ANALISIS KEBIJAKAN EKONOMI KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN TERI DI PULAU PASARAN KOTA BANDAR LAMPUNG
AKMI RETNO DWIPA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Ekonomi Kelembagaan Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Ikan Teri di Pulau Pasaran Kota Bandar Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2013
Akmi Retno Dwipa NIM. H44090037
ABSTRAK AKMI RETNO DWIPA. Analisis Ekonomi Kelembagaan Pengembangan Kluster Industri Pengolahan Ikan Teri di Pulau Pasaran Kota Bandar Lampung. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan KASTANA SAPANLI. Provinsi Lampung memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar khususnya di sektor perikanan tangkap. Salah satu komoditas perikanan yang cukup potensial di Provinsi Lampung adalah ikan teri. Ikan teri dihasilkan melalui usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan bagan di perairan Teluk Lampung. Salah satu sentra pengolahan hasil perikanan adalah Pulau Pasaran di Kecamatan Teluk Betung Timur, Kota Bandar Lampung. Sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian berprofesi sebagai pengolah ikan teri. Jenis ikan teri yang dihasilkan adalah teri nasi, teri jengki, dan teri nilon dalam bentuk olahan ikan asin kering. Berdasarkan Keputusan Menteri No. 32 Tahun 2010, Pulau Pasaran telah ditetapkan sebagai kawasan minapolitan. Salah satu upaya mendukung penetapan tersebut adalah dengan membentuk klaster industri pengolahan ikan teri. Stakeholders yang terlibat dalam tim pengembangan klaster pengolahan ikan teri ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No. 256/23/HK/2011. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tata kelembagaan, mengevaluasi pengaruh dan kepentingan stakeholders, mengkaji efisiensi efisiensi dan desain kelembagaan, serta mengevaluasi strategi kebijakan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah analisis tata kelola, analisis pengaruh dan kepentingan, biaya transaksi, dan Analisis Hirarki Proses (AHP). Hasil penelitian ini adalah menunjukkan bahwa tata kelola pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran masih sering terjadi konflik antara pengolah dengan nelayan dan pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena belum terbentuknya tata kelembagaan rantai pasok yang efisien dan economics foundation belum lengkap, sehingga pengembangan klaster industri belum berjalan secara optimal. Economics foundation yang harus dikembangkan adalam peningkatan kemampuan manajemen, peningkatan investasi modal, dan kemampuan pasar. Rasio biaya transaksi pengolah menunjukkan bahwa biaya transaksi tidak mempengaruhi aspek produksi pengolah. Strategi kebijakan yang direkomendasikan dari analisis AHP adalah meningkatkan kapasitas manajemen pengolah sebagai prioritas utama, yang diikuti dengan membuka akses pemasaran, dukungan finansial, pelatihan teknologi tepat guna, dan pengembangan infrastruktur. Kata Kunci : Analisis Hirarki Proses, Biaya Transaksi, Klaster Industri, Pengolahan Ikan Teri
ABSTRACT AKMI RETNO DWIPA. Institutional Economics Policy Analysis on The Development of Anchovy Processing Cluster Industry in Pulau Pasaran Bandar Lampung City. Direction by TRIDOYO KUSUMASTANTO and KASTANA SAPANLI. Lampung Province has potential resource in fisheries. One of the potential fisheries commodity in Lampung Province is anchovy which is produced by lift net in Lampung Bay. The final product of anchovy is dry-salted anchovy which has local name “teri”, process mainly in Pulau Pasaran, Teluk Betung Timur, Bandar Lampung City. Types of anchovy that produced, are “teri nasi”, “teri jengki”, and “teri nilon”. According to Ministerial Decree No. 32 Tahun 2010, Pulau Pasaran has been established as “minapolitan area”. Development of anchovy cluster industry in Pulau Pasaran based on strategic planning was decided by stakeholders and endorsed by Mayor Decree of Bandar Lampung No. 256/23/HK/2011. The objectives of this research were to analyze institutional frameworks, to evaluate influence and importance of stakeholders, to review efficiency and institutional design, and to evaluate alternative policy. This research used four methods that are institutional analysis, influence and importance analysis, transaction cost, and Analytical Hierarchy Process (AHP). The result showed that institutional frameworks in Pulau Pasaran anchovy processing cluster industry development is facing conflict between processors with fishermen and intermediate users. Market efficiency has not been supported by strong supply chain system because of lack capacity of cluster industry stakeholders. The economics foundation of industry cluster pyramid has to be developed by improving management skill, increase of capital investment, and marketing capability. Transaction cost ratio showed that volume of production has not been influenced by transaction cost. AHP analysis suggests that group of processor capability in management should be developed as the first priority, followed by developing access of market, improving of financial support, trainning of processing technology, and developing infrastructure. Key words : Analytic Hierarchy Process, Transaction Cost, Industry Cluster, Anchovy Processing, Pulau Pasaran
ANALISIS KEBIJAKAN EKONOMI KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN TERI DI PULAU PASARAN KOTA BANDAR LAMPUNG
AKMI RETNO DWIPA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul Penelitian
Nama
: Analisis Kebijakan Ekonomi Kelembagaan Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Ikan Teri di Pulau Pasaran Kota Bandar Lampung : Akmi Retno Dwipa
NIM
: H44090037
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S
Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Mei 2013 ini adalah Kebijakan Ekonomi Kelembagaan, dengan judul Analisis Kebijakan Ekonomi Kelembagaan Pengembangan Klaster Industri Pengolahan Ikan Teri di Pulau Pasaran Kota Bandar Lampung. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penulisan ini antara lain : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Bapak Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Ir. Ujang Sehabudin dan Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si selaku Dosen Penguji dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. 3. Ayahanda dan Ibunda Tercinta, Bapak Akhmad Rifani, SE dan Ibu Dra. Lasmina yang selalu memberikan dukungan dan doa restu dalam penyelesaian skripsi ini, dan Adik kesayangan Rissa Zeno yang selalu mendoakan dan menyemangati. 4. Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Lampung yang telah membantu dalam pengumpulan informasi dan data. 5. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung dan Kota Bandar Lampung yang telah memberikan dukungan dan informasi dan data yang terkait dengan penelitian. 6. Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian, dan Perdagangan Kota Bandar Lampung yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan penelitian. 7. BAPPEDA Kota Bandar Lampung yang telah memberikan informasi dan data terkait penelitian. 8. Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandar Lampung yang telah memberikan informasi dan data terkait penelitian. 9. DPD APINDO Provinsi Lampung yang telah memberikan informasi dan data terkait penelitian. 10. Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa yang telah memberikan informasi terkait Program Pengembangan Masyarakat Klaster Pulau Pasaran. 11. Ketua Program Studi Agribisnis Universitas Lampung Bapak Dr. Ir. Hanung Ismono, M.Si yang telah memberikan informasi terkait penelitian. 12. Semua instansi pemerintahan maupun LSM yang tergabung dalam Tim Pengembangan Klaster Pengolahan Ikan Teri di Pulau Pasaran yang telah memberikan informasi dan data yang terkait dengan penelitian ini. 13. Kelompok Pengolah Ikan Teri dan masyarakat Pulau Pasaran yang telah memberikan informasi dalam pengumpulan data penelitian ini. 14. Bapak Kusnadi sekeluarga yang telah memberikan fasilitas dan tempat tinggal selama penelitian berlangsung di Pulau Pasaran.
15. Rekan-rekan Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan angkatan 46 yang selalu memberikan semangat positif dalam penyelesaian skripsi. 16. Teman-teman bimbingan skripsi, yaitu Charra Rosemarry, Hesti Yunita, Edwina Firdhatari, Nur Afniati, dan Petrus Romil. 17. Rekan-rekan dekat yang selalu memberikan semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi, yaitu Mila Kharisma, Larasati Anggraini, Astari Miranti, Putu Debby, Haleda Riezka, dan Nadya Ichsani. 18. Ibu Muty dan Mbak Osmaleli yang selalu memberikan dukungan semangat serta doa dalam penyelesaian skripsi. 19. Semua pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam pengembangan klaster industri di bidang perikanan. Bogor, September 2013
Akmi Retno Dwipa
DAFTAR ISI
PRAKATA DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
Halaman i ii iii iv
1
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalahan ......................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 5 1.4 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 5 1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klaster Industri ..................................................................................... 7 2.2.Kerangka Analisis Kelembagaan ......................................................... 8 2.2.1 Tata Kelola Sumberdaya Perikanan ...................................... 9 2.3. Definisi Biaya Transaksi ................................................................... 10 2.3.1 Klasifikasi Biaya Transaksi ................................................. 11 2.3.2 Efisiensi Biaya Transaksi .................................................... 12 2.4 Analisis Kebijakan ............................................................................. 14 2.5 Analytic Hierarchy Process ............................................................... 16 2.6 Aransemen Kelembagaan .................................................................. 18 2.7 Penelitian Terdahulu .......................................................................... 18
3
KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................... 21
4
METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................. 23 4.2 Metode Penelitian ............................................................................... 23 4.3 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 23 4.4 Metode Pengambilan Sampel ............................................................. 24 4.5 Metode Analisis Data ......................................................................... 25 4.5.1 Analisis Tata Kelola ............................................................ 25 4.5.2 Analisis Stakeholders .......................................................... 27 4.5.3 Analisis Pengaruh dan Kepentingan stakeholders .............. 28 4.5.4 Analisis Biaya Transaksi ..................................................... 30 4.5.6 Desain Kelembagaan ........................................................... 31 4.5.5 Analytic Hierarchy Process ................................................ 31
5
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Geografis .............................................................................. 37 5.2 Kondisi Demografi ............................................................................. 38 5.3 Kondisi Sosial Ekonomi ..................................................................... 39 5.3.1 Pekerjaan ............................................................................. 39
5.3.2 Ketersediaan Fasilitas Umum ............................................. 41 5.4 Kondisi Perikanan dan Kelautan ........................................................ 43 5.5 Karakteristik Responden .................................................................... 46 5.5.1 Kondisi Umum Responden ................................................. 46 5.5.2 Pendidikan ........................................................................... 48 5.5.3 Ketersediaan Armada Kapal ............................................... 49 5.6 Karakteristik Pasar ............................................................................. 50 5.6.1 Komponen Harga Pasar ....................................................... 50 5.6.2 Saluran Pemasaran .............................................................. 51 5.7 Proses Pengolahan Ikan Teri di Pulau Pasaran .................................. 52 6
TATA KELOLA KLASTER INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN TERI 6.1 Klaster Industri Pengolahan Ikan Teri ............................................... 55 6.2 Kelembagaan sebagai Aturan Main ................................................... 55 6.2.1 Aturan Formal ..................................................................... 55 6.2.2 Aturan Informal ................................................................... 57 6.3 Analisis Tata Kelola ........................................................................... 57 6.4 Analisis Kepentingan dan Pengaruh Aktor ........................................ 60 6.5 Desain Stakeholders ........................................................................... 68 6.6 Hubungan Antar Aktor ....................................................................... 69
7
ANALISIS EFISIENSI DAN DESAIN KELEMBAGAAN 7.1 Struktur Biaya Transaksi Pemerintah ................................................ 71 7.2 Struktur Biaya Pengolah .................................................................... 72 7.2.1 Komponen Biaya Produksi ................................................. 72 7.2.2 Struktur Penerimaan Pengolah ............................................ 75 7.2.3 Komponen Biaya Transaksi ................................................ 76 7.3 Rasio Biaya Transaksi ........................................................................ 78 7.3.1 Rasio Biaya Transaksi Pemerintah ...................................... 78 7.3.2 Rasio Biaya Transaksi Kelompok Pengolah ....................... 81 7.3.3 Rasio Biaya Transaksi Pengolah Terhadap Biaya Produksi- Penerimaan ......................................................... 84 7.3.4 Faktor Penyebab Biaya Transaksi Pengolah ....................... 85 7.3.5 Minimalisasi Biaya Transaksi ............................................. 86 7.4 Desain Kelembagaan .......................................................................... 87 9.1 Batas Yurisdiksi ..................................................................... 88 9.2 Hak Kepemilikan ................................................................... 88 9.3 Aturan Representasi ............................................................... 89 9.4 Mekanisme Implementasi ...................................................... 90
8
ANALISIS KEBIJAKAN EKONOMI KELEMBAGAAN 8.1 Analytic Hierarchy Process ............................................................... 93 8.2 Hasil Pengolahan Data Horizontal ..................................................... 95 8.3 Hasil Pengolahan Data Vertikal ......................................................... 98
9
SIMPULAN DAN SARAN 9.1 Simpulan .......................................................................................... 103 9.2 Saran ................................................................................................. 104
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 105 LAMPIRAN ....................................................................................................... 109
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Data Produksi Ikan Teri Provinsi Lampung ............................................... 1 2. Matriks Jenis dan Sumber Data ................................................................ 24 3. Aktor dan key person yang Terlibat dalam Pengambilan Sampel ........... 25 4. Ukuran Kuantitatif Identifikasi dan Pemetaan Aktor ............................... 29 5. Nilai Skala Perbandingan Berpasangan ................................................... 33 6. Matriks Pendapat Individu ................................................................ ....... 34 7. Matriks Pendapat Gabungan ............................................................. ....... 34 8. Indeks Acak .............................................................................................. 35 9. Luas Wilayah Kecamatan Teluk Betung Timur Berdasarkan Kelurahan ................................................................................................. 37 10. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan Kelurahan ................................................................................................. 39 11. Jumlah Penduduk Pulau Pasaran Berdasarkan Golongan Umur dan Jenis Kelamin .................................................................................... 39 12. Data Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan .............................. 43 13. Data Perlakuan Produksi Perikanan Laut Menurut Cara Perlakuan ........ 43 14. Jenis Armada Kapal Laut di Pulau Pasaran ............................................. 45 15. Jenis Alat Tangkap Ikan Teri di Pulau Pasaran ........................................ 46 16. Kisaran Harga Bahan Baku Ikan Teri ...................................................... 50 17. Harga Jual Ikan Teri Kering ..................................................................... 51 18. Matriks Proposed stakeholders Pengembangan Klaster Industri ............ 68 19. Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengembangan Pulau Pasaran ......... 72 20. Biaya Produksi Pengolah Ikan Teri Per Tahun ........................................ 75 21. Rata-rata Penerimaan Pengolah Ikan Teri ................................................ 75 22. Biaya Transaksi Pengolah Ikan Teri Per Tahun ....................................... 78 23. Komponen Biaya Transaksi Pemerintah .................................................. 79 24. Rasio Biaya Manajerial Terhadap Total Biaya Transaksi ........................ 79 25. Rasio Komponen Biaya Manajerial Terhadap Total Biaya Manajerial ................................................................................................ 80
26. Rasio Biaya Pembinaan Terhadap Total Biaya Transaksi ....................... 80 27. Rasio Komponen Biaya Pembinaan Terhadap Total Biaya Pembinaan ................................................................................................ 80 28. Rasio Biaya Transaksi Pengolah Terhadap Total Biaya Transaksi .......... 81 29. Rasio Biaya Operasional Bersama Terhadap Total Biaya Transaksi ....... 82 30. Rasio Komponen Biaya Operasional Terhadap Total Biaya Operasional ............................................................................................... 82 31. Rasio Biaya Informasi Terhadap Total Biaya Transaksi ......................... 83 32. Rasio Biaya Distribusi Terhadap Total Biaya Transaksi ......................... 83 33. Rasio Komponen Biaya Distribusi Terhadap Total Biaya Distribusi .................................................................................................. 83 34. Rasio Biaya Perizinan Terhadap Total Biaya Transaksi .......................... 84 35. Rasio Biaya Transaksi Terhadap Biaya Produksi dan Penerimaan .......... 84 36. Bobot dan Prioritas Pengolahan Horizontal Elemen Tingkat 3 ............... 96 37. Bobot dan Prioritas Pengolahan Horizontal Elemen Tingkat 4 ............... 98 38. Bobot dan Prioritas Faktor Penyusun Strategi Kebijakan Klaster Industri ................................................................................................... 100 39. Bobot dan Prioritas Aktor Penyusun Strategi Kebijakan Klaster Industri ................................................................................................... 101 40. Bobot dan Prioritas Strategi Kebijakan Klaster Industri ........................ 101
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Komponen Kunci Klaster Industri ............................................................. 8 2. Kerangka Analisis Kelembagan ............................................................... 10 3. Skema Lapisan Biaya Transaksi .............................................................. 13 4. Determinasi Biaya Transaksi ................................................................... 14 5. Analisis Kebijakan Berorientasi Permasalahan ........................................ 15 6. Kerangka Pemikiran Penelitian ................................................................ 22 7. Kerangka Analisis Tata Kelola ................................................................ 26 8. Matriks Aktor Grid ................................................................................... 30 9. Struktur Hirarki strategi kebijakan Pengembangan Klaster ..................... 36 10. Persentase Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian ....................... 40 11. Sebaran fasilitas umum ............................................................................ 41 12. Fasilitas Gedung Sekolah ......................................................................... 42 13. Data Produksi Olahan Ikan Teri Pulau Pasaran ....................................... 44 14. Sebaran Usia Responden .......................................................................... 46 15. Sebaran Lama Menetap dan Unit Usaha Responden ............................... 47 16. Sebaran Daerah Asal Responden ............................................................. 48 17. Sebaran Tingkat Pendidikan Responden .................................................. 49 18. Sebaran Armada Kapal Pengolah Ikan ..................................................... 49 19. Bagan Alir Pengolahan Ikan Teri ............................................................. 54 20. Analisis Tata Kelola ................................................................................. 59 21. Pemetaan Aktor Grid ................................................................................ 60 22. Hubungan Antar Aktor ............................................................................. 70 23. Desain Kelembagaan ................................................................................ 91 24. Struktur Hirarki ........................................................................................ 94 25. Hirarki Pemilihan Alternatif Strategi Kebijakan dengan Bobot .............. 99
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian ............................................................................ 110 2. Dokumentasi Penelitian .......................................................................... 111 3. Data Responden ...................................................................................... 112 4. Data Biaya Produksi Responden ............................................................ 113 5. Data Hasil Perhitungan Bobot dengan Expert Choice 2000 .................. 114
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Dewasa ini, perkembangan usaha perikanan budidaya dan tangkap banyak dikembangkan sebagai sumber pemasukan aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Kondisi tersebut mendukung sektor perikanan yang dahulu menjadi sektor yang terpinggirkan, diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional (Kusumastanto 2003). Provinsi Lampung adalah salah satu provinsi yang memiliki potensi sumberdaya perikanan. Potensi sumberdaya perikanan tersebut diharapkan dapat mendukung pembangunan dan revitalisasi sektor perikanan dan kelautan. Provinsi Lampung memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar khususnya di sektor perikanan tangkap. Salah satu komoditas perikanan yang cukup potensial di Provinsi Lampung adalah ikan teri. Ikan teri dihasilkan melalui usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan bagan di perairan Teluk Lampung. Produksi tersebut tersaji pada Tabel 1 yang ditunjukkan oleh data Produksi Ikan Teri Provinsi Lampung Tahun 2005 – 2011. Tabel 1. Data Produksi Ikan Teri Provinsi Lampung Tahun Produksi (kg) 2005 19.042,10 2006 15.796,60 2007 13.608,90 2008 23.768,22 2009 7.433,84 2010 15.929,93 2011 906,30 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, 2012
Berdasarkan data di atas, produksi ikan teri di Provinsi Lampung cenderung fluktuatif. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2008, dan terendah pada tahun 2011. Aktivitas perikanan yang dipengaruhi oleh keadaan musim, cuaca, dan lingkungan berpengaruh pada fluktuasi produksi.
2
Salah satu sentra pengolahan hasil perikanan adalah Pulau Pasaran di Kecamatan Teluk Betung Timur, Kota Bandar Lampung. Sebagian besar masyarakat di Pulau Pasaran berprofesi sebagai pengolah ikan teri. Ikan teri merupakan komoditas yang relatif tersedia di Pulau Pasaran karena aktivitas nelayan yang menangkap ikan di sekitar perairan Pulau Pasaran. Jenis ikan teri yang dihasilkan adalah teri nasi, teri jengki, dan teri nilon dalam bentuk olahan ikan asin kering. Berdasarkan Keputusan Menteri No. 32 Tahun 2010, Pulau Pasaran telah ditetapkan sebagai kawasan minapolitan. Kawasan minapolitan menurut Perda No. 10 Tahun 2011 adalah bagian wilayah yang mempunyai fungsi utama ekonomi yang terdiri dari sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas perikanan, pelayanan jasa, dan atau kegiatan pendukung lainnya. Hal tersebut mendasari pembentukan kelompok kerja (POKJA) percepatan pembangunan kawasan agropolitan dan minapolitan di Provinsi Lampung tahun 2011-2014 yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur Lampung No. G/89/II.02/HK/2011, dengan
mempertimbangkan
pengembangan
ekonomi
desa
mandiri
dan
berkesinambungan, serta mengurangi ketimpangan kota-desa melalui koordinasi masyarakat, swasta, maupun pemerintahan. POKJA memiliki peran dalam kegiatan perumusan program, sosialisasi program, memfasilitasi kelembagaan agribisnis dan pelayanan informasi, monitoring dan evaluasi, serta memfasilitasi koordinasi dan konsultasi tentang permasalahan pembangunan kawasan minapolitan. Pembangunan kawasan minapolitan mempertimbangkan aspek-aspek yang mengarahkan pembangunan ekonomi dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
dan
pertahanan
keamanan.
Pengembangan kawasan minapolitan mengurangi disparitas pembangunan yang hanya bertumpu pada pembangunan kota di daratan, sehingga tingkat kemiskinan di kawasan pesisir dapat dikurangi melalui upaya pengoptimalan pemanfaatan sumberdaya yang terpadu. Upaya hilirisasi produk ikan teri merupakan sarana untuk meningkatkan nilai tambah produk dan membuka lapangan pekerjaan baru.
3
Pulau Pasaran memiliki potensi yang cukup besar untuk menopang pemasukan daerah khususnya kota Bandar Lampung. Kondisi empiris yang kontras terjadi di lapangan dan menghambat rantai pasok pengolah ikan teri adalah pola pemasaran hasil olahan yang belum memadai. Harga jual ikan teri cenderung fluktuatif menyesuaikan harga yang ditentukan oleh pedagang pengumpul dan berimplikasi pada pendapatan para pengolah. Selain itu, permasalahan keterbatasan dalam manajemen usaha perikanan yang kurang memperhatikan
aspek
keberlanjutan
menjadi
alasan
kurang
tertatanya
kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Salah satu upaya peningkatan posisi tawar pengolah ikan teri di Pulau Pasaran adalah melalui pembentukan lembaga seperti kelompok usaha pengolah ikan teri. Bentuk kemitraan usaha tersebut merupakan alternatif pemberdayaan masyarakat dalam upaya peningkatan lapangan pekerjaan yang berintegrasi secara vertikal dengan stakeholders terkait bidang perikanan. Pembinaan serta pelatihan yang intensif kepada para pengolah ikan menjadi langkah peningkatan modal sosial masyarakat dan perbaikan tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, investasi yang dibangun pada usaha perikanan harus mengikuti pola pengembangan ekonomi berkelanjutan (sustainable development) yang bertumpu pada matra ekologi, ekonomi, dan sosial. Pembentukan klaster kelompok pengolah ikan teri dilakukan bersama dengan mitra usaha seperti perbankan, BUMN, LSM, dan kelompok pemerintah yang memberikan bantuan teknis pengembangan klaster. Integrasi vertikal berbagai stakeholders dengan kepentingan dan pengaruh posisi aktor juga berkontribusi dalam implementasi klaster industri. Pengembangan Pulau Pasaran sangat ditentukan strategi kebijakan yang akan diambil oleh para pengambil keputusan. Stakeholders yang terlibat dalam tim pengembangan klaster pengolahan ikan teri telah ditetapkan melalui Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No. 256/23/HK/2011. Penelitian ini akan mengkaji aspek kelembagaan dan kebijakan klaster pengolahan ikan teri. Tata kelola dalam klaster pengolahan ikan teri merupakan aspek yang menarik untuk diteliti, karena biaya dalam pengusahaan tidak hanya berkaitan dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengolah ikan teri,
4
melainkan biaya lainnya seperti biaya transaksi. Selain itu, karakteristik masyarakat yang homogen berprofesi sebagai pengolah ikan teri memiliki kebebasan untuk mengatur rantai pemasaran melalui pedagang pengepul atau konsumen secara langsung, sehingga berdampak pada struktur pasar yang akan terbentuk. Oleh karena itu, hasil (output) yang diharapkan dari penelitian ini adalah desain kelembagaan klaster industri pengolahan ikan teri yang terintegrasi dan berkelanjutan. 1.2 Perumusan Masalah Pembentukan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran merupakan upaya peningkatan ketahanan dan kemandirian pengolah ikan teri untuk mencapai kesejahteraan. Pelaksanaan program klaster ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan usaha kelompok pengolah ikan teri dengan pembinaan serta pendampingan dalam hal transfer teknologi pengolahan ikan teri. Program tersebut difasilitasi oleh POKJA yang perannya telah ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Manfaat langsung yang didapat oleh kelompok pengolah berupa peningkatan produktivitas ikan teri kering seiring dengan penguatan kelembagaan dan keterpaduan kelompok. Kelembagaan yang terbentuk dapat menjadi modal sosial terciptanya kemandirian dan keberlanjutan kelompok pengolah ikan teri. Produksi olahan ikan teri selain mengeluarkan biaya investasi dan biaya operasional juga terdapat komponen biaya lain, yaitu biaya transaksi. Biaya transaksi adalah biaya untuk mengatur, mempertahankan, dan mengubah sistem formal dan informal dalam suatu kelembagaan. Biaya transaksi yang muncul dari aktivitas pengolahan ikan teri mengidentifikasikan tingkat keefisienan suatu arahan kebijakan. Biaya transaksi yang tinggi merupakan salah satu indikator tidak efisiennya suatu kebijakan khususnya dalam pengembangan kawasan minapolitan. Evaluasi biaya transaksi dan kebijakan dalam pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran dapat menjadi rekomendasi kebijakan bagi stakeholders sebagai upaya meminimalisasi biaya transaksi, khususnya pada pola kemitraan dan pembinaan di masa mendatang. Beberapa permasalahan yang akan diteliti dirumusan sebagai berikut :
5
1. Bagaimana tata kelembagaan dalam klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran? 2. Bagaimana pengaruh dan kepentingan antar stakeholders yang terlibat dalam tata kelola klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran? 3. Bagaimanakah efisiensi ekonomi dan desain kelembagaan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran? 4. Bagaimanakah
strategi
kebijakan
yang
sesuai
diterapkan
dalam
pengembangan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengkaji tata kelembagaan dan implikasi ekonomi klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran sebagai rekomendasi dalam meminimisasi biaya transaksi. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis tata kelembagaan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran. 2. Mengevaluasi pengaruh dan kepentingan antar stakeholders yang terlibat dalam tata kelola klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran. 3. Mengkaji efisiensi ekonomi dan desain kelembagaan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran. 4. Mengevaluasi
strategi
kebijakan
yang
sesuai
diterapkan
dalam
pengembangan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis kebijakan ekonomi kelembagaan pengembangan sentra pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran. Analisis ekonomi kelembagaan akan mengkaji keragaan kelembagaan yang terdiri dari aspek tata kelola sentra pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran, aransemen kelembagaan yang diidentifikasi melalui analisis stakeholders, dan biaya transaksi. Penelitian ini juga membandingkan efisiensi biaya transaksi desain kelembagaan yang berlaku saat ini dengan kerangka kelembagaan yang menjadi rekomendasi arahan kebijakan.
