“Analisis Landasan Operasional Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Terkait ” Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh : Fitri Yunindya 109046100185 KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memenuhi gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 Desember 20 13
Fitri Yunindya
iii
ABSTRAK Fitri Yunindya. 109046100185. Analisis Landasan Operasional Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Terkait. Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, 80 halaman. Masalah pokok penelitan ini adalah analisis landasarn operasional lembaga keuangan mikro syariah khususnya Baitul Mal Wat Tamwil berdasarkan adanya pembaruan undang-undang di sektor keuangan. Tujuan penelitan ini adalah untuk menjelaskan bagaimana Baitul Mal Wat Tamwil dalam merujuk hukum-hukum yang ada dalam hal mendapatkan kejelasan hukum dan legitimasi hukum. . Jenis penelitian ini adalah penelitan kualitatif. Jenis data dalam penelitian ini terdiri atas dua sumber, yaitu data primer yaitu undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan data sekunder yang diperoleh dari Artikel, Jurnal, Laporan Penelitian, dan Prosiding. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik kepustakaan. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Baitul Mal Wat Tamwil merujuk pada Undang-Undang No.17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Undang-Undang No. 21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan Undang-Undang No. 1 tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro dan pengaplikasian undang-undang tersebut menggunakan asas-asas perundang-undangan yang ada dan berlaku di Indonesia. Kata Kunci: Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Baitul Mal Wat Tamwil, Undang-Undang. Pembimbing: Harry Alexander, S.H., M.H., LL.M. Daftar Pustaka: 1982 s.d. 2013
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulilah, segala Puji dan Syukur hanya milik Allah SWT, Tuhan semesta alam yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada seluruh makhluk Nya, memberikan nikmat Islam yang tiada pernah berbalas oleh runtutan sujud. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang dengan kasihnya menghantarkan umatnya kepada zaman yang penuh Ilmu, dan juga kepada segenap keluarga serta umatnya sepanjang zaman. Dengan Rahmat SWT, Penulis bersyukur karena telah menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul “Analisis Landasan Operasional Lembaga Keuangan Mikro (LKMS) di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Terkait”. Dalam proses menyelesaikan skripsi ini ada banyak motivasi dan doa dari semua pihak, hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu perkenankanlah penulis mengucapkan kata terimakasih yang sedalamdalamnya kepada: 1. Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu DR. Euis Amalia, M. AG., selaku ketua Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Mu’min Rauf, M. Ag., Sekertaris Konsentrasi Perbankan Syariah Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
v
Hidayatullah Jakarta, yang merupakan tauladan di Fakultas yang sangat amat banyak membantu Saya dalam terselesaikannya studi di Fakultas Syariah. Semoga Allah membalas semua kebaikan Bapak. 4. Bapak Harry Alexander, S.H., M.H., LL.M. selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing, membantu dan meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, saran-saran, serta pengalaman yang sarat ilmu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga keberkahan selalu tercurah untuk Bapak sekeluarga. 5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa kuliah, semoga amal kebaikannya mendapat balasan di sisi Allah SWT. Khususnya Bp. Buchori Muslim, Lc yang banyak memberikan inspirasi bagi penulis. Semoga penulis mampu menjadi manfaat atas ilmu yang diberikan. 6. Kepada Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A dan Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku dosen penguji I dan II yang telah memberikan masukan serta arahan sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi. 7. Yang terhormat dan tercinta, Ibu dan Ayah Saya yang selalu memberikan doa terbaik untuk anaknya. Semoga Allah menghadiahinya surga dan mengganjar kebaikannya dengan pahala. 8. Kepada Kakak saya, Yuli Kusuma Dewi yang telah memberikan fasilitas dan dukungan serta arahan terbaik dalam menyelesaikan studi saya di Universitas ini.
vi
9. Kepada teman terdekat dan juga sahabat yang telah memberikan banyak masukan dan bantuan Dini Aulia, Amala Shabrina, Sri Lestari, Dinar Aulia, dan khususnya Agus Maulana Yusuf yang banyak membantu baik waktu, tenaga, dan juga motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini. 10. Untuk teman-teman angkatan 2009 khususnya Perbankan Syariah Kelas E yang telah menjadi kerabat bertukar pikiran, berdikusi, dan berbagi selama berada di Universitas ini 11. Kepada Teman-teman Lingkar Studi Ekonomi Syariah (LiSEnSi) UIN Jakarta yang banyak menginspirasi penulis dalam mendalami Kajian-kajian Ekonomi Syariah. Dan ucapan terima kasih penulis kepada semua pihak, semoga kebaikan dan bantuan kepada penulis menjadi amal ibadah dan mendapat ridha dari Allah SWT. Penulis meminta maaf karena terdapat beberapa kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini. Untuk itu kritik dan saran kiranya dapat memperbaiki skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membacanya. Jakarta, 30 Desember 2013 Penulis Fitri Yunindya
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN PANITIA ..................................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii ABSTRAK ................................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ................................................................................................ v DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................................... 1 B. Permasalahan………………………………………………………………...4 1.
Identifikasi Masalah…………………………………………………….4
2.
Pembatasan Masalah……………………………………………………5
3.
Perumusan Masalah…………………………………………………….5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 6 D. Metode Penelitian ......................................................................................... . 7 1. Jenis Penelitian…………………………………………………….…… 7 2. Jenis Data …………………………………………………….………….8 3. Teknik Analisis Data …………………………………………................8 4. Teknik Penulisan …………………………………………..………........9 E. Sistematika Penulisan ………………………………………………………9 viii
BAB II TINJAUAN TEORI A. Hukum 1. Pengertian Hukum ................................................................................ 11 2. Sumber-sumber Hukum ....................................................................... 14 3. Fungsi Hukum……………………………………………………….….17
B. Undang-Undang ........................................................................................... 19 1. Definisi Undang-undang ........................................................................ 19 2. Asas-asas pembentukan Perundang-undangan yang Baik ................ 23
C. Lembaga Keuangan Mikro ......................................................................... 26 1. Definisi Lembaga Keuangan Mikro .................................................... 26 2. Jenis-jenis Lembaga Keuangan Mikro ……………………………....27 3. Peran Lembaga Keuangan Mikro…….………………………………27
D. Review Studi Terdahulu .............................................................................. 29 BAB III GAMBARAN UMUM BAITUL MAL WAT TAMWIL A. Definisi Baitul Mal Wat Tamwil ................................................................. 34 B. Aspek Kegiatan yang Terdapat Dalam BMT ........................................... 35 C. Peran BMT ................................................................................................... 38 D. Peraturan yang Mengatur BMT…………………………………………..39 1. Undang-Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian….…….39 ix
2. Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang OJK…………………...46 3. Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang LKM……………………52
BAB IV Analisis dan Pembahasan A. Kelembagaan BMT…………………………………………………57 B. Regulasi BMT……………………………………………………….66 C. Penguatan Hukum BMT…………………………………………...75 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................................... 78 B. Saran ............................................................................................................. 79 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...81
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Hierarki Perundang-undangan ........................................................ 21
Gambar 4.1
Alur Sistematis Pengaturan BMT .................................................... 61
Gambar 4.2
Perundang-undangan LKMS............................................................ 62
Gambar 4.3
Alur Pelaksanaan Perundang-undangan LKMS............................... 63
Gambar 4.4
Penguatan Hukum LKMS ................................................................ 67
Gambar 4.5
Pengembangan LKMS Melalui Penguatan Hukum LKMS ............. 68
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan yang paling efisien untuk mengatasi kemiskinan adalah dengan melakukan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Percepatan pertumbuhan ekonomi berperan sebagai syarat dasar yang paling strategis bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Untuk menunjang hal tersebut, maka perlu adanya perbaikan terhadap akses pendanaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah. Terhambatnya upaya pengembangan masyarakat miskin dalam mengakses layanan keuangan pada umumnya disebabkan antara lain dari sisi legalitas yaitu masalah agunan, belum berbadan hukum, tidak adanya izin usaha, dan tidak adanya identitas pribadi.1 Hal tersebut membuat masyarakat dinilai tidak layak mendapatkan akses pendanaan. Dengan
adanya
sistem
keuangan
inklusif
diharapkan
dapat
menciptakan sinergi antara bank dan lembaga keuangan non-bank. Mengingat bank adalah lembaga keuangan yang paling luas cakupannya, strategi keuangan inklusif akan berpijak di atas sektor perbankan sebagai basis. Untuk
1
Eko, “Financial Inclusion; Akses Pendanaan Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah”, Tabloid Progress, (Mei 2011), h. 7
1
2
mengisi celah konsumen yang tidak terlayani, maka sinergi antara bank dan lembaga keuangan non-bank, salah satunya dengan lembaga keuangan mikro yang sudah banyak melayani kelompok miskin dan UMKM perlu di dorong. Bersadarkan strategi penguatan akses keuangan masyarakat diatas, maka LKMS perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari pemerintah. Jika sebelumnya LKMS diatur oleh Undang-Undang No.7 tentang perkoperasian dirasa kurang terakomodir oleh undang-undang tersebut dikarenakan banyaknya perbedaan dan ketidaktepatan dengan ciri khas dari LKMS khususnya Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) dengan koperasi pada umumnya. Pada Undang-Undang No. 17 tahun 2012 tentang perkoperasian sebagaimana amandemen dari Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian, tidak mengatur secara komprehensif mengenai aspek syariah baik dari segi operasional pola syariah maupun model pembiayaan serta sistem pengawasan, standar kompetensi, manajemen resiko maupun hal terkait dengan LKMS yang notabene berbeda sekali dengan koperasi simpan pinjam konvensional.2 Pada kenyatannya dilapangan, banyak LKMS yang menjadikan badan hukum koperasi hanya sebagai pelindung dari sebutan bank gelap tetapi realitanya sistem operasionalnya sama seperti layaknya bank dan tidak menerapkan prinsip-prinsip koperasi. Hal ini mengakibatkan banyak 2
Euis Amalia, Keadilan Distributif Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2009)
3
munculnya pelanggaran dan penyimpangan pada LKMS atau dalam hal ini BMT.
