KEPADATAN POPULASI NYAMUK Aedes sp DI DAERAH ENDEMIS, SPORADIS DAN NON ENDEMIS DI KECAMATAN PATI POPULATION DENSITY OF Aedes sp IN ENDEMIC AREAS, SPORADIS, AND NON ENDEMIC IN DISTRICT OF PATI. Tri Mulyowati Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Setia Budi, Surakarta ABSTRAK Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, atau DEN-4) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Di Jawa Tengah, Kabupaten yang dianggap rawan DBD adalah Rembang, Kudus, Pati, Jepara, Kota Semarang, Pekalongan,Tegal dan Brebes. Laporan penderita DBD di Kabupaten Pati tiga tahun berturut – turut dari tahun 2007 sampai tahun 2009 sebanyak 1849, 686, 403 kasus, sehingga daerah Pati dikategorikan sebagai daerah endemis DBD. Pencegahan yang dilakukan yakni dengan melakukan fogging, abatisasi, dan penyuluhan terhadap masyarakat, selain melakukan fogging, abatisasi dan penyuluhan, memantau kepadatan populasi Ae. aegypti juga merupakan hal yang penting sekali dalam upaya membantu mengevaluasi adanya ancaman DBD disuatu daerah dan juga untuk meningkatkan tindakan pengendalian vector. pengukuran kepadatan populasi nyamuk Ae. aegypti belum pernah dilaporkan di Kabupaten Pati Kata kunci : kepadatan populasi, Ae.aegypti. DBD
ABSTRACT Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is one of the diseases caused by infection with dengue virus (DEN-1, DEN-2, DEN-3, or DEN-4) which is transmitted through the bite of a mosquito Aedes aegypti. In Central Java, who are considered vulnerable to dengue District is Rembang, Kudus, Pati, Jepara, Semarang, Pekalongan, Tegal and Brebes. Reports of DHF patients in Pati three consecutive years from 2007 until the year 2009 were cases 1849, 686, 403 cases, so that the area designated as endemic area Pati of DHF. Prevention is done that is by conducting fogging, Abatisation, and counseling to the community, In addition to fogging, Abatisation and counseling, monitoring the population densities of Ae. aegypti is also an important thing in an effort to help evaluate the threat of dengue sector in a region and also to improve control measures vector. measurement of population densities of Ae. aegypti has never been reported in Pati. Keywords: population density, Ae.aegypti. DHF PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, atau DEN-4) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Menurut data Departemen Kesehatan Indonesia pada awal tahun 2007 jumlah penderita DBD telah mencapai 16.803 orang dan 267 orang diantaranya meninggal dunia. Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak-anak serta sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) atau wabah. Jumlah DBD meningkat antara bulan September sampai Februari dan puncaknya di bulan Januari. Laporan penderita DBD di Kabupaten Pati tiga tahun berturut – turut dari tahun 2007 sampai tahun 2009 sebanyak 1849, 686, 403 kasus, sehingga daerah Pati dikategorikan sebagai daerah endemis DBD yaitu daerah yang dalam kurun waktu tiga tahun berturut-turut terdapat kasus DBD, dan kasus tertinggi dilaporkan di Kecamatan Pati I
yaitu tahun 2007, 2008, 2009 sebanyak 172, 78, 54 kasus. Struktur geografis Kecamatan Pati I ada di daerah perkotaan. Jumlah penderita DBD di Kabupaten Pati hingga Maret 2009 mencapai 153 orang, tiga di antaranya meninggal dunia. Daerah endemis DBD di Kabupaten Pati masih tetap sama seperti tahun sebelumnya, yakni Kecamatan Pati, Winong, dan Kecamatan Tambakromo. Pencegahan DBD yang dilakukan salah satunya yakni dengan melakukan fogging, abatisasi, dan penyuluhan terhadap masyarakat. Tindakan pengendalian vektor selain melakukan fogging, abatisasi dan penyuluhan, memantau kepadatan populasi Ae. aegypti juga merupakan hal yang penting sekali dalam upaya membantu mengevaluasi adanya ancaman DBD disuatu daerah. Pengukuran kepadatan populasi nyamuk yang belum dewasa dilakukan dengan pemeriksaan tempat perkembangbiakan di dalam dan di luar rumah dari 100 rumah yang terdapat di daerah pemeriksaan. Indikator yang digunakan diantaranya House index, Container index dan Breteu index. Data yang ada menunjukkan kepadatan populasi Ae. aegypti masih tinggi, diperkirakan 20% atau 5% di atas