ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI (Kasus Kawasan Irigasi Teknis Cigamea, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Oleh : Ayuningtias A14204062

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

RINGKASAN AYUNINGTIAS. A14204062. Analisis Kelembagaan Irigasi dalam Rangka Proyek Rehabilitasi Sistem dan Bangunan Irigasi. Di bawah bimbingan SOERYO ADIWIBOWO.

Penelitian ini dilatarbelakangi kajian mengenai pembangunan dimana menurut Dove (1958) pembangunan cenderung semakin memusnahkan sistem ilmu pengetahuan asli (indigenous knowlege), merubah struktur perhubungan yang sudah ada terhadap ekosistem, dan mekanisme biologi yang selama ini digunakan dalam penyesuaian lingkungan. Sejak Pelita I (1969-1974) pemerintah melakukan rehabilitasi jaringan irigasi, perbaikan pengelolaan air di tingkat tersier dan perluasan areal irigasi, sebagai proses pembangunan di sektor pertanian. Salah satunya seperti yang terjadi di Desa Situ ilir, tepatnya kawasan irigasi Cigamea. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi apakah fenomena seperti yang disebutkan Coward (1988) dan Sajogyo sebagaimana dikutip Tjondronegoro (1999) terjadi di Desa Situ Ilir, serta mengidentifikasi implikasi atau dampak lebih lanjut dari proyek tersebut terhadap keberlanjutan kelembagaan irigasi yang ada, dan produksi pertanian padi sawah di Desa Situ Ilir. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, keragaan kelembagaan dalam penelitian ini kemudian ditelusuri dalam konteks aspek aktivitas-aktivitas mendasar dalam suatu sistem irigasi yang bersandar pada aspek-aspek struktural maupun kulturalnya. Penelitian ini dilakukan di kawasan irigasi Cigamea yang berlokasi di Desa Situ Ilir, Kacamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2008. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui metode studi kasus yang menerapkan sejumlah metode (multi metode) seperti pengamatan, wawancara mendalam, serta analisis dokumen. Data-data kualitatif yang diperoleh kemudian direduksi melalui proses pemilihan, pemusatan perhatian, serta penyederhanaan data-data “kasar” yang diperoleh dari catatan harian untuk proses

49

mengkoding data-data tersebut ke dalam suatu kelompok-kelompok sub tema yang sama (gugus-gugus). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum, adanya modernisasi pada sistem pengairan pertanian di Desa Situ Ilir pada dasarnya telah menciptakan ketergantungan dan kemandekan dalam sistem irigasi, dan menurunnya otoritas dan partisipasi masyarakat petani pemakai air. Hal ini terlihat dari terjadinya pengerusakan yang sengaja dilakukan oleh petani untuk memperoleh air, hilangnya aktivitas kolektif dan kekompakan petani dalam pengelolaan air, serta menurunnya partisipasi petani dalam melakukan perawatan terhadap jaringan irigasi. Hal ini secara tidak langsung disebabkan karena upaya pemerintah dalam memodernisasi sistem irigasi tradisional di Desa Situ Ilir berlangsung tanpa mengembangkan potensi kelembagaan irigasi lokal yang telah ada sebelumnya. Modernisasi pada sistem irigasi di Desa Situ Ilir secara umum juga berdampak pada kemunduran dalam fungsi kelembagaan setempat dimana manajemen pengelolaan air diatur melalui kesepakatan-kesepakatan bersama dan juga pola-pola produksi pertaniannya. Kemunduran dalam fungsi kelembagaan terlihat dari semakin melemahnya ikatan sanksi, menurunnya kemampuan untuk mengatur pengalokasian air di musim kemarau, serta hilangnya kebersamaan petani dalam pengelolaan jaringan irigasi. Sedangkan upaya pemerintah dalam mengembangkan kelembagaan irigasi yang dibentuk secara formal seperti halnya P3A dapat dikatakan kurang berhasil. Kemunduran dari segi pola-pola produksi pertanian Desa Situ Ilir, terlihat dari adanya penurunan kemampuan lahan untuk memperoleh hasil yang maksimal akibat pengaruh simultan dari meningkatnya kompetisi dalam penggunaan air, menurunnya kualitas dan kuantitas fisik jaringan irigasi, serta menurunnya kemampuan petani dalam mengatur air Perubahan dari kelembagaan irigasi secara umum dapat dihubungkan dengan proyek rehabilitasi bangunan irigasi. Proyek rehabilitasi ini ditandai dengan adanya perubahan pada konstruksi bangunan, yaitu bangunan sederhana non-permanen, menjadi bangunan permanen dan adanya introduksi kelembagaan formal P3A sebagai konsekuensi proyek tersebut. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri adanya pengaruh-pengaruh lain diluar proyek rehabilitasi yaitu adanya modernisasi di bidang pertanian. Penerapan bibit baru dan peningkatan intensitas

50

tanam menyebabkan hilangnya pola keseragaman petani dalam menanam padi yang kemudian berdampak perubahan pengelolaan sistem pengairan. ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI (Kasus Kawasan Irigasi Teknis Cigamea, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Oleh : Ayuningtias A14204062

Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

51

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT DEPARTEMEN ILMU-ILMU SOSIAL EKONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama

:

Ayuningtias

NRP

:

A14204062

Program Studi

:

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul Skripsi

:

Analisis Kelembagaan Irigasi dalam Rangka Proyek Rehabilitasi Sistem dan Bangunan Irigasi (Kasus Kawasan Irigasi Teknis Cigamea, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP : 130 434 005

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP. 131 124 019

52

Tanggal Lulus Ujian: ________________

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA STUDI PUSTAKA INI BENAR-BENAR

HASIL

KARYA

SAYA

SENDIRI

DAN

TIDAK

MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI

BAHAN

RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

BOGOR, AGUSTUS 2008

AYUNINGTIAS A14204062

53

RIWAYAT PENULIS

Penulis bernama Ayuningtias lahir di Bogor pada tanggal 10 September 1986. penulis merupakan putri ketiga dari empat bersaudara dari pasangan suamiistri Nali (Alm.) dan Marufah. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN 03 Cibatok pada tahun 1998. Kemudian pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Cibungbulang dan Lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis telah menyelesaikan pendidikannya di SMU Negeri 1 Leuwiliang Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Ilmuilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama dibangku SMU, penulis aktif dalam organisasi Majalah Sekolah (MASA) SMU Negeri 1 Leuwiliang pada tahun 2001-2004. Selama mengikuti masa perkuliahan penulis juga pernah aktif dalam UKM Buletin D`Green pada tahun 2005 dan menjadi salah satu tenaga pengajar Kejar Paket C di PKBM Tunas Mandiri pada tahun 2007.

54

UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelembagaan irigasi dalam Rangka Proyek Rehabilitasi Sistem dan Bangunan Irigasi” ini. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr.

Soeryo

Adiwibowo

yang

telah

menyediakan

waktunya

untuk

membimbing penulis dengan kesabaran serta saran-saran yang telah diberikan kepada penulis selama penulisan skripsi ini. 2. Dr. Satyawan Sunito, terima kasih atas kesediaannya menjadi dosen penguji utama penulis. Mohon maaf atas tindakan maupun ucapan penulis yang kurang berkenan. 3. Ir. Murdianto MSc yang bersedia menjadi dosen penguji wakil departemen. 4. Kedua orang tua yang selalu mengirimkan doa, nasihat serta motivasi pada penulis selama ini. Khususnya pada ayahanda yang hingga akhir hayatnya terus mengingatkan penulis untuk tetap menyelesaikan kuliah. Terima kasih atas kerja keras kalian untuk penulis. Semoga Allah SWT memberikan rahmat kebaikan untuk keduanya. 5. Kedua kakak laki-lakiku yang bersedia menyisihkan sedikit kesenangannya untuk dimanfaatkan penulis. 6. Pihak-pihak lain yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Kritik dan saran yang berguna bagi kesempurnaan penulisan skripi ini sangat penulis harapkan. Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermnanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Bogor, Agustus 2008

55

Penulis

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Kelembagaan irigasi dalam Rangka Proyek Rehabilitasi Sistem dan Bangunan Irigasi”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang akan dijadikan pemenuhan syarat kelulusan SEP 495 pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Studi Pustaka ini menguraikan bagaimana keragaan sistem irigasi Cigamea Desa Situ Ilir dalam Rangka proyek rehabilitasi sistem dan bangunan irigasi. Penelusuran mengenai kelembagaan irigasi ini ditujukan menggambarkan seperti apa dan bagaimana seharusnya performance kelembagaan irigasi Desa Situ Ilir tepatnya di kawasan irigasi Cigamea. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat menyumbang manfaat bagi semua pihak yang membacanya. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan pada tahap selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan serta terhadap ilmu dan penerapan pembelajaran, khususnya bagi Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

Bogor, Juli 2008

Penulis

56

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI................................................................................................... iv DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR...................................................................................... vii

BAB I 1.1 1.2 1.3 1.4

PENDAHULUAN

Latar Belakang.......................................................................................... Perumusan Masalah .................................................................................. Tujuan Penelitian ...................................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................................

1 4 6 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis ......................................................................................... 2.1.1 Masyarakat Sebagai Kelompok Sosial (Social Group) ..................... 2.1.2 Kelembagaan Masyarakat .................................................................. 2.1.3 Perubahan Kelembagaan..................................................................... 2.1.4 Sistem Irigasi dalam Perspektif Kelembagaan .................................. 2.1.5 Aspek-aspek Kelembagaan Irigasi ..................................................... 2.1.5.1 Aspek Kultural dan Struktural Kelembagaan Irigasi ............. 2.1.5.2 Aktivitas-aktivitas dalam Sistem Irigasi .............................. 2.1.6 Teknologi Irigasi, Kelembagaan dan Produksi Pertanian ................. 2.2 Kerangka Pemikiran ................................................................................ 2.3 Hipotesis Pengarah ...................................................................................

8 8 9 13 16 20 20 22 27 28 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian .................................................................................... 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 3.2 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 3.3 Teknik Analisis Data ...............................................................................

33 34 34 37

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA SITU ILIR 4.1 Lokasi Penelitian dan Alat Transportasi ................................................. 4.2 Sarana dan Prasarana ................................................................................ 4.3 Luas Wilayah dan Penguunaan Lahan...................................................... 4.4 Jumlah dan Mata Pencaharian Penduduk ................................................. 4.5 Pertanian Desa Situ Ilir.............................................................................

39 39 40 42 43

57

BAB V 5.1 5.2 5.3 5.4

KONDISI IRIGASI DESA SITU ILIR DAN KELEMBAGAANNYA Irigasi Teknis dan Irigasi Desa ................................................................. Sejarah Irigasi Cigamea ............................................................................ Proyek Rehabilitasi Bangunan Irigasi ...................................................... Kelembagaan Irigasi ................................................................................. 5.4.1 Aktivitas-aktivitas dalam Kelembagaan Irigasi .............................. 5.4.1.1 Perolehan Air....................................................................... 5.4.1.2 Alokasi Air .......................................................................... 5.4.1.3 Sistem Pemeliharaan Sarana Fisik Irigasi ........................... 5.4.1.4 Pengadaan sumberdaya ....................................................... 5.4.1.5 Mengahadapi Pertentangan Atau Konflik ........................... 5.4.2 Skema Analitis Aspek Kelembagaan dalam Sistem Irigasi ............ 5.4.2.1 Peranan Penting dalam Kelembagaan Irigasi Tradisional... 5.4.2.2 Munculnya Organisasi Petani Pemakai Air......................... 5.4.2.3 Dampak Terhadap Kelembagaan dan Partisipasi Petani .....

47 48 49 55 55 55 60 64 68 75 79 84 88 90

BAB VI POLA PRODUKSI PERTANIAN KAWASAN IRIGASI CIGAMEA DESA SITU ILIR 6.1

Produktivitas Lahan dan Pola Tanam ....................................................... 6.1.1 Produktivitas Lahan Berdasarkan Areal Pertanian .......................... 6.1.1.1 Perubahan Produktivitas Lahan........................................... 6.1.1.2 Perubahan Luasan Lahan Terlayani Irigasi ......................... 6.1.2 Pola Tanam .................................................................................... 6.1.2.1 Pola Tanam Berdasarkan Areal Pertanian .......................... 6.1.2.2 Perubahan Pola Tanam .......................................................

95 95 96 97 102 103 102

BAB VII PENUTUP 7.1 7.2

Kesimpulan ............................................................................................... 106 Saran ......................................................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

58

DAFTAR GAMBAR Nomor

Halaman Teks

Gambar 1.

Bagan Kerangka Pemikiran

31

Gambar 2.

Dokumentasi Penelitian

44

Gambar 3.


53

Gambar 4.


54

Gambar 5.


59

Gambar 6.


60

Gambar 7.

Struktur Kelembagaan Irigasi Tradisional Sebelum Adanya P3A

88

Bagan Struktur Organisasi P3A Simega Tani

89

Gambar 8.

59

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu gejala yang dipandang mempunyai arah “ke depan” atau “maju”, dan sarat dengan nilai maju, ke arah yang lebih baik, keluar dari keterbelakangan, berkembang dari masyarakat tradisional menuju masyarakat moderm (Abdulkadir-Sunito dan Sunito, 2003). Proyek-proyek pembangunan merupakan usaha berencana dengan tujuan meningkatkan produktivitas suatu masyarakat (Dove, 1985) dan mempercepat pembangunan ekonomi (Cernea, 1988). Akan tetapi, meskipun pembangunan, modernisasi, dan perubahan sosial merupakan hal yang tidak dapat dihindari, untuk mencapai peningkatan ini, sistem pertanian dan pola kerja diubah, pengetahuan baru diperkenalkan dan cara-cara lama ditinggalkan. Oleh sebab itu, menurut Dove (1958) pembangunan cenderung semakin memusnahkan sistem ilmu pengetahuan asli (indigenous), merubah struktur perhubungan yang sudah ada terhadap ekosistem, dan mekanisme biologi yang selama ini digunakan dalam penyesuaian dan lingkungan. Pada tahun 1984. Indonesia mampu mencapai swasembada beras yang hingga saat ini disebut-sebut sebagai keberhasilan pembangunan di sektor pertanian. Keberhasilan ini pada dasarnya tidak terlepas dari adanya program intensifikasi di bidang pertanian tanaman pangan, atau lebih di kenal dengan istilah “revolusi hijau”.

60

Sebagai salah satu sistem penunjang revolusi hijau, sistem irigasi sangat menentukan. Oleh karena itu, sejak Pelita I (1969-1974) pemerintah melakukan rehabilitasi jaringan irigasi, perbaikan pengelolaan air di tingkat tersier dan perluasan areal irigasi. Menurut Tjondronegoro (1999) usaha pemerintah untuk merehabilitasi pengairan di Indonesia dapat dikatakan berhasil dengan baik, karena bila dibandingkan dengan tahun 1973 sawah berpengairan meningkat dari 27,3% menjadi 52,5% di tahun 1983, dan dampaknya perbaikan perngairan tersebut dialami oleh semua lapisan petani. Hingga saat ini pun pemerintah terus melakukan upaya merehabilitasi sistem dan jaringan irigasi untuk mencapai hasil yang progresif. Jumlah rehabilitasi irigasi desa yang telah dilakukan pemerintah diseluruh Indonesia tahun 1995 dan 1996 saja telah mencapai angka lebih dari 150 ribu ha lahan dengan percepatan rehabilitasi lebih dari 300 ribu ha lahan (Direktorat Bina Program Dirjen Pengairan Data 1996 dikutip Silalahi, 2005). Pada tahun 2009 mendatang pemerintah juga telah menargetkan akan membangun 560 juta ha jaringan irigasi baru di berbagai wilayah di Indonesia (Laporan Khusus Agrifocus. Edisi 03, September 2007). Coward (1988) menyebutkan bahwa proyek-proyek merehabilitasi atau memperbaiki suatu sistem irigasi, harus bertolak dari suatu pengertian yang komperhensif mengenai sarana fisik dan organisasi sosial yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan irigasi. Menurutnya, proyek-proyek tersebut akan berhadapan dengan resiko tinggi menuju kegagalan apabila para pemimpin proyek dengan sengaja merencanakan perubahan teknis, tetapi mengabaikan aspek-aspek sosial di dalamnya.

61

Irigasi di Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dan merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang jauh sebelum masuknya penjajah barat ataupun agama Islam. Sejarah yang panjang ini menurut Ambler (1992) mengindikasikan bahwa petani mempunyai pengalaman dengan irigasi yang diteruskan dari generasi ke generasi. Hal ini kemudian menumbuhkan kearifan ekologis di masing-masing lokasi dan pengetahuan lokal yang tercermin dalam bentuk pengetahuan tentang sifat sungai, lokasi-lokasi mata air, cara membuat saluran dan membagi air, memperbaiki bendungan, dan sebagainya. Kajian sejarah mengenai jaringan irigasi yang dibangun petani tersebut memperlihatkan pola kebersamaan dimana petani dalam organisasi tradisional irigasi mengembangkan pengertian tentang kewajiban dan wewenang anggota serta pemimpin mereka (Korten, 1992). Hal ini telah menciptakan suatu kelembagaan tersendiri dalam suatu sistem tata pengairan bagi pertanian seperti halnya kelembagaan subak di Bali. Akan tetapi Subak hanya merupakan salah satu jenis organisasi pengelolaan air tradisional yang berkembang di Indonesia, menurut Ambler (1992), tradisi adat di setiap provinsi lain juga telah memupuk berdirinya organisasi-organisasi yang mampu menangani tugas-tugas keirigasian sesuai dengan situasi dan kondisi setempat seperti panriahan-pamokkahan di Sumatera Utara, Panitia Siring si Sumatera Selatan, Ulu-ulu di Jawa Timur atau cowal di Jawa Barat. Sehingga dapat dikatakan bahwa memahami secara mendalam mengenai masalah-masalah fisik dari irigasi adalah mustahil tanpa memahami organisasi-organisai sosial masyarakat yang ada di daerah tersebut (Carnea, 1988).

62

Hasil kajian Lubis dan Harahap (1992) mengenai pembangunan Irigasi di Indonesia menyebutkan bahwa pembangunan irigasi ternyata tidak hanya menyangkut aspek teknis konstruksi saja, tetapi juga menyentuh aspek sosial dan kelembagaan masyarakat tani. Lebih lanjut dikatakan bahwa aspek sosial dan kelembagaan

lokal

petani

tersebut

sangat

mempengaruhi

berkelanjutan

penggunaan fasilitas-fasilitas irigasi yang dibangun. Sejalan dengan hal tersebut, Suharno (2005) juga mengatakan bahwa saat ini isu kelembagaan lokal kembali mendapat porsi penting dalam kajian governance ketika arus besar reformasi pemerintahan yang mendorong munculnya panduan baru bagi para pengambil keputusan untuk menghasilkan keputusan yang pro-publik yaitu yang bersifat berkelanjutan, partisipatif, desentralisasi dan kemitraan. Akan tetapi, di Indonesia kesiapan kelembagaan lokal tersebut menjadi tantangan berat karena setelah hampir 4 dekade mengalami degradasi peran, sebagai akibat penerapan sistem politik yang terpusat (Suharno, 2005).

1.2 Perumusan Masalah Perkembangan irigasi di Indonesia menuju sistem irigasi maju dan modern tidak terlepas dari irigasi tradisional yang telah di kembangkan sejak ribuan tahun yang lalu. Menurut Pasandaran (1991) irigasi maju atau modern dapat saja muncul karena usaha memperbaiki atau kelanjutan pengembangan tradisi yang telah ada. Akan tetapi permasalahan yang timbul dengan adanya intervensi pemerintah dalam memperbaiki sistem irigasi masyarakat pada masa lampau terletak pada kerangka pengelolaan berbasis pemerintah (Pasandaran, 2005). Pada prakteknya pengelolaan tersebut menghendaki adanya keputusan

63

yang cenderung sentralistik, dalam mengatur pola tanam dan pembagian air. Keputusan yang dibuat tersebut diatur melalui operasi bangunan-bangunan air seperti pintu air yang ada dalam suatu sistem irigasi (Pasandaran, 2005). Demikian halnya Rachman et al. (1999) dalam salah satu kesimpulannya menyebutkan bahwa salah satu kelemahan dari rehabilitasi irigasi yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah lemahnya sistem kelembagaan yang ada di tingkat petani untuk mengatur pengelolaan sistem alokasi pengairan. Lebih lanjut dikatakan bahwa kelembagaan irigasi yang dibangun secara formal untuk menunjang sistem irigasi yang baru tersebut, tidak memanfaatkan kelembagaan adat setempat dan mengalami banyak hambatan, sehingga investasi yang memakan dana yang besar tersebut menjadi kurang bermanfaat. Menurut Coward (1988), pengabaian organisasi irigasi lokal dan pola pengelolaan yang sentralistik dalam upaya memodernisasi sistem irigasi tradisional dapat mengakibatkan terjadinya kemandekan dalam sistem irigasi, menurunnya otoritas masyarakat petani pemakai air untuk bertindak secara efektif dalam masalah-masalah irigasi, serta dapat mengurangi partisipasi masyarakat. Padahal menurut Manan (2008) dikutip Damardono et al. (2008) fungsi irigasi dalam upaya meningkatkan produksi beras dan produksi pertanian lainnnya sangat vital. Sajogyo seperti dikutip Tjondronegoro (1999) berpendapat bahwa modernisasi di daerah pedesaan berlangsung tanpa pembangunan, hal ini didasarkan atas pengamatan bahwa kelembagaan desa tidak dikembangkan secara bertahap menjadi organisasi yang mutakhir. Menurutnya, potensi masyarakat desa itu sendiri tidak dikembangkan agar dapat menolong diri menjadi masyarakat mandiri ditengah bertambahnya tingkat kerumitan desa.

64

Sebelum pertengahan tahun 1980-an, di desa Situ Ilir terdapat bangunan irigasi yang telah lama didirikan secara swadaya oleh masyarakat dan dikelola dengan pengetahuan lokal yang telah dikembangkan sejak dahulu. Hingga pada awal tahun 1980-an, untuk menunjang program ketahanan pangan nasional, pemerintah mulai merehabilitasi bangunan irigasi primer dan sekunder serta memperbaiki jaringan irigasi tersier seluas 103 ha di Desa Situ Ilir, tepatnya kawasan irigasi Cigamea. Sejak saat itu, jaringan irigasi primer dan tersier yang sebelumnya dikelola oleh masyarakat, diambil alih oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan Wilayah Leuwiliang. Berawal dari hal-hal yang telah disebutkan di atas kemudian timbul beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut seperti; 1. Apakah fenomena seperti yang disebutkan Coward (1988) mengenai terjadinya kemandekan dalam sistem irigasi, menurunnya otoritas dan partisipasi para petani pemakai air terjadi dalam proses modernisasi sistem irigasi tradisional di Desa Situ Ilir?

Bagaimana jika proses tersebut

dihubungkan dengan fenomena modernisasi tanpa pembangunan seperti yang diungkapkan Sajogyo sebagaimana dikutip Tjondronegoro (1999)? 2. Apa implikasi atau dampak lebih lanjut dari proyek tersebut terhadap keberlanjutan kelembagaan irigasi yang ada dan produksi pertanian padi sawah di Desa Situ Ilir?

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

65

1. Mengidentifikasi apakah fenomena seperti yang disebutkan Coward (1988) dan Sajogyo sebagaimana dikutip Tjondronegoro (1999) terjadi di Desa Situ Ilir. 2. Mengidentifikasi implikasi atau dampak lebih lanjut dari proyek tersebut terhadap keberlanjutan kelembagaan irigasi yang ada, dan produksi pertanian padi sawah di Desa Situ Ilir.

1.4 Manfaat Penelitian Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat bagi peneliti untuk lebih memahami kelembagaan irigasi petani yang ada sekarang, memahami sejarah serta “aturan mainnya”. Bagi para akademisi dan masyarakat luas pada umumnya, pengetahuan tersebut diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan rujukan untuk studi-studi mengenai irigasi dan pertimbangan untuk memperkuat kelembagaan petani pemakai air. Dengan demikian kita tidak perlu membuang pola yang lama hanya karena ada pola yang baru, tetapi kita memperkokoh unsur-unsur tradisional yang perlu dipertahankan dan mencari permasalahan bersama petani mengenai unsur-unsur yang sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.

66

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Masyarakat Sebagai Kelompok Sosial (Social Group) Kelompok sosial atau social group adalah himpunan atau kesatuankesatuan manusia yang hidup bersama, oleh karena adanya hubungan diantara mereka (Koentjaraningrat, 2003). Hubungan tersebut antara lain menyangkut hubungan-hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga saling mempengaruhi dan juga kesadaran untuk saling tolong menolong. Petani-petani pengguna air dalam suatu sistem tata air untuk pertanian pun merupakan salah satu bentuk kelompok sosial. Beberapa orang petani secara direncanakan membentuk suatu kelompok untuk mengelola suatu kepentingan bersama yaitu pengairan irigasi. Ada empat dasar yang melandasi pembentukan group sekaligus menjadi prinsip-prinsip hubungan yang mengikat anggota group sosial (Koentjaraningrat, 1979), yaitu: a) Dasar keturunan satu nenek moyang (genealogis/kekerabatan) b) Dasar tempat tinggal bersama/kedekatan (unsur teritorial) c) Dasar kepentingan bersama (tujuan-tujuan yang bersifak khusus, misalnya kelompok sambatan, kelompok petani subak di Bali) d) Dasar program pihak atas desa.

