ANALISIS KURS, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN SUKU BUNGA SBI TERHADAP INFLASI DI INDONESIA PERIODE 2001 – 2010
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh AFAQA HUDAYA NIM: 107084003267
JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M i
ANALISIS KURS, JUMLAH UANG BEREDAR, DAN SUKU BUNGA SBI TERHADAP INFLASI DI INDONESIA PERIODE 2001 - 2010
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh AFAQA HUDAYA NIM: 107084003267
JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M
ii
iii
iv
v
vi
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: AFAQA HUDAYA
Tempat & Tanggal Lahir
: Jakarta, 7 Juni 1989
Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status
: Belum Menikah
Pekerjaan
: Pelajar/Mahasiswa
Kewarganegaraan
: Indonesia
Golongan Darah
:B
Tinggi & Berat Badan
: 182 cm & 62 kg
Hobi
: Futsal, Hiking, dan Bermain Gitar
Alamat
: Griya Depok Asri Blok G-1/6 Depok - Jawa Barat
Nomor Telepon
: 08158757359
Jenjang Pendidikian 1. Tahun 2007 sampai dengan sekarang. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Tahun 2004 sampai dengan tahun 2007. SMA Negeri 3 Depok 3. Tahun 2001sampai dengan tahun 2004. SMP Negeri 4 Depok viii
4. Tahun 1995 sampai dengan tahun 2001. SD Negeri Mekar Jaya XI Depok 5. Tahun 1993 sampai dengan tahun 1995. TK Nurul Islam Depok
Pengalaman Berorganisasi 1. Bulan April 2011 sampai dengan sekarang. Berorganisasi di Griffon’s Army Regional Depok sebagai Ketua Koordinator. 2. Tahun 2009 sampai dengan tahun 2010. Berorganisasi di BEM Jurusan IESP sebagai Staf Divisi Olahraga dan Seni. 3. Tahun 2006 sampai dengan tahun 2007. Berorganisasi di Pencinta Alam SMAN 3 Depok “EKSTANBA” sebagai Seksi Hubungan Masyrakat. 4. Tahun 2005 sampai dengan tahun 2006. Berorganisasi di Futsal SMAN 3 Depok sebagai Sekretaris. 5. Tahun 2002 sampai dengan tahun 2003. Berorganisasi di OSIS SMPN 4 Depok sebagai Sekretaris.
ix
ABSTRACT Inflation is the most popular in the Indonesian monetary progress. Bank Indonesia as Central Bank has an important role to keep inflation in the safety position. The importance of inflation control is based on the consideration that high and unstable inflation contribute the negative impact on socio-economic conditions of society. There are three indicators that used in this analysis who can give affect to inflation. These indicators are the exchange rate, money supply, and the SBI (Central Bank Certificate) rate. To obtain the latest research results, this research examines the last decade, from 2001 to 2010. This analysis attempts to explain the causality relationship among exchange rate, money supply, and the SBI rate to inflation in Indonesia 2001-2010. Beside that, this analysis attempts to explain that is there has the cointegration relationship among the exchange rate, money supply, and the SBI rate to inflation in Indonesia during 2001 – 2010. In the other hand, this analysis attempts to explain the shock influence among the exchange rate, money supply, and the SBI rate to inflation in Indonesia from 2001 to 2010. The exchange rate and money supply progress in 2001 – 2010 are more stable than inflation and the SBI rate progress. Based on the results of the analysis, there are two causalities among the SBI rate variable and the exchange rate variable with inflation. There is a cointegrated relationship in the VECM model from the money supply variable. The SBI rate has more influence the inflation than the money supply and exchange rate. Keywords: Inflation, Exchange Rate, Money Supply, Interest Rate of SBI.
x
ABSTRAKSI Inflasi merupakan hal yang sangat populer dalam perkembangan moneter Indonesia. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral memiliki peran penting dalam menjaga inflasi pada posisi yang aman. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat. Terdapat tiga indikator yang digunakan pada analisis ini yang dapat memberikan pengaruh terhadap inflasi. Indikator-indikator tersebut adalah kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terbaru, maka penelitian ini meneliti pada satu dekade terakhir, yaitu 2001 – 2010. Analisis ini mencoba untuk menjelaskan hubungan kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia tahun 2001 - 2010. Selain itu, analisis ini mencoba untuk menjelaskan apakah ada hubungan kointegrasi antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001 – 2010. Di sisi yang lain, analisis ini mencoba untuk menjelaskan pengaruh guncangan antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 - 2010. Perkembangan kurs dan jumlah uang beredar tahun 2001 – 2010 lebih stabil dibandingkan dengan perkembangan inflasi dan suku bunga SBI. Berdasarkan hasil analisis didapatkan dua buah hubungan kausalitas antara variabel suku bunga SBI dan variabel kurs dengan variabel inflasi. Terdapat sebuah hubungan kointegrasi pada model VECM dari variabel jumlah uang beredar. Suku bunga SBI lebih besar pengaruhnya terhadap inflasi dibandingkan dengan jumlah uang beredar dan kurs. Kata Kunci: Inflasi, Kurs, Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga SBI.
xi
KATA PENGANTAR
Dengan penuh rasa syukur dan segala puji bagi Allah SWT, serta rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil peninjauan melalui buku-buku yang dapat menunjang dan sumber-sumber dari internet yang membantu dalam menyusun skripsi ini. Adapun maksud dan tujuan dari skripsi ini secara garis besar yaitu untuk dapat menganalisis, mempelajari, mengetahui, serta menambah wawasan kita mengenai faktor-faktor inflasi di Indonesia, yaitu pengaruh kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001 – 2010 khususnya dengan menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model. Dalam pembuatan skripsi ini, banyak pihak-pihak yang ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak tersebut, di antaranya adalah: 1. Keluarga besar penulis, Ayah, Bunda, Lia, dan Tika, yang telah memberikan support dan do’anya agar skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Terima
kasih
kepada
Ayah dan Bunda
yang telah
membesarkan, mendidik, dan mengajarkan penulis dalam berbagai hal hingga sampai saat ini dan membiayai penulis dalam segala jenjang pendidikan sampai saat ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
xii
2. Bapak Pheni Chalid, SF., MA, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Skripsi I. Terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan dan ilmu yang telah Bapak berikan selama ini. Banyak sekali ilmu yang penulis dapatkan selama bimbingan ini. Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. 3. Ibu Utami Baroroh, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi II dan Sekretaris Jurusan IESP. Terima kasih penulis ucapkan atas perhatian yang telah Ibu berikan kepada mahasiswa dan mahasiswi IESP, tenaga dan pikiran yang telah ibu curahkan untuk memajukan jurusan IESP, ilmu yang bermanfaat, dan bimbingan skripsi yang telah Ibu berikan selama ini. Banyak sekali ilmu yang penulis dapatkan selama bimbingan ini. Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. 4. Bapak Dr. Lukman, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP). Terima kasih atas semua program dan perhatian yang telah Bapak curahkan untuk jurusan IESP. Semoga jurusan IESP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat lebih baik lagi dan dapat melahirkan sarjana-sarjana ekonomi yang professional, berilmu, beriman, dan kreatif dalam rangka mewujudkan masyarakat madani yang demokratis dan bermoral Islam. 5. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh dosen IESP atas pendidikan, pengajaran, wawasan, dan ilmu-ilmu yang telah diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. 6. Terima kasih juga tidak lupa penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman penulis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bersama-sama
xiii
melalui hari demi hari hingga sampai di penghujung akademik ini. Semoga kelak kita masih dapat bertemu dan terus mempererat tali silaturahmi.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis berharap mendapat saran dan kritik konstruktif demi peningkatan kualitas dan penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat diterima dan kelak dapat bermanfaat bagi kita semua.
Depok, 1 Juni 2011 Penulis
AFAQA HUDAYA
xiv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI DARI PEMBIMBING…..……………… iii LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF………………….…..… iv LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI................………………….…...… v LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI…………………………...... vi DAFTAR RIWAYAT HIDUP………………………………………….…....... viii ABSTRACT.............................................................................................................. x ABSTRAKSI......................................................................................................... xi KATA PENGANTAR.......................................................................................... xii DAFTAR ISI......................................................................................................... xv DAFTAR TABEL............................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xx DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ xxi BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian........................................................ 1 1. Identifikasi Masalah.............................................................. 1 2. Batasan Masalah.................................................................... 9 B. Rumusan Masalah................................................................... 10 C. Tujuan dan Manfaat.................................................................. 11 1. Tujuan ................................................................................. 11 2. Manfaat .............................................................................. 11
xv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Teori yang Berkenaan dengan Variabel yang Diambil............ 13 1. Inflasi.................................................................................... 13 2. Kurs...................................................................................... 19 3. Jumlah Uang Beredar........................................................... 22 4. Suku Bunga SBI............................……..…............…......... 24 B. Keterkaitan Antar Variabel...................................................... 27 C. Penelitian Terdahulu................................................................ 29 D. Kerangka Pemikiran................................................................. 34 E. Hipotesis................................................................................... 38
BAB III
METODELOGI PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian........................................................ 40 B. Teknik Penentuan Sampel........................................................ 41 C. Teknik Pengumpulan Data....................................................... 41 1. Internet…………................................................................. 41 2. Studi Kepustakaan................................................................ 42 3. Sumber Data......................................................................... 42 a. Inflasi................................................................................ 42 b. Kurs.................................................................................. 42 c. Jumlah Uang Beredar....................................................... 43 d. Suku Bunga SBI............................................................... 43 D. Teknik Analisis ....................................................................... 43
xvi
1. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi........................... 45 2. Ujii Kausalitas Granger........................................................ 46 3. Uji Kointegrasi………......................................................... 47 4. Estimasi VECM................................................................... 47 5. IRF (Impulse Response Function)........................................ 48 6. Variance Decomposition...................................................... 48 E. Operasional Variabel Penelitian............................................... 49 1. Inflasi.................................................................................... 49 2. Kurs...................................................................................... 50 3. Jumlah Uang Beredar........................................................... 50 4. Suku Bunga SBI................................................................... 51
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian............................ 52 1. Inflasi.................................................................................... 52 2. Nilai Tukar (Kurs)................................................................ 54 3. Jumlah Uang Beredar........................................................... 58 4. Suku Bunga SBI................................................................... 60 B. Analisis Uji Ekonometrik......................................................... 62 1. Analisis dan Interpretasi....................................................... 62 a. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi....................... 62 1) Uji Stasioneritas Data.................................................. 62 2) Uji Derajat Integrasi..................................................... 63
xvii
b. Uji Kausalitas Granger..................................................... 66 c. Uji Kointegrasi................................................................. 69 d. Estimasi VECM............................................................... 70 e. IRF (Impulse Response Function).................................... 72 f. Variance Decomposition.................................................. 74
BAB V
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI A. Kesimpulan.............................................................................. 76 B. Implikasi................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 79 LAMPIRAN.......................................................................................................... 83
xviii
DAFTAR TABEL
No.
Keterangan
Halaman
1.1
Perkembangan Inflasi, Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI di Indonesia Tahun 2005-2010
4
2.1
Matriks Referensi Penelitian Terdahulu
29
3.1
Operasionalisasi Variabel
49
4.1
Uji Stasioneritas Data
63
4.2
Uji Derajat Integrasi (First Difference)
64
4.3
Uji Derajat Integrasi (Second Difference)
65
4.4
Uji Kausalitas Granger Antara Kurs dan Inflasi
66
4.5
Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan Inflasi
67
4.6
Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan Inflasi
68
4.7
Uji Kointegrasi
70
4.8
Estimasi VECM
71
4.9
Impulse Response Function Terhadap DINFLASI
73
4.8
Variance Decomposition
74
xix
DAFTAR GAMBAR
No.
Keterangan
Halaman
2.1
Skema Mekanisme Hubungan Pengaruh SBI Terhadap Inflasi
28
2.2
Kerangka Pemikiran
37
4.1
Grafik Inflasi Tahun 2001 - 2010
52
4.2
Grafik Nilai Tukar Tahun 2001 - 2010
55
4.3
Grafik Jumlah Uang Beredar Tahun 2001 - 2010
59
4.4
Grafik Suku Bunga SBI Tahun 2001 - 2010
61
4.5
Impulse Response Function
72
xx
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Keterangan
Halaman
1
Data Penelitian
84
2
Uji Stasioneritas Data
88
3
Uji Derajat Integrasi
92
4
Uji Kausalitas Granger
100
5
Uji Kointegrasi
103
6
Estimasi VECM
109
7
Impulse Response Function
112
8
Variance Decomposition
113
9
Nilai Dari t-Table
115
xxi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian 1. Identifikasi Masalah
Perkembangan inflasi di Indonesia sangat fluktuatif. Inflasi merupakan hal yang paling diperhatikan dalam perkembangan moneter Indonesia. Hal ini dapat terlihat pada kinerja dari pemerintah dan Bank Indonesia yang berusaha menjaga kestabilan inflasi. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan
manfaat
bagi
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat.
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Bank Indonesia, sebagai Bank Sentral, memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara lain adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada tingkat inflasi. Peran kestabilan nilai tukar yang tercermin pada tingkat inflasi sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karenanya, Bank Indonesia juga
1
menjalankan kebijakan nilai tukar untuk mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level tertentu.
Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran-sasaran moneter (seperti jumlah uang beredar atau tingkat suku bunga) dengan tujuan utama menjaga sasaran laju inflasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Secara operasional, pengendalian sasaran-sasaran moneter tersebut menggunakan instrumen-instrumen, antara lain operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan.
Pada periode tahun 2007/2008, terjadi krisis global yang berpusat di Amerika Serikat. Krisis ini mempunyai dampak yang cukup besar khususnya bagi negara-negara yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Amerika Serikat dalam hal ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia juga merasakan dampaknya meskipun tidak sebesar krisis moneter pada tahun 1997/1998. Berbagai indikator perekonomian menunjukkan bahwa krisis perekonomian global
telah mengalir
dan
menyebar
pada kinerja
perekonomian dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan mengalami perlambatan. Konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh melambat, sama halnya dengan investasi yang diperkirakan melemah akibat menurunnya permintaan eksternal dan meningkatnya
faktor risiko
ketidakpastian perekonomian dunia. Pertumbuhan ekspor diperkirakan juga
2
akan melambat sedangkan pertumbuhan impor diperkirakan akan tertahan. Di sisi penawaran, beberapa sektor utama penopang pertumbuhan yakni sektor pertanian dan industri diperkirakan tumbuh lebih rendah dari triwulan sebelumnya. Namun, beberapa sektor seperti sektor pengangkutan dan telekomunikasi, serta sektor listrik, diperkirakan masih akan tumbuh tinggi.
Inflasi menjadi perhatian utama Bank Indonesia. Berbagai kebijakan Bank Indonesia diarahkan untuk mengurangi tekanan inflasi dalam jangka menengah panjang. Inflasi pada akhir tahun 2008 tercatat mengalami penurunan. Penurunan laju inflasi tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya inflasi pada kelompok volatile food dan sumbangan deflasi dari kelompok administered price. Inflasi kelompok volatile food adalah inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan internasional. Inflasi kelompok administered price adalah inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dan lain-lain. (Bank Indonesia, ”Disagregasi Inflasi”). Sementara itu, dari sisi fundamental, melambatnya permintaan domestik serta berkurangnya tekanan dari imported inflation (inflasi yang bersumber dari kenaikan hargaharga barang yang diimpor) menyebabkan tekanan pada inflasi inti cenderung menurun. Meski demikian, Bank Indonesia masih mencermati tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan serta pertumbuhan kredit perbankan yang masih tinggi. 3
Perkembangan inflasi, nilai tukar, jumlah uang beredar (JUB), dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di Indonesia tahun 2005 - 2010 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 1.1 Perkembangan Inflasi, Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI di Indonesia Tahun 2005 – 2010 Tahun 2005. 1 2005. 2 2005. 3 2005. 4 2006. 1 2006. 2 2006. 3 2006. 4 2007. 1 2007. 2 2007. 3 2007. 4 2008. 1 2008. 2 2008. 3 2008. 4 2009. 1 2009. 2 2009. 3 2009. 4 2010. 1 2010. 2 2010. 3 2010. 4
Inflasi (%) 7.76 7.65 8.41 17.79 16.9 15.51 14.87 6.05 6.36 6.02 6.51 6.73 7.64 10.12 11.96 11.5 8.56 5.67 2.76 2.59 3.65 4.37 6.15 6.32
Kurs (Rupiah) 9273.20 9545.20 10006.17 9997.14 9305.91 9094.84 9121.02 9136.19 9099.42 8975.18 9247.91 9234.98 9257.48 9265.05 9217.78 11028.11 11623.17 10541.46 9996.55 9470.14 9265.80 9119.63 8999.02 8962.97
JUB (Miliar Rupiah) 1018190 1057566 1121787 1180230 1197153 1232257 1273881 1351286 1372146 1412120 1494901 1581026 1598235 1652268 1715667 1853117 1897035 1939075 1991585 2075036 2084141 2163467 2243001 2374792
Suku Bunga SBI (%) 7.29 7.79 8.75 12.54 12.85 12.40 11.36 9.50 8.10 7.83 8.27 8.20 7.99 8.43 9.70 11.25 9.68 7.63 6.70 6.59 6.58 6.56 6.63 6.37
Sumber: 1. Data Inflasi didapat dari Laporan Inflasi (Indeks Harga Konsumen) pada situs resmi Bank Indonesia. 2. Data Kurs didapat dari Kalkulator Kurs pada situs resmi Bank Indonesia. 3. Data Jumlah Uang Beredar didapat dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia sektor moneter pada situs resmi Bank Indonesia. 4. Data Suku Bunga SBI didapat dari sub bagian Suku Bunga SBI pada situs resmi Bank Indonesia.
