ANALISIS KETIMPANGAN PENDIDIKAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI RIAU
SISWINY MARITO OCTALYA Br. TAMBUNAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ketimpangan Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013
Siswiny Marito Octalya Br. Tambunan NIM H151114224
RINGKASAN SISWINY MARITO OCTALYA Br. TAMBUNAN. Analisis Ketimpangan Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau. Dibimbing oleh SRI MULATSIH dan SAHARA. Selain modal fisik dan tenaga kerja, human capital merupakan salah satu faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Schultz (1962) merupakan salah satu pelopor yang menekankan pentingnya human capital. Penelitian sebelumnya menempatkan human capital sebagai faktor tak langsung dalam pertumbuhan ekonomi karena dianggap tergabung dengan kemajuan teknologi. Mankiew et al. (1992) menambahkan human capital dalam model Solow sebagai faktor yang terpisah dari modal fisik dan tenaga kerja. Thomas et al. (2001) menyebutkan bahwa indikator pendidikan kurang efektif dalam menggambarkan ketimpangan pendidikan. Oleh karena itu perlu suatu ukuran ketimpangan pendidikan seperti gini pendidikan. Ketimpangan pendidikan sebagai proksi dari ketimpangan human capital. Penelitian yang mengaitkan ketimpangan human capital dengan pertumbuhan ekonomi masih jarang dilakukan di tingkat provinsi. Oleh karena itu penelitian ini ingin meneliti pengaruh ketimpangan human capital di Provinsi Riau. PDRB perkapita Provinsi Riau menduduki peringkat ketiga di Pulau Sumatera (peringkat ke enam di Indonesia) pada tahun 2011 dengan nilai sebesar Rp 9 123 juta. Namun prestasi Provinsi Riau tersebut tidak diikuti oleh capaian pendidikan. Rata-rata lama sekolah Provinsi Riau berada dibawah rata-rata lama sekolah Provinsi Maluku (8.7 tahun) yang nilai PDRB perkapita Provinsi Maluku berada di peringkat ke dua terendah nasional sebesar Rp 2 851 juta. Berdasarkan uraian diatas maka tujuan penelitian yaitu: (1) menghitung ketimpangan pendidikan di Provinsi Riau; (2) menganalisis pengaruh ketimpangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau. Wilayah penelitian mencakup 11 kabupaten/kota di Provinsi Riau selama periode 20052011. Data yang digunakan yaitu data mentah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik (BPS), PDRB serta data pendukung lainnya. Metode untuk menjawab tujuan penelitian pertama yaitu indeks gini pendidikan yang diadopsi dari penelitian Thomas et al. (2001). Untuk menjawab tujuan kedua digunakan analisis regresi data panel statis. Variabel gini pendidikan, rata-rata lama sekolah, jumlah penduduk, rasio panjang jalan, share sektor industri terhadap PDRB digunakan sebagai variabel eksogen. Hasil analisis gini pendidikan menunjukkan bahwa Provinsi Riau termasuk dalam kategori ketimpangan rendah selama periode 2005-2011 dengan nilai di bawah 0.3. Hasil Fixed Effect Model (FEM) menemukan variabel yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah rasio panjang jalan, gini pendidikan dan share sektor industri terhadap PDRB. Saran yang diberikan adalah: (1) agar kebijakan pemerintah berorientasi pada pemerataan pendidikan bukan hanya pada peningkatan pencapaian pendidikan; (2) penelitian selanjutnya dapat menggunakan ukuran ketimpangan lainnya seperti indeks theil maupun indeks atkinson. Kata kunci: gini pendidikan, pertumbuhan ekonomi, panel statis
SUMMARY SISWINY MARITO OCTALYA Br. TAMBUNAN. Analysis of Education Inequality and Its Impact on Economic Growth in Riau Province. Supervised by SRI MULATSIH and SAHARA. Besides physical capital and labor, human capital is one of important factors in stimulating economic growth. Schultz (1962) is one of the pioneers who emphasizes the importance of human capital. Previous research tends to put human capital as an indirect factor in economic growth and it is incorporated with the advancement of technology. Mankiw et al. (1992) place human capital in the Solow model as a separate factor from physical capital and labor. Thomas et al. (2001) state that education indicators are less effective in describing educational inequality. Therefore, it needs other tools to measure education inequality. One emerging tools is education gini as a proxy of human capital inequality. Previous research linking human capital inequality and economic growth is still limited in the region levels. This study aims to fill the gap by analyzing the impact of human capital inequality in Riau Province. GDP per capita of Riau Province was the the sixth ranked in Indonesia in 2011 with the value about Rp 9 123 million. However this achievement was not followed by educational attainment. This is indicated by mean of school years in Riau Province below mean of school years Maluku Province (8.7 years). In fact he value of GDP per capita in Maluku Province was the second lowest compared to other provinces in Indonesia. Therefore, this study aims to: (1) calculate educational inequality in Riau Province; (2) analyze the impact of education inequality on economic growth in Riau Province. The area of this study covers 11 districts in Riau Province during 2005-2011. This study uses the raw data of National Socioeconomic Survey (Susenas) conducted by the Central Bureau of Statistics (BPS), secondary data such as GDP by industry sector and other supporting data is also utilized. Method to answer the first objectives is gini index of education adopted from Thomas, et al (2001). The second objective is analyzed by using a static panel data regression analysis which the exogenous variable are gini education, mean of school years, population, ratio of road length and the share of industries to GDP. Results of gini education show that education inequality in Riau Province is relatively low over the period 2005-2011 as indicated by gini index below 0.3. Based on static panel data analysis with Fixed Effect Model (FEM). The study finds that education gini, ratio of road length and share of industrial sector to GDP are significant negatively affect on economic growth. This study suggests: (1) government policy is not only concern in educational attainment but also in education inequality, (2) further research can use other inequality measurement such as Theil index and atkinson index. Keywords: Education inequality, economic growth, static panel data
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KETIMPANGAN PENDIDIKAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI RIAU
SISWINY MARITO OCTALYA Br. TAMBUNAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi
Judul Tesis
: Analisis Kctimpangan Pendidikan dan Pcngaruhnya Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau
Nama
: Siswiny Marito Octalya Br Tambunan : H 151114224
NTh'1
tcrhadap
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
~
Dr Ir Sri ~lulatsih. ~1ScA£r Anggota
Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Tanggal Ujian: 31 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
26
SErtUlj
PRAKATA
Segala hormat, puji dan kemuliaan hanya bagi Allah Bapa atas segala kasih serta anugerah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan tesis ini yang berjudul “Analisis Ketimpangan Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Riau”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Sahara, SP MSi PhD selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi sebagai Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarja IPB atas kesediaannya menjadi Penguji Luar Komisi. Demikian juga terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya untuk semua dosen yang telah mengajar penulis serta rekan-rekan seperjuangan kelas BPS Batch 4 yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Riau, dan Kepala BPS Kota Dumai yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Demikian pula kepada Kepala Pusdiklat beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama penulis mengikuti program Tugas Belajar. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada rekan-rekan di BPS Provinsi Riau atas bantuan yang diberikan selama penyusunan tesis ini serta penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Ucapan terimakasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada kedua orangtua yang saya cintai, abang/kakak/adik dan keponakan yang selalu menjadi motivator penulis dan senantiasa mendoakan penulis untuk memperoleh yang terbaik. Penulis menyadari tesis ini jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan dan waktu. Namun demikian, penulis berharap semoga karya ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Agustus 2013 Siswiny Marito Octalya Br. Tambunan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
xv xv xvi 1 1 3 5 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi Teori Pertumbuhan Neoklasik Solow Teori Pertumbuhan Endogen Model Augmented Solow dengan Human Capital Ukuran Ketimpangan Pendidikan Ketimpangan Human Capital dan Pertumbuhan Ekonomi Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Tinjauan Empiris Kerangka Penelitian Hipotesis Penelitian
6 6 6 6 7 8 9 9 10 10 10 13 14
3
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis Koefisien Gini Pendidikan Analisis Regresi Data Panel Statis Pemilihan Model Terbaik Uji Asumsi Spesifikasi Model Penelitian Definisi Variabel Operasional
15 15 15 15 15 16 18 18 20 20
4
GAMBARAN UMUM Gambaran Umum Provinsi Riau Karakteristik Wilayah Administrasi Karakteristik Penduduk Infrastruktur Wilayah Karakteristik Perekonomian Karakteristik Sumber Daya Manusia Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita
21 21 21 22 24 25 28 30
Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita dengan Migas Dinamika Pendidikan
30 31
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Ketimpangan Pendidikan di Provinsi Riau Determinan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau
35 35 39
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
42 42 42
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
43 45 51
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8
Kerangka identifikasi autokorelasi Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Nama-nama ibukota dan luas wilayah kabupaten/kota Provinsi Riau IPM Provinsi Riau dan indikator pembentuknya tahun 2008-2011 Penduduk umur 16-24 menurut status pendidikan di Provinsi Riau tahun 2009-2011 Indikator pendidikan di Provinsi Riau tahun 2009-2011 Indeks gini kabupaten/kota dan Provinsi Riau tahun 2005 dan 2011 Hasil estimasi variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
19 20 22 28 32 32 36 39
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17
PDRB perkapita dengan migas dan tanpa migas serta rata-rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau dan nasional tahun 2007-2011 Angka partisipasi sekolah (APS) Provinsi Riau dan APS kabupaten/kota menurut kelompok umur tahun 2011 Tingkat pertumbuhan ekonomi kondisi mapan model Solow Kerangka penelitian Peta wilayah Provinsi Riau Kepadatan penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011 Piramida penduduk Provinsi Riau tahun 2010 Rasio panjang jalan terhadap luas wilayah menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011 Persentase rumah tangga menggunakan listrik PLN menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011 Struktur perekonomian Provinsi Riau tanpa migas tahun 2011 Struktur perekonomian dengan migas dan persentase penduduk yang bekerja menurut sektor ekonomi di Provinsi Riau tahun 2011 Kontribusi PDRB dan penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011 Indikator penyusun IPM menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011 PDRB perkapita ADHK, PDRB perkapita ADHB dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tahun 2005 - 2011 PDRB perkapita kabupaten/kota Provinsi Riau tahun 2005–2011 Peringkat rata-rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011
2 3 4 7 13 21 23 23 24 25 26 26
27 29 30 31 33
18 19 20 21 22
Rata-rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau dan status wilayah tahun 2011 Gini pendidikan Provinsi Riau tahun 2005-2011 Analisis kuadran gini pendidikan dan rata-rata lama sekolah (MYS) menurut kabupaten/kota tahun 2005 dan 2011 Analisis kuadran gini pendidikan dan growth_pdrb_perkapita menurut kabupaten/kota tahun 2011 Analisis kuadran share industri dan growth_pdrb_kap menurut kabupaten/kota tahun 2011
34 35 37 38 40
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
PDRB perkapita menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 20052011 (juta rupiah) Rata-rata lama sekolah kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 20052011 (tahun) Gini pendidikan kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2005-2011 Hasil pengujian antara fixed effect dengan pooled least square (Uji Chow) Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman) Hasil pengujian dengan metode fixed effect Hasil pengujian normalitas error
45 46 47 48 48 49 50
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Human capital merupakan salah satu faktor yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi selain faktor modal fisik dan tenaga kerja. Schultz (1962) adalah salah satu pelopor yang menekankan pentingnya human capital. Penelitian sebelumnya cenderung menempatkan human capital sebagai faktor tak langsung dalam pertumbuhan ekonomi karena dianggap tergabung dengan kemajuan teknologi. Namun Mankiw et al. (1992) menambahkan human capital dalam model Solow sebagai faktor yang terpisah dari modal fisik dan tenaga kerja. Kemajuan ilmu pengetahuan menjadikan pendidikan sebagai faktor penting dalam pembentukan human capital. Variabel stok human capital dapat dicerminkan oleh rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi sekolah pada level pendidikan tertentu. Tilak (1989) mengemukakan bahwa inti dari human capital mendasarkan pada pendidikan yang mampu memacu produktivitas angkatan kerja sehingga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu investasi human capital dapat meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga menjadi aset yang potensial dalam pembangunan (Galor dan Moav 2004). Pembangunan merupakan suatu kombinasi proses perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastrukur dan lainnya, untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia. Proses pembangunan memiliki tiga tujuan inti yaitu: peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok; peningkatan standar hidup (pendapatan, penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan); dan perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial (Todaro dan Smith 2006). Pembangunan dikatakan berhasil tidak hanya dilihat dari tingginya pertumbuhan ekonominya, tetapi juga dari bagaimana pertumbuhan ekonomi itu mampu dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Todaro dan Smith (2006) menyatakan bahwa sumber ketimpangan bukan hanya bersumber dari distribusi pendapatan tetapi juga dari pendidikan dan kesehatan. Pendidikan dan kesehatan menjadi hal yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Oleh karena itu pendidikan dan kesehatan juga merupakan tujuan pembangunan yang mendasar. Keikutsertaan pemerintah dalam deklarasi MDGs (Millenium Development Goals) dan deklarasi Dakar (Education for All), merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh anak Indonesia. Komitmen pemerintah dalam pendidikan tertuang antara lain dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab IV Bagian 1 Pasal 5 yang salah satunya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Demikian juga Instruksi Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Hal ini menunjukkan bahwa jalur pendidikan merupakan sarana yang strategis dan penting.
2
70
12.0
60
10.0
50
8.0
40
6.0
30
4.0
20 10
2.0
0
0.0
PDRB perkapita tanpa migas
PDRB perkapita dengan migas
Rata-rata lama sekolah (Tahun)
PDRB perkapita (Juta rupiah)
Provinsi Riau dikenal sebagai provinsi yang kaya dengan sumber daya alam seperti minyak bumi. PDRB perkapita Provinsi Riau menduduki peringkat ketiga terbesar di Pulau Sumatera pada tahun 2011 dengan nilai sebesar Rp 9 123 juta dan merupakan peringkat keenam terbesar di Indonesia. Rata-rata lama sekolah pada tahun 2011 sebesar 8.6 tahun mengindikasikan bahwa belum tercapainya target pemerintah dalam pemenuhan sembilan tahun wajib belajar. Nilai tersebut juga masih dibawah capian rata-rata lama sekolah Provinsi Maluku yang PDRB perkapitanya menduduki peringkat kedua terendah nasional. Peringkat enam besar dengan nilai PDRB perkapita tinggi, ternyata tidak diikuti oleh capaian rata-rata lama sekolah yang memuaskan. Perekonomian Provinsi Riau tidak lepas dari kontribusi kabupaten/kota. Dari 12 kabupaten/kota, enam kabupaten/kota merupakan hasil pemekaran sejak tahun 2001 dimana Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan kabupaten termuda di Provinsi Riau yang terbentuk pada tahun 2009 berdasarkan UU No.12 tahun 2009. Nilai PDRB perkapita dengan migas menunjukkan nilai yang bervariasi antar kabupaten/kota. Daerah penghasil migas seperti Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak memiliki nilai PDRB perkapita yang tinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Sedangkan dari sisi PDRB perkapita tanpa migas, Kabupaten Indrgiri Hilir merupakan kabupaten yang memiliki nilai PDRB perkapita tertinggi yaitu sebesar Rp 11.017 juta dan Kabupaten Rokan Hulu memiliki nilai PDRB perkapita terendah yaitu sebesar Rp 5.603 juta pada tahun 2011. Namun capaian rata-rata lama sekolah Kabupaten Indrgiri Hilir yaitu sebesar 7.2 tahun masih lebih rendah dari pada Kabupaten Rokan Hulu yang memiliki rata-rata lama sekolah sebesar 7.6 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa anomali fenomena PDRB perkapita dan capaian pendidikan yang terjadi antara Provinsi Riau dan Provinsi Maluku juga terjadi antar kabupaten/kota di Provinsi Riau.
