Program Studi Teknik Telekomunikasi - Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung
Praktikum Pengolahan Sinyal Waktu Kontinyu
sebagai bagian dari Mata Kuliah ET 2004
Modul 3 : Analisis Kelakuan Sistem Orde Dua
Β©Institut Teknologi Bandung Disusun oleh : Irma Zakia 31 Maret, 2017 1
I.
Pendahuluan
Dalam penerapannya, sistem dengan orde tinggi sering diimplementasikan dan direpresentasikan sebagai interkoneksi seri atau paralel dari sistem-sistem orde satu dan orde dua. Dengan demikian, analisis, perancangan, dan pemahaman kelakukan sistem orde tinggi dapat diketahui dengan mengamati kelakuan sistem orde satu dan orde dua. Secara fisis, sistem orde satu memodelkan sistem dengan satu buah elemen penyimpan energi, misalnya induktor pada rangkaian RL atau kapasitor pada rangkaian RC. Sementara itu, sistem orde dua memodelkan sistem dengan dua buah elemen penyimpan energi, misalnya kapasitor dan induktor pada rangkaian RLC. Kelakuan sistem orde satu, melalui percobaan menggunakan rangkaian RC, telah diketahui dalam hal respons impuls dan respons step (modul 1), serta respons frekuensi (modul 2). Modul ini fokus pada analisis kelakuan sistem orde dua dalam hal respons step (domain waktu) dan respons frekuensi (domain frekuensi). Sistem orde dua yang digunakan pada percobaan berupa rangkaian RLC seri. Bergantung dari nilai damping ratio, respons step sistem orde dua menuju keadaan mantap dengan berosilasi dengan amplituda osilasi mengecil (underdamped) atau menuju keadaan mantap secara eksponensial tanpa osilasi (critically damped,overdamped). Untuk menentukan respons frekuensi sistem, sistem diberi sinyal masukan sinus (steady-state). Pada bagian luaran, perubahan amplituda dan fasa pada sinyal sinus luaran digunakan untuk menentukan masing-masing respons magnituda dan respons fasa sistem. Berbeda dengan tampilan respons frekuensi pada modul 2, respons frekuensi pada modul ini ditampilkan dalam diagram Bode. II.
Tujuan
a. Memahami kelakuan sistem orde dua pada domain waktu melalui respons step sistem b. Memahami kelakuan sistem orde dua pada domain frekuensi melalui respons frekuensi sistem c. Memahami konsep respons frekuensi dengan diagram Bode d. Memahami konsep aproksimasi respons frekuensi pada diagram Bode e. Memahami kelakuan sistem orde dua dari lokasi pole dan zero III. Dasar Teori III.1. Sifat Sistem Orde Dua dari Nilai Damping Ratio Setiap persamaan homogen dari sistem orde dua yang dideskripsikan melalui persamaan differensial dapat ditulis dalam bentuk π 2 π¦ (π‘) ππ‘ 2
+ 2πππ
2
ππ¦ (π‘) ππ‘
+ ππ 2 π¦ π‘ = 0
(1)
Adapun π menyatakan damping ratio, yang menunjukkan seberapa besar redaman / hambatan pada sistem. Sementara itu, parameter ππ menyatakan frekuensi alami sistem. Hal ini berarti sistem berosilasi dengan frekuensi ππ (dengan amplituda osilasi tetap terhadap waktu) jika damping ratio bernilai nol. Dari persamaan homogen tersebut, lokasi dua buah pole π1 dan π2 dapat ditentukan melalui π1 = βπππ + ππ π 2 β 1