67

Menurut Wahyuni (2003) terbentuknya suatu group atau kelompok sosial tidak mutlak hanya atas dasar salah satu faktor saja. Suatu group atau kelompok sosial dapat juga terbentuk atas lebih dari satu faktor sekaligus. Soekanto (2003) mengatakan bahwa setiap kelompok sosial pasti mengalami perkembangan serta perubahan. Kelompok sosial mengalami perubahan sebagai akibat proses reformasi dari pola-pola di dalam kelompok tesebut, karena pengaruh dari luar. timbulnya strutur yang baru pada suatu kelompok sosial bertujuan untuk mencapai keadaan yang stabil. Tercapainya keadaan yang stabil sedikit banyak tergantung pada faktor kepemimpinan dan ideologi yang juga akan mengalami perubahan seiring dengan terjadinya perubahan struktur. Perubahan struktur kelompok sosial disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1) perubahan situasi dalam kelompok itu sendiri, 2) pergantian anggota-anggota kelompok, dan 3) perubahan situasi sosial dan ekonomi.

2.1.2 Kelembagaan Masyarakat Lembaga kemasyarakatan merupakan terjemahan langsung dari istilah asing social-institution (Soekanto, 2003). Akan tetapi hingga saat ini para sosiolog menggunakan terjemahan yang beragam dan belum ada kata sepakat mengenai istilah indonesia apa yang tepat untuk istilah social-institution tersebut. Beberapa ahli menterjemahkan istilah social-institution sebagai lembaga kemasyarakatan (Soekanto, 2003),

pranata sosial (Kontjaraningrat, 1964), lembaga sosial

(Rahardjo, 1999), atau kelembagaan sosial (Tonny, 2003). Mann (1984) seperti dikutip Rahardjo (1999) menyebutkan bahwa sosiologi telah lama dan sering berbicara tentang lembaga sosial, tetapi

68

pengertiannya kurang jelas dan beragam. Bahkan menurut Syahyuti (2003), beberapa penulis terkadang menggunakan istilah kelembagaan dengan organisasi atau organisasi sosial untuk hal yang sama dan digunakan secara bergantian. Demikian halnya menurut Uphoff (1986) yang berpendapat bahwa antara institusi dan organisasi bersifat interchangeably, karena ada institusi yang bukan organisasi, organisasi yang sekaligus dapat dipandang sebagai organisasi, dan organisasi yang bukan institusi. Padahal menurut Tonny (2003), konsep kelembagaan sosial (social-intituition) tidak sama dengan istilah “lembaga” yang merujuk pada suatu badan atau organisasi yang memiliki beragam tujuan. Keberagaman

istilah-istilah

yang

disebutkan

diatas

memberikan

keberagaman pula dalam pemaknaan suatu social-institution. Akan tetapi pemaknaan pada istilah tersebut pada dasarnya memberi penekanan pada lima hal yang disebutkan Syahyuti (2003), yaitu, berkenaan dengan sesuatu yang permanen, bersifat abstrak (seperti norma, nilai, ide-ide), berkaitan dengan perilaku, dan cara-cara untuk memecahkan masalah. Koentjaraningrat (1964) yang menggunakan istilah pranata sosial untuk istilah social-institution memaknai pranata sosial sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sebagai tata abstraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi, dan sistem sosial lainnya (seperti yang dikatakan Bertrand, 1974), lembaga kemasyarakatan juga dimaknai sebagai himpunan norma-norma (Soekanto, 2003) atau sistem-sistem peraturan dan adat istiadat (Tonny, 2003) untuk mempertahankan nilai-nilai penting dan berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan

69

wujud konkrit dari lembaga kemasyarakatan atau kelembagaan sosial tersebut adalah asosiasi (association). Misalnya universitas

merupakan kelembagaan

sosial, sedangkan asosiasinya adalah IPB, UGM, ITB, dan lain-lain. Tonny (2003) menyebutkan bahwa ada dua perspektif mengenai kelembagaan sosial. Pertama, perspektif yang memandang baik kelembagaan maupun asosiasi sebagai bentuk organisasi sosial, yaitu sebagai kelompokkelompok, akan tetapi kelembagaan bersifat lebih universal dan penting, sedangkan asosiasi bersifat kurang penting dan bertujuan kurang spesifik. Kedua, perspektif yang memandang kelembagaan sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak, dan memandang asosiasi-asosiasi sebagai bentukbentuk organisasi yang konkrit. Menurutnya, perspektif yang kedua secara prinsipil memandang penting proses pelembagaan (institutionalization) dan pembaharuan kelembagaan sosial. Berdasarkan proses pertumbuhannya, lembaga kemasyarakatan pada dasarnya mengalami suatu proses pelembagaan (institutionalization). Menurut Soekanto (2003) proses pelembagaan merupakan suatu proses dimana normanorma akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Menurutnya, proses-proses tersebut dimulai dari masyarakat mengenal, mengakui, menghargai, mentaati, dan menerima norma-norma dalam kehidupan sehari-hari. Setelah norma-norma

diterima

berlanjut

sampai

ke

tahap

mendarah

daging

(internalisation) atau menghargai norma-norma tersebut. Secara umum Social institution sebagai kompleks norma-norma dan tata perilaku pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi (Doorn dan Lammers, 1959 seperti dikutip Tonny, 2003), yaitu :

70

1. memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan; 2. menjaga keutuhan; dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara; 3. memberi peganga kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control), yaitu sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya, dan; 4. memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Menurut Tonny (2005), tingkat kemampuan beradaptasi kelembagaan lokal terhadap proses-proses perubahan sosial yang terjadi ditunjukan dengan sampai sejauh mana tingkat keberlanjutan kelembagaan tersebut (institutional sustainability). Menurutnya tingkat keberlanjutan kelembagaan dapat dinilai berdasarkan peran serta anggota, pelayanan terhadap anggota, manfaat kelembagaan bagi anggota, good governance, dan kompleksitas. Berdasarkan tingkatannya Uphoff (1986) membagi kelembagaan lokal menjadi tiga tingkatan sebagai berikut : 1. Kelompok, merupakan sekumpulan orang yang memiliki identitas sendiri dengan beberapa kesamaan kepentingan (minat), misalnya kelompok berdasarkan pekerjaan, umur, etnik, atau gender. 2. Komunitas, merujuk pada suatu unit tempat tinggal yang relatif memiliki kehidupan sosial ekonomi sendiri, digambarkan sebagai suatu unit interaksi sosial ekonomi yang lebih menunjuk pada sistem administrasi atau teritorial yang lebih rendah, misalnya desa atau kelurahan.

71

3. Lokalitas, menunjuk pada sejumlah komunitas yang mempunyai hubungan kerjasama sosial dan ekonomi (komersial), setingkat kecamaan dimana pusat pasar berada yang dicirikan oleh kesatuan komunitas, yang mempunyai relasi sosial dan ekonomi dengan suatu tingkat pertumbuhan. Lembaga kemasyarakatan pada umumnya mempunyai beberapa ciri yang membedakannya dengan organisasi. Menurut Gilin dan Gilin sebagaimana dikutip Soekanto (2003), cici-ciri dari lembagan kemasyarakatan, yaitu; 1) suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi pola-pola pemikiran dan pola-pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasilhasilnya; 2) memiliki kekekalan tertentu, pekelembagaan suatu norma cenderung lama, oleh karena itu cenderung dipertahankan; 3) mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan;

4)

mempunyai

lambang-lambang

yang

secara

simbolik

menggambarkan tujuan, dan; 5) mempunyai tradisi tertulis maupun yang tidak tertulis.

2.1.3 Perubahan Kelembagaan Seperti halnya dalam unsur-unsur masyarakat yang lain, kelembagaan kemasyarakatan juga dapat mengalami perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi atau reorganisasi (Soekanto, 2003). Disorganisasi atau disintegrasi merupakan suatu proses berpudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat, karena perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedangkan reorganisasi atau reintegrasi adalah suatu proses

72

pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru agar serasi dengan lembagalembaga kemasyarakatan yang telah mengalami perubahan. Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-nilai yang baru telah melembaga (institutionalized) dalam diri masyarakat. Ibrahim (2002) menyebutkan bahwa perubahan lembaga kemasyarakatan dapat mencakup : (1) perubahan unsur-unsur lembaga kemasyarakatan itu sendiri, seperti perubahan sebagian norma-norma dalam kelembagaan atau perubahan fungsi lembaga itu sendiri, atau; (2) perubahan lembaga dalam arti lembaga kemasyarakatan yang lama hilang dan diganti dengan yang baru. Syahyuti (2003) berpendapat bahwa perubahan kelembagaan oleh pemerintah pada umumnya mengitroduksikan suatu organisasi baru (perubahan secara struktural). Sedangkan menurutnya perubahan struktural secara relatif lebih mudah dan lebih cepat dibanding perubahan secara kultural. Ada beberapa pendapat mengenai penyebab terjadinya perubahan kelembagaan. Hayami dan Kikuchi (1987) yang menggunakan pendekatan secara ekonomis dalam perubahan kelembagaan berpendapat bahwa, faktor-faktor ekonomi, seperti perubahan-perubahan dalam teknologi dan penyediaan sumbersumberdaya, akan mendorong terjadinya perubahan-perubahan kelembagaan sehingga bentuk-bentuk pranata yang baru lebih menguntungkan untuk diciptakan. Disamping adanya introduksi teknologi baru, Ibrahim (2002) juga menyebutkan sumberdaya biologis, kebutuhan, dan preferensi masyarakat merupakan faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan kelembagaan. Ia berpendapat bahwa dinamika kelembagaan terus berlangsung berdampingan dengan perubahan teknologi dan pola kehidupan masyarakat. Akan tetapi usaha-

73

usaha untuk merubah pranata tidak akan berhasil jika keuntungan sosial tidak melebihi biaya (Hayami dan Kikuchi, 1987). Rahardjo (1999) membedakan antara Lembaga atau kelembagaan yang lama dengan yang baru berdasarkan landasan, fungsi serta dimensi hubungannya. Perbedaan tersebut dapat dilihat padai tabel berikut.

Tabel 1. Perbedaan Lembaga atau Kelembagaan Lama dan Baru

Faktor pembeda Landasan

Lembaga atau kelembagaan lama Komunalisme masyarakat desa

Dimensi Fungsi

Membaur (diffused)

Dimensi Hubungan

Bersifat Horisontal diantara anggota-anggotanya

Lembaga atau kelembagaan baru Individualitas Terjadi differensiasi fungsi (fungsi-fungsi yang terspesialisasikan). Bersifat vertikal, yaitu dengan kekuatan supra desa baik pemerintah ataupun agen-agen pembaharuan lainnya.

Sumber: Rahardjo (1999) dalam Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian.

Hasil penelitian Radandima (2003) mengenai dampak pembangunan irigasi, dinyatakan bahwa secara umum pembangunan irigasi telah memberikan dampak perubahan terhadap kelembagaan pertanian. Hal itu terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi perubahan tersebut tidak sematamata disebabkan oleh pembangunana irigasi tetapi juga beberapa faktor lainnya seperti faktor politik, kebijakan, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Oakerson (1992), menurutnya aturan-aturan main di dalam kelembagaan dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial dan politik, dimana

74

kelembagaan tersebut merupakan sesuatu yang formal ataupun informal, dibentuk atau terbentuk dengan sendirinya melalui proses lebih lama (evolution). Menurut Rahardjo (19999) perubahan kelembagaan tidak hanya berkaitan dengan kuantitas, melainkan juga menyangkut berbagai aspek kualitatifnya yaitu yang berkaitan dengan pengaruh modernisasi yang sedang terjadi. Lebih lanjut ia mengatakan, sejalan dengan proses modernisasi, terjadi pula perubahan atau pergantian dari lembaga-lembaga lama yang bersifat tradisional menjadi atau digantikan oleh lembaga-lembaga baru yang modern. Perubahan semacam ini bukan hanya menyangkut jenis atau ragamnya, melainkan juga karakteristik yang melekat padanya.

2.1.4 Sistem Irigasi dalam Perspektif Kelembagaan Menurut Schalager dan Ostrom (1999) sebagaimana dikutip Pasandaran (2005), pengelolaan air dari perspektif kelembagaan dapat diartikan sebagai kewenangan membuat keputusan dalam pemenfaatan sumberdaya air. Rachman et al. (1999) mengatakan bahwa kelembagaan tata air yang sudah dirancang dan berjalan selama ini didasarkan pada sifat sumberdaya air yang sangat erat hubungannya dengan faktor topografis dan aliran air yang tunduk kepada hukum gravitasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara umum bentuk-bentuk dan struktur kelembagaan yang ada sudah mampu mewadahi kebutuhan pengelolaan sumberdaya air bagi kepentingan masyarakat secara umum, dan kebutuhan irigasi pertanian pada khususnya. Uphoff (1986) sebagaimana dikutip Ambler (1992) menyatakan bahwa kategori kelembagaan irigasi meliputi dimensi-dimensi seperti penyelesaian

75

konflik, komunikasi, pengerahan sumberdaya dan pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Ambler (1992) selain aspek-aspek tersebut, aspek-aspek lingkungan kelembagaan irigasi juga meliputi sejarah, kepemimpinan, wilayah kerja, sistem operasi, sistem pemeliharaan, dan sebagainya. Menurut Pakpahan (1989) sebagaimana dikutip Pakpahan (1990), dalam suatu kelembagaan seperti halnya kelembagaan irigasi, dicirikan oleh tiga hal utama yaitu batas yuridiksi (yuridiction og boundari), hak kepemilikan (property right), dan aturan representasi (rule of representation). Berikut dijelaskan 3 perspektif utama kelembagaan tersebut dalam suatu sistem tatanan air, yaitu: 1. Batas yuridiksi (yuridiction of boundari). Batas yuridiksi adalah hak hukum atas batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau masyarakat ditentukan oleh batas yuridiksi. Dalam pengelolaan irigasi, batas yuridiksi akan menentukan siapa yang tercakup dalam wilayah pelayanan, berupa volume dan lamanya air yang dialirkan dan kewajibankewajiban apa yang harus dipenuhi oleh petani-petani anggotanya. Secara umum, pengelolaan jaringan irigasi telah ditetapkan dengan pembagian tugas dan wewenang yang jelas dan terpisah secara tegas. 2. Hak kepemilikan (property right), Konsep property atau pemilikan sendiri muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya (Pakpahan, 1990). Hak kepemilikan

76

atas air (water right) pada kelembagaan pengelolaan air irigasi dapat dilihat dari hak yang diterima petani atas air pada saat dibutuhkan dengan jumlah dan kualitas tertentu. disamping memiliki hak, petani juga memiliki kewajibankewajiban antara lain seperti jumlah air yang boleh digunakan petani secara individu atau kelompok (Rachman, et al. 1999), membayar iuran IPAIR/HIPPA dan membayar iuran untuk P3A atau untuk membayar gaji Ulu-ulu dengan kesepakatan bersama (Kalo, 1988). Dengan konsep property rights yang baik kelembagaan irigasi dapat terjamin eksistensinya (Rachman, et al. 1999). Para petani merasa berhak memperoleh layanan irigasi sesuai dengan kewajiban yang telah ditunaikannya, dan sebaliknya, para petani hanya mau membayar kewajiban sepanjang dirasakan bahwa air yang ia peroleh memang berasal dari usaha pihak tertentu. 3. Aturan representasi (rule of representation) Aturan representasi mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya. Dari hasil penelitian Rachman, et al. (1999) disebutkab bahwa hingga saat ini petani belum dilibatkan dalam operasi irigasi, atau dengan kata lain keterlibatan petani masih pasif dalam sistem pengelolaan irigasi. Persoalan representasi yang penting bagi petani pemakai air adalah penentuan jadwal air, jumlah/debit air, lamanya waktu air dialirkan, besarnya iuran air, dan lain-lain (Saptana et. al. 2001). Rachman, et al. (1999) menyebutkan bahwa batas yuridiksi yang kabur, aturan property right yang dilanggar, dan konsep representasi yang kurang baik

77

telah mengakibatkan kinerja organisasi bentukan pemerintah P3A kurang optimal, dengan kelembagaan yang lemah dan kurang terjamin eksistensinya. Lembaga-lembaga tradisional irigasi ada yang bersifat formal dan ada yang bersifat informal (Ambler, 1991). Indikator formal atau informalnya suatu lembaga irigasi dapat ditentukan dari ada atau tidaknya anggaran dasar rumah tangga (AD/ART) yang tertulis, iuran teratur dari anggota-anggotanya, rapat-rapat secara berkala, maupun susunan kepemimpinan yang rapi. Kelembagaan irigasi tradisional formal dapat dicontohkan pada kelembagaan subak yang telah memiliki peraturan dan anggaran rumah tangga tertulis yang disebut awig-awig. Lembaga-lembaga tradisional ini berkembang bentuk dan fungsinya sepanjang masa sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Menurut Ambler (1992) terdapat beberapa faktor yang menuntut adanya pengembangan dan penguatan kelembagaan petani yang dapat mengelola air maupun keuangan secara profesional. Faktor-faktor tersebut diantaranya : 1. Adanya modernisasi di bidang pertanian. Penerapan bibit baru dan peningkatan intensitas tanam menyebabkan daerah irigasi yang dahului hanya ditanami satu kali per tahun pada musim hujan, kini harus mengusahakan air irigasi pada musim kemarau juga. 2. Perubahan wilayah kerja organisasi petani pemakai air. Ada dua hal yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut; Pertama, semakin banyak daerah irigasi yang ditingkatkan dan diperluas (baik oleh petani sendiri, pemerintah Belanda, atau pemerintah Republik Indonesia), sehingga jaringan fisiknya mencakup lebih dari satu desa. Kedua, perubahan wilayah pemerintahan desa berdasarkan UU No. 5/ 1979. karena ketentuan tersebut,

78

banyak jaringan irigasi kecil yang dulu hanya mencakup satu desa adat, sekarang mencakup lebih dari satu desa. 3. Semakin menipisnya ketersediaan air di sungai akibat penggundulan hutan. Hal ini mendorong adanya koordinasi pembagian air untuk mengatasi permasalahan pembagian air antar jaringan irigasi. 4. Teknologi irigasi. Dengan ditingkatkannya sarana fisik, bangunan yang tidak permanen diganti dengan bangunan yang permanen. Pemeliharaan bangunan fisik yang permanen tersebut memerlukan organisasi yang mampu mengelola uang, tidak hanya tenaga sumberdaya manusianya saja. 5. Berkurangnya pemberian dana dari pemerintah untuk pemeriharaan bangunan-bangunan yang permanen sejak anjloknya harga minyak pada tahun 1985.

2.1.5 Aspek-aspek Kelembagaan Irigasi 2.1.5.1 Aspek Kultural dan Struktural Kelembagaan Irigasi Tonny (2003) mengatakan bahwa kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dan segi struktural berupa berbagai peranan sosial. Menurutnya kedua segi tersebut berhubungan erat satu sama lain. Rahardjo, (1999) mengatakan bahwa lembaga sosial (social institution), merupakan wadah dan perwujudan yang lebih konkrit dari kultur dan struktur. Menurutnya dalam suatu lembaga, setiap orang yang termasuk di dalamnya pasti memiliki status dan peran tertentu. status merupakan refleksi dari struktur, sedangkan peran merupakan refleksi kultur.

79

Uphoff (1986) berpendapat bahwa institution yang merupakan kompleks norma-norma dan perilaku, pada tata kelakuan kehidupan sehari-hari tampil dalam bentuk organisasi yang ditandai dengan adanya peranan dan struktur, sementara yang lain tampil dengan pengaruh-pengaruh yang abstrak. Sesuatu yang bersifat abstrak dalam kelembagaan tersebut disebutkan oleh Syahyuti (2003) sebagai cultur yaitu terdiri dari nilai, norma, hukum, peraturan-peraturan, pengetahuan, ide, belief, dan moral. Sedangkan aspek struktural menurut Syahyuti (2003) lebih bersifat statis, yang berisi struktur, peran, hubungan antar peran, integrasi antar bagian, struktur umum, perbandingan struktur tekstual dengan struktur riel, struktur kewenangan, hubungan kegiatan dengan tujuan, aspek solidaritas, keanggotaan, klik, profile, pola kekuasaan, dan lain sebagainya. Menurut Polak (1966) antara kebudayaan dan struktur dalam suatu masyarakat terjadi keadaan saling mendukung dan membenarkan. Rahardjo (1999) berpendapat

bahwa

apabila terjadi perubahan dalam kebudayaan, maka akan diikuti perubahan dalam struktur. Kepemimpinan merupakan salah satu peranan sosial yang berpengaruh dalam struktur kelembagaan irigasi. Menurut Suradisastra (2005), kepemimpinan dalam kelembagaan lokal suatu komunitas memainkan peran signifikan dalam menanamkan nilai-nilai dan norma kemasyarakatan setempat. Lebih lanjut dikatakan bahwa lembaga kepemimpinan mampu menentukan arah, dan berfungsi sebagai mobilisator anggota lembaga organisasi lokal, sebagai pusat dan penyalur informasidan berbagai fungsi sosial lainnya. Demikian halnya dalam organisasi tradisional petani pengelola air, menurut Ambler (1992) kepemimpinan merupakan aspek yang sangat menentukan, karena organisasi seperti ini hanya

80

mempunyai satu atau dua lapisan dalam hirarkinya, sehingga wewenang dan martabat ketua perkumpulan itu menjadi penting. Menurutnya, pemimpin organisasi irigasi tradisional sering merangkap sebagai orang yang terpandang dalam sistem pemerintahan adat atau pemimpin yang kharismatik (Pranaji, 2003), yang pada gilirannya juga tidak dapat dipisahkan dari pemerintah desa adat masa dulu.

2.1.5.2 Aktivitas-aktivitas dalam Sistem Irigasi Ambler (1992) mengatakan bahwa pengelolaan irigasi yang baik perlu dilaksanakan serangkaian kegiatan yang menyangkut seluruh aspek operasi dan pemeliharaan, mulai dari pengerahan tenaga untuk membersihkan saluran atau memperbaiki bendungan sampai kepada penyelesaian konflik menyenai pembagian air dan perencanaan untuk musim berukutnya. Menurutnya semua kegiatan ini menuntut adanya kelembagaan petani pemakai air yang kuat, dan hal tersebut yang paling menonjol dalam pengelolaan irigasi kecil di pedesaan. Kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mengelola air irigasi yang baik menurut Norman Uphoff (1986) dibagi kedalam tiga kategori besar, yaitu “kegiatan kelembagaan”, “bangunan kontrol air”, dan “penggunaan air”. Menurutnya kategori kegiatan bangunan kontrol air meliputi usaha-usaha perekayasaan kostruksi, operasi dan pemeliharaan. Sedangkan dalam rangkaian kegiatan penggunaan air, meliputi tugas-tugas pengadaan, pengalokasian, pendistribusian, dan pembuangan air. Kategori kelembagaan irigasi meliputi dimensi-dimensi

seperti

penyelesaian

konflik,

komunikasi,

pengerahan

sumberdaya dan pengambilan keputusan..

