Prosiding Tugas Akhir 2010/2011
ANALISIS TERMAL GRAVIMETRI FILM GELATIN KOMERSIALKITOSAN Hamzah Guna Wijaya*, Drs. Eko Santoso, M.Si1, Lukman Atmaja, Ph.D2 Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Analisa termal gravimetri pada paduan Gelatin Komersial (GK)-kitosan (CH) dapat dilakukan dengan menggunakan Thermo-Gravimetric Analysis (TGA). Kitosan didapat dari kulit udang dengan melalui proses deproteinasi, demineralisasi, serta deasetilasi. Kitosan yang didapat memiliki derajat deasetilasi (DD) sebesar 63%. Paduan Film komposit GK-CH yang ditambahkan gliserol dan sorbitol sebagai plasticizer dipelajari dalam penelitian ini. Paduan dibuat dengan komposisi GK 4%-CH 1,5%, GK 4%-CH 3%, GK 4%CH 4%. Masing-masing komposit dianalisa dengan FTIR untuk mengetahui gugus-gugus yang ada dalam senyawa paduan tersebut. Pada analisa TGA, diketahui bahwa gelatin komersial memiliki degradasi termal paling tinggi yaitu sebesar 294,330C dan pada kitosan memiliki degradasi termal sebesar 2420C. Perpaduan antara kitosan dengan gelatin memberikan informasi penurunan degradasi termal dari kitosan maupun gelain komersial. Dari data TGA menunjukkan bahwa suhu degradasi maksimum paduan GK 4%-CH 1,5% sebesar 235,13 0C, GK 4%-CH 3% sebesar 235,66 0C, dan GK 4%-CH 4% memiliki suhu degradasi 235,770C. data TGA juga memberikan informasi pengurangan massa sampel masing-masing 25,01%, 16,45% dan 21,08%. Kata Kunci : Deproteinasi; demineralisasi; deasetilasi;TGA; FTIR;Plasticizer 1. Pendahuluan Penggunaan polimer sebagai bahan pengganti kayu, logam dan kaca semakin diminati oleh masyarakat. Penggunaan bahan ini meluas ke berbagai bidang seperti dalam bidang industri baik makanan atau minuman, tekstil, transportasi, automotif dan konstruksi (Odian, 1991). Salah satu penelitian pemanfaatan polimer biodegradable di bidang industri pangan adalah gelatin. Gelatin merupakan bahan alami yang diperoleh dari hidrolisis parsial kolagen. Gelatin bisa bersifat sebagai gelling agent (bahan pembuat gel) atau sebagai non gelling agent. Sumber bahan baku gelatin dapat berasal dari sapi (tulang dan kulit jangat), babi (hanya kulit) dan ikan (kulit). Gelatin merupakan protein konversi bersifat larut air yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang bersifat tidak larut air. Tulang sapi, kulit sapi, dan kulit babi adalah bahan yang biasa digunakan untuk memperoleh gelatin (Sobral, 2001). Dalam produk pangan, gelatin dimanfaatkan sebagai bahan penstabil, pembentuk gel, pengikat, pengental, pengemulsi dan lain sebagainya. Selain itu, gelatin digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapsul. Permintaan akan gelatin telah meningkat selama bertahun-tahun. Laporan terkini mengindikasikan produksi gelatin dunia mendekati angka 326.000 ton per tahun, dimana gelatin dari kulit babi sebesar 46%, dari kulit sapi sebesar 29,4%, dari tulang sapi sebesar 23,1%, dan dari sumber lain sebesar 1,5% (Karim, 2009). Sedangkan kebutuhan dalam negeri, Indonesia mengimpor lebih dari 6.200 ton gelatin Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
(tahun 2003) atau senilai US$ 6.962.237 dari berbagai negara (Perancis, Jepang, India, Brazil, Jerman, Cina, Argentina, dan Australia) dengan harga jual di pasar dalam negeri mencapai Rp 60.000 hingga Rp 70.000 setiap kilogramnya (Wahyuni, 2009). Berdasarkan data yang dilansir oleh SKW biosystem (sebuah perusahaan gelatin multinasional), penggunaan gelatin dalam industri pangan mencapai angka sebesar 154.000 metriks ton. Dalam dunia farmasi, gelatin yang dipergunakan untuk kapsul lunak (soft capsul) adalah 22.600 ton, dan tidak kurang dari 20.200 ton digunakan dalam membuat kapsul keras. Selain itu tidak kurang dari 12.000 ton gelatin digunakan tiap tahunnya dalam aneka produk farmasi. Itu belum termasuk 6.000 ton gelatin dalam bidang teknis lainnya (LPPOM MUI 2008). Selain gelatin, biopolimer yang lainnya adalah kitosan. Kitosan juga memiliki kegunaan yang sangat luas dalam kehiupan sehari–hari. Kitosan dapat diperoleh dari deasetilasi kitin dalam medium basa pada temperatur tinggi. Kitosan merupakan turunan kitin yang banyak terdapat di komoditas perikanan seperti udang. Udang merupakan salah satu komoditas perikanan indonesia yang mulai dilirik oleh pasar dunia. Hal ini, dapat kita lihat dengan meningkatnya permintaan dari Negara lain terhadap komoditas udang (Sugita, 2009). Kitosan cukup terkenal di kalangan industri karena memiliki sifat yang unik dan aplikasinya cukup luas. Kitosan mempunyai sifat yang lebih spesifik dari pada kitin yaitu adanya sifat bioaktif, biokompatibel, pengkelat, anti bakteri dan dapat terbiodegrasi (Kumar, 2000).