4
Dengan melihat pada tabel. 1.1, depresiasi rupiah yang cukup besar dan ekspektasi inflasi yang cenderung meningkat sepanjang 2005 kuartal 3 juga turut memberikan tekanan terhadap inflasi. Meskipun demikian, tekanan dari depresiasi rupiah relatif masih terbatas. Terbatasnya dampak pelemahan rupiah terhadap inflasi disebabkan oleh kecenderungan para produsen untuk menahan sebagian kenaikan harga yang bersumber dari depresiasi rupiah mengingat terbatasnya daya beli masyarakat. Tingginya tekanan inflasi selepas kenaikan harga BBM pada Oktober 2005 menuntut Bank Indonesia dan pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan untuk
mengendalikan
sumber-sumber
tekanan
inflasi.
Dalam
perkembangannya sampai tahun 2006, berbagai langkah kebijakan yang diambil Bank Indonesia dan pemerintah berhasil mengendalikan sumbersumber utama tekanan inflasi. Pada tahun 2006, penurunan tingkat inflasi hanya diikuti dengan terapresiasinya nilai kurs rupiah terhadap dolar.
Pada periode tahun 2007/2008, telah terjadi krisis global di Amerika Serikat. Krisis ini mempunyai dampak yang cukup besar khususnya bagi negara-negara yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Amerika Serikat dalam hal ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia juga merasakan dampaknya meskipun tidak sebesar krisis moneter pada tahun 1997/1998. Krisis global ini membuat kembali naiknya inflasi pada tingkat 10,12% pada tahun 2008 kuartal 2. Kenaikan tingkat inflasi ini juga diikuti dengan kenaikan pada nilai kurs rupiah terhadap dolar, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI 5
Tekanan inflasi pada tahun 2009 secara umum sangat minimal. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh kebijakan Bank Indonesia dan pemerintah dalam memulihkan kepercayaan pasar. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat mendukung membaiknya ekspektasi inflasi untuk kembali kepada targetnya, yaitu berkisar pada tingkat 6%. Pada tahun 2009 ini, penurunan inflasi diikuti oleh penurunan kurs rupiah terhadap dolar dan suku bunga SBI.
Pada awal tahun 2010, tekanan inflasi semakin meningkat tiap kuartalnya sampai dengan pertengahan tahun hingga akhirnya fluktuatif pada kisaran 6%. Inflasi yang baik adalah inflasi yang stabil pada kisarannya, meskipun naik dan turun tetapi tetap pada kisarannya. Pada tahun 2010, kenaikan inflasi tidak diikuti dengan kenaikan kurs rupiah terhadap dolar dan suku bunga SBI.
Pada sisi inflasi, melambatnya perekonomian dunia tentu menurunkan tekanan inflasi yang berasal dari harga barang internasional. Secara umum, tekanan inflasi di dalam negeri mereda. Meski demikian, Bank Indonesia masih mencermati beberapa risiko tekanan inflasi ke depan yang perlu terus diwaspadai. Menghadapi kondisi tersebut, Bank Indonesia memandang penting untuk menjaga kebijakan moneter yang tepat untuk dapat mencapai keseimbangan antara pencapaian sasaran inflasi dengan kestabilan ekonomi dalam jangka menengah panjang.
6
Perkembangan kurs rupiah terhadap dolar sejak tahun 2008 – 2009 mengalami depresiasi. Sentimen global telah mendorong terjadinya perilaku
menghindari risiko
(risk
aversion)
oleh
para
investor
asing. Terjadinya krisis global menyebabkan para investor memindahkan portfolionya keluar dari Indonesia. Hal ini memicu terjadinya capital outflow (aliran modal keluar). Meski kondisi fundamental Indonesia masih kondusif, perilaku tersebut menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. Indonesia tidak sendiri dalam hal ini. Pelemahan nilai tukar terjadi pada mata uang di kawasan regional, dengan penyebab yang sama, yaitu imbas dari sentimen global.
Perkembangan jumlah uang beredar terus mengalami kenaikan pada periode 2005 – 2010. Penyebab dari hal ini merupakan efek dari sentimen global, di mana masyrakat lebih cenderung untuk memegang uangnya sendiri atau menyimpannya di bank. Bank sudah menjadi perantara keuangan yang semakin aktif karena semakin bertumbuhnya perekonomian di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya transaksi yang dilakukan melalui bank, baik itu berupa transfer antar rekening maupun transfer antar bank.
Perkembangan suku bunga SBI terlihat tinggi pada tahun 2006. Dengan semakin tingginya tingkat suku bunga SBI, maka semakin tinggi juga tingkat bunga deposito dan tingkat bunga kredit yang akan mempengaruhi investor dalam menyalurkan uangnya. Investor akan lebih
7
condong memanfaatkan kenaikan tingkat bunga deposito karena tidak berisiko. Kenaikan suku bunga SBI ini pada tahun 2006 tidak selalu diikuti dengan kenaikan inflasi.
Secara spesifik dapat dikatakan bahwa tidak selalu apresiasi nilai tukar juga diikuti dengan kenaikan inflasi, kenaikan jumlah uang beredar tidak selalu diikuti dengan kenaikan inflasi, dan kenaikan suku bunga SBI tidak selalu diikuti dengan penurunan inflasi.
Sampai saat ini berbagai upaya untuk menekan laju inflasi telah dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya yaitu melalui pengendalian inflasi dari sisi moneter, yaitu melalui Inflation Targeting Framework (ITF). Inflation Targeting Framework (ITF) adalah sebuah kerangka kerja di mana Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut. (Bank Indonesia, ”Kerangka Kebijakan Moneter”). Dengan mengkerucuti hal-hal yang berpengaruh terhadap inflasi khususnya dalam jangka pendek dan jangka panjang maka dapat dirumuskan kebijakan yang tetap untuk diterapkan pada negara tersebut agar tingkat inflasi tetap stabil. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha untuk menjawab analisis dari kurs, jumlah uang beredar,
dan
suku
bunga
SBI
yang
mempengaruhi
dan
mengidentifikasikan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap inflasi dengan menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model
8
(VECM). Dengan uraian latar belakang inilah maka dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “Analisis Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001 – 2010”.
2. Batasan Masalah Batasan masalah digunakan untuk menetapkan batasan-batasan dari masalah penelitian yang akan berguna untuk mengidentifikasi faktorfaktor mana saja yang akan dimasukkan ke dalam ruang lingkup masalah penelitian dan mana yang tidak dimasukkan. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Inflasi yang dipakai adalah inflasi IHK. b. Jumlah uang beredar yang dipakai adalah jumlah uang beredar M2. c. Kurs yang dipakai adalah kurs tengah Rupiah terhadap US Dollar. d. Suku Bunga SBI yang dipakai adalah suku bunga SBI jangka waktu tiga bulan. e. Faktor-faktor lain seperti pertumbuhan ekonomi dan lain-lain diabaikan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penilitian sebelumnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Harunurrasyid hanya melihat pengaruh dari variabel tingkat bunga SBI terhadap inflasi, sedangkan penelitian ini melihat analisis dari kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi.
9
Penelitian yang dilakukan oleh Nairobi mengambil wilayah penelitian di Kota Bandar Lampung sedangkan penulis mencoba untuk mengambil wilayah penelitian secara lebih umum, yaitu Indonesia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fery Andrianus & Amelia Niko, mereka menggunakan alat analisis OLS (Ordinary Least Square) sedangkan pada penelitian ini menggunakan alat analisis VECM (Vector Error Correction Model).
B. Rumusan Masalah Kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI sebagai variabel yang mempengaruhi inflasi. Untuk lebih memfokuskan pokok bahasan, berikut pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk menjelaskan fenomena faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia. 1. Apakah ada hubungan kuantitas kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 20012010? 2. Apakah ada hubungan kuantitas kointegrasi antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001 –2010? 3. Bagaimana besarnya pengaruh guncangan (shock) antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001-2010?
10
C. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian “Analisis Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001 – 2010” adalah sebagai berikut: 1. Tujuan a. Untuk menganalisa ada atau tidaknya hubungan kuantitas kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001-2010. b. Untuk menganalisa ada atau tidaknya hubungan kuantitas kointegrasi antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001 –2010. c. Untuk menganalisa besarnya pengaruh guncangan (shock) antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001-2010.
2. Manfaat a. Untuk mengetahui penyebab-penyebab tinggi-rendahnya tingkat inflasi dan guncangan (shock) yang terjadi sehingga diharapkan dapat mengurangi kemiskinan di masa yang akan datang karena inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
11
b. Untuk mengetahui penyebab-penyebab tinggi-rendahnya tingkat inflasi dan guncangan (shock) yang terjadi sehingga diharapkan di masa yang akan datang dapat menghindari inflasi yang tidak stabil karena akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. c. Untuk mengetahui penyebab-penyebab tinggi-rendahnya tingkat inflasi dan guncangan (shock) yang terjadi sehingga diharapkan di masa yang akan datang dapat mencegah tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga karena dapat menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. d. Untuk dapat dimanfaatkan sebagai pustaka atau literatur bagi penelitian yang berhubungan dengan kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 – 2010 dengan alat analisis Vector Error Correction Model. e. Untuk masukan sebagai referensi bagi suatu pihak atau badan yang berkepentingan baik itu berupa informasi dan data yang berhubungan dengan kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 – 2010 dengan alat analisis Vector Error Correction Model.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori yang Berkenaan dengan Variabel yang Diambil
1. Inflasi
Inflation is a rise in the general level of prices. (McConnell & Brue, 2002: 146). Yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terusmenerus selama satu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan presentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi. (Nopirin, 2009: 25). Mempertahankan inflasi tetap rendah telah lama menjadi tujuan kebijakan pemerintah. Yang menjadi masalah utama adalah hiperinflasi, atau periode peningkatan yang sangat cepat dalam tingkat harga secara keseluruhan. (Case & Fair, 2007: 5). Kebalikan dari inflasi disebut deflasi. Deflasi adalah penurunan tingkat harga keseluruhan. Deflasi terjadi ketika banyak harga turun secara serentak. (Case & Fair, 2007: 57). Perubahan harga umum sangat tergantung pada permintaan dan penawaran agregat. Apabila pada suatu tingkat harga tertentu permintaan agregat meningkat, maka tingkat harga umum akan meningkat. Terjadinya inflasi yang disebabkan oleh faktor ini disebut demand pull inflation. (Umar Basalim, dkk, 2000: 17). Dari sisi penawaran agregat, apabila pada suatu tingkat harga umum tertentu penawaran berkurang, maka harga umum akan naik yang berarti pula tingkat inflasi akan menjadi tinggi. Penawaran agregat berkurang 13
pada dasarnya lebih disebabkan oleh berkurangnya produksi secara agregat dan yang menyebabkan berkurangnya produksi adalah meningkatnya biaya produksi. Apabila biaya produksi sebagai faktor penyebab terjadinya inflasi, maka kondisi inflasi ini disebut cost push inflation. (Umar Basalim, Moch. Rum Alim, & Helma Oesman, 2000: 18). Adapun jenis inflasi dapat dibedakan berdasarkan pada tingkat laju inflasi (Asfia Murni, 2006: 204), yaitu: a. Moderat Inflation (laju inflasinya antara 7-10%) adalah inflasi yang ditandai dengan harga-harga yang meningkat secara lambat. b. Galloping inflation adalah inflasi ganas (tingkat laju inflasinya antara 20-100%) yang dapat menimbulkan gangguan-gangguan serius terhadap perekonomian dan timbulnya distorsi-distorsi besar dalam perekonomian. c. Hyperinflation, adalah inflasi yang tingkat inflasinya sangat tinggi (di atas 100%). Inflasi juga dapat dilihat berdasarkan sumbernya. Inflasi berdasarkan sumbernya dibagi menjadi dua, yaitu domestic inflation dan imported inflation. Domestic inflation merupakan inflasi yang berasal dari dalam negeri itu sendiri misalnya inflasi yang disebabkan karena defisit keuangan negara yang ditutupi dengan pengenaan pajak oleh pemerintah atau dengan pencetakan uang baru. Imported inflation, inflasi dapat juga bersumber dari kenaikan harga-harga barang yang diimpor, terutama barang yang diimpor tersebut mempunyai peranan penting dalam setiap produksi. (Asfia Murni,
14
2006: 205)
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota. Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:
a. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas. b. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
15
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of individual consumption by purpose - COICOP), yaitu: (Bank Indonesia, “Pengenalan Inflasi”).
a. Kelompok Bahan Makanan b. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau c. Kelompok Perumahan d. Kelompok Sandang e. Kelompok Kesehatan f. Kelompok Pendidikan dan Olah Raga g. Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Laju atau tingkat inflasi dapat dihitung dengan rumus berikut (Asfia Murni, 2006: 41):
Laju Inflasi =
IHK t − IHK (t −1) IHK ( t −1)
×100%
di mana: IHK t = Indeks Harga Konsumen tahun t
IHK t −1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)
16
Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
a. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti: 1) Interaksi permintaan-penawaran 2) Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang 3) Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen b. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri dari: (Bank Indonesia, “Disagregasi Inflasi”). 1) Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food), yaitu Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.
17
2) Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices), merupakan inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga pemerintah, seperti harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dan lain-lain.
Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi
18
tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. (Bank Indonesia, “Pentingnya Kestablian Harga”).
2. Nilai Tukar (Kurs)
Kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut, dalam hal ini adalah dolar Amerika dengan rupiah. Perbandingan nilai inilah sering disebut dengan kurs (exchange rate). Nilai tukar biasanya berubah-ubah, perubahan kurs dapat berupa depresiasi dan apresiasi.
Kurs (exchange rate) dibagi menjadi dua, yaitu nominal exchange rate dan real exchange rate. The nominal exchange rate is the relative price of two different kinds of money, as set in the foreign exchange market. (DeLong, 2002: 29). The real exchange rate is the price of the average domestic good or service in terms of the average foreign good or service. (Frank & Bernanke, 2007: 890).
Exchange rate changes have their own terminology. Depreciation of a currency refers to the fact that one currency has become cheaper in terms of another currency. (Schiller, 2003: 441). The other side of depreciation is appreciation, an increase in value of one currency as expressed in another country’s currency. Whenever one currency depreciates, another currency
19
must appreciate. When the exchange rate changed from 2 euros = $1 to 1 euro = $1, not only did the euro price of a dollar fall, the dollar price of a euro rise. Hence, the euro appreciated as the dollar depreciated. (Schiller, 2003: 442).
Kurs valuta asing dapat diklasifikasikan ke dalam kurs jual, kurs beli, dan kurs tengah. Selisih dari penjualan dan pembelian merupakan pendapatan bagi pedagang valuta asing sedangkan bila ditinjau dari waktu yang dibutuhkan dalam menyerahkan valuta asing setelah transaksi kurs dapat diklasifikasikan dalam kurs spot dan kurs berjalan (forward exchange).
Semua transaksi valuta asing yang berlangsung seketika atau langsung, di mana kedua belah pihak sepakat untuk saling membayar secepatnya saat itu atau paling lambat dua hari setelah transaksi disebut kurs spot (spot exchange rate) dan kesepakatannya disebut transaksi spot.
Beberapa kesepakatan seringkali secara khusus menetapkan tanggal lebih dari dua hari, misalnya 30 hari, 90 hari, atau 180 hari, atau bahkan beberapa tahun. Kurs yang menjadi dasar bagi transaksi semacam ini disebut kurs berjangka (forward exchange rate).
Untuk melihat pengertian dari kurs jual dan kurs beli maka lihatlah dari sudut pandang bank. Kurs jual adalah harga yang ditetapkan saat bank menjual mata uang asing (masyarakat membeli uang asing). Begitu pula sebaliknya dengan kurs beli. Kurs beli adalah harga yang ditetapkan saat bank
20
membeli uang asing (masyarakat menjual uang asing). Kurs tengah adalah nilai rata-rata dari kurs jual dan kurs beli. Kurs tengah lebih bersifat netral karena merupakan rata-rata dari kurs jual dan kurs beli.
