ANALISIS KEPADATAN NYAMUK ANOPHELES SP DI DALAM RUMAH BERDASARKAN LINGKUNGAN DI DESA SIDAREJA, KECAMATAN KALIGONDANG, KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2015
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh : SRI WAHYU FITRIA 1111101000101
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERISYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Agustus 2015 Sri Wahyu Fitria, NIM : 1111101000101 Analisis Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Berdasarkan Lingkungan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga Tahun 2015 xvii + 81 halaman, 9 tabel, 2 bagan, 3 gambar, 2 grafik, 11 lampiran. ABSTRAK Purbalingga merupakan daerah endemis malaria di Jawa Tengah khususnya Desa Sidareja. Desa Sidareja, merupakan desa dengan kejadian malaria yang tinggi pada tahun 2014. Banyak faktor yang dapat memengaruhi kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah yang akhirnya menyebabkan tingginya kejadian malaria. Faktor tersebut berasal dari kondisi lingkungan berupa suhu udara, kelembaban udara, keberadaan ikan pemakan larva dan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah berdasarkan lingkungan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. Metode penelitian cross sectional. Pengumpulan data melalui observasi dan survei entomologi. Berdasarkan penangkapan nyamuk yang telah dilakukan didapatkan spesies Anopheles berupa An.vagus. Selain itu juga diperoleh faktor yang terbukti berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah adalah kelembaban udara (p = 0,028, r = 0,382), keberadaan ikan pemakan larva (p = 0,037) dan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria (p = 0,000). Kesimpulan dari penelitian ini bahwa faktor yang berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah adalah kelembaban udara, keberadaan ikan pemakan larva dan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria. Saran yang diberikan bagi masyarakat adalah menempatkan kandang ternak sapi pada jarak 10-20 m dari rumah, memelihara ikan pemakan larva dan menerapkan perilaku pencegahan malaria. Saran bagi puskesmas berupa pemberian informasi kepada masyarakat tentang jarak penempatan kandang ternak sapi yang tepat sebagai cattle barrier malaria, pentingnya pemeliharaan ikan pemakan larva dan tentang pencegahan malaria. Sementara saran bagi dinas kesehatan yaitu penggunaan metode cattle barrier dengan jarak penempatan kandang ternak sapi yaitu 10-20 m dari rumah, membantu masyarakat dalam pengadaan ikan pemakan larva, membantu puskesmas dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang malaria dan membantu masyarakat dalam menerapkan perilaku pencegahan malaria.
Daftar bacaan : 54 (1994-2015) Kata kunci : Kepadatan Anopheles sp, lingkungan, jarak kandang ternak sapi.
ii
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, August 2015 Sri Wahyu Fitria, NIM : 1111101000101 Analysis of Anopheles sp Mosquitoes Density in House Depend on Environment in Sidareja Village, Kaligondang Subdistrict, Purbalingga District 2015 xvii + 81 pages, 9 tables, 2 charts, 3 pictures, 2 graphics, 11 attachments. ABSTRACT Purbalingga a malaria endemic area in Central Java in particular the Village Sidareja. Sidareja village, a village with a high incidence of malaria in 2014. Many factors can affect the density of Anopheles sp in the house which eventually led to the high incidence of malaria. These factors are derived from environment such as air temperature, humidity, the presence of larvae-eating fish and the distance cage placement of cow as cattle barrier for malaria. The purpose of this study was to determine the density of Anopheles sp in the house depends on the environment in the Sidareja Village, Kaligondang Subdistrict, Purbalingga District. The research method is a cross sectional. The collection of data by observation and entomology survey. Based on the mosquito arrests that have been done found Anopheles species is An.vagus. Moreover, it also acquired factors shown to be associated with the density of Anopheles sp mosquitoes in the house is humidity (p = 0.028, r = 0.382), the presence of larvae-eating fish (p = 0.037) and the distance cage placement of cow as cattle barrier for malaria (p = 0.000). The conclusion from this study that the factors related to the density of Anopheles sp mosquitoes in the house are the humidity, the presence of larvae-eating fish, and the distance cage placement of cow as cattle barrier for malaria. Suggestions given to the community are put the cage of cow at a distance of 10-20 m from the house, nurture the larvae-eating fish and implementing malaria prevention behaviors. Suggestion for health centers for the provision of information to the public about the distance the proper placement of cow cage as cattle barrier malaria, the importance of the nurture of larvae-eating fish and on the prevention of malaria. Meanwhile, the suggestion for the department of health is the use of methods of cattle barrier with cow cage placement distance is 10-20 m from the house, help the community in the provision of larvae-eating fish, help health centers in providing information to the public about malaria and assist communities in implementing malaria prevention behaviors.
References Keyword
: 54 (1994-2015) : The density of Anopheles sp, environment, the distance of cow cage.
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS PRIBADI Nama
: Sri Wahyu Fitria
Tempat dan Tanggal Lahir
: Rejang Lebong, 04 April 1993
Alamat Asal
: Jl. Sihorok No. 95 RT. 002/003, Aro IV Korong, Solok, Sumatera Barat.
Alamat Sekarang
: Jl. Kertamukti Gang Buni (Lap. Rohama) No. 88E RT. 005/09, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.
Agama
: Islam
No. Telp
: 085274667882
Email
:
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN 1999-2005
: SDN O2 Aro IV Korong Kota Solok
2005-2008
: MTsN Kota Solok
2008-2011
: SMA Negeri I Kota Solok
2001-sekarang
: Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
vi
vii
PENGALAMAN ORGANISASI 2013 - 2014
:Anggota Environmental Health Student Association (ENVIHSA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2013 – 2014
:Anggota FKIK untuk Negeri (FUN) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
PENGALAMAN KERJA 1. Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat Timur, Tangerang Selatan 2. Pengalaman Orientasi Kerja di PT Antam (Persero) Tbk UBPP Logam Mulia 3. Pengalaman Orientasi Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Soekarno Hatta
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu” Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan nikmat yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Analisis Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Berdasarkan Lingkungan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga Tahun 2015”. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti. Aamiiin. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan dan saran perbaikan terhadap skripsi ini. 2. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat. 3. Ibu Riastuti Kusuma Wardani, MKM sebagai pembimbing II yang telah memberikan bimbingan bagi penulis selama penyusunan skripsi.
viii
ix
4. Dosen-dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat dan Peminatan Kesehatan Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat. 5. Orang tua (Syahril Sy dan Yetnawati) dan kedua kakak penulis (Rahmatul Ulfa Aulia dan Ramadhani Fithra Subhiya) yang selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa demi kelancaran penyusunan skripsi ini. 6. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, Puskesmas Kecamatan Kaligondang, Balai Desa Sidareja serta warga Desa Sidareja yang telah membantu kelancaran proses penelitian. 7. Ikoh dan keluarga, Betti, Efri, Chandra, Onoy dan Pewe yang telah membantu proses penyusunan skripsi. 8. Teman-teman seperjuangan kesling 2011 (Fia, Niken, Lifi, Mba Feela, Shela, Cepol, Ika, Ila, Anan, Rahmatika, Sajeng, Awal, Eka, Rois, Inu, Almen dan Hari) Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran perbaikan dari pembaca. “Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu”
Jakarta, 18 Agustus 2015
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... i ABSTRAK ..................................................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iv HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................. x DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xvi DAFTAR GRAFIK ....................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A.
Latar Belakang ............................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ........................................................................ 6
C.
Pertanyaan Penelitian ................................................................... 7
D.
Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
E.
1.
Tujuan Umum ....................................................................... 9
2.
Tujuan Khusus ...................................................................... 9
Manfaat Penelitian ........................................................................ 10 1.
Bagi Masyarakat .................................................................... 10
2.
Bagi Puskesmas ..................................................................... 10
3.
Bagi Dinas Kesehatan ........................................................... 11
x
xi
F.
Ruang Lingkup ............................................................................. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 12 A.
Pengertian Malaria ........................................................................ 12
B.
Gejala Klinis.................................................................................. 12
C.
Cara Penularan .............................................................................. 14
D.
Vektor Malaria .............................................................................. 14
E.
Lingkungan dan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp...................... 23
F.
Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi sebagai Cattle Barrier Malaria ............................................................................. 30
G.
Survei Nyamuk Dewasa ................................................................ 31
H.
Pengukuran Kepadatan Nyamuk ................................................... 34
I.
Kerangka Teori ............................................................................. 35
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ................................................................................................... 38 A.
Kerangka Konsep ......................................................................... 38
B.
Definisi Operasional ..................................................................... 41
C.
Hipotesis ....................................................................................... 44
BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................. 45 A.
Desain Penelitian .......................................................................... 45
B.
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 45
C.
Populasi dan Sampel .................................................................... 45
D.
Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................................. 46 1.
Sumber Data .......................................................................... 46
2.
Metode Pengumpulan Data ................................................... 47
xii
E.
3.
Instrumen .............................................................................. 51
4.
Pengolahan Data .................................................................... 52
Analisis Data ................................................................................ 53
BAB V HASIL ................................................................................................ 55 A.
Gambaran Umum Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga ................................................................ 55 1. Kondisi Geografis .................................................................. 55 2. Keadaan Demografis .............................................................. 55 3. Kepemilikan Ternak Sapi ....................................................... 56 4. Kejadian Malaria .................................................................... 56
B.
Gambaran Spesies Anopheles sp yang Tertangkap di dalam Rumah .......................................................................................... 57
C.
Gambaran Suhu Udara ................................................................. 57
D.
Gambaran Kelembaban Udara ...................................................... 57
E.
Gambaran Keberadaan Ikan Pemakan Larva ................................ 57
F.
Gambaran Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi .................... 58
G.
Hubungan antara Suhu Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah ...................................................... 58
H.
Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah ....................................... 60
I.
Hubungan antara Keberadaan Ikan Pemakan Larva dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah ..................... 61
xiii
J.
Perbedaan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp dalam Rumah Berdasarkan Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi sebagai Cattle Barrier Malaria................................................................... 62
BAB VI PEMBAHASAN .............................................................................. 63 A.
Keterbatasan Penelitian ................................................................ 63
B.
Gambaran Spesies Anopheles sp yang Tertangkap di dalam Rumah .......................................................................................... 63
C.
Gambaran Suhu Udara dan Hubungannya dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah ....................................... 64
D.
Gambaran Kelembaban Udara dan Hubungannya dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah ..................... 65
E.
Gambaran
Keberadaan
Ikan
Pemakan
Larva
dan
Hubungannya dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah ................................................................................ 67 F.
Gambaran dan Perbedaan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp dalam Rumah Berdasarkan Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi ................................................................................... 68
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 71 A.
Simpulan ....................................................................................... 71
B.
Saran ............................................................................................. 72 1.
Bagi Masyarakat..................................................................... 72
2.
Bagi Puskesmas ..................................................................... 73
3.
Bagi Dinas Kesehatan ........................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 76
DAFTAR TABEL Tabel 3.1. Definisi Operasional ....................................................................... 41 Tabel 5.1. Jumlah Penduduk Desa Sidareja Tahun 2014 Berdasarkan Rukun Warga .................................................................................... 56 Tabel 5.2. Jumlah Kasus Malaria di Desa Sidareja Tahun 2010-2014 ............ 57 Tabel 5.3. Keberadaan Ikan Pemakan Larva di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga .............................................. 58 Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Rumah Berdasarkan Jarak Penempatan Kandang
Ternak
Sapi
di
Desa
Sidareja,
Kecamatan
Kaligondang, Kabupaten Purbalingga............................................. 58 Tabel 5.5. Hubungan antara Suhu Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah......................................................... 59 Tabel 5.6. Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah.......................................... 60 Tabel 5.7.Hubungan antara Keberadaan Ikan Pemakan Larva dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah........................ 61 Tabel 5.8. Perbedaan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp dalam Rumah Berdasarkan Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi sebagai Cattle Barrier Malaria ..................................................................... 62
xiv
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1. Kerangka Teori Penelitian ............................................................. 37 Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian.......................................................... 40
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Telur Anopheles (Perbesaran 10 X 40) ........................................ 15 Gambar 2.2. Larva Anopheles (Perbesaran 10 X 20 ........................................ 16 Gambar 2.3. Anopheles Dewasa ...................................................................... 17
xvi
DAFTAR GRAFIK Grafik 5.1 Gambaran Suhu Udara dan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp ..... (MHD) di dalam Rumah .................................................................. 59 Grafik 5.2 Gambaran Kelembaban Udara dan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp (MHD) di dalam Rumah ............................................ 61
xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria merupakan penyakit infeksi yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina, disebabkan oleh parasit Plasmodium dan dapat menyerang semua orang pada semua golongan umur. Penyakit malaria hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat global. Menurut Kemenkes RI (2010) malaria memengaruhi tingginya angka kematian bayi, balita dan ibu hamil dimana lebih dari 500 juta penduduk dunia terinfeksi malaria. Kasus malaria terbanyak ditemukan di Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, beberapa bagian negara Eropa dan Indonesia. Malaria di dunia berdasarkan The World Malaria Report 2011, pada tahun 2010 terdapat sekitar 655.000 kematian akibat malaria di seluruh dunia. 91% kematian diperkirakan berada di wilayah Afrika, 6% di Asia Tenggara dan 3% di Wilayah Timur Mediterania. Selain itu juga disebutkan bahwa secara keseluruhan terdapat 3,3 Milyar penduduk dunia tinggal di daerah berisiko atau endemis malaria. Indonesia merupakan salah satu negara yang hingga saat ini masih menjadi transmisi malaria atau berisiko malaria. Data Kemenkes RI (2014) menunjukkan bahwa angka kesakitan malaria (Annual Paracite Incidence) periode 2005–2013 secara nasional cenderung menurun dari 4,1 per 1.000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 1,38 per 1.000 penduduk pada tahun 2013. Namun, cakupan API tahun 2013 ini masih belum mencapai target Renstra 2013 yaitu <1,25 per 1.000 penduduk. Hingga tahun
1
2
2013 semua provinsi di Indonesia terkecuali DKI Jakarta masih merupakan daerah endemis malaria. Di Pulau Jawa endemisitas malaria terdapat di tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Banten dengan API tertinggi berada di Jawa Tengah yaitu 0,04 per 1000 penduduk. Annual Parasite Insidence (API) malaria di Jawa Tengah setiap tahunnya masih fluktuatif. Berdasarkan laporan Kemenkes RI, API malaria berturut-turut periode 2005-2013 di Jawa Tengah adalah 0,06; 0,13; 0,12; 0,07; 0,08; 0,10; 0,01; 0,03 dan 0,04 per 1.000 penduduk. Kejadian malaria di Jawa Tengah memang cenderung turun namun masih berpotensi mengalami kenaikan setiap tahunnya. Sehingga sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Jawa Tengah. Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu daerah endemis malaria di Jawa Tengah. Berdasarkan laporan Dinkes Kabupaten Purbalingga (2014) pada tahun 2003 dan 2010 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria di Purbalingga. Nilai API pada tahun 2003 dan 2010 ini adalah 1,08 dan 4,51 per 1.000 penduduk. Pada tahun 2014 API ini turun menjadi 0,42 per 1000 penduduk namun wilayah Purbalingga masih merupakan daerah endemis malaria sehingga peluang ditemukannya kasus setiap tahunnya masih besar. Menurut Widiarti dkk (2014) Purbalingga termasuk daerah terdapat vektor (reseptif malaria), dimana kondisi lingkungannya memang mendukung untuk hidupnya nyamuk Anopheles. Di Kabupaten ini terdapat tempat potensial perkembangbiakan dan habitat Anopheles berupa 28 % sawah, 6 % kebun, 21 % tegalan, 14 % hutan dan 130 mata air yang mengalir pada 66 sungai. Purbalingga
3
juga beriklim tropis relatif basah dengan kelembaban 74,6 %-87,6 % dan suhu 260C – 310C. Kondisi lingkungan seperti ini efektif untuk hidupnya nyamuk Anopheles sehingga malaria masih menjadi masalah cukup serius di Purbalingga. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadian malaria. Faktor tersebut berasal dari perubahan kondisi lingkungan itu sendiri. Menurut Wibowo (2014) malaria memang ditularkan oleh nyamuk Anopheles namun termasuk penyakit ekologis yaitu penyakit yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk berkembang biak dan kontak dengan manusia. Kondisi lingkungan mempengaruhi kepadatan Anopheles sp di dalam rumah yang kontak dengan manusia. Menurut Anies (2006) kondisi tersebut berupa suhu udara. Suhu udara yang hangat akan mempercepat siklus hidup nyamuk sehingga meningkatkan kepadatan nyamuk di dalam rumah. Besarnya kepadatan nyamuk per orang per jam akan meningkatkan frekuensi kontak antara vektor dan manusia (Dhewantara dkk, 2013). Kelembaban udara juga mempengaruhi kepadatan Anopheles sp di dalam rumah. Menurut Pratama (2015) kelembaban udara merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepadatan Anopheles. Kelembaban udara terlalu rendah (dibawah 60%) dapat memperpendek umur nyamuk sehingga menurunkan kepadatannya sementara kelembaban udara sedikit lebih tinggi mendukung hidup nyamuk dan menyebabkan nyamuk lebih aktif dan sering menggigit yang akhirnya mempengaruhi transmisi malaria (Datau, 2000). Keberadaan ikan pemakan larva juga mempengaruhi kepadatan Anopheles sp di dalam rumah. Menurut Natadisastra (2009) penggunaan ikan
4
pemangsa larva nyamuk dapat menyebabkan vektor mati yang akhirnya menurunkan populasinya. Ikan tersebut berupa Panchac panchac (ikan kepala timah), Lebistus recticularis (guppy) dan Gambusia affinis (ikan gabus). Kondisi lingkungan lain yang juga berpengaruh adalah keberadaan kandang ternak besar yang ditempatkan dekat dengan pemukiman (Hakim, 2010). Penempatan kandang ternak besar seperti sapi di sekitar rumah berperan sebagai cattle barrier malaria yang pada akhirnya berpotensi untuk menurunkan kejadian malaria. Penelitian Mulyono dkk (2013) menunjukkan bahwa penempatan kandang ternak besar seperti sapi berhubungan dengan kasus malaria dimana persentase malaria pada mereka yang memelihara ternak ini lebih kecil dari pada yang memelihara ternak kecil dan yang tidak memelihara ternak. Hal ini disebabkan karena darah ternak besar seperti sapi lebih disukai oleh nyamuk Anopheles. Hal ini diperkuat dengan penelitian Erdinal dkk (2006) dimana pemeliharaan ternak besar berhubungan dengan kejadiaan malaria dan merupakan faktor yang dominan berpengaruh. Mereka yang tidak memelihara ternak besar di sekitar tempat tinggalnya berisiko 3,2 kali terkena malaria sehingga penempatan kandang ternak besar seperti sapi di sekitar tempat tinggal diperlukan sebagai cattle barrier agar sebelum nyamuk menggigit manusia dia terlebih dahulu mengigit binatang. Menurut Kementerian Pertanian RI (2010), penempatan kandang ternak tetap harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 m. Tentunya hal ini untuk menghindari pemilik rumah agar tidak terkena penyakit sesuai dengan penelitian Ramadhani (2004) yang menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
5
kandang ternak yang ditempatkan di dalam rumah atau kurang dari 10 meter berisiko terkena malaria 5,49 kali lebih besar dibandingkan yang menempatkan kandang ternaknya terpisah. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadi dkk (2005) dimana kepadatan Anopheles sp dengan letak kandang ternak di dalam rumah dan menempel 0,78 dan 0,34 per orang per jam lebih tinggi dibandingkan pada rumah yang berjarak 10-20 m dari kandang ternak yang mengindikasikan penempatan kandang ternak berjarak kurang dari 10 m meningkatkan kepadatan Anopheles sp dalam rumah. Dalam penelitian ini juga disebutkan penempatan kandang ternak harus terpisah dari rumah dengan jarak 10-20 m karena letak kandang ternak berpengaruh pada kepadatan Anopheles sp dalam rumah. Sarwoko dkk (2010) juga menyimpulkan adanya perbedaan kepadatan Anopheles sp dalam rumah berdasarkan keberadaan kandang ternak sapi. Kepadatan tertinggi ditemukan pada rumah yang berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak. Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan kepadatan Anopheles sp dalam rumah berbeda berdasarkan jarak penempatan kandang ternaknya. Penelitian Djati dkk (2014) menemukan An. balabacensis sebagai spesies tersangka vektor di Kabupaten Purbalingga. Spesies ini menurut Natadisastra (2009) selain bersifat antropofilik juga bersifat zoofilik. Sehingga dengan adanya sifat ini penempatan kandang ternak sapi berpotensi menghalangi kontak antara nyamuk dengan manusia (cattle barrier) tentunya yang ditempatkan dengan jarak yang tepat.