Prosiding Tugas Akhir 2010/2011
Kitosan juga memiliki sifat seperti aktivitas antimikroba dan sifat filmogenik (Martinez, 2010). Oleh karena sifat kitosan yang lebih spesifik maka kitosan lebih banyak digunakan dari pada kitin. Contoh aplikasi kitosan adalah sebagai adsorben limbah logam berat dan zat warna, pengawet, antijamur, kosmetik, farmasi, flokulan. Selain pemanfaatan dibidang industri, kitosan juga memiliki peran di bidang pertanian dan bidang kedokteran. Dalam bidang pertanian, Kitosan di gunakan sebagai pencampur pakan ternak, antimikroba, antijamur dan lain-lain. Sedangkan dunia kedokteran menggunakan kitosan sebagai antikoagulan, antitumor dan antivirus. Penambahan pemlastik akan memperbaiki sifat alit bahan tersebut. Penambahan dilakukan dengan komposisi tertentu tergantung produk yang diinginkan. Sehingga diperoleh perubahan dari keras, rapuh, padatan, glass menjadi bahan yang lunak, fleksibel dan kuat. Disamping terjadi perubahan sifat, penambahan pemlastik mengakibatkan perubahan struktur molekul polimer (termasuk kopolimer yg disebut Plastisizer Enternal). Pemlastik harus fleksibel, kompatibel dan permanen dengan molekul polimer yang mempunyai kekuatan aktif dalam molekul yang hampir sama, tekanan, penguapan rendah, laju difusi rendah. Hal ini dapat dipenuhi dengan penggunaan pemlastik dengan massa molekul tinggi. Proses plastisasi polimer pada prinsipnya adala dispersi molekul pemlastis ke dalam fasa polimer. Jika pemlastis mempunya gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan poliemer-pemlastis yang disebut kompatibel. Sifat fisik dan mekanis polimer-terplastisasi yang kompatibel ini merupakan fungsi distribusi dari sifat komposisi pemlastis yang masing-masing komponen dalam sistem. Bila antara pemlastis dangan polimer tidak terjadi campuran koloid yang tak mantap (polimer dan pemlastis tiak kompatibel) dan menghasilkan sifat fisik polimer berkualitas rendah Berdasarkan keunggulan sifat kedua senyawa tersebut (gelatin dan kitosan), perlu dilakukan suatu penelitian yang lebih intensif dalam membahas sifat fisik dan kimia dari kombinasi kedua senyawa tersebut. Dalam penelitian ini, pengamatan dan analisa lebih di tekankan pada sifat termal gravimetri dari komposit gelatin komersial (GK) yang diperoleh secara komersial dengan kitosan (Ch) yang diekstrak dari kulit udang. Keduanya akan dicampur membentuk film dengan variasi konsentrasi masing-masing GK 4%-Ch 4%, GK 4-Ch 3%, dan GK 4 %-Ch 1,5%. 2. Metodologi 2.1 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, pemanas, termometer, kertas Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
pH indikator universal dari Merck, kain katun (cheesecloth), pengaduk, pisau, gelas ukur, labu ukur, gelas beker, gelas ukur, labu ukur, corong Buchner, erlenmeyer, kaca arloji, cawan petri, labu leher tiga, kondensor, magnetic stirrer, ayakan 100 mesh, Thermo-Gravimetric Analysis (TGA), Fourrier Transform Infra Red (FTIR). Bahan-bahan yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah gelatin komersial, kulit udang, NaOH 3,5%, NaOH 50%, HCl 1N, sorbitol 70%, gliserol 87%, aquades. 2.2 Prosedur Kerja 2.2.1 Persiapan Kulit Udang Udang segar diambil kulitnya dan dibersihkan dari daging, kemudian dicuci dan dibersihkan sampai tidak ada kotoran yang menempel pada kulit udang. Kulit udang kemudian dijemur sampai kering, setelah itu digiling sampai halus. Kulit udang yang telah halus kemudian diayak menggunakan ayakan 100 mesh untuk mendapatkan serbuk kulit udang. 