ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PUPUK KOMPOS (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
SKRIPSI
WIWIN WIDIYANI H34060046
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN WIWIN WIDIYANI. H34060046. 2010. Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RITA NURMALINA). Pembangunan pertanian di Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Beberapa hal yang mendasari pentingnya pertanian di Indonesia yaitu potensi keanekaragaman sumber daya alam, pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, sektor riil pendapatan nasional, dan basis pertumbuhan di perdesaan. Sebuah proyek pada masa orde baru diadakan untuk mendorong pembangunan pertanian yaitu gerakan revolusi hijau. Adanya gerakan revolusi hijau tidak hanya berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada beras tetapi juga menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang. Krisis lingkungan yang terjadi akibat gerakan revolusi hijau sejak tahun 1970-an mulai kini dirasa sangat merugikan masyarakat khususnya petani. Revolusi hijau yang menginstruksikan pemakaian pupuk anorganik secara intensif mengakibatkan kandungan organik tanah (humus) menurun drastis sehingga tingkat kesuburan lahan pertanian menurun secara perlahan. Departemen Pertanian mencetuskan suatu sistem pertanian organik (organik farming) dengan tema “Go Organic 2010” yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan berbasis anorganik untuk disubstitusikan dengan bahan berbasis organik. Salah satu bentuk aktivitas nyata yang turut mendukung program tersebut yaitu dengan menambahkan pupuk organik/kompos ke lahanlahan sawah. Diketahui pada tahun 2008 terdapat selisih yang cukup besar antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik di Indonesia bila dibandingkan dengan jenis pupuk lainnya yaitu sebesar 16.655.000 ton. Besarnya kebutuhan pupuk organik menunjukkan adanya peluang pengusahaan pupuk kompos sebagai usaha yang berpotensi untuk mengembangkan sistem pertanian organik. Salah satu daerah yang turut berupaya mewujudkan pengembangan pertanian organik yaitu Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Sebagian besar petani di Desa Ciburuy telah melakukan kegiatan pembuatan pupuk kompos tetapi hanya digunakan untuk kebutuhannya sendiri dan belum dikomersilkan. Keterbatasan modal dan pengetahuan yang dimiliki membuat para petani belum termotivasi untuk menjadikannya sebagai sebuah usaha, disamping risiko kerugian yang mungkin timbul dari suatu usaha. Satu-satunya usaha pengomposan yang terdapat di Desa Ciburuy dilaksanakan oleh Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari yang bermitra dengan Lembaga Pertanian Sehat (LPS). Saat ini, kondisi yang terjadi memperlihatkan kegiatan pengusahaan belum berkembang secara signifikan walaupun umur usaha telah berjalan selama ± 4 tahun. Adanya potensi pasar yang belum terpenuhi juga mendorong unit usaha untuk melakukan pengembangan usaha dengan cara meningkatkan kapasitas produksinya. Rencana peningkatan kapasitas produksi ini tentunya
memerlukan biaya investasi tambahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kelayakan pada kondisi usaha saat ini untuk mengetahui apakah usaha menguntungkan atau tidak agar tidak terjadi kerugian yang terlalu lama dan analisis kelayakan pada rencana pengembangan usaha untuk mengetahui apakah rencana pengembangan usaha ini akan membuat kondisi usaha jauh lebih baik untuk dijalankan atau tidak. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah 1) Menganalisis kelayakan pengusahaan pupuk kompos ditinjau dari aspek non finansial, 2) Menganalisis tingkat kelayakan finansial pengusahaan pupuk kompos pada kondisi saat ini dan pengembangan usaha dan 3) Menganilisis tingkat sensitivitas pengusahaan pupuk kompos terhadap kenaikan harga bahan baku, penurunan jumlah produksi dan harga jual pupuk kompos yang dapat mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode switching value. Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek non finansial, yaitu 1) Aspek pasar, 2) Aspek teknis, 3) Aspek manajemen dan hukum, 4) Aspek sosial, ekonomi dan budaya, dan 5) Aspek lingkungan, pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari layak untuk dijalankan. Analisis aspek-aspek finansial menggunakan dua skenario. Skenario I merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada saat ini, dimana usaha telah berproduksi secara optimal karena besarnya permintaan yang diajukan oleh LPS melebihi kapasitas produksi sebesar 12 ton per bulan. Hasil perhitungan kriteria investasi menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah Rp 67.911.262,34; Net B/C 3,52; IRR 56,82 persen, dan payback period selama 2,84 atau 2 tahun 10 bulan 2 hari. Skenario II merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada rencana pengembangan usaha berupa peningkatan kapasitas produksi tiap bulannya menjadi 21 ton per bulan. Berdasarkan analisis kriteria investasi, diperoleh nilai NPV sebesar Rp 138,322,490.83; Net B/C 5.91; IRR 96.77 persen, dan payback period 1.69 atau 1 tahun 8 bulan 8 hari. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa kedua skenario usaha layak untuk dijalankan berdasarkan kriteria investasi. Skenario usaha II memiliki tingkat kelayakan yang lebih tinggi daripada skenario usaha I karena adanya pengembangan usaha dapat memberikan tingkat perolehan manfaat yang lebih besar berupa tambahan keuntungan secara finansial. Berdasarkan perbandingan hasil analisis switching value diperoleh bahwa usaha pada kondisi pengembangan usaha (skenario II) memiliki tingkat kepekaan yang lebih rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap kemungkinan perubahan biaya dan manfaat yang terjadi. Dengan demikian, kondisi pada pengembangan usaha menjadi skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan. Rekomendasi saran yang dapat dipertimbangkan dalam penelitian ini yaitu unit usaha sebaiknya melakukan pengembangan usaha dengan peningkatan kapasitas produksi sebesar 21 ton melalui perluasan lahan pengomposan, membuka jalur pemasaran lainnya, mempertahankan kualitas produk, dan melakukan perbaikan pengelolaan administrasi. Bagi LPS dan Pemerintah, sebaiknya terus mendukung pengusahaan pupuk kompos dengan cara menjalin hubungan kemitraan yang baik diantara keduanya dan melaksanakan pembinaan untuk berbagi informasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pertanian ramah lingkungan. iii
ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PUPUK KOMPOS (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
WIWIN WIDIYANI H34060046
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi
: Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Nama
: Wiwin Widiyani
NIM
: H34060046
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS NIP. 19550713 198703 2 001
Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2010
Wiwin Widiyani H34060046
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 05 Juli 1988. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sumpeno Riyadi dan Ibu Siti Rasimah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 08 Pagi Jakarta pada tahun 2000 dan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 123 Jakarta yang lulus pada tahun 2003. Penulis juga telah menamatkan pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Negeri 72 Jakarta pada tahun 2006. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2006. Setelah melewati Tingkat Persiapan Bersama, pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan, penulis tercatat sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Ekonomi Umum Program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun 2009 dan 2010 yang di bawahi oleh Departemen Ilmu Ekonomi. Selain itu penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan baik di lingkungan Departemen, Fakultas maupun Institut.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak termasuk penulis dan juga usaha tempat penulis melakukan penelitian. Penulis juga mengharapkan
masukan
dan
kritik
yang
bersifat
membangun
untuk
penyempurnaan pada skripsi ini.
Bogor, Juni 2010 Wiwin Widiyani
UCAPAN TERIMAKASIH Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan anugerah-Nya serta jalan dan kemudahan yang Engkau tunjukkan kepada penulis. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak atas bimbingan dan doanya. Dalam kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. 3. Yanti Nuraini, SP, MAgribuss selaku dosen penguji komisi pendidikan atas segala kritik dan saran yang telah diberikan demi perbaikan skripsi ini. 4. Kedua orangtua tercinta. Terima kasih atas segalanya, tanpa kalian aku takkan bisa seperti ini. Semoga karya ini dapat menjadi bukti kasih sayangku teruntuk kalian. 5. Ir. Harmini, MSi selaku dosen pembiming akademik selama masa perkuliahan di Departemen Agribisnis atas dukungan dan bimbingan akademik penulis. 6. Dosen-dosen dan Staf Departemen Agribisnis. Terimakasih atas semua ilmu pengetahuan dan bantuan yang kalian berikan kepada penulis dan temanteman. 7. Bapak H.A. Zakaria selaku Ketua Gapoktan Silih Asih, Bapak Harry Kuswara selaku Ketua Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, para petani dan masyarakat sekitar Desa Ciburuy di Kecamatan Cigombong. Terima kasih atas waktu, kesempatan, informasi, pelajaran, dan dukungan yang diberikan selama penelitian. 8. Bapak H. Samsudin, Bapak Khoirul Anam, Ibu Santi, dan seluruh pihak Lembaga Pertanian Sehat serta Instansi-instansi terkait atas waktu, informasi, dan kesempatan yang diberikan dalam penyusunan skripsi ini. 9. Kakak ku, Fitri Yuliani yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang serta dukungan dan doa. Adik-adik ku Mahendra Ilham Prayogo dan Maharani Syaputri atas segala keceriaan, penghiburan, serta semangat. ix
10. Mayasari selaku pembahas seminar, terima kasih atas masukan dan dukungan baik saat perkuliahan maupun saat penyelesaian skripsi. 11. Sahabat-sahabat seperjuangan, Evine, Anne, Dilla, Emil, dan Dea. Terima kasih atas segala kebersamaan dan rasa persahabatan yang telah kalian berikan selama ini. Semoga perjuangan dalam kebersamaan kita akan selalu ada. 12. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Selly, Khusnul, dan Ade untuk masukan, semangat, dukungan dan doa dalam menyusun skripsi ini. 13. Teman-teman satu lokasi penelitian, Ribut, Agista, dan Lulus serta Tim gladikarya Desa Sukaresmi, Bayu, Elva, Gladys, dan Puspi. Terima kasih atas kerjasama, dukungan, dan kebersamaan kalian hingga menjadi pengalaman yang berharga dan tak terlupakan bagi penulis. 14. Sahabat-sahabat
dan
teman-teman
AGB
43,42,44
atas
semangat,
kebersamaan, dan kekompakkan selama ini. Menjadi bagian dari orang-orang cerdas dan kritis seperti kalian semua merupakan suatu motivasi bagi penulis untuk terus berjuang ke arah yang lebih baik lagi. Dina, Firdy, Yani sebagai teman satu pembimbing akademik. Anyez, Bale, Dida, Haris, Izil, Jiban, Nanang, Okla, Rendi, Yuli atas kecerian, kebersamaan, kepedulian, doa dan dukungan dalam menyusun skripsi. AGB Growing The Future ! 15. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas bantuannya.
Bogor, Juni 2010 Wiwin Widiyani
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
xvi
I
PENDAHULUAN ................................................................. 1.1 Latar Belakang ........................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................... 1.3 Tujuan ......................................................................... 1.4 Manfaat ...................................................................... 1.5 Ruang Lingkup ...........................................................
1 1 7 11 12 12
II
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 2.1 Limbah Organik ......................................................... 2.1.1 Pengelolaan Limbah Organik ............................. 2.2 Pemupukan ................................................................. 2.2.1 Jenis Pupuk ....................................................... 2.2.1.1 Pupuk Anorganik ................................... 2.2.1.2 Pupuk Organik ....................................... 2.3 Kompos ...................................................................... 2.3.1 Bokashi ............................................................... 2.4 Pengolahan Limbah Organik Untuk Kompos ............ 2.4.1 Proses Pengomposan ......................................... 2.4.2 Laju Pengomposan ............................................ 2.4.3 Metode Pengomposan ....................................... 2.5 Pengusahaan Pupuk Kompos ..................................... 2.5.1 Perencanaan Pengusahaan Pupuk Kompos ........ 2.6 Tinjauan Studi Terdahulu.............................................
13 13 13 14 15 15 16 18 20 21 22 23 25 26 27 28
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................... 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ..................................... 3.1.1 Analisis Kelayakan Proyek ................................ 3.1.2 Teori Biaya dan Manfaat .................................... 3.1.3 Analisis Kelayakan Investasi ............................. 3.1.4 Analisis Finansial ............................................... 3.1.5 Analisis Sensitivitas ........................................... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ...............................
32 32 32 35 37 37 39 40
METODE PENELITIAN .................................................... 4.1 Lokasi dan Waktu ...................................................... 4.2 Data dan Instrumentasi ............................................... 4.3 Metode Pengumpulan Data ........................................ 4.4 Metode dan Analisis Data .......................................... 4.5 Analisis Kelayakan Usaha............................................ 4.6 Analisis Nilai Pengganti (Switching Value) ................ 4.7 Asumsi Dasar yang Digunakan ...................................
45 45 45 46 46 46 51 52
III
IV
V
GAMBARAN UMUM ......................................................... 5.1 Gambaran Umum Desa Ciburuy ................................ 5.1.1 Kondisi Fisik Desa Ciburuy ............................... 5.1.2 Potensi Pertanian ................................................ 5.2 Gambaran Umum Usaha ............................................. 5.2.1 Sejarah dan Perkembangan Usaha ..................... 5.2.2 Pengadaan Input ................................................. 5.2.3 Proses Produksi .................................................. 5.2.4 Pemasaran ..........................................................
55 55 55 55 56 56 59 59 66
VI
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................. 6.1 Analisis Aspek-Aspek Non Finansial ......................... 6.1.1 Aspek Pasar ........................................................ 6.1.2 Aspek Teknis ...................................................... 6.1.3 Aspek Manajemen dan Hukum .......................... 6.1.4 Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya ................. 6.1.5 Aspek Lingkungan ............................................. 6.2 Analisis Aspek Finansial ............................................. 6.2.1 Analisis Kelayalan Finansial Skenario I ............ 6.2.1.1 Inflow ..................................................... 6.2.1.2 Outflow ................................................... 6.2.1.3 Analisis Laba Rugi Usaha ...................... 6.2.1.4 Analisis Kelayakan Finansial ................. 6.2.1.5 Analisis Switching Value ....................... 6.2.2 Analisis Kelayakan Finansial Skenario II .......... 6.2.2.1 Inflow ..................................................... 6.2.2.2 Outflow ................................................... 6.2.2.3 Analisis Laba Rugi Usaha ...................... 6.2.2.4 Analisis Kelayakan Finansial ................. 6.2.2.5 Analisis Switching Value ....................... 6.2.3 Perbandingan Laba Rugi .................................... 6.2.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial ........... 6.2.5 Perbandingan Hasil Analisis Switching Value ...
68 68 68 77 88 91 93 94 94 94 97 111 112 114 116 117 119 130 131 132 134 135 136
VII
PENUTUP ............................................................................. 7.1 Kesimpulan ................................................................ 7.2 Saran ............................................................................
138 138 139
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
140
LAMPIRAN ......................................................................................
142
xii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Kebutuhan dan Ketersediaan Pupuk di Indonesia Tahun 2008
4
2. Potensi Pasar Pupuk Organik di Indonesia Tahun 2009 ..........
5
3. Permintaan Pupuk Organik di Kota dan Kabupaten Bogor Tahun 2008 ............................................................................
9
4. Standar Kualitas Unsur Makro Kompos Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004) ..................
19
5. Sumber-sumber Kompos dari Bahan Organik .......................
20
6. Kandungan Nilai C/N Ratio Beberapa Bahan Organik Untuk Kompos ........................................................................
24
7. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian ................
31
8. Jumlah Total Produksi dan Nilai Penjualan Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) ...........................................
96
9. Nilai Sisa Investasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) ...........................................................................
97
10. Rincian Biaya Investasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) ...........................................................................
100
11. Rincian Biaya Reinvestasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) ...........................................................................
101
12. Rincian Biaya Tetap pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) ...........................................................................
104
13. Rincian Kebutuhan Bahan Baku dan Tenaga Kerja untuk Kapasitas Produksi 1 ton dalam 1 petak ......................
106
14. Rincian Biaya Variabel pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) ...........................................................................
110
15. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) .........................................................
113
16. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) .........................................................
114
17. Jumlah Total Produksi dan Nilai Penjualan Skenario II (Kapasitas 21 ton/bulan) .........................................................
118
18. Nilai Sisa Investasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) ...........................................................................
119
19. Rincian Biaya Investasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) ...........................................................................
121
20. Rincian Biaya Reinvestasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) .........................................................
122
21. Rincian Biaya Tetap pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) ...........................................................................
124
22. Rincian Biaya Variabel pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) ...........................................................................
129
23. Rincian Pajak Penghasilan pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) .........................................................
130
24. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) .........................................................
131
25. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) .........................................................
132
26. Perbandingan Hasil Laba Rugi ...............................................
135
27. Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial ...............................
135
28. Perbandingan Hasil Analisis Switching Value .......................
136
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Kerangka Pemikiran Operasional ...........................................
44
2. Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor ................
57
3. Penumpukan dan Pengolahan Bahan Kompos ........................
62
4. Penambahan Kapur Pertanian dan Penyiraman Kultur Bakteri
63
5. Pembalikkan Berulang Olahan Bahan Kompos .......................
64
6. Pengayakan Pupuk Kompos.....................................................
65
7. Pengemasan Pupuk Kompos ....................................................
65
8. Alur Pembuatan Pupuk Kompos OFER ..................................
66
9. Skema Saluran Distribusi Pupuk Kompos KKT Lisung Kiwari .........................................................................
74
10. Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari ................................
81
11. Layout Lokasi Usaha Pupuk Kompos OFER ..........................
85
12. Layout Bangunan Pengomposan .............................................
86
13. Mesin Pencacah Jerami ...........................................................
88
14. Struktur Organisasi Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari
90
15. Bahan Kompos ........................................................................
162
16. Jerami ......................................................................................
162
17. Arang Sekam ...........................................................................
162
18. Fermentasi Pengomposan .......................................................
162
19. Pupuk Kompos Kemasan ........................................................
162
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1.
Harga Pokok Produksi Pupuk Kompos per kg .....................
143
2.
Cashflow Skenario Usaha I ...................................................
144
3.
Cashflow Skenario Usaha II .................................................
146
4.
Laporan Laba Rugi Skenario Usaha I ...................................
148
5.
Laporan Laba Rugi Skenario Usaha II ..................................
149
6.
Cashflow Analisis Switching Value Kenaikan Biaya Variabel Skenario Usaha I ....................................................
150
Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Produksi Skenario Usaha I ....................................................
152
Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Harga Jual Skenario Usaha I .................................................
154
Cashflow Analisis Switching Value Kenaikan Biaya Variabel Skenario Usaha II ...................................................
156
Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Produksi Skenario Usaha II ..................................................
158
Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Harga Jual Skenario Usaha II ...............................................
160
Dokumentasi .........................................................................
162
7. 8. 9. 10. 11. 12.
Halaman
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Beberapa hal yang mendasari pentingnya pertanian di Indonesia yaitu potensi keanekaragaman sumber daya alam, pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, sektor riil pendapatan nasional, dan basis pertumbuhan di perdesaan (Winangun 2005). Teori Malthus mengatakan bahwa pertumbuhan populasi mempunyai kecenderungan meningkat melebihi ketersediaan pangan. Hal ini turut mendorong para ahli untuk membuat suatu terobosan yang mampu mengatasi kelangkaan pangan. Sebuah proyek pada masa orde baru diadakan untuk memacu produktivitas dan mendorong pembangunan pertanian yaitu gerakan revolusi hijau (Zaini 2008). Gerakan revolusi hijau telah ada di dunia sejak tahun 1950-an atau setelah Perang Dunia II dan di Indonesia mulai tahun 1970-an melalui kebijakan intensifikasi pertanian yaitu program bimbingan massal atau bimas. Kebijakan pemerintah pada saat itu merekomendasikan penggunaan energi luar, dengan mendorong pemakaian benih varietas unggul (high variety yield), pemakaian pupuk anorganik dan pestisida (Salikin 2003). Tujuan diadakannya program tersebut dengan maksud dapat meningkatkan produktivitas pertanian secara cepat untuk pertumbuhan penduduk yang cepat (Karama et.al. 1990, diacu dalam Pirngadi 2008). Produktivitas padi saat itu mencapai 4,54 ton GKG per hektar dengan umur panen <135 hari. Sedangkan pada masa pra revolusi hijau dengan pengelolaan bahan organik secara in situ (di lokasi setempat), produktivitas masih rendah 2,3 ton GKG per hektar dengan umur panen enam bulan (Makarim dan Suhartatik 2006, diacu dalam Pirngadi 2008). Gerakan revolusi hijau mencapai puncaknya yaitu dengan terwujudnya swasembada beras pada tahun 1984 (Zaini 2008). Keberhasilan teknologi revolusi hijau yang dapat dilihat dalam waktu singkat, ternyata menimbulkan kerugian-kerugian yang akan terlihat dalam jangka panjang. Petani-petani tidak menyadari bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk mencapai hal tersebut sangatlah tinggi terutama dalam bentuk ketergantungan
pemakaian pupuk anorganik, kerusakan lingkungan yang parah dan penurunan tingkat kesuburan tanah. Pada tahun 1990-an gerakan revolusi hijau mencapai titik baliknya karena dinilai gagal dan mulai banyak diprotes oleh masyarakat (Winangun 2005). Teknologi revolusi hijau telah membuat
petani-petani Indonesia
tergantung terhadap penggunaan bibit unggul, pupuk anorganik, dan obat-obatan kimia. Ketergantungan penggunaan pupuk anorganik secara intensif menyebabkan perkembangan mikroorganisme di dalam tanah mati sehingga mikroorganisme tersebut tidak lagi dapat menguraikan bahan organik. Akibatnya kandungan organik tanah (humus) menurun drastis dan sisa-sisa pupuk yang tidak terserap akar tanaman akan terakumulasi di dalam tanah, sehingga kondisi tanah menjadi keras dan bergumpal. Produktivitas tanah sebagai daya dukung terhadap ketersediaan air, hara dan kehidupan biota cenderung menurun. Pada kondisi seperti ini bila tidak diatasi akan terjadi levelling off, yaitu kondisi dimana pertambahan input tidak lagi mampu meningkatkan produksi tanaman. Dampak dari pemakaian pestisida berbahan kimia pun menyebabkan hama menjadi kebal (Oesman 2007). Saat ini, diketahui lahan pertanian yang telah berubah menjadi kondisi kritis mencapai 66 persen dari total 7 juta hektar lahan pertanian di Indonesia 1). Dilaporkan sebesar 73 persen lahan pertanian baik lahan sawah maupun lahan kering mempunyai kandungan bahan organik yang rendah < 2 persen. Akibatnya, produksi padi cenderung turun dan kebutuhan pupuk terus meningkat (Pirngadi 2008). Dilain pihak, kebijakan ekonomi oleh Menteri Perdagangan Marie Pangestu yang mengizinkan ekspor pupuk lebih besar ke luar negeri telah mendorong terjadinya kenaikan harga pupuk setiap kali musim tanam. Secara ekonomi, kebijakan tersebut dirasa wajar dalam memaksimalkan keuntungan. Hal ini disebabkan harga jual pupuk ke luar negeri jauh lebih mahal daripada ke petani lokal. Misalnya harga pupuk urea bersubsidi di pasar dalam negeri hanya Rp 1.200,- per kg. Padahal harga pupuk urea di pasar internasional tahun 2008 diketahui mencapai Rp 4.000,- per kg. Namun, akibat dari kebijakan itu, pasokan 1)
Sakina, NN. 2009. Pencemaran Tanah Oleh Pupuk. Blog at WordPress.com. [Diakses 15 Desember 2009]
2
pupuk kepada petani menjadi berkurang sehingga harga pupuk di dalam negeri meningkat lebih dari 40 persen 2). Upaya mengatasi dampak negatif dari sistem pertanian dengan penggunaan bahan anorganik yang tinggi, Departemen Pertanian mencetuskan sistem pertanian organik (organik farming) dengan tema “Go Organic 2010” sebagai alternatif solusi dari masalah tersebut. Sistem pertanian organik merupakan kegiatan usahatani secara menyeluruh mulai dari proses produksi (prapanen) sampai proses pengolahan hasil (pasca-panen) yang bersifat ramah lingkungan dan dikelola secara alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis dan rekayasa genetika, sehingga menghasilkan produk yang sehat dan bergizi (IFOAM 2002, diacu dalam Hartatik et.al 2008). Menurut Salikin (2003), salah satu model sistem pertanian lainnya yang juga berbasis organik adalah sistem pertanian masukan luar rendah atau LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Metode LEISA tidak bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan mencukupi dalam jangka panjang. Adanya model LEISA dapat menghindari penurunan produktivitas secara drastis, sebab penggunaan input luar masih diperkenankan hanya bila hal tersebut sangat penting dan diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem. Konsep pertanian organik ini pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan yang berbasis anorganik untuk disubstitusikan dengan bahan yang berbasis organik. Salah satu langkah nyata dari sistem pertanian organik ini adalah dengan menambahkan pupuk organik/kompos ke lahan-lahan sawah. Penggunaan pupuk kompos selain bermanfaat dalam mengurangi jumlah limbah organik juga dapat mengurangi dosis pupuk dan pencemaran lingkungan. Kompos harus ditambahkan dalam jumlah yang cukup hingga kandungan bahan organik kembali ideal seperti semula. Berkembangnya isu pertanian berkelanjutan ramah lingkungan, pencemaran, dan penurunan tingkat kesuburan lahan akibat pupuk anorganik telah menyebabkan peningkatan kembali minat masyarakat dan petani dalam 2)
[MDR] Media Data Riset PT. 2009. Optimalisasi Industri Pupuk Menghadapi Krisis Pupuk di Indonesia 2009. www.mediadata.co.id [Diakses 15 Desember 2009]
3
memanfaatkan kompos sebagai pupuk dan pembenah tanah dalam sistem budidaya tanaman (Aminah et al. 2003). Selain itu, diketahui setiap tahun lebih dari 165 juta ton bahan organik dihasilkan dari limbah panen tanaman pangan dan hortikultura, namun potensi tersebut pada umumnya belum terkelola dengan baik yaitu sekitar 75-80 juta ton digunakan untuk keperluan industri (kertas, karbon, jamur merang) dan di sawah lebih banyak dibakar (Pirngadi et.al. 2006b, Makarim dan Sumarno 2007, diacu dalam Pirngadi 2008). Hal ini dapat menjadi suatu peluang potensial bagi pelaku industri pupuk dalam memanfaatkan pergeseran minat dan potensi limbah untuk memenuhi kebutuhan petani terhadap pupuk kompos. Pupuk organik memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Diketahui kebutuhan pupuk organik di Indonesia tahun 2008 mencapai 17 juta ton jauh lebih besar dibanding kebutuhan pupuk anorganik yang hanya berkisar 1-5 juta ton. Besarnya jumlah kebutuhan pupuk organik tersebut dikarenakan lahan pertanian di Indonesia sudah berubah menjadi lahan kritis sehingga diperlukan pupuk organik dalam jumlah besar untuk dapat mengembalikan fungsi daya dukung lahan. Tabel 1 menunjukkan kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik dan anorganik di Indonesia tahun 2008.
Tabel 1. Kebutuhan dan Ketersediaan Pupuk di Indonesia Tahun 2008 Jenis Pupuk Kebutuhan (Ton) Ketersediaan Pupuk (Ton) Selisih (Ton) Urea 5.817.974 4.300.000 1.517.917 SP-36 2.443.169 800.000 1.643.169 ZA 1.164.744 700.000 464.744 NPK 1.269.406 900.000 369.406 Organik 17.000.000* 345.000 16.655.000 Sumber: Departemen Pertanian (2009) Keterangan : * angka perkiraan
3)
Berdasarkan Tabel 1, pada tahun 2008 terdapat selisih yang cukup besar antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik bila dibandingkan dengan jenis pupuk lainnya yaitu sebesar 16.655.000 ton. Hal ini menunjukkan jumlah pupuk organik yang dibutuhkan cukup besar untuk dapat memperbaiki kerusakan lahan 3)
[DEPTAN] Departemen Pertanian. 2009. Statistik dalam Angka. www.deptan.go.id [Diakses 15 Desember 2009]
4
pertanian di Indonesia sehingga peluang usaha dalam bentuk penyediaan pupuk organik masih potensial dan prospektif untuk diusahakan. Pengelolaan industri pupuk di Indonesia sendiri sebagian besar dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bekerjasama dengan sektor swasta. Perkembangan jenis pupuk yang dihasilkan saat ini masih tergantung pada penggunaan jenis pupuk untuk pertanian, yaitu jenis pupuk anorganik. Sedangkan industri yang menghasilkan pupuk organik seperti kompos masih terbatas. Saat ini, daerah penghasil pupuk organik hanya meliputi Bandung, Wonosobo, Brastagi, dan Sulawesi Selatan 4). Sementara hasil penelitian Puslittanah tentang status kandungan unsur C Organik lahan pertanian di Indonesia terutama di daerah Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, NTB, dan Sulawesi Selatan menunjukkan potensi kebutuhan pasar akan pupuk organik yang cukup tinggi. Potensi pasar pupuk organik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Potensi Pasar Pupuk Organik di Indonesia Tahun 2009 Luas Areal (Ha) No
Provinsi
1.
Sumbar
2.
Tanaman Pangan
Potensi (Ton) Total (Ton)
Serapan (Ton)
Selisih (Ton)
Hortiku ltura
Tanaman Pangan
Hortiku ltura
52.542
330
26.271
660
26.931
5.386
21.545
Sumsel
99.240
110
49.620
220
49.840
9.968
39.872
3.
Jabar
173.700
1.660
86.850
3.320
90.170
18.034
72.136
4.
Jateng
1.732.626
23.017
866.313
46.034
912.347
182.469
729.878
5.
Jatim
2.689.947
56.199 1.344.974 112.398
1.457.372
291.474
1.165.898
6.
Kalsel
81.875
556
40.938
1.118
42.056
8.411
33.645
7.
NTB
183.750
8.160
91.875
16.320
108.195
21.639
86.556
8.
Sulsel
583.000
4.305
291.500
8.610
300.110
87.022
213.088
Sumber : PT Petrokimia Organik (2009)
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa total kebutuhan pasar akan pupuk organik di masing-masing daerah lebih besar dibanding jumlah serapan pupuk organik. Provinsi Jawa Barat menempati urutan kelima dalam selisih 4)
[MDR] Media Data Riset PT. op.cit. Hal 3
5
jumlah permintaan potensial terhadap serapan permintaan pupuk organik yaitu sebesar 72.136 ton pupuk organik. Dengan demikian, potensi pengembangan industri pupuk di Indonesia khususnya Provinsi Jawa Barat lebih prospektif pada usaha penyediaan pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan pasar. Beberapa wilayah di Jawa Barat yang memiliki potensi pertanian dapat menjadi lokasi yang tepat untuk mendirikan sebuah usaha pupuk kompos, salah satunya adalah Kabupaten Bogor. Hal ini turut didukung oleh Dinas Pertanian Kabupaten
Bogor
mengembangkan
bersama
sistem
Lembaga
pertanian
Pertanian
organik
di
Sehat
kalangan
yang
sedang
petani.
Upaya
pengembangan sistem pertanian organik diwujudkan oleh LPS melalui Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor. Pada Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) tersebut, LPS melakukan pelatihan dan pembinaan dalam memproduksi hasil pertanian yang berbasis ramah lingkungan seperti pupuk kompos. Penyaluran Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) dilakukan dengan cara membangun jejaring komunitas petani di berbagai kecamatan, salah satunya yaitu Kecamatan Cigombong yang terdapat di Desa Ciburuy oleh Gabungan Kelompok Tani Silih Asih. Gapoktan Silih Asih menjadi bagian dari salah satu komunitas petani yang ikut serta dalam pelaksanaan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S). Hal ini dikarenakan potensi limbah pertanian yang cukup besar sebagai bahan baku lokal pembuatan kompos. Berdasarkan data potensi Desa Ciburuy, diketahui sebesar 21 ton per hektar jerami padi yang tersedia setiap kali panen. Besarnya material sisa panen padi yang tersedia merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha pembuatan pupuk kompos sebagai dasar dalam pengembangan pertanian organik pada subsektor penyediaan input. Pengusahaan pupuk kompos dikelola dan menjadi bagian dari unit usaha Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari. KKT Lisung Kiwari mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian Kabupaten Bogor berupa sebuah mesin pencacah jerami yang dapat digunakan untuk pengolahan limbah jerami. Selain itu, unit usaha juga memanfaatkan bahan organik lainnya seperti arang sekam, dedak halus serta campuran kotoran sapi dari luar desa. Hasil dari
6
pengolahan bahan-bahan organik tersebut adalah pupuk kompos yang dibutuhkan tanaman sebagai penambah unsur hara tanah.
1.2 Perumusan masalah Berbagai permasalahan yang timbul akibat penggunaan pupuk anorganik dengan dosis tinggi dalam sistem budidaya pertanian telah menyebabkan masyarakat dan para petani beralih minat untuk menggunakan pupuk kompos sebagai sebuah terobosan pertanian ramah lingkungan dalam memajukan kembali produktivitas pertanian yang berkualitas dan berkelanjutan. Hal ini juga didukung oleh Departemen Pertanian dalam rapat kerja teknisnya yang mencetuskan sistem pertanian organik dengan tema “Go Organik 2010”. Salah satu wilayah yang turut aktif berperan serta dalam upaya mendukung program “Go Organik 2010” adalah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Barat yang sesuai untuk dijadikan sebagai wilayah untuk mendukung sistem pertanian ramah lingkungan seperti penggunaan pupuk kompos dan aplikasi teknologi ramah lingkungan. Hal ini juga didukung oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bogor itu sendiri yang melakukan kerjasama dengan pihak LPS-DD (Lembaga Pertanian Sehat-Dompet Dhuafa) untuk mewujudkan secara nyata program organik tersebut yaitu dengan mencanangkan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor yang diprakarsai oleh LPS. Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2004 di tiga kecamatan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Salah satunya terdapat di Kecamatan Cigombong yang dilaksanakan Gapoktan Silih Asih. Salah satu program yang terdapat dalam P3S ini yaitu transfer teknologi berupa pembuatan pupuk kompos yang dimiliki LPS kepada petani binaan. Transfer teknologi yang dilakukan untuk membantu petani dalam mencapai kemandiriannya terhadap aksesibilitas input pertanian. Melihat perkembangan kemampuan produksi dan potensi pasar yang ada, LPS berinisiasi untuk menjembatani kedua hal tersebut. LPS tidak hanya berperan dalam transfer teknologi tetapi juga sebagai lembaga saluran pemasaran dan distribusi produk yang dihasilkan petani binaan. Kondisi ini membuat Gapoktan Silih
Asih
menjadikan
kemampuan
produksi
tersebut
sebagai
sebuah
7
pengusahaan. Gapoktan Silih Asih mendirikan pengusahaan pupuk kompos melalui Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari yang berperan sebagai lembaga perekonomian dari gapoktan tersebut. Pengusahaan pupuk kompos ini menjadi salah satu dari unit usaha yang dimiliki KKT Lisung Kiwari. Pendirian usaha pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari selain sebagai salah satu upaya untuk mendukung program pertanian ramah lingkungan juga sebagai bentuk pengembangan industri pupuk di wilayah tersebut. Sebagian besar petani di Desa Ciburuy yang melakukan kegiatan pembuatan pupuk kompos selama
ini
hanya
digunakan
untuk
kebutuhannya
sendiri
dan
belum
dikomersilkan. Keterbatasan modal dan pengetahuan yang dimiliki membuat para petani belum termotivasi untuk menjadikannya sebagai sebuah usaha, disamping risiko kerugian yang mungkin timbul dari suatu usaha. Pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha KKT menjadi satu-satunya usaha pengomposan di Desa Ciburuy yang mulai dijalankan secara komersil pada tahun 2006, dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan berdasarkan luas petakan pengomposan ukuran 50 m2. Pada wilayah Kabupaten Bogor juga terdapat dua cluster binaan LPS lainnya yang memproduksi pupuk kompos yaitu Desa Cibalung dan Desa Ciderung dengan kapasitas produksi yang sama sebesar 2 ton per bulan. Cluster adalah satu cakupan petani dalam suatu wilayah. Perkembangan usaha pupuk kompos itu terbilang fluktuatif selama dua tahun awal produksinya tergantung jumlah pesanan yang diterima dari LPS. Ketidakpastian jumlah pesanan dari LPS pada saat itu dikarenakan belum adanya permintaan yang pasti pada pangsa pasar eksternal. Pada segmen pasar eksternal, permintaan cenderung tidak stabil. Penyebabnya adalah tren harga jual tanaman hias yang tidak menentu. Pada tahun 2008 dimana tren tanaman hias sedang booming, LPS melakukan pemesanan pupuk kompos sesuai kapasitas produksi yang dimiliki unit usaha sebesar 12 ton per bulan. Peningkatan jumlah pesanan dikarenakan harga jual tanaman hias yang tinggi sehingga permintaan pada pangsa pasar pun cenderung meningkat. Para stakeholder tanaman hias berlomba-lomba untuk menghasilkan tanaman hias yang bernilai tinggi dengan pemakaian input produksi yang berkualitas. Permintaan pupuk kompos pada saat tren tanaman hias sedang
8
booming mencapai 14 ton per bulan untuk wilayah Bogor dan Jakarta. Pemenuhan kebutuhan dilakukan oleh cluster Desa Ciburuy sebanyak 12 ton dan sisanya disediakan oleh dua cluster lainnya. Sementara permintaan pupuk organik untuk Kota dan Kabupaten Bogor saja dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Permintaan Pupuk Organik di Kota dan Kabupaten Bogor Tahun 2008 Konsumen Permintaan Per Bulan Permintaan Per Tahun (kg) (kg) Aura Nursery 1.900 22.800 Ciapus 2.150 25.800 Alpa 1.950 23.400 Suska 1.700 20.400 Pesona DaunMas Asri 8.350 100.200 Azza Florist 1.600 19.200 Rika 1.600 19.200 Flora Lestari Harmoni 1.550 18.600 Rumah Tangga 1.400 16.800 Total 22.200 266.400 Sumber : CV Saung Wira 2008, diacu dalam Khaddafy 2009
Berdasarkan Tabel 3, pada tahun 2008 dimana tren tanaman hias sedang booming total permintaan pupuk organik di Kota dan Kabupaten Bogor saja mencapai 266.400 kg per tahun. Dengan kapasitas produksi sebesar 12 ton per bulan setara dengan 12.000 kg per bulan apabila hanya di pasarkan di Kota dan Kabupaten Bogor pun belum mampu memenuhi permintaan yang mencapai 22.200 kg per bulan atau baru mampu memenuhi 54,05 persen pasar potensial. Hal tersebut menunjukkan adanya permintaan pupuk organik yang cukup besar ketika tren tanaman hias sedang bagus. Sedangkan ketika tren tanaman hias mulai lesu seperti saat ini, permintaan sarana produksi pertanian mengalami penurunan termasuk pupuk kompos yang turun menjadi 40 persen dari kondisi saat booming atau hanya sebesar 5,6 ton per bulan. Namun kondisi tersebut tidak membuat LPS mengurangi jumlah pesanannya kepada unit usaha. Sejak tahun 2009, terjadi permintaan pada pasar internal secara periodik sesuai dengan musim tanamnya, seperti petani padi organik binaan LPS yang terdapat di Karawang (cluster Jati Sari dan Pedes). Permintaan pupuk kompos oleh petani tersebut yang digunakan sebagai campuran
9
saat penyemaian benih terjadi setiap tiga bulan sekali dan rata-rata mencapai 10 ton per cluster per musim tanam (tiga bulan). Ruang lingkup cluster petani binaan yang membutuhkan pupuk kompos ini sebanyak lima cluster mencakup cluster Brebes, Cianjur (dua cluster), dan Karawang (cluster Jati Sari dan Pedes). Total permintaan potensial pada petani organik mencapai 50 ton per tiga bulan. Besarnya permintaan pupuk kompos pada pasar internal dan pasar eksternal mendorong LPS untuk terus melakukan pemesanan kepada unit usaha KKT Lisung Kiwari. Saat ini, jumlah pesanan dari LPS mencapai 22,27 ton per bulan. Namun pengusahaan pupuk kompos ini belum mampu memenuhi jumlah pesanan yang ada dikarenakan kapasitas produksinya masih terbatas. Dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan, unit usaha baru mampu memenuhi 53,88 persen atau separuh dari jumlah pesanan tersebut. Hal ini memperlihatkan kegiatan pengusahaan belum berkembang secara signifikan walaupun umur usaha telah berjalan selama ± 4 tahun. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kelayakannya pada kondisi usaha tersebut untuk mengetahui apakah usaha menguntungkan atau tidak agar tidak terjadi kerugian yang terlalu lama. Mengingat, analisis kelayakan usaha hingga saat ini belum pernah dilakukan karena keterbatasan pengetahuan dari pengelola unit usaha KKT Lisung Kiwari. Adanya potensi pasar dari LPS yang belum terpenuhi juga mendorong unit usaha untuk melakukan pengembangan usaha dengan cara meningkatkan kapasitas produksinya. Rencana peningkatan kapasitas produksi ini tentunya memerlukan biaya investasi tambahan. Kondisi tersebut dapat menjadi sebuah pertimbangan apakah rencana pengembangan usaha ini akan membuat kondisi usaha jauh lebih baik untuk dijalankan dan dapat mendatangkan keuntungan atau tidak dibanding kondisi usaha saat ini sehingga perlu dianalisis kelayakannya. Selain itu, kemungkinan terjadinya keadaan yang berubah-ubah pada kegiatan usaha pupuk kompos turut mempengaruhi tingkat keuntungan yang akan diperoleh.