ambang penularan, bahkan di beberapa kota jauh lebih tinggi, House index di Kota Palembang 44,7% , di Jakarta Utara 27,3 % . METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan Crosssectional dan teknik pengambilan sampel menggunakan Simple random sampling. Populasi penelitian adalah seluruh larva yang ada di wilayah Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, sedangkan sampel penelitian adalah larva yang ada di Kecamatan Pati yaitu Pati Lor, Semampir, Mustokoharjo, sedangkan sampel diambil dari 170 rumah yang terdapat di 3 desa di Kecamatan Pati Kabupaten Pati dan setiap desa diambil 60 rumah di daerah endemis, 55 rumah di daerah sporadis dan 55 rumah di daerah non endemis. Bahan dan Alat Bahan dan alat –alat yang dipakai dalam penelitian berupa : senter, plastic, saringan, gayung, larva nyamuk,deck glass, obyek glas, air, mikroskop. Tahapan penelitian: 1. Perijinan lokasi kepada Kepala Dinas Kesehatan Pati Jawa Tengah dan persiapan terhadap survey kepadatan populasi Ae. aegypti. 2. Pelaksanaan meliputi : Angka jentik dapat diketahui dengan cara single larva sehingga bisa ditemukan sebagai berikut : 1. Angka kontainer atau Container Index : merupakan persentase TPA/Kontainer yang positif didapati adanya jentik Ae. aegypti. 2. Angka rumah/House index : merupakan persentase rumah yang positif didapati adanya jentik. 3. Angka Breteu/Breteu index: merupakan jumlah TPA/Kontainer yang positif didapati adanya jentik/pupa dalam 100 rumah (Look, 1985). 4. Pupa Index : merupakan jumlah pupa yang diperoleh per rumah yang diperiksa x 100 5. ABJ : merupakan rumah yang bebas jentik per rumah yang diperiksax100 persen. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil pengamatan kepadatan populasi Hasil identifikasi spesies nyamuk yang ditemukan pada daerah endemis, sporadis, dan non endemis berdasarkan hasil identifikasi di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM secara mikroskopik sebagai berikut :
Tabel 1. Jenis spesies yang ditemukan pada tempat penampungan air (TPA) di daerah endemis, sporadis, dan non endemis Demam Berdarah Dengue (DBD) Kecamatan Pati.
Spesies Larva Ae.aegypti Ae.albopictus Total
Proporsi larva yang ditemukan Endemis Sporadis Non endemis N % N % N % 43 81,1 17 89,47 25 96,15 10 18,8 2 10,52 1 3,84 53 100 19 100 26 100
Berdasarkan Tabel 1 di atas, hasil identifikasi larva menunjukkan bahwa daerah endemis, sporadis maupun non endemis didominasi oleh spesies Ae.aegypti, berturutturut 81,1 %, 89,47%, 96,15%. Berdasarkan tabel di atas juga jelas diketahui bahwa vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Ae.aegypti sementara spesies lain seperti Ae.albopictus merupakan vektor sekunder. Adanya vektor tersebut berhubungan erat dengan kebiasaan masyarakat menampung air, bersih untuk keperluan sehari-hari, sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyediaan air bersih yang kurang. Tabel 2. Distribusi tempat penampungan air (TPA) yang ditemukan larva dan pupa Ae.aegypti dan Ae.albopictus pada daerah endemis (Kelurahan Pati Lor). Jenis TPA
N
Bak mandi Bak WC Tempayan Ember bekas Sumur Kolam Toples bekas Ban bekas Ember Kulkas bekas Pot Bunga Ember mandi Tempat minum burung Tutup tempayan Tempat wudhlu Total
61 4 8 2 6 2 1 1 3 1 4 3 6 1 2 105
TPA Positif larva Positif Kontribusi (%) Ae.aegypti Ae.albopictus pupa 26 4 10 47,61 3 0 3 14,28 2 0 1 4,76 1 0 1 4,76 2 0 1 4,76 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 4,76 0 0 0 0 1 0 1 4,76 0 4 0 0 2 0 2 9,52 4 0 0 0 1 0 1 4,76 1 0 0 0 43 10 21 100
Tabel 2 di atas menunjukkan jumlah total TPA yang ditemukan pada daerah endemis sebanyak 105 dengan 43 diantaranya positif larva Ae.aegypti, 10 positif larva Ae.albopictus, 21 positif ditemukan pupa. Jenis TPA yang paling banyak digunakan oleh penduduk adalah bak mandi dan tempayan. Jenis TPA yang paling banyak ditemukan larva dan pupa adalah bak mandi sebanyak 10 dari 61 bak mandi yang diperiksa, dan bak WC sebanyak 3 dari 4 bak WC yang diperiksa, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa nyamuk Aedes sp menyukai tempat penampungan yang berair jernih terutama yang berada di dalam rumah atau di sekitar rumah (Miller et al., 1992).
