HERI SUSANTO | ANALISIS KETERSEDIAAN SARANA-PRASARANA PENDIDIKAN DAN KESIAPAN IMPLEMENTASI ...
ANALISIS KETERSEDIAAN SARANA-PRASARANA PENDIDIKAN DAN KESIAPAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 DI KABUPATEN TABALONG Heri Susanto Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin Email:
[email protected]
Abstrak: Implementasi Kurikulum 2013 membawa sejumlah konsekuensi, satu diantaranya adalah sekolah selayaknya mempunyai daya dukung yang baik untuk implementasi kurikulum tersebut. Pendekatan ilmiah yang digunakan dalam Kurikulum 2013 idealnya didukung oleh sarana-prasarana yang memadai. Hal ini dikarenakan dalam kurikulum ini siswa ditekankan untuk memperoleh pengetahuan melalui kegiatan eksploratif dalam proses pembelajaran dan bukan hanya menerima pengetahuan dari guru. Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan sarana-prasarana pendidikan dan keterkaitan ketersediaan sarana-prasarana pendidikan dengan kesiapan implementasi Kurikulum 2013. Penelitian ini menggunakan pendekatan mix methodology, yaitu analisa kualitatif dengan data kuantitatif dan kualitatif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 95% sekolah di Kabupaten Tabalong belum memenuhi kebutuhan minimal saranaprasarana pendidikan seperti dipersyaratkan dalam Permendiknas No. 24 tahun 2007 tentang saranaprasarana pendidikan. Bila ditinjau dari kesiapan implementasi Kurikulum 2013 dapat disimpulkan bahwa kekurangan sarana-prasarana tersebut menunjukkan kurangnya kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang bersifat eksploratif. Kata Kunci: Kurriculum 2013, Tabalong, dan Pembelajaran Abstract: The implementation of 2013 Curriculum brought some consequences, one of them is the school should have a good carrying capacity for the implementation of the curriculum. Ideally, scientific approach that used in 2013 Curriculum should be supported by adequate infrastructure. The main reason is in this curriculum students should be required to acquire knowledge through exploratory activities in the learning process and not only received from teacher. This study aimed to determine the availability of educational infrastructure and linkages with the readiness of 2013 Curriculum implementation. This study used mixed methods approach. The result of this study show that more than 95% of schools in Tabalong had not fulfilled the minimum requirements of education infrastructure as required under The 24th Regulation of National Education Ministry Year 2007 about the infrastructure of education. The lack of infrastructure has shown the lack of schools’ readiness to organize learning with scientific approach as the implementation of 2013 Curriculum. Keywords: Curriculum 2013, Tabalong, and Learning
719
JURNAL VIDYA KARYA I JILID 27 N0 7, OKTOBER 2015
LATAR BELAKANG Secara nasional, tujuan pendidikan diletakkan pada tiga pilar, yaitu (1) pemerataan kesempatan dan perluasan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik. Pilar Pemeratan kesempatan dan perluasan akses merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penciptaan dan peningkatan layanan pendidikan kepada seluruh warga Negara (www.kalselprov.go.id, 2009). Keberhasilan program pendidikan melalui proses belajar mengajar sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu di antaranya adalah sarana dan prasarana pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu sumber daya yang penting dan utama dalam menunjang proses pembelajaran di sekolah, untuk itu perlu dilakukan peningkatan dalam pendayagunaan dan pengelolaannya, agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai (Depdiknas, 2007). Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dalam hal standar sarana prasara telah menggariskan ketentuan kriteria minimal standar sarana prasarana pada tingkat satuan pendidikan. Standar minimal sarana prasara pendidikan menurut PP tersebut diatur secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan minimal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Akan tetapi pada kenyataannya, kondisi di lapangan memperlihatkan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan belum mencapai kondisi ideal, termasuk di Kabupaten Tabalong. Mengacu pada Permendiknas No 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana Prasarana, data empiris tahun 2012 di Kabupaten Tabalong memperlihatkan bahwa hanya sedikit sekali sekolah yang memenuhi standar minimal sarana-prasarana. Pada tingkat sekolah dasar sebagian sekolah hanya mempunyai ruang guru yang bergabung dengan ruang kepala sekolah, ruang kelas, toilet dan halaman sekolah. Beberapa prasarana vital yang diperlukan dalam pembelajaran belum terpenuhi, antara lain seperti perpustakaan hanya 61,54% sekolah dasar yang mempunyai perpustakaan dan laboratorium hanya 7,69% yang memiliki laboratorium.
720
Kondisi ini tentu akan menjadi kendala dalam pembelajaran, terlebih bila kurikulum 2013 diterapkan maka guru akan susah untuk merancang pembelajaran inovatif dan saintifik sesuai tuntutan kurikulum. Fasilitas lain yang mendukung proses pembelajaran dengan ketersediaan yang masih minim adalah tempat ibadah hanya 15,38% sekolah dasar yang memiliki tempat ibadah, ruang UKS hanya 34,62% sekolah dasar yang meiliki ruang UKS dan ruang sirkulasi sebagai sarana interaksi siswa dengan siswa hanya 7,69% sekolah dasar yang memiliki ruang sirkulasi memadai. Pada jenjang sekolah menengah pertama, kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi. Belum semua sekolah memiliki perpustakaan, laboratorium, tempat ibadah, ruang sirkulasi dan sebagainya. Hal ini secara tidak langsung juga memaksa pembelajaran yang dilakukan oleh guru masih monoton, hanya sebatas penyampaian informasi, karena untuk melakukan eksplorasi pembelajaran inovatif tidak tersedia fasilitas yang memadai. Beberapa fasilitas pendukung seperti tempat bermain dan berolahraga juga belum semua sekolah memiliki, sehingga siswa masih terkendala dalam menyalurkan hobi dan kreatifitasnya. Demikian juga kondisi sarana-prasarana yang tersedia tidak sepenuhnya baik dan dapat digunakan dengan maksiman. Hal ini menjadi kendala kedua untuk mengembangkan proses belajar mengajar. Kondisi serupa juga terjadi di sekolah menengah atas, ketidak lengkapan sarana-prasarana dan buruknya kualitas sebagian sarana-prasarana menjadi kendala serius dalam mengembangkan proses belajar mengajar. Bila kondisi ini terus dibiarkan maka tidak akan terjadi peningkatan kualitas pendidikan pada jenjang dasar dan menengah di Tabalong. Dalam prooses pembelajaran tidak hanya diperlukan kemampuan guru yang luar biasa, akan tetapi sumberdaya belajar, lingkungan dan daya dukung juga sangat mempengaruhi hasil dari proses pendidikan. Sumberdaya belajar dimaksud antara lain adalah bahan pustaka, alat peraga dan sebagainya. Lingkungan dan daya dukung antara lain berbagai fasilitas pendukung dalam pembentukan pribadi siswa seperti tempat ibadah dan tempat untuk berinteraksi yang nyaman.