Titik awal untuk memahami bagaimana kurs ditentukan merupakan ide sederhana dari apa yang disebut sebagai hukum satu harga: Jika dua negara menghasilkan barang yang sama, dan biaya transportasi dan hambatan perdagangan sangat rendah, harga barang seharusnya sama di seluruh dunia, tidak peduli negara mana yang menghasilkannya. (Mishkin, 2009: 112). Hukum satu harga yang diterapkan untuk pasar internasional disebut paritas daya beli (purchasing-power parity). Purchasing Power Parity is a method of calculating exchange rates that attempts to value currencies at rates such that each currency will buy an equal basket of goods. (Colander, 2004: 780). Paritas daya-beli memiliki dua implikasi penting. Pertama, karena skedul ekspor-neto berbentuk datar, maka perubahan tabungan atau investasi tidak mempengaruhi kurs riil atau kurs nominal. Kedua, karena kurs riil tetap, maka seluruh perubahan dalam kurs nominal berasal dari perubahan tingkat harga. (Mankiw, 2007: 138).
Doktrin paritas daya-beli memberikan alasan mengapa perubahan pada kurs riil akan terbatas. Logika yang mendasari hal ini adalah sah: semakin jauh kurs riil bergeser dari tingkat yang diprediksi oleh paritas daya-beli, semakin besar insentif untuk individu yang terlibat dalam arbitrase barangbarang internasional. (Mankiw, 2007: 139).
21
Hubungan antara kurs dan jumlah uang beredar adalah bila rupiah terapresiasi maka akan meningkatkan konsumsi khususnya terhadap barangbarang impor. Peningkatan konsumsi ini tentu saja berpengaruh positif terhadap jumlah uang beredar.
Hubungan antara kurs dan suku bunga SBI adalah kenaikan suku bunga SBI akan meningkatkan suku bunga kredit dan suku bunga deposito. Dengan tingginya suku bunga tersebut maka produsen akan merespon kenaikan suku bunga di pasar uang dengan mengurangi investasinya, maka produksi dalam negeri
(output)
menurun,
yang
pada
akhirnya
akan
menimbulkan
terdepresiasinya nilai mata uang.
3. Jumlah Uang Beredar Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah mata uang yang telah dikeluarkan dan diedarkan oleh bank sentral. Mata uang tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan demikian, mata uang dalam peredaran adalah sama dengan uang kartal. Jumlah uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di dalam perekonomian, yaitu adalah jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum. Pengertian uang beredar atau money supply perlu dibedakan pula menjadi dua pengertian, yaitu pengertian yang terbatas (M1) dan pengertian yang luas (M2). Jumlah uang beredar M1 adalah mata uang dalam peredaran ditambah
22
dengan uang giral yang dimiliki oleh perseorangan-perseorangan, perusahaanperusahaan, dan badan-badan pemerintah. (Sadono Sukirno, 2008: 281). Jumlah uang beredar M2 merupakan penjumlahan dari jumlah uang beredar M1 (uang kartal dan uang giral) dengan deposito berjangka (timedeposit), tabungan (saving-deposit), dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik. Deposito berjangka (time-deposit), tabungan (savingdeposit), dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik sering disebut dengan uang kuasi atau near money. Hal ini karena deposito berjangka (time-deposit), tabungan (saving-deposit), dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik dapat diubah menjadi uang tunai sehingga fungsinya sama dengan uang kartal. Dalam perekonomian yang semakin maju, biasanya jumlah uang beredar akan didominasi oleh uang kuasi ini. Hal ini karena dalam perekonomian yang maju, lebih banyak transaksi dilakukan melalui bank (tidak langsung). Hubungan antara jumlah uang beredar dan kurs adalah bila rupiah terapresiasi maka akan meningkatkan konsumsi khususnya terhadap barangbarang impor. Peningkatan konsumsi ini tentu saja berpengaruh positif terhadap jumlah uang beredar. Hubungan antara jumlah uang beredar dan suku bunga SBI adalah kenaikan suku bunga SBI akan meningkatkan suku bunga kredit dan suku bunga deposito. Dengan tingginya suku bunga tersebut maka akan menarik investor-investor asing untuk menanamkan modalnya. Dengan masuknya modal dari investor asing, tentu saja menambah jumlah peredaran uang.
23
4. Suku Bunga SBI Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai suatu bentuk pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto/bunga. SBI merupakan salah satu mekanisme yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mengontrol kestabilan nilai rupiah. Dengan menjual SBI, Bank Indonesia selaku Bank Sentral dapat menyerap kelebihan uang primer yang beredar. Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan dengan mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal bulan Juli 2005, BI menggunakan mekanisme BI rate (suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan pelaku-pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan. Dalam penelitian, tingkat suku bunga SBI yang digunakan adalah dalam periode kuartalan. Oleh karena itu, data tingkat suku bunga SBI yang diperoleh dalam periode bulanan akan diubah menjadi periode kuartalan dengan cara jumlah dari tingkat suku bunga periode bulanan selama tiga bulan dibagi dengan jumlah periode waktu selama tiga bulan. Tingkat bunga nominal adalah jumlah tingkat bunga riil dan tingkat inflasi: i=r+ π persamaan di atas disebut persamaan Efek Fisher (Fisher Effect), diambil dari
24
nama
belakang ekonom
Irving Fisher
(1867-1947). Persamaan itu
menunjukkan tingkat bunga bisa berubah karena dua alasan: karena tingkat bunga riil berubah atau karena tingkat inflasi berubah. Setelah kita memisahkan tingkat bunga nominal menjadi dua bagian, kita bisa gunakan persamaan ini untuk mengembangkan teori yang menjelaskan tingkat bunga nominal. Tingkat bunga riil menyesuaikan untuk menyeimbangkan tabungan dan investasi. Teori kuantitas uang menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan uang menentukan tingkat inflasi. Persamaan Fisher lalu meminta kita menambah tingkat bunga riil dengan tingkat inflasi untuk menentukan tingkat bunga nominal. (Mankiw, 2007: 89). Teori kuantitas dan persamaan Fisher sama-sama menyatakan bagaimana pertumbuhan uang mempengaruhi tingkat bunga nominal. Menurut teori kuantitas, kenaikan dalam tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi. Menurut persamaan Fisher, kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi sebaliknya menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat bunga nominal. Hubungan satu-untuk-satu antara tingkat inflasi dengan tingkat bunga nominal disebut efek Fisher (Fisher effect). (Mankiw, 2007: 90). SBI terkait dengan salah satu instrumen kebijakan moneter. Instrumen kebijakan moneter itu adalah Operasi Pasar Terbuka atau lebih sering disebut dengan OPT, yaitu merupakan cara untuk mengendalikan jumlah uang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah. Untuk menambah jumlah uang beredar, Bank Indonesia akan membeli surat berharga
25
pemerintah. Begitu pula sebaliknya, untuk mengurangi jumlah uang beredar, Bank Indonesia akan menjual surat berharga pemerintah. Instrumen yang digunakan di antaranya adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Jika Bank Indonesia menjaga jumlah uang beredar tetap stabil, tingkat harga akan stabil. Jika Bank Indonesia meningkatkan jumlah uang beredar dengan cepat, tingkat harga juga akan meningkat cepat. Saat Bank Indonesia mengubah jumlah uang beredar dan menyebabkan perubahan proporsional terhadap nilai output nominal, perubahan tersebut akan tercermin pada tingkat harga. Karena tingkat inflasi ditunjukkan melalui perubahan persentase dalam tingkat harga, maka meningkatnya jumlah uang beredar akan menyebabkan inflasi. Hubungan antara suku bunga SBI dan kurs adalah kenaikan suku bunga SBI akan meningkatkan suku bunga kredit dan suku bunga deposito. Dengan tingginya suku bunga tersebut maka akan menarik investor-investor asing untuk menanamkan modalnya, yang pada akhirnya akan menimbulkan terapresiasinya nilai mata uang. Hubungan antara jumlah uang beredar dan suku bunga SBI adalah kenaikan suku bunga SBI akan meningkatkan suku bunga kredit dan suku bunga deposito. Dengan tingginya suku bunga tersebut maka akan menarik investor-investor asing untuk menanamkan modalnya. Dengan masuknya modal dari investor asing, tentu saja menambah jumlah peredaran uang.
26
B. Keterkaitan Antar Variabel Hubungan antara kurs dengan inflasi adalah fluktuasi nilai tukar berpengaruh terhadap perubahan harga yang akan berdampak kepada permintaan dan penawaran barang-barang yang diperdagangkan secara internasional (tradable good). Dengan demikian, terdapat hubungan yang sangat erat antara perubahan impor dan ekspor terhadap keseimbangan permintaan dan penawaran agregat di pasar domestik. (Enny Sri Hartati, 2004: 26). Pada gilirannya keseimbangan permintaan dan penawaran tersebut akan menimbulkan inflasi. Hubungan antara jumlah uang beredar dengan inflasi terkait dengan tema utama dari teori kuantitas uang, bahwa inflasi (kenaikan harga umum) terutama disebabkan oleh ekspansi uang dan kredit, dan ada korelasi langsung antara perubahan dalam tingkat harga dan perubahan dalam persediaan uang. Jika persediaan uang dinaikkan, harga juga akan naik. Kenaikan harga tersebut berpengaruh positif terhadap inflasi. (Skousen, 2006: 345).
MV = PQ
Keterangan: M = Kuantitas uang yang beredar V = Kecepatan uang P = Tingkat harga umum Q = Kuantitas barang yang dihasilkan dalam setahun Fisher berasumsi bahwa baik itu V (velocity) maupun Q (output) relatif stabil
27
dan karena itu perubahan dalam tingkat harga pasti secara langsung berkaitan dengan perubahan dalam persediaan uang. (Skousen, 2006: 346). Hubungan antara suku bunga SBI dengan inflasi adalah kenaikan suku bunga SBI akan mendorong kenaikan suku bunga jangka pendek di pasar uang. Demikian juga halnya dengan suku bunga jangka panjang, produsen akan merespon kenaikan suku bunga di pasar uang dengan mengurangi investasinya, maka produksi dalam negeri (output) menurun sehingga tingkat inflasi domestik menurun. (Utami Baroroh, 2010).
Gambar. 2.1 Skema Mekanisme Hubungan Pengaruh SBI Terhadap Inflasi
SBI/SBPU
Excess Cadangan
Inflasi
PUAB
PDB Aktual
Suku Bunga Deposito PDB Potensial
Demikianlah keterkaitan antar masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen pada ”Analisis Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001-2010.
28
C. Penelitian Terdahulu Tabel. 2.1 Matriks Referensi Penelitian Terdahulu No.
1
Peneliti
Judul
Variabel
Harunurrasyid & Yovi Noveriza
PENGARUH TINGKAT BUNGA TINGKAT INFLASI DI INDONESIA
SBI
TERHADAP
Nairobi
FAKTOR-FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PERGERAKAN INFLASI DI BANDAR LAMPUNG
1. Suku bunga SBI
Metode Analisis kualitatif deskriptif & analisis kuantitatif
Hasil
Positif
Analisis regresi komponen utama
Inflasi lebih dominan dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat, IHK Kota Jakarta, biaya transportasi, dan uang kuasi di Lampung
2. Inflasi 2
1.. Biaya transportasi 2. Pengeluaran pemerintah 3. Konsumsi masyarakat 4. IHK Kota Jakarta 5. Pajak & retribusi daerah 6. Kredit perbankan 7. Uang kuasi di Lampung 8. Kurs Rupiah/Dollar 9. Upah riil 10. Tingkat bunga deposito 11. Inflasi
3
Etty Puji Lestari
PENGARUH VOLATILITAS NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP PERMINTAAN UANG M1 INDONESIA,
1. Nilai tukar Rupiah
ESTIMASI DATA NON STASIONER
2. Permintaan uang M1
Analisis VAR, Dynamis OLS, dan ADL ECM
Positif
Ferry Andrianus & 4
Amelia Niko
1. Tingkat suku bunga deposito ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA PERIODE 1997:3 - 2005:2
2. Jumlah uang beredar 3. PDB
OLS dan Partial Adjusment Model
4. Nilai tukar
Suku bunga dan nilai tukar berpengaruh positif terhadap inflasi
5. Tingkat inflasi 5
6
Enny Sri Hartati
DAMPAK PERGERAKAN NILAI TUKAR TERHADAP INFLASI (EXCHANGE RATE PASS THROUGH) DI INDONESIA
Didi Nuryadin
1.Nilai tukar
VAR
Positif
2. Inflasi 1. Real effective exchange rate 2. Net foreign asset 3. Term of trade
Johansen method & VECM
4. Total trade/GDP 5. Private consumption REAL EFFECTIVE EXCHANGE RATE DETERMINATION IN INDONESIA: A BEHAVIORAL EQUILIBRIUM EXCHANGE RATE APPROACH
Real effective exchange rate, net foreign asset, term of trade, and total trade/GDP were correctly signed,plausible magnitude and statistically significant
6. Government consumption
7
Adji Pratikto & Andy Susilo Lukito Budi
THE IMPACT OF EXCHANGE RATE UNCERTAINTY ON INDONESIAN EXPORTS: BEFORE AND DURING THE PERIOD OF CRISIS
1. Developing country category
Linear Regression Estimation
Negative
2. Industrial country category
29
Pada penelitian yang dilakukan oleh Harunurrasyid dan Yovi Noveriza yang berjudul “Pengaruh Tingkat Bunga SBI Terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia” menunjukkan bahwa selama periode 1988-2003 variabel tingkat bunga SBI berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Bila dilihat dari periode sebelum krisis (1988-1996) dan sesudah krisis moneter (1998-2003), maka terdapat beda hasil perhitungan di antara kedua periode tersebut. Sebelum krisis, variabel tingkat bunga SBI berpengaruh secara negatif, namun tidak signifikan. Sebaliknya, pada masa setelah krisis variabel tersebut berpengaruh secara positif dan signifikan. Melihat fenomena yang terjadi, sebaiknya kebijakan Bank Indonesia harus lebih antisipatif dengan melihat gejala-gejala yang akan timbul sebelum terjadinya inflasi. Dengan keluarnya UU No. 23 Tahun 1999 telah memberikan gerak yang lebih besar bagi Bank Indonesia untuk mensukseskan single objektif yaitu memelihara kestabilan nilai Rupiah. Perlu adanya penelitian lebih lanjut yang memasukkan variabel-variabel lain terutama kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah. (Harunurrasyid & Yovi Noveriza, 2005: 13). Pada penelitian yang dilakukan oleh Nairobi yang berjudul “Faktor-faktor Utama yang Mempengaruhi Pergerakkan Inflasi di Kota Bandar Lampung” di dapat tiga kesimpulan, yaitu: 1. Berdasarkan besarnya angka koefisien regresi, tekanan inflasi di daerah Lampung lebih dominan dipengaruhi oleh faktor-faktor non moneter dibandingkan faktor moneter. Faktor moneter yang paling dominan tersebut adalah pengeluaran konsumsi masyarakat, inflasi daerah Jakarta,
30
dan biaya transportasi. Faktor moneter yang paling dominan adalah faktor peningkatan dalam jumlah uang beredar. 2. Faktor non moneter yang lain yang dapat meningkatkan laju inflasi namun kurang dominan adalah pengeluaran pemerintah, pajak dan retribusi daerah, dan kenaikan upah. Di sisi lain faktor moneter yang berpengaruh namun tidak dominan adalah jumlah kredit yang disalurkan oleh perbankan dan tingkat kurs Rupiah terhadap Dollar USA. 3. Faktor besarnya tingkat bunga deposito dan faktor musiman (periode akhir tahun) berpengaruh deflatoir terhadap laju inflasi daerah. (Nairobi, 2006: 18). Pada penelitian yang dilakukan oleh Etty Puji Lestari yang berjudul “Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar Rupiah Terhadap Permintaan Uang M1 Indonesia, Estimasi Data Non Stasioner” dapat dilihat bahwa terdapat adanya kondisi non stasioneritas pada data time series yang digunakan dalam penelitian. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidakstabilan kondisi perekonomian di Indonesia. Hasil estimasi jangka panjang dengan VAR menunjukkan masingmasing variabel dipengaruhi oleh variabel itu sendiri yang konsisten pada satu kuartal sebelumnya. Adanya volatilitas nilai tukar Rupiah sangat mempengaruhi permintaan uang M1 Indonesia. Salah satu solusi yang banyak disarankan adalah agar Bank Indonesia selaku otoritas moneter menetapkan strategi dengan target nilai kurs. Strategi ini dipandang efektif sebagai upaya untuk menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah. Bank Sentral dibutuhkan untuk mempertahankan nilai tukar yang tetap
31
agar mata uang dari negara yang banyak melakukan perdagangan (baskets of trading partner currencies) terjaga tingkat kestabilannya. (Etty Puji Lestari, 2005: 11). Pada penelitian yang dilakukan oleh Fery Andrianus dan Amelia Niko yang berjudul “Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Periode 1997:3 – 2005:2” didapat bahwa penggunaan suku bunga saat ini sebagai sasaran operasional sebaiknya disertai dengan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai penghitungan tingkat suku bunga netral di Indonesia mengingat pengaruhnya yang signifikan dalam jangka panjang terhadap inflasi. Laju inflasi yang juga dipengaruhi oleh nilai tukar (exchange rate) dalam jangka pendek menyebabkan pemerintah dan otoritas moneter harus berupaya menjaga kestabilan nilai tukar yang tidak over valued ataupun under valued agar tercapai kestabilan ekonomi. (Fery Andrianus & Amelia Niko, 2006: 11). Pada penelitian yang dilakukan oleh Enny Sri Hartati yang berjudul “Dampak Pergerakan Nilai Tukar Terhadap Inflasi (Exchange Rate Pass Through) di Indonesia” didapatkan dampak lintasan kurs terhadap tingkat inflasi atau exchange rate pass through dapat melalui dua jalur, yaitu jalur langsung (direct pass through) dan jalur tidak langsung (indirect pass through). Jalur langsung adalah melalui perubahan harga barang-barang impor yang langsung mempengaruhi harga barang-barang yang dikonsumsi konsumen, dan melalui perubahan harga impor barang-barang antara dan barang modal. Sementara jalur tidak langsung melalui perubahan net ekspor yang akan mempengaruhi demand dan supply produksi (output gap) di dalam negeri. (Enny Sri Hartati, 2004: 29).