2.2.2 Deproteinasi Serbuk Kulit Udang Serbuk kulit udang yang telah diayak sebesar 100 mesh dilarutkan ke dalam NaOH 3,5% dengan perbandingan kulit udang dengan NaOH 3,5% sebesar 1:10 (w/v). Serbuk kulit udang yang telah dilarutkan ke dalam NaOH 3,5% kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam pada suhu 65oC, setelah itu dimasukkan ke dalam penangas es sampai seluruh endapan mengendap. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtratnya dengan menggunakan saringan kain dan corong Buchner. Endapan yang terbentuk kemudian dicuci menggunakan aquades sampai pH netral. Endapan yang telah menjadi netral kemudian dikeringkan ke dalam oven vakum selama 4 jam pada suhu 100oC. Endapan yang telah dikeringkan kemudian diuji menggunakan ninhidrin untuk mengetahui bahwa di dalam endapan sudah tidak terkandung protein. 2.2.3 Demineralisasi Serbuk Kulit Udang Endapan yang terbentuk pada saat proses deproteinasi serbuk kulit udang kemudian dicampur dengan larutan HCl 1N dengan perbandingan endapan dan larutan HCl 1N sebesar 1:15 (w/v). Endapan yang telah dicampur dengan larutan HCl 1N kemudian diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer, setelah itu campuran dibiarkan mengendap. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtratnya dengan menggunakan saringan kain dan corong Buchner. Endapan kemudian dicuci menggunakan aquades sampai pHnya menjadi netral. Endapan kemudian dikeringkan dalam oven selama 4 jam pada suhu 100oC. Kemudian endapan dikarakterisasi menggunakan FTIR.
Prosiding Tugas Akhir 2010/2011
2.2.4 Deasetilasi Kitin menjadi Khitosan Endapan yang dihasilkan dari proses demineralisasi serbuk udang kemudian direfluks dengan menggunakan larutan NaOH 50% dengan perbandingan endapan dan larutan NaOH 50% adalah 1:10 (w/v) sambil dialiri dengan gas N2 selama 1 jam pada suhu 100oC. Endapan yang telah direfluks kemudian diletakkan ke dalam gelas beker dan diletakkan ke dalam penangas es. Endapan yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan filtratnya dengan menggunakan saringan kain dan corong Buchner. Endapan kemudian dicuci dengan aquades sampai pH netral. Endapan kemudian dikeringkan ke dalam oven vakum pada suhu 100oC selama 4 jam. Kemudian endapan dikarakterisasi menggunakan FTIR. 2.2.5 Preparasi Film Gelatin KomersialKhitosan Lima larutan yang berbeda disiapkan dalam botol, yakni gelatin Komersial (GK) yang diperoleh secara komersial, khitosan (Kh), GK 4%Kh 4% , GK 4% - Kh 3%, dan GK 4%-Kh 1,5%. Pembuatan larutan pembuat film (Film Forming Solution) dilakukan terlebih dahulu sebelum membuat film. Pembuatan larutan GK dilakukan dengan cara melarutkan 4 gr gelatin ke dalam 100 mL aquades (GK 4%). Sedangkan pembuatan larutan Kh dilakukan dengan cara melarutkan 4 gr khitosan ke dalam 100 mL asam asetat 0,15 M (Kh 4%) dan 3 gr khitosan ke dalam 100 mL asam asetat 0, 15 M (Kh 3%) serta 1,5 gr khitosan ke dalam 100 mL asam asetat 0, 15 M (Kh 1,5%). Larutan pembuat film GK 4%-Kh 4% dibuat dengan cara mencampurkan larutan GI 4% dengan larutan Kh 4%. Sedangkan GK 4%-Kh 3% dibuat dengan melarutkan larutan GI 4% dengan Kh 3% dan untuk membuat GK 4%- Kh 1,5% dibuat dengan mencampurkan larutan GK 4% dengan Kh 1,5%. Kemudian campuran GK 4%-Kh 4%, GK 4%-Kh 3%, dan GK 4%-Kh 1,5% ditambah dengan campuran antara sorbitol dan gliserol sebanyak 0,15 gr per gram total dari campuran larutan polimer (gelatin dan/atau khitosan). Kelima larutan yang telah disiapkan tadi kemudian dibuat film dengan cara casting atau meletakkannya dia atas plat kaca dan diratakan. Setelah itu plat kaca yang terdapat capuran larutan kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 60 o C selama 15 jam. Film kemudian diletakkan di dalam desikator selama 3 hari 2.3 Karakterisasi 2.3.1 Analisis FTIR Film Gelatin KomersialKhitosan Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui gugus fungsi-gugus fungsi khas dari campuran senyawa gelatin Komersial (GK)khitosan (Kh) yang telah dipreparasi. Cuplikan diperoleh dari film GK 4%-Kh 4%, GK 4%-Kh Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