(2)
π2 = βπππ β ππ π 2 β 1
(3)
Besarnya nilai damping ratio menentukan lokasi pole serta sifat sistem. Untuk sistem yang stabil, sifat sistem terbagi menjadi underdamped, overdamped, dan critically damped (Tabel 1). Tabel 1. Sifat sistem dan lokasi pole berdasarkan nilai damping ratio
Damping ratio 0<π<1
Sifat Sistem
Respons step
Lokasi pole
Underdamped
Sepasang pole berkonjugasi kompleks π1,2 = βπππ Β± πππ 1 β π 2
π>1
Overdamped
Sistem menuju keadaan mantap dengan berosilasi, dimana amplituda osilasi terhadap waktu perlahan mengecil, dan akhirnya menuju nol Sistem menuju keadaan mantap tanpa osilasi (fungsi eksponensial)
π=1
Critically damped
Dua buah pole riil π1,2 = βπππ Β± ππ π 2 β 1
Sistem menuju keadaan mantap Dua buah pole riil pada posisi secepat mungkin tanpa osilasi yang sama (fungsi eksponensial) π1 = π2 = βππ
Perubahan lokasi pole seiring dengan perubahan damping ratio diilustrasikan pada Gbr. 1. Untuk menghasilkan sistem yang stabil dan kausal, damping ratio dibatasi pada nilai π > 0, atau semua pole berada pada sebelah kiri sumbu imajiner Im{π }. Dengan asumsi sistem domain waktu bersifat riil, pole kompleks memiliki pasangan pole yang bernilai konjugasi kompleks. Pole yang kompleks (0 < π < 1) memberikan karakteristik domain waktu berupa respons yang berosilasi dengan amplituda osilasi mengecil. Sementara itu, pole rill (π β₯ 1) memberikan karakteristik domain waktu berupa respons eksponensial.
III.2. Karakteristik Domain Waktu Sistem Orde Dua Pada bagian ini, karakteristik domain waktu sistem orde dua LTI kausal, yang dideskripsikan dalam bentuk persamaan differensial, diberikan dalam hal respons step sistem. Sistem orde dua diwakili melalui rangkaian RLC seri, yang diberi masukan berupa tegangan sinyal DC π₯(π‘) (Gbr. 2). Sinyal luaran π¦(π‘) yang diamati adalah tegangan pada kapasitor.
3
Gbr. 1 Pengaruh Damping Ratio terhadap Lokasi Pole pada Sistem Orde Dua
π¦(π‘)
π₯(π‘)
Gbr. 2. Rangkaian RLC seri dengan tegangan kapasitor sebagai luaran
Untuk analisis luaran π¦(π‘) saat sistem sudah steady-state, maka masukan π₯(π‘) yang berupa unit step (sinyal DC) ekivalen dengan masukan sinus frekuensi nol (π = 0). Dengan demikian, kapasitor menjadi open-circuit, sedangkan induktor short-circuit. Hal ini berarti dalam keadaan steady-state, respons step sistem sama dengan tegangan sumber, atau π¦(π‘) = π₯(π‘). Persamaan differensial rangkaian RLC seri menjadi π 2 π¦ (π‘) ππ‘ 2
π
ππ¦ (π‘)
+πΏ
ππ‘
1
1
+ πΏπΆ π¦ π‘ = πΏπΆ π₯ π‘
(4)
Dengan melihat korespondensi antara persamaan (1) dengan (4), maka frekuensi alami sistem ditulis sebagai 1
ππ =
πΏπΆ
(5)
dan damping ratio π
π = 2π
4
ππΏ
(6)
Sehingga persamaan (4) dapat ditulis juga π 2 π¦ (π‘) ππ‘ 2
+ 2πππ
ππ¦ (π‘) ππ‘
+ ππ 2 π¦ π‘ = ππ 2 π₯ π‘
(7)