Tabel 3. Distribusi tempat penampungan air (TPA) yang ditemukan larva dan pupa Ae.aegypti dan Ae.albopictus pada daerah sporadis (Desa Semampir). Jenis TPA
N
Bak mandi Tempayan Bak WC Dispenser ember Ban bekas Bak cuci Ember WC Total
TPA Positif larva Positif Ae.aegypti Ae.albopictus pupa 7 1 3 0 3 0 0 0 3 0 0 1 0 0 1 0 17 2
51 12 12 1 5 1 1 2 85
1 1 1 0 0 1 0 0 4
Kontribusi (%) 25,00 25,00 25,00 0 0 25,00 0 0 100
Tabel 3 menunjukkan jumlah total TPA yang ditemukan pada daerah sporadis sebanyak 85 dengan 17 diantaranya positif larva Ae.aegypti dan 2 positif larva Ae.albopictus. Jenis TPA yang paling banyak digunakan pada daerah sporadis adalah bak mandi, tempayan dan bak WC dengan ditemukan berturut-turut 7, 3, 3 positif larva Ae.aegypti, sedangkan jenis TPA yang positif ditemukan pupa adalah ban bekas, bak mandi, tempayan dan bak WC, dengan demikian TPA tersebut paling dominan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp pada daerah sporadis. Tabel 4 Distribusi tempat penampungan air (TPA) yang ditemukan larva dan pupa Ae.aegypti dan Ae.albopictus pada daerah nonendemis (Desa Mustokoharjo). Jenis TPA
N
Bak mandi Tempayan Bak WC Ember Padasan Dispenser Aquarium bekas Pot bunga Total
52 24 17 12 1 1 1 1 109
TPA Positif larva Positif Kontribusi (%) Ae.aegypti Ae.albopictus pupa 12 0 5 71,42 4 0 0 0 3 0 1 14,28 3 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 14,28 25 1 7 100
Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah TPA pada daerah nonendemis sebanyak 109 dengan 25 ditemukan positif larva Ae.aegypti, 1 positif larva Ae.albopictus dan 7 positif pupa. Bak mandi, tempayan, bak WC dan ember merupakan TPA yang paling banyak digunakan pada daerah nonendemis. Bak mandi merupakan TPA yang paling banyak ditemukan pupa nyamuk Aedes sp sebanyak 5 dari 52 bak mandi yang diperiksa, hal ini menunjukkan bak mandi paling dominan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp pada daerah nonendemis. Hal ini sesuai dengan penelitian Umniyati et al., (2006) di Kelurahan Terban Yogyakarta bahwa bak mandi merupakan container yang potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes sp.