HERI SUSANTO | ANALISIS KETERSEDIAAN SARANA-PRASARANA PENDIDIKAN DAN KESIAPAN IMPLEMENTASI ...
Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap akan lebih mampu mengembangkan kreatifitas dan kompetensi siswa. Dengan demikian pemenuhan sarana-prasarana minimal sesuai yang dipersyaratkan dalam Permendiknas No. 24 tahun 2007 menjadi sangat penting dan mendesak untuk dipenuhi. Aspek selanjutnya setelah ketersediaan sarana prasarana pendidikan juga pemanfaatan sarana
dan prasarana pendidikan. Variabel kedua ini menjadi penting karena pemanfaatan sarana dan prasarana pendidikan secara optimal akan mampu memperbaiki kualitas hasil belajar siswa. Penelitian terdahulu di Kabupaten Tabalong membuktikan adanya kecenderungan bahwa saranaprasarana mempunyai korelasi dengan hasil ujian nasional. Selengkapnya hasil uji tersebut dapat dilihat pada tabel.
Tabel 1. Korelasi Sarana-prasarana dengan Hasil Ujian Nasional
Sumber : Jarlit Tabalong tahun 2013 Rangkuman hasil uji statistik korelasi bivariat di atas menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara sarana-prasarana dengan hasil ujian nasional. Sedangkan bila dilihat dari signifikansinya, pada jenjang SMA sarana-prasarana kurang signifikan terhadap pencapaian hasil ujian nasional. Dengan kata lain, kontribusi saranaprasarana tidak terlalu besar terhadap pencapaian hasil ujian nasional pada jejang SMA. Mengacu pada pembahasan pada poin 1 dan 2 di atas bahwa sarana-prasarana memegang peranan penting dalam menunjang keberhasilan pembelajaran. Pada bagian efektifitas pemanfaatan saranaprasarana memperlihatkan hasil uji yang signifikan (terutama pada jenjang SD dan SMP) antara efektifitas pemanfaatan sarana-prasarana dengan hasil ujian nasional. Dengan kata lain bahwa pemanfaatan saranaprasarana secara efektif akan menentukan kualitas hasil pembelajaran yang dilakukan. Hasil uji statistik ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mengembangkan kualitas pembelajaran yang salah satunya dapat dilakukan dengan cara pemenuhan standar minimal sarana-prasarana. Dari hasil uji statistik tersebut dapat disimpulkan sebuah justifikasi yaitu:
1. Kualitas pembelajaran akan meningkat apabila sarana-prasarana tersedia dan dipergunakan dengan efektif dalam proses pembelajaran 2. Pemenuhan sarana-prasarana berarti meningkatkan kualitas pembelajaran 3. Meningkatkan kualitas pembelajaran berarti meningkatkan hasil belajar siswa 4. Meningkatnya hasil belajar siswa berarti meningkatnya kualitas pendidikan. Variabel terakhir terkait sarana-prasarana pendidikan adalah pembbiayaan sarana dan prasarana pendidikan. Variabel ini meliputi biaya investasi, biaya operasional dan pemeliharaan. Pembiayaan menjadi penting untuk dikaji, karena tanpa pembiayaan yang memadai maka kedua variabel sebelumnya tidak akan dapat berjalan secara optimal. Berangkat dari ketentuan, empiris dan asumsi tersebut maka menjadi sangat penting untuk melakukan penelitian komprehensif terhadap ketiga variabel sarana-prasarana tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji masalah terkait saranaprasarana pendidikan dengan kesiapan implementasi Kurikulum 2013.
721
JURNAL VIDYA KARYA I JILID 27 N0 7, OKTOBER 2015
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah, terdapat beberapa persoalan yang belum terjawab pada kajian sebelumnya dan penting untuk dikaji lebih mendalam, masalah tersebut sebagai berikut: 1. Bagaimana ketersediaan sarana-prasarana pendidikan (SD, SMP, SMA) di Kabupaten Tabalong? 2. Bagaimana keterkaitan sarana-prasarana pendidikan dengan kesiapan implementasi kurikulum 2013?
TUJUAN PENELITIAN Keluaran dokumen pemetaan sarana-prasarana pendidikan bermanfaat sebagai masukan dalam rangka perbaikan kualitas pendidikan di Kabupaten Tabalong, meliputi: 1. Mengetahui ketersediaan sarana-prasarana pendidikan di Kabupaten Tabalong; 2. Mengetahui keterkaitan sarana-prasarana pendidikan dengan kesiapan implementasi kurikulum 2013
KAJIAN TEORI Pemetaan Pendidikan Pemetaan sangat berkaitan dengan masalah perencanaan pendidikan. Memetakan pendidikan berarti sebuah upaya melihat kondisi pendidikan disuatu tempat dengan memperhatikan sebarannya, lalu kemudian ia dipetakan sehingga tampak dengan jelas kondisi pendidikan pada daerah tertentu. Karena itu, memetakan adalah bagian dari upaya merencanakan pendidikan itu sendiri. Pemetaan pendidikan merupakan sesuatu yang penting dilakukan sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan pendidikan masyarakat, oleh karena itu, pemetaan Standar Nasional Pendidikan (SNP) perlu dilakukan untuk melihat standar minimal yang dimiliki oleh sekolah pada suatu daerah (Bedjo, dkk., 2010). Implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Peratu-
722
ran Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006). Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan Standar Nasional Pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005).
