TUGAS AKHIR – MO.091336
ANALISIS
KEANDALAN
SCANTLING
SUPPORT
STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO BELANAK TERHADAP BEBAN KELELAHAN ANDRI KURNIAWAN WICAKSONO NRP. 4306.100.025 Dosen Pembimbing Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc. Ph.D Ir. Handayanu, M.Sc, Ph.D JURUSAN TEKNIK KELAUTAN Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2010 i
FINAL PROJECT – MO.091336
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE BELANAK FPSO DUE TO FATIGUE ANDRI KURNIAWAN WICAKSONO NRP. 4306.100.025 Supervisors Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc. Ph.D Ir. Handayanu, M.Sc, Ph.D DEPARTMENT OF OCEAN ENGINEERING Faculty of Marine Technology Institut Technology of Sepuluh Nopember Surabaya 2010 ii
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO BELANAK TERHADAP BEBAN KELELAHAN LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik pada Program Studi S-1 Jurusan Teknik Kelautan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh : ANDRI KURNIAWAN WICAKSONO NRP. 4306 100 025
SURABAYA, 2 AGUSTUS 2010
iii
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO BELANAK TERHADAP BEBAN KELELAHAN
Nama Mahasiswa
: Andri Kurniawan Wicaksono
NRP
: 4306 100 025
Jurusan
: Teknik Kelautan FTK – ITS
Dosen Pembimbing
: Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D. Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
ABSTRAK FPSO (Floating Production Storage and Offloading) dalam operasinya mendapatkan pengaruh signifikan dari beban lingkungan dan operasionalnya. Hal demikian juga akan mempengaruhi komponen-komponen struktur yang ada di atasnya, termasuk struktur module dan supportnya yang berfungsi sebagai fasilitas pemrosesan minyak dan gas. Konstruksi support module beserta scantlingnya yang tersambung ke geladak FPSO haruslah kuat menahan beban-beban yang terjadi, yang pada dasarnya bersifat siklis. Sehubungan dengan ini perancang harus dapat menentukan kekuatannya menahan beban siklis yang akan menimbulkan kelelahan pada scantling support module. Dalam penelitian ini kelelahan scantling support module telah dikaji dengan metode deterministik-spektral dan metode probabilistik atau keandalan. Pada pengkajian dengan metode deterministik-spektral penyelesaian dilakukan dengan mengaplikasikan persamaan kelelahan terangkai, sedangkan pengkajian keandalan menggunakan simulasi Monte Carlo. Analisis dimulai dengan penentuan beban dinamis lingkungan menggunakan perangkat lunak MOSES, serta penentuan tegangan lokal pada semua tingkat beban siklis menggunakan perangkat lunak ANSYS. Penelitian dilakukan pada scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak yang mempunyai massa 2361 ton. Beban siklis dari gelombang, angin dan operasional diakumulasi dari beban terendah sampai dengan tertinggi. Hasil analisis menunjukkan kontribusi beban terhadap umur kelelahan scantling support module FPSO Belanak berturut-turut dari yang terbesar adalah disebabkan oleh beban gelombang yakni sebesar 85.963% dengan beban maksimum 84.63MPa, beban operasional module sebesar 14.036% dengan beban maksimum 34.29MPa, dan beban angin sebesar 0.00047% dengan beban maksimum 0.5MPa. Umur kelelahan dari scantling support module FPSO Belanak adalah 116.3 tahun atau 3.88 kali umur operasinya. Keandalan terhadap beban kelelahan dari scantling support module FPSO Belanak berdasarkan perhitungan menggunakan simulasi Monte Carlo adalah 1.0, yakni baik terjadi pada struktur global maupun area kritis pada daerah sambungan antara support module dengan bracket. Nilainilai tersebut memperlihatkan bahwa scantling support module mempunyai keandalan yang tinggi dan akan aman dioperasikan sesuai dengan umur rancangannya. Kata kunci: scantling support module, kelelahan, FPSO, keandalan
iv
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE BELANAK FPSO DUE TO FATIGUE
Name
: Andri Kurniawan Wicaksono
NRP
: 4306 100 025
Department
: Teknik Kelautan FTK – ITS
Supervisors
: Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D. Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
ABSTRACT FPSO (Floating Production Storage and Offloading) in its operation is significantly affected by the environmental as well as operational loads. Similarly this would also affect the structural components onboard of the FPSO, including the module and its support structures which are preserved as the oil and gas processing. The module support structure together with the scantlings that extend to the FPSO deck should be sufficiently robust to endure the loads, which are fundamentally cyclic in nature. In this regards designers should be able to design the structure against cyclic loads which in turn would result in a fatigue failure on the scantling module support. In this investigation the fatigue performance of scantling module support has been evaluated through the implementation of spectral-deterministic and probablistic or reliability methods. In the spectraldeterministic method analysis is tackled by using the closed-form fatigue equation, whereas the reliability evaluation is accomplished by means of Monte Carlo simulation. Analysis was commenced by the determination of dynamic loads employing the MOSES software, followed by the determination of local stresses at any level of cyclic load utilizing software ANSYS. Investigation has been carried out on the scantling support structure system gas processing module attached to the Belanak FPSO with a total mass of 2361 tons.The cyclic loads due to wave, wind and operational are accumulated all together from the lowest up to the highest level. Result of the analysis shows the contribution of the loads on the fatigue life are, respectively, from the largest are due to wave in the range of 85.963% with maximum load of 84.63MPa, due to operational module of 14.036% with maximum load of 34.29MPa and due to wind is as low as 0.00047% with maximum load of 0.5MPa. The fatigue life of the scantling module support is finally found to be 116.3 years or 3.88 times of its designed lifetime. The Belanak FPSO scantling module support reliability against fatigue failure eventually is achieved as high as 1.0, both at the global as well as at the local critical structures. This fact indicates the scantling module support preserves a high reliability and would be immensely safe to be operated in accordance with its designed lifetime. Keywords: scantling support module, fatigue, FPSO, reliability
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik. Tugas Akhir ini berjudul “Analisis Keandalan Scantling Support Structure System Gas Processing Module FPSO Belanak Terhadap Beban Kelelahan.” Tugas Akhir ini disusun guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Studi Kesarjanaan (S-1) di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan (FTK), Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Tugas Akhir ini membahas analisis keandalan scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak terhadap beban kelelahan. Kami menyadari dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan sebagai bahan penyempurnaan laporan selanjutnya. Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi perkembangan teknologi di bidang energi terbarukan dan rekayasa kelautan, bagi pembaca umumnya dan penulis pada khususnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb. Surabaya, 2 Agustus 2010
Andri Kurniawan Wicaksono
vi
UCAPAN TERIMA KASIH Dalam pengerjaan Tugas Akhir ini penulis tidak terlepas dari bantuan serta dorongan moral maupun material dari banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua dan adik-adik penulis untuk segala doa, kasih sayang, perhatian, dukungan, kepercayaan, kesabaran, dan cinta yang telah diberikan selama masa kuliah. Matur nuwun pak buk mbak mas, adik-adik tersayangku. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Eko Budi Djatmiko dan Bapak Handayanu selaku dosen pembimbing atas ilmu dan bimbingannya dalam pengerjaan Tugas Akhir ini. Kepada Bapak Murdjito dan Bapak M. Musta’in selaku Kajur dan Sekjur Teknik Kelautan serta kepada semua Bapak dan Ibu dosen dan staf Jurusan Teknik Kelautan atas semua bimbingan, bantuan dan ilmunya. Tugas akhir ini tidak akan selesai tanpa dukungan dari LORD crews, mas Slamet terima kasih banyak sudah merepotkan, teman-teman D’Admiral, kakak-kakak senior dan adikadik junior Jurusan Teknik Kelautan, teman-teman seperjuangan TA (Fahmy, Susi, Adit Cah, Mas Augene, Mas Dani) dan yang selalu setia menemani hari-hariku, serta temanteman penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Surabaya, 2 Agustus 2010
Andri Kurniawan Wicaksono
vii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... iii ABSTRAK ......................................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................................. vii DAFTAR ISI.................................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ xii DAFTAR GRAFIK .......................................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH ......................................................................... 1 1.2 PERUMUSAN MASALAH.................................................................................... 6 1.3 TUJUAN ................................................................................................................... 7 1.4 MANFAAT .............................................................................................................. 7 1.5 BATASAN MASALAH .......................................................................................... 7 1.6 SISTEMATIKA PENULISAN ................................................................................ 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ......................................... 11 2.1 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 11 2.2 DASAR TEORI ...................................................................................................... 12 2.2.1 Floating Production Storage and Offloading (FPSO) .................................... 12 2.2.2 Scantling Support Structure System ................................................................ 14 2.2.3 Pembebanan .................................................................................................... 16 2.2.4 Beban Gelombang........................................................................................... 17 2.2.5 Beban Angin ................................................................................................... 24 2.2.6 Beban Operasional Module............................................................................. 28 2.2.7 Perhitungan Kelelahan .................................................................................... 31 2.2.8 Konsep Keandalan .......................................................................................... 38 2.2.9 Moda Kegagalan ............................................................................................. 39 2.2.10 Metode Simulasi Monte Carlo ........................................................................ 40 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................... 43 viii
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN.................................................................... 49 4.1. DATA ..................................................................................................................... 49 4.1.1. Data Struktur ................................................................................................... 49 4.1.2 Data Lingkungan............................................................................................. 52 4.1.3 Data Gerakan FPSO ........................................................................................ 53 4.1.4 Data Material .................................................................................................. 53 4.2 PEMODELAN ....................................................................................................... 54 4.2.1 Pemodelan Dengan AutoCAD ........................................................................ 54 4.2.2 Pemodelan Dengan Maxsurf ........................................................................... 55 4.2.3 Pemodelan Dengan MOSES ........................................................................... 55 4.2.4 Pemodelan Dengan ANSYS ........................................................................... 56 4.3 PERHITUNGAN.................................................................................................... 59 4.3.1 Validasi Model FPSO ..................................................................................... 59 4.3.2 Perhitungan Motion FPSO .............................................................................. 59 4.3.3 Perhitungan Beban Gelombang ...................................................................... 64 4.3.4 Perhitungan Beban Angin ............................................................................... 70 4.3.5 Perhitungan Beban Operasional ...................................................................... 80 4.4 ANALISIS KELELAHAN..................................................................................... 83 4.4.1 Analisis Kelelahan Akibat Beban Gelombang ............................................... 84 4.4.2 Analisis Kelelahan Akibat Beban Angin ........................................................ 85 4.4.3 Analisis Kelelahan Akibat Beban Operasional ............................................... 89 4.4.4 Analisis Akhir Umur Kelelahan...................................................................... 91 4.4.5 Kontribusi Beban Terhadap Kelelahan............................................................ 91 4.5 ANALISIS KEANDALAN .................................................................................... 92 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 97 5.1 KESIMPULAN ...................................................................................................... 97 5.2 SARAN .................................................................................................................. 98 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 99
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Data Spesifikasi FPSO Belanak ....................................................................... 14 Tabel 2. 2 Amplitudo dan Tinggi Gelombang .................................................................. 22 Tabel 2. 3 Effective shape coefficient Ce........................................................................... 25 Tabel 2. 4 Tipe Sambungan .............................................................................................. 36 Tabel 2. 5 Design Fatigue Factor ..................................................................................... 38 Tabel 4. 1 Topside Module pada FPSO Belanak .............................................................. 50 Tabel 4. 2 Intensitas kejadian angin tahun 2006 dan 2007 ............................................... 52 Tabel 4. 3 Data gelombang Metocean .............................................................................. 52 Tabel 4. 4 Data percepatan gerakan FPSO pada kondisi badai ........................................ 53 Tabel 4. 5 Data Material Properties .................................................................................. 53 Tabel 4. 6 Mesh Sensivity.................................................................................................. 58 Tabel 4. 7 Validasi Data Conoco Phillips dengan Hasil Pemodelan ................................ 59 Tabel 4. 8 Output Maximum Single Amplitude Acceleration ........................................... 60 Tabel 4. 9 Perbandingan percepatan dengan data Conoco Phillips .................................. 61 Tabel 4. 10 Gaya inersia dan momen gaya FPSO Belanak .............................................. 66 Tabel 4. 11 Beban Pada Sturktur Penyangga .................................................................... 68 Tabel 4. 12 Data intensitas kejadian angin ....................................................................... 70 Tabel 4. 13 Konversi kecepatan angin pada elevasi 10m ................................................. 71 Tabel 4. 14 Kecepatan angin pada tiap elevasi peralatan ................................................. 72 Tabel 4. 15 Peralatan tertinggi pada gas processing module ............................................ 73 Tabel 4. 16 Reynold Number tiap-tiap peralatan .............................................................. 73 Tabel 4. 17 Gaya angin pada tiap-tiap peralatan............................................................... 75 Tabel 4. 18 Momen angin ketiga peralatan pada gas processing module ........................ 77 Tabel 4. 19 Coefficient effective berdasarkan solidity ratio (ø)) ....................................... 79 Tabel 4. 20 Gaya angin dengan solidity effect pada module............................................. 79 Tabel 4. 21 Jenis-jenis daya mesin beserta jumlah rotasinya ........................................... 80 Tabel 4. 22 Perhitungan kelelahan akibat beban gelombang ............................................ 85 Tabel 4. 23 Perhitungan frekuensi vortex akibat angin .................................................... 86 Tabel 4. 24 Probabilitas kejadian angin wilayah Natuna tahun 2006 dan 2007 ............... 87 x
Tabel 4. 25 Perhitungan frekuensi vortex akibat angin selama umur operasi .................. 87 Tabel 4. 26 Perhitungan rasio kumulatif kerusakan akibat beban angin .......................... 89 Tabel 4. 27 Iterasi Perhitungan Parameter Bentuk ........................................................... 90 Tabel 4. 28 Kontribusi ketiga beban terhadap kelelahan .................................................. 92 Tabel 4. 29 Variabel Taktentu (beban gelombang) .......................................................... 93 Tabel 4. 30 Variabel Taktentu (beban angin) ................................................................... 93 Tabel 4. 31 Variabel Taktentu (beban operasional) .......................................................... 93 Tabel 4. 32 Perhitungan keandalan system scantling (global) .......................................... 94 Tabel 4. 33 Perhitungan keandalan sistem scantling (daerah kritis) ................................. 95
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Bagan Pertumbuhan Sistem Produksi Terapung ............................................ 1 Gambar 1. 2 FPSO Belanak dan module yang berada di atas lambung ............................. 2 Gambar 1. 3 Struktur Module Support ............................................................................... 3 Gambar 1. 4 Kegagalan struktur akibat kelelahan .............................................................. 4 Gambar 1. 5 Lokasi FPSO, West Natuna ............................................................................ 6 Gambar 2. 1 Diagram lokasi module pada FPSO Belanak ............................................... 15 Gambar 2. 2 Support structure gas processing module FPSO Belanak ........................... 15 Gambar 2. 3 Scatter diagram perairan Mediteranian ....................................................... 17 Gambar 2. 4 Six Degree of Freedom Pada FPSO ............................................................. 18 Gambar 2. 5 Velocity and coordinate system.................................................................... 20 Gambar 2. 6 Ilustrasi gerakan sway FPSO di laut ............................................................ 20 Gambar 2. 7 Vortex shedding frequency ........................................................................... 27 Gambar 2. 8 Sistem isolasi untuk mengurangi efek gaya pada support akibat
vibrasi
mesin ............................................................................................................ 29 Gambar 2. 9 Grafik Kurva S-N ......................................................................................... 36 Gambar 2. 10 Fungsi kerapatan peluang (fkp) dari kapasitas X dan tuntutan Y .............. 39 Gambar 3. 1 Diagram Alir Pengerjaan Tugas Akhir ........................................................ 44 Gambar 3. 2 Pemodelan Lines Plan pada AutoCAD ........................................................ 45 Gambar 3. 3 Pemodelan FPSO pada Maxsurf .................................................................. 46 Gambar 3. 4 Pemodelan FPSO pada MOSES .................................................................. 46 Gambar 3. 5 Pemodelan Support Structure pada ANSYS................................................ 47 Gambar 4. 1 Diagram lokasi module FPSO Belanak dan gas processing module ........... 51 Gambar 4. 2 Support Structure pada Gas Processing Module .......................................... 51 Gambar 4. 3 Pemodelan Lines Plan FPSO Belanak dengan AutoCAD ........................... 54 Gambar 4. 4 Pemodelan FPSO Belanak dengan Maxsurf ................................................ 55 Gambar 4. 5 Pemodelan FPSO Belanak dengan MOSES 7.0 .......................................... 56 Gambar 4. 6 Model Scantling Support Structure System ................................................. 56 Gambar 4. 7 Input Karakteristik Model Pada ANSYS 11 ................................................ 57 xii
Gambar 4. 8 Constraint dan visualisasi real constant ...................................................... 57 Gambar 4. 9 Module tampak atas ..................................................................................... 68 Gambar 4. 10 Beban Pada Sturktur Penyangga ................................................................ 69 Gambar 4. 11 Gas Processing Module Tampak Atas ....................................................... 78 Gambar 4. 12 Letak tegangan terbesar ............................................................................. 84 Gambar 4. 13 Diagram Kontribusi Beban Terhadap Kelelahan ....................................... 92
xiii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4. 1 Mesh Sensivity ................................................................................................ 58 Grafik 4. 2 RAO motion surge FPSO Belanak ................................................................ 61 Grafik 4. 3 RAO motion sway FPSO Belanak .................................................................. 62 Grafik 4. 4 RAO motion heave FPSO Belanak................................................................. 62 Grafik 4. 5 RAO motion roll FPSO Belanak .................................................................... 63 Grafik 4. 6 RAO motion pitch FPSO Belanak .................................................................. 63 Grafik 4. 7 RAO motion yaw FPSO Belanak ................................................................... 64 Grafik 4. 8 Gaya Inersia pada gerakan translasional ........................................................ 67 Grafik 4. 9 Momen Gaya pada Gerakan Rotasional ......................................................... 67 Grafik 4. 10 Gaya Angin pada Peralatan .......................................................................... 76 Grafik 4. 11 Momen yang diakibatkan gaya angin pada peralatan................................... 77 Grafik 4. 12 Frekuensi Vortex (cps) ................................................................................. 86 Grafik 4. 13 Frekuensi Vortex (30tahun) .......................................................................... 88 Grafik 4. 14 Keandalan Sistem Scantling ......................................................................... 94 Grafik 4. 15 Keandalan scantling pada daerah kritis ........................................................ 95
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
Teknologi eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas semakin meningkat dengan seiring meningkatnya kebutuhan minyak dan gas. Sehingga teknologi pengeboran pada laut dangkal saat ini mulai bergeser pada pengeboran laut dalam, yakni dengan menggunakan bangunan terapung (floating). FPSO (Floating Production Storage and Offloading) merupakan salah satu bangunan terapung yang digunakan pada proses produksi minyak dan gas, dimana fungsi dari FPSO itu sebagai tempat produksi, penyimpanan minyak dan gas yang nanti ditransfer ke tanker untuk didistribusikan ke konsumen atau pasaran. Kecenderungan penggunaan FPSO telah tumbuh dengan pesat semenjak awal tahun 1990an. Menurut ODS-Petrodata, hanya ada 10 FPSO yang beroperasi pada tahun 1990. Seperti pada Gambar 1.1 di bawah, dari tahun 1999 hingga tahun 2009 saja peningkatan jumlah FPSO sebesar 117% dan jumlah tersebut diperkirakan meningkat mencapai 200 pada tahun 2012. Hal ini menandakan bahwa kebutuhan terhadap FPSO semakin meningkat.
Gambar 1. 1 Bagan Pertumbuhan Sistem Produksi Terapung (Woodgroup Bulletin, 2009)
1
FPSO (Floating Production Storage and Offloading) pada dasarnya adalah wahana apung lambung tunggal berbentuk kapal atau tongkang yang difungsikan sebagai fasilitas untuk mengakomodasi aktivitas produksi migas dan sekaligus menyimpannya di dalam tankitanki di lambungnya sebelum produk tersebut ditransfer ke kapal-kapal tanki pengangkut untuk didistribusikan ke pasaran. Banyak fasilitas produksi yang terdapat di atas geladak FPSO. Fasilitas-fasilitas tersebut terdiri dari beberapa fasilitas pemrosesan dan pendukung yang disusun dalam beberapa module, di antaranya adalah gas processing module, utility module, compression module, living quarter module, dan power generator module. Gambar 1.2 di bawah merupakan contoh fasilitas module di atas FPSO Belanak.
