PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG
SKRIPSI ACHMAD SUBANDY
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
1
RINGKASAN ACHMAD SUBANDY. D34102013. Perumusan Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Skripsi. Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing utama Pembimbing anggota
: Ir. Hj Dewi Ulfah Wardani, MS : Dr. Ir. Mien Kaomini, MSc
Kegiatan sutera alam merupakan salah satu upaya untuk mendukung program rehabilitasi lahan dengan meningkatkan daya dukung lahan melalui budidaya tanaman murbei yang dikombinasi dengan pemeliharaan ulat sutera dan penanganan pasca panennya. Pengembangan usaha persuteraan alam dipandang sebagai salah satu usaha yang mempunyai harapan yang baik untuk mensejahterakan masyarakat dengan memanfaatkan lahan hutan yang masih terlantar. Tujuan penelitian adalah : 1) mengetahui gambaran kondisi usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, 2) mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang dimiliki petani sutera alam untuk mengembangkan usaha persuteraan alam di daerah tersebut, 3) merumuskan strategi pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Penelitian ini merupakan suatu survey pada usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong. Data dikumpulkan selama bulan Juli sampai dengan September 2006. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja dengan memilih orang-orang yang aktif pada kegiatan usaha persuteraan alam sebagai sumber informasi. Sampel diambil sebanyak 42 orang dari populasi 60 orang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Analisis data yang digunakan adalah analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats) dengan mengevaluasi faktor-faktor internal dan eksternal. Tahap selanjutnya yaitu perumusan strategi dengan menggunakan matriks SWOT. Kondisi alam yang dimiliki wilayah Kecamatan Rancakalong sesuai untuk mengembangkan usaha persuteraan alam. Kegiatan usaha persuteraan alam yang dilakukan petani Rancakalong meliputi kegiatan kelompok tani, budidaya tanaman murbei dan ulat sutera serta pemintalan benang. Struktur organisasi masih sangat sederhana, hanya ada ketua kelompok, bagian penanganan produksi dan penanganan pemasaran. Lahan yang dipakai oleh kelompok tani sutera sebagai budidaya tanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera adalah 2 Ha di Desa Legog Bitung dan 2 Ha di Desa Sukasirnarasa. Bibit murbei yang ditanam adalah Morus cathayana, M multicaulis, dan M nigra. Petani Rancakalong memiliki cara pemeliharaan ulat kecil dan ulat besar yang berbeda. Ada tujuh tahap proses produksi pemintalan benang petani sutera Rancakalong yaitu: (a) pemasakan kokon, (b) pencarian ujung serat (filamen), (c) reeling (d) re-reeling, (e) winding, (f) doubling, (g) twisting. Dari analisis yang telah dilakukan, didapat hasil identifikasi faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan yang berpengaruh terhadap usaha pengembangan persuteraan alam di Rancakalong. Pada kekuatan menghasilkan sembilan faktor yaitu (1) kondisi alam (iklim, tanah dan topografi) yang sesuai, (2) peran kelompok tani sutera dalam penanganan langsung kegiatan usaha, (3) adanya fasilitas dan
2
peralatan yang cukup memadai, (4) jumlah modal yang dimiliki petani cukup memadai, (5) adanya kualitas benang sutera yang bagus, (6) kapasitas dan karakteristik petani yang mendukung (umur, tingkat pendidikan dan pengalaman usaha), (7) adanya pembeli benang sutera sebagai pelanggan tetap, (8) adanya pelatihan dan pembinaan bagi petani sutera, (9) pemanfaatan limbah hasil budidaya sebagai hasil sampingan. Pada unsur kelemahan dihasilkan enam faktor diantaranya (1) hama dan penyakit pada ulat dan murbei, (2) struktur organisasi kelompok tani sutera masih sangat sederhana dan adanya deskripsi tugas rangkap, (3) petani kurang memperhatikan ketersediaan pakan, (4) jumlah produksi benang sutera belum memenuhi harapan, (5) tidak ada data keuangan yang menunjang, (6) manajemen ruang pemeliharaan kurang bagus. Hasil identifikasi faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang berpengaruh terhadap usaha pengembangan persuteraan alam di Rancakalong. Pada peluang dihasilkan empat faktor yaitu (1) kerjasama yang saling menguntungkan dengan supplier (KOPPUS Sabilulungan III), (2) kebutuhan bahan dari benang sutera (batik, bordir, dan interior) meningkat, (3) adanya dukungan dari pemerintah berupa bantuan dana dan penyuluhan, (4) peluang kenaikan harga benang sutera yang menguntungkan petani. Sedangkan ancaman menghasilkan tiga faktor yaitu (1) fungsi lembaga persuteraan tidak berjalan dengan baik, (2) tidak adanya dukungan dari lembaga koperasi dan bank, (3) ancaman pesaing dari Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi. Berdasarkan hasil analisis didapatkan perumusan strategi pengembangan usaha persuteraan alam yaitu meningkatkan kuantitas produksi pemeliharaan ulat sutera, meningkatkan penjualan dengan promosi, meningkatkan keuntungan dengan memperbaiki manajemen produksi, meningkatkan mutu pelayanan kepada konsumen dan meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Kata kunci : Sutera alam, faktor internal, faktor eksternal, strategi
3
ABSTRACT The Formulation of Strategy for Natural Silk Business Development on Rancakalong Subdistrict, Sumedang Regency Subandy A, D. I. Wardani, M. Kaomini The aims of this research were: (1) to describe the condition of natural silk business in Rancakalong Subdistrict, Sumedang Regency; (2) to identify the internal and external factors influencing the farmers’ ability in developing natural silk business in the area; (3) to formulate a strategy for natural silk business development in Rancakalong Subdistrict, Sumedang Regency. This study was a survey on natural silk business in Rancakalong. The data was collected from July 2006 until September 2006. The samples in this research were obtained from a number of people who were actively involved in natural silk business. The samples consisted of 42 respondents out of 60 people. The data used in this research were primary and secondary data, and the data analysis used was SWOT analysis (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) by evaluating the internal and external factors. The next stage was the formulation of strategy using SWOT matrix. The development strategy for natural silk business which was formulated based on the result of the analysis were as follows: increasing the quality of silkworm production in the existing area, increasing the sale through promotion, increasing profit by improving the production management, increasing the quality of service to the consumers, and increasing the coordination with related institutions. Keywords : natural silk , internal factor, external factor, strategy
4
PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG
ACHMAD SUBANDY D34102013
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
5
PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERSUTERAAN ALAM DI KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG
Oleh ACHMAD SUBANDY D34102013
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 22 Januari 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Ir. Dewi Ulfah Wardani, MS NIP. 131 878 941
Dr. Ir. Mien Kaomini, MSc. NIP. 080 030 369
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr. NIP.131 955 531
6
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Desember 1983 di Jakarta. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Atang Sutardja, SH dan Ibu Anah Supyanah. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Cilandak Timur 07 Pagi, pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTPN 212, Cilandak Timur, Jakarta, dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMU Bunda Kandung, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Penulis diterima sebagai Mahasiswa pada jurusan Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Industri Peternakan (HIMASEIP).
7
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil’aalamiin Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas segala limpahan dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Penyusunan skripsi yang berjudul perumusan strategi pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran kondisi usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang dimiliki petani sutera alam untuk mengembangkan usaha persuteraan alam di daerah tersebut, dan merumuskan strategi pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Skripsi ini diharapkan memberikan manfaat bagi pihak pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan untuk pengembangan usaha persuteraan alam di Kabupaten Sumedang. Penulis berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca secara umum. Penulis sangat menghargai saran dan kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini selanjutnya. Bogor, 22 Januari 2008
Penulis
8
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ............................................................................................
i
ABSTRACT ...............................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN.......................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...............................................................................
vi
DAFTAR ISI ...........................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
x
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang................................................................................ Perumusan Masalah........................................................................ Tujuan Penelitian .......................................................................... Kegunaan Penelitian ...................................................................... KERANGKA PEMIKIRAN....................................................................
1 2 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
6
Persuteraan Alam .......................................................................... Budidaya Murbei .......................................................................... Pemeliharaan Ulat Sutera ............................................................... Pemintalan ...................................................................................... Pola Kemitraan ............................................................................... Pemasaran ...................................................................................... Kebijakan ...................................................................................... Sosial Ekonomi ............................................................................. Sosial Budaya ................................................................................ Pemerintah ...................................................................................... Kelembagaan ................................................................................ Analisis SWOT ............................................................................. Kajian Terdahulu ............................................................................
6 6 8 10 11 12 12 13 13 13 14 14 15
METODE PENELITIAN ........................................................................
17
Lokasi dan Waktu........................................................................... Desain ............................................................................................ Data dan Instrumentasi .................................................................. Pengumpulan Data ......................................................................... Analisis Data ................................................................................. Analisis SWOT...................................................................
17 17 17 18 18 18
9
KEADAAN UMUM LOKASI .................................................................
20
Kabupaten Sumedang ......................................................... Kecamatan Rancakalong .................................................... Keadaan Wilayah....................................................... Demografi.................................................................. Kehutanan..................................................................
20 21 21 23 23
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
24
Sejarah Persuteraan Rancakalong .................................................. Kegiatan Usaha Persuteraan............................................................. Kelompok Tani ................................................................... Kegiatan Budidaya Murbei ................................................ Kegiatan Budidaya Ulat Sutera .......................................... Pemeliharaan Ulat Kecil ............................................ Pemeliharaan Ulat Besar ............................................ Pemanenan Kokon...................................................... Seleksi Kokon............................................................. Pengeringan Kokon .................................................... Kegiatan Pemintalan Benang Sutera .................................. Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Usaha Persuteraan Alam ........................................................................... Identifikasi Faktor Internal ................................................ Sumberdaya Manusia ................................................ Produksi...................................................................... Keuangan Usaha ........................................................ Pemasaran .................................................................. Pembinaan dan Pelatihan .......................................... Identifikasi Faktor Eksternal .............................................. Ekonomi .................................................................... Sosial, Budaya dan Demografi .................................. Pemasok .................................................................... Persaingan .................................................................. Pemerintahan ............................................................. Kelembagaan Terkait..................................................
24 24 25 26 27 28 29 30 30 31 31 34 34 34 36 37 38 39 40 40 41 41 42 42 43
Proses Perumusan Strategi ................................................. Perumusan Strategi Pengembangan ...................................
44 45
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................
49
Kesimpulan .................................................................................... Saran ..............................................................................................
49 50
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................
51
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
53
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
55
10
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Matriks SWOT .............................................................................
19
2. Data Penduduk Kecamatan Rancakalong Pada Akhir tahun 2005...
22
3. Produksi Kokon Petani Sutera Rancakalong 2005.......................
27
4. Karakteristik Individu Petani Sutera di Kecamatan Rancakalong..
35
5. Hasil Produksi Benang Sutera Petani Sutera Rancakalong..........
38
6. Nilai Tukar Rupiah terhadap Harga Benang Sutera untuk Produksi Sutera di Indonesia Tahun 2005 .......................... 7. Matriks SWOT .............................................................................
40 45
11
DAFTAR GAMBAR Nomor 1. Kerangka Pemikiran ..................................................................
Halaman 5
12
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai negara yang berbasis pertanian, Indonesia perlu terus memantapkan peranannya dalam pembangunan ekonomi. Menjelang era perdagangan bebas di tahun 2010, potensi berupa tanah, air, agroklimat dan sumberdaya manusia harus lebih didayagunakan sehingga mampu memanfaatkan peluang dalam dan luar negeri serta mampu memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Persuteraan alam sebagai salah satu kegiatan agribisnis dengan rangkaian usaha yang cukup panjang menjadi bagian dari pengembangan di bidang kehutanan yang dikaitkan dengan kegiatan agroindustri. Selain itu, kegiatan ini sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama di daerah-daerah dengan lingkungan sosial budaya yang mendukung kegiatan tersebut seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Kegiatan sutera alam merupakan salah satu upaya untuk mendukung program rehabilitasi lahan dengan meningkatkan daya dukung lahan melalui budidaya tanaman murbei yang dikombinasi dengan pemeliharaan ulat sutera dan penanganan pasca panennya. Pengembangan usaha persuteraan alam dipandang sebagai salah satu usaha yang mempunyai harapan yang baik untuk mensejahterakan masyarakat dengan memanfaatkan lahan hutan yang masih terlantar. Usaha kegiatan persuteraan alam khususnya produksi kokon dan benang sutera dirasakan sangat menguntungkan, karena cepat mendatangkan hasil dan bernilai ekonomi tinggi. Teknologi yang digunakan relatif sederhana, karena dapat dilakukan sebagai usaha pokok maupun sampingan yang merupakan usaha keluarga. Disamping bersifat padat karya, dapat juga menjadi sumber pendapatan masyarakat yang menguntungkan, sehingga kegiatan ini merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan
peranan
sektor
kehutanan
dalam
mendorong
perekonomian
masyarakat di pedesaan. Di Jawa Barat terdapat 3.754 petani yang memanfaatkan 2.620,90 ha lahan murbei untuk mengembangkan ulat sutera. Lahan-lahan tersebut terdapat di Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Majalengka, Sumedang, Subang serta Purwakarta (Andikarya, 2003).
13
Menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan (2005), Kabupaten Sumedang merupakan salah satu daerah yang memiliki prospek yang baik bagi pengembangan usaha persuteraan alam karena secara geografis klimatis, edafis, topografis, maupun ketenagakerjaan (sumberdaya manusia) memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh hasil yang maksimal perlu ditunjang oleh pengadaan sarana yang cukup, teknik yang memadai dan pemasaran yang terjamin, sehingga keterlibatan pemerintah, swasta maupun petani sangat diharapkan. Berdasarkan hal di atas penelitian yang komprehensif terhadap pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, sangat diperlukan. Penelitian dapat dilakukan dengan menganalisis variabel faktor internal meliputi sumberdaya manusia, keuangan usaha, pemasaran, produksi, penyuluhan dan pelatihan serta variabel faktor eksternal yang terdiri dari ekonomi, sosial, budaya dan demografi, kemitraan, pemasok, persaingan, pemerintah dan lembaga yang terdapat pada usaha persuteraan alam Kecamatan Rancakalong. Kecamatan Rancakalong sebagai salah satu daerah yang memiliki pengembangan usaha sutera alam diharapkan memberikan dampak terhadap perkembangan usaha persuteraan alam di Kabupaten Sumedang khususnya dan propinsi Jawa Barat umumnya. Rumusan Masalah Produksi sutera alam Indonesia masih sangat rendah, rata-rata per tahun produksi kokon kering sebesar 250 ton atau setara dengan 31,25 ton benang. Kapasitas produksi industri pemintalan benang sebesar 87,5 ton atau setara dengan kebutuhan kokon sebesar 700 ton. Sehubungan dengan itu industri pemintalan benang belum beroperasi optimal masih kekurangan kokon sekitar 450 ton pertahun. Sedangkan kebutuhan kokon nasional saat ini sebanyak 2400 ton per tahun, kebutuhan bahan baku industri benang sutera berupa kepompong ulat sutera (kokon) masih harus impor (Munaf, 2005). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), untuk memenuhi kebutuhan kokon maka kita harus tetap impor dari Brazil, Turki, Cina, serta Uzbekistan sebagai sentra produksi sutera dunia. Permintaan di dalam negeri akan barang yang terbuat dari benang sutera sangat tinggi, sedangkan perkembangan produksi kokon di beberapa sentra produksi selalu tidak menentu. Situasi ini dihadapi juga oleh usaha persuteraan alam yang terdapat di Kabupaten Sumedang, khususnya Kecamatan Rancakalong.
