ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS
ARIEV BUDIMAN A34203009
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN ARIEV BUDIMAN. A34203009. Analisis Manfaat Ruang Terbuka Hijau untuk Meningkatkan Kualitas Ekosistem Kota Bogor dengan Menggunakan Metode GIS. Dibimbing oleh Dr. Ir. BAMBANG SULISTYANTARA, MAgr. Bogor sebagai salah satu kota besar di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan pembangunan yang signifikan. Korelasi dari pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan ada juga yang berdampak negatif. Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatnya pendapatan asli daerah, munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan masyarakat meningkat, indek kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain dari pertumbuhan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban kota makin berat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang mengalami peningkatan, kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka hijau (RTH) semakin berkurang akibat pesatnya perkembangan kawasan perumahan dan kawasan industri yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas ekosistem Kota Bogor. Pada penelitian ini akan dikaji dan dianalisis sejauh mana manfaat RTH untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem di Kota Bogor melalui pendekatan kuantitatif terhadap kualitas udara, penyimpanan karbon, dan daya serap karbon. Penelitian ini pada prinsipnya ingin menyampaikan bahwa RTH memberikan pelayanan ekosistem pada Kota Bogor yang dapat diukur, sehingga dapat memberikan gambaran kepada pemerintah Kota Bogor bahwa betapa pentingnya menjaga serta meningkatkan luasan RTH yang dimiliki sebagai sebuah aset berharga. Disamping itu juga memberikan pemahaman kepada masyarakat umum untuk menjaga dan melestarikan RTH yang berada pada disekitar lingkungan mereka. Penelitian ini menggunakan metode GIS untuk menganalisis manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bogor ditinjau dari ekosistemnya. Metode GIS yang dimaksud adalah menggunakan data spasial yang berupa citra satelit Quickbird tahun 2006 dan data atribut berupa curah hujan, kelembaban, topografi, tataguna lahan, jenis tanah, kualitas udara, hidrologi, dll. Proses analisis GIS dibantu oleh perangkat lunak ArcView 3.2 serta ekstensi CITYgreen 5.4, Xtool, Image Analyst, Spatial Analyst. Hasil dari analisis GIS untuk Kota Bogor menghasilkan peta RTH dan distribusi penutupan lahan serta tingkat pelayanan RTH yang dihitung berdasarkan kualitas udara, kapasitas penyimpanan karbon, dan daya serap karbon Peta RTH Kota Bogor yang dihasilkan terdiri dari dua klasifikasi yaitu canopy (wilayah yang terdiri dari kanopi pohon yang didigitasi berdasarkan tampak atas citra satelit quickbird tahun 2006) dan noncanopy (wilayah yang didigitasi terdiri dari semak, lahan pertanian, sawah, padang rumput, perumahan, daerah industri, daerah perdagangan, serta badan air yang berasal dari citra satelit quickbird tahun 2006). Distribusi penutupan lahan Kota Bogor dengan menggunakan citra satelit quickbird tahun 2006 yaitu: Tanaman Pangan/ Pertanian : 8% (985,99 ha); Ruang Terbuka/ Padang Rumput/ Sawah : 18% (2.112,34 ha); Semak : 5% (551,99 ha); Kanopi
Pohon (komponen utama RTH) : 17% (2.005,21 ha); Lahan Perkotaan : 49% (5.807,70 ha); Badan Air : 2 % (220,63 ha). Kualitas udara didapatkan dari hasil perhitungan kemampuan ekologis RTH Kota Bogor pada tahun 2006 dalam menyerap polutan diudara yang terdiri dari gas NO2 sebesar 14,587 ton/tahun, SO2 sebesar 14,599 ton/tahun, CO sebesar 0,620 ton/tahun, O3 sebesar 90,463 ton/tahun dan materi partikel yang kurang dari 10 mikron (Pb dan debu) sebesar 72,438 ton/tahun. Total polutan yang dapat diserap pertahun sebesar 213,949 ton atau setara dengan Rp. 11.255.040.000,-. Pada tahun yang sama kemampuan RTH Kota Bogor dalam menyerap karbon (gas CO2) sebesar 758 ton/tahun dan kapasitas penyimpanan karbon sebesar 267.220 ton. Data dari Master Plan RTH Kota Bogor tahun 2007, Kota Bogor menghasilkan polutan udara gas NO2 sebesar 52,377 ton/tahun, SO2 sebesar 14,599 ton/tahun, CO dan CO2 sebesar 477 ton/tahun, O3 sebesar 7,11 ton/tahun dan materi partikel yang kurang dari 10 mikron (Pb dan debu) sebesar 102,51 ton/tahun (pengukuran dilakukan tahun 2005). Jika dibandingkan dengan hasil analisis GIS secara keseluruhan keberadaan RTH Kota Bogor yang ada masih bisa menjaga kualitas udara di Kota Bogor, namum ada beberapa ambien yang melebihi kapasitas penyerapan oleh RTH Kota Bogor yaitu ambien NO2 dan materi partikel yang kurang dari 10 mikron (Pb dan debu) sehingga penambahan luasan RTH dan pemilihan pohon yang memiliki daya serap polutan yang tinggi sangat diperlukan sekali untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor . Pada lahan perkotaan bila diteliti lebih lanjut akan mendapatkan manfaat tambahan karena dari struktur lahan perkotaan di Kota Bogor terdapat juga RTH selain dari pohon. RTH tersebut antara lain lahan pertanian, sawah, semak, rumput, dan pohon kecil. Manfaat yang didapat sangat besar sekali jika semua komponen RTH dianalisis untuk meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor.
©Hak Cipta Milik Ariev Budiman, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya
ANALISIS MANFAAT RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS EKOSISTEM KOTA BOGOR DENGAN MENGGUNAKAN METODE GIS
Skripsi sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ARIEV BUDIMAN A34203009
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Analisis Manfaat Ruang Terbuka Hijau untuk Meningkatkan Kualitas Ekosistem Kota Bogor dengan Menggunakan Metode GIS
Nama Mahasiswa
: Ariev Budiman
NRP
: A34203009
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. NIP : 19601022-198601-1-001
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. NIP : 19571222-198203-1-002
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 16 Maret 1985, merupakan anak pertama dari empat bersaudara dalam keluarga Zainal Arifin dan Eniyarti. Pendidikan dasar diselesaikan di SD Negeri 14 Marunggi, Kota Pariaman pada tahun 1997. Pendidikan menengah diselesaikan di SLTP Negeri 1 Kota Pariaman pada tahun 2000 dan SMU Negeri 1 Kota Pariaman pada tahun 2003. Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2003 pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama masa perkuliahan penulis aktif di lembaga keprofesian di Studio Pro Arsitektur Lanskap dan bersama teman-teman angkatan 40 serta kakak kelas angkatan 39, 38, 37, 36 membentuk suatu wadah keprofesian ditingkat mahasiswa Departemen Arsitektur Lanskap yang bernama Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) serta pernah mengikuti kongres pertama pembentukan Perhimpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap Indonesia (PERHIMALI) di Bogor. Penulis juga aktif di Lembaga Dakwah Kampus diantaranya Lembaga Studi Islam Faperta (eL-SIFA) dan Badan Kerohanian Islam Mahasiswa (BKIM), serta pernah menjadi ketua panitia pada acara Islamic Civilization Exhibition di koridor utama Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Pada pertengahan tahun 2007 penulis sudah mulai merintis karir dari surveyor pada pekerjaan Penyusunan Database Pohon untuk DKI Jakarta, beberapa bulan kemudian menjadi surveyor utama untuk pengerjaan Master Plan Kawasan Peternakan Sapi untuk Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Grogot, Kalimantan Timur. Pada awal tahun 2008, penulis mendapat pekerjaan desain, pelaksanaan dan pemeliharaan di perusahaan PT. Rajawali Nusantara Indonesia PG Subang sebagai pimpinan proyek. Pertengahan April 2008, penulis dilibatkan dalam pengerjaan Master Plan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Parahu sebagai pembantu tenaga ahli. Penulis dapat kepercayaan kembali sebagai surveyor utama pada pengerjaan Master Plan PKK Sampoerna tahap II dari PT HM Sampoerna Pandaan, Jawa Timur bekerja sama dengan PT. Primakelola IPB dan pengerjaan Master Plan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kabupaten Halmahera Barat. Pada tahun 2009, penulis masih berkecimpung dibidang surveyor sampai akhrinya
diterima bekerja di perusahaan nasional yang bergerak dibidang pariwisata alam dan alhamdulillah sekarang menjadi salah satu manajer diperusahaan tersebut. Di bidang akademik penulis pernah menjadi asisten untuk mata kuliah Rekayasa Lanskap pada TA 2007-2008 dan 2008-2009 serta ditunjuk kembali untuk TA 2009-2010. Selain itu, pada saat ini penulis juga sedang menyusun buku panduan pratikum lapang untuk mata kuliah Rekayasa Lanskap bersama Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. dan Ir. Indung Siti Fatimah, MSi.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga pelaksanaan dan penyusunan tulisan skripsi dengan judul : Analisis Manfaat Ruang Terbuka Hijau untuk Meningkatkan Kualitas Ekosistem Kota Bogor dengan Menggunakan Metode GIS dapat terlaksana dengan baik. Tulisan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian di Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan dan penulisan dilakukan melalui kegiatan Penelitian di Kota Bogor dari bulan Oktober 2009 sampai bulan Desember 2009. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibunda Hj. Eniyarti dan Ayahanda Zainal Arifin yang telah memberikan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini. 2. Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, MAgr. yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan penelitian ini. 3. Dr. Ir. Nurhayati HSA, MSc. sebagai pembimbing akademik selama kuliah. 4. Ir. Indung Siti Fatimah, MSi. dan Ir. Qodarian Pramukanto, MSi. yang telah bersedia menjadi dosen penguji. 5. Dosen – dosen lanskap lainnya yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 6. Teman – teman lanskap angkatan 40 yang telah menjadi teman baik penulis selama ini serta kakak kelas angkatan 39, 38, 37, 36, 35, 34.
Akhir kata, penulis berharap agar skripsi ini berguna bagi berbagai pihak yang memerlukan. Dan semoga kita selalu dalam limpahan rahmat Allah SWT.
Bogor, Januari 2010
Penulis
ix [
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..................... ....................................................................... viii DAFTAR TABEL..................... .............................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1 Latar Belakang .........................................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ....................................................................................
2
1.3 Manfaat Penelitian .......................................................................... .......
2
1.4 Batasan Penelitian ........................................................................... .......
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
4
2.1
Ruang Terbuka Hijau ...........................................................................
4
2.2.1
Definisi ....................................................................................
4
2.2.2
Tujuan, Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau ................
6
2.2.3
Luas dan Jenis Ruang Terbuka Hijau ...................................... 22
2.2
Ekosistem Kota Bogor ......................................................................... 25
2.3
Proses Fisiologis RTH Kota Bogor ..................................................... 27 2.3.1 Proses Fotosintesis .................................................................... 27 2.3.2 Proses Respirasi ........................................................................ 35 2.3.3 Proses Translokasi .................................................................... 37 2.3.4 Rumah Tangga Air ................................................................... 39 2.3.5 Proses Transpirasi ..................................................................... 41 2.3.6 Interaksi Lingkungan dan Persyaratan Fisiologis .................... 43
2.4
Geographic Information System .......................................................... 45
2.5
Kapasitas Penyimpanan dan Daya Serap Karbon serta Kualitas Udara .................................................................................................... 46
BAB III METODOLOGI ...................................................................................... 48 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 48
3.2
Bahan dan Alat .................................................................................... 49
3.3
Kerangka Pikir Penelitian ..................................................................... 49
x
3.4
Metode Penelitian ................................................................................. 50 3.4.1
Metode Geographic Information System ................................. 51
BAB IV KEADAAN UMUM KOTA BOGOR ................................................... 54 4.1 Fisik Dasar ............................................................................................ 54 4.1.1
Letak Geografis dan Wilayah Administrasi ............................ 54
4.1.2
Klimatologi .............................................................................. 54
4.1.3
Topografi ................................................................................. 54
4.1.4
Geologi ..................................................................................... 55
4.1.5
Hidrologi .................................................................................. 55
4.1.6
Penggunaan Lahan ................................................................... 56
4.1.7
Pencemaran Udara ................................................................... 57 4.1.7.1 Sumber Pencemaran Udara ......................................... 57 4.1.7.2 Jenis-jenis Gas Pencemar Udara .................................. 57
4.1.8
Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor ........................................... 61 4.1.8.1 Jenis Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor ..................... 61 4.1.8.2 Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Fungsinya ........... 68 4.1.8.3 Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kepemilikannya . 71
4.2
Kependudukan Kota Bogor ................................................................. 71
4.3
Perekonomian Kota Bogor ................................................................... 72 4.3.1
Struktur Perekonomian Kota Bogor ........................................ 72
4.3.2. Pertumbuhan Ekonomi ............................................................ 73 4.3.3. Daya Beli Masyarakat dan Pendapatan Perkapita .................... 74 4.3.4. Sektor Informal ........................................................................ 76 4.3.5. Pola Investasi ........................................................................... 76 4.3.6. Identifikasi Sektor-sektor Unggulan Kota Bogor .................... 77 4.3.7. Sektor Ekonomi Lainnya ......................................................... 78 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 81 5.1
Hasil Analisis GIS ............................................................................... 81
5.2
Pembahasan .......................................................................................... 86 5.2.1 Ekosistem Kota Bogor ................................................................. 86 5.2.2 RTH bagian dari Ekosistem Kota Bogor .................................... 88 5.2.3 Menghitung Manfaat RTH Kota Bogor dengan Metode GIS .... 89
xi
5.2.3.1 Kapasitas Penyimpanan Karbon dan Daya Serap Karbon 89 5.2.3.2 Daya Serap RTH terhadap Polutan di Udara ..................... 91 5.2.3.3 Manfaat Tambahan dari RTH Kota Bogor ........................ 93 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 95 6.1
Kesimpulan .......................................................................................... 95
6.2
Saran .................................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 97
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Jenis dan Sumber Data................................................................................
50
2.
Kemiringan Lereng berdasarkan Luas Lahan Kota Bogor Tahun 2004 ...
55
3.
Kepadatan penduduk Kota Bogor menurut Kecamatan Tahun 2006 .........
72
4.
Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga berlaku Tahun 2000-2005 ................
5.
73
PDRB Kota Bogor berdasarkan Harga Konstan dan Laju Pertumbuhan Ekonomi 2002-2006 (juta rupiah) .............................................................
74
6.
PDRB Kota Bogor berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000 - 2004 ........
74
7.
Purchasing Power Parity (PPP) per Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2000-2006 (dalam ribu rupiah) .....................................................
75
Perkembangan Industri, Tenaga Kerja, dan Investasi di Kota Bogor Tahun 1997-2003 .......................................................................................
76
Rekapitulasi Perkembangan Perdagangan, Tenaga Kerja, Investasi dan Nilai Ekspor di Kota Bogor Tahun 1999-2003 ....................................
77
8. 9.
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Pembagian Ruang Wilayah Kota ................................................................
22
2.
Lokasi Penelitian ........................................................................................
48
3.
Kerangka Pikir Penelitian ...........................................................................
49
4.
Tipologi RTH..............................................................................................
68
5.
Report Asli dari analisis CITYgreen 5.4 pada Kota Bogor ........................
84
6.
Peta RTH Kota Bogor Tahun 2006 hasil Analisis GIS .............................
85
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bogor sebagai salah satu kota besar di Indonesia sedang mengalami pertumbuhan pembangunan yang signifikan. Korelasi dari pertumbuhan tersebut ada yang berdampak positif dan ada juga yang berdampak negatif. Dampak positif dari pertumbuhan pembangunan antara lain meningkatnya pendapatan asli daerah, munculnya sentra-sentra ekonomi, kesejahteraan masyarakat meningkat, indeks kualitas pendidikan meningkat. Pada sisi yang lain dari pertumbuhan pembangunan juga berdampak negatif diantaranya beban kota makin
berat
seiring dengan
pertumbuhan
penduduk
yang mengalami
peningkatan, kualitas lingkungan perkotaan makin rendah, ruang terbuka publik semakin berkurang akibat pesatnya perkembangan kawasan perumahan dan kawasan industri. Pesatnya pemanfaatan ruang di Kota Bogor sehingga mereduksi luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Menurut penelitian Suryadi 2008 luas hutan yang menjadi komponen RTH di Kota Bogor tahun 1972 sekitar 2.972,54 ha, tahun 1983 sekitar 2.677,87 ha, tahun 1990 sekitar 1.107,36 ha, tahun 2000 hanya sekitar 422,30 ha. Dari data ini dapat terlihat terjadi penurunan luas RTH yang cukup signifikan. Pada penelitian ini akan dikaji sejauh mana manfaat RTH untuk meningkatkan ekosistem di Kota Bogor melalui pendekatan kuantitatif terhadap kualitas udara, penyimpanan karbon, dan daya serap karbon. Penelitian ini pada prinsipnya ingin menyampaikan bahwa RTH memberikan pelayanan ekosistem pada Kota Bogor yang dapat diukur, sehingga dapat memberikan gambaran kepada pemerintah Kota Bogor bahwa betapa pentingnya menjaga serta meningkatkan luasan RTH yang dimiliki sebagai sebuah aset berharga. Di samping itu juga memberikan pemahaman kepada masyarakat umum untuk menjaga dan melestarikan RTH yang berada pada disekitar lingkungan mereka. Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 26 tahun 2007 dan Permendagri No. 1 tahun 2007 bahwa suatu kota harus memiliki proporsi luasan RTH minimal 30% dari luas wilayah kota. Disamping ada penekanan dari
2
peraturan yang ada, pada penelitian ini juga diharapkan ada satu sisi lain pengkajian pentingnya keberadaan RTH melalui pengkajian secara kuantitatif. Paradigma saat ini yang selalu mengkaitkan sesuatu dengan ekonomi diharapkan mempermudah pemahaman tentang tujuan akhir dari penelitian ini.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menghitung luasan RTH yang ada pada saat ini di Kota Bogor. 2. Mengkalkulasi kekayaan Kota Bogor melalui pendekatan keberadaan RTH. 3. Memberikan
pemahaman
pentingnya
keberadaan
RTH
sama
pentingnya dengan keberadaan sektor ekonomi dan jasa karena RTH dapat diukur tingkat pelayanannya yang dikonversi ke dalam nilai rupiah.
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bisa menjadi alternatif pemikiran baik bagi pemerintah daerah, masyarakat untuk memahami pentingnya keberadaan RTH bagi kemakmuran dan keseimbangan ekologis kota dan masyarakat karena pendekatan yang dilakukan melalui pendekatan ekonomi yang setiap orang bisa menghitungnya dan menafsirkan ke arah yang lebih baik.
1.4 Batasan Penelitian Penelitian ini dibatasi pada jangkauan analisis dan jenis data yang digunakan. Penelitian ini mengunakan data sekunder dan pengklasifikasian data pada citra satelit terdiri dari data canopy dan non canopy. Data canopy didapat dari digitasi citra satelit yang menampilkan tampak atas pohon-pohon yang memiliki diameter tajuk lebih dari empat meter. Data non canopy terdiri dari badan air, bangunan, lahan terbuka. Untuk batas areal kerja dinamakan study site, pada penelitian ini study site yang digunakan adalah Kota Bogor. Aspek yang dikaji pada penelitian ini hanya terbatas kepada kapasitas RTH menyimpan karbon, daya serap karbon serta daya serap terhadap polutan udara (O3, NO2,
3
SO2, CO, partikel kurang dari 10 mikron) yang dikonversi ke nilai ekonomi. Standar yang digunakan pada penelitian ini (User Manual CITYgreen 5.4): 1. Setiap pohon yang didigitasi memiliki standar kualifikasi pohon dengan diameter tajuk minimal empat meter (diatas batas resolusi minimum per pixel pada Citra Satelit Quickbird yaitu 3 m x 3 m/pixel) dikelompokkan ke thema canopy. 2. Setiap semak, ladang/ lahan pertanian, sawah, padang rumput, dan lahan terbuka didigitasi dan dikelompokkan ke thema non canopy. 3. Setiap bangunan, jalan didigitasi dan dikelompokkan ke thema non canopy. 4. Setiap badan air (sungai, waduk, danau) didigitasi dan dikelompokkan ke thema non canopy.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ruang Terbuka Hijau
2.1.1
Definisi Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan bagian ruang terbuka (open
spaces). Betapa luasnya cakupan ruang terbuka ini, maka yang akan dibahas adalah ruang terbuka di kawasan perkotaan. Berbagai referensi menyatakan bahwa ruang terbuka adalah daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan (Gunadi, 1995). Ruang terbuka berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di sekitar bangunan dan merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam bangunan. Perbedaannya adalah bahwa ruang luar adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan olahraga, termasuk plasa (plazza) atau square. Sedangkan ruang terbuka merupakan zona hijau yang bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau, bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/ jejaring listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, lahan pertanian kota dan seterusnya. Ruang terbuka yang disebut Taman Kota (park), yang berada di luar atau diantara beberapa bangunan di lingkungan perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang menjadi istilah Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota, karena umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup permukaan tanah. Tanaman produktif berupa pohon berbuah dan tanaman sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari RTH berupa lahan pertanian kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota. Ruang terbuka harus ditanami tetumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan, namun mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan alun-alun. Dalam Master Plan RTH Kota Bogor (2007), definisi lain mengatakan bahwa secara umum ruang terbuka publik (open space) di perkotaan terdiri dari
5
ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan khusus sebagai area genangan (retensi/ retention basin). Selain itu menurut Purnomohadi (1995) bahwa (1) RTH adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri terutama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai
tumbuhan
pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan. RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir, dan sebagainya. RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan,
6
RTH kota maupun taman-taman regional/ nasional. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, memilki beberapa definisi terkait RTH yakni: a. Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang Iebih luas baik dalam bentuk area/ kawasan maupun dalam bentuk area memanjang jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. b. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, didefinisikan bahwa ruang terbuka hijau adalah area memanjang/ jalur atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
2.1.2 Tujuan, Fungsi dan Manfaat Ruang Terbuka Hijau Menurut Permendagri No. 1 Tahun 2007, tujuan dialokasikannya RTH Kawasan Perkotaan adalah: •
Menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan;
•
Mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan di perkotaan; dan
•
Meningkatkan
kualitas
lingkungan
perkotaan yang sehat,
bersih dan nyaman. Sedangkan fungsinya antara lain: •
Pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan;
•
Pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara;
•
Tempat perlindungan plasma nutfah dan keaneka-ragaman hayati;
•
Pengendali tata air; dan
•
Sarana estetika kota. Serta Manfaat RTH antara lain:
•
Sarana untuk mencerminkan identitas daerah;
indah,
7
•
Sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan;
•
Sarana rekreasi aktif dan pasif serta interaksi sosial;
•
Meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
•
Menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;
•
Sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan manula;
•
Sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;
•
Memperbaiki iklim mikro; dan
•
Meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan. Secara umum fungsi yang dimiliki RTH dapat dikelompokan menjadi
empat fungsi besar, yakni fungsi ekologis, fungsi sosial, fungsi estetis/ arsitektural, dan fungsi ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan suhu kota tropis yang panas terik. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, taman hutan kota, taman botani, jalur sempadan sungai dan lain-lain. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai identitas (landmark) kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosialbudaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU, dan sebagainya. Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung menjadi
lahan
seperti
pengusahaan
lahan-lahan
kosong
pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan
sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Adapun secara rinci keempat fungsi RTH tersebut dijelaskan seperti berikut ini : 1. Fungsi Ekologis, merupakan fungsi ruang terbuka hijau yang memberikan perlindungan terhadap manusia dan lingkungannya dalam Eckbo (1964), terdiri dari; • Fungsi
orologis. Memberikan
untuk mengurangi
tingkat
menjaga kestabilan tanah.
manfaat
kerusakan
orologis
tanah,
yang
penting
terutama longsor, dan
8
• Fungsi hidrologis. Fungsi ini berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk menyerap kelebihan air. • Fungsi klimatologis. Menekankan bahwa fungsi ruang terbuka hijau dapat mempengaruhi faktor-faktor iklim. • Fungsi edhapis.
Fungsi lebih
mengarah
pada penyediaan
habitat
satwa perkotaan. • Fungsi hygienis. RTH mampu memberikan lingkungan yang lebih sehat bagi manusia. • Fungsi kesehatan individu. Fungsi kesehatan masih berhubungan erat dengan manfaat hygienis, dimana manfaat ini merupakan manfaat lanjutan yang ditimbulkannya. 2. Fungsi Sosial, merupakan fungsi ruang terbuka hijau sebagai sarana interaksi sosial masyarakat dengan lingkungan sosial sekitarnya, yang terdiri dari: •
Fungsi
edukatif. Komponen
RTH
dapat
memberikan
pendidikan
dan pengenalan terhadap mahkluk hidup disekitarnya. •
Fungsi
interaksi
masyarakat. Komponen
RTH
dapat
menjadi
tempat berinteraksi antara masyarakat sehingga menambah jalinan sosial diantaranya. •
Fungsi protektif. Komponen RTH dapat memberikan perlindungan kepada manusia.
•
Fungsi spiritual. Fungsi spiritual yang dimaksud lebih ditekankan kepada fungsi suatu untuk
kawasan
ruang
terbuka
kegiatan-kegiatan spiritual atau
hijau
yang
dimanfaatkan
keagamaan atau dapat juga
berupa tempat yang dikeramatkan. 3. Fungsi Estetis, merupakan fungsi ruang terbuka hijau sebagai komponen keindahan kota atau lingkungan hidup manusia. Fungsi ini terdiri dari; •
Fungsi visual/vista. Fungsi visual lebih menekankan kepada visualitas, estetis ruang terbuka.