Rata-rata lama sekolah
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Gambar 1 PDRB perkapita dengan migas dan tanpa migas serta rata-rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011
3 Pencapaian rata-rata lama sekolah dan angka partisipasi sekolah menunjukkan tren yang meningkat setiap tahunnya. Namun peningkatan capaian pendidikan tersebut belum tentu mengimplikasikan pendidikan yang sudah merata. Thomas et al. (2001) menyatakan bahwa indikator pendidikan kurang efektif dalam menggambarkan ketimpangan pendidikan. Oleh karena itu perlu ukuran ketimpangan pendidikan lainnya seperti indeks gini pendidikan yang juga dapat digunakan sebagai pelengkap indikator kesejahteraan. Penelitian tentang ketimpangan pendidikan khususnya di Indonesia masih jarang dilakukan apalagi yang membahas dalam lingkup provinsi. Mengingat bahwa peran penting dari ukuran ketimpangan pendidikan dan juga kelangkaan studinya, maka penelitian ini melakukan pengukuran ketimpangan pendidikan melalui koefisien gini pendidikan dari tahun 2005–2011 untuk 11 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Perumusan Masalah
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Selain PDRB perkapita, pertumbuhan ekonomi dapat menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Perekonomian Provinsi Riau dipacu untuk mampu mendorong pertumbuhan ekonomi (Gambar 2). Sejak tahun 2009 pertumbuhan ekonomi yang mulai mengalami peningkatan yaitu dari 2.97% pada tahun 2009 meningkat menjadi 5.01% pada tahun 2011. Tren pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau yang meningkat juga searah dengan tren pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun PDRB perkapita Provinsi Riau berada dalam peringkat enam besar, namun selama tahun 2007-2011 pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau masih dibawah nasional. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau merupakan pertumbuhan ekonomi terendah di Pulau Sumatera. 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 2007
2008
2009 Riau
2010
2011
Nasional
Sumber: BPS
Gambar 2 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau dan nasional tahun 2007-2011 Pencapaian angka partisipasi sekolah (APS) Provinsi Riau pada tahun 2011 menunjukkan pencapaian yang masih belum merata antar kabupaten/kota (Gambar 3). Terdapat enam dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau yang memiliki APS umur 13-15 dan umur 16-18 di bawah APS Provinsi Riau pada tahun 2011. Angka APS SLTP lebih rendah dibandingkan APS SD dan APS SLTA lebih rendah dibandingkan APS SLTP di kabupaten/kota Provinsi Riau pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa masih adanya anak umur 13-15
4
Angka Partisipasi Sekolah (%)
tahun yang tidak bersekolah di tingkat SLTP dan anak umur 16-18 tahun yang tidak bersekolah tingkat SLTA. Pemerintah menargetkan APS tahun 2011 untuk umur 7-12 dan 13-15 tahun masing-masing sebesar 97.8% dan 91.1%. Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Rokan Hulu memiliki APS yang masih berada dibawah target tersebut. 120 100 80 60 40 20 0
usia 7-12 APS usia 7-12 Provinsi
usia 13-15 APS usia 13-15 Provinsi
usia 16-18 APS usia 16-18 Provinsi
Sumber: BPS (2012)
Gambar 3 Angka partisipasi sekolah (APS) Provinsi Riau kabupaten/kota menurut kelompok umur tahun 2011
dan
APS
Penelitian terdahulu pada umumnya hanya mencakup variabel akumulasi ataupun stok human capital seperti rata-rata lama sekolah, jumlah partisipasi sekolah pada level pendidikan tertentu dan tingkat melek huruf. Beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa stok human capital dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan (Barro 1991; Mankiw et al. 1992). Sebaliknya, terdapat hasil penelitian yang mengemukakan dampak negatif stok human capital terhadap pertumbuhan ekonomi (Benhabib dan Spiengel 1994). Menanggapi kondisi tersebut, Lopez et al. (1998) menyatakan dalam penelitiannya bahwa variabel ketimpangan (distribusi) pendidikan seharusnya dibutuhkan dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, diperlukan juga penelitian yang mengaitkan ketimpangan human capital dengan pertumbuhan. Penelitian mengenai hal tersebut masih jarang dilakukan di Indonesia baik di level nasional maupun provinsi. Berkaitan dengan pemaparan diatas, beberapa masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana tingkat ketimpangan pendidikan di Provinsi Riau? 2. Bagaimana pengaruh ketimpangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau?
5 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menghitung ketimpangan pendidikan di Provinsi Riau. 2. Menganalisis pengaruh ketimpangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau.
Manfaat Penelitian 1.
2.
Manfaat penelitian ini adalah untuk: Memberikan informasi sebagai dasar pertimbangan, pendukung dan sumbangan pemikiran kepada pengambil keputusan dalam usaha mengurangi ketimpangan pendidikan serta memacu pertumbuhan ekonomi. Memperkaya ranah penelitian, khususnya tentang ketimpangan pendidikan di Provinsi Riau.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup analisis penelitian ini mencakup dua hal. Pertama, menyajikan gambaran umum ketimpangan pendidikan di Provinsi Riau dengan analisis tabel dan gambar. Kedua, menganalisis keterkaitan ketimpangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui model ekonometrika. Lingkup wilayah penelitian mencakup 11 kabupaten/kota di Provinsi Riau periode tahun 2005-2011. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik seperti Susenas, PDRB lapangan usaha serta data pendukung lainnya.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Pendapatan Regional dan Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan perekonomian adalah kondisi dimana nilai riil Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan output (Dornbusch et al. 2008). Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sejumlah sumber daya dan peningkatan efisiensi penggunaan faktor produksi. Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep PDRB. PDB atau PDRB dapat diukur dengan tiga macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran (Tambunan 2001). Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Blanchard 2009). Teori pertumbuhan ekonomi semakin berkembang dari masa ke masa. Beberapa teori pertumbuhan ekonomi antara lain model pertumbuhan neoklasik dan model pertumbuhan endogen. Teori pertumbuhan neoklasik dipelopori oleh Harrod-Domar dan Robert Solow. Model pertumbuhan Harrod dan Domar atau lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar merupakan model pertumbuhan Keynesian yang secara luas telah banyak diaplikasikan pada negara-negara sedang berkembang (Jhinghan 2010). Domar menekankan peran ganda investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Investasi memengaruhi permintaan agregat melalui proses investment multiplier dan dalam jangka panjang merupakan proses akumulasi modal yang akan menambah stok kapital dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga investasi juga memengaruhi penawaran agregat. Teori Pertumbuhan Neoklasik Solow Model pertumbuhan neoklasik oleh Solow memasukkan peran teknologi sebagai faktor pertumbuhan ekonomi. Model mengasumsikan bahwa output produksi berasal dari dua input yaitu kapital dan tenaga kerja, dimana input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala hasil yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith 2006). Fungsi produksi adalah Y= F(K,L) yang menunjukkan bahwa output dipengaruhi oleh persedian kapital dan tenaga kerja dengan asumsi skala hasil tetap. Persediaan kapital dapat berubah sepanjang waktu karena adanya investasi dan depresiasi. Sebagai proses akumulasi kapital, satu unit investasi menghasilkan satu unit tambahan kapital baru, sedangkan kapital yang lama mengalami penyusutan. Oleh karena itu persediaan kapital menjadi faktor penentu dalam perekonomian karena cenderung berubah sepanjang waktu. Model Solow ini kemudian diperluas dengan menambahkan kemajuan ) teknologi sebagai variabel eksogen sehingga fungsi produksi menjadi ( dimana K adalah kapital, L adalah tenaga kerja dan E adalah efisiensi tenaga kerja. Efisiensi tenaga kerja mencerminkan pengetahuan masyarakat tentang
7 metode produksi dimana efisiensi tenaga kerja akan meningkat seiring kemajuan teknologi. Inti dari pendekatan terhadap model kemajuan teknologi ini yaitu peningkatan efisiensi tenaga kerja sejalan dengan peningkatan angkatan kerja. Selain itu, teknologi juga menyebabkan jumlah pekerja efektif meningkat sehingga diperoleh model Solow dengan kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja. Modal per pekerja efektif dinyatakan sebagai ( ) sehingga output per pekerja efektif ( ) sehingga fungsi produksi menjadi ( ). Kondisi mapan (steady-state) menunjukkan ekuilibrium perekonomian jangka panjang. Tingkat modal per pekerja kondisi mapan (k*) ditunjukkan oleh stok kapital per tenaga kerja efektif akan berada pada posisi jalur pertumbuhan ekonomi yang berimbang (the balance growth path) ketika perubahan investasi aktual sama dengan perubahan investasi break-even. Pada posisi ini stok kapital dan output total per tenaga kerja efektif tumbuh pada tingkat yang sama yaitu sebesar pertumbuhan kemajuan teknologi (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, perekonomian senantiasa akan konvergen secara otomatis menuju pertumbuhan yang berimbang, yaitu situasi dimana setiap peubah tumbuh pada tingkat yang konstan. Pada pertumbuhan yang berimbang, pertumbuhan output per tenaga kerja hanya ditentukan oleh tingkat kemajuan teknologi. Di sinilah peran penting kemajuan teknologi dalam proses pertumbuhan ekonomi menurut pandangan Solow. Investasi breakeven, (δ+n+g)k
Investasi aktual dan Investasi break-even
Investasi , sf(k)
0
Sumber: Mankiw (2006)
Gambar 4
k*
k Modal per pekerja efektif, k
*
Tingkat pertumbuhan ekonomi kondisi mapan model Solow
Teori Pertumbuhan Endogen Salah satu kritik terhadap model pertumbuhan Solow adalah penggunaan asumsi perbaikan teknologi yang kurang spesifik. Teori pertumbuhan endogen ini dipelopori oleh Robert Lucas dan Paul Romer. Teori ini pada awalnya berkembang dalam dua cabang pemikiran yang bertumpu pada pentingnya sumber daya manusia dalam perekonomian, yaitu: 1. Pemikiran bahwa knowledge stock adalah sumber utama bagi peningkatan produktivitas ekonomi. 2. Pemikiran yang menekankan pada pentingnya learning by doing dan human capital dengan introduksi hal-hal baru (bersifat eksternal) dalam
8 perekonomian menjadi faktor pendorong bagi peningkatan produktivitas perekonomian. Pemikiran pertama oleh Romer menempatkan stok pengetahuan sebagai salah satu faktor produksi yang semakin meningkat. Sehingga tingkat pertumbuhan dapat terus ditingkatkan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara untuk meningkatkan dan menciptakan stok pengetahuan. Pemikiran kedua (teori learning) dikemukakan oleh Lucas melalui model akumulasi human capital. Teori learning memasukkan unsur peningkatan kapital pada proses produksi. Peningkatan kapital akan meningkatkan stok public knowledge, sehingga secara keseluruhan proses produksi dalam skala yang bersifat increasing return to scale. Akumulasi human capital dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun bukan jalur pendidikan formal (on the job traning). Kemudian dilanjutkan dengan proses learning by doing, yang dapat memunculkan penemuan-penemuan baru sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi. Efisiensi ini yang dapat meningkatkan produktivitas. Oleh karena kualitas sumber daya manusia adalah faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Model Augmented Solow dengan Human Capital Untuk dapat menangkap peran human capital secara jelas dalam pertumbuhan ekonomi, Mankiw et al. (1992) menambahkan model Solow dengan memasukkan human capital sebagaimana memasukkan kapital fisik. Sehingga fungsi produksi Cobb-Douglas menjadi: ( ) (2.1) ( ) dimana Y adalah output, K adalah kapital, H merupakan stok dari human capital L adalah tenaga kerja, A adalah teknologi, β adalah share human capital dalam output. L dan A diasumsikan tumbuh sebesar n dan g. Asumsi berarti bahwa ada decreasing return to capital. Fraksi dari output yang diinvestasikan dalam kapital fisik dan human capital diasumsikan konstan pada tingkat dan secara berurutan, dan depresiasi kedua kapital tersebut pada Sehingga evolusi ekonomi ditentukan oleh: ̇ ( ) (2.2.1) ̇ ( ) (2.2.2) dimana , dan adalah kuantitas per tenaga kerja efektif. Dengan menyamakan persamaan 2.2.1 dan 2.2.2 dengan nol, maka kondisi steady state menjadi: (
)
(
dan
)
(2.3)
Kemudian dengan mensubstitusi persamaan (2.3) ke persamaan fungsi produksi dan membuatnya ke dalam bentuk logaritma maka steady state output per tenaga kerja menjadi: ( ) ( ) ( ) (
)
( )
(
) ( )
(2.4)
9 Ukuran Ketimpangan Pendidikan Pembahasan tentang ukuran ketimpangan pendidikan masih sangat jarang ditemukan. Salah satu penelitian empiris mengenai ukuran ketimpangan pendidikan dilakukan oleh Thomas et al. (2001). Beberapa alasan mengapa ketimpangan pendidikan menjadi hal yang perlu untuk diteliti karena adanya keterkaitan kesejahteraan dan efisiensi. Dari sisi kesejahteraan, pendidikan yang berkualitas mampu meningkatkan kemampuan individu dalam memperkuat kesejahteraannya secara langsung. Meskipun masih ditemui adanya gap pendidikan antara si kaya dan si miskin. Sen (2000) menyatakan bahwa jika kondisi kemiskinan dianggap sebagai “perampasan dari pemenuhan kebutuhan minimum pendidikan yaitu sekolah dasar”, maka ketimpangan kesejahteraan harus memasukkan ukuran ketimpangan pendidikan. Dari sisi efisiensi, fungsi produksi agregat dan pertumbuhan dipengaruhi oleh tingkat distribusi kapital maupun aset lainnya. Human capital merupakan salah satu aset yang sangat penting dalam fungsi produksi karena human capital yang berkualitas dapat mempengaruhi tingkat efisiensi kegiatan produksi. Namun tidak cukup untuk memasukkan tingkat rata-rata pendidikan sebagai salah satu proksi dari human capital dalam analisis pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena human capital merupakan aset yang tidak completely tradable (tidak dapat diperdagangkan). Oleh karena itu, diperlukan variabel yang mampu mencerminkan distribusi pendidikan.