14
Tidak jarang petani sutera alam meninggalkan usaha tani sutera dan beralih pada komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Masalah yang dihadapi seperti, keterbatasan modal, aspek sumberdaya maupun sarana dan prasarana yang belum optimal perlu diatasi mengingat potensi wilayah yang mendukung serta peluang pasar yang masih terbuka. Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian : 1. Faktor-faktor internal dan eksternal apa saja yang dihadapi petani ulat sutera di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, untuk mengembangkan usaha persuteraan alam? 2. Alternatif strategi apakah yang dapat dilaksanakan petani sutera di Kecamatan Rancakalong untuk dapat mengembangkan usaha persuteraan alam sesuai kondisi internal dan eksternal yang dimiliki? Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui gambaran kondisi usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang 2. Mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang dimiliki petani sutera alam untuk mengembangkan usaha persuteraan alam di daerah tersebut 3. Merumuskan strategi pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi petani dan pihak pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan untuk pengembangan usaha persuteraan alam di Kabupaten Sumedang.
KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian mengenai usaha persuteraan alam ini dibatasi pada ruang lingkup budidaya murbei dan budidaya ulat sutera sampai pemintalan benang sutera dengan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal
yang dimiliki petani sutera alam di
daerah Kecamatan Rancakalong. Faktor-faktor internal meliputi sumberdaya manusia, keuangan usaha, pemasaran, produksi, penyuluhan dan pelatihan.
15
Sedangkan
faktor eksternal
terdiri dari faktor ekonomi, sosial, budaya dan
demografi, kemitraan, pemasok, persaingan, pemerintah dan kelembagaan yang terdapat di usaha persuteraan alam Kecamatan Rancakalong. Tahap terakhir dalam rangkaian perumusan Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam di Kecamatan Rancakalong adalah matriks SWOT untuk menggambarkan bagaimana kelemahan dan ancaman yang dihadapi dapat diatasi dengan kekuatan dan peluang yang dimiliki yang akan menghasilkan kemungkinankemungkinan strategi bagi pengembangan usaha di wilayah tersebut.
16
Analisis Kasus
USAHA PERSUTERAAN ALAM
Budidaya Ulat Sutera
Budidaya Murbei
Pemintalan Benang Sutera
Faktor Internal Kekuatan
Faktor Ekstenal
Kelemahan
Peluang
Ancaman
Matriks SWOT
Perumusan Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam Gambar 1. Kerangka Pemikiran
17
TINJAUAN PUSTAKA Persuteraan Alam Kegiatan persuteraan alam sudah dikenal dan dibudidayakan oleh sebagian masyarakat di Indonesia terutama di daerah-daerah yang sosial budayanya mendukung, misalnya di Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan beberapa daerah lainnya. Kegiatan tersebut bersifat padat karya sehingga dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat yang menguntungkan dan dapat pula dijadikan ajang untuk mengentaskan kemiskinan (Atmosoedarjo et al., 2000) Tanaman murbei berkembang di Indonesia sejalan dengan perkembangan serikultur pada zaman kerajaan beberapa ratus tahun yang lalu, tetapi serikultur modern baru dimulai pada tahun 1950. Upaya pengembangan sutera di Indonesia dikenalkan oleh bangsa Jepang kepada veteran perang, namun perkembangannya sangat lambat (Andikarya, 2003). Menurut Perum Perhutani (2005), pelaksanaan kegiatan persuteraan alam di lapangan terdiri dari kegiatan pertanaman murbei (produksi daun), pembibitan ulat sutera (produksi bibit ulat sutera), pemeliharaan ulat sutera (produksi kokon), penanganan kokon, pemintalan (produksi benang sutera), pertenunan (produksi kain) dan pemasaran hasil produksinya. Simanjuntak (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mendukung pengembangan usaha persuteraan alam adalah pemilihan lahan / tanah yang dibutuhkan kebun murbei dengan tinggi tempat 300-800 m dari permukaan laut, pH tanah 6.5-7.0, temperatur 23-30
o
C, dan curah hujan 2500-3000 mm/tahun,
pemeliharaan ulat kecil membutuhkan suhu yang ideal 26-28 oC dengan kelembaban 70-80% dan pemeliharaan ulat besar membutuhkan suhu 23-25
o
C dengan
kelembaban 70-80%. Budidaya Murbei Menurut Hindra (2005), tanaman murbei merupakan dasar kegiatan persuteraan alam, karena daun murbei merupakan pakan satu-satunya ulat sutera (Bombyx mori). Di Indonesia terdapat 100 jenis murbei, yang dikenal hanya ada 6 jenis yaitu Morus cathayana, M alba, M multicaulis, M nigra, M australis, dan M macroura. Jenis yang dianjurkan ditanam karena keunggulannya, baik produktivitas maupun kualitas daunnya adalah Morus cathayana, M multicaulis, M alba Kanva-2 (dari India), M
18
multicaulis (Cina 2) dan M alba (Calafat). Jenis-jenis tersebut sudah beradaptasi cukup baik dengan kondisi lingkungan di Indonesia Adapun sistematika tanaman murbei : Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Classis
: Dicotyledoneae
Ordo
: Urticalis
Famili
: Moraceae
Genus
: Morus
Species
: M. alba; M nigra; M multicaulis; M alba varietas Kanva - 2; M
khumpai; M
cathayana dan lain sebagainya (Hindra,
2005). Menurut Hindra (2005), tahapan kegiatan pertanaman murbei adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan lokasi Lokasi untuk pertanaman murbei dipilih pada tanah yang subur, rata atau tidak terlalu miring, dekat dengan sumber air dan tidak berbatu-batu. Letak kebun murbei sebaiknya dekat dengan ruang pemeliharaan ulat, agar tidak kesulitan dalam mengangkut daunnya. 2. Pengadaan bibit murbei Bibit / stek murbei yang akan ditanam harus berasal dari tanaman murbei yang baik, sehat, cukup umur, diameter 1-1,5 cm dan merupakan jenis unggul pada daerah tersebut. Stek murbei mempunyai 4 mata, panjang sekitar 20 cm, bagian atas dipotong agak miring dan bagian bawah rata. 3. Pemeliharaan tanaman Untuk mengamankan tanaman murbei sebaiknya kebun dipagar dan diadakan pengairan. Tanaman murbei yang baru ditanam atau masa pemeliharaan agar menggunakan pupuk organik (pupuk kandang), tetapi apabila tidak tersedia pupuk kandang dapat menggunakan pupuk anorganik. 4. Pengendalian hama dan penyakit Pengendalian hama dan penyakit bertujuan agar produksi daun murbei tinggi dan aman sampai dimanfaatkan untuk pemeliharaan ulat. Pengendalian hama
19
penyakit dapat berupa pembersihan lapangan, pemangkasan ulang, penyemprotan maupun
upaya-upaya
lainnya.
Dalam
pelaksanaan
penyemprotan
agar
diperhatikan masa residu, karena ulat sutera termasuk serangga yang akan keracunan apabila memakan murbei yang masih mengandung pestisida. 5. Pemanenan daun Pemanenan daun adalah pengambilan daun dari kebun murbei untuk pemeliharaan ulat sutera. Persyaratan daun untuk ulat kecil tidak sama dengan ulat besar. Ulat kecil membutuhkan daun yang kandungan airnya relatif banyak, lunak dan muda. Ulat kecil membutuhkan daun umur pangkas 1-1,5 bulan, pemberian daun dengan dirajang, sedang ulat besar membutuhkan daun umur pangkas 2,5 bulan dengan pemberian beserta batangnya. Produksi daun dengan cabang rata-rata umur pangkas 1-1,5 bulan sebesar 150 gram/pohon dan untuk pangkas 2,5 bulan sebesar 750 gram/pohon. 6. Kandungan unsur Daun murbei adalah satu-satunya makanan ulat sutera jenis Bombyx mori, yang mana untuk pertumbuhannnya memerlukan zat-zat makanan yang ada didalamnya. Susunan kimia daun murbei terdiri dari air, protein, dekstrin, garamgaram anorganik (phosfat, kalium, kalsium, dan lain-lain), vitamin (provitamin A, B1, B2, C dan sebagainya), karbohidrat, serat bahan ekstraksi, macam-macam gula dan asam-asam organik. Jenis murbei M. cathayana
menghasilkan 0,3-0,9 kg/pohon pada umur 1-2
tahun, setelah dua tahun 0,8-1,2 kg/pohon setiap periode panen (selang 2-3 bulan). Tanaman murbei produksi daunnya mulai menurun pada umur 10 tahun dan lebih dari 15 tahun tergolong tanaman tua yang mempunyai produktivitas rendah (Atmosoedarjo et al., 2000). Pemeliharaan Ulat Sutera Menurut Samsijah dan Andadari (1995), pemeliharaan ulat dapat berhasil dengan baik pada ruangan khusus dalam bangunan pemeliharaan ulat kecil dengan kondisi temperatur, kelembaban, cahaya, dan aliran udara yang dapat diatur. Syaratsyarat pemeliharaan bangunan pemeliharaan ulat kecil adalah: 1) bangunan tempat pemeliharaan harus dekat dengan kebun murbei; 2) lingkungan di sekitar bangunan bersih; 3) ruang pemeliharaan bersih dan kering serta tersedia jendela yang cukup
20
untuk pergantian udara; 4) tersedia ruang atau tempat penyimpanan daun murbei yang terpisah dari ruang pemeliharaan; dan tempat pembuangan kotoran ulat diletakkan jauh dari bangunan. Atmosoedarjo et al. (2000), menyatakan bahwa pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di lokasi pemeliharaan, yaitu suhu, kelembaban nisbi, kualitas udara, aliran udara, cahaya, dan sebagainya. Sangat penting untuk menyesuaikan iklim mikro di tempat pemeliharaan, supaya cocok dengan pertumbuhan masing-masing instar ulat sutera, sehingga dapat memproduksi kokon sebanyak mungkin. Keadaan cuaca di luar ruang pemeliharaan juga sangat berpengaruh, tidak saja pada iklim mikro, akan tetapi juga kepada nilai gizi dari daun murbei. Selain suhu tinggi, di beberapa bagian daerah tropik terdapat juga musim kering dan musim hujan yang jelas. Suhu dan cuaca sangat penting untuk mempertahankan nilai gizi daun murbei karena di musim kemarau tanaman murbei tumbuhnya menjadi lamban dan akhirnya memproduksi daun yang kasar dan mudah layu (Atmosoedarjo et al., 2000). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pemeliharaan ulat sutera adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan musim-musim pemeliharaan untuk mendapatkan panen yang mantap. 2. Pemanfaatan fasilitas-fasilitas dan tenaga kerja yang ada secara optimal. 3. Pemilihan teknik yang tepat untuk meningkatkan produktivitas lahan dan tenaga kerja untuk menghasilkan kokon yang berkualitas tinggi. 4. Pengaturan kegiatan, sehingga para pekerja tidak kewalahan. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa pada umumnya jumlah box telur digunakan sebagai unit untuk menyatakan skala pemeliharaan. Satu box berisi 20.000 butir telur, dengan berat 10,6 – 20,8 g. Hasil kokon yang diharapkan dari satu box telur adalah 27 – 33 kg untuk varietas-varietas bivoltin. Satu box telur dari Candiroto berisi 25.000 telur/box, dengan hasil kokon diharapkan 40 kg/box. Untuk memelihara satu box telur (20.000 telur) luas ruang pemeliharaan yang diperlukan adalah 16 m2 dan diperlukan daun murbei (termasuk tunas) sebanyak 600 kg, atau 450 kg daun saja.
21
Jumlah ulat yang akan dipelihara tergantung kepada tenaga kerja yang ada, tersedianya daun murbei, luas ruangan pemeliharaan, peralatan, dan sebagainya. Bila tambahan tenaga kerja mudah di dapat, maka tenaga tambahan dapat digunakan pada instar V sampai naik untuk mengokon, yaitu pada waktu ulat makan dengan rakusnya. Dalam pemeliharaan ulat sutera kebersihan ruangan dan peralatan penting sekali diperhatikan, karena debu dan kotoran yang terdapat pada tempat dan peralatan pemeliharaan merupakan sumber berbagai penyakit. Oleh karena itu sebelum dan sesudah pemeliharaan ulat sutera hendaknya dilakukan desinfeksi ruangan dan peralatan yang digunakan untuk pemeliharaan. Desinfeksi ruangan serta alat-alat pemeliharaan dilakukan 2-3 hari sebelum ulat dipelihara dengan menggunakan kaporit yang dilarutkan 200 kali, disemprotkan secara merata dengan volume penyemprotan 1,5-2,0 liter larutan/m2. Desinfeksi tubuh ulat dilakukan setiap pagi 15-30 menit sebelum pemberian pakan, mulai instar IV sampai mengokon. Desinfeksi tubuh ulat dilakukan dengan menggunakan campuran kaporit dan kapur dengan perbandingan 1 : 9 ditaburkan secara merata di atas tubuh ulat. Desinfektan cukup efektif untuk mencegah timbulnya penyakit pada ulat sutera dan berpengaruh nyata terhadap mortalitas ulat yang cukup rendah, yaitu 2,286 % - 16,571%. Alat yang digunakan sebagai tempat mengokon adalah seriframe dapat menampung 250 kokon, dengan jaminan kokon rangkap yang dihasilkan sedikit. Satu box memerlukan 60 seriframe. Panen kokon dilaksanakan setelah 6-7 hari dari ulat mulai mengokon. Pemintalan Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan Reeling benang sutera, atau silk reeling, dalam arti luas adalah produksi benang sutera melalui proses pengeringan kokon segar, penyimpanan, penyortiran dan pemasakan kokon kering, reeling dan rereeling sampai menjadi benang sutera. Proses reeling sutera adalah penyatuan beberapa filamen untuk dipintal menjadi benang sutera. Ada banyak jenis alat pintal sutera, yang terpenting di antaranya adalah mesin reeling otomatis. Industri reeling sutera di Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: industri reeling sutera tradisional, semi otomatis dan otomatis. Reeling tradisional,
22
yang banyak digunakan oleh para pengrajin sutera di Sulawesi Selatan, Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, dan beberapa daerah lainnya, menggunakan alat pintal generasi pertama, yang sangat sederhana, dengan menggunakan tenaga manusia. Sedangkan industri reeling semi otomatis dan otomatis menggunakan mesin modern, yang digerakkan dengan listrik (generasi kedua dan ketiga). Mesin reeling otomatis, pada umumnya, hanya digunakan untuk kokon berkualitas prima yang memiliki keseragaman tinggi, sehingga memungkinkan dipintal secara otomatis dengan kecepatan tinggi. Mesin semi otomatis dapat digunakan untuk mengolah kokon kelas di bawahnya. Benang sutera yang diolah dengan mesin otomatis, memiliki kualitas paling baik, disusul berturut-turut mesin semi otomatis dan cara tradisional (Atmosoedarjo et al., 2000). Pola Kemitraan Program kemitraan di bidang persuteraan alam menurut Atmosoedarjo et al. (2000), dimaksudkan sebagai suatu bentuk upaya kerjasama yang berlandaskan kepada semangat kebersamaan antara yang kuat dan yang lemah dalam rangka pemberdayaan yang lemah, agar tidak menjadi korban dalam persaingan usaha dan tujuan-tujuan pembangunan persuteraan nasional tercapai. Untuk menggabungkan aset-aset yang dimiliki petani/perajin persuteraan alam dan yang dimiliki sektor ekonomi skala besar perlu adanya kerjasama antara keduanya dalam bentuk pola-pola kemitraan. Oleh sebab itu pola-pola kerjasama kemitraan yang saling menguntungkan kedua belah pihak perlu diciptakan dengan dasar aset-aset yang dimiliki oleh masing-masing pihak tersebut. Pemerintah dalam hal ini berperan memberikan fasilitas antara lain pembinaan, bimbingan dan memberikan permodalan dengan fasilitas bunga rendah (Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial/RLPS, 2003) Menurut Ditjen RLPS (2003), dalam rangka pengembangan kemitraan yang perlu dilaksanakan antara lain: 1. Penyusunan pedoman pola-pola kemitraan. 2. Mengembangkan usaha persuteraan alam dengan pola kemitraan 3. Mengadakan pertemuan, tukar menukar informasi antar para pihak yang menangani usaha persuteraan alam dengan pola kemitraan dan pameran produksi persuteraan alam.