6
Kecamatan Kaligondang merupakan kecamatan di Purbalingga dengan jumlah ternak sapi yang cukup tinggi. Menurut data Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purbalingga jumlah ternak sapi pada kecamatan ini meningkat dari 388 pada tahun 2011 menjadi 478 pada tahun 2013. Selain itu, kasus malaria tertinggi di Purbalingga hingga tahun 2014 juga terdapat pada kecamatan ini dibandingkan dengan kecamatan endemis lain seperti Pengadegan, Karangmoncol dan Rembang. Berdasarkan data Puskesmas Kecamatan Kaligondang, kasus malaria di daerah ini masih fluktuatif setiap tahunnya yaitu 87 kasus pada tahun 2010, 47 kasus tahun 2011, 25 kasus tahun 2012, 33 kasus tahun 2013 dan meningkat kembali menjadi 105 kasus tahun 2014. Berdasarkan data sekunder juga didapatkan bahwa pada tahun 2014 Desa Sidareja merupakan desa di Kecamatan Kaligondang dengan kejadian malaria yang tinggi dengan API 3,56 per 1000 penduduk dan jumlah pemelihara sapi yang cukup tinggi mencapai 11 orang. Pada desa ini jarak penempatan kandang ternak sapi ditemukan bervariasi mulai kurang dari 10 m hingga lebih dari 20 m dari rumah. Berdasarkan penelitian dan data di atas, maka dalam penyusunan penelitian ini penulis ingin mengetahui kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah berdasarkan lingkungan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. B. Rumusan Masalah Angka kejadian malaria di Desa Sidareja cukup tinggi pada tahun 2014 mencapai 3,56 per 1000 penduduk. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi
7
tingginya kejadian malaria di desa ini. Faktor tersebut dapat berupa kondisi lingkungan yang mendukung hidupnya nyamuk Anopheles sp sehingga meningkatkan kepadatannya di dalam rumah. Kondisi lingkungan tersebut berupa suhu udara, kelembaban udara dan keberadaan ikan pemakan larva. Menurut Anies (2006), Pratama (2015) dan (Datau, 2000) suhu udara dan kelembaban udara mempengaruhi kepadatan Anopheles sp di dalam rumah. Menurut Natadisastra (2009) keberadaan ikan pemakan larva juga mempengaruhi kepadatan Anopheles sp. Kondisi lingkungan lain yang ditemukan dapat mempengaruhi kepadatan Anopheles sp di dalam rumah adalah keberadaan kandang ternak besar di dekat pemukiman (Hakim, 2010). Berdasarkan penelitian Hadi dkk (2005) dan Sarwoko (2010) kepadatan Anopheles sp dalam rumah ditemukan berbeda berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi. Kepadatan ditemukan tinggi dalam rumah yang berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak. Selain itu, juga disebutkan bahwa kandang ternak harus terpisah dari rumah dengan jarak 10-20 m sesuai dengan peraturan Kementan RI dimana penempatan kandang ternak harus berjarak minimal 10 m dari rumah. Hal ini melatarbelakangi peneliti untuk mengetahui kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah berdasarkan lingkungan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran umum Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga?
8
2. Bagaimana gambaran spesies Anopheles sp yang tertangkap di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga? 3. Bagaimana gambaran suhu udara di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga? 4. Bagaimana gambaran kelembaban udara di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga? 5. Bagaimana gambaran keberadaan ikan pemakan larva di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga? 6. Bagaimana gambaran jarak penempatan kandang ternak sapi di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga? 7. Apakah ada hubungan antara suhu udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga? 8. Apakah ada hubungan antara kelembaban udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga? 9. Apakah ada hubungan antara keberadaan ikan pemakan larva dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga? 10. Apakah ada perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga?
9
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya gambaran umum Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. b. Diketahuinya gambaran spesies Anopheles sp yang tertangkap di dalam rumah
di
Desa
Sidareja,
Kecamatan
Kaligondang,
Kabupaten
Purbalingga. b. Diketahuinya gambaran suhu udara di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. c. Diketahuinya gambaran kelembaban udara di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. d. Diketahuinya gambaran keberadaan ikan pemakan larva di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. e. Diketahuinya gambaran jarak penempatan kandang ternak sapi di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. f. Diketahuinya hubungan antara suhu udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga.
10
g. Diketahuinya hubungan antara kelembaban udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga? h. Diketahuinya hubungan antara keberadaan ikan pemakan larva dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kondisi lingkungan yang berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah sehingga menjadi acuan bagi masyarakat dalam menerapkan perilaku pencegahan malaria. Selain itu agar masyarakat mengetahui perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi. Sehingga dapat menjadi landasan bagi masyarakat dalam menempatkan kandang ternak sapi dengan jarak yang tepat di sekitar rumahnya dalam menghalangi kontak antara nyamuk dengan manusia (cattle barrier). 2. Bagi Puskesmas Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi tenaga kesehatan dalam menentukan strategi efektif pemberantasan nyamuk Anopheles sp berdasarkan kondisi lingkungan setempat.
11
3. Bagi Dinas Kesehatan Penelitian
diharapkan
menjadi
bahan
pertimbangan
dalam
pengambilan keputusan terkait eliminasi malaria dengan cara manipulasi lingkungan dan penggunaan metode cattle barrier dengan jarak penempatan kandang ternak sapi yang tepat. F. Ruang Lingkup Penelitian
ini
dilakukan
oleh
mahasiswa
Peminatan
Kesehatan
Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mengetahui kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah berdasarkan lingkungan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. Penelitian dilakukan pada bulan januari hingga akhir juni 2015 menggunakan metode survei entomologi dan desain cross sectional (potong lintang).
Kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah diperoleh dengan
melakukan perhitungan Man Hour Density (MHD) berdasarkan penangkapan nyamuk umpan orang di dalam rumah dan penangkapan di dinding dalam rumah. Selanjutnya dilakukan analisis kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah berdasarkan lingkungan menggunakan uji korelasi pearson, mann-whitney dan kruskal wallis.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Malaria Malaria merupakan penyakit reemerging (penyakit yang menular kembali secara massal), disebabkan oleh parasit bersel satu dari kelas Sporozoa, suku Haemosporida, keluarga Plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk (mosquito borne diseases) yaitu Anopheles betina. Penyakit ini banyak ditemukan di daerah tropis (Wibowo, 2014). Pada umumnya berada di daerah 600 lintang utara hingga 400 lintang selatan (Yatim, 2007). Malaria juga tersebar di seluruh kepulauan Indonesia terutama di kawasan timur. Penduduk Indonesia masih berisiko tertular malaria karena sebagian besar hidup di daerah terjadinya penularan malaria (Muslim, 2009). Agent penyebab penyakit malaria adalah Plasmodium vivaxyang menyebabkan malaria
vivax/tertiana,Plasmodium falciparummenyebabkan
malaria falciparum/tropika, Plasmodium malariae menyebabkan malaria malariae/quartana dan Plasmodium ovale menyebabkan malaria ovale (Prabowo, 2004). B. Gejala Klinis Gejala klinis malaria (paroksima) terdiri dari beberapa serangan demam yang memiliki interval waktu tertentu dan diselingi dengan periodik bebas demam. Serangan tersebut terdiri dari tiga stadium sebagai berikut (Susanna, 2011) :
12
13
1. Stadium rigoris (cold stage) = menggigil dan dingin Pada stadium ini penderita merasa kedinginan hingga menggigil, mengalami kejang yang hebat, gemetar, pusing kepala dan kadang-kadang disertai muntah. Penderita juga kekurangan O2 sehingga kulit, bibir, muka menjadi pucat kebiru-biruan (cianosis) dan denyut nadi melemah. Hal ini terjadi selama 15 menit hingga satu jam karena pecahnya eritrosit, dan haemoglobin yang berubah menjadi hemozoin yang bersifat toksin. Pada akhir stadium suhu tubuh naik dengan cepat (Susanna, 2011). 2. Stadium febris (monst stage) = panas Stadium febris berlangsung 2 hingga 6 jam. Pada stadium ini penderita merasa panas (suhu mencapai 400C atau lebih), muka kemerah-merahan, denyut nadi penuh dan kuat, tekanan darah turun, pernapasan cepat, pusing kepala hebat, mengigau, gelisah, merasa sangat haus dan kadang-kadang disertai muntah maupun diare. Hal ini terjadi karena merozoit masuk dan menyerang eritrosit baru (Susanna, 2011). 3. Stadium sudoris (sweating stage) = perspirasi Stadium berlangsung hingga 2-4 jam. Suhu tubuhpenderita turun disertai keluarnya keringat, mencapai suhu normal dan penderita merasa seperti telah sembuh (Natadisastra, 2009). Selanjutnya timbul kembali serangan menggigil. Dari akhir stadium sudoris hingga timbul serangan menggigil (stadium rigoris) disebut Apyrexyal Intervel dan intervalnya berbeda-beda setiap spesies plasmodium
14
dimana P. falciparum berkisar 12 jam, P. vivax/oval 30 jam dan P. malariae 60 jam (Susanna, 2011). C. Cara Penularan Malaria umunya ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang mengisap darah untuk pertumbuhan telurnya (Susanna, 2011). Menurut Depkes (2003) umumnya Anopheles aktif menggigit pada waktu malam hari. Ketika menghisap darah manusia air liur nyamuk yang mengandung plasmodium dalam stadium gametosit masuk kedalam tubuh manusia dan selama 8-10 hari gamet betina dan jantan akan bersatu menghasilkan sporozoit berbentuk kista. Sporozoit akan masuk ke sel hati dan berkembang menjadi skizon eksoeritrositik pada orang yang sensitif. Hepatosit pecah dan terjadi stadium aseksual (merozoit) dalam darah 6-11 hari yang selanjutnya menjadi gametosit selama 3-14 hari sesuai dengan spesies plasmodium malaria (Chandra, 2009). Penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah (melalui jarum suntik), melalui tali pusat atau plasenta pada bayi (malaria bawaan = congenital) karena ibunya menderita malaria dan oral pada binatang seperti burung dara (Plasmodium relection), ayam (Plasmodium gallinasium), dan monyet (Plasmodium knowlessi) (Susanna, 2011). D. Vektor Malaria 1. Siklus Hidup Anopheles sp Nyamuk mengalami metamorfosa sempurna yaitu mulai dari telur, jentik, kepompong atau pupa dan menjadi dewasa. Nyamuk memiliki dua alam
15
kehidupan yaitu di dalam air untuk jentik dan pupa serta di darat untuk nyamuk dewasa (Depkes, 2003). a. Telur Nyamuk dewasa akan meletakkan telurnya dipermukaan air. Telur yang dikeluarkan berkisar 100-300 butir sekali bertelur dan besarnya sekitar 0,5 mm (Depkes, 2003). Telur
Anopheles berbentuk bundar
lonjong dan kedua ujungnya runcing seperti gambar berikut (Prianto dkk, 1994) :
Gambar 2.1 Telur Anopheles (Perbesaran 10 X 40) b. Jentik Telur akan menetas menjadi jentik setelah 1-2 hari. Jentik ini sangat halus seperti jarum. Selama pertumbuhannya jentik akan berganti kulit sebanyak 4 kali (Depkes, 2003). Menurut Prianto dkk (1994), jentik Anopheles memiliki ciri-ciri tidak terdapat sifon, ada lubang pernapasan dan lapisan punggung seperti pada gambar berikut :
16
Gambar 2.2 Larva Anopheles (Perbesaran 10 X 20) c. Kepompong atau pupa Pertumbuhan jentik menjadi kepompong berlangsung selama 8-10 hari ergantung suhu, makanan dan spesies nyamuk. Kepompong merupakan
stadium
istirahat, tidak makan
dan terjadi
proses
pembentukan alat-alat tubuh nyamuk dewasa seperti alat kelamin, sayap dan kaki. Tingkatan ini berlangsung selama 1-2 hari (Depkes, 2003). d. Dewasa Nyamuk dewasa dapat dibedakan menjadi jantan dan betina berdasarkan alat kelaminnya. Anopheles dewasa ini dapat dibedakan dengan nyamuk lainnya berdasarkan ciri-ciri umum dan khusus sebagai berikut (Depkes, 2003) : 1) Ciri umum : urat sayap bernoda pucat dan gelap, jumbai bernoda pucat, proboscis dan palpi sama panjang, scutellum berbentuk satu lengkungan atau setengah lingkaran, palpi bergelang pucat atau sama sekali tidak bergelang, kaki panjang dan langsing.
