Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013
Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013
Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013
ANALISIS MAKNA KIASAN PUISI DE WOLKEN KARYA MARTINUS NIJHOFF DARI SUDUT PANDANG TOKOH AKU Imas Nihono Sari Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
[email protected]
Abstrak Artikel ini membahas makna-makna kiasan yang muncul dalam puisi De wolken karya Martinus Nijhoff. Pada penelitian ini dijabarkan pula gaya bahasa, sarana retorika, dan teori semiotik yang terdapat dalam puisi De wolken. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dengan cara menganalisis data berdasarkan buku-buku literatur dan artikel-artikel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna kiasan dalam puisi De wolken memiliki fungsi untuk memperindah puisi dan memperkuat tema di dalam puisi. Kata kunci: De wolken, Nijhoff, makna kiasan, sarana retorika, semiotik, puisi, tokoh aku.
Abstract This paper analyzes the figurative meanings in De wolken, a poem written by Martinus Nijhoff. It also discusses the figure of speeches or stylistic features, rhetorical elements, and semiotic signs used in the poem. The study is based on library research and the application of semiotic theory. The results of the study show that the figurative meanings in De wolken strengthens the aesthetic dimension and the theme of this poem. Key words: De wolken, Nijhoff, figure of speech/stylistic feature, rhetorical element, signs, semiotics, poem.
Pendahuluan Puisi adalah karya seni sastra yang mengandung banyak makna sehingga mengundang banyak interpretasi. Menurut Pradopo dalam buku Pengkajian Puisi, orang akan dapat memahami puisi dengan baik jika mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu adalah karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Maka dari itu, sebelum dilakukan pengkajian aspek-aspek yang lain, puisi perlu dikaji terlebih dahulu sebagai sebuah struktur yang bermakna dan bernilai estetis. Menurut Rifaterre dalam buku Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi yang ditulis oleh Atmazaki pada tahun 1993, puisi mengatakan sesuatu tetapi artinya lain. Artinya, terdapat ketidaklangsungan arti dalam puisi. Ketidaklangsungan itu disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, atau penciptaan arti. Penggantian arti terjadi jika arti kata-kata diubah dari arti pertama menjadi arti lain, seperti terdapat metafora dan metonimi; penyimpangan arti terdapat pada keambiguitasan makna kata atau kelompok kata, dan penciptaan arti terjadi dengan pemanfaatan ruang tertentu: tipografi, enjambemen, rima, dan lain-lain (Atmazaki, 1993 : 49). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa untuk dapat melihat suatu keindahan puisi perlu dilakukan pengkajian-pengkajian makna. Salah satu puisi Belanda yang menarik dan sesuai dengan pendapat kedua tokoh tersebut adalah De wolken karya Martinus Nijhoff yang ditulis pada tahun 1924 saat ia berusia 30 tahun. Nijhoff kerap kali memunculkan motif kesepian, anak, ibu, pencarian makna hidup, dan motif agama dalam karya-karyanya1. Pada umumnya Nijhoff hanya memasukkan satu atau dua motif dalam satu puisi, namun pada puisi De wolken Nijhoff memasukkan lebih dari tiga motif sehingga puisi De wolken menjadi menarik. 1
http://www.historici.nl/Onderzoek/Projecten/BWN/lemmata/bwn2/nijhoff, loc.cit.
1 Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013
Pada artikel ini, puisi De wolken dikaji dari gaya bahasa dan sarana retorika berdasarkan teori semiotik dengan menggunakan metode studi pustaka. Hal tersebut dilakukan guna mendapatkan bentuk dan fungsi makna kiasan yang terkandung dalam puisi De wolken. Sebagai sumber digunakan beberapa buku teori sastra dan puisi yaitu buku Pengkajian Puisi dan PrinsipPrinsip Kritik Sastra karya Rachmat Djoko Pradopo, Teori Pengkajian Fiksi karya Burhan Nugiyantoro, serta buku Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi karya Atmazaki.