23
Pemasaran Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), perdagangan benang sutera mentah (raw silk) cukup ramai di kalangan pengrajin sutera. Pemasoknya adalah para pemintal dan pembelinya pada umumnya adalah pengrajin tenun. Beberapa koperasi bertindak sebagai “pedagang perantara” untuk menjembatani kebutuhan pengrajin tenun yang menjadi anggotanya. Perum Perhutani (2005), menyatakan pemasaran produksi persuteraan alam merupakan rangkaian akhir yang sangat menentukan, karena pemasaran merupakan jaminan bahwa kegiatan persuteraan alam ini dapat berlangsung terus atau berhenti. Untuk menjamin pemasaran kokon di petani, kegiatan persuteraan alam harus dilaksanakan pada daerah yang asesibilitasnya relatif baik, dekat dengan lokasi pengolahan kokon atau dengan tempat yang membutuhkan produk persuteraan alam. Pemasaran kokon pada umumnya masih pasar tunggal, artinya kokon petani ditampung oleh satu badan usaha, sehingga harganya masih ditentukan oleh badan usaha tersebut. Di Sulawesi Selatan sudah ada pasar bebas kokon, sehingga petani lebih leluasa untuk menjual kokonnya dengan harga pasar. Untuk memperkuat posisi tawar, petani harus bersatu dalam suatu kelompok tani, atau menjadi plasma dari badan usaha tersebut (Hindra, 2005). Kebijakan Kebijakan Pengembangan Persuteraan Nasional dilakukan selama 5 tahun dalam kurun waktu tahun 2005 sampai dengan 2009, yang bertujuan mendorong percepatan kegiatan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, dan terpenuhinya kebutuhan pasar yang cukup terbuka, terutama kebutuhan pasar dalam negeri. Langkah-langkah pembinaan yang dilakukan dengan menentukan arah kebijakan dan program pembinaan yang lebih terpadu dan terkoordinasi antar instansi pembina dan stakeholder (Munaf, 2005). Menurut
Munaf
(2005),
strategi
yang
ditempuh
dalam
kebijakan
pengembangan persuteraan nasional: (1) Pencapaian sasaran pengembangan persuteraan Indonesia selama lima tahun; (2) Pengembangan persuteraan berdasarkan pengembangan sentra dengan pendekatan klaster yaitu mengintegrasikan seluruh komponen produktif industri sutera dari hulu ke hilir sehingga keunggulan komparatif produk persuteraan menjadi keunggulan kompetitif (produk-produk
24
sutera berdaya saing); (3) Pembentukan Silk Solution Center dibutuhkan sebagai daya penggerak bagi masyarakat persuteraan untuk memajukan persuteraan nasional. Sosial Ekonomi Penyusunan perencanaan persuteraan alam untuk suatu lokasi perlu disertai dengan perhitungan yang matang, sehingga dari segi ekonomi dapat menguntungkan petani. Lokasi yang direncanakan untuk kegiatan persuteraan alam sebaiknya sudah tersedia sarana dan prasarana sebagai pendukung dan penguasaan teknologi, sehingga petani dapat melaksanakan kegiatannya (Perum Perhutani, 2005). Sosial Budaya Menurut Perum Perhutani (2005), sosial budaya wilayah sangat menentukan bagi pengembangan suatu kegiatan, termasuk kegiatan persuteraan alam. Apabila masyarakat sudah mengenal budaya persuteraan alam, maka untuk pengembangan lebih lanjut hanya mendorong dan memberikan motivasi, dan masyarakat dapat langsung menerapkannya. Budaya baju sutera dan sarung sutera akan mendorong masyarakat untuk memenuhi keperluannya sendiri. Pemerintah Menurut Perum Perhutani (2005), faktor pendukung yang sangat menentukan dalam penyusunan perencanaan adalah dukungan pemerintah, baik pemerintah pusat, propinsi maupun kabupaten. Apabila pada wilayah tersebut kegiatan persuteraan alam sudah merupakan kegiatan prioritas dan didukung oleh biofisik, agroklimat, sosial ekonomi dan budaya, maka daerah tersebut dapat direncanakan untuk kegiatan persuteraan alam. Apabila pemerintah daerah belum memprioritaskan daerah tersebut sebaiknya wilayah tersebut tidak direncanakan untuk kegiatan persuteraan alam. Kelembagaan Kelembagaan menentukan jalannya pengembangan persuteraan alam. Dalam materi kelembagaan perlu direncanakan dengan baik tentang sistem pembinaan melalui kelompok tani dan peraturan perundangan yang mendukung kegiatan tersebut. Dengan adanya kelembagaan yang baik, maka alur pembinaan akan teratur, tidak terjadi tumpang tindih dan petani akan mudah apabila memerlukan pelayanan kegiatan persuteraan alam (Perhutani, 2005).
25
Analisis SWOT SWOT adalah singkatan dari lingkungan internal Strengths dan Weaknesses serta lingkungan eksternal Opportunities dan Threats yang dihadapi oleh dunia bisnis.
Analisis
SWOT
membandingkan
antara
faktor
eksternal
peluang
(opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) (Rangkuti, 2000). Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat dimaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities). Namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi saat ini (Rangkuti, 2000). Kekuatan adalah sumberdaya, keterampilan, atau keunggulan-keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang dilayani atau ingin dilayani oleh perusahaan. Kekuatan dapat terkandung dalam sumberdaya keuangan, citra, kepemimpinan pasar, hubungan dengan konsumen, dan fakta lainnya. Kelemahan adalah keterbatasan atau kekurangan dalam sumberdaya, keterampilan, dan kapabilitas yang secara serius menghambat kinerja efektif perusahaan. Fasilitas, sumberdaya keuangan, kapabilitas manajemen, keterampilan pemasaran, dan citra merek dapat merupakan sumber kelemahan. Peluang adalah situasi penting yang menguntungkan dalam lingkungan perusahaan. Kecenderungan-kecenderungan penting merupakan salah satu sumber peluang. Ancaman adalah situasi penting yang tidak menguntungkan dalam lingkungan perusahaan. Ancaman merupakan pengganggu utama bagi posisi sekarang atau yang diinginkan perusahaan.
26
Kajian Penelitian Terdahulu Munajat (1998) menganalisis pendapatan usaha sutera alam maupun analisis optimalisasi pola usaha tani di Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Hasil analisis menunjukkan bahwa usaha sutera alam tidak menguntungkan sehingga perlu kebijakan mengurangi konsumsi daun murbei untuk mendorong petani melakukan usaha sutera alam, karena usaha sutera alam akan lebih efisien. Kebijakan tersebut akan berimplikasi pada peningkatan volume pemeliharaan ulat sutera oleh petani. Kebijakan menaikkan harga mendorong petani melakukan usaha sutera alam karena usaha tersebut menjadi sangat menarik secara ekonomis dengan harga yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kedua kebijakan tersebut mampu meningkatkan pendapatan masyarakat di wilayah Kabupaten Sukabumi. Penelitian lain telah dilakukan oleh Sudarisman (1998) terhadap perusahaan Indo Jado Sutera Pratama. Telah diketahui bahwa dalam pengusahaan sutera alam perusahaan telah melakukan pembinaan finansial dengan memberikan kredit sebesar Rp 4.356.000,-, pemberian kredit ini memotivasi petani untuk ikut serta menjadi mitra perusahaan dalam memproduksi kokon. Andarwati (2000) menganalisis strategi pemasaran kain sutera alam di Arman Sutera dengan metode SWOT. Hasil analisis menunjukkan bahwa kekuatan perusahaan adalah lokasi show room yang strategis di pusat perbelanjaan di Ujung Pandang, jasa pengiriman barang, dan tenaga kerja manajer pengembangan cabangcabang yang bertugas mempermudah jalur distribusi dengan menentukan lokasi show room yang strategis. Kelemahan yang dimiliki perusahaan, yaitu nama yang belum terkenal, citra berbelanja di show room milik Arman Sutera mahal, dan kurang efektifnya promosi. Peluang yang dihadapi Arman Sutera adalah berkembangnya bisnis eceran, berkembangnya teknologi di bidang informasi, komunikasi dan transportasi, berkembangnya budaya memakai aksesoris dari sutera dan surat kebijakan pemerintah dalam pengembangan persuteraan. Sedangkan ancamannya yaitu kondisi perekonomian yang tidak stabil, kenaikan tarif listrik, telepon dan BBM, serta persaingan memperoleh pemasok karena meningkatnya jumlah pesaing. Melihat faktor-faktor di atas dapat diperoleh 4 alternatif strategi. Pertama, strategi SO dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, perusahaan dapat mempertahankan
dan
mengembangkan
show
room
yang
ada
dengan
27
mempertahankan variasi, kualitas, dan kuantitas bahan. Kedua, strategi WO dengan cara meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang, perusahaan harus meningkatkan kegiatan pengenalan melalui promosi dan bauran pemasaran. Ketiga, strategi ST dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman, perusahaan harus menjaga hubungan baik dengan pemasok untuk menjaga kontinuitas dan kualitas barang. Keempat, strategi WT dengan cara meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman, perusahaan harus menanamkan citra yang baik tentang industri sutera dengan memberi kepuasan pada konsumen. Penelitian Nukman (2002) pada mitra Jado Sutera Pratama tentang kelayakan finansial pada tahap perencanaan pengembangan proyek menunjukkan bahwa usaha tani sutera alam ini layak untuk dilaksanakan. Nilai B/C Ratio yang diperoleh pada peternak luasan lahan murbei sekitar 1,00 hektar maupun luasan lahan murbei 1,001,50 hektar dengan faktor diskonto 6% masing-masing adalah sebesar 1,201 dan 1,176. Nilai NPV masing-masing Rp 7.084.738,92 dan Rp 8.791.940,90. Nilai IRR masing-masing adalah 56,35% dan 53,34%.
28
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Perumusan Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam ini dilaksanakan di dua desa yaitu Desa Sukasirnarasa dan Desa Legog Bitung, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Waktu pelaksanaan dilakukan selama 2 bulan yaitu Juli sampai dengan September 2006. Populasi dan Sampel Populasi Populasi keseluruhan adalah petani sutera yang melakukan kegiatan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Populasi seluruhnya berjumlah 60 orang yang tersebar di dua Desa Kecamatan Rancakalong. Sampel Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja dengan memilih petani-petani yang aktif berdasarkan sumber informasi yang didapat dari para petani sutera alam yang berada di Kecamatan Rancakalong. Sebanyak 42 orang petani sebagai sampel petani sutera terdiri dari 20 orang petani sutera Desa Legog Bitung dan 22 petani sutera Desa Sukasirnarasa. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah analisis survai yaitu mengetahui gambaran kondisi usaha, menganalisis situasi dan memutuskan tindakan apa yang harus segera dilakukan untuk memecahkan masalah yang terjadi pada usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Instrumentasi Instrumentasi yang digunakan adalah wawancara langsung kepada petani sutera Rancakalong. Daftar pertanyaan wawancara secara garis besar melihat kondisi internal usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, seperti permodalan, sumberdaya, pendapatan, teknologi yang dipakai, pemasaran, faktor manajemen yang berhubungan dengan persuteraan alam, serta pelatihan dan pendidikan yang didapat para petani mengenai persuteraan alam.
29
Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pengamatan, wawancara langsung dengan petani sutera dan para pakar di bidangnya. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan data umum dari Badan Pusat Statistik, perusahaan swasta (mitra usaha), dan instansi-instansi pemerintah seperti, Sub Dinas Pertanian Kecamatan Rancakalong, Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Kabupaten Sumedang, Perguruan Tinggi, serta publikasi ilmiah. Sejumlah pakar diambil guna mendukung penelitian ini. Sebanyak 6 orang pakar terdiri dari 2 orang petani sutera alam yang berpengalaman, dua orang dari Pemerintah Daerah (Birokrat) dan dua orang dari Dinas terkait yang berada di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang. Analisis Data Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis data secara deskriptif kualitatif dilakukan untuk mengidentifikasi faktor internal dan faktor eksternal yang dimiliki petani sutera Rancakalong, sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan untuk menentukan strategi pengembangan usaha sutera alam di Rancakalong. Menurut Rangkuti (2006), proses penyusunan perencanaan strategi tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap pengambilan keputusan. Analisis data dengan menggunakan analisis SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman). Perangkat analisis yang digunakan adalah Internal Factor (IF) dan External Factor (EF), serta perumusan strategi pengembangan persuteraan alam di Rancakalong menggunakan alat analisis yaitu Matriks SWOT. a. Internal Factor dan External Faktor Langkah yang singkat dalam melakukan penilaian internal adalah dengan menggunakan Internal Factor. Internal Factor digunakan untuk mengukur sejauh mana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki petani sutera dalam mengembangkan usaha budidaya murbei, ulat sutera dan pemintalan benang sutera dengan melihat beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: sumberdaya manusia, keuangan usaha, pemasaran, produksi, pelatihan dan pembinaan. Begitu juga dengan External Faktor,
30
digunakan untuk mengarahkan perumus strategi untuk merangkum dan mengevaluasi informasi ekonomi, sosial, budaya, demografi, politik, hukum, dan teknologi menganalisis faktor eksternal, dan mengklasifikasikannya menjadi peluang dan ancaman (David, 1997). b. Matriks SWOT Matriks SWOT (Tabel 1) digunakan untuk menetapkan strategi berdasarkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Matriks ini menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan empat kemungkinan strategi. Tabel 1. Matriks SWOT STRENGTHS (S) Tentukan 1 – 10 kekuatan internal
WEAKNESSES (W) Tentukan 1 – 10 kelemahan internal
OPPORTUNITIES (O) Tentukan 1 – 10 peubah peulang eksternal
STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
THREATS (T) Tentukan 1 – 10 peubah ancaman eksternal
STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman
Internal
Eksternal
Sumber : Rangkuti, 2000
1. Strategi SO adalah strategi yang dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar – besarnya. 2. Strategi ST adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman. 3. Strategi WO adalah strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada 4. Strategi WT adalah strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman (Rangkuti, 2000).