Faktor
yang
dapat
menyebabkan
perubahan
kondisi
usaha
pengomposan ini yaitu faktor harga bahan baku, jumlah produksi, dan harga output. Berdasarkan pengalaman usaha selama ini, perubahan kondisi usaha yang pernah terjadi hanya sebatas pada faktor harga bahan baku berupa kotoran sapi.
10
Variabel tersebut dapat berubah akibat pengaruh faktor cuaca. Bila musim hujan, harga kotoran sapi cenderung lebih mahal dari harga normal karena kandungan kadar air pada kotoran sapi menjadi lebih tinggi sehingga memerlukan perlakuan yang lebih. Sedangkan pada faktor jumlah produksi dan harga output, variabelvariabel tersebut tidak mengalami perubahan karena kapasitas produksi yang terbatas dan penetapan harga jual dalam sistem kemitraan dengan LPS. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan pada kedua faktor lainnya tersebut yang mungkin dihadapi unit usaha akibat pasokan bahan baku yang berkurang dan penurunan kualitas pupuk kandang. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis sensitivitas dari usaha pupuk kompos ini apabila terjadi perubahan dalam dasar perhitungan biaya dan manfaat. Berdasarkan pemaparan diatas maka masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah : 1.
Apakah pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari di Desa Ciburuy layak untuk dijalankan bila ditinjau dari aspek non finansial?
2.
Bagaimana tingkat kelayakan finansial dari pengusahaan pupuk kompos yang sedang berjalan saat ini dan pengembangan usaha?
3.
Bagaimanakah tingkat sensitivitas pengusahaan pupuk kompos pada kondisi saat ini dan rencana pengembangan usaha terhadap kenaikan harga bahan baku, penurunan jumlah produksi dan harga jual pupuk kompos yang dapat mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode switching value?
1.3 Tujuan Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah : 1.
Menganalisis kelayakan pengusahaan pupuk kompos ditinjau dari aspek non finansial.
2.
Menganalisis tingkat kelayakan finansial pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari pada kondisi saat ini dan rencana pengembangan usaha.
3.
Menganilisis tingkat sensitivitas pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari pada kondisi saat ini dan rencana pengembangan usaha terhadap kenaikan harga bahan baku, penurunan jumlah produksi dan harga jual pupuk
11
kompos yang dapat mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode switching value. 1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Penulis dalam mengidentifikasi, menganalisis, serta menemukan alternatif solusi sebagai bentuk aplikasi ilmu yang diperoleh pada masa perkuliahan. 2. Koperasi dan LPS sebagai informasi tambahan mengenai kelayakan dari usaha yang sedang dijalankannya dan pada saat pengembangan usaha. 3. Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai referensi untuk mengembangkan kegiatan industri pupuk kompos di Kabupaten Bogor. 4. Masyarakat sebagai referensi tambahan ketika ingin mendirikan sebuah usaha pengomposan atau memperbaiki usaha yang telah dijalankan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian hanya difokuskan pada analisis kelayakan pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari dalam memanfaatkan berbagai limbah pertanian dari sisa hasil panen padi bebas pestisida seperti jerami, arang sekam, dedak halus serta campuran kotoran sapi yang diperoleh dengan membeli dari luar desa. Unit usaha Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari merupakan wadah petani mitra binaan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) di bawah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Dompet Dhuafa Republika di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Dalam kaitan dengan analisis usaha, Lembaga Pertanian Sehat (LPS) yang menjalin mitra dengan para petani berperan sebagai lembaga saluran pemasaran dan distribusi produk yang dihasilkan petani binaan disamping mengembangkan produk pertanian ramah lingkungan yang mudah diaplikasikan oleh petani, pemberdayaan petani dalam membangun komunitas petani, pelatihan dan pembinaan dalam memproduksi hasil pertanian yang berbasis ramah lingkungan.
12
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Organik Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga) yang lebih dikenal sebagai sampah dimana kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah. Beberapa karakteristik limbah yaitu : (1) berukuran mikro; (2) dinamis; (3) berdampak luas (penyebarannya); (4) berdampak jangka panjang (antar generasi). Menurut Hadiwijoto (1983), limbah organik merupakan limbah yang terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegitan pertanian, perikanan dan lainnya. Limbah organik ini dapat diuraikan dalam proses alami. Limbah yang dihasilkan dari rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik.
2.1.1 Pengelolaan Limbah Organik Menurut Hadisuwito (2007), terdapat beberapa alternatif pengelolaan limbah organik yaitu : 1. Penumpukan Pada metode ini sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung, tetapi dibiarkan membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan bersifat murah dan sederhana, tetapi sangat berisiko karena bisa menimbulkan penyakit dan menyebabkan pencemaran. 2. Pembakaran Metode ini memang yang paling sering dilakukan masyarakat. Namun, cara ini sebaiknya dilakukan hanya untuk sampah yang dapat terbakar habis. Selain itu, lokasi pembakaran berada di tempat yang jauh dari pemukiman.
Mengingat, sampah yang dibakar ternyata dapat menghasilkan dioksin, yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya seperti CDD (chlorinated dibenzo-pdioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan), dan PCB (poly chlorinated biphenyl). 3. Sanitary Landfill Metode ini khusus diberlakukan untuk tempat pembuangan akhir ketika lahan yang disediakan telah penuh terisi sampah. Caranya yaitu dengan membuat cekungan baru untuk mengubur sampah yang diatasnya ditutupi tanah. 4. Pengomposan Metode ini merupakan langkah sederhana yang tidak menimbulkan efek samping bagi lingkungan, tetapi memberi nilai tambah bagi sampah, khususnya sampah
organik.
Pengelolaan
sampah dengan cara pengomposan atau
mengubahnya menjadi pupuk merupakan alternatif terbaik. Namun demikian, menurut data Kementrian Lingkungan Hidup, sampah organik yang dikomposkan baru berkisar 1-6% sedangkan sisanya lebih banyak dibakar, ditimbun, atau dibuang ke sungai dan ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
2.2 Pemupukan Pupuk dapat dikatakan sebagai bahan-bahan yang diberikan pada tanah agar dapat menambah unsur-unsur atau zat makanan yang diperlukan tanah baik secara langsung atau tidak langsung. Dengan demikian, pemupukan pada umumnya bertujuan untuk memelihara atau memperbaiki kesuburan tanah, dimana secara langsung atau tidak langsung akan dapat menyumbangkan bahan makanan kepada tanaman yang tumbuh di tanah tersebut. Pemupukan adalah tindakan yang mempengaruhi hubungan tanah dengan tumbuh-tumbuhan. Tanah dan tumbuh-tumbuhan merupakan dwi tunggal yang tak bisa dipisahkan. Seperti halnya tumbuh-tumbuhan, tanah juga harus dipandang sebagai perantara yang hidup bukan sebagai suatu medium atau bahan perantara yang pasif. Hal itu karena pada hakekatnya yang langsung dipupuk bukan tanamannya melainkan tanahnya. Dalam pemupukan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai jenis zat apa yang dibutuhkan oleh tanah agar dapat mencapai hasil tanaman yang maksimal. Selain itu, jumlah dan perbandingan zat serta pengaruh 14
apa yang ditimbulkannya terhadap bagian-bagian dan sifat-sifat tanah serta tanamtanaman. Pupuk juga mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap produktivitas tanah dan tanaman. Pupuk organik dapat membebaskan kationkation dari ikatan-ikatan adsorbsif menjadi ion-ion bebas yang tersedia bagi tanaman. Ini disebabkan oleh adanya asam arang yang tinggi yang ada di dalamya, berkat peruraian pupuk tersebut. Pemupukan dengan pupuk kandang, kompos, dan pupuk hijau juga mengakibatkan tanah-tanah yang ringan strukturnya menjadi lebih baik, daya mengikat air menjadi lebih tinggi, sedangkan tanah-tanah yang berat menjadi lebih ringan. Pengaruh garam Calcium juga sangat
penting
terhadap
struktur
tanah
sebab
ion-ion
Calcium
dapat
mengumpulkan kolloid-kolloid tanah, sehingga struktur tanah menjadi beremah. Tetapi ion-ion Natrium mempunyai pengaruh sebaliknya, yaitu memperbesar dispersitas kolloid tanah. Jadi bila dilakukan pemupukan dengan Natrium terusmenerus, struktur tanah akan menjadi lebih berat. Kolloid tanah menjadi lebih plastis dan tanah yang berat menjadi lebih berat lagi. Jadi pengaruh garam-garam Natrium terhadap struktur tanah berakibat tidak baik (Murbandono 1993).
2.2.1 Jenis Pupuk Beragam jenis dan bentuk pupuk yang dibedakan berdasarkan atas: (1) terjadinya yaitu pupuk alam dan pupuk buatan; (2) susunan kimiawinya yaitu pupuk tunggal, pupuk majemuk, pupuk Ca dan Mg; (3) susunan kimiawinya yang berkenaan dengan perubahan-perubahan di dalam tanah yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik (Murbandono 1993).
2.2.1.1 Pupuk Anorganik Pupuk anorganik adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral yang telah diubah melalui proses produksi, sehingga menjadi senyawa kimia yang mudah diserap tanaman. Pupuk anorganik juga bisa diproduksi dengan pengolahan pabrik (Hadisuwito 2007).
15
Sutedjo (1994) menjelaskan bahwa pupuk anorganik sangat dikenal dan disukai di daerah tropik, terutama negara dengan penduduk yang melakukan usaha di bidang pertanian. Hal ini disebabkan oleh : 1. Pupuk anorganik sangat praktis dalam penggunaannya, artinya pemakaian dapat disesuaikan dengan perhitungan hasil penyelidikan defisiensi unsur hara yang tersedia dalam kandungan tanah. 2. Penyedia pupuk anorganik bagi para pemakainya dapat meringankan ongkosongkos angkutan, mudah didapat, dapat disimpan lama.
2.2.1.2 Pupuk Organik Marsono dan Sigit (2002) menjelaskan bahwa pupuk organik sering juga disebut sebagai pupuk alam, sebab sebagian besar pupuk ini berasal dari alam. Kotoran hewan, sisa tanaman, limbah rumah tangga, dan batu-batuan merupakan bahan dasar pupuk organik. Beberapa jenis pupuk organik masih ada yang benarbenar alami tanpa sentuhan teknologi, tetapi tidak sedikit pula pupuk organik yang telah diproses dengan teknologi modern sehingga muncul dalam bentuk, rupa, dan warna yang jauh berbeda dengan bahan dasarnya. Beberapa produsen pupuk organik ada juga yang menambahkan komponen atau bahan lain ke dalam produknya kemudian dikemas dan diproduksi secara komersial. Dengan kemasan yang menarik, pupuk organik dapat sejajar dengan pupuk anorganik. Pupuk organik dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan cara pembentukannya, yaitu pupuk organik alami dan pupuk organik buatan. Pupuk organik alami merupakan pupuk organik yang bahan-bahannya langsung diambil dari alam dan benar-benar alami, seperti dari sisa hewan, tumbuhan, serta tanah, tanpa penambahan unsur hara lain untuk melengkapi atau meningkatkan kandungan unsur haranya. Kandungan unsur hara pupuk ini tergantung pada jenis bahan, kondisi pemeliharaan, proses pembuatan, dan cara penyimpanannya. Jenis pupuk organik alami ada enam macam, yaitu: 1. Pupuk kandang Pupuk kandang berasal dari hasil pembusukan kotoran hewan, baik itu berbentuk padat (berupa feses atau kotoran) maupun cair (berupa air seni atau
16
kencing), sehingga warna rupa, tekstur, bau, dan kadar airnya tidak lagi seperti asli. 2. Pupuk Kompos Kompos adalah sampah organik yang telah mengalami proses pelapukan atau dekomposisi akibat adanya interaksi mikroorganikme yang bekerja di dalamnya. Bahan-bahan organik yang biasa dipakai bisa berupa dedaunan, rumput, jerami, sisa ranting atau dahan pohon, kotoran hewan, kembang yang telah gugur, air kencing hewan, kotoran hewan, dan sampah daur ulang. 3. Humus Humus mirip dengan kompos, tetapi proses pelapukan bahan organiknya terjadi secara alami. Bahan dasar humus umumnya berupa sisa-sisa tanaman yang telah melapuk di kawasan hutan. Seperti halnya pupuk kandang dan kompos, kandungan unsur hara dalam humus cukup baik. Humus mengandung unsur hara makro N, P, dan K, juga mengandung unsur-unsur hara mikro. 4. Pupuk Hijau Pupuk hijau adalah pupuk yang berasal dari tanaman atau bagian tanaman tertentu yang dibenamkan di dalam tanah dalam kondisi segar. Tujuannya untuk menambah bahan organik tanah dan unsur hara tanah, terutama nitrogen. Tanaman yang digunakan adalah jenis yang mempunyai kemampuan mengikat nitrogen bebas di udara dan mengubahnya menjadi bentuk yang dapat diserap tanaman. Tanaman yang mempunyai kemampuan seperti ini yaitu tanaman dari keluarga kacang-kacangan atau polong-polongan (Leguminoseae). 5. Kascing Kascing adalah pupuk organik yang melibatkan cacing tanah dalam proses penguraian atau dekomposisi bahan organik. Walaupun sebagian besar penguraian dilakukan oleh jasad renik, kehadiran cacing justru membantu memperlancar proses dekomposisi. Proses pengomposan dengan melibatkan cacing tanah tersebut dikenal dengan istilah vermi-composting. Sementara hasil akhirnya disebut kascing (bekas cacing). 6. Pupuk Guano Pupuk guano adalah pupuk yang berasal dari kotoran unggas liar, termasuk kelelawar. Sedangkan pupuk dari kotoran ayam, itik, atau merpati 17
peliharaan tidak termasuk di dalamnya. Karena itu, pupuk ini dikenal pula sebagai pupuk burung. Pupuk guano merupakan hasil pelapukan batuan dan kotoran burung yang ada di dalam goa-goa alam. Jenis pupuk ini tergolong langka, sehingga sulit ditemukan di pasaran. Sedangkan pupuk organik buatan adalah pupuk organik yang dibuat dengan sentuhan teknologi untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman yang bersifat alami atau nonkimia, berkualitas baik dengan bentuk, ukuran, dan kemasan yang praktis, mudah didapat, didistribusikan dan diaplikasikan, serta dengan kandungan unsur hara yang lengkap dan teratur. Kandungan haranya juga tidak lagi bergantung pada bahan baku organik yang digunakan melainkan sudah disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Pupuk organik buatan ini terdiri dari dua bentuk, yaitu padat dan cair. Marsono dan Sigit (2002) menjelaskan bahwa sifat pupuk organik memiliki kelebihan yang tidak dapat ditandingi oleh jenis pupuk lain, yaitu mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik sehinggga pertumbuhan akar tanaman lebih baik pula. Saat pupuk dimasukkan ke dalam tanah, bahan organik pada pupuk dirombak oleh mikroorganikme pengurai menjadi senyawa anorganik yang mengisi ruang pori tanah sehingga tanah menjadi gembur. Pupuk organik sangat berperan dalam mengatasi masalah kekurangan air di musim kering karena bahan organik mampu menyerap air dua kali dari bobotnya.
2.3 Kompos Kompos berasal dari bahasa Latin componere dan dalam bahasa Inggris disebut compost, artinya mengumpulkan, menaruh semua bahan di suatu tempat, menumpuk semua bahan menjadi satu campuran bahan. Kompos adalah hasil akhir peruraian atau penghancuran oleh mikro dan makroorganisme pada bahan campuran yang berasal dari tanaman (daun, cabang/ranting, batang, buah, dan lain-lain), kotoran ternak, dan kotoran manusia (tinja, urine) yang siap digunakan untuk pemupukan (Winangun 2005). Menurut Murbandono (1993), kompos ialah bahan organik yang telah menjadi lapuk, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan. Di lingkungan 18
alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Lewat proses alami, rumput, daun-daunan dan kotoran hewan serta sampah lainnya lama-kelamaan membusuk karena kerjasama antara mikroorganik dengan cuaca. Proses tersebut juga bisa dipercepat oleh perlakuan manusia hingga menghasilkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu tidak terlalu lama. Contoh standar kualitas kompos tercantum dalam Tabel 4.
Tabel 4. Standar Kualitas Unsur Makro Kompos Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004) Kandungan Baku Bahan Organik (%) 27-58 Kadar Air (%) <50 Total N (%) >0,40 Karbon (%) 9,80-32,00 Imbangan C/N 10-20 P (%) >0,10 K (%) >0,20 pH 6,80-7,49 Sumber : Murbandono (1993)
Aminah et al. (2003) mengemukakan mengenai keunggulan-keunggulan kompos yang tidak dapat digantikan oleh pupuk anorganik, yaitu : a. Mengurangi
kepekatan
dan
kepadatan
tanah
sehingga
memudahkan
perkembangan akar dan kemampuannya dalam penyerapan hara. b. Meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air sehingga tanah dapat menyimpan air lebih lama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah. c. Menahan erosi tanah sehingga mengurangi pencucian hara. d. Menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah seperti cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah. Menurut Sutanto (2002), karakterisasi kompos yang telah selesai mengalami proses dekomposisi sebagai berikut : 1. Berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah 2. Tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspensi 3. Nisbah C/N berkisar 10–20, tergantung dari komposisi bahan baku dan derajat humifikasinya 4. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah 19
5. Suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan 6. Tidak berbau Bahan baku pengomposan adalah semua material organik yang mengandung karbon dan nitrogen. Pada Tabel 5 disajikan bahan-bahan yang umum dijadikan bahan baku pengomposan.
Tabel 5. Sumber-sumber Kompos dari Bahan Organik Asal Bahan 1. Pertanian Jerami dan sekam padi, gulma, batang • Limbah dan residu tanaman dan tongkol jagung, semua bagian vegetatif tanaman, batang pisang dan sabut kelapa. Kotoran padat, limbah ternak cair, • Limbah dan residu ternak limbah pakan ternak, tepung tulang, cairan biogas. Gliriside, terrano, mukuna, turi, • Pupuk Hijau lamtoro, centrosema, albisia. Azola, ganggang biru, rumput laut, • Tanaman air enceng gondok, gulma air. Mikroorganisme, Mikoriza, • Penambat nitrogen Rhizobium biogas. 2. Industri Serbuk gergaji kayu, blotong, kertas, • Limbah padat ampas tebu, limbah kelapa sawit, limbah pengalengan makanan dan pemotongan hewan. Alkohol, limbah pengolahan kertas, • Limbah Cair bumbu masak (MSG), limbah pengolahan minyak kelapa sawit (POME) 3. Limbah rumah tangga Tinja, urin, sampah rumah tangga dan • Sampah sampah kota Sumber : Sutanto (2002)
2.3.1 Bokashi Bokashi adalah pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi atau peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganikms 4). Keunggulan penggunaan teknologi EM4 adalah pupuk organik (kompos) dapat dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara 20
konvensional.
EM4
juga
dapat
menekan
pertumbuhan
patogen
tanah,
mempercepat fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan unsur hara pada tanaman, meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang menguntungkan, serta mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia (Djuarnani et.al. 2006) Cairan EM4 mengandung Azotobacter sp., Lactobacillus sp., ragi, bakteri fotosintetik dan jamur pengurai selulosa. Bahan untuk pembuatan bokashi dapat diperoleh dengan mudah di sekitar lahan pertanian, seperti jerami, rumput, tanaman kacangan, sekam, pupuk kandang atau serbuk gergajian. Namun bahan yang paling baik digunakan sebagai bahan pembuatan bokashi adalah dedak karena mengandung zat gizi yang sangat baik untuk mikroorganisme. Pada prinsipnya, peranan bokashi hampir sama dengan pupuk kompos lainnya,
namun
bokashi
EM4
pengaruhnya dipercepat dengan adanya
penambahan Effective Microorganikms 4 (EM4). Keuntungan penggunaan bokashi adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman meskipun bahan organiknya belum terurai seperti pada kompos. Bila bokashi dimasukan ke dalam tanah, bahan organiknya dapat digunakan sebagai substrat oleh mikroorganisme efektif untuk berkembangbiak dalam tanah, sekaligus sebagai tambahan persediaan unsur bagi tanaman (Sutanto 2002).
2.4 Pengolahan Limbah Organik Untuk Kompos Salah satu unsur pembentuk tanah adalah bahan organik. Sebelum mengalami proses perubahan, bahan organik yang terbentuk dari sisa tanaman dan hewan tidak berguna bagi tanaman karena unsur hara terikat dalam bentuk yang tidak dapat diserap oleh tanaman. Oleh sebab itu, perlu dikomposkan terlebih dahulu agar unsur hara makanan bebas menjadi bentuk yang larut dan dapat diserap tanaman melalui proses perubahan dan peruraian bahan organik. Bahan organik yang akan digunakan sebagai pupuk, sebaiknya mempunyai perbandingan C/N yang mendekati C/N tanah sebesar 10-12. Sisa-sisa tanaman yang masih segar pada umumnya memiliki C/N tinggi sehingga belum bisa langsung digunakan sebagai kompos. Bahan-bahan yang mempunyai C/N sama atau mendekati C/N tanah tentu dapat langsung digunakan. Tetapi sebelum digunakan 21
sebagai pupuk, sebaiknya dikomposkan terlebih dahulu agar C/N-nya menjadi lebih rendah dan mandekati C/N tanah (Murbandono 1993).
2.4.1 Proses Pengomposan Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganikm) atau menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri 5). Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba
yang
aktif
pada
suhu
tinggi.
Pada
kondisi
ini
terjadi
dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. 5)
Isroi. 2008. Kompos. http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos [Diakses 15 Desember 2009]
22
Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan. Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Pengomposan secara anaerobik memanfaatkan mikroorganikme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik. Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (Sutanto 2002).
2.4.2 Laju Pengomposan Aminah
et
al.
(2003),
terdapat
beberapa
faktor
penting
yang
mempengaruhi laju dalam pembuatan kompos adalah : 1. C/N ratio dalam bahan Setiap bahan organik mengandung unsur C (Karbon) dan N (Nitrogen) dalam komposisi yang berbeda antara bahan satu dengan lainnya yang dinyatakan dengan C/N Ratio. Nilai C/N ratio tersebut berpengaruh terhadap proses pengomposan. Apabila nilai C/N ratio suatu bahan semakin tinggi maka semakin lambat bahan tersebut untuk diubah menjadi kompos, sebaliknya nilai C/N rationya semakin rendah maka akan mempercepat laju pengomposan. Idealnya bahan-bahan yang akan dikomposkan bernilai C/N ratio 30:1. Pada nilai tersebut diperlukan waktu sekitar 1 bulan untuk mengubah bahan menjadi kompos. Namun demikian, di alam tidaklah mudah memperoleh bahan yang memiliki C/N ratio 30:1. Untuk memperoleh bahan-bahan dengan C/N ratio mendekati angka tersebut, disarankan mencampur beberapa bahan. Kandungan nilai C/N ratio pada beberapa bahan organik dapat dilihat pada Tabel 6.
23
Tabel 6. Kandungan Nilai C/N Ratio Beberapa Bahan Organik Untuk Kompos Bahan C/N Ratio Sisa Makanan
15:1
Bubuk Gergaji, Kayu, Kertas
400:1
Jerami
80:1
Dedaunan
50:1
Sisa-sisa Buah-buahan
35:1
Pupuk Kandang Kering
20:1
Bonggol Jangung
60:1
Sumber : Michel et al. 1999, diacu dalam Aminah 2003
2. Ukuran bahan yang dikompos Ukuran
bahan
yang
dikompos
juga
berpengaruh
terhadap
laju
pengomposan. Ukuran bahan organik yang semakin kecil menjadikan proses pengomposan akan berlangsung lebih cepat sebab semakin kecil ukuran bahan maka semakin luas pula permukaan yang dapat dirombak oleh mikroba pengurai. 3. Aerasi Aerasi merupakan faktor yang juga mempercepat proses pengomposan. Proses pengomposan dapat berlangsung dalam suasana aerob dan anaerob. Dalam aktivitasnya merombak bahan organik pada suasana aerob, mikroba aerobik memerlukan oksigen, sedangkan mikroba anaerobik tidak memerlukan oksigen. Proses pengomposan yang berlangsung secara anaerob, menimbulkan bau busuk akibat terlepasnya gas amonia dan membutuhkan waktu yang lama. Untuk memberikan cukup aerasi dalam pengomposan dapat dilakukan dengan cara menyediakan celah-celah kosong di bagian bawah tumpukan bahan untuk memudahkan sirkulasi udara. 4. Kelembaban Keadaan lingkungan yang lembab sangat diperlukan dalam aktivitas mikroba pengurai sehingga pengaturan kelembaban perlu dilakukan dalam pembuatan kompos. Kelembaban optimal yang disarankan adalah 40-60%. Bahan yang kering akan menghambat proses dekomposisi sedangkan bahan yang terlau basah akan menghambat aerasi yang pada akhirnya juga akan menghambat proses penguraian oleh mikroba. 24
5. Suhu Tinggi rendahnya suhu tergantung dari bahan-bahan yang dikompos. Bahan dengan C/N ratio tinggi akan sulit mencapai suhu tinggi, sebaliknya bahan dengan C/N ratio rendah akan dengan cepat mencapai suhu tinggi. Semakin tinggi suhu yang bisa dicapai akan semakin cepat pula proses pengomposan. Pengomposan akan berlangsung efisien jika dapat mencapai suhu sekurangkurangnya 600C.
2.4.3 Metode Pengomposan Aminah et al. (2003), terdapat beberapa metode pengomposan yang telah dikembangkan dan dipraktekkan di Indonesia, antara lain : a. Metode Indore Metode ini dibedakan menjadi dua, yakni (1) Indore heap method (bahan dikompos di atas tanah) dan (2) Indore pit method (bahan dipendam di dalam tanah). Metode Indore sesuai diterapkan di daerah yang bercurah hujan tinggi. Lama proses pengomposan lebih kurang 3 bulan. Pada Indore heap method, bahan-bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis setebal 10-25 cm dan bagian atasnya ditutupi kotoran ternak yang tipis untuk mengaktifkan proses, kemudian disiram dengan campuran pupuk kandang dan abu. Pada Indore pit method, dilakukan penggalian tanah pada tempat yang relatif tinggi dan mempunyai pengaturan yang baik, bahan dasar kompos yang mudah terdekomposisi disebar secara merata di dalam lubang galian dan bahan disusun berlapis-lapis serta dilakukan pembasahan secukupnya. Pembalikan dilakukan pada hari ke 15, 30, dan 60. b. Metode Barkeley Metode ini ditujukan untuk bahan kompos yang berselulosa tinggi (C/N ratio tinggi) seperti jerami, alang-alang, dll yang dikombinasikan dengan bahan kompos yang C/N ratio-nya rendah. Bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis dengan lapisan paling bawah adalah bahan kompos yang C/N ratio-nya paling rendah diikuti oleh bahan yang C/N ratio-nya tinggi, begitu seterusnya sampai mencapai ketinggian yang diinginkan. Pembalikan dilakukan pada hari ke tujuh dan sepuluh. Dalam tiga minggu kompos telah masak dan siap diaplikasikan. 25
c. Metode Jepang Pada metode Jepang pengomposan juga dilakukan penumpukan seperti halnya pada metode pit, namun sebagai pengganti lubang galian digunakan bak penampung yang terbuat dari kawat, atau bambu, atau kayu yang disusun secara bertingkat. Bagian dasar bak dilapisi bahan kedap air guna menghindarkan terjadinya pencucian unsur hara ke dalam tanah dibawahnya. Keunggulan metode Jepang adalah bak yang diletakkan di atas permukaan tanah akan memudahkan pengadukan, sedangkan dasar yang kedap air dapat mengurangi kehilangan unsur N selama pengomposan.
2.5 Pengusahaan Pupuk Kompos Di Indonesia, produktifitas lahan sawah kita, rata-rata hanya 4 ton Gabah Kering Panen (GKP) per hektar per musim tanam. Sementara petani Thailand sudah bisa mencapai rata-rata 6 ton GKP per hektar per musim tanam. Rahasianya ada di kualitas benih dan pemupukan. Untuk mencapai hasil rata-rata 6 ton GKP, diperlukan aplikasi pemupukan organik minimal 3 ton per hektar per musim tanam. Untuk kondisi tanah sawah di Jawa yang telah terlanjur rusak karena keracunan nitrogen akibat pemupukan urea dosis tinggi, diperlukan aplikasi kompos minimal 5 ton per hektar per musim tanam. Baru pada musim-musim tanam berikutnya, dosis kompos itu pelan-pelan diturunkan hingga menjadi 3 ton per hektar per musim tanam. Perhitungan secara sederhananya, untuk menghasilkan satu satuan volume produk panen, diperlukan pupuk organik separo dari angka hasil panen tersebut. Jagung hibrida yang hasilnya 8 ton jagung pipilan kering misalnya, memerlukan pupuk kompos sebanyak 4 ton per hektar per musim tanam. Jadi kalau produksi gabah nasional kita sekitar 50 juta ton dan jagungnya 10 juta ton per tahun, maka total jumlah kompos atau pupuk organik lain yang diperlukan untuk padi dan jagung tersebut akan mencapai 30 juta ton per tahun. Penggunaan pupuk organik ini akan bisa menurunkan kebutuhan pupuk anorganik tanpa memperkecil hasil panen. Selain itu, kompos juga dapat meningkatkan volume produksi sekitar 20% dari hasil optimal sebelum pupuk organik digunakan. Kalau nilai kompos untuk jagung dan padi tadi Rp 100.000,- per ton, maka omset dari industri kompos untuk 26
padi dan jagung saja, akan mencapai Rp 3 trilyun per tahun. Pupuk anorganik yang bisa dihemat sekitar 2.000.000 ton. Dengan harga pupuk anorganik Rp 1.000.000,- per ton, maka penghematan pupuk anorganik akan mencapai Rp 2 trilyun per tahun. Sementara peningkatan hasil panen akan mencapai 20% dari 60 juta ton = 12 juta ton. Dengan harga Rp 1.000.000,- per ton maka nilai peningkatan hasil panen padi dan jagung akan mencapai Rp 12 trilyun per tahun. Angka tersebut baru mengacu pada asumsi aplikasi kompos untuk padi dan jagung. Belum memperhitungkan komoditas-komoditas lain seperti singkong, kedelai, kacang tanah dan produk hortikultura, terutama sayuran dan buahbuahan. Jadi tampak betapa strategisnya industri kompos bagi sebuah negara agraris seperti Indonesia 6).
2.5.1 Perencanaan Pengusahaan Pupuk Kompos Pupuk tanaman bisa menjadi peluang bisnis yang menjanjikan, karena berkaitan erat dengan produktivitas tanaman dan berpengaruh terhadap hasil panennya. Kondisi negara Indonesia sebagai negara tropis, mendukung proses pembuatan pupuk tanaman khususnya pupuk organik dari bahan sisa tanaman maupun kotoran ternak hewan. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan dalam merencanakan pendirian sebuah usaha pengolahan pupuk kompos 7), yakni: 1.
Lokasi Produksi Jika ingin memulai usaha produksi sebaiknya mencari lokasi yang dekat
dengan lokasi bahan baku dan lokasi pasar, karena untuk mengurangi biaya transportasi, baik dalam pembelian bahan baku maupun penjualan produk. Misalnya dekat dengan peternakan hewan, seperti daerah sepanjang Pantura, seluruh Pulau Jawa, areal peternakan di Jawa Timur, Tapanuli, Aceh, Bengkulu, NTT, Irian Jaya yang memilki babi, hingga Sulawesi Selatan. Daerah penghasil pupuk alami saat ini yakni Bandung, Wonosobo, Brastagi, dan Sulawesi Selatan. 6)
[FKA] Forum Kerjasama Agribisnis. 2008. Membangun Industri Kompos Komersial. http://foragri.blogsome.com/membangun-industri-kompos-komersial/. [Diakses 19 Desember 2009] 7) [KADINJATENG] Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Tengah. 2009. Tabloid Peluang Usaha-Usaha Pupuk Kompos dan Bahan Pendukung Tanaman. Tabloid Peluang Usaha. http://www.kadinjateng.com/12 [Diakses 19 Desember 2009]
27
2.
Teknologi Pelaku usaha sebaiknya selalu meng-update teknologi baru pembuatan
pupuk. Misalnya, untuk di kota produksi kompos lebih ditempat tertutup ataupun menggunakan zat peredam bau berupa bahan karbon seperti penggembur Green Phoskko (bulking agent) yang cara kerjanya menyerap bakteri pathogen penyebab bau yang berasal dari limbah tersebut. 3.
Sertifikasi Produk Salah satu penyebab lemahnya pupuk kompos di Indonesia karena masih
banyak yang belum tersertifikasi dan melalui uji laboratorium. Hal tersebut terjadi karena mahalnya biaya untuk melakukan semua itu. Biaya yang dibutuhkan bisa mencapai puluhan juta rupiah sehingga banyak sekali pupuk kompos yang kualitasnya jelek. Akibat tingginya biaya tersebut banyak kompos yang telah terkemas baik, namun menyebabkan tanaman hangus terbakar, mati ataupun kurang produktif. Untuk mendapatkan sertifikasi kelayakan bisa diajukan ke Departemen Pertanian, sedangkan untuk pengujian produk bisa dilakukan di berbagai lab kimia, misalnya laboratorium kimia di berbagai universitas. Untuk uji keefektifannya bisa di Balai Pertanian daerah setempat dan kelayakan jual dibuat di Departemen Perindustrian dan Perdagangan. 4.
Persaingan Usaha Persaingan usaha pupuk anorganik sintetik tidak terlalu ketat, karena
pupuk anorganik di Indonesia masih dipegang oleh industri besar bahkan ada yang masih impor. Sedangkan untuk pupuk kompos persaingan cukup ketat, namun hal tersebut justru membawa kebaikan, yakni banyak produsen berlombalomba membuat pupuk kompos lebih cepat siap pakai, misalnya dahulu bisa memakan waktu 1-2 bulan, sekarang banyak yang membuat pupuk komposter dengan alat mesin Rotary Kiln hanya dalam 5-10 hari.
2.6 Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Gustoro (2006) mengenai sistem penunjang keputusan pendirian industri kompos di TPA Galuga, Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menunjang keputusan 28
investasi meliputi prakiraan jumlah timbunan sampah dan penilaian kelayakan finansial industri pengolahan kompos. Sistem penunjang keputusan untuk pendirian industri kompos dirancang dengan menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic 6.0 yang disebut SPKKompos. Paket program SPKKompos terdiri dari dua model yaitu model prakiraan dan model kelayakan finansial industri. Model prakiraan digunakan untuk melihat prakiraan timbulan pasar sebagai bahan pembuat kompos dengan cara memprakirakan jumlah penduduk pada masa yang akan datang dengan metode prakiraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperoleh model prakiraan yang tepat untuk memprakirakan jumlah penduduk di Kota Bogor dengan menggunakan metode tren linier yaitu persamaan y = 611047 + 21409x. Hasil prakiraan jumlah penduduk kemudian dilakukan analisis dengan tetapan-tetapan profil sampah Kota Bogor sehingga didapat volume timbulan sampah pasar Kota Bogor untuk periode 10 tahun yang akan datang dari tahun 2006-2015. Sedangkan model kelayakan finansial industri digunakan untuk mengetahui kelayakan suatu usaha dari aspek finansial. Hasil analisa industri kompos dengan pengadaan sampah pasar 30 ton per hari tidak layak dijalankan. Untuk pengadaan sampah pasar 60 ton per hari dan 120 ton per hari dengan umur proyek 10 tahun layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan perolehan nilai NPV sebesar Rp 1.425.694.004,- dan Rp 4.951.641.556,- dengan nilai IRR sebesar 33,25 % dan 47,59 %. Untuk nilai B/C ratio diperoleh 1,86 dan 2,68 sedangkan payback period 5,52 tahun dan 3,16 tahun. Khaddafy (2009) melakukan penelitian tentang analisis kelayakan usaha pupuk organik di CV Saung Wira, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini menganalisis kelayakan rencana pengembangan usaha pupuk organik dari segi non finansial dan finansial serta tingkat kepekaan terhadap penurunan harga penjualan dan kenaikan biaya variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rencana pengembangan usaha pupuk organik dilihat dari kriteria pasar dan pemasaran layak untuk diusahakan karena perusahaan mampu bersaing dan menyerap pasar dengan cara promosi yang dilakukan serta kualitas dan kemasan pupuk organik sudah sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan demikian persentase penjualan menjadi meningkat, aspek pasar rencana pengembangan usaha pupuk organik layak untuk diusahakan. Berdasarkan hasil 29
analisa aspek teknis dan teknologi, dapat dinilai bahwa lokasi dan kondisi geografis memenuhi syarat pembuatan pupuk organik serta teknologi yang digunakan mempercepat proses produksi sehingga waktu yang digunakan lebih efisien. Analisis aspek manajemen yang mencakup analisis struktur organikasi dan deskripsi pekerjaan sesuai dengan kualifikasi perusahaan sehingga rencana pengembangan usaha ini layak untuk diusahakan. Dilihat dari aspek sosial, perusahaan dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan karena sebagian bahan baku terdiri dari sampah-sampah organik yang dihasilkan rumah tangga. Perusahaan juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Dari analisis kelayakan finansial skenario I, yaitu dengan menggunakan modal sendiri merupakan skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan. Hasil switching value menunjukkan bahwa skenario II merupakan skenario yang paling rentan terhadap perubahan baik dari segi penurunan penjualan maupun kenaikan biaya variabel. Siregar (2009) meneliti tentang analisis kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos di UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos di UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB bila ditinjau dari aspek-aspek non finansial yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek SDM, dan aspek lingkungan hidup dapat disimpulkan layak untuk diusahakan. Sedangkan hasil analisis finansial usaha peternakan UPP Darul Fallah memperoleh NPV>0 yaitu sebesar Rp 202.456.789,33 yang artinya bahwa usaha ini layak untuk dijalankan. Pada usaha ini diperoleh Net B/C>0 yaitu sebesar 1,74 yang mengindikasikan bahwa pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos layak untuk dijalankan dimana setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan selama umur proyek menghasilkan 1,74 satuan manfaat bersih. IRR yang diperoleh sebesar 26,13 persen, artinya usaha ini layak dan menguntungkan karena IRR lebih besar dari nilai diskon faktor (8,75 %) dengan periode pengembalian investasi selama lima tahun sepuluh bulan tujuh belas hari. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 7. 30
Tabel 7. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian Beda Penelitian Nama Tahun Judul Terdahulu Gustoro 2006 Sistem Penunjang Dalam penelitian ini Keputusan output utamanya yang Pendirian Industri dibahas yaitu kompos Kompos di TPA limbah pertanian tanpa Galuga, Bogor. memperkirakan model prakiraan. Sedangkan peneliti terdahulu, output berupa kompos limbah pasar dengan memperkirakan model prakiraan volume sampah. Khaddafy 2009 Analisis Kelayakan Dalam penelitian ini Usaha Pupuk output utamanya yang Organik di CV dibahas yaitu kompos Saung Wira, limbah pertanian. Kabupaten Bogor. Sedangkan peneliti terdahulu, output berupa pupuk organik yang berbahan sampah organik rumah tangga. Siregar 2009 Analisis Kelayakan Dalam penelitian ini Pengusahaan Sapi objek yang dikaji Perah dan hanya sebatas Pemanfaatan pengusahaan pupuk Limbah Untuk komposnya saja oleh Menghasilkan unit usaha Koperasi Biogas dan Pupuk Kelompok Tani Kompos di UPP Lisung Kiwari yang Darul Fallah dan merupakan sampel Fakultas Peternakan dari masyarakat suatu IPB. desa.