•
Fungsi tabir/screening. Fungsi ini terkait dengan kemampuan ruang terbuka hijau untuk menyaring partikel-partikel yang dapat mengganggu kehidupan manusia, seperti partikel debu, bau, angin yang terlalu kencang, dan lainnya.
9
•
Fungsi identitas kota. Suatu taman kota, atau ruang terbuka hijau mampu menjadi identitas (landmark) suatu kota/ wilayah.
4. Fungsi Ekonomi, keberadaan ruang terbuka hijau tidak selalu memiliki nilai ekonomi yang selalu rendah, namun keberadaan RTH juga mampu meningkatkan nilai lahan karena suasana lingkungan yang tercipta akibat keberadaannya yaitu 1) meningkatkan harga lahan, 2) mengurangi biaya penanganan bencana, 3) mampu menjadi ruang untuk mata pencaharian kota. Manfaat dari tumbuhan yang merupakan komponen utama Ruang Terbuka Hijau dalam Simond (1983) adalah: •
Produsen utama dalam rantai makanan karena tumbuhan melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari bisa merubah CO2 dan air ke karbohidrat dan O2;
•
Melalui proses transpirasi tumbuhan melakukan menyejukkan udara dengan dikeluarkannya uap air melalui daun-daun;
•
Menjaga iklim mikro khususnya suhu dan kelembaban udara kawasan perkotaan;
•
Menjaga peyimpanan air tanah, mengurangi aliran permukaan, dan mencegah erosi;
•
Menjaga kesuburan tanah dan memperbaiki struktur hara tanah. Manfaat RTH kota dapat dirasakan secara langsung maupun tidak
langsung, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau kondisi alami
ini
dapat
dipertimbangkan
sebagai
pembentuk
berbagai
faktor.
Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi. Selanjutnya dalam Hakim (2006), manfaat RTH tersebut diatas diuraikan secara rinci, sebagai berikut: 1. Pelestarian Plasma Nutfah Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting untuk pembangunan di masa depan, terutama di bidang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan industri. Penguasaannya merupakan keuntungan komparatif yang besar bagi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan keanekaragaman hayati. RTH
10
dapat dijadikan sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan RTH dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini dapat dilestarikan flora dan fauna. 2. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya RTH, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang, dan ranting. Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun bunga matahari (Helianthus annuus L.) dan kersen (Muntingia calabura L.) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang mempunyai permukaan yang halus (Wedding dkk. dalam Smith, 1981). Manfaat dari adanya tajuk RTH ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari RTH. 3. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal. Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal yang mencemari udara di daerah perkotaan (Goldmisth dan Hexter, 1967). Diperkirakan sekitar 6070% dari partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kendaraan bermotor (Krishnayya dan Bedi, 1986). Dahlan (1989); Fakuara, Dahlan, Husin, Ekarelawan, Danur, Pringgodigdo dan Sigit (1990) menyatakan damar (Agathis alba), mahoni (Swietenia mahagoni), jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam landi (Pithecellobium dulce), johar (Cassia siamea), mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menurunkan kandungan timbal dari udara. Untuk beberapa tanaman berikut ini: glodogan (Polyalthea longifolia), keben (Barringtonia asiatica), dan tanjung (Mimusops elengi), walaupun kemampuan serapannya
11
terhadap timbal rendah, namun tanaman tersebut tidak peka terhadap pencemar udara. Sedangkan untuk tanaman daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan kesumba (Bixa orellana) mempunyai kemampuan yang sangat rendah dan sangat tidak tahan terhadap pencemar yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. 4. Penyerap dan Penjerap Debu Semen Debu semen merupakan debu yang sangat berbahaya bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat di udara bebas harus diturunkan kadarnya. Studi ketahanan dan kemampuan dari 11 jenis pohon yaitu: mahoni (Swietenia mahagoni), bisbul (Diospyros discolor), tanjung (Mimusops elengi), kenari (Canarium commune), meranti merah (Shorea leprosula), kiara payung (Filicium decipiens), kayu hitam (Diospyros elebica), duwet (Eugenia cuminii), medang lilin (Litsca roxburghii) dan sempur (Dillenia ovata) telah diteliti oleh Irawati tahun 1990. Tanaman tersebut dipergunakan dalam program pengembangan RTH dikawasan pabrik semen, karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencemaran debu semen dan kemampuan yang tinggi dalam menjerap (adsorpsi) dan menyerap (absorpsi) debu semen adalah mahoni, bisbul, tanjung, kenari, meranti merah, kiara payung dan kayu hitam. Sedangkan duwet, medang lilin dan sempur kurang baik digunakan sebagai tanaman untuk penghijauan di kawasan industri pabrik semen. Ketiga jenis tanaman ini selain agak peka terhadap debu semen, juga mempunyai kemampuan yang rendah dalam menjerap dan menyerap partikel semen (Irawati, 1990). 5. Peredam Kebisingan Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara ialah yang mempunyai tajuk yang tebal dengan daun yang rindang (Grey dan Deneke, 1978). Dengan menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya dari kebisingan yang sumbernya berasal dari bawah. Menurut Grey dan Deneke (1978), dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95%. 6. Mengurangi Bahaya Hujan Asam Menurut Smith (1984), pohon dapat membantu dalam mengatasi dampak
12
negatif hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses dan translokasi. Proses translokasi akan memberikan beberapa unsur diantaranya ialah: Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glumatin dan gula (Smith, 1984). Menurut Henderson et al., (1977) bahan anorganik yang diturunkan ke lantai RTH dari tajuk melalui proses troughfall dengan urutan K>Ca> Mg>Na baik untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun jarum. Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 apabila tiba di permukaan daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, maka asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang terdapat pada daun membentuk garam CaSO4 yang bersitat netral. Dengan demikian adanya proses translokasi dan gutasi oleh permukaan daun akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. Hasil penelitian dari Hoffman et al. (1980) menunjukkan bahwa pH air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati tajuk pohon. 7. Penyerap Karbon Monoksida Bidwell dan Fraser dalam Smith (1981) mengemukakan, kacang merah (Phascolus vulgaris) dapat menyerap gas ini sebesar 12-120 kg/km2/hari. Mikroorganisme serta tanah pada lantai RTH mempunyai peranan yang baik dalam menyerap gas ini (Bennet dan Hill, 1975). Smith (1981) mengemukakan, tanah dengan mikroorganismenya dapat menyerap gas ini dari udara yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8 x 104 µg/m3) menjadi hampir mendekati nol hanya dalam waktu 3 jam saja. 8. Penyerap Karbon dioksida dan Penghasil Oksigen RTH merupakan penyerap gas CO2 yang cukup penting, selain dari fitoplankton, ganggang dan rumput laut di samudra. Dengan berkurangnya kemampuan RTH dalam menyerap gas ini sebagai akibat menurunnya luasan RTH akibat peladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun RTH untuk membantu mengatasi penurunan fungsi RTH tersebut. Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan baik RTH kota, RTH alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas CO2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen.
13
Dengan demikian proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan. Widyastama (1991) mengemukakan, tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah : damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurca), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis) dan beringin (Ficus benjamina). 9. Penyerap dan Penapis Bau Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah sementara atau permanen mempunyai bau yang tidak sedap. Tanaman dapat digunakan untuk mengurangi bau. Tanaman dapat menyerap bau secara langsung, atau tanaman akan menahan gerakan angin yang bergerak dari sumber bau (Grey dan Deneke, 1978). Akan lebih baik lagi hasilnya, jika tanaman yang ditanam dapat mengeluarkan bau harum yang dapat menetralisir bau busuk dan menggantinya dengan bau harum. Tanaman yang dapat menghasilkan bau harum antara lain: cempaka (Michelia campaka) dan tanjung (Mimusops elengi). 10. Mengatasi Penggenangan Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapotranspirasi yang tinggi. Jenis tanaman yang memenuhi kriteria ini adalah tanaman yang mempunyai jumlah daun yang banyak, sehingga mempunyai stomata (mulut daun) yang banyak pula. Menurut Manan (1976) tanaman penguap air yang tinggi diantaranya adalah : nangka (Artocarpus integra), sengon (Paraserianthes falcataria), akasia (Acacia auriculiformis), sonokeling (Dalbergia latifolia), mahoni (Swietenia mahagoni), jati (Tectona grandis), kihujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucaena glauca). 11. Ameliorasi Iklim. Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa kenyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di perkotaan. RTH dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung
14
bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antena pemancar radio, televisi, dan lain-lain, sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan Robinette, 1983). Robinette (1983) lebih jauh menjelaskan, jumlah pantulan radiasi surya suatu RTH sangat dipengaruhi oleh: panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya, keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah mempunyai RTH lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari RTH kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa: •
Pada areal bervegetasi (komponen utama RTH), suhu hanya berkisar 25,531,0°C dengan kelembaban 66-92%.
•
Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-33,1°C dengan kelembaban 62-78%.
•
Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3-32,1°C dengan kelembaban 62-78%. Koto (1991) juga telah melakukan penelitian di beberapa tipe vegetasi di
sekitar Gedung Manggala Wanabakti. Dari penelitian ini dapat dinyatakan, daerah disekitar pohon memiliki suhu udara yang paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu udara di taman parkir, padang rumput dan beton. 12. Pengelolaan Sampah RTH dapat diarahkan untuk pengelolaan sampah dalam hal : (1) sebagai penyerap bau, (2) sebagai pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi dari sampah, (3) sebagai penyerap zat yang berbahaya yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta bahan beracun dan berbahaya lainnya. 13. Pelestarian Air Tanah Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar jumlah pori tanah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan kemampuan menyerap air yang besar (Bernatzky, 1978). Maka kadar air tanah
15
RTH akan meningkat. Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah resapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah. Di samping itu sistem perakaran dan serasahnya dapat memperbesar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan. Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah. Dengan demikian RTH yang dibangun pada daerah resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat membantu mengatasi masalah air dengan kualitas yang baik. Menurut Manan (1976) tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah antara lain : cemara laut (Casuarina equisetifolia), beringin (Ficus elastica), karet (Hevea brasiliensis), manggis (Garcinia mangostana), bungur (Lagerstromia speciosa), trembesi (Fragraea fragrans), dan kelapa (Coccos nucifera). 14. Penapis Cahaya Silau Manusia sering dikelilingi oleh benda-benda yang dapat memantulkan cahaya seperti kaca, aluminium, baja, beton dan air. Apabila permukaan yang halus dari benda-benda tersebut memantulkan cahaya akan terasa sangat menyilaukan dari arah depan, akan mengurangi daya pandang pengendara. Oleh sebab itu, cahaya silau tersebut perlu untuk dikurangi. Keefektifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya. Pohon dapat dipilih berdasarkan ketinggian maupun kerimbunan tajuknya. 15. Meningkatkan Keindahan Manusia dalam hidupnya tidak saja membutuhkan tersedianya makanan, minuman, namun juga membutuhkan keindahan. Keindahan merupakan pelengkap kebutuhan rohani. Benda-benda di sekeliling manusia dapat ditata dengan indah memuat garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya (Grey dan Deneke, 1978), sehingga dapat diperoleh suatu bentuk komposisi yang menarik. Benda-benda buatan manusia, walaupun mempunyai bentuk, warna dan
16
tekstur yang sudah dirancang sedemikian rupa tetap masih mempunyai kekurangan yaitu tidak alami, sehingga boleh jadi tidak segar tampaknya di depan mata. Akan tetapi dengan menghadirkan pohon ke dalam sistem tersebut, maka keindahan yang telah ada akan lebih sempurna, karena lebih bersifat alami yang sangat disukai oleh setiap manusia.Tanaman dalam bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk mendapatkan komposisi yang baik. Peletakan dan pemilihan jenis tanaman harus dipilih sedemikian rupa, sehingga pada saat pohon tersebut telah dewasa akan sesuai dengan kondisi yang ada. Warna daun, bunga atau buah dapat dipilih sebagai komponen yang kontras atau untuk memenuhi rancangan yang harmonis (bergradasi lembut). Komposisi tanaman dapat diatur dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga pemandangan yang kurang enak dilihat seperti: tempat pembuangan sampah, pemukiman kumuh, rumah susun dengan jemuran yang beraneka bentuk dan warna, pabrik dengan kesan yang kaku dapat sedikit ditingkatkan citranya menjadi lebih indah, sopan, manusiawi dan akrab dengan hadirnya RTH sebagai tabir penyekat di sana. 16. Sebagai Habitat Burung Masyarakat modern kini cenderung kembali ke alam (back to nature). Desiran angin, kicauan burung dan atraksi satwa lainnya di kota diharapkan dapat menghalau kejenuhan dan stress yang banyak dialami oleh penduduk perkotaan. Menurut Hernowo dan Prasetyo (1989) salah satu satwa liar yang dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Burung perlu dilestarikan, mengingat mempunyai manfaat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat, antara lain: •
Membantu mengendalikan serangga hama,
•
Membantu proses penyerbukan bunga,
•
Mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi,
•
Burung memiliki suara yang khas yang dapat menimbulkan suasana yang menyenangkan,
•
Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi rekreasi,
•
Sebagai sumber plasma nutfah,
•
Objek untuk pendidikan dan penelitian.
17
Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tempat bersarang dan bertelur. Pohon kaliandra (Calliandra calothyrsus) di antaranya disenangi burung pengisap madu. Pohon jenis lain disenangi oleh burung, karena berulat yang dapat dimakan oleh jenis burung lainnya. Menurut Ballen, beberapa jenis tumbuhan yang banyak didatangi burung antara lain: •
Ficus benjamina, Ficus variegata, dan Ficus glabarima buahnya banyak dimakan oleh burung seperti punai (Tecron sp.).
•
Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasilkan nektar. Beberapa jenis burung yang banyak dijumpai pada tanaman dadap yang tengah berbunga antara lain: betet (Psittacula alexandri), serindit (Loriculus pusillus), jalak (Sturnidae) dan beberapa jenis burung madu.
•
Dangdeur (Gossatnpinus taphylla). Bunganya yang berwarna merah menarik burung ungkut-ungkut dan srigunting.
•
Aren (Arenga pinnata). Ijuk dari batangnya sering dimanfaatkan oleh burung sebagai bahan untuk pembuatan sarangnya.
•
Bambu (Bambusa spp.). Burung blekok (Ardeola speciosa) dan manyar (Plocous sp.) bersarang di pucuk bambu. Sedangkan jenis burung lainnya seperti: burung cacing (Cyornis bamtunas), ceguk (Otus bakkamoena), sikatan (Rhipiditra javanica), kepala tebal bakau ( Pachycephala cinerea) dan perenjak kuning (Abroscopus supereiliaris) bertelur pada pangkal cabangnya, di antara dedaunan dan di dalam batangnya.
17. Mengurangi Stress Kehidupan masyarakat di kota besar menuntut aktivitas, mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun di lain pihak lingkungan hidup kota mempunyai kemungkinan yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendaraan bermotor maupun industri. Oleh sebab itu gejala stress (tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya bekerja untuk memenuhi kepergiannya saja di kota. Program pembangunan dari pengembangan RTH dapat membantu mengurangi sifat yang negatif tersebut. Kesejukan dan kesegaran yang
18
diberikannya akan menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Cemaran timbal, CO, SOx, NOx dan lainnya dapat dikurangi oleh tajuk dan lantai RTH. Kicauan dan tarian burung akan menghilangkan kejemuan. RTH juga dapat mengurangi kekakuan dan monotonitas. 18. Meningkatkan Industri Pariwisata Bunga bangkai (Amorphophallus titanuni) di Kebun Raya Bogor yang berbunga setiap 2-3 tahun dan tingginya dapat mencapai 1,6 m dan bunga Raflesia Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik bagi turis domestik maupun mancanegara. Tamu asing pun akan mempunyai kesan tersendiri, jika berkunjung atau singgah pada suatu kota yang dilengkapi dengan RTH yang unik, indah dan menawan. 19. Sebagai Hobi dan Pengisi Waktu Luang Monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kehidupan di kota besar perlu diimbangi oleh kegiatan lain yang bersifat rekreatif, akan dapat menghilangkan monotonitas, rutinitas dan kejenuhan kerja. Keberadaan RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan kualitas lingkungan. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan secara proporsional dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan fungsi-fungsi lingkungan. Kelestarian RTH suatu wilayah perkotaan harus disertai dengan ketersediaan dan seleksi tanaman yang sesuai dengan arah rencana dan rancangannya. Tanpa ruang terbuka, apalagi RTH, maka lingkungan kota akan menjadi hutan beton yang gersang, kota menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi, sebab tak layak huni. Pemanfaatan RTH pada kawasan perkotaan (Dep. PU, 2008) antara lain: 1. RTH pekarangan terdiri dari: •
Pekarangan rumah besar dengan kategori: rumah dengan luasan lahan di atas 500 m2, RTH minimal yang disarankan adalah luasan lahan kavling dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat dan jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3 (tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.
•
Pekarangan rumah sedang dengan kategori: rumah dengan luasan lahan
19
antara 200 m2 – 500 m2, RTH minimal yang disarankan adalah luasan lahan kavling dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat dan jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput. •
Pekarangan rumah kecil dengan kategori: rumah dengan luasan lahan di bawah 200 m2, RTH minimal yang disarankan adalah luasan lahan kavling dikurangi luas dasar bangunan sesuai peraturan daerah setempat, dan jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.
•
Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha dengan kategori: umumnya berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka, beberapa lokasi dengan tingkat KDB 70%-90% perlu menambahkan tanaman dalam pot, perkantoran, pertokoan dan tempat usaha dengan KDB di atas 70%, minimal memiliki 2 (dua) pohon kecil atau sedang, ditanam pada lahan atau pada pot berdiameter diatas 60 cm, dan
persyaratan penanaman
pohon pada kawasan ini dengan KDB dibawah 70%, berlaku seperti persyaratan pada RTH pekarangan rumah, ditanam pada area diluar KDB yang telah ditentukan. •
Taman atap bangunan dengan kategori: Kavling dengan KDB di atas 90% seperti pada kawasan pertokoan di pusat kota, atau pada kawasan-kawasan dengan kepadatan tinggi dengan lahan yang sangat terbatas dibuat taman atap bangunan.
2. Taman lingkungan dan taman kota yang terdiri dari taman RT, taman RW, taman kelurahan, taman kecamatan, taman kota. 3. Hutan kota dengan kategori : •
Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada satu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan.
•
Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola bentuk tertentu, dengan luas minimal 2500 m2. Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar-
20
pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil. •
Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lain sebagainya.
•
Lebar minimal hutan kota berbentuk jalur adalah 30 meter.
4. RTH pada jalur hijau jalan antara lain: pada jalur tepi jalan, pada median jalan, pada jalur pejalan kaki, pada jalur dibawah jalan layang. 5. RTH sempadan jalur kereta api dengan kategori: jarak maksimal dari sumbu rel adalah 50 m dan pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan ditanam harus sesuai gambar rencana atau sesuai petunjuk direksi pekerjaan. 6. RTH jaringan listrik tegangan tinggi dengan kategori: •
Jenis tanaman yang ditanam memiliki dahan yang kuat;
•
Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang;
•
Akarnya menghunjam masuk ke dalam tanah;
•
Memiliki kerapatan yang cukup (50-60%);
•
Pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan ditanam harus sesuai gambar rencana atau sesuai petunjuk direksi pekerjaan.
7. RTH sempadan sungai dengan kategori: •
Jalur hijau sungai meliputi sempadan sungai selebar 50 m pada kiri kanan sungai besar dan sungai kecil (anak sungai);
•
Sampel jalur hijau sungai berupa petak-petak berukuran 20 m x 20 m diambil secara sistematis dengan intensitas sampling 10% dari panjang sungai;
•
Sebelum di lapangan, penempatan petak sampel dilakukan secara awalan acak (random start) pada peta. Sampel jalur hijau sungai berupa jalur memanjang dari garis sungai ke arah darat dengan lebar 20 m sampai pohon terjauh;
•
Sekurang-kurangnya 100 m dari kiri kanan sungai besar dan 50 m di kiri kanan anak sungai yang berada diluar pemukiman;
•
Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 m;
•
Jarak maksimal dari pantai adalah 100 m;
21
•
Pengaturan perletakan (posisi) tanaman yang akan ditanam harus sesuai gambar rencana atau sesuai petunjuk direksi pekerjaan.
8. Sabuk Hijau dengan kategori: •
RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area atau penggunaan lahan tertentu, dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai pembatas atau pemisah
•
Kebun campuran, perkebunan, pesawahan, yang telah ada sebelumnya (eksisting) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya
9. RTH Pemakaman 10. RTH sempadan pantai dengan kategori: •
RTH sempadan pantai memiliki fungsi utama sebagai pembatas pertumbuhan pemukiman atau aktivitas lainnya agar tidak menggangu kelestarian pantainya.
•
Lebar RTH sempadan pantai minimal 100 meter dari batas air pasang tertinggi ke arah darat.
•
Tidak bertentangan dengan Keppres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
•
Tidak menyebabkan gangguan terhadap kelestarian ekosistem pantai, termasuk gangguan terhadap kualitas visual.
•
Pola tanam vegetasi bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi, erosi, melindungi dari ancaman gelombang pasang, wildlife habitat dan meredam angin kencang.
•
Pemilihan vegetasi mengutamakan vegetasi yang berasal dari daerah setempat.
•
Khusus untuk kawasan pantai berhutan bakau harus dipertahankan sesuai ketentuan dalam Keppres No. 32 Tahun 1990.
11. RTH pengamanan sumber air baku atau mata air terdiri dari: •
RTH danau atau waduk dengan kategori minimal sempadan 50 meter dari titik muka air tertinggi.
•
RTH mata air dengan kategori minimal sempadan 200 meter dari titik pusat mata air.
22
2.1.3 Luas dan Jenis Ruang Terbuka Hijau Besaran luas RTH yang ideal di suatu kota berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, pada ayat 3 berbunyi proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Dengan rincian tertuang dalam Gambar 01. Pola untuk pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau terdiri atas ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Ruang terbuka hijau publik merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Yang termasuk ajang terbuka hijau publik, antara lain, adalah taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Yang termasuk ruang terbuka hijau privat, antara lain, adalah kebun atau halaman rumah atau gedung milik masyarakat maupun swasta yang ditanami tumbuhan.
RUANG WILAYAH KOTA
RUANG TERBANGUN (60%)
RUANG HUNIAN (40%)
NON HUNIAN (20%)
RUANG TERBUKA (40%)
JARINGAN TAMAN-TAMAN KOTA JALAN (12,5%) (20%)
RTH di Ruang Hunian: RTH di Ruang Non Hunian: RTH di Jarirngan Jalan: Asumsi KDB maks 80% Asumsi KDB maks 90% Asumsi jalur hijau 30% RTH = 20% x 40% = 8% RTH = 10% x 20% = 2% RTH = 30% x 20% = 6%
RTH PRIVAT = 10%
LAINNYA (NON HIJAU) (7,5%)
(Sungai, Jalan KA, SUTET) Asumsi 20% hijau RTH = 20% x 7,5% = 1,5%
RTH PUBLIK = 20%
(Sumber : Departemen PU)
Gambar 01 Pembagian Ruang Wilayah Kota Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota merupakan ukuran minimal untuk menjamin
23
keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem nikroklimat, maupun sistem ekologis lain, yang selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas bangunan gedung miliknya. Proporsi ruang terbuka hijau publik seluas minimal 20 (dua puluh) persen yang disediakan oleh pemerintah daerah kota dimaksudkan agar proporsi ruang terbuka hijau minimal dapat lebih dijamin pencapaiannya sehingga memungkinkan pemanfaatannya secara luas oleh masyarakat. Pada kenyataannya, formula rumusan penentuan luas RTH kota yang memenuhi syarat lingkungan kota yang berkelanjutan ini, masih bersifat kuantitatif dan tergantung dari banyak faktor penentu, antara lain: geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi, dan banyak faktor lain. Sehubungan dengan tuntutan waktu dan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan, seperti cukup tersedianya ruang rekreasi gratis, maka sebuah kota dimanapun dan bagaimanapun ukuran dan kondisinya, pasti semakin memerlukan RTH yang memenuhi persyaratan, terutama kualitas keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakan hukumnya. Kota yang mempunyai luas yang tertentu dan terbatas permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan atau bentang alam perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Kedua hal ini umumnya merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis. Di lain pihak, kemajuan alat dan pertambahan jalur transportasi dan sistem utilitas, sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan warga kota, juga telah menambah jumlah bahan pencemar dan telah menimbulkan berbagai ketidaknyamanan di lingkungan perkotaan. Untuk mengatasi kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan RTH sebagai biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat, dan menyamankan.
24
Dalam penyediaan ruang terbuka hijau proporsi yang diamanatkan dalam Permendagri No. 1 Tahun 2007 Tentang Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaaan disebutkan bahwa luas ideal RTHKP adalah sebesar 20% (dua puluh) persen. Luas RTHKP tersebut mencakup luas RTH publik dan RTH privat. Luas RTHKP publik penyediaannya menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten atau kota yang dilakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan masingmasing daerah. RTHKP privat penyediaannya menjadi tanggung jawab pihak lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota, kecuali Provinsi DKI Jakarta oleh Pemerintah Provinsi. Ketentuan mengenai jenis-jenis RTHKP dijelaskan pada Permendagri No. 1 Tahun 2007, Pasal 6, meliputi 23 jenis yakni: a.