81

Coward

(1988)

yang

memperkenalkan

konsep

sosiologi

irigasi

menyebutkan lima tugas-tugas atau tindakan-tindakan mendasar yang terjadi dalam suatu sistem irigasi. Kelima tugas yang bersifat mendasar tersebut diantaranya: (1) Perolehan air (water acquisition) Perolehan air yaitu tugas mendapatkan air untuk sistem irigasi melalui metode-metode atau cara-cara yang luar biasa. Menurut Ambler (1992), semakin mudah petani dalam memperoleh air, dan semakin besar ketersediaan air, maka petani semakin tidak terdorong untuk membentuk suatu organisasi yang kuat. (2) Alokasi air. Kegiatan pengalokasian air merupakan tugas pembagian dan pendistribusian sistem persediaan kepada para pemakai air. Menurut Rachman at al. (1999) alokasi distribusi penggunaan air irigasi diatur berjenjang tetapi juga memperhitungkan ketersediaan dan kebutuhan air. Cara pengalokasian air pada tipe irigasi teknis berskala besar diatur menurut golongan, karena keterbatasan persediaan air pada musim kemarau Kalo (1988). Tetapi aturan golongan tersebut belum dapat menjamin persediaan air irigasi secara merata untuk seluruh petak tersier karena golongan irigasi tersebut tidak digilir antar petak tersier (permanen). Hasil kajian Sumaryanto et al. (1999) dan Saptana et al. (2000) tentang rekayasa optimalisasi alokasi air irigasi diperoleh beberapa gambaran sebagai berikut: pertama,

sistem pengelolaan air irigasi pada

jaringan irigasi skala besar dilakukan dengan sistem golongan, yaitu pembagian air dengan membagi wilayah layanan dengan sistem golongan,

82

kedua, sistem pengelolaan air irigasi pada jaringan irigasi skala kecil dan menengah tidak dilakukan sistem golongan, pendistribusian air dilakukan dengan cara giring gilir antar petakan sawah dari yang berada di hulu kemudian ditengah dan baru selanjutnya bagian hilir. (3) Sistem pemeliharaan sarana fisik irigasi. Sistem gotong royong untuk pemeliharaan sarana irigasi telah lama dikenal di Indonesia dan setiap suku mempunyai istilah sendiri seperti jeumba di Aceh, Julo-julo di Sumatera Barat, atau gorol Jawa Barat. Menurut Ambler (1992), semakin sulit tantangan ekologis yang dihadapi oleh para petani, maka semakin kuat dan formal sistem pemeliharaannya dan kemudian pada sistem pengoperasiannya. Hasil kajian Sutawan (1993) mengenai sistem subak di Bali menyebutkan bahwa sebelum campur tangan pemerintah, anggotaanggota subak dimobilisasikan secara teratur dalam merawat sistem saluran. Akan tetapi setelah pembangunan sistem irigasi baru kegiatan gotong royong menuru drastis, hal ini dilihat dari rata-rata jumlah jam kerja untuk perbaikan dan perawatan semakin berkurang setelah pembangunan sistem baru tersebut. Menurutnya petani merasa bahwa mereka sekarang tidak bertanggung jawab lagi untuk pemeliharaan sistem pengairan tersier. (4) Pengadaan sumberdaya Pengadaan sumberdaya meliputi tugas menghimpun tenaga kerja, bahan, dana, dan sumberdaya lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tugastugas seperti sistem pemeliharaan. Dalam sistem irigasi, menurut Ambler (1992) petani pada umumnya mengumpulkan iuran secara rutin untuk mengantisipasi kerusakan dimasa mendatang. Selain iuran rutin, jika terjadi

83

kerusakan petani juga akan diminta sumbangan yang dikenakan pada petani sesuai dengan besarnya masing-masing hak atas air atau luas lahan sawah yang terairi. Iuran rutin setelah adanya rehabilitasi sistem irigasi dilakukan dalam lembaga P3A dan disebut Iuran Penggunaan Air Irigasi (IPAIR). Berdasarkan hasil penelitian BMS (1976-1980) dan penelitian SDP (19761980) sebagaimana dikutip Kalo (1988) dalam pengumpulan dana, petani sering enggan karena merasa sudah cukup banyak dana yang dikeluarkannya selama ini untuk pengelolaan irigasi (seperti pembayaran gaji Ulu-ulu, biaya perawatan, perbaikan dan lain-lain). Hasil penelitian Sumaryanto et al. 2006 dan Rachman et al. 1999 dibeberapa wilayah irigasi juga disebutkan bahwa, partisipasi petani dalam pembayaran IPAIR masih sangat rendah. (5) Menghadapi pertentangan atau konflik Mengelola pertentangan atau konflik yaitu tugas untuk menampung dan menengahi perselisihan sebagai akibat dari berbagai operasi seperti alokasi air. Konflik dalam suatu sistem irigasi dapat disebabkan karena sedikitnya debit air yang diterima petani hilir, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan petani (Aziz, 1992) atau adanya penggunaan air selain untuk pertanian, seperti untuk keperluan domestik, ternak dan lain-lain (Uphoff, 1986). Kelima tugas tersebut diatas, menurut

Coward (1988) dapat

digunakan untuk menciptakan skema analitis dalam memahami aspek kelembagaan dan organisasi dari sistem irigasi yang ada sebelum proyek perbaikannya maupun setelah perbaikan fisik irigasi. Gambaran skema analitis tersebut dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

84

Tabel 2. Organisasi

Tugas-tugas Sistem Irigasi, Berdasarkan Elemen Kelembagaan dan

Elemen kelembagaan dan organisasi

Peraturan-peraturan kunci Peraturan untuk perolehan persediaan tambahan air untuk sistem

Perolehan air

Peranan untuk

Kelompokkelompok sosial yang penting Kelompok-

perencanaan dan

kelompok yang

pelaksanaan

meminta tambahan

kegiatan perolehan

persediaan air

Peranan-peranan penting

air

Alokasi air

Sistem pemeliharaan

Pengadaan sumberdaya

Pengelolaan konflik

Peraturan untuk alokasi antara sub unit sistem, usahatani, dan sebagainya

Peranan untuk pembuatan dan pelaksanaan kebijakan alokasi air

Peraturan untuk perbaikan apa yang dikerjakan, dimana dan oleh siapa

Peranan untuk mengidentifikasikan pekerjaan pemeliharaan dan pengawasan dalam perbaikan Peranan untuk melaksanakan dan memantau proses pengadaan sumberdaya

Pengaturan untuk pengadaan tenaga kerja, bahan-bahan uang atau sumberdaya lainnya yang diperlukan untuk membentuk tugastugas sistem dan menanggapi kekurangan dalam sumberdaya Peraturan untuk menghindari atau menyelesaikan perselisihan antara sistem, wilayah (zone) dari sebuah sistem atau perseora ngan

Peranan untuk menengahi perselisihan, membuat penilaian dan dalam pelaksanaan sanksisanksi

Kelompok yang memperngaruhi kebijakan alokasi air dan melaksanakan distribusi air Kelompok yang menyiapkan perbaikan rutin atau darurat terhadap sistem Kelompok yang mengumpulkan sumberdaya khusus

Kelompok yang berpartisipasi dalam penyelesaian perselisihan, membuat penilaian dan dalam pelaksanaan sanksisanksi

Sumber : Coward (1988) dalam Perubahan Teknik dan Sosial pada Daerah-daerah Irigasi Sekarang Ini: Peraturan, Peranan dan Rehabilitasi, halaman 37.

85

2.1.6 Teknologi Irigasi, Kelembagaan dan Produksi Pertanian Menurut Pranaji (2003) penelitian kelembagaaan yang dikaitkan dengan pengembangan dan diseminasi terknologi, dalam hal ini teknologi irigasi, pada umumnya terkait dengan upaya peningkatan produktivitas dan produksi secara agregat, misalnya peningakatan produksi padi nasional, dan sebagainya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perkembangan atau inovasi di bidang teknologi merupakan kebutuhan mendesak bagi masyarakat yang berkembang ke arah yang lebih maju.

Maclver dan Page (1962) sebagaimana dikutip pranaji (2003)

menjelaskan bahwa dari waktu ke waktu perkembangan teknologi hampir selalu menunjukan gejala meningkat secara garis lurus. Oleh karena itu, jika ditemukan sekumpulan fakta pada petani menunjukan gejala sebaliknya, maka sistem kelembagaan yang mendukung pengembangan teknologi (misalnya penerapan penggunaan varitas padi unggul di lahan irigasi) bisa dikatakan tidak berjalan normal. Hasil kajian Wirawan et al. (1985) dan Sutawan (1993) mengenai dampak pengembangan sumberdaya air disebutkan bahwa pembangunan irigasi sederhana memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perbaikan penyediaan air dan juga telah memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi, dan cara bertanam. Hal ini dibuktikan dengan semakin luasnya areal tanam dan peningkatan produksi terjadi akibat kenaikan produksi persatuan luas, maupun akibat pertambahan luas tanam pada musim kemarau. Akan tetapi menurut Sutawan (1993) hal ini disebabkan adanya pemberian pupuk yang optimal. Sedangkan perubahan dalam hal cara bertanam petani, dipengaruhi oleh karena

86

berubahnya pola pembagian dan alokasi air akibat bangunan irigasi yang baru (Sutawan, 1993) dan peraturan pemerintah mengenai pola tanam (Rachman et al. 2003). 2. 2 Kerangka Pemikiran Penelitian ini pada dasarnya akan mengkaji kelembagaan irigasi sebelum dan setelah satu dekade terjadinya proyek rehabilitasi sistem dan bangunan irigasi. Kelembagaan komunitas lokal yang dikaji dalam penelitian ini merujuk pada pemahaman kelembagaan menurut Kontjaraningrat (1964) yaitu sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitasaktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Faktor utama yang menentukan terjadinya dinamika kelembagaan irigasi tersebut yaitu adanya proyek pembangunan atau rehabilitasi jaringan teknis irigasi. Proyek yang dijalani sekitar akhir tahun 1980-an tersebut diikuti juga dengan peraturan pemerintah mengenai pembentukan organisasi petani pemakai air atau P3A. Ketetapan tersebut dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 tahun 1982 dan yang terbaru adalah PP RI No.77 tahun 2001 tentang irigasi dan pembentukan organisasinya. Menurut Uphoff (1986) ada dua pendekatan utama dalam pengembangan kelembagaan, termasuk pada kelembagaan irigasi, yaitu secara individual dan keorganisasian.

Pendekatan

inividual

adalah

dengan

menginteroduksikan

pengetahuan, serta peningkatan kesadaran dan perilaku. Sedangkan secara keorganisasian adalah dengan melalui pemaksaan sosial, dengan fokus pada aspek peran-peran, struktur, dan prosedur. Menurutnya, banyak kegagalan dalam

87

pengembangan kelembagaan selama ini adalah akibat dari penerapan konsep blue print approach dengan ciri sentralisasi, keseragaman konsep dan top down. Aspek-aspek dalam kelembagaan

irigasi, dapat digunakan untuk

menciptakan skema analitis dalam memahami aspek kelembagaan dan organisasi dari sistem irigasi yang ada sebelum proyek perbaikannya maupun setelah adanya perbaikan fisik irigasi (Coward, 1988). Skema analitis tersebut meliputi aspek kultural yang berupa norma-norma atau aturan-aturan tak tertulis yang telah disepakati bersama. Sedangkan aspek struktural berupa peranan-peranan penting dalam sistem irigasi. Pada dasarnya, suatu kelembagaan memiliki aspek struktural disamping aspek-aspek kultural. Aspek struktur dan kultur dari kelembagaan tersebut memiliki hubungan yang sinergi dan terintegrasi dengan aktivitas dalam pengelolaan irigasi. Sehingga dengan kata lain, jika terjadi perubahan pada aspek struktur dan kultur dalam kelembagaan, maka perubahan tersebut akan diiringi dengan perubahan-perubahan pada aktivitas irigasinya, dan begitu juga sebaliknya. Aktivitas-aktivitas dalam suatu sistem pengelolaan irigasi dalam penelitian ini merujuk pada pengkategorian Coward (1988) yaitu meliputi; pengelolaan konflik, perolehan air, pengalokasian air, sistem pemeliharaan, dan pengadaan sumber daya. Kelima aktivitas-aktivitas dalam pengelolaan sistem irigasi tersebut berlandaskan pada aspek-aspek stuktural maupun kultural seperti penjelasan diatas dan merupakan suatu kesatuan kelembagaan irigasi. Berfungsi atau tidaknya kelembagaan irigasi dalam penelitian ini dilihat dalam konteks aktivitasaktivitas dalam sistem irigasi tersebut yang dipengaruhi aspek kultur maupun akspek strukturnya.

88

Kelembagaan irigasi memiliki pengaruh terhadap produksi pertanian padi sawah yang dalam hal ini meliputi luas areal lahan pertanian yang dilayani irigasi, produksi padi secara keseluruhan, serta pola tanam. Faktor-faktor produksi tersebut menjadi tolok ukur yang menggambarkan kemampuan manajemen pengelolaan air dalam optimalisasi kemampuan jaringan irigasi. Faktor-faktor produksi tersebut pada dasarnya bergantung pada keberlanjutan penyediaan air irigasi untuk pertanian padi sawah. Sehingga, adanya perubahan pada aktivitas dalam sistem irigasi, akan diikuti dengan perubahan pada faktor-faktor produksi pertanian, dan juga sebaliknya. Dinamika kelembagaan yang akan dikaji dalam penelitian ini tidak semata-mata disebabkan oleh adanya proyek rehabilitasi bangunan dan sistem irigasi saja, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain secara tidak langsung seperti faktor modernisasi pada sektor pertanian yang ditandai dengan adanya penerapan bibit baru dan peningkatan intensitas tanam, krisis air, dan juga faktor sumber daya manusia. Gambaran lebih jelas kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1. berikut.

89

Pendekatan Pemerintah: Ciri sentralistik, keseragaman konsep dan top down.

KelembagaanIrigasi Irigasi Kelembagaan Struktur

Proyek rehabilitasi

Kultur

Aktivitas Pengelolaan Irigasi: - Pengelolaan konflik - Perolehan air - Pengalokasian air - Sistem Pemeliharaan - Pengadaan sumber daya

bangunan dan sistem

- Otoritas - Partisipasi - Fungsi Irigasi

Eksistensi kelembagaan dan pola produksi pertanian

Faktor Eksternal: - Modernisasi pertanian - Krisis Air - SDM Sebelum Proyek

Setelah Proyek

Keterangan : : Mempengaruhi : Sinergi

Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran

2. 3 Hipotesa Pengarah Adapun hipotesis pengarah dalam penelitian ini diantaranya: 1. Adanya modernisasi pada sistem pengairan pertanian di Desa Situ Ilir menciptakan ketergantungan dan kemandekan dalam sistem irigasi, atau menurunnya otoritas dan partisipasi masyarakat petani pemakai air. Hal ini diduga disebabkan karena upaya pemerintah dalam memodernisasi sistem irigasi tradisional di Desa Situ Ilir berlangsung tanpa mengembangkan potensi kelembagaan irigasi lokal yang telah ada sebelumnya.

90

2. Modernisasi pada sistem irigasi di Desa Situ Ilir secara umum berdampak pada keberlanjutan kelembagaan irigasi di Desa Situ Ilir dan juga faktor-faktor produksi petaniannya.

91

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3. 1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tujuan untuk mengeksplorasi berbagai gejala yang terjadi terhadap kelembagaan irigasi, berkenaan dengan rehabilitasi bangunan dan sistem irigasi di Desa Situ Ilir. Salah satu keunggulannya metode penelitian kualitatif ini yaitu suatu kejadian atau fenomena tertentu akan dipandang dengan pandangan subyektifitas tineliti sehingga menghasilkan suatu data yang valid dengan tidak menitikberatkan pada pandangan peneliti saja (Sitorus, 1998). Proses kejadian dan fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, akan diteliti dan kemudian akan digambarkan secara naturalistik (Sitorus, 1998) yaitu tanpa memanipulasi “ajang” (setting) penelitian, tetapi berupaya memahami peristiwa atau gejala yang terjadi secara alami dalam konteksnya yang juga alami agar penelitian ini mendapatkan satu kesimpulan atau teori baru berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Agar dapat lebih mendalami kajian penelitian ini, peneliti menggunakan strategi studi kasus. Studi kasus adalah suatu pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, menginterpretasikan suatu kasus dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar (Baedhowi, 2001). Studi kasus merupakan studi aras mikro yang menyorot satu atau beberapa kasus dengan menerapkan berbagai metode (Sitorus, 1998). Adapun metode yang diterapkan diantaranya pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen

92

3. 2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kawasan irigasi Cigamea yang berlokasi di Desa Situ Ilir, Kacamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Proses penentuan lokasi ini dilakukan secara puposive (sengaja). Ada tiga alasan yang mendasari pemilihan lokasi penelitian ini. Pertama, sebagian besar pertanian di Desa Situ Ilir merupakan pertanian padi sawah yang bergantung pada sistem irigasi. Kedua, kawasan irigasi Cigamea merupakan satu-satunya dari 5 kawasan irigasi di Desa Situ Ilir yang terkena proyek rehabilitasi. Ketiga, kawasan Irigasi Cigamea sejak awal telah memiliki bangunan irigasi sendiri yang telah dibangun dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat setempat sebelum adanya proyek rehabilitasi sistem dan bangunan irigasi. Proses penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai dengan bulan Agustus 2008. Proses penyusunan proposal dilaksanakan pada bulan Maret-April 2008, sedangkan proses pengambilan dan pengolahan data lapangan akan dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2008.

3. 3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, oleh karena itu data yang akan diperoleh dari penelitian ini merupakan data deskripsi berupa uraian rinci, kutipan langsung dari dari tineliti atau dokumentasi kasus (Sitorus, 1998). Datadata yang diperoleh dengan metode penelitian kualitatif ini bersifat mendalam, rinci, dan merupakan perkataan tineliti dalam bahasanya sendiri. Penelitian mengenai kelembagaan irigasi ini akan memerlukan berbagai data baik data primer maupun data sekunder. Data primer akan diperoleh dari

93

hasil wawancara mendalam (in-depth interviewing) dengan beberapa informan kunci dan responden, serta pengamatan berperanserta terbatas (observation). Sedangkan untuk data sekunder, peneliti akan melakukan studi dokumentasi yang terkait dengan topik penelitian. Berikut dijelaskan secara lebih rinci mengenai teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini. 1. Wawancara Mendalam Wawancara mendalam merupakan temu muka berulang antara peneliti dan tineliti dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya, pengalamannya, ataupun situasi sosial sebagaimana ia ungkapkan dalam bahasanya sendiri (Taylor dan Bogdan dalam Sitorus, 1998). Tineliti yang diwawancarai untuk memperoleh data primer adalah responden dan informan kunci yang hidup di lingkungan sosial yang di teliti. Pemilihan informan kunci dilakukan secara puposive (sengaja) disesuaikan dengan kebutuhan data dan informasi. Informan kunci yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat formal maupun informal yang mengetahui sejarah, hal-hal yang spesifik dari masyarakat dan kondisi lingkungan berkaitan dengan topik penelitian secara mendalam serta beberapa pihak dari dinas PU Kecamatan Cibungbulang. Beberapa informan dari Desa Situ Ilir yang akan diwawancarai diantaranya para pengurus-pengurus inti dalam kelembagaan irigasi. Adanya keterbatasan tenaga dan waktu, tidak seluruh dari pengurus inti dapat peneliti wawancarai. Meskipun demikian, informasi yang diperoleh peneliti melalui informan kunci telah dapat dianggap jenuh karena tidak ada lagi penambahan data atau informasi-informasi baru. Adapun informan kunci yang diwawancarai diantaranya, ketua P3A, ulu-ulu P3A, ulu-ulu tradisional, tokoh mayarakat, dan

94

sekretaris desa. Sedangkan dari pihak Dinas PU Pengairan peneliti melakukan wawancara dengan kepala koordinator pelaksana teknis PU Pengairan Leuwiliang, dan petugas juru pengairan Kecamatan Cibungbulang. Responden yang peneliti wawancarai diantaranya para petani pemakai air termasuk di dalamnya petani padi sawah dari blok hulu maupun dari blok hilir, petani ikan (penedar), serta beberapa masyarakat setempat sesuai dengan kebutuhan data. Penentuan responden tersebut dilakukan secara kebetulan ketika peneliti berada dilapangan. Adapun pendekatan awal yang dilakukan adalah membagi responden ke dalam tiga blok bagian sawah yaitu, responden yang memiliki sawah di blok hulu, hilir, dan juga blok tengah. Proses wawancara dihentikan ketika data yang didapat telah jenuh atau subjek penelitian telah memberikan jawaban yang serupa dan tidak ada lagi penambahan data. 2. Pengamatan (observation) Pengamatan

menunjuk pada proses penelitian yang mempersyaratkan

interaksi sosial antara peneliti dengan tineliti dalam lingkungan sosial tineliti sendiri, guna keperluan pengumpulan data dengan cara yang sistematis dan bersahaja (Sitorus, 1998). Pengamatan dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai situasi di lapangan, interaksi dan juga perilaku tineliti yang diamati.

3. Studi Dokumen Penelusuran dokumen dilakukan sebagai penguatan terhadap data-data yang tidak bisa dilengkapi dari pengamatan berperanserta maupun wawancara mendalam. Dokumen-dokumen atau surat tertulis tersebut dapat berupa petikan atau keseluruhan bagian dari dokumen seperti dokumentasi proyek pembangunan

95

irigasi PU Kecamatan Cibungbulang, data monografi desa serta berbagai literatur lain yang terkait dengan topik penelitian seperti buku teks yang berisi rujukan teori, hasil-hasil penelitian, jurnal, serta dokumen-dokumen lainnya peneliti peroleh saat berada di lapangan. Data-data yang diperoleh dari ketiga metode di atas selanjutnya akan ditriangulasi sehingga dengan adanya kelebihan-kelebihan dari setiap metode, kelemahan-kelemahan yang dimiliki masing-masing metode akan saling menutupi dan pada akhirnya peneliti akan mendapatkan data yang valid atas realitas sosial yang terjadi di Desa Situ Ilir terkait dengan kelembagaan irigasi serta pertaniannya.

3. 4 Teknik Analisis Data Data-data kualitatif yang akan diperoleh berupa hasil pengamatan berperanserta, hasil pembicaraan (kutipan langsung) yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan bahan tertulis. Data-data tersebut kemudian direduksi yaitu melalui proses pemilihan, pemusatan perhatian, serta penyederhanaan datadata “kasar” yang diperoleh dari catatan harian. Kemudian, proses dilanjutkan dengan mengkoding data-data tersebut ke dalam suatu kelompok-kelompok sub tema yang sama (gugus-gugus). Melalui proses-proses tersebut kemudian dihasilkan laporan penelitian yang sistematis dan terstruktur. Pada akhirnya, datadata yang telah direduksi tersebut kemudian disajikan dalam bentuk teks naratif yang akan dipadukan dengan

matriks, atau bagan untuk mendapatkan suatu

bentuk yang mudah dipadu dan dipahami hingga sampai pada tahap penyimpulan (Sitorus, 1998).

96

97

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA SITU ILIR

4.6 Lokasi Penelitian dan Alat Transportasi Desa Situ Ilir terletak di Kecamatan Cibungbulang, wilayah Kabupaten Bogor bagian barat, Provinsi Jawa Barat. Jarak dari Desa Situ Ilir ke ibukota Kebupaten Bogor sekitar 24 km atau dengan waktu tempuh sekitar 120 menit perjalanan. Sedangkan jarak desa dengan kecamatan mencapai sekitar 4 km dengan waktu tempuh 30 menit. Alat transportasi yang umum digunakan masyarakat untuk mencapai desa ini adalah angkutan umum pedesaan jenis carry tua (masyarakat setempat biasa menyebutnya odong-odong atau “mobil kotak sabun”) atau sejenis pickup yang diberi tenda hitam yang biasa disebut “mobil jaket”. Selain angkutan umum mobil, untuk mencapai desa dari pertigaan jalan raya Cemplang (jalan raya provinsi), tersedia ojeg yang beroperasi selama 24 jam penuh dengan tarif Rp. 3000 untuk jarak terdekat. Alat transportasi yang dapat digunakan oleh masyarakat dimalam hari adalah ojeg, karena angkutan umum mobil hanya tersedia hingga sore hari. Alat transportasi umum mobil biasanya hanya beroperasi dari sejak pukul 5.00 subuh hingga pukul 17.00 sore dengan tarif Rp. 2000 untuk jarak terdekat.

4.2 Sarana dan Prasarana Desa Situ Ilir, dari segi sarana dan prasarana dapat dikatakan belum sepenuhnya memadai. Data potensi desa tahun 2006/2007 menyebutkan bahwa

98

hingga saat ini masih ada tiga kampung yang belum teraliri listrik sepenuhnya, yaitu Kampung Gunung Handeleum, Kampung Jawa II, dan Kampung Bantar Keret II. Kondisi jalan menuju kampung-kampung di Desa Situ Ilir sebagian telah rusak parah, dan sebagian lain belum diaspal, sehingga hanya ditutupi dengan batu-batuan kasar. Menurut penduduk setempat, jalan-jalan kecil biasanya akan diperbaiki setelah adanya pemilihan kepala desa baru.

4.3 Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan Desa Situ Ilir memiliki wilayah seluas 321,824 ha, dengan batar-batas desa sebagai berikut; di bagian utara dibatasi oleh Desa Suka Maju, bagian timur dibatasi oleh Desa Cinagrag; dibagian selatan dibatasi oleh Desa Situ Udik; dan dibagian barat dibatasi oleh Desa Barengkok. Wilayah di Desa Situ Ilir terdiri dari 10 kampung yaitu kampung Bantar Karet I dan II, Kampung Jawa I dan II, Kampung Dukuh, Kampung Cisauk, Kampung Cipager Jangkung, Gunung Handeleum, Kampung Babakan, dan Kampung Rawa. Pada tahun 1950-an telah terjadi pertukaran wilayah antara Kampung Gunung Handeleum dan Kampung Sinang Sari (Desa Situ Udik). Secara administratif, sebelum tahun 1950-an Kampung Gunung Handeleum pada awalnya termasuk kedalam Desa Situ Udik dan Kampung Sinang Sari termasuk kedalam Desa Situ Ilir. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno kemudian dilakukan penentuan ulang batas hak kepemilikan lahan yang mengakibatkan terjadinya pertukaran wilayah diantara kedua desa tersebut. Data potensi desa tahun 1992-2004 menyebutkan bahwa sebagian besar lahan di Desa Situ Ilir digunakan untuk pertanian, pemukiman, dan perikanan.

99

Perkembangan di Desa Situ Ilir dalam kurun waktu 12 tahun, telah mengalami perubahan dalam hal penggunaan lahan. Gambaran lebih jelas mengenai perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Jenis Penggunaan Tanah Desa Situ Ilir Tahun 1992-2004 No.

Penggunaan Lahan/ Jumlah dalam Ha

1.

Pemukiman

Tahun 1992 28.094 (8.73 %)

2.

Sawah

249.922 (77.66 %)

3.

Perikanan

4.

Lain-lain Total

15 (4.66 %) 28.81 (8.95 %)

Tahun Tahun 1995 1999 28.5 48 (8.86 %) (14.91 %) 240 220.3 (74.57 %) (68.45 %) 15 15 (4.66 %) (4.66 %) 38.324 38.524 (11.90%) (11.97 %) 321,824

Tahun 2004 49.3 (15.32 %) 255 (79.24 %) 5 (1.55 %) 12.524 (3.89 %)

Sumber: Diolah dari Daftar Isian Potensi Desa Situ Ilir Tahun 1992-2004

Tabel 3 diatas memperlihatkan bahwa penggunaan lahan terbesar di Desa Situ Ilir masih digunakan untuk pertanian yaitu sekitar 77 persen di tahun 1992. Sedangkan penggunaan terbesar kedua adalah untuk pemukiman yaitu sekitar 9 persen. Tabel 3 diatas juga menunjukan adanya kecenderungan adanya peningkatan penggunaan lahan untuk pemukiman hingga 15 persen di tahun 2004. Sedangkan penggunaan lahan untuk pertanian semakin menurun hingga mencapai 68 persen ditahun 1999. Akan tetapi data pada tahun 2004 menunjukan adanya kenaikan lahan pertanian hingga mencapai 79 persen seiring menurunnya penggunaan lahan untuk perikanan. Adapun salah satu penyebab utama menurunnya penggunaan lahan untuk perikanan yaitu adanya serangan hama Eouromania pada ikan ditahun 2001-2002. Hal tersebut yang mengakibatkan

100

sebagian besar petani ikan di Desa Situ Ilir beralih menjadi petani padi sawah. Disamping itu, peningkatan jumlah lahan pertanian juga disebabkan adanya pembukaan beberapa areal pertanian baru oleh beberapa pembeli lahan dari wilayah Jakarta dan Bogor.