Analisis Gaya Bahasa, Semiotik, dan Sarana Retorika Puisi De wolken bertemakan kenangan anak akan orang tua dan masa kecilnya. Pada puisi tersebut, tokoh aku diilustrasikan sedang berbaring di atas hamparan padang rumput yang hangat bersama ibunya. Tokoh aku lalu memandang ke awan dan ibunya menanyakan apa saja yang ia lihat di awan. Tokoh aku pun berfantasi dan menjawab pertanyaan ibunya. Kemudian, tibalah saat tokoh aku tidak lagi terbiasa memandang awan karena ia sudah dewasa. Keadaan pun berbalik, kini tokoh aku telah menjadi seorang orang tua. Ia melakukan hal yang sama dengan anaknya seperti yang ia lakukan bersama ibunya saat ia masih kecil, yaitu berbaring di atas hamparan padang rumput yang hangat dan memandang awan. Isi puisi ini memperlihatkan adanya pengulangan. Pengulangan tersebut adalah pengulangan tema yang menyangkut salah satu fase kehidupan yaitu kenangan anak akan orang tuanya. Seperti halnya yang telah dijelaskan di atas, tokoh aku bersama ibunya dan kejadian berulang saat tokoh aku bersama anaknya. Puisi De wolken terdiri dari empat bait, bait pertama dan kedua menceritakan tokoh aku bersama ibunya sedangkan bait ketiga dan keempat menceritakan tokoh aku bersama anaknya.
De wolken Ik droeg nog kleine kleeren, en ik lag Lang-uit met moeder in de warme hei, De wolken schoven boven ons voorbij Maar moeder vroeg wat 'k in de wolken zag. En ik riep: Scandinavië, en: eenden, Daar gaat een dame, schapen met een herder– De wond'ren werden woord en dreven verder, En 'k zag dat moeder met een glimlach weende. Toen kwam de tijd dat 'k niet naar boven keek, Ofschoon de hemel vol van wolken hing, Ik greep niet naar de vlucht van 't vreemde ding Dat met zijn schaduw langs mijn leven streek. –Nu ligt mijn jongen naast mij in de heide En wijst me wat hij in de wolken ziet, Nu schrei ik zelf, en zie in het verschiet De verre wolken waarom moeder schreide– Seperti yang telah dikatakan oleh Rifaterre bahwa puisi mengatakan sesuatu tetapi artinya lain. Dalam puisi ini terdapat penggantian arti melalui gaya bahasa. Selain itu, terdapat pula penyimpangan arti melalui keambiguitasan makna dan penciptaan arti melalui pemanfaatan ruang tertentu yaitu tipografi, enjabemen, rima, dan lain-lain. Unsurunsur tersebut akan dikaji pada penelitian ini. Di bawah ini akan dijabarkan gaya bahasa yang terdapat di dalam puisi De wolken. Cara menyampaikan pikiran atau perasaan ataupun maksud-maksud lain menimbulkan gaya bahasa. Menurut Slametmuljana dalam buku Pengkajian Puisi yang ditulis oleh Pradopo pada tahun 1987, gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan reaksi tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa itu menghidupkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Selain itu, gaya bahasa menimbulkan reaksi tertentu, untuk menimbulkan tanggapan pikiran mereka kepada pembaca. Oleh karena itu, berikut ini diperoleh analisis makna kiasan puisi De wolken karya Martinus Nijhoff yang diperkuat oleh gaya bahasa yang berfungsi untuk penggantian arti. Berdasarkan analisis diperoleh dua belas gaya bahasa yang terdapat pada puisi De wolken meliputi lima metafora, dua personifikasi, satu paradoks, satu antitesis, satu hiperbola, satu pleonasme, dan satu paralelisme.