Ketimpangan Human Capital dan Pertumbuhan Ekonomi Ketimpangan human capital merupakan satu dimensi dari ketimpangan lainnya (ketimpangan pendapatan, kesehatan). Galor dan Tsiddon (1997) menjelaskan bahwa pada saat memasuki tahap awal pembangunan ekonomi, ketimpangan human capital yang tinggi dipandang sebagai syarat perlu untuk memasuki tahap pembangunan selanjutnya yaitu tahap tinggal landas. Ketimpangan akan mendorong individu pada golongan masyarakat yang berpendidikan untuk terus meningkatkan investasi human capital. Sedangkan golongan masyarakat yang memiliki tingkat investasi human capital yang rendah akan terjebak dalam kemerataan. Oleh karena itu, ketimpangan dianggap sebagai faktor penting dalam meningkatkan human capital dan output. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi seberapa banyak individu mewariskan sejumlah kekayaan kepada generasi selanjutnya sehingga generasi tersebut diharapkan dapat berinvestasi dalam human capital (Galor dan Zeira 1993). Teknologi merupakan salah satu hasil dari investasi human capital. Proses pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan kapasitas penggunaan teknologi baru. Pada tahap yang lebih sempurna, kemajuan teknologi berhubungan positif dengan tingkat human capital individu. Adanya peningkatan investasi human capital dari individu yang berpendidikan tinggi akan memberikan efek menetes ke bawah (trickle down effect) pada orang-orang yang kurang berpendidikan melalui kemajuan teknologi dalam produksi. Hal ini dikenal sebagai eksternalitas produksi global (Galor dan Tsiddon 1997).
10 Terdapat beberapa pendekatan yang dapat menjelaskan mengapa ketimpangan human capital dapat mempengaruhi pertumbuhan. Castello-Climent (2005) menjelaskan bagaimana harapan hidup sebagai jembatan yang dapat menjelaskan dampak ketimpangan human capital terhadap pertumbuhan. Mekanisme teorinya melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan demografi (fertilitas dan harapan hidup) dan pendekatan pasar kredit yang tidak sempurna. Semakin tinggi ketimpangan human capital maka semakin tinggi pula ketidaksempurnaan pasar kredit. Hal ini berakibat pada rendahnya akumulasi human capital yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Penduduk dan Pertumbuhan Ekonomi Penduduk merupakan unsur penting dalam meningkatkan produksi dan mengembangkan kegiatan ekonomi. Hal ini dikarenakan tersedianya tenaga kerja, tenaga ahli, pimpinan perusahaan, tenaga usahawan yang diperlukan untuk menciptakan kegiatan ekonomi. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor positif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Semakin besar jumlah tenaga kerja akan meningkatkan produktvitas yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Angkatan kerja yang tumbuh dengan cepat akan menjadi beban tersendiri bagi perekonomian. Jika lapangan pekerjaan yang tersedia tidak mampu menampung semua angkatan kerja baru maka sebagian angkatan kerja baru itu akan memperpanjang barisan penganggur yang dapat berdampak negatif terhadap perekonomian dan bidang lainnya. Infrastruktur dan Pertumbuhan Ekonomi Todaro (2006) menyatakan bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor penting yang menentukan pembangunan ekonomi. Infrastruktur dapat berupa jalan raya, kereta api, lapangan udara, pelabuhan, listrik, air, telekomunikasi dan infrastruktur sosial maupun ekonomi lainnya. Infrastruktur tersebut dapat menjadi fasilitas penunujang dalam kegiatan ekonomi sehingga mampu meningkatkan produktivitas ekonomi yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Teori pertumbuhan ekonomi endogen oleh Romer juga memasukkan peran infrastruktur dalam pertumbuhan ekonomi. Teori ini menyatakan bahwa teknologi sebagai faktor endogen yang sangat ditentukan oleh investasi sumber daya manusia. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi sumber daya alam perlu penyediaan infrastruktur.
Tinjauan Empiris Hassan et al. (2005) meneliti tentang pengaruh dimensi pendidikan terhadap pertumbuhan di Pakistan dan mengevaluasi kebijakan pemerintah bidang pendidikan di empat provinsi selama tahun 1973-1998. Salah satu model yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Barro dan Sala Martin (1995) dan
11 the first differenced Macro-Mincerian equation oleh Kreuger and Lindahl (2001) adalah: ( ( )) ( ) (
)
(2.5)
Menggunakan regresi panel disimpulkan bahwa variabel rata-rata lama sekolah (AYS), perubahan rata-rata lama sekolah ( ( )), koefisien gini pendidikan (GE) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar -0.84. Variabel lag perkapita ( ) dan rasio pengeluaran pendidikan terhadap GDP tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kegagalan kebijakan pendidikan di Pakistan karena terjadinya inefisiensi belanja pendidikan. Gungor (2006) meneliti tentang dampak ketimpangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan ini dilihat dari sisi pendidikan dan akumulasi human capital di provinsi Turki tahun 1975-2000. Menggunakan analisis data panel, salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien sebesar -12.368 (metode fixed effect model). Variabel yang digunakan adalah basic non human capital augmented Mankiw (income perkapita, akumulasi kapital fisik dengan proksi konsumsi listrik sektor industry serta pertumbuhan tenaga kerja). Human capital diukur dengan rata-rata lama sekolah angkatan kerja. Ketimpangan pendidikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi provinsi di Turki melalui jalur inefisiensi alokasi sumber daya bukan jalur akumulasi human capital. Rao dan Rohana bt Jani (2008) meneliti tentang hubungan antara kualitas pendidikan dasar dan pendidikan menengah terhadap pertumbuhan ekonomi di Malaysia tahun 1986-2005. Koefisien gini pendidikan menggunakan data rasio murid terhadap guru di tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Model dalam penelitian ini yaitu: (2.6) dimana PCGDP adalah GDP Perkapita, GPS merupakan ukuran gini pendidikan dasar, GSS merupakan ukuran gini pendidikan menengah dan Pop adalah jumlah penduduk umur 0-14 tahun sebagai variabel kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gini pendidikan menengah berpengaruh signifikan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi yang berarti bahwa GSS merupakan variabel yang berpengaruh terhadap GDP perkapita di Malaysia dengan koefisien sebesar -323.28. Duarte dan Marta Simoes (2010) menganalisis tentang hubungan pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan regional dari sisi ketimpangan pendapatan dan pendidikan sebagai faktor penjelas di 30 daerah regional di Portugal tahun 1995-2007. Ketimpangan pendidikan diukur dengan menggunakan ukuran indeks gini, indeks Theil, indeks Atkinson dan rasio persentil. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (2.7) dimana merupakan rata-rata pertumbuhan GDP perkapita, adalah GDP riil perkapita, menunjukkan ketimpangan pendidikan dan pendapatan yang akan dianalisis secara simultan, merupakan variabel kontrol seperti pendidikan rata-rata tenaga kerja, share tenaga
12 kerja sektor pertanian, industri dan jasa, serta dummy wilayah. Dengan menggunakan metode OLS, kesimpulan dari penelitian ini antara lain: ketimpangan pendidikan signifikan positif berpengaruh terhadap pertumbuhan GDP perkapita dengan koefisien sebesar 0.10. Ketimpangan pendidikan lebih kuat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan ketimpangan pendapatan. Fidalgo et al. (2010) melihat hubungan antara ketimpangan pendidikan dan rata-rata lama sekolah di Portugal tahun 1986-2005 dengan menggunakan metode OLS. Ketimpangan pendidikan diukur dengan menggunakan metode indeks gini, indeks Theil, indeks Atkinson. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ketimpangan pendidikan akan menurun seiring dengan peningkatan rata-rata tingkat pendidikan tenaga kerja. Zhang Changzheng dan Kong Jin (2010) menganalisis tentang hubungan antara kesetaraan pendidikan di China dan kualitas pertumbuhan ekonomi China tahun 1978-2004 dengan menggunakan Granger Causality dan OLS. Kesetaraan pendidikan diukur dengan menggunakan indeks gini dan kualitas pertumbuhan ekonomi diukur dengan menggunakan total faktor produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesetaraan pendidikan dapat mendorong kualitas pertumbuhan ekonomi di China dengan koefisien gini pendidikan sebesar -1.21. Digdowiseiso (2009) meneliti dampak pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan serta melihat pengaruh dari variabel pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada 23 provinsi di Indonesia selama tahun 1996-2005. Penelitian ini menggunakan metode OLS sebagai estimasi awal dan model ini kemudian kembali diestimasi menggunakan metode Two Stage Least Square dimana variabel yang tidak signifikan hasil estimasi awal tidak dimasukkan lagi pada persamaan. Salah satu model yang digunakan dalam memperlihatkan hubungan gini pendidikan (EG) dengan pertumbuhan ekonomi adalah sebagai berikut: (2.8) Persamaan di atas mencakup variabel kontrol yakni rata-rata lama sekolah (AYS), angka harapan hidup (LiExp) dan lag PDRB per kapita ( ). Dari persamaan tersebut salah satu disimpulkan bahwa variabel gini pendidikan tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Penggunaan metode Two Stage Least Square menjadi keterbatasan penelitian ini dimana persamaan (2.8) diatas merupakan model dinamis. Oleh karena itu disarankan untuk menggunakan metode panel dinamis pada penelitian selanjutnya. Mengacu pada model pertumbuhan neoklasik Solow yang conditional convergence, Sauer dan Zagler (2011) menjelaskan pengaruh koefisien gini pendidikan terhadap pertumbuhan PDB per kapita di 137 negara sepanjang enam dekade (1950-2010) yaitu: ( ) ( ) ( ) ( ) (( ) ) ( ) (2.9) adalah PDB riil per kapita di negara i pada periode t, τ adalah periode dimana 5 tahunan, adalah PDB perkapita tahun t-τ, adalah lama sekolah rata-rata, GE adalah gini pendidikan, I/Y adalah Share investasi fisik terhadap PDB, adalah laju pertumbuhan penduduk. Metode estimasi yang digunakan adalah SYSGMM. Dugaan adanya hubungan nonlinear antara gini pendidikan dan rata-rata lama sekolah, maka penelitian ini membangun model dengan membangun
13 interaksi antar kedua variabel tersebut. Ketika interaksi tersebut tidak dimasukkan dalam model, maka rata-rata lama sekolah dan gini pendidikan berdampak tidak signifikan dalam model. Sebaliknya, ketika interaksi masuk dalam model, ratarata lama sekolah dan gini pendidikan menjadi signifikan dengan koefisien gini pendidikan sebesar 0.307. Bustomi (2012) menganalisis ketimpangan pendidikan antar kabupaten/kota dan faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendidikan di Provinsi Jawa Tengah selama periode tahun 2007-2010. Metode analisis data yang adalah indeks gini pendidikan, analisis regresi data panel dengan teknik Pooled EGLS. Berdasarkan hasil analisis ketimpangan pendidikan antar kabupaten/kota diketahui bahwa perhitungan indeks gini pendidikan di Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam kategori ketimpangan pendidikan rendah (0.309). Salah satu hasil penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan mempunyai pengaruh negatif secara signifikan terhadap pertumbuhan PDRB per kapita di Provinsi Jawa Tengah dengan koefisien sebesar -1.95. Kerangka Penelitian Gambar 5 menyajikan kerangka penelitian. Keberhasilan pembangunan bukan hanya pencapaian pertumbuhan ekonomi tetapi juga pemerataan hasilhasilnya. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kualitas human capital yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan Ekonomi - PDRB Perkapita
Indikator Pendidikan
Rata-rata Lama Sekolah
Gini Pendidikan
Anomali Fenomena PDRB Perkapita dan Capaian Pendidikan antara Provinsi Riau dan Provinsi Maluku
Mengukur Ketimpangan di Provinsi Riau
Pengaruh Ketimpangan Pendidikan dan Variabel lainnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Riau
Simpulan dan Saran Gambar 5 Kerangka penelitian
14 Salah satu indikator pendidikan antara lain rata-rata lama sekolah. Dari sisi pencapaian ekonomi Provinsi Riau, nilai PDRB perkapita merupakan peringkat enam tertinggi namun capaian rata-rata lama sekolah masih lebih rendah dibandingkan Provinsi Maluku yang nilai PDRB perkapitanya terendah kedua nasional. Untuk mengukur ketimpangan pendidikan dapat digunakan gini pendidikan. Oleh karena itu akan diukur ketimpangan pendidikan Provinsi Riau dan dampak ketimpangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan permasalahan, tujuan, dan alur kerangka pemikiran maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: 1. Laju pertumbuhan penduduk merupakan faktor yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Semakin cepat laju pertumbuhan penduduk, maka pertumbuhan ekonomi akan bergerak melambat. 2. Infrastruktur yang diproksi dengan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah merupakan faktor yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 3. Ketimpangan pendidikan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan ketimpangan pendidikan akan menurunkan akumulasi human capital yang selanjutnya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. 4. Stok human capital yang diproksi dengan rata-rata lama sekolah berdampak positif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. 5. Share sektor industri terhadap PDRB merupakan faktor yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
15
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Periode waktu penelitian yaitu tahun 2005-2011. Wilayah penelitian mencakup 11 dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Terdapat satu kabupaten yang baru terbentuk pada tahun 2009 yaitu Kabupaten Kepulauan Meranti. Mengingat bahwa periode penelitian adalah sebelum terbentuknya Kabupaten Meranti maka pada penelitian ini Kabupaten Kepulauan Meranti masih tergabung dengan Kabupaten Bengkalis sebagai kabupaten induknya. Sumber data yang digunakan untuk penghitungan gini pendidikan yaitu data individu hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS, data PDRB Kabupaten/Kota, infrastruktur jalan, jumlah penduduk dan data pendukung lainnya dirujuk dari publikasi terbitan BPS. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian terdiri dari analisis deskriptif, analisis koefisien gini pendidikan, analisis regresi data panel. Analisis deskriptif yang digunakan untuk memberikan gambaran umum kabupaten/kota di Provinsi Riau. Untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama digunakan indeks gini pendidikan. Sedangkan tujuan penelitian kedua menggunakan analisis regresi data panel statis untuk mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau. Analisis Deskriptif Analisis ini merupakan analisis statistik yang menggambarkan atau mendeskripsikan data menjadi informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami, dengan bantuan tabel dan grafik yang berhubungan dengan penelitian. Analisis deskripsi yang disajikan dalam penelitian ini merupakan gambaran umum karakteristik kabupaten/kota di Provinsi Riau. Analisis Koefisien Gini Pendidikan Thomas et al. (2001) mempelopori penghitungan ukuran ketimpangan pendidikan berdasarkan capaian pendidikan yaitu koefisien gini pendidikan (Education Gini). Ukuran ini dapat diterima dan dianggap cukup baik dalam mengukur ketimpangan pendidikan secara relatif. Selain berdasarkan capaian pendidikan, gini pendidikan juga dapat dihitung berdasarkan data partisipasi sekolah dan jumlah dana pendidikan. Namun pengukuran melalui data partisipasi sekolah belum mampu menggambarkan stok human capital. Selain itu, penggunaan variabel jumlah dana pendidikan juga belum tepat dalam mencerminkan stok human capital karena besarnya dana input pendidikan belum tentu dapat memberikan kualitas pendidikan yang baik (Thomas 2002). Penghitungan gini pendidikan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah penghitungan yang diadopsi dari perumusan Thomas et al. (2001) yaitu: ( )∑ ∑ ( ) (3.1)