Gambar 1. 2 FPSO Belanak dan module yang berada di atas lambung (PT McDermott, 2004)
Fasilitas produksi pada module biasanya terletak pada production deck dan pada umumnya diposisikan 2,5m di atas main deck (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan untuk meminimalisir efek dari green water dan untuk meminimalisir apabila terjadi ledakan atau api yang mengenai module agar tidak banyak mempengaruhi lambung. Dalam suatu module bisa terdapat beberapa peralatan yang meletak pada module tersebut, sehingga ketika FPSO beroperasi dan proses produksi minyak dan gas juga berlangsung, maka beban yang diterima module sangatlah besar, khususnya struktur penyangga module 2
(module support) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3. Terdapat beberapa komponen pada struktur tersebut, di antaranya adalah plat, gading-gading, penegar, bracket, dan lain-lain. Beberapa komponen tersebut disebut scantling, dimana fungsi dari scantling adalah sebagai penguat dari suatu sistem module support tersebut dari gayagaya yang bekerja pada module. Sehingga dengan adanya sistem tersebut, diharapkan module support dapat kuat menahan beban-beban yang bekerja pada module FPSO.
Gambar 1. 3 Struktur Module Support
Permasalahan yang selalu ada pada bangunan lepas pantai adalah kerusakan yang dapat menyebabkan struktur tersebut gagal. Kerusakan bangunan laut terutama terjadi akibat kelelahan (fatigue), baik pada komponen struktur utama maupun struktur sekunder dan tersier (Djatmiko, 2003). Menurut Wirsching (1987), bangunan lepas pantai cenderung mengalami kelelahan karena beban lingkungan yang bekerja didominasi oleh gelombang yang bersifat siklis, sehingga kelelahan adalah penyebab utama kerusakan pada bangunan lepas pantai, dimana struktur merespon secara dinamis gelombang acak serta beban angin. Disamping itu faktor-faktor operasi lain pada tingkat tertentu juga dapat menambah beban siklis ini, sehingga keadaan struktur bertambah kritis (Djatmiko, 2003). Oleh sebab itu analisis kelelahan pada bangunan lepas pantai sangat perlu untuk dilakukan.
3
Metode Palmgren-Miner merupakan metode konvensional yang digunakan pada analisis kelelahan. Dimana perhitungan kelelahan pada sambungan struktur didasarkan pada hukum kegagalan kumulatif Palmgren-Miner. Seperti contoh kasus pada support module pada FPSO, beban yang bekerja pada support terdiri dari beban gelombang, beban angin, dan beban operasional. Sehingga kegagalan kumulatif pada support terdiri dari kegagalan kumulatif akibat ketiga beban tersebut. Sesuai hukum Palmgren-Miner, kegagalan sambungan akan terjadi jika indeks kerusakan D mencapai harga 1,0. Untuk sebaran beban kelelahan akibat eksitasi beban gelombang acak dihitung berdasarkan besarnya beban pada struktur bangunan laut yang diperoleh dari analisis deterministik dan gelombang regular untuk memperoleh RAO (Response Amplitude Operator) beban yang selanjutnya ditransformasi menjadi RAO tegangan pada detail struktur yang ditinjau. Prosedur perhitungan tersebut dilanjutkan dengan analisis spektral lengkap (full spectral analysis). Gambar 1.4 di bawah merupakan contoh kegagalan struktur akibat kelelahan.
Gambar 1. 4 Kegagalan struktur akibat kelelahan (www.beritaiptek.com)
4
Dalam suatu sistem rekayasa, seperti perhitungan umur kelelahan ini sesungguhnya tidak ada parameter perancangan dan kinerja operasi yang dapat diketahui dengan pasti. Hal ini karena tidak seorang pun mampu memprediksi kepastian atau ketidakpastian suatu kejadian tertentu seperti ketidakpastian akibat variabilitas fisik, ketidakpastian statistik maupun ketidakpastian dalam pemodelan (Ang dan Tang, 1985). Oleh karena itu, perancangan atau analisis suatu sistem rekayasa selalu mengandung ketidakpastian yang pada gilirannya menyebabkan ketidakandalan dalam tingkat tertentu. Ketidakpastianketidakpastian tersebut menyebabkan adanya peluang kegagalan (meskipun juga ada peluang keberhasilan) sebuah sistem rekayasa. Persoalan ketidakpastian telah diakomodasi melalui konsep angka keselamatan (safety factor) yang secara prinsip biasanya hanya memperhatikan harga rata-rata besaranbesaran desain. Pendekatan angka keamanan, walaupun sejauh ini cukup memadai, tidak secara eksplisit memperhitungkan faktor ketidakpastian atau variabilitas pada besaranbesaran desain. Pertimbangan peluang dalam rekayasa keandalan memberikan basis yang lebih rasional untuk mengakomodasi ketidakpastian ini (Rosyid, D.M, 2007). Sehingga berdasarkan analisis keandalan, perhitungan kelelahan struktur dapat dianalisis untuk hasil penelitian yang lebih akurat. Keandalan struktur scantling support structure system gas processing module secara umum dapat dihitung dengan simulasi Monte Carlo. Keuntungan penggunaan simulasi Monte Carlo ini antara lain : 1. Simulasi Monte Carlo dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang mengandung perubah acak atau parameter random. 2. Simulasi dapat dilakukan tanpa harus melakukan penurunan parsial dan menyelesaikan suatu sistem persamaan yang simultan seperti pada metode AFOSM atau MFOSM 3. Simulasi untuk tiap-tiap variabel menggunakan distribusi peluangnya secara langsung tidak seperti pada metode AFOSM atau MFOSM yang fungsi kerapatan peluangnya tidak diperhitungkan secara langsung.
5
Gambar 1. 5 Lokasi FPSO, West Natuna (www.ict-silat.com)
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada tugas akhir ini akan dilakukan analisis keandalan pada scantling support structure system gas processing module pada Floating Production Storage and Offloading (FPSO) Belanak yang dioperasikan oleh Conoco Phillips di Blok Natuna seperti terlihat pada Gambar 1.5 di atas.
1.2 PERUMUSAN MASALAH Perumusan masalah dari tugas akhir ini adalah : 1. Seberapa besar beban-beban yang mempengaruhi FPSO sehingga dapat menyebabkan kelelahan pada scantling support structure system gas processing module? 2. Berapakah umur kelelahan (fatigue life) dari scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak? 3. Berapakah keandalan scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak terhadap pengaruh beban kelelahan?
6
1.3 TUJUAN Tujuan dari tugas akhir ini adalah: 1. Untuk mengetahui seberapa besar beban yang mempengaruhi FPSO sehingga menyebabkan kelelahan pada scantling support structure system gas processing module. 2. Untuk mengetahui umur kelelahan pada scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak. 3. Untuk mengetahui besar nilai keandalan scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak berdasarkan umur kelelahannya.
1.4 MANFAAT 1. Memberikan pemahaman tentang prosedur perhitungan beban-beban siklis dan selanjutnya perhitungan umur kelelahan scantling support structure system pada FPSO. 2. Memberikan pemahaman tentang pengkajian keandalan scantling support structure system pada FPSO berdasarkan pengaruh beban kelelahannya. 3. Dari hasil analisis kelelahan akan diperoleh data-data dan info yang diperlukan untuk strategi perencanaan pemeriksaan berkala.
1.5 BATASAN MASALAH Batasan masalah dari tugas akhir ini adalah: 1. Struktur yang dianalisis pada FPSO adalah pada scantling support structure system gas processing module sebagai module paling berat serta geladak yang menyangga. 2. Pemodelan lokal dilakukan sebatas scantling support structure system gas processing module serta geladak yang menyangga. 3. Pada pemodelan FEM (Finite Element Method) jenis atau cara pengelasan pada sambungan scantling dengan support module diabaikan dan diasumsikan tanpa ada cacat. 4. Beban-beban yang ditinjau adalah beban gelombang, beban angin, dan beban operasional pada module itu sendiri. 5. Tidak dilakukan analisis terhadap beban kecelakaan (accidental load). 7
6. Analisis global untuk memperoleh beban gelombang pada FPSO menggunakan MOSES, sedangkan analisis lokal pada scantling module support structure system gas processing module untuk mendapatkan respons struktur menggunakan ANSYS. 7. Pada analisis global dengan MOSES, berat topside module tidak dimasukkan sebagai beban pada model FPSO. 8. Analisis keandalan struktur dilakukan dengan menggunakan simulasi Monte Carlo.
1.6
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan laporan tugas akhir ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab I ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian yang akan dilakukan, perumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan tugas akhir ini, manfaat yang diperoleh, batasan masalah untuk membatasi analisis yang dilakukan dalam tugas akhir ini serta sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini berisi tinjauan pustaka, yakni apa saja yang menjadi acuan dari penelitian tugas akhir ini. Dasar teori, persamaan-persamaan, dan codes yang digunakan dalam mengerjakan tugas akhir ini diuraikan dalam bab ini. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian ini menjelaskan bagaimana langkah-langkah pengerjaan dalam penyelesaian tugas akhir ini, serta metode-metode yang digunakan. BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN Membahas pemodelan FPSO dan scantling support structure system dengan menerapkan software AutoCAD, Maxsurf, dan MOSES untuk pemodelan dan analisis gerakan FPSO, sedangkan software ANSYS untuk pemodelan pada scantling support structure system . Selain itu membahas hasil dari analisis-analisis yang telah dilakukan pada penelitian, meliputi analisis hasil serta pembahasan hasil.
8
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Menjelaskan tentang kesimpulan penting yang diperoleh dari hasil analisis umur kelelahan dan keandalan pada scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak untuk menjawab permasalahan yang diajukan atau dirumuskan. Selain itu saran juga diperlukan dalam bab ini, dengan tujuan sebagai masukan-masukan pada penelitian-penelitian berikutnya.
9
(HALAMAN KOSONG)
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Beban lingkungan yang besarnya bervariasi sejalan dengan perubahan waktu seperti gelombang dan angin, akan mengakibatkan fluktuasi tegangan pada komponen struktur bangunan lepas pantai, salah satunya adalah FPSO. Proses fluktuasi tegangan tersebut dikenal sebagai kerusakan kelelahan struktur (fatigue damage). Perkiraan umur kelelahan didasarkan pada beban fluktuasi yang akan diterima struktur selama masa operasi. Sehingga, untuk mengetahui umur kelelahan struktur dapat dilakukan setelah memperoleh informasi kondisi beban yang diterima struktur selama operasi yakni dengan menggunakan persamaan Palmgren-Miner (Boonstra, et al 2002). Beban lingkungan yang bersifat siklis seperti beban gelombang dan beban angin yang mengenai Floating Production Storage and Offloading (FPSO) sangatlah dominan, sehingga kemungkinan terjadinya kerusakan akibat kelelahan (fatigue) sangat besar juga. Disamping itu, faktor-faktor operasi lain pada tingkatan tertentu juga dapat menambah beban siklis ini, sehingga keadaan struktur menjadi bertambah kritis (Djatmiko, 2003). Menurut penelitian Barltrop dan Okan (2000), bahwa pada bagian haluan FPSO rentan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang yang curam. Penelitian tersebut merujuk dari FPSO Schiehallion yang mengalami kerusakan akibat adanya gelombang yang curam. Melihat hal tersebut struktur FPSO sangat rentan dengan adanya bebanbeban terutama beban yang siklis, karena berpengaruh pula pada struktur lain yang berada pada FPSO, seperti: crane, flare boom, module support, dan lain-lain. Wahyudi (2009) telah melakukan penelitian tentang analisis kelelahan crane pedestal pada FPSO Belanak dan menghasilkan kesimpulan bahwa beban yang berpengaruh pada analisis fatigue crane pedestal adalah beban gelombang, beban angin, dan beban operasi crane dengan beban gelombang memiliki pengaruh yang paling besar terhadap umur kelelahan struktur crane pedestal. 11
Penelitian tentang analisis kelelahan pada peralatan FPSO sangatlah penting, karena analisis tersebut diperlukan dalam strategi perencanaan pemeriksaan berkala (Djatmiko, 2003). Struktur pada FPSO Belanak yang akan diteliti pada tugas akhir ini adalah pada scantling support structure system gas processing module. Dimana pada module FPSO juga menerima beban yang dapat menyebabkan struktur tersebut mengalami kelelahan. Sehingga diperlukan analisis keandalan scantling support structure system gas processing module terhadap beban kelelahan.
2.2
DASAR TEORI
Dalam dasar teori ini akan dijelaskan tinjauan pustaka yang akan menjadi acuan dari tugas akhir ini. Semua teori, persamaan, dan codes yang digunakan dalam mengerjakan tugas akhir ini diuraikan dalam bab ini.
2.2.1 Floating Production Storage and Offloading (FPSO) FPSO (Floating Production Storage and Offloading) pada dasarnya adalah wahana apung lambung tunggal berbentuk kapal atau tongkang yang difungsikan sebagai fasilitas untuk mengakomodasi aktivitas produksi migas dan sekaligus menyimpannya di dalam tankitanki di lambungnya sebelum produk tersebut ditransfer ke kapal-kapal tanki pengangkut untuk didistribusikan ke pasaran. Konsep FPSO pada dasarnya diperkenalkan untuk menggantikan sistem kombinasi anjungan produksi dengan fasilitas penyimpanan terapung atau floating storage offloading (FSO). Jadi secara prinsip FPSO menggantikan fungsi kombinasi anjungan produksi dengan FSO, baik dalam kasus perairan dalam maupun perairan dangkal. Integrasi dua fungsi yang dapat diakomodasikan dalam satu wahana tentunya dari beberapa aspek akan memberikan efisiensi segi teknis dan ekonomisnya, baik pada tahap pembangunan maupun operasinya.
12
Berikut adalah sejumlah persyaratan fungsional yang harus dipenuhi FPSO dalam melakukan operasinya yaitu: 1. Sistem harus tetap mampu berproduksi dan beroperasi normal pada kondisi operasional 1 tahunan. 2. Mampu menahan efek beban maksimum akibat badai 100 tahunan. 3. Harus mempunyai fleksibilitas untuk operasi pemuatan dan pengeluaran produk migas, inspeksi dan perawatan dari tanki-tanki tanpa mengganggu proses produksi. 4. Setiap saat harus mampu menjaga kondisi mengapung rata (even keel) baik untuk mode trim ataupun oleng, dengan toleransi tidak lebih dari ± 0,25°. 5. Gerakan roll dan pitch maksimum tidak lebih dari 1,75° untuk selama 99% periode operasi. 6. Sistem penambatan harus mampu menjaga FPSO tetap di posisinya pada saat badai 100 tahunan dengan satu tali penambat putus dan perubahan posisi maksimum tidak melebihi 20% kedalaman perairan. Dalam tugas akhir ini, obyek yang digunakan adalah FPSO (Floating Production Storage and Offloading) Belanak yang dioperasikan Conoco Phillips di Blok Natuna. FPSO Belanak dibangun di Dalian, Republik Rakyat China (RRC), sedangkan topside-nya dibangun di galangan PT.McDermott Indonesia di Batam. Displasemen maksimum dari FPSO tersebut yaitu 255.000 ton dengan panjang 285 m memiliki kapasitas penyimpanan minyak sebesar 1,0 juta barrel. Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double side, konfigurasi single bottom tanpa self propulsion. FPSO Belanak didesain 30 tahun tanpa dry docking dan peralatan mekanik didesain berumur selama periode itu dengan hanya dilakukan perawatan rutin. Berikut spesifikasi FPSO Belanak ditampilkan pada Tabel 2.1 di bawah ini.
13
Tabel 2. 1 Data Spesifikasi FPSO Belanak (Conoco, 2002)
1
LOA
285m
2
Depth
26m
3
Beam
58m
4
Vessel Draft Full
16.2m
5
Vessel Draft Medium
14.6m
6
Vessel Draft Light
13.9m
7
Displacement
8
Service Life
255,000ton 30years
2.2.2 Scantling Support Structure System Fasilitas produksi biasanya terletak pada production deck dan pada umumnya diposisikan 2,5m di atas main deck (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan untuk meminimalisir efek dari green water dan untuk meminimalisir apabila terjadi ledakan atau api yang mengenai module agar tidak banyak memengaruhi lambung. Fasilitas produksi tersebut ditopang dengan struktur pendukung yang berfungsi sebagai penyangga (module support) dari module topside. Module support merupakan struktur yang berfungsi sebagai penahan beban dari topside module dan tegangan yang diakibatkan oleh bending dari hull. Terdapat beberapa komponen pada struktur tersebut, di antaranya adalah plat, gadinggading, penegar, bracket, dan lain-lain. Beberapa komponen tersebut disebut scantling, dimana fungsinya adalah sebagai penguat dari suatu sistem module support tersebut dari gaya-gaya yang bekerja pada module. Sehingga dengan adanya sistem tersebut, diharapkan module support dapat kuat menahan beban-beban yang bekerja pada module FPSO.
14
Gambar 2. 1 Diagram lokasi module pada FPSO Belanak (PT McDermott, 2002)
Pada FPSO Belanak terdapat beberapa module di atas deck FPSO, di antaranya adalah export compressors module, gas processing module, gas cooling module, utility module, oil separation module, dan lain-lain. Namun pada tugas akhir ini module yang diteliti adalah module yang paling berat yaitu gas processing module, S4 (2361 mt). Module tersebut terletak pada starboard FPSO Belanak tepatnya pada FR30 hingga FR33 seperti pada Gambar 2.1 di atas, dan memiliki delapan support yang identik seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2 di bawah.
Gambar 2. 2 Support structure gas processing module FPSO Belanak (Conoco, 2002)
15
2.2.3 Pembebanan Dalam proses perancangan struktur lepas pantai (offshore structure), penentuan kemampuan kerja struktur dipengaruhi oleh beban yang bekerja pada struktur tersebut. Perancang harus menentukan akurasi beban yang akan dipakai dalam perancangan offshore structure terlebih dahulu. Beban-beban yang harus dipertimbangkan oleh perancang dalam perancangan offshore structure adalah sebagai berikut: a. Beban mati (dead load). Beban mati adalah beban dari semua komponen kering serta peralatan, perlengkapan dan permesinan yang tidak berubah dari mode operasi pada suatu struktur, meliputi: berat struktur, berat peralatan dan berat permesinan yang digunakan dalam proses pengeboran ketika sedang tidak dioperasikan. Pada gas processing module ini yang termasuk beban mati adalah beban struktur module itu sendiri dan beban peralatan yang terdapat pada module tersebut. b. Beban hidup (live load). Beban hidup adalah beban yang terjadi pada struktur selama dipakai dan berubah dari mode operasi satu ke mode operasi yang lain. Contoh beban yang termasuk kedalam beban hidup ini adalah beban yang diakibatkan oleh pengoperasian mesin atau peralatan lainnya pada suatu struktur yang berhubungan dengan operasi struktur tersebut. Beban hidup pada gas processing module yaitu beban perpipaan yang berubah setiap mode operasi. c. Beban akibat kecelakaan (accidental load). Beban kecelakaan merupakan beban yang tidak dapat diduga sebelumnya yang terjadi pada struktur, misalnya tabrakan dengan kapal pemandu operasi, putusnya tali tambat (mooring) dan kebakaran. Pada gas processing module beban kecelakaan yang mungkin terjadi adalah akibat kebakaran pada module dan kecelakaan akibat tertimpa benda (misalnya crane atau struktur lain yang menimpa module). Akan tetapi pada tugas akhir, analisis akibat beban kecelakaan tidak diperhitungkan.
16
d. Beban lingkungan (environmental load). Beban lingkungan adalah beban yang terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan dimana suatu struktur lepas pantai dioperasikan atau bekerja. Beban lingkungan yang digunakan dalam perancangan adalah beban angin, arus, dan gelombang. Pada tugas akhir ini, pembebanan difokuskan pada beban yang mengenai module. Bebanbeban yang mengenai module di antaranya adalah beban inersia yang disebabkan gelombang, beban angin dan beban operasional. Beban-beban itulah yang nantinya digunakan dalam tugas akhir ini.
2.2.4 Beban Gelombang Dalam perhitungan beban gelombang, data gelombang yang digunakan adalah gelombang yang terjadi selama umur operasi. Data gelombang biasanya diperoleh dengan mempertimbangkan arah propagasi gelombang. Data gelombang kurun waktu panjang umumnya disajikan dalam tabel yang dikenal sebagai diagram sebaran gelombang (wave scatter diagram), seperti dicontohkan dalam Gambar 2.3 di bawah ini.
Gambar 2. 3 Scatter diagram perairan Mediteranian (Djatmiko, 2003)
17
Data gelombang tersebut digunakan untuk menghasilkan gerakan FPSO yang diakibatkan gaya gelombang, sehingga dari percepatan yang dihasilkan beban inersia akibat beban gelombang dapat dihitung. Akibat pengaruh gelombang, FPSO mengalami enam mode gerakan bebas yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu tiga mode gerakan translasional dan tiga mode gerakan rotasional (Bhattacharyya, 1978). Berikut adalah keenam mode gerakan tersebut beserta ilustrasi enam mode gerakan bebas pada Gambar 2.4: 1. Mode gerak translasional -
Surge, gerakan transversal arah sumbu x.
-
Sway, gerakan transversal arah sumbu y.
-
Heave, gerakan transversal arah sumbu z.
2. Mode gerak rotasional. -
Roll, gerakan rotasional arah sumbu x.
-
Pitch, gerakan rotasional arah sumbu y.