2 Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013
1. ‘Ik droeg nog kleine kleeren’ (baris pertama bait pertama, ditulis dalam bahasa Belanda dalam bentuk kata kerja lampau) artinya adalah ‘Aku masih mengenakan baju yang berukuran ‘kecil’’. Pada bait tersebut terdapat gaya bahasa metafora. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa tokoh aku melihat sesuatu dengan perantara benda yang lain, yaitu tokoh aku ingin mengatakan ‘sewaktu aku masih kecil’, tetapi ia menggunakan metafora dengan mengatakan bahwa ia masih mengenakan baju yang berukuran ‘kecil’. 2. ‘Lang-uit met moeder in de warme hei,’ (baris kedua bait pertama) yang artinya ‘Berbaring bersama ibu di atas hamparan padang rumput yang hangat,’. Pada bait ini, penulis menggunakan metafora. ‘Hangat’ dapat menjadi simbol waktu bahwa hal tersebut terjadi pada saat musim panas dan simbol sebagai suatu kehangatan hubungan antara tokoh aku dengan ibunya. 3. ‘De wolken schoven boven ons voorbij’ (baris ketiga bait pertama, ditulis dalam bahasa Belanda dalam bentuk kata kerja lampau) artinya adalah ‘Awan di atas berarak pergi melewati kita’. Pada baris tersebut, penulis menggunakan personifikasi. Awan berarak pergi dalam bait tersebut maksudnya adalah kehidupan manusia yang seperti awan, akan selalu bergerak maju dan kemudian mempunyai masa lalu. 4. ‘Daar gaat een dame, schapen met een herder–‘ (baris keenam bait kedua) artinya adalah ‘Ada seorang Nyonya, domba-domba bersama seorang gembala–‘. Pada baris tersebut penulis menggunakan metafora. ‘Seorang Nyonya’ dapat diartikan sebagai sosok ibu. ‘Nyonya’ yang berarti seorang perempuan yang sudah menikah dan dapat diinterpretasikan sebagai ibu tokoh aku. Seperti yang telah disebutkan bahwa Nijhoff kerap kali memunculkan motif agama pada karyanya, maka dari itu, pada baris ini ‘domba-domba dan seorang gembala‘ dapat diartikan sebagai simbol dari agama Kristen, ‘domba-domba’ mewakili manusia dan ‘gembala’ adalah Tuhan. 5. ‘De wond’ren werden woord en dreven verder,’ (baris ketiga bait kedua, ditulis dalam bahasa Belanda dalam bentuk kata kerja lampau) artinya ‘Kekaguman-kekaguman berubah menjadi kata dan berarak menjauh,’. Pada baris ini, penulis menggunakan metafora. Apa yang dilihat diterjemahkan dalam kata. 6. ‘Ik greep niet naar de vlucht van 't vreemde ding’ (baris ketiga bait ketiga, ditulis dalam bahasa Belanda dalam bentuk kata kerja lampau) artinya ‘Tak ku pahami lagi benda asing yang ada di langit’. Pada baris ini, penulis menggunakan metafora. ‘Benda asing yang ada di langit’ yang dimaksudkan adalah awan. 7. ‘Dat met zijn schaduw langs mijn leven streek.’ (baris keempat bait ketiga) artinya ‘Yang membayangi sepanjang hidupku.’. Penulis menggunakan personifikasi. Awan adalah sebuah benda yang diilustrasikan sebagai benda yang asing. Awan disebut sebagai benda asing karena tokoh aku yang sudah dewasa tak lagi terbiasa untuk berimajinasi terhadap bentuk-bentuk awan seperti halnya yang ia lakukan sewaktu kecil. 8. Paradoks ‘En ‘k zag dat moeder met een glimlach weende.’. Penulis menggunakan gaya bahasa paradoks. Hal ini dapat dilihat dari kata ‘met een glimlach weende’ yang artinya ‘tersenyum sambil menangis’. Tersenyum dan menangis adalah sesuatu yang berlawanan. 