ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERSUTERAAN ALAM, DIVERSIFIKASI DAN INOVASI PRODUK DI KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN
JUN HARBI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Kelayakan Usaha Persuteraan Alam, Diversifikasi dan Inovasi Produk Di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Jun Harbi NIM P052130191
RINGKASAN JUN HARBI. Analisis Kelayakan Usaha Persuteraan Alam, Diversifikasi dan Inovasi Produk Di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh DODIK RIDHO NURROCHMAT dan CLARA MELIANTI KUSHARTO. Produksi kokon di Kelurahan Walennae rata 65-70% dari produksi Wajo, sehingga produksi di Kelurahan Walennae dapat mewakili tingkat produksi Wajo. Tingkat produksi kokon di Kelurahan Walennae berfluktuasi setiap tahunnya. Tingkat produksi cenderung meningkat di tahun 2013 dan menurun secara drastis pada tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk menilai dan menganalisa status kelayakan usaha persuteraan alam dan menganalisis potensi dan pengaruh produk diversifikasi terhadap kondisi usaha dengan menggunakan analisis finansial dan non finansial. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Walennae, Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan pada bulan Juni-Oktober 2015. Metode analisis yang digunakan adalah analisis finansial dan analisis non finansial. Analisis finansial berupa analisis kelayakan usaha (NPV, IRR dan Net B/C) dan analisis sensitivitas. Analisis non finansial dilakukan dengan menggunakan tabulasi aspek teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, sumber daya manusia, legalitas, ekologi dan sosial. Hasil analisis kelayakan finansial menunjukkan, pada produksi minimal NPV sebesar Rp 3.229.402, IRR 48% dan Net B/C 2,71 (saat ini). Sementara pada adopsi inovasi, NPV sebesar Rp 3.503.903, IRR 33% dan Net B/C 1,91. Pengolahan produk diversifikasi berupa tepung Pury dengan menerapkan metode yang sesuai sangat penting untuk meningkatkan keuntungan. Dengan harga jual tepung Pury Rp 22.580/kg, laba bersih yang dapat dihasilkan adalah Rp 596.899 (produksi optimum) dan Rp 3.780.099 (produksi minimum). Hasil analisis non finansial menunjukkan bahwa pada aspek teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, sumber daya manusia, legalitas, ekologi dan sosial menunjukkan bahwa usaha ini layak dengan syarat bahwa alat yang digunakan dimiliki oleh masing-masing petani, dukungan secara intensif oleh pakar dan dukungan pemerintah. Kesimpulan dari penelitian ini adalah usaha persuteraan alam dan produk diversifikasinya di Kelurahan Walannae layak dilaksanakan. Kata kunci: diversifikasi, kelayakan, persuteraan alam, produk inovasi
SUMMARY JUN HARBI. Feasibility Study of Sericulture Bussines, Diversification and Products Innovation in Wajo Regency, South Sulawesi. Supervised by DODIK RIDHO NURROCHMAT dan CLARA MELIANTI KUSHARTO. In average cocoon production in the Walennae Village about 65-70% of the Wajo production, therefore that Walennae Village production may represent Wajo production. However, cocoon production levels in the Walennae Village still fluctuated annually. Production levels are likely to rise in the 2013 and declined dramatically in 2014. This research aims to assess and analyze the feasibility status of sericulture business and analyze the potential and influence of diversified products. This research was conducted in Walennae Village, Sabbangparu Disrict, Wajo Regency, South Sulawesi at June until October 2015. The analytical method used is the financial and non-financial analysis. Financial analysis such as feasibility analysis (NPV, IRR and Net B/C) and sensitivity analysis. Analysis of non-financial analyzed by tabulating the technical aspects and technologies, markets and marketing, management, human resources, legal, ecological and social. Results of financial feasibility analysis showed that at the minimum production, NPV is Rp 3.229.402, IRR 48% and Net B/C 2,71 (currently). Whenever, the innovations adopted, such as NPV is Rp 3.503.903, IRR 33% and Net B/C 1,91. Making diversified products in the form of silkworm pupa powder (Tepung Pury) by adopted innovation is the immediate vital to optimize profits. With selling price of Pury powder is Rp 22.580/kg, net profit that can be generated is Rp 596.899 (optimum production) and Rp 3.780.099 (minimum production). Results of the non financial analysis showed that on the technical and technologies aspects, markets and marketing, management, human resources, legality, ecological and social indicate that this business is feasible on condition that the tools used are owned by each farmer, intensive assistance by experts and government support. The conclusion of this study is the sericulture business and products diversification (innovation adopted) on Walennae Village is feasible to implement. Keywords: diversification, feasibility, innovation products, sericulture,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERSUTERAAN ALAM, DIVERSIFIKASI DAN INOVASI PRODUK DI KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN
JUN HARBI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah kelayakan usaha, dengan judul Analisis Kelayakan Usaha Persuteraan Alam, Diversifikasi dan Inovasi Produk Di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, M Sc F Trop dan Ibu Prof Dr drh Clara M. Kusharto, M Sc selaku komisi pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Darwin Tjukke dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wajo, Bapak Abdul Kadir selaku Lurah Desa Walennae serta Ibu Hade selaku ketua kelompok tani pengolahan sutera di Kabupaten Wajo dan Bapak Dr Ir Andi Sadapotto, MS selaku peneliti persuteraan alam di Sulawesi Selatan yang telah membantu selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dikti Kemendikbud RI atas beasiswa yang diberikan selama studi. Ungkapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya disampaikan kepada kedua orang tua (Mustatir dan Rosidah, S Pd I), bapak dan ibu mertua (M. Ridho dan Fatimah, Ama Pd), serta adik-adikku atas segala doa, dukungan dan motivasinya. Ucapan terima kasih special penulis sampaikan kepada istri tercinta (Tuti Maulidah Rahmana, S Pd) atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015 Jun Harbi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 3 4 4 4 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Persuteraan Alam Produk Diversifikasi dari Hasil Samping Usaha Persuteraan Alam Kajian Aspek Finansial Kajian Aspek Non Finansial
7 7 10 12 14
3 METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Populasi dan Sampel Prosedur Penelitian Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data Analisis Data
17 17 17 18 18 18 20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Usaha Persuteraan Alam Kab. Wajo Saat Ini Kondisi Usaha Persuteraan Alam Adopsi Inovasi
22 22 44
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
53 53 53
DAFTAR PUSTAKA
54
LAMPIRAN
58
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Komposisi kokon Komposisi zat gizi pupa ulat sutera Komposisi zat gizi dalam 100 gram tepung pury Jenis, sumber, teknik pengambilan dan keluaran data Kebutuhan suhu dan kelembaban ulat sutera pada setiap stadium Produksi usaha persuteraan alam Kelurahan Walennae tahun 2014 Biaya investasi alat produksi usaha persuteraan alam (saat ini) Analisis biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam saat ini (dengan dan tanpa subsidi) NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam saat ini pada kondisi produksi optimis dan pesimis Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada kondisi produksi optimis dan pesimis Unit konversi/rendemen produk persuteraan alam pada 6 kelompok tani Biaya investasi alat produksi usaha persuteraan alam (adopsi inovasi) Biaya produksi tepung pury Analisis biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam adopsi inovasi (dengan dan tanpa subsidi) NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada kondisi produksi optimis dan pesimis Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam dengan adopsi inovasi pada kondisi produksi optimis dan pesimis
2 10 12 19 24 27 29 31 33 34 46 46 47 48 49 50
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Kokon (kualitas utama dan rendah/limbah) Tingkat produksi kokon Indonesia tahun 2000-2013 Kerangka pemikiran dari aspek finansial Kerangka pemikiran penelitian Rantai alur persuteraan alam di Indonesia Ulat Sutera (Bombyx mori) Beberapa produk diversifikasi yang dapat diolah Beberapa diversifikasi produk hasil samping olahan pupa Mekanisme alur kegiatan usaha persuteraan alam Kelurahan Walennae Jenis bibit ulat sutera, (A) produk Perum Perhutani, (B) produk cina Cara pemeliharaan ulat yang baru menetas Kandang dan rak penempatan ulat Tempat pengokonan ulat Ulat matang dan aktivitas pemindahan ulat ke tempat pengokonan Alat pemintal dan aktivitas pemintalan kokon menjadi benang Tingkat produksi kokon dan benang pada tahun 2010-2014 di Kelurahan Walennae 17 Tanaman murbei ditanam sebagai tanaman pagar dan di tepi Sungai Walennae
2 3 6 6 8 9 11 12 22 23 23 24 25 25 26 27 35
18 Perkembangan produksi kokon Kelurahan Walennae 19 Kondisi tanaman murbei dan rumah ulat yang terkena banjir 20 Tingkat produksi jagung menurut kecamatan di Kabupaten Wajo tahun 2012 21 Komoditi jagung dan kakao yang menjadi pesaing murbei 22 Rata-rata produksi benang sutera per 1 boks bibit ulat sutera jenis lokal (Perum) dan Cina tahun 2010-2014 di Kelurahan Walennae 23 Rata-rata produksi kokon per 1 boks bibit ulat sutera jenis lokal (Perum) dan Cina tahun 2010-2014 di Kelurahan Walennae 24 Pengolahan pupa ulat sutera menjadi produk pangan berupa tepung 25 Pembuatan tepung pury
37 37 38 38 39 39 44 45
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam saat ini (tanpa subsidi) Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam saat ini (dengan subsidi) Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam adopsi inovasi (tanpa subsidi) Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam adopsi inovasi (dengan subsidi) Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam kondisi saat ini (produksi optimis) Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam kondisi saat ini (produksi pesimis) Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam adopsi inovasi (produksi optimis) Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam kondisi adopsi inovasi (produksi pesimis) Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi optimis) Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi pesimis) Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada peningkatan biaya operasional sebesar 10% (produksi optimis) Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada peningkatan biaya operasional sebesar 10% (produksi pesimis) Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi optimis) Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi pesimis) Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada peningkatan biaya operasional sebesar 10% (produksi optimis) Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional kondisi produksi pesimis sebesar 10%
58 59 60 61 62 62 63 63 64 64 65 65 66 66 67 67
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan komoditas sutera alam dalam bidang kehutanan merupakan salah satu kegiatan perhutanan sosial yang ditujukan untuk peningkatan ekonomi kerakyatan, perluasan kesempatan usaha dan kerja, pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat utamanya disekitar kawasan hutan di wilayah hulu melalui usaha pembudidayaan ulat sutera. Budidaya ulat sutera erat kaitannya dan tidak dapat dipisahkan dengan usaha budidaya murbei sebagai pakan ulat sutera. Selain sebagai pakan ulat, tanaman murbei juga dapat berfungsi sebagai perlindungan tanah dari erosi dan degradasi lahan (BPA 2010) serta mampu tumbuh pada lahan kritis (Sadapotto 2010). Sutera alam di Sulawesi Selatan telah lama menjadi bagian dari kehidupan budaya masyarakat. Budidaya sutera alam telah dikenal sejak tahun 1950-an dan sampai sekarang masih digeluti oleh sebagian masyarakat pedesaan. Sarung sutera merupakan salah satu perangkat yang dipergunakan pada tiap upacara kebudayaaan seperti perkawinan dan pesta adat (Sadapotto 2010) sehingga kain sutera dan proses produksinya sarat akan kandungan kearifan lokal yang berisi pesan-pesan moral (Syukur et al. 2013). Salah satu daerah penghasil utama sutera alam bahkan dikenal dengan “Kota Sutera” di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Wajo. Menurut BPA (2010), pada tahun 2009 di Kabupaten Wajo terdapat 312,50 Ha lahan tanaman murbei dan 1,5 Ha kebun bibit murbei. Kabupaten Wajo dapat menyerap telur ulat sutera sebanyak 562,25 boks dan memproduksi kokon sebanyak 12.104,80 kg dan raw silk sebanyak 1.644,00 kg dengan 25 kelompok tani yang terdiri dari 506 kepala keluarga. Pada bagian hilir, industri pertenunan di Kabupaten Wajo sebagai sentra pertenunan melibatkan 5.806 unit usaha yang mempekerjakan 17.418 tenaga kerja dengan nilai investasi Rp 10.931.989.000 (Disperindag Kabupaten Wajo 2013). Terjadi penurunan tingkat produksi kokon secara simultan di Kabupaten Wajo selama lima tahun berturut-turut dari 64.071,00 kg (2005), 45.843,00 kg (2006); 27.267,15 kg (2007); 35.141,60 kg (2008); dan 12.104,80 kg pada tahun 2009. Menurunnya tingkat produksi kokon tersebut pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat sehingga dibutuhkan inovasi untuk mengoptimalkan pascapanen usaha persuteraan alam dan meningkatkan nilai tambah pendapatan keluarga petani/peternak ulat sutera. Salah satu upaya peningkatan nilai tambah pendapatan petani/peternak ulat sutera adalah dengan cara mengolah produk diversifikasi dari rangkaian produksi benang sutera yang menghasilkan hasil samping seperti pupa, kulit kokon dan daun murbei. Nelaballe et al. (2014) menyatakan bahwa penggunaan hasil samping telah dilakukan di India berupa penggunaan murbei (dalam pembuatan minuman kesehatan, teh, kosmetik dari ekstrak daun, dll) dan pupa ulat sutera yang dapat dikonsumsi oleh manusia sebagai pangan dengan nilai gizi tinggi. Pada usaha persuteraan alam, kokon yang dihasilkan ditentukan berdasarkan kualitas. kokon dengan kualitas baik akan diolah lebih lanjut menjadi benang, sedangkan kokon dengan kualitas buruk akan dibuang menjadi limbah (Gambar 1). Proses pemintalan kokon menjadi benang akan dihasilkan produk berupa
2 benang dan pupa. Pupa terkandung sekitar 82,1% pada setiap kokon segar dan 52,8% pada kokon kering (Tabel 1). Pupa ini biasanya langsung dibuang dan dianggap sebagai limbah yang tidak bermanfaat atau hanya dijadikan sebagai pakan ternak sehingga tidak menghasilkan tambahan pendapatan yang signifikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti dan Kusharto (2009) menunjukkan bahwa pupa ulat sutera memiliki potensi sebagai bahan pangan yang kaya akan protein dan asam lemak yang baik bagi kesehatan. Bahkan dengan teknologi yang sederhana, kini pupa sudah dapat diolah menjadi tepung yang kemudian disebut “Pury (pupae-mulberry)”, sehingga pemanfaatannya sebagai bahan pangan dapat menjadi lebih luas.
Gambar 1 Kokon (kualitas utama dan rendah/limbah) Tabel 1 Komposisi kokon Kokon Segar Berat
Kokon Kering
Berat Nyata (gr)
Ratio (%)
Berat Nyata (gr)
Ratio (%)
Kokon
2,09
100,00
0,79
100,00
Kulit Kokon (Cocoon Shell)
0,36
17,30
0,36
45,70
Pupa
1,72
82,10
0,42
52,80
Lapisan Luar Kokon
0,01
0,60
0,01
1,50
Sumber: Atmosoedarjo et al. (2000)
Kondisi produksi sutera alam yang terus menurun dan adanya peluang pemanfaatan hasil samping menjadi produk diversifikasi yang potensial melatarbelakangi pentingnya penelitian dilakukan untuk mengkaji lebih mendalam kondisi persuteraan alam saat ini dan potensi pengembangan produk diversifikasinya tersebut. Kajian dilakukan secara holistik dari aspek kelayakan secara finansial dan kelayakan non finansial (aspek teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, sumberdaya manusia, legalitas, lingkungan/ekologi dan aspek sosial masyarakat yang menyangkut penerimaan produsen dan konsumen terhadap inovasi yang akan menjadi pertimbangan pemerintah dan masyarakat dalam rangka perumusan strategi pengembangan usaha persuteraan alam Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
3 Perumusan Masalah Sutera alam merupakan salah satu dari enam komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan nasional. Kondisi alam beberapa daerah di Indonesia seperti Sulawesi Selatan berpeluang besar untuk pengembangan sutera alam. Menurut Susatijo (2008), kegiatan persuteraan alam ini mempunyai peran yang cukup strategis, antara lain karena dapat melibatkan tenaga kerja termasuk petani, membuka kesempatan usaha, memberi kesempatan mengembangkan ekonomi kerakyatan, meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan devisa negara. Namun, kondisi produksi sutera alam terus mengalami penurunan karena pengaruh rendahnya tingkat produksi kokon (Gambar 2). Salah satu daerah penghasil sutera alam yang saat ini mengalami penurunan produksi berada di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Menurut Ridwan (2011) penyebab utama anjloknya produksi sutera alam Wajo karena adanya gangguan penyakit seperti virus dan bakteri yang menyerang tanaman murbei dan mengakibatkan penurunan secara drastis terhadap produksi benang sutera alam Wajo. Menurunnya tingkat produksi kokon tersebut pada akhirnya mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat sehingga dibutuhkan kajian khusus pada berbagai aspek untuk mengatasi masalah tersebut. Selain itu, diperlukan suatu inovasi untuk mengoptimalkan pascapanen usaha persuteraan alam dan meningkatkan pendapatan keluarga petani/peternak ulat sutera dari produksi sutera alam. Salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani/peternak adalah mengolah produk diversifikasi sutera alam seperti pupa yang merupakan salah satu limbah sutera alam yang dapat dimanfaatkan menjadi produk pangan bergizi tinggi. Sehingga dari latar belakang dan kondisi tersebut maka beberapa permasalahan yang perlu diidentifikasi lebih lanjut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi usaha persuteraan alam Kabupaten Wajo saat ini dilihat dari aspek ekonomi (kelayakan finansial) dan aspek non finansial? 2. Bagaimana pengaruh dan potensi pengolahan produk diversifikasi usaha persuteraan alam di Kabupaten Wajo dilihat dari aspek ekonomi (kelayakan finansial) dan aspek non finansial? 120
110,36
Tingkat Produksi (Ton)
100 80 60
90,84 88,77 71,13
69,45 55,3 36,87
40
0
19,28 20,35 17,6 19,06 18,71
13,65
20
1,52 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun
Gambar 2 Tingkat produksi kokon Indonesia tahun 2000-2013 Sumber : Ditjen BPDAS PS (2013)
4 Tujuan Penelitian 1.
2.
Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut: Menganalisis kondisi persuteraan alam di Kabupaten Wajo saat ini dilihat dari kondisi finansial dan non finansial (teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, SDM, legalitas, ekologi/lingkungan dan sosial budaya). Menganalisis potensi dan pengaruh pengolahan produk diversifikasi persuteraan alam terhadap kondisi finansial dan non finansial (teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, SDM, legalitas, ekologi/lingkungan dan sosial budaya) di Kabupaten Wajo. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi pengelolaan potensi daerah bagi berbagai pihak dan mitra (stakeholder) yaitu: 1. Bagi pemerintah pusat, hasil penelitian menjadi bahan acuan pelaksanaan replikasi program dan kebijakan pengembangan persuteran alam dan produk sampingnya yang ramah lingkungan. 2. Hasil riset ini diharapkan dapat menjadi acuan yang komprehensif bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan dalam rangka merumuskan dan menyusun kebijakan dan program-program yang terkait dengan peningkatan produksi dan produktivitas sutera di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. 3. Akademisi dan Peneliti, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan penelitian di tempat yang lain maupun penelitian-penelitian lanjutannya. 4. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan pengelolaan persuteraan alam yang berkelanjutan. 5. Bagi pelaku usaha (UMKM), informasi ini dapat dijadikan referensi sebagai bahan acuan tingkat produksi yang dapat dilakukan dalam usaha persuteraan alam dan produk smapingnya yang dapat meguntungkan secara ekonomi, ramah lingkungan dan meningkatkan fungsi sosial masyarakat. 6. Penulis, bermanfaat untuk mengasah kemampuan riset dan penyelesaian tugas akhir Program Pascasarjana di IPB. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dan batasan pada penelitian ini meliputi: 1. Ruang lingkup wilayah penelitian hanya mengkaji di daerah Kelurahan Walennae, Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan untuk kajian finansial dan lingkup wilayah KabupatenWajo untuk aspek non finansial. 2. Kajian penelitian dilakukan pada dua kondisi waktu operasional usaha yaitu kondisi saat ini dan kondisi adopsi inovasi. Kondisi saat ini adalah kondisi usaha persuteraan alam sebelum pengenalan inovasi pengolahan hasil samping menjadi produk diversifikasi tepung pury sehingga output dari usaha hanya benang sutera. Kondisi adopsi inovasi adalah kondisi usaha persuteraan alam dengan penerapan inovasi pengolahan hasil samping
5 menjadi produk diversifikasi tepung pury sehingga output usaha terdiri dari benang sutera dan tepung pury. 3. Pengembangan persuteraan alam Kabupaten Wajo sesuai dengan kerangka perencanaan jangka panjang pemerintah daerah berupa reformasi persuteraan alam sehingga penelitian ini dibatasi lingkup kajian pada kondisi persuteraan alam saat ini dan potensi pengembangan produk sampingnya saat penelitian dilakukan. 4. Kajian saat ini persuteraan alam dan produk diversifikasinya dibatasi pada kajian finansial dan kajian non finansial berupa teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, SDM, legalitas, ekologi/lingkungan dan sosial budaya. Batasan pada analisis finansial, harga yang digunakan adalah harga konstan pada saat penelitian dilakukan yaitu pada tahun 2014, karena diasumsikan berada pada keadaan stabil dan normal dengan menggunakan discount factor 12%. Batasan pada kajian non finansial adalah kondisi analisis pada saat penelitian dilakukan seperti kondisi limbah produksi yang dihasilkan, kebijakan pemerintah, kondisi sosial budaya masyarakat,dll sehingga dapat menjadi acuan saat realiasi kebijakan reformasi persuteraan alam dengan asumsi produksi kokon yang dilakukan secara intensif. Kerangka Pemikiran Pengembangan komoditas HHBK merupakan salah satu peluang dalam kegiatan perhutanan sosial. Salah satu komoditas HHBK yang masuk dalam enam jenis HHBK unggulan nasional adalah sutera alam. Persuteraan Alam merupakan salah satu kegiatan aneka usaha kehutanan yang sangat membantu masyarakat yang berada di sekitar hutan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Menurut Sadapotto (2010), usaha persuteraan alam dianggap mampu membuka lapangan kerja, memperbaiki lahan kritis dan meningkatkan pendapatan masyarakat karena sifatnya yang padat karya, sifat tanaman murbei yang mampu tumbuh pada lahan kritis dan masa pemeliharaan ulat sutera sampai menghasilkan kokon yang bisa dijual relatif pendek. Namun peluang tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga produksi ulat sutera di Indonesia khususnya Provinsi Sulawesi Selatan dan Kabupaten Wajo terus mengalami penurunan. Kondisi ini menunjukkan perlunya kajian lebih mendalam bagaimana kondisi saat ini pada aspek ekologi yang berkaitan dengan vegetasi tanaman murbei, ekonomi yang berkaitan dengan kelayakan usaha dan aspek sosial yang berkaitan dengan nilainilai manfaat dan modal sosial usaha persuteraan alam Kabupaten Wajo serta aspek lainnya yang mendukung berkembangnya usaha persuteraan alam sehingga dapat menjadi rujukan penyebab menurunnya produksi persuteraan alam. Selain menurunnya produksi, usaha persuteraan alam juga menghasilkan limbah berupa pupa. Pengolahan limbah yang efektif terus dilakukan sampai ditemukannya peluang pengolahan pupa tersebut menjadi produk pangan. Pupa ulat sutera dapat diolah menjadi tepung yang bernilai gizi sebagai bahan baku produk pangan berupa biskuit, bubur dan sebagainya sehingga hipotesis awal menerangkan bahwa akan ada nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan hasil samping menjadi produk diversifikasi seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
6
Gambar 3 Kerangka pemikiran dari aspek finansial Menurut Astuti dan Kusharto (2009) pengolahan limbah sutera sangat menguntungkan untuk meningkatkan ketersediaan bahan pangan yang padat gizi, sekaligus menurunkan cemaran lingkungan. Perlu adanya sosialisasi dan peran pemerintah daerah untuk memberdayakan masyarakat sekitar sentra pemintalan benang sutera untuk memanfaatkan PURY sebagai bahan pangan alternatif, menambah pendapatan peternak ulat sutera dan menjaga lingkungan sekitar dari pupa yang biasanya terbuang begitu saja. Pengembangan produk samping ini harus dikaji lebih mendalam tidak hanya pada aspek fisik berupa tingkat manfaat gizi, namun juga kelayakan secara ekonomi, pengaruh pada lingkungan dan peluang manfaat sosial seperti penambahan pendapatan. Lebih rinci mengenai kerangka pemikiran dari penelitian ini ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Kerangka pemikiran penelitian
7
2 TINJAUAN PUSTAKA Persuteraan Alam Persuteraan alam merupakan salah satu usaha yang turut berkontribusi terhadap pendapatan negara melalui produk yang dihasilkan berupa hasil hutan bukan kayu. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 50/Kpts-II/1997 tanggal 20 Januari 1997 yang dimaksud dengan persuteraan alam adalah bagian kegiatan perhutanan sosial dengan hasil kokon atau benang sutera yang terdiri dari kegiatan penanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera dan pengolahan kokon (Ditjen BPDAS PS 2014). Persuteraan alam merupakan kegiatan yang dapat dikategorikan dalam bentuk agroindustri dan biasa disebut sebagai kegiatan serikultur. Serikultur telah banyak dikenal oleh masyarakat di seluruh dunia termasuk Indonesia. Serikultur banyak diminati karena mudah diaplikasikan dan benang sutera yang dihasilkan memiliki nilai jual yang tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Miyatani (2008) menyebutkan bahwa produk utama serikultur adalah benang sutera dengan produk-produk samping berupa daun murbei tua, pupa ulat sutera, faeces ulat sutera, cocoon pelade dan silk waste. Kegiatan ini mencakup beberapa aktivitas lain dengan rangkaian kegiatan yang saling mempengaruhi dan terdiri dari: kegiatan penanaman/ budidaya tanaman murbei, pengadaan/budidaya ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, pemanenan kokon dan pemintalan kokon menjadi benang sutera (Kemenhut 2007). Sutera alam merupakan salah satu komoditi yang dapat dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia karena keadaan alamnya cocok bagi pertumbuhan ulat sutera maupun murbei sebagai pakan ulat sutera (Andadari et al. 2013). Pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan pembinaan teknis dan pengembangan tanaman murbei baik dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan maupun dalam rangka optimalisasi pemanfaatan dan produktivitas lahan serta pemberdayaan masyarakat. Masih terdapat lahan tidur yang dapat dimanfaatkan untuk budi daya tanaman murbei dan ulat sutera merupakan potensi besar memperluas lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (BPA 2010). Pengembangan komoditas sutera alam dianggap mampu membuka lapangan kerja, memperbaiki lahan kritis, meningkatkan pendapatan masyarakat, karena sifatnya yang padat karya, sifat tanaman murbei yang mampu tumbuh pada lahan kritis dan masa pemeliharaan ulat sutera sampai menghasilkan kokon yang bisa dijual dalam jangka waktu relatif pendek (Sadapotto 2010). Salah satu rantai produksi persuteraan alam (Gambar 5) adalah budidaya ulat sutera. Ulat sutera merupakan salah satu jenis serangga dari Ordo Lepidoptera. Serangga ini bernilai ekonomis sangat tinggi bagi manusia karena di akhir fase larvanya dapat membentuk kokon dari serat sutera. Sutera ini merupakan bahan baku industri tekstil, benang bedah, parasut dan berbagai keperluan lainnya. Keistimewaan serat sutera sampai saat ini belum bisa terkalahkan oleh serat sutera buatan (Nuraeni dan Baharuddin 2009). Jenis Bombyx mori merupakan salah satu jenis ulat sutera yang banyak ditemukan dan dibudidayakan di Indonesia. Sihombing (2002) menyatakan bahwa Bombyx mori merupakan salah satu dari sekitar 100 jenis anggota famili
8 Bombicydae yang menghasilkan ulat sutera, memilki nilai ekonomis tinggi. Selain itu, sutera yang berasal dari jenis Bombyx mori menghasilkan serat proten alami yang terkuat dan dikenal dengan banyaknya jenis motif, including luster, dyeability, daya serap air yang baik, halus, tekstur yang lembut namun tidak licin (Rajasekhar et al. 2011). Bombyx mori termasuk dalam genus Bombyx, famili Bombycidae, ordo Lepidoptera, kelas Insecta dan phylum Arthropoda. Bombyx mori termasuk serangga “holometabolis” (holos = lengkap, metabole= perubahan metamorfose lengkap), yaitu golongan serangga yang memiliki fase kehidupannya berawal dari telur, kemudian menetas menjadi ulat, lalu berubah bentuk menjadi pupa (kepompong) dan berakhir menjadi ngengat. Perubahan bentuk (metamorfose) ulat sutera termasuk yang sempurna.