4.4 Jumlah dan Mata Pencaharian Penduduk Jumlah penduduk Desa Situ Ilir menurut arsip potensi desa terbaru secara keseluruhan adalah 7094 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 3486 jiwa dan jumlah penduduk perempuan sebesar 3608 jiwa. Sebagian besar penduduk Desa Situ Ilir (90.58 %) bermata pencaharian sebagai petani. Hal ini juga dapat dilihat dari besarnya jumlah luasan lahan yang digunakan untuk lahan pertanian. Sedangkan sebagian lainnya bekerja dibidang sektor jasa dan perdagangan. Data terperinci dari struktur mata pencaharian penduduk Desa Situ Ilir dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Struktur Mata Pencaharian Penduduk Desa Situ Ilir Struktur Mata Pencaharian Penduduk

Jumlah (Jiwa)

Persentase

Subsektor pertanian

1740

90.58 %

Subsektor jasa keterampilan

153

7.96 %

Subsektor jasa persewaan

4

0.21 %

Subsektor jasa pelayanan masyarakat

24

1.25 %

1921

100 %

Jumlah total

Sumber: Diolah dari Daftar Isian Potensi Desa Situ Ilir Tahun 2006

Jumlah penduduk yang bekerja pada subsektor pertanian terbagi kedalam tiga golongan. Sebagian besar petani tergolong kedalam kelompok buruh tani yaitu sekitar 40 %, sedangkan sebagian besar lainnya tergolong kedalam

101

kelompok petani penggarap (35 %) dan petani pemilik tanah (25 %). Menurut penduduk setempat, petani pemilik tanah dapat juga dikatakan sebagai petani penggarap, karena disamping mengelola tanahnya sendiri, petani tersebut juga seringkali menggarap lahan milik orang lain seperti halnya yang diungkapkan bapak UK, salah seorang mantan ketua RT yang juga petani penggarap.

“Kalau dipersentasiin, hampir semua petani disini petani penggarap, hampir seratus persen lah. Soalnya petani-petani yang punya sawah sendiri juga pasti ngegarep sawah punya orang lain. Nggak akan cukup kalo cuma ngegarep sawah sendiri mah...” (UK, 65 tahun, petani penggarap)

Penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani, tidak hanya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian saja. Sebagian besar dari mereka bekerja juga di sektor lainnya seperti berdagang atau menjadi buruh bangunan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Oleh karena itu,

mereka disebut juga sebagai petani musiman oleh penduduk setempat.

4.5 Pertanian Desa Situ Ilir Sebelumnya telah dijelaskan bahwa mata pencaharian penduduk Desa Situ Ilir mayoritas adalah petani. Bersawah merupakan mata pencaharian pokok sebagian besar petani di Desa Situ Ilir. Berikut dijelaskan beberapa gambaran umum pertanian di Desa Situ Ilir.

Penggolongan Areal Pertanian Lahan pertanian di kawasan DI Cigamea terbagi ke dalam dua blok, yaitu sawah alus dan sawah geledeg. Blok pertama petani setempat menyebutnya sebagai sawah alus. Masyarakat menyebut demikian karena sawah alus

102

merupakan kawasan lahan pertanian yang terletak tidak jauh dari sungai atau bagian hulu. Ketersedian air di blok sawah alus cukup melimpah karena letaknya yang sangat strategis, yaitu dekat dari sumber air yang membentang ke arah timur dan barat sungai. Akan tetapi, sawah alus lebih beresiko terkena banjir di musim hujan khususnya areal yang berada di pinggiran sungai. Areal pertanian di blok kedua disebut juga sebagai sawah guludug (petir). Sawah guludug merupakan kawasan lahan pertanian yang terletak di sebelah barat atau kawasan hilir. Karena letaknya menjauh dari sumber air, ketersedian air di blok sawah guludug kurang terjamin. Sehingga selain mengandalkan sumber air dari sungai Cigamea, para petani yang memiliki sawah di blok guludug juga bergantung pada sumber lain yaitu air hujan yang langsung membasahi lahan mereka. Disamping pembedaan blok sawah berdasarkan ketersediaan air, di kawasan DI Cigamea juga terdapat lahan sawah yang disebut sawah

rawa.

Berdasarkan topografi, sawah rawa membentuk cekungan dengan luas 4200 meter terletak di bagian paling bawah undakan sawah.

Komoditas Utama Komoditas utama pertanian desa Situ ilir adalah padi. Kampung Bantar Karet I dan II, Kampung jawa I dan II, Kampung Cisauk, Kampung Babakan dan Cipager Jangkung merupakan areal utama penghasil padi, dan telah memiliki areal irigasi di setiap wilayahnya. Curah hujan yang cukup tinggi yaitu sekitar 30004000 mm/tahun dengan penyebaran yang merata memungkinkan para petani menanam padi tiga kali dalam setahun. Meskipun demikian, sebelum pertengahan tahun 1960-an, petani hanya bisa panen satu kali dalam setahun dengan padi

103

varietas lokal seperti pare peteuy, pare menur, dan sirih kuning, yang hanya bisa dipanen setelah enam bulan masa tanam. Setelah masuknya bibit padi IR yang dikenalkan oleh pemerintah pada awal tahun 1960-an, petani kemudian mulai mengenal istilah ngatiga yang artinya setahun panen tiga kali. Saat ini sebagain besar petani menanam padi varietas Super atau Ciherang yang dapat dipanen setelah 3 bulan 10 hari masa tanam.

Gambar 2

Sebagian besar lahan di Desa Situ Ilir digunakan untuk Lahan pertanian padi sawah

Selain komoditas padi, sejak tahun 1990-an, Desa situ Ilir merupakan daerah penghasil ikan air tawar terbesar di Kecamatan Cibungbulang. Kampung Jawa yang berada di kawasan daerah irigasi Cigamea, merupakan penghasil terbanyak diantara wilayah lainnya di Desa Situ Ilir, karena letaknya yang sangat strategis dengan sumber air sungai Cigamea. Hingga pada tahun 2001, jumlah peternak ikan (penedar) di Desa Situ Ilir semakin menurun akibat adanya serangan

104

hama Euromania pada ikan. Serangan hama tersebut disebabkan sumber air yang telah tercemar kotoran hewan ternak sapi dan juga ayam yang kini semakin marak di Desa Situ Udik.

Kebiasaan Sebelum Bertanam Nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Desa Situ Ilir berasal dari agama Islam. Nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut melekat dalam beberapa kegiatan pertanian Sebelum masuknya agama Islam, kepercayaan penduduk setempat dipengaruhi oleh agama Hindu. Hal ini terlihat dari adanya kepercayaan terhadap Dewi Sri sebagai dewi padi. Pada saat itu, masyarakat biasanya melakukan upacara sajen sebelum menanam padi dengan meletakan sajen berupa nasi dan lauk pauknya disetiap penjuru sawah sebagai pengharapan untuk memperoleh hasil yang baik pada saat panen nanti. Setelah agama Islam mulai masuk, upacara tersebut tidak lagi dilakukan, karena dianggap musyrik (keluar dari ajaran agama islam). Sebagai gantinya, dilakukan upacara Rasulan yang sesuai dengan ajaran agama islam. Upacara Rasulan dilakukan dengan cara membacakan puji-pujian (dzikir), pembacaan ayat-ayat Al-Quran, dan makan bersama satu hari sebelum waktu tanam tiba. Meskipun demikian, inti dari upacara tersebut tidak jauh berbeda dengan upacara sebelumnya, yaitu mengharapkan hasil panen yang baik pada musim tanam ini.

Sistem Pertanian Sistem penyakapan atau bagi hasil yang terdapat di Desa Situ Ilir biasa disebut penduduk setempat dengan istilah ngepak. Pengaturannya yaitu bibit dan

105

pupuk ditanggung oleh pengepak (petani pemilik lahan), sedangkan petani ngepak (petani penggarap) mengelola lahan dimulai dari nyorok, nandur, ngarambet, hingga panen. Saat panen, hasil yang diperoleh dibagi sebesar 5:1 dimana 4 bagian dimiliki oleh petani pengepak, 1 bagian dimiliki oleh petani ngepak. Disamping sistem ngepak, petani di Desa Situ Ilir juga menggunakan sistem maparo dan juga sistem sewa. Sistem maparo dilakukan berdasarkan pengaturan pembagian modal sebesar 50 persen diantara pemilik lahan dan petani penggarap. Pengelolaan lahan dilakukan sepenuhnya oleh petani penggarap. Sedangkan hasil panen dibagi dua diantara kedua pihak tersebut. Pada sistem sewa, pengadaan modal bertani hingga pengerjaan lahan sepenuhnya dilakukan oleh petani penggarap pada lahan yang telah disewanya pada petani lain.

106

BAB V KONDISI IRIGASI DESA SITU ILIR DAN KELEMBAGAANNYA

5.5 Irigasi Teknis dan Irigasi Desa Ada dua jenis irigasi di Desa Situ Ilir, yaitu irigasi teknis dan irigasi desa. Irigasi teknis merupakan irigasi yang dibangun atas prakarsa pemerintah dengan bentuk bangunan permanen yang telah di rancang oleh dinas PU Pengairan. Sedangkan irigasi desa merupakan irigasi tradisional yang belum terkena proyek pembangunan dari pemerintah. Bentuk bangunan irigasi desa dibangun atas swakarsa para petani dengan batu-batuan, keronjong, serta bambu. Menurut penggolongan Dinas PU Leuwiliang, kawasan irigasi Desa Situ Ilir terbagi kedalam lima kawasan Daerah Irigasi (DI), diantaranya DI Cigamea, DI Cipager Jangkung, DI Cibungbulang, DI Tengah, dan DI Leuwi Nangka. Koordinator Pelaksana Teknis PU Pengairan Leuwiliang menyatakan bahwa dari kelima DI tersebut, hanya DI Cigamea saja yang berstatus irugasi teknis karena telah direbilitasi atas prakarsa dan dikelola dibawah pengawasan dinas PU Pengairan. Sedangkan keempat DI lainnya masih berstatus Irigasi desa dengan pengelolaan dibawah pengawasan pemerintah desa. Pada tahun 2007 yang lalu, DI Leuwi Nangka dan DI Cipager Jangkung mulai direhabilitasi oleh Dinas PU Pengairan. PT Citra merupakan perusahaan swasta yang menjadi mitra PU Pengairan sebagai tender pelaksana teknis dalam proyek tersebut. Meskipun demikian hingga saat ini proyek rehabilitasi tersebut belum sepenuhnya terselesaikan karena keterbatasan dana.

107

Daerah Irigasi Cigamea, merupakan daerah irigasi yang pertama kali direhabilitasi oleh pemerintah di Desa Situ Ilir, yaitu sejak tahun 1980-an. Oleh karena itu, yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah

kawasan

pertanian berikut kelembagaan irigasi di kawasan DI Cigamea.

5.2 Sejarah Irigasi Cigamea Mengenai sejarah berdirinya bangunan irigasi Cigamea, tidak ada satu pun catatan atau bukti autentik, baik di desa maupun instansi pemerintah seperti PU, yang menerangkan mengenai sejak kapan jaringan irigasi Cigamea dibangun dan mulai dikenal masyarakat. Beberapa informasi yang diperoleh dari informan, umumnya mengetahui cerita sejarah irigasi Cigamea ini berdasarkan cerita turun temurun dari orang tua terdahulu. Daerah Irigasi (DI) Cigamea telah ada sejak sebelum masa pemerintahan Belanda. Menurut masyarakat setempat, kawasan irigasi Cigamea merupakan warisan nenek moyang yang dulu melarikan diri ke wilayah tersebut untuk menghindari perang. Saat dalam pelarian, penduduk yang mengungsi tersebut kemudian membuka hutan untuk dijadikan areal pertanian dengan memanfaatkan Sungai Cigamea sebagai sumber air utama mereka. Sistem irigasi yang telah dibentuk tersebut kemudian terus berkembang dari segi fisik maupun sistem dan dikelola dengan pengetahuan lokal yang telah dikembangkan sejak dahulu hingga saat ini. Pada saat dibangunnya bendungan utama sekitar tahun 1950-an, Haji Abdullah disebut sebagai tokoh penggagas pembangunan bendungan Cigamea untuk jaringan irigasi yang akan mengalir di Situ Udik dan Situ Ilir. Haji Abdulah merupakan salah satu warga Desa Situ Ilir

108

yang pada masa itu memiliki lahan pertanian yang terbentang sangat luas, tersebar dari Desa Situ Udik hingga Desa Situ Ilir. Hingga saat ini bendungan utama yang telah dibangun secara swakarya oleh warga masyarakat tersebut dikenal dengan nama Bendungan Leuwi Badak. Tujuan utama dibangunnya jaringan irigasi tersebut adalah untuk kebutuhan pertanian, perikanan, dan untuk kebutuhan air bagi rumah tangga. 1 Pada tahun 1988, pemerintahan Desa Situ Ilir dipimpin oleh Haji Ukar. Atas pengajuan dari Haji Ukar kepada pemerintah, bangunan irigasi yang dibangun secara swakarya oleh masyarakat tersebut kemudian di rehabilitasi oleh pemerintah melalui dinas Prasarana Umum (PU) Wilayah Leuwiliang. Akan tetapi hingga saat ini bangunan milik pemerintah tersebut saat ini kondisinya telah mengalami berbagai kerusakan. Masyarakat mengakui bahwa bendungan dengan batuan kapur yang dibangun secara swakarsa oleh masyarakat terdahulu lebih kuat seperti halnya bendungan Saebah yang terdapat di Kampung Leuwi Nangka seperti yang diungkapkan bapak JP berikut. “Bangunan yang dulu mah lebih kuat. Paling hanya rusak waktu ada banjir besar saja. Nggak seperti sekarang, kalaupun sudah disemen, tapi banyak yang bocor”. (JP, 51 tahun. petani penggarap).

5.3 Proyek Rehabilitasi Bangunan Irigasi Kebijakan pemerintah dalam pengembangan sistem irigasi selama ini, secara eksplisit difokuskan kepada mempertahankan swasembada beras yang dituangkan pada program Pelita I-IV. Selama periode Pelita I dan II (1969-1979), perhatian difokuskan kepada rehabilitasi dan konstruksi baru sistem irigasi untuk

1

Bendungan Leuwi Badak menjadi sumber air bagi pertanian di lima Desa Kecamatan Cibungbulang yaitu Desa Situ Udik, Situ Ilir, Suka Maju, Galuga, dan Desa Cemplang. Akan tetapi pengguna air terbesar dari Sungai Cigamea adalah Situ Udik dan Situ Ilir.

109

mendukung pencapaian program swasembada beras. Kemudian dilanjutkan pada Pelita III-IV (1979-1989) disertai dengan konsolodasi dalam kelembagaan pengelolaan air irigasi untuk mempertahankan swasembada beras. Pada tahun 1988, pemerintah mulai merehabilitasi bangunan irigasi Cigamea yang sebelumnya telah dibangun secara swakarsa oleh masyarakat. Daerah irigasi (DI) Cigamea hingga saat ini tercatat telah mengalami empat kali masa rehabilitasi yaitu pada tahun 1988, 1992, 2001, dan tahun 2007. Rehabilitasi pertama dilaksanakan pada tahun 1988 atas pengajuan dari desa, dengan tujuan proyek untuk mengganti bangunan irigasi tradisional non-permanen dengan bangunan yang permanen. Pada saat itu Dinas PU Pengairan merehabilitasi bangunan primer bendungan Leuwi Badak, bangunan sekunder, hingga sebagian kecil jaringan tersier. Sedangkan ketiga kegiatan rehabilitasi lainnya yaitu pada tahun 1992, 2001, dan 2007 ditujukan untuk memperbaiki jaringan atau bangunan bendungan yang telah rusak. Sumber dana untuk pembangunan irigasi maupun untuk biaya perawatan berasal dari tiga sumber yaitu dana APBD/APBN, dana Imbal Swadaya, dan dana Iuran Penggunaan Air Irigasi (IPAIR). Akan tetapi, hingga saat ini sumber dana yang paling sering digunakan adalah dana yang berasal dari APBD/APBN. Dana yang diperoleh dari Imbal Swadaya penggunaanya seringkali dialokasikan sepenuhnya untuk keperluan diluar irigasi seperti untuk perbaikan jalan. Sedangkan sumber dana yang diperoleh dari iuran rutin (IPAIR) belum dapat digunakan secara maksimal, karena pemungutan iuran rutin tersebut belum dapat berjalan.

110

Upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan bangunan irigasi sepenuhnya dilakukan oleh dinas PU Pengairan, dimulai dari tahap perencanaan, perancangan desain bangunan, hingga pada tahap pelaksanaan. Pada tahap pelaksanaan teknis, dinas PU Pengairan menggunakan sistem borongan. Koordinator Pelaksana Teknis Dinas PU Leuwiliang mengatakan bahwa para petani memang tidak dilibatkan dalam pelaksanaan proyek-proyek rehabilitasi tersebut. Menurutnya, petani tidak mungkin dilibatkan karena tingkat pengetahuan petani mengenai teknologi irigasi yang modern masih rendah. Tidak terlibatnya petani dalam upaya merehabilitasi bangunan irigasi menimbulkan rasa ketidakpedulian petani terhadap pemeliharaan dan pengelolaan bangunan yang baru. Hal ini terlihat dari adanya tindakan pelanggaran yang sengaja dilakukan petani seperti membobol tanggul air atau pintu air dengan sengaja untuk memperoleh air. 2 Padahal menurut pihak Dinas PU, setelah dibangunnya bangunan irigasi baru, tanggungjawab untuk perawatan dan pemeliharaan bangunan irigasi telah diserahkan kepada para petani pemakai air. Meskipun demikian, hal tersebut tidak dapat menimbulkan rasa memiliki dan tanggung jawab dari petani untuk menjaga keutuhan bangunan dan fasilitas yang telah disediakan tersebut, seperti halnya yang diungkapkan oleh bapak GS berikut. “...Setelah selesai dibangun, mereka terkesan masa bodo dengan urusan berikutnya, mau rusak, mau nggak. Misalnya masalah perawatan lalu diserahkan sama petani, padahal petani sendiri merasa itu bukan tanggung jawabnya. Kalau menurut petani, kalau yang ngerjain bangunan orang lain, yang rawat juga dia aja, kita mah ngga tau apa-apa, tau-tau sudah jadi, kenapa jadi kita yang ngerawat”. (GS, 62 tahun Ketua GP3A Sulirjulangga)

2

Akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

111

Jumlah Bangunan dan Sarana Irigasi Irigasi Cigamea merupakan satu-satunya irigasi teknis (IT) Desa Situ Ilir, dikelola dibawah pengawasan petugas pelaksana teknis PU Pengairan. Sumber air utama dari irigasi ini berasal dari Sungai Cigamea yang dibendung oleh Bendungan Leuwi Badak. Bendungan Leuwi Badak mengairi areal pertanian Desa Situ Ilir seluas 103 ha. Berdasarkan pengkategorian Dinas PU Pengairan, DI teknis Cigamea terdiri dari saluran primer (7 km), saluran sekunder (2 km), saluran tersier (17 km), dan saluran kuarter. Bendungan Leuwi Badak tergolong kedalam bangunan irigasi primer. Sedangkan jaringan irigasi sekunder yang meliputi Sungai Cigamea dibatasi oleh pintu-pintu air yang menuju jaringan tersier (intersier) atau disebut juga oleh masyarakat setempat sebagai cowal (saluran pembagi). Jaringan tersier tersebut kemudian dibatasi hingga jaringan kuarter atau “jalan cacing” yang langsung menuju lahan-lahan milik petani. Pada batas jaringan sekunder terdapat pintu-pintu air yang membagi air pada jaringan tersier dan kuarter. Kawasan IT Cigamea sendiri, hingga saat ini telah memiliki beberapa pintu air yang sebelumnya di palang (dirangka) dengan bambu sebagai bendungan-bendungan kecil. Pintu-pintu air tersebut tersebar dengan jarak antara 200-500 m. Pada tahun 1988 bangunan sederhana tersebut kemudian dibangun kembali oleh Dinas PU Pengairan dengan bangunan permanen yang terbuat dari semen, batu dan pintu-pintu besi. Kondisi terakhir dari lima pintu air yang telah dibangun oleh PU Pengairan tersebut, saat ini hanya ada satu pintu air yang masih utuh pintu besinya, sedangkan empat pintu besi lainnya telah hilang dicuri oleh

112

orang-orang

yang

tidak

bertanggung

jawab.

Pencurian

pintu-pintu

air

bermunculan ketika akses jual beli besi mulai marak, khususnya ketika kawasan untuk jual-beli besi di daerah Cinangneng semakin berkembang.

Gambar 3. Informan menunjukan salah satu pintu sadap yang telah hilang dicuri.

Pandangan Masyarakat mengenai Proyek Rehabilitasi Upaya pemerintah dalam merehabilitasi bangunan irigasi tidak terlepas dari kekurangan yang dirasakan oleh para petani. Terdapat adanya pendapatpendapat negatif dari pihak petani itu sendiri mengenai praktek-praktek kecurangan yang dilakukan dinas PU, seperti adanya praktek-praktek korupsi dana rehabilitasi dan juga pembangunan bangunan irigasi yang tidak menyeluruh. Adanya kekurangan-kekurangan tersebut pada akhirnya merugikan petani seperti cepat meluapnya air sungai pada musim hujan, kebocoran yang dapat menyebabkan turunnya debit air, dan kerusakan yang terjadi lebih cepat dari yang seharusnya. salah satunya seperti yang diungkapkan bapak UK berikut. “Yah, pokoknya bisaan ajalah orang PU mah. Waktu saluran irigasi dibangun PU, ada aja diakalinnya. Misalnya pemerintah udah nyiapin semen lima sak, yang satu sak lagi disimpen. Jadi yang bener-bener dipake cuma empat sak. Bangunan juga cepet rusak jadinya”. (UK, 65 tahun, petani penggarap)

113

Adanya pandangan negatif dari masyarakat muncul akibat dari tidak adanya transparansi dari pihak PU terhadap masyarakat. Sejak awal adanya upaya rehabilitasi bangunan non permanen menjadi bangunan permanen, masyarakat sama sekali tidak dilibatkan, baik di tahap perencanaan, maupun pelaksanaan. Sehingga apa yang telah dilakukan oleh Dinas PU Pengairan menimbulkan anggapan-anggapan tersendiri dari masyarakat. Ditambah lagi dengan adanya bukti-bukti nyata mengenai kerusakan bangunan yang begitu cepat serta adanya kekurangan dalam pembangunan jaringan irigasi. Sedangkan Dinas PU Pengairan pun memiliki alasan tersendiri mengenai hal tersebut seperti adanya keterbatasan dana atau kesesuaian rancangan sistem irigasi yang modern.

Gambar 4

Salah satu bangunan jaringan irigasi sekunder yang rusak

Pintu air untuk jaringan tersier ada yang memiliki bangunan pelimpah dan ada juga yang tidak memiliki. Bangunan pelimpah tersebut pada dasarnya berfungsi sebagai pengalih banjir ketika air sungai meluap pada musim hujan. DI Cigamea sendiri saat ini telah memiliki 1 bangunan pelimpah yang terletak di tengah-tengah saluran sekunder.

Akan tetapi, bangunan tersebut diakui para

petani kurang berfungsi karena pada saat musim hujan, meluapnya air sungai

114

tidak dapat diatasi oleh saluran pelimpah tersebut. Akibatnya air meluap menuju lahan di sekitar jaringan sekunder. Tingginya luapan air ketika musim hujan, salah satunya disebabkan oleh lebar dan kedalaman sungai yang ditembok oleh PU dibuat lebih kecil dari lebar dan kedalaman sebelumnya.

5.4 Kelembagaan Irigasi Pada dasarnya, suatu kelembagaan memiliki aspek struktural disamping aspek-aspek kultural. Aspek struktur dan kultur dari kelembagaan tersebut memiliki hubungan yang sinergi dan terintegrasi dengan aktivitas dalam pengelolaan irigasi. Keragaan kelembagaan irigasi DI Cigamea dapat diketahui dengan melakukan penelusuran di lapangan mengenai bagaimana aktivitasaktivitas mendasar yang umum terjadi pada suatu kelembagaan DI Cigamea, yang didalamnya termuat aspek struktur maupun aspek kultur, dengan hasil sebagai berikut

5.4.1 Aktivitas-aktivitas dalam Kelembagaan Irigasi dan Perubahannya Pengelolaan irigasi yang baik perlu dilaksanakan serangkaian kegiatan yang menyangkut seluruh aspek operasi dan pemeliharaan, dimulai dari pengerahan tenaga untuk membersihkan saluran atau memperbaiki bendungan sampai kepada penyelesaian konflik mengenai pembagian air dan perencanaan untuk musim berukutnya (Ambler, 1992). Kegiatan-kegiatan dalam operasi dan pemeliharaan irigasi tersebut menuntut adanya kelembagaan petani pemakai air yang kuat.

115

Penelitian ini mengidentifikasi aktivitas mendasar yang terjadi dalam suatu sistem irigasi untuk mengetahui apakah telah terjadi perubahan dalam kelembagaan serta partisipasi dan kemampuan petani dalam mengelola system irigasi. Kelima aktivitas yang bersifat mendasar tersebut yaitu meliputi aktivitas perolehan air, pengalokasian air, pemeliharaan, pengadaan sumberdaya, dan pengelolaan konflik.