Taman kota;
b.
Taman wisata alam;
c.
Taman rekreasi;
d.
Taman lingkungan perumahan dan permukiman;
e.
Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;
f.
Taman hutan raya;
g.
Hutan kota;
h.
Hutan lindung;
i.
Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah;
j.
Cagar alam;
k.
Kebun raya;
l.
Kebun binatang;
m.
Pemakaman umum;
n.
Lapangan olah raga;
o.
Lapangan upacara;
p.
Parkir terbuka;
q.
Lahan pertanian perkotaan;
r.
Jalur dibawah tegangan tinggi (sutt dan sutet);
s.
Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa;
t.
Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian;
25
u.
Kawasan dan jalur hijau;
v.
Daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan
w.
Taman atap (roof garden). Penyebaran ruang terbuka hijau ditentukan oleh wilayah pengembangan
dalam kota tersebut, kebutuhan ruang terbuka hijau dan fungsi ruang terbuka hijau di areal perkotaan. Lokasi ruang terbuka hijau di areal perkotaan tidak hanya terpusat pada satu tempat tetapi juga dapat menyebar atau terpisah seperti taman kota yang kemudian dihubungkan dengan areal penghijauan penghubung seperti jalur hijau. 2.2 Ekosistem Kota Bogor Dalam Irwan (2007) menyatakan di alam terdapat organisme hidup (makhluk hidup) dengan lingkungannya yang hidup saling berinteraksi dan berhubungan erat tak terpisahkan dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain yang merupakan suatu sistem. Dalam hal ini makhluk hidup lazim disebut dengan biotik, dari asal kata bio berarti hidup. Lingkungan yang tidak hidup disebut abiotik dari asal kata a dan bio berarti tidak hidup. Di dalam sistem tersebut terdapat dua aspek penting yaitu arus energi (aliran energi) dan daur materi atau disebut juga daur mineral atau siklus mineral ataupun siklus bahan di samping adanya sistem informasi. Aliran energi dapat terlihat pada struktur makanan, keragaman biotik dan siklus bahan (yakni pertukaran bahan-bahan antara bagian yang hidup dan tidak hidup). Sistem tersebut disebut ekosistem. Menurut Undang-undang Lingkungan Hidup (UULH, 1982) ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Perlu diketahui bahwa didalam ekosistem terdapat makhluk hidup dan lingkungannya. Makhluk hidup terdiri dari tumbuhtumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di luar individu. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Berbicara mengenai lingkungan hidup itu berarti yang dimaksud adalah lingkungan hidup manusia, di mana ada kepentingan manusia di situ. Akan tetapi
26
jika di situ ada kepentingan tumbuhan, maka itu berarti lingkungan hidup tumbuhan, atau jika di situ ada kepentingan badak atau orang utan, maka itu adalah lingkungan hidup badak atau orang utan. Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas, atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya di mana terjadi antar hubungan. Di sini tidak hanya mencakup serangkaian spesies tumbuhan dan hewan saja, tetapi juga segala macam bentuk materi yang melakukan siklus dalam sistem itu serta energi yang menjadi sumber kekuatan. Untuk mendapatkan energi dan materi yang diperlukan untuk hidupnya semua komunitas
bergantung
kepada lingkungan
abiotik.
Organisme
produsen
memerlukan energi, cahaya, oksigen, air dan garam-garam yang semuanya diambil dari lingkungan abiotik. Energi dan materi dari konsumen tingkat pertama diteruskan ke konsumen tingkat kedua dan seterusnya ke konsumen-konsumen lainnya melalui jaring-jaring makanan. Materi dan energi berasal dari lingkungan abiotik akan kembali lagi ke lingkungan abiotik. Dalam hal ini komunitas dalam lingkungan abiotiknya merupakan suatu sistem yang disebut ekosistem. Jadi konsep ekosistem menyangkut semua hubungan dalam suatu komunitas dan di samping itu juga semua hubungan antara komunitas dan lingkungan abiotiknya. Dengan konsep ekosistem komponen-komponen lingkungan hidup dilihat secara terpadu sebagai komponen yang berkaitan dan tergantung satu sama lain dalam suatu sistem. Pendekatan ini disebut pendekatan ekosistem atau pendekatan holistik. Di dalam suatu tata ruang yang sempit, berbagai individu akan berdesakan. Di situ diperlukan terbentuknya suatu struktur yang berlapis-lapis seperti rumput, semak belukar, pohon yang tinggi sekali memayungi semuanya. Di dalam sistem semuanya ini menempati fungsi masing-masing. Dan di antara berbagai jenis tumbuhan yang lebih bersama itu ada interaksi kimiawi antara suatu individu tumbuhan tertentu dengan tumbuhan lain di sekitarnya. Dalam
pembangunan
pembangunan
harus
berkelanjutan dapat
menjaga
yang
berwawasan
berfungsinya
ekologis,
setiap
komponen-komponen
lingkungan. Oleh karena itu suatu ekosistem harus dipertahankan kelestariannya,
27
karena memiliki dampak yang menentukan tingkat kehidupan manusiawi maupun organisme lainnya di dunia ini. Sedangkan arti kota dalam Irwan (2005) adalah suatu pemukiman penduduk yang besar dan luas yang terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi, sosial, budaya, politik, serta sebagai pusat administratif. Aktivitas dan perkembangan kota mempunyai pengaruh terhadap lingkungan baik udara, tanah, air dan masyarakat serta flora dan fauna. Komponen-komponen kota adalah penduduk (manusia, flora dan fauna), pemerintah, pembangunan fisik, sumber daya (air, energi, tanah, udara) serta fungsi (pemukiman, pekerjaan, rekreasi, tranportasi dan informasi). Ekosistem Kota Bogor terdiri dari perumahan, industri, kebun raya, hutan kota, ruang terbuka hijau, kebun, sawah, situ, sungai, dll.
2.3 Proses Fisiologis RTH Kota Bogor Proses fisiologis RTH Kota Bogor pada penelitian ini lebih difokuskan kepada proses fisiologis pohon karena pohon adalah komponen utama dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap karakter suatu RTH serta lebih mudah di identifikasi. Hal ini untuk memudahkan dalam membahas manfaat RTH yang sebenarnya diukur berdasarkan proses fisiologis RTH tersebut. Kapasitas penampungan dan daya serap karbon dapat dikaji berdasarkan proses fisiologis pohon pada bagian fotosintesis, respirasi, dan transpirasi. Sedangkan untuk peningkatan kualitas udara yang dapat dilakukan oleh RTH bisa dikaji berdasarkan proses fisiologis pohon pada bagian proses translokasi dan rumah tangga air serta proses transpirasi. Adapun proses fisiologis pohon (komponen utama RTH) adalah proses fotosintesis, respirasi, translokasi, rumah tangga air dan transpirasi dan interaksi lingkungan. Pada penjelasan dibawah ini dengan sangat detail dijabarkan nilai ekologis pohon yang mengacu pada proses fisologisnya sangat memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan ekosistem Kota Bogor.
2.3.1 Proses Fotosintesis Dalam Daniel et al. (1987) fotosintesis adalah proses produksi karbohidrat yang berasal dari bahan anorganik melalui transformasi energi
28
matahari menjadi energi kimia. Fotosintesis sering dikatakan sebagai proses kimia satu-satunya di bumi yang sangat penting berdasarkan beberapa alasan; makanan manusia dan seluruh binatang (heterotrof) tergantung langsung atau tidak langsung pada tumbuhan (autotrof); stabilitas konsentrasi oksigen dan karbon dioksida atmosfir tergantung pada proses fotosintesis di lautan
dan
daratan;
selain
itu
kita
mengambil keuntungan dari
simpanan energi fotosintesis pada abad geologis masa lalu bila menggunakan gas alam, minyak bumi dan batu bara sebagai sumber bahan bakar. Sebagai tambahan, kita memakai serat kayu (satu diantara sedikit sumber daya alam yang dapat diperbarui) untuk berbagai kebutuhan dan kita tentu saja harus menyadari bahwa fotosintesis merupakan landasan penting untuk kehidupan manusia di bumi. Fotosintesis
adalah
proses
sangat
kompleks
yang terdiri
dari
serangkaian reaksi yang menghasilkan bahan organik dari zat-zat anorganik. Karbon dioksida diambil dari udara dan oksigen yang bervolume sama dikembalikan. Pada hakekatnya, proses tersebut dapat dilukiskan sebagai penyerapan energi cahaya oleh kloroplas, pembelahan (fotolisis) air menjadi ion hidrogen dan gas oksigen, dan penggunaan ion hidrogen untuk mereduksi karbon dioksida menjadi gula. Dasar proses tersebut terdiri dari tiga macam reaksi yaitu: a. Reaksi fisik:
karbon
dioksida
ditransfer
dari
atmosfir kedalam daun
untuk dilarutkan dalam air. Resistensi total transfer ini adalah salah satu dari faktor-faktor pembatas terpenting dalam proses tersebut. b. Reaksi fotokimia: 2 sampai 4 persen radiasi yang diterima digunakan untuk fotosintesis, dengan panjang gelombang yang paling aktif adalah bagian merah dan biru spektrum warna. Energi diserap oleh beberapa pigmen pembantu)
klorofil
a
dan
b
(dan
dan dipompa oleh unit molekul klorofil besar
menjadi ikatan fosfat berenergi tinggi dalam molekul adenosine triphosphat (ATP). c. Reaksi kimia dan enzim: ini adalah urutan banyak tahapan reaksi antara dari produk stabil pertama, phosphoglyceric acid (PGA), menjadi gula yang berangka karbon 3, 4, 5 dan 6.
29
Baru-baru ini tumbuhan dikelompokkan menjadi dua kelas, yaitu tumbuhan C3 dan tumbuhan C4, tergantung pada apakah tumbuhan tersebut mengikat karbon menjadi produk berkarbon 3 (seperti dalam siklus Calvin) atau apakah CO2 diikat menjadi gula melalui asam dikarboksilat berkarbon 4. Kedua kelompok ini dapat dipisahkan berdasarkan pada kecepatan fotosintesis, atas dasar kriteria anatomis dan fisiologis dan lingkungan tempat tumbuhnya. Tumbuhan berkemampuan fotosintesis tinggi (tipe C4), seperti jagung, sorgum, tebu, dan beberapa tumbuhan dikotiledon, bisa mempunyai 2 sampai 3 kali produksi primer lebih besar daripada tumbuhan berkemampuan fotosintesis rendah (sebagian besar genus meliputi pohon). Tumbuhan C4 mempunyai tingkat fotosintesis tinggi 50 sampai 80 mg CO2 dm2/ jam, titik kompensasi CO2 rendah 0 sampai 10 ppm, dan tanpa fotorespirasi, kurang membutuhkan air dan tumbuh pada lingkungan keras seperti daerah tropika, tempat yang kering, pegunungan, dan muara sungai (Hatch dkk., 1971; Black, 1971). Dickman (1973) menyelidiki 14 konifer, 16 klon Populus, dan 30 jenis daun lebar dan menemukan bahwa semuanya termasuk tipe tumbuhan C3, yang dicirikan oleh tingkat fotosintesis yang relatif rendah 10 sampai 35 mg CO2 dm2/ jam, titik kompensasi CO2 lebih tinggi antara 30 dan 70 ppm, dan respirasi yang dirangsang oleh cahaya.Titik kompensasi CO2 dimana pada saat penyerapan CO2 oleh tanaman pada proses fotosintesis sama dengan CO2 yang dikeluarkan pada saat proses respirasi. Fotosintesis dalam Pohon Dalam mempelajari karakteristik fotosintesis pohon dan kemampuan relatif produksi karbohidratnya, kita perlu mengingat bahwa berlawanan dengan tanaman pertanian; beberapa hal yang mempengaruhi proses fotosintesis : 1. Perilaku stomata, stomata adalah pori-pori kecil pada epidermis daun yang merupakan tempat difusi sejumlah air dan gas. Stomata ini penting karena membuka dan menutupnya, menentukan resistensi penyerapan karbon dioksida dan sudah barang tentu produksi karbohidrat, juga jumlah air yang hilang dalam transpirasi. Karena itu, gerakan stomata mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesuksesan relatif perkembangan tumbuhan. Jumlah
30
stomata sangat banyak. Pada daun lebar stomata hanya terdapat pada epidermis bawah, dan meskipun jumlahnya berkisar antara 11.000 sampai 100.000 / cm2, jumlah stomata tersebut hanya membentuk sekitar 1 persen luas permukaan daun (Kramer dan Kozlowski, 1960). Pada konifer, stomata tersusun pada semua sisi daun jarum dan bisa berjumlah sampai 5000 / cm2 (Waggoner dan Turner, 1971). Daun-daun terbuka yaitu yang tumbuh pada bagian tajuk pohon yang terkena sinar, mempunyai jumlah stomata beberapa kali lebih banyak per unit luas daun daripada daun-daun ternaung pada pohon yang sama. Mekanisme pembukaan stomata masih belum diketahui dengan sempurna, tetapi konsentrasi CO2, intensitas cahaya, potensi larutan, pengeluaran ion hidrogen, dan aliran ion kalium tampak semuanya penting (Zelitch, 1969). Lama pembukaan dan penutupan stomata sebagian bergantung pada toleransi jenis dan kondisi cahaya yang diterima oleh pohon. 2. Variasi fotosintesis neto dalam pohon. Tajuk pohon adalah struktur kompleks yang terdiri dari daun-daun dengan berbagai umur pada berbagai posisi dalam tajuk. Variasi posisi ini mempunyai sifat lingkungan yang sangat berbeda, maka ekspresi kemampuan fotosintesis harus memperhitungkan variasi besar yang terjadi dalam pohon. Setiap daun berfotosintesis pada kecepatan yang mencerminkan kondisi fisiologis tertentu dan
lingkungan
mikro.
Dalam
mempelajari
fotosintesis
pohon-pohon
komponen utama RTH, kita perlu menentukan perbedaan yang terjadi dalam pohon, yang disebabkan oleh umur daun dan posisi pada tajuk, perbedaan antar pohon, yang membedakan daun lebar dan konifer, jenis, dan genotip. Dalam membahas fotosintesis pohon, kita biasanya berhubungan dengan fotosintesis neto. Ini didefinisikan sebagai perbedaan antara tingkat fotosintesis bruto dan tingkat respirasi yang terjadi. Fotosintesis neto terjadi bila pengambilan CO2 dalam fotosintesis melebihi jumlah CO2 yang dikeluarkan dalam proses respirasi yang bersamaan. 3. Umur daun. Efisiensi fotosintesis berbeda antara daun yang umurnya berbeda terutama karena adanya pengaruh kecepatan respirasi yang berbeda. Jumlah asimilat yang digunakan dalam respirasi daun secara normal adalah 5 sampai 10 persen produksi fotosintesis bruto, tetapi daun muda dan daun tua
31
telah ditemukan mempunyai tingkat respirasi yang banyak melebihi jumlah tersebut (Huber dan Rusch, 1961). 4. Posisi pohon. Karena perbedaan sifat umur daun dan lingkungan dalam kanopi hutan, ukuran fotosintesis neto pohon bervariasi, tergantung pada posisi fotosintesis yang dimonitor pada pohon tersebut. Karena itu pada kondisi tegakan, berkas tajuk terbawah yang menerima cahaya relatif sedikit memberikan kontribusi sedikit terhadap produksi fotosintesis neto. Biasanya, daun paling produktif adalah daun yang sebagian dalam kondisi ternaung di tajuk bagian atas (Woodman, 1971). Hal ini mungkin benar pula untuk pohon setengah toleran lain. Penemuan ini sama dengan laporan Hodges (1967) yang menunjukkan bahwa pohon konifer Pasifik Barat Daya berfotosintesis terbaik pada bagian yang ternaung sebagian di pinggir pembukaan hutan. Kesamaan keunggulan ketahanan hidup dan pertumbuhan suatu campuran jenis konifer yang dipermudah secara alam 5. Perbedaan fotosintesis neto antara kelas tajuk. Perbedaan efisiensi fotosintesis di antara pohon-pohon yang dominan, kodominan dan tertekan relatif kecil jika dibandingkan antara daun-daun yang sama-sama terbuka dan dinyatakan dengan efisiensi per unit luas permukaan daun. Perbedaan besar antara kelas tajuk diperoleh jika dievaluasi efisiensi relatif daun terbuka dan daun ternaung dan ketika diamati perbedaan besar lingkungan yang secara normal mempengaruhi berbagai kelas tajuk. Yang khususnya penting adalah gradien intensitas cahaya dan konsentrasi karbon dioksida dalam kanopi pohon, Di dalam dan di bawah kanopi yang rapat, intensitas cahaya sangat kurang daripada yang diterima oleh pohon dominan kecuali terobosan bercakbercak cahaya. Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi kemampuan pohon dalam melakukan fotosintesis, atau jumlah total karbohidrat yang diproduksi oleh pohon selama suatu periode, daripada dengan kecepatan relatif atau efisiensi pada level lingkungan tertentu. Faktor utama yang menyebabkan perbedaan kemampuan fotosintesis pohon yang mempunyai perbedaan kelas tajuk dan jenis adalah perbedaan besar yang biasa ditemukan pada luas daun. Jika kita bermaksud mempengaruhi produktivitas individu pohon, akan lebih cepat berhasil bila
32
mempengaruhi luas daun. Jumlah daun tegakan biasanya dinyatakan dengan istilah indeks luas daun (leaf area index = LAI), yaitu jumlah luas permukaan daun pada kanopi vegetatif di atas areal tanah di bawahnya, yang dinyatakan sebagai proporsi permukaan daun terhadap areal tanah di bawahnya. Rasio tersebut pada hutan secara normal antara 3 dan 6. Hubungan antara kemampuan fotosintesis dan luas daun sangat penting karena kita dapat mengontrol luas daun individu pohon melalui penjarangan atau pemangkasan cabang. Maka dari itu kemampuan pertumbuhan total individu pohon dapat dinaikkan atau diturunkan melalui pengaturan jarak tanamnya sehingga menghasilkan tajuk yang lebih besar atau kecil. Pengaruh Lingkungan terhadap Fotosintesis Kesempatan
fotosintesis
dipengaruhi
oleh
faktor
tanaman
dan
lingkungan antara lain : 1. Cahaya. Cahaya langsung berpengaruh pada pertumbuhan pohon melalui intensitas, jumlah dan lama penyinaran. Di antara karakteristik ini, intensitas cahaya barangkali paling penting bagi kita karena paling siap untuk dimanipulasi. Jika tumbuhan terbuka terhadap intensitas cahaya secara berangsur dari kegelapan ke cahaya matahari penuh,
biasanya ditemukan
bahwa hasil positif fotosintesis neto tidak diperoleh sampai pada nilai ambang intensitas cahaya minimal tertentu dilampaui. Titik kompensasi cahaya ini adalah intensitas cahaya bila jumlah CO2 terambil dalam fotosintesis tepat sama dengan jumlah yang dikeluarkan oleh respirasi pada saat bersamaan. Dengan
bertambahnya
intensitas
cahaya,
bertambah
kecepatan
fotosintesis neto. daun yang terbuka. Tercapai titik tertentu yang disebut titik kejenuhan cahaya, bila kenaikan intensitas cahaya tidak memberikan kenaikan fotosintesis neto lebih lanjut. Titik kejenuhan cahaya tumbuhan toleran biasanya lebih rendah daripada tumbuhan intoleran. Jika intensitas cahaya melebihi titik kejenuhan, fluktuasi intensitas cahaya berpengaruh kecil terhadap kecepatan fotosintesis. Pada saat intensitas cahaya yang sangat tinggi, fotosintesis dapat dibatasi oleh foto oksidasi kloroplas. Pengaruh ini telah diobservasi pada regenerasi Picea engelmannii pada tempat yang tinggi yang tumbuh kerdil dan klorosis sebagai akibat dari fotooksidasi (Ronco, 1975).
33
Tajuk pohon yang toleran dan intoleran biasanya tidak mencapai kemampuan produksi penuh sampai radiasi mencapai cahaya penuh karena adanya saling penutupan daun. Lama penyinaran cahaya sangat penting bagi kita. Salah satu aspek
lama
penyinaran
adalah
fotoperiode,
yang
mengontrol
ketat
pembentukan kuncup dan proses pertumbuhan pohon. Transmisi atau pengurangan cahaya melalui kanopi hutan bergantung pada tipe kanopi, apakah terdiri atas daun lebar atau konifer, cara daun tersusun, dan homogenitas kanopi. Besarnya cahaya yang tersedia pada level yang berbeda di dalam hutan sangat berpengaruh terhadap ukuran dominasi jenis, diferensiasi menjadi kelas-kelas tajuk, rasio hidup tajuk, dan dimensi tajuk keseluruhan. Karena itu, jika kita mengetahui persyaratan tumbuhan akan cahaya, kita dapat mengontrol struktur dan produktivitas tegakan, kesuksesan relatif regenerasi berbagai jenis, dan perkembangan lapisan rumput, penutup, dan
vegetatif.
Karena
itu
kemampuan
fotosintesis
pohon
harus
memperhitungkan masalah kompleks ketersediaan cahaya dalam tajuk pohon dan kanopi hutan, dan perubahan intensitas cahaya dan lama penyinaran harian dan musiman. 2. Suhu. pengaruh suhu terhadap fotosintesis neto sulit untuk dievaluasi. Pertama, fotosintesis neto merupakan selisih tingkat fotosintesis dan respirasi yang bersamaan waktu, dan hubungan suhu terhadap kedua proses tersebut sangat berbeda. Kedua, di lapangan, kenaikan suhu biasanya berhubungan dengan kenaikan intensitas cahaya, sehingga pengaruhnya membingungkan, Karena itu terbukti bahwa generalisasi mengenai pengaruh suhu terhadap fotosintesis perlu diinterpretasi dengan hati-hati. Kisaran suhu optimal untuk fotosintesis bervariasi dengan spesies dan ekotipe tetapi umumnya antara 18 dan 25 °C untuk pohon-pohon daerah sedang, dengan kisaran ekstrim antara -5 dan 40° C. (Stocker, 1960; Kozlowski dan Keller, 1966). Kisaran aktual suhu optimal untuk setiap spesies tergantung pada banyak faktor, termasuk umur dan kesehatan daun dan ketersediaan air dan cahaya. Dalam istilah yang umum, hubungan antara fotosintesis dan suhu adalah dengan penambahan suhu, fotosintesis naik secara eksponensial sampai
34
kecepatan optimal fotosintesis bruto terjadi antara 20 - 40°C. Tetapi fotosintesis neto optimal, mungkin berada antara 18 - 25°C karena kenaikan dampak kecepatan respirasi yang lebih tinggi terhadap pertukaran CO2 neto. Dengan bertambahnya suhu, proses enzimatis semakin banyak, sehingga kecepatan fotosintesis menurun. Pada suhu tinggi mendekati 40° C, tumbuhan mulai menderita kerusakan panas langsung yang diakibatkan oleh koagulasi protein dalam protoplasma. Fotosintesis mati ketika protoplasma mati. 3. Konsentrasi CO2. konsentrasi karbon dioksida atmosfir bumi di atas tajuk hutan diperkirakan 0,03 persen volume 300 ppm. Di dalam hutan, konsentrasi CO2 biasanya lebih tinggi. Ketersediaan CO2 biasanya dapat menjadi faktor pembatas fotosintesis (Kramer dan Kozlowski, 1960). Hal ini merupakan kasus yang sangat mungkin dalam tajuk pohon hutan yang rapat atau tajuk tanaman pertanian selama siang hari bila fotosintesis aktif mengambil CO2 dari udara dan percampuran atmosfir sangat sedikit karena stagnasi udara. Dengan menurunnya konsentrasi CO2 sekitar daun, level minimal dicapai yang disebut konsentrasi kompensasi CO2, yang di bawahnya tidak terdapat lagi hasil positif fotosintesis neto. Umumnya, untuk tumbuhan C3, konsentrasi CO2 minimal ini adalah 50 sampai 100 ppm; namun, seperti yang disebutkan di muka pada proses fotosintesis dalam bab ini, terdapat kelompok tumbuhan C4 (tidak menunjukkan fotorespirasi) yang mempunyai kemampuan fotosintesis yang sangat tinggi dan dapat berfungsi pada konsentrasi CO2 antara 0 - 10 ppm. 4. Ketersediaan air. Porsi sangat kecil dari total
air
yang
digunakan oleh tumbuhan dikonsumsi langsung pada proses fotosintesis. Karena itu, pengaruh defisit air pada fotosintesis disebabkan hampir
seluruhnya
oleh
pengaruh
tidak
langsung
terhadap
hidrasi
protoplasma dan penutupan stomata. Kondisi optimal fotosintesis terjadi bila daun turgor jenuh. Ini terjadi bila air tanah berlimpah dan kondisi atmosfir menghendaki evaporasi rendah. Dengan tanah yang mengering di bawah kapasitas lapang dan potensi air dalam tanah menurun (menjadi lebih negatif), terjadi kehilangan turgor dan penutupan stomata, yang selanjutnya membatasi pemasukan CO2 dan menyebabkan penurunan fotosintesis. Mungkin terdapat
35
perbedaan kecepatan penurunan yang tergantung pada toleransi kekeringan suatu jenis. Fenomena penurunan fotosintesis ini disebabkan oleh penurunan ketersediaan air dalam daun, atau lebih tepatnya, penurunan potensi air daun yang menyebabkan stres air pada tumbuhan. 5. Nutrisi. nutrisi pohon mempengaruhi fotosintesis dalam dua cara: langsung dengan jalan mempengaruhi efisiensi proses; dan tidak langsung, berpengaruh terhadap produksi fotosintesis total pohon. Penelitian dengan pohon Douglas-fir berumur 24 tahun (Brix, 1971) telah menunjukkan bahwa kemampuan fotosintesis pucuk yang baru dalam tahun pemupukan naik 78% sebagai akibat tambahan nitrogen bila daun terkena suhu dan kondisi air yang baik dan bila intensitas cahaya 5000 fc. Kecepatan fotosintesis bertambah hanya bila daun yang diperlukan terkena intensitas cahaya yang lebih tinggi daripada 2000 fc (yaitu seperlima cahaya matahari penuh). Secara tidak langsung, status nutrisi pohon mempengaruhi fotosintesis melalui pengaruh terhadap luas individu daun dan ukuran total tajuk. Nutrisi juga mempengaruhi vigor dan luas sistem perakaran, yang mempengaruhi penyerapan air dan hidrasi daun. 2.3.2 Proses Respirasi Respirasi adalah penggunaan karbohidrat dan produk fotosintesis untuk membangun dan memelihara seluruh jaringan tumbuhan dan memproduksi energi untuk digunakan dalam metabolisme dan penyerapan hara. Pada kondisi aerobik, respirasi memproduksi energi, karbon dioksida, dan air. Seluruh tumbuhan hidup harus melakukan respirasi, bahkan biji dalam simpanan. Bagaimanapun, dalam lingkungan yang tidak sesuai melakukan respirasi terlalu banyak, menyebabkan penurunan vigor dan bahkan kematian tumbuhan. Proses respirasi sangat dipengaruh oleh lingkungan antara lain : 1. Cahaya. banyak tumbuhan mempunyai dua macam proses respirasi:
satu
terjadi
dalam
kegelapan
(dan
mungkin
juga
dalam
kondisi cahaya) dan yang lain terjadi hanya bila ada cahaya, disebut fotorespirasi yang mempunyai alur metabolisme yang berbeda. Pentingnya fotorespirasi biasanya telah diabaikan di masa lalu dan baru-baru ini diberi perhatian yang lebih besar (Decker, 1970; Ludlow dan Jarvis, 1971). Pada
36
banyak studi masa lalu, respirasi dalam cahaya telah dipersamakan dengan respirasi gelap, dan praktek ini mungkin telah mengakibatkan pengecilan arti fotorespirasi dengan sepertiga sampai seperempatnya (Zelitch, 1971). Beberapa tumbuhan dikotiledon dan banyak macam rumput tropika seperti tebu, jagung dan sorgum, yang termasuk tumbuhan kelompok C4, tampaknya tanpa fotorespirasi dan ini mungkin sebagian penyebab produktivitasnya yang sangat tinggi (Black, 1971). 2. Suhu. Bila suhu naik, kecepatan respirasi biasanya naik secara eksponensial. Kemudian suatu taraf dicapai ketika koagulasi protein terjadi.