Meningkatnya nilai R akan menghasilkan rangkaian yang jika semula bersifat underdamped, menjadi critically damped atau overdamped. Secara fisis, hal ini dapat diartikan, dengan meningkatnya nilai R (damping ratio meningkat), rugi-rugi energi juga meningkat, sehingga osilasi sistem berkurang. Contoh lain adalah pada rangkaian osilator LC ideal: energi ditransfer dari L ke C dan sebaliknya tanpa rugi-rugi rangkaian, sehingga dihasilkan sinyal yang berosilasi selamanya. Jika hambatan R dihubungkan seri dengan rangkaian LC ideal tersebut, maka R bertindak sebagai rugi-rugi. Pada keadaan demikian, R menyebabkan rangkaian berosilasi dengan amplituda menurun bahkan lama-kelamaan menjadi nol. Dengan menggunakan transformasi Laplace, fungsi transfer sistem yang diimplementasikan dengan persamaan (7) adalah π 2
π» π = π 2 +2πππ π +π π
π
= (π βπ
2
ππ 2
(8)
1 )(π βπ 2 )
Luaran sistem dengan masukan berupa unit step menjadi ππ 2
π π = π (π βπ
(9)
1 )(π βπ 2 )
Respons step π π‘ = β β1 (π π ). Dikarenakan π(π ) rasional, π π‘ dapat ditentukan melalui ekspansi pecahan parsial dari π(π ). Untuk π β 1, kedua pole tidak berulang (π1 β π2 ), sehingga bentuk ekspansi pecahan parsial π π
πβ 1
Selanjutnya dapat dihitung π΄1 = 1, π΄2 =
=
π΄1 π
+
π΄2
1 2
π 2 β1βπ
π΄
+ (π βπ3
π βπ 1
π 2 β1
(10)
2)
, dan π΄3 =
1 2
π 2 β1+π
π 2 β1
.
Sementara itu, untuk π = 1, kedua pole berulang (π1 = π2 ), sehingga bentuk ekspansi pecahan parsial π π
π=1
=
π΅1 π
+
π΅2 π βπ 1
π΅
+ (π βπ3
2 1)
Nilai konstanta dihitung sebagai π΅1 = 1, π΅2 = β1, dan π΅3 = βππ . Respons step sistem menjadi
5
(11)
Gbr. 3. Respons step rangkaian RLC seri dengan ππ = 3.1623 . 105 rad/s
1 β π βππ π π‘ cos
1 β π 2 ππ π‘ β
π 1 β π2
π βππ π π‘ sin
1 β π βπ π π‘ β ππ π‘π βπ π π‘ π’ π‘ ,
1 β π 2 ππ π‘
π’ π‘ , untuk 0 < π < 1
untuk π = 1
π π‘ = 1+
π 2
βππ π +
π2β1π π π‘
π
+ 2
2 π β1βπ π β1
2
βπ π π β
π2β1π π π‘
π’ π‘ , untuk π > 1 2
2 π β1+π π β1 (12)
Respons step teoritis untuk berbagai nilai damping ratio diperlihatkan pada Gbr. 3. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tampak bahawa respons transien sistem (berosilasi atau eksponensial) bergantung dari nilai damping ratio. III. 3. Penentuan dan Aproksimasi Respons Frekuensi dengan Diagram Bode Spektrum suatu sinyal dan respons frekuensi suatu sistem dapat ditampilkan dalam diagram Bode. Diagram Bode dari spektrum magnituda π(ππ) menampilkan spektrum dalam skala logaritmik 20log10 π(ππ) dB terhadap frekuensi skala logaritmik. Sementara itu, diagram Bode spektrum fasa argβ‘ (π(ππ)) menampilkan spektrum fasa terhadap frekuensi skala logaritmik. Definisi diagram Bode yang demikian berlaku juga untuk respons magnituda π»(ππ) dan respons fasa argβ‘ (π»(ππ)) suatu sistem.
6
Tampilan spektrum magnituda dalam skala logaritmik memiliki beberapa keuntungan, yaitu: 1. Hubungan penjumlahan antara spektrum sinyal masukan dengan respons frekuensi log π(ππ) = log π(ππ) + log π»(ππ) 2.