Gambar 5 Rantai alur persuteraan alam di Indonesia Bentuk telur Bombyx mori adalah bulat sedikit gepeng (Gambar 6), berat sekitar 0.006 gr/butir, dengan panjang 1-1,3 mm dan lebar 0,9-1,2 mm. Satu gram telur berisi antara 1.600-1.650 butir telur, berat jenis telur adalah 1,075. Pertumbuhan ulat seluruhnya merupakan masa makan dan masa tumbuh. Pertambahan berat tubuh dari awal hingga 23-25 hari yaitu sekitar 9.500 kali dan panjang berlipat menjadi 30 kali. Sewaktu baru ditetaskan dari telur, berat tubuh hanya sebesar 0,038 gram dan panjang badan 0,25 cm tetapi setelah mencapai umur 23-25 hari berat tubuhnya sekitar 360 gram dengan panjang tubuh mencapai 7,2 cm (Sihombing 2002). Menurut Andadari et al (2013) klasifikasi ulat sutera berdasarkan asal negara induk dibedakan menjadi empat ras, yaitu Ras Jepang (jumlah telur banyak, siklus hidup yang panjang, bentuk ulat kecil, kokonnya putih dan bentuknya berlekuk seperti kacang tanah), Ras Cina (siklus hidup pendek, peka terhadap kelembaban tinggi, produksi kokon rendah, bentuk kokon agak bulat, serat sutera halus dan mudah dipintal), Ras Eropa (produksi panjang, kokon besar dan
9 berwarna putih, tidak tahan terhadap iklim panas dan lembab) dan Ras Tropika (hidup di daerah tropis, tahan terhadap suhu panas dan kokon berukuran kecil).
Gambar 6 Ulat Sutera (Bombyx mori) Sumber: Miyatani (2008) Ulat sutera akan berubah bentuk menjadi kokon dengan pupa di dalamnya. Pupa adalah stadium perantara dari ulat sebelum berubah menjadi ngengat. Adapun tanda-tanda jika seekor ulat akan mengokon adalah waktunya sudah cukup (waktu ini dihitung sejak telur ditetaskan), tidak aktif makan, keluar kotoran ulat berwarna hijau, karena makanan tidak tercerna dan warna tubuhnya jernih, padat berisi, terutama bagi ulat penghasil benang berwarna. Tahapan selanjutnya adalah pembuatan kain sutera dengan menggunakan alat tenun seperti gedogan, ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan ATM (Alat Tenun Mesin) serta pemasarannya. Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut dengan "Sabbe". Dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedogan atau yang dinamakan masyarakat wajo adalah “Tennung Bola” dengan berbagai macam motif yang diproduksi seperti motif "Balo Tettong" (bergaris atau tegak), motif "Makkalu" (melingkar), motif "mal-lobang" (berkotak kosong), motif "Balo Renni" (berkotak kecil). Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan "Wennang Sau" (lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas (Ridwan 2011). Pelaksanaan pembangunan kehutanan dibidang persuteraan alam sampai sejauh ini masih belum optimal mengingat produksi benang dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan industri pertenunan dalam negeri dan kualitas benang yang dihasilkan masih rendah. Melihat kondisi tersebut pengembangan persuteraan alam di tanah air masih sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut guna memperluas lapangan kerja bagi masyarakat di pedesaan. Kualitas mutu kokon dan benang perlu ditingkatkan sesuai standar internasional agar mampu bersaing dengan produksi benang dari negara lain. Upaya peningkatan kualitas tersebut dapat dilaksanakan dengan cara pembudidayaan ulat sutera dan kebun murbei dilakukan secara intensif dan mengikuti standar teknis
10 pembudidayaan yang baik. Pemintalan kokon menjadi benang benang sutera harus memperhatikan standar dan kriteria yang dibutuhkan bagi industri pertenunan. Perkembangan kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Wajo mengalami penurunan. Ketergantungan bahan baku dari luar merupakan salah satu penyebabnya sehingga Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo mengeluarkan kebijakan reformasi persuteraan alam berupa pemusatan produksi sendiri bahan baku benang sutera untuk memenuhi bahan baku industri pertenunan kain sutera Wajo. Produk Diversifikasi dari Hasil Samping Usaha Persuteraan Alam Persuteraan alam mempunyai potensi dalam rangka pengembangan produk lain selain produksi kokon dan benang sutera. Kegiatan budidaya persuteraan alam sangat memungkinkan dikembangkan oleh masyarakat baik sebagai industri makanan, kosmetik maupun kerajinan tangan (Gahlot dan Suryanarayana 2008). Hasil-hasil tersebut dapat memberikan nilai tambah yang besar apabila dikembangkan dengan intensif (BPA 2010). Salah satu rantai produksi yang belum dimanfaatkan adalah pupa yang berupa pupa segar, tidak segar dan kulit pupa. Ulat sutera yang sudah membentuk kokon dan telah melalui proses pemintalan benang sutera akan menghasilkan limbah berupa pupa ulat sutera. Peluang pengembangan dari produk olahan pupa sangat tinggi karena keberadaannya yang tersedia sangat tinggi pada setiap rangkaian produksi sutera. Protein yang terkandung dalam pupa ulat sutera mencapai 60-75%. Selain protein, terdapat zat gizi lainnnya pada pupa seperti asam amino, mineral, kalium, natrium dan kalsium (Tabel 2). Tabel 2 Komposisi zat gizi pupa ulat sutera No
Konstituen
1 Moisture 2 Kitin 3 Protein Kasar 4 Protein Halus 5 Karbohidrat 6 Asam Amino 7 Mineral 8 Kalium 9 Natrium 10 Kalsium 11 Pospor 12 Vitamin C Sumber: Singhal et al. (2001)
Berat Kering (%) 9,88 4,30 71,75 26,10 6,85 27,35 7,13 1,86 0,07 4,44 0,68 87,70
Pupa dapat diolah untuk menambah nilai tambah dalam kegiatan persuteraan alam (Gambar 7). Pupa ulat sutera telah banyak dimanfaatkan di berbagai negara, baik dalam bentuk mentah maupun hasil olahan. Beberapa contoh seperti yang dikemukakan oleh Miyatani (2008) bahwa pemanfaatan pupa ulat sutera dalam bentuk mentah di korea diolah menjadi snack “beondagi”,
11 makanan kaleng dan makanan alternatif diet bagi penderita diabetes. Pemanfaatan pupa ulat sutera hasil olahan antara lain sebagai obat kuat, bahan tambahan pangan bakery, dan confectionary. Pupa ulat sutera juga dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan sabun, lilin dan hair tonic.
Gambar 7 Beberapa produk diversifikasi yang dapat diolah dari hasil samping pupa Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Kusharto et al. (2013) telah berhasil melakukan pengolahan pupa menjadi tepung PURY (Pupa Mulberry Bombyx mori). Diharapkan dengan tersedia tepung pury dari limbah pupa dapat meningkatkan ketersediaan bahan pangan sumber protein hewani yang padat gizi. Tepung pupa tersebut selanjutnya dapat diolah menjadi produk pangan berupa sempry, stick pury, baruasa pury, kerupuk pury (kerupy), likury, makary dan nugget Tepung Pury (Tapury) (Gambar 8). Rifqi (2011) menyebutkan bahwa nugget tahu pury (Tapury) memiliki harga protein per gram nugget lebih rendah dibandingkan dengan harga nugget biasa dan harga nugget pasaran sehingga pengembangan produk pangan nugget tapury sangat bermanfaat untuk dilakukan. Selain memberikan harga yang relatif murah juga dapat meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomi bahan pangan yang belum dimanfaatkan secara maksimal dipasaran. Kandungan zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral merupakan keunggulan pury sebagai alternatif bahan formula MP-ASI. Keunggulan lain dari pury adalah kandungan asam lemak tak jenuh seperti oleat, linoleat dan linolenat (56,3%) yang dua kali lebih banyak dari kandungan asam lemak jenuh (miristat, palmitat, stearat dan arachidonat) dalam pury (sekitar 27% w/w) yang merupakan bahan dasar pembentukan otak bayi dan anak. Bila dicampur dalam formula MPASI bagi bayi usia 6-12 bulan, pury dapat digunakan sebagai sumber protein, lemak khususnya lemak tak jenuh, vitamin dan mineral yang akan memberikan dampak positif bagi tumbuh kembang anak (Astuti 2009).
12
A
D
r
B
C
E
F
Gambar 8 Beberapa diversifikasi produk hasil samping olahan pupa
A) Sempry; B) Stick Pury; C) Baruasa Pury; D) Kerupy; E) Likury; F) Makary (Kusharto et al. 2013)
Hasil penelitian penggunaan tepung pupa sebagai sumber protein pada diet aterosklerosis menunjukkan hasil yang positif meningkatkan profil lipid darah. Komposisi kimia tepung pupa mengandung protein 46,74%, karbohidrat 1%, lemak 29,75% dan serat 89% (Astuti, Sajuthi dan Siparto 2013). Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan Kusharto dan Koesharto (2012) menunjukan kulit pupa (sisa hasil ektraksi isi pupa) dapat dimanfaatkan sebagai kitosan sebagai alternatif bahan pengawet alami pengganti formalin. Dalam skala laboratorium hasilnya cukup baik memenuhi kualitas 84% derajat deasetilasi, hanya perlu memperbaiki warna. Tabel 3 Komposisi zat gizi dalam 100 gr tepung pury No Parameter Kadar % bka 1 Kadar air 10,40 2 Abu 3,14 3 Protein 33,44 4 Lemak 25,72 5 Karbohidrat 5,54 a [% bk = berat kering] Sumber: Astuti (2009) Kajian Aspek Finansial Pemberian nilai (valuation) terhadap manfaat dan biaya lingkungan menunjukkan bahwa lingkungan dalam memberikan pelayanan tidak cuma-cuma, namun mempunyai nilai dan harga yang sering tidak tersirat oleh mekanisme pasar. Menurut Suwandi (2005) sampai saat ini penilaian ekonomi terhadap suatu usaha pertanian dilakukan dengan analisis finansial, dimana analisis finansial
13 belum memasukkan komponen manfaat dan biaya lingkungan seperti peningkatan kesuburan lahan, perbaikan kualitas air dan lainnya. Sedangkan kelayakan ekonomi yang mengukur manfaat dan biaya bagi masyarakat secara keseluruhan termasuk memasukkan unsur kualitas lingkungan belum banyak dilakukan. Mengingat strategisnya sektor pertanian dalam pembangunan nasional, kiranya sangat diperlukan penelitian mengenai analisis ekonomi usaha pertanian dalam hal ini usaha persuteraan alam dan produk sampingnya. Pada kajian aspek ekonomi usaha persuteraan alam dan produk diversifikasinya dilakukan dengan analisis finansial. Kadariah (1999) menyatakan bahwa analisis finansial menyangkut perbandingan antara pengeluaran uang dengan revenue earning proyek, apakah proyek tersebut akan terjamin dananya yang diperlukan, mampu membayar kembali dana tersebut dan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansial dapat berdiri sendiri. Analisis finansial bertujuan untuk menilai pengaruh-pengaruh suatu proyek/usaha terhadap para petani, perusahaan swasta dan umum, badan-badan pelaksana pemerintah dan pihak lain yang turut serta dalam proyek tersebut yang dilakukan dengan analisa pendapatan usaha tani. Menurut Haming dan Basalamah (2010) kajian mengenai aspek finansial merupakan aspek kunci dari suatu kajian kelayakan karena sekalipun aspek lain tergolong layak, jika kajian aspek finansial memberikan hasil yang tidak layak, maka usulan program akan ditolak karena tidak akan memberikan manfaat ekonomi. Analisis ini membutuhkan tahap identifikasi biaya dan manfaat yang dapat mempengaruhi suatu usaha. Jika biaya dan manfaat telah diidentifikasi dan akan diperbandingkan maka keduanya harus dinilai. Menurut Gittinger (1986) cara yang paling praktis untuk membandingkan perbedaan barang dan jasa secara langsung adalah dinyatakan dalam nilai uang, maka dibutuhkan harga yang tepat untuk digunakan dalam analisa biaya dan manfaat. Penentuan harga tersebut kerapkali menggunakan harga pasar. Setelah harga tersebut ditetapkan, maka informasi harga ini harus disusun ke dalam pola (pattern) neraca agar penilaian pengaruh-pengaruh suatu proyek dapat dilakukan. Metode analisis finansial lebih menekankan kepada analisis biaya-manfaat terhadap individu atau privat. Analisis finansial menggunakan tingkat bunga sebenarnya yang harus dibayarkan misalnya melalui kredit bank dan penentuan harga menggunakan harga pasar (market prices). Semua perhitungan secara finansial menggunakan cara diskonto dalam bentuk cash flow dimana pengeluaran dan pemasukan setiap tahun dinilai sekarang (present value) dengan tingkat bunga (discount rate) tertentu. Indikator yang digunakan dalam analisis finansial dan analisis ekonomi dapat dilakukan dengan menghitung Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Gross Benefit-Cost Ratio (Gross B/C) dan Profitability Ratio (PV’/K). Ketiga kriteria pertama yaitu NPV, IRR dan Net B/C lebih umum digunakan dan dapat dipertanggungjawabkan dan sebaliknya kedua kriteria terakhir (Gross B/C dan PV’/K) tidak dianjurkan dipergunakan di Indonesia karena kerapkali menyebabkan kekeliruan dalam penyusunan urutan peluang investasi diakibatkan salah dalam memaknai sifat dasar biaya (Gray et al. 1997). Indikator NPV merupakan indikator terpenting karena memperhitungkan nilai waktu dari uang sehingga paling cocok bagi petani (Sadapotto et al 2010). NPV merupakan selisih nilai sekarang arus benefit dengan nilai sekarang arus biaya. Menghitung nilai sekarang harus ditentukan terlebih dahulu tingkat bunga
14 yang relevan. Jika NPV menghasilkan nilai positif maka investasi tersebut dapat diterima, sedangkan jika NPV tersebut bernilai negatif maka sebaiknya investasi tersebut ditolak (Djatmiko 2012). Indikator IRR digunakan untuk interpretasi terhadap kelayakan investasi terhadap suatu proyek. Investasi dikatakan layak jika IRR lebih besar dari tingkat bunga diskonto, sedangkan jika IRR lebih kecil dari tingkat diskonto maka proyek tersebut tidak layak dilaksanakan. Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan. Suatu investasi dikatakan layak jika IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (Gittinger 1986). Indikator Net B/C digunakan untuk menghitung besarnya manfaat tambahan pada setiap tambahan biaya sebesar satu tahun. Nilai Net B/C lebih kecil dari satu, maka hal ini berarti bahwa dengan discount rate yang dipakai, present value dari benefit lebih kecil daripada present value dari cost, hal ini berarti bahwa proyek tidak menguntungkan. Kriteria untuk menerima proyek adalah Net B/C sama dengan atau lebih besar dari satu. Penilaian terhadap unsur-unsur finansial mana yang lebih berpengaruh maka dilakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan unsur-unsur dalam aspek finansial kegiatan usaha yang dilaksanakan. Analisis ini akan melihat hal yang akan terjadi dengan hasil kegiatan usaha jika terjadi perubahan-perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya dan manfaat (Kadariah 1999). Analisis sensitivitas (kepekaan) menurut Nugroho (2008) adalah suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis peka terhadap faktor-faktor yang berpengaruh. Kepekaan memiliki arti sebagai besaran perubahan relatif ukuran imbalan atau keuntungan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan estimasi faktor-faktor yang berpegaruh. Kajian Aspek Non Finansial Kajian dalam perencanaan pengembangan/inovasi suatu kegiatan perlu dilakukan secara holistik mencakup semua bidang. Kajian dengan pendekatan secara holistik (holistic approach) harus dilakukan karena menyangkut rencana investasi sehingga kelayakan pengembangan inovasi tersebut tidak hanya dilihat dari aspek finansial. Kerapkali pengembangan/inovasi yang hanya dikaji dari kelayakan finansial akan terjadi kegagalan karena tidak adanya kajian dan strategi dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang menyangkut aspek non finansial. Informasi finansial dan non finansial dianggap sama pentingnya bagi pengembangan strategi dan implementasi walaupun memang kajian finansial lebih diprioritaskan (Bhimani dan Langfield 2007). Menurut Haming dan Basalamah (2010) sehatnya sebuah keputusan harus didukung minimal oleh pilar empat sehat, yaitu sehat finansial, sehat pemasaran, sehat aspek produksi dan sehat aspek sumberdaya manusia. Kajian aspek teknis dan teknologi perlu dilakukan sebagai pendukung data dasar dalam kajian aspek finansial. Haming dan Basalamah (2010) menyatakan bahwa aspek teknis dan teknologi ini sifatnya strategis, sebab berkaitan dengan kapasitas usaha, lokasi, tata letak alat produksi, bentuk bangunan, sumber bahan baku dan analisis biaya produksi. Selain itu menurut Djatmiko (2012) kajian aspek teknis dan teknologi juga mencakup standarisasi dan manajemen mutu
15 produk sehingga akan menghasilkan produk dengan kualitas yang seragam pada setiap kali dilakukan produksi. Komponen-komponen dalam aspek teknis dan teknologi dapat membantu petani dalam merumuskan strategi efisiensi ataupun optimasi dalam pengembangan usaha. Aspek pasar dan pemasaran penting artinya dalam kajian kelayakan karena kajian ini akan merinci potensi penerimaan (arus kas masuk) selama usia ekonomi proyek. Disamping itu, studi pasar akan memberikan gambaran mengenai intensitas persaingan, informasi tentang kebutuhan dan keinginan konsumen, keterseidaan saluran distribusi dan kondisi sarana angkutan. Aspek Manajemen berkaitan dengan hal-hal yang berkenaan dengan pertimbangan mengenai sesuai tidaknya proyek dengan pola sosial budaya masyarakat setempat, susunan organisasi proyek dengan pembentukan tim kerja, pembagian kerja, pembuatan rencana kerja agar sesuai dengan prosedur organisasi setempat, kesanggupan atau keahlian staf yang ada untuk mengelola proyek (Rosid 2009). Menurut Subagyo (2007) Struktur organisasi manajemen proyek disusun berdasarkan skala dan kompleksitas proyek. Semakin besar skala proyek, semakin kompleks struktur yang diterapkan. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) bertujuan untuk memperkirakan kelayakan pembangunan dan implementasi dilihat dari ketersediaan SDM (Umar 2003). Menurut Djatmiko (2012) kajian dalam aspek SDM mencakup perencanaan SDM, analisis pekerjaan, rekuitmen, seleksi, orientasi, hingga pada pemutusan hubungan kerja. Aspek legalitas menyangkut hukum yang mengatur tingkah laku badan usaha mengenai perizinan sebagai legalitas usaha. Menurut Umar (2003), studi ini dilakukan untuk mengetahui rencana secara yuridis dapat dikatakan layak atau tidak. Jika rencana bisnis yang tidak layak tetap dilaksanakan maka bisnis akan beresiko besar akan dihentikan oleh pihak yang berwajib atau oleh protes masyarakat. Hal yang perlu dikaji dalam aspek ini, yaitu siapa pelaksana bisnis, bisnis apa yang akan dilaksanakan, waktu pelaksanaan bisnis, dimana bisnis dilaksanakan, serta peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Aspek ekologi/lingkungan bertujuan menentukan secara lingkungan hidup rencana bisnis ini diperkirakan dapat dilaksanakan secara layak atau sebaliknya dengan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal yang berkaitan dengan aspek ini, yaitu mengenai peraturan dan perundangan AMDAL dan kegunaannya dalam kajian pendirian industri dan pelaksanaan proses pengelolan dampak lingkungan (Umar 2003). Menurut Djatmiko (2012) kelestarian fungsi lingkungan hidup dapat diukur dengan dua parameter utama, yaitu baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Dua parameter ini menjadi ukuran/indikator apakah rencana usaha atau kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup. Menurut Hufschmidt et al (1983) lingkungan mempunyai nilai sebagai bahan baku untuk kegiatan ekonomi, kegiatan rekreasi, sumber kenikmatan, keselarasan yang menentukan kualitas hidup, sebagai pelimbahan dan asimilator atau pendaur ulang limbah dan aktivitas ekonomi, sumber pengetahuan untuk pendidikan dan penelitian ilmiah, keanekaragaman hayati dan asset yang dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Sehingga terdapat keterkaitan secara integratif antara dimensi-dimensi ekonomi dengan ekologi. Aspek Sosial/Budaya berkenaan dengan implikasi sosial yang lebih luas dari
16 investasi yang diusulkan, dimana pertimbangan-pertimbangan sosial harus dipikirkan secara cermat agar dapat menentukan apakah suatu proyek tanggap (responsive) terhadap keadaan sosial (Gittinger 1986). Dampak positif pembangunan proyek pada masyarakat sekitar antara lain adalah ikut menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan penduduk sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung, peningkatan fasilitas infrastruktur umum dan lain sebagainya. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan bisa berupa pencemaran lingkungan karena limbah, hingga faktor keamanan yang tidak nyaman untuk berinvesatasi. Pertanian pedesaan saat ini masih menghadapi tiga masalah besar, yaitu lemahnya modal sosial, kemiskinan dan kerusakan sumberdaya pertanian yang semakin membesar (Pranadji 2004). Permasalahan tersebut dipengaruhi yang paling utama karena lemahnya modal sosial sehingga diperlukan pengelolaan lingkungan sosial dalam suatu usaha pertanian. Menurut Purba (2005) pelaksanaan pengelolaan lingkungan sosial masih belum memadai karena antara lain kurangnya pemahaman masyarakat luas terhadap lingkungan sosial dan belum terintegrasinya kebijakan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional maupun daerah. Seringkali lingkungan alam dilihat sebagai bagian tersendiri yang lepas dari lingkungan sosial maupun binaan. Padahal Kliksberg (1999) dalam Hariani (2007) mengatakan bahwa faktor kunci keberhasilan pembagunan adalah modal sosial dan budaya (social capital and culture). Jika konsep dasar atau paradigma yang melatarbelakangi pembangunan pertanian masih terus menerus mengecilkan peran sosial budaya, maka kegagalan demi kegagalan tinggal menghitung bilangan tahun ke tahun atau (bahkan) musim ke musim (Pranadji 2004). Menurut Pranadji (2004) kebijakan pemberdayaan sosio-budaya pedesaan harus menjadi perhatian sehingga ada lima elemen sosio-budaya yang harus dikembangkan dalam usaha pertanian (dalam penelitian ini usaha persuteraan alam) yaitu, kompetensi SDM, kepemimpinan lokal, tata nilai, keorganisasian (dan manajemen) usaha tingkat desa (dalam hal ini persuteraan alam) dan struktrur sosial. Daya dukung sosial adalah kemampuan suatu wilayah atau suatu ekosistem untuk mendukung terjaminnya kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat dan keserasian (keharmonisan) antar warganya. Lingkungan sosial merupakan interaksi pada sekelompok orang atau individu yang secara sukarela menempati kawasan atau tempat tertentu secara relatif permanen dan terikat pada pranata sosial atau ketentuan yang dikembangkan, dimengerti dan diterima semua pihak yang terlibat, serta saling berinteraksi dan bekerja sama sesuai kedudukan dan peran masing-masing anggota untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya (Purba 2005). Kajian sosial pada usaha persuteraan alam tentunya akan didukung dengan lembaga yang menjadi pusat kegiatan masyarakat. Sehingga dengan kajian sosial akan diketahui lembaga yang menjadi modal sosial berkembangnya persuteraan alam. Hal ini yang akan membuktikan peran lembaga di suatu usaha pertanian. Karena menurut Pranadji dan Hastuti (2004) saat ini hampir tidak ada organisasi (ekonomi) petani, seperti lembaga perkreditan desa, koperasi desa atau lumbung pendukuhan yang tumbuh kuat dari bawah, mampu bertahan hidup dan mengembangkan diri dengan baik.