Pada taraf ini
kecepatan
respirasi
mulai
mulai menurun dan akhirnya
jatuh dengan cepat dengan matinya materi tumbuhan. Hal yang sama, pada kisaran suhu yang sama, respirasi naik tetapi pada kecepatan eksponensial, akhirnya menurun ketika organisasi dan struktur sel rusak. Titik ekuivalen tercapai dalam kisaran suhu tertentu bila jumlah produksi karbohidrat dalam fotosintesis sama dengan jumlah yang dikonsumsi oleh respirasi. Jika kisaran suhu kritis terlampaui dan dijaga sepanjang waktu, tumbuhan tidak akan hidup, karena respirasi secara konsisten lebih tinggi daripada fotosintesis. Pada suhu lebih rendah daripada level kritis, terdapat kisaran optimal dengan hasil neto produksi karbohidrat maksimal. Pada suhu yang bahkan lebih rendah, meskipun respirasi minimal, kemampuan tumbuhan untuk memperoleh produksi makanan neto juga banyak berkurang. 3. Atmosfir tanah. kenaikan konsentrasi CO2 dan kekurangan oksigen biasanya mengurangi kecepatan respirasi. Oksigen di atmosfir tanah dapat dikonsumsi sampai pada suatu titik yang bersama-sama dengan kenaikan CO2 hasil respirasi, membatasi metabolisme akar dan pertumbuhan. Karena alasan ini, kita bisa mempertimbangkan perlakuan pada saat penanaman yang bertujuan memperbaiki aerasi tanah. 4.
Air.
pengaruh kenaikan stres air terhadap kecepatan respirasi
tergantung pada jenis. Untuk empat jenis Abies, respirasi tidak dipengaruhi secara nyata sampai level stres mencapai kurang lebih 10 sampai 12 bar. Dengan bertambahnya stres air, berbagai jenis dipengaruhi secara berbeda,
37
5.
Nutrisi.
Seperti
ditunjukkan
di
muka,
pemupukan
dapat
meningkatkan kecepatan respirasi gelap dipucuk. Dengan ketersediaan air yang cukup, pemupukan cenderung memproduksi daun yang lebih besar dan lebih sukulen yang mempunyai metabolisme dan kecepatan respirasi lebih tinggi. Pola Respirasi Harian dan Musiman. Pola respirasi musiman pada pohon sangat bergantung pada bagian pohon yang dimaksudkan dan perkembangan musiman bagian komponen tersebut. Hal demikian karena respirasi bertambah bersamaan dengan aktivitas metabolisme. Bila akar, kuncup atau daun berkembang aktif, respirasi cenderung tinggi. Berbagai pengaruh lingkungan saling tumpang tindih terhadap kecenderungan fenologis ini. Karena kehilangan total karbohidrat oleh respirasi bisa mencapai 50 persen produksi total, maka jelas sangat penting apabila kita menggabungkan berbagai desain perlakuan untuk memini-malkan kehilangan akibat respirasi ini, terutama pada masa pertumbuhan pohon. 2.3.3 Proses Translokasi Translokasi meliputi gerakan berbagai materi dalam sistem tumbuhan termasuk gas-gas, air, mineral, karbohidrat terlarut, dan hormon. Proses ini terjadi dalam semua sistem tumbuhan, termasuk perkecambahan biji. Proses ini terutama berkembang baik pada pohon yang mempunyai sistem pembuluh khusus yang terdiri dari elemen xilem dan floem yang memungkinkan gerakan materi antara akar dan daun yang terpisah jauh. Gerakan karbohidrat terlarut dari titik asal (sumber) ke titik pemanfaatan (tempat tampung). Sumber tersebut mungkin daun-daun dewasa yang berfotosintesis atau pusat penyimpanan karbohidrat dalam daun, batang, atau akar. Tempat tampung dapat merupakan setiap daerah metabolisme aktif, terutama kambium atau kuncup, daun atau buah yang berkembang. Sebelum daun jatuh, simpanan bahan makanan dalam daun yang tua dihidrolisis dan ditranslokasi keluar daun. Beberapa unsur juga dimobilisasi dan diekspor. Unsur-unsur yang mobil ini termasuk Na, Cl, S, N, P dan K yang kemudian menjadi tersedia untuk proses fisiologis di tempat lain dalam tumbuhan, terutama pada daun muda dan daerah metabolisme aktif. Unsurunsur mobil ini dapat tercuci keluar daun dalam jumlah besar oleh hujan dan
38
embun. Unsur-unsur tidak mobil seperti Mg, Ca, B dan Co tetap dalam daun yang tua dan dikembalikan ke tanah dengan jatuhnya daun. Beberapa unsur seperti P, tampak bersirkulasi kontinyu dalam tumbuhan. Mobilitas Fe tergantung pada hara P dan pH. Pentingnya mobilisasi hara dan peranannya pada pemeliharaan keseimbangan hara dalam hutan. Beberapa hal yang mempengaruhi proses translokasi : 1. Alur. Sejumlah gerakan kebawah terjadi dalam floem yang terdiri dari komponen tipis, sel tetangga, perenkhim, dan serat-serat floem. Translokasi terjadi pada sel hidup, dan kehidupan fungsional floem pada daun lebar dan konifer sekitar 1 tahun. Terdapat dua kelompok pohon yang mempunyai perbedaan dalam komponen pembuluh: komponen pembuluh daun lebar (vessel) yang mempunyai ujung dinding yang sangat khusus, dan konifer yang mempunyai elemen yang tidak begitu khusus (trakeid), dengan daerah tapis terletak terutama pada dinding radial. Translokasi assimilat ke bawah sangat dipengaruhi oleh jumlah dan aktifitas respirasi sistem perakaran. Semai pinus dengan perakaran yang jelek dan tingkat respirasi yang rendah mentranslokasi lebih sedikit assimilat ke akar daripada semai dengan sistem akar yang aktif dan baik. Meskipun sering sulit dibedakan antara penyebab dan pengaruh, tetapi terdapat bukti hubungan antara kecepatan respirasi dan translokasi. Hubungan ini mungkin memberikan mekanisme yang menerangkan kenyataan ekologis penting asosiasi mikoriza dengan pohon-pohon hutan (Shiroya dkk., 1962). 2. Kecepatan. Pernyataan umum tentang kecepatan gerakan sulit untuk dibuat karena adanya laporan yang membingungkan dan bertentangan dalam literatur. Studi awal melaporkan kecepatan tinggi, tetapi penelitian yang lebih baru menunjukkan tidak demikian. Barangkali generalisasi terbaik pada saat ini adalah bahwa kecepatan maksimal dalam floem, berdasarkan pada transfer masa, adalah 40 sampai 70 cm/jam pada daun lebar dan 18 sampai 20 cm/jam pada konifer. Tetapi kecepatan rata-rata, biasanya 1 sampai 2 cm/jam pada kedua kelompok pohon itu (Shiroya dkk., 1962; Canny dkk., 1968; Roberts, 1964; Zimmer-mann dan Brown, 1971).
39
3.
Mekanisme.
beberapa
mekanisme
telah
diusulkan
untuk
menerangkan gerakan gula dalam tumbuhan. Mekanisme yang paling umum diterima adalah teori tekanan dan aliran yang diusulkan pertama kali oleh Munch pada 1930. Teori ini mengusulkan bahwa gerakan terjadi sebagai akibat gradien tekanan turgor yang berkembang antara sel produsen neto, seperti daun dewasa, dan sel konsumen neto, yang dapat berupa akar, buah, meristem, atau setiap sel bermetabolisme. Gradien tekanan berkembang karena sel produsen menjaga konsentrasi tinggi larutan (potensial rendah), oleh fotosintesis atau konsentrasi larutan aktif dan sel konsumen menjaga konsentrasi larutan rendah (potensial tinggi) oleh respirasi, pertumbuhan dan penyimpanan. Aliran larutan terjadi sebagai respon terhadap gradien tekanan ini. Kekuatan penggerak yang memungkinkan translokasi yang berjarak jauh adalah metabolisme tumbuhan, dan proses tersebut diatur oleh permintaan pada tempat tampung fisiologis dan persediaan pada sumber (Zimmermann dan Brown, 1971).
Pengaruh Lingkungan terhadap Translokasi Cahaya, secara umum penambahan intensitas cahaya menaikkan translokasi ke akar melalui stimulasi pengambilan CO2 oleh daun dan produksi assimilat. Hal ini tampak didukung oleh observasi bahwa tumbuhan
yang
tumbuh pada intensitas cahaya rendah menghentikan translokasi. Suhu, translokasi biasanya bertambah dengan kenaikan suhu sampai sekitar 30°C. Dengan kenaikan suhu lebih lanjut, translokasi berkurang barangkali sebagai akibat kenaikan konsumsi karbohidrat dalam respirasi. Air, penyerapan air mempengaruhi translokasi melalui perubahan kondisi fisiologis daun pengekspor. Umumnya, translokasi berkurang dengan bertambahnya stres air karena penurunan metabolisme akar dan penurunan pengambilan CO2 oleh daun.
2.3.4 Rumah Tangga Air Kepentingan air dalam sistem tanah, tumbuhan, atmosfir tidak dapat diabaikan, karena ketersediaan air pada daerah yang kekeringan di musim
40
panas merupakah faktor terpenting di antara semua faktor yang mengontrol ketahanan hidup dan kemudian distribusi vegetasi. Rumah tangga air tumbuhan konsekuensinya merupakan pertimbangan utama pada perkembangan atau penerapannya. Semua air hilang dalam proses pasif transpirasi, secara fisiologis air adalah penting sebagai pembentuk utama protoplasma dan cairan vakuola sebagai pelarut gas dan bahan larutan, untuk mengangkut mineral, dan menjaga turgiditas. Turgor penuh, yaitu pemeliharaan turgiditas, adalah penting untuk pemanjangan dan pertumbuhan sel, memelihara bentuk tumbuhan, pembukaan stomata, dan gerakan tumbuhan seperti pada daun dan mahkota bunga. Hampir semua air yang digunakan tumbuhan diambil oleh sistem perakaran. Beberapa bagian dapat terambil langsung dari atmosfir oleh daun, dan hal ini mungkin penting pada tumbuhan di daerah arid yang terjadi pengembunan kelembaban
(Monteith, atmosfir
1963;
tampak
Stone, terletak
1963). lebih
Namun, pada
kepentingan
penurunan
stres
evapotranspirasi daripada persediaan air langsung untuk tumbuhan. Gerakan air dalam pohon terjadi karena perbedaan gradien potensiai air antar bagian pohon. Air bergerak dalam pohon karena terdapat gradien air dalam sistem tanah, tumbuhan dan atmosfir dalam status energi bebas. Berdasarkan konvensi energi bebas, atau potensi kimia air pada air murni adalah 0. Keberadaan partikel larutan menurunkan potensi air sampai nilai negatif, dan dalam sel tumbuhan, kenaikan tekanan dinding menambah potensi energi bebas sehingga kecenderungan molekul air berdifusi bertambah (Slatyer, 1967; Kramer, 1969). Pertimbangan ini digambarkan dalam persamaan yang menyatakan potensi air dengan cara berikut: Penyerapan air terjadi karena zat alir xilem dalam akar biasanya berpotensi lebih rendah (nilai negatif lebih tinggi) daripada air dalam tanah. Disebabkan terutama oleh kenaikan konsentrasi larutan dari korteks akar ke sel mesofil, maka terdapat gradien potensi air dalam sistem, dan air cenderung bergerak dari akar ke daun. Hal
ini menunjukkan bahwa gerakan air
cenderung cepat bila potensi dalam tanah tinggi (yaitu, mendekati 0, bila tanah mempunyai air tersedia berlimpah) dan rendah dalam daun (yaitu, sangat negatif, bila suhu dan angin tinggi dan uap air atmosfir rendah, berakibat
41
kecepatan evapotranspirasi tinggi). Resistensi gerakan air dalam daun dapat bervariasi karena kemampuan tumbuhan mengontrol lobang stomata. Pada saat stres lingkungan, stomata cenderung menutup.
2.3.5 Proses Transpirasi Transpirasi adalah evaporasi air dari tumbuhan termasuk gerakan air melalui seluruh kesatuan tanah, tumbuhan dan atmosfir. Dengan hilangnya air dari daun melalui evaporasi, tambahan air diserap batang dan lewat akar dalam bentuk kolom yang kontinyu. Batang dan akar kurang lebih pasif dalam proses ini, dan karenanya, sering disebut penyerapan pasif. Sudah barang tentu akar tidak bertindak sederhana seperti sumbu lampu, tetapi harus tumbuh terus untuk menjaga permeabilitas dan mengisap kelembaban tanah. Beberapa hal yang mempengaruhi proses transpirasi adalah kecepatan dan kuantitas, kecepatan transportasi air ke atas pada xilem pohon dipengaruhi oleh kecuraman gradien potensi air dari atmosfir ke larutan tanah. Kecepatan juga bervariasi dengan jenis, tetapi biasanya nilai masing-masing adalah: konifer 1 sampai 2 m/jam; daun lebar berpori tersebar, 1 sampai 6 m per jam; dan daun lebar berpori tersusun melingkar, 20 sampai 40 m per jam. Kuantitas air yang ditranspirasikan ditaksir kurang lebih 430 sampai 560 mm/tahun (17 sampai 22 in per tahun) untuk daun lebar di South Caroline (Hoover, 1944) dan sekitar 100 sampai 250 mm per tahun (4 sampai 10 in per tahun) untuk pinus di Eropa (Ivanov dkk., 1951; Isakov, 1974). Jumlah ini mendekati sepertiga presipitasi. Kemungkinan kesalahan akibat perbedaan prosedur dan kondisi sangat besar sehingga kecepatan dan kuantitas, ini harus dipandang sebagai estimasi yang sangat kasar. Karena jumlah air yang ditranspirasikan, di antara banyak faktor, sangat dipengaruhi jumlah air tersedia, maka tidak terdapat generalisasi yang baik tentang jumlah relatif air yang ditranspirasikan oleh daun lebar dan konifer. Usaha mengurangi penggunaan air oleh pohon adalah dengan penerapan antitranspiran. Dorongan penggunaan antitranspiran datang dari keinginan untuk menaikkan hasil hutan daerah aliran sungai atau memperbesar keberhasilan hidup pohon ketika ditanam di lapangan. Penelitian yang
42
dilakukan pada hutan Pinus resinosa (Waggoner dan Turner, 1971) menunjukkan bahwa evapotranspirasi dapat dikurangi sampai 30 persen segera sesudah penyemprotan dengan fenil merkuri asetat. Bagaimanapun, sesudah penyemprotan tiga kali dalam setiap musim pertumbuhan selama tiga tahun berturut-turut pengurangan keseluruhan Perlakuan
ini
menjadi
3
sampai
10
persen.
menyebabkan penutupan sebagian stomata, dan karena juga
mengurangi fotosintesis maka beberapa pengurangan pertumbuhan mungkin terjadi. Pengaruh Lingkungan terhadap Transpirasi Cahaya. Transpirasi sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya karena pengaruh cahaya langsung pada lobang stomata. Suhu. Suhu tanah, daun dan atmosfir juga mempengaruhi kecepatan penyerapan air. Tanah yang dingin mengurangi penyerapan karena tanah tersebut mengurangi permeabilitas akar, juga gerakan air, dan memperlambat pertumbuhan akar dan metabolisme. Suhu daun menarik perhatian khusus karena suhu ini berpengaruh langsung terhadap metabolisme daun, fotosintesis, respirasi dan transpirasi. Pada siang hari, daun yang terkena radiasi matahari bisa 1 sampai 10°C lebih tinggi daripada suhu udara sekitarnya, sedangkan daun ternaung bisa bersuhu kira-kira sama dengan atmosfir. Pada malam hari, suhu daun bisa 2 sampai 3°C lebih rendah daripada suhu udara sekitarnya karena radiasi kembali ke atmosfir. Transpirasi berpengaruh terhadap pendinginan daun. Penurunan ini bisa menyebabkan daun sampai 10° C lebih rendah daripada suhu udara sekitarnya, terutama bila beban panas besar pada suhu udara lebih tinggi daripada 30°C (Gates, 1968). Defisit tekanan uap air. Istilah ini melukiskan perbedaan antara kandungan uap air udara sekitar daun, dan kandungan uap air rongga stomata. Semakin besar perbedaan, atau defisit, semakin besar kecenderungan pohon kehilangan air atau transpirasi. Karena itu defisit merupakan
tekanan
uap
air
faktor utama pengontrolan transpirasi. Ini sangat dipengaruhi
oleh suhu, angin dan kelembaban relatif. Ketersediaan air. Transpirasi tergantung pada ketersediaan air dalam tanah, dan kecepatan transpirasi bertambah oleh penyediaan air dalam tanah,
43
dan kecepatan transpirasi bertambah oleh penyediaan lebih banyak air untuk tumbuhan. Pengaruh ini dapat dilihat pada transpirasi kecepatan tinggi vegetasi perairan dan pohon-pohon yang beririgasi. Tetapi, bahkan pada kondisi ketersediaan air tanah tinggi, bila udara panas, berangin, dan kelembaban udara relatif rendah, transpirasi kelayuan
dapat
melebihi
serta penutupan stomata dapat terjadi.
penyerapan
air,
dan
Hal ini selanjutnya,
biasanya mengurangi hasil fotosintesis dan pertumbuhan. Bila pohon terkena kondisi penurunan ketersediaan air, proses pertama yang terhambat adalah transpirasi, diikuti oleh fotosintesis, dan kemudian respirasi.
Sensitivitas
pohon
terhadap
kenaikan
kondisi
stres
sangat
dipengaruhi oleh toleransi relatif tumbuhan yang dimaksud. Secara umum, telah ditemukan bahwa dengan potensi air tanah menjadi lebih negatif (yaitu air tanah kurang tersedia), pohon yang lebih intoleran pertama kali menunjukkan pengurangan kecepatan transpirasi sebagai akibat kemampuan penutupan stomata yang lebih awal. Karena itu konservasi air melalui pengontrolan stomata secara genetis dan adaptif adalah sangat penting dalam mempengaruhi keseimbangan air internal tumbuhan yang tumbuh pada daerah dengan musim panas atau kering. Stomata merupakan mekanisme yang terutama bertanggung jawab menentukan keberhasilan ekologis berbagai tumbuhan sehingga berkembang memuaskan pada lingkungan relatif kering.
2.3.6 Interaksi Lingkungan dengan Persyaratan Fisiologis Hal ini menjelaskan bahwa pohon sebagai komponen utama RTH melakukan interaksi lingkungan melalui proses fisiologis sehingga terbentuk keseimbangan ekosistem RTH yang pada akhirnya akan meningkatkan ekositem perkotaan khususnya Kota Bogor. Konsep pemersatu terpenting yang harus diketahui, yaitu konsep yang memberikan landasan terhadap semua konsep ekosistem adalah pengenalan bahwa tujuan utama mengetahui proses fisiologis pohon adalah untuk mengontrol pertumbuhan pohon, dan kemudian struktur dan komposisi tegakan, dan lingkungan. Tegakan adalah dinamis, karena itu perlakuan harus membantu perubahan. Satu-satunya cara untuk menjaga keseimbangan ekosistem RTH adalah dengan memahami cara
44
interaksi genetis, fisiologis, dan lingkungan dalam mengontrol pertumbuhan pohon. Untuk tumbuh dengan sukses, pohon harus: Menghasilkan lebih banyak makanan dengan fotosintesis daripada kebutuhannya
untuk
menopang
metabolisme
dasar
dan kompensasi
terhadap respirasi. Mempunyai kontrol yang memadai terhadap rumah tangga air internalnya sehingga air dapat dikonservasi, sel dijaga pada turgor penuh, dan stomata terbuka pada periode cukup selama siang hari untuk produksi karbohidrat. Kita
harus
memilih
genotip pohon
dan
menjaga
lingkungan
sehingga kedua persyaratan pertumbuhan ini dapat dipenuhi. Namun, kondisi yang sesuai untuk suatu proses fisiologis belum tentu sesuai untuk yang lain dan kita biasanya berhadapan dengan pemilihan kompromi lingkungan yang pengaruhnya terhadap seluruh bagian menguntungkan untuk tumbuhan secara keseluruhan. Sebagai contoh, kondisi yang cenderung memaksimalkan fotosintesis bruto
(seperti intensitas cahaya tinggi, stomata terbuka, dan
permukaan daun yang luas menimbulkan
dan
terletak
baik)
juga
cenderung
kecepatan respirasi dan transpirasi tinggi. Jelas, konflik dapat
terjadi dan hanya dapat dipecahkan jika kita dapat meramalkan proses yang mungkin menjadi pembatas pada setiap situasi. Pada banyak tempat di Kalifornia, Utah, dan Idaho, sebagai contoh, bila presipitasi musim panas jarang, semua kematian pohon disebabkan oleh rumah tangga air yang jelek, respirasi berlebihan, atau faktor biotis eksternal seperti serangga, penyakit, dan hewan pemakan daun. Kemampuan fotosintesis
biasanya
tidak
membatasi
ketahanan
hidup, konsekuensinya perlakuan persiapan lokasi mungkin menjadi lebih berhasil
jika lingkungan mikro dimanipulasi untuk mengkonservasi air,
menurunkan radiasi dan beban suhu, dan membatasi jumlah permukaan daun
yang
terbuka,
meskipun
kenyataan
bahwa
ini
cenderung
mengurangi fotosintesis. Kemampuan relatif tumbuhan untuk memproduksi karbohidrat yang memadai dan menjaga rumah tangga air yang memadai pada
45
situasi tertentu kadang-kadang dinyatakan dengan istilah rasio fotosintesis neto/ transpirasi. Karena itu keseimbangan ekosistem RTH ditentukan oleh pertumbuhan tumbuhan/ pohon. Konsep pokok yang terlibat di sini adalah bahwa tumbuhan mungkin dianggap sebagai pemilik respon permukaan dimensi ganda yang dilukiskan terutama dalam pengertian fotosintesis neto, transpirasi, dan daya penghantar daun sebagai fungsi interaksi antara faktor-faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, suhu, dan defisit tekanan uap air. Konseptualisasi interaksi ini memungkinkan kita untuk meningkatkan kemampuan tumbuhan tertentu untuk berkembang dalam lingkungan mikro tertentu. Sebagai contoh, intensitas cahaya dapat dimodifikasi dengan memanipulasi penutupan tajuk, ketersediaan air tanah ditambah dengan mengurangi persaingan tumbuhan, atau level suhu diubah oleh kontrol naungan. Penjarangan, pemupukan, penyemprotan, pemberian mulsa, atau pengguludan bertujuan pada hakekatnya untuk memperbaiki lingkungan operasional tumbuhan terpilih. Definisi yang tepat bagi setiap perlakuan dalam level atau intensitas dapat dibuat yang terbaik jika seseorang menyadari persyaratan fisiologis umum pohon terseleksi dan level faktor iklim mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan yang memuaskan. Jenis analisis yang sama adalah berguna bila mempertimbangkan pemilihan metode reproduksi yang paling cocok untuk menjamin regenerasi spesies tertentu.