Metode Analisis Visual Basic 6.0, tren linier, NPV, IRR, NET B/C Ratio, PP
NPV, IRR, NET B/C, Payback Period, Analisis Switching Value NPV, IRR, NET B/C, Payback Period
31
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Kelayakan Proyek Gittinger (1986) mendefinisikan proyek merupakan suatu kegiatan yang mengeluarkan uang atau biaya-biaya dengan harapan akan memperoleh hasil dan yang secara logika merupakan wadah untuk melakukan kegiatan-kegiatan perencanaan, pembiayaan, dan pelaksanaan dalam satu unit. Menurut Kadariah, dkk. (1999) proyek merupakan suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit) atau suatu aktivitas yang mengeluarkan uang dengan harapan untuk mendapatkan hasil (returns) diwaktu yang akan datang, dan dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan sebagai satu unit. Aktivitas suatu proyek selalu ditujukan untuk mencapai suatu tujuan (objective) dan mempunyai suatu titik tolak (starting point) dan suatu titik akhir (ending point). Definisi lain menyebutkan bahwa studi kelayakan usaha merupakan suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan (Kasmir 2003). Husnan dan Suwarsono (2000) mengemukakan kriteria keberhasilan suatu proyek dapat dilihat dari manfaat investasi yang terdiri dari : 1. Manfaat ekonomis proyek terhadap proyek itu sendiri (sering juga disebut sebagai manfaat finansial) yang berarti apakah proyek itu dipandang cukup menguntungkan apabila dibandingkan dengan risiko proyek tersebut. 2. Manfaat proyek bagi negara tempat proyek itu dilaksanakan (disebut juga manfaat ekonomi nasional) yang menunjukkan manfaat proyek tersebut bagi ekonomi makro suatu negara. 3. Manfaat sosial proyek tersebut bagi masyarakat di sekitar proyek. Menurut Gittinger (1986), dalam menganalisa suatu proyek yang efektif harus mempertimbangkan aspek-aspek yang saling berkaitan secara bersama-sama dalam menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman investasi tertentu dan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut pada setiap tahap
dalam perencanaan proyek dan siklus pelaksanaannya. Aspek-aspek tersebut antara lain : 1. Aspek Pasar Aspek pasar merupakan aspek penting yang terlebih dahulu harus dianalisis sebelum memutuskan untuk memulai atau mengembangkan suatu usaha. Kelayakan aspek pasar akan sangat berkaitan dengan besarnya penerimaan yang akan diperoleh dalam usaha, karena aspek ini akan menentukan besarnya penekanan biaya pemasaran dan peningkatan nilai jual output yang dapat diupayakan. Analisis aspek pasar pada studi kelayakan mencakup permintaan, penawaran, harga, program pemasaran, dan prakiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan (Nurmalina et al. 2009). Permintaan dikaji secara total ataupun diperinci menurut daerah, jenis konsumen, perusahaan, dan proyeksi permintaan. Hal-hal yang dikaji dalam penawaran meliputi penawaran dalam negeri maupun luar negeri, bagaimana perkembangannya di masa lalu dan bagaimana perkiraan di masa yang akan datang. Kajian aspek harga meliputi perbandingan dengan produk saingan yang sekelas dan apakah ada kecenderungan perubahan harga atau tidak. Program pemasaran mencakup strategi pemasaran yang akan dipergunakan bauran pemasaran (marketing mix) serta market share yang bisa dikuasai perusahaan atau dapat diserap oleh bisnis dari keseluruhan pasar potensial yang merupakan keseluruhan jumlah produk yang mungkin dapat dijual dalam pasar tertentu.
2. Aspek Teknis Aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses pembangunan proyek secara teknis dan pengoperasiannya setelah proyek tersebut selesai dibangun. Aspek teknis berhubungan dengan input proyek (penyediaan) dan output (produksi) berupa barang-barang nyata dan jasa-jasa. Aspek teknis mengkaji beberapa hal yaitu lokasi bisnis, luas produksi untuk mencapai kondisi yang ekonomis, proses produksi, layout, dan pemilihan jenis teknologi
33
(Nurmalina et al. 2009). Analisis aspek teknis akan menguji hubungan-hubungan teknis yang mungkin dalam suatu proyek yang diusulkan. Hubungan-hubungan tersebut seperti potensi bagi pembangunan, ketersediaan air, salinitas air, suhu udara dan pengadaan input produksi yang sangat menentukan keberhasilan usaha terutama keberhasilan proses produksi. Aspek-aspek lain dari analisis proyek hanya akan dapat berjalan bila analisis secara teknis dapat dilakukan. 3. Aspek Manajemen dan Hukum Analisis
aspek
manajemen
memfokuskan
pada
kondisi
internal
perusahaan. Aspek-aspek manajemen yang dilihat pada studi kelayakan terdiri dari manajemen pada masa pembangunan yaitu pelaksanaan proyek, jadwal penyelesaian proyek dan pelaksana studi masing-masing aspek, dan manajemen pada saat operasi yaitu bagaimana bentuk organisasi/badan usaha yang dipilih, bagaimana struktur organisasi, bagaimana deskripsi masing-masing jabatan, berapa banyak jumlah tenaga kerja yang digunakan, dan menentukan anggota direksi dan tenaga inti (Nurmalina et al. 2009). Evaluasi aspek manajemen diantaranya meliputi jumlah dan persyaratan tenaga manajemen, anggaran balas jasa karyawan yang diperlukan, berapa macam tugas operasi proyek yang memerlukan keahlian khusus. Analisis pada aspek ini adalah analisis mengenai ketepatan dalam penetapan institusi atau lembaga proyek dan analisis tentang posisi kerja yang harus diisi dengan pekerja yang ahli. Dalam aspek hukum memerlukan beberapa hal yang harus dipenuhi dalam proyek atau usaha seperti bentuk badan usaha yang digunakan, jaminan-jaminan yang dapat diberikan apabila hendak menjamin dana, akta, sertifikat dan izin yang diperlukan dalam menjalankan usaha. Di samping hal tersebut aspek hukum dari suatu kegiatan bisnis diperlukan dalam hal mempermudah dan memperlancar kegiatan bisnis pada saat menjalin jaringan kerjasama (networking) dengan pihak lain. 4. Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya Aspek sosial merupakan aspek yang mempertimbangkan keadaan sosial yang ada di lingkungan sekitar atau sesuatu yang erat kaitannya dengan keberlangsungan perusahaan. Pertimbangan-pertimbangan sosial lainnya juga harus dipikirkan secara cermat agar dapat menentukan apakah suatu proyek yang
34
diusulkan tanggap (responsive) terhadap keadaan sosial tersebut. Aspek sosial harus mempertimbangkan secara teliti pengaruh negatif dan positif dari keberadaan proyek yang diusahakan atau didirikan di daerah tersebut (Umar 2005). Dari segi ekonomi suatu usaha dapat memberikan peluang peningkatan pendapatan masyarakat luas. Adanya bisnis secara sosial, ekonomi, dan budaya diharapkan lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan kerugiannya. Suatu bisnis tidak akan ditolak masyarakat sekitar bila secara sosial budaya diterima dan secara ekonomi memberikan kesejahteraan. 5. Aspek Lingkungan Analisis terhadap aspek lingkungan merupakan suatu analisis yang berkenaan dengan implikasi lingkungan yang lebih luas dari investasi yang diusulkan, dimana pertimbangan-pertimbangan lingkungan tersebut harus dipikirkan secara cermat. Pertimbangan tentang sistem alami dan kualitas lingkungan dalam analisis suatu bisnis justru akan menunjang kelangsungan suatu usaha itu sendiri, sebab tidak ada usaha yang akan bertahan lama apabila tidak bersahabat dengan lingkungan (Hufschmidt et al. 1987). Misal, bagaimana dampak limbah usaha terhadap lingkungan sekitar. 6. Aspek finansial Aspek finansial berkaitan dengan pengaruh secara finansial terhadap proyek yang sedang dilaksanakan. Hal ini menggambarkan keuntungan atau manfaat yang diterima perusahaan secara internal dari adanya proyek tersebut. Aspek-aspek finansial dari persiapan dan analisis proyek menerangkan pengaruhpengaruh finansial dari suatu proyek yang diusulkan terhadap para peserta yang tergabung di dalamnya. Analisis finansial meninjau proyek dari sudut peserta proyek (pelaku proyek) secara individu.
3.1.2 Teori Biaya dan Manfaat Biaya dapat diartikan sebagai segala
sesuatu yang mengurangi suatu
tujuan, dan suatu manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan (Gittinger 1986). Biaya dapat juga didefinisikan sebagai pengeluaran atau korbanan yang dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang diterima. Biaya-biaya yang digunakan dalam analisis proyek agribisnis adalah biaya-biaya langsung
35
seperti biaya investasi, biaya operasional, dan biaya lain-lain. Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan pada saat proyek mulai dilakukan, sedangkan biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan pada saat proyek berjalan. Biaya operasional dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak tergantung dari besarnya output yang dihasilkan. Biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah selama proses produksi. Biaya yang diperlukan suatu proyek dapat dikategorikan sebagai berikut : 1. Biaya modal merupakan dana untuk investasi yang penggunaannya bersifat jangka panjang, seperti : tanah, bangunan, pabrik, mesin. 2. Biaya operasional atau modal kerja merupakan kebutuhan dana yang diperlukan pada saat proyek mulai dilaksanakan, seperti : biaya bahan baku, biaya tenaga kerja. 3. Biaya lainnya yaitu pajak, bunga dan pinjaman. Sedangkan menurut Kadariah (1999), manfaat dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : 1. Manfaat langsung (direct benefit) yang diperoleh dari adanya kenaikan nilai output, fisik, dan atau dari penurunan biaya. 2. Manfaat tidak langsung (indirect benefit) yang disebabkan adanya proyek tersebut dan biasanya dirasakan oleh orang tertentu dan masyarakat berupa adanya efek multiplier, skala ekonomi yang lebih besar dan adanya dynamic secondary effect, misalnya perubahan dalam produktivitas tenaga kerja yang disebabkan oleh keahlian. 3. Manfaat yang tidak dapat dilihat dan sulit dinilai dengan uang (intangible effect), misalnya perbaikan lingkungan hidup, perbaikan distribusi Kriteria yang biasa digunakan sebagai dasar persetujuan atau penolakan suatu proyek adalah perbandingan antara jumlah nilai yang diterima sebagai manfaat dari investasi tersebut dengan manfaat-manfaat dalam situasi tanpa proyek. Nilai perbedaannya adalah berupa tambahan manfaat bersih yang akan muncul dari investasi dengan adanya proyek (Gittinger 1986).
36
3.1.3 Analisis Kelayakan Investasi Analisis kelayakan investasi diukur berdasarkan ukuran kriteria-kriteria investasi. Kirteria investasi digunakan untuk mengukur manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan dari suatu proyek. Dalam mengukur kemanfaatan proyek dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan perhitungan berdiskonto dan tidak berdiskonto. Perbedaannya terletak pada konsep Time Value of Money (nilai waktu uang) yang diterapkan pada perhitungan berdiskonto. Perhitungan diskonto merupakan suatu teknik yang dapat “menurunkan” manfaat yang diperoleh pada masa yang akan datang dan arus biaya menjadi nilai pada masa sekarang, sedangkan perhitungan tidak berdiskonto memiliki kelemahan umum, yaitu ukuran-ukuran tersebut belum mempertimbangkan secara lengkap mengenai lamanya arus manfaat yang diterima (Gittinger 1986). Konsep nilai waktu uang (time value of mone) menyatakan bahwa nilai sekarang (present value) adalah lebih baik daripada nilai yang sama pada masa yang akan datang (future value). Ada dua faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu time preference (sejumlah sumber yang tersedia untuk dinikmati pada saat ini lebih disenangi daripada jumlah yang sama namun tersedia di masa yang akan datang) dan produktivitas atau efisiensi modal (modal yang dimiliki saat sekarang memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan di masa datang melalui kegiatan yang produktif) yang berlaku baik secara perorangan maupun bagi masyarakat secara keseluruhan (Kadariah 1999). Kadariah, et.al (1999) mengungkapkan bahwa kedua unsur tersebut berhubungan timbal balik di dalam pasar modal untuk menentukan tingkat harga modal yaitu tingkat suku bunga, sehingga dengan tingkat suku bunga dapat dimungkinkan
untuk
membandingkan
arus
biaya
dan
manfaat
yang
penyebarannya dalam waktu yang tidak merata. Untuk tujuan itu, tingkat suku bunga ditentukan melalui proses “discounting”.
3.1.4 Analisis Finansial Aspek finansial merupakan proyeksi anggaran dan pengeluaran bruto pada masa yang akan datang setiap tahunnya. Analisis finansial juga merupakan suatu analisis yang membandingkan antara biaya dan manfaat untuk menentukan
37
apakah suatu proyek akan menguntungkan selama umur proyek (Husnan dan Suwarsono 2000). Analisis finansial terdiri dari: 1. Net Present Value (NPV) Net Present Value (NPV) suatu proyek menunjukkan manfaat bersih yang diterima proyek selama umur proyek pada tingkat suku bunga tertentu. Net Present Value (NPV) merupakan nilai sekarang dari selisih antara manfaat (benefit) dengan biaya (cost) pada tingkat suku bunga tertentu. NPV juga dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus kas yang ditimbulkan oleh investasi. Dalam menghitung NPV perlu ditentukan tingkat suku bunga yang relevan. Kriteria investasi berdasarkan NPV yaitu: •
NPV > 0, artinya suatu proyek sudah dinyatakan menguntungkan dan dapat dilaksanakan.
•
NPV < 0, artinya proyek tersebut tidak menghasilkan nilai biaya yang dipergunakan. Dengan kata lain, proyek tersebut merugikan dan sebaliknya tidak dilaksanakan.
•
NPV = 0, artinya proyek tersebut mampu mengembalikan persis sebesar modal sosial Opportunities Cost faktor produksi normal. Dengan kata lain, proyek tersebut tidak untung dan tidak rugi.
2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Rasio) Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Rasio) menyatakan besarnya pengembalian terhadap setiap satu satuan biaya yang telah dikeluarkan selama umur proyek. Net B/C merupakan angka perbandingan antara present value dari net benefit yang positif dengan present value yang negatif. Kriteria investasi berdasarkan Net B/C adalah: •
Net B/C > 1, maka NPV > 0, proyek menguntungkan
•
Net B/C < 1, maka NPV < 0, proyek merugikan
•
Net B/C = 1, maka NPV = 0, proyek tidak untung dan tidak rugi
3. Internal Rate Return (IRR) Internal Rate Return (IRR) adalah tingkat bunga yang menyamakan present value kas keluar yang diharapkan dengan present value aliran kas masuk yang diharapkan, atau didefinisikan juga sebagai tingkat bunga yang menyebabkan
Net Present Value (NPV) sama dengan nol. Gittinger (1986)
38
menyebutkan bahwa IRR adalah tingkat rata-rata keuntungan internal tahunan bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen. Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumberdaya yang digunakan. Suatu investasi dianggap layak apabila nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku dan sebaliknya jika nilai IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan. 4.
Payback Period (PP) Payback Period (PP) merupakan suatu periode yang diperlukan untuk
menutup kembali pengeluaran investasi yang didanai dengan aliran kas. Payback Period (PP) atau tingkat pengembalian investasi juga merupakan salah satu metode dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur periode jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal itu dapat kembali, semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal yang kembali dapat dipakai untuk membiayai kegiatan lain (Husnan dan Suwarsono 2000). 5. Analisis Laba Rugi Usaha Perhitungan rugi laba usaha mengkaji mengenai penerimaan dan pengeluaran suatu perusahaan selama periode akuntansi. Menurut Gittinger (1986), laporan rugi laba juga merupakan suatu laporan yang menunjukkan hasilhasil operasi perusahaan selama waktu tersebut. Laporan rugi laba ini atau usaha yang dijalankan mendapatkan keuntungan ataukah mendapatkan kerugian selama waktu proyek. Laba ialah apa saja yang tersisa setelah dikurangkannya pengeluaran-pengeluaran yang timbul di dalam memproduksi barang atau jasa atau dari penerimaan yang diperoleh dengan menjual barang atau jasa tersebut.
3.1.5 Analisis Sensitivitas Suatu
proyek
pada
dasarnya
menghadapi
ketidakpastian
karena
dipengaruhi perubahan-perubahan, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. Perubahan-perubahan tersebut akhirnya akan mempengaruhi tingkat kelayakan suatu proyek sehingga perlu dilakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali analisis kelayakan proyek yang telah dilakukan (Gittinger 1986). Analisis sensitivitas dilakukan dengan
39
mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan perubahan beberapa unsur dan menentukan pengaruh dari perubahan pada hasil semula. Proyek pada sektor pertanian dapat berubah-ubah akibat dari empat permasalahan utama, yaitu perubahan harga jual produk, keterlambatan pelaksanaan proyek, kenaikan biaya, dan perubahan volume produksi. Permasalahan ini timbul karena banyak faktor yang tidak terkendali. Setiap kemungkinan perubahan atau kesalahan dalam dasar perhitungan sebaiknya dipertimbangkan dalam analisis sensitivitas (Gittinger 1986). Suatu variasi dari analisis sensitivitas adalah analisis nilai pengganti (switching value). Analisis switching value ini merupakan cara perhitungan untuk mengukur perubahan maksimum dari peningkatan harga input atau perubahan maksimum dari penurunan harga output dan jumlah produksi yang masih dapat ditoleransi. Analisis ini menunjukkan sampai berapa persen perubahan yang terjadi pada variabel (yang diduga bisa menyebabkan perubahan) sampai menghasilkan nilai NPV sama dengan nol, nilai Net B/C sama dengan satu, dan nilai IRR sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku sehingga proyek dikatakan masih tetap layak untuk dijalankan.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Program revolusi hijau yang diadakan sejak tahun 1970-an mulai kini dirasa sangat merugikan lingkungan. Perubahan yang terjadi tidak hanya meningkatkan produktifitas pertanian, tetapi menimbulkan dampak negatif yang lebih besar dalam jangka panjang. Revolusi hijau yang menginstruksikan pemakaian pupuk anorganik secara intensif menyebabkan sebagian besar petani Indonesia masih memiliki ketergantungan bahwa pupuk adalah urea (urea minded). Akibatnya tanah menjadi jenuh dan kandungan organik tanah (humus) menurun drastis sehingga seiring waktu tingkat kesuburan tanah pertanian Indonesia berubah menjadi lahan kritis. Lahan pertanian yang telah masuk dalam kondisi kritis mencapai 66 persen dari total 7 juta hektar lahan pertanian yang ada di Indonesia 8). 8)
Sakina, NN. op.cit. Hal 2
40
Selain itu, material sisa hasil pertanian yang tidak termakan manusia telah membentuk kumpulan sampah organik dan kemudian menjadi masalah bagi lingkungan bila tidak ada tindakan pengelolaan. Dilain pihak, adanya kebijakan ekonomi oleh Menteri Perdagangan Marie Pangestu yang mengizinkan ekspor pupuk lebih besar ke luar negeri telah mendorong terjadinya peningkatan harga pupuk setiap kali musim tanam. Akibatnya, pasokan pupuk kepada petani menjadi berkurang sehingga harga pupuk meningkat lebih dari 40 persen 9). Departemen Pertanian mencetuskan sistem pertanian organik (organic farming) yang bertemakan “Go Organic 2010” sebagai alternatif solusi dari masalah tersebut. Konsep pertanian organik ini bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan yang berbasis anorganik untuk disubstitusikan dengan bahan yang berbasis organik. Salah satunya yaitu dengan menambahkan pupuk organik/kompos ke lahan-lahan sawah. Pada tahun 2008 terdapat selisih yang cukup besar antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik di Indonesia bila dibandingkan dengan jenis pupuk lainnya yaitu sebesar 16.655.000 ton. Berdasarkan hasil survey tim PT Petrokimia Organik pada tahun 2009 Propinsi Jawa Barat menempati urutan kelima terbesar dalam selisih jumlah permintaan potensial terhadap serapan permintaan pupuk organik yaitu sebesar 72.136 ton pupuk organik. Sedangkan permintaan potensial pupuk organik di Kota dan Kabupaten Bogor pada tahun 2008 mencapai 22.200 kg per bulan. Besarnya kebutuhan terhadap pupuk organik menunjukkan adanya potensi pengembangan industri pupuk di wilayah Kabupaten Bogor melalui usaha penyediaan pupuk organik. Hal ini turut didukung oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bogor bersama pihak LPS-DD (Lembaga Pertanian Sehat-Dompet Dhuafa) melalui pelaksanaan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor yang diikuti oleh Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari di Desa Ciburuy dengan mengusahakan pembuatan pupuk kompos untuk memanfaatkan limbahlimbah pertanian. Pengusahaan pupuk kompos yang dijalankan oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari ini merupakan satu-satunya usaha pengomposan yang terdapat di Desa 9)
[MDR] Media Data Riset PT. op.cit. Hal 3
41
Ciburuy. Perkembangan usaha pengomposan itu sendiri terbilang cukup fluktuatif selama dua tahun awal produksinya karena ketidakpastian pesanan yang diterima dari LPS. Namun sejak tahun 2008 hingga saat ini permintaan LPS kepada unit usaha KKT Lisung Kiwari cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan pada tahun 2008 tren tanaman hias sedang booming dan sejak tahun 2009 terjadi perluasan permintaan pada pasar petani organik. Secara keseluruhan, jumlah pesanan dari LPS mencapai 22,27 ton per bulan. Pengusahaan pupuk kompos yang dijalankan unit usaha KKT Lisung Kiwari belum mampu memenuhi jumlah pesanan yang ada dikarenakan kapasitas produksinya masih terbatas. Dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan, unit usaha baru mampu memenuhi 53,88 persen atau separuh dari pasar potensial yang ada. Kondisi tersebut mendorong unit usaha untuk meningkatkan jumlah produksinya. Oleh karena itu, analisis kelayakan terhadap usaha pengolahan pupuk kompos menjadi penting untuk dilakukan agar dapat menilai apakah usaha pengolahan pupuk kompos yang sedang berjalan saat ini dan pengembangan usaha layak untuk dipertahankan dan dikembangkan atau tidak. Kriteria kelayakan ditinjau dari aspek non finansial dan aspek finansial. Aspek non finansial meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan. Variabelvariabel aspek pasar meliputi permintaan, penawaran, harga jual produk, pemasaran, serta perkiraan penjualan. Analisis terhadap aspek teknis meliputi lokasi bisnis, luas produksi, proses produksi, layout, dan pemilihan jenis teknologi. Analisis aspek manajemen dan hukum meliputi manajemen sumber daya manusia, bentuk organisasi, dan struktur organisasi usaha. Analisis terhadap aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta lingkungan mengkaji pengaruh negatif dan positif dari pengusahaan pupuk kompos terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar dilihat dari sisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan. Sedangkan aspek finansial terdiri dari analisis finansial dan analisis sensitivitas. Pengukuran analisis finansial menggunakan kriteria kelayakan investasi NPV, IRR, Net B/C Rasio, dan Payback Period. Analisis finansial menerapkan dua skenario perhitungan. Penentuan skenario usaha didasarkan atas potensi pasar LPS yang belum terpenuhi. Analisis kelayakan finansial skenario I
42
didasarkan pada kondisi usaha yang dijalankan saat ini dengan kapasitas produksi sebesar 12 ton per bulan. Analisis kelayakan finansial skenario II mengacu pada kondisi pengembangan usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi 21 ton per bulan dengan memperluas petakan pengomposan ukuran 87,5 m2 untuk memenuhi seluruh permintaan dari LPS pada kedua segmen pasar tersebut. Pada pengukuran analisis sensitivitas menggunakan metode nilai pengganti (switching value) untuk melihat batas kelayakan dari unit usaha jika terjadi perubahan pada faktor harga bahan baku akibat pengaruh cuaca, pada faktor jumlah produksi akibat pasokan bahan baku yang berkurang, dan faktor harga jual pupuk kompos akibat peningkatan kadar air pada pupuk kandang yang digunakan. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi mengenai pelaksanaan dan pengembangan usaha pupuk kompos selanjutnya. Kerangka pemikiran operasional pengusahaan pupuk kompos ini dapat dilihat pada Gambar 1.
43
• • • •
Ketergantungan pupuk anorganik Penurunan tingkat kesuburan tanah pertanian Masalah limbah organik Kenaikan harga pupuk anorganik
Gagasan Departemen Pertanian “Go Organic 2010”
• Potensi pasar organik • Besarnya potensi pertanian wilayah Kabupaten Bogor • Dukungan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bogor dengan LPS-DD
Pupuk organik
Pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari
• Satu-satunya usaha di Desa Ciburuy • Besarnya permintaan pada sasaran pasar • Kapasitas produksi terbatas
Kelayakan non finansial: • Aspek pasar • Aspek teknis • Aspek manajemen dan hukum • Aspek sosial, ekonomi, dan budaya • Aspek lingkungan
• Kelayakan finansial (NPV, Ner B/C, IRR, PP) • Analisis sensitivitas
Kondisi saat ini
Layak
Pengembangan usaha
Tidak Layak
Dapat diusahakan dan dikembangkan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
44
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai kelayakan pengusahaan pupuk kompos dilaksanakan pada unit usaha Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari yang menjalin mitra dengan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) di bawah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Dompet Dhuafa Republika di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa unit usaha KKT Lisung Kiwari merupakan satu-satunya usaha pengomposan di Desa Ciburuy yang memiliki potensi untuk pengembangan usaha dan juga sebagai salah satu desa yang berkomitmen mendukung program pemerintah Go Organic 2010 melalui program P3S Bogor yang dipopulerkan LPS-DD (Lembaga Pertanian Sehat-Dompet Dhuafa). Selain itu, pelaksanaan pengusahaan pupuk kompos ini belum pernah melakukan studi kelayakan terhadap usahanya. Pengambilan data ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga April 2010.
4.2 Data dan Instrumentasi Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait dan observasi langsung di lapangan. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani anggota unit usaha koperasi mengenai aspek produksi, ketua KKT Lisung Kiwari mengenai perkembangan unit usaha dan aspek kelayakan, LPS-DD mengenai kemitraan yang dijalin serta wawancara dengan staf Pemerintah Desa untuk mengetahui kondisi pengusahaan pupuk kompos dan bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap usaha pengomposan di Kabupaten Bogor. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil laporan perusahaan, studi literatur berbagai buku dan skripsi, internet, serta data dari instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Departemen Pertanian, Pemerintah Daerah. Alat pengumpul data atau instrumentasi yang digunakan adalah alat pencatat, alat perekam, dan alat penyimpan elektronik.
4.3 Metode Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dilakukan di beberapa lokasi pada bulan Februari-April 2010. Pengumpulan data primer diperoleh pada saat turun lapang ke lokasi penelitian yaitu Desa Ciburuy yang meliputi usaha pengomposan dan Desa Harjasari yang meliputi sistem kemitraan LPS. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data primer adalah wawancara langsung dan mendalam serta observasi lapang. Sedangkan lokasi pengumpulan data sekunder meliputi Pemerintah Daerah, perpustakaan IPB, Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara studi literatur dan browsing internet.
4.4 Metode dan Analisis Data Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif meliputi tahap pengolahan data dan interpretasi data secara deskriptif. Data kuantitatif yang diperoleh selama penelitian diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 yang relatif mudah untuk dioperasikan. Sedangkan data kualitatif diolah dan disajikan secara deskriptif. Analisis kualitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai pengusahaan pupuk kompos sebagai bentuk pengolahan limbah organik dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengkaji kelayakan usaha pupuk kompos dilihat dari aspek finansial. Analisis finansial mengolah data berdasarkan kriteria kelayakan finansial yaitu
Net
Present value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), dan Payback Period (PP). Selain itu, analisis sensitivitas juga perlu dilakukan apabila terjadi perubahan pada faktor yang dapat mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode switching value.
4.5 Analisis Kelayakan Usaha Analisis kelayakan yang dilakukan terhadap berbagai aspek dalam studi kelayakan usaha yaitu: analisis aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan
46
hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya, aspek lingkungan serta aspek finansial. Analisis aspek-aspek tersebut adalah: 1. Analisis Aspek Pasar Pemasaran meliputi keseluruhan sistem yeng berhubungan dengan kegiatan-kegiatan usaha yang bertujuan untuk merencanakan, menentukan harga, hingga mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa yang akan memuaskan kebutuhan pembeli. Aspek pasar mengkaji permintaan, penawaran, harga jual produk, program pemasaran, serta perkiraan penjualan. Suatu perusahaan dapat dikatakan layak secara aspek pasar, apabila usaha tersebut memiliki peluang dan potensi pasar untuk memasarkan produk yang dihasilkannya serta dapat menghasilkan jumlah hasil penjualan yang memadai dan menguntungkan. 2. Analisis Aspek Teknis Pada aspek teknis, variabel-variabel yang dianalisis meliputi lokasi bisnis, luas produksi, proses produksi, layout, dan pemilihan jenis teknologi. Dalam suatu bisnis, beberapa variabel yang perlu diperhatikan untuk pemilihan lokasi bisnis diantaranya ketersediaan bahan baku, letak pasar yang dituju, tenaga listrik dan air, supply tenaga kerja, dan fasilitas transportasi (Nurmalina et al. 2009). Pemilihan lokasi yang tepat dapat mengurangi sebanyak mungkin seluruh dampak negatif dan mendapatkan lokasi dengan paling banyak faktor-faktor produksi (Umar 2005). Parameter kelayakan suatu usaha berdasarkan aspek teknisnya, yaitu apakah usaha tersebut menjalankan usahanya sesuai dengan standard operation procedure (SOP). Jika perusahaan telah menjalankan usaha sesuai SOP (baik dalam proses produksi maupun ketepatan penggunaan peralatan dan teknologi), maka usaha tersebut layak secara aspek teknis, dan sebaliknya. 3. Analisis Aspek Manajemen dan Hukum Aspek manajemen membicarakan mengenai bagaimana perencanaan pengelolaan proyek tersebut dalam pengoperasian. Analisis ini dilakukan secara kualitatif untuk melihat bagaimana penerapan fungsi dari manajemen pada kegiatan. Aspek manajemen memfokuskan pada kondisi internal perusahaan. Adapun hal-hal yang dibahas pada aspek ini meliputi manajemen sumber daya manusia, bentuk organisasi, dan struktur organisasi. Sedangkan aspek hukum
47
mempelajari tentang bentuk badan usaha yang akan digunakan (dikaitkan dengan kekuatan hukum dan konsekuensinya), dan mempelajari jaminan-jaminan yang bisa disediakan bila akan menggunakan sumber dana yang berupa pinjaman, berbagai akta, sertifikat, dan izin. Ditinjau dari aspek manajemen dan hukumnya, suatu usaha dapat dikatakan layak apabila usaha tersebut telah menjalankan fungsi manajemen yang menjadikan usaha berjalan efektif dan efisien serta memiliki kekuatan hukum yang dapat memperlancar kegiatan bisnis. 4. Analisis Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya Aspek sosial mengkaji penambahan kesempatan kerja atau pengurangan pengangguran dan pengaruh usaha terhadap lingkungan sekitar lokasi bisnis. Dari segi ekonomi suatu usaha dapat memberikan peluang peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan dari pajak, dan dapat menambah aktivitas ekonomi. Perubahan dalam teknologi atau peralatan mekanis dalam bisnis dapat secara budaya mengubah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat (Nurmalina et al. 2009). Suatu usaha dapat dikatakan layak ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya, apabila usaha tersebut secara sosial budaya diterima dan secara ekonomi memberikan kesejahteraan ataupun manfaat kepada negara umumnya dan masyarakat sekitar proyek khususnya, dan sebaliknya. 5. Analisis Aspek Lingkungan Aspek lingkungan mengkaji mengenai dampak positif maupun negatif terhadap
lingkungan
sekitar
dari
suatu
usaha.
Pelaku
proyek
perlu
mempertimbangkan pola dan kebiasaan-kebiasaan sosial dari pihak yang akan dilayani oleh proyek. Pelaku proyek juga perlu meneliti secara cermat mengenai masalah dampak lingkungan yang merugikan dari investasi yang diusulkan. 6. Analisis Aspek Finansial Analisis aspek finansial menggunakan alat ukur kelayakan melalui pendekatan kriteria investasi sehingga dapat diketahui tingkat kelayakan pengusahaan pupuk kompos. Kriteria kelayakan investasi yang akan digunakan antara lain Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal Rate Return (IRR), dan Payback Period (PP).
48
•
Net Present value (NPV) Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara nilai benefit sekarang
dan nilai biaya sekarang pada tingkat suku bunga tertentu selama umur proyek. Kriteria kelayakan investasi ini menjelaskan bahwa suatu bisnis dapat dinyatakan layak apabila jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang dikeluarkan. NPV dirumuskan sebagai berikut:
n
NPV =
Bt − C t
∑ (1 + i) t =1
t
Sumber : Nurmalina et al. (2009)
Keterangan: NPV
: Jumlah nilai bersih sekarang (Rupiah)
Bt
: Manfaat yang diperoleh pada tahun ke-t (Rupiah)
Ct
: Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t (Rupiah)
t
: Periode waktu (t = 1,2,3,….,n tahun)
n
: Umur Proyek (Tahun)
i
: Tingkat suku bunga/diskonto (%) Kriteria kelayakan investasi berdasarkan NPV mencakup tiga kriteria,
yaitu: (1) nilai NPV > 0, artinya bisnis layak untuk dijalankan, (2) nilai NPV = 0, artinya usaha tersebut mengembalikan sama besarnya dengan nilai uang yang ditanamkan untuk mencapai hasilnya dan usaha tetap layak dijalankan, (3) nilai NPV < 0, artinya usaha tersebut tidak layak untuk dijalankan. •
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net B/C merupakan manfaat bersih yang diperoleh setiap penambahan
satu rupiah pengeluaran bersih. Secara matematis Net B/C dapat dirumuskan sebagai berikut:
n
Bt − Ct
∑ (1 + i) Net B/C =
t =1 n
t
Bt − Ct ∑ t t =1 (1 + i )
Dimana
( Bt − C t > 0 ) ( Bt − C t < 0)
Sumber : Nurmalina et al. (2009)
49
Keterangan: Bt
: Manfaat yang diperoleh pada tahun ke-t (Rupiah)
Ct
: Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t (Rupiah)
t
: Periode waktu (t = 1,2,3,….,n tahun)
n
: Umur Proyek (Tahun)
i
: Tingkat suku bunga/diskonto (%) Kriteria kelayakan investasi berdasarkan Net B/C mencakup tiga kriteria,
yaitu: (1) Net B/C > 1, artinya bisnis layak untuk dijalankan dan dapat menghasilkan keuntungan, (2) Net B/C = 1, artinya bisnis layak untuk dijalankan tetapi tidak mendapatkan keuntungan ataupun kerugian, (3) Net B/C < 1, artinya bisnis tidak layak dijalankan karena menimbulkan kerugian. •
Internal Rate of Return (IRR) Internal Rate of Return (IRR) merupakan kriteria investasi yang
digunakan untuk mengukur seberapa besar pengembalian proyek atau usaha terhadap investasi yang ditanamkan. IRR merupakan nilai discount rate yang membuat NPV dari usaha sama dengan nol. IRR dirumuskan sebagai berikut:
IRR = i +
NPV (i '−i ) NPV − NPV '
Sumber : Nurmalina et al. (2009)
Keterangan : i
: tingkat discount rate yang menghasilkan NPV positif (%)
i’
: tingkat discount rate yang menghasilkan NPV negatif (%)
NPV : NPV yang bernilai positif (Rupiah) NPV’ : NPV yang bernilai negative (Rupiah) Kriteria kelayakan investasi berdasarkan IRR mencakup dua kriteria, yaitu: (1) nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat discount rate yang berlaku, artinya usaha layak untuk dijalankan karena pada kondisi tersebut nilai NPV lebih besar atau sama dengan nol, (2) nilai IRR lebih kecil dari tingkat discount rate yang berlaku, artinya usaha tidak layak dijalankan karena ada alternatif penggunaan lain yang lebih menguntungkan.
50
•
Payback Period (PP) Payback Period atau masa pengembalian investasi merupakan jangka
waktu yang diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan di dalam investasi suatu proyek. Semakin cepat pengembalian biaya investasi suatu usaha, semakin baik usaha tersebut karena semakin lancar perputaran modal dan semakin kecil risiko yang dihadapi investor. Payback period dapat dirumuskan sebagai berikut:
Payback period =
I Ab
Sumber : Nurmalina et al. (2009)
Keterangan : I
: Jumlah modal investasi yang dibutuhkan (Rupiah)
Ab
: Keuntungan bersih yang diperoleh pada setiap tahunnya(Rupiah/tahun) Nilai payback period berbanding terbalik dengan nilai NPV, semakin
tinggi nilai NPV maka nilai payback period yang dihasilkan semakin kecil. Semakin kecil nilai payback period yang didapat maka manfaat yang diperoleh semakin besar karena investasi yang ditanamankan cepat dikembalikan.
4.6 Analisis Nilai Pengganti (Switching Value) Dalam analisis studi kelayakan bisnis, adanya kemungkinan terjadinya perubahan pada variabel-variabel yang dapat mempengaruhi keberlangsungan suatu usaha menjadikan analisis sensitivitas penting untuk dilakukan. Pada penelitian ini, analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan metode nilai pengganti (switching value) untuk melihat batas tingkat kelayakan dari usaha ini jika terjadi perubahan-perubahan pada variabel-variabel yang mempengaruhi usaha. Analisis nilai pengganti ini merupakan cara perhitungan untuk mengukur perubahan maksimum dari peningkatan harga input atau perubahan maksimum dari penurunan harga output dan jumlah produksi yang masih dapat ditoleransi agar pengusahaan pupuk kompos ini masih tetap layak untuk dijalankan. Perhitungan
mengacu
kepada
berapa
besar
perubahan
terjadi
sampai
51
menghasilkan nilai NPV sama dengan nol, nilai Net B/C sama dengan satu, dan nilai IRR sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku. Switching value dilakukan terhadap variabel-variabel yang paling mempengaruhi kelayakan usaha pupuk kompos baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran. Penentuan variabel tersebut didasarkan pada pengalaman usaha selama ini. Dari sisi pengeluaran, analisis switching value dilakukan pada variabel harga bahan baku kotoran sapi karena pengaruh faktor cuaca. Dari sisi penerimaan, analisis switching value dilakukan pada variabel jumlah produksi dan harga jual karena adanya kemungkinan pasokan bahan baku yang berkurang dan penurunan kualitas pupuk kandang.
4.7 Asumsi Dasar yang Digunakan Asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut : 1. Umur unit usaha pupuk kompos KKT Lisung Kiwari ditetapkan selama 10 tahun berdasarkan umur ekonomis lantai pengomposan yang dimilikinya, dimana variabel tersebut merupakan pengeluaran investasi terbesar pada bangunan produksi dengan umur ekonomis terlama yang berpengaruh dalam kondisi pengusahaan. 2. Output yang dihasilkan oleh unit usaha hanya berupa pupuk kompos tanpa kemasan. Hak cipta teknologi produksi dan merk dagang OFER (Organic Fertilizer) adalah milik LPS. 3. Bahan baku untuk menghasilkan pupuk kompos adalah jerami giling, arang sekam, dedak halus, kotoran sapi, dolomit, molase, bioaktivator EM4 (effective microorganisme), dan air. 4. Penentuan harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga yang berlaku pada saat penelitian dilakukan tahun 2010 dan diasumsikan konstan hingga umur usaha berakhir. 5. Pengemasan pupuk kompos dilakukan oleh unit usaha namun karung kemasan berasal dari LPS. Hal ini berimplikasi pada harga beli rata-rata yang diterima unit usaha hanya sebesar harga curah yaitu Rp 450,- per kg. LPS sendiri hanya membayarkan upah pengemasan sebesar Rp 30.000,- per HOK.
52
6. Lantai petakan pengomposan yang digunakan seluas 50 m2 untuk 4 petak. Satu petakan pengomposan seluas 12,5 m2 dengan kapasitas 1 ton per 10 hari. Kapasitas total empat petakan pengomposan sebesar 4 ton per 10 hari atau 12 ton per bulan setara 144 ton per tahun. 7. Modal yang digunakan dalam usaha ini berasal dari modal sendiri. 8. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun pertama usaha yaitu tahun 2010 karena pembangunan rumah produksi hanya membutuhkan waktu dua bulan dan diasumsikan awal investasi berada pada bulan pertama di tahun pertama. 9. Biaya reinvestasi dikeluarkan untuk peralatan-peralatan yang telah habis umur ekonomisnya. 10. Alat pencacah jerami atau chopper diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Bogor sehingga dalam analisis digunakan pendekatan opportunity cost sebesar Rp 3.750.000,- per unit. 11. Biaya sertifikasi produk dan uji kandungan hara tidak termasuk bagian dari biaya unit usaha karena proses penjaminan produk sepenuhnya dilakukan oleh LPS sebagai mitra petani. 12. Biaya pemeliharaan bangunan sepuluh persen dari biaya investasi bangunan dan diasumsikan konstan selama umur usaha. 13. Upah tenaga kerja per HOK sebesar Rp 30.000,- per orang. 14. Penyusutan barang investasi menggunakan metode garis lurus. Perhitungan beban penyusutan dilakukan untuk perhitungan laba-rugi yang akan menghasilkan besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh pengelola koperasi setiap tahunnya. 15. Tingkat diskonto yang digunakan untuk kelayakan pengusahaan pupuk kompos diasumsikan tetap hingga akhir umur usaha, yaitu tingkat suku bunga deposito Bank Indonesia sebesar 6,5 persen. Penentuan didasarkan pada social opportunity cost of capital dari dana yang dimiliki unit usaha. 16. Pada analisis finansial skenario I didasarkan pada kondisi usaha saat ini dengan jumlah produksi pupuk kompos rata-rata sebesar 12 ton per bulan. Pada analisis finansial skenario II didasarkan pada kondisi pengembangan usaha dengan peningkatan jumlah produksi menjadi 21 ton per bulan melalui perluasan bangunan pengomposan.
53
17. Pajak pendapatan yang digunakan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2008, pasal 17 ayat 2 a dan 31 E, yang merupakan perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, yaitu : •
Pasal 17 ayat 1 b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen).
•
Pasal 17 ayat 2 a.Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
•
Pasal 31 E Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.