Ketiadaan
undang-undang
yang
mampu
memayungi
LKMS
mengakibatkan masalah-masalah tersebut tidak dapat diproses secara lebih lanjut karena tidak adanya ketentuan hukum yang jelas. Akan tetapi, dengan munculnya undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, serta Undang-Undang No.1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro membuat LKMS khususnya Baitul Mal wat Tamwil (BMT) menjadi terbatas ruang geraknya dikarenakan undang-undang tersebut terkesan tumpang tindih (overlapping) dan justru membatasi operasional BMT. Lembaga keuangan mikro seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Unit Pelaksana Teknis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (UPT-PEM), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam Koperasi (USP Koperasi), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi (UJKS Koperasi), Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM) atau lembaga sejenis lainnya perlu untuk mendapatkan penguatan dan dukungan tidak hanya dalam hal permodalan, namun juga pada aspek legal agar lebih efektif dan kondusif melayani
4
masyarakat dalam mengakses jasa keuangan. Peraturan yang ada di sektor keuangan pun harusnya bersinergi dengan BMT agar menciptakan suatu lembaga yang kokoh, baik dalam kelembagaan maupun kekuatan hukum. Berdasarkan uraian di atas, maka judul penelitian ini adalah “Analisis Landasan Operasional Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Terkait”. B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dalam upaya pemberdayaan ekonomi dan peningkatan akses keuangan bagi usaha mikro dan kecil, lembaga keuangan mikro
mulai mendapat
perhatian berbagai pihak khususnya Pemerintah. Perhatian tersebut misalnya pada penyediaan landasan hukum bagi beroperasinya LKMS tersebut. Munculnya undang-undang baru yaitu Undang-Undang No.21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, serta Undang-Undang No.1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dirasa membuat LKMS khususnya Baitul Mal wat Tamwil (BMT) menjadi terbatas ruang geraknya dikarenakan undang-undang tersebut terkesan tumpang tindih (overlapping) dan justru membatasi operasional BMT. Sebagai lembaga keuangan mikro yang operasionalnya menjadi intermediary agent bagi kelompok masyarakat ekonomi kecil, baik secara
5
komersial maupun sosial, ruang gerak LKMS terkesan terbatasi dengan munculnya beberapa undang-undang terkait operasionalnya. Adapun industri LKMS khususnya BMT akan highly regulated dan relatif rentan terjadi dispute mengingat banyak landasan hukum yang harus dirujuk. Banyaknya landasan hukum membuka ruang penafsiran menjadi begitu luas, sehingga potensi penyimpangan hukum relatif tinggi. 2. Pembatasan Masalah Agar pembahasan yang dikaji menjadi fokus dan terarah, maka skripsi ini hanya membahas landasan operasional yang tertuang dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, UndangUndang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Dan Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, sedangkan LKMS yang dikaji hanya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). 3. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka rincian pertanyaan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Apa saja undang-undang yang menjadi landasan bagi BMT dalam menjalankan operasionalnya? b. Apa dampak dari regulasi tersebut apabila terjadi perselisihan atau penyimpangan?
6
c. Bagaimana undang-undang yang ada dalam menopang kelangsungan BMT di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Mengetahui apa saja undang-undang yang menjadi landasan bagi BMT dalam menjalankan operasionalnya. b. Mengetahui apa dampak dari regulasi tersebut manakala terjadi terjadi sengketa atau penyimpangan. c. Mengetahui bagaimana undang-undang yang ada dalam menopang kelangsungan BMT di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Bagi Penulis Manfaat penelitian bagi penulis adalah terlatihnya kepekaan akan prosedur ilmiah, dan keberanian menyampaikan gagasan untuk merumuskan jalan keluar dari masalah-masalah masyarakat sekitar.
7
b. Bagi Praktisi Lembaga Keuangan Mikro Memberikan gagasan serta masukan tentang regulasi BMT yang ada dalam hal pengembangan LKMS secara komprehensif. c. Bagi masyarakat Memberikan informasi tentang regulasi LKMS serta penyampaian kritik yang bisa dijadikan referensi.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Pada prinsipnya, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.3 Pada penelitian ini, digunakan referensi yang berkaitan dengan tema penulisan diantaranya yaitu undang-undang, buku-buku ilmu hukum, prosiding dan karya tulis tentang hukum dan LKMS. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, yang menjabarkan tentang analisis landasan operasional Lembaga Keuangan Mikro Syariah di Indonesia berdasarkan undang-undang yang terkait.4
3
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h. 13 4 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung:CV. Pustaka Setia, 2002) Cet.I, h. 51.
8
2. Jenis Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi dengan penelitian kepustakaan, yakni penelitian terhadap dokumen-dokumen atau referensi dari berbagai literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan objek penelitian. Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi data primer dan sekunder. Data primer atau data hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, dan terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Perundang-undangan; Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Data hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti hasilhasil penelitian hukum, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya terkait dengan penelitian. 5 3. Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu menganalisis data yang telah dikumpulkan yang berisi informasi, pendapat dan konsep, serta analisis hukum yang bersifat yuridis normatif, yaitu analisis hukum yang merujuk pada hukum perundang-undangan yang mengatur BMT. 5
Ibid., h.13
9
4. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta 2013”. E. Sistematika Penulisan Merujuk pada semua yang dituliskan di atas dan metode yang digunakan serta dalam rangka memudahkan penulisan skripsi, maka pembahasan dibagi menjadi lima (5) bab. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Bab ini mengemukakan dan menjelaskan garis-garis besar materi yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Diawali dengan Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan
Masalah,
Tujuan
dan
Manfaat
Penelitian,
Metodologi Penelitian serta Sistematika Penulisan. BAB II
TINJAUAN TEORI Bab ini membahas tinjauan teoritis mengenai gambaran umum dan definisi, sumber-sumber, dan fungsi hukum. Definisi, hierarki
perundang-undangan,
dan
asas-asas
peraturan
10
perundang-undang. Definisi, jenis-jenis, dan peran Lembaga Keuangan Mikro, serta review studi terdahulu. BAB III
GAMBARAN UMUM BAITUL MAAL WAT TAMWIL Bab ini merupakan bab yang membahas tentang gambaran umum berupa definisi, aspek kegiatan, peran, dan peraturan yang mengatur Baitul Maal Wat Tamwil .
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bab ini merupakan hasil penelitian dan analisis yuridis Lembaga Keuangan Mikro Syariah Berdasarkan Perundangundangan Sektor Keuangan di Indonesia.
BAB V
PENUTUP Bab ini merupakan bagian penutup dikemukakan tentang kesimpulan dan saran yang relevan untuk disampaikan.
BAB II TINJAUAN TEORI A. Hukum 1. Definisi Hukum Pengertian hukum menurut pendapat beberapa ahli hukum adalah sebagai berikut1: a. Plato, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. b. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. c. Austin, hukum adalah peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya. d. Bellfroid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat yang itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat. e. E.M. Meyers, hukum adalah semua peraturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditunjukkan pada tingkah laku manusia
1
Ishaq, S.H, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 2-3.
11
12
dalam masyarakat dan menjadi pedoman penguasa Negara dalam melakukan tugasnya. f. Duguit, hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu. g. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang kemerdekaan. h. Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur dan melindungi kepentingan orang dalam masyarakat. i. Van Apeldoorn, hukum adalah suatu gejala sosial; tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek dari kebudayaan seperti agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan. j. S. M. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri atas norma dan sanksi-sanksi. k. E. Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya
ditaati
oleh
seluruh
anggota
masyarakat
yang
13
bersangkutan. Oleh karena itu, pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu. l. M.H. Tirtaamidjata, hukum adalah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku dan tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman harus mengganti kerugian jika melanggar aturan tersebut yang akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda, dan sebagainya. m. J.T.C. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum ialah peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran amanah terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman Dari beberapa pengertian dan pendapat para tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang disusun untuk mengatur serta memberi batasan terhadap tingkah laku manusia agar tercipta kedamaian di dalam masyarakat.
14
2. Sumber-sumber Hukum Yang dimaksud dengan sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata.2 Sumber hukum dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi materiil dan segi formil.3 1. Sumber Hukum Materiil Sumber hukum material adalah faktor-faktor masyarakat yang memengaruhi pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat undangundang, pengaruh terhadap keputusan hakim, dan sebagainya).4 Atau faktor-faktor yang ikut memengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum, atau tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.5 Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum, dan terdiri atas: 1) perasaan hukum seseorang atau pendapat umum, 2
A. Siti Soetami, S.H, Pengantar Tata Hukum Indonesia (Bandung: Pt. Refika Aditama,
2005) 3
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Ichtisar) dalam Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010). H. 28 4 Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidhartha, Pengantar Ilmu Hukum (Bandung, Alumni, 2000), hlm. 54. Dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006), h. 55. 5 Ibid., 55.
15
2) agama 3) kebiasaan, dan 4) politik hukum dari pemerintah. Sumber hukum materiil, yaitu tempat materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Sumber hukum materiil dapat ditinjau dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan sebagainya.6 2. Sumber Hukum Formil Sumber hukum formal, yaitu berbagai bentuk aturan hukum yang ada. Sumber hukum formal diartikan juga sebagai tempat atau sumber dari mana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku formal. Sumber hukum formil, antara lain7:
6
Ibid., Yulies Tiena Masriani, S.H., M.Hum. Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta 2008), h.13. 7
16
1) Undang-undang (statute), Hukum perundang-undangan adalah hukum tertulis yang dibentuk dengan cara-cara tertentu oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis.8 2) Kebiasaan/ adat (custom), Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang tidak tertulis, namun tumbuh dan dipertahankan dalam persekutuan masyarakat hukum adat. Hukum adat diakui sebagai salah satu bentuk hukum yang berlaku. Mengikat bukan hanya saja pada anggota masyarakat, melainkan mengikat pula pada peradilan atau administrasi Negara yang bertugas menerapkannya dalam situasi konkret.9 3) Keputusan-keputusan hakim (jurisprudentie), Yurisprudensi, yaitu kumpulan keputusan pengadilan mengenai persoalan ketatanegaran yang setelah disusun secara teratur memberikan kesimpulan tentang adanya ketentuan-ketentuan
8
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).,
9
Ibid., h. 34.
h. 33.
