Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
ANALISIS KUAT TARIK FILM GELATIN KULIT IKAN PARI (Himantura gerrardi)-Khitosan Anuraga Tanata Yusa.*, Drs. M. Nadjib M., M. S.1, Lukman Atmaja, Ph.D2 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Abstrak Film gelatin kulit ikan pari (Himantura gerrardi)-khitosan telah dipreparasi menggunakan metode casting. Gelatin kulit ikan pari (GI) diekstraksi dengan waterbath pada perendaman larutan H3PO4 4% dan dihasilkan total rendemen sebesar 7,2%. Khitosan (Kh) dihasilkan dari kulit udang windu (Penaeus monodon) dengan derajat deasetilasi sebesar 51%. Pengaruh penambahan Kh pada GI diuji menggunakan Fourrier Transform Infrared (FTIR) dan Universal Testing Machine (UTM). Gugus amida A, I, II, dan III yang merupakan gugus khas gelatin didapatkan pada film GI-Kh. Penambahan Kh pada gelatin menurunkan kuat tarik GI dari 0,239 MPa menjadi 0,020 MPa. Penambahan Kh pada GI juga meningkatkan elongasi GI dari 3,62% menjadi 22,37%. Kata kunci: Gelatin, kulit ikan pari, khitosan, kuat tarik, elongasi 1. Pendahuluan Kebutuhan masyarakat terhadap bahan polimer semakin meningkat. Hal ini dikarenakan polimer menjadi salah satu bahan yang banyak diaplikasikan dalam kehidupan kita. Beberapa aplikasi dari bahan polimer antara lain, sebagai bahan kemasan produk, peralatan rumah tangga, serat untuk pembuatan tekstil, dan aplikasi-aplikasi lain (Stevens, 2001). Salah satu perkembangan terbaru di dunia polimer yaitu penelitian mengenai biopolimer. Biopolimer adalah polimer yang berasal dari alam, seperti protein (gelatin, soya, gandum, dll.), polisakarida (khitosan, pati, selulosa), dan lemak (berbagai asam lemak) (Gennadios, dkk., 1997). Gelatin adalah biopolimer yang berasal dari kolagen alami yang terdapat dalam kulit dan tulang binatang (Yi, dkk., 2006). Gelatin dapat dibuat menjadi film agar aplikasi dari gelatin di bidangbidang tertentu menjadi lebih mudah (GomezGuillen, dkk., 2009).Gelatin diaplikasikan dalam industri makanan, farmasi, kosmetik, dan fotografi (Rahman, 2008). Aplikasi gelatin yang meluas ini dikarenakan gelatin dapat diubah menjadi bentuk film, sehingga gelatin dapat dibentuk sesuai keinginan masyarakat (Gomez-Guillen, dkk., 2009). Bahan baku utama gelatin yang digunakan saat ini oleh produsen gelatin berasal dari kulit dan tulang sapi atau babi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Wiyono (2001), sebanyak 254.000 ton produksi gelatin terdiri dari kulit jangat sapi sebanyak 28,7%, kulit babi sebanyak 41,45%, dan tulang sapi sebesar 29,8% dan sisanya berasal dari kulit dan tulang ikan. * Corresponding author phone: +6285645412721 e-mail:
[email protected] 1,2 Alamat sekarang: Jurusan Kimia, FMIPA, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
Prosiding Kimia-FMIPA ITS
Data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kulit dan tulang mamalia berpengaruh tehadap pembuatan gelatin yang saat ini digunakan oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran pada masyarakat mengenai sumber utama pembuatan gelatin, mengingat penduduk Indonesia mayoritas memeluk agama islam yang mengharamkan penggunaan babi sebagai bahan makanan. Sedangkan pengunaan sapi sebagai bahan baku gelatin juga dikhawatirkan dapat menyebabkan penularan penyakit sapi gila dan anthrax pada manusia yang mengkonsumsinya (Gudmunsson, 2002). Menurut Haug, dkk. (2004), sumber gelatin dapat berasal dari ikan. Kolagen yang berasal dari kulit maupun tulang ikan merupakan bahan potensial yang dapat menggantikan peran kulit dan tulang hewan mamalia sebagai bahan baku pembuatan gelatin. Penelitian yang dilakukan oleh Surono, dkk. (1994) menyatakan bahwa tulang dan kulit ikan memiliki sumber gelatin atau kolagen sekitar 10-20% dari total berat tubuh ikan. Beberapa penelitian mengenai gelatin yang berasal dari kulit dan tulang ikan telah dilaporkan. Gelatin yang dihasilkan dari kulit ikan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti seperti Muyonga, dkk. (2004) yang meneliti tentang gelatin dari kulit ikan nile perch (Lates niloticus), Limpisophon, dkk. (2009) yang meneliti tentang gelatin dari kulit ikan hiu biru (Prionace glauca), dan Jongjareonrak, dkk. (2010) yang meneliti tentang gelatin dari kulit giant catfish (Pangasianodon gigas). Sedangkan penelitian mengenai tulang ikan telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Kittiphattanabawon, dkk. (2005) yang meneliti tentang gelatin dari tulang ikan bigeye snapper (Priacanthus tayenus) dan Suryanti, dkk. (2006) yang meneliti tentang gelatin dari tulang ikan kakap merah (Lutjanus sp.).