17 Selain itu, pengembangan nilai-nilai kemasyarakatan merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi timbul dan berkembangnya suatu usaha masyarakat. Silaturahmi baik secara formal (dalam pesta adat ataupun acara lainnya) maupun nonformal perlu dikaji lebih mendalam. Hardinsyah (2007) menyatakan bahwa silaturahim dapat diartikan sebagai terbangunnya interaksi dan hubungan sosial yang memiliki daya kuat untuk: a) menumbuhkan rasa saling simpati, saling perhatian, saling menghargai dan kasih sayang; b) mempermudah akses terhadap berbagai informasi termasuk informasi kesempatan kerja dan kesempatan usaha; c) menumbuhkan nilai-nilai yang disepakati bersama yang bertujuan untuk mengatasi masalah bersama dan bahan tak jarang menghasilkan kelembagaan usaha bersama; dan d) membangun kembali ingatan-ingatan yang telah ada yang dikontekskan dalam kepentingan sosial dan ekonomi baik bagi kepentingan individu yang bersilaturahmi maupun bagi masyarakat secara luas. Penurunan modal sosial bias berakibat putusnya jaringan bisnis yang terkait dan suatu bisnis keluarga sulit menjadi besar. Berdasarkan kajian beberapa ahli tersebut, maka kajian sosial yang akan dilakukan terhadap usaha persuteraan alam dan produk diversifikanya di Kabupaten Wajo akan terfokus pada beberapa hal yang terkait dengan modal sosial masyarakat yaitu: kearifan dan kepemimpinan lokal, tata nilai (budaya silaturahmi menyangkut pola interaksi dan komunikasi), gender dan struktur sosial masyarakat yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam masyarakat.
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kelurahan Walennae, Kec. Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Daerah penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Wajo terutama Kecamatan Sabbangparu merupakan satu-satunya daerah yang dijadikan lokasi desiminasi dan inisiasi (pilot project) teknologi pengolahan produk samping persuteraan alam yang merupakan program kemitraan antara perguruaan tinggi yang terlibat (Institut Pertanian Bogor, Universitas Hassanudin, Poltekes Kemenkes Jakarta II dan Poltekes Makassar), Pemda (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wajo dan Dinas Perindustrian Kabupaten Wajo serta Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah). Selain itu daerah ini merupakan daerah yang dirancang untuk menjadi desa wisata sutera utama di Sulawesi Selatan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2014. Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya daftar pertanyaan kuisioner. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah timbangan, seperangkat alat perekam (tape recorder), perangkat lunak (software) untuk analisis data, kamera foto dan kelengkapan tulis menulis.
18 Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah masyarakat (petani/peternak sutera alam) yang terlibat dalam kegiatan usaha persuteraan alam dan produk diversifikasinya di Kelurahan Walennae, Kec. Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Responden ditentukan secara purposive sampling yaitu penentuan sampel mempertimbangkan kriteria-kriteria yang telah dibuat terhadap obyek yang sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini penelitian dilakukan pada petani/peternak sutera alam dengan kriteria petani/peternak yang berpengalaman dan belum berpengalaman, pendapatan, jenis kelamin, umur dan tingkat pendidikan. Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Hal ini dimaksudkan agar penelitian ini dapat menggambarkan status, data, kondisi baik saat ini maupun potensi pada adopsi inovasi dari usaha persuteraan alam dan pengolahan produk diversifikasinya di lokasi penelitian dan masyarakat Kelurahan Walennae yang telah mengembangkan usaha pengolahan persuteraan alam secara sistematis, faktual dan akurat sesuai fakta yang ada di lapangan. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan metode kuisioner, pengamatan dan pengukuran data lapangan. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan studi pustaka. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: a) Teknik Observasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan di lapangan. b) Teknik wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan responden dan informan yang diambil sebagai sampel penelitian dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan. c) Teknik pencatatan, yaitu mencatat semua data sekunder dari dinas atau instansi yang berkaitan dengan penelitian. Data yang diambil terbagi atas dua aspek yaitu aspek finansial dan aspek non finansial yang meliputi aspek teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, sumberdaya manusia, sosial, yuridis, serta aspek lingkungan/ekologi (Tabel 4). Selain ketiga aspek tersebut, data penunjang lainnya yang diambil seperti data sejarah perkembangan dan manajemen pengelolaan usaha persuteraan alam. Data Aspek Finansial Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer berupa data pola usaha tani, sarana produksi, alur produksi, biaya produksi, pendapatan masyarakat dari usaha pertanian murbei, usaha hilir persuteraan alam dan pengolahan produk sampingnya serta data yang berkaitan dengan pendapatan lain masyarakat sebagai tambahan pendapatan di luar persuteraan alam. Data ini
19 diperoleh dari hasil wawancara/interview kepada responden dan informan dengan kuesioner yang telah disiapkan dan pengamatan langsung di lapang. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan tingkat desa antara lain dari kantor statistik kabupaten, dinas pertanian dan dinas peternakan provinsi dan kabupaten, dinas kehutanan dan perkebunan kabupaten, dinas koperasi, kantor kecamatan, kantor desa, puskesmas dan instansi terkait lainnya. Data sekunder mencakup kondisi umum lokasi penelitian, data monografi masyarakat, rencana jangka pendek-menengah-panjang pembangunan Kabupaten Wajo sebagai “Kota Sutera”, luas areal dan informasi terkait usaha persuteraan alam. Tabel 4 Jenis, sumber, teknik pengambilan dan keluaran data No
1 2
3
4
5
6
Jenis Data
Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data
Aspek Finansial Pendapatan petani/peternak Primer Kuesioner dan wawancara Alur produksi, biaya Primer Wawancara, produksi, dan dokumen, sekunder laporan penelitian Aspek Non Finansial Status kepemilikan, luas Primer Wawancara, lahan, ketenagakerjaan, dan dokumen, kondisi keluarga dan tingkat sekunder laporan pendidikan petani/peternak, penelitian kelembagaan dan manajemen pengelolaan persuteraan alam Persepsi masyarakat Primer Kuesioner terhadap pengembangan pengelolaan usaha persuteraan alam Modal sosial budaya Primer Pengamatan, masyarakat, kearifan lokal, dan wawancara, gender, pola interaksi dan sekunder dokumen komunikasi dan pengambilan keputusan Jenis, proses, kuantitas Primer Pengamatan, limbah pada setiap tahap dan wawancara, dari rantai usaha sekunder dokumen persuteraan alam
Keluaran
Analisis Finansial Analisis finansial
Informasi umum usaha persuteraan alam, informasi teknis usaha, pemasaran, manajemen, SDM dan yuridis Informasi penerimaan produsen dan konsumen Informasi sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat Informasi/data aspek lingkungan
Data Aspek Non Finansial Data yang berkaitan dengan aspek non finansial diantaranya dalah data mengenai persepsi masyarakat saat ini terhadap pengembangan produk samping dan usaha persuteraan alam, status kepemilikan lahan murbei, luas lahan murbei, ketenagakerjaan yang meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, kelembagaan dan manajemen usaha persuteraan alam dan semua informasi yang
20 berkaitan dengan aspek teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, SDM, aspek yuridis usaha persuteraan alam. Data yang dibutuhkan untuk kajian aspek lingkungan/ekologi diantaranya informasi terkait proses pembuangan limbah yang terjadi pada usaha persuteraan alam, dan tahapan mana saja dari rantai usaha tersebut yang menghasilkan limbah sehingga berpeluang menjadi produk diversifikasi sehingga diketahui jumlah/kuantitas limbah persuteraan alam yang dihasilkan setiap periode produksi. Data ini dibutuhkan untuk menganalisis tingkat pengaruh limbah tersebut terhadap lingkungan tempat produksi. Selain itu juga akan dikaji bagaimana kebiasaan masyarakat membuang limbah produksi persuteraan alam. Pada aspek sosial data yang diambil berasal instansi, sejarawan ataupun masyarakat umum. Data aspek sosial usaha persuteraan alam yang dikumpulkan berupa data sekunder dan primer yang berkaitan dengan informasi mengenai modal sosial budaya masyarakat, kearifan lokal, gender, pola interaksi dan komunikasi serta sistem pengambilan keputusan pada kelompok masyarakat yang mengembangkan usaha persuteraan alam.
Analisis Data Analisis Data Aspek Finansial Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat keuntungan investasi dan usaha yang dilakukan oleh usaha persuteraan alam baik pada usaha budidaya ulat sutera (saat ini) dan usaha pengolahan produk sampingnya (adopsi inovasi). Sebelum menentukan kelayakan dari investasi tersebut perlu diketahui dan dianalisis beberapa komponen seperti biaya investasi, biaya produksi, harga jual, pendapatan dan laba rugi. Analisis komponen-komponen tersebut dilakukan dengan beberapa kondisi seperti pada kondisi produksi optimis dan pesimis, kondisi ada atau tidaknya subsidi serta kondisi pengolahan saat ini (pemasukan hanya berasal dari produk benang sutera) dengan kondisi adopsi inovasi (pemasukan ditambah dengan hasil penjualan tepung pury). Unit analisis yang digunakan dalam analisis finansial menggunakan 3 (tiga) indikator kelayakan yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Internal Rate of Retun (IRR). NPV digunakan untuk menghitung selisih penerimaan dengan biaya yang telah didiskonto dan dicompounding. Suatu proyek layak dilakukan jika hasil perhitungan NPV>0 yang artinya nilai NPV positif menunjukkan keuntungan dan sebaliknya bila negatif menunjukkan kerugian. Semakin besar nilai NPV maka semakin menarik usaha tersebut untuk dilakukan. IRR merupakan proyeksi kemampuan proyek mengembalikan semua investasi yang telah ditanamkan seluruh umur proyek. Suatu proyek layak dilaksanakan jika IRR ≥ suku bunga bank yang berlaku untuk proyek tersebut yakni sebesar 12%. Net B/C merupakan perbandingan yang pembilangnya terdiri atas present value (PV) total dari benefit bersih dalam tahun dimana benefit bersih tersebut bersifat positif, sedangkan penyebutnya terdiri atas present value (PV) total dari biaya bersih dalam tahun-tahun dimana benefit bersih (Bt-Ct) bersifat negatif. Suatu proyek dikatakan layak jika nilai dari Net B/C ≥ 1 (lebih dari atau sama dengan satu) (Gray et al. 1997). Rumus NPV, IRR dan Net B/C rasio adalah seperti pada persamaan (1), (2) dan (3).
21 𝑛
𝑁𝑃𝑉 = 𝑡=0
𝐵𝑡 − 𝐶𝑡 1+𝑖 𝑡
………………………………………….. (1)
Keterangan: Bt = manfaat biaya pada tahun ke t Ct = biaya pada tahun ke t t 1/(1+i) = Discounting factor (DF) t = interval waktu i = tingkat suku bunga yang berlaku n = umur ekonomis usaha 𝐼𝑅𝑅 = 𝑖1 +
𝑁𝑃𝑉1 × 𝑖2 − 𝑖1 𝑁𝑃𝑉1 − 𝑁𝑃𝑉2
………..……………………...…. (2)
Keterangan: i1 = suku bunga yang menghasilkan NPV positif i2 = suku bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV1 = NPV positif NPV2 = NPV negatif 𝑁𝑒𝑡 𝐵/ 𝐶 =
𝑛 𝐵𝑡 − 𝐶𝑡 𝑡=0 1+𝑖 𝑡 𝑛 𝐶𝑡 − 𝐵𝑡 𝑡=0 1+𝑖 𝑡
……………………..………………..….. (3)
Keterangan: Bt = manfaat pada tahun ke t Ct = biaya pada tahun ke t t 1/(1+i) = Discounting factor (DF) t = interval waktu i = tingkat suku bunga yang berlaku n = umur ekonomis usaha Nilai Net B/C dan IRR akan menentukan efisiensi suatu proyek dalam penggunaan sumberdaya alam. Makin besar nilai BCR dan IRR berarti penggunaan sumberdaya semakin efisien. Sedangkan nilai NPV akan menjadi besar dengan besarnya proyek. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengkaji sejauh mana perubahan unsur-unsur dalam aspek finansial kegiatan usaha yang dilaksanakan. Analisis ini akan melihat hal yang akan terjadi dengan hasil kegiatan usaha jika terjadi perubahan-perubahan dalam dasar-dasar perhitugan biaya dan manfaat (Kadariah 1999). Analisis sensitivitas (kepekaan) menurut Nugroho (2008) adalah suatu teknik untuk menguji sejauh mana hasil analisis peka terhadap faktor-faktor yang berpengaruh. Kepekaan memiliki arti sebagai besaran perubahan relatif ukuran imbalan atau keuntungan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan estimasi faktor-faktor yang berpegaruh. Analisis Data Aspek Non Finansial Informasi/data aspek teknis dan teknologi, pasar dan pemasaran, manajemen, SDM, yuridis, sosial dan ekologi/lingkungan serta penerimaan konsumen dan produsen dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif dalam bentuk
22 tabulasi. Hal tersebut diperoleh dari data hasil pengisian kuisioner dan wawancara langsung terhadap responden terpilih baik dari kacamata individu, pengusaha, maupun dari proses usaha yang dijalankan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Usaha Persuteraan Alam Kab. Wajo Saat Ini Kegiatan persuteraan alam merupakan salah satu usaha yang bersifat padat karya yang meliputi aspek budidaya tanaman murbei (agronomi), aspek produksi maupun aspek industri. Aspek agronomi mencakup usaha pengelolaan tanaman murbei sebagai pakan dan bibit tanaman. Aspek produksi dimulai dari penyediaan telur ulat sutera, pemeliharaan ulat hingga terbentuk kokon, sampai pemanenan. Aspek industri menyangkut proses pengolahan kokon menjadi benang, termasuk proses penenunan hingga menjadi kain sutera. Pada usaha persuteraan alam yang dilakukan secara massal dalam suatu wilayah di Kelurahan Walennae adalah usaha pemeliharaan ulat sutera hingga pemintalan benang (Gambar 9). Pemeliharaan ulat sutera merupakan salah satu tahap dalam usaha persuteraan alam yang dilakukan setelah petani mendapatkan bibit/telur ulat sutera sehingga masuk dalam aspek produksi. Pelaksanaan pemeliharaan ulat sutera dibagi menjadi dua tahap, yaitu pelaksanaan pemeliharaan untuk ulat kecil dan pelaksanaan pemeliharaan untuk ulat besar. Bibit/telur ulat sutera yang dipelihara oleh petani di Kelurahan Walennae terdapat 2 jenis yaitu jenis F1 yang dihasilkan oleh KPSA Perum Perhutani Soppeng (biasa disebut bibit Perum Perhutani) dan jenis bibit yang disalurkan dari Cina (biasa disebut bibit Cina).
Gambar 9 Mekanisme alur kegiatan usaha persuteraan alam Kelurahan Walennae
23 Pembelian bibit/telur ulat sutera dilakukan melalui jasa Balai Persuteraan Alam Sabbangparu Kab.Wajo dan ketua kelompok tani. Bibit/telur ulat sutera dibeli dalam bentuk paket satuan “boks” dengan harga Rp 110.000/boks (25.000 butir) untuk telur yang berasal dari KPSA Perum Perhutani Soppeng dan Rp 210.000/boks (40.000 butir) untuk telur yang berasal dari Cina (Gambar 10).
A
B
Gambar 10 Jenis bibit ulat sutera, (A) produk Perum Perhutani, (B) produk cina Mulai tahun 2012 peternak mendapatkan bibit telur ulat sutera secara gratis karena diberikan bantuan subsidi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo. Pemberian bantuan subsidi bibit/telur ulat sutera tersebut bertujuan untuk mengurangi biaya produksi sehingga keuntungan yang didapatkan oleh peternak lebih besar dan pada akhirnya diharapkan akan menjadi stimulan bagi peternak untuk terus mengembangkan usaha persuteraan alam.
Gambar 11 Cara pemeliharaan ulat yang baru menetas Ulat sutera akan mulai menetas pada tanggal 13-15 tiap bulannya atau 3-5 hari setelah bibit diterima. Ulat yang baru keluar dari telur kelihatan kecil kehitam-hitaman atau coklat gelap dengan kepala besar, serta badannya masih tertutup rambut. Ulat sutera yang telah menetas selanjutnya diletakkan pada sebuah nampan dan disimpan dengan menggunakan sarung yang digantung (Gambar 11). Penyimpanan ulat sutera yang baru menetas harus benar-benar memperhatikan lingkungan pemeliharaan karena ulat sutera yang baru menetas sangat peka terhadap lingkungan pemeliharaan. Adapun kondisi lingkungan yang
24 berpengaruh pada proses pemeliharaan ulat sutera adalah suhu, kelembaban nisbi, kualitas udara dan aliran udara serta cahaya (Atmosoedarjo et al. 2000). Beberapa permasalahan yang dialami petani dan mempengaruhi kondisi ulat (baik mempengaruhi kualitas produksi maupun menyebabkan kematian) adalah suhu, kualitas udara dan cahaya. Ulat sangat sensitif terhadap kualitas udara yang biasa terpengaruh baik oleh asap rokok, parfum dan pestisida. Penggunaan sarung dilakukan supaya ulat tidak berinteraksi langsung dengan kondisi udara dan penyesuaian terhadap suhu, kelembaban dan cahaya. Kebutuhan suhu dan kelembaban ulat sutera pada setiap stadium sangat berpengaruh terhadap kondisi ulat. Adapun kebutuhan suhu dan kelembaban pada saat pemeliharaan seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Kebutuhan suhu dan kelembaban ulat sutera pada setiap stadium Stadium Suhu (˚C) Telur 24-25 Instar I 27-28 Instar II 26-27 Instar III 26-27 Instar IV 24-25 Instar V 23-25 Pengokonan 23-25 Sumber: Samsijah dan Andadari (1992)
Kelembaban (%) 80-85 85-90 80-85 80-85 70-75 65-70 60-70
Waktu/Hari 3-5 3-4 2-3 3-4 3-4 6-7 3-4
Setelah memasuki instar II, ulat dipindahkan ke rak penempatan ulat. Rak penempatan ulat ini terdapat pada kandang yang dibuat di kolong/bawah rumah peternak (Gambar 12). Kandang ulat yang disediakan berupa kandang permanen yang terbuat dari susunan bambu mengikuti ukuran dinding rumah. Pada kandang beberapa peternak, lantai pada kandang telah dibuat berbahan semen hasil subsidi pemerintah yang dimulai pada tahun 2013. Adapun syarat-syarat kandang ulat yang baik adalah sebagai berikut: Fentilasi cukup Tidak terkena sinar matahari secara langsung Tidak terkena air hujan Jauh dari asap dapur dan bahan-bahan kimia seperti parfum dan pestisida Jauh dari hewan peliharaan dan hewan predator seperti tikus
Gambar 12 Kandang dan rak penempatan ulat
25 Rak yang digunakan untuk menempatkan ulat terbuat dari kayu atau bambu yang dibuat dengan ukuran serta model sesuai kebutuhan jumlah pemeliharaan maupun luas kandang yang tersedia. Sebagian besar kandang dan rak ulat yang dimiliki peternak di Kelurahan Walennae cukup untuk menempatkan ulat dengan kuantitas pemeliharaan 2 boks ulat. Rak dibuat dengan sistem bertingkat 3 dengan ukuran ±3 m x 1,5 m. Sasak (rigen) yang merupakan alas penempatan ulat biasanya menggunakan bambu dan tambahan karung plastik bekas supaya ulat, pakan dan kotoran ulat tidak terjatuh. Tempat pengokonan ulat (TPU) merupakan salah satu alat yang wajib diperlukan dalam usaha persuteraan alam yang digunakan untuk tempat ulat mengokon (Gambar 13). TPU yang digunakan peternak dibuat sendiri oleh peternak menggunakan bambu yang dibuat bertingkat (biasa dikenal dengan istilah “serie pring”) dengan ukuran panjang 150 cm dan lebar 10-30 cm. Setelah melewati instar V, maka ulat sudah mulai menunjukkan tanda-tanda ulat yang akan mengokon (Gambar 14). Adapun tanda-tanda ulat yang mengokon adalah sebagai berikut: a. Tubuhnya bening (transparan) tembus cahaya dan agak mengkerut. Menurut Andadari et al. (2013) hal ini dikarenakan sepasang saluran sutera bertambah besar dan menempati sebagian besar tubuhnya. b. Nafsu makan ulat berkurang atau tidak mau makan dan mengeluarkan kotoran yang besar dan lembek berwarna coklat kekuning-kuningan. c. Cenderung bergerak ke pinggir atau ke tempat yang menurutnya nyaman untuk mengokon dan sambil menggerakkan kepalanya ke atas (seperti menari-nari mencari pegangan untuk mulai membuat kokon). d. Mengeluarkan kelenjar dari mulutnya.