Sarana-Prasarana Pendidikan Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 standar sarana dan prasarana sekolah disusun untuk lingkup pendidikan formal, jenis pendidikan umum, jenjang pendidikan dasar dan menengah yaitu: Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Undang-undang SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 Bab III Pasal 45 tentang sarana dan prasarana pendidikan, menyebutkan bahwa : a) Setiap satuan pendidikan formal maupun non formal meyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, kecerdasan intelektual sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik. b) ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dari kedua ayat diatas dimaksudkan agar tiaptiap sekolah menyediakan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai semua keperluan pendidikan agar siswa dapat memanfaatkannya sebagai penunjang belajar siswa. Tulus (2003:81-83) mengungkapkan bahwa sarana belajar biasanya menjadi penunjang prestasi belajar, namun demikian bila kelengkapan fasilitas belajar sebagai sarana penunjang belajar di sekolah memadai, sebaliknya dapat menjadi
HERI SUSANTO | ANALISIS KETERSEDIAAN SARANA-PRASARANA PENDIDIKAN DAN KESIAPAN IMPLEMENTASI ...
faktor penghambat apabila kelengkapan fasilitas belajar di sekolah kurang memadai. Menurut Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Dengan demikian sarana adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah. Prasarana adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Pelaksanaan pendidikan nasional harus menjamin pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan di tengah perubahan global agar warga Indonesia menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cerdas, produktif, dan berdaya saing tinggi dalam pergaulan nasional maupun internasional. Untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan tersebut, Pemerintah telah mengamanatkan penyusunan delapan standar nasional pendidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimum tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan pembelajaran dalam pendidikan nasional berpusat pada peserta didik agar dapat:
(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Untuk menjamin terwujudnya hal tersebut diperlukan adanya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana yang memadai tersebut harus memenuhi ketentuan minimum yang ditetapkan dalam standar sarana dan prasarana. Standar sarana dan prasarana ini untuk lingkup pendidikan formal, jenis pendidikan umum, jenjang pendidikan dasar dan menengah yaitu: Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/ MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Standar sarana dan prasarana ini mencakup: a) Kriteria minimum sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lain yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah/madrasah. b) Kriteria minimum prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah/madrasah. Definisi-definisi yang tertuang dalam Permen Diknas Nomor 24 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: a) Sarana adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah. b) Prasarana adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah. c) Perabot adalah sarana pengisi ruang. d) Peralatan pendidikan adalah sarana yang secara langsung digunakan untuk pembelajaran. e) Media pendidikan adalah peralatan pendidikan yang digunakan untuk membantu komunikasi dalam pembelajaran.
(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
f) Buku adalah karya tulis yang diterbitkan sebagai sumber belajar.
(b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
g) Buku teks pelajaran adalah buku pelajaran yang menjadi pegangan peserta didik dan guru untuk setiap mata pelajaran.
(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan
h) Buku pengayaan adalah buku untuk memperkaya pengetahuan peserta didik dan guru.
723
JURNAL VIDYA KARYA I JILID 27 N0 7, OKTOBER 2015
i) Buku referensi adalah buku rujukan untuk mencari informasi atau data tertentu. Sumber belajar lainnya adalah sumber informasi dalam bentuk selain buku meliputi jurnal, majalah, surat kabar, poster, situs (website), dan compact disk.
w) Tempat beribadah adalah tempat warga sekolah/ madrasah melakuka ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu sekolah.
j) Bahan habis pakai adalah barang yang digunakan dan habis dalam waktu relatif singkat.
y) Jamban adalah ruang untuk buang air besar dan/atau kecil.
k) Perlengkapan lain adalah alat mesin kantor dan peralatan tambahan yang digunakan untuk mendukung fungsi sekolah/madrasah.
z) Gudang adalah ruang untuk menyimpan peralatan pembelajaran di luar kelas, peralatan sekolah/madrasah yang tidak/belum berfungsi, dan arsip sekolah/madrasah.
l) Teknologi informasi dan komunikasi adalah satuan perangkat keras dan lunak yang berkaitan dengan akses dan pengelolaan informasi dan komunikasi. m) Lahan adalah bidang permukaan tanah yang di atasnya terdapat prasarana sekolah/madrasah meliputi bangunan, lahan praktek, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan. n) Bangunan adalah gedung yang digunakan untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah. o) Ruang kelas adalah ruang untuk pembelajaran teori dan praktek yang tidak memerlukan peralatan khusus. p) Ruang perpustakaan adalah ruang untuk menyimpan dan memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka. q) Ruang laboratoriumadalah ruang untuk pembelajaran secara praktek yang memerlukan peralatan khusus. r) Ruang pimpinan adalah ruang untuk pimpinan melakukan kegiatan pengelolaan sekolah/ madrasah. s) Ruang guru adalah ruang untuk guru bekerja di luar kelas, beristirahat, dan menerima tamu. t) Ruang tata usaha adalah ruang untuk pengelolaan administrasi sekolah/madrasah. u) Ruang konseling adalah ruang untuk peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir. v) Ruang UKS adalah ruang untuk menangani peserta didik yang mengalami gangguan kesehatan dini dan ringan di sekolah/madrasah.
724
x) Ruang organisasi kesiswaan adalah ruang untuk melakukan kegiatan kesekretariatan pengelolaan organisasi peserta didik.
aa) Ruang sirkulasi adalah ruang penghubung antar bagian bangunan sekolah/madrasah.
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan strategis, yaitu (1) pengumpulan data, (2) analisis data; dan (3) penyajian hasil analisis data (pelaporan). Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei yang merupakan suatu metode dalam mengkaji objek penelitian melalui penjaringan data lapangan dengan menggunakan instrumen yang relevan. Analisis penelitian dilaksanakan secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas No. 24 Tahun 2007 tentang standar minimal sarana-prasarana pendidikan dari jenjang SD/MI sampai dengan SMA/MA.
Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah sekolah pendidikan dasar dan menengah (SD, SMP, SMA). Pemilihan sampel menggunakan metode Stratified Proportional Cluster Random-Sampling, yaitu dengan membagi populasi menjadi beberapa subpopulasi atau strata dan kemudian pengambilan sampel random sederhana dapat dilakukan didalam masing-masing strata pada tiap wilayah kecamatan secara proporsional. Sampel ditetapkan proporsional sebesar 20% dari populasi dalam strata Sekolah Dasar, sehingga dari setiap kecamatan ditetapkan 20% dari total sekolah akan menjadi sampel. Pada jenjang Sekolah Menengan Pertama sampel ditetapkan se-
HERI SUSANTO | ANALISIS KETERSEDIAAN SARANA-PRASARANA PENDIDIKAN DAN KESIAPAN IMPLEMENTASI ...
besar 40% dari total populasi. Sedangkan pada jenjang SLTA sampel ditetapkan sebesar 60% dari total populasi. Presentasi sampel berjenjang ini dikarenakan jumlah sekolah yang tidak sama pada tiap jenjang pendidikan. Sekolah Dasar di KabupatenTabalong berjumlah 229 sekolah yang terdiridari 226 Sekolah Dasar Negeri dan 3 Sekolah Dasar Swasta. Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Tabalong berjumlah 59 sekolah yang terdiri dari 55 Sekolah Menengah Pertama Negeri dan 4 Sekolah Menengah Pertama swasta. Sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas berjumlah 13 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas yang terdiri dari 11 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Negeri dan 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Swasta. Sesuai dengan metode sampling, populasi dikelompokan dalam tiap strata/tingkatan yaitu SD, SMP dan SMA.Selanjutnya dari masingmasing strata tersebut diambil sampel secara acak pada tiap kecamatan (12 kecamatan) sebagai clusternya. Dengan metode ini maka diperoleh sampel sebagai berikut: Sekolah Dasar sebanyak 45 sekolah Sekolah Menengah Pertama sebanyak 25 sekolah, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas sebanyak 11 sekolah
Pengumpulan Data Pengumpulan data sekunder diperoleh dari dinas-dinas terkait. Data primer diperoleh dari sumber primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari sekolah sampel. Data sekunder dari data primer dikumpulkan menggunakan kombinasi teknik-teknik pengumpulan sebagai berikut: a. Daftar isian dan pertanyaan berupa kuesioner yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data secaa langsung dari responden penelitian. Instrumen ini digunakan untuk menjaring data statistik sarana-prasarana. b. Interview, berupa wawancara yang dilakukan secara langsung dengan para responden dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan terutama untuk menjawab rumusan masalah ke empat terkait strategi pemenuhan standar
minimum sarana-prasarana. Wawancara dilakukan kepada pemangku kebijakan terkait bidang pendidikan. c. Observasi atau pengamatan yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengamati secara langsung kondisi lapangan, terutama terkait pemanfaatan sarana-prasarana.
Teknik Analisis Data Metode análisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif kuantitatif dan kualitatif untuk menggambarkan stándar Sarana-prasarana Pendidikan Kabupeten Tabalong mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana-prasarana Pendidikan. Analisa data numerik dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif. Sedangkan data kualitatif dilakukan dengan teknik triangulasi. Triangulasi dilakukan dengan menggunakan triangulasi metode, yaitu dengan melakukan uji petik pada sampel secara acak. Uji petik dilakukan untuk memastikan bahwa tiap ovserver bekerja sesuai dengan ketentuan yang dibuat dan sekaligus menjadi cara melakukan konfirmasi terhadap beberapa data yang dianggap kurang lengkap atau ada potensi terdapat bias. Teknik tabulasi data berjenjang digunakan untuk mengetahui persentase ketersediaan sarana-prasarana dan ketercukupan sarana-prasarana. Sedangkan analisa data series digunakan untuk mengetahui pembiayaan sarana-prasarana dengan menggunakan data time series selama tiga tahun ajaran terakhir.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data dalam penelitian ini diperoleh dari 81 sekolah sampel, Dinas pendidikan Tabalong dan Bappeda Kabupaten Tabalong. Data merupakan data kuantitatif dan kualitatif. Data merupakan data terkait sarana dan prasarana yang meliputi; ketersediaan sarana-prasarana, ketercukupan sarana-prasarana, pemanfaatan sarana-prasarana dan pembiayaan sarana-prasarana. Data ketersediaan diperoleh dengan menggunakan kuesioner dengan kisi-kisi mengacu pada Permendiknas No. 24 tahun 2007 tentang Standar
725
JURNAL VIDYA KARYA I JILID 27 N0 7, OKTOBER 2015
Sarana Prasarana Pendidikan Dasar dan Menengah. Data ketercukupan merupakan persentase ketercukupan berdasarkan sarana yang tersedia. Selanjutnya data pemanfaatan sarana prasarana merupakan data kuantitatif dan kualitatif, data kuantitatif digunakan untuk mengetahui intensitas pemanfaatan sarana prasarana dalam proses pendidikan, terutama sarana prasarana perpustakaan dan laboratorium. Data kualitatif merupakan hasil observasi untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan sarana prasarana dalam proses pendidikan. Sedangkan pembiayaan merupakan data persentase pembiayaan sarana prasarana baik pengadaan, pemeliharaan maupun operasional sarana-prasarana pendidika jenjang sekolah dasar, menengah dan lanjutan yang meliputi sumber dana pusat dan daerah. 1. Kondisi sarana-prasarana Data hasil penelitian menunjukkan bahwa sarana-prasarana pendidikan di Kabupaten Tabalong, baik dari jenjang SD, SMP mupun SMA belum mencapai kondisi yang ideal. Mengacu pada Permendiknas No. 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana, maka terdapat perbedaan kebutuhan minimal sarana-prasarana pada tiap jenjang pendidikan. Prasarana minimal untuk tingkat sekolah dasar sesuai Permendiknas No. 24 tahun 2007 adalah: 1) Ruang kelas 2) Ruang perpustakaan 3) Laboratorium IPA 4) Ruang Pimpinan 5) Ruang guru 6) Tempat ibadah 7) Ruang UKS 8) Jamban 9) Gudang 10) Ruang sirkulasi 11) Tempat bermain Dari sebelas prasarana tersebut pada jenjang SD di Kabupaten Tabalong hanya ruang kelas yang mencapai persentase ketersediaan mencapai 100% dengan luas rata-rata 50,95m2. Akan tetapi bila dilihat dari persentase ketercukupannya masih berada pada angka 66,67%, artinya masih terdapat kekurangan sebesar 33,33%. Kondisi ini