6
Arahan strategi kebijakan dievaluasi dengan struktur hirarki untuk menentukan kebijakan yang sesuai dengan kondisi lokal. Kajian penelitian ini hanya difokuskan pada pengembangan kawasan minapolitan di bidang pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti, departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, industri pengolahan ikan teri dan pemerintah. Manfaat yang didapat peneliti adalah sebagai tambahan pengetahuan dalam mengaplikasikan teori-teori yang telah diajarkan di perkuliahan khususnya dalam pengembangan ekonomi kelembagaan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti lain yang tertarik untuk mengembangkan teori-teori terkait pengurangan disparitas pembangunan kawasan pesisir melalui pengembangan kawasan minapolitan. Pengembangan klaster dikalangan industri pengolahan ikan teri dan nelayan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kerja sama yang menguntungkan, serta perbaikan kapasitas masyarakat mengenai teknik pengolahan hasil-hasil perikanan yang ramah lingkungan.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Klaster Industri
Teori klaster industri yang dikembangkan oleh Porter (1990) menyatakan bahwa industri nasional akan kompetitif secara internasional jika terjalin sinergi interrelationship diantara empat variabel dalam Diamond Factor Model, yaitu kondisi
faktor,
kondisi
permintaan
lokal,
kesesuaian
dan
dukungan
industri,strategi perusahaan, struktur, dan persaingan, serta dua pengaruh penting dari kesempatan dan pemerintah. Klaster merupakan konsentrasi geografis perusahaan yang saling terhubung, pemasok terspesialisasi, penyedia jasa, perusahaan di industri terkait, dan institusi yang berkaitan dan berkompetisi dengan bidang tertentu. Menurut Daryanto (2010) klaster adalah kelompok usaha yang terdapat dalam suatu kesatuan geografis yang terkait dari hulu sampai hilir dan terlibat dengan aktivitas penunjang seperti pembiayaan serta lembaga penelitian dan pengembangan yang menunjang aktivitas usaha klaster. Hubungan antar perusahaan dalam klaster bersifat vertikal dan horizontal. Bersifat vertikal adalah mekanisme rantai pembelian dan penjualan, sedangkan horizontal melalui produk dan jasa komplementer, penggunaan input terspesialisasi, teknologi, dan institusi. Indikator keberhasilan struktur klaster adalah industri penghela yang berorientasi ekspor dan berkaitan dengan industri pemasok. Komponen keberhasilan tersebut didukung oleh tatanan kelembagaan yang diilustrasikan pada Gambar 1 dalam piramida kunci klaster. Klaster
didefinisikan
oleh
Soetrisno
(2009)
adalah
pendekatan
pembangunan yang melibatkan pola pengelompokkan usaha sejenis dalam suatu kawasan
industri
dipertimbangkan
maupun dalam
manufaktur.
upaya
mencegah
Pengelompokkan dampak
negatif
Klaster
dapat
ketimpangan
pembangunan di era otonomi daerah saat ini. Tujuan pembentukan klaster industri adalah untuk meningkatkan omset dari hasil pengelompokan yang disertai dukungan pemerintah dalam hal infrastruktur dan pelayanan jasa harus tumbuh menjadi sebuah ekonomi yang dapat hidup dengan kekuatan pasar. Klaster
8
industri adalah upaya untuk mengurangi biaya transportasi dan transaksi dalam suatu sektor usaha untuk meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif, serta mendorong terciptanya inovasi.
Leader Firms Sistem pemasok (pemasok bahan baku, komponen, dan jasa) Economic Foundations (sumberdaya manusia, penelitian dan teknologi, sumberdaya kapital, iklim usaha, infrastruktur fisik, dan kualitas hidup) Gambar 1. Komponen Kunci Klaster Industri Sumber : SRI International (2007) dalam Daryanto (2010)
2.2 Kerangka Analisis Kelembagaan
Ekonomi politik selalu berkaitan dengan pembatasan kelembagaan dalam suatu pengelolaan sumberdaya. Deliarnov (2006) menjelaskan terdapat tiga lapis kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, kelembagaan sebagai aturan main, serta kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan. Lebih lanjut Deliarnov (2006) menyatakan bahwa kelembagaan sebagai norma dan konvensi merupakan aransemen yang didasari oleh konsensus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakan oleh keluarga, masyarakat, dan adat. Kelembagaan sebagai aturan main umumnya bersifat formal dan tertulis. Bogason (2000) yang diacu dalam Suhana (2008) menyebutkan tiga level aturan main, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Level aksi merupakan aturan langsung yang biasanya tercantum standar atau rules of
9
conduct. Level aksi kolektif merupakan aturan untuk aksi berupa kebijakan di masa mendatang, sedangkan level konstitusi merupakan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa mendatang. Aturan pada level konstitusi biasanya tertulis secara formal dan dikodifikasi. Kerangka analisis kelembagaan menurut Ostrom et al (1997) adalah sebuah kerangka berpikir yang dapat membantu mengidentifikasi variabel yang relevan untuk dikembangkan serta menyediakan bahasan yang lebih luas mengenai spesifik teori pembahasan yang akan digunakan. Langkah dalam pendekatan analisis kelembagaan adalah dengan mengidentifikasi unit konseptual yang disebut arena aksi dengan fokus kepada analisis, prediksi, dan penjabaran dari kebiasaan serta outcomes yang mutlak didapatkan. Arena aksi terdiri dari situasi aksi dan komponen aktor. Situasi aksi dapat dicirikan dengan menggunakan beberapa variabel, yaitu partisipan, posisi, aksi, potensial outcomes, fungsi pemetaan aksi terhadap outcomes, informasi, serta biaya dan manfaat setiap aksi dan outcomes. Komponen lain, aktor, merupakan partisipan pada situasi aksi yang memiliki preferensi, informasi, kriteria pemilihan dan sumberdaya. Langkah selanjutnya dalam kerangka analisis kelembagaan adalah mengevaluasi outcomes yang didapatkan menggunakan kriteria evaluasi. Kriteria evaluasi sangat berkaitan erat dengan konsep efisiensi dan pareto optimal. Konsep lainnya yang juga berhubungan adalah prinsip keadilan sangat penting dalam menentukan tipe aturan yang dipertimbangkan untuk diterapkan dalam suatu komunitas. Kriteria aturan yang diturunkan kepada generasi di masa mendatang tanpa pengenalan substansi eror masih menjadi kriteria lainnya. Kerangka analisis kelembagaan dapat diilustrasikan pada Gambar 2.
2.2.1 Tata Kelola Sumberdaya Perikanan Terdapat tiga pilar kelembagaan dalam manajemen perikanan menurut Jentoft (2004), pertama, pilar kebijakan (the regulative pillar) yang mengatur tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh pelaku perikanan, misalnya peraturan mengenai kuota tangkap dan alat tangkap yang diperbolehkan. Kedua, pilar normatif (the normative pillar) yang menjelaskan mengenai implementasi kebijakan perikanan yang memperhitungkan resiko pada pelaku sektor perikanan
10
yang erat kaitannya dengan moral. Ketiga, pilar kognitif (the cognitive pillar) yang berperan sebagai aturan perikanan yang dinamis dan komplek. Atributes of Physics World Action Arena Atributes of Community
Action Situations
Pattern of interactions
Actors Outcomes Rules in use
Evaluation Criteria
Gambar 2. Kerangka Analisis Kelembagaan Sumber : Ostrom et al (1997)
2.3
Definisi Biaya Transaksi
Menurut Williamson (1985) diacu dalam Rachman (1999) biaya transaksi adalah biaya untuk menjalankan sistem ekonomi dan biaya untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan. Biaya transaksi adalah biaya yang harus ditanggung oleh pihak-pihak yang melakukan pertukaran dalam dunia yang informasinya tidak sempurna, banyak aktor yang berprilaku oportunis, dan rasionalitas para pelakunya terbatas. Lebih lanjut North (1991) menyatakan bahwa biaya transaksi adalaha ongkos untuk menspesifikasikan dan memaksakan kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga dengan sendirinya mencakup semua biaya organisasi politik dan ekonomi mengutip laba dari perdagangan (pertukaran). Biaya transaksi adalah biaya melakukan negoisasi, mengukur, dan memaksakan pertukaran. Karakteristik transaksi yang mempengaruhi besaran biaya transaksi menurut Williamson (1996) adalah ketidakpastian yang terkait dengan produksi, supply, demand, fluktuasi harga, iklim, dan kondisi lapang, frekuensi yang bergantung pada keadaan dan
11
kemampuan produksi, dan spesifikasi yang meliputi site specify, physical asset specifity, dan human asset specifity.
2.3.1 Klasifikasi Biaya Transaksi Menurut Furobotn dan Richter (2000) yang diacu dalam Yustika (2006) biaya transaksi adalah ongkos untuk menggunakan pasar dan biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan di dalam perusahaan yang merupakan rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk menggerakan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan. Biaya transaksi terbagi menjadi dua tipe, yaitu biaya transaksi tetap: investasi spesifik yang dibuat didalam menyusun kesepakatan kelembagaan, dan biaya transaksi variabel: biaya yang tergantung pada jumlah dan volume transaksi. Secara spesifik, biaya transaksi pasar dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Biaya untuk menyiapkan kontrak sebagai biaya untuk pencarian dan informasi karena individu/perusahaan membuat pengeluaran secara langsung seperti iklan, mengunjungi pelanggan yang prospektif dan pengeluaran tidak langsung seperti biaya komunikasi kepada pihakpihak yang prospektif untuk melakukan pertukaran. b. Biaya untuk mengeksekusi kontrak berupa biaya negosiasi dan pengambilan keputusan seperti biaya pengumpulan informasi, kompensasi yang dibayar kepada penasehat, biaya untuk menyepakati keputusan di dalam kelompok. c. Biaya pengawasan dan pemaksaan kewajiban yang tertuang dalam kontrak seperti mengawasi waktu pengiriman yang disetujui, mengukur kualitas dan jumlah produk. Biaya transaksi manajerial meliputi : a. Biaya penyusunan, pemeliharaan, atau perubahan desain organisasi seperti biaya manajemen personal, investasi teknologi informasi, mempertahankan
terhadap
masyarakat, dan lobi.
proses
pengambilalihan,
hubungan
12
b. Biaya menjalankan organisasi yang dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu biaya informasi dan biaya yang diasosiasikan dengan transfer fisik barang dan jasa yang divisinya terpisah. Biaya transaksi politik yang berhubungan dengan penyediaan organisasi dan barang publik yang diasosiasikan dengan aspek politik, seperti biaya penawaran barang publik yang dilakukan melalui tindakan kolektif. Contoh biaya transaksi politik adalah 1) biaya penyusunan, pemeliharaan, dan perubahan organisasi politik formal dan informal; 2) biaya untuk menjalankan politik. Penjelasan tentang biaya transaksi juga dikemukakan menurut Dietrich (1994) biaya transaksi dapat dibagi menjadi biaya sebelum kontrak (ex ante) dan setelah kontrak (ex-post). Biaya transaksi ex ante adalah biaya membuat draft, negosiasi, dan mengamankan kesepakatan, sedangkan biaya transaksi ex post adalah : a. Biaya
kegagalan
adaptasi ketika
transaksi
menyimpang
dari
kesepakatan yang telah dipersyaratkan. b. Biaya negosiasi/tawar menawar yang terjadi apabila upaya bilateral dilakukan untuk mengoreksi penyimpangan setelak kontrak (ex post). c. Biaya untuk merancang dan menjalankan kegiatan yang berhubungan dengan struktur tata kelola pemerintahan. d. Biaya pengikatan agar komitmen yang telah dilakukan dapat dijamin.
2.3.2 Efisiensi Biaya Transaksi Menurut Williamson (1981) dua asumsi prilaku ketika analisis biaya transaksi beroperasi adalah rasionalitas terbatas dan prilaku oportunis yang secara umum termanifestasikan dalam wujud menghindari kerugian, penyimpangan moral, penipuan, melalaikan kewajiban, dan bentuk-bentuk prilaku strategis lain untuk menjelaskan pilihan sistem kontrak dan struktur kepemilikan perusahaan. Faktor yang paling mempengaruhi besaran biaya transaksi adalah sifat hak kepemilikan di dalam masyarakat. Lapisan ekonomi biaya transaksi terbagi menjadi tiga level. Kelembagaan tata kelola berupa kontrak interperusahaan, korporasi, birokrasi, dan non profit dibatasi oleh lingkungan kelembagaan. Efek primer dari perubahan lingkungan
13
kelembagaan diperlukan sebagai parameter perubahan yang menggeser biaya perbandingan pasar, hybrids, dan hierarki. Dampaknya dapat berakibat pada asumsi prilaku ekonomi biaya transaksi, yaitu rasionalitas terbatas dan prilaku oportunis yang diilustrasikan pada Gambar 3.
Lingkungan Kelembagaan
perubahan parameter Tata kelola Atribut pelaku Individu
preferensi endogen
Gambar 3. Skema Lapisan Biaya Transaksi Sumber : Williamson (1997)
Berdasarkan penjelasan skema lapisan biaya transaksi dan definisi serta faktor-fator penentu biaya transaksi, dapat dideterminasikan biaya transaksi sebagai unit analisis menurut Beckman (2004) yang diilustrasikan pada Gambar 4, yaitu : a.
Atribut prilaku yang melekat pada setiap pelaku ekonomi, yaitu rasionalitas terbatas/terikat dan oportunisme.
b.
Sifat yang berkenaan dengan atribut dari transaski, yaitu spesifisitas aset, ketidak pastian, dan frekuensi.
c.
Hal-hal yang berkaitan dengan struktur tata kelola kegiatan ekonomi, yaitu pasar, hybrid, hierarki dan pengadilan, regulasi, birokrasi publik.
d.
Faktor yang berdekatan dengan aspek lingkungan kelembagaan, yaitu hukum kepemilikan, kontrak, dan budaya.
14
Atribut prilaku dari pelaku: rasionalitas dan opotunisme Struktur tata kelola : pasar, hybrid, hierarki, pengadilan, regulasi dan birokrasi
Biaya Transaksi
Kelembagaan lingkungan : hak milik dan kontrak, budaya
Atribut transaksi : spesifikasi aset, ketidakpastian aset
Gambar 4. Determinasi Biaya Transaksi Sumber : Yustika (2006) berdasarkan konseptual Beckmann (2004)
2.4 Analisis Kebijakan Analisis kebijakan menurut Partowidagdo (1999) yang diacu dalam Marasabessy (2011) adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan publik. Kebijakan yang diambil mempunyai biaya dan manfaat sosial bagi suatu kelompok tertentu. Analisis kebijakan memiliki tiga peranan diantaranya : a. Analisis objektif, yaitu analisis yang mengungkap fakta seperti aslinya dan membiarkan analis menyatakan kebenaran. Kepentingan klien adalah nomor dua. b. Pembela klien, yaitu analisis yang jarang memberikan kesimpulan yang definitif dan justru menggunakan kesamaran demi kepentingan klien. c. Pembela isu, yaitu analisis yang jarang memberikan kesimpulan yang definitif dan justru menguatkan kesamaran tersebut dan membuang hal-hal yang tidak menguntungkan jika diperkirakan hasil analisisnya tidak mendukung pembelaan isu tersebut. Selain itu, analisis kebijakan menurut Dunn (1998) tidak hanya terbatas pada pengujian teori deskriptif karena permasalahan kebijakan sangat kompleks. Teoriteori biasanya gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil kebijakan mengendalikan dan memanipulasi proses-proses kebijakan, sehingga dibutuhkan evaluasi maupun anjuran kebijakan. Analisis kebijakan
15
menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah serta menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Analisis kebijakan harus dilakukan dengan prosedur kebijakan agar dapat menghasilkan informasi mengenai masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Prosedur analisis kebijakan yang dikembangkan oleh Quade dalam Dunn (1998) dapat diilustrasikan pada Gambar 5. Analisis kebijakan dapat dilakukan dengan mengikuti teknik pendekatan analisis, yaitu : a. Pendekatan empiris, adalah pendekatan yang menjelaskan sebab akibat dari kebijakan publik. b. Pendekatan evaluasi, adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan penentuan harga atau nilai dan beberapa kebijakan. c. Pendekatan normatif, adalah pendekatan yang terutama berkenaan dengan pengusulan arah tindakan yang dapat memecahkan masalah kebijakan.
Kinerja kebijakan
Peramalan
Evaluasi Perumusan masalah
Hasil kebijakan
Perumusan masalah
Pemantauan
Masalah kebijakan
Masa depan kebijakan
Perumusan masalah
Perumusan masalah Rekomendasi
Aksi kebijakan
Gambar 5. Analisis Kebijakan Berorientasi Permasalahan Sumber : Quade dalam Dunn (1998)
Pemecahan masalah dalam analisis kebijakan menggunakan prosedur deskripsi, prediksi, evaluasi, dan rekomendasi. Hubungan yang dikaitkan dengan segi waktu
16
akan dilakukan tindakan prediksi dan rekomendasi sebelum tindakan diambil, sedangkan deksripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi.
2.5
Analytic Hierarchy Process
Metode Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah bentuk pengorganisasian informasi dan berbagai keputusan secara rasional agar dapat memilih alternatif yang paling disukai. Metode AHP digunakan untuk membantu memecahkan masalah kualitatif yang kompleks dengan memakai perhitungan kuantitatif untuk mendapatkan keputusan yang efektif. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu persoalan kompleks tidak terstruktur, serta bersifat strategik, dan dinamis melalui upaya penataan rangkaian variabelnya dalam suatu hirarki. Data yang diperlukan hanya bersifat kualitatif yang berdasarkan persepsi, pengalaman, atau intuisi. Penerapan metode AHP memerlukan pakar sebagai responden dalam perumusan strategi kebijakan yang akan dipilih. Pakar merupakan orang-orang yang menguasai, mempengaruhi pengambil kebijakan, serta benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan. Menurut Saaty (1993) AHP dapat digunakan dalam menetapkan prioritas, menghasilkan seperangkat alternatif, memilih alternatif kebijakan yang terbaik, menetapkan berbagai persyaratan, mengalokasikan sumberdaya, meramalkan hasil dan memprediksi resiko, mengukur prestasi, merancang sistem, serta memecahkan permasalahan. Metode AHP digunakan untuk menguji konsistensi berbagai penilaian, khususnya apabila terjadi penyimpangan penilaian yang terlalu jauh dari nilai konsistensi yang sempurna. Indikator tersebut disintesiskan melalui interpretasi hubungan eigen vector dengan nilai eigen value terbesar sebagai prioritas yang mengindikasikan alternatif terpenting dalam menyelesaikan permasalahan. Metode AHP juga dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua aktor yang terlibat dalam proses tersebut. Keunggulan penggunaan metode AHP diantaranya: a. Kesatuan; AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dipahami berbagai kasus permasalahan yang tidak terstruktur.
17
b. Kompleksitas; AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. c. Saling ketergantungan; AHP mencerminkan kecenderungan alami dari pemikiran untuk memilih elemen dalam suatu sistem dengan berbagai tingkat yang berlainan dan pengelompokkna unsur serupa dalam setiap tingkatan. d. Pengukuran; AHP menghasilkan satu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujudnya suatu metode untuk menetapkan prioritas. e. Konsistensi; AHP melacak konsistensi logis dari berbagai pertimbangan yang dipakai untuk menetapkan berbagai prioritas. f. Sintesis; AHP menuntun kepada taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. g. Tawar menawar; AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan organisasi dapat memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan yang telah ditentukan. h. Pemilihan konsensus;
AHP
tidak
memaksakan konsensus
tetapi
mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda. i.
Pengulangan proses; AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi
mereka atas satu persoalan dan memperbaiki
berbagai
pertimbangan serta pengertian mereka melalui berbagai pengulangan.
2.6
Aransemen Kelembagaan
Kebijakan pengelolaan sektor perikanan dan kelautan masing belum terintegrasi dengan aransemen kelembagaan pembangunan. Hal tersebut dijelaskan oleh Kusumastanto (2010) yang diacu dalam Rudiyanto (2011) bahwa penanganan suatu kasus pembangunan kelautan acapkali menimbulkan konflik kepentingan daripada solusi integral. Upaya merumuskan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan harus didukung oleh suatu kelembagaann yang
melibatkan
pihak-pihak
terkait
pada
tingkat
lembaga
politik,
diimplementasikan ke lembaga departemen dan non departemen yang mempunyai
18
keterkaitan langsung dengan pengelola sumberdaya kelautan, stakeholders dan masyarakat. Arahan kebijakan tersebut pada akhirnya menjadi kebijakan ekonomi politik yang menjadi tanggung jawab bersama semua level institusi eksekutif dan legislatif
yang
mempunyai
keterkaitan
kelembagaan
maupun
sektor
pembangunan.
2.7
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai Pulau Pasaran telah dilakukan oleh Helda (2004). Penelitian ini mengenai analisis nilai tambah pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran Provinsi Lampung. Berdasarkan hasil analisis, usaha pengolahan ikan teri masih menguntungkan walaupun pengolahannya masih tradisional. Nilai tambah dari pengolahan produk adalah Rp950,82 per kg, dengan rata-rata rasio nilai tambah sebesar 18,16%. Marjin yang diperoleh pengolah sebesar Rp1.342,67 per kg terdiri dari pendapatan tenaga kerja perebus 2,6%, pendapatan penjemur 3,61%, pendapatan sortir 0,52%, sumbangan input lain 29,18%, dan tingkat keuntungan sebesar 64,09%. Penelitian mengenai biaya transaksi telah dilakukan oleh Anggraini (2005). Penelitian tersebut membandingan komponen biaya transaksi pada Nelayan Diesel dan Nelayan kincang, serta biaya transaksi petani pemilik dan petani penggarap. Rasio biaya transaksi-penerimaan Nelayan Diesel adalah 0,10 dan Nelayan Kincang 0,17. Rasio biaya transaksi-biaya total Nelayan Diesel adalah 0,15 dan Nelayan Kincang adalah 0,24. Dari sisi petani, rasio biaya transaksi-penerimaan petani pemilik 0,19 dan petani penggarap 0,18, sedangkan rasio biaya transaksi-biaya total petani pemilik adalah 0,30 dan petani penggarap adalah 0,21. Penelitian ini memiliki kelebihan yang lebih detil karena membandingkan biaya transaksi nelayan dan petani dalam kondisi yang berbeda. Penelitian mengenai analisis kelembagaan dan biaya transaksi juga telah dilakukan oleh Suhana (2008), Marasabessy (2010), dan Rudiyanto (2011). Aspek yang diteliti oleh masing-masing memiliki ciri khas tersendiri. Pada penelitian Suhana (2008) analisis stakeholders melalui pemetaan aktor grid dan peran masing-masing aktor dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan setiap tahunnya
19
mencapai Rp 9.962.500. Tingkat diskonto 12% memperlihatkan jangka waktu lima tahun biaya keefektifan pemerintah mencapai Rp783.140.270,15 jauh lebih tinggi dibandingan dengan kelompok nelayan yang mencapai Rp25.521.874,33. Penelitian oleh Marasabessy (2010) mengidentifikasi aktor yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah. Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan melibatkan pihak pemerintah, swasta, dan nelayan. Biaya transaksi pemberian paket bantuan di Kecamatan Leihitu berupa biaya seleksi sebesar Rp7.025.000, biaya pembinaan sebesar Rp5.300.000, dan biaya monitoring sebesar Rp6.900.000. Penelitian ini memiliki kelebihan karena terdapat kelompok pembanding dalam satu kecamatan Leihitu yang menerima paket bantuan lainnya dalam menganalisis rasio biaya transaksi. Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Rudiyanto
(2011)
menganalisis
kelembagaan dan biaya transaksi dalam pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Berdasarkan hasil penelitian, total biaya transaksi kelompok sea farming adalah sebesar Rp875.000 per tahun. Biaya tersebut lebih banyak dikeluarkan untuk kegiatan operasional bersama. Efektifitas biaya transaksi mencapai 0,13 yang mengindikasikan penggunaan biaya transaksi tersebut sudah relatif efektif. Kekurangan dari penelitian ini adalah tidak ada pembanding dalam analisis biaya transaksi, sehingga analisis kualitatif terhadap rasio biaya transaksi terkesan subjektif. Penelitian mengenai Analytic Hierarchy Process dilakukan oleh Arti (2011) untuk menilai strategi kebijakan pemerintah terkait dengan industri kelapa sawit nasional di PTPN IV Medan. Hasil penelitian mengenai analisis faktor yang yang mempengaruhi industri kelapa sawit adalah keamanan berusaha, teknologi produktivitas, investasi, pemberdayaan masyarakat, daya saing, sarana pra saranan, dan situasi politik ekonomi. Hasil analisis kebutuhan AHP masingmasing faktor, aktor, dan tujuan diperoleh strategi kebijakan yang paling dominan dan sangat menentukan adalah penetuan harga tandan buah segar. Penelitian lainnya yang menggunakan metode AHP adalah Ruswandi (2009) yang merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan Ciamis sebagai masukan bagi pemerintah. AHP
20
digunakan untuk menentukan alternatif kebijakan untuk diterapkan di Kabupaten Indramayu dengan mengembangkan sarana dan pra sarana wilayah pesisir berprespektif mitigasi bencana, sedangkan di kabupaten Ciamis dengan meningkatkan partisipasi stakeholders untuk menghindari peran dominan dalam mencapai optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi sistem penyangga kehidupan. Penelitian yang dilakukan oleh Yulistyo (2006) juga menggunakan metode AHP pada analisis kebijakan pengembangan armada ikan berbasis ketentuan perikanan yang bertanggung jawab di Ternate, Maluku Utara. Berdasarkan hasil analisis AHP, alternatif strategi kebijakan yang dijadikan pertimbangan dalam pelaksanaan adalah membangun pasar untuk memasarkan hasil perikanan, membangun fasilitas, dan membangun pelabuhan perikanan nusantara.