31
KEADAAN UMUM LOKASI Kabupaten Sumedang Kabupaten Sumedang berada di sebelah Timur Propinsi Jawa Barat, berada pada 60°40' - 70°83' Lintang Selatan dan 107°44' Bujur Timur, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kota Bandung. Jarak dari Ibukota Propinsi sekitar 45 km dan berada di antara jalur dua jalan tujuan wisata yakni Bandung dan Cirebon. Di bidang agama, masyarakat Kabupaten Sumedang merupakan masyarakat religius yang mempunyai sikap toleransi beragama yang cukup tinggi. Luas wilayah Kabupaten Sumedang mencapai 15.220 ha, dengan jumlah penduduk sekitar 928.353 jiwa yang tersebar di 26 wilayah kecamatan. Sebagian besar luas wilayah Kabupaten Sumedang berada pada ketinggian lebih dari 100 meter dari permukaan laut (dpl) dengan luas mencapai 97.738 km2 atau 87,61%. Sisanya sebesar 18.860 km2 berada pada ketinggian 100 meter sebanyak 16 kecamatan sedang dua kecamatan yang lain berada di bawah ketinggian 100 meter yaitu Tomo dan Ujungjaya. Berdasarkan visi dan misi yang diemban Kabupaten Sumedang, kegiatan terfokus pada pertanian karena sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (2004), selama tahun 2004 kondisi curah hujan di Kabupaten Sumedang mencapai 40.812 mm, hal ini mengalami kenaikan dibanding tahun 2003. Penelusuran lebih jauh, curah hujan banyak berada pada bulan Januari, Februari, Maret, dan April sampai dengan Juli sedangkan bulan Agustus sampai dengan Desember tidak terjadi hujan sama sekali. Secara rinci kondisi geografis tanah di Kabupaten Sumedang adalah latosol dengan luas mencapai 54,77 % dari luas kabupaten. Kecamatan yang luas tanahnya di atas 60% berjenis latosol adalah Rancakalong, Sumedang Selatan, Sumedang Utara, Situraja, Darmaraja, Cibuge, Jatigede dan Tanjungkerta. Namun dibeberapa Kecamatan ada juga yang berjenis andosol dan grumosol. Hampir di setiap Kecamatan penggunaan tanahnya adalah untuk pekarangan, tegal, ladang dan kolam, sedangkan perkebunan hanya berada di Kecamatan Pamulihan, Rancakalong, Sumedang Selatan dan Buahdua.
32
Menurut sumber pengairannya, kondisi luas sawah di tahun 2004 juga tidak berbeda dengan tahun 2003 baik pengairan teknis maupun tadah hujan. Khusus sawah tadah hujan, kecamatan yang menggantungkan kesuburan sawahnya dari curah hujan paling luas berada di Kecamatan Jatigede mencapai 1.094 ha dimana dari luas tersebut hanya dapat melakukan penanaman satu kali. Sedang kecamatan yang tidak menggantungkan pada tadah hujan untuk lahan sawahnya adalah Kecamatan Situraja. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang/BPS (2005), Hutan sebagai penyangga air bagi keperluan pertanian ternyata cukup menopang karena Kabupaten Sumedang dikelilingi hutan yang cukup luas, terdiri atas hutan negara (44.473 km2) dan hutan rakyat (13.718 km2) atau 37,5% dari luas keseluruhan adalah hutan. Dengan adanya luas hutan yang cukup besar secara tidak langsung mendukung kondisi kehidupan pertanian di Kabupaten Sumedang karena resapan air yang diberikan dari hutan ditolerir cukup memadai untuk masalah pertanian. Kecamatan Rancakalong Keadaan Wilayah Kecamatan Rancakalong terletak di sebelah barat Kota Sumedang, dengan batas wilayah sebagai berikut : 1) Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Medar 2) Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pamulihan 3) Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sumedang Utara 4) Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Subang dan pegunungan lahan kehutanan yang membentang arah utara dan selatan. a. Topografi Kecamatan Rancakalong berada pada ketinggian 540 - 1.035 meter di atas permukaan laut, kemiringan antara 150 – 350, dengan persentase yaitu datar 30% , landai 27%, bergelombang 22% , dan berbukit/pegunungan 21%. b. Jenis Tanah a) Aluvial 25% meliputi daerah sekitar aliran sungai Ciherang dan Cisugan b) Podsolik Merah Kuning 26% tersebar di wilayah 14 desa. c) Grumasol 12% dari seluruh desa d) Latosol 9% di 14 desa e) Glei 12% di 6 desa
33
f) Gambut 7% di 3 desa g) Regosol 9% di 12 desa c. Iklim Iklim di wilayah Rancakalong tergolong oldemen dengan tipe C2, dan terbagi menjadi dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan dari pertengahan Oktober sampai dengan Maret (keadaan normal) dan kadang-kadang lama sampai dengan bulan April, sehingga bulan basah berturut-turut antara 4 dan 6 bulan dan bulan kering 2 – 4 bulan yaitu bulan Juli sampai dengan September dengan suhu udara yang dimiliki adalah 18 – 30 oC. d. Curah hujan Rata – rata hujan dalam 10 tahun (1994 – 2004) 2.307 mm/tahun, dengan jumlah hari hujan 165 hari/tahun. Sedangkan rata – rata curah hujan terakhir (2004) tercatat 2.264 mm dengan rata – rata hari hujan sebanyak 15 hari per-bulan. Demografi Jumlah pertumbuhan penduduk di Kecamatan Rancakalong akhir tahun 2005 meningkat 0,13% dibandingkan tahun 2004. Dilihat dari angka persentase tersebut maka tahun 2004 sebanyak 36.282 jiwa, terdiri dari laki-laki 18.124 jiwa dan perempuan 18.158 jiwa sedangkan pada tahun 2005 sebanyak 36.330 jiwa laki-laki 18.156 dan perempuan 18.174 jiwa, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Data Penduduk Kecamatan Rancakalong pada Akhir Tahun 2005 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Desa
Sukasirnarasa Pasirbiru Rancakalong Pamekaran Cibunar Nagarawangi Pangadegan Sukahayu Sukamaju Cibungur Total
Jenis Kelamin Laki-laki Wanita 1754 1947 2042 1426 1387 2019 2360 1887 1958 1376 18.156
1809 1884 2078 1502 1428 2038 2321 1852 1976 1226 18.174
Jumlah Penduduk 3623 3831 4120 2928 2815 4057 4681 3739 3934 2602 36.330
Sumber : Sub Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang (2005)
34
Kehutanan Hasil hutan di Kecamatan Rancakalong cukup beragam. Kayu yang berasal dari hutan produksi cukup beragam, namun yang paling dominan terdiri dari jenis; damar, jati, pinus, albasia, mahoni, dan hasil-hasil hutan lainnya. Hasil hutan bukan kayu yang merupakan hasil hutan ikutan ataupun yang dibudidayakan di Kecamatan Rancakalong terdiri dari : getah pinus, madu, jamur kayu, rotan, bambu dan ulat sutera. Pengembangan usaha persuteraan alam merupakan bagian dari rencana kerja Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Daerah pengembangan persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong meliputi dua Desa yaitu Desa Sukasirnarasa dan Desa Legog Bitung.
35
HASIL DAN PEMBAHASAN Sejarah Persuteraan Rancakalong Awal kegiatan persuteraan di Sumedang diketahui pada tahun 1947-an. Masyarakat yang memperkenalkan pertama kali adalah masyarakat Garut yang sudah mengenal sutera alam sejak lama. Daerah yang dijadikan kegiatan sentra persuteraan alam di Sumedang adalah Cimalaka, Wado, Situraja, dan Darmaraja karena wilayah tersebut sangat dekat dengan Kabupaten Garut dan mudah dijangkau. Masyarakat Garut memiliki banyak kesamaan kebudayaan dengan masyarakat Sumedang, sehingga ada keinginan petani sutera Garut untuk mengenalkan usaha budidaya penanaman murbei dan ulat sutera. Pada tahun 1987 persuteraan alam mulai diperkenalkan dan dikembangkan lagi di wilayah Tanjung Sari, Jatinangor, dan Rancakalong, karena adanya peran dari tokoh-tokoh dan penyuluh dari luar Sumedang yang peduli terhadap persuteraan alam. Mereka beranggapan bahwa pengembangan usaha persuteraan alam perlu ditingkatkan karena potensi alam dan sebagian masyarakatnya adalah petani. Kurangnya perhatian dari pemerintah daerah dan juga lemahnya daya saing dengan komoditi
pertanian
lainnya
seperti
padi,
jagung
dan
tanaman
palawija,
mengakibatkan kegiatan persuteraan sempat terhenti pada akhir tahun 1989. Awal dimulainya kembali usaha persuteraan alam Rancakalong adalah Tahun 1991, dan juga terbentuknya organisasi yang menaungi persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong dengan nama Kelompok Sutera Mandiri di Desa Sukasirnarasa, yang di Ketuai oleh Bapak Maman. Jumlah anggota kelompok sutera mandiri berjumlah 60 orang. Tahun 1995 petani sutera Rancakalong memenangkan perlombaan karya seni kerajinan tangan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Sumedang dalam rangka memeriahkan hari jadi kota Sumedang, dengan hasil karyanya yaitu benang sutera. Tahun 2000 petani sutera Rancakalong bekerjasama dengan perusahaan persuteraan alam yang berada di Majalaya dalam menjual hasil kokon dan hasil pemintalan benang sutera. Tahun 2001 petani sutera mendapatkan bimbingan dan materi mengenai persuteraan alam dari para penyuluh yang berasal dari Samba Project bekerjasama dengan Persuteraan Majalaya dan Universitas Bandung Raya. Materi penyuluhan yang diberikan adalah pemeliharaan murbei, pemeliharaan ulat
36
sutera, pemintalan benang dan prospek usaha yang di hasilkan oleh produk pertanian ini, sehingga lahirlah keinginan para petani untuk mengembangkan usaha persuteraan di Rancakalong. Tahun 2003 total lahan yang dimiliki oleh petani sutera sebanyak ± 4 Ha untuk budidaya tanaman murbei dan ulat sutera. Kegiatan Usaha Persuteraan Alam Kecamatan Rancakalong Kegiatan usaha persuteraan alam yang dilakukan petani Rancakalong meliputi kegiatan budidaya tanaman murbei dan ulat sutera serta pemintalan benang. Kegiatan usaha budidaya merupakan kegiatan pemeliharaan tanaman murbei sebagai pakan ulat, serta pemeliharaan ulat kecil dan ulat besar (instar I s/d V) sampai menghasilkan kokon,
kemudian ditampung hasil produksi kokon petani untuk
diproses menjadi benang sutera. Sesuai hasil data yang didapat dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang (2005), usaha persuteraan alam Rancakalong berada pada ketinggian 540 - 1.035 meter di atas permukaan laut. Dengan kemiringan antara 150 – 350 datar landai, bergelombang dan berbukit, keasaman (pH) 5,6 – 7,0, suhu udara terendah 20 o C dan tertinggi 28 oC pada musim kering. Rata – rata hujan dalam 10 tahun (1994 – 2004) 2.307 mm/tahun, dengan jumlah hari hujan 165 hari/tahun. Sedangkan rata – rata curah hujan tahun 2004 tercatat 2.264 mm. Kondisi alam yang dimiliki wilayah Kecamatan Rancakalong sesuai untuk mengembangkan usaha persuteraan alam. Kelompok Tani Kelompok Sutera Mandiri merupakan kelompok tani yang bergerak dalam usaha persuteraan alam yang ada di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang yang merupakan kegiatan usaha bersama. Kelompok ini resmi berdiri pada tahun 1991 dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 60 orang, dengan ketua yang pertama adalah Bapak Maman. Pada saat ini jumlah anggota yang aktif pada Kelompok Sutera Mandiri sebanyak 42 orang dari 60 orang dengan ketua kelompok tetap Bapak Maman. Struktur organisasi masih sangat sederhana, hanya ada ketua kelompok, bagian penanganan produksi dan penanganan pemasaran. Selain itu, ada deskripsi tugas yang rangkap pada masing-masing bagian, sehingga dapat dikategorikan sebagai kelemahan bagi petani Rancakalong.