Tabel 5.Kepadatan populasi Aedes sp pada daerah endemis, sporadis, dan non endemis di Kecamatan Pati. Wilayah penelitian Endemis Sporadis Non endemis Total
Jumlah Rumah 60 55
Rumah (+) Larva 34 13
Jumlah TPA 105 85
TPA (+) Larva 53 20
55
14
109
26
170
61
299
99
ABJ 43 76 74
HI
CI
BI
56,6 23,6
50 23,5
88,3 36,4
25,5
23
47,3
Pada Tabel 5 dapat dilihat pada penelitian ini didapatkan total rumah 170 rumah dengan 61 rumah positif ditemukan larva nyamuk Aedes sp. Dari 299 TPA yang diperiksa, ditemukan 99 TPA yang juga positif ditemukan larva nyamuk Aedes sp. Pada daerah endemis didapatkan 34 rumah positif ditemukan larva dari 60 rumah yang diteliti, diwujudkan dengan nilai HI sebesar 56,6 %. Dari 106 TPA yang diperiksa ditemukan 53 TPA yang positif atau nilai CI sebesar 50 %. Di dapatkan juga nilai BI sebesar 88,3. Untuk daerah sporadis didapatkan hasil HI, CI, dan BI yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang didapatkan pada daerah endemis, berturut-turut sebesar 23,64%, 23,52%, dan 36,36 untuk BI, sedangkan untuk daerah non endemis didapatkan hasil HI sebesar 25,45 %, CI sebesar 23 %, BI sebesar 47,27. Jenis TPA yang paling banyak digunakan di daerah endemis, sporadis dan nonendemis adalah bak mandi, tempayan dan bak WC. Pengamatan terhadap Angka Bebas Jentik menunjukkan bahwa daerah endemis memiliki angka bebas jentik sebesar 43, untuk daerah sporadis 76 , dan non endemis sebesar 74. World Health Organization (WHO) telah mengembangkan suatu gambaran kepadatan WHO (WHO density figure) yang menunjukkan hubungan antara HI, CI, dan BI seperti yang ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6. WHO density figure WHO density figure
House Index
1 2 3 4 5
1-3 4-7 8-17 18-28 29-37
Container Index 1-2 3-5 6-9 10-14 15-20
6
38-49
21-27
50-74
7 8 9
50-59 60-76 77
28-31 32-40 41
75-99 100-199 200
Breteu Index 1-4 5-9 10-19 20-34 35-49
Pada penelitian ini diketahui pada daerah endemis didapatkan HI sebesar 56.6 %, CI 50 %, BI 88,3 jadi daerah ini berada pada skala 7 dan 9 menurut tabel gambaran kepadatan nyamuk WHO (Tabel 3). Data tersebut menunjukkan bahwa daerah endemis memiliki kepadatan larva nyamuk Aedes sp yang sangat tinggi. Daerah sporadis didapatkan HI 23,64 %, CI 23,52 %, BI 36,36, menurut tabel gambaran kepadatan nyamuk WHO daerah ini berada pada skala 4,5 dan 6 data ini menunjukkan bahwa daerah sporadis memiliki tingkat kepadatan larva nyamuk Aedes sp yang juga tinggi, sedangkan untuk daerah non endemis didapatkan HI 25,45%, CI 23%, BI 47,7, menurut tabel gambaran kepadatan nyamuk WHO daerah ini berada pada skala 4,5 6 data ini menunjukkan bahwa daerah non endemis memiliki kepadatan larva nyamuk Aedes sp yang juga tinggi pula.
Skala tingkat risiko penularan DBD menurut Pant and Self (1993), dapat diartikan jika BI>50 dan HI>10% maka suatu daerah dianggap berisiko tinggi terhadap penyebaran penyakit DBD. Namun jika BI <5 dan HI <1% maka dapat diartikan bahwa daerah berisiko rendah terhadap penyebaran penyakit DBD. Dari pedoman tersebut dapat diinterpretasikan bahwa daerah endemis, sporadis dan non endemis pada penelitian ini dianggap berisiko tinggi terhadap penyebaran penyakit DBD, tetapi yang paling berisiko tinggi terhadap penyebaran penyakit DBD adalah daerah endemis dengan BI sebesar 88,3. Perbedaan nilai diberbagai tempat antara lain bisa disebabkan karena tingkat sanitasi, temperatur, kelembapan udara serta curah hujan yang berbeda antara satu daerah dengan yang lain 12. Ukuran kepadatan larva terutama HI lebih menggambarkan penyebaran nyamuk disuatu wilayah, sedangkan