5.4.1.1 Perolehan air (Water Acquisition) Perolehan air adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan petani untuk mendapatkan air bagi sistem irigasi melalui metode-metode atau cara-cara tertentu. Petani di kawasan irigasi teknis Cigamea memperoleh sumber air dari Sungai Cigamea yang dibendung oleh bendungan Leuwi Badak. Sebelum dibangun dengan bangunan permanen oleh dinas pengairan PU, bendungan Leuwi Badak terbuat dari bambu dan batu-batuan dengan desain yang sederhana. Bendungan tersebut sengaja dirancang sederhana agar mudah dibongkar jika saat musim kemarau tiba. Saat air mulai surut, petani bersama-sama membongkar bendungan sebanyak satu atau dua palangan bambu agar air dapat naik dan mencukupi kebutuhan lahan mereka. Setelah mulai masuk pada musim penghujan, warga kemudian membangun kembali bendungan yang telah dibongkar tersebut, dan begitu seterusnya saat pergantian musim tiba. Kegiatan tersebut dilakukan oleh petani karena kebutuhan petani terhadap ketersediaan air bagi lahan mereka seperti yang diungkapkan bapak Am berikut.

“Petani pasti pada mau ngerjain, soalnya kalau tidak mau, waktu musim kemarau dia sendiri yang akan kekurangan air, kalau musim hujan dia juga yang kebanjiran. Semuanya atas dasar sukarela”. (AM, 49 tahun, Ketua P3A).

116

Hingga pada saat bendungan permanen dibangun oleh Dinas PU Pengairan, petani tidak bisa melakukan bongkar pasang bendungan lagi untuk memperoleh air di musim kemarau. Pada saat musim kemarau tiba hal yang bisa dilakukan oleh petani adalah mengganti tanaman padi menjadi tanaman palawija. Saat ini, debit air dari bendungan Leuwi Badak diatur melalui pintu air yang dikelola oleh Dinas PU Pengairan. Saat petani membutuhkan tambahan air di musim kemarau, petani seharusnya dapat melapor pada penjaga bendungan yang telah ditunjuk oleh Dinas PU Pengairan. Akan tetapi menurut pihak Dinas PU Pengairan Wilayah Leuwiliang Bendung Leuwi Badak saat ini tidak dijaga secara khusus karena adanya kekurangan tenaga kerja dari dinas PU Pengairan. Jika petani merasa membutuhkan tambahan air pada bendungan primer, petani dapat melaporkannya pada petugas juru pengairan melalui lembaga P3A. Meskipun demikian beberapa petani mengakui tidak mengetahui prosedur terebut. Beberapa tindakan pengerusakan (pembobolan) secara sengaja pun terjadi pada bendungan primer. Selain untuk memperoleh air dari bangunan primer, petani juga memiliki cara sendiri untuk memperoleh air dari jaringan sekunder dan tersier. Sistem yang dilakukan petani untuk memperoleh air di jaringan sekunder dan tersier hampir sama dengan cara petani untuk memperoleh air dari bangunan primer. Sebelum adanya bangunan pintu sadap permanen, petani membendung air untuk jaringan tersier dengan bambu atau batang pohon (gedebog) pisang yang di palang. Saat musim kemarau, jika air tidak bisa naik melewati bendungan, petani masing-masing blok sawah kemudian akan membuka

117

beberapa batang bambu atau batang pisang berdasarkan kesepakatan petani di masing-masing jaringan agar air dapat turun mengaliri sawah. Setelah adanya bangunan sadap permanen, pintu-pintu sadap tersebut kemudian diatur dengan menggunakan setir air yang pengelolaannya diserahkan kepada petani. Meskipun demikian, petani sendiri tidak pernah menggunakan setir air tersebut untuk memperoleh tambahan air di musim kemarau. Menurut pengaturan dari Dinas PU Pengairan, jika petani membutuhkan tambahan air, petani harus memberikan laporan kepada penjaga pintu sadap yang telah ditunjuk oleh Dinas PU melalui lembaga P3A. Akan tetapi para petani cenderung merasa prosedur tersebut lebih merepotkan daripada sebelum adanya pintu-pintu sadap permanen. Disamping itu, beberapa petani juga mengakui bahwa sejak awal diserahkannya setir air oleh Dinas PU, kepemilikannya selalu berpindah-pindah dan pada akhirnya setir air tersebut tidak diketahui keberadaannya seiring dengan tidak berjalannya lembaga P3A Mitra Cai. Hal itulah yang kemudian membuat petani lebih memilih untuk membobol lantai dasar pintu air yang terbuat dari semen ketika mereka membutuhkan air. Hal ini juga yang diungkapkan oleh bapak SDK sebagai berikut.

“Sekarang juga, bapak tidak tahu siapa yang memegang setirnya. Sekarang mah sudah ngga ada kayanya Kalau ingin air, petani ngebobol aja. Memang sih harusnya tidak boleh. Tapi ya…bagaimana lagi jika butuh air. Dari dulu juga sudah begitu. Tidak perlu memakai lapor-laporan segala”. (SDK, 54 tahun, petani penggarap)

Pengerusakan yang sengaja dilakukan oleh petani pada bangunan tersier juga terjadi pada tanggul-tanggul bangunan yang terdapat di jaringan sekunder. Hal ini dilakukan oleh petani akibat tidak naiknya air ketika musim kemarau. Sebelum adanya tangul-tanggul permanen, petani dapat dengan mudah

118

membongkar tanggul yang tebuat dari bambu atau batang pisang untuk memperoleh air. Jika dulu sebelum adanya bangunan permanen, perilaku petani membongkar tanggul tersebut tidak termasuk kedalam pelanggaran, karena hal tersebut biasa dilakukan ketika musim kemarau tiba. Setelah adanya bangunan baru, pembobolan dengan paksa yang dilakukan petani dianggap sebagai tindakan kriminal karena telah merusak sarana umum yang telah dibangun pemerintah. Petani yang diketahui melanggar, akan diberi sanksi berupa peringatan keras oleh Ketua P3A atau petugas pelaksana teknis, dan pelaporan kepada pihak kepolisian jika hal tersebut diketahui terjadi berkali-kali.

Gambar 5. Tanggul pada jaringan sekunder yang sengaja dibobol oleh petani untuk memperoleh air ketika musim kemarau

Perolehan air untuk sawah, selain dengan cara mencari sumber air dari bangunan primer, sekunder dan bangunan tersier, petani juga dapat memperoleh air melalui sistem pijam antar sesama petani. Hal ini dapat dilakukan petani setelah adanya sistem ngatiga yaitu panen padi setahun tiga kali. Sebelum adanya ngatiga, petani hanya bisa satu kali panen, dan mereka mengatur pola dan waktu tanam padi secara serentak diseluruh wilayah Cigamea dimulai dari musim

119

tandur hingga musim panen. Setelah adanya ngatiga, pola dan waktu tanam petani yang seragam tersebut menjadi tidak teratur dan mulai hilang. Pada satu hamparan sawah dapat ditemukan lahan sawah yang baru dicangkul atau baru ditanami padi, telah panen, dan lain-lain, seperti hanya yang diungkapkan bapak UK berikut ini. “Pas ada padi jenis baru, setahun bisa panen tiga kali. Petani jadinya pengennya paheula-heula (saling mendahului) pa balap-balap (kejar-kejaran) pengen nandur. Ada yang langsung mulai nanem lagi, tapi ada juga petani yang biasanya istirahatin tanahnya dulu. Jadinya sekarang nggak seragam lagi ”. (UK, 65 tahun, petani penggarap)

Gambar 6. Waktu tanam yang tidak seragam setelah adanya sistem ngatiga.

Hilangnya keseragaman petani dalam waktu tanam memberikan dampak yang beragam terhadap pola penggunaan air, salah satunya adalah munculnya sistem pinjam air. Saat satu tahun hanya bisa panen satu kali, petani biasanya menggunakan air secara serentak pada musim tanam. Akan tetapi hal tersebut tidak terjadi lagi disebagian besar wilayah irigasi Cigamea. Kondisi tersebut kemudian mendorong timbulnya sistem pinjam air, khususnya ketika musim kemarau tiba. Hal ini dapat dilakukan petani yang memiliki sawah berendeng (ngagedeng), berbeda saluran air (oncoran), dan berbeda waktu tanamnya. Tidak ada peraturan khusus mengenai sistem tersebut, kecuali hanya kesepakatan

120

diantara petani-petani yang telibat saja. Sistem pinjam bisa dilakukan diantara dua petani atau lebih, tergantung kondisi lahan, kebutuhan air, dan kesepakatan diantara petani-petani tersebut.

5.4.1.2 Alokasi air. Kegiatan

pengalokasian

air

merupakan

tugas

pembagian

dan

pendistribusian sistem persediaan kepada para pemakai air. Pembagian atau distribusi air yang adil dan merata merupakan salah satu tujuan pokok dalam pengelolaan air irigasi. Meskipun demikian, adanya pembagian air yang benarbenar merata dari kawasan hulu hingga kawasan hilir sulit dicapai. Hal ini terlihat dari adanya pembagian wilayah sawah alus dan sawah geledeg berdasarkan penerimaan air yang berbeda. Tugas dalam mendistribusikan air biasanya dilakukan oleh ulu-ulu. Pada musim hujan, pembagian air tidak menjadi masalah karena air begitu melimpah. Tugas ulu-ulu ketika musim hujan adalah memeriksa setiap jaringan jika ada kerusakan yang dapat menyebabkan banjir di sawah kawasan hilir. Bila musim kemarau tiba, ulu-ulu harus lebih cermat memperhatikan lebar galengan di setiap petak sawah. Lebar galengan di setiap petakan sawah biasanya telah ditentukan paling besar sekitar satu jengkal tangan bagi sawah di kawasan hulu. Sedangkan bagi kawasan hilir, lebar galengan dapat melebihi lebar galengan untuk sawah hulu, karena debit air akan semakin menurun untuk kawasan hilir. Pelanggaranpelanggaran mengenai pembukaan lebar galengan biasanya terjadi ketika musim kemarau tiba. Jika ditemukan lebar galengan sawah kawasan hulu melebihi satu jengkal, ulu-ulu akan menegur petani yang bersangkutan untuk menutup lebar

121

galengan hingga lebar yang telah ditentukan untuk mencegah terjadinya perselisihan. Hal ini sebagaimana diungkapkan bapak SDK berikut. “Biasanya kalau pas musim kemarau, petani jadi serakah. Air maunya paling banyak saja. Kalau sudah begitu, ulu-ulu menegur. Kalau tidak, suka ada saja yang berselisih masalah air”. (SDK, 54 tahun, petani penggarap)

Upaya-upaya pengaturan pendistribusian air yang dilakukan petani pada dasarnya bertujuan untuk menjamin ketersedian air seadil mungkin bagi sawah mereka. Tidak ada sanksi tertentu bagi pelanggar aturan ini selain hanya dinasihati oleh ulu-ulu. Akan tetapi bila peraturan dilanggar, terjadinya konflik tidak dapat dihindari. Jika musim kemarau panjang tiba, dan kebutuhan air tidak dapat lagi dicapai melalui pengaturan lebar galengan, petani akan menerapkan sistem gilir air siang dan malam. Pembagian air siang dan malam dapat dilakukan antara petani di bagian hulu dan di bagian hilir. Kawasan hilir biasanya mendapatkan air di malam hari, karena petani dikawasan hilir merupakan pihak yang meminta tambahan air kepada petani di kawasan hulu. Sedangkan pada malam hari, saluran bagi petak-petak sawah hulu ditutup sebagian agar air lebih banyak mengalir ke petak-petak sawah yang berada di hilir. Kesepakatan diantara petani hulu dan petani hilir dapat dicapai karena adanya kesadaran dari petani kawasan hulu untuk berbagi air. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh bapak AJ yang tergolong petani kawasan sawah alus (hulu). “Ya kalau bagi-bagi air mah udah biasa, kalau musim kemarau. Masingmasing petani juga udah pada ngerti. Asal nggak ditutup semuanya, Nggak ada masalah. Yang jadi masalah kalau airnya ditutup semua, itu namanya maling air”. (AJ, 42 tahun, Petani penggarap)

122

Meskipun demikian, saat ini kesepakatan yang dicapai diantara petani kawasan hulu dan hilir hanya sebatas “saling mengerti”, dan tergantung pada masing-masing individu petani. Tidak semua petani dikawasan hulu mau berbagi air dimusim kemarau. Sehingga dalam kondisi seperti ini potensi terjadinya konflik diantara petani pun cenderung meningkat. Setelah hilangnya kekompakan petani dalam waktu dan pola tanam, sistem gilir air siang malam sulit dilakukan secara serempak antara petani hulu dan petani hilir. Dalam menghadapi musim kemarau saat ini, petani cenderung semakin tidak berdaya. Hal ini dapat dilihat adanya gejala pengalihfungsian lahan pertanian padi sawah menjadi non-padi yang menggambarkan semakin menurunnya kualitas manajemen pembagian air dimusim kemarau. Adanya ketidakaturan dalam pola tanam, pengaturan pemanfaatan air irigasi di musim kemarau menjadi lebih sulit dilakukan seperti halnya yang diungkapkan bapak KH berikut. “Petani yang sekarang mah lebih susah diatur, tidak seperti dulu, kompak. Maunya mah pada ngatur sendiri-sendiri aja, gimana enaknya dia”. (KH, 80 tahun, ulu-ulu)

Sistem pembagian air siang dan malam, selain dilakukan antar kawasan sawah hulu dan hilir, dapat juga dilakukan antar dua desa. Hal tersebut dilakukan ketika petani merasa kebutuhan air mereka tidak tercukupi lagi meskipun telah dilakukan sistem bergilir antara sawah hulu dengan sawah hilir. Agar terhindari dari konflik dengan sesama petani pemakai air, petani kawasan irigasi Cigamea kemudian mulai mencari sumber air lain yaitu dari Desa Situ Udik. Desa Situ Udik merupakan desa hulu yang terletak dibagian selatan kawasan irigasi Cigamea. Petani kawasan irigas Cigamea mendapatkan air di malam hari, karena sebagai pihak yang meminta tambahan air pada desa hulu.

123

Meskipun demikian, kesepakatan untuk memperoleh pinjaman air dari desa lain lebih sulit dilakukan, karena tidak seluruhnya petani di Desa Situ Udik mengizinkan pembagian air tersebut. Jika hal itu terjadi, kepala desa Situ Ilir akan melakukan negosiasi dengan kepala desa yang bersangkutan yaitu Desa Situ Udik. Pada kurun waktu tahun 2000 hingga saat ini, telah terjadi dua kali kesepakatan pembagian air antara desa Situ Udik dan Desa Situ Ilir. Masalah pokok yang dinegosiasikan oleh kedua pihak meliputi permohonan ijin dan jangka waktu pelaksanaan pembagian air diantar kedua desa tersebut. Setelah adanya kesepakatan diantara kedua desa, kemudian dibentuk kelompok-kelompok penjaga bersama ulu-ulu dari Desa Situ Ilir yang bertugas untuk membuka beberapa saluran air dari desa Situ Udik. Para petani Desa Situ Ilir biasanya mendapat tambahan air pada pukul 12 malam hingga pukul 6 pagi Tidak ada pengaturan khusus yang mengatur kemana jalannya air setelah diperoleh dari Desa Situ Udik. Oleh karena itu, bagi petani yang membutuhkan air, mereka harus datang sendiri bergabung dengan kelompok penjaga untuk meminta tambahan air.

5.4.1.3 Sistem Pemeliharaan Sarana Fisik Irigasi. Kegiatan-kegiatan dalam pemeliharaan irigasi Cigamea biasanya meliputi kegiatan pembabatan rumput, memperbaiki bendungan utama ketika musim hujan tiba atau mengeruk lumpur jika terjadi pendangkalan. Sebelum adanya bangunan permanen PU, kegiatan perawatan sarana fisik irigasi dimulai dari bangunan primer hingga tersier, semuanya ditangani oleh petani secara bersama-sama. Kegiatan perawatan saluran irigasi dilakukan setahun sekali, dan

124

biasanya dilakukan sebelum musim tanam, seperti pembabatan atau pengerukan lumpur. Disamping adanya kegiatan perawatan yang bersifat rutin, ada juga kegiatan yang bersifat dadakan. Hal ini biasanya dilakukan ketika ada bencana banjir besar yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada bendungan utama atau bangunan tersier. Kegiatan perawatan dalam kelembagaan irigasi tradisional dilakukan secara gotong royong atau masyarakat setempat biasa menyebutnya dengan gorol. Ada dua jenis kegiatan gotong royong dalam kelembagaan tradisional yang biasa dilakukan masyarakat yaitu gotong royong pada tingkat antar desa dan gotong royong tingkat antar kampung.

Gotong Royong Tingkat Antar Desa Gotong royong tingkat antar desa biasanya dilakukan untuk kegiatan memperbaiki bendungan utama yang rusak karena banjir atau kegiatan rutin membongkar pasang bendungan pada musim kemarau dan musim hujan. Kegiatan tersebut dilakukan oleh petani di lima desa yaitu Desa Situ Udik, Desa Situ Ilir, Desa Suka Maju, dan Desa Galuga yang menggunakan air dari Sungai Cigamea. Kegiatan ini dikoordinir langsung oleh kepala desa masing-masing desa. Saat ini kegiatan gotong royong tingkat antar desa tersebut tidak lagi dilakukan karena dua hal yaitu: 1. Tertutupnya saluran air Sungai Cigamea bagi Desa Cemplang dan Desa Galuga.

125

Sebagian sumber air bagi lahan pertanian Desa Galuga dan Desa Cemplang berasal dari Sungai Cigamea. Pada awal tahun 1970-an, dua saluran utama kedua desa tersebut telah tertutup oleh bangunan-bangunan rumah yang kemudian secara sengaja perlahan-lahan menutup saluran sungai. Hilangnya akses terhadap sumber air Sungai Cigamea turut menghilangkan partisipasi para petani di kedua desa tersebut dalam kegiatan gotong royong tersebut. 2. Adanya perubahan bentuk bangunan irigasi. Adanya perubahan bentuk bangunan non permanen menjadi bangunan permanen tidak lagi membutuhkan kegiatan bongkar pasang untuk perolehan air di musim kemarau. Saat ini debit air diatur melalui pintupintu air yang dikelola dan diawasi oleh Dinas PU Pengairan Wilayah Leuwiliang. Setelah adanya bangunan permanen, kegiatan perawatan khususnya penangangan kerusakan pada bangunan primer atau sekunder yang sebelumnya ditangani petani kini ditangani oleh Dinas PU Pengairan dimulai dari pengadaan barang atau materi perbaikan hingga pengerjaan teknis melalui sistem borongan atau oleh pegawai teknis dari Dinas PU untuk kerusakan-kerusakan ringan. Meskipun kerusakan-kerusakan yang terjadi pada bangunan ditangani oleh Dinas PU, tidak jarang petani turun tangan langsung untuk memperbaiki jaringan primer dan sekunder yang rusak. Jika kerusakan dianggap masih bisa ditangani oleh petani, maka petani pun akan memperbaikinya dengan cara bergotong royong. Akan tetapi kegiatan tersebut hanya dilakukan oleh petani dalam skala kecil atau dilakukan sendiri oleh ulu-ulu. Keinginan petani untuk memperbaiki

126

sendiri bangunan irigasi yang rusak tersebut disebabkan tidak cepat tanggapnya pihak Dinas PU Pengairan dalam mengatasi kerusakan-kerusakan yang terjadi. Seperti yang telah dijelaskan, para petani pemakai air masih menangani kerusakan yang terjadi pada jaringan primer dan sekunder yang seharusnya ditangani oleh Dinas PU. Akan tetapi terlihat adanya penurunan tingkat partisipasi petani dalam kegiatan tersebut. Hal ini dilihat dari jumlah para warga yang mengikuti kegiatan gotong royong hanya sekitar 10-20 orang saja. Demikian juga halnya dengan para petani yang jasanya digunakan oleh Dinas PU untuk melakukan perbaikan, telah terbiasa menerima uang atas jasa mereka memperbaiki bangunan irigasi. Padahal sebelumnya pekerjaan tersebut dilakukan atas dasar sukarela seperti halnya yang diungkapkan bapak AM berikut. “Kalaupun memakai orang desa, ya sebagai tukang, pasti dibayar sama orang PU. Jadi terbiasa, kalau ada duitnya, baru mau kerja. Jadi sekarang masyarakat sudah susah kalau diajak gorol (gotong royong), karena udah terbiasa enak dan diiming-imingi uang”. (AM, 49 tahun, Ketua P3A).

Gotong Royong Tingkat Antar Kampung Pada kelembagaan tradisional, kegiatan gotong royong untuk perawatan saluran tingkat antar kampung meliputi kegiatan pembabatan dan pengerukan dasar sungai. Kegiatan ini tidak hanya diwajibkan bagi petani yang menggunakan air untuk pertanian sawah padi, tetapi juga para pemakai air secara keseluruhan termasuk juga petani ikan (penedar). Setelah adanya bangunan baru, kegiatan pengerukan dasar sungai dari lumpur yang biasanya dilakukan oleh petani secara gotong royong, kini diambil alih oleh dinas PU Pengairan dengan alat pengeruk khusus. Sedangkan untuk perawatan jaringan tersier yang diserahkan pada petani meliputi kegiatan pembabatan rumput. Akan tetapi, hilangnya keseragaman waktu tanam padi

127

menyebabkan hilangnya kekompakan petani dalam kegiatan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kebutuhan air dari para petani turut mempengaruhi keikutsertaan petani dalam kegiatan gotong royong, seperti halnya yang diungkapkan bapak ABL dalam kutipan berikut

“Saya sih kalau masalah gorol-gorol gitu mah ikut-ikut aja. Cuman, kalau air masih banyak atau lagi belom butuh air, ya nggak ikut gorol.” (ABL, 70 tahun petani penggarap)

Kegiatan-kegiatan petani dalam pemeliharaan sarana fisik irigasi secara tidak langsung dipengaruhi juga oleh adanya sistem ngatiga. Seperti penjelasan sebelumnya, ketika padi hanya bisa dipanen setahun satu kali, kegiatan perawatan saluran irigasi biasanya dilakukan satu kali selama setahun yaitu sebelum masa tanam. Jika dulu petani serempak melakukan kegiatan perawatan ketika mereka memulai musim tanam secara bersama-sama, saat ini kegiatan tersebut hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok petani yang telah memasuki masa tandur saja. Sementara bagi petani lain yang belum memasuki masa tandur atau telah memasuki masa panen, tidak turut serta dalam kegiatan tersebut. Tidak ada ketentuan berapa orang petani dalam kelompok-kelompok kecil tersebut, siapa yang memimpin atau berapa luas wilayah yang mereka tangani. Kegiatan perawatan perkelompok petani tersebut biasanya hanya dilakukan pada skala kecil, yaitu pada jaringan yang hanya dialiri sawah petani yang bersangkutan saja.

128

5.4.1.4 Pengadaan sumberdaya Pengadaan sumberdaya adalah aktivitas untuk menghimpun tenaga kerja, bahan, dana, dan sumberdaya lainnya yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas seperti sistem pemeliharaan. Kegiatan tersebut secara umum direncanakan dalam suatu rapat para petani pemakai air. Berikut sistem pengadaan sumberdaya yang dapat diidentifikasi di kawasan irigasi Cigamea, yaitu pengadaan tenaga kerja, bahan atau sumber dana.

Rapat Petani Pemakai Air Aktivitas menghimpun para petani pemakai air dilakukan jika ada rapat untuk membicarakan masalah seputar pengairan seperti perencanaan untuk kegiatan gotong royong (gorol), pemilihan ulu-ulu, atau penyelesaian konflik. Kegiatan rapat ini bersifat insidental (dadakan). Pokok pembahasan dalam rapat tersebut biasanya meliputi perencanaan perbaikan bangunan irigasi yang rusak, masalah-masalah yang dihadapi seputar pengairan atau pertanian. Sebelum adanya organisasi P3A rapat-rapat untuk membicarakan masalah seputar pengairan biasanya dilakukan di pengajian khusus untuk laki-laki yang biasanya diselenggarakan setiap kamis malam. Tidak ada undangan khusus untuk menghadiri rapat tersebut. Semua yang hadir di pengajian dapat turut berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah yang terjadi di desa, termasuk mengenai pengairan. 3 Lembaga pengajian di Desa Situ Ilir tidak hanya berperan sebagai kelembagaan keagamaan yang memiliki fungsi penyebaran ajaran-ajaran

3

Dalam pengajian tersebut, tidak hanya khusus membicarakan mengenai masalah pengairan atau pertanian saja, tetapi juga permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat, misalnya permasalahan mengenai maraknya pencurian kendaraan bermotor, atau pembicaraan mengenai program-program pemerintah

129

agama islam saja, tetapi juga memiliki fungsi sosial, sebagai sarana komunikasi dan informasi bagi masyarakat setempat, lembaga yang dapat diakses dengan bebas oleh seluruh warga Desa Situ Ilir bahkan desa Situ Udik yang beraga islam, dan juga berfungsi sebagai wadah politik dimana proses pengambilan keputusan atau tempat musyawarah untuk mencapai konsensus diselenggarakan seusai pengajian rutin diadakan. Setelah berdirinya organisasi P3A, kegiatan rapat untuk membicarakan masalah pengairan dikoordinir langsung oleh ketua P3A melalui surat undangan resmi atau ajakan langsung kepada para petani. Surat undangan atau ajakan tersebut kemudian disebarkan melalui masing-masing petugas blok yaitu blok rating 1 di kawasan Gunung Handeleum (hulu) oleh bapak Ukam dan petugas blok rating 2 di kawasan Bantar Karet (hilir) oleh bapak Aang. Akan tetapi menurut pengakuan beberapa petani, undangan yang disebarkan tersebut terkadang tidak sampai kepada petani yang bersangkutan. Disamping itu, ada juga petani yang mengaku enggan untuk menghadiri rapat-rapat yang diadakan P3A seperti salah satu pernyataan yang diungkapkan bapak ABL berikut. 4

“Yah bapak mah gini-gini ajalah. Nggak mau ribet (repot) ikut-ikutan rapat. Tapi kalau ada apa-apa, bapak mah ngedukung-dukung aja.” (ABL, 70 tahun petani penggarap)

Pernyataan diatas menunjukan bahwa rapat-rapat yang sengaja diadakan oleh P3A dianggap merepotkan bagi petani. Berbeda halnya dengan menghadiri rapat-rapat yang diadakan seusai pengajian dimana masyarakat melakukan dua kegiatan sekaligus dalam satu pertemuan rutin.