32
Sesuai dari hasil perhitungan diketahui bahwa pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap inflasi baru terasa dalam jangka panjang. Dengan demikian, dalam jangka pendek kebijakan moneter terutama harus ditujukan untuk mengendalikan shock itu sendiri. Kebijakan yang efektif untuk mengendalikan laju inflasi dalam jangka pendek adalah dengan menyerap kelebihan likuiditas perekonomian agar dapat mengurangi kemungkinan digunakannya likuiditas untuk kegiatan yang bersifat spekulatif, baik melalui pengurangan jumlah uang beredar maupun kenaikan tingkat suku bunga. Namun penerapan kebijakan moneter yang ketat dalam kondisi ketidakstabilan nilai tukar, justru berakibat dilematis terhadap pertumbuhan sektor riil sehingga justru menimbulkan dampak inflasi melalui output gap. Oleh karena itu, dalam jangka panjang, kebijakan pengetatan likuiditas harus segera dilonggarkan kembali, dan kebijakan moneter lebih fokus pada pengendalian faktor-faktor yang menyebabkan depresiasi Rupiah. (Enny Sri Hartati, 2004: 31). Pada penelitian yang dilakukan oleh Didi Nuryadin yang berjudul “Real Effective Exchange Rate Determination in Indonesia: a Behavioral Equilibrium Exchange Rate Approach” didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa beberapa variabel seperti net foreign asset, term of trade, dan ratio total trade to GDP adalah signifikan. Akan tetapi, variabel government dan private consumption tidak signifikan secara statistik. Pada tahun 1997 nilai tukar mengalami under valued. Pada penelitian yang dilakukan oleh Adji Pratikto & Andy Susilo Lukito Budi yang berjudul “The Impact of Exchange Rate Uncertainty on Indonesian
33
Exports: Before and During The Period of Crisis ” didapatkan hasil analisis sebagai berikut: 1. Untuk kategori negara berkembang, hasilnya menunjukkan bahwa variabel-variabel
world
demand
benar-benar
signifikan
untuk
persamaannya. 2. Untuk kategori negara industri, import demand rate dari negara-negara sampel tidak dipengaruhi oleh krisis, atau dengan kata lain, uncertanty of exchange rate tidak dipengaruhi oleh permintaan. 3. Model ini gagal menjelaskan dampak dari nilai tukar terhadap ekspor Indonesia, untuk kedua kategori tersebut.
D. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan sintesa dari serangkaian teori yang tertuang dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran sistematis dari kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari serangkaian masalah yang ditetapkan. Latar belakang penelitian yang terdiri dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah selanjutnya akan timbul perumusan masalah. Perumusan masalah ini menciptakan adanya variabel-variabel yang akan diteliti baik itu berupa variabel dependen maupun variabel independen. Variabel dependen terdiri inflasi sedangkan variabel independen terdiri dari kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI.
34
Selanjutnya adalah kita melihat bagaimana hubungan antara variabel kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi. Hubungan ini juga dilihat dari teori-teori yang sudah ada. Kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut, dalam hal ini adalah US Dollar dengan Rupiah. Perbandingan nilai inilah sering disebut dengan kurs (exchange rate). Mata uang dalam peredaran adalah seluruh jumlah mata uang yang telah dikeluarkan dan diedarkan oleh bank sentral. Mata uang tersebut terdiri dari dua jenis, yaitu uang logam dan uang kertas. Dengan demikian, mata uang dalam peredaran adalah sama dengan uang kartal. Jumlah uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di dalam perekonomian, yaitu adalah jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai suatu bentuk pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto/bunga. Selanjutnya, dari masing-masing penjelasan variablevariabel independen secara sistematis tersebut maka dihubungkan dengan variable dependen inflasi. Inflation is a rise in the general level of prices. (McConnell & Brue, 2002: 146). Yang penting terdapat kenaikan harga umum barang secara terus-menerus selama satu periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya sekali saja (meskipun dengan presentase yang cukup besar) bukanlah merupakan inflasi. (Nopirin, 2009: 25). Selanjutnya, dengan melihat pada data perkembangan kurs, jumlah uang beredar, suku bunga SBI, dan inflasi pada tabel. 1.1 terjadi missed match antara data dengan teori. Dengan adanya missed match tersebut, maka akan
35
menimbulkan hipotesa yaitu dugaan sementara penelitian. Dari hipotesa tersebut, selanjutnya akan dilihat bagaimana analisis variabel-variabel kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi dengan menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model. Setelah data diolah dengan menggunakan alat analisis Vector Error Correction Model, maka akan didapatkan hasil penelitian dan dijelaskan bagaimana hasil analisis variabel-variabel kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi. Analisis dengan menggunakan Vector Error Correction Model tersebut terdiri dari uji stasioneritas data & derajat integrasi, penentuan lag lenght, uji kausalitas Granger, uji kointegrasi, estimasi Vector Error Correction Model (VECM), IRF (Impulse Response, Function), dan variance decomposition. Dari hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan tahapan-tahapan dengan alat analisis Vector Error Correction Model (VECM) tersebut maka dapat ditarik kesimpulan dan dibuat saran atau implikasi untuk dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya, penjabaran ini dapat dilihat secara lebih sederhana pada Gambar. 2.2 Kerangka Pemikiran berikut ini yang mencoba untuk menjelaskan kerangka pikir secara lebih sistematis.
36
Gambar. 2.2 Kerangka Pemikiran
Latar Belakang Penelitian: Dengan adanya missed match antara data dengan teori, maka penelitian ini mencoba menjelaskan langkah apakah yang terbaik digunakan Bank Indonesia untuk mengatur laju inflasi pada periode 2001-2010 agar dapat juga digunakan di masa yang akan datang.
Perumusan Masalah
Kurs
Jumlah Uang Beredar
Inflasi
Suku Bunga SBI
Teori
Data Kurs, Jumlah Uang Beredar, Suku Bunga SBI, dan Inflasi
Missed Match Antara Data Dengan Teori
Hipotesis
Model: Y = f (KURS, JUB, SBI)
Vector Error Correction Model
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
37
E. Hipotesis Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Fery Andrianus & Amelia Niko di mana didapatkan hasil suku bunga dan nilai tukar berpengaruh positif terhadap inflasi, maka perumusan hipotesis untuk penelitian “Analisis Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001 – 2010 adalah: 1. Hipotesis I Ha: Sekurang-kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai hubungan kuantitas kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 - 2010. H0 : Secara keseluruhan variabel kurs, variabel jumlah uang beredar, dan variabel suku bunga SBI tidak mempunyai hubungan kuantitas kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 - 2010.
2. Hipotesis II Ha: Sekurang-kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai hubungan kuantitas kointegrasi antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001 – 2010. H0 : Secara keseluruhan tidak terdapat hubungan kuantitas kointegrasi antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001 – 2010.
38
3. Hipotesis III Ha: Sekurang-kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai pengaruh guncangan (shock) yang besar antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 2001 - 2010 H0 : Secara keseluruhan variabel kurs, variabel jumlah uang beredar, dan variabel suku bunga SBI tidak mempunyai pengaruh guncangan (shock) yang besar terhadap variabel Inflasi di Indonesia periode 2001 - 2010.
39
BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian tentang “Analisis Kurs, Jumlah Uang Beredar, dan Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2001 – 2010”, jenis penelitian yang dipakai adalah penilitian analitik/inferensial. Penelitian analitik/inferensial ini adalah penelitian yang bertujuan untuk dapat mengambil kesimpulan secara umum dengan tujuan membuktikan hipotesis mengenai hubungan kausal/sebab akibat. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan mengakses dari internet dan studi kepustakaan. Populasi dalam penelitian ini adalah kurs, jumlah uang beredar, suku bunga SBI, dan inflasi di Indonesia. Pada tahap awal penelitian, penulis mencoba mencari masalah yang dianggap menarik yaitu inflasi yang terjadi sebelum dan sesudah krisis global di Amerika pada tahun 2007. Tahap selanjutnya adalah penulis mencoba melihat faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi tersebut yang kemudian akan dijadikan variabel independen atau variabel bebas. Setelah itu, penulis juga melihat manfaat dan kegunaan dari penelitian ini kelak. Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data terkait dengan penelitian ini yaitu data kurs tengah 1 US Dollar dalam Rupiah, jumlah uang beredar M2, suku bunga SBI, dan inflasi di Indonesia pada periode 2001 – 2010. Data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang didapat dari internet dan studi kepustakaan berupa data time series. 40
B. Teknik Penentuan Sampel Populasi penelitian ini adalah berupa data dari inflasi, kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah inflasi, kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI selama periode 2001-2010, yang masing-masing sebanyak 40 sampel yang diambil dari data perkuartal yang berupa data time series. Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah judgement sampling. Judgement sampling adalah salah satu jenis purposive sampling selain quota sampling di mana peneliti memilih sampel berdasarkan penilaian terhadap beberapa karakteristik anggota sampel yang disesuaikan dengan maksud penelitian. (Mudrajad Kuncoro, 2009: 139).
C. Teknik Pengumpulan Data Mengingat terbatas waktu, dana, dan tenaga, maka data yang digunakan adalah data sekunder, di mana metode pengumpulan data tersebut antara lain didapatkan melalui: 1. Internet Data yang peneliti peroleh dari internet yang berhubungan dengan tema skripsi ini.
41
2. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah data yang peneliti peroleh dari jurnal, buku-buku, dan bahan tertulis lainnya yang berhubungan dengan tema skripsi ini.
3. Sumber Data Semua data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Inflasi Tingkat inflasi yang digunakan adalah data persentasi perubahan kuartalan indeks harga konsumen di Indonesia, berdasarkan data yang dapat diperoleh di website resmi Bank Indonesia. Data ini berupa data sekunder dalam bentuk kuartalan periode 2001 – 2010 (time series).
b. Kurs Data yang digunakan adalah data kurs tengah 1 US Dollar dalam Rupiah yang didapat melalui kalkulator kurs yang berdasarkan data nilai penutupan Rupiah per 1 US Dollar menurut Bank Indonesia (kurs BI) pada setiap kuartal yang dapat diperoleh di website resmi Bank Indonesia. Data ini berupa data sekunder dalam bentuk kuartalan periode 2001 – 2010 (time series).
42
c. Jumlah Uang Beredar Data jumlah uang beredar yang digunakan adalah data jumlah uang beredar M2 berdasarkan data pada setiap kuartal yang dapat diperoleh di website resmi Bank Indonesia. Data ini berupa data sekunder dalam bentuk kuartalan periode 2001 – 2010 (time series).
d. Suku Bunga SBI Data suku bunga SBI yang digunakan adalah data suku bunga SBI berjangka waktu 3 bulan berdasarkan data pada setiap kuartal yang dapat diperoleh di website resmi Bank Indonesia. Data ini berupa data sekunder dalam bentuk kuartalan periode 2001 – 2010 (time series).
D. Teknik Analisis VECM (Vector Error Correction Model) merupakan suatu model analisis ekonometrika yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap jangka panjangnya, akibat adanya shock yang permanen. Analisis VECM juga dapat digunakan untuk mencari pemecahan terhadap persoalan variabel runtun waktu (time series) yang tidak stasioner (nonstasionary) dan regresi lancung (spurious regression) atau korelasi lancung (spurious correlation) dalam analisis ekonometrika. Namun demikian, VECM dinilai kurang cocok dalam menganalisis kebijakan. Hal ini dikarenakan analisis VECM yang atheoritic dan terlalu menekankan pada forecasting atau peramalan 43
dari suatu model ekonometrika. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 189). Permodelan VECM dapat dilihat sebagai berikut.
Y = f (X1, X2, X3, ..., Xn )
Keterangan: Y
= Variabel Dependen
X1
= Variabel Independen ke-1
X2
= Variabel Independen ke-2
X3
= Variabel Independen ke-3
Xn
= Variabel Independen ke-n Asumsi yang harus dipenuhi dalam VECM adalah semua variabel
independen harus bersifat stasioner. Hal ini ditandai dengan semua sisaan bersifat white noise, yaitu memiliki rataan nol, ragam konstan, dan di antara variabel tak bebas tidak ada korelasi. Uji kestasioneran data dapat dilakukan melalui pengujian terhadap ada tidaknya unit root dalam variabel dengan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Uji stasioneritas data ini penting dilakukan karena dengan adanya unit root akan menghasilkan persamaan regresi yang spurious. Pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi persamaan regresi yang spurious adalah dengan melakukan diferensiasi atas variabel endogen dan eksogennya. Dengan demikian, akan diperoleh variabel yang stasioner dengan derajat I(n). (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 190).
44
1. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau disebut juga stationary stochastic process. Uji ini merupakan pengujian yang sangat popular, dan dikenalkan oleh David Dickey dan Wayne Fuller. (Nachrowi D Nachrowi & Hardius Usman, 2006: 353). Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) pada derajat yang sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rataratanya. Jika dalam uji stasioneritas ini menunjukkan nilai ADFSTATISTIK yang lebih besar daripada Mackinnon critical value, maka dapat diketahui bahwa data tersebut stasioner karena tidak memgandung unit root. Sebaliknya, jika nilai ADFSTATISTIK yang lebih kecil daripada Mackinnon critical value, maka dapat disimpulkan data tersebut tidak stasioner pada derajat level. Dengan demikian, differencing data untuk memperoleh data yang stasioner pada derajat yang sama di first different I(1) harus dilakukan, yaitu dengan mengurangi data tersebut dengan data periode sebelumnya. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 166).
45
2. Uji Kausalitas Granger Metode yang digunakan untuk menganalisa hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah dengan Uji Kausalitas Granger. Dalam penelitian ini, uji kausalitas Granger digunakan untuk melihat arah hubungan di antara variabel-variabel. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 167). Secara umum, suatu persamaan Granger dapat diinterpretasikan sebagai berikut: a. Unindirectional causality dari variabel dependen ke variabel independen. Hal ini terjadi ketika koefisien lag variabel dependen secara statistik signifikan berbeda dengan nol, sedangkan koefisien lag seluruh variabel independen sama dengan nol. Dalam ilmu ekonomi ketergantungan suatu variabel Y (variabel tak bebas) atas variabel lain X (variabel yang menjelaskan) jarang bersifat seketika. Sangat sering, Y bereaksi terhadap X dengan suatu selang waktu. Selang waktu seperti itu disebut suatu lag. (Damodar Gujarati, 1999: 234). b. Feedback/bilaterall causality jika koefisien lag seluruh variabel, baik variabel dependen maupun independen secara statistik signifikan berbeda dengan nol. c. Independence jika koefisien lag seluruh variabel, baik variabel dependen maupun independen secara statistik tidak berbeda dengan nol.
46
3. Uji Kointegrasi Dua variabel yang tidak stasioner sebelum dideferensi namun stasioner pada tingkat deferensi pertama, besar kemungkinan akan terjadi kointegrasi, yang berarti terdapat hubungan jangka panjang di antara keduanya. (Wing Wahyu Winarno, 2009: 260). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam uji kointegrasi adalah dengan metode Johansen. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 190). Metode Johansen digunakan untuk mengestimasi matriks Π dari unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah hasil reduced rank Π dapat diterima atau
tidak.
Dalam
pengujian
reduced
rank
tersebut,
Johansen
menggunakan dua pengujian statistik yang berbeda, yaitu trace test ( λtrace ) dan maximum eigenvalue test ( λ max ). Penentuan ini dapat dilihat dengan membandingkan nilai Max-Eigen dengan nilai trace-nya. Jika nilai Max-Eigen dan nilai trace-nya lebih besar daripada nilai kritis 1% dan 5%, maka data terkointegrasi. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 200).
4. Estimasi VECM Perilaku dinamis dari model VEC dapat dilihat melalui respons dari setiap variabel endogen terhadap kejutan pada variabel tersebut maupun terhadap variabel endogen lainnya. Ada dua cara untuk melihat karakteristik dinamis model VEC, yaitu melalui IRF function dan variance decomposition.
47
Jika suatu data time series model VAR telah terbukti terdapat hubungan kointegrasi, maka VECM dapat digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap nilai jangka panjangnya. VECM juga digunakan untuk menghitung hubungan jangka pendek antar variabel melalui koefisien standar dan mengestimasi hubungan jangka panjang dengan menggunakan lag residual dari regresi yang terkointegrasi. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 191).