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
Meskipun gelatin dapat diperoleh dari beberapa spesies tersebut, film gelatin memiliki kelemahan pada sifat mekaniknya (Bigi, dkk., 2001). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memperbaiki kinerja secara fisik dari film gelatin, seperti penggunaan asam tanin dan asam ferulic sebagai agen ikat silang (Cao, dkk., 2007), penggunaan plasticizer sebagai aditif (Al-Hassan dan Norziah, 2011), dan pencampuran dengan polimer lain untuk memperoleh kelebihan dari komponen murninya (Garcia, dkk., 2004). Gelatin saat ini juga dapat dicampur menggunakan selulosa (Lii, dkk., 2002), protein kedelai (Cao, dkk., 2007), dan khitosan (Arvanitoyannis, dkk., 1998) untuk memperbaiki sifat mekanik dari gelatin. Khitosan (poli-2-amino-2-deoksi-β-Dglukosa) adalah polimer yang dihasilkan dari khitin yang terdeasetilasi. Khitin banyak terdapat pada cangkang molusca, crustacea, insecta, beberapa jenis ganggang, dan jamur. Khitin mempunyai kekurangan, yakni kelarutan yang rendah dalam beberapa pelarut yang menyebabkan aplikasinya menjadi terbatas. Oleh karena itu, khitin diubah menjadi khitosan untuk meningkatkan reaktifitas dan kelarutannya dalam beberapa pelarut. Khitosan memiliki aktivitas mikrobial serta biodegradabel yang tinggi, sehingga sering digunakan untuk beberapa aplikasi seperti, farmasi, kosmetik, pertanian, dan lain-lain (Rinaudo, 2006). Khitosan juga menjadi salah satu bahan yang digunakan untuk campuran dari biopolimer lain untuk meningkatkan sifat fisika-kimianya (Garcia, dkk., 2004). Hal ini dikarenakan khitosan menimbulkan sifat-sifat tertentu dalam fleksibilitasnya yang menyebabkan molekul tersebut bersifat resisten terhadap sifat mekaniknya (Info Budidaya, 1999). Interaksi antara gelatin dan khitosan yang dihasilkan dari ikatan hidrogen dan elektrostatik menyebabkan campuran gelatin dan khitosan memiliki sifat fisik dan kimia yang baru, sehingga dapat diaplikasikan di masyarakat (Taravel dan Domard, 1995). Oleh karena itu, penggabungan kedua biopolimer ini dapat meningkatkan sifat fisik dan kimia dari bahan yang telah dihasilkan. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan sifat fisik dan kimia dari film gelatin ikan-khitosan telah dilaporkan oleh Kolodziejska, dkk. (2006), Arvanitoyannis, dkk. (2008), dan Pereda, dkk. (2011). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik dari campuran gelatin ikan dengan khitosan merujuk pada penelitian Gomez-Estaca, dkk. (2011). Gelatin ikan yang digunakan untuk penelitian ini berasal dari kulit ikan pari (Himanturra gerrardi) dan khitosan yang dihasilkan berasal dari limbah kulit udang windu (Penaeus monodon). Pembuatan film gelatin kulit ikan pari-khitosan pada Prosiding Kimia-FMIPA ITS
penelitian ini menggunakan teknik casting. Film yang diperoleh diuji kekuatan tarik (tensile strength) dengan variasi konsentrasi tertentu. 2. Metodologi 2.1 Pembuatan Gelatin Kulit Ikan Pari 2.1.1 Persiapan Kulit Ikan Pari Ikan segar diambil kulitnya dan dibersihkan dari daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung lemak yang masih menempel. Kulit kemudian dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Kulit bersih dimasukkan dalam kantong plastik dan ditutup rapat, kemudian disimpan dalam lemari pendingin untuk preparasi dan analisis gelatin berikutnya. 2.1.2 Preparasi Gelatin Kulit yang telah disimpan dalam lemari pendingin dicuci dengan air mengalir. Kulit kemudian direndam dengan air panas 60-700C selama 1-2 menit. Kulit lalu ditiriskan dan dipotong kecilkecil kemudian dicuci dengan air mengalir. Kulit ditimbang ± 30 gram kemudian direndam dalam larutan asam, yaitu H3PO4 4%. Perendaman dilakukan selama 12 jam. Kulit yang telah direndam lalu ditimbang dan dicuci dengan air mengalir hinga pH menjadi netral (6-7). Kulit diekstrasi dalam waterbath pada suhu 60-700C selama 2 jam dengan perbandingan kulit : air = 1:2. Ekstrak disaring dengan kain katun berlapis empat untuk menghilangkan kotoran, kemudian diukur filtrat yang diperoleh. Filtrat kemudian dimasukkan dalam lemari pendingin hingga membentuk gel. Gel yang terbentuk kemudian diletakkan pada suhu ruang hingga menjadi cair kembali. Cairan lalu dioven dengan suhu 60oC selama 24 jam hingga terbentuk lapisan gelatin. Lapisan tipis gelatin yang diperoleh dimasukkan desikator sampai uap panasnya hilang kemudian ditimbang dan dikecilkan ukurannya untuk disimpan dalam wadah yang tertutup rapat. 2.2 Pembuatan Khitosan dari Kulit Udang 2.2.1 Persiapan Kulit Udang Udang segar diambil kulitnya dan dibersihkan dari daging, kemudian dicuci dan dibersihkan sampai tidak ada kotoran yang menempel pada kulit udang. Kulit udang kemudian dijemur sampai kering, setelah itu digiling sampai halus. Kulit udang yang telah halus kemudian diayak menggunakan ayakan 120 mesh untuk mendapatkan serbuk kulit udang. 2.2.2 Deproteinasi Serbuk Kulit Udang Serbuk kulit udang yang telah diayak sebesar 120 mesh dilarutkan ke dalam NaOH 3,5% dengan perbandingan kulit udang dengan NaOH 3,5% sebesar 1:10 (w/v). Serbuk kulit udang diambil