4

Rapat untuk kegiatan pengairan melalui kelompok P3A tidak lagi dilakukan dalam pengajian, melainkan secara terpisah di saung Bapak AM, Ketua P3A.

130

Tingkat kehadiran para anggota atau jumlah rapat yang pernah diselenggarakan oleh P3A tidak dapat diketahui secara pasti karena tidak adanya bukti tertulis atau dokumentasi mengenai hal tersebut. Akan tetapi menurut pengakuan Bapak AM selaku Ketua P3A, kehadiran petani seringkali tidak sebanyak yang diharapkan, dari undangan yang disebarkan, hanya sekitar 20 persen saja dari petani pemakai air yang hadir dalam rapat tersebut. Dua pokok permasalahan yang pernah dibahas dalam rapat yang diselenggarakan oleh kelompok P3A diantaranya masalah pembuatan proposal pengajuan dana dan perencanaan pemungutan IPAIR. Hingga saat ini, pengadaan rapat mengenai masalah pengairan melalui pengajian masih tetap dilakukan. Sehingga dalam hal ini telihat bahwa kegiatan untuk mengumpulkan para petani untuk rapat dilakukan oleh dua kelembagaan yang berbeda, yaitu lembaga P3A dan juga lembaga pengajian setempat dan tidak ada koordinasi diantara kedua lembaga tersebut. Menurut standar operasional dari Dinas PU Pengairan, setiap P3A yang akan mengadakan pertemuan harus menyertakan seorang petugas dari Dinas PU. Meskipun demikian hal tersebut jarang sekali dilakukan. Terlihat adanya perbedaan persepsi diantara lembaga P3A dan Dinas PU Pengairan sehingga koordinasi diantara kedua lembaga tersebut juga sulit terjalin. Dari pihak para petani sendiri mengatakan bahwa saat mengadakan rapat mereka telah mengundang pihak Dinas PU Pengairan. Akan tetapi petugas dari Dinas PU tidak pernah menghadiri rapat-rapat yang dilakukan P3A, sehingga muncul anggapan dari petani bahwa para petugas dari dinas PU ”hanya mau datang kalau ada duitnya”. Berbeda halnya dengan tanggapan dari pihak Dinas PU Pengairan, para

131

petani dianggap sulit untuk diajak bekerjasama dalam suatu pertemuan tertentu seperti halnya untuk program pembinaan para petani pemakaiu air, dan lain sebagainya seperti yang diungkapkan bapak KDR selaku juru pengairan Kecamatan Cibungbulang sebagai berikut. “Susah lah kalau mau ngumpulin petani, kalau ada sesuatu yang harus disampaikan pada petani kadang orang kita kesulitan buat ngumpulin petani. Katanya ada duitnya nggak kumpul-kumpul gini?” (KDR, 48 tahun, Juru Pengairan Kecamatan Cibungbulang).

Menghimpun Tenaga Petani Pemakai Air Kegiatan gotong royong untuk perawatan irigasi dilakukan oleh para petani pemakai air baik sebelum maupun setelah dibangunnya bangunan permanen. Masyarakat ikut membantu dengan menyumbang tenaga, atau menyediakan material seperti bambu atau karung apabila ada kerusakan. Sebelum dibangunnya irigasi PU, kegiatan perawatan bangunan utama biasanya dikoordinir langsung oleh kepala desa atau ketua RT seperti halnya yang diungkapkan bapak UK berikut ini. “Dulu, kalau ada kerja bakti seperti itu, kepala desa yang turun tangan langsung. Nanti masyarakat diajak, satu desa ikut bantu, bahkan gaungnya sampe Desa Cemplang”. (UK, 65 tahun, petani penggarap)

Tidak ada sanksi khusus bagi petani yang tidak ikut dalam kegiatan tersebut. Akan tetapi masing-masing petani yang berdekatan akan saling mengawasi. Jika diketahui seorang petani tidak mengikuti kegiatan tersebut, maka petani yang bersangkutan akan dicemooh atau disindir oleh petani yang lain. Hal ini dilakukan untuk mencegah petani lainnya ikut mangkir dalam kegiatan gorol. Budaya malu inilah yang menjadi sistem yang efektif dalam penerapan sanksi.

132

Kegiatan gotong royong seringkali diprakarsi oleh para petani dari blok sawah hilir atau sawah guludug. Ajakan untuk melaksanakan kegiatan gotong royong ini biasanya dilakukan dengan cara mapai, yaitu menelusuri para petani pemakai air dari blok hilir kemudian berduyun-duyun mengajak petani kawasan blok hulu. Setelah adanya sistem ngatiga, ada kalanya petani sulit untuk diajak bergotong royong, karena dengan adanya perbedaan waktu tanam, sehingga kebutuhan air bagi petani yang satu dengan lainnya juga berbeda. Hal tesebut menyebabkan ikatan sanksi bagi petani yang mangkir dari kegiatan gotong royong semakin melemah karena petani dapat beralasan belum membutuhkan air. Tidak ada perubahan yang cukup signifikan dalam proses menghimpun tenaga para petani pemakai air untuk kegiatan gotong royong. Meskipun telah ada organisasi P3A, kegiatan menghimpun para petani secara umum masih dilakukan oleh ketua RT atau ulu-ulu tradisional. Setelah adanya organisasi P3A, bapak AM selaku ketua P3A, dan MDI selaku ulu-ulu P3A pernah beberapa kali mengadakan kegiatan menghimpun para petani untuk kegiatan gotong royong. Akan tetapi, berdasarkan luas jangkauan, kegiatan yang dihimpun oleh organisasi P3A hanya mampu menggerakan petani yang berada dikawasan hulu. Hal ini sehubungan dengan Bapak AM dan MDI merupakan petani dari kawasan hulu. Berbeda halnya dengan proses menghimpun para petani yang biasanya dilakukan dalam kelembagaan tradisional dimana kegiatan gotong royong diprakarsai dan dihimpun dari kawasan hilir oleh ulu-ulu tradisional yang pada dasarnya memiliki lahan di kawasan hilir. Sehingga dalam hal ini terlihat pula adanya dua aktivitas yang sama dilakukan oleh dua kelembagaan yang berbeda yaitu lembaga P3A dan lembaga tradisional petani pemakai air. Hal ini secara tidak langsung telah

133

memecah belah aktivitas yang biasanya dilakukan secara serempak diantara petani wilayah hulu dan hilir.

Iuran Imbalan Jasa Bagi Ulu-ulu Salah satu aktivitas lain dalam menghimpun sumberdaya diantaranya kegiatan menghimpun iuran imbalan jasa bagi ulu-ulu. Jika kinerja ulu-ulu tersebut dianggap baik, petani akan memberi imbalan berupa hasil panen atau natura. Dalam kelembagaan irigasi tradisional, besarnya iuran ditentukan atas kesepakatan para petani pemakai air berdasarkan luasan lahan garapan. Satu hektar sawah akan dikenai iuran sebesar 2 gedeng padi. Satu gedeng setara dengan 7.5 kg, sehingga untuk 1 ha lahan sawah akan dikenai iuran sebesar 15 kg. Akan tetapi, karena luasan sawah petani Desa Situ Ili rata-rata dibawah 0.1 ha maka penyeragaman pun dilakukan bagi petani yang memiliki lahan sawah di bawah luasan tersebut. Bagi petani yang memiliki lahan di bawah luasan 0.1 ha, iuran untuk ulu-ulu akan dikenakan sebesar 2-3 liter beras sebagaimana halnya diungkapkan oleh bapak UK berikut.

“Sebenarnya upah untuk ulu-ulu sudah ditentukan, satu hektar sawah paling sedikit ngasih dua gedeng. Tapi sawah disini kan kecil-kecil, itungannya juga ngga bisa di bulet-bulet amat. Kadang ngasih seadanya aja. Ya ngasih dua atau tiga liter mah, dimaklum aja”. (UK, 65 thn, petani penggarap)

Pembayaran upah untuk ulu-ulu tersebut diawasi secara ketat oleh para petani. Jika ada petani yang diketahui tidak membayar iuran upah bagi ulu-ulu, maka saluran air dari petani yang melanggar kesepakatan tersebut akan dihentikan oleh petani satu wilayah aliran. Hal ini dilakukan untuk membuat efek jera pada petani tersebut.

134

Proses pemungutan iuran bagi ulu-ulu ini masih tetap dilakukan dalam kelembagaan tradisional. Setiap panen, petani memberikan iurannya pada ulu-ulu lama yaitu bapak Kohar

(ulu-ulu kawasan hulu) dan bapak Jajat (ulu-ulu

kawasan hilir). Setelah adanya organisasi P3A, pembayaran upah untuk ulu-ulu P3A belum pernah terlaksana. Hal ini berdasarkan pengakuan bapak Madroi selaku ulu-ulu P3A yang menyatakan bahwa hingga saat ini, organisasi P3A tidak pernah ada aktivitas dari para anggotanya dalam menghimpun iuran untuk menggaji ulu-ulu maupun pengurus lainnya seperti halnya yang telah ditetapkan dalam AD/ART organisasi P3A. Proses pemungutan iuran yang dilakukan para petani pemakai air hanya ditujukan untuk membayar ulu-ulu lama dalam kelembagaan tradisional.

Dana Pemeliharaan Pada kelembagaan lama, tidak ada aktivitas menghimpun dana perawatan sebagaimana halnya pada kelembagaan baru. Sebelumnya, untuk biaya perawatan, petani cukup dengan menyumbangkan materi yang mudah diperoleh, seperti batubatuan, bambu, serta tali. Sedangkan setelah adanya bangunan baru, petani menyediakan karung atau plastik (untuk menyumbat kebocoran), atau papan kayu untuk mengganti pintu air yang hilang, dan petani merasa cukup dengan hal tersebut. Pada kelembagaan baru, ada dua sumber dana yang seharusnya digunakan untuk perawatan bangunan irigasi yaitu, dana dari APBN pemerintah yang hingga saat ini dikelola oleh PU dan juga dana IPAIR dari para petani pengguna air. Dana IPAIR merupakan peraturan tertulis yang menjadi ketetapan bagi setiap organisasi

135

P3A. Sumber dana bagi setiap kegiatan yang akan dilakukan P3A terdiri dari iuran anggota, sumbangan, atau bantuan lain yang ditetapkan menurut hukum dan dipungut melalui program IPAIR. Dana IPAIR P3A Simega Tani dipungut berdasarkan harga yang telah ditetapkan petani, yaitu sebesar Rp. 30/m lahan. Penetapan iuran tersebut ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah dengan para petani pemakai air pada tahun 2004 yang lalu. Pemungutan dana IPAIR tersebut ditujukan untuk keperluan pendayagunaan air, pemeliharaan, perbaikan jaringan irigasi, dan membayar imbalan jasa bagi tiap-tiap anggota pengurus. 5 Meskipun demikian, pemungutan dana IPAIR tersebut belum pernah terlaksanakan karena alasan bangunan irigasi yang belum sepenuhnya baik. Apabila pungutan iuran IPAIR mulai dijalankan, petani pun akan meminta kejelasan terhadap penggunaan dana tersebut. Sedangkan dana untuk kerusakan berat yang membutuhkan penanganan serius, petani pun lebih menyerahkannya pada dinas PU Pengairan dibanding harus menghimpun dana IPAIR untuk mengatasi kerusakan sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak ABL berikut.

“Kalau buat yang rusak-rusak begitu, petani juga masih bisa, paling-paling pake karung. Kalau buat biaya semen, petani juga berat”. (ABL, 70 tahun petani penggarap)

Dinas PU Pengairan biasanya mendapatkan dana APBN untuk perawatan irigasi setiap enam bulan sekali. Pada masa-masa awal setelah berdirinya bangunan PU, dana tersebut dikelola secara penuh oleh pihak PU untuk perawatan

5

Ketentuan ini terdapat dalam AD/ART P3A Mitra Cai Bab VI Pasal 16 mengenai pembiayaan dan Bab II pasal 5 mengenai kepengurusan.

136

jaringan irigasi. Akan tetapi, ada ketimpangan dalam pelaksanaan oleh pihak PU itu sendiri sehingga menimbulkan perselisihan dengan para petani pemakai air. 6

5.4.1.5. Menghadapi pertentangan atau konflik Mengelola pertentangan atau konflik adalah tugas untuk menampung dan menengahi perselisihan sebagai akibat dari berbagai operasi seperti alokasi air, dan lain sebagainya. Jenis-jenis konflik yang sering terjadi di kawasan irigasi Cigamea diantaranya berkaitan dengan adanya tindakan penutupan secara penuh atau pembelokan jalan air tanpa seijin petani yang memperoleh air dari saluran tersebut. Konflik-konflik seringkali terjadi jika musim kemarau panjang tiba. Konflik tidak hanya terjadi diantara petani kawasan hulu dengan kawasan hilir saja, tetapi juga dapat terjadi diantara sesama petani di kawasan hulu atau hilir. Beberapa kejadian terburuk terjadi ketika musim kemarau panjang yaitu pada tahun 1980-an dan tahun 1997. Perselisihan yang terjadi diantara petani saat itu telah sampai pada tindakan kriminal seperti halnya yang diungkapkan bapak AM berikut

“Tengkar, tidak hanya perorangan saja, tapi juga terkadang berkelompok. Kalau tidak adu mulut, bisa hampir tawuran, dan yang paling parah langsung dibacok”. (AM, 49 tahun, Ketua P3A).

Petani setempat mengutamakan asas musyawarah dalam menyelesaikan suatu persengketaan yaitu dengan cara berunding (dami) diantara pihak-pihak yang bertikai. Sebagai upaya penyelesaian konflik, diantara kedua pihak yang bertikai biasanya didamaikan oleh beberapa petani yang berdekatan. Jika konflik 6

Akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

137

yang terjadi melibatkan banyak pihak, atau sulit untuk menentukan jalan keluar bagi kedua belah pihak, konflik tersebut diselesaikan secara kekeluargaan oleh ketua RT atau ketua RW. Sedangkan konflik yang terjadi antar desa maka perselisihan tersebut akan dilaporkan pada kepala desa. Tidak ada penetapan khusus mengenai sanksi denda kepada petani yang melakukan pelanggaran yang menyebabkan terjadinya perselisihan. Jika ada petani yang merasa dirugikan akibat pelanggaran yang dilakukan petani lain, maka permintaan denda dapat diajukan. Hal tersebut tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak yang bertikai. Permintaan denda dapat dibayar berupa jumlah padi yang rusak atau jumlah ikan yang mati, atau dapat juga dikonversi menurut nilai harga jual pada saat itu. Konflik yang terjadi berkenaan dengan masalah pengairan tidak hanya mengenai masalah pembelokan air diantara sesama petani pemakai air, tetapi juga diantara lembaga lain yang berkaitan dengan pengairan. Beberapa diantaranya dijelaskan sebagai berikut.

Kasus Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Disamping konflik antar petani, terjadi pula konflik dengan peternakan sapi KUNAK yang berada di Desa Situ Udik. Peternakan sapi KUNAK merupakan peternakan sapi yang didirikan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Peternakan KUNAK memiliki ratusan kapling dan juga tanaman untuk pangan sapi. Oleh karena itu kebutuhan air untuk peternakan tersebut cukup besar. Ada dua permasalahan yang dihadapi petani. Pertama, pihak pengelola KUNAK dianggap telah menghambat saluran air bagi kawasan irigasi Cigamea.

138

Kedua, disamping adanya penurunan debit air, persengketaan juga terjadi karena limbah kotoran ternak yang dibuang ke Sungai Cigamea menyebabkan penyakit pada ikan-ikan yang diternakan para petani penedar. Kedua permasalahan tersebut kemudian diatasi dengan cara berunding oleh Ketua P3A untuk penyelesaian besama pihak pengelola KUNAK. Akan tetapi hingga saat ini belum ada penyelesaian yang jelas diantara kedua pihak.

Kasus Kelompok Petani Pemakai Air dan Kelompok Tani Selain dengan sesama pengguna air, konflik juga saat ini terjadi dengan antar lembaga pertanian. Pada awal tahun 2008 perselisihan telah terjadi antara P3A Simega Tani dengan Kelompok Tani Suka Tani. Penyebab terjadi perselisihan yaitu adanya tumpang tindih dalam pengajuan proposal untuk pengairan dimana organisasi P3A dan Kelompok Tani sama-sama mengajukan proposal dana bantuan untuk rehabilitasi jaringan irigasi dan penambahan bangunan jaringan irigasi baru. 8 Hal tersebut dianggap tidak sepadan oleh pihak P3A karena seharusnya yang menangani pengairan adalah organisasi P3A Penyelesaian konflik itu sendiri ditangani langsung oleh ketua GP3A, karena hal ini tidak saja berkaitan dengan P3A di Desa Situ Ilir, tetapi juga untuk kawasan irigasi di keempat desa lainnya yaitu desa Situ Udik, Desa Suka Maju, Desa Cemplang, dan Desa Galuga. Ketua GP3A melakukan perundingan dengan Ketua Gapoktan dan juga Ketua KTNA dengan hasil, jika dana bantuan tersebut

8

Dana bantuan yang dimaksud adalah program Water Irigation System Management Program (WISMP) dari negara Belanda untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di bidang pengairan. Dana bantuan tersebut akan diberikan hingga untuk tahun 2015 mendatang. Akan tetapi hingga saat ini dana yang direncanakan akan turun pada bulan Juni 2008 belum terlihat realisasinya.

139

telah turun, maka dana harus dilimpahkan pada organisasi GP3A untuk merehabilitasi jaringan irigasi di Kecamatan Cibungbulang. Setelah dibentuk organisasi Gabungan P3A, petani pemakai air berwenang untuk mengajukan proposal pengajuan dana sendiri berkaitan dengan masalah pengairan.

Kasus Para Petani Pemakai Air dan Dinas PU Pengairan Perselisihan antara para petani pemakai air dengan Dinas PU Pengairan berkenaan dengan perbaikan bangunan yang rusak. Saat itu beberapa petani telah menyampaikan laporan adanya beberapa kerusakan parah berupa kebocoran jaringan kepada Dinas PU. Akan tetapi, kerusakan yang telah dilaporkan petani tersebut tidak juga mendapatkan tanggapan serius dari pihak Dinas PU Pengairan. Perbaikan yang dilakukan oleh Dinas PU tidak pada tempat yang dilaporkan oleh petani melainkan pada kerusakan-kerusakan kecil yang tidak dianggap terlalu parah. Hal ini kemudian menimbulkan protes keras pari pihak petani kepada Dinas PU Pengairan.

Beberapa perwakilan dari petani beserta Ketua P3A

melakukan protes dengan cara mendatangi kantor Dinas PU Leuwiliang. Ketiga kasus pertikaian diatas memperlihatkan bahwa, saat ini konflik yang terjadi bersifat lebih kompleks dimana penyebab terjadinya konflik tidak hanya permasalahan penjegalan air diantara sesama petani pemakai air saja, tetapi juga permasalahan antar lembaga seperti organisasi P3A dengan Kelompok Tani, serta Dinas PU Pengairan. Penanganan konflik mengenai pengelolaan dan alokasi air hingga saat ini masih dilakukan oleh ketua RT, ulu-ulu tradisional maupun petani setempat. Hal ini menunjukan bahwa secara umum, organisasi P3A belum dapat dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai wadah untuk mengelola,

140

menampung atau menengahi perselisihan sebagai akibat dari berbagai operasi seperti alokasi air, dan lain sebagainya. Beberapa kasus persengketaan mengenai masalah pengairan pada tingkat lembaga yang dijelaskan sebelumnya, memperlihatkan penanganan konflik tersebut ditangani oleh Ketua P3A. Akan tetapi hal ini sulit diidentifikasi mulai dipercayainya organisasi P3A dalam menangani konflik, melainkan karena Ketua P3A yaitu bapak AM, pada dasarnya merupakan salah satu tokoh masyarakat yang diakui keberadaannya oleh masyarakat setempat. Hal ini didasarkan pada hasil wawancara mendalam yang dilakukan peneliti, bahwa dari sudut pandang para petani, Bapak AM merupakan sosok yang tegas, mau “pasang badan” apabila ada permasalahan, bahkan sebelum ia menjabat sebagai Ketua P3A pada tahun 2004 yang lalu. Kelima aktivitas mendasar dalam kelembagaan irigasi yang telah dijelaskan diatas dapat dilihat pada rangkuman matriks analisis berikut, menurut perbedaan tugas-tugas sistem irigasi berdasarkan elemen kelembagaan dan organisasi.

141

Tabel 5. Perbedaan Tugas-tugas Sistem Irigasi Berdasarkan Elemen Kelembagaan dan Organisasi Elemen Kelembagaan dan Organisasi

Kelembagaan Lama Peraturanperaturan Kunci (K1)

Perananperanan penting (K2)

Perolehan air - Meminta perolehan tambahan air melalui:

Kelembagaan Baru Kelompokkelompok sosial yang penting (K3)

Peraturanperaturan Kunci (K4)


Idem dengan K3 dan baris yang sama

Petani pemakai air (blok hulu maupun hilir)

a. Bendungan primer

- Membongkar bendungan primer berdasarkan kesepakatan dari 5 desa

Kepala Desa

- Pelaporan kepada juru pengairan

- Juru pengairan

b. Pintu air (pintu cowal)

- Membongkar tanggul pintu air berdasarkan Kesepakatan petani satu aliran

Petani pemakai air

- Pelaporan kepala pemegang setir air

- Pemegang setir air

- Membongkar tanggul air berdasarkan kesepakatan petani antara blok hulu dan blok hilir

Petani pemakai air

Tidak ada

c. Tanggul air

Kelompokkelompok sosial yang penting (K6)

Elemen Kelembagaan dan Organisasi - Sistem pinjam air

Alokasi Air - Pengaturan lebar galengan



Tidak ada

Tidak ada

Kelembagaan Baru Kelompokkelompok sosial yang penting (K3) Tidak ada

Peraturanperaturan Kunci (K4)


Kesepakatan bersama petani satu gedeng dan berbeda oncoran

Petani pelaksana

Ulu-ulu

Petani blok sawah guludug (hilir)

Idem dengan K1 di baris yang sama

Blok hilir mendapat giliran air pada pukul 00.00 sampai 06.00 pagi

Ulu-ulu

- Petani blok sawah alus (pemberi izin)

Cenderung menghilang

Desa Situ Ilir mendapat giliran air pada pukul 00.00 sampai 06.00 pagi

Kepala Desa

- Petani Desa Situ Udik (pemberi izin)

Lebar blok hulu : Tidak lebih dari 1 jengkal

Kelompokkelompok sosial yang penting (K6) Petani pelaksana



Petani blok sawah alus

Idem dengan K3 dan baris yang sama



Lebar blok hilir : Boleh lebih dari 1 jengkal - Sistem gilir siang-malam: a. Antar wilayah irigasi

b. desa

Antar


49

Elemen Kelembagaan dan Organisasi




Kelembagaan Baru PerananPeraturanperanan peraturan Kunci penting (K4) (K5)


Pengadaan sumberdaya Petani pemakai air yang hadir pada pengajian

Peserta rapat

Petani pemakai air

Menghadiri undangan resmi

Ketua P3A

Idem

Kesedian para petani (material berupa karung, tanah, batubatuan, dan bambu)

Ketua Rt, Uluulu (pengawas)

Petani pemakai air

Laporan untuk perbaikan pada Dinas PU Pengairan

Dinas PU Pengairan

Dinas PU Pengairan

Penyediaan tenaga kerja: mapai

Kehadiran dalam kegiatan merupakan kewajiban para petani pemakai air

Ulu-ulu, ketua Rt, petani pemakai air (pengawas)

Petani pemakai air

Sistem Borongan

Dinas PU Pengairan

Dinas PU Pengairan

- Iuran imbalan jasa bagi ulu-ulu

Iuran berupa natura berdasarkan luasan lahan : 1 ha = 2 gedeng /15 kg beras < 0.1 ha = 2-3 liter

Petani pemakai air


- Pelaksanaan rapat - Gotong royong: a. Penyediaan material perbaikan

b.

Ulu-ulu



50

Elemen Kelembagaan dan Organisasi Pengelolaan konflik Menghambat saluran air


- Pemberian nasihat - Dami (berunding) - Pembayaran ganti rugi


Kepala desa, Ketua Rt, uluulu, petani terdekat. (sesuai skala konflik)


Kelembagaan Baru PerananPeraturanperanan peraturan Kunci penting (K4) (K5)

Petani pemakai air


Kepala desa, , Ketua P3A, Ketua Rt, uluulu, petani terdekat. (sesuai skala dan jenis konflik)



51

5.4.2 Skema Analitis Aspek Kelembagaan Sistem Irigasi Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya aspek-aspek kelembagaan irigasi yang telah dipaparkan diatas, dapat digunakan untuk menciptakan skema analitis dalam memahami aspek kelembagaan dan organisasi dari sistem irigasi yang ada sebelum proyek perbaikannya maupun setelah perbaikan fisik irigasi Coward (1988). Skema analitis tersebut meliputi aspek kultural yang berupa norma-norma atau aturan-aturan tak tertulis yang telah disepakati bersama dan aspek struktural berupa peranan-peranan penting dalam sistem irigasi. Kelima aktivitas-aktivitas dalam pengelolaan sistem irigasi yang telah dijelaskan diatas berlandaskan pada kedua aspek tersebut. Berikut skema analitis perubahan aspek kelembagaan yang terjadi pada kawasan irigasi Cigamea Desa Situ Ilir.