-
Yaw, gerakan rotasional arah sumbu z. Heave Sway
Pitch
Yaw
Roll Surge
Gambar 2. 4 Six Degree of Freedom Pada FPSO (Wahyudi, 2009)
18
Enam mode gerakan bebas pada FPSO sangat berpengaruh pada beban yang diterima FPSO. Oleh Battacharyya (1978) ditunjukkan bahwa gerakan translasional ada empat gaya yang penting, yaitu gaya inersia, gaya damping, gaya restoring, gaya exciting. Seperti contoh, untuk gerakan heave, persamaannya yaitu: a. Gaya inersia Fa = -a
................................................................................................................. (2.1)
dengan: a adalah massa kapal dan added mass, dan
adalah percepatan vertikal.
b. Gaya damping Fb = b ................................................................................................................... (2.2) dengan: b adalah konstanta damping dan adalah kecepatan c. Gaya restoring Fc = cz .................................................................................................................... (2.3) dengan : c adalah konstanta spring dan z adalah displasemen center of gravity kapal d. Gaya exciting dengan : Fo adalah amplitude of the encountering force, ωe adalah circular amplitude of the encountering force, dan t adalah waktu. Menurut Battacharyya (1978), gerakan rotasional ada empat momen penting yaitu momen inersia, momen damping, momen restoring, momen exciting. Persamaan untuk momen inersia yaitu: I = mr2 ..................................... ………………………………………………………..(2.4) dengan: m = massa kapal (kg) r = jari-jari girasi (m) sedangkan untuk momen gaya persamaannya yaitu: Momen gaya = Iα ....................................... ..................................................................(2.5) dengan:
α = percepatan putar (rad/s2) I = momen inersia (kg.m2)
19
Jari-jari girasi disini yaitu jarak antara titik berat kapal dengan titik berat module. Jadi untuk gerakan roll, pitch, dan yaw yang membedakan hanya pada besarnya jari-jari girasi. Teori yang sama juga dihasilkan pada penelitian Martins (2007). Seperti pada Gambar 2.5 di bawah, ditunjukkan inertial coordinate system Oxoyozo sehingga mempermudah untuk mengembangkan sistem persamaan pada perilaku floating unit.
Gambar 2. 5 Velocity and coordinate system (Martins, 2007)
Pada Gambar 2.5 di atas dapat diketahui velocities ,
,
,
,
,
,
,
,
,
,
dan acceleration
telah mewakili kecepatan dan percepatan sistem pada tiap derajat
kebebasan dan hubungannya dengan sistem inersia.
Gambar 2. 6 Ilustrasi gerakan sway FPSO di laut
20
Seperti Gambar 2.6 di atas, external force yang bekerja pada suatu struktur dapat dihitung dengan menggunakan hukum Newton II, yaitu: F = m.a ....................................................................................................................... (2.6) Maka inertial loads yang terjadi pada suatu struktur adalah (2.7)
2.2.4.1 Teori Spektrum Gelombang JONSWAP Analisis spektrum gelombang dapat menggunakan beberapa teori spektrum gelombang yang telah ada, antara lain model spektrum JONSWAP, model spektrum PiersonMoskowitz, model spektrum ISSC, dan lain-lain. Penggunaan masing-masing teori spektrum gelombang tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan. Salah satu pertimbangan tersebut adalah lokasi spektrum gelombang yang akan dianalisis. Persamaan spektra JONSWAP dikemukakan oleh Hasselman, et al (1973) berdasarkan percobaan yang dilakukan di daerah North Sea. Persamaan spektrum JONSWAP mewakili angin dengan batasan fetch. Formula atau persamaan untuk spektrum JONSWAP dapat ditulis dengan modifikasi dari persamaan Pierson-Moskowitz (Chakrabarti, 1987) yaitu :
⎡ ⎛ω ⎞ ⎤ S (ω ) = αg 2 ω −5 exp ⎢− 1,25⎜ ⎟ ⎥γ ⎝ ωo ⎠ ⎦⎥ ⎣⎢ −4
⎡ − ( ω − ωo ) 2 exp ⎢ ⎢ 2τ 2 ωo 2 ⎣
⎤ ⎥ ⎥ ⎦
......................................................... (2.8)
dengan : γ = parameter puncak τ = parameter bentuk τa untuk ω ≤ ω0 = 0,07 dan τb untuk ω ≥ ω0 = 0,09 α = 0,0076 (X0)-0,22, untuk X0 tidak diketahui maka: α = 0,0081 2
.
21
Sedangkan nilai dari parameter puncak (γ) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Barltrop, 1991): 3,4843 1
0,1975 0,036
0,0056
.................................... (2.9)
dengan: Tp = periode puncak spektra (s) Hs = tinggi gelombang signifikan (m) Persamaan Spektra JONSWAP di atas menggunakan input fetch dan kecepatan angin. Berikut ini merupakan persamaan spektrum JONSWAP yang menggunakan input tinggi gelombang signifikan dan periode. Persamaannya sebagai berikut (Djatmiko dan Sujantoko, 1994) : 155
................................................................................ (2.10)
Tabel 2. 2 Amplitudo dan Tinggi Gelombang (Bhattacharyya, 1978)
Profil Gelombang
Amplitudo Tinggi
Gelombang rata-rata
1,25
2,5
Gelombang signifikan
2,00
4,00
Rata-rata 1/10 gelombang tertinggi
2,55
5,09
Rata-rata 1/1000 gelombang tertinggi
3,34
6,67
Persamaan pada Tabel (2.2) di atas lebih memudahkan untuk menghitung nilai dari profil gelombang. Dimana faktor atau angka di depan akar mo diperoleh berdasar histogram tinggi gelombang dengan pendekatan matematis dari distribusi Rayleigh (Battacharyya, 1978).
2.2.4.2 Response Amplitude Operators (RAO) Metode spektra merupakan cara untuk mengetahui suatu respon struktur akibat beban gelombang reguler dalam tiap-tiap frekuensi. Response Amplitude Operator (RAO) atau sering disebut sebagai Transfer Function adalah fungsi respon yang terjadi akibat 22
gelombang dalam rentang frekuensi yang mengenai struktur offshore. RAO dapat juga didefinisikan sebagai hubungan antara amplitudo respon terhadap amplitude gelombang. Dapat dinyatakan dengan bentuk matematis yaitu (ζrespon / ζgelombang). Amplitudo respon bisa berupa gerakan, tegangan, maupun getaran. RAO juga disebut sebagai Transfer Function karena RAO merupakan alat untuk mentransfer beban luar (gelombang) dalam bentuk respon pada suatu struktur (Chakrabarty, 1987). Bentuk umum dari persamaan RAO dalam fungsi frekuensi adalah sebagai berikut : ..................................................................................... (2.11) dengan: η = amplitude gelombang (m) ω = frekuensi angular (rad/s)
2.2.4.3 Respon Spektrum Respon spektrum didefinisikan sebagai response energy density pada struktur akibat gelombang, dalam hal ini berupa energy density spectrum. Pada sistem linier, fungsi dari RAO merupakan fungsi kuadrat. Respon spektrum merupakan perkalian antara spektrum gelombang dengan RAO kuadrat. Persamaan dari respon spektrum adalah (Chakrabarti, 1987) sebagai berikut : ........................................................................................... (2.12) dengan : SR
= response spectrum (m2-sec)
S(ω)
= spectra gelombang (m2-sec)
RAO
= response amplitude operator
ω
= frekuensi angular (rad/sec)
Response spectra dapat digunakan untuk mengetahui besar respon maksimum yang mungkin terjadi dalam suatu rentang waktu tertentu. Respon extreme maksimum yang terjadi dengan tingkat probabilitas dari suatu kejadian sebesar 62,3% dapat dicari dengan persamaan (Chakrabarti, 1987) sebagai berikut :
23
2
..................................................................................... (2.13)
Sedangkan respon extreme maksimum yang mungkin terjadi pada saat proses perancangan dapat dicari berdasarkan persamaan di atas dengan mempertimbangkan faktor peluang terlampauinya suatu kejadian α sebagai berikut : 2
............................................................................ …… (2.14)
dengan: T
= lama kejadian badai (sec)
α
= kemungkinan kejadian tidak terjadi pada saat perancangan (1% - 5%)
m0 merupakan luasan di bawah kurva spektrum amplitudo kepadatan energi gelombang dimana luasannya sama dengan varian dari time history gelombang sedangkan m2 merupakan momen spektra kecepatan.
2.2.5 Beban Angin Untuk menghitung kecepatan angin pada elevasi di atas 10 m dari permukaan air, digunakan hukum one-seventh power (Dawson, 1983) yang dapat digunakan hingga kecepatan angin pada elevasi 600 ft (182,88 m). Persamaan tersebut adalah:
⎛ y ⎞ V = V10 ⎜ ⎟ ⎝ 10 ⎠
1
7
......................................................................................................... (2.15)
dengan: V
= kecepatan angin pada elevasi y (m/s)
V10 = kecepatan angin pada elevasi 10 m (m/s) y
= elevasi yang akan dihitung kecepatan anginnya (m)
Untuk gaya angin yang mengenai struktur, dapat dicari dengan persamaan (DnV, 2007): sin ............................................................................................................ (2.16) dengan: F
= gaya angin (N)
C
= koefisien bentuk
q
= tekanan angin
S
= luasan yang terkena gaya angin (m2) 24
α
= arah datang angin
Sedangkan tekanan angin (q) dapat dicari dengan persamaan di bawah ini: ,
............................................................................................................... (2.17)
dengan: q
= tekanan angin (N/m2)
ρ
= massa jenis udara (kg/m3) = 1,226 kg/m3
UT,z = kecepatan angin (m/s) Jika beberapa member terletak pada plane normal dari arah datangnya angin, seperti contoh pada plane truss maupun beberapa kolom yang terletak berdekatan, maka solidity ratio (ø) harus dihitung. Gaya angin dengan pengaruh solidity dihitung dengan persamaan di bawah: sin
................................................................................................... (2.18)
dengan: Fsol = gaya angin dengan solidity effect (N) Ce = koefisien efektif (lihat Tabel 2.3) q
= tekanan angin (N/m2)
S
= luasan yang terkena gaya angin (m2)
ø
= perbandingan antara area solid yang terkena beban angin dengan luasan frame
α
= arah datang angin Tabel 2. 3 Effective shape coefficient Ce (DnV RP-C205, 2007) Solidity ratio ø 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.75 1.00
Effective shape coefficient Ce Flat-side Circular sections members 1.90 1.80 1.70 1.70 1.60 1.60 2.00
Re < 4.2 x 105 1.20 1.20 1.20 1.10 1.10 1.50 2.00
Re > 4.2 x 105 0.70 0.80 0.80 0.80 0.80 1.40 2.00
25
Spektra dari fluktuasi kecepatan angin yang tinggi kadang sangat diperlukan, karena hembusan angin yang kencang dapat menyebabkan resonant oscillation pada struktur bangunan laut, seperti contoh gerakan slow drift horizontal pada struktur yang ditambat dapat disebabkan oleh hembusan angin yang kencang. Selain itu, angin juga dapat dengan mudah menyebabkan vortex shedding bersamaan dengan terjadinya vibrasi (Faltinsen, 1990). Pada struktur bangunan laut seperti derrick dan flare booms dapat terjadi windinduced oscillation dengan amplitude dan tegangan yang besar. Ketika benda berbentuk silinder menerima beban angin yang besar dengan disertai reynold number yang besar juga, formasi vortex dapat menyebabkan gaya yang tegak lurus dengan arah angin secara berulang-ulang dan periodik, sehingga dapat menghasilkan vibrasi pada struktur tersebut (Hsu, 1984). Besarnya Reynold number dapat dicari dengan persamaan di bawah ini. ........................... …………………………………………………………(2.19) dengan: Rn = Reynold number D = diameter struktur (m) U = kecepatan angin yang mengenai struktur (m/s) υ = kinematic viscosity, 1,45x10-5 m2/s pada 150C dan tekanan standar Frekuensi dari vortex shedding (Persamaan 2.20) dengan frekuensi natural (Persamaan 2.21) struktur dihitung untuk mengetahui syarat keamanan struktur. Frekuensi dari vortex shedding f dapat dicari dengan persamaan di bawah ini: .......................... ……………………………………………………………(2.20) dengan: f = frekuensi vortex shedding (Hz) V = kecepatan angin (m/s) D = diameter struktur (m) SN = Strouhal number untuk struktur silinder SN = 0,2 jika Rn < 6x105 dan SN = 0,4 jika Rn > 6x105 (DnV, 2007)
26
Sedangkan frekuensi natural dari struktur dapat digunakan Persamaan 2.21 di bawah ini (Mouselli, 1981): .................................................................................................................. (2.21) dengan: fn = frekuensi natural struktur (Hz) C = konstanta (untuk tumpuan sederhana bernilai 1.57) L = panjang struktur (m) E = modulus elastisitas (Mpa) I = momen inersia batang struktur (m4) M = massa struktur (kg) Suatu struktur akan mengalami kegagalan jika tidak memenuhi syarat keamanan. Syarat keamanan dari suatu struktur berbentuk silinder adalah sebagai berikut (Mouselli, 1981): 0.7
.................................................................................................................... (2.22)
Pada tugas akhir ini perhitungan gaya angin akibat vortex shedding hanya sampai pada perhitungan frekuensi vortex yang dijadikan sebagai siklis pada perhitungan kelelahan.
Gambar 2. 7 Vortex shedding frequency (Hsu, 1984)
27
Selain itu frekuensi vortex shedding juga dapat dicari dengan menggunakan grafik seperti pada Gambar 2.7 di atas. DnV (2007) menjelaskan bahwa untuk mengetahui jenis dari vortex shedding digunakan suatu parameter yang dinamakan reduced velocity (Vr). Nilai Vr dapat dicari dengan persamaan di bawah ini. ............................. ………………………………………………………(2.23) dengan: Vr = reduced velocity u
= kecepatan angin yang mengenai struktur (m/s)
f
= frekuensi natural dari struktur (Hz)
D = diameter struktur (m) Dari nilai Vr dapat diketahui jenis dari vortex shedding. Ada dua macam jenisnya, yakni: a. In-line exitation ( 1,7 < Vr < 3,2) b. Cross flow vibration (0,85 /SN < Vr < 1,6/ SN) Sedangkan gaya angin termasuk akibat vortex shedding dapat dihitung dengan persamaan berikut ini. ............................................................................................. (2.24) dengan: F = gaya angin (N) ρ = massa jenis udara (1,226 kg/m3) Cf = Fluctuating force coefficient A = luas permukaan yang terkena gaya angin (m2) V = kecepatan angin (m/s)
2.2.6 Beban Operasional Module Selain akibat beban gelombang, module support pada FPSO juga mendapat beban dari beban operasional peralatan di atas module yakni getaran-getaran mesin peralatan yang terjadi selama masa operasi, selain itu getaran mesin juga menimbulkan efek yang negatif pada struktur module dimana peralatan atau mesin itu berada (James, et al., 1994). 28
Menurut Dimarogonas (1992), peralatan seperti mesin biasanya dapat menimbulkan gaya statis maupun dinamis melalui pedestal yang dipasang pada pondasi. Oleh sebab itu salah satu perlunya dilakukan analisis dan evaluasi getaran pada kapal adalah karena getaran pada kapal dapat menyebabkan kerusakan akibat kelelahan pada struktur yang penting (Veritec, 1985). Beban operasional tersebut terjadi ketika peralatan dalam module sedang bekerja, dimana getaran-getaran dari mesin peralatan secara terus-menerus menyebabkan beban siklis pada module support. James, et al. (1994) juga menjelaskan proses transfer gaya akibat getaran mesin ke struktur pondasi. Secara umum persamaan gerak akibat getaran pada sistem single degree of freedom berdasarkan hukum Newton II yaitu ................................................................................................ (2.25) Jika diasumsikan sistem pondasi tidak mengalami pergerakan atau bisa dikatakan sistem tersebut adalah tetap (fixed), seperti ditunjukkan pada Gambar 2.8 di bawah, maka besarnya transmissibility yang terjadi pada support adalah ............................................................................................................... (2.26) Dengan x dan
merupakan displasemen dan kecepatan dari mesin yang disebabkan oleh
gaya F0. F0
Machine
F0
Machine
M k
c
Supporting Foundation
FT Supporting Foundation
Gambar 2. 8 Sistem isolasi untuk mengurangi efek gaya pada support akibat vibrasi mesin (James, et. al., 1994)
29
Untuk menghitung amplitude yang diakibatkan gaya (FT) digunakan Persamaan 2.27 di bawah ini. |
|
| | ............................................................................................. (2.27)
1
Sedangkan nilai | | didapat dari perhitungan sebagai berikut, /
| |
.................................................................................. (2.28) ξ
/
/
Setelah perhitungan amplitude akibat gaya yang bekerja pada support, maka untuk mengetahui rasio perbandingan (TR) gaya yang bekerja pada support (FT) dengan gaya yang bekerja pada mesin (F0) digunakan persamaan sebagai berikut, ξ /
/
...................................................................... (2.29) ξ
/
dengan ...................................................................................................................... (2.30) 2ξ
................................................................................................................... (2.31)
Untuk sistem yang tak teredam nilai TR sebagai berikut, /
........................................................................................................... (2.32)
dengan: ω = frekuensi eksitasi dari mesin (rad/s) ωn = frekuensi natural dari support module (rad/s) c = koefisien damping (Ns/m) k = koefisien kekakuan (N/m) ζ = faktor redaman m = massa struktur (kg) Nilai TR digunakan untuk mengetahui besarnya kemampuan transfer gaya pada support. Pada sistem seperti ini, terdapat faktor yang sifatnya melawan kemampuan transfer gaya pada struktur support yang dinamakan faktor reduksi. Hubungan antara faktor reduksi dengan kemampuan transfer gaya pada struktur support adalah sebagai berikut. 1
.................................................................................................................. (2.33) 30
Persamaan 2.33 di atas disubstitusikan ke dalam Persamaan 2.32 sehingga menghasilkan persamaan baru seperti di bawah ini. 1
....................................................................................................... (2.34)
/
Persamaan 2.34 di atas dapat digunakan untuk mencari kekakuan k pada sistem dengan pondasi yang tetap (fixed) untuk memenuhi besarnya faktor R pada transfer exsitasi dengan frekuensi yang terjadi pada struktur. Setelah besarnya faktor reduksi diketahui, maka besar dari jumlah perputaran mesin yang menyebabkan beban siklis dapat dicari dengan Persamaan 2.35 di bawah ini. ........................................................................................................... (2.35) dengan: k = kekakuan dari support (kN/mm) g = percepatan gravitasi (m/s2) W = berat dari mesin atau struktur (kN) R = faktor reduksi
N = jumlah perputaran mesin (cpm) 2.2.7 Perhitungan Kelelahan Komponen-komponen dasar dari analisis umur kelelahan (fatigue life) adalah: a. Karakterisasi siklus beban yang terjadi baik untuk kurun waktu pendek maupun kurun waktu panjang. b. Perhitungan beban-beban siklis yang mengenai struktur. c. Evaluasi siklus rentang tegangan pada suatu elemen yang ditinjau. d. Perhitungan kerusakan pada elemen yang ditinjau akibat siklus rentang
tegangan
yang terjadi. e. Evaluasi kekuatan elemen yang ditinjau.
31
Untuk menghitung kerusakan yang ditimbulkan oleh kelelahan (fatigue damage), (Wirsching, 1983) mengklasifikasikan beberapa metode dasar, yaitu: a. Metode Deterministik Metode ini biasa digunakan oleh Lloyd’s Register. Pada metode ini fatigue damage dihitung dengan menggunakan wave exceedance diagram. b. Metode Distribusi Gelombang Metode ini mengasumsikan bahwa tegangan yang terjadi proporsional terhadap tinggi gelombang dan gelombang dideskripsikan dengan distribusi lognormal, Weibull, dan lain-lain. c. Metode Distribusi Rentang Tegangan Metode ini secara teoritis memodelkan rentang tegangan sebagai distribusi Weibull yang biasanya diperoleh dari metode spektral, metode distribusi gelombang, dan lain-lain. d. Metode Spektral Metode ini biasa disebut dengan metode probabilistik. Pada metode ini fatigue damage diperhitungkan dari tiap seastate dalam scatter diagram dan tegangan dianggap sebagai suatu proses acak yang seimbang (stationary random process). e. Metode Equivalent Weibull Metode ini biasa digunakan oleh DnV, yang menggunakan analisis spektral untuk kemudian mendapatkan distribusi rentang tegangan kurun waktu panjang yang ekuivalen dengan distribusi Weibull.