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
sebanyak 30 gram dan volume NaOH 3,5% diambil sebanyak 300 mL. Serbuk kulit udang yang telah dilarutkan ke dalam NaOH 3,5% kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam pada suhu 65oC, setelah itu dimasukkan ke dalam penangas es sampai seluruh endapan mengendap. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtratnya dengan menggunakan saringan kain dan corong Buchner. Filtrat yang telah dipisahkan kemudian diuji menggunakan ninhidrin untuk mengetahui protein yang terdapat di dalam filtrat. Endapan yang terbentuk kemudian dicuci menggunakan aquades sampai pH netral. Endapan yang telah menjadi netral kemudian dikeringkan ke dalam oven vakum selama 4 jam pada suhu 100oC. 2.2.3 Demineralisasi Serbuk Kulit Udang Endapan yang terbentuk pada saat proses deproteinasi serbuk kulit udang kemudian dicampur dengan larutan HCl 1N dengan perbandingan endapan dan larutan HCl 1N sebesar 1:15 (w/v). Endapan yang telah dicampur dengan larutan HCl 1N kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer, setelah itu campuran dibiarkan mengendap. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtratnya dengan menggunakan saringan kain dan corong Buchner. Endapan kemudian dicuci menggunakan aquades sampai pHnya menjadi netral. Endapan kemudian dikeringkan dalam oven selama 4 jam pada suhu 100oC. Kemudian endapan dikarakterisasi menggunakan FTIR. 2.2.4 Deasetilasi Khitin menjadi Khitosan Endapan yang dihasilkan dari proses demineralisasi serbuk udang kemudian direfluks dengan menggunakan larutan NaOH 50% dengan perbandingan endapan dan larutan NaOH 50% adalah 1:10 (w/v) sambil dialiri dengan gas N2 selama 1 jam pada suhu 100oC. Endapan yang telah direfluks kemudian diletakkan ke dalam gelas beker dan diletakkan ke dalam penangas es. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtratnya dengan menggunakan saringan kain dan corong Buchner. Endapan kemudian dicuci dengan aquades sampai pH netral. Endapan kemudian dikeringkan ke dalam oven vakum pada suhu 100oC selama 4 jam. Kemudian endapan dikarakterisasi menggunakan FTIR. 2.3 Preparasi Film Gelatin Kulit Ikan PariKhitosan Lima larutan yang berbeda disiapkan dalam botol, yakni gelatin kulit ikan pari (GI), khitosan (Kh), GI 4%-Kh 3% , GI 3% - Kh 4%, dan GI 3%-Kh 3%. Pembuatan Film Forming Solution (FFS) dilakukan terlebih dahulu sebelum membuat film. Prosiding Kimia-FMIPA ITS
Pembuatan larutan GI dilakukan dengan cara 4 gr gelatin dilarutkan ke dalam 100 mL aquades (GI 4%) dan 3 gr gelatin dilarutkan ke dalam 100 mL aquades (GI 3%). Sedangkan pembuatan larutan Kh dilakukan dengan cara 4 gr khitosan dilarutkan ke dalam 100 mL asam asetat 0,15 M (Kh 4%) dan 3 gr khitosan dilarutkan ke dalam 100 mL asam asetat 0, 15 M (Kh 3%). FFS GI 4%-Kh 3% dibuat dengan cara GI 4% dicampurkan larutan dengan larutan Kh 3%. Sedangkan GI 3%-Kh 4% dibuat dengan larutan GI 3% dilarutkan dengan Kh 4% dan untuk membuat GI 3%- Kh 3% dibuat dengan cara larutan GI 3% dicampurkan dengan Kh 3%. FFS yang terbentuk kemudian ditambah dengan campuran antara sorbitol dan gliserol sebanyak 0,15 gr per gram total dari campuran larutan polimer (gelatin dan/atau khitosan). Kelima larutan yang telah disiapkan tadi kemudian dibuat film dengan cara casting atau diletakkan di atas plat kaca dan diratakan. Setelah itu dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 oC selama 15 jam. Film yang terbentuk kemudian diletakkan di dalam desikator selama 3 hari. 2.4 Pengukuran Ketebalan Film Gelatin Kulit Ikan Pari-Khitosan Ketebalan film diukur menggunakan mikrometer manual dengan pengukuran 0-25 mm dengan akurasi ± 0,01 mm. Nilai yang dilaporkan adalah rata-rata dari empat kali pengukuran. Ketebalan film digunakan untuk menentukan sifat kuat tarik dari film. 2.5 Analisis FTIR Film Gelatin Kulit Ikan PariKhitosan Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi-gugus fungsi khas dari campuran senyawa gelatin kulit ikan pari (GI)-khitosan (Kh) yang telah dipreparasi. Cuplikan diperoleh dari film GI 4%-Kh 3%, GI 3%-Kh 4%, dan GI 3%-Kh 3%. Spektra FTIR diperoleh dari kepingan yang berisi 1 mg sampel dalam 100 mg kalium bromida (KBr). Sampel dibaca dari range 4000 -400 cm-1. 2.6 Analisis Kuat Tarik Film Gelatin Kulit Ikan Pari-Khitosan Analisis kuat tarik digunakan untuk kekuatan dan deformasi dari film pada titik putus. Cuplikan film dibentuk sesuai dengan ASTM D 638M dengan panjang film 2,5 cm, lebar 1 cm dan ditempatkan di dalam sel dengan diameter 5,6 cm dan berlubang untuk mengetahui titik putusnya menggunakan Instron Model 4501 Universal Testing Machine, Kekuatan putus diungkapkan dengan N dan deformasi diungkapkan dengan persen.