(13)
Jangkauan nilai magnituda yang lebih besar memberikan tampilan lebih detil, misalnya redaman pada daerah stopband lebih terlihat jelas pada skala logaritmik .
Sementara itu, tampilan frekuensi dalam skala logaritmik memiliki keuntungan sebagai berikut: 1. Jangkauan frekuensi yang lebih besar. 2. Kemudahan dalam menampilkan aproksimasi Bode diagram dengan menggunakan nilai asimptotik frekuensi. Secara umum, respons frekuensi dari sistem dengan fungsi transfer rasional dapat ditulis sebagai π» ππ = π
π π=1 (ππ βπ§ π ) π (ππ βπ ) π π=1
=π
ππ βπ§1 ππ βπ§2 β¦(ππ βπ§ π ) ππ βπ 1 ππ βπ 2 β¦(ππ βπ π )
(14)
dengan π§π dan ππ masing-masing menyatakan lokasi zero dan pole, sedangkan π menyatakan konstanta. Diasumsikan sistem kausal dan stabil, sehingga semua pole berada di sebelah kiri bidang s. Penggambaran respons frekuensi dengan diagram Bode dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu: 1. Pole dan zero riil 2. Pasangan pole dan zero berkonjugasi kompleks Pole dan Zero Riil Tanpa mengurangi maksud secara umum, diasumsikan terdapat πΏ buah zero pada titik pusat, yaitu π§π = 0, π = 1,2, β¦ , πΏ, sehingga respons frekuensi menjadi π» ππ = π
=π΅
(ππ)πΏ ππ β π§πΏ+1 ππ β π§πΏ+2 β¦ (ππ β π§π ) ππ β π1 ππ β π2 β¦ (ππ β ππ ) ππ ππ ππ 1β β¦(1β ) π§ πΏ+1 π§ πΏ+2 π§π ππ ππ ππ 1β 1β β¦(1β ) π1 π2 ππ
(ππ )πΏ 1β
(15)
dengan π΅=π
π π=πΏ+1 (βπ§ π ) π (βπ ) π π=1
7
(16)
Respons magnituda dalam dB dan respons fasa, masing-masing ditulis sebagai π
π»(ππ)
ππ΅
= 20log10 π΅ + πΏ20log10 π +
ππ 1β β π§π
20log10 π=πΏ+1
π
20log10 1 β π=1
ππ ππ (17)
dan arg π» ππ
= arg π΅ + πΏ 90Β° +
π π=πΏ+1 argβ‘ 1
ππ
βπ§
β
π
π π=1 argβ‘ 1
0, if π΅ β₯ 0 Β±π, if π΅ < 0
arg π΅ =
ππ
βπ
π
(18)
(19)
Persamaan repons magnituda dan respons fasa tersebut menunjukkan terdapat beberapa faktor yang dijumlahkan dan dikurangkan. Faktor yang menjadi perhatian khusus adalah faktor yang masih mengandung pole dan zero, yang masing-masing disebut sebagai faktor pole dan faktor zero. Tanpa mengurangi maksud secara umum, penjelasan berikut hanya melihat respons akibat faktor pole. Misal terdapat sebuah pole pada lokasi π1 = βπΌ, πΌ β β. Magnituda dan fasa akibat faktor pole, masing-masing menjadi 20log10 1 +
ππ πΌ
= 20log10 1 +
π 2 πΌ
(20)
dan argβ‘ 1 +
ππ πΌ
= tanβ1
π πΌ
(21)
Besarnya magnituda dan fasa diaproksimasi menggunakan asimptot frekuensi, yang masingmasing terlihat pada Tabel 2 dan 3. Karena faktor pole berada pada bagian penyebut dari π»(ππ), maka kontribusinya negatif dari nilai magnituda dan fasa yang masing -masing telah diberikan pada Tabel 2 dan 3. Hal sebaliknya berlaku untuk faktor zero.