17
hukum tertentu yang ditemukan atau dikembangkan oleh badanbadan pengadilan.10 4) Traktat (treaty), Traktat atau perjanjian internasional adalah persetujuan yang diadakan oleh Indonesia dengan Negara-negara lain, dimana Indonesia telah mengikat diri untuk menerima hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang diadakannya itu, traktat merupakan sumber hukum yang penting.11 5) Doktrin. Doktrin ketatanegaraan adalah ajaran-ajaran tentang hukum tata Negara yang ditemukan dan dikembangkan di dalam dunia ilmu pengetahuan sebagai hasil penyelidikan dan pemikiran seksama berdasarkan logika formal yang berlaku.12 3. Fungsi Hukum Hukum bekerja dengan cara membatasi perbuatan seseorang atau hubungan antara orang-orang dalam masyarakat. Untuk keperluan pembatasan maka hukum menjabarkan tugasnya dalam berbagai fungsinya. Dengan demikian fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. 10
Ibid., h. 35 Ibid., 12 Ibid., h. 36. 11
18
Adapun fungsi hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu: 1. Pengawasan/ pengendalian sosial (social control) 2. Penyelesaian sengketa (dispute settlement) 3. Rekayasa sosial (social engineering)13
Muchtar Kusumaatmadja, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, mengajukan pula beberapa fungsi hukum sebagai berikut.
“Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan sebagai sarana pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dianggap pentingdan sangat diperlukan. Di samping itu, hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogyanya dilakukan, disamping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial.14 Berdasarkan uraian fungsi hukum oleh para pakar hukum diatas, dapat disusun fungsi-fungsi hukum sebagai berikut: 13
Lawrence M. Friedmann, Law and Society an Introduction, (New Jersey: Prentice Hall, 1997), h. 11-12 dalam Ishaq, S.H, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) 14
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum (Jakarta: Rajawali, 1982 h. 9 dalam Ishaq, S.H, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h. 10.
19
a. Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk berperilaku. b. Pengawasan atau pengendalian sosial (social control). c. Penyelesaian sengket (dispute settlement). d. Rekayasa sosial (social engineering).
Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah perilaku, kiranya tidak memerlukan banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan sebagai kaedah, yaitu sebagai pedoman perilaku yang seyogyanya atau diharapkan diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan suatu kegiatan yang diatur oleh hukum. Hukum sebagai sarana pengendalian sosial, menurut A. Ross yang dikutip oleh Soerjono Soekanto adalah mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Ross menganut teori imperatif tentang fungsi hukum dengan banyak menghubungkannya dengan hukum pidana.15
B. Undang-undang 1. Definisi Undang-Undang Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, yang di dalam pembentukannya dilakukan oleh 15
Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni,m 1981) h. 44 dalam Ishaq, S.H, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) h. 11
20
dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden seperti ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 UUD 1945.16 Undang-undang adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan, yang menjamin tuntutan-tuntutan Negara berdasar atas hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat suatu hukum, dan adanya kepastian dalam hukum.17 Menurut
pendapat
Peter
Badura,
dalam
pengertian
teknis
ketatanegaraan Indonesia, undang-undang ialah produk yang dibentuk bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara (pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 UUD 1945 hasil perubahan pertama).18 Menurut
S.J.
Fockema
Andrea
dalam
bukunya
“Rechtsgeleerdhandwoordenboek” perundang-undangan mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu: “Perundang-undangan
merupakan
proses
pembentukan/
proses
membentuk peraturan-peraturan Negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; perundang-undangan adalah segala peraturan-peraturan
16
Maria Farida Indrati. S, Ilmu Perundang-undangan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007).
h. 186. 17
Prof. dr. Yuliandri, S.H, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009) h. 25. 18 Ibid.,
21
Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah”.19 2.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan RI Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) disusun dalam suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan perundang-undangan. Menurut UUD 1945, dalam huruf A, disebutkan tata urutan bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan RI ialah sebagai berikut.20
Gambar 2.1 Hierarki Peraturan Perundang-undangan Hierarki Peraturan Perundang-undangan Menurut UU No. 10 Tahun 2004 UUD 1945 Ketetapan MPRS/MPR UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Peraturan daerah
19 20
H. 28-59.
Ibid., h. 26. Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
22
1. Perda Provinsi 2. Perda Kabupaten/ Kota 3. Perdes/ Peraturan yang setingkat.
Tata urutan diatas menunjukkan tingkatan masing-masing bentuk yang bersangkutan, dimana yang disebut lebih dahulu mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada bentuk-bentuk yang tersebut dibawahnya. Di samping itu, tata urutan diatas mengandung konsekuensi hukum, bentuk peraturan atau ketetapan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh mengandung materi yang bertentangan dengan materi yang dimuat di dalam suatu peraturan yang bentuknya lebih tinggi, terlepas dari soal siapakah yang berwenang memberikan penilaian terhadap materi peraturan serta bagaimana nanti konsekuensi apabila materi peraturan itu dinilai bertentangan dengan materi peraturan yang lebih tinggi.21 Hal ini selaras dengan asas hukum lex superior deregat inferiori (hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang tingkatannya di bawahnya). Hal ini dimaksud agar tercipta kepastian hukum dalam sistem peraturan perundang-undangan.22 Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut mengandung beberapa prinsip berikut:
21 22
Ibid., h. 38. Ibid., h. 46.
23
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundangundangan yang lebih rendah atau berada dibawahnya. 2. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang tingkatnya lebih tinggi. 3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti, atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat. 5. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut. Selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan yang lebih umum.23 3. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik Perkembangan pengaturan terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, dalam pembentukan undang-undang di
23
Ibid., h. 46-47.
24
Indonesia untuk pertama kali secara tegas dan limitatif dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PerundangUndangan. Pengaturan yang serupa juga diatur dalam
Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 5 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 memberi penjelasan, bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan, harus didasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yaitu: kejelasan tujuan; kelembagaan muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan. Dalam penjelasan pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 selanjutnya dijelaskan maksud dari asas-asas tersebut adalah sebagai berikut24: a. Asas Kejelasan Tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. b. Asas Kelembagaan atau Organ Pembentukan yang Tepat, adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/ pejabat pembentuk perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
24
Prof. dr. Yuliandri, S.H, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009) h, 152
25
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/ pejabat yang tidak berwenang. c. Asas Kesesuaian Antara Jenis dan Materi Muatan adalah bahwa dalam pembentukan
peraturan
perundang-undangan
harus
benar-benar
memerhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. d. Asas Dapat Dilaksanakan, adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan
harus
memperhitungkan
efektivitas
peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. e. Asas Kedayagunaan dan Kehasilan adalah bahwa setiap peraturan pembentukan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. Asas Kejelasan Rumusan, adalah bahwa setiap peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata yang terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. g. Asas Keterbukaan, adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh
26
lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundangundangan.25
C. Lembaga Keuangan Mikro 1. Definisi Lembaga Keuangan Mikro Menurut undang-undang No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan
usaha
yang
tidak
semata-mata
mencari
keuntungan.26 Sedangkan yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah adalah Lembaga Keuangan Mikro yang menggunakan prinsip-prinsip syariah dengan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) guna mengawasi operasional yang sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).27
25
Ibid., h. 151-152. Republik Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, Bab I pasal 1. 27 Ibid., Bab IV pasal 12. 26
27
Jenis-jenis Lembaga Keuangan Mikro
2.
Menurut Salam (2000), jenis LKM sangat bervariasi, baik ditinjau dari sisi kelembagaan tujuan pendirian, budaya masyarakat, kebijakan pemerintah maupun sasaran lainnya. Secara umum, LKM di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat formal dan informal LKM formal terdiri dari bank, yaitu Badan Kredit Desa (BKD), Bank Prekreditan Rakyat (BPR), dan BRI Unit, sementara LKM formal non bank mencakup Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), Koperasi (Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Unit Desa) dan Pegadaian. Adapun LKM informal terdiri dari berbagai kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPM), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP) serta berbagai bentuk kelompok lainnya. 3. Peran Lembaga Keuangan Mikro. Pada dasarnya, peran lembaga keuangan mikro sama dengan peran yang dimiliki oleh lembaga keuangan pada umumnya yaitu:28 a. Pengalihan asset (asset transmutation) menggalihkan asset dari unit surplus ke unit defisit.
28
2000), h. 8
Y. Sri Susilo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lain (Jakarta: Penerbit Salemba Empat,
28
Bank dan lembaga keuangan bukan bank akan memberikan pinjaman kepada pihak yang membutuhkan dana dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Sumber dana pinjaman tersebut diperoleh dari pemilik dana yaitu unit surplus yang jangka waktunya dapat diatur sesuai keinginan pemilik dana. Dalam hal ini bank dan lembaga keuangan bukan bank berperan sebagai pengalih asset dari unit surplus (lenders) kepada unit defisit (borrowers). Dalam kasus yang lain, pengalihan asset dapat pula terjadi jika bank dan lembaga keuangan bukan bank menerbitkan sekuritas sekunder (giro, deposito berjangka, dana pensiun, dan sebagainya) yang kemudian dibeli oleh unit surplus dan selanjutnya ditukarkan dengan sekuritas primer (saham, obligasi, promes, commercial papper dan sebagainya) yang diterbitkan oleh unit defisit. b. Transaksi (transaction) memberikan kemudahan transaksi barang dan jasa Bank dan lembaga keuanga bukan bank memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi barang dan jasa. Produk-produk yang dikeluarkan oleh bank dan lembaga keuangan bukan bank (giro, tabungan, deposito, saham, dsb) merupakan pengganti dari uang dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran. c. Likuiditas (liquidity) menawarkan produk dana dengan berbagai alternatif tingkat likuidasi
29
Unit surplus dapat menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk produk-produk berupa giro, tabungan, deposito, dan sebagainya. Produk-produk tersebut masing-masing mempunyai tingkat likuiditas yang berbeda-beda. Untuk kepentingan likuiditas pemilik dana, mereka dapat menempatkan dananya sesuai dengan kebutuhan. d. Efisiensi (efficiency) Bank dan lembaga keuangan bukan bank dapat menurunkan biaya transaksi dengan jangkauan pelayanannya. Peranan bank dan lembaga keuangan bukan bank sebagai broker (brokerage) adalah mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan. Adanya informasi yang tidak simetris antara peminjam dan investor menimbulkan masalah insentif.