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Preparasi Gelatin Kulit Ikan Pari (Himantura gerrardi) Proses ekstraksi gelatin dari kulit ikan pari terbagi menjadi 2 tahap, yakni tahap perendaman dan tahap ekstraksi. Tahap perendaman kulit ikan pari bertujuan untuk menghilangkan komponen non kolagen dari bahan baku dan mendenaturasi kolagen dengan bantuan larutan asam atau basa. Tahap ekstraksi bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi gelatin (Ward dan Court, 1977). Tahap perendaman pada penelitian ini menggunakan larutan asam. Menurut Ward dan Court (1977), larutan asam dapat mengubah serat Itriple helix kolagen menjadi serat tunggal, sedangkan perendaman dengan larutan basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan perbedaan jumlah kolagen yang terhidrolisis pada waktu yang sama. Jumlah kolagen yang dihidrolisis menjadi rantai tunggal pada perendaman larutan asam akan lebih banyak dibandingakan dengan perendaman larutan basa. Larutan asam yang digunakan dalam penelitian ini adalah H3PO4. Penggunaan larutan H3PO4 sebagai larutan asam pada penelitian ini dikarenakan larutan H3PO4 memiliki konsentrasi ion H+ yang cukup tinggi dibandingkan asam lain, seperti HCl dan CH3COOH. Konsentrasi ion H+ yang semakin banyak akan meningkatkan jumlah rendemen gelatin yang diperoleh. Semakin banyak ion H+ maka hidrolisis akan semakin efektif sehingga rendemen yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Martianingsih (2009) bahwa rendemen gelatin kulit ikan pari yang dihasilkan dari perendaman dengan larutan H3PO4 memiliki rendemen lebih besar dibandingkan dengan menggunakan larutan HCl dan CH3COOH. Rendemen yang dihasilkan dari perendaman larutan H3PO4 sebesar 8,4%. Sedangkan rendemen yang dihasilkan dari perendaman larutan HCl dan CH3COOH masing-masing sebesar 5,27% dan 5,48%. Proses perendaman juga mengakibatkan terjadinya swelling pada kulit ikan pari. Swelling adalah penggembungan kulit ikan akibat adanya proton yang masuk dalam struktur kulit ikan yang akibat adanya ruang kosong yang terdapat di tropokolagen. Swelling juga dapat membuang material-material yang tidak diinginkan, seperti lemak dan protein non-kolagen pada kulit dengan kehilangan kolagen yang minimum (Zhou, 2005). Swelling mengakibatkan perubahan berat kulit ikan pari setelah perendaman dengan larutan asam. Perubahan jumlah berat ditunjukkan dalam persen derajat penggembungan (DP). Derajat penggembungan diperoleh melalui perbandingan Prosiding Kimia-FMIPA ITS
antara berat kulit sebelum (Wi) dan setelah perendaman (Wf) (Samsudin, 2006). Pada penelitian ini, diperoleh Wi sebesar 80,2453 gram dan Wf sebesar 115,3155 gram. Berdasarkan data tersebut, maka diperoleh derajat penggembungan (DP) sebesar 43,7037 %. Tahap ekstraksi bertujuan untuk mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Ekstraksi gelatin dari kulit ikan dilakukan pada suhu 60oC dalam sistem water bath dengan perbandingan kulit dan air adalah 1:2. Pemanasan dilakukan untuk melarutkan gelatin dalam air hangat (T≥ 40oC) (RossMurphy, 1991). Ekstraksi juga berfungsi sebagai tahap lanjut untuk merusak ikatan hidrogen antar molekul tropokolagen yang pada saat tahap perendaman sebelumnya belum seluruhnya terurai oleh asam dan ikatan hidrogen antara rantai-α dalam tropokolagen secara sempurna. Struktur tripel helik akan terdenaturasi menjadi rantai-rantai tunggal yang dapat larut air selama ekstraksi atau polimer-polimer kecil (Karim, 2008). Hal ini diilustrasikan pada gambar 3.1
Gambar 3.1 Denaturasi Rantai Helik pada Kolagen (Glicksman, 1969) Gambar 3.2 menunjukkan ikatan-ikatan hidrogen dan kovalen yang dipecah, sehingga struktur kolagen menjadi tidak stabil. Struktur triple helix kolagen menjadi rantai tunggal yang acak dan larut dalam air disebut gelatin (Ross-Murphy, 1991). Kolagen yang diekstraksi akan mengalami reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis tersebut diilustrasikan pada gambar 3.2, dimana ikatan hidrogen dan ikatan silang kovalen rantai-rantai tropokolagen diputus sehingga menghasilkan tropokolagen triple helix yang berubah menjadi rantai-rantai α yang dapat larut dalam air atau biasa disebut dengan gelatin dalam fasa sol-gel. Gelatin kulit ikan (GI) yang telah terekstrak memiliki berat sebesar 8,5892 gram. Berdasarkan berat kering dari GI tersebut, maka dapat dihitung total rendemen gelatin dengan menggunakan persamaan 2.2, yakni sebesar 7,2 %. Gelatin kering ini memiliki warna agak kekuningan dan tidak berbau tajam.