Gambar 13 Tempat pengokonan ulat
Gambar 14 Ulat matang dan aktivitas pemindahan ulat ke tempat pengokonan
26 Ketika tanda-tanda tersebut mulai terlihat, maka ulat-ulat dipindahkan ke tempat pengokonan dengan cara manual yakni mengambil satu per satu ulat yang telah dan atau siap mengokon, dikumpulkan lalu diletakkan ke tempat pengokonan (Gambar 13). Waktu pemindahan ulat ke tempat pengokonan harus tepat pada waktunya. Apabila pemindahan dilakukan terlalu cepat (sebelum ulat matang), ulat-ulat itu akan merayap berkeliaran mengganggu ulat yang sedang mengokon. Hal ini dapat menimbulkan kematian ulat atau kokon yang dihasilkan kecil. Sebaliknya jika terlambat, ulat sudah mulai mengeluarkan banyak serat suer di antara daun-daun murbei dan pada sisa-sisa ranting sehingga ukuran kokon kecil dan bentuknya tidak normal (Andadari et al. 2013). Keberhasilan pemeliharaan ulat sutera dapat dilihat dari jumlah dan kualitas kokon yang dihasilkan. Proses selanjutnya adalah pemintalan kokon menjadi benang. Pemintalan adalah suatu proses melepas satu atau lebih filamen dari kokon dan menyatuhkannya menjadi sehelai benang (sutera mentah atau raw silk) dari panjang yang diinginkan dan ukuran tertentu (Sugiarto, 1980). Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan reeling benang sutera merupakan proses dengan rangkaian kegiatan pengeringan kokon segar, penyimpanan, penyortiran dan pemasakan kokon kering, reeling dan rereeling sampai menjadi benang sutera. Industri reeling sutera di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu industri reeling sutera tradisional, semi otomatis dan otomatis. Seluruh peternak ulat sutera di Kelurahan Walennae menerapkan teknik tradisional yaitu menggunakan alat pintal tradisional yang dibuat sendiri oleh peternak (Gambar 15).
Gambar 15 Alat pemintal dan aktivitas pemintalan kokon menjadi benang Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 6. tingkat produksi kokon hingga saat ini (tahun 2014) yang mampu dihasilkan dari usaha pemeliharan ulat sutera di Kelurahan Walennae berkisar antara 18-25 kg/box (bibit telur Perum Pehutani) dan 25-40 kg/boks (bibit telur cina) atau sekitar 416.771 Kg kokon pertahun. Produksi benang dan kokon tertinggi dihasilkan pada bulan Januari (337 Kg benang dan 1.805 Kg kokon) dan diikuti bulan September (125,08 Kg benang dan 790 Kg kokon) dan Maret sebesar 117,40 Kg benang dan 903,50 Kg kokon. Berdasarkan data produksi tersebut terlihat jelas bahwa produksi yang dihasilkan dari bibit yang berasal dari Perum Perhutani lebih rendah daripada bibit yang berasal dari Cina. Namun ketersediaan bibit dari Cina terbatas karena tidak dikelola langsung oleh BPA sebagai penyalur resmi bibit/telur ulat sutera. Namun
27 bibit/telur ulat sutera cina hanya tersedia pada bulan Januari-April dan bulan September 2014. Hal ini juga yang turut mempengaruhi kemauan petani untuk melanjutkan usaha persuteraan alam. Tabel 6 Produksi usaha persuteraan alam Kelurahan Walennae tahun 2014 Penyerapan Produksi Produksi Bibit (Boks) Kokon (Kg) Benang (Kg) Jumlah Bulan Jumlah Jumlah Perum Cina Perum Cina Perum Cina Jan 81,50 81,50 - 1.805,20 1.805,20 - 337,83 337,83 Feb 14,50 10,00 24,50 - 353,00 353,00 - 50,30 50,30 Mar 14,50 16,00 30,50 348,20 512,90 861,10 43,40 74,00 117,40 Apr 24,00 15,00 39,00 524,20 379,30 903,50 65,70 47,78 113,48 Mei 33,50 33,50 604,20 - 604,20 75,90 75,90 Juni 22,00 22,00 265,00 - 265,00 29,43 29,43 Juli 14,00 14,00 129,20 - 129,20 17,2 17,20 Agus 6,50 6,50 52,50 52,50 6,70 6,70 Sep 18,00 17,25 35,25 95,00 695,00 790,00 11,88 113,20 125,08 Okt 9,00 7,00 16,00 216,90 - 216,90 27,10 27,10 Nov 7,00 7,00 138,90 - 138,90 17,45 17,45 Des 7,00 7,00 120,00 - 120,00 15,00 15,00 Jumlah 170,00 146,75 316,75 2.494,10 3.745,40 6.239,50 309,76 623,11 932,86 18.000,00
Produksi Kokon (Kg)
Tingkat Produksi (kg)
16.000,00 14.000,00
Produksi Benang (Kg)
12.000,00 10.000,00 8.000,00 6.000,00 4.000,00 2.000,00 0,00
2010
2011
2012 Tahun
2013
2014
Gambar 16 Tingkat produksi kokon dan benang pada tahun 2010-2014 di Kelurahan Walennae Produksi benang dan kokon di Kelurahan Walennae rata-rata 65-70% dari produksi Kabupaten Wajo sehingga produksi Kelurahan Walennae dapat merepresentasikan tingkat produksi Kabupaten Wajo. Grafik pada Gambar 16 menunjukkan bahwa tingkat produksi kokon dan benang di Kelurahan Walennae mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Tingkat produksi cenderung meningkat pada tahun 2013 dan menurun drastis pada tahun 2014.
28 Kondisi produksi benang sutera yang terus menurun berpengaruh terhadap produksi kain sutera Wajo. Pasokan benang sutera tidak dapat memenuhi kebutuhan bahan baku kain sutera. Selama ini banyak penenun memasok bahan baku dari Soppeng dan Enrekang bahkan impor dari Cina dan India. Tantangan yang masih terjadi pada usaha pemeliharaan ulat sutera ini adalah mutu produk hasil kokon yang masih tergolong rendah sehingga berdampak pada rendahnya harga jual. Kondisi ini berpengaruh terhadap pendapatan dan kesejahteraan petani pemelihara ulat sutera. Walaupun demikian hampir semua produk hasil tersebut masih terserap oleh pasar disebabkan karena tingginya permintaan pasar. Selama ini sutera Wajo susah berkembang karena kebijakan awal yang dibentuk berupa sistem klaster. Kebijakan klaster adalah kebijakan nasional persuteraan alam yang digeneralisasi pada semua wilayah. Sistem klaster tersebut mengkhususkan Wajo sebagai lokasi tenun dan Soppeng serta Enrekang sebagai penghasil benang. Kondisi ini membuka peluang bagi produsen benang sutera yang berada di Soppeng dan Enrekang untuk melakukan sistem monopsoni dimana penenun Wajo menjadi ketergantungan terhadap pasokan bahan baku dari kedua kabupatena tersebut. Kerapkali produsen benang tidak menyediakan benang sutera secara berkelanjutan sehingga mempengaruhi produksi kain sutera Wajo. Kebijakan ini tidak cocok diterapkan di Kabupaten Wajo karena pengusaha masing-masing mempunyai strategi dalam berusaha dan tidak bisa disatukan dan menganggap bahwa tiap perusahaan mempunyai rahasia perusahaan. Selain itu, pembentukan pokja hanya mengandalkan pengurus daerah dan beban operasional seharusnya ditanggung pemerintah. Akibatnya kebijakan ini tidak berjalan baik di Kabupaten Wajo, padahal Kabupaten Wajo adalah sentra pertenunan sutera di Sulawesi Selatan (Sadapotto 2012). Aktor yang terlibat dalam program klaster persuteraan alam ini adalah Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Kebijakan nasional klaster persuteraan alam perlu mempertimbangkan karakteristik daerah misalnya Kabupaten Wajo karena karakteristik pengusahanya yang berbeda dengan daerah lain dalam hal pemasaran produk dan inovasi produk untuk meningkatkan nilai tambah produk. Pengusaha menginginkan pemasaran keluar negeri karena pemasaran dalam negeri khususnya industri pertenunan di Jawa masing-masing sudah mempunyai pemasok. Kelompok kerja berpendapat bahwa suara mereka juga perlu didengar dalam rangka peningkatan kuantitas dan kualitas produksi serta inovasi produk untuk meningkatkan nilai tambah produk. Kajian Aspek Finansial a. Biaya investasi Investasi merupakan pengeluaran untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang dengan tujuan untuk menghasilkan keluaran barang atas jasa agar dapat diperoleh manfaat yang lebih besar di masa yang akan datang, selama dua tahun atau lebih (Haming dan Basalamah 2010). Biaya investasi pemeliharaan ulat sutera terdiri dari biaya pembuatan alat pintal, biaya pembelian bambu, kayu, bahan pembuatan lantai dan paket penerangan berupa lampu, kabel, dll. Biaya investasi ini digunakan untuk biaya pembuatan alat pemintal, biaya pembuatan sasak, kandang dan tempat kokon berupa biaya pembelian bambu, kayu dan lampu sekaligus biaya tenaga kerja yang membuatnya (Tabel 7).
29 Sebagian besar alat dan bahan investasi ini dapat diperoleh di daerah setempat. Ada sebagian besar yang mendapatkan secara gratis karena tersedia di kebun sendiri. Biaya investasi yang harus dikeluarkan oleh petani ketika ingin memulai usaha persuteraan alam adalah sebesar Rp 2.880.000. Biaya terbesar adalah biaya pembelian dan pembuatan lantai di dalam kandang. Tingginya biaya pembelian bahan pembuatan lantai ini membuat sebagian petani menunda pembuatan lantai dan dilakukan secara berangsur sehingga lantai masih dibiarkan menggunakan tanah. Tabel 7 Biaya investasi alat produksi usaha persuteraan alam (saat ini) No
Uraian
Volume
1
Alat Pintal Bambu (sasak/alas, tempat kokon, dinding) Kayu (tiang) Lantai Lampu
1
300.000
300.000
30
15.000
450.000
6 1 2
15.000 2.000.000 20.000 Jumlah Biaya
90.000 2.000.000 40.000
2 3 4 5
Harga satuan
Jumlah
2.880.00
b. Biaya Produksi, HPP dan Laba Rugi Perhitungan biaya produksi bertujuan untuk mengetahui besarnya proporsi biaya yang dikeluarkan untuk setiap komponen biaya produksi, sehingga dari hasil yang diperoleh dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan proses produksi dan harga pokok produksi. Secara umum komponen biaya produksi meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang tidak akan berubah secara total selama periode waktu tertentu, sekalipun terjadi perubahan yang besar atas tingkat aktivitas atau volume terkait. Biaya variabel (variable cost) adalah biaya yang secara total berubah seiring dengan perubahan tingkat atau volume yang terkait (Horngren 2006). Suatu usaha dapat menetapkan harga jual dengan tepat apabila perusahaan dapat menghitung harga pokok produk dengan tepat sehingga produk tidak overcosted (dibebani biaya lebih dari yang seharusnya) dan juga tidak undercosted (dibebani biaya kurang dari yang seharusnya) (Martusa dan Adie 2011). Penentuan harga pokok produk benang sutera dan tepung pury dilakukan dengan metode full costing yakni metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi kedalam harga pokok produksi yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead baik yang berperilaku tetap maupun variabel. Pada umumnya dalam pembuatan produk terdapat dua kelompok biaya yaitu biaya produksi dan biaya non produksi. Biaya produksi merupakan biaya yang dikeluarkan dalam pengolahan bahan baku menjadi produk sedangkan biaya nonproduksi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan non produksi seperti kegiatan pemasaran dan administrasi. Biaya produksi membentuk harga pokok produksi yang digunakan untuk menghitung harga pokok produk jadi dan harga pokok produk yang pada akhir periode akuntansi masih dalam proses. Biaya non produksi ditambahkan pada harga pokok produksi untuk menghitung total harga pokok produk. Pada usaha persuteraan alam yang dijalankan oleh petani di
30 Kelurahan Walennae hanya fokus pada aspek produksi dimana biaya yang dikeluarkan berupa biaya bahan utama, bahan pendukung, bahan bakar, tenaga kerja dan lain-lain. Tidak ada proses pemasaran secara intensif karena proses penjualan dilakukan dan dikoordinir oleh ketua kelompok tani atau pengepul benang sutera. Benang sutera yang dihasilkan akan selalu terjual dengan penentuan harga dilakukan oleh mekanisme pasar. Komponen biaya produksi pada usaha persuteraan alam adalah biaya tetap yang terdiri dari depresiasi (penyusutan), gaji karyawan dan biaya listrik serta biaya variabel yang terdiri dari biaya bahan baku (bibit/telur ulat sutera), kaporit, kapur, biaya pakan, kayu bakar dan transportasi. Kondisi saat penelitian, biaya produksi dipengaruhi oleh kebijakan subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pada tahun 2012 sampai dengan bulan Juni 2014, pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi untuk membantu pembelian bahan baku bibit/telur ulat sutera, kaporit dan kapur. Pada bulan Juli sampai Desember 2014, stok bahan baku subsidi dari pemerintah telah habis sehingga petani harus membeli dan mengeluarkan biaya sendiri. Hal inilah yang melandasi adanya perbedaan perhitungan analisis biaya produksi berupa kondisi dengan subsidi dan tanpa subsidi. Pada proses produksi benang sutera (Tabel 8), biaya variabel lebih tinggi daripada biaya tetap baik pada kondisi adanya subsidi maupun tanpa subsidi. Biaya variabel terbesar yang dikeluarkan adalah biaya pembelian pakan berupa daun murbei yaitu sebesar Rp 600.000. Biaya pakan ini dikeluarkan untuk membeli 60 ikat daun murbei dengan harga Rp 10.000 setiap ikatnya. Harga daun murbei adalah harga yang biasa digunakan oleh petani ketika kekurangan pakan dan harus membeli kepada petani lain. Sehingga tidak dihitung berdasarkan rantai produksi usaha tani penanaman murbei. Selain itu ditemukan kesulitan dalam menghitung biaya usahatani tanaman murbei karena dalam proses penanaman murbei tidak dilakukan secara khusus pada sebidang lahan. Biaya terbesar kedua adalah biaya pembelian bahan baku utama berupa bibit/telur ulat sutera. Bibit ulat sutera dibeli dengan harga Rp 110.000 per boks sehingga bila produksi dilakukan dengan bahan baku 2 boks maka biaya yang diperlukan adalah Rp 220.000. Harga bibit ulat sutera ditentukan oleh Perum Perhutani atau PSU Soppeng. Kondisi ini berbeda ketika adanya subsidi pemerintah dimana biaya pembelian bibit/telur ulat sutera diberikan gratis oleh pemerintah sehingga tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh petani. Upah tenaga kerja dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan petani ketika menggunakan tenaga kerja tambahan untuk proses pemintalan yaitu sebesar Rp 40.000/Kg. Pada perhitungan biaya produksi digunakan dua besaran biaya upah tenaga kerja karena besarnya biaya upah tenaga kerja untuk pemintal dipengaruhi oleh besarnya produk benang yang dihasilkan. Kondisi pesimis merupakan kondisi dimana hasil produksi minimal yaitu sebesar 1,82 Kg/boks dan kondisi optimis merupakan kondisi dimana hasil produksi dalam kondisi minimal yaitu sebesar 5,28 Kg/boks. Kondisi produksi pesimis dan optimis didasarkan pada data hasil produksi yang dihasilkan di Kelurahan Walennae dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Biaya transportasi dalam proses pemesanan dan pengambilan bahan baku, penjualan produk serta operasional lainnya adalah sebesar Rp 12.800 (diasumsikan menggunakan 2 liter bahan bakar minyak premium).