indikator BI dapat membantu kita dalam mengambil keputusan mengenai waktu sebaiknya tindakan fogging dilakukan 14. Berdasarkan penelitian Yuniarti di Purwodadi menyatakan bahwa tingginya CI, BI, dan HI serta didukung oleh curah hujan yang tinggi dapat mendorong terjadinya KLB DBD. 2. Hasil Pengamatan Pupa Index Pupa index sangat penting karena selain berguna untuk perkiraan munculnya nyamuk dewasa dan juga berperan untuk mengetahui tipe container yang paling produktif. Tabel 7. Pupa Index di daerah endemis, sporadis dan nonendemis Daerah
Jumlah Pupa
Jumlah rumah
PI
Endemis 21 60 35 Sporadis 4 55 7,27 Nonendemis 7 55 12,7 Total 32 Ket : PI = Jumlah pupa yang diperoleh : Jumlah rumah yg diperiksa x100 Tabel 7. menunjukkan bahwa daerah endemis mempunyai PI tertinggi yaitu 35 atau terdapat 35 pupa dari 100 rumah yang diperiksa, sedangkan PI terendah adalah daerah sporadis dengan PI sebesar 7,27. PI ini lebih rendah dari penelitian di Kupang dengan PI sebesar 144 yang artinya dilihat dari kepadatan larva yang ada maka Kecamatan Pati mempunyai risiko terjadinya Penularan DBD lebih rendah dibandingkan di Kota Kupang. KESIMPULAN Kepadatan populasi di daerah endemis DBD kecamatan Pati termasuk tinggi, daerah sporadis termasuk tinggi dengan dan daerah non endemis DBD Kecamatan Pati juga tinggi. DAFTAR PUSTAKA Agoes R dan Natadisastra D. Parasitologi Kedokteran di tinjau dari organ tubuh yang diserang.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2009. Budiyanto.A. Studi Indeks Larva Nyamuk Aedes aegypti dan Hubunganya dengan PSP masyarakat tentang Penyakit DBD di Kota Palembang Sumatera Selatan.http://www.balitbang.depkes.id. 2005. Depkes RI, Pemberantasan Sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue ( PSN DBD oleh juru pemantau jentik Jakarta : Ditjen PPM dan PLP.2007 Ginanjar, G. Demam Berdarah. Mizan Publika. Jakarta. 2009. Hasyimi M,Soekirno M. Pengamatan Tempat Perindukan Aedes aegypti pada tempat Penampungan Air Rumah Tangga pada Masyarakat pengguna air olahan. Ekologi Kesehatan. . 2004. 3(1) 37-34. Kota Pati, Data Jumlah penderita dan kematian DBD perkelurahan dikota Pati tahun 20072009. Pati. 2010
Look, C.K. 1985. Singapore’s Dengue Haemorrhagic Fever control Programme : A case Study on The Succesful Control of Aedes aegypti and Aedes albopictus Using Mainly Environmental Measures As a Part of Integrated Vector Control, SEAMIC, Tokyo Miller, J.E., Balanzar, A and Gazga, D. 1992. Where Aedes aegypti live in Guerrero, using the maya index to measure breeding risk dalaam Halstead SB and Gomez H. Dengue a World Wide Problem, Common Strategy. Pp 255-261 Misnadiarly. Demam Berdarah Dengue: Ekstrak Daun Jambu Biji Bisa untuk mengatasi DBD,edisi 1, Pustaka Populer Obor, Jakarta 2009. Notoatmodjo,S. Metodologi Penelitian Kesehatan.Rineka Cipta.Jakarta. 2002. Satoto, T.B.T . Penting Survei jentik Sebelum Fogging, Medika, 2005.XXXI, hal 185-187. Suroso T., Hadinegoro, S. R., Wuryadi, S., Simanjuntak, G., Umar, A. I., Pitoyo, P. D., Kusriastuti, R., Izhar, AR., Ali, Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue, WHO dan Depkes RI, 2004,59 Umniyati, S.R. Survey Vektor DBD di Perumnas Condong Catur, Kabupaten Sleman Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat VIII (2) 1992 hal 103. Wanti. Demam Berdarah Dengue di Kota Kupang : Kondisi Iklim, Status Entomologi dan bukti adanya infeksi transovarial virus Dengue pada Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. 2010 Yuniarti, R.A. Kajian entomologi vektor di daerah endemis Demam Berdarah dengue di Kabupaten Grobogan. 2001 .