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
H2N
COOH
(CH2)2
R
R
CH
H
N
H
CH2
O
H
C N
OH H
H H
R O
H
N
H H
R
R
CH
C
O
N
H
R
OH H2N
(CH2)2
Alisin H2N
C
(CH2)2
COOH
COOH
H
C
O
NH2
Hidroksilisin
CH2 CH
OH
(CH2)2
H2N
COOH
Gambar 3.2 Reaksi Hidrolisis Tropokolagen (Zhao,1999) 3.2 Preparasi Khitin dan Khitosan Proses ekstraksi khitin dan khitosan meliputi tiga tahap, yaitu deproteinasi, demineralisasi, dan deasetilasi. Tahap deproteinasi adalah pemisahan protein dari kulit udang (Johnson dan Peniston, 1982). Tahap demineralisasi adalah pemisahan mineral CaCO3 yang terkandung di dalam kulit udang (Suhardi, 1993). Sedangkan tahap deasetilasi merupakan proses perubahan gugus amida dari senyawa khitin menjadi gugus amino (NH2) (Kumar, 2000). Kulit udang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi, yakni sekitar 21-24% dari bahan keringnya (No, dkk., 2003). Protein ini berikatan dengan khitin secara kovalen maupun secara fisik. Oleh karena itu, untuk menghasilkan khitin, diperlukan proses untuk melepaskan ikatan protein dengan kitin yang disebut deproteinasi. Tahap deproteinasi yang dilakukan dengan melarutkan serbuk udang sebesar 30 gram ke dalam larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan berat kulit udang dengan larutan NaOH 3,5% adalah 1:10 menghasilkan residu berwarna coklat dan filtrat berwarna merah kecoklatan. Filtrat yang telah tersaring diuji menggunakan ninhidrin untuk mengetahui kandungan protein. Hasil pengujian menggunakan ninhidrin menunjukkan adanya warna ungu pada filtrat sehingga pada filtrat terdapat protein yang berasal dari serbuk kulit udang. Protein yang bereaksi dengan senyawa ninhidrin menghasilkan gas CO2. Atom karbon pada CO2 berasal dari gugus karboksil dari asam amino. Prosiding Kimia-FMIPA ITS
Protein yang berasal dari residu juga bereaksi dengan larutan NaOH 3,5% sehingga protein tertinggal di dalam filtrat. Hal ini menunjukkan bahwa protein yang terdapat di dalam residu telah terlarut di dalam filtrat. Residu yang dihasilkan dalam tahap ini adalah sebesar 22,9855 gram. Residu yang telah diperoleh pada tahap deproteinasi masih mengandung mineral. Mineral ini kemudian dipisahkan agar mendapatkan khitin murni. Proses pemisahan mineral dari residu yang telah diperoleh disebut demineralisasi. Tahap demineralisasi yang dilakukan dengan menambahkan larutan HCl 1N ke dalam residu hasil dari tahap deproteinasi dengan perbandingan berat residu dengan larutan HCl 1N sebesar 1:15 menghasilkan residu berwarna coklat dan filtrat berwarna bening. Pada tahap demineralisasi ini, dihasilkan gelembunggelembung gas CO2 yang menunjukkan bahwa tahap demineralisasi telah berjalan. Khitin yang terbentuk dari tahap deproteinasi dan demineralisasi diubah terlebih dahulu menjadi khitosan. Hal ini dikarenakan khitin mempunyai kekurangan berupa kelarutan yang rendah dalam beberapa pelarut yang menyebabkan aplikasinya menjadi terbatas. Untuk mengatasi hal ini, khitin perlu diubah menjadi khitosan melalui proses deasetilasi, yaitu proses perubahan gugus amida dari senyawa khitin menjadi gugus amino (NH2) (Kumar, 2000). Tahap deasetilasi dilakukan untuk memutuskan ikatan antara gugus asetil (-NH-). Pemutusan ikatan (CH3COO-) dan amina tersebut menggunakan larutan basa kuat bekonsentrasi tinggi agar gugus asetil pada khitin disubstitusikan oleh hidrogen menjadi gugus amino (Bastaman, 1990). Tahap deasetilasi khitin menjadi khitosan dengan melarutkan serbuk khitin ke dalam larutan NaOH 50% dengan perbandingan serbuk khitin dan larutan NaOH 50% sebesar 1:10 menghasilkan residu berwarna coklat tua dan filtrat berwarna coklat muda. Gambar 3.3 menunjukkan mekanisme reaksi yang terjadi pada proses deasetilasi. Reaksi tersebut menunjukkan peranan basa kuat untuk merubah gugus asetil (-NHCOCH3) menjadi gugus amino (NH2). Hasil reaksi merupakan khitosan yang terbentuk dari proses deasetilai. Khitosan yang terbentuk adalah sebesar 12, 3253 gram. 3.3 Derajat Deasetilasi Khitin dan Khitosan Derajat deasetilasi adalah persentase gugus asetil yang berhasil dihilangkan selama proses isolasi khitin maupun proses deasetilasi (Hanafi, 1999). Derajat deasetilasi menunjukkan kualitas khitosan. Derajat deasetilasi digunakan untuk membedakan antara khitin dan khitosan. Kualitas khitosan yang digunakan untuk kualitas teknis sekitar 85%,
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
makanan 90%, dan farmasi 95% (Kusumaningsih, 2004). Derajat deasetilasi khitin dan khitosan pada penelitian ini dihitung dengan metode “base line” dengan cara mengukur absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1 dan 3450 cm-1 dengan menggunakan spektra FTIR. Spektra FTIR khitosan ditunjukkan pada gambar 3.4. HOH 2C
HOH 2C O
O T > 65 oC
O
O
O N H
Khitin
O
+ NaOH
Na
N CH3
n
O
H
CH 3
n
H
HOH 2C O O O H
Na
N H
O
CH 3
n
H OH 2C O
+
O
ON a C
O H
CH 3
N H
Khitosan
n
Gambar 3.3 Mekanisme reaksi perubahan khitin menjadi khitosan (Indra dan Akhlus, 1993).