31 Tabel 8 Analisis biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam saat ini (dengan dan tanpa subsidi) No 1
Uraian
Jumlah Biaya Tanpa subsidi
Dengan subsidi
Biaya Investasi Alat Pintal 300.000 300.000 Bambu 450.000 Kayu (tiang) 30.000 Lantai 2.000.000 Lampu 80.000 80.000 Total Biaya Investasi 2.860.000 380.000 2 Biaya Produksi a. Biaya Tetap Listrik 5.000 5.000 Gaji Tenaga Kerja 900.000 900.000 Penyusutan 34.833 34.833 Total Biaya Tetap 939.833 939.833 b. Biaya Variabel Bibit ulat 220.000 Kaporit 10.000 Kapur 5.000 Pakan 600.000 600.000 Kayu Bakar 10.000 10.000 Transportasi 12.800 12.800 a Upah Tenaga Kerja 145.600 145.600 b Upah Tenaga Kerja 422.400 422.400 a Total Biaya Variabel 1.003.400 468.400 b Total Biaya Variabel 1.280.200 745.200 a Total Biaya Produksi 1.943.233 1.708.233 b Total Biaya Produksi 2.220.033 1.985.033 a 3 Harga Pokok Produksi/Kg 533.855 469.295 b Harga Pokok Produksi/Kg 210.230 187.977 4 Pendapatan a Penjualan Benang 1.820.000 1.820.000 b Penjualan Benang 5.280.000 5.280.000 5 Laba Bersih/bulana (123.233) 111.767 b Laba Bersih/bulan 3.059.967 3.294.967 a b [Kondisi pesimis], [Kondisi optimis] Berdasarkan perhitungan semua biaya produksi tersebut, total biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani setiap kali produksi (1 bulan) pada produksi optimis adalah sebesar Rp 1.985.033 (dengan subsidi) dan Rp 2.220.033 (tanpa subsidi) serta Rp 1.708.233 (dengan subsidi) dan Rp 1.943.233 (tanpa
32 subsidi) pada kondisi produksi pesimis. Terdapat perbedaan sebesar Rp 235.000 pada kondisi dengan dan tanpa subsidi tersebut. Subsidi tersebut diberikan dengan adanya program pengadaan secara gratis bibit/telur ulat sutera dan kaporit serta kapur. Pada kondisi tanpa subsidi harga pokok produksi benang sutera yang dihasilkan dari 2 boks ulat sutera adalah sebesar Rp 533.855/Kg (pesimis) dan Rp 210.230/Kg (optimis). Sedangkan apabila diberikan subsidi maka harga pokok produksi adalah sebesar Rp 469.295/Kg (pesimis) dan Rp 187.977/Kg (optimis). Besarnya hasil produksi yang dihasilkan memberi dampak signifikan pada harga pokok produksi. Harga jual adalah nilai yang akan diterima oleh perusahan dimana didalamnya terdapat keuntungan usaha sebagai akibat dari penyerahan barang atau jasa kepada pembeli atau pelanggan (Slat 2013). Harga jual benang sutera adalah sebesar Rp 500.000/Kg sehingga pendapatan yang dapat diterima oleh petani adalah sebesar Rp 1.820.000 pada kondisi produksi pesimis dan Rp 5.280.000 pada kondisi produksi optimis. Harga jual ini ditentukan secara sepihak oleh pengumpul benang sutera dengan mempertimbangkan mekanisme pasar. Berdasarkan perbandingan antar harga pokok produksi (yang dihitung dengan metode full costing) dengan harga jual yang ditetapkan oleh mekanisme pasar, harga jual saat ini (mekanisme pasar) lebih tinggi dari pada harga pokok produksi kecuali pada kondisi produksi pesimis dan tanpa pemberian subsidi oleh pemerintah. Pada produksi optimis, keuntungan/laba setiap bulan dari usaha persuteraan alam adalah sebesar Rp 3.059.967 (tanpa subsidi) dan Rp 3.294.967 (dengan subsidi). Keuntungan yang sangat besar dapat diperoleh oleh petani bila tingkat produksi benang sutera didapat secara maksimal. Hal inilah yang membuat usaha persuteraan alam berkembang pesat dan terus berlanjut di Kelurahan Walennae sampai dengan tahun 2013. Pada kondisi ini, petani melakukan usaha persuteraan alam secara serius dan menjadikannya sebagai pendapatan utama. Pada produksi pesimis, keuntungan/laba dari usaha persuteraan alam adalah sebesar Rp -123.233 (tanpa subsidi) dan Rp 111.767 (dengan subsidi). Kondisi rugi dialami apabila produksi tidak memenuhi target. Kondisi ini dipengaruhi oleh kualitas bibit/telur ulat sutera dan lingkungan serta metode pemeliharaan ulat sutera yang tidak berkualitas. Kondisi ini menurunkan tingkat inflow/pemasukan yang didapatkan oleh petani dan kerapkali terjadi saat ini (terutama tahun 2014) sehingga membuat beberapa orang petani tidak tertarik lagi melakukan usaha persuteraan alam. Petani tidak mau mengambil resiko kerugian dan membebani/mempengaruhi penghasilan petani. Dari sudut pandang finansial, karena laba yang dihasilkan oleh petani adalah negatif (rugi) maka usaha ini dapat dianggap tidak layak. Namun dalam perhitungan ini di asumsikan bahwa petani yang memelihara ulat mendapatkan gaji sebesar Rp 30.000/hari. Sehingga selain dari laba yang didapat tersebut, petani juga mendapat pemasukan dari hasil gaji selama 30 hari yaitu sebesar Rp 900.000. c. Analisis Kelayakan Finansial Kriteria yang digunakan dalam analisis kelayakan finansial ini terdiri dari Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Net Benefit Cost Ratio (Net B/C). Untuk menentukan layak atau tidaknya proyek/usaha tersebut dijalankan, perlu diperhitungkan pula perubahan nilai uang terhadap waktu atau
33 faktor diskonto. Hal ini dikarenakan proyek arus uang yang dilakukan untuk menghitung kriteria kelayakan investasi tersebut diproyeksikan hingga jangka waktu yang cukup panjang (dalam proyek ini adalah 10 tahun). Selama umur proyek tersebut, nilai uang akan terus berubah sehingga perlu digunakan metode yang dapat memperhitungkan perubahan nilai uang terhadap waktu tersebut. Dengan teknik tersebut, nilai manfaat dan biaya pada masa mendatang dapat diturunkan menjadi nilai manfaat dan biaya pada masa sekarang. Perhitungan perubahan nilai uang terhadap waktu tersebut (faktor diskonto/discount factor) menggunakan tingkat suku bunga 12% yang merupakan suku bunga pinjaman Bank Indonesia pada tahun 2014. Hasil analisis kelayakan finansial usaha budidaya ulat sutera disajikan pada dua kondisi yaitu kondisi optimis dan pesimis. Kondisi optimis merupakan kondisi dimana tingkat produksi usaha persuteraan alam dapat menghasilkan hasil yang optimal, sedangkan kondisi pesimis merupakan kondisi dimana tingkat produksi berada pada tingkat minimal. Tingkat produksi disesuaikan dengan data produksi secara series dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Berdasarkan Gambar 23 disebutkan bahwa tingkat produksi benang tertinggi (optimis) dari rata-rata tingkat produksi yang dapat dicapai adalah sebesar 5,28 Kg/boks dan tingkat produksi terendah (pesimis) adalah sebesar 1,82 Kg/boks. Kedua angka tersebut dijadikan sebagai dasar dalam angka kuantitas/volume produksi yang selanjutnya akan dikalikan dengan harga benang. Harga benang pada saat dilakukan penelitian adalah sebesar Rp 500.000. Perkalian dari kuantitas dan harga akan menghasilkan total inflow. Penyajian data juga dilakukan dengan 2 pendekatan waktu yaitu waktu saat ini dan pada saat diadakan adoposi inovasi. Tabel 9 menunjukkan perhitungan NPV, IRR dan Net B/C pada waktu saat ini dengan kondisi produksi optimis dan pesimis. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa NPV saat ini pada kondisi produksi optimis adalah sebesar Rp 235.167.900. Artinya, jumlah manfaat bersih yang diterima petani selama 10 tahun dengan discount factor 12% adalah sebesar Rp 235.167.900. Berdasarkan kriteria kelayakan NPV, usaha persuteraan alam layak dilaksanakan karena nilai NPV > 0. Tabel 9 NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam saat ini pada kondisi produksi optimis dan pesimis Kriteria Kelayakan Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C
Saat Ini
Optimis 235.167.900 -
Pesimis 3.229.402 48% 2,71
Nilai IRR dan Net B/C pada kondisi ini adalah tak terhingga. Hal ini disebabkan karena nilai net benefit dari tahun ke 0 sampai dengan tahun ke 10 menghasilkan nilai positif. Artinya nilai benefit/keuntungan dapat selalu menutupi nilai cost/biaya walaupun pada awal dimulainya proyek/usaha. Nilai IRR dan Net B/C yang bernilai tak terhingga menunjukkan bahwa usaha persuteraan alam layak dilaksanakan. Hal berbeda terjadi pada nilai kelayakan finansial usaha persuteraan alam saat ini pada kondisi produksi pesimis. Nilai NPV adalah sebesar Rp 3.229.402,
34 IRR 48% dan Net B/C 2,71. Nilai-nilai kelayakan finansial pada kondisi produksi pesimis jauh lebih rendah dibandingkan pada kondisi produksi optimis. Namun berdasarkan ketiga analisis tersebut, usaha persuteraan alam masih tergolong layak untuk dilaksanakan. Lebih menarik lagi karena nilai IRR dan Net B/C dapat terlihat secara kuantitatif. Hal ini disebabkan adanya salah satu nilai PV Net Benefit yang bernilai negatif yaitu terjadi pada tahun ke 0 dimana nilai PV Net benefit sebesar -1.886.200 (lampiran 7). d. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perubahan pada tingkat manfaat dan biaya dapat terjadi sehingga masih memenuhi kriteria kelayakan investasi. Variabel sensitivitas yang digunakan dalam analisis usaha persuteraan alam adalah harga jual kokon dan biaya operasional (Lestari 2012). Analisis sensitivitas dilakukan pada kondisi usaha persuteraan alam saat ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu saat produksi optimis dan pesimis dengan variabel penurunan harga jual kokon sebesar 10% dan peningkatan biaya operasional sebesar 10%. Dari hasil analisis sensitivitas akan diketahui variabel mana yang lebih peka ketika terjadi perubahan yang akan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan suatu usaha (Tabel 10). Tabel 10 Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada kondisi produksi optimis dan pesimis Uraian
Normal
P -10%a Nilai Δ (%)
Produksi optimis NPV (Rp) 235.167.900 193.032.087 IRR (%) Net B/C Produksi pesimis NPV (Rp) 3.229.402 -11.294.685 IRR (%) 48% Net B/C 2,71 -
C +10%b Nilai Δ (%)
17,92 -
216.913.437 -
7,76 -
449,75 -
-10.607.185 -
428,46 -
[Penurunan harga jual kokon sebesar 10%], b[Peningkatan biaya operasional sebesar 10%]
a
Berdasarkan simulasi perhitungan pada kondisi produksi optimis, nilai NPV lebih berpengaruh pada variabel penurunan harga jual kokon. Nilai persentasenya adalah sebesar 17,92% sedangkan pada variabel peningkatan biaya operasional persentasenya adalah sebesar 7,76%. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha budidaya pada skala kondisi produksi optimis tetap layak dilakukan meskipun terjadi penurunan nilai NPV sedangkan nilai IRR dan Net B/C tetap tidak dapat dihitung (terhitung tak terhingga) karena NPV bernilai positif dari tahun ke nol hingga akhir proyek. Pada kondisi produksi pesimis, nilai NPV, IRR dan Net B/C mengalami penurunan signifikan. Kondisi usaha persuteraan alam yang awalnya dinyatakan layak maka terjadi perubahan dan dikategorikan sebagai usaha yang tidak layak dilaksanakan. Hal ini disebabkan NPV bernilai kurang dari nol (negatif), IRR kurang dari suku bunga bank (bernilai tak terhingga karena terlalu kecil) dan Net B/C tidak dapat dihitung karena nilai NPV bernilai negatif dari tahun ke nol
35 hingga akhir proyek. Secara keseluruhan, variabel penurunan harga jual kokon lebih besar pengaruhnya pada kondisi usaha dari pada variabel peningkatan biaya operasional. Kajian Aspek Non Finansial Pada kondisi usaha persuteraan alam yang mengalami penurunan, selain faktor finansial terdapat beberapa faktor lain yang ikut berpengaruh besar. Faktor tersebut adalah pada aspek non finansial berupa aspek teknis dan teknologi, aspek pasar dan pemasaran, aspek manajemen, aspek Sumberdaya Manusia (SDM), aspek legalitas, aspek ekologi/lingkungan dan aspek sosial. a. Aspek Teknis dan Teknologi Pengkajian aspek teknis dan teknologi dimaksudkan untuk memberikan batasan garis besar parameter-parameter teknis yang berkaitan dengan perwujudan fisik program dan usaha. Beberapa indikator yang dikaji dalam kajian aspek teknis dan teknologi adalah lokasi usaha, ketersediaan sumberdaya dan penerapan teknologi. Kajian pada aspek ini sangat penting karena menyangkut keberlanjutan dari usaha dan program yang dijalankan. Selain itu, dengan adanya kajian terhadap aspek ini juga akan menjadi pertimbangan dalam perumusan strategi produki yang efektif dan efisien. Penempatan lokasi usaha berpengaruh terhadap biaya operasional dan biaya investasi sehingga perlu dilakukan sebaik mungkin dengan mempertimbangkan berbagai faktor (Suliyanto 2010). Lokasi pemeliharaan ulat dengan tempat tinggal dan lokasi pakan terletak pada lokasi yang sama. Kandang pemeliharaan ulat terletak di bawah/kolong rumah sehingga memudahkan pemeliharaan dan pengawasan.
Gambar 17 Tanaman murbei ditanam sebagai tanaman pagar dan di tepi Sungai Walennae Letak kebun murbei dengan rumah ulat secara umum berdekatan, yaitu disekitar rumah hingga perkebunan yang berjarak sekitar 300 m. Seperti ditunjukkan pada Gambar 17. kebun murbei tidak dibuat khusus peruntukan untuk tanaman murbei, namun menjadi tanaman “pagar” yang mengelilingi lahan dengan komoditi lainnya seperti jagung, kakao, dll. Kondisi ini yang mempersulit petani, penyuluh ataupun peneliti untuk mengetahui luasan lahan murbei yang dimiliki oleh petani. Selain itu, tanaman murbei juga ditanam di sepanjang tepi Sungai Walennae yang mengelilingi Kelurahan Walennae.
36 Selain faktor lokasi dan tempat usaha, faktor lainnya yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan sumberdaya produksi. Menurut Andadari et al. (2013) terdapat beberapa sumberdaya produksi yang perlu diperhatikan untuk menjamin berhasilnya suatu pemeliharaan ulat sutera, yaitu tersedianya daun murbei yang cukup (baik kualitas maupun kuantitasnya), bibit/telur ulat sutera yang unggul dan bebas penyakit dan penguasaan teknik pemeliharaan. Sumber daya produksi dalam kegiatan persuteraan alam di Kelurahan Walennae mengalami beberapa kendala baik pada kebutuhan murbei maupun bibit ulat sutera. Daun murbei merupakan bahan baku yang menjadi pakan utama ulat sutera. Ulat sutera yang baru menetas membutuhkan daun murbei muda (pucuk) dan ulat sutera yang tergolong ulat besar (instar 3-5) membutuhkan daun murbei tua untuk menjadi bahan makanannya. Daun murbei diberikan pada pagi dan sore hari dengan kuantitas daun tergantung ukuran ulat. Ketersediaan tanaman murbei mempengaruhi tingkat produksi ulat (jumlah serapan bibit telur). Ketersediaan pakan berupa daun murbei sebagai pakan ulat sutera merupakan salah satu faktor penting dalam usaha persuteraan alam. Jumlah dan kualitas daun murbei mempengaruhi kesehatan ulat, produksi dan kualitas kokon. Kualitas kokon pada akhirnya menentukan kualitas dan kuantitas benang sutera yang dihasilkan. Pengaruh pakan terhadap kualitas kokon telah banyak diteliti para pakar persuteraan. Kaomini (2003) menyatakan bahwa daun murbei dengan nutrisi yang baik akan meningkatkan daya tahan ulat terhadap serangan penyakit dan meningkatkan produksi kokon 20% lebih banyak. Sasminto (1998) menekankan bahwa pada kandungan unsur kimia dalam daun murbei yang berpengaruh terhadap kesehatan ulat serta mutu kokon yang dihasilkan. Kandungan unsur kimia penting dalam daun murbei yang dibutuhkan ulat sutera adalah kandungan air, protein, karbohidrat dan kalsium (Ca). Produksi kokon yang berkualitas baik juga sangat ditentukan oleh jenis tanaman murbei yang unggul. Ketersediaan pakan dipengaruh oleh 2 faktor yaitu oleh pola tanam yang dilakukan oleh petani dan bencana alam yang terjadi seperti banjir dan serangan hama serta penyakit pada tanaman murbei. Pola tanam yang selama ini diterapkan belum bisa memberikan pendapatan yang tinggi bagi para petani karena adanya ancaman gagalnya panen akibat hama dan penyakit baik pada tanaman murbei maupun pada ulat. Penerapan sistem agroforestri merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ancaman gagal panen ulat dan menghasilkan jenis tanaman lain. Dhyani et al (1996) menyatakan bahwa tingkat keberhasilan sistem agroforestri dengan memadukan tanaman murbei dengan tanaman sayuran serta buah-buahan terbukti dapat meningkatkan penghasilan bagi petani di India dan lebih bersifat konservatif terhadap kondisi tanah. Melihat tren produksi kokon di Kelurahan Walennae dari tahun 2010-2014 (Gambar 18), produksi kokon mengalami penurunan secara simultan dan drastis pada bulan Februari-Maret dan Juni-Agustus. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya tren produksi ini adalah ketersediaan pakan berupa daun murbei. Ketersediaan tanaman murbei di Kelurahan Walennae dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya iklim dan persaingan dengan jenis tanaman lainnya. Faktor iklim yang sangat berpengaruh adalah kelembaban dan curah hujan. Kelurahan Walennae mengalami curah hujan tinggi rata-rata 2 kali dalam setahun yaitu pada bulan Februari-Maret dan pada bulan Juni-Agustus. Kondisi ini kerapkali mengakibatkan meluapnya Sungai Walennae. Kondisi banjir yang biasa
37 terjadi setiap tahunnya (Gambar 19) merusak tanaman murbei karena pada kondisi tersebut daun murbei tenggelam oleh lumpur yang mengganggu pertumbuhannya. Menurut Andadari et al. (2013) produksi daun murbei pada musim kemarau dan musim hujan sangat berbeda, produksi daun tertinggi pada musim kemarau. Ulat sutera tidak mendapat pasokan pakan yang cukup secara kuantitas dan kualitas sehingga produksi cenderung gagal karena banyaknya ulat yang mati. Kalaupun tidak mati, maka pertumbuhannya kurang maksimal sehingga kualitas kokon yang dihasilkan rendah (cenderung tipis dan kecil). 3.500,00
2014
2013
2012
2011
2010
3.000,00
Produksi (kg)
2.500,00 2.000,00 1.500,00 1.000,00 500,00 -
1
2
3
4
5
6 7 Bulan
8
9
10
11
12
Gambar 18 Perkembangan produksi kokon Kelurahan Walennae
Gambar 19 Kondisi tanaman murbei dan rumah ulat yang terkena banjir Penurunan juga kerapkali terjadi pada musim kemarau disaat lahan mengalami produktivitas tinggi. Pada kesempatan ini masyarakat/petani lebih cenderung memilih tanaman musiman seperti jagung dan tanaman jangka pendek seperti kakao. Murbei hanya dijadikan sebagai pembatas lahan sehingga produksi ulat menurun atau stagnan. Jagung merupakan komoditi utama yang usahakan masyarakat di Kecamatan Sabbangparu terutama Kelurahan Walennae. Berdasarkan data produksi jagung Kabupaten Wajo, Sabbangparu merupakan kecamatan dengan tingkat produksi terbesar kedua (31%) setelah Kecamatan Belawa (38%) (Gambar 20). Komoditi ini kerapkali menjadi komoditi saingan
38 yang juga didukung oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Wajo karena produktivitasnya yang termasuk tinggi. Produksi jagung menempati posisi kedua setelah padi sehingga menjadi komoditi prioritas yang dikembangkan di Wajo. Maniangpajo 1% Gilireng 1% Keera 7%
Pitumpanua 3%
Sabbangparu 31%
Belawa 38%
Tanasitolo 6%
Pammana 8%
Majauleng 2%
Penrang 0%
Tempe 1%
Bola 1%
Takkalalla 1% Sajoanging 0%
Gambar 20 Tingkat produksi jagung menurut kecamatan di Kabupaten Wajo tahun 2012 Seperti ditunjukkan Gambar 21. banyak petani terutama wanita yang lebih tertarik mengurus jagung apalagi disaat panen. Hal ini disebaban karena upah yang didapatkan lebih tinggi daripada pendapatan dari memelihara ulat sutera. Upah tenaga kerja untuk tahap pemanenan jagung adalah sebesar Rp 40.000/hari. Angka ini sangat jauh bila dibandingkan dengan upah tenaga kerja pemeliharaan ulat sutera. Sehingga pada masa ini, pemeliharaan ulat sutera terbengkalai karena dianggap sebagai usaha sampingan untuk menambah pendapatan.
Gambar 21 Komoditi jagung dan kakao yang menjadi pesaing murbei Selain pakan, sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung usaha persuteraan alam dan berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan
39 adalah jenis bibit/telur ulat sutera yang dipelihara. Produktivitas dan daya tahan telur varietas cina lebih tinggi dari pada varietas yang dikeluarkan Perum Perhutani. Pada sumber ulat sutera yang berasal dari Perum Perhutani, peternak bisa menghasilkan rata-rata 12% benang dari kokon yang dihasilkan sedangkan bila menggunakan sumber telur ulat sutera Cina, peternak bisa menghasilkan benang sebanyak 17% dari kokon yang dihasilkan. 6,00
5,28
5,10
Tingkat Produksi (kg)
5,00
4,25
4,00 3,00
3,07
2,91
2,83
2,72
1,82
2,00 1,00 0,00
0,00 Perum
Cina
2010
0,00 Perum
Cina
2011
Perum
Cina
2012
Perum
Cina
2013
Perum
Cina
2014
Gambar 22 Rata-rata produksi benang sutera per 1 boks bibit ulat sutera jenis lokal (Perum) dan Cina tahun 2010-2014 di Kelurahan Walennae 45,00
39,97
Tingkat Produksi (kg)
40,00
34,11
35,00 30,00 25,00
25,03
24,61
21,44
25,52
22,72
20,00
14,67
15,00 10,00 5,00 0,00
0,00 Perum
Cina
2010
0,00 Perum
Cina
2011
Perum
Cina
2012
Perum
Cina
2013
Perum
Cina
2014
Gambar 23 Rata-rata produksi kokon per 1 boks bibit ulat sutera jenis lokal (Perum) dan Cina tahun 2010-2014 di Kelurahan Walennae Produksi tinggi ketika ada penyerapan bibit telur varietas cina. Berdasarkan Gambar 22 dan 23. dengan menggunakan bibit/telur dari Perhutani, rata-rata produksi tertinggi yang dapat dihasilkan dari 1 boks bibit ulat sutera adalah sebesar 3,07 kg/box benang (tahun 2011) dan 25,03 kg kokon (tahun 2012). Sedangkan verietas cina, rata-rata produksi tertinggi yang dapat dihasilkan adalah
40 sebesar 5,28 kg/box benang (tahun 2012) dan 39,97 kg kokon (tahun 2013). Menurut para petani, kondisi ini dikarenakan daya tahan bibit/telur ulat sutera cina lebih tahan terhadap kondisi lingkungan sehingga menghasilkan tingkat penetasan dan rendemen pemeliharaan tinggi. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa hibrid Cina menghasilkan persentase daya tetas, rendemen pemeliharaan, daya gulung serat sutera yang lebih tinggi daripada hibrid lokal/Perum Perhutani (Andadari dan Kuntadi 2014; Nuraeni dan Putranto 2007). Persentase penetasan dan rendemen pemeliharaan hibrid Cina menunjukkan hasil yang tinggi (90%) serta daya gulung lebih tinggi dibanding hibrid lokal yaitu rata-rata 90%. Hibrid Cina juga memiliki masa larva yang lebih pendek sekitar dua hari dibandingkan hibrid lokal. Kondisi teknis pemeliharaan secara umum telah mengikuti standar pemeliharaan. Petani telah melaksanakan setiap tahap pemeliharaan secara teratur. Kemampuan petani dalam pelaksanaan usaha ini didapatkan secara turun temurun antar generasi dan akan ada penyaluran informasi serta inovasi baru yang dilakukan oleh penyuluh lapang. Namun ada beberapa hal yang dianggap para petani sepeleh sehingga tidak diperhatikan seperti kebersihan lingkungan kandang ulat. Menurut penyuluh lapang, banyak petani yang menempatkan kandang ulat sutera dengan kandang unggas seperti ayam dan bebek. Selain itu, kondisi ulat seringkali terganggu karena adanya pestisida baik yang menempel di pakaian petani maupun di daun murbei. Teknologi berupa alat dan bahan untuk pemeliharaan ulat dan pemintalan kokon yang digunakan oleh petani di Kelurahan Walennae masih tergolong sederhana dan tradisional. Hampir semua alat yang tersedia dibuat dan dikembangkan sendiri oleh petani serta dilakukan secara manual. Alat-alat seperti tempat penetasan, sasag, tempat pengokonan serta alat pemintal masih menggunakan bahan baku kayu dan bambu. Berdasarkan kondisi teknis dan teknologi usaha persuteraan alam masih layak dikembangkan di Kelurahan Walennae dengan syarat adanya perbaikan pada kualitas bibit/telur ulat sutera dan pemberian insentif terhadap petani sehingga gairah petani untuk memelihara ulat sutera tetap terjaga. b. Aspek Pasar dan Pemasaran Produk merupakan suatu nilai yang didapat oleh konsumen sebagai pelaku pengambil keputusan pembelian. Dalam hal ini, benang sutera merupakan produk yang diperjualbelikan antara petani dan konsumen (pengepul). Harga jual benang sutera ditetapkan oleh mekanisme pasar sebesar Rp 500.000. Kegiatan promosi untuk meningkatkan penjualan tidak dilakukan oleh petani karena telah mendapat jaminan pasar. Oleh karena itu, biaya promosi tidak dikeluarkan oleh petani sutera. Pemasaran kokon dilakukan secara langsung oleh petani sutera ke pengepul sehingga hanya memerlukan biaya distribusi benang sutera. Jumlah permintaan yang tinggi dan dengan adanya jaminan pasar benang sutera maka usaha budidaya ulat sutera yang dilakukan di Kelurahan Walennae layak dilaksanakan. c. Aspek Manajemen Perencanaan mengenai penanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera dilakukan oleh petani dengan bekal penyuluhan dan pelatihan yang diperoleh sebelum maupun selama menjalankan usaha budidaya ulat sutera serta pengalaman dan ilmu yang berkembang secara turun temurun. Perencanaan usaha
41 persuteraan alam dilakukan secara individu masing-masing petani dengan melihat ketersediaan bahan utama (bibit ulat sutera), bahan pendukung (daun murbei), sarana produksi dan kondisi iklim/cuaca. Harga jual produk benang sutera tidak dapat direncanakan oleh petani karena diserahkan kepada mekanisme pasar. Pengorganisasian usaha persuteraan alam dan pengolahan hasil sampingnya di Kelurahan Walennae dilakukan secara berkelompok sehingga memberi kemudahan dalam aspek produksi dan pemasaran. Terdapat 4 kelompok tani yang terdiri dari Kelompok Tani Sejahtera, Rajawali, Bahagia dan Sipakainge. Namun ketua Kelompok Tani Sipakainge melakukan transmigrasi sehingga anggotanya beralih ke kelompok tani lainnya. Setiap kelompok tani terdiri dari 12-20 anggota dan dipimpin oleh seorang ketua yang bertugas mengkoordinir dalam pemesanan bibit/telur ulat sutera dan menampung produk berupa benang sutera. Pelaksanaan usaha persuteraan alam dilakukan secara individu oleh masingmasing petani. Fungsi pengendalian dipegang oleh masing-masing petani tanpa bisa dikendalikan ataupun diintervensi oleh pihak luar baik ketua kelompok tani, penyuluh ataupun instansi pemerintahan. Penyuluh melakukan peninjauan secara rutin dan langsung ke lokasi usaha persuteraan alam untuk mengetahui pelaksanaan pembudidayaan yang sedang dilakukan dan berkoordinasi dengan ketua kelompok tani. Peninjauan dilakukan untuk mengetahui permasalahan dan melakukan pendataan terhadap kondisi produksi persuteraan alam. Apabila terdapat masalah, maka informasi tersebut akan dilanjutkan kepada pihak pakar (BPA dan akademisi) untuk selanjutnya ditindaklanjuti untuk menghasilkan solusi yang tepat untuk dilakukan oleh petani. Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial tersebut dapat dikatakan bahwa dilihat aspek manajerial, usaha pembudidayaan ulat sutera layak dijalankan. d. Aspek Sumber Daya Manusia Sumberdaya manusia merupakan fondasi utama dalam mengembangkan setiap bidang usaha terutama usaha pengembangan persuteraan alam. Kemampuan SDM dalam menjalankan usaha menentukan tingkat produksi usaha persuteraan alam terutama usaha persuteraan alam yang masih tergolong tradisional. Sebagian besar petani mengetahui secara teknik budidaya tanaman dan peternakan secara umum. Adapun untuk detil yang disesuaikan dengan tanaman murbei dan pemeliharaan ulat, para petani diberikan tambahan pengetahuan melalui penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan maupun pelatihan yang didapat oleh petani sutera berasal Badan Persuteraan Alam Sabbangparu, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wajo, Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Wajo, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Wajo, Badan Persuteraan Alam Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, Kementrian Kehutanan RI bagian Penelitian dan Pengembangan Persuteraan Alam. Biaya pelatihan dan penyuluhan tidak ditanggung oleh petani sutera sehingga dalam analisis kelayakan finansial tidak diperhitungkan. Tingkat pendidikan petani sutera berada pada jenjang Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Hanya terdapat satu orang petani yang memiliki latarbelakang pendidikan sarjana. Petani sutera cukup terbuka mengenai informasi-informasi yang berkaitan dengan budidaya ulat sutera. Berdasarkan pengamatan, beberapa petani sutera maupun petani lainnya memiliki mental yang kurang ulet dan cepat putus asa atau cenderung pasrah dengan kondisi yang ada. Hal ini menjadi penghalang majunya persuteraan alam di Kelurahan Walennae.
