Edmond et al. (2005) menunjukkan bahwa 16% kematian bayi baru lahir seharusnya dapat diselamatkan dengan pemberian ASI pada hari pertama dan meningkat 22% jika menyusui dimulai pada 1 jam pertama setelah melahirkan. Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe lebih panjang. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah umur 6 bulan, bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MPASI) dan ibu tetap memberikan ASI sampai anak berumur minimal 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasikan para ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya (Kemenkes 2013a). Tabel 17 Pemberian ASI Eksklusif dan selain ASI pada bayi usia 0 – 5 bulan Konsumsi
n 39 28 67
% 58.2 41.8 100.0
Usia bayi 0-5 bulan diberi makan/minum selain ASI pertama kali
n
%
< 30 hari 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan >6 bulan Total
10 2 4 4 5 6 19 17 67
14.9 3.0 6.0 6.0 7.5 9.0 28.4 25.4 100.0
Hanya ASI Selain ASI Total
Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (Tabel 17) diketahui bahwa persentase pemberian ASI eksklusif dalam 24 jam terakhir dan tanpa riwayat diberikan makanan dan minuman selain ASI pada umur 6 bulan di Kabupaten Bogor adalah sebesar 58.2%.
% Cakupan ASI Eksklusif
29
100 80 60 40 20 0
% Cakupan ASI Eksklusif
Realisasi
SPM
Target
Pencapaian Program
58,2
80,0
80,0
72,8
Gambar 7 Perbandingan realisasi cakupan ASI eksklusif, SPM, dan target Kemenkes di lokasi KKP Kab. Bogor tahun 2014 Bila dibandingkan dengan SPM (Gambar 7) cakupan ASI eksklusif di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor masih tergolong kurang (58.2%) dan belum mencapai target Kemenkes tahun 2014 (≥80%). Cakupan pemberian ASI eksklusif dipengaruhi beberapa hal, terutama masih sangat terbatasnya tenaga konselor ASI, belum adanya peraturan perundangan tentang Pemberian ASI serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan kampanye terkait pemberian ASI maupun MP-ASI, masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana KIE ASI dan MP-ASI dan belum optimalnya membina kelompok pendukung ASI dan MP-ASI. Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan dapat disebabkan masih kurangnya pemahaman masyarakat bahkan petugas kesehatan sekalipun tentang manfaat dan pentingnya pemberian ASI eksklusif kepada bayi usia 0-6 bulan. Di lain pihak adanya promosi dan pemasaran yang begitu intensif terkait susu formula yang kadang sulit untuk dikendalikan. Mungkin pula masih banyak Rumah Sakit (RS) yang belum mendukung peningkatan pemberian ASI eksklusif, yang dapat ditandai dengan belum melakukan rawat gabung antara ibu dan bayinya, dan belum atau masih rendahnya melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) serta masih bebas beredarnya susu formula di lingkungan RS. Upaya terobosan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif antara lain melalui upaya peningkatan pengetahuan petugas tentang manfaat ASI eksklusif, penyediaan fasilitas menyusui di tempat kerja, peningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu, peningkatan dukungan keluarga dan masyarakat serta upaya untuk mengendalikan pemasaran susu formula. Selain itu perlu juga penerapan 10 (sepuluh) Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (LMKM) di RS dan sarana pelayanan kesehatan lainnya yang melakukan kegiatan persalinan.