tinggi derajat deasetilasi khitosan, maka semakin besar pula kemungkinan gugus asetil yang terdekomposisi menjadi gugus amino (Kusumaningsih, 2004). Derajat deasetilasi khitin dan khitosan diperoleh sebesar 37% dan 51%. 3.4 Preparasi Film Gelatin Ikan-Khitosan Film gelatin ikan (GI)-khitosan (Kh) dipreparasi dengan metode casting, dimana bahan cair dituangkan ke dalam cetakan untuk memperkuat sifat fisik dan kimia dari bahan tersebut. Bahan cair ini biasa disebut dengan film forming solution (FFS). Oleh karena itu, pemilihan teknik, bahan cair, dan cetakan untuk proses casting sangat berpengaruh untuk menentukan sifat dari produk (Ebewele, 2000). Campuran GI dan Kh menghasilkan film yang berwarna kuning dengan tingkat transparansi yang rendah. Hal ini disebabkan pengaruh dari pigmen yang terdapat pada khitosan murni, sehingga film GI-Kh memiliki tingkat transparansi yang rendah (Pranoto, dkk., 2005). Hal yang sama diungkapkan pada penelitian yang dilakukan oleh Pereda, dkk. (2011). Pada penelitian tersebut, film gelatin-khitosan yang terbentuk memiliki tingkat transparansi yang lebih rendah dibandingkan film gelatin murni dan lebih tinggi dibandingkan dengan film kitosan murni. 3.5 Karakterisasi Film Gelatin Ikan Pari-Khitosan 3.5.1 Analisis Gugus Fungsi Film Gelatin Ikan Pari-Khitosan Analisis gugus fungsi pada film gelatin kulit ikan pari (GI) dan Khitosan (Kh) bertujuan untuk mengetahui gugus-gugus fungsi yang terdapat di dalam film GI, Kh, maupun campuran GI dan Kh. Analisis gugus fungsi dari film GI, Kh, GI-Kh menggunakan FTIR dengan bilangan gelombang antara 4000-400 cm-1. Spektra FTIR dari film GI, Kh, dan GI-Kh ditunjukkan pada gambar 3.5.
Gambar 3.4 Spektra FTIR Khitosan Gambar 3.4 menunjukkan spektra FTIR yang telah diberikan base line. Berdasarkan gambar 3.4, dapat diketahui derajat deasetilasi khitin dan khitosan. Derajat deasetilasi khitin dan khitosan diketahui dengan cara mengukur absorbansi contoh pada bilangan gelombang 1655 cm-1 dan 3450 cm-1. Perbandingan antara absorbansi pada bilangan belombang 1655 cm-1 (serapan pita amida) dengan absorbansi 3450 cm-1 (serapan gugus hidroksil). (Hanafi, 1999). Kualitas khitosan dapat diketahui dari derajat deasetilasinya. Derajat deasetilasi mempengaruhi dalam aplikasi khitosan. Semakin Prosiding Kimia-FMIPA ITS
Gambar 3.5 Spektra FTIR (a) GI, (b) Kh, (c) GI 3%Kh 4%, (d) GI 3%-Kh 3%, (e) GI 4%-Kh 4%
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
Gambar 3.5 menunjukkan spektra FTIR film GI, Kh, dan GI-Kh yang dibagi menjadi 4 bagian, yakni daerah serapan amida A, amida I, amida II, dan amida III. Puncak karakteristik muncul pada daerah serapan sekitar 1637 cm-1 (amida I dari serapan gugus karbonil), serapan sekitar 1570 cm-1 (amida II dari serapan NH3+), serapan antara 3500-3400 cm-1 dan sekitar 2930 cm-1 (amida A dari serapan OH streching dan NH), dan serapan antara 1150 cm-1900 cm-1 (amida III dari serapan gugus amino dan cincin piranosa) (Lima, dkk., 2006). Hasil analisis spektra FTIR dari film campuran gelatin dan khitosan menunjukkan adanya penggabungan gugus fungsi dari kedua senyawa. Berdasarkan spektra FTIR, kelima cuplikan memiliki intensitas amida A, amida I, dan amida II yang tinggi. Puncak serapan amida III memiliki intensitas yang lebih kecil dibandngkan puncak serapan amida A, amida I, dan amida II. Hal ini menunjukkan bahwa film campuran gelatin dan khitosan memiliki gugus fungsi yang sama dengan gelatin. Gugus C-O yang ditunjukkan pada film campuran gelatin dan khitosan membuktikan bahwa pada ketiga cuplikan film GIKh memiliki gugus fungsi yang sama dengan khitosan. 3.5.2 Analisis Kuat Tarik Film Gelatin Ikan PariKhitosan Analisis kuat tarik film gelatin kulit ikan pari (GI) dan khitosan (Kh) bertujuan untuk mengetahui kekuatan film dengan gaya tarik (Nurmaulita, 2010). Analisis kekuatan tarik dari film GI dan Kh penting untuk dilakukan karena berkaitan kualitas bahan untuk aplikasi tertentu. Tabel 3.1 menunjukkan hubungan antara stress (σ) dan strain (ε) dari film GI, Kh, dan GI-Kh. Tabel 3.1 Data Stress (σ), Strain (ε), Modulus Elastisitas (E) dari Film GI, Kh, dan GI-Kh Cuplikan Stress Strain Modulus (MPa) (%) Elastisitas (MPa) GI 0,2392 3,62 0,0661 Kh 0,0378 2,8 0,0135 GI 3%-Kh 0,0604 22,37 0,0027 4% GI 3%-Kh 0,0611 19,31 0,0032 3% GI 4%-Kh 0,0200 19.82 0,0010 3% Berdasarkan tabel 3.2, terlihat bahwa film GI memiliki kekuatan tarik (tensile strength) yang lebih besar daripada film Kh dan GI-Kh, yakni sebesar 0,2392 MPa. Merujuk pada penelitian yang Prosiding Kimia-FMIPA ITS