16 dimana, = = =
Koefisien gini pendidikan berdasarkan lama sekolah Rata-rata lama sekolah (tahun) Proporsi penduduk umur 15 tahun ke atas dengan lama sekolah i dan tahun dan j tahun = Lama sekolah i tahun dan j tahun dan n = Jumlah tingkat/kategori lama sekolah Dalam penelitian ini n merupakan lama sekolah. Rata-rata lama sekolah berdasarkan capaian pendidikan dihitung sebagai berikut: ∑ (3.2) Dengan memperluas persamaan (3.2) maka secara rinci rumus GE dijabarkan sebagai berikut: ( ) ( ) (
)
(
)
+… + (
)
(
)
(
)
(3.3) dimana, GE = koefisien gini pendidikan = proporsi penduduk umur 15 tahun ke atas dengan lama sekolah 0 tahun = proporsi penduduk umur 15 tahun ke atas dengan lama sekolah 1 tahun = proporsi penduduk umur 15 tahun ke atas dengan lama sekolah 2 tahun ⁞ = proporsi penduduk umur 15 tahun ke atas dengan lama sekolah n-1 tahun = lama sekolah 0 tahun = lama sekolah 1 tahun = lama sekolah 2 tahun ⁞ = lama sekolah n-1 tahun Nilai indeks gini berkisar antara 0 sampai 1. Apabila indeks gini semakin mendekati indeks 0 menunjukkan tingkat distribusi pendidikan yang semakin merata. Sebaliknya, jika indeks gini semakin mendekati indeks 1 menunjukkan distribusi pendidikan yang semakin tidak merata atau semakin timpang. Oshima (1970) membagi tingkat ketimpangan pendapatan menjadi tiga kriteria, yakni ketimpangan rendah jika indeks gini kurang dari 0.3; ketimpangan sedang jika indeks gini berada antara 0.3 sampai 0.4 dan ketimpangan tinggi jika indeks gini lebih dari 0.4. Analisis Regresi Data Panel Statis Data panel merupakan data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati 2004). Dalam data panel, data cross section yang sama diobservasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut sebagai balanced panel (total jumlah observasi = N x T). Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section maka disebut unbalanced panel. Penggabungan data cross section dan time series dalam data panel digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh model cross section dan time series. Penggunaan model regresi data panel dimaksudkan agar dapat
17 menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu yang bisa saja berbedabeda. Selain itu dengan menggunakan data panel maka jumlah observasi penelitian akan lebih banyak dibandingkan jika hanya menggunakan data time series atau cross section saja yang jumlah observasinya relatif sedikit. Menurut Baltagi (2008) keuntungan penggunaan data panel diantaranya sebagai berikut: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu. Metode ini dalam mengestimasi dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. 2. Memberikan data yang lebih informatif dan beragam, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan derajat bebas, dan lebih efisien. 3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis. 4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat dideteksi dalam data cross section atau data time series. 5. Dapat digunakan untuk membangun dan menguji perilaku model yang lebih kompleks dibandingkan data cross section atau time series. 6. Data panel mikro yang dikumpulkan pada individu, rumah tangga dan perusahaan mungkin mengukur lebih akurat dibanding variabel sejenis yang yang diukur pada tingkat makro. Bias hasil agregasi atas individu atau perusahaan mungkin dikurangi atau dihapuskan. 7. Data panel makro di sisi lain memiliki time series yang lebih panjang dan tidak seperti masalah jenis distribusi non standar dari unit roots tests dalam analisis time series. Selain manfaat yang diperoleh dengan penggunaan panel data, metode ini juga memiliki keterbatasan dalam penggunaannya di antaranya: 1. Masalah dalam desain dan pengumpulan data. Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), nonresponse, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi wawancara, waktu wawancara, periode referensi, penggunaan batas dan waktu dalam bias sampel. 2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors). Measurement errors umumnya terjadi karena pertanyaan yang tidak jelas, memory errors, respon yang tidak sesuai. 3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal sebagai berikut : a. Self-selectivity: permasalahan yang muncul karena data-data yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat menangkap fenomena yang ada. b. Nonresponse: permasalahan yang muncul dalam panel data ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden (sampel rumahtangga). c. Attrition: jumlah responden yang cenderung berkurang pada survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah, meninggal dunia atau biaya menemukan responden yang terlalu tinggi. 4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu. 5. Cross-section dependence. Apabila macro panel dengan unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang mengabaikan cross-country dependence akan mengakibatkan inferensi yang salah (misleading inference).
18 Model estimasi data panel dapat dikelompokkan menjadi model common effect dan individual effects (fixed effects dan random effects). Gujarati (2004) menyatakan bahwa ada empat pertimbangan yang dapat digunakan untuk memilih antara model fixed effects dengan model random effects, yaitu: 1. Apabila jumlah time series (T) besar dan jumlah cross section (n) kecil, maka nilai taksiran parameter berbeda kecil, sehingga pilihan didasarkan pada kemudahan penghitungannya yaitu model fixed effects. 2. Apabila komponen error individu berkorelasi, maka penaksir dengan model random effects adalah bias dan penaksir dengan model fixed effects tidak bias. 3. Apabila n besar dan T kecil serta asumsi model random effects terpenuhi, maka penaksir model random effects lebih efisien dari penaksir model fixed effects. 4. Apabila n besar dan T kecil, maka penaksiran dengan model fixed effects dan model random effects akan menghasilkan perbedaan yang signifikan. Pada model random effects diketahui bahwa αi = α + ui, di mana ui merupakan komponen acak cross section. Sedangkan pada model fixed effects αi bersifat tidak acak. Apabila diyakini bahwa individu atau cross section tidak acak, maka model fixed effects lebih tepat, sebaliknya apabila cross section acak, maka model random effects lebih tepat. Pemilihan Model Terbaik Pemilihan model regresi data panel yang terbaik dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan statistik. Untuk memilih apakah menggunakan fixed effects atau random effects dapat dilakukan dengan pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek individu. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan uji Hausman. Hipotesis uji Hausman adalah sebagai berikut: ( | ) atau random effects adalah model yang tepat ( | ) atau fixed effects adalah model yang tepat Dasar pengambilan keputusan yaitu menolak menggunakan nilai statistik uji Hausman dan dibandingkan dengan nilai statistik Chi Square ( ). Statistik uji Hauman dirumuskan dengan: ) ( ) ( ) ( ( ) (3.4) dimana: M adalah matriks kovarians β dan k adalah derajat bebas Jika nilai statistik uji Hausman lebih besar dari maka keputusannya yaitu cukup bukti untuk menolak sehingga model terbaik yang digunakan adalah fixed effects dan demikian juga berlaku sebaliknya. Model pertumbuhan ekonomi akan diestimasi dengan menggunakan metode data panel statis. Tahap pertama yang dilakukan yaitu uji Chow untuk memilih model terbaik antara OLS dan FEM. Uji ini dilakukan dengan membandingkan nilai F-hitung dan F-statistik. Tahap kedua adalah melakukan uji Hausman untuk menentukan model yang terbaik antara fixed effects model (FEM) atau random effects model (REM). Uji Asumsi Uji asumsi dilakukan untuk memenuhi persyaratan sebuah model yang akan digunakan. Setelah kita memutuskan untuk menggunakan suatu model tertentu (FEM atau REM) berdasarkan Hausman Test, maka kita dapat melakukan uji terhadap asumsi klasik yang digunakan dalam model.
19 a. Uji Multikolinearitas Salah satu asumsi dari model regresi ganda adalah bahwa tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas dalam model tersebut, jika hubungan tersebut ada maka peubah bebasnya dikatakan multikolinearitas sempurna. Apabila hal tersebut terjadi maka dugaan parameter koefisien regresi masih mungkin dapat diperoleh, tapi interpretasinya menjadi sulit. Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilakukan dengan uji korefisien korelasi sederhana antar peubah bebas dalam model, jika korelasinya sangat tinggi dan nyata maka berarti terjadi multikolinearitas. Selain itu juga dapat dilihat dari statistik uji F dan nilai koefisien determinasi, apabila nilai Rj2 tinggi atau dari uji F modelnya signifikan berarti ada multikolinearitas. b. Uji Heteroskedastisitas Salah satu aumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah bahwa taksiran parameter dalam model regresi bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var ( ) harus sama dengan σ2 (konstan), atau semua error mempunyai varians yang sama. Kondisi ini disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau berubah-ubah disebut heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat menggunakan metode General Least Square (Cross Section Weights) yaitu dengan membandingkan Sum Square Residu pada Weighted Statistics dengan Sum Square Residu Unweighted Statistics. Jika Sum Square Residu pada Weighted Statistics lebih besar dari Sum Square Residu Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Metode lain dengan uji GoldfeldQuandt, uji Breusch-Pagan dan uji White. c. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi yang terjadiantar observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang.Uji autokorelasi yang dilakukan tergantung pada jenis data dan sifat model yang digunakan.Tata cara untuk mendeteksi adanya korelasi serial adalah dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Cara untuk melihat ada/tidaknya autokorelasi dilakukan dengan membandingkan DW statistik dengan DW tabel. Adapun kerangka identifikasi terangkum dalam tabel 1 berikut. Korelasi serial ditemukan jika error dari periode waktu yang berbeda saling berkorelasi. Hal ini bisa dideteksi dengan melihat pola random error dari hasil regresi. Tabel 1 Kerangka identifikasi autokorelasi Nilai DW Hasil 4 – dl < DW < 4 Terdapat korelasi serial regresi 4 – du < DW < 4 – dl Hasil tidak dapat ditentukan 2 < DW < 4 – du Tidak ada korelasi serial Du < DW < 2 Tidak ada korelasi serial dl < DW< du Hasil tidak dapat ditentukan 0 < DW < dl Terdapat korelasi serial regresi Sumber : Gujarati (2004)
20 Spesifikasi Model Penelitian Untuk melihat pengaruh variabel gini pendidikan (proksi dari human capital) terhadap pertumbuhan ekonomi maka variabel gini pendidikan dijadikan sebagai variabel eksogen. Namun mengingat bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya dipengaruhi gini pendidikan maka penelitian ini juga menggunakan variabel rata-rata lama sekolah, jumlah penduduk, rasio panjang jalan, share industri sebagai variabel eksogen. Model penelitian diadopsi dari penelitian Sauer dan Zagler (2011) yaitu: ( Error
terdiri dari time-invariant
dan error
)
, (3.6)
Tabel 2 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian Notasi Variabel Satuan GROWTH Pertumbuhan PDRB riil perkapita Persen Pop Jumlah penduduk Orang Rasio panjang jalan terhadap luas wilayah Rasio GE Koefisien gini pendidikan Indeks MYS Rata-rata lama sekolah Tahun Kontribusi sektor industri terhadap PDRB Persen Definisi Variabel Operasional Definisi variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan perubahan nilai output (PDRB riil) dari waktu ke waktu dan diformulasikan sebagai berikut:
2. 3. 4. 5. 6.
PDRB riil perkapita dihitung dari PDRB riil dibagi jumlah penduduk. Pertumbuhan penduduk adalah pertumbuhan jumlah penduduk tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. Rasio panjang jalan merupakan perbandingan antara panjang jalan dengan kondisi baik dan sedang terhadap luas wilayah. Rata-rata lama sekolah merupakan capaian tingkat pendidikan penduduk umur 15 tahun keatas baik yang masih bersekolah maupun tidak sekolah lagi. Share sektor industri merupakan kontribusi sektor industri terhadap PDRB.
21
4 GAMBARAN UMUM Gambaran Umum Provinsi Riau Karakteristik Wilayah Administrasi Riau merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dan secara administrasi berada diantara tiga provinsi yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Jambi. Berdasarkan letak geografis, Provinsi Riau terletak antara 02° 25’ 00” Lintang Utara sampai 01° 05’ 00” Lintang Selatan dan 100° 00’ 00” sampai 105° 05’ 00” Bujur Timur. Batas-batas wilayah administrasi Provinsi Riau (Gambar 6) yaitu : • Sebelah Utara : Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara • Sebelah Selatan : Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat • Sebelah Timur : Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka • Sebelah Barat : Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Sumatera Utara Sebagian besar wilayah Provinsi Riau merupakan daerah dataran. Di samping itu Provinsi Riau juga memiliki beberapa pulau kecil yang juga menjadi wilayah perbatasan. Memiliki wilayah yang berada di tepi laut menjadikan banyak kawasan pelabuhan yang berkembang, baik sebagai pelabuhan bongkar muat barang maupun pelabuhan penumpang. N SUMATERA UTARA
W
E
SELAT MALAKA
S
DUMAI ROKAN HILIR
BENGKALIS KEPULAUAN MERANTI ROKAN HULU SIAK PEKANBARU KAMPAR
PELALAWAN
SUMATERA BARAT
INDRAGIRI HILIR KUANTAN SINGINGI INDRAGIRI HULU JAMBI 300
0
300 Kilometers
Gambar 6 Peta wilayah Provinsi Riau Luas wilayah administrasi Provinsi Riau yaitu sebesar 8 915 016 hektar atau setara dengan 89 150.16 km2. Sejak tahun 2004 Riau Kepulauan telah memisahkan diri dari Provinsi Riau dengan adanya UU otonomi daerah. Secara administratif Provinsi Riau memiliki sepuluh kabupaten dan dua kota (Tabel 3).
