ANALISIS KOMPONEN VOLATIL PEMBENTUK FLAVOR DALAM BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) UNTUK APLIKASI KACANG SALUT
SKRIPSI
ANDRIYANSYAH F24104035
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ANALYSIS OF FLAVOR-FORMING VOLATILE COMPONENTS IN GARLIC (Allium sativum L.) FOR APPLICATION COATED PEANUTS Andriyansyah and Made Astawan Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 62 856 8840663, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Production process of coated peanut requires garlic as a producer of distinctive flavor. Flavor is produced from a combination of several volatile components contained in garlic. Production process continuously of coated peanuts requires manufacturers to find more than one variety of garlic for a smooth production. Each of the varieties of garlic that used producers have different amounts of the flavor-forming volatile components. This research analyzes of the flavor-forming volatile components in the two varieties of garlic (Shantung and Kating) to be applied on the coated peanuts by using gas chromatography, both qualitatively and quantitatively. Qualitative analysis using an external standard (diallyl monosulfide and diallyl disulfide), whereas the quantitative analysis using internal standard (benzyl alcohol) that is injected along with the sample. Qualitatively, in the garlic (Shantung and Kating) and the layer katom (Shantung and Kating), identified the existence of the flavor-forming volatile components, namely diallyl monosulfide and diallyl disulfide. Quantitatively, known that the number of diallyl monosulfide component in the garlic varieties Shantung of 1.087 ppm, whereas in the garlic varieties Kating of 3.454 ppm. The number of diallyl disulfide component in the garlic varieties Shantung of 107.174 ppm, while in the garlic varieties Kating of 74.916 ppm. The number of diallyl monosulfide component in the Shantung katom layer of 19.192 ppm, while in the layer katom Kating of 0.404 ppm. The number of diallyl disulfide component in the Shantung katom layer of 4.257 ppm, while in the layer katom Kating of 2.362 ppm. Keywords: garlic, flavor, volatile, coated peanuts, chromatography gas
Andriyansyah. F24104035. Analisis Komponen Volatil Pembentuk Flavor dalam Bawang Putih (Allium sativum L.) untuk Aplikasi Kacang Salut. Di bawah bimbingan oleh Made Astawan. 2011
RINGKASAN Proses produksi kacang salut atau biasa disebut katom membutuhkan kacang tanah sebagai bahan baku, larutan bumbu yang berbentuk kanji sebagai lem perekat, dan campuran tepung tapioka sebagai bahan penyalut. Larutan bumbu terdiri dari campuran beberapa bahan tertentu, salah satunya adalah bawang putih. Bawang putih ini memberi flavor khas pada kacang salut. Flavor tersebut dihasilkan dari gabungan beberapa senyawa volatil yang terkandung dalam bawang putih (Allium sativum L.). Proses produksi yang kontinyu dari kacang salut menuntut produsen mencari lebih dari satu supplier bawang putih untuk ketersediaan dan kelancaran produksinya. Selain itu, perbedaan waktu panen dari varietas bawang putih yang berbeda juga menuntut produsen memiliki lebih dari satu supplier. Masing-masing varietas bawang putih yang digunakan produsen memiliki jumlah senyawa volatil pembentuk flavor yang berbeda. Produk kacang salut yang dihasilkan akan memiliki flavor yang berbeda jika menggunakan varietas bawang putih yang berbeda. Tujuan kegiatan magang ini adalah menganalisis komponen volatil pembentuk flavor dalam dua varietas bawang putih (Shantung dan Kating) untuk diaplikasikan pada kacang salut dengan menggunakan metode ekstraksi terbaik dari dua metode yang digunakan, yaitu metode Maserasi (perendaman) dan Likens-Nickerson. Setelah itu dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan kromatografi gas. Berdasarkan analisis kualitatif pada bawang putih (Shantung dan Kating) dan lapisan katom (Shantung dan Kating), teridentifikasi adanya komponen volatil pembentuk flavor, yaitu dialil monosulfida dan dialil disulfida. Analisis kualitatif menggunakan standar eksternal dialil monosulfida dan dialil disulfida. Berdasarkan analisis kuantitatif diketahui bahwa jumlah komponen dialil monosulfida pada bawang putih varietas Shantung lebih kecil dibandingkan varietas Kating, sedangkan jumlah komponen dialil disulfida sebaliknya. Jumlah komponen dialil monosulfida pada bawang putih varietas Shantung sebesar 1.087 ppm, sedangkan pada bawang putih varietas Kating sebesar 3.454 ppm. Jumlah komponen dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung sebesar 107.174 ppm, sedangkan pada bawang putih varietas Kating sebesar 74.916 ppm. Jumlah komponen dialil monosulfida pada lapisan katom Shantung lebih besar dibandingkan lapisan katom Kating, begitu pula dengan jumlah komponen dialil disulfida. Jumlah komponen dialil monosulfida pada lapisan katom Shantung sebesar 19.192 ppm, sedangkan pada lapisan katom Kating sebesar 0.404 ppm. Jumlah komponen dialil disulfida pada lapisan katom Shantung sebesar 4.257 ppm, sedangkan pada lapisan katom Kating sebesar 2.362 ppm.
ANALISIS KOMPONEN VOLATIL PEMBENTUK FLAVOR DALAM BAWANG PUTIH (Allium sativum L.) UNTUK APLIKASI KACANG SALUT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh ANDRIYANSYAH F24104035
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi : Analisis Komponen Volatil Pembentuk Flavor dalam Bawang Putih (Allium sativum L.) untuk Aplikasi Kacang Salut Nama : Andriyansyah NIM : F24104035
Menyetujui, Dosen Pembimbing
(Prof. Dr. Made Astawan, M.S.) NIP. 19620202 198703 1 004
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.) NIP. 19650814 199002 1 001
Tanggal lulus : 22 Februari 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Komponen Volatil Pembentuk Flavor dalam Bawang Putih (Allium sativum L.) untuk Aplikasi Kacang Salut di PT. Garudafood Putra Putri Jaya adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2011 Yang membuat pernyataan
Andriyansyah F24104035
BIODATA PENULIS
Andriyansyah. Lahir di Jakarta, 11 September 1985 dari ayah Fauzi dan ibu Asnah, sebagai putra tunggal. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Cipinang Cempedak 08 Petang (1992-1998), pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 36 Jakarta Timur (1998-2001), dan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 54 Jakarta Timur (2001-2004). Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Insitut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di IPB penulis aktif di berbagai kepanitian antara lain panitia Seminar Buah Merah (2006), panitia MPF (2006), panitia BAUR (2006), dan panitia Kajian Pangan Halal (2006). Adapun seminar dan pelatihan yang pernah diikuti oleh penulis yaitu Seminar Keamanan Pangan dan ISO 22000 (2007), Pelatihan Good Laboratory Practices (2007), dan Seminar and Workshop “Current Issue on Tempeh: Technology, Standardization, and Its Potential on Improving in Health and Nutrition Status” (2008). Selama menjadi mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, penulis pernah menjadi Asisten dalam pelaksanaan praktikum Kimia dan Biokimia/Semester Genap 2006-2007. Untuk menyelesaikan tugas akhirnya, penulis melakukan kegiatan magang di PT. Garudafood Putra Putri Jaya. Kegiatan magang yang dilakukan berjudul “Analisis Komponen Volatil Pembentuk Flavor dalam Bawang Putih (Allium sativum L.) untuk Aplikasi Kacang Salut” di bawah bimbingan Prof. Dr. Made Astawan, MS.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Analisis Komponen Volatil Pembentuk Flavor dalam Bawang Putih (Allium sativum L.) untuk Aplikasi Kacang Salut dilaksanakan sebagai kegiatan magang di PT. Garudafood Putra Putri Jaya sejak bulan April sampai Agustus 2008. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Made Astawas, MS selaku dosen pembimbing yang selalu sabar dan bijaksana dalam membimbing serta memberikan masukan-masukan yang berguna hingga terselesaikannya skripsi ini. 2. Ir. Arif Hartoyo, M.Si selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberi saran bagi penulis. 3. Mba Wati selaku pembimbing lapang di PT. Garudafood Putra Putri Jaya yang banyak membantu, memberi arahan, saran, nasehat, dan kerjasamanya selama proses magang. 4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis. 5. Kedua orang tuaku dan kakak-kakakku tercinta atas kasih sayang, cinta, dorongan dan movitasi, nasihat, dukungan moral dan spiritual, dan doa yang tidak pernah putus hingga skripsi ini dapat terselesaikan. 6. PT. Garudafood Putra Putri Jaya selaku perusahaan tempat magang atas segala kesempatan yang diberikan. 7. Ibu Novi selaku staf UPT Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas segala nasehat, dorongan, dan motivasi yang telah diberikan. 8. Mba Anidah selaku teknisi dan operator di laboratorium terpadu SEAMEO Biotrop yang banyak membantu dalam penyelesaian penelitian, memberikan masukkan, arahan, saran, dan nasehat. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan.
Bogor, Februari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................
v
DAFTAR ISI .................................................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL .........................................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................
xi
I.
PENDAHULUAN ..................................................................................................................
1
1.1. LATAR BELAKANG .....................................................................................................
1
1.2. TUJUAN ..........................................................................................................................
2
II. PROFIL PERUSAHAAN .....................................................................................................
3
2.1. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ............................................................................
3
2.2. RUANG LINGKUP USAHA ..........................................................................................
4
2.3. PRODUKSI ......................................................................................................................
4
III. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................
5
3.1. BAWANG PUTIH ...........................................................................................................
5
3.1.1. Riwayat ..................................................................................................................
5
3.1.2. Botani .....................................................................................................................
6
3.1.3. Jenis ........................................................................................................................
8
3.1.4. Komponen Aktif ..................................................................................................... 10 3.2. METODE EKSTRAKSI .................................................................................................. 12 3.2.1. Maserasi (Perendaman) .......................................................................................... 13 3.2.2. Likens-Nickerson ................................................................................................... 14 3.3. FRAKSINASI .................................................................................................................. 14 3.3.1. Analisis Kualitatif .................................................................................................. 16 3.3.2. Analisis Kuantitatif ................................................................................................. 16 3.4. UJI SENSORI .................................................................................................................. 16
3.5. KACANG SALUT ........................................................................................................... 17 IV. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................................................... 18 4.1. BAHAN DAN ALAT ...................................................................................................... 18 4.1.1. Bahan ...................................................................................................................... 18 4.1.2. Alat ......................................................................................................................... 18 4.2. METODE PENELITIAN ................................................................................................. 18 4.2.1. Penelitian Pendahuluan .......................................................................................... 18 4.2.1.1. Pembuatan Kacang Salut ........................................................................... 18 4.2.1.2. Analisis Kimia ........................................................................................... 19 4.2.1.2.1. Kadar Air Metode Distilasi (SNI 01-3181-1992 yang dimodifikasi) .............................................................................. 19 4.2.1.2.2. Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) ........................... 20 4.2.1.2.3. Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992) .................. 20 4.2.1.2.4. Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 960.52 yang dimodifikasi) .............................................................................. 21 4.2.1.3. Kondisi Kromatografi Gas ........................................................................ 22 4.2.1.4. Penentuan Metode Ekstraksi ..................................................................... 22 4.2.1.4.1. Metode Maserasi (Perendaman) ................................................ 23 4.2.1.4.2. Metode Likens-Nickerson ......................................................... 24 4.2.1.4.3. Rendemen Hasil Ekstraksi ......................................................... 24 4.2.1.5. Kondisi Ekstraksi ...................................................................................... 25 4.2.2. Penelitian Utama .................................................................................................... 25 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................. 26 5.1. PENELITIAN PENDAHULUAN ................................................................................... 26 5.1.1. Pembuatan Kacang Salut ........................................................................................ 26 5.1.2. Analisis Kimia ........................................................................................................ 26 5.1.2.1. Kadar Air ................................................................................................... 26 5.1.2.2. Kadar Lemak ............................................................................................. 28 5.1.2.3. Kadar Protein ............................................................................................. 30 5.1.3. Kondisi Kromatografi Gas ..................................................................................... 31
5.1.4. Penentuan Metode Ekstraksi .................................................................................. 33 5.1.5. Kondisi Ekstraksi ................................................................................................... 38 5.2. PENELITIAN UTAMA ................................................................................................... 40 VI. SIMPULAN ........................................................................................................................... 44 VII.REKOMENDASI .................................................................................................................. 45 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 46 LAMPIRAN .................................................................................................................................. 49
DAFTAR TABEL Halaman
1.
Komposisi kandungan zat gizi bawang putih per 100 g bahan yang dapat dimakan ............
8
2.
Penggolongan bawang berdasarkan precursor citarasa utamanya ........................................
10
3.
Perbandingan beberapa komponen volatil aktif bawang putih yang dapat terekstrak dengan berbagai metode ekstraksi ........................................................................................
13
4.
Daftar pelarut organik untuk ekstraksi flavor dan titik didihnya ..........................................
14
5.
Klasifikasi metode pemisahan ..............................................................................................
15
6.
Kondisi operasi kromatografi gas untuk analisis komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih ................................................................................................................
33
7.
Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dengan metode Likens-Nickerson.....................................
36
8.
Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dengan metode Maserasi...................................................
37
9.
Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dengan metode Likens-Nickerson.........................................
37
10. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dengan metode Maserasi .......................................................
38
11. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dan Shantung.........................................................................
41
12. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada lapisan katom Kating dan Shantung .....................................................................................
42
13. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dan lapisan katom Shantung .............................................
42
14. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dan lapisan katom Kating......................................................
43
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Umbi bawang putih dan bagian-bagiannya ..........................................................................
7
2.
Mekanisme reaksi enzim aliinase yang terdapat pada bawang putih ................................... 10
3.
Degradasi enzimatik dan non-enzimatik alliin ..................................................................... 11
4.
Diagram alir pembuatan kacang salut .................................................................................. 19
5.
Rangkaian alat hembus gas N2 untuk pemekatan hasil ekstraksi ......................................... 23
6.
Sistematika kerja ekstraksi dengan metode distilasi Likens-Nickerson ............................... 24
7.
Kadar air bawang putih varietas Kating dan Shantung ........................................................ 27
8.
Kadar air lapisan katom Kating dan Shantung ..................................................................... 28
9.