54
V. GAMBARAN UMUM USAHA 5.1 Gambaran Umum Desa Ciburuy 5.1.1 Kondisi Fisik Desa Ciburuy Pengusahaan pupuk kompos yang menjadi objek penelitian terletak di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Desa Ciburuy terletak pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata sepanjang tahun di Desa Ciburuy berkisar antara 23-320 Celcius dan memiliki curah hujan rata-rata sepanjang tahun sebesar 3000-4000 mm. Desa Ciburuy memiliki iklim yang cukup sejuk dikarenakan berada di kaki Gunung Salak. Jarak menuju ibukota provinsi di Bandung sejauh 120 km, sedangkan jarak menuju ibukota negara di Jakarta sejauh 81 km. Berdasarkan keadaan iklim dan kondisi fisik yang ada, pengusahaan pupuk kompos sesuai untuk diusahakan di Desa Ciburuy. Batas wilayah Desa Ciburuy adalah sebagai berikut: Sebelah utara : Desa Muara Jaya Sebelah timur : Desa Sorogol Sebelah barat : Desa Cisalada Sebelah selatan : Desa Cigombong
5.1.2 Potensi Pertanian Desa Ciburuy memiliki total luas wilayah sebesar 160 hektar yang terdiri dari lahan darat seluas 73 hektar dan lahan pertanian seluas 87 hektar, artinya lebih dari sebagian lahan yang ada atau terdapat 54,37 persen lahan yang dimanfaatkan penduduk untuk kegiatan pertanian. Pemanfaatan lahan pertanian di Desa Ciburuy mayoritas digunakan untuk persawahan dengan komoditas utama yang diusahakan petani adalah padi organik sebesar 90 persen atau seluas 78,3 hektar. Sisanya dimanfaatkan untuk budidaya peternakan dan ikan air tawar serta penangkaran benih padi. Pemanfaatan lahan darat di Desa Ciburuy digunakan untuk pemukiman, sekolah, fasilitas publik, dan bangunan-bangunan usaha seperti lahan processing beras SAE, lantai penjemuran serta lahan usaha pembuatan pupuk kompos.
Kegiatan budidaya padi organik yang dilakukan para petani di Desa Ciburuy rata-rata menghasilkan panen sebanyak 2-3 kali dalam satu tahun pada keadaan musim yang normal. Hasil panen berupa padi sehat sebagai bahan produk unggulan beras SAE (Beras Organik Bebas Residu Pestisida Kimia). Produktivitas padi yang dihasilkan mencapai 7 ton per hektar padi sehat kering panen. Total keseluruhan padi yang dihasilkan di Desa Ciburuy sebesar 548,1 ton padi sehat kering panen. Berdasarkan pengalaman bertani selama ini, total jerami yang dihasilkan sebesar tiga kali lipat dari hasil gabah padi, artinya terdapat sebesar 21 ton per hektar atau 1644,3 ton jerami padi yang tersedia setiap kali panen. Besarnya material sisa panen padi yang tersedia merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber organik bagi tanah. Pemanfaatan jerami dalam kaitannya untuk menyediakan hara dan bahan organik tanah adalah merombaknya menjadi kompos. Rendemen kompos yang dibuat dari jerami kurang lebih 60% dari bobot awal jerami, sehingga kompos jerami yang dapat dihasilkan dalam satu hektar lahan sawah adalah sebesar 12,6 ton per hektar. Apabila seluruh jerami yang tersedia dibuat kompos akan dihasilkan kompos sebanyak 986,58 ton di Desa Ciburuy. Oleh karena itu Desa Ciburuy berpotensi dalam mengusahakan pembuatan pupuk kompos.
5.2 Gambaran Umum Usaha 5.2.1 Sejarah dan Perkembangan Usaha Pada tahun 1999, Lembaga Pertanian Sehat (LPS) melalui divisi penelitian dan pengembangan (Litbang) mulai melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan sarana produksi pertanian yang ramah lingkungan yaitu pupuk kompos. Divisi Litbang melakukan berbagai percobaan untuk dapat menghasilkan formulasi pembuatan pupuk kompos yang tepat guna dalam upaya mendukung produk pertanian sehat yang mudah diaplikasikan dan dimanfaatkan petani. Proses penelitian ini berlangsung hingga akhir tahun 2001 dimana dihasilkan teknologi saprotan yang mampu mengatasi kendala para petani serta dapat meningkatkan kualitas dan mutu produk pertanian agar tetap kompetitif. Teknologi saprotan
56
tersebut berupa pembuatan pupuk kompos dengan bantuan aktivator Effective microorganism (EM4). Pada tahun 2004, LPS sebagai lembaga non pemerintah yang fokus di bidang pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan berkomitmen akan mendukung program pemerintah “Go Organic 2010” dengan mencanangkan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor di tiga kecamatan
di
Kabupaten Bogor, yakni salah satunya Kecamatan Cigombong yang diikuti oleh Gapoktan Silih Asih (Gambar 2). Gapoktan Silih Asih merupakan gabungan dari 11 kelompok tani di Desa Ciburuy yang bergerak di bidang usahatani padi bebas pestisida yang digarap oleh 6 kelompok tani dan sisanya bergerak pada bidang perikanan serta benih padi. Gapoktan Silih Asih telah menjalin mitra dengan LPS di bawah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Dompet Dhuafa Republika.
Gambar 2. Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
Gapoktan Silih Asih sebagai lembaga petani yang sebagian besar anggotanya bergerak di bidang budidaya padi bebas pestisida, selain beras sebagai output utamanya namun juga menghasilkan output sampingan berupa jerami sisa hasil panen. Tentunya jumlah jerami yang dihasilkan tidak sedikit pula. Sejalan dengan hal itu, adanya kebutuhan aksesibilitas sarana produksi pertanian bagi seluruh petani yang tergabung sebagai anggota gapoktan menjadi dasar dalam pengembangan pertanian organik pada subsektor penyediaan input terutama komoditi pupuk organik. Dalam upaya mewujudkan kemandirian petani secara bersama pada subsektor penyediaan input, LPS bersama para petani berinisiasi untuk
57
memanfaatkan limbah pertanian menjadi output yang memiliki nilai ekonomis dan nilai manfaat lebih terhadap lingkungan. LPS melalui program P3S melakukan transfer teknologi pembuatan pupuk kompos. Dalam Program P3S tersebut, LPS mengadakan pembinaan dan pelatihan pembuatan pupuk kompos secara berkala sehingga petani dapat memenuhi kebutuhannya sendiri terhadap pupuk. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat komponen yang paling berpengaruh di tingkat pertanian adalah pupuk. Pola pembinaan yang dilaksanakan mencakup tiga hal, yaitu quality control, kuota pembuatan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing cluster dan pemilihan bahan baku. Pembinaan pelatihan dilaksanakan hingga akhir tahun 2005. Pada masa pembinaan berlangsung, upaya memperbaiki kualitas terus dilakukan oleh LPS. Salah satunya dengan mencoba melakukan pengemasan sehingga pupuk tidak hanya berkualitas tetapi juga kontinu dan memiliki daya tahan yang lebih lama. LPS mencoba memasarkan kelebihan pupuk yang sudah tidak terpakai oleh petani di wilayah sekitar sebagai langkah awal pengenalan produk. Ternyata pupuk kompos produksi petani anggota Gapoktan Silih Asih mendapat perhatian yang cukup baik di pasaran sehingga membuka peluang untuk pengusahaan pupuk kompos. Melihat perkembangan kemampuan produksi dan potensi pasar yang ada, LPS berinisiasi untuk menjembatani kedua hal tersebut. LPS tidak hanya berperan dalam hal transfer teknologi saja tetapi juga sebagai lembaga saluran pemasaran dan distribusi produk yang dihasilkan petani binaan. Kondisi ini membuat Gapoktan Silih Asih menjadikan kemampuan produksi tersebut sebagai langkah awal pembentukan sebuah pengusahaan. Gapoktan Silih Asih mendirikan pengusahaan pupuk kompos melalui Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari yang dibentuk pada tahun 2005 sebagai lembaga perekonomian dari gapoktan tersebut. Pengusahaan pupuk kompos ini menjadi salah satu dari unit usaha yang dimiliki KKT Lisung Kiwari. Pada tahun 2006 pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari mulai dijalankan secara komersial kepada pihak LPS. LPS kemudian memasarkan pupuk kompos tersebut di pasar eksternal dan pasar internal.
58
Pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari hingga saat ini belum berkembang secara signifikan karena masih berproduksi secara terbatas sesuai luasan lahan pengomposan yang dimiliki. Padahal permintaan yang terjadi dari LPS mendekati dua kali lipat dari kapasitas produksi unit usaha.
5.2.2 Pengadaan Input Pada pengusahaan pupuk kompos ini, bahan baku utama yang digunakan adalah bahan-bahan yang berasal dari limbah pertanian seperti jerami, arang sekam, dedak halus, serta campuran kotoran sapi. Unit usaha KKT Lisung Kiwari memperoleh pasokan bahan baku utama berupa limbah pertanian dari sisa panen padi yang dihasilkan para petani anggota gapoktan di Desa Ciburuy. Pengadaan input berupa kotoran sapi sebagai bahan baku campuran diperoleh dari PT Karyana-Cicurug. PT Karyana-Cicurug merupakan perusahaan skala besar yang menyediakan tiga jenis kotoran sapi atau pupuk kandang terdiri dari grade satu dengan kadar air paling rendah hingga grade tiga dengan kadar air paling tinggi (basah). Jenis pupuk kandang yang digunakan oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari yaitu kotoran sapi grade dua dengan harga Rp 3.000,- per karung (1 karung = 30 kg).
5.2.3 Proses Produksi Kegiatan pembuatan pupuk organik dapat dilakukan dengan cara tradisional atau dengan teknologi pengomposan. Pembuatan pupuk organik dengan cara tradisional membutuhkan waktu berbulan-bulan karena bahan-bahan organik dibiarkan melapuk dengan sendirinya sehingga proses fermentasi berlangsung secara alami. Pada pembuatan pupuk organik dengan teknologi pengomposan proses fermentasi dapat dipercepat dengan cara menambahkan bahan lain yang disebut aktivator. Aktivator merupakan bahan bagi bakteri pengurai yang terdiri dari enzim, asam humat bahan, dan mikroorganisme (kultur bakteri). Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar di pasaran antara lain PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan SUPERFARM atau menggunakan
59
cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri. Pada unit usaha KKT Lisung Kiwari pembuatan pupuk kompos dilakukan dengan bantuan aktivator Effective Microorganism (EM4). Keunggulan yang dimiliki EM4 yaitu dapat meningkatkan fermentasi limbah organik dan kotoran ternak hingga lingkungan menjadi tidak bau, meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk tanaman, serta menekan pertumbuhan mikroorganisme pathogen tanah. Proses pembuatan pupuk kompos diproduksi dengan sistem aerob (menggunakan oksigen), dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerob. Pengomposan secara anaerob memanfaatkan mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan organik. Namun, pada proses ini akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Kegiatan pengusahaan pupuk kompos ini secara umum meliputi persiapan lokasi pembuatan, pemilihan bahan, pemotongan bahan, penumpukan bahan, pengayaan, pembalikan, pengayakan, dan pengemasan. Metode pembuatan pupuk kompos dilakukan dengan cara ditumpuk berlapis-lapis pada areal terbuka dan ternaungi. Semua tahap kegiatan dilakukan secara manual dengan peralatan yang tergolong sederhana (cangkul, sekop, ember dsb). Mesin yang digunakan pada unit usaha ini hanya mesin pencacah jerami atau chopper sehingga pemotongan jerami tidak lagi dilakukan secara manual dengan golok. Jangka waktu pembuatan pupuk kompos untuk satu siklus produksi selama 10 hari. Dalam satu siklus produksi menggunakan empat lantai petakan pengomposan ukuran 5x2,5 m dengan kapasitas satu ton untuk setiap petak sehingga total kapasitas produksi sebesar 12 ton per bulan. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari petani anggota gapoktan silih asih. 1. Persiapan bahan dan lokasi Sebelum memulai proses produksi, bahan-bahan telah dipersiapkan dekat tempat pengomposan agar mudah dan mempercepat waktu pengolahan. Selain bahan baku juga perlu disiapkan cangkul untuk mengaduk dan ember untuk menyiram serta karung goni atau plastik yang berlubang untuk menutupi tumpukan.
60
Lokasi pengomposan yang dimiliki unit usaha Lisung Kiwari terdiri dari lahan pengomposan ukuran 5x10 m dan dua buah gudang untuk penyimpanan bahan baku dan kompos siap jual. Lokasi pengomposan dinaungi dengan atap dari asbes untuk menghindari curah hujan. Lahan pengomposan unit usaha KKT Lisung Kiwari memiliki empat petakan atau bedengan yang berdampingan dengan panjang 5 m, lebar 2,5 m dan tinggi 30 cm untuk setiap petakan yang berkapasitas satu ton. Tujuan pembuatan petakan untuk menjaga agar tidak tergenang sewaktu hujan. Lantai petakan disemen agar memudahkan pengadukan dan pembalikan adonan bahan-bahan tersebut. Disekeliling lokasi juga dibuat parit untuk membuang kelebihan air saat musim hujan. 2. Pemilihan bahan Dalam pembuatan pupuk kompos terdapat berbagai alternatif bahan baku yang dapat digunakan namun bahan-bahan yang harus dipilih adalah bahan dengan kandungan C/N ratio cukup rendah yang idealnya bernilai antara 20-30 C/N ratio karena mudah melapuk dan terdekomposisi. Apabila nilai C/N ratio suatu bahan semakin tinggi maka semakin lambat bahan tersebut untuk diubah menjadi kompos, sebaliknya nilai C/N ratio-nya semakin rendah maka akan mempercepat laju pengomposan. Pada pengusahaan pupuk kompos ini, bahan baku yang dipilih adalah bahan-bahan yang berasal dari limbah pertanian seperti jerami kering, arang sekam, dan dedak halus, serta kotoran sapi yang relatif sudah matang sebagai bahan campuran dari limbah peternakan. Unit usaha Lisung Kiwari memilih menggunakan bahan-bahan dari limbah pertanian karena potensi jerami yang begitu besar di Desa Ciburuy sehingga berpeluang untuk dapat dimanfaatkan menjadi pupuk kompos walaupun kandungan nilai C/N ratio pada jerami cukup besar senilai 80 C/N ratio. Unit usaha Lisung Kiwari mensiasati hal tersebut dengan mencampur bahan lain yang nilai C/N ratio-nya rendah agar dapat mempersingkat laju pengomposan. Dalam hal ini, unit usaha Lisung Kiwari menggunakan kotoran sapi sebagai bahan campurannya karena memiliki kandungan nilai C/N ratio yang rendah sebesar 20 C/N ratio. Kotoran sapi yang digunakan telah dibersihkan dari sisa-sisa plastik, kaca atau potongan kayu dan benda-benda plastik yang sulit
61
melapuk. Apabila pengadaan bahan baku berupa sekam bakar sulit diperoleh maka dapat diganti dengan abu gosok yang relatif mudah diperoleh di daerah perdesaan. Pemilihan bahan-bahan tersebut mampu menghasilkan pupuk kompos yang bermutu dan berkualitas sehingga nilai jualnya menjadi lebih tinggi. 3. Pemotongan bahan Bahan-bahan organik yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pupuk kompos harus dipotong atau dicacah menjadi berukuran kecil dan seragam agar proses pengomposan berlangsung cepat. Ukuran potongan ± 5-10 cm. Ukuran yang kecil memudahkan mikroba atau bakteri untuk merombak bahanbahan tersebut sehingga proses fermentasi berlangsung lebih cepat. Pada pembuatan pupuk kompos ini sudah menggunakan mesin pencacah jerami atau chopper sehingga pencacahan jerami tidak lagi dilakukan secara manual dengan golok. 4. Penumpukan bahan dan pengolahan adonan Pembuatan pupuk kompos pada unit usaha KKT Lisung Kiwari dilakukan dengan cara menumpuk bahan-bahan secara berlapis-lapis. Bahan-bahan ditimbun dengan ketinggian tertentu yaitu untuk dataran rendah sekitar 15-20 cm sedangkan untuk dataran menengah hingga tinggi sebaiknya lebih dari 20 cm. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh kondisi suhu adonan yang optimum. Lapisan paling dasar yaitu kotoran sapi yang disebar dan diratakan terlebih dahulu kemudian diatasnya ditaburkan sekam bakar diikuti jerami, dedak dan dolomit sebagai bahan terakhir. Bahan-bahan yang telah ditumpuk disiram perlahan-lahan dengan larutan kultur bakteri (larutan bioaktivator, molase, dan air) dan diaduk dengan sekop secara merata (Gambar 3).
Gambar 3. Penumpukan dan Pengolahan Bahan Kompos Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
62
Dalam penumpukan bahan, aerasi atau pergerakan udara dalam timbunan harus tetap dipertahankan agar jasad pembusuk atau mikroba mendapat suplai oksigen atau udara yang dibutuhkan untuk hidup (aerob) dan aktivitas pelapukan. Bila tidak tersedia oksigen dan tumpukan tidak menghasilkan suhu yang ideal, maka pelapukan atau fermentasi akan gagal dan terjadi pembusukan yang tidak diharapkan oleh bakteri-bakteri anaerob. 5. Pengayaan (enrichment) Pengayaan dimaksudkan sebagai penambahan bahan lain misal, bahan yang mengandung hara dan nutrisi lebih banyak. Bahan-bahan kompos dapat diperkaya dengan penambahan kapur pertanian (dolomit), molase, ikan, serbuk gergaji, tepung tulang dan sebagainya. Disamping untuk memperkaya, penambahan bahan ini dapat mempercepat pengomposan. Pengayaan yang dilakukan pada pembuatan pupuk kompos yaitu menyiram kembali tumpukan bahan dengan larutan kultur bakteri sekali lagi. Setelah itu, gundukkan adonan ditutup dengan karung goni atau plastik berlubang selama 4-7 hari agar aerasi berjalan lancar (Gambar 4).
Gambar 4. Penambahan Kapur Pertanian dan Penyiraman Kultur Bakteri Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
6. Pembalikan berulang Tumpukan adonan bahan-bahan dibiarkan selama ± 5-6 hari. Setiap dua hari sekali dilakukan pembalikan dan diaduk secara merata agar suhu tetap terkontrol (Gambar 5). Bila suhu terlalu tinggi harus segera diaduk dan dibalik lagi sehingga suhu tetap optimum berada pada kisaran 40-450C. Gundukan yang
63
telah mencapai suhu normal ditutup kembali dengan karung goni. Disamping itu kandungan air diusahakan mencapai 30 persen yaitu bila dikepal dengan tangan air tidak keluar dari adonan dan bila dilepas akan megar.
Gambar 5. Pembalikkan Berulang Olahan Bahan Kompos Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
7. Pengayakan Pupuk kompos yang telah jadi dimana proses dekomposisi sudah relatif berhenti indikatornya adalah perkembangan suhu dari gundukan adonan yang semakin menurun. Setelah terfermentasi selama 4-7 hari, adonan kompos siap dikemas dan digunakan sebagai pupuk organik. Bila belum siap dikemas dalam waktu yang cukup lama, sebaiknya kompos tetap dijaga kelembabannya agar proses fermentasi menjadi sempurna dan kompos tidak kelihatan kering (tetap lembab). Ciri-ciri dari bahan-bahan yang sudah menjadi kompos yaitu warna berubah mendekati kehitaman dan teksturnya remah atau mudah diayak. Pupuk kompos yang siap kemas sebaiknya diayak terlebih dahulu agar kualitas pupuk kompos menjadi lebih baik dan butiran pupuk kompos menjadi halus dan merata. Pengayakan dilakukan dengan menggunakan saringan kawat atau kawat ram berlubang diameter 0,5-1 cm. Pada unit usaha pengomposan KKT Lisung Kiwari perlu melakukan pengayakan karena kompos yang dihasilkan bertujuan komersil sehingga kualitas menjadi sangat penting untuk diperhatikan (Gambar 6).
64
Gambar 6. Pengayakan Pupuk Kompos Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
8. Pengemasan Pupuk kompos milik unit usaha KKT Lisung Kiwari dikemas dengan karung standar berlabel yang terdapat kemasan plastik didalamnya (inner bag). Kemasan yang digunakan berasal dari LPS sebagai satu-satunya mitra pemasaran unit usaha ini (Gambar 7). Hal tersebut dilakukan agar kadar air atau kelembaban pupuk kompos tetap terjaga dan tidak mudah kering. Oleh karena itu pupuk kompos ini memiliki ketahanan produk yang cukup kuat untuk penggunaan dan penyimpanan dalam jangka panjang. Skema pembuatan pupuk kompos pada unit usaha KKT Lisung Kiwari dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 7. Pengemasan Pupuk Kompos Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
65
BAHAN PADAT Bahan organik
Pupuk kandang
BAHAN CAIR Dedak/ Bekatul
Fermentator
Molase/gula
Air
Larutan Fermentator
Bahan Baku Adonan dengan kadar air 30 – 40 %
Proses Fermentasi Suhu 40-45˚C
Kompos
Packaging
Gambar 8. Alur Pembuatan Pupuk Kompos OFER Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
5.2.4 Pemasaran Kemitraan yang terjalin dengan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) tidak hanya dalam hal pelatihan dan pembinaan dalam memproduksi hasil pertanian yang berbasis ramah lingkungan tetapi juga dalam hal pemasaran. Lembaga Pertanian Sehat (LPS) berperan sebagai lembaga saluran pemasaran dan distribusi produk yang dihasilkan petani binaan. LPS pun melakukan upaya penguatan posisi pupuk kompos di pasaran agar memperoleh hak paten dengan cara mendaftarkan pupuk kompos ke lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk merk dagang Organic Fertilizer (OFER). Pada dasarnya kemitraan yang terjalin diantara kedua pihak tersebut merupakan hubungan yang saling menguntungkan. Pihak LPS sebagai pemilik hak paten mentransfer teknologi pengomposannya kepada unit usaha KKT Lisung Kiwari sebagai pelaksana proses produksi untuk kemudian dipasarkan kembali melalui LPS. Adanya kemitraan tersebut menjadikan LPS sebagai satu-satunya pasar bagi pupuk kompos unit usaha ini. Seluruh produksi unit usaha ini diserap dan disalurkan oleh LPS. Walaupun konsumen petani organik pada pasar internal juga mengetahui keberadaan pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari,
66
namun tidak menjadikan pembelian langsung kepada unit usaha ini. Konsumen petani organik tersebut tetap melakukan pembelian melalui LPS. Hal ini dikarenakan konsumen petani organik tersebut juga merupakan cluster petani binaan LPS yang terikat sistem kemitraan. LPS memasarkan kembali pupuk kompos tersebut ke dalam segmen pasar eksternal dan pasar internal. Ruang lingkup pasar eksternal mencakup agen, retail, dan pelaku usaha tanaman hias yang tersebar di wilayah Bogor dan Jakarta. Pada wilayah Kabupaten Bogor terdapat di Cianjur, Cipanas (toko Sigma Agri, Taman Bunga Nusantara, Graha Tani, Barokah Tani), Bogor Kota (toko Tani Jaya, Dermaga Tani, Sarana Tani), Sentul, OASIS (toko bunga besar). Pada wilayah Jakarta terdapat di Kelapa Gading (Kelapa Kopyor 3) dan Cipinang Elok 1. Sedangkan ruang lingkup pasar internal mencakup lima cluster petani organik binaan LPS yaitu dua cluster di Cianjur, cluster Jati Sari dan cluster Pedes di Karawang, serta cluster Brebes. Selain itu, sasaran pasar pupuk kompos LPS juga meliputi seluruh elemen masyarakat yang peduli akan terciptanya pertanian yang sehat, baik itu para petani di pedesaan maupun masyarakat kota.
67
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Aspek-Aspek Non Finansial 6.1.1 Aspek Pasar Aspek pasar merupakan salah satu aspek bisnis yang penting dikaji kelayakannya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memulai atau mengembangkan suatu usaha. Jika pasar yang akan dituju tidak jelas, prospek usaha ke depan pun tidak jelas, maka risiko kegagalan usaha menjadi besar. Pada pengusahaan pupuk kompos sebagai objek penelitian, variabel-variabel aspek pasar yang akan dianalisis meliputi permintaan, penawaran, harga, strategi pemasaran yang akan dilaksanakan, dan perkiraan penjualan.
a. Permintaan Potensi dan peluang pengembangan pertanian organik pada subsektor penyediaaan input memiliki prospek yang sangat baik dan telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan permintaan produk organik dunia mencapai 15-20 persen per tahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2 persen dari keseluruhan produk pertanian (Jolly 2000). Tingginya permintaan dunia akan produk organik mengindikasikan adanya potensi pasar pupuk kompos yang sangat tinggi, mengingat pupuk kompos merupakan komponen penting dalam pertanian produk organik. Permintaan pupuk organik di Indonesia tahun 2008 mencapai 17.000.000 ton. Selisih yang terjadi saat itu cukup besar antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik dibandingkan dengan jenis pupuk lainnya yaitu sebesar 16.655.000 ton. Berdasarkan hasil survey tim PT Petrokimia Organik pada tahun 2009 propinsi Jawa Barat menempati urutan kelima terbesar dalam selisih jumlah permintaan potensial terhadap serapan pupuk organik yaitu sebesar 72.136 ton pupuk organik. Hal ini berarti kebutuhan pupuk organik dalam negeri masih cukup tinggi. Tingkat permintaan untuk pupuk kompos produksi unit usaha itu sendiri masih cukup tinggi. Hal ini dikarenakan besarnya permintaan yang dihadapi oleh LPS. Ditinjau dari segi konsumen, terdapat perbedaan permintaan antara pasar
eksternal dan pasar internal. Pada pasar eksternal permintaan pupuk kompos cenderung fluktuatif karena adanya faktor tren harga tanaman hias. Saat tren tanaman hias sedang booming seperti yang terjadi hingga tahun 2008, permintaan pupuk kompos cenderung meningkat karena harga jual tanaman hias yang tinggi. Akibatnya para stakeholder tanaman hias berlomba-lomba untuk menghasilkan tanaman hias bernilai tinggi melalui pemakaian input produksi yang berkualitas. Permintaan pupuk kompos yang dihadapi oleh LPS pada saat itu mencapai 14 ton per bulan untuk wilayah Bogor dan Jakarta. Sedangkan permintaan potensial pupuk organik di Kota dan Kabupaten Bogor saja mencapai 22.200 kg per bulan. Dengan kapasitas produksi sebesar 12.000 kg per bulan, unit usaha baru mampu memenuhi 54,05 persen pasar potensial apabila hanya di pasarkan di Kota dan Kabupaten Bogor saja. Lain halnya ketika tren tanaman hias mulai lesu seperti saat ini, permintaan pupuk kompos turun menjadi 40 persen dari kondisi normal (booming) atau hanya sebesar 5,6 ton per bulan. Namun, penurunan permintaan pada pasar eksternal tidak membuat penjualan pupuk kompos unit usaha ini menurun. LPS tetap melakukan pemesanan sesuai kuota pembuatan unit usaha. Sejak tahun 2009, terjadi permintaan yang cukup besar di tingkat petani organik secara periodik sesuai musim tanamnya. Permintaan potensial di tingkat petani mencapai 50 ton per musim tanam tetapi yang baru mampu diserap oleh LPS hanya sebesar 38,4 persen dari pasar tersebut. Besarnya permintaan pupuk kompos pada pasar internal dan pasar eksternal mendorong LPS untuk terus melakukan pemesanan kepada unit usaha KKT Lisung Kiwari. Saat ini, jumlah pesanan dari LPS mencapai 22,27 ton per bulan. Walaupun LPS merupakan satu-satunya pasar bagi unit usaha ini akan tetapi kondisi tersebut tidak menjadikan unit usaha tidak menghasilkan keuntungan. Dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan saja, unit usaha baru mampu memenuhi 53,88 persen atau separuh dari jumlah pesanan tersebut. Hal ini berarti masih banyak bagian yang mungkin dapat diraih oleh unit usaha dari keseluruhan pasar potensial tersebut. Namun demikian, adanya kemitraan dengan LPS bukan berarti menutup unit usaha untuk membuka jalur pemasaran kepada yang lainnya. Unit usaha
69
masih memungkinkan untuk membuka jalur pasarnya sendiri apabila sudah mampu memenuhi seluruh permintaan yang ada saat ini dari LPS. Dengan demikian, pada kondisi saat ini unit usaha tetap memprioritaskan kemitraan pemasarannya yang telah terjalin kepada LPS.
b. Penawaran Kebutuhan pupuk organik untuk memperbaiki kerusakan lahan pertanian di Indonesia saat ini sangat besar. Hal tersebut tidak seimbang dengan jumlah industri pupuk organik yang berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan pupuk organik hanya diproduksi secara parsial dengan skala industri rumah tangga (home industry), sehingga jumlah produksi yang dihasilkan relatif kecil dan tidak kontinyu. Penawaran pupuk kompos di dalam negeri masih terbatas. Tingginya ketergantungan petani akan pupuk anorganik menyebabkan pupuk kompos itu sendiri belum menjadi kebutuhan pokok bagi mereka. Produk pupuk kompos yang ditawarkan oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari terbilang masih rendah. Jumlah produksi pupuk kompos setiap bulannya baru mencapai 12 ton per bulan. Seluruh hasil produksi diserap oleh pasar melalui LPS ke berbagai toko dan sentra tanaman hias (nursery) serta cluster petani organik binaan LPS. Namun demikian, produsen pupuk kompos binaan LPS tidak hanya unit usaha ini tetapi juga terdapat dua cluster lagi yang memproduksi pupuk kompos OFER yaitu Desa Cibalung dan Desa Ciderung. Kuota produksi dari kedua cluster tersebut sama besar hanya mencapai 2 ton per bulan. Penawaran pupuk kompos juga belum menjamah pasar luar negeri. Walaupun kualitas yang dimiliki pupuk kompos sudah bagus namun dari segi teknologi belum berdaya saing tinggi. Bentuk pupuk kompos yang masih berupa remahan dibanding kompos lain yang sudah digranulkan belum mampu menarik pangsa pasar luar negeri. Apabila ingin memasuki pasar luar negeri harus melakukan inovasi dan modifikasi produk. Kebijakan Go Organik 2010 diharapkan mampu mengangkat tren pupuk kompos di kalangan petani sehingga mendorong produsen pupuk kompos untuk melakukan modifikasi produk agar mampu bersaing di pasaran karena pengaplikasiannya yang mudah.
70
c. Harga Dalam penjualan pupuk kompos, harga yang ditawarkan unit usaha berbeda antara tingkat eceran dan distributor. Pada tingkat eceran, harga jual pupuk kompos sebesar Rp 600,- per kg dengan karung biasa tanpa merk. Penjualan pada tingkat eceran terjadi pada dua tahun awal produksinya. Dimana pada saat itu permintaan yang terjadi dari LPS masih tidak menentu sehingga sisa produk dari kuota pembuatan dijual secara eceran di sekitar lingkungan. Sedangkan sejak tahun 2008 hingga saat ini, penjualan seluruhnya telah mampu diserap oleh LPS sebagai satu-satunya mitra pemasaran unit usaha ini. Permintaan yang terjadi di tingkat LPS sangat besar sehingga LPS membeli seluruh produk sesuai kuota pembuatan unit usaha. Namun pembelian yang dilakukan oleh LPS hanya sebatas pupuk komposnya saja. Hal ini dikarenakan karung berlabel yang digunakan berasal dari LPS sehingga harga jual yang ditawarkan unit usaha kepada LPS hanya sebesar harga curah yaitu Rp 450,- per kg. Dalam hal ini, LPS membayarkan upah pengemasan sesuai standar upah tenaga kerja unit usaha yaitu Rp 30.000,- per HOK. Sistem kemitraan yang dijalankan dengan LPS membuat unit usaha ini mendapatkan kepastian dalam harga jual pupuk kompos. Hal ini dikarenakan sistem kemitraan yang dijalin mencakup quality control oleh LPS sendiri sehingga pengurangan harga jual akibat kualitas yang menurun tidak mungkin terjadi. Walaupun harga jual di tingkat unit usaha sebesar Rp 450,- per kg jauh lebih murah dibanding harga jual LPS sebesar Rp 1050,- per kg, namun unit usaha masih dapat meraup keuntungan karena banyaknya biaya-biaya lain yang tidak dikeluarkan oleh unit usaha seperti biaya sertifikasi, biaya promosi, biaya transportasi, dan biaya kemasan. Jika dilihat di tingkat distributor, pesaing terdekat bagi LPS adalah pupuk kompos produksi kelompok tani Antanan di Cimande. Pupuk kompos produksi Antanan terbilang produk saingan pada tingkatan yang sama karena dari segi harga ataupun kualitas tidak begitu jauh berbeda. Namun jika dilihat perbandingan harganya, harga agen pupuk kompos yang ditawarkan LPS sebesar Rp 21.000,per karung (20 kg) sedangkan harga agen pupuk kompos yang ditawarkan Antanan sebesar Rp 20.000,- per karung (20 kg), artinya harga agen pupuk
71
kompos LPS lebih mahal Rp 1.000,- per karung dibanding pupuk Antanan. Hal ini kemasan yang berasal dari LPS menggunakan karung standar berlabel yang dicetak dan terdapat kemasan plastik didalamnya (inner bag) sedangkan pupuk antanan
hanya
menggunakan
karung
bekas.
Kondisi
tersebut
dirasa
menguntungkan bagi unit usaha karena kualitasnya tetap terjaga dan memiliki daya tahan lebih lama dibanding pupuk kompos Antanan tanpa mesti mengeluarkan biaya pengemasan sehingga pupuk kompos unit usaha ini tetap menjadi produk unggulan. Dengan demikian, unggulnya produk kompos ini di tingkat distributor secara tidak langsung dapat menjaga kuota pemesanan pupuk kompos kepada unit usaha.
d. Pemasaran Salah satu faktor penunjang keberlangsungan pengusahaan pupuk kompos unit usaha KKT Lisung Kiwari yakni pengelolaan dalam sistem pemasaran yang dilakukan oleh LPS. LPS sebagai satu-satunya mitra pemasaran dari unit usaha ini telah berkomitmen untuk mendukung segala bentuk aktivitas yang berbasiskan pertanian ramah lingkungan. Peran LPS tidak hanya sebatas mendistribusikan produk ke konsumen tetapi juga sepenuhnya berupaya memasarkan produk kompos yang dihasilkan unit usaha. Bentuk upaya pemasaran yang sepenuhnya dilakukan LPS telah menjadi komitmen di dalam sistem kemitraan antara unit usaha dan LPS dengan saling menguntungkan. Sistem pemasaran yang diupayakan LPS dengan cara membangun jejaring kepada petani-petani di beberapa daerah. Selain itu, pemasaran juga dilakukan dengan menentukan strategi yang tepat terkait bauran pemasarannya untuk menarik minat beli konsumen. Bauran pemasaran yang dilakukan meliputi harga, produk, promosi, dan distribusi. Dalam hal harga, harga yang ditawarkan cukup bersaing di pasaran. Penetapan harga yang dilakukan berbeda antara agen, retail, dan eceran. Dalam hal produk, pupuk kompos produksi unit usaha binaan LPS memiliki kualitas yang lebih bagus dibanding produk pesaing baik dari segi kemasan, isi maupun keamanan produk. Dari segi kemasan, pupuk kompos dikemas dengan karung standar berlabel yang terdapat kemasan plastik didalamnya (inner bag). Dari segi
72
isi, pupuk kompos ini memiliki kandungan unsur mikro cukup lengkap untuk kebutuhan standar hidup tanaman. Aplikasi penggunaan pun cukup tiga kali dibanding pupuk kompos lain yang bisa sebanyak enam kali untuk mendapatkan tingkat keamanan dari residu dan hasil yang optimal. Dari segi keamanan produk, apabila penggunaan pupuk kompos ini tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan maka tidak akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman namun dari segi ekonomi akan terjadi pemborosan. Pupuk kompos produksi unit usaha binaan LPS juga telah memenuhi standar mutu produk organik baik secara prinsip maupun formal. Secara prinsip, standar pupuk kompos ini telah berpegang pada pengelolaan proses produksi yang alami dengan menjaga keanekaragaman dan kesinambungan alam serta ekosistem di sekitarnya sehingga menjadi produk pertanian sehat dan ramah lingkungan. Sedangkan secara formal, pupuk kompos ini telah mendapat pengakuan formal dari lembaga sertifikasi yang kredibel dan kompeten untuk memberikan pengesahan keorganikan melalui mekanisme uji standar lapangan dan laboratorium. Sertifikasi produk yang dilakukan oleh LPS terdiri dari analisa kandungan hara oleh Balai Penelitian Biogen dan perolehan hak paten teknologi pengomposan ini ke lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan merk dagang OFER (Organic Fertilizer). Pelabelan diperlukan untuk memberikan kepastian pada konsumen terhadap produk yang dikonsumsinya, dapat meningkatkan citra mutu dan nilai jual produk organik. Dalam hal promosi, LPS melakukan penyebaran news letter atau pamflet pada toko mitra, website, dan promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) melalui jejaring cluster petani. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya memperkecil barrier informasi dan memberikan awareness kepada masyarakat serta menciptakan pasar bagi produk organik. Dalam hal distribusi, pupuk kompos ini dipasarkan di pusat kota yang terbilang strategis dan beberapa daerah lainnya yang masih berada dalam jangkauan konsumen. Distribusi dari unit usaha ke agen dan retail dilakukan dengan bantuan pihak LPS untuk kemudian disalurkan kepada konsumen akhir. Bauran pemasaran dari yang paling diutamakan yaitu produk, harga, promosi, dan distribusi. Produk mendapat prioritas pemasaran pertama karena
73
bagi unit usaha dan LPS, produk merupakan cerminan nilai yang akan didapatkan konsumen sebagai pelaku pengambil keputusan pembelian. Ketika produk yang ditawarkan berkualitas maka konsumen akan rela mengeluarkan biaya yang lebih untuk mendapatkan produk tersebut karena nilai yang didapatkan akan lebih besar dibanding biaya yang dikeluarkannya. Harga merupakan prioritas pemasaran kedua karena ketika produk menghadapi kondisi persaingan maka harga yang ditawarkan juga harus mampu bersaing di pasaran pada tingkat produk sekelas. Setelah itu promosi dan distribusi dengan urutan prioritas paling akhir. Pemasaran produk pupuk kompos dilakukan melalui dua saluran distribusi yaitu (1) unit usaha KKT Lisung Kiwari – Lembaga Pertanian Sehat (LPS) – pasar internal – cluster petani organik binaan dan (2) unit usaha KKT Lisung Kiwari – Lembaga Pertanian Sehat (LPS) – pasar eksternal – agen/retail – konsumen akhir. Skema saluran distribusi pemasaran produk unit usaha KKT Lisung Kiwari dapat dilihat pada Gambar 9. Pada saluran distribusi tersebut, unit usaha menjual seluruh hasil produksinya kepada LPS sebagai mitra pemasarannya lalu dijual kepada pasar agen atau retail untuk kemudian disalurkan kembali hingga konsumen akhir. LPS membagi pasar produk pupuk kompos ini menjadi dua bagian yaitu pasar internal dan pasar eksternal. Pada pasar internal, LPS menjual produk pupuk kompos kepada petani-petani binaan mereka yang belum mampu memenuhi kebutuhan pupuk komposnya sendiri. Petani binaan LPS merupakan petani yang konsen dalam bidang pertanian organik sehingga mengutamakan pemakaian pupuk kompos daripada urea. Sedangkan pada pasar eksternal, LPS menjual kepada agen, retail atau toko-toko pertanian, dan pelaku usaha tanaman hias untuk dijual kembali kepada konsumen akhir.
Unit Usaha KKT Lisung Kiwari
Pasar Internal
Cluster Petani Binaan
Pasar Eksternal
Retail/Toko, Nursery, dll.