726
menunjukkan bahwa pada jenjang sekolah dasar ruang kelas yang tersedia belum mencukupi kebutuhan sekolah. Kekurangan ini misalnya yang terjadi di SD Negeri Kembang Kuning 2, di sekolah dasar ini terjadi kekurangan 2 ruang kelas dan menyebabkan siswa terpaksa belajar di bangunan bekas toilet dan rumah dinas. Sementara bila dilihat dari kondisi bangunannya, hanya sekitar 46,34% bangunan ruang kelas dengan kondisi baik, sisanya 41,46% kondisinya cukup dan 12,20% dengan kondisi kurang. Persentase ketersediaan prasarana terendah adalah Laboratorium IPA yang hanya 2,22% dengan luas bangunan 49,00m2. Hanya terdapat satu sekolah dasar di Kabupaten Tabalong yang memiliki laboratorium IPA. Pada jenjang SMP secara umum ketersediaan sarana-prasarana pendidikan menunjukkan angka yang lebih baik dibanding jenjang sekolah dasar. Mengacu pada Permendiknas No. 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana, kebutuhan minimal sarana-prasarana minimal yaitu: 1) Ruang kelas 2) Ruang perpustakaan 3) Ruang laboratorium IPA 4) Ruang pimpinan 5) Ruang guru 6) Ruang tata usaha 7) Tempat ibadah 8) Ruang konseling 9) Ruang UKS 10) Ruang organisasi kesiswaan 11) Jamban/toilet 12) Gudang 13) Ruang sirkulasi 14) Tempat bermain/olahraga Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentasi ketersediaan prasarana banyak yang sudah mencapai angka 100%. Meskipun bila dilihat dari kondisinya belum semuanya berada dalam kondisi baik. Sebagai contoh untuk ruang kelas hanya 68,18% dengan kondisi baik, selebihnya sebesar 22,73% dengan kondisi cukup dan 9,09% dengan kondisi kurang. Prasarana yang mencapai persentase ketersediaan 100% adalah ruang kelas, ruang
HERI SUSANTO | ANALISIS KETERSEDIAAN SARANA-PRASARANA PENDIDIKAN DAN KESIAPAN IMPLEMENTASI ...
perpustakaan, laboratorium IPA, ruang pimpinan, ruang guru, ruang tata usaha, tempat ibadah, toilet dan gudang. Sedangkan persentase ketersediaan terendah adalah ruang sirkulasi sebesar 66,67%. Sedangkan pada jenjang SMA, terdapat 11 sekolah negeri. Untuk jenjang sekolah menengah atas, standar sarana minimal yang harus dimiliki sesuai dengan Permendiknas No. 24 tahun 2007 tentang sarana adalah: 1) Ruang kelas 2) Ruang perpustakaan 3) Ruang laboratorium biologi 4) Ruang laboratorium fisika 5) Ruang laboratorium kimia 6) Ruang laboratorium komputer 7) Ruang laboratorium bahasa 8) Ruang pimpinan 9) Ruang guru 10) Ruang tata usaha 11) Tempat ibadah 12) Ruang konseling 13) Ruang UKS 14) Ruang organisasi kesiswaan 15) Jamban/toilet 16) Gudang 17) Ruang sirkulasi 18) Tempat bermain/olahraga Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya terdapat 5 prasarana dari 18 prasarana yang mencapai ketersediaan 100%, yaitu ruang kelas, perpustakaan, ruang pimpinan, ruang guru dan ruang tata usaha. Sedangkan prasarana dengan persentase ketersediaan terendah adalah laboratorium fisika yang hanya 27,27%. Kondisi menunjukkan pentingnya pengadaan laboratorium fisika di sebagian besar sekolah menengah atas di Kabupaten Tabalong. Dilihat dari ketercukupan sarana-prasarana terlihat bahwa hanya sedikit sekali sarana dan prasarana dengan tingkat ketercukupan mencapai 100%. Pada jenjang sekolah dasar tidak ada satupun prasarana dengan teingkat ketercukupan mencapai 100%, begitu juga pada jenjang sekolah menengah pertama, tidak terdapat prasa-
rana dengan tingkat ketersediaan mencapai 100%, sedangkan pada jenjang sekolah menengah atas hanya terdapat tiga prasarana dengan tingkat ketersediaan mencapai 100%, yaitu perpustakaan, laboratorium komputer, dan ruang pimpinan. Ketercukupan terendah pada jenjang SMA adalah ruang UKS yang hanya mencapai 25%. Sementara itu dari sisi pemanfaatan saranaprasarana yang terkait langsung dengan kegiatan pembelajaran selain ruang kelas, yaitu perpustakaan, laboratorium dan tempat bermain/olahraga. Data pemanfaatan perpustakaan tingkat SD memperlihatkan bahwa intensitas tertinggi (59,09) berada pada intensitas lebih kecil dari 15 jam pelajaran, sedangkan untuk laboratorium data intensitas pemakaian tidak ditemukan. Hal ini dikarenakan di Kabupaten Tabalong hanya terdapat satu sekolah dasar yang memiliki laboratorium IPA dan tidak terdapat jadwal pemakaian yang jelas. Pada tingkat SMP intensitas pemakaian perpustakaan sudah cukup ideal, sebesar 40% berada pada intensitas 15-30% dan 33,33% berada pada intensitas 31-40 jam pelajaran. Kondisi ini cukup ideal mengingat jam pelajaran per minggu berkisar antara 46-52 jam pelajaran. Begitu pula untuk intensitas pemanfaatan laboratorium IPA, sebesar 54,55% berada pada intensitas 15-30 jam pelajaran per-minggu. Jenjang SMA memperlihatkan data yang berbeda denga SD dan SMP, data pemanfaatan saranaprasarana SMA memperlihatkan bahwa untuk mata pelajaran-matapelajaran yang ada di tiap tingkat kelas maka intensitas pemanfaatan akan tinggi, misalnya perpustakaan 60% pada intensitas 15-30 jam pelajaran, lab. komputer 50% pada intensitas 15-30 jam pelajaran dan 50% sisanya berada pada intensitas 31-40 jam pelajaran, sementara mata pelajaran yang hanya ada pada tingkat tertentu intensitas pemakaian laboratoriumnya rendah, misalnya laboratorium biologi, fisika, kimia dan bahasa. Kondisi yang kontradiktif terlihat pada data pemanfaatan laboratorium pada tingkat SMP dan SMA, meskipun persentase kekurangan masih tinggi, akan tetapi intensitas pemanfaatan masih rendah. Hal ini berarti meskipun secara keseluruhan masih terdapat kekurangan, akan tetapi ternyata sarana-prasarana yang tersedia masih belum dimanfaatkan secara maksimal.