17
2) Ciri khusus :palpi bergelang pucat atau tidak sama sekali, sayap ditekankan pada urat-urat sayap dengan noda gelap dan pucat, jumbai kadang-kadang bernoda pucat atau gelap sama sekali dan kaki belakang sering terdapat bintik-bintik (bernoda pucat). Berikut adalah gambar nyamuk dewasa Anopheles (Prianto dkk, 1994) :
Gambar 2.3 Anopheles Dewasa Umur nyamuk jantan umumnya lebih pendek yaitu kurang dari seminggu sementara nyamuk betina lebih panjang sekitar 1-2 bulan. Nyamuk jantan terbang disekitar perindukannya dan memakan cairan tumbuhan disekitarnya sedangkan nyamuk betina memakan darah dimana darah ini dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya. Nyamuk betina hanya kawin seumur hidupnya. Perkawinan terjadi setelah 24-48 jam keluar dari kepompong (Depkes, 2003). 2. Perilaku Anopheles sp Nyamuk Anopheles betina berperan dalam menularkan Plasmodium kepada manusia atau disebut sebagai vektor sehingga perilakunya
18
berpengaruh dalam penularanmalaria. Berikut adalah perilaku Anopheles berdasarkan spesiesnya menurut Natadisastra (2009) : a. An. sundaicus 1) Perilaku berkembang biak: tambak ikan yang kurang terpelihara, muara sungai yang mendangkal pada musim kemarau, parit-parit sepanjang pantai dan bekas galian yang terisi air payau. 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di dalam dan di luar rumah. 3) Perilaku mencari makan : antropofilik dan zoofilik, menggigit sepanjang malam. b. An. aconitus 1) Perilaku berkembang biak : penggaraman (Bali) dan di air tawar (Kaltim dan Sumatra). 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di luar rumah 3) Perilaku mencari makan : zoofilik dan antropofilik, menggigit di waktu senja sampai dini hari. c. An. subpictus 1) Perilaku berkembang biak : tepi sungai pada musim kemarau, persawahan dengan saluran irigasi dan kolam ikan dengan tanaman rumput di tepinya. 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di dalam dan di luar rumah (di kandang).
19
3) Perilaku mencari makan : antropofilik dan zoofilik, menggigit malam hari. d. An. barbirostris 1) Perilaku berkembang biak : celah tanah bekas kaki binatang, tambak ikan, kumpulan air yang permanen/sementara dan bekas galian di pantai (pantai utara pulau Jawa). 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di luar rumah (pada tanaman). 3) Perilaku mencari makan : antropofilik (Sulawesi dan NT) dan zoofilik (Jawa dan Sumatra); menggigit pada malam hari. e. An. maculatus 1) Perilaku berkembang biak : sungai dan mata air dengan air jernih yang mengalir lambat di daerah pegunungan daerah perkebunan teh (Jawa). 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di luar rumah (sekitar kandang). 3) Perilaku mencari makan : zoofilik dan antropofilik; menggigit pada malam hari. f. An. balabacensis 1) Perilaku berkembang biak : kolam, rawa, mata air, sumur, sawah, saluran irigasi, bekas roda yang tergenang air, air, bekas jejak kaki binatang pada tanah berlumpur yang berair, tepi sungai pada musim
20
kemarau, kolam atau sungai yang berbatu, di hutan atau daerah pedalaman. 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di luar rumah (di sekitar kandang). 3) Perilaku mencari makan : antropofilik dan zoofilik; menggigit malam hari. g. An. farauti 1) Perilaku berkembang biak : kolam, genangan air dalam perahu, kebun kangkung, genangan air hujan, rawa dan saluran air. 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di dalam dan luar rumah. 3) Perilaku mencari makan : antropofilik dan zoofilik; eksofagik menggigit malam hari. h. An. punctulatus 1) Perilaku berkembang biak : air di tempat terbuka dan terkena sinar matahari, pantai (dalam musim penghujan) dan tepi sungai. 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di luar rumah. 3) Perilaku mencari makan : antropofilik dan zoofilik; menggigit pada malam hari. i. An. koliensis 1) Perilaku berkembang biak : kolam, kebun kangkung, bekas jejak roda kendaraan, lubang-lubang di tanah yang berisi air, saluran-saluran, dan rawa-rawa tertutup. 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di dalam rumah.
21
3) Perilaku mencari makan : antropofilik dan zoofilik; menggigit di waktu malam. j.An. nigerrimus 1) Perilaku berkembang biak : kolam, sawah dan rawa yang ada tanaman air. 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di luar rumah (kandang) 3) Perilaku mencari makan : zoofilik dan antropofilik; menggigit senja malam. k. An. sinensis 1) Perilaku berkembang biak : kolam, sawah dan rawa yang ada tanaman air. 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di luar rumah (kandang) 3) Perilaku mencari makan : zoofilik dan antropofilik; menggigit senja malam. l.An. flavirostris 1) Perilaku berkembang biak : mata air dan sungai terutama jika bagian tepinya berumput. 2) Perilaku beristirahat : belum ada laporan. 3) Perilaku mencari makan : zoofilik dan antropofilik. m. An. karwari 1) Perilaku berkembang biak : air tawar yang jernih dan kena sinar matahari, di daerah pegunungan. 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap di luar rumah.
22
3) Perilaku mencari makan : zoofilik dan antropofilik. n. An. letifer 1) Perilaku berkembang biak : air tergenang (tahan hidup di tempat asam) terutama dataran pinggir pantai). 2) Perilaku beristirahat : tempat istirahat tetap bagian bawah atap di luar rumah. 3) Perilaku mencari makan : antropofilik > zoofilik o. An. barbum-brosus 1) Perilaku berkembang biak : di pinggir sungai yang terlindung dengan air yang mengalir lambat dengan hutan di dataran tinggi. 2) Perilaku beristirahat : bionomik belum banyak dipelajari. 3) Perilaku mencari makan : antropofilik p. An. ludlowi 1) Perilaku berkembang biak : sungai di daerah pegunungan. 2) Perilaku mencari makan : antropofilik >> zoofilik q. An. bancrofti 1) Perilaku berkembang biak : air tawar yang tergenang, danau dengan tumbuhan bakung dan rawa dengan tumbuhan pakis. 2) Perilaku mencari makan : zoofilik > antropofilik. r. An. vagus Menurut Sari dkk (2011) tempat perkembangbiakan An.vagus adalah pada tambak yang sudah tidak digunakan, saluran pembuangan yang tidak lancar dan terdapat sampah di sekitarnya, disekitar kandang ternak,
23
rawa, semak-semak dan saluran pembuangan yang ditumbuhi rumput. Tempat istirahatnya adalah di sawah, parit dan dinding dalam rumah (Boesri dan Suwaryono, 2011). An. vagus ini bersifat antropofilik dan zoofilik (Andriani dkk, 2014). Efektifitas vektor ini untuk menularkan malaria ditentukan oleh kepadatan vektor dekat pemukiman manusia atau di dalam rumah (Datau, 2000). E. Lingkungan dan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp Malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles dan merupakan suatu penyakit ekologis yaitu penyakit yang sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak, melakukan kontak
dengan
manusia
dan
menularkan
parasit
malaria
(Wibowo,
2014).Perubahan lingkungan memengaruhi biologi vektor malaria dan pada akhirnya dapat memengaruhi keadaan penyakit malaria. Di daerah yang tidak baik untuk biologi vektornya kemungkinan adanya malaria lebih kecil (Natadisastra, 2009). Faktor lingkungan yang berpengaruh pada kepadatan vektor malaria menurut Datau (2000) adalah lingkungan fisik dan biologi : 1. Lingkungan fisik a. Suhu udara Proses perkembangan nyamuk optimum pada suhu 25-27oC dan jika suhu lebih dari 27-300C maka umur nyamuk menjadi lebih pendek (Sumantri, 2010). Menurut Natadisastra (2009) umur nyamuk yang panjang akan memberikan lebih banyak waktu untuk parasit malaria menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsiknya dari gametosit sampai
24
sporozoit di kelenjer liur. Selain itu, suhu udara juga akan mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan telur Anopheles menjadi dewasa. Adanya variasi suhu udara ini dipengaruhi oleh ketinggian suatu tempat(Ahrens, 2008). Ada hubungan yang kuat antara suhu udara dengan kepadatan Anopheles dimanakepadatan Anopheles 68,8 % dipengaruhi oleh suhu udara. Kepadatan akan meningkat saat suhu udara turun sebaliknya kepadatan akan mengalami penurunan jika suhu udara meningkat (Mofu, 2013). Hal ini sesuai dengan penelitian Mading (2013)dimana suhu udara sangat mempengaruhi kepadatan nyamukAnophelessp. Suhu 23-250C ditemukan optimum untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles. Suhu yang mempengaruhi kepadatan nyamuk Anophelesdalam rumah akhirnya mempengaruhi kejadian malaria. Menurut Friaraiyatini dkk (2006) suhu udara berpengaruh terhadap kejadian malaria (p<0,05). Suhu yang potensial berisiko menyebabkan malaria 2,571 kali lebih besar dibanding suhu yang tidak potensial (Nurfitrianah dkk, 2013). b. Kelembaban Udara Batas kelembaban paling rendah yang memungkinkan hidupnya nyamuk adalah 60%. Kelembaban yang rendah tidak berpengaruh pada parasit
namun
memperpendek
umur
nyamuk
mengurangi kepadatan nyamuk (Datau dkk, 2000).
sehingga
dapat
25
Kelembaban udara berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles. Kepadatan Anopheles 40,5 % dipengaruhi oleh kelembaban udara, selebihnya 59,5 % oleh faktor lain di luar kelembaban udara. Kepadatan nyamuk Anopheles ini juga berhubungan dengan kasus malaria satu bulan berikutnya (Suwito dkk, 2010). Menurut Mofu (2013) kelembaban udara dengan kepadatan Anopheles berhubungan ke arah positif. Kepadatan terjadi seiring meningkatnya kelembaban udara dan jika kelembaban turun maka kepadatan Anopheles juga turun. Kepadatan Anopheles tertinggi ditemukan pada kelembaban udara 85,3 % yaitu 4,1 ekor/orang/jam dan terendah pada kelembaban 78,5% dan 76% yaitu1 ekor/orang/jam. Kelembaban yang mempengaruhi kepadatan vektor malaria dalam rumah akhirnya juga mempengaruhi kejadian malaria. Kelembaban berhubungan dengan kejadian malaria dengan korelasi positif yang artinya semakin meningkat kelembaban udara maka kejadian malaria juga akan meningkat(Devi dan Jauhari, 2006). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Zacarias dan Andersson (2011) yang menunjukkan bahwa kelembaban udara berhubungan dengan kejadian malaria. Ratarata kelembaban udara pada daerah ini adalah 69,16%. Meningkatnya kelembaban udara 1% dari kelembaban relatif menyebabkan risiko kejadian malaria menjadi lebih tinggi.
26
c. Hujan Pada musim hujan penularan malaria lebih tinggi dari pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan air hujan yang menimbulkan genangan juga merupakan tempat ideal bagi nyamuk ini (Anies, 2006). Indeks curah hujan berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles per orang per malam dimana kepadatan nyamuk Anopheles 56,9% disebabkan oleh curah hujan. Kepadatan nyamuk Anopheles ini berhubungan dengan kasus malaria satu bulan berikutnya (Suwito dkk, 2010). d. Angin Jarak terbang Anopheles dipengaruhi oleh kecepatan angin. Biasanya jarak terbang Anopheles ini berkisar 0,5 hingga 3 km (Natadisastra, 2009). Perilaku Anopheles sp di Desa Selong Belanak juga dipengaruhi oleh kecepatan angin dimana kecepatan angin akan sangat mempengaruhi kepadatan Anopheles sp di daerah ini (Mading, 2013). e. Ketinggian Kasus malaria umumnya berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah dikarenakan menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian di atas 2000 m transmisi malaria jarang terjadi (Datau dkk, 2000). Ketinggian tempat adalah salah satu variabel lingkungan yang memengaruhi populasi dan penyebaran perindukan nyamuk di
27
Sukabumi. Rendahnya ketinggian tempat suhu udara semakin tinggi dan semakin tinggi ketinggian tempat semakin rendah suhu udaranya. Interval suhu udara di dataran rendah Sukabumi termasuk suhu udara optimum bagi metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Anophelesdan suhu udara di dataran tinggi adalah batas bawah untuk metabolisme dan perkembangbiakan nyamuk. Hal inilah yang dapat memengaruhi kepadatan nyamuk. Semakin tinggi ketinggian tempat di Sukabumi risiko malaria ditemukan semakin rendah (Marpaung, 2006). f. Sinar matahari Sinar matahari berpengaruh terhadap pertumbuhan larva nyamuk dan pengaruhnya berbeda-beda pada setiap spesies. An. sundaicus lebih menyukai tempat yang teduh, An. hyrcanus spp dan An. pinctulatus spp lebih suka tempat terbuka. Sementara An. barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang. (Datau dkk, 2000) Pada daerah endemis malaria di daerah berbatasan (Kabupaten Tulungagung dengan Kabupaten Trenggalek) intensitas sinar matahari yang bersinar sepanjang tahun mendukung tempat hidup Anopheles. Adanya bermacam-macam Anopheles di daerah ini maka masingmasing spesies akan mencari tempat yang cocok untuk hidupnya, ditempat yang teduh maupun dengan sinar matahari (Yudhastuti, 2008).
28
g. Kadar garam (salinitas air) Anopheles subpictus dan Anopheles sundaicus hanya dapat berkembangbiak pada genangan air asin dengan kadar garam tertentu saja. Mengatur salinitas atau kadar garam air payau di rawa-rawa dengan menambahkan dan mengalirkan air sungai sebagai pencampur sehingga salinitas air rawa berkurang dapat menurunkan kepadatannya (Natadisastra, 2009). Salinitas ditemukan berkorelasi dengan kepadatan larva An. sundaicus dimana kepadatan larva 7 ekor/orang/ciduk dalam salinitas 15%. Selanjutnya ditemukan korelasi antara kepadatan larva beberapa minggu setelahnya dengan jumlah kasus malaria dengan ditemukan 1 orang kasus positif malaria dengan kepadatan larva An. sundaicus sebesar 5 ekor/orang/ciduk dalam breeding places dalam salinitas 5 % dan kepadatan larva An. sundaicus memberi pengaruh 70% terhadap kasus malaria (Hakim, 2007) 2. Lingkungan biologi a. Tumbuhan bakau Tumbuhan bakau dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lain sehingga dapat mempengaruhi kehidupan larva Anopheles (Datau dkk, 2000). Larva An. letifer dan An. sundaicus banyak ditemukan di rawa dengan pohon bakau dibagian tepinya (Shinta dkk, 2012). Sejalan dengan penelitian Dhewantara dkk (2013) dimana tumbuhan bakau banyak ditemukan
29
sebagai tempat perkembangbiakan Anopheles di Desa Sukaresik. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi kepadatan nyamuk di daerah ini. b. Ikan pemakan larva Populasi nyamuk juga dipengaruhi oleh adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (panchax spp) gambusia, nila dan mujair (Datau dkk, 2000). Jenis fauna yang dijumpai hidup bersama larva Anopheles sp pada habitat larva Anopheles di Desa Weepaboda diantaranya ikan karper dan ikan nila dan merupakan jenis yang sama yang telah digunakan masyarakat di daerah lain sebagai pengendali vektor malaria. Fauna ini dapat dimanfaatkan sebagai musuh alami untuk mengurangi populasi vektor malaria (Adnyana dan Willa, 2013). Adanya ikan pemakan larva yang dapat mengurangi kepadatan vektor malaria dalam rumah berpotensi menurunkan penularan malaria. Chandra (2009) menyebutkan bahwa rantai penularan malaria dapat diputus dengan manipulasi lingkungan agar populasi Anopheles berkurang. Manipulasi tersebut salah satunya dengan menggunakan predator berupa pemeliharaan ikan di kolam-kolam. Adanya ikan pemakan larva nyamuk di kolam berhubungan dengan kejadian malaria. Mereka yang pada rumahnya tidak terdapat ikan pemakan larva berisiko terkena malaria 3,25 kali lebih besar dibandingkan yang terdapat ikan pemakan larva nyamuk di kolam (Sulistiyani, 2012).