Lembaga Pertanian Sehat (LPS)
Gambar 9. Skema Saluran Distribusi Pupuk Kompos KKT Lisung Kiwari Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
74
Kendala pemasaran yang pernah dihadapi LPS yakni masih kuatnya pandangan dibenak konsumen bahwa semua pupuk kompos di pasaran sama. Hal ini disebabkan input produksi yang digunakan juga sama berasal dari limbah organik sehingga harga pupuk kompos haruslah murah. Sedangkan harga jual pupuk kompos ini relatif tinggi. Upaya untuk mengatasinya yaitu dengan melakukan inovasi nama pada produknya menjadi pupuk kompos OFER (Organic Fertilizer). Hal tersebut dilakukan untuk merubah citra produk sehingga produk tidak hanya dikenal sebagai pupuk kompos biasa tetapi dikenal dengan sebutan pupuk kompos OFER agar laku di pasaran.
e. Perkiraan Penjualan Kondisi persaingan yang dihadapi oleh LPS tidak berpengaruh terhadap jumlah pemesanan LPS kepada unit usaha. Hal ini disebabkan kualitas pupuk kompos unit usaha lebih baik dibanding pupuk kompos lainnya. Adanya informasi produk yang diketahui oleh konsumen menjadikan daya beli terhadap pupuk kompos ini masih cukup tinggi. Meskipun pada segmen petani organik memiliki daya beli yang cukup tinggi tetapi pada segmen petani konvensional daya beli terhadap pupuk kompos ini masih rendah. Pada segmen petani idealis dengan pola pikir pertanian berkelanjutan ramah lingkungan akan lebih memilih menggunakan pupuk kompos dibanding pupuk anorganik. Sedangkan pola pikir petani konvensional dengan anggapan bahwa pupuk urea mudah dalam pengaplikasiannya dan lebih murah dibanding pupuk kompos OFER menyebabkan pengorbanan biaya yang rela dikeluarkan untuk pupuk kompos OFER lebih kecil dibanding pupuk anorganik. Kondisi ini berarti memungkinkan adanya pasar potensial yang patut untuk diupayakan dan dikembangkan. Oleh karena itu, tingkat penjualan pupuk kompos OFER dua tahun mendatang diperkirakan cukup prospektif karena masih banyak petani yang belum menggunakan pupuk kompos dalam cara bertaninya. Petani yang terdapat di Pantura misalnya, dapat dikatakan bahwa mereka dulu alergi terhadap pupuk kompos namun kini mereka merasakan sendiri dampak dari penggunaan pupuk anorganik. Hal tersebut menyebabkan mereka menjadi responsif dan beralih terhadap pupuk kompos karena serangan hama pun menjadi
75
berkurang. Prakiraan tersebut akan lebih mudah terwujud apabila senantiasa berupaya untuk melakukan inovasi produk pupuk kompos OFER. Saat ini LPS pun sedang mengupayakan penelitian untuk granulasi OFER. Namun granulasi OFER yang terbuat dari bahan limbah jamur dan kotoran ternak menyebabkan biaya produksi jadi lebih mahal sehingga LPS masih mendesain formulasi yang tepat untuk petani agar biaya produksi tidak terlalu besar. Bila ditinjau dari lingkup pasar pupuk kompos OFER itu sendiri, saat ini keseluruhan pasar potensial yang ada dari LPS mencapai 22,27 ton per bulan. Dengan jumlah penjualan sebesar 12 ton per bulan oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari maka market share yang dapat dikuasai dari keseluruhan pasar potensial tersebut sebesar 53,88 persen. Sedangkan penjualan oleh dua cluster produsen pupuk kompos OFER lainnya yang masih dibawah binaan LPS, masing-masing produsen hanya mampu mensuplai sebesar 2 ton per bulan atau market share yang dimiliki sebesar 8,98 persen untuk setiap cluster produsen. Walaupun market share yang dimiliki unit usaha ini melebihi separuh dari keseluruhan pasar potensial tersebut namun masih terdapat 6,27 ton per bulan permintaan LPS yang belum mampu dipenuhi oleh industri rumah tangga pupuk kompos OFER ini. Dengan demikian, prakiraan penjualan pada unit usaha ini masih dapat meningkat karena banyaknya bagian dari pasar potensial yang mungkin diraih oleh unit usaha ini.
f. Hasil Analisis Aspek Pasar Berdasarkan analisis terhadap aspek pasar di atas, dapat disimpulkan bahwa pengusahaan pupuk kompos ini layak untuk dijalankan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya potensi pasar untuk pupuk kompos baik dari sisi permintaan maupun penawarannya. Adanya kepastian harga jual pupuk kompos akibat kemitraan yang dijalin dengan LPS juga mengurangi risiko penurunan harga jual. Selain itu, strategi pemasaran yang diterapkan mampu membuat produk ini diterima di pasar dan menghadapi kondisi persaingan yang ada sehingga jumlah penjualan unit usaha kepada LPS dapat terus terjaga bahkan meningkat. Dengan demikian pengusahaan pupuk kompos ini cukup menjanjikan untuk mendapatkan keuntungan.
76
6.1.2 Aspek Teknis Analisis terhadap aspek teknis yang dilakukan dalam penelitian ini mencakup lokasi usaha, luas produksi, proses produksi, layout, dan pemilihan jenis teknologi. Berikut adalah hasil analisis pada setiap variabel aspek teknis.
a. Lokasi usaha Lokasi pengusahaan pupuk kompos OFER unit usaha KKT Lisung Kiwari terletak di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Beberapa pertimbangan dalam pemilihan lokasi produksi adalah: 1. Ketersediaan bahan bahan baku Bahan baku merupakan komponen penting dari keseluruhan proses operasi perusahaan sehingga penanganannya menjadi signifikan dalam penentuan lokasi usaha. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan bahan baku ini meliputi proses pengadaan atau pembelian bahan baku, pengendalian persediaan, dan penyimpanan. Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan pupuk kompos ini adalah bahan-bahan yang berasal dari limbah pertanian seperti jerami, arang sekam, dedak halus, serta kotoran sapi sebagai bahan baku campuran. Pengadaan bahan baku berupa limbah pertanian berasal dari material sisa panen padi yang dihasilkan para petani anggota gapoktan di Desa Ciburuy. Pemilihan asal pasokan bahan baku ini didasarkan pada potensi lokal yang begitu besar, kemudahan aksesibilitas, dan ramah lingkungan walaupun kandungan nilai C/N ratio pada jerami cukup besar senilai 80 C/N ratio yang dapat memperlambat laju pengomposan. Unit usaha Lisung Kiwari mensiasati hal tersebut dengan mencampur bahan lain yang nilai C/N ratio-nya rendah agar dapat mempersingkat laju pengomposan. Dalam hal ini, unit usaha Lisung Kiwari menggunakan kotoran sapi sebagai bahan campurannya karena memiliki kandungan nilai C/N ratio yang rendah sebesar 20 C/N ratio. Pengadaan bahan baku berupa kotoran sapi berasal dari PT Karyana yang berada di wilayah Kecamatan Cicurug. Pemilihan asal pasokan kotoran sapi ini didasarkan pada kemudahan aksesibilitas, kualitas, dan biaya untuk mendapatkannya. Lokasi PT Karyana yang berada di Kecamatan Cicurug memiliki jarak tempuh yang cukup dekat dengan Desa Ciburuy sehingga
77
mudah dijangkau oleh KKT Lisung Kiwari. Kualitas kotoran sapi yang ditawarkan PT Karyana juga lebih baik dibandingkan dari peternak sapi secara individu. Hal ini dikarenakan kandungan air pada kotoran sapi PT Karyana lebih sedikit dibandingkan dari peternak sapi yang tidak melalui proses pengelolaan terlebih dahulu sehingga kualitas kompos yang dihasilkan pun lebih bagus. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh kotoran sapi sebesar Rp 3.000,- per karung (30 kg) bebas biaya ongkos kirim. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan itulah pengelola usaha memilih bahan baku tersebut sehingga lokasi usaha dapat berdekatan dengan sumber pasokan bahan baku. Dalam menentukan jumlah bahan baku yang akan dibeli biasanya disesuaikan dengan kapasitas produksi usaha selama periode satu bulan yang didasarkan pada kebutuhan untuk tiga kali siklus produksi. Proses pembelian bahan baku berupa kotoran sapi dilakukan dengan cara memesan seminggu sebelumnya baru kemudian produsen bahan baku tersebut mengirimnya ke lokasi usaha. Sedangkan pembelian bahan baku limbah pertanian dilakukan secara langsung kepada petani. Sistem pembelian bahan baku dari pemasok menggunakan sistem cash atau langsung bayar. Sementara untuk persediaan bahan baku, unit usaha KKT Lisung Kiwari belum mempunyai aturan baku dalam menentukan besarnya jumlah persediaan bahan baku. Selama ini persediaan bahan baku dipenuhi dengan pembelian untuk tiga kali siklus produksi dalam sekali pemesanan bahan baku. Pengelola baru akan melakukan pemesanan bahan baku lagi apabila stok bahan baku digudang diperkirakan cukup untuk satu siklus produksi terakhir dalam periode satu bulan. Hal ini dikarenakan pengelola tidak merasa terkendala dalam memperoleh bahan baku. Unit usaha KKT Lisung Kiwari sendiri telah mempunyai gudang atau lahan khusus yang digunakan untuk persediaan bahan baku. Stok bahan baku yang belum digunakan disimpan di gudang bahan baku yang berdekatan dengan lahan pengomposan sehingga memudahkan alur produksi yang berlangsung. Jadi secara keseluruhan, pengelola tidak menghadapi kendala yang cukup berarti dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku.
78
2. Letak pasar yang dituju Pemasaran pupuk kompos seluruhnya disalurkan melalui LPS sebagai mitra KKT Lisung Kiwari yang berlokasi di jalan Rancamaya No. 22, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. LPS kemudian mendistribusikan pupuk tersebut kepada para petani binaan, agen, toko-toko retail hingga konsumen akhir. Sasaran pasar pupuk kompos OFER yang dibidik oleh LPS adalah konsumen kelas hobies tanaman hias dan beberapa cluster petani binaan LPS serta seluruh elemen masyarakat yang peduli akan terciptanya pertanian yang sehat, baik itu para petani di pedesaan maupun masyarakat kota. Ruang lingkup pasar tujuan mencakup di wilayah Bogor dan Jakarta karena letaknya yang masih cukup dekat dengan Desa Ciburuy, Kabupaten Bogor. Pada pasar eksternal, letak pasar yang dituju baru mencakup Kabupaten Bogor dan Jakarta. Letak pasar yang dituju pada wilayah Kabupaten Bogor terdapat di Cianjur, Cipanas (toko Sigma Agri, Taman Bunga Nusantara, Graha Tani, Barokah Tani), Bogor Kota (toko Tani Jaya, Dermaga Tani, Sarana Tani), dan Sentul (toko bunga besar OASIS). Letak pasar yang dituju pada wilayah Jakarta terdapat di Kelapa Gading (Kelapa Kopyor 3) dan Cipinang Elok 1. Jarak pasar yang tidak terlalu jauh dan berada di pusat kota menjadikan produk masih berada dalam jangkauan konsumen. Pada pasar internal, letak pasar yang dituju sudah mencapai cluster-cluster petani di Cianjur, Karawang bahkan hingga Brebes. Jarak pasar yang cukup jauh membuat alokasi biaya pengiriman lebih besar karena harus menyewa truk yang dapat memuat pesanan dalam jumlah besar. Biaya sewa truk jangkauan Cianjur sebesar Rp 400.000,- per truk dan biaya sewa truk untuk pengiriman paling jauh ke Brebes sebesar Rp 900.000,- per truk dengan kapasitas maksimal pengiriman 20 ton. Namun biaya pengimriman ini menjadi tanggungan LPS sebagai distributor. 3. Tenaga listrik dan air Kebutuhan unit usaha akan tenaga listrik dan air tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkannya. Desa Ciburuy yang sebagian besar bergerak di sektor pertanian sudah terjangkau oleh aliran listrik sehingga pemenuhan kebutuhan tenaga listrik tidak ada masalah. Sedangkan untuk akses air bersih, unit
79
usaha juga tidak mengalami kendala yang berarti karena letak geografis Desa Ciburuy yang berada di kaki Gunung Salak membuat pasokan air bersih masih terbilang banyak. Air yang digunakan dalam proses pengomposan berasal dari sumur sendiri yang dapat dimanfaatkan dengan bebas tanpa mengeluarkan biaya. 4. Supply tenaga kerja Pada pengusahaan pupuk kompos unit usaha KKT Lisung Kiwari belum membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar karena skala usaha masih kecil sehingga supply tenaga kerja tidak terkendala. Tenaga kerja berasal dari masyarakat sekitar lokasi usaha yaitu petani anggota gapoktan silih asih. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi adalah tenaga kerja yang terampil dan bukan tenaga kerja terdidik. Tenaga kerja harus terampil dan memiliki keahlian bertani. Tenaga kerja dibutuhkan dalam proses pengadukan dan pengolahan, proses pengayakan, dan proses pengemasan. Tenaga kerja yang digunakan hanya berjumlah dua orang dengan upah sebesar Rp 30.000,- per HOK per orang. 5. Fasilitas transportasi Lokasi usaha pupuk kompos OFER yang terletak di permukiman Desa Ciburuy telah memiliki fasilitas jalan aspal dengan kondisi baik dalam menghubungkan desa dengan desa dan kecamatan lain. Akses dari jalan utama menuju desa hanya disediakan ojek sepeda motor dan tidak ada angkutan desa non trayek. Akses dari Desa Ciburuy ke jalur Sukabumi tidak terlalu jauh sehingga mempermudah pendistribusian bahan baku kotoran sapi yang didatangkan dari PT Karyana di Kecamatan Cicurug. Alat transportasi yang digunakan untuk akses sumber bahan baku yaitu kendaraan beroda empat yang disediakan oleh pemasok bahan baku tersebut. Akses dari Desa Ciburuy menuju jalur pusat kota seperti Jakarta dan Kota Bogor juga tidak terlalu jauh. Alat transportasi yang digunakan untuk pendistribusian produk kemasan yaitu kendaraan beroda empat (mobil box) milik LPS. Sedangkan sarana transportasi yang digunakan untuk pendistribusian dalam jumlah besar menuju cluster petani di Cianjur, Karawang hingga Brebes yaitu kendaraan beroda empat truk besar berkapasitas 20 ton yang disewa oleh LPS kepada agen truk. Kondisi jalan yang memadai menjadikan proses produksi dan pemasaran berjalan dengan lancar. Dengan demikian, unit usaha tidak
80
menanggung beban biaya transportasi baik untuk akses bahan baku maupun distribusi pemasaran. 6. Hukum dan peraturan yang berlaku Pengusahaan pupuk kompos yang didirikan di Desa Ciburuy tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku di wilayah tersebut sehingga tidak ada hambatan bagi unit usaha untuk mengoperasikan usahanya. Pengusahaan pupuk kompos telah mendapat izin resmi dari Pemerintah Desa dan berbentuk badan usaha koperasi No. 518/03 BHKPTS/ kankop 2005 (Gambar 10). Selain itu, produk dari unit usaha ini juga telah mendapatkan sertifikasi dari lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Kondisi sosial budaya masyarakat setempat pun tidak ada yang menentang kegiatan usaha ini.
Gambar 10. Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
7. Iklim dan keadaan tanah Kondisi iklim dan keadaan tanah di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong cukup baik untuk dilakukan usaha pengomposan walaupun keadaan tanah tidak terlalu berpengaruh terhadap kelangsungan produksi. Lokasi usaha yang terletak di Desa Ciburuy memiliki iklim yang cukup sejuk dikarenakan berada di kaki Gunung Salak. Kondisi iklim yang sejuk menjadikan proses fermentasi yang berlangsung mencapai kondisi seimbang, artinya tidak terlalu basah atau kering. Padahal kondisi iklim sebagai faktor alam cenderung berubah-ubah sehingga dapat mempengaruhi kualitas pupuk kompos yang akan dihasilkan. Pada musim hujan dapat menurunkan kualitas pupuk karena kondisi lingkungan yang terlalu
81
lembab dan basah sehingga kontaminan terhadap jamur menjadi tinggi, akibatnya menghambat aerasi dan proses penguraian oleh mikroba. Sedangkan bila iklim terlalu panas menjadikan bahan terlalu kering yang juga dapat menghambat proses dekomposisi. Oleh karena itu, pihak pengelola membangun lokasi pengomposan dengan memberikan naungan dari asbes untuk menghindari curah hujan dan sinar matahari yang terlalu terik. 8. Sikap masyarakat Sikap masyarakat Desa Ciburuy sangat terbuka dan mendukung terhadap keberadaan unit usaha pupuk kompos ini. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya produsen kompos di Desa Ciburuy sedangkan kesadaran petani akan pentingnya pertanian organik semakin meningkat. Petani mulai tertarik untuk menghasilkan produk pertanian yang sehat dengan cara aplikasi pemakaian input berbahan organik seperti pupuk kompos. Keberadaan usaha pengomposan ini dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi petani untuk dapat menghasilkan pupuk kompos secara mandiri. Selain itu, pasokan limbah pertanian yang berasal dari petani sekitar juga menjadi sumber penghasilan tambahan bagi mereka melalui penjualan kepada unit usaha pengomposan. 9. Rencana perluasan usaha Unit usaha KKT Lisung Kiwari berencana memperluas skala usahanya melalui peningkatan kapasitas produksinya dengan cara menambah lantai petakan pengomposan seluas 50 m2. Kapasitas produksi yang semula hanya 12 ton per bulan akan ditingkatkan menjadi 21 ton per bulan. Perencanaan tersebut dilakukan dengan tujuan dapat memenuhi permintaan potensial yang terjadi di tingkat petani-petani organik yang mencapai 50 ton per musim tanam. Rencana ini akan dapat menimbulkan tambahan pengeluaran biaya investasi seperti pembuatan naungan dan pembuatan lantai semen serta biaya sewa lahan. Namun tambahan biaya tidak begitu besar karena proses pengomposan yang dilakukan tergolong sederhana.
b. Luas produksi Luas produksi adalah jumlah produk yang seharusnya diproduksi untuk mencapai keuntungan yang optimal. Pada awal didirikannya usaha ini tahun 2006,
82
tidak ada penentuan dalam luas produksi. Unit usaha berproduksi hanya berdasarkan pesanan karena belum adanya kepastian dari pasar. Pada tahun 2008 dimana tren pasar tanaman hias mulai booming terjadi lonjakan permintaan pupuk kompos sehingga jumlah pesanan dari LPS pun meningkat. Unit usaha mulai berproduksi secara optimal dan kontinyu untuk memenuhi kebutuhan pasar. Luas produksi mencapai 12 ton per bulan. Saat ini, unit usaha pupuk kompos KKT Lisung Kiwari masih berproduksi dalam jumlah yang sama. Hal ini dikarenakan luasan lahan pengomposan yang dimilikinya terbatas. Padahal sejak tahun 2009 terjadi perluasan permintaan pada pasar internal walaupun pada pasar eksternal menurun. Namun tidak menjadi masalah bagi unit usaha karena permintaan potensial yang terjadi di tingkat petani jauh lebih besar dibandingkan penurunan di tingkat hobies sehingga LPS pun tidak mengurangi jumlah pesanannya. Jumlah produksi sebesar 12 ton per bulan terbilang belum mencapai luas produksi optimal karena masih banyak permintaan potensial di tingkat petani organik yang belum mampu diserap oleh unit usaha. Menurut pihak pengelola setidaknya unit usaha harus memperbanyak jumlah produksinya sebanyak tiga petak lagi atau menjadi 21 ton per bulan agar dapat memenuhi seluruh permintaan yang ada. Oleh karena itu, peluang untuk meraih keuntungan yang besar masih sangat berpotensi dengan melakukan perencanaan perluasan skala usaha.
c. Proses produksi Kegiatan pembuatan pupuk kompos ini terdiri dari beberapa tahapan mulai dari persiapan bahan baku dan lokasi sampai proses pengemasan. Selama berjalannya usaha ini, tidak ditemui kendala yang berarti dalam proses produksi. Proses produksi yang dilakukan tergolong sederhana. Namun unit usaha ini telah menerapkan teknologi pengomposan yaitu dengan bantuan aktivator Effective Microorganism (EM4). Pada tahapan persiapan bahan dan lokasi, lahan pengomposan yang disiapkan telah menggunakan naungan dan petakan yang beralaskan semen untuk menghindari risiko musim hujan. Bahan-bahan yang akan dijadikan input produksi telah dipilih berdasarkan pertimbangan kandungan nilai C/N ratio.
83
Sebelum bahan-bahan diolah, unit usaha melakukan pemotongan bahan-bahan tersebut menjadi berukuran kecil dan seragam agar mempercepat laju pengomposan. Selama proses fermentasi berlangsung, unit usaha melakukan kontrol atas suhu dan kandungan air untuk mempersingkat waktu pengomposan. Pupuk kompos yang dihasilkan juga telah diayak terlebih dahulu sebelum dikemas sehingga teksturnya menjadi lebih halus. Standar penyimpanan pupuk kompos di gudang menggunakan kayu valet atau tatakan kayu dengan syarat penumpukan maksimal 15 karung, suhu kamar, dan pemeliharaan gudang secara berkala. Berdasarkan literatur, pelaksanaan proses produksi yang dijalankan oleh unit usaha ini telah sesuai dengan persyaratan yang ada. Selain itu, upaya penguatan nilai produk di pasaran turut dilakukan oleh LPS sebagai pihak yang memasarkan melalui sertifikasi produk. Proses sertifikasi produk yang dilakukan terdiri dari analisa kandungan hara oleh Balai Penelitian Biogen dan pendaftaran hak paten ke lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan merk dagang OFER (Organic Fertilizer).
d. Layout Layout merupakan keseluruhan proses penentuan bentuk dan penempatan fasilitas-fasilitas yang dimiliki suatu perusahaan. Proses penentuan bentuk atau layout pada unit usaha pupuk kompos ini masih sederhana. Pengaturan layout yang dilakukan mencakup lahan pengomposan dan gudang. Unit usaha KKT Lisung Kiwari memiliki luas bangunan usaha sebesar 118 m2 yang terdiri dari 50 m2 lahan pengomposan, 20 m2 gudang bahan baku, dan 48 m2 gudang pupuk kompos. Lokasi dari ketiganya terletak menyatu dan berdampingan dalam satu luasan lahan. Layout dari lokasi usaha pupuk kompos OFER dapat dilihat pada gambar 11.
84
8m
4m
Gudang 1 Gudang 2
6m
Petak 1 14 m 10 m
Petak 2 Lantai Penjemuran Padi
Petak 3
2,5 m
Petak 4
5m 13 m
Gambar 11. Layout Lokasi Usaha Pupuk Kompos OFER Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010 Keterangan : Gudang 1 = Gudang bahan baku kompos Gudang 2 = Gudang kompos siap jual Petak 1,2,3,4 = Petakan pengomposan
Struktur ruangan ditata sesuai dengan alur proses produksi. Pertama, gudang bahan baku yang digunakan untuk menyimpan stok bahan baku terletak di bagian sisi kiri paling belakang. Kedua, lahan pengomposan yang digunakan untuk proses produksi terletak di sisi kiri bagian depan dari gudang bahan baku. Lahan pengomposan dibentuk dengan membuat petakan-petakan beralaskan semen dan dinaungi dengan atap dari asbes yang dapat dilihat pada gambar 12. Ketiga, gudang pupuk kompos yang digunakan untuk menyimpan pupuk kompos terletak di sebelah kanan gudang bahan baku. Gudang penyimpanan pupuk kompos ini terbuat dari bilik bambu yang berbentuk bangun ruang persegi.
85
30
4
3
2
1
5m
2,5 10 m
Gambar 12. Layout Bangunan Pengomposan Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
Tata ruang unit usaha yang masih sederhana menjadikan arus produk dari proses satu ke proses lain berjalan dengan lancar. Letak antara gudang bahan baku dengan lahan pengomposan yang berdampingan tanpa sekat memudahkan pengambilan bahan baku saat ingin berproduksi. Dalam penempatan peralatan pengomposan tidak memiliki ruangan tersendiri, hanya diletakkan pada tempat yang masih kosong dalam gudang pupuk kompos. Hal ini dilakukan untuk meminimisasi biaya produksi melalui penggunaan ruang secara optimal. Kegiatan yang sifatnya administratif, unit usaha tidak memiliki kantor khusus tetapi bergabung dengan kantor koperasi. Fungsi kantor koperasi sebagai pelayanan unit usaha kepada masyarakat umum dan kegiatan administratif lainnya. Lokasi kantor koperasi terpisah dengan lokasi usaha tetapi jarak diantara keduanya tidak terlalu jauh sehingga pengoperasian usaha masih dapat berjalan lancar.
86
e. Pemilihan jenis teknologi Pada umumnya masih banyak yang menganggap bahwa pertanian organik miskin teknologi karena tidak menggunakan input anorganik dan mesin-mesin modern. Padahal teknologi yang dikembangkan untuk pembuatan pupuk organik dengan melibatkan mikroorganisme juga sebuah teknologi. Jadi tidak benar adanya pernyataan bahwa pertanian organik adalah pertanian yang anti teknologi bahkan anti pembangunan. Penggunaan teknologi pada pengusahaan pupuk kompos biasa dikenal dengan istilah soft technology atau ecotechnology karena adanya pemanfaatan limbah-limbah dalam proses produksinya. Konsep ecotechnology memberikan jawaban terhadap kebutuhan teknologi yang ramah lingkungan. Penggantian input anorganik dengan input organik merupakan salah satu penerapan teknologi ini. Pemilihan jenis teknologi dalam proses pengomposan berpengaruh terhadap laju pengomposan. Teknologi pengomposan yang dapat dilakukan seperti pemilihan bahan baku dan penggunaan zat aktivator. Pada proses produksi pupuk kompos ini digunakan kotoran sapi sebagai bahan baku campuran. Pemilihan bahan baku tersebut dikarenakan kandungan C/N ratio pada kotoran sapi cukup rendah sebesar 20 C/N ratio sehingga dapat mempercepat laju pengomposan. Unit usaha ini juga menggunakan teknologi aktivator untuk mempercepat proses fermentasinya. Aktivator yang digunakan oleh unit usaha yaitu aktivator Effective Microorganism (EM4). Keunggulan yang dimiliki EM4 yaitu dapat meningkatkan fermentasi limbah organik dan kotoran ternak hingga lingkungan menjadi tidak bau, meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk tanaman, serta menekan pertumbuhan mikroorganisme pathogen tanah. Selain itu, adanya penggunaan mesin pencacah jerami (chopper) dapat memudahkan proses pemotongan bahan (Gambar 13). Dengan demikian unit usaha ini telah menggunakan teknologi dalam proses produksinya.
87
Gambar 13. Mesin Pencacah Jerami Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
f. Hasil Analisis Aspek Teknis Berdasarkan analisis terhadap aspek teknis, dapat dikatakan bahwa pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari layak untuk dijalankan. Hal ini karena secara teknis pelaksanaannya telah sesuai standar pengoperasian usaha pupuk kompos baik dalam proses produksi maupun penggunaan teknologi. Walupun kondisi layout lokasi usaha masih sederhana tetapi tidak ada kendala dalam alur produksinya. Terkait pengadaan bahan baku, unit usaha tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh bahan baku tersebut. Teknologi yang digunakan merupakan teknologi ramah lingkungan yang cukup sederhana sehingga tidak menyulitkan bagi unit usaha. Produk kompos yang dihasilkan telah memenuhi standar keamanan produk sehingga tidak merugikan konsumennya.
6.1.3 Aspek Manajemen dan Hukum Sejak didirikannya Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari awal tahun 2005, pengusahaan pupuk kompos ini telah menjadi bagian dari salah satu unit usaha yang terdapat didalamnya. Kegiatan usaha KKT Lisung Kiwari meliputi unit simpan pinjam, unit sembako, unit sarana produksi pertanian, unit pembayaran telepon dan listrik. Unit usaha pupuk kompos sebagai bagian dari unit sarana produksi pertanian telah memiliki struktur organisasi yang formal namun masih terbilang sederhana karena skala usaha tergolong masih kecil sehingga manajemen ditangani secara bersama oleh pengurus koperasi.
88
Meskipun tanpa struktur organisasi yang lengkap, unit usaha telah memiliki pembagian tugas yang jelas. Tanggung jawab seluruh kegiatan pengusahaan baik produksi maupun pemasaran ditangani langsung oleh pengurus koperasi. Sedangkan dalam pengoperasiannya, unit usaha ini di pimpin oleh seorang pengelola sekaligus bertindak sebagai tenaga kerja produksi. Jumlah tenaga kerja produksi yang dimiliki unit usaha saat ini hanya berjumlah dua orang. Tugas seorang tenaga kerja produksi melakukan seluruh tahapan proses produksi pupuk kompos yang terdiri dari bagian pengolahan, pengayakan, dan pengemasan. Pada bagian pengolahan, tugas yang dilakukan mulai dari pemotongan jerami, penimbunan bahan hingga tahap pematangan. Pengerjaan bagian pengolahan rata-rata menghabiskan 8 HOK untuk empat petak dalam satu siklus produksi. Waktu pengerjaan pengolahan hanya empat hari dengan tanggungan beban kerja masing-masing sebanyak 4 HOK. Pada bagian pengayakan, tugas yang dilakukan hanya sebatas pengayakan saja. Pengerjaan bagian pengayakan rata-rata menghabiskan 4 HOK untuk empat petak dalam satu siklus produksi. Waktu pengerjaan pengayakan hanya dua hari dengan tanggungan beban kerja masing-masing sebanyak 2 HOK. Pada bagian pengemasan, tugas yang dilakukan yaitu penimbangan dan pengemasan. Pengerjaan bagian pengemasan rata-rata menghabiskan 4 HOK untuk empat petak dalam satu siklus produksi. Waktu pengerjaan pengemasan hanya satu hari karena menggunakan tenaga kerja tambahan sebanyak dua orang dengan tanggungan beban kerja masing-masing sebanyak 1 HOK. Namun, beban kerja yang ditanggung oleh dua orang tenaga kerja unit usaha tidak masuk ke dalam kas unit usaha karena upah kerja dibayar oleh LPS. Jadi, total beban kerja masing-masing tenaga kerja yang ditanggung oleh unit usaha sejumlah 6 HOK. Upah sebagai kompensasi atas jasa diberikan kepada tenaga kerja setiap satu kali siklus produksi sebesar Rp 30.000 per HOK per orang. Jika diakumulasikan, total upah yang dibayarkan unit usaha kepada tenaga kerja produksi sebesar Rp 180.000 per orang per satu siklus produksi. Secara singkat alur struktur organisasi Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari dapat dilihat pada Gambar 14.
89
KKT Lisung Kiwari
Unit Simpan Pinjam
Unit Sembako
Unit Sarana Produksi Pertanian
Unit Usaha Pupuk Kompos
Unit Pembayaran Telepon dan Listrik
Unit Penyediaan Saprotan
Gapoktan Silih Asih
Gambar 14. Struktur Organisasi Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
Bentuk badan usaha yang digunakan oleh unit usaha pupuk kompos ini dikategorikan sebagai badan usaha koperasi yang berlandaskan asas-asas kekeluargaan. Modal koperasi bisa didapatkan dari dua sumber modal utama yakni modal sendiri dan modal pinjaman. Namun modal yang digunakan oleh KKT Lisung Kiwari ini berasal dari modal sendiri dimana modal terdiri dari simpanan pokok, simpanan wajib atau dana cadangan. Besarnya modal tercantum dalam anggaran dasar koperasi yang dibuat atas dasar kesepakatan bersama. Sisa hasil usaha dibagikan kepada kas koperasi dan unit usaha sesuai ketentuan yang berlaku. KKT Lisung Kiwari didirikan dengan mengikuti persyaratan pendirian suatu koperasi pada umumnya, yaitu menggunakan akta resmi yang dibuat oleh notaris. Dalam akta tersebut diantaranya tercantum nama koperasi, nomor perizinan, bidang usaha, dan alamat perusahaan. Selain itu, unit usaha juga telah memperoleh sertifikasi dari lembaga yang kompeten untuk pengesahan produk organiknya. Berdasarkan hasil analisis terhadap aspek manajemen dan hukum, unit usaha pupuk kompos KKT Lisung Kiwari layak dijalankan. Secara institusional, 90
tidak ada masalah dalam perizinan usaha karena telah memiliki izin resmi. Struktur organisasi tergolong sederhana karena unit usaha masih berskala home industry. Namun demikian pengusahaan ini telah mempunyai pembagian tugas yang jelas antara pengurus koperasi dan tenaga kerja produksi unit usaha.
6.1.4 Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya Keberadaan usaha pengomposan yang dijalankan oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari mendapat dukungan dari masyarakat sekitar Desa Ciburuy karena tidak menimbulkan dampak buruk terhadap kondisi masyarakat sekitar proyek yang sebagian besar adalah petani. Dilihat dari segi sosial, usaha ini mampu membebaskan petani dari ketergantungan terhadap pengusaha benih dan sarana produksi pertanian lainnya. Pada pertanian konvensional, ketergantungan petani terhadap pupuk demikian tingginya sehingga biaya produksi usahatani sangat besar. Kini dengan adanya pengusahaan pupuk kompos yang berbasiskan pertanian organik di Desa Ciburuy, petani anggota gapoktan telah mengurangi proporsi pemakaian pupuk anorganik karena petani menjadi tahu bagaimana cara membuat pupuk kompos yang berasal dari limbah jerami hasil panen sehingga petani secara mandiri mampu memenuhi kebutuhannya akan pupuk dan dapat mengeksplorasi benih lokal seperti varietas ciherang dan mekongga yang memiliki cita rasa khusus. Selain itu sebagai usaha yang padat karya dan sifatnya yang alami, produksi pupuk kompos ini banyak melibatkan stakeholder, seperti para petani dalam hal budidaya pertanian yang menghasilkan produk sampingan berupa limbah pertanian, para peternak sapi sebagai sumber pengadaan kotoran sapi yang digunakan untuk campuran bahan baku, pengumpul residu tanaman, hingga usaha pembuat pupuk kompos itu sendiri yakni unit usaha KKT Lisung Kiwari. Dengan demikian adanya pengusahaan pupuk kompos secara umum telah membuka kesempatan kerja di berbagai bidang. Dalam pengusahaan pupuk kompos itu sendiri telah membuka kesempatan kerja bagi penduduk sekitar walaupun cakupannya masih sangat kecil yaitu empat orang tenaga kerja yang juga merupakan petani anggota gapoktan. Hal ini dikarenakan skala usaha yang masih
91
kecil sehingga di dalam tubuh unit usaha itu sendiri belum memerlukan banyak tenaga kerja. Dilihat dari segi ekonomi, pengusahaan pupuk kompos yang berbasiskan pertanian organik telah berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian desa. Hal ini dikarenakan pertanian organik yang sifatnya padat karya memungkinkan tumbuhnya usaha kecil menengah berupa industri pupuk organik skala kecil yang bersumber pada potensi lokal dimana hal tersebut tidak mungkin dilakukan pada pertanian anorganik yang membutuhkan modal besar baik finansial maupun teknologi. Para petani anggota gapoktan dapat memanfaatkan limbah pertaniannya sebagai sumber bahan baku pembuatan pupuk kompos dimana total jerami yang tersedia mencapai 21 ton per hektar setiap kali panen. Dengan harga jual sebesar Rp 375,- per kg maka para petani mampu meningkatkan pendapatannya hingga Rp 7.875.000 untuk setiap jerami yang dihasilkan dalam satu hektar. Dengan demikian berdirinya usaha pupuk kompos skala kecil ini telah memberi kontribusi bagi pertumbuhan perekonomian Desa Ciburuy dan mempererat relasi sosial yang saling menguntungkan. Dilihat dari segi budaya, perubahan dalam teknologi pada suatu usaha dapat secara budaya mengubah perilku kerja yang dilakukan masyarakat. Adanya pengusahaan pupuk kompos ini juga memberi dampak positif terhadap perkembangan sistem budidaya pertanian di Desa Ciburuy. Keberhasilan unit usaha KKT Lisung Kiwari dalam menghasilkan pupuk kompos sebagai produk pertanian sehat dengan teknologi ramah lingkungan menjadi motivasi bagi masyarakat Desa Ciburuy yang sebagian besar berprofesi sebagai petani untuk mengubah kebiasaan mereka dalam sistem budidaya pertaniannya. Para petani di Desa Ciburuy sudah mulai beralih dan terbiasa dengan sistem budidaya pertanian organik yang menggunakan pupuk organik sebagai asupan nutrisinya sehingga penggunaan input eksternal sintesis menjadi minim. Oleh karena itu, pengusahaan pupuk kompos OFER ini mendapat dukungan dari masyarakat sekitar. Berdasarkan hasil analisis aspek sosial, ekonomi,dan budaya maka keberadaan pengusahaan pupuk kompos OFER di Desa Ciburuy layak untuk dilaksanakan karena pengusahaan tersebut secara sosial budaya diterima dan
92
secara ekonomi memberikan kesejahteraan ataupun manfaat kepada masyarakat dan pengembangan Desa Ciburuy.
6.1.5 Aspek Lingkungan Analisis terhadap aspek lingkungan dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh yang ditimbulkan dari keberadaan pengusahaan pupuk kompos terhadap lingkungan. Berdasarkan hasil observasi, kegiatan pengusahaan pupuk kompos yang dilakukan oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari tidak menghasilkan limbah yang dapat berdampak buruk bagi keseimbangan lingkungan namun sebaliknya usaha ini menggunakan bahan-bahan yang berasal dari limbah pertanian sehingga mengurangi jumlah limbah yang ada dan memperbaiki ekosistem lingkungan. Proses pengomposan pupuk kompos ini yang dilakukan secara aerob dengan menggunakan aktivator EM4 juga tidak menimbulkan pencemaran udara berupa bau yang tidak sedap dimana bau tersebut akan timbul bila pengomposan dilakukan secara anaerob. Selain itu, pengusahaan pupuk kompos yang dilaksanakan oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari ini sebagai wujud dari bentuk konservasi keanekaragaman hayati. Penggunaan benih unggul atau bahkan benih transgenik menyebabkan hilangnya beberapa varietas tanaman pangan asli Indonesia. Plasma nutfah ini berangsur-angsur hilang tergusur oleh adanya benih unggul yang diklaim memiliki ketahanan terhadap berbagai hama dan penyakit disamping kemampuan produksinya yang tinggi. Namun benih jenis ini hanya bisa dipakai satu kali dan memerlukan asupan nutrisi yang sangat besar sehingga proporsi pemakaian terhadap pupuk anorganik pun menjadi tinggi. Akibatnya daya dukung lahan semakin menurun. Dengan adanya pengusahaan pupuk kompos ini merupakan upaya melestarikan keanekaragaman hayati yang ada di berbagai jenis ekosistem karena mampu mengembalikan daya dukung lahan yang telah menurun sehingga dapat memunculkan kembali varietas-varietas lokal yang tidak kalah kualitasnya dibandingkan benih unggul. Berbagai varietas lokal yang telah digunakan oleh petani organik Desa Ciburuy diantaranya varietas ciherang dan mekongga. Berdasarkan hasil analisis aspek lingkungan, keberadaan pengusahaan pupuk
93
kompos OFER di Desa Ciburuy bermanfaat bagi lingkungan alam sekitar yang sifatnya intangible benefit sehingga pengusahaan ini layak untuk dijalankan.
6.2 Analisis Aspek Finansial Analisis terhadap aspek-aspek finansial dilakukan untuk mengetahui layak atau tidaknya pengusahaan pupuk kompos unit usaha KKT Lisung Kiwari secara finansial. Pengukuran hasil kelayakan usaha tersebut dilihat berdasarkan kriteriakriteria investasi. Analisis kelayakan finansial pada penelitian ini akan dibagi menjadi dua skenario berdasarkan kegiatan usaha yang telah dilakukan dan rencana peningkatan kapasitas produksi ke depan. Penentuan skenario didasarkan atasa potensi pasar pupuk kompos yang dihadapi LPS. Analisis kelayakan finansial yang dilakukan pada kedua
skenario bertujuan untuk melihat jenis
skenario pengusahaan pupuk kompos manakah yang lebih menguntungkan untuk dijalankan.
6.2.1 Analisis Kelayakan Finansial Skenario Usaha I Skenario I merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada saat ini, dimana usaha telah berproduksi secara optimal karena besarnya permintaan yang diajukan oleh LPS melebihi kapasitas produksi sebesar 12 ton per bulan. Besarnya kapasitas produksi berdasarkan luasan lahan pengomposan yang dimiliki saat ini. Luasan lahan pengomposan berukuran 50 m2 terdiri dari empat petakan pengomposan. Setiap petak kompos berukuran 5x2.5 m hanya mampu menghasilkan pupuk kompos sebesar 1 ton. Lama pembuatan pupuk kompos membutuhkan waktu 10 hari untuk satu siklus produksi, dimana setiap satu siklus produksi dihasilkan 4 ton. Dalam jangka waktu satu bulan, terjadi tiga kali siklus produksi sehingga total produksi mencapai 12 ton. Pada kondisi ini diasumsikan tidak terjadi penambahan biaya dan manfaat selama umur usaha berlangsung.
6.2.1.1 Inflow Aliran kas masuk (inflow) pada skenario usaha I berasal dari penerimaan penjualan produk pupuk kompos dan penjualan sisa hasil ayakan serta nilai sisa dari investasi.
94
a. Penerimaan Penjualan Penerimaan penjualan yang diperoleh pada unit usaha pupuk kompos ini berasal dari penjualan pupuk kompos dan sisa hasil ayakannya. Setiap bulannya, jumlah pupuk kompos yang diproduksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan. Hal ini didasarkan atas jumlah pesanan yang diterima unit usaha dari LPS melebihi jumlah kapasitas produksi sehingga unit usaha memaksimumkan kapasitas yang ada. Harga jual yang diterima unit usaha sebesar Rp 450,- karena penjualan hanya berupa pupuk kompos tanpa kemasan. Besarnya penerimaan penjualan didapat dari perkalian antara jumlah produksi per tahun dikalikan dengan harga jual satuan. Pada tahun pertama usaha, unit usaha mulai melakukan produksi pada bulan ke-3. Dalam waktu dua bulan terhitung dari bulan pertama di tahun yang pertama, investasi unit usaha berupa pembangunan rumah produksi dapat terselesaikan. Akumulasi jumlah produksi pupuk kompos di tahun pertama sebesar 120 ton atau 120.000 kg untuk jangka waktu 10 bulan. Penerimaan penjualan pupuk kompos di tahun pertama mencapai Rp 54.000.000,-. Sedangkan pada tahun kedua usaha dan seterusnya, produksi sudah dimulai pada bulan ke-1 sehingga akumulasi jumlah produksi pupuk kompos mencapai 144 ton atau 144.000 kg per tahun. Penerimaan penjualan pupuk kompos di tahun kedua dan seterusnya mencapai Rp 64.800.000,-. Penerimaan penjualan juga berasal dari penjualan sisa hasil ayakan pupuk kompos. Berdasarkan pengalaman usaha, sisa hasil ayakan yang diperoleh ratarata sebesar 25 kg untuk 1 ton pupuk kompos. Harga jual rata-rata pupuk kompos sisa hasil ayakan sebesar Rp 100,- per kg. Pada tahun pertama usaha, dimana jumlah produksi mencapai 120 ton, dapat menghasilkan jumlah ayakan sebanyak 3000 kg. Akumulasi penerimaan penjualan ini di tahun pertama mencapai Rp 300.000,-. Sedangkan pada tahun kedua usaha dan seterusnya, dapat menghasilkan jumlah ayakan sebanyak 3600 kg, sehingga akumulasi penerimaan penjualan ini mencapai Rp 360.000,- per tahun. Besarnya penerimaan penjualan yang diterima selama umur usaha berlangsung sebesar Rp 640.740.000,-. Jumlah total produksi dan nilai penjualan skenario usaha I pupuk kompos ini dapat dilihat pada Tabel 8.