D. Review Studi Terdahulu Pembeda Judul
pembahasan
Identitas Penulis
dalam
Hasil Penelitian Penelitian
skripsi
yang
akan
diteliti 1.Putri Syahidah, Skripsi Mahasiswa Perbankan
S1 berjudul “Aspek
yang Dalam
skripsi
ini Skripsi yang akan
dibahas bahwa UU yang ditulis dijadikan
acuan
merupakan
bagi jawaban atas kritik
30
Syariah, Fakultas Regulasi Syariah Hukum.
dan Baitul UIN Wat
BMT yaitu UU No.2 dan saran yang telah Maal Tahun
1992
Tamwil Perkoperasian
Syarif
(Studi Kasus Keputusan
Hidayatullah
pada BMT al- Negara
Jakarta
Fath LKMS Amin,
tentang ditulis dalam skripsi dan sebelumnya. Menteri Sehingga
Koperasi
IKMI, Usaha
Kecil
dapat
dan memberikan estafet dan gagasan
al- Menengah
No. sistematis
yang tentang
BMT 91/Kep/M.KUKM/IX/20 regulasi LKM.
al-Kariim)”.
04
tentang
pelaksanaan usaha
petunjuk kegiatan
koperasi
jasa
keuangan syariah dinilai masih memiliki banyak kekurangan mengatur
dalam keberadaan
BMT yang berkembang di
masyarakat.
Dijelaskan
bahwa
undang-undang yang ada saat ini tidak seluruhnya dijalankan
oleh
BMT
31
salah
satunya
pemberian
yaitu laporan
keuangan kepada pejabat yang
berwenang.
Kemudian pula
dijelaskan
bahwa
banyak
undang-undang regulasi
atau
yang
tidak
dijalankan oleh pembuat kebijakan
yaitu
kementrian koperasi dan UKM
RI.
Undang-
undang tersebut antara lain mengenai penilaian kesehatan bank, tidak berjalannya sanksi
pemberian
terhadap BMT
yang melanggar, tidak berjalannya dan
pembinaan
pengawasan
Kementrian
dari
Koperasi
32
dan UKM RI.
1. Neni Imaniyati, Pengajar
Sri Prosiding
Dalam prosiding yang Jika dalam prosiding
yang berjudul telah di “Urgensi
dipublikasikan tersebut BMT masih
pada
Seminar
Universitas
Penguatan
Islam
Hukum Baitul Indonesia dengan
Bandung dan Mal Konsultan Hukum Kantor Hukum
25
Eropa
& Hukum
Tahun
dilaksanakan
di Perkoperasian, maka Islam dalam skripsi yang
Bandung tanggal 15 - 16 akan Desember
1992
yang Tentang
di (BMT) Dalam Universitas Perspektif
pada
Dialog Budaya antara Undang-Undang No.
Wat Uni
Tamwil
dan mengacu
2009
ditulis
ini penulis
oleh
saat
ini
Syariah Darul Ekonomi”.
menyatakan
Hikam..
terdapat banyak undang- undang-undang yang undang
yang
bahwa terdapat
terkait dikaji,
perluasan
dimana
mengatur BMT, namun undang-undang keberadaan
undang- tersebut merupakan
undang yang ada dinilai peraturan baru pada kurang
mengakomodir sektor
keberadaan BMT saat nasional ini,
dengan
keuangan yaitu
demikian Undang-Undang No.
33
perlu
segera
disusun Tahun 2011 Tentang
Undang-undang Lembaga
Otoritas
Keuangan Keuangan, Undang-
Mikro
yang Undang No. 1 Tahun
mengakomodir kebutuhan
2013
mikro
syariah
BMT
agar
pengusaha
Mikro serta adanya
seperti pembaruan Undangpara Undang
legalisasi atau kepastian
usaha.
No.
17
mikro Tahun 2012 Tentang
mendapatkan dukungan
dalam
Tentang
hukum Lembaga Keuangan
lembaga keuangan
status
Jasa
badan
hukum
menjalankan
Perkoperasian.
BAB III GAMBARAN UMUM BAITUL MAAL WAT TAMWIL A. Definisi BMT Baitul Mal wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Terpadu, adalah lembaga keuangan
mikro
yang
dioperasikan
dengan
prinsip
bagi
hasil,
menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan sistem ekonomi yang Salaam: keselamatan, kedamaian, dan, kesejahteraan. BMT sesuai namanya terdiri atas dua fungsi utama yaitu sebagai berikut: 1 1. Baitul tamwil (rumah pengembangan harta), melakukan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil, antara lain dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonomi. 2. Baitul mal (rumah harta), menerima titipan dana zakat, infak, dan sedekah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Secara harfiah, baitul mal berarti rumah dana, sedangkan baitut tamwil adalah rumah
usaha.
Baitul
mal
dikembangkan
1
berdasarkan
sejarah
M. Nur Rianto Al-Arif, Lembaga Keuangan Syariah - Suatu Kajian Teoretis Praktis (Jakarta: Pustaka Setia, 2012) h. 317.
34
35
perkembangannya, yaitu dari masa nabi sampai dengan pertengahan perkembangan islam. Baitul mal berfungsi untuk mengumpulkan, sekaligus men-tasyaruf-kan dana sosial. Sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif laba. Dari pengertian tersebut, dapat ditarik pengertian yang menyeluruh bahwa BMT merupakan organisasi bisnis yang berperan sosial.2 B. Aspek Kegiatan yang terdapat dalam BMT 1. Jasa Keuangan Kegiatan jasa keuangan yang dikembangkan oleh BMT merupakan penghimpunan dan menyalurkannya melalui kegiatan pembiayaan dari dan untuk anggota atau non anggota. Kegiatan ini dapat disamakan secara operasional dengan kegiatan simpan pinjam dalam koperasi atau perbankan secara umum. Namun demikian kegiatan perbankan, karena merupakan lembaga keuangan islam, BMT dapat disamakan dengan sistem perbankan atau lembaga keuangan yang mendasarkan kegiatannya dengan syariat islam. Hal ini juga terlihat dari produk-produk jasanya yang kurang lebih sama dengan yang ada dalam perbankan syariah. 3 Sesuai dengan peraturan perundangan koperasi, untuk jenis kegiatan simpan pinjam, aktivitasnya tidak boleh bercampur dengan aktivitas lain yang 2 3
Ibid., h. 319.
Hertanto Widodo, Ak. Et., al, PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis Operasional Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) (Bandung: Mizan, 1999) h. 82-83.
36
dilakukan oleh koperasi. Artinya, koperasi harus merupakan entitas tersendiri dan khusus untuk aktivitas simpan pinjam harus disediakan modal sendiri yang dipisahkan, jumlahnya sudah ditentukan dan tidak boleh berkurang. a. Penghimpunan Dana Penghimpunan dana oleh BMT diperoleh melalui simpanan yaitu dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada BMT untuk disalurkan ke sektor produktif dalam bentuk pembiayaan. Simpanan ini dapat berbentuk tabungan wadiah, simpanan mudharabah jangka pendek dan jangka panjang. b. Penyaluran Dana Penyaluran dana BMT kepada nasabah terdiri atas dua jenis: pertama, pembiayaan dengan sistem bagi hasil, dan kedua, jual beli dengan pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan merupakan penyaluran dana BMT kepada pihak ketiga berdasarkan kesepakatan pembiayaan antara BMT dengan pihak lain dengan jangka waktu tertentu dan nisbah bagi hasil yang disepakati. Pembiayaan dibedakan menjadi pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Penyaluran dana dalam bentuk jual beli dengan pembayaran ditangguhkan adalah penjualan barang dari BMT kepada nasabah, dengan harga ditetapkan sebesar biaya perolehan barang ditambah margin keuntungan yang disepakati untuk keuntungan BMT.
37
Bentuknya dapat berupa bai’ bitsaman ajil, pembayaran dilakukan secara angsuran, dan murabahah, pembayaran dilakukan diakhir perjanjian. 2. Sektor Riil Pada dasarnya, sektor riil juga merupakan bentuk penyaluran dana BMT. Namun, berbeda dengan kegiatan sektor jasa keuangan yang penyalurannya berjangka waktu tertentu, penyaluran dana ini selanjutnya disebut investasi atau penyertaan. Investasi yang dilakukan BMT dapat dengan mendirikan usaha baru atau dengan masuk ke usaha yang sudah ada dengan cara membeli saham. 3. Sosial (Zakat, Infaq, dan Sedekah) Kegiatan pada sektor ini adalah pengelolaan zakat, infaq, sedekah, baik yang berasal dari Badan amil zakat maupun yang berhasil dihimpun sendiri oleh BMT. Sektor ini merupakan salah satu kekuatan BMT karena juga berperan dalam pembinaan agama bagi para nasabah sektor jasa keuangan BMT. Dengan demikian, pemberdayaan yang dilakukan BMT tidak terbatas pada sisi ekonomi, tetapi juga dalam hal agama. Diharapkan pula para nasabah BMT tersebut akan turut menyalurkan ZIS nya kepada BMT.4
4
Ibid., h.82-84.
38
Secara kelembagaan BMT didampingi atau didukung Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). PINBUK sebagai lembaga primer dengan melakukan pembinaan serta memonitoring BMT di seluruh Indonesia. C. Peran BMT Keberadaan BMT merupakan representasi dari kehidupan masyarakat dimana BMT itu berada, dengan jalan ini BMT mampu mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat. Peran umum BMT yang dilakukan adalah melakukan pembinaan dan pendanaan yang berdasarkan sistem syariah. Peran ini menegaskan arti penting prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Sebagai lembaga keuangan syariah yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat kecil yang serba cukup – ilmu pengetahuan ataupun materik – maka BMT mempunyai tugas penting dalam mengemban misi keislaman dalam segala aspek masyarakat. Keberadaan BMT setidaknya mempunyai beberapa peran5: 1. Menjauhkan masyarakat dari praktek ekonomi non syariah. Aktif melakukan sosialisasi ditengah masyarakat tentang arti penting sistem ekonomi islami.
5
97.
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta: Ekosiana, 2003) h.