30
c. Jarak penempatan kandang ternak sapi Keberadaaan ternak sapi jika dikandangkan tidak jauh dari rumah juga dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia (Datau dkk, 2000). Faktor lingkungan biologis berupa tata letak kandang ini dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk sehingga dapat menurunkan transmisi malaria melalui manusia (Yudhastuti, 2008). F. Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi sebagai Cattle Barrier Malaria Pemanfaatan kandang ternak besar sebagai cattle barrier yang diletakkan di antara habitat atau perkembangbiakkan nyamuk dan pemukiman penduduk dapat mengurangi jumlah nyamuk yang menggigit manusia (Hakim dan Ipa, 2007). Setiap kali nyamuk Anopheles menggigit seekor sapi (Bos taurus), tingkat paparan manusia terhadap infeksi Plasmodium menurun. Meskipun sapi biasanya tidak dianggap sebagai komponen kunci dari keanekaragaman hayati, prinsip menambahkan spesies untuk mengurangi penularan patogen berlaku di sini seperti halnya untuk penyakit menular (Ostfeld, 2011). Kepadatan nyamuk Anopheles dalam rumah juga ditemukan berbedabeda berdasarkan jarak penempatan kandang ternak. Kepadatan tertinggi terdapat di rumah yang menempatkan kandang ternak menyatu atau berjarak kurang dari 10 meter dari rumah dan kepadatan terendah terdapat pada rumah dalam radius 50 meter terdapat kandang ternak (Sarwoko dkk, 2010). Rumah hunian yang menyatu atau kurang dari 10 meter dari kandang ternak ini banyak didatangi nyamuk Anopheles karena bau ternak hewan besar menarik nyamuk untuk datang dan menghisap darahnya (Qorib, 2005).
31
Penempatan kandang ternak besar seperti sapi di sekitar rumah diperlukan sebagai cattle barrier malaria. Hal ini agar sebelum nyamuk menggigit manusia nyamuk terlebih dahulu mengigit binatang (Erdinal dkk, 2006). Tentunya penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier ini harus berada pada jarak yang sesuai. Menurut Kementan RI letak kandang ternak harus berjarak minimal 10 m dari rumah. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadi dkk (2005) yang menyebutkan bahwa penempatan kandang ternak harus berjarak 10-20 m dari rumah karena letak kandang ditemukan berpengaruh terhadap kepadatan vektor malaria di dalam rumah. G. Survei Nyamuk Dewasa 1. Penangkapan nyamuk di malam hari a. Penangkapan nyamuk dengan umpan orang di luar rumah Penangkapan nyamuk dengan umpan orang di luar rumah dilakukan oleh tiga orang penangkap atau lebih dimana masing-masing orang melakukannya di satu rumah yang ditetapkan koordinator. Waktu penangkapan dimulai jam 18.00-24.00 atau hingga jam 06.00 pagi hari berikutnya sesuai kebutuhan. Setiap jam dilakukan penangkapan selama 40 menit. Penangkap duduk di luar di tempat yang biasanya penduduk pada sore atau malam hari duduk-duduk dengan menggulung celana panjangnya dan setiap ada nyamuk yang hinggap menggigit langsung dihisap dengan aspirator (Depkes, 2003). Nyamuk yang tertangkap selama 40 menit dimasukkan ke dalam gelas kertas, diberi label sesuai jam penangkapan saat itu. Nyamuk
32
yang telah terkumpul setiap jam diserahkan kepada koordinator. Pada jam berikutnya dilakukan penangkapan kembali selama 40 menit pada tempat yang sama. Demikian seterusnya tiap jam hingga jam 24.00 atau jam 06.00 (Depkes, 2003). b. Penangkapan nyamuk dengan umpan orang di dalam rumah Penangkapan nyamuk dengan umpan orang di dalam rumah dilakukan oleh 3 orang penangkap nyamuk atau lebih dimana masingmasing orang melakukannya di satu rumah yang ditetapkan koordinator. Waktu penangkapan dimulai jam 18.00-24.00 atau hingga jam 06.00 pagi hari berikutnya. Penangkap duduk di dalam rumah di tempat yang biasanya penduduk pada sore atau malam hari dudukduduk dengan menggulung celana panjangnya. Setiap jam dilakukan penangkapan selama 40 menit. (Depkes, 2003). Setiap ada nyamuk yang hinggap menggigit langsung dihisap dengan aspirator. Nyamuk yang tertangkap selama 40 menit dimasukkan ke dalam gelas kertas dan diberi label. Nyamuk yang telah terkumpul setiap jam diserahkan kepada koordinator. Pada jam berikutnya dilakukan penangkapan kembali selama 40 menit pada tempat yang sama. Demikian seterusnya tiap jam hingga jam 24.00 atau jam 06.00 pagi (Depkes, 2003).
33
c. Penangkapan nyamuk di dinding dalam rumah Penangkapan dilakukan selama 10 menit. Setelah ditangkap nyamuk dimasukkan ke dalam cangkir kertas, diberi label sesuai jam penangkapan dan diserahkan kepada koordinator (Depkes, 2003). d. Penangkapan nyamuk di sekitar kandang pada malam hari Penangkapan nyamuk disekitar kandang dilakukan 3 orang penangkap atau lebih selama 10 menit. Nyamuk dimasukkan ke dalam cangkir kertas, diberi label sesuai jam penangkapan dan diserahkan kepada koordinator (Depkes, 2003). 2. Penangkapan nyamuk di pagi hari 1). Penangkapan nyamuk dewasa di dinding dalam rumah Penangkapan dilakukan pada pagi hari jam 06.00 hingga selesai. Penangkapan nyamuk di dinding dalam rumah dilakukan diseluruh ruangan yang diduga sebagai tempat hinggap Anopheles. Bila penangkapan nyamuk dilakukan oleh 6 orang maka rumah yang disurvei minimal 30 rumah (5 rumah/orang). Jumlah rumah yang disurvei paling sedikit 20 rumah (Depkes, 2003). 2). Penangkapan nyamuk dewasa di alam terbuka/resting siang hari. Penangkapan dilakukan di tempat-tempat yang diduga sebagai tempat istirahat nyamuk Anopheles dewasa. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan jaring serangga, kelambu atau aspirator. Nyamuk yang tertangkap dimasukkan ke dalam cangkir plastik yang telah diberi
34
label dan diserahkan kepada koordinator untuk diperiksa (Depkes, 2003). H. Pengukuran Kepadatan Nyamuk Pengukuran kepadatan nyamuk dapat dilakukan sebagai berikut (Sinha, 2005) : 1. Human Blood Indices Human Blood Indices adalah proporsi Anopheles betina yang dalam perut mereka menunjukkan adanya darah manusia. 2. Sporozoite Rate Sporozoite Rate adalah persentase nyamuk Anopheles betina dengan sporozoit dalam kelenjer liurnya. 3. Man Hour Density Man Hour Density atau MHD adalah jumlah nyamuk hinggap yang tertangkap per orang per jam. MHD =
4. Man Biting Rate
Jumlah nyamuk hinggap yang tertangkap Jumlah penangkap x waktu penangkapan (jam)
Man Biting Rate atau MBR adalah rata-rata kejadian Anopheles menggigit per orang per hari . MBR =
Jumlah nyamuk yang tertangkap hinggap pada umpan orang Jumlah penangkap x waktu penangkapan (hari)
5. Inoculation Rate
Inoculation Rate adalah hasil perkalian man biting rate dan sporozoit rate.
35
I. Kerangka Teori Menurut Wibowo (2014) danNatadisastra (2009) malaria ditularkan oleh nyamuk
Anopheles
yang
dipengaruhi
oleh
kondisi
lingkungan
yang
memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dan kontak dengan manusia. Faktor lingkungan tersebut adalah lingkungan fisik dan biologi (Datau, 2000). Suhu
27-300C
menyebabkan
umur
nyamuk
lebih
pendek.
Perkembangannya optimum pada suhu 25-27oC (Sumantri, 2010). Umur nyamuk yang panjang akan memberikan banyak waktu untuk parasit malaria menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsiknya dari gametosit sampai sporozoit di kelenjer liur. Selain itu, suhu udara juga akan mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan telur Anopheles menjadi dewasa (Natadisastra, 2009). Ada hubungan yang kuat antara suhu udara dengan kepadatan Anopheles. Kepadatan Anopheles 68,8 % dipengaruhi oleh suhu udara. Kepadatan akan meningkat saat suhu udara turun dan sebaliknya (Mofu, 2013). Suhu 250C di Desa Selong Belanak optimum untuk perkembangbiakan nyamuk dan mempengaruhi kepadatannya (Mading, 2013). Selanjutnya, kelembaban rendah memperpendek umur nyamuk sehingga mengurangi kepadatannya (Datau dkk, 2000).Kepadatan Anopheles 40,5% dipengaruhi oleh kelembaban udara (Suwito dkk, 2010). Kelembaban udara dengan kepadatan Anopheles berhubungan ke arah positif (Mofu, 2013). Hujan yang menimbulkan genangan juga merupakan tempat ideal bagi Anopheles (Anies, 2006). Kepadatan Anopheles 56,9% disebabkan oleh curah hujan (Suwito dkk, 2010).
36
Malaria berkurang pada ketinggian yang bertambah (Datau dkk, 2000). Ketinggian tempat ditemukan mempengaruhi populasi nyamuk di Sukabumi (Marpaung, 2006). Sinar matahari juga berpengaruh pada pertumbuhan larva nyamuk (Datau dkk, 2000). Pada daerah endemis malaria di perbatasan Kabupaten Tulungagung dan Trenggalek matahari yang bersinar sepanjang tahun menurut Yudhastuti (2008) mendukung tempat hidup Anopheles di daerah ini. Salinitas atau kadar garam air payau di rawa-rawa juga berpengaruh pada kepadatan An.subpictus dan An.sundaicus (Natadisastra, 2009). Salinitas telah ditemukan berkorelasi dengan kepadatan larva An. sundaicus (Hakim, 2007). Keberadaan tumbuhan bakau mempengaruhi kehidupan larva Anopheles (Datau dkk, 2000). Larva An.letifer dan Ansundaicus banyak ditemukan di rawa-rawa dengan pohon bakau dibagian tepinya (Shinta dkk, 2012).) Di Desa Sukaresik
tumbuhan
bakau
juga
banyak
ditemukan
sebagai
tempat
perkembangbiakan Anopheles (Dhewantara dkk, 2013). Hal ini dapat mempengaruhi kepadatan nyamuk di daerah ini. Adanya ikan pemakan larva juga mempengaruhi populasi nyamuk (Datau dkk, 2000). Ikan karper dan niladapat
mengurangi
populasi
vektor
malaria
(Adnyana
dan
Willa,
2013).Chandra (2009) juga menyebutkan bahwa rantai penularan malaria dapat diputus dengan manipulasi lingkungan agar populasi Anopheles berkurang yaitu berupa pemeliharaan ikan di kolam-kolam. Selain itu, tata letak kandang juga mengurangi jumlah gigitan nyamuk (Yudhastuti, 2008). Kepadatannya ditemukan berbeda-beda berdasarkan jarak penempatan kandang ternaknya. Kepadatan tertinggi terdapat di rumah dengan
37
kandang ternak kurang dari 10 m dari rumah dan terendah pada rumah dalam radius 50 meter terdapat kandang ternak (Sarwoko dkk, 2010). Rumah hunian yang kurang dari 10 m dari kandang ternak banyak didatangi Anopheles karena bau ternak hewan besar (Qorib, 2005). Hadi dkk (2005) menyebutkan bahwa penempatan kandang ternak harus berjarak 10-20 m dari rumah karena letak kandang ditemukan berpengaruh terhadap kepadatan vektor malaria di dalam rumah. Berdasarkan uraian di atas didapatkan kerangka teori penelitian sebagai berikut : Faktor Lingkungan1 1. Lingkungan fisik2 a. Suhu udara3,4,7,16 b. Kelembaban udara2,5,16 c. Hujan5, 6 d. Angin7,4 e. Ketinggian2,8 f. Sinar matahari2,9 g. Kadar garam (salinitas air)7,10 2. Lingkungan biologi2 a. Tumbuhan bakau 2,11,15 b. Keberadaan ikan pemakan larva2,12,17 c. Jarak penempatan kandang ternak sapi
Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam rumah
9,13,14,18
Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian Sumber : 1Wibowo (2014), 2Datau (2000), 3Sumantri (2010), 4Mading (2013), 5Suwito dkk (2010), 6Anies (2006), 7Natadisastra (2009), 8Marpaung (2006), 12
9
Yudhastuti (2008),
Adnyana dan Willa (2013),
10 13
Hakim (2007),
11
Dhewantara dkk (2013),
Sarwoko dkk (2010),
14
Qorib (2005),
dkk (2012), 16Mofu (2013), 17Chandra (2009) dan 18Hadi dkk (2005).
15
Shinta
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS A. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian terdiri dari empat variabel bebas yaitu suhu udara, kelembaban udara, keberadaan ikan pemakan larva dan jarak penempatan kandang ternak sapi dan satu variabel terikat yaitu kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah. Konsep penelitian hubungan antar variabel diuraikan sebagai berikut : 1. Suhu Udara Suhu udara di sekitar rumah adalah salah satu variabel yang dapat mempengaruhi jumlah nyamuk Anopheles sp di dalam rumah karena suhu udara kisaran 25-27oC menyebabkan nyamuk berkembangbiak dengan baik sehingga meningkatkan jumlahnya di dalam rumah. Sebaliknya suhu lebih dari 270C menyebabkan umur nyamuk lebih pendek sehingga jumlah nyamuk di dalam rumah cenderung berkurang. 2. Kelembaban Udara Kelembaban udara di sekitar rumah merupakan salah satu variabel yang diteliti karena variabel ini berperan dalam meningkatkan atau mengurangi jumlah nyamuk Anopheles sp di dalam rumah. Kelembaban 60% atau di atas 60% mendukung hidupnya Anopheles sp sehingga meningkatkan jumlahnya di dalam rumah. Sementara kelembaban dibawah 60% memperpendek umur nyamuk sehingga mengurangi jumlahnya di dalam rumah.
38
39
3. Keberadaan Ikan Pemakan Larva Nyamuk mengalami metamorfosa sempurna mulai dari telur, larva, pupa dan dewasa. Larva Anopheles sp hanya dapat hidup di dalam air salah satunya di kolam. Sehingga dengan memelihara ikan pemakan larva di kolam memungkinkan larva nyamuk di makan oleh ikan pemakan larva. Banyaknya larva yang dimakan dapat memutuskan siklus hidup nyamuk sehingga mengurangi jumlah nyamuk dewasa di dalam rumah. 4. Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi Keberadaan kandang ternak sapi di sekitar rumah berperan dalam meningkatkan atau menurunkan jumlah Anopheles sp di dalam rumah. Jika jarak antara kandang sapi dan rumah kurang dari 10 m maka jumlah Anopheles sp di dalam rumah akan meningkat karena bau sapi yang menyebar hingga ke dalam rumah menyebabkan nyamuk juga masuk ke dalam rumah. Sebaliknya jika jarak kandang berkisar 10-20 m dari rumah maka sapi berperan sebagai penghalang kontak antara nyamuk dengan manusia karena nyamuk terkonsentrasi untuk menggigit sapi sehingga jumlah Anopheles sp di dalam rumah cenderung berkurang. Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel yang tidak diteliti yaitu hujan, angin, ketinggian, sinar matahari, kadar garam air dan tumbuhan bakau. Variabel hujan dan angin tidak diteliti karena ditemukan homogen dalam satu kabupaten berdasarkan data BMKG Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan ruang lingkup penelitian adalah desa sehingga data yang dihasilkan untuk variabel ini akan sama. Ketinggian dan sinar matahari tidak diteliti karena ruang lingkup wilayah penelitian kecil yaitu desa sehingga data yang didapatkan akan
40
homogen. Mengatur kadar garam air payau di rawa-rawa sehingga kadar garam air rawa berkurang juga dapat menurunkan kepadatan nyamuk Anopheles sp. Namun,
berdasarkan
data
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah
Kabupaten Purbalingga tahun 2013 pada daerah penelitian yaitu Desa Sidareja tidak terdapat rawa-rawa sehingga variabel kadar garam air ini tidak diteliti. Sementara tumbuhan bakau tidak diteliti karena pada daerah penelitian tidak terdapat tumbuhan bakau. Sehingga pada penelitian ini kerangka konsep dirumuskan sebagai berikut :
Suhu udara Kelembaban udara Keberadaan ikan pemakan larva Jarak penempatan ternak sapi
Kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah
kandang
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
41
B. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel
Definisi
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Operasional
Ukur
Kepadatan
Kepadatan nyamuk Man
nyamuk
Anopheles sp yang Density
Anopheles di
Hour Perhitungan
sp tertangkap di dalam (MHD)
rumah Suhu
udara
di Temperature
sekitar rumah yang and humidity diteliti yang diukur meter-HTC 2 sebanyak satu kali pada malam hari berkisar pada pukul 18.00-06.00 WIB.
menggunakan
rumus
Jumlah Anopheles sp yang Rasio
Man Hour Density (MHD), yaitu :
tertangkap di dalam rumah
MHD
dalam satuan ekor per orang
Observasi
Suhu udara dalam 0C
=
dalam rumah.