37
Setiap masalah yang terjadi diselesaikan secara musyawarah dan keputusan yang diambil berdasarkan kesepakatan bersama. Sistem yang ada pada kelompok tani sutera adalah sistem kekeluargaan, karena kegiatan usaha maupun resiko yang terjadi ditanggung bersama. Pada kelompok tani sutera mandiri sistem pembagian kerja dilakukan bersamasama oleh semua anggota tani sutera dengan tugas-tugas yang telah disepakati dalam kelompok. Adapun tugas-tugas dalam kegiatan usaha seperti budidaya murbei (menanam, pemberian pupuk, menyirami murbei, perawatan, dan pemanenan), budidaya ulat sutera (membeli bibit, pemberian pakan, merawat pada setiap instar, memanen, dan menyeleksi kokon), kegiatan pemintalan (pemasakan kokon, pencaharian ujung serat (filamen), reeling, re-reeling, winding, doubling, dan twisting), dan pemasaran. Kegiatan Budidaya Murbei Pertumbuhan tanaman murbei sangat dipengaruhi oleh keadaan temperatur dan keadaan tanah. Tanaman murbei di daerah tropis tidak mengalami istirahat, akan tetapi terlihat perbedaan pertumbuhannya pada saat musim hujan dan musim kemarau yang disebabkan faktor persediaan air tanah. Tanaman murbei akan tumbuh dengan baik pada tanah latosol dengan struktur tanah lempung berpasir dan dengan kandungan unsur hara yang cukup. Lahan yang dipakai oleh kelompok tani sutera sebagai budidaya tanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera adalah empat Ha yang berada di dua desa yaitu; empat Ha di Desa Legog Bitung dan empat Ha di Desa Sukasirnarasa. Jenis lahan yang ada merupakan lahan tadah hujan karena tanahnya mengandalkan musim penghujan. Bibit murbei Rancakalong didapat dari Cimalaka dan Wado, jenis tanaman murbei yang ditanam seperti Morus cathayana, M multicaulis, dan M nigra. Lokasi tanaman murbei tidak jauh jaraknya dengan tempat pemeliharaan ulat sutera sekitar 50 meter, sehingga jarak tersebut memudahkan pengambilan dan pemberian pakan untuk ulat sutera. Cara penanaman murbei dapat dilakukan dengan pemotongan pada bagian tanaman (secara vegetatif) dan ini merupakan cara yang dilakukan petani sutera Rancakalong. Cara pemeliharaan tanaman murbei meliputi penyiangan, pendangiran, pemangkasan, dan pemupukan. Petani sutera mengolah lahan atau tanah dengan
38
menggunakan cara cemplongan, yaitu membuat lubang tanaman yang mana tanah diolah pada bagian yang ingin ditanami saja. Kedalaman lubang tanah dibuat 30 sampai dengan 40 cm dan lebar 30 cm, lalu tanah dicampur dengan pupuk kandang untuk memberikan kesuburan bagi tanaman murbei. Hama penyakit tidak lepas dari setiap pemeliharaan tanaman-tanaman pertanian. Petani Rancakalong mengeluhkan kegagalan panen yang disebabkan hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman murbei. Jenis-jenis hama yang sering menyerang tanaman murbei adalah hama pucuk (Glyphodes pulverulentalis) dan kutu daun (mealy bug). Penyakit yang menyerang tanaman murbei adalah penyakit tepung, penyakit bintik daun, dan penyakit bercak daun. Keadaan seperti ini merupakan kelemahan bagi kegiatan budidaya murbei. Kegiatan Budidaya Ulat Sutera. Bibit ulat sutera didapat dari Koperasi Persuteraan (KOPPUS) Sabilulungan III berisi ± 25.000 telur/box, dengan harga satu box telur Rp.35.000/box. Hasil kokon yang diharapkan rata-rata 40 kg/box. Produksi Kokon Petani Sutera Rancakalong tahun 2005 terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Produksi Kokon Petani Sutera Rancakalong dalam Tiga Periode pada Tahun 2005 Pemeliharaan (box)
Produksi Kokon (kg)
Rata-rata produksi Kokon (kg/box)
Jumlah Petani (orang)
Luas Tanaman (Ha)
Sukasirnarasa
22
2
8
280
35,00
Legog Bitung
20
2
6
139
23,11
Kelompok Tani (Desa)
Dari hasil pengamatan yang didapat, rata-rata produksi kokon pada jangka waktu tiga periode dalam satu tahun di Desa Sukasirnarasa adalah 35 kg/box dan Legog Bitung adalah 23,11 kg/box, sedangkan jumlah rata-rata produksi dari kedua desa adalah 29,05 kg/box, ini berarti petani belum bisa memenuhi harapannya. Faktorfaktor yang menyebabkan hal tersebut yaitu keadaan pakan ulat sutera di lapangan dan gangguan hama penyakit baik pada tanaman murbei sebagai pakan maupun ulat yang dapat mempengaruhi kuantitas kokon rendah. Kondisi seperti ini merupakan kelemahan pada kegiatan produksi kokon. Luas ruang pemeliharaan ulat yang dimiliki petani sutera Rancakalong sesuai untuk pemeliharaan ulat sutera yaitu 25 m2 dengan kapasitas sekitar 25.000
39
ekor/boks. Dalam satu bangunan kandang tersebut terdapat beberapa ruas kandang atau tempat pemeliharaan yang berbeda-beda antara ulat besar dengan ulat kecil. Pada ulat besar pembagian ruangan khusus antara tempat pakan dengan tempat pemeliharaan ulat, agar mudah dan teratur dalam memeliharanya. Ukuran tempat pemeliharaan untuk ulat kecil adalah instar I dengan luas pemeliharaan ± 0,5 m2, instar II luas pemeliharaan 0,5 m2, dan instar III dengan luas 1 m2. Sedangkan tempat untuk ulat besar adalah instar IV dengan luas 2 m2 dan instar V dengan luas tempat 5 m2 tersusun keatas. Sesuai pengamatan petani melakukan pengaturan suhu atau kelembaban ruangan agar ulat merasa nyaman dan terhindar dari stres dan sakit. Selain itu, sirkulasi cahaya dan aliran udara dilakukan penstabilan dengan baik agar kondisi ruangan ulat menjadi sehat. Sterilisasi atau desinfeksi secara menyeluruh dan intensif terhadap ruang pemeliharaan dan peralatan dilakukan sebelum bibit ulat masuk ruang pemeliharaan untuk mencegah serangan bibit penyakit seperti virus, bakteri dan cendawan. Desinfeksi dilakukan dengan cara penyemprotan atau mencelupkan peralatan dalam larutan kaporit, kapur tembok (tohor), paraformaldehid (formalin tablet), asam benzoate, dan air. Bila petani akan melakukan penanganan langsung terhadap ulat sutera, sterilisasi dilakukan pada saat memasuki ruang pemeliharaan atau kandang, agar ulat tidak terkontaminasi langsung bibit penyakit yang bisa mengganggu pertumbuhan dan kesehatan ulat. Strerilisasi yang dilakukan petani yaitu mencuci tangan menggunakan sabun hingga bersih dan penyemprotan pada bagian kaki dengan larutan yang sama dengan sterilisasi pada peralatan dan ruang pemeliharaan. Dari hasil pengamatan di lapangan, petani memiliki cara perlakuan dan pemeliharaan ulat kecil dan ulat besar yang berbeda. Pemeliharaan dan perlakuan ulat kecil dan ulat besar sebagai berikut : 1. Pemeliharaan Ulat Kecil Ulat kecil mempunyai daya tahan yang lemah terhadap serangan penyakit, sehingga dalam melaksanakan pemeliharaannya harus dilakukan dengan baik dan menjaga kebersihan. Tempat pemeliharaan harus dibersihkan dari sampah sisa-sisa pakan dan kotoran ulat, untuk menghindari penyakit.
40
Selama tiga tahap instar pakan harus rutin dan banyak diberikan kepada ulat sesuai dengan porsi pada setiap instar agar pertumbuhan dan kualitas kokon yang dihasilkan bagus. Pengambilan daun murbei untuk pakan ulat kecil pada umur pangkas 25 – 30 hari, waktu pengambilan pagi hari atau sore hari dengan menggunakan gunting stek atau ani-ani. Sebelum pakan diberikan untuk ulat, terlebih dahulu daun murbei di iris sampai halus, setelah itu daun hasil irisan ditaburkan secara merata pada tempat pemeliharaan ulat kecil, agar ulat kecil mudah memakan helaian irisan daun. Ukuran baku dari irisan daun antara 0,5-1 cm untuk instar I, untuk instar II 1,5 – 2 cm, dan 3 – 4 cm untuk instar III. Secara ideal pemberian pakan 4 kali sehari, yaitu pukul 07.00, siang pukul 11.00, sore pukul 15.00, dan malam pukul 20.00 (Atmosoedarjo et al., 2000). Dari hasil pengamatan di lapangan, rata-rata petani Rancakalong memberikan pakan pada pagi hari pukul 08.00 dan pukul 10.00, dimulai kembali sore hari pukul 17.00 dan malam pukul 20.00. Pada saat ulat sudah memasuki tahap pergantian kulit, kelembaban nisbi ruangan perlu sedikit diturunkan. Tempat pemeliharaan perlu sedikit ditaburi sekam atau kapur tohor untuk mengeringkan tempat pemeliharaan. Penaburan 5 % kaporit ke seluruh tempat pemeliharaan perlu dilakukan sebagai sterilisasi. Obat desinfekstan digunakan pada tempat pemeliharaan ±10 menit sebanyak 1 gram untuk instar I, 2 gram untuk instar II dan 3 gram untuk instar III. Ulat kecil akan mengalami tidur dan berganti kulit saat berganti instar. Ketika 95 % dari ulat sudah tidur maka pemberian pakan harus dihentikan dan dilakukan pengapuran. Bila sebagian ulat berganti kulit atau bangun dilakukan desinfeksi dengan menggunakan papsol atau campuran antara kaporit dan kapur. Agar penaburan merata maka dipergunakan ayakan. Ulat kecil sangat mudah sekali terserang hama dan penyakit, tidak sedikit ulat yang mati akibat gangguan hama penyakit. Hama yang kadang menyerang ulat kecil pada usaha persuteraan alam Rancakalong adalah semut, kadal dan tikus. Sedangkan penyakit yang pernah menyerang ulat sutera adalah penyakit Grasserie (NPV). Hama dan penyakit pada ulat sutera merupakan kelemahan bagi kegiatan budidaya, karena petani belum bisa mengatasinya.
41
2. Pemeliharaan Ulat Besar Pemeliharaan ulat besar dilakukan dengan melihat banyaknya pemeliharaan yang disesuaikan dengan ketersediaan pakan murbei di kebun. Dari hasil wawancara didapat bahwa jumlah pakan yang diberikan untuk ulat sutera pada instar IV dan V 15 – 30 kg dalam satu hari dan total pemberian pakan selama instar IV dan V adalah 337,5 kg. Pemberian
daun untuk ulat
besar tidak dirajang atau diiris, tetapi
diberikan dalam keadaan utuh, bahkan dengan ranting dan cabang. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), total pemberian pakan selama instar IV dan V secara ideal adalah 1.245 kg. Terlihat bahwa petani masih kurang memperhatikan ketersediaan pakan untuk ulat besar yang bisa mempengaruhi kualitas dan kuantitas kokon. Tempat pemeliharaan perlu diatur untuk memudahkan pemeliharaan, maupun perlakuan pada waktu ganti kulit. Luas tempat pemeliharaan dan jumlah pemberian pakan selama instar V sangat berpengaruh kepada pertumbuhan ulat. Luas tempat pemeliharaan 0,05 m2 s/d 0,1 m2 untuk 130 ulat selama masa rakus makan dalam instar V. Ulat pada instar V sudah siap mengokon dengan ciri-ciri adalah: (1) nafsu makan berkurang sampai berhenti makan; (2) tubuhnya terlihat bening dan transparan; (3) ulat cenderung menepi atau naik ke tempat yang lebih tinggi untuk mencari sudut; dan (4) dari mulutnya keluar serat sutera. Alat yang digunakan untuk pengokonan adalah seriframe. Apabila ulat pada instar V mulai menunjukkan ciri-ciri akan mengokon, maka ulat yang sudah siap mengokon dipindahkan ke tempat pengokonan. Apabila ulat yang siap mengokon jumlahnya sedikit, maka ulat diambil satu persatu dan di tempatkan pada seriframe agar memberi kesempatan pada ulat lain yang belum siap mengokon untuk tetap makan. Jika sebagian besar ulat akan mengokon, maka seriframe diletakkan di atas tempat pemeliharaan ulat. Banyaknya ulat yang dipindahkan ke tempat pengokonan harus diatur karena satu seriframe hanya dapat menampung 260-300 ulat.
42
Dari hasil pengamatan ada tiga cara perlakuan ulat besar telah menjadi kokon diantaranya sebagai berikut: a) Pemanenan Kokon Pemanenan kokon dilakukan setelah ulat mengokon 5-6 hari dengan cara memungut kokon di seriframe dan membersihkannya dari kotoran yang menempel. Kokon diselimuti oleh serabut sutera, dibersihkan dengan melakukan flossing pada kokon. Pembersihan kokon (flossing) oleh petani dilakukan dengan cara manual yaitu dengan tangan. b) Seleksi Kokon Dari hasil pengamatan didapatkan adanya seleksi kokon yang merupakan pemisahan antara kokon baik dengan kokon cacat. Kokon yang baik adalah kokon tunggal yang bersih, tidak cacat dan dapat dipintal. Kokon cacat adalah kokon yang tidak dapat dipintal seperti kokon double, kokon berujung tipis, kokon yang bentuknya tidak beraturan/aneh dan kokon yang menempel di alat pengokonan. Kokon yang menempel tersebut dipisah-pisahkan, yang nantinya akan dipintal sesuai dengan jenis kokon dan akan didapatkan mutu benang sutera sesuai dengan peralatan dan mutu kokon. Kokon yang cacat dipisahkan sebagai kokon limbah dari kokon yang bagus, agar memiliki harga jual. Petani memanfaatkan kokon limbah atau cacat sebagai olahan sampingan yang bisa menguntungkan, walau dengan harga lebih rendah dari kokon yang bagus. Kokon cacat biasanya diolah menjadi benang dengan kualitas rendah, bahkan jika kokon cacat total petani memanfaatkan pupa atau isi kokon sebagai obat untuk penambah stamina. c) Pengeringan Kokon Pengeringan kokon adalah perlakuan kokon untuk mematikan pupa, agar kokon tersebut dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Secara alami kokon akan keluar kupu-kupunya setelah 14 hari sejak mengokon atau satu minggu sejak ulat berubah menjadi pupa. Kokon yang dikeringkan dengan sinar matahari (mati pupa) dapat disimpan sampai 1 minggu. Apabila waktu penyimpanannya terlalu lama akan menimbulkan bau busuk yang berasal dari bau pupa dan biasanya berjamur. Kegiatan Pemintalan Benang Sutera Pemintalan adalah suatu kegiatan memproses kokon segar maupun kokon kering sebagai bahan baku dengan alat pemintalan, sehingga kokon tersebut menghasilkan
43
benang sutera. Kapasitas produksi pintal petani yaitu 20 – 35 kg/box kokon untuk menghasilkan 3 kg sampai dengan 6 kg benang sutera. Kegiatan pemintalan dikerjakan langsung oleh anggota kelompok tani sutera. Alat pintal yang digunakan petani sutera Rancakalong adalah alat pintal tradisional dan semi mekanis. Alat pemintalan tradisional menggunakan kaki atau tangan manusia sebagai sumber tenaga untuk memintal. Alat mesin pintal yang biasa digunakan di pabrik pemintalan benang (mesin semi mekanis) menggunakan dinamo dan listrik sebagai sumber tenaga, sehingga mutu benangnya relatif lebih baik dan lebih cepat dalam memintal. Proses produksi pemintalan benang petani sutera Rancakalong dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Pemasakan Kokon Kokon dimasak (direbus) dengan tujuan untuk melepaskan filamen kokon, yang direkatkan oleh serisin, dengan jalan memasak kokon dengan air panas, atau uap panas, sehingga kulit kokon mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan filamen sutera diurai dan digulung pada reel tanpa menjadi kusut atau putus. b. Pencaharian Ujung Serat (Filamen) Pencaharian ujung serat dilakukan setelah perebusan kokon, selanjutnya dimasukkan ke dalam bak pencari ujung serat yang telah diisi air. Cara yang dilakukan cukup sederhana yaitu dengan menarik serat-serat sutera pada kokon yang telah direbus dengan kedua tangan. Kokon yang ujung seratnya belum dapat ditarik dimasukkan kembali ke dalam bak perebus kokon. c. Reeling Proses reeling yang dilakukan petani sutera Rancakalong merupakan proses pembuatan benang sutera dengan menyatukan beberapa filamen kokon untuk dipintal menjadi benang sutera ke dalam mesin reeling. Setelah kokon direbus dan ujung seratnya dapat ditarik maka kokon didistribusikan ke mesin reeling d. Re-reeling Proses re-reeling merupakan proses pemindahan benang sutera yang sudah dipintal dari haspel dengan diameter yang lebih kecil ke haspel yang lebih besar. Proses re-reeling menghasilkan benang sutera single (raw silk). Benang sutera yang dihasilkan oleh petani sutera Rancakalong memiliki ketebalan yang berbeda-beda,
44
hal ini dinyatakan dalam satuan denier. Ukuran benang sutera yang dihasilkan oleh petani sutera Rancakalong adalah 28 – 40 denier. e. Winding Winding merupakan proses menggulung kembali benang sutera dari untaiannya ke bobbin (mesin kelos besar). f. Doubling Doubling merupakan proses perangkapan benang dari bobbin ke bobbin yang lain menjadi dua rangkap benang atau lebih dengan tujuan agar benang yang dihasilkan lebih tebal dan tidak mudah putus. g. Twisting Twisting merupakan proses penggintiran benang dari bobbin yang kemudian diteruskan ke silinder pada mesin twisting. Proses twisting akan meningkatkan kualitas benang yang dihasilkan karena terdiri dari beberapa helai benang yang digintir, sehingga benang akan lebih kuat dan tidak mudah putus.