21
3 KERANGKA PEMIKIRAN
Berdasarkan hasil studi literatur mengenai potensi Pulau Pasaran sebagai sentra pengolahan ikan teri kering, didapatkan bahwa Pulau Pasaran dijadikan sebagai kawasan minapolitan melalui pengembangan klaster pengolahan ikan teri. Hal tersebut mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat di Pulau Pasaran yang hampir seluruhnya berprofesi sebagai pengolah ikan teri dari hulu sampai hilir. Pola rantai pemasaran hasil olahan ikan teri dijual kepada pedagang pengumpul maupun langsung kepada konsumen tanpa ada mekanisme yang baku. Kondisi iklim usaha yang kurang kondusif mendorong dinas-dinas terkait untuk meningkatkan kinerja sektor industri perikanan, sebagai upaya peningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat Pulau Pasaran melalui pendekatan kelembagaan. Strategi penguatan kelembagaan dilakukan melalui tahapan perintisan kegiatan dengan memberikan pelatihan kepada pengolah ikan teri. Pengolah diberikan arahan untuk berorganisasi dan berpartisipasi dalam mengelola sumberdaya perikanan yang ada. Pengolah juga diberikan pembinaan dan pendampingan secara intensif dengan meningkatkan kapasitas manajemen unit usaha bersama. Oleh karena itu, peran stakeholders dari berbagai tingkatan sangat penting untuk memfasilitasi pengolah dalam mengakses sumberdaya lebih efisien. Pembentukan klaster pengolahan ikan teri erat kaitannya dengan pembentukan desain kelembagaan baru di lingkup masyarakat Pulau Pasaran. Analisis kelembagaan dilakukan dengan mengidentifikasi aturan main serta tata kelola yang akan dijalankan pada sistem klaster. Selanjutnya, analisis aktor juga diidentifikasi untuk mengetahui derajat kepentingan dan pengaruh masing-masing aktor dalam mendukung sistem kelembagaan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pengelolaan klaster. Aspek lainnya yang akan dianalisis adalah biaya transaksi dan rasio biaya transaksi terhadap biaya produksi dan total biaya transaksi. Biaya transaksi akan mengindikasikan ke-efisienan suatu rezim pengelolaan sumberdaya terhadap total biaya transaksi yang dikeluarkan. Ketiga aspek tersebut selanjutnya akan menjadi arahan strategi kebijakan bagi stakeholders sebagai upaya untuk meminimalisasi biaya transaksi dalam
22
pelaksanaan program klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran, Provinsi Lampung. Alur kerangka pemikiran penelitian tersaji pada Gambar 6.
Pulau Pasaran daerah penghasil dan pengolah ikan teri
Penetapan sebagai kawasan minapolitan
Klaster kelompok pengolah ikan teri Pulau Pasaran
Analisis Keragaan kelembagaan
Tata Kelola
Rule of the game
Analisis Rasio Efisiensi Biaya Transaksi
Aransemen kelembagaan
Biaya transaksi
Analisis Stakeholders
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Keterangan : Lingkup penelitian Aspek penelitian Titik balik penelitian
Analisis kebijakan
Analytic Hierarchy Process
23
4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu pra penelitian berupa pengumpulan informasi awal dilakukan pada Bulan Februari hingga Maret 2013, sedangkan pengambilan data dilakukan pada Bulan Maret hingga Mei 2013. Lokasi objek yang diteliti adalah Pulau Pasaran, Kota Bandar Lampung.
4.2
Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian adalah survei. Pelaksanaan metode survei membutuhkan perencanaan yang matang dan terfokus pada permasalahan. Aspek penting yang harus diperhatikan dalam metode survei adalah organisasi dan manajemen. Pengamatan langsung digunakan untuk mengumpulkan informasi yang lebih menggambarkan suatu gejala yang ada di lapangan dengan ikut serta dalam kehidupan sehari-hari objek yang dipelajari. Pengamatan langsung juga berguna dalam membantu menjelaskan data kuantitatif terkait penelitian. Teknik wawancara dengan memberikan kuisioner kepada responden ataupun kepada suatu kelompok untuk memperoleh jawaban yang merupakan konsensus dari pendapat responden atau anggota kelompok tersebut. 4.3
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diambil dalam penelitian adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian kuisioner langsung oleh narasumber yang terdiri dari nelayan, pengolah ikan teri, koperasi, LSM, serta dinas-dinas terkait yang berhubungan dengan kebijakan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang berkaitan dan literatur-literatur penunjang topik penelitian.
24
Tabel 2. Matriks Jenis dan Sumber Data No
Aspek penelitian
Jenis data
keterangan
Sumber data
1.
Tata kelembagaan Klaster
Primer dan sekunder
Tata kelola dan Aransemen kelembagaan klasterisasi Pulau Pasaran
2.
Kepentingan dan pengaruh stakeholders
Primer
3.
Efisiensi biaya transaksi pengolah ikan teri dan desain kelembagaan
Primer
4.
Analisis kebijakan
primer
Pemetaan posisi stakeholders dalam sistem kelembagaan Biaya informasi, biaya operasional bersama, biaya pengawasan Analytic Hierarchy Process
Pengamatan langsung, wawancara, dan data sekunder dari instansi terkait Wawancara dan identifikasi stakeholders
4.4
Wawancara aktor
Wawancara pakar
Metode Pengambilan Sampel
Teknik yang digunakan dalam menentukan data adalah purposive sampling. Cara ini dilakukan karena data yang terpilih tanpa peluang mungkin kurang mewakili populasi dan ketelitian sifat atau statistik yang dihasilkan dari data contoh
kemungkinan
rendah.
Jumlah
aktor
yang
dijadikan
responden
dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu nelayan, 6 orang perwakilan setiap kelompok pengolah , Tim Teknis Pengembangan Klaster Ikan Kering, Perbankan, LSM, Akademisi, dan aparat desa. Analisis kebijakan dilakukan dengan mewawancarai key person untuk mendapatkan persepsi mengenai strategi kebijakan yang sesuai. Responden berasal dari para pakar dan pengambil kebijakan dalam pengembangan sentra pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran. Secara lengkap aktor dan key person yang terlibat dalam pengambilan sampel tersaji pada Tabel 3.
25
Tabel 3. Aktor dan key person yang Terlibat dalam Pengambilan Sampel No
Aspek yang diteliti
Stakeholders yang terlibat
Jumlah (orang)
1.
Analisis Tata Kelembagaan
Pengolah Ikan Teri Tim Teknis Pengembangan Klaster
30 15
2.
Analisis Pengaruh dan Kepentingan
Nelayan Bagan Pengolah Ikan Teri Tim Teknis Pengembangan Klaster
30 10 15
3.
Analisis Biaya Transaksi
Kapala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung Pengolah Ikan Teri
1
Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Lampung Bidang Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung dan Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikan Kepala Dinas Koperasi dan Perindustrian Kota Bandar Lampung Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kepala BAPPEDA Kota Bandar Lampung Ketua Prodi Agribisnis UNILA Ketua DPD APINDO Ketua Koperasi Tokoh Masyarakat Setempat
2
4.
Analisis Kebijakan
4.5
1
30
2
1
1 1 1 1 1 1
Metode Analisis Data
Metode analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan perangkat lunak Graph untuk memetakan aktor grid, Microsoft
26
Excell
untuk menghitung biaya transaksi, dan Expert Choice 2000 untuk
menganalisis strategi kebijakan.
4.5.1 Analisis Tata Kelola Analisis tata kelola merupakan analisis kelembagaan dan pembangunan (The Institutional Analysis and Development) yang dikembangkan oleh Ostrom (1997). Tata kelola sumberdaya perikanan menurut Pido et al (1997) dalam Suhana (2008) terdiri dari enam atribut yang berpengaruh, diantaranya atribut biofisik dan teknologi, atribut pasar, atribut pemegang kepentingan, atribut kelembagaan dan organisasi pengolah ikan teri, atribut pengambil keputusan, dan atribut eksogen yang tersaji pada Gambar 7.
Atribut Biofisik dan Teknologi
Atribut makro, ekonomi, politik, dan sosial
Atribut Pasar (Harga, Pasar)
Insentif untuk koordinasi, kerjasama, dan kontribusi
Pola Interaksi antar sumberdaya dengan pengguna
Atribut Pemegang Keputusan Atribut Kelembagaan dan Aturan Organisasi Atribut Kelembagaan eksternal
Gambar 7. Kerangka Analisis Tata Kelola Sumber : Pido et al (1997) dalam Suhana (2008)
Atribut pertama adalah biofisik dan teknologi, yaitu pembatas bagi pembangunan perikanan yang juga menentukan skala pembangunan berdasarkan potensi sumberdaya yang ada. Atribut biofisik menentukan cara penggunaan sumberdaya bagi pengolah yang saling berinteraksi dalam melakukan aksi
D a m p a k
27
individu maupun kolektif. Atribut teknologi digunakan untuk mengatur teknologi apa saja yang diperbolehkan ataupun tidak dalam mengakses sumberdaya. Atribut yang kedua adalah pasar. Atribut pasar memiliki elemen utama yang meliputi aspek permintaan dan penawaran komoditas yang dihasikan dari suatu sumberdaya. Atribut pasar seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif sekaligus disinsentif yang terbentuk dalam suatu tata kelembagaan pengelolaan sumberdaya. Atribut ketiga adalah pemegang kepentingan yang melekat pada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Komponen atribut pemegang keputusan adalah kepercayaan, agama, tradisi, budaya, mata pencaharian, derajat sosial, ekonomi, homogenitas atau heterogenitas dalam masyarakat, kepemilikan aset, norma masyarakat, serta tingkat integritas dalam ekonomi dan politik. Atribut keempat adalah tatanan dan indikator pengambilan keputusan. Atribut ini sangat bergantung pada tata kelembagaan, hak-hak masyarakat, dan aturan-aturan yang dirumuskan. Atribut kelima adalah kelembagaan dan organisasi eksternal, yaitu lembaga atau organisasi yang berada diluar masyarakat pengolah, tetapi masih berpengaruh pada kehidupan pengolah. Atribut yang keenam adalah eksogen. Berbagai faktor eksogen dapat berdampak bagi pembangunan serta pengelolaan sumberdaya perikanan. Faktor eksogen adalah hal-hal yang terjadi diluar kontrol pengolah dan masyarakat dalam bentuk kebijakan atau lainnya dalam suatu organisasi yang lebih tinggi tingkatannya. Hal yang tidak terduga tersebut dapat terjadi pada skala nasional maupun internasional. Contoh variabel eksogen adalah bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, kebijakan makro, kebijakan ekonomi, resesi, isu perdagangan internasional, kesepakatan internasional, serta penemuan teknologi.
4.5.2 Analisis Stakeholders Analisis stakeholders merupakan analisis tingkatan peran masyarakat sebagai pengguna suatu sumberdaya berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan. Aktor adalah bagian yang secara langsung terkait dengan hasil kajian (Suhana, 2008). Analisis ini mengidentifikasi siapa saja yang
28
dipengaruhi dan mempengaruhi pengelolaan klaster sentra pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran. Suhana (2008) mejelaskan bahwa analisis aktor adalah suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Langkahlangkah dalam melakukan analisis aktor adalah : a. Identifikasi aktor b. Membuat tabel aktor c. Menganalisis pengaruh dan kepentingan aktor d. Membuat aktor grid e. Menyepakati hasil analisis dengan aktor utama Proses penentuan aktor dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : a. Mengidentifikasi berdasarkan pengalaman di bidang pembangunan wilayah (berkaitan dengan perencanaan kebijakan). b. Mengidentifikasi catatan statistik dan laporan penelitian berupa daftar panjang individu dan keompok yang terkait dengan pembangunan wilayah pesisir. c. Identifikasi aktor menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik snowball sampling dari aktor ke aktor lainnya. Aktor yang pertama diidentifikasi mengemukakan pendangan tentang keberadaan aktor lainnya yang saling berkaitan dengan bidangnya.
4.5.3 Analisis Pengaruh dan Kepentingan Stakeholders Aktor-aktor yang telah teridentifikasi selanjutnya dikaji kepentingan dan pengaruhnya dalam klaster sentra pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran. Analisis ini diawali dengan melakukan wawancara dan pengisian kuisioner terhadap hasil analisis aktor. Pengolahan data kualitatif hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data berjenjang lima :
29
Tabel 4. Ukuran Kuantitatif Identifikasi dan Pemetaan Aktor Skor
Aspek
Kriteria
Keterangan
Kepentingan Aktor 5
Keterlibatan
Sangat tinggi
4
Partisipasi
Tinggi
3
Interaksi
Cukup tinggi
2
Kewenangan
Kurang tinggi
1
Kapasitas
Rendah
4 3 2 1
5
Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya Manfaat Tinggi Ketergantungan tinggi pada Keberadaan manfaat sumberdaya Sumberdaya Cukup tinggi Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya Pengelolaan Kurang tinggi Ketergantungan pada pengelolaan sumberdaya kecil Ketergantungan Rendah Tidak bergantung pada keberadaan sumberdaya Pengaruh Aktor Penetapan Sangat tinggi Jika responnya berpengaruh Kebijakan nyata terhadap aktivitas aktor lain Jika responnya berpengaruh besar terhadap aktivitas aktor lain Jika responnya cukup berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain Jika responnya berpengaruh kecil terhadap aktivitas aktor lain Jika responnya tidak berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain
Sumber : Abbas (2005) dalam Suhana (2008)
Aktor yang memiliki kepentingan dan pengaruh terhadap pembangunan wilayah bervariasi sesuai motif, cakupan wilayah, dan orientasi tujuan pembangunan. Langkah selanjutnya adalah pembentukan aktor grid yang akan memetakan posisi aktor berdasarkan kepentingan dan pengaruh. Kuadran I (subject) adalah kelompok aktor yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya, mencakup anggota organisasi yang melakukan kegiatan dan responsif terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan. Kuadran II (by standers) adalah kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya.
Kepentingan
mereka
dibutuhkan
untuk
memastikan
kepentingannya tidak terpengaruh sebaliknya, serta kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Kuadran III (players) adalah kelompok aktor yang
30
memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala instansi, dan kepala pemerintahan. Kuadran IV (actors) adalah aktor yang terpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.
Tinggi
Kuadran I
Kuadran II
A. Subject
C. Players
Kepentingan Kuadran III
Kuadran IV
B. By Standers
D. Actors
Rendah Rendah
Tinggi Pengaruh
Gambar 8. Matriks Aktor grid 4.5.4 Analisis Biaya Transaksi Analisis biaya transaksi menggunakan persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi kelompok pengolah ikan teri (TRC1), menurut perhitungan yang dilakukan oleh Anggraini (2005) adalah sebagai berikut: TrCj =
ΣPij
............................... (1)
Rasio masing-masing komponen biaya transaksi terhadap total biaya transaksi (Z) dihitung dengan menggunakan persamaan : Zij =
..................................... (2)
Rasio biaya transaksi (rtcj) terhadap biaya total produksi dihitung menggunakan persamaan : rtcj =
Keterangan : TrCj Pij
= Total biaya transaksi (Rp/tahun) = Komponen biaya transaksi
................... (3)
31
Zij rtcj TCj
= Rasio biaya transaksi = Rasio Biaya Transaksi terhadap biaya total = Total Biaya Produksi (Rp/tahun)
4.5.5 Desain Kelembagaan Metode desain kelembagaan dalam penelitian ini menggunakan model yang dikembangkan oleh Pakpahan (1989) yang diacu dalam Suhana (2008). Desain kelembagaan dianalisis secara deskriptif yang didapatkan dari evaluasi hasil analisis kebijakan dan aransemen kelembagaan. Desain kelembagaan dicirikan menjadi tiga komponen utama, yaitu : a. Batas Yuridiksi, adalah hak atas batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna keduanya. Batas yuridiksi mencakup penentuan siapa dan hal apa yang ada dalam suatu organisasi atau masyarakat. b. Hak Kepemilikan, adalah konsep hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum, adat, tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak kepemilikan memiliki sumber kekuatan untuk mengakses dan mengatur sumberdaya atas dasar pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. c. Aturan Representasi, adalah hal yang mengatur permasalahan aktor yang berpartisipasi
terhadap
proses
pengambilan
keputusan.
Aturan
representati menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang akan berpengaruh pada biaya transaksi berupa biaya pembuatan keputusan. Mekanisme representasi yang efisien dapat menjadi arahan dalam meminimumkan biaya transaksi.
4.5.6 Analytic Hierarchy Process (AHP) Pendekatan dengan metode AHP merupakan alternatif kebijakan yang digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP akan menganalisis hubungan antara elemen-elemen dalam satu hirarki dengan elemen-elemen lainnya ditingkat hirarki yang berbeda. Pengolahan horizontal pada metode AHP akan memperlihatkan tingkat pengaruh antara satu faktor terhadap sejumlah faktor
32
lainnya pada tingkat hirarki dibawahnya. Pengolahan vertikal juga dilakukan untuk mengetahui besarnya tingkat alternatif dari strategi kebijakan yang dapat dipilih disertai dengan bobot yang dikandung oleh masing-masing elemen dalam hirarki terhadap tujuan utamanya. Langkah-langkah dalam metode AHP dijelaskan oleh Saaty (1993) adalah sebagai berikut : 1. Mendefinisikan persoalan dan merinci alternatif solusi yang diinginkan. 2. Membuat struktur hirarki dari sudut pandang manajerial secara menyeluruh. Kebijakan dianalisis dengan penyusunan hirarki yang berkaitan dengan faktor yang berpengaruh terhadap fokus kebijakan pada level satu, kriteria kebijakan pada level dua, aktor pada level tiga, dan strategi kebijakan pada level empat. Struktur hirarki lengkap dapat dilihat pada Gambar 9. 3. Menyusun matriks berpasangaan untuk mengetahui kontribusi dan pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh pada tingkatan diatasnya. 4. Mendapatkan
semua
pertimbangan
yang
diperlukan
untuk
mengembangkan perangkat matriks di langkah ke-3 sebanyak [n(n-1)]/2 buah, dengan n adalah banyaknya komponen yang dibandingkan. Matriks perbandingan berpasangan diisi dengan menggunakan skala banding yang tertera pada Tabel 5 dengan berdasarkan pada judgement atau persepsi penilaian tingkat kepentingan suatu elemen dengan elemen lain oleh responden. 5. Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan 1 sepanjang diagonal utan. Angka 1 – 9 digunakan bila Fi lebih mendominasi sifat fokus hirarki (X) dibandingkan dengan Fj. Kasus lain jika Fi mendominasi atau kurang mempengaruhi sifat X dibandingkan Fj maka digunakan angka kebalikannya. Matriks dibawah garis diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikannya.
33
Tabel 5. Nilai Skala Perbandingan Berpasangan Tingkat Definisi Kepentingan 1 Kedua elemen sama pentingnya 3
5
7
9
2,4,6,8
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lainnya
Penjelasan Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibanding elemen yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya Satu elemen jelas lebih Satu elemen dengan kuat penting daripada didukung dan dominan terlihat elemen yang lainnya dalam praktek Satu elemen mutlak Bukti yang mendukung elemen lebih penting daripada satu terhadap elemen yang lain elemen lainnya memiliki tingkat penegasan yang mungkin menguatkan Nilai-nilai antar dua Nilai ini diberikan bila ada dua nilai pertimbangan kompromi diantara dua pilihan yang berdekatan
Sumber : Saaty (1993) dalam Arti (2011)
6. Melakukan langkah 3, 4, dan 5 untuk semua tingkat dan gugusan dalam hirarki tersebut. Matriks perbandingan dalam AHP dibedakan menjadi dua, yaitu Matriks Pendapat Individu (MPI) dan Matriks Pendapatan Gabungan (MGP). MPI adalah matriks hasil pembandingan yang dilakukan individu yang disimbolkan dengan aij yang tertera pada Tabel 6. MPG adalah susunan matriks baru yang elemen (gij) berasal dari rata-rata geometrik pendapat-pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil atau sama dengan 10% dan setiap elemen pada baris dan kolom yang sama antar MPI yang satu dengan MPI lain yang tidak terjadi konflik pada Tabel 7.
34
Tabel 6. Matriks Pendapat Individu X A1 A2
A3
...
A11
A1
a11
a12
a13
...
a111
A2
a21
a22
a23
...
a211
A3
a31
a32
a33
...
a311
...
...
...
...
...
...
A11
a111
a112
a113
...
a1111
Tabel 7. Matriks Pendapat Gabungan X
G1
G2
G3
...
G11
G1
g11
g12
g13
...
g111
G2
g21
g22
g23
...
g211
G3
g31
g32
g33
...
g311
...
...
...
...
...
...
G11
gn1
gn2
gn3
...
g11
Rumus rataan geometrik adalah sebagai berikut : . gij = ................................. (1)
Keterangan : n = jumlah responden (key person) aij(k) = sel penilaian setiap key person 7. Menggunakan komposisi secara hirarki untuk membobotkan vektor-vektor prioritas dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah berikutnya. Vektor prioritas dirumuskan sebagai berikut :
VP (Vektor prioritas) = ..................... (2)
35
Keterangan : VE (Vektor Eigen) =
........................ (3)
aij = Elemen MPI pada baris ke-i dan kolom ke-j n
= Jumlah elemen yang diperbandingkan
8. Mengevaluasi inkonsistensi seluruh hirarki untuk mengetahui validasi hasil akhir persepsi responden. Revisi dapat dilakukan apabila nilai Consistency Ratio (CR) pendapat lebih dari 10% dengan menanyakan ulang kepada responden. Perhitungan uji konsistensi dirumuskan sebagai berikut :
Keterangan : CI
= Indeks konsistensi
λmax = eigen value maksimum; λmax = ΣVB/n ................... (5) VB (Eigen value)
= VA/VP ........................ (6)
VA (Vektor antara) = aij x VP ........................ (7) n
= jumlah elemen yang diperbandingkan
Selanjutnya, nilai CI dapat menjadi indikator rasio konsistensi (CR) yang dirumuskan sebagai berikut : CR=
........................... (8)
Keterangan : RI adalah indeks acak Oak Ridge Laboratory, dari matriks berorde 1 sampai 15 dengan menggunakan sample berukuran 100. Indeks RI tersaji pada Tabel 8. Tabel 8. Indeks Acak 1
2
3
4
5
6
7
RI
0,00
0,00
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
N
8
9
10
11
12
13
14
RI
1,41
1,45
1,49
1,51
1,48
1,56
1,57
Sumber : Marimin (2010)
36
Struktur hirarki yang akan menjadi fokus penelitian adalah strategi kebijakan pengembangan klaster pengolahan ikan Teri di Pulau Pasaran dalam rangka percepatan pembangunan kawasan minapolitan di Provinsi Lampung. Faktor yang menentukan strategi kebijakan adalah dukungan kelembagaan, dukungan pemerintah, ketersediaan dana, dan pengembangan teknologi. Alternatif strategi kebijakan adalah pendampingan dan penguatan kelompok masyarakat pengolah ikan teri, pengembangan infrastruktur, membuka akses pemasaran, pemberian kredit usaha, dan pelatihan serta transfer teknologi dalam pengolahan ikan Teri. Strategi kebijakan pengembangan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran dalam rangka mendukung percepatan pembangunan klaster industri perikanan
Dukungan kelembagaan
Dukungan Pemerintah
Kelompok masyarakat
Tim Teknis
Pendampingan dan penguatan kelompok masyarakat pengolah ikan teri
Pengembangan infrastruktur
Ketersediaan dana
Lembaga Keuangan Mikro
Membuka akses pemasaran hasil olahan ikan teri
Pengambangan teknologi
Akademisi
Pemberian kredit usaha mandiri
Gambar 9. Struktur Hirarki Strategi Kebijakan Pengembangan Klaster
Pelatihan dan transfer teknologi pengolahan ikan teri
37
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Kondisi Geografis
Kota Bandar Lampung merupakan ibukota Provinsi Lampung yang memiliki luas wilayah daratan ± 192,21 Km dengan panjang garis pantai ± 27,01 km yang membentang dari kecamatan Panjang sampai Kecamatan Teluk Betung Timur. Wilayah Teluk Betung Timur merupakan hasil pemekaran Kecamatan Teluk Betung Barat yang diresmikan pada tanggal 17 September 2012. Topografi Kecamatan Teluk Betung Timur terdiri dari wilayah perbukitan, dataran rendah, dan pantai. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 1.483 Ha yang wilayahnya berbatasan dengan : 1. Sebelah Utara
: Kecamatan Teluk Betung Utara
2. Sebelah Selatan
: Kecamatan Teluk Betung Barat
3. Sebelah Timur
: Kecamatan Teluk Betung Selatan
4. Sebelah Barat
: Kecamatan Bumi Waras
Kecamatan Teluk Betung Timur (TBT) merupakan salah satu dari 26 kecamatan yang ada di Kota Bandar Lampung. Kecamatan TBT terbagi menjadi 6 kelurahan, yaitu : Kelurahan Kota Karang, Kelurahan Kota Karang Raya, Kelurahan Perwata, Kelurahan Keteguhan, Kelurahan Sukamaju, dan Kelurahan Way Tataan, dengan ibukota Kecamatan adalah Sukamaju. Luas wilayah Kecamatan Teluk Betung Timur per kelurahan tersaji pada Tabel 9. Tabel 9. Luas Wilayah Kecamatan Teluk Betung Timur Berdasarkan Kelurahan Kelurahan Luas wilayah (Ha) Persentase terhadap luas kecamatan (%) Kota Karang 30 2,02 Kota Karang Raya 26 1,75 Perwata 23 1,55 Keteguhan 364 24,54 Suka Maju 545 36,75 Way Tataan 495 33,37 Sumber : Monografi Kecamatan 2013
38
Kecamatan TBT juga memiliki pulau yang berpenduduk cukup padat, yaitu Pulau Pasaran yang secara administrasi masuk dalam Kelurahan Kota Karang. Pulau Pasaran terletak pada titik koordinat 05° 271’ 50’’ Lintang Selatan dan 105° 15’ 55’’ Bujur Timur. Peta lokasi Penelitian secara lengkap tersaji pada Lampiran 1. Luas wilayah Pulau Pasaran awalnya ± 8 Ha dengan topografi yang bervariasi, yaitu pantai berpasir dan berbatu landai dengan vegetasi daratan didominasi oleh pohon kelapa. Seiring dengan peningkatan taraf hidup masyarakat, upaya reklamasi di sepanjang garis pantai Pulau Pasaran semakin marak dilakukan, sehingga luasnya mencapai ± 12 Ha. Berdasarkan Tabel 8, luas Pulau pasaran yang menjadi fokus penelitian sebesar 40% dari total luas kelurahan Kota Karang dan 2,02% dari luas total kecamatan. Pulau Pasaran merupakan pulau kecil dengan kondisi infrastruktur yang relatif baik. Jarak pulau dengan daratan sekitar 200 meter yang dapat ditempuh menggunakan perahu dari Dermaga Cungkeng. Waktu tempuh menuju ke pulau sekitar 5 menit dengan membayar ongkos perahu sebesar Rp3000 per orang. Aktivitas penyebrangan menuju Pulau Pasaran beroperasi setiap hari dengan mobilitas yang cukup tinggi dari masyarakat pulau sendiri maupun pendatang yang membeli hasil olahan ikan teri.