8
Tabel 2. Magnituda faktor pole untuk pole riil
Aproksimasi
Frekuensi
Magnituda dari Faktor Pole πππ₯π¨π ππ π +
π βͺ1 πΌ π β«1 πΌ π =1 πΌ
Frekuensi rendah Frekuensi tinggi Frekuensi corner
π πΆ
π
β 0 dB π
β 20log10
πΌ
ο gradien 20 dB/decade β 0 dB
Tabel 3. Fasa faktor pole untuk pole riil
Aproksimasi
Frekuensi
Fasa dari Faktor Pole π πππ§βπ πΆ β 0Β°
Frekuensi rendah
π βͺ1 πΌ
Frekuensi tinggi
π β«1 πΌ
β 90Β°
π =1 πΌ
= 45Β°
Frekuensi pertengahan
0.1 <
π < 10 πΌ
tanβ1 0.1 = 53Β° β 0Β° tanβ1 10 = 84.7Β° β 90Β° ο garis dengan gradien 45Β° /decade
Pasangan Pole dan Zero Berkonjugasi Kompleks Fungsi transfer yang terdiri dari pasangan pole berkonjugasi kompleks diekspresikan sebagai π 2
π» π = π 2 +2πππ π +π π
π
2
=
1
(22)
π π 2 1++2 π + 2 ππ ππ
Respons magnituda dalam dB dan respons fasa, masing-masing ditulis sebagai π»(ππ)
ππ΅
= β20log10
π2
1βπ
π
2
2
π2
+ 4π 2 π
π
2
(23)
dan argβ‘π»(ππ) = βtanβ1
π ππ π2 1β 2 ππ
2π
(24)
Sementara untuk pasangan zero berkonjugasi kompleks, respons magnituda dan respons fasanya adalah negatif dari respons persamaan (23) dan (24).
9
Tabel 4. Respons magnituda untuk pasangan pole berkonjugasi kompleks
Aproksimasi
Frekuensi
Frekuensi rendah
π βͺ1 ππ
Frekuensi tinggi
π β«1 ππ
Frekuensi corner
Respons Magnituda π―(ππ)
π
π©
β 0 dB
β β40log10
π =1 ππ
π ππ
ο gradien - 40 dB/decade β 0 dB
Tabel 5. Respons fasa untuk pasangan pole berkonjugasi kompleks
Aproksimasi
Frekuensi
Respons Fasa ππ«π β‘π―(ππ)
Frekuensi rendah
π βͺ1 ππ
β 0Β°
Frekuensi tinggi
π β«1 ππ
β β90Β°
π =1 ππ
= β45Β°
Frekuensi pertengahan
0.1 <
π < 10 ππ
garis dengan gradien β90Β° /decade
Besarnya respons magnituda dan respons fasa diaproksimasi menggunakan asimptot frekuensi, yang masing-masing divisualisasikan pada Tabel 4 dan 5. III.4. Respons Frekuensi Sistem Orde Dua dengan Diagram Bode Pada modul ini, penentuan respons frekuensi dilakukan terhadap sistem orde dua. Seperti yang diperlihatkan pada Gbr. 1, perubahan damping ratio pada sistem orde dua mengakibatkan perubahan lokasi pole. Sistem dapat memiliki dua buah pole yang riil (π β₯ 1) atau sepasang pole berkonjugasi kompleks (0 < π < 1). Dengan demikian, penentuan respons frekuensi dalam diagram Bode mengikuti kondisi yang sama, yaitu apakah pole bernilai riil atau kompleks, seperti yang telah disampaikan pada III.3. Respons magnituda dan respons fasa sistem orde dua dalam diagram Bode untuk berbagai nilai damping ratio diperlihatkan masing-masing pada Gbr. 4 dan 5. Tampilan diagram Bode π pada sumbu horizontal adalah terhadap frekuensi ternormalisasi π = 1. π
Untuk π = 1, diagram Bode respons magnituda (Gbr. 4) dan respons fasa (Gbr. 5) menyerupai aproksimasi asimptotik yang diberikan masing-masing pada Tabel 2 dan 3. Perlu 10