2.2.7.1 Persamaan Kelelahan Terangkai Pada tahap perancangan awal, analisis kelelahan dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan yang disederhanakan (simplified approach). Dengan pendekatan ini perancang tidak perlu menyelesaikan analisis kelelahan dengan prosedur panjang seperti dengan analisis spektral penuh. Faulkner (1991) dalam tugas akhir Satrio (2005) telah mengkaji ketelitian metode sederhana ini, dan menganggap penerapannya dalam 32
perancangan awal cukup valid. Dalam pendekatan sederhana ini spektra lautan dan seterusnya distribusi tegangan acak yang terjadi, serta akumulasi kerusakan telah diformulasikan dalam suatu fungsi tunggal. (Almar-Naes, 1985) Bila p(S) adalah merupakan fungsi kepadatan peluang tegangan yang dapat didefinisikan sedemikian rupa, sehingga p(S )dS adalah ekuivalen dengan jumlah osilasi komponen 1
tegangan dengan harga-harga puncak yang berada dalam interval dS dan mempunyai harga rata-rata S . Selanjutnya dengan mengambil f dan T masing-masing sebagai 1
frekuensi rata-rata dari tegangan yang bervariasi secara acak dan kurun waktu kerja, maka pertambahan kerusakan yang dikibatkan oleh osilasi tegangan dengan amplitudo S
1
yang terjadi dalam kurun waktu T adalah .............................................................................................................. (2.36) Dalam hal ini, N(S ) adalah merupakan jumlah siklus yang akan mengakibatkan 1
kerusakan (terbentuknya retak awal) pada level tegangan S , yaitu yang dapat diperoleh 1
dari kurva S-N untuk bentuk komponen struktur serta material tertentu. Integrasi dari Persamaan (2.36) tersebut akan memberikan besarnya kerusakan total yang diharapkan (expected total damage) untuk terjadi dalam kurun waktu T oleh pengaruh keseluruhan tegangan dalam proses sebesar:
E ( D) =
NL A
∞
∫ 0
p ( S )ds .................................................................................................. (2.37) N (S )
atau dengan memasukkan jumlah siklus total sebenarnya, NL, yaitu perkalian dari frekuensi dan waktu, serta menggantikan N(S) dengan A dan Sm maka persamaan (2.37) akan menjadi:
NL ∞ m E ( D) = S p ( S )ds ............................................................................................ (2.38) A ∫0 Dengan menggunakan suatu metode yang sederhana, hasil pengolahan data distribusi gelombang dan respon struktur bangunan laut kurun waktu panjang diturunkan secara bersamaan dalam jumlah besar. Kemudian dari data yang terkumpul tersebut diperoleh 33
bahwa secara umum distribusi beban ataupun respon struktur dapat dipresentasikan dengan distribusi Weibull dua parameter sebagai berikut: pL (S ) =
ξ ⎛S ⎞ ⎜ ⎟ λ ⎝λ ⎠
ξ −1
⎡ ⎛ S ⎞ξ ⎤ exp ⎢ − ⎜ ⎟ ⎥ ........................................................................ (2.39) ⎢⎣ ⎝ λ ⎠ ⎥⎦
dimana λ dan ξ masing-masing adalah parameter skala dan parameter bentuk distribusi, yang besarnya tergantung dari respon struktur terhadap beban lingkungan. Bila diambil Se sebagai tegangan ekstrem yang diharapkan akan terjadi sekali dalam siklus respon keseluruhan sejumlah NL maka hubungan kedua parameter tersebut adalah:
λ = Se(ln N L )−1 / ξ ................................................................................................... (2.40) harga kerusakan yang diharapkan untuk terjadi adalah: NL ∞ m ξ ⎛ S ⎞ E ( D) = S ⎜ ⎟ A ∫0 λ ⎝λ ⎠
ξ −1
⎡ ⎛ S ⎞ξ ⎤ exp ⎢− ⎜ ⎟ ⎥ ds ⎣⎢ ⎝ λ ⎠ ⎦⎥
......................................................... (2.41)
Dengan melakukan manipulasi matematis, ekspresi integral ini dapat digantikan dengan fungsi gamma Γ(x), sehingga persamaan (2.41) dapat dituliskan dalam persamaan tunggal yang lebih sederhana (Almar-Naess, 1985) dan biasa dikenal dengan persamaan kelelahan terangkai (closed form fatigue equation) yaitu:
D=
S em NL Γ(1 + m / ξ ) A (ln N L ) m / ξ
........................................................................... (2.42)
Perkiraan umur kelelahan didasarkan pada beban fluktuasi yang akan diterima struktur selama masa operasi. Sehingga, untuk mengetahui sisa umur kelelahan struktur dapat dilakukan setelah memperoleh informasi kondisi beban yang diterima struktur selama operasi. Sisa umur kelelahan struktur dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan Palmgren-Miner (Boonstra, et al 2002), yaitu: m
D=∑ i =1
ni Ni
.............................................................................................................. (2.43)
dengan: D = Rasio kerusakan kumulatif. m = Total (Σ) dari interval-interval rentang tegangan. 34
ni = Jumlah cycle kolom interval rentang tegangan i dengan harga Si yang sebenarnya terjadi, dari rentang distribusi tegangan jangka panjang akibat beban eksternal. Ni = Jumlah cycle rentang tegangan dengan harga Si yang menyebabkan kegagalan. Harga besaran ini dapat diperoleh dari kurva S-N. Pada FPSO, beban yang bekerja adalah beban gelombang, beban angin, dan beban operasional, maka total rasio kerusakan kumulatif merupakan penjumlahan dari rasio kerusakan kumulatif ketiga beban tersebut. ∑D = Dwave/ + Dwind + Doperational ................................................................................. (2.44) Untuk D akibat beban angin dan beban operasional, dilakukan terlebih dahulu perhitungan gaya akibat kedua beban tersebut yang mengenai struktur dan peralatan pada module tersebut. Tegangan akibat beban angin dan beban operasional dapat diperoleh dengan memasukkan besarnya masing-masing gaya ke dalam software ANSYS. Maka setelah didapat tegangan, nilai D akibat beban angin dan beban operasional dapat dicari. Hubungan antara Ni dan Si dapat diambil dari fatigue curve (S-N Curve) seperti pada Gambar 2.9 di bawah ini. Nilai dari Ni dapat diperoleh dari persamaan: NSm = A atau Log N = Log A – m Log S
....................................................................................... (2.45)
dengan: A
= intersepsi sumbu log
m
= kemiringan kurva S-N
35
Gambar 2. 9 Grafik Kurva S-N (DnV Recommended Practice C203, 2008)
Nilai A dan m dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini. Nilai A dan m berbeda untuk tiap-tiap jenis tipe sambungan. Tabel 2. 4 Tipe Sambungan (DnV Recommended Practice C203, 2008) S-N Curve
B1 B2 C C1 C2 D E F F1 F3 G W1 W2 W3 T
log a for all cycles m= 3.0 12.436 12.262 12.115 11.972 11.824 11.687 11.533 11.378 11.222 11.068 10.921 10.784 10.630 10.493 11.687
Thickness exponent k
0 0 0.15 0.15 0.15 0.20 0.20 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 for SCF ≤ 10.0 0.30 for SCF > 10.0
36
Sedangkan formulasi umur kelelahan dari suatu struktur dapat dihitung dengan persamaan: Umur Kelelahan = 1/D ............................................................................................... (2.46) Sesuai dengan hukum Palmgren-Miner, kegagalan sambungan akan terjadi jika indeks kerusakan D mencapai harga 1,0. Nilai Si yang digunakan dalam perhitungan adalah tegangan maksimum di posisi tertentu pada sambungan (hotspot stress) yang diperoleh dari magnifikasi tegangan nominal, Si(nom), dengan memperhitungkan faktor konsentrasi tegangan, SCF (stress concentration factor). Sehingga tegangan maksimum dihitung dari persamaan berikut:
σ local = σ nom × SCF ........................................................................................................... (2.47) dengan:
σ local
= Tegangan maksimum (MPa)
σ nominal = Tegangan nominal (MPa) SCF
= Stress Concentration Factor
Tegangan nominal diperoleh dengan terlebih dulu melakukan analisis beban gelombang reguler (analisis deterministik) untuk menghasilkan gaya-gaya atau momen pada komponen-komponen struktur yang ditinjau. Namun SCF tidak perlu diperhitungkan jika perangkat Finite Element Method yang digunakan dapat langsung menghasilkan tegangan pada detail struktur, misalnya NASTRAN, ANSYS, ABACUS, dan lain-lain. Kemudian untuk mencari rasio kerusakan kumulatif digunakan persamaan closed form fatigue equation seperti pada Persamaan 2.42. Sedangkan, untuk mencari tagangan ijin maksimum selama service life dari struktur tersebut, dapat menggunakan persamaan berikut:
D × A (ln N L ) m / ξ ...................................................................................... (2.48) S = N L Γ(1 + m / ξ ) m e
dengan: NL
= siklus rentang tegangan total yang terjadi.
Γ(1+m/ξ)
= fungsi gamma Γ(x).
Se
= tegangan terbesar (MPa) 37
Untuk fungsi gamma dicari dengan persamaan:
Γ( x) ≅ 0.0076 e (1.6 x ) + 1.26 ..................................................................................... (2.49) Untuk bangunan apung seperti FPSO memiliki safety factor pada analisis kelelahan. Pada DnV RP-C206 (2006) telah dijelaskan design fatigue factor pada beberapa bagian kritis bangunan apung dengan memperhatikan konsekuensi keselamatan dan ekonomi seperti pada Tabel 2.5 di bawah ini: Tabel 2. 5 Design Fatigue Factor (DnV RP-C206, 2006)
DFF Structural Element Internal structure, accessible and not welded 2 directly to the submerged part External structure, accessible for regular 2 inspection and repair in dry and clean condition. Internal structure, accessible and welded 3 directly to the submerged part External structure, not accessible for regular 3 inspection and repair in dry and clean condition. Non-accessible areas, areas not planned tp be 10 accessible for inspection and repair during operation. Scantling Support Structure System Gas Processing Module pada tugas akhir ini merupakan struktur dengan safety factor tiga, karena struktur tersebut tidak dapat di akses untuk inspeksi pada saat FPSO sedang beroperasi.
2.2.8 Konsep Keandalan Analisis keandalan struktur bermanfaat untuk memberikan pijakan rasional dalam pengambilan keputusan. Keandalan merupakan salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan rekayasa seperti perencanaan produksi, pemeliharaan fixed structure, perancangan anjungan lepas pantai, disamping aspek-aspek yang lain (Rosyid, D.M, 2007). Sistem dari keandalan pada dasarnya dapat ditunjukkan sebagai hubungan antara tuntutan atau beban (demand) dan kapasitas atau kekuatan (capacity) yang secara tradisional didasarkan pada angka keamanan yang diperkenankan. Angka keamananan dapat 38
didefinisikan sebagai perbandingan antara asumsi nilai nominal kapasitas, X*, dan beban, Y*, persamaannya dapat ditampilkan sebagai berikut (Rosyid, D.M, 2007): ..................................................................................................................... (2.50) Mengingat nilai nominal dari kapasitas, X* dan beban, Y* tidak dapat ditentukan dengan pasti, fungsi-fungsi kapasitas dan beban perlu dinyatakan sebagai peluang. Dengan demikian, angka keamanan dinyatakan dengan perbandingan Z=X/Y dari dua variable acak X dan Y. Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui diagram inteferensi di bawah ini. Sedangkan ketidakmampuan suatu sistem untuk memenuhi tuntutan dan tugasnya, yang diukur dengan peluang kegagalan, dapat dihubungkan dengan bagian dari distribusi angka keamanan yang nilainya kurang dari satu, yaitu Z=X/Y ≤1 (Rosyid, D.M, 2007). Fungsi kerapatan peluang (fkp) dari kapasitas X dan tuntutan Y dapat dilihat pada Gambar 2.11 di bawah.
Gambar 2. 10 Fungsi kerapatan peluang (fkp) dari kapasitas X dan tuntutan Y (Rosyid, 2007)
2.2.9 Moda Kegagalan Penentuan moda kegagalan merupakan unsur penting dalam melakukan analisis keandalan suatu struktur. Pada analisis keandalan pada support module, moda kegagalan yang akan ditinjau disebabkan karena total cumulative damage. Jadi support module dikatakan gagal apabila total cumulative damage yang berlaku melebihi besarnya damage limit. Persamaan umum dari moda kegagalan seperti di bawah ini: M = R – L..................................................................................................................... (2.51) dengan : R = faktor ketahanan L = faktor beban
39
Dari persamaan umum di atas, disesuaikan dengan permasalahan yang digunakan dalam moda kegagalan berbasis kelelahan. Persamaan yang digunakan yaitu: ∆
........................................................................ (2.52)
⎛ 3 N ⎞ Senm Γ(1 + m / ξ n )⎟⎟ ........................................................... (2.53) f ( x) = Δ − ⎜⎜ ∑ Ln m / ξn ⎝ n =1 A (ln N Ln ) ⎠ dengan : Δ = damage limit, besarnya adalah 1 D = total cumulative damage n = 1, untuk faktor gelombang n = 2, untuk faktor angin n = 3, untuk faktor operasional
2.2.10
Metode Simulasi Monte Carlo
Simulasi Monte Carlo merupakan salah satu metode untuk analisis keandalan pada bidang rekayasa maupun ekonomi. Metode ini menggunakan pemodelan baik secara fisik atau numerik. Pemodelan secara fisik dengan membuat prototipe dari kenyataan kemudian dilakukan serangkaian percobaan dan asumsi-asumsi untuk mengetahui responnya. Sedangkan pemodelan numerik dilakukan dengan bantuan komputer sehingga cara ini menjadi lebih populer karena murah dan efisien bila dibandingkan dengan permodelan fisik. Unsur pokok yang diperlukan dalam simulasi Monte Carlo adalah random number generator. Prinsip dasar metode ini adalah sampling numerik dengan bantuan random number generator (RNG), dimana simulasi dilakukan dengan mengambil beberapa sampel dari perubah acak berdasarkan distribusi peluang perubah acak tersebut. Sampel yang diambil tersebut dipakai sebagai input dalam persamaan fungsi kinerja FK(X), dan harga FK(X) kemudian dihitung. Jika nilai FK(X) < 0 dan jumlah sampel tersebut adalah N maka sistem yang ditinjau dianggap gagal sejumlah n kali. Sehingga peluang kegagalan sistem adalah rasio antara jumlah kejadian gagal dengan jumlah sampel, Pf=n/N .......................................................................................................................... (2.54)
40
dengan: n
= jumlah kejadian yang gagal
N
= jumlah sampel
Pf = peluang kegagalan Maka keandalan dapat dicari dengan cara sebagai berikut: 1
............................................................................................................ (2.55)
dengan: K
= keandalan
41
(HALAMAN KOSONG)
42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi yang digunakan dalam tugas akhir ini dalam bentuk diagram alir (flowchart) adalah sebagai berikut: Mulai
Studi literatur dan pengumpulan data
Pemodelan geometri dengan software AutoCAD
Pemodelan FPSO pada software Maxsurf
Pemodelan FPSO pada software MOSES
Tidak
Validasi Ya Input data lingkungan pada MOSES
A
B
43
B
A
Running MOSES untuk mendapatkan respon FPSO akibat beban lingkungan
Validasi
Tidak
Ya Perhitungan gaya -gaya yang bekerja pada module support
Pemodelan scantling support structure system dengan software ANSYS11
Analisis Kelelahan
Menghitung keandalan struktur
Kesimpulan
Selesai
Gambar 3. 1 Diagram Alir Pengerjaan Tugas Akhir
44
Adapun langkah-langkah penelitian dalam diagram alir pada Gambar 3.1 dapat dijelaskan sebagai berikut : ¾ Studi literatur dan pengumpulan data meliputi mencari serta mempelajari buku,
jurnal, ataupun laporan tugas akhir terdahulu yang membahas pokok permasalahan yang sama atau mirip dengan tugas akhir ini. Literatur tersebut digunakan sebagai acuan ataupun referensi tugas akhir ini. Selain itu, juga dilakukan pencarian mengenai data-data FPSO Belanak sebagai obyek tugas akhir. ¾ Pemodelan FPSO dengan AutoCAD berupa lines plan.
Gambar 3. 2 Pemodelan Lines Plan pada AutoCAD
Pemodelan FPSO dengan AutoCAD untuk mempermudah dalam penentuan koordinat dan pengukuran dimensi. Selain itu pemodelan dalam AutoCAD juga mempermudah dalam memahami bentuk dari struktur secara visual. ¾ Pemodelan FPSO pada Maxsurf secara lebih detail dan spesifik, karena dalam
pemodelan Maxsurf bagian section, buttock, dan waterline juga dimodelkan. Dimensi-dimensi utama yang didapat dari lines plan di-generate ke dalam Maxsurf.
45
Gambar 3. 3 Pemodelan FPSO pada Maxsurf
¾ Koordinat-koordinat dari Maxsurf kemudian di-generate ke dalam MOSES (Multi
Operasional Structural Engineering Simulator). Untuk pemodelan dan perhitungan hidrostatis
dilakukan
dengan
MOSES
7.0,
sedangkan
untuk
perhitungan
hidrodinamis untuk mendapatkan respon gerakan menggunakan MOSES 6.0.
Gambar 3. 4 Pemodelan FPSO pada MOSES
46
¾ Validasi parameter hidrostatis pada MOSES 7.0 dan Maxsurf dengan data hidrostatis
Conoco Phillips. Data yang dihasilkan dari output meliputi displasemen, VCB, LCB, LCF, KMT dan KML. ¾ Running hidrodinamis pada MOSES 6.0 untuk mendapatkan RAO dan beban inersia
pada FPSO Belanak. ¾ Setelah didapat respon gerakan FPSO maka selanjutnya dilakukan validasi hasil
running hidrodinamis dengan data penelitian sebelum ini. Data yang divalidasi adalah data percepatan maksimum pada kondisi tinggi gelombang signifikan 5,51m. ¾ Perhitungan gaya-gaya yang bekerja scantling support structure system gas
processing module akibat beban lingkungan dan beban operasional. ¾ Memodelkan secara lokal scantling support structure system gas processing module
dengan ANSYS untuk mendapatkan respon pada scantling support structure system akibat beban dinamis dengan menginputkan gaya-gaya yang telah dihitung. 1 ELEMENTS JUL 5 2010 18:41:08
Y X Z
MODULE_SUPPORT
Gambar 3. 5 Pemodelan Support Structure pada ANSYS
¾ Setelah mendapatkan respon pada FPSO terutama bagian sambungan scantling
support structure system dengan lokal deck, maka dilakukan perhitungan analisis kelelahan (fatigue analysis) untuk mendapatkan umur kelelahan. ¾ Setelah didapat umur kelelahan, maka dilanjutkan analisis keandalan scantling
support structure system gas processing module terhadap beban kelelahan dengan menggunakan simulasi Monte Carlo. 47
(HALAMAN KOSONG)
48
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1.
DATA
Data yang digunakan pada tugas akhir ini adalah data struktur FPSO Belanak, data lingkungan wilayah Natuna yang meliputi data kecepatan angin serta data gelombang metocean. Data lain yang digunakan adalah data percepatan gerakan FPSO Belanak untuk enam arah derajad kebebasan dan data material yang digunakan pada FPSO Belanak.
4.1.1. Data Struktur Pada pengerjaan tugas akhir ini data struktur FPSO Belanak meliputi data spesifikasi FPSO Belanak dan data spesifikasi struktur module pada FPSO Belanak.
4.1.1.1. Struktur FPSO Struktur yang digunakan adalah FPSO (Floating Production Storage and Offloading) Belanak yang dioperasikan Conoco Phillips di Blok Natuna. FPSO tersebut memiliki displasemen maksimum 255.000ton dan memiliki kapasitas penyimpanan minyak sebesar satu juta barrel. Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double side. FPSO ini didesain 30 tahun tanpa dry docking. Sedangkan spesifikasi FPSO Belanak dapat dilihat di Bab II.
49
4.1.1.2. Struktur Module Support Pada FPSO Belanak terdapat beberapa module yang terletak di atas deck FPSO. Pada tugas akhir ini module yang akan dibahas adalah module yang paling berat, yaitu gas processing module yang memiliki berat 2361 mt saat kondisi operasi. Tabel 4.1 di bawah ini merupakan spesifikasi module pada FPSO Belanak. Tabel 4. 1 Topside Module pada FPSO Belanak (PT McDermott, 2002)
P1 S1 P2 S2 P3 S3 P4 S4 P5 S5 S6 P7 S7 C1 C2 C3 C09 CFR R1 C08 R2 T6
Topside Module Chemical Injection Gas Injection & Metering Export Compressors Train "B" Export Compressors Train "A" Gas Cooling & Treating Gas Regeneration Gas Processing Train 'B' Gas Processing Train 'A' Oil Separation Oil Import/Export Utility & Sea Water Lift Main Power Gen. Train 'A' Main Power Gen. Train 'B' Piperack Piperack Piperack Power Control Building Flare Boom FWD Riser Porch Workshop Mid-ship Riser Porch Temporary Mis-Misc Item on Hull
Weight (mt) 773 942 1515 1448 1913 1671 2285 2361 1690 1686 1403 1340 1964 832 892 697 951 268 181 340 241 447 964
50
Gambar 4. 1 Diagram lokasi module FPSO Belanak dan gas processing module (PT McDermott)
Gambar 4.1 di atas adalah gambar lokasi diagram module pada FPSO Belanak, dengan module gas processing yang telah difabrikasi. Pada gas processing module terdapat delapan buah support structure yang bentuknya identik seperti Gambar 4.2 di bawah.