Suhu udara
Skala
Jumlah ℎ hinggap yang tertangkap Jumlah penangkap x waktu penangkapan (jam)
per jam.
Interval
42
Kelembaban
Kandungan uap air Temperature pada
udara
Observasi
Kelembaban dalam %
Interval
di and humidity
sekitar rumah yang meter-HTC 2 diteliti yang diukur sebanyak satu kali pada malam hari berkisar pada pukul 18.00-06.00 WIB. Ada atau tidaknya Lembar Keberadaan ikan pemakan ikan pemakan larva observasi larva yaitu ikan kepala timah, nila,
gambusia, mujair
dan
karper pada kolam ikan di rumah yang diteliti.
Observasi
1. Ada 2. Tidak ada
Ordinal
43
Jarak
Jarak
antara
GPS
pada Melakukan pengukuran jarak dengan 1. berjarak < 10 meter dari
penempatan
kandang
ternak
smartphone
kandang
sapi
rumah
ternak sapi
yang diteliti.
menggunakan GPS pada smartphone.
rumah 2. berjarak 10-20 meter dari
dan
rumah 3. berjarak 21-50 meter dari rumah (Sarwoko, 2010).
Ordinal
44
B. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : 1. Ada hubungan antara suhu udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. 2. Ada hubungan antara kelembaban udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. 3. Ada hubungan antara keberadaan ikan pemakan larva dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. 4. Ada perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga.
BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dimana pengumpulan data penelitian (variabel bebas dan variabel terikat) dilakukan pada waktu yang sama. B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. Lokasi ini dipilih karena merupakan desa dengan kejadian malaria dan jumlah pemelihara sapi yang tinggi hingga tahun 2014. Jarak penempatan kandang ternak sapi juga ditemukan bervariasi di daerah ini. Sehingga penelitian dapat dilakukan mengingat tersedianya sampel penelitian pada lokasi ini. Waktu penelitian dimulai dari bulan januari hingga akhir juni 2015. C. Populasi dan Sampel Dalam penelitian ini, populasi penelitian adalah seluruh rumah warga yang berada pada radius 50 m dari kandang ternak sapi di Desa Sidareja. Pengambilan rumah sebagai sampel dibatasi dalam radius 50 m dari kandang ternak sapi karena berdasarkan penelitian Sarwoko (2010) bahwa kepadatan Anopheles sp terendah ditemukan pada radius ini. Hal ini juga didasarkan pada perilaku nyamuk, yang mana setelah menggigit satu kali, nyamuk akan beristirahat di dekat objek yang digigit untuk mencerna darah yang dihisapnya seperti di dinding rumah. Setelah 2-3 hari barulah nyamuk akan mencari darah kembali (Yatim, 2007). Menurut Qorib (2005) kepadatan
45
46
nyamuk tertinggi ditemukan pada rumah berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak. Adanya perilaku istirahat nyamuk di dekat objek yang digigit menyebabkan jarak terbang nyamuk tidak akan jauh dari rumah ini. Pengambilan sampel pada penelitian dilakukan dengan menggunakan total sampling yaitu seluruh rumah (33 rumah) di Desa Sidareja yang berada pada radius 50 m dari kandang ternak sapi. Seluruh rumah ini menjadi sampel penelitian. D. Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Sumber Data Sumber data pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer suhu udara, kelembaban udara, keberadaan ikan pemakan larva dan jarak penempatan kandang ternak sapi didapatkan melalui observasi di lapangan. Sementara kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah diperoleh dengan melakukan penangkapan nyamuk di dalam rumah yang kemudian kepadatannya dihitung menggunakan rumus Man Hour Density (MHD). Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini berupa data dari Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purbalingga mengenai jumlah ternak sapi di Kabupaten Purbalingga, data Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga mengenai jumlah kasus malaria di Kabupaten Purbalingga dan Desa Sidareja, data Puskesmas Kecamatan Kaligondang mengenai kasus malaria di Desa Sidareja serta data dari Balai Desa Sidareja mengenai populasi pemelihara ternak sapi dan jarak penempatan kandangnya.
47
2. Metode Pengumpulan Data a. Suhu udara Data suhu udara didapatkan dengan melakukan pengukuran langsung suhu udara di sekitar rumah sampel menggunakan temperature and humidity meter – HTC-2. Pengukuran suhu udara dilakukan pada malam hari sebanyak satu kali pada setiap rumah. Data suhu udara ini kemudian dicatat ke dalam lembar observasi. b. Kelembaban udara Kelembaban udara didapatkan dengan melakukan pengukuran kelembaban di sekitar rumah yang menjadi sampel penelitian menggunakan temperature and humidity meter – HTC-2. Pengukuran kelembaban dilakukan pada malam hari sebanyak satu kali pada rumah yang menjadi sampel penelitian. Hasil pengukuran kemudian dicatat ke dalam lembar observasi. c. Keberadaan ikan pemakan larva Data keberadaan ikan pemakan larva diperoleh melalui kegiatan observasi di rumah warga yang menjadi sampel penelitian pada siang hari. Pada mulanya peneliti melihat terlebih dahulu keberadaan kolam ikan pada rumah yang menjadi sampel penelitian. Jika terdapat kolam ikan maka peneliti menanyakan jenis ikan yang terdapat pada kolam tersebut serta membuktikan keberadaannya dengan melihat ke arah kolam. Apabila ikan yang terdapat pada kolam adalah ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan ikan karper maka pada lembar observasi dimasukkan pada kategori ada ikan pemakan larva namun
48
jika ikan yang terdapat pada kolam tidak termasuk jenis ikan di atas maka dimasukkan dalam kategori tidak ada ikan pemakan larva. d. Jarak penempatan kandang ternak sapi Data jarak penempatan kandang ternak sapi didapatkan dengan melakukan pengukuran jarak antara kandang ternak sapi dengan rumah warga disekitarnya pada siang hari. Pengukuran dilakukan menggunakan GPS yang terdapat pada smartphone dengan cara peneliti melakukan plot di rumah yang menjadi sampel kemudian berjalan ke arah kandang ternak sapi. Setelah sampai pada kandang ternak akan didapatkan jarak antara rumah dengan kandang tersebut. Jika rumah berada dalam radius 50 m dari kandang ternak maka rumah tersebut menjadi sampel penelitian dan hasil pengukuran jarak tersebut dimasukkan ke dalam lembar observasi. e. Kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah Data kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah didapatkan melalui survei entomologi dengan tahapan sebagai berikut : 1) Pelatihan penangkap nyamuk Sebelum melakukan penangkapan nyamuk, penangkap terlebih dahulu dilatih. Penangkap dilatih oleh peneliti sendiri yang sebelumnya juga telah dilatih oleh tenaga ahli di Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
(Balai
Litbang
P2B2)
Banjarnegara.
Pelatihan
disampaikan secara lisan mengenai metode penangkapan nyamuk yang tepat menggunakan aspirator dan cara untuk
49
memasukkan nyamuk hasil tangkapan ke dalam gelas kertas agar tidak lepas kembali. Penangkap yang dilatih ini berjumlah 9 orang. 2) Penangkapan nyamuk di dalam rumah Setelah penangkap nyamuk dilatih, selanjutnya dilakukan penangkapan nyamuk di dalam rumah. Penangkapan nyamuk dilakukan di dalam rumah dengan cara human landing collection (umpan orang) dan penangkapan di dinding dalam rumah. Hal ini disesuaikan dengan pedoman survei nyamuk dewasa oleh Depkes tahun 2003 dimana penangkapan nyamuk pada malam hari di dalam rumah dilakukan dengan umpan orang dalam rumah dan di dinding dalam rumah. Penangkapan menggunakan umpan orang juga dikarenakan menurut Depkes (2003) perilaku mencari darah Anopheles sp yang memang aktif pada malam hari sehingga Anopheles dapat tertangkap melalui umpan orang. Sementara penangkapan di dinding dalam rumah dikarenakan menurut Depkes (2003) adanya perilaku istirahat sementara Anopheles saat sebelum dan sesudah menggigit manusia. Oleh sebab itu penangkapan Anopheles sp dalam rumah dilakukan berdasarkan umpan orang dalam rumah dan penangkapan di dinding rumah. Waktu penangkapan nyamuk dimulai dari jam 18.00-06.00 dimana setiap jam penangkapan terdiri dari 40 menit umpan orang dan 10 menit penangkapan di dinding. Agar waktu
50
penangkapan tepat maka digunakan stopwatch yang terdapat pada mobilephone. Penangkapan menggunakan umpan orang dilakukan dengan cara penangkap duduk di dalam rumah dengan celana digulung sampai lutut dan nyamuk yang hinggap langsung ditangkap dengar aspirator, kemudian nyamuk yang tertangkap dimasukkan dalam gelas kertas, dibedakan menurut jam penangkapan dan lokasi penangkapan. Setelah 40 menit berlangsung penangkap umpan orang kemudian melakukan penangkapan nyamuk di dinding rumah selama 10 menit. Hasil penangkapan dimasukkan ke dalam cangkir kertas yang sudah diberi label sesuai dengan jam penangkapan dan lokasi
penangkapan. Selanjutnya
hasil
tangkapan nyamuk diserahkan kepada peneliti untuk identifikasi. 3) Identifikasi nyamuk Anopheles Identifikasi Anopheles sp dilakukan oleh tenaga ahli di Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Identifikasi dilakukan untuk mendapatkan
nyamuk
genus
Anopheles
dan
spesiesnya.
Identifikasi dilakukan menggunakan stereo mikroskop dimana ciri-ciri yang terdapat pada nyamuk tersebut dicocokkan dengan kunci bergambar Anopheles dewasa yang tersedia sehingga diketahui genus dan juga spesiesnya. Data jumlah Anopheles yang didapatkan per spesies kemudian di catat ke dalam lembar observasi.
51
4) Perhitungan Man Hour Density atau MHD Pengukuran kepadatan nyamuk Anopheles dilakukan dengan menggunakan rumus Man Hour Density atau MHD. Rumus MHD dipilih karena peneliti hanya ingin mengetahui kepadatan Anopheles sehingga tidak diperlukan perhitungan dengan rumus lainnya seperti Human Blood Indices, Sporozoite Rate, Man Biting Rate dan Inoculation Rate. Pada mulanya akan terlebih dahulu dihitung MHD umpan orang dan dinding dalam rumah untuk setiap satu jam penangkapan. MHD umpan orang didapatkan dengan membagi jumlah nyamuk Anopheles yang tertangkap umpan orang dengan jumlah penangkap yang dikalikan dengan waktu penangkapan (jam). Sementara MHD dinding dalam rumah didapatkan dengan membagi jumlah nyamuk Anopheles yang tertangkap di dinding dalam rumah dengan jumlah penangkap yang dikalikan dengan waktu penangkapan (jam). Setelah MHD umpan orang dan di dinding per jamnya didapatkan, maka di hitung MHD per jamnya dengan menjumlahkan MHD umpan orang dan dinding. Selanjutnya
dihitung
MHD
di
dalam
rumah
dengan
menjumlahkan MHD perjamnya kemudian dibagi dengan 12 karena pengukuran dilaksanakan selama 12 jam. 3. Instrumen Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
52
a. Temperature and humidity meter - HTC-2, digunakan untuk mengukur suhu udara dan kelembaban udara di sekitar rumah sampel. b. Lembar observasi, untuk mencatat keberadaan ikan pemakan larva serta jenisnya pada kolam di rumah sampel. c. GPS pada smartphone, digunakan untuk mengetahui jarak antara kandang ternak sapi dengan rumah. d. Man Hour Density (MHD), sebagai rumus untuk mengukur kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah sampel. 4. Pengolahan data Data-data yang didapatkan diolah dengan langkah berikut : a. Editing, untuk melakukan pengecekan kelengkapan dan kejelasan isian lembar observasi berupa data suhu udara, kelembaban udara, keberadaan ikan pemakan larva, jarak penempatan kandang ternak sapi, kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah dan spesiesnya. b. Coding, untuk merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk bilangan dimana data keberadaan ikan pemakan larva diberi label 1 jika ada dan label 2 jika tidak ada. Coding juga dilakukan pada penempatan kandang ternak sapi. Penempatan kandang ternak sapi berjarak < 10 m dari rumah diberi label 1, berjarak 10-20 m dari rumah berlabel 2 dan berjarak 21-50 m dari rumah diberi label 3. c. Entry data, yaitu memasukkan data pada software program komputer.
53
d. Cleaning, dengan mengecek kembali data yang masuk ke dalam program
analisis
data.
Jika
terdapat
kesalahan
kode,
ketidaklengkapan dan lain sebagainya maka dilakukan perbaikan. E. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan bivariat menggunakan bantuan software program komputer. Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran pada masing-masing variabel yang telah diteliti. Data disampaikan dalam bentuk distribusi frekuensi. Pada penelitian ini variabel yang dilakukan analisis univariat adalah suhu udara, kelembaban udara, keberadaaan ikan pemakan larva dan jarak penempatan kandang ternak sapi. Sementara analisis bivariat yang digunakan adalah uji korelasi pearson, uji mann-whitney dan uji kruskal wallis. Uji korelasi pearson digunakan untuk melihat hubungan antara suhu udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah dan hubungan kelembaban udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah. Jika nilai p < 0,05 maka dinyatakan terdapat hubungan antara dua variabel tersebut. Uji mann-whitney digunakan untuk melihat hubungan keberadaan ikan pemakan larva di kolam dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah dan jika nilai p < 0,05 maka dinyatakan terdapat hubungan antara dua variabel ini. Selanjutnya, uji kruskal wallis digunakan untuk menguji perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria. Jika nilai p < 0,05 maka dinyatakan terdapat perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai
54
cattle barrier malaria. Selain itu untuk menggambarkan suhu udara dan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah serta kelembaban udara dan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah dalam bentuk grafik digunakan software komputer yaitu microsoft office excel 2007.