2.4 Geographic Information System (GIS) Dalam Prahasta (2004), Geographic Information System (GIS) merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan menganalisis informasi-informasi geografis. Geographic Information System (GIS) yang dalam bahasa Indonesia lebih sering disingkat SIG (Sistem Informasi Geografis) dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek dan fenomena-fenomena dimana lokasi lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dasar dalam menangani data yang bereferensi geografis sebagai berikut :
46
•
Data masukan (data spasial dan data atribut)
•
Data keluaran (Peta Tematik)
•
Manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data)
•
Analisis data Perangkat lunak SIG yang biasa digunakan antara lain ArcView, ArcGis,
MapInfo, ERDAS. Pada penelitian ini perangkat lunak SIG yang digunakan adalah ArcView 3.2 karena kemampuannya menganalisis lebih baik dengan tersedianya banyak ekstensi yang beredar dipasaran. ArcView 3.2 adalah software yang biasa digunakan untuk menganalis data spasial maupun non spasial dan pemetaan. Khusus untuk kebutuhan RTH diperlukan ekstensi CITYgreen 5.4 yang menganalisis kualitas udara (berdasarkan daya serap terhadap polutan diudara), peyimpanan karbon, daya serap karbon. Kegunaan CITYgreen 5.4 adalah penting untuk menentukan tujuan dari penelitian ini, dan mempertimbangkan bagaimana hasil analisis akan digunakan. Mayoritas analisis CITYgreen 5.4 dilakukan bukan untuk latihan teoritis, tetapi untuk membantu mempengaruhi keputusan kebijakan riil. Mempertimbangkan mana keuntungan yang paling penting untuk kota dan masyarakat. Tanpa mempertimbangkan ukuran proyek, semua analisis CITYgreen 5.4 berlandaskan dari prinsip mendasar bahwa pohon yang menjadi komponen RTH memberikan pelayanan ekosistem yang dapat diukur (American Forest, 2002).
2.5 Kapasitas Penyimpanan dan Daya Serap Karbon serta Kualitas Udara Komponen utama RTH adalah pohon, pohon memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon melalui proses fotositesis sebagai berikut:
6 mol CO2 + 12 mol H2O + 675 Cal 1 mol C6H12O6 + 6 mol O2 + 6 mol H2O 264 gr
216 gr
180 gr
192 gr
108 gr
Dalam Endes (2007) kemampuan pohon dalam menyerap gas CO2 bervariasi, menurut Nobel (1991), penyerapan gas CO2 oleh RTH (komponen utama RTH) sebesar 2,76 ton/ha/tahun, sedangkan menurut Bernatzky (1987), 1 pohon Beach menyerap gas CO2 sebanyak 2,35 kg/jam dan menghasilkan gas O2 sebanyak 1,71 kg/jam. Menurut Iverson et al. (1993) nilai rosot (daya serap) gas
47
CO2 untuk RTH58,26 ton/ha, kebun 52,40 ton/ha, serta semak dan rumput 3,30 ton/ha. Penyimpanan karbon dan daya serap karbon: pepohonan menghilangkan CO2 dari udara melalui daun mereka dan menyimpan karbon di biomassanya, kira-kira setengah dari berat kering pohon adalah karbon. Untuk alasan inilah, proyek penanaman pohon dalam skala besar diketahui sebagai alat yang legitimat pada program karbon di banyak negara. CITYgreen 5.4 memperkirakan kapasitas penyimpanan karbon dan tingkat daya serap karbon dari pohon pada area kajian yang telah ditentukan. Sebagai tambahan selain penyimpanan karbon dan penyerap karbon, pepohonan menyediakan keuntungan yang lain yaitu sebagai penghasil gas O2 (American Forest, 2002). Irwan (2007) menyatakan setiap tahun tumbuh-tumbuhan di atas bola bumi ini mempersenyawakan sekitar 150.000 juta ton CO2 dan 25.000 juta ton hidrogen dengan membebaskan 400.000 juta ton oksigen ke atmosfer, serta menghasilkan 450.000 juta ton zat-zat organik. Jadi setiap jam 1 ha daun-daun yang menghijau menyerap 8 kg CO2, setara dengan CO2 yang dikeluarkan oleh sekitar 200 orang dalam waktu yang sama sebagai hasil pernapasannya. Hasan (2010) sektor kehutanan di Indonesia mampu menyerap karbon sebesar 0.89 giga ton pada 2020 dengan strategi penanaman pohon 500.000 ha/tahun. Kualitas udara: dengan menyerap dan menyaring nitrogen oksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), ozone (O3), karbon monoksida (CO), dan benda-benda partikel kurang dari 10 mikron (PM10) pada daun, pohon kota melakukan pelayanan pembersihan udara yang vital yang secara langsung mempengaruhi penghuni kota. CITYgreen 5.4 memperkirakan tingkat pembersihan polusi tahunan dari pohon dengan menetapkan studi kajian tertentu untuk polutan tersebut. Untuk menghitung nilai uang dari polutan ini, ekonom menghitung nilai externality, atau nilai tidak langsung yang dilahirkan oleh masyarakat untuk meningkatkan pengeluaran pelayanan kesehatan dan mengurangi pemasukan dari turisme. Nilai biaya externality riil dari berbagai polutan udara ditetapkan oleh komisi pelayanan umum negara di setiap negara (American Forest, 2002).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor dengan menganalisis Ruang Terbuka Hijau. Waktu penelitian dilaksanakan selama 3 bulan mulai bulan Oktober 2009 – bulan Desember 2009.
Peta Kota Bogor
Batas admin per kec_kota bogor.shp Kecamatan Bogor Barat Kecamatan Bogor Selata Kecamatan Bogor Tengah Kecamatan Bogor Timur Kecamatan Bogor Utara Kecamatan Tanah Sereal
3
0
3
6 Kilometers
Gambar 02 Lokasi Penelitian
N
49
3.2 Bahan dan Alat Bahan dan Alat yang digunakan terdiri dari: 1. Citra Satelit Quick Bird tahun 2006 2. Software ArcView 3.2 3. Extension CITYgreen 5.4, Xtool, Image Analyst, Spatial Analyst 4. Seperangkat Personal Computer (prosesor AMD Phenom X4 9650 BE, hardisk 750 Gb, memory 4 Gb, VGA ATI Radeon 4770 512 Mb DDR 5 256 bit, monitor LCD 19 inchi) dan Notebook (prosesor AMD Turion 64 X2 1,8 GHz, hardisk 200 Gb, memory 4 Gb, VGA ATI Radeon X1200 128 DDR 2 64 bit, LCD 15,4” inchi)
3.3 Kerangka Pikir Penelitian RTH Kota Bogor
Kondisi Real Kualitas Lingkungan Menurun dan RTH yang terus Berkurang Citra Satelit
Metode GIS (ArcView 3.2 ekstensi CITYgreen 5.4) Kualitas Udara, Penyimpanan Karbon, Daya Serap Karbon Ruang Terbuka Hijau memberikan Pelayanan ekosistem yang dapat diukur Rekomendasi Kebijakan Pengembangan RTH Kota Bogor Gambar 03. Kerangka Pikir Penelitian
50
3.4 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode pengkajian melalui data sekunder tentang Kota Bogor dengan kebutuhan data sebagai mana tercantum dalam Tabel 01
Tabel 01. Jenis dan Sumber serta Fungsi Data No Jenis Data
Sumber Data
Fungsi Data
1
Lab. Tanaman dan
Untuk data spasial
Citra Satelit
Tata Hijau Departemen Arsitektur Lanskap IPB 2
Untuk data atribut
Data Iklim: 1. Curah Hujan 2. Kelembaban 3. Kecepatan Angin 4. Suhu Udara 5. Penyinaran Matahari 6. Kualitas Udara
3
(Master Plan Ruang
Data Geologis 1. Jenis Tanah 2. Tata Guna lahan
4
Data Hidrologi
5
Topografi
dan
Pemda Kota Bogor Untuk data atribut
Terbuka Hijau Kota Bogor tahun 2007) Untuk data atribut
Klasifikasi
Untuk data atribut
Kemiringan lahan 7
Data Kependudukan
Indikator
8
Data Ekonomi
Indikator
9
Data Penunjang (Dari Penelitian RTH Kota Bogor beberapa tahun yang lalu)
Tesis dan Disertasi
Penunjang
51
3.4.1 Metode Geographic Information System (GIS) Dalam Prahasta (2004), Geographic Information System (GIS) merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan menganalisis informasi-informasi geografis. Geographic Information System (GIS) yang dalam bahasa Indonesia lebih sering disingkat SIG (Sistem Informasi Geografis) dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objekobjek dan fenomena-fenomena dimana lokasi lokasi geografis merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Berdasarkan user manual yang dikeluarkan ESRI tahun 2004 tentang pengenalan ArcView GIS tingkat dasar dan lanjut dijelaskan bahwa 5 komponen utama sistem GIS yaitu: 1. Pelaksana 2. Data 3. Prosedur 4. Hardware 5. Software Kemampuan utama GIS dalam menangani data yang bereferensi geografis sebagai berikut: •
Pengambilan data (capture)
•
Penyimpanan data (store)
•
Pemilahan (query)
•
Pengolahan (analysis)
•
Penampilan (display)
•
Hasil akhir (output) Perangkat lunak SIG yang biasa digunakan antara lain ArcView, ArcGis,
MapInfo, ERDAS. Pada penelitian ini perangkat lunak SIG yang digunakan adalah ArcView 3.2 karena kemampuannya menganalisis lebih baik dengan tersedianya banyak ekstensi yang beredar dipasaran. ArcView 3.2 adalah software yang biasa digunakan untuk menganalis data spasial maupun non spasial dan pemetaan. Khusus untuk kebutuhan RTH diperlukan ekstensi CITYgreen 5.4 yang menganalisis kualitas
52
udara (berdasarkan daya serap terhadap polutan diudara), penyimpanan karbon, daya serap karbon. Data spasial yang digunakan pada penelitian ini berasal dari citra quickbird tahun 2006 dan vektor admin kota bogor. Data atribut yang digunakan yaitu curah hujan, suhu, kelembaban, kualitas udara, hidrologi, topografi, dll. Klasifikasi penutupan lahan terdiri dari (berdasarkan user manual CITYgreen 5.4): 1. Lahan Pertanian/Ladang 2. Lahan Terbuka, Padang Rumput, Sawah 3. Semak 4. Kanopi Pohon (Komponen Utama RTH) 5. Lahan Perkotaan (perumahan, industri, perdagangan) 6. Badan Air (Sungai, Waduk/ Situ) Kegunaan CITYgreen 5.4 adalah penting untuk menentukan tujuan dari penelitian ini, dan mempertimbangkan bagaimana hasil analisis akan digunakan. Mayoritas analisis CITYgreen 5.4 dilakukan bukan untuk latihan teoritis, tetapi untuk membantu mempengaruhi keputusan kebijakan riil.
Mempertimbangkan mana
keuntungan yang paling penting untuk kota dan masyarakat. Semua analisis CITYgreen 5.4 berlandaskan dari prinsip mendasar bahwa pohon yang menjadi komponen RTH memberikan pelayanan ekosistem yang dapat diukur (American Forest, 2002). CITYgreen 5.4 menghitung peran dari RTH dalam menyerap dan menyimpan karbon di udara berdasarkan data atribut pohon pada dari citra satelit, area studi (dalam acres), persentase penutupan tajuk, dan tipe distribusi pohon, CITYgreen 5.4 mengelompokkan tipe distribusi pohon pada area yang diteliti menjadi tiga tipe distribusi pohon. Tipe satu mewakili distribusi pepohonan tua, tipe dua mewakili distribusi pohon yang muda. Tipe tiga menggambarkan suatu area yang dengan distribusi pohon yang seimbang. Tipe distribusi pepohonan tua (dengan biomasa yang lebih) diasumsikan menghilangkan karbon muda (American Forest, 2002).
lebih dari tipe distribusi pohon yang
53
Rumusan untuk memperkirakan penyimpanan karbon adalah: Area kajian (acres) x persen penutupan pohon x koefisien penyimpanan karbon (berdasarkan tipe distribusi pohon) = kapasitas penyimpanan karbon. Rumusan untuk memperkirakan daya serap karbon adalah: Area kajian (acres) x persen penutupan pohon x koefisien daya serap karbon (berdasarkan tipe distribusi pohon) = tingkat daya serap karbon tahunan. Untuk menghitung kualitas udara, CITYgreen 5.4 menggunakan rumus: F (g/cm2/sec) = Vd (cm/sec) x C (g/cm3), dengan F
adalah laju peyerapan polutan
Vd adalah kecepatan velositas polutan C
adalah konsentrasi polutan
54
BAB IV KONDISI UMUM KOTA BOGOR
4.1 4.1.1
Fisik Dasar Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Kota Bogor secara geografis terletak pada 1060 48' Bujur Timur dan 60
36' Lintang Selatan dengan jarak ± 56 km dari Ibu Kota Jakarta. Wilayah Administiasi Bogor terdiri dari 6 Kecamatan, 68 Kelurahan dengan luas keseluruhan wilayah meliputi ± 11.850 Ha berbatasan dengan :
Sebelah Utara
:
Berbatasan
dengan
Kecamatan
Kemang,
Kecamatan Bojong Gede, Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor.
Sebelah Barat
:
Berbatasan
dengan
Kecamatan
Dramaga
dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor.
Sebelah Selatan :
Berbatasan
dengan
Kecamatan
Cijeruk
dan
Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.
Sebelah Timur
:
Berbatasan dengan wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor.
4.1.2
Klimatologi Curah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor berkisar antara 3.000 mm
sampai 4.000 mm/ tahun. Curah hujan bulanan berkisar antara 250 - 335 mm/bulan dengan waktu curah hujan minimum terjadi pada bulan September sekitar 128 mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi di bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-rata wilayah Bogor berada pada suhu 26 o C, temperatur tertinggi sekitar 34,4° C dengan kelembaban udara rata-rata lebih dari 70 %. 4.1.3
Topografi Secara geografis Kota Bogor terletak pada 1060 48' Bujur Timur dan
60 36' Lintang Selatan dengan jarak ± 56 km dari Kota Jakarta, serta mempunyai perbukitan bergelombang dengan perbedaan ketinggian yang cukup besar, bervariasi antara 190 s/d 350 m diatas permukaan laut dengan
55
kemiringan lereng berkisar 0 - 2 % (datar) seluas 1.763,94 Ha, 2 - 15 % (landai) seluas 8.91,27 Ha, 15- 25 % (agak curam) seluas 1.109,89 Ha, 25 - 40 % (curam) seluas 764,96 a, dan > 40 % (sangat curam) seluas 119,94 ha (Tabel 02). Tabel 02. Kemiringan Lereng Berdasarkan Luas Lahan Kota Bogor Tahun 2004. No Kecamatan
0-2 % Datar
Kemiringan Lereng (Ha) 2-15% 15-25% 25 - 40 % Agak Landai Curam Curam 1,565.65 68.00
> 40 % Sangat Curam 0.50
Jumlah (Ha)
1
Bogor Utara
137.85
2
Bogor Timur
182.30
722.70
56.00
44.00
10.00
1.015
3
Bogor Selatan
169.10
1,418.40
1,853.89
350.37
89.24
3.081
4
Bogor Tengah
125.44
560.47
-
117.54
9.55
813
5
Bogor Barat
618.40
2,502.14
-
153.81
10.65
3.285
530.85
1,321.91
-
31.24
-
1.884
1.763.94
8.091,27
1.109,89
764,96
119,94
11.850
Tanah Sareal 6 Jumlah
1,772
Sumber : Data Pokok Pembangunan Kota Bogor tahun 2004
4.1.4
Geologi. Secara umum Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari
endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan breksi tupaan/kpbb) dan Gunung Salak (berupa alluvium/kal dan kipas alluvium/kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari aliran sungai. Endapan permukaaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh jenis tanah, pasir dan kerikil, hasil pelapukan endapan. Endapan jenis ini baik untuk vegetasi. Dari struktur geologi tersebut, maka Kota Bogor memiliki jenis aliran Andesit seluas 2.719,61 Ha, Kipas Alluvial seluas 3.249,98 Ha, Endapan 1.372,68 Ha, Tupaan 395,75 Ha dan Lanau Breksi Tufan dan Capili seluas 1.112, 56 Ha.
4.1.5 Hidrologi. Sumber air bagi Kota Bogor menurut asalnya terdiri dari sungai, air tanah dan mata air. Sungai utama yang mengalir di Kota Bogor terdiri dari Sungai Ciliwung dan sungai Cisadane, serta beberapa anak sungai dari kedua sungai utama tersebut. Pada umumnya aliran sungai dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat Kota Bogor sebagai sarana MCK dan usaha perikanan karamba serta
56
sumber air baku bagi PDAM. Keberadaan air tanah di kota Bogor kualitasnya terbilang cukup baik. Namun demikian tingkat pelapukan batuan yang cukup tinggi, selain tingginya laju perubahan penutupan lahan oleh bangunan menyebabkan kapasitas infiltrasi air hujan menjadi sangat rendah yang pada akhirnya mempertinggi run off, hal ini merupakan salah satu penyebab turunnya muka air tanah di musim kemarau. Selain beberapa aliran sungai yang mengalir di wilayah Kota Bogor, terdapat
beberapa
mata
air
yang
umumnya
dimanfaatkan
oleh
masyarakat untuk kebutuhan air bersih sehari-hari. Kemunculan mata air tersebut umumnya terjadi karena pemotongan bentuk lahan atau topografi, sehingga secara otomatis aliran air tanah tersebut terpotong. Kondisi tersebut bisa dilihat diantaranya pada tebing jalan tol Jagorawi, pinggiran Sungai Ciliwung di Kampung Lebak Kantin, Babakan Sirna dan Bantar Jati dengan besaran debit yang bervariasi. 4.1.6 Penggunaan Lahan. Kegiatan penduduk akan mencerminkan pola penggunaan lahan yang terjadi, berdasarkan kondisi eksisting pada tahun 2005 Kota Bogor mempunyai luas wilayah seluas 11.850 ha, secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu : Kawasan Terbangun: dengan luas total penggunaan seluas 4.424,79 ha atau sekitar 37,34% dari total luas Kota Bogor, berupa lahan perumahan dan pemukiman, lahan komersial dan penggunaan lainnya. Kawasan Belum Terbangun: dengan luas total seluas 7.245,21 ha atau sekitar 62,66%, yang berupa lahan pertanian dan daerah terbuka hijau. Dari data penggunaan lahan tersebut yang merupakan penggunaan lahan pemukiman adalah perumahan/ pemukiman (26.24%),
seluas
3.112,90 ha
lahan pertanian (sawah, ladang, kebun) seluas 3.169,14 ha (26,74%).
Sedangkan lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal (tanah kosong/ semak) seluas 1.721,60 ha (14,53%). Jadi lahan potensial yang memungkinkan untuk pengembangan kota adalah lahan yang terdiri dari lahan pertanian, semak dan tanah kosong, yaitu seluas 4.890,75 ha atau 41,27%.
57
4.1.7
Pencemaran Udara
4.1.7.1 Sumber Pencemaran Udara Sumber pencemaran udara dapat dikategorikan atas sumber bergerak dan sumber tidak bergerak, yang meliputi berbagai sektor termasuk transportasi, industri, dan domestik. Pada umumnya proses pembakaran bahan bakar fosil, baik dalam mesin (transportasi), proses pembakaran dan pengolahan industri, maupun pembakaran terbuka (domestik) mengeluarkan pencemar-pencemar udara yang hampir sama. Walaupun secara spesifik jumlah relatif masing-masing pencemar yang dihasilkan tergantung pada karakteristik (properti) bahan bakar dan kondisi pembakaran. 4.1.7.2 Jenis-jenis Gas Pencemar Udara 1. Karbon Monoksida (CO) Gas karbon monoksida (CO) adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernafasan dan diabsorpsi di dalam peredaran darah. Karbon monoksida akan berikatan dengan Haemoglobin (yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan berikatan dengan Haemoglobin seluas 240 kali lipat kemampuannya berikatan dengan O2. Secara langsung kompetisi ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam, sehingga melemahkan
kontraksi
jantung
dan
menurunkan
volume
darah
yang
didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppmv ambien) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppmv) dapat menyebabkan kematian. CO dihasilkan dari pembakaran bakan bakar fosil yang tidak sempurna, seperti bensin, minyak dan kayu bakar. Selain itu juga dihasilkan dari pembakaran produk-produk alam dan sintetis, termasuk
rokok.
Konsentrasi CO dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemaran lokal. CO kadangkala muncul sebagai parameter kritis di lokasi pemantauan di kota-kota besar dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, tetapi pada
58
umumnya konsentrasi CO berada di bawah ambang batas Baku Mutu PP41/1999
(10,000 µg/Nm3/24 jam). Walaupun demikian CO dapat
menyebabkan masalah pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) pada ruang-ruang tertutup seperti garasi, tempat parkir bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang buruk, bahkan dapat terjadi juga di dalam mobil yang berada di tengah lalu lintas yang padat. Kota Bogor menghasilkan ambien CO 1,307 ton/hari atau setara dengan 477 ton/tahun. 2. Karbon Dioksida (CO2) Karbon dioksida (CO2) adalah gas yang diemisikan dari sumbersumber alamiah dan antropogenik. Karbon dioksida adalah gas yang secara alamiah berada di atmoster Bumi, berasal dari emisi gunung berapi dan aktivitas mikroba di tanah dan lautan. Karbon dioksida akan larut di dalam air hujan dan membentuk asam karbonat, menyebabkan air hujan bersifat lebih asam bila dibandingkan dengan air tawar. Tetapi akibat aktivitas manusia (pembakaran batu bara, minyak dan gas alam) konsentrasi global CO2 telah meningkat sebesar 28% dari sekitar 280 ppmv pada awal revolusi industri di tahun 1950an menjadi 360 ppm pada masa kini (IPCC, 1996). Masalah utama dari peningkatan CO2 adalah perubahan iklim. Karbon dioksida adalah gas rumah kaca (GRK) karena potensi pemanasan globalnya (GWP/ Global Warming Potential). Pada saat ini tidak hanya CO2 yang dikenal sobagai GRK tetapi juga pencemar udara lainnya seperti metana, ozon, kloroform, N2O dan HFCs. Kota Bogor menghasilkan ambient CO dan CO2 sebesar 1,307 ton/hari atau setara dengan 477 ton/tahun. 3. Nitrogen Dioksida (NO2) Nitrogen dioksida (NO2) adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. Nitrogen oksida bereaksi dengan senyawa organik volatil membentuk ozon dan oksidan lainnya seperti peroksiasetilnitrat (PAN) didalam smog fotokimia dan dengan air hujan menghasilkan asam nitrat dan menyebabkan hujan asam. Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk pada anak-anak dan orang tua, dan berbagai gangguan sistem pernafasan, serta
59
menurunkan visibilitas. Deposisi asam basah (hujan asam) dan kering (bila gas NO2 membentuk partikel aerosol nitrat dan terdeposisi ke permukaan Bumi) dapat membahayakan tanam-tanaman, pertanian, ekosistem perairan dan hutan. Hujan asam dapat mengalir memasuki danau dan sungai lalu melepaskan logam berat dari tanah serta mengubah komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan dan bahkan memusnahkan kehidupan air. Oksida nitrogen diproduksi terutama dari proses pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batubara dan gas alam. Konsentrasi tahunan rata-rata NOx tertinggi ditemukan pada titik sampling Pertigaan Plaza Bogor/ Klenteng, (melebihi 150 ppb) yaitu sebesar 179.40 ppb. Selajutnya Bubulak 175,20 ppb, Warung Jambu 150,5 ppb dan Pertigaan Jembatan Merah 157,78 ppb. Tetapi di lain sisi, konsentrasi rata-rata NO2 di sampling point lainnya berada di bawah 150 ppb dengan perbedaan yang tidak menyolok dari satu titik ke titik lainnya. Keempat titik tersebut memiliki nilai konsentrasi NOx yang jauh berbeda dengan nilai konsentrasi NO2. Hal ini menunjukkan di daerah-daerah dengan tingkat kepadatan dan kemacetan laiu lintas tinggi cenderung terbentuk NO dalam jumlah cukup signifikan. Tingkat toksisitas NO lebih tinggi bila dibandingkan dengan NO2, walau waktu tinggal NO di udara cukup pendek. Secara keseluruhan tidak terjadi peningkatan konsentrasi NOx dan NO2 yang signifikan antara hasil pemantauan tahun 2000 -2005. Kota Bogor menghasilkan ambien NO2 sebesar 143,5 kg/hari atau setara dengan 52,377 ton/tahun. 4. Sulfur Dioksida (SO2) Gas sulfur dioksida (SO2) adalah gas yang tidak berbau bila berada pada konsentrasi rendah tetapi akan memberikan bau yang tajam pada konsentrasi pekat. Sulfur dioksida berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan batubara. Pembakaran batubara pada pembangkit listrik adalah sumber utama pencemaran SO2. Selain itu berbagai proses industri seperti pembuatan kertas dan peleburan logam-logam dapat mengemisikan SO2 dalam konsentrasi yang relatif tinggi. SO2 adalah kontributor utama hujan asam. Di dalam awan dan air hujan SO2 mengalami konversi menjadi asam sulfur dan aerosol sulfat di atmosfer. Bila
60
aerosol asam tersebut memasuki sistem pernafasan dapat terjadi berbagai penyakit pernafasan seperti gangguan pernafasan hingga kerusakan permanen pada paru-paru. Pencemaran SO2 pada saat ini baru teramati secara lokal di sekitar sumber-sumber titik yang besar, seperti pembangkit listrik dan industri, meskipun sulfur adalah salah satu senyawa kimia yang terkandung di dalam bensin dan solar. Data dari pemantauan kontinu pada jaringan pemantau nasional pada saat ini jarang mendapatkan SO2 sebagai parameter kritis, kecuali pada lokasi-lokasi tertentu. Konsentrasi SO2 di Kota Bogor berkisar antara 2-45 ppb dan di atas baku mutu yang ditetapkan oleh PP Nomor 41 Tahun 1999 sebesar 21 ppb. Walaupun demikian, konsentrasi SO2 yang senantiasa terdeteksi rendah di udara ambien dari tahun ke tahun perlu dicermati karena letak Indonesia yang dilalui khatulistiwa menyebabkan tingkat kelembaban atmosfer wilayah Indonesia cenderung tinggi dan mengakibatkan gas SO2 yang terkandung di udara bereaksi menjadi H2SO4 sehingga tidak terdeteksi sebagai SO2. Kota Bogor menghasilkan ambien SO2 sebesar 31,4 kg/hari atau setara dengan 11,461 ton/tahun. 5. Timbal (Pb) Timbal adalah logam yang sangat toksik dan menyebabkan berbagai dampak
kesehatan
terutama
pada
anak-anak
kecil.