727
JURNAL VIDYA KARYA I JILID 27 N0 7, OKTOBER 2015
Sedangkan untuk pembiayaan sarana-prasarana persentase terbesar adalah pembiayaan ruang kelas dan laboratorium, pembiayaan ruang kelas yaitu pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) dan rehab ruang kelas. 2. Keterkaitan sarana-prasarana dengan kesiapan implementasi Kurikulum 2013 Pada dasarnya yang mendasari kegiatan pembelajaran pada kurikulum 2013 adalah pendekatan ilmiah (saintific approach), walupun sebenarnya bukan hal yang baru, karena pendekatan ilmiah pada KBK sudah ada, namun istilahnya saja yang berbeda. Adapun ciri-ciri umumnya adalah kegiatan pembelajaran yang mengedepankan kegiatan-kegiatan proses yaitu: mengamati, menalar, menanya, mencoba, mengkomunikasikan/ membentuk jejaring. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran dalam Kurikulum 2013 adalah sebagai berikut : a. Ranah sikap menginginkan transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa.” b. Ranah keterampilan menginginkan transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”. c. Ranah pengetahuan menginginkan transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.” d. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. e. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. f.
Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran.
Sedangkan proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan seperti digambarkan dalam skema berikut ini 728
Kriteria Pembelajaran Pada Kurikulum 2013 adalah sebagai berikut : a. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kirakira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. b. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. c. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. d. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran. e. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran. f.
Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
g. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya. Pembelajaran saintifik merupakan pembelajaran yang mengadopsi langkah-langkah saintis dalam membangun pengetahuan melalui metode ilmiah. Model pembelajaran yang diperlukan adalah yang memungkinkan terbudayakannya kecakapan berpikir sains, terkembangkannya “sense of inquiry” dan kemampuan berpikir kreatif siswa (Alfred De Vito, 1989). Model pembelajaran
HERI SUSANTO | ANALISIS KETERSEDIAAN SARANA-PRASARANA PENDIDIKAN DAN KESIAPAN IMPLEMENTASI ...
yang dibutuhkan adalah yang mampu menghasilkan kemampuan untuk belajar (Joice & Weil: 1996), bukan saja diperolehnya sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pengetahuan, keterampilan, dan sikap itu diperoleh peserta didik (Zamroni, 2000; & Semiawan, 1998). Pembelajaran saintifik tidak hanya memandang hasil belajar sebagai muara akhir, namum proses pembelajaran dipandang sangat penting. Oleh karena itu pembelajaran saintifik menekankan pada keterampilan proses. Model pembelajaran berbasis peningkatan keterampilan proses sains adalah model pembelajaran yang mengintegrasikan keterampilan proses sains ke dalam sistem penyajian materi secara terpadu (Beyer, 1991). Model ini menekankan pada proses pencarian pengetahuan dari pada transfer pengetahuan, peserta didik dipandang sebagai subjek belajar yang perlu dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran, guru hanyalah seorang fasilitator yang membimbing dan mengkoordinasikan kegiatan belajar. Dalam model ini peserta didik diajak untuk melakukan proses pencarian pengetahuan berkenaan dengan materi pelajaran melalui berbagai aktivitas proses sains sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan (scientist) dalam melakukan penyelidikan ilmiah (Nur: 1998), dengan demikian peserta didik diarahkan untuk menemukan sendiri berbagai fakta, membangun konsep, dan nilai-nilai baru yang diperlukan untuk kehidupannya. Fokus proses pembelajaran diarahkan pada pengembangan keterampilan siswa dalam memproseskan pengetahuan, menemukan dan mengembangkan sendiri fakta, konsep, dan nilai-nilai yang diperlukan (Semiawan: 1992). Model ini juga tercakup penemuan makna (meanings), organisasi, dan struktur dari ide atau gagasan, sehingga secara bertahap siswa belajar bagaimana mengorganisasikan dan melakukan penelitian. Pembelajaran berbasis keterampilan proses sains menekankan pada kemampuan peserta didik dalam menemukan sendiri (discover) pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman belajar, hukum-hukum, prinsip-prinsip dan generalisasi, sehingga lebih memberikan kesempatan bagi berkembangnya keterampilan berpikir tingkat tinggi (Houston, 1988). Dengan demikian peserta didik lebih diberdayakan sebagai subjek belajar yang harus berperan aktif dalam memburu informasi dari
berbagai sumber belajar, dan guru lebih berperan sebagai organisator dan fasilitator pembelajaran. Model pembelajaran berbasis keterampilan proses sains berpotensi membangun kompetensi dasar hidup siswa melalui pengembangan keterampilan proses sains, sikap ilmiah, dan proses konstruksi pengetahuan secara bertahap. Keterampilan proses sains pada hakikatnya adalah kemampuan dasar untuk belajar (basic learning tools) yaitu kemampuan yang berfungsi untuk membentuk landasan pada setiap individu dalam mengembangkan diri (Chain and Evans: 1990). Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas kiranya bahwa dalam pembelajaran Kurikulum 2013, unsur terpenting adalah berkembangnya aktivitas siswa dalam mempelajari pengetahuan mereka sendiri. Dengan paradikma bahwa siswa harus menemukan dan memahami pengetahuan melalui aktivitas yang mereka lakukan, tentu sangat memerlukan aktivitas eksploratif siswa dalam pembelajaran. Untuk melakukan aktivitas eksploratif tersebut tentu sangat diperlukan sarana-prasarana pembelajaran yang memadai baik bahan pustaka, laboratorium maupun perlengkapan lain yang mendukung kreativitas belajar. Kurikulum 2013 telah menetapkan bahwa dalam pendekatan saintifik atau pendekatan ilmiah, aktivitas siswa dalam mencari informasi menjadi sangat penting. Aktivitas ini dapat berjalan dengan baik tentu saja apabila tersedia sarana-prasarana pembelajaran yang memadai. Sebagai gambaran misalnya pada mata pelajaran fisika siswa diminta untuk mengamati gejala fisika yang terjadi melalui percobaan sederhana. Pada kenyataannya tidak semuan SMA di Kabupaten Tabalong memiliki laboratorium fisika yang dapat digunakan siswa untuk aktivitas tersebut. Contoh lainnya misalnya dalam pembelajaran sejarah, guru meminta siswa untuk menemukan dan mengamati berbagai fakta terkait suatu peristiwa sejarah, kenyataannya tidak semua perpustakaan memiliki koleksi buku teks yang sesuai, sehingga akan menyulitkan siswa dan guru dalam melakukan aktivitas pembelajaran. Kurang memadainya sarana-prasarana besar kemungkinan akan menjadi hambatan bagi implementasi Kurikulum 2013. Kondisi tentu akan mengganggu keberhasilan implementasi Kurikulum 2013, terlebih perubahan paradigma pembelajaran bahwa guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan, menuntut juga perubahan per-
729
JURNAL VIDYA KARYA I JILID 27 N0 7, OKTOBER 2015
sepsi bahwa keberhasilan pembelajaran bukan sepenuhnya tergantung dari guru, melainkan juga daya dukung dalam proses pembelajaran yang memungkinkan siswa mengembangkan kemampuan. Dengan kata lain ketersediaan saranaprasarana pendidikan menjadi unsur penunjang yang tidak bisa dianggap remeh jika ingin kurikulum ini berhasil dengan baik. Jika semuanya hanya digantungkan pada kehebatan guru dalam mengajar, sudah bisa dipastikan bahwa tidak akan ada bedanya kurikulum ini dengan kurikulum sebelumnya, karena tidak akan ada pengembangan aktivitas instruksional. Kreativitas sudah barang tentu memerlukan dukungan sarana-prasarana yang memadai. Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa beberapa sekolah justru mengalami kondisi yang memprihatinkan. Pada jenjang sekolah dasar misalnya, jangankan laboratorium, bahkan ruang kelas pun masih mengalami kekurangan. Kasus yang terjadi di SDN Kembang Kuning 2 misalnya, sebanyak dua rombel harus belajar dalam bangunan bekas toilet dan rumah dinas. Kondisi ini tentu tidak mendukung pencapaian kompetensi yang diharapkan dalam Kurikulum 2013. Begitu pula yang terjadi pada jenjang SMP, sebagian besar SMP di Kabupaten Tabalong telah memiliki ruang perpustakaan yang memadai, akan tetapi seringkali guru dalam kegiatan pembelajaran tidak dapat menggunakan perpustakaan dengan optimal. Hal ini dikarenakan sebagian besar koleksi yang tersedia merupakan koleksi lama yang kurang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan minat siswa. Kurangnya sarana-prasarana pembelajaran ini perlu menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan. Dalam pilar pemerataan pendidikan, salah satunya adalah perluasan akses pendidikan dan kesetaraan dalam mendapatkan fasilitas pembelajaran. Ketimpangan pendidikan tentu akan terus terjadi apabila tidak ada upaya kongkrit dalam mengatasi ketimpangan akses pendidikan dan kesetaraan dalam memperoleh fasilitas pembelajaran. Jika pendidikan dipandang sebagai investasi, maka pada hakekatnya pemenuhan sarana-prasarana pendidikan adalah biaya investasi yang harus dikeluarkan. Pemenuhan saranaprasarana pendidikan berarti menyelesaikan satu masalah penting dalam upaya meningkatkan
730
kualitas pendidikan baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah.
SIMPULAN Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan dapat dirumuskan simpulan penelitian sebagai berikut: 1. Ketersediaan sarana-prasarana pendidikan dengan persentase terbaik adalah jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada jenjang SMP ketersediaan prasarana yang terkait langsung dengan pembelajaran yaitu perpustakaan dan laboratorium IPA mencapai 100%, meskipun bila dilihat dari saraanya rata-rata masih berada di bawah 80% untuk perpustakaan dan di bawah 70% untuk laboratorium. Pada jenjang SD persentase ketersediaan masih rendah, bahkan sarana yang berkaitan langsung dengan pembelajaran seperti laboratorium hanya tersedia di satu sekolah di Kabupaten Tabalong. Sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk sarana-prasarana yang terkait langsung dengan pembelajaran hanya perpustakaan yang mencapai persentase ketersediaan mencapai 100%, sarana-prasarana lain yang terkait langsung dengan pembelajaran seperti laboratorium yang terdiri dari laboratorium biologi, fisika, kimia, komputer dan bahasa tidak ada yang mencapai persentase ketersediaan 100%. Persentase tertinggi adalah laboratorium komputer yang mencapai 72,73% dan terendah laboratorium fisika yang hanya 27,27%. 2. Ketercukupan terbaik adalah prasarana jenjang Sekolah Menengah Atas, pada jenjang ini ketercukupan prasarana perpustakaan dan laboratorium komputer mencapai 100%, meskipun bila dilihat saranya di dalamnya tidak ada yang mencapai 100%. Sedangkan pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama tidak terdapat satupun prasarana dengan dengan persentase ketercukupan mencapai 100%. Pada jenjang SD ratarata ketercukupan berada di bawah 70%, sedangkan pada jenjang SMP rata-rata ketercukupan berada dibawah 80%. Untuk sarana, terutama sarana yang terkait langsung dengan pembelajaran jenjang SD dan SMP persentase ketercukupannya lebih rendah lagi, yaitu
HERI SUSANTO | ANALISIS KETERSEDIAAN SARANA-PRASARANA PENDIDIKAN DAN KESIAPAN IMPLEMENTASI ...