Kadar lemak bawang putih varietas Kating dan Shantung ................................................... 29
10. Kadar lemak lapisan katom Kating dan Shantung................................................................ 29 11. Kadar protein bawang putih varietas Kating dan Shantung ................................................. 30 12. Kadar protein lapisan katom Kating dan Shantung .............................................................. 30 13. Kromatografi gas (SHIMADZU, GC 14 B) ......................................................................... 33 14. Skor penilaian aroma distilat bawang putih varietas Kating dan Shantung.......................... 34 15. Rendemen hasil ekstraksi bawang putih var. Kating dan Shantung (per 50 g bawang putih segar) ............................................................................................................. 35 16. Alat penghancur bawang putih............................................................................................. 39
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1a. Hasil uji t (independent samples) kadar air bawang putih varietas Kating dan Shantung................................................................................................................... 50 Lampiran 1b. Hasil uji t (independent samples) kadar air lapisan katom Kating dan Shantung ..... 51 Lampiran 2a. Hasil uji t (independent samples) kadar lemak bawang putih varietas Kating dan Shantung............................................................................................................ 52 Lampiran 2b. Hasil uji t (independent samples) kadar lemak lapisan katom Kating dan Shantung .................................................................................................................. 53 Lampiran 3a. Hasil uji t (independent samples) kadar protein bawang putih varietas Kating dan Shantung ............................................................................................................ 54 Lampiran 3b. Hasil uji t (independent samples) kadar protein lapisan katom Kating dan Shantung .................................................................................................................. 55 Lampiran 4. Kromatogram pelarut diethyl ether 0,1 µl................................................................... 56 Lampiran 5. Kromatogram benzyl alcohol 2% 2 µl (standar internal) ............................................ 57 Lampiran 6. Kromatogram benzyl alcohol 2% 5 µl (standar internal) ............................................ 58 Lampiran 7. Kromatogram dialil monosulfida 0,1 µl (standar eksternal) ....................................... 59 Lampiran 8. Kromatogram dialil disulfida 0,1 µl (standar eksternal) ............................................. 60 Lampiran 9. Kromatogram standar campuran (dialil monosulfida 0.1 µl, dialil disulfida 0.1 µl, dan benzyl alcohol 2% 5 µl)............................................................................ 61 Lampiran 10a. Hasil analisis sidik ragam aroma distilat bawang putih varietas Kating terhadap kontrol ..................................................................................................... 62 Lampiran 10b. Hasil analisis sidik ragam aroma distilat bawang putih varietas Shantung terhadap kontrol ..................................................................................................... 63 Lampiran 11a. Hasil uji t (independent samples) rendemen bawang putih varietas Kating dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson .................................................... 64 Lampiran 11b. Hasil uji t (independent samples) rendemen bawang putih varietas Shantung dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson ................................................... 65 Lampiran 12a. Kromatogram sampel 1 (bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 1 + 5 µl benzyl alcohol 2%)............................... 66 Lampiran 12b. Data kromatogram sampel 1 (bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 1 + 5 µl benzyl alcohol 2%)..................... 67 Lampiran 13a. Kromatogram sampel 2 (bawang putih varietas Shantung (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 2 + 5 µl benzyl alcohol 2%)..................... 68 Lampiran 13b. Data kromatogram sampel 2 (bawang putih varietas Shantung (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 2 + 5 µl benzyl alcohol 2%) ........ 69 Lampiran 14a. Kromatogram sampel 3 (bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 3 + 5 µl benzyl alcohol 2%)............................... 70 Lampiran 14b. Data kromatogram sampel 3 (bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 3 + 5 µl benzyl alcohol 2%)..................... 71
Lampiran 15a. Kromatogram sampel 4 (bawang putih varietas Kating (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 4 + 5 µl benzyl alcohol 2%)..................... 72 Lampiran 15b. Data kromatogram sampel 4 (bawang putih varietas Kating (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 4 + 5 µl benzyl alcohol 2%) ........ 73 Lampiran 16a. Kromatogram sampel 5 (bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 5 + 5 µl benzyl alcohol 2%)............................... 74 Lampiran 16b. Data kromatogram sampel 5 (bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 5 + 5 µl benzyl alcohol 2%).................... 75 Lampiran 17a. Kromatogram sampel 6 (bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 6 + 5 µl benzyl alcohol 2%)............................... 76 Lampiran 17b. Data kromatogram sampel 6 (bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 6 + 5 µl benzyl alcohol 2%)..................... 77 Lampiran 18a. Kromatogram sampel 7 (lapisan katom Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 7 + 5 µl benzyl alcohol 2%)............................... 78 Lampiran 18b. Data kromatogram sampel 7 (lapisan katom Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 7 + 5 µl benzyl alcohol 2%)............................... 79 Lampiran 19a. Kromatogram sampel 8 (lapisan katom Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 8 + 5 µl benzyl alcohol 2%) ............................... 80 Lampiran 19b. Data kromatogram sampel 8 (lapisan katom Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 8 + 5 µl benzyl alcohol 2%) ............................... 81
I. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Bawang putih merupakan rempah-rempah dengan flavor atau citarasa yang kuat dan rasa pedas yang sangat khas. Bawang putih (Allium sativum L.) sudah lama digunakan sebagai bahan baku untuk bumbu (seasoning). Beberapa produk berbahan dasar bawang putih, seperti garlic oil, garlic powder, garlic salt, garlic paste, garlic sauce, dan garlic slice sudah banyak dijual secara komersil. Produk-produk berbahan dasar bawang putih dapat digolongkan menjadi beberapa jenis tergantung dari cara persiapannya, seperti: bawang putih segar, bawang putih yang dikeringkan, bawang putih panggang, dan bawang putih goreng. Perbedaan cara persiapan tersebut dapat berpengaruh terhadap citarasa yang dihasilkan pada produk-produk berbahan dasar bawang putih (Yu et al. 1994). Menurut Heath (1981), banyak komponen volatil aktif pada rempah-rempah timbul setelah pengolahan, tetapi di lain pihak adanya perlakuan panas atau pengolahan dapat merusak atau menghilangkan komponen volatil aktif yang ada. Oleh karena itu, untuk mempertahankan dan meminimalkan kehilangan komponen volatil aktif bawang putih, diperlukan suatu metode pengolahan yang tepat sehingga faktor-faktor yang menguntungkan masih dapat dimanfaatkan. Komponen volatil aktif pada sayuran dan rempah-rempah dapat dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas. Analisis kuantitatif dengan kromatografi gas dapat ditentukan berdasarkan perhitungan relatif terhadap suatu standar internal. Perhitungan berdasarkan standar internal merupakan analisis yang lebih sederhana dibandingkan dengan analisis kuantitatif lainnya. Standar internal yang digunakan dapat mempengaruhi ketelitian analisis. Agar ketelitian analisis kuantitatif lebih sempurna, diperlukan suatu standar internal yang baik, yaitu terpisah dengan komponen yang dianalisis, tidak bereaksi dengan komponen maupun dengan pelarut yang digunakan, dan terelusi dekat dengan komponen yang dianalisis. Komponen volatil aktif yang dianalisis dalam penelitian ini adalah dialil monosulfida dan dialil disulfida. Kedua komponen volatil aktif tersebut merupakan penentu citarasa dan mempunyai aktivitas sebagai antioksidan dan antiradikal, serta aktivitas bioaktif lainnya. Secara umum, spesies bawang yang paling sering digunakan dalam industri pangan dan dunia kuliner adalah Allium sativum. Bawang putih memiliki banyak varietas, masingmasing varietas memiliki komponen senyawa sulfur yang berbeda. Senyawa sulfur inilah yang memberikan citarasa dan aroma pada bawang putih. Menurut Mazza (1998), tipe dan konsentrasi dari senyawa sulfur yang diekstrak dari bawang putih dipengaruhi oleh ketuaan umbi, praktek produksi yang dilakukan, varietas, lokasi penanaman, dan kondisi proses yang dilakukan. Pada industri pangan yang menggunakan bawang putih segar sebagai bahan baku esensial, fluktuasi hasil panen menyebabkan industri tersebut harus menggunakan bawang putih dengan varietas yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Masing-masing varietas bawang putih yang digunakan produsen memiliki jumlah senyawa volatil pembentuk flavor yang berbeda. Produk yang dihasilkan juga akan memiliki flavor yang berbeda jika menggunakan varietas bawang putih yang berbeda. Hal ini pada akhirnya akan berpengaruh pada penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. PT. Garudafood Putra Putri Jaya sebagai salah satu produsen pangan yang menggunakan bawang putih dalam produksinya, memiliki pasokan berbagai jenis bawang putih
di antaranya adalah varietas Kating, Shantung, dan Honan. Ketiga varietas tersebut berbeda dari segi penampakan maupun ketajaman baunya. Setiap varietas bawang putih mengandung jumlah dan komposisi senyawa sulfur volatil yang berbeda.
1.2 TUJUAN Kegiatan magang ini bertujuan : 1. Menganalisis komponen volatil pembentuk flavor dalam dua varietas bawang putih (Kating dan Shantung) untuk diaplikasikan pada kacang salut. 2. Melakukan pemilihan metode ekstraksi terbaik untuk mengekstrak komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih (Kating dan Shantung). 3. Melakukan fraksinasi komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih (Kating dan Shantung) dan lapisan katom (Kating dan Shantung) menggunakan kromatografi gas.
II. PROFIL PERUSAHAAN
2.1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN Grup Garudafood berawal dari sebuah perusahaan keluarga yang bergerak di bisnis kacang garing, yakni PT. Tudung Putrajaya. Perusahaan ini didirikan di Pati, Jawa Tengah, oleh almarhum Darmo Putro yang memulai usahanya sebagai produsen tepung tapioka. Sejak tahun 1987, perusahaan mulai serius berkonsentrasi di bisnis kacang garing dengan meluncurkan merek Kacang Garing Garuda, yang belakangan sangat populer di masyarakat dengan sebutan ringkas Kacang Garuda. Untuk menjamin Kacang Garuda dapat dinikmati oleh konsumen di seluruh pelosok negeri dan tersedia dalam jumlah yang cukup, jaringan distribusi Garudafood terus diperkokoh dengan mendirikan PT. Sinar Niaga Sejahtera pada tahun 1994. Sejalan dengan berkembangnya waktu, perusahaan yang tadinya berfungsi sebagai perusahaan pendukung ini akhirnya dapat menjadi profit centre tersendiri bagi kelompok usahanya. Seiring kemajuan demi kemajuan yang dicapai produk kacang garingnya, perusahaan terus melakukan inovasi dengan melakukan upaya diversifikasi produk dan penerapan mesinmesin baru berteknologi modern. Pada tahun 1995, melalui PT. Garuda Putra Putri Jaya, perusahaan mendirikan pabrik kacang lapis yang meliputi: kacang atom, kacang telur, dan kacang madu. Ekspansi ke beragam produk kacang ini ternyata mendapat sambutan hangat dari pasar. Buktinya, meskipun masih baru, daya serap pasar atas produk kacang lapis ini ternyata mampu melampaui prestasi yang dicapai oleh produk kacang garing. Untuk menjamin pasokan bahan baku utama (kacang tanah) yang berkualitas tinggi dan tersedia sesuai kapasitas produksi pabrik, tahun 1996 didirikan PT. Bumi Mekar Tani, yang bergerak di bidang perkebunan kacang. Selain memiliki kebun kacang sendiri, perusahaan ini banyak menjalin kerjasama dengan para petani kacang, khususnya di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dengan demikian, secara aktif perusahaan mengembangkan sistem kemitraan usaha yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Sejumlah industri makanan ringan kini mulai bernaung di bawah payung Garudafood. Sesuai visi dan misinya, kelompok usaha ini tentu saja tidak cepat berpuas diri dengan prestasi yang telah dicapai selama ini. Berbagai inovasi terus dilakukan untuk terus membuat produk-produk baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Semua itu dilakukan, tidak lain demi kepuasan yang sebesar-besarnya bagi para konsumen yang merupakan penentu hidup matinya sebuah perusahaan. Kini di atas areal lebih dari 35 hektar yang tersebar di berbagai lokasi, telah berdiri pabrik-pabrik indutri Garudafood yang didukung oleh mesin dan peralatan berteknologi modern. Mesin oven yang mencakup drying machine dan roasting machine misalnya, khusus didatangkan dari Belgia dan Jerman. Selain itu, kini Garudafood juga mulai memesan mesin-mesin yang didisain secara khusus sesuai dengan kebutuhan spesifik dari produk-produk yang dikembangkan. Hal ini tercapai berkat kerjasama yang simultan dan terencana antara Divisi Pemasaran, Divisi Riset dan Pengembangan, serta Divisi Produksi, yang pada akhirnya mampu menyuguhkan beraneka macam produk makanan dan minuman yang inovatif dan berstandar internasional, dengan tetap mengacu kepada selera dan kepuasan pelanggan. Sampai saat ini, PT. Garudafood telah memiliki beberapa divisi, antara lain : Divisi Peanuts, Snack di PT. Garudafood Putra Putri Jaya (Pati dan Lampung) Divisi Biscuit di PT. Garudafood Putra Putri Jaya (Gresik)
Divisi Jelly di PT. Tri Teguh Manunggal Sejati (Tangerang)
2.2 RUANG LINGKUP USAHA Dalam menjalankan usahanya, PT. Garudafood Putra Putri Jaya senantiasa berusaha untuk mengacu pada semangat pendiri, yaitu “Sukses itu lahir dari kejujuran, keuletan, dan ketekunan yang diiringi doa” untuk mencapai visi dan misi perusahaan yang telah ditetapkan. Visi dari perusahaan ini adalah menjadi salah satu perusahaan terbaik di industri makanan dan minuman di Indonesia dalam aspek profitabilitas, penjualan, dan kepuasan konsumen melalui karya yang kreatif dan inovatif dari seluruh karyawan yang kompeten. Misi dari PT. Garudafood Putra Putri Jaya adalah : 1. Memuaskan konsumen dengan menyediakan : - Produk-produk makanan dan minuman berkualitas - Produk-produk konsumsi dan layanan berkualitas yang bukan berasal dari bahan-bahan yang merupakan hasil pengorbanan hewan atas kehendak langsung perusahaan 2. Membentuk komunitas karyawan untuk tumbuh bersama dan mengembangkan kualitas kehidupan, lingkungan kerja dan pekerjaan para karyawan 3. Menciptakan kemanfaatan jangka panjang yang berkesinambungan dalam hubungan antara perusahaan dengan seluruh mitra usaha 4. Meningkatkan nilai tambah bagi pemegang saham dengan menjalankan etika bisnis dan pengelolaan perusahaan yang baik Produk-produk Garudafood didistribusikan oleh PT. Sinar Niaga Sejahtera yang merupakan Divisi Distribusi dari holding company. Didirikan 1994, peran PT. Sinar Niaga Sejahtera sangat menentukan bagi perkembangan Garudafood. Karena perannya, berbagai macam produk Garudafood bisa diperoleh konsumen di wilayah-wilayah pelosok seluruh Indonesia. Hingga tahun 2006, PT. Sinar Niaga Sejahtera telah memiliki 96 depo, yang melayani hampir 150,000 outlet pelanggan di seluruh Indonesia. Tidak hanya itu, untuk lebih memperluas jaringan, PT. Sinar Niaga Sejahtera juga bermitra dengan subdistributor besar yang tersebar dari Aceh sampai Papua.
2.3 PRODUKSI Berbagai macam produk yang telah dihasilkan oleh PT. Garudafood antara lain : 1. Produk Peanuts meliputi Ting-Ting, Kacang Atom, Kacang Atom Telor, Kacang Kulit, dan Kacang Kulit Rasa 2. Produk Jelly meliputi Jelly Bollo Drink dan Okky Jelly Drink 3. Produk Snack meliputi Keripik Kentang Leo, Keripik Pisang Leo, dan Pilus 4. Produk Biscuit meliputi Gery Bismart, Gery Bishoc, Gery Cracker Beras, Gery Refill-E, Gery Snack dan Sereal, Gery Soes, Wafer Cream Coklat Keju, Gery Chocolatos, Gery Cokluut, Gery Wafer Stick Coklat, Gery Wafer Stick Coklat Keju, dan Gery Wafer Stick Coklat Susu 5. Produk Beverage meliputi Mountea, Koko Drink, Keffy Tamarin.
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 BAWANG PUTIH 3.1.1 Riwayat Tanaman bawang putih diduga berasal dari Cina, kemudian menyebar ke daerah laut tengah, dan beberapa negara di dunia. Budidaya bawang putih telah ada sejak abad ke 16, dan kini sentra primer tanaman ini adalah Cina, India, Asia Tengah, Mediterania, Meksiko Selatan, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Tanaman bawang putih diduga masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke 19, bersamaan dengan arus lalu lintas perdagangan antar negara, terutama pedagang Cina dan India (Winarno dan Koswara 2002). Sekitar pertengahan abad ke-17, tepatnya tahun 1665, wabah sampar (pes) melanda Inggris dengan hebatnya. Ribuan penduduk meninggal dan ribuan lagi terpaksa mendapat perawatan intensif. Wabah ini telah menjalar ke seluruh pelosok daratan Eropa dan menjadi momok yang mengerikan waktu itu. Bahkan, wabah ini telah menyebar sampai daratan Amerika. Di tengah-tengah kekalutan itu terjadi keanehan di sebuah rumah di daerah Chester, Inggris. Seluruh penghuni rumah itu selamat dari wabah. Selidik punya selidik, ternyata di dalam rumah itu tersimpan sejumlah besar bawang putih. Konon, menurut catatan sejarah, bawang putih inilah sang penyelamatnya (Wibowo 2007). Pada masa-masa berkecamuknya perang, bawang putih pun tidak ketinggalan. Dalam perang dunia I, bawang putih mempunyai peranan besar dalam pengobatan bagi prajurit yang terluka di medan perang. Peranan bawang putih ini terulang lagi dalam perang dunia II. Pada waktu itu, bagian pelayanan kesehatan telah mencatat bahwa beribu-ribu ton bawang putih digunakan selama berkecamuknya perang tersebut (Wibowo 2007). Bagi bangsa Roma, bawang putih bahkan dianggap sebagai sumber kekuatan. Tentara Roma yang terkenal gagah perkasa di medan pertempuran ternyata tidak dapat berpisah dengan bawang putih. Seperti ketagihan, mereka selalu ingin memakan bawang putih dalam jumlah banyak. Konon, ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan keberanian dan semangatnya. Discorides, ketua tim dokter yang bertugas pada balatentara Roma sekitar abad II, selalu memberikan resep bawang putih kepada para pasukannya untuk mengatasi keluhan sakit paru-paru, mulas, gangguan pencernaan, dan sebagainya (Wibowo 2007). Bawang putih atau garlic merupakan anggota bawang-bawangan yang mungkin paling populer. Bawang yang mempunyai nama ilmiah Allium sativum L. ini merupakan keturunan bawang liar Allium longicurpis Regel, yang tumbuh di Asia Tengah yang beriklim subtropis. Setelah dibudidayakan (sativum berarti dibudidayakan), bawang putih menyebar ke daerah-daerah di Laut Tengah dan akhirnya menyebar di Indonesia (Winarno dan Koswara 2002). Secara taksonomi, klasifikasi tanaman bawang putih adalah sebagai berikut : divisio : Spermatophyta
sub divisio : Angiospermae klas : Monocotyledone ordo : Lili familia : Liliaceae genus : Allium spesies : Allium sativum Bawang putih termasuk salah satu familia Liliaceae yang populer di dunia. Bawang putih mempunyai nilai komersial yang tinggi dan tersebar di seluruh dunia. Oleh karena itu tidak heran jika bawang putih memiliki banyak nama. Di Indonesia bawang putih punya banyak nama panggilan, yaitu lasuna moputi (Manado), pia moputi (Gorontalo), lasuna kebo (Makasar), bawang bodas (Priangan), kosai botil (Pulau Buru), dan bawa de are (Halmahera). Sementara itu, di Negara-negara seberang mempunyai nama panggilan lain. Orang-orang Inggris menyebut garlic, orang Arab menamainya thoam, dan di Jerman disebut knoflook (Wibowo 2007). Berdasarkan SNI nomor 01-3160-1992 tentang Standar Bawang Putih, deskripsi bawang putih adalah umbi tanaman bawang putih (Allium sativum L.) yang terdiri atas siung-siung bernas, kompak, masih terbungkus oleh kulit luar, bersih, dan tidak berjamur. Bawang putih tersusun atas beberapa senyawa kimia, dimana air adalah komponen dengan jumlah terbesar (Winarno dan Koswara 2002).