45
Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Usaha Persuteraan Alam Identifikasi Faktor Internal Analisis faktor internal bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kecenderungan-kecenderungan serta kejadian yang berada di dalam kontrol usaha pengembangan persuteraan alam. Analisis difokuskan pada penentuan faktor-faktor kunci yang menjadi kekuatan dan kelemahan bagi pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong. Untuk menentukan strategi–strategi menggunakan kekuatan dan mengurangi kelemahan, maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya : Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia merupakan fondasi utama dalam mengembangkan setiap bidang usaha terutama usaha pengembangan persuteraan alam. Karakteristik umum petani ulat sutera atau kokon pada kawasan pengembangan usaha dapat di lihat dari segi umur, lama berusaha, tingkat pendidikan, pendapatan per-bulan dan pekerjaan pokok dari setiap pelaku usaha. Umur. Umur petani sutera di Kecamatan Rancakalong berkisar antara 14 sampai dengan 68 tahun. Sebagian besar petani berada dalam kelompok usia produktif (1555 tahun), yaitu antara 15 sampai dengan 36 tahun
(69,05%). Pada usia yang
produktif ini, petani memiliki kondisi fisik dan kemampuan berpikir yang baik sehingga masih memungkinkan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam mengembangkan usaha persuteraan alam. Pekerjaan utama. Banyak petani sutera memiliki pekerjaan utama yang lain dan sebagai penghasilan sampingan, mereka tertarik untuk mencoba mengembangkan usaha persuteraan alam, karena komoditi pertanian ini memiliki harga tinggi. Semua petani sutera memiliki pekerjaan tetap dan sebagian besar bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sebanyak 33,3 %.
46
Tabel 4. Karakteristik Individu Petani Sutera di Kecamatan Rancakalong Karakteristik Individu Petani Sutera Jumlah (orang) Persentase (%) Umur (tahun) 69,05 29 • 15-36 21,43 9 • 37-50 9,52 4 • 51-68 Pekerjaan 31,0 13 • Petani 14,3 6 • Peternak 9,5 4 • Karyawan swasta 11,9 5 • Pensiunan PNS 33,3 14 • PNS 16,67 7 Pendidikan 30,95 13 • Tamatan SD 47,62 20 • Tamatan SMP 4,76 2 • Tamatan SMU • Tamatan PT 57,0 24 Pengalaman Usaha 36,0 15 • 1-5 tahun 7,0 3 • 6-15 tahun • 16-20 tahun Pendapatan petani (per-bulan) 88,1 37 11,9 5 • Rp.200.000 – 850.000 • Rp.900.000 – 2.300.000 Sumber : Data Primer diolah (2006) Tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan petani berpengaruh terhadap manajemen usaha dan kemampuan petani dalam mengadopsi informasi dan teknologi baru. Petani berpendidikan sampai SMP dan SMU masing-masing sebanyak 30,95 % dan 47,62 % bahkan ada juga petani yang merupakan lulusan dari perguruan tinggi (4,76 %). Tingkat pendidikan yang tinggi ini memudahkan petani dalam menyerap informasi dan teknologi baru untuk meningkatkan usahanya. Pengalaman usaha. Beberapa Petani sutera alam di Kecamatan Rancakalong ada yang memiliki pengalaman bertani cukup lama, yaitu berkisar 16-20 tahun (7,0%), karena ada petani sutera yang memulai usahanya pada tahun 1987. Pengalaman yang cukup lama dalam bertani sutera memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi petani untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Ada sebagian besar petani merupakan petani pemula yang baru memulai usahanya 1 – 5 tahun (57,0 %). Hal ini mencerminkan bahwa usahatani sutera merupakan usaha menguntungkan yang masih menarik untuk diusahakan.
47
Pendapatan petani. Dilihat dari tingkat pendapatan petani sutera setiap bulannya, sebagian besar memiliki pendapatan antara Rp.200.000 dan Rp.850.000 sebanyak (88,1%), kisaran terendah Rp.200.000 dan tertinggi Rp. 2.300.000. Hasil tersebut memperlihatkan adanya variasi pendapatan, karena dipengaruhi oleh jumlah penghasilan bersih yang diterima petani dari usahatani sutera alam ditambah dari penghasilan usaha/pekerjaan pokok yang diperoleh responden setiap bulannya. Sebagian besar petani sutera didominasi kaum laki-laki, dari hal pembersihan tempat pemeliharaan, penyediaan pakan murbei, desinfeksi ulat dan tempat pemeliharaan, pengokonan, pemintalan sampai dengan benang siap dipasarkan. Peran wanita dalam kegiatan usaha persuteraan alam Rancakalong hanya membantu dalam hal pembersihan kokon yang telah panen dan ada juga yang membantu merebus kokon yang akan di pintal atau di reeling. Namun, pada umumnya wanita juga bisa melakukan kegiatan usaha persuteraan alam seperti memintal benang sutera, menyeleksi kokon, memetik daun murbei, dan pemeliharaan ulat sutera Kegiatan Produksi Manajemen kandang pemeliharaan yang dilakukan petani sutera Rancakalong kurang bagus dan serangan hama penyakit pada ulat sutera dan murbei mengakibatkan dampak negatif pada kualitas dan kuantitas produksi kokon. Ratarata produksi kokon pada jangka waktu tiga periode dalam satu tahun di Desa Sukasirnarasa dan Legog Bitung tidak memenuhi harapan. Dari jumlah rata-rata yang diproduksi, petani hanya bisa memenuhi 29,05 kg/box dari kokon yang diharapkan 40 kg/box, karena petani harus memenuhi permintaan pelanggan yang menginginkan harapan yaitu perusahaan tekstil Majalaya dan KOPPUS Sabilulungan III. Banyak kokon yang dihasilkan petani berkualitas rendah dan gagal. Kendala yang dihadapi ini merupakan kelemahan produksi pada kegiatan budidaya ulat sutera. Benang sutera yang dihasilkan oleh petani sutera Rancakalong memiliki ketebalan yang berbeda-beda, hal ini dinyatakan dalam satuan denier. Ukuran benang sutera yang dihasilkan oleh petani sutera Rancakalong adalah 28 – 40 denier. Kapasitas produksi pintal petani hanya memenuhi 20 – 35 kg/box kokon untuk menghasilkan 3 kg sampai dengan 6 kg benang sutera. Ini berarti petani sutera belum
48
bisa memenuhi harapannya dari produksi benang sutera sekitar 8 kg dari 40 kg/box untuk dijual ke perusahaan tekstil Majalaya dan KOPPUS Sabilulungan III. Fasilitas dan peralatan yang dimiliki petani sutera Rancakalong cukup memadai untuk mengembangkan usaha persuteraan alam. Adapun fasilitas yang dimiliki seperti : lahan murbei, lahan untuk kandang (ruang pemeliharaan) ulat sutera, bangunan pemeliharaan dan ruang penyimpanan daun murbei yang telah dipanen. Sedangkan peralatan yang dimiliki seperti : rak pemeliharaan, keranjang yang berfungsi untuk mengumpulkan, menyimpan daun murbei, alat pemintalan benang, alat floss, tempat pengokonan, dan alat perebus kokon. Peralatan ini digunakan sesuai dengan fungsi dan kegunaannya masing-masing dalam kegiatan produksi. Fasilitas dan peralatan yang dimiliki
dikategorikan sebagai kekuatan
untuk
melakukan kegiatan usaha persuteraan alam. Keuangan Usaha Kunci keberhasilan suatu usaha adalah tersedianya modal yang cukup untuk mengembangkan usaha. Jumlah modal awal yang dimiliki petani cukup memadai untuk mendirikan usaha ini yaitu Rp.29.500.000, yang merupakan modal swadaya petani. Rincian kebutuhan untuk membuka usaha sebagai berikut: a)
Pembelian lahan murbei seluas 2 Ha Rp.18.000.000
b)
Pembuatan kandang Rp.2.000.000
c)
Enam unit alat pintal manual Rp.600.000
d)
Satu unit alat Twist bekas Rp.5.000.000, dan
e)
Keperluan
lainnya
sebesar
Rp.4.500.000
seperti
pembelian
peralatan
pemeliharaan murbei dan ulat sutera, peralatan pengokonan, transportasi dan lain-lain. Secara umum kondisi keuangan masih kurang baik dan banyak kelemahan yang dimiliki, sehingga perlu perencanaan keuangan yang efisien dan efektif. Apabila ada keperluan uang yang mendesak, baik untuk penjualan maupun untuk proses produksi dan budidaya ditangani oleh Bapak Yuyu Saebudin yang memegang keuangan usaha. Petani sutera Rancakalong tidak memiliki data keuangan yang jelas seperti pembiayaan, keuntungan bersih dari penjualan, pengeluaran usaha, kerugian, karena penjualan hasil benang sutera tidak kontinyu, sehingga pembagian keuntungannya tidak bisa dilakukan secara kontinyu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
49
keuntungan diantaranya keadaan pakan ulat sutera di lapangan, kondisi iklim, kualitas kokon, gangguan hama penyakit, dan penjualan benang sutera. Untuk menambah keuntungan, petani memanfaatkan limbah hasil budidaya sebagai sampingan, seperti mengolah kotoran ulat menjadi pupuk organik, daun murbei diolah menjadi teh murbei dan pupa sebagai obat yang berkhasiat menyembuhkan penyakit pinggang dan memulihkan stamina dan pemanfaatan kokon limbah atau rusak menjadi benang dupion dan spun silk (benang sutera olahan kualitas rendah) untuk dijual dengan harga yang relatif murah. Kegiatan Pemasaran Petani sutera menjual langsung benang sutera ke Perusahaan Tekstil Majalaya di daerah Bandung yang ditangani langsung oleh Bapak Nanang sebagai petugas penjualan. Jika hasil olahan benang sutera bagus, petani biasa menjual ke KOPPUS Sabilulungan III sebagai mitra usaha Rancakalong, karena KOPPUS Sabilulungan III memiliki mesin pertenunan kain sutera. Lokasi kedua perusahaan tersebut merupakan daerah yang paling dekat untuk memasarkan benang sutera. Petani sutera yang berada di Kecamatan Rancakalong biasanya menjual atau memasarkan hasil benang sutera dengan harga Rp.170.000/kg sampai dengan Rp.360.000/kg, sesuai dengan harga yang terjadi di pasar benang sutera. Ada tiga jenis benang sutera yang diproduksi oleh petani Sukasirnarasa dan Legog Bitung diantaranya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Produksi Benang Sutera Petani Sutera Rancakalong Jenis Benang Sutera Mutu Harga (Rp/kg) Thrown Silk Raw Silk Duppion Silk
I II III
260.000 – 360.000 230.000 –276.000 170.000 – 205.000
Thrown Silk merupakan kualitas unggulan yang paling banyak diproduksi petani, sedangkan Raw Silk merupakan benang tunggal dengan mutu II, dan Duppion Silk merupakan hasil olahan dari kokon cacat dan kokon sisa yang dimanfaatkan menjadi benang sutera dengan mutu III dan harga paling rendah. Pemasaran dilakukan dengan cara negosiasi antara petani sutera dengan konsumen benang sutera. Kesepakatan harga terjadi melalui tawar menawar antara petani sutera dengan konsumen benang sutera. Pembeli yaitu perusahaan tekstil Majalaya dan KOPPUS Sabilulungan III merasa puas dengan harga yang ditawarkan
50
dan petani juga senang karena mendapat keuntungan dari hasil penjualannya. Menurut pembeli, harga jual benang sutera petani Rancakalong memiliki standar harga yang sesuai dengan harapan, karena diketahui harga benang sutera saat ini cukup tinggi. Dari setiap penjualan benang sutera, perusahaan tekstil Majalaya selalu menerima
pesanan
benang
sutera
yang
diproduksi,
sedangkan
KOPPUS
Sabilulungan hanya menerima benang dengan jenis Thrown Silk, karena kualitasnya lebih bagus. Hal ini mencerminkan bahwa petani Rancakalong memiliki pembeli benang sutera sebagai pelanggan tetap. Pembinaan dan Pelatihan Pelatihan-pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan pelaksanaan kegiatan persuteraan alam dibimbing oleh petugas yang menguasai pengetahuan dan teknik-teknik kegiatan tersebut. Petani mendapatkan pelatihan dari petugas penyuluh sutera alam dari Samba Project di bawah naungan Universitas Bandung Raya pada tahun 2001 dan tahun 2003 yang diikuti seluruh petani sutera di Kabupaten Sumedang. Waktu pelaksanaan pelatihan tergantung tenaga yang dilatih, materi pelatihan dan sifat pelatihan. Apabila pelatihan bersifat penyegaran, waktu yang diperlukan relatif pendek 2 s/d 3 hari karena sifatnya hanya mengingatkan kembali. Jika peserta pelatihan adalah petani sutera/anggota baru, maka pelatihan memerlukan waktu yang relatif lama 10 s/d 15 kali pertemuan dalam satu bulan karena latihan harus mencakup semua kegiatan dan setiap kegiatan harus disertai penjelasan secukupnya. Dengan adanya pelatihan tersebut peserta dapat mengetahui kegiatan persuteraan alam secara menyeluruh dan dapat melaksanakan kegiatan secara mandiri. Workshop dan pembinaan yang diselenggarakan Departemen Perindustrian dan Balai Besar Tekstil (BBT) bekerjasama dengan Balai Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) dilaksanakan setiap tahunnya di beberapa daerah di Jawa Barat yang memiliki usaha dan pengembangan persuteraan alam. Penyelenggaraan yang diikuti petani sutera seluruh Jawa Barat termasuk petani Rancakalong memberikan manfaat ilmu pengetahuan tentang usaha persuteraan alam seperti pemeliharaan murbei, ulat sutera dan cara memintal benang sutera dengan menggunakan alat pemintalan. Tidak itu saja, dari materi yang diberikan petani juga mengetahui beberapa aspek yang
51
mendukung usaha persuteraan alam seperti informasi mengenai harga, inovasi mengenai produk benang sutera dan teknologi baru tentang usaha pesuteraan alam. Identifikasi Faktor Eksternal Analisis faktor eksternal bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi kecenderungan-kecenderungan serta kejadian yang berada di luar kontrol pengembangan usaha persuteraan alam. Analisis difokuskan pada penentuan faktorfaktor kunci yang menjadi ancaman dan peluang bagi pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong, sehingga memudahkan pihak-pihak yang ahli mengenai persuteraan alam menentukan strategi-strategi untuk mencari peluang dan menghindari ancaman. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong adalah sebagai berikut : Ekonomi Kondisi perekonomian yang kurang stabil tidak terlalu mempengaruhi harga bahan baku untuk budidaya ulat sutera dan murbei. Hanya ada sedikit pengaruh pada harga bahan bakar untuk mengolah kokon menjadi benang sutera, karena untuk merebus kokon membutuhkan bahan bakar minyak tanah dan alat pemintalan mesin mekanis benang sutera membutuhkan bensin. Nilai tukar rupiah terhadap harga benang sutera di Indonesia berdampak positif bagi produksi benang sutera di Rancakalong. Kenaikan harga benang sutera yang tinggi di pasaran memberikan peluang keuntungan bagi petani sutera untuk menjual benang sutera kepada pembeli. Tabel 6 memperlihatkan harga benang sutera yang terus meningkat pada tahun 2005 . Tabel 6. Nilai Tukar Rupiah terhadap Harga Benang Sutera untuk Produksi Sutera di Indonesia Tahun 2005 Bulan Nilai Tukar Rupiah Harga Benang Eksporterhadap $ USD Impor (Rp/Kg) 275.000 9.165,0 Januari 285.000 9.260,0 Februari 285.000 9.480,0 Maret 285.000 9.570,0 April 295.000 9.495,0 Mei 295.000 9.713,0 Juni 300.000 9.819,0 Juli 320.000 10.240,0 Agustus 340.000 10.310,0 September Sumber: Badan Pengembangan Ekspor Nasional. (2005)