diingat bahwa untuk π = 1, terdapat dua buah pole riil dan sama, yaitu π1 = π2 = βππ , π sehingga gradien garis untuk frekuensi π β« 1 adalah -40 dB/decade. π
Begitu pula untuk 0 < π < 1, diagram Bode respons magnituda (Gbr. 4) dan respons fasa (Gbr. 5) menyerupai aproksimasi asimptotik yang diberikan masing-masing pada Tabel 4 dan π 5. Hanya saja, pada frekuensi corner π = 1, nilai magnituda dipengaruhi secara signifikan π
oleh besarnya damping ratio. Kesalahan magnituda pada frekuensi corner
π ππ
= 1 dapat
ditulis sebagai 20log10 (2π)
Gbr. 4 Respons Magnituda π»(ππ)
ππ΅
Sistem Orde Dua
Gbr. 5 Respons fasa argβ‘ (π» ππ ) Sistem Orde Dua
11
(25)
Seperti yang telah dilakukan pada modul 2, penentuan respons frekuensi suatu sistem dilakukan dengan melihat perubahan amplituda dan fasa sinyal luaran saat sinyal masukan sinus diubah-ubah frekuensinya. Formulasi penentuan respons magnituda dan respons fasa dapat dilihat pada modul 2 persamaan (18) dan (19). Pada modul ini, respons magnituda diubah ke dalam dB, atau π»(ππ)
ππ΅
= 20log10 π»(ππ)
(26)
Selain itu, pada modul ini, respons frekuensi ditampilkan dalam diagram Bode, sehingga skala frekuensi yang dipakai adalah skala logaritmik. Dengan demikian, sinyal masukan yang dibangkitkan berada pada rentang beberapa dekade sebelum dan sesudah frekuensi alami ππ . Setelah melalui pengamatan, sinyal masukan cukup dibangkitkan pada rentang 0.1 ππ β€ π β€ 10ππ
(27)
Percobaan penentuan respons frekuensi dilakukan dengan menggunakan rangkaian RLC seri (luaran pada tegangan kapasitor) sesuai Gbr. 2. Untuk rangkaian tersebut, besarnya frekuensi alami dan damping ratio dapat ditentukan masing-masing melalui persamaan (5) dan (6). Sementara besarnya frekuensi osilasi dalam kedaan underdamped dinyatakan sebagai ππ 1 β π 2
(28)
Frekuensi osilasi keadaan underdamped digunakan sebagai nilai teoritis yang nantinya akan dibandingkan dengan salah satu hasil pada percobaan V.1 ( penentuan respons step). IV. Persiapan Percobaan IV.1. Peralatan yang Diperlukan Pada percobaan ini, diperlukan peralatan sebagai berikut: 1. Modul Edibon M2 2. Generator sinyal 3. Osiloskop 4. Kabel probe sebanyak 3 buah 5. Kabel jumper 6. Flash Disk, disiapkan oleh praktikan 7. Desktop PC yang terinstal Matlab 8. Kalkulator
12
IV.2. Setting Trigger pada Osiloskop Tabel 6. Setting trigger pada osiloskop
Jenis Trigger Mode Coupling untuk masukan sinyal DC (unit step) Coupling untuk masukan sinyal sinus Slope Source selector
Keterangan Edge DC coupling AC coupling Positive Ch 1 (sinyal masukan)
IV.3. Switch pada Modul Edibon M2 Pastikan semua switch pada modul berada pada posisi 1, sehingga modul bebas dari sinyal gangguan yang disengaja. V.