1 ELEMENTS JUL 4 2010 11:40:28
Y Z
X
MODULE_SUPPORT
Gambar 4. 2 Support Structure pada Gas Processing Module
51
4.1.2 Data Lingkungan FPSO Belanak ditempatkan di Blok Natuna dengan kedalaman perairan sedalam 90m. Adapun data lingkungan berupa data intensitas kejadian angin pada daerah Natuna selama kurun waktu dua tahun, yaitu 2006 dan 2007 dan data gelombang Metocean dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Tabel 4.3 di bawah. Tabel 4. 2 Intensitas kejadian angin tahun 2006 dan 2007 (Wahyudi, 2009)
ARAH
N NW W SW S SE E NE
CALM 406 0 0 0 0 0 0 0 0
KECEPATAN ANGIN (knot) (nominal) 1-3 4-6 7-9 10 - 12 13 - 15 0 0 0 0 0 0 8 30 37 20 0 1 5 1 0 1 7 15 5 0 3 2 13 7 2 0 7 26 19 3 0 3 10 3 0 1 13 14 1 0 0 20 31 6 4
Jumlah >16 0 5 0 0 0 1 0 0 0
406 100 7 28 27 56 16 29 61 730
Tabel 4. 3 Data gelombang Metocean (Wahyudi, 2009)
Wave Class
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
H max
Th max
(m) 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.25
(s) 5.25 6.25 7.37 8.64 9.57 10.18 10.79 11.31 11.69 11.97 12.23 12.47 12.67
Surface Current (m/s) 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.8
Mid-Depth Current (m/s) 0.3 0.3 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6
Near Bottom Current (m/s) 0.3 0.3 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.5 0.6
Number of Cycles
93,350,538 71,519,354 31,774,805 13,717,908 6,707,238 3,461,658 2,802,540 772,997 197,245 45,165 9,160 1,643 281
52
4.1.3 Data Gerakan FPSO Data gerakan FPSO yang diketahui adalah data percepatan FPSO pada kondisi badai, seperti pada Tabel 4.4 di bawah. Pada kondisi badai, FPSO akan mendapatkan pengaruh beban yang paling besar (maximum). Periode gelombangnya adalah 31 s.d. 4detik dengan interval 0,5detik. Tabel 4. 4 Data percepatan gerakan FPSO pada kondisi badai (Conoco, 2002)
Derajad Kebebasan Max. Surge Acc Max. Sway Acc Max. Heave Acc Roll Acc Pitch Acc Yaw Acc
Percepatan 0.656 m/s2 2.180 m/s2 1.054 m/s2 3.023 rad/s2 0.679 rad/s2 0.193 rad/s2
4.1.4 Data Material Data material yang digunakan pada FPSO Belanak disajikan pada Tabel 4.5 di bawah ini: Tabel 4. 5 Data Material Properties (Conoco, 2002)
Data Material Type Steel Grades Thickness Range
Satuan (mm)
Spesifikasi 4 A36 <51
Minimum Yield Stress
(N/mm2)
250
Minimum UTS Modulus Young
2
400
2
210,000
2
(N/mm ) (N/mm )
Shear Modulus Poisson's Ratio
(N/mm ) -
80,000 0.3
Density
(kg/m3)
7,850
Coef. Of Thermal Expansion
0
(/C )
-6
12x10
Data di atas merupakan data yang digunakan pada pemodelan lokal menggunakan ANSYS. Komponen utama yang dibutuhkan pada pemodelan lokal adalah modulus young, poisson’s ratio, density dari baja dan minimum yield stress. Dari data tersebut diketahui bahwa tegangan yang diijinkan pada struktur module ini sebesar 250 MPa.
53
4.2
PEMODELAN
Pemodelan yang dilakukan adalah pemodelan struktur global FPSO Belanak untuk mendapatkan respon gerakan dan pemodelan lokal untuk mendapatkan respon support structure system gas rocessing module. Untuk pemodelan global menggunakan software AutoCAD, Maxsurf, dan MOSES. Sedangkan pemodelan lokal menggunakan software ANSYS 11.
4.2.1 Pemodelan Dengan AutoCAD Untuk mempermudah pemodelan pada Maxsurf dan MOSES, struktur FPSO dimodelkan terlebih dahulu dengan menggunakan AutoCAD.
Gambar 4. 3 Pemodelan Lines Plan FPSO Belanak dengan AutoCAD
Gambar 4.3 di atas adalah gambar lines plan dari FPSO Belanak. Pemodelan pada AutoCAD dilakukan untuk mempermudah dalam penentuan koordinat. Selain itu juga mempermudah untuk memahami bentuk dari struktur secara visual.
54
4.2.2 Pemodelan Dengan Maxsurf Setelah melakukan pemodelan pada AutoCAD, struktur FPSO dimodelkan pada Maxsurf dengan mengambil dimensi-dimensi dari AutoCAD. Hal ini dimaksud untuk mempermudah penentuan koordinat pada Maxsurf. Pemodelan pada Maxsurf tidak hanya dimodelkan hull dari FPSO saja, akan tetapi bagian yang lebih detail juga dimodelkan, seperti section, buttock, serta waterline dari FPSO Belanak. Koordinat-koordinat pada tiap section nantinya akan dikonversikan ke dalam MOSES. Gambar 4.4 di bawah ini merupakan hasil pemodelan FPSO pada Maxsurf.
Gambar 4. 4 Pemodelan FPSO Belanak dengan Maxsurf
4.2.3 Pemodelan Dengan MOSES Pemodelan selanjutnya adalah pemodelan pada MOSES. Koordinat-koordinat pada MOSES diambil dari koordinat pada Maxsurf. Untuk pemodelan FPSO dan perhitungan hidrostatis dilakukan dengan menggunakan MOSES 7.0, sedangkan perhitungan hidrodinamis untuk mendapatkan respon gerakan FPSO dilakukan dengan menggunakan MOSES 6.0. Gambar 4.5 di bawah ini adalah hasil pemodelan menggunakan MOSES 7.0 55
Gambar 4. 5 Pemodelan FPSO Belanak dengan MOSES 7.0
4.2.4 Pemodelan Dengan ANSYS Pemodelan dengan menggunakan ANSYS 11 difokuskan pada daerah module support dengan struktur geladak yang menyangga module beserta penegar-penegar di bawah geladak. Jenis analisis yang dilakukan adalah analisis struktural. 1
1
AREAS
ELEMENTS JUN 27 2010 19:37:37
JUL 4 2010 11:50:26
TYPE NUM
Y Z X
Y Z
MODULE SUPPORT
X
MODULE SUPPORT
Gambar 4. 6 Model Scantling Support Structure System
56
Struktur dimodelkan dalam bentuk area (2D) seperti pada Gambar 4.6 di atas, sehingga elemen yang digunakan adalah element shell93. Element shell93 memiliki 8 node dengan 4 macam ketebalan jika bervariasi dan input tebal pada real constant. Karakteristik struktur yang diinput disesuaikan dengan data material seperti pada Tabel 4.5. Gambar 4.7 di bawah merupakan contoh input karakteristik model pada ANSYS 11.0.
Gambar 4. 7 Input Karakteristik Model Pada ANSYS 11
Meshing dilakukan dengan manual, jadi pembagian jumlah elemen disesuaikan dengan model geometrinya. Langkah terakhir adalah dengan memasukkan constraint pada bagian struktur yang dianggap tetap (fix) atau tidak mengalami deformasi.Constraint yang digunakan adalah pada semua degree of freedom (6DOF) baik translasional maupun rotasional. Gambar 4.8 di bawah ini merupakan visualisasi constraint dan tebal plat pada module support. 45 454545 454545 45 4545454545454545 4545 454545 454545 45 4545 45454545454545454545 4545 4545 45 45 45 45 454545454545454545454545454545454545 45 4545 45 45 45 45 45 45 454545454545454545454545454545454545 45 JUL 24 2010 45 4545 45 45 45 45 4545 45 45 4545 45 45 45 454545454545 454545 45 45 45 45 08:02:03 45 4545 45 454545 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 454545454545454545454545454545454545 45 4545 45 45 454545 45 45 45 45 45 45 4545 45454545454545454545454545 45 45 45 45 45 4545 45 45 45 45 4545 45 4545 4545 45 4545 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45454545454545454545454545 45 45 45 45 45 4545 45 45 45 45 4545 45 4545 454545 45 45 4545 454545454545 45 45 45 45 45 4545 45 45 454545 454545454545454545454545 45 45 45 45 4545 4545 4545 454545 45 45454545 4545 45 45 45 45 45 45 45 4545454545454545 4545 45 45 4545 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45454545454545 45 4545 45 45 454545454545454545 45 45 4545 4545 454545 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 45 75 45454545454545 454545454545 4545454545 45 4545 757575 45 7575 45 45 4545454545454545 75 45 45 45 75 7575 45 45 2545 75 75 45 75 45 45 45 45 75 75 75 75 75 45 4545 4545 4545 45 757575 75 75 45 45 4545 75 4545 75 25 25 75 45 45 45 45454545454545454545454545 45454545454545 75 75 757575 45 45 45 75 75 75 75 45 75 75 45 252575 45 45 7575 45 45 75 4575 75 75 4545454545454545454545454545454545454545 45 45 7545 45 45 75 75 75 75 75 45 45 25 2575 75 4545 45 75 75 75 45 75 75 45 4545454545454545454545454545454545454545 75 75 75 45 45 45 75 75 75 75 25 2575 757545 45 45 75 45 4545454545454545 45 45 75 45 45 75 25 25 75 7575 75 75 45 75 4545 45 75 75 75 4545 4545 45 7575 75 45 4545 25 2575 45 25 45 75 7575 45 75 75 75 75 7575 75 45454545454545454545454545 45454545454545 75 25 25 25 45 75 75 75 75 75 75 7575 75 25 2575 75 75 75 45 75 75 75 75 2525 25 25 25 252525 25 75 75 75 75 75 7575 75 45454545454545454545454545454545454545 75 75 75 75 75 2525 75 25 75 75 75 75 75 25 75 75 75 25 25 25 75 75 75 4545 4545454545454545 4545 7575 7575 7575 45 7575 75 7535 4525 25 25 25 25 25 2525 25 2525 75 25 25 25 25 25 7575 75 75 75 75 757545454545454545454545 45 75 75 7575 7575 7575 75 75 45 25 75 25 75 75 75 45 25 25 25 2525 75757575 35 35 75 75 75 75 75 75 25 25 2525 25 25 25 75 75 75 75 75 75 75 25 25 25 25 2525 75 75 45 7575 75757575 7575 75 45 353535 75 75 75 75 75 75 75 45 25 25 45 75 75 75 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 35 75 75 45454575 75 4545 75 75 75 75 75 7575 35 75 30 75 35 35 3535 45 75 45 2525 25 25 2525 25 25 25 25 25 7575 30 75 35 30 75 75 75 75 7575 45 35 75 30 45 30 75 75 75 75 7575 75 75 25 25 25 25 25 25 25 25 25 3545 45 25 25 75 25 25 25 25 35 3535 45 75 454545 30 303030 75 75 25 75 7575 7575 75 7575 30 75 45 75 75 35 45 75 75 2525 25 25 25 25 25 25 2535 4530 30 30 4545454545 75 75 35 3535 25 25 25 2525 25 25 25 25 25 2 75 4545 75 45 75 45 45 75 75 454545 4545 25 30 30 303045 25 7575 25 25 25 25 25 25 45 35 25 75 45 25 75 45 45 45 45 25 25 45 45 25 25 25 25 25 25 25 25 25 35 35 35 45 35 25 25 25 25 25 25 25 25 2 30 3030 4530 4545454545 3535 35 25 35 45 454545454545 25 25 25 25 25 25 25 25 25 45 30 35 45 45454545454535 3535 30 25 25 25 25 25 25 25 2535 3545 25 25 25252525 45 35 25 25 25 25 25 35 30 30 30 3030 45454545454545 30 45 45 45 35 25 35 45 45 25 35 45 35 25 30 25 2525 35 25 252525 2525 25 25 25 25 35 35 3535 45 3545 3530 35 30 4530 30 30 30 454545454545454545454545 30 30 30 35 25 25 35 25 25 25 25 25 35 35 30 30 2525 25 25 2 45 3530 3535 30 30 30 30 30 30 30 35 35 30 35 45 35 45454545454545 454545454545 35 30 35 35 35 30 30 30 30 35 25 4530 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 35 25 35 3535 30 30 25252525252 35 30 35 45 30 35 25 35 45 35 30 35 30 35 35 30 30 30 30 30 35 35 35 35 45 45 45 35 30 30 25 25 2525 25 25 25 35 35 35 35 45 35 30 30 45 454545454545 4545 45 45 35 35 35 30 4530 30 30 3030 35 45 25 25 30 3030 35 30 30 30 25 35 35 35 35 30 30 35 45 25 35 35 35 35 25 35 35 35 35 35 35 45 25 2 35 35 3530 45454545454545454545454545 35 25 25252525 35 35 4530 30 30 3030 25 25 35 25 25 25 25 25 25 25 35 35 35 25 35 35 35 45 25 35 35 35 35 45 2525 35 35 35 25 2525 2525 45 35 25 25 45454545454545454545454545 35 3535 35 35 25 35 4530 30 30 3030 25 25 35 45 35 35 3535 25 25 2525 2525 25 25 45 25 35 35 25 35 35 35 45 35 35 35 25 25 35 35 45 35 25 25 25 25 25 30 30 30 30 45454545454545454545454545 25 35 35353535 25 35 25 45 25 2525 25 25 25 25 25 35 25 3535 25 4530 3535 35 35 35 25 35 25 35 45 4545454545 454545454545 25 25 25 30 3030 3535 25 35 35 35 35 35 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 35 35 35 35 25 35 25 25 25 25 252525 30 30 25 4530 35 304545 35 35 35 25 25 25 25 25 25 25 25 25 45 35 25 25 45 35 35 35 454545454545454545454545 35 35 25 25 35 35 35 35 25 35 45 25 35 25 25 25 25 35 35 3535 25 2525 25 2525 25 25 25 25 2 25 35 35 25 35 35 45454545 25 45 35 25 2530 30 30 30304545454545454545 35 35 25 25 2525 252535 35 25 25 25 35 25 25 35 35 35 35 35 35 35 25 25 35 35 35 25 35 35 25 30 30 3030454545454545454545 35 2530 25 35 35 35 35 25 25 2525 25 2525 25 25 25 25 25 35 35 35 25 3535 25 25 35 25 35 25 35 35 25 25 25 25 454545454545 35 25 35 25 25 35 35 25 35 35 35 25 35 35 35 35 25 25 35 35 25 25 25 2525 35 3535 25 30 30 3030454545454545454545 35 3535 35 35 25 45 45 45 35 25 25 2525 25 2525 25 25 25 25 35 25 35 35 35 35 25 25 25 25 25 25 25 3535 25 30 30 2535 35 3535 35 3535 25 35 35 3535 25 35 35 25 25 45 454545453535 25 35 3535 35 25 25 35 35 35 25 25 25 3030 25 2525 25 25 3535 45 45 35 35 35 35 35 35 25 35 45 45 25 25 25 35 25 35 35 25 25 45 45 35 25 25 35 45 45 35 45 25 25 35 35 35 25 25 35 30 30 35 35 25 25 35 25 25 353535 3535 35353535 35 2525 253535 35 35 2525 2525 25 25 35 25 25 25 35 25 25 35 454545454545454545 454535353535 25 25 35 25 2530 30 30 3030 35 35 3535 35 25 25 25 25 35 35 35 35 25 25 35 35 25 25 25 25 25 252525 25 25 35 25 352525 2525 2525 25 35 35 35 3535353535 25 30 25 25 25 25 25 35 30304545454545454545454535 3525 35 25 35 25 35 35 25 35 25 25 25 25 25 35 25 25 25 35 25 25 35 35 35 25 25 25 35 353535 25 35 25 25 35 2525 2525 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35 25 252525 25 35 25 25 25 25 2530 30 30 3030 35 35 35 35 25 35 25 25 3535 35 35 25 25 35 35 35 35 35 25 25 35 35 35 25 35 35 25 35 35 35 25 35 35 35 25 35 35 25 25 35 35 35 25 25 25 25 3535 35 35 35 35 25 35 35 25 35 35 35 35 35 25 25 35 35 35 25 25 35 25 35 35 35 35 35 MODULE_SUPPORT 25 25 35 35 35 35 35 25 35 35 25 25 25 25 25 25 25 2530 30 30 30 35 35 25 35 35 35 25 25 35 35 35 35 35 25 25 353535 35 35 35 25 25 25 35 25 25 25 25 25 25 25 30 30 25 25 25 25 25 25 25 25 25 2525 303030 303030 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 30 1 3030303025 25 25 25 25 25 25 25 2530 25 25 25 25 25 25 25 25 252525 253030 3030 30 30 30 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 ELEMENTS 30 3030 30 25 25 25 25 25 25 25 25 25 30 25 25 25 25 25 25 25 25 30 30 25 30 25 30 303030 3030302 25 252525 3030 25 25 25 25 25 25 25 25 25 JUL 24 2010 30 30 30 25 25 30 25 25 25 25 25 25 30 30 25 25 25 25 25 25 25 252525252525 25 REAL NUM 30 3030 30 30 30 30 25 25 25 25 25 25 25 08:08:27 25 25 30 3030 3 30 25 25 25 25 25 25 25 252525 25 25 25 25 25 25 25 25 30 30 30 25 252525 30 303030 303030 30 30 30 30 30 30 30 30 30303030 30 30 30 30 30 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 3025 30 30 252525 30 30 30 30 30 30 30 30 30 252525 30 30 30 30 30 30 3025 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 303030 30 30 30 303030 25 30 3 25 25252525 30 30 30 303030 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 303030 30 30 30 30 30 3025 25252525 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 303030 2525 30 30 30 30 303030 30 30 30 30 30 3025 30 30 30 30 30 30 25 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 252525 30 30 30 30 30 30 30 30 30 252525 2525 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 25 2525 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 30 30 30 30 30 30 30 30 252530 30 30 25 252525 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 30 30 25252525 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 25 3030 30303025 25 25 25 25 25 25 25 2 25 30 30 3030 3030 25 25 25 25 25 25 25 25 30 30 30 30 25 25252525 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 30 25252525 25 30 30 30 30 30 30 30 30 30 2525 3030 30 30 25 3025 25 30 3030 25 25 25 30 30 30 30252525252525 30 3030 3030 25 30 3025 25 25 25 25 25 30 30 3030 30 30 3030 30 30 30 3025 25 25 30 25252525 25 30 30 30 25 25 25 25 25 25 25 25 2525 25 25 30 30 30 30 30 25 25 25 25 25 25 25 30 3030 30 30 30 2525252525252530 30 30 30 30 30 25 25 25 25 25 25 2 25 25 25 25 25 25 25 30 3025 252525252525 25 25 25 30 30 30 30 30 30 303030 30 30 30 30 30 30 3 25 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 252525252525 303030 30 30 30 30 30 30 3 25 30 30 30 3030 30 25 30 30 30 3025 30 30 30 30 30 30 30 30 3030 25 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 25 252525252530 30 30 25 25 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 2525 25 25 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 25 25 30 3030 25 25252525 30 25 30 30 30 30 30 30 30 30 252525 25 2525 2525 30 30 30 30 30 30 2525 25 2525 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 2525252525 25 25 30 30 30 30 30 30 30 30 25 25 2525252525252525252525 25 252525 25 25 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 302525252525 2525 252525 25 30 30 30 30 30 30 25 2525 30 30 3030 30 30 30 30252525252525 252525 252525 30 25 25 25 252530 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 3030 25 25 25 25 30 30 30 252525252525 252525 25252525 30 30 3030 30 25 25 30 30 25 25 25 30 30 25 25 30 2525 2525 30 25 30 30 30 25 30 30 25 30 30 30 30 30 30 2525252525252525 252525 2525 25 303030 25 25 25 25 25 30 25 2525 30 25 3030 30 25 25 252525 30 30 30 30 25 2525252525252525 2525 252525 25 3030 2525 25 30 3025 25 25 25 25 25 30 30 30 30 25252525252525 252525252525 252530 30 30 25 25 25 25 30 3025 25 25 25 25 25 252525 30 252525 2525 30 25 25 25 25 25 Y 30252525252525252525 30 3025 25 25 25 25 25 25 25 30 X 30 25 25 25 25 25 25 252525252525 252525 2525252530 30 30 25252525 3025 25 25 25 25 2525 30 2525 2530 25 2530 2525252525 2525 30 30 Z 25 2525 25 25 25 25 30 25 25 2525 30 30 30 30 25 25 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 2525 30 30 30 25 30 25303030303030303030 25 30 30 30 30 30 3030303030303030 30 2525252525 252525252525 252530 30 3030 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30 25 30303030 25 2525 2525 25 30 30 25 30 25 30 30 30 30 30 2525 30 30 30 30 30 30 25 25 25 25 303030 30 25 25 25 25 25 30303030 30 30 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 30 30 3025 2525252525 252525252525 30 30 3025 25 30303030 25 25 25 3030 25 30 30 30 30 30 30 30 30 2525 25 2525 2525 25 30 30 25 25 30 30 30 MODULE_SUPPORT 25 30 3030 30 3030 30 30 30 30 25 25 25 25 25 25 25 25 2525 25 25
1
1
ELEMENTS
ELEMENTS
REAL NUM
JUL 9 2010 16:53:59
U ROT F
Y Z
MODULE_SUPPORT
X
Gambar 4. 8 Constraint dan visualisasi real constant
57
Sebelum dilakukan runing, terlebih dahulu dilakukan mesh sensivity, yaitu iterasi untuk memperoleh tegangan dengan variasi ukuran meshing. Ketika tegangan yang didapat telah mendekati konstan, maka model bisa digunakan dalam analisis selanjutnya. Hasil mesh sensvity dengan lima macam ukuran meshing dan dengan pembebanan sama arah vertikal sebesar 25973 kN disajikan pada Tabel 4.6 dan Grafik 4.1 di bawah ini. Tabel 4. 6 Mesh Sensivity
No 1 2 3 4 5
Σ Node 8067 12568 30155 74972 186396
Stress (Mpa) 76.98 77.03 77.10 77.10 77.11
Mesh Sensivity
Stress (MPa)
77.200
77.100
77.000
76.900 0
3
6
9
12
Jumlah Node
15
18
21
x 10000
Grafik 4. 1 Mesh Sensivity
Dari Grafik 4.1 di atas dapat diketahui, semakin kecil ukuran meshing atau semakin banyak jumlah elemen, maka tegangan yang dihasilkan semakin besar juga. Hal ini menandakan dengan banyaknya jumlah elemen, maka tingkat keakuratan pada daerah yang dianalisis juga semakin baik. Pada tugas akhir ini model yang digunakan adalah dengan jumlah node 30155, karena pada model tersebut tegangan yang dihasilkan sudah mendekati konstan yaitu 77,10MPa.