3%, dan GK 4%-Kh 1,5%. Spektra FTIR diperoleh dari kepingan yang berisi 1 mg sampel dalam 100 mg kalium bromida (KBr). Sampel dibaca dari range 4000 -500 cm-1. 2.3.2 Analisis Termal Gravimetri dengan TGA Analisis termal dilakukan dengan menggunakan alat DSC/TGA untuk mengetahui karakteristik termal gravimetric gelatin yang dihasilkan. Sampel sebanyak 5 -10 mg ditempatkan dalam wadah aluminium lalu ditutup. Sampel kemudian dianalisis pada range 200C hingga 6000C dengan laju pemanasan 100C/menit. 3. Hasil dan diskusi 3.1 Analisa FTIR Kitin Pada spektra infra merah kitin hasil isolasi dari cangkang udang, pita serapan yang ditunjukkan pada bilangan gelombang 3448.84 cm1 merupakan vibrasi dari OH intermolekuler. Pita serapan pada bilangan gelombang 3263.66 cm-1 dan 3113.21 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi NH amida sekunder dan pita serapan pada bilangan gelombang 2924.18 cm-1 merupakan vibrasi rentangan C-H Alkana. Sedangan pada bilangan gelombang 1658.84 cm-1 memberikan informasi adanya gugus karbonil atau akibat dari vibrasi C=O amida sekunder 1627.97 cm-1 menunjukkan akibat dari vibrasi NH amida primer. C-H simetris dari CH3 memberikan serapan sedang pada bilangan gelombang 1377.22 cm-1. Serapandari bilangan gelombang 1157.33 cm-1 menunjukkan vibrasi rentangan C-O asimetris dari eter alifatik, sedangkan vibrasi C-O simetris dari eter alifatik memberikan serapan pada bilangan gelombang 1026.16 cm-1. Vibrasi C-O pada alkohol primer memberikan serapan pada bilangan gelombang 1076.32 cm-1 dan vibrasi C-O alkohol sekunder ditunjukkan oleh bilangan gelombang 1114.89 cm1 . Analisa ini juga memiliki kemiripan dengan yang telah dilaporkan oleh Sacrotes (1980).
Gambar 3.1 Spektra FTIR Kitin
Prosiding Tugas Akhir 2010/2011
Spektra IR kitin yang di dapatkan di dalam penelitian ini juga memiliki pola yang hampir sama dengan spektra kitin yang telah dilaporkan oleh Brugnerotto (2001). Karakterisasi IR dimaksudkan untuk memastikan apakah gugus-gugus dalam senyawa yang dianalisa menunjukkan kesesuaian dengan struktur yang asli. Hasil dari karakterisasi IR dicocokkan dengan struktur kitin. 3.2 Analisa FTIR Kitosan Serapan pada daerah 3425,69 cm-1 menunjukkan terjadinya tumpang tindih dengan serapan –NH2 dan –OH mengalami pelebaran puncak serapan dan pergeseran kearah bilangan gelombang yang lebih kecil dari 3448,84 cm-1 menjadi 3425,69 cm-1. Hal ini menunjukkan secara umum kitosan lebih bersifat higroskopis dibandingkan dengan kitin. pita serapan pada 2924,18 cm-1 dan 2854,74 cm-1 merupakan vibrasi rentang C-H alkana, sedangkan pita serapan pada bilangan gelombang 2376,38 cm-1 merupakan akibat dari vibrasi rentang NH dari amina. Pada bilangan gelombang 1624,12 cm-1 merupakan vibrasi dari NH amida primer. Pita serapan di daerah bilangan gelombang 1091,75 cm-1 merupakan vibrasi dari C-O akohol primer. Kulit udang yang telah diperlakukan dengan beberapa tahapan diatas sampai terbentuk kitosan dihitung derajat deasetilasinya. Pada penelitian kali ini diperoleh derajat deasetilasi sebesar 63%.
bilangan gelombang 1631 cm-1 (Amida I, menggambarkan stretching C=O/pasangan ikatan hidrogen dengan COO), selanjutnya pada bilangan gelombang 1538 cm-1 (Amida II, menunjukkan vibrasi bending grup N-H dan vibrasi stretching oleh grup C-N), dan pada bilangan gelombang 1235 cm-1 (Amida III, menggambarkan vibrasi bending in plane pada grup C-N dan N-H) informasi tersebut di laporkan oleh Aewsiri, T. Benjakul (2009).