39
Hal ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mengenai cara-cara bertransaksi yang islami. 2. Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil. BMT harus bersikap aktif menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan mikro misalnya dengan cara pendampingan, pembinaan, penyuluhan, dan pengawasan terhadap usahausaha nasabah atau terhadap masyarakat umum. 3. Melepas ketergantungan pada rentenir, masyarakat yang masih tergantung rentenir disebabkan rentenir mampu memenuhi kebutuhan pendanaan dengan segera. 4. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata. Fungsi BMT langsung berhadapan dengan masyarakat yang kompleks dituntut harus pandai bersikap, oleh karena itu langkah-langkah untuk melakukan evaluasi dalam rangka pemerataan skala prioritas yang harus diperhatikan,
misalnya
dalam
masalah
pembiayaan,
BMT
harus
memperhatikan kelayakan nasabah dalam hal golongan nasabah dan jenis pembiayaan. D. Peraturan Yang Mengatur BMT 1. Undang-Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan
40
kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi. Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19456 dan berdasar atas asas kekeluargaan.7 Koperasi bertujuan meningkatkan kesejahteraan Anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan perekonomian nasional yang demokratis dan berkeadilan.8 Nilai yang mendasari kegiatan Koperasi yaitu: Kekeluargaan; Menolong diri sendiri; Bertanggung jawab; Demokrasi; Persamaan; Berkeadilan; dan Kemandirian.9 Koperasi mempunyai perangkat organisasi Koperasi yang terdiri atas Rapat Anggota, Pengawas, dan Pengurus.10 Dalam hal sumber permodalan Koperasi, maka dapat berupa: a. Modal Koperasi terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal. b. Selain tersebut diatas, modal Koperasi dapat berasal dari:
6
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, pasal 2. Ibid., pasal 3. 8 Ibid., pasal 4. 9 Ibid., 5. 10 Ibid., pasal 31. 7
41
1) Hibah; 2) Modal Penyertaan; 3) Modal pinjaman yang berasal dari: a) Anggota; b) Koperasi lainnya dan/atau Anggotanya; c) Bank dan lembaga keuangan lainnya; d) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya; dan/atau e) Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan/atau sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.11 Selain sumber permodalan tersebut diatas, Koperasi dapat menerima Modal Penyertaan dari: a. Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau b. masyarakat berdasarkan perjanjian penempatan Modal Penyertaan.12 Pemerintah dan/atau masyarakat wajib turut menanggung risiko dan bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayai dengan Modal
11
Ibid., pasal 66. Ibid., pasal 75 ayat 1.
12
42
Penyertaan sebatas nilai Modal Penyertaan yang ditanamkan dalam Koperasi.13 Berdasarkan undang-undang ini, jenis Koperasi terdiri dari Koperasi konsumen; Koperasi produsen; Koperasi jasa; dan Koperasi Simpan Pinjam.14 Dimana koperasi konsumen menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di bidang penyediaan barang kebutuhan Anggota dan nonAnggota;15 Koperasi produsen menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan di bidang pengadaan sarana produksi dan pemasaran produksi yang dihasilkan Anggota
kepada
Anggota
dan
non-Anggota16;
Koperasi
jasa
menyelenggarakan kegiatan usaha pelayanan jasa non-simpan pinjam yang diperlukan oleh Anggota dan non-Anggota17; dan Koperasi Simpan Pinjam menjalankan usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha yang melayani Anggota.18
13
Ibid., pasal 75 ayat 2. Ibid., pasal 83. 15 Ibid., pasal 84. 16 Ibid., pasal 84 ayat 2. 17 Ibid., pasal 84 ayat 3. 18 Ibid., pasal 84 ayat 4. 14
43
Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah.19 Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah diatur dengan Peraturan Pemerintah.20 Di dalam Undang-undang ini, Koperasi Simpan Pinjam harus memperoleh izin usaha simpan pinjam dari Menteri.21 Untuk memperoleh izin usaha simpan pinjam, Koperasi Simpan Pinjam harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.22 Adapun kegiatan dalam Koperasi Simpan Pinjam yaitu: a. menghimpun dana dari Anggota; b. memberikan Pinjaman kepada Anggota; dan c. menempatkan dana pada Koperasi Simpan Pinjam sekundernya. 23 Untuk meningkatkan pelayanan kepada Anggota, Koperasi Simpan Pinjam dapat membuka jaringan pelayanan simpan pinjam. Jaringan pelayanan simpan pinjam dapat terdiri atas: a. Kantor Cabang; b. Kantor Cabang Pembantu; dan c. Kantor Kas.24 19
Ibid., pasal 87 ayat 3. Ibid., pasal 87 ayat 4. 21 Ibid., pasal 88 ayat 1. 22 Ibid., pasal 88 ayat 2. 23 Ibid., pasal 89. 24 Ibid.,pasal 90. 20
44
Untuk meningkatkan usaha Anggota dan menyatukan potensi usaha serta mengembangkan kerjasama antar-Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Simpan Pinjam dapat mendirikan atau menjadi Anggota Koperasi Simpan Pinjam Sekunder. Koperasi Simpan Pinjam Sekunder dapat menyelenggarakan kegiatan: a. simpan pinjam antar-Koperasi Simpan Pinjam yang menjadi anggotanya; b.
manajemen risiko;
c. konsultasi manajemen usaha simpan pinjam; d. pendidikan dan pelatihan di bidang usaha simpan pinjam; e. standardisasi sistem akuntansi dan pemeriksaan untuk anggotanya; f. pengadaan sarana usaha untuk anggotanya; dan/atau g. pemberian bimbingan dan konsultasi. Koperasi Simpan Pinjam wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Dalam memberikan Pinjaman, Koperasi Simpan Pinjam wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan peminjam untuk melunasi Pinjaman sesuai dengan perjanjian dan wajib menempuh cara yang tidak merugikan Koperasi Simpan Pinjam dan kepentingan penyimpan dan wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian terhadap penyimpan.
45
Koperasi Simpan Pinjam dilarang melakukan investasi usaha pada sektor riil. Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana dari Anggota harus menyalurkan kembali dalam bentuk Pinjaman kepada Anggota.25 Dalam menjamin simpanan, maka Koperasi Simpan Pinjam wajib menjamin Simpanan Anggota. Adapun pemerintah dapat membentuk Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam untuk menjamin Simpanan Anggota. Lembaga Penjamin Koperasi Simpan Pinjam menyelenggarakan program penjaminan Simpanan bagi Anggota Koperasi Simpan Pinjam dan koperasi yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti program penjaminan simpanan pada Lembaga Penjamin Koperasi. Ketentuan mengenai Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam diatur dengan Peraturan Pemerintah.26 Dalam hal meningkatkan kepercayaan terhadap koperasi, maka wajib dilakukan pengawasan terhadap koperasi oleh Menteri.
27
Sedangkan
Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dilakukan oleh Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam yang kemudian Lembaga Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam bertanggung jawab kepada Menteri.28
25
Ibid.,pasal 93. Ibid.,pasal 94. 27 Ibid.,pasal 96. 28 Ibid.,pasal 100. 26
46
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka Koperasi yang telah didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diakui sebagai Koperasi berdasarkan Undang-Undang ini.29 Undang-undang ini diundangkan Pada Tanggal 30 Oktober 2012 dan mulai berlaku pada saat diundangkan. 2. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai
fungsi,
tugas,
dan
wewenang
pengaturan,
pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.30 Berdasarkan Undang-undang ini, yang dimaksud dengan Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
31
Adapun yang dimaksud dengan
Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal sebagaimana
29
Ibid., pasal 122. Republik Indonesia, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan pasal 1 ayat 1. 31 Ibid., pasal 1 ayat 4. 30
47
dimaksud
dalam
peraturan
perundang-undangan
mengenai
lembaga
pembiayaan.32 Selain itu adapun yang dimaksud dengan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program
jaminan sosial,
pensiun, dan kesejahteraan,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan. 33 OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.34 OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan: a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
32
Ibid., pasal 1 ayat 9. Ibid., pasal 1 ayat 10. 34 Ibid., pasal 2 ayat 2. 33
48
b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.35 OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.36 OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.37 Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini; b. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. menetapkan peraturan dan keputusan OJK; d. menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK; f. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
35
Ibid.,Pasal 4. Ibid.,Pasal 5. 37 Ibid., pasal 6. 36
49
g. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; h. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan i. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.38 Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang: a. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; b. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; c. melakukan
pengawasan,
pemeriksaan,
penyidikan,
perlindungan
Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; e. melakukan penunjukan pengelola statuter; f.
38
menetapkan penggunaan pengelola statuter;
Ibid., pasal 8.
50
g. menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan h.
memberikan dan/atau mencabut:
i. izin usaha; sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.39 Untuk perlindungan Konsumen dan masyarakat, OJK berwenang melakukan tindakan pencegahan kerugian Konsumen dan masyarakat, yang meliputi: a. memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produknya; b. meminta Lembaga Jasa Keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan c. tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.40 Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:
39
Ibid., pasal 9. Ibid., pasal 28.
40
51
a. kewajiban pemenuhan modal minimum bank; b. sistem informasi perbankan yang terpadu; c. kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; d. produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya; e. penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan f. data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi.41 Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK dan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.42 Undang-undang ini disahkan di Jakarta pada tanggal 22 November 2011.
41
Ibid., 43. Ibid., pasal 55.