rata-rata berada dibawah 50%. 3. Pemanfaatan sarana-prasarana yang terkait pembelajaran dengan intensitas terbaik adalah jenjang SMP, yaitu sebagian besar berada pada intensitas 15-30 jam pelajaran dan 3140 jam pelajaran per minggu. Pada jenjang SD intensitas pemanfaatan sarana-prasarana terkait pembelajaran masih sangat rendah, sebagian besar (59,09%) hanya berada pada intensitas kurang dari 15 jam pelajaran per minggu. Sedangkan pada jenjang SMA sebagian besar juga masih berada di bawah 15 jam pelajaran per minggu. 4. Pembiayaan terkait sarana-prasarana pendidikan di Kabupaten Tabalong memper lihatkan adanya kemiripan pola dari jenjang SD sampai dengan SMA. Selama tiga tahun terakhir pembiayaan terbesar adalah terkait ruang kelas, baik pembangunan ruang kelas baru (RKB) maupun pemeliharaan ruang kelas. Sedangkan di posisi ketiga adalah laboratorium, pada jenjang SMP dan SMA terutama yang berkaitan dengan bahan praktikum dan bahan habis pakai serta langganan daya. 5. Bila dilihat keterkaitan antara sarana-prasarana pendidikan dengan kesiapan implementasi Kurikulum 2013 di Kabupaten Tabalong maka terlihat bahwa ketersediaan sarana-prasarana yang ada sampai dengan penelitian ini dilakukan masih belum memadai untuk pelaksanaan Kurikulum 2013. Hal ini terlihat misalnya pada tingkat ketersediaan saranaprasarana laboratorium yang masih rendah dan masih kurangnya buku ajar dan koleksi pustaka pendukung di perpustakaan.
REKOMENDASI DAN SARAN Berdasarkan pengkajian masalah yang ada, dapat dirumuskan beberapa opsi rekomendasi sebagai berikut: 1. Opsi 1: politik anggaran, yaitu menjadikan pemenuhan sarana-prasarana sebagai prioritas dalam APBD Langkah yang dapat ditempuh misalnya pengalihan prioritas anggaran di bidang pendidikan untuk pemenuhan sarana-prasarana minimal sesuai dengan Permendiknas No. 24 tahun 2007 atau pengalihan dan pengurangan
mata anggaran dengan daya serap rendah untuk dialihkan ke anggaran bidang pendidikan. 2. Opsi 2: optimalisasi sumber pembiayaan pendidikan untuk melengkapi kekurangan saranaprasarana, misalnya; penertiban dana CSR dan CD untuk pemenuhan standar saranaprasarana Langkah yang dapat diambil misalnya dengan meningkatkan peran swasta dalam upaya pemenuhan sarana-prasarana pendidikan. Seperti diketahui di Kabupaten Tabalong terdapat sektor-sektor usaha swasta yang berskala nasional bahkan internasional. Sektorsektor usaha ini merupakan alternatif sumber pembiayaan sarana-prasarana. Diperlukan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana CSR (corporate social resposibility) maupun CD (community development) baik dalam mekanisme community relation yaitu berupa pemberian dana langsung, community service yaitu pembangunan/penyediaan fasilitas pendidikan oleh perusahaan swasta seperti penyediaan perpustakaan keliling, maupun community empowerment yaitu pemberdayaan guru, misalnya memperbanyak pelatihan yang dibiayai pihak swasta. 3. Opsi 3: optimalisasi pemanfaatan saranaprasarana, misalnya; pelatihan guru bidang studi terkait Opsi ini penting untuk dilakukan mengingat hasil penelitian memperlihatkan bahwa masih banyak guru yang belum terlatih dalam memanfaatkan sarana pembelajaran, terutama sarana laboratorium fisika, biologi, kimia, bahasa dan komputer. Selain itu juga pelatihan guru bidang studi lain untuk lebih efektif dalam memanfaatkan sarana-prasarana pembelajaran yang tersedia, seperti perpustakaan dan internet. 4. Opsi 4: optimalisasi pemeliharaan dan pembuatan SOP (standar operasional prosedur) pemakaian sarana-prasarana di setiap sekolah Optimalisasi pemeliharaan perlu dilakukan, karena sebagian sarana pembelajaran tidak hanya rusak saat pemakaian tapi juga rusak pada saat penyimpanan. Sehingga diperlukan acuan baku dalam pemanfaatan dan penyimpanan, sehingga sarana-prasarana yang tersedia dapat dimanfaatkan lebih lama.
731
JURNAL VIDYA KARYA I JILID 27 N0 7, OKTOBER 2015
DAFTAR PUSTAKA Anderson, Le.W. dan Kreathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy For Learning, Teaching, And Assesssing: A Revision of Bloom,s Taxonomy of Educational Objectives. New York. Longman. Anoname. Evaluasi Persebaran Sarana Pendidikan Menengah Dalam Rangka Peningkatan Aksesebilitas Sekolah. www.theplanner. wordpress.com, diakses tanggal 20 Maret 2009. Bedjo, Nasruddin, Syaharuddin, Pemetaan Sarana dan Prasarana: Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun di Daerah Tertinggal Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Yogyakarta: Eja Publisher, 2010. Bruner, J. 1996. The Culture of Education. Cambridge, MA: Harvard University Press. Calabrese Barton, A. 1998. Reframing “science for all” through the politics of poverty. Educational Policy, 12, 525-541. Direktorat Tenaga Kependidikan. 2007. Pendidikan dan Pelatihan Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan Persekolahan Berbasis Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Harding, S. (1998). Is Science Multicultural? Postcolonialisms, Feminisms, and Epistemologies. Bloomington: Indiana University Press. http://www.ase.org.uk/documents/principlesand-big-ideas-of-science-education Laporan Pelaksanaan Pemetaan Sarana dan Prasarana Pendidikan Kota Banjarbaru. 2008. Banjarbaru: Dinas Pendidikan Kota Banjarbaru.
732
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Visi dan Misi Pembangunan Daerah. http://www.kalsel prov.go.id, diakses pada Tanggal 26 Juni 2009 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 Tahun 2007. Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan. Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 2013 tentang perubahan atas PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan (Lembar Negara RI Tahun 2013 No.71, Tambahan Lembar Negara) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008. Standar Nasional Pendidikan. Permendikbud No.54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah; Permendikbud No.64 Tahun 2013 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendikbud No.65 Tahun 2013 tentang Standar proses Pendidkan Dasar dan Menengah. Permendikbud No.69 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. UU No 20 tahun 2003 tentang Sisten Pendidikan Nasional (lembar Negara RI tahun 2003 No. 78, Tambahan lembar Negara RI No. 4301), Young, Jolee. And Elaine Chapman (2010). Generic Competency Frameworks: a Brief Historical Overview. Education Research and Perspectives, Vol.37. No.1. The University of Western Australia.