5.4.2.1 Peranan Penting dalam Kelembagaan Irigasi Tradisional Struktur kelembagaan dalam sistem irigasi di Desa Situ Ilir dilihat dari berbagai peranan sosial yang ikut terlibat dalam pengelolaan suatu sistem irigasi. Ada tiga komponen utama dalam kelembagaan irigasi tradisional Desa Situ Ilir yaitu petani pemakai air, ulu-ulu, dan kepala desa. Dua peranan terpenting dari ketiga komponen tersebut sebelum adanya instruksi pembentukan organisasi pemakai air diantaranya meliputi kepala desa dan ulu-ulu.

Ulu-ulu Ulu-ulu merupakan petugas pembagi dan pencari air. Peran sebagai uluulu biasanya dibentuk sendiri oleh masyarakat atas dasar kesepakatan bersama para petani yang memiliki lahan di blok sawah guludug (hilir). Petani di blok

guludug secara umum sulit memperoleh air bila dibandingkan dengan petani pada blok sawah alus (hulu). Petani di blok sawah guludug harus lebih cermat dalam mengalokasikan air agar kebutuhan air bagi tanaman dapat tercukupi, sehingga mereka merasa perlu untuk mengangkat seorang petani yang bersedia menjadi ulu-ulu. Sedangkan bagi petani blok sawah alus, ulu-ulu tidak begitu diperlukan, karena secara umum perolehan air sangat mudah, sehingga tidak memerlukan pengaturan. Meskipun demikian, ulu-ulu turut mengatur pembagian air untuk kawasan sawah alus agar air dapat terus mengalir hingga kawasan sawah guludug. Kriteria utama petani dalam mengangkat seorang ulu-ulu adalah orang yang akan dicalonkan sebagai ulu-ulu harus memiliki lahan di kawasan hilir atau sawah guludug. Hal tersebut ditentukan karena ulu-ulu tersebut akan merasa bertanggung jawab juga untuk ketersediaan air bagi lahannya. Sebelumnya petani biasanya mengadakan rembukan terlebih dahulu untuk menentukan calon ulu-ulu. Setelah ditentukan, calon tersebut kemudian akan ditanyakan kesediannya untuk menjadi ulu-ulu. Jika calon tersebut bersedia, kemudian para petani akan mencoba kinerja ulu-ulu tersebut selama satu kali musim tanam. Kriteria yang ditetapkan oleh petani tersebut memperlihatkan bahwa para petani sangat selektif dalam memilih ulu-ulu. Bila dirunutkan proses tahapannya, proses pemilihan ulu-ulu ditentukan melalui empat tahapan. Tahapan pertama merupakan tahap menentukan calon ulu-ulu. Tahap kedua adalah tahap negosiasi diantara kedua pihak yaitu diantara para petani pemakai air dan calon ulu-ulu. Sedangkan tahapan yang ketiga adalah tahap uji coba untuk menilai kinerja uluulu. Tahapan yang terakhir adalah tahap pengesahan ulu-ulu oleh petani pemakai air yang ditandai dengan pembayaran upah ulu-ulu untuk pertama kalinya.

49

Besarnya imbalan jasa bagi ulu-ulu ditentukan berdasarkan luasnya lahan garapan seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya. Perilaku selektif yang ditunjukan oleh para petani, disebabkan karena petani sangat bergantung pada kinerja ulu-ulu agar ketersediaan air terjamin hingga saatnya panen nanti. Jika selama satu musim tanam kenerja ulu-ulu tersebut di nilai baik oleh para petani, maka petani kemudian akan memberi imbalan jasa berupa natura kepada ulu-ulu tersebut sebagai ucapan terima kasih. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak SDK dalam kutipan berikut.

“Kami juga memilih yang jujur, rajin kerjanya, nanti dilihat semusim menanam padi, lancar tidak airnya? Bagus tidak kerjanya? Kalau petani selamat panennya, nanti dipakai lagi. Kalau tidak bagus nanti dirembukan lagi siapa yang pantes. Kami juga bagaimana atuh kalau kerjanya tidak bagus mah. Yang penting selamat.”. (SDK, 54 th, petani penggarap)

Seorang ulu-ulu akan diberikan tugas untuk mencari dan mengawasi pembagian air untuk batas waktu yang tidak ditentukan. Selama ulu-ulu tersebut masih dapat bekerja dengan baik dan petani cukup puas dengan kinerjanya, maka ulu-ulu tersebut akan terus diserahi tugas. Bila yang terjadi adalah sebaliknya, para petani akan mulai mencari lagi calon ulu-ulu yang baru. Pencarian pergantian ulu-ulu ini bisa saja dilakukan ditengah-tengah masa tanam, karena adanya kebutuhan yang mendesak dalam pengaturan jalannya air seperti halnya yang diungkapkan bapak AJ berikut ini.

“Kalau sehari aja tidak dipereksa sama ulu-ulu, air di juru (hilir) bisa langsung berhenti”. (AJ, 42 tahun, Petani penggarap)

Peran seorang ulu-ulu dalam sistem pengelolaan irigasi di Desa Situ Ilir sangat berpengaruh dalam menjamin ketersediaan air bagi petani kawasan hilir

50

pada khususnya. Disamping itu, ulu-ulu juga berperan untuk mencegah terjadinya konflik diantara petani pemakai air melalui pembagian air yang adil. Hingga saat ini pengelolaan air di kawasan irigasi Cigamea Situ Ilir dilakukan oleh dua orang ulu-ulu lama yang tugasnya terbagi pada dua blok. Bapak Kohar merupakan Ulu-ulu yang bertugas untuk mencari dan membagi air bagi kawasan hulu, sedangkan bagi pertanian padi sawah kawasan hilir dikelola oleh Bapak Jajat. Kedua ulu-ulu tersebut masih tetap bertugas hingga saat ini. Hal ini kemudian menimbulkan kondisi dualisme kepengurusan setelah adanya P3A yang akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

Kepala Desa Selain peran ulu-ulu, peran lain yang dianggap penting dalam pengelolaan irigasi, adalah kepala desa. Fungsi dari kepala desa yang paling jelas terlihat adalah kemampuannya untuk menggerakan masyarakat untuk kegiatan gotong royong, menyelesaikan konflik antar desa, serta negosiator bagi desa Situ Ilir saat akan melakukan kesepakatan untuk berbagi air dengan desa lain. Kepala

desa

merupakan

komponen

tertinggi

dalam

struktur

kelembagaan. Adapun arus informasi yang berasal dari bawah biasanya merupakan laporan-laporan petani mengenai kerusakan pada jaringan yang tidak bisa lagi ditangani sendiri atau kebutuhan untuk meminta tambahan air melalui sistem gilir dengan desa tetangga. Permasalahan-permasalahan tersebut kemudian disampaikan pada ulu-ulu agar diteruskan kepada kepala desa untuk penanganan lebih lanjut. Hal ini memperlihatkan bahwa, selain berperan sebagai

51

petugas pembagi air, ulu-ulu juga berperan sebagai mediator diantara anggota petani pemakai air dengan kepala desa. Informasi dari komponen tertinggi dalam kelembagaan biasanya berupa instruksi untuk melakukan kegiatan gotong royong bersama petani pemakai air ditingkat antar desa. Instruksi dari kepala desa kemudian akan disampaikan kepada para petani pemakai air di masing-masing blok sawah, yaitu antara sawah guludug dan sawah alus melalui ulu-ulu. Berikut gambaran hubungan-hubungan diantara tiga komponen penting dalam kelembagaan irigasi sebelum adanya organisasi P3A.

Kepala Desa

Ulu-ulu

Petani Pemakai Air Sawah Guludug

Sawah Alus

Gambar 7. Struktur Kelembagaan Irigasi Tradisional Sebelum Adanya P3A

52

5.4.2.2 Munculnya Organisasi Petani Pemakai Air Pada PELITA I hingga PELITA IV, pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum Pengairan telah melaksanakan berbagai proyek rehabilitasi atau membuat jaringan irigasi baru. Salah satu diantaranya adalah kawasan irigasi Cigamea. Sebagai konsekuensi lanjutan dalam operasi dan pemeliharaan atas jaringan irigasi yang telah dirabilitasi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai pembentukan organisasi Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) untuk diberikan wewenang kepengurusan jaringan irigasi kecil (kurang dari 500 ha). Atas SK Bupati No. 60/611/71/KPTS/HUK/1990, pengelolaan irigasi kecil bagi kawasan DI Cigamea di Situ Ilir kemudian diserahkan pada P3A Mitra Cai. Sebelum dibentuk P3A Simega Tani, di Desa Situ Ilir telah terdapat organisasi P3A Mitra Cai. Hanya saja keberadaan P3A Mitra Cai tidak berlangsung lama karena tidak adanya aktivitas yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan bapak SDK berikut.

“Yang namanya P3A-P3A gitu mah dulu juga sudah ada. Dari jaman Suharto lah.. Namanaya Mitra Cai. Tapi hanya nama saja, kerjanya tidak ada. Sekarang mah agak lebih baik sama Bah Ajid (ketua P3A), agak bagus lah kerjanya barengan Bah Aos (Ketua GP3A)”. (SDK, 54 th, petani penggarap)

Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) adalah wadah perkumpulan dari petani yang mengelola air irigasi dan jaringan irigasi dalam satu jaringan irigasi kecil. Tujuan dibentuknya P3A diantaranya adalah agar petani mampu mengelola air dan jaringan didalam petak tersier sehingga dapat dimanfaatkan oleh para anggotanya secara tepat guna dan memperhatikan unsur pemerataan diantara

53

sesama petani. Adapun susunan kepengurusan P3A Simega Tani adalah sebagai berikut. KETUA

W. KETUA

BENDAHARA

PETUGAS RATING 1

KETUA BLOK I

SEKRETARIS

ULU-ULU

KETUA BLOK I

Gambar 8.

PETUGAS RATING 2

KETUA BLOK I

KETUA BLOK I

Bagan Struktur Organisasi P3A Simega Tani

Organisasi P3A Simega Tani merupakan lembaga yang relatif masih baru dibentuk secara formal pada tahun 2004. Sebelum dibentuknya P3A masyarakat hanya mengenal peranan tunggal dalam pengelolaan air yaitu ulu-ulu. Ulu-ulu merupakan pelaksana tunggal

dengan tugas utama mencari dan mengatur

pembagian air, mencegah terjadinya konflik, serta mediator antara petani pemakai air dengan kepala desa. Perbedaan

mencolok

lainnya

diantara

kelembagaan

lama

dan

kelembagaan yang baru diantaranya adalah proses pembentukan kepengurusan, tidak adanya spesialisasi fungsi dan tugas dalam pengelolaan air, serta ada dan tidak adanya aturan main tertulis seperti AD/ART yang menjelaskan hak dan

54

kewajiban masing-masing anggota. Pada kelembagaan lama, proses pembentukan kepengurusan (dalam hal ini ulu-ulu), dilakukan oleh petani secara selektif melalui beberapa tahapan. Proses seleksi ini dilakukan untuk mendapatkan seorang ulu-ulu yang akan memberikan hasil terbaik dalam pengelolaan air. Pada kelembagaan baru, proses pemilihan ulu-ulu tidak seselektif pada kelembagaan lama, karena hanya ditunjuk oleh ketua P3A. 7 Hingga saat ini terlihat adanya dualisme kepengurusan dalam pengelolaan air, karena meskipun ulu-ulu yang baru mulai melaksanakan tugasnya, ulu-ulu dalam kelembagaan irigasi lama masih tetap dipertahankan oleh para petani pemakai air, seperti halnya yang diungkapkan bapak ABL dalam kutipan berikut.

“Iya ulu-ulu yang saya tau mah Bah Kohar. Bilamana panen, anjeuna dongkap (dianya datang). Bapak ngasih sekedarnya. Ngahargaan (menghargai) lah buat jasanya. Sampai sekarang juga masih. Kalau Madroi mah saya juga kurang tau kerjanya apa”. (ABL, 70 tahun petani penggarap)

5.4.2.3 Dampak Terhadap Kelembagaan dan Partisipasi Petani Secara umum, perubahan dari kelembagaan irigasi dapat dihubungkan dengan proyek rehabilitasi bangunan irigasi. Proyek rehabilitasi ini ditandai dengan adanya perubahan pada konstruksi bangunan, yaitu bangunan sederhana non-permanen, menjadi bangunan permanen dan adanya introduksi kelembagaan formil P3A sebagai konsekuensi proyek tersebut. Perubahan pada konstruksi bangunan mengakibatkan hilangnya aktivitas kolektif diantara lima desa dan juga kebiasaan petani dalam memperoleh air di jaringan sekunder dan tersier. Meskipun telah ada prosedur baru mengenai 7

Demikian juga halnya dengan penunjukan wakil ketua, sekertaris, bendahara, dan lain sebagainya. Proses pemilihan Ketua P3A pun pada dasarnya hanya melalui penunjukan langsung oleh Ketua GP3A dan bukan melalui musyawarah konsensus bersamaa petani pemakai air.

55

perolehan air pada tingkat primer hingga tersier, akan tetapi terlihat tidak adanya sosialisasi dan koordinasi yang baik diantara pihak Dinas PU Pengairan dan para petani pemakai air. Hal ini juga menyebabkan terjadinya kerusakan yang sengaja dilakukan oleh petani untuk memperoleh air. Kurang baiknya koordinasi diantara Dinas PU Pengairan disebabkan karena kurang berfungsinya lembaga P3A yang merupakan lembaga penghubung diantara petani pemakai air dengan Dinas PU Pengairan sebagai pengelola utama bangunan irigasi. Setelah adanya bangunan baru, pengelolaan irigasi pada bangunan primer dan sekunder diambil alih oleh Dinas PU Pengairan. Hal ini ditandai juga dengan adanya pengambil alihan fungsi perawatan dari tangan petani ketangan Dinas PU Pengairan melalui sistem borongan. Kondisi ini secara tidak langsung cenderung menurunkan partisipasi petani dalam melakukan perawatan terhadap jaringan irigasi. Meskipun demikian, partisipasi petani dalam pengelolaan jaringan irigasi tidak sepenuhnya hilang karena masih adanya kegiatan perawatan rutin yang dilakukan. Hal ini tentu saja karena adanya kebutuhan untuk memperoleh air. Perubahan yang terjadi pada kelembagaan irigasi tidak semata-mata hanya dipengaruhi adanya perubahan konstruksi bangunan saja. Masuknya bibit padi baru yang dapat membuat petani melakukan panen 3 kali dalam setahun memberikan dampak yang beragam pada kelembagaan irigasi, salah satunya adalah hilangnya kekompakan petani dalam perawatan jaringan irigasi. Prioritas pengelolaan jaringan irigasi kini tidak lagi dilakukan dalam skala besar tetapi dalam skala kecil oleh kelompok-kelompok petani yang telah memasuki masa tandur saja. Hal ini juga yang telah mengakibatkan ikatan sanksi bagi anggota yang mankir dalam kegiatan ini menjadi melemah. Disamping itu hilangnya

56

kekompakan petani dalam pola tanam, menyebabkan pengaturan pembagian air semakin sulit dilakukan, khususnya pada musim kemarau. Kelembagaan pengairan, meskipun secara kronologis mengalami perubahan-perubahan dari segi struktur, kultur mapun aktivitas, akan tetapi kelembagaan lama masih tetap bertahan karena adanya kebutuhan untuk mengatur air irigasi secara bersama-sama.

Hal ini terlihat dari masih

digunakannnya jasa ulu-ulu pada kelembagaan tradisional yang telah dipilih secara konsensus oleh para petani pengguna air atas dasar kebutuhan bersama. Sedangkan ulu-ulu dalam kelembagaan formal dipilih atas dasar tujuan, dimana struktur organisasi P3A membutuhkan peran-peran kepengurusan yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, dan lain sebagainya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, masyarakat khususnya para petani pengguna air masih mempergunakan kelembagaan pengajian sebagai wadah untuk mengadakan musyawarah serta pengambilan keputusan berkaitan dengan aktivitas-aktivitas irigasi, sementara itu kelembagaan P3A juga membentuk forum tersendiri untuk menghimpun para anggotanya. Kondisi ini menunjukan bahwa adanya dua kelembagaan (diabaikannya)

yang

berjalan

kelembagaan

sendiri-sendiri. adat

setempat

Tidak dalam

dimanfaatkannya mengintoduksikan

kelembagaan baru yang lebih formal dan terstruktur merupakan salah satu faktor penyebab tidak berjalannya P3A secara optimal. Struktur organisasi, susunan pengurus, tugas-tugas pengurus, hak dan kewajiban anggota, telah diatur dalam AD/ART yang konsepnya telah tentukan oleh pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya (P3A hanya sekedar nama). Hal ini dapat dilihat dari tidak

57

diakuinya peran ulu-ulu P3A Simega Tani, belum berjalannya iuran IPAIR, serta rendahnya kemampuan untuk mendorong partisipasi petani dalam pemeliharaan jaringan sekunder dan tersier. Kondisi ini tentu saja tidak sejalan dengan tujuan dibentuknya P3A yang diharapkan mampu melaksanakan kegiatan operasi dan pemeliharaan (O & P) atas jaringan irigasi yang telah dibangun tersebut. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa P3A merupakan organisasi yang belum melembaga. Adanya citra buruk Dinas PU Pengairan dari sudut pandang petani menyebabkan hubungan diantara Dinas PU Pengairan dengan para petani. Pemakai air kurang terjalin dengan baik. Hal ini disebabkan tidak adanya transparansi dari pihak Dinas PU Pengairan terhadap proyek-proyek yang dijalankannya. Disamping itu, tidak dilibatkannya petani sejak awal proyek dilaksanakan menyebabkan petani menjadi kurang mempunyai rasa memiliki terhadap bangunan irigasi. Padahal secara tidak langsung hal ini dapat menghambat proses pembinaan-pembinaan yang perlu dilakukan kepada para petani pemakai air untuk mendorong partisipasi mereka dalam pengelolaan irigasi secara lebih baik lagi.

58

BAB VI POLA PRODUKSI PERTANIAN KAWASAN IRIGASI CIGAMEA DESA SITU ILIR

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya, Kawasan DI Cigamea, Desa Situ Ilir terdapat penggolongan lahan berdasarkan ketersediaan air dan juga bentuk topografinya. Perbedaan ketersediaan air dan bentuk topografi kawasan DI Cigamea tersebut, memberi pengaruh terhadap pola tanam dan juga produksi pertanian. Berikut dijelaskan pola perbedaan diantara masing-masing lokasi, serta perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak dari beberapa faktor yang mempengaruhi.

6.1 Produksi Padi dan Pola Tanam Salah satu tujuan dan barometer keberhasilan pengelolaan jaringan irigasi adalah produksi dan produktivitas padi. Sebagaimana halnya yang dikatakan Pranaji (2003) bahwa penelitian kelembagaaan yang dikaitkan dengan pengembangan dan diseminasi terknologi, dalam hal ini teknologi irigasi, pada umumnya terkait dengan upaya peningkatan produktivitas dan produksi secara agregat dan sebagainya. Menurutnya, jika ditemukan sekumpulan fakta pada petani menunjukan gejala sebaliknya, maka sistem kelembagaan yang mendukung pengembangan teknologi bisa dikatakan tidak berjalan normal. Oleh karena itu peneliti melakukan beberapa penelusuran mengenai produksi padi dan pola tanam di kawasan irigasi Cigamea Desa Situ Ilir sebagai dampak proyek rehabilitasi irigasi dan juga pengaruh faktor-faktor lainnya dengan hasil sebagai berikut.

6.1.1 Produksi Padi Sawah Berdasarkan Areal Pertanian Menurut Sumaryanto (2006), dari sisi agronomis tanaman padi membutuhkan air dalam waktu dan jumlah yang tepat sesuai masa pertumbuhannya. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pengaturan jumlah air yang masuk dan keluar areal persawahan baik volume maupun ketepatan waktunya akan memperngaruhi kemampuan lahan untuk memproduksi padi secara maksimal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat perbedaan penerimaan air diantara sawah guludug dan sawah alus. Perbedaan tersebut pada dasarnya memberi pengaruh terhadap hasil panen yang diperoleh luasan lahan perhektarnya. Hasil maksimal yang mampu diperoleh sawah alus berkisar antara 6-7 ton/ ha, sedangkan pada blok sawah guludug, perolehan hasil panen hanya mampu mencapai 5-6 ton/ha. Menurut penduduk setempat perbedaan perolehan hasil tersebut juga menunjukan perbedaan tingkat kesuburan tanah yang dapat mempengaruhi nilai tanah pada masing-masing blok. Nilai tanah pertanian di Desa Situ Ilir dilihat dari harga jual tanah tersebut permeter perseginya. Pada blok sawah guludug, nilai jual atas tanah berkisar antara Rp. 20.000/m2 - Rp. 25.000/m2 saja, sedangkan pada sawah alus nilai jual atas tanah dapat mencapai Rp. 40.000/m2. Penjelasan diatas memberikan gambaran bahwa perbedaan penerimaan debit air dapat memberikan perbedaan yang cukup signifikan meliputi jumlah produksi lahan perhektar dan juga nilai tanah. Sehingga dapat dikatakan bahwa

99

semakin baik penerimaan air pada suatu lahan maka semakin baik tingkat produktivitas maupun nilai atas lahan tersebut.

6.1.1.1 Perubahan Produksi Padi Saat ini produksi lahan sawah perhektar telah mengalami perubahan baik untuk sawah alus maupun sawah guludug. Masing-masing blok mampu mencapai 8-9 ton/ ha untuk sawah alus, dan 6-7 ton/ ha untuk sawah guludug. Akan tetapi, secara keseluruhan pembaharuan pada bangunan irigasi tidak memberikan dampak yang cukup jelas terhadap produksi padi. Adanya kenaikan produksi lahan perhektar tersebut sulit diidentifikasi sebagai dampak dari proyek rehabilitasi. Hal ini didasarkan pada pernyataan yang diberikan petani setempat bahwa kenaikan produksi padi pada umumnya disebabkan adanya bibit padi unggul dan intensitas penggunaan pupuk kimia yang diperkenalkan pemerintah pada tahun 1960-an melalui program BIMAS.

Salah satunya seperti yang

diungkapkan bapak UK berikut.

“Dari dulu, mulai baik panennya pas ada padi IR aja, terus pemakean (pemakaian) pupuk juga diatur, hasilnya beda sama yang dulu, lebih banyak, tapi jadi nggak ada restan (sisa gabah)”. (UK, 65 tahun, petani penggarap)

6.1.1.2 Perubahan Luasan Lahan Terlayani Irigasi Saat ini luasan lahan pada sawah guludug mengalami peningkatan dari 12 ha (11.65 %) menjadi 25 ha (24.27 %) dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Faktor utama yang menentukan peningkatan luasan lahan sawah guludug tersebut adalah adanya penurunan luas jangkauan pencapaian air sebagai dampak menurunnya pasokan air.

100

Menurunnya Pasokan Air Secara umum, adanya penurunan debit air lebih banyak dirasakan petani yang memiliki lahan di sawah guludug atau sawah hilir. Tidak ada bukti tertulis dari Dinas UPTD Pengairan maupun Dinas Pertanian yang menyatakan secara pasti seberapa besar turunnya pasokan air Sungai Cigamea. Beberapa informasi yang diperoleh berasal dari pengamatan di lapangan serta pengalaman dan pengetahuan petani selama bertahun-tahun bertani padi sawah di Desa Situ Ilir. Ada beberapa faktor penyebab turunnya pasokan air yang dapat diidentifikasi, diantaranya: 1. Meningkatnya kebutuhan air bagi peternakan Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada tahun 1990-an di Desa Situ Ilir mulai marak dengan adanya peternakan ikan. Desa situ Ilir merupakan daerah penghasil ikan air tawar terbesar di Kecamatan Cibungbulang. Peternakan ikan di Kampung Jawa khususnya menggunakan sumber air dari Sungai Cigamea. Sistem runing yang umumnya diterapkan pada peternakan tersebut membutuhkan debit air yang cukup besar untuk menciptakan arus kecil dalam kolam yang baik untuk pertumbuhan ikan. Untuk menciptakan arus tersebut petani bahkan membuat sendiri jaringan irigasi pribadi untuk kolam ikan mereka. Praktek pembuatan jaringan irigasi pribadi ini pada dasarnya tidak diperbolehkan karena akan merusak bangunan irigasi teknis milik pemerintah secara permanen dan juga akan mengurangi pasokan air bagi petani lainnya. Akan tetapi, dengan membayar pungutan (atau masyarakat setempat menyebutnya sebagai “uang jalan”) sebesar Rp.300.000 - Rp.500.000 saluran irigasi pribadi tersebut dapat dibuat. Akibat adanya

101

saluran irigasi pribadi tersebut diakui petani telah mempengaruhi pasokan air untuk pertanian padi sawah seperti salah satunya yang diungkapkan bapak SDK sebagai berikut.