5.2 Kondisi Demografi
Data Statistik Kependudukan Tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kecamatan TBT adalah 38.478 jiwa dengan rincian laki-laki sebanyak 19.584 jiwa dan perempuan 18.894 jiwa dengan sex ratio sebesar 103,6. Jumlah penduduk berdasarkan kelurahan tersaji pada Tabel 10. Berdasarkan hasil analisis, jumlah penduduk terbanyak berada di Kelurahan Keteguhan dengan persentase 27,30%. Hal ini dikarenakan Kelurahan Keteguhan memiliki luas wilayah yang paling besar dengan lokasi yang strategis dekat dengan ibukota kecamatan, serta kemudahan untuk mengakses pasar tradisional terdekat. Kelurahan Kota Karang merupakan kelurahan kedua yang memiliki penduduk terbanyak dengan persentase 24,84%, namun dengan wilayah yang
39
tidak terlalu luas. Jarak tempuh yang dekat dengan Ibukota Bandar Lampung menjadi alasan padatnya penduduk di wilayah ini. Tabel 10. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelurahan Kelurahan Jumlah penduduk (jiwa) Kota Karang 9.560 Kota Karang Raya 5.585 Perwata 5.342 Keteguhan 10.504 Suka Maju 4.970 Way Tataan 2.517 Total 38.478
Persentase terhadap total penduduk (%) 24,84 14,51 13,88 27,30 12,91 6,54
Sumber : Monografi Kecamatan 2013
Data Statistik Kependudukan yang terfokus pada lokasi Pulau Pasaran, Kelurahan Kota Karang pada Tahun 2012 menunjukkan jumlah penduduk sebanyak 1167 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 605 jiwa dan perempuan 563 jiwa. Data jumlah penduduk tersebut dibagi berdasarkan golongan umur yang tersaji pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah Penduduk Pulau Pasaran Berdasarkan Golongan Umur Kelompok Umur Jumlah Penduduk 0–4 4–6 7 – 13 14 – 16 17 – 24 25 – 55 >55
99 63 173 76 172 502 82
Sumber : Monografi Pulau Pasaran 2013
5.3 Kondisi Sosial Ekonomi
5.3.1 Pekerjaan Kondisi sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan TBT relatif berada pada taraf ekonomi menengah ke bawah. Hal ini tercermin dari kondisi perekonomian masyarakat rata-rata berprofesi sebagai buruh tani sebesar 30,69%. Kontras yang terjadi masyarakat yang berprofesi sebagai petani hanya sebesar 10,24%. Kawasan pertanian memang tidak mendominasi di Kecamatan TBT, alasan yang
40
diduga mendasarinya adalah masyarakat mencari pekerjaan di luar Kecamatan TBT. Sebesar 19,65% masyarakat berprofesi sebagai karyawan, yang terdiri dari PNS, karyawan swasta, dan ABRI. Sebaran pekerjaan secara lengkap tersaji pada Gambar 10.
40,00 30,00 20,00
30,69 19,65
17,57
10,00
10,24
11,35
0,00
2,37
8,14
Gambar 10. Persentase Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Sumber : Monografi Kecamatan 2013
Kondisi topografi yang sebagian besar adalah pesisir ternyata tidak menjadikan nelayan sebagai profesi utama. Hanya sebesar 11,35% masyarakat yang menggantungkan mata pencaharian sebagai nelayan. Alasan ketidakpastian pendapatan yang bergantung dengan alam dan membutuhkan permodalan yang relatif besar seringkali menjadi alasan masyarakat kurang memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada. Rata-rata masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang adalah sebesar 17,57%. Persentase yang cukup tinggi ini dikarenakan akses yang mudah untuk menjangkau pasar di ibukota. Jarak tempuh pendistribusian barang yang tidak terlalu jauh menjadikan alasan masyarakat memilih menjadi wiraswasta. Sebesar 2,37% masyarakat berprofesi di bidang jasa dan sebesar 8,14% berprofesi di bidang lainnya.
41
5.3.2 Ketersediaan Fasilitas Umum Ketersediaan fasilitas umum di Kecamatan TBT relatif memadai. Fasilitas kesehatan tersebar cukup merata di setiap kelurahan, khususnya Kelurahan Kota Karang. Sebanyak 13 posyandu terdapat di Kelurahan Kota Karang yang penduduknya terbilang cukup padat. Salah satu fasilitas Poskeskel Kota Karang terdapat di Pulau Pasaran, sehingga masyarakat Pulau Pasaran dengan mudah mendapatkan pelayanan kesehatan. Akses masyarakat terhadap pasar tradisional terbatas, karena pasar tradisional hanya berada di dua kelurahan saja, yaitu Kota Karang dan Sukamaju. Keterbatasan ini membuat masyarakat lebih memilih ke pasar di pusat kota karena selisih harga yang cukup tinggi. Sebaran fasilitas umum di Kecamatan TBT tersaji pada Gambar 11.
Jumlah
40
27
20 1
4
2
2
0
Gambar 11. Sebaran Fasilitas Umum Sumber : Monografi Kecamatan 2013
Fasilitas gedung sekolah di kecamatan TBT tersaji pada Gambar 12. Fasilitas sekolah tingkat dasar hingga menengah atas tersebar di setiap kelurahan. Sebanyak 10 gedung sekolah dasar tersebar di seluruh Kecamatan TBT. Fasilitas gedung sekolah di Pulau Pasaran tersedia 1 sekolah dasar yang memudahkan anak-anak untuk bersekolah tanpa harus keluar pulau. Sebanyak 2 sekolah menengah pertama dan 3 sekolah menengah atas yang berada di kelurahan Sukamaju dan Kelurahan Kota Karang.
42
10 10
Jumlah
8 6 3
4
2
2 0 SD/MI
SMP/MTS
SMA/SMK/MA
Gambar 12. Fasilitas Gedung Sekolah Sumber : Monografi Kecamatan 2013
Berdasarkan statistik data Jumlah Penduduk Kecamatan TBT menurut tingkat pendidikan Tahun 2013, bahwa rata-rata usia anak wajib sekolah masih berada di tingkat Sekolah Dasar. Sebesar 8.418 orang sedang menempuh pendidikan dasar, 5.849 orang sedang menempuh pendidikan menengah pertama, 5.196 orang sedang menempuh pendidikan menengah atas, dan 459 orang di tingkat perguruan tinggi. Jumlah penduduk ini mengindikasikan bahwa minat untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi masih kurang. Budaya masyarakat yang lebih memilih bekerja setelah tamat sekolah dibandingkan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi menyebabkan kurangnya tenaga kerja terdidik. Jumlah fasilitas gedung sekolah yang relatif kurang juga menyebabkan sebagian masyarakat harus mencari sekolah di luar kecamatan. Biaya hidup dan biaya pendidikan yang tinggi menjadi salah satu alasan kurangnya minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan. Potensi penduduk yang besar seharusnya dapat menjadi insentif untuk memberikan fasilitas pendidikan yang lebih memadai khususnya dalam pengembangan sumberdaya perikanan. Sebaran tingkat pendidikan penduduk tersaji pada Tabel 12.
43
Tabel 12. Data Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Kelurahan Pendidikan SD SMP SMA Kota Karang 2.913 2.130 1.782 Kota Karang Raya 543 396 213 Perwata 842 823 691 Keteguhan 3.336 1.888 1.714 Sukamaju 439 513 697 Way Tataan 345 99 99 Total 8418 5.849 5.196 Sumber : Monografi Kecamatan 2013
Universitas 55 19 217 139 29 459
5.4 Kondisi Perikanan dan Kelautan
Potensi sumberdaya perikanan di perairan sekitar Pulau Pasaran sebesar 32.400 ton/tahun dengan persentase pemanfaatan sekitar 60%. Jenis ikan yang ditangkap nelayan sebagian besar adalah ikan pelagis, seperti ikan teri, tanjan, cumi-cumi dan ikan ekor kuning. Berdasarkan data perlakuan produk perikanan, sebagian besar hasil perikanan laut di Kota Bandar Lampung masih dipasarkan dalam bentuk ikan segar sebesar 17.749,38 ton. Pengolahan hasil laut masih terbatas pada proses penggaraman dan olahan ikan peda, yang masing-masing hasil olahan sebesar 4.733,17 ton dan 1.183,29 ton per tahun. Masih kurangnya upaya penemuan dan pengembangan teknologi pengolahan hasil laut menjadi alasan masih bertahannya sistem pengolahan tradisional pada unit pengolahan ikan di Kota Bandar Lampung. Data perlakuan produksi perikanan laut tersaji pada Tabel 13. Tabel 13. Data Perlakuan Produksi Perikanan Laut Menurut Cara Perlakuan Cara perlakuan Produksi (ton) Dipasarkan Segar 17.749,38 Pengeringan/Penggaraman 4.733,17 Olahan Peda 1.183,29 23.665,84 Total Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2011
Hasil olahan hasil laut khususnya ikan teri dari Pulau Pasaran sangat potensial untuk dijadikan sektor produk unggulan Kota Bandar Lampung. Hal ini didukung dengan produktivitas pengolah ikan teri yang tinggi karena berkumpul
44
dalam satu sentra di Pulau Pasaran. Berikut ini adalah trend produksi olahan ikan teri tahun 2012 dalam ton yang tersaji pada Gambar 13. 80 70 58,765
60
51,66
50 40,17
40
30
67,9
37,407 37,757
53,915
45,35
49,5
47,616 37,775
20 10
0
Gambar 13. Data Produksi Olahan Ikan Teri Pulau Pasaran Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung 2012
Berdasarkan grafik di atas, produksi olahan ikan teri fluktuatif setiap bulannya. Produksi olahan ikan teri tertinggi sebesar 67,9 ton terjadi pada bulan Desember. Pergerakan angin dari arah timur menyebabkan ikan bergerak ke perairan sekitar Teluk Lampung, sehingga bahan baku ikan relatif banyak. Pengaruh alam berupa pergerakan musim dan cuaca seringkali menjadi faktor ketersediaan bahan baku ikan. Jenis ikan teri yang mendominasi hasil olahan ikan kering adalah teri jengki dan nilon. Jenis ikan-ikan tersebut mudah didapat dan terjangkau bila dibandingkan dengan ikan teri nasi yang musiman dan membutuhkan alat tangkap dengan mata jaring khusus. Terdapat sekitar 142 armada kapal penangkap ikan yang berada di sekitar perairan Teluk Lampung. Jenis kapal yang digunakan bervariasi dari 5 sampai dengan > 30 GT. Armada kapal ikan tersebut rata-rata memiliki izin yang secara langsung dikoordinasikan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Data jenis armada kapal ikan di Pulau Pasaran tersaji pada Tabel 14.
45
Tabel 14. Jenis Armada Kapal Ikan Jenis Kapal Jumlah yang Berizin 5 – 10 GT 36 11 – 30 GT 112 >30 GT 142 Total
Jumlah yang Tidak Berizin
Total 0
36 112 0 142
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung 2013
Sekitar 1.905 nelayan penangkap ikan di perairan Teluk Lampung sebagian kecil adalah nelayan dengan alat tangkap berupa bagan. Bagan yang digunakan terdiri dari bagan perahu, bagan tancap, bagan apung, dan payang. Rata-rata nelayan Pulau Pasaran banyak menggunakan payang dan bagan perahu sebagai alat tangkap ikan. Sebanyak 42 nelayan adalah nelayan payang yang langsung mengantarkan hasil tangkapan ke pengolah. Biasanya pelanggan nelayan payang adalah pengolah yang tidak memiliki cukup modal untuk membeli ikan di tengah laut. Kualitas ikan yang ditawarkan oleh nelayan payang pun sangat jauh berbeda dengan bagan perahu. Ikan teri yang sudah diperlakukan dengan es menyebabkan bobot ikan bertambah dan kesegaran ikan sudah berkurang. Hal ini yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hasil olahan ikan teri beberapa pengolah. Sebanyak 32 nelayan menggunakan bagan perahu (congkel) sebagai alat penangkap ikan. Bagan perahu memiliki kelebihan dalam hal mobilitas dan hasil tangkapan, namun membutuhkan bahan bakar yang tidak sedikit. Biasanya nelayan yang menggunakan bagan jenis ini bekerja sama dengan pemilik kapal yang bermodal besar. Selain itu, terdapat juga jenis bagan tancap dan bagan apung yang mobilitasnya rendah dan terbatas pada jenis ikan teri tertentu saja. Kedua jenis nelayan bagan ini biasanya menghabiskan waktu sekitar 25-30 hari di tengah laut untuk mendapatkan hasil tangkapan. Hal yang berlawanan terlihat pada nelayan bagan perahu (congkel) yang menangkap ikan dalam siklus waktu semalaman. Data jumlah nelayan berdasarkan alat tangkap tersaji pada Tabel 15.
46
Tabel 15. Jenis Alat Tangkap Ikan Teri di Pulau Pasaran Jenis Alat Jumlah yang Jumlah yang Total Tangkap Berizin Tidak Berizin Bagan Perahu
32
-
32
Bagan Tancap
17
-
17
Bagan Apung
24
-
24
42 153
0
42 153
Payang Total
Jenis Ikan yang Ditangkap Teri Nilon, Jengki Teri Nilon, Jengki Teri Nilon, Jengki Teri Nasi
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung 2013
5.5 Karakteristik Responden 5.5.1 Kondisi Umum Responden Karakteristik umum pengolah ikan teri berdasarkan hasil wawancara 30 pengolah ikan teri yang semuanya berjenis kelamin laki-laki adalah sebesar 36,7% berusia diantara selang 31-40 tahun. Sebagian pengolah berada di usia produktif bekerja dengan rata-rata jumlah tanggungan 4 – 6 orang. Rata-rata usaha pengolahan ikan ini dijalankan dengan modal pribadi, namun ada juga pengolah yang menjalankan dengan modal usaha turunan keluarga. Sebaran usia responden secara lengkap tersaji pada Gambar 14. 36,7
40,0
33,3
35,0
persentase
30,0 25,0 16,7
20,0 15,0
6,7
10,0 5,0
3,3
3,3
0,0 20 - 30
31 - 40
41 - 50
51 - 60
61 - 70
Gambar 14. Sebaran Usia Responden Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
71 - 80
47
Pengolah ikan sebagian sudah mendiami Pulau Pasaran sejak lahir, dan sisanya adalah transmigran dari jawa. Rata-rata pengolah sudah menetap pada rentang 31-40 tahun dengan persentase sebesar 36,7% dan memulai usaha pengolahan ikan. Usaha pengolahan ikan kering ini rata-rata sudah berdiri selama 11-20 tahun, dengan persentase sebesar 50%. Hal ini menunjukkan adanya time lag persiapan dan penyesuaian sebelum Pulau Pasaran menjadi sentra pengolahan ikan teri. Sebesar 20% pengolah telah mengelola usaha ikan dengan selang 0-10 dan 21-30 tahun. Sebaran lama menetap dan unit usaha tersaji pada Gambar 15. 50 50,0 45,0 36,7
40,0 persentase
35,0 26,7
30,0 25,0
20
Lama Menetap
20,0 20
20,0
Lama Unit Usaha
15,0
10,0
10,0 6,7
6,67 3,33
5,0 0,0 0-10
11- 2 0
21-30
31-40
41 - 50
Gambar 15. Sebaran Lama Menetap dan Unit Usaha Resonden Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Karakteristik masyarakat Pulau Pasaran yang multikultur dapat dijelaskan dengan persentase sebesar 43,3% pengolah berasal dari Indramayu. Karakteristik ini dapat menjelaskan bahwa sebagian besar pengolah ikan kering sudah terbiasa dengan aktivitas di sektor perikanan dan kelautan. Sebagian besar masyarakat Pulau Pasaran juga memiliki ikatan keluarga yang secara sosial terhubungan dengan ikatan darah. Lingkaran ini turut membentuk struktur interaksi dalam masyarakat yang saling berdekatan. Sebesar 20% pengolah berasal dari Cirebon, yang juga telah terbiasa dengan sektor perikanan dan kelautan. Persentase yang sama berlaku pada pengolah yang berasal dari daerah lain-lain seperti brebes dan makassar yang bekerja sebagai pengolah ikan kering di Pulau Pasaran. Sebesar 16,67% untuk pengolah yang
48
berasal dari Lampung dapat menjelaskan bahwa masyarakat asli lampung lebih memilih profesi lainnya daripada sebagai pengolah ikan teri. Sebaran asal daerah responden tersaji pada Gambar 16.
43,33
50 40 30
20 20
16,67
20
10 0
Gambar 16. Sebaran Daerah Asal Responden Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
5.5.2 Pendidikan Berdasarkan hasil analisis dari 30 responden pengolah ikan teri di Pulau Pasaran, sebesar 73,3% rata-rata tingkat pendidikan pengolah adalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Sebesar 16,67% pengolah adalah tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan sebesar 10% adalah tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tingkat pendidikan ini cukup berpengaruh pada saat penerapan teknologi baru pengolahan ikan kering. Masyarakat dengan tingkat pendidikan selain SD relatif lebih mudah dalam menyerap informasi pada setiap pelatihan. Pengolah yang rata-rata berpendidikan Sekolah Dasar biasanya mengandalkan pengalaman dalam mengelola usaha ikan kering. Sebaran tingkat pendidikan responden tersaji pada Gambar 17.
49
SMA 17% SMP 10%
SD 73%
Gambar 17. Sebaran Tingkat Pendidikan Responden Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
5.5.3 Ketersediaan Armada Kapal Sebesar 83,3% pengolah memiliki kapal untuk membeli ikan di nelayan bagan. Kapal ini biasanya berukuran 8 – 10 GT. Sebesar 6,7% pengolah yang tidak memiliki kapal tetapi memiliki modal cukup biasanya menyewa kapal untuk tetap mendapatkan ikan segar. Harga sewa kapal berkisar antara Rp300.000 – Rp450.000 yang dibayarkan setiap kali pergi ke laut. Sebesar 10% pengolah yang tidak memiliki modal untuk menyewa kapal, biasanya membeli bahan baku ikan di dermaga dari pengolah ikan teri lainnya yang memiliki kapal. Data responden secara lengkap tersaji pada Lampiran 2. 83,3 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
6,7
Kapal
Menyewa
10,0
Tidak ada
Gambar 18. Sebaran Armada Kapal Pengolah Ikan Sumber: Hasil Analisis Data (2013)
50
5.6 Karakteristik Pasar Karakteristik pasar olahan ikan teri Pulau Pasaran adalah pasar lokal dan nasional. Pasar lokal adalah saluran penjualan dalam skala kecil untuk kebutuhan terbatas. Pasar lokal yang menjadi target adalah pasar induk di pusat kota maupun pasar tradisional di seluruh wilayah Kecamatan Teluk Betung. Komoditas yang dijual terbatas pada ikan yang berkualitas baik, sedangkan kualitas premium dijual ke pasar nasional. Hal ini dikarenakan pasar dan konsumen lokal belum bisa menjangkau harga ikan teri kering tersebut. Pasar nasional adalah saluran penjualan skala besar dengan struktur pasar yang mendekati persaingan sempurna. Mekanisme harga produk yang ditentukan oleh pasar menjadi permasalahan tersendiri bagi pengolah ikan teri di Pulau Pasaran.
5.6.1 Komponen Harga Pasar Komponen harga setiap jenis ikan teri adalah berbeda. Harga bahan baku ikan teri basah ditentukan oleh nelayan bagan. Posisi tawar pengolah sangat rendah karena tingkat ketergantungan pengolah terhadap bahan baku ikan teri sangat tinggi. Bahan baku ikan dibeli dengan ukuran keranjang (cekeng) berukuran 20 kg. Rata-rata dalam sekali siklus produksi pengolah bisa membeli hingga 72 cekeng yang setara dengan 1,4 ton ikan teri basah. Setelah bahan baku ikan diolah, satu cekeng ukuran 20 kg akan menjadi sekitar 7 kg olahan ikan teri kering. Tabel 16 menyajikan kisaran harga bahan baku ikan teri pada saat kondisi normal. Tabel 16. Kisaran Harga Bahan Baku Ikan Teri Jenis Ikan Teri Harga (Rp/20 kg) Teri Nasi 400.000 Teri Nilon (Buntio) 300.000 Teri Jengki 200.000 Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Harga jual ikan teri kering ditentukan oleh pedagang intermediasi (pengumpul). Posisi tawar pengolah juga rendah saat menentukan harga jual ikan kering. Rata-rata pedagang intermediasi adalah pemilik modal yang membiayai pengolah ikan kering dengan sistem transaksi tunai dan semi konsiyasi. Transaski tunai dilakukan pada sistem penjualan di pasar lokal maupun pengumpul di
51
Jakarta. Sistem semi konsinyasi adalah permodalan dengan membayar produk di muka dengan kisaran 50%-70%, pelunasan pembayaran dilakukan setelah produk terjual dan pembayaran diberikan pada penjualan berikutnya (Bank Indonesia Provinsi Lampung 2010). Sistem inilah yang membentuk struktur harga pasar ikan teri kering oleh pedagang pengumpul yang memiliki kewenangan. Harga jual maksimum ikan teri kering tersaji pada Tabel 17. Tabel 17. Harga Jual Ikan Teri Kering Jenis Ikan Teri Harga (Rp/kg) Teri Nasi 65.000 Teri Nilon (Buntio) 50.000 Teri Jengki 30.000 Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Berdasarkan hasil identifikasi harga diatas, ikan teri nasi memiliki harga yang paling tinggi. Ikan teri jenis ini menghadapi pangsa pasar kelas menengah ke atas. Ikan teri jengki yang ukurannya lebih besar adalah jenis ikan yang memiliki harga jual terendah. Ikan teri ini menghadapi pangsa pasar kelas menengah ke bawah karena harganya yang terjangkau dengan kualitas yang cukup baik. 5.6.2 Saluran Pemasaran Saluran pemasaran ikan teri kering Pulau Pasaran terbagi menjadi dua macam, yaitu Jakarta dan Lokal. Data menunjukkan bahwa proporsi produk ikan kering yang dipasarkan ke Jakarta sebesar 76,47% atau 15.084 kg/siklus produksi, sedangkan proporsi produk yang dijual di Pasar lokal sebanyak 23,53% atau 4.641 kg/siklus produksi (Bank Indonesia Provinsi Lampung 2010). Pemasaran hasil olahan ikan teri kering terbagi menjadi 4 tipe, yaitu : a. Tipe I, yaitu hasil olahan langsung dikirimkan ke Jakarta dengan melampirkan nota yang berisikan modal awal dan bobot yang dikirimkan melalui paket pengiriman untuk dikumpulkan di gudang. b. Tipe II, yaitu pengolah ikan teri kering menitipkan produk kepada pengolah lain yang menjalankan skema pemasaran tipe I. Pihak yang menitipkan akan mendapatkan marjin dari hasil penjualan ikan yang dibayarkan langsung oleh pihak pertama. Biasanya skema ini berlaku pada pengolah yang masih memiliki hubungan kerabat.
52
c. Tipe III, yaitu pengolah menjual kepada pengumpul yang ada di Pulau Pasaran dan menerima pembayaran langsung. Biasanya sistem ini digunakan oleh pengolah yang tidak memiliki cukup modal lalu berhutang kepada nelayan bagan. d. Tipe IV, yaitu pengolah menjual hasil olahan ikan teri kering menggunakan plastik berukuran 20 kg. Pangsa pasar sistem ini adalah pedagang pasar tradisional yanng ada di wilayah sekitar Bandar Lampung, Metro, Kota Bumi, dan Bandar Jaya.
5.7 Proses Pengolahan Ikan Teri Proses pengolahan ikan teri diawali dengan penyediaan alat dan bahan pengolahan ikan. Alat yang digunakan adalah tungku, keranjang, dan spatula, sedangkan bahan yang dibutuhkan adalah garam, solar, dan ikan. Bahan baku ikan teri yang telah dibeli pada nelayan bagan selanjutnya akan melalui proses perlakuan untuk menambah nilai tambah produk. Pengolahan ikan teri yang dilakukan oleh pengolah biasanya terbagi menjadi dua macam, yaitu pengolahan di laut dan di darat. Pengolahan di laut adalah perlakuan terhadap bahan baku ikan di atas kapal. Pengolah memiliki tungku di atas kapal untuk melakukan perebusan. Pengolahan ini memiliki kelebihan pada hasil olahan ikan yang memiliki kualitas baik. Jenis pengolahan yang kedua adalah pengolahan darat. Pengolahan darat adalah perlakuan terhadap ikan yang tidak sempat atau disengaja tidak direbus di laut. Biasanya ikan jenis ini memiliki kualitas yang kurang baik karena adanya time lag antara pembelian ikan dengan pengolahan. Ikan jenis ini tetap dapat dimanfaatkan oleh pengolah skala kecil yang tidak memiliki kapal. Ikan tersebut dijual dalam keranjang 20 kg dan 3 kg yang memiliki nama lokal cekeng dan rombong. Metode pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran adalah penggaraman basah (wet salting) dan perebusan. Penggaraman yang dilakukan menggunakan teknik brining, yaitu garam dilarutkan dalam air dengan konsentrasi yang tinggi kemudian ikan dimasukkan ke dalam larutan garam tersebut. Ikan-ikan akan direbus di dalam bak larutan garam selama 3 menit agar terjadi proses osmosis ke tubuh ikan. Ikan yang telah direbus selanjutnya dilakukan penjemuran langsung di
53
bawas sinar matahari. Para pengolah menjemurnya di atas alas penjemuran (laha) dengan penyangga laha yang disebut para-para. Proses penjemuran biasanya berlangsung selama 4 – 5 jam tergantung intensitas cahaya matahari yang ada. Selama penjemuran, buruh pekerja melakukan penyortiran by catch pada setiap keranjang bambu (candang) ikan teri yang telah ditiris pada laha. Ikan yang sudah kering selanjutnya diangkut untuk masuk pada tahap penyortiran yang kedua. Penyortiran ini dilakukan untuk memisahkan ikan teri berdasarkan ukuran tubuhnya. Ikan yang memiliki ukuran standar jual dipisahkan dengan ikan ukuran BS (barang sisa). Ikan BS dan by catch biasanya dijual untuk pasar lokal dengan harga yang murah dengan kisaran 7 – 12 ribu/kg. Tahapan selanjutnya adalah pengemasan ikan teri. Ikan yang telah disortir selanjutnya dimasukkan dalam kardus ukuran 24 kg. Beberapa pengolah juga menyediakan pengemasan dalam bentuk plastik berisi 20 kg untuk kebutuhan pasar lokal. Pengemasan dalam bentuk kardus diperuntukkan pengiriman paket ke wilayah penampungan ikan kering di Pasar Muara Kapuk, Jakarta. Ikan kering yang telah dikemas selanjutnya dikumpulkan secara bersamaan dalam satu tenpat pengiriman paket untuk dikirimkan kepada end users maupun pedagang intermediasi. Secara lengkap dokumentasi penelitian terkait proses pengolahan ikan teri tersaji pada Lampiran 3. Olahan ikan kering lainnya adalah produk turunan. Ikan teri kering diolah menjadi camilan seperti kerupuk teri, teri balado, teri kriuk, dan olahan teri lainnya. Produk olahan ini dikelola oleh Ibu-ibu PKK yang dibina langsung oleh Diskoperindag Kota Bandar Lampung, BI, dan LSM Masyarakat Mandiri. Saluran pemasaran produk ini masih terbatas pada pasar lokal dan expo produk UMKM. Teknik pengolahan dan pengemasan yang masih sederhana menjadi kendala dalam pencapaian pasar nasional, karena sistem jaminan mutu produk masih kurang memadai. Bagan alir proses pengolahan ikan tersaji pada Gambar 19.