30
Pencapaian Program Gizi Masyarakat Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program dalam rangka mencapai target sebagai keluaran dalam penelitian ini, berikut diuraikan tingkat capaian dari masing-masing indikator capaian program. Target capaian bersumber dari dokumen Rencana Kinerja Kementrian Kesehatan Tahun 2013 serta didasarkan pada analisis deskriptif yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya. Tabel 18 menjelaskan bahwa beberapa aspek dari program perbaikan gizi masyarakat di lokasi Kuliah Kerja Profesi (KKP) mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor Tahun 2014 sudah berjalan dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan tercapaianya target indikator kinerja kegiatan Kementerian Kesehatan Tahun 2014 yaitu balita yang ditimbang berat badannya (D/S) (100.5%) dan balita gizi buruk yang mendapat perawatan (100%). Namun demikian program lain yang menjadi indikator penunjang perlu mendapat perhatian lebih, khususnya pada indikator bayi 0-6 bulan yang mendapat ASI eksklusif yang nilai realisasi dan capaiannya paling kecil dibandingkan program lainnya. Tabel 18 Pencapaian Program Gizi Masyarakat di lokasi KKP Kab.Bogor Tahun 2014 Indikator Program Balita yang ditimbang berat badannya (D/S) Bayi 0-6 Bulan yang mendapat ASI Eksklusif Rumah tangga mengonsumsi garam beryodium balita usia 6-59 bulan mendapat kapsul vitamin A Ibu hamil yang mendapatkan 90 Tablet Tambah Darah Balita gizi buruk yang mendapat perawatan
Target Realisasi Capaian Keterangan (%) (%) (%) 85.0
85.4
100.5
80.0
58.2
72.8
90.0
75.8
84.2
80.0
78.9
98.6
85,0
66.7
78.4
100.0
100.0
100.0
Tercapai Belum tercapai Belum tercapai Belum tercapai Belum tercapai Tercapai
Tingkat capaian indikator kinerja persentase balita ditimbang berat badannya (D/S) dapat sedikit di atas target yang ditetapkan, yaitu (85.4%) dipengaruhi antara lain oleh faktor-faktor pendukung berikut: (1) Adanya perhatian dan dukungan pemerintah daerah setempat; (2) Adanya kemauan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan balita di lingkungannya; (3) Adanya dukungan dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan organisasi kemasyarakatan lainnya; (4) Adanya dukungan dari pemerintah pusat melalui Rakernas 2013, yang menghasilkan adanya rekomendasi dilaksanakannya 4 (empat) kali bulan penimbangan dalam setahun; (5) Tersedianya dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang menjadi daya ungkit peningkatan kinerja puskesmas termasuk dalam pembinaan posyandu yang berdampak pada peningkatan D/S; (6) Tersedianya dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang menjadi daya ungkit peningkatan kinerja puskesmas termasuk dalam pembinaan posyandu yang berdampak pada peningkatan D/S; (7) Disahkannya Peraturan Presiden Nomor 42
31
Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (Kemenkes 2014). Tercapainya target penimbangan balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 tidak luput dari adanya kerjasama dan sinergi yang baik diantara para pemangku kepentingan. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan dalam proses pelaksanaan program penimbangan berat badan balita di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor masih didapati kendala di lapangan, sehingga upaya-upaya dari pemerintah setempat untuk bisa terus meningkatkan tingkat capaian cakupan penimbangan balita masih sangat diperlukan. Tingkat capaian indikator kinerja persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan dimana semua balita gizi buruk dengan indikasi medis maupun tanpa indikasi medis yang terdeteksi telah dirawat, baik itu rawat inap di TFC, puskesmas perawatan dan di rumah sakit maupun rawat jalan di puskesmas non perawatan dan rumah sakit setiap tahunnya selalu mencapai target 100%. Hal ini dapat direalisasikan dengan baik di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014. Rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif 0-6 bulan dapat disebabkan masih kurangnya pemahaman masyarakat bahkan petugas kesehatan sekalipun tentang manfaat dan pentingnya pemberian ASI eksklusif kepada bayi usia 0-6 bulan. Di lain pihak adanya promosi dan pemasaran yang begitu intensif terkait susu formula yang kadang sulit untuk dikendalikan. Mungkin pula masih banyak Rumah Sakit (RS) yang belum mendukung peningkatan pemberian ASI eksklusif, yang dapat ditandai dengan belum melakukan rawat gabung antara ibu dan bayinya, dan belum atau masih rendahnya melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) serta masih bebas beredarnya susu formula di lingkungan RS. Masalah masih rendahnya cakupan konsumsi garam beriodium di masyarakat antara lain karena belum optimalnya penggerakan masyarakat dan kurangnya kampanye dalam mengkonsumsi garam beriodium, serta dukungan regulasi yang belum memadai terhadap legalitas peredaran garam di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014. Disamping itu masalah lain adalah belum rutinnya pelaksanaan pemantauan garam beriodium di masyarakat secara terus-menerus. Untuk tingkat capaian program pemberian tablet tambah darah (TTD 90) Fe pada ibu hamil terkait erat dengan pelayanan antenatal care (ANC) di pelayanan kesehatan di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014. Tingkat capaian yang masih belum mencapai target menunjukkan bahwa masih belum optimalnya pelaksanaan pelayanan ANC. Selain itu belum optimalnya koordinasi antar lintas program terkait atau pencatatan dan pelaporan cakupan Fe ibu hamil juga menjadi hal yang melatarbelakangi rendahnya capaian program pemberian TTD 90. Faktor-faktor yang dimungkinkan dapat menghambat keberhasilan program pemberian TTD 90 di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 antara lain: (1) Kurangnya pengetahuan ibu, suami, keluarga dan masyarakat tentang kehamilan, persalinan dan nifas; (2) Belum semua petugas melakukan pelayanan antenatal berkualitas sesuai standar; (3) Tidak semua desa mempunyai bidan sehingga pelaksanaan kelas ibu hamil yang diharapkan dapat dilaksanakan di tiap desa mengalami kendala; (4) Kurangnya pengetahuan ibu
32
akan pentingnya suplementasi Fe selama masa kehamilan; (5) Kebiasaan ibu hamil yang kembali ke kampung asal (tempat orangtua/keluarga) pada trimester akhir kehamilan untuk melahirkan; (6) Persepsi ibu berkenaan efek samping mengonsumsi tablet TTD; (7) Rendahnya kesadaran ibu untuk memeriksakan kehamilannya secara berkala. Tingkat capaian cakupan pemberian vitamin A di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 yang belum mencapai target berkaitan erat dengan partisipasi ibu membawa anaknya ke Posyandu atau Puskesmas. Salah satu faktor yang dimungkinkan menyebabkan belum tercapaianya target pemberian vitamin A di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor pada tahun 2014 adalah berkurangnya kunjungan anak balita ke Posyandu untuk melakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan serta pemberian Vitamin A, khususnya setelah usia satu tahun atau setelah memperoleh imunisasi lengkap. Masih rendahnya capaian target program perbaikan gizi masyarakat di lokasi KKP Kabupaten Bogor Tahun 2014 secara keseluruhan dimungkinkan karena masih belum optimalnya pelayanan gizi dan kesehatan di Posyandu dan Puskesmas. Posyandu dan Puskesmas sebagai ujung tombak dalam melakukan deteksi dini dan pelayanan pertama menjadi vital dalam pencegahan kasus gizi buruk saat ini. Hasil penelitian Nikmawati dkk.