52
Sosial, Budaya, dan Demografi Faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi usaha tani sutera mencakup sikap, opini yang berkembang, dan gaya hidup orang-orang yang menggunakan produk bahan-bahan dari sutera. Budaya pakaian sutera daerah saat ini banyak diminati. Daerah-daerah yang menonjolkan kebudayaan berpakaian dari bahan sutera adalah Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Bali. Berpakaian sutera untuk wanita maupun pria semakin berkembang seiring perkembangan mode dari bahan sutera untuk batik, bordir maupun interior merupakan peluang bagi perkembangan persuteraan alam Indonesia. Pertambahan penduduk di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1990 adalah 178.50 juta jiwa, meningkat 13,31 %
atau sebesar 202.26 juta jiwa pada tahun 2000 dengan proyeksi laju
pertumbuhan penduduk periode 2000-2005 sebesar 1,49 % per tahun (BPS, 2004). Hal ini dapat menjadi salah satu peluang pasar pengembangan sutera. Pemasok Perusahaan yang menyediakan kebutuhan usaha persuteraan alam di Kecamatan Rancakalong adalah KOPPUS Sabilulungan III. Petani Rancakalong menerima kebutuhan usaha seperti bibit ulat sutera, karena menurut petani kualitas bibit ulat sutera lebih bagus dibanding perusahaan atau koperasi sutera lain yang menyediakan bibit sutera. Harga bibit ulat sutera yang dijual KOPPUS Sabilulungan III adalah Rp.35.000/boks. Dalam satu boks berisi ± 25.000 ekor. Ketersediaan bibit bagi petani sutera Rancakalong selama ini cukup terpenuhi, dilihat dari kualitas yang bagus dan kuantitas bibit yang sesuai dengan standar hasil produk. Apabila panen kokon tiba dan benang sutera telah diolah, petani sutera Rancakalong akan menjual hasil olahannya ke mitra usahanya yaitu Sabilulungan III, karena Perusahaan Sabilulungan III memiliki mesin pertenunan kain sutera. Kerjasama yang dijalin dengan KOPPUS Sabilulungan III sangat mendukung petani sutera Rancakalong, karena menguntungkan petani dan merupakan peluang bagi pengembangan usaha persuteraan alam. Apabila terdapat kekurangan kokon berkualitas pada kegiatan produksi pemintalan benang sutera, petani dapat mengantisipasi dengan membeli kokon dari Bapak Uu yang berasal dari koperasi sutera alam KOPPUS Sabilulungan III yang
53
berkualitas agar benang yang dihasilkan bagus dan mempunyai harga tinggi. Namun hal ini memperlihatkan bahwa adanya ketergantungan pasokan kokon dari luar, padahal petani Rancakalong juga memproduksi kokon. Kondisi seperti ini yang harus diperbaiki petani Rancakalong dalam produksi kokon. Persaingan Persaingan di lingkungan internal Sumedang diakui sangat lemah dalam mengembangkan usaha persuteraan alam. Ini merupakan peluang bagi petani sutera Rancakalong untuk terus mengembangkan usaha di Kabupaten Sumedang. Pada tahun 1997 – 1999 petani sutera seperti Wado, Darmaraja, Tanjungsari, dan Cimalaka, diakui sebagai pesaing di lingkungan internal. Saat ini usaha persuteraan di daerah tersebut sudah tidak berjalan lagi, karena banyak kegagalan dalam usaha. Ancaman bagi kelompok tani sutera Rancakalong yang merupakan salah satu pendukung persuteraan Sumedang adalah pesaing dari Tasikmalaya, Garut, dan Sukabumi. Persuteraan mereka memiliki pengalaman lebih lama dan kelompok petani sutera lebih banyak yang menjadi daya dukung bagi usaha mereka. Berbagai aspek dan akses yang dimiliki mereka lebih memadai seperti manajemen, pemasaran, organisasi, permodalan, teknologi modal usaha yang cukup besar dibandingkan kelompok tani sutera Rancakalong. Disamping itu, mereka merupakan perusahaan benang sutera (PT.Indo Jado Pratama di Sukabumi dan Aman Sahuri di Garut) dan kelompok tani sutera yang terdiri dari gabungan beberapa kelompok tani yang memiliki keorganisasian yang kuat seperti Salulungan III di Tasikmalaya, dibandingkan dengan kelompok tani sutera Rancakalong hanya satu kelompok tani yang terdiri dari 60 orang anggota. Pemerintah Kegiatan persuteraan alam harus mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah pusat, propinsi, dan kabupaten. Usaha persuteraan alam memiliki rangkaian yang cukup panjang dan keberhasilan kegiatan sebelumnya akan menentukan kegiatan selanjutnya. Pemerintah dalam hal ini merupakan pihak yang berperan secara tidak langsung dalam usaha pengembangan persuteraan alam. Kegiatan penyuluhan dan pembinaan kepada para petani yang dilaksanakan pada tahun 2004 terkait dengan kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan
54
Lahan (GNRHL) yang diselenggarakan pemerintah daerah setempat. Penyuluhan yang diberikan yaitu memanfaatkan lahan hutan dan lahan kering sebagai sumberdaya yang potensial. Petani sutera mendapatkan penyuluhan mengenai bagaimana penggunaan lahan yang ada dimanfaatkan sebagai tanaman murbei yang berguna sebagai pakan ulat sutera yang bisa memberikan kontribusi cukup besar sebagai tanaman hasil hutan. Pada tahun 1999 bantuan dana diberikan kepada petani Rancakalong sebesar Rp.5.000.000 untuk pengembangan usaha persuteraan alam dari Pemerintah Kabupaten. Bantuan tersebut hanya cukup untuk penyediaan fasilitas yang dibutuhkan seperti penyediaan ruang pemeliharaan ulat sutera, penambahan peralatan dan perlengkapan budidaya ulat sutera. Kelembagaan Terkait Masyarakat Persuteraan Alam Indonesia (MPAI) adalah suatu lembaga sosial yang berfungsi sebagai wadah komunikasi dan koordinasi bagi petani sutera maupun kelompok sutera dengan para praktisi persuteraan yang melakukan kegiatan jajak pendapat dan musyawarah. Kegiatan tersebut membahas mengenai perkembangan persuteraan alam, baik di tingkat propinsi maupun perkembangan persuteraan alam Indonesia. Fungsi dari kelembagaan ini belum dirasakan manfaatnya oleh petani sutera Rancakalong, mengakibatkan kurangnya sosialisasi dan informasi mengenai persuteraan alam. Fungsi kelembagaan persuteraan tidak berjalan dengan baik dalam mendukung perkembangan persuteraan merupakan ancaman bagi petani sutera Rancakalong. Perhatian lembaga terkait seperti bank dan koperasi dalam mendukung usaha persuteraan alam di Rancakalong khususnya dan di Sumedang pada umumnya kurang. Pemberian pinjaman modal atau kredit usaha yang pernah dijanjikan bank dan koperasi sampai sekarang belum membuahkan hasil, padahal petani sangat membutuhkan sekali untuk menambah fasilitas dan sarana yang mendukung usaha.
55
Proses Perumusan Strategi Dari analisis yang telah dilakukan, didapat hasil identifikasi faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan yang berpengaruh terhadap usaha pengembangan persuteraan alam di Rancakalong. 1. Kekuatan Pada kekuatan menghasilkan sembilan faktor yaitu (1) kondisi alam (iklim, tanah dan topografi) yang
sesuai (2) kapasitas sumberdaya manusia (petani) yang
mendukung, (3) fasilitas dan peralatan yang cukup memadai, (4) pemanfaatan limbah hasil budidaya sebagai hasil sampingan, (5) adanya kualitas benang sutera yang bagus, (6) jumlah modal yang dimiliki petani cukup memadai, (7) adanya pembeli benang sutera sebagai pelanggan tetap. 2. Kelemahan Pada unsur kelemahan dihasilkan enam faktor yaitu (1) struktur organisasi kelompok tani sutera masih sangat sederhana dan adanya deskripsi tugas rangkap, (2) jumlah produksi benang sutera belum memenuhi harapan, (3) teknik budidaya yang masih kurang baik, (4) tidak ada data keuangan yang menunjang. Hasil indentifikasi faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang berpengaruh terhadap usaha pengembangan persuteraan alam di Rancakalong 1. Peluang Pada peluang dihasilkan empat faktor yaitu (1) kerjasama yang saling menguntungkan dengan suplier (KOPPUS Sabilulungan III), (2) kebutuhan bahan dari benang sutera (batik, bordir, dan interior)
meningkat, (3) dukungan dari
pemerintah berupa bantuan dana dan penyuluhan, (4) peluang kenaikan harga benang sutera yang menguntungkan petani 2. Ancaman Pada ancaman dihasilkan tiga faktor yaitu (1) fungsi lembaga persuteraan tidak berjalan dengan baik, (2) tidak adanya dukungan dari lembaga koperasi dan bank, (3) ancaman pesaing dari Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi.
56
Perumusan Strategi Pengembangan Untuk menghasilkan berbagai alternatif strategi pengembangan usaha sutera alam Rancakalong diperlukan analisis dengan menggunakan matriks SWOT. Matrik ini menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi yaitu S-O (StrengthsOpportunities). Strategi W-O (Weakness-Opportunities), Strategi W-T (WeaknessThreats) dan strategi S-T (Strengths-Threats). Penyusunan matriks SWOT didasarkan pada hasil analisis terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dimiliki petani sutera Rancakalong. Matriks SWOT pengembangan usaha Su meningkatkan kuantitas produksi pemeliharaan ulat sutera. tera Alam Rancakalong dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Matriks SWOT Internal
Eksernal
OPPORTUNITIES (O) 1. Kerjasama yang saling menguntungkan dengan suplier 2. Kebutuhan bahan dari benang sutera (batik, bordir, dan interior) meningkat 3. dukungan dari pemerintah berupa bantuan dana dan penyuluhan 4. Peluang kenaikan harga benang sutera yang menguntungkan petani THREATS (T) 1. Fungsi lembaga persuteraan tidak berjalan dengan baik 2. Tidak adanya dukungan dari lembaga koperasi dan bank 3. Ancaman pesaing dari Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi
STRENGTHS (S)
WEAKNESSES(W)
1. Kondisi alam (iklim, tanah dan topografi) yang sesuai 2. Kapasitas sumberdaya manusia (petani) yang mendukung 3. Fasilitas dan peralatan yang cukup memadai 4. Pemanfaatan limbah hasil budidaya sebagai hasil sampingan 5. Adanya kualitas benang sutera yang bagus 6. Jumlah modal yang dimiliki petani cukup memadai 7. Adanya pembeli benang sutera sebagai pelanggan tetap. STRATEGI SO 1. Meningkatkan kuantitas produksi pemeliharaan ulat sutera (S1,S2,S3,S6,O1,O3,) 2. Meningkatkan penjualan dan promosi (S5,O2,O4)
1. Struktur organisasi kelompok tani sutera masih sangat sederhana dan adanya deskripsi tugas rangkap 2. Jumlah produksi benang sutera belum memenuhi harapan 3. Teknik budidaya yang masih kurang baik 4. Tidak ada data keuangan yang menunjang.
STRATEGI ST Meningkatkan mutu pelayanan kepada konsumen (S3,S4,S5,S7,T3)
STRATEGI WT Meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk memperkuat posisi petani sutera sebagai anggota mitra. (W1,T1,T2)
STRATEGI WO Meningkatkan keuntungan dengan memperbaiki manajemen produksi (W2,W3,W4 , O2, O4)
57
Berdasarkan hasil analisis didapat perumusan strategi pengembangan usaha persuteraan alam yaitu 1. Meningkatkan kuantitas produksi pemeliharaan ulat sutera.(Strategi S-O) Dengan melihat faktor-faktor internal yang mendukung antara lain yaitu: (S1) kondisi alam, (S2) karakteristik sumberdaya petani seperti: umur, tingkat pendidikan dan pengalaman usaha serta peran kelompok tani sutera, (S3) fasilitas dan peralatan yang dimiliki petani, dan (S6) jumlah modal yang memadai, diformulasikan dengan beberapa peluang yaitu (O1) kerjasama yang saling menguntungkan dengan suplier dan (O3) bantuan dana dari pemerintah daerah yang mendukung petani sutera untuk menciptakann
perumusan
strategi
pengembangan
bagi
usaha
persuteraan
Rancakalong. Hasil perumusan strategi didapat yaitu meningkatkan kuantitas produksi pemeliharaan ulat sutera. Upaya kelompok tani sutera dalam penanganan langsung kegiatan usaha harus ditingkatkan yaitu dengan membuat program penjadwalan pemeliharaan ulat sutera pada setiap instar oleh setiap anggota kelompok tani dan merencanakan jumlah pemeliharaan ulat sesuai dengan kapasitas kemampuan yang dimiliki petani antara lain. Disamping itu pemanfaatan fasilitas, peralatan, jumlah modal yang dimiliki dan bantuan dana dari pemerintah daerah secara maksimal sebagai fungsi daya dukung untuk
meningkatkan
produksi
pemeliharaan
ulat
dan
kondisi
lingkungan
Rancakalong yang menunjang sebagai daya dukung bagi petani untuk meningkatkan usaha, karena faktor tersebut sangat berpengaruh untuk pemeliharaan ulat sutera. Meningkatkan dan mempertahankan kerjasama yang sudah dijalin dengan suplier sebagai penyedia bibit ulat agar ketersediaan bibit ulat tetap terpenuhi baik secara kuantitas maupun kualitas. 2. Meningkatkan penjualan dengan promosi (Stategi S-O) Unsur kekuatan yang mendukung pada faktor internal yaitu: (S5) kualitas benang sutera yang bagus diformulasikan dengan beberapa unsur peluang dari faktor eksternal yaitu (O2) kebutuhan bahan dari benang sutera (batik, bordir, dan interior) meningkat, (O4) peluang kenaikan harga benang sutera yang menguntungkan petani, dijadikan rekomendasi untuk menciptakan perumusan strategi pengembangan bagi usaha
persuteraan
Rancakalong.