Gambar 3.3 GK, CH, GK 4%-CH 1,5%, GK 4%-CH 3%, GK 4%-CH 4% Amida II dan III menunjukkan dan memastikan adanya gugus C-N dan N-H. Pada daerah 3275 cm-1 menunjukkan vibrasi stretching N-H yang kurang teramati akibat tertutup oleh OH, pada daerah tersebut disebut Amida A. Sedangkan amida B adalah puncak yang berada di daerah sekitar 2929 cm-1, yang menggambarkan C-H sp3 dan NH2 (Sazedul, 2011). Muyonga (2011) juga melaporkan spektra IR untuk gelatin yang dihasilkan dari ikan nila dewasa dengan puncak Amida A dan Amida B pada daerah bilangan gelombang 3458 dan 2926 cm-1. 3.2 3.2.1
Gambar 3.2 Spektra IR Kitosan 3.3 Analisa FTIR komposit Dari kelima spectra pada gambar 3.3 (yaitu Gelatin Komersial murni, kitosan murni gelatin komersial 4%-Kitosan 1,5%, Gelatin Komersial 4%-Kitosan 3%, dan yang terakhir adalah perbandingan dengan konsentrasi yang sama yaitu Gelatin Komersial 4%-Kitosan 4%. (Gambar 4.11) menunjukkan spektra dengan peak yang yang hampir sama. Secara keseluruhan spektra film komposit ditandai dengan daerah utama yaitu pada Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Analisa TGA TGA Kitosan Analisa sifat termal dari kitosan dilakukan dengan instrument DSC/TGA. Sampel diambil 1,70303 mg ditempatkan dalam wadah aluminium lalu ditutup. Sampel kemudian dianalisis pada range 200C hingga 6000C dengan laju pemanasan 100C/menit. Hasil TGA menunjukkan ada beberapa tahapan proses mulai degradasi polimer sampai proses pengabuan. Pengkondisian dengan temperatur 200C hingga 6000C diharapkan dapat memberikan informasi yang komprehensif terkait proses yang terjadi didalam instrumen TGA, dan laju pemanasan 100C/menit dimaksudkan agar laju pemanasan tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, jika laju terlalu cepat akan menghasilkan informasi yang kurang detail terhadap prosesnya. Sebaliknya jika laju terlalu lambat akan membutuhkan waktu yang lama dalam proses
Prosiding Tugas Akhir 2010/2011
analisanya. Akan tetapi pada data grafik DSC tidak memberikan informasi apa-apa karena grafik yang didapat tidak ada puncak yang terlihat. Hal ini dimungkinkan pada waktu analisa dengan TGA wadah sampel tidak tertutu, padahal analisa DSC wadah yang digunakan harus tertutup. Grafik TGA dapat dilihat pada gambar 4.7 Dari grafik TGA kitosan dapat diinterpretasikan bahwa pada daerah temperatur 57,540C mulai terjadi pengurangan berat, tahap ini terjadi sampai temperatur kurang lebih 153,76 0C pengurangan berat ini menunjukkan hilangnya air atau terjadi tahap penguapan air. Tahap ini hampir terjadi pada semua polimer yang dibuat dengan melibatkan air ataupun cairan. Tahap penguapan air ini tidak hanya terjadi pada air yang ada di permukaan polimer, tetapi juga yang tejebak didalam polimer.