54
Nelayan Bagan Raw material Pengolah Ikan
Penggaraman dan Perebusan
Penjemuran
Produk turunan ikan teri
Konsumen
Penyortiran I
By catch untuk pasar lokal
Penyortiran II
Pengemasan
Pedagang intermediasi
Pengiriman ke Jakarta/lokal
Gambar 19. Bagan Alir Pengolahan Ikan Teri
55
6 TATA KELOLA KLASTER INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN TERI
6.1 Klaster Industri Pengolahan Ikan Teri Klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran dilakukan sejak tahun 2010 yang dilakukan oleh otoritas Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Lampung dengan Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa. Tahapan implementasi program klaster pengolah ikan teri terbagi menjadi 3, yaitu tahapan perintisan, penguatan, dan pemandirian. Program yang dilakukan terbagi menjadi 4, yaitu pendampingan kelompok, peningkatan kapasitas kelompok, penguatan lembaga lokal, dan monitoring (BI Perwakilan Provinsi Lampung 2013). Pengembangan klaster industri di Pulau Pasaran saat ini telah memasuki tahap penguatan kelembagaan lokal melalui Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Tahapan ini juga melakukan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam mengembangkan manajemen rantai pasok yang lebih baik. Penguatan permodalan yang distimulus dengan keberadaan koperasi simpan pinjam menjadi bridging step menuju pemandirian klaster indusri. Peran stakeholders kelompok pemerintah dalam pengembangan klaster terlihat pada dukungan teknis seperti pemberian bantuan teknis bagi pengolah dan pembinaan. Klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran belum mencapai kriteria klaster yang diuraikan oleh Daryanto (2010). Economics foundation yang belum kuat menjadi kendala terbentuknya integrasi vertikal pada piramida klaster industri. Akses pemasaran yang belum berorientasi ekspor dengan kualitas yang belum memenuhi standar akan mempengaruhi sistem kelembagaan yang terbentuk di Pulau Pasaran.
6.2 Kelembagaan sebagai Aturan Main 6.2.1 Aturan Formal Aturan formal adalah peraturan yang ditetapkan oleh stakeholder yang memiliki kewenangan dalam menentukan arah pengelolaan suatu sumber daya. Stakeholders yang terlibat dalam dalam program pengembangan klaster industri di
56
Pulau Pasaran adalah Pemerintah Provinsi Lampung dan Pemerintah Kota Bandar Lampung yang terbentuk dalam SKPD. Aturan formal yang mengatur tentang pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran berdasarkan hasil studi literatur ke dinas terkait antara lain : 1) Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2005 – 2008 pada sepuluh klaster industri prioritas pada pengolahan hasil laut. 2) Instruksi presiden No.6 Tahun 2007 tentang Kebijakan percepatan pengembangan sektor rill dan pemberdayaan UMKM. 3) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.32 Tahun 2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan di 33 provinsi. 4) Keputusan Menteri Koperasi dan UMKM No.32 Tahun 2002 tentang pengertian klaster. 5) Keputusan
Gubernur
Lampung
No.G/89/II.02/HK/2011
tentang
Pembentukan POKJA Percepatan Pembangunan Kawasan Agropolitan dan Minapolitan di Provinsi Lampung Tahun 2011-2014. 6) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No.31a Tahun 2010 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Bandar Lampung Tahun 2009-2029. 7) Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No.10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2011-2030 Pasal 60. 8) Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No.258/23/HK/2010 tentang Penetapan Lokasi Kawasan Minapolitan Kota Bandar Lampung yang meliputi Pulau Pasaran dan Lempasing. 9) Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No.256/23/HK/2011 tentang Pembentukan Tim Pelaksana Kegiatan Pengembangan Klaster Pengolahan Ikan Teri Kering di Pulau Pasaran. 10) Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No.421/III.24/HK/2012 tentang Delapan Komoditas Unggulan Kota Bandar Lampung. 11) Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No.25/III.24/HK/2012 tentang Pembentukan Forum Koordinasi One Village One Product (OVOP) Kota Bandar Lampung.
57
6.2.2 Aturan Informal Aturan lokal yang berlaku di masyarakat Pulau Pasaran adalah pengumpulan dana ekspedisi dari hasil pengiriman paket ikan teri ke Jakarta. Masyarakat
memiliki kesepakatan dengan pihak pengirim paket untuk
menyisihkan Rp50/kg dari biaya pengiriman paket Rp500/kg pada setiap kuantitas ikan kering yang dikirimkan ke Jakarta dalam sekali produksi. Uang yang disisihkan diambil setiap bulannya dan digunakan oleh masyarakat untuk pembangunan Pulau Pasaran. Dana ini diatur oleh perwakilan pengolah ikan yang dipercaya dan cukup berpengaruh di Pulau Pasaran. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan tidak dilaksanakannya pemungutan retribusi oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung, karena masyarakat dapat membiayai kegiatan operasional bersama di Pulau Pasaran.
6.3 Analisis Tata Kelola
Analisis tata kelola yang akan dibahas merupakan model yang diadaptasi dari kerangka analisis tata kelola Pido et al 1997. Atribut tata kelola yang pertama adalah biofisik dan teknologi. Atribut biofisik adalah sumber daya ikan teri yang dibutuhkan oleh pengolah sebagai bahan baku. Kondisi ikan teri disekitar perairan Teluk Lampung masih cukup baik, karena setiap hari pengolah dapat dengan mudah membelinya ke nelayan bagan. Teknologi yang digunakan oleh pengolah masih tradisional, namun ada perbaikan pada teknik pengolahan ikan teri. Pengolah yang membeli ikan teri segar dari laut langsung melakukan perebusan di kapal. Cara ini dapat mempertahankan kualitas olahan ikan teri dengan mengurangi resiko ikan yang cepat rusak (perishable). Ikan yang sudah direbus selanjutnya akan dijemur setelah kapal mendarat di Pulau Pasaran. Teknik pengolahan ini dapat mengefisienkan waktu penjemuran, sehingga pengiriman ikan ke gudang pengumpul di Jakarta dapat terlaksana tepat waktu. Atribut kedua adalah pasar, yang meliputi aspek penawaran dan permintaan. Pengolah ikan menjual hasil olahan kepada pasar lokal dan nasional. Target pasar lokal adalah pasar tradisional, retail oleh-oleh, dan supermarket di Kota Bandar Lampung, Bandar Jaya, Metro, dan Kota Bumi, sedangkan pasar nasional adalah
58
gudang pengumpul hasil olahan ikan di Muara Kapuk, Jakarta. Jenis olahan ikan yang paling sering dijual ke konsumen lokal adalah ikan teri nilon dan teri jengki. Teri nasi menjadi komoditas yang cukup mahal, sehingga target pasar adalah pasar nasional. Atribut ketiga adalah pemegang kepentingan terhadap pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri adalah pengolah yang tergabung dalam kelompok usaha bersama. Kelompok tersebut terbagi menjadi 5, yaitu kelompok Welas Asih, Putra Pidada, Mitra Bahari, Waluya, dan Putra Permana. Arahan kebijakan pengembangan klaster industri diatur oleh kelompok pemerintah yang tergabung dalam tim teknis pengembangan Pulau Pasaran. Kelompok pemerintah bersama dengan LSM, Perbankan, dan akademisi membuat master plan dan program kerja untuk pengembangan klaster industri Pulau Pasaran. Kelompok perbankan
memberikan
bantuan
berupa
pinjaman
lunak
untuk
usaha
keberlangsungan pengolahan ikan teri kering. Kekurangan kelompok perbankan adalah belum meratanya akses pinjaman lunak kepada pengolah. Hal ini dikarenakan usaha ikan kering pengolah yang belum bankable dan feasible, sehingga pihak perbankan belum berani memberikan pinjaman. Pengolah juga belum berani mengambil pinjaman bank karena mindset yang terbentuk kerumitan administrasi pengajuan pinjaman. Kelompok swasta yang juga sebagai pemegang kepentingan terbagi menjadi dua, yaitu kelompok pedagang pengumpul yang memberikan modal dan retail supermarket sebagai akses pemasaran lokal. Atribut keempat adalah pengambilan keputusan. Keputusan ditingkat pengolah diatur oleh masing-masing ketua kelompok. Ketua kelompok akan menyampaikan aspirasi kepada ketua Lembaga Keuangan Mikro - ISM Mitra Usaha Bahari. Ketua ISM Mitra Usaha Bahari selanjutnya akan menyampaikan kepada tim teknis pengembangan klaster industri Pulau Pasaran yang di ketuai oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Bandar Lampung. DKP Kota Bandar Lampung selanjutnya akan membentuk forum komunikasi antar stakeholders untuk menyelesaikan permasalahan dan melakukan pembinaan kepada pengolah. Atribut kelima adalah kelembagaan eksternal dan organisasi eksternal. Lembaga ini tidak secara langsung terlibat dalam pengembangan klaster industri,
59
tetapi masih berpengaruh terhadap pengelolaan Pulau Pasaran. Kelembagaan eksternal ini adalah aparat desa. Aparat desa sebagai penghubung pelayanan teknis antara pengolah dan pemerintah memiliki peran dalam pelayanan administrasi masyarakat. Aparat desa melakukan pengawasan terhadap potensi dan pengembangan Pulau Pasaran secara umum dalam cakupan Kelurahan Kota Karang. Tata kelola klaster industri Pulau Pasaran berdasarkan atribut dan hubungan interaksi pengembangan klaster tersaji pada Gambar 20.
Biofisik dan teknologi
Teknologi : Teknik pengolahan
Batas-batas pengelolaan
interaksi penggunaan
Stakeholders LSM Masyarakat
ISM Mitra Usaha Bahari Waserda
konsultasi
Mandiri Dompet Dhuafa
Mitra
Dana
koordinasi instruksi
Tim Teknis Pengembangan klaster industri Pulau Pasaran (SK Walikota)
pengawasan
Masyarakat : Pengolah
Sarana
Bantek pendapatan modal
instruksi
koordinasi
Pemerintah Kota Bandar Lampung
Pedagang intermediasi Hasil olahan
informasi
pengawasan Lembaga eksternal Koordinasi
Atribut Pasar instruksi
Aparat desa
Pasar Lokal Gudang Penampungan Jakarta Retail Supermarket
pengawasan
Gambar 20. Analisis Tata Kelola
Kelembagaan Pengolah
Kelompok Usaha Pengolah
60
6.4 Analisis Kepentingan dan Pengaruh Aktor Identifikasi aktor merupakan analisis pemetaan posisi stakeholders dalam tahapan implementasi hasil perencanaan suatu kebijakan. Berdasarkan analisis aktor grid pada Gambar 21, posisi kuadran I (Subject) ditempati oleh kelompok pengolah ikan teri. Kelompok ini memiliki kepentingan yang tinggi terhadap pengembangan Pulau Pasaran sebagai klaster industri, karena sebagian besar masyarakat bergantung dengan hasil olahan ikan teri sebagai profesi utama yang menunjang aktifitas ekonomi rumah tangga. Kelompok masyarakat sebagai pelaku di level operasional pengaruhnya dalam penentuan arahan kebijakan di Pulau Pasaran rendah, karena kekuasaan kelompok pengolahan ikan teri terbatas teknis pengolahan saja. Kelompok pengolah hanya terlibat dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan Pulau Pasaran yang telah ditentukan oleh pemerintah.
k e p e n t i n g a n
Kuadran II Players
Kuadran I Subject
Kuadran IV Actors
Kuadran III By Standers
Pengaruh
Gambar 21. Pemetaan Aktor Grid Kuadran II (Players) ditempati oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang tergabung dalam Tim Pengembangan Klaster. Tim ini terdiri dari beberapa instansi pemerintahan di tingkat Kota Bandar Lampung, yaitu Bappeda Kota Bandar Lampung, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Koperasi, UMKM, Perdagangan, dan Industri, Dinas Kesehatan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Tata Kota, DPD Apindo, Masyarakat Mandiri, dan Bank Indonesia
61
Perwakilan Provinsi Lampung. Keberadaan instansi-instansi tersebut sangat berpengaruh dalam perencanaan dan pembentukan master plan Pulau Pasaran. Posisi pemain merupakan posisi penentu arahan kebijakan dan pengelolaan karena cakupan kekuasaan yang berkaitan dengan keberlanjutan pengembangan sumberdaya yang ada di Pulau Pasaran. Kuadran III (By Standers) ditempati oleh Kelompok nelayan bagan, Badan Pengelola dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPPLH), Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) Kota Bandar Lampung, Retail Oleh-oleh, Universitas Lampung, Bank Syariah Mandiri, HIPMI, dan aparat desa setempat. Posisi penonton memiliki kepentingan dan pengaruh yang rendah dalam pengambilan keputusan pengembangan klaster industri di Pulau Pasaran. Nelayan bagan sebagai penyedia bahan baku ikan teri hanya pemenuhan kebutuhan hidup sebagai mata pencarian utama. BPPLH yang terlibat dalam upaya sosialisasi pengolahan sampah dan pengurangan dampak pencemaran limbah bagi masyarakat, memiliki sedikit kepentingan terhadap pengembangan klaster industri ikan teri. Hal serupa juga pada instansi BPMP yang hanya terlibat dalam hal pelayanan perizinan UMKM dan penanaman modal bagi investor ke Pulau Pasaran. Retail oleh-oleh sebagai salah satu saluran pemasaran hanya terlibat di bidang penjualan tanpa adanya upaya promosi yang signifikan, sehingga pengaruh retail terhadap pengembangan klaster industri kurang mengena di aspek pasar. Kalangan Akademisi Universitas Lampung berperan dalam memberdayakan masyarakat Pulau Pasaran melalui Program Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian masyarakat program Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik mahasiswa. Pengaruh terhadap pengambilan keputusan sangat rendah karena posisi akademisi sebatas pemberi masukan sesuai dengan teori yang ada. Peran Bank Syariah Mandiri sebagai lembaga keuangan belum begitu menyentuh masyarakat, karena terkendala dengan kondisi sosial kultur masyarakat itu sendiri. Akibatnya, pihak perbankan belum berani memberikan pinjaman dana karena faktor ketidakpastian jangka waktu pengembalian yang sangat bergantung dengan alam. Kelompok swadaya masyarakat seperti HIPMI berperan dalam trigger mechanism khususnya dalam menjembatani aspirasi
62
masyarakat pengolah, namun lembaga swadaya ini tidak memiliki pengaruh yang besar dalam mengubah arah pengelolaan. Lembaga swadaya seperti asosiasi masyarakat tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan (decision making). Aparat desa juga tidak terlalu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan Pulau Pasaran. Hal ini didasari oleh peran aparat desa sebagai unit pelaksana yang fleksibel dalam segala aspek, tidak hanya hanya dalam pengembangan klaster olahan ikan teri di Pulau Pasaran. Posisi di kuadran IV (Actors) ditempati oleh PT Sucofindo sebagai perwakilan BUMN. PT Sucofindo memiliki kepentingan yang rendah terhadap sumberdaya yang ada di Pulau Pasaran. Kepentingan tersebut hanya terbatas pada kelompok pengolah yang menjadi binaan dalam pegembalian pinjaman lunak. Sebagai perwakilan dari instansi BUMN, pengaruh PT Sucofindo dalam menentukan arah kebijakan sangat tinggi. PT Sucofindo merupakan bagian dari Tim Pengembangan Klaster yang dibentuk SKPD oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung. Hal ini didukung juga dengan program kerja PT Sucofindo untuk memfasilitasi peningkatan infrastruktur dan mutu produk olahan ikan di Pulau Pasaran dengan penggunaan teknologi tepat guna. Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, aktor yang berperan dalam pengembangan
klaster
pengolahan
ikan
teri
di
Pulau
Pasaran
dapat
diklasifikasikan menjadi tujuh kelompok, yaitu kelompok nelayan bagan, kelompok pengolah ikan teri, Pemerintahan yang dibentuk berdasarkan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), Perbankan, Kelompok usaha/swasta, Lembaga Swadaya/asosiasi, Akademisi dan Aparat desa. Peran masing-masing kelompok aktor adalah : a. Kelompok Nelayan Bagan Nelayan bagan adalah nelayan yang menyediakan bahan baku ikan kepada pengolah. Jumlah nelayan bagan yang mencari ikan di sepanjang perairan Teluk Lampung sekitar 116 orang. Kelompok nelayan ini tergabung dalam Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bersama kelompok pengolah ikan. Nelayan bagan tidak mendaratkan hasil tangkapannya karena alasan efisiensi. Nelayan bagan menunggu pengolah yang akan datang untuk membeli bahan baku ikan segar dengan harga yang telah ditetapkan oleh nelayan bagan itu sendiri. Hal
63
inilah yang sering menjadi konflik antara pengolah dan nelayan karena posisi tawar pengolah yang tidak diperhitungkan dalam rantai nilai. b. Kelompok Pengolah Ikan Teri Pengolah ikan teri adalah individu yang memberikan nilai tambah terhadap ikan teri segar menjadi produk olahan ikan. Kelompok pengolah terdiri dari 6 kelompok, yaitu 5 kelompok pengolah ikan teri kering dan 1 pengolah produk turunan ikan teri. Setiap kelompok memiliki anggota 6-10 orang dengan 1 ketua kelompok yang diharapkan dapat menjadi forum komunikasi antar pengolah. Peran ketua kelompok pengolah adalah sebagai penjembatan aspirasi kepada pihak pemerintah, perbankan, maupun antar kelompok pengolah. Masing-masing anggota kelompok pengolah ikan teri memiliki peran dalam membuka saluran pemasaran, karena sistem penjualan hasil olahan langsung dikirim oleh individu pengolah ke pengumpul tanpa bantuan pihak intermediasi. c. Kelompok Pemerintah Kelompok pemerintah yang dibentuk dalam SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Tim Pelaksana Pengembangan Klaster Pengolahan Ikan Kering di Pulau Pasaran Kota Bandar Lampung berdasarkan Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No. 256/23/HK/2011 memiliki tugas umum sebagai berikut : 1) Mengkoordinasikan stakeholders yang terlibat dalam pengembangan klaster pengolahan ikan kering dalam hal penyusunan rencana kerja. 2) Mengkoordinasikan SKPD terkait agar menganggarkan dalam APBD Kota Bandar Lampung untuk kegiatan pengembangan klaster pengolahan ikan kering sesuai dengan tugas pokok dan fungsi SKPD masing-masing. 3) Melakukan pemantauan dan inventarisasi terhadap pelaksanaan kebijakan meliputi realisasi pencapaian target, penyerapan tenaga kerja, serta kendala yang dihadapi dalam rangka pengembangan klaster pengolahan ikan kering. 4) Mengendalikan
pemantauan
pengolahan ikan kering.
pelaksanaan
pengembangan
klaster
64
5) Menyusun hasil pemantauan pelaksanaan kegiatan pengembangan klaster pengolahan ikan kering secara periodik.
Peran
SKPD
berdasarkan
tugas
pokok
dan
fungsinya
dalam
pengembangan klaster pengolahan ikan kering di Pulau Pasaran adalah sebagai berikut : 1) Dinas Kelautan dan Perikanan bertugas dalam mensosialiasikan bahaya penggunaan formalin dan bahan-bahan pengawet lainnya dengan pelatihan sistem rantai dingin dalam proses pengolahan ikan. Pencegahan terjadinya pencemaran limbah industri dan kerusakan terumbu karang juga dilakukan dengan pemberian bantuan teknis sarana pengolahan ikan yang sesuai dengan standar higienis. Penataan aliran drainase pembuangan limbah dan pengelolaan sampah juga dilakukan untuk mendukung pengembangan klaster industri ikan teri. 2) Bappeda Kota Bandar Lampung bertugas dalam mengkoordinasikan dan mengevaluasi kegiatan dan program dalam agenda rapat rutin SKPD. Bappeda juga memfasilitasi promosi hasil komoditas ikan kering di Pulau Pasaran pada acara pameran dan seminar skala lokal maupun nasional. 3) Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskoperindag) memiliki peran dalam pembinaan produk olahan ikan yang sesuai dengan standar higienis proses pengolahan. Pelatiahan teknik pengemasan produk dan pengawetan yang sehat juga dilakukan untuk memperbaiki produk agar lebih menarik. Dinas Koperindag juga membuka akses pemasaran melalui kegiatan promosi hasil olahan ikan kering kepada pihak hotel dan restoran. Selain itu, kegiatan pelatihan manajemen keuangan usaha LKM kelompok pengolah ikan kering dan nelayan juga dilakukan sebagai bentuk strategi menuju profesionalitas dan keberlanjutan perencanaan bisnis kedepannya. 4) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbupar) bertugas dalam membina masyarakat sadar wisata dengan sasaran objek adalah remaja karang taruna di Pulau Pasaran. Sosialisasi dan kerjasama pengembangan produk olahan ikan kering di Pulau Pasaran juga dilakukan dengan pihak perhotelan,
65
agen perjalanan, dan pemanfaatan fasilitas website. Tujuannya adalah untuk mewujudkan Kota Bandar Lampung sebagai kota tujuan wisata (city tour). 5) Dinas Kesehatan bertugas dalam pembinaan dan pelatihan keamanan dan sanitasi pangan sebagai upaya pelaksanaan good manufacturing practices (GMP). 6) Dinas Pekerjaan Umum bertugas dalam pembangunan dan peningkatan infrastruktur seperti jembatan penghubung, yang mendukung program pengembangan klaster industri pengolahan ikan kering di Pulau Pasaran. 7) Dinas Tata Kota bertugas dalam menyusun Sistem Informasi dan Geografis (SIG) Pulau Pasaran. Program kerja lainnya adalah kerjasama dengan konsultan perencana dalam penyusunan Detail Engineering Desain (DED) Pulau Pasaran. 8) Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPPLH) bertugas dalam mengelola dan menangani limbah rumah tangga di Pulau Pasaran. BPPLH juga berperan dalam upaya penghijauan Pulau Pasaran yang bekerja sama dengan Dinas Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan Kota Bandar Lampung. Upaya pengadaan ruang terbuka hijau dilakukan mengan memberikan bantuan bibit tanaman kepada masyarakat Pulau Pasaran, seperti bibit cabe, nangka, dan mangga. 9) Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) bertugas dalam pelayanan perizinan, investasi, dan izin usaha UMKM khususnya dibidang olahan ikan teri kering. 10) PT Sucofindo berperan dalam mendukung pembangunan sarana fisik di Pulau Pasaran melalui Program Bina Lingkungan dan penerapan teknologi tepat guna. d. Otoritas Moneter dan Perbankan Kelompok otoritas moneter dan perbankan terdiri dari Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter yang melakukan pengembangan sektor riil dan UMKM agar dapat melakukan akses perbankan yang difasilitasi oleh salah satu bank pelaksana yaitu Bank Syariah Mandiri. Bank Indonesia memiliki peran dari sisi pengembangan kelembagaan masyarakat dan bantuan permodalan.
66
Peran BI memfasilitasi pembentukan unit Lembaga Keuangan Mikro (LKM) melalui penjajakan kerjasma kemitraan dengan end user dalam pemasaran produk ikan kering. Upaya pengembangan LKM juga dilakukan memberikan bantuan permodalan khususnya untuk kepentingan manajemen keuangan di LKM. Selain itu, BI juga memfasilitasi pelatihan dan pendampingan kelembagaan bagi kelompok pengolah ikan kering. Tujuannnya adalah agar terbentuk solidaritas kelompok yang solid dan mengedepankan prinsip trust, sehingga mampu bersaing dengan posisi tawar yang tinggi. Selanjutnya, aspek pengadaan modal lainnya melalui pinjaman lunak dengan prinsip syariah akan dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri. e. Lembaga Usaha dan Swasta Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Koperasi ISM- Mitra Karya Bahari adalah pengembangan unit usaha bagi pengolah ikan teri dan nelayan. Fungsi LKM ini sebagai penyedia peralatan seperti kardus dan peralatan kapal. Fungsi LKM sebagai penyelenggara permodalan belum bisa terlaksana karena alasan keterbatasan modal dan sumberdaya manusia yang belum memadai untuk mengelolanya. Lembaga swasta seperti retail oleh-oleh, perhotelan, dan agen perjalanan memiliki peran dalam memasarkan produk olahan ikan kering. Paket wisata dan belanja produk olahan ikan kering menjadi salah satu target sasaran promosi dan penjulan produk unggulan Kota Bandar Lampung. Kelompok swasta lainnya adalah pedagang pengumpul (intermediasi) yang memberikan pinjaman modal dan akses pemasaran kepada pengolah. Pedagang ini menjadi pelanggan sekaligus penyangga modal bagi pengolah ikan kering yang mengirimkan hasil olahannya ke gudang penampungan di Jakarta. f. Lembaga Swadaya Masyarakat Peran asosiasi jelas terlihat dalam menjembatani kepentingan masyarakat pengolah ikan kering dengan pemerintah terkait. Asosiasi yang terlibat dalam pengembangan klaster di Pulau Pasaran adalah Masyarakat Mandiri, DPD Apindo dan HIPMI. Masyarakat Mandiri (MM) berperan dalam pendampingan dan penguatan kelembagaan lokal. MM memiliki program pengembangan masyarakat yang disinergiskan dengan kondisi sumberdaya lokal di Pulau
67
Pasaran. Kegiatan yang dilakukan oleh MM bersama Bank Indonesia Perwakilan Lampung adalah penguatan dan pendampingan kelembagaan lokal. Tahapan pengembangan klaster di Pulau Pasaran tebagi menjadi 3, yaitu tahap perintisan, penguatan, dan pemandirian. Tahap perintisan adalah pengenalan masyarakat terhadap budaya berorganisasi dalam suatu kelompok pengolah ikan teri. Masyarakat diarahkan untuk membentuk suatu pertemuan rutin untuk menciptakan iklim usaha yang harmonis dan solid sejalan dengan visi dan misi bersama. Tahapan ini dinamakan sebagai tahap penguatan. Tahap selanjutnya kelompok masyarakat diarahkan untuk membentuk suatu unit usaha bersama, yaitu LKM yang masuk dalam tahap pemandirian. Peran lembaga masyarakat/asosiasi lainnya adalah DPD Apindo dan HIPMI. Peran kedua asosiasi tersebut adalah membuka akses pemasaran hasil olahan ikan teri ke supermarket nasional. lembaga asosiasi juga berperan dalam memberikan pelatihan perbaikan teknik pengolahan ikan teri yang sesuai dengan standar ekspor. g. Akademisi Peran perguruan tinggi dalam pengembangan klaster pengolahan ikan kering di Pulau Pasaran adalah penelitian dalam diversifikasi produk olahan ikan kering. Aplikasi teknologi pengolahan ikan yang tepat guna dan terjangkau juga menjadi tugas akademisi dan lembaga penelitian. Akademisi juga melakukan pendampingan dan pembinaan terhadap layanan bisnis dan investasi untuk pengembangan produk olahan ikan. h. Aparat Desa Peran Aparat desa dalam pengembangan klaster indutri di Pulau Pasaran tidak terlibat secara langsung. Aparat desa berperan adalah pelayanan administrasi dan pendataan potensi masyarakat beserta sumber daya yang ada. Peran aparat desa terbatas karena tidak terlibat dalam tim teknis pengembangan klaster pengolahan ikan kering di Pulau Pasaran.