Timbal
dapat
menyebabkan kerusakan sistem syaraf dan masalah pencernaan, sedangkan berbagai bahan kimia yang mengandung timbal dapat menyebabkan kanker. Dimulai di Jabodetabek pada bulan Juli 2001 lalu di Denpasar, Batam dan Cirebon kandungan Pb di dalam bensin telah dihapuskan, yang secara langsung telah menurunkan konsentrasi timbal di udara. Tetapi baru kota-kota tersebut yang mendapatkan pasokan bensin tanpa timbal. Untuk Timbal (Pb) konsentrasi Pb di beberapa wilayah Kota Bogor untuk periode pengukuran tahun 2000-2005 berkisar antara 0,05 - 2,24 µg/m3, dengan konsentrasi Pb untuk keseluruhan kota masih di bawah baku mutu PP. Nomor 41 tahun 1999 (2 (µg/m3), kecuali di Pertigaan Plaza Bogor/Klenteng sebesar 2,24 µg/m3, Pertigaan Tugu Kujang sebesar 2,16 µg/m3 dan Bubulak sekitar 2,03 µg/m3.
61
Pepohonan mampu menurunkan konsentrasi partikel timbal (Pb) yang melayang di udara, karena kemampuannya untuk dapat meningkatkan turbulensi dan mengurangi kecepatan angin. Celah stomata mulut dan yang berkisar antara 2-4 µm atau 10 µm dengan lebar 2-7 µm, maka ukuran partikel timbal yang demikian kecil, rata-rata 2 µm, akan dapat masuk ke dalam daun dengan mudah, serta akan menetap dalam jaringan daun, menumpuk di antara sel jaringan pagar (palisade), dan atau jaringan bunga karang (spongioiis tissue). Kota Bogor menghasilkan ambien Pb sebesar 1,55 kg/hari atau setara dengan 670,14 kg/tahun. Jika ditambahkan dengan partikel (debu) maka Kota Bogor menghasilkan ambien debu sebesar 277,18 kg/hari atau setara dengan 101,17 ton/tahun. Kalau dijumlahkan maka ambien Kota Bogor dari partikel kurang dari 10 mikron sebesar 101,84 ton/tahun Semua hitungan ambien yang dihasilkan oleh Kota Bogor diolah berdasarkan data Hasil Pengujian Kualitas Udara Ambien di Kota Bogor tahun 2005 yang tertuang dalam Master Plan RTH Kota Bogor 2007 yang dikeluarkan oleh BAPPEDA Kota Bogor.
4.1.8
Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor
4.1.8.1 Jenis Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor Ruang Terbuka Hijau di Kota Bogor terdiri dari beberapa jenis pengelompokan yang berbeda-beda. Jenis ruang terbuka hijau yang ada mempunyai manfaat atau fungsi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil kajian dan pendataan,
jenis ruang terbuka hijau yang terdapat di Kota Bogor dengan
mengacu pada Permendagri No. 1 tahun 2007, pasal 6, tentang klasifikasi dan jenis ruang terbuka hijau mencakup 23 jenis, maka ruang terbuka hijau untuk wilayah Kota Bogor hanya masuk pada 13 jenis, diantaranya: 1.
Taman kota;
2.
Taman lingkungan perumahan dan permukiman;
3.
Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial;
4.
Hutan kota;
5.
Kebun raya;
6.
Pemakaman umum;
62
7.
Lapangan olah raga;
8.
Lahan pertanian perkotaan;
9.
Jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET). Rinciannya sebagai berikut:
1.
Taman kota. RTH perkotaan khususnya taman kota (garden city) merupakan motto yang
tertanam dalam benak masyarakat Kota Bogor dari generasi ke generasi dalam rangka menciptakan Kota Bogor yang aman, nyaman dan bersih. Dalam hal ini taman merupakan fasilitas kota yang dibuat sebagai sarana rekreasi, berolahraga, bersosialisasi dan penambahan keindahan visual kota (elemen estetik kota). Taman kota adalah ruang didalam kota yang strukturnya bersifat alami dengan sedikit bagian yang terbangun dan pada dasarnya terdiri dari elemenelemen pohon rindang, semak atau perdu dan tanaman hias yang ditata rapi, bangku taman, jalan setapak, kolam, air mancur, serta tempat bermain anak. Kota Bogor merupakan kota yang memiliki banyak taman yang tersebar di beberapa kecamatan dengan fungsi ekologis, rekreatif, estetis, olahraga terbatas, serta mempunyai tujuan sebagai keindahan, mengurangi pencemaran, meredam kebisingan, memperbaiki iklim mikro, sebagai daerah resapan penyangga sistem kehidupan, kenyamanan. Taman kota mutlak dibutuhkan bagi kota untuk keserasian, rekreasi aktif dan pasif, nuansa rekreatif, terjadinya keseimbangan mental (psikologis) dan fisik manusia, habitat, keseimbangan ekosistem. Luas keseluruhan taman kota baik berfungsi estetika maupun rekreasi di Kota Bogor adalah sebesar 44,02 ha. Taman Kota umumnya dikelola oleh Pemerintah Kota Bogor melalui Dinas Tata Kota dan Pertamanan, luasnya pada tahun 2005 adalah sebesar 1,037 ha. Mencakup Taman Malabar di Kelurahan Tegalega Kecamatan Bogor Tengah dengan luas 5.518 m2 dan Taman Kencana di Kelurahan Babakan Kecamatan Bogor Tengah dengan luasan 4.796 m2. 2.
Taman lingkungan perumahan dan permukiman. Taman lingkungan perumahan dan permukiman merupakan taman dengan
klasifikasi yang lebih kecil dan diperuntukkan untuk kebutuhan rekreasi terbatas yang meliputi populasi terbatas pula.
Berbeda dengan taman kota yang
63
peruntukannya untuk kebutuhan interaksi kota, taman lingkungan diperuntukkan untuk interaksi masyarakat setempat. Taman lingkungan biasanya terletak di sekitar daerah permukiman rekreasi bagi warga kota dalam bentuk suatu “community” dengan luas minimal + 2 ha. Vegetasi yang ada pada taman lingkungan biasanya memiliki patah, perakaran yang tidak mengganggu pondasi,
struktur daun setengah rapat sampai rapat,
berfungsi sebagai penyerap air. Taman lingkungan dapat meningkatkan kesejukan dan kenyamanan lingkungan, meningkatkan kesehatan individu di sekitarnya. Luas taman lingkungan perumahan dan permukiman di Kota Bogor adalah 86,02 ha yang menjadi prasyarat fasilitas sosial dan fasilitas umum dalam membangun suatu kawasan perumahan. Tetapi adapula taman-taman yang dikelola secara swadaya masyarakat pada lingkungan pemukiman sebagai taman privat. 3.
Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial. Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial merupakan taman
dengan klasifikasi yang lebih kecil dan diperuntukkan untuk kebutuhan privat, yang meliputi populasi terbatas pula.
Berbeda dengan taman kota yang
diperuntukkannya untuk kebutuhan interaksi kota, taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial diperuntukkan untuk interaksi pengunjung setempat. Luas taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial di wilayah Kota Bogor adalah 124,77 ha yang tersebar di semua wilayah Kota Bogor, Kantor/ Institut Pertanian Bogor di Jl. Pajajaran, Kantor Balai Penelitian Ternak Hewan di Jl. Pajajaran, Rumah Sakit PMI di Jl. Pajajaran dan Kantor Biotrop di Jl. Raya Tajur. 4.
Kebun Raya Bogor. Kebun Raya Bogor termasuk dalam wilayah administrasi Kota Bogor
berada di Kecamatan Bogor Tengah dengan luas areal sekitar 71,12 ha. Kebun Raya Bogor memiliki fungsi secara ekologis yaitu sebagai suatu sistem penyanggga kehidupan secara ekonomis sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa dan secara sosial sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja terutama bagi masyarakat sekitar Kebun Raya Bogor untuk kegiatan pariwisata. 5.
Ruang terbuka hijau sempadan sungai, kawasan waduk, situ, danau dan
64
mata air. Ruang terbuka hijau sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri dan kanan sungai termasuk sungai buatan atau saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai dan mengamankan aliran sungai dan dikembangkan sebagai area penghijauan. Lanskap sempadan sungai merupakan kawasan perbatasan yang tidak saja penting secara ekologi karena kekayaan jenisnya atau fungsinya sebagai koridor alami tetapi juga potensial dikembangkan sebagai kawasan rekreasi karena memberikan kenyamanan. Ruang terbuka hijau kawasan sempadan sungai juga mempunyai fungsi sebagai kawasan lindung.
Ruang terbuka hijau sempadan
sungai diantaranya ditemui di daerah aliran Sungai Ciliwung dan Cisadane yang merupakan aliran sungai besar yang melewati Kota Bogor. Jenis-jenis tanaman pada kawasan sempadan sungai adalah untuk jenis kayu-kayuan seperti mahoni (Swietenia
mahagoni),
matoa
(Pametia
pinnata),
angsana
(Pterocarpus
moluccana), dan untuk jenis multi purpose tree species yaitu kemiri (Aleurites moluccana), bamboo (Bambusa bamboos), sukun (Artocarpus elasticus), dan durian (Durio zibethinus). Ruang terbuka hijau kawasan waduk, situ, danau dan mata air adalah kawasan hijau dan penghijauan yang berada pada area sempadan yang mengelilingi wadah air tersebut. Situ sebagai salah satu jenis lahan basah (umumnya berair tawar) dengan sistem perairannya yang tergenang. Situ dapat terbentuk
secara
alami
karena
kondisi
topografi
yang
memungkinkan
terperangkapnya sejumlah air yang berasal dari dibendungnya cekungan (basin). Waduk adalah wadah air bautan, yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur sungai atau daratan yang diperdalam sedangkan daerah sekitar mata air adalah daerah sempadan kawasan tertentu di sekeliling. Disepanjang kiri dan kanan diatas dan dibawah sumber mata air yang berfungsi untuk melingdungi mata air dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi mata air tersebut. Ruang terbuka hijau di kota Bogor terdapat di beberapa tempat diantaranya Situ Gede, Danau Bogor Raya, dan Situ didalam Perumahan Rancamaya. Secara keseluruhan luas Ruang Terbuka Hijau Sempadan Sungai, Kawasan Waduk, Situ,
65
Danau dan Mata Air adalah seluas 181,79 ha. 6.
Kawasan hijau bentang alam. Ruang terbuka hijau kawasan hijau dan bentang alam adalah ruang/ alam
terbuka (outdoor recreation) tanpa dibatasi oleh suatu bangunan yang berhubungan dengan lingkungan dan berorientasi pada fungsi, pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan, pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara, tempat perlindungan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, pengendali tata air, dan sarana estetika kota. Di Kota Bogor ruang terbuka hijau bentang alam terdiri dari bentang alam lereng dan lembah yang tersebar di seluruh wilayah Kota Bogor terutama untuk wilayah Kecamatan Bogor Selatan. Luas ruang terbuka hijau bentang alam di Kota Bogor adalah seluas 1.974,79 ha. Tingkat sebaran kawasan hijau di Kota Bogor terdapat di wilayah Kecamatan Bogor Selatan dengan jenis kawasan hijau yang terindetifikasi di Kota Bogor, diantaranya adalah : tegalan di lembah sungai Cisadane, tegalan di bukitbukit yang berkontur diatas 30 % serta kebun-kebun campuran masyarakat. 7.
Jalur hijau (jalur pengaman jalan, median jalan, rel KA dan pedestrian). Jalur pengaman jalan ini merupakan jalur penempatan tanaman beserta
lanskap lainnya yang terletak di daerah milik jalan (damija) maupun di daerah pengawasan jalan (dawasja). Ruang terbuka hijau jalur jalan mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai pengendali polusi udara seperti untuk peredam debu, CO2, SO2, Pb dan partikel padat. Fungsi lainnya adalah untuk peneduh bagi pejalan kaki, pengendali visual dan estetika. Ruang terbuka hijau jalur jalan di Kota Bogor berada pada jalan utama di Pusat Kota seperti jalan Pajajaran, jalan Pakuan, sebagian sudah tertata sesuai dengan fungsinya. Tanaman pada jalur jalan di Kota Bogor adalah dengan jenis kayu, perdu, semak dan ground cover. Ruang terbuka hijau jalur pengaman jalan dapat dibagi lagi menjadi : a.
Ruang terbuka hijau jalur pejalan kaki, jalur ini merupakan jalur yang digunakan oleh pejalan kaki mulai dari titik awal perjalanan hingga titik tujuan perjalanan yang cukup untuk diakomodasikan bagi beban lalu lintas pejalan kaki terutama pada periode puncak penggunaan.
b.
Taman pulau jalan (traffic island) taman dalam kota yang terdapat di tengah
66
persimpangan jalan. c.
Taman sudut jalan (pocket park) taman kantong yang terdapat disisi persimpangan jalan. Luas ruang terbuka hijau jalur pengaman jalan, median jalan, Rel KA
dengan pedestrian di wilayah kota Bogor adalah 138,29 ha yang tersebar sesuai dengan pola jaringan jalan yang terdapat di Kota Bogor. 8.
Hutan Kota. Hutan kota adalah suatu lahan yang bertumbuhan pohon-pohon didalam
wilayah perkotaan didalam tanah Negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai esterika dan dengan luasan yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohon-phonan serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sebagai hutan kota. Hutan di Kota Bogor berada di Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat dengan luas 57,62 ha dengan nama Hutan Kota CIFOR.
Pengelolaannya dilakukan Departemen Kehutanan yang
mempunyai wewenang untuk pengelolaan dan pemeliharaan. Hutan Kota yang ada mempunyai fungsi sebagai konservasi dan sarana penelitian serta pendidikan. Fungsi lainnya adalah memberikan manfaat untuk menghasilkan iklim yang sejuk secara mikro. Hutan kota ini juga dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. 9.
Ruang terbuka hijau pemakaman. Tempat pemakaman umum adalah ruang terbuka yang ditujukan untuk
penyediaan lahan bagi pekuburan masyarakat. Sebagai lahan pekuburan, biasanya memiliki ruang terbangun yang tidak terlalu luas dan lahan sisanya ditanami berbagai jenis tanaman atau pepohonan baik itu untuk alasan sejarah, pendidikan maupun keindahan. Terdapat tiga jenis pemakaman yaitu: 1) Taman pemakaman umum (TPU); 2) Taman pemakaman bukan umum (Taman makam pahlawan); 3) Taman pemakaman khusus (pemakaman keluarga, tokoh dll) berfungsi sebagai fasilitas umum untuk tempat pemakaman warga. Fungsi lainnya adalah sebagai peneduh dan mempunyai fungsi sebagai ruang terbuka hijau secara umum. Jumlah luasan pemakaman umum secara keseluruhan di Kota Bogor adalah seluas 126,71 ha baik yang dikelola pemerintah maupun makam-makam keluarga atau bagian dari hibah masyarakat.
67
10.
Kawasan lahan pertanian perkotaan. Kawasan pertanian perkotaan termasuk didalamnya kawasan sawah, kebun,
semak belukar dan tegalan merupakan kawasan yang dikelola sebagian besar oleh penduduk dan sebagian lagi masih belum dikelola. Bentuk ruang terbuka hijau ini menyebar hampir disemua kecamatan Kota Bogor selain kecamatan yang berada di pusat kota. Luas keseluruhan lahan pertanian perkotaan di Kota Bogor Selatan seluas 1.053.83 ha, dan Kecamatan Tanah Sareal seluas 623,65 ha. Kawasan lahan pertanian perkotaan tersebut meliputi : a.
Kebun seluas 564,47 ha.
b.
Ladang seluas 421,10 ha.
c.
Ruang terbuka hijau (kebun percobaan Ciomas) seluas 18,97 ha.
d.
Sawah seluas 2.112,71 ha.
11.
Kawasan lapangan olah raga. Ruang terbuka olahraga merupakan ruang terbuka yang dimanfaatkan untuk
melakukan aktivitas olahraga.
Dalam hal ini termasuk didalamnya lapangan
olahraga kota yang bersifat terbuka (tanpa tutupan bangunan atau perkerasan), seperti : a.
Lapangan sepakbola.
b.
Lapangan softball/ baseball.
c.
Lapangan atletik.
d.
Pacuan kuda. Kawasan lapangan olahraga mempunyai fungsi umumnya sebagai fasilitas
umum bagi aktifitas warga kota khususnya dalam kegiatan fisik bidang olahraga untuk kesehatan dan memberikan nilai rekreatif. Selain itu kawasan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi dan sosialisasi untuk menjaga keseimbangan mental dan fisik. Kawasan lapangan olahraga yang ada di Kota Bogor diantaranya komplek lapangan olahraga GOR Pajajaran, lapangan olahraga Sempur, lapangan olahraga Indraprasta, Empang, Pulo, lapangan bola Heulang, lapangan golf Bogor, Jumlah luasan kawasan olahraga di Kota Bogor adalah seluas 151,79 ha. 12.
Jalur hijau SUTET. Ruang terbuka hijau jalur hijau SUTET adalah ruang terbuka yang
68
dimanfaatkan untuk melakukan pengamanan dan pengendalian jaringan listrik tegangan tinggi. Luas ruang terbuka hijau jalur hijau SUTET di Kota Bogor adalah 14,36 ha yang melintas di beberapa wilayah kecamatan yaitu kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Bogor Utara serta Kecamatan Bogor Selatan.
4.1.8.2 Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Fungsinya. Fungsi penting ruang terbuka hijau ini sangat lebar spektrumnya yaitu dari aspek fungsi ekologis, sosial/ budaya, estetika/ arsitektural dan ekonomi. Secara ekologis ruang terbuka hijau dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan menurunkan suhu kota tropis yang panas terik.
Bentuk-bentuk ruang terbuka hijau perkotaan yang berfungsi ekologis
antara lain seperti sabuk hijau kota, taman hutan kota, taman botani, jalur sempadan sungai dan lain-lain. Secara sosial budaya keberadaan ruang terbuka hijau dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi dan sebagai landmark kota yang berbudaya.
Bentuk ruang terbuka hijau yang
berfungsi sosial budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olahraga, kebun raya, TPU dan sebagainya.
(Sumber : Departemen Pekerjaan Umum)
Gambar 04. Tipologi RTH
69
Secara estetika/ arsitektural ruang terbuka hijau dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaaan taman-taman kota, kebunkebun bunga dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu ruang terbuka hijau juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan. Identifikasi tahun 2007 menunjukkan bahwa di Kota Bogor sebagian ruang terbuka hijau sebagai fungsi ekonomi yaitu seluas 3.059,76 ha atau 25,82% yang umumnya adalah lahan pertanian perkotaan dan fungsi ekololgi seluas 2.665,48 ha atau 22,39 % selebihnya adalah fungsi sosial seluas 269,66 ha atau 2,28 % dan fungsi estetika seluas 55,77 ha atau 0,52 % 1.
Fungsi Ekologis, merupakan fungsi ruang terbuka hujau yang memberikan perlindungan terhadap manusia dan lingkungannya yang terdiri dari ; a. Fungsi orologis, memberikan manfaat orologis yang penting untuk mengurangi tingkat kerusakan tanah, terutama longsor dan menjaga kestabilan tanah. b. Fungsi klimatologis, menekankan bahwa fungsi ruang terbuka hijau dapat mempengaruhi faktor-faktor iklim. c. Fungsi hygienis, ruang terbuka hijau mampu memberikan lingkungan yang lebih sehat bagi manusia. d. Fungsi kesehatan individu, fungsi kesehatan masih berhubungan erat dengan manfaat hygienis dimana manfaat ini merupakan manfaat kelanjutan yang ditimbulkannya. Di wilayah Kota Bogor, ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi ekologis
terbagi kedalam 1 jenis ruang terbuka hijau dengan luasan total sebesar 2.577,77 ha, diantaranya Hutan Kota CIFOR. 2.
Fungsi sosial,
merupakan ruang terbuka hijau sebagai sarana interaksi
sosial masyarakat dengan lingkungan sosial sekitarnya yang terdiri dari : a. Fungsi edukatif, komponen ruang terbuka hijau dapat memberikan pendidikan dan pengenalan terhadap makhluk hidup disekitarnya. b. Fungsi interaksi masyarakat, komponen ruang terbuka hijau dapat menjadi
70
tempat berinteraksi antara masyarakat sehingga menambah jalinan sosial diantaranya. c. Fungsi protektif, komponen ruang terbuka hijau dapat memberikan perlindungan kepada manusia. d. Fungsi spiritual, fungsi spiritual yang dimaksud lebih ditekankan kepada fungsi suatu kawasan ruang terbuka hijau yang dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan spiritual atau keagamaan atau dapat juga berupa tempat yang dikeramatkan. Di wilayah Kota Bogor, ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi sosial terbagi kedalam 4 jenis ruang terbuka hijau dengan luasan total sebesar 269,66 ha, diantaranya pemakaman umum (TPU). 3.
Fungsi Estetis, merupakan fungsi ruang terbuka hijau sebagai komponen keindahan kota atau lingkungan hidup manusia. Fungsi ini terdiri dari : a. Fungsi visual atau vista, fungsi visual lebih menekankan kepada visualitas, estetis ruang terbuka. b. Fungsi tabir atau screening, fungsi ini terkait dengan kemampuan ruang terbuka hijau untuk menyaring partikel-partikel yang dapat mengganggu kehidupan manusia, seperti partikel debu, bau, angin yang terlalu kencang dan lainnya. c. Fungsi identitas kota, suatu taman kota atau ruang terbuka hijau mampu menjadi identitas (landmark) suatu kota. Di wilayah Kota Bogor, ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi estetika
terbagi kedalam 5 jenis ruang terbuka hijau dengan luasan total sebesar 55,77 ha, diantaranya Taman Kencana. 4.
Fungsi ekonomi, keberadaan ruang terbuka hijau tidak selalu memiliki nilai ekonomi yang selalu rendah, naman keberadaan ruang terbuka hijau juga mampu meningkatkan nilai lahan karena suasana lingkungan yang tercipta akibat keberadaannya yaitu : 1) meningkatkan harga lahan; 2) mengurangi biaya penanganan bencana; 3) mampu menjadi ruang untuk mata pencaharian kota. Di wilayah Kota Bogor, ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi ekonomi
terbagi kedalam 3 jenis ruang terbuka hijau dengan luasan total sebesar 61,13 ha,
71
diantaranya kawasan hijau untuk pengembangan perumahan yang tersebar diseluruh wilayah kecamatan Kota Bogor.
4.1.8.3. Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Kepemilikannya Dari segi kepemilikan ruang terbuka hijau dapat berupa ruang terbuka hijau publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau ruang terbuka hijau privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi. a.
Ruang terbuka hijau milik pribadi atau masyarakat misal: halaman rumah tinggal, tempat ibadah, tanaman atau pohon non pertanian yang terdapat di sekitar permukiman.
b.
Ruang terbuka hijau badan hukum atau lembaga umumnya dimiliki oleh departemen misal sekolah atau kampus, lembaga penelitian, bandara, pelabuhan, stasiun.
c.
Ruang terbuka hijau badan hukum swasta, perkantoran, hotel, rumah sakit, kawasan perdagangan (pertokoan,
rumah makan) kawasan industri dan
lahan pertanian kota. d.