BAB V HASIL A. Gambaran Umum Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga 1. Kondisi Geografis Desa Sidareja merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. Suhu udara di desa ini berkisar 24,3- 31,70C dan rata-rata kelembaban udaranya adalah 85%. Sementara hari hujan rata-rata adalah 123 hari dengan rata-rata curah hujan 3.130 mm (Pemerintah Kabupaten Purbalingga, 2014). Desa Sidareja juga merupakan kawasan pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. Kawasan pertanian ditanami oleh tanaman padi, kacang tanah dan kacang hijau; perkebunan oleh tanaman jagung, ketela pohon/rambat dan kedelai; perikanan berupa ikan lele, mas/karper, ikan mujair dan nila; serta peternakan berupa ternak sapi, domba, kambing dan ayam. Selain itu, pada Desa Sidareja juga terdapat sumber daya
air
yang
bernama
Sungai
Gintung
(Badan
Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Purbalingga, 2013). 2. Keadaan Demografis Jumlah penduduk Desa Sidareja tahun 2014 adalah sebanyak 5.060 jiwa. Berikut adalah jumlah penduduk Desa Sidareja Tahun 2014 berdasarkan rukun warganya :
55
56
Tabel 5.1 Jumlah Penduduk Desa Sidareja Tahun 2014 Berdasakan Rukun Warga No Rukun Warga Jumlah Penduduk 1 Rukun warga 1 655 2 Rukun warga 2 731 3 Rukun warga 3 416 4 Rukun warga 4 540 5 Rukun warga 5 909 6 Rukun warga 6 922 7 Rukun warga 7 364 8 Rukun warga 8 523 Total 5.060 Sumber : Data Balai Desa Sidareja Tahun 2014 3. Kepemilikan Ternak Sapi Berdasarkan data dari Balai Desa Sidareja tahun 2014 Desa Sidareja merupakan desa dengan jumlah kepemilikan sapi yang cukup tinggi mencapai 11 orang. Namun pada tahun 2015 warga yang memiliki ternak sapi menurun menjadi 4 orang dimana masing-masing orang hanya memiliki 1 kandang sapi. Kandang ternak sapi ini berada di rukun warga 1, 2 dan 4. Pada rukun warga 1 terdapat 1 orang yang memiliki ternak sapi, pada rukun warga 2 terdapat 2 orang yang memiliki ternak sapi dan pada rukun warga 4 terdapat 1 orang yang memiliki ternak sapi. Jarak penempatan kandang ternak sapi ini dari rumah warga bervariasi mulai kurang dari 10 m hingga lebih dari 20 m. 4. Kejadian Malaria Desa Sidareja merupakan desa dengan kejadian malaria yang tinggi pada tahun 2010 hingga 2014. Jumlah kasus malaria di Desa Sidareja tahun 2010-2014 berdasarkan data Puskesmas Kecamatan Kaligondang dapat dilihat pada tabel berikut:
57
Tabel 5.2 Jumlah Kasus Malaria di Desa Sidareja Tahun 2010-2014 No Tahun Jumlah Kasus Malaria 1 2010 55 2 2011 39 3 2012 24 4 2013 11 5 2014 18 Sumber : data Puskesmas Kecamatan Kaligondang Tahun 2014 B. Gambaran Spesies Anopheles sp yang Tertangkap di dalam Rumah Berdasarkan penangkapan nyamuk yang telah dilakukan pada pukul 18.0006.00 WIB di dalam rumah di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga didapatkan spesies Anopheles berupa An. vagus. An. vagus yang tertangkap berjumlah 19 ekor (12 ekor tertangkap umpan orang dan 7 ekor tertangkap di dinding). C. Gambaran Suhu Udara Rata-rata suhu udara di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga adalah 27,57 oC. Suhu udara terendah adalah 25,8oC dan tertinggi 32oC. D. Gambaran Kelembaban Udara Rata-rata kelembaban udara di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga adalah 64,91%. Kelembaban udara terendah yaitu 42% dan tertinggi 89%. E. Gambaran Keberadaan Ikan Pemakan Larva Ikan pemakan larva yang ditemukan pada kolam ikan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga adalah mujair, nila dan karper. Gambaran keberadaan ikan pemakan larva tersebut pada rumah yang diteliti dapat dilihat pada tabel berikut:
58
Tabel 5.3 Keberadaan Ikan Pemakan Larva di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga Keberadaan Ikan Jumlah Persentase (%) Pemakan Larva Ada 9 27,3 Tidak ada 24 72,7 Total 33 100 Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa 24 rumah (72,7%) ditemukan tidak terdapat ikan pemakan larva. F. Gambaran Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi Berikut adalah distribusi frekuensi rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi di Desa Sidareja Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga: Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Rumah Berdasarkan Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga Jarak Penempatan Kandang Jumlah Persentase (%) Ternak Sapi < 10 m dari rumah 5 rumah 15,2 10 - 20 m dari rumah 6 rumah 18,2 21-50 m dari rumah 22 rumah 66,7 Total 33 rumah 100 Berdasarkan tabel di atas diketahui dari 33 rumah yang diteliti sebanyak 22 rumah (66,7%) berada pada jarak 21-50 m dari kandang ternak sapi. G. Hubungan antara Suhu Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Untuk mengetahui hubungan antara suhu udara di sekitar rumah dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah dilakukan analisis uji statistik korelasi pearson dengan hasil sebagai berikut :
59
Tabel 5.5 Hubungan antara Suhu Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Variabel Rata-rata SD Suhu udara 27,57 1,87 Kepadatan nyamuk Anopheles sp 0,15 0,32 di dalam rumah Hasil uji p = 0,305 r = - 0,184 Hasil uji korelasi pearson didapatkan nilai p = 0,305 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara suhu udara di sekitar rumah dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah. Gambaran suhu udara di sekitar rumah dan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah juga dapat dilihat pada grafik berikut :
Grafik 5.1 Gambaran Suhu Udara dan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp (MHD) di dalam Rumah Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kepadatan nyamuk Anopheles sp tertinggi di dalam rumah ditemukan pada suhu udara 26,40C karena suhu ini termasuk dalam kisaran suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk Anopheles sp yaitu 25-270C.
60
H. Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Hubungan antara kelembaban udara di sekitar rumah dengan kepadatan Anopheles sp di dalam rumah diketahui dengan melakukan analisis uji statistik korelasi pearson. Hasil analisis tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 5.6 Hubungan antara Kelembaban Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Variabel Rata-rata SD Kelembaban udara 64,91 13,88 Kepadatan nyamuk Anopheles sp 0,15 0,32 di dalam rumah Hasil uji p = 0,028 r = 0,382 Kelembaban udara di sekitar rumah ditemukan berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah. Hal ini dibuktikan berdasarkan uji korelasi pearson didapatkan nilai p = 0,028 (p<0,05). Koefisien korelasi (r) juga didapatkan dengan nilai 0,382 yang artinya ada hubungan sedang ke arah positif yaitu semakin meningkat kelembaban udara maka kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah juga semakin meningkat. Gambaran kelembaban udara di sekitar rumah dan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah juga dapat dilihat pada grafik berikut :
61
Grafik 5.2 Gambaran Kelembaban Udara dan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp (MHD) di dalam Rumah Kelembaban paling rendah yang mendukung hidupnya nyamuk Anopheles sp adalah 60%. Sebagaimana terlihat pada grafik di atas bahwa pada kelembaban udara di bawah 60% grafik kepadatan Anopheles sp di dalam rumah mencapai angka 0. I.
Hubungan antara Keberadaan Ikan Pemakan Larva dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Untuk mengetahui hubungan antara keberadaan ikan pemakan larva di kolam ikan pada rumah yang diteliti dengan kepadatan Anopheles sp di dalam rumah dilakukan analisis menggunakan uji mann-whitney dengan hasil sebagai berikut : Tabel 5.7 Hubungan antara Keberadaan Ikan Pemakan Larva dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Keberadaan Ikan Kepadatan Anopheles sp Pemakan Larva Hasil Uji Rata-rata SD Ada 0,00 0,00 p = 0,037 Tidak ada 0,20 0,36 Berdasarkan hasil uji mann-whitney didapatkan nilai p sebesar 0,037 yaitu kurang dari 0,05. Sehingga diartikan bahwa terdapat hubungan antara keberadaan ikan pemakan larva di kolam ikan dengan kepadatan nyamuk
62
Anopheles sp di dalam rumah. Pada rumah yang tidak terdapat ikan pemakan larva rata-rata kepadatan Anopheles sp di dalam rumah adalah 0,20 ekor/orang/jam. J.
Perbedaan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp dalam Rumah Berdasarkan Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi sebagai Cattle Barrier Malaria Perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria diketahui dengan melakukan analisis uji kruskal wallis. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.8 Perbedaan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp dalam Rumah Berdasarkan Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi sebagai Cattle Barrier Malaria Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi < 10 m dari rumah 10-20 m dari rumah 21-50 m dari rumah
Kepadatan Anopheles sp Rata-rata SD 0,81 0,32 0,02 0,05 0,03 0,11
Hasil Uji p = 0,000
Kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah tertinggi ditemukan pada rumah yang berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak sapi yaitu 0,81 ekor/orang/jam dan terendah pada rumah berjarak 10-20 m dari kandang ternak sapi yaitu 0,02 ekor/orang/jam. Hasil analisis menggunakan uji kruskal wallis didapatkan nilai p yaitu 0,000 (p < 0,05) yang artinya terdapat perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria.
BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian Dalam melakukan penelitian, peneliti memiliki keterbatasan dalam mengontrol petugas penangkap nyamuk selama 12 jam proses penangkapan. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah petugas setiap malamnya yaitu sebanyak 8 atau 9 petugas. Sehingga peneliti hanya dapat mengontrol petugas penangkap ketika mengunjungi rumah sampel untuk mengisi lembar observasi.
Kurangnya
kontrol
terhadap
petugas
ini
tentunya
dapat
mempengaruhi jumlah nyamuk Anopheles sp yang tertangkap di dalam rumah. B. Gambaran Spesies Anopheles sp yang Tertangkap di dalam Rumah Spesies Anopheles sp yang didapatkan pada penangkapan nyamuk yang dilakukan pukul 18.00-06.00 WIB adalah An. vagus. An. vagus tersebut berjumlah 19 ekor (12 ekor umpan orang dan 7 ekor di dinding dalam rumah). Menurut Sari dkk (2011) An.vagus dapat berkembangbiak pada tambak yang sudah tidak digunakan lagi yang masih berisi genangan air, di sekitar kandang ternak, saluran pembuangan yang tidak lancar dan terdapat sampah di sekitarnya, semak-semak dan saluran pembuangan yang ditumbuhi rumput. Habitat An. vagus adalah di dinding dalam rumah, sawah dan parit (Boesri dan Suwaryono, 2011). Selain bersifat zoofilik An. vagus ini juga bersifat antropofilik (Andriani dkk, 2014). Adanya sifat antropofilik menyebabkan spesies ini berpotensi sebagai vektor malaria.
63
64
C. Gambaran Suhu Udara dan Hubungannya dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Suhu 25-27oC merupakan suhu optimum untuk perkembangan nyamuk. Jika suhu lebih dari 270C maka umur nyamuk menjadi lebih pendek (Sumantri, 2010). Hal ini menyebabkan turunnya populasi nyamuk. Bila umur nyamuk cukup panjang maka akan memberikan lebih banyak waktu untuk parasit malaria menyelesaikan masa inkubasi ekstrinsiknya dari gametosit sampai sporozoit di kelenjer liur (Natadisastra, 2009). Jika hal ini terjadi maka risiko penularan malaria semakin tinggi. Selain mempengaruhi umur nyamuk, menurut Natadisastra (2009) suhu udara juga akan mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan telur Anopheles menjadi dewasa. Pendeknya umur nyamuk dan lamanya siklus hidup nyamuk akhirnya dapat mempengaruhi kepadatan nyamuk Anopheles di dalam rumah. Rata-rata suhu udara di daerah penelitian adalah 27,57oC. Suhu udara terendah sebesar 25,8oC dan tertinggi 32oC. Pada daerah penelitian kepadatan Anopheles sp tertinggi di dalam rumah ditemukan pada suhu 26,40C. Suhu ini termasuk dalam kisaran suhu optimum untuk perkembangbiakan nyamuk yaitu 25-27oC namun berdasarkan hasil uji korelasi pearson didapatkan nilai p = 0,305 (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara suhu udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah. Menurut Mofu (2013) ada hubungan yang kuat antara suhu udara dengan kepadatan Anopheles dimana kepadatan Anopheles 68,8 % dipengaruhi oleh suhu udara. Kepadatan akan meningkat saat suhu udara turun sebaliknya kepadatan akan mengalami penurunan jika suhu udara meningkat. Hal ini
65
sejalan dengan penelitian Mading (2013) yang menunjukkan bahwa suhu udara sangat mempengaruhi kepadatan vektor malaria. Suhu udara yang mempengaruhi kepadatan vektor malaria di dalam rumah akhirnya juga mempengaruhi kejadian malaria. Hasil penelitian Friaraiyatini dkk (2006) menunjukkan bahwa suhu udara berpengaruh terhadap kejadian malaria (p<0,05). Suhu merupakan faktor risiko malaria dimana suhu yang potensial berisiko menyebabkan malaria 2,571 kali lebih besar dibanding suhu yang tidak potensial (Nurfitrianah dkk, 2013). Menurut Ahrens (2008) variasi suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian suatu tempat. Berdasarkan hal ini tidak adanya hubungan antara suhu udara dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah dapat disebabkan karena ketinggian di daerah penelitian yang relatif sama karena ruang lingkup wilayah penelitian kecil yaitu desa sehingga suhu udara tidak jauh berbeda. Dengan demikian dapat disimpulkan suhu udara di daerah penelian tidak berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah. D. Gambaran Kelembaban Udara dan Hubungannya dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Kelembaban udara di daerah penelitian berkisar 42-89% dengan kelembaban rata-rata 64,91%. Kelembaban 64,91% ini memungkinkan nyamuk Anopheles untuk hidup dan berkembangbiak dengan baik sehingga daerah ini rentan terhadap peningkatan populasi Anopheles. Menurut Datau dkk (2000) kelembaban paling rendah yang memungkinkan hidupnya nyamuk adalah 60%. Kelembaban yang terlalu rendah akan memperpendek umur nyamuk sehingga mengurangi kepadatannya. Hal ini sesuai dengan hasil
66
penelitian dimana pada kelembaban udara di bawah 60% grafik kepadatan Anopheles sp di dalam rumah mencapai angka 0. Berdasarkan hasil uji korelasi pearson didapatkan nilai p = 0,028 dan nilai koefisien korelasi (r) 0,382 yang artinya kelembaban udara berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah dengan kekuatan hubungan sedang ke arah positif. Hal ini berarti semakin meningkat kelembaban udara maka kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah juga semakin meningkat. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Mofu (2013) dimana kelembaban udara berhubungan ke arah positif dengan kepadatan Anopheles. Kepadatan
Anopheles
tertinggi
4,1
ekor/orang/jam
ditemukan
pada
kelembaban udara 85,3 % dan terendah 1 ekor/orang/jam pada kelembaban 78,5% dan 76%. Kepadatan terjadi seiring meningkatnya kelembaban udara sebaliknya jika kelembaban menurun maka kepadatan Anopheles juga turun. Suwito dkk (2010) juga menyebutkan bahwa kelembaban udara berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles. Dalam penelitian ini kepadatan Anopheles ditemukan 40,5 % dipengaruhi oleh kelembaban udara. Kelembaban udara yang mempengaruhi kepadatan Anopheles di dalam rumah akhirnya juga mempengaruhi kejadian malaria. Berdasarkan penelitian Devi dan Jauhari (2006) kelembaban udara berhubungan dengan kejadian malaria dengan korelasi positif yaitu semakin meningkat kelembaban udara maka kejadian malaria juga akan meningkat. Sesuai dengan penelitian Zacarias dan Andersson (2011) bahwa kelembaban udara berhubungan dengan kejadian malaria dimana kelembaban udara yang meningkat 1% dari
67
kelembaban relatif menyebabkan risiko kejadian malaria yang lebih tinggi. Pada daerah ini rata-rata kelembaban udara adalah 69,16 tidak berbeda jauh dengan rata-rata kelembaban udara yang ditemukan di daerah penelitian yaitu 64,91%. Sehingga dapat dikatakan daerah penelitian rentan terhadap risiko kejadian malaria karena kelembaban udaranya mendukung hidupnya nyamuk Anopheles sp dan ditemukan berhubungan dengan kepadatan Anopheles sp di dalam rumah. E. Gambaran Keberadaan Ikan Pemakan Larva dan Hubungannya dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Pada daerah penelitian 24 rumah (72,7%) ditemukan tidak terdapat ikan pemakan larva dan hanya 9 rumah (27,3%) yang terdapat ikan pemakan larva. Ikan pemakan larva yang ditemukan adalah mujair, karper dan nila. Berdasarkan hasil uji mann-whitney didapatkan nilai p sebesar 0,037 (p<0,05). Hal ini berarti terdapat hubungan antara keberadaan ikan pemakan larva di kolam ikan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah. Rumah yang tidak terdapat ikan pemakan larva rata-rata kepadatan Anopheles sp di dalam rumah yang ditemukan adalah 0,20 ekor/orang/jam. Menurut Datau dkk (2000) keberadaan berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah (panchax spp), gambusia, nila dan mujair akan mempengaruhi populasi nyamuk. Sejalan dengan penelitian Adnyana dan Willa (2013) bahwa jenis fauna yang dijumpai hidup bersama larva Anopheles sp di Desa Weepaboda diantaranya adalah ikan karper dan ikan nila dimana fauna ini dimanfaatkan sebagai musuh alami untuk mengurangi populasi vektor malaria. Sesuai dengan hasil penelitian dimana kepadatan