5. IRF (Impulse Response Function) IRF menggambarkan ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu variabel akibat inovasi dari variabel yang lain. Dengan demikian, lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat atau diketahui. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 168).
6. Variance Decomposition Variance decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang akan memisahkan variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel innovation, dengan asumsi bahwa variabel-variabel innovation tidak saling berkorelasi. Kemudian, variance decomposition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap
48
shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang akan datang. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 168).
E. Operasional Variabel Penelitian Operasional variabel penelitian adalah sebuah konsep yang mempunyai penjabaran dari variabel yang diterapkan dalam suatu penelitian dan dimaksudkan untuk memastikan agar variabel yang ingin diteliti secara jelas dapat ditetapkan indikatornya.
Tabel. 3.1 Operasionalisasi Variabel Variabel
Skala
Satuan
Kurs
Ratio
Numeric
Jumlah Uang Beredar
Ratio
Numeric
Suku Bunga SBI
Ratio
Numeric
Inflasi
Ratio
Numeric
Dalam penelitian ini dibutuhkan suatu definisi konseptual untuk menggambarkan secara tepat fenomena yang hendak diteliti. Maka definisi konseptual yang hendak digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah: 1. Inflasi Inflation is a rise in the general level of prices. (McConnell & Brue, 2002: 146). Laju atau tingkat inflasi dapat dihitung dengan rumus berikut (Asfia Murni, 2006: 41): 49
Laju Inflasi =
IHK t − IHK (t −1) IHK ( t −1)
×100%
di mana: IHK t = Indeks Harga Konsumen tahun t IHK t −1 = Indeks Harga Konsumen tahun sebelumnya (t-1)
2. Kurs Kurs (exchange rate) adalah pertukaran antara dua mata uang yang berbeda, yaitu merupakan perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uang tersebut, dalam hal ini adalah US Dollar dengan Rupiah. Kurs tengah adalah nilai rata-rata dari kurs jual dan kurs beli.
3. Jumlah Uang Beredar Jumlah uang beredar adalah semua jenis uang yang berada di dalam perekonomian, yaitu adalah jumlah dari mata uang dalam peredaran ditambah dengan uang giral dalam bank-bank umum. (Sadono Sukirno, 2008: 281). Jumlah uang beredar M2 merupakan penjumlahan dari jumlah uang beredar M1 (uang kartal dan uang giral) dengan deposito berjangka (time-deposit), tabungan (saving-deposit), dan rekening (tabungan) valuta asing milik swasta domestik.
50
4. Suku Bunga SBI Suku bunga SBI adalah suku bunga surat berharga yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan sistem diskonto/bunga.
51
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Inflasi Inflasi sebagai objek penelitian merupakan hal yang paling diperhatikan dalam perkembangan moneter Indonesia. Perkembangan inflasi pada tahun 2001 – 2010 dapat dilihat pada Gambar. 4.1. Gambar. 4.1 Grafik Inflasi Tahun 2001 - 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.1, dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 kuartal 3 tingkat inflasi sebesar 8,41 melonjak tinggi menjadi 17,79
52
pada tahun 2005 kuartal 4. Lonjakan inflasi pada kuartal akhir tahun 2005 terutama dipengaruhi oleh dampak signifikan kenaikan harga BBM baik melalui dampak langsung (first round) maupun dampak lanjutan (second round). Kenaikan harga BBM sebanyak dua kali pada 2005, khususnya kenaikan kedua pada tanggal 1 Oktober 2005, mengakibatkan inflasi melonjak menjadi dua digit. Selain itu, beberapa kebijakan administered prices lainnya seperti harga rokok, tarif tol, dan PAM juga turut mendorong kenaikan harga-harga. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2006: 83). Tingginya tekanan inflasi selepas kenaikan harga BBM Oktober 2005 menuntut Bank Indonesia dan pemerintah mengambil langkahlangkah kebijakan untuk mengendalikan sumber-sumber tekanan inflasi. Dalam perkembangannya, berbagai langkah kebijakan yang diambil Bank Indonesia dan pemerintah berhasil mengendalikan sumber-sumber utama tekanan inflasi. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2007: 97). Oleh karena itu terjadi penurunan inflasi yang semula pada kuartal 3 tahun 2006 sebesar 14,87 menjadi 6,05 pada akhir tahun 2006. Inflasi IHK tahun 2006 terutama disumbang oleh kelompok bahan makanan. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2007: 98). Secara keseluruhan, tekanan inflasi pada tahun 2008 cukup tinggi. Inflasi IHK pada tahun 2008 meningkat tajam bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sumber tekanan inflasi terutama berasal dari tingginya lonjakan harga komoditas global terutama harga komoditas minyak dan
53
pangan. Selain berdampak pada imported inflation yang tinggi, lonjakan harga minyak dunia juga berdampak pada kenaikan inflasi administered seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2009: 25). Oleh karena itu, tingkat inflasi tinggi pada pertengahan tahun 2008 yang pada kahirnya turun pada awal tahun 2009. Inflasi pada tahun 2009 yang minimal tidak terlepas dari pengaruh kebijakan Bank Indonesia dalam memulihkan kepercayaan pasar sehingga nilai tukar Rupiah yang berada dalam tren menguat. Kondisi tersebut pada gilirannya dapat mendukung membaiknya ekspektasi inflasi. Perbaikan ekspektasi inflasi juga cukup besar dipengaruhi penurunan inflasi kelompok barang administered dan inflasi kelompok volatile food. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2009: 35).
2. Nilai Tukar (Kurs) Nilai tukar
juga
merupakan faktor
yang penting dalam
mempengaruhi inflasi. Adapun perkembangan laju nilai tukar dapat dilihat pada Gambar. 4.2.
54
Gambar. 4.2 Grafik Nilai Tukar Tahun 2001 – 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.2, nilai tukar Rupiah sudah berada pada tingkat yang tinggi pada tahun 2001. Perkembangan nilai tukar Rupiah pada tahun 2001 masih mengalami tekanan depresiasi yang tinggi disertai dengan volatilitas yang meningkat walaupun sempat menguat pada pertengahan tahun. Secara umum melemahnya nilai tukar disebabkan oleh adanya permasalahan yang bersifat makro-fundamental dan mikrostruktural di pasar valuta asing yang bermuara pada ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2002: 8). Pada tahun 2001, nilai tukar berfluktuatif pada level Rp 10.000. Secara umum, nilai tukar Rupiah selama tahun 2002 mengalami apresiasi disertai dengan menurunnya volatilitas. Perkembangan ini selain ditunjang oleh membaiknya faktor fundamental, faktor regional, dan faktor sentimen, juga tidak terlepas dari intervensi Bank Indonesia (BI) dalam
55
menjaga agar nilai tukar tidak terlalu berfluktuasi. Dari sisi fundamental, apresiasi nilai tukar Rupiah didorong oleh membaiknya neraca pembayaran dari defisit menjadi surplus. Dari sisi sentimen pasar, menguatnya nilai tukar Rupiah juga ditunjang oleh menguatnya sentimen positif pasar yang didorong oleh keberhasilan penjadwalan utang, persetujuan pencairan pinjaman IMF (International Monetary Fund). (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2003: 8). Pada tahun 2002, nilai tukar berfluktuatif pada level Rp 9.000. Nilai tukar Rupiah pada 2005 secara umum terdepresiasi. Kondisi ini terutama terkait dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran akibat pengaruh
kondisi
sektor
eksternal
dan
internal
yang
kurang
menguntungkan, sehingga memberikan tekanan yang bersifat fundamental terhadap nilai tukar Rupiah. Di sisi eksternal,melambungnya harga minyak dunia dan masih berlanjutnya kebijakan moneter ketat di Amerika Serikat (AS) telah memberikan tekanan depresiasi terhadap Rupiah. Dari sisi internal, meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri merupakan faktor utama pemicu tekanan terhadap Rupiah. Di tengah kondisi pasar keuangan domestik yang masih mengalami kelebihan likuiditas Rupiah, permintaan valas semakin terakselerasi sejalan dengan peningkatan ekspektasi depresiasi akibat melonjaknya laju inflasi. Berbagai faktor tersebut memberikan tekanan yang kuat terhadap nilai tukar Rupiah, sebelum pada akhirnya kembali terapresiasi di triwulan keempat seiring dengan
56
kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah. Koordinasi kebijakan
tersebut
berdampak
positif
dan
berhasil
memulihkan
kepercayaan pasar, sebagaimana tercermin dari meredanya ekspektasi depresiasi dan meningkatnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2006: 68). Pada tahun 2005, nilai tukar Rupiah berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.500. Sepanjang 2006 nilai tukar Rupiah secara umum mengalami penguatan terhadap US Dollar disertai pergerakan yang lebih stabil dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh kondisi fundamental makro ekonomi yang membaik, daya tarik investasi keuangan di dalam negeri yang terjaga, serta perkembangan ekonomi global yang relatif lebih kondusif. Dengan kebijakan moneter dan fiskal yang dijalankan secara konsisten dan berhati-hati, nilai tukar Rupiah dapat bergerak stabil meskipun menghadapi harga minyak dan suku bunga global yang masih terus meningkat selama paruh pertama 2006, serta munculnya tekanan regional pada penghujung 2006. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2007: 83). Pada tahun 2006, nilai tukar Rupiah berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.100. Secara umum, nilai tukar Rupiah dapat bergerak stabil sampai dengan pertengahan September 2008. Hal tersebut ditopang oleh kinerja transaksi berjalan dan kebijakan makro ekonomi yang cukup prudent. Namun, intensifikasi krisis keuangan global yang memicu risk aversion dan anjloknya harga komoditas menekan Rupiah, sehingga nilai tukar
57
Rupiah terdepresiasi disertai dengan peningkatan volatilitas pada kuartal 4 tahun 2008. Anjloknya harga komoditas berdampak buruk terhadap kinerja ekspor dan menurunkan pasokan valas yang bersumber dari devisa hasil ekspor. Di lain pihak, impor yang meningkat akibat kuatnya permintaan domestik membutuhkan valas yang semakin besar. Tekanan permintaan valas semakin bertambah seiring dengan adanya aliran dana portofolio asing ke luar akibat adanya sentimen negatif sebagai imbas krisis finansial global yang memburuk. Turunnya pasokan valas yang disertai tingginya permintaan valas menyebabkan tingginya tekanan depresiasi nilai tukar. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2009: 23). Pada tahun 2008, nilai tukar Rupiah berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.200. Pada awal tahun 2009, nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sampai pada level Rp 11.600 samapi pada akhirnya terus terapresiasi sampai pada level Rp 9.400. Nilai tukar Rupiah mulai kembali menguat sejak kuartal 2 2009 ditopang perbaikan persepsi risiko terhadap emerging market dan kondisi fundamental domestik yang tetap terjaga. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2010: 26). Pada tahun 2009, nilai tukar Rupiah berfluktuatif pada sekitar level Rp 9.900.
3. Jumlah Uang Beredar Jumlah Uang Beredar (JUB) merupakan salah satu faktor yang penting dalam mempengaruhi inflasi. Adapun perkembangan laju jumlah uang beredar dapat dilihat pada Gambar. 4.3.
58
Gambar. 4.3 Grafik Jumlah Uang Beredar Tahun 2001 – 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.3, perkembangan jumlah uang beredar terus mengalami kenaikan pada periode 2001 – 2010. Penyebab dari hal ini merupakan semakin bertambahnya pencetakan uang yang diimbangi dengan tingkat inflasi dan tingginya tingkat konsumsi dan tabungan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Pada tahun 2001 kuartal 3 sempat terjadi penurunan volume jumlah uang beredar dari kuartal sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh dilakukannya instrumen moneter Operasi Pasar Terbuka (OPT) oleh Bank Indonesia, khususnya melalui mekanisme lelang SBI baik yang berjangka waktu 1 bulan maupun 3 bulan. Hal yang sama juga dilakukan pada tahun 2002 kuartal 2. Ekses likuiditas perbankan yang terus meningkat telah mewarnai 59
pelaksanaan kebijakan moneter selama 2003. Di tengah kebutuhan likuiditas perbankan yang masih rendah akibat fungsi intermediasi yang belum berjalan optimal, suplai likuiditas selama 2003 justru meningkat tajam, terutama yang bersumber dari ekspansi rekening pemerintah di Bank Indonesia dan pembayaran bunga Operasi Pasar Terbuka (OPT). Kondisi ini mengakibatkan sistem perbankan secara keseluruhan semakin kelebihan likuiditas. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2004: 11). Hal ini yang mengakibatkan bertambahnya jumlah uang beredar pada tahun 2003. Perkembangan jumlah uang beredar terus mengalami kenaikan pada periode 2005 – 2010. Penyebab dari hal ini merupakan efek dari sentimen global, di mana masyrakat lebih cenderung untuk memegang uangnya sendiri atau menyimpannya di bank. Bank sudah menjadi perantara keuangan yang semakin aktif karena semakin bertumbuhnya perekonomian di Indonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya transaksi yang dilakukan melalui bank, baik itu berupa transfer antar rekening maupun transfer antar bank.
4. Suku Bunga SBI Suku Bunga SBI merupakan salah satu faktor yang penting dalam mempengaruhi inflasi. Adapun perkembangan laju suku bunga SBI dapat dilihat pada Gambar. 4.4.
60
Gambar. 4.4 Grafik Suku Bunga SBI Tahun 2001 – 2010
Berdasarkan pada Gambar. 4.4, peningkatan suku bunga SBI selama 2001 masih belum secara langsung berpengaruh pada peningkatan suku bunga deposito secara signifikan, terutama akibat masih tingginya likuiditas perbankan sebagai akibat masih tingginya ketergantungan perbankan pada SBI sebagai alternatif penempatan utama, dengan memanfaatkan selisih antara suku bunga SBI dan deposito di tengah kondisi fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih. Pada tahun 2002, penurunan suku bunga SBI disebabkan oleh penurunan suku bunga FASBI. Penurunan suku bunga SBI tersebut juga didorong oleh kondisi perbankan yang mengalami kelebihan likuiditas sebagai akibat dari belum berjalannya fungsi intermediasi perbankan secara lebih optimal. (Laporan Tahunan Bank Indonesia, 2003: 75). Hal ini juga terjadi pada tahun 2003 sampai 2004 kuartal 2. 61
Pada tahun 2004 kuartal 3, suku bunga SBI mengalami kenaikan yang merupakan suatu cara untuk menaikkan suku bunga deposito. Hal ini juga terjadi pada tahun 2005 pada kuartal 3 dan 4. Pada tahun 2006, terjadi penurunan suku bunga SBI setelah kuartal 1. Hal ini disebabkan untuk menambah jumlah uang di masyarakat. Pada tahun 2007 kuartal 3 terjadi kenaikan suku bunga SBI yang merupakan suatu intensitas dalam rangka penyerapan likuiditas. Pada tahun 2008, suku bunga SBI selalu naik. Hal ini merupakan suatu cara untuk tetap menumbuhkan rasa aman kepada para investor akibat krisis global yang terjadi. Tingginya suku bunga SBI akan berdampak positif pada tingkat bunga deposito yang akan mendorong para investor untuk berinvestasi.
B. Analisis Uji Ekonometrik 1. Analisis dan Interpretasi
a. Uji Stasioneritas Data & Derajat Integrasi
1) Uji Stasioneritas Data
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam estimasi model ekonomi dengan data time series adalah dengan menguji stasioneritas pada data atau disebut juga stationary stochastic process. Uji stasioneritas data ini dapat dilakukan dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) pada derajat yang 62
sama (level atau different) hingga diperoleh suatu data yang stasioner, yaitu data yang variansnya tidak terlalu besar dan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-ratanya. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 165).
Tabel. 4.1 Uji Stasioneritas Data Variabel Inflasi Kurs JUB SBI
Probabilitas ADF 0.4114 0.0876 0.7836 0.1235
t-Statistic ADF -2.324788 -3.264696 -1.577717 -3.088517
Critical Value (5% level) -3.529758 -3.533083 -3.529758 -3.533083
Sumber: Lampiran 2
Berdasarkan Tabel. 4.1 di atas, terlihat bahwa seluruh variabel belum stasioner pada tingkat level atau I(0). Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas seluruh variabel tersebut masih lebih besar dari α = 5%. Hal ini juga dapat dibuktikan lagi dengan melihat pada Critical Value (5% level) yang nilainya masih lebih kecil dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Dengan demikian, pengujian dilanjutkan dengan uji derajat integrasi.
2) Uji Derajat Integrasi Setelah dilakukan uji stasioneritas dan hasilnya adalah seluruh variabel belum stasioner pada tingkat level atau I(0), maka dilakukanlah uji derajat integrasi. Uji derajat integrasi dilakukan
63
dengan melihat probabilitas pada ADF Unit Root Test dan dengan melihat pada tingkat difference berapa variabel tersebut stasioner.