3.1.2 Botani Tanaman bawang putih merupakan tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 30-60 cm dan membentuk rumpun. Sebagaimana warga kelompok Monokotiledon, sistem perakarannya tidak memiliki akar tunggang. Akarnya berupa akar serabut yang tidak panjang, tidak terlalu dalam berada di dalam tanah. Dengan perakaran yang demikian, bawang putih tidak tahan terhadap kekeringan. Kebutuhan air untuk pertumbuhannya cukup banyak, terutama pada waktu proses pembesaran umbi (Wibowo 2007). Tanaman bawang putih memiliki daun yang panjang, pipih, dan agak melipat ke dalam dengan arah membujur. Banyaknya daun 7-10 helai per tanaman. Kelopak-kelopak daunnya meskipun tipis tetapi kuat dan membungkus kelopak-kelopak daun di dalamnya yang lebih muda sehingga membentuk batang semu (Winarno dan Koswara 2002). Di bagian bawah tanaman terdapat umbi-umbi yang terbungkus oleh kelopakkelopak daun yang tipis dan kering membentuk umbi-umbi kecil. Umbi-umbi kecil ini terbalut oleh kelopak daun yang mengering. Bagian dasar atau pangkal umbi berbentuk cakram yang sebenarnya merupakan batang pokok tidak sempurna (rudimenter). Dari batang ini muncul akar-akar serabut yang tumbuh mendatar. Akar serabut tersebut merupakan akar penghisap makanan semata dan bukan pencari air dalam tanah. Umbi bawang putih dan bagian-bagiannya dapat dilihat pada Gambar 1 (Wibowo 2007). Tanaman bawang putih dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 700 – 1000 meter di atas permukaan laut. Suhu lingkungan yang paling sesuai adalah 15 - 25°C, namun tanaman ini masih dapat tumbuh pada suhu 27 – 30°C (Winarno dan Koswara 2002).
Gambar 1. Umbi bawang putih dan bagian-bagiannya (Wibowo 2007) Keterangan Gambar : A. Umbi bawang putih B. Umbi bawang putih dipotong melintang C. Siung bawang putih dibelah membujur memperlihatkan bagian di dalamnya 1. Pusta tajuk yang dibungkus daun-daun bawang putih membentuk batang semu 2. Pangkal daun (pelepah) yang mongering, tipis dan kuat membungkus siung-siung menjadi satu membentuk umbi besar 3. Daun dewasa pada siung yang paling luar membungkus daun menebal (siung), berfungsi sebagai pelindung siung 4. Daun dewasa menebal disebut siung 5. Batang pokok yang rudimenter berbentuk seperti cakram, sering disebut “cakram” 6. Akar serabut tidak panjang, tidak terlalu dalam tertanam dalam tanah 7. Lubang kecil silindris dalam tunas yang berisi tunas vegetatif 8. Siung kedua yang tumbuh menempel di bagian luar umbi tetapi masih terbungkus satu menjadi umbi 9. Tunas vegetatif dalam siung yang akan menjaid calon tanaman baru 10. Ujung siung yang sering mongering dan mempersulit keluarnya tunas vegetatif 11. Tunas vegetatif yang muncul dari umbi samping 12. Umbi samping Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan bawang putih adalah sekitar 100-200 mm/bulan. Sering hujan pada malam hari akan menimbulkan penyakit tepung embun. Menjelang panen bawang putih tidak menginginkan turunnya hujan karena akan berpengaruh pada produksi umbi (Wibowo 2007).
Kelembapan yang disukai bawang putih adalah sekitar 60-70%. Kalau terlalu tinggi akan sangat tidak menguntungkan, yaitu mudah terserang penyakit oleh jamur Upas dan Alternaria, serta cendawan-cendawan lainnya. Oleh karena itu, bawang putih ditanam pada musim kemarau dengan pengairan yang baik (Wibowo 2007). Keasaman tanah yang baik untuk bawang putih adalah pH 6,0-6,8. Dalam rentang yang lebih besar, bawang putih masih toleran terhadap keasaman tanah sekitar pH 5,5-7,5. Tanah dengan kadar pH asam sekitar pH 4 atau lebih rendah dapat dikurangi keasamannya dengan pengapuran. Akan tetapi, akar bawang putih sangat peka terhadap pengapuran secara langsung. Karenanya, pengapuran tanah untuk budidaya bawang putih dilakukan sebelum penanaman, yaitu sekitar satu bulan sebelumnya (Wibowo 2007). Bawang putih umumnya diusahakan di daerah dataran tinggi dengan iklim kering. Tanaman ini memiliki daun yang pipih, lurus dan padat, sedangkan umbinya terbagi menjadi bagian kecil-kecil atau dalam bentuk tunggal yang dilindungi lapisan kulit. Bawang putih dapat dipanen apabila tanda-tanda umur panen tanaman sudah terlihat yaitu bila 35-65% daunnya sudah menguning, umbi berhenti tumbuh dan menonjol di atas permukaan tanah, serta ujung umbi mulai berwarna kecoklatan. Umumnya bawang putih dipanen pada umur 105-120 hari (Purnomowati et al. 1992). Nilai gizi bawang putih bervariasi berdasarkan jenis dan bagian bawang yang dimakan. Nilai gizi bawang putih juga ditentukan oleh kondisi pertumbuhan, waktu panen, dan cara pengolahannya. Komposisi zat gizi bawang putih per 100 gram bahan yang dapat dimakan tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi zat gizi bawang putih per 100 g bahan yang dapat dimakan Komponen Kandungan Energi (kkal)
122
Protein (g)
3.5-7,0
Lemak (g)
0.3
Total Karbohidrat (g)
24,0-27,4
Kalsium (mg)
26-28
Fosfat (mg)
79-109
Besi (mg)
1.4-1.5
Natrium (mg)
16-28
Kalium (mg)
346-377
Serat (g) Air (g)
0,7 60.9-67.8
Sumber : Wibowo (2007)
3.1.3 Jenis Bawang putih merupakan jenis rempah yang penting. Beberapa varietas telah dikembangkan di dataran tinggi dan dataran rendah, yaitu Lembu Putih (dataran rendah), Lembu Hijau dan Kuning (dataran sedang), serta Gombloh dan Layur (dataran tinggi). Beberapa jenis bawang putih memproduksi bunga tetapi tidak ada yang menghasilkan biji. Setiap umbi bawang putih dapat berisi 10 siung, yang terbungkus oleh membran
yang putih. Negara penghasil utama bawang putih adalah Cina, Spanyol, Mesir, Thailand, Korea, dan India (Winarno dan Koswara 2002). Sering dijumpai jenis bawang putih yang ditanam di suatu tempat berbeda dengan jenis yang ditanam di daerah lain. Sama-sama bawang putih, tetapi terdapat perbedaan sifat atau ciri-cirinya. Sama-sama bawang putih, tetapi jenisnya yang berbeda. Perbedaannya dapat dilihat dari besar tanaman, umur panen, produktivitas tanaman, ukuran umbi, jumlah dan ukuran siung, bentuk dan warna umbi, kandungan zat kimia dalam umbi, ketahanan terhadap penyakit, persyaratan pertumbuhan, dan sebagainya. Istilah bagi jenis yang berbeda sifat atau ciri-cirinya ini disebut dengan kultivar atau varietas (Wibowo 2007). Apabila pada suatu areal tanaman ditemui ada jenis baru yang berbeda, jenis tersebut disebut dengan kultivar. Namun demikian, suatu jenis bawang putih hanya dapat disebut kultivar baru, jika memiliki perbedaan sifat atau ciri-ciri dengan jenis bawang putih yang sudah ada. Bila setelah kultivar tersebut ditanam kembali dan ternyata setelah beberapa generasi masih menunjukkan sifat yang tidak berubah, dalam arti sudah mantap, maka jenis tersebut dapat disebut sebagai varietas baru. Dengan demikian antara kultivar dengan varietas ada perbedaannya. Kultivar sifat-sifatnya belum mantap, sedangkan varietas memiliki sifat yang mantap dan tidak berubah meskipun ditanam dalam beberapa generasi. Bawang putih mempunyai dua subspesies, yaitu hardneck dan softneck. Softneck lebih mudah dibudidayakan dan lebih tahan lama, sedangkan hardneck cenderung sedikit menghasilkan bunga dan umbi. Hardneck termasuk spesies Allium sativum, subspesies ophioscorodon. Hardneck umumnya digemari oleh juru masak sebab menghasilkan flavor yang khusus dan mudah dikupas umbinya. Subspesies ini tumbuh baik pada iklim dingin dan mempunyai daya simpan sedang. Mereka dicirikan oleh terbentuknya batang kayu yang kuat pada bagian tengah. Batang ini nantinya akan menghasilkan bunga. Subspesies ini biasanya mengalami musim panen yang agak lama. Bawang putih dari subspesies ini menghasilkan panas dan aroma yang kuat, memiliki pelepah pembungkus siung yang mudah dilepas, dan memiliki tangkai sentral yang tinggi. Selain itu, bawang putih yang tergolong ke dalam subspesies hardneck memiliki bunga yang steril, memiliki siung antara 4-12 buah, masa simpan yang lebih pendek dibandingkan softneck, dalam beberapa bulan penyimpanan lebih mudah mengering dan membentuk tunas (Everhart et al. 2003). Softneck juga termasuk dalam spesies Allium sativum, tetapi tergolong subspesies sativum. Bawang putih softneck dicirikan oleh adanya batang pusat yang lunak dan tidak terlihat jelas, di sekelilingnya terdapat lapisan umbi. Subspesies ini tidak bergerombol dan umbi yang dihasilkannya sangat besar. Softneck biasanya digunakan untuk pengawetan dan memiliki daya simpan mencapai lebih dari 10 bulan setelah dipanen. Subspesies ini mudah ditanam, hasilnya berlimpah dan mudah beradaptasi dengan keadaan tanah dan kondisi iklim yang bervariasi. Subspesies ini cepat dipanen dan menghasilkan panas yang lebih ringan. Bawang putih yang termasuk jenis ini diantaranya Silverskin, Ajo Rojo, Keeper, Early Italian Red, Kettle River Giant, Oregon Blue, Red Toch, Translyvanian, Susanville, Japanese, Pyong Vang, Red Janice, dan Shantung (Anonim 2008). Bahan baku bawang putih yang digunakan pada kegiatan magang ini, yaitu varietas Kating dan Shantung. Bawang putih varietas Kating termasuk ke dalam subspesies hardneck dan berasal dari Cina. Bawang putih ini dicoba di Kebun Percobaan
Cipanas, Jawa Barat, yang ketinggiannya sekitar 1100 m dpl. Namun demikian, baru dapat dipungut hasilnya pada umur enam bulan. Hasilnya pun masih terhitung rendah, sekitar 1.4 ton umbi kering per hektar. Varietas Kating yang didatangkan dari RRC belahan selatan pada garis lintang 23°LU, memang masih dapat berumbi di Indonesia. Tetapi kalau Kating dari daerah Cina Utara, pada garis lintang 40°LU, diduga sukar berumbi di Indonesia (Wibowo 2007).
3.1.4 Komponen Aktif Citarasa dan aktivitas biologi bawang ditentukan oleh jenis dan jumlah prekursor pembentuk citarasa (Eskin 1979). Prekursor pembentuk flavor pada bawang putih lebih ditentukan oleh S-2-propenil sistein sulfoksida. Eskin (1979) menggolongkan bawang berdasarkan prekursor citarasa utamanya (Tabel 2). Tabel 2. Penggolongan bawang berdasarkan prekursor citarasa utamanya Prekursor Spesies S-1-propenil-Lsistein sulfoksida
Allium cepa L.
S-2-propenil-L-sistein sulfoksida
Allium sativum L. Allium tuberosum R. Allium ursinum L. Allium alfaturense
S-metil-L-sistein sulfoksida
Allium flavum L. Allium pulchellum D. Sumber : Eskin (1979)
Substrat enzim alliinase (Ѕ-2-propenyl-L-cysteine sulphoxide) diidentifikasi sebagai prekusor utama pada bawang putih. Komponen ini dikonversi menjadi 2propenyl-2-propenethiol-sulphinate (allicin), tetapi di dalam bawang putih setidaknya masih terdapat lebih dari empat prekusor. Prekusor ini terletak pada semua bagian sitoplasma sel (Lagos et al. 1995). Citarasa dan aktivitas biologi bawang putih timbul setelah jaringan selnya terluka. Rusaknya jaringan sel bawang putih menyebabkan enzim alliinase (alliin alkylsulphinate-liase atau C-S liase; EC. 4.4.1.4) yang terdapat pada vakuola sel bawang putih menjadi aktif (Eskin 1979). Mekanisme reaksi enzim alliinase dapat dilihat pada Gambar 2.
R-SO-CH2-CH(NH2)COOH (alliin)
aliinase + H2O
S + NH3 + CH3COCOOH (volatil) (amoniak) (asam piruvat)
Gambar 2. Mekanisme reaksi enzim aliinase yang terdapat pada bawang putih (Eskin 1979)
Ketika jaringan segar pada sel bawang putih terluka, prekusor flavor bereaksi di bawah kontrol enzim alliinase (S-alk(en)yl-L- cysteine sulphoxide Lyase) untuk menghasilkan allyl sulphenic acid yang sangat reaktif, serta ammonia dan asam piruvat. Alliin atau S-allyl cysteine sulphoxide adalah komponen sulfur pertama yang diisolasi dari Allium sativum L. (bawang putih). Enzim alliinase terikat pada vakuola sel, sedangkan prekusor flavor terikat pada sitoplasma yang kehadirannya dalam sel berupa gelembunggelembung kecil yang terikat satu sama lain. Oleh karena itu, enzim hanya dapat bereaksi dengan prekusor ketika selnya dirusak. Pada bawang putih, katalisis dari alliinase membentuk allicin, yang memberikan karakteristik bau pada bawang putih (Pandey 2001). Allicin merupakan komponen utama yang memberikan bau khas pada bawang putih. Allicin dihasilkan ketika bawang putih diiris atau dihancurkan yang akan menimbulkan reaksi enzimatik yaitu enzim alliinase yang mengkonversi alliin menjadi allicin. Allicin dikenal sebagai suatu senyawa yang kuat daya anti bakterinya, kira-kira daya kerjanya sama dengan penisilin terhadap bakteri. Daya kerja allicin sebanding dengan 15 unit penisilin per miligramnya (Winarno dan Koswara 2002). Alisin bersifat sangat tidak stabil dan di udara bebas akan berubah menjadi dialil disulfida hanya dalam satu menit saja. Dialil disulfida merupakan senyawa sekunder penentu aroma bawang putih. Beberapa produk volatil lainnya dari hasil dekomposisi lanjut komponen sulfur pada bawang putih adalah dialil sulfida, dialil trisulfida, dimetil trisulfida, metil alil disulfida, 1-propenil alil disulfida, dimetil sulfida, alil metil disulfida, metil propil disulfida, dan vinildithiin (Winarno dan Koswara 2002). Degradasi enzimatik dan non-enzimatik alliin dapat dilihat pada Gambar 3. Alliinase (S-2-propenyl-L-cysteine sulfoxide) Allyl sulfenic acid + Ammonia + (Alliin) Diallyl disulfide Pyruvate acid kondensasi degradasi SO 2 Diallyl degradasi Diallyl sulfide thiosulfinate Diallyl thiosulfinate (Allicin) Penguraian kondensasi β-eliminasi β Thioacrolein + Allyl sulfenic acid Ajoene + Thioacrolein el dehidrasi & i dekomposisi 3,4-dihidro-3-vinyl-1,2-dithiin m (produk sampingan) in Allyl thiol + Allyl sulfonic acid as + 2-vinyl-(4H)-1,3-dithiin i Allicin (produk utama) transformasi 3,4-dihidro-3-vinyl-1,2-dithiin dekomposisi suhu kamar, 2 jam
Diallyl trisulfide
Diallyl sulfide (14%), Diallyl disulfide (66%), & Diallyl trisufide (9%) Gambar 3. Degradasi enzimatik dan non-enzimatik alliin (Block 1992)
3.2 METODE EKSTRAKSI Untuk mendapatkan komponen volatil dari suatu bahan pangan, maka diperlukan suatu metode ekstraksi yang dapat memisahkan antara komponen volatil yang akan dianalisis dengan komponen-komponen non-volatil lainnya, seperti protein, karbohidrat, air, lemak, mineral, vitamin, dan lain-lainnya dari suatu bahan pangan (Reineccius 1993). Heath dan Reinneccius (1986), menyatakan bahwa dalam mengekstrak/mengisolasi komponen-komponen volatil dari suatu bahan pangan diperlukan suatu tahapan perlakuan terhadap bahan pangan tersebut sehingga komponen interest yang akan dianalisis dapat terekstrak dengan baik dan efisien. Adapun tahapan proses ekstraksi tersebut meliputi: 1. Perlakuan awal terhadap bahan pangan yang akan dianalisis, dengan cara pemotongan, penggilingan, penghalusan, pencacahan, atau sentrifugasi. Hal ini bertujuan agar pelarut organik yang digunakan untuk mengekstraksi komponen volatil dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam bahan tersebut. 2. Kontak bahan dengan pelarut. Pada tahap ini diharapkan pelarut dapat menangkap komponen-komponen volatil yang terdapat di dalam bahan, dengan demikian proses pencampuran bahan dengan pelarut harus dilakukan secara efisien dan optimal, misalnya dengan pengadukan (stirer), pemanasan, atau vorteks. 3. Pemisahan hasil ekstrak dari bahan yang dianalisis. Proses pemisahan bahan dengan pelarut harus dilakukan dengan teliti, sehingga residu-residu yang dapat mengganggu (seperti serat, biji, kotoran) proses analisis selanjutnya dapat dihilangkan. 4. Penguapan pelarut dan pemekatan. Penguapan pelarut bertujuan agar konsentrasi komponen flavor yang telah diperoleh menjadi lebih pekat sehingga intensitas baunya menjadi meningkat. Proses penguapan pelarut dilakukan pada suhu rendah (titik didih pelarut) untuk menghindari kerusakan atau kehilangan komponen flavor. Heath (1981) menyatakan bahwa komponen flavor yang diekstrak dari suatu bahan pangan dapat mengalami kerusakan (off-flavor) ataupun hilang sebagian karena proses degradasi termal yang terlalu berlebihan sehingga akan menimbulkan aroma yang menyimpang ataupun berkurang aroma aslinya. Ria (1989) melaporkan semakin halus ukuran partikel bahan, semakin banyak jumlah komponen yang diekstrak. Ekstraksi komponen bawang putih dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam metode. Berdasarkan bentuknya, hasil ekstraksi dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk ekstrak dan distilat. Block (1992) menerangkan bahwa kehilangan komponen volatil pada bentuk ekstrak lebih kecil, tetapi di dalamnya terlarut berbagai macam senyawa organik seperti karbohidrat, lemak, pigmen dan komponen lainnya, dan hasil ekstrak dalam bentuk distilat lebih jernih. Beberapa metode ekstraksi komponen flavor yang sering/umum digunakan adalah ekstraksi dengan pelarut organik, distilasi vakum, Likens-Nickerson (Simultaneous Distilation and Extraction), serta metode dynamic headspace maupun static headspace (Larsen dan Poll 1990). Schay (1975) menyarankan agar dilakukan pemilihan metode dan prosedur ekstraksi dengan tepat karena sangat penting dan menentukan hasil ekstraksi flavor, sehingga didapatkan flavor yang menyerupai/identik dengan flavor aslinya, sebab tidak semua metode ekstraksi cocok untuk mengekstrak komponen flavor dari suatu bahan pangan. Yu et al. (1989) menerangkan bahwa dengan menggunakan metode distilasi Likens-Nickerson dapat mengekstrak komponen volatil aktif bawang putih lebih banyak (Tabel 3).