9. Antitesis Pada bait pertama baris pertama ‘Ik droeg nog kleine kleeren’ ‘Aku masih mengenakan baju yang berukuran ‘kecil’’ memiliki arti bahwa tokoh aku masih kecil. Kemudian pada bait ketiga baris pertama ‘Toen kwam de tijd dat 'k niet naar boven keek,’ ‘Ketika datang suatu waktu saat aku tidak lagi memandang ke atas,’ memiliki arti bahwa tokoh aku sudah dewasa. Pada kedua contoh tersebut terdapat antitesis karena sesuatu yang berlawanan disampaikan secara tersirat. 10. Hiperbola Pada bait ketiga baris kedua ‘Ofschoon de hemel vol van wolken hing,’ terdapat hiperbola. Arti kalimat tersebut adalah ‘Meskipun langit penuh dengan awan-awan yang bergantungan,’. Maka terdapat gaya bahasa yang berlebih-lebihan atau disebut dengan hiperbola. Hal tersebut dapat dilihat penggunaan kata ‘vol’ yang berarti ‘penuh’ karena pada kenyataannya langit tak selalu dipenuhi awan dan kata ‘hing’ yang berarti ‘bergantungan’ memberi kesan berlebihan. 11. Pleonasme Pada bait pertama baris ketiga ‘De wolken schoven boven ons voorbij’ terdapat pleonasme. Kalimat tersebut memiliki arti ‘Awan di atas berarak pergi melewati kita’. Kata ‘di atas’ memberi penekanan dan penambahan keterangan. Kata tersebut sebenarnya tidak dibutuhkan karena posisi awan pasti berada di atas. 12. Paralelisme Pada bait keempat terdapat paralelisme. Pada bait ini terdapat pengulangan kata yang berfungsi sebagai penegasan. Kata Nu yang berarti ‘sekarang’ disebutkan dua kali pada bait keempat yaitu pada baris pertama dan baris ketiga. Unsur penegasan pada konteks ini berfungsi untuk memperkuat simbol waktu bahwa tokoh aku sudah dewasa dan memiliki anak. Selain itu, fungsi paralelisme di sini juga untuk memperkuat isi puisi yang mencerminkan suatu pengulangan yaitu pengulangan kejadian seorang orang tua yang berbaring di atas hamparan pada rumput bersama anaknya sambil memandangi awan.
3 Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013
‘–Nu ligt mijn jongen naast mij in de heide En wijst me wat hij in de wolken ziet, Nu schrei ik zelf, en zie in het verschiet De verre wolken waarom moeder schreide–‘
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa gaya bahasa tidak dapat lepas dari motif-motif yang muncul di dalam puisi. Kemudian, gaya bahasa yang ada di dalam puisi akhirnya memunculkan analisis semiotik. Sebagai contoh, dalam puisi ini terdapat motif anak, ibu, agama, fantasi, dan alam yang memunculkan metafora dan metafora tersebut mengandung ikon atau simbol yang kemudian berkaitan dengan semiotik. Semiotik, ilmu tentang tanda-tanda, mempelajari fenomena sosial budaya, termasuk sastra sebagai sistem tanda. Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier/signifiant) dan petanda (signified,signifié). Penanda adalah bentuk formal tanda itu, dalam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis, sedangkan petanda (signified) adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penandanya itu. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya ada tiga jenis tanda, yaitu ikon, indeks, dan simbol (Pradopo, 1994 : 225). Pada artikel ini, analisis semiotik puisi De wolken karya Martinus Nijhoff akan dibahas dari tiap bait. Pada puisi ini terdapat pula penciptaan arti yang dapat dilihat dari pemanfaatan tipografi yaitu penggunaan tanda strip – . Pada bait terakhir terdapat tanda strip yang diletakkan di awal bait ‘–Nu ligt mijn jongen naast mij in de heide’ dan di akhir bait ‘De verre wolken waarom moeder schreide–‘. Seperti yang telah dijelaskan bahwa terdapat paralelisme pada bait ini yaitu pengulangan kata yang berfungsi sebagai penegasan. Kata Nu yang berarti ‘sekarang’ disebutkan dua kali pada bait keempat yaitu pada baris pertama dan baris ketiga. Unsur penegasan pada konteks ini berfungsi untuk memperkuat simbol waktu bahwa tokoh aku sudah dewasa dan memiliki anak. Selain itu, fungsi paralelisme di sini juga untuk memperkuat isi puisi yang mencerminkan suatu pengulangan yaitu pengulangan kejadian seorang orang tua yang berbaring di atas hamparan pada rumput bersama anaknya sambil memandangi awan. Kemudian, paralelisme juga terlihat pada tanda strip. Pada bait keempat ini terdapat tanda strip di awal dan di akhir bait. Fungsi tanda strip sama halnya dengan kata Nu yang berfungsi untuk memberi penegasan dan memperkuat simbol waktu. Tanda strip tersebut dapat diinterpretasikan sebagai tanda waktu yang tak berakhir. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa isi puisi ini memperlihatkan adanya pengulangan. Pengulangan tersebut adalah pengulangan tema yang menyangkut salah satu fase kehidupan yaitu kenangan anak akan orang tua dan masa kecilnya, dua bait pertama berkisah tentang tokoh aku dan ibunya sedangkan dua bait terakhir berkisah tentang tokoh aku dan anaknya. Kisah tersebut akan berulang saat anak tokoh aku menjadi orang tua dan kemudian memiliki anak, lalu akan terus berulang seterusnya pada keturunan-keturunan berikutnya. Oleh karena itu, Nijhoff memilih tanda strip dan tidak memilih titik karena titik dapat diartikan sebagai akhir.
Menurut semiotika, awan (sebagai penanda) dalam puisi tersebut merupakan representasi dari keluguan. Awan digambarkan sebagai sesuatu yang bewarna putih, bersih, dan polos. Hal-hal tersebut adalah hal yang identik dengan anak kecil. Anak kecil yang masih bersifat polos dan lugu. Anak kecil diwakilkan oleh tokoh ik (tokoh aku) sewaktu masih kecil dan tokoh jongen (tokoh anak laki-laki dari tokoh aku). Pada bait kedua, terdapat kata Scandinaviё ‘Skandinavia’ dan eenden ‘bebek-bebek’, ‘Daar gaat een dame, schapen met een herder–‘ ‘Di sana ada seorang Nyonya, domba-domba bersama seorang gembala–‘. Kata-kata tersebut adalah bentuk dari imajinasi seorang anak kecil. Seperti yang sudah dijelaskan, anak kecil masih bersifat polos dan lugu, maka dari itu ia dapat memiliki imajinasi mengenai hal-hal apa saja yang ia lihat di awan. Selain itu, kata Scandinaviё ’Skandinavia’ dan eenden ‘bebek-bebek’ dapat mewakilkan usia tokoh aku. Anak kecil kerap kali bermain bersama mainan bebek (bermain air) ketika mereka mandi dan Scandinaviё ‘Skandinavia’ mewakilkan unsur air karena Scandinaviё ’Skandinavia’ terletak di daerah kutub utara yang dingin yang memiliki banyak danau. Pada baris berikutnya, ‘Maar ‘k zag dat moeder met een glimlach weende.’ ‘Tetapi saya melihat ibu tersenyum sambil menangis.’