95
Tabel 8. Jumlah Total Produksi dan Nilai Penjualan Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) Tahun
Penjualan Produk Pupuk kompos
1
Sisa hasil ayakan
2 s/d 10
Jumlah (kg) 120.000 3.000
Total
123.000
Pupuk kompos
144.000
Sisa hasil ayakan Total
3.600 147.600
Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
450,00
54.000.000,00
100,00
300.000,00 54.300.000,00
450,00
64.800.000,00
100,00
360.000,00 65.160.000,00
b. Nilai Sisa (Salvage Value) Nilai sisa merupakan nilai investasi yang masih ada hingga akhir umur proyek sehingga dapat ditambahkan sebagai manfaat proyek. Nilai sisa diperoleh dari penyusutan komponen investasi per tahun dikali dengan sisa tahun yang belum terpakai selama umur proyek. Perhitungan penyusutan dari investasi tersebut menggunakan metode garis lurus. Beberapa komponen investasi yang masih memiliki nilai sisa diakhir umur usaha (pada tahun kesepuluh) yaitu gudang pupuk kompos, ember, dan alat penyiram. Berdasarkan hasil perhitungan, besarnya nilai sisa yang diperoleh pada akhir umur usaha sebesar Rp 9.740.672,-. Nilai sisa terbesar berasal dari komponen gudang pupuk kompos karena pada komponen tersebut terjadi pengeluaran biaya investasi terbesar. Rincian nilai sisa investasi pupuk kompos unit usaha KKT Lisung Kiwari dapat dilihat pada Tabel 9.
96
Tabel 9. Nilai Sisa Investasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) No.
Uraian
1
Ijin usaha
2
Gubuk sederhana
3
Petakan pengomposan
4
Gudang bahan baku
5
Gudang pupuk kompos
6
Chopper
7
Cangkul
8
Sekop
9
Ember
10
Alat penyiram
11
Saringan kawat
12
Thermometer Total
Nilai Beli (Rp)
500.000,00 6.000.000,00 9.000.000,00 7.058.824,00 16.941.176,00 3.750.000,00 100.000,00 100.000,00 40.000,00 50.000,00 130.000,00 50.000,00
Umur Pakai (Tahun)
Penyusutan (Rp)
5 10 5 7 5 5 5 3 3 2 10
Nilai Sisa (Rp)
-
-
1.200.000,00
-
900.000,00
-
1.411.764,80
-
2.420.168,00
9.680.672,00
750.000,00
-
20.000,00
-
20.000,00
-
13.333,33
26.666,67
16.666,67
33.333,33
65.000,00 5.000,00 6.821.932,80
9.740.672,00
6.2.1.2 Outflow Arus pengeluaran biaya pada skenario usaha I terdiri dari biaya investasi, biaya reinvestasi, biaya operasional, dan pajak penghasilan.
a. Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan pada tahun pertama usaha mulai dijalankan. Beberapa komponen investasi yang dikeluarkan oleh unit usaha atas dasar kebutuhan teknis produksi yang meliputi ijin usaha, gubuk pengomposan, petakan pengomposan, gudang bahan baku, gudang pupuk kompos, chopper, cangkul, sekop, ember, alat penyiram, saringan kawat, dan thermometer. Pada komponen investasi berupa uji kandungan hara, perolehan hak paten produk, dan kendaraan pendistribusian tidak menjadi biaya investasi unit usaha karena pengeluaran untuk biaya investasi tersebut dilakukan oleh LPS. Rincian biaya investasi pada skenario usaha I dapat dilihat pada Tabel 10. Biaya
97
investasi pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari pada skenario usaha I terdiri dari: 1. Ijin pendirian usaha koperasi dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) seharga Rp 2.000.000,-. Adanya empat unit usaha pada KKT Lisung Kiwari menjadikan persentase biaya perizinan masing-masing unit sebesar 25 persen dari biaya ijin koperasi. 2. Pembangunan gubuk pengomposan ukuran 50 m2 sebanyak 1 unit seharga Rp 6.000.000,-. Pendirian gubuk pengomposan digunakan sebagai naungan pada petakan pengomposan yang ada dibawahnya dengan beratapkan asbes dan pondasi bangunan berbahan kayu sehingga umur ekonomis diperkirakan selama 5 tahun. Tujuan pendirian gubuk pengomposan ini untuk menghindari curah hujan atau terik panas matahari secara langsung agar proses fermentasi dapat berjalan pada kondisi yang seimbang. Dengan demikian, komponen investasi ini menjadi sangat penting untuk kelangsungan usaha pupuk kompos ini. 3. Pembangunan petakan pengomposan sebanyak empat petak seharga Rp 2.250.000,- per petak. Setiap petakan yang dibangun berukuran 2,5x5 m atau seluas 12,5 m2 dengan daya tampung bahan-bahan pengomposan untuk kapasitas 1 ton. Pembuatan petakan pengomposan digunakan sebagai lahan untuk pengolahan bahan-bahan kompos dengan berlantaikan semen sehingga umur ekonomis diperkirakan selama 10 tahun. Tujuan pembuatan petakan pengomposan ini untuk menjaga agar tidak tergenang sewaktu hujan. Lantai petakan disemen agar memudahkan pengadukan dan pembalikan adonan bahan-bahan tersebut. 4. Gudang bahan baku ukuran 20 m2 sebanyak 1 unit seharga Rp 7.058.824,-. Besarnya biaya investasi tersebut atas dasar informasi yang diberikan oleh unit usaha bahwa total biaya pembangunan seluruh gudang mencapai Rp 24.000.000,-. Luas total seluruh gudang sebesar 68 m2. Dengan menggunakan proporsi perbandingan luas gudang, diperoleh biaya investasi gudang untuk 1 m2 seharga Rp 352.941,18. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan untuk gudang bahan baku seluas 20 m2 seharga Rp 7.058.824,-.
98
5. Gudang pupuk kompos ukuran 48 m2 sebanyak 1 unit seharga Rp 16.941.176,. Besarnya biaya tersebut menggunakan proporsi perbandingan biaya gudang untuk 1 m2 seharga Rp 352.941,18. 6. Chopper yang digunakan untuk pencacahan jerami. Pada komponen investasi mesin pencacah ini termasuk ke dalam biaya tidak tunai, dimana unit usaha sebenarnya tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya namun tetap diperhitungkan sebagai biaya investasi. Alat pencacah jerami ini diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Bogor sehingga dalam analisis digunakan pendekatan opportunity cost sebesar Rp 3.750.000 per unit. 7. Cangkul digunakan untuk menimbun, mengolah, dan mengaduk adonan pupuk kompos yang sedang difermentasikan. Cangkul yang dimiliki usaha ini ada dua unit dengan harga @ Rp 50.000,-. 8. Sekop digunakan untuk mengambil bahan-bahan kompos pada tahap persiapan bahan dan tahap pengayakan. Sekop yang dimiliki usaha ini ada dua unit dengan harga @ Rp 50.000,-. 9. Ember digunakan untuk membuat larutan fermentator dan juga mengambil kebutuhan air. Ember yang dimiliki usaha ini berjumlah dua unit dengan harga @ Rp 20.000,-. 10. Alat penyiram digunakan untuk menyiramkan larutan fermentator pada timbunan kompos. Alat penyiram yang dimiliki usaha ini ada dua unit dengan harga @ Rp 25.000,-. 11. Saringan kawat digunakan untuk mengayak pupuk kompos yang sudah jadi agar teksturnya menjadi lebih halus dan seragam. Saringan kawat yang dimiliki usaha ini ada dua unit dengan harga @ Rp 65.000,-. 12. Thermometer digunakan untuk pengecekan suhu adonan pupuk kompos agar suhu masih berada dalam batas kondisi ideal pada kisaran 40-450C. Thermometer yang dibutuhkan dalam pengontrolan terhadap suhu cukup 1 unit saja dengan harga @ Rp 50.000,-.
99
Tabel 10. No,
Rincian Biaya Investasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) Uraian
Satuan
Jumlah
1
Ijin usaha
-
1
2
Gubuk Pengomposan
Unit
1
3
Petakan pengomposan
Petak
4
4
Gudang bahan baku
Unit
1
5
Gudang pupuk kompos
Unit
1
6
Chopper
Unit
1
7
Cangkul
Unit
2
8
Sekop
Unit
2
9
Ember
Unit
2
10
Alat penyiram
Unit
2
11
Saringan kawat
Unit
2
12
Thermometer
Unit
1
Total Investasi
Harga Satuan (Rp)
Total Nilai (Rp)
500.000,00
500.000,00
6.000.000,00
6.000.000,00
2.250.000,00
9.000.000,00
7.058.824,00
7.058.824,00
16.941.176,00
16.941.176,00
3.750.000,00
3.750.000,00
50.000,00
100.000,00
50.000,00
100.000,00
20.000,00
40.000,00
25.000,00
50.000,00
65.000,00
130.000,00
50.000,00
50.000,00
Umur Ekonomis (tahun) 5 10 5 7 5 5 5 3 3 2 10
43.720.000,00
Besarnya biaya investasi yang dikeluarkan oleh unit usaha pada kondisi skenario I sebesar Rp 43.720.000,-. Biaya investasi terbesar yaitu pembangunan gudang pupuk kompos sebesar Rp 16.941.176,- dengan umur ekonomis selama tujuh tahun. Walaupun biaya investasi untuk gudang mempunyai proporsi yang sama yaitu 1 m2 seharga Rp 352.941,18 namun umur ekonomis pada gudang bahan baku berbeda dengan gudang pupuk kompos. Hal ini dikarenakan pada gudang pupuk kompos merupakan bangunan tertutup sedangkan pada gudang bahan baku hanya berupa bangunan tanpa sekat yang langsung berdampingan dengan petak pengomposan.
b. Biaya Reinvestasi Dalam komponen investasi, terdapat beberapa komponen yang telah habis masa ekonomisnya sebelum umur usaha berakhir. Pada kondisi tersebut, unit usaha harus melakukan investasi kembali untuk menambah fungsi ekonomisnya selama umur usaha masih berlangsung. Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan investasi kembali pada komponen yang telah habis masa ekonomisnya disebut biaya reinvestasi. Biaya reinvestasi yang dikeluarkan berbeda tiap tahunnya
100
tergantung dari banyaknya investasi yang perlu dilakukan kembali. Pada pengusahaan pupuk kompos ini, reinvestasi dilakukan pada komponen gubuk pengomposan, gudang bahan baku, gudang pupuk kompos, cangkul, sekop, ember, alat penyiram, dan saringan kawat. Rincian biaya reinvestasi setiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11.
Rincian Biaya Reinvestasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) Tahun
Nilai Reinvestasi
2
-
3
130.000,00
4
90.000,00
5
130.000,00
6
17.008.824,00
7
220.000,00
8
16.941.176,00
9
130.000,00
10
90.000,00
Biaya reinvestasi terbesar dikeluarkan pada tahun keenam usaha, yaitu sebesar Rp 17.008.824,00,-. Besarnya biaya reinvestasi pada tahun tersebut dikarenakan jumlah dari lima komponen investasi yaitu gubuk pengomposan, gudang bahan baku, chopper, cangkul, dan sekop. Pada tahun keempat dan kesepuluh, biaya reinvestasi yang dikeluarkan paling kecil sebesar Rp 90.000,sedangkan pada tahun ketiga, kelima, dan kesembilan memiliki jumlah yang sama sebesar Rp 130.000,-. Walaupun pada tahun keempat dan kesepuluh, terdapat dua komponen yang direinvestasi yaitu ember dan alat penyiram namun biaya reinvestasi tiap komponen lebih kecil dari biaya reinvestasi pada tahun ketiga, kelima, dan kesembilan yang hanya terdapat satu komponen reinvestasi sehingga biaya reinvestasi terkecil terjadi di tahun keempat dan kesepuluh. Jika dilihat secara keseluruhan, total biaya reinvestasi yang dikeluarkan unit usaha cukup besar karena umur usaha yang berlangsung selama 10 tahun.
101
c. Biaya Operasional Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan selama masa pengoperasian suatu usaha berlangsung. Biaya operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. • Biaya Tetap Biaya tetap adalah biaya yang besarya sama dan tidak tergantung dari jumlah pupuk kompos yang dihasilkan selama masa usahanya. Rincian biaya tetap pada skenario usaha I dapat dilihat pada Tabel 12. Biaya tetap pada pengusahaan pupuk kompos ini terdiri dari : 1. Sewa lahan yang diperhitungkan berdasarkan biaya sewa lahan di Desa Ciburuy yaitu sebesar Rp 9.620.000,- per hektar setiap tahunnya. Unit usaha belum memiliki lahan pribadi koperasi sehingga lahan yang digunakan untuk lokasi bangunan produksi merupakan lahan sewa. Luas bangunan produksi secara keseluruhan sebesar 118 m2. Dengan biaya sewa lahan per m2 seharga Rp 962,- per tahun maka jumlah biaya sewa lahan yang harus dikeluarkan tiap tahunnya sebesar Rp 113.516,-. Biaya sewa lahan yang dikeluarkan pada tahun pertama sama dengan tahun kedua dan seterusnya karena pada bulan pertama di tahun pertama, unit usaha sudah menyewa lahan untuk kegiatan investasi bangunan produksi. 2. Biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan untuk perawatan bangunanbangunan investasi. Perawatan bangunan yang dilakukan diantaranya gubuk pengomposan, petakan pengomposan, gudang bahan baku, dan gudang pupuk kompos. Pada peralatan-peralatan seperti cangkul, sekop, ember, dan lainnya tidak terlalu memerlukan pemeliharaan selama kondisi alat tidak dalam keadaan rusak. Berdasarkan pengalaman usaha selama ini, besarnya biaya pemeliharaan bangunan setiap tahunnya rata-rata sebesar sepuluh persen dari total biaya investasi bangunan yaitu Rp 3.900.000,- per tahun. Pada tahun pertama usaha, biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan hanya untuk 10 bulan karena bangunan investasi baru selesai dibangun setelah dua bulan pertama. Besarnya biaya pemeliharaan pada tahun pertama yaitu Rp 3.250.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 3.900.000,-.
102
3. Biaya listrik yang dikeluarkan unit usaha ini setiap bulannya rata-rata sebesar Rp 50.000,-. Hal ini dikarenakan proses produksi pupuk kompos tidak menggunakan tenaga listrik yang besar. Listrik hanya digunakan saat melakukan pemotongan jerami dengan alat chopper. Pada tahun pertama usaha, perhitungan biaya listrik dilakukan selama 10 bulan karena unit usaha mulai beroperasi pada bulan ketiga. Biaya listrik yang dikeluarkan di tahun pertama sebesar Rp 500.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, biaya listrik yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 600.000,-. 4. Biaya komunikasi yang dikeluarkan dihitung dalam biaya komunikasi bersama karena kegiatan administratif setiap unit usaha berada dalam satu kantor sehingga menjadi biaya koperasi. Biaya komunikasi yang dikeluarkan koperasi rata-rata setiap tahunnya sebesar Rp 2.000.000,-. Perhitungan biaya komunikasi setiap unit usaha berdasarkan proporsi pemakaian dengan asumsi tingkat pemakaian empat unit usaha sama besar yaitu Rp 500.000,- tiap tahunnya. Pada tahun pertama usaha, perhitungan biaya komunikasi dilakukan selama 10 bulan karena unit usaha mulai beroperasi pada bulan ketiga. Biaya komunikasi yang dikeluarkan di tahun pertama sebesar Rp 416.666,67. Pada tahun kedua dan seterusnya, biaya komunikasi yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 500.000,-. 5. Biaya karung plastik dikeluarkan untuk membeli karung plastik yang digunakan sebagai penutup timbunan pupuk kompos pada proses fermentasi. Jumlah karung plastik yang dibutuhkan untuk menutup 1 petak timbunan pupuk kompos sebanyak 1 lembar. Dalam satu siklus produksi membutuhkan 4 lembar karung plastik. Karung plastik ini dapat bertahan hingga empat bulan. Total karung plastik yang dibutuhkan setiap tahunnya sebanyak 12 lembar. Harga jual karung plastik per lembarnya sebesar Rp 5.000,-. Total biaya yang dikeluarkan untuk pembelian karung ini sebesar Rp 60.000,- dan diasumsikan konstan selama umur usaha. 6. Tunjangan Hari Raya adalah tunjangan yang diberikan unit usaha kepada tenaga kerja produksi dalam rangka membagikan keuntungan yang diperoleh selama satu tahun. Walaupun tenaga kerja produksi bukan merupakan tenaga kerja tetap artinya upah diberikan hanya apabila proses produksi dilakukan,
103
namun sistem kekeluargaan yang menjadi landasan bentuk usaha ini menjadikan mereka tetap mendapatkan THR. Besarnya THR yang diberikan sama setiap tahunnya yaitu Rp 1.250.000,- per orang. Pada tahun pertama usaha, total biaya THR yang dikeluarkan unit usaha sebesar Rp 2.083.300,karena unit usaha baru beroperasi selama 10 bulan. Pada tahun kedua dan seterusnya, total biaya THR yang dikeluarkan unit usaha sebesar Rp 2.500.000,-. 7. Pajak bumi dan bangunan (PBB) dikeluarkan sebesar Rp 150.000,- per tahun. 8. Biaya tetap penyusutan yang terdapat dalam perhitungan laba rugi unit usaha sebesar Rp 6.821.932,80 per tahun.
Tabel 12. Rincian Biaya Tetap pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) No
Uraian
Satuan
Jumlah
1
Sewa lahan
m² per tahun
2
Pemeliharaan bangunan
Tahun
1
3
Listrik
Tahun
1
4
Komunikasi
Tahun
1
Lembar per tahun Orang per tahun
118
5
Karung plastic
6
THR
7
PBB
Tahun
1
8
Penyusutan peralatan*
Tahun
1
Total
12 2
Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp) Tahun 1
Tahun 2-10
962,00
113.516,00
113.516,00
3.900.000,00
3.250.000,00
3.900.000,00
600.000,00
500.000,00
600.000,00
500.000,00
416.666,67
500.000,00
5.000,00
60.000,00
60.000,00
1.250.000,00
2.083.333,33
2.500.000,00
150.000,00
125.000,00
150.000,00
6.821.932,80
5.684.944,00
6.821.932,80
12.233.460,00
14.645.448,80
Keterangan: * biaya tetap yang hanya ada dalam perhitungan Laba/Rugi
Pada perhitungan laba rugi unit usaha, komponen biaya tetap terbesar adalah biaya penyusutan peralatan sebesar Rp 6.821.932,80,- per tahun. Biaya penyusutan peralatan hanya dimasukkan pada perhitungan laba rugi. Laporan laba rugi merupakan perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat bersih yang diterima selama masa pengoperasian usaha berlangsung tiap tahunnya. Artinya, berapa selisih nilai yang akan didapatkan dari pengeluaran biaya-biaya operasional dan pemasukan pendapatan yang terjadi dalam satu tahun. Oleh karena itu, pengeluaran atas biaya investasi tidak dimasukkan dalam
104
perhitungan laba rugi melainkan hanya pengeluaran atas biaya penyusutannya saja sehingga dibandingkan dengan biaya tetap lainnya, biaya penyusutan peralatan masih yang terbesar. Sedangkan pada perhitungan cashflow unit usaha, komponen biaya tetap terbesar adalah biaya pemeliharaan bangunan sebesar Rp 3.900.000,- per tahun. Hal ini dikarenakan pada laporan cashflow tidak dimasukkan biaya atas penyusutan investasi. Selain itu, biaya pemeliharaan yang dimasukkan dalam cashflow merupakan gabungan dari biaya pemeliharaan empat bangunan investasi dalam satu tahun. Total biaya tetap dalam perhitungan laba rugi usaha pada tahun pertama sebesar Rp 12.233.460,00,- dan pada tahun kedua serta seterusnya sebesar Rp 14.645.448,80. Total biaya tetap dalam perhitungan cashflow pada tahun pertama sebesar Rp 6.548.516,- dan pada tahun kedua serta seterusnya sebesar Rp 7.823.516,-. • Biaya Variabel Biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung dari jumlah pupuk kompos yang dihasilkan selama masa produksinya. Kebutuhan operasional produksi pupuk kompos meliputi biaya pembelian bahan baku dan upah tenaga kerja produksi. Besarnya bahan baku yang digunakan dalam satu petak berbeda-beda sesuai dengan takarannya masing-masing. Komposisi bahan baku yang digunakan dalam satu petak dapat menghasilkan satu ton pupuk kompos setiap satu siklus produksi. Dengan mengetahui perbandingan takaran masing-masing bahan baku dapat diperoleh Harga Pokok Produksi (HPP) pupuk kompos per kg. Berdasarkan perhitungan pengeluaran biaya produksi untuk satu ton pupuk kompos diperoleh HPP sebesar Rp 261,75 per kg. Rincian kebutuhan bahan baku dan tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos dapat dilihat pada tabel 13.
105
Tabel 13. Rincian Kebutuhan Bahan Baku dan Tenaga Kerja untuk Kapasitas Produksi 1 ton dalam 1 petak No.
Uraian
Satuan
Volume
Harga Satuan (Rp) 375,00
Nilai (Rp)
1
Jerami
Kg
40
15.000,00
2
Sekam bakar
Kg
100
180,00
18.000,00
3
Dedak
Kg
25
750,00
18.750,00
4
Dolomit
Kg
3
500,00
1.500,00
5
Kotoran sapi
Kg
1.050
100,00
105.000,00
6
EM4
Ml
450
20,00
9.000,00
7
Molase
Ml
450
10,00
4.500,00
8
Upah tenaga kerja: a. Pengolahan
HOK
2
30.000,00
60.000,00
b. Pengayakan
HOK
1
30.000,00
30.000,00
Total
261.750,00
Biaya produksi per kg
261,75
Rincian biaya variabel pada skenario usaha I dapat dilihat pada Tabel 14. Biaya variabel pada pengusahaan pupuk kompos ini meliputi : 1. Jerami sebagai bahan baku pupuk kompos berdasarkan potensi lokal Desa Ciburuy. Jumlah jerami yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak tiga karung atau 40 kg dengan harga Rp 375,- per kg. Setiap bulannya, jerami yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 480 kg. Pada tahun pertama, unit usaha baru melaksanakan proses produksinya pada bulan ketiga sehingga lama produksi hanya 10 bulan. Total jerami yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos sebanyak 4.800 kg. Akumulasi biaya pembelian jerami di tahun pertama sebesar Rp 1.800.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, unit usaha telah berproduksi penuh selama 1 tahun atau 12 bulan. Total jerami yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos sebanyak 5.760 kg. Akumulasi biaya pembelian jerami di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 2.160.000,-. 2. Sekam bakar yang digunakan berasal dari bagian padi yang kasar (lema dan palea) yang telah dibakar. Jumlah sekam bakar yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak enam karung atau 100 kg dengan harga Rp 180,- per kg. Setiap bulannya, sekam bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 1.200 kg. Pada tahun pertama, unit usaha baru melaksanakan proses produksinya pada bulan ketiga
106
sehingga lama produksi hanya 10 bulan. Total sekam bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos sebanyak 12.000 kg. Akumulasi biaya pembelian sekam bakar di tahun pertama sebesar Rp 2.160.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, unit usaha telah berproduksi penuh selama 1 tahun atau 12 bulan. Total sekam bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos sebanyak 14.400 kg. Akumulasi biaya pembelian sekam bakar di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 2.592.000,-. 3. Dedak yang digunakan berasal dari kulit ari beras. Jumlah dedak yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 25 kg dengan harga Rp 750,- per kg. Setiap bulannya, dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 300 kg. Pada tahun pertama, jumlah dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 3.000 kg. Akumulasi biaya pembelian dedak di tahun pertama sebesar Rp 2.250.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 3.600 kg. Akumulasi biaya pembelian dedak di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 2.700.000,-. 4. Kapur pertanian atau dolomit sebagai tambahan bahan baku pupuk kompos dengan kandungan hara atau nutrisi yang lebih banyak. Jumlah dolomit yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 3 kg dengan harga Rp 500,- per kg. Setiap bulannya, dolomit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 36 kg. Pada tahun pertama, jumlah dolomit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 360 kg. Akumulasi biaya pembelian dolomit di tahun pertama sebesar Rp 180.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah dolomit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 432 kg. Akumulasi biaya pembelian dolomit di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 216.000,-. 5. Kotoran sapi digunakan sebagai bahan baku campuran yang dapat mempercepat laju pengomposan dari penggunaan limbah pertanian sebagai bahan baku lokal Desa Ciburuy. Hal ini dikarenakan kandungan C/N ratio pada kotoran sapi lebih rendah dibanding limbah pertanian. Jumlah kotoran
107
sapi yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 35 karung atau 1050 kg dengan harga Rp 100,- per kg. Setiap bulannya, kotoran sapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 12.600 kg. Pada tahun pertama, jumlah kotoran sapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 126.000 kg. Akumulasi biaya pembelian kotoran sapi di tahun pertama sebesar Rp 12.600.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kotoran sapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 151.200 kg. Akumulasi biaya pembelian kotoran sapi di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 15.120.000,-. 6. Cairan EM4 digunakan sebagai larutan bakteri fermentasi yang dapat mempercepat proses pengomposan. Cairan EM4 yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 450 ml dengan harga Rp 20,per ml. Setiap bulannya, EM4 yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 5.400 ml. Pada tahun pertama, jumlah EM4 yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 54.000 ml. Akumulasi biaya pembelian EM4 di tahun pertama sebesar Rp 1.080.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah EM4 yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 64.800 ml. Akumulasi biaya pembelian EM4 di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 1.296.000,-. 7. Molase digunakan sebagai campuran larutan kultur bakteri yang mengandung hara atau nutrisi lebih banyak sehingga dapat memperkaya kandungan unsur hara dan mempercepat pengomposan. Jumlah molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 450 ml dengan harga Rp 10,per ml. Setiap bulannya, molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 5.400 ml. Pada tahun pertama, jumlah molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 54.000 ml. Akumulasi biaya pembelian molase di tahun pertama sebesar Rp 540.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan
108
sebanyak 64.800 ml. Akumulasi biaya pembelian molase di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 648.000,-. 8. Upah tenaga kerja yang diberikan kepada dua orang tenaga kerja produksinya sebesar Rp 30.000,- per HOK per orang untuk setiap satu siklus produksi. Pengerjaan proses produksi terdiri dari dua bagian yaitu pengolahan dan pengayakan. •
Pengolahan Pada tahap pengolahan, rata-rata membutuhkan 2 HOK untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos. Setiap bulannya, kebutuhan kerja untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos rata-rata sebesar 24 HOK. Pada tahun pertama, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebesar 240 HOK. Beban kerja yang ditanggung masing-masing tenaga kerja sebesar 120 HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 3.600.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di tahun pertama sebesar Rp 7.200.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebesar 288 HOK. Beban kerja yang ditanggung oleh setiap tenaga kerja sebesar 144 HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 4.320.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 8.640.000,-.
•
Pengayakan Pada tahap pengayakan, rata-rata membutuhkan 1 HOK untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos. Setiap bulannya, kebutuhan kerja untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos rata-rata sebesar 12 HOK. Pada tahun pertama, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebesar 120 HOK. Beban kerja yang ditanggung masing-masing tenaga kerja sebesar 60 HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 1.800.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di tahun pertama sebesar Rp 3.600.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebesar 144
109
HOK. Beban kerja yang ditanggung oleh setiap tenaga kerja sebesar 72 HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 2.160.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 4.320.000,-. •
Beban kerja per orang Total beban kerja yang ditanggung di tahun pertama untuk setiap tenaga kerja sebanyak 180 HOK dengan perolehan upah sebesar Rp 5.400.000,-. Total beban kerja yang ditanggung di tahun kedua dan seterusnya untuk setiap tenaga kerja sebanyak 216 HOK dengan perolehan upah sebesar Rp 6.480.000,-.
Tabel 14. Rincian Biaya Variabel pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) Jumlah No
Uraian
Satuan Tahun 1
Tahun 2-10
1
Jerami
Kg
4.800
5.760
2
Sekam bakar
Kg
12.000
14.400
3
Dedak
Kg
3.000
3.600
4
Dolomit
Kg
360
432
5
Kotoran sapi
Kg
126.000
151.200
6
EM4
Ml
54.000
64.800
7
Molase
Ml
54.000
64.800
8
Upah tenaga kerja: a. Pengolahan b. Pengayakan Total
HOK per orang HOK per orang
120 60
144 72
Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp) Tahun 1
Tahun 2-10
375,00
1.800.000,00
2.160.000,00
180,00
2.160.000,00
2.592.000,00
750,00
2.250.000,00
2.700.000,00
500,00
180.000,00
216.000,00
100,00
12.600.000,00
15.120.000,00
20,00
1.080.000,00
1.296.000,00
10,00
540.000,00
648.000,00
30.000,00
7.200.000,00
8.640.000,00
30.000,00
3.600.000,00
4.320.000,00
31.410.000,00
37.692.000,00
Akumulasi biaya variabel yang dikeluarkan unit usaha di tahun pertama sebesar Rp 31.410.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, total biaya variabel yang dikeluarkan sebesar Rp 37.692.000,- per tahun. Pengeluaran terbesar digunakan untuk pembelian bahan baku kotoran sapi. Hal ini dikarenakan jumlah kotoran sapi yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan kandungan C/N ratio pada komposisi bahan-bahan limbah pertanian cukup besar sehingga biaya pembelian menjadi besar.
110
d. Pajak Penghasilan Selain biaya operasional yang dikeluarkan setiap tahunnya, sebuah usaha juga harus memberikan kompensasi atas keuntungan yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak penghasilan. Pajak penghasilan merupakan pengeluaran biaya atas keuntungan yang diperoleh suatu usaha. Permasalahan mengenai besarnya jumlah pajak penghasilan yang harus dibayarkan kepada negara setiap tahunnya diatur oleh pemerintah. Perhitungan pajak yang digunakan oleh unit usaha mengacu pada UndangUndang Republik Indonesia No.36 tahun 2008, pasal 31 E yang berisikan tarif wajib pajak bagi UMKM sebesar 12,5 persen dimana tarif pajak menjadi flat setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan laba rugi, unit usaha sudah mulai membayarkan pajak penghasilannya sejak tahun pertama usaha dimulai. Hal ini dikarenakan pada tahun pertama sudah diperoleh laba atas kegiatan usahanya. Besar pajak penghasilan di tahun pertama sebesar Rp 1.332.067,50,-. Sedangkan di tahun kedua dan seterusnya, pengeluaran atas pajak penghasilan lebih besar yaitu Rp 1.602.818,90 pada tahun kedua hingga kesembilan dan Rp 2.820.402,90 pada akhir umur usaha karena laba yang diperoleh pun lebih besar dari tahun pertama.
6.2.1.3 Analisis Laba Rugi Usaha Analisis laba rugi merupakan suatu metode yang digunakan sebuah perusahaan untuk mengetahui tingkat perolehan laba yang dimilikinya selama masa usaha berlangsung. Metode yang digunakan dalam analisis laba rugi yaitu dengan melakukan perhitungan atas pemasukan pendapatan dan pengeluaran biaya selama masa pengoperasian usaha setiap tahunnya. Dalam analisis laba rugi usaha, pendapatan diperoleh dari penerimaan penjualan dan nilai sisa investasi, sedangkan komponen biaya disusun atas biaya operasional dan pajak penghasilan. Perhitungan laba rugi usaha dimulai dengan mengurangi jumlah seluruh penerimaan dengan total biaya tetap dan biaya variabel setiap tahunnya. Pada perhitungan tersebut didapatkan nilai penerimaan sebelum bunga dan pajak (EBIT) atau laba kotor. kemudian EBIT dikurangi dengan biaya bunga sehingga didapatkan penerimaan sebelum pajak atau laba
111
bersih sebelum pajak (EBT). Langkah terakhir, dilakukan pengurangan terhadap EBT dengan pajak penghasilan untuk setiap EBT yang bernilai positif atau untung. Dengan demikian didapatkan nilai penerimaan setelah pajak atau laba rugi bersih usaha. Berdasarkan hasil perhitungan laba rugi usaha, tingkat perolehan laba di tahun pertama berbeda dengan di tahun kedua dan seterusnya. Pada tahun pertama, unit usaha ini sudah dapat memperoleh laba bersih sebesar Rp 9.324.472,50,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, perolehan laba bersih lebih besar dari tahun pertama mencapai Rp 11.219.732,30 dan pada akhir umur usaha, laba bersih yang diperoleh lebih besar lagi senilai Rp 19.742.820,30. Hal ini dikarenakan masa produksi usaha berlangsung penuh selama 1 tahun dan diakhir umur usaha ada tambahan penerimaan dari nilai sisa investasi. Akumulasi keseluruhan laba bersih yang diterima selama umur usaha berlangsung pada skenario I ini sebesar Rp 118.825.151,20.
6.2.1.4 Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat kelayakan unit usaha berdasarkan atas nilai net benefit (manfaat bersih) yang diperoleh sebagai dasar perhitungan kelayakan finansial pada empat kriteria investasi yang meliputi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period. Dalam analisis kelayakan finansial, nilai manfaat bersih (net benefit) yang diperoleh didiskontokan dengan tingkat discount factor sebesar 6,5%. Tingkat discount factor yang digunakan merupakan tingkat suku bunga deposito Bank Indonesia (BI) per Januari 2010, dimana Bank Indonesia merupakan acuan untuk seluruh bank di Indonesia meskipun setiap bank memiliki kebijakan masing-masing. Hal ini dilakukan karena seluruh modal yang digunakan unit usaha koperasi ini berasal dari modal sendiri sehingga sebagai nilai social Opportunity Cost of Capital (OCC) dari modal yang dimiliki tersebut digunakan tingkat suku bunga deposito sebagai tingkat diskon faktornya. Hasil analisis kelayakan finansial pada skenario usaha I dapat dilihat pada Tabel 15.
112
Tabel 15. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) Kriteria Kelayakan Investasi NPV
Jumlah 67.911.262,34
Net B/C IRR
3,52 56,82% 2,84 atau 2 tahun 10 bulan 2 hari
PP
Berdasarkan hasil perhitungan empat kriteria investasi tersebut, diperoleh hasil bahwa : 1. Nilai NPV yang diperoleh lebih dari nol (NPV>0) yaitu sebesar Rp 67.911.262,34. Artinya, jumlah manfaat bersih yang diterima unit usaha dari kegiatan pembuatan pupuk kompos ini selama 10 tahun dengan tingkat discount rate 6,5 persen sebesar Rp 67.911.262,34 sehingga usaha layak untuk dijalankan. 2. Pada kriteria investasi yang kedua, nilai Net B/C yang diperoleh lebih dari satu (Net B/C>1) yaitu sebesar 3,52. Artinya, setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan selama umur usaha mendatangkan manfaat sebesar Rp 3,52 sehingga usaha juga layak untuk dijalankan. 3. Pada kriteria investasi yang ketiga, nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari discount rate yang berlaku (IRR>6,5%) yaitu sebesar 56,82 persen. Hal ini menunjukkan tingkat pengembalian internal yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan pupuk kompos ini jauh lebih besar dibanding tingkat diskonto yang berlaku sehingga unit usaha mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan investasi tersebut dibandingkan hanya mendepositokan modal investasinya di bank. Dengan demikian, usaha tetap layak untuk dijalankan. 4. Pada kriteria investasi yang terakhir, nilai Payback Period yang diperoleh lebih kecil dari umur usaha (PP<5tahun) yaitu 2,84 atau 2 tahun 10 bulan 2 hari. Hal ini berarti jangka waktu pengembalian untuk sejumlah nilai investasi yang telah dikeluarkan yaitu selama 2,84 atau 2 tahun 10 bulan 2 hari. Waktu yang diperlukan untuk mengembalikan nilai investasi tersebut lebih pendek dari umur usaha. Semakin pendek periode pengembalian investasi maka semakin baik kegiatan investasi tersebut sehingga dapat dikatakan usaha ini menjadi layak untuk dijalankan. 113
Berdasarkan analisis kriteria investasi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period menunjukkan bahwa secara finansial penggunaan investasi untuk pengusahaan pembuatan pupuk kompos oleh unit usaha ini layak untuk dijalankan.
6.2.1.5 Analisis Switching Value Analisis switching value atau analisis nilai pengganti digunakan untuk menunjukkan sampai berapa persen perubahan yang terjadi pada variabel (yang diduga bisa menyebabkan perubahan) sehingga usaha dikatakan masih dapat diterima. Pada skenario I, analisis switching value dilakukan dengan membuat nilai NPV mendekati atau lebih besar dari nol sehingga usaha masih dapat dinyatakan layak untuk dijalankan. Variabel sensitivitas pada analisis switching value yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu variabel harga bahan baku kotoran sapi, variabel jumlah produksi, dan variabel harga jual pupuk kompos. Hasil analisis nilai pengganti berdasarkan kriteria investasi dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) Perubahan Persentase NPV Net B/C IRR PP
Kenaikan Harga K.Sapi 41,44%
Penurunan Produksi P.Kompos 16,40%
Penurunan Harga Jual P.Kompos 16,51%
0,00
0,00
0,00
1,00 6,50%
1,00 6,50%
1,00 6,50%
10,00
10,00
10,00
Berdasarkan hasil analisis switching value yang telah dilakukan, apabila terjadi perubahan pada variabel bahan baku berupa kenaikan harga beli kotoran sapi maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas kenaikan harga maksimal sebesar 41,44 persen dari biaya kotoran sapi yang dikeluarkan tiap tahunnya. Peningkatan total biaya kotoran sapi yang mungkin terjadi pada tahun pertama dari Rp 12.600.000,- sampai Rp 13.716.179,61 dan pada tahun berikutnya dari Rp 15.120.000,- sampai menjadi Rp 25.818.347,38.
114
Pada variabel jumlah produksi, apabila terjadi penurunan jumlah produksi pupuk maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas penurunan jumlah produksi sebesar 16,40 persen dari jumlah pupuk yang diproduksi tiap tahunnya. Penurunan penerimaan penjualan pupuk kompos yang mungkin terjadi pada tahun pertama dari Rp 54.000.000,- sampai Rp 52.403.541,95 dan pada tahun berikutnya dari Rp 64.800.000,- sampai menjadi Rp 54.173.808,71. Pada variabel harga jual, apabila terjadi penurunan harga jual pupuk maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas penurunan harga jual sebesar 16,51 persen dari harga jual pupuk yang ditawarkan tiap tahunnya. Penurunan penerimaan penjualan pupuk kompos yang mungkin terjadi pada tahun pertama dari Rp 54.000.000,- sampai Rp 52.883.820,42 dan pada tahun berikutnya dari Rp 64.800.000,- sampai menjadi Rp 54.101.652,62. Dari sisi pengeluaran, besarnya kemungkinan perubahan atas peningkatan biaya bahan baku biasanya dikarenakan adanya pengaruh iklim dalam proses pengolahan kotoran sapi tersebut. Iklim sebagai faktor alam yang tidak dapat dikendalikan, membuat kondisi iklim itu sendiri tidak menentu. Kondisi iklim hujan menyebabkan kadar air pada kotoran sapi menjadi lebih basah. Upaya pengelolaan yang dilakukan PT Karyana dalam menjaga kualitas kotoran sapinya menjadikan harga kotoran sapi tersebut dapat meningkat bila musim hujan datang. Namun kondisi tersebut tidak menjadikan unit usaha terkendala dalam perolehan pasokan bahan bakunya karena kenaikan harga yang terjadi pada biasanya relatif kecil dari Rp 3.000,- menjadi Rp 3.500,- per karung per 30 kg. Selain itu, adanya kerjasama yang telah terjalin selama ini dirasa membuat unit usaha masih bisa memperoleh keuntungan. Misal, layanan transportasi yang disediakan pemasok dapat meminimisasi biaya produksi pupuk kompos. Sedangkan bila pembelian dilakukan kepada peternak sapi yang masih individu, unit usaha harus menanggung beban biaya transportasi pengangkutan dimana pada kondisi saat ini usaha belum memiliki kendaraan operasional sendiri. Oleh karena itu, selama perubahan harga bahan baku masih berada dalam batas kenaikan, usaha ini masih layak untuk dijalankan.
115
Dari sisi penerimaan, berdasarkan pengalaman usaha selama ini hampir tidak pernah terjadi penurunan baik pada jumlah produksi maupun harga jual karena permintaan yang datang dari LPS melebihi kapasitas produksi dan sistem kemitraan yang terjalin membuat unit usaha mendapatkan kepastian harga jual. Perubahan atas penurunan jumlah produksi dan harga jual yang mungkin terjadi biasanya dikarenakan ketersediaan pasokan bahan baku yang berkurang dan penurunan kualitas pada pupuk kandang yang digunakan. Dalam analisis switching value pada kondisi skenario I, variabel penurunan jumlah produksi merupakan variabel yang paling sensitif sehingga memiliki risiko usaha paling besar dibandingkan dua variabel lainnya. Unit usaha mengatasi hal tersebut dengan menjalin hubungan yang baik kepada pemasok bahan baku sehingga kontinuitas pasokan bahan baku tetap dapat terjaga.