42 Kemampuan petani dalam mengelola persuteraan sudah dilakukan secara turun temurun baik diusahakan sebagai kegiatan sampingan maupun dikelola dalam skala industri rumah tangga bahkan sampai industri menengah. Berdasarkan aspek sumber daya manusia, usaha budidaya ulat sutera layak dilaksanakan meskipun terdapat beberapa kekurangan. e. Aspek Legalitas Usaha budidaya ulat sutera di Kelurahan Walennae dilakukan perseorangan dan menghimpun dalam suatu kelompok tani. Usaha ini belum memiliki izin resmi dari pemerintah setempat. Hal ini dikarenakan usaha yang dijalankan masih dalam skala kecil. Meskipun belum memiliki izin resmi, pemerintah setempat memperbolehkan bahkan mendukung usaha ini karena tidak mengganggu kehidupan masyarakat dan memberikan dampak positif bagi perekonomian sehingga usaha ini layak diusahakan. Dalam rangka pengembangan persuteraan alam di Indonesia, pemerintah mengeluarkan kebijakan peraturan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah No: P.47/Menhut-II/2006, No: 29/M-Ind/Per/6/2006, No: 07/Per/M.KUKM/VI/2006 Tentang pembinaan dan pengembangan persuteraan alam Nasional dengan Pendekatan Klaster. Pengembangan persuteraan alam dengan pendekatan klaster merupakan program yang melibatkan tiga departemen yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan UKM. Pengembangan persuteraan alam selama ini sudah dilakukan oleh ketiga institusi hanya saja masing-masing berjalan dengan program sendirisendiri. Pada pola pengembangan ini pemerintah mencoba membuat kebijakan terpadu dalam satu pola yaitu pola klasterisasi. Kegiatan budidaya ulat sutera ini boleh diusahakan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 664/Kpts-II/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Persuteraan Alam, Peraturan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian dan Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor P.47/Menhut-II/2006, Nomor 29/M-Ind/Per/6/2006 dan Nomor 7/Per/M.KUKM/VI/2006 tentang Pembinaan dan Pengembangan Persuteraan Alam Nasional dengan Pendekatan Klaster, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.57/Menhut-II/2014 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani Hutan. f. Aspek Ekologi/Lingkungan Kegiatan serikultur di Indonesia sedang dikembangkan agar tidak menghasilkan limbah atau menjadi “zero waste industry” yang berarti tidak menghasilkan limbah dalam kegiatan produksinya. Penanganan limbah yang baik dapat mengatasi pencemaran terhadap bau yang tidak sedap yang bersumber dari kotoran/limbah di sekitar lingkungan dekat lokasi kandang. Selama ini limbah yang dihasilkan dari usaha persuteraan alam belum dimanfaatkan secara maksimal. Palar (1994) dalam Hala (2004) menyatakan bahwa limbah merupakan produk samping dari kemajuan teknologi, baik di sektor industri, rumah tangga, transportasi dan bahkan kesehatan yang dapat berdampak pada pemutusan mata rantai dari tatanan lingkungan hidup serta dapat menghancurkan tatanan ekosistem. Limbah produksi dari persuteraan alam yang selama ini terjadi dihasilkan dari proses reeling. Reeling merupakan tahapan yang dilakukan setelah
43 pemasakan kokon berupa proses penyatuan beberapa filamen untuk dipintal menjadi benang sutera. Reeling dilakukan dengan merendam kokon yang telah dimasak pada bak yang telah dipasangi alat pemintal di bagian atasnya. Sebagian filamen dari kokon kemudian disangkutkan pada alat pemintal dan kemudian alat tersebut akan menarik benang sutera dari kokon sampai habis dan yang tersisa adalah lapisan terdalam kokon yang berisi pupa dan kotoran ulat. Selama ini pupa dan kotoran ulat ini hanya dibuang ke lingkungan secara bebas baik di kebun ataupun dibuang ke sungai. g. Aspek Sosial Hampir disetiap rumah di Kelurahan Walennae ditemukan kegiatan persuteraan alam dimulai dari kegiatan proses hulu sampai ke hilir. Kegiatan budidaya tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera hingga proses pemintalan menjadi benang yang kemudian ditenun menjadi selembar kain sutera. Budidaya ulat sutera tidak mengganggu kehidupan sosial masyarakat dan tidak bertentangan dengan kebudayaan setempat. Terdapat hubungan antara struktur perilaku, budaya dan kinerja persuteraan di Kabupaten Wajo (Sadapotto et al. 2010) sehingga terhadap hubungan yang kuat antara modal sosial yang terdapat di Kabupaten Wajo dengan usaha pengelolaan persuteraan. Keberadaan tradisi menenun di Wajo pada masa lalu menjadi high culture, dimana diawalnya diperuntukkan untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan adat yang mengalami perubahan dengan diproduksi secara massal untuk kebutuhan pasar (Syukur et al. 2014). Dalam bahasa lokal (Bugis) sutera disebut dengan "Sabbe", dimana dalam proses pembuatan benang sutera menjadi kain sarung sutera masyarakat pada umumnya masih menggunakan peralatan tenun tradisional yaitu alat tenun gedogan dengan berbagai macam motif yang diproduksi seperti motif "Balo Tettong" (bergaris atau tegak), motif "Makkalu" (melingkar), motif "mallobang" (berkotak kosong), motif "Balo Renni" (berkotak kecil). Selain itu ada juga diproduksi dengan mengkombinasikan atau menyisipkan "Wennang Sau" (lusi) timbul serta motif "Bali Are" dengan sisipan benang tambahan yang mirip dengan kain Damas. Latar belakang orang Wajo yang dikenal memiliki jiwa enterpreneurship yang tinggi berdampak pada tingginya motivasi mereka untuk mengembangkan komoditas sutera dengan berkreasi dan selalu mencari inovasi baru serta menciptakan berbagai macam produk asal sutera bahkan menjalin hubungan kerjasama dengan pengusaha-pengusaha tekstilan dari Pulau Jawa termasuk designer-designer ternama Indonesia (Syukur et al. 2014). Hal inilah yang menjadi salah satu kekuatan berupa investasi pada aspek sumberdaya sosial sehingga dapat disebut sebagai modal sosial. Berbagai permasalahan yang masih di jumpai diantaranya masih belum berjalannya dengan baik organisasi yang menghimpun pengusaha persuteraan alam, belum adanya penataan yang baik pada aspek pemasaran produk sutera (utamanya dalam pemasaran luar daerah dan pulau Jawa sehingga sering menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat), belum adanya upaya maksimal dalam perlindungan hak cipta (utamanya kreasi motif dan design yang mengakibatkan kerugian bagi pengrajin yang berorientasi terhadap bidang tersebut). Berdasarkan hasil dari analisis aspek sosial dapat dikatakan bahwa usaha persuteraan alam yang dilakukan di Kelurahan Walennae layak untuk dijalankan.
44 Kondisi Usaha Persuteraan Alam Adopsi Inovasi Serikultur merupakan usaha pembudidayaan ulat sutera untuk diambil benang suteranya. Produk utama serikultur adalah benang sutera dengan hasil samping berupa daun murbei tua, pupa ulat sutera, feses ulat sutera, cocoon palade, dan silk waste. Limbah saat ini disebut sebagai hasil samping sehingga dapat dimanfaatkan kembali untuk menghasilkan produk-produk berbasis nilai. Konversi menguntungkan limbah dapat mengurangi biaya produksi, polusi, mendaur ulang sumber daya untuk memenuhi tuntutan penduduk yang semakin meningkat. Kedepannya, produk hasil samping ternak ulat sutera dapat dimanfaatkan untuk pangan manusia, pakan ternak, sabun, gliserin, obat-obatan, bio-gas, pupuk organik, klorofil, karoten, fitol, n-triakontanol, pektin, serat, kertas dan kerajinan seni. Selain itu, chitin, Shinki-fibroin, serra-peptidase dan glukosaamina tersedia dalam pupa ulat dan ngengat mempunyai fungsional dalam neurologis, pasca-bedah, mata, hepatitis, pankreas, anti-histamic dan obat antikarsinogenik (Angadi et al. 2013). Usaha persuteraan alam di Wajo, Sulawesi Selatan sedang dikembangkan agar tidak menghasilkan limbah atau menjadi “zero waste industry”. Usaha yang telah dilakukan antara lain dengan memanfaatkan produk-produk samping serikultur seperti sisa daun murbei dan feses pupa untuk pupuk serta pupa ulat sutera untuk pakan ikan. Selain itu, peternak sudah mulai diperkenalkan untuk mengolah pupa menjadi produk pangan berupa tepung (Gambar 24). Tepung pupa ulat sutera mempunyai komposisi kimia mirip tepung ikan dan dapat diklasifikasikan sebagai bahan pangan alternatif sumber protein dengan kandungan asam lemaknya sebagian besar adalah asam lemak tidak jenuh serta kecernaan nutrien tinggi dan hampir sama dengan tepung ikan (Mangisah et al. 2002). Menurut Aisyah (2014), peternak ulat sutera di Kelurahan Walennae telah dilatih untuk melakukan pengolahan pupa menjadi tepung pury dan selanjutnya diolah menjadi kudapan tradisional. Salah satu kudapan tradisional khas Sulawesi Selatan yang telah diteliti proses pembuatan dan kandungan gizi serta adalah Deppatori atau deppa te’tekan. Kudapan ini bentuknya seperti toriq atau diamond, empat persegi dengan dua sudut runcing. Tepung ketan yang merupakan bahan dasar dari Deppatori ini disubtitusi dengan memanfaatkan tepung pury untuk meningkatkan nilai gizi.
Gambar 24 Pengolahan pupa ulat sutera menjadi produk pangan berupa tepung Proses pembuatan Tepung Pury (Gambar 25) meliputi tahap pengumpulan dan pemilihan kokon yang sudah dipintal (pemilihan kokon yang segar dan utuh sangat perlu sehingga tepung yang dihasilkan tidak beraroma menyengat),
45 dibersihkan kulitnya untuk diambil pupanya, pupa yang utuh kemudian dicuci bersih dengan air mengalir. Selanjutnya pupa tersebut diekstrak menggunakan saringan stainless, penambahan tepung maizena 10% dari berat ekstrak cairan pupa (hasil campuran cairan ekstrak pupa dan tepung maizena disebut pasta), dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven (proses pengeringan dilakukan selama 6-7 jam dengan suhu stabil 100-115oC) dan terakhir dilakukan penepungan dengan menggunakan mixer dan dibungkus rapat (Aisyah 2014). Proses pengolahan ini dapat dilakukan secara berkala dan berkelompok setiap produksi ulat sutera sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi peternak. Kokon Disortasi Pupa Utuh
Tepung Meizena
Diekstrak Dimixing
Dikeringkan dengan oven (suhu 100-115˚C, selama 6-7 jam Dihaluskan dengan blender
Tepung Pury Gambar 25 Pembuatan tepung pury (Sumber: Astuti 2009; Astuti dan Kusharto 2009; Aisyah 2014) Unit konversi/rendemen (Tabel 11) dari hasil kokon yang dihasilkan oleh petani dan dipintal maka menghasilkan sekitar 32% pupa. Hasil ini jauh di bawah standar rendemen yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya yakni diperkirakan sebesar 70-90% (Aisyah 2014) atau sebesar 82,1% (Atmosoedarjo et al. 2000). Perbedaan ini dikarenakan kualitas ulat yang di bawah standar. Banyak ulat yang mati saat mengokon sehingga pupa yang dihasilkan tidak bisa digunakan untuk diolah lebih lanjut menjadi tepung pury karena pupa telah membusuk. Rasio ratarata jumlah tepung pury yang dihasilkan sebesar 34% dari jumlah ekstrak pupa. Rasio ini juga masih tergolong rendah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yaitu sebesar 50%. Hal ini disebabkan karena masih ada beberapa
46 petani yang belum menerapkan standar pengolahan yang baik karena terbukti ada petani yang menghasikan rasio lebih tinggi dari pada standar. Tabel 11 Unit konversi/rendemen produk persuteraan alam pada 6 kelompok tani Tahap Produksi Ulat (box) Kokon (Kg) Benang (Kg) Pupa (Kg) Kulit pupa (Kg) Isi pupa/ekstrak (Kg) Tepung Pury (Kg) Rasio Pupa/kokon (%) Rasio T. pury/ekstrak (%) a
1 0,25 1,75 0,15 0,92 0,01 0,25 0,12 53% 48%
2 0,50 3,20 0,60 1,13 0,02 0,51 0,16 35% 31%
Kelompok Tani 3 4 5 1,00 1,00 0,50 6,50 6,90 2,20 1,50 1,50 0,50 1,10 1,15 0,91 0,03 0,03 0,02 0,80 0,91 0,54 0,24 0,25 0,09 17% 17% 41% 30% 27% 17%
6 1,00 7,20 1,50 2,30 0,04 1,20 0,63 32% 53%
Standara
Ratarata
82,1% 50%
32% 34%
[Standar] Sumber: Atmosoedarjo et al. 2000
Kajian Aspek Finansial a. Biaya investasi usaha persuteraan alam adopsi inovasi Biaya investasi yang digunakan pada usaha persuteraan alam apabila dilakukan inovasi berupa pengolahan hasil samping menjadi produk diversifikasi tepung pury adalah seluruh biaya investasi pada usaha persuteraan alam saat ini ditambah dengan alat dan bahan pembuatan tepung pury (Tabel 12). Biaya investasi yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 5.615.000 yang digunakan untuk pembelian sendok, saringan manual, ember, oven, timbangan, blender dan sealer. Tabel 12 Biaya investasi alat produksi usaha persuteraan alam (adopsi inovasi) No
Uraian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Alat Pintal Bambu Kayu (tiang) Lantai Lampu Sendok Saringan Manual Ember Oven Timbangan Blender Sealer
Volume
Harga satuan
1 30 6 1 2 1 3 6 1 1 1 1
300.000 15.000 15.000 2.000.000 40.000 20.000 10.000 20.000 2.000.000 150.000 150.000 225.000 Jumlah Biaya
Jumlah 300.000 450.000 90.000 2.000.000 80.000 20.000 30.000 120.000 2.000.000 150.000 150.000 225.000 5.615.0
47 Biaya terbesar digunakan untuk pembelian bahan pembuatan lantai dan oven. Saat ini pembelian alat dan bahan pembuatan tepung pury masih diberikan secara gratis dari program pengabdian masyarakat IPB sehingga petani tidak mengeluarkan biaya. Namun alat dan bahan tersebut hanya diberikan sebanyak 1 paket, sehingga para petani yang akan mengembangan usaha tersebut harus mengeluarkan biaya investasi secara mandiri. b. Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam adopsi inovasi (dengan dan tanpa subsidi) Pada proses produksi benang sutera dan hasil sampingnya, biaya variabel lebih tinggi daripada biaya tetap baik dengan subsidi maupun tanpa subsidi (Tabel 13). Struktur biaya produksi sama dengan struktur biaya usaha persuteraan alam saat ini ditambah dengan biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan tepung pury berupa tepung meizena sebesar Rp 2.400. Berdasarkan perhitungan, total biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh petani setiap kali produksi (1 bulan) pada kondisi produksi pesimis adalah Rp 1.683.897 (dengan subsidi) dan Rp 1.448.897 (tanpa subsidi) serta Rp 1.725.697 (dengan subsidi) dan Rp 1.960.697 (tanpa subsidi) bila pada kondisi produksi optimis. Terdapat perbedaan sebesar Rp 235.000 pada kondisi dengan dan tanpa subsidi tersebut. Subsidi tersebut diberikan berupa pengadaan bibit/telur ulat sutera, kapur dan kaporit. Tabel 13 Biaya produksi tepung purya Uraian
Vol
Satuan
Ekstrak pupa
15
Kg
Harga Satuan 1.000
1,5
Kg
30.000
45.000
Gas Listrik
0,1 5
tabung Kwh
17.000 700
1.700 3.500
d Tenaga Kerja
1 org
0,5
OH
30.000
15.000
e
Plastik
21
buah
300
6.300
No
Unsur Biaya
a Bahan Utama
b Bahan Pendukung Meizena c
Bahan Bakar
Kemasan
15.000
9.464 HPP Produksi 95.964 HPP Produk/Kg 18.816 Harga Jual 22.580 a [Produksi standar untuk 1 Box bibit ulat sutera (1 box ulat = 30 kg kokon)] Harga pokok produksi benang sutera masih mengacu pada perhitungan sebelumnya. Harga jual benang sutera adalah sebesar Rp 500.000/Kg sehingga pendapatan yang dapat diterima oleh petani adalah sebesar Rp 1.820.000 pada kondisi produksi pesimis dan Rp 5.280.000 pada kondisi produksi optimis. HPP tepung pury adalah sebesar Rp 18.816/Kg (Tabel 14). Harga jual tepung pury adalah sebesar Rp 22.580/Kg. Harga jual ini ditentukan dengan menjumlahkan f
Lain-lain
Penyusutan
Biaya
48 HPP tepung pury dengan keuntungan yang diinginkan yaitu sebesar 20%. Berdasarkan harga jual tersebut maka pendapatan yang dihasilkan dari penjualan tepung pury adalah sebesar Rp 225.796. Tabel 14 Analisis biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam adopsi inovasi (dengan dan tanpa subsidi) No
Uraian
1 Biaya Investasi A. Biaya Pemeliharaan Ulat B. Biaya Pembuatan Tepung Pury Sendok Saringan Manual Ember Oven Timbangan Blender Sealer Total Biaya Investasi 2 Biaya Produksi a. Biaya Tetap Listrik Gaji Tenaga Kerja Penyusutan b. Biaya Variabel Bibit ulat Kaporit dan Kapur Pakan Tepung Meizena Transportasi Upah Tenaga Kerja a Upah Tenaga Kerja b Total Biaya Produksi a Total Biaya Produksi b 3 Pendapatan Penjualan Benanga Penjualan Benangb Penjualan Tepung Pury Total Pendapatana Total Pendapatanb 4 Laba Bersih/bulana Laba Bersih/bulanb a [Kondisi pesimis], b[Kondisi optimis]
Jumlah Biaya Tanpa subsidi
2.860.000 23.000 30.000 120.000 2.000.000 600.000 200.000 449.000 6.282.000
5.000 900.000 83.097 220.000 15.000 600.000 2.400 12.800 145.600 422.400 1.983.897 2.260.697 1.820.000 5.280.000 225.796 2.045.796 5.505.796 61.899 3.245.099
Dengan subsidi
380.000 380.000 5.000 900.000 83.097 600.000 2.400 12.800 145.600 422.400 1.748.897 2.025.697 1.820.000 5.280.000 225.796 2.045.796 5.505.796 296.899 3.480.099
49 Pada produksi optimis, keuntungan/laba setiap bulan dari usaha persuteraan alam dan pengolahan hasil sampingnya adalah sebesar Rp 3.245.099 (tanpa subsidi) dan Rp 3.480.099 (dengan subsidi). Keuntungan yang sangat besar dapat diperoleh oleh petani bila tingkat produksi benang sutera didapat secara maksimal. Pada produksi pesimis, keuntungan/laba dari usaha persuteraan alam adalah sebesar Rp 61.899 (tanpa subsidi) dan Rp 296.899 (dengan subsidi). Pendapatan ini akan lebih tinggi apabila produksi dilakukan sendiri oleh petani sehingga laba tersebut akan ditambah dengan gaji dan upah tenaga kerja. Berdasarkan analisis biaya laba/rugi menunjukkan bahwa pengolahan hasil samping usaha persuteraan alam menjadi produk diversifikasi berupa tepung pury dapat memberikan tambahan pendapatan bagi petani. Hasil ini membuktikan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemanfaatan hasil samping persuteraan alam dapat memberikan manfaat secara ekonomi dan memungkinkan untuk bersaing dengan komoditi/usaha lain (Reddy dan Kumar 2014). c. Analisis Kelayakan Finansial Nilai NPV pada penerapan inovasi dan pada tingkat produksi optimis adalah sebesar Rp 257.651.361 (Tabel 15). Nilai ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi saat ini dimana tidak ada penambahan unsur inflow selain dari produksi benang sutera. Melihat kondisi ini maka usaha persuteraan alam dengan adopsi inovasi berupa penambahan jenis produk layak dilaksanakan. Nilai unsur analisis kelayakan usaha lainnya berupa IRR dan Net B/C pada kondisi ini menunjukkan nilai tak terhingga. Artinya usaha ini layak untuk terus dilaksanakan. Tabel 15 NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada kondisi produksi optimis dan pesimis Adopsi Inovasi Optimis Pesimis Net Present Value (NPV) 257.651.361 3.503.903 Internal Rate of Return (IRR) 33% Net B/C 1,91 Nilai NPV usaha persuteraan alam dengan adopsi inovasi pada kondisi produksi pesimis adalah sebesar Rp 3.503.903, IRR 33% dan Net B/C 1,91. Nilainilai kelayakan finansial pada kondisi produksi pesimis jauh lebih rendah dibandingkan pada kondisi produksi optimis. Namun berdasarkan ketiga analisis tersebut, usaha persuteraan alam masih tergolong layak untuk dilaksanakan. Lebih menarik lagi karena nilai IRR dan Net B/C dapat terlihat secara kuantitatif. Hal ini disebabkan adanya salah satu nilai PV Net Benefit yang bernilai negatif yaitu terjadi pada tahun ke 0 dimana nilai PV Net benefit sebesar -3.830.042 (lampiran 9). Kriteria Kelayakan
d. Analisis Sensitivitas Berdasarkan simulasi perhitungan pada kondisi produksi optimis, nilai NPV lebih berpengaruh pada variabel penurunan harga jual kokon. Nilai persentasenya adalah sebesar 17,05% sedangkan pada variabel peningkatan biaya operasional persentasenya adalah sebesar 6,73%. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa usaha budidaya pada skala kondisi produksi optimis tetap layak dilakukan meskipun terjadi penurunan nilai NPV sedangkan nilai IRR dan Net B/C tetap
50 tidak dapat dihitung (terhitung tak terhingga) karena nilai NPV bernilai positif dari tahun ke nol hingga akhir proyek. Pada kondisi produksi pesimis, nilai NPV, IRR dan Net B/C mengalami penurunan signifikan. Kondisi usaha persuteraan alam dengan adopsi inovasi yang awalnya dinyatakan layak maka terjadi perubahan dan dikategorikan sebagai usaha yang tidak layak dilaksanakan karena NPV bernilai kurang dari nol (negatif), IRR kurang dari suku bunga bank (bernilai tak terhingga karena terlalu kecil) dan Net B/C tidak dapat dihitung karena nilai NPV bernilai negatif dari tahun ke nol hingga akhir proyek. Secara keseluruhan, variabel penurunan harga jual kokon lebih besar pengaruhnya pada kondisi usaha dari pada variabel peningkatan biaya operasional. Tabel 16 Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam dengan adopsi inovasi pada kondisi produksi optimis dan pesimis Uraian
Normal
P -10%a Nilai Δ (%)
Produksi optimis NPV (Rp) 257.651.361 213.713.632 IRR (%) Net B/C Produksi optimis NPV (Rp) 3.503.903 -12.822.100 IRR (%) 33,00 Net B/C 1,91 -
C +10%b Nilai Δ (%)
17,05 -
240.303.457 -
6,73 -
465,94 -
-11.635.064 -
432,06 -
[Penurunan harga jual kokon sebesar 10%], b[Peningkatan biaya operasional sebesar 10%]
a
Kajian Aspek Non Finansial a. Aspek Teknis dan Teknologi Proses pengenalan inovasi berupa pemanfaatan pupa ulat sutera merupakan salah satu gagasan positif. Proses difusi inovasi termasuk sulit karena petani belum mengetahui manfaat langsung yang akan mereka terima. Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, Indraningsih (2011) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi inovasi adalah manfaat langsung dari inovasi berupa keuntungan relatif (termasuk keuntungan ekonomi yang lebih tinggi), kesesuaian teknologi terhadap nilai-nilai sosial budaya, cara dan kebiasaan berusaha tani, kerumitan penerapan teknologi serta persepsi petani terhadap pengaruh media/informasi interpersonal sebagai penyampai teknologi yang komunikatif bagi petani. Melalui proses pengenalan yang komunikatif dan pendampingan secara intensif, petani mulai menerima teknologi dan inovasi pengolahan hasil samping menjadi produk diversifikasi. Terdapat 15 orang petani yang telah mahir melakukan pengolahan produk diversifikasi berupa tepung pury. Ketersediaan alat dan bahan pengolahan produk diversifikasi masih terbatas sehingga petani masih melakukan produksi secara berkelompok. Kelompok pengolahan dibagi 2 berdasarkan wilayah “lingkungan” yang terdiri dari Lingkungan Pammera dan Lingkungan Canru. Pembagian kelompok ini dikarenakan kondisi jarak antar kedua lingkungan yang jauh dan terpisah oleh
51 anak Sungai Walennae. Masih dibutuhkan penyediaan alat dan bahan pengolahan porduk diversifikasi sehingga setiap petani dapat mengolah secara mandiri. Penyediaan alat dan bahan tersebut dapat dilakukan baik dengan investasi secara mandiri oleh petani maupun penyediaan subsidi oleh pemerintah. Pengembangan inovasi berupa pengolahan hasil samping menjadi produk diversifikasi tepung pury layak dikembangkan dengan terus dilakukan pendampingan secara intensif terhadap petani dan penambahan kuantitas alat produksi serta dukungan positif dari pemerintah. b. Aspek Pasar dan Pemasaran Produk yang dijual pada usaha persuteraan alam adopsi inovasi adalah benang sutera dan tepung pury. Benang sutera dijual tanpa kemasan dan dijaul kepada pengepul. Tepung pury dijual dengan kemasan plastik dan dijual kepada pembuat kue di daerah setempat sebagai bahan baku pembuatan kudapan tradisional. Harga jual benang sutera adalah sebesar Rp 500.000 yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Harga jual tepung pury ditentukan dengan metode full costing sehingga menghasilkan harga jual sebesar Rp 22.580. Harga jual ini merupakan harga pokok produksi ditambah dengan keuntungan yang diinginkan yaitu sebsar 20%. Jumlah permintaan yang tinggi dan dengan adanya jaminan pasar benang sutera dan tepung pury, usaha budidaya ulat sutera dan pengolahan produk sampingnya yang dilakukan di Kelurahan Walennae layak dilaksanakan dengan dukungan pemerintah dalam mempromosikan produk diversifikasi tepung pury sebagai produk hasil usaha persuteraan alam. Produk ini akan menunjang program pemerintah Kabupaten Wajo sebagai kota sutera. c. Aspek Manajemen Fungsi perencanaan pada usaha persuteraan alam adopsi inovasi dilaksanakan dengan beracuan pada ketersediaan sumberdaya produksi berupa bahan baku. Ketersediaan sumberdaya prouksi tersebut mempengaruhi skala usaha yang akan dijalankan oleh petani setiap bulannya. Penentuan harga jual benang sutera dilakukan berdasarkan mekanisme pasar sedangkan penentuan harga jual produk diversifikasi berupa tepung pury dan olahan lanjutannya ditentukan oleh petani dengan metode full costing yang dihitung pada perencanaan finansial. Inovasi pengolahan hasil samping dilakukan secara berkelompok berdasarkan kelompok tani dan pembagian wilayah administrasi daerah di Kelurahan Walennae. Kelompok Tani Rajawali dan Sejahtera yang berada di “Lingkungan” Canru serta Kelompok Tani Bahagia dan Sipakainge yang berada di “Lingkungan” Pammera secara berkelompok membuat tepung pury dengan dikoordinir oleh ketua kelompok tani masing-masing. Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial tersebut dapat dikatakan bahwa dilihat aspek manajerial usaha pengolahan produk samping usaha persuteraan alam layak dijalankan. d. Aspek Sumber Daya Manusia Pengembangan usaha persuteraan alam berupa pemanfaatan hasil samping menjadi produk diversifikasi berupa tepung pury dapat dilakukan oleh petani sebagai tambahan kegiatan terutama bagi ibu-ibu. Petani telah dibekali pelatihan pembuatan tepung pury dan kudapan tradisional sebanyak 2 kali. Produksi telah dilakukan dengan pendampingan secara intensif oleh mahasiswa selama 1 bulan.