Tabel 3. Perbandingan beberapa komponen volatil aktif bawang putih yang dapat terekstrak dengan berbagai metode ekstraksi Konsentrasi (x 10-6 g/g umbi bawang putih) Komponen Distilasi air Distilasi L-N Distilasi uap Dialil sulfida
29.60
30.86
49.39
Dialil disulfida
548.11
537.18
530.44
Dialil trisulfida
1010.83
1060.89
1024.90
Total volatil
2065.25
2331.42
2076.57
Sumber : Yu et al. (1989)
3.2.1 Maserasi (Perendaman) Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik merupakan metode yang cukup sederhana di antara metode ekstraksi lainnya, akan tetapi untuk beberapa bahan pangan seperti buah-buahan, metode ini cukup efisien karena dapat mengekstrak komponen flavor buah-buahan yang sebagian besar komponennya merupakan komponen yang sensitif terhadap pengaruh suhu tinggi. Tahapan dari proses ekstraksi ini meliputi persiapan bahan mentah, pencampuran dengan pelarut, pemisahan bahan terlarut dari residunya, serta penguapan dan pemekatan pelarut. Heath (1981), membagi metode ekstraksi dengan pelarut menjadi tiga, yaitu maserasi, digestion, dan perkolasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan penghancuran sampel terlebih dahulu, kemudian dicampur dan direndam dengan pelarut beberapa jam pada suhu dingin sambil dilakukan pengadukan agar pencampurannya merata. Setelah komponen volatil tercampur dengan pelarut, dilakukan pemisahan antara pelarut dan bahan dengan cara penyaringan. Digestion merupakan ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan pemanasan pada suhu sekitar 60ºC, lamanya proses ekstraksi berlangsung sekitar 24 jam. Perkolasi merupakan proses ekstraksi dengan mengalirkan pelarut terhadap bahan yang diekstrak secara kontinyu dan dilakukan dengan menggunakan pemanasan maupun tanpa pemanasan. Cronin (1982) menyatakan bahwa penggunaan pelarut untuk mengekstrak komponen flavor harus mempunyai titik didih rendah sebab penguapan pelarut dari hasil ekstraksi dapat dengan mudah dilakukan dan tidak merusak komponen flavor yang terekstrak. Selain itu, Larsen dan Poll (1990) menyarankan agar pada perbandingan antara pelarut dan bahan yaitu 1 : 1 (w/v) sehingga hasil ekstraksi tidak membentuk gel dan cukup efisien dalam mengekstrak komponen volatil. Pelarut organik yang digunakan untuk mengekstrak komponen flavor terbagi menjadi dua, yaitu pelarut polar dan pelarut non-polar. Heath (1981) menyatakan bahwa pada pelarut polar terdapat gugus karbonil atau hidroksi yang cukup reaktif dan mempunyai konstanta dielektrik yang lebih rendah serta tidak larut dalam air. Dalam memilih pelarut yang akan digunakan untuk ekstraksi perlu dipertimbangkan beberapa hal, seperti sifat bahan yang akan diekstrak, tingkat oksidasi pembentukan artefak, mudah tidaknya terbakar, dan tingkat toksisitasnya. Beberapa pelarut organik beserta titik didihnya, yang dapat digunakan dalam mengekstraksi komponen flavor tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar pelarut organik untuk ekstraksi flavor dan titik didihnya Titik didih Titik didih Pelarut Pelarut (ºC) (ºC) Metil klorida
-24
Etil klorida
12.5 30-70
Isopentana
27-31
Petroleum eter
Dietil eter : Pentana (2:1)
33.5
Dietil eter
35
Pentana
36
Dikloromentana
Aseton
58
Kloroform
61
Tetrahidrofuran
66
Heksana
69
Etil asetat
77
Karbon tetraklorida
Etanol
77.5
Benzena
80
81
Nitrometana
98
Heptana
98.5
Metil glikol
124.5
Etilen glikol
135
n-amil asetat
138
Isoamil asetat
142.5
Sikloheksanol
160
Propilen glikol
188
Gliserol
290
Sikloheksana
78.5
40.5
Sumber : Heath (1981)
3.2.2 Likens-Nickerson Likens dan Nikerson pada tahun 1964, telah melakukan modifikasi alat ekstraksi komponen flavor yang bertujuan meningkatkan efisiensi metode ekstraksinya, dengan mengkombinasikan metode distilasi dan ekstraksi dengan pelarut dalam suatu rangkaian alat yang prosesnya berjalan secara simultan. Satu labu diisi dengan bahan yang telah dicampur dengan air dan salah satu labu lainnya berisi pelarut organik. Masing-masing labu dipanaskan sesuai dengan kondisi titik didihnya dan uapnya bertemu pada bagian tengah alat Likens-Nickerson. Metode ekstraksi ini tidak cocok digunakan untuk mengekstrak komponen-komponen volatil yang tidak tahan panas tinggi (termolabil) sehingga dapat menyebabkan kerusakan ataupun kehilangan komponen flavor (off-flavor) bahkan dapat saja terjadi kemungkinan terbentuk komponen volatil baru hasil dari reaksi senyawa-senyawa kimia yang disebabkan oleh degradasi suhu.
3.3 FRAKSINASI Fraksinasi merupakan proses pemisahan komponen berdasarkan perbedaan sifat tertentu dari suatu komponen penyusun senyawa atau campuran. Fraksinasi biasanya didasarkan oleh perbedaan ukuran partikel, kepolaran, berat molekul, titik didih, dan perbedaan muatan listrik atau medan magnet. Menurut Morris dan Morris (1976), metode pemisahan yang paling sederhana adalah filtrasi atau penyaringan. Menurut Morris dan Morris (1976), metode alir dapat digunakan untuk memisahkan dan mengetahui kandungan molekul-molekul organik. Efisiensi pemisahan metode alir tergantung pada gaya yang menghambat dan mendorong, serta sifat zat yang akan dipisahkan. Morris dan Morris (1976) mengklasifikasikan metode pemisahan kromatografi berdasarkan
gaya-gaya antar fase yang bekerja, yaitu berdasarkan penyerapan (adsorpsi), pertukaran ion, partisi, dan penyaringan (Tabel 5). Tabel 5. Klasifikasi metode pemisahan Gaya Gaya Metode pendorong penghambat pemisahan (F1) (F2)
Gaya penentu pemisahan
Jenis pemisahan
Kromatografi a. adsorpsi
Hidrodinamik
Energi
F2
Polar
F2
Ionik, dimensi
permukaan Gaya Van der Walls b. penukaran,
Hidrodinamik
Elektrostatik
pengeluaran
Polarisabilitas
ion
Penyaring
molekuler
molekul c. partisi
Hidrodinamik
Difusi, interaksi
F2
Polar
F2
Dimensi
dipole, pengaruh asosiasi dan disosiasi d. penyaring
Hidrodinamik
Osmotik
molekuler e. elektroforesis
Gravitasi
Friksi molekuler
F1
Ionik
Elektrokinetik Elektrostatik Sumber : Morris dan Morris (1976)
Metode pemisahan dengan kromatografi dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas, HPLC, dan kromatografi gas. Kromatografi gas mempunyai kelebihan dibandingkan dengan metode kromatografi lainnya, yaitu dapat memisahkan komponen dalam waktu lebih singkat, daya pemisahan yang lebih tinggi, dapat menganalisis secara kualitatif dan kuantitatif komponen, dan mempunyai kepekaan analisis yang paling tinggi (McNair dan Bonelli 1988). Teranishi et al. (1971) menyatakan bahwa pemisahan komponen dengan kromatografi gas lebih sempurna dengan menggunakan kolom kapiler dan suhu yang terprogram. Analisis yang dapat dilakukan dengan metode kromatografi gas adalah analisis kualitatif dan kuantitatif (McNair dan Bonelli 1988, Fardiaz 1989). Analisis kualitatif digunakan untuk menentukan ada tidaknya suatu komponen, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk
menghitung jumlah atau besarnya suatu komponen yang terkandung di dalam suatu senyawa atau bahan tertentu.
3.3.1 Analisis Kualitatif Fardiaz (1989) dan McNair dan Bonelli (1988) menyatakan bahwa analisis kualitatif yang paling sederhana ditentukan berdasarkan data waktu retensi atau volume retensi, yaitu dengan membandingkan data waktu retensi komponen contoh dengan data waktu retensi standar.
3.3.2 Analisis Kuantitatif Prinsip analisis kuantitatif adalah besarnya puncak kromatogram berbanding lurus dengan jumlah yang terdapat dalam suatu cuplikan yang diinjeksikan (Fardiaz 1989). Analisis kuantitatif dapat ditentukan berdasarkan tinggi puncak, kalibrasi mutlak, dan dengan cara standar internal (McNair dan Bonelli 1988). Fardiaz (1989) menyatakan bahwa pengukuran tinggi puncak merupakan analisis kuantitatif yang paling sederhana, tetapi relatif paling lemah sebagai dasar perhitungan kuantitatif karena tergantung pada kondisi operasional, reproduksibilitas penyuntikan, dan banyaknya contoh yang diinjeksikan. Analisis kuantitatif yang dihitung berdasarkan luas puncak harus dikoreksi dengan faktor koreksi dari tanggapan detektor terhadap setiap komponen yang dianalisis (McNair dan Bonelli 1988, Fardiaz 1989). Kalibrasi mutlak merupakan analisis kuantitatif dengan menggunakan kurva standar komponen murni, analisis ini membutuhkan banyak komponen standar, tanggapan detektor cukup berpengaruh, dan cara perhitungan yang cukup rumit. McNair dan Bonelli (1988) menyatakan bahwa analisis kuantitatif yang didasarkan pada standar internal lebih sederhana. Standar internal yang digunakan mempunyai sifatsifat, yaitu terpisah dari komponen contoh, terelusi dekat dengan komponen yang dianalisis, mendekati konsentrasi yang dianalisis, dan mempunyai struktur yang mirip dengan komponen yang dianalisis. Campen, isoamil alkohol, dan benzil alkohol merupakan komponen beraroma yang dapat digunakan sebagai standar internal pada analisis komponen volatil, disebabkan ketiga komponen tersebut tidak terdapat pada bawang putih. Ceci et al. (1991) melaporkan bahwa isoamil alkohol dapat digunakan sebagai standar internal pada analisis komponen volatil bawang putih, sedangkan benzil alkohol telah digunakan pada analisis bawang merah dan bawang putih (Block 1992).
3.4 UJI SENSORI Prosedur uji sensori merupakan salah satu bagian yang penting dalam penelitian flavor. Uji sensori bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan aroma karena reaksi kimia atau proses fisik di dalam bahan selama proses ekstraksi ataupun selama penyimpanan bahan dan untuk menentukan relevansi serta korelasi antara komponen kimia dengan flavor yang dihasilkan (Acree 1993). Pada uji sensori diperlukan beberapa panelis, baik panelis terlatih (berpengalaman) maupun tidak terlatih, tergantung jenis dan tujuan uji sensori tersebut. Menurut Larmond (1975), tidak ada ketentuan yang pasti mengenai jumlah panelis yang digunakan, akan tetapi semakin
banyak jumlah panelis maka hasil uji organoleptik tersebut semakin baik pula karena variasi data antar individu semakin kecil. Akan tetapi, penggunaan panelis semi terlatih maupun panelis terlatih jauh lebih efisien, baik dari segi keakuratan data maupun waktu. Sebelum dilakukan uji sensori, para calon panelis terlatih atau semi terlatih diseleksi dan dilatih terlebih dahulu karena setiap individu berbeda sensitifitas, keinginan, serta kemampuannya sehingga akan diperoleh jumlah panelis yang sedikit tetapi dapat diandalkan (Amerine et al. 1965). Jenis uji sensori yang umumnya digunakan di dalam penelitian flavor, meliputi uji pembedaan, uji skalar maupun uji penerimaan (Soekarto 1985). Uji-uji ini berguna dalam menganalisis berbagai macam perlakuan dan modifikasi proses.
3.5 KACANG SALUT Kacang salut atau dikenal dengan istilah katom adalah kacang tanah yang dibalut dengan adonan tapioka kemudian digoreng sampai kering dan garing (Tarwiyah dan Kemal 2001). Citarasa kacang salut berasal dari bumbu-bumbu yang digunakan, antara lain bawang putih, garam, dan gula. Bumbu-bumbu tersebut dimasukkan pada saat pembuatan larutan bumbu. Larutan bumbu terdiri atas campuran air, tepung, dan bumbu-bumbu. Larutan bumbu dipanaskan sampai mengental sebelum digunakan sebagai lem perekat dalam proses penyalutan. Pada kacang salut, citarasa yang mendominasi berasal dari bawang putih. Intensitas rasa dan aroma bawang putih pada kacang salut yang diproduksi oleh PT. Garudafood tidak selalu konsisten. Oleh karena itu, bawang putih akan dianalisis komponen volatilnya secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan metode ekstraksi yang sesuai dan fraksinasi dengan kromatografi gas.
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 BAHAN DAN ALAT 4.1.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi bawang putih yang terdiri atas varietas Kating dan Shantung (asal Cina), yang didatangkan dari pabrik kacang salut PT. Garudafood di Pati; dialil monosulfida dan dialil disulfida (standar eksternal); benzil alkohol (standar internal); dietil eter (pelarut organik); dan natrium sulfat anhidrat.
4.1.2 Alat Alat yang dipakai adalah GC (Gas Chromatography), alat ekstraksi-distilasi LikensNickerson, alat ekstraksi maserasi, alat penghancur bawang putih, pisau, neraca analitik, dan alat-alat gelas lainnya.
4.2 METODE PENELITIAN 4.2.1 Penelitian Pendahuluan 4.2.1.1 Pembuatan Kacang Salut Tahap penelitian pendahuluan diawali dengan mempelajari dan latihan pembuatan kacang salut pada skala laboratorium. Diagram alir proses pembuatan kacang salut dapat dilihat pada Gambar 4. Proses pembuatan kacang salut diawali dengan penimbangan bahan baku, seperti tepung tapioka dan bumbu-bumbu termasuk bawang putih di dalamnya. Proses selanjutnya adalah penyortiran kacang tanah. Setelah sortir, kacang tanah dimasukkan ke dalam coating pan untuk proses penyalutan menggunakan tepung tapioka dan larutan berbumbu (sebagai lem perekat tepung tapioka pada kacang tanah). Setelah dilakukan penyalutan, kacang salut yang dihasilkan kemudian digoreng, ditiriskan, dan dikemas. Kacang salut yang dihasilkan akan digunakan untuk analisis kimia dan penelitian utama. Pada penggunaan untuk analisis, kacang salut tidak digunakan secara utuh, tetapi digunakan lapisan kacang salutnya saja. Kacang tanah yang terdapat di dalam kacang salut tidak digunakan untuk analisis.
Kacang tanah
penyortiran
Tepung tabur
penyalutan
Larutan bumbu
Kacang yang sudah tersalut
penggorengan
Kacang salut
pengemasan Gambar 4. Diagram alir pembuatan kacang salut
4.2.1.2 Analisis Kimia 4.2.1.2.1 Kadar Air Metode Distilasi (SNI 01-3181-1992 yang dimodifikasi) Analisis kadar air metode distilasi dilakukan pada sampel bawang putih (Kating dan Shantung). Bawang putih merupakan bahan pangan dengan kadar air tinggi dan mengandung komponen volatil yang mudah menguap. Proses penentuan kadar air tidak dapat ditentukan dengan metode oven, karena dikhawatirkan komponen volatilnya ikut menguap bersama-sama dengan air dan mengakibatkan kesalahan perhitungan. Kadar air diukur dengan metode distilasi azeotropik dengan menggunakan labu Bidwell-Sterling. Bawang putih (Kating atau Shantung) sebanyak 3 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer kering dan ditambah 60 ml toluena. Kemudian dipanaskan pada pemanas listrik dan direfluks dengan suhu rendah (skala hot plate 45) selama 45 menit, lalu dinaikkan suhunya sampai skala 8 selama 1 jam. Pengukuran kadar air dilakukan dengan tiga ulangan pada masing-masing sampel. Kadar air metode distilasi azeotropik dapat dihitung dengan persamaan (1.1).