22 Masing-masing kabupaten/kota memiliki luas wilayah yang bervariasi. Kabupaten Indragiri Hilir merupakan kabupaten dengan luas wilayah terbesar yaitu 13 798.37 km2 dan Kota Pekanbaru sebagai kota yang memiliki luas wilayah terkecil yaitu 633.01 km2. Provinsi Riau terbentang di lereng Bukit Barisan dan memiliki empat sungai penting sebagai prasarana perhubungan antar wilayah kabupaten/kota seperti Sungai Siak (300 km) dengan kedalaman 8-12 m, Sungai Rokan (400 km) dengan kedalaman 6-8 m, Sungai Kampar (400 km) dengan kedalaman lebih kurang 6 m dan Sungai Indragiri (500 km) dengan kedalaman 6-8 m. Tabel 3 Nama-nama ibukota dan luas wilayah kabupaten/kota Provinsi Riau Kabupaten/Kota Kab. Kuantan Singingi Kab. Indragiri Hulu Kab. Indragiri Hilir Kab. Pelalawan Kab. Siak Kab. Kampar Kab. Rokan Hulu Kab. Bengkalis Kab. Rokan Hilir Kab. Kepulauan Meranti Kota Pekanbaru Kota Dumai Provinsi Riau
Ibukota Teluk Kuantan Rengat Tembilahan Pangkalan Kerinci Siak Sri Indrapura Bangkinang Pasir Pengarayan Bengkalis Bagan Siapi-Api Selat Panjang Pekanbaru Dumai Pekanbaru
Luas (Km2) 5 202.16 7 676.27 13 798.37 12 404.14 8 233.57 10 928.20 7 229.78 8 437.20 8 961.43 3 607.03 633.01 2 039.00 89 150.16
Persentase Luas 5.84 8.61 15.48 13.91 9.24 12.26 8.11 9.46 10.05 4.05 0.71 2.29 100.00
Sumber: BPS Provinsi Riau (2012) Karakteristik Penduduk Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu modal pembangunan ekonomi suatu wilayah. Potensi penduduk ini menjadi aset yang penting apabila dapat dimanfaatkan dengan tepat. Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut hasil Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) adalah 5 538 367 jiwa dimana 60.83% penduduk berada di dareah pedesaan. Penduduk Provinsi Riau masih terkonsentrasi di pusat ekonomi daerah yaitu Kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk sebesar 897 767 jiwa atau sebesar 16,21% dari seluruh penduduk Riau. Sedangkan kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten Kepulauan Meranti dengan jumlah penduduk sebesar 176 290 jiwa. Pada tahun 2011 tiap satu km2 wilayah Provinsi Riau dihuni oleh 62 jiwa. Kota Pekanbaru merupakan wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Riau karena memiliki jumlah penduduk yang cukup besar sementara luas wilayahnya hanya mencakup 0.71% (Gambar 7). Pesatnya pertumbuhan Kota Pekanbaru menjadikan Pekanbaru menjadi salah satu faktor pendorong migrasi dari luar wilayah Provinsi Riau. Kondisi ini juga tidak jauh berbeda dengan Kota Dumai yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi kedua. Kota Pelalawan merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk terendah yang secara rata-rata dihuni oleh 25 jiwa per km2.
23 N W DUMAI
E S
ROKAN HILIR BENGKALIS
KEPULAUAN MERANTI
ROKAN HULU PEKANBARU
KAMPAR
SIAK
PELALAWAN INDRAGIRI HILIR
KUANTAN SINGINGI INDRAGIRI HULU
100
0
100
200
Kepadatan_penduduk_14.shp 25.21 25.21 - 50 50.01 - 68.05 68.06 - 128.7 128.8 - 1469.53
300 Kilometers
Sumber: Hasil olahan
Gambar 7 Kepadatan penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011 Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, penduduk Provinsi Riau dilihat dari komposisi penduduk menurut golongan umur termasuk kelompok penduduk usia muda dimana kelompok usia 0-14 tahun sebanyak 16.75%, kelompok usia 15-44 tahun sebanyak 27.65%, kelompok usia 45-60 tahun sebanyak 6,13% dan kelompok 60 tahun keatas sebanyak 2.19% (Gambar 8). 75+ 70 - 74 65 - 69 60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 5-9 0 - 4 400000 300000 200000 100000
0
Laki-Laki
0 100000 200000 300000 400000 Perempuan
Sumber: BPS
Gambar 8 Piramida penduduk Provinsi Riau Tahun 2010
24 Komposisi penduduk usia produktif yang cukup besar dapat mengindikasikan terdapat jumlah angkatan kerja yang cukup tinggi. Persentase angkatan kerja Provinsi Riau terhadap jumlah penduduk adalah sebesar 42.93% pada tahun 2010. Secara total penduduk yang bekerja sebesar 39.19% dan pengangguran sebesar 3.7%. Kota Pekanbaru merupakan wilayah dengan jumlah pekerja dan juga pengangguran tertinggi di antara kabupaten/kota lainnya. Angkatan kerja yang tinggi dapat menjadi modal yang potensial untuk pembangunan daerah, jika didukung oleh keterampilan dan keahlian. Namun apabila kelompok penduduk tersebut kurang terampil dan tidak memiliki keahlian, maka tingginya jumlah angkatan kerja tersebut dapat menjadi beban bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Infrastruktur Wilayah Kondisi infrastruktur fisik merupakan salah satu aspek penting dan vital yang memiliki pengaruh terhadap peningkatan kinerja perekonomian karena infrastruktur dapat menjadi salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur yang yang tepat akan berdampak pada percepatan pembangunan ekonomi serta perluasan hasil-hasil pembangunan. Terdapat dua komponen infrastruktur yang berperan dalam proses produksi serta kelancaran pendistribusiannya yaitu infrastruktur transportasi dan listrik. Kuantitas infrastruktur didekati dengan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah sedangkan listrik dapat digambarkan dengan persentasetase rumah tangga yang menggunakan listrik PLN. Gambar 9 menyajikan rasio panjang jalan terhadap luas wilayah menurut wilayah kabupaten/kota di Provinsi Riau pada tahun 2011. Kota Pekanbaru merupakan kabupaten/kota dengan nilai rasio tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Hal ini dikarenakan karena Kota Pekanbaru sebagai ibukota provinsi merupakan pusat kegiatan ekonomi sehingga memiliki jangkauan area yang lebih luas. N W
E S
ROKAN HILIR
DUMAI
BENGKALIS KEPULAUAN MERANTI ROKAN HULU SIAK PEKANBARU KAMPAR
PELALAWAN INDRAGIRI HILIR
KUANTAN SINGINGI Panjang_jln_14.shp 0.047 - 0.165 0.165 - 0.336 0.336 - 0.507 0.507 - 3.672
INDRAGIRI HULU
100
0
100
200 Kilometers
Sumber: BPS
Gambar 9
Rasio panjang jalan terhadap luas wilayah menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011
25 Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Rokan Hilir merupakan kabupaten dengan rasio panjang jalan yang rendah. Hal ini dikarenakan Kabupaten Rokan Hilir memiliki luas wilayah yang cukup besar dibandingkan Kota Pekanbaru. Namun hal ini dapat menjadi indikasi awal bahwa keempat kabupaten tersebut masih memiliki infrastruktur transportasi yang belum memadai karena Kabupaten Pelalawan sebagai kabupaten dengan wilayah terbesar kedua memiliki nilai rasio yang lebih tinggi yang mengindikasikan bahwa kondisi infrastruktur transportasi Kabupaten Pelalawan lebih memadai. Semua daerah yang berstatus kota dan dua kabupaten yaitu Kabupaten Kampar dan Kabupaten Bengkalis memiliki kualitas infrastruktur listrik yang baik pada tahun 2011 (Gambar 10). Hal ini ditunjukkan dengan persentase rumah tangga yang menggunakan listrik PLN lebih tinggi lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Pola penyebaran infrastruktur listrik ini menggambarkan ketidakmerataan antar kabupaten/kota di Provinsi Riau dimana daerah yang berstatus kota cenderung memiliki kondisi yang lebih baik. Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir merupakan daerah dengan persentase rumah tangga yang menggunakan PLN terendah. Hal ini dikarenakan wilayah administrasi yang luas sehingga terkendala dalam penyediaan infrastruktur tersebut. N W
E S
ROKAN HILIR
KEPULAUAN MERANTI
DUMAI BENGKALIS
ROKAN HULU SIAK PEKANBARU
KAMPAR
PELALAWAN INDRAGIRI HILIR
KUANTAN SINGINGI INDRAGIRI HULU
100
0
100
Listrik_14.shp 28.6 - 44.4 44.4 - 62.2 62.2 - 74.1 74.1 - 96.6
200 Kilometers
Sumber: BPS
Gambar 10
Persentase rumah tangga yang menggunakan listrik PLN menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011
Karakteristik Perekonomian Berdasarkan gambar 11 struktur perekonomian Provinsi Riau tanpa migas sampai tahun 2011 didominasi oleh sektor pertanian dan sektor industri pengolahan dengan nilai masing-masing sebesar 31% dan 27%. Sedangkan sektor-sektor lainnya memiliki kontribusi kurang dari 16%. Kontribusi sektor pertanian dan sektor industri pengolahan ini cenderung menurun tiap tahunnya.
26 Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB juga berpengaruh pada sektor industri pengolahan. Hal ini karena industri pengolahan yang berkembang adalah industri pengolahan CPO. Sektor industri pengolahan memerlukan bahan baku utama berupa tanaman kelapa sawit yang merupakan salah satu komoditi sektor pertanian. Komposisi PDRB Provinsi Riau tanpa Migas 3%
4% 6% 31%
16% 10% 27%
3%
0%
Pertanian Industri Pengolahan Konstruksi Pengangkutan dan Komunikasi Jasa-Jasa
Gambar 11
Pertambangan dan Penggalian Listrik, Gas & Air Bersih Perdagangan, Hotel & Restoran Keu & Jasa
Struktur perekonomian Provinsi Riau tanpa migas tahun 2011
Struktur perekonomian Provinsi Riau dengan migas sampai tahun 2011 didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian (Gambar 12). Hal ini didukung oleh kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Provinsi Riau seperti minyak bumi. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Kontribusi
Penduduk Bekerja
Sumber: Hasil olahan
Gambar 12
Struktur perekonomian dengan migas dan persentase penduduk yang bekerja menurut sektor ekonomi di Provinsi Riau tahun 2011
27 Kontribusi sektor pertambangan dan penggalian ini cukup besar dalam menghasilkan nilai tambah yaitu sebesar 37%. Sektor lainnya yang memiliki kontribusi besar dalam perekonomian yaitu sektor pertanian dan industri pengolahan yaitu masing-masing sebesar 19%. Sektor pertanian didominasi oleh subsektor perkebunan, sedangkan sektor industri pengolahan didominasi oleh subsektor pengolahan minyak. Hal ini terkait dengan keberadaan beberapa perusahaan besar, baik asing maupun nasional, yang bergerak dalam pengolahan minyak tersebut. Sektor ekonomi lainnya hanya memiliki kontribusi kurang dari 10%. Selain memiliki kontribusi besar dalam pembentukan PDRB, sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja yaitu sebesar 45%. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor industri pengolahan lebih besar menyerap tenaga kerja yaitu sebesar 17%. Sedangkan sektor pertanian hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 10%. Struktur perekonomian menurut wilayah kabupaten/kota sampai tahun 2011 menunjukkan pola yang beragam (Gambar 13). Mayoritas kabupaten memiliki struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian sedangkan daerah kota lebih didominasi oleh sektor industri pengolahan, konstruksi dan perdagangan. Terdapat 5 kabupaten yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian yaitu Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Kepulauan Meranti. Untuk wilayah kota, Kota Pekanbaru lebih didominasi oleh sektor konstruksi dan perdagangan sementara Kota Dumai didominasi oleh sektor industri pengolahan dan perdagangan. N W
E S
DUMAI
R O K A N H I LI R
BEN G K A LI S K E P U LA U A N M ER A N T I
R O K A N H U LU
SI A K
PE K A N BA R U
Tenaga Kerja By Sektor.shp Pe rtania n Pdagangan Jasa Struktur perekonomian kabkota.s hp Industri Migas Industri NonM iga Konstruksi Pe rtamba ngan Pe rtania n
KA M P A R PE LA L A W A N
IN D R A G I R I H I LI R
K U A N T A N S IN G I N G I
IN D R A G I R I H U LU
200
Sumber: BPS Gambar 13
0
200 Kilometers
Kontribusi PDRB dan penduduk umur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011
28 Kemampuan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja pada lima kabupaten yang struktur perekonomiannya didominasi sektor pertanian, menunjukkan besaran yang bervariasi yaitu antara 58% sampai 70%. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tersebut mampu memberikan nilai tambah dan juga penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Namun untuk wilayah berstatus kota, penyerapan tenaga kerja terbanyak berada di sektor perdagangan, rumah makan dan akomodasi dimana sektor tersebut bukan pada sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB. Karakteristik Sumber Daya Manusia Indikator indeks pembangunan manusia (IPM) merupakan salah satu indikator yang mampu mencerminkan capaian kemajuan pembangunan sumber daya manusia. IPM merupakan gabungan dari beberapa indikator pembangunan manusia. Indikator tersebut meliputi indikator kesehatan (angka harapan hidup hidup), indikator pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah) dan indikator ekonomi yang ditunjukkan dengan tingkat daya beli penduduk (purchasing power parity). Besaran IPM berkisar antara 0 hingga 100. Apabila besaran IPM semakin mendekati 100 mengindikasikan kualitas pembangunan manusia yang semakin baik. United Nations Development Programme (UNDP) mengkategorikan nilai IPM menjadi empat, yakni rendah (IPM<50); menengah bawah (50≤IPM<66); menengah atas (66≤IPM<80); dan tinggi (IPM≥80). Perkembangan IPM Provinsi dari tahun ke tahun memperlihatkan kecenderungan yang meningkat (Tabel 4). Pada tahun 2008 IPM bernilai 75.09 menjadi 76.53 pada tahun 2011. Menurut pengkategorian UNDP tentang klasifikasi nilai IPM maka IPM Provinsi Riau berada pada kualitas menengah atas. Jika dibandingkan nilai IPM seluruh provinsi, Provinsi Riau berhasil menduduki peringkat ketiga terbesar di nasional setelah Provinsi DKI dan Provinsi Sulawesi Utara. Tabel 4 IPM Provinsi Riau dan indikator pembentuknya tahun 2008-2011 Indikator Angka Harapan Hidup (Tahun) Angka Melek Huruf (%) Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) Daya Beli (ribu rupiah PPP) IPM Peringkat IPM
2008 71.10 97.81 8.51 638.31 75.09 3
2009 71.25 98.11 8.56 642.55 75.60 3
2010 71.40 98.35 8.58 646.63 76.07 3
2011 71.55 98.42 8.63 650.83 76.53 3
Sumber: BPS Peningkatan IPM dapat juga diartikan terdapat perbaikan kualitas pada bidang pendidikan, kesehatan dan pendapatan. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan kualitas tiap tahunnya. Angka harapan hidup penduduk Provinsi Riau adalah sebesar 71.10 tahun pada tahun 2008 dan meningkat menjadi 71.55 tahun pada tahun 2011. Angka ini bermakna bahwa rata-rata usia harapan hidup yang akan dijalani oleh bayi yang lahir di tahun 2011 sampai akhir hayatnya adalah 71.55 tahun.