52 Pengembangan teknologi dan kelembagaan secara terpusat (berkelompok) untuk pemanfaatan hasil samping yang efektif dapat membantu menciptakan lapangan kerja dan juga penghasilan tambahan bagi petani kecil dan marjinal di pedesaan (Nelaballe et al. 2014). Melihat kemampuan petani (SDM) dalam memproduksi dan nilai tambah/keuntungan yang didapat, maka pengembangan usaha persuteraan alam tersebut layak dilakukan. e. Aspek Legalitas Program pengembangan usaha persuteraan alam di Kabupaten Wajo didukung penuh oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo. Dukungan tersebut dilakukan secara konkrit dengan adanya bantuan baik berupa pengadaan alat dan mesin maupun berupa pelatihan dan penyuluhan. Program jangka panjang yang menjadi program andalan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wajo adalah pembentukan KPH Model Awota. KPH Model Awota merupakan KPH yang fokus pada pengembangan usaha persuteraan alam sesuai dengan Peraturan Bupati Wajo No.21 Tahun 2010 perihal Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPTD KPH) pada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wajo dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 979/Menhut-II/2013 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model Awota. Besarnya dukungan dari pemerintah daerah mengindikasikan bahwa pengembangan usaha persuteraan alam dengan pengolahan hasil sampingnya layak dilaksanakan. f. Aspek Ekologi/Lingkungan Upaya pengolahan hasil samping menjadi produk diversifikasi merupakan gagasan yang positif. Pemanfaatan produk-produk sampingan serikultur seperti sisa daun murbei dan faeces pupa untuk pupuk dan pupa ulat sutera untuk pakan ikan dan pupuk kompos serta menjadi pangan berupa tepung pury menjadi alternatif yang dapat diterapkan guna mengurangi limbah tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa usaha persuteraan alam layak dikembangkan dengan adanya upaya pengolahan hasil sampingnya. g. Aspek Sosial Pengembangan usaha persuteraan alam dengan mengolah hasil sampingnya membutuhkan waktu yang cukup panjang supaya masyarakat dapat menerima dan menerapkan inovasi tersebut. Persepsi dan penerimaan petani sebagai produsen dipengaruhi oleh intensitas dan efektivitas program penyuluhan dan pelatihan yang dilakukan. Selain itu faktor yang lebih penting adalah ada tau tidaknya sarana produksi yang mendorong petani harus melakukan investasi dan hasil produksi yang akan mempengaruhi pendapatan petani. Ketika investasi yang harus dikeluarkan oleh petani untuk memulai inovasi membutuhkan biaya yang tinggi dengan hasil produksi dan pendapatan yang tidak berpengaruh secara signifikan, maka difusi inovasi akan sulit dilakukan. Menurut Gray et al. (1997) petani tidak akan mengambil resiko dengan lamanya waktu penerapan inovasi dan ketidakpastian pendapatan. Kondisi pengembangan yang sulit di Kelurahan Walennae kemungkinan juga diakibatkan oleh tingginya modal sosial yang dimiliki berupa norma-norma yang ketat dan keragaman informasi yang berlebihan. Karena Menurut Rustiadi et al. (2011) norma-norma yang ketat dapat menghambat tumbuhnya kreativitas/ingenuity dan keragaman informasi yang berlebihan juga dapat memperlemah disiplin.
53 Pengembangan usaha persuteraan alam dengan mengolah hasil sampingnya membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar dan menambah aktivitas serta peran perempuan sehingga dapat menambah pendapatan. Berdasarkan hasil dari analisis aspek sosial, pengolahan hasil samping usaha yang dilakukan di Kelurahan Walennae dapat dikategorikan sebagai usaha yang layak untuk dijalankan.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian di Kelurahan Walennae dapat disimpulkan bahwa kondisi usaha persuteraan alam saat ini masih terus berkembang dengan kondisi produksi yang terus menurun. Nilai-nilai kelayakan finansial pada kondisi produksi pesimis jauh lebih rendah dibandingkan pada kondisi produksi optimis. Namun berdasarkan ketiga analisis kelayakan usaha (NPV, IRR dan Net B/C),, usaha persuteraan alam masih tergolong layak untuk dilakukan. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa variabel penurunan harga jual benang lebih besar pengaruhnya pada kondisi usaha dari pada variabel peningkatan biaya operasional. Pada kajian non finansial secara keseluruhan usaha persuteraan alam layak dikembangkan. Terdapat 5 faktor utama yang mempengaruhi tingkat produksi usaha persuteraan alam diantaranya adalah kualitas bibit/telur ulat sutera, iklim, sumber pakan, tenaga kerja dan harga jual produk. Upaya pengentasan masalah tersebut perlu dilakukan dengan perbaikan kualitas bibit/telur ulat sutera, pemindahan lahan tanaman murbei untuk mengatasi masalah terganggunya pasokan pakan dengan adanya banjir, pelatihan tenaga kerja dan pembentukan lembaga khusus yang akan menjaga kestabilan harga jual produk. Analisis finansial dan non finansial pada usaha persuteraan alam adopsi inovasi (pengolahan produk diversifikasi) berupa tepung pury berpotensi dan layak untuk dikembangkan dengan dukungan sumberdaya alam dan manusia yang sesuai serta produk yang inovatif. Adanya tambahan produk yang dihasilkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun secara teknis dan teknologi, perlu adanya peningkatan kuantitas alat produksi tepung pury. Saran Usaha persuteraan alam dan pengolahan produk diversifikasinya di Kelurahan Walennae perlu dikembangkan sehingga dapat menyokong pengembangan daerah Wajo sebagai “kota sutera”. Perlu adanya peningkatan kualitas bibit/telur ulat sutera dan lembaga khusus yang menangani adanya pengaruh harga produk (benang). Selain itu diperlukan adanya sistem koordinasi terpadu antar instansi pemerintahan sehingga komoditi benang sutera dapat dikembangkan secara bersama-sama. Kajian lanjutan terkait indeks keberlanjutan usaha persuteraan alam dilakukan guna melengkapi perumusan strategi pengembangan usaha persuteraan alam. Hasil penelitian ini dapat menjadi landasan dalam perumusan indeks keberlanjutan tersebut.
54
DAFTAR PUSTAKA Aisyah. 2014. Formulasi deppatori pury kudapan tradisional sulawesi selatan yang disubtitusi tepung pury (Pupae Mulberry). [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Andadari L, Pudjiono S, Suwandi, Rahmawati T. 2013. Budidaya Murbei dan Ulat Sutera. Bogor (ID): Forda Press. Andadari L, Kuntadi. 2014. perbandingan hibrid ulat sutera (Bombyx mori L.) asal cina dengan hibrid lokal di sulawesi selatan. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 11(3): 173-183. Angadi BS, Reddy MR, Sivaprasad V. 2013. Scope of product diversification and value creation in indian sericulture industry. JEC & AS. 2(5): 33-39. Astuti DA, Sajuthi D, Siparto IH. 2013. The Ideal Ipb Atherosclerosis Diet. International Collaboration Research Project. Bogor (ID): IPB-WFU USA. Astuti T, Kusharto C. 2009. Tepung pupa-mulberry (pury) sebagai bahan pangan alternatif kaya gizi. Jurnal Gizi dan Pangan. 4(1): 29-32. Astuti T. 2009. Pengembangan MPASI berbasis pupae-mulberry (PURY): efikasinya terhadap pertumbuhan dan motorik bayi gizi kurang. [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta (ID): CV. Indonesia Printer. [BPA] Balai Persuteraan Alam. 2010. Statistik Pengembangan Persuteraan Alam Tahun 2010. Bili-Bili (ID): Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Bhimani A, Langfield K. 2007. Structure, formality and the importance of financial and non-financial information in strategy development and implementation. Management Accounting Research Journal. 18: 3-31. [Ditjen BPDAS PS] Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. 2014. Statistik Kementerian Kehutanan Indonesia Tahun 2013. Jakarta (ID). Kementerian Kehutanan. Dhyani SK, Chauhan DS, Kumar D, Kushwaha RV, Lepcha ST. 1996. Sericulture-based agroforestry systems for hilly areas of north-east india. Agroforestry Systems Journal. 34: 247-258. Djatmiko B. 2012. Studi Kelayakan Bisnis. Bandung (ID): STEMBI-Bandung Business School. [Disperindag] Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Wajo. 2014. Kabupaten Wajo Dalam Angka 2013. Wajo (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Wajo. Gahlot NS, Suryanarayana N. 2008. Utilization of secondary waste products of silk industry. Journal of Bioengineering, Biotechnology and Environmental Protection. 2: 65-70. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Sutomo S, Mangiri K, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit Universitas Indonesia. Terjemahan dari: Economic Analysis of Agriculture. Gray C, Simanjuak P, Sabur LK, Maspaitella PFL, Varley RCG. 1997. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta. (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
55 Hala Y. 2004. Interaksi Ion Cu(II) dengan Chaetoceros calcitrans dalam lingkungan perairan laut. Jurnal Marina Chimica Acta. 5(2): 11-14. Haming M, Basalamah S. 2010. Studi Kelayakan Investasi Proyek dan Bisnis. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Hardinsyah. 2007. Inovasi Gizi dan Pengembangan Modal Sosial: Bagi Peningkatan Kualitas Hidup Manusia dan Pengentasan Kemiskinan. Tidak Diterbitkan. Hariani I. 2007. Kajian keberlanjutan sistem agribisnis dengan pendekatan agropolitan (studi kasus: kecamatan penyingkiran Kabupaten Majalengka) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Horngren CT. 2006. Cost Accounting A Manajerial Emphasis twelfth edition. California (USA): Stanford University. Hufschmidt MM, Dixon JA. 1986. An Economic Valuation Techniques For The Environment: A Case Study Workbook. The John Hopkins University Press. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan: Suatu Buku Kerja Studi Kasus. Reksohadiprodjo, Soekanto. Penerjemah. Yogyakarta (ID): Penerbit Gadjah Mada University Press. Indraningsih KS. 2011. Pengaruh penyuluhan terhadap keputusan petani dalam adopsi inovasi teknologi usaha tani terpadu. Jurnal Agro Ekonomi. 29(1): 124. Kadariah. 1999. Evaluasi Proyek: Analisa Ekonomis. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56 Tahun 2007 Tentang Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutera. Jakarta (ID): Kementerian Kehutanan. Kusharto C, Suptijah P, Astuti D, Sadapotto A. 2013. Diversifikasi produk dari hasil samping usaha persuteraan alam di sentra kain sutera kabupaten wajo sulawesi selatan [laporan tahunan program pengabdian kepada masyarakat (Hi-Link)]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusharto CM dan Koesharto FX. 2012. Mulberry based diversification product at Sukamantri IPB silkworm teaching farm [research report]. Bogor (ID): Seameo Biotrop. Lestari W. 2012. Studi kelayakan usaha budidaya ulat sutera (Bombyx mori L.) di Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Mangisah I, Estiningdriati I dan Sumarsih S. 2002. Evaluasi nutrisi tepung pupa ulat sutera dan pengaruh penggunaannya dalam ransum ayam petelur terhadap performan produksi [laporan penelitian]. Semarang (ID): Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Martusa R, Adie AF. 2011. Peranan activity-based costing system dalam perhitungan harga pokok produksi kain yang sebenarnya untuk penetapan harga jual. Akurat Jurnal Ilmiah Akuntansi. 4(2). Miyatani A. 2008. Karakterisasi profil sensori bubuk pupa ulat sutera (Bombyx mori) Dan Aplikasi Bubuk Pupa Pada Pembuatan Kerupuk [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknoogi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nuraeni S, Putranto B. 2007. Aspek biologis ulat sutera (Bombyx mori L.) dari dua sumber bibit di Sulawesi Selatan. Jurnal Perennial. 4(1): 10-17.
56 Nuraeni S, Baharuddin. 2009. Aspek biologis ulat sutera (Bombyx mori L.) dari tiga bibit hibrid di Sulawesi Selatan. Jurnal Perennial. 6(1): 39-43. Nelaballe VK, Mukkara LD, Meruva BV, Mirapakayala M. 2014. Value addition and utilization of secondary products in sericulture. IJCEBS. 2(3): 163-165. Pranadji T, Hastuti EL. 2004. Transformasi sosio-budaya dalam pembangunan pedesaan. Jurnal AKP. 2(1): 77-92. Pranadji T. 2004. Kerangka kebijakan sosio-budaya menuju pertanian 2025: ke arah pertanian pedesaan berdaya saing tinggi, berkeadilan dan berkelanjutan. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, 22(1): 1-21. Purba J. 2005. Pengelolaan Lingkungan Hidup Sosial. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Rajasekhar A, Ravi V, Reddy MN, Sambasiva R. 2011. Thermostable bacterial protease - a new way for quality silk production. International Journal of Bio-Science and Bio-Technology. 3(4): 43-57. Ridwan. 2011. Fasilitasi penelitian persuteraan alam di Provinsi Sulawesi Selatan: tantangan komprehensif persuteraan alam di Sulawesi Selatan [laporan akhir]. Makassar (ID): Institute for Social and Political Economic Issues. Rifqi MA. 2011. Formulasi nugget tahu pury (nugget tapury) sebagai alternatif kudapan tinggi protein. [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Reddy PMM, Kumar MVS. 2014. Value added products of tasar silkworm cocoon by utilization. IJSR. 3(9): 155-157. Rosid A. 2009. Evaluasi kelayakan usaha ternak kambing perah peranakan etawa (PE), di Peternakan Unggul, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Sadapotto A, Kartodihardjo H, Triwidodo H, Darusman D, Sila M. 2010. Penataan Institusi untuk peningkatan kinerja persuteraan alam di Sulawesi Selatan. Jurnal Forum Pascasarjana. 33(2): 133-140. Sadapotto A. 2010. Penataan institusi untuk peningkatan kinerja persuteraan alam di Sulawesi Selatan: studi komparasi di Enrekang, Soppeng dan Louding City, Cina [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sihombing DTH. 2002. Satwa Harapan I, Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya Cacing tanah, Bekicot, Keong Mas, Kupu-kupu dan Ulat Sutera. Bogor (ID): Pustaka Wirausaha Muda. Singhal BK, Dhar A, Sharma A, Qadri SMH, Ahsan MM. 2001. Sericultural byproduct for various valuable commercial products as emerging bio science industry. Journal of Sericologia. 41(3): 369-391. Samsijah dan Andadari. 1992. Petunjuk Teknis Budidaya Ulat Sutera (Bombyx mory). Bogor (ID): Puslitbang Hutan. Slat AH. 2013. Analisis harga pokok produk dengan metode full costing dan penentuan harga jual. Jurnal EMBA. 1(3): 110-117 Suliyanto. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Yogyakarta (ID): ANDI.