Kadar air (%) =
Vs x FD x 100% Ws
(1.1)
dimana : Ws = berat contoh (g) Vs = volume air yang terdestilasi dari contoh (ml) FD = faktor destilasi (g/ml) Faktor destilasi (FD) dapat dihitung dengan persamaan (1.2). FD =
W V
(1.2)
dimana : W = berat air yang akan didestilasi (g) V = volume air yang terdestilasi (ml)
4.2.1.2.2 Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) Analisis kadar air metode oven dilakukan pada sampel lapisan katom (Kating dan Shantung). Lapisan katom merupakan bahan pangan yang kering dan tidak mudah menguap sehingga memerlukan pengeringan untuk pengukuran kadar airnya. Metode pengukuran yang digunakan berdasarkan proses pengeringan bahan dalam oven. Sampel yang berupa lapisan katom (Kating atau Shantung) ditimbang sebanyak 5 g dalam cawan. Cawan untuk wadah sebelumnya dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator. Cawan dan sampel dikeringkan dalam oven dengan suhu 105C selama 3 jam. Kemudian didinginkan di dalam desikator dan lakukan penimbangan bobot akhir bahan hingga bobotnya tetap. Pengukuran kadar air dilakukan dengan tiga ulangan pada masing-masing sampel. Kadar air metode oven dapat dihitung dengan persamaan (2.1) dan (2.2). Kadar air (% bb) =
W (W1 W2 ) x 100 W
(2.1)
Kadar air (% bk) =
W (W1 W2 ) x 100 W1 W2
(2.2)
dimana : W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g) W2 = bobot cawan kosong (g)
4.2.1.2.3 Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992) Analisis kadar lemak dilakukan untuk mengetahui kandungan lemak dari masing-masing sampel. Sampel yang digunakan adalah bawang putih (Kating dan Shantung) dan lapisan
katom (Kating dan Shantung). Metode yang digunakan adalah metode soxhlet. Analisis kadar lemak dengan metode soxhlet menggunakan alat ekstraksi yang terdiri atas kondensor dan pemanas listrik untuk mengekstrak kandungan lemak yang terdapat dalam bahan. Untuk sampel bawang putih dilakukan metode hidrolisis karena mengandung kadar air yang besar. Hidrolisis ini bertujuan mempermudah mengekstrak lemak yang terikat dalam matriksmatriks sampel. Sampel yang telah dihaluskan, ditimbang sebanyak 1-2 g, dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas yang berisi contoh tersebut disumbat dengan kapas pada kedua ujungnya. Sebelum disuling, selongsong tersebut dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80°C selama kurang lebih 1 jam. Setelah dioven, sampel tersebut dimasukkan ke dalam alat penyulingan soxhlet yang telah dirangkai dengan labu lemak berisi labu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Sampel tersebut diekstrak dengan pelarut heksan selama kurang lebih 6 jam. Setelah selesai di suling selama 6 jam, heksan disulingkan dan ekstrak lemak dikeringkan di dalam oven pengering pada suhu 105°C. Selesai di oven, ekstrak tersebut didinginkan di dalam desikator dan ditimbang bobotnya. Pengeringan ini diulangi terus hingga tercapai bobot yang relatif tetap. Pengukuran kadar lemak dilakukan dengan tiga ulangan. Kadar lemak dapat dihitung dengan persamaan (3.1) dan (3.2). Kadar lemak (% bb) =
W1 W 2 x 100 W0
(3.1)
Kadar lemak (% bk) =
kadar lemak (bb ) x 100 (100 kadar air (bb ))
(3.2)
dimana:
W0 = Bobot contoh dalam gram (g) W1 = Bobot labu + lemak hasil ekstraksi (g) W2 = Bobot labu lemak kosong (g)
4.2.1.2.4 Kadar Protein Metode Kjeldahl (AOAC 960.52 yang dimodifikasi) Analisis kadar protein dilakukan untuk mengetahui kandungan protein yang terdapat pada masing-masing sampel. Sampel yang digunakan adalah bawang putih (Kating dan Shantung) dan lapisan katom (Kating dan Shantung). Metode penetapan kadar protein kasar menggunakan metode Kjeldahl. Metode ini umum digunakan untuk mengetahui kadar protein dalam bahan pangan. Pengukuran protein dengan metode Kjeldahl didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total yang ada dalam sampel. Metode ini menggunakan labu Kjeldahl berukuran 30 ml.
Contoh uji ditimbang sebanyak (100-250 mg) ke dalam labu Kjeldahl dan ditambah 1.0 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2 ± 0.1 ml H2SO4. Kemudian larutan tersebut ditambahkan 2-3 butir batu didih dan dididihkan selama 1.5 jam dengan kenaikan suhu secara bertahap sampai cairan menjadi jernih kehijau-hijauan, lalu didinginkan. Sampel yang telah dingin diencerkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditepatkan sampai tanda garis. Larutan dipipet 5 ml dan dimasukkan ke dalam alat penyuling, kemudian ditambahkan 5 ml NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP, disuling selama kurang lebih 10 menit, sebagai penampung digunakan 10 ml larutan asam borat 2% yang telah dicampur indikator. Ujung pendingin dibilas dengan air suling dan dititar dengan larutan HCl 0,01 N. Blanko dibuat dengan mengganti sampel dengan air. Contoh uji dalam pengukuran ini masing-masing dibuat tiga ulangan. Kadar protein dapat dihitung dengan persamaan (4.1) dan (4.2). %N=
( ml HCl contoh ml HCl blanko ) x NHCl x 14,007 mg contoh
Kadar protein (% bb) = % N x Faktor konversi Kadar protein (% bk) =
kadar protein (bb ) x 100 (100 kadar air (bb ))
(4.1) (4.2)
4.2.1.3 Kondisi Kromatografi Gas Tahap ini bertujuan mencari kondisi kromatografi gas yang dapat memfraksinasi komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih secara baik berdasarkan bentuk dan garis dasar puncak kromatogram. Penentuan kondisi ini dilakukan dengan mencari program operasi kromatografi gas yang sesuai menggunakan beberapa standar, yaitu benzyl alcohol (standar internal), dialil monosulfida dan dialil disulfida (standar eksternal), dan diethyl ether (pelarut). Kondisi operasi kromatografi gas yang didapatkan, nantinya akan digunakan pada tahap penentuan metode ekstraksi dan penelitian utama.
4.2.1.4 Penentuan Metode Ekstraksi Tahap ini bertujuan mendapatkan metode ekstraksi terbaik yang digunakan untuk mengekstrak komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih. Sampel yang digunakan adalah bawang putih varietas Kating dan Shantung. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode Maserasi dan Likens-Nickerson. Kedua metode tersebut biasa digunakan dalam mengekstrak komponen flavor dalam bahan pangan. Pada tahap ini digunakan pelarut yang sama untuk masing-masing metode ekstraksi, agar hasil ekstraksi dapat dibandingkan secara sensori dan statistik. Pelarut yang digunakan adalah dietil eter.
Uji sensori dilakukan terhadap aroma distilat dari masing-masing varietas bawang putih yang diekstrak, menggunakan uji pembedaan (difference from control), yaitu dengan memberikan penilaian terhadap aroma masingmasing distilat setelah dibandingkan dengan kontrol. Skala yang digunakan dalam melakukan penilaian adalah skala numerik (enam skala), yaitu 1 = aroma bukan bawang putih (menyimpang), 2 = aroma bawang putih sangat kurang kemiripannya, 3 = aroma bawang putih kurang kemiripannya, 4 = aroma bawang putih cukup mirip, 5 = aroma bawang putih mirip, dan 6 = aroma bawang putih mirip sekali (Kumara 1998). Hasil uji sensori ini dianalisis secara statistik. Selain dengan uji pembedaan (difference from control), penentuan juga dilakukan dengan melihat rendemen hasil ekstraksi dan hasil injeksi kromatografi gas.
4.2.1.4.1 Metode Maserasi (Perendaman) Prosedur kerja metode ini, yaitu bawang putih yang telah dikupas kulit luarnya, dihancurkan dengan alat penghancur manual dalam waktu sesingkat mungkin, kemudian sebanyak 50 g hasil tersebut direndam menggunakan pelarut dietil eter dengan rasio (1:1) (Kumara 1998), selanjutnya distirer selama 15 menit dan disimpan semalam pada suhu refrigerasi. Campuran tersebut dipisahkan dengan kertas saring dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat ke dalam ekstrak solven sebanyak dua sudip agar terbebas dari air, kemudian dipekatkan dengan menghembuskan gas N2. Rangkaian alat hembus N2 dapat dilihat pada Gambar 5. Distilat yang diperoleh siap digunakan untuk analisis selanjutnya.
Gambar 5. Rangkaian alat hembus gas N2 untuk pemekatan hasil ekstraksi
4.2.1.4.2 Metode Likens-Nickerson Metode Likens-Nickerson merupakan gabungan distilasi dan ekstraksi dengan pelarut secara simultan dengan menggunakan alat Likens-Nickerson (Gambar 6). Bawang putih yang telah dikupas kulit luarnya sebanyak 50 g, dihancurkan secara manual dalam waktu singkat, kemudian dimasukkan ke dalam labu A dan ditambahkan aquades sebanyak 200 ml serta MgSO4 anhidrat sebanyak 40 g (Widjaja et al. 1996). Selanjutnya pelarut dietil eter sebanyak 50 ml dimasukkan ke dalam labu B, kemudian masing-masing labu didihkan pada titik didihnya selama satu jam. Ekstrak solvent pada labu B ditambah dengan Na2SO4 anhidrat sebanyak dua sudip agar terbebas dari air, kemudian dipekatkan dengan menghembuskan gas N2. Distilat yang diperoleh siap digunakan untuk analisis selanjutnya.
Gambar 6. Sistematika kerja ekstraksi dengan metode distilasi Likens-Nickerson (Kurniawan 1994)
4.2.1.4.3 Rendemen Hasil Ekstraksi Pengukuran rendemen dilakukan terhadap ekstrak bawang putih. Rendemen dihitung setelah sampel diekstrak dengan dua metode yang berbeda, yaitu metode Maserasi dan Likens-Nickerson. Sampel yang digunakan adalah bawang putih varietas Kating dan Shantung. Perhitungan dilakukan dengan membandingkan bobot ekstrak (W akhir) terhadap bobot sampel awal (W awal). Rendemen hasil ekstraksi dapat dihitung dengan persamaan (5.0). Rendemen (%) =
W akhir ( g ) x 100 W awal ( g )
(5.0)
4.2.1.5 Kondisi Ekstraksi Tahap ini bertujuan mencari kondisi ekstraksi optimum dari metode ekstraksi yang terpilih pada tahap penentuan metode ekstraksi. Metode ekstraksi yang terpilih adalah metode Likens-Nickerson. Optimasi dilakukan pada kombinasi jumlah pelarut diethy ether sebanyak 80 ml dan lamanya waktu ekstraksi 2 jam (Kurniawan 1994).
4.2.2 Penelitian Utama Analisis kualitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida ditentukan berdasarkan waktu retensi standar eksternal kedua komponen tersebut (McNair dan Bonelli 1988). Sampel yang dianalisis adalah bawang putih (Kating dan Shantung) dan lapisan katom (Kating dan Shantung). Analisis kuantitatif ditentukan menggunakan standar internal. Standar internal dimasukkan ke dalam sampel yang dianalisis sehingga puncaknya akan terdapat pada kromatogram yang dihasilkan. Analisis kuantitatif komponen volatil aktif bawang putih dihitung berdasarkan standar internal, dengan persamaan (6.0) (Hunziker 1989). [X] =
( Luas area X ) x [SI] ( Luas area SI )
Keterangan: [X] = konsentrasi komponen “X” yang ingin diidentifikasi dari sampel (g/g sampel) X = komponen yang ingin diidentifikasi dari sampel SI = standar internal (benzyl alcohol)
(6.0)
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 PENELITIAN PENDAHULUAN 5.1.1 Pembuatan Kacang Salut Proses pembuatan kacang salut diawali dengan mempelajari formulasi standar yang biasa digunakan untuk pembuatan kacang salut, kemudian dilanjutkan dengan mempraktekkannya pada skala lab. Tahap pengaplikasian pada skala lab terdiri dari pemilihan kacang tanah, pembuatan larutan berbumbu (kanji), dan penyalutan sehingga terbentuk kacang salut yang diinginkan. Pemilihan kacang tanah dilakukan agar kacang tanah yang digunakan pada tahap penyalutan adalah kacang tanah yang memang masih bagus, belum terkelupas kulit luarnya (kulit pelindung), sehingga nantinya akan dihasilkan kacang salut yang bagus, baik dari segi bentuk lapisan maupun jumlahnya. Pembuatan larutan berbumbu (kanji) diawali dengan menimbang sejumlah bahan-bahan yang akan digunakan sebagai campuran pembuatan larutan berbumbu. Salah satu bahan yang digunakan untuk campuran pembuatan larutan berbumbu adalah bawang putih dalam bentuk halus. Penggunaan bawang putih disesuaikan jumlahnya dengan formulasi standar yang digunakan. Bawang putih ini nantinya akan berkontribusi terhadap flavor kacang salut yang dihasilkan. Proses pembuatan larutan berbumbu ini dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan yang sudah ditimbang, ditambah sejumlah air, dan dipanaskan hingga larutan menjadi kental. Tahap selanjutnya adalah proses penyalutan kacang tanah dengan larutan berbumbu yang telah dibuat sehingga diperoleh kacang salut yang diinginkan. Selain itu, diperlukan tepung tabur untuk melapisi kacang tanah yang telah dilumuri oleh larutan berbumbu. Proses penyalutan ini dilakukan dalam coating pan dan berlangsung sekitar 45 menit sampai semua larutan berbumbu dan tepung tabur habis. Kacang salut yang dihasilkan digoreng sampai matang pada suhu yang telah ditetapkan. Kacang salut yang dihasilkan nantinya akan digunakan lapisannya saja. Hasil ekstraksi lapisan kacang salut akan digunakan untuk analisis kromatografi gas di SEAMEO Biotrop.
5.1.2 Analisis Kimia 5.1.2.1 Kadar Air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa dari makanan. Bahkan dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung, serta biji-bijian terkandung air dalam jumlah tertentu (Winarno 1992). Bawang putih merupakan bahan pangan yang termasuk dalam anggota bawang-bawangan dengan kadar air tinggi dan mengandung komponen volatil yang mudah menguap. Proses penentuan kadar air tidak dapat ditentukan dengan
metode oven, karena dikhawatirkan komponen volatilnya ikut menguap bersama-sama dengan air dan mengakibatkan kesalahan perhitungan. Penentuan kadar air dari bahan-bahan yang kadar airnya tinggi dan mengandung senyawasenyawa yang mudah menguap (volatile), menggunakan cara destilasi dengan pelarut tertentu (Winarno 1992). Metode pengukuran kadar air bawang putih yang digunakan adalah metode distilasi azeotropik. Nilai rata-rata hasil analisis kadar air bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Kadar air bawang putih varietas Kating dan Shantung Pada Gambar 7, terlihat bahwa bawang putih merupakan bahan pangan yang tinggi kadar airnya. Menurut Syarief dan Halid (1992), kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berat kering dapat lebih dari 100 persen. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 1a, kadar air bawang putih varietas Kating berdeda dengan varietas Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar air bawang putih varietas Kating lebih kecil dibandingkan varietas Shantung seperti terlihat pada Gambar 7. Pengukuran kadar air dilakukan juga pada lapisan katom. Lapisan katom ini sebelumnya diformulasi dengan penambahan bawang putih dari masing-masing varietas. Metode pengukuran kadar air yang digunakan untuk lapisan katom ini adalah metode oven. Metode ini dipilih karena lapisan katom merupakan bahan pangan kering dan tidak mudah menguap sehingga dibutuhkan proses hidrolisis terlebih dahulu untuk mengukur kadar air di dalamnya. Hasil perhitungan analisis kadar air lapisan katom Kating dan Shantung dapat di lihat pada Gambar 8. Pengukuran nilai kadar air lapisan katom pada masing-masing sampel dilakukan dengan tiga kali ulangan. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 1b, kadar air lapisan katom Kating berdeda dengan lapisan katom Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar air lapisan katom Kating lebih besar dibandingkan lapisan katom Shantung seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kadar air lapisan katom Kating dan Shantung Nilai kadar air yang terdapat pada bawang putih tidak berpengaruh pada nilai kadar air lapisan katom. Pada bawang putih, nilai kadar air yang tertinggi terdapat pada bawang putih varietas Shantung sedangkan pada lapisan katom nilai kadar tertinggi pada varietas kating. Hal ini menunjukkan bahwa pada lapisan katom ada komponen-komponen lain yang menentukan nilai kadar air selain bawang putih.