(2010) mengenai Gap analysis program gizi dan kesehatan di Posyandu Kabupaten Bogor. Gap analisis dilakukan untuk melihat bagaimana kualitas pelayanan (service quality) dari posyandu kepada para pengguna jasa yaitu ibu balita, ibu hamil dan WUS, dan seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pengguna jasa atas layanan yang mereka terima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gap analysis berdasarkan lima dimensi tangible (fisik), reliability (keandalan), responsivenes (ketanggapan), assurance (jaminan), dan emphaty (empati) secara keseluruhan menunjukkan nilai negatif sehingga perlu ditingkatkan karena masih kurang dari yang diharapkan. Pelaksanaan program gizi dan kesehatan di posyandu, pelaksanaan KIE, pelayanan kesehatan belum berjalan dengan baik karena terkendala tempat, SDM, media dan alat-alat yang masih belum memadai. Selain itu keadaaan perilaku masyarakat juga dimungkinkan sebagai penyebab rendahnya capaian program perbaikan gizi dan partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan gizi dan kesehatan di lokasi KKP Kabupaten Bogor. Berdasarkan laporan Dinkes Kabupaten Bogor (2013) perilaku masyarakat yang dimungkinkan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kondisi lingkungan menjadi faktor yang cukup besar mempengaruhi status gizi dan kesehatan masyarakat di suatu wilayah. Tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Bogor yang paling banyak ditamatkan adalah pendidikan SD, hal ini dimungkinkan berpengaruh pada kebiasaan dan perilaku masyarakat itu sendiri selain dari budaya hidup atau adat istiadat yang turun temurun sering menjadi kendala bagi kelompok masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
33
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Masalah gizi di lokasi KKP mahasiswa IPB di Kabupaten Bogor tahun 2014 berdasarkan indeks BB/U, prevalensi berat kurang (underweight) sebesar 19.3%, mendekati prevalensi tinggi. Berdasarkan indeks TB (PB)/U, prevalensi pendek (stunting) sebesar 37.3%, termasuk kategori berat. Menurut indeks BB/TB, prevalensi kurus (wasting) sebesar 15.0%, termasuk kategori kritis. Cakupan dan tingkat capaian balita gizi buruk mendapat perawatan telah mencapai target (100%). Cakupan dan tingkat pencapaian program penimbangan berat badan balita (D/S) secara berurutan adalah 85.4% dan 100.5%. Cakupan dan tingkat pencapaian target program pemberian tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil secara berurutan adalah 66.7% dan 78.4%. Cakupan dan tingkat pencapaian target program konsumsi garam beryodium rumah tangga secara berurutan adalah 75.8% dan 84.2%. Cakupan dan tingkat pencapaian target program pemberian kapsul vitamin A pada balita (6-59 bulan) secara berurutan adalah 78.9% dan 98.6%. Cakupan dan tingkat pencapaian target program pemberian ASI Ekslusif secara berurutan adalah 58.2% dan 72.8%. Saran Berdasarkan analisis program yang telah dilakukan perlu adanya pengawasan dan pembinaan yang lebih intensif yaitu dengan melakukan pemberdayaan dan peningkatan kemampuan petugas, peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan, peningkatkan kualitas dan kuantitas kader Posyandu, pemberdayaan masyarakat serta pentingnya promosi kesehatan yang berkaitan erat dengan pelaksanaan program perbaikan gizi di lokasi KKP IPB di Kabupaten Bogor. Perlu adanya upaya yang terarah agar mencapai target yang diharapkan. Meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk Posyandu dan kadernya. Diperlukan bentuk pendekatan yang lebih efektif untuk memfungsikan dan memantapkan kegiatan kader yang berkesinambungan. Dukungan dan peran serta lintas sektor yang ada diharapkan dapat menerapkan program perbaikan gizi masyarakat. Optimalisasi penggerakan masyarakat dalam kampanye konsumsi garam beryodium, mengupayakan berjalannya penegakan regulasi peredaran garam beryodium, serta merutinkan pelaksanaan pemantauan garam beryodium di masyarakat secara terus-menerus sangat disarankan. Pemerintah Kabupaten Bogor dan stakeholders terkait perlu meningkatkan pengetahuan anggota keluarga, tenaga kesehatan dan masyarakat tentang pentingnya pemberian ASI adalah melalui pelatihan konselor ASI Eksklusif, khususnya kepada para tenaga kesehatan yang bekerja di sarana pelayanan kesehatan terdepan dalam hal ini rumah sakit.