29 Angka melek huruf juga mengalami peningkatan di tahun 2011 yaitu sebesar 98.42%. Hal ini berarti terdapat 98.42% penduduk yang melek huruf pada tahun 2011. Rata-rata lama sekolah pada tahun 2011 sebesar 8.63 tahun yang berarti penduduk berumur 15 tahun keatas memiliki lama sekolah yang setara dengan SLTP tahun kedua. Dari sisi ekonomi, daya beli penduduk yang diukur dari konsumsi riil perkapita meningkat dari Rp 638 310 pada tahun 2008 menjadi Rp 650 830 pada tahun 2011. Dari capaian IPM kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011, kabupaten yang menduduki tiga peringkat IPM terbawah yaitu Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Rokan Hulu. Jika dilihat dari indikator penyusunnya, capaian indikator pendidikan dan kesehatan di ketiga kabupaten ini lebih rendah daripada capaian provinsi (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pembangunan manusia pada ketiga kabupaten/kota masih lebih rendah dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Hal ini dapat terjadi karena ketersediaan infrastruktur pendidikan dan kesehatan yang masih belum mencukupi. Kabupaten/kota yang menduduki peringkat IPM tiga teratas yaitu Kota Pekanbaru, Kota Dumai dan Kabupaten Siak. Hal ini menunjukkan bahwa capaian angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah, angka melek huruf dan pengeluaran perkapita lebih tinggi dari pada level provinsi. Angka Harapan Hidup (Tahun)
Rata-rata Lama Sekolah (Tahun)
Angka Melek Huruf (Persen)
Pengeluaran per Kapita (Ribu Rupiah)
Kota Dumai Kota Pekan Baru Kepulauan Meranti Rokan Hilir Bengkalis Rokan Hulu Kampar Siak Pelalawan Indragiri Hilir Indragiri Hulu Kuantan Sengingi
64
69
7.00
9.00
9011.00
95
100 630
650
Keterangan : merupakan pencapaian Provinsi Riau di tiap indikator Gambar 14 Indikator penyusun IPM menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011
30 Dinamika Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita
80.0 60.0
5.4
72.0
5.7
5.1
62.4
5.0
55.4
53.3
3.4
4.2
42.0
40.0 20.0
34.6
29.8 17.0
17.2
3.0 17.2
17.6
17.5
17.6
17.9
0.0 2005
2006
PDRB Perkapita ADHK Pertumbuhan Ekonomi (%)
2007
2008
2009
2010
2011
Pertumbuhan Ekonomi (%)
PDRB Perkapita (Juta Rp)
Pertumbuhan Ekonomi dan PDRB Perkapita dengan Migas Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau dapat dipengaruhi oleh kontribusi sektor pertambangan minyak yang ada. Pertambangan minyak ini masih menjadi salah satu andalan Provinsi Riau dalam perekonomian. Terdapat kecenderungan bahwa pertumbahan ekonomi Provinsi Riau cenderung bergerak melambat dari tahun 2005-2007. Namun pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau kembali meningkat sejak tahun 2009 (Gambar 15).
PDRB Perkapita ADHB
Sumber: BPS
Gambar 15 PDRB perkapita ADHK, PDRB perkapita ADHB dan pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau tahun 2005 - 2011 PDRB perkapita merupakan indikator dari pendapatan penduduk secara rata-rata dalam suatu daerah. Perkembangan PDRB perkapita Provinsi Riau baik level atas dasar harga berlaku (ADHB) maupun atas dasar harga konstan (ADHK) menunjukkan tren yang meningkat selama tahun 2005-2011. PDRB perkapita ADHB sebesar 18.27 juta per tahun dan bertahap meningkat hingga mencapai Rp 72 juta pada tahun 2011. Nilai ini setara dengan Rp 17.9 juta per tahun berdasarkan ADHK. Gambar 16 menunjukkan perkembangan PDRB perkapita riil kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2005-2011. Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak dan Kota Dumai merupakan kabupaten/kota yang memiliki nilai PDRB perkapita tertinggi dengan nilai lebih dari Rp 14 juta per tahunnya pada tahun 2011. Kabupaten Bengkalis dan Kabupaten Siak memiliki keunggulan sebagai daerah penghasil tambang minyak sedangkan Kota Dumai memiliki industri pengolahan minyak dan juga industri pengolahan non migas. Meskipun mayoritas kabupaten/kota di Provinsi Riau menunjukkan tren yang meningkat selama tahun 2005-2011 namun PDRB perkapita Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Siak menunjukkan tren yang menurun. Meskipun nilai PDRB kedua kabupaten tersebut memiliki tren yang meningkat namun kenaikan PDRB tersebut tidak sebesar peningkatan pertumbuhan penduduk.
31
11
15 10 5 0
2009
2011
2005 2007 2009 2011 2007
Rokan Hulu 6.5 6 5.5 5 2005
PDRB Perkapita (Juta Rp)
PDRB Perkapita (Juta Rp)
14 13.5 13 12.5 12
Dumai PDRB Perkapita (Juta Rp)
12
60 40 20 0
Pekanbaru PDRB Perkapita (Juta Rp)
13
10
Kampar PDRB Perkapita (Juta Rp)
PDRB Perkapita (Juta Rp)
2011
2009
2007
50.0
Kep Meranti PDRB Perkapita (Juta Rp)
PDRB Perkapita (Juta Rp)
Rokan Hilir 24 22 20 18
2005
55.0 45.0
15.0 10.0 5.0 0.0
Siak
2011
10
Bengkalis 60.0
2009
10.5
0.0
2005 2007 2009 2011
11
5.0
2007
PDRB Perkapita (Juta Rp)
11.5
10.0
2005 2007 2009 2011
PDRB Perkapita (Juta Rp)
Pelalawan
Indragiri Hilir
15.0
2005
PDRB Perkapita (Juta Rp)
2011
2009
2007
2005
PDRB Perkapita (Juta Rp)
15.0 10.0 5.0 0.0
15 14 13
2005 2007 2009 2011
Indrgiri Hulu
Kuantan Singingi
Sumber: BPS
Gambar 16 PDRB perkapita kabupaten/kota Provinsi Riau tahun 2005 – 2011
Dinamika Pendidikan Pembangunan tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada peningkatan kualitas manusia sebagai salah satu faktor produksi yang penting. Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan human capital. Adanya pemerataan pendidikan melalui terbukanya akses pendidikan dan keterjangkauan untuk semua pihak masih menjadi salah satu target pemerintah di bidang pendidikan. Capaian pembangunan di bidang pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator seperti angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah, angka putus sekolah serta angka melek huruf. Pencapaian pendidikan menengah atas di Provinsi Riau selama tahun 2009-2011 menunjukkan peningkatan (Tabel 5). Dari data Susenas, partisipasi sekolah umur 16-18 tahun yang masih bersekolah pada tahun 2011 sebesar 45.97%. Kondisi ini lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2009 dimana partisipasi sekolah umur 16-18 tahun adalah sebesar 45.85%. Namun penduduk umur 16-24 tahun yang tidak/belum sekolah juga memiliki kecenderungan meningkat meskipun dalam persentase yang relatif kecil. Angka putus sekolah penduduk umur 16-18 tahun juga semakin menurun selama tahun 2009-2011. Pada tahun 2011 terdapat 30.99% penduduk usia sekolah yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi.
32 Tabel 5
Penduduk umur 16-24 menurut status pendidikan di Provinsi Riau tahun 2009-2011 Umur 16-18 tahun Umur 19-24 Tidak/ Tidak Tidak/ Tidak Tahun Masih Masih belum bersekolah belum bersekolah sekolah sekolah sekolah lagi sekolah lagi 2009 22.98 45.85 31.16 20.6 41.05 38.35 2010 23.03 45.92 31.05 20.65 41.12 31.05 2011 23.04 45.97 30.99 20.67 41.24 38.09
Sumber: Susenas, 2009-2011(diolah)
Indikator pendidikan lain yang dapat mengindikasikan pemerataan layanan pendidikan yaitu APS, rata-rata lama sekolah dan tingkat melek huruf (Tabel 6). Angka partisipasi sekolah menunjukkan persentase penduduk yang bersekolah pada setiap tingkatan pendidikan. Jika angka ini semakin tinggi berarti menunjukkan semakin besar penduduk usia sekolah yang menempuh pendidikan di masing-masing tingkat pendidikan.
No 1
2 3
Tabel 6 Indikator pendidikan di Provinsi Riau tahun 2009 - 2011 Tahun Indikator Pendidikan 2009 2010 2011 Angka 7-12 98.55 98.75 97.71 partisipasi 13-15 91.58 92.09 87.94 sekolah 16-18 63.92 64.54 65.06 (%) 19-24 13.14 14.02 15.21 Angka melek huruf (%) 98.11 98.35 97.61 Rata-rata lama sekolah (tahun) 8.56 8.58 8.63
Sumber: BPS
Angka partisipasi sekolah usia SD, SLTP dan SLTA terus meningkat meskipun pada tahun 2011 terjadi sedikit penurunan. Hal ini diduga karena adanya fenomena bahwa anak usia sekolah tersebut tidak berada di tingkat pendidikan sesuai penggolongan usianya. Sedangkan untuk tingkat melek huruf juga menunjukkan peningkatan dimana pada tahun 2011 mencapai 97.61%. Ratarata lama sekolah juga meningkat pada tahun 2011 meskipun dalam persentase relatif kecil yaitu sebesar 8.63 tahun yang berarti rata-rata lama sekolah masih berada pada level kelas dua SLTP. Gambar 17 menunjukkan peringkat rata-rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau berdasarkan peringkat tertinggi sampai terendah tahun 2011. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan kabupaten yang memiliki rata-rata lama sekolah terendah yaitu sebesar 7.10 tahun. Hal ini dikarenakan kabupaten tersebut terbentuk pada tahun 2009 serta posisi wilayahnya yang berupa kepulauan. Kota Pekanbaru menduduki peringkat teratas dalam pencapaian rata-rata lama sekolah yaitu sebesar 10.96 tahun. Oleh karena itu disimpulkan bahwa penduduk yang berumur diatas 15 tahun di Kota Pekanbaru secara rata-rata telah menempuh kelas satu SLTA. Namun di Kabupaten Kepulauan Meranti secara rata-rata penduduk umur diatas 15 tahun masih menempuh pendidikan sampai di kelas dua SLTP.
33
Kepulauan Meranti (12) Indragiri Hilir (11) Rokan Hilir (10) Rokan Hulu (9)
Pekanbaru (1) 12 10 8 6 4 2 0
Dumai (2) Siak (3) Kampar (4) Bengkalis (5)
Pelalawan (8) Kuantan Singingi (6) Indragiri Hulu (7)
Sumber: Hasil olahan
Gambar 17
Peringkat rata-rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2011
Dari capaian rata-rata lama sekolah, Provinsi Riau mengalami kenaikan rata-rata lama sekolah sebesar 0.58 tahun selama kurun waktu enam tahun (tahun 2005-2011). Program pemerintah di bidang pendidikan seperti melalui program wajib belajar sembilan tahun dan pemberian BOS (Bantuan Operasional Sekolah) menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendorong peningkatan kualitas human capital. Capaian rata-rata lama sekolah selama periode 2005-2011 mengindikasikan bahwa program wajib belajar 9 tahun telah berhasil dicapai oleh Kabupaten Siak, Kota Dumai dan Kota Pekanbaru. Pada tahun 2005, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Rokan Hilir merupakan kabupaten/kota yang memiliki rata-rata lama sekolah terendah. Penduduk usia 15 tahun ke atas di ketiga kabupaten tersebut memiliki rata-rata lama sekolah 6 tahun yang setara dengan tamat sekolah dasar. Sementara rata-rata lama sekolah Kota Pekanbaru telah mencapai wajib belajar 9 tahun. Pada tahun 2011 sebagian besar kabupaten telah memiliki rata-rata lama sekolah sebesar 7 tahun dimana Kabupaten Indragiri Hilir merupakan kabupaten/kota dengan rata-rata lama sekolah terendah selama periode 2005-2011. Berdasarkan hasil pendataan Susenas tahun 2011, persentase penduduk berumur 16-18 tahun ke atas yang masih sekolah di Kabupaten Indragiri Hilir sebesar 56.4% dan penduduk umur 19-24 tahun ke atas yang masih sekolah hanya sebesar 7%. Kondisi ini menjadi salah satu indikasi dari rendahnya rata-rata lama sekolah penduduk di Kabupaten Indragiri Hilir. Apabila dibandingkan capaian rata-rata lama sekolah antara daerah pedesaan dan perkotaan di seluruh kabupaten/kota Provinsi Riau disimpulkan bahwa rata-rata lama sekolah di perkotaan lebih tinggi daripada di desa pada tahun 2011 (Gambar 18). Rata-rata lama sekolah di daerah perkotaan berkisar dari 7.02 tahun sampai 9.19 tahun, sedangkan lama sekolah rata-rata di desa berkisar antara 5.73 tahun sampai 7.05 tahun. Masih rendahnya rata-rata lama sekolah bagi
34
Rata-rata Lama Sekolah (tahun)
penduduk di pedesaan dapat disebabkan oleh infrastruktur fisik yang kurang memadai maupun sulitnya akses menuju sekolah. Sementara itu rata-rata lama sekolah di perkotaan lebih tinggi karena infrastruktur fisik pendidikan di daerah perkotaan cenderung lebih baik dan lebih mudah dijangkau karena pada umumnya daerah perkotaan menjadi pusat kegiatan ekonomi. Selain itu peluang pekerjaan di daerah perkotaan yang lebih beragam daripada di pedesaan menjadi salah satu faktor pendorong bagi penduduk kota untuk meningkatkan kualitas diri dengan memperoleh pendidikan lebih tinggi dalam upaya menghadapi persaingan dunia kerja. 10 8 6 4 2 0
Kota
Desa
Sumber: Susenas tahun 2011 (diolah)
Gambar 18 Rata-rata lama sekolah menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau dan status wilayah tahun 2011
35
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Ketimpangan Pendidikan di Provinsi Riau Salah satu ukuran untuk mengukur ketimpangan yaitu koefisien gini. Koefisien gini memiliki rentang antara indeks 0 sampai nilai indeks 1. Nilai indeks 0 menunjukkan distribusi yang merata secara sempurna dan nilai indeks 1 menunjukkan ketimpangan maksimum. Koefisien gini dihitung menggunakan ratarata lama sekolah individu yang diolah berdasarkan hasil survei rumah tangga di Indonesia yang dikenal dengan Susenas. Untuk memperoleh gambaran ketimpangan pendidikan digunakan indeks gini pendidikan. Berdasarkan hasil penghitungan indeks gini pendidikan, Provinsi Riau termasuk dalam kategori ketimpangan pendidikan yang rendah selama periode 2005-2011. Selama periode tersebut gini pendidikan Provinsi Riau menunjukkan tren yang menurun sejak tahun 2007 namun pada tahun 2011 gini pendidikan Provinsi Riau meningkat dibandingkan tahun sebelumnya (Gambar 19). 0.279
0.28 0.275 Gini Pendidikan
0.271 0.268
0.27
0.266 0.262
0.265 0.261 0.26 0.255
0.252
0.25 0.245 2005
Gambar 19
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gini pendidikan Provinsi Riau tahun 2005-2011
Peningkatan ketimpangan pendidikan Provinsi Riau yang terjadi pada tahun 2011 tidak terlalu besar. Hal ini dapat disebabkan oleh pergeseran proporsi penduduk usia kerja. Jumlah penduduk usia kerja yang memiliki lama sekolah kurang dari enam tahun (setara dengan tidak tamat SD) pada tahun 2010 adalah sebesar 13.7%. Sedangkan pada tahun 2011 sebesar 15.8%. Peningkatan proporsi penduduk ini tidak sebanding dengan peningkatan di level lama sekolah yang yang lebih tinggi yang cenderung tidak terlalu besar. Pola perkembangan ketimpangan pendidikan menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau selama periode 2005-2011 bervariasi (Gambar 20). Nilai gini pendidikan di semua kabupaten/kota memiliki besaran yang kurang dari 0.4. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun indeks gini pendidikan di level provinsi berada dalam kategori ketimpangan rendah, namun masih terdapat kabupaten di