58
4.3
PERHITUNGAN
Perhitungan yang dilakukan adalah perhitungan motion dari FPSO, perhitungan beban inersia akibat beban gelombang, beban angin, serta beban operasional. Setelah perhitungan beban selesai dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah perhitungan umur kelelahan yang nanti dilanjutkan dengan perhitungan keandalan scantling support structure system gas processing module.
4.3.1 Validasi Model FPSO Validasi model FPSO Belanak yang digunakan adalah validasi pada data-data hidrostatik data Conoco Phillips dengan model FPSO Belanak pada Maxsurf dan MOSES. Tabel 4.7 di bawah ini adalah perbandingan data hidrostatik FPSO Belanak Conoco Phillips dengan data hasil pemodelan. Tabel 4. 7 Validasi Data Conoco Phillips dengan Hasil Pemodelan
Parameter T (m) KG (m) Displ. (ton) VCB (m) LCB (m) LCF (m) KMT (m) KML (m)
Validasi Conoco Maxsurf 16.2 16.2 12.96 12.96 247000 246970.641 8.185 8.193 142.499 142.585 142.53 142.542 25.581 25.543 386.395 385.211
MOSES 16.2 12.96 246247.39 8.22 142.57 142.52 25.63 387.89
Koreksi Maxsurf-Data MOSES-Data 0.000% 0.000% 0.000% 0.000% 0.012% 0.305% 0.098% 0.428% 0.060% 0.050% 0.008% 0.007% 0.149% 0.192% 0.306% 0.387%
Dari Tabel 4.7 di atas dapat diketahui bahwa nilai koreksi antara hasil pemodelan dengan data Conoco Phillips tidak sampai 5%, maka model FPSO dapat dikatakan valid.
4.3.2 Perhitungan Motion FPSO Perhitungan motion FPSO dilakukan untuk mendapatkan single amplitude accelerations dan Response Amplitude Operator (RAO) dari FPSO untuk lima arah heading gelombang, yaitu arah 0o, 45o, 90o, 135o dan 180o dalam gerak surge, heave, sway, roll, pitch dan yaw. Perhitungan dilakukan pada kondisi Vessel Draft Full yaitu dengan draft 16,2m dengan software MOSES 6.0, karena FPSO diasumsikan sedang beroperasi dengan muatan penuh. Periode gelombangnya adalah 4 s.d. 31detik dengan interval 59
0,5detik. Kondisi gelombang yang digunakan adalah kondisi gelombang selama masa operasi yakni dengan Hs 0.27m hingga Hs 5.51m. Jika yang diketahui adalah Hmax maka Hs dapat dicari dengan persamaan di bawah ini: 1.86 .......................................................................................................... (4.1)
Input data untuk perhitungan dengan MOSES 6.0. adalah: - KG (keel to gravity) - kedalaman perairan di lokasi FPSO beroperasi - tipe spektrum gelombang yang digunakan, yaitu spektrum JONSWAP - arah datang gelombang (heading) - tinggi gelombang signifikan - periode gelombang - kecepatan arus Hasil dari perhitungan maximum single amplitude accelerations dengan MOSES 6.0. ditunjukkan pada Tabel 4.8 di bawah. Tabel 4. 8 Output Maximum Single Amplitude Acceleration
Hs 0.27 0.54 0.81 1.08 1.34 1.61 2.15 2.69 3.23 3.76 4.30 4.84 5.51
Maximum Single Amplitude Acceleration surge sway heave roll pitch m/s rad/s 0.005 0.029 0.022 0.025 0.006 0.013 0.062 0.050 0.054 0.021 0.024 0.124 0.058 0.075 0.028 0.036 0.206 0.117 0.176 0.060 0.050 0.286 0.197 0.321 0.110 0.065 0.363 0.277 0.473 0.167 0.093 0.504 0.413 0.754 0.270 0.118 0.638 0.547 1.060 0.376 0.139 0.757 0.674 1.349 0.473 0.159 0.863 0.795 1.610 0.560 0.177 0.961 0.918 1.861 0.645 0.194 1.049 1.041 2.093 0.726 0.351 1.698 1.191 2.365 0.822
yaw
0.006 0.012 0.016 0.027 0.044 0.062 0.094 0.126 0.155 0.183 0.211 0.238 0.271
60
Hasil percepatan yang didapat pada Tabel 4.8 di atas nantinya digunakan dalam perhitungan beban inersia akibat beban gelombang. Percepatan yang dihasilkan semakin besar pada tiap-tiap kenaikan Hs. Hasil perhitungan maximum single amplitude accelerations dengan MOSES 6.0 dibandingkan dengan data milik Conoco Phillips. Tabel 4.9 di bawah ini merupakan perbandingan hasil perhitungan dengan data Conoco Phillips. Tabel 4. 9 Perbandingan percepatan dengan data Conoco Phillips
Derajad Kebebasan Max. Surge Acc Max. Sway Acc Max. Heave Acc Roll Acc Pitch Acc Yaw Acc
Percepatan Conoco Phillips Perhitungan (Hs = 5.51) 2 0.656 m/s 0.351 m/s2 2.180 m/s2 1.698 m/s2 1.054 m/s2 1.191 m/s2 2 3.023 rad/s 2.365 rad/s2 0.679 rad/s2 0.822 rad/s2 0.193 rad/s2 0.271 rad/s2
Berikut adalah contoh Response Amplitude Operator (RAO) dengan Hs = 5.51 hasil dari MOSES 6.0 untuk gerakan surge, heave, sway, roll, pitch dan yaw dapat dilihat pada Grafik 4.2 s/d Grafik 4.7 di bawah ini:
RAO Motion Surge
1.2 1.0
S/ζω
0.8 0 degree 45 degree 90 degree 135 degree 180 degree
0.6 0.4 0.2 0.0 0.0
0.5
1.0
ω (rad/s)
1.5
2.0
Grafik 4. 2 RAO motion surge FPSO Belanak
Gerakan surge cenderung besar untuk heading arah head seas (μ = 0°) dan following seas (μ = 180°). Sedangkan untuk arah quartering seas (μ = 45° dan 135°) gerakan surge lebih 61
kecil dari gerakan surge untuk heading arah head sea. Untuk gerakan beam seas (μ = 90°) hampir tidak terjadi sama sekali.
RAO Motion Sway
1.5 1.2
heading 0
S/ζω
0.9
heading 45 heading 90
0.6
heading 135 heading 180
0.3 0.0 0.0
0.5
1.0
ω (rad/s)
1.5
2.0
Grafik 4. 3 RAO motion sway FPSO Belanak
Gerakan sway sangat besar untuk heading arah beam seas. Sedangkan untuk arah quartering seas gerakan sway juga terjadi namun tidak sebesar heading arah beam seas. Untuk gerakan sway tidak terjadi untuk arah 0° dan 180°.
RAO Motion Heave
2.0 1.6
heading 0 heading 45 headng 90 heading 135 heading 180
S/ζω
1.2 0.8 0.4 0.0 0.0
0.5
1.0
ω (rad/s)
1.5
2.0
Grafik 4. 4 RAO motion heave FPSO Belanak
62
Untuk gerakan heave cenderung tinggi untuk semua arah heading. Gerakan paling besar terjadi pada heading beam sea.
RAO Motion Roll
3.5 3.0 2.5
heading 0 heading 45 heading 90 heading 135 heading 180
S/ζω
2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0.0
0.5
1.0
ω (rad/s)
1.5
2.0
Grafik 4. 5 RAO motion roll FPSO Belanak
Gerakan roll cenderung besar untuk heading arah beam seas (μ = 90°). Sedangkan untuk heading arah quartering seas (μ = 45° dan 135°) gerakan surge lebih kecil dari gerakan surge untuk heading arah beam sea. Untuk gerakan following sea (μ = 180°) tidak terjadi sama sekali.
RAO Motion Pitch
0.9 0.8
S/ζω
0.7 0.6
heading 0
0.5
heading 45
0.4
heading 90
0.3
heading 135
0.2
heading 180
0.1 0.0 0.0
0.5
1.0
ω (rad/s)
1.5
2.0
Grafik 4. 6 RAO motion pitch FPSO Belanak
63
Gerakan pitch cenderung besar untuk heading arah quartering seas (μ = 45° dan 135°). Sedangkan untuk heading arah head sea dan following sea (μ = 0° dan 180°) gerakan pitch lebih kecil dari gerakan pitch untuk heading arah qurtering seas. Untuk gerakan beam sea (μ = 90°) tidak terjadi sama sekali.
RAO Motion Yaw
0.3
heading 0
0.2
S/ζω
heading 45 heading 90 heading 135
0.1
heading 180
0.0 0.0
0.5
1.0
ω (rad/s)
1.5
2.0
Grafik 4. 7 RAO motion yaw FPSO Belanak
Gerakan yaw cenderung besar untuk heading arah quartering seas (μ = 45° dan 135°). Sedangkan untuk heading arah arah yang lain hampir tidak terjadi.
4.3.3 Perhitungan Beban Gelombang Untuk gerakan FPSO terdapat enam derajad kebebasan yakni surge, sway, yaw, heave, roll dan pitch. Percepatan dari enam gerakan tersebut telah didapat dari perhitungan motion. Untuk gerakan FPSO tersebut berpengaruh pada module dengan menjadi gaya inersia. Gaya inersia didapat dengan mengalikan percepatan module dengan massa module. Massa dari gas processing module diperoleh dari data sesuai pada Tabel 4.1 yakni 2361 mt.
64
C Contoh perhittungan gayaa inersia darii masing-masing gerakann dengan konndisi Hs = 5.51m 5 addalah sebagaai berikut: a.. Gerakan translasional t l •
Fi unttuk gerakan surge s =mxa = 2361 x 0.3551 N = 507.165 kN
•
Fi unttuk gerakan Sway S =mxa = 2361 x 1.6998 N = 2738.76 kN
•
Fi unttuk gerakan Heave H =mxa = 2361 x 1.1991 = 2811.95 kN N Sehingga total gaaya inersia pada p supportt module akkibat gerakann heaving addalah 25973 3.36 kN
b. Gerakan rotasional r Untuk gerrakan roll, pitch, p dan yaw w akan menjjadi momen inersia.
dengan : xi = 22.5 m
(jarak horrizontal sum mbu x antara CG dengan titik berat module) m
yi = 16 m
(jarak horrizontal sum mbu y antara CG dengan titik berat module) m
zii = 18.04 m
(jarak verrtikal antara CG dengan titik berat module) m
r = jari-jari girasi g r=
y i2 + z i2
65
Contoh perhitungan untuk gerakan roll dengan Hs = 5.51m Momen inersia untuk gerakan roll = m x r2 yi = 16 m zi = 18.04 m √16
18.04 = 24.113 m
Maka momen inersia adalah I = 2361 x 24.1132 = 1372783.62 mt. m2 Sedangkan momen gaya = I x α = 1372783.62 x 2.365 = 3246633.256 kN.m.rad Berikut adalah hasil seluruh perhitungan baik gerakan translasi dan rotasional pada tiaptiap Hs yang ditunjukkan pada Tabel 4.10 di bawah ini. Tabel 4. 10 Gaya inersia dan momen gaya FPSO Belanak
Hs 0.27 0.54 0.81 1.08 1.34 1.61 2.15 2.69 3.23 3.76 4.30 4.84 5.51
Gaya Inersia surge sway kN kN 11.805 68.469 30.693 146.382 56.664 292.764 84.996 486.366 118.050 675.246 153.465 857.043 219.573 1189.944 278.598 1506.318 328.179 1787.277 375.399 2037.543 417.897 2268.921 458.034 2476.689 507.615 2738.760
heave kN 23213.352 23279.460 23298.348 23437.647 23626.527 23815.407 24136.503 24452.877 24752.724 25038.405 25328.808 25619.211 25973.361
roll kN.m.rad 34319.590 74130.315 102958.771 241609.917 440663.541 649326.651 1035078.848 1455150.635 1851885.100 2210181.624 2554750.312 2873236.112 3246633.256
Momen Gaya pitch kN.m.rad 11781.743 41236.101 54981.468 117817.432 215998.625 327925.186 530178.444 738322.574 928794.089 1099629.366 1266537.395 1425590.928 1614098.819
yaw kN.m.rad 10798.034 21596.067 28794.756 48591.151 79185.579 111579.680 169169.192 226758.704 278949.199 329340.022 379730.845 428321.996 487711.180
66
Translasional
Gaya Inersia (kN)
3.0E+04 2.5E+04 2.0E+04 1.5E+04 1.0E+04 5.0E+03 0.0E+00 0
1
surge
2
sway
3
4 heave
5
6
Hs (m)
Grafik 4. 8 Gaya Inersia pada gerakan translasional
Momen Gaya (kN.m.rad)
Rotasional 3.5E+06 3.0E+06 2.5E+06 2.0E+06 1.5E+06 1.0E+06 5.0E+05 0.0E+00 0
1
2 roll
3 pitch
4 yaw
5
6 Hs (m)
Grafik 4. 9 Momen Gaya pada Gerakan Rotasional
Grafik 4.8 dan Grafik 4.9 di atas merupakan hubungan gaya-gaya yang bekerja pada module dengan tiap-tiap Hs. Pada gerakan translasional, besarnya gaya yang bekerja linier dengan bertambah tingginya Hs. Gerakan heave menimbulkan gaya yang paling besar terhadap struktur module, hal ini disebabkan gaya yang terjadi berupa gaya berat module itu sendiri dengan gaya akibat gerakan FPSO. Berbeda dengan gerakan rotasional, momen gaya yang terjadi tidak linier dengan bertambahnya Hs. Pada gerakan rotasional, gerakan roll memiliki pengaruh paling besar terhadap module. 67
Gas processing module FPSO Belanak memiliki 8 buah struktur penyangga dengan konfigurasi seperti pada Gambar 4.9 di bawah. Jarak stuktur penyangga paling dekat dengan centre line FPSO adalah 5 m. Sedangkan ukuran dari gas processing module sendiri adalah 22 x 30 m. Struktur penyangga terdapat pada frame 30 dan 33 dari FPSO.
Gambar 4. 9 Module tampak atas
Dengan jarak titik massa antara COG FPSO dengan titik massa tiap struktur penyangga berbeda satu sama lain. Antara leg 1 sampai dengan leg 8 akan mempunyai reaksi yang berbeda dalam menerima beban akibat gerakan FPSO itu sendiri. Oleh karena itu dilakukan perhitungan respon beban pada tiap kaki untuk mengetahui sturktur penyangga yang menerima beban paling kritis. Tabel 4. 11 Beban Pada Sturktur Penyangga
Struktur Module Leg1 Leg2 Leg3 Leg4 Leg5 Leg6 Leg7 Leg8
Force (kN) 22526.37 32318.16 29590.22 25442.53 24300.18 34394.70 31758.76 27805.70 26736.63
Momen (kN.m) 37382.23 54126.15 48988.53 41113.29 38915.34 57342.26 52547.93 45421.38 43512.30
68
Perhitungan nilai n beban yang bekerja pada tiap struktur pennyangga terddapat pada Tabel T ungan digunnakan dengaan bantuan software MOSES M untuuk mendapaatkan 4.11. Perhitu percepatan yaang terjadi pada p tiap strruktur penyaangga. Dari hasil perhituungan yang telah dilakukan dap pat diketahuui bahwa struuktur penyanngga yang menerima m beeban paling besar addalah pada leg 5 seperti pada Gambaar 4.10 di baawah. Force (kN)
Momen (kkN.m)
Force / Moment
6
5.73
Hs=5.5 51m
5 4
3 3.44
3
x 10000
2 1 0 1
2
3
4 5 Module e Leg
6
7
8
G Gambar 4. 10 Beban B Pada Sturktur S Penyangga
Pada Gambarr 4.10 diketaahui nilai bebban yang bekkerja pada tiiap struktur penyangga p a akibat otion dari FP PSO. Responn akibat geraakan roll meemiliki pengaaruh paling besar rootational mo dari pada resspon gerakann rotasionall lainnya. Leeg 5 memiliiki respon paling p besar pada gerakan roll dan yaw dikkarenakan memiliki m jaraak dari centrre line FPSO O lebih jauhh dari pada leg yan ng lainnya. Pada respoon gerakan translasi paada tiap struuktur penyaangga m mempunyai percepatan p yang sama, sehingga respon r bebaan juga mem miliki nilai yang iddentik. struktur peenyangga paada leg 5 mempunyai D Dikarenakan m respon bebban paling kritis diantara struk ktur penyanggga yang lain maka anaalisa dilakukkan pada strruktur penyaangga teerkritis terseebut. Dengann asumsi appabila strukttur penyanggga terkritis sudah amann dari beban yang bekerja, makaa struktur peenyangga laiinnya diangggap aman darri beban.
69
4.3.4 Perhitungan Beban Angin Gaya angin yang dihitung merupakan gaya angin yang diakibatkan beban dinamis yaitu gaya angin akibat vortex. Pada perhitungan gaya angin ini, pengaruh vortex terjadi pada peralatan tertinggi pada gas processing module, sehingga dari perhitungan gaya angin akibat vortex jumlah siklis beban angin yang menyebabkan fatigue dapat diketahui. Sebelum perhitungan gaya angin, terlebih dahulu dilakukan perhitungan kecepatan di tiap-tiap elevasi karena tinggi masing-masing peralatan berbeda-beda, perhitungan Reynold Number untuk menentukan nilai Cf, dan melakukan perhitungan luas area yang terkena beban angin.