68
Anopheles sp mencapai angka 0 pada rumah yang terdapat ikan pemakan larva. Keberadaan ikan pemakan larva di kolam ikan dapat mengurangi kepadatan Anopheles sp di dalam rumah sehingga berpotensi menurunkan transmisi malaria. Menurut Chandra (2009) rantai penularan malaria dapat diputus dengan manipulasi lingkungan agar populasi nyamuk Anopheles berkurang. Salah satunya dengan menggunakan predator berupa pemeliharaan ikan di kolam-kolam. Penelitian Sulistiyani (2012) menunjukkan bahwa keberadaan ikan pemakan larva nyamuk di kolam berhubungan dengan kejadian malaria. Mereka yang pada rumahnya tidak terdapat keberadaan ikan pemakan larva berisiko terkena malaria 3,25 kali lebih besar dibandingkan yang terdapat ikan pemakan larva nyamuk di kolam. Oleh sebab itu diperlukan adanya pemeliharaan ikan pemakan larva di sekitar rumah dalam menurunkan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah. Ikan tersebut berupa kepala timah, gambusia, nila dan mujair. Pemeliharaan ikan ini akhirnya berpotensi untuk menurunkan kejadian malaria. F. Gambaran dan Perbedaan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp dalam Rumah Berdasarkan Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi Menurut Hakim dan Ipa (2007) keberadaan kandang ternak besar sebagai cattle barrier yang ditempatkan di antara habitat atau perkembangbiakkan nyamuk dan pemukiman penduduk dapat mengurangi jumlah nyamuk yang menggigit manusia. Keberadaaan ternak sapi dapat mengurangi gigitan nyamuk pada manusia jika dikandangkan tidak jauh dari rumah (Datau dkk, 2000). Hal ini berarti adanya kandang ternak sapi di sekitar rumah dapat
69
mengurangi kepadatan nyamuk Anopheles di dalam rumah yang menggigit manusia namun harus pada jarak yang sesuai. Jika jarak penempatan kandang ternak sapi dan rumah terlalu dekat maka kepadatan nyamuk Anopheles dalam rumah akan meningkat. Pada daerah penelitian sebanyak 22 rumah (66,7%) berada pada jarak 2150 m dari kandang ternak sapi. Hasil analisis menggunakan uji kruskal wallis didapatkan nilai p 0,000, artinya ada perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria. Kepadatan Anopheles sp dalam rumah tertinggi ditemukan pada rumah yang berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak sapi yaitu 0,81 ekor/orang/jam dan terendah pada rumah yang berjarak 10-20 m dari kandang yaitu 0,02 ekor/orang/jam. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sarwoko dkk (2010) dimana kepadatan Anopheles dalam rumah ditemukan berbeda berdasarkan jarak penempatan kandang ternak dengan kepadatan tertinggi ada pada rumah yang berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak. Menurut Qorib (2005) rumah yang berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak besar banyak didatangi Anopheles akibat adanya bau ternak yang menyebar ke dalam rumah sehingga nyamuk juga masuk ke dalam rumah. Menurut Erdinal dkk (2006) penempatan kandang ternak besar seperti sapi di sekitar rumah diperlukan sebagai cattle barrier malaria agar sebelum nyamuk menggigit manusia nyamuk terlebih dahulu mengigit binatang. Namun penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier harus berada pada jarak yang sesuai. Menurut Kementan RI penempatan kandang ternak
70
harus berjarak minimal 10 m dari rumah. Hadi dkk (2005) juga menyebutkan bahwa penempatan kandang ternak harus berjarak 10-20 m dari rumah karena letak kandang berpengaruh terhadap kepadatan vektor malaria dalam rumah. Oleh sebab itu penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria harus berada pada jarak 10-20 m dari rumah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian dimana rata-rata kepadatan Anopheles sp ditemukan terendah pada rumah yang berjarak 10-20 m dari kandang ternak sapi. Dengan jarak yang sesuai keberadaan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier akhirnya dapat menurunkan kejadian malaria. Menurut Ostfeld (2011) tingkat paparan manusia terhadap infeksi Plasmodium menurun setiap kali nyamuk Anopheles menggigit seekor sapi. Sejalan dengan Yudhastuti (2008) bahwa tata letak kandang ternak mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia sehingga menurunkan transmisi malaria jika kandang tersebut berada di luar rumah dengan jarak minimal 10 m dari rumah.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga dapat disimpulkan : 1. Spesies Anopheles yang tertangkap di dalam rumah adalah Anopheles vagus yang berjumlah 19 ekor. 2. Suhu udara rata-rata di sekitar rumah adalah 27,57oC dengan suhu udara terendah 25,8 oC dan tertinggi 32oC. 3. Rata-rata kelembaban udara di sekitar rumah adalah 64,91%. Kelembaban udara terendah 42% dan tertinggi 89%. 4. Distribusi frekuensi rumah yang terdapat ikan pemakan larva adalah sebanyak 9 rumah (27,3%) dan yang tidak terdapat ikan pemakan larva sebanyak 24 rumah (72,7%). Ikan pemakan larva yang ditemukan berupa mujair, nila dan karper. 5. Distribusi frekuensi rumah yang berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak sapi adalah sebanyak 5 rumah (15,2%), 10-20 m sebanyak 6 rumah (18,2%) dan 21-50 m sebanyak 22 rumah (66,7%). 6. Tidak ada hubungan antara suhu udara di sekitar rumah dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah. Hasil uji korelasi pearson didapatkan nilai p=0,305 (p>0,05). 7. Kelembaban udara di sekitar rumah mempunyai hubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah (p=0,028). Kekuatan hubungan kelembaban udara di sekitar rumah dengan kepadatan nyamuk
71
72
Anopheles sp di dalam rumah adalah sedang ke arah positif (r=0,382) yang artinya semakin meningkat kelembaban udara di sekitar rumah maka kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah juga semakin meningkat dan sebaliknya. 8. Ada hubungan antara keberadaan ikan pemakan larva di kolam dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah (p = 0,037). 9. Ada perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah berdasarkan jarak penempatan kandang ternak sapi sebagai cattle barrier malaria (p = 0,000). Kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah tertinggi ditemukan pada rumah yang berjarak kurang dari 10 m dari kandang ternak sapi yaitu 0,81 ekor/orang/jam dan terendah pada rumah yang berjarak 10-20 m dari kandang ternak sapi yaitu 0,02 ekor/orang/jam. Sementara pada rumah yang berjarak 21-50 m dari kandang ternak sapi kepadatannya sebesar 0,03 ekor/orang/jam. B. Saran 1. Bagi Masyarakat a. Menempatkan kandang ternak sapi pada jarak yang tepat yaitu 10-20 m karena adanya perbedaan kepadatan nyamuk Anopheles sp dalam rumah
berdasarkan
jarak
penempatan
kandang
ternak
sapi.
Penempatan kandang ternak sapi dengan jarak yang tepat di sekitar rumah berperan dalam menghalangi kontak antara nyamuk dengan manusia (cattle barrier). Sebaliknya, jika jarak terlalu dekat yaitu kurang dari 10 m maka kepadatan Anopheles sp dalam rumah yang menggigit manusia akan meningkat.
73
b. Melakukan manipulasi lingkungan untuk mencegah adanya breeding place nyamuk dengan cara pemeliharaan ikan pemakan larva di kolam ikan sekitar rumah. c. Menerapkan perilaku pencegahan malaria mengingat kelembaban udara ditemukan berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp sehingga daerah rentan terhadap transmisi malaria. Pencegahan berupa penggunaan obat anti nyamuk baik di dalam rumah maupun ketika keluar rumah pada malam hari, pemasangan kasa anti nyamuk pada ventilasi rumah, penggunaan kelambu berinsektisida dan lain sebagainya. Selain itu juga dengan mengurangi kelembaban udara di dalam rumah dengan membuat ventilasi pada rumah sehingga meskipun kelembaban udara di sekitar rumah tinggi setidaknya kelembaban udara dalam rumah dapat dikurangi agar tidak mendukung untuk habitatnya nyamuk Anopheles sp. 2. Bagi Puskesmas a. Memberikan informasi kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan mereka bahwa penempatan kandang ternak sapi yang kurang dari 10 m dari rumah akan meningkatkan kepadatan Anopheles sp dalam rumah dan menyarankan untuk menempatkan kandang ternak sapi pada jarak 10-20 m dari rumah sebagai cattle barrier malaria. Hal ini dikarenakan masih adanya masyarakat yang menempatkan kandang ternak sapi kurang dari 10 m dari rumah. Pemberian informasi dapat dilakukan dengan cara mengumpulkan warga di Balai Desa untuk menyampaikan materi tentang
74
penempatan kandang ternak sapi yang tepat di sekitar rumah. Penyampaian materi dilakukan secara singkat dan mudah dimengerti. Puskesmas juga dapat membagikan leaflet kepada warga agar warga lebih mengerti dan dapat mengingat dengan baik materi yang telah disampaikan. b. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pemeliharaan ikan pemakan larva di kolam ikan sekitar rumah dalam mengurangi kepadatan nyamuk di dalam rumah. Hal ini diperlukan mengingat masih sedikitnya masyarakat yang pada rumahnya terdapat ikan pemakan larva. Pemberian informasi dapat dilakukan di Balai Desa dengan memberikan materi yang singkat dan mudah dimengerti. Leaflet juga dapat diberikan kepada warga untuk mempermudah warga memahami materi yang disampaikan. Leaflet dapat berisi manfaat pemeliharaan ikan pemakan larva nyamuk di kolam ikan dan jenis-jenis ikan pemakan larva tersebut. c. Memberikan informasi lebih spesifik kepada masyarakat tentang pencegahan malaria mengingat kelembaban udara ditemukan berhubungan dengan kepadatan nyamuk Anopheles sp. Pencegahan tersebut dapat berupa penggunaan obat anti nyamuk baik di dalam rumah maupun ketika keluar rumah pada malam hari, pemasangan kasa anti nyamuk pada ventilasi rumah, penggunaan kelambu berinsektisida dan lain sebagainya. Pemberian informasi dapat dilakukan secara langsung dengan mengumpulkan warga di Balai Desa. Informasi yang disampaikan harus singkat dan mudah
75
dimengerti. Pemberian informasi ini juga dapat dilengkapi dengan pembagian leaflet untuk mempermudah warga memahami dan mengingat informasi yang disampaikan. 3. Bagi Dinas Kesehatan a. Penggunaan metode cattle barrier (ternak sapi sebagai penghalang kontak antara nyamuk dengan manusia) dengan jarak penempatan kandang ternak sapi 10-20 m dari rumah dalam menurunkan kepadatan Anopheles sp di dalam rumah. Pelaksanaan metode ini dilakukan melalui kerja sama dengan Dinas Perikanan dan Peternakan setempat untuk melatih masyarakat dalam mengelola kandang ternak sapi yang tepat agar selain bermanfaat bagi ekonomi tetapi juga bermanfaat dalam hal kesehatan. b. Membantu masyarakat dalam pengadaan ikan pemakan larva untuk mengurangi kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah melalui kerja sama dengan Dinas Perikanan dan Peternakan setempat. c. Memberikan bantuan sarana yaitu penyediaan leaflet atau poster, prasarana sebagai tempat yang akan digunakan untuk pemberian informasi dan pembiayaan kepada puskesmas dalam memberikan informasi kepada masyarakat tentang malaria. d. Memberikan bantuan kepada masyarakat dalam pengadaan obat anti nyamuk, kasa ventilasi anti nyamuk maupun kelambu berinsektisida bagi masyarakat yang kurang mampu dalam upaya pencegahan malaria. Hal ini diwujudkan melalui kerja sama dengan pemerintah daerah setempat maupun lembaga swadaya masyarakat yang ada.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, Ni Wayan Dewi dan Ruben Wadu Willa. 2013. Fauna yang Hidup Bersama Larva Anopheles pada Habitat Larva Anopheles di Kabupaten Sumba Barat Daya. Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol. 1 No. 1, Januari 2013: 9-15. Ahrens, C. Donald. 2008. Essentials of Meteorology: An Invitation to the Atmosphere. USA : Thomson Higher Education. Andriani, dkk. 2014. Gambaran Aktivitas Nyamuk Anopheles pada Manusia dan Hewan di Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba. Bagian Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin. Anies. 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan : Solusi Mencegah dan Menangggulangi Penyakit Menular. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Ariawan, Iwan. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Jurusan Biostatistik
dan
Kependudukan,
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat,
Universitas Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Purbalingga. 2013. Purbalingga dalam Angka 2013. Purbalingga : BPPD Kabupaten Purbalingga. Boesri, Hasan dan Tri Suwaryono. 2011. Situasi Vektor Malaria di Desa Buayan dan Ayah Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Aspirator, Vol. 3 No. 1 Tahun 2011: 25-40. Chandra, Budiman. 2009. Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta : EGC. Datau, E.A dkk. 2000. Malaria : Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta : EGC.
76
77
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Modul Entomologi Malaria 3. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Devi, N. Pemola dan R. K. Jauhari. 2006. Climatic Variables and Malaria Incidence in Dehradun, Uttaranchal, India. Journal Vector Borne Diseases 43, March 2006, pp. 21-28. Dhewantara, Pandji Wibawa dkk. 2013. Studi Bioekologi Nyamuk Anopheles sundaicus di Desa Sukaresik Kecamatan Sidamulih Kabupaten Ciamis. Bul. Penelit. Kesehat. Vol.41. No. 1, 2013 : 26-36. Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga. 2015. Riwayat KLB Malaria Di Kabupaten Purbalingga tahun 1996-2014. Purbalingga : Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga. Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purbalingga. 2012. Base 2011. Purbalingga : Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purbalingga. 2011. Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purbalingga. 2014. Purbalingga Dalam Angka Tahun 2014. Purbalingga : Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purbalingga. Djati, Anggun Paramita. 2014. Koleksi Referensi Nyamuk Di Daerah Endemis Malaria dan DBD Di Propinsi Jawa Tengah. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Erdinal dkk. 2006. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria Di Kecamatan Kampar Kiri Tengah, Kabupaten Kampar, 2005/2006. Makara, Kesehatan, Vol. 10, No. 2, Desember 2006: 64-70. Friaraiyatini dkk. 2006. Pengaruh Lingkungan dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Malaria di Kab. Barito Selatan Proponsi Kalimantan Tengah. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 2 No. 2 Januari 124 2006:121-128.
78
Hadi, Bambang dkk. 2005. Kandang Ternak dan Lingkungan Kaitannya dengan Kepadatan Vektor Anopheles aconitus Di Daerah Endemis Malaria (Studi Kasus Di Kabupaten Jepara). Program Studi Magister Epidemiologi, UNDIP Semarang. Hakim, Lukman. 2007. Sistem Informasi Lingkungan sebagai Pengembangan Sistem Kewaspadaan Dini Malaria (Kajian di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat). Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 4 Tahun 2007. Hakim, Lukman. 2010. Faktor Risiko Penularan Malaria di Jawa Barat (Kajian Epidemiologi tentang Vektor, Parasit Plasmodium, dan Lingkungan sebagai Faktor Risiko Kesakitan Malaria). Aspirator Vol. 2 No. 1 Tahun 2010 : 4554. Hakim, Lukman dan Mara Ipa. 2007. Sistem Kewaspadaaan Dini KLB Malaria Berdasarkan Curah Hujan, Kepadatan Vektor dan Kesakitan Malaria Di Kabupaten Sukabumi. Media Litbang Kesehatan Volume X/VII Nomor 2 Tahun 2007. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Bersama Kita Berantas Malaria. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian
Pertanian
Republik
Indonesia.
Sanitasi
Kandang.
http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/sanitasi-kandang diakses pada 13 Oktober 2014. Mading, Majematang. 2013. Fauna dan Karakteristik Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Anopheles sp di Desa Selong Belanak Kabupaten Lombok Tengah. Jurnal Penyakit Bersumber Binatang Vol. 1, No. 1, Januari 2013 :41-5.