68
6.5 Desain Stakeholders Berdasarkan hasil analisis stakeholders pada Gambar 19, perlu dilakukan pembenahan dalam koordinasi pengembangan klaster. Beberapa lembaga perlu melakukan penyesuaian cakupan program pengembangan klaster, karena memiliki porsi kepentingan dan pengaruh yang dapat meningkatkan nilai tambah produk olahan ikan teri. Lembaga tersebut adalah retail supermarket, perguruan tinggi, Bank Syariah Mandiri, HIPMI, BPPLH, dan BPMP. Keterlibatan lembaga sangat penting dalam perluasan jejaring pemasaran, akses permodalan, perizinan, dan pengembangan teknologi pengolahan ikan teri. Tabel 18 secara lengkap menyajikan analisis proposed stakeholders pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri. Tabel 18. Matriks Proposed Stakeholders Pengembangan Klaster Industri Tingkat Kepentingan Tinggi Rendah DKP Kota Bandar Lampung Bank Indonesia Perwakilan Lampung Diskoperindag Kota Bandar Lampung BAPPEDA Kota Bandar Lampung Masyarakat Mandiri PT Sucofindo Retail Supermarket Tinggi Dinas Tata Kota Tingkat Dinas Kesehatan Perguruan tinggi Pengaruh Disbudpar Kota Bandar Lampung DPD APINDO HIPMI Bank Syariah Mandiri BPMP BPPLH Kelompok Pengolah ikan teri Aparat Desa Rendah Nelayan Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Persepsi stakeholders terhadap program pengembangan Pulau Pasaran harus didukung dengan koordinasi yang berkesinambungan. Tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi diharapkan dapat menjadi penyelaras program yang akan dijalankan, sehingga dapat
mengisi semua ruang aspek pembangunan.
69
Keterpaduan dan komitmen untuk berpartisipasi dari stakeholders juga sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan rencana strategis pengembangan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran.
6.6 Hubungan Antar Aktor Hubungan antar aktor berdasarkan kerangka pemikiran Ostrom (1990) terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu constitutional choive level, collective choice level dan operational choice level. Level konstitusi adalah lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level kolektif. Level kolektif adalah lembaga yang berperan menyusun peraturan untuk level operasional. Level operasional adalah lembaga/subjek yang melaksanakan kebijakan di tingkat mikro. Berdasarkan hasil identifikasi aktor dalam pengembangan klaster indutri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran, yang termasuk pada tingkat collective choice level adalah Pemerintah Kota Bandar Lampung, Tim Teknis SKPD yang diketuai oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Tingkat operasional terdiri dari nelayan, kelompok pengolah ikan teri mitra binaan, kelompok pengolah ikan teri mandiri, dan kelompok usaha ISM Mitra Usaha Bahari. Kedua tingkatan aktor tersebut terbagi menjadi dua, yaitu kelompok pemerintah dan kelompok masyarakat. Kelompok pemerintah berperan dalam mengkoordinasikan kegiatan pembinaan dan bantuan teknis berupa dana pengembangan. Pembentukan tim teknis seharusnya dapat memaksimalkan pembangunan di Pulau Pasaran. Program kerja yang multisektor seharusnya dapat memaksimalkan peran masing-masing SKPD sesuai tugas pokok dan fungsinya. Selain itu, di tingkat kolektif terdapat lembaga swadaya Masyarakat Mandiri dan Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Lampung yang memberikan kegiatan pembinaan dan pendampingan kelembagaan kepada pengolah. Peran koperasi di level operasional juga diharapkan dapat membantu pengolah dalam hal penyediaan modal yang selama ini masih bergantung dari pedagang pengumpul. Pengolah ikan teri yang tidak memiliki posisi tawar terhadap nelayan juga terkadang menimbulkan konflik. Perbedaan antara
70
pengolah yang menjadi mitra binaan dan mandiri walaupun bekerja berdampingan tetapi terkadang juga dapat memicu konflik. Keberadaan koperasi diharapkan dapat
menjembatani
aspirasi
kelompok
pengolah dalam
menyelesaikan
permasalahan tersebut. Koordinasi antara koperasi, Masyarakat Mandiri, dan Bank Indonesia dapat menyelaraskan visi dan misi pengembangan klaster industri di Pulau Pasaran. Hubungan antar aktor tersaji pada pada Gambar 22.
Collective choice level Kelompok Pemerintah
Pemerintah Kota Bandar Lampung Koordinasi kegiatan
koordinasi kegiatan
instruksi
Koordinasi
Satuan Kerja Perangkat Daerah
Masyarakat Mandiri dan Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Lampung
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
instruksi
Instruksi
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung
instruksi
Konsultasi
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung
instruksi
koordinasi kegiatan koordinasi penyaluran bantek
Operational Choice Level koordinasi
Koperasi - ISM Mitra Usaha Bahari
Dana sarana
Kelompok Pengolah ikan teri mitra binaan
Pedagang Pengumpul /intermediasi konflik
konflik konflik
Dana dan sarana
Nelayan
Kelompok Masyarakat Gambar 22. Hubungan Antar Aktor Berdasarkan bagan alir hubungan antar aktor di atas, konflik yang terjadi antara kelompok pengolah ikan teri dengan pedagang adalah harga jual yang ditentukan oleh pedagang pengumpul. Hal ini menjadi penghambat pengolah untuk meningkatkan posisi tawar karena sudah terikat kontrak dengan pedagang pengumpul.
71
7 ANALISIS EFISIENSI DAN DESAIN KELEMBAGAAN
Biaya transaksi yang akan dianalisis dalam mengevaluasi efisiensi pengelolaan klaster industri di Pulau Pasaran terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu struktur biaya pemerintah dan pengolah. Struktur biaya pemerintah akan mengevaluasi komponen biaya transaksi berdasarkan rasio yang didapatkan. Struktur biaya pengolah akan mengevaluasi seberapa besar proporsi biaya transaksi terhadap biaya produksi dan penerimaan pengolah. 7.1 Struktur Biaya Transaksi Pemerintah
Berdasarkan Hasil Analisis Data biaya transaksi pemerintahan, total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam pengembangan Pulau Pasaran adalah sebesar Rp 404.906.800 pada Tahun 2012. Jenis biaya yang dikeluarkan terbagi menjadi dua macam, yaitu biaya manajerial dan biaya pembinaan. Biaya manajerial adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengorganisasian suatu keputusan. Biaya ini biasanya rutin dikeluarkan setiap bulannya oleh DKP. Komponen biaya manajerial adalah biaya koordinasi antar lembaga, sosialisasi keputusan, biaya monitoring, dan biaya pelaksanaan rapat. Biaya pembinaan adalah biaya yang dikeluarkan sebagai langkah perbaikan sistem pengolahan ikan kering di Pulau Pasaran. Komponen biaya pembinaan dapat berbeda setiap tahunnya, tergantung pada anggaran dan kebutuhan yang perlu dilakukan pembinaan. Biaya pembinaan yang dilakukan oleh DKP Tahun 2012 adalah pembinaan pemasaran luar negeri, larangan penggunaan bahan kimia, dan perlombaan UMKM hasil perikanan. Secara lengkap biaya transaksi pemerintah tersaji pada Tabel 19.
72
Tabel 19. Biaya Transaksi Pemerintah dalam Pengembangan Pulau Pasaran No Jenis Biaya Transaksi/Tahun Nominal (Rp) A Biaya Manajerial 1. Koordinasi antar lembaga 8.000.000 2. Sosialisasi Keputusan 10.000.000 3. Biaya Monitoring 2.400.000 4. Rapat 18.000.000 B Biaya Pembinaan 1. Pembinaan Pemasaran dalam Negeri 147.379.800 2. Pembinaan Larangan Penggunaan 78.800.000 Bahan Kimia 3. Pembinaan dan Lomba UMKM Hasil 140.327.000 Perikanan Total Biaya 404.906.800 Sumber : Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung 2012
Berdasarkan tabel diatas, komponen biaya pembinaan yang dilakukan oleh DKP mencakup bidang yang luas. DKP melakukan pembinaan di bidang pemasaran hasil dan keamanan pangan. Pengolah juga didukung untuk berpartisipasi mengikuti kompetisi yang dapat menambah pengalaman pengolah.
7.2 Struktur Biaya Pengolahan
Struktur biaya pengolah terbagi menjadi 3 komponen yang akan menjadi bahan identifikasi. Komponen tersebut adalah biaya produksi, penerimaan, dan biaya transaksi. Masing-masing komponen akan dievaluasi terhadap total biaya transaksi untuk mendapatkan proporsi perbandingan. 7.2.1 Komponen Biaya Produksi Biaya produksi yang dikeluarkan oleh pengolah ikan teri terbagi menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang dikeluarkan setiap bulan oleh pengolah adalah biaya perbaikan kapal, biaya perbaikan peralatan penjemuran ikan kering, dan pembelian peralatan. Perbaikan kapal yang dilakukan adalah pengecatan dan doc kapal. Rata-rata biaya perbaikan kapal adalah Rp15.000.000, perbaikan peralatan Rp3.600.000, dan pembelian peralatan Rp3.150.000. Total biaya tetap yang dikeluarkan pengolah per tahun adalah sebesar Rp 21.750.000.
73
Komponen biaya variabel yang dikeluarkan oleh pengolah ikan teri adalah biaya pembelian bahan baku, garam, solar, upah tenaga kerja, konsumsi, dan pembelian peralatan pengemasan. Penjelasan masing-masing komponen biaya dalam sekali siklus produksi adalah sebagai berikut : a.
Bahan Baku Ikan Bahan baku ikan yang dibeli oleh pengolah adalah jenis ikan teri nasi, teri jengki, dan teri nilon. Rata-rata pembelian ikan pada kondisi normal adalah 64 keranjang ukuran 20 kg. Jenis yang paling sering dibeli pengolah adalah teri jengki dan teri nilon yang relatif terjangkau dan mudah didapat. Rata-rata biaya pembelian ikan yang dikeluarkan oleh pengolah adalah Rp14.250.228.
b. Garam Garam yang digunakan oleh pengolah adalah jenis solar salt, yaitu garam yang berasal dari air laut yang dikeringkan. Garam ini didapatkan dari Pulau Jawa melalui pedagang perantara. Pengolah biasa membeli garam rata-rata 230 kg atau setara dengan 4,5 karung garam ukuran 50 kg. Ratarata biaya yang dikeluarkan untuk pembelian garam adalah Rp279.000. c. Bahan Bakar Minyak (Solar) Bahan bakar solar digunakan oleh pengolah sebagai bahan bakar minyak dan perebusan ikan. Rata-rata solar yang digunakan pengolah dalam sekali produksi adalah 80 liter. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk pembelian solar adalah Rp458.500. d. Upah Tenaga Kerja Tenaga kerja yang digunakan terbagi menjadi 2 macam, yaitu tenaga kerja laut dan darat. Tenaga kerja laut terdiri dari 4 orang, yaitu nahkoda, panglima-lima (pengatur tali kapal), tukang rebus ikan, dan ABK. Ratarata upah yang diterima berkisar antara Rp100.000 – Rp250.000. Tenaga kerja darat terbagi menjadi 3, yaitu tukang rebus ikan, tukang jemur ikan, dan penyortir. Kisaran upah yang diberikan sama dengan tenaga kerja laut, tetapi penyortir menerima upah berdasarkan jam kerja dengan kisaran upah Rp15.000 – Rp35.000. Jumlah penyortir dapat berubah-ubah sesuai dengan bahan baku ikan yang didapat. Jumlah tenaga kerja penyortir yang
74
diserap mencapai 15 orang dalam satu unit usaha pengolahan dengan kisaran upah Rp10.000 – 35.000. Perbedaan upah tenaga kerja tersebut berdasarkan rata-rata jam kerja penyortir. Rata-rata upah tenaga kerja yang dikeluarkan oleh pengolah Rp1.036.500. e. Konsumsi Biaya konsumsi dikeluarkan pada saat di laut dan di darat. Pengolah yang pergi membeli ikan di laut membawa perbekalan untuk tenaga kerja selama proses pengolahan hingga pendaratan di Pulau Pasaran. Tenaga kerja di darat juga mendapatkan konsumsi berupa makan siang dan makanan ringan. Rata-rata biaya konsumsi yang dikeluarkan pengolah adalah Rp171.000. f. Peralatan Komponen biaya perakatan adalah pembelian kardus, lakban, plastik ukuran 20 kg, dan tali rafia. Kardus yang digunakan adalah kardus khusus ikan teri Pulau Pasaran dengan harga per dus Rp 6.500. Rata-rata biaya peralatan yang dikeluarkan oleh pengolah adalah Rp151.279. Berdasarkan hasil kalkulasi rata-rata pengeluaran pengolah, total biaya variabel yang dikeluarkan dalam sebulan dengan asumsi semua pengolah melakukan produksi selama 22 hari dan ketersediaan bahan baku ikan dalam kondisi normal adalah Rp359.623.150 per bulan atau Rp4.315.477.804 per tahun. Total penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel pengolah ikan teri selama satu tahun adalah sebesar Rp 4.337.227.804. Tabel komponen biaya produksi pengolah tersaji pada Tabel 20.
75
Tabel 20. Biaya Produksi Pengolah Ikan Teri Per Tahun No Jenis Biaya A Biaya Tetap 1. Biaya Doc Kapal 2. Biaya Pemeliharaan 3. Biaya Peralatan Total Biaya B Biaya Variabel 1. Bahan Baku Ikan 2. Garam 3. Solar 4. Upah Tenaga Kerja 5. Konsumsi 6. Peralatan Total Biaya Biaya Tetap + Biaya Variabel
Nominal (Rp) 15.000.000 3.600.000 3.150.000 21.750.000 3.762.060.104 73.656.000 121.044.000 273.636.000 45.144.000 39.937.700 4.315.477.804 4.337.227.804
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Berdasarkan tabel diatas, rata-rata biaya variabel yang paling besar adalah biaya pembelian bahan baku ikan. Biaya ini merupakan biaya yang utama dikeluarkan oleh pengolah. Besarnya biaya pembelian bahan baku ikan akan mempengaruhi komponen biaya produksi lainnya, seperti pembelian solar, garam, peralatan, dan upah tenaga kerja. Data biaya produksi responden secara lengkap tersaji pada Lampiran 4. 7.2.2 Struktur Penerimaan Pengolah Pengolah ikan teri tidak memiliki usaha sampingan selain menjadi pengolah ikan teri. Penerimaan yang didapat berasal dari penjualan ikan kering. Tabel 21 memperlihatkan rata-rata penerimaan pengolah Pulau Pasaran, dengan asumsi jumlah hari produksi per bulan adalah 22 hari. Tabel 21. Rata-rata Penerimaan Pengolah Ikan Teri Uraian Produksi Harga (Rp) (kg) Rata-rata Penerimaan Per 409 40.839 Bulan Rata-rata Penerimaan Per Tahun Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Nominal (Rp) 367.367.842 4.408.414.102
76
Berdasarkan hasil perhitungan diatas, terlihat bahwa rata-rata penerimaan per tahun pengolah adalah Rp4.408.414.102. Penerimaan ini berasal dari penjualan ikan teri kering, karena pengolah tidak memiliki pekerjaan sampingan selain mengolah ikan kering. Pendapatan pengolah ini dipengaruhi oleh 2 faktor penentu, yaitu bahan baku ikan dan ketersediaan modal. Pertama, bahan baku ikan yang tidak menentu kuantitasnya mempengaruhi hasil akhir olahan ikan teri. Musim paceklik ikan akan mempengaruhi biaya produksi dan penerimaan pengolah. Hal ini dikarenakan pengolah tetap mengeluarkan biaya pembelian solar untuk mencari ikan ke nelayan bagan. Faktor ketidakpastian ini juga akan mempengaruhi penerimaan pengolah, karena bahan baku ikan yang belum tentu tersedia telah mengurasi modal yang seharusnya dapat digunakan untuk biaya produksi ikan teri. Kedua,
faktor
ketersediaan
modal.
Pedagang
pengumpul
yang
meminjamkan modal turut mempengaruhi struktur penerimaan pengolah. pedagang pengumpul memberikan pinjaman modal tanpa bunga. Pengolah harus membayarnya dengan kuantitas ikan teri yang telah ditentukan. Musim paceklik ikan akan mengurangi hasil olahan ikan teri, sehingga pengolah berhutang untuk membayar target olahan ikan teri tersebut di hari berikutnya. Dampaknya adalah penerimaan pengolah yang berkurang. 7.2.3 Komponen Biaya Transaksi North (1991) mendefinisikan biaya transaksi adalah ongkos untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari pertukaran, termasuk biaya organisasi politik dan ekonomi yang memungkinkan untuk melakukan rent seeking dari perdagangan. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pengolah ikan teri terbagi menjadi 4 macam, yaitu biaya operasional bersama, biaya informasi, biaya distribusi, dan biaya perizinan. Biaya operasional bersama terdiri dari biaya iuran koperasi, dana ekspedisi yang terdiri dari dana jumatan, dana pengobatan masyarakat, dana operasional Poskeskel (Pos Kesehatan Keluarga), rapat, dana cadangan, dan upah tenaga kerja. Iuran koperasi dikumpulkan setiap bulan oleh pengurus koperasi. Uang yang terkumpul akan menjadi modal untuk pengelolaan koperasi dan pengadaan barang di Waserda (Warung Serba Ada) selanjutnya. Saat
77
ini telah tergabung sekitar 98 anggota koperasi yang terdiri dari masyarakat, pengolah dan nelayan. Dana jumatan adalah biaya sumbangan untuk pengelolaan masjid di Pulau Pasaran. dana ini digunkaan untuk pembangunan fisik maupun pengadaan sarana penunjang masjid. Komponen biaya selanjutnya adalah dana pengobatan masyarakat yang kurang mampu. Biaya pengobatan ini dikeluarkan jika masyarakat yang membutuhkan melapor pada ketua RT, untuk selanjutnya ditindak lanjuti oleh bendahara. Dana operasional Poskeskel adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar penggunaan listrik dan PDAM puskesmas. Kelompok pengolah dan masyarakat juga sering mengadakan rapat bulanan untuk melaporkan arus kas dana ekspedisi. Agenda rapat ini biasanya mengeluarkan biaya administrasi dan konsumsi. Selain itu, pengolah menyisihkan dana cadangan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang di luar kendali. Pengolah juga membayar upah tenaga kerja untuk penjaga masjid, ustad, dan karyawan koperasi. Biaya transaksi lainnya adalah biaya informasi pembelian ikan. Pengolah yang memiliki cukup modal mengeluarkan biaya tambahan untuk mencari ikan teri yang berkualitas dengan harga terjangkau. Biasanya pengolah menunjuk satu orang kepercayaan untuk mencari ikan teri hasil bagan ke tengah laut. Biaya lainnya yaitu distribusi hasil olahan ikan terbagi menjadi beberapa komponen, diantaranya ongkos kuli kering, kuli basah, dan paket pengiriman. Ongkos kuli basah adalah buruh angkut ikan yang sudah dikemas ke kapal pengangkut, sedangkan kuli basah adalah buruh angkut ikan yang baru didaratkan setelah melaut. Terdapat perbedaan nominal pembayaran antara kedua buruh angkut tersebut. Buruh angkut basah mendapat pembayaran lebih tinggi karena saat pengangkutan ikan dihitung per keranjang dalam satu gerobak. Buruh angkut kering dihitung per kardus yang luasannya cukup memakan tempat dalam satu gerobak, sehingga buruh angkut kering memiliki keterbatasan dalam jumlah dus yang diangkut. Biaya transaksi yang terakhir adalah biaya perizinan. Biaya perizinan yang dikeluarkan oleh pengolah diantaranya surat kapal dan surat izin usaha perikanan yang dikeluarkan oleh DKP Kota Bandar Lampung. Kapal yang digunakan
78
pengolah rata-rata berukuran < 10 GT. Komponen biaya transaksi pengolah ikan teri tersaji pada Tabel 22. Tabel 22. Biaya Transaksi Pengolah Ikan Teri Per Tahun No A
B C
D
Biaya Transaksi Biaya Operasional Bersama 1. Iuran Koperasi 2. Dana Jumatan 3. Dana Pengobatan Masyarakat 4. Dana Operasional Poskeskel 5. Rapat 6. Dana Cadangan 7. Upah Tenaga Kerja Biaya Informasi Pembelian Ikan ke Bagan Biaya Distribusi Hasil Olahan Ikan 1. Ongkos Kuli Kering 2. Ongkos Kuli Basah 3. Paket Pengiriman Biaya Perizinan Total Biaya
Nominal (Rp) 1.200.000 3.600.000 3.600.000 1.200.000 3.000.000 1.200.000 19.200.000 79.200.000 18.955.200 9.724.000 60.368.940 1.500.000 202.748.140
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Berdasarkan tabel diatas, jenis biaya transaksi yang memiliki proporsi paling besar adalah biaya distribusi dan biaya informasi, yaitu Rp89.048.140 dan Rp79.200.000. 7.3 Rasio Biaya Transaksi Rasio biaya transaksi yang dianalisis terbagi menjadi dua, yaitu rasio biaya transaksi pemerintah dan pengolah. Rasio biaya transaksi pemerintah akan mengidentifikasi efisiensi pengelolaan klaster industri, sedangkan rasio biaya transaksi pengolah sebagai tolak ukur efisiensi kelembagaan yang ada di Pulau Pasaran. 7.3.1 Rasio Biaya Transaksi Pemerintah Rasio biaya transaksi adalah perbandingan komponen biaya transaksi terhadap total biaya transaksi yang dikeluarkan. Berikut ini adalah hasil analisis persentase komponen biaya transaksi yang tersaji pada Tabel 23.
79
Tabel 23. Komponen Biaya Transaksi Pemerintah Komponen Biaya Nominal (Rp) Biaya Manajerial 38.400.000 Biaya Pembinaan 366.506.800
Persentase 9,48 90,52
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Berdasarkan hasil analisis data yang tersedia pada tabel di atas, persentase biaya transaksi terbesar adalah biaya pembinaan, sebesar 90,52% dari total biaya transaksi. Persentase ini mengindikasikan bahwa anggaran DKP pada Tahun 2012 dalam pengembangan Pulau Pasaran disalurkan dalam program pembinaan dan kegiatan perlombaan UMKM. Perbandingan dengan penelitian yang dilakukan oleh Marasabessy (2011), rasio biaya pembinaan hanya 0,13. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya pembinaan yang dilakukan oleh DKP Provinsi Lampung dan DKP Kota Bandar Lampung ini tergolong cukup besar karena cakupan kegiatan yang luas dan menyeluruh. Pertama, rasio komponen biaya manajerial, yaitu biaya koordinasi dengan tim teknis pengembangan klaster ikan teri terhadap total biaya transaksi adalah 0,0198 atau sebesar 1,98%. Biaya sosialisasi keputusan memiliki rasio sebesar 0,0247 atau sebesar 2,47%. Biaya monitoring implementasi program kerja tim teknis pengembangan klaster ikan teri adalah 0,0059 atau sebesar 0,59%. Rasio biaya rapat sebesar 0,0445 atau 4,45%. Rasio komponen biaya manajerial terhadap total biaya transaksi tersaji pada Tabel 24. Tabel 24. Rasio Biaya Manajerial Terhadap Total Biaya Transaksi Komponen Biaya Nominal (Rp) Biaya koordinasi 8.000.000 Biaya Sosialisasi 10.000.000 Biaya Monitoring 2.400.000 Biaya Rapat 18.000.000 Total Biaya Transaksi 404.906.800
Persentase 1,98 2,47 0,59 4,45
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Rasio komponen biaya manajerial terhadap total biaya manajerial tersaji pada Tabel 25. Rasio biaya tertinggi adalah biaya rapat, yaitu sebesar 0,4687 atau sebesar 46,87%. Tingginya biaya rapat disebabkan karena stakeholders yang terlibat dalam pengembangan klaster ikan teri di Pulau Pasaran cukup banyak. Hal
80
ini mengharuskan adanya pertemuan rutin untuk perencanaan maupun evaluasi yang lebih baik.
Tabel 25. Rasio Komponen Biaya Manajerial Terhadap Total Biaya Manajerial Komponen Biaya Nominal (Rp) Persentase Biaya koordinasi 8.000.000 20,83 Biaya Sosialisasi 10.000.000 26,04 Biaya Monitoring 2.400.000 6,25 Biaya Rapat 18.000.000 46,87 Total Biaya Manajerial 38.400.000 Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Kedua, rasio komponen biaya pembinaan terhadap total biaya transaksi tersaji pada Tabel 26. Rasio Biaya Pembinaan Pemasaran dalam Negeri adalah sebesar 0,3640 atau 36,40%. Rasio Biaya Pembinaan Larangan Penggunaan Bahan Kimia sebesar 0,1946 atau 19,46%, dan rasio Biaya Pembinaan dan Perlombaan UMKM adalah sebesar 0,3466 atau 34,66%. Tabel 26. Rasio Biaya Pembinaan Terhadap Total Biaya Transaksi Komponen Biaya Nominal (Rp) Pemasaran dalam Negeri 147.379.800 Larangan Penggunaan Bahan 78.800.000 Kimia Pembinaan dan perlombaan 140.327.000 UMKM Total Biaya Transaksi 404.906.800
Persentase 36,40 19,46 34,66
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Rasio komponen biaya pembinaan terhadap total biaya pembinaan tersaji pada Tabel 27. Rasio biaya pembinaan yang paling tinggi adalah Biaya Pembinaan Pemasaran dalam Negeri sebesar 0,4021 atau 40,21%. Tabel 27. Rasio Komponen Biaya Pembinaan Terhadap Total Biaya Pembinaan Komponen Biaya Nominal (Rp) Persentase Pemasaran dalam Negeri 147.379.800 40,21 Larangan Penggunaan Bahan 78.800.000 21,50 Kimia Pembinaan dan perlombaan 140.327.000 38,28 UMKM Total Biaya Pembinaan 366.506.800 Sumber : Hasil Analisis Data (2013 )
81
7.3.2 Rasio Biaya Transaksi Kelompok Pengolah Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pengolah terbagi menjadi 4 yaitu biaya operasional bersama, biaya informasi, biaya distribusi, dan biaya perizinan. Tabel berikut ini memperlihatkan rasio masing-masing jenis biaya transaksi terhadap total biaya transaksi. Tabel 28. Rasio Biaya Transaksi Pengolah Terhadap Total Biaya Transaksi Komponen Biaya Biaya Operasional Bersama Biaya Informasi Biaya Distribusi Biaya Perizinan Total Biaya Transaksi
Nominal (Rp) 33.000.000 79.200.000 89.048.140 1.500.000 202.748.140
Persentase 16,28 39,06 43,92 0,74
Sumber: Hasil Analisis Data (2013)
Berdasarkan tabel diatas, biaya transaksi yang dikeluarkan pengolah ikan teri di Pulau Pasaran paling besar adalah biaya distribusi. Sebesar 0,4392 atau 43,92% dari total biaya transaksi yang dikeluarkan untuk biaya pengangkutan bahan baku dan pengiriman hasil olahan. Sebagian besar pengolah mengirimkan hasil olahannya ke Jakarta, yang berpengaruh pada besarnya biaya pengiriman. Pertama, rasio komponen biaya operasional bersama terhadap total biaya transaksi adalah iuran koperasi sebesar 0,0059 atau 0,59%, dana jumatan sebesar 0,0178 atau 1,78%, dana pengobatan masyarakat sebesar 0,0178 atau 1,78%, dana operasional Poskeskel sebesar 0,0059 atau 0,59%, biaya rapat sebesar 0,0148 atau 1,48%, dana cadangan sebesar 0,0059 atau 0,59%, dan upah tenaga kerja sebesar 0,0947 atau 9,47%. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dana operasional bersama yang paling tinggi adalah upah pekerja. Upah pekerja ini diberikan kepada anggota masyarakat yang menjadi pengurus masjid dan koperasi. Secara lengkap komponen biaya operasional tersaji pada Tabel 29.