dilakukan oleh Piotrowska, dkk. (2008), hasil kekuatan tarik menunjukkan nilai yang berbeda. Hasil kekuatan tarik gelatin menunjukkan 20 MPa. Perbedaan yang signifikan pada kekuatan tarik ini dikarenakan pengkondisian yang berbeda dimana penelitian Piotrowska menggunakan pengkondisian film selama 24 jam pada suhu 25oC dengan relative humidity (RH) sebesar 50% sebelum menentukan nilai kuat tarik dari film. Nilai elongasi juga berbeda dengan penelitian Piotrowska dimana pada penelitian ini diperoleh hasil elongasi GI sebesar 3,62. Perbedaan ini juga terjadi akibat pengkondisian film sebelum diuji kekuatan tariknya, dimana pada penelitian ini tidak dikondisikan pada RH sebesar 50%. Pengkondisian film sebelum dilakukan uji kekuatan tarik mempengaruhi hasil elongasi dari film. Nilai persen elongasi dari GI menjadi meningkat secara signifikan dengan penambahan Kh. Penambahan khitosan pada film gelatin mengakibatkan fleksibilitas gelatin menjadi semakin tinggi (Info Budidaya, 1999). Nilai persen elongasi pada film GI 3%-Kh 4%, GI 3%-Kh 4%, dan GI 4%Kh 3% ditunjukkan sebesar 22,37%; 19,31%; 19,82%. Hasil persen elongasi yang ditunjukkan pada penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pereda, dkk. (2011). Hal ini dikaitkan dengan adanya khitosan sebagai bahan untuk mereduksi kristalinitas dari gelatin. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa film GI rapuh dan keras, sedangkan film GI-Kh menunjukkan sifat yang lebih lembut dan lebih fleksibel. Penambahan gliserol dan sorbitol pada film GI-Kh juga mempengaruhi fleksibilitas dari film GI-Kh (Sobral, dkk., 2001. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arvanitoyannis, dkk. (1998), penambahan sorbitol dan gliserol dapat meningkatkan persen elongasi dari film gelatin. Hal ini dikarenakan aliran plastis yang disebabkan oleh ikatan antara gliserol dan sorbitol pada fil GI-Kh. Aliran plastis adalah kemampuan bahan untuk mengalami deformasi secara fleksibel (Ebewele, 2000). 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa ekstraksi gelatin dari kulit ikan pari telah dilakukan pada perendaman H3PO4 4% menghasilkan total rendemen sebesar 7,2%. Khitosan yang diperoleh dari penelitian ini memiliki derajat deasetilasi sebesar 51%. Penambahan khitosan pada beberapa variasi konsentrasi menurunkan kekuatan tarik dan modulus elastisitas dari gelatin kulit ikan pari. Kekuatan tarik dan modulus elastisitas terendah diperoleh sebesar 0,200 Mpa dan 0,010 Mpa pada konsentrasi gelatin 4% dan khitosan sebesar 3%. Penambahan khitosan
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
juga meningkatkan persen elongasi dari gelatin kulit ikan pari. Persen elongasi tertinggi diperoleh sebesar 22,37% pada konsentrasi gelatin sebesar 3% dan khitosan sebesar 4%. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang selalu memberikan ilmu, rahmat dan kasih sayang-Nya, 2. Orang tua dan keluarga tercinta atas segala doa dan dukungannya, 3. Bapak Drs. M. Nadjib M., M.S. dan bapak Lukman Atmaja, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah berkenan memberikan bimbingan, arahan, pemahaman dan segala diskusi serta semua ilmu yang bermanfaat selama penyusunan tugas akhir, 4. Semua sahabatku angkatan 2007 atas segala doa, bantuan, semangat dan kerjasamanya. DAFTAR PUSTAKA Al-Hassan, A. A. dan Norziah, M. H., (2011), “Starch-gelatin edible films: Water vapor permeability and mechanical properties as affected by plasticizers”, Food Hydrocolloids, xxx:1-10 Arvanitoyannis, I. S., Nakayama, A., & Aiba, S., (1998), “Chitosan and gelatin based edible films: state diagrams, mechanical and permeation properties”, Carbohydrate Polymers, 37(4), 371-382 Bastaman, (1990), “Penelitian Limbah Udang sebagai Bahan Industri Khitin dan Khitosan”, BBIHP, Bogor Bigi, A., Cojazzi, G., Panzavolta, S., Rubini, K., Roveri, N., (2001), “Mechanical and thermal properties of gelatin films at different degrees of glutaraldehyde crosslinking”, Biomaterials, 22: 763-768 Cao, N., Fu, Y., He, J., (2007), “Mechanical properties of gelatin films cross-linked, respectively, by ferulic acid and tannin acid”, Food Hydrocolloid, 21: 575-584 Ebewele, R. O., (2000), Polymer Science and Technology, New York: CRC press Garcia, M. A., Pinotti, A., Martino, M. N., and Zaritzky, N. E., (2004), “Characterization of composite hydrocolloid films”, Carbohydrate Polymers, 56(3), 339-345 Glicksman, M., (1969), Gum technology in Food industry,. New York: Academic Press Gomez-Estaca, J., Gomez-Guillen, M. C., FernandezMartin, F., Montero, P., (2011), “Effect of Gelatin Origin, Bovine-Hide and Tuna Skin, on the
Prosiding Kimia-FMIPA ITS
Properties of Compound Gelatin-Chitosan Films, Food Hydrocolloid, 25: 1461-1469 Gomez-Guillen, M. C., Perez-Mateos, M., GomezEstaca, J., Lopez-Caballero, E., Gimenez, B., Montero, P., (2009), “Fish Gelatin: a renewable material for developing active biodegradable films”, Trends in Food Science and Technology, 20: 3-16 Gudmundsson, M., (2002), “Rheological properties of gelatin”,. Journal of Food Science, 67(6) Hanafi, M., (1999), “Pemanfaatan Kulit Udang untuk Pembuatan Khitosan dan Glukosamin”, Seminar Nasional Kimia I, Bandung: Jurusan Kimia FMIPA- ITB, 101-103 Haug, I. J., Draget, K. I., dan Smidsrød, O., (2004), “Physical Behavior of Fish Gelatin-Carrageenan Mixtures”, Carbohydrate Polymers, 56, 11–19 Indra dan Akhlus, S., (1993), “Hidrolisis Khitin menjadi Khitosan serta Aplikasinya sebagai Pendukung Padat”, Laporan Penelitian, Surabaya: Pusat Penelitian ITS Info budidaya, (1999), “Instalasi Penelitian Perikanan Laut”, SLIPI