34
DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, Rina. 2010. Kampanye dan Penggunaan Garam Beryodium di Desa Leuwiliang Jawa Barat. Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol.5, No.1 Bappenas. 2012a. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK). Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). ________. 2012b. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia 2011. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Darlina. 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia Gizi pada Ibu Hamil (skipsi). Bogor : Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Departemen Kesehatan. 2004. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penyelenggaraan Perbaikan Gizi Masyarakat. Jakarta. ________. 2002. Peningkatan Konsumsi Garam Beryodium. Pusat Promosi Kesehatan: Jakarta. ________. 2008. Petunjuk Teknis bantuan sosial (bansos) perbaikan gizi masyarakat. Jakarta. ________. 2009. Data penduduk Sasaran Program Kesehatan tahun 2007-2011. Jakarta. Department for International Development. 2011. Scaling up Nutrition: The UK’s position paper on under-nutrition. UKAID. London. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor. 2013. Profil Kesehatan Kabupaten Bogor Tahun 2013. Bogor Edmond, K.M., C. Zandoh, M.A. Quigley, S.A. Etego, S.O. Agyei, B.R. Kirkwood. 2006. Delayed Breastfeeding Initiation Increases Risk of Neonatal Mortality, Pediatrics 117, p. 380-386. Official Journal of The American Academy of Pediatrics [Internet]. [diunduh 06 Januari 2014]. Tersedia pada: http://www.pediatrics.org/cgi/content/full/117/3/e380 Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford University Press. New York. Irawan F. 2013. Analisis Pencapaian Program Gizi Masyarakat di Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2009-2011[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kementerian Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. ________. 2010. Pedoman Pelaksanaan Surveilance Gizi di Kabupaten dan kota. Jakarta. ________. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. ________. 2012. Kinerja Kegiatan Pembinaan Gizi Tahun 2011. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. ________. 2013a. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan. ________. 2013b. Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat. Jakarta.
35
________. 2014. Laporan Akuntabilitas Kinerja Ditjen Bina Gizi dan KIA Tahun 2013. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA. Jakarta. Nikmawati E, Clara M Kusharto, Ali Khomsan, Dadang Suhendar, Arum Atmawikarta. 2010. Gap Analisis Program Gizi Dan Kesehatan Di Posyandu Kabupaten Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan. Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. Ramaiah S. 2006. ASI dan Menyusui. Jakarta: Buana Ilmu Populer. Riyadi H. 2001. Metode penilaian status gizi secara antropometri. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Riyadi H, Hardinsyah, F Anwar. 1997. Faktor-faktor Resiko Anemia pada Ibu Hamil. Media Gizi dan Keluarga tahun XXI No 2. Sandjaja, Titiek S, Sudikno. 2005. Cakupan Penimbangan Anak Balita Di Indonesia. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan. 28(2): 56-65. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2004. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: Dian Rakyat. Soekirman. 2000. ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat . Dirjen Dikti, Depdiknas. Jakarta. ________. 2012. Kurang Gizi, Anak Bertubuh Pendek. Opini dan Editorial Suara Pembaruan. Jakarta. Supariasa IDN. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan Bab.XIII pasal 167 [WHO] World Health Organization. 2010. Interpretation Guide Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators.
36
LAMPIRAN Lampiran 1 Pengambilan sampel rumah tangga dengan lingkaran anti nyamuk
37
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan 19 September 1991. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Alm. Paino dan Halimatussa’diah Batubara. Pendidikan penulis dimulai pada tahun 1996-1998 di TK. Dharma Wanita Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandailing Natal, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar SDN 200102 Kota Padangsidimpuan, Sekolah Menengah Pertama SMPN 4 Kota Padangsidimpuan, dan Sekolah Menengah Atas SMA Negeri 1 kota Padangsidimpuan. Setelah menamatkan SMA, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan kampus di luar kegiatan akademik atau perkuliahan. Ketika tahun pertama atau masa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis aktif di Forum for Scientific Studies (FORCES) IPB, Staff Multimedia di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al Hurriyyah IPB, Staff PSDM Ikatan Keluarga Muslim TPB IPB, dan pengajar tutor sebaya asrama TPB IPB. Tahun kedua atau setelah masuk departemen, penulis aktif di FORCES IPB dan menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Dasar di TPB IPB. Tahun ketiga penulis berkesempatan mendapatkan Beasiswa Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis Nurul Fikri (PPSDMS-NF) dan aktif sebagai ketua Divisi Keprofesian di Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) IPB, juga menjadi asisten praktikum Analisis Zat Gizi Mikro. Pada tahun keempat, penulis menjadi asisten Mata Kuliah Pendidikan Gizi dan Pendidikan Agama Islam TPB IPB. Penulis pernah mengikuti program Kuliah Kerja Profesi (KKP) IPB Tahun 2013 di Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan internship dietetic Tahun 2014 di RSUD Ciawi Kabupaten Bogor.