Tabel. 4.2 Uji Derajat Integrasi (First Difference) Variabel Inflasi Kurs JUB SBI
Probabilitas ADF 0.0024 0.0000 0.3577 0.0711
t-Statistic ADF -4.800624 -7.000979 -2.432265 -3.367444
Critical Value (5% level) -3.544284 -3.533083 -3.544284 -3.533083
Sumber: Lampiran 3
Berdasarkan Tabel. 4.2 Uji Derajat Integrasi (First Difference) di atas, terlihat bahwa variabel Inflasi dan Kurs telah stasioner di tingkat derajat pertama (first difference) atau I(1). Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas variabel Inflasi dan Kurs lebih kecil daripada α = 5%. Hal ini juga dapat dibuktikan lagi dengan melihat Critical Value (5% level) yang nilainya masih lebih besar dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Artinya, variabel Inflasi dan Kurs telah stasioner di tingkat derajat pertama first difference pada α = 5%. Berdasarkan Tabel. 4.2 Uji Derajat Integrasi (First Difference) di atas, juga diketahui bahwa variabel JUB dan SBI belum stasioner di tingkat derajat pertama first difference atau I(1). Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas variabel JUB dan SBI lebih besar daripada α = 5%. Hal ini juga dapat dibuktikan lagi 64
dengan melihat Critical Value (5% level) yang nilainya masih lebih kecil dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Artinya, variabel JUB dan SBI belum stasioner di tingkat derajat pertama (first difference) pada α = 5%. Setelah dilakukan Uji Derajat Integrasi (First Difference) dan hasilnya adalah masih terdapat dua variabel yaitu variabel JUB dan variabel SBI belum stasioner di tingkat first difference pada
α = 5%. Hal ini juga pernah terjadi pada peneilitian yang dilakukan oleh Enny Sri Hartati, di mana belum semua variabel stasioner pada derajat yang sama. Oleh karena itu, maka perlu dilanjutkan uji stasioneritas atau derajat integrasi sampai semua variabel yang diamati mempunyai derajat yang sama. Selanjutnya akan dilakukan Uji Derajat Integrasi (Second Difference) yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel. 4.3.
Tabel. 4.3 Uji Derajat Integrasi (Second Difference) Variabel Inflasi Kurs JUB SBI
Probabilitas ADF 0.0000 0.0003 0.0000 0.0001
t-Statistic ADF -9.502998 -5.589697 -8.291267 -6.164543
Critical Value (5% level) -3.536601 -3.548490 -3.544284 -3.536601
Sumber: Lampiran 3
Berdasarkan Tabel. 4.3 Uji Derajat Integrasi (Second Difference) di atas, terlihat bahwa seluruh variabel telah stasioner
65
di tingkat derajat kedua (second difference) atau I(2). Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas seluruh variabel lebih kecil daripada α = 5%. Hal ini juga dapat dibuktikan lagi dengan melihat Critical Value (5% level) yang nilainya masih lebih besar dibandingkan dengan t-Statistic ADF. Artinya, seluruh variabel telah stasioner di tingkat derajat kedua (second difference) pada α = 5%.
b. Uji Kausalitas Granger
Metode yang digunakan untuk menganalisa hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah dengan Uji Kausalitas Granger. Dalam penelitian ini, uji kausalitas Granger digunakan untuk melihat arah hubungan di antara variabel-variabel. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 167).
Tabel. 4.4 Uji Kausalitas Granger Antara Kurs dan Inflasi Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:37 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 12 Null Hypothesis: INFLASI does not Granger Cause KURS KURS does not Granger Cause INFLASI
Obs
F-Statistic
Probability
28
13.2542 0.39304
0.02795 0.89480
Sumber: Lampiran 4
66
Berdasarkan Tabel. 4.4 Uji Kausalitas Granger Antara Kurs dan Inflasi tersebut, terdapat sebuah hubungan kausalitas antara variabel Inflasi dengan variabel Kurs. Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas dari
variabel
Inflasi terhadap
Kurs
lebih
kecil
dibandingkan dengan nilai α = 5%. Hal ini dapat terlihat pada perekonomian bahwa dengan tingginya tingkat inflasi menciptakan terdepresiasinya nilai tukar karena dengan tingginya inflasi membuat permintaan terhadap mata uang asing meningkat. Selanjutnya akan dilihat bagaimana hasil Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan Inflasi pada Tabel. 4.5.
Tabel. 4.5 Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan Inflasi Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:36 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 12 Null Hypothesis: INFLASI does not Granger Cause JUB JUB does not Granger Cause INFLASI
Obs
F-Statistic
Probability
28
0.44899 0.81537
0.86240 0.65727
Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan Tabel. 4.5 Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan Inflasi tersebut, tidak terdapat sebuah hubungan kausalitas antara variabel Inflasi dengan variabel JUB. Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas dari
variabel
Inflasi terhadap
JUB
lebih
besar
67
dibandingkan dengan nilai α = 5%. Hal ini dapat terlihat pada perekonomian bahwa dengan tingginya tingkat jumlah uang beredar M2 yang relatif bergerak naik tidak seimbang dengan fluktuatifnya inflasi. Tingginya nilai M2 ini disebabkan oleh pencetakan uang yang berlebih kemudian tidak memiliki hubungan kausalitas terhadap inflasi. Kemungkinan besar nilai M1 yang memiliki hubungan kausalitas terhadap inflasi. Selanjutnya akan dilihat bagaimana hasil Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan Inflasi pada Tabel. 4.6.
Tabel. 4.6 Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan Inflasi Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:38 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 2 Null Hypothesis: INFLASI does not Granger Cause SBI SBI does not Granger Cause INFLASI
Obs
F-Statistic
Probability
38
0.90064 4.56807
0.41606 0.01773
Sumber: Lampiran 4
Berdasarkan Tabel. 4.6 Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan Inflasi tersebut, terdapat sebuah hubungan kausalitas antara variabel Inflasi dengan variabel SBI. Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas
dari
variabel
Inflasi
terhadap
SBI
lebih
besar
dibandingkan dengan nilai α = 5%. Hal ini dapat terlihat pada perekonomian bahwa dengan fluktuatifnya nilai SBI seimbang dengan
68
fluktuatifnya inflasi. Dengan ditentukannya tingkat suku bunga SBI dapat mendorong tingkat inflasi kepada tahap yang diinginkan sehingga Bank Indonesia dapat mencapai targetnya dalam pengaturan inflasi.
c. Uji Kointegrasi
Setelah dilakukan Uji Kausalitas Granger, maka selanjutnya akan dilakukan Uji Kointegrasi. Dua variabel yang tidak stasioner sebelum dideferensi namun stasioner pada tingkat deferensi pertama, besar kemungkinan akan terjadi kointegrasi, yang berarti terdapat hubungan jangka panjang di antara keduanya. (Wing Wahyu Winarno, 2009: 260). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam uji kointegrasi adalah dengan metode Johansen. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 190). Metode Johansen digunakan untuk mengestimasi matriks Π dari unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah hasil reduced rank Π dapat diterima atau tidak. Dalam pengujian reduced rank tersebut, Johansen menggunakan dua pengujian statistik yang berbeda, yaitu trace test ( λtrace ) dan maximum eigenvalue test ( λ max ). Penentuan ini dapat dilihat dengan membandingkan nilai MaxEigen dengan nilai trace-nya. Jika nilai Max-Eigen dan nilai trace-nya lebih besar daripada nilai kritis 1% dan 5%, maka data terkointegrasi. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 200).
69
Tabel. 4.7 Uji Kointegrasi Trace Statistic
Critical Value (5% level) Trace
Max-Eigen Statistic
Critical Value (5% level) Max-Eigen
Kurs
Variabel
21.06889
25.87211
13.57780
19.38704
JUB
28.05682
25.87211
20.66516
19.38704
SBI
20.64268 25.87211 Sumber: Lampiran 5
15.48874
19.38704
Berdasarkan tabel 4.7 Uji Kointegrasi di atas, terindikasi bahwa pada nilai Trace Statistic variabel Kurs dan SBI masih lebih kecil bila dibandingkan dengan Critical Value (5% level) Trace. Hal ini serupa dengan nilai Max-Eigen Statistic variabel Kurs dan SBI yang masih lebih kecil dibandingkan dengan Critical Value (5% level) Max-Eigen. Hal ini membuktikan bahwa pada variabel Kurs dan SBI tidak terjadi kointegrasi. Berdasarkan juga pada tabel 4.7 Uji Kointegrasi di atas, terindikasi bahwa pada nilai Trace Statistic variabel JUB lebih besar bila dibandingkan dengan Critical Value (5% level) Trace. Hal ini serupa dengan nilai Max-Eigen Statistic variabel JUB yang lebih besar dibandingkan dengan Critical Value (5% level) Max-Eigen. Hal ini membuktikan bahwa pada variabel Jumlah Uang Beredar terjadi kointegrasi.
d. Estimasi VECM Setelah dilakukan Uji Kointegrasi, maka selanjutnya akan dilakukan Uji Estimasi VECM. Jika suatu data time series model VAR
70
telah terbukti terdapat hubungan kointegrasi, maka VECM dapat digunakan untuk mengetahui tingkah laku jangka pendek dari suatu variabel terhadap nilai jangka panjangnya. VECM juga digunakan untuk menghitung hubungan jangka pendek antar variabel melalui koefisien standar dan mengestimasi hubungan jangka panjang dengan menggunakan lag residual dari regresi yang terkointegrasi. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 191).
Tabel. 4.8 Estimasi VECM Variabel t-Statistic t-Table 1.684 Kurs 2.19162 1.684 JUB -1.43911 1.684 SBI -2.25938 Sumber: Lampiran 6 & Lampiran 9
Berdasarkan tabel 4.8 Estimasi VECM di atas, terlihat bahwa tidak terdapat hubungan jangka panjang atau jangka pendek antara variabel JUB dengan variabel Inflasi. Hal ini disebabkan karena nilai t-Statistic untuk variabel JUB lebih kecil dibandingkan dengan nilai t-tabelnya. Di sisi lain, terdapat dua hubungan jangka pendek atau jangka panjang terhadap variable inflasi. Hal ini disebabkan karena nilai tStatistic untuk variabel JUB lebih besar dibandingkan dengan nilai ttabelnya. Oleh karena itu, maka dapat dikatakan bahwa terdapat dua hubungan jangka panjang atau jangka pendek antara variabel Kurs dan SBI terhadap variabel Inflasi. Hal ini sejalan dengan hasil dari uji
71
kausalitas Granger di mana pada perekonomian pergerakan dari Kurs dan Suku Bunga SBI memiliki hubungan kausalitas terhadap variabel inflasi.
e. IRF (Impulse Response Function) Setelah dilakukan Uji Estimasi VECM, maka selanjutnya akan dilakukan Uji IRF (Impulse Response Function). IRF menggambarkan ekspektasi k-periode ke depan dari kesalahan prediksi suatu variabel akibat inovasi dari variabel yang lain. Dengan demikian, lamanya pengaruh dari shock suatu variabel terhadap variabel lain sampai pengaruhnya hilang atau kembali ke titik keseimbangan dapat dilihat atau diketahui. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 168).
Gambar. 4.5 Impulse Response Function Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of DKURS to DKURS
Response of DKURS to DJUB
Response of DKURS to DSBI
Response of DKURS to DINFLASI
. 03
. 03
. 03
. 03
. 02
. 02
. 02
. 02
. 01
. 01
. 01
. 01
. 00
. 00
. 00
-. 01
-. 01 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
. 00
-. 01 1
Response of DJUB to DKURS
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-. 01 1
Response of DJUB to DJUB
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of DJUB to DSBI
. 016
.0 16
. 016
.0 12
. 012
.0 12
. 012
.0 08
. 008
.0 08
. 008
.0 04
. 004
.0 04
. 004
.0 00
. 000
.0 00
-.0 04
-. 004 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
Response of DSBI to DKURS
3
4
5
6
7
8
9
10
2
Response of DSBI to DJUB
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of DSBI to DSBI 2. 0
2. 0
1. 6
1. 6
1. 6
1. 6
1. 2
1. 2
1. 2
1. 2
0. 8
0. 8
0. 8
0. 8
0. 4
0. 4
0. 4
0. 0 2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of DINFLASI to DKURS
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of DINFLASI to DJUB
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of DINFLASI to DSBI 3. 0
3. 0
2. 5
2. 5
2. 5
2. 5
2. 0
2. 0
2. 0
2. 0
1. 5
1. 5
1. 5
1. 5
1. 0
1. 0
1. 0
0. 5
0. 5
0. 5
0. 0 2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1. 0 0. 5
0. 0 1
8
Response of DINFLASI to DINFLASI
3. 0
1
7
0. 0 1
3. 0
0. 0
6
0. 4
0. 0 1
5
Response of DSBI to DINFLASI
2. 0
1
4
-. 004 1
2. 0
0. 0
3
. 000
-.0 04 1
2
Response of DJUB to DINFLASI
.0 16
0. 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
Sumber: Lampiran 7
72
7
8
9
10
Pada Gambar. 4.5 Impulse Response kolom keempat menunjukkan respon dari variabel kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap kejutan satu standar deviasi dari inflasi. Pada baris pertama terlihat bahwa adanya kejutan (shock) atas DKURS awalnya terjadi hubungan yang stabil dengan DINFLASI sampai pada periode ke-2. DINFLASI tidak kembali pada nilainya semula melainkan membentuk titik keseimbangan yang baru dan berhasil direspon positif sampai pada periode ke-4. Pada periode ke-10 DINFLASI berada pada titik tertinggi. Pada baris kedua, sedikit kejutan DJUB cukup menghasilkan dampak positif terhadap DINFLASI sampai periode ke-3. Setelah periode ke-3, dampak positif tidak lagi dirasakan sampai pada periode ke-5. Setelah itu, DJUB memberikan hubungan positif sampai pada periode ke-6 dan lebih fluktuatif sampai periode ke-10. Pada baris ketiga menunjukkan adanya kejutan DSBI direspon secara negatif setelah periode ke-3 dan pada periode ke-4 sampai dengan periode ke10 cenderung lebih stabil. Secara ringkas, penjelasan IRF ini dapat dilihat pada Tabel. 4.9 Impulse Response Function berikut.
Tabel. 4.9 Impulse Response Function Terhadap DINFLASI Periode
DKURS
DJUB
DSBI
Ke-2
Bergerak naik
Mulai menaik
Direspon positif
Ke-3 Ke-4
Stabil Mulai direspon negative
Titik tertinggi Direspon negative
Titik tertinggi Bergerak stabil
Ke-7
Mulai bergerak negative
Direspon negative
Stabil
Ke-10
Titik tertinggi
Titik terendah
Stabil
Sumber: Lampiran 7
73
f. Variance Decomposition Setelah dilakukan Uji IRF (Impulse Response Function), maka selanjutnya akan dilakukan Uji Variance Decomposition. Variance decomposition atau disebut juga forecast error variance decomposition merupakan perangkat pada model VAR yang akan memisahkan variasi dari sejumlah variabel yang diestimasi menjadi komponen-komponen shock atau menjadi variabel innovation, dengan asumsi bahwa variabel-variabel innovation tidak saling berkorelasi. Kemudian, variance decomposition akan memberikan informasi mengenai proporsi dari pergerakan pengaruh shock pada sebuah variabel terhadap shock variabel lainnya pada periode saat ini dan periode yang akan datang. (Shochrul R. Ajija, dkk, 2011: 168).
Tabel. 4.10 Variance Decomposition
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2.670994 4.062293 5.304079 6.308796 6.923215 7.442570 7.951038 8.381947 8.785800 9.187737
Variance Decomposition of DINFLASI: DKURS DJUB DSBI 1.570200 0.714682 0.728064 1.535248 2.144340 2.915827 3.853671 4.590468 5.216628 5.791903
5.353828 10.44683 12.39163 13.09655 13.79464 14.41621 14.71353 15.04302 15.33422 15.52843
71.56205 76.35162 77.61370 75.30427 73.87573 72.43856 70.70841 69.35116 68.27511 67.26190
DINFLASI 21.51393 12.48687 9.266610 10.06394 10.18529 10.22940 10.72439 11.01536 11.17405 11.41776
Cholesky Ordering: DKURS DJUB DSBI DINFLASI Sumber: Lampiran 8
74
Berdasarkan Tabel. 4.10 Variance Decomposition, tabel ini menjelaskan tentang variance decomposition dari variabel DINFLASI, yaitu variabel apa saja dan seberapa besar variabel tersebut mempengaruhi variabel DINFLASI. Pada periode pertama, variabel DINFLASI dipengaruhi oleh variabel DSBI sebesar 71,56%, DJUB 5,35%, dan DKURS 1,57%. Pada periode selanjutnya pengaruh varaiabel-variabel independen tersebut semakin besar terhadap DINFLASI. Pada periode ke10, variabel DINFLASI dipengaruhi oleh variabel DSBI sebesar 67,26%, DJUB 15,52%, dan DKURS 5,79%. Perkembangan DJUB lebih baik daripada DKURS. Variabel DSBI adalah yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel DINFLASI, kemudian disusul variabel DJUB, dan terakhir variabel DKURS.