Ruang terbuka hijau milik umum atau pemerintah yaitu lahan dengan tujuan penggunaan utamanya adalah ditanami berbagai jenis tumbuhan untuk memelihara fungsi lingkungan, yang dikelola pemerintah daerah dan dapat dipergunakan masyarakat umum, seperti taman rekreasi, taman olahraga, taman kota, taman pemakaman umum, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, saluran umum tegangan ekstra tinggi (SUTET), bantaran kali, hutan tempat koleksi dan penangkaran flora dan fauna.
4.2.
Kependudukan Kota Bogor Jumlah Penduduk Kota Bogor Tahun 2006 adalah 879.138 jiwa, dengan
persebaran di kecamatan Bogor Selatan 170.909 jiwa (19,44%), Kecamatan Bogor Timur 89.237 jiwa (10,15%), Kecamatan Bogor Utara 253.843 jiwa (17,50%) Kecamatan Bogor Tengah 106,175 jiwa (12,07%), Kecamatan Bogor Barat 195.808 jiwa (22,27%), dan Kecamatan Tanah Sereal 163.266 jiwa (18,57%). Persebaran penduduk tertinggi di Kota Bogor pada tahun 2006 berada di
72
Kecamatan Bogor Barat mencapai 22,27% dari jumlah penduduk Kota Bogor. Sementara persebaran terendah terdapat pada Kecamatan Bogor Timur sebesar 89.237 atau 10,15% (Tabel 03) Tabel 03. Jumlah dan Persebaran Penduduk Kota Bogor Menurut Kecamatan Tahun 2007 No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6
Kec. Bogor Selatan Kec. Bogor Timur Kec. Bogor Utara Kec. Bogor Tengah Kec. Bogor Barat Kec. Tanah Sereal Kota Bogor
Jumlah Rumah Tangga (KK) 39.050 18.598 35.187 24.256 41.753 35.517 194.357
Jumlah Penduduk (Jiwa) 170.909 89.237 153.843 106.075 195.808 163.266 879.138
Sebaran (%) 19.44 10.15 17.50 12.07 22.27 18.57 100.00
Sumber : Kota Bogor dalam angka dan hasil perhitungan tahun 2007
4.3
Perekonomian Kota Bogor
4.3.1 Struktur Perekonomian Kota Bogor Dalam kurun waktu 1993-2006, kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor atas dasar harga berlaku yang
memperlihatkan
kecenderungan
terus
meningkat
adalah
sektor
perdagangan, hotel, dan restoran dan industri. Sektor pengangkutan dan komunikasi memperlihatkan kontribusi yang stabil, sedangkan sektor lainnya cenderung menurun. Dalam kurun waktu tersebut, kontribusi sektor industri meningkat dari 20,74% pada tahun 1993 menjadi 24,13% pada tahun 2006. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran adalah sebesar 28,75% pada tahun 1993 kemudian menjadi 41,08%. Data PDRB dari tahun 1993-2006 memperlihatkan bahwa komponen penyumbang PDRB Kota Bogor terbesar adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan persentase per tahunnya mencapai kisaran 28,75-41,08% terhadap PDRB. Sektor industri pengolahan menempati posisi kedua kontribusinya terhadap PDRB Kota Bogor dengan rata-rata kontribusi per tahun 20,74-24, (Tabel 04).
73
Tabel 04. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2000-2005 Sektor
PDRB Berdasarkan Harga Berlaku (juta rupiah) 2000
2001
2002
2003
2004
2005
10.230,37
11.618,91
12.825,02
14.407,94
16.082,64
17.822,53
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
732.433,05
803.241,57
877.304,71
963.909,96
1.059.780,05
1.461.302,82
80.503,06
3.288.692,65
98.914,81
111.528,88
126.355,83
143.978,23
Bangunan/Konstruksi
219.288,08
244.057,01
270.851,79
309.711,25
348.953,91
393.350,16
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
766.819,49
945.057,97
1.034.215,20
1.140.000,29
1.263.180,08
2.597.085,00
249.620,49
289.416,22
344.316,94
387.186,05
423.701,76
641.123,70
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan
299.538,60
341.241,47
393.579,17
450.065,63
514.521,29
618.4%, 92
Jasa-Jasa
213.172,36
230.821,17
250.210,79
268.823,99
290.147,48
318.759,54
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih
Pengangkutan dan Komunikasi
Sumber : Kota Bogor dalam angka tahun 2000- 2005
4.3.2 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Kota diamati dari tiga periode yang berbeda, yaitu: 1993-1998, 2000-2004, 2002-2006. Hal ini mengingat adanya perbedaan harga konstan dari data PDRB yang diperoleh. Pada periode 1993-1998, ekonomi Kota Bogor mengalami pertumbuhan sebesar 6,42% yang didukung oleh sektor-sektor yang tumbuh tinggi seperti industri pengolahan (18,38%) serta listrik, gas dan air bersih (9,19%). Dalam periode 2000-2004, pertumbuhan ekonomi Kota Bogor mencapai 5,91%. Pertumbuhan ini didukung sektor-sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan tinggi seperti industri pengolahan (6,53%); listrik, gas dan air bersih (6,94%), pengangkutan dan komunikasi (7,18%); keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (9,58%). Selanjutnya, pada periode 2002-2006, perekonomian Kota Bogor tumbuh sebesar 6,08 %. Pertumbuhan ekonomi pada periode ini ditopang oleh sektorsektor ekonomi yang tumbuh tinggi seperti industri pengolahan (6,38%); listrik, gas dan air bersih (6,94%); pengangkutan dan komunikasi (6,99%); keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (9,91%).
74
Tabel 05. PDRB Bogor Berdasarkan Harga Konstan Dan Laju Pertumbuhan Ekonomi 2002-2006 (juta rupiah) Uraian
2002
Pertaniian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan* Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan Jasa-jasa
2003
2004
2005*
Laju Pert. (%)
2006**
11.094,84
11.642,98
12.193,68
12.716,02
11.723,85
1,54
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
827.318,66
881.718,49
940.062,95
1.002,371,58
1.059.336,89
6,38
91.743,05
98.132,83
105.087,61
112.491,07
119.970,03
6,94
234.466.55
244.414,67
255.205,11
266.037,24
276.736,82
4,23
949.697,09
988.571,26
1.029.072,27
1.071.266,44
1.140.875,92
4,70
281.187,90
301.110,33
322.575,82
344.684,12
368.420,39
6,99
358.608,64
398.668,99
441.570,29
489.525,23
522.979,72
9,91
232.720,65
243.925,99
255.671,20
268.139,21
282.230,09
4,94
Sumber : Kota Bogor Dalarn Angka tahun 2002-2005 dan tahun 2005* hasil Perhitungan serta 2006 **) Angka perbaikan
Tabel 06. PDRB Kota Bogor Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000-2004 (juta rupiah)
Pertanian, Petemakan, Kehutanan, dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan/Konstruksi
Pertumbuhan
Nilai PDRB (Dalam Juta Rupiah)
Sektor
2000 10.230,25
2001 10.755,13
2002 11.094,84
2003
2004
11.642,98
12.212,03
(%) 4,53
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
732.433,95
779.846,18
872.318,66
881.718,49
941.005,62
6,53 6,94
80.503,06
85.758,27
91.743,04
98.188,08
105.293,90
219.288,08
227.279,58
234.466,55
244.414,67
255.205,11
3,87
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
866.819,47
908.410,21
950.189,34
988.571,26
1.030.723,00
40,43
Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
249.621,47
264.303,31
282.798,77
307.363,48
329.374,45
7,18
299.538,60
325.512,18
356.505,52
392.415,83
431.911,40
9,58
213.172,35
221.565,31
232.720,65
243.925,99
255.860,62
4,67
Sumber : Kota Bogor Dalam Angka tahun 2002-2006 dan hasil perhitungan 2006
4.3.3 Daya Beli Masyarakat dan Pendapatan Per Kapita Salah satu komponen sosial kependudukan adalah Purchasing Power Parity (PPP) atau kemampuan daya beli masyarakat yang diukur berdasarkan konsumsi per kapita riil. PPP adalah suatu alat ukur yang menggambarkan tingkat keberdayaan masyarakat didalam memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan
konsumsi
riilnya,
tanpa
memperhatikan
asal
atau
sumber
penerimaannya, apakah itu berupa pemberian atau hasil pendapatannya. Oleh karena itu, PPP merupakan alat ukur yang dianggap lebih mewakili tingkat kesejahteraan penduduk sesuai dengan pola, kebiasaan dan kemampuan untuk
75
dapat mengakses setiap tingkatan kebutuhan berdasarkan kemampuannya. Usaha untuk meningkatan kemampuan daya beli penduduk ini bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena kemampuan daya beli seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian wilayah seperti inflasi. Namun, tetap harus diupayakan peningkatannya dengan memperhatikan faktor-faktor pendukungnya seperti meningkatkan produktivitas dengan meningkatkan PDRB per kapita, pendidikan yang meliputi persentase penduduk tamat SLTA atau lebih tinggi, penyediaan lapangan pekerjaan yang dapat menampung angkatan kerja. Tabel 07. Purchasing Power Parity (PPP) per Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2000-2006 (dalam ribu rupiah) Kecamatan Bogor Selatan
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
525,77
525,43
530,32
529,79
533,26
534,43
529,72
Bogor Timur
535,26
535,39
556,37
555,63
551,60
552,81
563,09
Bogor Utara
527,78
535,50
531,76
554,94
567,77
569,01
571,37
Bogor Tengah
538,75
543,76
553,19
554,10
553,70
554,91
556,40
Bogor Barat
540,84
544,80
549,42
534,66
548,13
549,33
550,97
Tanah Sareal
539,86
567,51
557,69
553,63
565,58
566,82
561,89
Kota Bogor
535,40
541,80
549,50
552,61
552,82
554,03
554,42
Sumber : BPS Kota Bogor tahun 2000-2006
Nilai PPP per kecamatan tinggi rendahnya sangat bervariasi setiap tahunnya, nilai PPP yang terendah dibandingkan dengan kecamatan lain di Kota Bogor dalam kurun waktu 2000-2006 adalah Kecamatan Bogor Selatan, demikian juga pada tahun 2006, Kecamatan Bogor Selatan yang paling rendah nilai PPP-nya. Sedangkan, nilai PPP tertinggi pada tahun 2000 adalah Kecamatan Bogor Barat dan pada tahun 2001 dan 2002 adalah Kecamatan Tanah Sareal, pada tahun 2003 Kecamatan Bogor Timur dan tahun 2004 sampai 2006 nilai PPP tertinggi adalah Kecamatan Bogor Utara (Tabel 15). Daya beli masyarakat dapat juga dikorelasikan dengan pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita berdasarkan harga konstan Tahun 2002 adalah sebesar Rp 3.783.570,24 (Rp 315.297,52/bulan) pada Tahun 2002 dan kemudian meningkat menjadi Rp 4.302.254,60 (Rp 358.521,22/bulan) pada Tahun 2006. Angka-angka ini menunjukkan bahwa produktivitas penduduk masih rendah yang selanjutnya juga akan berimplikasi pada rendahnya daya beli
76
masyarakat. 4.3.4 Sektor Informal Sektor informal berupa pedagang kaki lima tersebar di sekitar tempattempat ramai pejalan kaki atau jalur angkutan kota seperti pada sejumlah jalan utama , sekitar pasar-pasar tradisional, terminal, dan stasiun. Jalan utama yang banyak terdapat pedagang kaki lima adalah Jalan Raya Pajajaran, Jalan Raya Tajur, Jalan Suryakencana, Jalan Merdeka, dan Jalan MA Salmun. Pasar-pasar tradisional yang di sekitarnya banyak pedagang kaki lima adalah Pasar Anyar, Pasar Bogor, Pasar Kemang, Pasar Gunung Batu, Pasar Pamoyanan, Pasar Mekarwangi, Pasar Bubulak. Pedagang kaki lima pada setiap lokasi tersebut di atas umumnya adalah penjual makanan, kios rokok, penjual pakaian dan aksesori, penjual barangbarang kerajinan, penjual sayuran dan Iain-lain. Pedagang kaki lima sebagian ada yang menetap dan sebagian lagi bergerak atau berpindah-pindah tempat mengikuti titik-titik keramaian. 4.3.5 Pola Investasi Menurut data perkembangan industri, tenaga kerja, dan investasi di Kota Bogor tahun 1997-2005, penyerapan jumlah tenaga kerja terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah industrinya. Berbeda dengan nilai investasi yang meskipun terjadi peningkatan yang stabil dalam jumlah industri, penurunan justru terjadi pada tahun 1999 dan 2001 (Tabel 08, label 09). Tabel 08. Perkembangan Industri, Tenaga Kerja, dan Investasi di Kota Bogor Tahun 1997-2003 Tahun
Jumlah Unit Usaha
Jumlah Investasi (Juta rupiah)
Jumlah Tenaga Kerja
1997
2.002
233.368
32.695
1998
2.064
236.134
34.312
1999
2.131
228.688
31.849
2000
2.425
255.416
37.910
2001
2.568
338.045
42.205
2002
2.654
346.153
43.131
2003
2.713
357.195
43.608
Sumber : Dinas Perindagkop Kota Bandung, Kota Bogor dalam angka tahun 1997-2005
77
Tabel 09. Rekapitulasi perkembangan perdagangan, tenaga kerja, investasi, dan nilai ekspor di Kota Bogor tahun 1999-2003 Tahun
Jumlah Unit Usaha
1999
10.817
2000 2001 2002 2003
Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah Investasi (Juta rupiah)
Jumlah Ekspor (US$)
17.450
38.987
65.272.546
13.268
22.024
40.799
81.779.697
16.176
24.337
71.382
90.088.619
18.216
27.135
81.324
105.348.959
18.589
27.971
87.551
110.982.391
Sumber : Dinas Perindagkop Kota Bandung, Kota Bogor dalam angka tahun 1999 -2005
4.3.6 Identifikasi Sektor-sektor Unggulan Kota Bogor Sektor-sektor unggulan yang ada di Kota Bogor diantaranya adalah sektor industri, sektor pertanian, sektor peternakan, dan sektor perikanan. 1.
Industri Cabang industri terbagi dua, yaitu Industri kimia, agro, dan hasil
hutan serta industri logam, mesin, elektronika, dan aneka. Pada tahun 2004, kegiatan industri melibatkan 2.767 unit usaha dengan 45.736 orang tenaga kerja untuk semua cabang industri. Kegiatan bidang industri di Kota Bogor terus mengalami peningkatan sejak tahun 1999-2004. Unit usaha tebesar setiap tahunnya adalah industri kecil non formal untuk cabang industri kimia, agro, dan hasil hutan. 2. Perdagangan Berdasarkan data jumlah realisasi volume ekspor non migas menurut jenis komoditas di Kota Bogor tahun 1996-2005, dari 23 item jenis komoditas ekspor non-migas Kota Bogor, jenis komoditas meubeul akar, batu taman, relief table, tanaman hias merupakan komoditas non-migas yang volume ekspornya relatif stabil selama 10 tahun terakhir. Mekipun sempat mengalami penurunan yang tajam pada tahun 1997-2002, volume ekspor sangat signifikan peningkatannya dalam tiga tahun berikutnya. Disusul oleh komoditas pakaian jadi (garmen) yang dalam 9 tahun, volumenya terus meningkat dalam periode tahun 1997-2005. Jenis komoditas yang masih menjadi andalan ekspor Kota Bogor dalam
78
tahun 2001-2005 adalah minuman diet, ikan hias, furniture, tekstil, bordiran, garmen, ban, dan boneka. Dalam kurun waktu 1996-2005, nilai ekspor Kota Bogor terus meningkat hingga tahun 2001. Pada tahun 2002 terjadi penurunan hingga 76% dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian meningkat lagi secara signifikan pada tahun berikutnya (2003) hingga 90,5%. Dua tahun berikutnya, pada 2005, terjadi penurunan yang tajam dari tahun sebelumnya sebesar US$ 110.982.391 menjadi US$ 18.230.000 atau 83,6% nya. Dari data Jumlah realisasi nilai ekspor nonmigas menurut jenis komoditas di Kota Bogor tahun 1996-2005, dalam 10 tahun, nilai ekspor tertinggi adalah komoditas garmen sebesar US $ 445.419.562. Kemudian komoditas ban dengan nilai sebesar US $ 127.390.685 lantas disusul oleh komoditas tekstil senilai US$ 111.750.879. 4.3.7 Sektor Ekonomi Lainnya 1.
Pertanian Jenis tanaman pertanian yang ada di Kota Bogor di antaranya tanaman sayuran, buah-buahan, tanaman obat, dan tanaman hias. Total luas tanam, luas panen, dan produksi tanaman sayuran tahun 1996 sampai tahun 2005 cenderung mengalami peningkatan. Total luas tanam sayuran tahun 2005 adalah 839,75 ha, dengan luas panen 1.009 ha, serta produksi 9.958,33 ton. Produksi terbesar tahun 2005 adalah kacang panjang, dengan produksi mencapai 2.131,42 ton. Sedangkan produksi terkecilnya adalah tanaman Wortel, Bawang Daun, Katuk, Caysin, karena sejak tahun 2004, tanamantanaman sayuran tersebut sudah tidak ditanam lagi. Total produksi buah-buahan di Kota Bogor tahun 2005 mencapai 487,80 ton, dengan produksi terbesarnya adalah buah pisang sebesar 146,00 ton. Produksi tanaman obat-obatan di Kota Bogor tahun 2005 terbesar adalah tanaman jahe, dengan jumlah produksi mencapai 10,80 ton. Total produksi tanaman obat-obatan pada tahun 2005 adalah 76,65 ton.
2.
Peternakan Ternak besar dan ternak kecil yang ada di Kota Bogor di antaranya adalah sapi perah, sapi potong, kerbau, kuda, kambing, domba, ayam kampung,
79
ayam ras petelur, ayam ras potong, dan itik. Jumlah ternak terbanyak pada tahun 2005 adalah ayam kampung, yaitu sebanyak 720.727 ekor, dengan penghasil terbesarnya adalah Kecamatan Bogor Barat (197.304 ekor ayam kampung). Kulit dan daging ternak besar dan kecil di Kota Bogor Tahun 1996 -2005 tidak selalu produksi. Pada tahun 1996, 1997, 2000, 2001, 2002, dan 2003 hanya beberapa ternak yang berproduksi. 3. Perikanan Jumlah rumah tangga petani ikan kolam air tenang di Kota Bogor adalah 690, dengan produksi pembenihan 11.701.500 ekor dan produksi pembesaran 1.423.555 kg. Produksi pembenihan terbesar terdapat di Kecamatan Bogor Utara, dengan produksi pembenihan 5.500.000 ekor. Sementara produksi pembesaran terbesar terdapat di Kecamatan Tanah Sareal, dengan produksi 732.700 kg.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Analisis GIS Distribusi penutupan lahan Kota Bogor pada tahun 2006 (quickbird tahun 2006) dapat diketahui dan dianalisis. Dari data spasial dan data atribut yang di analisis dengan metode GIS menggunakan ArcView 3.2 serta ekstensi CITYgreen 5.4 didapat hasil sebagai berikut : A. Site Statistic -
Analisis Area
: Kota Bogor
-
Scenario
: Current Condition
-
Area
: 45,75 sq. miles = 29.280,95 acre = 11.850,00 hectares
Landcover Distribution : -
Cropland
: 8% (2,436.41 acre)
-
Impervious
: 28% (8,305.41 acre)
-
Open Space/Pasture/Meadaw : 18% (5,219.66 acre)
-
Shrubs
: 5% (1,.364.36 acre)
-
Tree Canopy
: 17% (4,954.95 acre)
-
Urban Land Use
: 49% (14,351.74 acre)
-
Water
: 2 % (545.20 acre)
B. Ecological Benefits 1. Air Pollution Removal : -
Quality Reference City : Atlanta
-
Ozone
: 199.437 lbs or $612,035
-
Sulfur Dioxide
: 32,158 lbs or $24,180
-
Nitrogen Dioxide
: 66,149 lbs or $203,004
-
Particulate Matter
: 159,698 lbs or $327,274
-
Carbon Monoxide
: 13,676 lbs or $5,946
-
Total
: 471,676 lbs or $1,172,440
2. Carbon Storage and Seguestration -
Age Distribution of Tree
: Even Mix
82
-
Carbon Storage
: 267.220 tons
-
Carbon Seguestration
: 758 tons/year
3. Stormwater Control -
Average 2-yr, 24 hour Rainfall : 3,5 in
-
Curve Number Run Off (in) : 1.57 (current) 2.10 (w/o tree)
-
Storage volume needed to mitigate the change in peak flow : 4,446,664.79 (cu.ft) Construction Cost : $ 2.00 per cu.ft
-
Total $ 48,893,329.59
4. Residental Cooling Effects : Not available C. Econimic Benefit Summary -
Annual Air Polutan Removal Saving
: $1,172,440
-
Annual Energi Saving
: $0
-
Annual Stormwater Saving
: $4,262,743
-
Total Annual Saving
: $5,435,183
Dari hasil analisis menggunakan Arcview 3.3 dan ekstensi CITYgree 5.4 dapat diartikan sebagai berikut : A. Statistik Tapak -
Area analisis
: Kota Bogor
-
Skenario
: Kondisi tertentu
-
Area
: 45,75 mil2 = 29.280,95 acre = 11.850,00 ha
Distribusi Penutupan Lahan : -
Tanaman Pangan/ Pertanian
: 8% (985,99 ha)
-
Lahan Kedap Air
: 28% (3.361,11 ha)
-
Ruang Terbuka/ Padang Rumput
: 18% (2.112,34 ha)
-
Semak
: 5% (551,99 ha)
-
Kanopi Pohon
: 17% (2.005,21 ha)
-
Lahan Perkotaan
: 49% (5.807,70 ha)
-
Badan Air
: 2 % (220,63 ha)
B. Manfaat Ekologi 1. Polusi Udara yang dapat diserap : Standar Kualitas Udara
: Atlanta
Polusi Udara yang dapat diserap
:
83
-
Ozone : 90.463 kg atau senilai $612,035 setara dengan Rp 5.875.536.000,-
-
Sulfur Dioxide : 14.599 kg atau senilai $24,180 setara dengan Rp 232.128.000,-
-
Nitrogen Dioxide : 14.587 kg atau senilai $203,004 setara dengan Rp 1.948.838.400,-
-
Particulate Matter : 72.438 kg atau senilai $327,274 setara dengan Rp 3.141.830.400,-
-
Carbon Monoxide : 6.203 kg
atau senilai $5,946 setara dengan Rp
57.081.600,-
Total : 213.949 kg atau senilai $1,172,440 setara dengan Rp 11.255.040.000,-
Kapasitas Karbon dan Penyerapannya -
Distribusi Umur Pohon
: Hampir Merata
-
Kapasitas Peyimpanan Karbon : 267.220 ton
-
Penyerapan Karbon
: 758 ton/tahun
3. Kontrol Aliran Permukaan -
Rata-rata 2 tahun, curah hujan per 24 jam
: 3,5 inchi
-
Koefisien Runoff : 81,00 (RTH) dan 84,00 (tidak ada RTH)
-
Aliran Permukaan
-
Total volume beton yang digunakan untuk mitigasi bencana 4.446.664,79
: 1,71 in (RTH) dan 1,94 in (tidak ada RTH)
(cu.ft) Asumsi Biaya : $ 2.00 per cu.ft -
Total $ 48.893.329,59
4. Efek dari penggunaan AC Perumahan : tidak tersedia C. Rangkuman Manfaat Ekonomi • Penghematan dari Penyerapan Polusi Udara Tahunan : $1,172,440 setara dengan Rp 11.255.040.000,• Penghematan Energi Tahunan : $0 • Penghematan dari Aliran Permukaan Tahunan : $4.262.743 setara dengan Rp 40.922.332.280,• Total
Penghematan
52.177.756.800,• (1 $ = Rp 9.600,-)
Tahunan
:
$5.435.183
setara
dengan
Rp
84
Gambar 5. Report Asli dari analisis CITYgreen 5.4 pada Kota Bogor
85
Peta RTH Kota Bogor Tahun 2006
N Canopy.shp Noncanopy.shp Study site_11850ha.shp
2
0
2
4
6 Kilometers
Gambar 6. Peta RTH Kota Bogor Tahun 2006 hasil Analisis GIS
86
5.2 Pembahasan 5.2.1 Ekosistem Kota Bogor Dalam Irwan (2007) menyatakan di alam terdapat organisme hidup (makhluk hidup) dengan lingkungannya yang tidak hidup saling berinteraksi berhubungan erat tak terpisahkan dan saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain yang merupakan suatu sistem. Dalam hal ini makhluk hidup lazim disebut dengan biotik, dari asal kata bio berarti hidup. Lingkungan yang tidak hidup disebut abiotik dari asal kata a dan bio berarti tidak hidup. Di dalam sistem tersebut terdapat dua aspek penting yaitu arus energi (aliran energi) dan daur materi atau disebut juga daur mineral atau siklus mineral ataupun siklus bahan di samping adanya sistem informasi. Aliran energi dapat terlihat pada struktur makanan, keragaman biotik dan siklus bahan (yakni pertukaran bahan-bahan antara bagian yang hidup dan tidak hidup). Sistem tersebut disebut ekosistem. Menurut Undang-undang Lingkungan Hidup (UULH, 1982) ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Perlu diketahui bahwa didalam ekosistem terdapat makhluk hidup dan lingkungannya. Makhluk hidup terdiri dari tumbuhtumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di luar individu. Menurut UULH Tahun 1982 bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
di
dalamnya
manusia
dan
perilakunya,
yang
mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Berbicara mengenai lingkungan hidup itu berarti yang dimaksud adalah lingkungan hidup manusia, di mana ada kepentingan manusia di situ. Akan tetapi jika di situ ada kepentingan gajah, maka itu berarti lingkungan hidup gajah, atau jika di situ ada kepentingan badak atau orang utan, maka itu adalah lingkungan hidup badak atau orang utan. Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas, atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya di mana terjadi antar hubungan. Di sini tidak hanya mencakup serangkaian spesies tumbuhan dan hewan saja, tetapi juga segala macam bentuk materi yang
87
melakukan siklus dalam sistem itu serta energi yang menjadi sumber kekuatan. Untuk mendapatkan energi dan materi yang diperlukan untuk hidupnya semua komunitas
bergantung
kepada lingkungan
abiotik.