4.3.4.1 Kecepatan Angin Data kecepatan angin yang digunakan adalah data kecepatan angin awal (V0) pada elevasi 2m serta intensitas kecepatan angin selama dua tahun seperti pada Tabel 4.12 di bawah ini: Tabel 4. 12 Data intensitas kejadian angin
ARAH
N NW W SW S SE E NE
KECEPATAN ANGIN (m/s) (nominal)
Jumlah
CALM
1-3
4-6
7-9
10 - 12
13 - 15
>16
406 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 1 3 0 0 1 0
0 8 1 7 2 7 3 13 20
0 30 5 15 13 26 10 14 31
0 37 1 5 7 19 3 1 6
0 20 0 0 2 3 0 0 4
0 5 0 0 0 1 0 0 0
406 100 7 28 27 56 16 29 61 730
70
Dengan Persamaan 2.15 dapat diketahui kecepatan angin pada elevasi y. Persamaan 2.15 yaitu:
⎛ y ⎞ V = V10 ⎜ ⎟ ⎝ 10 ⎠
1
7
...................................................................................................... (2.15)
Karena data kecepatan angin awal (V0) yang diketahui adalah kecepatan angin pada elevasi 2m, maka dicari terlebih dahulu kecepatan angin pada elevasi 10m dengan memodifikasi persamaan 2.15 menjadi sebagai berikut:
V10 =
V2 1
⎛ y2 ⎞ 7 ⎜ ⎟ ⎝ 10 ⎠ Berikut hasil perhitungan kecepatan angin pada elevasi 10m seperti ditunjukkan pada Tabel 4.13 di bawah ini. Tabel 4. 13 Konversi kecepatan angin pada elevasi 10m
Kecepatan angin (m/s) Elevasi 2m Elevasi 10m 0.00 0.00 1.54 1.94 3.08 3.88 4.63 5.82 6.17 7.76 7.71 9.70 9.25 11.64
Kecepatan angin yang akan dicari adalah kecepatan angin pada elevasi 28.8m, 34.8m, 36.3m. Ketiga elevasi tersebut merupakan elevasi titik tangkap gaya angin dari masingmasing ketinggian peralatan yang berada pada gas processing module dari SWL pada kondisi vessel draft full yaitu dengan draft 16.2 m. Sebelum menghitung terlebih dahulu mengubah satuan kecepatan menjadi m/s, karena satuan yang digunakan pada data adalah knot dan data yang digunakan adalah kecepatan angin yang maksimum dalam rentang kecepatan angin. 71
Contoh perhitungan kecepatan angin pada elevasi 36.3 m dan pada kecepatan 11.64 m/s pada kondisi operasi. 1
V 11.64
36.3 7 2
V 11.64 x 18.15
1 7
14.0 m/s
Hasil yang didapat dari perhitungan kecepatan angin pada elevasi y disajikan pada Tabel 4.14 di bawah ini: Tabel 4. 14 Kecepatan angin pada tiap elevasi peralatan
Kecepatan (m/s) 0.00 1.94 3.88 5.82 7.76 9.70 11.64
Kecepatan pada elevasi y (m/s) Elevasi (m) 28.8 34.8 36.3 0.00 0.00 0.00 2.26 2.32 2.33 4.51 4.64 4.67 6.77 6.96 7.00 9.03 9.28 9.33 11.29 11.60 11.67 13.54 13.91 14.00
Pada Tabel 4.14 di atas, kecepatan angin pada tiap-tiap elevasi akan bertambah besar dengan seiring bertambahnya ketinggian elevasi, begitu juga dengan bertambah besarnya kecepatan referensi yang digunakan dalam konversi kecepatan angin. Dengan demikian kecepatan angin akan linier dengan bertambah tingginya elevasi yang akan ditinjau.
4.3.4.2 Gaya Angin pada Peralatan Tertinggi Setelah didapat kecepatan angin untuk semua ketinggian yang ditentukan, kemudian dilakukan perhitungan gaya angin. Gaya angin yang ditinjau adalah gaya yang mengenai peralatan paling tinggi dan struktur dari module, berikut peralatan pada gas processing module seperti pada Tabel 4.15 di bawah ini.
72
Tabel 4. 15 Peralatan tertinggi pada gas processing module
Peralatan
Tinggi (m)
Diameter (m)
deethanizer column - train 1
38
7.5
depropanizer column - train 1
50
7.5
debutanizer column - train 1
53
7.5
Perhitungan gaya angin dilakukan dengan Persamaan 2.24 di bawah: F = 1/2 ρ Cf A V2 ......................................................................................................... (2.24) Nilai Cf didapat berdasarkan perhitungan Reynold Number. Berikut contoh perhitungan Reynold Number pada peralatan debutanizer column - train 1 dengan kecepatan angin 14.0 m/s.
7.5 14.0 0.0000145
7.24
10
Hasil yang didapat dari perhitungan Reynold Number untuk ketiga peralatan disajikan dalam Tabel 4.16 di bawah ini: Tabel 4. 16 Reynold Number tiap-tiap peralatan
Kecepatan angin (m/s) 0.00 1.94 3.88 5.82 7.76 9.70 11.64
Reynold Number Peralatan dengan tinggi (m) 38 50 53 0.00E+00 0.00E+00 0.00E+00 1.17E+06 1.20E+06 1.21E+06 2.34E+06 2.40E+06 2.41E+06 3.50E+06 3.60E+06 3.62E+06 4.67E+06 4.80E+06 4.83E+06 5.84E+06 6.00E+06 6.03E+06 7.01E+06 7.20E+06 7.24E+06
Dari nilai Reynold Number yang diperoleh, dimana nilai yang dihasilkan ≥ 3 x 105 maka nilai Cf yang digunakan adalah 0.2. Reynold number yang diperoleh semakin besar dengan bertambah tingginya peralatan, hal ini disebabkan kecepatan angin pada elevasi tertinggi sangat besar, jadi semakin tinggi struktur semakin besar pula reynold number 73
yang diperoleh. Selain faktor kecepatan, reynold number juga dipengaruhi diameter struktur, karena peralatan pada module ini memiliki diameter yang sama, maka yang membedakan ketiga peralatan tersebut adalah ketinggian elevasi peralatan. Perhitungan luas bidang silinder yang terkena gaya angin adalah:
•
Luas bidang debutanizer column – train 1 yang terkena gaya angin OD
OD = 7.5m
L
L
= 53m
A
= OD x L = 7.5 x 53 = 397.5m2
•
Luas bidang depropaniizer column – train 1 yang terkena gaya angin OD
OD = 7.5m
L
L
= 50m
A
= OD x L = 7.5 x 50 = 375m2 74
•
Luas bidang deethanizer column – train 1 yang terkena gaya angin OD
OD = 7.5m L
L
= 38m
A
= OD x L = 7.5 x 38 = 285m2
Setelah didapat luasan bidang silinder yang terkena gaya angin, dilakukan perhitungan gaya angin. Contoh perhitungan gaya angin pada peralatan debutanizer column - train 1 dengan kecepatan 14.0 m/s. F = ½ x ρ x Cf x A x V2 = ½ x 1.226 x 0.2 x 397.5 x 14.02 = 4841.4 N Hasil yang didapat dari perhitungan gaya angin pada elevasi y disajikan pada Tabel 4.17 di bawah ini: Tabel 4. 17 Gaya angin pada tiap-tiap peralatan
0.00 1.94
Gaya angin pada elevasi y (N) Peralatan dengan tinggi (m) 38 50 53 0.00 0.00 0.00 125.88 132.87 134.48
3.88 5.82 7.76 9.70 11.64
503.51 1132.90 2014.05 3146.95 4531.61
Kecepatan angin (m/s)
531.49 1195.84 2125.94 3321.79 4783.37
537.93 1210.35 2151.73 3362.08 4841.40
75
6.0E+03
Gaya Angin (N)
5.0E+03 4.0E+03 3.0E+03 2.0E+03 1.0E+03 Kec. Angin (m/s)
0.0E+00 0
2 4 Peralatan I
6 8 Peralatan II
10 12 Peralatan III
14
Grafik 4. 10 Gaya Angin pada Peralatan
Pada Grafik 4.10 di atas dapat diketahui, semakin besar kecepatan angin maka semakin besar pula gaya angin yang ditimbulkan. Pada grafik di atas, gaya angin terbesar terjadi pada peralatan III, karena peralatan ini memiliki elevasi paling tinggi, sehingga gaya angin yang terjadi semakin besar juga.
4.3.4.3 Momen Angin Setelah gaya angin diketahui, maka momen yang terjadi pada struktur support dengan geladak akibat gaya angin dapat dicari. Momen dicari dengan cara mengalikan gaya angin dengan panjang lengan. Panjang lengan adalah jarak antara titik tangkap peralatan yang terkena gaya angin dengan titik pada struktur support yang dekat dengan geladak. Panjang lengan yang digunakan adalah setengah ketinggian dari ketiga peralatan tersebut, yakni 19m, 25m, dan 26.5m. Perhitungan momen angin untuk peralatan debutanizer column - train 1 dengan kecepatan angin 14.0 m/s adalah M =Fxl = 4841.4 x 26.5 = 140400.49 N.m
76
Maka hasil perhitungan momen angin dari ketiga peralatan tersebut ditampilkan pada Tabel 4.18 berikut: Tabel 4. 18 Momen angin ketiga peralatan pada gas processing module
0.00 1.94
Momen (N.m) Peralatan dengan tinggi y (m) 38 50 53 0.00 0.00 0.00 2391.68 3321.79 3900.01
3.88 5.82 7.76 9.70 11.64
9566.73 21525.14 38266.91 59792.04 86100.54
Kecepatan angin (m/s)
13287.15 29896.08 53148.59 83044.67 119584.32
15600.05 35100.12 62400.22 97500.34 140400.49
1.6E+05 1.4E+05
Momen Angin (Nm)
1.2E+05 1.0E+05 8.0E+04 6.0E+04 4.0E+04 2.0E+04 Kec.Angin (m/s)
0.0E+00 0
2 4 Peralatan I
6 8 Peralatan II
10 12 Peralatan III
14
Grafik 4. 11 Momen yang diakibatkan gaya angin pada peralatan
Grafik 4.11 yang ditunjukkan di atas memiliki karakteristik yang sama dengan grafik gaya angin pada Grafik 4.10. Momen terbesar terjadi pada peralatan III yang memiliki elevasi paling tinggi di antara ketiga peralatan tersebut.
77
4.3.4.4
Gaya Angin pada Module
Module pada FPSO juga mendapat pengaruh gaya angin selain peralatan tertinggi pada gas processing module. Gambar 4.11 di bawah ini merupakan sket gas processing module pada FPSO Belanak.
Gambar 4. 11 Gas Processing Module Tampak Atas
Seperti pada Gambar 4.11 di atas, gas processing module memiliki lebar 22m, panjang 30m, dan tinggi module 10m dari geladak. Kecepatan angin yang digunakan sama dengan kecepatan angin yang digunakan pada perhitungan gaya angin pada peralatan. Pada gas processing module terdapat beberapa peralatan yang terletak di dalam module tersebut,
sehingga
pengaruh
kerapatan
peralatan
dalam
module
juga
harus
diperhitungkan. Sedangkan permukaan module diasumsikan sebagai flat-side. •
Perhitungan gaya angin akibat pengaruh kerapatan (solidity effect) Persamaan gaya angin akibat solidity effect adalah: 1 2
,
Asumsi nilai dari solidity ratio (Ø) adalah 0.75, karena pada module terdapat banyak peralatan,
sehingga
efek
kerapatan
pada
perhitungan
gaya
angin
juga
dipertimbangkan. Coefficient effective dicari berdasarkan bentuk struktur yang dianalisis dan berdasarkan nilai solidity ratio (Ø). Dengan nilai solidity ratio (Ø) dan
78
dengan bentuk flat-side, maka nilai Ce yang digunakan adalah 1.6. Nilai Ce dapat dicari dengan Tabel 4.19 di bawah ini. Tabel 4. 19 Coefficient effective berdasarkan solidity ratio (ø) (DnV, 2007) Solidity ratio ø 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.75 1.00
Effective shape coefficient Ce Flat-side Circular sections Re > 4.2 x 105 members Re < 4.2 x 105 1.90 1.20 0.70 1.80 1.20 0.80 1.70 1.20 0.80 1.70 1.10 0.80 1.60 1.10 0.80 1.60 1.50 1.40 2.00 2.00 2.00
Luas permukaan module yang terkena gaya angin adalah 220m2. Maka gaya angin yang didapat pada tiap-tiap interval kecepatan angin adalah seperti pada Tabel 4.20 di bawah. Tabel 4. 20 Gaya angin dengan solidity effect pada module Kecepatan (m/s) 0.00 1.54 3.08 4.63 6.17 7.71 9.25
Gaya angin (N) 0.000 460.112 1840.448 4141.008 7361.791 11502.799 16564.030
Momen (Nm) 0.000 3068.947 12275.787 27620.521 49103.148 76723.668 110482.082
Pada Tabel 4.20 di atas, gaya angin semakin besar dengan bertambah besarnya kecepatan angin, hal ini juga berlaku pada momen. Karena hubungan antara momen dengan gaya angin bersifat linier. Hal ini disebabkan gaya angin yang dihasilkan dikalikan dengan lengan momen, jadi besarnya momen juga tergantung dari lengan momen.
79
4.3.5 Perhitungan Beban Operasional Beban operasional yang dianalisis adalah beban operasional module itu sendiri, dimana getaran mesin pada gas processing module juga berpengaruh pada support. Mesin yang ditinjau adalah mesin dengan daya yang paling besar pada gas processing module yaitu GT Power Turbin (17000 Hp/500rpm). Jumlah perputaran mesin dapat disesuaikan dengan data pada Tabel 4.21 di bawah ini. Tabel 4. 21 Jenis-jenis daya mesin beserta jumlah rotasinya (Marine Engine (IMO Tier II 2009)) Power Equipment rpm Power 500 kW Hp 12 V51/60DF 11700 15689.96 14 V51/60DF 13650 18304.95 16 V51/60DF 15600 20919.94
18 V51/60DF
17550
23534.94
4.3.5.1 Beban Akibat Module Besar beban yang diterima struktur support adalah beban akibat module itu sendiri dengan mengalikan massa struktur module dengan percepatan gravitasi.
Massa gas processing module = 2361 mt Maka besar beban yang diterima support adalah = 2361 x 9.81 = 23161.41 kN
80
4.3.5.2 Perhitungan Frekuensi Eksitasi dan Frekuensi Natural Untuk mengitung jumlah putaran mesin, terlebih dahulu dilakukan perhitungan frekuensi eksitasi dari mesin dan frekuensi natural dari struktur support untuk mendapatkan frekuensi rasio (r). •
Frekuensi eksitasi dari mesin Frekuensi eksitasi dari mesin tergantung dari jumlah rpm dari mesin tersebut. Dari data diketahui bahwa daya total GT Power Turbin adalah sebesar 17000 Hp, jadi jumlah rpm yang sesuai dengan Tabel 4.21 adalah 500 rpm. Daya mesin = 17000 Hp RPM
= 500 rpm
Dengan putaran 500 rpm, didapat waktu selama satu putaran adalah 0.12 detik (T). Jika telah diketahui waktu selama satu putaran, maka besarnya frekuensi putaran dari mesin adalah: f = 1/T = 1/0.12 detik = 8.3 Hz Maka frekuensi eksitasi dari mesin adalah: (ω) = 2 x π x 8.3 = 52.3 rad/s Langkah selanjutnya adalah menghitung frekuensi natural dari support. •
Frekuensi natural dari support Yang dibutuhkan dalam perhitungan frekuensi natural adalah kekakuan dari support dan massa struktur tersebut. Properties dari struktur support adalah sebagai berikut T
= 2.4m
ρ
= 7850 kg/m3
OD = 0.914m
E = 2.1 x 1011 N/m2
ID = 0.824m
wt = 0.045m
A
= πr2 = π.((0.914/2)2-(0.824/2)2) = 0.123 m2
81
Kekakuan (k) dari support adalah
2.1
10 0.123 2.4
1.07
10
/
Setelah kekakuan dan massa struktur diketahui langkah selanjutnya adalah perhitungan freuensi natural struktur support. Maka frekuensi natural dari support adalah
1.07 10 295125
190.802
/
Jadi frekuensi natural dari support module adalah 190.802 rad/s. •
Jumlah perputaran mesin Untuk mengetahui besarnya siklis yang disebabkan beban opersaional, dalam hal ini siklis disebabkan oleh getaran mesin, maka dilakukan perhitungan lebih lanjut. Dari perhitungan sebelumnya, dicari perbandingan frekuensi eksitasi dengan frekuensi natural (r). Besar frekuensi rasio (r) adalah: 0.274
Langkah awal adalah menghitung transmissibility ratio (TR), yakni besarnya rasio transfer gaya dari mesin ke struktur support. Perhitungannya adalah sebagai berikut: ξ
/
ξ
/ . , . , ,
. , . ,
/
0.977
Setelah didapat transmissibility ratio, maka dilanjutkan dengan mencari faktor reduksi (R). Faktor reduksi ini yang nantinya dimasukkan dalam perhitungan siklis akibat beban operasional. 1
0.977
0.023
82
Setelah semua parameter diketahui, jumlah siklis akibat beban operasional dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini:
,
.
. , ,
. .
2534,21
Jumlah siklis yang didapat di atas merupakan jumlah siklis per menit. Karena siklis yang dihitung selama umur operasi, maka jumlah siklis di atas dikalikan selama 30tahun. Jadi jumlah perputaran mesin selama umur operasi (30tahun) adalah: 6,66 10
30
Dari perhitungan beban operasional di atas dapat disimpulkan bahwa mesin GT Power Turbin dengan daya 17000Hp dapat menghasilkan jumlah siklis beban operasional sebesar 2534,21cpm, sehingga jika analisis dilakukan selama umur operasi maka jumlah siklisnya adalah 6,66x109.
4.4
ANALISIS KELELAHAN
Sebelum melakukan analisis kelelahan, terlebih dahulu mencari tegangan akibat bebanbeban yang bekerja pada module support dengan bantuan ANSYS 11. Tegangan yang digunakan untuk analisis kelelahan merupakan tegangan tertinggi akibat masing-masing beban yaitu beban inersia akibat beban gelombang, beban angin dan beban operasional module. Perhitungan kelelahan dilakukan dengan metode Palmgren-Miner yaitu dengan meninjau rasio kerusakan komulatif (D) akibat beban yang diterima struktur. Jumlah siklus rentang tegangan (Ni) dengan harga Si yang menyebabkan kegagalan sambungan dapat diperoleh dengan menggunakan kurva S-N dengan jenis sambungan yang sesuai. Harga rentang tegangan juga dapat dicari dengan Persamaan 2.46. Harga A dan m diperoleh dari kurva S-N pada Tabel 2.4. Jenis sambungan antara kaki module dengan support module adalah tipe sambungan B1, maka nilai log A adalah 12,436 dan nilai m adalah 3,0. Variabel A merupakan intersepsi sumbu log sedangkan variabel m adalah kemiringan sumbu S-N. 83
4.4.1 Analisis Kelelahan Akibat Beban Gelombang Nilai rasio kerusakan kumulatif (Dgel) dapat dicari dengan menggunakan hukum Palmgren-Miner, yaitu dengan Persamaan 2.43 di bawah ini:
D =
m
∑ i =1
ni ............................................................................................................ (2.43) Ni
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, nilai A dan m disesuikan dengan jenis sambungan struktur yang ditinjau. Karena sambungan yang ditinjau adalah tipe B1, maka nilai A=2.73E+12 dan nilai m = 3.0. Nilai ni diambil dari jumlah total kejadian gelombang tiap-tiap Hs. Sedangkan nilai Se diambil dari tegangan terbesar yang terjadi pada module support akibat beban gelombang tiap Hs. Tegangan terbesar yang dihasilkan adalah 87.7MPa. Letak dari tegangan tertinggi akibat beban gelombang dapat ditunjukkan pada Gambar 4.12 di bawah ini.
Gambar 4. 12 Letak tegangan terbesar
84
Perhitungan kelelahan akibat beban gelombang ditampilkan pada Tabel 4.22 di bawah ini: Tabel 4. 22 Perhitungan kelelahan akibat beban gelombang
Hs (m) 0.27 0.54 0.81 1.08 1.34 1.61 2.15 2.69 3.23 3.76 4.30 4.84 5.51
ni 93,350,538 71,519,354 31,774,805 13,717,908 6,707,238 3,461,658 2,802,540 772,997 197,245 45,165 9,160 1,643 281
Si (MPa) 66.17 67.63 68.21 70.25 71.09 72.92 73.17 74.86 76.54 78.67 81.25 83.42 84.63
Ni 9.42E+08 8.82E+08 8.60E+08 7.87E+08 7.60E+08 7.04E+08 6.97E+08 6.51E+08 6.09E+08 5.60E+08 5.09E+08 4.70E+08 4.50E+08 D
ni/Ni 9.91E‐02 8.11E‐02 3.70E‐02 1.74E‐02 8.83E‐03 4.92E‐03 4.02E‐03 1.19E‐03 3.24E‐04 8.06E‐05 1.80E‐05 3.50E‐06 6.24E‐07 2.22E-01
Dari Tabel 4.22 di atas dapat diketahui rasio kerusakan kumulatif akibat beban gelombang adalah sebesar 0,222. Dengan besar ni merupakan jumlah kejadian gelombang tiap-tiap Hs telah diketahui pada data gelombang Metocean.
4.4.2 Analisis Kelelahan Akibat Beban Angin Untuk beban angin, jumlah siklis yang disebabkan akibat vortex dapat dihitung dengan Persamaan 2.20, yaitu: ........................................................................................................................ (2.20) Contoh perhitungan frekuensi vortex pada debutanizer column - train 1 dengan kecepatan 14.0 m/s adalah: SN = 0,4 karena Rn > 6x105 yaitu 7.47E+06 D = 7.5m Maka frekuensi vortex: 0.4 14.0 7.5
0.747
85
Berikut tabulasi perhitungn frekuensi vortex akibat angin pada ketiga peralatan pada gas processing module seperti ditunjukkan pada Tabel 4.23 di bawah ini: Tabel 4. 23 Perhitungan frekuensi vortex akibat angin
Kecepatan angin (m/s) 0.00 1.94 3.88 5.82 7.76 9.70 11.64
Frekuensi Vortex Shedding (cps) Peralatan dengan tinggi (m) 38 50 53 0.000 0.000 0.000 0.120 0.124 0.124 0.241 0.247 0.249 0.361 0.371 0.373 0.482 0.495 0.498 0.602 0.618 0.622 0.722 0.742 0.747
0.8
Frekuensi Vortex (cps)
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 0
2 Peralatan I
4 6 Peralatan II
8 10 Peralatan III
12 14 Kec. Angin (m/s)
Grafik 4. 12 Frekuensi Vortex (cps)
Frekuensi yang didapat pada Tabel 4.23 di atas merupakan frekuensi vortex tiap detik, jadi seperti yang terlihat pada Grafik 4.12, garfik berbentuk linier, semakin tinggi kecepatan angin maka semakin besar pula frekuensi vortex yang dihasilkan.