Hasil
perumusan
strategi
didapat
yaitu
meningkatkan penjualan dengan promosi
58
Sebagai
ajang
meningkatkan
promosi,
petani
sutera
Rancakalong
memperkenalkan kerajinan benang sutera melalui pameran yang diselenggarakan setiap tahunnya pada HUT kota Sumedang oleh pemerintah Kabupaten Sumedang. Petani memperkenalkan hasil karya seni kepada masyarakat dan petani lain yang ingin mencoba dalam usaha ini agar dapat terus dikembangkan. Selain itu, untuk meningkatkan penjualan petani sutera alam Rancakalong perlu mendapatkan informasi pasar yang lebih banyak untuk mempromosikan hasil benang sutera agar agar hasil benang sutera petani dapat diketahui dan diminati oleh pembeli. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan bahan yang terbuat dari benang sutera seperti batik, bordir, dan interior di pasaran, menjadi peluang
petani
Rancakalong. Untuk meningkatkan penjualan benang kepada pembeli, petani harus meningkatkan produksi benang sutera. Disamping itu, kenaikan harga benang sutera yang tinggi di pasaran memberikan peluang keuntungan bagi petani sutera untuk menjual benang sutera kepada pembeli. 3. Meningkatkan keuntungan dengan memperbaiki manajemen produksi (Strategi ST) Strategi dengan menggunakan kekuatan untuk menghindari ancaman. beberapa unsur kekuatan dan ancaman dijadikan rekomendasi untuk merumuskan strategi pengembangan seperti, (S3)
fasilitas dan peralatan yang cukup memadai, (S4)
pemanfaatan limbah hasil budidaya sebagai hasil sampingan, (S5) kualitas benang sutera yang bagus, (S7) adanya pembeli benang sutera sebagai pelanggan tetap dan (T3) ancaman pesaing dari Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi. Hasil perumusan strategi didapat yaitu meningkatkan keuntungan dengan memperbaiki manajemen produksi Memperbaiki manajemen produksi dengan mengadakan pertemuan setiap kegiatan periode produksi sebagai implementasi koordinasi untuk mengevaluasi proses pelaksanaan selanjutnya, sehingga diharapkan memberikan dampak positif terhadap peningkatan produktivitas masing-masing kegiatan usaha. Selain itu, mengevaluasi hasil pemanenan kokon terhadap biaya produksi yang dikeluarkan sesuai dengan modal yang dimiliki sehingga dapat mengetahui jumlah kokon yang seharusnya dihasilkan oleh petani sutera, agar biaya yang dikeluarkan tidak terlampau besar untuk memproduksi benang sutera. Petani memanfaatkan limbah
59
kokon yang diolah menjadi benang sutera bernilai rendah seperti benang duppion silk sebagai hasil sampingan yang dapat menghasilkan keuntungan. 4. Meningkatkan mutu pelayanan kepada (Strategi W-O) Beberapa unsur kelemahan yang harus diminimalkan untuk menciptakan sebuah strategi pengembangan antara lain yaitu (W2) jumlah produksi benang sutera belum memenuhi harapan, (W3) teknik budidaya yang masih kurang baik, (W4) tidak ada data keuangan yang menunjang, diformulasikan dengan beberapa peluang yaitu (O2) kebutuhan bahan dari benang sutera (batik, bordir, dan interior) meningkat, (O4) peluang kenaikan harga benang sutera yang menguntungkan petani. Hasil perumusan strategi didapat yaitu meningkatkan mutu pelayanan kepada Meningkatkan pelayanan kepada pelanggan seperti pesanan tepat waktu dan menjaga kualitas benang dapat meningkatkan kepercayaan konsumen sehingga meningkatkan penjualan dan keuntungan. Pelayanan yang memuaskan dapat menjadikan alasan konsumen untuk memesan produk sutera dan menjadi pelanggan. 5. Meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait (Strategi W-T) Strategi yang digunakan untuk meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Beberapa unsur kelemahan dan peluang dijadikan rekomendasi untuk merumuskan strategi pengembangan seperti : (W1) struktur organisasi kelompok tani sutera masih sangat sederhana dan adanya tugas rangkap, (T1) fungsi lembaga persuteraan tidak berjalan dengan baik, (T2) tidak adanya dukungan dari lembaga koperasi dan bank. Hasil perumusan strategi didapat yaitu meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait Adanya peran dari suatu lembaga persuteraan yang diharapkan mampu memperkuat peranannya dalam mensosialisasikan dan menginformasikan mengenai persuteraan alam. Selain itu, dukungan dan peranan bank serta koperasi sangat dibutuhkan. Pemberian pinjaman modal atau kredit usaha yang pernah dijanjikan bank dan koperasi dapat segera terealiasasi agar tujuan dari petani yaitu mengembangkan usaha persuteraan alam dapat tercapai.
60
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kondisi alam yang dimiliki wilayah Kecamatan Rancakalong sesuai untuk mengembangkan usaha persuteraan alam. Kegiatan usaha persuteraan alam yang dilakukan petani Rancakalong meliputi, kegiatan Kelompok Tani, budidaya tanaman murbei dan ulat sutera serta pemintalan benang. Dari analisis yang telah dilakukan, didapat hasil identifikasi faktor internal berupa kekuatan dan kelemahan yang berpengaruh terhadap usaha pengembangan persuteraan alam di Rancakalong. Pada kekuatan menghasilkan tujuh faktor yaitu (1) kondisi alam (iklim, tanah dan topografi) yang sesuai (2) kapasitas sumberdaya manusia (petani) yang mendukung, (3) fasilitas dan peralatan yang cukup memadai, (4) pemanfaatan limbah hasil budidaya sebagai hasil sampingan, (5) adanya kualitas benang sutera yang bagus, (6) jumlah modal yang dimiliki petani cukup memadai, (7) adanya pembeli benang sutera sebagai pelanggan tetap. Pada unsur kelemahan dihasilkan empat faktor diantaranya (1) struktur organisasi kelompok tani sutera masih sangat sederhana dan adanya deskripsi tugas rangkap, (2) jumlah produksi benang sutera belum memenuhi harapan, (3) teknik budidaya yang masih kurang baik, (4) tidak ada data keuangan yang menunjang. Hasil indentifikasi faktor eksternal berupa peluang dan ancaman yang berpengaruh terhadap usaha pengembangan persuteraan alam di Rancakalong. Pada peluang dihasilkan empat faktor yaitu (1) kerjasama yang saling menguntungkan dengan supplier (KOPPUS Sabilulungan III), (2) kebutuhan bahan dari benang sutera (batik, bordir, dan interior) meningkat, (3) adanya dukungan dari pemerintah berupa bantuan dana dan penyuluhan, (4) peluang kenaikan harga benang sutera yang menguntungkan petani. Sedangkan
ancaman menghasilkan tiga faktor yaitu (1)
fungsi lembaga persuteraan tidak berjalan dengan baik, (2) tidak adanya dukungan dari lembaga koperasi dan bank, (3) ancaman pesaing dari Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi. Berdasarkan hasil analisis didapat perumusan strategi pengembangan usaha persuteraan alam adalah meningkatkan kuantitas produksi pemeliharaan ulat sutera, meningkatkan penjualan dengan promosi, meningkatkan keuntungan dengan
61
memperbaiki manajemen produksi, meningkatkan mutu pelayanan kepada konsumen dan meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait. Saran Secara umum pengembangan usaha persuteraan alam Rancakalong perlu terus ditingkatkan dan diperbaiki, terutama dalam masalah manajemen produksi kokon yang berdampak pada kualitas dan kuantitas benang sutera. Oleh karena itu, petani harus bisa mengatasi segala kelemahan dan ancaman yang dimiliki.
62
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahi Robbil Alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang melimpahkan berkah, rahmah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Perumusan Strategi Pengembangan Usaha Persuteraan Alam (Studi Kasus di Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang)” merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan yang bahagia ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada : 1. Ir. Hj. Dewi Ulfah Wardani, MS. dan Dr. Mien Kaomini, Msc. Atas bimbingan, pengarahan, kerjasama, semangat, nasehat serta kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini, 2. Semua dosen dan staf AJMP, baik di Fakultas Peternakan maupun di Departemen SEIP atas dukungan dan bantuannya. 3. Bapak Maman, A Uyu, A Asep, Bapak Drs Memet Rochimat, serta petani sutera yang ada di Kecamatan Rancakalong yang tidak bisa saya sebutkan semua, atas kesempatan kerjasama dan bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi, 4. Mamah, Papah, Aa Cepi, dan Adikku Akbar tercinta atas doa, dukungan materi, semangat dan kasih sayangnya yang selalu menyertai penulis, 5. Keluarga Besar Rukmana Hidayat atas bantuan fasilitas dan penginapannya sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi, 6. Teman-teman Al-Afkar, Mas Jamhuri, Dalmasion, Nuno, Aa Lendy, Suherman, Mar Kosep, Mar Kori, Mar Kosra yang banyak memberikan semangat kepada penulis selama penyusunan skripsi ini, 7. Teman-teman Wisma Asri,
Slamet Widodo, SP, CMSi yang telah
memberikan bantuan pinjaman (uang, printer dan laptop), Drh. Avee, Panji, SE, Drh. Agusriyadi, Drh. Asep, Drh Pramudya D. Irwanto, dan Drh Khairil, atas semangat, ide dan pikiran,
canda, hiburan, bantuan, tumpangan
kosannya, tak lupa aku minta maaf saat sidang dasi, kaos kaki, kaos dalam, ikat pinggang dan celana panjang aku pinjam tanpa sepengetahuan kalian
63
8. Semua teman-teman 39, 40, 41 serta pihak-pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan semangatnya, semoga hubungan kita terbina dengan baik dan tak terlupakan selamanya. Kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis ucapkan terimakasih, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua. Akhir kata hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri dan tetap semangat buat teman-temanku seangkatan seperjuangan yang sedang menyusun skripsi.
Bogor, 22 Januari 2008
Penulis
64
DAFTAR PUSTAKA Andarwati. 2000. Analisis strategi pemasaran kain sutera alam di Perusahaan Aman Sutera. Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Andikarya, O. 2003. Budidaya tanaman murbei produktif dalam rangka menunjang pengembangan industri sutera di Jawa Barat. Seminar Prospek Persuteraan Alam Sebagai Alternatif Pembiayaan Kredit Mikro. Ciamis. Atmosoedarjo, S, Y. Kartasubrata, M. Kaomini, W. Saleh, dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wanajaya. Jakarta Badan Pengembangan Ekspor Nasional. 2005. Pemerintah buat master plan pengembangan persuteraan alam. http://www.nafed.com [03 April 2006]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumedang. 2004. Sumedang Dalam Angka Tahun 2004. Sumedang : BPS Kabupaten Sumedang. David, F. 1997. Manajemen Strategis. Edisi Ketujuh. Prenhallindo. Jakarta. Departemen Kehutanan. 1990. Manual Pengembangan Pengelolaan Hutan Rakyat. Jakarta. DepHut. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Sumedang. 2005. Pembinaan Petani Sutera Alam di Kabupaten Sumedang. Sumedang. Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial/RLPS. 2003. Kebijakan pengembangan persuteraan alam, potensi dan kesiapan kokon ulat sutera sebagai bahan baku industri. Jakarta Hindra, B. 2005. Potensi lahan murbei dan pembudidayaan ulat sutera. Makalah pada Workshop Sinergi Pengembangan Hasil Litbang : Industri Pengolahan Sutera. Departemen Perindustrian. Bandung. 12 Desember 2005. Munaf, Y. 2005. Kebijakan pengembangan sutera di Indonesia. Makalah pada Workshop Sinergi Pengembangan Hasil Litbang : Industri Pengolahan Sutera. Departemen Perindustrian. Bandung. 12 Desember 2005. Munajat, AZ. 1998. Pengembangan usaha sutera alam melalui Analisis Optimasi Pola Usaha Tani (Kasus Pasca Pengembangan Persuteraan Alam di Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nukman, S. 2002. Evaluasi dan perencanaan proyek pengembangan usaha tani persuteraan alam pada Mitra PT. Indo Jado Sutera Pratama di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Jurusan Sosial Ekonomi dan Industri Peternakan, Fakultas Peternakan. Insititut Pertanian Bogor.
65
Pearce, J.A dan R. B Robinson. 1997. Manajemen Strategis. Binarupa Aksara. Jakarta. Perum Perhutani. 2005. Budidaya persuteraan alam. Makalah pada Workshop Sinergi Pengembangan Hasil Litbang : Industri Pengolahan Sutera. Departemen Perindustrian. Bandung. 12 Desember 2005. Rangkuti, F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia. Jakarta. Romansah, D. 2007. Peran hutan rakyat dalam perekonomian wilayah di Kabupaten Sumedang. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Samsijah dan Andadari. 1995. Petunjuk Teknis Budidaya Ulat Sutera (Bombyx mori L.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Sihombing, D.T.H. 1999. Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya Satwa Harapan I. Pustaka Wirausaha Mandiri. Bogor. Sudarisman, R. 1998. Kajian perusahaan sutera alam (Studi Kasus di PT Indo Jado Sutera Pratama Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Simanjuntak, T. P. H. 2003. Modul Pelatihan Bergambar Budidaya Sutera Alam. Samba Project. Bandung. Tim Penulis Penebar Swadaya. 1995. Budidaya Ulat Sutera. Penebar Swadaya. Jakarta.
66
LAMPIRAN
67
Lampiran 1. Peta Wilayah Sumedang
68
Lampiran 2. Persuteraan Rancakalong
Gambar 3. Wilayah Rancakalong
Gambar 4. Tanaman Murbei
Gambar 5.Petani Mengambil Tanaman Murbei
69
Lampiran 3. Persuteraan Rancakalong
Gambar 6. Ulat Sutera dan Pakan Murbei
Gambar 7. Kokon
70