Organisme
produsen
memerlukan energi, cahaya, oksigen, air dan garam-garam yang semuanya diambil dari lingkungan abiotik. Energi dan materi dari konsumen tingkat pertama diteruskan ke konsumen tingkat kedua dan seterusnya ke konsumen-konsumen lainnya melalui jaring-jaring makanan. Materi dan energi berasal dari lingkungan abiotik akan kembali lagi ke lingkungan abiotik. Dalam hal ini komunitas dalam lingkungan abiotiknya merupakan suatu sistem yang disebut ekosistem. Jadi konsep ekosistem menyangkut semua hubungan dalam suatu komunitas dan di samping itu juga semua hubungan antara komunitas dan lingkungan abiotiknya. Dengan konsep ekosistem komponen-komponen lingkungan hidup dilihat secara terpadu sebagai komponen yang berkaitan dan tergantung satu sama lain dalam suatu sistem. Pendekatan ini disebut pendekatan ekosistem atau pendekatan holistik. Di dalam suatu tata ruang yang sempit, berbagai individu akan berdesakan. Di situ diperlukan terbentuknya suatu struktur yang berlapis-lapis. Di zaman rumput, semak, belukar, pohon yang tinggi sekali memayungi semuanya. Di dalam sistem semuanya ini menempati fungsi masing-masing. Dan di antara berbagai jenis tumbuhan yang lebih bersama itu ada interaksi kimiawi antara suatu individu tumbuhan tertentu dengan tumbuhan lain di sekitarnya. Dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan ekologis, setiap pembangunan
harus
dapat
menjaga
berfungsinya
komponen-komponen
lingkungan. Oleh karena itu suatu ekosistem harus dipertahankan kelestariannya, karena memiliki dampak yang menentukan tingkat kehidupan manusiawi maupun organisme lainnya di dunia ini. Sedangkan arti kota dalam Irwan (2005) adalah suatu pemukiman penduduk yang besar dan luas yang terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi, sosial, budaya, politik, serta sebagai pusat administratif. Aktivitas dan perkembangan kota mempunyai pengaruh terhadap lingkungan baik udara, tanah, air dan masyarakat serta flora dan fauna.
88
Komponen-komponen ekosistem kota adalah penduduk (manusia, flora dan fauna), pemerintah, pembangunan fisik, sumber daya (air, energi, tanah, udara) serta fungsi (pemukiman, pekerjaan, rekreasi, tranportasi dan informasi) (Irwan. 2005) Ekosistem Kota Bogor terdiri dari perumahan, industri, kebun raya, hutan kota, ruang terbuka hijau, kebun, sawah, situ, sungai, dll. Keberagaman ini membuat Kota Bogor menjadi unik dan khas terutama karena kebun raya dan istana. Kebun Raya Bogor memiliki luas sekitar 71,12 ha memiliki cadangan plasma nutfah yang berlimpah dan masih bisa dinikmati sampai sekarang. Fungsi ekosistemnya sangat berpengaruh terhadap iklim kota bogor. Disamping itu Kota Bogor juga mempunyai ekosistem hutan kota CIFOR seluas 57,62 ha. Untuk ekosistem perumahan, industri dan perdagangan berdasarkan analisis GIS didapat luasan sekitar 5.807,70 ha atau sekitar 49% yang mana terdapat lahan kedap air sekitar 3.361,11 ha atau sekitar 28% dari total luas wilayah secara keseluruhan. Ekosistem Kota Bogor sangat komplek dan terjalin hubungan yang sangat erat yang saling mempengaruhi. Diharapkan dengan peningkatan salah satu bagian ekosistem Kota Bogor bisa menstimulasi peningkatan nilai ekosistem secara keseluruhan. Pada penelitian ini yang menjadi fokus peningkatan nilai ekosistemnya adalah ekosistem ruang terbuka hijau.
5.2.2 RTH sebagai bagian dari Ekosistem Kota Bogor Ruang terbuka hijau (RTH) sebagai sebuah ekosistem terdiri dari vegetasi, tanah, air dan udara yang merupakan sebagaian dari ekosistem Kota Bogor secara keseluruhan. RTH di Kota Bogor sangat memberikan pengaruh yang besar terhadap iklim dan kenyaman penduduknya. Luas RTH (dari komponen pohon) di Kota Bogor berdasarkan analisis dengan mengunakan metode GIS seluas 2.005,21 ha atau sekitar 17% dari total wilayah secara keseluruhan. Bila dibandingkan dengan kota lainya, Kota Bogor memiliki luasan RTH yang cukup luas, untuk daerah DKI Jakarta RTH nya kurang dari 10% dari total luas wilayah secara keseluruhan. Jika ditelusuri lebih dalam lagi maka Kota Bogor memiliki potensi untuk memperluas RTH yang ada sekarang
89
karena masih memiliki lahan tanaman pangan seluas 985,5 ha atau sekitar 8% dan ruang terbuka/ sawah seluas 2.112,34 ha atau sekitar 18% serta semak 551,99 ha atau 5% dari total luas wilayah. Irwan (2007) menyatakan setiap tahun tumbuh-tumbuhan di atas bola bumi ini mempersenyawakan sekitar 150.000 juta ton CO2 dan 25.000 juta ton hidrogen dengan membebaskan 400.000 juta ton oksigen ke atmosfer, serta menghasilkan 450.000 juta ton zat-zat organik. Jadi setiap jam 1 ha daun-daun yang menghijau menyerap 8 kg CO2, setara dengan CO2 yang dikeluarkan oleh sekitar 200 orang dalam waktu yang sama sebagai hasil pernapasannya.
5.2.3 Menghitung Manfaat RTH Kota Bogor dengan Metode GIS Seperti telah dijelaskan diatas bahwa manfaat RTH untuk Kota Bogor bisa diukur melalui pendekatan fisiologis dari RTH itu sendiri. Untuk melakukan penghitungan manfaat dilakukan dengan metode GIS
dengan
menggunakan Citra Satelit Quickbird tahun 2006. Metode GIS pada penelitian ini didukung oleh perangkat lunak ArcView 3.2.dengan ekstensi CITYgreen 5.4 Pada penelitian ini manfaat RTH yang menjadi bahan perhitungan adalah kapasitas penyimpanan karbon, daya serap karbon dan kualitas udara melalui pendekatan daya serap RTH terhadap polutan di udara seperti NO2, SO2, O3, CO serta partikel-partikel lainnya (Pb, As, Cd dan Hg)
5.2.3.1 Kapasitas Penyimpanan Karbon dan Daya Serap Karbon RTH memilki kemampuan untuk meyimpan dan menyerap karbon berdasarkan proses fisiologis RTH itu sendiri yang terdiri dari proses fotosintesis, respirasi dan transpirasi. Kapasitas penyimpanan karbon oleh RTH ditentukan dari fosintesis neto yaitu selisih karbohidrat yang dihasilkan melalui fotosintesis dikurangi kebutuhan karbohidrat untuk proses respirasi. Sebagaimana persamaan kimia dibawah ini : Proses fotosintesis 6 mol CO2 + 12 mol H2O + 675 Cal 1 mol C6H12O6 + 6 mol O2 + 6 mol H2O 264 gr
216 gr
180 gr
192 gr
108 gr
90
Proses respirasi 1 mol C6H12O6 + 6 mol O2 6 mol CO2 + 6 mol H2O + energi 180 gr
192 gr
264 gr
108 gr
Pada persamaan kimia diatas dapat dilihat bahwa karbohidrat yang dihasilkan dari fotosintesis digunakan kembali untuk proses respirasi berdasarkan hitungan sederhana sepintas kita lihat bahwa hasil dari fotosintesis tidak ada yang tersisa tapi dalam fisiologis pohon tidak terjadi seperti itu, fotosintesis dihasilkan dari reaksi terang (menggunakan cahaya matahari) sedangkan respirasi terjadi pada malam hari dengan kebutuhan karbohidrat tidak sebanyak yang dihasilkan pada siang hari. Oleh karena itu terdapat selisih antara karbohidrat yang dihasilkan dalam proses fotosintesis dengan karbohidrat yang dipakai dalam proses respirasi. Selisihnya inilah yang menjadi nilai yang dapat diukur dalam hal kemampuan RTH dalam menyimpan karbon atau lebih jelasnya dalam bentuk senyawa hidrocarbon. Untuk daya serap karbon berdasarkan persamaan kimia diatas didapat dari selisih antara CO2 yang diserap pada saat proses fotosintesis dikurangi dengan CO2 yang dihasilkan pada saat proses respirasi. Untuk memudahkan dalam hal perhitungan kapasitas penyimpanan karbon dan daya serap karbon maka pada penelitian ini mengunakan metode GIS dengan didukung oleh perangkat lunak Arcview 3.2 eksstensi CITYgreen 5.4. Dari hasil analisis GIS didapat kapasitas penyimpanan karbon RTH Kota Bogor adalah sebesar 267.220 ton. Jika luas RTH yang didapatkan dari hasil analisis sebesar 2.005,21 ha maka kapasitas penampungan RTH Kota Bogor untuk karbon sebesar 133,26 ton/ha. Daya serap RTH Kota Bogor berdasarkan hasil analisis RTH Kota Bogor sebesar 758 ton/tahun. Jika dirinci kemampuan RTH Kota Bogor dalam menyerap karbon sebesar 378 kg/tahun/ha. Dari persamaan kimia diatas bisa dihitung juga RTH Kota Bogor bisa menghasilkan gas O2 sebanyak 551 ton/tahun. Jika dirinci RTH Kota Bogor dapat menghasilkan gas O2 sebesar 275 kg/tahun/ha. Berdasarkan data jumlah penduduk tahun 2007 sejumlah 879.138 jiwa, maka setiap penduduk Kota Bogor mendapat manfaat dari RTH yang ada ditinjau dari RTH bisa menghasilkan 551 ton gas O2 /tahun atau setara dengan 6,26 kg/tahun/orang.
91
Dari data BAPPEDA Kota Bogor (2005) menghasilkan ambien CO dan CO2 1,307 ton/hari atau setara dengan 477 ton/tahun. Jika kita bandingkan hasilnya dari analisis GIS Kota Bogor pada penelitian ini, kemampuan RTH Kota Bogor dalam menyerap karbon sebesar 758 ton/tahun. Maka dengan keberadaan RTH Kota Bogor yang sekarang ini masih mencukupi untuk menyerap polutan CO yang dihasilkan, namun demikian untuk mengantisipasi lonjakan polutan CO ditahun-tahun mendatang diharapkan penambahan luasan RTH serta pemilihan jenis pohon yang memiliki umur panjang, kapasitas, dan daya serap karbon yang tinggi. Jenis pohon yang dianjurkan menurut Widyastama (1991) mengemukakan, tanaman yang baik sebagai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah: damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia purpurca), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis) dan beringin (Ficus benjamina).
5.2.3.2 Daya Serap RTH terhadap Polutan di Udara Untuk menghitung kemampuan RTH dalam menyerap polutan di udara maka kita harus melalui pendekatan fisiologisnya pada proses translokasi, tranportasi air, dan transpirasi karena pada saat proses ini banyak gas dan partikel padat kurang 10 mikron yang berupa polutan diserap dan digunakan untuk kebutuhan fisiologis. Diantaranya NO2, SO2 , CO, dan O3 serta parkikel lainya seperti Pb, As, Hg, debu. Dari hasil analisis menggunakan metode GIS yang didukung oleh perngkat lunak Arcview 3.2 ekstensi CITYgreen 5.4 didapat hasil polusi udara yang dapat diserap untuk menjaga dan meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor sebagia berikut: -
Ozone (O3) : 90.463 kg atau senilai $612,035 setara dengan Rp 5.875.536.000,-
-
Sulfur Dioxide (SO2) : 14.599 kg atau senilai $24,180 setara dengan Rp 232.128.000,-
-
Nitrogen Dioxide (NO2) : 14,587 kg atau senilai $203,004 setara dengan Rp 1.948.838.400,-
92
-
Particulate Matter (Pb, As, Hg, dan debu) : 72.438 kg atau senilai $327,274 setara dengan Rp 3.141.830.400,-
-
Carbon Monoxide (CO) : 6.203 kg atau senilai $5,946 setara dengan Rp 57.081.600,-
-
Total : 213.949 kg atau senilai $1,172,440 setara dengan Rp 11.255.040.000,Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2007
sejumlah 879.138 jiwa, maka manfaat ekonomi yang diterima masyarakat kota bogor secara tidak langsung (manfaat RTH) sebesar Rp 12.800/orang/tahun. Dari data BAPPEDA Kota Bogor (2005), Kota Bogor menghasilkan ambien NO2 sebesar 143,5 kg/hari atau setara dengan 52,377 ton/tahun. Sedangkan kemampuan RTH Kota Bogor menyerap polutan NO2 dari hasil analisis GIS sebesar 14,587 ton/tahun. Sehingga ambein NO2 yang dihasilkan tidak semuanya terserap oleh RTH Kota Bogor hal ini menunjukkan perlunya penambahan luasan RTH untuk mengimbangi penyerapan ambien NO2. Untuk polutan SO2, Kota Bogor menghasilkan ambiennya sebesar 31,4 kg/hari atau setara dengan 11,461 ton/tahun (BAPPEDA, 2005). Hasil analisis GIS, daya serap SO2 oleh RTH sebesar 14,599 ton/tahun. Keberadaan RTH Kota Bogor pada saat ini masih memadai untuk menyerap ambien SO2 yang dihasilkan, namun seiring dengan perkembangan pembangunan di Kota Bogor yang pesat tentu saja akan meningkatkan ambien SO2. Hal ini perlu diantisipasi sehingga perluasan RTH menjadi sangat penting untuk menjaga kualitas udara di Kota Bogor. Ozon (O3) merupakan polutan sekunder karena merupakan reaksi lanjutan dari tidak sempurnanya proses pembakaran. Berdasarkan data BAPPEDA Kota Bogor (2005), Kota Bogor menghasilkan ambien O3 sebesar 7,11 ton/tahun. Dari hasil analisis GIS, RTH Kota Bogor memeliki kemampuan menyerap polutan O3 sebesar 90,463 ton/tahun, sehingga RTH Kota Bogor masih memiliki kapasitas yang cukup untuk meyerap polutan O3. Polutan yang berupa partikel terdiri dari beberapa unsur logam dan debu. Unsur logam yang umum dijumpai sebagai polutan adalah Timbal (Pb). Di Kota Bogor memiliki ambien Pb sebesar 670,14 kg/tahun. Debu merupakan ambien terbesar di Kota Bogor yaitu sebesar 101,84 ton/tahun. Hasil analisis GIS
93
terhadap kemampuan RTH Kota Bogor untuk menyerap polutan partikel (Pb dan debu) sebesar 72,438 ton/tahun. Sehingga dengan keberadaan RTH yang sekarang ini tidak mampu menyerap polutan dari parkitel (Pb dan debu), penambahan luasan RTH sangat penting sekali untuk mengimbangi polutan yang dihasilkan dari partikel demi menjaga ekosistem Kota Bogor secara keseluruhan. Paparan diatas menggambarkan keadaan pada tahun 2005 di Kota Bogor berdasarkan parameter kualitas udara yang diukur berdasarkan ambien SO2, NO2, O3, CO, dan materi partikulat. Pada penelitian ini menggunakan data spasial tahun 2006 (Citra Satelit Quickbird tahun 2006) sehingga hasilnya bisa dibandingkan. Secara keseluruhan keberadaan RTH Kota Bogor yang ada masih bisa menjaga kualitas udara di Kota Bogor, namum ada beberapa ambien yang melebihi kapasitas penyerapan oleh RTH Kota Bogor yaitu ambien NO2 dan materi partikulat (Pb dan debu) sehingga penambahan luasan RTH
dan
pemilihan pohon yang memiliki daya serap polutan yang tinggi sangat diperlukan sekali untuk menjaga kualitas yang dapat meningkatkan nilai ekosistem Kota Bogor.
5.2.3.3 Manfaat Tambahan dari RTH Kota Bogor Berdasarkan hasil analisis GIS pada Kota Bogor didapat ditribusi penutupan lahan yang terdiri dari: -
Tanaman Pangan/ Pertanian
: 8% (985,99 ha)
-
Lahan Kedap Air
: 28% (3.361,11 ha)
-
Ruang Terbuka/ Padang Rumput/Sawah
: 18% (2.112,34 ha)
-
Semak
: 5% (551,99 ha)
-
Kanopi Pohon
: 17% (2.005,21 ha)
-
Lahan Perkotaan
: 49% (5.807,70 ha)
-
Badan Air
: 2 % (220,63 ha)
Lahan kedap air merupakan bagian dari lahan perkotaan sehingga jumlah distribusi penutupan lahan Kota Bogor sebesar 99% atau seluas 11.683 ha. Manfaat tambahan dari semua komponen vegetasi seperti semak, sawah, ladang/ lahan pertanian dengan mengambil acuan pada aspek fisiologis vegetasi, sehingga
94
kapasitas penyimpanan karbon, daya serap karbon dan daya serap polutan udara akan bertambah dari hasil report CITYgreen 5.4. Pada lahan perkotaan bila diteliti lebih lanjut akan mendapatkan manfaat tambahan lainnya karena dari struktur lahan perkotaan di Kota Bogor terdapat juga RTH selain dari pohon. RTH tersebut antara lain pekarangan rumah, semak, rumput, dan pohon kecil. Manfaat yang didapat sangat besar sekali jika menjumlahkan semua komponen ekosistem di Kota Bogor yang berasal dari RTH.
[Type 95 a quote BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal diantaranya : 1. Secara umum luasan RTH dari komponen pohon Kota Bogor yaitu sekitar 17 % dari luas Kota Bogor atau sekitar 2.005,21 ha. 2. Nilai ekonomi dari RTH yang ada sekarang sebesar Rp 52 milyar atau sebanding dengan seperlima Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor sektor Jasa-jasa tahun 2006 (BAPPEDA 2007 : PDRB sektor jasa-jasa Kota Bogor 2006 sebesar 255 Milyar). 3. Total cadangan karbon Kota Bogor sebesar 267.220 ton dan kemampuan RTH Kota Bogor dalam menyerap karbon sebesar 758 ton/tahun. 4. Kemampuan RTH Kota Bogor dalam meningkatkan kualiatas udara melalui proses penyerapan polutan di udara untuk O3 sebesar 90.463 kg/tahun, SO2 sebesar 14.559 kg/tahun, NO2 sebesar 14.587 kg/tahun, Parkitel sebesar 72.438 g/tahun, CO sebesar 6.203 kg/tahun. 5. Kemampuan RTH Kota Bogor untuk menjaga kualitas udara masih bisa teratasi namun untuk beberapa tahun kedepannya diharapkan ada penambahan luasan RTH karena polutan diudara akan semakin meningkat dari tahun ketahun. 6. Manfaat tambahan bisa didapatkan dari unsur alam lainnya yang berupa semak, ladang/ lahan pertanian, padang rumput, dan sawah karena juga memiliki kapasitas, dan daya serap terhadap karbon walaupun dalam jumlah yang tidak begitu banyak. Selain itu bisa juga meningkatkan kualitas udara dengan menyerap materi partikulat. 7. Dari semua ini tujuan utama dari penelitian ini tercapai karena dengan menghitung dan membandingkan didapat hasil yang menguatkan bahwa manfaat RTH sangat besar sekali untuk Ekosistem Kota Bogor, untuk meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor bisa dengan meningkatkan luasan RTH dan pemilihan jenis pohon yang digunakan.
96
6.2 Saran •
Diharapkan dengan adanya kajian ini bisa membuka pemahaman tentang cara pandang pentingnya keberadaan RTH yang bisa dinilai secara ekonomi dan memberikan pengaruh kepada kebijakan pengembangan RTH di masa yang akan datang di Kota Bogor.
•
Untuk meningkatkan kualitas ekosistem Kota Bogor bisa dilakukan dengan cara penambahan luas RTH atau pemilihan jenis pohon yang memiliki daya serap karbon yang tinggi dan toleran terhadap lingkungan yang kurang baik.
•
Diharapkan partisipasi masyarakat dalam menjaga keseimbangan ekosistem RTH Kota Bogor yang menjadi acuan utama keseimbangan Ekosistem Kota Bogor secara keseluruhan.
•
Pada penelitian selanjutnya diharapkan penelitian didetail sampai tingkat kecamatan untuk mendapatkan hasil yang lebih spesifik dan pembahasan yang lebih mendalam.
•
Secara umum CITYgreen 5.4 telah berhasil memberikan gambaran umum tentang kondisi real RTH Kota Bogor serta kemampuannya dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem Kota Bogor, diharapkan pada penelitian selanjutnya dilakukan penambahan komponen analisis berupa pertumbuhan penduduk supaya dapat diukur keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan kebutuhan RTH.
[Type 97 a quote DAFTAR PUSTAKA American Forests. 2002. CITYgreen 5.0 :User Manual. Washington DC : American Forest. 187 page. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor. 2007. Master Plan Ruang Terbuka Hijau Kota Bogor. Data Dasar. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor. Dahlan, E.N. 1989. Studi Kemampuan Tanaman dalam Meyerap Timbal Emisi dari Kendaraan Bermotor. [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dahlan, E.N. 1992. Hutan Kota Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan. Kerja Sama Asoisasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dengan IPB. Bogor. Dahlan, E.N. 2007. Analisis Kebutuhan Luasan Hutan Kota yang Berfungsi Sebagai Sorot Gas CO2 Antropogenik Dari Bahan Bakar Minyak Dan Gas Di Kota Bogor Dengan Menggunakan Pendekatan Sistem Dinamik. [Ringkasan Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 35 hal. Daniel, T.W, dkk. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur Edisi Kedua. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 651 hal.
[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 Tentang: Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan. Jakarta. [DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Pedoman Penyedian dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Perkotaan. (materi seminar IALI tentang UU No. 26 tahun 2007 dan Permendagri No. 1 tahun 2007). Bandung. [DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 1989. Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sekmen KLH. [DPR RI] Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 Tentang: Penataan Ruang. Jakarta. Eckbo, G. 1964. Urban Landscape Design. New York: McGraw Hill Book Company. [ESRI] Environental Systems Research Institute. 2004. Penggunaan ArcView GIS Tingkat Dasar dan Lanjut. Jakarta: PT. ESRI Indonesia.
98
Grey, G.W. dan F.J. Deneke. 1978. Urban Forestry. New York:John Willey and Son. Hakim, R. 2006. Rancangan Visual Lansekap Jalan : Panduan Estetika dan Dinding Penghalang Kebisingan. Bumi Aksara. Jakarta. 162 hal. Hakim, R dan Utomo, H. 2008. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap : Prinsip, Unsur dan Aplikasi Desain . Bumi Aksara. Jakarta. 242 hal. Hasan, Z. 2010. Indonesia Bisa Menjadi Penyerap Emisi Murni. http://www.antaranews.com/berita/1262788666/indonesia-bisa-jadipenyerap-emisi-murni Hermono, J.B. dan L.B. Prasetyo. 1898. Ruang Terbuka Hijau sebagai Pendukung Pelestarian Burung. Makalah symposium mencari model perkotaan Indonesia. Universitas Indonesia Depok. Irwan, Z.D. 2005. Tantangan Lingkungan dan Lansekap Hutan Kota. Bumi Aksara. Jakarta. 210 hal. Irwan, Z.D. 2007. Prinsip-Prinsip Ekologi : Ekosistem, Lingkungan dan Pelestarian. Bumi Aksara. Jakarta. 177 hal. Lestari, G dan Kencana, I.P. 2008. Galeri Tanaman Hias Lanskap. Penebar Swadaya. Jakarta. 282 hal. Manan, S. 1976. Pengaruh Hutan dan Manajemen Derah Aliran Sungai. Diktat Kuliah Fakultas Kehutanan. 228hal. Manik, K.E.S. 2007. Pengelolaan Lingkungan Hidup . Djambatan. Jakarta. 249 hal. Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografis : Tutorial ArcView. CV. Informatika. Bandung. 456 hal. Robinete, G.O. 1983. Landscape Planning for Energy Conservation. New York, Toronto, London, Melrbourne: Van Nostrand Reinhold Cy. Simonds, J.O. 1983. Landscape Architecture : A Manual of Site Planning and Design (second edition). McGraw-Hill Book Company. USA. 331 page. Smith, D.P. 1984. Urban Ecology. London: George Allen & UNWIN. Suryadi, Y. 2008. Dinamika Pola Pemanfaatan Lahan dan Pengendalian Menuju Pembangunan Kota Bogor yang Berkelanjutan [Tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 136 hal.