6.2.2 Analisis Kelayakan Finansial Skenario Usaha II Skenario II merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada rencana pengembangan usaha berupa peningkatan kapasitas produksi tiap bulannya menjadi 21 ton per bulan. Adanya rencana pengembangan ini atas dasar potensi pasar yang masih belum terpenuhi. Permintaan yang terjadi dari LPS mencapai 22,27 ton per bulan. Besarnya permintaan tersebut yang baru mampu dipenuhi oleh ketiga cluster produsen binaan LPS sebesar 16 ton per bulan, dimana pemasok terbesarnya adalah unit usaha ini. Setiap bulannya unit usaha ini rata-rata mampu mensuplai pupuk kompos sebesar 12 ton, sedang dua cluster produsen lainnya masing-masing hanya mampu mensuplai sebesar 2 ton. Perbedaan yang terjadi antara jumlah pasokan dan pesanan tersebut mencapai 6,27 ton per bulan. Hal ini mengindikasikan adanya pesanan yang masih mungkin dapat diserap unit usaha apabila dilakukan peningkatan kapasitas produksi. Rencana peningkatan kapasitas produksi dilakukan dengan menambah jumlah petakan pengomposan sebesar tiga petak. Dalam satu siklus produksi, setiap petak hanya mampu menampung bahan-bahan pengomposan untuk komposisi satu ton pupuk kompos. Apabila penambahan petakan sejumlah dua petak, maka jumlah kompos yang dapat dihasilkan hanya sebesar 2 ton per 10 hari
116
atau 6 ton per bulan. Sedangkan penambahan tiga petak pengomposan akan menghasilkan 9 ton per bulan. Dengan begitu, unit usaha akan berencana menambah tiga petak pengomposan untuk dapat menyerap semua pesanan yang ada walaupun unit usaha tidak berproduksi pada kapasitas optimalnya.
6.2.2.1 Inflow Aliran kas masuk (inflow) pada skenario usaha II berasal dari penerimaan penjualan produk pupuk kompos dan penjualan sisa hasil ayakan serta nilai sisa dari investasi.
a. Penerimaan Penjualan Penerimaan penjualan yang diperoleh pada unit usaha pupuk kompos ini berasal dari penjualan pupuk kompos dan sisa hasil ayakannya. Setiap bulannya, unit usaha hanya memproduksi pupuk kompos sesuai dengan jumlah pesanan yang ada dari LPS guna memenuhi permintaan pasar saat ini sehingga jumlah penjualan sama dengan jumlah produksinya. Jumlah pupuk kompos yang diproduksi unit usaha rata-rata sebesar 18,27 ton per bulan, dengan harga jual pupuk kompos sama dengan skenario I. Jumlah penjualan pupuk kompos di tahun pertama berbeda dengan tahun berikutnya karena proses produksi di tahun pertama dimulai pada bulan kedua sehingga lama produksi hanya 10 bulan, sedangkan tahun berikutnya proses produksi telah berlangsung selama satu tahun. Jumlah produksi, harga jual, dan jumlah penjualan dari pupuk kompos mulai tahun kedua dan seterusnya diasumsikan tetap selama umur usaha. Akumulasi jumlah produksi pupuk kompos di tahun pertama sebesar 182,7 ton atau 182.700 kg untuk jangka waktu 10 bulan. Penerimaan penjualan pupuk kompos di tahun pertama mencapai Rp 82.215.000,-. Sedangkan pada tahun kedua usaha dan seterusnya, akumulasi jumlah produksi pupuk kompos mencapai 219,24 ton atau 219.240 kg per tahun. Penerimaan penjualan pupuk kompos di tahun kedua dan seterusnya mencapai Rp 98.658.000,-. Penerimaan penjualan juga berasal dari penjualan sisa hasil ayakan pupuk kompos. Sisa hasil ayakan yang diperoleh sama dengan skenario I yaitu rata-rata
117
sebesar 25 kg untuk 1 ton pupuk kompos dengan harga jual yang sama pula. Pada tahun pertama usaha, dapat menghasilkan jumlah ayakan sebanyak 4567,5 kg. Akumulasi penerimaan penjualan ini di tahun pertama mencapai Rp 456.750,-. Sedangkan pada tahun kedua usaha dan seterusnya, dapat menghasilkan jumlah ayakan sebanyak 5481 kg, sehingga akumulasi penerimaan penjualan ini mencapai Rp 548.100,- per tahun. Besarnya penerimaan penjualan yang diterima selama umur usaha berlangsung sebesar Rp 479.496.150,-. Jumlah total produksi dan nilai penjualan skenario usaha II pupuk kompos ini dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Tahun 1
Jumlah Total Produksi dan Nilai Penjualan Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) Penjualan Produk
Jumlah (kg)
Pupuk kompos
182.700
Sisa hasil ayakan
4.567,5
Total 2 s/d 10
Pupuk kompos Sisa hasil ayakan Total
Harga Satuan (Rp) 450,00 100,00
187267,5 219.240 5.481 224.721
Nilai (Rp) 82.215.000,00 456.750,00 82.671.750,00
450,00 100,00
98.658.000,00 548.100,00 99.206.100,00
b. Nilai Sisa (Salvage Value) Pada dasarnya, perhitungan nilai sisa pada skenario II sama dengan skenario I karena komponen investasi yang digunakan sama secara keseluruhan. Walaupun terdapat penambahan biaya investasi pada gubuk pengomposan dan petakan pengomposan namun tidak menambah nilai sisa investasi karena tidak ada nilai komponen yang tersisa diakhir umur usaha. Berdasarkan hasil perhitungan, besarnya nilai sisa yang diperoleh pada akhir umur usaha sebesar Rp 9.740.672,-. Nilai sisa terbesar berasal dari komponen gudang pupuk kompos karena pada komponen tersebut terjadi pengeluaran biaya investasi terbesar. Rincian nilai sisa investasi pupuk kompos unit usaha KKT Lisung Kiwari dapat dilihat pada Tabel 18.
118
Tabel 18. Nilai Sisa Investasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) No
Uraian
1
Ijin usaha
2
Gubuk Pengomposan a. Ukuran 50 m² b. Ukuran 37,5 m²
3
Petakan pengomposan
4
Gudang bahan baku
5
Gudang pupuk kompos
6
Chopper
7
Cangkul
8
Sekop
9
Ember
10
Alat penyiram
11
Saringan kawat
12
Thermometer Total
Nilai Beli (Rp) 500,000.00
6,000,000.00 4,500,000.00 15,750,000.00 7,058,824.00 16,941,176.00 3,750,000.00 100,000.00 100,000.00 40,000.00 50,000.00 130,000.00 50,000.00
Umur Pakai (Tahun)
Penyusutan (Rp)
-
5 5 10 5 7 5 5 5 3 3 2 10
Nilai Sisa (Rp)
-
-
1,200,000.00
-
900,000.00
-
1,575,000.00
-
1,411,764.80
-
2,420,168.00
9,680,672.00
750,000.00
-
20,000.00
-
20,000.00
-
13,333.33
26,666.67
16,666.67
33,333.33
65,000.00
-
5,000.00
-
8,396,932.80
9,740,672.00
6.2.2.2 Outflow Arus pengeluaran biaya pada skenario usaha II terdiri dari biaya investasi, biaya reinvestasi, biaya operasional, dan pajak penghasilan.
a. Biaya Investasi Rencana peningkatan kapasitas produksi dalam skenario usaha II ini,masih membutuhkan seluruh komponen investasi yang sama dengan skenario usaha I. Namun, komponen investasi berupa gubuk dan petakan pengomposan pada skenario usaha I baru mencukupi kebutuhan LPS sebesar 12 ton tiap bulannya. Sedangkan permintaan yang terjadi dari LPS mencapai 18,27 ton per bulan. Dengan demikian, pada skenario usaha II ini unit usaha berencana meningkatkan kapasitas produksinya yang dapat memenuhi semua pesanan tersebut melalui
119
peningkatan jumlah investasi pada komponen gubuk dan petakan pengomposan. Mengingat, kedua komponen tersebut merupakan tempat utama proses produksi dilakukan. Dalam skenario I, jumlah biaya yang dikeluarkan pada investasi gubuk dan petakan pengomposan dilakukan untuk kapasitas produksi sebesar 12 ton per bulan sesuai kondisi usaha saat ini, yaitu mencakup pembangunan gubuk seluas 50 m2 dan pembangunan petakan pengomposan sebanyak empat petak. Jumlah biaya investasi pada gubuk pengomposan tersebut seharga Rp 6.000.000,- untuk ukuran 50 m2 dan jumlah biaya investasi pada petakan pengomposan seharga Rp 2.250.000,- per petak. Setiap petakan yang dibangun berukuran 2,5x5 m atau seluas 12,5 m2 dengan daya tampung bahan-bahan pengomposan untuk kapasitas 1 ton. Sedangkan dalam skenario II, jumlah biaya yang dikeluarkan pada investasi gubuk dan petakan pengomposan dilakukan untuk rencana peningkatan kapasitas produksi menjadi 21 ton per bulan, dimana pada kapasitas tersebut telah mampu memenuhi semua permintaan dari LPS walaupun permintaan tidak sesuai dengan kapasitas optimalnya. Oleh karena itu, pada rencana ini unit usaha berproduksi dibawah kapasitas optimalnya sesuai dengan pesanan yang terjadi saat ini. Rencana peningkatan kapasitas produksi menjadi 21 ton per bulan dilakukan melalui penambahan luasan bangunan gubuk ukuran 37,5 m2 untuk menangungi tambahan tiga petak dibawahnya sehingga mampu menghasilkan tambahan kapasitas produksi sebesar 9 ton tiap bulannya. Jumlah investasi tambahan pada gubuk pengomposan tersebut seharga Rp 4.500.000,-. Perhitungan harga gubuk ini berdasarkan perbandingan harga gubuk untuk luasan 50 m2 sebesar Rp 6.000.000,- sehingga tambahan luasan 37,5 m2 akan menambah biaya sebesar 75 persen dari harga tersebut. Investasi total untuk gubuk pengomposan seluas 87,5 m2 seharga Rp 10.500.000,-. Sedangkan biaya investasi tambahan yang dikeluarkan untuk tiga petakan pengomposan seharga Rp 6.750.000,sehingga investasi total untuk tujuh petak seharga Rp 15.750.000,-. Rincian biaya investasi pada skenario usaha II dapat dilihat pada Tabel 19.
120
Tabel 19. No. 1
Rincian Biaya Investasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) Uraian
Jumlah
Harga Satuan (Rp)
Umur Ekonomis (tahun)
Total Nilai (Rp)
-
1
500.000,00
500.000,00
a. Ukuran 50 m²
Unit
1
6.000.000,00
6.000.000,00
5
b. Ukuran 37,5 m²
Unit
1
4.500.000,00
4.500.000,00
5
3
Petakan pengomposan
Petak
7
2.250.000,00
15.750.000,00
10
4
Gudang bahan baku
Unit
1
7.058.824,00
7.058.824,00
5
5
Gudang pupuk kompos
Unit
1
16.941.176,00
16.941.176,00
7
6
Chopper
Unit
1
3.750.000,00
3.750.000,00
5
7
Cangkul
Unit
2
50.000,00
100.000,00
5
8
Sekop
Unit
2
50.000,00
100.000,00
5
9
Ember
Unit
2
20.000,00
10
Alat penyiram
Unit
2
25.000,00
11
Saringan kawat
Unit
2
65.000,00
12
Thermometer
Unit
1
50.000,00
2
Ijin usaha
Satuan
Gubuk Pengomposan
-
-
Total Investasi
40.000,00 50.000,00 130.000,00 50.000,00
3 3 2 10
54.970.000,00
Besarnya biaya investasi yang dikeluarkan oleh unit usaha pada kondisi skenario II sebesar Rp 54.970.000,-. Biaya investasi terbesar tetap terjadi pada komponen pembangunan gudang pupuk kompos sebesar Rp 16.941.176,- dengan umur ekonomis selama tujuh tahun.
b. Biaya Reinvestasi Biaya reinvestasi dikeluarkan pada beberapa variabel yang telah habis masa ekonomisnya sebelum umur usaha berakhir. Komponen reinvestasi yang dikeluarkan pada skenario usaha II masih sama dengan skenario usaha I. Hal ini dikarenakan umur ekonomis dari suatu komponen investasi tidak akan berubah pada kondisi apapun. Rincian biaya reinvestasi setiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 20.
121
Tabel 20.
Rincian Biaya Reinvestasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) Tahun
Nilai Reinvestasi (Rp)
2
-
3
130,000.00
4
90,000.00
5
130,000.00
6
21.508.824,00
7
220,000.00
8
16,941,176.00
9
130,000.00
10
90,000.00
Biaya reinvestasi terbesar dikeluarkan pada tahun keenam usaha, yaitu sebesar Rp 21.508.824,00,-. Besarnya biaya reinvestasi pada tahun tersebut dikarenakan adanya tambahan komponen investasi pada gubuk pengomposan dengan umur ekonomis lima tahun yang lebih singkat dibanding umur usaha 10 tahun, disamping komponen investasi lainnya seperti gudang bahan baku, chopper, cangkul, dan sekop. Sedangkan pada tahun kedelapan, besarnya biaya reinvestasi pada tahun tersebut hanya berasal dari komponen gudang pupuk kompos. Pada tahun keempat dan kesepuluh, biaya reinvestasi yang dikeluarkan paling kecil sebesar Rp 90.000,- sedangkan pada tahun ketiga, kelima, dan kesembilan memiliki jumlah yang sama sebesar Rp 130.000,-. Walaupun pada tahun keempat dan kesepuluh, terdapat dua komponen yang direinvestasi yaitu ember dan alat penyiram namun biaya reinvestasi tiap komponen lebih kecil dari biaya reinvestasi pada tahun ketiga, kelima, dan kesembilan yang hanya terdapat satu komponen reinvestasi sehingga biaya reinvestasi terkecil terjadi di tahun keempat dan kesepuluh. Jika dilihat secara keseluruhan, total biaya reinvestasi yang dikeluarkan unit usaha cukup besar karena umur usaha yang berlangsung selama 10 tahun.
c. Biaya Operasional Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan selama masa pengoperasian suatu usaha berlangsung. Biaya operasional terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
122
• Biaya Tetap Biaya tetap adalah biaya yang besarya sama dan tidak tergantung dari jumlah pupuk kompos yang dihasilkan selama masa usahanya. Rincian biaya tetap pada skenario usaha II dapat dilihat pada Tabel 21. Pada skenario usaha II, terdapat persamaan dan perbedaan biaya tetap dengan skenario usaha I. Biaya tetap yang sama dengan skenario usaha I diantaranya biaya listrik, biaya komunikasi, biaya THR, dan biaya PBB. Sedangkan biaya tetap yang berbeda dengan skenario usaha I yaitu : 1. Sewa lahan yang diperhitungkan berdasarkan biaya sewa lahan di Desa Ciburuy sebesar Rp 9.620.000,- per hektar setiap tahunnya. Adanya rencana peningkatan kapasitas produksi melalui tambahan bangunan pengomposan seluas 37,5 m2 menjadikan luas lahan yang disewa pun bertambah. Secara keseluruhan luas lahan yang disewa menjadi sebesar 155,5 m2. Dengan biaya sewa lahan per m2 seharga Rp 962,- per tahun maka jumlah biaya sewa lahan yang harus dikeluarkan tiap tahunnya sebesar Rp 149.591,-. Biaya sewa lahan yang dikeluarkan pada tahun pertama sama dengan tahun kedua dan seterusnya karena pada bulan pertama di tahun pertama, unit usaha sudah menyewa lahan untuk kegiatan investasi bangunan produksi. 2. Biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan untuk perawatan bangunanbangunan investasi. Pada dasarnya, perhitungan biaya pemeliharaan bangunan di skenario II masih sama dengan skenario I yaitu, setiap tahunnya rata-rata sebesar sepuluh persen dari total biaya investasi bangunan. Namun pada skenario II, total biaya investasi bangunan menjadi lebih besar karena adanya tambahan biaya investasi pada gubuk dan petakan pengomposan sehingga besarnya biaya pemeliharaan setiap tahunnya menjadi Rp 5.025.000,-. Pada tahun pertama usaha, besarnya biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan senilai Rp 4.187.000,- untuk 10 bulan pertama. Pada tahun kedua dan seterusnya, biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 5.025.000,-. 3. Biaya karung plastik dikeluarkan untuk membeli karung plastik yang digunakan sebagai penutup timbunan pupuk kompos pada proses fermentasi. Jumlah karung plastik yang dibutuhkan untuk menutup 1 petak timbunan
123
pupuk kompos sebanyak 1 lembar. Dalam satu siklus produksi membutuhkan 7 lembar karung plastik karena adanya peningkatan jumlah petakan pengomposan. Karung plastik ini dapat bertahan hingga empat bulan. Total karung plastik yang dibutuhkan setiap tahunnya sebanyak 21 lembar. Harga jual karung plastik per lembarnya sebesar Rp 5.000,-. Total biaya yang dikeluarkan untuk pembelian karung ini sebesar Rp 105.000,- dan diasumsikan konstan selama umur usaha. 4. Biaya tetap penyusutan yang terdapat dalam perhitungan laba rugi unit usaha sebesar Rp 8.396.932,80 per tahun.
Tabel 21. Rincian Biaya Tetap pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) No.
Uraian
Satuan
Jumlah
1
Sewa lahan
m² per tahun
2
Pemeliharaan bangunan
tahun
1
3
Listrik
tahun
1
4
Komunikasi
tahun
1
Lembar per tahun Orang per tahun
155,5
5
Karung plastic
6
THR
7
PBB
Tahun
1
8
Penyusutan peralatan*
Tahun
1
Total
21 2
Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp) Tahun 1
Tahun 2-10
962,00
149.591,00
149.591,00
5.025.000,00
4.187.500,00
5.025.000,00
600.000,00
500.000,00
600.000,00
500.000,00
416.666,67
500.000,00
5.000,00
105.000,00
105.000,00
1.250.000,00
2.083.333,33
2.500.000,00
150.000,00
125.000,00
150.000,00
8.021.932,80
6.684.944,00
8.021.932,80
14.252.035,00
17.051.523,80
Keterangan: * biaya tetap yang hanya ada dalam perhitungan Laba/Rugi
Pada perhitungan laba rugi unit usaha, komponen biaya tetap terbesar adalah biaya penyusutan peralatan sebesar Rp 8.396.932,80 per tahun. Biaya penyusutan peralatan hanya dimasukkan pada perhitungan laba rugi. Hal ini dikarenakan pengeluaran atas biaya investasi tidak dimasukkan dalam perhitungan laba rugi melainkan hanya pengeluaran atas biaya penyusutannya saja sehingga dibandingkan dengan biaya tetap lainnya, biaya penyusutan peralatan masih yang terbesar. Sedangkan pada perhitungan cashflow unit usaha, komponen biaya tetap terbesar adalah biaya pemeliharaan bangunan sebesar Rp 5.025.000,- per tahun.
124
Hal ini dikarenakan pada laporan cashflow tidak dimasukkan biaya atas penyusutan investasi. Selain itu, biaya pemeliharaan yang dimasukkan dalam cashflow merupakan gabungan dari biaya pemeliharaan empat bangunan investasi dalam satu tahun. Total biaya tetap dalam perhitungan laba rugi usaha pada tahun pertama sebesar Rp 14.564.535,- dan pada tahun berikutnya sebesar Rp 17.426.523,80 per tahun. Total biaya tetap dalam perhitungan cashflow pada tahun pertama sebesar Rp 7.567.091,- dan pada tahun berikutnya sebesar Rp 9.029.591,-. • Biaya Variabel Biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung dari jumlah pupuk kompos yang dihasilkan selama masa produksinya. Pada skenario II, kebutuhan operasional produksi pupuk kompos meliputi biaya pembelian bahan baku dan upah tenaga kerja produksi yang disesuaikan dengan jumlah produksi pupuk kompos rata-rata sebanyak 18,27 ton per bulan. Besarnya kebutuhan bahan baku dan tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sama besar dengan skenario usaha I sehingga tidak ada perubahan dalam perolehan Harga Pokok Produksi (HPP) pupuk kompos yaitu seharga Rp 261,75 per kg. Rincian biaya variabel pada skenario usaha II dapat dilihat pada Tabel 22. Biaya variabel pada pengusahaan pupuk kompos ini meliputi : 1. Jerami yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak tiga karung atau 40 kg dengan harga Rp 375,- per kg. Setiap bulannya, jerami yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 730,8 kg. Pada tahun pertama, unit usaha baru melaksanakan proses produksinya pada bulan ketiga sehingga lama produksi hanya 10 bulan. Total jerami yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos sebanyak 7.308 kg. Akumulasi biaya pembelian jerami di tahun pertama sebesar Rp 2.740.500,-. Pada tahun berikutnya, unit usaha telah berproduksi penuh selama 1 tahun atau 12 bulan. Total jerami yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos sebanyak 8769,6 kg. Akumulasi biaya pembelian jerami di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 3.288.600,-.
125
2. Sekam bakar yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak enam karung atau 100 kg dengan harga Rp 180,- per kg. Setiap bulannya, sekam bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 1827 kg. Pada tahun pertama, sekam bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos sebanyak 18.270 kg. Akumulasi biaya pembelian sekam bakar di tahun pertama sebesar Rp 3.288.600,-. Pada tahun berikutnya, total sekam bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos sebanyak 21.924 kg. Akumulasi biaya pembelian sekam bakar di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 3.946.320,-. 3. Dedak yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 25 kg dengan harga Rp 750,- per kg. Setiap bulannya, dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 456,75 kg. Pada tahun pertama, jumlah dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 4567,5 kg. Akumulasi biaya pembelian dedak di tahun pertama sebesar Rp 3.425.625,-. Pada tahun berikutnya, jumlah dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 5.481 kg. Akumulasi biaya pembelian dedak di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 4.110.750,-. 4. Kapur pertanian atau dolomite yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 3 kg dengan harga Rp 500,- per kg. Setiap bulannya, dolomit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 54,81 kg. Pada tahun pertama, jumlah dolomit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 548,1 kg. Akumulasi biaya pembelian dolomit di tahun pertama sebesar Rp 274.050,-. Pada tahun berikutnya, jumlah dolomit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 657,72 kg. Akumulasi biaya pembelian dolomit di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 328.860,-. 5. Kotoran sapi yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 35 karung atau 1050 kg dengan harga Rp 100,- per kg. Setiap bulannya, kotoran sapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 19.183,5 kg. Pada tahun pertama, jumlah kotoran sapi yang
126
dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 191.835 kg. Akumulasi biaya pembelian kotoran sapi di tahun pertama sebesar Rp 19.183.500,-. Pada tahun berikutnya, jumlah kotoran sapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 230.202 kg. Akumulasi biaya pembelian kotoran sapi di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 23.020.200,-. 6. Cairan EM4 yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 450 ml dengan harga Rp 20,- per ml. Setiap bulannya, EM4 yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 8.221,5 ml. Pada tahun pertama, jumlah EM4 yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 82.215 ml. Akumulasi biaya pembelian EM4 di tahun pertama sebesar Rp 1.644.300,-. Pada tahun berikutnya, jumlah EM4 yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 98.658 ml. Akumulasi biaya pembelian EM4 di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 1.973.160,-. 7. Molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 450 ml dengan harga Rp 10,- per ml. Setiap bulannya, molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 8.221,5 ml. Pada tahun pertama, jumlah molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 82.215 ml. Akumulasi biaya pembelian molase di tahun pertama sebesar Rp 822.150,-. Pada tahun berikutnya, jumlah molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 98.658 ml. Akumulasi biaya pembelian molase di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 986.580,-. 8. Upah tenaga kerja yang diberikan kepada dua orang tenaga kerja produksinya sebesar Rp 30.000,- per HOK per orang untuk setiap satu siklus produksi. Pengerjaan proses produksi terdiri dari dua bagian yaitu pengolahan dan pengayakan. •
Pengolahan Pada tahap pengolahan, rata-rata membutuhkan 2 HOK untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos. Setiap bulannya, kebutuhan kerja untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos rata-rata sebesar 36 HOK.
127
Pada tahun pertama, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebesar 360 HOK. Beban kerja yang ditanggung masing-masing tenaga kerja sebesar 180 HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 5.400.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di tahun pertama sebesar Rp 10.800.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,4 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebesar 432 HOK. Beban kerja yang ditanggung oleh setiap tenaga kerja sebesar 216 HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 6.480.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 12.960.000,-. •
Pengayakan Pada tahap pengayakan, rata-rata membutuhkan 1 HOK untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos. Setiap bulannya, kebutuhan kerja untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos rata-rata sebesar 18 HOK. Pada tahun pertama, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebesar 180 HOK. Beban kerja yang ditanggung masing-masing tenaga kerja sebesar 90 HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 2.700.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di tahun pertama sebesar Rp 5.400.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,4 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebesar 216 HOK. Beban kerja yang ditanggung oleh setiap tenaga kerja sebesar 108 HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 3.240.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 6.480.000,-.
•
Beban kerja per orang Total beban kerja yang ditanggung di tahun pertama untuk setiap tenaga kerja sebanyak 270 HOK dengan perolehan upah sebesar Rp 8.100.000,-. Total beban kerja yang ditanggung di tahun kedua dan seterusnya untuk setiap tenaga kerja sebanyak 324 HOK dengan perolehan upah sebesar Rp 9.720.000,-.
128
Tabel 22. Rincian Biaya Variabel pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) Jumlah No.
Uraian
Satuan Tahun 1
Tahun 2-10
1
Jerami
Kg
7.308
8.769,6
2
Sekam bakar
Kg
18.270
21.924
3
Dedak
Kg
4.567,5
5.481
4
Dolomit
Kg
548,1
657,72
5
Kotoran sapi
Kg
191.835
230.202
6
EM4
ml
82.215
98.658
7
Molase
ml
82.215
98.658
8
Upah tenaga kerja: 180
216
90
108
a. Pengolahan b. Pengayakan Total
HOK per orang HOK per orang
Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp) Tahun 1
Tahun 2-10
375,00
2.740.500,00
3.288.600,00
180,00
3.288.600,00
3.946.320,00
750,00
3.425.625,00
4.110.750,00
500,00
274.050,00
328.860,00
100,00
19.183.500,00
23.020.200,00
20,00
1.644.300,00
1.973.160,00
10,00
822.150,00
986.580,00
30.000,00
10.800.000,00
12.960.000,00
30.000,00
5.400.000,00
6.480.000,00
47.578.725,00
57.094.470,00
Akumulasi biaya variabel yang dikeluarkan unit usaha di tahun pertama sebesar Rp 47.578.725,-. Pada tahun berikutnya, total biaya variabel yang dikeluarkan sebesar Rp 57.094.470,- per tahun. Pengeluaran terbesar digunakan untuk pembelian bahan baku kotoran sapi. Hal ini dikarenakan jumlah kotoran sapi yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan kandungan C/N ratio pada komposisi bahan-bahan limbah pertanian cukup besar sehingga biaya pembelian menjadi besar.
d. Pajak Penghasilan Komponen pengeluaran lainnya pada skenario usaha II ini yaitu pengeluaran atas pajak penghasilan. Perhitungan pajak yang digunakan oleh unit usaha masih sama dengan skenario I yang mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No.36 tahun 2008, pasal 31 E. Pada pasal tersebut berisikan tarif wajib pajak bagi UMKM sebesar 12,5 persen dimana tarif pajak menjadi flat setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan laba rugi, unit usaha sudah mulai membayarkan pajak penghasilannya sejak tahun pertama usaha dimulai. Hal ini dikarenakan pada tahun pertama sudah diperoleh laba atas kegiatan usahanya. Besar pajak penghasilan di tahun pertama sebesar Rp 2.566.061,25-. Sedangkan di 129
tahun kedua dan seterusnya, pengeluaran atas pajak penghasilan lebih besar yaitu Rp 3.085.638,28 pada tahun kedua hingga kesembilan dan Rp 4.303.222,28 pada akhir umur usaha karena laba yang diperoleh pun lebih besar dari tahun pertama. Rincian besarnya pajak penghasilan yang dikeluarkan setiap tahunnya pada skenario usaha II dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Rincian Pajak Penghasilan pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) Tahun
Laba Bersih Sebelum Pajak (Rp)
Nilai Pajak (Rp)
1
20,528,490.00
2.566.061,25
2
24,685,106.20
3.085.638,28
3
24,685,106.20
3.085.638,28
4
24,685,106.20
3.085.638,28
5
24,685,106.20
3.085.638,28
6
24,685,106.20
3.085.638,28
7
24,685,106.20
3.085.638,28
8
24,685,106.20
3.085.638,28
9
24,685,106.20
3.085.638,28
10
34.425.778,20
4.303.222,28
6.2.2.3 Analisis Laba Rugi Usaha Hasil perhitungan laba rugi pada skenario usaha II menunjukkan bahwa kegiatan pembuatan pupuk kompos ini selalu mendapatkan keuntungan selama umur usahanya. Perhitungan laba rugi pada skenario usaha II sama seperti perhitungan pada skenario usaha I, hanya saja yang membedakan adalah besarnya penerimaan pendapatan dan pengeluaran biaya operasional yang terjadi akibat peningkatan kapasitas produksi pada usahanya. Berdasarkan hasil perhitungan laba rugi usaha, tingkat perolehan laba di tahun pertama berbeda dengan di tahun kedua dan seterusnya. Pada tahun pertama, unit usaha ini sudah dapat memperoleh laba bersih sebesar Rp 17.962.428,75,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, perolehan laba bersih lebih besar dari tahun pertama mencapai Rp 21.599.467,93 dan pada akhir umur usaha, laba bersih yang diperoleh lebih besar lagi senilai Rp 30.122.555,93. Hal ini dikarenakan masa produksi usaha berlangsung penuh selama 1 tahun dan diakhir umur usaha ada tambahan penerimaan dari nilai sisa
130
investasi. Akumulasi keseluruhan laba bersih yang diterima selama umur usaha berlangsung pada skenario II ini sebesar Rp 220.880.728,08.
6.2.2.4 Analisis Kelayakan Finansial Perhitungan analisis finansial pada skenario II menggunakan cara yang sama seperti perhitungan pada skenario I, yaitu dengan mendiskontokan nilai net benefit yang diperoleh pada tingkat discount factor yang berlaku sebesar 6,5 persen. Pendiskontoan net benefit tersebut sebagai dasar dalam perhitungan empat kriteria investasi yang meliputi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period. Hasil analisis kelayakan finansial pada skenario usaha II dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan) Kriteria Kelayakan Investasi NPV
Jumlah 138,322,490.83
Net B/C IRR
5.91 96.77%
PP
1.69 atau 1 tahun 8 bulan 8 hari
Berdasarkan hasil perhitungan empat kriteria investasi tersebut, diperoleh hasil bahwa : 1. Nilai NPV yang diperoleh lebih dari nol (NPV>0) yaitu sebesar Rp 138.322.490,83. Artinya, jumlah manfaat bersih yang diterima unit usaha dari kegiatan pembuatan pupuk kompos ini selama 10 tahun dengan tingkat discount rate 6,5 persen sebesar Rp 138.322.490,83 sehingga usaha layak untuk dijalankan. 2. Pada kriteria investasi kedua, nilai Net B/C yang diperoleh lebih dari satu (Net B/C>1) yaitu sebesar 5,91. Artinya, setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan selama umur usaha mendatangkan manfaat sebesar Rp 5,91 sehingga usaha juga layak untuk dijalankan. 3. Pada kriteria investasi ketiga, nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari discount rate yang berlaku (IRR>6,5%) yaitu sebesar 96,77 persen. Hal ini menunjukkan tingkat pengembalian internal yang diperoleh dari kegiatan pengusahaan pupuk kompos ini jauh lebih besar dibanding tingkat diskonto 131
yang berlaku sehingga unit usaha mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan investasi tersebut dibandingkan hanya mendepositokan modal investasinya di bank. Dengan demikian, usaha tetap layak untuk dijalankan. 4. Pada kriteria investasi yang terakhir, nilai Payback Period yang diperoleh lebih kecil dari umur usaha (PP<5tahun) yaitu 1,69 tahun atau 1 tahun 8 bulan 8 hari. Hal ini berarti jangka waktu pengembalian untuk sejumlah nilai investasi yang telah dikeluarkan yaitu selama 1,69 tahun atau 1 tahun 8 bulan 8 hari. Waktu yang diperlukan untuk mengembalikan nilai investasi tersebut lebih pendek dari umur usaha sehingga dapat dikatakan usaha ini menjadi layak untuk dijalankan. Berdasarkan analisis kriteria investasi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period
menunjukkan
bahwa
penambahan
penggunaan
investasi
untuk
pengusahaan pembuatan pupuk kompos pada skenario II ini secara finansial layak untuk dijalankan.
6.2.2.5 Analisis Switching Value Perhitungan analisis switching value pada skenario II menggunakan cara yang sama seperti perhitungan pada skenario I, yaitu dengan membuat nilai NPV mendekati atau lebih besar dari nol sehingga usaha masih dapat dinyatakan layak untuk dijalankan. Begitu juga dengan variabel sensitivitas yang dianalisis switching value pada skenario II masih sama dengan skenario I yaitu variabel harga bahan baku kotoran sapi, variabel jumlah produksi, dan variabel harga jual pupuk kompos. Hasil analisis nilai pengganti berdasarkan kriteria investasi dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan)
49,03%
Penurunan Produksi P.Kompos 22,29%
Penurunan Harga Jual P.Kompos 22,44%
NPV
0,00
0,00
0,00
Net B/C
1,00
1,00
1,00
IRR
6,50%
6,50%
6,50%
PP
10,00
10,00
10,00
Perubahan Persentase
Kenaikan Harga K.Sapi
132
Berdasarkan hasil analisis switching value yang telah dilakukan, apabila terjadi perubahan pada variabel bahan baku berupa kenaikan harga beli kotoran sapi maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas kenaikan harga maksimal sebesar 48.63 persen dari biaya kotoran sapi yang dikeluarkan tiap tahunnya. Peningkatan total biaya kotoran sapi yang mungkin terjadi pada tahun pertama dari Rp 19.183.500,- sampai Rp 21.456.948,37 dan pada tahun berikutnya dari Rp 23.020.200,- sampai menjadi Rp 44.810.724,95. Pada variabel jumlah produksi, apabila terjadi penurunan jumlah produksi pupuk maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas penurunan jumlah produksi sebesar 21,94 persen dari jumlah pupuk yang diproduksi tiap tahunnya. Penurunan penerimaan penjualan pupuk kompos yang mungkin terjadi pada tahun pertama dari Rp 82.215.000,- sampai Rp 78.963.314,69 dan pada tahun berikutnya dari Rp 98.658.000,- sampai menjadi Rp 77.014.443,44. Pada variabel harga jual, apabila terjadi penurunan harga jual pupuk maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas penurunan harga jual sebesar 22,09 persen dari harga jual pupuk yang ditawarkan tiap tahunnya. Penurunan penerimaan penjualan pupuk kompos yang mungkin terjadi pada tahun pertama dari Rp 82.215.000,- sampai Rp 79.904.729,41 dan pada tahun berikutnya dari Rp 98.658.000,- sampai menjadi Rp 76.514.541,34. Dari sisi pengeluaran, apabila kenaikan harga kotoran sapi yang terjadi lebih besar dari batas impas tersebut, maka akan menyebabkan pengusahaan pupuk kompos ini menjadi tidak layak untuk dijalankan secara finansial. Sedangkan dari sisi penerimaan, banyaknya pupuk kompos yang dihasilkan selama ini menunjukkan hasil yang ekonomis karena telah berproduksi sesuai dengan kapasitas optimalnya dan juga adanya kemitraan yang mencakup quality control membuat hasil kualitas pupuk kompos yang dihasilkan terjaga sehingga penurunan harga jual hampir belum pernah terjadi. Berdasarkan pengalaman usaha selama ini, harga jual pupuk kompos terendah yang diterima sebesar Rp 450,- per kg dan harga jual pupuk kompos tertinggi hingga mencapai Rp 600,- per kg sehingga dalam penelitian digunakan harga jual rata-rata sebesar Rp 450,- per kg.
133
Dalam analisis switching value pada kondisi skenario usaha II, variabel penurunan jumlah produksi merupakan variabel yang paling sensitif sehingga memiliki risiko usaha paling besar dibandingkan dua variabel lainnya. Namun demikian, adanya hubungan yang terjalin baik dengan pemasok bahan baku membuat kontinuitas pasokan bahan baku tetap dapat terjaga sehingga memperkecil risiko terjadinya perubahan dari sisi penerimaan dan unit usaha tetap berada dalam batas kelayakannya.
6.2.3 Perbandingan Laba Rugi Berdasarkan hasil perhitungan laba rugi yang dilakukan pada skenario I dan skenario II, dapat dipastikan bahwa pengusahaan pupuk kompos pada kondisi skenario II menghasilkan laba bersih yang lebih menguntungkan dibanding perolehan laba bersih pada kondisi skenario I. Setiap tahunnya, jumlah laba bersih yang diperoleh pada skenario II yaitu Rp 21.927.592,93 lebih besar dari laba bersih pada skenario I yang hanya sebesar Rp 11.547.857,30. Demikian halnya dengan total laba bersih yang diperoleh selama umur usaha pada kondisi skenario II jauh lebih besar dari kondisi skenario I, yaitu pada skenario II sebesar Rp 224.107.290,58 dan pada skenario I hanya sebesar Rp 122.051.713,70. Besarnya jumlah laba bersih pada skenario II dikarenakan adanya peningkatan penerimaan penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tambahan pengeluaran investasi yang dilakukan dalam rencana pengembangan usahanya. Dengan demikian, rencana peningkatan kapasitas produksi pada pengusahaan pupuk kompos ini akan membuat kondisi usaha jauh lebih baik dari kondisi usaha saat ini. Perbandingan hasil laba rugi dapat dilihat pada Tabel 26.
134
Tabel 26. Perbandingan Hasil Laba Rugi Tahun
Laba Bersih Skenario I (Rp)
Skenario II (Rp)
1
9,597,910.00
18,235,866.25
2
11,547,857.30
21,927,592.93
3
11,547,857.30
21,927,592.93
4
11,547,857.30
21,927,592.93
5
11,547,857.30
21,927,592.93
6
11,547,857.30
21,927,592.93
7
11,547,857.30
21,927,592.93
8
11,547,857.30
21,927,592.93
9
11,547,857.30
21,927,592.93
10
20,070,945.30
30,450,680.93
122,051,713.70
224,107,290.58
Total
6.2.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial Cashflow Hasil analisis finansial kedua skenario usaha menunjukkan bahwa pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari secara finansial layak untuk dijalankan. Rincian perbandingan hasil kelayakan finansial kedua skenario usaha dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial Kriteria NPV Net B/C IRR PP
Skenario I 67,911,262.34
Skenario II 138,322,490.83
3.52
5.91
56.82%
96.77%
2 tahun 10 bulan 2 hari
1 tahun 8 bulan 8 hari
Berdasarkan Tabel 27, skenario usaha II memiliki tingkat kelayakan yang paling tinggi dibandingkan dengan skenario usaha I. Nilai NPV skenario II lebih besar dari skenario I. Demikian juga dengan nilai Net B/C dan IRR, skenario II menghasilkan Net B/C dan IRR yang lebih besar daripada skenario I. Dilihat dari masa pengembalian biaya investasinya (payback periode), skenario II relatif lebih cepat dibanding skenario I. Hal ini dikarenakan pada skenario II, kondisi usaha melakukan peningkatan kapasitas produksi menjadi 21 ton per bulan untuk menyerap semua permintaan yang terjadi dari LPS. Walaupun rencana peningkatan kapasitas produksi pada skenario II membuat unit usaha berproduksi 135
dibawah kapasitas optimalnya akibat pesanan hanya sebanyak 18,27 ton per bulan serta menambah pengeluaran biaya investasi, namun jumlah penerimaan penjualan yang diperolehnya menghasilkan nilai yang lebih besar daripada pengeluaran itu semua. Sedangkan pada skenario I, unit usaha telah berproduksi sesuai kapasitas optimalnya sebanyak 12 ton per bulan akan tetapi besarnya jumlah tersebut belum mampu memenuhi seluruh permintaan yang terjadi dari LPS. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa skenario usaha II lebih menguntungkan daripada skenario usaha I karena adanya pengembangan usaha dapat memberikan tingkat perolehan manfaat yang lebih besar berupa tambahan keuntungan secara finansial.
6.2.5 Perbandingan Hasil Analisis Switching Value Analisis switching value yang dilakukan pada kedua skenario usaha bertujuan untuk mengetahui batas maksimal kenaikan harga bahan baku kotoran sapi serta batas maksimal penurunan jumlah produksi dan harga jual, agar masih berada pada batas kelayakan usaha atau mencapai titik impasnya. Perbandingan hasil switching value pada kedua skenario usaha tersebut dapat dilihat pada Tabel 28.