lebih besar dari tahapan penguapan air. Pada tahap yang kedua ini terjadi pengurangam berat sebesar 49,4720%. Sedangkan proses tahap tiga yaitu pada range temperatur 153,760C sampai 2420C. Proses yang terjadi proses degradasi polimer tahap ini terjadi diatas temperatur 153,760C. Young (2010) melaporkan bahwa, secara umum temperatur degradasi maksimum kitosan adalah sebesar ~270. Sehingga bisa diasumsikan bahwa antara temperatur 153,76-2420C polimer mengalami degradasi termal. Tahap selanjutnya adalah tahap setelah proses dekomposisi telah terlewati yaitu tahap pengabuan, tahap dimana polimer sudah terdegradasi habis sampai menjadi abu yaitu pada tahap diatas temperatur degradasi maksimum sampai seterusnya sekitar kurang lebih 6000C. Temperatur degradasi minimum dari kitosan kemungkinan diakibatkan oleh penurunan stabilitas termal kandungan N-asetil dan kristalinitasnya (Wanjun, 2005). 3.2.2 TGA Gelatin
Grafik 3.4 TGA dari Kitosan Kandungan air yang masih tersisa dalam polimer ini akan mempengaruhi kualitas bahan, misalnya tekstur yang kurang bagus saat bahan sudah mengering, selain itu, kandungan air dapat menentukan kesegaran dan daya tahan suatu bahan (Winarno, 2002). Dalam tahap awal tersebut terjadi pengurangan massa sebesar 5,7121%, dari massa awal 1,70303 mg. Tahapan selanjutnya pada daerah 57,540C sampai 153,760C selain penguapan air adalah terjadi tahap dekomposisi polimer. Tahap dekomposisi polimer berlangsung relatif lebih lama dibandingkan pada saat penguapan air. Hal ini disebabkan di dalam range tersebut (57,54153,760C) masih terjadi penguapan zat aditif dalam hal ini sorbitol dan gliserol, menurut A.P. Martínez-Camacho (2010) pada suhu sekitar 1350C terjadi penghilangan material volatil zat aditif. Hasil ini sama halnya dengan yang dilaporkan oleh Suyatma, Tighzert, & Copinet (2005), yang menyebutkan bahwa pengurangan berat pada daerah temperatur 1350C ini, mengindikasikan terjadinya interaksi yang kuat antara molekul air dengan film dan sorbitol, sehingga pemutusan ikatan terjadi lebih lama dan terjadi di range yang Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Gambar 3.5 Grafik TGA Gelatin Komersial
Analisa termal gravimetri gelatin komersial dilakukan dengan instrumen yang disebut dengan Thermo-gravimetric analysis (TGA). Informasi yang didapat dari TGA adalah tahapan degradasi termal dari gelatin komersial. Analisis termal ini didasarkan pada fungsi temperatur. Perubahan temperatur dan reaksi selama pemanasan digunakan untuk menentukan kemurnian sampel.Hasil analisa TGA gelatin dapat dilihat pada gambar 4.9.
Kurva TGA pada gambar 4.9 menunjukkan penurunan berat secara bertahap mulai temperatur sekitar 25,04-189,440C, Pada tahapan awal ini pengurangan berat disebabkan oleh penguapan molekul air. Hal ini juga diperkuat dengan pengurangan massa cuplikan sebesar 11,82%. Sedangkan mulai temperatur 189,44294,330C terjadi pengurangan berat sebesar
Prosiding Tugas Akhir 2010/2011
36,70%. Tahap kedua tersebut adalah tahap degradasi polimer. Pengurangan massa cuplikan ini diakibatkan oleh sejumlah kandungan protein yang terdegradasi, informasi tersebut juga diperkuat oleh penelitian Quazi T.H. Shubhra (2011) yang telah menyebutkan tahap penguapan dan degradasi protein dalam range 470C sampai 2500C. Sazedul (2011) juga melaporkan tentang tahap penguapan air dari gelatin yang diberi plasticizer, air akan hilang pada temperatur sekitar 50,03-70,000C. Sedangkan Barreto (2003) mengungkapkan bahwa, degradasi protein berawal pada suhu antara 295 dan 3000C, dan degradasi pada temperatur tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap struktur primer dan sekunder pada protein. Pada penelitian ini tahap degradasi terjadi pada range temperatur 189,44-294,330C, hal ini dikarenakan ada pengaruh dari zat aditif yaitu sorbitol dan gliserol, sehingga tahap degradasi polimer dan protein berjalan lebih cepat. Penambahan gliserol sebagai plasticizer akan menyebabkan peningkatan temperatur penguapan air tetapi mengurangi temperatur degradasi. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya interaksi yang kuat antara molekul air dengan film dan plasticizer (suyatma, 2005). Dou (2009) melaporkan gliserol memiliki temperatur degradasi maksimum sebesar 441 K atau sebanding dengan 1680C, Jadi bisa dikatakan pada tahap pertama yaitu pada temperatur antara 25-189,440C terjadi pengurangan berat yang disebabkan penguapan molekul air dan terjadi tahap dekomposisi plasticizer. Cheng (2008), menyebutkan secara garis besar ada dua tahapan proses pengurangan berat. Pengurangan berat yang pertama adalah pada range temperatur 50-1500C pengurangan tersebut akibat penguapan molekul air (uap air), dan pengurangan berat yang kedua adalah pada range temperatur 250-3200C ini dikarenakan degradasi termal dari gelatin. Pada penelitian ini degradasi termal gelatin terjadi pada temperatur 294,330C, data ini masih dalam range degradasi termal gelatin komersial yang telah dilaporkan oleh Cheng (2008). Sebuah penggambaran interaksi antara air, gelatin, dan gliserol telah dibuat oleh Sazedul Hoque (2011). Gambar 4.10 menunjukkan interaksi antara air, gelatin dan gliserol. Tahap selanjutnya terjadi pada temperatur diatas 294,330C, Pada range tersebut terjadi dekomposisi polimer ke tiga (Td3) dan terjadi tahap pengabuan. Quazi (2011) melaporkan bahwa mulai temperatur 2600C dan diatas 3900C laju dekomposisi berjalan lambat dan merupakan tahapan dekomposisi termal paling besar. setelah penambahan plasticizer terjadi interaksi sedikit lebih kuat jika dibandingkan dengan sebelum penambahan gliserol, tetapi setelah dilakukan casting & drying process interaksi antara ketiga komponen terlihat begitu rapat dan kuat. Plasticizer memiliki pengaruh didalam efek termal polimer, Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Gambar 4.10 Interaksi antara air, gelatin dan gliserol sebagai plasticizer semakin erat dan kuat interaksi plasticizer dengan komponen polimer, air yang terjebak dan yang berinteraksi akan menguap dengan waktu yang relatif lebih lama jika dibandingkan sebelum ada penambahan plasticizer. 3.2.3 TGA Komposit Gambar 3.2 menunjukkan data TGA dari film komposit Gelatin Komersial 4%-Kitosan 1,5%, Gelatin Komersial 4%-Kitosan 3%, Gelatin Komersial 4%-Kitosan 4% yang dibandingkan dengan Gelatin Komersial murni dan Kitosan murni.
Gambar 3.2 Tren Kurva TGA GK, CH, dan film GK 4%-CH 1,5%, GK 4%-CH 3%, GK 4%-CH 4% Analisa termal gravimetri ini diamati dengan instrument TGA. Secara umum metode TGA yang banyak diterapkan didasarkan pada pengukuran bobot yang kontinyu terhadap suatu neraca sensitif (disebut neraca panas) ketika suhu sampel dinaikkan dalam udara atau dalam dalam atmosfer yang inert. TGA ini dinyatakan sebagai TGA nonisotermal. Data dicatat sebagai termogram bobot versus temperatur. Hilangnya bobot bisa
Prosiding Tugas Akhir 2010/2011
timbul dari evaporasi kelembaban atau pelarut yang tersisa. Tahap ini biasa terjadi dibawah temperatur 1500C tetapi pada suhu-suhu yang lebih tinggi terjadi pengurangan berat akibat terurainya polimer (Steven, 2001). Selain memberikan informasi mengenai stabilitas panas, TGA juga dapat digunakan dalam penelitian dan pengujian untuk menentukan karakteristik bahan seperti polimer, penentuan tersebut biasanya meliputi suhu degradasi, menyerap kadar air bahan, tingkat komponen organik dan anorganik dalam suatu bahan. Tabel. 1 Tahap penguapan air, degradasi termal dan prosentase residu dari GK, CH, film komposit GKCH Komposisi GK GK GK 4%4%GK CH 4%-CH CH 1,5% CH 3% 4% Tahap 1 25,04 57, 29,28 33,77 35,63 (0C) 54 Tahap 2 189,4 153 127,667 141,88 147,2 (0C) 4 ,76 1 Tahap 3 294,3 242 235,13 235,66 235,7 (0C) 3 7 Residu 21,51 39, 21,03 27,55 28,03 (%) 88
Tabel 2 Pengurangan berat pada tiap tahapan proses
Komposisi
Pengura ngan I (%) Pengura ngan I (%) Residu
GK
CH
GK 4%CH 1,5%
GK 4%CH 3%
GK 4%CH 4%
11,8 2
5,42
6,09
6,29
6,32
36,7
32,4 9
25,0 1
16,4 5
21,08
21,5 1
39,8 8
21,0 3
21,0 3
28,03
5. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Degradasi Termal Pada paduan Gelatin Komersial - Kitosan (GK 4% - CH 1,5%, GK 4%-CH 3%,GK 4% - CH 4%) telah mengalami peningkatan seiring bertambahnya konsentrasi kitosan Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
2.
3.