5.1.2.2 Kadar Lemak Menurut Winarno (1992), kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah yang sebenarnya. Pengukuran kadar lemak pada bawang putih dilakukan dengan metode Soxhlet dengan menggunakan pelarut heksan. Analisis dilakukan tiga kali ulangan dan nilai kadar lemak dihitung berdasarkan nilai rata-rata kadar lemak dari tiga ulangan pada masing-masing sampel. Nilai kadar lemak bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 2a, kadar lemak bawang putih varietas Kating berdeda dengan varietas Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar lemak bawang putih varietas Kating lebih kecil dibandingkan varietas Shantung seperti terlihat pada Gambar 9. Kandungan lemak yang berbeda pada bahan pangan ditentukan oleh varietas, kondisi pertumbuhan, waktu panen, dan cara pengolahannya (Winarno dan Koswara 2002).
Gambar 9. Kadar lemak bawang putih varietas Kating dan Shantung Pengukuran kadar lemak dilakukan juga pada sampel lapisan katom dengan metode yang sama yaitu metode Soxhlet dengan pelarut heksan. Nilai kadar lemak lapisan katom Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Kadar lemak lapisan katom Kating dan Shantung Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 2b, kadar lemak lapisan katom Kating berdeda dengan lapisan katom Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar lemak lapisan katom Kating lebih besar dibandingkan lapisan katom Shantung seperti terlihat pada Gambar 10. Kandungan lemak yang terdapat di dalam lapisan katom tidak sepenuhnya berasal dari bawang putih, masih ada bahan-bahan lain yang berkontribusi menghasilkan lemak dalam formulasi pembuatan adonan lapisan katom. Kandungan lemak bawang putih yang sedikit tidak terlalu memberikan pengaruh terhadap kandungan lemak yang terdapat di dalam lapisan katom.
5.1.2.3 Kadar Protein Pengukuran kadar protein pada bawang putih dilakukan dengan metode Kjeldahl. Analisis protein dilakukan tiga kali ulangan dari masing-masing sampel. Perhitungan kadar protein didapatkan dari rata-rata tiga ulangan pada masing-masing sampel. Nilai kadar protein pada bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Kadar protein bawang putih varietas Kating dan Shantung Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 3a, kadar protein bawang putih varietas Kating berdeda dengan varietas Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Faktor yang menentukan perbedaan kandungan protein dari masing-masing bahan adalah varietas, pengaruh kondisi pertumbuhan, waktu panen, dan cara pengolahannya (Winarno dan Koswara 2002).
Gambar 12. Kadar protein lapisan katom Kating dan Shantung
Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 3b, kadar protein lapisan katom Kating berdeda dengan lapisan katom Shantung pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Kadar protein lapisan katom Kating lebih besar dibandingkan lapisan katom Shantung seperti terlihat pada Gambar 12.
5.1.3 Kondisi Kromatografi Gas Kromatogafi gas digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif komponenkomponen volatil. Oleh karena itu dibutuhkan optimasi atau pencarian kondisi operasi yang tepat untuk memisahkan komponen-komponen volatil dengan baik, berdasarkan bentuk dan garis dasar puncak kromatogram. Tahap ini bertujuan mencari kondisi kromatogafi gas yang dapat memisahkan masing-masing komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih dengan baik, yaitu dengan cara mencari program operasi kromatogafi gas yang tepat. Untuk mendapatkan program operasi kromatogafi gas yang tepat, dilakukan dengan menginjeksikan standar internal dan eksternal ke dalam kolom kromatogafi gas. Hal ini bertujuan melihat kemampuan kolom dalam melakukan fraksinasi terhadap standar-standar tersebut, terutama standar eksternal. Apabila saat diinjeksikan, standar internal dan eksternal tersebut dapat terfraksinasi dengan baik, berarti kolom tersebut cocok untuk memfraksinasi standar-standar tersebut dan kondisi operasi yang digunakan telah sesuai. Beberapa standar yang digunakan adalah benzyl alcohol (standar internal), dialil monosulfida dan dialil disulfida (standar eksternal), serta diethyl ether (pelarut). Pada Lampiran 4 dapat dilihat kromatogram hasil injeksi pelarut diethyl ether sebesar 0.1 µl. Injeksi ini dilakukan dengan volume yang kecil sebab diethyl ether yang digunakan memiliki kemurnian yang tinggi. Penginjeksian dengan volume yang besar dikhawatirkan akan menghasilkan puncak yang terlalu tinggi sehingga sulit tergambar. Puncak yang terbentuk pada kromatogram yang dihasilkan cukup baik dengan retention time sebesar 2.1 menit dan luas area sebesar 2,788,922. Pada kromatogram ini, terlihat tidak terdapat pengotor dari senyawa lain. Ini menunjukkan bahwa pelarut diethyl ether tersebut masih dalam keadaan baik sebab tidak tercemar oleh senyawa lain. Kemurnian diethyl ether yang terdeteksi pada kromatogram yang dihasilkan sangat tinggi mencapai 100%. Hasil ini menunjukkan bahwa pelarut diethyl ether tersebut layak digunakan dalam penelitian ini. Hasil kromatogram standar internal benzyl alcohol dapat dilihat pada Lampiran 5. Konsentrasi benzyl alcohol yang digunakan sebesar 2% dengan menggunakan pelarut diethyl ether. Standar internal ini diinjeksikan pada kolom kromatogafi gas dengan volume injeksi sebesar 2 µl. Hal ini merupakan volume trial and error yang digunakan untuk melihat kemampuan kolom dalam memfraksinasi standar internal. Puncak yang terbentuk pada kromatogram yang dihasilkan memiliki retention time yang cukup baik yaitu sebesar 26.853 menit, tetapi memiliki luas area yang kurang optimal yaitu sebesar 170,279. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan memperbesar volume injeksi dari sebelumnya yaitu sebesar 5 µl. Untuk optimasi penginjeksian standar internal digunakan volume injeksi 5 µl, sebab jika digunakan volume lebih besar dikhawatirkan akan menghasilkan puncak yang terlalu tinggi dan luas area yang terlalu besar. Kromatogram hasil optimasi volume injeksi standar internal (benzyl alcohol 2%) sebesar 5 µl dapat dilihat pada Lampiran 6. Puncak yang terbentuk pada kromatogram cukup baik. Pada kromatogram tersebut terlihat bahwa puncak dari benzyl alcohol muncul
dengan retention time sebesar 26.028 menit dan luas area sebesar 485,194. Data ini selanjutnya akan digunakan untuk analisis kuantitatif pada penelitian utama. Hasil penginjeksian standar eksternal (dialil monosulfida dan dialil disulfida) dapat dilihat pada Lampiran 7, 8, dan 9. Pada Lampiran 7 dapat dilihat kromatogram hasil injeksi standar eksternal dialil monosulfida. Standar ini diinjeksikan sebesar 0.1 µl pada kolom kromatogafi gas. Terlihat bahwa kromatogram yang dihasilkan menghasilkan puncak yang baik dengan kemurnian yang sangat tinggi sebesar 99.08%. Puncak dari standar ini memiliki retention time sebesar 12.967 menit dan luas area sebesar 540,926. Lampiran 8 memperlihatkan kromatogram hasil injeksi standar eksternal dialil disulfida. Sama seperti standar dialil monosulfida, standar ini juga diinjeksikan sebesar 0.1 µl pada kolom kromatogafi gas. Puncak yang terbentuk cukup baik dengan kemurnian yang tinggi sebesar 79.45%. Puncak dari standar ini memiliki retention time sebesar 30.017 menit dan luas area sebesar 427,076. Lampiran 9 memperlihatkan kromatogram hasil injeksi standar campuran dari tiga komponen yaitu dialil monosulfida, dialil disulfida, dan benzyl alcohol 2%. Puncakpuncak yang dihasilkan cukup baik dan memiliki retention time secara berurutan, yaitu 12.933 menit (dialil monosulfida), 26.933 menit (benzyl alcohol), dan 30.025 menit (dialil disulfida). Terlihat retention time dari benzyl alcohol berada di antara retention time kedua standar eksternal dan terpisah dengan baik. Ini memperlihatkan bahwa benzyl alcohol cukup baik digunakan sebagai standar internal dalam fraksinasi komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Retention time dari ketiga komponen standar campuran tersebut akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan retention time pada analisis kualitatif dari kromatogram sampel. Penginjeksian standar-standar di atas dilakukan pada kromatogafi gas dengan kondisi operasi seperti yang tertera pada Tabel 6. Kondisi operasi ini merupakan kondisi yang sudah dioptimasi dan telah sesuai untuk menganalisis komponen-komponen volatil pembentuk flavor pada sampel bawang putih dengan dua varietas yang berbeda yaitu Shantung dan Kating. Kromatogafi gas yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 13. Pada dasarnya suatu kromatogafi gas terdiri dari enam komponen utama, yaitu (1) sistem gas pengembang (carrier gas) termasuk tangki penyuplai gas serta pengatur dan alirannya, (2) sistem penyuntikan sampel, (3) kolom pemisah, (4) sistem pendeteksian (detector), (5) elektrometer dan sistem pencatat (recorder), dan (6) unit termostat untuk mengatur suhu oven (Fardiaz 1989).
Tabel 6. Kondisi operasi kromatogafi gas untuk analisis komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih Kondisi GC Keterangan Capillary column, RTX-5 (5% diphenyl/95% dimethyl
Column
polysiloxane), ø 0.53 mm
Detector
FID
Carrier gas
Nitrogen
Initial temp
40°C
Initial time
1 min
Program rate
2°C/min
Final temp
160°C
Final time
1 min
Injector temp
225°C
Detector temp
225°C
Gambar 13. Kromatogafi gas (SHIMADZU, GC 14 B)
5.1.4 Penentuan Metode Ekstraksi Metode ekstraksi yang digunakan pada tahap ini yaitu metode ekstraksi Maserasi (perendaman) dan metode ekstraksi-distilasi Likens-Nickerson. Kedua metode tersebut berbeda dalam penggunaan suhu pada proses ekstraksinya. Tujuannya adalah mendapatkan metode ekstraksi terbaik yang digunakan untuk mengekstraksi komponen volatil pembentuk flavor yaitu dialil sulfida dan dialil disulfida. Tahap ini merupakan tahap penyeleksian metode ekstraksi yang nantinya akan digunakan pada penelitian utama. Penentuan metode ekstraksi ini dilakukan melalui tiga cara. Pertama dengan uji pembedaan (difference from control test), sampel yang diuji adalah aroma distilat dibandingkan dengan aroma bawang putih segar sebagai kontrol, kedua dengan
perbandingan rendemen hasil ekstraksi dari dua metode ekstraksi tersebut, dan ketiga dengan perbandingan kromatogram hasil injeksi GC (gas chromatogaphy). Uji pembedaan (difference from control test) dilakukan terhadap 10 panelis terlatih yang ada di PT. Garudafood Putra Putri Jaya. Para panelis menilai aroma distilat dari bawang putih yang telah diekstrak dengan dua metode (Maserasi dan LikensNickerson). Uji pembedaan ini menggunakan nilai tingkatan enam skor penilaian, dilakukan dengan membandingkan aroma distilat dari masing-masing varietas (Kating dan Shantung) terhadap kontrol. Kontrol yang digunakan adalah bawang putih segar dari masing-masing varietas yang telah dihaluskan. Nilai rata-rata skor penilaian hasil uji pembedaan (difference from control) dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Skor penilaian aroma distilat bawang putih varietas Kating dan Shantung Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 10a menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Kating ada yang berdeda dengan kontrol karena nilai Sig. sampel (0.000) < α (0.05). Kemudian dilakukan uji lanjut Dunnett untuk mengetahui sampel mana yang berbeda dengan kontrol. Berdasarkan uji lanjut Dunnett dapat diketahui bahwa aroma distilat bawang putih varietas Kating yang diekstrak dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson berbeda dengan kontrol. Dari hasil uji Dunnett terlihat bahwa perbedaan nilai rata-rata bawang putih varietas Kating yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih kecil dibandingkan metode Maserasi terhadap kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Kating yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih mirip dengan kontrol dibandingkan yang diekstrak dengan metode Maserasi. Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 10b menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Shantung ada yang berdeda dengan kontrol karena nilai Sig. sampel (0.001) < α (0.05). Kemudian dilakukan uji lanjut Dunnett untuk mengetahui sampel mana yang berbeda dengan kontrol. Berdasarkan uji lanjut Dunnett dapat diketahui bahwa aroma distilat bawang putih varietas Shantung yang diekstrak dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson berbeda dengan kontrol. Dari hasil uji Dunnett terlihat bahwa perbedaan nilai rata-rata bawang putih varietas Shantung yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih kecil dibandingkan metode Maserasi terhadap
kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa aroma distilat bawang putih varietas Shantung yang diekstrak dengan metode Likens-Nickerson lebih mirip dengan kontrol dibandingkan yang diekstrak dengan metode Maserasi. Selain menggunakan uji pembedaan (difference from control), penentuan metode ekstraksi terbaik juga ditentukan dengan membandingkan besarnya nilai rendemen hasil ekstraksi. Rendemen hasil ekstraksi dihitung berdasarkan bobot sampel setelah diekstrak dibandingkan dengan bobot sampel awal. Nilai rendemen hasil ekstraksi menggunakan dua metode ekstraksi (Maserasi dan L-N) pada sampel bawang putih varietas Kating dan Shantung dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 11a, rendemen bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Maserasi berdeda dengan metode Likens-Nickerson pada taraf signifikansi 5% karena nilai P < 0.05. Rendemen bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Maserasi lebih besar dibandingkan metode Likens-Nickerson. Ini menunjukkan bahwa jumlah komponen yang terekstrak dengan menggunakan metode Maserasi lebih banyak daripada metode LikensNickerson. Berdasarkan hasil uji t (independent samples) pada Lampiran 11b, rendemen bawang putih varietas Shantung yang diekstraksi dengan metode Maserasi tidak berbeda dengan metode Likens-Nickerson pada taraf signifikansi 5% karena nilai P > 0.05.
Gambar 15. Rendemen hasil ekstraksi bawang putih var. Kating dan Shantung (per 50 g bawang putih segar) Hasil yang didapatkan pada pemilihan metode ekstraksi terbaik berbeda antara uji pembedaan (difference from control) dan analisis rendemen. Berdasarkan uji pembedaan (difference from control), metode ekstraksi terbaik adalah metode LikensNickerson, sedangkan berdasarkan analisis rendemen adalah metode Maserasi. Untuk menentukan metode yang paling tepat digunakan untuk ekstraksi bawang putih varietas Kating dan Shantung diperlukan analisis kromatogafi gas. Hasil injeksi kromatogasi gas dari bawang putih varietas Kating dan Shantung dengan menggunakan dua metode ekstraksi (Maserasi dan Likens-Nickerson) dapat dilihat pada Lampiran 12(a,b), 13(a,b), 14(a,b), dan 15(a,b). Dari hasil injeksi ini, akan
dilihat kromatogram yang didapat untuk menentukan metode ekstraksi yang lebih baik dalam mengekstrak bawang putih dari dua jenis varietas (Kating dan Shantung). Pada Lampiran 12(a,b), dapat dilihat hasil kromatogram bawang putih varietas Shantung yang diekstraksi dengan metode Likens-Nickerson menggunakan pelarut diethyl ether sebanyak 50 ml. Pada kromatogram ini, teridentifikasi adanya puncak-puncak yang menunjukan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida secara kualitatif. Penentuan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida yang terdapat pada sampel, secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan standar eksternal. Pada penelitian ini, tidak digunakan dialil trisulfida sebagai standar eksternal sebab sulit diperoleh dari supplier. Oleh karena itu diputuskan hanya menggunakan dua standar eksternal, yaitu dialil monosulfida dan dialil disulfida. Dialil trisufida juga merupakan salah satu komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih, tetapi persentasenya paling kecil pada bawang putih jika dibandingkan dua komponen lainnya (dialil monosulfida dan dialil disulfida), seperti terlihat pada Gambar 3. Secara kuantitatif, dialil monosulfida dan dialil disulfida yang terdapat pada sampel ditentukan dengan menggunakan standar internal benzyl alcohol yang diinjeksikan bersama sampel. Konsentrasi benzyl alcohol yang digunakan sebesar 2% (Kurniawan 1994). Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida dapat dilihat pada Tabel 7. Pada Tabel 7 terlihat bahwa jumlah komponen dialil disulfida lebih besar jumlahnya dibandingkan komponen dialil monosulfida. Hasil ini sesuai dengan diagram alir pada Gambar 3, dimana persentase jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dari dialil monosulfida (Block 1992). Tabel 7. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dengan metode Likens-Nickerson Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel (ppm) (ppm) Bawang putih var. Shantung – L-N
0.413
69.796
Pada Lampiran 13(a,b), terlihat hasil kromatogram bawang putih varietas Shantung yang diekstraksi dengan metode Maserasi menggunakan pelarut diethyl ether sebanyak 50 ml. Secara kualitatif, tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen dialil monosulfida, sedangkan komponen dialil disulfida dapat teridentifikasi. Komponen dialil monosulfida tidak teridentifikasi pada kromatogram yang dihasilkan, sebab tidak muncul puncak dengan retention time yang berada pada kisaran retention time standar eksternal dialil monosulfida. Pada kromatogram ini, tidak dapat dihitung jumlah komponen dialil monosulfida secara kuantitatif. Hanya komponen dialil disulfida yang dapat dianalisis secara kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung yang ekstraksi dengan metode Maserasi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dengan metode Maserasi Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel (ppm) (ppm) Bawang putih var. Shantung – Maserasi
__
1.144
Jika dibandingkan hasil kromatogram pada Tabel 7 dan 8, terlihat bahwa metode Likens-Nickerson lebih baik dibandingkan metode Maserasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, dengan metode Likens-Nickerson dapat teridentifikasi komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida dengan baik, sedangkan metode Maserasi tidak. Secara kuantitatif, metode Likens-Nickerson menghasilkan jumlah komponen dialil disulfida yang lebih besar dibandingkan metode Maserasi untuk sampel bawang putih varietas Shantung. Komponen dialil monosulfida tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif, sebab pada kromatogram dari metode Maserasi tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen tersebut. Pada Lampiran 14(a,b), terlihat hasil kromatogram bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Likens-Nickerson menggunakan pelarut diethyl ether sebanyak 50 ml. Secara kualitatif, teridentifikasi dengan baik puncak-puncak yang menunjukkan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Hasil analisis kuantitatif tertera pada Tabel 9. Terlihat bahwa jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dibandingkan dialil monosulfida. Tabel 9. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dengan metode Likens-Nickerson Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel (ppm) (ppm) Bawang putih var. Kating – L-N
1.719
52.541
Pada Lampiran 15(a,b), terlihat hasil kromatogram bawang putih varietas Kating yang diekstraksi dengan metode Maserasi menggunakan pelarut diethyl ether sebanyak 50 ml. Secara kualitatif, tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen dialil monosulfida, sedangkan komponen dialil disulfida dapat teridentifikasi. Pada kromatogram ini, tidak dapat dihitung jumlah komponen dialil monosulfida secara kuantitatif sebab komponen tersebut tidak teridentifikasi puncaknya. Hanya komponen dialil disulfida yang dapat dianalisis secara kuantitatif. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil disulfida dapat dilihat pada Tabel 10. Secara kualitatif dan kuantitatif, hasil yang didapatkan dengan menggunakan metode Maserasi memiliki kemiripan, yaitu tidak teridentifikasi komponen dialil monosulfida sehingga jumlahnya tidak dapat ditentukan.