. Tersenyum sambil menangis merupakan representasi dari perasaan ibu tokoh aku. Perasaan sang ibu yang menggambarkan bahwa ia (tokoh ibu) menyadari dirinya sudah tidak memiliki kepolosan dan keluguan lagi seperti anak kecil. Ia sudah menjadi orang dewasa dan orang dewasa sudah tidak dapat lagi berimajinasi mengenai halhal apa saja yang ada di awan. Pada bait selanjutnya, yaitu bait ketiga menunjukkan tokoh aku saat ia dewasa. Hal ini dapat dilihat dari baris pertama bait ketiga, ‘Toen kwam de tijd dat ‘k niet naar boven keek,’ ‘Ketika datang suatu waktu saat aku tidak lagi memandang ke atas,’. ‘Tidak lagi memandang ke atas’ pada konteks ini menunjukkan pergantian waktu. Tokoh aku tidak lagi memandangi awan (memandang ke atas) dan mengimajinasikan awan menjadi bentuk-bentuk yang ia
4 Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013
inginkan. Tokoh aku sudah tidak memiliki keluguan seperti dulu yang ibunya rasakan, tokoh aku sudah menjadi manusia yang dewasa, secara usia dan juga pemikiran. Pada baris berikutnya, ‘Ofschoon de hemel vol van wolken hing,’ ‘Meskipun langit penuh dengan awan-awan yang bergantungan,’, ‘Ik greep niet naar de vlucht van ‘t vreemde ding’ ‘Tak ku pahami lagi benda asing yang ada di langit’, ‘Dat met zijn schaduw langs mijn leven streek’ ‘Yang membayangi sepanjang hidupku.’. Maksud dari barisbaris tersebut melanjutkan maksud dari baris pertama. Memandangi awan merupakan suatu hal yang menyenangkan, tetapi tokoh aku tetap tidak dapat melakukannya lagi yaitu berimajinasi seperti kecil dulu. Tokoh aku sudah tak lagi terbiasa dengan hal-hal demikian. Ia menganggap awan seperti benda asing atau seperti awan sewajarnya. Awan adalah awan, benda putih di langit dan tidak memiliki arti lebih dari itu. Meskipun demikian, awan tetap menjadi sesuatu yang ia ingat sepanjang hidupnya karena pernah menjadi bagian dari masa kecilnya. ‘ –Nu ligt mijn jongen naast mij in de heide En wijst me wat hij in de wolken ziet, Nu schrei ik zelf, en zie in het verschiet De verre wolken waarom moeder schreide–‘ Pada bait terakhir terdapat tanda –. Penanda merupakan tanda dari waktu yang bukan merupakan suatu akhir. Bait ketiga ditulis dalam bahasa Belanda dalam bentuk kata kerja kini. Tokoh aku sudah memiliki anak laki-laki. Ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan ibunya dulu terhadapnya, berbaring di atas hamparan padang rumput bersama anak dan tokoh anak berimajinasi mengenai bentuk-bentuk awan. Pada baris ketiga, ‘Nu schrei ik zelf, en zie in het verschiet’ ‘Sekarang aku pun menangis dan melihat ke kejauhan’, ‘De verre wolken waarom moeder schreide–‘ ‘Memandang ke awan yang pernah ditangisi ibu’. Sekarang, tokoh aku mengerti mengapa dulu ibunya tersenyum sambil menangis. Kini, ia merasakan apa yang ibunya rasakan, rasa sudah tidak memiliki keluguan seperti sewaktu kecil. Rasa akan mengetahui bahwa di masa yang akan datang kejadian tersebut akan berulang. Awan juga dapat diinterpretasikan sebagai penanda waktu yaitu waktu saat tokoh aku kecil, menjadi dewasa, dan sudah memiliki anak. Hal tersebut dapat dilihat dari kalimat ‘melihat ke kejauhan’, melihat ke kejauhan dapat berarti saat tokoh aku melihat ke masa depan. Masa depan dalam hal ini yaitu saat anak tokoh aku sudah dewasa dan memiliki anak dan kejadian tersebut akan berulang untuk keturunan-keturunan berikutnya.