Dari data TGA menunjukkan bahwa suhu degradasi paduan GK 4%-CH 1,5 sebesar 235,130C, GK 4%-CH 3% sebesar 235,660C, dan GK 4%-CH 4% memiliki suhu degradasi 235,770C, dengan pengurangan berat masing-masing 25,01%, 21,03%, 28,03%. Pengaruh gliserol dan sorbitol sebagai plasticizer pada paduan/kompsit Gelatin Komersial-Kitosan memberikan hasil termal gravimetri yang berbeda jika dibandingkan dengan komponen murni dari gelatin komersial dan kitosan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Drs. Eko Santoso, bapak lukman atmaja, Ph.D selaku dosen pembimbing, yang telah berkenan membimbing, dan senantiasa memberikan pengetahuan, saran dan nasehat. 2.
Orang tua tercinta dan seluruh keluarga atas segala doa dan dukungannya baik berupa material maupun spiritual
3.
Teman- teman dan seperjuangan tugas akhir sahabat- sahabat tercinta atas bantuan, semangat dan kerjasamanya
4.
Tsumma kullukum jami’an aquulu syukron katsiroh
DAFTAR PUSTAKA Aewsiri, T., Benjakul, S., & Visessanguan, W, (2009), “Functional properties of gelatin from cuttlefish (Sepia pharaonis) skin as affected by bleaching using hydrogen peroxide”, Food Chemistry, 115(1), 243-249. Brugnerotto J., Lizardi J., Goycoolea F.M., Arguelles A.-Monal, Desbrieres J., Rinaudo M. (2001), “An infrared investigation in relation with chitin and chitosan characterization”, Centre de Recherches sur les Macromolecules Vegetales, CERMAV-CNRS, affiliated with Joseph Fourier University, BP 53, 38041 Grenoble cedex 9, France, 35693580 [LPPOM
MUI]. Lembaga Pengkajian dan Penelitian Obat Makanan. 2008. Halal menentramkan umat. Jurnal Halal No.72.
Odian, G. (1991), “Principles of Polymerization”; Wiley: New York,; pp 17-19
Prosiding Tugas Akhir 2010/2011
Ravi Kumar, M. N. V., A, (2000), "Review of Chitin and Chitosan Application”, Reactive and Functional Polymers, 46, 127 Sobral, P. J., dan habitante, A. M. Q. B. (2001), “Phase transition of pigskin Gelatin”, Food Hydrocolloids, 15: 377-382 Kumar, Majeti (2000), “A Review of Chitin and Chitosan Application”, Journal Of reactive and functional polymer, vol 46 hal 3 Martínez-Camacho A.P., A.Z. Graciano-Verdugo dkk, (2010), “Chitosan composite films: Thermal, structural, mechanical and antifungal properties”, Departamento de Investigación y Posgrado en Alimentos, Universidad de Sonora, Hermosillo, Sonora, Mexico, Journal of Carbohydrate Polymers, 82, 305-315 Muyonga, J. H., Cole, C. G. B., & Duodu, K. G. (2004), “Characterization of acid soluble collagen from skins of young and adult Nile perch (Lates niloticus)”. Food Chemistry, 85(1), 81-89. Quazi T.H. Shubhra , A.K.M.M. Alam, M.D.H. Beg, (2011), “ Mechanical and degradation characteristics of natural silk fiber reinforced gelatin composites”, Department of Applied Chemistry and Chemical Engineering, The University of Dhaka, Dhaka 1000, Bangladesh, material letters, 333-336
Prosiding KIMIA FMIPA - ITS
Sazedul
Hoque Md., Soottawat Benjakul, Thummanoon Prodpran, (2011), “Effects of partial hydrolysis and plasticizer content on the properties of film from cuttlefish (Sepia pharaonis) skin gelatin”, Department of Food Technology, Faculty of Agro-Industry, Prince of Songkla University, Hat Yai 90112, Thailand, Food Hydrocolloids 25, 82-90
Suyatma, N. E., Tighzert, L., & Copinet, A. (2005), “Effects of hydrophilic plasticizers on mechanical, thermal and surface properties of chitosan films”. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 53(10), 3950–3957.
Sacrotes, G., 1980, Infrared Characteristic Group Frequencies, John Wiley & Sons, Toronto, New York Wahyuni, Mita dan peranginangin, Rosmawati, (2009), “Perbaikan daya saing industri Pengolahan Perikanan melalui Pemanfaatan Limbah Non Ekonomis Ikan menjadi Gelatin Winarno F.G., 2002, Kimia Pangan dan Gizi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Wanjin, T., Cunxin, W., & Donghua, C. (2005), “Kinetic studies on the pyrolysis of chitin and chitosan”. Polymer Degradation and Stability, 87, 389–394.