Johnson, E., dan Peniston, Q. P., (1982), “Process for the Manufacture of Chitosan, US Patent, 4 Jongjareonrak, A., Rawdkuen, S., Chaijan, M., Benjakul, S., Osako, K., Tanaka, M., (2010), “Chemical compositions and characterisation of skin gelatin from farmed giant catfish (Pangasiodon gigas)”, LWT-Food Science and Technology, 43: 151-155 Karim, A. A. and Bhat, R., (2009), “Review Fish Gelatin: Properties, Challenges, and Prospects as an Alternative to Mammalian Gelatins”, Trends in Food Science and Technology, 19: 644-656 Kittiphattanabawon, P., Benjakul, S., Visessanguan, W., Nagai, T., Tanaka, M., (2005),”Characterisation of acid-soluble collagen from skin and bone of bigeye snapper (Priacanthus tayenus)”, Food Chemistry, 89: 363-372 Kolodziejska, I., Piotrowska, B., Bulge, M., and Tylingo, R., (2006), “Effect of transglutaminase and 1-ethyl-3-(3-dimethylaminopropyl) carbodiimide on the solubility of fish gelatine chitosan films”, Carbohydrate Polymers, 65(4), 404-409. Kumar, M. N. V, (2000), “A Review of Chitin and Chitosan Application”, Reactive and Functional Polymers, 46: 1-27 Kusumaningsih, T., (2004), “Karakterisasi Khitosan Hasil Deasetilasi Khitin dari Cangkang Kerang Hijau”, Surakarta: Jurusan Kimia FMIPA-UNS
Prosiding Tugas Akhir Semester Genap 2010/2011
Lii, C., Tomasik, P., Zaleska, H., Liaw, S., Lai, V. M. F., (2002), “Carboxymethyl cellulose-gelatin complexes”, Carbohydrate Polymers, 50: 19-26 Lima, C. G. A., de Oliveira, R. S., Figueiro, S. D., Wehmann, C. F., Goes, J. C., dan Sombra, A. S. B., (2006), “DC conductivity and dielectric permittivity of collagenechitosan films”, Materials Chemistry and Physics, 99: 284-288 Limpisophon, K., Tanaka, M., Weng, W., Abe, S., Osako., K., (2009), “Characterization of gelatin films prepared from under-utilized blue shark (Prionace glauca) skin”, Food Hydrocolloid, 23: 1993-2000 Martianingsih, N., (2009), “Analisis Sifat Kimia, Fisik, dan Termal Gelatin dari Ekstraksi Kulit Ikan Pari (Himantura gerrardi) melalui Variasi Jenis Larutan Asam”, Skripsi, Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember Muyonga, J. H., Cole, C. G. B., Duodu, K.. G., (2004), “Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectroscopy Study of Acid Soluble Collagen and Gelatin from Skins and Bones of Young and Adult Nile Perch (Lates Niloticus)”, Food Chemistry 86,, 325-332 No, H.K., Lee, S.H., Park, N.Y., dan Meyers, S.P., (2003), “Comparison of phsycochemical, Binding, and Antibacterial Properties of Chitosans Prepared Without and With Deproteinization Process, J. Agric. Food Chem, 51 : 7659-7663 Nurmaulita, (2010), “Pengaruh Orientasi Serat Sabut Kelapa dengan Resin Polyester terhadap Karakteristik Papan Lembaran”, Tesis, Medan: Universitas Sumatera Utara Pereda, M., Ponce, A.G., Marcovich, N. E., Ruseckaite, R. A., Martucci, J. F., (2011), “Chitosan-gelatin composites and bi-layer films with potential antimicrobial activity”, Food Hydrocolloid, 25: 1372-1381 Piotrowska, B., Sztuka, K., Kolodziejska, I., Dobrosielska, E., (2008), “Influence of transglutaminase or 1-ethyl-3-(3dimethylaminopropyl) carbodiimide (EDC) on the
Prosiding Kimia-FMIPA ITS
properties of fish-skin gelatin films”, Food Hydrocolloid, 22: 1362-1371 Pranoto, Y., Rakshit, S. K., dan Salokhe, V. M., (2005), “Enhancing antimicrobial activity of chitosan films by incorporating garlic oil, potassium sorbate and nisin”, LWT Food Science Technology, 38: 859-865
Rinaudo, M., (2006), “Chitinand Chitosan: Properties and Application”, Prog. Polym. Sci., 31: 603-632 Ross-Murphy, S. B., (1991), “Structure and Rheology of Gelatine Gels: Recent Progress”, Polymer, 3312: 2622-2627 Stevens, Malcolm P., (2001), Kimia Polimer, Jakarta: PT Pradnya Paramita Suhardi, (1993), “Khitin dan Khitosan”, Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi, Yogyakarta: PAU UGM Surono, D. N., Budiyanto, D., Widarto, Ratnawati, Aji, U.S., Suyuni, A.M., Sugiran, (1994), “Penerapan Paket Teknologi Pengolahan Gelatin dari Ikan Cucut”, Jakarta: Laporan BBMHP Suryanti, Hadi, S., Peranginangin, R., (2006), “Ekstraksi Gelatin dari Tulang Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.) secara Asam”, Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, 1, 1 Taravel, M. N., and Domard, A., (1995), “Collagen and its interaction with chitosan .2. Influence of the physicochemical characteristics of collagen”. Biomaterials, 16 (11), 865-871 Ward, A. G. dan Courts, A., (1977), “The Science and Technology of Gelatin”, London: Academic Press Wiyono, V.S., (2001), “Gelatin Halal Gelatin Haram”, Jurnal Halal LPPOM-MUI, 36
Yi, J. B., Kim, Y. T., Bae, H. J., Whiteside, W. S., Park, H. J., (2006), “Influence of transglutaminase-induced cross-linking on properties of fish gelatin films”. Journal of Food Science, 71(9) Zhao, W. B., (1999), Polymer Data Handbook, Oxford: Oxford University Press