86
Tabel 4. 24 Probabilitas kejadian angin wilayah Natuna tahun 2006 dan 2007 ARAH
N NW W SW S SE E NE Probability
CALM 0.556 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.556
1-3 0.000 0.000 0.000 0.001 0.004 0.000 0.000 0.001 0.000 0.00685
Probabilitas kejadian angin 4-6 7-9 10 - 12 0.000 0.000 0.000 0.011 0.041 0.051 0.001 0.007 0.001 0.010 0.021 0.007 0.003 0.018 0.010 0.010 0.036 0.026 0.004 0.014 0.004 0.018 0.019 0.001 0.027 0.042 0.008 0.08356 0.19726 0.10822
13 - 15 0.000 0.027 0.000 0.000 0.003 0.004 0.000 0.000 0.005 0.03973
>16 0.000 0.007 0.000 0.000 0.000 0.001 0.000 0.000 0.000 0.00822
Jumlah
0.556 0.137 0.010 0.038 0.037 0.077 0.022 0.040 0.084 1.000
Jumlah siklis yang digunakan adalah jumlah frekuensi vortex akibat beban angin dengan mengalikan probabilitas kejadian angin seperti pada Tabel 4.24 di atas untuk mengetahui frekuensi vortex pada tiap-tiap interval kecepatan angin yang terjadi selama umur operasi. Sedangkan hasil perhitungan frekuensi vortex akibat beban angin selama umur operasi disajikan pada Tabel 4.25 dibawah ini.
Tabel 4. 25 Perhitungan frekuensi vortex akibat angin selama umur operasi
Kecepatan angin (m/s) 0.00 1.94 3.88 5.82 7.76 9.70 11.64
Frekuensi Vortex Shedding (30th) Peralatan dengan tinggi (m) 38 50 53 0.00E+00 0.00E+00 0.00E+00 3.90E+05 4.01E+05 4.03E+05 9.52E+06 9.78E+06 9.84E+06 3.37E+07 3.46E+07 3.48E+07 2.47E+07 2.53E+07 2.55E+07 1.13E+07 1.16E+07 1.17E+07 2.81E+06 2.89E+06 2.90E+06
87
4.0E+07 Frekuensi Vortex (30th)
3.5E+07 3.0E+07 2.5E+07 2.0E+07 1.5E+07 1.0E+07 5.0E+06 0.0E+00 0
2 Peralatan I
4 Peralatan II
6
8 Peralatan III
10 12 Kec. Angin (m/s)
Grafik 4. 13 Frekuensi Vortex (30tahun)
Pada Grafik 4.13 dapat dilihat karakteristik dari frekuensi vortex akibat beban angin. Berbeda dengan Grafik 4.12, Grafik 4.13 di atas merupakan frekuensi vortex selama umur operasi. Sehingga bentuk grafik berbeda dengan frekuensi vortex selama per detik, karena pada Grafik 4.13 frekuensi vortex per detik dikalikan dengan probabilitas kejadian angin seperti pada Tabel 4.25. Jadi dari Grafik 4.13 di atas dapat dilihat bahwa frekuensi vortex selama umur operasi paling besar terjadi pada interval kecepatan angin 6m/s. Setelah frekuensi vortex akibat angin selama umur operasi telah diketahui, maka langkah selanjutnya adalah perhitungan cumulative damage yang disebabkan oleh beban angin. Perhitungan yang dilakukan dengan memperhitungkan damage pada tiap-tiap interval kecepatan angin. Nilai ni merupakan jumlah siklis yang telah dihitung pada Tabel 4.26. Cumulative damage yang diperoleh tiap-tiap interval kecepatan angin nantinya dijumlah untuk mendapatkan total cumulative damage akibat beban angin. Pada module tidak terjadi vortex, karena bentuk dari module relatif pejal. Maka gaya angin yang terjadi pada module dimasukkan pada gaya angin pada peralatan saat input beban angin pada ANSYS.
88
Tabel 4.26 di bawah ini menunjukkan perhitungan rasio kerusakan kumulatif akibat beban angin yaitu: Tabel 4. 26 Perhitungan rasio kumulatif kerusakan akibat beban angin
Peralatan
(I) 38m
(II) 50m
(III) 53m
Kecepatan (m/s)
Si (MPa)
ni
Ni
ni / Ni
0.00 1.94 3.88 5.82 7.76 9.70 11.64 0.00 1.94 3.88 5.82 7.76 9.70 11.64 0.00 1.94 3.88 5.82 7.76 9.70 11.64
0.00000 0.01366 0.05464 0.12294 0.21855 0.34149 0.49174 0.00000 0.01324 0.05297 0.11918 0.21188 0.33106 0.47672 0.00000 0.01389 0.05556 0.12501 0.22224 0.34724 0.50003
0.00E+00 4.01E+05 9.79E+06 3.47E+07 2.54E+07 1.16E+07 2.89E+06 0.00E+00 4.13E+05 1.01E+07 3.57E+07 2.61E+07 1.20E+07 2.97E+06 0.00E+00 4.16E+05 1.01E+07 3.59E+07 2.63E+07 1.21E+07 2.99E+06
1.07E+18 1.67E+16 1.47E+15 2.61E+14 6.85E+13 2.30E+13 1.18E+18 1.84E+16 1.61E+15 2.87E+14 7.52E+13 2.52E+13 1.02E+18 1.59E+16 1.40E+15 2.49E+14 6.52E+13 2.18E+13
3.75E-13 5.85E-10 2.36E-08 9.70E-08 1.70E-07 1.26E-07 3.52E-13 5.49E-10 2.21E-08 9.10E-08 1.59E-07 1.18E-07 4.08E-13 6.38E-10 2.57E-08 1.06E-07 1.85E-07 1.37E-07
Dangin =
1.26221E-06
Dari Tabel 4.26 di atas dapat diketahui jumlah rasio kerusakan kumulatif akibat beban angin (Dangin) sebesar 0.00000126221.
4.4.3 Analisis Kelelahan Akibat Beban Operasional Untuk beban operasional, terlebih dahulu dilakukan perhitungan siklis dari putaran mesin yang ada pada gas processing module. Dari perhitungan sebelumnya didapat jumlah siklis sebesar 2534,21 cpm. Karena perhitungan dilakukan selama umur operasi (30tahun) maka jumlah siklis yang digunakan adalah selama 30 tahun, yaitu sebesar 6,66x109 kali. Karena sambungan yang ditinjau adalah tipe B1, maka nilai A=2.73E+12
89
dan nilai m=3,0. Nilai NL diambil dari jumlah total siklis selama umur operasi. Tegangan terbesar yang didapat akibat beban operasional sebesar 34,29 MPa. Sedangkan nilai gamma dicari dengan menggunakan Persamaan 2.49, yaitu:
Γ( x) ≅ 0.0076e (1.6 x) + 1.26 .................................................................................... (2.49) Nilai dari ξ diperoleh dengan cara iterasi, yakni dengan membandingkan hasil perhitungan D dengan hukum Palmgren-Miner dengan cara
Closed Form Fatigue
Equation, seperti ditunjukkan pada Tabel 4.27 di bawah ini: Tabel 4. 27 Iterasi Perhitungan Parameter Bentuk
ξ 0.9 0.91
D pm 3.62E-02 3.62E-02
0.92 0.93 0.94 0.95 0.96 0.97 0.98 0.99 1
3.62E-02 3.62E-02 3.62E-02 3.62E-02 3.62E-02 3.62E-02 3.62E-02 3.62E-02 3.62E-02
Γ 9.056900646 8.613072426
D cf 2.65E-02 2.83E-02
Δ 9.67E-03 7.91E-03
8.203349345 7.824545607 7.473820642 7.148636915 6.846723438 6.566044151 6.304770449 6.061257279 5.834022288
3.01E-02 3.21E-02 3.41E-02 3.62E-02 3.84E-02 4.07E-02 4.32E-02 4.57E-02 4.84E-02
6.07E-03 4.14E-03 2.12E-03 0.00E+00 -2.22E-03 -4.54E-03 -6.96E-03 -9.50E-03 -1.21E-02
Dengan mengambil nilai ξ sebesar 0.95, maka didapat nilai Г(1+m/ ξ) sebesar: 7.14864 Dengan demikian nilai rasio kerusakan kumulatif dapat dicari dengan menggunakan closed form fatigue life equation, yaitu dengan Closed Form Fatigue Equation di bawah ini: D=
S em NL Γ(1 + m / ξ ) A (ln N L ) m / ξ
D=
6,66 x10 9 34,29 3 Γ(1 + m / ξ ) 2,73x1012 (ln 6,66 x10 9 ) 3 / 0.95
=
6,66 x10 9 34,29 3 7,14864 2,73x1012 (ln 6,66 x10 9 ) 3 / 0.95
D = 0,0362 Jadi rasio kerusakan akibat beban operasional adalah sebesar 0,0362. 90
4.4.4 Analisis Akhir Umur Kelelahan Setelah didapat tiga rasio kerusakan (D) akibat beban gelombang, beban angin dan beban opersional, maka tiga nilai rasio kerusakan tersebut dijumlahkan untuk mendapatkan nilai rasio kerusakan kumulatif total seperti pada Persamaan 2.44. Nilai dari Dtotal adalah: ∑
..................................................................... (2.44)
∑
0.222
∑
0.258
0.00000126221
0.0362
Formulasi umur kelelahan dari suatu struktur dapat dihitung dengan membagi lama rekaman data beban yang diterima FPSO Belanak, yaitu selama 30 tahun dengan nilai D. Jadi umur kelelahan dari struktur tersebut adalah: 116,3
Service life dari FPSO Belanak adalah 30 tahun. Dengan umur kelelahan 116,3 tahun, maka perhitungan nilai kelelahan (fatigue) ini memiliki nilai safety factor (SF) sebesar: 116,3 30
3,88
Jadi nilai safety factor (SF) dari struktur scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak adalah 3,88.
4.4.5 Kontribusi Beban Terhadap Kelelahan Dari hasil analisis, dapat diketahui besarnya pengaruh beban gelombang, beban angin dan beban opersional terhadap umur kelelahan dari scantling support structure gas processing module FPSO Belanak. Besarnya pengaruh beban-beban tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.28 berikut:
91
Tabel 4. 28 Kontribbusi ketiga beeban terhadapp kelelahan
Beeban Gelom mbang
D 0 0.22176193
% 85.963
Anngin Operaasional Tootal
00.00000122 0 0.03620936 0 0.25797252
0.00047 14.036 1 100
Wind Loaad 0.00047% %
Operasio onal Load d 14.036 6%
Kontribu usi Bebaan
Wave Load 85.963%
4 13 Diagram m Kontribusi Beban B Terhaddap Kelelahann Gambar 4.
D Gambarr 4.13 di ataas, beban geelombang memiliki Dari m penngaruh palinng besar terhhadap um mur kelelah han pada scaantling suppoort structuree gas processsing modulle FPSO Bellanak yakni sebesarr 85.963%. Sedangkan pengaruh paaling kecil disebabkan d o oleh beban angin a seebesar 0.000 047% dan beban b opersiional memilliki pengaruhh sebesar 144.036% terhhadap um mur kelelahaan pada scanntling suppoort structure gas processing module FPSO F Belannak.
4 4.5
ANA ALISIS KE EANDALA AN
Perhitungan keandalan k d dilakukan deengan mengggunakan meetode simulasi Monte Carlo C dengan modaa kegagalan seperti s pada Persamaan 2.53. 2
⎛ 3 N Ln ⎞ Se nm ⎜ ⎟ ( ) / f ( x) = Δ − ∑ Γ 1 + m ξ n ⎜ n =1 A (ln N )m / ξ n ⎟ ........................................ (2.53) ( Ln ⎝ ⎠ 92
Struktur akan gagal jika nilai MK ≤ 0, sebaliknya struktur dikatakan sukses apabila MK > 0. Nilai Δ merupakan damage limit yang besarnya adalah 1,0. Sedangkan nilai Dtotal merupakan cumulative damage akibat ketiga beban yang mengenai struktur. Tabel 4.29 s/d Tabel 4.31 di bawah ini adalah variabel-variabel tak tentu pada moda kegagalan sistem di atas: Tabel 4. 29 Variabel Taktentu (beban gelombang)
Variabel NL A m Se ξ
Mean 2.24E+08 2.73E+12 3 84.63 0.92
Cov 0.05 0.31 0.03 0.02 0.04
Dist. Type lognormal lognormal normal lognormal lognormal
Tabel 4. 30 Variabel Taktentu (beban angin)
Variabel NL A m Se ξ
Mean 2.52E+08 2.73E+12 3 0.4895 0.95
Cov 0.08 0.31 0.03 0.024 0.034
Dist. Type lognormal lognormal normal lognormal lognormal
Tabel 4. 31 Variabel Taktentu (beban operasional)
Variabel NL A m Se ξ
Mean 7.18E+09 2.73E+12 3 31.1 0.982
Cov 0.05 0.31 0.03 0.3 0.035
Dist. Type lognormal lognormal normal lognormal lognormal
Untuk memperoleh hasil yang akurat, maka simulasi dilakukan sebanyak 10000 kali. Untuk menentukan akurasi dari jumlah simulasi, maka dilakukan pencatatan nilai Pf pada setiap jumlah tertentu sehingga didapatkan keandalan yang cenderung konstan. Keandalan yang dihitung merupakan keandalan dari scantling support structure system
93
dan keandalan khusus pada daerah yang paling kritis. Hasil perhitungan dapat disajikan pada Tabel 4.32 di bawah ini. Tabel 4. 32 Perhitungan keandalan system scantling (global)
Σ iterasi 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
Σ sukses 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
Σ gagal 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Pf 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
8000
10000
Keandalan Sistem Keandalan
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
2000
4000
6000
12000
Jumlah Iterasi
Grafik 4. 14 Keandalan Sistem Scantling
Pada Grafik 4.14 di atas, keandalan selalu bernilai konstan dari iterasi pertama hingga iterasi terakhir. Hingga iterasi terakhir dengan jumlah iterasi sebanyak 10000 kali, keandalan dari sistem scantling (struktur global) tersebut yaitu sebesar 1,0. Begitu juga dengan keandalan pada daerah kritis seperti pada Tabel 4.33 di bawah.
94
Tabel 4. 33 Perhitungan keandalan sistem scantling (daerah kritis)
Σ iterasi 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
Σ sukses 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
Σ gagal 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Pf 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
K 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Keandalan Pada Daerah Kritis 1.00
Keandalan
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
Jumlah Iterasi
Grafik 4. 15 Keandalan scantling pada daerah kritis
Pada Grafik 4.15 di atas, keandalan pada daerah paling kritis sistem scantling bernilai konstan dari iterasi pertama hingga iterasi terakhir, yakni sebesar 1,0. Dengan keandalan sebesar 1,0, maka struktur tersebut memiliki indeks keselamatan sebesar 4,5, sehingga struktur tersebut bisa dikatakan aman dioperasikan selama umur perancangan.
95
(HALAMAN KOSONG)
96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian pada scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak dengan total massa 2361 ton maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Beban yang berpengaruh pada analisis umur kelelahan scantling support structure gas processing module FPSO Belanak adalah beban gelombang, beban angin, dan beban operasional. Kontribusi beban terhadap umur kelelahan scantling support structure gas processing module FPSO Belanak berturut-turut dari yang terbesar adalah disebabkan oleh beban gelombang yakni sebesar 85.963% dengan beban maksimum 84.63MPa, beban operasional module sebesar 14.036% dengan beban maksimum 34.29MPa, dan beban angin sebesar 0.00047% dengan beban maksimum 0.5MPa
2. Umur kelelahan dari scantling support structures system gas processing module FPSO Belanak adalah 116.3 tahun atau 3.88 kali umur operasinya dan telah memenuhi kriteria safety factor yang disyaratkan DnV, yakni sebesar 3,0. 3. Keandalan terhadap beban kelelahan dari scantling support structures system gas processing module FPSO Belanak berdasarkan perhitungan menggunakan simulasi Monte Carlo adalah 1.0, yakni baik terjadi pada struktur global maupun area kritis pada daerah sambungan antara support module dengan bracket. Nilai-nilai tersebut memperlihatkan bahwa scantling support structures system gas processing module FPSO Belanak mempunyai keandalan yang tinggi dan akan aman dioperasikan sesuai dengan umur rancangannya.
97
5.2
SARAN
Saran yang dapat diberikan pada hasil analisis tugas akhir ini adalah: 1.
Daerah yang paling kritis adalah pada sambungan antara kaki module dengan module support, sehingga pada daerah tersebut perlu mendapatkan perhatian lebih dan inspeksi lebih lanjut.
2.
Melakukan analisis lebih detail dengan memodelkan struktur topside module secara keseluruhan agar mendapatkan hasil yang yang lebih akurat.
98
DAFTAR PUSTAKA Ang, H. S. dan Tang, W. H. 1985. “Probability Concepts in Engineering Planning and Design.” New York: John Willey. Barltrop, N.D.P., 1991, “Dynamics Of Fixed Marine Structures”, 3rd Edition. Butterworth Heinemann.London, UK. Barltrop, N., dan Okan, B., 2000, “FPSO Bow Damage in steep waves”, Rogue waves 2000 workshop, Brest. Bhattacharyya, R. 1978. “Dynamic of Marine Vehicles”. John Wiley and Sons Inc., New York. Boonstra, H., Gelder, P., dan Shabakhty, N., 2002, “Reliability Analysis of Jack-Up Platforms Based On Fatigue Degradation”, Proceedings of OMAE’02, Norway. Chakrabarti, S.K., 1987, “Hydrodynamics of Offshore Structures”, Computational Mechanics Publications Southampton, Boston, USA. Dawson, Thomas H., 1983, “Offshore Structural Engineering”, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Dimarogonas, Andrew D., 1992, “Vibration for Engineers.” Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Djatmiko, E. B., 2003, “Analisis Kelelahan Struktur Bangunan Laut”, Kursus Singkat Offshore Structure Design And Modelling, Surabaya. Djatmiko, E.B., dan Sujantoko, 1994, “Investigasi Gelombang Laut Perairan Indonesia Untuk Kepentingan Strategis Nasional”, Surabaya DnV Recommended Practice C203, 2008, “Fatigue Design of Offshore Steel Structures”, Norway. DnV Recommended Practice C205, 2007, “Environmental Condition and Environmental Loads”, Norway. DnV Recommended Practice C206, 2006, “Fatigue Methodology of Offshore Ship”, Norway Faltinsen, O. M., 1990, "Sea Loads On Ship and Offshore Structure". Cambridge, UK:Cambridge University Press.
99
Hasselman, K. et al, 1973, “Measurement of Wind-Wave Growth and Swell Decay during the Joint North Sea Wave Project (JONSWAP)”, Deutschen Hydrographischen Zeitscbrift, Erganzunscheft, vol. 13. Hsu, Teng H., 1984, “Applied Offshore Structural Engineering”, Houston. James, M. L. et. al., 1993, “Vibration of Mechanical and Sructural System.” Harper Collins College Publisher, New York. Jati, Satrio, 2005, “Analisa Umur Kelelahan Struktur Jacket Monotower APN-A Dengan Menggunakan Kurva S-N Berdasarkan Pendekatan Keandalan”, Tugas Akhir Jurusan Teknik Kelautan, ITS, Surabaya. Marine Engine, 2009,”IMO Tier II Programme 2009”. Germany. Martins, Marcelo R., 2007, “Inertial and Hydrodynamic Inertia Loads on Floating Unit”, Sao Paulo. Mouselli, A.H, 1981, “Offshore Pipelines Design Analysis and Methods.” Oklahoma: PenWell Books. Naess, A., 1985, “Fatigue Handbook Offshore Steel Structure”, Trondheim. PT. McDermott, 2010,”Presentasi Seminar OCEANO 2010”,Surabaya. Rosyid, D.M., 2007, “Pengantar Rekayasa Keandalan”, Airlangga University Press, Surabaya. UKOOA, 2002, “FPSO Design Guidance Notes for UKCS Service”. Glasgow. Veritec, 1985, "Vibration Control in Ship", Norway. Wahyudi, Y., 2009, “Analisis Fatigue Pada Crane Pedestal Floating Production Storage and Offloading (FPSO) Belanak”, Tugas Akhir Jurusan Teknik Kelautan, ITS, Surabaya. Wirching, P. H., dan Chen, Y. N., 1988, “Considerations of Probability-Based Fatigue Design for Marine Structures”, SNAME, One World Trade Center, Suite 1369, New York. Woodgroup Buletin, 2009, “Kaji Ulang yang Mendalam Terhadap Pengalaman Wood Group dengan FPSO.” Woodnews. www.ict-silat.com/indonesia_map1.JPG, 18 Januari 2010
100