Pada analisis berikutnya akan dibahas sarana retorika yang ditemukan pada puisi De wolken. Setiap pengarang pasti mempunyai gaya dan cara sendiri dalam melahirkan pikiran, tetapi ada sekumpulan bentuk atau beberapa macam bentuk yang biasa dipergunakan. Jenis-jenis bentuk ini biasa disebut sarana retorika (Pradopo, 1987 : 93). Sarana retorika atau bahasa retorik sebenarnya adalah muslihat penyair dalam memanfaatkan kata dan diksi dengan segala potensinya. Pemakaian kata yang secara tepat dan jitu merupakan kunci bahasa retorik. Mungkin penyair menggunakan kata secara berulang, dengan mencarikan sinonimnya, atau menggunakan kata yang melebihi konsep yang ingin diungkapkan. Maka dari itu, puisi menjadi lebih hidup, mempunyai gerak, dan ketegangan puitis. Bahasa retorik bermacam-macam, namun semuanya berfungsi sama: memberikan penegasan (Atmazaki, 1993 : 61). Saranan retorika pada artikel ini akan dikaji dari gaya bahasa, penggunaan bahasa, struktur bait, dan tanda baca. Macam-macam gaya bahasa yang akan digunakan dalam puisi ini seperti yang telah disebutkan terlebih dahulu adalah: a. Paradoks Gaya bahasa dan sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan (Pradopo, 1994 : 99). Hasil analisis berdasarkan gaya bahasa paradoks yang ditemukan dalam puisi ini adalah ‘En ‘k zag dat moeder met een glimlach weende.’. Penulis menggunakan gaya bahasa paradoks. Hal ini dapat dilihat dari kata ‘met een glimlach weende’ yang artinya ‘tersenyum sambil menangis’. Tersenyum dan menangis adalah sesuatu yang berlawanan. b. Antitesis Gaya bahasa dan sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berlawanan yang tersirat 2. Pada puisi ini, antitesis dapat ditemukan pada bait pertama baris pertama ‘Ik droeg nog kleine kleeren’ ‘Aku masih mengenakan baju yang berukuran ‘kecil’’ memiliki arti bahwa tokoh aku masih kecil. Kemudian pada bait ketiga baris pertama ‘Toen kwam de tijd dat 'k niet naar boven keek,’ ‘Ketika datang suatu waktu saat aku tidak lagi memandang ke atas,’ memiliki arti bahwa tokoh aku sudah dewasa. Pada kedua contoh tersebut terdapat antitesis karena sesuatu yang berlawanan disampaikan secara tersirat. Selain dari gaya bahasa, Nijhoff menggunakan juga bahasa yang sederhana pada puisi De wolken. Kata-kata yang dipilih merupakan kata-kata sehari-sehari yang sering muncul. Selain itu, tidak banyak ditemukan kalimat majemuk. Nijhoff juga menggunakan struktur kalimat lengkap pada puisi De wolken. Hal ini terlihat dari kalimatkalimat pada puisi yang selalu menggunakan subjek, predikat, dan objek. 2
http://www.scholieren.com/werkstukken/26861
5 Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013
Sarana retorika lain yang digunakan Nijhoff adalah struktur bait. Seperti yang telah dijelaskan, puisi ini terdiri dari empat bait. Bait pertama dan kedua menunjukkan masa saat tokoh aku masih kecil sedangkan bait ketiga dan keempat menunjukkan masa saat tokoh aku dewasa. Struktur bait ini kemudian menunjukkan adanya penggunaan arti yang dituliskan dalam gaya bahasa antitesis. Terakhir adalah penggunaan tanda baca. Nijhoff menggunakan tanda strip – di bait keempat. Tanda baca tersebut menandakan bahwa kejadian dalam puisi De wolken akan terus berulang. Strip di awal bait keempat menandakan bahwa kejadian tersebut sebelumnya telah terjadi di masa lalu dan kemudian terjadi di masa sekarang (terlihat dari penggunaan bentuk kata kerja kini di bait keempat; di bait pertama, kedua, dan ketiga digunakan bentuk kata kerja lampau). Selanjutnya terdapat tanda strip di akhir bait keempat yang menandakan kejadian tersebut akan berulang di masa yang akan datang. Oleh karena itu, Nijhoff tidak menggunakan titik karena titik menandakan sebuah akhir.