Tabel 28. Perbandingan Hasil Analisis Switching Value Kondisi Usaha Skenario I Skenario II
Kenaikan Harga K.Sapi (%)
41.44% 48.63%
Penurunan Produksi P.Kompos
16.40% 21.94%
Penurunan Harga Jual P.Kompos
16.51% 22.09%
Berdasarkan Tabel 28, kondisi usaha pada skenario II memiliki tingkat kepekaan yang lebih rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap perubahan ketiga variabel yang dianalisis sensitivitas perubahannya dibandingkan dengan skenario I. Pada skenario II, persentase batas kenaikan harga beli kotoran sapi yang masih memberikan keuntungan sebesar 48,63 persen dan pada skenario I sebesar 41,44 persen. Batas maksimal perubahan penurunan produksi pupuk kompos pada skenario II yang masih memberikan keuntungan adalah sebesar 21,94 persen dan pada skenario I hanya sebesar 16,40 persen. Pada variabel harga jual, skenario II memiliki batas maksimal perubahan penurunan harga jual yang
136
masih memberikan keuntungan adalah sebesar 22,09 persen dan skenario I hanya sebesar 16,51 persen. Jika dilihat pada masing-masing skenario, baik skenario I maupun skenario II sama-sama menghadapi tingkat kepekaan yang paling tinggi pada variabel penurunan produksi pupuk kompos. Hal ini menunjukkan kedua skenario usaha lebih sensitif dalam menghadapi perubahan variabel tersebut. Sedangkan jika dilihat perbandingannya diantara kedua skenario usaha, kondisi usaha pada skenario I lebih sensitif dalam menghadapi perubahan ketiga variabel dibanding skenario II. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa skenario II merupakan skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan dengan tingkat sensitivitas paling rendah terhadap kemungkinan perubahan biaya dan manfaat melalui rencana pengembangan usaha yang meningkatkan kapasitas produksinya.
137
VII. PENUTUP 7.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil analisis terhadap aspek-aspek non finansial, secara umum pengusahaan pupuk kompos pada kondisi saat ini layak untuk dijalankan. Dilihat dari aspek pasar, peluang pasar pupuk kompos masih terbuka karena permintaan yang tinggi dan melebihi kapasitas produksi. Dilihat dari aspek teknis, kegiatan pengusahaan pupuk kompos ini secara teknis pelaksanaannya telah sesuai standar pengoperasian usaha pupuk kompos baik dalam proses produksi maupun penggunaan teknologi yang ramah lingkungan. Dilihat dari aspek manajemen dan hukum, kegiatan pengusahaan pupuk kompos telah memiliki pembagian tugas yang jelas dan memiliki izin resmi serta kegiatan usaha tergolong sederhana sehingga tidak memerlukan struktur organisasi yang kompleks. Dilihat dari aspek sosial, ekonomi, dan budidaya, usaha pupuk kompos ini mampu mewujudkan kemandirian petani terhadap aksesibilitas pupuk, membuka kesempatan kerja di berbagai bidang, meningkatkan perekonomian desa, dan mengubah sistem budidaya pertanian yang mengarah ke pertanian organik. Dilihat dari aspek lingkungan, kegiatan usaha ini mampu mengurangi jumlah limbah dan sebagai wujud dari bentuk konservasi keanekaragaman hayati dengan memunculkan kembali varietasvarietas lokal. 2. Hasil analisis aspek finansial menunjukkan bahwa kedua skenario usaha layak untuk dijalankan berdasarkan kriteria investasi. Skenario usaha II memiliki tingkat kelayakan yang lebih tinggi daripada skenario usaha I karena adanya pengembangan usaha dapat memberikan tingkat perolehan manfaat yang lebih besar berupa tambahan keuntungan secara finansial. Begitupun dengan hasil analisis laba rugi yang menunjukkan nilai positif setiap tahunnya, dimana total laba bersih yang diperoleh selama umur usaha pada skenario II jauh lebih besar dari skenario I sehingga rencana peningkatan kapasitas produksi pada
skenario II akan membuat kondisi usaha jauh lebih baik dari kondisi usaha saat ini. 3. Usaha pada kondisi pengembangan usaha (skenario II) memiliki tingkat kepekaan yang lebih rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap kemungkinan perubahan biaya dan manfaat dibandingkan dengan kondisi usaha saat ini (skenario I). Dengan demikian, kondisi pada pengembangan usaha menjadi skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan.
7.2 Saran 1. Unit usaha sebaiknya melakukan pengembangan usaha dengan peningkatan kapasitas produksi sebesar 21 ton per bulan agar dapat menyerap seluruh permintaan dari LPS yang mencapai 18,27 ton per bulan. 2. Apabila rencana pengembangan usaha telah dilakukan, unit usaha sebaiknya membuka jalur pemasaran yang lainnya sehingga dapat berproduksi pada kapasitas optimal tanpa adanya sisa produk yang tidak terjual kepada LPS. 3. Unit usaha sebaiknya dapat terus menjaga sistem kemitraan yang terjalin dengan LPS untuk menghindari risiko kerugian akibat penurunan pesanan dimana unit usaha menghadapi tingkat sensitivitas paling tinggi pada variabel penurunan jumlah produksi dan harga jual dengan cara mempertahankan kualitas produk yang telah ada melalui pelaksanaan proses produksi yang sesuai dengan standar pengoperasian usaha pupuk kompos dan kerjasama yang baik dengan pemasok bahan baku. 4. Unit usaha sebaiknya melakukan perbaikan dalam pengelolaan atau pencatatan administrasi dengan membuat laporan keuangan setiap bulannya untuk dapat memisahkan antara pengeluran bersama koperasi dengan unit usaha itu sendiri. 5. Untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan analisis kelayakan pengusahaan pupuk kompos tidak hanya sebatas pupuk komposnya saja tetapi sampai dengan pupuk kompos kemasan yang terjadi di tingkat distributor. Dengan demikian dapat dibandingkan pengelolaan usaha dalam kondisi mana yang paling menguntungkan bagi pelaku usaha.
139
DAFTAR PUSTAKA Aminah S, Soedarsono GB, Sastro Y. 2003. Teknologi Pengomposan. Jakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Djuarnani N, Kristian, Setiawan BS. 2006. Cara Cepat Membuat Kompos. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka. Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Slamet Sutomo dan Komet Mangiri. penerjemah Jakarta: Universitas Indonesia Press. Gustoro I. 2006. Sistem penunjang keputusan pendirian industri kompos studi kasus: TPA Galuga, Bogor [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hadisuwito S. 2007. Membuat Pupuk Kompos Cair. Jakarta: Agromedia Pustaka Cetakan I, hal 4-6. Hadiwiyoto S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Jakarta: Yayasan Idayu. Hartatik W, Setyorini D, Agus F. 2008. Pupuk organik dan pupuk hayati pada sistem pertanian organik. Di dalam Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Prosiding jilid II; Bogor, 7-8 Nov 2008. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 161-170. Husnan S, Muhammad S. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Ibrahim J. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta. IFOAM (International Federation Organic Movement). 2002. Organic Agriculture Worldwide. Statistic and Future Prospects. The World Organic Trade Fair Nurnberg, BIO-FACH. Indrasti NS. 2003. The Perspective of Solid Waste Management and Landfill Technology in Indonesia. Makalah. Abdichtung, Stillegung Und Nachsorge Von deponien 15 : 99, Nurnberg, Jerman. Kadariah, Karlina L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Khaddafy M. 2009. Analisis kelayakan usaha pupuk organik di CV Saung Wira Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Murbandono L. 1993. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya, hal 3-13.
Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor : Departemen Agribisnis. Oesman MR. 2007. Tuntunan, strategi dan kebijakan pengelolaan lingkungan pertanian di era globalisasi. Di dalam Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Prosiding jilid I; Bogor, 7-8 Nov 2007. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 39-43. Pirngadi K. 2008. Peran Bahan Organik dalam Peningkatan Produksi Padi Berkelanjutan Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius. Samsudin, Manuwoto S. 2008. Panduan Pembuatan Kompos. Bogor: Pusat Kajian Buah Tropika LPPM IPB. Siregar Y. 2009. Analisis kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos studi kasus: UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan, IPB [Skripsi]. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Suherman. 2005. Formulasi Pupuk Kompos Organik Berbasis Kompos Untuk Berbagai Tanaman [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Kanisius. Umar H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Winangun YW. 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius. Zaini Z. 2008. Memacu Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui Inovasi Teknologi Budidaya Spesifik Lokasi dalam Era Revolusi Hijau Lestari. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
141
LAMPIRAN
Lampiran 1. Harga Pokok Produksi Pupuk Kompos per kg(untuk kapasitas Produksi 1 ton dalam 1 petakan) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian Satuan Jerami kg Sekam bakar kg Dedak kg Dolomit kg Kotoran sapi kg EM4 ml Molase ml Upah tenaga kerja: a. Pengolahan HOK b. Pengayakan HOK Total Biaya produksi per kg
Volume Harga Satuan (Rp) Nilai (Rp) 40 375.00 15,000.00 100 180.00 18,000.00 25 750.00 18,750.00 3 500.00 1,500.00 1,050 100.00 105,000.00 450 20.00 9,000.00 450 10.00 4,500.00 2 1
30,000.00 30,000.00
60,000.00 30,000.00 261,750.00 261.75
143
Lampiran 2. Cashflow Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan) Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
54,000,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
300,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9,740,672.00
54,300,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
74,900,672.00
500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Gubuk Pengomposan
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Petakan pengomposan
9,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Gudang bahan baku
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
Chopper
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cangkul
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sekop
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Ember
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
Alat penyiram
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
Saringan kawat
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
43,720,000.00
0.00
130,000.00
90,000.00
130,000.00
17,008,824.00
220,000.00
16,941,176.00
130,000.00
90,000.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
3,250,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
Listrik
500,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
Komunikasi
416,666.67
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
2,083,333.33
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha
Gudang pupuk kompos
Thermometer Total Biaya Investasi
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan
Karung plastik THR
144
PBB
125,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
6,548,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
Jerami
1,800,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
Sekam bakar
2,160,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
Dedak
2,250,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
180,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
12,600,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
1,080,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
540,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
a. Pengolahan
7,200,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
b. Pengayakan
3,600,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
Total Biaya Variabel
31,410,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
Total Biaya Operasional
37,958,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
1,332,067.50
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
2,820,402.90
83,010,583.50
47,118,334.90
47,248,334.90
47,208,334.90
47,248,334.90
64,127,158.90
47,338,334.90
64,059,510.90
47,248,334.90
48,425,918.90
(28,710,583.50)
18,041,665.10
17,911,665.10
17,951,665.10
17,911,665.10
1,032,841.10
17,821,665.10
1,100,489.10
17,911,665.10
26,474,753.10
0.94
0.88
0.83
0.78
0.73
0.69
0.64
0.60
0.57
0.53
(26,958,294.37)
15,906,601.51
14,828,155.69
13,954,243.80
13,073,381.11
707,841.25
11,468,352.25
664,949.84
10,162,241.01
14,103,790.26
Total Biaya Tetap 2.2 Biaya Variabel
Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja:
3. Pajak Penghasilan Total Outflow Net Benefit DF 6.5% PV/Tahun PV Positif PV Negatif NPV Net B/C IRR PP
94,869,556.71 (26,958,294.37) 67,911,262.34 3.52 56.82% 2.84
145
Lampiran 3. Cashflow Skenario Usaha II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan) Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
82,215,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
456,750.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9,740,672.00
82,671,750.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
108,946,772.00
500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
a. Ukuran 50 m²
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
b. Ukuran 37,5 m²
4,500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
4,500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
15,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
Chopper
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cangkul
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sekop
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Ember
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
Alat penyiram
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
Saringan kawat
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
54,970,000.00
0.00
130,000.00
90,000.00
130,000.00
21,508,824.00
220,000.00
16,941,176.00
130,000.00
90,000.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
4,187,500.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
Listrik
500,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
Komunikasi
416,666.67
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
Karung plastik
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha Gubuk Pengomposan
Petakan pengomposan Gudang bahan baku Gudang pupuk kompos
Thermometer Total Biaya Investasi
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan
146
THR
2,083,333.33
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
PBB
125,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
7,567,091.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
2,740,500.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
Total Biaya Tetap 2.2 Biaya Variabel Jerami Sekam bakar
3,288,600.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
Dedak
3,425,625.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
274,050.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
19,183,500.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
1,644,300.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
822,150.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
10,800,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja: a. Pengolahan b. Pengayakan
5,400,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
Total Biaya Variabel
47,578,725.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
Total Biaya Operasional
55,145,816.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
2,566,061.25
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
4,303,222.28
Total Outflow
112,681,877.25
69,209,699.28
69,339,699.28
69,299,699.28
69,339,699.28
90,718,523.28
69,429,699.28
86,150,875.28
69,339,699.28
70,517,283.28
Net Benefit
(30,010,127.25)
29,996,400.73
29,866,400.73
29,906,400.73
29,866,400.73
8,487,576.72
29,776,400.73
13,055,224.73
29,866,400.73
38,429,488.73
0.94
0.88
0.83
0.78
0.73
0.69
0.64
0.60
0.57
0.53
PV/Tahun
(28,178,523.24)
26,446,605.15
24,724,872.72
23,246,935.85
21,798,913.55
5,816,825.92
19,161,298.92
7,888,373.94
16,944,798.85
20,472,389.18
PV Positif
166,501,014.07
PV Negatif
(28,178,523.24)
NPV
138,322,490.83
3. Pajak Penghasilan
DF 6.5%
Net B/C IRR PP
5.91 96.77% 1.69
147
Lampiran 4. Laporan Laba Rugi Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan) Uraian INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
54,000,000.00 300,000.00 0.00 54,300,000.00
64,800,000.00 360,000.00 0.00 65,160,000.00
64,800,000.00 360,000.00 0.00 65,160,000.00
64,800,000.00 360,000.00 0.00 65,160,000.00
64,800,000.00 360,000.00 0.00 65,160,000.00
64,800,000.00 360,000.00 0.00 65,160,000.00
64,800,000.00 360,000.00 0.00 65,160,000.00
64,800,000.00 360,000.00 0.00 65,160,000.00
64,800,000.00 360,000.00 0.00 65,160,000.00
64,800,000.00 360,000.00 9,740,672.00 74,900,672.00
OUTFLOW 1. Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan Listrik Komunikasi Karung plastik THR PBB Penyusutan peralatan* Total Biaya Tetap
113,516.00 3,250,000.00 500,000.00 416,666.67 60,000.00 2,083,333.33 125,000.00 5,684,944.00 12,233,460.00
113,516.00 3,900,000.00 600,000.00 500,000.00 60,000.00 2,500,000.00 150,000.00 6,821,932.80 14,645,448.80
113,516.00 3,900,000.00 600,000.00 500,000.00 60,000.00 2,500,000.00 150,000.00 6,821,932.80 14,645,448.80
113,516.00 3,900,000.00 600,000.00 500,000.00 60,000.00 2,500,000.00 150,000.00 6,821,932.80 14,645,448.80
113,516.00 3,900,000.00 600,000.00 500,000.00 60,000.00 2,500,000.00 150,000.00 6,821,932.80 14,645,448.80
113,516.00 3,900,000.00 600,000.00 500,000.00 60,000.00 2,500,000.00 150,000.00 6,821,932.80 14,645,448.80
113,516.00 3,900,000.00 600,000.00 500,000.00 60,000.00 2,500,000.00 150,000.00 6,821,932.80 14,645,448.80
113,516.00 3,900,000.00 600,000.00 500,000.00 60,000.00 2,500,000.00 150,000.00 6,821,932.80 14,645,448.80
113,516.00 3,900,000.00 600,000.00 500,000.00 60,000.00 2,500,000.00 150,000.00 6,821,932.80 14,645,448.80
113,516.00 3,900,000.00 600,000.00 500,000.00 60,000.00 2,500,000.00 150,000.00 6,821,932.80 14,645,448.80
1,800,000.00 2,160,000.00 2,250,000.00 180,000.00 12,600,000.00 1,080,000.00 540,000.00
2,160,000.00 2,592,000.00 2,700,000.00 216,000.00 15,120,000.00 1,296,000.00 648,000.00
2,160,000.00 2,592,000.00 2,700,000.00 216,000.00 15,120,000.00 1,296,000.00 648,000.00
2,160,000.00 2,592,000.00 2,700,000.00 216,000.00 15,120,000.00 1,296,000.00 648,000.00
2,160,000.00 2,592,000.00 2,700,000.00 216,000.00 15,120,000.00 1,296,000.00 648,000.00
2,160,000.00 2,592,000.00 2,700,000.00 216,000.00 15,120,000.00 1,296,000.00 648,000.00
2,160,000.00 2,592,000.00 2,700,000.00 216,000.00 15,120,000.00 1,296,000.00 648,000.00
2,160,000.00 2,592,000.00 2,700,000.00 216,000.00 15,120,000.00 1,296,000.00 648,000.00
2,160,000.00 2,592,000.00 2,700,000.00 216,000.00 15,120,000.00 1,296,000.00 648,000.00
2,160,000.00 2,592,000.00 2,700,000.00 216,000.00 15,120,000.00 1,296,000.00 648,000.00
7,200,000.00 3,600,000.00 31,410,000.00 43,643,460.00
8,640,000.00 4,320,000.00 37,692,000.00 52,337,448.80
8,640,000.00 4,320,000.00 37,692,000.00 52,337,448.80
8,640,000.00 4,320,000.00 37,692,000.00 52,337,448.80
8,640,000.00 4,320,000.00 37,692,000.00 52,337,448.80
8,640,000.00 4,320,000.00 37,692,000.00 52,337,448.80
8,640,000.00 4,320,000.00 37,692,000.00 52,337,448.80
8,640,000.00 4,320,000.00 37,692,000.00 52,337,448.80
8,640,000.00 4,320,000.00 37,692,000.00 52,337,448.80
8,640,000.00 4,320,000.00 37,692,000.00 52,337,448.80
10,656,540.00 0.00 10,656,540.00 1,332,067.50 9,324,472.50
12,822,551.20 0.00 12,822,551.20 1,602,818.90 11,219,732.30
12,822,551.20 0.00 12,822,551.20 1,602,818.90 11,219,732.30
12,822,551.20 0.00 12,822,551.20 1,602,818.90 11,219,732.30
12,822,551.20 0.00 12,822,551.20 1,602,818.90 11,219,732.30
12,822,551.20 0.00 12,822,551.20 1,602,818.90 11,219,732.30
12,822,551.20 0.00 12,822,551.20 1,602,818.90 11,219,732.30
12,822,551.20 0.00 12,822,551.20 1,602,818.90 11,219,732.30
12,822,551.20 0.00 12,822,551.20 1,602,818.90 11,219,732.30
22,563,223.20 0.00 22,563,223.20 2,820,402.90 19,742,820.30
2. Biaya Variabel Jerami Sekam bakar Dedak Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja: a. Pengolahan b. Pengayakan Total Biaya Variabel Total Outflow EBIT Biaya Bunga EBT Pajak Penghasilan Laba Bersih Setelah Pajak
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
148
Lampiran 5. Laporan Laba Rugi Skenario II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan) Uraian INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
82,215,000.00 456,750.00 0.00 82,671,750.00
98,658,000.00 548,100.00 0.00 99,206,100.00
98,658,000.00 548,100.00 0.00 99,206,100.00
98,658,000.00 548,100.00 0.00 99,206,100.00
98,658,000.00 548,100.00 0.00 99,206,100.00
98,658,000.00 548,100.00 0.00 99,206,100.00
98,658,000.00 548,100.00 0.00 99,206,100.00
98,658,000.00 548,100.00 0.00 99,206,100.00
98,658,000.00 548,100.00 0.00 99,206,100.00
98,658,000.00 548,100.00 9,740,672.00 108,946,772.00
OUTFLOW 1. Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan Listrik Komunikasi Karung plastik THR PBB Penyusutan peralatan* Total Biaya Tetap
149,591.00 4,187,500.00 500,000.00 416,666.67 105,000.00 2,083,333.33 125,000.00 6,997,444.00 14,564,535.00
149,591.00 5,025,000.00 600,000.00 500,000.00 105,000.00 2,500,000.00 150,000.00 8,396,932.80 17,426,523.80
149,591.00 5,025,000.00 600,000.00 500,000.00 105,000.00 2,500,000.00 150,000.00 8,396,932.80 17,426,523.80
149,591.00 5,025,000.00 600,000.00 500,000.00 105,000.00 2,500,000.00 150,000.00 8,396,932.80 17,426,523.80
149,591.00 5,025,000.00 600,000.00 500,000.00 105,000.00 2,500,000.00 150,000.00 8,396,932.80 17,426,523.80
149,591.00 5,025,000.00 600,000.00 500,000.00 105,000.00 2,500,000.00 150,000.00 8,396,932.80 17,426,523.80
149,591.00 5,025,000.00 600,000.00 500,000.00 105,000.00 2,500,000.00 150,000.00 8,396,932.80 17,426,523.80
149,591.00 5,025,000.00 600,000.00 500,000.00 105,000.00 2,500,000.00 150,000.00 8,396,932.80 17,426,523.80
149,591.00 5,025,000.00 600,000.00 500,000.00 105,000.00 2,500,000.00 150,000.00 8,396,932.80 17,426,523.80
149,591.00 5,025,000.00 600,000.00 500,000.00 105,000.00 2,500,000.00 150,000.00 8,396,932.80 17,426,523.80
2. Biaya Variabel Jerami Sekam bakar Dedak Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja: a. Pengolahan b. Pengayakan Total Biaya Variabel Total Outflow
2,740,500.00 3,288,600.00 3,425,625.00 274,050.00 19,183,500.00 1,644,300.00 822,150.00 0.00 10,800,000.00 5,400,000.00 47,578,725.00 62,143,260.00
3,288,600.00 3,946,320.00 4,110,750.00 328,860.00 23,020,200.00 1,973,160.00 986,580.00 0.00 12,960,000.00 6,480,000.00 57,094,470.00 74,520,993.80
3,288,600.00 3,946,320.00 4,110,750.00 328,860.00 23,020,200.00 1,973,160.00 986,580.00 0.00 12,960,000.00 6,480,000.00 57,094,470.00 74,520,993.80
3,288,600.00 3,946,320.00 4,110,750.00 328,860.00 23,020,200.00 1,973,160.00 986,580.00 0.00 12,960,000.00 6,480,000.00 57,094,470.00 74,520,993.80
3,288,600.00 3,946,320.00 4,110,750.00 328,860.00 23,020,200.00 1,973,160.00 986,580.00 0.00 12,960,000.00 6,480,000.00 57,094,470.00 74,520,993.80
3,288,600.00 3,946,320.00 4,110,750.00 328,860.00 23,020,200.00 1,973,160.00 986,580.00 0.00 12,960,000.00 6,480,000.00 57,094,470.00 74,520,993.80
3,288,600.00 3,946,320.00 4,110,750.00 328,860.00 23,020,200.00 1,973,160.00 986,580.00 0.00 12,960,000.00 6,480,000.00 57,094,470.00 74,520,993.80
3,288,600.00 3,946,320.00 4,110,750.00 328,860.00 23,020,200.00 1,973,160.00 986,580.00 0.00 12,960,000.00 6,480,000.00 57,094,470.00 74,520,993.80
3,288,600.00 3,946,320.00 4,110,750.00 328,860.00 23,020,200.00 1,973,160.00 986,580.00 0.00 12,960,000.00 6,480,000.00 57,094,470.00 74,520,993.80
3,288,600.00 3,946,320.00 4,110,750.00 328,860.00 23,020,200.00 1,973,160.00 986,580.00 0.00 12,960,000.00 6,480,000.00 57,094,470.00 74,520,993.80
EBIT Biaya Bunga EBT Pajak Penghasilan Laba Bersih Setelah Pajak
20,528,490.00 0.00 20,528,490.00 2,566,061.25 17,962,428.75
24,685,106.20 0.00 24,685,106.20 3,085,638.28 21,599,467.93
24,685,106.20 0.00 24,685,106.20 3,085,638.28 21,599,467.93
24,685,106.20 0.00 24,685,106.20 3,085,638.28 21,599,467.93
24,685,106.20 0.00 24,685,106.20 3,085,638.28 21,599,467.93
24,685,106.20 0.00 24,685,106.20 3,085,638.28 21,599,467.93
24,685,106.20 0.00 24,685,106.20 3,085,638.28 21,599,467.93
24,685,106.20 0.00 24,685,106.20 3,085,638.28 21,599,467.93
24,685,106.20 0.00 24,685,106.20 3,085,638.28 21,599,467.93
34,425,778.20 0.00 34,425,778.20 4,303,222.28 30,122,555.93
149
Lampiran 6. Cashflow Analisis Switching Value Kenaikan Biaya Variabel Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan) Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
54,000,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
64,800,000.00
300,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9,740,672.00
54,300,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
65,160,000.00
74,900,672.00
500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha Gubuk Pengomposan
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Petakan pengomposan
9,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Gudang bahan baku
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
Chopper
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cangkul
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sekop
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Ember
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
Gudang pupuk kompos
Alat penyiram
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
Saringan kawat
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
43,720,000.00
0.00
130,000.00
90,000.00
130,000.00
17,008,824.00
220,000.00
16,941,176.00
130,000.00
90,000.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
Thermometer Total Biaya Investasi
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan
3,250,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
Listrik
500,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
Komunikasi
416,666.67
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
2,083,333.33
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
Karung plastik THR
150
PBB
125,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
6,548,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
Jerami
1,800,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
Sekam bakar
2,160,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
Dedak
2,250,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
180,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
13,716,179.61
25,818,347.38
25,818,347.38
25,818,347.38
25,818,347.38
25,818,347.38
25,818,347.38
25,818,347.38
25,818,347.38
25,818,347.38
1,080,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
540,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
a. Pengolahan
7,200,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
b. Pengayakan
3,600,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
Total Biaya Variabel
32,526,179.61
48,390,347.38
48,390,347.38
48,390,347.38
48,390,347.38
48,390,347.38
48,390,347.38
48,390,347.38
48,390,347.38
48,390,347.38
Total Biaya Operasional
39,074,695.61
56,213,863.38
56,213,863.38
56,213,863.38
56,213,863.38
56,213,863.38
56,213,863.38
56,213,863.38
56,213,863.38
56,213,863.38
1,332,067.50
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
2,820,402.90
84,126,763.11
57,816,682.28
57,946,682.28
57,906,682.28
57,946,682.28
74,825,506.28
58,036,682.28
74,757,858.28
57,946,682.28
59,124,266.28
(29,826,763.11)
7,343,317.72
7,213,317.72
7,253,317.72
7,213,317.72
(9,665,506.28)
7,123,317.72
(9,597,858.28)
7,213,317.72
15,776,405.72
0.94
0.88
0.83
0.78
0.73
0.69
0.64
0.60
0.57
0.53
(28,006,350.34)
6,474,304.24
5,971,538.52
5,638,171.35
5,264,862.37
(6,624,101.23)
4,583,899.22
(5,799,325.31)
4,092,499.09
8,404,502.07
Total Biaya Tetap 2.2 Biaya Variabel
Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja:
3. Pajak Penghasilan Total Outflow Net Benefit DF 6.5% PV/Tahun PV Positif PV Negatif
40,429,776.88 (40,429,776.88)
NPV
0.00
Net B/C
1.00
IRR
6.50%
PP
10.00
151
Lampiran 7. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Produksi Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan) Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
52,403,541.95
54,173,808.71
54,173,808.71
54,173,808.71
54,173,808.71
54,173,808.71
54,173,808.71
54,173,808.71
54,173,808.71
54,173,808.71
300,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9,740,672.00
52,703,541.95
54,533,808.71
54,533,808.71
54,533,808.71
54,533,808.71
54,533,808.71
54,533,808.71
54,533,808.71
54,533,808.71
64,274,480.71
500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha Gubuk Pengomposan
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Petakan pengomposan
9,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Gudang bahan baku
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
Chopper
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cangkul
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sekop
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Ember
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
Gudang pupuk kompos
Alat penyiram
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
Saringan kawat
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
43,720,000.00
0.00
130,000.00
90,000.00
130,000.00
17,008,824.00
220,000.00
16,941,176.00
130,000.00
90,000.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
Thermometer Total Biaya Investasi
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan
3,250,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
Listrik
500,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
Komunikasi
416,666.67
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
2,083,333.33
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
Karung plastik THR
152
PBB
125,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
6,548,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
Jerami
1,800,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
Sekam bakar
2,160,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
Dedak
2,250,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
180,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
12,600,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
1,080,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
540,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
a. Pengolahan
7,200,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
b. Pengayakan
3,600,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
Total Biaya Variabel
31,410,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
Total Biaya Operasional
37,958,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
1,332,067.50
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
2,820,402.90
83,010,583.50
47,118,334.90
47,248,334.90
47,208,334.90
47,248,334.90
64,127,158.90
47,338,334.90
64,059,510.90
47,248,334.90
48,425,918.90
(30,307,041.55)
7,415,473.81
7,285,473.81
7,325,473.81
7,285,473.81
(9,593,350.19)
7,195,473.81
(9,525,702.19)
7,285,473.81
15,848,561.81
0.94
0.88
0.83
0.78
0.73
0.69
0.64
0.60
0.57
0.53
(28,457,316.01)
6,537,921.32
6,031,272.88
5,694,259.94
5,317,527.72
(6,574,650.20)
4,630,332.11
(5,755,726.35)
4,133,437.08
8,442,941.50
Total Biaya Tetap 2.2 Biaya Variabel
Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja:
3. Pajak Penghasilan Total Outflow Net Benefit DF 6.5% PV/Tahun PV Positif PV Negatif
40,787,692.56 (40,787,692.56)
NPV
0.00
Net B/C
1.00
IRR
6.5%
PP
10.00
153
Lampiran 8. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Harga Jual Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan) Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
52,883,820.42
54,101,652.62
54,101,652.62
54,101,652.62
54,101,652.62
54,101,652.62
54,101,652.62
54,101,652.62
54,101,652.62
54,101,652.62
300,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
360,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9,740,672.00
53,183,820.42
54,461,652.62
54,461,652.62
54,461,652.62
54,461,652.62
54,461,652.62
54,461,652.62
54,461,652.62
54,461,652.62
64,202,324.62
500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha Gubuk Pengomposan
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Petakan pengomposan
9,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Gudang bahan baku
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
Chopper
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cangkul
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sekop
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Ember
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
Gudang pupuk kompos
Alat penyiram
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
Saringan kawat
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
43,720,000.00
0.00
130,000.00
90,000.00
130,000.00
17,008,824.00
220,000.00
16,941,176.00
130,000.00
90,000.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
113,516.00
Thermometer Total Biaya Investasi
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan
3,250,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
3,900,000.00
Listrik
500,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
Komunikasi
416,666.67
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
60,000.00
2,083,333.33
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
Karung plastik THR
154
PBB
125,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
6,548,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
7,823,516.00
Jerami
1,800,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
2,160,000.00
Sekam bakar
2,160,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
2,592,000.00
Dedak
2,250,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
2,700,000.00
180,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
216,000.00
12,600,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
15,120,000.00
1,080,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
1,296,000.00
540,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
648,000.00
a. Pengolahan
7,200,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
8,640,000.00
b. Pengayakan
3,600,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
4,320,000.00
Total Biaya Variabel
31,410,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
37,692,000.00
Total Biaya Operasional
37,958,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
45,515,516.00
1,332,067.50
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
1,602,818.90
2,820,402.90
83,010,583.50
47,118,334.90
47,248,334.90
47,208,334.90
47,248,334.90
64,127,158.90
47,338,334.90
64,059,510.90
47,248,334.90
48,425,918.90
(29,826,763.08)
7,343,317.72
7,213,317.72
7,253,317.72
7,213,317.72
(9,665,506.28)
7,123,317.72
(9,597,858.28)
7,213,317.72
15,776,405.72
0.94
0.88
0.83
0.78
0.73
0.69
0.64
0.60
0.57
0.53
(28,006,350.31)
6,474,304.23
5,971,538.52
5,638,171.35
5,264,862.37
(6,624,101.23)
4,583,899.22
(5,799,325.31)
4,092,499.09
8,404,502.07
Total Biaya Tetap 2.2 Biaya Variabel
Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja:
3. Pajak Penghasilan Total Outflow Net Benefit DF 6.5% PV/Tahun PV Positif PV Negatif
40,429,776.85 (40,429,776.85)
NPV
0.00
Net B/C
1.00
IRR
6.50%
PP
10.00
155
Lampiran 9. Cashflow Analisis Switching Value Kenaikan Biaya Variabel Skenario Usaha II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan) Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
82,215,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
98,658,000.00
456,750.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9,740,672.00
82,671,750.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
99,206,100.00
108,946,772.00
500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
a. Ukuran 50 m²
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
b. Ukuran 37,5 m²
4,500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
4,500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
15,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
Chopper
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cangkul
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sekop
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Ember
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
Alat penyiram
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
Saringan kawat
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
54,970,000.00
0.00
130,000.00
90,000.00
130,000.00
21,508,824.00
220,000.00
16,941,176.00
130,000.00
90,000.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
4,187,500.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
Listrik
500,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
Komunikasi
416,666.67
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha Gubuk Pengomposan
Petakan pengomposan Gudang bahan baku Gudang pupuk kompos
Thermometer Total Biaya Investasi
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan
156
Karung plastik
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
THR
2,083,333.33
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
PBB
125,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
7,567,091.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
Jerami
2,740,500.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
Sekam bakar
3,288,600.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
Dedak
3,425,625.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
274,050.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
21,456,948.37
44,810,724.95
44,810,724.95
44,810,724.95
44,810,724.95
44,810,724.95
44,810,724.95
44,810,724.95
44,810,724.95
44,810,724.95
1,644,300.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
822,150.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
a. Pengolahan
10,800,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
b. Pengayakan
5,400,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
Total Biaya Variabel
49,852,173.37
78,884,994.95
78,884,994.95
78,884,994.95
78,884,994.95
78,884,994.95
78,884,994.95
78,884,994.95
78,884,994.95
78,884,994.95
Total Biaya Operasional
57,419,264.37
87,914,585.95
87,914,585.95
87,914,585.95
87,914,585.95
87,914,585.95
87,914,585.95
87,914,585.95
87,914,585.95
87,914,585.95
2,566,061.25
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
4,303,222.28
Total Outflow
114,955,325.62
91,000,224.22
91,130,224.22
91,090,224.22
91,130,224.22
112,509,048.22
91,220,224.22
107,941,400.22
91,130,224.22
92,307,808.22
Net Benefit
-32,283,575.62
8,205,875.78
8,075,875.78
8,115,875.78
8,075,875.78
-13,302,948.22
7,985,875.78
-8,735,300.22
8,075,875.78
16,638,963.78
Total Biaya Tetap 2.2 Biaya Variabel
Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja:
3. Pajak Penghasilan
DF 6.5%
0.94
0.88
0.83
0.78
0.73
0.69
0.64
0.60
0.57
0.53
PV/Tahun
-30,313,216.55
7,234,786.55
6,685,606.43
6,308,657.64
5,894,426.97
-9,116,964.30
5,138,960.69
-5,278,140.83
4,581,874.19
8,864,009.21
PV Positif
44,708,321.67
PV Negatif
-44,708,321.67
NPV
0.00
Net B/C
1.00
IRR
6.50%
PP
10.00
157
Lampiran 10. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Produksi Skenario Usaha II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan) Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
78,963,314.69
77,014,443.44
77,014,443.44
77,014,443.44
77,014,443.44
456,750.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
0.00
0.00
0.00
0.00
79,420,064.69
77,562,543.44
77,562,543.44
500,000.00
0.00
a. Ukuran 50 m²
6,000,000.00
b. Ukuran 37,5 m²
10
77,014,443.44
77,014,443.44
77,014,443.44
77,014,443.44
77,014,443.44
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9,740,672.00
77,562,543.44
77,562,543.44
77,562,543.44
77,562,543.44
77,562,543.44
77,562,543.44
87,303,215.44
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
4,500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
4,500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
15,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
Chopper
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cangkul
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sekop
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Ember
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
Alat penyiram
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
Saringan kawat
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
54,970,000.00
0.00
130,000.00
90,000.00
130,000.00
21,508,824.00
220,000.00
16,941,176.00
130,000.00
90,000.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
4,187,500.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
Listrik
500,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
Komunikasi
416,666.67
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
Karung plastik
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
2,083,333.33
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha Gubuk Pengomposan
Petakan pengomposan Gudang bahan baku Gudang pupuk kompos
Thermometer Total Biaya Investasi
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan
THR
158
PBB
125,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
7,567,091.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
Jerami
2,740,500.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
Sekam bakar
3,288,600.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
Dedak
3,425,625.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
274,050.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
19,183,500.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
1,644,300.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
822,150.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
a. Pengolahan
10,800,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
b. Pengayakan
5,400,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
Total Biaya Variabel
47,578,725.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
Total Biaya Operasional
55,145,816.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
2,566,061.25
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
4,303,222.28
Total Outflow
112,681,877.25
69,209,699.28
69,339,699.28
69,299,699.28
69,339,699.28
90,718,523.28
69,429,699.28
86,150,875.28
69,339,699.28
70,517,283.28
Net Benefit
(33,261,812.56)
8,352,844.17
8,222,844.17
8,262,844.17
8,222,844.17
(13,155,979.83)
8,132,844.17
(8,588,331.83)
8,222,844.17
16,785,932.17
0.94
0.88
0.83
0.78
0.73
0.69
0.64
0.60
0.57
0.53
(31,231,748.88)
7,364,362.60
6,807,274.08
6,422,899.57
6,001,696.38
(9,016,241.84)
5,233,535.77
(5,189,337.94)
4,665,257.18
8,942,303.10
Total Biaya Tetap 2.2 Biaya Variabel
Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja:
3. Pajak Penghasilan
DF 6.5% PV/Tahun PV Positif PV Negatif NPV Net B/C
45,437,328.67 (45,437,328.67) (0.00) 1.00
IRR
6.50%
PP
10.00
159
Lampiran 11. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Harga Jual Skenario Usaha II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan) Uraian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
79,941,551.68
76,867,475.04
76,867,475.04
76,867,475.04
76,867,475.04
456,750.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
76,867,475.04
76,867,475.04
76,867,475.04
76,867,475.04
76,867,475.04
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
548,100.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
9,740,672.00
80,398,301.68
77,415,575.04
77,415,575.04
77,415,575.04
77,415,575.04
77,415,575.04
77,415,575.04
77,415,575.04
77,415,575.04
87,156,247.04
500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
a. Ukuran 50 m²
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
6,000,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
b. Ukuran 37,5 m²
4,500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
4,500,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
15,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7,058,824.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
16,941,176.00
0.00
0.00
Chopper
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
3,750,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cangkul
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sekop
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
100,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Ember
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
0.00
0.00
40,000.00
Alat penyiram
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
50,000.00
Saringan kawat
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
130,000.00
0.00
50,000.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
54,970,000.00
0.00
130,000.00
90,000.00
130,000.00
21,508,824.00
220,000.00
16,941,176.00
130,000.00
90,000.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
149,591.00
4,187,500.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
5,025,000.00
Listrik
500,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
600,000.00
Komunikasi
416,666.67
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
500,000.00
Karung plastik
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
105,000.00
INFLOW Penjualan Kompos Penjualan S.Ayakan Nilai Sisa Total Inflow
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha Gubuk Pengomposan
Petakan pengomposan Gudang bahan baku Gudang pupuk kompos
Thermometer Total Biaya Investasi
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan Pemeliharaan bangunan
160
THR
2,083,333.33
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
2,500,000.00
PBB
125,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
150,000.00
7,567,091.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
9,029,591.00
2,740,500.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
3,288,600.00
Total Biaya Tetap 2.2 Biaya Variabel Jerami Sekam bakar
3,288,600.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
3,946,320.00
Dedak
3,425,625.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
4,110,750.00
274,050.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
328,860.00
19,183,500.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
23,020,200.00
1,644,300.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
1,973,160.00
822,150.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
986,580.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
10,800,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
12,960,000.00
Dolomit Kotoran sapi EM4 Molase Upah tenaga kerja: a. Pengolahan b. Pengayakan
5,400,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
6,480,000.00
Total Biaya Variabel
47,578,725.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
57,094,470.00
Total Biaya Operasional
55,145,816.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
66,124,061.00
2,566,061.25
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
3,085,638.28
4,303,222.28
Total Outflow
112,681,877.25
69,209,699.28
69,339,699.28
69,299,699.28
69,339,699.28
90,718,523.28
69,429,699.28
86,150,875.28
69,339,699.28
70,517,283.28
Net Benefit
(32,283,575.57)
8,205,875.77
8,075,875.77
8,115,875.77
8,075,875.77
(13,302,948.23)
7,985,875.77
(8,735,300.23)
8,075,875.77
16,638,963.77
0.94
0.88
0.83
0.78
0.73
0.69
0.64
0.60
0.57
0.53
PV/Tahun
(30,313,216.50)
7,234,786.54
6,685,606.42
6,308,657.64
5,894,426.96
(9,116,964.30)
5,138,960.69
(5,278,140.83)
4,581,874.18
8,864,009.20
PV Positif
44,708,321.64
3. Pajak Penghasilan
DF 6.5%
PV Negatif NPV Net B/C
(44,708,321.64) (0.00) 1.00
IRR
6.50%
PP
10.00
161
Lampiran 12. DOKUMENTASI
Gambar 15. Bahan Kompos
Gambar 17. Arang Sekam
Gambar 16. Jerami
Gambar 18. Fermentasi Pengomposan
Gambar 19. Pupuk Kompos Kemasan