Percobaan
V.1. Respons step Percobaan berikut dilakukan untuk berbagai nilai damping ratio yang mewakili sistem underdamped dan critically damped . Nilai damping ratio menentukan besarnya nilai R yang harus diambil seperti diilustrasikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai resistor untuk damping ratio tertentu
Damping ratio π» 0.052 0.16 1.0
R Edibon M2 330 Ξ© R18 R18 seri R12 330 Ξ© + 680 Ξ© 680 Ξ© + 1 kΞ© + 4.7 kΞ© R12 seri R14 seri R11
Keadaan underdamped underdamped critically damped
Langkah-langkah percobaan: 1. Buatlah rangkaian seperti Gbr. 2 dengan nilai L = 10 mH dan C = 1 nF (L1 dan C11 pada Edibon), dan nilai R sesuai Tabel 7. 2. Hitung frekuensi alami ππ yang dihasilkan dari nilai L dan C tersebut. Selanjutnya, besar perioda osilasi alami dapat ditentukan. 3. Untuk tiap nilai resistor, bangkitkan tegangan DC berupa unit step bernilai 1 V. Hal ini dilakukan dengan membangkitkan sinyal kotak periodik frekuensi 2 kHz, duty cycle 60% (pembangkitan unit step yang demikian, memudahkan dalam melihat bagian transien dari respons). Nilai tegangan 1 V diperoleh melalui tegangan peak-to-peak 1V dan offset DC 500 mV. Pengamatan sinyal masukan dan luaran nantinya cukup dilakukan untuk satu periode. 4. Gunakan skala tegangan dan waktu pada Ch 1 dan Ch 2 osiloskop sebagai berikut: Skala tegangan 500 mV/div ? Skala waktu 50 ππ /div ? 13
5.
Lihat sinyal luaran pada osiloskop. Dalam keadaan underdamped, tentukan frekuensi osilasi. Hal ini dilakukan dengan mengukur beberapa periode osilasi, lalu diambil nilai rata-rata periodenya. Bandingkan dengan perhitungan frekuensi osilasi teoritis sesuai persamaan (28). 6. Simpan data tegangan luaran pada Flash Disk. Gunakan ekstensi file .csv. Dengan demikian, file .csv memuat 2 buah informasi yaitu waktu dan tegangan luaran (Ch 2). 7. Jangan ubah skala osiloskop, termasuk referensi waktu π = π. Dengan nilai L dan C yang sama, ulangi langkah 1-6 untuk nilai R lainnya pada Tabel 7. 8. Lakukan analisis pengaruh resistansi R terhadap ada/tidaknya dan kuat/lemahnya amplituda osilasi pada tegangan luaran. 9. Pindahkan data dari Flash Disk ke perangkat lunak Matlab pada desktop PC. Simpan data pada folder baru berlokasi di C:\Users\radartelkom_1\Desktop\Praktikum S1\Praktikum PSWK\Semester 2 2016 2017\Modul 3\nama folder (misal nama kelompok). 10. Pastikan jendela utama Matlab tertaut pada lokasi folder yang telah Anda buat. 11. Panggil file .csv (sebanyak 3 file), yang masing-masing berisi tegangan luaran untuk tiap nilai damping ratio. Simpan hasil pembacaan tiap file .csv pada suatu matriks/variabel. Gunakan perintah: nama_matriks = dlmread β²nama file. csv β² ,β² ,β² , 2,0 ; Pada matriks tersebut, kolom 1 dan 2 masing-masing berisi waktu dan tegangan luaran. Gunakan informasi ini untuk melakukan pengolahan terhadap isi matriks. 12. Tampilkan ketiga gambar tegangan luaran untuk tiap damping ratio dengan perintah: plot nama_matriks_aa : ,2 , hold on; plot nama_matriks_bb(: ,2), β²redβ² , hold on; plot nama_matriks_cc(: ,2), β²blackβ² ; Keterangan: β’ nama_matriks_aa adalah matriks yang memuat sinyal luaran dengan damping ratio tertentu, kurva diberi warna biru (warna default) β’ nama_matriks_bb adalah matriks yang memuat sinyal luaran dengan damping ratio tertentu, kurva diberi warna merah β’ nama_matriks_cc adalah matriks yang memuat sinyal luaran dengan damping ratio tertentu, kurva diberi warna hitam 13. Simpan gambar dalam bentuk .jpg atau .bmp untuk dianalisis pada laporan. 14. Berikan analisis terhadap perbedaan hasil respons step dari percobaan dengan nilai teoritis sesuai persamaan (12). V.2. Respons Frekuensi dalam Diagram Bode Langkah-langkah percobaan: 1.