57 Suwandi. 2005. Keberlanjutan usaha tani pola padi sawah-sapi potong terpadu di Kabupaten Sragen: pendekatan RAP-CLS [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syukur M, Dharmawan AH, Sunito S, Damanhuri D. 2013. Kearifan lokal dalam sistem sosial ekonomi masyarakat penenun bugis-wajo. Mudra Jurnal Seni Budaya. 28(2): 129-142. Syukur M, Dharmawan AH, Sunito S, Damanhuri D. 2014. Transformasi penenun bugis-wajo menuju era modernitas. Jurnal Paramita. 24(1): 63-77. Umar H. 2003. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
58
LAMPIRAN Lampiran 1 Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam saat ini (tanpa subsidi) No
Komponen
Jumlah Harga Satuan Satuan Satuan (Rp)
1 Biaya Investasi Alat Pintal 1 Bambu (sasak/alas, 30 tempat kokon, dinding) Kayu (tiang) 6 Lantai 1 Lampu 2 Total Biaya Investasi 2 Biaya Produksi a. Biaya Tetap Listrik 10 Gaji Tenaga Kerja 30 1 Penyusutan b. Biaya Variabel Bibit ulat 2 Kaporit 1 Kapur 1 Pakan 60 Kayu Bakar 5 Transportasi 2 a Upah Tenaga Kerja 3,64 b Upah Tenaga Kerja 10,56 a Total Biaya Variabel Total Biaya Variabelb Total Biaya Produksia Total Biaya Produksib 3 HPP/Kga HPP/Kgb 4 Pendapatan Penjualan Benanga 3,64 b Penjualan Benang 10,56 a 5 Laba Bersih/bulan Laba Bersih/bulanb a [Kondisi pesimis], b[Kondisi optimis]
Jumlah Biaya (Rp)
Buah
300.000
300.000
Batang
15.000
450.000
tiang Paket Paket
5.000 2.000.000 40.000
30.000 2.000.000 80.000 2.860.000
Kwh OH Bulan
500 30.000 34.833
5.000 900.000 34.833
Boks kg Kg Ikat Batang Liter Kg Kg
110.000 10.000 5.000 10.000 2.000 6.400 40.000 40.000
220.000 10.000 5.000 600.000 10.000 12.800 145.600 422.400 1.003.400 1.280.200 1.943.233 2.220.033 533.855 210.230
Kg Kg
500.000 500.000
1.820.000 5.280.000 (123.233) 3.059.967
59 Lampiran 2 Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam saat ini (dengan subsidi) No
Komponen
Jumlah Satuan
1 Biaya Investasi Alat Pintal 1 Bambu (sasak/alas, 30 tempat kokon, dinding) Kayu (tiang) 6 Lantai 1 Lampu 2 Total Biaya Investasi 2 Biaya Produksi a. Biaya Tetap Listrik 10 Gaji Tenaga Kerja 30 1 Penyusutan b. Biaya Variabel Bibit ulat 2 Kaporit 1 Kapur 1 Pakan 30 Kayu Bakar 5 Transportasi 2 a Upah Tenaga Kerja 3,64 b Upah Tenaga Kerja 10,56 a Total Biaya Variabel Total Biaya Variabelb Total Biaya Produksia Total Biaya Produksib 3 HPP/Kga HPP/Kgb 4 Pendapatan Penjualan Benanga Penjualan Benangb 5 Laba Bersih/bulana Laba Bersih/bulanb a [Kondisi pesimis], b[Kondisi optimis]
Satuan Buah Batang
Harga Jumlah Satuan (Rp) Biaya (Rp) 300.000
300.000
-
-
tiang Paket Paket
40.000
80.000 380.000
Kwh OH Bulan
500 30.000 34.833
5.000 900.000 34.833
Boks kg Kg Ikat Batang Liter Orang/Kg Kg
10.000 2.000 6.400 40.000 40.000
300.000 10.000 12.800 145.600 422.400 468.400 745.200 1.408.233 1.685.033 386.877 159.568
Kg Kg
500.000 500.000
1.820.000 5.280.000 411.767 3.594.967
60 Lampiran 3 Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam adopsi inovasi (tanpa subsidi) No
Komponen
1 Biaya Investasi A. Biaya Pemeliharaan Ulat Alat Pintal Bambu Kayu (tiang) Lantai Lampu B. Biaya Pembuatan Tepung Pury Sendok Saringan Manual Ember Oven Timbangan Blender Sealer Total Biaya Investasi 2 Biaya Produksi a. Biaya Tetap Listrik Gaji Tenaga Kerja Penyusutan b. Biaya Variabel Bibit ulat Kaporit Kapur Pakan Tepung Meizena Transportasi Upah Tenaga Kerjaa Upah Tenaga Kerjab Total Biaya Produksia Total Biaya Produksib 3 Pendapatan Penjualan Benanga Penjualan Benangb Penjualan Tepung Pury Total Pendapatana Total Pendapatanb 4 Laba Bersih/bulana Laba Bersih/bulanb a [Kondisi pesimis], b[Kondisi optimis]
Volume Satuan
Harga Jumlah Biaya Satuan (Rp) (Rp)
1 30 6 1 2
Buah Batang tiang Paket Paket
300.000 15.000 5.000 2.000.000 40.000
300.000 450.000 30.000 2.000.000 80.000
1 3 6 1 1 1 1
Lusin Buah Buah Buah Buah Buah Buah
23.000 10.000 20.000 2.000.000 600.000 200.000 449.000
23.000 30.000 120.000 2.000.000 600.000 200.000 449.000 6.282.000
10 30 1
Kwh OH Bulan
500 30.000 83.097
5.000 900.000 83.097
2 1 1 60 0,08 2 3,64 10,56
Boks kg Kg Ikat Kg Liter Orang/Kg Orang/Kg
110.000 10.000 5.000 10.000 30.000 6.400 40.000 40.000
220.000 10.000 5.000 600.000 2.400 12.800 145.600 422.400 1.983.897 2.260.697
3,64 10,56 10
Kg Kg Kg
500.000 500.000 22.580
1.820.000 5.280.000 225.796 2.045.796 5.505.796 61.899 3.245.099
61 Lampiran 4 Biaya produksi, HPP dan laba rugi usaha persuteraan alam adopsi inovasi (dengan subsidi) No
Komponen
1 Biaya Investasi A. Biaya Pemeliharaan Ulat Alat Pintal Bambu Kayu (tiang) Lantai Lampu B. Biaya Pembuatan Tepung Pury Sendok Saringan Manual Ember Oven Timbangan Blender Sealer Total Biaya Investasi 2 Biaya Produksi a. Biaya Tetap Listrik Gaji Tenaga Kerja Penyusutan b. Biaya Variabel Bibit ulat Kaporit Kapur Pakan Tepung Meizena Transportasi Upah Tenaga Kerjaa Upah Tenaga Kerjab Total Biaya Produksia Total Biaya Produksib 3 Pendapatan Penjualan Benanga Penjualan Benangb Penjualan Tepung Pury Total Pendapatana Total Pendapatanb 4 Laba Bersih/bulana Laba Bersih/bulanb a [Kondisi pesimis], b[Kondisi optimis]
Volume Satuan
Harga Jumlah Satuan (Rp) Biaya (Rp)
1 30 6 1 2
Buah Batang tiang Paket Paket
300.000 40.000
1 3 6 1 1 1 1
Lusin Buah Buah Buah Buah Buah Buah
10 30 1
Kwh OH Bulan
500 30.000 83.097
5.000 900.000 83.097
1 1 1 30 0,08 2 3,64 10,56
Boks kg Kg Ikat Kg Liter Orang/Kg Orang/Kg
0 0 0 10.000 30.000 6.400 40.000 40.000
300.000 2.400 12.800 145.600 422.400 1.748.897 2.025.697
3,64 10,56 10
Kg Kg Kg
500.000 500.000 22.580
1.820.000 5.280.000 225.796 2.045.796 5.505.796 296.899 3.480.099
-
300.000 80.000 380.000
62 Lampiran 5 Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam kondisi saat ini (produksi optimis) Tahun
Total Inflow Total Outflow Net Benefit (Rp) (Rp) (Rp)
0 63.360.000 30.369.400 32.990.600 1 63.360.000 27.529.400 35.830.600 2 63.360.000 27.529.400 35.830.600 3 63.360.000 27.529.400 35.830.600 4 63.360.000 27.529.400 35.830.600 5 63.360.000 27.529.400 35.830.600 6 63.360.000 28.069.400 35.290.600 7 63.360.000 27.529.400 35.830.600 8 63.360.000 27.529.400 35.830.600 9 63.360.000 27.529.400 35.830.600 10 63.360.000 27.529.400 35.830.600 Total 696.960.000 306.203.400 390.756.600 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C
DF (12%)
PV Inflow (Rp)
PV Outflow PV Net (Rp) Benefit (Rp)
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
63.360.000 30.369.400 56.571.429 24.579.821 50.510.204 21.946.269 45.098.397 19.594.883 40.266.425 17.495.431 35.952.166 15.620.921 32.100.148 14.220.832 28.660.846 12.452.902 25.590.041 11.118.663 22.848.251 9.927.378 20.400.224 8.863.730 421.358.131 186.190.231
32.990.600 31.991.607 28.563.935 25.503.513 22.770.994 20.331.245 17.879.316 16.207.944 14.471.378 12.920.874 11.536.494 235.167.900 235.167.900 -
Lampiran 6 Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam kondisi saat ini (produksi pesimis) Tahun
Total Inflow Total Outflow Net Benefit (Rp) (Rp) (Rp)
0 21.840.000 23.726.200 1 21.840.000 20.886.200 2 21.840.000 20.886.200 3 21.840.000 20.886.200 4 21.840.000 20.886.200 5 21.840.000 20.886.200 6 21.840.000 21.426.200 7 21.840.000 20.886.200 8 21.840.000 20.886.200 9 21.840.000 20.886.200 10 21.840.000 20.886.200 Total 240.240.000 233.128.200 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C
(1.886.200) 953.800 953.800 953.800 953.800 953.800 413.800 953.800 953.800 953.800 953.800 7.111.800
DF (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow (Rp)
PV Outflow PV Net (Rp) Benefit (Rp)
21.840.000 23.726.200 (1.886.200) 19.500.000 18.648.393 851.607 17.410.714 16.650.351 760.364 15.545.281 14.866.385 678.896 13.879.715 13.273.558 606.157 12.392.603 11.851.391 541.212 11.064.824 10.855.180 209.644 9.879.307 9.447.856 431.451 8.820.810 8.435.586 385.224 7.875.723 7.531.773 343.950 7.031.895 6.724.797 307.098 145.240.871 142.011.469 3.229.402 3.229.402 48% 2,71
63 Lampiran 7 Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam adopsi inovasi (produksi optimis) Total Total Outflow Net Benefit Inflow (Rp) (Rp) (Rp) 0 66.069.558 31.701.200 34.368.358 1 66.069.558 26.286.200 39.783.358 2 66.069.558 26.541.200 39.528.358 3 66.069.558 26.456.200 39.613.358 4 66.069.558 26.691.200 39.378.358 5 66.069.558 26.286.200 39.783.358 6 66.069.558 27.401.200 38.668.358 7 66.069.558 26.286.200 39.783.358 8 66.069.558 26.691.200 39.378.358 9 66.069.558 26.456.200 39.613.358 10 66.069.558 26.691.200 39.378.358 Total 726.765.136 297.488.200 429.276.936 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C
Tahun
DF (12%)
PV Inflow (Rp)
PV Outflow (Rp)
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
66.069.558 31.701.200 58.990.677 23.469.821 52.670.247 21.158.482 47.027.006 18.831.001 41.988.398 16.962.740 37.489.641 14.915.496 33.472.894 13.882.301 29.886.513 11.890.542 26.684.386 10.780.128 23.825.345 9.540.371 21.272.629 8.593.852 439.377.295 181.725.934
PV Net Benefit (Rp) 34.368.358 35.520.855 31.511.765 28.196.006 25.025.658 22.574.146 19.590.593 17.995.971 15.904.258 14.284.974 12.678.777 257.651.361 257.651.361 -
Lampiran 8 Perhitungan NPV, IRR dan Net B/C usaha persuteraan alam kondisi adopsi inovasi (produksi pesimis) Tahun 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Total Inflow Total Outflow Net Benefit DF PV Inflow (Rp) (Rp) (Rp) (12%) (Rp)
PV Outflow PV Net (Rp) Benefit (Rp)
24.549.558 28.379.600 (3.830.042) 1,0000 24.549.558 28.379.600 (3.830.042) 24.549.558 22.964.600 1.584.958 0,8929 21.919.248 20.504.107 1.415.141 24.549.558 23.369.600 1.179.958 0,7972 19.570.757 18.630.102 940.655 24.549.558 23.134.600 1.414.958 0,7118 17.473.890 16.466.751 1.007.139 24.549.558 23.369.600 1.179.958 0,6355 15.601.688 14.851.803 749.885 24.549.558 22.964.600 1.584.958 0,5674 13.930.078 13.030.731 899.348 24.549.558 24.079.600 469.958 0,5066 12.437.570 12.199.475 238.095 24.549.558 22.964.600 1.584.958 0,4523 11.104.973 10.388.019 716.954 24.549.558 23.369.600 1.179.958 0,4039 9.915.155 9.438.589 476.565 24.549.558 23.134.600 1.414.958 0,3606 8.852.817 8.342.569 510.248 24.549.558 23.369.600 1.179.958 0,3220 7.904.301 7.524.386 379.915 Total 270.045.136 261.100.600 8.944.536 163.260.035 159.756.132 3.503.903 Net Present Value (NPV) 3.503.903 Internal Rate of Return (IRR) 33% Net B/C 1,91
64 Lampiran 9 Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi optimis) Tahun
Total Inflow Total Outflow Net Benefit PV Inflow PV Outflow PV Net DF (12%) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) (Rp) Benefit (Rp)
0 57.024.000 30.369.400 1 57.024.000 27.529.400 2 57.024.000 27.529.400 3 57.024.000 27.529.400 4 57.024.000 27.529.400 5 57.024.000 27.529.400 6 57.024.000 28.069.400 7 57.024.000 27.529.400 8 57.024.000 27.529.400 9 57.024.000 27.529.400 10 57.024.000 27.529.400 Total 627.264.000 306.203.400 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C
26.654.600 29.494.600 29.494.600 29.494.600 29.494.600 29.494.600 28.954.600 29.494.600 29.494.600 29.494.600 29.494.600 321.060.600
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
57.024.000 30.369.400 26.654.600 50.914.286 24.579.821 26.334.464 45.459.184 21.946.269 23.512.915 40.588.557 19.594.883 20.993.674 36.239.783 17.495.431 18.744.352 32.356.949 15.620.921 16.736.028 28.890.133 14.220.832 14.669.301 25.794.762 12.452.902 13.341.859 23.031.037 11.118.663 11.912.374 20.563.426 9.927.378 10.636.048 18.360.202 8.863.730 9.496.472 379.222.318 186.190.231 193.032.087 193.032.087 -
Lampiran 10 Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi pesimis) Tahun
Total Total Net Benefit Inflow (Rp) Outflow (Rp) (Rp)
0 19.656.000 23.726.200 1 19.656.000 20.886.200 2 19.656.000 20.886.200 3 19.656.000 20.886.200 4 19.656.000 20.886.200 5 19.656.000 20.886.200 6 19.656.000 21.426.200 7 19.656.000 20.886.200 8 19.656.000 20.886.200 9 19.656.000 20.886.200 10 19.656.000 20.886.200 Total 216.216.000 233.128.200 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C
(4.070.200) (1.230.200) (1.230.200) (1.230.200) (1.230.200) (1.230.200) (1.770.200) (1.230.200) (1.230.200) (1.230.200) (1.230.200) (16.912.200)
DF (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow (Rp)
PV Outflow PV Net (Rp) Benefit (Rp)
19.656.000 23.726.200 (4.070.200) 17.550.000 18.648.393 (1.098.393) 15.669.643 16.650.351 (980.708) 13.990.753 14.866.385 (875.632) 12.491.743 13.273.558 (781.814) 11.153.342 11.851.391 (698.049) 9.958.341 10.855.180 (896.838) 8.891.376 9.447.856 (556.480) 7.938.729 8.435.586 (496.857) 7.088.151 7.531.773 (443.622) 6.328.706 6.724.797 (396.091) 130.716.784 142.011.469 (11.294.685) (11.294.685) -
65 Lampiran 11 Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada peningkatan biaya operasional sebesar 10% (produksi optimis) Tahun
Total Inflow Total Outflow Net Benefit (Rp) (Rp) (Rp)
0 63.360.000 33.114.340 30.245.660 1 63.360.000 30.274.340 33.085.660 2 63.360.000 30.274.340 33.085.660 3 63.360.000 30.274.340 33.085.660 4 63.360.000 30.274.340 33.085.660 5 63.360.000 30.274.340 33.085.660 6 63.360.000 30.814.340 32.545.660 7 63.360.000 30.274.340 33.085.660 8 63.360.000 30.274.340 33.085.660 9 63.360.000 30.274.340 33.085.660 10 63.360.000 30.274.340 33.085.660 Total 696.960.000 336.397.740 360.562.260 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C
DF (12%)
PV Inflow (Rp)
PV Outflow (Rp)
PV Net Benefit (Rp)
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
63.360.000 33.114.340 30.245.660 56.571.429 27.030.661 29.540.768 50.510.204 24.134.518 26.375.686 45.098.397 21.548.677 23.549.719 40.266.425 19.239.890 21.026.535 35.952.166 17.178.474 18.773.692 32.100.148 15.611.504 16.488.644 28.660.846 13.694.574 14.966.272 25.590.041 12.227.298 13.362.743 22.848.251 10.917.231 11.931.021 20.400.224 9.747.527 10.652.697 421.358.131 204.444.694 216.913.437 216.913.437 -
Lampiran 12 Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam saat ini pada peningkatan biaya operasional sebesar 10% (produksi pesimis) Tahun
Total Inflow Total Outflow Net Benefit (Rp) (Rp) (Rp)
0 21.840.000 25.806.820 1 21.840.000 22.966.820 2 21.840.000 22.966.820 3 21.840.000 22.966.820 4 21.840.000 22.966.820 5 21.840.000 22.966.820 6 21.840.000 23.506.820 7 21.840.000 22.966.820 8 21.840.000 22.966.820 9 21.840.000 22.966.820 10 21.840.000 22.966.820 Total 240.240.000 256.015.020 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C
(3.966.820) (1.126.820) (1.126.820) (1.126.820) (1.126.820) (1.126.820) (1.666.820) (1.126.820) (1.126.820) (1.126.820) (1.126.820) (15.775.020)
DF (12%)
PV Inflow (Rp)
PV Outflow PV Net (Rp) Benefit (Rp)
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
21.840.000 25.806.820 (3.966.820) 19.500.000 20.506.089 (1.006.089) 17.410.714 18.309.008 (898.294) 15.545.281 16.347.329 (802.048) 13.879.715 14.595.829 (716.114) 12.392.603 13.031.990 (639.388) 11.064.824 11.909.287 (844.463) 9.879.307 10.389.023 (509.716) 8.820.810 9.275.913 (455.104) 7.875.723 8.282.066 (406.343) 7.031.895 7.394.701 (362.806) 145.240.871 155.848.056 (10.607.185) (10.607.185) -
66 Lampiran 13 Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi optimis) Tahun
Total Inflow Total Net Benefit (Rp) Outflow (Rp) (Rp)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
DF PV Inflow PV Outflow PV Net (12%) (Rp) (Rp) Benefit (Rp)
59.462.602 31.701.200 27.761.402 59.462.602 26.286.200 33.176.402 59.462.602 26.541.200 32.921.402 59.462.602 26.456.200 33.006.402 59.462.602 26.691.200 32.771.402 59.462.602 26.286.200 33.176.402 59.462.602 27.401.200 32.061.402 59.462.602 26.286.200 33.176.402 59.462.602 26.691.200 32.771.402 59.462.602 26.456.200 33.006.402 59.462.602 26.691.200 32.771.402 Total 654.088.623 297.488.200 356.600.423 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
59.462.602 31.701.200 53.091.609 23.469.821 47.403.222 21.158.482 42.324.306 18.831.001 37.789.559 16.962.740 33.740.677 14.915.496 30.125.605 13.882.301 26.897.861 11.890.542 24.015.948 10.780.128 21.442.810 9.540.371 19.145.366 8.593.852 395.439.566 181.725.934
27.761.402 29.621.788 26.244.740 23.493.305 20.826.818 18.825.182 16.243.304 15.007.319 13.235.820 11.902.439 10.551.514 213.713.632 213.713.632 -
Lampiran 14 Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada penurunan harga jual kokon sebesar 10% (produksi pesimis) Total Outflow (Rp) 0 22.094.602 28.379.600 1 22.094.602 22.964.600 2 22.094.602 23.369.600 3 22.094.602 23.134.600 4 22.094.602 23.369.600 5 22.094.602 22.964.600 6 22.094.602 24.079.600 7 22.094.602 22.964.600 8 22.094.602 23.369.600 9 22.094.602 23.134.600 10 22.094.602 23.369.600 Total 243.040.623 261.100.600 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C Total Inflow Tahun (Rp)
Net Benefit DF PV Inflow (Rp) (12%) (Rp) (6.284.998) (869.998) (1.274.998) (1.039.998) (1.274.998) (869.998) (1.984.998) (869.998) (1.274.998) (1.039.998) (1.274.998) (18.059.977)
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Outflow PV Net (Rp) Benefit (Rp)
22.094.602 28.379.600 (6.284.998) 19.727.323 20.504.107 (776.784) 17.613.682 18.630.102 (1.016.421) 15.726.501 16.466.751 (740.250) 14.041.519 14.851.803 (810.284) 12.537.071 13.030.731 (493.660) 11.193.813 12.199.475 (1.005.662) 9.994.476 10.388.019 (393.543) 8.923.639 9.438.589 (514.950) 7.967.535 8.342.569 (375.034) 7.113.871 7.524.386 (410.515) 146.934.032 159.756.132 (12.822.100) (12.822.100) -
67 Lampiran 15 Analisis sensitivitas usaha persuteraan alam adopsi inovasi pada peningkatan biaya operasional sebesar 10% (produksi optimis) Total Net Benefit Outflow (Rp) (Rp) 0 66.069.558 34.309.820 31.759.738 1 66.069.558 28.894.820 37.174.738 2 66.069.558 29.149.820 36.919.738 3 66.069.558 29.064.820 37.004.738 4 66.069.558 29.299.820 36.769.738 5 66.069.558 28.894.820 37.174.738 6 66.069.558 30.009.820 36.059.738 7 66.069.558 28.894.820 37.174.738 8 66.069.558 29.299.820 36.769.738 9 66.069.558 29.064.820 37.004.738 10 66.069.558 29.299.820 36.769.738 Total 726.765.136 326.183.020 400.582.116 Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C Tahun
Total Inflow (Rp)
DF (12%)
PV Inflow (Rp)
PV Outflow PV Net (Rp) Benefit (Rp)
1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
66.069.558 58.990.677 52.670.247 47.027.006 41.988.398 37.489.641 33.472.894 29.886.513 26.684.386 23.825.345 21.272.629 439.377.295
34.309.820 25.798.946 23.238.058 20.687.765 18.620.565 16.395.697 15.203.909 13.070.549 11.833.706 10.481.065 9.433.758 199.073.839
31.759.738 33.191.730 29.432.189 26.339.241 23.367.833 21.093.945 18.268.985 16.815.964 14.850.680 13.344.279 11.838.872 240.303.457 240.303.457 -
Lampiran 16 Analisis sensitivitas peningkatan biaya operasional kondisi produksi pesimis sebesar 10% Total Net Benefit Outflow (Rp) (Rp) 0 24.549.558 30.656.060 (6.106.502) 1 24.549.558 25.241.060 (691.502) 2 24.549.558 25.646.060 (1.096.502) 3 24.549.558 25.411.060 (861.502) 4 24.549.558 25.646.060 (1.096.502) 5 24.549.558 25.241.060 (691.502) 6 24.549.558 26.356.060 (1.806.502) 7 24.549.558 25.241.060 (691.502) 8 24.549.558 25.646.060 (1.096.502) 9 24.549.558 25.411.060 (861.502) 10 24.549.558 25.646.060 (1.096.502) Total 270.045.136 286.141.660 (16.096.524) Net Present Value (NPV) Internal Rate of Return (IRR) Net B/C Tahun
Total Inflow (Rp)
DF (12%) 1,0000 0,8929 0,7972 0,7118 0,6355 0,5674 0,5066 0,4523 0,4039 0,3606 0,3220
PV Inflow (Rp)
PV Outflow PV Net (Rp) Benefit (Rp)
24.549.558 30.656.060 (6.106.502) 21.919.248 22.536.661 (617.413) 19.570.757 20.444.882 (874.125) 17.473.890 18.087.091 (613.200) 15.601.688 16.298.535 (696.847) 13.930.078 14.322.455 (392.377) 12.437.570 13.352.800 (915.230) 11.104.973 11.417.774 (312.800) 9.915.155 10.358.013 (442.859) 8.852.817 9.163.483 (310.666) 7.904.301 8.257.345 (353.044) 163.260.035 174.895.099 (11.635.064) (11.635.064) -
68
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Desa Seri Tanjung (Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan) pada tanggal 18 Juni 1990 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Mustatir dan Rosidah, S. Pd.I. Tahun 1996-2002 penulis memulai pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 2 Seri Tanjung. Pada tahun 2002-2005 penulis melanjutkan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 4 Tanjung Batu. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Unggulan Kayuagung dan pada tahun yang sama penulis diterima masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih program studi mayor Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2011 memilih Biokomposit (Ekonomi Industri) sebagai bidang keahlian. Pada tahun 2013 Penulis melanjutkan studi magister di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada program Penyelenggaraan Pendidikan Dalam Negeri (BPPDN)-Calon Dosen. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Kelayakan Usaha Persuteraan Alam dan Produk Diversifikasinya di Kabupaten Wajo, Sulwesi Selatan” dibawah bimbingan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc, F.Trop dan Prof. Dr. drh. Clara Meliyanti Kusharto, M.Sc.