Tabel 10. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dengan metode Maserasi Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel (ppm) (ppm) Bawang putih var. Kating – Maserasi
__
0.613
Jika dibandingkan hasil kromatogram pada Tabel 9 dan 10, terlihat metode ekstraksi Likens-Nickerson lebih baik dibandingkan metode ekstraksi Maserasi, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, metode Likens-Nickerson dapat mengidentifikasi komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida dengan baik, sedangkan metode Maserasi tidak. Secara kuantitatif, metode Likens-Nickerson menghasilkan jumlah komponen dialil disulfida yang lebih besar dibandingkan metode Maserasi untuk sampel bawang putih varietas Kating. Komponen dialil monosulfida tidak dapat dibandingkan secara kuantitatif sebab pada kromatogram dari metode Maserasi tidak teridentifikasi puncak yang menunjukkan komponen tersebut. Berdasarkan hasil perbandingan kromatogram di atas, terlihat bahwa metode ekstraksi Likens-Nickerson lebih baik dari metode ekstraksi Maserasi, baik untuk sampel bawang putih varietas Shantung maupun Kating. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap kromatogram yang dihasilkan. Kromatogram dari sampel yang diekstraksi dengan metode Likens-Nickerson menghasilkan puncak-puncak yang lebih baik secara kualitatif maupun kuantitatif dibandingkan metode Maserasi. Berdasarkan hasil uji pembedaan (difference from control) dan analisis kromatografi gas, terlihat bahwa metode Likens-Nickerson lebih baik dari metode Maserasi, baik pada bawang putih varietas Kating maupun Shantung. Sedangkan berdasarkan analisis rendemen, metode Maserasi lebih baik dari metode LikensNickerson. Analisis rendemen tidak sepenuhnya menggambarkan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih, sebab rendemen dipengaruhi oleh perbedaan varietas. Oleh karena itu, diputuskan bahwa metode Likens-Nickerson merupakan metode terpilih dan akan digunakan pada tahap ekstraksi selanjutnya. Menurut Block (1992), metode Likens-Nickerson merupakan metode ekstraksi yang lebih sederhana dan praktis daripada metode ekstraksi lainnya, ini disebabkan hasil ekstrak yang diperoleh berupa minyak distilat yang bebas dari senyawa organik seperti karbohidrat dan lilin. Selain itu, Block (1992) menyatakan bahwa komponen volatil aktif yang terdapat pada bentuk distilat adalah komponen sekunder yang merupakan hasil degradasi senyawa alisin.
5.1.5 Kondisi Ekstraksi Tahap ini bertujuan mencari kondisi ekstraksi optimum dari metode ekstraksi terbaik. Pada penelitian ini, kondisi ekstraksi dilakukan berdasarkan kandungan tiga komponen aktif pada bawang putih, yaitu dialil sulfida, dialil disulfida, dan dialil trisulfida. Ketiga komponen tersebut digunakan sebagai indikator karena merupakan komponen utama turunan alisin, penentu cita rasa, mempunyai aktivitas bioaktif, dan terdapat pada bawang putih segar dan olahannya (Morton dan MacLoad 1982).
Pada saat persiapan sampel, bobot bawang putih yang digunakan hanya 50 g. Hal ini digunakan untuk mempercepat waktu persiapan sampel. Selain itu, Kurniawan (1994) menyatakan bahwa dengan menggunakan jumlah sampel minimal sebanyak 50 g sudah dapat mendeteksi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada kromatogram. Berat bawang putih 50 g digunakan sebagai dasar ekstraksi pada penelitian selanjutnya dengan penambahan air sebanyak 200 ml (Kurniawan 1994). Penghancuran sampel bawang putih dilakukan dengan menggunakan alat penghancur secara manual. Alat penghancur sampel bawang putih ini dapat dilihat pada Gambar 16. Penghancuran bawang putih tidak menggunakan warring blender sebab sampel menjadi lengket dan menempel di bagian dalam warring blender sehingga sampel sulit diambil. Selain itu, penggunaaan warring blender dalam waktu cukup lama dapat memicu kenaikan suhu. Oleh karena itu digunakan alat penghancur manual untuk mengurangi kelemahan pada warring blender. Penghancuran bawang putih sebaiknya dilakukan dalam waktu singkat untuk mencegah kenaikan suhu yang dapat mengurangi keaktifan enzim-enzim pada bawang putih. Block (1992) menyatakan bahwa enzim alinase aktif pada suhu 23C.
Gambar 16. Alat penghancur bawang putih Sebelum digunakan untuk mengekstrak sampel pada penelitian utama, perlu dilakukan optimasi pada metode Likens-Nickerson. Menurut Kurniawan (1994), optimasi didapatkan pada kombinasi jumlah pelarut diethy ether sebanyak 80 ml dan lamanya waktu ekstraksi 2 jam. Penelitian ini langsung melakukan optimasi pada kombinasi tersebut. Pada saat ekstraksi digunakan MgSO4 anhidrat untuk menghambat pengembangan sampel dan mencegah terbentuknya busa selama distilasi berlangsung. Setelah dilakukan ekstraksi, hasil ekstraksi dipekatkan dengan menggunakan gas N 2. Proses pemekatan pernah dicoba menggunakan kolom vigreux tetapi hasil injeksinya kurang baik pada kromatogafi gas. Hal ini dikarenakan kolom vigreux menggunakan panas untuk menguapkan sisa pelarut yang masih bercampur dengan distilat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penguapan pada distilat yang dipekatkan dan juga degadasi dari komponen volatil pembentuk flavor yang terekstrak.
5.2 PENELITIAN UTAMA Setelah dilakukan penelitian pendahuluan melalui beberapa tahap seperti dijabarkan sebelumnya, tahap selanjutnya dilanjutkan ke penelitian utama. Sampel yang digunakan adalah bawang putih (Shantung dan Kating) dan lapisan katom (Shantung dan Kating). Tujuannya untuk melihat perubahan yang terjadi pada jumlah komponen volatil pembentuk flavor (dialil monosulfida dan dialil disulfida) dalam lapisan katom (Shantung dan Kating) dibandingkan bawang putih (Shantung dan Kating). Hasil injeksi pada kromatografi gas menghasilkan kromatogram untuk tiap-tiap sampel yang diinjeksikan. Kromatogram tersebut terdiri dari puncak-puncak dengan luas area tertentu. Pada masing-masing kromatogram dari sampel yang diinjeksi dilakukan analisis secara kualitatif dan kuantitatif untuk komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Kedua komponen ini merupakan komponen volatil pembentuk flavor yang terdapat pada bawang putih. Menurut Morton dan MacLoad (1982), dialil monosulfida dan dialil disulfida merupakan komponen utama turunan alisin yang bertindak sebagai penentu cita rasa, mempunyai aktivitas bioaktif, dan terdapat pada bawang putih segar dan olahannya. Kromatogram bawang putih varietas Shantung dapat dilihat pada Lampiran 16 (a,b). Pada kromatogram ini, puncak-puncak yang terbentuk cukup baik. Secara kualitatif, teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Puncak komponen dialil monosulfida muncul dengan retention time sebesar 12.555 menit dan luas area sebesar 6,595, sedangkan puncak komponen dialil disulfida muncul dengan retention time sebesar 29.228 menit dan luas area sebesar 650,123. Untuk mengetahui jumlah komponen yang telah diidentifikasi, dilakukan analisis secara kuantitatif menggunakan standar internal benzyl alcohol 2%. Setelah melihat semua kromatogram yang didapatkan pada penelitian utama, terlihat retention time dari benzyl alcohol 2% yang diperoleh memiliki luas area yang sangat beragram walaupun diinjeksikan dengan volume injeksi yang sama. Hal ini menyebabkan data luas area benzyl alcohol 2% pada masingmasing kromatogram sampel tidak dapat dipakai untuk analisis kuantitatif. Oleh karena itu, digunakan data benzyl alcohol 2% yang diinjeksikan secara tersendiri dengan volume injeksi sebesar 5 µl. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dapat dilihat pada Tabel 11. Terlihat jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dari dialil monosulfida. Hasil ini sesuai dengan Gambar 3, dimana persentase jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dari dialil monosulfida (Block 1992). Kromatogram bawang putih varietas Kating dapat dilihat pada Lampiran 17 (a,b). Puncak-puncak yang terbentuk cukup baik pada kromatogram ini. Secara kualitatif, teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Puncak komponen dialil monosulfida muncul dengan retention time sebesar 11.958 menit dan luas area sebesar 20,950, sedangkan puncak komponen dialil disulfida muncul dengan retention time sebesar 28.817 menit dan luas area sebesar 454,417. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dapat dilihat pada Tabel 11. Perbandingan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dan Kating dapat dilihat pada Tabel 11. Jumlah komponen dialil monosulfida pada bawang putih varietas Shantung lebih kecil dari varietas Kating, sedangkan jumlah komponen dialil disulfida sebaliknya. Dari hasil yang didapatkan terlihat adanya peningkatan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida, baik pada bawang putih varietas Shantung maupun varietas Kating antara sebelum dan sesudah dioptimasi.
Tabel 11. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dan Shantung Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel (ppm) (ppm) Bawang putih var. Shantung Bawang putih var. Kating
1.087
107.174
3.454
74.916
Kromatogram lapisan katom Shantung dapat dilihat pada Lampiran 18 (a,b). Pada kromatogram ini, puncak-puncak yang terbentuk cukup baik. Secara kualitatif, teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Puncak komponen dialil monosulfida muncul dengan retention time sebesar 12.475 menit dan luas area sebesar 116,404, sedangkan puncak komponen dialil disulfida muncul dengan retention time sebesar 30.242 menit dan luas area sebesar 25,817. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada lapisan katom Shantung dapat dilihat pada Tabel 12. Terlihat jumlah komponen dialil monosulfida lebih besar dari dialil disulfida. Hal ini bisa terjadi karena proses pengolahan pada katom menggunakan panas (suhu tinggi) sehingga mempengaruhi jumlah komponen-komponen tersebut. Selain itu, dapat juga dikarenakan komposisi lapisan katom terdiri dari campuran beberapa bahan yang berbeda yang memungkinkan adanya komponen lain yang mirip dengan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida sehingga mempengaruhi jumlah komponenkomponen ini pada saat dianalisis. Kromatogram lapisan katom Kating dapat dilihat pada Lampiran 19 (a,b). Puncakpuncak yang terbentuk terlihat cukup baik pada kromatogram ini. Secara kualitatif, teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Puncak komponen dialil monosulfida muncul dengan retention time sebesar 12.967 menit dan luas area sebesar 2,450, sedangkan puncak komponen dialil disulfida muncul dengan retention time sebesar 29.45 menit dan luas area sebesar 14,329. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada lapisan katom Kating dapat dilihat pada Tabel 12. Terlihat bahwa jumlah komponen dialil disulfida lebih besar dari komponen dialil monosulfida. Terlihat bahwa pengaruh pengolahan (suhu tinggi) dan komposisi bahan pada lapisan katom Kating tidak terlalu besar terhadap perubahan jumlah komponen-komponen tersebut. Tetapi faktor-faktor tersebut tetap berpengaruh terhadap pengurangan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada sampel lapisan katom Kating. Perbandingan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada lapisan katom Shantung dan Kating dapat dilihat pada Tabel 12. Pada perbandingan hasil analisis bawang putih (Kating dan Shantung), jumlah komponen dialil monosulfida pada bawang putih varietas Shantung selalu lebih kecil dari varietas Kating baik sebelum maupun setelah dilakukan optimasi, sedangkan jumlah komponen dialil disulfida memiliki perbandingan sebaliknya. Jumlah komponen dialil monosulfida pada lapisan katom Shantung lebih besar dibandingkan pada lapisan katom Kating, begitu pula dengan jumlah komponen dialil disulfida. Terlihat adanya perbedaan perbandingan jumlah dialil monosulfida pada bawang putih (Kating dan Shantung) dan lapisan katom (Kating dan Shantung). Hal ini menunjukkan bahwa adanya
pengaruh proses pengolahan (suhu tinggi) dan komposisi bahan pada lapisan katom terhadap perubahan jumlah komponen-komponen tersebut. Tabel 12. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada lapisan katom Kating dan Shantung Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel (ppm) (ppm) Lapisan katom Shantung Lapisan katom Kating
19.192
4.257
0.404
2.362
Perbandingan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dan lapisan katom Shantung dapat dilihat pada Tabel 13. Jumlah komponen dialil monosulfida pada sampel bawang putih varietas Shantung lebih kecil dari lapisan katom Shantung, sedangkan jumlah komponen dialil disulfida sebaliknya. Jumlah komponen dialil monosulfida mengalami peningkatan sedangkan jumlah komponen dialil disulfida mengalami penurunan. Peningkatan mungkin disebabkan karena pengaruh campuran bahan yang berbeda pada saat pembuatan lapisan yaitu campuran larutan bumbu dan tepung tapioka, sehingga pada saat dianalisis terjadi reaksi antara berbagai bahan yang memungkinkan terbentuknya komponen yang sama dengan komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan seperti hasil analisis tersebut, walaupun pengaruh proses pengolahan (suhu tinggi) cukup mengurangi jumlah komponen-komponen tersebut. Tabel 13. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung dan lapisan katom Shantung Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel (ppm) (ppm) Bawang putih var. Shantung Lapisan katom Shantung
1.087
107.174
19.192
4.257
Perbandingan jumlah komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dan lapisan katom Kating dapat dilihat pada Tabel 14. Jumlah komponen dialil monosulfida mengalami penurunan pada sampel lapisan katom varietas Kating, begitu pula dengan jumlah komponen dialil disulfida. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang cukup besar dari proses pengolahan (suhu tinggi) terhadap pengurangan jumlah komponen-komponen tersebut di dalam lapisan katom varietas Kating. Menurut Mazza (1998), tipe dan konsentrasi dari senyawa sulfur yang diekstrak dari bawang putih dipengaruhi oleh ketuaan umbi, praktek produksi yang dilakukan, varietas, lokasi penanaman, dan kondisi proses yang dilakukan.
Tabel 14. Hasil analisis kuantitatif komponen dialil monosulfida dan dialil disulfida pada bawang putih varietas Kating dan lapisan katom Kating Dialil monosulfida Dialil disulfida Sampel (ppm) (ppm) Bawang putih var. Kating Lapisan katom Kating
3.454
74.916
0.404
2.362
V. SIMPULAN
Pembuatan kacang salut (katom) menggunakan bawang putih sebagai bahan tambahan yang berperan menghasilkan flavor khusus. Bawang putih dengan varietas yang berbeda akan menghasilkan flavor yang berbeda. Metode Likens-Nickerson lebih baik dari metode ekstraksi Maserasi (perendaman) dalam mengekstrak komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih (Kating dan Shantung). Berdasarkan analisis kualitatif pada bawang putih (Shantung dan Kating) dan lapisan katom (Shantung dan Kating), teridentifikasi adanya komponen volatil pembentuk flavor, yaitu dialil monosulfida dan dialil disulfida. Berdasarkan analisis kuantitatif diketahui bahwa jumlah komponen dialil monosulfida pada bawang putih varietas Shantung lebih kecil dibandingkan varietas Kating, sedangkan jumlah komponen dialil disulfida sebaliknya. Jumlah komponen dialil monosulfida pada bawang putih varietas Shantung sebesar 1.087 ppm, sedangkan pada bawang putih varietas Kating sebesar 3.454 ppm. Jumlah komponen dialil disulfida pada bawang putih varietas Shantung sebesar 107.174 ppm, sedangkan pada bawang putih varietas Kating sebesar 74.916 ppm. Jumlah komponen dialil monosulfida pada lapisan katom Shantung lebih besar dibandingkan lapisan katom Kating, begitu pula dengan jumlah komponen dialil disulfida. Jumlah komponen dialil monosulfida pada lapisan katom Shantung sebesar 19.192 ppm, sedangkan pada lapisan katom Kating sebesar 0.404 ppm. Jumlah komponen dialil disulfida pada lapisan katom Shantung sebesar 4.257ppm, sedangkan pada lapisan katom Kating sebesar 2.362 ppm.