42
52
3. Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Undang-Undang yang terdiri dari 42 pasal ini memuat substansi pokok mengenai
ketentuan
lingkup
LKM,
konsep
Simpanan
dan
Pinjaman/Pembiayaan dalam definisi LKM, asas dan tujuan. Undang-Undang ini juga mengatur kelembagaan, baik yang mengenai pendirian, bentuk badan hukum, permodalan, maupun kepemilikan. Selain itu, Undang-Undang
ini mengatur juga mengenai kegiatan
usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha, serta cakupan wilayah usaha suatu LKM yang
berada
dalam
satu
wilayah
desa/kelurahan,
kecamatan,
atau
kabupaten/kota sesuai dengan perizinannya (multi-ticensing). Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga
keuangan
yang khusus
didirikan
untuk
memberikan
jasa
pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,
53
pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.43 Adapun menurut Undang-undang ini LKM bertujuan untuk:44 a. meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat; b.
membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat; dan
c. membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat miskin dan/atau berpenghasilan rendah. Bentuk badan hukum yang dapat digunakan oleh LKM antara lain adalah: a. Koperasi; atau b. Perseroan Terbatas.45 LKM yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, kepemilikan sahamnya mayoritas dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. 46Untuk 43
Republik Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
pasal 1. 44
Ibid., pasal 3. Ibid., pasal 5. 46 Ibid., pasal 9 ayat 1. 45
54
memperoleh izin usaha LKM harus dipenuhi persyaratan paling sedikit mengenai: a. Susunan organisasi dan kepengurusan; b. Permodalan; c. Kepemilikan; dan d. Kelayakan rencana kerja.47 Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan Simpanan oleh LKM dilaksanakan setara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.48Kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.49 Untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah LKM wajib membentuk dewan pengawas syariah.50Dewan pengawas syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi atau pengurus serta mengawasi kegiatan LKM agar sesuai dengan prinsip syariah.51
47
Ibid., pasal 9 ayat 2. Ibid., pasal 12 ayat 1. 49 Ibid., ayat 2. 50 Ibid., pasal ayat 1. 51 Ibid., pasal 12 ayat 2. 48
55
Untuk memberikan kepercayaan kepada para penyimpan, dapat dibentuk lembaga penjamin simpanan LKM yang didirikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan/atau LKM.52 Dalam hal diperlukan, Pemerintah dapat Pula ikut mendirikan lembaga penjamin simpanan LKM bersama Pemerintah Daerah dan LKM.53 Dalam hal mengatur cakupan wilayah kegiatan usaha, LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika: a.
LKM
melakukan
kegiatan
usaha
melebihi
1
(satu)
wilayah
kabupaten/kota tempat kedudukan LKM; atau b.
LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.54 Agar lebih terarah dan terawasi, maka pembinaan, pengaturan, dan
pengawasan LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.55Dalam melakukan pembinaan, Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dengan
kementerian
Kementerian
Dalam
yang
menyelenggarakan
Negeri.
Pembinaan
dan
urusan
pengawasan
didelegasikan kepada pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
52
Ibid., pasal 19 ayat 1. Ibid., pasal 19 ayat 2. 54 Ibid., pasal 27. 55 Ibid., pasal 28. 53
koperasi
dan
tersebut
56
Sebagaimana sebuah lembaga keuangan yang akuntabel, maka LKM wajib melakukan dan memelihara pencatatan dan/atau pembukuan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.56 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.57 Lembaga-tersebut diatas wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.58Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih Nagari serta lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada Undang-Undang ini.59 Dan Undang-undang ini disahkan di Jakarta, pada tanggal 8 Januari 2013 dan mulai berlaku tanggal 8 Januari 2015.
56
Ibid., pasal 29. Ibid., ayat 1. 58 Ibid., ayat 2. 59 Ibid., ayat 3. 57
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Kelembagaan BMT Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia menunjukkan progress yang sangat baik, pasalnya LKM merupakan lembaga keuangan yang mampu berbaur dengan masyarakat ekonomi rendah, dengan ciri khas nya yang berbeda dengan bank, LKM hadir sebagai mitra masyarakat untuk mengakses modal. LKM juga tidak hanya sebagai perantara antara pihak surplus dana dan pihak yang kekurangan dana, LKM turut melakukan pembinaan, pengawasan, dan monitoring nasabah pembiayaannya sehingga LKM dalam praktiknya mampu menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak bankable namun memiliki prospek dalam menjalankan usaha kecil dan menengah adalah masyarakat yang layak untuk diberi pembiayaan. Hal ini juga ditunjukkan dengan rendahnya nilai NPL (Non Performing Loan) atau kredit macet pada LKM lebih rendah daripada NPF pada bank. Berbeda dari banyaknya LKM yang ada di Indonesia, BMT merupakan LKM yang dapat dikatakan memiliki karakteristik yang berbeda dengan LKM sejenisnya. Hal ini dapat dilihat dari prinsip-prinsip yang dijalankan oleh BMT dan juga corak dari kegiatan usaha yang berbeda dengan LKM lain yang sejenis.
57
58
BMT yang pada awalnya masih menggunakan payung hukum perkoperasian saat ini dirasa kurang terpenuhi secara kelembagaan dan ketepatan hukum dengan undang-undang tersebut, yaitu undang-undang No. 25 Tahun 1992 yang telah diamandemen menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Banyak hal yang tidak diatur dengan baik perihal kelembagaan BMT, baik dari sisi pengawasan, pengaturan, aspek syariah, standar kompetensi, dll. Dengan alasan tersebut, maka pemerintah yang saat ini telah mengeluarkan penyempurnaan undang-undang dalam sektor keuangan dimana Bank Indonesia saat ini tidak lagi mengatur tentang Lembaga Keuangan di Indonesia dan dialihfungsikan oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka dengan munculnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro itu sendiri membuat BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro tidak lagi diatur oleh undang-undang perkoperasian dan Keputusan Menteri
Negara
Koperasi
dan
Usaha
Kecil
dan
Menengah
No.
91/Kep/M.KUKM/IX/2004 namun juga oleh undang-undang OJK dan undangundang LKM. Adanya undang-undang baru di dalam sektor keuangan nasional diatas membuat banyak praktisi BMT merasa ruang lingkup operasional BMT dibatasi oleh undang-undang tersebut. Undang-undang baru yang mengatur BMT masih dirasakan kurang tepat mengakomodasi kebutuhan hukum BMT saat ini. Banyak pula pihak
59
yang merasa undang-undang diatas belum matang untuk diundangkan dan terlihat tumpang tindih. Kerancuan dalam undang-undang terkait operasional BMT membuat BMT bukan hanya terbatasi operasionalnya, namun juga membuat BMT semakin rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam bidang hukum karena ketidaktepatan dan ketidakmampuan undang-undang dalam menjawab kebutuhan BMT sebagai lembaga keuangan mikro di masyarakat. Adanya beberapa undang-undang juga membuat BMT sulit merujuk hukum atau undang-undang mana yang menjadi acuan dasar apabila terjadi perselisihan atau penyimpangan. Dengan melihat review regulasi yang mengatur BMT diatas, maka berikut beberapa hal yang dapat dilihat agar didapat pemahaman terkait landasan operasional BMT dalam undang-undang. 1.
Bentuk Badan Hukum Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, bentuk badan hukum Lembaga Keuangan Mikro dapat berupa: a. Koperasi Berdasarkan
Undang-Undang
No.
17
Tahun
2012
Tentang
Perkoperasian dijelaskan bahwa koperasi adalah badan hukum yang didirikan
60
oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi. BMT yang berbadan hukum koperasi dapat dimiliki oleh orang perorangan atau badan hukum koperasi. b. Perseroan Terbatas Baitul Mal Wat Tamwil sebagai Lembaga Keuangan Mikro dapat berbentuk Koperasi atau Perseroan Terbatas walaupun pada prakteknya umumnya berbentuk badan hukum koperasi. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, jika BMT berbentuk Perseroan Terbatas maka sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) harus dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota atau badan usaha milik desa/ kelurahan. Sisa kepemilikan sahamnya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia dan/ atau koperasi. Kepemilikan saham warga negara Indonesia di dalam LKM berbentuk perseroan terbatas dibatasi hanya 20%. LKM dilarang dimiliki, baik langsung maupun tidak langsung oleh warga Negara asing dan/ atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga Negara asing atau badan usaha asing. Klausul ini akan menyulitkan bagi Baitul Mal Wat Tamwil jika memilih berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas. Pasalnya, BMT akan sulit berkoordinasi dengan pemerintah daerah kabupaten maupun kota
61
atau dengan badan usaha milik desa atau kelurahan baik dalam hal permodalan maupun operasional. Dalam hal permodalan, pemerintah daerah haruslah menganggarkan APBD dalam hal ini untuk menggalakkan keuangan mikro dalam basis LKM, sedangkan kenyataannya APBD belum secara matang dan serius dialokasikan untuk menyokong LKM di suatu desa atau kota. Pemerintah daerah masih menitik beratkan fokus pada pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa BMT dapat berbadan hukum Koperasi maupun Perseroan Terbatas. Apabila BMT memilih untuk berbadan hukum Koperasi, maka BMT haruslah merujuk pada peraturan Koperasi, jika BMT memilih untuk berbadan hukum Perseroan Terbatas, maka BMT wajib menaati peraturan terkait peraturan Perseroan Terbatas. Selain itu Baitul Mal Wat Tamwil yang berbadan hukum koperasi dapat saja bersama Pemerintah Daerah membentuk Lembaga Keuangan Mikro lainnya yang berbadan hukum Perseroan Terbatas.1 2. Perizinan Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin
1
Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Pasal 5 ayat 1.
62
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Agar BMT memperoleh izin usaha, harus dipenuhi persyaratan paling sedikit mengenai: a. Susunan organisasi dan kepengurusan b. permodalan c. kepemilikan d. kelayakan rencana kerja. Dengan adanya OJK sebagai lembaga yang mengawasi BMT, maka selain harus terlebih dahulu mendapat izin dari kementrian koperasi sebagai sebuah lembaga hukum, maka BMT juga harus mendapatkan izin dari OJK terkait keberadaannya sebagai lembaga keuangan. Hal ini berbeda dari sebelumnya, dimana peraturan OJK belum berlaku pada BMT. Perizinan ini penting dalam kaitannya dengan bagaimanakah BMT nantinya berbadan hukum. Perizinan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga berwenang diatas membuat BMT lebih legitimate dan credible sebagai sebuah lembaga keuangan.