82
Tabel 29. Rasio Biaya Operasional Bersama Terhadap Total Biaya Transaksi Komponen Biaya Nominal (Rp) Persentase Iuran Koperasi 1.200.000 0,59 Dana Jumatan 3.600.000 1,78 Dana Pengobatan Masyarakat 3.600.000 1,78 Dana Operasional Poskeskel 1.200.000 0,59 Rapat 3.000.000 1,48 Dana Cadangan 1.200.000 0,59 Upah Tenaga Kerja 19.200.000 9,47 Total Biaya Transaksi 202.748.140 Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Rasio komponen biaya operasional bersama terhadap total biaya operasional bersama tersaji pada Tabel 30. Rasio biaya yang paling tinggi adalah upah pekerja sebesar 0,5818 atau 58,18%. Proporsi ini menunjukkan bahwa upah pekerja menjadi sumber pengeluaran yang menghabiskan sekitar 58,18% total anggaran biaya operasional bersama.
Tabel 30. Rasio Komponen Biaya Operasional Terhadap Total Biaya Operasional Komponen Biaya Iuran Koperasi Dana Jumatan Dana Pengobatan Masyarakat Dana Operasional Poskeskel Rapat Dana Cadangan Upah Tenaga Kerja Total Biaya Operasional
Nominal (Rp) 1.200.000 3.600.000 3.600.000 1.200.000 3.000.000 1.200.000 19.200.000 33.000.000
Persentase 3,64 10,91 10,91 3,64 9,09 3,64 58,18
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Kedua, rasio biaya informasi terhadap total biaya transaksi adalah sebesar 0,3906 atau 39,06%. Hal ini memperlihatkan bahwa biaya informasi bukan menjadi sumber pengeluaran yang membuat pengelolaan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran tidak efisien. Perbandingan hasil penelitian yang diakukan oleh Anggraini (2005) terhadap petani di Pelabuhan Ratu dengan beberapa komponen biaya yang dikeluarkan adalah sama, biaya perantara petani pemilik adalah 0,76. Nilai ini masih jauh dari rasio yang dikeluarkan oleh pengolah ikan teri di Pulau Pasaran. Alasan yang dapat menjelaskan fenomena tersebut adalah pengolah dapat mengurangi resiko pembelian bahan baku ikan dengan harga di
83
luar jangkauan dengan membayar pesuruh yang memiliki kemampuan bernegosiasi dengan nelayan bagan. Rasio biaya informasi tersaji pada Tabel 31. Tabel 31. Rasio Biaya Informasi Terhadap Total Biaya Transaksi Komponen Biaya Nominal (Rp) Biaya Informasi 79.200.000 Total Biaya Transaksi 202.748.140
Persentase 39,09
Sumber: Hasil Analisis Data (2013)
Ketiga, biaya distribusi adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut hasil olahan ikan teri maupun saat masih menjadi bahan baku. Rasio komponen biaya distribusi adalah ongkos kuli kering sebesar 0,0935 atau 9,35%, ongkos kuli basah sebesar 0,0480 atau 4,80%, dan pengiriman paket sebesar 0,2978 atau 29,78%. Rasio terbesar adalah biaya pengiriman paket ke saluran pemasaran di Jakarta. Tabel 32 menjelaskan rasio biaya distribusi terhadap total biaya transaksi. Tabel 32. Rasio Biaya Distribusi Terhadap Total Biaya Transaksi Komponen Biaya Nominal (Rp) Ongkos Kuli Kering 18.955.200 Ongkos Kuli Basah 9.724.000 Pengiriman Paket 60.368.940 Total Biaya Transaksi 202.748.140
Persentase 9,35 4,80 29,78
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Rasio komponen biaya distribusi terhadap total biaya distribusi distribusi tersaji pada Tabel 33. Biaya pengiriman paket adalah komponen biaya distribusi yang memiliki rasio paling tinggi, yaitu 0,6779 atau 67,79% dari total biaya distribusi.
Tabel 33. Rasio Komponen Biaya Distribusi Terhadap Total Biaya Distribusi Komponen Biaya Ongkos Kuli Kering Ongkos Kuli Basah Pengiriman Paket Total Biaya Distribusi
Nominal (Rp) 18.955.200 9.724.000 60.368.940 89.048.140
Persentase 21,29 10,92 67,79
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Keempat, biaya perizinan adalah biaya perpanjangan surat-surat yang berkaitan dengan izin berlayar. Rata-rata pengolah yang membeli ikan di nelayan bagan memiliki kapal. Rasio biaya perizinan terhadap total biaya transaksi adalah 0,0074 atau 0,74% yang tersaji pada Tabel 34.
84
Tabel 34. Rasio Biaya Perizinan Terhadap Total Biaya Transaksi Komponen Biaya Nominal (Rp) Biaya Perizinan 1.500.000 Total Biaya Transaksi 202.748.140
Persentase 0,74
Sumber: Hasil Analisis Data (2013)
Biaya perizinan dikeluarkan satu kali dalam setahun. Kelengkapan komponen perizinan ini mendukung kegiatan pengolah apabila ingin mengajukan kredit kepada perbankan. Selain itu, pengolah juga dapat membeli solar bersubsidi jika memiliki surat izin usaha yang lengkap. 7.3.3 Rasio Biaya Transaksi Pengolah Terhadap Biaya Produksi-Penerimaan Berdasarkan hasil analisis biaya transaksi dan biaya produksi, rasio yang didapat adalah sebesar 0,04 atau 4%. Persentase ini menunjukkan bahwa 4% dari biaya yang digunakan dalam kegiatan produksi tidak mempengaruhi volume produksi pengolah. Perbandingan dengan hasil penelitian Anggraini (2005) pada kasus nelayan diesel, rasio biaya produksi pengolah masih jauh dari nelayan diesel, yaitu 0,15. Alasan pemilihan nelayan diesel sebagai perbandingan adalah terdapat beberapa komponen biaya produksi yang sama. Secara lengkap rasio biaya tersaji pada Tabel 35. Tabel 35. Rasio Biaya Transaksi Terhadap Biaya Produksi dan Penerimaan Komponen Biaya Uraian Biaya Transaksi Rp202.748.140 Biaya Produksi Rp4.337.227.804 Total Biaya (Biaya transaksi + biaya Rp4.539.975.944 produksi) Penerimaan Per Tahun Rp4.408.414.102 Rasio Biaya transaksi-produksi 0,04 Rasio Biaya Transaksi-Penerimaan 0,05 Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Nilai rasio biaya transaksi dan penerimaan adalah 0,05 atau 5%. Persentase ini menunjukkan bahwa 5% penerimaan pengolah dinikmati oleh pihak lain bukan pengolah itu sendiri. Pihak tersebut adalah agen pengiriman paket ikan teri. Perbandingan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lisna dan Sofyan (2011) tentang rantai pemasaran ikan teri kering di Aceh Besar menunjukkan bahwa rantai nilai yang diterima oleh pengolah ikan hanya sebesar 28%, sisanya
85
dinikmati oleh pihak lain. Perbandingan lainnya dengan penelitian Anggraini (2005) yang menunjukkan bahwa rasio penerimaan terhadap biaya transaksi nelayan diesel lebih besar daripada pengolah ikan teri, yaitu 0,10. Hal ini mengindikasikan bahwa pengolah ikan teri di Pulau Pasaran masih efisien. 7.3.4 Faktor Penyebab Biaya Transaksi Pengolah Faktor-faktor yang menjadi penyebab tingginya rasio biaya transaksi pengolah adalah sebagai berikut : 1. Jarak Pengolah sangat bergantung dengan pinjaman modal dari pedagang pengumpul di Jakarta. Hal ini menyebabkan sebagian besar pengolah memasarkan hasil olahannya melalui pengiriman paket ke Jakarta. Biaya pengiriman paket ini menjadi tanggungan biaya pengolah, yang jika diakumulasikan memiliki proporsi pengeluaran yang paling besar. Pasar lokal kurang terbentuk karena dukungan pemerintah dalam membentuk jejaring pemasaran di tingkat konsumen lokal masih terbatas pada kegiatan pameran tertentu saja. Hal ini menyebabkan pengolah lebih memilih menyalurkan kepada pedagang perantara, karena kepastian dalam penerimaan lebih terjamin. 2. Keterbatasan Informasi Pengolah tidak memiliki informasi harga jual bahan baku ikan. Keterbatasan ini mempengaruhi posisi tawar pengolah. Biaya informasi yang dikeluarkan untuk mencari bahan baku ikan dengan harga terjangkau menjadi tambahan biaya bagi pengolah. Pesuruh yang ditugaskan mencari ikan akan menemui nelayan bagan yang menjual bahan baku ikan dengan harga langganan. Keterbatasan informasi juga berlangsung pada saat hasil olahan dijual ke pedagang pengumpul. Kontrak yang telah ditentukan oleh pedagang pengumpul mengurangi posisi tawar dalam menentukan harga jual yang sesuai. Kontrak dan pinjaman modal tanpa bunga dari pedagang pengumpul menjadi hambatan sekaligus keuntungan bagi pengolah. 3. Kuantitas ikan yang banyak Kuantitas bahan baku ikan yang dibeli oleh pengolah relatif cukup banyak. Kondisi ini mempengaruhi ongkos yang dikeluarkan untuk membayar kuli angkut.
86
Pembayaran ini menjadi efek multiplier bagi masyarakat di Pulau Pasaran yang mendapat lapangan pekerjaan, walaupun pengolah harus mengeluarkan biaya tambahan.
7.3.5 Minimalisasi Biaya Transaksi Cara yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi biaya transaksi pengolah adalah sebagai berikut : 1. Membuka Akses Pasar Lokal Biaya pengiriman paket dapat dikurangi dengan membuka pasar lokal yang memiliki daya saing. Ketergantungan pengolah dengan pedagang pengumpul dapat dikurangi dengan membangun potensi pasar lokal. Potensi pasar dapat dimulai dengan membentuk terminal minapolitan yang menjadi tempat pengumpulan hasil perikanan di kota Bandar Lampung. Pemerintah dapat melakukan upaya dengan menarik investor tingkat lokal yang memiliki modal besar sebagai pengganti peran pedagang pengumpul di Jakarta. Hasil perikanan tersebut selanjutnya didistribusikan ke lokasi tujuan pemasaran yang lebih luas. 2. Membuka Akses Informasi Keterbatasan pengolah mendapatkan informasi dapat dikurangi dengan memberikan akses informasi mengenai perkembangan harga komoditas ikan teri di pasar nasional maupun internasional. Pemafaatan teknologi komunikasi dapat dilakukan dengan didukung peran serta asosiasi masyarakat dan pemerintah untuk mengawasi mekanisme pasar. Biaya informasi dapat dikurangi jika kondisi semua pihak saling berkoordinasi dan tidak bersikap oportunis sudah tercapai. 3. Memberdayakan Peran LKM Lembaga keuangan mikro di tingkat pengolah yang perlu ditingkatkan perannya adalah koperasi. Koperasi diharapkan dapat menjembatani kepentingan pengolah dalam mengurangi ketidakefisienan rantai nilai. LKM dapat melakukan pemantauan terhadap keterpaduan sistem on farm dan off farm pada usaha pengolahan ikan teri. Koordinasi dengan stakeholders terkait dan kelompok perbankan juga dapat mendefiniskan rantai pasok yang optimal. Hal ini dijelaskan
87
oleh Syah (2012) bahwa untuk membangun rantai pasok yang optimal perlu dilakukan empat fase yang memiliki tujuan dan karakteristik, yaitu fase analisis atau orientasi masalah, fase definisi rencana strategi dan aksi, fase pelaksanaan, dan fase evaluasi dan pemantauan. Fase tersebut dapat dilakukan oleh kelompok pengolah bersama dengan LKM dan tim teknis pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran.
7.4 Desain Kelembagaan
Broom (1989) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kondisi ekonomi dan sosial masyarakat berubah, maka struktur institusi yang ada tidak cocok lagi untuk dipakai. Masyarakat akan memodifikasi aransemen kelembagaan baru yang lebih sesuai dengan keadaan, keterbatasan, teknologi, dan selera masyarakat. Halhal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sistem kelembagaan adalah batas kewenangan, aspek kepemilikan, dan aturan representasi. Kelembagaan khusus yang akan dibentuk harus melalui kesepakatan dengan para aktor. Kesepakatan tersebut mencakup tiga hal, yaitu : a. Format lembaga, yaitu struktur yang mewakili kepentingan masing-masing aktor secara proporsional. Kepentingan aktor adalah representasi dalam konfigurasi keanggotaan yang dipilih berdasarkan mekanisme yang telah disepakati. b. Mekanisme pengambilan keputusan, yaitu pertemuan berupa musyawarah mencapai mufakat, pemungutan suara, atau kombinasi keduanya. c. Kewenangan lembaga, yaitu batasan pemetaan wilayah kewenangan daerah, identifikasi potensi sumberdaya alam dan sumberdaya sosial kelembagaan, perumusan kerangka kebijakan pengembangan kawasan serta mekanisme resolusi konflik. Berdasarkan hasil analisis hubungan antar aktor dan tata kelola, masih terdapat konflik horizontal antara kelompok pengolah dengan nelayan. Posisi tawar pengolah yang rendah terhadap bahan baku ikan teri membutuhkan suatu koordinasi yang baik antara keduanya. Konflik dengan pedagang pengumpul juga masih terjadi dalam hal penentuan harga olahan ikan teri.
88
Hasil analisis hirarki proses memperlihatkan bahwa alternatif kebijakan yang paling berpengaruh dalam pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri adalah pendampingan bagi kelompok pengolah. Kelompok pengolah membutuhkan jejaring pemasaran dan permodalan yang memadai. Hal ini dapat diakomodasikan terhadap peran lembaga keuangan mikro maupun perbankan. Pemerintah sebagai pembiaya anggaran pembangunan diharapkan dapat membangun infrastruktur pendukung dalam teknis pelaksanaan produksi. Biaya transaksi yang paling besar dikeluarkan oleh kelompok pemerintah adalah biaya pembinaan masyarakat. Langkah pemerintah untuk melakukan pembinaan sudah tepat untuk meningkatkan nilai tambah produk olahan ikan teri, namun biaya tersebut tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan masyarakat. Pola pikir masyarakat harus diubah untuk dapat menerima perubahan sistem pengelolaan ke arah yang lebih baik. Desain lembaga yang direkomendasikan dalam pengelolaan klaster ikan teri tersaji pada Gambar 23.
7.4.1 Batas Yurisdiksi Batas kewenangan lembaga pengelolaan klaster industri ikan teri Pulau Pasaran berada di lingkup Kota Bandar Lampung. SKPD yang dibentuk memiliki kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya yang ada di wilayah Kota Bandar Lampung. Hal ini berkesesuaian dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Bandar Lampung khususnya Kecamatan Teluk Betung Timur yang dikembangkan sebagai kawasan minapolitan dan perikanan modern.
7.4.2 Hak Kepemilikan Hak kepemilikan sumber daya yang ada di Pulau Pasaran adalah pemerintah. Berdasarkan hasil analisis hirarki proses, aktor yang dominan berperan dalam pengembangan klaster industri adalah tim teknis pengembangan klaster. Hal ini dikarenakan tim teknis memiliki peran sebagai fasilitator dengan bidang yang multidisiplin, sedangkan masyarakat adalah subjek. Subjek memiliki kepentingan tinggi terhadap sumber daya ikan teri Pulau Pasaran, tetapi tidak memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan. Koordinasi antar lembaga di
89
tim teknis maupun antar lembaga tim teknis dengan kelompok pengolah perlu dilakukan
secara
intensif
agar
program
kerja
yang
akan
dijalankan
berkesinambungan. 7.4.3 Aturan Representasi Aturan representasi dalam sistem kelembagaan terbagi menjadi 2 tingkat, yaitu tingkat pengambil kebijakan (collective choice level) dan level operasional (operational choice level). Level penentu kebijakan pengembangan klaster industri terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu : a. Pemerintah yang berperan dalam pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran terdiri dari Pemerintah Kota Bandar Lampung, SKPD yang terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung, Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, BAPPEDA Kota Bandar Lampung, Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan Kota Bandar Lampung, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, BPPLH, dan BPMP. Kelompok pemerintah yang tergabung dalam tim pengembangan klaster industri ikan teri di Pulau Pasaran diharapkan dapat menyusun aturan main pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan teri yang berkelanjutan. Program kerja yang terintegrasi antar lembaga diharapkan dapat menyelaraskan tujuan pengembangan potensi Pulau Pasaran. b. Bank Indonesia Perwakilan Provinsi dan Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa sebagai inisiator pendampingan mitra kelompok pengolah ikan teri. c. Perguruan Tinggi dan Asosiasi Masyarakat yang berperan dalam memberikan saran dalam merumusakan kebijakan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran.
90
Level operasional yaitu tingkatan aktor yang berperan sebagai pelaksana kebijakan dari level penentu kebijakan. Kelompok yang terlibat dalam level ini adalah sebagai berikut: a. Kelompok lembaga pengelola klaster ikan teri yang terdiri dari nelayan bagan yang berperan sebagai penyedia bahan baku utama ikan teri, kelompok pengolah ikan teri, dan LKM Mitra Usaha Bahari. b. Kelompok penyedia akses permodalan dan atau pemasaran yaitu pedagang pengumpul, retail supermarket, dan perbankan.
7.4.4 Mekanisme Implementasi Implementasi desain kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan antar aktor adalah melalui kegiatan rapat bulanan koperasi. Rapat koperasi membahas tentang laporan keuangan simpan pinjam dan Waserda. Kegiatan ini dihadiri oleh kelompok pemerintah, Bank Indonesia, LSM Masyarakat Mandiri, nelayan, dan kelompok masyarakat.
Aktor-aktor
ini cukup mewakili pemain utama
pengembangan klaster ikan teri. Kegiatan rapat koperasi sebaiknya diisi juga dengan musyawarah bersama yang membahas tentang arah pengelolaan klaster industri ikan teri. Pemberian materi pelatihan dan transfer teknologi juga dapat dilakukan pada kegiatan ini, sehingga masyarakat mendapat insentif lebih untuk hadir dalam rapat koperasi. Implementasi desain kelembagaan juga dapat dilakukan melalui kegiatan informal seperti pertemuan di tingkat lingkungan. Pertemuan informal ini dapat dilakukan dengan menentukan days off para pengolah dalam satu bulan berproduksi. Tujuannya adalah sebagai langkah komitmen dalam mendukung peningkatan modal sosial di masyarakat. Aktor yang terlibat adalah kelompok masyarakat pengolah. Peran tokoh masyarakat untuk membangun partisipasi dan keswadayaan masyarakat sangat diperlukan, sehingga diperlukan tokoh yang berpengaruh dan memiliki visi memajukan Pulau Pasaran untuk menampung aspirasi masyarakat. Kelompok pengolah menjalankan mekanisme pengembangan masyarakat secara bottom up dengan berlandaskan kepercayaan dan keterbukaan. Kegiatan ini diharapkan dapat mendorong kelompok pengolah untuk melakukan
91
inovasi arah pengelolaan klaster industri yang efisien lalu dikoordinasikan kepada para penentu kebijakan.
Collective Choice Level
Pemerintah Kota Bandar Lampung
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI SKPD – Tim Teknis Pengembangan Klaster industri pengolahan ikan teri Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung
Bank Indonesia dan Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa
Rapat Koperasi, days off
Kelompok Pengelola Klaster ikan teri
Akademisi dan Asosiasi Masyarakat
Lembaga penyedia akses permodalan dan atau pemasaran
Nelayan Kelompok Pengolah LKM
Pedagang pengumpul Retail Supermarket Perban
Operational Level Choice
koordinasi
Instruksi
Gambar 23. Desain Kelembagaan
Konsultasi
92
93
8 ANALISIS KEBIJAKAN EKONOMI KELEMBAGAAN
8.1 Analytic Hierarchy Process Strategi kebijakan pengembangan klaster
industri bertujuan untuk
meningkatkan daya saing produk olahan ikan teri di pasar lokal dan nasional. Upaya dalam mencapai tujuan tersebut berdasarkan pada kriteria pendukung terbentuknya kebijakan, yaitu dukungan kelembagaan, dukungan pemerintah, ketersediaan
dana,
dan
pengembangan
teknologi.
Stakeholders
yang
dipertimbangkan adalah kelompok masyarakat, tim teknis pengembangan klaster Pulau Pasaran, Lembaga Keuangan Mikro (koperasi), dan akademisi. Hasil identifikasi stakeholders yang memiliki kepentingan dan pengambil kebijakan terhadap Pulau Pasaran terbagi menjadi 5 kelompok, yaitu : 1) Kelompok Pemerintah Kelompok pemerintah adalah dinas yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan Pulau Pasaran, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung yang mencakup bidang P2HP dan KP3W, BAPPEDA Kota Bandar Lampung yang mencakup Bidang Ekonomi, Dinas Koperasi, Perindustrian, dan Perdagangan mencakup bidang Perindustrian, serta Dinas Pekerjaan Umum bidang tata bangunan. Dinasdinas ini berkaitan langsung dengan pengambilan keputusan dan arah pengelolaan Pulau Pasaran. 2) Kelompok Otoritas Moneter Bank
Indonesia
sebagai
penyelenggara
kegiatan
pendampingan
kelembagaan bersama Masyarakat Mandiri memiliki kepentingan dalam membina kelompok usaha masyarakat pengolah ikan teri. 3) Asosiasi dan akademisi Asosiasi yang diwawancarai adalah DPD APINDO yang menjadi penjembatan aspirasi kelompok usaha. Asosiasi pengusaha ini memiliki Kelompok akademisi yang dimaksud adalah perguruan tinggi yang juga tergabung dalam Tim Teknis Pengembangan Klaster Ikan Kering di Pulau Pasaran.
94
4) Lembaga Keuangan Mikro LKM yang diwawancarai untuk analisis hirarki proses adalah ketua Koperasi ISM-Mitra Usaha Bahari. Ketua koperasi sebagai pemegang keputusan pengelolaan koperasi juga memiliki kepentingan untuk berkoordinasi dengan stakeholders lainnya. 5) Kelompok Masyarakat Pengolah Ikan Teri Kelompok masyarakat yang diwawancarai adalah perwakilan dari tokoh masyarakat yang sudah lama menjalankan usaha pengolahan ikan teri. Berikut ini adalah struktur hirarki yang dibuat menggunakan Criterium Desision Plus.
Gambar 24. Struktur Hirarki
Keterangan : Tingkat 1
: Fokus permasalahan yang akan dipecahkan (strategi kebijakan)
Tingkat 2
: Faktor yang menjadi pertimbangan dalam strategi kebijakan 1. Dukungan Kelembagaan (DK) 2. Dukungan Pemerintah (DP) 3. Ketersediaan Dana (DA) 4. Pengembangan Teknologi (PT)
Tingkat 3
: Aktor yang berperan dalam pengambilan keputusan, yaitu : 1. Kelompok Pengolah (KM) 2. Tim Teknis (TK) 3. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) 4. Akademisi (AK)
Tingkat 4
: Alternatif strategi kebijakan yang akan direkomendasikan, yaitu :
95
1. Pendampingan masyarakat (PM) 2. Pengembangan infrastruktur (PI) 3. Membuka akses pemasaran (PH) 4. Pemberian kredit usaha (PK) 5. Pelatihan dan transfer teknologi (PT)
8.2 Hasil Pengolahan Data Horizontal Pengolahan data horizontal adalah menyusun prioritas elemen keputusan setiap tingkat hirarki keputusan yang menunjukkan hubungan antar elemen di tingkat hirarki yang berbeda. Hasil pengolahan data pada masing-masing tingkat hirarki dengan tingkat konsistensi rasio 0,01 yang memenuhi syarat validasi hasil analisis persepsi responden adalah sebagai berikut : a. Aktor Aktor yang paling dominan pengaruhnya dalam dukungan kelembagaan adalah kelompok masyarakat pengolah ikan teri (0,383) dan tim teknis (0,358). Kelompok pengolah sebagai subjek yang memiliki kepentingan tinggi terhadap hasil olahan ikan teri memiliki kemampuan untuk melakukan pengorganisasian setiap individu pengolah ikan teri. Peran ini dilakukan oleh tokoh masyarakat yang dapat menggerakkan masyarakat Pulau Pasaran dan memiliki jejaring yang luas. Tokoh masyarakat dapat membentuk kepercayaan antar kelompok masyarakat pengolah ikan teri agar tercipta solidaritas yang kokoh. Peran tersebut juga didukung oleh Tim Teknis pengembangan klaster ikan teri. Tim teknis memberikan pendampingan dan pelatihan manajemen dan kelembagaan kepada pengolah ikan teri. Koordinasi antar kedua pihak dapat meningkatkan trust dan kredibilitas yang berkelanjutan dalam pengelolaan potensi ikan teri Pulau Pasaran. Aktor yang dominan pengaruhnya dalam dukungan pemerintah adalah Tim Teknis pengembangan klaster (0,399). Tim teknis yang dibentuk berdasarkan surat keputusan walikota merupakan kelompok stakeholders yang multidisiplin. Tim teknis sebagai fasilitator sangat penting keberadaannya dalam mewujudkan iklim usaha yang kondusif dengan kebijakan yang mendukung sistem rantai pasok produk olahan ikan teri yang berdaya saing. Pendampingan, pembinaan, hingga
96
penyediaan infrastruktur merupakan tugas pokok dan fungsi anggota tim teknis yang berkaitan dengan dukungan pemerintah. Aktor yang dominan pengaruhnya dalam hal ketersediaan dana adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) (0,473) dan Tim Teknis (0,266). Keberadaan koperasi yang dekat dengan pengolah mempermudah kegiatan operasional. Waserda (Warung Serba Ada) meyediakan peralatan untuk nelayan maupun pengolah. Sistem penangguhan pembayaran dan simpan pinjam cukup membantu pengolah yang belum memiliki modal untuk membayar ongkos produksi. Ketersediaan dana LKM juga merupakan bantuan dana pengembangan lunak dari Tim Teknis, seperti BI, DKP, dan Diskoperindag. Dana ini hanya sebagai bantuan dana pengembangan yang tidak mengurangi peran LKM sebagai lembaga yang menggerakan perekonomian mikro. Aktor yang dominan pengaruhnya dalam hal pengembangan teknologi adalah perguruan tinggi (0,390) dan Tim Teknis (0,365). Tim teknis dan perguruan tinggi diharapkan dapat berkoordinasi untuk perbaikan teknologi pengolahan agar sesuai dengan standar food safety dan GMP (Good Manufacturing Practices). Hubungan antar elemen di tingkat hirarki ke 3 tersaji pada Tabel 36. Tabel 36. Bobot dan Prioritas Pengolahan Horizontal Elemen Tingkat 3 Aktor DK DP DA PT KM 0,282 0,174 0,144 0,383 TK 0,358 0,266 0,365 0,399 LKM 0,177 0,228 0,101 0,473 AK 0,082 0,091 0,086 0,390 Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
b. Alternatif Strategi kebijakan yang pertama adalah pendampingan dan penguatan kelembagaan masyarakat dengan aktor yang paling berperan adalah kelompok masyarakat pengolah ikan teri (0,451). Model pengelolaan co-management (manajemen kolaborasi) antara masyarakat dengan stakeholders dapat diterapkan dalam pengembangan klaster ikan teri Pulau Pasaran. Pengolah dilatih untuk peka terhadap permasalahan dan memiliki motivasi tinggi untuk memecahkan masalah melalui pertemuan kelompok secara informal. Strategi ini dapat dijalankan jika
97
pengolah sudah mengalami perubahan pola pikir untuk memecah sistem rantai pasok yang selama ini kurang menguntungkan. Pola pikir pengolah ini tentu saja tidak dapat secara singkat dicapai jika output akhirnya tidak jelas. Kepastian insentif yang didapat adalah perubahan sistem pasok yang juga didukung oleh kelompok pemerintah, perbankan, dan akademisi. Strategi kedua, yaitu pengembangan infrastruktur dengan aktor yang berperan adalah Tim Teknis (0,126). Pembangunan infrastruktur merupakan kewenangan kelompok pemerintah karena dana yang digunakan telah dianggarkan untuk pembangunan daerah. Pengembangan infrastruktur seperti sistem pengelolaan limbah produksi, sanitasi, dan transportasi merupakan bentuk dukungan pemerintah untuk mengembangkan Pulau Pasaran. Hal ini berkaitan dengan master plan kota Bandar Lampung yang akan menjadikan Pulau Pasaran sebagai City Tour. Strategi ketiga, membuka akses pemasaran dengan aktor yang berperan adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) (0,306). Peran LKM dalam membuka jejaring dimulai dengan permodalan yang memadai dari pihak pendonor dana pinjaman lunak. Hal ini sangat krusial karena industri perikanan memiliki tingkat resiko yang tinggi. Resiko ini terbentuk karena tingkat ketergantungan dengan alam dan hasil tangkapan yang tinggi. Pemutusan rantai permodalan antara pengolah dengan pedagang pengumpul tidaklah mudah, karena selama ini akses pemasaran dibentuk oleh hubungan kepercayaan keduanya. LKM dapat mengintervensi sistem dengan membentuk sistem pemasaran mandiri dalam negeri maupun luar negeri. Sistem ini dapat terbentuk jika modal memadai dan produk olahan ikan teri sudah memenuhi standar kualitas ekspor dengan teknik pengolahan yang menjalankan konsep best practices. Selain itu, aspek Sumber Daya Manusia (SDM) juga diperlukan untuk menjalankan manajemen pemasaran. SDM yang berkualitas dibentuk dengan cara pendampingan masyarakat yang berkaitan dengan strategi pertama. Aspek law enforcement dan trust harus secara konsisten dijalankan untuk keberlanjutan sistem pemasaran. Hal ini dikarenakan LKM adalah lembaga keuangan yang dekat dengan masyarakat dan diharapkan menjadi tonggak perekonomian lokal.