36 Provinsi Riau yang masuk dalam kategori ketimpangan sedang. Kabupaten Kampar, Kota Pekanbaru dan Kota Dumai merupakan kabupaten/kota yang memiliki indeks gini pendidikan yang lebih rendah daripada indeks gini Provinsi Riau selama periode 2005-2011. Secara umum ketimpangan pendidikan di daerah yang berstatus kota lebih rendah dibandingkan wilayah kabupaten. Bahkan terdapat kecenderungan ketimpangan pendidikan yang semakin meningkat di beberapa kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi penduduk dengan pendidikan tinggi di kabupaten lebih sedikit. Dari sisi ketersediaan infrastruktur pendidikan tinggi, daerah kota lebih banyak memiliki sekolah tinggi dari pada kabupaten. Kota Pekanbaru memiliki perguruan swasta sebanyak 38 unit sedangkan kabupaten lain hanya memiliki rata-rata dua unit pada tahun 2011. Tabel 7 Indeks gini kabupaten/kota dan Provinsi Riau tahun 2005 dan 2011 Gini Pendidikan Gini Pendidikan Kabupaten/Kota Tahun 2005 Tahun 2011 Provinsi Riau Kab. Kuantan Singingi Kab. Indragiri Hulu Kab. Indragiri Hilir Kab. Pelalawan Kab. Siak Kab. Kampar Kab. Rokan Hulu Kab. Bengkalis Kab. Rokan Hilir Kota Pekanbaru Kota Dumai Koefisien variasi (%)
0.26 0.30 0.28 0.25 0.30 0.27 0.24 0.29 0.25 0.23 0.18 0.21 14.8
0.26 0.29 0.28 0.29 0.30 0.22 0.23 0.28 0.28 0.27 0.18 0.23 15.3
Pada kondisi awal di tahun 2005, terdapat dua kabupaten yang memiliki peringkat indeks ketimpangan pendidikan tertinggi yaitu Kabupaten Kuantan Singingi dan Kabupaten Pelalawan dengan indeks gini pendidikan yang sama yaitu sebesar 0.30. Kedua kabupaten ini masuk dalam kategori ketimpangan sedang. Kota Pekanbaru dan Kota Dumai merupakan wilayah yang memiliki tingkat ketimpangan pendidikan terendah yaitu masing-masing sebesar 0.18 dan 0.21. Kondisi peringkat indeks ketimpangan pendidikan tertinggi kabupaten/kota pada tahun 2011 terjadi sedikit pergeseran. Kabupaten Kuantan Singingi berhasil mengurangi ketimpangan pendidikan di wilayahnya. Namun Kabupaten Pelalawan sampai tahun 2011 belum menunjukkan hasil yang memuaskan untuk mengurangi ketimpangan pendidikannya. Hal ini diduga karena keberadaan industri pengolahan yang terdapat di Kabupaten Pelalawan. Meskipun industri ini banyak memerlukan tenaga kerja yang berkualitas namun sebagian besar tenaga kerja terampilnya bukanlah penduduk di daerah tersebut. Wilayah Kabupaten Pelalawan yang tidak terlalu jauh dari Kota Pekanbaru menyebabkan banyak pekerja di Kabupaten Pelalawan merupakan penduduk Kota Pekanbaru. Sementara itu, Kota Pekanbaru selalu menjadi wilayah dengan kemerataan pendidikan yang paling tinggi. Pada tahun 2005, nilai gini pendidikan mencapai 0.18 dan menurun lagi menjadi 0.17 pada tahun 2011. Kondisi ini sebanding
37 dengan capaian rata-rata lama sekolah Kota Pekanbaru yang telah berada pada kelas satu SLTA. Koefisien variasi merupakan ukuran dispersi yang digunakan untuk membandingkan variasi dua atau lebih kelompok data. Jika dilihat nilai koefisien variasi gini pendidikan tahun 2005 dan 2011, koefisien variasi gini pendidikan tahun 2005 lebih kecil dari pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa gini pendidikan tahun 2005 lebih seragam dibandingkan gini pendidikan tahun 2011. Gambar 20 menyajikan rata-rata lama sekolah dan gini pendidikan menurut kabupaten/kota tahun 2005 dan 2011. Kabupaten Pelalawan merupakan kabupaten dengan ketimpangan pendidikan sedang (0.30) sedangkan Kabupaten Indragiri Hilir memiliki ketimpangan pendidikan rendah (0.29). Namun berdasarkan capaian rata-rata lama sekolah, Kabupaten Pelalawan masih lebih baik dari pada Kabupaten Indragiri Hilir. Rata-rata lama sekolah Kabupaten Pelalawan sebesar 7.76 tahun sementara Kabupaten Indragiri Hilir memiliki rata-rata lama sekolah 7.16 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah yang tinggi belum mencerminkan kemerataan pendidikan. Nilai gini pendidikan Kabupaten Pelalawan yang tinggi mengindikasikan bahwa proporsi penduduk yang memiliki lama sekolah kategori rendah lebih banyak dari pada proporsi penduduk yang memiliki lama sekolah kategori tinggi. 10b 11.00 10a
10.00 11b 11a
5b 6b
9.00
MYS
Tahun 2011
6a
8a 8b 1b
8.00
Tahun 2005
5a
2b
4b
7b 1a
9b 2a
3b
7.00
4a
3a
9a
7a
6.00
0.18
0.20
0.22
0.24
0.26
0.28
0.30
Gini_Pendidikan
Keterangan:
Gambar 20
a) Pencapaian kabupaten/kota tahun 2005 b) Pencapaian kabupaten/kota tahun 2011 1 = Kuantan Singingi 2 = Indragiri Hulu 5 = Siak 6 = Kampar 9 = Rokan Hilir 10 = Pekanbaru
3 = Indragiri Hilir 7 = Rokan Hulu 11 = Dumai
4 = Pelalawan 8 = Bengkalis
Analisis kuadran gini pendidikan dan rata-rata lama sekolah (MYS) menurut kabupaten/kota tahun 2005 dan 2011
38 Analisis kuadran digunakan untuk mengklasifikasikan kabupaten/kota dengan membandingkan capaian gini pendidikan dan rata-rata lama sekolah kabupaten/kota dengan pencapaian provinsi pada tahun 2005 dan 2011. Analisis kuadran tersebut menunjukkan hampir 45% kabupaten/kota di Provinsi Riau memiliki gini pendidikan diatas angka provinsi dan rata-rata lama sekolah dibawah capaian provinsi pada tahun 2005. Kabupaten tersebut yaitu: Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Siak. Sedangkan pada tahun 2011 kabupaten/kota yang menempati kondisi tersebut meningkat menjadi hampir 65%. Kabupaten tersebut diantaranya Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Indragiri Hilir. Pada tahun 2005, 30% atau empat dari 11 kabupaten/kota yang memiliki gini pendidikan dibawah gini pendidikan provinsi dan rata-rata lama sekolah diatas capaian provinsi. Kabupaten/kota tersebut meliputi: Kota Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bengkalis. Sedangkan pada tahun 2011 kabupaten/kota yang memiliki gini pendidikan di bawah gini pendidikan provinsi dan rata-rata lama sekolah diatas capaian provinsi yaitu Kota Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Kampar, Kabupaten Siak. Pengklasifikasikan kabupaten/kota berdasarkan gini pendidikan dan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 menunjukkan terdapat dua kabupaten/kota yang pertumbuhan ekonominya diatas pertumbuhan ekonomi provinsi dan gini pendidikannya di bawah gini pendidikan provinsi (Gambar 21). Kabupaten/kota tersebut yaitu Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar. 6.00 10
8
7
2
4.00
3
1 4
Growth_PDRB_Perkapita
6 2.00 11
0.00
9
-2.00
5 -4.00
0.175
0.20
0.225
0.25
0.275
0.30
Gini_Pendidikan
Keterangan:
Gambar 21
1 = Kuantan Singingi 5 = Siak 9 = Rokan Hilir
2 = Indragiri Hulu 6 = Kampar 10 = Pekanbaru
3 = Indragiri Hilir 7 = Rokan Hulu 11 = Dumai
4 = Pelalawan 8 = Bengkalis
Analisis kuadran gini pendidikan dan growth_pdrb_perkapita menurut kabupaten/kota tahun 2011
39 Jika dibandingkan dengan Gambar 20, kabupaten/kota tersebut juga memiliki rata-rata lama sekolah di atas capaian provinsi. Kabupaten Rokan Hilir merupakan kabupaten yang pertumbuhan ekonominya di bawah rata-rata provinsi dan gini pendidikannya diatas gini pendidikan provinsi.
Determinan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau Model pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hasil estimasi model ini menggunakan analisis regresi data panel secara ringkas disajikan pada tabel 8. Tabel 8 Hasil estimasi variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Variabel Koefisien Probability C 10.4653 0.7978 LN(JUMLAH_PDDK) 0.78600 0.8395 LN(RASIO_JLN_WILAYAH) 1.72386 0.0324** GE -21.6053 0.0573* LN_MYS -6.22494 0.4462 SHARE_INDUSTRI -0.11448 0.0916* R-squared 0.79560 Adjusted R-squared 0.74534 Prob(F-statistic) 0.00000 *) signifikan pada level 10% **) signifikan pada level 5% Berdasarkan hasil uji Hausman (lampiran) maka model pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau diestimasi menggunakan fixed effect model. Variabel yang digunakan dalam model yaitu jumlah penduduk (LN JUMLAH_PDDK), rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terhadap luas wilayah (LN RASIO_JLN_WILAYAH), gini pendidikan (GE), rata-rata lama sekolah (LN_MYS) dan kontribusi sektor industri terhadap PDRB (SHARE_INDUSTRI). Variabel yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada tahun 2005-2011 adalah rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terhadap luas wilayah, gini pendidikan, share industri terhadap PDRB. Variabel gini pendidikan memiliki nilai koefisien sebesar 21.6. Artinya jika indeks gini naik 0.1 satuan, ceteris paribus, maka pertumbuhan ekonomi turun sebesar 2.16%. Beberapa penelitian memberikan hasil yang sama dengan penelitian ini. Gungor (2006) meneliti dampak ketimpangan pendidikan di negara Turki (67 provinsi) tahun 1975-2000. Variabel ketimpangan pendidikan yang digunakan adalah koefisien gini dan standar deviasi pendidikan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketimpangan pendidikan berdampak negatif terhadap pertumbuhan per kapita dan rata-rata lama sekolah tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Castello-Climent (2010) yang meneliti dampak ketimpangan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di dunia tahun 1960-1985 meyimpulkan bahwa secara global (dunia), dan pada kelompok negara-negara yang sedang berkembang, gini pendidikan berdampak negatif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
40 Pada kelompok negara OECD, gini pendidikan dan capaian pendidikan berdampak signifikan. Sedangkan untuk negara-negara maju dan negara-negara Eropa, gini pendidikan tidak lagi signifikan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini mencerminkan bahwa ketimpangan pendidikan semakin tidak berpengaruh pada kelompok negara-negara yang maju. Share sektor industri terhadap PDRB berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau dengan koefisien sebesar 0.11. Hal ini berarti bahwa peningkatan share sektor industri sebesar 1%, ceteris paribus, pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 0.11%. Hal ini terkait merupakan kondisi spesifik yang ditemukan di Provinsi Riau yang diduga karena kontribusi sektor terbesar dalam perekonomian provinsi Riau adalah sektor pertambangan yaitu berkisar 40%. Produksi sektor pertambangan cenderung untuk semakin menurun sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan kontribusi sektor pertambangan. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor lain termasuk sektor industri dan pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan agregat. Untuk melihat kabupaten/kota yang memiliki share sektor industri yang tinggi ditampilkan pada gambar 22. Pengklasifikasian dengan membandingkan pertumbuhan PDRB perkapita dan share sektor industri provinsi dengan pertumbuhan PDRB perkapita dan share sektor industri kabupaten/kota. Kabupaten Siak dan Kota Dumai merupakan kabupaten/kota yang memiliki share sektor industri diatas provinsi dan pertumbuhan ekonomi di bawah level provinsi. 6.00 8
10
7
4.00
2 1 4
3
Growth_PDRB_Kap
6
2.00 11
0.00
-2.00
9
5
-4.00
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
Share_Industri
Keterangan:
Gambar 22
1 = Kuantan Singingi 5 = Siak 9 = Rokan Hilir
2 = Indragiri Hulu 6 = Kampar 10 = Pekanbaru
3 = Indragiri Hilir 7 = Rokan Hulu 11 = Dumai
4 = Pelalawan 8 = Bengkalis
Analisis kuadran share industri dan growth_pdrb_kap menurut kabupaten/kota tahun 2011
41 Hal ini menunjukkan terdapatnya hubungan negatif antara PDRB perkapita dan share sektor industri. Karakteristik dari kabupaten/kota tersebut merupakan kabupaten yang memiliki pertambangan serta pengolahan minyak bumi. Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Kampar, Kabupaten Bengkalis dan Kota Pekanbaru merupakan kabupaten/kota yang memiliki share sektor industri dibawah provinsi dan pertumbuhan ekonomi di atas level provinsi. Namun juga terdapat arah yang positif antara PDRB perkapita dan share sektor industri pada Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Indragiri Hilir serta Kabupaten Pelalawan. Hal ini ditunjukkan oleh share sektor industri diatas provinsi dan pertumbuhan ekonomi di atas level provinsi dan juga sebaliknya. Penyebabnya antara lain struktur ekonomi kabupaten tersebut lebih didominasi oleh sektor pertanian. Rasio panjang jalan kondisi baik terhadap luas wilayah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau. Peningkatan rasio panjang jalan kondisi baik terhadap luas wilayah sebesar 1 satuan, ceteris paribus, pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 1.7%. Kondisi ini juga merupakan kasus spesifik di Provinsi Riau selama periode 2005-2011. Hal ini diduga karena kontribusi terbesar terhadap PDRB adalah sektor pertambangan namun jika dilihat dari infrastruktur jalan, lokasi pertambangan umumnya memiliki kondisi jalan kategori rusak karena memiliki permukaan tanah atau kerikil. Selain itu, lokasi perkebunan sawit juga lebih didominasi oleh infrastruktur jalan dengan permukaan tanah padahal lokasi perkebunan sawit di Provinsi Riau cukup besar. Kelancaran perhubungan darat untuk memperlancar perekonomian sangat tergantung dengan kondisi prasarana perhubungan darat seperti jalan. Pada tahun 2011, panjang jalan tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 4 167.78 km. Jalan dalam kondisi baik sepanjang 1 102.06 km (26.44%), jalan dalam kondisi sedang sepanjang 1 547.24 km (37.12%), dan 36.43% lainnya dalam kondisi rusak atau rusak berat. Panjang jalan yang cenderung stagnan tiap tahunnya karena tidak adanya perubahan panjang jalan dan luas wilayah yang tetap menjadikan variabel rasio panjang jalan kondisi baik terhadap luas wilayah tidak berubah. Kondisi geografis Provinsi Riau yang dilewati oleh aliran sungai besar menjadikan jalan bukan menjadi satu-satunya prasarana yang penting dalam perekonomian. Keberadaan jembatan dan prasarana sungai maupun laut juga memiliki peran yang penting. Apalagi di Provinsi Riau terdapat beberapa pelabuhan besar yang salah satu perannya sebagai prasarana dalam pengangkutan CPO (Crude Palm Oil) lintas daerah maupun negara. Pentingnya subsektor angkutan laut ini, juga ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB subsektor angkutan laut dan sungai yang lebih tinggi pada tahun 2011 yaitu sebesar 16% sedangkan subsektor angkutan darat hanya tumbuh sebesar 15%.