63
3. Permodalan Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, sumber permodalan LKM disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sesuai dengan badan hukumnya.2 Berdasarkan Undang-undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, pada BMT yang berbadan hukum koperasi, maka sumber permodalan yaitu: 1) Modal Koperasi terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal. 2) Selain modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) modal Koperasi dapat berasal dari: 1) Hibah 2) Modal Penyertaan 3) Modal pinjaman yang berasal dari: 1) Anggota 2) Koperasi lainnya dan/atau Anggotanya 3) Bank dan lembaga keuangan lainnya 4) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya 5) Pemerintah dan Pemerintah Daerah
2
ayat 1.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Pasal 7
64
d. sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.3 Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, ketentuan mengenai besaran modal LKM diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.4 4. Kegiatan Usaha Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha Skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha.5 Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BMT turut berperan dalam pengembangan usaha serta melakukan pemberdayaan masyarakat agar tercapai kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat. Hal tersebut dilakukan baik dengan mengelola simpanan anggota dan masyarakat, menyalurkan pembiayaan dalam bentuk modal kerja maupun pembiayaan konsumtif, serta melakukan pembinaan kepada anggota dan masyarakat yang bermitra dengannya. Hal tersebut adalah salah satu yang membedakan BMT dengan perbankan, dimana 3
Ibid., pasal 66 ayat 1 dan 2. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro pasal 7 ayat 2. 5 Ibid., pasal 11 ayat 1. 4
65
BMT lebih terasa dekat dengan para anggota dan masyarakat dan menjunjung nilai-nilai serta asas kebersamaan dan kekeluargaan. BMT dan perbankan adalah instansi keuangan yang berbeda segmen pasar dan sasarannya, sehingga walaupun keduanya sama-sama melakukan penyaluran pembiayaan, BMT akan tetap fokus pada sektor mikro. Adapun jika anggota yang diberikan fasilitas pembiayaan telah tumbuh usahanya menjadi skala makro, maka perbankan akan mengambil alih posisi BMT yang dimana perbankan akan melakukan skala pembiayaan yang lebih besar dari yang disalurkan oleh BMT. Dengan demikian, walaupun keduanya memiliki sasaran dan target pasar yang berbeda, namun keduanya memiliki peran yang saling mendukung satu sama lain dengan kata lain, basis dari lembaga keuangan mikro adalah perbankan. Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan Simpanan oleh LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan setara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.6 BMT yang secara umum menjalankan operasional sesuai syariah, maka turut menyalurkan pinjaman atau pembiayaan dan pengelolaan simpanan berdasarkan prinsip syariah. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
6
Ibid., pasal 12 ayat 1.
66
wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.7 Baik undang-undang perkoperasian maupun undang-undang OJK tidak mengatur secara rinci tentang bagaimana peraturan yang harus diikuti oleh BMT sebagai lembaga keuangan mikro berbasis syariah. Aspek syariah yang dinilai paling penting dalam BMT terkesan tidak terlalu menjadi fokus dalam kedua undang-undang ini. Hal ini pun senada dengan undang-undang No.1 tentang lembaga keuangan mikro dimana aspek syariah hanya sekedar kewajiban adanya Dewan Pengawas Syariah. Adapun hal tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 yang dalam hierarki perundang-undangan, keputusan menteri berada dibawah kekuatan hukum perundang-undangan. Jika demikian, dalam prakteknya di lapangan, BMT akan banyak mengalami penyimpangan dalam segi sharia compliance dikarenakan memang secara rinci hal tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan. B. Regulasi BMT Setelah dibahas satu persatu mengenai undang undang yang mengatur tentang operasional BMT, maka dapat dikatakan di dalam tulisan ini terdapat tiga undang-undang yang secara berkaitan mengatur operasional BMT yaitu Undang-
7
Ibid.,pasal 12 ayat 2.
67
Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Dan Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Melihat banyak nya undang-undang yang harus dirujuk oleh BMT dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, maka dalam ilmu perundang-undangan hal tersebut dapat dicermati melalui beberapa asas-asas perundang-undangan sebagai berikut: 1. Asas lex superior derogat legi inferior8 ( hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang tingkatannya berada di bawahnya. Asas ini dimaksud bahwa peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis mengandung konsekuensi hukum bahwa suatu peraturan yang lebih rendah tdak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. BMT yang sebelumnya diatur dalam Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM RI Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petujuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) akan telah dicabut untuk tunduk dalam peraturan tersebut manakala segala aspek yang diatur dalam regulasi tersebut telah diatur oleh Undang-Undang No.17 tahun 2012 tentang Perkoperasian. Hal ini dikarenakan dalam hirarki
8
Harry Alexander, Panduan Perancangan Peraturan Daerah di Indonesia (Jakarta: XSYS Solusindo, 2004), h. 15.
68
perundang-undangan tingkatan undang-undang dinilai lebih tinggi dibanding dengan Keputusan Menteri. 2. Asas lex specialis derogat legi generalis, yang artinya bahwa peraturan yang bersifat khusus dapat mengabaikan atau mengesampingkan peraturan yang bersifat umum. Berdasarkan asas Lex specialis derogat legi generalis, aturan yang bersifat umum itu tidak lagi memiliki “validity” sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus, aturan yang khusus tersebut sebagai hukum yang valid, yang mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.9 3. Asas lex posterior derogat legi priori, yang berarti bahwa aturan yang baru mengenyampingkan aturan yang lama. Asas ini dipergunakan ketika terdapat pertentangan antara aturan yang derajatnya sama, misalnya UU 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian mengenyampingkan UU No 25 Tahun 1992. Setelah melihat asas perundang-undangan yang telah dikemukakan diatas, dapat dilihat bahwa ketika BMT dihadapkan oleh beberapa undangundang yaitu Undang-Undang No.17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Undang-Undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan Undang-Undang No.1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, maka dapat diketahui bahwa apabila BMT mengalami sengketa atau penyimpangan maka BMT akan mengacu kepada undang-undang Koperasi apabila memilih berbadan hukum koperasi dan apabila berbentuk perseroan terbatas, maka 9
Ibid.,
69
segala hal yang berkaitan dengan kelembagaannya tersebut akan mengacu kepada undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Sedangkan untuk ketentuan lain terkait yang tidak tercantum atau tidak tertuang di kedua undang-undang tersebut, maka BMT dapat merujuk pada Undang-Undang No. 1 tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro sebelum menyandingkannya dengan Undang-Undang No. 21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. Hal tersebut dikarenakan asas perundangundangan bahwa undang-undang yang khusus menyampingkan undangundang yang sifatnya umum. Setelah melihat perundang-undangan yang mengatur BMT diatas, maka dapat didapatkan alur sistematis dibawah ini, dimana dalam praktiknya, Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian mengatur internal kelembagaan BMT, sedangkan undang-undang yang terkait akan berimplikasi terhadap BMT apabila BMT keluar dari pembahasan struktur kelembagaan perkoperasian. Misal dikatakan bahwa BMT Beringharjo10 memilih berbadan hukum koperasi, maka kemudian undang-undang yang harus ditaati adalah undangundang tentang perkoperasian, sedangkan apabila BMT Bringharjo memilih berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), maka secara otomatis BMT Bringharjo akan tunduk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang
10
BMT dengan total outstanding Rp. 60 MIlyar dan funding Rp. 55 Milyar
70
Perseroan Terbatas. Kemudian, BMT bringharjo akan tunduk pada undangundang tentang LKM selaku lembaga keuangan dan setelahnya akan tunduk pada undang-undang OJK.
Gambar 4.1 Alur Sistematis Pengaturan BMT
UU 1/13 LKM
UU Sektor Keuangan & Perbankan
UU 17/12 Koperasi
UU 21/11 OJK
UU 40/07 PT
Dengan demikian, Undang-Undang No.17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian dan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur hanya kelembagaan atau Badan Usaha BMT saja, sedangkan lebih lanjut operasional, pengaturan, pengawasan BMT diatur lebih dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Undang-Undang No. 21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
71
Gambar 4.2 Perundang-undangan LKMS
•Koperasi (UU 17/12) •Perseroan Terbatas (UU 40/07)
Landasan Operasional LKM
•LKMS beroperasi sebagai lembaga keuangan Mikro (UU No.1 Th.2013 ttg LKM)
Badan Hukum
•Pengaturan LKMS •Pengawasan LKMS Pengaturan & Pengawasan
Secara badan hukum, maka undang-undang perkoperasian dan undangundang perseroan terbatas akan mutlak mengatur internal kelembagaan BMT. Sedangkan dalam operasional praktis di lapangan, maka BMT yang dinyatakan sebagai lembaga keuangan mikro pada Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro akan pula taat pada undang-undang tentang LKM tersebut dan selanjutnya akan secara runtut taat pada undang-undang terkait otoritas jasa keuangan.
72
Gambar 4.3 Alur Pelaksanaan perundang-undangan LKMS
Badan Hukum BMT •Undang-Undang No.17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian •Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro •Undang-undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro
Lembaga Keuangan Mikro sebagai bagian dari kewenangan OJK •Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Berkaitan dengan pengembangan BMT di Indonesia, fungsi hukum haruslah di arahkan pada fungsi hukum dalam perspektif partisipasi masyarakat. Dengan pilihan hukum responsive, yakni hukum sebagai suatu sarana merespons terhadap ketentuan – ketentuan, lembaga – lembaga sosial dan aspirasi – aspirasi masyarakat11. Lahir dan tumbuhnya BMT di Indonesia pada dasarnya karena aspirasi masyarakat. Hal ini terlihat dari Perkembangan BMT khususnya dan lembaga keuangan syariah umumnya secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya
kerangka
hukum
formal
sebagai
landasan
operasional
perkoperasian syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa
11
Neni Sri Imayati, “Eksistensi BMT (Baitul Mal wat Tamwil) Sebagai Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia”. Jurnal Hukum Pro Justitia, Tahun XXII Nomor 4 (Oktober 2004): h 11.