98
Strategi keempat, pemberian kredit usaha dengan aktor yang berperan adalah LKM (0,209). Pemberian kredit usaha sejalan dengan strategi membuka akses pemasaran. Pemberian kredit dapat terlaksana jika prilaku oportunis dari masing-masing pengolah dapat dikurangi. Hal ini berkaitan dengan moral hazard yang dapat mengganggu sistem. Usaha pengolahan ikan yang layak dan dapat diterima oleh pihak perbankan dapat mempermudah pengolah mengakses permodalan. Strategi kelima adalah pelatihan dan transfer teknologi dengan aktor yang berperan adalah akademisi dari perguruan tinggi (0,178). Teknologi yang digunakan tidak harus teknologi yang canggih dan terbaru. Teknologi yang dibutuhkan pengolah adalah yang tepat guna dan mudah dijangkau seperti perbaikan tempat penjemuran ikan yang bebas dari lalat dan kucing. Peran perguruan tinggi adalah mensosialisasikan hasil penelitian yang dapat diaplikasikan secara langsung oleh pengolah. Pihak perguruan tinggi dapat berkoordinasi dengan kelompok pemerintah yang membidangi aspek tersebut untuk melakukan pembinaan teknis maupun non teknis kepada pengolah. Tabel 37 secara lengkap menyajikan hubungan antar elemen di tingkat hirarki ke 4. Tabel 37. Bobot dan Prioritas Pengolahan Horizontal Elemen Tingkat 4 Alternatif KM TK LKM AK PM 0,408 0,343 0,435 0,451 PI 0,065 0,076 0,055 0,126 PH 0,247 0,249 0,220 0,306 PK 0,150 0,132 0,112 0,209 PT 0,087 0,086 0,067 0,178 Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
8.3 Hasil Pengolahan Data Vertikal Pengolahan data vertikal adalah penyusunan prioritas setiap elemen dalam hirarki terhadap tujuan (goal) utama. Hasil pengolahan ini akan menunjukkan tingkat alternatif strategi kebijakan berdasarkan bobot masing-masing elemen dalam hirarki dengan tingkat konsistensi rasio 0,01 yang memenuhi syarat validasi hasil analisis persepsi responden. Hirarki pemilihan alternatif strategi kebijakan pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri disertai dengan bobot penilaian tersaji pada Gambar 25.
99
Strategi kebijakan pengembangan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran dalam rangka mendukung percepatan pembangunan klaster industri perikanan
Dukungan kelembagaan (0,293)
Dukungan Pemerintah (0,389)
Kelompok pengolah (0,273)
Tim Teknis (0,357)
Pendampingan dan penguatan kelompok masyarakat pengolah ikan teri (0,403)
Pengembangan infrastruktur (0,089)
Ketersediaan dana (0,193)
Lembaga Keuangan Mikro (0,244)
Membuka akses pemasaran hasil olahan ikan teri (0,261)
Pengambangan teknologi (0,125)
Akademisi (0,124)
Pemberian kredit usaha mandiri (0,156)
Pelatihan dan transfer teknologi pengolahan ikan teri (0,091)
Gambar 25. Hirarki Pemilihan Alternatif Strategi Kebijakan dengan Bobot
a. Faktor Faktor yang paling berpengaruh dalam strategi kebijakan pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran adalah dukungan pemerintah. Peran pemerintah yang terbentuk dalam SKPD sangat berpengaruh sebagai otoritas pengelola wilayah administratif Kota Bandar Lampung sesuai dengan tupoksinya. Faktor kedua adalah dukungan kelembagaan yang berkaitan dengan implementasi kelembagaan berbasis sumberdaya lokal yang akan terbentuk di kelompok pengolah ikan teri. Faktor yang ketiga adalah ketersediaan dana dalam pengembangan klaster industri ikan teri. Ketersediaan dana yang
100
diperlukan terkait dengan pengembangan jejaring pemasaran dan persediaan permodalan untuk pengolah. Faktor yang keempat adalah pengembangan teknologi tepat guna untuk memperbaiki teknik pengolahan ikan teri. Bobot dan prioritas faktor tersaji pada Tabel 38. Tabel 38. Bobot dan Prioritas Faktor Penyusun Strategi Kebijakan Klaster Industri Faktor
Bobot
Prioritas
Dukungan Kelembagaan
0,293
2
Dukungan Pemerintah
0,389
1
Ketersediaan Dana
0,193
3
Pengembangan Teknologi
0,125
4
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
b. Aktor Aktor yang paling berperan dalam strategi kebijakan pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran adalah Tim Teknis. Tim Teknis merupakan gabungan kelompok pemerintah, perbankan, BUMN, asosiasi, dan akademisi. Integrasi program kerja setiap lembaga dapat memperkokoh program pengembangan hasil olahan ikan teri Pulau Pasaran sebagai produk unggulan Kota Bandar Lampung, yang dapat meningkatkan pendapatan pada sektor riil. Aktor yang yang berperan selanjutnya adalah kelompok pengolah sebagai subjek yang mengelola sumber daya ikan teri di tingkat operasional. Pemberdayaan kelompok usaha ini dilakukan dengan mempertahankan kelembagaan dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) pengolah dalam mengelola sumber daya ikan tanpa mengubah struktur sosial masyarakat. Aktor yang ketiga adalah koperasi. Koperasi sebagai lembaga keuangan mikro memiliki peran dalam penyediaan sarana dan prasaran bagi nelayan dan pengolah. Peran koperasi diharapkan dapat mencakup aspek pemasaran dan permodalan bagi pengolah. Aktor yang terakhir adalah akademisi dari perguruan tinggi yang berperan dalam pengembangan dan transfer teknologi kepada kelompok pengolah. Tabel 39 menyajikan bobot dan prioritas aktor dalam penyusunan strategi kebijakan pengembangan klaster industri.
101
Tabel 39. Bobot dan Prioritas Aktor Penyusun Strategi Kebijakan Klaster Industri Aktor
Bobot
Prioritas
Kelompok Pengolah
0,273
2
Tim Teknis
0,357
1
LKM
0,244
3
Akademisi
0,124
4
Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
c. Alternatif Alternatif strategi kebijakan yang dominan untuk pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran adalah pendampingan dan penguatan kelompok pengolah. Strategi ini dilakukan untuk meningkatkan motivasi masyarakat dalam mengelola usaha pengolahan ikan teri secara bersamasama. Tujuan pengelolaan bersama adalah untuk mewujudkan visi dan misi antara kelompok pengolah dengan kelompok pemerintah. Tabel 40 menyajikan bobot dan prioritas alternatif kebijakan dalam penyusunan strategi kebijakan pengembangan klaster industri. Tabel 40. Bobot dan Prioritas Strategi Kebijakan Klaster Industri Aktor
Bobot
Prioritas
Pendampingan Kelompok
0,403
1
Pengembangan Infrastruktur
0,089
5
Membuka Akses Pemasaran
0,261
2
Pemberian Kredit Usaha
0,156
3
Pelatihan Teknologi
0,091
4
Sumber: Hasil Analisis Data (2013)
Alternatif strategi kebijakan yang kedua adalah membuka akses pemasaran. Akses pemasaran adalah komponen pasar yang dibutuhkan pengolah, karena rantai pasok yang terbentuk dari pedagang pengumpul membatasi akses pemasaran pengolah. Usaha pengolahan ikan teri memiliki tingkat perputaran modal yang sangat tinggi, karena setiap hari harus melakukan produksi. Hal inilah yang menjadi strategi alternatif ketiga, yaitu pemberian kredit modal usaha.
102
Pedagang pengumpul besar yang menjalankan sistem konsinyasi menyediakan modal yang siap digunakan untuk berproduksi. Strategi ini memiliki kekurangan apabila dilakukan pemberian kredit kepada seluruh pengolah. Permodalan yang besar harus disiapkan untuk kelangsungan usaha para pengolah. Pengintegrasian pola kerja sama para pengolah dalam satu kelompok usaha dapat dilakukan jika kepercayaan dan keterbukaan dalam kelompok sudah terbangun. Pedagang pengumpul dan pengolah sudah lama memiliki keterikatan untuk saling bekerja sama dalam penyediaan modal dan hasil olahan ikan teri. Rantai pasok dengan pedagang pengumpul sebaiknya tidak diputus, karena jenis usaha pengolahan ikan teri yang padat modal dan karya membutuhkan pengembalian modal secara cepat. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan membuka akses pemasaran dengan tujuan selain pedagang pengumpul di Jakarta. LKM sebagai penyokong perekonomian diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam membuka jejearing pemasaran yang luas. Pengolah juga diharapkan memiliki usaha yang bankable sehingga pihak perbankan dapat dengan mudah memberikan pinjaman kredit lunak. Semua strategi tersebut dimulai dengan pendampingan dan penguatan kelompok pengolah oleh tim teknis yang befungsi sebagai fasilitator. Strategi yang keempat adalah pelatihan dan transfer teknologi. Perbaikan teknik pengolahan ikan teri yang mengutamakan keamanan pangan dan nutrisi dapat dilakukan jika ketiga strategi diatas sudah terlaksana. Pelatihan sistem jaminan mutu pangan standar industri seperti GMP (Good Manufacturing Practices) dan HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point) dapat dilakukan jika insentif pasar sudah terbentuk. Kesadaran untuk meningkatkan kualitas produk olahan ikan teri dapat terlaksana jika end users terdefinisikan dengan jelas. Strategi yang kelima adalah pengembangan infrastruktur. Strategi ini juga berkaitan dengan strategi keempat sebagai implementasi dan dukungan dari pemerintah untuk membangun infrastruktur sesuai dengan standar. Masyarakat pengolah ikan yang sudah mendapatkan pelatihan manajemen mutu dan jaminan pangan sebaiknya didukung dengan penyediaan sarana pengolahan yang memadai dan tepat guna, seperti tempat penjemuran ikan. Secara lengkap hasil perhitungan bobot dengan menggunakan Expert Choice 2000 tersaji pada Lampiran 5.
103
9 SIMPULAN DAN SARAN
9.1 SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis kebijakan ekonomi kelembagaan pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran, dapat disimpulkan bahwa : 1. Tata kelola pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran masih sering terjadi konflik antara pengolah dengan nelayan dan pedagang pengumpul. Konflik tersebut terjadi karena aspek permodalan dan pemasaran masih dikuasai oleh pedagang pengumpul. Dengan kata lain, Economics foundation belum lengkap, sehingga pengembangan klaster industri belum berjalan secara optimal. 2. Peran stakeholders sebaiknya diintegrasikan tidak hanya terfokus pada tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi. Desain kelembagaan yang direkomendasikan dalam pengembangan klaster industri pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran melalui koordinasi antara kelompok pengelola klaster ikan teri dengan kelompok penyedia permodalan dan atau pemasaran. Mekanisme implementasi yang diajukan adalah kegiatan pertemuan kelompok secara formal dan informal. 3. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh kelompok pemerintah relatif tidak efisien, karena proporsi antar komponen biaya yang tidak seimbang. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh kelompok pengolah relatif efisien, karena rantai tata niaga yang hanya berakhir di pedagang pengumpul. 4. Strategi kebijakan yang direkomendasikan untuk pengembangan klaster industri ikan teri di Pulau Pasaran adalah pendampingan kelompok pengolah dan pengembangan akses pemasaran. Kedua rekomendasi kebijakan ini mengindikasikan bahwa peran pemerintah masih harus mendominasi dalam pengembangan klaster pengolahan ikan teri di Pulau Pasaran.
104
9.2 SARAN 1. Perbaikan tata kelembagaan secara internal berupa kapasitas sosial masyarakat dan eksternal dari stakeholders terkait perlu dilakukan untuk mewujudkan kelompok pengolah yang terpadu dan memiliki daya saing. Stakeholders yang terlibat perlu memahami cakupan tugas dan tanggung jawab secara jelas, sehingga semua pemangku kepentingan yang terlibat dapat menjalankan program klaster secara optimal. Semua penentu kebijakan sebaiknya memiliki komitmen yang kuat dan fokus dalam mengembangkan potensi Pulau Pasaran. 2. Peran LKM sebagai penghubung kepentingan kelompok pengolah harus didukung dengan ketersediaan modal dan jejaring pemasaran dari lembaga perbankan formal. Keberadaan LKM juga diharapkan dapat mengurangi biaya transaksi pengiriman hasil olahan ikan teri. Oleh karena itu, dukungan kelembagaan, pemerintah, dana, dan pengembangan teknologi harus sejalan dengan strategi kebijakan yang akan direncanakan.
105
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, E.2005.Analisis Biaya Transaksi dan Penerimaan Nelayan dan Petani di Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis Arti,
DB.2011.Analisis Strategi Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Perkembangan Industri Kelapa Sawit Nasional (Studi Kasus di PTPN IV Medan Sumatera Utara.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Tesis
Daryanto, A.2010.Pembangunan Sektor Perikanan Berbasis Klaster. [internet]. [diunduh pada 2013 Feb 28].Tersedia pada: http://www.mb.ipb.ac.id/artikel/view/id/bf43fac909a01012c2451c28dd c44ef6.html Deliarnov.2006.Ekonomi Politik.Jakarta:Erlangga Dermawan, R.2005.Model Kuantitaif Pengambilan Keputusan dan Perencanaan Strategis.Bandung: CV Alfabeta Dillon, JL dan J. Brian H.2011.Ilmu Usaha Tani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil.Soekartawi dan A. Soeharjo,editor.Jakarta:UI Press. Terjemahaan dari : Farm Management Research for Small Development.Cet ke-III Dunn, WN.1998.Analisis Kebijakan Publik: Kerangka Analisa dan Prosedur Perumusan Masalah.Muhadjir, D,editor.Yogyakarta: Hanindita Graha Widya Firdaus, M dan Farid M.A.2008.Aplikasi Metode Kuantitatif Terpilih untuk Manajemen dan Bisnis.Bogor:IPB Press Kementerian Kelautan dan Perikanan.2010.Data Ekspor Komoditas Perikanan Tangkap ikan Teri Indonesia Tahun 2006-2010 Fauzi, A. 2004.Ekonomi Perikanan.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama Hamidi.2008.Metode Penelitian Kualitatif: Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian.Malang:UMM Press Helda.2004.Analisis Nilai Tambah Pengolahan Ikan Teri di Pulau Pasaran, Provinsi Lampung.Institut Pertanian Bogor.Skripsi Kecamatan Teluk Betung Barat dalam Angka Tahun 2012 Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung Keputusan Gubernur Lampung Nomor G/89/II.02/HK/2011 tentang Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) Percepatan Pembangunan Kawasan Agropolitan dan Minapolitan di Provinsi Lampung Tahun 2011 - 2014 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.32/MEN/2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan. Kusumastanto, T.2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era
106
Otonomi Daerah.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Laporan Akhir BAPPEDA Kota Bandar Lampung Tahun 2012: Koordinasi Pengembangan Ekonomi Lokal Kota Bandar Lampung Laporan Kegiatan Klaster Ikan Kering Pulau Pasaran – Bank Indonesia Perwakilan Provinsi Lampung 2010 Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Tahun 2012 Lisna, E dan Sofyan.2011.Analisis Efisiensi Pemasaran Produk Agroindustri Perikanan Studi Kasus Pemasaran Ikan Teri di Desa Maunasah Keudee Kabupaten Aceh Besar.12(1):1-8 Marimin dan Nurul M.2010.Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok.Bogor: IPB Press Marasabessy, AZ.2010.Analisis Kebijakan dan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Kabupaten Maluku Tengah.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Tesis Ostrom, E et al.1997.Rules, Games, and Common-Pool Resources.United States: The University of Michigan Press Pengembangan Klaster Pengolahan Ikan Teri di Pulau Pasaran Lampung [internet].[diunduh 2013 Januari 25]: Tersedia pada: http://www.bi.go.id/web/id/UMKMBI/Penelitian/Regional/Lampung/te ri.html Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011 – 2030 Riswandi.2009.Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berprespektif Mitigasi Bencana Alam di Pesisir Indramayu dan Ciamis.Sekolah Pascasarjana IPB.Disertasi Rudiyanto, BY.2011.Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam Pengelolaan Sea Farming di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Tesis Rakhman, A.1999.Analisis Kelembagaan dan Ekonomi Usaha Pertambakan Udang Pola Tambak Inti Rakyat Transmigrasi di Kabupaten SumbawaNTB.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Tesis Simangunson, S.2008.Analisis Kebijakan Pengawasan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan Indonesia Menyikapi Era Globalisasi Perdagangan.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Disertasi Soetrisno, N.2009.Pengembangan Klaster IKM/UKM di Indonesia: Pengalaman dan Prospek.Seminar workshop pengembangan klaster UMKM: Surakarta [diakses 2013 Feb 28] Suhana.2008.Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Tesis
107
Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No.256/23/HK/2011 tentang Pembentukan Tim Pelaksana Kegiatan Pengembangan Klaster Pengolahan Ikan Teri Kering di Pulau Pasaran Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No.421/III.24/HK/2012 tentang Delapan Komoditas Unggulan Kota Bandar Lampung Surat Keputusan Walikota Bandar Lampung No.25/III.24/HK/2012 tentang Pembentukan Forum Koordinasi One Village One Product (OVOP) Kota Bandar Lampung Syah, D.2012.Pengantar Teknologi Pangan.Bogor: IPB Press Wickham, M.2005.Regional Economic Development: Exploring the Role of Government in Porter’s Industrial Cluster Theory.CRIC Cluster Conference: Beyond Cluster Practices and Future Strategies.Ballarat:University of Tasmania [diakses 2013 Feb 28] Yulistyo.2006.Analisis Kebijakan Pengembangan Armada Penangkapan Ikan Berbasis Ketentuan Perikanan yang Bertanggung Jawab di Ternate, Maluku Utara.Sekolah Pascasarjana IPB.Disertasi Yustika, AE.2006.Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi.Malang:Bayumedia Publishing
108
109
LAMPIRAN
110
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
a. Peta Lokasi Pulau Pasaran Sumber : http://googlemap.com diakses tanggal [28 Februari 2013]
b. Foto Udara Pulau Pasaran Sumber: http://wikimapia.com diakses tanggal [28 Februari 2013]
111
Lampiran 2. Data Responden 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Sukardi Saleh Rosidin Kartama Tomo Sarnoto Kusnadi Iryanto Sanuri Dasuki H. Salun Dukri Nuridin Marjuni Wato H. Warna Ashari Hendrik Edi Wardani H. Warjana Candak Saluki Anwar Wakim Toto Darmono Sumarno Amanudin Endang
L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L L
36 32 46 40 63 48 39 39 50 40 51 43 35 60 50 50 49 34 71 58 43 42 65 52 39 50 51 40 28
SD SD SD SD SD SD SMA SMP SD SMP SD SD SD SMA SD SD SMP SMA SD SD SD SD SD SMP SMA SD SD SD SMA
Lampung Lampung Cirebon Patrol Brebes Indramayu Cirebon Cirebon Indramayu Indramayu Indramayu Brebes Cirebon Indramayu Indramayu Indramayu Indramayu Lampung Brebes Indramayu Indramayu Indramayu Cirebon Cirebon Jawa Barat Pemalang Indramayu Indramayu Lampung
36 32 33 20 50 39 25 48 33 11 38 20 30 20 20 20 30 34 31 33 25 25 41 20 39 10 35 9 28
30 10 18 13 30 31 15 15 9 10 29 15 23 15 12 15 23 15 15 28 20 15 41 20 13 10 33 9 4
112
Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian
Hasil Olahan Ikan Teri
Tahap Persiapan
Tahap Perebusan
Tahap Penyortiran
Tahap Pengemasan
Tahap Pengiriman
Bagan Perahu
Bagan Tancap
113
Lampiran 4. Data Biaya Produksi Responden Kode Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 AVERAGE Nilai Per Bulan Nilai Per Tahun
Bahan Baku Ikan (Rp)
Rp Rp Rp
Solar (Rp)
Garam (Rp)
Konsumsi (Rp)
Peralatan (Rp)
7374990 270000 180000 100000 115875 11804175 450000 300000 150000 128271 9349991 540000 300000 200000 82146 16593344 360000 420000 200000 160500 10066670 450000 300000 200000 118792 16508350 540000 300000 150000 156708 23745830 450000 420000 200000 225583 31683330 675000 600000 500000 332375 12587505 540000 180000 280000 109313 8943328 540000 180000 200000 87833 17345835 540000 300000 200000 166188 17833340 540000 300000 200000 175667 14983330 450000 420000 100000 168708 11316670 270000 180000 200000 118792 9112510 540000 180000 200000 87833 8837505 360000 240000 150000 109313 26066680 900000 300000 200000 287500 8583350 270000 240000 150000 130792 14791680 450000 200000 200000 137750 20566675 360000 150000 200000 197146 12195840 360000 325000 100000 118792 12758350 675000 300000 150000 156708 16233360 360000 300000 100000 187667 4401674 200000 65000 0 76708 17441660 450000 240000 100000 187667 8101673 540000 240000 200000 78354 858335 100000 120000 0 34479 17929165 450000 300000 150000 197146 16625010 225000 490000 150000 156708 22866675 900000 300000 200000 247063 14.250.228 Rp 458.500 Rp 279.000 Rp 171.000 Rp 151.279 Rp 313.505.009 Rp 10.087.000 Rp 6.138.000 Rp 3.762.000 Rp 3.328.142 Rp 3.762.060.104 Rp 121.044.000 Rp 73.656.000 Rp 45.144.000 Rp 39.937.700 Rp
Gaji (Rp)
Total Pengeluaran
460000 1075000 900000 1875000 1000000 1050000 900000 1375000 1025000 1125000 1280000 1300000 1230000 420000 1000000 1100000 1450000 825000 1250000 1500000 1100000 1500000 1060000 245000 1140000 700000 0 1100000 900000 1210000 1.036.500 Rp 22.803.000 273.636.000 Rp
8500865 13907446 11372137 19608844 12135462 18705058 25941413 35165705 14721818 11076161 19832023 20349007 17352038 12505462 11120343 10796818 29204180 10199142 17029430 22973821 14199632 15540058 18241027 4988382 19559327 9860027 1112814 20126311 18546718 25723738 16.346.507 AVERAGE Nilai Per Bulan 4.315.477.804 Nilai Per Tahun Biaya Tetap+varabel
Rp Rp Rp Rp
16.346.507 359.623.150 4.315.477.804 4.337.227.804
114
Lampiran 5. Data Hasil Perhitungan Bobot dengan Expert Choice 2000
115
116
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 14 Februari 1992 dari Bapak Akhmad Rifani, SE dan Ibu Dra. Lasmina. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bandar Lampung dan lulus USMI di Institut Pertanian Bogor, Departemen
Ekonomi
Sumberdaya
dan
Lingkungan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di bidang ekstrakulikuler sebagai anggota UKM Panahan IPB. Penulis juga pernah aktif sebagai Sekretaris Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2010/2011, dan tahun 2011/2012 menjadi Sekretaris Umum Himpunan Profesi (Himpro) Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, REESA. Penulis juga tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Lampung. Penulis pernah mengikuti kepanitiaan acara di tingkat kampus, fakultas, maupun departemen, diantaranya sebagai Ketua Divisi Publikasi, Dekorasi, dan Dokumentasi (PDD) pemilihan Presiden Mahasiswa KM IPB, Sekretaris Divisi PDD ESL Day, Sekretaris Divisi Medis Masa Perkenalan Departemen (MPD) ESL dan anggota Divisi Acara The 9th Economics Contest Dies Natalis FEM pada tahun 2011. Penulis dapat dihubungi melalui e-mail :
[email protected]