42
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 1. Ketimpangan pendidikan selama tahun 2005-2011 di Provinsi Riau bergerak menurun namun pada tahun 2011 mengalami sedikit peningkatan. Ketimpangan pendidikan di Provinsi Riau tergolong ketimpangan yang rendah sepanjang tahun. Pada tahun 2011, kabupaten/kota dengan ketimpangan pendidikan yang paling merata adalah Kota Pekanbaru dan sebaliknya yang paling tidak merata adalah Kabupaten Pelalawan. 2. Dengan metode panel statis, diperoleh hasil bahwa ketimpangan pendidikan berdampak negatif signifikan terhadap pertumbuhan. Ketimpangan pendidikan yang semakin tinggi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau.
Saran 1. Kesimpulan penelitian memberikan gambaran bahwa ketimpangan pendidikan merupakan suatu faktor yang lebih penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dibanding pencapaian pendidikan (rata-rata lama sekolah). Oleh karena itu kebijakan pemerintah berorientasi pada pemerataan pendidikan bukan hanya pada peningkatan pencapaian pendidikan. Diantaranya dapat dilakukan dengan pemerataan penyediaan infrastruktur pendidikan khususnya untuk kabupaten yang memiliki cakupan wilayah besar, pelaksanaan kelas sabtu-minggu untuk pendidikan tinggi di kabupaten dimana pengajar didatangkan ke daerah tersebut. 2. Ukuran ketimpangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah koefisien gini. Untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan ukuran ketimpangan lainnya seperti indeks theil pendidikan maupun indeks atkinson. 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel infrastruktur jalan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau namun memberikan tanda negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi jalan baik dan sedang belum cukup menggambarkan kondisi infrastruktur fisik. Oleh karena itu untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan variabel jalan semua kondisi maupun infrastruktur fisik lainnya.
43
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. (berbagai terbitan). Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta:BPS. . Produk Domestik Regional Bruto. Jakarta:BPS. . Statistik Indonesia. Jakarta:BPS. BPS Provinsi Riau. (berbagai terbitan). Riau Dalam Angka. Riau:BPS. Baltagi BH. 2008. Econometrics Analysis of Panel Data. 3rd Ed. Chichester West Sussex: John Wiley & Son, LTD. Barro R. 1991. Economic Growth in a Cross Section of Countries. Quarterly Journal of Economic 106(1):407-443. Benhabib J, Spiegel M. 1994. The Role of Human Capital in Economic Development Evidence from Aggregate Cross-Country Data. J Monetary Economics 34:143−173. Birdsall N, Londono JL. 1997. Asset Inequality Matters: An Assessment of the World Bank's Approach to Poverty Reduction. American Economic Review 87(2):32–37. Blanchard O. 2009. Macroeconomics. New York: Prentice Hall Business Publishing. Bustomi MJ. 2012. Ketimpangan Pendidikan Antar Kabupaten/Kota dan Implikasinya di Provinsi Jawa Tengah. J Economics Development Analysis 1 (2). Castello A. 2010. Inequality and Growth in Advanced Economies: An Empirical Investigation. J Economic Inequality 8(3):293–321. Castello CA, Rafael D. 2005. Human Capital Inequality, Life Expectancy and Economic Growth. Digdowiseiso K. 2009. Education Inequality, Economic Growth, and Income Inequality: Evidence from Indonesia, 1996-2005. MPRA Paper No. 17792. German: University Library of Munich. Dornbusch R, Fischer S, Startz R. 2008. Makroekonomi. Ed ke-10. Roy Indra M, penerjemah. Jakarta: PT Global Edukasi. Terjemahan dari: Macroeconomics. Duarte A, Simões M. 2010. Regional Growth in Portugal: Assessing the Contribution of Earnings and Education Inequality. Anales de Economía Aplicada 24:1127–1153. Fidalgo JG, Simoes M, Duarte A. 2010. Mind the Gap: Education Inequality at the Regional Level in Portugal, 1986-2005. Nota S Economicas (22/43). Galor O, Zeira J. 1993 Income Distribution and Macroeconomics. Review Economin Study 60:35–52. Galor O, Tsiddon D. 1997. The Distribution of Human Capital and Economic Growth. J Econ Growth 2:93– 124. Galor O, Moav O. 2004. From Physical to Human Capital Accumulation: Inequality and The Process of Development. Review of Economic Studies 60: 35-52. Gujarati DN. 2004. Basic econometrics. 4th Ed. New York: McGraw Hill. Gungor ND. 2006. Education, Human capital Inequality and Economic Growth: Evidence from Turkey. Regional & Sectoral Economic Studies 10(2):53–71.
44 Hassan R, Shahzad M. 2005. Education Inequality and Economic Growth: Framework for the Evaluation of Pakistan's Education Policy. International Journal of Human Development 3(1):37-60. Islam N. 1995. Growth Empirics: A Panel Data Approach. The Quarterly Journal of Economics 110:1127-1170. Jhinghan ML. 2010. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kemdiknas RI. 2011. Manajemen Berbasis Sekolah di SMP pada Era Otonomi Daerah, Jakarta: Dirjend Dikdas. Lopez R, Thomas V, Wang Y. 1998. Addressing the Education Puzzle: the Distribution of Education and Economic Reforms. World Bank Working Paper Series No. 2031. Washington, DC: World Bank. Mankiw N, Romer D, Weil D. 1992. A Contribution to the Empirics of Economic Growth. The quarterly journal of economics 107:407−437. Mankiw G. 2006. Makroekonomi. Ed ke-6. Jakarta: Erlangga. Oshima, HT. 1970. Income Inequality and Economic Growth: The Postwar Experiences of Asian Countries. Malayan Economic Review 15(2):13. Rao R, Jani Rb. 2008. School Quality, Educational Inequality and Economic Growth. International Education Studies 1(2):135–141. Sauer P, Zagler M. 2011. (In)equality in Education and Economic Development. Presented at the Seventh Annual Conference on Development Economics and Policy of the Verein fur Socialpolitic. Research Committee Development Economics. Schultz TW. 1962. Invesment in Human Capital. The American Economic Review 51(1):1-17. Sen A. 2000. A Decade of Human Development. J Human Development 1(1). Tambunan TH. 2001. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Thomas V, Wang Y, Fan X. 2001. Measuring Education Inequality: Gini Coefficients of Education. Policy Research Working Paper No. 2525. Thomas V, Wang Y, Fan X. 2002. Measuring Education Inequality: Gini Coefficients of Education for 140 Countries (1960–2000). J Education Planning and Administration 17(1):5–33. Tilak JBG. 1989. Education and Its relation to Economy Growth, Poverty, and Income Distribution. World Bank Discussion Papers. Todaro M, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga. Zhang C, Kong J. 2010. Effect of Equity in Education on the Quality of Economic Growth: Evidence from China. International Journal of Human Sciences Vol.7 Isuue 1.
45 Lampiran 1
PDRB perkapita menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2005-2011 (juta rupiah)
Kabupaten/kota Kuantan Sengingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Kepulauan Meranti Kota Pekan Baru Kota Dumai Total Kab/Kota Prov Riau
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
8.214 9.853 7.489 10.540 45.582 12.742 5.473 51.317 22.521 11.207 7.773 13.756 16.836 16.987
8.712 10.195 7.977 10.628 45.402 12.779 5.540 51.756 22.417 11.741 8.236 13.890 17.079 17.248
9.248 10.531 8.489 10.647 44.102 12.721 5.592 50.490 21.957 12.124 8.708 14.348 17.051 17.225
9.762 10.924 9.047 10.686 44.244 12.945 5.659 51.156 22.135 12.750 9.139 14.591 17.391 17.576
10.178 11.328 9.572 10.842 41.308 13.382 5.714 50.739 21.632 12.253 9.574 14.498 17.323 17.480
10.649 11.611 10.157 10.919 36.291 13.315 5.700 55.770 20.580 12.111 10.078 14.641 17.508 17.642
11.017 12.040 10.527 11.258 34.942 13.646 5.993 58.872 20.101 12.382 10.607 14.837 17.927 17.880
46 Lampiran 2
Rata-rata lama sekolah kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2005-2011 (tahun)
Kabupaten/Kota 2005 2006 Kuantan Singingi 7.32 7.69 Indragiri Hulu 7.44 7.15 Indragiri Hilir 6.70 6.70 Pelalawan 7.10 7.31 Siak 7.74 8.77 Kampar 8.41 8.00 Rokan Hulu 6.87 7.52 Bengkalis 8.45 8.00 Rokan Hilir 6.59 7.16 Kota Pekanbaru 10.49 10.72 Kota Dumai 9.12 8.93 Riau 8.05 8.14 Sumber: Susenas (hasil olahan)
2007 7.20 7.72 6.87 7.67 8.28 8.23 7.21 8.29 6.92 10.60 9.28 8.17
2008 7.88 7.64 6.85 8.11 8.80 8.40 7.13 9.56 7.30 10.75 9.26 8.51
2009 7.42 7.96 7.30 7.54 9.03 8.46 7.55 9.67 7.48 10.48 9.49 8.56
2010 7.99 7.98 7.14 8.21 8.86 8.49 7.53 8.56 7.87 10.79 9.50 8.58
2011 7.99 7.80 7.16 7.76 9.10 8.87 7.64 8.24 7.61 10.96 9.47 8.63
47 Lampiran 3 Gini pendidikan kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2005-2011 Kabupaten/Kota 2005 2006 Kuantan Singingi 0.30 0.27 Indragiri Hulu 0.28 0.31 Indragiri Hilir 0.25 0.28 Pelalawan 0.30 0.30 Siak 0.27 0.21 Kampar 0.24 0.27 Rokan Hulu 0.29 0.28 Bengkalis 0.25 0.29 Rokan Hilir 0.23 0.26 Kota Pekanbaru 0.18 0.17 Kota Dumai 0.21 0.23 Provinsi Riau 0.26 0.27 Sumber: Susenas (hasil olahan)
2007 0.32 0.28 0.31 0.29 0.26 0.27 0.29 0.29 0.30 0.18 0.22 0.28
2008 2009 0.30 0.31 0.31 0.28 0.31 0.28 0.29 0.32 0.23 0.23 0.27 0.25 0.31 0.28 0.22 0.24 0.29 0.30 0.18 0.18 0.22 0.22 0.27 0.27
2010 0.28 0.26 0.26 0.26 0.23 0.25 0.26 0.25 0.26 0.18 0.21 0.25
2011 0.29 0.28 0.29 0.30 0.22 0.23 0.28 0.28 0.27 0.18 0.23 0.26
48 Lampiran 4
Hasil pengujian antara fixed effect dengan pooled least square (Uji Chow)
H0 : α1 = α2 = ... = αi (intercept sama) H1 : sekurang-kurangnya ada satu intercept yang berbeda Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F
Statistic 15.204150
d.f.
Prob.
(10,61)
0.0000
Berdasarkan hasil estimasi diperoleh nilai probabilitas Chi-Square sebesar 0.0000 yang berarti keputusan tolak H0 Kesimpulan: model fixed effect lebih baik daripada model pooled least square
Lampiran 5
Hasil pengujian antara fixed effect dengan random effect (Uji Hausman)
H0 : model random effect lebih baik daripada fixed effect H1 : model fixed effect lebih baik daripada random effect Correlated Random Effects - Hausman Test Test cross-section random effects Test Summary Cross-section random
Chi-Sq. Statistic
Chi-Sq. d.f.
Prob.
10.238399
5
0.0688
Karena nilai probabilitas Chi-Square sebesar 0.0688 yang berarti cukup bukti untuk tolak H0. Kesimpulan: model fixed effect (FEM) lebih baik daripada model random effect (REM)
49 Lampiran 6
Hasil pengujian dengan metode fixed effect
Dependent Variable: GROWTH_PDRB_KAP Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Sample: 2005 2011 Periods included: 7 Cross-sections included: 11 Total panel (balanced) observations: 77 Linear estimation after one-step weighting matrix Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected) Variable C LOG(JUMLAH_PDDK) LOG(RASIO_JLN_WILAYAH) GE LN_MYS SHARE_INDUSTRI
Coefficient 10.46536 0.786002 -1.723865 -21.60530 -6.224948 -0.114488
Std. Error 40.67836 3.864838 0.787260 11.14887 8.118934 0.066799
t-Statistic
Prob.
0.257271 0.203372 -2.189703 -1.937890 -0.766720 -1.713934
0.7978 0.8395 0.0324 0.0573 0.4462 0.0916
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.795603 0.745342 3.192533 15.82930 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
5.548008 9.128046 621.7285 1.875063
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.535158 683.2589
Mean dependent var Durbin-Watson stat
2.066458 1.703526
50 Lampiran 7
Hasil pengujian normalitas error
10
Series: Standardized Residuals Sample 2005 2011 Observations 77
8
6
4
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
1.59e-16 0.367807 6.734652 -6.435239 2.860181 -0.189494 3.167578
Jarque-Bera Probability
0.550916 0.759224
2
0 -6
-4
-2
0
2
4
6
Berdasarkan nilai probabilitas Jarque Bera yang lebih besar dari taraf nyata 5%, maka dapat disimpulkan bahwa error terdistribusi dengan normal.
51
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 9 Oktober 1982 di Pekanbaru, Provinsi Riau. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bangkit Tambunan dan Asli Sirait. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar pada SD Santa Maria Pekanbaru pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke SMP Santa Maria Pekanbaru dan lulus pada tahun 1998. Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 2001 penulis menamatkan pendidikan menengah di SMU Negeri 8 Pekanbaru. Pada tahun 2006 penulis menamatkan pendidikan Diploma IV di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta jurusan Statistik Ekonomi dengan gelar Sarjana Sains Terapan (SST). Sejak tahun 2007 sampai sekarang penulis bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Dumai Provinsi Riau. Pada tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama antara BPS dan IPB pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.