75
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis terdapat kesamaan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Fery Andrianus & Amelia Niko di mana didapatkan hasil suku bunga dan nilai tukar berpengaruh positif terhadap inflasi maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat dua buah variabel yang mempunyai hubungan kausalitas terhadap variabel Inflasi yaitu variabel Kurs dan SBI. Berdasarkan hasil ini maka untuk Hipotesis I didapatkan hasil Ha diterima, yaitu sekurang-kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai hubungan kuantitas kausalitas antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 20012010. 2. Pada variabel JUB terjadi kointegrasi. Hal ini tidak diikuti oleh variabel Kurs dan variabel SBI. Dengan demikian, untuk Hipotesis II didapatkan hasil Ha diterima, yaitu sekurang-kurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai hubungan kuantitas kointegrasi antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia pada periode 2001 –2010. 3. Terdapat hubungan jangka panjang atau jangka pendek antara variabel SBI dan KURS dengan variabel Inflasi. Dengan demikian, 76
untuk Hipotesis III didapatkan hasil Ha diterima, yaitu sekurangkurangnya terdapat sebuah variabel yang mempunyai pengaruh guncangan (shock) yang besar antara kurs, jumlah uang beredar, dan suku bunga SBI terhadap inflasi di Indonesia periode 20012010.
B. Implikasi Variabel Inflasi memiliki hubungan kausalitas dan hubungan jangka panjang atau jangka pendek pada variabel suku bunga SBI dan kurs, maka Bank Indonesia sudah melakukan tugasnya dengan baik dalam mengatur tingkat inflasi di Indonesia yaitu pengendalian inflasi dari sisi moneter melalui Inflation Targeting Framework (ITF). Inflation Targeting Framework (ITF) adalah sebuah kerangka kerja di mana Bank Indonesia secara eksplisit mengumumkan sasaran inflasi kepada publik dan kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut. (Bank Indonesia, Kerangka Kebijakan Moneter). Dengan mengkerucuti hal-hal yang berpengaruh terhadap inflasi khususnya dalam jangka pendek dan jangka panjang maka dapat dirumuskan kebijakan yang tetap untuk diterapkan pada negara tersebut agar tingkat inflasi tetap stabil yang berorientasi pada kurs dan suku bunga SBI. Dengan tingkat inflasi yang relatif stabil diharapkan dapat mengurangi ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan
77
produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini juga dapat menunjang ekspor-impor dalam hal pendapatan untuk cadangan devisa dengan melakukan kebijakan atau intervensi pada kurs. Dengan melihat Inflation Targeting Framework (ITF) dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan maka diharapkan dapat mengurangi kemiskinan di masa yang akan datang karena inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin. Harapan lain adalah agar di masa yang akan datang dapat mencegah tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga karena dapat menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
78
DAFTAR PUSTAKA Ajija, Shochrul R., Sari Dyah W., Setianto Rahmat H., Primanti, Martha R. (2011). Cara Cerdas Menguasai EViews. Penerbit Salemba Empat: Jakarta.
Andrianus, Fery & Niko, Amelia. (2006). “Analisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Periode 1997:3 – 2005:2”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.11 No.2.
Baroroh, Utami. (2010). “Pengaruh Guncangan (Shock) Output Gap dan Inflasi Terhadap Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”. Signifikan. Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jakarta.
Basalim, Umar., Alim, Muh. Rum., dan Oesman, Helma. (2000). Perekonomian Indonesia: Krisis dan Strategi Alternatif. Universitas Nasional Jakarta dan PT Pustaka Cidesindo: Jakarta.
Case, Karl E. dan Fair, Ray C. (2007). Prinsip-prinsip Ekonomi Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Colander, David C. (2004). Economics. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
DeLong, J. Bradford. (2002). Macroeconomics. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
Frank, Robert H. & Bernanke, Ben S. (2007). Principles of Economics. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
Gujarati, Damodar. (1999). Ekonometrika Dasar. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Hartati, Enny Sri. (2004). “Dampak Pergerakkan Nilai Tukar Terhadap Inflasi (Exchange Rate Pass Through) di Indonesia”. Media Ekonomi Vol.10 No.3.
79
Harunurrasyid & Noveriza, Yovi. (2005). “Pengaruh Tingkat Bunga SBI Terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia”. Jurnal Kajian Ekonomi dan Bisnis, Vol.7, No.2.
Kuncoro, Mudrajad. (2009). Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi. PT Gelora Aksara Pratama: Jakarta.
Lestari, Etty Puji. “Pengaruh Volatilitas Nilai Tukar Rupiah Terhadap Permintaan Uang M1 Indonesia, Estimasi Data Non Stasioner”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.10, No.2.
Mankiw, N. Gregory. (2007). Makroekonomi. Penerbit Erlangga: Jakarta.
McConnell, Campbell R. & Brue, Stanley L. (2002). Macroeconomics. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
Mishkin, Frederic S. (2008). Ekonomi Uang, Perbankan, dan Pasar Keuangan. Penerbit Salemba Empat: Jakarta.
Murni, Asfia. (2006). Ekonomika Makro. PT Refika Aditama: Bandung.
Nachrowi, Djalal Nachrowi, dan Usman, Hardius. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis EKONOMETRIKA untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.
Nairobi. (2006). “Faktor-faktor Utama yang Mempengaruhi Pergerakkan Inflasi di Kota Bandar Lampung”. Media Ekonomi Vol.12, No.2.
Nopirin. (1992). Ekonomi Moneter Buku I. BPFE: Yogyakarta.
Nopirin. (2009). Ekonomi Moneter Buku II. BPFE: Yogyakarta.
80
Nuryadin, Didi. (2006). “Real Effective Exchange Rate Determination in Indonesia: A Behavioral Equilibrium Exchange Rate Approach”. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol.11 No.2.
Pratikto, Adji & Budi, Andy Susilo Lukito. (2005). “The Impact of Exchange Rate Uncertainty on Indonesian Exports: Before and During The Period of Crisis”. Jurnal Ekonomi & Bisnis. Jakarta.
Schiller, Bradley R. (2003). The Macro Economy Today. The McGraw-Hill Companies, Inc: New York.
Skousen, Mark. (2006). Sang Maestro Teori-teori Ekonomi Modern. Prenada Media: Jakarta.
Sukirno, Sadono. (2000). Makro Ekonorni Modern Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Sukirno, Sadono. (2008). Makro Ekonorni Teori Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Winarno, Wing Wahyu. (2009). Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN: Yogyakarta.
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/disagregasi.htm
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Inflasi/Pengenalan+Inflasi/pentingnya.htm
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Kalkulator+Kurs/defaultTable.htm?id=val&tipe=L ocal&bgn=0&mod=0&jmlh=1&kurs=USD&period1=2005&period2=2010&bln1 =1&bln2=12
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Kerangka+Kebijakan+Moneter/
81
www.bi.go.id/web/id/Moneter/Operasi+Moneter/Suku+Bunga+SBI/
www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indon esia/lpi_2005.htm www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indon esia/lpi_2006.htm
www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+Tahunan/Laporan+Perekonomian+Indon esia/lpi_2008.htm
www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Ekonomi+dan+Keuangan+Indonesia/Vers i+HTML/Sektor+Moneter/
_______. (2002). Laporan Tahunan Bank Indonesia 2001. Jakarta.
_______. (2003). Laporan Tahunan Bank Indonesia 2002. Jakarta.
_______. (2004). Laporan Perekonomian Indonesia 2003. Jakarta.
_______. (2005). Laporan Perekonomian Indonesia 2004. Jakarta.
_______. (2006). Laporan Perekonomian Indonesia 2005. Jakarta.
_______. (2007). Laporan Perekonomian Indonesia 2006. Jakarta.
_______. (2008). Laporan Perekonomian Indonesia 2007. Jakarta.
_______. (2009). Laporan Perekonomian Indonesia 2008. Jakarta.
_______. (2010). Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Jakarta.
_______. (2011). Laporan Perekonomian Indonesia 2010. Jakarta.
82
LAMPIRAN
83
Lampiran 1 Data Sebelum Diolah
Tahun 2001.1 2001.2 2001.3 2001.4 2002.1 2002.2 2002.3 2002.4 2003.1 2003.2 2003.3 2003.4 2004.1 2004.2 2004.3 2004.4 2005.1 2005.2 2005.3 2005.4 2006.1 2006.2 2006.3 2006.4 2007.1 2007.2 2007.3 2007.4 2008.1 2008.2 2008.3 2008.4 2009.1 2009.2 2009.3 2009.4 2010.1 2010.2 2010.3 2010.4
Inflasi (%) 9.35 11.15 12.76 12.64 14.54 12.57 10.38 10.28 7.82 7.25 6.37 5.72 4.84 6.41 6.71 6.27 7.76 7.65 8.41 17.79 16.9 15.51 14.87 6.05 6.36 6.02 6.51 6.73 7.64 10.12 11.96 11.5 8.56 5.67 2.76 2.59 3.65 4.37 6.15 6.32
Kurs (Rupiah) 9757.07 11220.08 9716.27 10301.99 10180.9 9096.51 8948.64 9044.62 8907.39 8491.09 8433.74 8474.68 8462.98 8985.32 9151.63 9116.93 9273.2 9545.2 10006.17 9997.14 9305.91 9094.84 9121.02 9136.19 9099.42 8975.18 9247.91 9234.98 9257.48 9265.05 9217.78 11028.11 11623.17 10541.46 9996.55 9470.14 9265.8 9119.63 8999.02 8962.97
JUB (Miliar Rupiah) 753814 792329 776092 824753 835531 833332 856420 872321 877558 890017 906037 942221 931166 951277 981646 1011210 1018190 1057566 1121787 1180230 1197153 1232257 1273881 1351286 1372146 1412120 1494901 1581026 1598235 1652268 1715667 1853117 1897035 1939075 1991585 2075036 2084141 2163467 2243001 2374792
Suku Bunga SBI (%) 14.86 15.96 17.18 17.62 17.11 16.07 14.68 13.12 12.52 10.78 8.99 8.38 7.72 7.25 7.3 7.3 7.29 7.79 8.75 12.54 12.85 12.4 11.36 9.5 8.1 7.83 8.27 8.2 7.99 8.43 9.7 11.25 9.68 7.63 6.7 6.59 6.58 6.56 6.63 6.37
84
Sumber: 1. Data Inflasi didapat dari Laporan Inflasi (Indeks Harga Konsumen) pada situs resmi Bank Indonesia. 2. Data Kurs didapat dari Kalkulator Kurs pada situs resmi Bank Indonesia. 3.
Data Jumlah Uang Beredar didapat dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia sektor moneter pada situs resmi Bank Indonesia.
4. Data Suku Bunga SBI didapat dari sub bagian Suku Bunga SBI pada situs resmi Bank Indonesia.
85
Data Penelitian Tahun
Inflasi (%)
Log Kurs (Rupiah)
Log JUB (Miliar Rupiah)
Suku Bunga SBI (%)
2001.I
9.35
3.99
5.88
14.86
2001.II
11.15
4.05
5.9
15.96
2001.III
12.76
3.99
5.89
17.18
2001.IV
12.64
4.01
5.92
17.62
2002.I
14.54
4.01
5.92
17.11
2002.II
12.57
3.96
5.92
16.07
2002.III
10.38
3.95
5.93
14.68
2002.IV
10.28
3.96
5.94
13.12
2003.I
7.82
3.95
5.94
12.52
2003.II
7.25
3.93
5.95
10.78
2003.III
6.37
3.93
5.96
8.99
2003.IV
5.72
3.93
5.97
8.38
2004.I
4.84
3.93
5.97
7.72
2004.II
6.41
3.95
5.98
7.25
2004.III
6.71
3.96
5.99
7.3
2004.IV
6.27
3.96
6
7.3
2005.I
7.76
3.97
6.01
7.29
2005.II
7.65
3.98
6.02
7.79
2005.III
8.41
4
6.05
8.75
2005.IV
17.79
4
6.07
12.54
2006.I
16.9
3.97
6.08
12.85
2006.II
15.51
3.96
6.09
12.4
2006.III
14.87
3.96
6.11
11.36
2006.IV
6.05
3.96
6.13
9.5
2007.I
6.36
3.96
6.14
8.1
2007.II
6.02
3.95
6.15
7.83
2007.III
6.51
3.97
6.17
8.27
2007.IV
6.73
3.97
6.2
8.2
2008.I
7.64
3.97
6.2
7.99
2008.II
10.12
3.97
6.22
8.43
2008.III
11.96
3.96
6.23
9.7
2008.IV
11.5
4.04
6.27
11.25
2009.I
8.56
4.07
6.28
9.68
2009.II
5.67
4.02
6.29
7.63
2009.III
2.76
4
6.3
6.7
2009.IV
2.59
3.98
6.32
6.59
2010.I
3.65
3.97
6.32
6.58
2010.II
4.37
3.96
6.34
6.56
2010.III
6.15
3.95
6.35
6.63
2010.IV
6.32
3.95
6.38
6.37
86
Sumber: Data Olahan
87
Lampiran 2 Uji Stasioneritas Data Inflasi (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: INFLASI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.324788 -4.211868 -3.529758 -3.196411
0.4114
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:39 Sample (adjusted): 2001Q2 2010Q4 Included observations: 39 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
INFLASI(-1) C @TREND(2001Q1)
-0.257202 2.965179 -0.039835
0.110635 1.478747 0.037213
-2.324788 2.005197 -1.070467
0.0258 0.0525 0.2915
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.131348 0.083090 2.417120 210.3289 -88.19827 1.522223
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.077692 2.524265 4.676834 4.804801 2.721772 0.079290
88
Uji Stasioneritas Data Kurs (Data diolah dengan EViews 5) Null Hypothesis: KURS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.264696 -4.219126 -3.533083 -3.198312
0.0876
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KURS) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:41 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
KURS(-1) D(KURS(-1)) C @TREND(2001Q1)
-0.386817 0.120646 1.527004 0.000375
0.118485 0.148955 0.470031 0.000318
-3.264696 0.809952 3.248729 1.179603
0.0025 0.4236 0.0026 0.2463
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.252741 0.186807 0.021245 0.015346 94.55517 1.656756
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.002632 0.023559 -4.766061 -4.593684 3.833212 0.018179
89
Uji Stasioneritas Data Jumlah Uang Beredar (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: JUB has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.577717 -4.211868 -3.529758 -3.196411
0.7836
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(JUB) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:41 Sample (adjusted): 2001Q2 2010Q4 Included observations: 39 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
JUB(-1) C @TREND(2001Q1)
-0.105936 0.624472 0.001660
0.067145 0.391338 0.000881
-1.577717 1.595736 1.884844
0.1234 0.1193 0.0675
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.160363 0.113716 0.009646 0.003350 127.2277 2.555094
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.012821 0.010247 -6.370652 -6.242686 3.437833 0.043018
90
Uji Stasioneritas Data Suku Bunga SBI (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: SBI has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.088517 -4.219126 -3.533083 -3.198312
0.1235
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:41 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
SBI(-1) D(SBI(-1)) C @TREND(2001Q1)
-0.187493 0.627121 2.455375 -0.032893
0.060706 0.127858 0.938203 0.018317
-3.088517 4.904815 2.617104 -1.795780
0.0040 0.0000 0.0131 0.0814
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.456527 0.408574 0.867400 25.58098 -46.40066 2.017449
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.252368 1.127896 2.652667 2.825044 9.520211 0.000104
91
Lampiran 3 Uji Derajat Integrasi First Difference Inflasi (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: D(INFLASI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.800624 -4.243644 -3.544284 -3.204699
0.0024
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI,2) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:41 Sample (adjusted): 2002Q2 2010Q4 Included observations: 35 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(INFLASI(-1)) D(INFLASI(-1),2) D(INFLASI(-2),2) D(INFLASI(-3),2) C @TREND(2001Q1)
-1.313498 0.445569 0.483089 0.543197 -0.375362 0.003725
0.273610 0.243897 0.204933 0.154239 0.950409 0.039398
-4.800624 1.826873 2.357307 3.521789 -0.394948 0.094553
0.0000 0.0780 0.0254 0.0014 0.6958 0.9253
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.608969 0.541550 2.332667 157.7988 -76.01737 1.989616
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.049429 3.445139 4.686707 4.953338 9.032584 0.000029
92
Uji Derajat Integrasi First Difference Kurs (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: D(KURS) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.000979 -4.219126 -3.533083 -3.198312
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KURS,2) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:42 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(KURS(-1)) C @TREND(2001Q1)
-1.076651 -0.007320 0.000225
0.153786 0.008254 0.000355
-7.000979 -0.886816 0.632976
0.0000 0.3812 0.5309
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.586142 0.562493 0.023998 0.020157 89.37428 1.592657
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.001579 0.036282 -4.546015 -4.416732 24.78502 0.000000
93
Uji Derajat Integrasi First Difference Jumlah Uang Beredar (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: D(JUB) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.432265 -4.243644 -3.544284 -3.204699