Buatlah rangkaian seperti Gbr. 2, dengan nilai dengan nilai L = 10 mH dan C = 1 nF (L1 dan C11 pada Edibon), dan nilai R sesuai Tabel 7. 14
2. 3.
Bangkitkan sinyal masukan berupa sinus tegangan +3 sampai -3 V. Tegangan +3 sampai -3 V diperoleh dengan memasukkan tegangan peak-to-peak 6 V dan offset DC 0 V. Variasikan frekuensi sinus dari 5.033 kHz s.d. 503.3 kHz. Untuk tiap dekade frekuensi, π gunakan frekuensi normalisasi π ke- 1, 2, 4, 6, 8. π
4.
5. 6.
7.
8.
9.
Dengan menggunakan osiloskop, catat nilai-nilai berikut pada logbook: ο· tegangan maksimum pada sinyal masukan Ain ο· tegangan maksimum pada sinyal luaran Aout ο· waktu saat sinyal masukan memotong sumbu waktu dengan gradien positif π‘ππ ο· titik pertama setelah π‘ππ , saat sinyal luaran memotong sumbu waktu dengan gradien positif. Titik tersebut terjadi pada waktu π‘ππ’π‘ . Dengan nilai L dan C yang sama, ulangi langkah 1-4 untuk nilai R lainnya pada Tabel 7. Hitung besarnya respons magnituda dan respons fasa dari tampilan yang dihasilkan. Gunakan persamaan (18) dan (19) pada modul 2. Lakukan konversi respons magnituda ke dalam dB sesuai persamaan (26). Catat nilainya pada logbook. Tentukan diagram Bode respons magnituda (dB) dan respons fasa teoritis sesuai persamaan (17), (18) untuk π = 1 dan persamaan (23), (24) untuk π = 0.052 dan π = 0.16. Catat nilainya pada logbook. Gambarlah diagram Bode respons magnituda (dB) dan respons fasa yang dihasilkan dari percobaan dan yang diperoleh secara teoritis. Tampilkan juga aproksimasi asimptotik dari diagram Bode respons magnituda (dB) dan respons fasa. Jelaskan perbedaan diagram Bode yang didapat antara hasil percobaan, hasil teoritis, dan hasil aproksimasi asimptotik. Apa pengaruh damping ratio terhadap jenis filter yang dihasilkan rangkaian (low-pass, high-pass, band-pass, band-stop) ?
VI. Tugas pada Laporan
1. 2. 3.
Hal-hal yang harus terdapat pada laporan: Semua pertanyaan yang ada pada langkah-langkah percobaan. Perbandingan antara hasil percobaan dengan nilai teoritis pada percobaan penentuan respons step. Perbandingan diagram Bode respons magnituda dan respons fasa antara hasil percobaan, hasil teoritis, dan hasil aproksimasi asimptotik.
VII. Referensi 1. Alan V. Oppenheim, Alan S. Willsky, with S. Hamid, Signals and Systems, 2nd edition, Prentice-Hall, 1996. 2. Simon Haykin, Barry Van Veen, Signals and Systems, 2nd edition, John Wiley & Sons, Inc., 2004. 3. P Sannuti, Steady State Frequency Response Using Bode Plots, Rutgers University, Dec. 16, 2005.
15