79
Marpaung, Fiolenta. 2006. Penyusunan Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria (Studi Kasus Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteriologi, Institut Pertanian Bogor. Mofu, Renold Markus. 2013. Hubungan Lingkungan Fisik, Kimia dan Biologi dengan Kepadatan Vektor Anopheles di Wilayah Kerja Puskesmas Hamadi Kota Jayapura. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 12 No. 2/Oktober 2013. Mulyono, Arief dkk. 2013. Hubungan Keberadaan Ternak dan Lokasi Pemeliharaan Ternak terhadap Kasus Malaria Di Provinsi NTT (Analisis Lanjut Data Riskesdas 2007). Jurnal Vektora Vol. V No. 2, Oktober 2013. Muslim, H. M. 2009. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. Natadisastra, Djaenudin. 2009. Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta : EGC. Nurfitrianah, Ria dkk. 2013. Analisis Faktor Risiko Lingkungan terhadap Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Durikumba Kecamatan Karossa Kabupaten Mamuju. Bagian Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNHAS, Makassar. Ostfeld, Richard S. 2011. Lyme Disease: The Ecology of a Complex System. Oxford : Oxford University Press. Pemerintah Kabupaten Purbalingga. 2014. Pembagian Wilayah Administrasi. Purbalingga : Pemkab Purbalingga. Prabowo, Arlan. 2004. Malaria : Mencegah dan Mengatasinya. Pratama, Gilang Yoghi. 2015. Nyamuk Anopheles sp dan Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi di Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan. Jurnal Majority Vol. 4, No. 1, Januari, 2015 : 20-27. Prianto, Juni dkk. 1994. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
80
Puskesmas
Kecamatan
Kaligondang.
Malaria
Kaligondang
2010-2014.
Purbalingga : Puskesmas Kecamatan Kaligondang. Qorib, Abdul. 2005. Perbedaan Kejadian Penyakit Malaria Berdasarkan Penempatan Ternak Besar Pada Malam Hari Di Rumah Penduduk Desa Buaran Kecamatan Mayong, Jepara. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Semarang. Ramadhani, Tri. 2004. Hubungan Penempatan Kandang Ternak dengan Kejadiaan Malaria Di Kecamatan Paniranggaran Kabupaten Pekalongan. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro. Sari, Widya dkk. 2011. Studi Jenis Nyamuk Anopheles pada Tempat Perindukannya di Desa Rukoh Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh. Jurnal Biologi Edukasi, Vol. 3, No.1, 2011 : 31-34. Sarwoko, Hadi dkk. 2010. Perbedaan Kepadatan Nyamuk Anopheles aconitus Dalam Rumah Berdasarkan Keberadaan Hewan Ternak Sapi Atau Kerbau pada Malam Hari di Desa Buaran, Mayong, Jepara. Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Semarang. Shinta, dkk. 2012. Bionomik Vektor Malaria Nyamuk Anopheles sundaicus dan Anopheles letifer di Kecamatan Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau. Penelitian Kesehatan, Vol. 40, No. 1, Maret, 2012 : 19-30. Sinha, A.K. 2005. Malaria. New Delhi : S. B. Nagia (A. P.H. Publishing Corporation). Sulistiyani, Ninik Evi. 2012. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Malaria di Puskesmas Kokap 2 Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2012. Peminatan Kebidanan Komunitas, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok.
81
Sumantri, Arif. 2010. Kesehatan Lingkungan dan Perspektif Islam. Jakarta : Kencana. Susanna, Dewi. 2011. Entomologi Kesehatan : Artropoda Pengganggu Kesehatan dan Parasit yang Dikandungnya. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Suwito, dkk. 2010. Hubungan Iklim, Kepadatan Nyamuk Anopheles dan Kejadian Penyakit Malaria. Jurnal Entomologi Indonesia., April 2010, Vol 7, No. 1, 42-53. Wibowo, Adik dan Tim. 2014. Kesehatan Masyarakat Di Indonesia : Konsep, Aplikasi dan Tantangan. Jakarta : Rajawali Pers. Widiarti dkk. 2014. Analisis Spasial pada Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria di Desa Panusupan Kecamatan Rembang dan Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga. Media Litbangkes, Vol. 24 No. 4, Desember 2014, 169 – 180. World Health Organization. 2011. World Malaria Report 2011. Geneva : World Health Organization. Yatim, Faisal. 2007. Macam-macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya Jilid 2. Jakarta: Pustaka Obor Populer. Yudhastuti, Ririh. 2008. Gambaran Faktor Lingkungan Daerah Endemis Malaria di Daerah Berbatasan (Kabupaten Tulungagung dengan Kabupaten Trenggalek). Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.4, No.2, Januari 2008 : 9 – 20. Zacarias, Orlando P dan Mikael Andersson. 2011. Spatial and Temporal Patterns of Malaria Incidence in Mozambique. Zacarias and Andersson Malaria Journal 2011, 10:1 89.
LAMPIRAN LEMBAR OBSERVASI ANALISIS KEPADATAN NYAMUK ANOPHELES SP DI DALAM RUMAH BERDASARKAN LINGKUNGAN DI DESA SIDAREJA, KECAMATAN KALIGONDANG, KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2015 Tanggal pengisian data
:
Nama pemilik rumah
:
Suhu udara
:
Kelembaban udara
:
Keberadaan ikan pemakan larva
: 1. Ada 2. Tidak ada
Jarak penempatan kandang ternak sapi
: 1. < 10 m dari rumah 2. 10-20 m dari rumah 3. 21-50 m dari rumah
Kepadatan nyamuk Anopheles sp di dalam rumah dengan rumus MHD : Jam MHD Umpan Badan MHD Dinding Penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Rata-rata MHD di dalam Rumah
MHD per jam
Anopheles sp yang tertangkap di dalam rumah : Anopheles sp An. sundaicus An. aconitus An. subpictus An. barbirostris An. maculates An. balabacensis An. farauti An. punctulatus An. koliensis An. nigerrimus An. sinensis An. flavirostris An. karwari An. letifer An. barbum-brosus An. ludlowi An. bancrofti An. vagus
Jumlah
LAMPIRAN HASIL IDENTIFIKASI NYAMUK
Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 1 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1 1
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 2 An.vagus Ar.subalbatus
01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00
Ae.aegypti
Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 3 An vagus Ar. subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 4 An.vagus Ar subalbatus
Cu.pseudovhisnui
22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00
2 (UB) 1
1 (D)
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae. poicilius
Responden 5 An.vagus Ar.subalbatus
Cu. pseudovhisnui
Cu. quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 6 An.vagus Ar.subalbatus 1 (D)
19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00
2 (UB) 1
Ae.aegypti
1
1
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 7 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae. poicilius
Responden 8 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1
Ae.aegypti
1
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 9 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
1
1
03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 10 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1
1
1
Ae.aegypti
Ae.albopictus 1
Ae.poicilius
Responden 11 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus 2 3 4 2
1
Cu.tritaeniorhynchus
24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00
1 (D)
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
An. vagus
Responden 12 Ar.subalbatus Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus 2
2 (UB + D)
2 1
1 (UB)
2
Cu.tritaeniorhynchus
1 2 2 (UB + D)
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 13 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus 1
Cu.tritaeniorhynchus
21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00
1
1 2
1
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 14 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
1 1 2
Cu.tritaeniorhynchus
Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 15 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
4 5 4 1 2 1 1
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 16 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
1
1 (UB)
1 1 1
Cu.tritaeniorhynchus
03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 17 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
1
Ae.aegypti
Ae.aalbopictus
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1
Ae.poicilius
Responden 18 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus 1 1
1
Cu.tritaeniorhynchus
24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00
1
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 19 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
1
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 20 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
1
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1
1
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1
21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 21 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
1 1 3
1
Cu.tritaeniorhynchus
Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00
Ae.aegypti
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 22 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
Ae.poicilius
Responden 23 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1
03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00
Ae.aegypti
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 24 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
Ae.poicilius
Responden 25 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1
2 1 3
24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00
2 1
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 26 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
1
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1 1
1
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 27 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 28 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
1 (UB) 1
1 1
Cu.tritaeniorhynchus
Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 29 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1 1 2
1
Ae.aegypti 1
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 30 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
1
1
2
Cu.tritaeniorhynchus
03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00
2
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 31 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
1 1
2 1(UB)
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 32 An.vagus Ar.subalbatus
2 (UB + D)
Cu.pseudovhisnui
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Jam penangkapan 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 Total
1 (UB)
Ae.aegypti
Ae.albopictus
Ae.poicilius
Responden 33 An.vagus Ar.subalbatus
Cu.pseudovhisnui
1 (D)
Cu.quenquefasciatus
Cu.tritaeniorhynchus
2
1
6
1 3
1
19
10
17
86
2
LAMPIRAN OUTPUT SPSS
ANALISIS UNIVARIAT 1. Gambaran Suhu Udara Statistics Suhu_udara N
Valid
33
Missing
0
Mean
27.573
Std. Deviation
1.8680
Minimum
25.8
Maximum
32.0
Suhu_udara Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid 25.8
4
12.1
12.1
12.1
25.9
1
3.0
3.0
15.2
26.1
2
6.1
6.1
21.2
26.2
2
6.1
6.1
27.3
26.4
2
6.1
6.1
33.3
26.5
3
9.1
9.1
42.4
26.7
2
6.1
6.1
48.5
26.9
1
3.0
3.0
51.5
27.1
2
6.1
6.1
57.6
27.4
1
3.0
3.0
60.6
27.8
1
3.0
3.0
63.6
28
4
12.1
12.1
75.8
28.1
1
3.0
3.0
78.8
28.3
1
3.0
3.0
81.8
28.8
1
3.0
3.0
84.8
30
1
3.0
3.0
87.9
31
1
3.0
3.0
90.9
32
3
9.1
9.1
100.0
33
100.0
100.0
Total
Descriptives Std. Statistic Suhu_udara
Error
Mean
27.573
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound
26.910
Upper Bound
28.235
5% Trimmed Mean
27.425
Median
26.900
Variance
.3252
3.490
Std. Deviation
1.8680
Minimum
25.8
Maximum
32.0
Range
6.2
Interquartile Range
1.9
Skewness
1.379
.409
Kurtosis
1.035
.798
2. Gambaran Kelembaban Udara Statistics Kelembaban N
Valid Missing
Mean Std. Deviation
33 0 64.91 13.880
Minimum
42
Maximum
89
Kelembaban Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
42
1
3.0
3.0
3.0
47
1
3.0
3.0
6.1
49
1
3.0
3.0
9.1
50
3
9.1
9.1
18.2
52
2
6.1
6.1
24.2
53
1
3.0
3.0
27.3
55
1
3.0
3.0
30.3
56
2
6.1
6.1
36.4
60
6
18.2
18.2
54.5
67
3
9.1
9.1
63.6
68
2
6.1
6.1
69.7
80
4
12.1
12.1
81.8
81
1
3.0
3.0
84.8
85
2
6.1
6.1
90.9
86
1
3.0
3.0
93.9
87
1
3.0
3.0
97.0
89
1
3.0
3.0
100.0
33
100.0
100.0
Total
Descriptives Statistic Kelembaban
Mean 95% Confidence Interval for Mean
64.91 Lower Bound
59.99
Upper Bound
69.83
5% Trimmed Mean
64.78
Median
60.00
Variance Std. Deviation
192.648 13.880
Std. Error 2.416
Minimum
42
Maximum
89
Range
47
Interquartile Range
28
Skewness Kurtosis
.343
.409
-1.205
.798
3. Gambaran Keberadaan Ikan Pemakan Larva Statistics Keberadaan_ikan_pemakan_larva N
Valid
33
Missing
0
Keberadaan_ikan_pemakan_larva Cumulative Frequency Valid
Ada
Percent
Valid Percent
Percent
9
27.3
27.3
27.3
Tidak ada
24
72.7
72.7
100.0
Total
33
100.0
100.0
4. Gambaran Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi Statistics Jarak_penempatan_kandang ternak_sapi N
Valid Missing
33 0
Mean
2.52
Std. Deviation
.755
Minimum
1
Maximum
3
Jarak_penempatan_kandang ternak_sapi Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
< 10 m dari rumah
5
15.2
15.2
15.2
10-20 m dari rumah
6
18.2
18.2
33.3
21-50 m dari rumah
22
66.7
66.7
100.0
Total
33
100.0
100.0
ANALISIS BIVARIAT 1. Hubungan Suhu Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam rumah Descriptive Statistics Mean Suhu_udara
Std. Deviation
N
27.573
1.8680
33
.1488
.31909
33
Kepadatan_nyamuk_Anophe les_sp_di_dalam_rumah
Correlations Kepadatan_nya muk_Anopheles _sp_di_dalam_r Suhu_udara Suhu_udara
Pearson Correlation
umah 1
Sig. (2-tailed) N Kepadatan_nyamuk_Anophe Pearson Correlation les_sp_di_dalam_rumah
Sig. (2-tailed) N
-.184 .305
33
33
-.184
1
.305 33
33
2. Hubungan Kelembaban Udara dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Descriptive Statistics Mean Kepadatan_nyamuk_Anophe les_sp_di_dalam_rumah Kelembaban
Std. Deviation
N
.1488
.31909
33
64.91
13.880
33
Correlations Kepadatan_nya muk_Anopheles _sp_di_dalam_r umah
Kelembaban
Kepadatan_nyamuk_Anophe Pearson Correlation les_sp_di_dalam_rumah
1
.382
Sig. (2-tailed)
.028
N Kelembaban
*
33
33
*
1
Pearson Correlation
.382
Sig. (2-tailed)
.028
N
33
33
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
3. Hubungan Keberadaan Ikan Pemakan Larva dengan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp di dalam Rumah Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic Kepadatan_nyamuk_Anophe les_sp_di_dalam_rumah
Df
.407
Shapiro-Wilk
Sig. 33
Statistic
.000
df
Sig.
.542
33
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic kepadatan2
Df
.259
a. Lilliefors Significance Correction
Shapiro-Wilk
Sig. 9
.083
Statistic .828
df
Sig. 9
.042
Descriptive Statistics N Kepadatan_nyamuk_Anophele s_sp_di_dalam_rumah Keberadaan_ikan_pemakan_la rva
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
33
.1488
.31909
.00
1.35
33
1.73
.452
1
2
Ranks Keberadaan _ikan_pema kan_larva
N
Mean Rank
Kepadatan_nyamuk_Anophe Ada les_sp_di_dalam_rumah
Sum of Ranks
9
12.50
112.50
Tidak ada
24
18.69
448.50
Total
33
Test Statistics
b
Kepadatan_nya muk_Anopheles _sp_di_dalam_r umah Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] a. Not corrected for ties. b. Grouping Variable: Keberadaan_ikan_pemakan_larva
67.500 112.500 -2.089 .037 .102
a
Case Processing Summary Cases Included N
Excluded
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Kepadatan_nyamuk_Anophe les_sp_di_dalam_rumah *
33
Keberadaan_ikan_pemakan
100.0%
0
.0%
33
100.0%
_larva
Report Kepadatan_nyamuk_Anopheles_sp_di_dalam_rumah Keberadaan_ikan_pemakan_larva
Mean
N
Std. Deviation
Ada
.0000
9
.00000
Tidak ada
.2046
24
.36021
Total
.1488
33
.31909
4. Perbedaan Kepadatan Nyamuk Anopheles sp dalam Rumah Berdasarkan Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi sebagai Cattle Barrier Malaria Descriptive Statistics N Kepadatan_nyamuk_Anophe les_sp_di_dalam_rumah Jarak_penempatan_kandang ternak_sapi
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
33
.1488
.31909
.00
1.35
33
2.52
.755
1
3
Ranks Jarak_penempatan_kandang ternak_sapi Kepadatan_nyamuk < 10 m dari rumah _Anopheles_sp_di_
N
Mean Rank 5
30.90
10-20 m dari rumah
6
14.75
> 20 m dari rumah
22
14.45
Total
33
dalam_rumah
Test Statistics
a,b
Kepadatan_nyamuk_Anopheles_sp_di_dalam_rumah Chi-Square
19.835
Df
2
Asymp. Sig.
.000
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: Jarak_penempatan_kandang ternak_sapi
Case Processing Summary Cases Included N
Excluded
Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Kepadatan_nyamuk_Anophe les_sp_di_dalam_rumah * Jarak_penempatan_kandang
33
100.0%
0
.0%
33
ternak_sapi
Report Kepadatan_nyamuk_Anopheles_sp_di_dalam_rumah Jarak_penempatan_kandang ternak_sapi
Mean
N
Std. Deviation
< 10 m dari rumah
.8120
5
.31964
10-20 m dari rumah
.0200
6
.04899
21-50 m dari rumah
.0332
22
.10794
Total
.1488
33
.31909
100.0%
LAMPIRAN FOTO Paper Cup untuk Penangkapan Nyamuk
Proses Penangkapan Nyamuk Umpan Badan
Proses Penangkapan Nyamuk di Dinding dalam Rumah
Pengisian Lembar Observasi
Nyamuk Hasil Tangkapan yang Diawetkan
Proses Pengukuran Jarak Penempatan Kandang Ternak Sapi
Proses Identifikasi Genus dan Spesies Nyamuk