0.3577
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(JUB,2) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:43 Sample (adjusted): 2002Q2 2010Q4 Included observations: 35 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(JUB(-1)) D(JUB(-1),2) D(JUB(-2),2) D(JUB(-3),2) C @TREND(2001Q1)
-1.092536 -0.106251 -0.228812 -0.311268 0.006486 0.000352
0.449185 0.367921 0.281313 0.166523 0.004275 0.000196
-2.432265 -0.288788 -0.813375 -1.869219 1.517285 1.797634
0.0214 0.7748 0.4226 0.0717 0.1400 0.0827
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.664405 0.606544 0.008384 0.002038 120.9777 1.951519
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.000857 0.013366 -6.570155 -6.303524 11.48274 0.000004
94
Uji Derajat Integrasi First Difference Suku Bunga SBI (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: D(SBI) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.367444 -4.219126 -3.533083 -3.198312
0.0711
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI,2) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:44 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(SBI(-1)) C @TREND(2001Q1)
-0.466517 -0.289411 0.007443
0.138537 0.335390 0.014324
-3.367444 -0.862910 0.519628
0.0019 0.3941 0.6066
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.247058 0.204032 0.967440 32.75791 -51.09927 1.779061
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.035789 1.084367 2.847330 2.976613 5.742150 0.006972
95
Uji Derajat Integrasi Second Difference Inflasi (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: D(INFLASI,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.502998 -4.226815 -3.536601 -3.200320
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(INFLASI,3) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:44 Sample (adjusted): 2001Q4 2010Q4 Included observations: 37 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(INFLASI(-1),2) C @TREND(2001Q1)
-1.457070 -0.393659 0.016881
0.153327 1.123290 0.047695
-9.502998 -0.350452 0.353927
0.0000 0.7282 0.7256
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.726541 0.710456 3.093056 325.2779 -92.71532 2.249965
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.038378 5.748179 5.173801 5.304416 45.16663 0.000000
96
Uji Derajat Integrasi Second Difference Kurs (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: D(KURS,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.589697 -4.252879 -3.548490 -3.207094
0.0003
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(KURS,3) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:44 Sample (adjusted): 2002Q3 2010Q4 Included observations: 34 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(KURS(-1),2) D(KURS(-1),3) D(KURS(-2),3) D(KURS(-3),3) C @TREND(2001Q1)
-2.738675 1.318248 0.586155 0.290588 0.006264 -0.000258
0.489951 0.394330 0.264859 0.130701 0.009687 0.000394
-5.589697 3.343007 2.213085 2.223310 0.646676 -0.655496
0.0000 0.0024 0.0352 0.0344 0.5231 0.5175
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.787005 0.748970 0.022321 0.013950 84.33302 2.036258
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.001765 0.044550 -4.607825 -4.338467 20.69173 0.000000
97
Uji Derajat Integrasi Second Difference Jumlah Uang Beredar (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: D(JUB,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-8.291267 -4.243644 -3.544284 -3.204699
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(JUB,3) Method: Least Squares Date: 05/30/11 Time: 23:44 Sample (adjusted): 2002Q2 2010Q4 Included observations: 35 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(JUB(-1),2) D(JUB(-1),3) D(JUB(-2),3) C @TREND(2001Q1)
-3.287003 1.352882 0.569122 0.000217 2.06E-05
0.396442 0.291377 0.138540 0.003679 0.000152
-8.291267 4.643057 4.108007 0.058875 0.135696
0.0000 0.0001 0.0003 0.9534 0.8930
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.874960 0.858289 0.009045 0.002454 117.7289 2.160347
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.001429 0.024027 -6.441651 -6.219459 52.48104 0.000000
98
Uji Derajat Integrasi Second Difference Suku Bunga SBI (Data diolah dengan EViews 5)
Null Hypothesis: D(SBI,2) has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.164543 -4.226815 -3.536601 -3.200320
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI,3) Method: Least Squares Date: 05/31/11 Time: 21:48 Sample (adjusted): 2001Q4 2010Q4 Included observations: 37 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(SBI(-1),2) C @TREND(2001Q1)
-1.056736 -0.188740 0.007008
0.171422 0.409842 0.017392
-6.164543 -0.460518 0.402926
0.0000 0.6481 0.6895
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.527797 0.500020 1.126668 43.15893 -55.34920 2.002916
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.012162 1.593381 3.154011 3.284626 19.00144 0.000003
99
Lampiran 4 Uji Kausalitas Granger Uji Kausalitas Granger Antara Kurs dan Inflasi
Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:37 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 12 Null Hypothesis: INFLASI does not Granger Cause KURS KURS does not Granger Cause INFLASI
Obs
F-Statistic
Probability
28
13.2542 0.39304
0.02795 0.89480
100
Uji Kausalitas Granger Antara JUB dan Inflasi Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:36 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 12 Null Hypothesis: INFLASI does not Granger Cause JUB JUB does not Granger Cause INFLASI
Obs
F-Statistic
Probability
28
0.44899 0.81537
0.86240 0.65727
101
Uji Kausalitas Granger Antara SBI dan Inflasi
Pairwise Granger Causality Tests Date: 06/16/11 Time: 12:38 Sample: 2001Q1 2010Q4 Lags: 2 Null Hypothesis: INFLASI does not Granger Cause SBI SBI does not Granger Cause INFLASI
Obs
F-Statistic
Probability
38
0.90064 4.56807
0.41606 0.01773
102
Lampiran 5
Uji Kointegrasi Variabel Kurs Terhadap Inflasi (Data diolah dengan EViews 5)
Date: 05/30/11 Time: 23:57 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: KURS INFLASI Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.300445 0.178919
21.06889 7.491091
25.87211 12.51798
0.1766 0.2961
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.300445 0.178919
13.57780 7.491091
19.38704 12.51798
0.2837 0.2961
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
KURS 34.15369 -11.90397
INFLASI -0.211532 -0.246276
@TREND(01Q 2) -0.056858 -0.016986
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(KURS)
-0.011106
0.004747
103
D(INFLASI)
0.535976
1 Cointegrating Equation(s):
0.958069
Log likelihood
7.899062
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) @TREND(01Q KURS INFLASI 2) 1.000000 -0.006194 -0.001665 (0.00232) (0.00076) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(KURS) -0.379297 (0.11905) D(INFLASI) 18.30555 (14.1052)
104
Uji Kointegrasi Variabel Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi (Data diolah dengan EViews 5)
Date: 05/30/11 Time: 23:58 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: JUB INFLASI Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1
0.419474 0.176768
28.05682 7.391658
25.87211 12.51798
0.0263 0.3054
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) None * At most 1
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
0.419474 0.176768
20.66516 7.391658
19.38704 12.51798
0.0325 0.3054
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
JUB -15.44385 -22.52165
INFLASI 0.215071 -0.208344
@TREND(01Q 2) 0.295720 0.308382
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(JUB) D(INFLASI)
0.005361 -0.766433
0.002231 0.903292
105
1 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
44.12299
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) @TREND(01Q JUB INFLASI 2) 1.000000 -0.013926 -0.019148 (0.00401) (0.00137) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(JUB) -0.082795 (0.02183) D(INFLASI) 11.83668 (6.17118)
106
Uji Kointegrasi Variabel Suku Bunga SBI Terhadap Inflasi (Data diolah dengan EViews 5)
Date: 05/31/11 Time: 00:00 Sample (adjusted): 2001Q3 2010Q4 Included observations: 38 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: SBI INFLASI Lags interval (in first differences): 1 to 1 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None At most 1
0.334754 0.126834
20.64268 5.153936
25.87211 12.51798
0.1951 0.5744
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s) None At most 1
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
0.334754 0.126834
15.48874 5.153936
19.38704 12.51798
0.1685 0.5744
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
SBI -0.010077 -0.573093
INFLASI 0.323664 0.296302
@TREND(01Q 2) 0.048903 -0.038689
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(SBI) D(INFLASI)
-0.378423 -1.374406
0.233373 0.053643
107
1 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-114.4263
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) @TREND(01Q SBI INFLASI 2) 1.000000 -32.11855 -4.852882 (7.64752) (2.45435) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(SBI) 0.003813 (0.00146) D(INFLASI) 0.013850 (0.00336)
108
Lampiran 6 Estimasi VECM (Data diolah dengan EViews 5)
Vector Error Correction Estimates Date: 05/31/11 Time: 21:29 Sample (adjusted): 2002Q3 2010Q4 Included observations: 34 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
DKURS(-1)
1.000000
DJUB(-1)
-12.47600 (2.45177) [-5.08857]
DSBI(-1)
0.156397 (0.03626) [ 4.31355]
DINFLASI(-1)
-0.041156 (0.01908) [-2.15668]
@TREND(01Q1)
0.204355 (0.03807) [ 5.36859]
C
66.20440
Error Correction:
D(DKURS)
D(DJUB)
D(DSBI)
D(DINFLASI)
CointEq1
0.062799 (0.03926) [ 1.59963]
0.068548 (0.00997) [ 6.87281]
0.520530 (2.11145) [ 0.24653]
-7.170769 (4.97309) [-1.44192]
D(DKURS(-1))
0.256547 (0.25256) [ 1.01579]
0.140624 (0.06416) [ 2.19162]
-5.009282 (13.5836) [-0.36877]
-17.16179 (31.9934) [-0.53642]
D(DKURS(-2))
0.008220 (0.22698) [ 0.03621]
0.088753 (0.05767) [ 1.53909]
5.691761 (12.2079) [ 0.46624]
-9.370053 (28.7532) [-0.32588]
109
D(DKURS(-3))
0.265089 (0.21780) [ 1.21713]
0.222272 (0.05533) [ 4.01699]
8.979501 (11.7140) [ 0.76656]
14.78245 (27.5899) [ 0.53579]
D(DJUB(-1))
0.056998 (0.65786) [ 0.08664]
-0.240522 (0.16713) [-1.43911]
13.65422 (35.3822) [ 0.38591]
-30.29573 (83.3353) [-0.36354]
D(DJUB(-2))
-0.746936 (0.76050) [-0.98217]
-0.401681 (0.19321) [-2.07900]
-7.476358 (40.9025) [-0.18278]
35.50236 (96.3373) [ 0.36852]
D(DJUB(-3))
-0.654582 (0.65396) [-1.00095]
-0.617740 (0.16614) [-3.71813]
-16.17369 (35.1725) [-0.45984]
23.58257 (82.8415) [ 0.28467]
D(DSBI(-1))
-0.005014 (0.01111) [-0.45142]
-0.006376 (0.00282) [-2.25938]
0.380285 (0.59739) [ 0.63657]
2.477856 (1.40704) [ 1.76104]
D(DSBI(-2))
-0.011708 (0.00890) [-1.31628]
-0.007138 (0.00226) [-3.15851]
-0.201848 (0.47841) [-0.42191]
0.905994 (1.12680) [ 0.80404]
D(DSBI(-3))
-0.010598 (0.00693) [-1.52978]
-0.004376 (0.00176) [-2.48668]
-0.152588 (0.37259) [-0.40954]
-0.482324 (0.87755) [-0.54963]
D(DINFLASI(-1))
0.002705 (0.00401) [ 0.67541]
0.003030 (0.00102) [ 2.97735]
0.102077 (0.21542) [ 0.47384]
-0.710394 (0.50739) [-1.40010]
D(DINFLASI(-2))
0.006083 (0.00390) [ 1.55984]
0.003031 (0.00099) [ 3.05901]
0.039285 (0.20974) [ 0.18730]
-0.515085 (0.49401) [-1.04266]
D(DINFLASI(-3))
0.003614 (0.00300) [ 1.20343]
0.001493 (0.00076) [ 1.95667]
0.002019 (0.16151) [ 0.01250]
0.070844 (0.38041) [ 0.18623]
C
0.010835 (0.02021) [ 0.53614]
0.025047 (0.00513) [ 4.87842]
-0.135758 (1.08691) [-0.12490]
-0.023551 (2.56000) [-0.00920]
0.411447 0.028888 0.009786
0.775371 0.629363 0.000632
0.358669 -0.058195 28.30670
0.321142 -0.120116 157.0285
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids
110
S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.022120 1.075513 90.36064 -4.491802 -3.863301 -0.001471 0.022446
0.005620 5.310452 136.9475 -7.232204 -6.603703 0.012353 0.009231
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
2.00E-08 2.39E-09 144.4990 -4.911708 -2.173238
1.189678 0.860397 -45.12845 3.478144 4.106646 -0.325294 1.156503
2.802039 0.727788 -74.25504 5.191473 5.819975 -0.243235 2.647542
111
Lampiran 7 Impulse Response Function (Data diolah dengan EViews 5)
Response to Cholesky One S.D. Innovations Response of DKURS to DKURS
Response of DKURS to DJUB
Response of DKURS to DSBI
Response of DKURS to DINFLASI
. 03
.03
. 03
.03
. 02
.02
. 02
.02
. 01
.01
. 01
.01
. 00
.00
. 00
.00
-. 01
-.01
-. 01
-.01
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of DJUB to DKURS
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of DJUB to DJUB
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of DJUB to DSBI
. 016
.016
. 016
.012
. 012
.012
. 012
.008
. 008
.008
. 008
.004
. 004
.004
. 004
.000
. 000
.000
-. 004 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of DSBI to DKURS
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
Response of DSBI to DJUB
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of DSBI to DSBI 2.0
2. 0
1.6
1. 6
1.6
1. 6
1.2
1. 2
1.2
1. 2
0.8
0. 8
0.8
0. 8
0.4
0. 4
0.4
0. 0 2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of DINFLASI to DKURS
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of DINFLASI to DJUB
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
Response of DINFLASI to DSBI 3.0
3. 0
2.5
2. 5
2.5
2. 5
2.0
2. 0
2.0
2. 0
1.5
1. 5
1.5
1. 5
1.0
1. 0
1.0
1. 0
0.5
0. 5
0.5
0. 5
0.0
0. 0
0.0
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Response of DINFLASI to DINFLASI
3. 0
2
8
0. 0 1
3.0
1
7
0. 4
0.0 1
6
Response of DSBI to DINFLASI
2. 0
1
5
-. 004 1
2.0
0.0
4
. 000
-.004 1
3
Response of DJUB to DINFLASI
.016
-.004
2
0. 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
112
10
Lampiran 8 Variance Decomposition (Data diolah dengan EViews 5)
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0.020929 0.032825 0.038352 0.041496 0.043864 0.045428 0.046727 0.048171 0.049492 0.050751
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0.008943 0.012714 0.015855 0.019082 0.022421 0.025582 0.028523 0.031287 0.033836 0.036197
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1.085548 2.097719 2.897844 3.486901 3.954236 4.349197 4.695569 5.010511 5.303750 5.578831
Variance Decomposition of DKURS: DKURS DJUB DSBI 100.0000 95.75159 91.77217 90.89767 91.24531 91.06551 90.31832 88.89065 87.51424 86.18123
0.000000 0.618991 1.134138 1.879992 2.181960 2.486718 2.618347 2.665433 2.703069 2.730436
0.000000 1.065876 5.112359 5.406958 4.860657 4.850204 5.519039 6.988907 8.404288 9.770060
Variance Decomposition of DJUB: DKURS DJUB DSBI 51.70661 57.99886 57.09622 59.49005 60.24251 59.49148 59.09923 58.86218 58.47366 58.24159
48.29339 30.49236 27.89027 22.87346 20.28281 18.26590 17.08184 16.12919 15.52444 15.04282
0.000000 9.283079 13.56288 16.36640 18.09001 21.02358 22.71063 23.90642 24.95488 25.70983
Variance Decomposition of DSBI: DKURS DJUB DSBI 8.076434 5.946977 5.214956 5.061745 4.928055 4.739572 4.580260 4.441818 4.316069 4.214198
8.525984 10.97531 10.97014 11.30613 11.46295 11.65263 11.80410 11.95397 12.07200 12.17483
83.39758 82.96914 83.59332 83.38435 83.35657 83.32900 83.32000 83.29745 83.29169 83.28016
DINFLASI 0.000000 2.563542 1.981334 1.815378 1.712074 1.597570 1.544298 1.455015 1.378402 1.318278
DINFLASI 0.000000 2.225698 1.450628 1.270093 1.384677 1.219042 1.108306 1.102205 1.047020 1.005752
DINFLASI 0.000000 0.108567 0.221581 0.247775 0.252424 0.278804 0.295641 0.306757 0.320242 0.330818
113
Period
S.E.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2.670994 4.062293 5.304079 6.308796 6.923215 7.442570 7.951038 8.381947 8.785800 9.187737
Variance Decomposition of DINFLASI: DKURS DJUB DSBI 1.570200 0.714682 0.728064 1.535248 2.144340 2.915827 3.853671 4.590468 5.216628 5.791903
5.353828 10.44683 12.39163 13.09655 13.79464 14.41621 14.71353 15.04302 15.33422 15.52843
71.56205 76.35162 77.61370 75.30427 73.87573 72.43856 70.70841 69.35116 68.27511 67.26190
DINFLASI 21.51393 12.48687 9.266610 10.06394 10.18529 10.22940 10.72439 11.01536 11.17405 11.41776
Cholesky Ordering: DKURS DJUB DSBI DINFLASI
114
Lampiran 9 Nilai Dari t-Table
115