VI. REKOMENDASI
Pada kegiatan magang atau penelitian selanjutnya direkomendasikan : 1. Menggunakan standar eksternal yang lengkap untuk analisis pada kromatografi gas, terutama tiga komponen yang berperan dalam pembentukan flavor pada bawang putih, yaitu dialil monosulfida, dialil disulfida, dan dialil trisulfida. 2. Perlu dilakukan uji sensori untuk melihat respon panelis terhadap komponen flavor yang diekstrak menggunakan kromatografi gas. 3. Perlu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pembentukan komponen volatil pembentuk flavor pada bawang putih, seperti umur simpan, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Acree T.E. 1993. Gas chromatography-olfactometry. In: Ho, CT. and Manley, CH. (eds). Flavor Measurement. New York, Basel: Marcel Dekker, Inc. Amerine MA, Pangborn RM. and Roessler EB. 1965. Principles of Sensory Evaluation of Food. New York: Academic Press. Anonim. 2008. Varieties garlic. http://www.hoodrivergarlic.com/know.htm. [25 Februari 2008]. AOAC., 1995. Official Method of Analysis. 16th Edition. Microchemical Determination of Nitrogen (Micro-Kjeldahl Method). Chapter 12: p7. Association of Official Analytical Chemistry International, Gaithersburg. Block E. 1992. The organosulfur chemistry of the genus Allium – implications for the organic chemistry of sulfur. Angew Chem Int Ed Engl (31): 1135-1178. Ceci NL, Curzio DA. and Pomilio AB. 1991. Effect of irradiation and storage on the flavor of garlic bulbs cv red. J Food Sci 56 (1): 44. Cronin DA. 1982. Technique of analysis of flavors. In: Morton, ID. and Macleod, AJ. (eds). Food Flavours. Part A. New York: Elsevier Sci. Publ. Co. Eskin NAM. 1979. Plant Pigment, Flavor, and Textures. London: Academic Press. Everhart E, Haynes C. and Jauron R. 2003. Garlic. http://www.hort.iastate.edu/. [25 Februari 2008]. Fardiaz D. 1989. Petunjuk Laboratorium Kromatografi Gas dalam Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heath HB. 1981. Source Book of Flavor. Westport, Connecticut: The Avi Publishing Company Inc. Heath HB, Reineccius. 1986. Flavor Chemistry and Technology. Westport, Connecticut: AVI Publ. Co. Hunziker C. 1989. Quantitative analysis of flavor by gas chromatography. In: Charalambous, G. (ed). Flavors and Off-Flavors. Amsterdam: Elsevier Sci. Publ. Kumara B. 1998. Identifikasi Character Impact Compound Flavor Buah Kawista (Feronia limonia) [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Kurniawan Y. 1994. Analisis Komponen Aktif Citarasa pada Bawang Putih (Allium sativum Linn.) Segar, Goreng, dan Rebus dengan Kromatografi Gas [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Lagos RAM, Serrano MFO. and Lopez MDR. 1995. Determination of organic sulphur compounds in garlic extracts by gas chromatography and mass spectrometry. J Food Chem 53: 91-93. Larmond E. 1975. Methods for Sensory Evaluation of Food. Ottawa: Canada Departement of Agriculture.
Larsen M, Poll L. 1990. Quick and simple extraction method for analysis of aroma compounds in fruit products. In: Bessiere, Y. and Thomas AF. (eds). Flavour Science and Technology. England: John Wiley & Son’s Ltd. Mazza G. 1998. Functional Foods Biochemical & Processing Aspects. Lancaster, Basel, USA: Technomic Publishing Co. Inc. McNair HM, Bonelli EJ. 1988. Dasar Kromatografi Gas (terjemahan). ITB, Bandung. Morris CJ, Morris P. 1976. Separation Methods in Biochemistry. Canada. Morton ID, MacLoad AS. 1982. Food Flavor. Amsterdam, Oxford, New York: Elsivier Sci. Publ. Co. Pandey UB. 2001. Garlic. In: Peter, KV. (ed). Handbook of Herbs and Spices. New York: CRC Press, Purnomowati S, Hartinah S. dan Sumekar R. 1992. Bawang Putih: Kegunaan dan Prospek Pemasaran. Pusat Dokumentasi dan Informasi, LIPI, Jakarta. Reineccius GA. 1993. Bioassay and analytical flavor profiles introduced by isolation method. In: Flavor Measurement. Ho, CT. and Manley, CH. (eds). New York: Marcel Dekker Inc. Ria EV. 1989. Pengaruh Jumlah Pelarut, Lama Ekstraksi, dan Ukuran Bahan terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Temulawak [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Schay SR. 1975. General methods of preparation. In: Furia, TE. and Bellanca (eds). Handbook of Flavor Ingredients. Crandwood Parkway: CRC Press Inc. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. SNI 01-3181-1992. Bumbu dan Rempah. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. SNI 01-3160-1992. Standar Bawang Putih. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Pertanian. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Syarif R, Halid H. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tarwiyah, Kemal. 2001. Kacang atom. http://niaga.pusri.co.id/Budidaya. [19 Mei 2008]. Teranishi R, Hornstein I, Isenberg P. and Wick EL. 1971. Flavor Research. Principles and Methods. New York: Marcel Dekker Inc. Wibowo S. 2007. Budidaya Bawang: Bawang Putih, Bawang Merah, Bawang Bombay. Penebar Swadaya, Jakarta. Widjaja R, Craske JD. and Wootton M. 1996. Comparative studies on volatile components of nonfragrant and fragrant rices. J Sci Food Agric 70: 151-161. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno FG, Koswara S. 2002. Bawang, Komponen Bioaktif dan Produk Olahannya. M-Brio Press, Bogor. Yu TH, Wu CM. and Liou YC. 1989. Volatile compounds from garlic. J Agric Food Chem 37: 725730. Yu TH, Lin LY. and Ho CT. 1994. Volatile compounds of blanched, fried blanched, and baked blanched garlic slices. J Agric Food Chem 42: 1342-1347.
Lampiran 1a. Hasil uji t (independent samples) kadar air bawang putih varietas Kating dan Shantung
Group Statistics
KadarAirBawangPutih
Sampel varietas Kating varietas shantung
N
3 3
Mean 65,0667 69,5667
Std. Deviation 1,93707 ,07767
Std. Error Mean 1,11837 ,04485
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
KadarAirBawangPutih Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 14,740
Sig. ,018
t-test for Equality of Means
t -4,020 -4,020
df
Mean Difference
Std. Error Difference
,016
-4,50000
1,11927
-7,60758
-1,39242
,056
-4,50000
1,11927
-9,30105
,30105
Sig. (2-tailed) 4
2,006
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
Lampiran 1b. Hasil uji t (independent samples) kadar air lapisan katom Kating dan Shantung
Group Statistics
KadarAirLapisan KacangAtom
Sampel varietas Kating varietas Shantung
N
Mean 7,6200 6,5967
3 3
Std. Deviation ,04359 ,08327
Std. Error Mean ,02517 ,04807
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
KadarAirLapisan KacangAtom
Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 1,842
Sig. ,246
t-test for Equality of Means
t 18,859 18,859
df
Mean Difference
Std. Error Difference
,000
1,02333
,05426
,87268
1,17399
,000
1,02333
,05426
,85128
1,19539
Sig. (2-tailed) 4
3,020
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
Lampiran 2a. Hasil uji t (independent samples) kadar lemak bawang putih varietas Kating dan Shantung
Group Statistics
KadarLemak BawangPutih
Sampel varietas Kating varietas Shantung
N
3 3
Mean ,3333 ,9633
Std. Error Mean ,01667 ,02963
Std. Deviation ,02887 ,05132
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
KadarLemak BawangPutih
Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 1,241
Sig. ,328
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-18,533
4
,000
-,63000
,03399
-,72438
-,53562
-18,533
3,151
,000
-,63000
,03399
-,73532
-,52468
Lampiran 2b. Hasil uji t (independent samples) kadar lemak lapisan katom Kating dan Shantung
Group Statistics
KadarLemak LapisanKacangAtom
Sampel varietas Kating varietas Shantung
N
3 3
Mean 22,2167 19,9400
Std. Deviation ,52205 ,66091
Std. Error Mean ,30140 ,38158
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
KadarLemak Equal variances LapisanKacangAtom assumed Equal variances not assumed
F
Sig. ,423
,551
t-test for Equality of Means
t 4,682 4,682
df
Mean Difference
Std. Error Difference
,009
2,27667
,48626
,92660
3,62673
,011
2,27667
,48626
,89757
3,65577
Sig. (2-tailed) 4
3,796
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
Lampiran 3a. Hasil uji t (independent samples) kadar protein bawang putih varietas Kating dan Shantung
Group Statistics
KadarProtein BawangPutih
Sampel varietas Kating varietas Shantung
N
3 3
Mean 24,1833 27,1533
Std. Error Mean ,92668 ,40039
Std. Deviation 1,60506 ,69349
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
KadarProtein BawangPutih
Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 4,220
Sig. ,109
t-test for Equality of Means
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
-2,942
4
,042
-2,97000
1,00948
-5,77277
-,16723
-2,942
2,722
,068
-2,97000
1,00948
-6,37680
,43680
Lampiran 3b. Hasil uji t (independent samples) kadar protein lapisan katom Kating dan Shantung
Group Statistics
KadarProtein LapisanKacangAtom
Sampel varietas Kating varietas Shantung
N
3 3
Mean 1,9367 1,4500
Std. Deviation ,10066 ,11136
Std. Error Mean ,05812 ,06429
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
KadarProtein Equal variances LapisanKacangAtom assumed Equal variances not assumed
F
Sig. ,044
,844
t-test for Equality of Means
t 5,615 5,615
df
Mean Difference
Std. Error Difference
,005
,48667
,08667
,24604
,72729
,005
,48667
,08667
,24508
,72826
Sig. (2-tailed) 4
3,960
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
Lampiran 4. Kromatogram pelarut diethyl ether 0.1 µl
Lampiran 5. Kromatogram benzyl alcohol 2% 2 µl (standar internal)
Lampiran 6. Kromatogram benzyl alcohol 2% 5 µl (standar internal)
Lampiran 7. Kromatogram dialil monosulfida 0.1 µl (standar eksternal)
Lampiran 8. Kromatogram dialil disulfida 0.1 µl (standar eksternal)
Lampiran 9. Kromatogram standar campuran (dialil monosulfida 0.1 µl, dialil disulfida 0.1 µl, dan benzyl alcohol 2% 5 µl)
Lampiran 10a. Hasil analisis sidik ragam aroma distilat bawang putih varietas Kating terhadap kontrol Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SkorPenilaianAromaDistilat Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 477,067a 4,167 32,067 11,933 489,000
df
12 9 2 18 30
Mean Square 39,756 ,463 16,033 ,663
F 59,966 ,698 24,184
Sig. ,000 ,703 ,000
a. R Squared = ,976 (Adjusted R Squared = ,959)
Post Hoc Tests Sampel Multiple Comparisons Dependent Variable: SkorPenilaianAromaDistilat a Dunnett t (
(I) Sampel BP Kating Maserasi BP Kating L-N
(J) Sampel Kontrol-BP Kating Kontrol-BP Kating
Mean Difference (I-J) -2,50* -1,60*
Std. Error ,364 ,364
Sig. ,000 ,000
95% Confidence Interval Upper Bound -1,76 -,86
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the ,05 level. a. Dunnett t-tests treat one group as a control, and compare all other groups against it.
Lampiran 10b. Hasil analisis sidik ragam aroma distilat bawang putih varietas Shantung terhadap kontrol Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SkorPenilaianAromaDistilat Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 557,267a 7,467 20,600 16,733 574,000
df
12 9 2 18 30
Mean Square 46,439 ,830 10,300 ,930
F 49,954 ,892 11,080
Sig. ,000 ,551 ,001
a. R Squared = ,971 (Adjusted R Squared = ,951)
Post Hoc Tests Sampel Multiple Comparisons Dependent Variable: SkorPenilaianAromaDistilat a Dunnett t (
(I) Sampel BP Shantung Maserasi BP Shantung L-N
(J) Sampel Kontrol-BP Shantung Kontrol-BP Shantung
Mean Difference (I-J) -2,00* -1,30*
Std. Error ,431 ,431
Sig. ,000 ,007
Based on observed means. *. The mean difference is significant at the ,05 level. a. Dunnett t-tests treat one group as a control, and compare all other groups against it.
95% Confidence Interval Upper Bound -1,12 -,42
Lampiran 11a. Hasil uji t (independent samples) rendemen bawang putih varietas Kating dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson
Group Statistics
RendemenKating
Sampel Metode Maserasi Metode L-N
N
Mean ,1300 ,0500
2 2
Std. Deviation ,01414 ,01414
Std. Error Mean ,01000 ,01000
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
RendemenKating Equal variances assumed Equal variances not assumed
F
Sig. ,000
1,000
t-test for Equality of Means
t 5,657 5,657
df 2 2,000
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
,030
,08000
,01414
,01915
,14085
,030
,08000
,01414
,01915
,14085
Lampiran 11b. Hasil uji t (independent samples) rendemen bawang putih varietas Shantung dengan metode Maserasi dan Likens-Nickerson
Group Statistics
RendemenShantung
Sampel Metode Maserasi Metode L-N
N
2 2
Mean ,2050 ,0450
Std. Error Mean ,05500 ,00500
Std. Deviation ,07778 ,00707
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
RendemenShantung Equal variances assumed Equal variances not assumed
F 1,5E+18
Sig. ,000
t-test for Equality of Means
t 2,897 2,897
df
Mean Difference
Std. Error Difference
,101
,16000
,05523
-,07762
,39762
,208
,16000
,05523
-,51533
,83533
Sig. (2-tailed) 2
1,017
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
Lampiran 12a. Kromatogram sampel 1 (bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 1 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Lampiran 12b. Data kromatogram sampel 1 (bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 1 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Sampel 1 (Bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 50 ml diethyl ether ) [Dialil monosulfida] = (luas area Dialil monosulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((2,506/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0081 g = 0.413 ppm [Dialil disulfida] = (luas area Dialil disulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((423,378/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0081 g = 69.796 ppm
Lampiran 13a. Kromatogram sampel 2 (bawang putih varietas Shantung (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 2 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Lampiran 13b. Data kromatogram sampel 2 (bawang putih varietas Shantung (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 2 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Sampel 2 (Bawang putih varietas Shantung (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether ) [Dialil monosulfida] = (luas area Dialil monosulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = --= tidak teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida [Dialil disulfida] = (luas area Dialil disulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((6,940/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0048 g = 1.144 ppm
Lampiran 14a. Kromatogram sampel 3 (bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 3 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Lampiran 14b. Data kromatogram sampel 3 (bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 3 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Sampel 3 (Bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 50 ml diethyl ether ) [Dialil monosulfida] = (luas area Dialil monosulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((10,425/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0071 g = 1.719 ppm [Dialil disulfida] = (luas area Dialil disulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((318,705/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0071 g = 52.541 ppm
Lampiran 15a. Kromatogram sampel 4 (bawang putih varietas Kating (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 4 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Lampiran 15b. Data kromatogram sampel 4 (bawang putih varietas Kating (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 4 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Sampel 4 (Bawang putih varietas Kating (Maserasi) dengan 50 ml diethyl ether ) [Dialil monosulfida] = (luas area Dialil monosulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = --= tidak teridentifikasi adanya komponen dialil monosulfida [Dialil disulfida] = (luas area Dialil disulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((3,720/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0096 g = 0.613 ppm
Lampiran 16a. Kromatogram sampel 5 (bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 5 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Lampiran 16b. Data kromatogram sampel 5 (bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 5 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Sampel 5 (Bawang putih varietas Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether ) [Dialil monosulfida] = (luas area Dialil monosulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((6,595/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0095 g = 1.087 ppm [Dialil disulfida] = (luas area Dialil disulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((650,123/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0095 g = 107.174 ppm
Lampiran 17a. Kromatogram sampel 6 (bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 6 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Lampiran 17b. Data kromatogram sampel 6 (bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 6 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Sampel 6 (Bawang putih varietas Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether ) [Dialil monosulfida] = (luas area Dialil monosulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((20,950/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0063 g = 3.454 ppm [Dialil disulfida] = (luas area Dialil disulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((454,417/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0063 g = 74.916 ppm
Lampiran 18a. Kromatogram sampel 7 (lapisan katom Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 7 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Lampiran 18b. Data kromatogram sampel 7 (lapisan katom Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 7 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Sampel 7 (Lapisan katom Shantung (L-N) dengan 80 ml diethyl ether ) [Dialil monosulfida] = (luas area Dialil monosulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((116,404/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0020 g = 19.192 ppm [Dialil disulfida] = (luas area Dialil disulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((25,817/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0020 g = 4.257 ppm
Lampiran 19a. Kromatogram sampel 8 (lapisan katom Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 8 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Lampiran 19b. Data kromatogram sampel 8 (lapisan katom Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether) 10 µl (5 µl sampel 8 + 5 µl benzyl alcohol 2%)
Sampel 8 (Lapisan katom Kating (L-N) dengan 80 ml diethyl ether ) [Dialil monosulfida] = (luas area Dialil monosulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((2,450/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0040 g = 0.404 ppm [Dialil disulfida] = (luas area Dialil disulfida/luas area Benzyl alcohol ) x [Benzyl alcohol ] = ((14,329/485,194) x 2% x 0.2 ml) / 50.0040 g = 2.362 ppm