Fungsi Semiotik dan Sarana Retorika Hasil analisis menunjukkan bahwa metafora mendominasi puisi De wolken karya martinus Nijhoff. Bahasa kiasan menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup (Pradopo, 1987 : 62). Bahasa kiasan dalam puisi ini berfungsi untuk memperkuat tema3 dan memperindah puisi. Tidak hanya bahasa kiasan yang berperan dalam memperkuat tema dan memperindah puisi, gaya bahasa dan sarana retorika yang dikaji dengan teori semiotik juga berperan dalam hal tersebut. Mempertanyakan makna sebuah karya, sebenarnya, juga berarti mempertanyakan tema. Setiap karya tentulah mengandung dan menawarkan tema. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan dan perbedaanperbedaan4. Tema dalam puisi De wolken yaitu kenangan anak akan orang tua dan masa kecilnya. Tema ini ditunjukkan melalui gaya bahasa dan sarana retorika yang dikaji dengan teori semiotik yang ditulis oleh Nijhoff dengan sederhana namun bermakna. Sisi sederhana dapat dilihat dari cara Nijhoff yang merefleksikan tema tersebut melalui hubungan antara ibu dan anaknya. Hubungan antara ibu dan anak merupakan sesuatu yang dapat kita lihat dan rasakan di kehidupan sehari-hari. Sisi bermakna dapat dilihat dari cara Nijhoff menghubungkan unsur awan menjadi sebuah representasi dari keluguan yang membuat tokoh aku mengenang ibunya. Tema dalam puisi De wolken disampaikan secara tidak langsung, yaitu secara kiasan. Nijhoff menyampaikan tema dari puisi De wolken secara tersirat dan tidak serta merta sehingga munculah unsur keindahan dalam puisi. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan gaya bahasa, sarana retorika, dan teori semiotik. Melalui berbagai hal tersebut, tema dan unsur estetika puisi disalurkan. Selain itu, berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa unsur estetika secara isi ditemukan dalam penggunaan gaya bahasa metafora sedangkan unsur estetika secara teknis ditemukan pada penggunaan pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang dalam konteks ini dapat dilihat pada tipografi yaitu bentuk puisi yang menggunakan struktur bait dan tanda strip.
Penutup Puisi De wolken karya Martinus Nijhoff memperlihatkan beberapa makna kiasan. Makna-makna kiasan tersebut dapat dianalisis dari gaya bahasa dan sarana retorika dengan menggunakan teori semiotik. Semua aspek tersebut saling berkaitan dalam mewujudkan makna kiasan. Aspek-aspek tersebut memperkuat isi puisi sebagai pengulangan tema yang menyangkut salah satu fase kehidupan yaitu kenangan anak akan orang tua dan masa kecilnya. Gaya bahasa dan sarana retorika yang dikaji dengan menggunakan teori semiotik memperlihatkan unsur estetika dari dua sisi. Unsur estetika secara isi dan secara teknis. Secara isi, unsur estetika dapat dilihat dari penggunaan metafora yang mendominasi puisi. Pada sisi lain yaitu secara teknis, unsur estetika dapat dilihat dari pemanfaatan ruang. Pemanfaatan ruang yang digunakan Nijhoff dalam puisi ini yaitu tipografi. Tipografi pada puisi De wolken diperlihatkan dalam bentuk puisi yang menggunakan struktur bait dan tanda strip. Makna-makna kiasan yang muncul diperkuat oleh gaya bahasa yang tidak dapat lepas dari motif-motif yang ada di dalam puisi. Motif-motif tersebut adalah anak, ibu, agama, fantasi, dan alam. Oleh karena itu, semua aspek yang dikaji di dalam puisi berperan dalam kemunculan makna kiasan. Pada akhirnya, makna kiasan dalam puisi De wolken mempunyai fungsi untuk memperindah puisi dan memperkuat tema puisi yaitu kenangan anak akan orang tua dan masa kecilnya.
3 4
Burhan Nugiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), hlm. 68 Ibid, hlm. 68
6 Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013
Daftar Acuan Atmazaki. (1993). Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung: Angkasa. Pradopo, Rachmat Djoko. (1990). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. (1994). Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurgiyantoro, Burhan. (2009). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. http://www.veritaal.nl/stijlfiguren.htm http://www.scholieren.com/werkstukken/26861
7 Analisis makna ..., Imas Nihono Sari, FIB UI, 2013