73
badan usaha pembiayaan non koperasi yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi – institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan sesuai dengan syariah.12 Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo13 bahwa hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan. Dengan demikian, layak pula bila dikatakan bahwa hukum adalah fungsi sejarah sosial suatu masyarakat. Tapi hukum bukanlah bangunan sosial yang statis, melainkan ia bisa berubah dan perubahan ini terjadi karena fungsinya untuk melayani masyarakatmya.14 Lembaga keuangan merupakan salah satu contoh apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahadjo, hukum lembaga keuangan tidak boleh statis, pada masa lalu tidak atau belum dikenal dan belum diatur tentang lembaga keuangan syariah, untuk melayani kebutuhan masyarakat, maka perlu disusun aturan tentang lembaga keuangan syariah, khususnya BMT. Pernyataan ini seperti apa yang dialami BMT saat ini, BMT telah tumbuh dan berkembang karena masyarakat memandang perlu adanya lembaga ini
12
21 Rony Hanityo. Studi Hukum dan Masyarakat. (Bandung: Alumni Bandung,1985). h. 15-
16. 13
Seorang guru besar emeritus dalam bidang hukum, dosen, penulis dan aktivis penegakan hukum Indonesia. Ia dikenal sebagai dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. 14 Neni Sri Imayati, “Eksistensi BMT (Baitul Mal wat Tamwil) Sebagai Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia”. Jurnal Hukum Pro Justitia, Tahun XXII Nomor 4 (Oktober 2004): h. 11
74
walaupun pengaturannya belum ada, masyarakat mencari jalan sendiri untuk mengatur BMT antara lain seperti apa yang dilakukan oleh PINBUK. Namun demikian semestinya pengaturan tentang lembaga keuangan syariah dan BMT khususnya haruslah disesuaikan dengan arah pembangunan di bidang hukum ekonomi. Pembangunan di bidang hukum ekonomi perlu difokuskan pada satu konsep yang jelas, salah satu orientasi yang harus dan perlu disiapkan adalah upaya pada mewujudkan terciptanya demokrasi ekonomi yang berorientasi pada kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan sosial. Orientasi ini dapat terwujudkan antara lain apabila dapat diwujudkan pula berbagai pranata / peraturan lain yang mengandung nilai keadilan dalam rangka mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Khusus untuk perangkat hukum yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hukum di bidang kegiatan ekonomi harus memenuhi asas keseimbangan, pengawasan publik, asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi. Dalam merespon perkembangan BMT yang sangat pesat, dapat dikatakan pemerintah terlambat mengeluarkan peraturan yang berbentuk undang-undang yang tegas dalam mengatur BMT. Hal ini terlihat dari eksistensi lembaga BMT yang lebih dahulu ada dibandingkan dengan undang-undang yang mengaturnya. Namun, upaya pemerintah saat ini yang mulai memberikan perhatian kepada
75
BMT patut diapresiasi. Pasalnya, mengingat hukum adalah aturan yang mengikat setiap warga Negara dan juga bersifat memaksa, maka Undang-undang yang saat ini telah dikeluarkan oleh pemerintah terkait mendukung pengembangan BMT sangat penting dan mendesak untuk dilakukan. Hal tersebut penting untuk melindungi berbagai pihak diperlukan regulasi namun demikian tidak menghilangkan karakteristiknya yang khas sebagai baitul maal dan baitut tamwil. Sehingga kedepannya undang-undang yang telah ada perlu diadakan pengembangan sesuai dengan perkembangan BMT dimasa yang akan datang. C. Penguatan Hukum BMT Bank Indonesia melalui program keuangan inklusif akan memperkuat enam pilar dalam strategi nasional keuangan inklusif (SNKI) yaitu edukasi keuangan dalam rangka peningkatan kemampuan mengelola keuangan termasuk mengenal risiko, penyediaan fasilitas keuangan bagi publik dari program pemerintah, pemetaan informasi keuangan, penyusunan kebijakan dan peraturan pendukung, peningkatan intermediasi dan sarana distribusi serta perlindungan konsumen. Selain
itu,
mengingat
pentingnya
peran
keuangan
inklusif
dalam
menyetarakan kesejahteraan dalam bidang ekonomi secara luas, maka pemerintah harus melakukan penguatan dan perbaikan dalam memfasilitasi kebijakan terkait LKMS. Eksistensi LKMS akan tercipta dengan baik manakala segala hal yang
76
menopang keberlangsungannya berjalan dengan baik dan terarah. Selain permodalan yang ditopang oleh sektor perbankan dan pemerintah, edukasi masyarakat tentang literasi keuangan, dan juga penguatan kelembagaan serta hukum yang memayungi LKMS. Hal tersebut penting bahkan mendesak dilakukan agar nantinya masyarakat yang menjadi mitra dari LKMS mendapatkan kejelasan legitimasi dan keamanan serta penjaminan dalam melakukan transaksi dengan LKMS. Dengan terciptanya hukum LKMS yang kuat akan menjadikan LKMS menjadi lembaga keuangan yang kredibel dan tangguh dalam menjalankan operasionalnya sehingga nantinya LKMS mampu mendorong sektor perekonomian Indonesia menjadi lebih baik dan terarah.
Gambar 4.4 Penguatan Hukum LKMS
Keuangan Inklsif
Pengembangan Ekonomi
Penguatan Hukum LKMS
Eksistensi Lembaga Keuangan
Penguatan LKMS
77
Pentingnya fungsi hukum yang memberikan sanksi yang tegas dan memberikan penyelesaian dalam bersengketa, membuat hukum terkait LKMS menjadi penting dan sangat perlu untuk diperbaiki dan dikaji ulang. Dengan demikian, munculnya undang-undang baru dan perbaikan peraturan yang sudah ada bukanlah hal yang niscaya. Hal tersebut dikarenakan hukum haruslah bersifat responsive, mengikuti perkembangan keadaan masyarakat. Gambar 4.5 Pengembangan LKMS Melalui Penguatan Hukum LKMS
Penguatan Hukum LKMS Kebijakan Pengembangan LKMS yang terarah
Eksistensi dan Penguatan LKMS
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil analisis dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Operasional Lembaga Keuangan Mikro dalam hal ini Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) diatur dalam beberapa Undang-undang diantaranya Undang-Undang No. 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian, Undang-Undang No. 21 tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, dan Undang-Undang No. 1 tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro. Adapun beberapa Undang-undang dan peraturan lain yang secara tidak langsung mengatur operasional BMT, namun undang-undang dan peraturan tersebut tidak dibahas dalam skripsi ini. 2. Dalam kaitannya BMT mengalami sengketa atau penyimpangan dalam operasionalnya, maka rujukan undang-undang dan peraturan yang penting untuk dirujuk diantara regulasi yang ada diselesaikan dengan mengacu pada asas-asas perundang-undangan di Indonesia. Asas-asas tersebut diantaranya: a. Asas lex superior derogat legi inferior. b. Asas lex specialis derogat legi generalis. c. Asas lex posterior derogat legi priori.
78
79
Hal tersebut bertujuan agar tercipta kepastian hukum dalam sistem peraturan perundang-undangan. 3. Dalam menyokong perkembangan LKMS, pemerintah saat ini telah mengeluarkan berbagai regulasi terkait LKMS. Namun kedepannya undangundang yang telah ada harus terus dilakukan perbaikan agar kebutuhan BMT dalam aspek legal nya terpenuhi. Hal tersebut penting dan mendesak untuk dilakukan, guna melindungi berbagai pihak dari berbagai penyimpangan dan guna memperkokoh payung hukum BMT . 4. Penguatan hukum LKMS akan berdampak pada semakin terarahnya lembaga keuangan mikro itu sendiri. Dengan perlindungan hukum dan aspek legal yang jelas, maka LKMS akan mampu mensinergikan potensinya dengan kebutuhan masyarakat sehingga nantinya tercipta kesetaraan ekonomi yang berujung pada semakin terbukanya akses keuangan kepada masyarakat luas. B. Saran-saran Sebagai tindak lanjut hasil penelitian, dapat dikemukakan beberapa saran yang ditujukan kepada Pemerintah, praktisi BMT, dan peneliti selanjutnya. 1. Saran bagi Pemerintah hendaknya mengkaji ulang regulasi terkait Lembaga Keuangan Mikro yang sudah ada dan melakukan perbaikan dalam menyusun undang-undang yang akan datang. 2. Saran bagi praktisi BMT, agar merujuk pada hukum yang telah ada dan bersinergi dengan pemerintah dalam menyusun rancangan undang-undang
80
terkait Lembaga Keuangan Mikro Syariah agar tercipta suatu hukum yang baik dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. 3. Saran bagi peneliti selanjutnya agar mengkaji secara lebih mendetail tentang struktur regulasi dan analisis teknik penyusunan undang-undang Lembaga Keuangan Mikro Syariah agar tercipta regulasi yang berasaskan perundangundangan yang baik.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Alexander, Harry. Panduan Perancangan Peraturan Daerah di Indonesia. Jakarta: XSYS Solusindo, 2004. Al-Arif, Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah - Suatu Kajian Teoretis Praktis. Jakarta: Pustaka Setia, 2012. Amalia, Euis, Keadilan Distributif Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Azziz, Abdul, Peranan Bank Indonesia Di Dalam Mendukung Perkembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, Jakarta: Pusat pendidikan dan studi kebanksentralan PPSK BI, 2009. Danim, Sudarwan. Menjadi Peneliti Kualitatif . Bandung:CV. Pustaka Setia, 2002. Farida, Maria. Ilmu Perundang-undangan . Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007. HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006. Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010. Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Kwartono, M Adi, Analisis Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta: Grafindo.
81
83
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Press, 2011. Soekanto, Soerjono. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: Rajawali, 1982. Soetami, Siti. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005. Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: Ekosiana, 2003. Susilo, Y. Sri dkk. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2000 Tiena, Yulies. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta 2008. Usman, Syaikhu, Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional : Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan Kajian Ekonomi dan Keuangan edisi Khusus Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2005. Widodo, Hertanto.
PAS (Pedoman Akuntansi Syariat): Panduan Praktis
Operasional Baitul Mal Wat Tamwil (BMT). Bandung: Mizan, 1999. Yani, Ahmad. Pembentukan Undang-Undang & Peraturan Daerah. Jakarta: Rajawali Press, 2011.
83
Yuliandri. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Jurnal dan Prosiding Sri, Neni. “Eksistensi BMT Sebagai Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia”. Jurnal Hukum Pro Justitia. No.4 (Oktober 2004): h. 71-84. Sri, Neni. “Urgensi Penguatan Hukum BMT Dalam Perspektif Hukum Ekonomi”. 15-16 Desember 2009. Bandung. Perundang-undangan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian Undang-undang No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Undang-Undang No.1 Tahun 2013 13 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Situs Internet Koperasi dan UMKM Tahan Krisis, artikel diakses pada 19 April 2013 dari http://economicsjurnal.blogspot.com/2010/06/lembaga-keuanganmikro-syariah.html . Konsep Lembaga Keuangan Syariah diakses
pada 31 Desember 2013.
http://lorong2ilmu.blogspot.com/2013/07/konsep-lembaga-keuangansyariah.html Diakses pada 23 nov 2013
83
Penguatan Lembaga Baitul Maal Wat Tamwil. Diakses pada 10 Oktober 2013. http://romagia.wordpress.com/nie/penguatan-kelembagaan-baitul-malwatanwil-bmt/ Tabloid Financial Inclusion, Tabloid Progrees, Edisi Mei 2011.
.