“Yah sekarang mah lumayan lah neng, sejak runing pada bangkrut, air jadi lumayan ada lagi. Dulu mah air banyak kesedot kesana”. (SDK, 54 th, petani penggarap)

Disamping peternakan ikan, pengurangan pasokan air disebabkan juga adanya kebutuhan yang tinggi untuk Kawasan Usaha Peternakan sapi (KUNAK) yang terdapat di Desa Situ Udik. KUNAK memiliki ratusan kapling dan juga areal budidaya tanaman pangan untuk sapi. Oleh karena itu kebutuhan air untuk peternakan tersebut cukup besar. Sejak awal berdirinya KUNAK, pemerintah telah membangun dua waduk besar di dalam kawasan peternakan dengan sumber air yang sama dengan sumber air untuk jaringan irigasi Desa Situ Ilir dan Situ Udik yaitu Sungai Cigamea. Menurut salah satu informan, kebutuhan air untuk KUNAK bisa mencapai 8 inci air waduk. 2. Kerusakan fisik Jaringan Irigasi Adanya kerusakan pada bangunan irigasi menyebabkan menurunnya pasokan air untuk kebutuhan pertanian. Menurut pihak Dinas PU Pengairan Leuwiliang, kerusakan yang terjadi pada bangunan irigasi hingga saat ini telah mencapai 70 persen, termasuk diantaranya hilangnya sebagian besar pintu-pintu air, pembobolan yang dilakukan oleh para petani, dan kebocorankebocoran pada bangunan irigasi primer dan sekunder. Akan tetapi, faktor utama dari kerusakan yang menyebabkan turunnya pasokan air adalah adanya

102

kebocoran pada bangunan fisik irigasi. 15 Padahal kondisi jaringan irigasi yang buruk akan berpotensi besar dalam penurunan produksi padi (Sumaryanto, 2006). 3. Ketidaksesuaian bangunan fisik irigasi Ketidaksesuaian bangunan fisik irigasi yang dimaksud adalah mengenai adanya ketidaktepatan rancang bangun jaringan irigasi dari sudut pandang

petani pemakai air. Ketidaktepatan rancang bangunan tersebut

diantaranya meliputi peletakan pintu-pintu air dan lebar saluran tersier (saluran pembagi atau cowal). Daerah Irigasi Cigamea Desa Situ Ilir seperti yang dijelaskan sebelumnya memiliki 5 pintu air yang tersebar dalam jarak 200-500 meter di bagian barat dan timur sungai. Menurut petani setempat, pintu-pintu air yang dibangun Dinas PU Pengairan di bagian timur dan barat sungai tidak sebanding dengan luasan lahan pertanian yang membutuhkan pelayanan irigasi. Sebelum adanya bangunan PU, pintu air yang dibuat secara tradisional oleh masyarakat di sebelah barat dan timur sungai berbanding 3:3. Setelah adanya bangunan baru, perbandingan penempatan pintu air untuk bagian timur dan barat sungai menjadi 3:2.16 Padahal areal pertanian padi sawah lebih banyak terdapat di bagian barat sungai (demikian halnya dengan letak sawah guludug). Disamping itu, lahan-lahan pertanian dibagian timur sungai saat ini telah berkembang menjadi areal pemukiman padat penduduk 15

Telah dijelaskan sebelumya bahwa menurut petani Dinas PU Pengairan dianggap kurang tanggap dalam mengatasi kebocoran-kebocoran tersebut. Sehingga terbuangnya air akibat kebocoran masih terus berlangsung sampai saat ini. 16 Menurut salah satu informan, penutupan salah satu jalan air yang dibangun masyarakat terdahulu disebabkan adanya permintaan dari pihak perancang bangunan irigasi Dinas PU pengairan. Alasan ditutupnya salah satu jalan air tersebut sulit diketahui karena perancang bangunan yang menangani proyek tersebut, saat ini tidak ketahui keberadaannya.

103

Kampung Jawa. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kebutuhan air bagi petani sawah bagian timur tidak terlalu tinggi. Secara umum, adanya penurunan pasokan air lebih banyak dirasakan petani yang memiliki lahan di sawah guludug atau sawah hilir. Hal ini didasarkan pada hasil pengamatan ditingkat petani yang menunjukan bahwa keluhan tentang adanya kekurangan air di bagian sawah guludug pada umumnya lebih banyak ditemukan dibanding di bagian sawah alus. Lebar saluran tersier atau saluran pembagi yang dirancang Dinas PU Pengairan dianggap petani terlalu besar dari lebar sebelumnya. Hal ini menyebabkan semakin melimpahnya air di kawasan hulu (sawah alus) sedangkan pada kawasan hilir jangkauan mengalirnya air dengan debit yang mencukupi semakin menurun seperti halnya yang diungkapkan bapak KH sebagai berikut.

“Ini juga (sambil menunjuk pada jaringan tersier), terlalu lebar nih PU membangunnya. Air ngelimpahnya (banyaknya) di sawah-sawah yang di alus (hulu), jadi nggak sampai ke sebelah barat”. (KH, 80 tahun, ulu-ulu)

4. Perluasan jaringan irigasi bagi desa lain Diantara lima desa di Kecamatan Cibungubulang, pengguna utama Sungai Cigamea untuk pertanian adalah Desa Situ Udik dan Desa Situ Ilir. Saat bangunan irigasi tradisioal direhabilitasi oleh Dinas PU Pengairan, terdapat penambahan jaringan di Desa Situ Udik sebanyak 4 pintu air. Adanya penambahan perluasan jaringan tersebut dianggap telah mengurangi pasokan air bagi Desa Situ Ilir.

104

Seiring meningkatnya jumlah luasan sawah guludug maka perolehan padi secara agregat pun pada dasarnya mengalami penurunan meskipun jumlah produksi padi perhektarnya mengalami peningkatan. Karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa produksi padi pada blok sawah guludug tidak mampu mencapai hasil semaksimal pada blok sawah alus. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun ini para petani mulai merencanakan pembuatan jaringan irigasi baru melalui dana WISMP. 17 Disamping itu, akibat semakin menurunnya jumlah produksi dan meningkatnya jumlah luasan lahan yang nilai tanahnya (dalam artian tingkat kesuburan tanah) semakin rendah, sehingga tidak mustahil apabila mulai muncul gejala petani menjual tanah mereka untuk dijadikan modal usaha lain seperti halnya yang diungkapkan bapak UK berikut. “Sekarang mah, tanah juga pada maen jual atau digadein aja. Abis dipake judi, pada males kerja, ada juga yang dibeliin motor buat modal ngojek. Ya mungkin taninya juga nggak hasil. Nggak cukup buat sehari-harinya”. (UK, 65 tahun, petani penggarap)

Pada dasarnya lahan-lahan pertanian padi sawah di kawasan irigasi Cigamea Desa Situ Ilir merupakan potensi sumber produksi padi yang besar bila dimanfaatkan secara optimal. Rendahnya daya olah lahan, buruknya pasokan air yang masuk ke lahan, dan topografi yang tidak menguntungkan, tidak mampu mencegah dialihfungsikannya lahan pertanian padi menjadi non-padi. Salah satu contoh petani yang menerima dampak ini adalah bapak ADG (46 tahun, petani penggarap) yang pada tahun ini bahkan hanya bisa menanam palawija saja akibat terhentinya pasokan air.

17

Lihat juga halaman 77 mengenai proses pengajuan dana WISMP tersebut.

105

6.1.2 Pola Tanam Ada beberapa pola yang umumnya dilakukan petani di Desa Situ Ilir. Jenis pertanian di kawasan irigasi Cigamea Desa Situ Ilir merupakan pertanian padi sawah dan perikanan. Pada peternakan ikan, pola yang umum dilakukan selama periode satu tahun adalah: ikan-ikan-ikan. Sedangkan pola yang umumnya didilakukan para petani padi lebih beragam bergantung pada topografi dan lokasi areal pertaniannya. Berikut pemaparan lebih lanjut mengenai pola tanam tersebut.

6.1.2.1 Pola Tanam Berdasarkan Areal Pertanian Ada dua pola tanam yang umumnya dilakukan para petani Desa Situ Ilir sebelum tahun 1960-an, yaitu sebelum adanya sistem ngatiga, diantaranya: padipalawija (ubi-ubian) dan padi-ikan. Pola tanam padi-palawija umumnya dilakukan oleh para petani di kawasan sawah guludug. Sedangkan pola tanam padi-ikan lebih banyak diterapkan petani kawasan sawah alus. Pola seperti ini dikatakan “pas” menurut petani karena umur panen padi pada saat itu bekisar antara 5-6 bulan. Sedangkan sisa waktu setelah panen dapat digunakan untuk bertani ikan atau palawija (ubi-ubian) selama kurang lebih 4-5 bulan dan sisa waktu lainnya digunakan untuk mengistirahatkan lahan. Berdasarkan topografi, terdapat areal petanian yang berbeda diantara dua golongan areal lainnya terkait pola tanam yaitu areal sawah rawa. Sawah rawa membentuk cekungan seluas 4200 m2 yang berada diantara kawasan hulu dan hilir. Ketersediaan air sawah rawa berbeda dengan kawasan hilir maupun kawasan hulu. Pada umumnya sawah rawa merupakan areal yang paling sering terkena banjir pada musim hujan. akan tetapi kawasan tersebut memperoleh keuntungan

106

dari munculnya mata air yang dapat memenuhi kebutuhan air hanya untuk kawasan tersebut pada saat musim kemarau. Meskipun demikian areal sawah rawa hanya bisa ditanami padi satu kali selama satu tahun. Tidak memungkinkan bagi sawah rawa untuk ditanami palawija dikarenakan lahan di sawah rawa seringkali berada dalam kondisi banjir.

6.1.2.2 Perubahan Pola Tanam Setelah adanya sistem ngatiga, pola tanam petani semakin beragam dan tidak mengikuti pola menanam padi yang guyub (serempak) seperti sebelumnya. Pola tanam petani diatur menurut kemauan masing-masing petani. Hal ini pada dasarnya semakin mempersulit pola pengaturan air. Melimpahnya ketersediaan air dengan penyebaran yang merata memungkinkan para petani padi sawah di kawasan hulu menanam padi tiga kali dalam setahun. Akan tetapi berdasarkan hasil pembuktian para petani selama bertahun-tahun, bahwa dengan menerapkan pola tanam padi 3 kali dalam setahun produktivitasnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan hanya menanam padi 2 kali dalam setahun sambil diselingi ternak ikan, palawija, atau diistirahatkan. Jika saat ini petani kawasan hulu dapat menanam padi tiga kali dalam setahun, namun tidak demikian halnya dengan sawah bagian hilir. Pola tanam yang umumnya dilakukan petani di kawasan sawah guludug tidak banyak berubah karena ketersediaan air tidak memungkinkan bagi petani untuk menanam padi sebanyak tiga kali dalam setahun. Meskipun demikian, perubahan ketersediaan air turut memberikan pengaruh terhadap pola tanam dan prkatis hanya terlihat pada kawasan hilir

107

dimana jarak lahan ke sumber air utama relatif jauh. Perubahan ketersediaan air mulai dirasakan petani sejak awal tahun 1990-an. Meskipun dalam skala kecil, lahan-lahan di daerah hilir dialihfungsikan menjadi murni tanaman palawija saja (masyarakat setempat menyebutnya sebagai kebon) atau tanaman hortikultur seperti timun, jagung, atau buncis, dengan pola tanam palawija-palawija-palawija. Padahal meskipun pasokan air di kawasan hilir semakin buruk, jika pola tanam diatur melalui sistem bergilir, pengalihfusian lahan seharusnya dapat dicegah. Disamping adanya perubahan pada kawasan hulu dan hilir, pada areal sawah rawa pola tanam pun mengalami perubahan. Ada dua faktor yang mempengaruhi perubahan pola tanam pada sawah rawa yaitu sistem ngatiga dan perbaikan sarana fisik irigasi. Sebelum adanya perbaikan sarana fisik irigasi, petani areal sawah rawa tidak bisa menanam padi sebanyak tiga kali dalam setahun karena ada masa-masa ketika curah hujan cukup tinggi, kawasan tersebut kerapkali berada dalam kondisi banjir. Perbaikan sarana irigasi dalam hal ini berdampak pada berkurangnya kondisi banjir yang terjadi di kawasan sawah rawa tersebut. Sehingga dalam kurun waktu satu tahun, petani di kawasan sawah rawa dapat menanam padi sebanyak tiga kali. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman yang diperoleh, petani sawah rawa saat ini pada umumnya hanya menanam padi dua kali dalam setahun dengan alasan perbandingan produktivitas seperti yang telah jelaskan sebelumnya.

108

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan Seperti halnya yang dikatakan Pasandaran (1992) bahwa suatu keragaan irigasi (irrigation perfomance) pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu kemampuan jaringan fisik irigasi

(hardware) dan kemampuan

memanfaatkan air irigasi sebagai perangkat lunak (software). Apabila kedua unsur tersebut dapat dipadukan dengan baik maka akan berdampak besar dalam peningkatan produksi padi. Penelitian ini pada dasarnya lebih dititikberatkan pada perangkat lunak sistem yaitu kelembagaan irigasi untuk menilai keberadaan (eksistensi) kelembagaan, peranan, peraturan, dan sebagainya. Masih banyak variabel yang perlu dikaji lebih lanjut untuk menilai keragaan sistem irigasi Cigamea Desa Stiu Ilir seperti tingkat efesiensi penggunaan air, kinerja jaringan irigasi, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, penelusuran mengenai pola-pola produksi pertanian padi sawah sedikit banyak cukup menggambarkan seperti apa dan bagaimana seharusnya performance kelembagaan irigasi Desa Situ Ilir tepatnya di kawasan irigasi Cigamea. Berikut beberapa kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelusuran dilapangan, yaitu: 1. Bantuan pemerintah untuk pembaharuan jaringan irigasi pada dasarnya ingin meningkatkan produktivitas pertanian khususnya pertanian padi sawah dan lebih

mengoptimalkan

manajemen

pengoperasian

dan

perawatan

sumberdaya irigasi melalui organisasi P3A. Akan tetapi beberapa fakta yang ditemukan di lapangan menunjukan bahwa adanya modernisasi pada sistem

109

pengairan pertanian di Desa Situ Ilir menciptakan ketergantungan dan kemandekan dalam sistem irigasi, atau menurunnya otoritas dan partisipasi masyarakat petani pemakai air. Hal ini terlihat dari terjadinya pengerusakan yang sengaja dilakukan oleh petani untuk memperoleh air, hilangnya aktivitas kolektif dan kekompakan petani dalam pengelolaan air, serta menurunnya partisipasi petani dalam melakukan perawatan terhadap jaringan irigasi. Hal ini secara tidak langsung disebabkan karena upaya pemerintah dalam memodernisasi sistem irigasi tradisional di Desa Situ Ilir berlangsung tanpa mengembangkan potensi kelembagaan irigasi lokal yang telah ada sebelumnya. Sejak awal proyek rehabilitasi bangunan irigasi, petani sama sekali tidak terlibat baik pada tahap perencanaan, perancangan desain bangunan, hingga pada tahap pelaksanaan Tidak terlibatnya petani dalam

upaya

merehabilitasi

bangunan

irigasi

menimbulkan

rasa

ketidakpedulian petani terhadap pemeliharaan dan pengelolaan bangunan yang baru. Sedangkan untuk menunjang sistem yang baru tersebut pemerintah juga tidak memanfaatkan kelembagan tradisional yang telah ada sebelumnya dalam mengintroduksikan organisasi P3A. Sehingga organisasi P3A yang seharusnya dapat menunjang sistem yang baru tersebut pun tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. 2. Modernisasi pada sistem irigasi di Desa Situ Ilir secara umum juga berdampak pada kelembagaan irigasi di Desa Situ Ilir dan juga pola-pola produksi petaniannya. Akan tetapi dampak yang ditimbulkan dengan adanya modernisasi pada sistem irigasi tersebut merupakan kemunduran dalam fungsi kelembagaan setempat dan juga pola-pola produksi pertaniannya.

110

Kemunduran dalam fungsi kelembagaan terlihat dari semakin melemahnya ikatan sanksi, menurunnya kemampuan untuk mengatur pengalokasian air di musim kemarau, serta hilangnya kebersamaan petani dalam pengelolaan jaringan irigasi.

Sehingga upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk

memperkuat kembali kelembagaan di tingkat lokal tersebut merupakan suatu kebutuhan yang mendesak dan tidak dapat dihindari lagi. Sedangkan upaya pemerintah dalam

mengembangkan kelembagaan irigasi yang dibentuk

secara formal seperti halnya P3A dapat dikatakan kurang berhasil. Secara umum pelaksanaan teknis dan sistem pada kelembagaan lama masih tetap bertahan sementara perubahan teknis dan sistem yang baru telah diintroduksikan. Hal ini memperlihatkan kondisi adanya dua kelembagaan yang berjalan sendiri-sendiri. Adanya dualisme tersebut tidak meningkatkan kinerja kelembagaan irigasi, baik pada organisasi P3A bentukan pemerintah maupun kelembagaan tradisional irigasi bentukan masyarakat. Pada lembaga P3A, struktur organisasi, susunan pengurus, tugas-tugas pengurus, hak dan kewajiban anggota, telah diatur dalam AD/ART yang konsepnya telah tentukan oleh pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dilihat dari tidak diakuinya peran ulu-ulu P3A Simega Tani, belum berjalannya iuran IPAIR, serta rendahnya kemampuan untuk mendorong partisipasi petani dalam pemeliharaan jaringan sekunder dan tersier. 3. Kemunduran dari segi pola-pola produksi pertanian Desa Situ Ilir, terlihat dari adanya penurunan kemampuan lahan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kondisi ini merupakan pengaruh simultan dari meningkatnya kompetisi dalam penggunaan air, menurunnya kualitas dan kuantitas fisik

111

jaringan irigasi, serta menurunnya kemampuan petani dalam mengatur air yang secara umum berdampak pada perubahan ketersediaan air khususnya bagi wilayah hilir. Pengaruh dari perubahan ketersediaan air yang ditemukan dilapangan sangat beragam. Kecenderungan umum pengaruh ketersediaan air ditingkat lapangan adalah terjadinya penurunan jumlah produksi padi secara agregat, perbedaan pola tanam serta alih fungsi lahan terutama di daerah-daerah hilir. 4. Perubahan pada kelembagaan irigasi pada umumnya dapat dihubungkan dengan adanya modernisasi pada bangunan dan sistem irigasi. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri adanya pengaruh-pengaruh lain diluar proyek rehabilitasi. Pengaruh yang paling jelas terlihat adalah adanya modernisasi di bidang pertanian. Penerapan bibit baru dan peningkatan intensitas tanam menyebabkan hilangnya pola keseragaman petani dalam menanam padi yang kemudian berdampak pada perubahan pengelolaan sistem pengairan.

7.2 Saran Bagi Kasus irigasi Cigamea Desa Situ ilir, kelembagaan irigasi setempat masih tetap perlu dipertahankan dan terus dikembangkan sehingga menjadi suatu lembaga organisasi yang kokoh dan kuat. Pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan mengintegrasikan prinsip-pronsip pokok pengorganisasian seperti halnya P3A kedalam kelembagaan setempat. Adapun beberapa pendekatan awal yang dapat dilakukan diantaranya: 1. Proses

pembentukan

struktur

kepengurusan

P3A

harus

melalui

musyawarah konsensus yang biasa dilakukan petani seperti halnya

112

pemilihan ulu-ulu melalui kelembagaan pengajian setempat. Mengingat proses pembentukan kepengurusan P3A saat ini tidak begitu berhasil mendapat pengakuan dari masyarakat setempat. 2. Bagi Dinas PU Pengairan, hal mendasar yang dapat dilakukan adalah memperbaiki citra buruk yang terlanjur melekat untuk memudahkan proses pembinaan-pembinaan yang perlu dilakukan kepada para petani pemakai air dan mendorong partisipasi mereka dalam pengelolaan irigasi secara lebih baik lagi. 3. Selalu melibatkan petani dalam setiap aktivitas-aktivitas irigasi, seperti aktivitas perawatan, perbaikan, maupun perencanaan pembangunan jaringan irigasi yang baru untuk meningkatkan rasa memiliki dan partisipasi petani dalam pengelolaan jaringan irigasi. Tenaga kerja para petani dapat dimanfaatkan melalui program padat karya seperti yang biasa dilakukan pemerintah Desa Situ Ilir dalam membangun fasilitas-fasilitas umum desa seperti pembuatan jalan, jembatan, mesjid, dan lain-lain. Untuk itu dibutuhkan koordinasi yang baik antara pihak desa, Dinas PU Pengairan, dan P3A. Hasil penelusuran dilapangan menunjukan bahwa untuk meningkatkan dan memberdayakan Perkumpulan Petani Pemakai Air, diperlukan semangat menempatkan petani sebagai salah satu stakeholder dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengelola prasarana sumberdaya air dan benarbenar harus diimplementasikan di tingkat lapang. Melalui upaya tersebut diharapkan partisipasi petani dalam kelembagaan P3A menjadi lebih baik. Seiring meningkatnya kinerja P3A, maka langkah-langkah opeasional yang perlu

113

dilakukan seperti pengaturan dan penentuan ulang waktu tanam, pola tanam, pola pengaturan pemberian air, dan lain sebagainya secara simultan dan bertahap dapat diimplementasikan dalam bentuk konkritnya.

114

DAFTAR PUSTAKA

Ambler, John S (ed). 1992. Irigasi Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Jakarta : LP3ES. _______. 1992. Dinamika Irigasi Petani : Kerangka dan Prinsip-prinsip Kelembagaan dalam Irigasi Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Jakarta : LP3ES. Baedhowi. 2001. Studi Kasus dalam Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Cernea, Michael M. 1988. Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. Jakarta : UI Press. Coward, E. Walter. 1988. Perubahan Teknik dan Sosial pada Daerah-daerah Irigasi Sekarang Ini: Peraturan, Peranan dan Rehabilitasi dalam Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan: Variabel-variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. Jakarta : UI Press. Damardono, Haryo dan Hermas E. Prabowo. 2008. Irigasi Sempurna, Swasembada Pangan Tercapai dalam http://mediatani.wordpress. com/2008/03/12/irigasi-sempurna-swasembada-pangan-tercapai/. Diakses pada tanggal 7 Mei 2008. Dove, Michael R. (ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hayami, Yujiro dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi perbahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ibrahim, Jabal Tarik. 2002. Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM Press.

Kalo, Husni Tamrin. 1988. Pengelolaan Irigasi di DAS Cimanuk Suatu Tinjauan Ekologis dan Sosial Ekonomis dalam Forum Peneletian Agro Ekonomi. FAE, Vol. 2. No. 2. Desember 1988. Korten, Frances F. 1992. Organisasi Petani Pemakai Air : Perbandingan Kebijaksanaan Antara Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Muangthai dalam Irigasi Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Jakarta : LP3ES.

115

Lubis, Sofyan dan Arselan Harahap. 1992. Mencari Konsep Pendekatan Partisipasi : Kasus Pembangunan Irigasi di Indonesia dalam Irigasi Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Jakarta : LP3ES. Pasandaran, Effendi (ed). 1991. Irigasi di Indonesia : Strategi dan Pengembangan. Jakarta: LP3ES. _______. 2005. Reformasi Irigasi Dalam Kerangka Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Air dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 3, no. 3, September 2005. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Pranaji, Tri. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. _______. 2003. Penajaman Analisis Kelembagan dalam Perspektif Penelitian Sosiologi Pertanian dan pedesaan dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 21, no. 1, Juli 2003 (hal.12-25). Bogor, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Rachman, Benny, Syahyuti, Adang Agustian, Marzuki, Abdul Basit. 1999. Laporan Hasil Penelitian: Kajian Sistem Kelembagaan Penataan Jaringan Tata Air dan Ketenagakerjaaan dalam Menunjang Pengembangan IP-Padi 300 di Jawa Barat. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. Radandima, Nicholas. 2003. Perubahan Kelembagaan Pertanian di Kawasan Irigasi Kambaniru. Tesis. Fakultas Pertanian Institut. Pertanian Bogor. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Saptana, Hendiarto, Sunarsih, dan Sumaryanto. 2001. Tinjauan Historis dan Perspektif Pengembangan Kelembagaan Irigasi di Era Otonomi Daerah dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi. FAE, Vol. 19, No. 2, Desember 2001 (hal. 50-65). Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif, Suatu Perkenalan. Bogor: Dokumentasi Ilmu Sosial, Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian. Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi baru keempat, cetakan ketigapuluh enam. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

116

Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Bogor: P3SEP. Suharno. 2005. Keragaan Kelembagan Lokal dalam Perspektif Pengelolaan Sumberdaya Air Berbasis Masyarakat: Kasus Desa Model Daerah Aliran Sungai Citanduy dalam Pembaharuan Tata Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitraan Negara & Masyarakat Sipil. Bogor: Kerjasama antara Pusat Studi Pembangunan-IPB & Patnership for Governance Reform in Indonesia, UNDP.

Sumaryanto, et al. 2006. Evaluasi Kinerja Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi, dan Upaya Perbaikannya. Bogor: P3SEP.

Sutawan, Nyoman, dkk. 1993. Dampak Sosiologi dari Inovasi Tenbik Pengairan dalam Sosiologi Pertanian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesi. Suradisastra, Kedi. 2005. Dinamika Kelembagaan Masyarakat Lahan Marginal dalam Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 3, no. 3, September 2005. Bogor, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Tonny, Fredian. 1993. Kelembagaan Sosial dalam Sosiologi Umum. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB dan Pustaka Wirausaha Muda Bogor. _______. 2005. Kelembagaan Komunitas Lokal dan Proses-proses Kebijakan dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy dalam Pembaharuan Tata Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitraan Negara & Masyarakat Sipil. Bogor: Kerjasama antara Pusat Studi Pembangunan-IPB & Patnership for Governance Reform in Indonesia, UNDP.

Tjondronegoro, Soediono M. P. 1999. Keping-keping Sosiologi dari Pedesaan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Uphoff, Norman. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Kumarian Press

117

118

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI

Recommend Documents